ISBN : 978-602-98841-0-4
Forum Ilmiah Tahunan Ikatan Surveyor Indonesia Pekanbaru, 10-11 November 2010
Disusun Oleh : Panitia Forum Ilmiah Tahunan Ikatan Surveyor Indonesia 2010
Diterbitkan Oleh : Ikatan Surveyor Indonesia Komisariat Wilayah Riau Prosiding
Forum Ilmiah Tahunan Ikatan Surveyor Indonesia Pekanbaru, 10-11 November 2010
KATA PENGANTAR Pembangunan berkelanjutan atau sustainable development adalah proses pembangunan yang berprinsip pada pemenuhan kebutuhan sekarang tanpa mengorbankan pemenuhan kebutuhan generasi masa depan. Intensitas pembangunan dewasa ini kerapkali mengesampingkan aspek kelestarian lingkungan dalam pelaksanaannya. Kerusakan hutan akibat pembalakan, kegiatan penambangan, atau untuk keperluan pertanian dan perkebunan bukan hanya menjadi masalah bagi Indonesia, tetapi juga menjadi isu internasional saat ini. Selain isu di atas, Indonesia juga termasuk kawasan dengan tingkat rawan bencana alam yang cukup tinggi dan bervariasi dari mulai banjir, longsor, kebakaran hutan dllsb. Posisi indonesia yang diapit oleh lempeng geologi yang dinamis mengakibatkan kawasan Indonesia memiliki tingkat resiko bencana gunung api, kegempaan, dan tsunami yang juga cukup tinggi. Penyebarluasan informasi mitigasi bencana yang akurat dan cepat akan sangat membantu meminimalisasi dampak bencana-bencana tersebut. Pada masa pemerintahan sentralistis, pemerintah daerah tidak memiliki peran besar dan juga tidak pernah mendapatkan keuntungan yang besar atas segala potensi yang ada di wilayahnya. Kondisi tersebut kemudian berubah drastis ketika era otonomi daerah mulai diberlakukan. Pemerintah daerah terutama kabupaten berpeluang untuk memperolah bagian atas kekayaan alam yang ada di daerahnya, sehingga mulai muncul saling klaim atas kawasan yang sama antara wilayah yang saling berbatasan dan rawan terjadinya konflik perbatasan. Disinilah penetapan batas wilayah menjadi penting sekali ditinjau dari berbagai aspek baik dari segi ekonom, sosial, maupun keamanan dalam negeri. Masalah-masalah tersebut di atas akan dapat diselesaikan secara efektif dan efisien, antara lain apabila ketersediaan dan pendayagunaan data geospasial (d/h peta) sudah terintegrasi di dalam tatakelola pemerintahan dan pengembangan lainnya. Peta tidak hanya dapat difungsikan sebagai tool untuk memudahkan proses komunikasi antara stakeholder terkait, namun lebih dari itu, peta dapat difungsikan untuk menunjang proses perencanaan, pelaksanaan, monitoring, dan penentuan kebijakan. Sayangnya, selama ini peta masih banyak diposisikan sebagai output proses saja dan belum dioptimalkan menjadi piranti pendukung perencanaan dan pengambilan keputusan untuk merespon permasalahan yang cukup kompleks. Forum Ilmiah Tahunan (FIT) Ikatan Surveyor Indonesia (ISI) merupakan forum tahunan yang mempublikasikan karya ilmiah serta tekonologi terbaru dibidang Informasi Geospasial dan Geomatika yang mempertemukan para surveyor, pengusaha, peneliti, praktisi, serta pengguna peta dan informasi geospasial di baik di level pemerintahan maupun swasta. Pada Tahun 2010 ini FIT ISI dirangkaikan dengan kegiatan seminar nasional dan workshop yang diselenggarakan oleh ISI Komisariat Wilayah Riau. Dan salah satu hasil dari FIT ISI 2010 ini adalah Buku Prosiding. Prosiding ini disusun dari sejumlah makalah yang disampaikan pada acara Forum Ilmiah Tahunan (FIT) Tahunan 2010 dengan mengambil tema “Optimalisasi Penggunaan Informasi Geospasial Dalam Perencanaan Pembangunan Nasional Untuk Peningkatan Kinerja Pembangunan Perekonomian Daerah Yang Berwawasan Lingkungan” yang diselenggarakan di Pekanbaru - Riau pada tanggal 10-11 Nopember 2010. Acara ini terselenggara atas kerjasama antara Ikatan Surveyor Indonesia (ISI) dengan Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia. Selain itu sejumlah seponsor terutama dari beberapa perusahaan survey & pemetaan dan sejumlah vendor peralatan dan perangkat lunak terkait dengan Geodesi & Geomatika ikut juga berpartisipasi untuk mensukseskan acara FIT ISI 2010 ini.
Pekanbaru, Nopember 2010 Editor Prosiding
Page i
Forum Ilmiah Tahunan Ikatan Surveyor Indonesia Pekanbaru, 10-11 November 2010
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR........................................................................................i DAFTAR ISI.....................................................................................................ii 1. Penyediaan Tanah untuk Pemukiman di Kab. Kendal Studi Kasus Pengkaplingan Tanah Kel. Langenharjo Oleh Irawan Sumarto, Priyono Nugroho, Aryono Prihandito……………………… A
2. SWEPOS, Sebuah Contoh Manajemen GPS CORS di Swedia Oleh Zamilul Muttaqien ………………………………………………………...… B
3. Metode Agregasi Sistem GRID Emisi Gas Rumah Kaca Untuk Kota Bandung Oleh Intan Sofiyanti, Ahmad Riqqi, R. Driejana..……………..……………………..C
4. Permodelan Prediksi Lokasi Tutupan Lahan Berbasis Proyeksi Alokasi Tutupan Lahan Metode MARKOV ( Wilayah Bandung) Oleh R. Akbar Muttaqin, Albertus Deliar, Agung Budi Harto ………………….….. D
5. Kajian Akurasi Geometrik Citra SPOT Hasil Orthorektifikasi dengan Titik Kontrol Hasil Triangulasi Citra Satelit Oleh Sarif Hidayat, Agung Budi Harto, Saptomo Handoro Mertotaruno …...…….... E
6. Penerapan Teknis Differential Interferometric Synthetic Aperture Radar (DlnSAR) untuk Kajian Pemantauan dan Pengukuran Penurunan Muka Tanah (Studi Kasus : Lembang Bandung) Oleh Yoga Prasetyo, A.Janisa ……………………………………………….…… F
7. Pengaturan Pemanfaatan Ruang di Atas Tanah Dalam Penerapaan Kadaster 3 Dimensi Oleh Hendriatiningsih, Bambang Edhi Leksono, Wisang Wisudanar ……………..G
8. Analisis Korelasi Jumlah Penduduk dengan Tutupan Lahan Berbasis SIG (Area Studi Wilayah Bandung) Oleh Riantini Virtriana, Albertus Deliar, Agung Budi Harto ………………………...H
9. Survey Pemetaan Bangunan Rumah Susun untuk Pendaftaran Hak Milik Dalam Sistem Kadaster 3 Dimensi Oleh S Hendriatiningsih …………………………………………………………….I
Prosiding
Page ii
Forum Ilmiah Tahunan Ikatan Surveyor Indonesia Pekanbaru, 10-11 November 2010
10. Penggunaan Analytical Hierarchy Process untuk Menentukan Prioritas Syarat Lokasi Pendaftaran Tanah Sistematik Ajudikasi LMPDP (studi Kasus Kabupaten Kulon Progo, DIY) Oleh Dody Hendriono, Prijono Nugroho, Yulaikhah ……..……..…………………..J
11. Kebijakan Pengelolaan Lingkungan Bandar udara di Indonesia Berbasis Spasial Oleh Yofri Furqoni Hakim, Dimas Hanityawan S, Suryanto, Edwin Hendrayana ......K
12. Pembuatan Sistem Informasi Geografis (SIG) untuk Analisis dalam Pemberian Izin Tinggi Bangunan Di sekitar Bandara Ngurah Rai - Bali Oleh Suryanto, Yofri Furqoni Hakim, Dimas Hanityawan S, Edwin Hendrayana .......L
13. Kajian Penggunaan Citra Satelit Quickbird untuk Pemetaan Penggunaan Tanah Kelurahan Kutoarjo. Kec. Kutoarjo, Kab. Purworejo Oleh Sutrisno, Harintaka, Slamet Basuki ...........................................................M
14. Aplikasi SIG untuk Penghitungan Volume Galian Bukit Kerbau Terkait Kajian KKOP Pada Bandara Pattimura Ambon Oleh, Dimas Hanityawan S, Suryanto, Yofri Furqoni Hakim, Edwin Hendrayana .....N
15. Peranan Geomatika dalam Delimitasi, Demarkasi dan Managemen Batas Daerah di Darat Oleh Sumaryo, Subaryono, Sobar Sutisna, Djurdjani...........................................O
16. Sejarah dan Perkembangan Penginderaan Jauh di Indonesia Oleh Bangun Muljo Sukojo ………………………..………………………….........P
17. Perlukah Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) IV ? Oleh Teguh Fayakun Alif, Khafid …………...……………………….…………......Q
18. Peta Dasar Zonasi Tingkat Peringatan Tsunami Oleh Eva Novita, Arry Agung Hanatyo ………………………..…….…………...…R
19. Aplikasi LIDAR, IFSAR dan Citra Hiperspektral dalam Pengelolaan Hutan HujanTropis di Indonesia Oleh Bobby Santoso D, Yan Mandari, Bambang Abednego……………….….……S
20. Kajian Awal Untuk Membangun Sistem Informasi Pertanahan Desa di Cimahi Jawa Barat Oleh Didik W, S , Hendriatiningsih, Marisa Mei Ling, Andri Hernandi……..….....T
Prosiding
Page iii
Forum Ilmiah Tahunan Ikatan Surveyor Indonesia Pekanbaru, 10-11 November 2010
21. Studi Awal Penentuan Kemiringan Objek Bangunan Menggunakan Metode Survey Terestrial Oleh Andri Hernandi, Agoes S Soedomo, Marisa Mei Ling, Brawira F. Gazayana…U
22. Pembuatan Peta Zona Nilai Tanah di Kota Oksibil Kabupaten Pegunungan Bintang Provinsi Papua Oleh Goyandi Dwi Ammar, dkk……………………………………..……………….V
23. Pengembangan Sistem Basis Data Batas Laut Daerah Oleh Eka Djunarsjah, Irfan Khosirun, Riki Oktapiana,Angga Trysa Yuherdha……..W
24. Updating Zona Nilai Tanah Metode INDEKS Oleh Dian Novytasari…………………………………………………………....…..X
25. Aplikasi GIS untuk Sistem Peringatan Dini Bahaya Kebakaran (Fire Early Warning system) Oleh Amir Sabri…………………….………………………………………………..Y
26. Pengembangan GNSS CORS Network Untuk Penyediaan Data Geospasial Oleh Farid Hendro Adiyanto……………………………………….……………...Z 27. Pengelolaan Data Pertanahan Menjelang 2014 Oleh Irawan Sumarto, Suyus Windayana……………………………………...AA 28. Pemanfaatan Citra Satelit Landsat Untuk Analisis Pola Perubahan Lahan 1994-2001 di Wilayah Bandung Oleh Albertus Deliar, D Muhally H, Agung Budiharto…………………….…..AB 29. Kajian Ketelitian Pembuatan Digital Elevation Model (DEM) Menggunakan Foto Udara Non Metrik Oleh Bobby S.Dipokusumo, Ishak H Ismullah, Soni D, Miim W...................AC
Prosiding
Page iiii
Forum Ilmiah Tahunan Ikatan Surveyor Indonesia Pekanbaru, 10-11 November 2010
Penyediaan Tanah Untuk Pemukiman Di Kabupaten Kendal Studi Kasus Pengkaplingan Tanah Di Kelurahan Langenharjo 1
2
3
Sumarto , Prijono Nugroho , Aryono Prihandito Program Studi Teknik Geomatika Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada
Abstract The increased number of population is always related to the effort of pro-viding of settlement and the increased need for land. The activity of land parceling as an effort to provide land for settlement is inevitable as the consequence of the meeting of need for settlement. It is expected that the land parceling activity will make order in land use and land ownership. The land parceling has been done in Langenharjo Village in Kendal Regency since Local Regulation Number 15 Year 1995 on First Ammandemant on Local Regulation of Number 8 Year 1987 on the Area Plan of Kendal Subdistrict was issued. Based on the Local Regulation, the function of the land parceling in Langenharjo Village is to be determined as a settlement area. In the parceled land, many lands are still not built and used to date in accordance with its original purpose, left or even neglected. Therefore, the purpose of the study is to find out factors influencing the owner of parceled land not to build the land, implications of the neglected of parceled land on land development, and the suitability to acheive good land administration system. This study used primary data collected using questionnaires, interview to the parceled land owners and officials in relevant institution, and field observation to find out the actual conditions of parceled lands. The data were analyzed using a descriptive qualitative approach assisted by the SPSS software to find out frequency distribution and to make analysis to be easier. The result of the study indicates that from 50 respondents selected using a purposive sampling technique, 90% have left and neglected the land. Based on the result of analysis, it can be recognized that there were three factors influencing the land owner to not build the land namely physical factor related to the situation and condition of parceled land, institutional or regulatory factor related to the absence of sanction, and economic factor indicated by the background of land owner and the purpose of the landownership. Neglected the land have implications of restraining the land development and violating of the regulation on the land use it can be cosidered as neglected land. The land parceling as an effort provide land for settlement did not contribute to land taxation, which is one of the benefits of good land administration system. It can be seen from the fact that 98% of the respondents don’t have Tax Due Notification Letter of Land and Building Taxes on the name owner itself and it is still combined with the name of previous land owner. Thus, the owner of land did practically not pay the Land and Building Tax annually. Keywords : Providing Settlement Land, Land Parceling, Neglected Land
1 2 3
Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia, Jakarta. (email :
[email protected]) Jurusan Teknik Geodesi Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Jurusan Teknik Geodesi Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Prosiding
Page A-1
Forum Ilmiah Tahunan Ikatan Surveyor Indonesia Pekanbaru, 10-11 November 2010
PENGANTAR Tanah merupakan salah satu unsur utama untuk dapat terlaksananya pembangunan termasuk pemukiman. Peningkatan jumlah kebutuhan terhadap permukiman akan mengakibatkan peningkatan kebutuhan tanah. Ini berarti peningkatan jumlah penduduk selalu terkait langsung dengan penyediaan permukiman, dan penyediaan permukiman berhubungan dengan masalah tanah. Sebagai salah satu wilayah Kabupaten/Kota yang terletak di jalur utama pantai utara pulau jawa yang didukung oleh sarana transportasi yang memadai, serta berbatasan langsung dengan Kota Semarang sebagai Ibukota Propinsi Jawa Tengah, Kabupaten Kendal telah mengalami perkembangan yang cukup pesat, terutama dalam hal pertumbuhan penduduk. Hal ini dibuktikan dengan adanya peningkatan jumlah penduduk dari tahun ke tahun yang cukup signifikan. Dengan perkembangan ini, kebutuhan akan ruang (lahan) untuk pemukiman semakin meningkat. Hal demikian berdampak kepada pemanfaatan lahan pertanian (walaupun produktif), yaitu akan memicu terjadinya konversi lahan pertanian ke kegiatan non pertanian. Salah satu upaya penyediaan tanah untuk pemukiman adalah melalui usaha pengkaplingan tanah yang telah banyak dilaksanakan di beberapa wilayah di Kabupaten Kendal termasuk diantaranya adalah di Kelurahan Langenharjo. Namun demikian pelaksanaan pengkaplingan tanah tersebut justru menimbulkan permasalahan karena banyak tanah kapling yang tidak dipergunakan dan dimanfaatkan sesuai dengan peruntukannya. Tanah-tanah kapling yang merupakan sumber daya tanah tersebut sampai saat ini masih banyak yang berupa tanah kosong, kumuh, tidak dikelola dan dimanfaatkan oleh pemiliknya, dibiarkan dan ditelantarkan, sehingga dalam pembangunannya terkesan lambat dan lama, padahal sebelumnya merupakan lahan pertanian yang menghasilkan. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis faktor-faktor yang menyebabkan tidak dibangunnya tanah-tanah kapling oleh pemilik tanah, implikasi pembiaran tanah kapling terhadap pembangunan tanah dan memberikan saran sebagai kontribusi terhadap kebijakan pengkaplingan tanah sebagai upaya penyediaan tanah untuk pemukiman di Kabupaten Kendal.
TINJAUAN PUSTAKA Penelitian tentang alih fungsi tanah pertanian ke non pertanian maupun perubahan penggunaan tanah sudah banyak dilakukan, namun penelitian yang spesifik mengenai pengkaplingan tanah sebagai upaya penyediaan tanah untuk pemukiman belum pernah ada dan penelitian ini diharapkan dapat melengkapinya. Prosiding
Page A-2
Forum Ilmiah Tahunan Ikatan Surveyor Indonesia Pekanbaru, 10-11 November 2010
Setiawan (2008) meneliti mengenai alih fungsi tanah pertanian menjadi non pertanian di Kecamatan Karangmalang Kabupaten Sragen. Studi implementasinya adalah mengkaji mengenai alih fungsi tanah pertanian ke non pertanian tersebut apakan telah sesuai dengan tata guna tanah dan tata ruang pemerintah daerah setempat atau belum. Setiadi (2007), dalam penelitiannya mengkaji tentang perubahan penggunaan lahan dan faktorfaktor yang mempengaruhinya di Kecamatan Umbulharjo Kota Yogyakarta. Tujuan dari penelitiannya adalah untuk mengetahui perkembangan perubahan penggunaan lahan yang terjadi di Kecamatan Umbulharjo, meliputi kecenderungan perubahan penggunaan lahan dan daya pengaruh aktivitas perubahan penggunaan lahan serta mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhinya, sehingga hasilnya dapat dijadikan pedoman untuk antisipasi pengendalian pembangunan kota.
CARA PENELITIAN Untuk mengetahui faktor-faktor yang menyebabkan pemilik tanah kapling di Kelurahan Langenharjo yang tidak membangun tanahnya dalam penelitian ini digunakan pendekatan kualitatif. Metode yang digunakan meliputi kuisioner dan wawancara. Untuk memudahkan dalam menganalisis secara kualitatif dilakukan dengan program SPSS 17.0. Program ini digunakan untuk mengetahui distribusi frekuensi serta kerapatan setiap jawaban yang diberikan oleh responden terhadap pertanyaan-pertanyaan dalam kuisioner, sehingga data mudah dijelaskan dan diuraikan lebih lanjut. Penelitian ini dilaksanakan melalui beberapa tahap, yaitu : a. Tahap Persiapan. Kegiatan yang dilakukan adalah studi pustaka berupa buku-buku, referensi dan hasil-hasil penelitian terdahulu yang berkaitan dengan materi penelitian. b. Tahap Pelaksanaan. Dalam tahap ini dilakukan pengumpulan data yang terkait dengan jenis dan sumber data yang berupa data primer dan data sekunder yang relevan untuk penelitian. Pemilihan sampel dilakukan menggunakan metode purposive sampling, dengan jumlah sampel sebanyak 50 orang. Dari data yang sudah terkumpul kemudian diolah dan dianalisis untuk kemudian dibuat kesimpulan dan saran. Analisis menggunakan pendekatan deskriptif analitis dilakukan untuk semua data yang diperoleh guna tercapainya tujuan penelitian. c. Tahap Penyelesaian. Tahap ini merupakan tahap penyusunan dan pembuatan laporan dalam bentuk tertulis dari hasil pelaksanaan penelitian.
Prosiding
Page A-3
Forum Ilmiah Tahunan Ikatan Surveyor Indonesia Pekanbaru, 10-11 November 2010
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
a.
Deskripsi Daerah Penelitian. Kelurahan Langenharjo terletak di wilayah Kecamatan Kota Kendal yang merupakan ibukota Kabupaten Kendal dengan luas wilayah 1450 ha. Wilayah Kelurahan Langenharjo berada di sisi selatan dan barat alun-alun kota Kendal dan berjarak 2 km dari pusat pemerintahan Kabupaten Kendal, terdiri dari areal pemukiman padat penduduk dan persawahan yang berada di ketinggian tanah sekitar ± 4 m dari permukaan air laut. Kebijakan pengkaplingan tanah di Kelurahan Langenharjo didasarkan pada Peraturan Daerah (Perda) Kabupaten Kendal Nomor 8 Tahun 1987 tentang Rencana Bagian Wilayah Kecamatan Kendal yang telah diubah dengan Perda Nomor 15 tahun 1995 tentang Perubahan Pertama Peraturan daerah Kabupaten Daerah Tingkat II Kendal Nomor 8 Tahun 1987 tentang Rencana Bagian Wilayah Kecamatan Kendal. Berdasarkan Peraturan Daerah tersebut lahan pertanian yang berada di Kelurahan Langenharjo sebelah utara telah diubah fungsinya menjadi kawasan pemukiman karena dianggap kurang produktif. Kawasan tersebut kemudian dipergunakan untuk lokasi pengkaplingan tanah sebagai upaya penyediaan tanah untuk pemukiman.
b. Pembangunan Tanah Kapling dan Faktor Yang Mempengaruhi. Terdapat tiga faktor yang harus diperhatikan dalam pembangunan tanah, yaitu factor fisik, instritusi dan ekonomi. Demikian pula pembangunan tanah kapling di Kelurahan Langenharjo dipengaruhi oleh tiga faktor tersebut. 1. Faktor fisik. Faktor fisik yang mempengaruhi pembangunan tanah-tanah kapling di Kelurahan Langenharjo dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu faktor endogen dan faktor eksogen. Faktor endogen meliputi kondisi tanah dan topografi kawasan pengkaplingan tanah. Sebagian besar (74%) tanah kapling saat perolehan dalam kondisi sudah urugan, akan tetapi masih terdapat tanah-tanah kapling yang belum urugan, diurug sebagian, dan masih berupa sawah. Hal ini menunjukkan bahwa secara fisik, keadaan tanah kapling terutama yang masih berupa tanah sawah merupakan faktor yang mempengaruhi pembangunan tanah kapling di kawasan ini. Keadaan topografi bukan merupakan faktor yang mempengaruhi tidak dibangunnya tanah-tanah kapling oleh pemilik tanah, karena secara umum topografi tanah di kawasan pengkaplingan tanah di Kelurahan Langenharjo relatif datar dengan kemiringan lereng 0 – 2°, dan ketinggian tanah antara 0 – 4 m. Prosiding
Page A-4
Forum Ilmiah Tahunan Ikatan Surveyor Indonesia Pekanbaru, 10-11 November 2010
Faktor eksogen meliputi luas tanah kapling, akses jalan, penggunaan tanah berdampingan dan tersedianya fasilitas umum. Pada kawasan pengkaplingan tanah tidak terdapat penggunaan tanah yang membahayakan seperti industri kimia atau sejenisnya yang dapat mencemari tanahtanah sekitarnya. Keadaan penggunaan tanah yang demikian bukan merupakan faktor yang mempengaruhi pemilik tanah kapling untuk membangun tanahnya. Pada lokasi pengkaplingan tanah di Kelurahan Langenharjo sebagian besar tidak terdapat akses jalan sehingga kesulitan dalam melakukan pembangunan. Fasilitas umum seperti jaringan listrik, telepon dan air juga tidak tersedia. Tidak adanya akses jalan untuk membangun serta fasilitas umum berupa jaringan listrik, air maupun telepon di lokasi pengkaplingan tanah merupakan faktor yang mempengaruhi pemilik tanah kapling tidak membangun tanahnya. Dari bentuk dan ukuran, tanah-tanah kapling di Kelurahan Langenharjo mempunyai bentuk yang teratur dengan luas antara 100 m² hingga 400 m². Sebanyak 90% tanah kapling dibiarkan oleh pemiliknya, sedangkan 10% dikelola dengan ditanami. Dalam hal untuk dibangun rumah luasan tanah tersebut bukan termasuk faktor yang mempengaruhi sikap pemilik tanah kapling tidak membangun tanahnya. Akan tetapi untuk pembangunan dalam bentuk yang lain seperti mengelola dan mengusahakan dengan menanaminya, luasan tanah yang relatif kecil dapat mempengaruhi pemilik tanah tidak membangun tanahnya. Selain faktor kesibukan pekerjaan dan domisili pemilik yang jauh dari lokasi tanah kapling, luasan tanah yang relatif kecil dianggap tidak produktif untuk ditanami. 2. Faktor institusi atau peraturan Secara yuridis penyediaan tanah untuk pemukiman melalui pengkaplingan tanah di Kelurahan Langenharjo telah sesuai dengan peraturan yang berlaku, yaitu Perda Kabupaten Kendal Nomor 15 tahun 1995. Namun demikian masih terdapat beberapa peraturan yang dilihat dari isi maupun pelaksanaannya dapat mempengaruhi sikap pemilik tanah kapling tidak membangun tanahnya. a. SK Bupati tentang Ijin Perubahan Penggunaan Tanah. Keputusan Bupati Kendal tentang Pemberian izin Perubahan Penggunaan Tanah Pertanian ke Non Pertanian sebagai dasar untuk melakukan pengkaplingan tanah, hanya mengatur tentang kewajiban pemegang izin (penyedia tanah kapling), sedangkan kewajiban dari pemilik-pemilik tanah kapling yang berkaitan dengan pembangunan tanah kapling dan sanksi yang dikenakan apabila pemilik tanah kapling tidak membangun tanahnya tidak diatur. Dengan demikian pemilik tanah kapling dapat dengan bebas memperlakukan tanah kapling miliknya termasuk Prosiding
Page A-5
Forum Ilmiah Tahunan Ikatan Surveyor Indonesia Pekanbaru, 10-11 November 2010
membiarkannya karena tidak adanya aturan yang mengikat, terutama pemilikan tanah kapling dengan tujuan spekulasi dan investasi serta domisili pemilik tanah yang jauh dari lokasi pengkaplingan tanah. b. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960. Sesuai dengan pasal 15 Undang-undang nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokokpokok Agraria, setiap orang, Badan Hukum atau Instansi Pemerintah yang mempunyai hubungan hukum dengan tanah mempunyai kewajiban untuk memelihara, menambah kesuburan serta mencegah kerusakan tanahnya dan apabila tidak di lakukan maka dapat diberikan sanksi sebagaimana pasal 52. Akan tetapi mekanisme untuk penerapan sanksi kepada pemegang hak belum pernah diatur secara tegas serta tidak ada mekanisme yang jelas. Belum adanya pengenaan sangksi kepada pemilik tanah merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi tidak dibangunnya tanah kapling oleh pemiliknya. c. Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2010. Berdasarkan Pasal 3 huruf a PP Nomor 11 Tahun 2010 tanah-tanah kapling yang dibiarkan oleh pemiliknya di Kelurahan Langenharjo dapat diindikasikan sebagai tanah terlantar. Tanahtanah kapling tersebut bukan “tidak sengaja tidak dipergunakan sesuai dengan keadaan atau sifat dan tujuan pemberian haknya” melainkan dengan sengaja tidak dipergunakan sesuai dengan keadaan atau sifat dan tujuan pemberian haknya oleh pemiliknya, karena pemilikpemilik tanah kapling tersebut memiliki kemampuan dari segi ekonomi untuk mengusahakan, mempergunakan, atau memanfaatkan sesuai dengan keadaannya atau sifat dan tujuan pemberian haknya. Namun sampai saat ini belum pernah dilakukan identifikasi tanah-tanah terlantar yang berstatus Hak Milik dan Hak Guna Bangunan atas nama perorangan dan baru terbatas pada tanah-tanah Hak Guna Usaha dengan ukuran yang relatif luas. 3. Faktor ekonomi. Salah satu faktor yang harus diperhatikan dalam pembangunan tanah adalah faktor ekonomi. Faktor ekonomi dalam penelitian ini dipengaruhi oleh dua hal yaitu latar belakang pemilik tanah dan tujuan pemilikan tanah. a. Latar belakang pemilik tanah. Sikap pemilik tanah kapling yang tidak membangun tanahnya dipengaruhi oleh latar belakang mereka. Sebagian responden/pemilik tanah (64%) bekerja sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) dengan penghasilan (98%) diatas Rp. 1.000.000,-. Pendapatan tersebut diatas Upah Minimum Regional (UMR) Kabupaten Kendal tahun 2010 sebesar Rp. 780.000,-. Prosiding
Page A-6
Forum Ilmiah Tahunan Ikatan Surveyor Indonesia Pekanbaru, 10-11 November 2010
Sebagian besar responden (96%) mempunyai satu sampai empat orang anggota keluarga, selebihnya mempunyai lebih dari empat tanggungan/anggota keluarga. maka pendapatan tersebut mencukupi untuk membiayai kebutuhan hidup sehari-hari. Sebanyak 82% responden mempunyai tempat tinggal dengan status milik sendiri dan sisanya berstatus milik orang tua, sewaan/kontrakan dan lainnya. Jumlah rumah yang dimiliki, sebanyak 22% responden memiliki rumah lebih dari satu. Kondisi demikian mencerminkan bahwa status ekonomi pemilik tanah kapling bukan termasuk golongan ekonomi lemah. Jenis pekerjaan dan pendapatan yang melebihi Upah Minimum Regional Kabupaten Kendal serta banyaknya jumlah rumah yang dimiliki menunjukkan adanya kemampuan sebagian besar pemilik tanah kapling untuk membangun tanahnya bagi kegunaan yang lebih menguntungkan, akan tetapi kemampuan tanpa diikuti dengan kemauan tidak akan terlaksana pembangunan. b. Tujuan pemilikan tanah Dari data kuisioner diperoleh sebanyak (66%) responden tidak membangun tanahnya dengan alasan tujuan memiliki tanah kapling adalah untuk investasi, 18% belum cukup dana untuk membangun, 10% tidak ada akses membangun, dan 6% dengan tujuan spekulasi. Ada beberapa alasan mengapa pemilik tanah kapling cenderung memiliki tanah kapling untuk investasi sebagai berikut : (1) Adanya anggapan bahwa investasi dalam bentuk tanah lebih banyak menguntungkan dan tidak akan pernah rugi. (2) Aset berharga yang dapat diagunkan untuk memperoleh kredit dari bank. (3) Sebagai tabungan yang disediakan untuk keluarga di masa datang.
Alasan lain pemilik tanah kapling tidak membangun tanahnya adalah belum cukup dana untuk membangun. Sebagian pemilik tanah kapling beralasan tidak membangun tanahnya karena memang belum mempunyai tempat tinggal milik sendiri. Namun alasan belum cukup dana juga berlaku bagi pemilik tanah yang sudah mempunyai rumah/tempat tinggal dengan status milik sendiri. Hal ini karena pemilikan tanahnya bermuara pada tujuan investasi. Selain itu, spekulasi juga merupakan faktor yang mempengaruhi pemilik tanah kapling tidak membangun tanahnya karena tujuan pemilikan tanahnya adalah untuk dijual kembali setelah harganya naik.
Prosiding
Page A-7
Forum Ilmiah Tahunan Ikatan Surveyor Indonesia Pekanbaru, 10-11 November 2010
c. Implikasi Pembiaran Tanah Kapling Terhadap Pembangunan Tanah. Pembiaran tanah-tanah kapling oleh pemilik tanah di Kelurahan Langenharjo berimplikasi pada ketidaksesuaian terhadap tujuan pembangunan tanah dan penatagunaan tanah, antara lain : 1
Pembiaran tanah kapling berimplikasi terhadap pembangunan tanah yang tidak terarah karena
akan menyebabkan tanah-tanah kosong, kumuh dan tidak terawat, sehingga mengakibatkan penurunan kualitas lingkungan serta dapat diindikasikan sebagai tanah terlantar. 2
Pembiaran terhadap tanah-tanah kapling berimplikasi pada penurunan efisiensi dan
produktifitas penggunaan tanah karena tidak dikelola dan diusahakan dengan baik sesuai dengan peruntukan dan pemberian haknya. 3
Pembiaran terhadap tanah-tanah kapling merupakan pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 8
Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2004 tentang Penatagunaan Tanah. 4
Pembiaran terhadap tanah-tanah kapling bertentangan dengan tujuan pedoman teknis
penggunaan tanah yang lestari, optimal, serasi dan seimbang (LOSS) di wilayah pedesaan serta aman, tertib, lancar dan sehat (ATLAS) di wilayah perkotaan. Pembiaran tanah-tanah kapling berdampak pada lingkungan kumuh yang tidak sehat. 5. Pembiaran tanah-tanah kapling oleh pemiliknya tidak sesuai dengan prinsip-prinsip perencanaan tata guna tanah, yaitu : (1) Prinsip penggunaan maksimum (principle of maximum production. karena pengkaplingan tanah bukan untuk memenuhi kebutuhan rakyat yang mendesak. (2) Prinsip penggunaan optimum(principle of optimum use). Tanah-tanah kapling yang dibiarkan tidak memberikan keuntungan ekonomis yang sebesar-besarnya karean tidak digunakan dan diusahakan untuk peningkatan hasil yang lebih baik.
d. Kesesuaian Penyediaan Tanah Untuk Pemukiman Melalui Pengkaplingan Tanah Terhadap Sistem Administrasi Pertanahan Yang Baik. Sistem administrasi pertanahan yang baik akan menghasilkan manfaat yang baik walaupun tidak dapat diukur secara langsung. Manfaat-manfaat ini antara lain : menjamin kepemilikan dan keamanan penguasaan tanah, dukungan untuk perpajakan tanah dan properti, memberikan keamanan kredit, mengembangkan dan memantau pasar tanah, Perlindungan tanah oleh negara, mengurangi sengketa tanah, memfasilitasi upaya landreform, meningkatkan perencanaan perkotaan dan pembangunan infrastruktur, dan menghasilkan Prosiding
Page A-8
Forum Ilmiah Tahunan Ikatan Surveyor Indonesia Pekanbaru, 10-11 November 2010
data statistik. Terdapat dua hal terkait penyediaan tanah untuk pemukiman melalui pengkaplingan tanah di Kelurahan Langenharjo dengan manfaat-manfaat tersebut diatas : 1 Bidang-bidang tanah kapling di Kelurahan Langenharjo seluruhnya telah bersertipikat Hak Milik. Dengan demikian pengkaplingan tanah di kelurahan Langenharjo telah dapat memenuhi maanfaat menjamin kepemilikan dan keamanan penguasaan tanah, memberikan keamanan kredit (dapat dibebani hak tanggungan), mengurangi sengketa tanah, perlindungan oleh negara (kecuali yang dibiarkan karena terindikasi tanah terlantar), serta dapat menghasilkan data statistik. 2 Penyediaan tanah untuk pemukiman melalui usaha pengkaplingan tanah di Kelurahan Langenharjo belum memberikan dukungan terhadap perpajakan tanah dan properti. Sebagian besar (98%) responden menyatakan belum memiliki SPPT PBB atas nama sendiri. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar pemilik tanah kapling tidak membayar pajak bumi dan bangunan pada setiap tahunnya.
KESIMPULAN Dari hasil penelitian dan pembahasan, maka dapat ditarik suatu kesimpulan sebagai berikut : 1 Penyediaan tanah untuk pemukiman melalui pengkaplingan tanah di Kelurahan Langenharjo telah sesuai dengan RTRW Kabupaten Kendal. 2. Beberapa faktor yang mempengaruhi pemilik tanah kapling tidak membangun tanahnya, antara lain : a. Faktor fisik, masih adanya tanah-tanah kapling yang belum diurug dan masih berupa tanah sawah pada saat perolehan, terbatasnya akses jalan untuk membangun serta tidak adanya fasilitas umum seperti jaringan listrik, air dan telepon di lokasi pengkaplingan tanah. b. Faktor institusi, belum adanya aturan yang mengikat serta sanksi yang jelas terhadap pembiaran dan penelantaran tanah kapling oleh pemilik tanah. c. Faktor Ekonomi, sebagian besar pemilik tanah kapling memiliki tanah dengan tujuan untuk investasi bukan untuk dibangun, sehingga ada kecenderungan untuk membiarkan tanahnya. 3. Penyediaan tanah untuk pemukiman melalui pengkaplingan tanah di Kelurahan Langenharjo belum mendukung peningkatan perpajakan.
Prosiding
Page A-9
Forum Ilmiah Tahunan Ikatan Surveyor Indonesia Pekanbaru, 10-11 November 2010
DAFTAR PUSTAKA. Anonim, 1960, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria. Anonim, 1995, Peraturan Daerah Kabupaten Kendal Nomor 5 Tahun 1995 tentang Perubahan Peraturan Daerah kabupaten Kendal Nomor 8 Tahun 1987 Rencana Bagian Wilayah Kecamatan Kendal. Anonim, 1996, Land Administration Guidelines With Special Reference to Countries in Transition, United Nations, New York and Geneva. Anonim, 1997, Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah. Anonim, 2004, Undang-undang Nomor 26 Tahun 2004 tentang Penataan Ruang. Anonim, 2004, Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2004 tentang Penatagunaan Tanah. Anonim, 2007, Peraturan Daerah (Perda) Kabupaten Kendal Nomor 23 Tahun 2007 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Kendal. Anonim, 2009, Kendal Dalam Angka Tahun 2008, Badan Pusat Statistik Kabupaten Kendal. Anonim, 2009, Laporan Akhir Penyusunan Revisi Rencana Rinci Tata Ruang Kawasan Perkotaan Kendal Kabupaten Kendal, Dinas Cipta Karya dan Tata Ruang Kabupaten Kendal. Anonim, 2010, Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2010 tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar. Alhalik, 2006, Efektifitas Izin Peruntukan Penggunaan Tanah (IPPT) Sebagai Instrumen Pengendalian Pemanfaatan Ruang Di Kecamatan Ngaglik Kabupaten Sleman, Tesis, Magister Teknik Perencanaan Wilayah Kota, Universitas Diponegoro, Semarang. Bachriadi, Dianto, 2001, Merampas Tanah Rakyat Kasus Tapos dan Cimacan, KPG (Kepustakaan Populer Gramedia), Jakarta, http://books.google.com/books?id=tt2XAn3VdFsC&pg=PA152&lpg=PA152&dq=s Prosiding
Page A-10
Forum Ilmiah Tahunan Ikatan Surveyor Indonesia Pekanbaru, 10-11 November 2010
pekulasi+tanah&source=bl&ots=fxJgjUKKm0&sig=-YgqEjvshBp2IA1yoVL7SgDQ10&hl=en&ei=WEk9TJCkHsKXccOWaEB&sa=X&oi=book_result&ct=result&resnum=9&ved=0CDgQ6AEwCA#v=onep age&q=spekulasi%20tanah&f=true, download tanggal 8 Juli 2010. Djam’an, Komariah, 2010, Metodologi Penelitian Kualitatif, Alfabeta, Bandung. Djurdjani, Omar, I, 2008, Perubahan Penggunaan Tanah : Analisis Dari Ekonomi Institusi (Suatu Tinjauan Teoritis), Aspec of Land Management And Development a Compilation, UTM, Malaysia. Djurdjani, 2009, Suplai Tanah Untuk Pembangunan Suatu Tinjauan Teoritis, Prosiding Forum Ilmiah Tahunan, Ikatan Surveyor Indonesia, Semarang. Efendi, Taufik, 2008, Analisis Perubahan Penggunaan Tanah Terhadap Rencana Umum Tata Ruang Kota Kecamatan Mertoyudan Kabupaten Magelang Tahun 2002-2011, Tesis, Magister Teknik Geomatikan Fakultas Teknik UGM, Yogyakarta. Enemark, Stig, 2009, Land Administration Systems - managing rights, restrictions and responsibilities in land, Map World Forum, Hyedrabad, India. Jayadinata, Johara T, 1999, Tata Guna Tanah Dalam Perencanaan Pedesaan, Perkotaan dan Wilayah, Penerbit ITB Bandung. Mertokusumo, Sudikno, dkk, 1998, Materi Pokok Hukum dan Politik Agraria, Depdikbud, Universitas Terbuka. Nawawi, H, 2007, Metode Penelitian Bidang Sosial, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. Nur Faizah, L, 2007, Alih Fungsi Tanah Pertanian Menjadi Tanah Non Pertanian (Studi Komparatif Indonesia dan Amerika Serikat), Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Prijono, 2008, Pendekatan Neoklasik Dalam Menghurai Halangan Penawaran Tanah Di Bandar, Tesis doktor Falsafah, Fakultas Kejuruteraan dan Sains Geoinformasi Universiti Teknologi Malaysia, Kualalumpur. Prosiding
Page A-11
Forum Ilmiah Tahunan Ikatan Surveyor Indonesia Pekanbaru, 10-11 November 2010
Prijono, 2009, Materi Kuliah Land Development Angkatan X Magister Teknik Geomatika, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Rohmadiani, Linda, D, 2008, Dampak Konversi Lahan Pertanian Terhadap Kondisi Sosial Ekonomi Petani (Studi Kasus : Jalur Pantura Kecamatan Pamanukan, Tesis, Istitut Teknologi Bandung, Bandung. Setiadi, Y, 2007, Kajian Perubahan Penggunaan Lahan dan Faktor-faktor Yang Mempengaruhinya di Kecamatan Umbulharjo Kota Yogyakarta, Skripsi, Jurusan Perencanaan Wilayah dan Kota Fakultas Teknik Universitas Diponegoro, Semarang. Setiawan, Aries, 2008, Alih Fungsi Tanah Pertanian Menjadi Non Pertanian di Kecamatan Karangmalang Kabupaten Sragen, Skripsi, Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Silalahi, 2006, Perkembangan Penggunaan dan Kebijakan Penyediaan Tanah Mendukung Ketahanan Pangan, Prosiding "Revitalisasi Ketahanan Pangan: Membangun Kemandirian Pangan Berbasis Pedesaan" 2006, Departemen Pertanian, http://pse.litbang.deptan.go.id/ind/pdffiles/ ProsSilalahi 06.pdf, download tanggal 16 Februari 2010. Subaryono, 1999, Pengantar Manajemen Informasi Pertanahan, Jurusan Teknik Geodesi Fakultas Teknik UGM. Sudjito, 1999, Kajian Yuridis Administratif Implementasi Program Konsolidasi Tanah Perkotaan di Ungaran, Mimbar Jurnal Hukum, Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, yogyakarta, http://i-lib.ugm.ac.id/ jurnal/detail.php?dataId=2110, download tanggal 21 Juli 2010. Sugiyono, 2009, Memahami Penelitian Kualitatif, Alfabeta, Bandung. Suhariningsih, 2009, Tanah Terlantar Asas dan Pembaharuan Konsep Menuju Penertiban, Prestasi Pustakaraya, Jakarta. Sulipan, 2009, Penelitian Deskriptif Analitis Berorientasi Pemecahan Masalah, www.ktiguru.org/file.php/1/moddata/data/3/9/46/Penelitian_Deskriptif_Analitis.pdf, download tanggal 14 April 2010. Prosiding
Page A-12
Forum Ilmiah Tahunan Ikatan Surveyor Indonesia Pekanbaru, 10-11 November 2010
Sumardjono, Maria, 2001, Kebijakan Pertanahan Antara Regulasi dan Implementasi, Kompas, Jakarta. Sumardjono, Maria, 2008, Tanah Dalam Perspektif Hak Ekonomi Sosial dan Budaya, Kompas, Jakarta. http://tatagunatanah.blogspot.com/2008/08/tujuan-tata-guna-tanah.html, download tanggal 9 April 2010. http://www.candilaras.co.cc/2008/05/validitas-dan-realibilitas-penelitian.html, download tanggal 18 Maret 2010.
Prosiding
Page A-13
Forum Ilmiah Tahunan Ikatan Surveyor Indonesia Pekanbaru, 10-11 November 2010
SWEPOS, SEBUAH CONTOH MANAJEMEN GPS CORS DI SWEDIA Zamilul Muttaqien Direktorat Survei Potensi Tanah Deputi Survei, Pengukuran dan Pemetaan Badan Pertanahan Nasional RI Jl. Kuningan Barat I / 1, Jakarta Selatan Telp. (021) 5202328 Email:
[email protected] ABSTRAK Saat ini GPS adalah sistem satelit navigasi yang paling populer dan paling banyak diaplikasikan di dunia, baik di darat, laut, udara, maupun angkasa. Disamping aplikasi-aplikasi militer, bidang-bidang aplikasi GPS yang cukup marak saat ini antara lain meliputi survai pemetaan, geodinamika, geodesi, geologi, geofisik, transportasi dan navigasi, pemantauan deformasi, pertanian, kehutanan, dan bahkan juga bidang olahraga dan rekreasi. Penggunaan GPS untuk penentuan posisi, survei dan aplikasi pemetaan di Indonesia secara umum dimulai pada akhir 1980-an. Dalam hal ini, survei statis dan real time (absolute dan diferensial) positioning adalah dua system yang paling sering digunakan. GPS CORS (Continuously Operating Reference Stations) di Indonesia pertama kali dioperasikan tahun 1996 oleh Bakosurtanal. Prospek GPS CORS di Indonesia sangat menjanjikan terutama untuk mempertahankan sistem referensi spasial nasional untuk mendukung berbagai aplikasi positioning, survei dan pemetaan, seperti di bidang administrasi pertanahan, pertambangan dan transportasi. Mengamati beberapa fenomena alam di Indonesia, misalnya gempa bumi, letusan gunung berapi, tsunami, dan tanah longsor, maka aplikasi GPS CORS akan sangat membantu. Dalam usahanya meningkatkan aplikasi GPS CORS di Indonesia, maka tidak salahlah bagi kita untuk melihat lebih dekat lagi aplikasi GPS CORS tersebut ke negara yang sudah bagus dalam pengembangannya. Salah satu negara yang sudah mengembangkan serta saat ini sudah berjalan relatif bagus adalah negara Swedia. Kita seharusnya banyak belajar dari Negara Swedia untuk pengembangam aplikasi GPS CORS di Indonesia. Terutama mengenai masalah bagaimana cara mereka memulai, cara pengembangannya, pelayanannya serta bagaimana pengembangan ke depan untuk meningkatkan pelayanannya. 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Di BPN, dalam rangka meningkatkan / mempercepat pelayanan administrasi pertanahan di Indonesia serta untuk mengurangi biaya dan waktu yang harus dikeluarkan untuk pembangunan titik kontrol di seluruh Indonesia, serta untuk mengurangi resiko kesalahan posisi akibat dari perawatan titik kontrol yang kurang baik, maka dibangunlah GPS CORS. Oleh karena itu, demi meningkatkan kinerja GPS CORS yang akan kita andalkan kedepannya nanti maka kita harus banyak belajar kepada negara-negara yang telah memajukan GPS CORS terlebih dahulu. Hal ini dimaksudkan Prosiding
Page B-1
Forum Ilmiah Tahunan Ikatan Surveyor Indonesia Pekanbaru, 10-11 November 2010
supaya kedepannya nanti kita sudah terbiasa dengan masalah-masalah yang sering muncul serta mudah dalam memecahkan masalah tersebut. Dengan kata lain kita akan mudah dalam memahami kelemahan-kelemahan dari aplikasi tersebut. Jangan sampai kita sudah terlanjur merubah sistem kerja kita, tetapi justru yang terjadi kebalikan dari yang kita inginkan, biaya yang kita keluarkan sudah sangat besar tetapi hasil yang kita dapatkan tidak maksimal. 1.2. Tujuan Adapun tujuan kita membandingkan GPS CORS kita dengan negara Swedia adalah sebagai berikut: a. Untuk mengetahui cara pengembangan pertama kali, mengingat kita juga belum lama memulainya b. Untuk mengetahui bagaimana cara pembiayaannya, mengingat pembangunan GPS CORS membutuhkan dana yang besar c. Untuk mengetahui pembangunan infrastruktur yang telah dicapai mengingat dalam pengembangan GPS CORS membutuhkan juga pembangunan infrastruktur yang memadai d. Untuk mengetahui pengembangan SDM, mengingat dalam pengembangan GPS CORS membutuhkan SDM yang cakap dalam hal teknologi e. Untuk mengetahui bentuk pelayanan (service) yang mereka hasilkan, mengingat kedepannya aplikasi GPS CORS akan diterapkan dalam berbagai bidang f. Untuk mengetahui masalah-masalah yang mereka hadapi serta bagaimana menyelesaikan masalah tersebut dalam rangka meningkatkan pelayanan terhadap user. 1.3. Pembatasan a. Study Visit dilakukan di SWEPOS, bagian yang menangani GPS CORS di Lantmateriet, Swedia b. Study Visit dilakukan selama 5 (lima) hari kerja dari tanggal 11 Oktober 2010 samapi dengan 15 Oktober 2010 c. Study Visit ini dilalui dengan cara diskusi, presentasi serta melihat langsung ke bagian-bagian dari Swepos itu sendiri 1.4. Manfaat Study Visit a. Secara teoritis, untuk mengembangkan pengetahuan kita agar dapat dijadikan suatu perbandingan untuk pembangunan dan pengembangan yang lebih baik. b. Bagi BPN, diharapkan dapat dijadikan sebagai dasar membuat kebijakan, bahan masukkan, evaluasi dalam pengelolaan GPS CORS untuk memperoleh hasil maksimum.
2. KAJIAN 2.1. Bagaimana mereka memulai Swepos didesain dan dibentuk berkat hasil kerjasama dari berbagai macam instansi yaitu: The National Land Survey of Sweden, Onsala Space Observatory dan Swedish National Research and Testing Institute. Hal itu menggambarkan bahwa mereka memulai karena dilandasi banyak orang yang membutuhkan teknologi Prosiding
Page B-2
Forum Ilmiah Tahunan Ikatan Surveyor Indonesia Pekanbaru, 10-11 November 2010
tersebut. Dengan demikian akan lebih mudah dari segi pembiayaan maupun masalah teknis karena banyaknya ide dan pemikiran yang masuk dalam rangka mendapatkan hasil yang baik. Dari segi teknis, Swepos memulai dengan mendirikan sebanyak 21 station yang tersebar di seluruh wilayah negara Swedia.
Gambar 1. Persebaran base station di Swedia tahun 1994 Selama rentang waktu antara tahun 1995 – 1999, karena didasari banyaknya bidang kerja yang mebutuhkan service GPS, maka selama rentang waktu tersebut Swepos mendapatkan banyak dukungan dari berbagai pihak untuk pengembangannya. Pihak tersebut adalah: The Swedish National Rail Administration, The Swedish Armed Forces, The National Land Survey of Sweden, The Swedish Civil Aviation Administration, The Swedish State Railways, The Swedish Maritime Administration, The Swedish Telecom, The Swedish National Road Administration.
2.2. Kondisi Swepos Network sekarang
Prosiding
Page B-3
Forum Ilmiah Tahunan Ikatan Surveyor Indonesia Pekanbaru, 10-11 November 2010
Gambar 2. Kondisi Swepos Network sekarang Gambar diatas menunjukkan bahwa secara fisik, Swedia telah siap memberikan service di seluruh wilayah Swedia. Disamping itu di tiap base station dilengkapi dengan perangkat pendukung yang memadai yang berguna untuk melancarkan komunikasi data dari base station ke control centre. Dengan kata lain terdapat backup instrument dan backup communication.
Gambar 3. Berbagai perangkat pendukung di base station 2.3. Swepos Control Centre Salah satu kekuatan dari Swepos adalah Swepos Control Centre. Dari ruangan Control Centre tersebut dilakukan berbagai macam pengamatan dan pengawasan. Beberapa pekerjaan yang dilakukan di Control Centre tersebut antara lain Prosiding
Page B-4
Forum Ilmiah Tahunan Ikatan Surveyor Indonesia Pekanbaru, 10-11 November 2010
pengamatan kinerja base station, pengawasan power serta temperatur. Selain itu dari Control Centre itu juga kita bisa mengamati segala permasalahan teknis yang muncul. Pelayanan kepada customer dan quality control juga dilakukan di Control Centre. Mengingat banyaknya pekerjaan yang harus dilakukan di Control Centre tersebut maka diperlukan pula SDM yang memadai untuk mendukung fungsi dari Control Centre. Di Control Centre terdiri dari 4 orang computer engineer, 2 orang surveyor dan 1 orang operation manager.
Gambar 4. Ruangan Control Centre di Swepos
2.4. Swepos Services Karena telah didukung dengan infrastruktur dan SDM yang memadai, maka Swepos sudah mampu memberikan services dari segi teknis kepada para customer yang menggunakan layanannya. Layanan tersebut diantaranya: a. Post processing data (RINEX-data) b. Virtual RINEX -data c. SWEPOS Automatic calculation service d. Realtimeservices Network-DGPS –service Network-RTK –service e. SWEPOS-website Coordinate Transformation Satellite Prediction Monitorstation 2.5. Users Berdasarkan dari customer survey di bulan Februari 2008 dengan responden sebanyak 400 diperoleh hasil bahwa users merasa puas dengan service yang diberikan oleh control centre serta merasa puas juga dengan harga Swepos Network RTK service. Kemudian bila dilihat dari jenis user-nya, maka diperoleh hasil seperti gambar dibawah ini.
Prosiding
Page B-5
Forum Ilmiah Tahunan Ikatan Surveyor Indonesia Pekanbaru, 10-11 November 2010
Gambar 5. Swepos User 2.6. Berbagai aplikasi dari Swepos Network RTK Di Swedia, aplikasi dari Swepos Network RTK sudah digunakan dalam berbagai macam bidang pekerjaan. Hal tersebut semakin berkembang karena pelayanan terhadap customer berjalan dengan baik. Berikut berbagai macam aplikasi dari Swepos Network RTK.
Prosiding
Page B-6
Forum Ilmiah Tahunan Ikatan Surveyor Indonesia Pekanbaru, 10-11 November 2010
Gambar 6. Berbagai macam aplikasi dari Swepos Network RTK
3. METODE PENGUMPULAN DATA PEMBANDING 1 Metode survei/ observasi Metode merupakan cara pengumpulan data secara langsung ke lapangan pada objek pembanding. 2 Wawancara / presentasi Metode pengumpulan data dengan melakukan tanya jawab dengan pihak yang berhubungan dengan topik ini. 4.KESIMPULAN Untuk mencapai manajemen jaringan GPS CORS seperti yang ada di Swepos, Swedia, maka jaringan GPS CORS di Indonesia harus didukung hukum, infrastruktur dan sumber daya manusia yang berkualitas. Dukungan dari pemerintah pusat, parlemen, instansi pemerintah terkait juga akan menjadi penting bagi pengembangan GPS CORS di Indonesia.
Prosiding
Page B-7
Forum Ilmiah Tahunan Ikatan Surveyor Indonesia Pekanbaru, 10-11 November 2010
METODE AGREGASI SISTEM GRID EMISI GAS RUMAH KACA UNTUK KOTA BANDUNG Oleh : Intan Sofiyanti1, Dr. Akhmad Riqqi1, R. Driejana, PhD2 1
PROGRAM STUDI TEKNIK GEODESI DAN GEOMATIKA FAKULTAS ILMU DAN TEKNOLOGI KEBUMIAN INSTITUT TEKNOLOGI BANDUNG 2
PROGRAM STUDI TEKNIK LINGKUNGAN FAKULTAS TEKNIK SIPIL DAN LINGKUNGAN INSTITUT TEKNOLOGI BANDUNG
Abstrak Sektor transportasi memiliki kontribusi yang besar sebagai salah satu sumber emisi gas rumah kaca (GRK) antara lain CO2 dan CH4 yang menyebabkan pemanasan global dan pencemaran udara. Kota Bandung sebagai kota besar dengan intensitas transportasi yang tinggi, memiliki peranan dalam menghasilkan kedua senyawa tersebut ke atmosfer. Dalam penelitian ini, metode perhitungan dari emisi GRK dikembangkan untuk jalan-jalan utama kota Bandung dan digunakan sistem grid skala ragam untuk data lingkungan Indonesia untuk menyimpan dan menyajikan data dari emisi GRK melalui proses agregasi. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengembangkan metodologi yang sesuai untuk informasi emisi GRK dari sektor transportasi dengan penyajian spasial pada sistem grid dengan bantuan teknologi Sistem Informasi Geografis (SIG). Hasil dari proses agregasi ini dapat digunakan untuk menentukan daerah prioritas pengurangan emisi GRK dari sektor transportasi dengan melihat distribusi spasialnya. Kata kunci: Agregasi, Emisi Gas Rumah Kaca, Kota Bandung, Sistem Grid Skala Ragam untuk Data Lingkungan Indonesia, Sistem Informasi Geografis.
1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Isu lingkungan belakangan ini menjadi sangat penting seiring dengan mencuatnya isu perubahan iklim. Dimana yang menjadi penyebab dari perubahan iklim ini adalah pemanasan global yang diakibatkan oleh bertambahnya emisi gas rumah kaca (GRK). Salah satu sektor yang terkait sebagai sumber dari emisi GRK adalah transportasi yang sering ditemui di daerah perkotaan dengan instensitas kendaraan bermotor dalam jumlah besar, termasuk kota Bandung. Walaupun perubahan iklim merupakan masalah global atau makro, usaha-usaha mitigasi sangat tergantung pada tindakan yang dilakukan pada tingkat lokal atau mikro, misalnya dengan menggunakan berbagai pilihan dalam manajemen transportasi di lokasi tertentu di dalam suatu kota. Keberhasilan dari usaha mitigasi tersebut memerlukan data dasar (base line) mengenai kuantifikasi emisi dengan tingkat akurasi yang cukup terpercaya. Prosiding
Page C-1
Forum Ilmiah Tahunan Ikatan Surveyor Indonesia Pekanbaru, 10-11 November 2010
Dalam IPCC (Intergovermental Panel Climate Change) Expert Meeting On Good Practice in Inventory Preparation : Energy, Transport and Fugitive Emissions tahun 1999 salah satu permasalahan yang krusial dalam inventarisasi emisi GRK yang dibahas dalam pertemuan tersebut adalah masalah agregasi dari sumber data lokal untuk menyajikan emisi pada resolusi yang lebih besar yang menjadi bagian pendekatan metodologi inventarisasi GRK. Analisis agregasi dinilai kurang kedetailannya. Hal ini disebabkan karena agregasi secara eksplisit berusaha untuk mensintesis informasi yang rumit [IPCC, 2001]. Terkait dengan permasalahan di atas, penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan suatu metodologi yang dapat mengagregasi suatu data lokal menjadi data yang cakupannya lebih besar dengan dukungan teknologi SIG (Sistem Informasi Geografis) sehingga dapat terlihat distribusi spasialnya. Hal ini akan lebih memudahkan untuk melakukan identifikasi spasial dan pembaharuan data, untuk menyimpan dan menampilkan data emisi GRK dalam skala beragam baik skala lokal maupun nasional dapat digunakan format sistem grid skala ragam untuk data lingkungan Indonesia [Fitria, 2009]. Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat digunakan unutuk menentukan wilayah yang menjadi prioritas program pengurangan emisi GRK. Data emisi GRK yang diamati dalam penelitian ini adalah CO2 dan CH4 yang dihasilkan dari sektor transportasi pada jalan-jalan utama kota Bandung dengan perhitungan pendekatan kecepatan kendaraan dan konsumsi bahan bakar dari berbagai jenis kendaraan antara lain motor, mobil, bus dan truk yang merupakan hasil perhitungan dalam penelitian Evaluation of Different Activity Data on GHG Emssion Inventory Calculation of Transportation Sector (Driejana, et. Al, 2009). Data emisi ini akan disajikan dalam berbagai ukuran grid yaitu 5” x 5”, 30” x 30” dan 2’30” x 2’30”. 2. METODOLOGI 2.1 Wilayah Penelitian Penelitian ini dilakukan di Kota Bandung dengan melakukan pengamatan emisi GRK pada 39 jalan utama Kota Bandung. Batas geografis dari wilayah penelitian : 107° 32' 38" - 107° 44' 22" BT dan 6° 50' 12" - 6° 58' 11.046" LS. Kota Bandung terletak di wilayah Jawa Barat dan merupakan ibukota propinsi Jawa Barat. Berikut adalah gambar batasan lokasi pengamatan.
Gambar 2.1 Wilayah Penelitian. 2.2 Data Data yang digunakan dalam penelitian ini merupakan data sekunder, antara lain : Data Emisi CO2 jalan-jalan utama di Kota Bandung, berdasarkan pendekatan Kecepatan Kendaraan dan Konsumsi Bahan Bakar untuk jenis kendaraan Motor, Mobil, Bus & Truk berupa sumber garis (line source). Data Emisi CH4 jalan-jalan utama di Kota Bandung, berdasarkan pendekatan Kecepatan Kendaraan dan Konsumsi Bahan Bakar untuk jenis kendaraan Motor, Mobil, Bus & Truk berupa sumber garis (line source). Peta 39 Jalan Utama Kota Bandung. Prosiding
Page C-2
Forum Ilmiah Tahunan Ikatan Surveyor Indonesia Pekanbaru, 10-11 November 2010
2.3
Modifikasi Pembangunan Sistem Grid Skala Ragam untuk Data Emisi GRK dari Sektor Transportasi Pada penelitian ini dilakukan modifikasi terhadap Sistem Grid Skala Ragam untuk Data Lingkungan Indonesia yang telah dikembangkan oleh Fitria, 2009. Datum geodetik yang digunakan pada sistem grid ini adalah DGN95 (Datum Geodesi Nasional 1995) yang memiliki parameter-perameter ellipsoid a = 6,378,137.00 dan 1/f = 298.257223563. Meskipun cakupan datum DGN-95 ini adalah nasional atau termasuk datum lokal, tetapi nilai-nilai parameter ellipsoidnya sama dengan datum WGS (World Geodetic System) 84. Sistem koordinat yang digunakan dalam grid ini adalah sistem koordinat geodetik. Sistem koordinat geodetik adalah sistem koordinat geosentrik dengan ellipsoid sebagai bidang referensinya. Titik asal sistem koordinat geodetik grid berada pada 90 BT, 15 LS, dengan titik batas ujung timur dan ujung utara grid adalah 144 BT dan 8 LU. Berikut ini adalah ukuran-ukuran grid yang dibangun pada sistem grid skala ragam untuk data lingkungan Indonesia:
Skala
Tabel 2.1 Ukuran Grid Beserta Resolusinya. Paralel Meridian Resolusi (KM)
1 : 250000 1 : 100000 1 : 50000 1 : 25000 1 : 10000 1 : 400
1° 30' 15' 7,5' 2,5' 5''
1° 30' 30' 15' 7,5' 2,5' 5''
111 X 166,5 55,5 X 55,5 27,75 X 27,75 13,875 X13,875 4,625 X 4,625 0,150 X 0,150
Keterangan : 1° ≈ 111 km [Fitria, 2009]. Sistematika penomoran grid dimulai dari 90 BT dan 15 LS (titik asal sistem koordinat (origin) grid) hingga ke arah utara dan ke arah timur. Penomoran grid berguna untuk memudahkan pencarian lokasi suatu daerah dari sekian banyak grid [Fitria, 2009]. Untuk kebutuhan pemetaan emisi ini dilakukan modifikasi pada sistem grid skala ragam untuk data lingkungan Indonesia dengan penambahan ukuran grid 30” x 30”. Hal ini dilakukan untuk menyesuaikan besaran ukuran grid yang mendekati ukuran grid umum untuk inventarisasi data emisi GRK skala suatu kota yaitu 1 x 1 km (Lindley, et. al, 1999) dengan mengacu pada Sistem Grid Nasional Inggris yang dikembangkan oleh Ordnance Survey (Badan Pemetaan Nasional Inggris). Selain itu pemilihan ukuran grid ini berdasarkan pada karakteristik data yang ada di Indonesia. 3.
PELAKSANAAN DAN PEMBAHASAN
3.1 Pembuatan Peta Vektor Emisi GRK Jenis data dari emisi GRK sektor tranportasi ini adalah data yang bersumber dari garis yang disajikan berdasarkan segmen-segmen jalan, namun satu segmen jalan tidak direpresentasikan atau dikandung dalam satu sel grid, melainkan dalam satu sel grid dapat mengandung lebih dari satu segmen jalan. Adapun satuan dari data emisi GRK ini adalah ton per tahun. Pada peta 39 jalan utama di kota Bandung dilakukan pengisian atribut data emisi GRK, sehingga dihasilkan Peta Emisi GRK Kota Bandung dalam bentuk vektor. Atribut-atribut ini mencakup data emisi GRK berdasarkan pendekatan Kecepatan Kendaraan dan Konsumsi Bahan Bakar dari jenis kendaraan motor, mobil, bus dan truk.
Prosiding
Page C-3
Forum Ilmiah Tahunan Ikatan Surveyor Indonesia Pekanbaru, 10-11 November 2010
Gambar 3.1 Peta Emisi GRK dari sektor transportasi Kota Bandung dengan contoh atribut dari salah satu ruas jalan.
3.2 Gridding Emisi GRK Karena panjang segmen jalan disesuaikan dengan data survei transportasi dan sumber garis beban emisi, maka panjang segmen tidak selalu sama dengan ukuran grid yang digunakan. Untuk mengatasi hal tersebut dilakukan pembobotan dengan tujuan pendistribusian nilai emisi GRK untuk ukuran grid terkecil dengan peta emisi GRK dan rasterisasi untuk mengkonversi data vektor menjadi raster agar sesuai dengan format raster dari sistem grid skala ragam untuk data lingkungan Indonesia. Pembobotan yang digunakan merepresentasikan nilai dari emisi GRK yang terkandung dalam masingmasing segmen jalan agar distribusi nilai emisi GRK dari masing-masing segmen jalan dapat merata sesuai dengan resolusi yang diinginkan. Persamaan dari pembobotan ini adalah sebagai berikut : i) Keterangan : = nilai emisi segmen jalan yang berada pada satu grid (ton/tahun) = nilai emisi satu segmen jalan (ton/tahun) = panjang segmen jalan yang berada pada satu grid (meter) = panjang satu segmen jalan (meter)
Gambar 3.2 Nilai emisi grid a < Nilai emisi grid b < Nilai emisi grid c. Selain itu dalam sistem grid ini, akan ditemukan kasus bahwa dalam satu grid terdapat lebih dari satu segmen jalan yang terkandung, maka nilai dari grid tersebut merupakan penjumlahan dari nilai-nilai segmen jalan yang terkandung dalam satu grid tersebut, sesuai dengan persamaan sebagai berikut : ∑ Keterangan : nilai emisi dalam satu grid = nilai emisi segmen jalan 1 yang berada pada satu grid = nilai emisi segmen jalan 2 yang berada pada satu grid = nilai emisi segmen jalan ke-n yang berada pada satu grid
Prosiding
ii)
Page C-4
Forum Ilmiah Tahunan Ikatan Surveyor Indonesia Pekanbaru, 10-11 November 2010
Gambar 3.3 Nilai Emisi Grid ini merupakan hasil penjumlahan nilai emisi segmen jalan A, B dan C. Tahap selanjutnya adalah rasterisasi yaitu konversi dilakukan dari data vektor menjadi data raster melalui proses rasterisasi, agar sesuai dengan format raster dari sistem grid skala ragam untuk data lingkungan Indonesia. 3.3 Agregasi Emisi GRK Agregasi merupakan pembesaran resolusi grid atau biasa disebut dengan upscaling sedangkan disagregasi merupakan pengecilan resolusi grid atau downscaling. Saat grid menjadi lebih kasar, keseluruhan informasi pada peta menjadi semakin menurun, begitu pula sebaliknya. Pada kartografi, resolusi grid yang lebih kasar berhubungan dengan skala yang lebih kecil dan wilayah studi yang lebih besar sedangkan resolusi grid yang lebih halus berhubungan dengan skala lebih besar dan wilayah studi yang lebih kecil, seperti yang dapat dilihat pada Gambar 3.4.
Gambar 3.4 Agregasi dan disagregasi grid dalam SIG [McBratney, 1998 dalam Hengl, 2006]. Strategi dari agregasi dapat beragam, salah satunya ditunjukkan dalam gambar di bawah ini.
Gambar 3.5 Contoh agregasi berdasarkan nilai penjumlahan (SUM) dari input grid. Grid satuan terkecil merupakan masukan pada proses agregasi melalui strategi penjumlahan (SUM) karena emisi GRK bersifat akumulatif. Sehingga nilai emisi GRK dari satu grid ukuran 30 x 30 Prosiding
Page C-5
Forum Ilmiah Tahunan Ikatan Surveyor Indonesia Pekanbaru, 10-11 November 2010
merupakan penjumlahan dari nilai-nilai emisi GRK dari 36 (6 x 6) grid ukuran 5 x 5 Untuk lebih jelasnya dapat disederhanakan dalam persamaan berikut ini : ∑ Keterangan : = nilai emisi GRK grid ukuran 5 x 5 = nilai emisi GRK grid ukuran 30 x 30 Begitu pula dengan nilai emisi GRK dari satu grid ukuran 2 30 x 2 30 merupakan penjumlahan dari nilai-nilai emisi GRK dari 25 (5 x 5) grid ukuran 30 x 30 , persamaan matematisnya adalah sebagai berikut : ∑ Keterangan : = nilai emisi GRK grid ukuran 30 x 30 = nilai emisi GRK grid ukuran 2 30 x 2 30 Sebagai ilustrasi dari proses agregasi ini, dapat dilihat dari gambar di bawah ini.
Gambar 3.6 Agregasi grid dalam penelitian ini. 3.4 Visualisasi Sistem Grid Emisi GRK Hasil dari proses gridding dan agregasi emisi GRK yang ditampilkan hanya total dari seluruh jenis kendaraan saja, namun sebenarnya terdapat peta hasil gridding dan agregasi untuk masing-masing jenis kendaraan. Gambar a menunjukkan peta vektor 39 jalan utama kota Bandung, gambar b menunjukkan peta hasil gridding yang berukuran 5” x 5”, gambar c menunjukkan peta hasil agregasi yang berukuran 30” x 30” dan gambar d menunjukkan peta hasil agregasi yang berukuran 2’30” x 2’30”.
Gambar 3.7 Hasil gridding dan agregasi grid emisi CO2 total dengan pendekatan kecepatan kendaraan.
Prosiding
Page C-6
Forum Ilmiah Tahunan Ikatan Surveyor Indonesia Pekanbaru, 10-11 November 2010
Gambar 3.8 Hasil gridding dan agregasi grid emisi CO2 total dengan pendekatan konsumsi bahan bakar.
Gambar 3.9 Hasil gridding dan agregasi grid emisi CH4 total dengan pendekatan kecepatan kendaraan.
Gambar 3.10 Hasil gridding dan agregasi grid emisi CH4 total dengan pendekatan konsumsi bahan bakar. Untuk setiap ukuran grid dapat dilihat bahwa terjadi pengurangan jumlah grid akibat dari proses agregasi ini, sehingga dapat dilihat sebagai bentuk pembagian dari grid masukan.
Ukuran Grid 5” x 5” 30” x 30” 2’30” x 2’30”
Tabel 3.1 Jumlah Grid. Jumlah Grid 18000 500 20
Baris x Kolom 120 x 150 20 x 25 4x5
Hasil agregasi emisi GRK dimasukkan ke dalam sistem grid skala ragam untuk data lingkungan Indonesia yang telah dimodifikasi berdasarkan penomoran grid. Adapun rentang nomor grid untuk masing-masing ukuran grid dapat dilihat dari tabel di bawah ini : Tabel 3.2 Rentang Nomor Grid. Ukuran Grid Nomor Grid (Batas kiri bawah s.d. kanan atas) 5” x 5” 1209-3124-2192 s.d. 1209-3231-2192 30” x 30” 1209-3124-21 s.d. 1209-3231-21 2’30” x 2’30” 1209-3124 s.d. 1209-3231
Prosiding
Page C-7
Forum Ilmiah Tahunan Ikatan Surveyor Indonesia Pekanbaru, 10-11 November 2010
Ton/Tahun
4. ANALISIS 4.1 Data Masukan yang Digunakan Data masukan yang digunakan merupakan data beban emisi GRK (CO2 dan CH4) yang dihitung berdasarkan dua metode pendekatan inventarisasi yaitu pendekatan kecepatan kendaraan dan konsumsi bahan bakar.
500000 400000 300000 200000 100000 0
Beban Emisi CO2 Pendekatan Kecepatan Kendaraan Pendekatan Konsumsi Bahan Bakar Motor Mobil
Bus
Truk
Total
Gambar 4.1 Perbedaan nilai beban emisi CO2 pendekatan kecepatan kendaraan dengan konsumsi bahan bakar.
Beban Emisi CH4 Ton/Tahun
4000 Pendekatan Kecepatan Kendaraan
3000 2000 1000 0 Motor Mobil Bus
Truk Total
Pendekatan Konsumsi Bahan Bakar
Gambar 4.2 Perbedaan nilai beban emisi CH4 pendekatan kecepatan kendaraan dengan konsumsi bahan bakar. Dari grafik di atas dapat dilihat bahwa nilai beban emisi CH4 relatif lebih kecil dibandingkan nilai beban emisi CO2, selain itu terlihat bahwa nilai beban emisi GRK dengan pendekatan kecepatan kendaraan lebih besar dibandingkan dengan nilai beban emisi GRK dengan pendekatan konsumsi bahan bakar. Sehingga perbedaan nilai data masukan ini akan berpengaruh pada peta hasil gridding dan agregasi yaitu pada perbedaan gradasi warna antara satu ukuran grid dengan ukuran grid lainnya (Gambar 3.5 dan 3.6). 4.2 Proses Gridding Kelebihan dari proses gridding pada penelitian ini adalah dapat mendistribusikan dengan merata nilai emisi GRK yang dikandung segmen-segmen jalan pengamatan sesuai dengan ukuran grid yang ditentukan. Sedangkan kekurangannya adalah proses gridding ini masih sebatas untuk visualisasi data saja, padahal potensi dari proses gridding ini dapat lebih luas lagi seperti untuk pembuatan sistem basis data emisi GRK dan pemodelan. Prosiding
Page C-8
Forum Ilmiah Tahunan Ikatan Surveyor Indonesia Pekanbaru, 10-11 November 2010
4.3 Proses Agregasi Metode agregasi yang digunakan dalam penelitian ini adalam metode SUM (penjumlahan) dari sel grid masukan yang berukuran lebih kecil. Sehingga makin besar ukuran grid (hasil agregasi) maka makin besar nilai beban emisi GRK yang terkandung, contoh perubahan nilai tersebut dapat terlihat dari grafik di bawah ini.
Perbandingan Rata-rata Nilai Emisi CO2 per Ukuran Grid 25000
22049.85 19445.28
Ton/Tahun
20000 15000 10000 5000 24.49 0
Grid 5” x 5” 1
21.60
881.99 777.81
Grid 30” x 30”2
Grid 2’30” x 20’30” 3
Rata-rata Nilai Emisi Per Ukuran Grid Pendekatan Kecepatan Kendaraan Rata-rata Nilai Emisi Per Ukuran Grid Pendekatan Konsumsi Bahan Bakar
Gambar 4.3 Perbandingan nilai emisi CO2 total dengan pendekatan kecepatan kendaraan dan konsumsi bahan bakar yang dikandung masing-masing sel grid dengan ukuran grid yang berbeda-beda. Perbedaan yang signifikan antara nilai rata-rata per ukuran grid disebabkan oleh besarnya rasio antar ukuran grid tersebut, yaitu : Tabel 4.1 Rasio antar ukuran grid. Jumlah Grid Baris x Kolom 18000 120 x 150 500 20 x 25 20 4x5
Ukuran Grid 5” x 5” 30” x 30” 2’30” x 2’30”
Rasio 18000/18000 = 1 500/18000 = 0,02 20/18000 = 0,001
Rasio antar Ukuran Grid Rasio
2 Rasio antar Ukuran Grid…
1 0 0
5000 10000 15000 20000
Jumlah Grid
Gambar 4.4 Rasio antar ukuran grid berdasarkan jumlah grid. Prosiding
Page C-9
Forum Ilmiah Tahunan Ikatan Surveyor Indonesia Pekanbaru, 10-11 November 2010
Gambar 4.5 Peta hasil agregasi grid emisi CO2 total dari seluruh kendaraan. Dari gambar di atas terlihat bahwa hasil agregasi menunjukkan nilai emisi CO2 dari kedua pendekatan menunjukkan kisaran nilai yang sama.
Prosiding
Page C-10
Forum Ilmiah Tahunan Ikatan Surveyor Indonesia Pekanbaru, 10-11 November 2010
Gambar 4.6 Peta hasil agregasi grid emisi CH4 total dari seluruh kendaraan. Dari gambar di atas terlihat bahwa hasil agregasi menunjukkan nilai emisi CH4 dari kedua pendekatan menunjukkan kisaran nilai yang berbeda, sesuai dengan perbedaan signifikan yang terlihat pada grafik perbedaan nilai beban emisi CH4 dari pendekatan kecepatan kendaraan dengan konsumsi bahan bakar (Gambar 4.4). Namun dari dua peta emisi GRK di atas (Gambar 4.5 dan Gambar 4.6) dapat dilihat bahwa nilai emisi GRK terbesar berada pada grid nomor 1209-3134 dan 1209-3137 yang merupakan grid yang memiliki ruas jalan terbanyak atau terpadat sehingga nilai emisi yang dihasilkan pun pasti lebih besar, dimana lokasi kedua grid tersebut merupakan wilayah Bandung Tengah dan Bandung Selatan. Selain untuk data emisi GRK sumber garis (line source), metode agregasi ini juga dapat digunakan untuk data sumber titik dan area (area and line source), atau untuk menggabungkan ketiganya. Proses agregasi ini juga dapat lebih mudah jika masing-masing jenis data tersebut telah dibuat penomoran Prosiding
Page C-11
Forum Ilmiah Tahunan Ikatan Surveyor Indonesia Pekanbaru, 10-11 November 2010
grid, sehingga dapat dilakukan dengan menggabungkan data-data yang memiliki nomor grid yang sama. 4.4 Analisis Hasil Agregasi (Validasi) Validasi dilakukan untuk setiap jenis data baik per jenis kendaraan maupun total dari seluruh kendaraan. Tujuan dari validasi adalah untuk melihat apakah model hasil agregasi sudah sesuai dengan keadaan lapangan dan apakah hasil interpolasi dapat digunakan untuk prediksi data secara akurat. Validasi dilakukan melalui perbandingan total beban emisi GRK hasil agregasi dengan hasil hitungan tabular (Tabel 4.1, 4.2, 4.3, 4.4 dan 4.5). Tabel 4.2 Akurasi Hasil Agregasi untuk Emisi GRK dari Motor. Hasil Hitungan Motor Pendekatan Kecepatan Pendekatan Konsumsi Bahan Kendaraan Bakar Total Emisi Total Emisi Total Emisi Total Emisi CO2 CH4 CO2 CH4 (ton/tahun) (ton/tahun) (ton/tahun) (ton/tahun) Data Emisi GRK 195974.8696 2132.0440 146294.9327 271.4277 Grid Ukuran 5" x 5" 195965.6092 2131.9442 146288.0842 271.4147 Akurasi 99.9953 % 99.9953 % 99.9953 % 99.9952 % Grid Ukuran 30" x 30" 195965.6091 2131.9445 146288.0836 271.4151 Akurasi 99.9953 % 99.9953 % 99.9953 % 99.9954 % Grid Ukuran 2'30" x 2'30" 195965.6134 2131.9449 146288.0879 271.4150 Akurasi 99.9953 % 99.9954 % 99.9953 % 99.9953 % Tabel 4.3 Akurasi Hasil Agregasi untuk Emisi GRK dari Mobil. Hasil Hitungan Mobil Pendekatan Kecepatan Pendekatan Konsumsi Bahan Kendaraan Bakar Total Emisi Total Emisi Total Emisi Total Emisi CO2 CH4 CO2 CH4 (ton/tahun) (ton/tahun) (ton/tahun) (ton/tahun) Data Emisi GRK 208770.2061 742.2584 203458.4423 173.4559 Grid Ukuran 5" x 5" 208751.8445 742.1917 203442.4290 173.4513 Akurasi 99.9912 % 99.9910 % 99.9921 % 99.9973 % Grid Ukuran 30" x 30" 208751.8450 742.1917 203442.4292 173.4504 Akurasi 99.9912 % 99.9910 % 99.9921 % 99.9968 % Grid Ukuran 2'30" x 2'30" 208751.8469 742.1907 203442.4331 173.4511 Akurasi 99.9912 % 99.9910 % 99.9921 % 99.9972 % Tabel 4.4 Akurasi Hasil Agregasi untuk Emisi GRK dari Bus. Hasil Hitungan Bus Pendekatan Kecepatan Pendekatan Konsumsi Bahan Kendaraan Bakar Total Emisi Total Emisi Total Emisi Total Emisi CO2 CH4 CO2 CH4 (ton/tahun) (ton/tahun) (ton/tahun) (ton/tahun) Data Emisi GRK 14668.8383 31.1186 9869.3965 3.9596 Grid Ukuran 5" x 5" 14668.5988 31.1181 9869.2259 3.9596 Akurasi 99.9984 % 99.9983 % 99.9983 % 99.9991 % Grid Ukuran 30" x 30" 14668.5982 31.1181 9869.2260 3.9595 Akurasi 99.9984 % 99.9983 % 99.9983 % 99.9966 % Prosiding
Page C-12
Forum Ilmiah Tahunan Ikatan Surveyor Indonesia Pekanbaru, 10-11 November 2010
Grid Ukuran 2'30" x 2'30" Akurasi
14668.5979 99.9984 %
31.1183 99.9989 %
9869.2271 99.9983 %
3.9584 99.9988 %
Tabel 4.5 Akurasi Hasil Agregasi untuk Emisi GRK dari Truk. Truk Pendekatan Kecepatan Pendekatan Konsumsi Bahan Kendaraan Bakar Total Emisi Total Emisi Total Emisi Total Emisi CO2 CH4 CO2 CH4 (ton/tahun) (ton/tahun) (ton/tahun) (ton/tahun) Data Emisi GRK 21613.6899 17.0592 29310.9831 16.6397 Grid Ukuran 5" x 5" 21610.9690 17.0577 29306.0358 16.6367 Akurasi 99.9874 % 99.9911 % 99.9831 % 99.9818 % Grid Ukuran 30" x 30" 21610.9691 17.0571 29306.0361 16.6374 Akurasi 99.9874 % 99.9976 % 99.9831 % 99.9860 % Grid Ukuran 2'30" x 2'30" 21610.9700 17.0569 29306.0367 16.6379 Akurasi 99.9874 % 99.9964 % 99.9831 % 99.9890 % Hasil Hitungan
Tabel 4.6 Akurasi Hasil Agregasi untuk Emisi GRK dari Total. Hasil Hitungan Total Pendekatan Kecepatan Pendekatan Konsumsi Bahan Kendaraan Bakar Total Emisi Total Emisi Total Emisi Total Emisi CO2 CH4 CO2 CH4 (ton/tahun) (ton/tahun) (ton/tahun) (ton/tahun) Data Emisi GRK 441027.6038 2922.4803 388933.7547 465.4830 Grid Ukuran 5" x 5" 440997.0215 2922.3117 388905.7749 465.4623 Akurasi 99.9931 % 99.9942 % 99.9928 % 99.9956 % Grid Ukuran 30" x 30" 440997.0214 2922.3114 388905.7749 465.4624 Akurasi 99.9931 % 99.9942 % 99.9928 % 99.9956 % Grid Ukuran 2'30" x 2'30" 440997.0282 2922.3108 388905.7848 465.4624 Akurasi 99.9931 % 99.9942 % 99.9928 % 99.9956 % Dari perhitungan validasi di atas dapat dihitung besar akurasi dari masing-masing nilai emisi GRK, dimana akurasi masing-masing ukuran grid dari kedua pendekatan dan setiap jenis kendaraan serta total dari seluruh jenis kendaraan yang dihasilkan dari proses agregasi grid relatif sama yaitu sebesar 99,9 %. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa inventariasi emisi GRK dari sektor transportasi dengan sistem grid ini memiliki akurasi yang sangat baik. 5. PENUTUP 5.1 Kesimpulan Dari hasil penelitian dan analisis, dapat disimpulkan bahwa : 1. Sistem grid emisi GRK ini dapat menyimpan, menyajikan dan melakukan agregasi nilai beban emisi GRK kota Bandung yang dihasilkan dari nilai beban emisi per segmen jalan. Sistem ini dapat digunakan sebagai alat dalam strategi kontrol emisi untuk daerah perkotaan. 2. Metode gridding untuk data sumber garis (line source) yang dilakukan pada penelitian ini dapat digunakan untuk jenis data dari sumber lain seperti area dengan melakukan modifikasi pada pembobotan. 3. Metode agregasi grid yang dilakukan pada penelitian ini memiliki keakuratan hasil agregasi yang cukup baik, sehingga proses agregasi grid ini dapat digunakan untuk mendukung inventarisasi data lingkungan lain. Prosiding
Page C-13
Forum Ilmiah Tahunan Ikatan Surveyor Indonesia Pekanbaru, 10-11 November 2010
4. Metode agregasi dalam penelitian ini berhasil menjawab permasalahan utama dari agregasi untuk inventarisasi emisi GRK yang dikemukakan oleh IPCC dengan tidak mengurangi kedetilan dari data lokal. 5. Dari hasil agregasi grid yang dilakukan dalam penelitian ini, dapat disimpulkan bahwa wilayah Bandung Tengah dan Bandung Selatan merupakan daerah di kota Bandung yang memiliki nilai emisi GRK terbesar. 5.2 Saran Dari hasil penelitian dan analisis, didapatkan beberapa saran untuk penelitian emisi GRK selanjutnya. Saran tersebut adalah : Sistem grid dengan pembobotan ini dapat diaplikasikan untuk data emisi GRK yang bersumber dari titik dan luasan (point and area source), selain data sumber garis (line source) yang digunakan pada penelitian ini. Proses gridding yang dilakukan dalam penelitian ini selain dapat diaplikasikan untuk data emisi GRK sumber garis, tapi dapat juga digunakan untuk data emisi GRK sumber area, namun dengan bentuk pembobotan yang berbeda. Bentuk pembobotan yang dapat digunakan untuk data sumber area adalah sebagai berikut :
Keterangan : = nilai emisi area daerah pengamatan emisi GRK yang berada pada satu grid (ton/tahun) = nilai emisi satu area daerah pengamatan emisi GRK (ton/tahun) = luas area daerah pengamatan emisi GRK yang berada pada satu grid (satuan luas) = luas area daerah pengamatan emisi GRK (satuan luas) Selain untuk menyimpan, menyajikan dan melakukan agregasi, sistem grid ini dapat dikembangkan untuk tujuan yang lebih luas, sehingga disarankan untuk mengembangkan sistem grid ini seperti untuk tujuan pemodelan. Hasil dari agregasi diharapkan dapat menjadi acuan dalam program pengurangan emisi terutama di wilayah Bandung Tengah dan Bandung Selatan yang memiliki tingat emisi GRK terbesar.
Daftar Pustaka 1. Aronoff, S. 1991. Geographic Information System : A Management Perspective. Canada : WDL Publications. 2. Eldewisa, Z. 2009. Inventarisasi Emisi Parameter CO dan CO2 dari Aktivitas Pembangunan dan Penggunaan Jalur Bus Metro di Kawasan Cibiru-Soekarno/Hatta. Tugas Akhir. Teknik Lingkungan. Institut Teknologi Bandung. 3. Driejana, Amri, S., Sjafruddin, A., Riqqi, A., Dewi, K. 2009. Evaluation of Different Activity Data on GHG Emssion Inventory Calculation of Transportation Sector. Dalam persiapan untuk dimasukkan dalam Better Quality Conference, Beijing November 2010. 4. Fitria, A. 2009. Sistem Grid Skala Ragam Untuk Data Lingkungan Indonesia. Tugas Akhir. Teknik Geodesi dan Geomatika. Institut Teknologi Bandung. 5. Guttikunda, S. 2008. Four Simple Equation for Vehicular Emissions Inventory. SIM-Air Working Paper Series : 02-2000 6. Hengl, T. 2005. Finding the Right Pixel Size. Computer and Geosciences vol. 23. Hal. 1283-1298. 7. IPCC. 2007. Glossaries of the contributions of Working Groups I, II and III to the IPCC (Intergovermental Panel for Climate Change) Fourth Assessment Report. Referensi internet pada http://www.ipcc.ch/pdf/assessment-report/ar4/syr/ar4_syr_appendix.pdf. 8. IPCC. 2007. Climate Change 2007: The Physical Science Basis. Cambridge University Press. 9. IPCC. 2006. IPCC Guidelines for National Greenhouse Gas Inventories. Reference Manual. 10. IPCC. 2005. IPCC Special Report on Carbon Dioxide Capture and Storage. Cambridge University Press.
Prosiding
Page C-14
Forum Ilmiah Tahunan Ikatan Surveyor Indonesia Pekanbaru, 10-11 November 2010
11. Lindley, S.J., Conlan, D.E., Raper, D. W., dan Watson, A. F. R. 1999. Estimation of spatially resolved road transport emission for air quality management applications in the North West region of England. Manchester: The Science of Total Environment, Vol. 235. Hal. 119-132. 12. Manahan, S.1994. Environmental Chemistry. Lewis Publisher. CRC Press Inc. 13. Meyer, M.D. dan Miller, E.J. 2001. Urban Transportation Planning: a decision-oriented approach (2nd ed.) New York: McGraw-Hill higher education. 14. KLH. 2008. Laporan Akhir Naskah Akademis Penyusunan Petunjuk Teknis Perkiraan Beban Pencemar Udara dari Kendaraan Bermotor di Indonesia Volume 1: Faktor Emisi. Jakarta. Kementerian Negara Lingkungan Hidup Republik Indonesia. 15. KLH. 2008. Laporan Akhir Naskah Akademis Penyusunan Petunjuk Teknis Perkiraan Beban Pencemar Udara dari Kendaraan Bermotor di Indonesia Volume 3: Faktor Emisi. Jakarta. Kementerian Negara Lingkungan Hidup Republik Indonesia. 16. Rebolj, D. dan Sturm, P.J. 1999. A GIS based component-oriented integrated system for estimation, visualization and analysis of road traffic air pollution. Environmental Modelling & Software. Hal. 533. 17. Samiaji, T. 2008. Inventarisasi Emisi dan Pelenyapan Gas CO2 di Indonesia. Pusat Pemanfaatan Sains Atmosfer dan Iklim Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN). 18. Sihombing, A.L.S. 2008. Inventori emisi gas rumah kaca (CO2 dan CH4) dari sektor transportasi dengan pendekatan jarak tempuh kendaraan dan konsumsi bahan bakar dalam upaya pengelolaan kualitas udara di wilayah kota dan kabupaten Bandung. Thesis S2, Prodi Teknik Lingkungan, ITB. 19. Soedomo, M. 2001. Pencemaran Udara. Bandung: Penerbit ITB. 20. Xia, L. dan Leslie, L.M. 2004. A GIS framework for Traffic Emission Information System. Meteorology and Atmospheric Physics. Hal. 153-160. 21. Zhang, Q., Yumei, W., Weili, T., dan Kemin, Y. 2007. GIS-based emission inventories of urban scale : A case study of Hangzhou, China. Atmospheric Environment. Hal 5150- 5165.
Prosiding
Page C-15
Forum Ilmiah Tahunan Ikatan Surveyor Indonesia Pekanbaru, 10-11 November 2010
PEMODELAN PREDIKSI LOKASI TUTUPAN LAHAN BERBASIS PROYEKSI ALOKASI TUTUPAN LAHAN METODE MARKOV (STUDI KASUS: WILAYAH BANDUNG) Oleh: R. Akbar Muttaqin, Albertus Deliar, dan Agung B. Harto Kelompok Keilmuan Penginderaan Jauh & Sains Informasi Geografis (INSIG), Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian (FITB) Teknik Geodesi dan Geomatika, Labtek IX-C, Lt. 3, Jl. Ganesha No. 10 Bandung, Ph./Fax 022-2501116
Abstrak Banyak penelitian dikembangkan untuk memodelkan prediksi lokasi dan/atau alokasi tutupan lahan menggunakan metode Rantai Markov dan Cellular Automata. Model prediksi lokasi tersebut mampu membentuk peta prediksi tutupan lahan di masa mendatang dan dapat digunakan untuk berbagai keperluan. Namun untuk keperluan perencanaan wilayah, peta prediksi yang dibuat akan lebih baik apabila berbasis pada suatu alokasi tutupan lahan acuan yang menggambakan kondisi tutupan lahan dimasa mendatang. Makalah ini menjelaskan model prediksi lokasi tutupan lahan berbasis proyeksi alokasi tutupan lahan di masa mendatang. Model kemudian diujicobakan untuk memperoleh peta prediksi tutupan lahan tahun 2001 pada studi kasus wilayah Bandung. Hasil akhir yang diperoleh berupa peta prediksi tutupan lahan tahun 2001 dengan nilai Kappa Index Agreement sebesar 0,424131337 dan secara kualitatif dikategorikan dalam tingkat menengah (moderate). Dengan demikian model prediksi lokasi tutupan lahan yang dikembangkan dapat digunakan untuk berbagai keperluan perencanaan. Kata Kunci :
Rantai Markov, Cellular Automata, pemodelan prediksi lokasi tutupan lahan, alokasi tutupan lahan.
I. PENDAHULUAN Pemodelan prediksi tutupan lahan adalah suatu alat yang sangat berguna untuk melengkapi keterbatasan manusia dalam menganalisis perubahan tutupan lahan sehingga dapat mendukung proses perencanaan dan pengambilan kebijakan. Banyak penelitian telah dikembangkan untuk memodelkan prediksi lokasi tutupan lahan berbasis data raster. Salah satu model yang dikembangkan dewasa ini, adalah model prediksi lokasi tutupan lahan menggunakan kombinasi antara metode Rantai Markov dan metode Cellular Automata (Juliandri, 2006; Muttaqin, 2008; Deliar, 2010) . Model prediksi lokasi tutupan lahan yang dikembangkan pada prinsinya, menggunakan kemampuan metode Rantai Markov untuk mengetahui pola perubahan tutupan lahan yang dijadikan aturan perubahan dalam penerapan Cellular Automata sehingga mampu memodelkan perubahan yang terjadi secara spasial (Deliar, 2010).
Prosiding
Page D-1
Forum Ilmiah Tahunan Ikatan Surveyor Indonesia Pekanbaru, 10-11 November 2010
Dengan demikian model prediksi lokasi tutupan lahan mampu memprediksi perubahan di setiap lokasi tutupan lahan di masa mendatang. Pemodelan prediksi lokasi tutupan lahan yang ada, memodelkan perubahan tutupan lahan di setiap lokasi hanya berdasarkan aturan perubahan Cellular Automata yang disusun dari peluang perubahan dari metode Rantai Markov. Namun demikian, untuk keperluan perencanaan, proses pemodelan prediksi lokasi tutupan lahan dilakukan perlu mempertimbangkan besar luasan tertentu yang telah ditentukan untuk setiap kelas tutupan lahannya sebagai representasi proyeksi alokasi tutupan lahan di masa mendatang. Artinya hasil pemodelan prediksi lokasi tutupan lahan yang diperoleh memiliki luas setiap kelas tutupan lahan yang sesuai dengan alokasi luasan yang telah ditentukan tersebut. Untuk memecahkan persoalan tersebut, diperlukan upaya optimasi terhadap model prediksi lokasi tutupan lahan yang telah ada sehingga mampu memberikan hasil pemodelan prediksi lokasi berdasarkan suatu alokasi tutupan lahan yang dijadikan acuan untuk mewakili keadaan tutupan lahan di masa mendatang. Optimasi yang dilakukan akan dapat membuat hasil pemodelan prediksi lokasi yakni peta prediksi tutupan lahan berformat raster memiliki alokasi luas yang sama dengan alokasi yang dijadikan acuan. II. METODE PENELITIAN Rantai Markov Menurut Feller (1968) Markov Chain atau Rantai Markov merupakan metode stokastik yang merepresentasikan pencapaian keadaan di masa mendatang tergantung hanya pada keadaan saat ini. Istilah keadaan merepresentasikan variabel yang perubahannya dimodelkan. Dalam konteks model prediksi tutupan lahan, variabel yang dimaksud adalah kelas tutupan lahan. Contoh dari keadaan yang dimodelkan adalah keadaan pemukiman, keadaan lahan kosong, dsb. Metode stokastik pada Rantai Markov bersifat diskrit terhadap waktu karena keadaan pada saat t hanya bergantung kepada keadaan pada saat t – 1, dan bebas dari semua keadaan sebelum t – 1. Metode ini dikenal dengan first-order Markov Chain atau first-order Rantai Markov (Muttaqin, 2008). Metode Rantai Markov mampu memodelkan pola perubahan tutupan lahan. Sebagai model perubahan tutupan lahan, penerapan Rantai Markov digunakan untuk memperoleh peluang perubahan tutupan lahan (Juliandri, 2006; Muttaqin, 2008). Peluang tersebut digeneralisasi menjadi matriks persegi yang dinamakan dengan Matriks Peluang Perubahan atau Matriks P. Matriks ini merupakan sebuah matriks stokastik yang memiliki hasil penjumlahan elemen matriks pada setiap barisnya sama dengan satu. Setiap elemen matriks harus bernilai positif dan berada pada rentang [0,1]. Setiap baris pada matriks peluang perubahan dinamakan vektor peluang perubahan (Muttaqin, 2008; Deliar, 2010).
Prosiding
Page D-2
Forum Ilmiah Tahunan Ikatan Surveyor Indonesia Pekanbaru, 10-11 November 2010
Matriks P ditunjukkan pada Persamaan 1 (Juliandri, 2006).
(1) [ dengan ∑
] , dan
untuk semua i dan j.
Cellular Automata Rantai Markov hanya mampu memodelkan perubahan tutupan lahan pada rentang waktu tertentu. Namun demikian Rantai Markov belum mampu memodelkan prediksi perubahan di setiap lokasi tutupan lahan. Oleh karena itu, pemanfaatan Rantai Markov digabungkan dengan metode Cellular Automata untuk memodelkan prediksi lokasi tutupan lahan berupa peta prediksi tutupan lahan. Cellular Automata memiliki berbagai jenis bentuk dan variasi. Salah satu bentuk Cellular Automata yang paling dasar adalah tipe grid. Bentuk grid yang paling sederhana adalah garis (satu dimensi). Dalam bidang dua dimensi dikenal beberapa jenis grid seperti, bujur sangkar, segitiga, triangular, dan heksagonal (Weisstein, 2002). Untuk menerapkan nilai suatu peluang perubahan metode Cellular Automata menggunakan atura ketetanggaan atau neighborhood yang saling mempengaruhi antara satu dengan lainnya. Neighborhood dalam suatu grid harus terdefinisi dengan baik. Berkaitan dengan hal ini digunakan bentuk neighboorhood berbentuk bujur sangkar yang dikenal dengan Moore neighborhood. Moore neighborhood mendefinisikan satu set piksel di sekitar satu automaton yang diketahui dengan cakupan area (range) pada Moore neighborhood. Dengan kombinasi metode Rantai Markov dan Cellular Automata ini, dapat dilakukan pemodelan prediksi lokasi tutupan lahan dengan hasil berupa peta prediksi tutupan lahan dalam format raster.
Prosiding
Page D-3
Forum Ilmiah Tahunan Ikatan Surveyor Indonesia Pekanbaru, 10-11 November 2010 Data Tutupan Lahan Tahun 1994
Data Tutupan Lahan Tahun 1997
Proyeksi Alokasi Tutupan Lahan Tahun 2001
Data Tutupan Lahan Tahun 2001
Rantai Markov
Peluang Perubahan Tutupan Lahan
Rantai Markov & Cellular Automata
Prediksi Lokasi Tutupan Lahan Tahun 2001
Validasi
Model Prediksi Lokasi Tutupan Lahan
Gambar 1. Metodologi Penelitian Kappa Index Agreement Setelah proses pemodelan prediksi lokasi selesai dilakukan, maka perlu dilakukan proses validasi untuk merepresentasikan tingkat akurasi ketepatan dari peta prediksi tutupan lahan yang diperoleh. Berkaitan dengan ini, digunakan Kappa Index Agreement atau KIA. Menurut Congalton (1991), KIA dapat dijabarkan sesuai Persamaan 2. -
(2)
Notasi adalah accuracy of observed agreement dan dihitung mengikuti Persamaan 3 (Congalton, 1991). ∑
(3)
Sementara notasi adalah estimate of chance agreement dan dihitung mengikuti Persamaan 4 (Congalton, 1991). ∑
Prosiding
(4)
Page D-4
Forum Ilmiah Tahunan Ikatan Surveyor Indonesia Pekanbaru, 10-11 November 2010
dengan: adalah jumlah baris dan kolom dari matriks cross tabulation. adalah jumlah total pengamatan (jumlah total seluruh piksel). nilai pada matriks cross tabulation di baris i dan kolom i. total marginal baris i. total marginal kolom i. Secara umum metodologi yang digunakan dalam optimasi pemodelan prediksi lokasi tutupan lahan yang dilakukan direpresentasikan pada Gambar 1. III. DATA Pada pemodelan prediksi lokasi ini, digunakan data berupa peta tutupan lahan wilayah Bandung pada tahun 1994 dan tahun 1997 sebagai data masukan. Serta peta tutupan lahan wilayah Bandung pada tahun 2000/2001 yang diasumsikan mewakili keadaan tutupan lahan tahun 2001 untuk proses validasi hasil pemodelan. Peta tutupan lahan ini diperoleh dari proes interpretasi peta penginderaan jauh. Peta tutupan lahan berformat raster dengan resolusi spasial data tutupan lahan berukuran 30 × 30 m dengan struktur penyimpanan berupa piksel (pixel/picture element). Berkaitan dengan hal ini, pada satu peta tutupan lahan memiliki dimensi sebanyak 2471 baris piksel dan 2902 kolom piksel. Jumlah kelas tutupan lahan sebanyak sepuluh kelas tutupan lahan seperti ditunjukkan pada Gambar 2.
Gambar 2. Data tutupan lahan wilayah Bandung tahun 1994, tahun 1997, & tahun 2000/2001
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Pada implementasi model prediksi lokasi tutupan lahan yang telah di optimasi untuk membentuk peta (raster) prediksi tutupan lahan mengikuti tahapan proses seperti diagram alir yang ditunjukkan pada Gambar 3. Berdasarkan Gambar 3, proses pembentukan peta prediksi tutupan lahan membutuhkan hanya input data tutupan lahan berupa dua data tutupan lahan yakni data
Prosiding
Page D-5
Forum Ilmiah Tahunan Ikatan Surveyor Indonesia Pekanbaru, 10-11 November 2010
tutupan lahan tahun 1994 dan tahun 1997. Selain itu data lain yang dibutuhkan sebagai input dalam model adalah proyeksi alokasi tutupan lahan di tahun 2001.
Data Tutupan Lahan Tahun 1994
Data Tutupan Lahan Tahun 1997
Proyeksi Alokasi Tutupan Lahan Tahun 2001
Pola Perubahan Tutupan Lahan
Uji Kebergantungan ?
TIDAK
Tidak bisa dimodelkan dengan Rantai Markov
YA
Peluang Perubahan Tutupan Lahan
Penyusunan Aturan Automaton
TIDAK
Validasi Kesamaan Alokasi ?
YA
Prediksi Lokasi Tutupan Lahan Tahun 2001 (2)
Prediksi Lokasi Tutupan Lahan Tahun 2001 (1)
Perhitungan Alokasi
Alokasi Prediksi Tutupan Lahan Tahun 2001 (1)
Gambar 3. Tahapan Proses Pembentukan Peta Prediksi Tutupan Lahan Proyeksi alokasi tutupan lahan di tahun 2001 yang digunakan sebagai alokasi acuan dapat diperoleh baik melalui proses pemodelan alokasi maupun melalui dengan penentuan empiris berdasar pertimbangan ahli perencanaan. Namun dalam makalah ini, proyeksi alokasi tutupan lahan tahun 2001 diperoleh dari perhitungan terhadap data tutupan lahan existing tahun 2000/2001. Secara alokasi antara data existing tutupan lahan tahun 2000/2001 dan peta prediksi tutupan lahan tahun 2001 akan tercapai kondisi dimana keduanya menjadi sama. Namun tidak demikian halnya untuk keadaan lokasinya. Peta prediksi tutupan lahan yang dihasilkan akan memiliki sejumlah perbedaan secara lokasi dibandingkan dengan data existing tutupan lahan. Dari perbedaan inilah dapat diketahui sejauh mana tingkat akurasi hasil pemodelan dengan memvalidasi peta prediksi tutupan lahan yang telah diperoleh terhadap data existing tutupan lahan.
Prosiding
Page D-6
Forum Ilmiah Tahunan Ikatan Surveyor Indonesia Pekanbaru, 10-11 November 2010
Berdasarkan Gambar 3, proses pertama yang dilakukan dalam implementasi model prediksi yang telah dioptimasi adalah pendefinisian pola perubahan tutupan lahan antara tahun 1994 - 1997. Pada data tutupan lahan tahun 1994 dan tahun 1997 yang digunakan sebagai data masukan untuk proses pemodelan, terdapat kelas yang bukan merupakan fenomena perubahan tutupan lahan seperti region_0, bayangan awan, dan awan. Kelas-kelas tutupan lahan tersebut pada proses pemodelan mengalami perubahan menjadi kelas tutupan lahan lain. Idealnya kelas region_0, bayangan awan, dan awan tidak dilibatkan karena bukan merupakan fenomena perubahan tutupan lahan sehingga tidak dilibatkan dalam pendefinisian pola perubahan tutupan lahan. Hal ini dapat diatasi dengan melakukan suatu proses yang diistilahkan dengan proses filterisasi data. Hasil pendefinisian pola perubahan ttutupan lahan anatar rahun 1994 – 1997 ditunjukkan pada Tabel 1. Tabel 1. Pola Perubahan Tutupan Lahan Antara Tahun 1994-1997 (dalam satuan piksel) 1997 1994 REG_0 B_AWN AWN JLN PKM SWH KBN SMK AIR HTN
Keterangan : REG_0 : B.AWN : AWN : JLN : PKM : SWH : KBN : SMK : AIR : HTN :
REG_0
B_AWN
AWN
JLN
PKM
SWH
KBN
SMK
AIR
HTN
3503009 0 0 0 0 0 0 0 0 0
0 66230 0 0 0 0 0 0 0 0
0 0 73681 0 0 0 0 0 0 0
0 0 0 17138 15502 31881 548 21532 3198 335
0 0 0 25379 129091 43804 1495 65540 3115 83
0 0 0 25961 6517 174281 427 90939 6809 48
0 0 0 2164 2891 45921 348794 355870 80 108953
0 0 0 71163 40944 346165 83830 1009173 2793 14117
0 0 0 104 5 2419 160 696 31155 23
0 0 0 722 325 1210 54033 67437 36 273116
Region 0, Bayangan Awan Awan, Jalan, Pemukiman, Sawah, Kebun, Semak dan Lahan Kering, Perairan, dan Hutan.
Setelah diketahui terdapat sifat kebergantungan pada data tutupan lahan tahun 1994 dan 1997 yang digunakan untuk mendefinisikan pola perubahan tutupan lahan, maka dilakukan perhitungan peluang perubahan tutupan lahan dalam bentuk Matriks Peluang Perubahan, P. Setiap elemen matriks P dapat ditentukan menggunakan Persamaan 5 (Juliandri, 2006): (5) ∑
Prosiding
Page D-7
Forum Ilmiah Tahunan Ikatan Surveyor Indonesia Pekanbaru, 10-11 November 2010
Besarnya peluang suatu lahan untuk berubah dari keadaan i pada tahun 1994, menjadi keadaaan j pada tahun 1997 adalah . Luas tutupan lahan (dinyatakan dalam jumlah piksel) yang berubah dari keadaan i menjadi keadaaan j pada rentang waktu yang sama adalah , yang besarnya bisa dilihat pada data pola perubahan tutupan lahan antara tahun 1994 - 1997. Hasil perhitungan diperoleh matriks P pada Tabel 2 di bawah ini. Urutan baris dan kolomnya sesuai dengan urutan kelas tutupan lahan pada Tabel 1. Tabel 2. Matriks Peluang Perubahan REG_0 B_AWN AWN JLN PKM SWH KBN SMK AIR HTN
REG_0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0
B_AWN 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0
AWN 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0
JLN 0 0 0 0,1201562 0,0793854 0,0493757 0,0011199 0,0133640 0,0677743 0,0008445
PKM 0 0 0 0,1779346 0,6610728 0,0678415 0,0030554 0,0406780 0,0660153 0,0002092
SWH 0 0 0 0,1820151 0,0333734 0,2699181 0,0008726 0,0564422 0,1443012 0,0001210
KBN 0 0 0 0,0151720 0,0148047 0,0711202 0,7128617 0,2208744 0,0016954 0,2746656
SMK 0 0 0 0,4989308 0,2096735 0,5361238 0,1713309 0,6263537 0,0591912 0,0355883
AIR 0 0 0 0,0007291 0,0000256 0,0037464 0,0003270 0,0004319 0,6602593 0,0000579
HTN 0 0 0 0,0050620 0,0016643 0,0018739 0,1104321 0,0418554 0,0007629 0,6885132
Setelah perhitungan peluang perubahan tutupan lahan selesai dilakukan, kemudian dilakukan proses penyusunan aturan automaton. Pada prinsipnya proses ini merupakan tahapan pemodelan lokasi tutupan lahan. Pada proses ini pembentukan peta prediksi tutupan lahan dilakukan secara iteratif. Pada prosesnya dilakukan terlebih dahulu dilakukan pembentukan peta prediksi pendekatan. Peta prediksi pendekatan yang diperoleh kemudian dihitung alokasinya. Hasil perhitungan alokasi tersebut kemudian dihitung selisihnya dengan alokasi tutupan lahan existing yang dijadikan acuan seperti ditunjukkan pada Tabel 3. Tabel 3. Hasil tabulasi alokasi peta prediksi pendekatan dan peta tutupan lahan existing tahun 2000/2001 yang telah difilterisasi (dalam satuan piksel) REG_0 Peta Prediksi 3504291 Pendekatan Alokasi 3504291 Acuan 0 Selisih
B_AWN
AWN
JLN
PKM
SWH
KBN
78610
132501
13
233313
70632
78610
132501
233588
233723
0
0
-233575
-410
SMK
AIR
HTN
871753 1913997
33045
332687
300056
575574 1662297
42751
407451
-229424
296179 251700
-9706
-74764
Berdasarkan Tabel 3 dapat diketahui terdapat dua kelas tutupan lahan yang memiliki kelebihan alokasi, yaitu kelas kebun serta kelas semak dan lahan kering. Namun terdapat lima kelas tutupan lahan yang alokasinya masih kurang yaitu kelas jalan, pemukiman, sawah, perairan, dan hutan. Dengan demikian, proses pembentukan peta prediksi tutupan lahan dapat dilanjutkan ke tahapan iteratif. Tahapan iteratif dilakukan hingga diperoleh peta prediksi tutupan lahan memiliki alokasi yang sama dengan proyeksi alokasi tutupan lahan yang dijadikan acuan. Peta prediksi tutupan lahan tahun 2001 hasil proses iterasi ditunjukkan pada Gambar 4.
Prosiding
Page D-8
Forum Ilmiah Tahunan Ikatan Surveyor Indonesia Pekanbaru, 10-11 November 2010
Peta prediksi yang ditunjukkan pada Error! Reference source not found. 4, selanjutnya divalidasi terhadap data tutupan lahan existing tahun 2000/2001. Validasi dilakukan dengan terlebih dahulu menghitung accuracy of observed agreement ( ) dengan menggunakan Persaman 3 dan diperoleh hasil sebesar 0,591083335. Selanjutnya dihitung besar estimate of chance agreement ( ) dengan menggunakan Persamaan 4 dan diperoleh hasil 0,289913324. Setelah kedua variabel dan diperoleh, maka selanjutnya dapat dihitung besar KIA dengan menggunakan Persamaan 2 sehingga diperoleh besar KIA sebesar 0,424131337.
Gambar 4. Peta Prediksi Tutupan Lahan Tahun 2001 Selanjutnya hasil validasi pemodelan prediksi lokasi tutupan lahan dianalisis. Hasil validasi diperoleh KIA sebesar 0,424131337 dan dengan mengacu pada Tabel 4, maka hasil prediksi lokasi tutupan lahan secara kualitatif dikategorikan dalam tingkat menengah (moderate). Tabel 4 Strength of Agreement (Landis, 1977).
Prosiding
Kappa Index
Strength
Agreement
Agreement
< 0.00
poor
0.00 – 0.20
slight
0.21 – 0.40
fair
of
Page D-9
Forum Ilmiah Tahunan Ikatan Surveyor Indonesia Pekanbaru, 10-11 November 2010 0.41 – 0.60
moderate
0.61 – 0.80
substantial
0.81 – 1.00
almost perfect
Dengan demikian, penelitian ini dapat dikatakan cukup berhasil untuk memodelkan prediksi lokasi tutupan lahan dengan menggunakan alokasi tutupan lahan berdasarkan alokasi tutupan lahan tertentu yang digunakan sebagai acuan. Tingkatan kualitatif menengah (moderate) yang telah diperoleh dapat diartikan bahwa pemodelan prediksi memiliki tingkat kesamaan secara spasial yang belum baik dengan peta tutupan lahan existing tahun 2000/2001. Namun demikian tidak dapat dipungkiri bahwa, peta prediksi dihasilkan dapat dimanfaatkan sebagai modal awal untuk keperluan perencanaan. V. KESIMPULAN Hasil yang diperoleh dari implementasi model prediksi lokasi tutupan lahan (model prediksi lokasi kedua) memberikan Kappa Index Agreement sebesar 0,424131337 dan secara kualitatif dikategorikan dalam tingkat menengah (moderate). Hal ini mengindikasikan bahwa penerapan Cellular Automata dalam model prediksi lokasi tutupan lahan sudah tepat dan peta prediksi hasil pemodelan dapat digunakan untuk berbagai keperluan. Pemodelan prediksi lokasi tutupan lahan dalam penelitian ini memerlukan suatu tahapan iteratif dalam proses pembentukan peta prediksi tutupan lahan agar diperoleh alokasi tutupan lahan yang sama dengan alokasi tutupan lahan acuannya. Dalam hal ini setiap tahapan iterasi memberikan hasil alokasi yang dihitung dari peta prediksi, yang besar alokasinya memiliki pola yang konvergen terhadap alokasi tutupan lahan acuannya. DAFTAR PUSTAKA Congalton, R. (1991). A Review of Assessing the Accuracy of Classifications of Remotely Sensed Data. Remote Sensing of Environment , 35-46. Deliar, A. (2010). Pemodelan Hibrid dalam Prediksi Dinamika Perubahan Tutupan Lahan (Studi Kasus : Wilayah Bandung), Disertasi Program Doktor. Bandung: Institut Teknologi Bandung. Feller, W. (1968). An introduction to probability theory and its application. New York: John Wiley & Sons. Juliandri, F. (2006). Pemanfaatan Rantai Markov Untuk Analisis Prediksi Perubahan Lahan Secara Spasial, Tugas Akhir Sarjana. Bandung: Institut Teknologi Bandung. Landis, J. K. (1977). The Measurement of Observer Agreement for Categorical Data. Biometrics , 159-174.
Prosiding
Page D-10
Forum Ilmiah Tahunan Ikatan Surveyor Indonesia Pekanbaru, 10-11 November 2010
Muttaqin, R. A. (2008). Pemanfaatan Metode Monte Carlo Untuk Analisis Perubahan Lahan Secara Spasial (Studi Kasus: Wilayah Bandung), Tugas Akhir Sarjana. Bandung: Institut Teknologi Bandung. Weisstein, E. W. (2002). Cellular Automaton, MathWorld--A Wolfram Web Resource. Dipetik Juli 09, 2010, dari http://mathworld.wolfram.com: http://mathworld.wolfram.com/CellularAutomaton.html
Prosiding
Page D-11
Forum Ilmiah Tahunan Ikatan Surveyor Indonesia Pekanbaru, 10-11 November 2010
KAJIAN AKURASI GEOMETRIK CITRA SPOT HASIL ORTHOREKTIFIKASI DENGAN TITIK KONTROL HASIL TRIANGULASI CITRA SATELIT Sarip Hidayat1 Agung Budi Harto2 Saptomo Handoro Mertotaruno2 1)
Instalasi Penginderaan Jauh Sumber Daya Alam Parepare (Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional/LAPAN),
[email protected],
[email protected] 2)Program Studi Teknik Geodesi dan Geomatika, Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian, Institut Teknologi Bandung
Orthorektifikasi dalam penelitian ini dilakukan terhadap 14 scene citra multispektral SPOT2 dan SPOT4 wilayah Jawa Barat. Susunan scene membentuk sebuah blok yang luas tanpa celah, sehingga memungkinkan untuk dilakukan triangulasi blok. Triangulasi ini berfungsi untuk menentukan hubungan antara satelit, citra dan bumi. Informasi yang dihasilkan dari triangulasi ini akan digunakan sebagai input pada saat orthorektifikasi. Titik kontrol tanah (GCP) diambil dari data vektor Peta RupaBumi Indonesia skala 1:25.000 dan data elevasi diekstrak dari DEM yang diturunkan dari data kontur peta RBI yang sama. Triangulasi blok dilakukan dengan berbagai konfigurasi GCP dan tie points (TP), yaitu konfigurasi minimal, hanya sepanjang perimemeter blok, jarak teratur setengah scene dan jarak teratur sepertiga scene. Setiap konfigurasi tersebut diturunkan lagi menjadi beberapa konfigurasi berdasarkan penggunaan TP. Akurasinya hasil triangulasi diuji dengan 244 check points (CP) yang menyebar di dalam blok. Konfigurasi GCP minimum dapat menghasilkan akurasi RMSE (Root Mean Square Error) 1,25 piksel jika dilengkapi dengan TP yang rapat. Konfigurasi GCP pada perimeter blok tidak dianjurkan untuk dipakai jika tidak dilengkapi dengan TP. Akurasi paling tinggi dihasilkan dari konfigurasi GCP/TP per sepertiga scene dengan RMSE 0,98 piksel. Akurasi akan ditentukan oleh distribusi dan jumlah GCP serta penggunaan TP. Akurasi terbaik dari penelitian ini sesuai untuk pembaruan peta skala menengah 1:65.000. Kata Kunci: Orthorektifikasi, SPOT, triangulasi, akurasi
I.
Pendahuluan
Ketersediaan citra satelit SPOT (Systeme Pour l’Observation de la Terre) seri 2/4 atau SPOT2/4 untuk wilayah Indonesia sudah cukup banyak dan hampir mencakup seluruh wilayah. Sejak tahun 2006, stasiun penerima SPOT di bumi (Direct Receiving Station/DRS) SPOT2/4 Indonesia sudah mulai merekam citra satelit tersebut. Standar produk citra satelit SPOT2/4 yang dikeluarkan DRS adalah sampai level 2A yang diklaim memiliki ketelitian horizontal sampai 350 m (1σ) (Spot Image, 2008).
relief pada titik objek dengan elevasi besar (Gambar 1). Pemindahan relief terjadi jika titik-titik yang berada pada koordinat horizonzal yang sama namun berbeda elevasinya, misalnya antara puncak dan dasar bangunan, digambarkan pada lokasi yang berbeda pada citra (Mikhail, 2001).
Kemampuan pengamatan miring (oblique viewing) pada instrumen HRV SPOT2/4 dapat meningkatkan frekuensi pencitraan (revisit capability), sekaligus akan menyebabkan terjadinya kesalahan pemindahan Prosiding
Page E-1
Forum Ilmiah Tahunan Ikatan Surveyor Indonesia Pekanbaru, 10-11 November 2010
Gambar 1
Ilustrasi orthorektifikasi citra menggunakan model geometri sensor dan DEM (PCI Geomatics, 2006)
Satelit penginderaan jauh dapat terbang lebih tinggi dan lebih stabil, sehingga gangguan pada orbit satelit dan perubahan tingkah laku wahana relatif kecil. Kondisi ini dapat memberikan kesempatan untuk menghilangkan distorsi secara efektif (Wolniewicz dan Chinh Ke, 2006). Teknik fotogrametri dengan pendekatan triangulasi blok (block triangulation) dapat menghilangkan distorsi pada citra satelit secara lebih efisien dan menghasilkan citra ortho yang dapat diandalkan. Tujuan penelitian adalah memperbaiki akurasi citra SPOT2/4 melalui orthorektifikasi, dengan hipotesis awal bahwa orthorektifikasi terhadap blok citra satelit yang dihasilkan oleh pushbroom scanner, dapat dilakukan dengan titik kontrol hasil triangulasi citra satelit dan akan menghasilkan akurasi yang tinggi dengan jumlah titik kontrol minimum. II.
Metodologi
Citra yang digunakan berasal dari SPOT2 dan SPOT4 yang keduanya memiliki karakter yang hampir sama. Untuk memelihara kondisi geometrik citra seperti aslinya dari CCD dan belum mengalami koreksi geometrik apapun, maka digunakan citra SPOT2/4 level 1A (Gambar 2). Kanal yang digunakan adalah multispektral tanpa pankromatik dengan resolusi spasial 20 m. Citra memiliki variasi sudut pengamatan, mulai hampir tegak sampai hampir maksimum miring. Blok citra mencakup wilayah Jawa Barat yang memiliki variasi elevasi yang besar, mulai dari dataran rendah sampai berbukit dan bergunung.
Prosiding
S1_SG1
S1_SG2
S2_SG1
S2_SG2
S1_SG3
S1_SG4
S3_SG1
S3_SG2
S2_SG3
S2_SG4
S4_SG1
S4_SG2
S3_SG3
S3_SG4
Gambar 2
II.1
Quicklook citra SPOT XI/XS level 1A yang tersusun dalam empat segmen citra dan dapat membentuk sebuah blok citra tanpa celah
Model Matematis Orbit Satelit
Triangulasi citra satelit dalam penelitian ini menggunakan Model Matematis Orbit Satelit (Satellite Orbital Math Model) yang dikembangkan oleh Dr. Toutin di Canada Center for Remote Sensing (CCRS). Model ini menggunakan prinsip persamaan kesegarisan (collinearity equations), untuk menghitung hubungan matematis antara citra, sensor dan bumi (Gambar 3). Model ini terdapat dalam perangkat lunak PCI Geomatica OrthoEngine V10.0.3 dan mensyaratkan informasi orbit yang lengkap, scene yang utuh dan belum pernah mengalami pengolahan geometrik. Persamaan kesegarisan untuk citra satelit yang dihasilkan oleh pushbroom scanner dituliskan pada persamaan 1.
[
[
(
)
(
)
(
)
(
)
(
)
(
)
(
)
(
)
(
)
(
)
(
)
(
)
] (1)
] (1)
Dimana adalah koordinat (nomor kolom) pada citra untuk titik A; adalah koordinat pada baris citra untuk titik fokus; adalah panjang fokus sensor; sampai adalah komponen matriks rotasi untuk orientasi sensor pada saat baris diakuisisi; adalah koordinat sensor
Page E-2
Forum Ilmiah Tahunan Ikatan Surveyor Indonesia Pekanbaru, 10-11 November 2010 pada saat baris diakuisisi; koordinat objek titik A.
adalah adalah pusat proyeksi dari baris 0 di bumi. Pada titik ini, sensor satelit memiliki satu set tertentu unsur orientasi luar , , , , dan .
Sistem Koordinat ruang citra Sistem Koordinat citra
Sistem Koordinat ruang bumi
Gambar 3
Gambar 5
Ilustrasi sebuah scene citra yang dihasilkan dari linear array sensor (Wolf dan Dewitt, 2000)
Unsur orientasi luar (Leica Geosystems, 2005)
Pushbroom scanner melakukan pemindaian sepanjang sebuah garis pindai (scan line). Scanner terus bergerak sepanjang lintasan satelit (vehicle trajectory) dan menyapu baris per baris citra (Gambar 4). Sehingga sebuah scene citra SPOT diakuisisi dari banyak titik ekspos. Untuk masingmasing garis pindai memiliki pusat perspektif dan sudut rotasi yang unik (unsur orientasi luar). Pada saat satelit bergerak dari satu garis pindai ke garis pindai berikutnya, maka unsur orientasi luar tersebut berubah.
Variasi unsur orientasi luar tersebut adalah fungsi dari koordinat (baris pada citra). Karena tingkat stabilitas satelit yang tinggi selama melakukan pencitraan, maka unsur orientasi luar dapat diasumsikan bervariasi dengan cara sistematik. Variasi orientasi eksterior pada setiap barisnya yang dapat dimodelkan dengan polynomial orde rendah (persamaan 2) seperti dijelaskan dalam Wolf dan Dewitt (2000).
(2)
Gambar 4
Geometri pencitraan menggunakan linear array sensor (Wolf dan Dewitt, 2000)
Dimana adalah nomor baris posisi citra; , , , , dan adalah unsur orientasi luar sensor pada saat baris diperoleh; , , , , dan adalah unsur orientasi luar sensor pada posisi mulai; sampai adalah koefisien yang menjelaskan variasi sistematik unsur orientasi luar pada saat citra diakuisisi.
Satu scene citra SPOT XI/XS tersusun 3000 baris II.2 Pelaksanaan Prosedur Triangulasi piksel dan setiap baris memiliki 3000 piksel. Gambar 5 adalah ilustrasi satu scene citra SPOT sebagai Kegitaan dimulai dengan persiapan citra dan peta, produk pushbroom scanner, posisi mulai (titik ) prapengolahan citra, penentuan konfigurasi GCP/TP
Prosiding
Page E-3
Forum Ilmiah Tahunan Ikatan Surveyor Indonesia Pekanbaru, 10-11 November 2010 Gambar 6 Diagram alir penelitian dan CP, kemudian diproses dengan triangulasi citra satelit dan tahap akhir adalah analisis terhadap presisi, akurasi dan kualitas citra ortho serta Pelaksanaan triangulasi blok beberapa kali sesuai dengan rancangan konfigurasi GCP/TP. Identifikasi kesesuaian skala peta yang dihasilkan. dan penandaan GCP/TP merupakan pekerjaan kritis, Dalam prapengolahan citra dilakukan rekonstruksi dimana hasilnya akan menentukan kualitas hasil citra SPOT level 1A dan penyambungan (stitch) triangulasi. Oleh karena itu kualitas GCP harus scene. Rekonstruksi bertujuan membangun kembali dikontrol sehingga memiliki presisi tinggi dan bebas citra SPOT2/4 level 1A dari format DIMAP ke dari kesalahan blunder. Konfigurasi GCP/TP adalah dalam format PCIDSK Geomatica 10.0.3, dengan berupa pengaturan jumlah, distribusi dan kombinasi menambahkan segmen biner yang berisi data orbit penggunaan GCP dan TP. Penentuan jumlah GCP (ephemeris) kedalam citra tersebut. Sementara stitch berdasarkan pada pertimbangan jumlah GCP berfungsi untuk menyambungkan kembali beberapa minimum, keteraturan jarak antar GCP dan scene citra pada satu segmen yang memiliki tanggal keteraturan distribusi GCP pada keseluruhan blok. akusisi sama. Dalam tahap ini juga dilakukan Konfigurasi GCP/TP yang digunakan dalam identifikasi dan penandaan CP yang akan digunakan eksperimen triangulasi blok dijelaskan pada Gambar dalam mengkaji kualitas citra level 1A hasil dari 7.
rekonstruksi. Diagram alir pelaksanaan prosedur triangulasi disajikan pada Gambar 6. Persiapan
SPOT XS/XI Level 1A
DEM (dari kontur) Identifikasi dan penandaan CP
Prapengolahan citra level 1A Reconstructe d Level 1A Analisis citra level 1A
Konfigurasi GCP/TP
Identifikasi dan penandaan GCP, TP
Perataan blok
Residual report
Selain konfigurasi C1 dan D1
Konfigurasi C1 dan D1 No
Prosiding
Kontrol kualitas GCP/TP
Yes
Orthorektifikasi
Yes
Orthorectifie d SPOT XI/XS
Analisis presisi GCP/TP
Analisis kualitas, akurasi citra ortho dan hasil mosaik
Kesimpulan
Kesesuaian skala peta
Standar ketelitian peta
Page E-4
Forum Ilmiah Tahunan Ikatan Surveyor Indonesia Pekanbaru, 10-11 November 2010 Konfigurasi
A (Minimal) Jumlah GCP minimal 4 per scene atau per strip
B (Perimeter) GCP hanya di sepanjang sisi atau tepi blok
GCP
TP
CP
A1
ya
tidak
ya
A2
ya
ya (sd+ov) 1/2
ya
A3
ya
ya (sd+ov) 1/3
ya
B1
ya (1/2)
tidak
ya
B2
ya (1/2)
ya (1/2)
ya
B3
ya (1/3)
tidak
ya
B4
ya (1/3)
ya (1/3)
ya
C1
ya (1/2)
tidak
ya
piksel yang bersangkutan. Koordinat ruang objek tersebut kemudian diproyeksikan ke dalam grid citra ortho. Proyeksi yang kedua kali ini sekaligus mentransfer nilai digital dari citra asli dan akan menghasilkan susunan piksel yang tidak teratur pada citra ortho. Ketidakteraturan susunan piksel tersebut dipengaruhi oleh variasi elevasi dan pengaruh dari proyeksi perspektif. Untuk menyusun kembali piksel-piksel tersebut menjadi teratur, maka dilakukan interpolasi (resampling) pada citra ortho yang terbentuk (Mikhail, 2001)
Gambar 8 C (Penuh) GCP tiap jarak setengah scene
D (Penuh) GCP tiap jarak sepertiga scene
C2
ya (1/2) minus sd
ya (sd)
ya
C3
ya (1/2) minus sd+ov
ya (sd+ov)
ya
D1
ya (1/3)
tidak
ya
D2
ya (1/3) minus sd
ya (sd)
ya
Akurasi citra ortho dinyatakan dalam RMSE CP, yaitu akar kuadrat dari rata-rata kuadrat residu atau diskrepansi (EC–JRC ISPRA, 2008). RMSE dapat dihitung dengan persamaan jarak sebagai berikut (FGDC-STD-007, 1998):
√ ∑[( D3
ya (1/3) minus sd+ov
ya (sd+ov)
: GCP : TP
Gambar 7 Konfigurasi eksperimen GCP/TP
II.3
Ilustrasi proses pembentukan citra ortho menggunakan forward projection (Mikhail, 2001)
Produksi Citra Ortho
)
(
) ]
(
)
ya
Dimana xr dan yr adalah koordinat input atau koordinat referensi; xi dan yi adalah koordinat hasil transformasi atau koordinat hasil perhitungan; n jumlah titik (CP, GCP atau TP) dan adalah bilangan bulat dari 1 sampai n. III.
Hasil dan Analisis
Pendekatan yang digunakan dalam membangun citra ortho adalah forward projection (Gambar 8). Piksel- III.1 Hasil Rekonstruksi Citra Level 1A piksel dari citra asli (citra masih mengandung Citra yang dihasilkan dari proses ini akan memiliki proyeksi perspektif) diproyeksikan terhadap DEM geometri seperti pada saat diakuisisi. Ukuran scene, sehingga diperoleh koordinat ruang objek untuk
Prosiding
Page E-5
Forum Ilmiah Tahunan Ikatan Surveyor Indonesia Pekanbaru, 10-11 November 2010 bentuk scene dan resolusi spasial citra akan berubah sesuai karakter geometri pencitraan scene yang bersangkutan. Semua scene citra akan miring ke arah Timur karena scene diakuisisi pada saat orbit turun (descending node) dan akibat rotasi bumi dari Barat ke Timur, seperti ditunjukkan pada Gambar 9.
Pergeseran lokasi titik pada detektor pushbroom bisa disebabkan oleh perubahan besarnya sudut pengamatan dan variasi ketinggian objek. Untuk mengetahui adanya pergeseran piksel pada detektor pushbroom, maka dilakukan simulasi geometri pencitraan SPOT pada sudut pengamatan (viewing angle) dan ketinggian objek yang berbeda-beda. Hasil simulasi disajikan pada Gambar 10, yang menunjukkan bahwa secara teoritis terjadi pergeseran piksel jika pengamatan oleh sensor satelit membentuk sudut terhadap nadir dan objek yang diamati memiliki perbedaan elevasi. Pergeseran Lokasi Titik pada Detektor Pushbroom 120.0 5 km 4.5 km
Pergeseran (piksel)
100.0
4 km 80.0
3.5 km
3 km 60.0
2.5 km 2 km
40.0
1.5 km 1 km
20.0
0.5 km 0.0 1
Gambar 9
Cita level 1A hasil rekonstruksi menggunakan data orbit dari metadata, terlihat semua scene telah miring ke arah Gambar 10 Timur dan ukuran scene yang tidak sama
Pada Tabel 1 terlihat kecenderungan dengan semakin besar sudut masuk (incidence angle) maka akan semakin besar resolusi spasial pada arah BaratTimur (arah X), sementara pada arah Utara-Selatan (arah Y) relatif tetap. Sudut masuk yang besar akan berpotensi menyebabkan pergeseran lokasi pada daerah dengan elevasi besar. Tabel III.1
5
7
9
11
13
15
17
19
21
23
25
27
Sudut Pengamatan (derajat)
Pergeseran lokasi titik hasil simulasi pada berbagai ketinggian titik (objek) dan variasi sudut pengamatan
III.3 Akurasi Level 1A Hasil Rekonstruksi
Akurasi diuji dengan 244 CP dan dinyatakan dalam RMSE piksel. Setiap scene terlihat masih memiliki distorsi geometrik baik pada arah X maupun pada arah Y. Secara umum akurasi level ini masih rendah dan lebih rendah dari klaim SpotImage yaitu lebih baik dari 350 m. Secara teoritis, bila sudut masuk Perbedaan resolusi spasial pada citra level besar maka pada daerah dengan elevasi besar akan 1A hasil rekonstruksi memiliki residu X yang besar, namun tidak berpengaruh pada daerah yang relatif datar.
III.2 Pergeseran Pushbroom
Prosiding
3
piksel
pada
Secara umum terlihat residu pada daerah datar selalu lebih rendah dibanding daerah dengan elevasi tinggi dan semakin besar sudut masuk maka akan makin besar residu pada arah X (Gambar 11). Sementara pada arah Y kecenderungan tersebut tidak benar sepenuhnya, residu pada arah Y tidak selalu dipengaruhi oleh sudut masuk dan elevasi, namun lebih dipengaruhi oleh adanya gangguan pada orbit. Detektor Misalnya citra dengan sudut masuk 2,20, memiliki residu arah Y yang lebih besar dibandingkan dengan citra yang memiliki sudut masuk 28,60.
Page E-6
Forum Ilmiah Tahunan Ikatan Surveyor Indonesia Pekanbaru, 10-11 November 2010 Residu pada Arah X 1,200.0
Strip
Residu (m)
1,000.0 800.0 600.0 400.0 200.0
2,2 2,5 Sudut masuk
5.6/14.1
17,9
25,8
Datar
28,6
Tinggi
Scene
0.0
Residu pada Arah Y 1,200.0
Residu (m)
1,000.0 800.0 600.0 400.0
Gambar 12
Konfigurasi citra level 1A gabungan antara strip dan citra tunggal
200.0 0.0
2,2 2,5 Sudut masuk
5.6/14.1
17,9
25,8 Datar
28,6
III.5 Kualitas GCP
Tinggi
Kualitas GCP (presisi GCP) dinyatakan dengan residu (dalam piksel) dari hasil perhitungan model Gambar 11 Residu arah X dan Y pada daerah datar dan matematis. Presisi GCP dapat dilihat dari nilai residu tinggi untuk citra SPOT level 1A hasil dan tanda (+/-) pada residu arah X dan residu arah Y. rekonstruksi Kualitas GCP dalam penelitian ini hanya diuji pada konfigurasi C1 dan D1 yang ditunjukkan dengan III.4 Citra Hasil Penyambungan Scene (Stitch) grafik pada Gambar 13.
-1.5
1.5
1.5
1
1
0.5
0.5
0
-1
-0.5
0
0.5
-0.5
-1
-1.5 Residu X (piksel)
Prosiding
1
1.5
Residu Y (piksel)
Residu Y (piksel)
Residu GCP (setengah scene) Blok Residu GCP (sepertiga scene) Blok Hasil penyambungan terhadap dua scene citra atau lebih akan membentuk sebuah scene yang panjang (strip). Terbentuknya strip akan membantu dalam mengerjakan projek dengan jumlah citra yang banyak. Jumlah scene yang harus diolah menjadi berkurang sehingga jumlah GCP juga bisa dikurangi. Kelebihan lain adalah cakupan untuk satu scene menjadi lebih panjang, sehingga dapat menjembatani area yang tidak jelas, seperti area yang berada di Residu X dan residu Y untuk konfigurasi bawah tutupan awan dimana di area tersebut tidak Gambar 13 C1 (kiri) dan konfigurasi D1 (kanan) dapat diambil GCP. Konfigurasi blok sekarang merupakan kombinasi strip dan scene seperti terlihat Setelah melalui eliminasi blunder, residu pada kedua pada Gambar 12. konfigurasi tersebut semuanya telah berada di dalam “mata banteng” dan terlihat hampir merata pada Perbatasan sambungan scene akan tersambung keempat kwadran grafik. Lingkaran merah pada dengan sempurna dan terlihat tanpa kelim. Strip citra grafik tersebut adalah toleransi RMSE sebesar 1 nampak menerus, karena aslinya citra tersebut piksel. Residu GCP yang berdekatan dan berada memang menerus pada arah Utara – Selatan. Proses dalam satu grup di dalam “mata banteng” penyambungan scene ini adalah rekonstruksi citra menunjukkan bahwa GCP yang digunakan telah level 1A, namun dilakukan terhadap beberapa scene presisi dan konsisten. Jika banyak pengamatan yang sekaligus yang diakuisisi pada tanggal yang sama. -1.5
0
-1
-0.5
0
0.5
1
1.5
-0.5
-1
-1.5 Residu X (piksel)
Page E-7
Forum Ilmiah Tahunan Ikatan Surveyor Indonesia Pekanbaru, 10-11 November 2010 dilakukan atau titik yang dihitung untuk kuantitas yang sama menghasilkan residu yang kecil, hal ini
Konfigurasi
A
mengindikasikan presisi yang tinggi dinyatakan dalam Ghilani dan Wolf (2008).
seperti B
III.6 Kualitas Hasil Triangulasi C
Σ GCP Total
Res-GCP (piksel)
Σ TP
A1
16
0,27 N/A
A2
16
0,32
17
A3
16
0,32
32
B1
31
0,33 N/A
B2
31
0,39
B3
42
0,36 N/A
B4
42
0,38
C1
65
0,42 N/A
C2
48
0,39
Res-TP (piksel) N/A
1,76
244
1,28
0,67
244
1,25
244
5,52
N/A 0,53 N/A 18
(piksel)
1,07
0,38
36
RMSE CP
244
N/A 21
Σ CP
0,44
244
1,19
244
19,04
244
1,11
244
1,11
244
1,12
C3 45 0,37 21 0,41 244 1,11 Kualitas hasil triangulasi dinyatakan dengan akurasi D1 132 0,42 0 N/A 244 0,98 yang diukur menggunakan CP dan nilainya D D2 104 0,40 30 0,64 244 1,00 dinyatakan dengan RMSE dalam piksel. CP dalam D3 98 0,38 36 0,63 244 0,98 penelitian ini diambil dari peta yang sama dengan N/A: Not Available pengambilan GCP. Jumlah dan distribusi CP pada scene dan strip tidak berubah, jadi selalu menggunakan CP yang sama pada konfigurasi yang III.6.1 Konfigurasi Terburuk berbeda. Distribusi CP di dalam blok disajikan pada Gambar 14. Konfigurasi B1 dan B3 menghasilkan akurasi yang jauh lebih rendah dibandingkan konfigurasi B yang lainnya. Presisi GCPnya masih konsisten terhadap peta referensi, menunjukkan bahwa akurasinya lebih dipengaruhi oleh distribusi GCP pada konfigurasi tersebut. Konfigurasi B1 dan B3 tidak menggunakan TP dan GCP hanya tersebar pada perimeter blok dengan jarak setengah scene (B1) dan sepertiga scene (B3). Dengan demikian tidak ada titik kontrol sama sekali pada bagian tengah blok dan RMSE yang besar tersebut terletak jauh dari GCP atau berada di tengah blok seperti ditunjukkan pada Gambar 15 untuk konfigurasi B3. Besarnya RMSE CP pada setiap titik ditunjukkan dengan panjangnya Gambar 14 Distribusi CP dalam blok citra vektor kesalahan (error vector) (garis berwarna kuning) seperti pada Gambar 15 dan Gambar 16. Secara umum bila disusun berurutan dari konfigurasi A sampai D, dengan pengecualian konfigurasi B1 dan B3, terlihat akurasinya semakin tinggi (Tabel 2). Pada masing-masing konfigurasi memiliki akurasi yang tertinggi, yaitu konfigurasi A3, B4, C3 dan D3 .
Tabel 2
Rangkuman Residu GCP/TP dan RMSE CP pada masing-masing konfigurasi
Gambar 15
Prosiding
Plot vektor kesalahan (perbesaran 2500 kali digital) pada konfigurasi B3, lingkaran
Page E-8
Forum Ilmiah Tahunan Ikatan Surveyor Indonesia Pekanbaru, 10-11 November 2010 warna biru (O) menunjukkan tanpa subjektifitas, sementara lingkaran kuning (O) menunjukkan adanya pengaruh subjektifitas
Jika penelitian akan menggunakan konfigurasi GCP hanya pada perimeter, maka minimal harus ada GCP pada dua sisi scene atau strip untuk memperoleh akurasi yang bagus. Kecenderungan ini terlihat pada konfigurasi B1 dan B3 yang hanya menggunakan GCP pada perimeter blok. Bila blok citra tersusun oleh beberapa strip citra yang panjangnya sama seperti strip ST_4SC_SG2, maka konfigurasi GCP cukup ditempatkan pada sisi atas dan sisi bawah saja pada setiap strip. Konfigurasi GCP seperti pada ST_4SC_SG2 dapat menghasilkan akurasi yang bagus, hal ini senada dengan yang dilaporkan dalam Tonon (2005). Gambar 16
Plot vektor kesalahan (perbesaran 5000
kali digital) pada konfigurasi D3, lingkaran Akurasi pada konfigurasi B1 dan B3 dapat warna biru (O) menunjukkan tanpa diperbaiki dengan menambahkan TP pada subjektifitas, sementara lingkaran kuning overlap/sidelap sehingga konfigurasinya berubah (O) menunjukkan adanya pengaruh menjadi B2 dan B4, perubahan nilai RMSEnya subjektifitas signifikan seperti terlihat pada Tabel 2. Namun pada konfigurasi C dan D, penggunaan TP untuk III.6.3 Analisis Rasio Variansi menggantikan posisi GCP tidak meningkatkan Pengujian rasio variansi berfungsi untuk mengetahui secara akurasi secara signifikan, sebagaimana apakah konfigurasi yang satu lebih baik dari ditunjukkan oleh hasil pengujian rasio variansi. konfigurasi yang lain secara statistik. Distribusi statistik yang digunakan adalah distribusi Fisher (F) III.6.2 Konfigurasi Terbaik ⁄ (Wolf dan Ghilani, dengan statistik uji Konfigurasi terbaik dari peneltian ini adalah 2006), dimana adalah RMSE CP pada konfigurasi konfigurasi D3. Nilai RMSE CP paling rendah dan kesatu dan adalah RMSE CP dari konfigurasi menggunakan TP sebagai pengganti GCP. Distribusi kedua. Pengujian dilakukan pada tingkat vektor kesalahan dalam blok untuk konfigurasi D3 kepercayaan 90% atau pada taraf nyata . disajikan pada Gambar 16. Garis tebal pada vektor Kesimpulan yang bisa diambil dari pengujian ini kesalahan menunjukkan RMSE yang bernilai lebih bisa menjadi pertimbangan untuk memilih besar dari satu piksel. Namun Secara keseluruhan konfigurasi yang lebih baik secara statistik. Hasil akurasi citra ortho menggunakan konfigurasi D3 pengujian rasio variansi selengkapnya disajikan pada menghasilkan RMSE kurang dari satu piksel. Tabel 3.
Prosiding
Page E-9
Forum Ilmiah Tahunan Ikatan Surveyor Indonesia Pekanbaru, 10-11 November 2010 Tabel 3 Hasil pengujian rasio variansi RMSE CP
Warna biru pada kolom RMSE CP menunjukkan konfigurasi yang terbaik dalam konfigurasi yang sejenis. Garis berwarna orange pada kolom uji fisher Tabel 3 menjelaskan bahwa antara konfigurasi yang dihubungkan oleh garis tersebut tidak menghasilkan variansi yang berbeda secara statistik pada tingkat kepercayaan 90%. Sementara konfigurasi yang dihubungkan oleh garis berwarna violet menjelaskan bahwa konfigurasi yang satu lebih baik dari konfigurasi pasangan ujinya. III.7
Gambar 17 adalah citra ortho yang dihasilkan dari konfigurasi D3. Beberapa scene terlihat berubah bentuknya, tidak lagi berbentuk persegi panjang atau belah ketupat, tapi telah menyesuaikan dengan cakupan data DEM yang digunakan. Jadi dalam orthorektifikasi perlu diperhatikan bahwa cakupan data DEM akan menentukan luas dan bentuk citra hasil resampling.
Kualitas Citra Ortho
Citra ortho pada penelitian ini dibangun dengan metode resampling cubic convolution dan jarak sampling setiap satu piksel. Karena jarang yang sama antara grid pada citra input dengan grid pada citra output, maka piksel-piksel tersebut harus diproses resampling untuk memperoleh nilai gigital baru bagi citra luaran. Geometri citra akan berubah setelah mengalami proses resampling, seperti terlihat dalam Tabel 4. Pada citra SPOT level rekonstruksi 1A memiliki jumlah piksel (kolom x baris) yang Citra ortho dari konfigurasi D3 yang sama pada setiap scene yaitu 3.000 x 3.000 piksel, Gambar 17 menunjukkan perubahan pada bentuk namun memiliki resolusi spasial yang berbeda-beda scene tergantung pada sudut masuknya. Setelah resolusi spasial diresampling menjadi 20 x 20 m, maka jumlah piksel akan menyesuaikan dengan resolusi Citra yang berada di luar cakupan DEM tidak akan spasialnya. menjalani resampling, seperti pada sisi Timur ST_3SC_SG4 dan sisi Barat bagian atas Tabel 4 Perubahan geometri scene citra SPOT level ST_2SC_SG1 terlihat terpotong mengikuti batas rekonstruksi 1A setelah mengalami pinggir DEM. Demikian juga sepanjang garis Pantai resampling menjadil level ortho Utara dan Pantai Selatan Jawa Barat akan terpotong, karena bagian laut tidak memiliki data elevasi dan hanya diisi dengan background value. Sementara citra yang berada dalam cakupan DEM akan diproses resampling seluruhnya, seperti pada
Prosiding
Page E-10
Forum Ilmiah Tahunan Ikatan Surveyor Indonesia Pekanbaru, 10-11 November 2010 S3_SG1 dan semua scene yang berada di tengah blok. Hasil resampling dengan metode cubic convolution dari konfigurasi D2 menghasilkan kenampakkan citra yang lebih halus (Gambar 18(c)) walaupun tidak sehalus Gambar 18(b). Kelebihan Gambar 18(c) adalah masih menampakkan kedetilan yang bisa hilang dengan metode bilinear interpolation. Gambar 18(a) menunjukkan kedetilan yang bagus, nilai digital citra tidak berubah hanya berpindah posisi. Namun pada unsur-unsur yang berupa garis lurus nampak patah-patah atau bergerigi (jagged) sehingga citra nampak kusam atau kotor. Gambar 18(b) memperlihatkan kenampakkan yang sangat halus, namun terlihat kabur/buram sehingga kedetilan citra bisa hilang, seperti pada batas-batas antar bangunan dan jalan-jalan yang relatif kecil bisa menghilang dari citra.
Bilinear interpolation
(b)
Akurasi citra hasil resampling cubic convolution terhadap data vektor RBI 1:25.00 ditunjukkan pada Gambar 19. Secara visual terlihat tumpangsusun yang tepat dengan data vektor jalan dan sungai. Garis-garis berwarna kuning adalah vektor jalan dan sungai. Ketiga metode resampling akan menunjukkan ketepatan yang hampir sama, namun metode cubic convolution nampak lebih tepat mendekati garis-garis vektor.
Cubic convolution
(c)
Nearest Neighbor Gambar 18
Hasil resampling pada konfigurasi D2, (a) nearest neighbor, (b) bilinear interpolation, (c) cubic convolution
(a)
Prosiding
Page E-11
Forum Ilmiah Tahunan Ikatan Surveyor Indonesia Pekanbaru, 10-11 November 2010 IV.
Kesimpulan
1. Ketelitian produk citra ortho yang dihasilkan melalui triangulasi citra satelit akan ditentukan oleh jumlah dan distribusi GCP dan TP. Semakin rapat jumlah GCP dan TP pada jarak yang teratur, semakin tinggi ketelitian yang dihasilkan. Penambahan jumlah TP pada sidelap dan overlap akan menghasilkan ketelitian yang lebih baik dibandingkan dengan penambahan jumlah GCP. Penggunaan TP juga akan menghemat penggunaan GCP, sehingga secara keseluruhan akan menghemat upaya yang harus dikeluarkan.
Gambar 19
Hasil resampling cubic convolution tumpangsusun dengan data vektor jalan dan sungai RBI 1:25.000
2. Ketelitian yang paling tinggi dihasilkan dari konfigurasi GCP dengan ditribusi sepertiga scene yang sesuai untuk peta skala 1: 65.000. Sementara ketelitian paling rendah diperoleh dari konfigurasi GCP dengan jumlah minimal tanpa menggunakan TP yang hanya menghasilkan peta skala 1:116.000. Penggunaan distribusi GCP pada perimeter blok saja tidak dianjurkan untuk triangulasi citra satelit jika tidak dilengkapi dengan TP.
Gambar 20 adalah salah satu sisi hasil resampling cubic convolution dari konfigurasi D2. Gambar tersebut berisi dua strip citra yang dimosaik secara manual. Hampir setiap unsur pada perbatasan strip terlihat menerus, baik pada unsur bangunan, sungai, jalan maupun persil lahan pertanian. Perbatasan 3. Penggunaan stich image akan sangat membantu scene atau strip akan nampak lebih menerus lagi jika mengurangi jumlah GCP dan TP jika kondisi menggunakan perakitan mosaik secara otomatis dan scene citra memungkinkan dan dilengkapi akan sangat membantu menghemat waktu dan upaya dengan data ephemeris. dalam projek yang terdiri dari banyak citra. V.
Saran
1. Penelitian ini belum mencapai konfigurasi GCP/TP jenuh untuk triangulasi citra satelit SPOT4/SPOT2 dengan menghasilkan akurasi yang tertinggi. Masih ada peluang untuk menambah jumlah dan kerapatan GCP lebih banyak dari konfigurasi D, sehingga dicapai akurasi tertinggi secara statistik.
ST_2SC_SG1
Gambar 20
Prosiding
ST_4SC_SG2
2. Citra pankromatik dari SPOT4/SPOT2 belum diikutsertakan dalam penelitian ini, sehingga perlu diteliti lebih lanjut apakah cukup dengan registrasi atau diperlukan orthorektifikasi sendiri pada citra tersebut.
Mosaik hasil resampling cubic convolution dari konfigurasi D2, garis kuning putusputus menunjukkan perbatasan strip.
Page E-12
Forum Ilmiah Tahunan Ikatan Surveyor Indonesia Pekanbaru, 10-11 November 2010 REFERENSI
12th edition. Pearson Prentice Hall, Pearson Education, Inc. Upper Saddle River, USA.
Arief, M., Kustiyo dan Surlan (2008). Kajian Ketelitian Koreksi Geometrik Data SPOT Giannone, F. (2006): A Rrigorous Model for High Resolution Satellite Imagery Orientation, Level 2A; Studi Kasus Nusa Tenggara PhD Thesis, University of Rome “La Timur, Prosiding PIT MAPIN XVII, Sapienza” Faculty of Engineering, Roma. Bandung 10-12-2008, 281 – 285. Baillarin, S., Bouillon, A. dan Berdnard, M. : Using Haining, R.P. (2003): Spatial Data Analysis; Theory and Practice, Cambridge University Press, a Three Dimensional Spatial Database to Cambridge-United Kingdom. Orthorectofy Automatically Remote Sensing Images, ISPRS Workshop on Service and Application of Spatial Data Jan´ee, G. (2007): SPOT Mirror and Incidence Angles. Infrastructure, XXXVI (4/W6), Oct.14-16, (http://www.alexandria.ucsb.edu/~gjanee/sp Hangzhou, China ot/docs/angles.pdf: diakses pada 27 Januari (http://130.75.85.12/html/aktivitaeten/EAR 2009) SeL-Workshop2005_Paper /Baillarin.pdf: diakses pada 15 November 2007) Leica Geosystem (2005): ERDAS Field Guide, Chapter 8: Photogrammetric Concepts, EC–JRC ISPRA (2008): Guidelines for Best Geospatial Imaging-LLC, Norcross, Practice and Quality Checking of Ortho Georgia. Imagery; Issue 3.0. Post: IPSC-MARS, Institute for the Protection and Security of the Citizen, Monitoring Agriculture with Maune, D.F. (2001): Digital Elevation Model Technologies and Applications: The DEM Remote Sensing Unit, First issued: Ispra TP User Manual, American Society of 266, Joint Research Centre, I-21020 Ispra Photogrammetry and Remote Sensing, (VA), Italy. Bethesda, Maryland USA. (http://www.jrc.ec.europa.eu/ and http://ipsc.jrc.ec. europa.eu/: diakses pada Mikhail, E.M., Bethel, J.S. dan McGlone, J.C. 30 April 2009) (2001): Introduction to Modern Photogrammetry, John Willey & Sons, Inc., FGDC-STD-007 (1998): Geospatial positioning New York USA. accuracy standards, Part 3: National Standard for Spatial Data Accuracy, Müller, R., Krauß, T., Lehner, M. dan Reinartz, P.: FGDC, Washington , D.C. Automatic Production of a European (http://www.fgdc.gov/standards/projects/FG Orthoimage Coverage within The GMES DC-standardsprojects/accuracy/part1/ Land fast Track Service Using SPOT4/5 index_html/?searchterm=Geospatial%20pos and IRS-P6 LISS III Data, German itioning%20accuracy%20standards: diakses Aerospace Centre (DLR), Remote Sensing pada 15 Desember 2009) Technology Institute, D-82234 Wessling, Germany. GAEL Consultant, (2004): GAEL-P135-DOC-001, (http://www.ipi.uni-hannover.de/fileadmin/ revision 4, 20/08/2004; SPOT 123-4-5 institut/pdf/Mueller_krauss_lehner_reinartz. Geometry Handbook. pdf: diakses pada 8 Desember 2007) (http://www.spotimage.fr/automne_modules _files/standard/public/p229_0b9c0d94a22e7 7aac09df2b360c73073SPOT_Geometry_Ha PCI Geomatics, (2006): PCI Geomatica V10.0.3 help, PCI Geomatics Enterprises Inc. 50 ndbook.pdf: diakses pada 25 Februari 2009) West Wilmot Street, Richmond Hill Ontario, Canada, L4B 1M5. Gantini, T., Purba E. dan Purwoko (2008): Kajian Kualitas Posisi Geometri Data SPOT4, Prosiding PIT MAPIN XVII, Bandung 10- Sari, I. L., Purwoko dan Kartasasmita, M. (2008): Koreksi Geometri Level 2B Data SPOT 12-2008, 559 – 570. Bersudut (Pandang) Sensor Kecil, Prosiding PIT MAPIN XVII, Bandung 10-12-2008, Ghilani, C.D. dan Wolf, P.R. (2008): Elementary 232 – 237. Surveying; An Introduction to Geomatics,
Prosiding
Page E-13
Forum Ilmiah Tahunan Ikatan Surveyor Indonesia Pekanbaru, 10-11 November 2010 Schowengerdt, (2007): Remote Sensing; Models and Website SPOT: Methods for Image Processing, 3rd edition, Academic Press, Elsevier Inc., USA. Spot Image (2003a): SPOT Technical Information; Spot on its orbit. Tonon, M. (2005): SPOT 5 data for line map (http://www.spotimage.fr/automne_modules updating: New perspectives in mapping. _files/standard/public/p229_fileLINKEDFI (http://www.gisdevelopment.net/technology LE_Spo-on-its-orbit.pdf: diakses pada 13 /survey/me05_122.htm: diakses pada 20 Agustus 2004) Februari 2009) Spot Image (2003b): SPOT Technical Information; Toutin, T., Carbonneau, Y. dan Chénier, R. (2001): The Spot Payload. Block adjustment of Landsat-7 ETM+ (http://www.spotimage.fr/automne_modules images, ISPRS Joint Workshop, High _files/standard/public/p229_file Resolution from Space, Hanover, Germany, LINKEDFILE_Spot_payload.pdf: diakses September 19-21, 2001. pada 13 Agustus 2004) (www.photogrammetry.ethz.ch/general/pers ons/jana/isprs/tutmapup/ISPRS_tutorial_To Spot Image (2003c): SPOT Technical Information; utin_hannover3.pdf: diakses pada 5 Maret Image Acquisition. 2009) (http://www.spotimage.fr/automne_modules _files/standard/public/p229_fileLINKEDFI Willneff, J. dan Poon, J. (2006): Georefencing from LE_images-acquisition.pdf: diakses pada 13 orthorectified and non-orthorectified highAgustus 2004) resolution satellite imagery, 13th Australasian Remote Sensing and Spot Image (2003d): Spot Image Product guide; Spot Photogrammetry Conference, Canberra, Image Products and Solutions. Australia. (http://www.spotimage.fr/automne_modules (http://www.crcsi.com.au/uploads/136eae58 _files/standard/public/p222_fileLINKEDFI -aaf6-4deb-a74b-34e3e6096ade/docs/ LE1_Catalogue_SI-E.pdf: diakses pada 12 WillneffPoonCanberra2006.pdf: diakses Maret 2009) pada 27September 2007) Spot Image (2003e): SPOT Technical Information; Wolf, P.R. dan Dewitt, B.A. (2000): Elements of Preprocessing levels and location accuracy. Photogrammetry; with Applications in GIS, (http://www.spotimage.fr/web/en/2343rd edition, McGraw-Hill Company, Inc., preprocessing-levels-and-locationNew York. accuracy.php, p234_fileLINKEDFILE2_pretraitementWolf, P.R. dan Ghilani, C.D. (1997): Adjustment localisation-E.pdf: diakses pada 21 Juli Computations; Statistics and Least Square 2004) in Surveying and GIS; 3rd edition, John Wiley & Sons,Inc., Hoboken-New Jersey, Spot Image (2005fa): SPOT Technical Information; Canada. Resolutions and spectral modes. (http://www.spotimage.fr/web/en/233Wolf, P.R. dan Ghilani, C.D. (2006): Adjustment resolution-and-spectral-bands.php, Computations; Spatial Data Analysis; 4th 233_1bbabf31105a2cf49217f6ce79596d0cr edition, John Wiley & Sons,Inc., Hobokenes_modes_E.pdf: diakses pada 12 Maret New Jersey, Canada. 2009). Wolniewicz W. dan Chinh Ke L. (2006): Geometric Spot Image (2005gb): SPOT Technical Information; modelling of VHRS Imagery. ISPRS SPOT Satellite Technical Data. International Calibration and Orientation (http://www.spotimage.fr/automne_modules Workshop EuroCOW 2006, 25-27 January _files/standard/public/p229_3a1cd2cb59b76 2006, WG I/3, Castelldefels, Spain. fc75e20286a6abb7efesatSpot_E.pdf: (www.isprs.org/commission1/euroCOW06/ diakses pada 12 Maret 2009) euroCOW06_files/papers/Geometric%20m odels%20-%20wolniewicz.doc: diakses Spot Image (2005hc): SPOT Technical Information, pada 20 Februari 2009) SPOT Satellite Programming a Custom Service.
Prosiding
Page E-14
Forum Ilmiah Tahunan Ikatan Surveyor Indonesia Pekanbaru, 10-11 November 2010 (http://www.spotimage.fr/automne_modules _files/standard/public/p230_97114bc824a9 47c5af8914cdf4b351edprog_E.pdf: diakses pada 27 September 2007) Spot Image (2008): SPOT Technical Information; Preprocessing levels and location accuracy. (http://www.spotimage.fr/automne_modules _files/standard/public/p234_ 0916b39e58c710b3bb5788fdcc025f80nivea u_anglais_2008.pdf: diakses pada 12 Maret 2009) http://www.spotimage.fr/web/en/234-preprocessinglevels-and-location-accuracy.php: diakses pada 21 Juli 2004.
Prosiding
Page E-15
Forum Ilmiah Tahunan Ikatan Surveyor Indonesia Pekanbaru, 10-11 November 2010
PENERAPAN TEKNIK DIFFERENTIAL INTERFEROMETRIC SYNTHETIC APERTURE RADAR (DInSAR) UNTUK KAJIAN PEMANTAUAN DAN PENGUKURAN PENURUNAN MUKA TANAH (Studi Kasus: Lembang Bandung) Prasetyo, Y1 dan Janisa, A2 Departement of Geodetic Engineering, Diponegoro University, Jl. Prof. Dr. Soedharto, SH, Tembalang-Semarang, Indonesia, email:
[email protected] 2Remote Sensing and GIS Lab, Diponegoro University, Jl. Prof. Dr. Soedharto, SH, Tembalang-Semarang, Indonesia 1
Subtle and gradual land subsidence in the Lembang Bandung area is a well-known phenomenon and it potentially involves a high risk of subsidence disaster in the densely populated areas. Based on the conventional geodetic techniques such as leveling, the slow deformations in urban areas are difficult to monitor due to low temporal and spatial sampling frequencies. In this paper, we present a Differential Interferometric Synthetic Aperture Radar (DInSAR) technique to detect and measure land subsidence topographic data based on rigorous Synthetic Aperture Radar (SAR) image simulation and mathematical modeling of SAR imaging geometry. Our method has been successfully applied to two ALOS Palsar data sets in Lembang-Bandung area, which give a relative good result to mitigate and measure land subsidence in that area. It can add information for the issue of natural hazard mitigation in Lembang Bandung area. Keyword: ALOS, Land Subsidence, Palsar, SAR
I.
Latar Belakang
Penelitian mengenai penurunan muka tanah yang telah dilakukan di berbagai wilayah di Indonesia sebelumnya, menunjukkan adanya variasi penerapan metodologi dan teknik penelitian. Di beberapa kota besar di Indonesia seperti Jakarta, Bandung dan Semarang sudah dilakukan penelitian terkait serta adanya dampak dari penurunan muka tanah dari berbagai macam sudut pandang keilmuan. Berdasarkan penelitian penurunan muka tanah di wilayah Jakarta dan Bandung telah dilakukan oleh beberapa peneliti antara lain: Abidin et al (2006), Abidin et al (2007), Hamdani et al (2004), Murhandoko dan Sudarsono (1998), Rajiyowiryono (1999). Untuk studi penurunan muka tanah di wilayah Jakarta (Abidin et al., 2007) diperoleh hasil pengamatan menggunakan tiga metode yaitu survey sipat datar (levelling survey), survey GPS dan teknologi InSAR. Berdasarkan hasil survey sipat Prosiding
datar yang dilakukan pada tahun 1982, 1991 dan 1997 diperoleh besaran penurunan muka tanah sebesar 80 cm selama periode tahun 1982-1991 dan hingga sekitar 160 cm selama periode 1991-1997. Untuk hasil pengamatan berdasarkan survey GPS diperoleh hasil sekitar 50 cm untuk periode 1997-2000. Sedangkan dengan teknik InSAR menggunakan data ERS-1/SAR L-Band diperoleh estimasi penurunan muka tanah sekitar 10 cm pada periode 1993-1995. Hasil pengamatan penurunan muka tanah di wilayah Jakarta menggunakan ketiga metode ini memiliki nilai korelasi yang baik sehingga dapat dihandalkan hasilnya. Sementara itu, penelitian penurunan muka tanah di wilayah Bandung (Abidin et al., 2006) menggunakan metode survei pengamatan satelit GPS yang dilaksanakan pada Februari 2000, November 2001 dan Juli 2002 menyimpulkan bahwa pada periode 2000 - 2002 beberapa lokasi di Cekungan Bandung memang mengalami proses Page F-1
Forum Ilmiah Tahunan Ikatan Surveyor Indonesia Pekanbaru, 10-11 November 2010
penurunan tanah. Dalam periode sekitar dua tahun tersebut terjadi proses penurunan tanah yang mencapai besaran 40 cm hingga 50 cm di beberapa lokasi dengan laju mencapai sekitar 1 - 2 cm per bulannya. II. Metodologi Penelitian Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan dua pasang citra satelit ALOS PALSAR Level 1.0 stereo pada daerah yang sama dan waktu perekaman yang berbeda (orbit 1 dan orbit 2) untuk menghasilkan DEM dengan metode Differential Interferometric (InSAR). Tahapan pelaksanaan penelitian terbagi kedalam beberapa tahap yang terdapat pada diagram alir penelitian (Gambar 1.) sebagai berikut : Peta Rupabumi Skala 1 : 25.000
EGM 96 Geoid Height Data
PalSAR Orbit 1 19 Juli 2008 L.1.0
PalSAR Orbit 2 3 Juni 2008 L.1.0
Proses Konstruksi Citra
PalSAR SLC (Master) 19 Juli 2008 L.1.1
SRTM DEM (hgt format)
Error Correction
PalSAR SLC (Slave) 3 Juni 2008 L.1.1
SRTM DEM Fill Correction
Koregistrasi Menggunakan Image Corelation Tidak 1 > Nilai Koherensi > 0,4 Ya Cek Posisi Orbit Pembentukan Interferogram Fringe Generation
Goldstein Filter Citra Interferogram Terfilter Proses Unwrapping
Ortho Correction
Spot Height
DEM Otho
Uji Akurasi DEM
Hasil dan Pembahasan
Gambar 1. Diagram Metodologi Penelitian III. Tahapan Pengolahan Citra 1.
Membangun Citra SLC (Single Look Complex)
Prosiding
Pada penelitian ini data yang digunakan adalah citra ALOS PALSAR Level 1.0 dual polarisasi HH-HV, namun pada proses InSAR data yang digunakan hanya bagian polarisasi HH saja. Hal ini disebabkan karena polarisasi HH pada citra ALOS PALSAR menunjukkan bentuk polarisasi memotong yang sesuai untuk penelitian tinggi di atas permukaan tanah, selain itu hamburan balik pada polarisasi HH tergolong tinggi untuk daerah pemukiman maupun daerah bervegetasi dibandingkan dengan polarisasi HV. Bila polarisasi HV sampai ke permukaan bumi, sinyalnya masih akan terpengaruh oleh gangguan vegetasi karena polarisasi ini menunjukkan bentuk yang tidak memotong vegetasi dan tidak sesuai untuk penelitian titik tinggi di atas permukaan tanah. Sehingga polarisasi yang cocok dan dipilih untuk pembentukan Model Tinggi Permukaan Dijital (DEM) dalam penelitian ini adalah polarisasi HH saja. Citra satelit ALOS PALSAR Level 1.0 (raw data) adalah citra yang memiliki susunan data signal yang belum dipadatkan yang dilengkapi dengan koefisien kalibrasi radiometrik dan koreksi geometrik. Sehingga sebelum proses interferometri dilakukan, data mentah (raw data) tersebut harus dibangun terlebih dahulu menjadi citra SLC (Single Look Complex) yang sudah terkalibrasi secara radiometrik pada masukan sensornya. Proses pembangunan/pengolahan citra SLC (Single Look Complex) pada penelitian ini dilakukan pada kedua citra dan dilakukan secara bergilir menggunakan software PALSAR Processor Ver.2.6.1 . Berikut ini adalah hasil dari pembentukan citra SLC (Single Look Complex) atau disebut juga citra ALOS PALSAR Level 1.1, sebagai berikut:
Page F-2
Forum Ilmiah Tahunan Ikatan Surveyor Indonesia Pekanbaru, 10-11 November 2010
yang di amati, dan dapat dihitung, * C1 .C2 a1 .a2 .e j (1 2) dimana : (*) adalah kompleks konjugasi
Gambar 2. Citra SLC (Single Look Complex) ALOS PALSAR Pol - HH Akuisi 3 Juni 2008
3. Koherensi Interferometri didefinisikan sebagai penggabungan dari fungsi gelombang dari suatu sumber yang koheren. Selain fase, koherensi (korelasi) antara kedua citra juga harus diperhitungkan. Nilai koherensi antara citra C1 dan C2 menunjukkan seberapa jauh kecocokkan kedua citra tersebut, nilai ini dapat dinyatakan pada persamaan (Usai, 2001 dalam Ismullah, 2004) : C1 .C 2 * ^ 2 2 C1 . C 2 dimana : γˆ = nilai koherensi interferometri * = kompleks konjugasi
Gambar 3. Citra SLC (Single Look Complex) ALOS PALSAR Pol - HH Akuisi 19 Juli 2008 2.
Koregistrasi Citra Tahap yang sangat penting dalam pembentukan interferogram adalah koregistrasi citra, yaitu mencocokkan dua citra SAR. Tahap ini memerlukan waktu cukup banyak dan sangat berpengaruh terhadap interferogram yang terbentuk. Pada koregistrasi citra SLC, lokasi dari setiap piksel di citra kedua (slave) diubah/dicocokkan terhadap citra utama (master). Jika citra C1 dan citra C2 mencakup area yang sama, maka kedua citra tersebut dapat diolah/dikombinasikan sedemikian sehingga setiap piksel di kedua citra cocok dengan bagian yang sama dari area Prosiding
Jika γˆ adalah 1, maka dapat disimpulkan bahwa citra C1 dan C2 sudah benar-benar identik, akan tetapi pada umumnya γˆ berada antara 0 sampai dengan 1. Nilai minimum koherensi untuk pembentukan DEM (Digital Elevation Model) yang diberikan oleh ESA (European Space Agency) adalah 0,40 namun tetap tidak mungkin bernilai 1. Proses koregistrasi untuk mendapatkan nilai koherensi (korelasi) pada kedua citra SLC master dan citra SLC slave dengan menggunakan software PALSAR Fringe V3.5.4 dapat dilihat pada Gambar 4, sebagai berikut:
Page F-3
Forum Ilmiah Tahunan Ikatan Surveyor Indonesia Pekanbaru, 10-11 November 2010 Citra Master
Citra Slave
Posisi Point
Tie
Top Left Correlate
Top Right Correlate
(c) Persebaran Tie Point Citra SLC Slave
Bottom Right Correlate
Bottom Left Correlate
(a) Posisi Tie Point
(b) Persebaran Tie Point Citra SLC Master
Gambar 4. Proses Koregistrasi untuk Mendapatkan Nilai Koherensi dan Korelasi Citra SLC Pada pasangan citra ALOS PALSAR Level 1.0 dengan masingmasing waktu perekaman 3 Juni 2008 dan 19 Juli 2008, nilai koherensi untuk seluruh area dalam satu cakupan (scene) adalah sebesar 0,651162 dengan luas area sekitar 5152 x 35193 piksel. Nilai minimum koherensi untuk pembentukan DEM (Digital Elevation Model) yang diberikan oleh ESA (European Space Agency) adalah 0,4 untuk wahana satelit, dengan demikian nilai koherensi untuk daerah penelitian memenuhi kriteria yang diharuskan. 4. Cek Posisi Orbit Pada tahapan ini dilakukan proses pengecekan posisi orbit antara citra master dan citra slave. Dalam proses pengecekan posisi orbit, software
Prosiding
Page F-4
Forum Ilmiah Tahunan Ikatan Surveyor Indonesia Pekanbaru, 10-11 November 2010
PALSAR Fringe V3.5.4 secara otomatis akan memprogramkan hitungan jarak Baseline Prependicular dan Baseline Parameter antara kedua orbit. Selain itu juga akan diketahui berapa Incidence Angle-nya. Proses ini dapat dilihat pada Gambar 5. sebagai berikut,
Keterangan : _____ : Jarak satelit orbit 1 (master) dan satelit orbit 2 (slave) atau disebut juga Baseline parameter (Bpara) _____ : Posisi koordinat center scene _____ : Tinggi satelit ke permukaan bumi Gambar 5. Proses Perhitungan Cek Posisi Orbit Pada perhitungan cek posisi orbit diatas teridentifikasi bahwa Incidence Angle yang terjadi sebesar 34,30, Baseline prependicular (Bperp) sebesar 630,9365 m dan Baseline Parameter (Bpara) sebesar 655,7810 m. Hitungan jarak antara satelit master dan slave tegak lurus (Bperp) yang dihasilkan pada kedua citra tersebut sudah memenuhi kriteria dalam pemodelan InSAR, karena syarat dalam pemodelan InSAR jarak baseline antara kedua citra tidak boleh lebih dari 1 Km. Hasil tersebut juga menunjukkan posisi orbit citra slave berada di sebelah kanan citra master, ini menunjukkan kesesuaian yang benar dalam penentuan citra yang dijadikan master (acuan) dan Prosiding
mana yang dijadikan citra slave. 5. Koreksi DEM DEM SRTM kadang-kadang memiliki kesalahan pixel dimana harga kesalahan pixel DEM tersebut bernilai nol. Kerusakan titik pada tiap pixel ditandai dengan adanya bercak berwarna biru dan biasanya sering ditemukan pada dataran tinggi. Untuk koreksi foreshortening dalam proses ortho correction tahap selanjutnya, kerusakan titik (speckle) pada data SRTM harus dikoreksi terlebih dahulu. Pada software PALSAR Fringe V3.5.4, proses interpolasi menggunakan pixel valid secara keseluruhan digunakan untuk menghilangkan blank area/speckle pada data SRTM tersebut. Proses koreksi DEM SRTM dapat dilihat pada Gambar 6. berikut,
(a) DEM SRTM sebelum dikoreksi
(b) DEM SRTM setelah terkoreksi Gambar 6. Proses Koreksi DEM SRTM
6.
Pembentukan Interferogram Setelah didapatkan nilai korelasi antara kedua citra, maka tahap Page F-5
Forum Ilmiah Tahunan Ikatan Surveyor Indonesia Pekanbaru, 10-11 November 2010
selanjutnya adalah pembentukan interferogram atau disebut juga citra Fringe. Interferogram merupakan citra beda fase antara citra master dan slave, dimana informasi ini berhubungan langsung dengan bentuk topografi. Informasi ini terbatas antara 0 dan 2π, fase ini disebut fase relatif dalam bentuk dua dimensi. Beda fase yang dihasilkan pada setiap 2π tersebut disebut fase relative.
(a) Citra Fringe
7. Pembentukan Citra Interferogram/Fringe Setelah didapatkan nilai korelasi antara kedua citra, maka tahap selanjutnya adalah pembentukan interferogram atau disebut juga citra Fringe. Interferogram merupakan citra beda fase antara citra master dan slave, dimana informasi ini berhubungan langsung dengan bentuk topografi. Informasi ini terbatas antara 0 dan 2π, fase ini disebut fase relatif dalam bentuk dua dimensi. Beda fase yang dihasilkan pada setiap 2π tersebut disebut fase relatifHasil dari pengolahan interferogram pada penelitian ini adalah citra interferogram atau bisa juga disebut sebagai citra fringe. (b) Perbandingan Citra Fringe terhadap Citra SLC pada Daerah Pegunungan
Proses pengolahan interferogram dari dua pasang citra ALOS PALSAR Level 1.0 dengan software PALSAR Fringe V3.5.4 ditunjukkan pada Gambar 7., sebagai berikut:
Prosiding
Page F-6
Forum Ilmiah Tahunan Ikatan Surveyor Indonesia Pekanbaru, 10-11 November 2010
S{} Parameter filter
(c) Perbandingan Citra Fringe terhadap Citra SLC pada Daerah Datar Gambar 7. Proses Pembentukan Interferogram (Fringe Generation)
Goldstein Filter Goldstein filter yang dilakukan pada penelitian ini bertujuan untuk menghilangkan noise yang biasanya disebabkan oleh uap air di atmosfer dan efek dekorelasi. Pada penelitian ini dilakukan filterisasi dengan metode Goldstein, dimana konsep dari metode ini berdasarkan perkalian spektrum Fourier dari sebuah patch untuk merapikan kekuatan eksponen dari eksponen pembobotan α, sehingga dampak perubahan struktur interferogram akibat filterisasi dapat berkurang dengan digunakannya metode ini. Respon filter dari metode Goldstein dapat dilihat pada persamaan berikut, H (u,v) = S {|Z(u,v)|α . Z(u,v) dimana : H(u,v) : respon filter (spektrum dari interferogram yang difilter) S{} : operator smoothing u dan v : frekuensi spasial, dan α : parameter pembobotan filter
(3x3) α = 0,9
Pada penelitian ini proses filterisasi dilakukan dengan menggunakan software PALSAR Fringe V3.5.4. Namun nilai pembobotan filter yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebesar α = 0,7, dan dilakukan sebanyak dua kali secara berulang. Proses filterisasi interferogram dengan metode Goldstein tersebut dapat dilihat pada Gambar 9., sebagai berikut:
8.
Gambar 8. Proses Filterisasi dengan Metode Goldstein 9. Komposit Warna Pada tahap ini dilakukan proses pembuatan komposit warna interferogram yang menunjukkan fase yang berulang tiap 2π pada setiap pengulangan warnanya. Proses komposit warna ini dapat dilihat pada Gambar 10., sebagai berikut
Tabel 2. Parameter Filter Goldstein Patch Size 32 x 32 Overlap 14 Smoothing Operator mean kernel Prosiding
Page F-7
Forum Ilmiah Tahunan Ikatan Surveyor Indonesia Pekanbaru, 10-11 November 2010
(b) Perbandingan
(a) Komposit Warna Interferogram
Ketiga Hasil Interferogram Terhadap Citra SLC Gambar 9. Proses Pembuatan Komposit Warna Dari Gambar 9 diatas, ditunjukkan adanya 6 variasi komposit warna yang terdiri dari warna biru tua, biru muda, hijau, kuning, merah, dan merah muda. Ke-6 warna tersebut menunjukkan adanya variasi ketinggian yang berulang tiap 2π. Antara warna yang pertama dengan warna yang sama berikutnya (misalnya dari awal biru tua ke awal biru tua berikutnya) perbedaan yang terjadi adalah sebesar 2π. Warna biru menunjukkan indeks ketinggian yang paling rendah, sedangkan warna merah menunjukkan nilai yang paling tinggi. IV. Analisis Hasil Pada tahap analisis akurasi keseluruhan digunakan titik sampel beda tinggi sejumlah 124 titik terhadap acuan titik referensi no.73, dengan tinggi minimum (Hmin) pada spot height DEM Referensi sebesar 597,550 meter dan tinggi minimum (Hmin) pada DEM ALOS PALSAR sebesar 588,415 meter. Selisih tinggi yang didapatkan pada titik referensi no.73 tersebut adalah sebesar 9,135 meter. Sedangkan statistik hasil analisis beda tinggi DEM InSAR dengan DEM Referensi secara ringkas dapat dilihat pada Tabel 3. berikut, Tabel 3 Statistik Analisis Beda Tinggi (Δh) Titik Uji (meter) Jumlah beda tinggi (Δh) Jumlah titik uji Rata-rata perbedaan Nilai selisih Δh tertinggi Nilai selisih Δh terendah
Prosiding
1341,248 m 125 10,817 m 29,176 m -28,745 m
Page F-8
Forum Ilmiah Tahunan Ikatan Surveyor Indonesia Pekanbaru, 10-11 November 2010
1500 1000 500 0 -500
1 13 25 37 49 61 73 85 97 109 121
BEDA TINGGI (m)
Berdasarkan Tabel 5.1. diatas, didapatkan rata-rata selisih tinggi antara kedua DEM pada 124 titik uji sebesar 10,817 meter, dengan range beda tinggi titik uji kedua DEM terletak antara 28,745 meter sampai dengan 29,176 meter. Analisis selisih beda tinggi yang dilakukan pada 124 titik uji DEM InSAR dan DEM Referensi menghasilkan 72 selisih beda tinggi titik uji DEM InSAR lebih tinggi daripada DEM Referensi dengan rerata selisih beda tinggi sebesar 11,148 meter, sedangkan 52 titik yang lebih rendah mempunyai rerata selisih beda tinggi sebesar 10,012 meter. Pada Gambar 10 berikut ini adalah hasil grafik pertampalan beda tinggi topografi antara DEM Referensi dengan DEM ALOS PALSAR, sebagai berikut:
TITIK UJI
Gambar 10. Grafik Beda Tinggi (Δh) DEM ALOS PALSAR terhadap DEM Referensi Keterangan Grafik : dH-Referensi : Beda tinggi (Δh) titik uji DEM Referensi terhadap titik referensi No.73 berdasarkan urutan titik uji sebenarnya dH-ALOS PALSAR : Beda tinggi (Δh) titik uji DEM ALOS PALSAR terhadap titik referensi No.73 berdasarkan urutan titik uji sebenarnya V. Kesimpulan 1. Pengolahan citra satelit ALOS PALSAR dengan metode InSAR menghasilkan data Model Tinggi Permukaan Dijital (DEM) yang Prosiding
cenderung memiliki kesamaan trend topografi dengan DEM spotheight Peta Rupabumi skala 1 : 25.000. 2. Akurasi tinggi keseluruhan yang didapatkan pada penelitian ini adalah sebesar 13,153 meter, dengan nilai ketelitian RMSE yang diperoleh pada daerah dataran/peralihan (11,128 meter) dan pada daerah perbukitan/pegunungan (17,123 meter). Sedangkan nilai RMSE daerah klasifikasi pada lahan terbuka (6,555 meter), vegetasi jarang (9,385 meter), vegetasi rapat (17,494 meter), perairan (7,517 meter), dan pemukiman (17,580 meter). Dari perbedaan hasil RMSE tersebut, penyimpangan RMSE tertinggi terjadi pada daerah pemukiman (17,580 meter) dan vegetasi rapat (17,494 meter). Sedangkan nilai RMSE pada daerah perairan (7,517 meter) tidak sebaik lahan terbuka (6,555 meter) walaupun hasil RMSEnya hampir sama. 3. Berdasarkan hasil akurasi dan uji regresi linier sederhana yang telah dicapai dalam penelitian ini menunjukkan bahwa penggunaan metode InSAR dapat dimanfaatkan sebagai salah satu alternatif untuk pengadaan informasi spasial rupa bumi, khususnya untuk daerah yang mempunyai kendala awan.
VI. Daftar Pustaka Abidin H.Z., R. Djaja, D. Darmawan, S. Hadi, A. Akbar, Y. Sudibyo, I. Meilano, M.A. Kasuma, J. Kahar, and C. Subarya, 2001. Land Subsidence of Jakarta (Indonesia) and Its Geodetic Monitoring System. Springer-Verlag: New York Abidin H.Z., H. Andreas, M. Gamal, R. Djaja, C. Subarya, K. Hirose, D. Murhardono, and H. Rajiyowiryono, 2004. Monitoring Land Subsidence of Jakarta (Indonesia) Using Levelling, GPS Survey and InSAR Technique. Springer-Verlag: New York Page F-9
Forum Ilmiah Tahunan Ikatan Surveyor Indonesia Pekanbaru, 10-11 November 2010 Abidin H.Z., H. Andreas, M. Gamal, and D. Darmawan, 2006. Land Subsidence Characteristic Of Bandung Basin (Indonesia) Between 2000 and 2005 as Estimated from GPS Survey. XXIII FIG Congress: Munich Ismullah, 2002. Model Tinggi Permukaan Dijital Hasil Pengolahan Radar Interferometri Satelit Untuk Wilayah Berawan (Studi Kasus Gunung Cikurai-Jawa Barat). Disertasi. Institut Teknologi Bandung: Bandung Lillesand dan Kiefer, 2004. Remote Sensing and Image Interpretation. John Wiley & Sons Inc: New York Ma’ruf, 2001. Analisis Deformasi Gunungapi Merapi dengan Metode Geodetik-GPS, Tesis Magister, Program Studi Geodesi Program Pasca Sarjana Institut Teknologi Bandung, Bandung Marfai, 2003. GIS Modelling of River and Tidal Flood Hazards In A Waterfront City (Case Study: Semarang City, Central Java, Indonesia). ITC: The Netherlands Marfai and King., 2007. Coastal flood management in Semarang, Indonesia. Springer-Verlag: New York Narulita I., A. Rachmat, and R. Maria. 2008. Aplikasi Sistem Informasi Geografi Untuk Menentukan Daerah Prioritas Rehabilitasi di Cekungan Bandung. Jurnal Riset Geologi dan Pertambangan: Bandung Sumantyo J.T.S., M. Shimada, P.P. Mathieu, and H.Z. Abidin. 2009. Long Term Continuously DInSAR for Volume Change Estimation of Land Deformation. Transactions on Geoscience and Remote Sensing: New York Supriadi, 2008. Pemisahan Antara Anomali Gaya Berat Akibat Amblesan Dengan Penurunan Muka Air Tanah Pada Data gaya Berat Mikro Antar Waktu Menggunakan MBF (Model Based Filter) Dan Analisanya, Studi Kasus Dataran Aluvial Semarang. Disertasi. ITB: Bandung Sutanta, 2002. Spatial Modelling of The Impact of Land Subsidence and Sea Level Rise in A Coastal Urban Setting (Case Study: Semarang, Jawa Tengah, Indonesia). Thesis. ITC-Enschede: The Netherlands Worawattanamateekul J., J. Hoffman, N. Adam, B. Kampes., 2003. Urban
Prosiding
Deformation Monitoring In Bangkok Metropolitan (Thailand) Using Permanent Scatterer and Differential Interferometry Techniques. ESA ESRIN: Netherland
Page F-10
Forum Ilmiah Tahunan Ikatan Surveyor Indonesia Pekanbaru, 10-11 November 2010
PENGATURAN PEMANFAATAN RUANG DI ATAS TANAH DALAM PENERAPAN KADASTER 3 DIMENSI
Hendriatiningsih, Bambang Edhi Leksono, Wisang Wisudanar Program Magister Administrasi Pertanahan, Fakultas Ilmu dan Teknologi kebumian Institut Teknologi Bandung Jl. Ganesha 10, Bandung. telp.022-2530701, fax.0222530702
[email protected];
[email protected]
ABSTRAK Meningkatnya kegiatan pembangunan fisik di wilayah perkotaan, mengakibatkan perubahan arah pembangunan menjadi berorientasi vertikal, yaitu memanfaatkan ruang di bawah atau di atas permukaan tanah. UU No. 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun merupakan aturan yang mengatur pendaftaran tanah berbasis ruang. Tapi aturan ini hanya mengatur penggunaan ruang secara vertikal yang berpijak pada hak atas tanah di bawahnya yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dengan bangunan tersebut. Oleh karena itu diperlukan suatu aturan mengenai pemanfaatan ruang di atas tanah yang tidak terkait dengan status hak tanah di bawahnya dan pada dasarnya merupakan penguasaan ruang yang berdimensi volume, sehingga perlu penerapan konsep kadaster 3D dalam pengaturannya. Pada penelitian ini, obyek yang dijadikan sebagai studi kasus adalah gedung Pasar Beringharjo yang melintas di atas Jalan Pabringan. Data yang dikumpulkan terdiri atas data fisik dan data yuridis. Kadaster 3D diterapkan dengan menggunakan metode Full 3D Cadastre alternatif combine 2D/3D sebagai metode yang dianggap paling tepat dalam pengaturan pemanfaatan ruang di atas tanah. Metode tersebut juga dijadikan sebagai acuan dalam perancangan bentuk hak dan data spasial pemanfaatan ruang di atas tanah. Bentuk hak merupakan hasil pengolahan data yuridis dan bentuk data spasial merupakan hasil pengolahan data fisik. Perancangan bentuk tersebut menghasilkan suatu lembaga hak baru yaitu Hak Guna Ruang di atas Tanah (HGRAT) dan bentuk data spasial berupa persil volumetrik yang dituangkan pada peta pendaftaran 2,5D dan dokumen surat ukur. Kata Kunci : kadaster 3D, pemanfaatan ruang di atas tanah
Prosiding
Page G-1
Forum Ilmiah Tahunan Ikatan Surveyor Indonesia Pekanbaru, 10-11 November 2010
PENGANTAR Latar Belakang Di Indonesia, konsep kadaster 3 dimensi sudah ada sejak lama, misalnya dengan dikeluarkannya UndangUndang Nomor 16 Tahun 1985 Tentang Rumah Susun (UURS) yang dapat dikatakan sebagai aturan pionir dalam pengelolaan kadaster 3 dimensi di Indonesia. UURS tidak hanya mengatur hak secara horizontal, UU ini juga mengatur hak secara vertikal dengan adanya pemilikan atas satuan rumah susun yang terpisah dengan hak atas tanah bersama. Walaupun UURS telah mengatur pemilikan dan pemanfaatan ruang secara vertikal tapi UURS belum mengatur penggunaan ruang yang secara orthogonal tidak berpijak pada permukaan tanah di bawahnya. Hal ini perlu menjadi perhatian karena dengan perkembangan teknologi rekayasa, masalah keterbatasan tanah di daerah perkotaan diatasi dengan menggunakan ruang di atas permukaan tanah (Kurniawan, 2005).
Gambar 1 Pemanfaatan Ruang di Atas Tanah Oleh karena itu perlu adanya pengaturan mengenai penggunaan ruang di atas permukaan tanah tersebut dalam rangka penyempurnaan sistem kadaster di Indonesia dan untuk menjamin kepastian hukum penggunaan dan pemanfaatan ruang. Dalam pengaturannya, perlu juga melibatkan aspek spasial 3 dimensi karena pemanfaatan ruang yang berorientasi vertikal dan berbasis volume serta perlu keterkaitan posisi ruang tersebut terhadap permukaan bumi di bawahnya. Rumusan Masalah 1. 2.
Bagaimana bentuk hak yang dapat diberikan atas penggunaan ruang di atas tanah? Bagaimana bentuk data spasial dalam rangka pendaftaran haknya?
Hipotesis 1. 2.
Penggunaan ruang di atas tanah dapat diberikan hak guna ruang di atas tanah. Bentuk persil 3 dimensi dapat digunakan untuk pelaksanaan pendaftaran hak guna ruang di atas tanah.
Tujuan dan Manfaat Penelitian 1.
Tujuan penelitian ini adalah bentuk hak penggunaan ruang di atas tanah dan bentuk data spasial dalam rangka pendaftaran hak guna ruang di atas tanah
Prosiding
Page G-2
Forum Ilmiah Tahunan Ikatan Surveyor Indonesia Pekanbaru, 10-11 November 2010
2.
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat dalam penyempurnaan kebijakan pertanahan di Indonesia khususnya dalam penggunaan ruang.
METODOLOGI Persiapan Penelitian 1. Melakukan studi berbagai literatur yang berkaitan dengan konsep kadaster yang berlaku pada saat ini dan konsep kadaster 3D yang telah dikemukakan dalam beberapa penelitian sebelumnya. 2. Memilih obyek penelitian. Obyek dalam penelitian ini adalah gedung yang terletak di atas Jalan Pabringan yang masih merupakan satu kesatuan dengan gedung Pasar Beringharjo.
Gambar 2 Gedung Pasar Beringharjo 3.
Penyiapan alat yang diperlukan dalam pelaksanaan penelitian. Alat yang digunakan dalam penelitian adalah seperangkat komputer beserta perangkat keras pendukung lainnya, dan beberapa perangkat lunak yang digunakan untuk pengolahan grafis, image, tabel, diagram, penulisan laporan, serta penyajian hasil penelitian.
Pengumpulan Data Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah data yang diperlukan untuk perancangan bentuk hak dan bentuk data spasial pemanfaatan ruang atas tanah. Data tersebut meliputi data fisik dan data yuridis yang berkaitan dengan pemanfaatan ruang di atas tanah. 1. Data Fisik, meliputi : a. Gambar Konstruksi Bangunan Pasar Beringharjo dari Dinas Pengelolaan Pasar Kota Yogyakarta. b. Peta Pendaftaran Tanah digital yang memuat lokasi Pasar Beringharjo dari Kantor Pertanahan Kota Yogyakarta. 2. Data Yuridis, meliputi : a. Peraturan-peraturan baik peraturan pusat maupun daerah yang dapat diakomodasi dalam perancangan bentuk hak guna ruang di atas tanah. b. Data yang berkaitan dengan penguasaan tanah dan bangunan Pasar Beringharjo dari Dinas Perizinan Kota Yogyakarta dan Dinas Pengelolaan Pasar Kota Yogyakarta.
Prosiding
Page G-3
Forum Ilmiah Tahunan Ikatan Surveyor Indonesia Pekanbaru, 10-11 November 2010
Pengolahan Data Berdasarkan data yang telah dikumpulkan, dilakukan pemilihan metode kadaster 3D yang tepat untuk pengaturan pemanfaatan ruang di atas tanah di Indonesia. Metode kadaster 3D yang terpilih kemudian dijadikan sebagai acuan dalam perancangan bentuk hak dan bentuk data spasial pemanfaatan ruang di atas tanah. Untuk membentuk Hak Penguasaan Ruang di Atas Tanah, digunakan Peraturan-peraturan yang ada mengenai Hak Atas Tanah dan peraturan-peraturan lain yang berkaitan dengan penggunaan ruang di atas tanah yang kemudian dimodifikasi sesuai dengan objek haknya. Pembentukan data spasial pemanfaatan ruang di atas tanah dilakukan dengan menggambar bangunan Pasar Beringharjo dalam bentuk 3 dimensi, kemudian menggabungkannya dengan Peta Pendaftaran sehingga dihasilkan peta dalam bentuk 2,5D. Hal ini juga dilakukan untuk menyamakan sistem koordinat bangunan dengan peta pendaftaran yaitu dalam sistem koordinat TM-3o. Untuk ketinggian (posisi terhadap sumbu z) menggunakan koordinat lokal dengan titik nol (z=0) yang mengacu pada lantai dasar bangunan yang relatif memiliki ketinggian sama dengan permukaan tanah. Tahapan pelaksanaan penelitian di atas dapat digambarkan dalam diagram alir sebagai berikut : Studi Literatur Prsiapn n
Alat Obyek Penelitian
Pngmpuln Data
Dt. Fisik
Dt.Yuridis
Pmilihn Metode Kadaster 3D Metode Kadaster 3D dalam pemanfaatan ruang di atas tanah
Prancngan Bntuk Dt Spasial
Perancangan Bentuk Hak
Bentuk Data
Bentuk Hak
Spasial Analisis Bentuk Data Spasial
Analisis Bentuk Hak
Kesimpulan
Gambar 3 Diagram Tahapan Pelaksanaan Penelitian
Prosiding
Page G-4
Forum Ilmiah Tahunan Ikatan Surveyor Indonesia Pekanbaru, 10-11 November 2010
HASIL DAN PEMBAHASAN Pemilihan Metode Kadaster 3D dalam Pengaturan Pemanfaatan Ruang di Atas Tanah di Indonesia Metode kadaster 3D merupakan hal yang sangat fundamental dalam penerapan kadaster 3D untuk pengaturan pemanfaatan ruang yang semakin kompleks. Dari beberapa metode kadaster 3D yang dikemukakan oleh stoter, metode Full 3D Cadastre dengan alternatif combine 2D/3D merupakan metode yang paling tepat untuk diterapkan pada pengaturan pemanfaatan ruang di atas tanah. Metode ini digunakan dengan pertimbangan sebagai berikut: 1. Hak atas tanah yang ada tetap dianggap sebagai persil yang tidak terbatas atau tidak memiliki batasbatas yang tegas. Persil ini dibatasi hanya dengan dimensi area (luas) dan digambarkan dalam bentuk 2 dimensi. 2. Hak guna ruang di atas tanah dianggap sebagai persil yang memiliki volume (persil volumetrik). Persil ini dibatasi dengan dimensi volume dan digambarkan dalam bentuk 3 dimensi. Berdasarkan hukum tanah nasional, hak atas tanah selalu mencakup permukaan tanah, ruang di atas dan di bawahnya. Pemanfaatan ruang di atas tanah seperti kasus gedung Pasar Beringharjo secara fisik terpisah dengan permukaan tanah di bawahnya. Oleh karena itu, hak terhadap ruang tersebut tidak dapat dikategorikan sebagai hak atas tanah karena hanya menguasai ruang secara parsial yaitu hanya ruang di atas tanah dan tidak mempunyai kewenangan atas permukaan tanah dan ruang di bawah permukaan tanah. Oleh karena itu, metode Full 3D Cadastre dengan alternatif combine 2D/3D dianggap merupakan metode yang tepat karena tetap menggambarkan hak atas tanah sebagai entitas yang tidak “terbatas” dan juga hak terhadap ruang di atas tanah sebagai entitas yang terbatas. Perancangan Bentuk Hak Penguasaan Ruang di Atas Tanah Di Indonesia, hak atas tanah memberikan kewenangan untuk menggunakan ruang di bawah dan di atasnya. Sementara untuk penggunaan ruang di atas tanah belum terakomodasi dalam pengertian hak atas tanah tersebut karena penggunaan ruang di atas tanah secara langsung tidak melekat dan tidak berhubungan dengan tanah di bawahnya. Oleh karena itu, perlu untuk membentuk suatu lembaga hak baru yang mengatur pemanfaatan ruang di atas tanah. Dalam penelitian ini, istilah Hak Guna Ruang di Atas Tanah (HGRAT) digunakan untuk mendeskripsikan hak untuk menguasai dan memanfaatkan ruang di atas tanah. Istilah tersebut digunakan dengan beberapa pertimbangan sebagai berikut : 1. Hak tersebut memberikan kewenangan untuk menggunakan hanya ruang di atas tanah. 2. Istilah “ruang di atas tanah” lebih dipilih dibanding “ruang angkasa” atau “ruang udara” dengan alasan mempermudah untuk menghubungkan dan membedakan dengan hak atas tanah yang sudah ada terlebih dahulu. Selain itu, istilah ruang angkasa dan ruang udara sering dikaitkan dengan kegiatan penerbangan atau lalu lintas udara dan penempatan satelit, serta lebih banyak bersentuhan dengan hukum internasional atau hukum antarnegara (Supriadi, 2007). Pemakaian kata “di” sebelum kata “atas” digunakan untuk menunjukkan tempat yang boleh dimanfaatkan sesuai dengan pemberian haknya. Berbeda dengan Istilah Hak Atas Tanah tanpa kata “di” sebelum kata “atas”, sehingga kata “atas” lebih merujuk pada pengertian “terhadap”. Jadi, penambahan kata “di” lebih memperjelas bahwa hak yang diberikan hanya meliputi ruang di atas tanah dan tidak meliputi tanah di bawahnya. Sama dengan Hak Atas Tanah, selain memberikan kewenangan atas ruang di atas tanah, HGRAT juga berisi kewajiban dan pembatasan yang harus dipenuhi oleh pemegang hak yang bersangkutan. Secara Prosiding
Page G-5
Forum Ilmiah Tahunan Ikatan Surveyor Indonesia Pekanbaru, 10-11 November 2010
umum kewenangan pemegang HGRAT adalah berhak menguasai dan mempergunakan ruang yang diberikan dengan HGRAT selama waktu tertentu untuk mendirikan dan mempunyai bangunan untuk keperluan pribadi atau usahanya serta untuk mengalihkan hak tersebut kepada pihak lain dan membebaninya. Pembatasan HGRAT dilakukan dari segi batasan geometri dan jangka waktu penguasaan ruang tersebut. Mengingat obyek HGRAT adalah ruang, maka batasan geometri yang paling tepat adalah berdimensi volume (3 dimensi) yang tidak hanya membatasi secara luas saja, tapi juga tinggi. Hal ini berbeda dengan pengaturan Hak Atas Tanah, yang dapat menggunakan ruang di atas dan di bawahnya tanpa pembatasan (tinggi) yang jelas. Pemanfaatan ruang di atas tanah pada umumnya adalah untuk mendirikan bangunan. Umur bangunan permanen adalah lebih dari 15 tahun dan untuk bangunan yang dianggap memiliki ketahanan terhadap gempa adalah yang berumur kurang dari 50 tahun (Sukada, 2009). Mempertimbangkan hal tersebut, maka HGRAT dapat diberikan jangka waktu selama maksimal 25 tahun dan dapat diperpanjang selama maksimal 20 tahun. Pembatasan waktu ini dilakukan dengan tujuan untuk melindungi lingkungan di sekitar ruang tersebut akibat kerapuhan struktur bangunan. Kewajiban pemegang HGRAT adalah membayar uang pemasukan dalam rangka pemberian haknya, menggunakan ruang sesuai dengan peruntukannya dan persyaratan sebagaimana ditetapkan dalam keputusan dan perjanjian pemberiannya, memelihara bangunan serta menjaga kelestarian lingkungan. Perancangan Bentuk Data Spasial Penguasaan Ruang di Atas Tanah Data spasial penguasaan ruang di atas tanah merupakan suatu bentuk yang dapat menggambarkan keseluruhan dimensi geometrik 3D dari ruang tersebut sehingga dapat menunjukkan secara jelas batasan ruang secara 3 dimensi, volume ruang dalam rangka pendaftaran haknya, dan batas-batas penguasaan terkait dengan lingkungan sekitar atau hak-hak lain yang berbatasan dengan HGRAT tersebut. Bahan yang digunakan untuk pembentukan data spasial 3D adalah gambar konstruksi bangunan Pasar Beringharjo dan Peta Pendaftaran Tanah yang memuat wilayah Pasar Beringharjo. Gambar konstruksi tersebut digambarkan kembali menggunakan ukuran sebenarnya untuk memperoleh data digital, sehingga terbentuk gambar konstruksi bangunan pasar beringharjo dalam format 3 dimensi. Pada penelitian ini, pembentukan data spasial 3D bertujuan untuk mendapatkan batasan geometri dalam pemanfaatan ruang di atas tanah dan visualisasi hubungan pemanfaatan ruang terhadap lingkungan di sekitarnya.
Prosiding
Page G-6
Forum Ilmiah Tahunan Ikatan Surveyor Indonesia Pekanbaru, 10-11 November 2010
Gambar 4 Bentuk 3 dimensi bangunan Pasar Beringharjo Sesuai dengan metode yang digunakan dalam penerapan kadaster 3D untuk pengaturan pemanfaatan ruang di atas tanah, maka bentuk 3 dimensi bangunan Pasar Beringharjo diintegrasikan ke dalam Peta Pendaftaran 2D sehingga membentuk peta 2,5D. Hal ini juga dilakukan untuk menyamakan sistem koordinat bangunan dengan peta pendaftaran yaitu dalam sistem koordinat TM-3o. Untuk ketinggian (posisi terhadap sumbu z) menggunakan koordinat lokal dengan titik nol (z=0) yang mengacu pada lantai dasar bangunan yang relatif memiliki ketinggian sama dengan permukaan tanah.
Gambar 5 Gabungan bentuk 3 dimensi bangunan Pasar Beringharjo dengan Peta Pendaftaran Analisis Bentuk Hak dan Bentuk Data Spasial Pemanfaatan Ruang di Atas Tanah di Indonesia Seperti telah diungkapkan sebelumnya, bahwa metode Full 3D Cadastre dengan alternatif combine 2D/3D diterapkan dalam pengaturan HGRAT. Oleh karena itu, situasi 2D akan dikombinasikan dengan situasi 3D untuk menjadi solusi dalam penerapan kadaster 3D pada kasus Pasar Beringharjo. Pada kasus Pasar Beringharjo, gedung akan dibagi menjadi empat bagian hak yang terpisah. Hal ini disebabkan oleh terdapat beberapa bagian gedung yang masih dapat diakomodasi dan seharusnya terdaftar dengan hak atas tanah. Bagian gedung yang teregister menggunakan hak atas tanah adalah bagian utara (bangunan induk) dan dua bagian sebelah selatan (ujung-ujung tangga). Bagian-bagian tersebut masih melekat di permukaan tanah sehingga jelas memprivatisasi tanah tersebut dan kepentingan publik tidak dapat lagi dilaksanakan pada area tersebut.
Prosiding
Page G-7
Forum Ilmiah Tahunan Ikatan Surveyor Indonesia Pekanbaru, 10-11 November 2010
HGRAT diterapkan pada bangunan yang melintas di atas Jalan Pabringan sampai pada beberapa bagian tangga yang tidak melekat pada permukaan tanah. Untuk membentuk persil volumetrik, ditarik garis yang menghubungkan titik-titik terluar dari bangunan sehingga membentuk bidang 3 dimensi yang lebih sederhana.
Gambar 6 Pembentukan persil volumetrik Dengan adanya pemisahan bangunan menjadi beberapa jenis hak, maka gambar III.6 menjadi seperti gambar berikut :
Keterangan : z=0
Gambar 7 Peta Pendaftaran 2,5D
Pada gambar 7 terlihat bahwa dalam rangka pendaftaran haknya, pasar Beringharjo dipisahkan menjadi empat persil. Tiga persil dengan nomor persil 00032, 00034 dan 00035 diberikan Hak Atas Tanah dalam hal ini adalah Hak Pakai karena sesuai dengan penggunaannya yaitu untuk kepentingan instansi pemerintah. Sedangkan persil dengan nomor persil 00033 diberikan HGRAT karena hanya memanfaatkan ruang di atas tanah dan ruang di bawahnya masih menjadi ruang untuk kepentingan publik. Pada metode Full 3D cadastre combine 2D/3D alternative, suatu properti atau obyek dapat digambarkan dalam 4 (empat) bentuk : a. Persil, menunjuk pada persil yang tidak terbatas atau persil yang volumenya tidak ditentukan. b. Persil Volumetrik. c. Area yang terbatas (digambarkan dalam bentuk 2 dimensi). d. Volume yang terbatas (digambarkan dalam bentuk 3 dimensi).
Prosiding
Page G-8
Forum Ilmiah Tahunan Ikatan Surveyor Indonesia Pekanbaru, 10-11 November 2010
Berdasarkan hal tersebut, maka bidang dengan nomor persil 00032, 00034 dan 00035 merupakan persil yang hanya dibatasi oleh area (2D) sehingga hal tersebut merupakan hal yang sudah lumrah dilaksanakan dalam pendaftaran tanah yang berjalan selama ini. Berbeda dengan bidang dengan nomor persil 00033 yang merupakan persil volumetrik yang pembatasan geometrinya perlu didefinisikan dengan jelas (lampiran 1). Untuk hak atas tanah, dalam proses pendaftaran tanahnya, maka data spasial bidang tanah dimuat dalam suatu dokumen yang dinamakan surat ukur. Mengingat HGRAT merupakan persil volumetrik berdimensi tiga dan tidak melekat pada permukaan tanah, maka penyajian data dan informasi pada surat ukur perlu dilakukan sejelas mungkin untuk memperlihatkan bentuk fisik obyek HGRAT, posisi persil terhadap permukaan tanah dan persil-persil yang berbatasan serta keadaan geografis di sekitar persil, dan batasan geometri HGRAT tersebut. Pada halaman 1 surat ukur dilakukan beberpa modifikasi baik dari segi format maupun cara pengisiannya (lampiran 2). Modifikasi tersebut dapat dilihat pada tabel di bawah ini : Tabel 1 Modifikasi format dan cara pengisian Surat Ukur No
Bagian/baris yang dimodifikasi
Hak Atas Tanah
HGRAT Keadaan bidang ini Bangunan yang terletak di atas tanah Volume Diakhiri dengan satuan M3 (meter kubik) Menyebutkan IMB
1 2
Format baris ke -8 Pengisian baris ke-8
Keadaan tanah ini Sebidang tanah pertanian/nonpertanian
3 4
Format baris ke-16 Pengisian baris ke-16
5
Pengisian Baris ke-19
Luas Diakhiri dengan satuan M2 (meter persegi) Tidak menyebutkan IMB
Pada halaman 2 surat ukur (lampiran 3), penggambaran obyek HGRAT tetap dalam posisi planimetrik (tampak atas). Yang berbeda adalah batas bidang tanah digambarkan dengan garis tebal penuh, sedangkan untuk batas ruang di atas tanah digambarkan dengan garis tebal putus-putus untuk menunjukkan bahwa obyek tersebut tidak terletak/melekat di permukaan tanah. Pada pendaftaran bidang tanah, halaman 3 surat ukur biasanya dikosongkan (lampiran 4), kecuali untuk bidang tanah yang memiliki luas yang relatif sangat besar. Untuk pendaftaran ruang di atas tanah, pada halaman 3 digambarkan obyek HGRAT dalam beberapa perspektif/penampakan. Dengan terbentuknya rancangan HGRAT baik secara legal maupun teknis, maka diharapkan dapat memberikan kontribusi dalam penyusunan RUU HGRAT. Hal ini sangat penting untuk mengisi kekosongan hukum dalam pemberian kepastian hukum subyek dan obyek pemanfaatan ruang di atas tanah. Dengan adanya kepastian hukum tersebut, maka pengaturan dan penataan ruang akan menjadi lebih intensif serta akan meningkatkan nilai ruang itu sendiri.
Prosiding
Page G-9
Forum Ilmiah Tahunan Ikatan Surveyor Indonesia Pekanbaru, 10-11 November 2010
KESIMPULAN Berdasarkan hasil dan analisis penelitian, dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut : 1.
2.
3.
4.
Berdasarkan hukum tanah nasional yang berlaku di Indonesia dan kondisi pendaftaran tanah Indonesia saat ini, maka metode kadaster 3D yang tepat untuk diterapkan dalam pengaturan pemanfaatan ruang di atas tanah adalah metode Full 3D Cadastre alternatif combine 2D/3D Mengingat pengertian dan jenis-jenis hak atas tanah di Indonesia yang selalu meliputi permukaan tanah, maka Hak Guna Ruang di Atas Tanah (HGRAT) merupakan suatu lembaga hak baru yang dapat digunakan untuk mendefinisikan penguasaan atas ruang di atas tanah. Bentuk data spasial HGRAT dalam rangka pendaftaran haknya merupakan persil volumetrik yang dituangkan dalam peta pendaftaran 2,5D dan dokumen surat ukur yang bersistem koordinat TM-3o (sumbu X dan Y) dan menggunakan acuan tinggi (z=0) pada permukaan bumi di bawah obyek HGRAT yang bersangkutan (koordinat lokal). HGRAT merupakan hak yang sangat terbatas karena keberadaannya selalu berhubungan dengan hak atas tanah lain sebagai penyokong obyek HGRAT tersebut. Oleh karena itu batasan-batasan HGRAT, termasuk bentuk-bentuk perjanjian antara pemegang HGRAT dengan pemegang hak atas tanah penyokong harus disebutkan secara eksplisit dalam pemberian haknya.
SARAN 1. Pemberian kepastian hukum terhadap pemanfaatan ruang di atas tanah perlu diatur dengan peraturan setingkat undang-undang sehingga pelaksanaannya memiliki dasar hukum yang kuat. 2. Perlu pengembangan metode dan teknologi dalam pengukuran, pengolahan dan penyajian data 3D sehingga dapat menghasilkan suatu sistem informasi pendaftaran tanah dan ruang yang mutakhir, akurat dan dapat memenuhi kebutuhan semua pihak. 3. Perlu kajian teknis lebih lanjut mengenai standarisasi data ketinggian (sumbu z) dalam penentuan posisi obyek HGRAT karena tidak menutup kemungkinan akan terjadi suatu perubahan/pergeseran atau hilangnya titik-titik batas obyek HGRAT akibat kegiatan manusia atau fenomena alam, sehingga koordinat tersebut merupakan data yang penting dalam pelaksanaan rekonstruksi batas. 4. Pada beberapa kasus, pemanfaatan ruang di atas tanah juga difungsikan sebagai rumah susun (strata title). Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai hal tersebut karena mengingat rumah susun selalu berkaitan dengan tanah bersama, sedangkan pemanfaatan ruang di atas tanah pada dasarnya tidak berkaitan dengan permukaan bumi di bawahnya. DAFTAR PUSTAKA Kurniawan, I., Leksono, B.E., Sari, A.P. (2005) : Kajian Kadaster 3 D Untuk Kepemilikan Strata Title Indonesia, Forum Ilmiah Tahunan (FIT) 2005 ISI, ISI, Malang. Sartono, K. (2006) : Keraton Yogyakarta-Pasar http://www.tembi.org/keraton_yogja/beringharjo.htm, akses 16 Februari 2010 pukul 10:52
Beringharjo,
Stoter, J. E. (2004) : 3D Cadastre. Netherlands : NCG Netherlands Geodetic Commision Sukada dalam Zubaidah (2009) : 50 Tahun, Batas Toleransi Ketahanan Gedung dari Gempa, http://news.okezone.com/read/2009/09/03/1/254129/50-tahun-batas-toleransi-ketahanan-gedung-darigempa, akses 21 Januari 2010 pukul 20:09 Prosiding
Page G-10
Forum Ilmiah Tahunan Ikatan Surveyor Indonesia Pekanbaru, 10-11 November 2010 ANALISIS KORELASI JUMLAH PENDUDUK DENGAN TUTUPAN LAHAN BERBASISKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS (AREA STUDI WILAYAH BANDUNG) Oleh : Riantini Virtriana ST., MT, Albertus Deliar Dr., Agung Budi Harto Dr., M eng PROGRAM STUDI GEODESI DAN GEOMATIKA FAKULTAS ILMU DAN TEKNOLOGI KEBUMIAN INSTITUT TEKNOLOGI BANDUNG ABSTRAK Lahan merupakan sumber daya alam yang mendukung kehidupan, yang merupakan permukaan terluar dari bumi. Land cover atau tutupan lahan merupakan kondisi biofisik dari permukaan bumi dan lapisan di bawahnya. Land cover adalah atribut dari permukaan dan bawah permukaan lahan yang mengandung biota, tanah, topografi, air tanah, dan permukaan, serta struktur manusia. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui korelasi antara jumlah penduduk terhadap tutupan lahan di wilayah Bandung. Tahapan penelitian adalah dengan melakukan analisis korelasi menggunakan metode Pearson dengan sampel data yang digunakan untuk periode 3 (tiga) tahun. Selanjutnya, dilakukan uji hipotesis untuk nilai korelasi agar diketahui hubungan yang signifikan antara dua variabel yang sedang diuji secara kualitatif. Hasil kedua tahap ini, selanjutnya akan dijadikan input dalam analisis regresi untuk mengetahui hubungan yang signifikan antara variabel-variabel yang sedang diuji secara secara kualitatif. Model regresi yang menggunakan bobot (Weighted Least Squares) memberikan hasil perhitungan yang lebih baik dibandingkan model regresi tanpa bobot. Kata kunci : Tutupan Lahan, Jumlah Penduduk, Korelasi, Regresi, uji hipotesis I. PENDAHULUAN Pada skala regional, Bandung merupakan kawasan andalan, yaitu kawasan yang berpotensi untuk mendorong perkembangan ekonomi ke kawasan sekitarnya. Berbagai fungsi diatas timbul sebagai akibat perkembangan yang pesat dari kegiatan industri, perdagangan, dan jasa yang telah tumbuh sejak beberapa dekade sebelumnya. Semua ini telah menjadikan kota Bandung sedemikian menarik, tidak hanya bagi penduduk yang berasal dari Jawa Barat sendiri tetapi dari provinsi-provinsi lain di Indonesia. Sejalan dengan pertumbuhan penduduk ini, sektor ekonomi sebagai sektor yang memiliki responsivitas paling tinggi terhadap kebutuhan penduduk, semakin melaju pertumbuhannya. Akibatnya akan terjadi perubahan yang significant terhadap perubahan tutupan lahan karena adanya peningkatan kawasan bangunan, perekonomian, perdagangan, perindustrian, dll. Perubahan tutupan lahan disebabkan oleh banyak faktor, diantaranya faktor fisik, manusia dan waktu. Untuk mendeteksi penyebab perubahan tutupan lahan diperlukan kajian yang mendalam mengenai faktor-faktor penyebabnya. Penduduk merupakan faktor yang mempunyai peranan penting dalam perubahan tutupan lahan. Aktivitas penduduk yang sangat tinggi pada suatu wilayah, akan mempercepat perubahan tutupan lahan dalam jangka waktu tertentu.
Prosiding
Page H-1
Forum Ilmiah Tahunan Ikatan Surveyor Indonesia Pekanbaru, 10-11 November 2010
Penelitian ini akan mengkaji seberapa besar korelasi antara jumlah penduduk dengan tutupan lahan. Adapun kajian ini akan menganalisis apakah ada hubungan antara variabel-variabel yang akan diuji dan seberapa kuat hubungan tersebut. Pada prinsipnya, prosedur korelasi bertujuan untuk mengetahui dua hal pada hubungan antar dua variabel : a. Apakah kedua variabel tersebut memang mempunyai hubungan yang signifikan b. Jika terbukti hubungan adalah signifikan, bagaimana arah hubungan dan seberapa kuat hubungan tersebut Proses analisis ini akan menguji variabel-variabel secara bertahap. Tahap yang pertama adalah menguji variabel-variabel tersebut secara kualitatif. Apabila tahap pertama terpenuhi, maka tahap berikutnya adalah mengetahui hubungan secara kuantitatif. II. METODOLOGI PENELITIAN Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah : 1. Data Spasial • Citra Landsat, dengan periode waktu 1994, 1997, dan 2001 • Peta Penggunaan Lahan 2003 • Peta topografi berupa batas administratif per kecamatan 2. Data non spasial • Data jumlah penduduk dengan periode waktu 1994, 1997, dan 2001 Secara garis besar penyelesaian masalah dalam penelitian ini terdiri atas beberapa tahapan sebagai berikut : a. Melakukan proses vektorisasi dari data raster tutupan lahan b. Peta tutupan lahan perlu dilakukan unifikasi batas karena memiliki batas terluar yang tidak sama untuk setiap tahunnya. Hal tersebut disebabkan karena adanya proses pengolahan citra yang telah dilakukan sebelumnya. c. Menghitung luas klasifikasi tutupan lahan setiap tahunnya dengan unit terkecil adalah kecamatan. d. Pembentukkan basisdata SIG e. Melakukan analisis korelasi antara variabel yang akan diuji f. Pembentukkan Model Regresi g. Melakukan uji statistik terhadap model regresi untuk mengetahui pengaruh yang signifikan atas variabel yang diuji secara kuantitatif h. Analisis dan kesimpulan.
Prosiding
Page H-2
Forum Ilmiah Tahunan Ikatan Surveyor Indonesia Pekanbaru, 10-11 November 2010
Input Data
Data Atribut
Data Spasial
Jumlah Penduduk per Kecamatan
Peta Tutupan Lahan terklasifikasi th.94,97,01
Peta Topografi
Peta Landuse 2003
Vektorisasi
Peta Batas Administrasi
Unifikasi Batas
Unifikasi Batas
Re-klasifikasi
Pemotongan Peta Berdasarkan Batas Adminisrasi
Peta Tutupan Lahan per Kecamatan
TAHAPAN PENYIAPAN DATA
Luas Klasifikasi Tutupan Lahan per Kecamatan
Pembentukan Basis Data SIG
Menentukan nilai korelasi
Uji hipotesis
Modellling
ORDINARY LEAST SQUARES
Uji Asumsi Kelinieran terpenuhi
tidak
WEIGHTED LEAST SQUARES
ya Uji Signifikansi X dan Y
Validasi 2001
Prediksi 2003
Analisis & Kesimpulan
Gambar 1. Tahapan Penelitian
Prosiding
Page H-3
Forum Ilmiah Tahunan Ikatan Surveyor Indonesia Pekanbaru, 10-11 November 2010 III. WILAYAH STUDI Penelitian ini mencakup wilayah seluas 3,032,614,727 m2 yang meliputi seluruh wilayah Kota Bandung dan Kabupaten Bandung. Batas-batas wilayah yang akan dikaji adalah : Sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten Subang dan Kabupaten Purwakarta Sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Sumedang dan Kabupaten Garut Sebelah Selatan berbataan dengan Kabupaten Cianjur dan Kabupaten Garut Sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Cianjur Pada penelitian ini, kota administratif Cimahi, diasumsikan masih bagian dari kabupaten Bandung. Serta unit spasial terkecil yang akan dikaji adalah kecamatan. Adapun klasifikasi tutupan lahan yang digunakan dalam penelitian ini akan dibagi menjadi 7 kelas, yaitu : Hutan, Bangunan, Sawah, Kebun, Semak dan lahan kering, Jalan, dan Perairan. 3.1 Visualisasi Data yang digunakan pada penelitian ini 1. Data Spasial • Citra Landsat, dengan periode waktu 1994, 1997, dan 2001 • Peta Penggunaan Lahan 2003 • Peta topografi berupa batas administratif per kecamatan 2. Data non spasial • Data jumlah penduduk dengan periode waktu 1994, 1997, dan 2001
Gambar 2. Area Penelitian : Kabupaten dan Kota Bandung
Prosiding
Page H-4
Forum Ilmiah Tahunan Ikatan Surveyor Indonesia Pekanbaru, 10-11 November 2010 IV. PENGOLAHAN DATA 4.1 Pembentukan Basis Data SIG 4.1.1 Penentuan Daftar Entitas Penentuan model konseptual dalam desain basis data untuk SIG ini dapat direalisasikan dengan menetapkan entitas-entitas yang berhubungan dengan pemasalahan mengenai basisdata SIG tutupan lahan. Entitas-entitas yang terkait dengan permasalahan ini adalah sebagai berikut : a. Tutupan Lahan b. Jumlah Penduduk c. Kecamatan 4.1.2 Penentuan Enterprise Rules Setelah daftar entitas tersebut ditetapkan, selanjutnya agar basis data dapat memuat data yang logic, maka harus dijelaskan enterprise rules-nya, yaitu aturanauran yang mengatur hubungan antar entitasnya. Selain itu juga ditetapkan atribut-atributnya yang menjelaskan masing-masing entitas. 4.1.3 Data Atribut Tutupan Lahan ( Id_tutupan_lahan, nama_kecamatan, nama_kelas, luas_area ) Kecamatan ( Id_kecamatan, nama_kecamatan ) Jumlah Penduduk ( nama_kecamatan, tahun, jumlah_penduduk ) 4.2 Menghitung Nilai Korelasi Secara teori, dikatakan bahwa angka korelasi akan berkisar antara : -1, berarti hubungan negative sempurna 0, berarti tidak ada hubungan sama sekali +1, berarti hubungan positif sempurna Menghitung besar korelasi antara variabel yang akan diuji, yang dalam penelitian ini adalah menghitung besarnya korelasi antara jumlah penduduk dengan tutupan lahan yang menggunakan model matematika metode PEARSON seperti berikut :
r
xy ( x )( y 2
2
)
Dimana x = X – X dan y = Y – Y Hipotesis riset Variabel independent dapat digunakan untuk memprediksi nilai variabel dependent Hipotesis Statistika Ho = variabel independent tidak mempunyai pengaruh yang significant terhadap variabel dependent Secara matematis Ho : ρ = 0 Hi = variabel independent mempunyai pengaruh significant yang positif atau negatif terhadap variabel dependent Secara matematis Hi : ρ > 0 atau Hi : ρ < 0
Prosiding
Page H-5
Forum Ilmiah Tahunan Ikatan Surveyor Indonesia Pekanbaru, 10-11 November 2010 Setelah diketahui nilai korelasi antara variabel – variabel yang diuji kemudian dilakukan uji hipotesis, yaitu uji T untuk mengetahui bahwa korelasi antara dua variabel mempunyai hubungan yang significant. Model matematika yang digunakan dlan uji T adalah sebagai berikut :
t
r n2 1 r 2
Dimana : T = t hitung R = nilai korelasi N= jumlah data/pengamatan Uji T yang dilakukan yaitu, uji dua arah, karena nilai korelasi bisa positif atau negatif. Hasil perhitungan nilai korelasi dan hasil uji hipotesis korelasinya dapat dilihat pada Tabel dibawah ini : Tabel 1. Hasil Nilai Korelasi & Uji Hipotesis Hipotesis Ho : Tutupan Lahan tidak memiliki korelasi yang signifikan terhadap jumlah penduduk Hi : Tutupan Lahan memiliki korelasi yang signifikan terhadap jumlah penduduk WILAYAH KOTAMADYA DAN KABUPATEN BANDUNG untuk taraf signifikansi 5% t tabel = 1.652 (degree of freedom 199 pada taraf signifikansi yang digunakan 0.025, karena uji 2 arah) untuk taraf signifikansi 20% t tabel = 0.843 (degree of freedom 199 pada taraf signifikansi yang digunakan 0.01, karena uji 2 arah) Hutan Pemukiman Sawah Kebun Semak Jalan Perairan Nilai Korelasi 0,00 0,48 0,12 0,03 0,14 0,17 0,16 t hitung -0,07 7,73 1,74 0,43 1,95 2,36 2,34 Level Of Confident 95% Ho diterima Ho ditolak Ho ditolak Ho diterima Ho ditolak Ho ditolak Ho ditolak Level Of Confident 80% Ho diterima Ho ditolak Ho ditolak Ho diterima Ho ditolak Ho ditolak Ho ditolak WILAYAH KOTAMADYA BANDUNG untuk taraf signifikansi 5% t tabel = 1.665 (degree of freedom 76 pada taraf signifikansi yang digunakan 0.025, karena uji 2 arah) untuk taraf signifikansi 20% t tabel = 0.846 (degree of freedom 76 pada taraf signifikansi yang digunakan 0.01, karena uji 2 arah) Hutan Pemukiman Sawah Kebun Semak Jalan Perairan Nilai Korelasi -0,14 0,51 -0,33 -0,25 -0,45 0,00 -0,17 t hitung -1,27 5,23 -3,01 -2,28 -4,34 -0,03 -1,49 Level Of Confident 95% Ho diterima Ho ditolak Ho ditolak Ho ditolak Ho ditolak Ho diterima Ho diterima Level Of Confident 80% Ho ditolak Ho ditolak Ho ditolak Ho ditolak Ho ditolak Ho diterima Ho ditolak WILAYAH KABUPATEN BANDUNG untuk taraf signifikansi 5% t tabel = 1.657 (degree of freedom 121 pada taraf signifikansi yang digunakan 0.025, karena uji 2 arah) untuk taraf signifikansi 20% t tabel = 0.844 (degree of freedom 121 pada taraf signifikansi yang digunakan 0.01, karena uji 2 arah) Hutan Pemukiman Sawah Kebun Semak Jalan Perairan Nilai Korelasi -0,09 0,48 0,04 -0,06 0,00 0,10 0,13 t hitung -1,00 6,09 0,40 -0,67 0,04 1,09 1,43 Level Of Confident 95% Ho diterima Ho ditolak Ho diterima Ho diterima Ho diterima Ho diterima Ho diterima Level Of Confident 80% Ho diterima Ho ditolak Ho diterima Ho diterima Ho diterima Ho ditolak Ho ditolak
Prosiding
Page H-6
Forum Ilmiah Tahunan Ikatan Surveyor Indonesia Pekanbaru, 10-11 November 2010 4.3 Modelling Regresi sederhana adalah sebuah analisis regresi yang menggunakan satu variabel bebas. Regresi sederhana ini secara matematik dapat dirumuskan sebagai persamaan seperti berikut :
Y = ax + bo + e Dimana : Y bo a x e
= = = = =
variabel tak bebas (Dependent variabel) nilai penggal koefisien variabel bebas (Independent variabel) variabel bebas error term (faktor galat)
Kriteria yang paling umum digunakan untuk melihat seberapa besar variasi variabel bebas dalam menjelaskan variabel tak bebasnya, yaitu melalui estimasi rsquared (r2). Dalam analisis regresi berganda ini setiap variabel bebas harus dilakukan pengujian terhadap signifikansi pengaruhnya terhadap variabel tak bebasnya, yaitu dengan menghitung t-hitung dari masing-masing variabel dan fhitung untuk melihat signifikansi pengaruh variabel bebas secara bersama-sama atau serentak. Hipotesis nol (Ho) adalah hipotesis yang berlawanan dengan hipotesis awal atau dapat kita sebut sebagai hipotesis tandingan. Agar sesuai dengan keadaan yang sebenarnya maka Ho adalah hipotesis yang harus kita tolak. Uji statistik untuk masing-masing variabel bebas dengan menggunakan tingkat nyata sebesar 5 %, masing-masing koefisien variabel bebas menolak Ho = 0 apabila nilai significant F lebih kecil dari α atau lebih kecil dari 0.05. Hubungan atau pengaruh setiap variasi variabel bebas dengan variabel tak bebas dapat diketahui dari nilai P value. Besarnya P value adalah ≤ 0.05. Apabila nilai P value lebih besar dari 0.05 maka variasi variabel bebas secara nyata tidak terlalu berpengaruh pada variasi variabel bebasnya Pada tahapan penelitian ini data yang dianggap memiliki kesalahan besar akan direduksi. Mengacu pada distribusi normal Gauss dengan ketelitian 3∂, maka data lapangan yang memiliki standar residual lebih besar dari 3 atau lebih kecil dari -3, diasumsikan memiliki kesalahan besar.
Prosiding
Page H-7
Forum Ilmiah Tahunan Ikatan Surveyor Indonesia Pekanbaru, 10-11 November 2010 4.3.1 Model Regresi tanpa pembobotan Model regresi tanpa pembobotan dapat dikatakan bahwa setiap data ukuran memiliki bobot yang sama. Atau dengan kata lain bahwa data ukuran mempunyai sifat yang homogen. 4.3.2 Uji Asumsi Kelinieran Model yang terbentuk harus memenuhi asumsi Best Linear Unbiased Estimater (BLUE) untuk mendapatkan model regresi linier yang terbaik. Yang dimaksud dengan Best atau terbaik adalah model OLS merupakan model dengan bias terbesar serta memiliki efisiensi dalam melakukan estimasi parameter regresi (β). Efisiensi yang dimaksud adalah besarnya nilai residual yang diharapkan adalah kecil. Uji asumsi kelinieran yang harus terpenuhi ada 5 syarat, yaitu linieritas, homoskedastisitas, nonautokolerasi, nonmultikolinieritas, serta normalitas. Hasil pengujian terhadap model dapat dilihat pada tabel dibawah ini : Tabel 2. Hasil Pengujian Model WILAYAH KOTAMADYA DAN KABUPATEN BANDUNG untuk taraf signifikansi 5% t tabel = 1.652 (degree of freedom 199 pada taraf signifikansi yang digunakan 0.025, karena uji 2 arah) untuk taraf signifikansi 20% t tabel = 0.843 (degree of freedom 199 pada taraf signifikansi yang digunakan 0.01, karena uji 2 arah) MODEL TANPA BOBOT Linieritas Homoskedastisitas Nonautokolerasi Lahan Terbangun Asumsi linieritas terpenuhi Asumsi Homoskedastisitas Asumsi nonautokolerasi
Nonmultikolinieritas
Normalitas
terpenuhi.
terpenuhi.
Asumsi nonmultikolinieritas terpenuhi.
Asumsi kenormalan terpenuhi.
Sawah
Asumsi linieritas terpenuhi
Asumsi Homoskedastisitas terpenuhi.
Asumsi nonautokolerasi terpenuhi.
Asumsi nonmultikolinieritas terpenuhi.
Asumsi kenormalan terpenuhi.
Semak
Asumsi linieritas terpenuhi
Asumsi Homoskedastisitas terpenuhi.
Asumsi nonautokolerasi terpenuhi.
Asumsi nonmultikolinieritas terpenuhi.
Asumsi kenormalan terpenuhi.
Jalan
Asumsi linieritas terpenuhi
Asumsi Homoskedastisitas terpenuhi.
Asumsi nonautokolerasi terpenuhi.
Asumsi nonmultikolinieritas terpenuhi.
Asumsi kenormalan terpenuhi.
Perairan
Asumsi linieritas terpenuhi
Asumsi Homoskedastisitas tidak terpenuhi.
Asumsi nonautokolerasi terpenuhi.
Asumsi nonmultikolinieritas terpenuhi.
Asumsi kenormalan terpenuhi.
WILAYAH KOTAMADYA BANDUNG untuk taraf signifikansi 5% t tabel = 1.665 (degree of freedom 76 pada taraf signifikansi yang digunakan 0.025, karena uji 2 arah) untuk taraf signifikansi 20% t tabel = 0.846 (degree of freedom 76 pada taraf signifikansi yang digunakan 0.01, karena uji 2 arah) MODEL TANPA BOBOT Linieritas Homoskedasitas Hutan Asumsi linieritas terpenuhi Asumsi Homoskedastisitas
Nonautokolerasi
Nonmultikolinieritas
Normalitas
tidak terpenuhi.
Asumsi nonautokolerasi terpenuhi.
Asumsi nonmultikolinieritas terpenuhi.
Asumsi kenormalan terpenuhi.
Lahan Terbangun
Asumsi linieritas terpenuhi
Asumsi Homoskedastisitas terpenuhi.
Asumsi nonautokolerasi terpenuhi.
Asumsi nonmultikolinieritas terpenuhi.
Asumsi kenormalan terpenuhi.
Sawah
Asumsi linieritas terpenuhi
Asumsi Homoskedastisitas terpenuhi.
Asumsi nonautokolerasi terpenuhi.
Asumsi nonmultikolinieritas terpenuhi.
Asumsi kenormalan terpenuhi.
Kebun
Asumsi linieritas terpenuhi
Asumsi Homoskedastisitas tidak terpenuhi.
Asumsi nonautokolerasi terpenuhi.
Asumsi nonmultikolinieritas terpenuhi.
Asumsi kenormalan terpenuhi.
Semak
Asumsi linieritas terpenuhi
Asumsi Homoskedastisitas terpenuhi.
Asumsi nonautokolerasi terpenuhi.
Asumsi nonmultikolinieritas terpenuhi.
Asumsi kenormalan terpenuhi.
Perairan
Asumsi linieritas terpenuhi
Asumsi Homoskedastisitas tidak terpenuhi.
Asumsi nonautokolerasi terpenuhi.
Asumsi nonmultikolinieritas terpenuhi.
Asumsi kenormalan terpenuhi.
WILAYAH KABUPATEN BANDUNG untuk taraf signifikansi 5% t tabel = 1.657 (degree of freedom 121 pada taraf signifikansi yang digunakan 0.025, karena uji 2 arah) untuk taraf signifikansi 20% t tabel = 0.844 (degree of freedom 121 pada taraf signifikansi yang digunakan 0.01, karena uji 2 arah) MODEL TANPA BOBOT Linieritas Homoskedasitas Nonautokolerasi Lahan Terbangun Asumsi linieritas terpenuhi Asumsi Homoskedastisitas Asumsi nonautokolerasi
Nonmultikolinieritas
Normalitas
terpenuhi.
terpenuhi.
Asumsi nonmultikolinieritas terpenuhi.
Asumsi kenormalan terpenuhi.
Jalan
Asumsi linieritas terpenuhi
Asumsi Homoskedastisitas terpenuhi.
Asumsi nonautokolerasi terpenuhi.
Asumsi nonmultikolinieritas terpenuhi.
Asumsi kenormalan terpenuhi.
Perairan
Asumsi linieritas terpenuhi
Asumsi Homoskedastisitas tidak terpenuhi.
Asumsi nonautokolerasi terpenuhi.
Asumsi nonmultikolinieritas terpenuhi.
Asumsi kenormalan terpenuhi.
Prosiding
Page H-8
Forum Ilmiah Tahunan Ikatan Surveyor Indonesia Pekanbaru, 10-11 November 2010 Dari hasil analisis di atas, terlihat bahwa ada klasifikasi tutupan lahan yang tidak memenuhi asumsi homoskedastisitas untuk setiap wilayahnya, sehingga pendugaan model regresi linear tidak dapat dilakukan menggunakan metode OLS (ordinary least squares) karena salah satu asumsi yaitu homoskedastisitas dilanggar. 4.3.3 Model Regresi dengan pembobotan (Weighted Least Squares ) Pemberian bobot pada data ukuran mengindikasikan bahwa data ukuran tidak presisi, artinya setiap ukuran memiliki karakteristik yang berbeda-beda atau bersifat heterogen. Ketelitian suatu ukuran dapat diwakili oleh nilai variansinya. Nilai variansi kecil, berarti semakin teliti data ukuran tersebut. Data ukuran yang teliti akan diberikan bobot yang besar, demikian sebaliknya. Sehingga besarnya bobot berbanding terbalik dengan variansinya. Secara matematis dapat dituliskan sebagai berikut :
P = 1/∂o2 Dimana : P = Weighted Least Suares ∂o2 = Variansi Tabel 3. Pemodelan dengan WLS
WILAYAH KOTAMADYA DAN KABUPATEN BANDUNG untuk taraf signifikansi 5% t tabel = 1.652 (degree of freedom 199 pada taraf signifikansi yang digunakan 0.025, karena uji 2 arah) untuk taraf signifikansi 20% t tabel = 0.843 (degree of freedom 199 pada taraf signifikansi yang digunakan 0.01, karena uji 2 arah) WEIGHTED LEAST SQUARES Lahan terbangun Sawah Semak Jalan Perairan r squared 0.998 0.960 0.980 0.976 0.000061 F hitung 115568.7 5595.304 13375 211.54 0.012 T hitung konstanta 1.975 -4.147 0.324 0.545 2.656 T hitung koefisien variabel 339.500 74.800 115.651 14.540 0.100 p value 4.58E-277 1.2E-147 1.9E-184 3.99E-33 0.000061 Persamaan Regresi y = 0.234 + 37.73x y = -0.35 + 66.76x y = 0.032 + 235.212x y= -0.439 + 23.47x y = 1.187 +0.017x
WILAYAH KABUPATEN BANDUNG untuk taraf signifikansi 5% t tabel = 1.657 (degree of freedom 121 pada taraf signifikansi yang digunakan 0.025, karena uji 2 arah) untuk taraf signifikansi 20% t tabel = 0.844 (degree of freedom 121 pada taraf signifikansi yang digunakan 0.01, karena uji 2 arah) WEIGHTED LEAST SQUARES Lahan Terbangun Jalan Perairan r squared 0.999 0.96 0.29 Significant F 287687.2 3532.00 50.63 T hitung konstanta -1.31 0.51 -2.94 T hitung koefisien variabel 536.36 59.43 7.11 p value 3.9E-206 2.15E-91 8.57E-11 Persamaan Regresi y = -0.12285 + 36.92x y = 0.3039 + 27.57x y = -0.33 + 5.98x
Prosiding
Page H-9
Forum Ilmiah Tahunan Ikatan Surveyor Indonesia Pekanbaru, 10-11 November 2010 V. ANALISIS 5.1. Analisis Variabel bebas yang digunakan Penelitian ini hanya menggunakan 1 (satu) variabel bebas, yaitu variabel jumlah penduduk untuk rentang waktu 3 tahun, yaitu tahun 1994, 1997, dan tahun 2001.Penulis menyadari bahwa penggunaan satu variabel bebas saja merupakan kelemahan dari penelitian ini. Banyaknya variabel bebas yang dilibatkan dalam pemodelan akan sangat mempengaruhi kemampuan model tersebut untuk melakukan prediksi terhadap variabel tak bebasnya. Namun kendala yang dihadapi oleh penulis adalah keterbatasan data pendukung dalam hal ini data sosial ekonomi. Keterbatasan data tersebut dikarenakan ketidakseragaman unit analisis terkecil data sosial ekonomi. Untuk penelitian ini data pendukung sosial ekonomi yang diperlukan selain jumlah penduduk diantaranya adalah usia produktif penduduk, serta banyaknya kawasan perindustrian dan perdagangan. Namun unit analisis terkecil dari usia produktif penduduk, serta banyaknya kawasan perindustrian dan perdagangan bukan kecamatan melainkan kota atau kabupaten. Apabila variabel jumlah penduduk yang disesuaikan unit terkecilnya, hal itu akan menyulitkan dalam pemodelan menggunakan analisis regresi karena dalam analisis regresi membutuhkan sampel yang cukup besar untuk mendapatkan model yang dapat mewakili data. 5.2 Analisis Korelasi Besarnya koefisien korelasi untuk masing-masing variabel yang diuji menunjukkan bahwa pengaruh jumlah penduduk terhadap tutupan lahan untuk masing-masing wilayah penelitian relatif kecil. Namun untuk melihat hubungan yang signifikan secara statistik, maka nilai koefisien kolerasi tersebut harus diuji statistik yaitu nilai statistik T. Hasil uji statistik nilai T terlihat bahwa, untuk wilayah Kota dan Kabupaten Bandung, klasifikasi tutupan lahan hutan dan kebun tidak mempunyai hubungan yang signifikan terhadap jumlah penduduk. Untuk wilayah Kota Bandung klasifikasi tutupan lahan jalan terhadap jumlah penduduk tidak signifikan. Sedangkan untuk wilayah Kabupaten Bandung, klasifikasi tutupan lahan hutan, kebun, sawah dan semak tidak mempunyai hubungan yang signifikan terhadap jumlah penduduk. Pada penelitian ini korelasi antara jumlah penduduk dengan lahan terbangun memiliki nilai yang paling tinggi baik untuk wilayah bandung, kotamadya bandung, dan kabupaten bandung. Hal ini menunjukkan bahwa peningkatan jumlah penduduk berbanding lurus dengan kebutuhan lahan terbangun pada wilayah tersebut. Artinya dari semua klasifikasi, lahan terbangun merupakan tutupan lahan yang paling dipengaruhi oleh jumlah penduduk. Semakin meningkatnya jumlah penduduk, maka akan semakin luas lahan terbangun pada wilayah tersebut. 5.3 Analisis Hasil Regresi Jumlah Penduduk Terhadap Tutupan Lahan Berikut ini akan diuraikan analisis mengenai penggunaan model OLS serta model WLS dalam mengetahui koefisien untuk variabel bebas, besarnya konstanta regresi, serta uji sigifikansi jumlah penduduk terhadap tutupan lahan. 5.3.1 Analisis Ordinary Least Squares (OLS) Regression Pendugaan model regresi linear tidak dapat dilakukan menggunakan metode OLS (ordinary least squares) karena untuk menduga suatu model adalah linier atau tidak, maka perlu dilakukan uji asumsi kelinieran serta uji signifikansi variabel jumlah penduduk terhadap variabel tutupan lahan. Apabila uji asumsi kelinieran
Prosiding
Page H-10
Forum Ilmiah Tahunan Ikatan Surveyor Indonesia Pekanbaru, 10-11 November 2010 tidak terpenuhi, maka uji signifikansi sudah tidak perlu lagi dilakukan, karena model tersebut diduga tidak linier. Linieritas dapat dilihat dari grafik antara nilai prediksi dan nilai residual tidak membentuk suatu pola tertentu (parabola, kubik, atau lainnya), berarti asumsi linieritas terpenuhi. Hal ini diindikasikan oleh residual-residual yang didistribusikan secara random dan terkumpul di sekitar garis lurus. Asumsi Homoskedasitas terpenuhi apabila sebaran nilai residual terhadap nilai prediksi tidak membentuk pola tertentu, seperti meningkat atau menurun. Dalam penelitian ini karena jumlah variabel independennya hanya satu, maka tidak mungkin akan terjadi hubungan diantara variabel-variabel independen. Kemudian salah satu cara mengecek kenormalitasan adalah dengan plot Probabilitas Normal. Dengan plot ini, masingmasing nilai pengamatan dipasangkan dengan nilai harapan pada ditribusi normal. Normalitas terpenuhi apabila titik-titik (data ukuran) terkumpul di sekitar garis lurus. Pendugaan model regresi linear tidak dapat dilakukan menggunakan metode OLS (ordinary least squares) karena salah satu asumsi kelinieran yaitu homoskedastisitas dilanggar. Tidak terpenuhinya salah satu asumsi kelinieran kesamaan variansi (homoskedastisitas) akan menyebabkan nilai estimasi dari koefisien regresi akan mempunyai standar residual yang terlalu besar pada range tertentu serta nilai standar residual yang terlalu kecil untuk range yang berbeda untuk setiap variabel tak bebasnya. Tabel 4. R Squared Model OLS
MODEL OLS (Ordinary Least Squares)
r squared
Bangunan
sawah
Semak
jalan
Perairan
0.230
0.015
0.019
0.027
0.027
5.3.2 Analisis model WLS
Model Weighted Least Squares (WLS) merupakan solusi dari apabila model Ordinary Least Squares (OLS) yang digunakan tidak memenuhi asumsi kesamaan varians (homoskedatisitas). Dengan WLS maka penyimpangan ketidaksamaan variansi akan dapat diatasi. Untuk data ukuran yang mempunyai nilai variansi besar, maka akan diberi bobot yang kecil, begitu juga sebaliknya. Hasil dari nilai koefisien estimasi yang dihasilkan dengan model WLS akan memberikan nilai yang sangat dekat dengan model OLS, namun dengan WLS akan memberikan nilai residual yang lebih kecil. Tabel 5. R Squared Model WLS
MODEL WLS (Weighted Least Squares)
r squared
bangunan
sawah
Semak
jalan
Perairan
0.998
0.960
0.980
0.997
0.06
Khusus untuk klasifikasi tutupan lahan perairan, model regresi linier menggunakan metode WLS, nilai koefisien r2 sangatlah kecil dibandingkan klasifikasi tutupan lahan lainnya. Hal tersebut kemungkinan besar disebabkan karena karateristik dari
Prosiding
Page H-11
Forum Ilmiah Tahunan Ikatan Surveyor Indonesia Pekanbaru, 10-11 November 2010 perairan itu sendiri. Untuk wilayah Bandung banyak kecamatan yang tidak memiliki perairan, artinya variabel tak bebas banyak mengandung nilai 0 (nol). Banyaknya nilai 0 (nol) dalam data yang akan digunakan merupakan salah satu kendala dalam pemodelan. Walaupun pemodelan jumlah penduduk terhadap tutupan lahan perairan menggunakan model regresi tidak cukup baik untuk memprediksi, namun model ini tetap sah secara statistik. 5.4
Interpretasi Analisis Regresi Menggunakan Metode WLS jumlah penduduk terhadap tutupan lahan Lokasi yang memiliki tingkat perubahan lahan terbangun paling tinggi berada di 4 kecamatan di kabupaten Bandung. Peningkatan jumlah penduduk paling tinggi pun berada pada kecamatan yang sama. Kecamatan Batujajar, Rancaekek, Cililin, dan Cipatat merupakan kecamatan yang memiliki tingkat perubahan lahan terbangun dan jumlah penduduk paling tinggi. Kecamatan-kecamatan tersebut sebagian besar merupakan daerah industri dan perdagangan. Tabel 6. Kecamatan dengan Perubahan Lahan Terbangun Paling Tinggi
No
Kecamatan
Selisih Luas Perubahan Lahan Terbangun 13,396,434.97
Selisih Jumlah Penduduk 25210
1
Batujajar
2
Rancaekek
6,403,599.17
22432
3
Cililin
4,750,815.65
26347
4
Cipatat
3,996,949.43
21773
Gambar 3. Peta Tingkat Perubahan Lahan Terbangun
Prosiding
Page H-12
Forum Ilmiah Tahunan Ikatan Surveyor Indonesia Pekanbaru, 10-11 November 2010 5.5 Analisis validasi Validasi model yang dibentuk dilakukan dengan cara membandingkan hasil estimasi nilai variabel tak bebas, dalam penelitian ini yaitu luas klasifikasi tutupan lahan, yang dibandingkan dengan luas klasifikasi tutupan lahan kondisi aktual atau eksisting. Rata-rata dari selisih persen residual antara hasil dari pemodelan dengan kondisi eksisting disebut dengan Mean Absolute Precentage Error (MAPE). Dengan menggunakan analisis regresi linier metode WLS diperoleh nilai Mean Absolute Precentage Error (MAPE) untuk wilayah Bandung sebesar 34.14 %. Salah satu klasifikasi tutupan lahan yang memiliki selisih residual paling besar untuk wilayah Bandung adalah perairan, yaitu sebesar 80,18 %. Hal tersebut dikarenakan pendugaan model regresi linier dengan metode WLS untuk tutupan lahan perairan memiliki nilai koefisien r2 yang sangat kecil. Untuk Kota Bandung, nilai Mean Absolute Precentage Error (MAPE) yang diperoleh adalah sebesar 44,67 %. Apabila meninjau kondisi kota Bandung saat ini, tutupan lahan sangat didominasi oleh lahan terbangun, berupa kawasan pemukiman serta kawasan perindustrian dan perdagangan, sehingga luas tutupan lahan hutan dan kebun, sangatlah kecil, bahkan tutupan lahan hutan tidak ada sama sekali di setiap kecamatan di kota Bandung untuk periode tahun 1994 dan 1997. Sedangkan untuk Kabupaten Bandung, nilai Mean Absolute Precentage Error (MAPE) yang diperoleh adalah sebesar 26,77 %. Apabila dibandingkan dengan wilayah Bandung dan Kota Bandung, Kabupaten Bandung memiliki nilai persentase selisih residual yang paling kecil. Salah satu penyebabnya adalah hanya ada 3 (tiga) klasifikasi tutupan lahan yang memiliki korelasi yang signifikan antara jumlah penduduk terhadap tutupan lahan di Kabupaten Bandung. 5.6 Analisis Spasial Kecamatan di kabupaten yang terdekat dengan kota memiliki tingkat perubahan lahan terbangun lebih besar dibandingkan kecamatan lainnya di kabupaten bandung. Selisih perubahan lahan terbangun pada kecamatan di kabupaten yang berbatasan langsung dengan kota Bandung sebesar 13,334,015.79 m2. Apabila dibandingkan dengan total luas kecamatan yang berbatasan langsung dengan kota Bandung, yaitu293,259,223.336 m2, maka presentase perubahan lahan terbangun menjadi 4.55 % Sedangkan selisih perubahan lahan terbangun pada kecamatan di kabupaten yang tidak berbatasan langsung dengan kota Bandung sebesar 49,705,876.68 m2. Apabila dibandingkan dengan total luas kecamatannya, yaitu 2,253,240,564.983 m2, maka presentase perubahan lahan terbangun menjadi 1.92 %
Prosiding
Page H-13
Forum Ilmiah Tahunan Ikatan Surveyor Indonesia Pekanbaru, 10-11 November 2010
Gambar 4. Peta Tingkat Perubahan Lahan Terbangun Paling Tinggi di Kabupaten Bandung
5.7
Analisis Penggunaan Metode Iterasi dalam Proses Pembobotan (Iteratively re-Weighted Least Squares)
Penggunaan metode IRWLS (Iteratively re-Weighted Least Squares), merupakan suatu metode yang secara konsep sama dengan WLS (Weighted Least Squares), yaitu suatu metode yang digunakan untuk mengatasi masalah heteroskedastik. Heteroskedastik merupakan suatu kondisi dimana model yang dibentuk memiliki nilai variansi yang tidak sama, sehingga apabila asumsi ini tidak terpenuhi, maka model tersebut tidak sah secara statistik kelinierannya. Penggunaan metode ini bukan untuk meminimalkan nilai residual dari suatu model. Iterasi yang dilakukan akan dihentikan apabila dugaan koefisien regresi sudah stabil. Pada penelitian ini, untuk wilayah Bandung, Kota Bandung, Maupun Kabupaten Bandung, koefisien regresi sudah stabil pada iterasi ke-2. Hasil iterasi dapat dilhat pada tabel di bawah ini. Tabel 4.5 Metode Iterasi Dalam Proses Pembobotan
Prosiding
Page H-14
Forum Ilmiah Tahunan Ikatan Surveyor Indonesia Pekanbaru, 10-11 November 2010
WILAYAH BANDUNG Klasifikasi Tutupan Lahan LAHAN TERBANGUN SAWAH SEMAK JALAN PERAIRAN
ITERASI 1 Intercept Koefisien regresi Koefisien Determinasi (a) (b) (r2) 0.23 37.73 0.998 -0.35 66.76 0.960 0.03 235.21 0.985 -0.44 23.47 0.997 0.30 0.02 0.003
ITERASI 2 Intercept Koefisien regresi Koefisien Determinasi (a) (b) (r2) 1.183E-07 37.73 1 -6.14734E-08 66.76 1 -8.08326E-10 235.21 1 -2.93498E-07 23.47 1 2.05715E-05 0.02 1
ITERASI 1 Intercept Koefisien regresi Koefisien Determinasi (a) (b) (r2) 0.22 0.00 0.006 1.05 39.26 0.989 -3.95 22.40 0.996 0.60 0.02 0.006 0.93 10.98 0.843 -0.12 0.04 0.374
ITERASI 2 Intercept Koefisien regresi Koefisien Determinasi (a) (b) (r2) -0.000130972 0.00 1 1.14582E-06 39.26 1 4.44914E-07 22.40 1 -0.000189586 0.02 1 3.1816E-07 10.98 1 1.22166E-05 0.03 1
KOTA BANDUNG Klasifikasi Tutupan Lahan HUTAN LAHAN TERBANGUN SAWAH KEBUN SEMAK PERAIRAN
KABUPATEN BANDUNG Klasifikasi Tutupan Lahan LAHAN TERBANGUN JALAN PERAIRAN
ITERASI 1 Intercept Koefisien regresi Koefisien Determinasi (a) (b) (r2) -0.12 36.92 0.999 0.30 27.57 0.967 -0.33 5.98 0.294
ITERASI 2 Intercept Koefisien regresi Koefisien Determinasi (a) (b) (r2) -7.76229E-09 36.92 1 1.13827E-07 27.57 1 -4.62426E-08 5.98 1
VI. PENUTUP 6.1. Kesimpulan 1. Model regresi linear dengan menggunakan metode WLS (Weighted Least Squares) dapat digunakan untuk memodelkan hubungan antara jumlah penduduk dengan tutupan lahan dengan tingkat kepercayaan 80 % 2. Model dengan Weighted Least Squares (WLS) akan memberikan nilai residual yang lebih kecil dibandingkan dengan model Ordinary Least Squares (OLS). 6.2 Saran 1. Perlu dilakukan studi pemodelan jumlah penduduk dengan tutupan lahan menggunakan model regresi yang tidak linear 2. Perlu dikaji pemodelan jumlah penduduk dengan tutupan lahan menggunakan model regresi dengan menambah variabel bebasnya yaitu data pendukung sosial ekonomi DAFTAR PUSTAKA Haining, Robert. 1997. Spatial Data Analysis in the Social and Environmental Sciences. Cambridge University Press, Australia Malczewski, 1999, GIS and Multicriteria Decision Analysis, John Willey & Sons Inc., Canada Stoelting, Ricka. 2006. Stuctural Equation Modelling/Path analysis. www:http://userwww.sfsu.edu/efc/classes/biol710/path/SEMwebpage.htm
Prosiding
Page H-15
Forum Ilmiah Tahunan Ikatan Surveyor Indonesia Pekanbaru, 10-11 November 2010 Boediono dan Koster. 2001. Teori dan Aplikasi statistika dan Probabilitas. Remaja Rosdakarya. Bandung Virtriana, R. 2004. Pembentukkan Model Single Value Dengan Menggunakan Data NJOP sebagai Pendekatan Awal Untuk Berbagai Kepentingan. Tugas Akhir. ITB. Bandung Jensen, John. 1986. Introductory Digital Image Processing: A Remote Sensing Perspective. Edisi kedua. Prentice Hall Inc, New Jersey, USA. Hakim, D.M. 2005. Bahan Kuliah GD-6105 Kapita Selekta : Peranan Basis Data dalam Sistem Pemetaan. Program Magister Departemen Teknik Geodesi Institut Teknologi Bandung. Tidak diterbitkan. Prahasta, Eddi. 2002. Konsep-Konsep Dasar Sistem Informasi Geografis. CV. Informatika. Bandung
Prosiding
Page H-16
Forum Ilmiah Tahunan Ikatan Surveyor Indonesia Pekanbaru, 10-11 November 2010
SURVEY PEMETAAN BANGUNAN RUMAH SUSUN UNTUK PENDAFTARAN HAK MILIK DALAM SISTEM KADASTER 3 DIMENSI S. Hendriatiningsih
[email protected] Kelompok Keilmuan Surveying & Kadaster Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian Institut Teknologi Bandung
ABSTRAK Peraturan Pemerintah No.4 Tahun 1988 tentang Rumah Susun, menyatakan bahwa sertipikat Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun (HMASRS) dibuat berdasarkan gambar rencana rumah susun. Pada kenyataannya objek yang dibangun tidak selalu sesuai dengan gambar rencana, sehingga prosedur pendaftaran hak yang ada, belum dapat memberikan jaminan kepastian hukum. Saat ini, pembuatan sertifikat atas satuan rumah susun dipakai gambar rencana bangunan dalam sistem dua dimensi (2D). Kepastian posisi/letak, bentuk dan luas bangunan adalah untuk legalitas objek bangunan atas satuan rumah susun. Pendaftaran tanah menggunakan konsep model kadaster 3D metode hybrid cadastre dengan registration of 3D physical objects, tidak hanya untuk persil tanah akan tetapi dipakai pula pada unit properti 3D, seperti bangunan rumah susun. Pengukuran bentuk dan luas bangunan atas satuan rumah susun dilakukan dengan menggunakan pita ukur dan Distometer, sedangkan penentuan letak bangunan atas satuan rumah susun dan situasi dari lokasi bangunan dilakukan dengan menggunakan alat Electronic Total Station (ETS). Hasil pengolahan data pengukuran diintegrasikan dengan data digital peta pendaftaran tanah dan diolah secara grafis dengan menggunakan perangkat lunak AutoCAD untuk mendapatkan as-built drawing bangunan dalam sistem 3D. Beberapa bentuk dan luas bangunan atas satuan rumah susun pada gambar rencana tidak sesuai dengan bentuk dan luas bangunan atas satuan rumah susun pada as-built drawing bangunan hasil survey pemetaan lokasi bangunan rumah susun. Peraturan Pemerintah No.4 Tahun 1988 tentang Rumah Susun dalam hal pembuatan sertifikat HMASRS, perlu ditinjau kembali. Pada proses pembuatan sertifikat HMASRS diperlukan as-built drawing bangunan atas satuan rumah susun untuk memberikan informasi tentang letak/posisi, batas, bentuk dan luas yang sesuai dengan kondisi sebenarnya sehingga dapat memberikan jaminan kepastian hukum Kata kunci: HMASRS, kadaster 3D, as-built drawing,
Prosiding
Page I-1
Forum Ilmiah Tahunan Ikatan Surveyor Indonesia Pekanbaru, 10-11 November 2010
PENDAHULUAN Berdasarkan ketentuan dalam UU No. 16 Tahun 1985, rumah susun diartikan sebagai bangunan gedung bertingkat yang dibangun dalam suatu lingkungan, yang terbagi dalam bagian-bagian yang distrukturkan secara fungsional dalam arah horizontal maupun veritikal dan merupakan satuan satuan yang masing- masing dapat dimiliki dan digunakan secara terpisah, terutama untuk tempat hunian, yang dilengkapi dengan bagian bersama, benda bersama dan tanah bersama. Dalam rumah susun terdapat Satuan Rumah Susun (SRS) yang dapat dimiliki secara terpisah dan ada pula pemilikan bersama atas bagian bersama, benda bersama, dan tanah bersama. Semua itu merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan dengan pemilikan SRS. Konsep hunian telah diperkenalkan di Indonesia sejak tahun 1985 melalui pengesahan Undang Undang tentang Rumah Susun (UURS). Adanya aturan dalam undang-undang tersebut mengakibatkan meningkatnya pembangunan rumah susun dengan cepat dan hal tersebut harus diimbangi dengan pemberian jaminan kepastian hukum atas kepemilikan rumah susun bagi masyarakat. Di dalam persyaratannya UURS dan Peraturan Pemerintah No.4 Tahun 1988 tentang Rumah Susun, menjelaskan bahwa penyelenggara pembangunan wajib meminta pengesahan pertelaan melalui Badan Pertanahan Nasional kepada Pemerintah Daerah, namun di dalam peraturan tersebut tidak menyebutkan kegiatan pengukuran lapangan untuk keperluan pendaftaran haknya. Berdasarkan peraturan yang tersebut, hal ini ditafsirkan bahwa penerbitan sertifikat Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun (HMASRS) berdasarkan gambar pertelaan yang berasal dari gambar rencana rumah susun. Rumah susun hanya dapat dibangun di atas tanah Hak Milik, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai atas tanah negara atau hak pengelolaan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Selain itu, pembangunan rumah susun harus memenuhi beberapa persyaratan teknis dan administratif yang ditetapkan dalam PP No.4 Tahun 1988 tentang Rumah Susun yang mengatur tentang ruang, struktur, komponen dan bahan bangunan, satuan rumah susun, bagian dan benda bersama, kepadatan dan tata letak bangunan, dan prasarana/fasilitas lingkungan. Persyaratan administratif, berupa Ijin Lokasi dan Surat Izin Peruntukan Penggunaan Tanah, Ijin Mendirikan Bangunan, Ijin Layak Huni, dan sertifikat tanahnya. Sistem kadaster di Indonesia masih menggunakan pendekatan 2D dalam pendaftaran tanah dan rumah susun. Penetapan batas yang selama ini dilakukan pada kegiatan pendaftaran HMASRS berdasarkan pertelaan yang berisi gambar serta uraiannya dimana didalamnya berisi tentang batas setiap satuan rumah susun, bagian bersama, benda bersama dan tanah bersama. Denah pada sertifikat HMASRS digambarkan berdasarkan informasi gambar rencana yang memuat denah dan potongan serta batas vertikal dan horizontal dari satuan rumah susun. Pada kenyataannya, tidak semua pembangunan rumah susun sesuai dengan gambar rencana. Ketidaksesuaian tersebut menimbulkan masalah pada kepastian hukum bagi pemilik sertipikat HMASRS sebagai alat bukti hak, karena informasi tentang bentuk dan luas bangunannya tidak sesuai dengan kondisi sebenarnya di lapangan. Selain itu, kegiatan pendaftaran tanah terhadap HMASRS dan pembuatan peta kadaster masih menggunakan sistem dua dimensi (2D), dimana data spasial yang disajikan masih berupa peta 2D sehingga visualisasi dari lokasi bangunan rumah susun hanya berupa bidang tanah dan denah bangunan yang berasal dari gambar rencana. Definisi kadaster menurut Federation International de Geometres (FIG) tahun 1995, adalah sebagai berikut: “Cadastre is normally a parcel based, and up to date land information system containing a record of interest in land (e.g rights, restriction and responsibilities). It usually includes a geometric description of land parcel linked to other record describing the nature of the interest. The ownership or control of these interest, and often the value of the parcel and its improvements.” Konsep Kadaster tiga dimensi (Stoter, 2004) mendefinisikan kadaster sebagai pencatatan yang tidak hanya pada persil tanah akan tetapi dipakai pula untuk unit properti tiga dimensi (3D). Dengan perkembangan ilmu kadaster, model konsep kadaster 3D ini dapat diterapkan di Indonesia untuk kepentingan pendaftaran tanah terhadap HMASRS. (Hendriatiningsih S et.al, 2006). Metode Prosiding
Page I-2
Forum Ilmiah Tahunan Ikatan Surveyor Indonesia Pekanbaru, 10-11 November 2010
Hybrid Cadastre adalah metode yang mempresentasikan 3D dengan menggabungkan pendaftaran properti 3D dan sistem kadaster 2D. Model konsep kadaster 3D metode Hybrid Cadastre dengan alternatif registration of physical adalah metode yang sesuai untuk dipergunakan di Indonesia pada saat ini. (Hendriatiningsih et.al, 2007). Untuk pendaftaran HMASRS dalam sistem kadaster 3D, dibutuhkan gambar objek bangunan dalam sistem 3D yang sesuai dengan kondisi sebenarnya di lapangan, agar dapat menjamin kepastian hukum dalam hal letak, batas, bentuk dan luas bangunan atas satuan rumah susun, oleh karena itu perlu dilakukan survey pemetaan lokasi dan objek bangunan sehingga diperoleh as-built drawing yang kemudian dapat dipergunakan sebagai pertelaan untuk pembuatan sertifikat HAMSRS yang memiliki jaminan hukum. SURVEY PEMETAAN BANGUNAN RUMAH SUSUN Survey pemetaan ini dilakukan terhadap objek bangunan rumah susun Apartement Hamptom’s Park
yang lokasinya terletak di Kelurahan Cilandak Barat, Kecamatan Cilandak, Kotamadya Jakarta Selatan, Provinsi DKI Jakarta dengan luas tanah sekitar 18.550 m2. Pembangunan rumah susun ini merupakan bentuk bangunan rumah susun hunian dan bukan hunian yang terdiri dari empat bangunan rumah susun dengan jumlah lantai sebagai berikut; Tower A 24 lantai, Tower B 24 lantai, Tower C 24 lantai, dan Tower D 12 lantai. Secara keseluruhan apartemen tersebut memiliki 779 unit satuan rumah susun hunian dan 77 unit satuan rumah susun bukan hunian. Lokasi dan tata letak bangunan, seperti pada Gambar 1, sebagai berikut:
(Sumber : www.hamptons-park.com, 2010)
(Sumber: Wahyu H, 2010)
Gambar 1 Lokasi dan bangunan Data digital peta pendaftaran skala 1:1000 dengan sistem koordinat Transverse Mercator 3 derajat (TM3°) dalam format dwg pada lokasi Kelurahan Cilandak Barat, Kecamatan Cilandak, Jakarta Selatan diperoleh dari Kantor Pertanahan Kota Jakarta Selatan. Untuk membandingkan bentuk, luas satuan rumah susun, diambil beberapa sampel satuan rumah susun pada tiga tower yaitu Tower A, Tower B, dan Tower C seperti pada Tabel 1, sebagai berikut:
Prosiding
Page I-3
Forum Ilmiah Tahunan Ikatan Surveyor Indonesia Pekanbaru, 10-11 November 2010
Tabel 1. Sampel satuan rumah susun
No
Satuan Rumah Susun
Tower
Lantai ke
1
TA 7G
Tower A
6
2
TA 20C
Tower A
17
3
TA 28B
Tower A
23
4
TA 28H
Tower A
23
5
TB 7H
Tower B
6
6
TC 9E
Tower C
8
7
TC 27N
Tower C
22
Pemetaan situasi lokasi rumah susun dilakukan dengan menggunakan alat ukur Electronic Total Station dengan membuat kerangka dasar pemetaan berupa poligon tertutup. Titik awal pemetaan adalah titik A1 yang didefinisikan dalam sistem koordinat lokal (1000, 1000) dan azimuth awal dari titik A1 ke titik A2 ditetapkan sebesar 00. Bentuk polygon, seperti Gambar 2, sebagai berikut:
Tower D
TitikPoligon Titik detail
Gambar 2. Kerangka dasar pemetaan poligon
Pengukuran sudut dan jarak dilakukan pada titik-titik kerangka dasar poligon, yang sehingga diperoleh koordinat titik-titik poligon tersebut. Agar supaya koordinat lokal tersebut dalam sistem koordinat nasional, maka koordinat lokal ditransformasikan ke dalam sistem koordinat proyeksi TM30.
Prosiding
Page I-4
Forum Ilmiah Tahunan Ikatan Surveyor Indonesia Pekanbaru, 10-11 November 2010
Pengukuran tinggi lantai setiap satuan rumah susun dilakukan dengan menentukan jarak secara vertikal antara permukaan lantai. Oleh karena Kantor Pertanahan belum menggunakan sistem tinggi, maka lantai dasar (ground floor) dipakai sebagai acuan tinggi awal (z=0). Tinggi ruangan atas satuan rumah susun ditentukan dengan mengukur jarak antara permukaan lantai dengan permukaan plafond secara vertikal. Pengukuran dilakukan dengan menggunakan alat distometer. Untuk mendapatkan bentuk geometri satuan rumah susun dilakukan pengukuran dengan menggunakan metode trilaterasi yaitu metode penentuan posisi titik-titik batas atas satuan rumah susun dengan melakukan pengukuran jarak sisi (dinding) ruangan dan jarak diagonal ruangan, dengan mempergunakan pita ukur. Penggabungan antara data planimetris (x,y) dan tinggi lantai (z) merupakan koordinat obyek dalam tiga dimensi (x,y,z) sesuai dengan kondisi di lapangan. Data pengukuran diolah untuk menghitung koordinat titik detail dan bidang tanah, yang selanjutnya koordinat titik dihitung dalam satu sistem koordinat proyeksiTM30 . Untuk menyajikan batas-batas atas satuan rumah susun secara visual dipergunakan perangkat lunak AutoCAD sehingga diperoleh batas-batas lantai ruang. Kemudian dibentuk data spasial rumah susun berdasarkan batas ruang atas satuan rumah susun. Bentuk unit satuan rumah susun masih menggunakan persil 2D dalam pendaftaran haknya. Oleh karena itu obyek HMASRS diintegrasikan dengan peta pendaftaran yang ada sehingga menghasilkan peta pendaftaran 2,5D. Peta pendaftaran 2,5D mempunyai kelebihan karena selain dapat menyajikan informasi obyek HMASRS dalam sistem 3D tetap dapat memberikan informasi mengenai batas, luas dan posisi untuk keperluan legalitas terhadap obyek HMASRS dalam bidang persil 2D. Gambar objek satuan ruamh susun dalam sistem 2D dan 3D, seperti Gambar 3, sebagai berikut:
SRS dalam 2D
SRS dalam 3D Gambar 3 Objek HMASRS dalam 2D dan 3D
Visualisasi satuan rumah susun dalam 2D dipergunakan sebagai dasar untuk pembuatan gambar denah pada sertifikat HMASRS, sehingga memberikan kepastian mengenai hak perorangan. Informasi luas yang diperoleh, dapat dipergunakan untuk menentukan kepemilikan bersama. Sedangkan visualisasi dalam 3D dapat memberikan informasi mengenai bentuk geometri atas satuan rumah susun. Prosiding
Page I-5
Forum Ilmiah Tahunan Ikatan Surveyor Indonesia Pekanbaru, 10-11 November 2010
Pada satuan rumah susun telah ditetapkan secara tegas bahwa kepemilikannya dibatasi oleh dinding, permukaan bagian dalam dari dinding pemisah, permukaan bagian bawah dari langit-langit struktur, permukaan bagian atas dari lantai struktur. Pada kegiatan pendaftaran tanah, batas-batas ruang tersebut ditegaskan melalui penetapan batas ruang. Informasi spasial yang dihasilkan dari kegiatan penetapan batas ruang dapat divisualisasikan secara 3D pada peta kadaster melalui akuisisi dan pengolahan data, seperti pada Gambar 4, sebagai berikut:
langit-langit
dinding Lantai
Gambar 4. Visual objek satuan rumah susun
Koordinat titik-titik detail bangunan dalam bentuk 3D dipakai untuk memvisualisasikan objek bangunan dengan menggunakan perangkat lunak AutoCAD 3D seperti pada Gambar 5, sebagai berikut:
Gambar 5. Visualisasi objek HMASRS dalam 3D
Prosiding
Page I-6
Forum Ilmiah Tahunan Ikatan Surveyor Indonesia Pekanbaru, 10-11 November 2010
PENUTUP Dari kajian (Wahyu H, 2010) diperoleh bahwa ketelitian planimetrik, ketelitian jarak dan ketelitian luas pada informasi gambar rencana tidak sesuai dengan as-built drawing bangunan yang dibuat berdasarkan kondisi lapangan dengan toleransi yang ditetapkan oleh BPN. Berdasarkan peraturan, penetapan batas dilakukan pada gambar rencana, akan tetapi pada kenyataannya secara teknis gambar rencana yang menggambarkan posisi, bentuk dan batas obyek HMASRS tidak sesuai dengan kondisi sebenarnya di lapangan. Untuk memberikan kepastian hukum, kegiatan pendaftaran HMASRS dalam hal penetapan batas dan pengukuran harus dilaksanakan di lapangan agar sesuai dengan kondisi yang sebenarnya. Oleh karena itu sebelum dilakukan pengesahan gambar pertelaan, harus dilakukan penetapan batas obyek HMASRS dan survey pemetaan pada lokasi bangunan. Dengan menggunakan konsep ruang, bangunan satuan rumah susun dapat disajikan dalam sistem 3D yang merupakan dasar dari sistem kadaster 3D. Konsep Kadaster 3D dengan metode hybrid cadastre alternatife registration of 3D physical objects dapat membentuk geometri dan posisi setiap objek HMASRS, dimana tampilannya sesuai dengan pembatasan hak yang dihasilkan dari penetapan batas ruang. Obyek fisik 3D tersebut selanjutnya dapat dipakai sebagai entitas untuk pendaftaran tanah dan tetap mengacu pada persil.
Untuk memberikan kepastian hukum, kegiatan pendaftaran HMASRS dalam hal penetapan batas perlu dilakukan pengukuran lapangan sesuai dengan kondisi bangunan yang sebenarnya untuk pengesahan gambar pertelaan terhadap obyek bangunan satuan rumah susun. Tanda batas yang merupakan salah satu persyaratan suatu objek hak dimana pemilik berkewajiban menentukan sesuai dengan penetapan batasnya. Sebagian besar batas-batas dalam satuan rumah susun telah ditandai dengan benda yang berupa dinding, pagar, lantai, langit-langit, dan menurut Pasal 21 Peraturan Pemerintah No.3 tahun 1997 batas-batas tersebut tidak perlu dipasang tanda batas. Tanda batas diperlukan pada saat kegiatan pendaftaran dalam rangka pemberian hak yang membatasi hak pemilik rumah susun dalam penggunaan ruang. Penggunaan tanda batas yang selama ini diterapkan untuk bidang tanah, tidak dapat dipergunakan dalam satuan rumah susun karena penggunaan ruang dalam rumah susun kondisinya terbatas dan pemasangan tanda batasnya harus mempertimbangkan aspek estetika. Penetapan batas ruang dalam pendaftaran obyek HMASRS tidak memerlukan kesepakatan pihak yang bersangkutan seperti yang pada umumnya dilakukan pada pendaftaran bidang tanah, karena: penguasaan ruang dalam satuan rumah susun pada kenyataannya dibatasi oleh obyek yang menunjukkan batas penguasaan ruang yaitu dinding, lantai, langit-langit; dalam pendaftaran hak milik atas satuan rumah susun, semua unit satuan rumah susun pemberian haknya diberikan atas nama penyelenggara rumah susun. Oleh karena itu, untuk penetapan batas ruang dalam pendaftaran objek HMASRS dibutuhkan as-built drawing bangunan yang sesuai dengan kondisi bangunan sebenarnya yang telah dibangun. Sebagai penutup, dapat ditarik kesimpulan bahwa:
Beberapa bentuk dan luas bangunan atas satuan rumah susun pada gambar rencana tidak sesuai dengan bentuk dan luas bangunan atas satuan rumah susun pada as-built drawing bangunan hasil survey as-built..
Peraturan Pemerintah No.4 Tahun 1988 tentang Rumah Susun dalam hal pembuatan sertifikat HMASRS, perlu ditinjau kembali.
Prosiding
Page I-7
Forum Ilmiah Tahunan Ikatan Surveyor Indonesia Pekanbaru, 10-11 November 2010
Pada proses pembuatan sertifikat HMASRS diperlukan as-built drawing bangunan atas satuan rumah susun dalam sistem 3D untuk memberikan informasi tentang letak/posisi, batas, bentuk dan luas yang sesuai dengan kondisi sebenarnya sehingga dapat memberikan jaminan kepastian hukum.
DAFTAR PUSTAKA
Hendriatiningsih S, Iwan Kurniawan, Marihot P Siahaan (2006), 3D Cadastre of Property Strata Title for Taxation Purpose: A case Study of Bandung, Electronic Centre Building, North Bandung, International Symposium & Exhibition on Geoinformation 2006 (ISG 2006), Subang Jaya, Selangor, Malaysia, 19-21 September 2006. Hendriatiningsih S, Soemarto I, Leksono B E, Kurniawan I, Dewi N K, Soegito N (2007), Identification of 3-Dimensional Cadastre Model for Indonesian Purpose, FIG Working Week, TS2A-Standardisation Approaches in Land Administration, Hongkong, 13-17 Mei 2007. Stoter, J.E., (2004), 3D Cadastre, Netherlands: NCG Netherlands Geodetic Commission. Wahyu, H., Hendriatiningsih S, D Wihardi (2010), Kajian Penetapan Batas Ruang dalam kegiatan Pendaftaran Tanah untuk Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun, KK Surveying dan Kadaster, Program Studi Geodesi dan Geomatika bidang Pengutamaan Magister Administrasi Pertanahan, Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian, Institut Teknologi Bandung.
Prosiding
Page I-8
Forum Ilmiah Tahunan Ikatan Surveyor Indonesia Pekanbaru, 10-11 November 2010
PENGGUNAAN ANALYTICAL HIERARCHY PROCESS UNTUK MENENTUKANPRIORITAS SYARAT LOKASI PENDAFTARAN TANAH SISTEMATIK AJUDIKASI LMPDP(Studi Kasus di Kabupaten Kulon Progo, D.I. Yogyakarta) ANALITYCAL HIERARCHY PROCES FOR DETERMINING THE ORDER OF PRIORITYOF LAND REGISTRATION AREA OF LMPDP ADJUDICATION(Case Studies in Kulon Progo District, D.I. Yogyakarta 1
2
3
Dody Hendriono , Prijono Nugroho , Yulaikhah Program Studi Magister Teknik Geomatika Program Pascasarjana Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada ABSTRACT One of the activities to accelerate land registration in Indonesia which is carried out by BPN is through Land Management and Policy Development Program (LMPDP) Systematic Land Registration,and known as Adjudication. The land registration area is based on Land Office proposed with certain criteria as stipulated in Government Regulation No. 24/1997 and the LMPDP Project Management Manual. Although the criteria of adjudication area was set up, but it was not mentioned therein the order of priority of each criterion. This has lead to various interpretations in determining the priority order on the required criteria.It was caused less of maximum selection of land registration area and made far from the objectives and targets of the LMPDP Systematic Land Registration Adjudication. This research proposes a method for determining the order of priority of land registration area of LMPDP adjudication, using Analitycal Hierarchy Process (AHP), with a case study in Kulon Progo District Land Office, Daerah Istimewa Yogyakarta Province, Indonesia. The purpose of this research is to assess the AHP method in determining the parameter of the order of priority of LMPDP Adjudication area in a district. Determination value of requirement parameters were obtained by distributing questionnaires to 28 employees at the District Land Office and Regional Office at Yogyakarta who have been involved in the LMPDP Adjudication. The evaluation will be done by comparing the results of the AHP with the landregistration area of the adjudication in 2008 in Kulon Progo. Result of this research shows that the order of priority of the requirement adjudication area, which previously could not be determined, can be sorted. By using this priority order, determining adjudication area can be done better because the alternative adjudication area can be more widely known, more detailed, and each has a weight of its quantitative value. Key words: AHP, Systematic Land Registration, Adjudication, LMPDP
1 2 3
Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia, Jakarta. (
[email protected]) Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
Prosiding
Page J-1
Forum Ilmiah Tahunan Ikatan Surveyor Indonesia Pekanbaru, 10-11 November 2010
PENGANTAR Salah satu program yang dilakukan oleh BPN RI dalam melakukan percepatan pendaftaran tanah di Indonesia adalah melalui Pendaftaran Tanah Sistematik (PTS) Ajudikasi Land Management and Policy Development Program (LMPDP). Dalam kegiatan PTS Ajudikasi LMPDP, penentuan lokasi adalah hal yang sangat penting, sehingga pencapaian tujuan untuk kegiatan ini dapat terlaksana dengan baik. Sementara ini penentuan lokasi didasarkan pada usulan dari Kantor Pertanahan dan persentase bidang tanah bersertipikat tanpa memperhatikan kesesuaian dengan potensi daerah tersebut. Hal ini dapat menimbulkan persoalan seperti tidak tercapainya target sertipikasi massal serta bias dari tujuan pensertipikatan massal tersebut. Metode Analytical Hierarchy Process (AHP) adalah sebuah metode yang digunakan untuk menentukan suatu skala prioritas yang luwes dalam mengambil keputusan. Oleh karenanya, metode AHP ini dapat menjadi alternatif untuk mengatasi persoalan di atas. Dengan menggunakan metode ini, urutan prioritas parameter penentu lokasi PTS Ajudikasi LMPDP dapat ditentukan. Metode penentuan prioritas lokasi untuk kegiatan Pendaftaran Tanah Sistematik LMPDP mengacu pada Peraturan Pemerintah No 24 Tahun 1997 pasal 46 ayat (3), Project Management Manual PTS Ajudikasi LMPDP. Akan tetapi, dalam keduanya tidak disebutkan urutan dan nilai prioritas dari tiap kriteria, sehingga menimbulkan bermacam penafsiran pada tingkat kantor pertanahan dalam menentukan urutan prioritas pada kriteria yang disyaratkan. yang sering menyebabkan hasil dari pemilihan calon lokasi kegiatan PTS Ajudikasi LMPDP menjadi kurang maksimal yang pada akhirnya menyebabkan tujuan dan target kegiatan menjadi kurang maksimal pula. Berdasarkan hal tersebut, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah “Apakah metode AHP merupakan metode yang lebih tepat dipergunakan dalam proses pemilihan lokasi Pendaftaran Tanah Sistematik untuk menentukan prioritas lokasi guna meningkatkan pencapaian target sertipikasi Prosiding
Page J-2
Forum Ilmiah Tahunan Ikatan Surveyor Indonesia Pekanbaru, 10-11 November 2010
LMPDP”. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengevaluasi/mengkaji metode AHP dalam menentukan urutan prioritas syarat lokasi PTS Ajudikasi LMPDP di suatu kabupaten/kota. Manfaat yang diharapkan dari hasil penelitian ini adalah untuk mendapatkan metode alternatif yang lebih obyektif berdasarkan data teknis kondisi dan potensi daerah berdasarkan urutan prioritas parameter dalam menentukan lokasi kegiatan pendaftaran tanah sistematik BPN RI. Hal ini dimaksudkan agar dapat meningkatkan capaian target kegiatan pendaftaran tanah sistematik dan mencegah timbulnya tunggakan pekerjaan akibat tidak selesainya proses pendaftaran tanah sistematik karena ketidak-tepatan pemilihan lokasi.
TINJAUAN PUSTAKA Menurut Mulyono (1996), skala ukuran panjang (meter), temperatur (derajat), waktu (detik) dan uang (rupiah) telah digunakan dalam kehidupan sehari-hari untuk mengukur bermacam-macam kejadian yang sifatnya fisik dapat diterima secara umum. Akan tetapi, penggunaan skala tersebut sulit digunakan untuk mengukur berbagai persoalan sosial, ekonomi dan politik. Kesulitan-kesulitan ini dipengaruhi oleh keterkaitan antar tindakan tersebut. Untuk itu diperlukan suatu skala yang luwes yang disebut prioritas, yaitu suatu ukuran abstrak yang berlaku untuk semua skala. Penentuan prioritas inilah yang dilakukan dengan menggunakan Analytical Hierarchy Process (AHP). Analytical Hierarchy Process (AHP) merupakan suatu model pendukung keputusan yang dikembangkan oleh Thomas L. Saaty (1994). Metode ini adalah sebuah kerangka untuk mengambil keputusan dengan efektif atas persoalan yang kompleks dengan menyederhanakan dan mempercepat proses pengambilan keputusan dengan memecahkan persoalan tersebut kedalam bagian-bagian (dekomposisi), menata bagian atau variabel ini dalam suatu susunan hirarki dan memberi nilai numerik pada pertimbangan subjektif tentang pentingnya tiap variabel (penilaian komparasi) serta mensintesis Prosiding
Page J-3
Forum Ilmiah Tahunan Ikatan Surveyor Indonesia Pekanbaru, 10-11 November 2010
berbagai pertimbangan ini untuk menetapkan variabel yang mana yang memiliki prioritas paling tinggi dan bertindak untuk mempengaruhi hasil pada situasi tersebut (penentuan prioritas). Bourgeois (2005) menyatakan bahwa AHP umumnya digunakan dengan tujuan untuk menyusun prioritas dari berbagai alternatif kompleks/multi kriteria yang ada. Secara umum, dengan menggunakan AHP, prioritas yang dihasilkan akan bersifat konsisten dengan teori, logis, transparan, dan partisipatif. Pada prinsipnya, metode AHP ini membagi suatu situasi yang kompleks dan tidak terstruktur, ke dalam bagian-bagian secara lebih terstruktur, mulai dari goals ke objectives, kemudian ke sub-objectives lalu menjadi alternatif tindakan. Pembuat keputusan kemudian membuat perbandingan sederhana hirarki tersebut untuk memperoleh prioritas seluruh alternatif yang ada. Kajian pustaka yang dilakukan oleh Herawati, dkk (2009) tentang penentuan lokasi Pendaftaran Tanah Sistematik LMPDP menggunakan metode Sistem Pendukung Keputusan Spasial melalui Spatial Analyst for ArcView GIS menyimpulkan bahwa AHP dan SPK Spasial dapat digunakan untuk penentuan prioritas lokasi karena pengambilan keputusan spasial bersifat kuantitatif dan kualitatif. Nanang Setyawan (2008) meneliti tentang penentuan prioritas lokasi PRONA menggunakan metode rank sum. Dari penelitian tersebut diperoleh hasil bahwa kriteria yang berpengaruh signifikan terhadap penentuan prioritas lokasi PRONA adalah angka kemiskinan, perbandingan luas bidang bersertipikat dengan luas wilayah, tingkat pendidikan, jenis pekerjaan penduduk, luas penggunaan tanah, angka kepadatan penduduk dan jarak kantor desa ke kantor pertanahan dengan korelasi angka kepadatan penduduk dan luas penggunaan tanah.
PELAKSANAAN PENELITIAN Penelitian ini dilakukan dalam beberapa tahap seperti yang ditunjukkan pada Gambar 1.a sampai dengan Gambar 1.d. Tahap-tahap tersebut secara ringkas adalah sebagai berikut: Prosiding
Page J-4
Forum Ilmiah Tahunan Ikatan Surveyor Indonesia Pekanbaru, 10-11 November 2010
1
Tahap persiapan meliputi penyiapan administrasi dan surat-surat penelitian; studi pustaka untuk
mendapatkan berbagai informasi terkait dengan penelitian yang akan dilaksanakan; penentukan software yang akan digunakan, penyiapan perangkat keras dan software, mempersiapkan bentuk dan pertanyaan kuisioner, serta cara pengisian kuisioner dan menentukan waktu penjadwalannya. 2
Pengumpulan data kuisioner, yang merupakan data primer. Kuisioner ini mengambil 28
responden dari para pegawai di lingkungan Kantor Pertanahan Kabupaten Bantul, Sleman, Gunung Kidul dan Kulon Progo serta Kantor Wilayah BPN Propinsi D.I. Yogyakarta. Kuisioner ini berisi 10 parameter yang diperbandingan antara satu dengan yang lainnya. 3
Pengumpulan data sekunder berupa data spasial berupa peta indeks desa dan peta administratif
Kab. Kulon Progo, dan data non spasial untuk Kab. Kulon Progo berupa laporan akhir ajudikasi 2008 Kab. Kulon Progo, jumlah tanah terdaftar tiap desa, daftar titik dasar teknik orde 3 dan 4, perkiraan tanah belum terdaftar, katalog BPS no 1403.3401.010 s.d 1403.3401.120 dan textual database Kantor Pertanahan Kab. Kulon Progo. 4.
Pengolahan data primer hasil kuisioner (10 parameter) dengan menggunakan software AHP
(Expert Choice 11) untuk mendapatkan hasil urutan prioritas parameter syarat lokasi PTS Ajudikasi LMPDP. Kemudian melakukan pengolahan data-data sekunder untuk mendapat format data yang sesuai kebutuhan, dan menggabungkannya dengan data primer untuk mendapatkan hasil urutan alternatif desa lokasi PTS Ajudikasi LMPDP tiap parameter syarat. 5.
Menyusun urutan prioritas parameter syarat PTS Ajudikasi LMPDP beserta nilai bobotnya.
Langkah ini dilakukan dengan menggunakan perhitungan manual AHP dan menggunakan software AHP. 6.
Menghilangkan dua dari sepuluh parameter yang merupakan parameter tambahan karena data
untuk pembobotan alternatif lokasi dua parameter tersebut harus dilakukan pada saat keputusan akhir penentuan lokasi diambil dan bersifat temporal dan insidensil, kemudian mengolah ulang AHP 8 Prosiding
Page J-5
Forum Ilmiah Tahunan Ikatan Surveyor Indonesia Pekanbaru, 10-11 November 2010
(delapan) parameter lainnya untuk memperoleh urutan prioritas parameter syarat dan prioritas alternatif lokasi PTS Ajudikasi LMPDP yang baru. 7.
Membuat peta prioritas lokasi kegiatan PTS Ajudikasi LMPDP berdasarkan hasil AHP dengan
skala 1:150000 berdasarkan urutan 8 (delapan) parameter. 8.
Membandingkan hasil pengolahan AHP dengan lokasi PTS Ajudikasi PTS tahun 2008 yang
sebenarnya dan mencari penyebab tidak terpilihnya lokasi-lokasi prioritas menurut AHP pada kegiatan PTS Ajudikasi LMPDP tahun 2008 di Kab. Kulon Progo. 9.
Membuat Peta Lokasi PTS Ajudikasi LMPDP Tahun 2008 Kab. Kulon Progo dengan skala 1 :
150000.
HASIL DAN PEMBAHASAN 1.Hasil Pengolahan Data Kuisioner. Proses pembobotan dilakukan/diberikan berdasarkan penilaian bobot dari pemberi bobot. Pada penelitian ini pemberian bobot diberikan oleh 28 (dua puluh delapan) responden, sehingga pengolahan AHP juga menggunakan data 28 (dua puluh delapan) kali. Pemberian bobot ini akan menghasilkan urutan prioritas parameter syarat lokasi PTS Ajudikasi LMPDP beserta nilai bobotnya dan nilai konsistensi jawaban dari para responden. Tabel 1 menunjukkan urutan 10 parameter syarat, dari 10 perameter tersebut, syarat partisipasi masyarakat dan kondisi sosial masyarakat tidak dipergunakan dalam pengolahan selanjutnya karena kedua parameter tersebut merupakan parameter yang bersifat temporal dan insidensil, sehingga parameter tersebut dipergunakan sebagai pertimbangan tambahan pada saat penentuan keputusan lokasi dilakukan. Susunan prioritas 8 parameter syarat seperti yang ditunjukkan pada Tabel 2. Nilai konsistensi yang dihasilkan dari para responden untuk 10 (sepuluh) parameter adalah 3% (menggunakan software AHP) dan 2,5% (menggunakan perhitungan manual). Sedangkan nilai Prosiding
Page J-6
Forum Ilmiah Tahunan Ikatan Surveyor Indonesia Pekanbaru, 10-11 November 2010
konsistensi yang dihasilkan untuk 8 (delapan) parameter adalah 3% (menggunakan software AHP) dan 2,5% (menggunakan perhitungan manual). Dari kedua nilai konsistensi tersebut dapat diartikan bahwa rata-rata responden menjawab secara konsisten pertanyaan-pertanyaan kuisioner.
Pemberian bobot
parameter dikatakan inkonsisten jika nilai konsistensi lebih dari 10%. 2. Pengolahan Data Hasil Pembobotan Alternatif Desa/Kelurahan. Sesudah mendapatkan urutan prioritas syarat lokasi beserta nilai bobotnya, kemudian dilakukan memberikan nilai bobot pada 88 (delapan puluh delapan) alternatif pilihan desa/kelurahan yang akan dijadikan sebagai lokasi PTS Ajudikasi LMPDP. Semua desa tersebut masing-masing diperbandingkan dan diberi bobot berdasarkan 8 parameter syarat lokasi. Idealnya, pada penilaian perbandingan tiap desa, dilakukan oleh seluruh responden, akan tetapi hal ini sangat menyita waktu dan tenaga sehingga pada penelitian kali ini hanya dilakukan oleh satu pihak saja berdasarkan data hasil pengolahan data sekunder. Untuk setiap parameter syarat, akan dihasilkan urutan alternatif desa akan berbeda. 3. Integrasi Pembobotan Parameter Syarat dan Alternatif Desa. Sesudah pembobotan desa alternatif tiap parameter syarat dilakukan, maka hasil yang diperoleh adalah urutan prioritas desa calon lokasi kegiatan PTS Ajudikasi LMPDP. Jika dikaitkan dengan target 15.000 sertipikat pada kegiatan PTS Ajudikasi LMPDP, maka urutan 88 desa ini kemudian dipersempit menjadi 10 (sepuluh) desa teratas. Hal ini dilakukan karena jumlah bidang tanah belum terdaftar pada kesepuluh desa tersebut adalah sebanyak 33.057 bidang. Kesepuluh desa tersebut adalah Karangsari, Sidomulyo, Triharjo, Karangsewu, Giripurwo, Bendungan, Hargomulyo, Pagerharjo, Kulwaru, dan Ngestiharjo. Letak dan posisi desa-desa tersebut dapat dilihat pada Gambar 2. 4. Perbandingan hasil pengolahan AHP dengan lokasi PTS Ajudikasi PTS tahun 2008. Berdasarkan Laporan Akhir Kegiatan Pendaftaran Tanah Sistematik Ajudikasi LMPDP Tahun 2008 Kantor Pertanahan Kab. Kulon Progo, disebutkan bahwa desa/kelurahan yang menjadi lokasi Prosiding
Page J-7
Forum Ilmiah Tahunan Ikatan Surveyor Indonesia Pekanbaru, 10-11 November 2010
kegiatan tersebut adalah Desa Kulwaru, Ngestiharjo, Bendungan, Triharjo di Kecamatan Wates; Sidomulyo dan Karangsari di Kecamatan Pengasih, serta Giripurwo di Kecamaran Girimulyo. Dibandingkan dengan hasil pemilihan dengan metode AHP, maka terdapat beberapa perbedaan desa yang dipilih untuk menjadi lokasi. Desa yang tidak dipilih untuk dijadikan lokasi PTS Ajudikasi LMPDP tahun 2008 adalah Karangsewu (4), Hargomulyo (7), dan Pagerharjo (8). Ketiga desa tersebut ditandai dengan lingkaran hijau pada Gambar 4.5, sedangkan perbandingan hasil penelitian dan hasil pemilihan lokasi ajudikasi 2008 di Kab Kulon Progo seperti ditunjukkan pada Tabel 3 dan Gambar 2 Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, terdapat dua parameter syarat yang tidak dimasukkan ke dalam menghitung alternatif dalam AHP, dimana salah satu faktort tersebut memiliki bobot yang cukup tinggi, yaitu parameter partisipasi masyarakat setempat. Dalam hal tidak dipilihnya desa-desa tersebut, beberapa alasan yang terungkap dalam wawancara dengan para responden diantaranya adalah: a. Masih kurangnya partisipasi masyarakat akan kegiatan PTS Ajudikasi LMPDP di Kecamatan Galur. Hal ini juga didukung dengan tidak tercapainya target sertipikasi melalui kegiatan Ajudikasi tahun 2005 dan 2006 pada desa-desa disekitar Desa Karangsewu Kecamatan Galur. b. Kondisi sosial masyarakat yang cenderung lebih tidak stabil di daerah-daerah pesisir pantai selatan Kab. Kulon Progo berkaitan dengan adanya penambangan pasir besi di daerah tersebut. c. Terdapat desa yang memiliki bobot yang sama, sehingga dipilih desa yang berada pada kecamatan yang sama dan berbatasan dengan desa yang memiliki bobot tinggi, agar unsur sistematik pada pendaftaran tanah terpenuhi.
Misalnya Kulwaru dan
Ngestiharjo (lingkaran biru pada Gambar 3) lebih dipilih daripada Hargomulyo dan
Prosiding
Page J-8
Forum Ilmiah Tahunan Ikatan Surveyor Indonesia Pekanbaru, 10-11 November 2010
Pagerharjo karena Kulwaru dan Ngestiharjo berada di kecamatan yang sama dan berbatasan dengan Triharjo dan Bendungan.
KESIMPULAN Berdasarkan hasil dan pembahasan di atas, maka dapat disimpulkan sebagai berikut: 1
Metode Analytical Hierarchy Process (AHP) adalah sebuah metode yang dapat digunakan untuk
menentukan suatu skala prioritas urutan parameter syarat lokasi kegiatan PTS Ajudikasi LMPDP. Dengan menggunakan AHP, alternatif desa untuk lokasi kegiatan PTS Ajudikasi LMPDP dapat diketahui lebih banyak dan lebih rinci/detil. 2.
Dalam menentukan lokasi untuk kegiatan PTS Ajudikasi LMPDP di Propinsi Daerah Istimewa
Yogyakarta dan Jawa Tengah, urutan parameter syarat lokasinya berturut turut adalah perkiraan jumlah bidang tanah belum terdaftar, ketersediaan peta digital, persentase bidang tanah terdaftar maksimal 30%, lokasi kegiatan PTS ajudikasi, partisipasi masyarakat setempat, ketersediaan titik KDTN, stabilitas sosial masyarakat, dan tingkat ekonomi masyarakat. 2
Parameter syarat partisipasi masyarakat setempat dan stabilitas sosial masyarakat digunakan
pada saat penentuan akhir lokasi dengan didasarkan pada kondisi terakhir desa calon lokasi PTS Ajudikasi LMPDP. 3
Dengan memperhatikan target bidang untuk kegiatan PTS Ajudikasi LMPDP tahun 2008
sebanyak 15.000 bidang, maka urutan prioritas desa lokasi dapat difokuskan kedalam 10 prioritas desa teratas. Pada kegiatan PTS Ajudikasi LMPDP tahun 2008 di Kabupatern Kulon Progo, terpilih tujuh desa dari sepuluh desa tersebut. Desa-desa yang tidak terpilih menjadi lokasi adalah desa-desa yang memiliki bobot kecil menurut parameter partisipasi masyarakat dan kondisi sosial ekonomi masyarakat..
Prosiding
Page J-9
Forum Ilmiah Tahunan Ikatan Surveyor Indonesia Pekanbaru, 10-11 November 2010
DAFTAR PUSTAKA Anonim1. (2003). Project Management Manual. Jakarta: BPN RI. Anonim2, (2008). Katalog BPS No. 1403.3401.010 - 120. Yogyakarta Anonim3, (2008). Katalog BPS No. 1403.3401. (Kabupaten Kulon Progo dalam Angka 2008). Yogyakarta Anonim5, (2009). Laporan Akhir Kegiatan Pendaftaran Tanah Sistematik Ajudikasi Kabupaten Kulon Progo Tahun 2008. Yogyakarta: BPN RI Bourgeois, R. (2005). Analytical Hierarchy Process: an Overview, UNCAPSA-UNESCAP. Bogor Herawati, I., Susilowati, Y., & Wihardi, D. (2009). Penentuan Prioritas Lokasi Pendaftaran Tanah Sistematik Dengan Sistem Pendukung Keputusan (SPK) Spasial (Studi Kasus Kab.Bandung, Kab.Subang dan Kab.Tasikmalaya). Seminar Nasional, Peran Informasi Geospasial untuk Pembangunan Berkelanjutan (hal. A10-A19). Semarang: Program Studi Teknik Geodesi – FT UNDIP; Ikatan Surveyor Indonesia. http://jihadi.staff.umm.ac.id/files/2010/01/Consistency_Ratio_AHP.doc, akses tanggal 8 Agustus 2010 Kulonprogo, P. D. (2010). Pemerintah Daerah Kulonprogo. Akses tanggal 25 Januari 2010, dari Pemerintah Daerah Kulonprogo: http://www.kulonprogokab.go.id Pusat Hukum Dan Humas BPN RI, (1997), Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN No 3. Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah. Jakarta. Pusat Hukum Dan Humas BPN RI, (1997), Peraturan Pemerintah No 24. Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah. Jakarta. Saaty, T.L., (1994), Fundamentals of Decision Making and Priority Theory with the Analytic Saaty, T.L., (1994) How To Make A Decision: The Analytic Hierarchy Process. Interfaces Journal Volume 24 No 6, (hal. 19-43). Seputro, H., (2008). Modul 6 - Proses Hirarki Analitik. 2008. Akses tanggal 24 Januari 2010 dari http://www.scribd.com/doc/2908406/Modul-6-Analytic-Hierarchy-Process. Setyawan, N. (2008). Penentuan Prioritas Lokasi Prona Menggunakan Metode Rank Sum (Studi Kasus Kecamatan Purwanegara Kabupaten Banjarnegara Provinsi Jawa Tengah). Bandung: ITB. Susila, W.R., dan Munadi, E., (2007). Penggunaan Analytical Hierarchy Process Untuk Penyusunan Prioritas Proposal Penelitian. Informatika Pertanian Volume 16 No. 2, (hal. 983 – 998). Akses tanggal 1 Februari 2010 dari http://www.litbang.deptan.go.id/warta-ip/vol-16-2 Prosiding
Page J-10
Forum Ilmiah Tahunan Ikatan Surveyor Indonesia Pekanbaru, 10-11 November 2010
Yulianti, S.P., (2008). Pelaksanaan Pendaftaran Tanah Sistematik Dan Pengaruhnya Terhadap Tertib Pertanahan (Studi Di Kelurahan Serdang Jakarta Pusat). Semarang: Universitas Diponegoro.
Prosiding
Page J-11
Forum Ilmiah Tahunan Ikatan Surveyor Indonesia Pekanbaru, 10-11 November 2010
Gambar 1.b. Diagram Alir Tahapan Penelitian (Analisa Data Non Spasial) Prosiding
Page J-12
Forum Ilmiah Tahunan Ikatan Surveyor Indonesia Pekanbaru, 10-11 November 2010
Prosiding
Page J-13
Forum Ilmiah Tahunan Ikatan Surveyor Indonesia Pekanbaru, 10-11 November 2010
Gambar 2 Letak 10 Desa Prioritas Tertinggi Menurut AHP
Gambar 3 Letak Desa Hasil AHP dan Lokasi Ajudikasi LMPDP Tahun 2008 Prosiding
Page J-14
Forum Ilmiah Tahunan Ikatan Surveyor Indonesia Pekanbaru, 10-11 November 2010
Tabel 1 Urutan Prioritas 10 Parameter Syarat No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Parameter Syarat
Bobot
Perkiraan Jumlah Bidang Tanah belum terdaftar Ketersediaan Peta Digital Persentase Bidang Tanah Terdaftar Maksimal 30% Lokasi kegiatan PTS Ajudikasi Partisipasi Masyarakat Setempat Ketersediaan Titik KDTN Stabilitas Sosial Masyarakat Tingkat Ekonomi Masyarakat Daerah Pengembangan Perkotaan (sub-urban) Daerah Pertanian Produktif (rural)
0,170 0,165 0,151 0,105 0,090 0,083 0,070 0,058 0,057 0,050
Tabel 2 Urutan Prioritas 8 Parameter Syarat No 1 2 3 4 5 6 7 8
Prosiding
Parameter Syarat Perkiraan Jumlah Bidang Tanah belum terdaftar Ketersediaan Peta Digital Persentase Bidang Tanah Terdaftar Maksimal 30% Lokasi kegiatan PTS Ajudikasi Partisipasi Masyarakat Setempat Ketersediaan Titik KDTN Stabilitas Sosial Masyarakat Tingkat Ekonomi Masyarakat
Bobot 0,205 0,186 0,209 0,096 0,121 0,057 0,063 0,064
Page J-15
Forum Ilmiah Tahunan Ikatan Surveyor Indonesia Pekanbaru, 10-11 November 2010
Tabel 3 Perbandingan Urutan Prioritas Desa Berdasarkan Penelitian dan Desa Lokasi PTS Ajudikasi LMPDP Tahun 2008 di Kab. Kulon Progo Peringkat 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Prosiding
Nama Desa/Kelurahan Karangsari Sidomulyo Triharjo Karangsewu Giripurwo Bendungan Hargomulyo Pagerharjo Kulwaru Ngestiharjo
Bobot Total
Lokasi Ajudikasi 2008 (Ya/Tidak)
0,022 0,020 0,020 0,019 0,019 0,017 0,016 0,016 0,016 0,016
Ya Ya Ya Tidak Ya Ya Tidak Tidak Ya Ya
Page J-16
Forum Ilmiah Tahunan Ikatan Surveyor Indonesia Pekanbaru, 10-11 November 2010
Kebijakan Pengelolaan Lingkungan Bandar Udara di Indonesia Berbasis Spasial Oleh : Yofri Furqani Hakim ST, Dimas Hanityawan S, ST, Suryanto ST, Ir. Edwin Hendrayana Bidang Pemetaan Dasar Kedirgantaraan Pusat Pemetaan Dasar Kelautan dan Kedirgantaraan Bakosurtanal Jl. Raya Jakarta-Bogor Km. 46 Cibinong-Bogor Telp. 021 87901255,
[email protected]
Abstrak Lingkungan di sekitar bandar udara merupakan lingkungan yang memiliki karakteristik yang berbeda dengan lingkungan pada umumnya. Di lingkungan bandar udara, ruang udara di atasnya memiliki fungsi yang sangat vital bagi berlangsungnya operasional penerbangan. Oleh karena itu, penggunaan ruang udara di lingkungan bandar udara dibatasi demi menjamin keamanan dan keselamatan penerbangan. Di dunia penerbangan internasional, penggunaan ruang udara di lingkungan bandar udara diatur dalam regulasi ICAO Annex 14. Aerodromes. Aturan ini wajib diikuti oleh semua negara anggota ICAO, termasuk Indonesia. Di Indonesia, aturan ini diadopsi menjadi Keputusan Menteri Perhubungan tentang Kawasan Keselamatan Operasi Penerbangan (KKOP). Di setiap Keputusan Menteri Perhubungan tentang KKOP, dilampirkan Peta KKOP yang menggambarkan lingkungan di sekitar bandar udara yang ruang udaranya dibatasi penggunaannya. Mengingat karakteristik yang spesifik dan pentingnya lingkungan bandar udara ini, sudah seharusnya kebijakan pengelolaannya menggunakan kebijakan berbasis spasial. Sistem Informasi Geografis (SIG) dapat dijadikan dasar pendekatan dalam melaksanakan kebijakan pengelolaan lingkungan badar udara berbasis spasial. Kata kunci : Kebijakan berbasis spasial, KKOP, bandar udara,SIG
Pendahuluan Supplement AIP Nomor 08/10 tanggal 01 Juli 2010 yang dikeluarkan oleh Kementrian Perhubungan melalui Aeronautical Information Service (AIS) menginformasikan tentang pemberlakuan Aerodrome Obstcle Chart (AOC) – ICAO, Type – A, Operating Limitation di bandara Achmad Yani – Semarang. Di Peta ini digambarkan 3 buah obstacle yang terdiri dari 2 buah gedung dan sebuah menara/antena. Akibat adanya obstacle ini, dibuatlah displaced threshold sepanjang 120 m di Runway 31. Displaced threshold ini membuat jarak pendaratan di Runway 31 berkurang sepanjang 120 m menjadi 2560 m, dari yang sebelumnya 2680 m. Akibat yang lebih besar dari pertumbuhan obstacle yang tidak terkendali seperti ini adalah tergangunya Kawasan Keselamatan Operasi Penerbangan (KKOP) yang bisa mengakibatkan terjadinya kecelakaan pesawat udara. Ini adalah salah satu contoh, betapa pertumbuhan dan perkembangan kawasan di seputar bandara sangat berpengaruh terhadap bandara dan operasionalnya, terlebih lagi bagi keselamatan penerbangan di bandara tersebut. Berdasarkan fakta di atas, sudah seharusnya pengelolaan kawasan bandara menggunakan pendekatan spasial dengan memanfaatkan teknologi Sistem Informasi Geografis.
Prosiding
Page K-1
Forum Ilmiah Tahunan Ikatan Surveyor Indonesia Pekanbaru, 10-11 November 2010
Gambar 1. Displaced Threshold sepanjang 120 m akibat adanya obstacles/rintangan penerbangan di Bandara A Yani - Semarang
Kawasan Keselamatan Operasi Penerbangan Berdasarkan UU No. 01 Tahun 2009 tentang Penerbangan, pasal 1 ayat 33 disebutkan bahwa bandar udara adalah kawasan di daratan dan/atau perairan dengan batas-batas tertentu yang digunakan sebagai tempat pesawat udara mendarat dan lepas landas, naik turun penumpang, bongkar muat barang, dan tempat perpindahan intra dan antarmoda transportasi, yang dilengkapi dengan fasilitas keselamatan dan keamanan penerbangan, serta fasilitas pokok dan fasilitas penunjang lainnya. Di seputar kawasan bandar udara tersebut terdapat Kawasan Keselamatan Operasi Penerbangan (KKOP). Di kawasan ini berlaku ketentuan pasal 208 UU No. 01 Tahun 2009, sebagai berikut : 1. Untuk mendirikan, mengubah, atau melestarikan bangunan, serta menanam atau memelihara pepohonan di dalam kawasan keselamatan operasi penerbangan tidak boleh melebihi batas ketinggian kawasan keselamatan operasi penerbangan. 2. Pengecualian terhadap ketentuan mendirikan, mengubah, atau melestarikan bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus mendapat persetujuan Menteri, dan memenuhi ketentuan sebagai berikut: a. merupakan fasilitas yang mutlak diperlukan untuk operasi penerbangan; b. memenuhi kajian khusus aeronautika; dan c. sesuai dengan ketentuan teknis keselamatan operasi penerbangan. 3. Bangunan yang melebihi batasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib diinformasikan melalui pelayanan informasi aeronautika (aeronautical information service).
Prosiding
Page K-2
Forum Ilmiah Tahunan Ikatan Surveyor Indonesia Pekanbaru, 10-11 November 2010
Kemudian di pasal 210 disebutkan pula bahwa setiap orang dilarang berada di daerah tertentu di bandar udara, membuat halangan (obstacle), dan/atau melakukan kegiatan lain di kawasan keselamatan operasi penerbangan yang dapat membahayakan keselamatan dan keamanan penerbangan, kecuali memperoleh izin dari otoritas bandar udara. Pelanggaran terhadap ketentuan ini diancam dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). Kawasan keselamatan operasi penerbangan terdiri dari : a. kawasan ancangan pendaratan dan lepas landas; b. kawasan kemungkinan bahaya kecelakaan; c. kawasan di bawah permukaan transisi; d. kawasan di bawah permukaan horizontal-dalam; e. kawasan di bawah permukaan kerucut; dan f. kawasan di bawah permukaan horizontal-luar. Di tiap-tiap kawasan tersebut terdapat ambang batas ketinggian suatu objek (gedung, bangunan, menara, pepohonan, dll) yang ditentukan berdasarkan kelas bandara yang bersangkutan. Dengan pendekatan spasial, pengelolaan lingkungan bandara yang masuk dalam Kawasan Keselamatan Operasi Penerbangan tersebut akan jauh lebih mudah. Pengelolaan Lingkungan Bandar Udara berbasis spasial Pengelolaan lingkungan bandar udara dalam kaitannya dengan kawasan keselamatan operasi penerbangan menjadi suatu keharusan bagi pengelola bandar udara. Pendekatan yang paling tepat digunakan adalah pendekatan spasial, karena dengan pendekatan ini, akan memudahkan pengelola bandara dalam memantau pertumbuhan dan perkembangan kawasan di lingkungan bandar udara agar tidak mengganggu dan melanggar Kawasan Keselamatan Operasi Penerbangan. Sistem Informasi Geografis menjadi alternatif utama untuk menyelesaikan masalah ini. Sistem Informasi Geografis mempunyai kemampuan untuk menyimpan, mengolah, menganalisis, dan menampilkan data spasial dan atribut yang bergeoreferensi dalam rangka pengelolaan lingkungan bandar udara di Indonesia. Komponen-komponen yang diperlukan dalam membangun Sistem Informasi Geografis untuk mengelola lingkungan bandar udara adalah sebagai berikut : 1. Perangkat keras (hardware). Komponen ini berupa sebuah perangkat komputer yang akan menjalankan perangkat lunak SIG. Perkembangan teknologi yang pesat memberikan banyak pilihan untuk mendapatkan komputer dengan spesifikasi tinggi, sehingga akan mempercepat kinerja Sistem Informasi Geografis yang akan dibangun. 2. Perangkat Lunak (software) Perangkat lunak Sistem Informasi Geografis mempunyai kemampuan untuk menyimpan dan mengolah data, menganalisis, serta menampilkan data hasil analisis. Saat ini banyak perangkat lunak komersial yang tersedia di pasaran, secara prinsip, semua perangkat lunak mempunyai kemampuan untuk melakukan analisis spasial, yang membedakan adalah tingkat kinerja dan
Prosiding
Page K-3
Forum Ilmiah Tahunan Ikatan Surveyor Indonesia Pekanbaru, 10-11 November 2010
interfacenya. Di sinilah dibutuhkan kejelian dalam memilih perangkat lunak yang sesuai dengan kebutuhan Sistem Informasi Geografis yang akan dibangun. Perangkat lunak yang tersedia di pasaran yang umumnya digunakan di Indonesia antara lain adalah : Arc GIS, Map Info, Geomedia, dll. 3. Data Masukan. Data merupakan salah satu komponen penting dalam sebuah sistem informasi. Dengan kualitas data yang baik, diharapkan mendapat hasil yang berkualitas pula. Data utama yang bisa digunakan adalah Peta Lingkungan Bandar Udara Indonesia, data/peta Kawasan Keselamatan Operasi Penerbangan, dan data/peta Rencana Tataruang Kota/Daerah. Peta Lingkungan Bandar Udara Indonesia telah tersedia di Bakosurtanal, sedangkan data/peta Kawasan Keselamatan Operasi Penerbangan tersedia di Direktorat Jendral Perhubungan Udara, Kementrian Perhubungan RI. Saat ini telah tersedia 29 Peta Lingkungan Bandar Udara Indonesia, dari 53 bandara internasional dan domestik, sebagian data merupakan data SIG dalam format geodatabase. Hal ini semakin memudahkan dalam pembangunan Sistem Informasi Geografis Lingkungan Bandara Indonesia. 4. Sumberdaya manusia. Penyiapan sumberdaya manusia menjadi suatu keharusan untuk membangun dan memelihara system yang akan dibangun. Pengetahuan mengenai teknologi survey dan pemetaan serta pengetahuan aeronautika mutlak diperlukan untuk dapat mengelola Sistem Informasi Geografis Lingkungan Bandara Indonesia. Dengan sumberdaya manusia yang handal, diharapkan hasil yang dicapai juga menjadi berkualitas. Pengelolaan Sistem Informasi Geografis Lingkungan Bandar Udara Indonesia ini akan melibatkan sumberdaya manusia dari berbagai instansi yang terlibat, antara lain Bakosurtanal, Kementrian Perhubungan, Pengelola Bandara, dan Pemerintah Daerah setempat. Dengan keterlibatan banyak instansi ini, diharapkan dapat menjembatani semua kepentingan demi terwujudnya keselamatan dan keamanan penerbangan di lingkungan bandar udara. 5. Metode/Analisis. Analisis yang digunakan dalam membangun Sistem Informasi Geografis Lingkungan Bandara Indonesia ini relative sederhana, karena tidak terlalu banyak parameter yang dipakai. Jenis-jenis analisis spasial yang sering digunakan adalah : a. Queries and Reasioning Query adalah pencarian/pemanggilan data sedangkan reasioning adalah penalaran. Queries and reasioning dapat diartikan sebagai pencarian data berdasarkan prosedur penalaran yang benar. Metode ini dapat digunakan misalnya untuk menentukan jumlah dan pemilik bangunan yang berada dalam kawasan kemungkinan bahaya kecelakaan. Dengan informasi ini pengelola Bandar udara bisa melakukan sosialisasi kepada para pemilik bangunan agar menjaga kewaspadaan karena bangunan mereka berada dalam kawasan yang setiap saat bisa saja terjadi kecelakaan pesawat terbang. b. Measurement Measurement adalah pengukuran. Sebuah aplikasi SIG harus memiliki kemampuan untuk menentukan jarak antar titik, serta menentukan dimensi Prosiding
Page K-4
Forum Ilmiah Tahunan Ikatan Surveyor Indonesia Pekanbaru, 10-11 November 2010
objek (panjang, luas, volume). Kemampuan ini misalnya digunakan untuk menghitung jarak sebuah obstacle (rintangan penerbangan) dari ujung landas pacu, dengan demikian dapat dihitung apakah ketinggian obstacle tersebut sudah melebihi ambang batas ketinggian atau belum. Jika melebihi, maka pengelola bandar udara bisa segera mengambil tindakan dalam rangka menjamin keselamatan penerbangan. c. Transformation Transformasi adalah prosedur yang digunakan untuk mengubah dataset, menggabungkan atau membandingkan sehingga mendapat dataset baru. Mengingat banyaknya instansi yang terlibat, prosedur transformasi menjadi hal yang sangat dibutuhkan, karena bisa jadi format data digital yang dimiliki masing-masing instansi berbeda. Hal ini juga sangat berkaitan dengan data masukan yang berasal dari berbagai sumber dengan berbagai format berbeda. Sebagai contoh, jika akan dilakukan pembaruan data planimetris dengan citra satelit, sudah barang tentu harus ada prosedur untuk mengubah format data raster menjadi vector. d. Spatial interpolation Interpolasi spasial dapat dikatakan sebagai sebuah ”spekulasi cerdas”, karena peneliti bisa menentukan perkiraan hasil yang logis tanpa harus melakukan pengukuran langsung di lapangan. Kemampuan ini bisa digunakan misalnya untuk mengetahui jumlah dan luas wilayah kecamatan yang berada dalam kawasan keselamatan operasi penerbangan. e. Optimization Techniques Optimalisasi adalah sebuah prosedur yang didesain untuk mendapatkan lokasi yang tepat untuk suatu objek dengan criteria yang telah ditentukan terlebih dahulu. Prosedur ini banyak digunakan di bidang ekonomi, lingkungan hidup, dll. Dalam hal ini sebagai contoh, jika sebuah menara telekomunikasi mendesak untuk dibangun di areal bandar udara mengingat fungsinya yang memang diperlukan, maka bisa dilakukan kajian spasial untuk menentukan lokasi pembangunan menara tersebut tanpa harus menggaggu dan melanggar kawasan keselamatan operasi penerbangan. Jika kajian ini tidak dilakukan, niscaya banyak masalah yang akan dihadapi kemudian, menyangkut keselamatan penerbangan, biaya pembanguan menara yang tidak murah jika harus bongkar pasang, ketidakpastian hukum atas izin pembangunan menara, dll. f. Hypothetis testing. Hipotetis merupakan prosedur yang digunakan untuk mendapatkan hasil generalisasi dari sample yang diambil. Prosedur ini berguna jika analisis tidak mungkin dilakukan untuk keseluruhan objek/daerah, sehingga cukup dilakukan sampling saja. Selain prosedur-prosedur di atas, masih banyak lagi prosedur yang bisa digunakan dalam sebuah system informasi geografis, khususnya dalam bidang pengelolaan lingkungan Bandar udara. Pada dasarnya, semua ditujukan untuk mempermudah pengelolaan lingkungan Bandar udara demi menjamin keselamatan dan keamanan penerbangan.
Prosiding
Page K-5
Forum Ilmiah Tahunan Ikatan Surveyor Indonesia Pekanbaru, 10-11 November 2010
Kesimpulan Pengelolaan lingkungan Bandar udara harus dilakukan secara integral karena melibatkan berbagai komponen yang saling terkait dengan resiko yang besar karena menyangkut keamanan dan keselamatan penerbangan. Pendekatan yang paling tepat dipakai adalah pendekatan spasial. Pendekatan spasial memberikan ruang yang luas untuk berbagai aplikasi dan analisis baik spasial maupun non-spasial untuk berbagai keperluan dalam pengelolaan bandar udara. Pendekatan spasial yang dimaksud adalah pemanfaatan Sistem Informasi Geografis. Pemanfaatan teknologi Sistem Informasi Geografis dalam pengelolaan lingkungan bandar udara memberikan banyak keuntungan terutama dalam mengantisipasi pertumbuhan dan perkembangan pembangunan yang berdampak pada keselamatan dan keamanan penerbangan.
Pustaka : Aeronautical Information Service – Republic of Indonesia, AIP Supplement Nr. 08/10 – 01 JUL 10, Jakarta, 2010. Fazal, Shahab, GIS Basic, New Age International (P) Ltd, New Delhi, 2008 ICAO, Annex. 14 : Aerodromes Pemerintah Republik Indonesia, Undang-undang No. 01 Tahun 2009 Tentang Penerbangan, Jakarta, 2009
Prosiding
Page K-6
Forum Ilmiah Tahunan Ikatan Surveyor Indonesia Pekanbaru, 10-11 November 2010
PEMBUATAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS (SIG) UNTUK ANALISA DALAM PEMBERIAN IJIN TINGGI BANGUNAN DI SEKITAR BANDARA NGURAH RAI – BALI Oleh : Suryanto, ST, Yofri Furqani Hakim, ST, Dimas Hanityawan Suryopuspito, ST, Ir. Edwin Hendrayana Bidang Pemetaan Dasar Kedirgantaraan, PDKK, Bakosurtanal Telp/Faks:021-87901255,
[email protected]
INTISARI Pemanfaatan ruang udara di sekitar bandara sampai pada radius tertentu memiliki aturan – aturan khusus, misalnya aturan mengenai Kawasan Keselamatan Operasi Penerbangan (KKOP). Aturan ini dibuat dalam usaha menjamin keselamatan penerbangan di sekitar bandara. Namun dalam pelaksanaannya masih banyak mengalami kendala dikarenakan beberapa hal yang berkaitan dengan masalah keruangan. Sehingga solusi paling efektif yang dapat ditawarkan adalah dengan membangun Sistem Informasi Geografis (SIG) untuk membantu analisa dalam menerapkan aturan tersebut.
Keyword : KKOP, ruang udara sekitar bandara, SIG
I. PENDAHULUAN Pada tanggal 5 September 2005 pesawat 737-200 milik maskapai penerbangan Mandala Airlines bernomor penerbangan RI091 gagal lepas landas dari bandara Polonia Medan. Pesawat tersebut kemudian menerobos pagar bandara dan menabrak perumahan penduduk di Jl.Ginting Medan. Korban meninggal 141 orang. Perumahan di Jl.Ginting tersebut berjarak ±700m dari ujung landasan bandara Polonia. Sejak tahun 1970-an penerbangan di Indonesia telah mengalami beberapa kali kecelakaan yang disebabkan karena kesalahan pemanfaatan ruang udara di sekitar bandara. Kecelakaan tersebut mulai dari menabrak gunung saat melakukan pendekatan, menabrak tiang listrik, menimpa perumahan saat gagal lepas landas atau saat melakukan pendaratan darurat dan lain – lain. Salah satu langkah pemerintah dalam menanggapi hal ini adalah dengan membuat SNI 03-7112-2005 mengenai Kawasan Keselamatan Operasi Penerbangan (KKOP) yang kemudian disusul dengan Peraturan Menteri Perhubungan No.KM 44 Tahun 2005 tentang pemberlakuakn SNI 03-7112-2005 tersebut. Pengendalian pemanfaatan ruang udara di sekitar bandara diawali dengan penelitian KKOP untuk bandara yang bersangkutan, kemudian hasilnya dituangkan dalam rancangan keputusan menteri perhubungan. Berdasarkan keputusan menteri tersebut kemudian pemerintah daerah membuat Perda pengendalian pemanfaatan ruang udara di sekitar bandara. Salah satu hal penting yang dapat diatur di sini adalah mengenai batasan tinggi bangunan. Beberapa kesulitan yang biasanya dihadapi dalam pengawasan batas tinggi bangunan tersebut di antaranya adalah cara menentukan tinggi bangunan yang diijinkan di atas tanah, cara menganalisis tinggi bangunan – bangunan yang telah ada sebelum pembuatan KKOP untuk dilakukan pembenahan, serta penyeragaman sudut pandang referensi ketinggian, karena dalam beberapa kasus pelanggaran KKOP tersebut terjadi dan sulit dipecahkan karena masing – masing pihak memiliki perbedaan dalam menyatakan referensi ketinggian bangunan. Salah satu solusi yang dapat ditawarkan adalah dengan membuat Sistem Informasi Geografis yang memuat data – data topografi dan KKOP yang dapat digunakan untuk menganalisis tinggi bangunan Prosiding
Page L-1
Forum Ilmiah Tahunan Ikatan Surveyor Indonesia Pekanbaru, 10-11 November 2010
dan tinggi tanah di dalam KKOP. Dalam paper ini akan dibahas langkah – langkah pembuatan SIG untuk analisis ketinggian bangunan di KKOP bandara Ngugrah Rai Bali dengan software ArcGIS 9.2 serta beberapa contoh pemanfaatannya. II. KKOP DAN PENGENDALIAN RUANG UDARA DI SEKITAR BANDARA KKOP adalah wilayah daratan dan/atau perairan dan ruang udara di sekitar Bandar udara yang dipergunakan untuk kegiatan operasi penerbangan dalam rangka menjamin keselamatan penerbangan. Kawasan ini meliputi area dengan radius sekitar 15.000m yang dibagi dalam beberapa jenis kawasan. Pemanfaatan ruang udara, air dan tanah dalam KKOP harus memenuhi syarat – syarat tertentu. Dalam PP 70 tahun 2001 disebutkan : Tanah dan/atau perairan dan ruang udara di sekitar bandar udara umum yang merupakan kawasan keselamatan operasi penerbangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1), dapat dipergunakan oleh umum dengan memenuhi persyaratan keselamatan operasi penerbangan. Yang dimaksud persyaratan keselamatan operasi penerbangan disini meliputi banyak hal, diantaranya batas ketinggian dan sifat kenampakan benda dari udara. Sebagai contoh, misalnya batas tinggi di suatu titik di bawah kawasan lepas landas adalah 100m di atas MSL, maka di tempat tersebut boleh didirikan bangunan dengan tinggi puncak bangunan maksimal 100m di atas MSL. Khusus untuk batas ketinggian bangunan ini dalam SNI tentang KKOP juga disebutkan ’Mendirikan, mengubah atau melestarikan bangunan serta menanam atau memelihara benda tumbuh di KKOP harus memenuhi batas – batas ketinggian dan batas – batas kawasan’. Dalam SNI 03-7112-2005 disebutkan jenis kawasan yang perlu diatur antara lain adalah Kawasan Pendekatan dan Lepas landas, Kawasan Kemungkinan Bahaya Kecelakaan, Kawasan di Bawah Permukaan Horizontal dalam, Kawasan di Bawah Permukaan Kerucut Kawasan di Bawah Permukaan Horizontal Luar dan Kawasan di Bawah permukaan Transisi. Selain kawasan – kawasan di atas masih ada lagi kawasan di sekitar alat bantu navigasi seperti NDB, DVOR, ILS L, ILS GP, ILS MM, ILS OM, Radar, Locator dan lain – lain dimana pembatasan ketinggian KKOP untuk masing – masing alat bantu navigasi berbeda – beda. III. PEMBUATAN SIG UNTUK ANALISIS KKOP 1. Pengumpulan Data Data yang diperlukan dalam pembuatan SIG ini di antaranya adalah a. Peta Lingkungan Bandar Udara Indonesia (LBI) Sheet Bandara Ngurah Rai Peta LBI berskala 1:25000 memuat data topografi di sekitar bandara, tutupan lahan, posisi runway serta posisi alat bantu navigasi.
Prosiding
Page L-2
Forum Ilmiah Tahunan Ikatan Surveyor Indonesia Pekanbaru, 10-11 November 2010
Gambar 1 : Peta LBI bandara Ngurah Rai – Bali Data topografi berfungsi untuk mengetahui tinggi terrain di setiap titik, data posisi runway berfungsi sebagai referensi penggambaran kawasan KKOP sedangkan posisi alat bantu navigasi berfungsi sebagai referensi penggambaran kawasan di sekitar alat bantu navigasi. b. AIP Volume II Dalam AIP Volume II dimuat data – data detil bandara Ngurah Rai. Data detil bandara ini digunakan untuk mengklasifikasikan approach category dan code number bandara. Approach category dan code number bandara ini kemudian digunakan sebagai dasar dalam menentukan penggunaan aturan penggambaran kawasan dan slope yang sesuai. c. Salinan Peraturan Menteri Perhubungan KM no.44 Tahun 2005 dan SNI 03-7112-2005 mengenai KKOP Dalam kedua peraturan tersebut didefinisikan kawasan – kawasan KKOP serta batas – batas tingginya. Definisi ini yang digunakan untuk menggambarkan poligon – poligon dan batas tinggi KKOP, termasuk kawasan – kawasan di sekitar alat bantu navigasi. Saat tulisan ini dibuat KKOP untuk bandara Ngurah Rai belum dituangkan dalam Peraturan Menteri, sehingga penggambaran kawasan KKOP serta batas ketinggiannya hanya didasarkan pada data – data di atas saja. 2. Pembuatan Digital Terrain Model (DTM) Dalam melakukan analisis tinggi bangunan di dalam KKOP diperlukan pembacaan tinggi terain di setiap titik yang diinginkan. Hal ini dapat dipenuhi jika data tinggi terrain diwujudkan dalam model digital yang kontinyu. Data tinggi terrain yang digunakan adalah data tinggi dari Titik Tinggi Geodesi (TTG) dan data kontur peta LBI. Proses pembuatan DTM tersebut adalah sebagai berikut: a. Membuat data titik tinggi dari kontur Data titik tinggi ini dibuat dengan menggunakan fungsi Data Management Tools – Features – Feature Vertices to Points. Prosiding
Page L-3
Forum Ilmiah Tahunan Ikatan Surveyor Indonesia Pekanbaru, 10-11 November 2010
Gambar 2 : Kotak dialog ekstraksi titik kontur
b. Menggabungkan data TTG dan titik tinggi dari kontur Untuk dapat dilakukan penggabungan data kedua layer tersebut perlu ada setidaknya satu field tabel atribut yang sama. Dalam hal ini field tabel yang dimaksud adalah field yang berisi data tinggi/elevasi titik.
Gambar 3 : Tabel atribut layer titik tinggi kontur dan TTG Untuk menggabungkan data kedua layer dapat dengan beberapa cara. Dalam tulisan ini penggabunggan dilakukan dengan meng-copy semua feature dalam layer TTG ke layer titik tinggi kontur. c. Membuat DTM dengan program ArcScene Berikut ini adalah langkah – langkah yang diperlukan untuk membuat DTM dengan program ArcScene : Buka program arcscene – Add layer yang memuat data titik tinggi – Klik drop down 3D analyst – pilih interpolate to raster – natural neighbor sehingga muncul kotak dialog seperti gambar 4 berikut ini.
Prosiding
Page L-4
Forum Ilmiah Tahunan Ikatan Surveyor Indonesia Pekanbaru, 10-11 November 2010
Gambar 4 : Kotak dialog pembuatan DTM dengan natural neighbor interpolation
Kemudian setelah proses ini selesai maka DTM hasil interpolasi dapat ditampilkan seperti pada gambar 5.
Gambar 5 : DTM hasil interpolasi
Agar dapat memberikan informasi yang lebih maksimal maka langkah selanjutnya adalah menampilkan data liputan lahan dan layer – layer lainnya di atas DTM. Hal ini dilakukan dengan mengatur Base Height dalam Layer Properties masing – masing layer. Gambar 6 berikut ini adalah contoh tampilan Layer Liputan Lahan di atas DTM.
Prosiding
Page L-5
Forum Ilmiah Tahunan Ikatan Surveyor Indonesia Pekanbaru, 10-11 November 2010
Gambar 6 : Tampilan liputan lahan di atas DTM
3. Pemodelan KKOP Pemodelan KKOP dimaksudkan untuk memvisualisasikan definisi – definisi kawasan dan batas ketinggian dalam SNI langsung di atas peta sehingga mudah dilakukan analisa secara simultan. Dari AIP diketahui beberapa data detil bandara Ngurah Rai, diantaranya Panjang landasan 3000m, tinggi rata – rata landasan 3.375m dan ketelitian ILS termasuk kategori II. Dari data tersebut maka diketahui bahwa Bandara Ngurah Rai masuk dalam precision approach category dan memiliki code number 4. Oleh karena itu ketentuan penggambaran permukaan KKOP yang digunakan adalah seperti ditampilkan dalam tabel 1 berikut ini. Tabel 1 : Aturan penggambaran KKOP bandara Ngurah Rai
Kerucut
Horizontal Dalam
Kawasan Pendekatan dan Lepas Landas Seksi 1
Seksi 2
Seksi Horizontal
Transisi
Inner Transisi
Take-Off Climb
Slope
5%
0%
2%
2,5%
0%
14,3%
33,3%
2%
Tinggi
100m
(H+45)m
-
-
(H+150)m
-
-
-
Divergensi
-
-
15%
15%
-
-
-
12,5%
Jarak dari Runway / radius
-
4.000m
3.000m
3.600m
15.000m
-
-
15.000
Prosiding
Page L-6
Forum Ilmiah Tahunan Ikatan Surveyor Indonesia Pekanbaru, 10-11 November 2010
Langkah – langkah pemodelan tersebut adalah sebagai berikut: a. Pemodelan poligon kawasan Poligon kawasan dibuat berdasarkan aturan – aturan batasan kawasan di atas. Gambar 7 berikut ini adalah hasil penggambaran poligon KKOP bandara Ngurah Rai.
Gambar 7 : Hasil penggambaran poligon KKOP
b. Pemodelan batas tinggi Pemodelan batas tinggi dibuat dengan menambahkan field tinggi pada tabel atribut poligon kawasan. Kemudian mengisi tinggi titik – titik poligon tersebut dengan nilai tinggi yang berreferensi pada Mean Sea Level (MSL). Tinggi setiap titik dihitung seperti Tabel 2 berikut ini. Tabel 2 : Batas tinggi setiap kawasan Kawasan
Aturan
Tinggi (m)
Permukaan Utama
Sama dengan tinggi rata – rata ambang landas pacu dibulatkan ke bawah (selanjutnya disebut H)
3
Inner Transisi
Sesuai slope 33,3%
3 – 48
Transisi
Sesuai slope 14,3%
3 – 48
Horizontal Dalam
(H+45)m
Kerucut
Sesuai slope 5% dari akhir Kawasan Horizontal Dalam
Horizontal Luar
(H+150)m
Seksi 1 KPLL
Sesuai slope 2% dari Permukaan Utama
Seksi 2 KPLL
Sesuai slope 2,5% dari akhir seksi 1
Prosiding
48 48 – 148 153 3 - 63 63 - 153
Page L-7
Forum Ilmiah Tahunan Ikatan Surveyor Indonesia Pekanbaru, 10-11 November 2010
c. Menampilkan batas – batas tinggi KKOP dalam format raster Tampilan dalam format raster ini diperlukan agar dapat dilakukan pembacaan batas ketinggian KKOP di setiap titik. Berikut ini adalah langkah – langkah untuk membuat tampilan raster tersebut: Buka program ArcMap – Add layer KKOP – ekstrak titik KKOP dengan data management tools – feature - feature vertices to point. Kemudian dilanjutkan dengan langkah berikut ini: Buka program ArcScene – Add layer hasil ekstraksi titik KKOP – Klik drop down 3D analyst – pilih interpolate to raster – natural neighbour. Kemudian dilakukan pengaturan Layer Properties masing – masing layer KKOP sehingga di dapatkan tampilan 3 Dimensi seperti pada gambar 8 berikut ini.
Gambar 8 : Tampilan 3 Dimensi permukaan KKOP IV. CONTOH ANALISA YANG DAPAT DILAKUKAN DENGAN SIG Pada bagian ini akan diberikan contoh cara memanfaatkan SIG ini untuk analisa pemberian ijin pendirian bangunan dan pemantauan tinggi bangunan yang telah ada. Tinggi bangunan yang diijinkan pada dasarnya adalah merupakan hasil pengurangan antara batas ketinggian (permukaan KKOP) dengan tinggi terrain. Dalam gambar 9 berikut ini dicontohkan a adalah tinggi bangunan yang diijinkan di titik A dan b adalah tinggi bangunan yang diijinkan di titik B.
Prosiding
Page L-8
Forum Ilmiah Tahunan Ikatan Surveyor Indonesia Pekanbaru, 10-11 November 2010
A’
y Gambar 9 : Cara menghitung tinggi bangunan yang diijinkan Gambar 10 dan gambar 11 berikut ini menunjukkan analisis obstacle puncak bukit yang bertanda merah pada gambar dengan menggunakan tools identifier.
Gambar 10 : Menganalisa tinggi obstacle yang telah ada
Gambar 11 : Informasi yang diperoleh untuk lokasi obstacle Prosiding
Page L-9
Forum Ilmiah Tahunan Ikatan Surveyor Indonesia Pekanbaru, 10-11 November 2010
Pada gambar 11 tersebut didapat informasi bahwa lokasi tersebut berada di bawah Permukaan Horizontal Luar, memiliki tutupan lahan berupa ladang dengan tinggi tanah 200m di atas msl, sementara batas tinggi KKOP adalah 153m di atas msl. Artinya pada titik tersebut ketinggian tanah telah melampaui batas tinggi yang seharusnya, yaitu sejauh 47m. Dalam kasus seperti ini pada prinsipnya puncak bukit tersebut harus dipotong hingga berada di bawah permukaan KKOP, namun kemudian perlu dilakukan kajian – kajian lebih lanjut dengan melibatkan pihak – pihak yang berwenang serta data yang lebih lengkap untuk mengambil alternatif keputusan yang tepat. Dalam contoh lain berikut ini SIG digunakan untuk menganalisa kemungkinan dibangun jembatan yang menghubungkan antara dua pulau di dekat ujung runway 27 atau ± 4,3 km sebelah timur runway. Pada gambar 12 daerah tersebut diperlihatkan oleh titik warna merah. Dengan tools identifier di-klik pada titik tersebut, maka akan muncul informasi seperti pada gambar 13.
Gambar 12 : Analisa untuk rencana pembangunan jembatan Pada gambar 13 ini nampak beberapa informasi yang diperoleh, diantaranya lokasi tersebut berada di bawah Kawasan Pendekatan dan Lepas Landas, tutupan lahan berupa laut sehingga tinggi terrain terbaca 0m di atas msl, sementara itu batas tinggi KKOP adalah 67,07m di atas msl. Oleh karena itu kemudian dapat diambil kesimpulan bahwa tinggi jembatan yang diijinkan maksimum 67,07m. Selain itu karena berada di bawah kawasan pendekatan dan lepas landas maka bangunan harus memenuhi syarat – syarat tertentu, misalnya harus memasang lampu pengaman, tidak boleh memasang sesuatu yang mengganggu pandangan penerbang dan lain sebagainya.
Prosiding
Page L-10
Forum Ilmiah Tahunan Ikatan Surveyor Indonesia Pekanbaru, 10-11 November 2010
Gambar 13 : Informasi yang diperoleh untuk lokasi rencana pembangunan jembatan V. KESIMPULAN DAN SARAN 1. Kesimpulan a. Dengan tampilan 3 Dimensi dalam SIG maka kawasan – kawasan yang berpotensi menimbulkan bahaya penerbangan dapat segera terlihat. b. Analisa batas ketinggian bangunan baik untuk pemberian ijin pembangunan ataupun untuk pembenahan terhadap bangunan yang telah ada akan lebih mudah dilakukan dengan bantuan SIG. Secara praktis untuk melakukan analisa hanya diperlukan koordinat lokasi pembangunan. c. Karena dibantu dengan tampilan gambar maka penanganan kasus pelanggaran KKOP tidak akan mengalami perbedaan dalam menyatakan referensi tinggi bangunan. d. Dengan SIG, pengambil kebijakan bisa mendapatkan informasi – informasi pendukung lain secara simultan, misalnya mengenai syarat – syarat bangunan di bawah kawasan tertentu yang sesuai peraturan. 2. Saran a. SIG yang dibuat sebaiknya memasukkan pula kawasan – kawasan di sekitar alat bantu navigasi, agar informasi yang didapatkan dapat lebih akurat. b. Untuk lebih mempermudah pengguna sebaiknya dibuat tool – tool interaktif dan user interface yang lebih mudah dipahami oleh semua orang. c. Karena tidak semua orang memiliki software ArcGIS maka sebaiknya SIG semacam ini dibuat sebagai paket software atau standalone-file agar dapat dioperasikan oleh siapapun tanpa harus memiliki software ArcGIS. d. Untuk lebih memaksimalkan kegunaannya maka paket SIG seperti ini dapat di-upload ke internet agar dapat dimanfaatkan oleh siapapun dan dimanapun.
Prosiding
Page L-11
Forum Ilmiah Tahunan Ikatan Surveyor Indonesia Pekanbaru, 10-11 November 2010
DAFTAR PUSTAKA Badan Standarisasi Nasional, Standar Nasional Indonesia 03-7112-2005 Mengenai Kawasan Keselamatan Operasi Penerbangan, 2005, Jakarta. Direktorat Jendral Perhubungan Udara, Keputusan Direktorat Jendral Perhubungan Udara Nomor:SKEP/110/VI/2000 Tentang Petunjuk Pelaksanaan Pembuatan Kawasan Keselamatan Operasi Penerbangan di Bandar Udara dan Sekitarnya, 2000, Jakarta. ICAO, Annex 14 Volume I, Aerodrome Design And Operation, Second Edition, 1995. Menteri Perhubungan, Peraturan Menteri Perhubungan Nomor:KM 44 Tahun 2005 Tentang Pemberlakuan SNI 03-7112-2005 Mengenai Kawasan Keselamatan Operasi Penerbangan Sebagai Standar Wajib, 2005, Jakarta. --o0o--
Prosiding
Page L-12
Forum Ilmiah Tahunan Ikatan Surveyor Indonesia Pekanbaru, 10-11 November 2010
KAJIAN PENGGUNAAN CITRA SATELIT QUICKBIRD UNTUK PEMETAAN PENGGUNAAN TANAH DI KELURAHAN KUTOARJO, KECAMATAN KUTOARJO, KABUPATEN PURWOREJO Sutrisno1, Harintaka2, Slamet Basuki2 1
Mahasiswa Magister Teknik Geomatika, FT-UGM Staff Pengajar di Magister Teknik Geomatika, FT-UGM. JL.Grafika No.2 Yogyakarta 55281. E-mail:
[email protected],
[email protected]
2
INTISARI Pesatnya laju pertumbuhan penduduk, perdagangan, dan pembangunan di suatu kawasan menyebabkan terjadinya perubahan penggunaan tanah secara cepat. Seringkali dijumpai pula masih banyak peta-peta penggunaan tanah dalam bentuk hard copy, belum terstandarisasi, dan belum mengakomodasi perubahan lahan. Kondisi tersebut terjadi pula di Kelurahan Kutoarjo, sehingga pada makalah ini dikaji penggunaan citra satelit Quickbird untuk pembuatan peta penggunaan tanah di Kelurahan Kutoarjo, Kecamatan Kutoarjo, Kabupaten Purworejo. Penelitian dilakukan di Kalurahan Kotoarjo menggunakan 2 scene citra satelit Quickbird tahun 2005, data pendukung, dan survei lapangan. Pelaksanaan penelitian dimulai dengan mosaicking secara image to image, rektifikasi dan geocoding citra Quickbird. Interpretasi visual dan digitasi on-screen pada citra Quickbird dilaksanakan untuk delineasi kelas penggunaan lahan. Tahap akhir adalah proses kartografi untuk pembuatan peta penggunaan tanah. Hasil kajian menunjukkan bahwa proses rektifikasi dan geocoding memiliki akurasi yang baik. Interpretasi visual dengan bantuan data pendukung, survei lapangan, dan local knowledge dapat mengidentifikasi 34 klas penggunaan tanah. Berdasarkan ketelitian planimetrik citra Quickbird terrektifikasi dan jumlah kelas yang teridentifikasi, maka dapat dibuat peta penggunaan tanah skala 1:5.000. Kata kunci: citra Quickbird, interpretasi visual, akurasi, peta penggunaan tanah.
PENDAHULUAN Latar Belakang Pesatnya laju pertumbuhan penduduk, perdagangan dan pembangunan di Kelurahan Kutoarjo menyebabkan terjadi perubahan penggunaan tanah. Adanya perubahan penggunaan tanah berpengaruh terhadap pola pemanfaatan ruang, baik pemukiman, perdagangan, maupun pelayanan masyarakat. Di Kelurahan Kutoarjo, peta penggunaan tanah terbaru dibuat pada tahun 1992. Peta tersebut merupakan hasil pengukuran terestris dan masih dalam bentuk hard copy. Di satu sisi, kemajuan di bidang teknolologi penginderaan jauh dengan tersedianya citra satelit berresolusi tinggi seperti Quickbird, maka pembuatan peta penggunaan tanah seharusnya menjadi lebih ekonomis, cepat, dan memiliki cakupan wilayah yang lebih luas dibanding pengukuran secara terestris. Pemanfaatan citra satelit resolusi tinggi untuk identifikasi penggunaan tanah/lahan telah dilakukan oleh beberapa peneliti, antara lain Westiyani (2006), Aisyah (2007), dan Subaryono dkk (2006). Westiyani (2006), melakukan identifikasi perubahan penggunaan lahan di Kelurahan Giwangan, Kecamatan Umbulharjo, Yogyakarta dengan menggunakan citra IKONOS tahun 2000 dan citra Quickbird tahun 2003. Hasil penelitian menunjukkan bahwa jumlah obyek tidak berubah tetapi Prosiding
Page M-1
Forum Ilmiah Tahunan Ikatan Surveyor Indonesia Pekanbaru, 10-11 November 2010
ada indikasi bangunan baru atau renovasi, serta beberapa obyek yang relatif kecil yang tidak dapat teridentifikasi pada citra satelit. Aisiyah (2007) mengkaji pemanfaatan citra Quickbird untuk alternatif pemetaan penggunaan tanah skala besar di daerah perkotaan. Metode yang digunakan adalah interpretasi secara visual dan klasifikasi bertingkat (3 tingkat). Indikator ketelitian klasifikasi ditunjukkan oleh nilai KHAT pada setiap tingkat klasifikasi. Subaryono, dkk (2007), melakukan kajian pemanfaatan citra satelit resolusi tinggi, DGPS (Differential Global Positioning System) dan SIG untuk mendeteksi kondisi penggunaan lahan di Kota Yogyakarta. Hasil yang klasifikasi penggunaan lahan yang dapat diekstrak dari citra IKONOS dikelompokkan dalam 9 klas penggunaan lahan yaitu pemukiman, perdagangan, pertanian, industri, trasportasi, jasa, rekreasi, tempat ibadah dan lahan kosong. Aspek ketelitian planimetri citra satelit IKONOS dapat ditingkatkan dengan rektifikasi dan geocoding menggunakan transformasi 2D dengan menggunakan titik kontrol tanah hasil pengamatan DGPS. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan mengkaji penggunaan citra satelit Quickbird untuk membuat peta penggunaan tanah skala 1:5.000 di Kelurahan Kutoarjo, Kecamatan Kutoarjo, Kabupaten Purworejo. Karena ditujukan untuk keperluan kadaster, skema klasifikasi yang digunakan mengacu kepada Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 1 Tahun 1997 dan Pedoman Pemetaan Tematik, Direktorat Tematik BPN. LANDASAN TEORI Penggunaan Tanah Sandy (1982) mendefinisikan tanah sebagai sumberdaya yang mempunyai berbagai bentuk dan ukuran, sedangkan pemetaan penggunaan tanah adalah upaya untuk pengumpulan data penggunaan tanah, data kemampuan tanah serta data penunjang lainnya yang dapat disajikan dalam bentuk peta dan daftar. Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 1 Tahun 1997 menyebutkan bahwa penggunaan tanah adalah wujud tutupan permukaan bumi, baik yang merupakan bentukan alami maupun buatan manusia (BPN, 1997). Secara garis besar penggunaan tanah dibedakan atas penggunaan tanah perdesaan dan penggunaan tanah perkotaan. Citra Quickbird dan Pemrosesannya Satelit Quickbird diluncurkan pada tanggal 18 Oktober 2001 di Vandenberg Air Force Base, California. Satelit ini menghasilkan citra pankromatik dengan resolusi spasial 61 cm dan citra multispektral dengan resolusi 2,44 m. Citra Quickbird mempunyai resolusi radiometrik 11 bit (2048 grayscale). Karakteristik sistem satelit Quickbird dapat dilihat di Digital Globe (2010). Citra Quickbird terdiri atas 3 tingkat produk yaitu: basic imagery, standard imagery, dan orthorectified. Ditinjau dari sumber kesalahannya, ada dua macam kesalahan geometrik pada citra satelit, yaitu kesalahan sistematik dan non sistematik (Lillesand and Kiefer, 2000). Kesalahan sistematik merupakan kesalahan yang bersifatnya sistematik dan dapat dimodelkan, seperti gerak rotasi bumi dan kelengkungan bumi. Kesalahan non sistematik adalah kesalahan yang tidak dapat diprediksi sebelumnya. Umumnya, sebelum citra satelit didistribusikan kepada pengguna, distorsi geometrik yang bersifat sistematik sudah dikoreksi oleh pemilik satelit. Distorsi geometrik citra yang bersifat non sistematik dapat dikoreksi dengan menggunakan persamaan transformasi 2D. Metode transformasi 2D yang seringkali Prosiding
Page M-2
Forum Ilmiah Tahunan Ikatan Surveyor Indonesia Pekanbaru, 10-11 November 2010
digunakan untuk rektifikasi citra satelit adalah persamaan affine atau persamaan polinomial. Detail persamaan transformasi affine 2D atau polinomial dapat dilihat pada Pohl (1996) dan Jensen (1996). Untuk keperluan interpretasi visual pada citra satelit, dapat dilakukan penajaman citra. Salah satu metode penajaman citra yang menghasilkan kontras baik adalah dengan linier streching. Secara teknis, karakteristik obyek yang yang terekam oleh citra dapat dikenali secara visual menggunakan unsur-unsur interpretasi, antara lain: warna/rona, bentuk, ukuran, pola, tekstur, bayangan, situs, dan asosiasi. Unsur-unsur interpretasi visual secara lengkap dapat dilihat pada Lillesand and Kiefer (2000). CARA PENELITIAN Alat dan Bahan Bahan yang digunakan pada penelitian ini terdiri dari: 2 scene citra Quickbird tahun 2005 sebagian wilayah Kabupaten Purworejo, Titik Dasar Teknik orde 3 dalam proyeksi TM30 dan Peta Dasar Pendaftaran Tanah Kelurahan Kutoarjo skala 1:2.500 tahun 2006 proyeksi TM30. Letak Kelurahan Kutoarjo sebagai lokasi penelitian disajikan pada Gambar 1. Adapun alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah perangkat lunak pengolah citra satelit, GIS, dan CAD. Untuk pemrosesan digunakan komputer dengan spesifikasi prosesor pentium IV, RAM 512 MB, dan hard disk 80 GB.
Gambar 1. Lokasi Penelitian Pelaksanaan Penelitian dimulai dengan menentukan daerah kajian permasalahan yang ada, menyiapkan perijinan, membaca literatur alat dan bahan yang akan digunakan. Karena Kelurahan Kutoarjo scene citra Quickbird, maka dilakukan proses mosaicking secara Prosiding
dan identifikasi serta penyiapan berada dalam 2 image to image Page M-3
Forum Ilmiah Tahunan Ikatan Surveyor Indonesia Pekanbaru, 10-11 November 2010
terlebih dahulu. Proses selanjutnya adalah rektifikasi dan penajaman citra. Untuk menentukan klas-klas penggunaan tanah yang ada di lokasi penelitian maka dilakukan interpretasi visual dan digitasi. Skema klasifikasi menggunakan ketentuan yang ada pada PMNA/KBPN No. 1 Tahun 1997. Pada implementasinya, untuk meningkatkan akurasi identifikasi digunakan data lainnya dan survei di lapangan. Tahap akhir adalah pembuatan peta penggunaan tanah Kelurahan Kutoarjo. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil rektifikasi menunjukkan akurasi citra Quickbird menggunakan transformasi affine 2D masih dibawah 2 piksel, baik untuk indikator RMSE titik kontrol tanah maupun RMSE titik cek.
Tabel 1. Urutan luas klas penggunaan tanah Kelurahan Kutoarjo Nama Kelas Penggunaan kebun campuran perumahan tidak teratur kepadatan sedang perumahan tidak teratur kepadatan rendah sawah irigasi rumah toko awan jasa pendidikan ladang/tegalan jalan kolektor kuburan/makam kantor instansi pemerintah jalan lingkungan kantor bangunan militer sungai perumahan tidak teratur kepadatan tinggi lapangan/alun-alun industri/pergudangan warung/kios jalan arteri perumahan teratur kepadatan sedang jasa kesehatan/rumah sakit pasar permanen tanah kosong belum ada rencana peruntukannya saluran irigasi lapangan tempat parkir pasar tradisional pertokoan tanah kosong sudah ada rencana peruntukannya masjid hotel/penginapan pull bus Prosiding
Luas (ha) 44,772 41,928 27,582 26,537 14,175 11,301 9,706 8,723 6,747 6,117 5,524 5,004 3,668 3,325 3,057 2,930 2,163 1,867 1,793 1,743 1,555 1,362 1,062 1,060 0,839 0,706 0,645 0,515 0,471 0,362 0,319
(%) 18,775 17,583 11,567 11,128 5,944 4,739 4,070 3,658 2,829 2,565 2,317 2,098 1,538 1,394 1,282 1,229 0,907 0,783 0,752 0,731 0,652 0,571 0,445 0,445 0,352 0,296 0,270 0,216 0,198 0,152 0,134 Page M-4
Forum Ilmiah Tahunan Ikatan Surveyor Indonesia Pekanbaru, 10-11 November 2010
rel kereta api gedung pertemuan terminal khusus gereja Luas Total
0,258 0,243 0,232 0,170 238,462
0,108 0,102 0,097 0,071 100
Luas total Kelurahan Kutoarjo yang menjadi lokasi penelitian adalah 238,462 ha. Hasil interpertasi visual menghasilkan 34 klas penggunaan tanah, yang terdiri atas klas perumahan teratur kepadatan sedang, perumahan tidak teratur kepadatan rendah, perumahan tidak teratur kepadatan sedang, perumahan tidak teratur kepadatan tinggi, rumah toko, kuburan/makam, pasar permanen, pasar tradisional, pertokoan, warung kios, hotel/penginapan, terminal khusus, lapangan/tempat parkir, pull bus, industri/ pergudangan, kantor bangunan militer, kantor instansi pemerintah, jasa pendidikan, jasa kesehatan/rumah sakit, masjid, gereja, gedung pertemuan, lapangan/alun-alun, tanah kosong sudah ada peruntukannya, tanah kosong belum ada peruntukannya, sawah irigasi, ladang/tegalan, kebun campuran, jalan alteri, jalan kolektor, jalan lingkungan, rel kereta api, sungai dan saluran irigasi. Perlu dicatat bahwa hasil interpretasi ini tidak semata-mata menggunakan citra Quickbird saja, tetapi dilengkapi dengan data pendukung, dan survei lapangan. Jika hanya mengandalkan pada citra Quickbird maka jumlah kelas yang teridentifikasi jumlahnya pasti lebih sedikit, bahkan jika operator tidak memiliki local knowledge, maka interpertasi hanya sampai tingkat penutup lahan saja. Hasil interpretasi citra klas penggunaan tanah untuk kuburan/makam, jasa pendidikan, industri/pergudangan, dan jasa kesehatan hanya sampai pada orde 2 (klas penggunaan tanah skala 1:10.000). Hal tersebut disebabkan karena kenampakan makam umum, makam khusus dan makam pahlawan pada citra hampir sama, begitu juga untuk klas jasa pendidikan seperti sekolah dasar, sekolah menengah dan perguruan tinggi; klas industri/ pergudangan seperti industri pengolahan pertanian, industri non pertanian, perbengkelan dan pergudangan; klas jasa kesehatan seperti rumah sakit khusus, rumah sakit umum, puskesmas dan balai pengobatan pada tampilan citra hampir sama. Pada lokasi penelitian terdapat daerah yang tertutup awan seluas 11,301 Ha atau sekitar 4,74% dari luas total. Luas terbesar adalah kebun campuran yaitu sebesar 44,772 Ha atau sekitar 18,77 % dan luas terkecil adalah gereja seluas 0,17 Ha atau sekitar 0,07 %. Urutan luas klas penggunaan tanah Kelurahan Kutoarjo dari yang terbesar sampai yang terkecil dapat dilihat pada Tabel 1.
Pembuatan Peta Penggunaan Tanah Pemberian simbol dan warna dalam pembuatan Peta Penggunaan skala 1:5.000 mengacu pada Pedoman Pemetaan Tematik BPN, seperti ditampilkan pada Gambar 2.
Prosiding
Page M-5
Forum Ilmiah Tahunan Ikatan Surveyor Indonesia Pekanbaru, 10-11 November 2010
Gambar 2. Peta penggunaan tanah Kelurahan Kutoarjo
KESIMPULAN Berdasarkan pembahasan sebelumnya, kesimpulan yang dapat ditarik dari penelitian ini adalah: 1. Hasil rektifikasi pada citra satelit Quickbird tahun 2005 menggunakan transformasi affine 2D menunjukkan akurasi posisi dibawah 2 piksel, baik untuk indikator RMSE titik kontrol tanah maupun RMSE titik cek. 2. Dengan bantuan data pendukung dan survei lapangan, interpretasi visual pada citra Quickbird di lokasi penelitian menghasilkan 34 klas penggunaan tanah, namun tidak semua klas penggunaan tanah yang tercantum dalam klasifikasi berdasarkan PMNA/KBPN No. 1 Tahun 1997 dapat diidentifikasi di wilayah Kelurahan Kutoarjo.
UCAPAN TERIMA KASIH Penulis menyampaikan penghargaan setinggi-tingginya kepada pihak-pihak yang telah membantu terlaksananya penelitian ini. DAFTAR PUSTAKA Aisiyah, N., 2007, Pemanfaatan Citra Quickbird untuk Pemetaan Penggunaan Tanah di Daerah Perkotaan, Tesis, Magister Teknik Geomatika, Program Pascasarjana FT-UGM. BPN, 1997, Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasiona, BPN Pusat RI. Nomor 1 Tahun 1997 tentang Pemetaan Penggunaan Tanah Prosiding
Page M-6
Forum Ilmiah Tahunan Ikatan Surveyor Indonesia Pekanbaru, 10-11 November 2010
Pedesaan, Perkotaan, Kemampuan Tanah dan Penggunaan Simbol/Warna untuk Penyajian dalam Peta. BPN RI, 2008, Norma Standar Pedoman dan Mekanisme Survei Dan Pemetaan Tematik Pertanahan, Direktorat Pemetaan Tematik. Digital Globe, 2010, Sensor Information dan product overview, Situs internet: http://usseek.com/system. Akses tanggal 03-02-2010 Jansen, J.R, 1996, Introductory to Digital Image Processing, Prentice Hall, Singapore. Lillesand,T,W.and Kiefer,R.W., 2000, Remote Sensing and Image Interpretation, John Wiley & Sons, Inc, New York. Pohl,C., 1996, Geometric Aspects of Multisensor Image Fusion For Topographic Map Updating in The Humid Tropic, Ph.D. Dissertation, ITC Publication No.39. Sandy, I. M, 1982, Penggunaan Tanah di Indonesia, Publikasi No. 75 cetakan kedua, Direktorat Tata Guna Tanah, Ditjen Agraria, Departemen Dalam Negeri. Subaryono, Harintaka, Ma’ruf, B., 2006, Pemanfaatan Citra Satelit Resolusi Tinggi, DGPS dan SIG untuk Mendeteksi Kondisi Penggunaan Lahan di Kota Yogyakarta, Media Teknik, Edisi November, FT-UGM. Westiani, W., 2006, Identifikasi Perubahan Penggunaan Lahan Menggunakan Citra IKONOS 2000 dan Quickbird 2003 untuk Pemeliharaan Basis Data PBB, Tesis, Magister Teknik Geomatika, Program Pascasarjana FT-UGM.
Prosiding
Page M-7
Forum Ilmiah Tahunan Ikatan Surveyor Indonesia Pekanbaru, 10-11 November 2010
APLIKASI SIG UNTUK PENGHITUNGAN VOLUME GALIAN BUKIT KERBAU TERKAIT KAJIAN KKOP PADA BANDARA PATTIMURA AMBON Oleh : Dimas Hanityawan S., ST, Suryanto, ST, Yofri Furqani Hakim, ST, Ir. Edwin Hendrayana Bidang Pemetaan Dasar Kedirgantaraan, PDKK, Bakosurtanal Telp/Faks:021-87901255,
[email protected]
Abstrak Menurut PP nomor 70 tahun 2001 tentang Kebandarudaraan, Kawasan Keselamatan Operasi Penerbangan (KKOP) adalah wilayah daratan dan/atau perairan dan ruang udara di sekitar bandar udara yang dipergunakan untuk kegiatan operasi penerbangan dalam rangka menjamin keselamatan penerbangan. Agar kawasan udara di sekitar bandara terbebas dari segala bentuk hambatan yang dapat mengganggu pergerakan pesawat udara, maka dalam KKOP ditetapkan batasan ketinggian tertentu terhadap objek-objek di sekitar bandar udara. Bandara Pattimura terletak di Pulau Ambon, pulau dengan kondisi topografi yang berbukit. Bukit-bukit yang berada di sekeliling bandara itu cukup tinggi sehingga dikhawatirkan dapat mengganggu operasional penerbangan. Kajian KKOP pada Bandara Pattimura Ambon berguna untuk mendapatkan gambaran secara jelas bagaimana kondisi keamanan penerbangan yang berlangsung di bandara tersebut. Hasil kajian KKOP yang dibuat dalam Sistem Informasi Geografis (SIG) menunjukkan sebagian besar bukit memiliki ketinggian di atas batas ketinggian yang ditetapkan pada KKOP, salah satunya adalah Bukit Kerbau yang terletak pada kawasan pendekatan lepas landas di perpanjangan landas pacu 22. Analisa yang dilakukan pada tulisan ini adalah penghitungan volume galian untuk pemotongan Bukit Kerbau yaitu diperoleh volume galian sebesar 1.179.481.297 m3 dengan luas area yang harus digali 23.082.100 m2. Pendahuluan UU 1 Tahun 2009 Penerbangan pasal 208 ayat 1 menyatakan, ”Untuk mendirikan, mengubah, atau melestarikan bangunan, serta menanam atau memelihara pepohonan di dalam kawasan keselamatan operasi penerbangan tidak boleh melebihi batas ketinggian kawasan keselamatan operasi penerbangan”. UU ini dengan jelas membatasi ketinggian bangunan dan benda tumbuh lainnya pada daerah KKOP Bandara demi kepentingan umum yang lebih luas yaitu operasional penerbangan. Berdasarkan tempat kejadian, kecelakaan pesawat udara dapat terjadi pada fase perjalanan (enroute), pada fase pendekatan (approach) dan pada daerah kawasan approach yang hampir mendekati landasan pacu atau dalam istilah KKOP disebut kawasan kemungkinan bahaya kecelakaan. Berikut adalah contoh kecelakaan pesawat yang terkait dengan KKOP, yaitu sebuah pesawat Fokker F-28 Garuda Indonesia terlibat musibah pada 11 Juli 1979. Pesawat bernama Mamberamo itu dalam penerbangan dari Bandara Talang Betutu (Lampung) menuju Medan dipiloti Kapten A.E. Lontoh menabrak dinding Gunung Pertektekan, anak Gunung Sibayak dalam pendekatan (approaching) untuk mendarat di Bandara Polonia, Medan. Kesemua 4 awak
Prosiding
Page N-1
Forum Ilmiah Tahunan Ikatan Surveyor Indonesia Pekanbaru, 10-11 November 2010
dan 57 penumpangnya tewas. Untuk mengantisipasi kemungkinan kecelakaan penerbangan itulah pemerintah menetapkan KKOP agar operasional penerbangan di sekitar bandar udara bisa aman dan selamat. Tujuannya adalah untuk menjamin keamanan dan keselamatan penerbangan dan juga melindungi masyarakat disekitar bandara terhadap kemungkinan terjadinya kecelakaan pesawat udara. KKOP dibagi menjadi beberapa kawasan antara lain kawasan pendekatan pendaratan dan lepas landas, kawasan kemungkinan bahaya kecelakaan, kawasan di bawah permukaan transisi, kawasan di bawah permukaan horizontal dalam, kawasan di bawah permukaan kerucut dan kawasan di bawah permukaan horizontal luar. Masing masing kawasan mempunyai karakteristik tersendiri dalam batasan ketinggian. Semakin dekat dengan landasan maka semakin rendah dan sebaliknya. Demikian juga pada daerah pendekatan dan lepas landas, batasan ketinggiannya lebih rendah daripada daerah di kanan/kiri landasan yaitu kawasan di bawah permukaan horisontal luar. Petunjuk pelaksanaan untuk pembuatan KKOP di Bandara dan sekitarnya tertuang dalam Surat Keputusan Direktur Jenderal Perhubungan Udara No. SKEP/110/VI/2000. Tahapan pembuatan KKOP yang harus dilalui antara lain inventarisasi data, analisis data, dan proses pembuatan KKOP. Penentuan kawasan keselamatan operasi penerbangan di bandar udara dan sekitarnya berdasarkan pada klasifikasi landas pacu. Klasifikasi landas pacu ditentukan berdasarkan kelengkapan alat bantu navigasi penerbangan dan dimensi landas pacu. Penggunaan SIG dalam kajian KKOP Bandara Pattimura Ambon bertujuan untuk mempermudah analisa data yang dapat digunakan dalam pengambilan kebijakan dalam bentuk peraturan daerah (perda) tentang pengaturan bangunan tinggi untuk mendukung peraturan tentang kawasan keselamatan operasional penerbangan (KKOP). Peraturan daerah (Perda) yang dibuat oleh dinas terkait (pemkab/pemko) ini bertujuan agar terjadi keselarasan antara pihak penerbangan, perhubungan dan dinas tata ruang tata bangunan (TRTB). KKOP Bandara Pattimura Ambon Untuk menentukan Kawasan Keselamatan Operasi Penerbangan, landasan dibagi menjadi beberapa klasifikasi yang ditentukan berdasarkan kelengkapan alat-alat bantu navigasi penerbangan pada bandar udara dan dimensi landasan. Ketentuan ini berdasarkan pada ketentuan ICAO yang tertuang dalam Annex 14 Volume 1 Aerodrome Design and Operations. Klasifikasi landasan tersebut disajikan dalam tabel berikut: Alat Bantu Navigasi Penerbangan Instrument Precision Kategori I Instrument Precision Kategori I Instrument Precision Kategori I Instrument Precision Kategori I Instrument Precision Kategori II atau III Instrument Precision Kategori II atau III Instrument Non Precision
Prosiding
Dimensi Landasan <800 m 800 s.d. <1.200 m 1.200 s.d. <1.800 m ≥1.800 m 1.200 s.d. <1.800 m ≥1.800 m
Nomer Kode 1 2 3 4 3 4
<800 m
1
Page N-2
Forum Ilmiah Tahunan Ikatan Surveyor Indonesia Pekanbaru, 10-11 November 2010
Instrument Non Precision Instrument Non Precision Instrument Non Precision Alat Bantu Navigasi Penerbangan Non Instrument Non Instrument Non Instrument Non Instrument
800 s.d. <1.200 m 1.200 s.d. <1.800 m ≥1.800 m Dimensi Landasan <800 m 800 s.d. <1.200 m 1.200 s.d. <1.800 m ≥1.800 m
2 3 4 Nomer Kode 1 2 3 4
Tabel 1. Klasifikasi landasan berdasarkan alat bantu navigasi penerbangan dan dimensi landasan.
Bandara Pattimura Ambon memiliki landas pacu dengan panjang 2.500 m dan telah dilengkapi ILS (Instrument Landing System), sehingga landas pacu Bandara Pattimura diklasifikasikan dengan nomer kode 4 - Instrument Precision Kategori II dan panjang landasan >1.800 m - untuk klasifikasi landas pacu pada pembuatan KKOP. Landas pacu dengan nomer kode 4 untuk klasifikasi tersebut mempunyai kriteria untuk tiap-tiap kawasan sebagai berikut: Kawasan Kawasan di bawah permukaan kerucut Slope Tinggi
Dimensi 5% (100+H) m
Kawasan di bawah permukaan horisontal dalam Radius Tinggi
4.000 m (45+H) m
Kawasan pendekatan pendaratan dan lepas landas Bagian pertama Jarak Slope Bagian kedua Jarak Slope Bagian permukaan horisontal Jarak
3.000 m 2% 3.600 m 2,5 % 8.400 m
Kawasan di bawah permukaan transisi Slope
14,3 %
Tabel 2. Kriteria KKOP untuk klasifikasi landas pacu nomer kode 4.
Nilai tinggi pada kriteria kawasan di atas dihitung dari tinggi rata-rata landas pacu. Dari data AIP (Aeronautical Information Publication), tinggi rata-rata landas pacu (H) Bandara Pattimura adalah 10 m. Sehingga diperoleh ketinggian untuk masing-masing kawasan sebagai berikut:
Prosiding
Page N-3
Forum Ilmiah Tahunan Ikatan Surveyor Indonesia Pekanbaru, 10-11 November 2010
Kawasan Kawasan di bawah permukaan transisi Kawasan di bawah permukaan horisontal dalam Kawasan Kawasan di bawah permukaan kerucut Kawasan pendekatan pendaratan dan lepas landas Kawasan permukaan horisontal luar
Tinggi 10-55 m, bidang yang terbentuk dari sisi permukaan utama (10 m) hingga memotong permukaan horisontal dalam (55 m).
55 m
Tinggi 55-155 m, bidang yang terbentuk dari tepi permukaan horisontal dalam (55 m) hingga ketinggian 155 m. Bagian pertama, 10-70 m. Bagian kedua, 70-160 m. Bagian permukaan horisontal, 160-328 m. 160 m.
Tabel 3. Tinggi tiap kawasan pada KKOP Bandara Pattimura Ambon.
Dari kriteria di atas maka KKOP Bandara Pattimura dapat digambarkan sebagai berikut:
Keterangan :
Gambar 1. KKOP Bandara Pattimura Ambon.
Untuk mendapatkan gambaran keamanan operasi penerbangan di Bandara Pattimura, diperlukan data topografi Pulau Ambon agar diperoleh profil ketinggiannya. Dari data kontur dan titik tinggi pada Peta Rupa Bumi Indonesia skala 1:50.000 diperoleh ketinggian maksimal permukaan tanah yang ada di Pulau Ambon adalah 808,35 m. Kondisi topografi Pulau dapat Ambon dapat ditampilkan secara tiga dimensi menggunakan aplikasi ArcScene.Tampilannya dapat dilihat pada gambar berikut ini.
Prosiding
Page N-4
Forum Ilmiah Tahunan Ikatan Surveyor Indonesia Pekanbaru, 10-11 November 2010
Lokasi Bandara Pattimura Ambon
Gambar 2. Tampilan 3D kondisi topografi Pulau Ambon.
SIG KKOP Bandara Pattimura Secara umum, SIG adalah suatu sistem yang terdiri dari perangkat keras, perangkat lunak, data geografis dan sumberdaya manusia yang bekerja bersama secara efektif untuk memasukan, menyimpan, memperbaiki, memperbaharui, mengelola, memanipulasi, mengintegrasikan, menganalisa dan menampilkan data dalam suatu informasi berbasis geografis. Agar dapat diperoleh informasi yang menyeluruh mengenai KKOP beserta kondisi topografi Pulau Ambon, maka dibuat Sistem Informasi Geografis (SIG) KKOP Bandara Pattimura Ambon yang menyajikan informasi ketinggian permukaan tanah dan batas ketinggian pada daerah yang tercakup dalam KKOP. Pembuatan SIG ini memberikan kemudahan dalam penanganan data geospasial, revisi dan pemutakhiran data, serta pencarian, analisa, dan representasi data geospasial dan informasi. SIG KKOP Bandara Pattimura Ambon dapat ditampilkan secara tiga dimensi (3D) seperti gambar berikut ini:
Gambar 3. Tampilan 3D SIG KKOP Bandara Pattimura Ambon.
Dari tampilan 3D tersebut terlihat bahwa sebagian besar bukit yang berada di sekeliling Bandara Pattimura tidak memenuhi ketentuan batas ketinggian yang ditetapkan dalam KKOP. Batas ketinggian ini ditentukan oleh ketinggian terendah dari pertampalan
Prosiding
Page N-5
Forum Ilmiah Tahunan Ikatan Surveyor Indonesia Pekanbaru, 10-11 November 2010
permukaan pendekatan dan lepas landas, permukaan horisontal dalam, permukaan kerucut, dan permukaan horisontal luar. Dalam tulisan ini, kajian dititikberatkan pada bukit yang terletak pada kawasan pendekatan lepas landas di perpanjangan landas pacu 22. Bukit ini dikenal dengan bukit Kerbau, dengan puncaknya memiliki ketinggian 471,78 m. Sedangkan batas ketinggian yang diperbolehkan di kawasan ini, yaitu termasuk dalam kawasan pendekatan lepas landas, adalah 10-160 m. Oleh karena itu, operasi penerbangan di Bandara Pattimura tidak pernah menggunakan landas pacu 22 untuk pendaratan karena berpotensi menimbulkan kecelakaan. Penghitungan Volume Galian Bukit Kerbau Salah satu tujuan pembuatan SIG KKOP Bandara Patimura adalah kemudahan analisa data geospasial. Analisa yang dilakukan dalam kajian ini adalah menghitung volume galian bukit Kerbau yang dapat digunakan untuk memperkirakan biaya yang dibutuhkan untuk memotong Bukit Kerbau. Kebijakan pemotongan bukit ini merupakan salah satu aternatif yang dapat diambil agar bandara dapat menggunakan kedua landasan untuk operasional penerbangan. Bukit Kerbau yang terletak pada kawasan pendekatan lepas landas digambarkan di bawah ini sebagai areal berwarna biru.
Gambar 4. Bukit Kerbau yang ditampilkan sebagai areal berwarna biru.
Penghitungan volume galian dilakukan menggunakan tool 3D Analyst-Surface Analysis-Cut/Fill yang tersedia pada ArcGIS. Prinsip perhitungannya adalah mengalikan selisih tinggi antara dua permukaan (raster surface) dengan luas areal yang diperoleh dari resolusi piksel raster surface yang digunakan untuk penghitungan. Yang perlu diperhatikan dalam proses penghitungan ini adalah resolusi piksel raster surface yang digunakan harus sama, dan untuk hasil hitungan yang akurat satuan yang digunakan untuk nilai ketinggian (z) disarankan sama dengan satuan pada koordinat x dan y. Prinsip tersebut dapat diilustrasikan sebagai berikut:
Prosiding
Page N-6
Forum Ilmiah Tahunan Ikatan Surveyor Indonesia Pekanbaru, 10-11 November 2010
Raster Surface I Raster Surface II Gambar 5. Ilustrasi raster surface yang digunakan untuk penghitungan volume cut/fill.
Masing-masing raster surface diatas mempunyai nilai tinggi pada tiap-tiap piksel. Satuan nilai tinggi itu sama dengan satuan nilai koordinat x dan y pada raster surface yang ditunjukkan dari resolusi pikselnya. Dari raster surface di atas diperoleh 13 piksel yang mempunyai beda tinggi 0 m, 1 piksel yang mempunyai beda tinggi -5 m, dan 2 piksel yang mempunyai beda tinggi 2 m. Dengan resolusi piksel 10 m - luas area untuk tiap piksel adalah 100 m2 - maka diperoleh hasil hitungan sebagai berikut: Jumlah Piksel 13 1 2
Luas (m2) 1300 100 200
Beda Tinggi (m) 0 -5 2
Volume (m3) 0 -500 400
Tabel 3. Ilustrasi hasil penghitungan volume cut/fill.
Dari tabel di atas diperoleh volume yang bernilai positif dan negatif. Nilai volume positif menunjukkan besarnya volume untuk pekerjaan penggalian (cut), sedangkan nilai volume negatif menunjukkan besarnya volume untuk pekerjaan timbunan (fill). Resolusi piksel pada raster surface yang digunakan dalam tulisan ini adalah 10 m. Raster surface tersebut merepresentasikan data topografi Pulau Ambon dan batas ketinggian untuk masing-masing kawasan dalam KKOP. Dari penghitungan diperoleh volume galian untuk Bukit Kerbau sebesar 1.179.481.297 m3 dengan luas area yang harus digali 23.082.100 m2. Volume dan luas areal galian menunjukkan nilai yang sangat besar sehingga perlu diperhatikan apakah kebijakan pemotongan Bukit Kerbau merupakan langkah yang efektif dan efisien dari segi biaya dibandingkan kebijakan lain yang dapat diambil untuk mengatasi halangan-halangan yang dapat mempengaruhi keselamatan operasi penerbangan. Areal galian untuk Bukit Kerbau terhadap batas ketinggian yang ditetapkan dalam KKOP ditampilkan pada gambar berikut ini sebagai areal berwarna biru.
Prosiding
Page N-7
Forum Ilmiah Tahunan Ikatan Surveyor Indonesia Pekanbaru, 10-11 November 2010
Gambar 4. Areal galian Bukit Kerbau yang ditampilkan sebagai areal berwarna biru.
Kesimpulan Kesimpulan yang diperoleh dalam tulisan ini adalah: 1. Sistem Informasi Geografis (SIG) untuk kajian KKOP Bandara Pattimura Ambon memberikan kemudahan dalam penanganan data geospasial, revisi dan pemutakhiran data, serta pencarian, analisa, dan representasi data geospasial dan informasi. 2. Penggunaan SIG ini untuk mempermudah analisa data yang dapat digunakan dalam pengambilan kebijakan dalam bentuk peraturan daerah (perda) tentang pengaturan bangunan tinggi untuk mendukung peraturan tentang kawasan keselamatan operasional penerbangan (KKOP). 3. Analisa terhadap data topografi Pulau Ambon dan batasan ketinggian yang ditetapkan pada KKOP menunjukkan bahwa bukit-bukit di sekeliling Bandara Pattimura Ambon merupakan penghalang bagi operasional penerbangan karena ketinggiannya yang melebihi batas ketinggian yang ditetapkan pada KKOP. 4. Pemotongan Bukit Kerbau merupakan salah satu alternatif yang dapat diambil agar bandara dapat menggunakan kedua landasan untuk operasional penerbangan dengan aman. Adapun volume galian untuk pemotongan Bukit Kerbau sebesar 1.179.481.297 m3 dengan luas area yang harus digali 23.082.100 m2. Referensi - ___. 2008. Daftar Kecelakaan Pesawat di Indonesia. (Online), (http://hanifpesawat.blogspot.com, diakses 20 Oktober 2010). - Direktorat Jendral Perhubungan Udara. 2000. Keputusan Direktorat Jendral Perhubungan Udara Nomor:SKEP/110/VI/2000 Tentang Petunjuk Pelaksanaan Pembuatan Kawasan Keselamatan Operasi Penerbangan di Bandar Udara dan Sekitarnya, Jakarta. - ICAO. 1995. Annex 14 Volume I, Aerodrome Design And Operation, Second Edition. - Prahasta, E. 2001. Konsep-Konsep Dasar Sistem Informasi Geografis. Bandung: Informatika. - Republik Indonesia. 2001. Peraturan Pemerintah No. 70 Tahun 2001 tentang Kebandarudaraan. Lembaran Negara RI Tahun 2001. Sekretariat Negara. Jakarta.
Prosiding
Page N-8
Forum Ilmiah Tahunan Ikatan Surveyor Indonesia Pekanbaru, 10-11 November 2010
-
Republik Indonesia. 2009. Undang-Undang No. 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan. Lembaran Negara RI Tahun 2009. Sekretariat Negara. Jakarta.
Prosiding
Page N-9
Forum Ilmiah Tahunan Ikatan Surveyor Indonesia Pekanbaru, 10-11 November 2010
PERANAN GEOMATIKA DALAM DELIMITASI, DEMARKASI DAN MANAGEMEN BATAS DAERAH DI DARAT* Oleh Ir.Sumaryo, M.Si. **, Ir.Subaryono, MA.,Ph.D**, Ir. Sobar Sutisna, M.Surv.Sc.,Ph.D..***, Ir.Djurdjani, MS.,M.Eng.,Ph.D.** Email :
[email protected]
INTISARI Batas daerah di darat baik daerah provinsi maupun daerah kabupaten/kota di Indonesia jumlahnya cenderung terus bertambah terutama sejak tahun 2000 seiring bergulirnya era otonomi daerah. Pembentukan daerah baru sebagai akibat pemekaran wilayah berarti bertambahnya jumlah segmen batas daerah yang saat ini mencapai 951 segemen batas (Subowo, E.,2009). Di sisi lain penambahan daerah melalui pemekaran wilayah berpotensi timbulnya konflik terutama akibat belum tegasnya keberadaan batas daerah. Penentuan batas daerah pada dasarnya adalah suatu proses yang cukup panjang sesuai dengan proses pembentukan suatu daerah. Merujuk pada Teori Boundary Making yang dikemukakan oleh Stephen B Jones (1945) menyebutkan bahwa penentuan batas wilayah meliputi tahapan utama sebagai berikut: alokasi, delimitasi, demarkasi dan manajemen. Dalam setiap tahapan, peta memiliki peranan yang penting. Pengadaan peta sangat tergantung pada perkembangan teknologi pemetaan pada zamannya. Pada dua dekade terakhir perkembangan teknologi komputer, satelit, teknologi komunkasi dan informasi berkembang sangat pesat dan berpengaruh pada semua bidang termasuk dalam bidang survey pemetaan sehingga muncul term baru teknolgi pemetaan yang disebut geomatika (geomatics) Makalah ini akan menganalisis tahapan penentuan batas daerah di darat di Indonesia dengan merujuk pada teori Boundary Making yang ditulis oleh Stephen B Jones tahun 1945 serta peranan peta dan teknologi geomatika terkini triple S (GPS, RS, GIS) dalam setiap tahapan tersebut.
Kata kunci : geomatika, delimitasi, demarkasi, manajemen dan batas daerah di darat
* Makalah disampaikan pada FIT Ikatan Surveyor Indonesia, 10-11 November di Pakanbaru. **Program Pascasarjana Teknik Geomatika Jurusan Teknik Geodesi Fakultas Teknik UGM *** Pusat Pemetaan Batas Wilayah Bakosurtanal
Prosiding
Page O-1
Forum Ilmiah Tahunan Ikatan Surveyor Indonesia Pekanbaru, 10-11 November 2010
I.PENDAHULUAN Batas daerah (propinsi dan kabupaten/kota) adalah pemisah wilayah penyelenggaraan kewenangan suatu daerah dengan daerah lain. Batas daerah di darat adalah pemisah wilayah administrasi pemerintahan antara daerah yang berbatasan berupa pilar batas di lapangan dan daftar koordinat di peta (Permendagri No.1/2006). Dalam ruang lingkup batas daerah tersebut dilaksanakan penyelenggaraan kewenangan masing-masing daerah, artinya kewenangan suatu daerah pada dasarnya tidak boleh diselenggarakan melampaui batas daerah yang telah ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan (Subowo, E.,2008), Batas daerah di darat baik daerah provinsi maupun daerah kabupaten/kota di Indonesia jumlahnya cenderung terus bertambah terutama sejak tahun 2000 seiring bergulirnya era otonomi daerah. Data jumlah daerah propinsi dan kabupaten/kota di Indonesia sampai akhir Desember 2008 adalah seperti Tabel 1. Tabel 1: Perkembangan Jumlah daerah propinsi dan kabupaten/kota di Indonesia Sampai dengan akhir Desember 2008. No.
Periode
1
1945 s.d. Desember 1999 27 (sebelum Otonomi Daerah) 2000 – 2008 33 (Setelah otonomi daerah) Sumber : Sutisna , 2008, Subowo, E.,2009
2
Propinsi
Kabupaten/ Kota 277 497
Total 304 530
Dari data pada Tabel 1 terlihat bahwa seiring dengan bergulirnya era Otonomi Daerah sejak berlakunya Undang-undang No.22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, jumlah penambahan daerah baru terutama daerah kabupaten/kota meningkat cukup signifikan yaitu dari 277 daerah menjadi 497 daerah (79,42 %). Pembentukan daerah baru sebagai akibat pemekaran wilayah berarti bertambahnya jumlah segmen batas daerah. Dari jumlah 33 daerah propinsi dan 497 daerah kabupaten/kota tersebut terdapat 951 segmen batas (Subowo, E.,2009). Di sisi lain penambahan daerah melalui pemekaran wilayah berpotensi timbulnya konflik terutama akibat tidak jelasnya keberadaan batas daerah. Menurut Departemen Dalam Negeri sampai tahun 2008 jumlah kasus sengketa perbatasan antar daerah mencakup 17 permasalahan yang melibatkan 19 Provinsi dan 50 permasalahan yang melibatkan 81 Kabupaten/kota (Subowo,E.,2008). Penentuan batas daerah pada dasarnya adalah suatu proses yang cukup panjang sesuai dengan proses pembentukan daerah itu sendiri. Proses pembentukan daerah diawali dari suatu proses yang dilakukan oleh para politisi dan pejabat pemerintah di tingkat daerah sampai tingkat pusat yang berakhir dengan terbitnya undang-undang pembentukan daerah. Dengan demikian para politisi dan pajabat di daerah dan di pusat yang terlibat dalam undang-undang pembentukan suatu daerah bisa dikatakan sebagai “arsitek batas daerah” atau ”The architecs of a boundary” (Alder, R.,2001). Secara tidak langsung arsitek batas sebenarnya memiliki kontribusi dan harus bertanggung jawab dalam menyelesaikan sengketa batas. bila suatu saat terjadi. Makalah ini akan membahas tahapan penentuan batas daerah di darat dengan merujuk pada teori Boundary Making yang ditulis oleh Stephen B Jones tahun 1945 dan peranan data dan teknologi geomatika dalam setiap tahapan Prosiding
Page O-2
Forum Ilmiah Tahunan Ikatan Surveyor Indonesia Pekanbaru, 10-11 November 2010
tersebut. Dalam hal peranan data dan teknologi geomatika yang akan dibahas adalah teknologi geomatika terkini, bukan teknologi pada zaman teori Boundary Making yang ditulis tahun 1945 yang saat itu belum ada komputer, belum ada satelit dan penginderaan jauh, belum ada GPS (Global Positining System) dan belum ada GIS (Geographical Information Syatem). II. TEORI ” BOUNDARY MAKING” DALAM PENENTUAN BATAS DAERAH DI INDONESIA Stephen B. Jones (1945), di dalam bukunya A Handbook for Statesmen, Treaty Editors and Boundary Commissioners, merumuskan sebuah teori tentang sejarah adanya batas wilayah suatu negara. Di dalam teorinya tersebut, Jones mengemukakan ada empat tahap utama proses sejarah adanya batas wilayah, yaitu: Allocation, Delimitation, Demarcation dan Administration. Ke-empat ruang lingkup tersebut saling terkait satu sama lainnya, menandakan bahwa ke-empatnya merupakan satu rangkaian pengambilan keputusan yang saling berkaitan dalam pelaksanaannya (lihat ilustrasi pada Gambar 1, Sutisna, 2008).
Gambar 1. Teori Boundary Making1 ( Sutisna, 2008): Boundary Making Theory yang dikemukakan oleh Stephen B. Jones (1945) adalah teori untuk penentuan batas wilayah antar negara. Namun demikian teori ini menurut Sutisna,S.(2007) juga dapat diaplikasikan untuk batas daerah dalam konteks negara Indonesia seperti ilustrasi pada Gambar 2. Sobar Sutisna BAKOSURTANAL 3 September 2007
Teori BM KONTEKS INDONESIA BATAS ADMINISTRASI/POLITIK OTONOMI DAERAH
-Ekonomi -Sosial
Alokasi
Delimitasi
Demarkasi (Penegasan)
Pasal 18, 25A UUD1945 Pasal 2,4 UU No.32/2004 Pasal pada UU ttg Pembentukan Daerah
Keputusan Politik
Pasal 18 UU No.32/2004 Pasal 6(2) UU ttg Pembentukan Daerah
Administrasi -Budaya / Pengelolaan-Ling Hidup -Pertahanan -Keamanan
Sengketa Batas Daerah Pasal 6(3) UU ttg Pembentukan Daerah
Peta Lampiran UU
PerMenDagri
Kebijakan Publik
Survei dan Pemetaan
UU No.26/2007 PP No.38/2007 Berbagai PerUU Sektoral
TPBD: Pusat Prov Kab/kota
Pelayanan Publik KesRakyat Prov Kab/kota
PerDa MON EV
SS.03.09.07
Gambar 2 : Teori Boundary Making konteks Indonesia (Sutisna,S., 2007) 1
Diadopsi dari Theory of Boundary Making, Stephen B. Jones: A Handbook for Statesmen, Treaty Editors and Boundary Commissioners (1945) Prosiding
Page O-3
Forum Ilmiah Tahunan Ikatan Surveyor Indonesia Pekanbaru, 10-11 November 2010
Dalam konteks berikut :
nasional,
keempat tahapan tersebut dapat dijelaskan sebagai
Alokasi. Alokasi adalah proses keputusan politik untuk menentukan batas wilayah territorial. Setelah pada tahun 1945 Indonesia menyatakan kemerdekaan, alokasi cakupan wilayah negara Indonesia adalah seluruh wilayah yang diwariskan dari penjajah Belanda. Hal ini sesuai dengan prinsip hukum internasional Uti Possidetis Juris yang menyatakan bahwa suatu negara yang merdeka mewarisi wilayah penguasa penjajahnya. Kemudian untuk keperluan pengelolaan negara, NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia) dibagi atas daerah-daerah propinsi dan daerah propinsi dibagi atas daerah-daerah kabupaten dan kota yang masing-masing mempunyai pemerintahan daerah dan diberi kewenangan mengelola daerah masingmasing. Dalam UU pembentukan daerah selalu ditentukan cakupan dan batas wilayah daerah. Penentuan cakupan wilayah daerah proipinsi dan kabupaten/kota ditetukan melalui proses keputusan politik dalam bentuk UU pembentukan daerah. Alokasi sebagai keputusan politik keberadaan daerah-daerah di Indonesia baik daerah propinsi maupun kabupaten/kota antara lain dicantumkan dalam UU Dasar 1945 Pasal 18, 25A, Pasal 4 UU No.32/2004 dan Pasal-pasal UU tentang Pembentukan masing-masing Daerah. Delimitasi. Delimitasi atau penetapan merupakan tahap selanjutnya setelah alokasi. Pada tahap delimitasi dilakukan penentuan batas wilayah sesuai kesepakatan antar daerah yang biasanya dilakukan secara kartometrik di atas peta. Dalam UU pembentukan Daerah, penetapan batas daerah menyebutkan batas-batas daerah yang dibentuk secara lebih jelas dan digambarkan dalam peta wilayah sebagai lampiran yang tidak terpisahkan dari UU pembentukan daerah tersebut. ). Ada tiga konsekwensi politik terhadap delimitasi batas daerah di Indonesia yang harus diperhatikan yaitu, pertama, delimitasi batas daerah bukan berarti membuat wilayah NKRI menjadi terkotak-kotak dan terpisah satu sama lain, tetapi sifatnya lebih pada penataan batas wilayah kerja pengelolaan administrasi pemerintahan, yang pada gilirannya mempermudah koordinasi pelaksanaan pembangunan maupun pembinaan kehidupan dan pelayanan masyarakat di daerah. Kedua, bangun semangat persaudaraan, kebersamaan sebagai bangsa dan kedepankan musyawarah. Ketiga, selesaikan delimitasi cakupan wilayah administrasi dengan sikap kenegarawanan dan tetap menjunjung tinggi supremasi hukum (Subowo,E.,2009). Demarkasi. Demarkasi atau penegasan batas adalah kegiatan pemasangan tanda batas daerah secara pasti di lapangan atas dasar hasil kesepakatan pada proses delimitasi. Penegasan batas daerah dititikberatkan pada upaya mewujudkan batas daerah yang jelas dan pasti baik dari aspek yuridis maupun fisik di lapangan. Penegasan batas dilakukan dalam rangka menentukan letak dan posisi batas daerah secara pasti di lapangan sampai dengan penentuan koordinat titik-titik batas dan pembuatan peta batas. Administrasi. Tahap akhir dari proses penentuan batas wilayah adalah mencatat dan mendokumentasikan batas. Dalam perkembangannya adiminstrasi tidak sekedar hanya mencatat dan mendokumentasikan batas tapi telah bergeser kearah pengelolaan atau managemen wilayah perbatasan (Pratt, 2006 dalam Sutisna, 2008). Dalam pengelolaan batas dan wilayah perbatasan yang baik menurut theory of boundary making, kegiatan Administration / management pembangunan wilayah perbatasan dapat dilaksanakan secara overlapping dengan demarkasi. Hal Prosiding
Page O-4
Forum Ilmiah Tahunan Ikatan Surveyor Indonesia Pekanbaru, 10-11 November 2010
ini atas dasar pertimbangan dalam kenyataannya seringkali dihadapi kendala dan dinamika yang terjadi di lapangan menyangkut aspek ekonomi, sosial, budaya dan politik. Sehingga seringkali dilakukan secara segmentasi, dan kegiatan administrasi / management berjalan beriringan dengan pelaksanaan penegasan batas di lapangan. (Sutisna,2008).
Penetuan Batas Daerah di Indonesia. Keberadaan daerah propinsi dan kabupaten/kota di Indonesia dibentuk melalui undang-undang. Pada kurun waktu 1945 sampai 1999 penentuan batas daerah propinsi dan kabupaten/kota hanya sampai tahap alokasi dan delimitasi kemudian meloncat ke tahap administrasi untuk pengelolaan daerah. Bahkan pada tahap delimitasipun cakupan wilayah dan penetapan batas wilayah daerah yang dibentuk pada umumnya tidak dilengkapi dengan peta lampiran atau dilampiri peta yang secara kartografis tidak memadai, tetapi hanya disebutkan dalam pasal-pasal undang-undang pembentukan daerah yang bersangkutan. (Ardian, 2010). Walaupun demarkasi batas di lapangan belum dilakukan namun pada era sebelum otonomi daerah hampir tidak ada masalah sengketa batas wilayah karena sistem pemerintahan yang sentralistik dan pembagian batas wilayah hanya bersifat untuk keperluan administrasi belaka (Salama, 2005). Penelitian awal yang dilakukan Sumaryo (2009) terhadap 60 kasus sengketa batas batas daerah dianalisis dengan teori lingkaran konflik C.W.Moore, 1986 (Vivian Louis Forbes, 2001) ditemukan bahwa sengketa batas pada umumnya disebakan oleh konflik hubungan (53%) yaitu dalam hal perbedaan persepsi tentang batas wilayah. Perbedaan persepsi ini disebabkan oleh konflik data spasial yaitu : kurang data/inforamsi, data dan informasi spasial yang salah, beda cara pandang terhadap data spasial yang relevan dan beda interpretasi terhadap batas yang termuat dalam peta lampiran undang-undang. Disamping itu sengketa batas wilayah juga disebabkan karena konflik struktural (45 %) seperti hubungan geografis dan psikis penduduk, konflik pemanfaatan sumberdaya alam dan situasi konflik yang sengaja di ciptakan untuk kepentingan tertentu. III. PERANAN GEOMATIKA DALAM DELIMITASI, DEMARKASI DAN MANAJEMEN BATAS DAERAH DI DARAT Dalam proses penentuan batas wilayah menurut Stephen B. Jones (1945) yang dimulai dari negosiasi untuk delimitasi batas , demarkasi dan berakhir pada kegiatan administrasi dan pengelolaan batas, diperlukan peta dan kegiatan survey pemetaan. Waktu teori Boundary Making ditulis tahun 1945 kegiatan survey pemetaan masih menggunakan teknologi konvensional. Dalam dua dekade terakhir, perkembangan teknologi khususnya teknologi satelit ruang angkasa untuk penentuan posisi dan perekaman data permukaan bumi, serta perkembangan teknologi komputer dan teknologi informasi telah mendorong perubahan paradigma survey pemetaan baik secara keilmuan maupun dalam aplikasinya. Perubahan tersebut dapat disaksikan kecenderungan umum bahwa survey pemetaan yang awalnya hanya dalam cakupan penyediaan peta, berkembang cangkupannya untuk memodelkan dan mengelola informasi yang terkait suatu lokasi mulai dari pengumpulan, penyajian, pengolahan, pengelolaan dan diseminasi data dan informasi geo-spasial yang dilakukan secara digital. Perkembangan paradigma tersebut melahirkan disiplin ilmu baru yang disebut Geomatika (Geomatics). Geomatika adalah sain dan teknologi yang mempelajari tentang pengukuran obyekobyek di muka bumi yang melibatkan pemakaian komputer dan teknologi komunikasi dan informasi dalam pengumpulan (survey), pengolahan dan analisis, presentasi Prosiding
Page O-5
Forum Ilmiah Tahunan Ikatan Surveyor Indonesia Pekanbaru, 10-11 November 2010
(penggambaran), penyimpanan (storage) , managemen dan distribusi informasi ruang permukaan bumi untuk mendukung berbagai pengambilan keputusan . Peran geoamtika dalam penentuan batas dapat dilihat dari skema pada Gambar 3.
Gambar 3 : Diagram skema tahapan penentuan batas daerah (Sumber : Alder, R., 2001, dimodifikasi untuk batas daerah)
Peranan geomatika pada tahapan alokasi, delimitasi, demarkasi dan manajemen akan dibahas peranan peta dan teknologi geomatika. Peta akan dibahas karena peta merupakan suatu bagian yang sangat penting dari infrastruktur untuk penentuan batas (Adler, R.,1995), sedangkan peranan teknologi geomatika yang akan dibahas adalah teknologi terkini “Triple S” yaitu Remote Sensing, GPS/GNNS dan GIS. Peranan geomatika selengkapnya diuraikan sebagai berikut : Tahap Alokasi, Tahap alokasi pada penentuan batas daerah biasanya dilakukan oleh para politisi di lembaga legislatif dan pejabat pemerintah (eksekutif) mulai dari tingkat daerah sampai pusat dan berakhir pada disahkannya suatu undang-undang pembentukan daerah. Pada tahap ini dominasi kegiatan lebih pada kegiatan politik, lobi-lobi dan negosiasi antar berbagai kelompok dan kekuatan politik. Keperluan peta Prosiding
Page O-6
Forum Ilmiah Tahunan Ikatan Surveyor Indonesia Pekanbaru, 10-11 November 2010
biasanya sebatas untuk bahan negosiasi dan biasanya tidak terlalu dipersoalan masalah ketelitian, skala, datum, sistem koordiant dan aspek kartografis lainnya. Yang diperlukan adalah posisi relatif daerah yang akan dibentuk terhadap daerah disekitarnya. Walaupun demikian tersedianya peta tetap sangat penting sebagai sumber informasi bagi para politisi dan pihak-pihak yang berkepentingan untuk bernegosiasi. Data lain selain peta yang bisa digunakan untuk bahan negosiasi adalah foto udara/peta foto dan citra sateli. Untuk itu para politisi perlu mendapat masukan dan advis dari ahli dalam bidang geodesi, kartografi atau geografi (Blake, G, 1995). Tahap Delimitasi. Pada tahap ini, aloksi wilayah yang sudah disepakati selanjutnya harus dibagi untuk masing-masing pihak dengan mendeliniasi garis batas yang lebih tepat di peta dasar dan garis batas tersebut nantinya juga disepakati untuk demarkasi di lapangan. Dalam berbagai kasus batas internasional maupun sub nasional, tahap delimitasi merupakan tahapan yang paling kritis dan diperlukan kerja yang sungguh-sungguh dan akurat (Blake,G.,1995Hasil akhir dari kegiatan delimitasi adalah garis batas yang telah disepakati di peta yang akan dilampirkan dalam undang-undang pembentukan daerah sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari undang-undang pembentukan daerah. Sebagai lampiran yang tidak terpisahkan mengandung pengertian bahwa antara garis batas yang tergambar di peta dengan teks dalam pasal-pasalnya harus memiliki pengertian yang sama dan tidak boleh saling bertentangan. Dengan demikian peranan peta pada tahap delimitasi adalah sebagai instrumen dan sekaligus sebagai pedoman untuk tahap demarkasi selanjutnya. Oleh sebab itu peta yang perlu tersedia adalah peta yang memiliki kualitas yang baik dari aspek geometris dan kartografis. Aspek geometris peta meliputi : skala peta, datum, sistem koordinat dan sistem proyeksi peta. Persoalan yang sering terjadi adalah tidak tersedianya peta yang memadai atau kurang perhatiannya dari para pihak tentang arti pentingnya peta. Pada tahap ini peta yang diperlukan sebaiknya disiapkan oleh komisi teknis perbatasan dari lembaga-lembaga resmi survey pemetaan seperti Bakosurtanal, Dinas Topografi TNI-AD atau Dinas Hidrografi-Oceanografi TNI-AL. Untuk kegiatan survey pendahuluan dan pelacakan batas, teknologi GPS merupakan teknologi terkini penentuan posisi yang cepat dan mudah yang dapat segera mendapatkan koordinat titik-titik batas untuk dicantumkan dalam uandang-undang pembentukan daerah. Selain peta topografi sebagai peta dasar untuk penarikan garis batas, sering diperlukan peta-peta tamatik dan informasi spasial lain untuk mendukung tercapainya kesepakatn. Tahap Demarkasi. Hasil delimitasi batas daerah, selanjutnya dituliskan dalam dokumen undang-undang pembentukan daerah. Selain dalam bentuk peta batas daerah sebagai dokumen yang tidak terpisahkan dari undang-undang pembentukan daerah, klausal cakupan wilayah daerah juga dituliskan dalam pasal-pasalnya. Bila sudah diundangkan, maka hasil kegiatan delimitasi sudah memiliki aspek legal. Tahap selanjutnya adalah kegiatan demarkasi atau penegasan batas, yaitu memasang tanda-tanda batas di lapangan (Jones, 1945, Prescott, 1979). Penegasan batas daerah dititikberatkan pada upaya mewujudkan batas daerah yang jelas dan pasti baik dari aspek yuridis maupun fisik di lapangan. Penegasan batas dilakukan dalam rangka menentukan letak dan posisi batas secara pasti di lapangan sampai dengan penentuan titik koordinat batas di atas peta. Penegasan batas daerah berpedoman pada batas-batas daerah yang ditetapkan dalam Undang-undang Pembentukan Daerah (Permendagri No1/2006). Peranan peta pada tahap demarkasi adalah untuk menampilkan batas daerah yang telah ditegaskan di lapangan dan sebagai lampiran dalam keputusan Menteri Dalam Negeri tentang penegasan batas daerah. Prosiding
Page O-7
Forum Ilmiah Tahunan Ikatan Surveyor Indonesia Pekanbaru, 10-11 November 2010
Dalam pelacakan batas untuk demarkasi, sering peta lampiran undang-undang yang sulit digunakan karena petanya sudah lama sehingga banyak ketidaksesuaian dengan kondisi lapangan saat dilakukan pelacakan. Atau di dalam peta yang ada tidak terdapat garis kontur sehingga sulit mengidentifikasi batas yang berupa watershed. Untuk itu beberapa produk teknologi remote sensing bisa digunakan. Remote Sensing Remote Sensing didefinisikan sebagai sains dan teknologi yang dipergunakan untuk mengidentifikasi, mengukur, atau menganalisisi karakteristik dari suatu obyek tanpa melakukan kontak langsung dengan obyek tersebut.(Lillesand dan Kiefer, 2000). Prinsip kerjanya didasarkan atas pengukuran energi gelombang elektromagnetik yang dipancarkan oleh sumber energi (matahari) merambat mengenai obyek, dipantulkan oleh obyek yang kemudian direkam oleh sensor (Harintaka, 2007 dalam Arsana ,2007). Sumber energi matahari dapat berupa cahaya tampak, panas dan sinar ultra violet (Kerle, dkk.,2004). Dalam konteks ini, fotogrametri, Radar, Lidar termasuk bagian dari Remote Sensing. Karakteristik utama citra penginderaan jauh umumnya ditinjau dari 4 aspek, yaitu : resolusi spasial, resolusi spektral, resolusi radiometrik dan resolusi temporal (Harintaka, 200, dalam Arsana, 2007). Untuk kegiatan delimitasi batas daerah citra satelit yang saat ini banyak tersedia di pasaran merupakan suatu data yang potensial dapat digunakan. Citra satelit yang digunakan sebaiknya yang memiliki resolusi spasial tinggi dan resolusi temporal yang pendek seperti IKONOS atau Quickbird yang memiliki resolusi 1 m sehingga sangat membantu untuk mengenali terrain dalam proses deliniasi garis batas.
Gambar 4 : Citra satelit IKONOS, resolusi 1 meter. ( Sumber Williamson, I, 2009) Citra sateli lain yang dapat digunkan adalah SRTM (Shuttle Radar Topographic Mission ). SRTM merupakan suatu misi internasional pertama yang dikembangkan National Aeronautics and Space Administration (NASA) dan the Prosiding
Page O-8
Forum Ilmiah Tahunan Ikatan Surveyor Indonesia Pekanbaru, 10-11 November 2010
National Geospatial-Intelligence Agency (NGA) yang bertujuan untuk menghasilkan Digital Elevation Model (DEM) secara global di seluruh permukaan bumi. Uji coba penggunaan data DEM dari SRTM telah dilakukan oleh Ilham, dkk. tahun 2009 untuk delimitasi pada suatu segmen batas antara Propinsi Kalimantan Timur dan Kalimantan Tengah. Segmen batas batas antara Propinsi Kalimantan Timur dan Kalimantan Tengah telah dilakukan penetapan batas melalui Kepmendagri No. 185. 5 - 486 tahun 1989 tentang penegasan garis batas antara propinsi Kalimantan Timur dan Kalimantan Tengah. Segmen garis batas tersebut pada umumnya berupa punggung bukit (watershed). Menggunakan peta lampiran Kepmendagri No. 185. 5 486 tahun 1989 yang tersedia pelacakan garis batas di atas peta tersebut mengalami kesulitan karena di dalam peta tersebut tidak ada informasi garis kontur. Kemudian dicari alternatif menggunakan data DEM dari SRTM. Penggunaan DEM dari data SRTM sangat membantu dalam menentukan posisi dari garis batas, karena kondisi geomorfologis wilayah perbatasan di daerah penelitian dapat diidentifikasi dengan lebih jelas. DEM tersebut memperkuat kenampakan terrain dari permukaan bumi khususnya kenampakan watershed seperti gambar berikut :
Gambar 5 : Penarikan garis batas di punggung bukit dengan data DEM dari SRTM (Sumber Ilham, dkk.,2009)
GPS/GNNS GPS (Global Positioning System) adalah metode penentuan posisi dan waktu berbasis satelit yang dikembangkan oleh Departemen Pertahanan Amerika Serikat sejak tahun 1978. Saat ini pemakaian GPS sangat populer di masyarakat untuk berbagai aplikasi. Sistem ini terdiri atas 3 segmen, yaitu segmen satelit kepunyaan Amarika berjumlah 24 satelit yang mengorbit pada 6 bidang orbit pada ketinggian Prosiding
Page O-9
Forum Ilmiah Tahunan Ikatan Surveyor Indonesia Pekanbaru, 10-11 November 2010
20.200 km dari permukaan bumi. Segmen kontrol satelit di Hawai, Ascension, Diego Garcia, dan Kwajalein. Segmen pengguna yang berupa reciever yang dapat digunakan secara umum untuk menangkap sinyal L1 dan L2 yang dipancarkan oleh setiap satelit secara terus menerus . Tiga segmen sistem GPS dapat diilustrasikan seperti Gambar 6.
Segmen-segmen GPS
SEGMEN PENGGUNA
SEGMEN SATELIT
Hermitage MCS Colorado Springs Bahrain Kwajalein
Hawaii
Ascension Ou ito
Diego Garcia Smithfield
Buenos Aires
SEGMEN KONTROL SATELIT
SEGMEN PENGGUNA
Gambar 6 : Tiga segmen sistem GPS (satelit, kontrol dan pengguna) Prinsip dasar penentuan posisi titik P di bumi dengan GPS dapat digambarkan seperti Gambar 7. Pada Gambar 7, R adalah satelit yang memancarkan sinyal (L1,L2) secara terus menerus, sinyal tersebut ditangkap oleh reciever di P. Koordinat satelit R1, R2, R3, R4 pada sistem koordinat geosentris dengan datum geodetik WGS-84 diketahui. Karena kecepatan sinyal (c) yang dipancarkan satelit diketahui dan waktu rambat sinyal (ΔT) dari R sampai ke P diketahui (diukur), maka jarak PR dapat ditentukan. Bila koordinat P yang akan dicari adalah X P,YP,ZP dan koordinat R adalah XR,YR,ZR maka dapat dibentuk persamaan sebagai berikut (Craig,R.,2010) :
[(X1 – XP) + (Y1 – YP) + (Z1 – ZP) + c.ΔT] 1/2 = PR1 [ (X2 – XP) + (Y2 – YP) + (Z2 – ZP) + c.ΔT] 1/2 = PR2 .................... (1) [ (X3 – XP) + (Y3 – YP) + (Z3 – ZP) + c.ΔT] 1/2 = PR3 [ (X4 – XP) + (Y4 – YP) + (Z4 – ZP) + c.ΔT] 1/2 = PR4 Prosiding
Page O-10
Forum Ilmiah Tahunan Ikatan Surveyor Indonesia Pekanbaru, 10-11 November 2010
Diperlukan paling sedikit data dari pengamatan 4 satelit untuk dapat menyelesaiakan persamaan 1 guna menentukan XP,YP,ZP
PRINSIP DASAR PENENTUAN POSISI DENGAN GPS
Z
= lintang geodetis = bujur geodetis h = tinggi elipsoid
S
Elipsoid acuan
h
x1 x2 y1 y2 z1 z2 c.T PR1 x2 x2 y2 y2 z2 z2 c.T PR2 Ekuator
O
x3 x2 y3 y2 z3 z2 c.T PR3 x4 x2 y4 y2 z4 z2 c.T PR4
X
Y
Gambar 7 : Prinsip penentuan posisi dengan GPS Dalam perkembangannya berbagai negara mengembangkan teknologi penentuan posisi berbasis satelit, seperti GLONASS (Rusia), Galilieo ( Uni Eropa), sehingga saat ini dikenal istilah GNSS (Global Navigation Satellite System) sebagai istilah generik metode penentuan berbasis satelit. Menggunakan teknologi GPS/GNNS ini dapat diperoleh akurasi yang sangat teliti tergantung jenis reciever dan metode observasi dan pemrosesan data yang digunakan. Sebagai contoh, metode differensial GPS (observasi GPS menggunakan lebih dari satu reciever), dapat menhasilkan ketelitian sampai sub sentimeter menggunakan data fase, sedang penentuan posisi absolut dengan satu reciever dapat
menghasilkan ketelitian 5 – 10 meter (Abidin, dkk., 2005). Penggunaan tenologi GPS/GNSS pada penentuan batas daerah sebenarnya dapat digunakan pada tahap delimitasi yaitu untuk menentukan koordinat titik-titik batas yang akan dilampirkan dalam undang-undang pembentukan daerah. Pada undangundang pembentukan daerah yang sekarang sudah ada pada umumnya tidak dilakukan, apalagi undang-undang pembentukan daerah era sebelum otonomi daerah (sebelum tahun 2000) karena teknologi GPS belum ada atau kalau ada tapi belum luas pemakaiannya. Namun demikian, karena batas daerah yang dibentuk sebelum otonomi daerah pada umumnya belum dilakukan demarkasi di lapangan, maka teknologi GPS seharusnya dipakai pada saat demarkasi. Pamakaian teknologi Prosiding
Page O-11
Forum Ilmiah Tahunan Ikatan Surveyor Indonesia Pekanbaru, 10-11 November 2010
GPS/GNSS pada tahap demarkasi bisa digunakan untuk pelacakan batas menggunakan GPS Navigasi sehingga dihasilkan koordinat sementara dan tahap pengkuran koordinat titik-titik batas dengan GPS tipe geodetik untuk mendapatkan koordinat yang definitip sebagai dasar keputusan Menteri Dalam Negeri tentang penegasan batas daerah. Bebrapa contoh pemakaian teknologi GPS pada tahap demarkasi batas daerah Kabupaten Sleman dan Kabupaten Bantul tahun 2007 pada Gambar berikut ( Hafid, 2007) : Aplikasi GPS untuk kegiatan Batas wilayah dirangkum pada Tabel 2 berikut. Tabel 2 : Aplikasi GPS untuk kegiatan Batas wilayah No. 1
2
3
4
Data akusisi untuk Demarkasi Delimitasi Fenomena yang Pelacakan batas hasil menonjol/spesifik di delimitasi dan pengukuran sekitar garis batas (GPS koordinat smentara (GPS Navigasi) Navigasi)
Administrasi/ Manajemen Penentuan posisi kejadian-kejadian penting di kawasan perbatasan (GPS Navigasi) Penentuan koordinat titik Penentuan posisi pilar Perapatan di foto udara atau citra batas ( GPS Geodetik) tanda/pilar batas satelit (GPS Navigasi) (GPS Geodetik) Survey garis batas yang Survey pemetaan koridor Pemeliharaan diusulkan dalam batas (GPS Pemetaan) tanda-tanda batas delimitasi (GPS (rekonstruksi kalau Navigasi) ada yang hilang) Klarifikasi terhadap Titik kontrol untuk Titik kontrol dalam kemajuan berbagai hal pemetaan batas pelaksanaan selama negosiasi konstruksi dan proyek pembangunan (GPS Geodetik)
8. a
8.b.
Gambar 8 : (a) Penggunaan GPS Hendheld untuk pelacakan batas (b) Penggunaan GPS Geodetik untuk pengukuran koordinat pilar batas. (Sumber Hafid, 2007). Prosiding
Page O-12
Forum Ilmiah Tahunan Ikatan Surveyor Indonesia Pekanbaru, 10-11 November 2010
Tahap Administrasi/Manajemen. Proses panjang penentuan batas daerah yang dimulai dari negosiasi oleh para arsitek batas (the boundary architecs), dilanjutkan dengan delimitasi dan pengesahan undang-undang pembentukan daerah kemudian dilakukan tahap demarkasi oleh ”the boundary engineers” akan diakhiri dengan tahap manajeman batas dan kawasan perbatasan daerah oleh masing-masing pemerintah daerah yang berbatasan. Proses panjang tersebut merupakan kulminasi dari proses politik, hukum dan teknis dan merupakan proses awal pengelolaan kawasan perbatasan, yang tujuannya untuk mempermudah koordinasi dan kerjasama pelaksanaan pembangunan maupun pembinaan kehidupan dan pelayanan kepada masyarakat, khususnya di kawasan perbatasan di daerah. Untuk proses manajemen perbatasan, kedua daerah memerlukan berbagai informasi baik informasi spasial maupun non spasial. Berbagai data dan informasi yang diperlukan untuk manajemen perbatasan : 1. Data garis batas : a. Spasial : Koordinat titik-titik batas, peta batas (koridor 100 m) sepanjang garsis batas, deskripsi pilar batas. b. Non spasial : UU pembentukan daerah, Permendagri tentang penegasan batas daerah yang bersangkutan 2. Kawasan perbatasan (wilayah kecamatan sepanjang garis batas) : berbagai peta tematik, data penduduk, data ekonomi, pendidikan, infrastruktu, dll. Basis Data Dijital Perbatasan Data dan informasi geografis tersebut disusun dalam basis data dijital. Data dan informasi geografis tersebut diklasifikasi dalam tiga bentuk yaitu : titik, garis dan poligon. Hasil pengamatan semua kejadian yang direferensikan dengan lokasi dapat disusun menjadi “layer-layer” , misalnya layer batas, jalan, land use, aliran (sungai), bidang-bidang tanah, dll. GIS (Geographical Information System) Selanjutnya untuk kepeluan manajemen wilayah perbatasan, basis data dijital perbatasan diolah, dianalisis, ditampilkan, disimpan menggunakan GIS. GIS adalah integrasi sistematis dari perangkat keras dan perangkat lunak komputer, data geografis dan personalia yang dirancang untuk mengumpulkan, mengolah, menyimpan, memutakhirkan dan menyajikan segala bentuk informasi yang bergeorefensi (ESRI, http://www.esri.com/). Fungsi SIG adalah mengorganisir data spasial. Dasar pemikirannya sedarhana, bahwa semua kejadian baik alam maupun oleh aktivitas manusia dapat dihubungkan dengan lokasinya. Lokasi bisa berati nama tempat atau koordinat di bumi, sehingga semua kejadian pada dasarnya dapat diikatkkan kepada nama tempat atau koordinatnya di bumi (georeferenced). GIS dapat dimanfaatkan dalam kegiatan yang terkait batas wilayah terutama pada manajemen batas dan wilayah perbatasan. Dalam manajemen wilayah perbatasan, perencanaan, pelaksanaan dan pengelolaannya tentunya harus disesuaikan dengan Rencana Tata Ruang Wilayah dari daerah yang bersangkutan (propinsi, kabupaten/kota). Analaisi spasial dengan GIS untuk tata ruang wilayah perbatasn dapat digambarkan sebagai berikut :
Prosiding
Page O-13
Forum Ilmiah Tahunan Ikatan Surveyor Indonesia Pekanbaru, 10-11 November 2010
Gambar 9 : Proses analisis GIS Perbatasan.
IV. KESIMPULAN
Dari uraian yang telah disampaikan pada bab sebelumnya dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut : 1. Peta sangat penting keberadaanya karena peta merupakan infrastruktur dalam seluruh tahapan penentuan batas wilayah mulai dari tahap alokasi, delimitasi, demarkasi dan manajemen. 2. Teknologi geomatika terkini yang sering disebut Triple S (GPS/GNNS, Remote Sensing dan GIS) dapat dimanfaatkan dalam tahapan-tahapan penentuan batas daerah untuk menggantikan teknologi konvensional, sehingga penegasan batas daerah di lapangan dapat lebih dipercepat. 3. Sengketa batas wilayah pada umumnya disebakan oleh konflik hubungan yaitu dalam hal perbedaan persepsi tentang batas wilayah. Perbedaan persepsi ini disebabkan oleh konflik data spasial yaitu : kurang data/inforamsi, data dan informasi spasial yang salah, beda cara pandang terhadap data spasial yang relevan dan beda interpretasi terhadap batas yang termuat dalam peta lampiran undang-undang.
Prosiding
Page O-14
Forum Ilmiah Tahunan Ikatan Surveyor Indonesia Pekanbaru, 10-11 November 2010
DAFTAR PUSTAKA Alder, R., 1995, Positioning and Mapping International Land Boundaries, IBRU Boundary & Territory Briefing, Vol.2, No.1, ISBN 1-897643-19-5, Durham, UK. Alder, R., 2001, Geographical Information in Delimitation, Demarcation and Management of International Land Boundaries, IBRU Boundary & Territory Briefing, Vol.3, No.4, ISBN 1-897643-40-3, Durham, UK. Direktorat Jendral Pemerintahan Umum, Depdagri, 2008, Rekapitulasi Permasalahan Perbatasan antar Provinsi , Laporan , Tidak dipublikasi, Jakarta. Jones, Stephen, B.,2000, Boundary Making, A Handbook for Statesmen, Treaty Editors and Boundary Commissioners , William S. Hein & Co.,Inc, Buffalo, New York. Kausar dan Eko Subowo , 2008, Kebijakan Penataan Batas Antar Daerah, Modul pelatihan Penegasan Batas Daerah, Jurusan Teknik Geodesi FT UGM, tidak dipublikasi, Yogyakarta. Rushworth, D., 1997, Mapping in Support of Frontier Arbitration : Delimitation and Demarcation, IBRU Boundary and Security Bulletin Spring 1997, Durham, UK. Sumaryo, 2009, "Boundary Making Theory, Pada Penentuan Batas Daerah di Indonesia Dan Sengketa Batas Wilayah Pada Era Otonomi Daerah" , Karya Ilmiah yang dipublikasikan dalam Prosiding F Sutisna Sobar (ed), 2006, Pandang Wilayah Perbatasan: Aspek Permasalahan Batas Maritim Indonesia, Pusat Pemetaan Batas Wilayah, BAKOSURTANAL, Cibinong. Sutisna Sobar (ed), 2004, Pandang Wilayah Perbatasan Indonesia, Pusat Pemetaan Batas Wilayah BAKOSURTANAL, Cibinong. Sutisna Sobar, Sora Lokita dan Sumaryo, 2008, Boundary Making Theory dan Pengelolaan Perbatasan Di Indonesia, Workshop Pengelolaan Wilayah Perbatasan, Jurusan Ilmu HI/UPN Veteran, Yogyakarta, 18 – 19 November ,2008. Vivian Louis Forbes, 2001, Conflict and Cooperation in Managing Maritime Space in Semi-enclosed Seas, Singapore University Press, Yusof Ishak House, Singapore.
Prosiding
Page O-15
Forum Ilmiah Tahunan Ikatan Surveyor Indonesia Pekanbaru, 10-11 November 2010
Sejarah dan Perkembangan Penginderaan Jauh di Indonesia Bangun Muljo Sukojo* 1. Pendahuluan Sejarah kehidupan manusia (ekonomi, sosial, budaya dan agama) tidak lepas dari peran dan fungsi Penginderaan Jauh. Perkembangan dan pemanfaatan Penginderaan Jauh yang pesat. Pengembangan IPTEKS bidang Penginderaan Jauh di Indonesia dan dunia cenderung terus berkembang. Kebutuhan Indonesia akan Penginderaan Jauh dalam mendukung pembangunan berkelanjutan semakin meningkat. Prospek ekonomi, politik, militer dan budaya menjadi peluang dalam pengembangan produk Penginderaan Jauh untuk Indonesia dan dunia. Saat ini Penginderaan Jauh digunakan untuk pencarian sumber-sumber ekonomi (energi, mineral) didaerah baru dan isu politik, terorisme, kemiskinan, sumber daya alam, lingkungan. Pada era modern ini, Penginderaan Jauh digunakan untuk kegiatan pemetaan dibedakan menjadi 2 (dua) yaitu yang bersifat kualitatif, dimana dititik beratkan pada karakter radiometrik dan bersifat kuantitatif yaitu yang berkarakter geometrik. Perkembangan Penginderaan Jauh tidak lepas dari Fotogrametri adalah dimulai pada abad 19, yaitu saat Nadal (1858) di Bievre (Perancis) mencoba Fotogrametri / Pemotretan Udara, dengan menggunakan prinsip Fotografi yang bersifat kualitatif, radiometrik, analog, hard copy, interpretasi Foto yang bersifat kualitatif, radiometrik, analog, hard copy dan Fotogrametri yang bersifat kuantitatif , geometrik, analog, hard copy. Tahun 1970, diluncurkan satelit Landsat 1 (USA, 1972), SPOT 1 (Perancis, 1984), Radarsat (Kanada, 1995), Modis (USA, 2002) dsb. Mulai dikenal ilmu dan teknologi Penginderaan Jauh yang bersifat kualitatif, radiometrik, digital, soft copy.Tahun 1990, SPOT 5 (Perancis, 1984), Ikonos (USA, 1998), Quick Bird (USA, 2000), menandai era Penginderaan Jauh resolusi tinggi yang mempunyai karakter kualitatif, radiometrik, kuantitatif , geometrik, digital, soft copy. Selain itu dikenal teknologi yang berjalan seiring yaitu Land Information System - Geographic Information System - Geo-informatika. Sejalan dengan perkembangan teknologi juga ilmu pengetahuan juga berkembang mulai dari penemuan alat fotografi memunculkan ilmu Fotogrametri, peluncuran satelit sumber daya alam Landsat 1, munculnya era komputer dan informatika, sehingga teknologi geospasial berkembang dengan cepat dan benar, sistem, kecepatan, kapasitas, kemampuan dalam industri hard ware dan soft ware yang semakin cepat berkembang dan teknologi digital masuk pada infrastruktur kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu tidak dapat dipungkiri, bahwa Prosiding
Page P-1
Forum Ilmiah Tahunan Ikatan Surveyor Indonesia Pekanbaru, 10-11 November 2010
munculnya Penginderaan Jauh ini tidak terlepas dari kebutuhan yang sangat mendesak dari masyarakat modern untuk memecahkan persoalan secara simultan, cepat, benar, efisien dan aktual dari semua faktor yang mempengaruhi sistem tersebut, sehingga diperoleh hasil yang optimal. Sedangkan keunggulan Penginderaan Jauh antara lain adalah merupakan produk yang sangat baik visualisasinya bagi mata manusia, citra satelit penginderaan jauh mempunyai kelebihan dengan digunakannya media gelombang elektromagnetik, selalu dapat diulang (repetitif), didapat dengan tanpa menyentuh obyek, dapat menampilkan gambar stereoskopik, cakupan daerah luas, data berbentuk digital, penyebaran informasi seluruh dunia, sistem distribusi data sangat teratur sehingga dapat digunakan untuk segala bidang sehingga merupakan state of the art dari kehidupan manusia. Sedangkan isu-isu dan topik yang sedang hangat dibicarakan pada forum international : eGovernment - Planning, GIS Modeling GIS Reference Services, Integrating Geomatics and Photorealistic Geovisualization, Open Source GIS, Quantitative Geospatial Data Integration in GIS, Metadata Implementation Strategies, OGC Web Services, Writing Winning Geomatics Proposals, SHOW CASE, Best Practices for Developing Geospatial Information Models, Closing More Geomatics Sales, Policy and the Portal Registration Hours. Isu yang diangkat oleh International Society Photogrametry and Remote Sensing (ISPRS) adalah seputar Laser Scanner, Lidar, Radargrammetri, Digital Elevation Model (DEM) yang diaplikasikan di perkotaan, kehutanan dan industri. Sedangkan kedepan masalah statistik Penginderaan Jauh akan lebih ditekankan antara lain meliputi tema tema tentang Mapping global change, Spatial and spatio-temporal statistical methodology, Environmental issues, Ecological and habitat changes, Health and epidemiology, Economy and energy, Image use and analysis, Developing countries. Selain itu masalah lingkungan juga akan tetap dijadikan fokus yaitu seperti Environmental health research, Impacts of technological innovations (including analytic methods), Globalization and policy changes to environmental health, Climate change, Global environmental disparities, Environmental health emergencies, Environmental health ethics, Human capital resources, Opportunities for new partnerships at all levels. Sedangkan di Indonesia penelitian masih lebih bersifat aplikasi atau terapan yang sangat bervariasi mulai dari pemetaan, pertanian, pertanahan, perkotaan, pertambangan, kelautan, perikanan, kehutanan dan sebagainya yang menggunakan data utama citra sistem pasif (Landsat, SPOT, Quickbird, Ikonos) dan sistem aktif (Radarsat, SAR) selain itu juga mulai digunakan hyperspectral dan Lidar. Kemampuan untuk membaca kedepan sangat diperlukan sehingga dapat mengantisipasi semua persoalan yang akan timbul, baik yang sudah Prosiding
Page P-2
Forum Ilmiah Tahunan Ikatan Surveyor Indonesia Pekanbaru, 10-11 November 2010
diprediksikan maupun belum. Sebagai contoh seyogyanya kita tidak hanya sekedar ”pasar” tetapi kita juga harus mengembangkan ilmu dasar seperti pembuatan model, algoritme, program dan sensor dan tentunya ini diperlukan sinergi dari sema potensi yang kita miliki dan kita lakukan secara integral dan komprehensif serta dukungan penuh dari pemegang otoritas di negeri ini. 2. Pengertian Dasar Penginderaan Jauh Penginderan Jauh atau Inderaja atau Remote Sensing (Inggris) atau Teledetection (Perancis), dikembangkan dari dasar ilmu dan teknologi interpretasi foto udara di bidang fotogrammetri dan penentuan posisi geografis dari bidang geodesi. Lillesand dan Kiefer (1979) mendefinisikan penginderaan jauh sebagai ilmu, teknologi dan seni untuk memperoleh informasi tentang suatu objek, daerah atau fenomena melalui analisis data yang diperoleh melalui suatu alat tanpa kontak langsung dengan obyek, daerah atau fenomena yang dikaji. Pengumpulan data penginderaan jauh dilakukan dengan menggunakan alat pengindera yang sering disebut sensor. Sensor merupakan alat yang terintegrasi dalam suatu wahana yang berfungsi untuk mendeteksi radiasi elektromagnetik yang dipantulkan dan diserap oleh objek. Kenampakan dari suatu objek dapat ditentukan dengan menginterpretasi pantulan atau serapan radiasi elektromagnetik, setiap objek yang berbeda akan memiliki karakteristik pemantulan atau penyerapan yang berbeda juga. Secara filosofis Penginderaan Jauh adalah merupakan suatu paduan antara ilmu, disini sangat dibutuhkan ilmu dasar fisika, mathematik dan kebumian, teknologi yaitu terkait dengan instrumentasi, elektronika, mekanika dan informatika serta ilmu terapan yang lain, sedangkan seni terkait dengan desain kartografis, lithografis dan multi media yang lain. Penginderaan Jauh ke depan telah mampu menggunakan cahaya atau gelombang elektromagnetik ini dengan sensor lebih baik dan resolusi lebih tinggi, dengan spektrum cahaya lebih banyak dan bervariasi untuk menggapai kebutuhan yang lebih spesifik. 3. Permasalahan Penginderaan Jauh Permasalahan yang ada adalah kesadaran (politic will) dari pemerintah dan para professional di Indonesia relatif masih rendah jika dilihat dari pentingnya peran teknologi Penginderaan Jauh. Identifikasi masalah dan kebutuhan pembangunan pada tingkat lokal, regional dan nasional yang memanfaatkan teknologi Penginderaan Jauh masih belum baik dan cenderung tidak berkesinambungan antar program. Masalah jejaring pengembangan teknologi Penginderaan Jauh di beberapa universitas, institusi pemerintah dan swasta, dimana masing-masing Prosiding
Page P-3
Forum Ilmiah Tahunan Ikatan Surveyor Indonesia Pekanbaru, 10-11 November 2010
mempunyai kompetensi yang berbeda-beda masih belum efektif. Pendayagunakan semua potensi, sumber dan kompetensi yang berkaitan dengan Penginderaan Jauh di masing-masing institusi belum baik. Pemasyarakatan peran dan manfaat Penginderaan Jauh dalam pembangunan kewilayahan belum memadai dan bersifat parsial. Bidang Penginderaan Jauh belum dikenal secara baik oleh masyarakat Peran dan fungsi bidang Penginderaan Jauh belum diakui oleh masyarakat Masalah sosial, ekonomi, politik, agama, sudah saling berinteraksi sehingga tidak dapat dipisahkan dan adanya permasalahan dunia seperti kemiskinan, energi, bencana alam, lingkungan membutuhkan suatu sistem Penginderaan Jauh yang komprehensif dan mudah penggunaannya. Belum adanya sosialisasi dan disiminasi peran dan manfaat Penginderaan Jauh dalam pembangunan di Indonesia melalui metode komunikasi masyarakat secara benar. Belum selesainya standarisasistandarisasi yang berkaitan dengan pengembangan dan pemanfaatan Penginderaan Jauh. Untuk mengatasi permasalahan tersebut diatas perlu penyusunan dan pengembangan sistem pendukung keputusan berbasis Penginderaan Jauh yang dapat dipakai dalam pembangunan berkelanjutan. Perlu pembuatan produk perangkat lunak dan perangkat keras Penginderaan Jauh yang dapat dipakai oleh stakeholder secara murah dan mudah. Pembuatan data base secara nasional yang mudah diakses, murah, aplikable dan berdaya guna sesuai dengan kebutuhan pembangunan nasional Membentuk “badan teknologi Penginderaan Jauh” yang independen, bertanggung jawab secara akademik dan ilmiah, terdiri dari semua perwakilan komponen masyarakat yang kompeten dibidang Penginderaan Jauh. Membentuk jejaring antar institusi yang berkompeten dibidang ini untuk mengembangkan dan mengaplikasikan Penginderaan Jauh. Mengidentifikasi kompetensi dan mensertifikasi masingmasing institusi dalam pengembangan Penginderaan Jauh. Meningkatkan sosialisasi dan disiminasi peran dan manfaat Penginderaan Jauh dalam pembangunan di Indonesia melalui metode komunikasi masyarakat secara benar. Membuat standarisasi-standarisasi yang berkaitan dengan pengembangan dan pemanfaatan Penginderaan Jauh. Menyusun dan mengembangkan sistem pendukung keputusan berbasis spasial yang dapat dipakai dalam pembangunan berkelanjutan. Membuat produk perangkat lunak dan perangkat keras Penginderaan Jauh berbasis pada “open source” yang dapat dipakai oleh stakeholder secara murah. Membuat data base secara nasional yang mudah diakses, murah, aplikable dan berdaya guna sesuai dengan kebutuhan pembangunan nasional. 4. Kelembagaan Penginderaan Jauh 4.1. Bakosurtanal Dalam paparannya didepan DPR-RI tanggal 07 Desember 2004, Kepala Bakosurtanal (Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional) menyampaikan Prosiding
Page P-4
Forum Ilmiah Tahunan Ikatan Surveyor Indonesia Pekanbaru, 10-11 November 2010
program pemetaan dasar nasional yang merupakan komponen utama dalam usaha menyediakan infrastruktur data spasial (termasuk didalamnya adalah Penginderaan Jauh) nasional yang homogen. Juga program pemetaan tematik sumber daya alam dan lingkungan hidup untuk menyediakan informasi sumber daya alam dan lingkungan hidup di seluruh wilayah Indonesia. Program lain yang dipaparkan adalah pembinaan infrastuktur data spasial nasional, untuk membina, membangun dan mengembangkan infrastuktur dalam bentuk penyatuan data umum, pengembangan sistem jaringan, penetapan/pembakuan standardisasi, spesifikasi basis data dan metadata geospasial nasional. Sedangkan program pembinaan kelembagaan dan sumber daya survei dan pemetaan nasional dimaksudkan untuk menyelenggarakan penelitian dan pengembangan metode dan aplikasi teknologi baru bagi pemecahan masalah survei dan pemetaan nasional; menyelenggarakan pendidikan dan latihan, dan mengintegrasikan seluruh komponen institusi survei dan pemetaan untuk mencapai sinergi serta menjalin kemitraan dan kerjasama dengan swasta nasional maupun internasional. Salah satu misi dari Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional (Bakosurtanal) adalah bersama dengan seluruh komponen/kemampuan nasional di bidang survei dan pemetaan, membangun Infrastruktur Data Spasial Nasional (IDSN) yang meliputi unsur: kelembagaan, peraturan perundang-undangan, data utama Spasial, sumber daya manusia, serta penelitian dan pengembangan di bidang survei dan Pemetaan. Komponen IDSN yang pengelompokan unsur-unsur IDSN berdasarkan rekomendasi Rapat Koordinasi Nasional Survei dan Pemetaan (Rakornas Surta) 2000 adalah meliputi : Kelembagaan : Forum koordinasi kelembagaan survei dan pemetaan dalam hal ini pengembangan IDS bertujuan mencapai sinergi antara berbagai lembaga pemerintahan, swasta, perguruan tinggi, organisasi non pemerintah dan masyarakat antara lain: a) penyusunan program kerja, kebijakan dan kesepakatan; b) peningkatan kemitraan institusional; c) koordinasi penyediaan data utama; d) pemasyarakatan dan pendayagunaan informasi data spasial; e) peningkatan kinerja lembaga surta; f) penetapan pembinaan (custodianship) data spasial; dan g) peningkatan kerjasama internasional; Peraturan Perundangan-Undangan : Forum koordinasi penyusunan peraturan perundang-undangan dan pengaturan lainnya bertujuan untuk menunjang program survei dan pemetaan nasional dimaksudkan antara lain untuk: a) menjamin kepastian hukum dalam berusaha/investasi dibidang survei dan Pemetaan; b) menjamin kepastian penyelenggaraan survei dan pemetaan; dan c) menjamin kepastian hukum hak atas kekayaan intelektual di bidang survei dan pemetaan; Data Utama : Forum Koordinasi pembangunan data utama (fundamental data sets) bertujuan untuk antara lain: a) penyusunan standardisasi data utama; b) penyusunan spesifikasi perolehan data (data acquisition); c) Prosiding
Page P-5
Forum Ilmiah Tahunan Ikatan Surveyor Indonesia Pekanbaru, 10-11 November 2010
penyusunan standardisasi basisdata; d) penyusunan standardisasi protokol sistem distribusi data utama; dan e) penyusunan standardisasi jaringan kerja; Penelitian dan Pengembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi : Forum koordinasi penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi bertujuan antara lain untuk; a) mendorong kesinambungan aktivitas penelitian dan pengembangan; b) meningkatkan kemampuan penguasaan dan penerapan teknologi; c) mengembangkan penemuan baru/inovasi di bidang teknologi survei dan Pemetaan; dan d) memberi nilai tambah terhadap data utama; 5. Sumber Daya Manusia Forum koordinasi sumber daya manusia yang bertujuan antara lain untuk: a) membangun kemampuan dan profesionalitas sumber daya manusia di bidang survei dan pemetaan; b) sertifikasi dan akreditasi profesi survei dan pemetaan; dan c) standardisasi kompetensi sumber daya manusia di bidang survei dan pemetaan; Untuk program IDSN adalah meliputi : Program IDSN terdiri dari Program Utama dan Program Pemacu. Program Utama terdiri dari 3 (tiga) kelompok program yaitu: a) Kelembagaan dan Peraturan Perundangan-undangan; b) Data Utama; dan c) Penelitian dan Pengembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi serta Sumber Daya Manusia. Program pemacu antara lain berupa: a) pembangunan data direktori; b) peningkatan akses terhadap data; dan c) pemanfaatan data secara bersama. Manfaat dari IDSN adalah informasi spasial yang tersedia secara tepat, akurat, mudah, cepat dan aman akan mendukung pengambilan keputusan yang lebih baik dalam peningkatan kondisi sosial, ekonomi dan fungsi lingkungan hidup. Sedangkan tujuan IDSN adalah dibentuknya IDSN adalah untuk mengoptimalkan peran serta masyarakat luas dalam perolehan dan penyebarluasan informasi spasial guna mendukung pertumbuhan ekonomi, peningkatan kondisi sosial dan fungsi lingkungan hidup. Manajemen IDSN akan dilaksanakan oleh tim manajemen yang terdiri dari: 1) Panitia Pengarah; 2) Panitia Pelaksana; 3) Sekretariat; 4) Kelompok-kelompok Kerja. Keanggotaan tim manajemen terbuka bagi instansi pemerintah, organisasi non pemerintah, perguruan tinggi, swasta serta masyarakat luas. Dalam hal
Prosiding
Page P-6
Forum Ilmiah Tahunan Ikatan Surveyor Indonesia Pekanbaru, 10-11 November 2010
kelompok-kelompok kerja tersebut di atas dimungkinkan untuk dibentuk subkelompok kerja yang disesuai dengan kebutuhan. Sedangkan untuk kelembagaan dan perundang-undangan direkomendasikan bahwa : Sepakat bahwa nama dan bentuk lembaga yang menangani IDS daerah diserahkan kepada daerah masing-masing ( Bupati/Walikota) Untuk tingkat pusat tetap diperlukan suatu media komunikasi semacam Komite Tetap IDS dengan anggota stakeholder agar dapat lebih mempertegas dan mensinkronisasikan tugas dan fungsi masing-masing baik ditingkat pusat maupun daerah.BAKOSURTANAL sebagai motor dan pembina infra struktur data spasial untuk instansi lain dan juga untuk pembinaan sumberdaya manusia IDS ( sesuai Keppres 103 tahun 2001). BAKOSURTANAL dapat segera menyampaikan /menerbitkan suatu SK mengenai himbauan pembentukan lembaga surta daerah ke semua daerah dengan kerjasama dengan Depdagri Web BAKOSURTANAL sebagai Web Portal IDS BAKOSURTANAL telah menyelenggarakan lokakarya sebagai sosialisasi IDS) ketingkat pimpinan daerah (Bupati,Walikota) pada tahun 2002. Tetapi sampai saat ini harapan dan tujuan tersebut belum sepenuhnya tercapai, kemungkina salah satu penyebabnya adalah masalah status Bakosurtanal sendiri yang agak beda jika dibandingkan lembaga seperti Bakosurtanal yang ada diluar negeri yaitu tidak mempunyai otoritas yang cukup memadai dalam melakukan tugasnya dan mungkin dengan adanya kendala birokrasi dan system yang ada di Bakosurtanal. Ada 3 unsur dalam membentuk suatu negara yaitu wilayah, penduduk dan pemerintahan. Wilayah kita harus tahu secara persis berapa luasnya, dimana kita berada, dan bagaimana kita mengembangkan dan menggali potensi yang dimiliki oleh wilayah itu baik keuntungan secara langsung seperti pertanian, perikanan, kehutanan, sumber daya mineral dan sebagainya serta yang tidak langsung seperti dengan posisi wilayah kita yang sangat strategis dalam geoekonomis dan geopolitis sehingga kita bisa mendapatkan keuntungan ekonomis, social, politik dan budaya. Sebagai contoh konkrit, setiap Negara seperti Amerika Serikat, Inggris, Perancis dan yang lain mempunyai suatu lembaga yang terkait dengan wilayah (Geografis) dimana lembaga ini mempunyai kekuatan dan posisi yang sangat dibutuhkan dan menentukan kebijaksanaan yang diambil negara tersebut, sewaktu Negara akan melakukan mengembangkan potensi dalam negeri maupun sampai untuk melakukan ekspansi ke negara lain, data dan informasi yang dari lembaga ini sangat dibutuhkan dan menentukan. Bagaimana dengan Indonesia? Lembaga seperti yang disebutkan itu sudah diwujudkan dalam lembaga Negara yaitu Bakosurtanal. Meskipun dalam tugas, Prosiding
Page P-7
Forum Ilmiah Tahunan Ikatan Surveyor Indonesia Pekanbaru, 10-11 November 2010
pokok dan fungsi Bakosurtanal sudah jelas disebutkan, tetapi menurut hemat saya, saya masih belum melihat kekuatan atau pengaruh Bakosurtanal dalam penentuan kebijaksanaan di Negara Indonesia ini baik untuk bidang geografis, social, ekonomi apalagi politik, mungkin ini harus ditinjau kembali untuk melihat secara lebih mendasar dan filosofis bagaimana seharusnya Bakosurtanal ini dapat lebih berperan dan berdaya guna didalam kita bernegara ini. Memang sudah banyak yang telah dilakukan oleh Bakosurtanal sebagai lembaga Negara, tetapi untuk mencapai apa yang saya sebutkan diatas yaitu suatu lembaga independent yang bisa memberikan masukan yang kuat dan mengikat sehingga bisa digunakan sebagai acuan dalam pengambalin keputusan bagi para pengambil keputusan di Negara ini, baik yang bersifat, teknis operasional sampai ketingkat strategis politis dalam kita bernegara, tetapi ini semua masih belum memadai, sebagai contoh dalam pemberian anggaran, Bakosurtanal menerima relative sangat kecil bila dibandingkan dengan lembaga lain yang sejenis apalagi kalau dilihat dari peran dan fungsi dia sebagai lembaga teknis yang sangat strategis dalam menentukan kelangsungan berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia ini. Mungkin dalam pembangunan fisik Bakosurtanal sudah banyak melakukan, tetapi pembangunan yang bersifat konseptual, mendasar dan strategis akan arti dan peran Bakosurtanal saya kira masih jauh dari yang kita angankan. Kedepan kita berharap, Bakosurtanal bukan hanya lembaga teknis operasional yang berupa piranti keras, tetapi juga suatu lembaga piranti lunak yang bisa mengintegrasikan lembaga teknis operasional dengan lembaga riset yang independent dan mempunyai kekuatan yang kuat baik secara ekonomis, social dan politik. Untuk mencapai apa yang kita angan angankan tentunya kita harus perhatikan beberapa hal yang sekiranya perlu kita renungkan bersama yaitu : Bakosurtanal belum sepenuhnya dikenal secara baik oleh masyarakat, perlu adanya sosialisasi dan pemasyarakatan dengan menjaring kerjasama lebih luas dengan semua komponen atau unsur masyarakat dan perlu dilakukan disiminasi peran dan manfaat Bakosurtanal dalam pembangunan di Indonesia melalui metode komunikasi masyarakat secara benar. Peran dan fungsi bidang Bakosurtanal belum sepenuhnya diakui dan diapresiate oleh pemerintah dan masyarakat, oleh karena itu perlu usaha lebih keras untuk meyakinkan bahwa keberadaan Bakosurtanal sangat diperlukan, bukan hanya sebagai pelengkap atau penunjang, tetapi merupakan komponen penting dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat. Masalah sosial, ekonomi, politik, agama, budaya sudah saling berinteraksi sehingga tidak dapat dipisahkan dan adanya permasalahan dunia seperti Prosiding
Page P-8
Forum Ilmiah Tahunan Ikatan Surveyor Indonesia Pekanbaru, 10-11 November 2010
kemiskinan, energi, bencana alam, lingkungan membutuhkan suatu sistem informasi yang komprehensif dan mudah penggunaannya sehingga peran Bakosurtanal harus diberdayakan semaksimal mungkin. Belum terselesaikannya standarisasi-standarisasi yang berkaitan dengan pengembangan dan pemanfaatan data dan informasi yang dihasilkan oleh Bakosurtanal sehingga ini sangat mendesak untuk segera diselesaikan. Perlu penyusunan konsep dasar yang komprehensif dan terintegrasi akan peran Bakosurtanal sebagai lembaga penyedia data dan informasi, dimulai dengan suatu pemikiran yang diskriptip, pembuatan model/formulasi, pembuatan algoritme teknis, flow chart pengembangan, pembuatan program, implementasi aktifitas dan pengembangan sistem pendukung keputusan berbasis data spasial sehingga dapat dipakai dalam pembangunan berkelanjutan yang bersifat fisik dan non fisik. Pembinaan sumber daya manusia sangat diperlukan, baik untuk tingkat dasar (operator), menengah (manager) sampai ke tingkat atas (pengambil keputusan), hal ini dapat dilakukan dengan mengadakan pelatihan dan pendidikan yang bergelar ataupun tidak bergelar, dengan melakukan kerjasama dengan lembaga pendidikan tinggi seperti ITS, ITB, UGM dan sebagainya yaitu dengan melakukan sharing potensi yang dimiliki kedua belah pihak baik sebagai pengajar dan pembimbing, sarana prasarana, anggaran dan sebagainya. Kesadaran mengenai pentingnya kegiatan riset/penelitian masih perlu ditingkatkan dan untuk ini juga bisa dilakukan dengan semua lembaga riset (Lapan, BPPT, LIPI dsb), lembaga pendidikan tinggi (ITS, ITB, UGM db) serta lembaga teknis seperti (PU, ESDM, Deptan dsb) selain dalam negeri tentunya lembaga luar negeri juga sangat diperlukan. Kesadaran (politic will) dari pemerintah dan Negara masih rendah jika dilihat dari pentingnya peran Bakosurtanal, untuk ini perlu kerja keras dari kita semua untuk mendukung keberhasilan pembuatan peraturan dan perundangan tentang peran dan fungsi Bakosurtanal dalam kita bernegaraIdentifikasi masalah dan kebutuhan pembangunan teknis dan strategis pada tingkat Negara, regional dan nasional yang memanfaatkan pentingnya Bakosurtanal masih belum baik dan cenderung tidak berkesinambungan antar program dan berjalan sendiri sendiri tidak terintegrasi dan komprehensif. Masalah jejaring pengembangan dan pemanfaatan data dan informasi di beberapa institusi pemerintah dan swasta, dimana masing-masing mempunyai kompetensi yang berbeda-beda masih belum efektif, tidak terintegrasi dan komprehensif.
Prosiding
Page P-9
Forum Ilmiah Tahunan Ikatan Surveyor Indonesia Pekanbaru, 10-11 November 2010
Pendayagunakan semua potensi, sumber dan kompetensi yang berkaitan dengan data dan informasi di masing-masing institusi belum maksimal. Pemasyarakatan peran dan manfaat data informasi dalam pembangunan kewilayahan belum memadai dan bersifat parsial dan belum terprogram. Semua yang bersifat teknis operasional dapat diatasi dengan adanya Infrastruktur Data Spasial Nasional (IDSN), tetapi konsep, system dan program ini belum sepenuhnya berjalan, meskipun payung hukum, organisasi dan anggaran sudah tersedia, mungkin perlu suatu gerakan yang bersifat nasional dan komprehensif untuk mensukseskan IDSN ini. 4.2. LAPAN Sedangkan disisi lain Kepala Lembaga Penerbangan Antariksa Nasional (LAPAN) mengungkapkan akan fokus meningkatkan peran Iptek dirgantara dalam kehidupan negara dan bangsa. Kegiatan yang dilakukan meliputi pengembangan teknologi dirgantara roket dan satelit serta spin off Iptek dirgantara. Penginderaan jauh untuk pemantauan dan pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan; penelitian atmosfer atas, matahari, pemodelan iklim dan geomagnet; serta pengkajian politik, hukum dan kelembagaan kedirgantaraan nasional. Dalam rangka pelaksanaan tugas Sekretariat DEPANRI, Pussisfogan memiliki kegiatan penyiapan bahan pembahasan bagi Sidang DEPANRI. Salah satu bahan yang perlu dipersiapkan adalah Konsep Renstranas Kedirgantaraan Tahun 2010-2014. Sebagaimana telah ditetapkan dalam UURI No. 17 Tahun 2007, Tentang RPJPN Tahun 2005-2025 bahwa Visi Pembangunan Indonesia adalah „Indonesia yang mandiri, maju, adil dan makmur‟. Dengan visi ini sudah barang tentu juga mencakup kemandirian dalam bidang Penginderaan Jauh. Kalau kita memandang inderaja sebagai sebuah industri, untuk mewujudkan suatu industri inderaja Indonesia yang mandiri, kita perlu melakukan pembangunan yang mencakup enam buah komponen utama industri Penginderaan Jauh Indonesia (periksa gambar berikut ini) yaitu: Model Interaktif Proses Inovasi Industri Penciptaan suasana kondusif Penelitian dan pengembangan
Ilmu Dasar/ Permintaan
Pemasaran/ Penjualan
Prosiding
Produksi/ konstruksi
Operasi sistem
Page P-10
Forum Ilmiah Tahunan Ikatan Surveyor Indonesia Pekanbaru, 10-11 November 2010
-
ilmu dasar dan permintaan produk Penginderaan Jauh penelitian dan pengembangan sistem Penginderaan Jauh produksi dan konstruksi sistem Penginderaan Jauh operasi sistem Penginderaan Jauh penjualan dan pemasaran produk Penginderaan Jauh penciptaan suasana kondusif yang meliputi pengelolaan aspek: sumberdaya manusia (sosial budaya) sumberdaya alam (lingkungan hidup) kelembagaan politik dan hukum; serta ekonomi/finansial
Berdasarkan pemahaman yang ada peran iptek Penginderaan Jauh sebagai penghasil informasi sumberdaya alam dan lingkungan, yang relatif akurat dan tepat waktu, maka diyakini bahwa bagi pembangunan, iptek Penginderaan Jauh memegang peran sangat penting. Atas pemahaman ini dan dalam rangka penyiapan bahan Renstranas Kedirgantaraan Tahun 2010-2014, diharapkan adanya pembangunan kelembagaan Penginderaan Jauh Indonesia. Dalam hal ini diperlukan informasi tentang kelembagaan Penginderaan Jauh Indonesia secara keseluruhan, terutama yang berkenaan dengan: Kondisi kelembagaan Penginderaan Jauh Indonesia saat ini. Perkiraan kondisi kelembagaan Penginderaan Jauh Indonesia pada akhir tahun 2009. Kondisi kelembagaan Penginderaan Jauh yang diharapkan terwujud pada akhir tahun 2014.Tantangan dan hambatan yang dihadapi untuk merealisasikan harapan akan kondisi kelembagaan Penginderaan Jauh Indonesia tahun 2014. Kebijaksanaan dan strategi yang disarankan untuk merealisasikan harapan akan kondisi kelembagaan Penginderaan Jauh Indonesia tahun 2014. Dalam program pengembangan selanjutnya, dibutuhkan pendidikan dan pelatihan melalui program peningkatan kualitas SDM yang merupakan prioritas sebagai penunjang pembangunan khususnya di bidang Penginderaan Jauh serta informasi geospasial yaitu dengan membuat standarisasi pendidikan tinggi Penginderaan Jauh. 4.3. Organisasi Profesi Asosiasi atau oranisasi profesi yang terkait di bidang Penginderaan Jauh di Indonesia adalah Ikatan Surveyor Indonesia (ISI), Masyarakat Penginderaan Jauh Indonesia (MAPIN), Ikatan Geografiwan Indonesia (IGI), Dewan Geomatika Indonesia (DGI) dan sebagainya. Organisasi profesi yang mengkhususkan dalam pengembangan dan penerapan Penginderaan Jauh di Indonesia ini didirikan pada tanggal 5 Desember 1990 adalah Masyarakat Penginderaan Jauh Indonesia (MAPIN). Setiap tahun menyelenggarakan Pertemuan Ilmiah terkait dengan perkembangan Penginderaan Jauh baik secara keilmuan maupun terapannya. Bersandar pada Prosiding
Page P-11
Forum Ilmiah Tahunan Ikatan Surveyor Indonesia Pekanbaru, 10-11 November 2010
pengertian dasar dari Penginderaan Jauh yang mencakup pengertian yang luas tentang jenis, objek, cara deteksi, pengolaan informasi citra, aplikasi, dan lainlain, sehingga tersirat sifat multidisiplin sebagai ilmu. Dalam merangkai keterpaduan pengetahuan dan pemanfaatan bidang Penginderaan Jauh tersebut yang tidak hanya buat para pakar, tetapi untuk masyarakat umum serta menyadari bahwa perkembangan teknologi Penginderaan Jauh ini akan dapat membawa dampak yang positif, baik langsung ataupun tidak langsung dalam pembangunan dan kesejahteraan umum, maka dibentuk suatu wadah organisasi/himpunan yang bernama MASYARAKAT PENGINDERAAN JAUH INDONESIA, disingkat MAPIN, sebagai terobosan dan usaha menggalang operasional dibidang penginderaan jauh di Indonesia. Tetapi kembali lagi yang menjadi kendala adalah semua masih berjalan parsial dan belum adanya ”grand scenario” yang mantap dan terarah. Hal ini yang sekiranya harus diperhatikan kita semua. 5. Standarisasi Pendidikan Tinggi Geospasial (termasuk Penginderaan Jauh) 5.1. Internasional 5.1.1. Australia Pendidikan di Australia yang mempunyai keterkaitan dengan pendidikan Penginderaan Jauh adalah untuk program studi teknik sipil untuk program Master of Applied Science, Master of Engineering dan Doctor of Philosophy yang meliputi beberapa mata kuliah yaitu Advanced Satellite Positioning 1, Adv Top in Spatial Info Sys 1, Digital Stereo Image Proc 1, Geospatial Modelling & Visualiz 1, Design/Impl of Spat Info Sys 1 dan Satellite Remote Sensing: Urban 1. Selain itu untuk program Master of Spatial Analysis yaitu meliputi mata kuliah Database Mgmt & Spat Technol 1, Anal Methods & Spatial Data 1, GIS Project Mgmt Applications 1, Digital Cartography 1, Spat Databases Models & Struct 1, Spec Topics: Spatial Analysis 1, Health in Urban Environments 1, Geodemographics 1, Spatial Tech. in Strat Planning 1, Spatial Anal of Land Resources 1, Remote Sensing & Spatial Data 1, Land/Geographic Info Systems 1, Sedimentatn & Fluvial Geomorph 1, Advanced Hydrology & Water Quality 1. 5.1.2. Eropa Barat Pendidikan dan praktisi Penginderaan Jauh di Eropa Barat, secara umum tidak menyebutkan pendidikan bergelar seperti pada teknik sipil kecuali di Republic of Ireland. Di Perancis pendidikan bersifat "sandwich type", yaitu antara tahun akademik. Di Inggris pun demikian, sedangkan di Spanyol kursus dilakukan sambil bekerja. Sedangkan strata yang dikenal adalah : Level C (rendah) didapatkan setelah sekolah menengah dan ditambah kursus singkat, contohnya untuk bidang Land Surveying, Building design and construction, Quantity Surveyors, Geologists, Geographers, hydrographic surveying (Austria), Level B (menengah), didapatkan setelah sekolah menengah dan ditambah kursus singkat serta pengalaman kerja 5 tahun, Level A (tinggi) didapatkan setelah Prosiding
Page P-12
Forum Ilmiah Tahunan Ikatan Surveyor Indonesia Pekanbaru, 10-11 November 2010
sekolah menengah dan ditambah kursus singkat serta pengalaman di pengajaran dan penelitian. 5.1.3. Kanada Di Kanada Qualification Standards melakukan tiga seksi yang berkaitan yaitu Occupational Group Qualification Standards, Qualification Standards in Relation to Official Languages, Occupational Group Structure. Selain itu dikenal adanya Conditions Applicable to Specific Standards yang meliputi Alternatives to education, PSC approved alternatives to two years of secondary school, PSC approved alternatives to a secondary school diploma, Application specific to the Administrative and Foreign Service Category and to the Technical Category, Alternative to post-secondary training, Acquired rights (scientific and professional category). Khusus untuk bidang Engineering and Land Survey Sub-Group (ENSUR), dapat dilakukan melalui Education, Occupational Certification, Education and Occupational Certification, Education or Occupational Certification. Melalui pendidikan bisa lulusan dari mechanical engineering, civil engineering, electrical engineering, aeronautical engineering, geological engineering, naval architecture dan untuk Land Survey Sub-Group (EN-SUR) adalah bidang geomatics, geodetic sciences or remote sensing. Yang melalui Occupational Certification dapat berasal dari Engineering Sub-Group (EN-ENG) yaitu insinyur tanpa kekhususan (certification as a professional engineer in Canada without regard for the field of specialization) dan dari Land Survey Sub-Group (EN-SUR) dengan penyamaan dari Land Surveyor Commission in Canada. Kanada juga telah menetapkan Program Standard for Survey Technology Programs by Ontario dikeluarkan oleh Ministry of Education and Training under MCU code 60300. Sedangkan program lain adalah The College Standards and Accreditation Council (CSAC) yang dimulai pada 1993 oleh Government of Ontario. CSAC mempunyai Program Standards yaitu Vocational standard (the vocationally specific learning outcomes which apply to the program in question), Generic skills standard (the generic skills learning outcomes which apply to programs of similar length), dan General education standard (the requirement for general education courses that applies to postsecondary programs). Sedangkan Vocational Standard adalah untuk lulusan Survey Technology Programs, masuk dalam beberapa sektor seperti industry, government, dan public organizations. Association of Canada Lands Surveyors meliputi beberapa jabatan yaitu Geomatics Officer , Geomatics Program Director , Geomatics - Legal Surveys Officer, Geomatics Cadastral Services Unit Manager 5.2. Standarisasi Pendidikan Tinggi Geospasial (termasuk Penginderaan Jauh) di Indonesia 5.2.1. Bakosurtanal Sesuai dengan rekomendasi temu Infrastruktur Data Spasial pada tanggal 3 Desember 2001 di Jakarta dikatakan bahwa pembinaan sumber daya manusia meliputi 4 (empat) hal yaitu : Untuk segera menyiapkan standardisasi Prosiding
Page P-13
Forum Ilmiah Tahunan Ikatan Surveyor Indonesia Pekanbaru, 10-11 November 2010
kompetensi profesi dalam lingkup IDSN dengan mengacu pada ISO untuk Geomatika sebagai antisipasi dari implementasi APEC 2003 . Pendekatan pragmatis melalui penyelenggaraan pendidikan keprofesian di Perguruan Tinggi. Mendorong upaya terwujudnya undang-undang profesi yang dapat menjadi dasar pembinaan profesi di bidang geomatika, yang pelaksanaannya difasilitasi oleh BAKOSURTANAL dan organisasi profesi dibidang geomatika. Sertifikasi dilaksanakan oleh organisasi profesi mengingat kebutuhan para pelaku dalam lingkup IDSN. Pelaksanaan sertifikasi dilaksanakan bermitra kerja dengan DGI Untuk memenuhi kebutuhan SDM dalam IDSN segera dilakukan inventarisasi secara kontinyu bersama institusi terkait/ organisasi profesi sehingga dapat menggambarkan potensi SDM IDSN. Inventarisasi tersebut dikoordinasikan oleh BAKOSURTANAL Organisasi pembina tenaga IDSN perlu dibentuk secara permanen agar dapat menyelenggarakan pendidikan yang sifatnya 3 L (long life learning). 5.2.2. Data Sumber Daya Manusia Data jumlah SDM bidang ini yang bekerja di bidang industri jasa, birokrasi atau PNS dan pendidikan, penelitian belum terdata dengan baik. Jumlah sarjana bidang Penginderaan Jauh, misalnya Geodesi berkisar 2500 orang, Juru ukur tingkat D-1 berkisar pada angka 2200. Ada 2 jalur dibidang ini yaitu akademik dan profesional. Jalur profesi lebih mengutamakan bekal kemampuan seseorang dibandingkan dengan bekal keilmuan dari jalur akademik dan bekal keahlian dari jalur profesional. Pada jalur profesi, dukungan para praktisi yang ada di asosiasi profesi bisa memformulasikan tingkat kemampuan yang diharapkan sesuai dengan kebutuhan praktis dilapangan dalam skala nasional dan internasional. Standarisasi pendidikan diekspresikan pada tingkat kemampuan dengan sertifikasi kemampuan yang bernuansa Nasional maupun Internasional harus diterapkan secepatnya. Peningkatan kemampuan dan kompetensi profesi melalui kursus singkat secara berkala, berjenjang dan terprogram harus diterapkan, dimana Departemen Pendidikan Nasional bertindak sebagai regulator sedangkan kewenangan diserahkan asosiasi profesi ISI, MAPIN, IGI, DGI dan sebagainya. Sistem pendidikan nasional mengenal 3 jalur pendidikan yaitu akademik, profesional dan vocational. Jalur akademik adalah bidang pendidikan yang ditempuh melalui jenjang pendidikan S-1, S-2 dan S-3, jalur profesional ditempuh dari jenjang D-3, D-4, Sp-1 dan Sp-2 dan jalur vocational adalah keahlian tertentu seperti pada Sekolah Menengah Kejuruan. Prosiding
Page P-14
Forum Ilmiah Tahunan Ikatan Surveyor Indonesia Pekanbaru, 10-11 November 2010
Menurut International Standard Organisation (ISO) SDM dikelompokkan dalam tiga jenjang yaitu dengan sebutan manager, engineer/scientist dan technician. Pendidikan formal bidang Geomatika ada di beberapa perguruan tinggi negeri seperti UI (S-1 dan S-2), IPB (S-1, S-2, S-3) , ITB (S-1, S-2, S-3), UGM (D-3, S-1, S-2, S-3), ITS (S-1, S-2, S-3), UNILA (D-3) dan UNDIP (S-1) dan swasta seperti ITENAS (S-1) Bandung, UNWIM (S-1) Bandung, UNPAK (S-1) Bogor dan ITN (S-1) Malang. Tetapi sangat disayangkan pendidikan bidang ini di perguruan tinggi swasta mengalami penurunan yang sangat drastis mulai tahun akademik 1999/2000, hal ini perlu dibicarakan lebih lanjut mengapa hal ini terjadi, dimana satu sisi kebutuhan SDM bidang ini sangat besar dengan adanya isue yang lagi aktual saat ini yaitu bencana alam dan otonomi daerah.
5.2.3. Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya Wacana pendirian pendidikan tinggi Teknik Geodesi di ITS Surabaya dirintis mulai pada tahun 1979 yaitu pada saat pertama kali dilaksanakan Konggres Ikatan Surveyor Indonesia (ISI) di Surabaya. Sehingga pada tahun 1980 disiapkan satu tenaga pengajar dari Teknik Sipil dan menerima satu sarjana Teknik Geodesi dan pada tahun 1983 menerima lima sarjana Teknik Geodesi untuk mempersiapkan pendirian Teknik Geodesi di ITS. Selama tahun 1985 sampai dengan 1990, kegiatan lebih difokuskan untuk pendidikan lanjut bagi para calon pengajar yaitu satu orang master di Amerika, dua orang doktor di Perancis, satu orang Doktor di Jerman dan satu orang magister di Indonesia. Beberapa kegiatan penting untuk memulai pendidikan di jenjang sarjana, maka pada tahun 1995 telah dimulai dengan penyelenggaraan pendidikan Pasca Sarjana Magister (S2) bidang keahlian Penginderaan Jauh di Jurusan Teknik Sipil FTSP-ITS. Terhitung sejak 2002 program Pasca Sarjana bidang keahlian Penginderaan Jauh dan GIS telah menyelenggarakan pendidikan ke jenjang pendidikan doktor (S3). Pertemuan Ilmiah Tahunan (PIT) ”Pengembangan Teknologi Remote ensing dan GIS di Indonesia” pada tanggal 5 Desember 1995 diselenggarakan atas kerja sama ITS dengan BPPT. Konggres Ikatan Surveyor Indonesia diselenggarakan atas kerja sama ITS, BPN dan ISI pada tahun 1996. Penyelenggaraan Pelatihan Penginderaan Jauh dan GIS untuk program MREP atas kerjasama ITS dengan BPPT diselenggarakan selama 3 tahun dari tahun 1996 s/d 1998. Pendirian Pusat GIS dan Pemanfaatan Remote Sensing di Lembaga Penelitian ITS pada bulan Juni 1997. Penyelenggaraan pendidikan setara Diploma 1 Prosiding
Page P-15
Forum Ilmiah Tahunan Ikatan Surveyor Indonesia Pekanbaru, 10-11 November 2010
bidang keahlian Survei dan Pemetaan di Jurusan Teknik Sipil FTSP ITS yang dimulai tahun 1997. Pada tahun 1999, setelah melalui perjalanan yang panjang Teknik Geodesi ITS dengan status program studi resmi dibuka dan menerima mahasiswa baru program S-1 dengan Surat Keputusan Menteri Pendidikan Nasional No. 205/ Dikti/Kep/1998 tanggal 24 Juni 1998 yang telah dikeluarkan setahun sebelumnya. Pada tahun tahun selanjutnya program studi Teknik Geodesi menerima 11 orang sarjana baru dari Teknik Geodesi. Sehingga sampai saat ini jumlah staf pengajar program studi teknik Geodesi mempunyai 16 orang pengajar dengan rincian satu orang guru besar, tiga orang doktor, 11 orang master dan satu orang sarjana. Dengan mengacu pada program studi Teknik Geodesi di luar negeri (Kanada, Australia dsb) dan melihat prospek kedepan, maka terhitung sejak tanggal 21 April 2006, nama Program Studi Teknik Geodesi diubah menjadi Teknik Geomatika. Sejak tahun 2009 Program Studi Teknik Geomatika FTSP-ITS telah menyelenggarakan program studi Pasca Sarjana Magister (S2) Teknik Geomatika dengan bidang keahlian Geodesi, Geomatika, Hidrografi dan Pertanahan. Pada tahun 2010, untuk mempersiapkan berdirinya Fakultas Ilmu dan Teknologi Informasi Kebumian (FITIK) di ITS, maka Program Studi Teknik Geomatika bekerja sama dengan Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian (FITB) ITB menyelenggarakan Program Studi Magister (S2) secara bersama sama. 6. Penutup Melihat perjalanan panjang dan masa kedepan kebutuhan, fungsi dan manfaat dari informasi spasial termasuk Penginderaan Jauh untuk segala sektor kehidupan, maka sudah selayaknya diperhatikan semua hal yang mendasari, permasalahan yang ada, pemecahan permasalahan tersebut secara arif dan bijaksana sehingga membutuhkan kerjasama dan informasi yang lebih baik diantara pelaku yang ada dalam industri ini. Permasalahan yang mungkin sudah diketahui oleh semua pihak yang terlibat, tetapi yang perlu dipertanyakan apakah hal ini sudah terkomunikasikan dengan baik? Apakah pemecahan masalah tersebut sudah dilaksanakan secara signifikan? Dan yang akan selalu menjadi pekerjaan rumah kita adalah ada dimana kita sebagai pelaku industri ini berada sebelum kita menentukan keberadaan kita. Demikian sedikit sumbang pikir ini, semoga ada manfaatnya. Diskusi, dialog, bertemu sangat dibutuhkan dimasa depan demi kemajuan bidang ini dan kemaslahatan umat.
Prosiding
Page P-16
Forum Ilmiah Tahunan Ikatan Surveyor Indonesia Pekanbaru, 10-11 November 2010
Selamat berdiskusi dalam FIT ISI di Pakanbaru, semoga sukses dan maju terus profesiku, bangsaku dan negaraku. Semoga Allah melindungi dan memberkahi kita semua, amin. Surabaya, Nopember 2010. * Disampaikan pada FIT-ISI di Pakanbaru tanggal 10 Nopember 2010 * Guru Besar di Teknik Geomatika FTSP-ITS Surabaya
Prosiding
Page P-17
Forum Ilmiah Tahunan Ikatan Surveyor Indonesia Pekanbaru, 10-11 November 2010
Jembatan Suramadu
Prosiding
Page P-18
Forum Ilmiah Tahunan Ikatan Surveyor Indonesia Pekanbaru, 10-11 November 2010
Bencana Lapindo
Prosiding
Page P-19
Forum Ilmiah Tahunan Ikatan Surveyor Indonesia Pekanbaru, 10-11 November 2010
Beberapa contoh penggunaan Penginderaan Jauh Penginderaan Jauh Untuk Transportasi (Ruki, 2008)
Penginderaan Jauh Untuk Pariwisata (Yudho, 2008)
Prosiding
Page P-20
Forum Ilmiah Tahunan Ikatan Surveyor Indonesia Pekanbaru, 10-11 November 2010
Penginderaan Jauh Untuk Pemetaan Sedimentasi (Arisauna, 2009)
Penginderaan Jauh Untuk Pemetaan Kelautan (Lukman, 2009)
Prosiding
Page P-21
Forum Ilmiah Tahunan Ikatan Surveyor Indonesia Pekanbaru, 10-11 November 2010
Penginderaan Jauh Untuk Pertanian (Didik, 2009)
Penginderaan Jauh Untuk Pemetaan Archeologi (Rudi, 2009)
Prosiding
Page P-22
Forum Ilmiah Tahunan Ikatan Surveyor Indonesia Pekanbaru, 10-11 November 2010
Penginderaan Jauh Untuk Pemetaan Geologi (Arta, 2010)
Penginderaan Jauh Untuk Peternakan (Syaroni, 2010)
Prosiding
Page P-23
Forum Ilmiah Tahunan Ikatan Surveyor Indonesia Pekanbaru, 10-11 November 2010
Perlukah Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) IV ?
Teguh Fayakun Alif,ST dan Dr.-Ing. Khafid Pusat Pemetaan Dasar Kelautan dan Kedirgantaraan (PDKK) – BAKOSURTANAL Jl.Raya Jakarta Bogor Km 46 Cibinong, Bogor 16911 Telp. 081394910736 / 021 – 87901255
INTISARI ALKI (Alur Laut Kepulauan Indonesia) merupakan konsensus yang ditetapkan pada Peraturan Pemerintah no 37 tahun 2002, dengan membagi wilayah Indonesia untuk dilewati oleh 3 jalur ALKI dengan adanya keputsan IMO pada sidang Marine Safety Comitte ke-69. Pada 30-31 Mei 2008 berlangsung The 7th IISS Asia Security Summit Shangri-La Dialogue di Singapura yang merupakan wadah pertemuan informal tahunan para Menteri Pertahanan Asia Pasifik. Salah satu pembicara tetap dalam kegiatan itu adalah Menteri Pertahanan AS, pada pidatonya AS mendesak Indonesia untuk menetapkan segera ALKI Timur - Barat, ALKI IV yang membentang dari laut Arafuru – laut Jawa(Ali Helvas,2008). Menindak lanjuti hal tersebut terdapat wacana dalam suatu forum diskusi antar instansi pemerintah dan nara sumber ahli hukum laut Indonesia untuk melengkapi Alur Laut Kepulauan Indonesia dengan jalur baru, yang menghubungkan ALKI I dan ALKI II melalui perairan laut Jawa. Oleh karena itu dalam rangka mengkaji, layak tidaknya jalur ALKI baru tersebut diperlukan beberapa kajian dari sisi geospasial, pertahanan keamanan, ekonomi, politik. Tulisan ini dimaksudkan untuk memaparkan perlu tidaknya jalur ALKI baru di perairan Laut Jawa. Kata kunci : ALKI (Alur Laut Kepulauan Indonesia), ALKI Timur-Barat, geospasial, pertahanan keamanan, ekonomi, politik.
Pengantar Indonesia merupakan negara kepulauan dengan posisinya yang strategis terletak di antara 2 benua, Asia dan Australia, serta di antara 2 samudera yaitu samudera Hindia dan samudera Pasifik. Dengan Jumlah pulau lebih dari 17.0001 dan wilayahnya secara umum
kurang
lebih
70%
terdiri
dari
lautan.
Pemerintah
mendeklarasikan Deklarasi Djuanda pada 13 Desember 1957
Indonesia
telah
yang isinya “…
1
Sampai saat ini sedang dilaksanakan verifikasi penamaan rupabumi, yang diperoleh hasil yaitu 13.427 pulau yang bernama di Indonesia. Hasil ini merupakan kerja tim verifikasi antar instansi ; Bakosurtanal, Kementerian Dalam Negeri,Dishidros-TNI AL, Kementerian Kelautan dan Perikanan dan Pemda Prosiding
Page Q-1
Forum Ilmiah Tahunan Ikatan Surveyor Indonesia Pekanbaru, 10-11 November 2010
berdasarkan pertimbangan, maka pemerintah Indonesia menyatakan segala perairan di sekitar, di antara dan yang menghubungkan pulau-pulau termasuk negara Indonesia dengan tidak memandang luas atau lebarnya adalah bagian bagian yang wajar daripada wilayah daratan Negara Kesatuan Republik Indonesia ..„‟.
Gambar 1. Peta kedaulatan NKRI setelah Deklarasi Juanda’57
Pemerintah Indonesia pada tahun 1982 ikut aktif dalam konvensi Hukum Laut Internasional, UNCLOS (United Nations Covention on the Law of the Sea) dan dipertegas lagi dengan meratifikasinya melalui UU No 17, tahun 1985. Dengan telah di berlakukannya UNCLOS, Indonesia diakui sebagai negara kepulauan yang utuh sesuai pada Bab IV UNCLOS 1982, yang isinya tentang prinsip dan ketentuan Hukum Internasional, yang melandasi „suatu negara kepulauan dipandang sebagai sesuatu kesatuan wilayah negara yang utuh‟. Sebagai konsekuensinya, maka Indonesia diwajibkan memberikan akses hak lintas damai sesuai dengan UNCLOS 1982 pasal 53 ayat 9, yang isinya „‟...dalam menentukan atau mengganti skema pemisah lalu lintas, suatu negara kepulauan harus mengajukan usul kepada organisasi internasional yang berwenang dengan maksud untuk diterima...‟‟ Sesuai dengan ketentuan itu, Indonesia mempunyai kewajiban untuk menyediakan jalur ALKI (Alur Laut Kepulauan Indonesia).
Prosiding
Page Q-2
Forum Ilmiah Tahunan Ikatan Surveyor Indonesia Pekanbaru, 10-11 November 2010
Pengaturan mengenai hak lintas damai dan hak lintas alur kepulauan diatur dalam UU No. 6 Tahun 1996, yaitu selain untuk menjamin kepentingan pelayaran internasional dan kepentingan keamanan, ketertiban dan perdamaian Negara Kesatuan Republik Indonesia (Hasibuan R, 2002). Sehingga pemerintah Indonesia telah mengajukan 3 jalur ALKI yang diajukan ke IMO (International Maritim Organization). Melalui sidang Maritime Safety Commitee ke-69 (MSC-69) pada tanggal 19 Mei 1998, dan akhirnya rencana ini akhirnya diterima oleh IMO. Implementasinya ditetapkanlah Peraturan pemerintah no 37 tahun 2002, yang isinya memberikan kepastian hukum penetapan ALKI menjadi 3 jalur (lihat gambar 2), yaitu ; ALKI I
: Selat Sunda, Selat Karimata, Laut Natuna dan Laut Cina Selatan
ALKI II
: Selat Lombok, Selat Makassar, dan Laut Sulawesi
ALKI III-A : Laut Sawu, Selat Ombai, Laut Banda (Barat Pulau Buru)-Laut Seram (Timur Pulau Mongole) - Laut Maluku, Samudera Pasifik ALKI III-C : Laut Arafuru, Laut Banda terus ke utara ke utara ke ALKI III-A
C A B
Gambar 2. Peta Jalur ALKI di Indonesia
Meskipun Indonesia telah menyediakan 3 jalur lintas damai yang menghubungkan samudera Hindia dan samudera Pasifik serta laut Cina Selatan,tetapi negara-negara Prosiding
Page Q-3
Forum Ilmiah Tahunan Ikatan Surveyor Indonesia Pekanbaru, 10-11 November 2010
barat yang diprakarsai Amerika Serikat menginginkan tambahan ALKI IV yang menghubungkan dari timur ke barat melalui laut Jawa. Keinginan ini disampaikan menteri pertahanan Amerika Serikat pada forum The 7th IISS Asia Security Summit Shangri-La Dialogue di Singapura tahun 2008(Ali Helvas,2008) Diskusi mengenai perlu tidaknya ALKI IV sering dilakukan oleh para pakar Indonesia di bidang hukum laut dengan Instans-instansi pemerintah terkait. Pada tahun 2009, Pusat Pemetaan Dasar Kelautan dan Kedirgantaraan - Bakosurtanal bekerjasama dengan P20-LIPI melakukan survei hidrografi untuk kajian ALKI IV yang membentang dari timur ke barat dengan menghubungkan ALKI II dan ALKI I. Survei dilaksanakan dengan kapal Baruna Jaya VIII yang dikelola P2O LIPI, pada
7 – 27 agustus 2009.
Survei dilakukan berdasar jalur yang telah ditetapkan (gambar 3).
Gambar 3. Jalur survei hidrografi untuk kajian ALKI
Pelaksaan Survei Lokasi survei telah direncakan berdasarkan hasil Desktop Study dari data-data penunjang. Survei dimulai dari pelabuhan Muara Baru, Jakarta Utara. Kemudian kapal memasuki jalur ALKI I hingga titik paling barat kemudian kapal akan belok ke timur hingga terkoneksikan dengan jalur ALKI II. Pada pengukuran pertama ini line survei Prosiding
Page Q-4
Forum Ilmiah Tahunan Ikatan Surveyor Indonesia Pekanbaru, 10-11 November 2010
yang diambil merupakan centerline dan sepanjang center line ini diambil juga CTD sebanyak 24 kali pada posisi yang berbeda sesuai dengan panjang jalur survei. Setelah melintas hingga batas paling timur, survei diarahkan ke arah barat dengan metode pengukuran per blok dengan jumlah 13 blok (Teguh F.Alif dkk, 2009) Wahana dan Peralatan Wahana yang digunakan yaitu Kapal Baruna Jaya VIII, yang dikelola oleh P2O LIPI dan dilengkapi peralatan Multibeam Echosounder EM 1002, CTD, dan GPS.
Gambar 4. Kapal Riset Baruna Jaya VIII yang dikelola P2O LIPI digunakan untuk survei batimetri dengan Multibeam Echosounder dan positioning D-GPS
Spesifikasi peralatan SIMRAD Multibeam EM1002 seperti berikut. Jenis
: Multibeam, 111 beams, Hull Mounted Transducer
Frekuensi dan kedalaman
: 95 kHz / 3 – 1000 meter
Lingkupan
: lebih dari 7.4 x kedalaman target
Software
: - Data Logging
: Seafloor Information System
- Post Processing
: Neptune for Windows
- Processing
: CFLOOR 6.3
Gambar 5. Sistem Multibeam Echosounder SIMRAD EM-1002
Prosiding
Page Q-5
Forum Ilmiah Tahunan Ikatan Surveyor Indonesia Pekanbaru, 10-11 November 2010
Sedangka penentuan posisi menggunakan Trimble DSM 132 dan sistem koreksi dari satelit menggunakan OmniStar dengan ketelitian submeter atau kurang dari 1 meter,
Gambar 6. Sistem penentuan posisi D-GPS pada kapal Baruna Jaya VIII
Hasil Pengukuran Multibeam Echosounder Pada saat pengolahan, data dibagi lagi menjadi 25 blok.Hal ini dikarenakan adanya perbedaan kedalaman sepanjang jalur survei dan memudahkan pengolahan data dalam melakukan koreksi SVP dan pasut.
Gambar 7. Data hasil Multibeam Echosounder SIMRAD EM-1002
Survei Hidrografi dilakukan untuk menyapu area sepanjang line survei, mulai dari ujung point yang paling timur (06° 21' 46" S ; 116° 56' 14"BT) hingga konek dengan ujung
Prosiding
Page Q-6
Forum Ilmiah Tahunan Ikatan Surveyor Indonesia Pekanbaru, 10-11 November 2010
point paling barat (04° 26' 9" S ; 108° 20' 7"BT). Salah satu contoh data blok I hasil pengolahan dengan Cfloor
Gambar 8. Hasil Pengukuran Bathimetri pada blok I ujung paling timur
Analisis kajian ALKI IV dari timur ke barat Perlukah jalur ALKI IV di Indonesia? Untuk menjawab pertanyaan ini perlu kajian lebih mendalam dilihat dari berbagai aspek. Akan tetapi yang akan kita kaji dalam tulisan ini adalah kajian ALKI IV dari aspek peraturan (yudridis) dan aspek spasial data-data yang ada di lapangan. Aspek Peraturan (yuridis) Peraturan mengenai penentuan jalur ALKI baru diatur lebih lanjut dalam UNCLOS’82 pasal 53 ayat 1, yaitu ” suatu Negara Kepulauan dapat menentukan alur laut dan rute penerbangan yang cocok untuk digunakan lintas kapal dan pesawat udara asing yang terus menerus langsung serta secepat mungkin melalui atau di atas perairannya dan laut teritorial yang berdampingan dengannya. Selain alur kepulauan, Negara Kepulauan dapat menetapkan skema pemisah lintas untuk keperluan lintas kapal yang aman melalui terusan yang sempit dalam alur laut kepulauan”. penentuan ALKI ini tidak diwajibkan.
Namun
dalam
Pemerintah Indonesia boleh saja tidak
menentukan ALKI - nya tapi yang konsekuensinya, semua kapal internasional Prosiding
Page Q-7
Forum Ilmiah Tahunan Ikatan Surveyor Indonesia Pekanbaru, 10-11 November 2010
diperbolehkan melewati jalur-jalur navigasi yang sudah normal digunakan dalam pelayaran dunia (routes normally used for international navigation) (UNCLOS’82 pasal 53 ayat 12). Apabila Pemerintah Indonesia telah menentukan ALKI, maka kapal internasional yang akan melewati jalur ALKI tersebut harus mengikuti jalur yang sudah tentukan. Tidak boleh lagi bercabang dalam bernavigasi atau menyisir area ke daratan sesuai ruterute pelayaran yang terdahulu. Kapal internasional tersebut wajib mematuhi jalur yang sudah ditetapkan. Misalnya dalam menentukan jalur ALKI timur – barat atau ALKI IV. Selama ini, rute pelayaran melalui laut jawa banyak cabangnya, seperti di pulau Bawean. Kapal boleh berlayar di utara Bawean dan ada pula yang melintasi jalur di selatan pulau Bawean. Nah, apabila tidak ditentukan ALKI timur – barat atau ALKI IV, maka semua kapal internasional berhak melewati semua area pada jalur tersebut. Akan tetapi, apabila telah ditentukan jalur ALKI IV ini, kemudian kita usulkan ke PBB bahwa jalur kapal harus melalui sebelah utara pulau Bawean, maka semua kapal internasional yang melewati laut jawa wajib melalui rute diutara pulau Bawean tersebut. Terkait dengan keuntungan dan kerugian ALKI IV (ALKI timur – barat), yang butuh jalur ALKI tersebut kelihatannya negara Amerika, Inggris atau Australia dimana terdapat kepentingan militer ataupun perdagangan. memerlukan
Akan tetapi sebetulnya, yang
jalur ALKI IV itu adalah Negara Indoneisa. Bagi Negara-negara besar
tersebut, tanpa adanya ketentuan jalur ALKI IV, kapal-kapal mereka sesukanya dapat melewati area dimana aja selama jalur tersebut belum ditetapkan. Namun apabila jalur ALKI IV itu ditentukan,tentunya negara-negara asing akan menghormatinya dengan hanya melewati jalur ALKI IV yang telah ditetapkan tersebut. Sehingga bisa dilihat dari sisi hukum internasional, dibukanya rute itu akan menguntungkan kita Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai negara kepulauan yang utuh. Aspek Spasial
Prosiding
Page Q-8
Forum Ilmiah Tahunan Ikatan Surveyor Indonesia Pekanbaru, 10-11 November 2010
Jalur pelayaran dunia pada saat ini berkorelasi dengan kepentingan dagang Negaranegara maju, Dari asia timur ke eropa hingga amerika (Gambar 9), hampir 90% perdagangan Internasional diangkut melalui jalur laut. Dari 40% perdagangan Internasional itu semuanya melewati jalur ALKI.
G ambar 9. Jalur lintas perdagangan Internasional (Son Diamar,2010)
Akan tetapi apakah kapal Internasional itu telah sesuai melewati jalur ALKI yang telah ditetapkan? Dapat dilihat bahwa selain melwati jalur ALKI yang telah ditetapkan, kapal tersebut juga melewati jalur timur ke barat dimana jalur ini belum ditetapkan secara resmi sebagai jalur ALKI IV
Russia
Tsugaru
Japan China
O i fic Pac
ce a
n
Malacca
So u
th
C
hi n
aS
ea
India
Makassar
Indonesia
I n d ia n
Ocean
Equidistant Conic Projection
Sunda Lombok
Torres Jalur pelayaran di luar jalur ALKI
Australia
Gambar 10. Jalur lintas pelayaran di asia pasifik yang meleati Indonesia (Son Diamar,2010) Prosiding
Page Q-9
Forum Ilmiah Tahunan Ikatan Surveyor Indonesia Pekanbaru, 10-11 November 2010
Selain itu dapat juga dilihat pada website NOAA(national geophysical and atmospheric administration) http://map.ngdc.noaa.gov/website/mgg/trackline/viewer.htm.
Gambar 11. Data batimetri lintasan jalur kapal yang melewati jalur timur- barat
Dari gambar 11, dapat dilihat bahwa kapal-kapal asing tersebut telah melewati jalur timur – barat alur laut kepulauan di wilayah Indonesia. Dikarenakan belum adanya aturan ALKI IV tersebut sehingga kapal-kapal tersebut bebas melewati jalur mana saja. Seperti dalam gambar 11, jarak lintasan kapal terdekat paling selatan dengan Jepara, Jawa Tengah yaitu 22,19 Km sedangkan jarak lintasan terdekat paling utara dengan pantai di Kalimantan tengah yaitu 80.46 Km. Kesimpulan dan Saran Mengenai perlu tidak nya jalur ALKI IV di perairan Laut Jawa yang menghubung timur ke barat, perlu dikaji dari berbagai aspek, Tetap berdasarkan data spasial dan analisa tentang peraturan UNCLOS 1982, dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut:
Sebelum adanya ALKI IV timur- barat maka semua kapal-kapal Internasional berhak melewati perairan utara laut Jawa tanpa dibatasi jalur pelayarannya dan mengikuti rute pelayaran Internasional yang biasa digunakan.
Prosiding
Page Q-10
Forum Ilmiah Tahunan Ikatan Surveyor Indonesia Pekanbaru, 10-11 November 2010
Dari hasil survey batimetri jalur ALKI timur- barat terdapat variasi kedalaman sepanjang jalur survey ALKI, di wilayah barat dekat jalur ALKI I kedalaman antara 35 – 45 m, sekitar area tengah daerah survey utara jawa tengah kedalaman antara 50 – 60 m, sedangkan di wilayah timur dekat jalur ALKI II kedalaman antara 60 – 600 m.
Terdapat anomali kedalaman pada area di sekitar utara Pulau Bawean, menurut data peta navigasi DISHIDROS terdapat gugusan karang di wilayah tersebut dan hal tersebut sama persis dengan data hasil survey yang menunjukan potensi terdapat gugusan karang dengan kedalaman paling dangkal hanya 14 m.
Perlu adanya kajian lebih mendalam mengenai kebutuhan jalur ALKI IV timur – barat yang menghubungkan jalur ALKI I dan jalur ALKI II,dikarenakan berbagai kepentingan terutama aspek pertahanan keamanan dan ekonomi.
Daftar Pustaka
UNCLOS 1982, Konvensi Perserikatan Bangsa-bangsa tentang Hukum Laut, Departemen Luar Negeri, Direktorat Perjanjian Internasional, Jakarta 24 November 1983.
IHO,(2002), IHO standards, for Hydrographic Surveys 4th Edition, Special Publication No 44.
BAKOSURTANAL, (2004), NPPSS Survei Hidrografi.
Pusat Pemetaan Dasar Kelautan dan Kedirgantaraan-Bakosurtanal, (2009), Laporan Survei Hidrografi untuk Kajian ALKI di perairan Laut Jawa.
Djalal Hasjim, Perjuangan Indonesia Di Bidang Hukum Laut, Binacipta, Bandung, 1978.
Son Diamar, Mewujudkan Negara kepulauan yang maju,kuat dan mandiri, 2010
Helvas Ali, AS tetap tuntuy alki timur-barat, 2008
Rosmi Hasibuan, Hak lintas damai (right of innocent passage) dalam pengaturan hukum laut internasional, 2002
http://portalmaritimindonesia.blogspot.com/2010_04_16_archive.html
Prosiding
Page Q-11
Forum Ilmiah Tahunan Ikatan Surveyor Indonesia Pekanbaru, 10-11 November 2010
http://stayaware.wordpress.com/2007/11/25/ada-apa-dengan-strategipertahanan-indonesia/
http://www.dephan.go.id/modules.php?name=News&file=article&sid=7720
http://www.indonesiapusaka.info/alur-laut-kepulauan-indonesia-alki/
http://www.propatria.or.id/loaddown/Paper%20Diskusi/Gelar%20Pertahanan%2 0Indonesia%20%5Bpower%20point%5D%20-%20Andi%20Widjajanto.pdf
http://bahtiarhs.net/2009/02/justru-di-laut-kita-tidak-jaya/
http://www.sinarharapan.co.id/berita/0806/13/opi01.html
http://id.wikipedia.org/wiki/Deklarasi_Djuanda
Prosiding
Page Q-12
Forum Ilmiah Tahunan Ikatan Surveyor Indonesia Pekanbaru, 10-11 November 2010
PETA DASAR ZONASI TINGKAT PERINGATAN TSUNAMI Oleh : Eva Novita, Arry Agung Hanatyo Pusat Pemetaan Dasar Kelautan dan Kedirgantaraan Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional (BAKOSURTANAL) Jl. Raya Jakarta Bogor Km.46 Cibinong, Bogor – 16911 Telp. (021)87901255 Email:
[email protected],
[email protected]
Abstrak Sebagai negeri rawan beragam bencana, upaya penanggulangan bencana di Indonesia perlu dipersiapkan secara matang. Dalam upaya tersebut diperlukan peta dan informasi geospasial, baik dalam proses peringatan dini sebelum terjadi bencana maupun dalam proses evakuasi bencana. Salah satu upaya tersebut berupa penyediaan peta peringatan dini terhadap bencana Tsunami. Peta ini merupakan salah satu cara untuk memvisualisasikan hasil penilaian tingkat kerawanan resiko Tsunami dengan memadukan data spasial (keruangan) dan data atribut berupa informasi inundasi Tsunami. Sejak kejadian Tsunami Aceh Desember 2004, maka di Indonesia dibuatlah suatu program kegiatan peringatan dini terhadap adanya bencana Tsunami oleh gabungan beberapa instansi terkait, dengan nama program Tsunami Early Warning System (TEWS). Dan pada Bali Consultation Workshop for Tsunami Hazard Mapping yang diadakan di Bali pada Juli 2008, muncullah kesepakatan ide untuk membuat suatu peta resmi untuk zonasi tingkat peringatan bencana Tsunami. Peta resmi untuk zonasi tingkat peringatan bencana Tsunami tersebut dibuat dengan menggunakan standar peta Bakosurtanal, dengan skala 1:25.000. Peta ini menampilkan pola-pola penggunaan lahan serta zonasi dari tingkat peringatan. Selanjutnya peta ini disebut Peta Dasar Zonasi Tingkat Peringatan Tsunami. Kata Kunci : Zonasi Tsunami, Pemodelan Tsunami, dan Inundasi.
I. Pendahuluan Kepulauan Indonesia terletak diantara batas 4 lempeng tektonik besar sehingga merupakan wilayah yang sangat rawan bencana gempabumi. Bahaya (hazards) yang dapat ditimbulkan oleh peristiwa gempa dapat diklasifikasikan menjadi tiga macam/kelompok: (1) bahaya deformasi patahan dipermukaan (surface-rupture hazards), (2). Bahaya goncangan gempa (ground-motion hazards), (3) bahaya ikutan (secondary hazards), yaitu gerakan tanah dan likuifaksi yang dipicu oleh getaran gempa, dan terjadinya tsunami apabila sumber gempanya di bawah laut.
Prosiding
Page R-1
Forum Ilmiah Tahunan Ikatan Surveyor Indonesia Pekanbaru, 10-11 November 2010
Gambar 1. Peta Daerah Rawan Tsunami Sumber : http://www.reindo.co.id Dalam rangka upaya peringatan dini untuk bencana tsunami, beragam peta telah dibuat oleh beberapa instansi pemerintah, LSM maupun swasta. Mengembangkan sebuah peta zonasi tingkat peringatan tsunami memerlukan pendekatan terhadap informasi data historis peristiwa tsunami di daerah yang dikaji dan sekitarnya serta pendekatan dari hasil-hasil pemodelan tsunami. Peta yang dibuat oleh beragam instansi ini menggunakan sumber data dan kajian yang berbeda-beda pula. Karena banyaknya ketersediaan peta tersebut, maka diperlukan suatu peta standar untuk menggambarkan zonasi tingkat peringatan tsunami dengan data dasar yang memadai. Oleh BAKOSURTANAL, Pusat Pemetaan Dasar Kelautan dan Kedirgantaraan khususnya yang memiliki tugas dan fungsi dalam pemetaan dasar daerah pesisir dan laut, membuat suatu peta zonasi tingkat peringatan tsunami dari hasil pemodelan tsunami menggunakan data-data dasar bathimetri dan topografi dari peta dasar produksi BAKOSURTANAL dan data global lainnya. Peta ini dinamai dengan Peta Dasar Zonasi Tingkat Peringatan Tsunami menggunakan standar peta Bakosurtanal skala 1 : 25.000, menggambarkan fitur-fitur yang ada di daratan dan lautan menurut standar peta RBI dan peta LPI skala 1:25.000, serta menggambarkan zonasi bahaya tsunami di daerah pesisir berdasarkan hasil pemodelan tsunami. II. Pemodelan Tsunami Gelombang Tsunami mampu menghanyutkan seluruh obyek yang ada di hadapannya baik bongkahan material bangunan gedung, kendaraan berat, terlebih ribuan badan manusia. Perkiraan zona inundasi ditentukan dari ketinggian air maksimum (run-up) yang dapat ditentukan dengan menggunakan model numerik atau data historis Tsunami. Penghitungan besarnya tsunami yang (dapat) terjadi dilakukan dengan membuat skenario sumber gempa yang paling sesuai, kemudian berdasarkan deformasi gempa yang terjadi disimulasikan bagaimana tsunami tersebut mulai terbentuk di tengah laut kemudian menjalar ke wilayah pantai di sekitarnya. Pada prinsipnya besar tinggi gelombang tsunami dan limpasan tsunami di suatu lokasi tergantung pada besarnya pengangkatan dasar laut yang diakibatkan gempa, pola Prosiding
Page R-2
Forum Ilmiah Tahunan Ikatan Surveyor Indonesia Pekanbaru, 10-11 November 2010
gelombang tsunami dari sumber ke lokasi, dan kondisi bathimetri dan topografi setempat. Oleh karena itu untuk membuat pemodelan tsunami yang baik ada beberapa hal yang harus dipenuhi, yaitu: 1. Mengetahui dengan sebaik-baiknya tentang pola deformasi bumi dari skenario gempa yang mungkin terjadi, khususnya yang menyangkut pola pengangkatan dasar laut. 2. Mempunyai data topografi pantai dan bathimetri (terutama yang di dekat pantai) yang memadai. 3. Software atau perangkat lunak yang baik untuk pemodelan penjalaran tsunami. Dengan menggunakan model numerik untuk Tsunami, dapat diperkirakan jarak maksimum run-up Tsunami untuk mencapai daratan yang disebut inundasi. Data historis Tsunami merupakan data terjadinya Tsunami yang dikumpulkan dari berbagai sumber terdiri dari data run up maksimum di daratan dan area genangan (zona inundasi). Zona inundasi diperkirakan dari data ketinggian lokasi yang dapat ditentukan dari data Digital Elevation Model (DEM). Model Tsunami yang digunakan dalam kegiatan ini adalah model yang dikembangkan oleh Balai Pengkajian Dinamika Pantai (BPDP) - BPPT Yogyakarta dengan dasar model TUNAMI yang dibuat oleh Profesor Imamura. Model tsunami yang digunakan dalam kegiatan ini hanya dibangkitkan oleh pergerakan dasar laut akibat gempa. Untuk mensimulasikan penjalaran gelombang tsunami digunakan model hidrodinamika dua dimensi dari persamaan gerak gelombang panjang linier. Sedangkan untuk mensimulasikan limpasan tsunami (run-up) digunakan teori perairan dangkal nonlinier. Berikut ini adalah persamaan konservasi massa dan momentum untuk teori perairan dangkal di dalam model:
M N 0 t x y gn 2 M M 2 MN 7 M M2 N2 0 gD t x D y D x D 3 gn 2 N MN N 2 gD 7 N M2 N2 0 t x D y D y D 3 Keterangan : h : kedalaman air laut η : elevasi muka air laut D
: total kedalaman yang diberikan oleh h + η
g
: percepatan gravitasi bumi
n
: koefisien kekasaran dasar manning number
M
: Discharge fluxes pada arah x
N
: Discharge fluxes pada arah y
Prosiding
Page R-3
Forum Ilmiah Tahunan Ikatan Surveyor Indonesia Pekanbaru, 10-11 November 2010
III. Data Dasar Topografi, Bathimetri dan Sumber Gempa. Komputasi sangat peka terhadap masukan data yang tersedia. Masukan-masukan utama untuk model tsunami adalah sumber gempa (elevasi kerak bumi karena gempa bumi), data bathimetri dan topografi (elevasi ketinggian permukaan), dan data tata guna lahan (untuk gesekan dasar air). Bahkan dengan data berkualitas rendah, bisa menghasilkan simulasi yang nampak masuk akal. Namun demikian, pengkajian yang realistis terhadap risiko tsunami hanya bisa dilakukan dengan data yang akurat. Sementara dalam kegiatan ini masukan data yang digunakan terdiri dari data sumber gempa, bathimetri dan topografi, sementara data tata guna lahan hanya ditampilkan dalam proses kartografis. Data dasar topografi dan bathimetri yang digunakan dalam pemodelan tsunami ini adalah data dasar yang diperoleh dari hasil survei dan pemetaan dasar kawasan pantai oleh BAKOSURTANAL. Yaitu data dasar topografi (Peta Rupa Bumi Indonesia/ RBI) dan (Peta Lingkungan Pantai Indonesia /LPI) serta data bathimetri hasil survei hidrografi dan Peta Lingkungan Laut Nasional (LLN). III.1. Data Topografi. Data topografi yang digunakan dalam pembuatan peta dasar zonasi tingkat peringatan tsunami ini dikelompokan kedalam dua kriteria, yaitu data yang digunakan untuk input pemodelan tsunami serta data yang akan ditampilkan pada peta dasar tersebut. Untuk input pemodelan dipakai data ketinggian (elevasi) yang diperoleh dari DEM berbasis kontur peta Rupabumi Indonesia (RBI) skala 1 : 25.000,data ketinggian berupa masspoint dan spotheight, dan data ketinggian hasil pengukuran tinggi dengan GPS. Selain itu juga digunakan data topografi global seperti SRTM yang terkoreksi untuk melengkapi data ketinggian yang kosong.
Gambar 4. Data topografi global (SRTM)
Prosiding
Page R-4
Forum Ilmiah Tahunan Ikatan Surveyor Indonesia Pekanbaru, 10-11 November 2010
Sedangkan data topografi yang akan ditampilkan pada peta adalah data peta Rupabumi Indonesia (RBI) skala 1 : 25.000 yang memiliki 7 (tujuh) unsur topografi yang ditampilkan, yaitu : (1) garis pantai, (2) hidrografi ( berupa laut beserta unsurunsur di perairan pantainya, sungai, terusan, saluran air, danau, waduk atau bendungan ), (3) permukiman dan penggunaan lahan, (4) jaringan transportasi ( berupa jalan tol, jalan arteri, jalan kolektor, jalan lokal, jalan lain, jalan setapak, jalan kereta api, bandar udara dan pelabuhan ), (5) batas administrasi ( berupa batas negara, batas propinsi, batas kabupaten, batas kota, batas kecamatan, batas kelurahan ), (6) garis kontur dan titik tinggi, dan (7) nama-nama unsur geografis. Beberapa unsur topografi dari peta RBI, umumnya data pemukiman, penggunaan lahan, dan jaringan transportasi dilakukan updating dari data citra terbaru daerah yang dipetakan, serta dari hasil survei lapangan.
Gambar 5 . Indeks Peta RBI Skala 1:25.000 dan 1:50.000 Sumber : http://pdrtr.bakosurtanal.go.id/map.phtml
III.2. Data Bathimetri. Data Bathimetri untuk wilayah perairan Indonesia dapat diperoleh dari berbagai sumber, baik nasional maupun international, dalam berbagai bentuk. Data tersebut digunakan untuk input pemodelan tsunami.
Prosiding
Page R-5
Forum Ilmiah Tahunan Ikatan Surveyor Indonesia Pekanbaru, 10-11 November 2010
Gambar 6 .Data global dan data survei
Seperti halnya data topografi, data bathimetri yang digunakan dalam pembuatan peta dasar zonasi tingkat peringatan tsunami ini juga dikelompokkan dalam dua kriteria. Yaitu data input pemodelan, berupa data kedalaman dalam bentuk grid, point data dan depth sounding yang diperoleh dari data global dan data hasil survei hidrografi. Sedangkan kriteria kedua adalah data kedalaman yang telah digeneralisasi dalam bentuk kontur kedalaman dan depth sounding yang diperoleh dari kompilasi peta Lingkungan Pantai Indonesia (LPI), Peta Lingkungan Laut Nasional (LLN), dan data British Admiralty Chart (BAC).
Gambar 7. Ketersediaan data bathimetri di Pusat Pemetaan Dasar Kelautan dan Kedirgantaraan – BAKOSURTANAL Sumber : http://pdkk.bakosurtanal.go.id/web_internet/
Prosiding
Page R-6
Forum Ilmiah Tahunan Ikatan Surveyor Indonesia Pekanbaru, 10-11 November 2010
III.3 Sumber Gempa Data gempa dibutuhkan sebagai input data dalam pemodelan tsunami. Parameter gempa yang dibutuhkan untuk aplikasi ini adalah : - Lokasi gempa ( Xo & Yo dalam derajat) - Magnitude gempa (M dalam Mw) - Kedalaman gempa (HH dalam km) - Panjang gempa (L dalam km) - Lebar gempa (W dalam km) - Sudut strike (TH dalam derajat) - Sudut dip (DL dalam derajat) - Sudut slip / rake (RD dalam derajat) - Dislokasi (D dalam meter) Efek gempa bumi bisa mengakibatkan Tsunami bila beberapa syarat dipenuhi, yaitu (1) Gempa yang diakibatkan oleh sesar itu berada di bawah laut, (2) Sesar berupa sesar vertikal dan terangkat, (3) Sesar aktif yang menimbulkan gempa mempunyai luas displacement lebih dari ratusan ribu kilometer persegi, (4) Gempa bumi minimal berkekuatan 6 SR, (5) Kedalaman epicenter gempa kurang dari 40 km.
Gambar 8. Peta Tektonik Aktif dan Kegempaan Wilayah Indonesia Sumber : Natawidjaja, D. H Penentuan lokasi dan besaran gempa didapatkan dari data sejarah kejadian gempa disekitar lokasi kegiatan, yang tercatat menimbulkan kejadian tsunami. Contoh data sejarah gempa yang menimbulkan tsunami yang tercatat di BMKG dari tahun 1815 sampai 1994 untuk daerah sekitar Jawa Timur, Bali dan Nusa Tenggara antara lain disajikan pada gambar berikut :
Prosiding
Page R-7
Forum Ilmiah Tahunan Ikatan Surveyor Indonesia Pekanbaru, 10-11 November 2010
Gambar 9. Sebaran sumber gempa
IV. Peta Dasar Zonasi Tingkat Peringatan Tsunami Inundasi (sebagai komponen horisontal) dan kenaikan air / run-up (sebagai komponen vertikal) dicatat ke dalam sebuah matriks dan didokumentasikan ke dalam peta dasar yang berisi informasi topografi dan bathimetri. Peta resmi untuk zonasi tingkat peringatan bencana Tsunami tersebut dibuat dengan menggunakan standar peta Bakosurtanal, dengan skala 1:25.000. Peta ini menampilkan pola-pola penggunaan lahan serta zonasi dari tingkat peringatan. Zonasi tingkat peringatan yang dipakai adalah zonasi tingkat peringatan yang dikeluarkan oleh BMKGyang terdiri dari 3 zonasi, yaitu : Zona 1 : inundasi dengan elevasi 0 – 0,5 meter Zona 2 : inundasi dengan elevasi 0,5 – 3 meter Zona 3 : inundasi dengan elevasi > 3 meter
Prosiding
Page R-8
Forum Ilmiah Tahunan Ikatan Surveyor Indonesia Pekanbaru, 10-11 November 2010
Gambar 10. Peta Dasar Zonasi Tingkat Peringatan Tsunami Daerah Banyuwangi V. Kesimpulan dan Saran Kesimpulan
Keakuratan model tsunami ditentukan oleh kualitas input skenario gempabumi, perangkat lunak pemodelan, dan data bathimetri dan topografi yang dipakai. Jika ditafsirkan dengan tepat, pemodelan tsunami ini bisa sangat bermanfaat dan dalam kenyataaannya ia menjadi dasar pengkajian risiko dan perencanaan kesiapsiagaan.
Saran
Perlu beberapa model atau skenario simulasi Tsunami untuk mendapatkan informasi resiko Tsunami yang beragam, sehingga dapat diambil informasi resiko Tsunami terburuk. Perlu dikaji ketelitian hasil pemodelan tsunami ini dibandingkan terhadap pemodelan Tsunami dengan masukan data hanya menggunakan data global.
Prosiding
Page R-9
Forum Ilmiah Tahunan Ikatan Surveyor Indonesia Pekanbaru, 10-11 November 2010
Referensi : Alif, T. F Alif, dan Khafid. (2010), Data Bathimetri Nasional, Pusat Pemetaan Dasar Kelautan dan Kedirgantaraan, BAKOSURTANAL. Hanantyo, A.A, dkk. (2009), Laporan Akhir Pembuatan Peta Dasar Zonasi Tingkat Peringatan Tsunami Tahun Anggaran 2009, Pusat Pemetaan Dasar Kelautan dan Kedirgantaraan, BAKOSURTANAL. Natawidjaja, D. H. Evaluasi Bahaya Patahan Aktif, Tsunami dan Goncangan Gempa. Laboratorium Riset Bencana Alam, Geoteknologi LIPI.
Prosiding
Page R-10
Forum Ilmiah Tahunan Ikatan Surveyor Indonesia Pekanbaru, 10-11 November 2010
Aplikasi LIDAR, IFSAR dan Citra Hiperspektral dalam Pengelolaan Hutan Hujan Tropis di Indonesia oleh : Bobby Santoso D1. , Yan Mandari2, Bambang Abednego3 1
2
KK Inderaja dan Sains Informasi Geografik, Teknik Geodesi & Geomatika, FITB, ITB; CEO PT.Mandari Capital 3 Indonesia; CTO PT.Mandari Capital Indonesia
Abstrak Salah satu penyebab utama perubahan iklim di dunia adalah adanya emisi gas karbon yang menimbulkan efek rumah kaca yakni terperangkapnya sinar matahari gelombang panjang ( infra merah) sehingga terjadi pemanasan global. Berdasarkan kesepakatan protokol Kyoto negara-negara industri berkuwajiban menurunkan emisi gas karbon agar efek rumah kaca dengan segala konsekuensinya dapat dikurangi. Di sisi lain keberadaan hutan sebagai paruparu bumi yang secara efektif dapat mengabsorbsi emisi gas karbon perlu dijaga kelestariannya. Indonesia dengan hutan-hutan seluas kurang lebih 119 juta Ha (Sukardjo S, 2010) dapat turut memberikan kontribusinya terhadap upaya pengurangan gas karbon melalui pelestarian hutan yang masih ada. Melalui pengelolaan hutan yang dilakukan sesuai dengan standard internasional maka setiap negara yang telah meratifikasi protocol Kyoto berhak atas sejumlah dana kompensasi melalui mekanisme Clean Development Mechanism (CDM), Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation (REDD) maupun dalam kerangka Carbon Trading/ Emission Trading (ET). Berkaitan dengan maksud tersebut Pemerintah melalui Peraturan Menteri Kehutanan RI – No. P.36/Menhut-II /2009 Tentang Tata Cara Perizinan Usaha Pemanfaatan Penyerapan dan/ atau Penyimpanan Karbon pada Hutan Produksi dan Hutan Lindung memberikan perizinan pengelolaan hutan lestari di Indonesia. Audit atas pengelolaan hutan sesuai dengan CDM dan ET antara lain menyangkut parameter tegakan pohon seperti spesies, diameter pohon (BHD), tinggi pohon, dan parameter lainnya. Makalah ini membahas tentang teknologi LIDAR, IFSAR dan citra Hiperspektral untuk mengestimasi atau menentukan parameter-parameter tegakan. Dari eksperimen yang telah dilakukan dibeberapa negara membuktikan bahwa kombinasi teknologi LIDAR, IFSAR dan citra Hiperspektral dapat digunakan untuk keperluan tersebut. Namun demikian, khusus untuk hutan hujan tropis yang terdapat di Indonesia dengan karakteristik yang cukup kompleks, merupakan suatu tantangan sendiri bagi pada akhli untuk mengeksplorasi teknologi penginderaan jauh tersebut di atas untuk dapat digunakan dengan efektif.
1. Introduksi Perubahan iklim saat ini menjadi salah satu issue utama yang secara global telah menjadi pembicaraan dihampir seluruh negara-negara di dunia. Salah satu aspek pengelolaan hutan di hampir seluruh dunia merujuk pada ketentuan yang disepakati pada protokol Kyoto tahun Prosiding
Page S-1
Forum Ilmiah Tahunan Ikatan Surveyor Indonesia Pekanbaru, 10-11 November 2010
2007 sebagai amandemen Konvensi Rangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim (UNFCCC). Isi protokol Kyoto tahun 1997 lalu adalah kuwajiban penurunan emisi gas rumah kaca bagi negara-negara maju sebesar 5,2 persen dibanding tahun 1990, yang diberlakukan sejak 16 Februari 2005. Indonesia secara resmi telah meratifikasi protokol Kyoto pada tahun 2004. Protokol Kyoto itu sendiri akan berakhir pada 2012 yang rencananya akan digantikan oleh kesepakatan pada Konferensi perubahan iklim di Kopenhagen, Denmark 2009. Bagi Indonesia sendiri keberadaan protokol Kyoto sebenarnya dapat dimanfaatkan baik dalam kontribusinya membangun lingkungan yang bersih Clean Development Mechanism (CDM) maupun dalam kerangka Carbon Trading/ Emission Trading (ET) dengan negara-negara Industri. Hal yang terakhir disebutkan, yakni Carbon Trading/ Emission Trading, dimana Indonesia masih dapat memanfaatkan keberadaan hutan sebagai asset yang dapat mendatangkan devisa bagi Negara. Permasalahannya adalah bagaimana kita dapat memanfaatkan peluang tersebut. Perkembangan teknologi fotogrametri dan penginderaan jauh seperti LIDAR, IFSAR dan citra hiperspektral memberikan harapan untuk dapat dimanfaatkan dalam proses audit sehubungan dengan ketentuan-ketentuan yang diatur dalam beberapa standard carbon. Berbeda dengan jenis hutan di negara-negara subtropis, hutan hujan tropis yang umumnya dimiliki Indonesia dengan luas 119 juta hektar (Sukardjo S, 2010) mempunyai kanopi yang rapat sehingga menjadi permasalahan tersendiri yang harus dipecahkan. Makalah ini mencoba membahas aplikasi teknologi penginderaan jauh yang terkait dengan beberapa parameter audit yang merupakan sebagian dari permasalahan kehutanan seperti issue global warming, climate change, CDM, REDD, dlsb.
2. Pengelolaan Hutan dan Carbon Standard Peraturan Menteri Kehutanan RI – No. P.36/Menhut-II /2009 Tentang Tata Cara Perizinan Usaha Pemanfaatan Penyerapan dan/ atau Penyimpanan Karbon pada Hutan Produksi dan Hutan Lindung dalam beberapa pasalnya terkait dengan jenis usaha pemanfaatan penyerapan karbon dan atau penyimpanan karbon (UP RAP-KARBON dan/atau UP PANKARBON). Baik langsung maupun tidak langsung, paling tidak ada 9 standard carbon yang dibuat terkait dengan pengelolaan hutan - “clean development mechanism”/ CDM dimana beberapa diantaranya disebutkan dalam PerMenHut antara lain : The Climate, Community & Biodiversity Alliance (CCBA) yang diinisiasi oleh Conservation International, CARE, The Nature Conservancy, Rainforest Alliance, and the Wildlife Conservation Society. CarbonFix, adalah organisasi non-profit yang tercatat dalam hukum Jerman yang dalam kegiatannya ikut memastikan kualitas dari standard yang dikeluarkan serta proyek-proyek kegiatan terkait. Voluntary Carbon Standard (VCS) merupakan salah satu standard kualitas terkait dengan upaya mereduksi emisi gas carbon /CO2 atau ekivalen (carbon offset) sebagai kompensasi terhadap kegiatan emisi gas carbon di tempat lain. VCS diinisiasi oleh The Climate Group, the International Emissions Trading Association and the World Economic Forum pada akhir 2005.
Dan standard carbon lainnya
Prosiding
Page S-2
Forum Ilmiah Tahunan Ikatan Surveyor Indonesia Pekanbaru, 10-11 November 2010
Sudah barang tentu bahwa masing-masing standard ada kelebihan serta kelemahannya. Standard-standard tersebut mungkin tidak sepenuhnya cocok untuk diterapkan di suatu Negara dengan karakteristik hutan tertentu. Namun demikian semua memiliki kesamaan, yaitu bahwa dalam pengembangan kriteria dan indikator untuk masing-masing skema sertifikasi tetap berpegang pada prinsip-prinsip kelestarian di dalam pengelolaan hutan produksi yakni kelestarian, fungsi produksi, ekologi dan sosial. Sehubungan dengan hal tersebut, pengembangan dan implementasi sistem standard dimaksud diharapkan akan memberikan sinergi bagi percepatan pencapaian pengelolaan hutan produksi lestari di Indonesia. Suatu perusahaan yang bergerak dalam RAP-KARBON dan PAN-KARBON di Indonesia mencoba untuk memperkenalkan suatu bentuk standard yang diharapkan dapat diterima di kalangan internasional maupun solusi atas problem serta kepentingan dalam negeri. Standard yang digagas tersebut memperhatikan aspek akuntabilitas, berkelanjutan, selektif, ramah lingkungan, penebangan yang berdampak kecil, menambah tegakan serta pengurangan emisi gas karbon yang disingkat menjadi ASSELIHITSACS (Accountable Sustainable Selective Environmental Low Impact Harvest Increasing Timber Stand And Carbon Sequestration) atau dikenal dengan Mandari Standard. Terkait dengan standard carbon, parameter yang digunakan dalam audit meliputi antara lain : 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10.
Ketinggian mahkota pohon/ tegakan (Crown Tree Height) Delineasi mahkota pohon (Crown Delineation) Identifikasi posisi tengah pohon (Tree Center Identification) Ukuran mahkota pohon (Crown Size) Klasifikasi jenis pohon (Tree Type Classification) Identifikasi jenis pohon (Tree Type Identification) Pengukuran tinggi pohon (Tree Height) Volume tegakan (Timber Stand Volume) Pengurangan emisi dan stok karbon (Carbon Sequestration and Carbon Sink Storage) Produksi emisi oksigen (Oxygen Emission Production)
Teknologi penginderaan jauh LIDAR, IFSAR dan citra hiperspektral dapat digunakan untuk mendapatkan informasi dari parameter di atas. Suatu hal yang perlu dilakukan lebih jauh adalah kajian terkait dengan fakta bahwa hutan mempunyai karakteristik yang beragam sehingga teknologi yang digunakanpun perlu disesuaikan. Hutan di Indonesia hampir semua merupakan hutan hujan tropis (tropical rainforest) dengan karakteristik dimana beberapa jenis pohon tumbuh pada stratum yang berbeda.
3. Teknologi LIDAR, IFSAR, Citra Hiperspektral dan Inventarisasi Hutan Dalam pengelolaan hutan maka inventarisasi hutan merupakan salah satu kegiatan utamanya. Inventarisasi hutan meliputi pendataan parameter-parameter tegakan pohon Prosiding
Page S-3
Forum Ilmiah Tahunan Ikatan Surveyor Indonesia Pekanbaru, 10-11 November 2010
(stand) yang ada dalam kawasan tersebut. Dalam memperoleh parameter tegakan pohon diupayakan orang berbagai teknologi. Diantara teknologi yang mulai banyak dimanfaatkan adalah teknologi LIDAR, IFSAR serta citra hiperspektral. Dalam inventarisasi dan keperluan “carbon credit” diperlukan antara lain : diameter pohon pada ketinggian 1.5 m (DBHdiameter of breast height), ketinggian pohon (merchantable height), spesies pohon dan posisi individu pohon.
LIDAR LIDAR (LIght Detection And Ranging) alat sensor penginderaan jauh yang berbasis optis. Untuk aplikasi pemetaan, LIDAR mempunyai kemampuan yang tinggi dalam memperoleh informasi ketinggian, tapi tidak mempunyai daya kemampuan penetrasi. Awan dan vegetasi yang rapat merupakan salah satu kelemahan LIDAR. Namun sinar LIDAR dapat mencapai permukaan tanah melalui celah-celah kecil yang terdapat pada kanopi. Kemampuan LIDAR ini tidak dapat dilakukan bila menggunakan aerial fotogrametri. Untuk mendapatkan informasi koordinat suatu titik obyek di tanah, titik tersebut harus dapat diliput oleh minimal sepasang foto. Untuk itu, celah kecil saja tidak cukup untuk dapat dilalui sepasang sinar dari kedua foto, lihat Gambar 1.
LIDAR
Aerial Fotogrametri Gambar 1. LIDAR dan aerial fotogrametri
Tutupan hutan yang di beberapa tempatnya masih terdapat celah-celah tembus sampai ke permukaan tanah LIDAR masih dapat memberikan informasi ketinggian dalam bentuk DEM hasil interpolasi. Untuk kondisi hutan semacam ini ketinggian permukaan kanopi dalam bentuk DSM dan interpolasi topografi permukaan tanah dalam bentuk DTM dapat digunakan untuk menghitung ketinggian kanopi. Gambar 2. di bawah ini memperlihatkan data multi return dari suatu pengukuran LIDAR atas permukaan bervegetasi/ hutan.
Prosiding
Page S-4
Forum Ilmiah Tahunan Ikatan Surveyor Indonesia Pekanbaru, 10-11 November 2010
Pada contoh di bawah ini densitas kanopi masih tidak terlalu tinggi, di beberapa tempat masih ada celah-celah dimana sinar laser masih dapat mencapai beberapa stratum termasuk permukaan tanah yang merupakan pantulan terakhir (last return).
Gambar 2. Data multi return dari suatu pengukuran LIDAR atas permukaan bervegetasi/ hutan. Bila posisi individu pohon dapat diidentifikasi dan tinggi kanopi sebelumnya dapat diketahui, demikian juga dengan spesiesnya maka data ini akan sangat membantu dalam upaya mengestimasi volume tegakan. Namun untuk tutupan hutan hujan tropis dengan karakteristik kanopi yang rapat berbeda dari misalnya hutan dengan jenis pohon berdaun runcing/ jarum. Dengan demikian, informasi tinggi yang dapat diperoleh dari pengukuran LIDAR pada tutupan yang rapat demikian adalah Digital Surface Model (DSM) dari kanopi pohon. DSM hasil turunan dari point cloud LIDAR membentuk “kontur” permukaan kanopi. Penelitian-penelitian penggunaan LIDAR yang telah dilakukan sehubungan dengan penentuan diameter, ketinggian serta parameter pohon lainnya pada umumnya untuk jenis hutan yang bukan hutan hujan tropis dimana densitas pohonnya tidak rapat.
IFSAR Interferometric Synthetic Aperture Radar atau IFSAR atau INSAR merupakan teknik penginderaan jauh dengan sensor aktif berbasis radar untuk mendapatkan informasi 3 dimensi dari permukaan bumi. Teknologi IFSAR ini sudah dimanfaatkan untuk pemetaan di sebagian wilayah di Indonesia hanya saja belum memanfaatkan kemampuan multibandnya. IFSAR dengan P-band-nya mempunyai kemampuan penetrasi vegetasi yang sangat tinggi dalam memperoleh DTM pada hutan yang paling lebat sekalipun. Gambar 3 memperlihatkan pohon pinus yang diambil oleh band X, L, P dan VHF dengan panjang gelombang yang berbeda dimana band L, P dan VHF mempunyai daya penetrasi yang kuat. Demikian pula dengan Gambar 4 memvisualisasikan hal yang serupa.
Prosiding
Page S-5
Forum Ilmiah Tahunan Ikatan Surveyor Indonesia Pekanbaru, 10-11 November 2010
Gambar 3. Penginderaan pohon pinus dengan band X, L, P dan VHF
Sumber : The SAR-Guidebook
Gambar 4. Visualisasi kemampuan penetrasi IFSAR terhadap vegetasi Setiap band dengan panjang gelombang-nya masing-masing mempunyai karakteristik yang berbeda. Band-X dengan panjang gelombang 3 cm dapat menghasilkan DSM dengan ketelitian vertical antara 1 m s/d 1.5 m dengan daya penetrasi terhadap awan, kabut, debu dan hujan ringan namun tidak mempunyai kemampuan penetrasi terhadap vegetasi. Sedangkan band P dengan panjang gelombang 75 cm mempunyai daya penetrasi tinggi termasuk terhadap vegetasi, namun ketelitian vertikalnya +/- 2.5 m. Dengan memanfaatkan kedua band ini DSM dan DEM dapat diperoleh. Dari selisih antara keduanya dapat diperoleh volume biomas dan estimasi ketinggian pohon. Bila ketelitian ketinggian DSM dari band X = 1.5 m dan DEM dari band P = 2.5 m maka ketelitian selisih tinggi kedua mudel permukaan digital tersebut dapat ditentukan sebagai akar dari jumlah kwadrat ketelitian kedua band. Dengan memanfaatkan IFSAR multi band dapat diperoleh data stratum dari hutan yang diperlukan dalam menghitung volume biomas.
Prosiding
Page S-6
Forum Ilmiah Tahunan Ikatan Surveyor Indonesia Pekanbaru, 10-11 November 2010
Citra Hiperspektral Penginderaan jauh hiperspektral (hyperspectral remote sensing) yang dikenal juga sebagai imaging spectroscopy mempunyai data set antara 100 sampai dengan 200 spektral band dengan bandwith sekitar 5 – 10 nm. Citra hiperspektral biasanya dipresentasikan sebagai suatu kubus data (data cube) dengan informasi spasial pada bidang X-Y dan informasi spektralnya dinyatakan ke arah sumbu Z, lihat Gambar 5. Hiperspektral mempunyai rentang spektrum gelombang magnetik dari sinar ultraviolet, tampak sampai infrared. Suatu studi yang dilakukan oleh Nicholas Goodwin dkk. Telah berhasil melakukan klasifikasi detail komunitas vegetasi, spesies individu, spesies group dan jenis hutan menggunakan data yang diperoleh dari sensor Compact Airborne Spectrographic Imager 2 (CASI-2),
AVIRIS hyperspectral data cube over Moffett Field, CA
Gambar 5. Hyper spectral data cube
Gambar 6. Spektrum Gelombang lektromagnetik © CRISP 2001
Gambar 7 di bawah ini memperlihatkan kemampuan citra hiperspektral dalam membedakan spesies pohon tropis yang diambil menggunakan pencitraan spektral pesawat (airborne imaging spectral) diatas hutan hujan di dataran rendah Hawaii.
Prosiding
Page S-7
Forum Ilmiah Tahunan Ikatan Surveyor Indonesia Pekanbaru, 10-11 November 2010
The visible (400–700 nm) region of the spectrum is dominated by top-of-canopy leaf pigments; the near-IR (700–1300 nm) region expresses canopy water content; and the shortwave-IR (1300–2500 nm) regions are influenced by leaf water, nitrogen and carbon (e.g. lignin and cellulose) constituents
Gambar 7. Perbedaan antara spesies di atas didasarkan atas perbedaan sifat biokimiawi dari daun dan kanopi.
Dengan teknologi penginderaan jauh di atas skema penerapannya dalam pengelolaan hutan produksi lestari dengan program RAP-KARBON dan PAN-KARBON dapat divisualisasikan dalam Gambar 8 di bawah ini.
PENGELOLAAN HUTAN PRODUKSI LESTARI Clean Development Mechanism (CDM) Lidar Ifsar Citra multi/ Hyper-spectral
Emisi Gas Carbon
Carbon standard
Parameter Tegakan
Audit
Sertifikat Pengelola Hutan Kelestarian Ekologi Fungsi Sosiologi Fungsi Produksi
Negara/ Komunitas Industri Kompensasi
BSD2010
Gambar 8. Peran LIDAR, IFSAR dan Citra Hiperspektral dalam Pengelolaan Hutan, carbon trading dan carbon credit.
Prosiding
Page S-8
Forum Ilmiah Tahunan Ikatan Surveyor Indonesia Pekanbaru, 10-11 November 2010
4. Beberapa Permasalahan Yang Masih Perlu Dikaji 1. Menurut J.J. HAVEL, seorang akhli botani kehutanan mengatakan bahwa untuk melakukan identifikasi spesies pada hutan tropis bukanlah suatu hal yang mudah. Betapa tidak, jumlah spesies pohon yang terdapat pada hutan tropis disebutkan pula berkisar antara 2000 – 2500. Sehingga pengenalan jenis pohon diperlukan semacam “library” bentuk mahkota tegakan/ tajuk. Bila digunakan citra hiperspektral juga harus didukung oleh kondisi cuaca 2. Untuk mendapatkan estimasi ketinggian tegakan pohon pada suatu kawasan hutan diperlukan adanya DEM dan DSM dari kawasan tersebut. Untuk mendapatkan DSM bila dipergunakan LIDAR keadaan cuaca harus mendukung, oleh karena itu pemikiran penggunaan IFSAR kemungkinan menjadi suatu solusi 3. Sehubungan dengan karakteristik kanopi untuk hutan hujan tropis, khususnya hutan di Indonesia mempunyai pola yang cukup kompleks, poligonisasi mahkota menjadi tidak mudah bila dibandingkan dengan hutan yang lebih terpola. Perbedaan karakteristik inipun ternyata berbeda untuk jenis hutan di satu empat dengan tempat lain sebagai contoh hutan hujan di Indonesia dengan hutan hujan di Brazilia (lihat Gambar 9)
Hutan Hujan Tropik – Papua
Hutan Hujan Tropik - Brazilia
Gambar 9. Perbedaan karakteristik hutan hujan tropis di dua lokasi yang berbeda
5. Kesimpulan Dalam proses pengelolaan hutan khususnya terkait dengan upaya penyerapan emisi gas karbon peran teknologi penginderaan jauh khususnya LIDAR, IFSAR dan Citra Hiperspektral menjadi cukup penting. Eksperimen maupun penelitian yang telah dilakukan sejauh ini memperlihatkan keampuhan teknologi tersebut. Namun demikian pengkajian lebih jauh terhadap teknologi tersebut di atas masih perlu dilakukan khususnya untuk aplikasi pengelolaan hutan hujan tropis di Indonesia yang mempunyai kompleksitas yang tinggi.
Prosiding
Page S-9
Forum Ilmiah Tahunan Ikatan Surveyor Indonesia Pekanbaru, 10-11 November 2010
Pustaka : 1. 2008). LIDAR Based Delineation in Forest Stands, thesis submitted for the degree of Master of Science, Forest Resources University of Washington Graduate School. 2. Ayu Hernasari Hardi (2008), Studi Pemanfaatan Band yang Berbeda pada INSAR, Tugas Akhir S1, Prodi Teknik Geodesi dan Geomatika FITB, ITB. 3. Birgit Peterson, Ralph Dubayah, Peter Hyde, Michelle Hofton, J. Bryan Blair, and JoAnn Fites-Kaufman (2005). Use of LIDAR for Forest Inventory and Forest Management Application, Proceedings of the Seventh Annual Forest Inventory and Analysis Symposium 4. Gun Mardiatmoko (2009), The Procedure Of Implementation Afforestation And Reforestation Project Under The Clean Development Mechanism (CDM) In Indonesia, (http://www.irthebest.com/gun.html) 5. Imagetree (2007). ForestSense™ captures and evaluates every visible tree crown for height, DBH, species, etc.—which can represent up to 80 percent of all the trees.AHA Volume No.1. (http://www.imagetreecorp.com/pdf/Aha_ed1_11x17.pdf) 6. Intermap, (2010). IFSAR Mapping Technology, (http://www.intermap.com 7. Juha Hyyppä, Xiaowei Yu, Hannu Hyyppä, and Matti Maltamo (2006), Methods of Airborne Laser Scanning for Forest Information Extraction, Workshop on 3D Remote Sensing in Forestry, 14th-15th, Vienna. 8. Mandari Capital Indonesia, PT (2010). Indonesia’s Sustainable Rain Forests, Presentation Slides 9. Sukristijono Sukardjo (2010). Indonesian tropical rainforests and climate change, Opinion The Jakarta Post 10. The Climate Registry (2008). Revised Forest Project Protocol, (http://www.climateregistry.org/ resources/docs/protocols/project/forest/forestrevisions/draft-forest-project-protocol-december-2008.pdf) 11. UNFCCC Climate Change (2009). Reducing emissions from deforestation and forest degradation (REDD) in developing countries, (http://www.irthebest.com/REDD.html) 12. Widodo (2010), Pengelolaan Sumber Daya Hutan Untuk Mengurangi Emisi Gas Co2 Penyebab Efek Rumah Kaca 13. Katarzyna Dabrowska, Wanda Kowalik, Vanessa Heinzel, (2009). Study on SAR Potential for Direct Biomass Assessment, CUBIOM, (www.ceubiom.org/docs/d_2_2.pdf) 14. Nicholas Goodwin, Mapping individual tree species in Eucalyptus forests with CASI-2 hyperspectral imagery, School of Biological, Earth, and Environmental Sciences University of New South Wales 2052, NSW, Australia.
Prosiding
Page S-10
Forum Ilmiah Tahunan Ikatan Surveyor Indonesia Pekanbaru, 10-11 November 2010
Kajian Awal untuk Membangun Sistem Informasi Pertanahan Desa di Cimahi, Jawa Barat. Didik W. S., S. Hendriatiningsih, Marisa Mei Ling, and Andri Hernandi Kelompok Keilmuan Surveying dan Kadaster, Program Studi Geodesy dan Geomatika, Institut Teknologi Bandung Abstrak Tanah merupakan suatu aset bagi semua negara di dunia, karenanya pemerintah ditantang untuk menyediakan akses yang terpercaya terhadap sumber informasi dalam rangka mengatur tanah yang dimilikinya. Suatu sistem informasi pertanahan akan membantu manajemen tanah dengan menyediakan informasi tentang tanah, sumber daya di atasnya, dan peningkatan-peningkatan yang dilakukan terhadap tanah dalam rangka
administrasian
pertanahan
dan
dalam
rangka
mengimplementasikan
manajemen pertanahan. Makalah ini akan mendiskusikan suatu kajian awal dalam membangun sistem informasi pertanahan desa di Cimahi, Jawa Barat. Permasalahan-permasalahan yang terkait administrasi pertanahan di desa, seperti sulitnya menangani dan memperbaharui jumlah data persil yang besar akan diidentifikasi. Permasalahan tersebut menjadikan pembangunan sistem informasi pertahanahan desa menjadi suatu kebutuhan yang penting. Sebagai hasilnya, beberapa upaya-upaya yang mungkin diaplikasikan untuk sebuah sistem informasi pertanahan desa yang baik di Cimahi, seperti pendekatan bawah-atas (bottom up approach) dalam membuat basis data pertahanan, telah berhasil diketahui. Di masa depan, hasil ini memungkinkan untuk implementasi dan perbaikan sistem dan alih teknologi kepada pengguna (pemerintah daerah dan warga masyarakat). Oleh karenanya, sistem informasi pertanahan desa di Cimahi diharapkan akan memungkinkan pengguna untuk memperoleh informasi yang dibutuhkan sesuai dengan tujuannya lewat suatu sistem online yang cepat, mudah dan lengkap. Kata kunci: sistem informasi pertanahan desa, administrasi pertanahan, basis data, Prosiding
Page T-1
Forum Ilmiah Tahunan Ikatan Surveyor Indonesia Pekanbaru, 10-11 November 2010
1. Pendahuluan Salah satu komponen administrasi pertanahan adalah manajemen pertanahan dan data properti yang terkait. Data tersebut mungkin disimpan dalam bentuk manual atau dijital, meskipun demikian seluruh data tanah berangsur-angsur dikomputerisasi untuk memudahkan penyimpanan dan pemanggilan kembali. Data yang merupakan data mentah, yang dari sudut pandang administrasi pertanahan, mungkin dikumpulkan dan dituliskan sebagai angka dan teks, contohnya di dalam buku lapangan juru ukur, atau dikumpulkan dan disimpan secara dijital menggunakan ‘log data’ dan komputer. Data tersebut memungkinkan juga dalam bentuk peta atau foto udara. Data menjadi informasi ketika diproses ke dalam suatu bentuk yang berguna untuk pembuat keputusan. Kegunaan dari informasi ini akan sangat bergantung kepada kualitas data dan khususnya dalam hal informasi tersebut terkini, akurat, lengkap, komprehensif, dapat dimengerti, dan dapat diakses dengan baik. Walaupun demikian, data yang baik tidak selalu menghasilkan manajemen keputusan yang baik karena kemungkinan faktor-faktor lain yang terlibat, seperti mutu data pengguna. Sebaliknya, kualitas data yang buruk akan hampir dapat dipastikan menghasilkan pembuatan keputusan yang buruk. Tanah dan properti yang terkait diatur di dalam sistem informasi pertanahan (SIP) formal. Seperti halnya semua sistem informasi, SIP menggunakan kombinasi sumber daya manusia dan teknikal, bersamaan dengan satu set prosedur pengaturan, untuk menghasilkan informasi dalam membantu manajemen aktifitas (Dale and McLaughlin, 1988). Dewasa ini, teknologi di balik pengolahan data yang paling popular adalah merupakan salah satu komponen dari Sistem Informasi Geografis (SIG). Ada cukup banyak perdebatan menyangkut ruang lingkup SIG, beberapa melihatnya sebagai suatu set perangkat keras, perangkat lunak, dan data, sementara yang lain melihatnya sebagai pengaturan institusi dimana teknologi hanya merupakan satu bagian. SIG dapat digunakan untuk mengolah data, mengubahnya ke dalam produk (seperti peta dan table) atau layanan (menjawab permintaan khusus), GIS juga dapat digunakan untuk menganalisis data berbasis ruang dan waktu. Semua objek memiliki atribut yang menjelaskan karakteristik data tersebut. Di dalam kasus properti nyata, atribut ini termasuk lokasi persil, kepemilikan persil, nilai resmi, dan klasifikai penggunaan. Data juga termasuk detil hubungan dengan persil lain yang bersebelahan atau persil lain yang terkait. Elemen lokasi dari data tersebut dapat berupa titik, garis, atau polygon Prosiding
Page T-2
Forum Ilmiah Tahunan Ikatan Surveyor Indonesia Pekanbaru, 10-11 November 2010
(yang merupakan suatu seri garis yang merepresentasikan luasan tertentu) dan dapat ditampilkan secara geometrik, kartografik, dan topografik. Sistem informasi pertanahan dirancang untuk melayani satu fungsi utama atau dapat juga untuk melayani banyak fungsi. Beberapa diantaranya dibangun untuk mendukung perencanaan strategis, dimana fokusnya lebih kepada pendefinisian tujuan organisasi dan kepada sumber daya yang dikaryakan untuk mencapai tujuan tersebut. Beberapa diantaranya
disediakan untuk
manajemen control
dan
berhubungan
dengan
pemanfaatan sumber daya yag efektif untuk mencapai tujuan organisasi. SIP lainnya dirancang untuk kontrol operasional sehingga pekerjaan-pekerjaan khusus dapat dilakukan dengan efektif dan efisien. Di dalam sistem informasi pertanahan, ada banyak kemungkinan jenis data yang mungkin disimpan dan banyak aktifitas yang berbeda untuk aplikasi. Dari sudut pandang administrasi pertanahan, sistem yang paling penting adalah sistem yang terfokus pada persil kadaster. Ini termasuk kadaster multi guna yang merupakan contoh khusus dari sistem informasi pertanahan, sementara kadaster lainnya lebih terfokus kepada kepemilikan atau nilai. Kadaster multi guna memberi penekanan kepada satu set data persil terkait secara lebih komprehensif. Di dalam kajian awal untuk membangun suatu sistem informasi pertanahan desa di Cimahi, Jawa Barat, permasalahan yang terkait dengan administrasi pertanahan di desa, seperti kesulitan dalam menangani dan memperbaharui jumlah data persil yang besar akan diidentifikasi. Permasalahan tersebut menjadikan pembangunan sistem informasi pertahanahan desa menjadi suatu kebutuhan yang penting. Sebagai hasilnya, beberapa upaya-upaya yang mungkin diaplikasikan untuk sebuah sistem informasi pertanahan desa yang baik di Cimahi, seperti pendekatan bawah-atas (bottom up approach) dalam membuat basis data pertahanan, telah berhasil diketahui. Di masa depan, hasil ini memungkinkan untuk implementasi dan perbaikan sistem dan alih teknologi kepada pengguna (pemerintah daerah dan warga masyarakat). Oleh karenanya,
sistem
informasi
pertanahan
desa
di
Cimahi
diharapkan
akan
memungkinkan pengguna untuk memperoleh informasi yang dibutuhkan sesuai dengan tujuannya lewat suatu sistem online yang cepat, mudah dan lengkap.
Prosiding
Page T-3
Forum Ilmiah Tahunan Ikatan Surveyor Indonesia Pekanbaru, 10-11 November 2010
2. Tujuan Kajian Awal Tujuan dari kajian awal ini adalah sebagai berikut: a) Untuk menginvestigasi kelayakan pembangunan Sistem Informasi Pertanahan desa di Cimahi, Jawa Barat (To investigate the feasibility of constructing Land Information System for the purposes of rural area in Cimahi, West Java, Indonesia.) b) Untuk mendapatkan gambaran tentang situasi saat ini di Cimahi dalam kaitannya dengan pembangunan sistem informasi pertanahan. (To get an overview of current situation in Cimahi related to the construction of land information system.) c) Untuk mengidentifikasi beberapa kemungkinan upaya yang dapat diaplikasikan untuk sebuah administrasi pertanahan yang baik di Cimahi. (To identify some possible efforts applicable to a good land administration in Cimahi). 3. Analisis Situasi dan Kajian Kelayakan Cimahi terletak di sebelah Barat kota Bandung yang merupakan ibukota propinsi Jawa Barat. Dari pusat kota Bandung, Cimahi yang dapat ditempuh hanya sekitar 45 menit perjalanan lewat darat, telah menjadi sub perkotaaan bagi komuter seputar Bandung. Cimahi memiliki markas tentara dan sekolah pendidikan tentara, sejak jaman colonial Belanda yang berakhir sekitar tahun 1949 dan digunakan sampai dengan saat ini oleh Angkatan Bersenjata Republik Indonesia. Sejumlah tanah yang digunakan oleh markas tentara di sekitar wilayah Cimahi telah menyebabkan pelambatan dalam pembangunan lokasi pemukiman baru. Cimahi sebelumnya merupakan bagian dari Kabupaten Bandung, dimana pada tahun 1976 Cimahi disebut sebagai kota administrative. Saat ini Cimahi terbagi atas tiga kecamatan dan limabelas kelurahan. Di Cimahi, aktifitas pengaturan data yang berhubungan dengan manajemen pertanahan kebanyakan dilakukan secara manual. Kantor Pertanahan menangani data yang berhubungan dengan persil. Informasi yang ada kebanyakan dalam bentuk hardcopy, namun saat ini Dinas Pertanahan sedang dalam proses mengkonversi peta hardcopy ke dalam format dijital. Dengan pertumbuhan penduduk 2.12% per tahun dan proses pembangunan yang berjalan cepat, oleh karena itu administrasi pertanahan dan informasi pertanahan telah menjadi kebutuhan yang mendesak. Sebelum melangkah ke sistem informasi pertanahan, pembangunan basis data tanah yang lengkap dan akurat harus dilakukan secepatnya. Sistem administrasi umum pemerintah desa telah mengenal istilah ‘buku tanah desa’. Buku tanah desa merupakan Prosiding
Page T-4
Forum Ilmiah Tahunan Ikatan Surveyor Indonesia Pekanbaru, 10-11 November 2010
sebuah buku yang berisi informasi sebagai berikut: status tanah, penggunaan tanah, wilayah tanah desa, wilayah pemukiman, dan sebagainya. Dengan mempertimbangkan pentingnya buku ini, pemerintah desa memutuskan untuk menggunakan buku ini sebagai kerangka dasar basis data pertahanan yang dibangun dengan tambahan data tanah dari sumber-sumber lain. 4. Beberapa Penemuan dan Upaya yang Mungkin dilakukan Pengumpulan data dimulai dengan mewawancarai penjabat dinas pertanahan. Wawancara yang dilakukan lebih difokuskan kepada tujuan dari kajian ini. Wawancara juga dilakukan untuk mendapatkan pandangan akan kebutuhan informasi untuk aplikasi sistem informasi pertanahan di Cimahi. Di Cimahi, ditemukan bahwa proses manual dalam mengatur informasi pertanahan menyebabkan permasalahan yang berhubungan dengan kapasitas penanganan jumlah data yang banyak., dan kesulitan updating informasi tersebut. Tidak mudah untuk merubah informasi yang berkaitan dengan persil perorangan dan persil lainnya. Jika sebuah persil berubah kepemilikan, peta kepemilikan baru harus dibuat untuk menggambarkan perubahan yang terjadi. Pada dasarnya, permasalahan dapat dipecahkan dengan mengoperasikan basis data spasial. SIG menyediakan peralatan yang canggih untuk menangkap, memanipulasi, atau menganalisis data spasial. Namun demikian, sebelum masuk ke sistem informasi pertanahan, pembangunan basis data yang lengkap dan akurat harus terlebih dahulu dikerjakan. Melalui tahapan investigasi, beberapa upaya yang dapat diaplikasikan untuk kasus Cimahi, sebagai berikut: a) Salah satu pendekatan pembangunan basis data dari sistem informasi pertanahan diimplementasikan lewat sebuah bottom-up, yaitu dengan membuat basis data dari satuan pemerintahan terkecil yaitu desa. Oleh karenanya, sistem informasi pertanahan untuk tujuan ini dinamakan sistem informasi pertanahan desa. b) Identifikasi jenis informasi yang penting, seperti dijital dan analog data yang berkaitan dengan persil, yang sangat berguna untuk proses dan aktivitas sistem informasi pertanahan, dan aplikasi lain dari sistem informasi pertanahan. c) Harus ada suatu penilaian terhadap isu teknikal dan institusional, yang akan memperlambat pemanfaatan basis data yang telah ada. Secara teknikal, upaya-upaya yang telah disebutkan di atas dapat didetilkan ke dalam beberapa aktivitas, seperti: a) Dijitasi persil dan peta kadaster. Prosiding
Page T-5
Forum Ilmiah Tahunan Ikatan Surveyor Indonesia Pekanbaru, 10-11 November 2010
b) Pemindahan basis data persil yang telah ada ke dalam Microsoft Access atau Sistem Manajemen Basis Data yang sesuai. c) Membangun peta kadastral, baik dengan melakukan survey ulang dengan GPS sehingga dihasilkan peta dijital dengan koordinat geografik, atau mengkonversi data dari buku pengukuran lapangan jika survei telah dilakukan. 5. Kesimpulan dan Rekomendasi a) Kebutuhan dari suatu sistem informasi pertanahan perlu diidentifikasi dengan jelas untuk memenuhi ekspektasi pemecahan permasalahan yang berkaitan dengan administrasi pertanahan. b) Proses detil untuk aktivitas teknikal yang telah disebutkan di atas harus didefinisikan secara jelas sehingga setiap stakeholder yang terlibat akan berada dalam platform yang sama. Sebuah sistem informasi dasar harus dibangun dari peta kadastral dan digunakan bersamaan dengan basis data persil untuk membentuk Sistem Informasi Pertanahan yang sesuai dengan kebutuhan pemerintah local dan masyarakat sebagai pengguna. c) Sebuah sistem informasi pertanahan yang baik, bukan hanya harus dapat menyediakan informasi yang cepat, akurat, dan efektif, tetapi juga harus dapat diakses dengan cepat oleh public sehingga sistem yang nantinya akan dibuat dapat berguna bagi banyak orang. Berdasarkan pemikiran ini, dan dengan bantuan teknologi informasi, maka pembangunan basis data pertanahan akan berdasarkan pada teknologi internet. Diharapkan bawa informasi tanah desa dapat diakses melalui suatu sistem online yang cepat, mudah, dan lengkap. 6. References Demers, M. 2005. Fundamentals of Geographic Information Systems, Third Edition. John Willey, USA Dale, P. and McLaughlin, J. 1999. Land Administration. Oxford University Press, New York. Williamson, I., Enemark, S., Wallace, J., Rajabifard, A., 2010. Land Administration for Sustainable Development, ESRI Press, Redlands, USA htpp://www.cimahi.go.id
Prosiding
Page T-6
Forum Ilmiah Tahunan Ikatan Surveyor Indonesia Pekanbaru, 10-11 November 2010
7. Contact 1. Ir. Didik W, MS Kelompok Keahlian Surveying dan Kadaster Prodi Teknik Geodesi dan Gematika Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian Institut Teknologi Bandung JL. Ganesha 10 Bandung 40132 Email:
[email protected]
2. Dr. Ir. S. Hendriatiningsih, MS Kelompok Keahlian Surveying dan Kadaster Prodi Teknik Geodesi dan Gematika Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian Institut Teknologi Bandung JL. Ganesha 10 Bandung 40132 Email:
[email protected]
3. Dr. Ir. Marisa Mei Ling, M.Sc. Kelompok Keahlian Surveying dan Kadaster Prodi Teknik Geodesi dan Gematika Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian Institut Teknologi Bandung JL. Ganesha 10 Bandung 40132 Email:
[email protected]
Prosiding
Page T-7
Forum Ilmiah Tahunan Ikatan Surveyor Indonesia Pekanbaru, 10-11 November 2010
4. Dr. Ir. Andri Hernandi, MSP Kelompok Keahlian Surveying dan Kadaster Prodi Teknik Geodesi dan Gematika Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian Institut Teknologi Bandung JL. Ganesha 10 Bandung 40132 Email:
[email protected]
Prosiding
Page T-8
Forum Ilmiah Tahunan Ikatan Surveyor Indonesia Pekanbaru, 10-11 November 2010
Studi Awal Penentuan Kemiringan Objek Bangunan Menggunakan Metode Survey Terestrial 1)
Andri Hernandi, 1)Agoes S. Soedomo, 1)Marisa Mei Ling, 2)Brawira F. Gazayana 1) Staf Pengajar/Dosen Prodi Teknik Geodesi dan Geomatika FITB – ITB 2) Mahasiwa Prodi Teknik Geodesi dan Geomatika FITB-ITB
Abstrak Bangunan gedung merupakan tempat untuk melakukan kegiatan produktif dan mempengaruhi kesejahteraan umum sehingga penyelenggaraan bangunan perlu diatur sesuai dengan peraturan perundang-undangan untuk mewujudkan bangunan yang fungsional serta seimbang dengan lingkungan. Sementara itu, dewasa ini isu yang makin marak diperbincangkan adalah mengenai kemiringan gedung yang diluar batas toleransi. Kemiringan gedung merupakan dampak proses perubahan lapisan tanah dalam yang menerima beban yang relatif tinggi. Derajat kemiringan berbeda karena kondisi lapisan tanah dalam yang berbeda. Kemiringan gedung juga disebabkan oleh penurunan permukaan tanah (land subsidence) yang diakibatkan oleh volume pengambilan air tanah hingga lapisan akuifer yang dilakukan terus menerus tanpa ada pengisian kembali. Selain itu, gempa dan pemakaian gedung yang over capacity juga mempengaruhi kemiringan bangunan. Besarnya kemiringan gedung dapat diperlihatkan dari perubahan posisi horisontal dan vertikal. Untuk menentukan besarnya kemiringan gedung tersebut dapat dilakukan dengan menggunakan metode survey terestrial. Survey terestrial merupakan metode survey pemetaan dengan cara menggunakan prinsip pengukuran sudut dan jarak. Dengan menggunakan prinsip pengukuran sudut dan jarak tersebut dapat digunakan untuk menentukan besarnya kemiringan gedung.
PENDAHULUAN Pembangunan nasional merupakan pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan pembangunan seluruh masyarakat Indonesia yang menekankan pada keseimbangan pembangunan, kemakmuran lahirian dan kepuasaan batiniah yang berkeadilan sosial berdasarkan Pancasila. Pada dasarnya pembangunan nasional terdiri dari pembangunan fisik dan non fisik. Salah satu pembanguan fisik adalah diantaranya mengadakan pembangunan gedung yang digunakan untuk melakukan kegiatan produktif yang berfungsi untuk kepentingan umum seperti gedung pemerintahan.
Prosiding
Page U-1
Forum Ilmiah Tahunan Ikatan Surveyor Indonesia Pekanbaru, 10-11 November 2010
Dalam penyelenggaraan pembangunan gedung, setiap bangunan harus memenuhi persyaratan administratif dan teknis untuk menjamin kepastian dan ketertiban hukum. Berdasarkan UU no. 28 tahun 2002 bahwa penyelenggaraan pembangunan gedung harus memenuhi beberapa syarat, salah satunya yaitu syarat keamanan dan keselamatan. Syarat keamanan dan keselamatan sebuah gedung diperhatikan mengenai ketahanan bangunan gedung itu sendiri agar dapat dipastikan keamanan gedung. Oleh karena itu, bangunan penting untuk diawasi mengenai kelayakan dan ketahanan gedung secara berkala dan sistematis. Dewasa ini isu yang semakin marak diperbincangkan adalah mengenai kemiringan gedung. Kemiringan gedung merupakan dampak dari proses perubahan lapisan tanah dalam yang menerima beban relatif tinggi. Derajat kemiringan berbeda-berbeda, karena tergantung juga pada perbedaan kondisi lapisan tanah. Selain itu, kemiringan gedung disebabkan oleh penurunan permukaan tanah yang diakibatkan oleh volume pengambilan air tanah hingga permukanan akuifer dilakukan secara terus menerus tanpa ada pengisian kembali. Berkurangnya air tanah itulah yang menyebabkan penurunan tanah dalam suatu kawasan (land subsidence). Gempa dan pemakaian gedung yang over capacity turut juga mempengaruhi kemiringan sebuah bangunan gedung. Salah satu kasus yang saat ini sedang marak diperbincangkan adalah mengenai gedung DPR RI yang dilaporkan dari beberapa sumber media salah satunya koran jakarta yang dimuat pada tangal 9 mei 2010 menyatakan bahawa kemiringan mencapai hingga 7o (derajat) yang mana melebihi kemiringan menara pisa yang hanya 3o (derajat). Bahkan menurut media ini pula dinyatakan bahwa menurut Kementerian Pekerjaan Umum (PU) bahwa hasil kajian Balitbang PU menyimpulkan gedung DPR tidak mengalami kemiringan. Permasalahannya adalah bahwa nilai kemiringan tersebut berdasarkan apa dan metodenya bagaimana tidak dijelaskan secara eksplisit. Kemiringan sebuah bangunan tersebut dapat ditentukan apabila terjadi perubahan posisi horisontal dan vertikal. Untuk menentukan besarnya kemiringan gedung tersebut dapat dilakukan dengan menggunakan metode survey terestrial (Kissam, 1978). Survey terestrial merupakan metode survey pemetaan dengan cara menggunakan prinsip pengukuran sudut dan jarak (Kissam, 1977). Dengan menggunakan prinsip pengukuran sudut dan jarak tersebut dapat digunakan untuk menentukan besarnya kemiringan gedung. Oleh karena itu dalam penelitian ini akan dilakukan kajian mengenai metode penentuan kemiringan gedung menggunakan prinsip survey teresrtial sehingga diharapkan dapat diperoleh prosedur pemantuan kemiringan dari sebuah gedung.
METODOLOGI STUDI Berdasarkan metodologi studi yang telah diusulkan diatas, kegiatan pelaksanaan studi ini dapat meliputi:
Prosiding
Page U-2
Forum Ilmiah Tahunan Ikatan Surveyor Indonesia Pekanbaru, 10-11 November 2010
1. Studi pendahuluan: a. Kajian komponen-komponen survey terestrial dalam menentukan perubahan posisi horisontal dan vertikal. b. Kajian pengembangan model matematika. Pada kegiatan ini akan dilakukan studi literatur untuk membangun model matematika penentuan kemiringan suatu objek. c. Pemodelan penentuan kemiringan objek berdasarkan survey terestrial dalam suatu ruang tiga dimensi. 2. Survey lapangan: a. Desain dan pemilihan kerangka pengukuran survey terestrial untuk titik pengamatan kemiringan gedung. b. Pengukuran survey terestrial objek gedung dari beberapa titik pengamatan beserta pengamatan kendala pengukuran. 3. Pengolahan data: a. Perhitungan posisi horisontal dan vertikal hasil pengukuran dan pengamatan kemiringan objek gedung. b. Perhitungan kemiringan objek gedung berdasarkan posisi horisontal dan vertikal. c. Plotting posisi horisontal dan vertikal hasil pengukuran dan pengamatan kemiringan objek. 4. Analisis: a. Analisis pengembangan model matematika penentuan kemiringan objek. b. Analisis pengamatan dan kendala pengukuran kemiringan objek gedung. c. Analisis hasil perhitungan dan visualisasi kemiringan objek gedung.
RANCANGAN PENENTUAN KEMIRINGAN OBJEK BANGUNAN Secara visual proses penentuan kemiringan objek bangunan dapat dilihat pada Gambar 1. Dari Gambar 1 terlihat titik pengamatan A, B, dan C ditentukan dengan melihat kondisi lapangan dengan ketentuan dari ketiga titik tersebut harus mendapat pandangan yang jelas pada sisi gedung yang akan kita ukur. Ketiga titik kerangka tersebut dapat ditentukan koordinat (XA,YA), (XB,YB), dan (XC,YC) dengan pengukuran GPS secara teliti. Sementara itu untuk besarnya ZA,ZB, dan ZC diukur menggunakan metode pengukuran beda tinggi yang mana salah satu titik Z dapat dianggap sebagai titik Z lokal (Z = 0) sebagai referensi/acuan tinggi lokal. Ketiga koordinat (XA,YA,ZA), (XB,YB,ZB), dan (XC,YC,ZC) ditentukan berikut besaran ketelitiannya. Kemudian Ketiga titik tersebut menjadi acuan untuk menentukan posisi titik 1 dan 2 yang berada pada sudut gedung yang tampak.
Prosiding
Page U-3
Forum Ilmiah Tahunan Ikatan Surveyor Indonesia Pekanbaru, 10-11 November 2010
Gambar 1. Penentuan Kemiringan objek gedung Koodinat titik 1 (X1,Y1,Z1) dan 2 (X2,Y2,Z2) dapat dihitung dengan menggukan alat ukur sudut ETS (Electronic Total Station) yang ditempatkan di ketiga titik kerangka (A,B, dan C) tersebut. Jika koordinat titik 1 dan 2 dapat, dengan menggunakan prinsip pitagoras maka besarnya resultan kemiringan objek dapat ditentukan. Untuk lebih jelasnya dapa dilihat pada Gambar 2.
Prosiding
Page U-4
Forum Ilmiah Tahunan Ikatan Surveyor Indonesia Pekanbaru, 10-11 November 2010
Gambar 2. Resultan dan Sudut Kemiringan Objek Berdasarkan visualisasi pada Gambar 2. dapat dihitung besarnya resultan (RXYZ) dan sudut kemiringan objek (α) dengan Persamaan (1) dan Persamaan (2). √
………………………………
(1)
………………………………
(2)
Dan √
Untuk mengetahui tingkat ketelitian Rxyz dan sudut kemiringan (α), dapat diturunkan dari Persamaan (1) dan Persamaan (2) menggunakan dalil perambatan kesalahan. PENUTUP Studi ini merupakan studi awal berdasarkan konsepsi untuk merancang metode penentuan kemiringan objek gedung beserta tingkat ketelitiannya. Persoalan yang memungkinkan terjadi di lapangan adalah kesulitan dalam mendapatkan posisi pengamatan yang memungkinkan untuk mempunyai strenght of figure kerangka yang baik. Selain itu dapat pula terjadi tingkat ketelitian alat lebih kasar dari resultan dan sudut kemiringan sehingga kemungkinan untuk dievaluasi terhadap spesifikasi alat yang dapat mumpuni terhadap perubahan yang kecil seperti untuk pemantauan deformasi.
Prosiding
Page U-5
Forum Ilmiah Tahunan Ikatan Surveyor Indonesia Pekanbaru, 10-11 November 2010
PUSTAKA Kissam, P. (1977) Surveying Practice: The Fundamentals of Surveying. Kissam, P. (1978) Surveying for Civil Engineers.
CONTACT 1. Dr. Ir. Andri Hernandi, MSP Kelompok Keahlian Surveying dan Kadaster Prodi Teknik Geodesi dan Gematika Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian Institut Teknologi Bandung JL. Ganesha 10 Bandung 40132 Email:
[email protected] 2. Ir. Agoes S. Soedomo, MS Kelompok Keahlian Surveying dan Kadaster Prodi Teknik Geodesi dan Gematika Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian Institut Teknologi Bandung JL. Ganesha 10 Bandung 40132 Email:
[email protected] 3. Dr. Ir. Marisa Mei Ling, M.Sc. Kelompok Keahlian Surveying dan Kadaster Prodi Teknik Geodesi dan Gematika Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian Institut Teknologi Bandung JL. Ganesha 10 Bandung 40132 Email:
[email protected] 4. Brawira F. Gazayana Mahasiswa Sarjana Prodi Teknik Geodesi dan Gematika Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian Institut Teknologi Bandung JL. Ganesha 10 Bandung 40132 Email:
[email protected]
Prosiding
Page U-6
Forum Ilmiah Tahunan Ikatan Surveyor Indonesia Pekanbaru, 10-11 November 2010
Pembuatan Peta Zona Nilai Tanah di Kota Oksibil Kabupaten Pegunungan Bintang Provinsi Papua Oleh : Goyandi Dwi Ammar, ST. Dkk
I.
LATAR BELAKANG Program dan kegiatan pembangunan yang dilaksanakan oleh Pemerintah Kabupaten Pegunungan Bintang, sebagai organisasi pemerintah yang relatif baru yaitu berumur 3 tahun. Pada kenyataannya Pemerintah Kabupaten Pegunungan Bintang selama 3 tahun terakhir ini telah banyak melakukan pembangunan kepentingan umum dan fasilitas umum sebagai sarana guna mendukung gerak pembangunan. Di Pulau Papua, khususnya di Provinsi Papua, pemilikan tanah masih banyak yang bersifat adat (dimiliki dan dikuasai oleh masyarakat adat), sehingga kepemilikannya cenderung berada dalam bentuk komunal. Namun demikian catatancatatan tertulis terhadap kepemilikan tanah oleh masyarakat adat belum ada atau sangat minim, penjelasan dan keterangan mengenai hukum tentang kepemilikan tanah oleh masyarakat adat masih dalam bentuk lisan. Dengan demikian, karena adanya penggunaan dan pemanfaatan tanah untuk kepentingan umum, maka perlu suatu upaya untuk memperjelas penguasaan/pemilikan tanah atau bidang tanah yaitu kejelasan mengenai obyek tanahnya (letak, batas-batas dan luas tanah) dan subyek tanah yang menguasai/pemiliknya (marga, nama, identitas penguasaan/pemilikan lainnya, dan sejarahnya). Sebagai kabupaten yang relatif baru terbentuk, adalah penting bagi masyarakat pada umumnya dan bagi pemerintah pada khususnya untuk mengetahui besarnya aset daerah dan Pemerintah Kabupaten yang dimiliki. Informasi ini bermanfaat untuk pengelolaan aset ke depan maupun sebagai benchmark pertumbuhan aset. II.
MAKSUD DAN TUJUAN Tujuan kegiatan adalah menyediakan/menghasilkan Peta Zona Nilai Tanah Pemerintah Kabupaten Pegunungan Bintang di Kota Oksibil yang digunakan sebagai laporan keuangan untuk kepentingan pencatatan aset daerah dalam laporan keuangan Pemerintah Kabupaten Pegunungan Bintang. III. RUANG LINGKUP Ruang lingkup dari kegiatan Pembuatan Peta Zona Nilai Tanah ini adalah membuat Peta Zona Nilai Tanah Kabupaten Pegunungan Bintang di wilayah survei seluas 5.000 Ha di Kota Oksibil, Kabupaten Pegunungan Bintang.
Prosiding
Page V-1
Forum Ilmiah Tahunan Ikatan Surveyor Indonesia Pekanbaru, 10-11 November 2010
IV. DASAR TEORI Penilaian untuk berbagai jenis properti, baik di dalam mengestimasikan Nilai Pasar maupun selain Nilai Pasar, mengharuskan seorang penilai untuk mengaplikasikan satu atau lebih pendekatan penilaian. Perkataan “pendekatan penilaian” mengacu kepada metodologi analitis yang diterima dan diterapkan secara umum. Pendekatan penilaian meliputi: 1. Pendekatan Data Pasar Pendekatan ini mempertimbangkan penjualan dari properti sejenis atau pengganti dan data pasar yang terkait, serta menghasilkan estimasi nilai melalui proses perbandingan. Pada umumnya properti yang dinilai (obyek penilaian) dibandingkan dengan transaksi properti yang sebanding, baik yang telah terjadi maupun properti yang masih dalam tahap penawaran penjualan dari suatu proses jual beli. Pendekatan data pasar beranggapan bahwa harga properti ditentukan oleh pasar. Nilai pasar karenanya dapat dihitung berdasarkan studi atas harga pasar dari properti yang bersaing satu dengan yang lainnya untuk pangsa pasar. Proses komparatif yang diterapkan bersifat fundamental untuk proses penilaian. Jika data tersedia, pendekatan data pasar adalah pendekatan yaang paling langsung dan sistematis dalam estimasi nilai. Apabila data tidak cukup, penerapan pendekatan data pasar menjadi terbatas. Riset yang tidak memadai dari penilai, bagaimanapun, tidak menjadi alasan untuk mengabaikan pendekatan ini dimana data tersedia dan dapat secara wajar digunakan. Dalam menerapkan pendekatan data pasar adalah penting bagi penilai untuk memperhatikan jenis hak kepemilikan yang dinilai untuk memastikan bahwa jenis hak kepemilikan dari properti yang dinilai adalah sama dengan properti pembandingnya. Dalam hal terdapat perbedaan, maka perlu dilakukan penyesuaian terhadap data pembanding berdasarkan persepsi pasar yang berlaku. 2. Pendekatan Biaya Pendekatan ini mempertimbangkan kemungkinan bahwa sebagai substitusi dari pembelian suatu properti, seseorang dapat membuat properti yang lebih baik berupa replika dari properti asli atau substitusinya yang memberikan kegunaan yang sebanding. Dalam konteks real estat, seseorang biasanya dianggap tidak wajar untuk membeli suatu properti lebih daripada biaya untuk membeli tanah yang sebanding dan membuat suatu pengembangan alternatif, kecuali akan melibatkan jangka waktu yang lebih panjang, ketidaknyamanan dan resiko yang lebih tinggi. Dalam prakteknya, pendekatan ini juga melibatkan estimasi depresiasi untuk properti yang lebih tua dan/atau memiliki keusangan fungsional dimana estimasi biaya baru secara tidak wajar melampaui harga yang mungkin dibayarkan untuk properti yang dinilai. Pendekatan Biaya, di beberapa negara juga dikenal sebagai metode kontraktor, dikenal secara luas dalam praktek penilaian. Dalam penerapannya, pendekatan biaya menghasilkan nilai dengan mengestimasi biaya untuk pembelian tanah dan membangun properti baru dengan kegunaan yang sama atau mengadaptasi properti tua untuk penggunaan yang sama tanpa biaya tambahan akibat penundaan. Biaya tanah ditambahkan ke total biaya konstruksi. 3. Pendekatan Pendapatan Pendekatan ini mempertimbangkan pendapatan dan biaya yang berhubungan dengan properti yang dinilai dan mengestimasikan nilai melalui proses kapitalisasi. Kapitalisasi menghubungkan pendapatan (biasanya merupakan pendapatan bersih) dengan suatu definisi jenis nilai melalui konversi pendapatan menjadi estimasi nilai. Proses ini mungkin menggunakan kapitalisasi langsung (dikenal dengan tingkat kapitalisasi), yield atau tingkat diskonto (menggambarkan tingkat pengembalian Prosiding
Page V-2
Forum Ilmiah Tahunan Ikatan Surveyor Indonesia Pekanbaru, 10-11 November 2010
investasi), atau keduanya. Pada umumnya, prinsip subsitusi mengandung pengertian bahwa arus pendapatan yang menghasilkan tingkat pengembalian tertinggi adalah sebanding dengan tingkat resiko yang diambil dan akan menghasilkan nilai yang paling mungkin terjadi. PEMETAAN ZONA NILAI TANAH Pemetaan Zona Nilai Tanah (ZNT) diterapkan untuk kegiatan penilaian tanah yang mencakup wilayah yang luas, dan bersifat massal atau mencakup jumlah bidang tanah yang banyak baik untuk daerah pertanian, permukiman ataupun komersial. Survei dan pemetaan nilai tanah yang bersifat massal dilakukan diatas peta dasar untuk menyajikan nilai pasar tanah pada suatu daerah tertentu yang diperoleh dari pengumpulan data harga pasar. Peta ZNT dibuat dalam skala 1 : 10.000 yang menggambarkan informasi nilai tanah (tidak berikut nilai bangunan dan benda-benda yang ada di atasnya) dalam bentuk klasifikasi nilai tanah. Pada prinsipnya, peta ZNT menyajikan nilai pasar tanah pada suatu wilayah. Nilai Pasar Tanah yang dihasilkan berdasarkan prinsip highest and the best use (HBU)/penggunaan terbaik dan tertinggi. Definisi HBU/penggunaan tertinggi dan terbaik adalah “penggunaan yang paling layak dan optimal dari suatu real properti, yang secara fisik dimungkinkan, secara hukum diizinkan serta layak secara finansial dan menghasilkan nilai tertinggi dari properti yang dinilai”.(Standar Penilaian Indonesia 2007- KPUP Butir 6.3 dan SPI 1 Butir 3.4). Hal yang pertama dilakukan adalah melakukan survei batas zona pada wilayah kerja yang diduga memiliki nilai pasar tanah yang mirip atau seragam. Untuk dapat menentukan nilai pasar tanah pada masing-masing zona, wajib mengumpulkan data harga pasar tanah sebagai data pembanding atau sampel. Dalam hal tidak tersedia data harga pasar tanah, dapat mengumpulkan data harga pasar properti dan data pasar lainnya, dan dapat menggunakan semua pendekatan, teknik dan prosedur dalam menetapkan nilai pasar tanah sepanjang penerapannya dapat dilakukan secara tepat dan benar dan bersandar pada kriteria dan data pasar. Sebagai contoh; dapat menggunakan teknik penyisaan tanah (land residual) atau teknik ekstraksi (extraction) untuk memperoleh nilai pasar tanah jika data pasar tentang penghitungan nilai bangunan dan/atau tingkat kapitalisasi bangunan diperoleh. Selanjutnya menganalisis nilai pasar tanah tersebut secara spasial untuk memperoleh zona-zona nilai tanah yang menggambarkan nilai-nilai pasar tanah yang sama. Dalam melakukan analisis spasial, dapat menggunakan metoda statistik yang didukung oleh perangkat sistem informasi geografis.
Persiapan
Survei Batas Zona Nilai Tanah
Peta Zona Nilai Tanah (ZNT)
Survei Pengumpulan Data Harga Pasar
Pengolahan Data Tekstual/ Numeris
Penyajian Data Spasial (Pemetaan)
Gambar 1: Diagram Alir Pembuatan Peta Zona Nilai Tanah
Prosiding
Page V-3
Forum Ilmiah Tahunan Ikatan Surveyor Indonesia Pekanbaru, 10-11 November 2010
1. Persiapan Pekerjaan persiapan ini sangat penting untuk diperhatikan karena sangat berpengaruh terhadap kelancaran pekerjaan di lapangan. Lingkup pekerjaan persiapan ini meliputi: a. Mempelajari spesifikasi kerja yang diterima; b. Melakukan tinjauan lapangan; c. Melakukan koordinasi dengan Tim Pelaksana pekerjaan untuk membuat rencana survei lapangan berdasarkan rencana kerja yang telah disusun; d. Melakukan koordinasi dengan aparat setempat sesuai dengan rencana survei lapangan. Di samping itu secara teknis dilakukan penyiapan: a. Penyiapan peta-peta tematik seperti tema penguasaan dan pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan serta citra satelit; b. Penyiapan rencana kerja lapangan, rencana ini memuat jadwal waktu kegiatan dan petugas yang terkait dalam penyelesaian survei; c. Penyiapan alat kerja lapangan, alat kerja lapangan yang digunakan antara lain GPS navigasi dan kamera; d. Penyiapan daftar isian dan peta kerja. Daftar isian pengumpulan data pasar tanah terdiri dari daftar isian pendataan obyek, pembanding, sample penilaian tanah. Penyiapan peta kerja (peta-peta dasar dan tematik) dimaksudkan untuk orientasi lokasi dan dipergunakan untuk membantu ploting titik-titik lokasi yang di survei atau letak bidang tanah sebagai sample. 2. Survei Batas Zona Nilai Tanah Kegiatan ini melakukan survei untuk membuat batas zona yang berisikan bidangbidang tanah yang mempunyai nilai tanah (highest and best use) yang mirip atau seragam. Selanjutnya menginventarisasi dan memetakan masing-masing zona nilai tanah tersebut di atas peta dasar, dengan sisi minimal 0,5 cm x 0,5 cm x skala peta. Yang dimaksud dengan suatu zona nilai tanah adalah suatu zona yang sebaran nilai tanahnya pada range kurang atau sama dengan 30%. 3. Survei Pengumpulan Data Harga Pasar a. Menentukan dan mencari titik-titik sample bidang tanah; b. Menentukan koordinat lokasi titik sample bidang tanah; c. Wawancara dengan sample responden, wawancara dengan responden dilakukan untuk memperoleh keterangan yang lebih mendetail terhadap data bidang tanah (tekstual dan spasial) serta informasi harga penawaran atau transaksi bidang tanah. 4. Penentuan Sample Sample yang dimaksud dalam pemetaan ZNT adalah bidang tanah yang terdaftar/tanah adat yang memberikan informasi harga transaksi atau penawaran bidang tanah tersebut pada kurun waktu 24 bulan terakhir untuk tanah non pertanian dan 48 bulan terakhir untuk tanah pertanian. Diupayakan harga transaksi atau penawaran yang dimaksud adalah harga jual-beli. Apabila tidak terdapat harga jual-beli dimaksud dapat digunakan land rent (harga sewa tanah). Sample dipilih dengan teknik purposive, yaitu berdasarkan pertimbanganpertimbangan dari karakteristik desa atau kelurahan, secara proporsional pada penggunaan tanah permukiman, komersial dan pertanian yang dalam pasar tanah direfleksikan dalam satu zona nilai tanah dengan jumlah minimal 3 (tiga) sample untuk setiap zona nilai tanah, sedangkan untuk zona diatas 10x10 cm, sampel minimal adalah 5 (lima). Untuk kelebihan setiap 10x10 cm jumlah sampel ditambah 2 (dua) demikian seterusnya setiap kelipatan 10x10 cm. Penilai dapat menentukan Prosiding
Page V-4
Forum Ilmiah Tahunan Ikatan Surveyor Indonesia Pekanbaru, 10-11 November 2010
jumlah sampel untuk setiap zona sehingga dapat dilakukan analisis perataan atau statistik. Sample yang dipilih diupayakan berupa bidang tanah kosong yang mengacu pada peta dasar yang digunakan sebagai peta kerja yang ada. Data tersebut harus apple to apple, diupayakan terdistribusi secara merata / mewakili di dalam zona dan harus sesuai dengan peruntukan/zoning. Responden adalah sumber data utama yang dapat memberikan gambaran dan keterangan yang dapat dipercaya tentang informasi harga transaksi atau harga penawaran baik untuk jual beli ataupun sewa bidang tanah. 5. Pengolahan Data Tekstual/Numeris a. Perhitungan land rent Dalam hal tidak tersedia data harga transaksi/penawaran jual beli dapat digunakan harga transaksi ataupun penawaran sewa bidang tanah. Perhitungannya menggunakan metode Direct Capitalization (kapitalisasi langsung, metode ini merupakan salah satu cara dalam menentukan nilai dengan pendekatan pendapatan. dengan rumus; nilai tanah adalah : NT
I R
I : Net Operating Income (NOI) / pandapatan bersih tahunan sebagai contoh harga sewa tanah dikurangi pengeluaran / biaya-biaya lain R : tingkat kapitalisasi pasar tanah/property (R); Penilai wajib menetapkan besarnya tingkat kapitalisasi pasar (R) dengan perbandingan data pasar terhadap harga sewa atau pendapatan dengan harga tanah di daerah tersebut. b. Perhitungan land extraction Untuk sample tanah yang terdapat bangunan/benda diatasnya, maka nilai bangunan harus dikeluarkan/dikurangkan untuk mendapatkan nilai tanah. Nilai Bangunan diperoleh dengan cara mengurangkan Biaya Reproduksi Baru dengan besarnya penyusutan Biaya Reproduksi Baru (BRB) atau Replacement Cost New (RCN) dihitung dengan menggunakan DKPB (daftar komponen penilaian bangunan) tahun berjalan yang dikeluarkan oleh Departemen Keuangan atau Dinas yang berkompeten melakukan penilaian nilai pasar bangunan setempat. Jika tidak dimungkinkan, penilai dapat melakukan survei ke perusahaan yang bergerak di bidang konstruksi bangunan sejenis untuk memperoleh biaya reproduksi baru (RCN) atau sumber lainnya. “Biaya Reproduksi Baru” didefinisikan sebagai jumlah uang yang dikeluarkan untuk reproduksi/pengganti properti baru yang dihitung berdasarkan harga pasaran setempat sekarang/pada tanggal penilaiannya untuk bahan/material atau unit, biaya jasa kontraktor/arsitek/konsultan teknik termasuk keuntungan, biaya instalasi, biaya supervisi, biaya tenaga ahli teknik termasuk semua pengeluaran standar yang berkaitan dengan angkutan, asuransi, pondasi, bea masuk, Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Pajak Penghasilan Impor (PPh Impor), dan biaya bunga selama masa konstruksi, tetapi tidak termasuk biaya upah lembur dan premi/bonus. (Standar Penilaian Indonesia 2007- Glossary). c. Penyesuaian (adjustment) Data nilai tanah per meter persegi yang diperoleh dari hasil survei (termasuk dengan cara land rent dan land extraction) selanjutnya ditetapkan besarnya persentase penyesuaian/adjustment untuk mendapatkan nilai bidang tanah meliputi namun tidak terbatas pada; Jenis data dengan mengacu pada jenis data harga transaksi Status hak dengan mengacu pada status kepemilikan Hak Milik Prosiding
Page V-5
Forum Ilmiah Tahunan Ikatan Surveyor Indonesia Pekanbaru, 10-11 November 2010
Waktu transaksi dengan mengacu pada saat penilaian Penyesuaian lain yang dianggap perlu. Besarnya penyesuaian diperoleh dengan prinsip kehati-hatian yang cukup dengan mengacu pada kriteria dan data pasar d. Penghitungan Nilai Zona melakukan perataan terhadap data nilai yang diperoleh dari hasil penyesuaian pada suatu zona sesuai dengan jumlah datanya menghitung standar deviasi, wajib diperoleh dari hasil rata-rata nilai kurang dari atau sama dengan 30% setiap zonanya 6. Penyajian data spasial Zona Nilai Tanah a. Plotting sample Memetakan seluruh sample bidang tanah diatas peta pendaftaran digital pada layer nilai tanah. Jika tidak tersedia, pemetaan dapat dilakukan pada citra satelit dengan resolusi per pixel sekurang-kurangnya 3 m. Memberikan nilai tanah per meter persegi hasil pengolahan data pada setiap titik sample b. Analisis Nilai Pasar Tanah pada setiap Zona Nilai Tanah (ZNT) Penilai wajib melakukan analisis perataan maupun statistik untuk memperoleh nilai pasar tanah dari masing-masing zona Penilai wajib memutuskan apakah data harga pasar yang ada telah memenuhi standar dalam perataan/statistik Penilai dapat memutuskan apakah data harga pasar yang ada cukup untuk membuat zona nilai tanah baru c. Editing Zona Nilai Tanah Jika diperlukan, Penilai dapat melakukan editing terhadap batas zona nilai tanah ataupun membuat zona nilai tanah baru berdasarkan data-data harga pasar tanah dan analisis perataan/statistik d. Digital Cartography Digital cartography dilakukan dengan memberikan warna untuk setiap klasifikasi Zona Nilai Tanah Pembuatan lay out dan informasi tepi peta menggunakan standarisasi yang ditetapkan V.
GAMBARAN UMUM WILAYAH
Secara geografi, kabupaten Pegunungan Bintang terletak pada 140º 05’ 00” 141º 00’ 00” Bujur Timur dan 3º 04’ 00” - 5º 20’ 00” Lintang Selatan. Di bagian Barat dan Tengah merupakan wilayah bergunung yang mempunyai ketinggian ± 2.000 s.d. ± 3.000 meter dari permukaan laut, sedangkan dibagian selatan dan utara relatif dataran rendah. Secara administrasi batas-batas kabupaten tersebut sebagai berikut; sebelah Utara : Kabupaten Keerom sebelah Selatan : Kabupaten Boven Digoel sebelah Barat : Kabupaten Yahukimo sebelah Timur : Negara Papua Nugini dan terbagi ke dalam 12 distrik dan 22 tambahan distrik meliputi 275desa/kampung.
Prosiding
Page V-6
Forum Ilmiah Tahunan Ikatan Surveyor Indonesia Pekanbaru, 10-11 November 2010
Gambar 2: Kondisi geografi
Kabupaten Pegunungan Bintang memiliki luas 15.683 km² atau 1,63% dari luas Provinsi Papua. Oksibil adalah sebuah distrik yang juga merupakan pusat pemerintahan (ibu kota) Kabupaten Pegunungan Bintang, Papua, Indonesia. Distrik itu merupakan satu kesatuan wilayah yang secara administratif setingkat dengan sebuah kecamatan. Daerah ini terletak di ketinggian sekitar 1300 m dpl. Kendati listrik di daerah ini masih disubsidi oleh pemerintah, akan tetapi belum semua pemukiman penduduk mendapatkan pelayanan listrik ini, bahkan listrik di kawasan oksibil hanya hidup pada saat malam hari saja hingga sekitar jam 09.00 saja, bahkan di beberapa pusat pemukiman, listrik sudah tidak teralirkan pada jam 22.30. Untuk mencapai kawasan ini, terlebih dahulu dilakukan perjalanan menuju Bandara Sentani di Jayapura, selanjutkan diteruskan dengan menggunakan pesawat berkapasitas maksimal 20 orang dengan waktu tempuh lebih kurang 1 jam dari Bandara Sentani. Jumlah penduduk Kabupaten Pegunungan Bintang pada tahun 2008 sebesar 98.109 jiwa dengan kepadatan 6,3 jiwa per km², yang tersebar di 12 distrik dan 22 tambahan distrik. Untuk distrik Oksibil jumlah penduduk 2300 jiwa dengan kepadatan 5,8 jiwa per km² (BPS Pegunungan Bintang: 2009). Kabupaten Pegunungan Bintang merupakan bagian dari zona tropis lembab. Umumnya iklim cenderung panas, basah (Iembab) dengan curah hujan yang bervariasi antara tempat yang satu dengan tempat yang lainnya. Curah hujan di Kabupaten Pegunungan Bintang pada umumnya antara 2.000 - 3.000 mm/th. Suhu udara merupakan salah satu komponen pembentuk iklim. Suhu udara minimum di Kabupaten Pegunungan Bintang adalah ± 19,2ºC dan suhu maksimum adalah 31,9°C. Salah satu ciri daerah tropis adalah tingginya kelembaban udara. Kelembaban udara di Kabupaten Pegunungan Bintang cukup tinggi, terutama disebabkan karena angin yang bertiup berasal dari pegunungan. Pada umumnya seluruh aktivitas pemerintahan, ekonomi dan pelayanan kepada masyarakat di Kabupaten Pegunungan Bintang sangat bergantung pada transportasi udara, sementara kondisi lapangan terbang yang ada belum memadai untuk melayani kebutuhan masyarakat yang pada umumnya hanya dapat didarati pesawat kecil jenis cessna, pilatus, twin otter dan cassa.
Prosiding
Page V-7
Forum Ilmiah Tahunan Ikatan Surveyor Indonesia Pekanbaru, 10-11 November 2010
Gambar 3: Transportasi
VI. STUDI KASUS DAN HASIL Penilaian Zona Nilai Tanah di Kota Oksibil, Kabupaten Pegunungan Bintang, Provinsi Papua dilaksanakan dengan tahapan sebagai berikut: 1. Persiapan Pekerjaan persiapan ini meliputi; a. Mempelajari spesifikasi kerja yang diterima; b. Melakukan tinjauan lapangan; c. Melakukan koordinasi dengan Tim Pelaksana pekerjaan untuk membuat rencana survei lapangan berdasarkan rencana kerja yang telah disusun; d. Melakukan koordinasi dengan aparat setempat sesuai dengan rencana survei lapangan; e. Menyiapkan peta-peta tematik seperti tema penguasaan dan pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan serta citra satelit; f. Menyiapkan rencana kerja lapangan, yang memuat jadwal waktu kegiatan dan petugas yang terkait dalam penyelesaian survei; g. Menyiapkan alat kerja lapangan, antara lain: GPS navigasi dan kamera; h. Menyiapkan daftar isian dan peta kerja. Penyiapan peta kerja (peta-peta dasar dan tematik) dimaksudkan untuk orientasi lokasi dan dipergunakan untuk membantu ploting titik-titik lokasi yang di survei atau letak bidang tanah sebagai sample. 2. Survei Batas Zona Nilai Tanah Kegiatan ini melakukan survei untuk membuat batas zona yang berisikan bidangbidang tanah yang mempunyai nilai tanah (highest and best use) yang mirip atau seragam diseluruh wilayah kerja yaitu di Oksibil. Pada kegiatan ini, dasar penentuan batas zona awal digunakan Peta Tutupan Lahan, hasil dari Kegiatan Survey dan Pemetaan Peta Dasar dan Peta Tematik Pertanahan Dalam Rangka Survey dan Pemetaan Batas Wilayah Distrik dan Kampung yang dilaksanakan oleh Pemerintah Kabupaten Pegunungan Bintang bekerjasama dengan BPN-RI pada tahun 2008. Selain itu, digunakan pula kearifan lokal hasil dari wawancara dengan penduduk setempat. Untuk lebih jelas mengenai gambaran zona awal atau zona yang diperkirakan memiliki harga yang sama dapat dilihat pada gambar berikut.
Prosiding
Page V-8
Forum Ilmiah Tahunan Ikatan Surveyor Indonesia Pekanbaru, 10-11 November 2010
Gambar 4: Peta Zona Awal
3. Survei Pengumpulan Data Harga Pasar a. Menentukan dan mencari titik-titik sample bidang tanah b. Menentukan koordinat lokasi titik sample bidang tanah c. Melakukan wawancara dengan sample responden yaitu yang menguasai tanah yang berniat menjual/menyewakan tanahnya, tetua adat, dan aparat yang diyakini sebagai sumber terpercaya informasi harga pasar dengan menggunakan Formulir Isian. Proses pengumpulan data di Kota Oksibil mengalami beberapa kesulitan mengingat data yang dianjurkan adalah data transaksi atau penawaran jual beli sementara data yang seperti ini sulit di peroleh di wilayah survei. Untuk mensiati kondisi ini, surveyor mengambil data harga sewa yang banyak terdapat di Kota Oksibil, dengan menggunakan pendekatan kapitalisasi pendapatan maka dapat ditemukan nilai tanahnya. Setelah dilakukan survei pengumpulan data harga pasar tanah, didapatkan hasil penyebaran sampelnya sebagai berikut:
Prosiding
Page V-9
Forum Ilmiah Tahunan Ikatan Surveyor Indonesia Pekanbaru, 10-11 November 2010
Gambar 5: Peta Penyebaran Sampel
4. Pengolahan Data Tekstual/Numeris Hasil pengumpulan data didapatkan bahwa dari 27 sampel yang ada, hamper semuanya mendapatkan data sewa, sehingga untuk pengolahannya diperlukan penentuan nilai discount rate. Perhitungan land rent untuk data sampel transaksi penawaran, diperoleh nilai discout rate sebesar 15%. Angka tersebut diperoleh dari perhitungan sebagai berikut: Discount rate = risk free rate + risk premium Diketahui : Risk free rate Risk free rate = Suku bunga SBI Untuk short term suku bunga SBI saat ini = 6.5% Suku bunga bank (Kondisi riil/kondisi pasar saat ini dari perbankan fix 1 hingga 2 thn) kisaran 8-9%. Untuk long term suku bunga SBI = 9-11%.
Prosiding
Page V-10
Forum Ilmiah Tahunan Ikatan Surveyor Indonesia Pekanbaru, 10-11 November 2010
Suku bunga bank (Kondisi riil/kondisi pasar saat ini dari perbankan fix long term) kisaran14-15%. (Sumber : website Bank Indonesia) Karena perhitungan yang dibuat dalam kurun waktu 1 tahun, maka menggunakan short term, yaitu risk free rate = 9% Risk premium Risk premium /Premi resiko (pasaran di Indonesia) berkisar 4% - 6%. Dalam hal ini Risk premium/premi resiko diambil yg maksimal yakni 6%. Jadi : capt rate / discount rate = risk free rate + risk premium = 9% + 6% = 15% Sedangkan property yang terdapat bangunan di atasnya digunakan perhitungan land extraction, maka nilai bangunan harus dikeluarkan/dikurangkan untuk mendapatkan nilai tanah masing-masing sampel. Untuk lebih jelas bagaimana mendapatkan nilai bangunan yang berasal dari harga sewa property dibagi dengan discount rate dapat dilihat pada tabel di bawah ini. Tabel 1 Perhitungan Harga Bangunan NO
No Sampel
1
1
2
Luas Bangunan
Tahun dinilai
Per Meter
Harga Sekarang
Tahun
72
2010
3.650.000
262.800.000
2010
2
72
2010
3.650.000
262.800.000
2010
3
4
225
2010
1.600.000
360.000.000
4
8
70
2010
5.150.000
360.500.000
5
9
42
2010
5.790.000
6
10
100
2010
7
11
96
8
12
56
9
15
10
Kondisi
Umur Efetif
% Penyusutan
-
0%
262.800.000
Harga Bangunan
-
0%
262.800.000
2009
baik sekali baik sekali jelek
1
35%
234.000.000
2002
baik
8
27%
263.165.000
243.180.000
2009
baik
1
5%
231.021.000
2.615.000
261.500.000
2007
baik
3
13%
227.505.000
2010
3.200.000
307.200.000
2006
baik
4
15%
261.120.000
2010
3.515.000
196.840.000
2010
baik
-
0%
196.840.000
80
2010
3.765.000
301.200.000
2007
baik
3
13%
262.044.000
19
30
2010
5.050.000
151.500.000
2007
baik
3
13%
131.805.000
11
20
32
2010
5.425.000
173.600.000
2009
baik
1
5%
164.920.000
12
21
32
2010
5.425.000
173.600.000
2009
baik
1
5%
164.920.000
13
25
25
2010
4.685.000
117.125.000
2003
jelek
7
34%
77.302.500
14
27
24
2010
2.250.000
54.000.000
2008
jelek
2
12%
47.520.000
15
28
21
2010
2.800.000
58.800.000
1992
baik
18
34%
38.808.000
16
29
21
2010
3.360.000
70.560.000
1992
baik
18
34%
46.569.600
17
30
21
2010
3.360.000
70.560.000
1992
baik
18
34%
46.569.600
18
31
21
2010
1.650.000
34.650.000
1992
baik
18
34%
22.869.000
19
34
18
2010
5.375.000
96.750.000
1991
baik
19
32%
65.790.000
20
35
21
2010
5.525.000
116.025.000
1992
baik
18
32%
78.897.000
21
36
13
2010
2.825.000
35.312.500
1992
baik
18
34%
23.306.250
22
37
30
2010
3.950.000
118.500.000
1992
baik
18
34%
78.210.000
23
38
32
2010
1.050.000
33.075.000
1992
baik
18
34%
21.829.500
24
39
48
2010
900.000
43.200.000
2008
jelek
2
12%
38.016.000
25
40
36
2010
2.225.000
80.100.000
1980
sedang
30
52%
38.448.000
26
41
48
2010
2.825.000
135.600.000
2007
baik
3
13%
117.972.000
Prosiding
Page V-11
Forum Ilmiah Tahunan Ikatan Surveyor Indonesia Pekanbaru, 10-11 November 2010
Setelah mendapatkan nilai bangunan dari masing-masing sample, dilakukan perhitungan nilai tanah. Nilai tanah inilah yang nantinya akan dimasukkan ke dalam pengolahan data spasial. Perhitungan nilai tanah ini dapat dilihat pada tabel 2.
Prosiding
Page V-12
Forum Ilmiah Tahunan Ikatan Surveyor Indonesia Pekanbaru, 10-11 November 2010 Tabel 2 Perhitungan Nilai Tanah NO
No. Obyek
1
1
2
2
3
4
4
8
5
9
6
10
7
11
8
12
Alamat
Luas (m2)
Income (Sewa per thn)
Diskon Rate
Keterangan
Jenis Zona 1= Residential 2= Agriculture
53.704
Ruko
1
53.704
Ruko
1
0
26.667
Rumah
1
0
0
50.024
Ruko
1
55.056
0
0
55.056
Ruko
1
5.828.333
58.283
0
0
58.283
Ruko
1
261.120.000
5.546.667
57.778
0
0
57.778
Ruko
1
200.000.000
196.840.000
3.160.000
56.429
0
0
56.429
Ruko
1
Harga Tanah
Nilai Tanah / M²
Harga Penawaran / Transaksi
Harga Penyesuaian Penawaran
X
Y
Jl. Iwur
325627
956006
72
40.000.000
15%
266.666.667
262.800.000
3.866.667
53.704
0
0
Jl. Iwur
325622
956057
72
40.000.000
15%
266.666.667
262.800.000
3.866.667
53.704
0
0
Jl. SMK
322711
958245
225
36.000.000
15%
240.000.000
234.000.000
6.000.000
26.667
0
325224
957913
70
40.000.000
15%
266.666.667
263.165.000
3.501.667
50.024
325376
957965
42
35.000.000
15%
233.333.333
231.021.000
2.312.333
325536
957828
100
35.000.000
15%
233.333.333
227.505.000
325559
957815
96
40.000.000
15%
266.666.667
325554
957818
56
30.000.000
15%
Jl. Mabilabol Kampung Kabiding Jl. Mabilabol Kampung Kabiding Jl. Mabilabol Kampung Kabiding Jl. Mabilabol Kampung Kabiding Jl. Mabilabol Kampung Kabiding Jl. Mabilabol Kampung Kabiding
Nilai Properti
Harga Bangunan
Nilai per Meter
9
15
325650
957594
80
40.000.000
15%
266.666.667
262.044.000
4.622.667
57.783
0
0
57.783
Ruko
1
10
19
Jl. Mabilabol
325715
957656
30
20.000.000
15%
133.333.333
131.805.000
1.528.333
50.944
0
0
50.944
Ruko
1
11
20
Jl. Mabilabol
325706
957654
32
25.000.000
15%
166.666.667
164.920.000
1.746.667
54.583
0
0
54.583
Ruko
1
12
21
Jl. Mabilabol
325708
957651
32
25.000.000
15%
166.666.667
164.920.000
1.746.667
54.583
0
0
54.583
Ruko
1
13
25
Jl. Yabimakot Seram
319336
959890
50
12.000.000
15%
80.000.000
77.302.500
2.697.500
53.950
0
0
53.950
Toko
1
320705
958701
2.50 0
1.500.000
15%
10.000.000
10.000.000
4.000
0
0
4.000
Tanah kosong
1
320182
958930
48
7.500.000
15%
50.000.000
47.520.000
2.480.000
51.667
0
0
51.667
Toko
1
Jl. Oksibil Yabimakot Jl. Oksibil Yabimakot
14
26
15
27
16
28
Jl. Aldom
326051
957437
42
6.000.000
15%
40.000.000
38.808.000
1.192.000
28.381
0
0
28.381
Rumah
1
17
29
Jl. Aldom
326004
957445
42
7.200.000
15%
48.000.000
46.569.600
1.430.400
34.057
0
0
34.057
Rumah
1
18
30
Jl. Aldom
326081
957464
42
7.200.000
15%
48.000.000
46.569.600
1.430.400
34.057
0
0
34.057
Rumah
1
19
31
Jl. Balisu
325909
957682
42
3.600.000
15%
24.000.000
22.869.000
1.131.000
26.929
0
0
26.929
Rumah
1
20
34
Jl. Pekate
325707
957313
36
10.000.000
15%
66.666.667
65.790.000
876.667
24.352
0
0
24.352
Rumah
1
21
35
Jl. Pekate
326016
957226
42
12.000.000
15%
80.000.000
78.897.000
1.103.000
26.262
0
0
26.262
Rumah
1
22
36
Jl. Pekate
326118
957200
25
3.600.000
15%
24.000.000
23.306.250
693.750
27.750
0
0
27.750
Rumah
1
23
37
Jl. Pekate
326128
957197
60
12.000.000
15%
80.000.000
78.210.000
1.790.000
29.833
0
0
29.833
Rumah
1
24
38
Jl. Pekate
326172
957126
63
3.600.000
15%
24.000.000
21.829.500
2.170.500
34.452
0
0
34.452
Rumah
1
Prosiding
Page V-13
Forum Ilmiah Tahunan Ikatan Surveyor Indonesia Pekanbaru, 10-11 November 2010 25
39
Jl. Kabiding
324958
958046
48
6.000.000
15%
40.000.000
38.016.000
1.984.000
41.333
0
0
41.333
Rumah
1
26
40
Jl. Kabiding
324506
958215
36
6.000.000
15%
40.000.000
38.448.000
1.552.000
43.111
0
0
43.111
Rumah
1
27
41
Jl. Kabiding
324594
958146
48
18.000.000
15%
120.000.000
117.972.000
2.028.000
42.250
0
0
42.250
Rumah
1
Prosiding
Page V-14
Forum Ilmiah Tahunan Ikatan Surveyor Indonesia Pekanbaru, 10-11 November 2010
5. Penghitungan Nilai Zona Hasil nilai tanah dari pengolahan data dengan teknik land rent dan land extraction dilakukan perataan terhadap data nilai yang diperoleh dari hasil penyesuaian pada suatu zona sesuai dengan jumlah datanya, selanjutnya dilakukan perhitungan standar deviasi, dengan hasil rata-rata nilai kurang dari atau sama dengan 30% setiap zonanya. Gambar Peta Standar Deviasi dapat dilihat pada gambar 6.
Gambar 6: Peta Presentase Standar Deviasi
6. Penyajian data spasial Zona Nilai Tanah Hasil perhitungan nilai tanah masing-masing sampel tersebut, selanjutnya dipetakan di atas peta bidang digital dan citra satelit, sekaligus memberikan nilai tanah per meter persegi setiap titik sample dan nilai tanah per meter persegi pada setiap zona serta memberikan warna untuk setiap klasifikasi Zona Nilai Tanah. Hasil penilaian zona nilai tanah (ZNT) di wilayah Oksibil, Kabupaten Pegunungan Bintang berupa peta zona nilai tanah (ZNT) memberikan informasi sebagai berikut: 1. Luas Wilayah Survei adalah 5.000 Ha, dengan luas wilayah yang dilakukan penilaian zona nilai tanah adalah 1111 Ha, sedangkan sisanya adalah hutan sehingga dibutuhkan pendekatan lain untuk menilainya; 2. Jumlah sampel bidang tanah yang dapat dianalisis sebanyak 27, yang tersebar pada 14 zona; 3. Standart defiasi setiap zona pada rentang 0% sampai dengan 20% ; 4. Terbagi menjadi 4 klasifikasi interval zona nilai tanah per m² dengan tanggal penilaian 28 Mei 2010, yaitu ; a. lebih kecil dari Rp. 10.000 per m² Prosiding
Page V-15
Forum Ilmiah Tahunan Ikatan Surveyor Indonesia Pekanbaru, 10-11 November 2010
b. c. d. e. f.
Rp. 10.000 per m² sampai dengan Rp. 30.000 per m² Rp. 30.000 per m² sampai dengan Rp. 50.000 per m² lebih dari Rp. 50.000 per m². Nilai zona terendah Rp. 4.000 per m² Nilai zona tertinggi Rp. 55.000 per m²
Prosiding
Page V-16
Forum Ilmiah Tahunan Ikatan Surveyor Indonesia Pekanbaru, 10-11 November 2010
Gambar 7: Peta Zona Nilai Tanah
5. Terdapat beberapa zona yang tidak memiliki hasil karena pada zona tersebut tidak ditemukan sampel bidang tanah. Untuk itu pada zona-zona seperti ini digunakan benefit transfer method, yaitu memindahkan nilai zona dari zona lain yang memiliki nilai dengan pertimbangan karakteristik yang seragam.
Untuk lebih jelas mengenai hasil penilaian masing-masing zona dapat dilihat pada tabel berikut. Tabel 3: Hasil Perhitungan Spasial Masing-Masing Zona NOZONE
COUNT
1
1
4000,00
4000,00
4000,00
0,00
0,00
Rp. 4000
13,086
2
9
29563,67
34452,00
24352,00
3775,59
12,77
Rp. 29.000
64,020
3
1
4000,00
4000,00
4000,00
0,00
0,00
Rp. 4000
31,465
4
1
4000,00
4000,00
4000,00
0,00
0,00
Rp. 4000
116,906
5
2
53704,00
53704,00
53704,00
0,00
0,00
Rp. 53.000
180,453
6
1
53000,00
53000,00
53000,00
0,00
0,00
Rp. 53.000
26,415
7
1
26667,00
26667,00
26667,00
0,00
0,00
Rp. 26.000
57,712
8
3
42231,33
43111,00
41333,00
889,15
2,11
Rp. 42.000
58,731
9
1
4000,00
4000,00
4000,00
0,00
0,00
Rp. 4000
48,889
10
2
52808,50
53950,00
51667,00
1614,32
3,06
Rp. 52.000
62,276
Prosiding
MEAN
MAX
MIN
STDDEV
PSTDDEV
RPBULAT
AREA (Ha)
Page V-17
Forum Ilmiah Tahunan Ikatan Surveyor Indonesia Pekanbaru, 10-11 November 2010 11
1
4000,00
4000,00
4000,00
0,00
0,00
Rp. 4000
50,450
12
3
4000,00
4000,00
4000,00
0,00
0,00
Rp. 4000
66,207
13
4
4000,00
4000,00
4000,00
0,00
0,00
Rp. 4000
218,311
14
11
55042,09
58283,00
50024,00
2642,45
4,80
Rp. 55.000
115,533
VII. KESIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan hasil studi kasus di atas maka dapat disimpulkan bahwa zona nilai tanah di daerah Kabupaten Pegunungan Bintang di Kota Oksibil seluas 5.000 Ha diidentifikasi ada 14 zona nilai tanah dengan nilai terendah Rp. 4.000,-per m2 dan tertinggi Rp. 55.000,- per m2, nilai zona termahal terdapat di daerah komersil/pertokoan dan pemerintahan sedangkan nilai zona terendah terendah terdapat di sekitar pemukiman masyarakat. sedangkan saran yang dikemukakan untuk kelengkapan studi ini adalah diperlukan penilaian secara menyeluruh di wilayah Kabupaten Pegunungan Bintang, sehingga dapat memberikan informasi lengkap tentang potensi dan perkembangan kabupaten tersebut.
Prosiding
Page V-18
Forum Ilmiah Tahunan Ikatan Surveyor Indonesia Pekanbaru, 10-11 November 2010
DAFTAR PUSTAKA Agus Prawoto, 2003,Teori dan Praktek Penilaian Properti, Yogyakarta: FEUGM Austin Jafe, Sirmans CF. 1995, Fundamentals of Real Estate Investment, New Jersey: Prentice Hall Englewood Cliffs. BPS, 2009, Kabupaten Pegunungan Bintang Dalam Angka, Pegunungan Bintang: Bappeda. Carl Gunter. 1995, Real Estate Fundamentals, NSW : Bricar Publishing. Direktorat Survei Potensi Tanah, 2009, Pedoman Internal Kegiatan (PIK) Survei dan Pemetaan Nilai Tanah dan Kawasan pada Direktorat Survei Potensi Tanah. Jakarta GAPPI, 1999, Penilaian Real Estate terjemahan dari The Appraisal of Real Estate (elevent edition) The Appraisal Institue, Chicago. Harold B. Dunkerley, 1983, Urban Land Policy, Issues & Oppotunies, NW: Oxford University Press. Iwan Hindawan Dadi dkk. 2007, Metododologi Penilaian Properti. Jakarta: DJKN. Departemen Keuangan. James H Boykin and Alfred d Ring, 1993, The Valuation of Real Estate, Fourth Edition, New Jersey: Prentice hall, Englewood cliffs. Joseph K. Eckert, 1990, Property Appraisal and Assessment Administration, Chicago: IAAO. Machfud Sidik, 2000, Model Penilaian Properti Berbagai Penggunaan Tanah di Indonesia, Jakarta : Yayasan Bina Umat Sejahtera. MAPPI, 2007, Standart Penilaian Indonesia, Jakarta. R.O. Rost and H.G. Collins, 1984, Land Valuation and Compensation in Australia, Australia Institute of Values and Land Administrator (incorporated). Stephen F. Fanning et all, 1980, Market Analysis for Valuation Appraisals, Chicago : Appraisals Institute Wahyu Hidayati, Budi Harjanto. 2003. Konsep Dasar Penilaian Properti. Yogyakarta: BPFE UGM.
Prosiding
Page V-19
Forum Ilmiah Tahunan Ikatan Surveyor Indonesia Pekanbaru, 10-11 November 2010
Pengembangan Sistem Basis Data Batas Laut Daerah Eka Djunarsjah, Irfan Khosirun, Riki Oktapiana, Angga Trysa Yuherdha Kelompok Keilmuan Sains dan Rekayasa Hidrografi Program Studi Teknik Geodesi dan Geomatika FITB – ITB 2010
Abstrak Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki luas laut lebih dari 70 persen luas wilayahnya. Berdasarkan Undang-Undang No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Otonomi Daerah), daerah (provinsi dan kabupaten/kota) yang memiliki wilayah laut berwenang mengelola sumber daya di wilayah lautnya masing-masing. Wewenang pengelolaan ini berpotensi menimbulkan konflik apabila implementasinya tidak berjalan dengan baik. Terutama pada wilayah laut daerah yang bersebelahan atau berseberangan dengan wilayah laut daerah lain. Untuk menghindari konflik tersebut, perlu adanya sistem yang dapat mengintegrasikan batas laut masing-masing daerah. Mulai dari tingkat kabupaten/kota, provinsi, hingga nasional. Teknologi Sistem Informasi Geografis (SIG) dapat menjadi salah satu solusi untuk membantu dalam pengelolaan batas laut daerah maupun pengelolaan sumber daya di wilayah laut. Namun, sebelum mengembangkan SIG, hal penting yang harus dipertimbangkan adalah bagaimana desain basis data batas laut daerah yang memungkinkan mengatasi permasalahan tersebut. Perancangan model basis data batas laut daerah yang dibangun mengacu pada hukum-hukum batas laut yang berlaku di Indonesia, yaitu Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 dan Permendagri No. 1 tahun 2006. Kemudian, dikaitkan pula dengan UNCLOS 1982 yang telah diratifikasi oleh Indonesia. Pada penelitian ini, sistem basis data batas laut daerah yang dibangun mengacu pada model basis data relasional. Selanjutnya, implementasi basis data menggunakan perangkat Data Base Management System (DMBS) PostgresSQL karena perangkat pengelolaan basis data tersebut memungkinkan untuk mengintegrasikan data spasial dan data atribut dalam satu perangkat. Kata Kunci: basis data, batas laut daerah, dan sistem informasi geografis.
1. Pendahuluan Indonesia merupakan negara kepulauan dan memiliki luas laut lebih dari 70 persen luas seluruh wilayahnya. Saat ini wilayah Indonesia terdiri dari 33 provinsi dan beberapa diantaranya merupakan daerah yang memiliki wilayah laut. Bahkan, ada provinsi yang sebagian besar wilayahnya terdiri dari lautan dan menjadi provinsi kepulauan. Diantaranya
Prosiding
Page W-1
Forum Ilmiah Tahunan Ikatan Surveyor Indonesia Pekanbaru, 10-11 November 2010
provinsi kepulauan tersebut ialah Maluku, Bangka Belitung, Kepulauan Riau, Maluku Utara, Sulawesi Utara, Nusa Tenggara Timur, dan Nusa Tenggara Barat. Berdasarkan Undang-Undang No. 32 tahun 2004, tentang Pemerintahan Daerah (Otonomi Daerah), daerah—mencakup provinsi dan kabupaten/kota—memiliki wilayah laut sendiri dan berwenang mengelola sumber daya di wilayah laut (Pasal 18 Ayat 1). Ketentuan ini sangat berdampak terutama pada provinsi yang memiliki wilayah laut dalam mengelola sumber daya lautnya. Oleh karena itu, masing-masing daerah kini dituntut menetapkan batas laut daerahnya masing-masing sebagai dasar untuk menetapkan wilayah wewenang pengelolaan sumber daya laut. Salah satu permasalahan yang perlu mendapat perhatian serius yakni potensi konflik batas wilayah laut yang dapat terjadi. Sebab, batas laut daerah terkait langsung pada wewenang pengelolaan hasil laut oleh daerah. Sementara itu, batas laut daerah tidak dapat dilihat secara fisik di lapangan, melainkan hanya terdefinisikan pada tampilan peta. Dengan demikian, kepastian batas laut merupakan salah satu isu sensitif yang harus dapat diantisipasi sejak dini. Untuk meminimalkan potensi konflik pengelolaan sumber daya laut daerah, perlu adanya suatu sistem yang dapat mengintegrasikan batas laut seluruh daerah di Indonesia. Mulai dari tingkat kabupaten/kota, provinsi, hingga tingkat nasional. Hal ini dapat dilakukan dengan membangun sistem basis data batas laut daerah dan kemudian diimplementasikan menggunakan teknologi Sistem Informasi Geografis (SIG) batas laut daerah. Sehingga, manajemen batas laut nasional dapat dilakukan, yaitu dengan cara mengintegrasikan seluruh data batas laut daerah dalam satu sistem. Pada akhirnya, sistem manajemen batas laut nasional ini mampu mengidentifikasi potensi konflik batas laut daerah. Misalnya akibat pertampalan batas laut antara daerah yang bersebelahan maupun berseberangan.
2. Batas Laut Daerah Dalam ruang lingkup kewenangan laut daerah, dasar hukum yang melandasinya adalah Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Hal ini diatur pada Bab III tentang Pembagian Urusan Pemerintahan, pasal 18, yang menyebutkan bahwa daerah yang memiliki wilayah laut diberikan kewenangan untuk
mengelola sumber daya laut
daerahnya. Pemerintah Daerah mendapatkan bagi hasil atas pengelolaan sumber laut sesuai dengan peraturan perundang-undangan tersebut.
Prosiding
Page W-2
Forum Ilmiah Tahunan Ikatan Surveyor Indonesia Pekanbaru, 10-11 November 2010
Kewenangan daerah untuk mengelola sumber daya wilayah laut, meliputi: 1. Eksplorasi, eksploitasi, konservasi, dan pengelolaan kekayaan laut; 2. Pengaturan administratif; 3. Pengaturan tata ruang; 4. Penegakan hukum terhadap peraturan yang dikeluarkan oleh daerah atau yang dilimpahkan kewenangannya oleh pemerintah; 5. Ikut serta dalam pemeliharaan keamanan; dan 6. Ikut serta dalam pertahanan kedaulatan negara. Kewenangan daerah untuk mengelola sumber daya tersebut, ditentukan sebagai berikut:
Provinsi paling jauh 12 (dua belas) mil laut, diukur dari arah garis pantai ke arah laut lepas dan atau ke arah perairan kepulauan.
Kabupaten/kota paling jauh 1/3 (satu per tiga) dari wilayah kewenangan provinsi.
Apabila wilayah laut antara 2 (dua) provinsi kurang dari 24 (dua puluh empat) mil laut, maka kewenangan untuk mengelola sumber daya di wilayah laut tersebut ditentukan dengan prinsip sama jarak atau sesuai prinsip garis tengah dari wilayah antar 2 (dua) provinsi tersebut.
Garis pantai yang digunakan untuk menentukan lebar kewenangan laut daerah adalah garis air rendah atau surut (low water line) yang ditentukan saat pengukuran di lapangan. Hal ini pun ditegaskan dalam penjelasan Pasal 18 ayat (4) Undang-Undang No.32 tahun 2004. Dijelaskan bahwa garis pantai adalah perpotongan garis air rendah dengan daratan. (Ilustrasinya dapat dilihat pada gambar 2.1 berikut).
Prosiding
Page W-3
Forum Ilmiah Tahunan Ikatan Surveyor Indonesia Pekanbaru, 10-11 November 2010 Garis Pantai Pada Peta Laut
Garis Pantai pada UU no 32/2004
Garis Pantai Pada Peta Topografi Garis Air Tinggi
Garis Air Rata-Rata
Garis Air Rendah
Titik Awal pada UU No32/2004
Gambar 2.1 Titik Awal dan Garis Pantai sebagai acuan penarikan garis dasar Garis air rendah tersebut berimpit Garis dasar normal, yang merupakan salah satu garis dasar yang digunakan untuk menentukan zona-zona laut, yang salah satunya adalah batas laut daerah.
3. Konsep Basis Data Basis data adalah objek yang lebih kompleks; koleksi simpanan data yang saling berhubungan untuk melayani kebutuhan banyak pengguna dalam satu atau banyak organisasi, koleksi yang saling berhubungan dari berbagai tabel yang berbeda tipe [Teorey, Toby J.,2006]. Pemanfaatan basis data bertujuan untuk memenuhi aspek-aspek dibawah ini:
Kecepatan dan Kemudahan (Speed)
Efisiensi Ruang Penyimpanan (Space)
Keakuratan (Accuracy)
Ketersediaan (Availability)
Kelengkapan (Completeness)
Keamanan (Security)
Kebersamaan Pemakai (Shareability)
Sistem basis data merupakan sistem yang terdiri dari kumpulan berkas (tabel) yang saling berhubungan (dalam sebuah basis data di sebuah sistem komputer) dan sekumpulan program (Sistem Manajemen Basis Data) yang memungkinkan beberapa pemakai dan atau Prosiding
Page W-4
Forum Ilmiah Tahunan Ikatan Surveyor Indonesia Pekanbaru, 10-11 November 2010
program lain untuk mengakses dan memanipulasi berkas-berkas (tabel-tabel) tersebut [Fathansyah, 1999]. Terdapat empat komponen utama dalam sebuah sistem basis data [Fathansyah, 2004], yaitu: 1. Perangkat Keras (Hardware). 2. Perangkat Lunak (Software) 3. Pemakai (Brainware). 4. Basis Data (Database). Perancangan basis data merupakan komponen utama dari aktivitas pembuatan SIG. Secara umum, pengaruh data pada struktur sistem dan kompleksitas prosedur menyebabkan perancangan basis data memiliki pengaruh yang besar terhadap kualitas model SIG [Prahasta, 2001]. Desain basis data dibagi dalam 3 tahapan berikut [Royger, 2007]: 1. Desain konseptual, membangun representasi konseptual dari basis data yang terdiri atas identifikasi entitas. 2. Desain logikal, menerjemahkan representrasi konseptual ke struktur logikal dari basis data yang terdiri atas desain antar hubungan. 3. Desain
fisikal,
menampilkan
bagaimana
struktur
logikal
menjadi
implementasi secara fisik dalam bentuk tabel.
4. Implementasi Basis Data untuk Batas Laut Daerah Setelah melalui dua tahapan, yaitu desain konseptual dan logikal, didapat diagram EntityRelationship yang dapat dilihat pada Gambar 4.1 dibawah ini.
Prosiding
Page W-5
Forum Ilmiah Tahunan Ikatan Surveyor Indonesia Pekanbaru, 10-11 November 2010
Gambar 4.1 Diagram Entity-Relationship Basis Data Batas Laut Daerah Pada tahap desain fisikal, menghasilkan tabel-tabel yang dapat menjelaskan hugungan antar kumpulan entitas yang disebut tabel skeleton. Berikut ini tabel skeleton yang dihasilkan dari diagram entity relationship di atas: 1. provinsi (#id_prov, nama provinsi, ibukota provinsi, luas laut provinsi) 2. kabupaten/kota (#id_kab_kota, #id_prov, nama kabupaten/kota, luas laut kabupaten/kota) 3. garis pantai (#id_gp, klasifikasi, panjang, nama_pulau) 4. pembentuk garis dasar(#id_gp, #id_gd) 5. garis dasar (#id_gd, #id_jenis_gd, panjang) 6. jenis garis dasar (#id_jenis_gd, jenis) 7. pembentuk garis batas laut (#id_gd, #id_gbl) 8. garis batas laut (#id_gbl, #id_jenis_gbl, klasifikasi, panjang) 9. jenis garis batas laut (#id_jenis_gbl, jenis) Lingkungan kerja pada pembangunan basis data ini menggunakan spesifikasi berikut:
Operating System
: Windows XP Professional (5.1, Build 2600) Service Pack 2
Processor
: Intel(R) Core(TM)2 Duo CPU E4500 @ 2.20GHz (2 CPUs)
Memory
: 2048MB RAM
VGA Card
: NVIDIA GeForce 7300 SE/7200 GS
DBMS Software
: PostgresSQL 8.3
Prosiding
Page W-6
Forum Ilmiah Tahunan Ikatan Surveyor Indonesia Pekanbaru, 10-11 November 2010
5. Visualisasi Basis Data untuk Batas Laut Daerah Basis data untuk Batas Laut Daerah yang sudah dibangun kemudian divisualisasikan seperti contoh pada Gambar 5.1 di bawah ini.
Gambar 5.1 Visualisasi Basis Data Batas Laut Daerah Pada penelitian ini, Provinsi Maluku dijadikan sebagai contoh visualisasi karena seluruh data spasial dan atribut yang dibutuhkan telah tersedia. Prosiding
Page W-7
Forum Ilmiah Tahunan Ikatan Surveyor Indonesia Pekanbaru, 10-11 November 2010
6. Analisis Implementasi Basis Data Batas Laut Daerah 6.1 Sumber Data Data batas laut daerah yang disimpan dalam basis data merupakan peta batas laut hasil penetapan. Jadi, sebelum data batas laut dimasukkan kedalam basis data, diasumsikan peta tersebut merupakan hasil penetapan batas yang sudah final. Oleh karena itu, desain basis data batas laut daerah tidak mengakomodasi perubahan data spasial batas laut pada implementasinya nanti. Sumber data spasial yang menjadi data wajib adalah: 1. Peta Wilayah Administrasi Provinsi 2. Peta Wilayah Administrasi Kabupaten/Kota 3. Peta Garis Pantai 4. Peta Garis Dasar 5. Peta Batas Laut Daerah Format kelima data spasial tersebut mengikuti format data spasial shapefile (standar ESRI), yaitu format *.shp. Lalu, pada tahap implementasi informasi data atribut masing-masing data spasial ditambahkan juga sesuai dengan format tabel yang telah disajikan pada bagian 4 (Implementasi Basis Data untuk Batas Laut Daerah). Selanjutnya pengguna juga harus menambahkan informasi mengenai dua jenis garis yaitu: 1. Jenis Garis Dasar: lurus atau normal 2. Jenis Garis Batas: menghadap laut lepas, bersebelahan, berseberangan Pemaksanaan standar data merupakan salah satu karakteristik model basis data relasional. Hal ini disebabkan model data base relasional sangat menekankan pada konsistensi data. 6.2 Manajemen Batas Laut Daerah Pertanyaan mendasar yang dapat dijawab oleh desain basis data yang telah disajikan adalah bagaimana menampilkan seluruh batas laut daerah se-Indonesia dan informasi terkait batas laut daerah.
Prosiding
Page W-8
Forum Ilmiah Tahunan Ikatan Surveyor Indonesia Pekanbaru, 10-11 November 2010
Aspek batas laut sesuai dengan Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah telah dapat diimplementasikan dengan desain basis data yang telah dibangun. Namun, pada praktiknya, batas laut daerah akan dikaitkan dengan potensi laut daerah masing-masing. Pada penelitian ini, aspek potensi daerah memang belum diintegrasikan dalam desain basis data batas laut daerah. Namun, pada pengembangan lebih lanjut, penambahan aspek potensi daerah cenderung tidak mengubah desain yang ada. Desain basis data yang dibangun pada penelitian ini akan dapat menjawab pertanyaan berikut: 1. Pada daerah mana sebuah garis pantai terletak? 2. Tampilan visual garis dasar dan koordinat geografis garis dasar sebuah daerah. 3. Pembentuk garis batas laut? Atau garis batas laut dibentuk oleh garis dasar apa saja. 4. Panjang dan luas batas laut daerah. 5. Jenis garis batas laut (menghadap laut lepas, bersebelahan, atau berseberangan dengan daerah lain). 6. Menampilkan data batas laut beberapa daerah sekaligus.
Kemampuan desain basis data menjawab pertanyaan tersebut, maka model basis data yang telah dibangun mampu menjawab pertanyaan utama dalam hal manajemen batas laut daerah sesuai dengan UU Otonomi Daerah yang berlaku maupun UNCLOS 1982.
6.3 Identifikasi Potensi Konflik Batas Laut Identifikasi potensi dapat dilakukan dengan dua metode: secara visual dan melalui analisis basis data. Secara visual, identifikasi potensi konflik batas laut dapat dilakukan dengan melakukan visualisasi dua atau lebih daerah (provinsi dan kabupaten/kota) yang berdekatan. Apabila terdapat pertampalan (overlay) garis batas, maka dapat dipastikan bahwa batas laut antar dua atau lebih daerah yang diidentifikasi memiliki potensi konflik batas laut. Identifikasi potensi konflik juga dapat dilakukan melalui proses analisis basis data. Pada desain basis data yang telah disampaikan, tabel garis batas disimpan sebagai entitias tersendiri dan dapat ditelusuri garis batas tersebut terletak di daerah mana. Selanjutnya, untuk mengetahui adanya pertampalan dapat menggunakan Prosiding
Page W-9
Forum Ilmiah Tahunan Ikatan Surveyor Indonesia Pekanbaru, 10-11 November 2010
fasilitas analisis spasial
yang
geoprocessing.
analsisi
Dengan
dimiliki perangkat spasial
GIS atau biasa disebut
tersebut,
dimungkinkan
mencari
perpotongan (intersection) atau pertampalan (overlay) dua atau lebih garis batas dari daerah yang berbeda. Oleh karena itu, desain basis data yang telah dibangun dapat memenuhi kebutuhan untuk mengidentifikasi potensi konflik batas laut daerah. Hasil identifikasi konflik tersebut dapat digunakan sebagai informasi untuk perundingan penyelesaian batas laut antar daerah. Sehingga, konflik akibat pertampalan batas benar-benar dapat dihindari.
6. Kesimpulan dan Saran Kesimpulan yang dapat diambil dari penelitian ini adalah: 1. Model Basis Data Batas Laut Daerah yang dibangun akan sangat membantu untuk menyediakan informasi batas laut di wilayah Indonesia yang sistematis. 2. Implementasi basis data batas laut daerah membutuhkan standardisasi data spasial sehingga peta batas laut daerah hasil penetapan harus mengikuti standar yang ada. 3. Model Basis Data Batas Laut Daerah yang dikembangkan dapat memenuhi kebutuhan manajemen batas laut nasional dan juga untuk mengidentifikasi konflik batas laut. Beberapa saran yang dapat diberikan adalah: 1. Untuk
implementasi
sistem
informasi
batas
laut
daerah
sebaiknya
mengikutsertakan data pendukung lainnya yang terkait langsung dengan batas laut, seperti potensi sumber daya laut, lokasi tangkapan ikan, alur pelayaran, dll. 2. Sebagai tindak lanjut, disarankan sistem yang akan mengimplementasikan model basis data yang telah dibangun menggunakan sistem informasi geografis berbasiskan website namun memiliki kemampuan analisis spasial yang dapat melakukan geoprocessing.
Prosiding
Page W-10
Forum Ilmiah Tahunan Ikatan Surveyor Indonesia Pekanbaru, 10-11 November 2010
Daftar Pustaka Fathansyah, Ir. (2004). Sistem Basis Data. Penerbit Informatika. Bandung. Howe, D. R. (1989). Data Analysis for Data Base Design. Edward Arnold Press. London. Ilova, Fineza. (2009). Pengembangan Basis Data Menuju Pembuatan Sistem Informasi Kadaster Kelautan di Indonesia (Studi Kasus : Provinsi Maluku). Tesis. Departemen Teknik Geodesi dan Geomatika, FITK-ITB. Bandung. Kastuari, Aminah. (2008). Perancangan Basis Data untuk Membangun Sistem Informasi Landas Kontinen Indonesia. Skripsi. Departemen Teknik Geodesi dan Geomatika, FITK-ITB. Bandung. Nugroho, Adi (2004). Konsep Pengembangan Sistem Basis Data. Penerbit Informatik, Bandung. Prahasta, Eddy. (2009). Sistem Informasi Geografis Konsep-Konsep Dasar. Penerbit Informatika. Bandung. Royger. (2007). Pembangunan Sistem Informasi Utilitas Distribusi Jaringan Listrik Berbasis Web, (Studi Kasus : Kampus ITB). Skripsi. Departemen Teknik Geodesi dan Geomatika, FTSL-ITB. Bandung. Salim, Muh. Fikri H. (2008). Penetapan Batas Laut Daerah Sebagai Pendukung Penerapan Kadaster Kelautan. Skripsi. Departemen Teknik Geodesi dan Geomatika, FITB-ITB. Bandung. Teorey, Toby J., Sam S. Lightstone, and Thomas P. Nadeau. (2006). Database Modeling and Design: Logical Design (4th edition). Morgan Kaufmann Publishers.
Prosiding
Page W-11
Forum Ilmiah Tahunan Ikatan Surveyor Indonesia Pekanbaru, 10-11 November 2010
UPDATING Zona Nilai Tanah METODE INDEKS Oleh : Dian Novytasari, S.Si Direktorat Survei Potensi Tanah Deputi Survei Pengukuran dan Pemetaan Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Jl. Kuningan Barat 1 nomor 1 Jakarta Selatan Telp : (021) 5202328 Email :
[email protected] 1.
Latar Belakang Nilai tanah setiap saat akan berubah, normalnya nilai tanah akan terus naik setiap tahunnya, untuk itu perlu diketahui berapa persen perubahan nilai tanah tiap waktu di suatu wilayah, dan berdasarkan petunjuk internal kegiatan updating nilai tanah, disebutkan bahwa Persoalan riil di lapangan adalah masih terdapat kendala tentang sistem informasi pasar tanah yang menggambarkan keadaan pasar tanah. Sistem informasi tersebut diharapkan menjadi barometer bagi pihak-pihak yang berkepentingan dalam melakukan investasi di tanah. Bagi Penilai sendiri informasi tersebut diharapkan menjadi data pasar yang akurat dalam melakukan penilaian tanah. Penentuan nilai tanah akan kadaluarsa sesuai jalannya waktu, oleh karena itu dibutuhkan pengembangan sistem untuk mengupdate nilai, yaitu dengan mengembangkan sistem nilai indeks. (PIK SPT.113 Updating Zona Nilai Tanah)
2.
Maksud dan Tujuan Updating Zona Nilai Tanah dimaksudkan menyediakan informasi potensi dan nilai tanah yang up-to-date, sebagai kebutuhan dan rujukan nasional untuk mewujudkan fungsi tanah bagi sebesar-besar kemakmuran rakyat, melalui: 1. Percepatan penyediaan informasi nilai pasar tanah, 2. Pembangunan dan pengembangan Sistem Informasi Manajemen Aset Pertanahan (SIMASTAN) dengan sub sistem informasi nilai tanah, yang sangat bermanfaat untuk: a. Informasi umum nilai pasar tanah; b. Referensi nilai untuk tukar menukar tanah dan properti, baik untuk kepentingan masyarakat, maupun khususnya untuk kepentingan pengamanan aset negara; c. Referensi penghitungan tarif layanan pertanahan melalui PNBP; d. Referensi masyarakat dalam transaksi pertanahan dan properti; e. Informasi nilai dan pajak tanah yang lebih transparan dan adil (fair), yaitu sebagai second opinion bagi NJOP PBB;
Prosiding
Page X-1
Forum Ilmiah Tahunan Ikatan Surveyor Indonesia Pekanbaru, 10-11 November 2010
f.
Referensi dalam penetapan nilai ganti-rugi bagi masyarakat dan Tim/Lembaga Penilai Tanah (Perpres No. 36 Tahun 2005 juncto No. 65 Tahun 2006:); g. Referensi nilai uang pemasukan ke negara dalam pemberian hak atas tanah negara; h. Piranti monitoring nilai dan pasar tanah; i. Memberikan informasi mengenai transaksi yang up-to-date tentang transaksi di pasar tanah; j. Memberikan gambaran yang cepat mengenai perkembangan perekonomian suatu wilayah; k. Pembuatan model indeks harga tanah; 3. Pemberian pelayanan penilaian tanah secara profesional untuk mencapai kepuasan pelanggan dan kepentingan umum; 4. Pemeliharaan dan peningkatan mutu profesi penilai tanah internal dan eksternal melalui kerjasama, pembelajaran berkelanjutan dan perkembangan teknologi untuk kepentingan rakyat, bangsa dan negara; dan 5. Peningkatan kualitas sumber daya manusia dan kesejahteraan umat manusia. Tujuan kegiatan ini adalah untuk mengetahui pergerakan indeks harga tanah secara fluktuatif setiap bulannya serta peta zona nilai tanah yang diperbaharui. Kegiatan ini juga bertujuan untuk membangun sistem informasi pasar tanah. (PIK SPT. 113 Updating Zona Nilai Tanah) 3.
Dasar Teori 3.1. Definisi Indeks Indeks merupakan angka yang dibuat sedemikian rupa sehingga dapat digunakan untuk melakukan perbandingan antara kegiatan yang sama dalam waktu yang berbeda. Dalam membuat Indeks diperlukan waktu dasar (base periode) dan waktu yang bersangkutan atau sedang berjalan (current periode). Indeks Nilai Tanah adalah angka indeks yang menggambarkan perbandingan tingkat kemahalan nilai tanah suatu Kabupaten/ Kota atau Propinsi dari waktu ke waktu. (PIK SPT. 113 Updating Zona Nilai Tanah) 3.2. Metodologi Perhitungan menggunakan form excel Perhitungan nilai tanah dengan beberapa adjustment, yaitu: 1. Status hak, misalnya Hak Milik, Hak Guna Bangunan, Hak Guna Usaha, Tanah Milik Adat, dll. 2. Jenis data, ada dua macam, yaitu transaksi dan penawaran.
Prosiding
Page X-2
Forum Ilmiah Tahunan Ikatan Surveyor Indonesia Pekanbaru, 10-11 November 2010
3. Waktu, yaitu jarak antara tanggal transaksi atau penawaran sampai dengan tanggal penilaian. - Perhitungan Indeks Nilai Tanah
Indeks Sampel =
Sampel harga tanah baru Zona Nilai tanah sebelumnya
Indeks Nilai Tanah =
∑ indeks sampel ∑ sampel
- Perhitungan nilai Tanah diperbaharui Nilai Tanah Diperbaharui = Indeks Nilai Tanah x Zona Nilai Tanah Sebelumnya dengan catatan : indeks sampel sudah memenuhi range 0% - 30% pengolahan menggunakan aplikasi pengolahan data spasial berbasis Arcview 1. menganalisa sebaran sampel 2. menganalisa standar deviasi (keseragaman dan ketepatan data) 3. editing zona 4. menghitung zona nilai tanah secara otomatis dengan tool yang ada di software aplikasi pengolahan data spasial 4.
Studi Kasus Uji coba dilakukan di Kota Pontianak dengan pembuatan Peta Zona nilai tanah update Kota Pontianak tahun 2009 seluas 11.583,728 Ha, Kota Pontianak telah memiliki Peta Zona Nilai Tanah Tahun 2008 dengan jumlah zona 118. 4.1. Persiapan 4.1.1. Bahan-bahan 1. Peta Zona Nilai Tanah tahun sebelumnya (Tahun 2008) 2. Peta Administrasi 3. Form isian data survei 4. Alat tulis 4.1.2. Peralatan 1. GPS 2. Kamera 3. Komputer 4. Software Office Excel 5. Software Aplikasi Pengolahan Data Spasial
Prosiding
Page X-3
Forum Ilmiah Tahunan Ikatan Surveyor Indonesia Pekanbaru, 10-11 November 2010
4.2. Pencarian Data pencarian data dengan metode kuisioner, data yang dicari, 1. Untuk update pertama yaitu data enam bulan pertama di tahun 2009, yaitu data transaksi dan penawaran yang terjadi antara bulan Januari 2009 sampai dengan Juni 2009 2 Update yang kedua yaitu menggunakan data 3 bulan, yaitu data transaksi dan penawaran bulan Juli sampai dengan September 2009 3. Update yang ketiga, mulai bulan Oktober sampai Desember 2009 4.3. Pengolahan 1. Tahap pertama adalah, memasukkan data dari form isian ke dalam form yang sudah dibuat di excel, meliputi a. perhitungan adjustment hak milik, jenis data (penawaran atau transaksi), dan waktu penilaian, b. perhitungan RCN bangunan dengan menggunakan DKPB c. perhitungan nilai tanah permeter 2. Tahap ke dua, yaitu data yang sudah dimasukan di excel dan diolah hingga didapatkan nilai permeter, dilakukan convert ke database file untuk selanjutnya di olah di software arcview untuk dilakukan assign data by location (menggabungkan atribut tabel berdasarkan posisi titik koordinat) antara zona nilai tanah tahun sebelumnya dengan sampel terbaru, setelah dilakukan penggabungan maka akan diketahui basis nilainya dari sampel yang ada, kemudian atribut tabel di eksport lagi ke tabel excel. 3. Tahap ke tiga yaitu, pengolahan kembali di excel, yaitu perhitungan indeks nilai tanahnya hingga didapatkan nilai tanah diperbaharui, dari data olahan excel akan diperoleh dua jenis nilai tanah diperbaharui yaitu berdasarkan indeks (yang memenuhi standar deviasi 0 – 30%) dan bukan berdasarkan indeks (tidak memenuhi standar deviasi). 4. Tahap ke empat , yaitu pengolahan di aplikasi pengolahan data spasial, data akhir yang sudah didapatkan dilakukan convert ke database file dan dilakukan convert lagi menjadi shapefile, dilakukan pengolahan mulai dari perhitungan standar deviasi, editing titik sampel dan editing zona, hingga didapatkan standar deviasi antara 0 s/d 30% dan didapatkan zona nilai tanah update.
Prosiding
Page X-4
Forum Ilmiah Tahunan Ikatan Surveyor Indonesia Pekanbaru, 10-11 November 2010
Contoh perhitungan excel sampai harga permeter dari sampel terbaru
Contoh perhitungan excel indeks sampai nilai diperbaharui
Prosiding
Page X-5
Forum Ilmiah Tahunan Ikatan Surveyor Indonesia Pekanbaru, 10-11 November 2010
4.4. Hasil 4.4.1.
4.4.2.
Prosiding
Survei 1. jumlah sampel yang diperoleh hingga Juni 2009 sebanyak 411 sampel 2. jumlah sampel yang diperoleh hingga September 2009 sebanyak 250 sampel 3. jumlah sampel yang diperoleh hingga Juni 2009 sebanyak 250 sampel Pengolahan data tekstual dan data spasial 1. Jumlah sampel setelah diolah Juni 2009 sebanyak 271 sampel, bulan September 2009 sebanyak 193 sampel, dan bulan Desember 2009 sebanyak 199 sampel 2. Indeks nilai tanah yang diperoleh dari perhitungan cenderung turun, yaitu indeks bulan Juni untuk pertanian sebesar 93,837% dan non-pertanian sebesar 96,327%, untuk bulan September, indeks untuk pertanian tidak tersedia karena tidak didapatkan data sampel pertanian, dan nonpertanian sebesar 91,509%, untuk bulan Desember 2009, indeks non pertanian tidak tersedia, dan non-pertanian sebesar 89.725% 3. Jumlah zona bertambah setiap dilakukan updating, yaitu untuk bulan Juni sebanyak 154 zona, bulan September sebanyak 167 zona, dan bulan Desember menjadi 181 zona 4. Zona baru didapatkan dari perhitungan non-indeks, yaitu berasal dari sampel yang standar deviasinya kurang dari 70% dan lebih dari 130%
Page X-6
Forum Ilmiah Tahunan Ikatan Surveyor Indonesia Pekanbaru, 10-11 November 2010
Hasil ploting sebaran sampel Kota Pontianak Juni 2009
Peta Standar Deviasi Kota Pontianak Juni 2009
Prosiding
Page X-7
Forum Ilmiah Tahunan Ikatan Surveyor Indonesia Pekanbaru, 10-11 November 2010
Ket. Warna biru muda dan hijau menunjukkan standar deviasi 0 – 30% Peta Zona Nilai Tanah Update Juni 2009
5.
Manfaat Indeks nilai tanah 1. Sebagai alat memantau perkembangan harga pasar tanah disuatu daerah 2. Sebagai benchmarking dengan Indeks industri lainnya 3. Dimanfaatkan oleh peneliti atau pemerhati properti untuk meneliti dampak yang ditimbulkan oleh kondisi ekonomi tertentu terhadap harga pasar tanah 4. Digunakan untuk memprediksi nilai tanah secara umum disuatu wilayah.
6.
Kendala yang dihadapi 1. Tidak tersedianya citra, foto udara atau peta dasar yang up to date 2. Keterbatasan peta informasi lain, seperti batas hutan dan wilayah lindung. 3. Minimnya data transaksi tanah yang riil dilapangan 4. Transaksi yang terjadi di kota kebanyakan transaksi peralihan sebuah properti yang merupakan gabungan antara tanah dan bangunan diatasnya. 5. Kurangnya jumlah data transaksi/ penawaran dalam kurun waktu penilaian. 6. Penyebaran data sampel yang terkoleksi belum mewakili semua zona.
Prosiding
Page X-8
Forum Ilmiah Tahunan Ikatan Surveyor Indonesia Pekanbaru, 10-11 November 2010
7.
kesimpulan 1. indeks nilai tanah di kota pontianak mengalami penurunan tiap dilakukan perhitungan updating zona nilai tanah, hal ini bisa disebabkan karena : a. zona basisnya salah (ZNT tahun 2008 kurang akurat). b. koleksi data atau sampel untuk updating bukan berasal dari nilai riil (misal data dari PPAT, kelurahan, dll.) atau data pasarnya tidak transparan. c. Kurangnya jumlah sampel akurat untuk pengolahan indeks d. adanya faktor perubahan lingkungan yang menyebabkan nilai tanah di tempat tersebut turun. 2. Untuk menghasilkan indeks yang lebih akurat dibutuhkan data harga tanah yang lebih transparan dan mewakili seluruh wilayah yang disurvey. Untuk itu diperlukan sekurang-kurangnya dua langkah kebijakan di bidang pasar tanah, yaitu: a. Percepatan Pendaftaran seluruh bidang tanah di suatu wilayah. b. Penetapan kebijakan yang merangsang pelaku transaksi untuk melaporkan harga transaksinya secara lebih terbuka melalui perubahan bentuk pengenaan pajak pada pelaku transaksi.
8.
Daftar Pustaka Updating Zona Nilai Tanah, Pedoman Internal Kegiatan Survei Potensi Tanah 113 Lampiran 3b, Direktorat Survei Potensi Tanah, 2010
Prosiding
Page X-9
Forum Ilmiah Tahunan Ikatan Surveyor Indonesia Pekanbaru, 10-11 November 2010
APLIKASI GIS UNTUK SISTEM PERINGATAN DINI BAHAYA KEBAKARAN (FIRE EARLY WARNING SYSTEM)
AMIR SABRI PMD RIAU REGION FMIS DEPT.
Prosiding
Page Y-1
Forum Ilmiah Tahunan Ikatan Surveyor Indonesia Pekanbaru, 10-11 November 2010
Prosiding
Page Y-2
Forum Ilmiah Tahunan Ikatan Surveyor Indonesia Pekanbaru, 10-11 November 2010
Prosiding
Page Y-3
Forum Ilmiah Tahunan Ikatan Surveyor Indonesia Pekanbaru, 10-11 November 2010
Prosiding
Page Y-4
Forum Ilmiah Tahunan Ikatan Surveyor Indonesia Pekanbaru, 10-11 November 2010
Prosiding
Page Y-5
Forum Ilmiah Tahunan Ikatan Surveyor Indonesia Pekanbaru, 10-11 November 2010
Prosiding
Page Y-6
Forum Ilmiah Tahunan Ikatan Surveyor Indonesia Pekanbaru, 10-11 November 2010
Prosiding
Page Y-7
Forum Ilmiah Tahunan Ikatan Surveyor Indonesia Pekanbaru, 10-11 November 2010
Prosiding
Page Y-8
Forum Ilmiah Tahunan Ikatan Surveyor Indonesia Pekanbaru, 10-11 November 2010
Prosiding
Page Y-9
Forum Ilmiah Tahunan Ikatan Surveyor Indonesia Pekanbaru, 10-11 November 2010
PENGEMBANGAN GNSS CORS NETWORK UNTUK PENYEDIAAN DATA GEOSPASIAL (Status, Aplikasi dan Strategi Pengembangannya) *Farid Hendro Adiyanto Direktorat Pengukuran Dasar. Deputi Bidang Survei, Pengukuran dan Pemetaan BPN – RI email :
[email protected] Mob : 081574554998
Abstrak Untuk memperoleh analisis data geospasial yang akurat, pengguna data geospasial membutuhkan ketersediaan data yang up to date, akurat dan efisien dalam mendapatkannya. Berbagai aplikasi seperti Surveyor Kadastral, Pemerintah Daerah, Komunitas Sistem Informasi Geografis (GIS), Kontraktor dan Mitigasi Bencana adalah contoh dari beberapa aplikasi yang berhubungan dengan geospasial. Pada saat sekarang ini, beberpa institusi yang secara langsung menggunakan data ini sudah mulai merintis untuk membangun Global Navigation Satellite System (GNSS) CORS Network, salah satunya adalah BPN-RI yang sudah memulai pilot project nya di 2009. Makalah ini akan mencoba melihat keterkaitan pengembangan GNSS CORS untuk mendukung ketersediaan data geospasial yang akhirnya akan membahas pula tentang potensi kerjasama kemitraan untuk pembangunan GNSS CORS Network antara pemilik infrastruktur dan penggunanya.
Prosiding
Page Z-1
Forum Ilmiah Tahunan Ikatan Surveyor Indonesia Pekanbaru, 10-11 November 2010
I. PENGEMBANGAN TEKNOLOGI GNSS CORS DI INDONESIA Global Positioning System (GPS) pertama kali dikembangkan dan dioperasikan oleh Departemen Pertahanan Amerika Serikat. Namun seiring perkembangan jaman, dimana masyarakat Uni Eropa juga mulai merasakan kegunaan teknologi ini, maka Rusia mengembangkan sistem sendiri yang disebut Glonass dan Uni Eropa mengembangkan sistem satelit posisi Galileo. Untuk kawasan Asia sendiri, sistem ini sudah mulai dijajaki dan akan dikembangkan oleh China dan India. China sudah memproklamirkan sistem satelit navigasi mereka yaitu Compass sedangkan India masih dalam tahap penelitian dan pengembangan. Semua sistem tergabung dalam sebuah penyebutan nama GNSS. Dengan adanya banyak sekali perkembangan sistem satelit navigasi, maka hal ini akan menguntungkan sekali bagi pengguna servis ini. Hal ini didasarkan pada logika bahwa semakin banyak ketersediaan satelit di kuadran angkasa maka akan mudah sekali dilakukan penghitungan penentuan posisi. Kedepan pasti ada sebuah alat yang mampu menggunakan bermacam – macam satelit tersebut untuk mendapatkan aplikasi penentuan posisi yang teliti. Indonesia pertama kali menerapkan teknologi GPS sekitar akhir tahun 1980an (Abidin et al, 2010). Aplikasi ini meliputi penentuan posisi teliti untuk penentuan datum referensi pemetaan serta untuk kepentingan geodinamika (Subarya, 2004). Namun seiring dengan perkembangan aplikasi di bidang Teknologi Informasi, maka timbul pemikiran untuk memasang GNSS yang datanya sekaligus dapat diolah dan dianalisa di sebuah sistem kontrol terpusat. Ide ini berkembang ketika para ahli geodinamika berusaha untuk “menangkap” laju pergerakan lempeng bumi yang menyebabkan gempa bumi di sekitar sesar San Andres, California (Bock et al, 2002). GNSS CORS di Indonesia pertama kali diapliasikan oleh Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional (Bakosurtanal) dengan membangun 3 base station di Medan, Cibinong dan Parepare (Abidin et al, 2010). Sampai akhir tahun 2009 Bakosurtanal telah memasang 51 base station di seluruh wilayah Republik Indonesia. Selain Bakosurtanal, ada beberapa lembaga pemerintah yang berpartisipasi dalam pengembangan infrastruktur ini. Badan Pertanahan Nasional (BPN – RI) pada 2009 telah melaksanakan pilot project pemasangan base station di 3 Kantor Pertanahan (Kab Tangerang, Kota Bogor dan Kota Bekasi). GNSS CORS yang dikembangkan BPN – RI dapat langsung melayani aplikasi Network Real Time Kinematic (NRTK).
Figur 1. Base station GNSS CORS Bakosurtanal.
Prosiding
Page Z-2
Forum Ilmiah Tahunan Ikatan Surveyor Indonesia Pekanbaru, 10-11 November 2010 Selain kedua lembaga diatas, masih ada beberapa lembaga yang aktif mengembangkan GNSS CORS. LIPI bekerja sama dengan California Insitute of Technology dan Earth Observatory of Singapore (EOS) memasang beberapa base station di sepanjang pantai barat Sumatera untuk keperluan penelitian gempa bumi setelah gempa besar dan tsunami melanda kawasan ini di akhir 2004. Selain itu beberapa institusi pendidikan (Teknik Geodesi ITB, UGM dan ITS) juga memasang base station untuk kepentingan penelitian mereka.
Figur 2. Base station GNSS CORS LIPI
Figure 3. Base Station GNSS CORS BPN – RI Tahun 2009
Prosiding
Page Z-3
Forum Ilmiah Tahunan Ikatan Surveyor Indonesia Pekanbaru, 10-11 November 2010
Figur 4. Rencana Pemasangan Base Station BPN – RI 2011 II. APLIKASI GNSS CORS NETWORK Secara sepintas, telah disebutkan di awal paragraf tentang pemanfaatan GPS dan CORS pada awal penggunaannya. Pada saat sekarang ini pemanfaatan GNSS CORS dapat didefinisikan untuk Precise Point Positioning dan pembangunan Infrastruktur Geodesi. Contoh untuk precise point positioning adalah sebagai berikut antara lain : 1. Manajemen Aset Pemerintah Pusat dan Daerah Untuk menginventarisasi aset perlu dilakukan pemetaan teliti terhadap lokasi objek serta melakukan koleksi database yang berhubungan dengan informasi aset tersebut. Setelah itu baru bisa dibuatkan sebuah sistem informasi manajemen aset berbasis spasial. Pemetaan teliti serta detail objek dapat dilakukan dengan fasilitas GNSS CORS yang ada begitu juga dengan sistem up to date nya. Selain itu, banyak sekali hal yang bisa dimanfaatkan dalam ruang pembangunan suatu wilayah yang berkaitan dengan pemetaan, seperti pemetaan wilayah bencana, analisis perkembangan wilayah dan lain sebagainya. 2. Pemetaan Bidang – Bidang Tanah Hal ini berkaitan dengan pendefinisian letak bidang tanah yang ada yang berhubungan dengan sistem koordinatnya. Pendefinisian ini penting sekali dilakukan sehingga apabila suatu saat dilakukan rekonstruksi batas tanah jika terjadi konflik, rekonstruksi dapat dilakukan dengan mudah berdasarkan data koordinat. Hal lain yang diuntungkan dengan sistem ini adalah peta pendaftaran tanah yang dihasilkan adalah peta dengan koordinat referensi global dan mudah untuk diintegrasikan dengan data peta di seluruh wilayah Indonesia. Selain untuk keperluan pendaftaran tanah, data peta bidang tanah dapat pula digunakan untuk keperluan yang lain seperti di sektor fiskal (pajak bumi) dan berbagai macam perijinan. 3. Pekerjaan Konstruksi Transportasi Untuk aplikasi ini yang paling banyak digunakan adalah untuk pembangunan jalan dan jembatan. stake out dan penggalian dapat dilakukan dengan panduan dari data GNSS CORS (machine automation). untuk jembatan besar dapat pula dilakukan deformation monitoring terhadap panjangan dan luasan jembatan tersebut. Untuk aplikasi yang berhubungan dengan Infrastruktur Geodesi adalah, GNSS CORS dapat digunakan untuk mendefinisikan reference frame yang digunakan di suatu negara. GNSS CORS mendasarkan sistem datum globalnya dengan WGS84. Datum ini adalah datum global yang harus disesuaikan di setiap permukaan bumi Prosiding
Page Z-4
Forum Ilmiah Tahunan Ikatan Surveyor Indonesia Pekanbaru, 10-11 November 2010 mengingat datum ini menggunakan model ellipsoid sedangkan kenyataan dilapangan adalah geoid yang direferensikan dari muka air laut rata – rata. Aplikasi konkretnya adalah GNSS CORS sudah mulai menggantikan fungsi Titik Dasar Teknik (TDT) di BPN – RI. Hal ini di dasarkan pada pertimbangan sebagai berikut : 1. Efisiensi Biaya Untuk pengadaan TDT Orde 2, 3, 4 di seluruh wilayah NKRI dibutuhkan kurang lebih 2.5 Trilliun rupiah. Sedangkan untuk pembangunan GNSS CORS hanya diperlukan dana kurang lebih setengah dari dana yang dibutuhkan untuk pembangunan TDT (Adiyanto et al, 2009). 2. Efisiensi Waktu Jika mengikuti pola pembiayaan APBN, maka pembangunan TDT akan memerlukan waktu sekitar 200 tahun. Hal ini sangat tidak efektif mengingat tidak ada jaminan bahwa TDT yang sudah terbangun akan tetap pada posisinya tanpa adanya gangguan baik dari proses geodinamika maupun aktivitas manusia. Uraian diatas adalah beberapa manfaat aplikasi yang dapat digunakan dalam GNSS CORS yang berhubungan dengan penyediaan data geospasial. Mengingat infrastruktur ini dimiliki secara terpisah oleh beberapa institusi, maka perlu dipikirkan dan direncanakan bagaimana formula yang tepat mengenai hak dan kewajiban antara pemilik dan pengguna.
III. MODEL PENGEMBANGAN DAN KERJA SAMA Secara general, dengan mulai dibanjirinya seluruh wilayah Indonesia dengan base station ini dapat ditarik sebuah manfaat bahwa kegiatan survey dan pemetaan dapat dilakukan secara terintegrasi datanya, dalam satu sistem, berkesinambungan, up to date dan mudah pelaksanaannya. Tetapi karena pihak pengembang dan pemilik infrasruktur ini adalah bermacam – macam lembaga, mungkin perlu dikembangkan sebuah konsep kerja sama baik itu dengan semacam perjanjian kerjasama ataupun dengan pola kemitraan. Institusi seperti BPN – RI sudah mengeluarkan semacam tarif pelyanan untuk memanfaatkan infrastruktur GNSS CORS yang dipunyai BPN – RI. Tarif ini sudah dilegalkan dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 13 Tahun 2010. Dalam PP ini juga diatur beberapa jenis tarif pelayanan lain di BPN selain penggunaan data GNSS CORS. Beberapa model pengembangan dan kepemilikan GNSS CORS adalah sebagai berikut : 1. Third Party Model Model ini adalah dengan mengembangkan sebuah badan usaha yang khusus mengelola dan mengembangkan infrastruktur GNSS CORS ini secara lintas institusi. Badan usaha ini adalah independen dengan kontrol dar komisiaris pemegang saham yang berasal dari para stakeholder. Model ini cocok digunakan untuk mengatasi permasalahan birokrasi antar lembaga dan menunjang badan usaha tersebut untuk tumbuh cepat dan menjadi lebih besar mengembangkan jaringannya. 2. Multi Owner Model Model ini dikembangkan berdasarkan kesamaan kepentingan untuk menggunakan data GNSS CORS sesama pemilik tanpa saling campur tangan dalam pembangunan infrastruktur ini. Model ini akan berjalan asalkan ada kesepakatan untuk saling bertukar dan menggunakan datanya. Kelemahan model ini adalah pengembangan infrastruktur dan bisnis bisa berbeda visi antar pemilik. Sedangkan keuntungannya adalah kemungkinan besar dapat terjadi redundant dalam penentuan lokasi base station. Keuntungan dari redundant base adalah adanya base station yang berfungsi sebagai back up jika salah satu base tidak bekerja.
Prosiding
Page Z-5
Forum Ilmiah Tahunan Ikatan Surveyor Indonesia Pekanbaru, 10-11 November 2010 3. Partnership Model Model ini dikembangkan dengan adanya kerjasama antara sekelompok pengguna yang potensial untuk mempercayakan dananya kepada institusi pengembang GNSS CORS agar diikutsertakan sebagai pasif owner. Tentu saja timbal baliknya adalah pasif owner bisa menggunakan fasilitas data GNSS CORS secara bebas dalam jangka waktu tertentu sesuai dengan modal yang digunakan. Kelemahan dari model ini adalah susahnya menentukan besaran modal untuk ditentukan jangka waktu penggunaan datanya secara bebas. Ketiga model tersebut adalah model yang mungkin bisa disesuaikan dengan dinamika pembangunan bangsa Indonesia. Tentu saja model tersebut terbuka untuk dilakukan penilaian lebih lanjut. Ide dasarnya adalah bahwa pembangunan GNSS CORS sudah merupakan keharusan bagi sebuah daerah ataupun wilayah yang ingin selalu data geospasialnya ter up date.
Daftar Pustaka
Abidin, H. Z., Subarya, C., Muslim, B., Adiyanto, F. H., Meilano, I., Andreas, H., Gumilar, I. “The Application of GPS CORS in Indonesia : Status, Prospect and Limitation” FIG Conggress 2010, Building The Capacity – Facing The Challenge. Sydney, Australia. 11 – 16 April 2010.
Adiyanto, F.H., G. Wibisono, and B. Ardiantoro (2009). ”Roadmap of developing GNSS CORS networks for cadastral surveying in Indonesia”, Proceedings of the 10th South East Asian Survey Congress, 4 - 7 August 2009, BICC, Nusadua, Bali, Indonesia, pp. 226-234. Subarya, C. (2004). ”The Maintenance of Indonesia Geodetic Control Network - In the Earth Deforming Zones”, Paper of the 3rd FIG Regional Conference, Session TS8 – Reference Frame in Practice, Jakarta, Indonesia, October 3-7.
Prosiding
Page Z-6
Forum Ilmiah Tahunan Ikatan Surveyor Indonesia Pekanbaru, 10-11 November 2010
PENGELOLAAN DATA PERTANAHAN MENJELANG 2014 Dr. Irawan Sumarto1, Suyus Windayana2
LATAR BELAKANG Tanah memegang peranan yang sangat penting dalam kehidupan manusia. Hernando de Soto3 bahkan menyebutkan bahwa tanah merupakan jalan bagi orang miskin untuk keluar dari jebakan kemiskinan. Meskipun tanah itu sendiri sudah merupakan capital (modal), namun jika tanah telah terhubung ke dalam sistem ekonomi formal tanah tersebut akan mampu untuk menghasilkan capital lain berupa uang untuk lebih meningkatkan produksinya. Disinilah peran penting administrasi pertanahan. Dengan adanya sistem administrasi pertanahan yang kuat dan di dukung oleh penegakan hukum yang ketat, maka sistem tersebut akan mampu diintegrasikan dengan system ekonomi formal, yang salah satu efek positifnya adalah tumbuhnya kepercayaan masyarakat terhadap hak atas tanah tersebut sebagai output sistem administrasi pertanahan. Dukungan sistem hukum yang kuat tersebut sangat dibutuhkan karena pada dasarnya hak atas tanah tersebut adalah suatu hubungan antara tanah dengan manusia yang memerlukan pengakuan dari orang lain/negara dan dapat dibuktikan keabsahannya. Sistem administrasi yang tidak kuat akan menciptakan sengketa antar masyarakat dan menimbulkan kerugian ekonomi yang tidak kecil. Badan Pertanahan Nasional sebagai institusi pemerintah yang diberi mandat untuk melakukan administrasi pertanahan di Indonesia telah berusaha untuk meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap hak atas tanah melalui proses pendaftaran tanah. Beberapa program dilaksanakan untuk melakukan pendaftaran tanah secara massal antara lain melalui kegiatan Prona, LMPDP, Redistribusi Swadaya, Konsolidasi dan SMS (Sertifikasi Massal Swadaya), disamping melalui pelayanan pertanahan rutin. Hingga saat ini pendaftaran tanah telah mencapai 45% dari estimasi 86 juta bidang tanah diseluruh Indonesia. Terdatanya pendaftaran tanah tersebut, pada prosesnya memunculkan isu tentang bagaimana manajemen pengelolaan data ditengah ketersediaan data yang sedemikian besar. Pengelolaan data memerlukan manajemen yang spesifik, karena data pertanahan sebagai objek pengelolaannya memiliki karakteristik yang spesifik pula, yaitu:
1
Dr. Irawan Sumarto, Direktur Pemetaan Dasar Suyus Windayana, Kepala Bidang Pengembangan Sistem, Data, dan Informasi Pertanahan 3 Hernando De Soto, The Mystery of Capital 2
Prosiding
Page AA-1
Forum Ilmiah Tahunan Ikatan Surveyor Indonesia Pekanbaru, 10-11 November 2010
1. Intensitas updating data dilakukan setiap hari melalui pelayanan kepada masyarakat dalam suatu workflow 2. Data yang dihadapi meliputi data tekstual (alphanumerik) dan data spasial dalam skala besar. Tidak ada data yang boleh dihapus dalam proses updating data sampai batas waktu tertentu untuk menjaga riwayat data suatu bidang tanah. 3. Semua dokumen meliputi dokumen – dokumen pra-pendafataran tanah dan dokumen – dokumen untuk melakukan peralihan suatu hak atas tanah harus disimpan dengan aman. Beberapa bencana alam dahsyat yang melanda indonesia, konflik horisontal dan juga kelalaian manusia sering kali mengakibatkan data – data yang ada menjadi tidak aman. Dapat disebutkan disini antara lain tsunami di Banda Aceh tahun 2004, Banjir di Jakarta, kebakaran beberapa kantor pertanahan antara lain di Buleleng, Cianjur mengakibatkan data pertanahan tersebut lenyap. Untuk itulah maka BPN sebagai lembaga Negara yang bertugas mengelola data pertanahan mulai melakukan digitalisasi pelayanan, data dan juga dokumen pertanahan (warkah). Proses digitalisasi pelayanan dalam rangka menciptakan e-government bukanlah sesuatu yang mudah sehingga hasilnya bisa diperoleh secara instant. Hernando de Soto4 dalam GIM International bahkan menyatakan bahwa perangkat lunak yang bekerja dengan baik di Amsterdam belum tentu bekerja di Jakarta. Hal ini disebabkan karena sistem administrasi pertanahan adalah sangat spesifik untuk suatu wilayah. Administrasi pertanahan sangat dipengaruhi oleh sejarah, budaya, dan geografis suatu wilayah. Oleh karenanya, adalah tantangan tersendiri untuk merumuskan bagaimana pengelolaan data pertanahan yang sesuai dengan cita rasa lokal namun tetap berpegang pada standar-standar dan inisiatif internasional yang telah dianalisa dan disepakati oleh ilmuwan dari seluruh dunia.
4
Majalah GIM International oktober 2010 volume 24 nomor 24
Prosiding
Page AA-2
Forum Ilmiah Tahunan Ikatan Surveyor Indonesia Pekanbaru, 10-11 November 2010
PERSPEKTIF INTERNATIONAL DALAM PENGELOLAAN DATA PERTANAHAN Cadastre 20145 Berbicara mengenai pengelolaan data pertanahan, Cadastre 2014 adalah sebuah visi yang paling berpengaruh di dunia. Cadastre 2014 dipublikasikan pada tahun 1994 oleh FIG berisi tentang bagaimana kadaster akan beroperasi 20 tahun mendatang sejak dipublikasikan. Berdasarkan cadastre 2014, maka kadaster seharusnya menganut prinsip sebagai berikut: 1. Hak atas tanah baik milik perorangan maupun publik (negara) didaftar dengan pola yang sama, termasuk juga restriksi. 2. Tidak merubah sistem kepemilikan tanah (land tenure) . 3. Title registration disarankan sebagai pengganti deed registration, 4. Mengikuti 4 prinsip pendaftaran tanah yaitu: pembukuan, penyerahan, spesialitas dan publisitas 5. Mengikuti prinsip legal independence, yaitu setiap objek tanah (land object) yang diatur oleh aturan perundang – undangan yang berbeda harus diorganisasi dalam layer terpisah. 6. Menggunakan batas tetap (fixed boundary) yang berarti bahwa setiap batas objek ditentukan dengan koordinat, bukan dengan diskripsi (general boundary). 7. Penggunaan sistem koordinat geografis sehingga kombinasi antar legal independence objek dapat dilakukan. Selain prinsip, Cadastre 2014 juga berisi enam pernyataan dalam kadaster 2014, empat diantaranya berkaitan langsung dengan pengelolaan data pertanahan yaitu Pernyataan I: Kadaster 2014 akan menampilkan situasi legal yang lengkap tentang tanah, termasuk kepemilikan tanah dan restriksi. Pernyataan II: Pemisahan antara peta dan register tidak akan ada lagi Pernyataan III: Pemetaan kadaster akan ditinggalkan, digantikan dengan pemodelan Pernyataan IV: Kadaster manual akan ditinggalkan Dari empat pernyataan tersebut, pernyataan ke-3 sebenarnya merupakan akar dari tiga pernyataan lainnya. Dengan adanya model yang kuat, maka situasi legal yang lengkap tentang tanah dapat diakomodir di dalam model. Model yang baik tentunya tidak akan memisahkan peta dan register dan tentunya akan mendukung
5
Jürg Kaufmann dan Daniel Steudler FIG commission 7, Cadastre 2014 - A vision for a future cadastral system. Prosiding
Page AA-3
Forum Ilmiah Tahunan Ikatan Surveyor Indonesia Pekanbaru, 10-11 November 2010
operasional kadaster secara digital. Dua pernyataan kadaster 2014 selanjutnya dapat dikatakan sebagai konsekuensi logis dari kadaster yang dilakukan secara elektronis. Jika Cadastre 2014 diibaratkan sebagai kontrak, maka implementasi dari kontrak tersebut yaitu pemodelan juga sedang didiskusikan secara internasional. Standard data model FIG pertama kali diperkenalkan pada tahun 2006 dengan nama Core Cadastral Domain Model. Dalam perkembangan selanjutnya, data model tersebut dibawa ke lembaga internasional untuk standard (ISO) dibawah TC 211 dan dinamai Land Administration Domain Model (LADM)6. Pembahasan LADM sendiri rencananya akan selesai pada tahun 2011 mendatang. Empat tahun lagi visi Cadastre 2014 idealnya harus dicapai. Sementara beberapa pakar diluar negeri mulai merumuskan visi Cadaster di tahun 2034, Land Administration Data Model (LADM) LADM merupakan skema konseptual dalam bidang administrasi pertanahan. Skema tersebut disajikan dalam bentuk diagram UML (Unified Modelling Language). Tiga paket utama dalam LADM adalah paket subjek (party), administrative, dan unit spasial. Empat kelas yang menjadi inti dari LADM adalah LA_Party, LA_RRR, LA_BAUnit dan LA_SpatialUnit.
gambar 1 Kelas utama dalam LADM (Sumber DIS 19152 LADM)
LA_Party bisa berupa orang, badan hukum maupun kelompok orang. LA_Party mempunyai spesialisasi LA_GroupParty sehingga prinsip bahwa Cadastre 2014 tidak mengubah sistem tenure bisa dicapai. LA_RRR merupakan implementasi dari pendaftaran hak atas tanah termasuk restriksi dan responsibility dan LA_SpatialUnit merupakan objek tanah (Land Object). LA_SpatialUnit dapat di spesialisasi menjadi
6
ISO 19152/TC 211, Geographic information -- Land Administration Domain Model (LADM)
Prosiding
Page AA-4
Forum Ilmiah Tahunan Ikatan Surveyor Indonesia Pekanbaru, 10-11 November 2010
beberapa kelas sesuai dengan peraturan perundang – undangan di suatu negara (prinsip legal independence). Untuk penyimpanan riwayat data digunakan kelas khusus yang dinamai VersionedObject. Setiap kelas yang akan disimpan riwayatnya harus diturunkan dari kelas khusus ini seperti gambar berikut ini:
Gambar 2. Versioned object dalam LADM (Sumber DIS 19152 LADM)
Penerapan LADM pada prinsipnya tidak akan mengintervensi aturan hukum di suatu negara. Yang perlu dilakukan adalah mengenali kelas – kelas yang ada dalam LADM dan menyesuaikan beberapa hal antara lain 1. Mengidentifikasi objek – objek termasuk dalam kelas LA_SpatialUnit dalam suatu negara. 2. Mengenali tipe – tipe Right, Restriction dan Responsibility (RRR) yang ada 3. Melakukan ekstensi dari kelas-kelas yang ada agar hal-hal spesifik yang ada di suatu daerah dapat diakomodasi.
PERSPEKTIF BPN-RI MENGENAI PENGELOLAAN DATA Mengingat besarnya kuantitas data dan arti pentingnya data pertanahan maka dalam rangka mencapai tingkat akurasi yang tinggi, keamanan data, kemudahan penyebaran informasi dan efektifitas yang baik maka BPN melakukan langkahlangkah strategis sebagai berikut: Prosiding
Page AA-5
Forum Ilmiah Tahunan Ikatan Surveyor Indonesia Pekanbaru, 10-11 November 2010
1. Adopsi standar yang berlaku internasional. Tujuan yang ingin dicapai dalam adopsi standar internasional antara lain : melakukan globasisasi terhadap hal hal spesifik yang yang ada dalam sistem administrasi pertanahan di Indonesia. BPN telah melakukan kajian terhadap draft LADM dan memasukkan country profile didalamnya, terutama mengenai hak tanggungan. Heterogenitas suku dan adat di Indonesia menjadi daya tarik tersendiri bagi para ilmuwan administrasi pertanahan untuk menguji validitas LADM dalam berbagai kondisi terutama hak-hak atas tanah adat. Sebaliknya BPN juga belajar dari standar tersebut agar pengelolaan data pertanahan dapat lebih efektif. Standarisasi ini sangat penting mengingat visi kadaster di tahun 2034 antara lain adalah membuat kadaster di tingkat nasional interoperable ditingkat regional maupun global. 2. Penggunaan teknologi informasi BPN telah memulai penggunaan TI sejak tahun 1998 sejak dimulainya LOC (Komputerisasi Kantor Pertanahan). Perkembangan selanjutnya adalah BPN mendigitalisasikan data textual dan data spasial secara sistematik sejak tahun 2000 dan 2002 dan telah diintegrasikan dengan kedua data tersebut. Saat ini BPN sedang melakukan sentralisasi sistem administrasi pertanahan. Alasan utama untuk melakukan sentralisasi sistem adalah: Efesiensi anggaran. Kantor pertanahan (Kantah) BPN tersebar diseluruh wilayah kepulauan Indonesia dari perkotaan sampai dengan daerah baru pemekaran. Efesiensi sistem terpusat sangat terasa di daerah-daerah yang masih jauh dari kota besar dalam hal pemeliharaan hardware, software, dan sistem. Dengan sistem terpusat, server database dan aplikasi di tempatkan di pusat, kantah menjalankan aplikasi pada thin client melalui beberapa channel komunikasi antara lain MPLS, internet (Kabel, VSAT) bahkan juga mobile internet (HSDPA, 3G). Pembelian enterprise software seperti RDBMS dan OS Server dapat ditekan hanya pada level pusat saja, sementara sebagian besar client hanya memerlukan browser internet sehingga memungkinkan penggunaan OSS (open source software) seperti linux. Kemudahan pengelolaan data dan perangkat lunak. Dengan sistem terpusat, aplikasi terpasang dipusat sehingga kantah tidak perlu melakukan update jika ada perubahan aplikasi yang sering kali diakibatkan oleh beberapa faktor antara lain karena upgrade database, perubahan peraturan atau kesalahan aplikasi.
Prosiding
Page AA-6
Forum Ilmiah Tahunan Ikatan Surveyor Indonesia Pekanbaru, 10-11 November 2010
Kemudahan akses informasi. Dengan aplikasi terpusat, data pertanahan dari seluruh kantah disimpan dalam satu database pertanahan nasional. Pencarian informasi mengenai jumlah tanah terdaftar, pemilik, nilai transaksi pertanahan, tanah terlantar, tanah yang sedang dalam sengketa, nilai hak tanggungan dan lain-lain dapat dilakukan dengan cepat pada level nasional, propinsi dan kabupaten. Data sharing dengan instansi lain dapat dilakukan melalui satu pintu Keamanan data. Bencana alam yang terjadi di beberapa wilayah di Indonesia (jalur cincin api pacific), kebakaran maupun kelalaian sering kali mengakibatkan data fisik dan elektronik ikut rusak atau hilang. Sistem terpusat sudah merupakan DRC (Dissaster Recovery Centre) bagi kantah. Namun demikian database yang telah terpusat tersebut tetap harus dibackup ke daerah lain juga karena Jakarta sendiri bukanlah daerah yang aman dari bencana terutama bencana banjir. Dengan adanya DRC yang bertingkat tersebut diharapkan data pertanahan akan highly available disaat terjadi musibah. 3. Penggunaan Web 2.0 untuk peningkatan transparansi dan akurasi data. Konsep Web 2.0 pada dasarnya adalah komunikasi dilakukan secara 2 arah antara penyedia layanan dengan pengguna layanan (masyarakat dan instansi terkait). Konsep ini telah diterapkan oleh google melalui google earth dimana pengguna layanan dapat menambahkan informasi lainnya pada peta google baik informasi textual maupun multimedia. Beberapa layanan berdasarkan konsep web 2.0 telah dilakukan di BPN-RI dalam kaitan dengan data textual seperti pengaduan masyarakat, informasi mengenai tarif layanan pertanahan, dan status permohonan.
IMPLEMENTASI ARSITEKTUR SISTEM TERPUSAT Komponen Utama Sistem Terpusat BPN Pusat saat ini sedang membangun OLTP (Online Transaction Processing) dimana tantangan terbesar dalam pembangunan OLTP adalah availabilitas, bandwith, security dan banyaknya concurent user yang mengakses database dan aplikasi. Availabilitas diatasi dengan melakukan application clustering dan load. Rencana kedepan, akan dilakukan ko-lokasi ke beberapa area sehingga kinerja aplikasi akan lebih baik lagi karena jarak tempuh http request yang lebih pendek. Banyaknya concurent user yang mengakses aplikasi diatasi dengan manajemen ‘connection Prosiding
Page AA-7
Forum Ilmiah Tahunan Ikatan Surveyor Indonesia Pekanbaru, 10-11 November 2010
pooling’. Client yang akan mengakses database tidak selalu harus membuka koneksi, tetapi dapat menggunakan koneksi yang masih tersedia di dalam pool sehingga mempercepat proses secara dramatis. Secara garis besar, ada tiga komponen utama dalam aplikasi pelayanan pertanahan yang dibangun oleh BPN yaitu Workflow Management System (WfMS), Geospatial Information System (GIS), dan Document Management System (DMS). Ketiganya mengakses OLTP secara bersama. 1. Workflow Management System (WfMS) Aplikasi pelayanan pertanahan dengan WfMS saat ini telah memasuki tahap ujicoba dengan concurent user yang cukup besar untuk mendapatkan data awal mengenai konfigurasi hardware, software dan jaringan komunikasi yang harus disiapkan. Pada Tahun 2011 di kalkulasi akan ada minimal sejumlah 12x156 concurent user ke dalam sistem. Menyambut 2014 dimana visi Cadastre 2014 sudah harus dicapai, di tahun tersebut BPN akan memiliki minimal 440 x 20 concurent user. Workflow disesuaikan dengan Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nomor 1/2010. Workflow dibangun sebagai web service sehingga memungkinkan dikonsumsi oleh beberapa tipe aplikasi. Sebagai contoh, workflow service dikonsumsi oleh webform untuk pengguna loket pelayanan dan dikonsumsi oleh aplikasi pemetaan untuk pelaksana pemetaan.
2. Geospatial Information System (GIS) Istilah geospasial sebenarnya digunakan untuk menekankan pada data spasial yang bereferensi geografis sesuai dengan prinsip ketujuh Cadastre 2014. Data – data geospasial BPN disimpan dalam RDBMS dan sangat kompatibel dengan spesifikasi fitur sederhana dari Open Geospatial Consortium (OGC Simple Feature). Seperti halnya WMS, aplikasi SIG dibangun dengan konsep web service untuk memudahkan sharing data dengan instansi lain dalam kerangka JDSN.
Prosiding
Page AA-8
Forum Ilmiah Tahunan Ikatan Surveyor Indonesia Pekanbaru, 10-11 November 2010
Web map service yang dibangun didasarkan pada spesifikasi OGC untuk meminimalisir ketergantungan pada vendor tertentu. Harapannya adalah map service tersebut dapat diakses dengan standard terbuka (open standard) oleh instansi pemerintah lainnya dalam kerangka JDSN. SIG yang dibangun BPN untuk sistem terpusat ini didasarkan pada LADM. Data tekstual dan spasial diupdate melalui proses pelayanan maupun proses pemutahiran data sehingga data tersebut up-to-date dan mencerminkan kondisi riil di lapangan. 3. Document Management System (DMS) BPN-RI memiliki jumlah dokumen pertanahan (warkah) yang sangat besar mengingat jumlah data bidang tanah terdaftar lebih dari 40 juta bidang dan jumlah transaksi pertanahan pertahun lebih 3 juta transaksi. Masing-masing transaksi pertanahan tersebut memberikan kontribusi yang cukup signifikan terhadap kenaikan jumlah warkah pertanahan. Dokumen pertanahan meliputi semua dokumen pertahanan yang tersimpan di masing-masing Kantor Pertanahan, Kantor Wilayah, dan Kantor Pusat seluruh Indonesia mulai tahun 1920 sampai dengan saat ini. Sampai saat ini sebagian besar earkah tersebut masih dalam format analog. Sebagian warkah pertanahan tersebut berkaitan dengan kegiatan pertanahan sehari-hari. Untuk meningkatkan efisiensi prosedur layanan pertanahan dan menjamin keamanan semua dokumen pertanahan, BPN-RI sedang mengembangkan dan menerapkan sistem pengelolaan dokumen pertanahan (warkah). Dokumen Manajemen Sistem ini kemudian akan menjadi sistem yang terintegrasi dengan Workflow Management Sistem (WfMS) dan Sistem Informasi Geospasial (GIS). Semua dokumen pertanahan tersebut secara bertahap akan dikonversi ke format digital dan dapat diakses untuk pengguna internal atau yang telah terdaftar melalui Layanan Internet. Beberapa informasi dari warkah tersebut juga dapat diakses untuk masyarakat umum melalui aplikasi yang terpasang dalam www.bpn.go.id
Prosiding
Page AA-9
Forum Ilmiah Tahunan Ikatan Surveyor Indonesia Pekanbaru, 10-11 November 2010
Selanjutnya, untuk kepentingan statistik dan informasi publik BPN-RI akan mengimplementasikan OLAP (On-line Analitycal Process). Dengan OLAP, proses ekstraksi informasi dari sebuah database akan dapat ditingkatkan secara dramatis. Enterprise Architecture Infrastruktur sistem teknologi informasi BPN di desain dalam skala Enterprise dengan mempergunakan suatu konsep arsitektur yang disebut Enterprise Architecture. Di dalam konsep Enterprise Architecture, setiap sistem infrastruktur teknologi informasi dikelompokan menurut tugas dan fungsi yang akan dijalankan. Keuntungan dari penggunaan konsep Enterprise Architecture kemudahan dalam pengembangan system ke depan dan proses pemeliharaan. Sistem infrastruktur yang kompleks dan beragam dikelompokan dalam suatu area yang di sebut Zone. Berikut gambaran dari Enterprise Architecture. Sedangkan untuk menjaga keamanan sistem informasi antar Zone, dipergunakan Sistem Security secara berlapis yang mampu melakukan inspeksi paket data yang lewat. Sistem Security dipasang di masing-masing kantor-kantor baik itu di Kantor Pusat, Kantor Wilayah, maupun Kantor Pertanahan. Link Komunikasi Jalur link komunikasi yang akan menghubungkan antara kantor pertanahan, Kantor Wilayah dengan Data Center BPN-RIadalah sebagai berikut :
Link Komunikasi WAN BPN Mempergunakan link komunikasi yang mempunyai bandwidth 128Kbps dengan TELKOM dan LINTAS ARTHA sebagai provider. Teknologi yang dipergunakan untuk Link Komunikasi WAN BPN adalah jaringan dengan teknologi MPLS. Jaringan ini digunakan sebagai sarana untuk komunikasi data antar Kantor (Kantor Pertanahan, Kantor Wilayah, Kantor Pusat) misalnya data konsolidasi, data dari base station Cors, dan Voip
Prosiding
Page AA-10
Forum Ilmiah Tahunan Ikatan Surveyor Indonesia Pekanbaru, 10-11 November 2010
Link Komunikasi Internet Mempergunakan link komunikasi yang mempergunakan teknologi Internet yaitu Internet ADSL. Dipergunakan untuk kantor pertanahan yang hanya melakukan akses ke beberapa aplikasi Web Based yang dapat diakses melalui internet.
Service Oriented Architecture (SOA) Teknologi web service diterapkan pada semua aplikasi terpusat di BPN. Hal ini untuk mengantisipasi perkembangan ke depan bilamana data sharing telah menjadi kebutuhan dan kewajiban setiap instansi pemerintah. Sampai saat ini, hanya Geo Web Service yang telah di ekspose ke luar BPN-RI untuk kepentingan JDSN dan UKP4. Selain itu, Geo Webservice digunakan secara internal untuk memproses database geografis dari beberapa kedeputian yang lokasinya terletak pada beberapa gedung yang terpisah. SOA juga merupakan implementasi dari Enterprise Architecture, dimana application layer dipisahkan dari presentation layer, sehingga terbentuk suatu n-tier application. Teknologi geo webservice yaitu suatu sistem software yang dirancang untuk mendukung interaksi interoperabiliti mesin ke mesin melalui jaringan komunikasi. Rancangan teknologi web service dalam pengembangan pengelolaan data spasial di BPN-RI dan interoperability dengan masyarakat ataupun instansi lain seperti digambarkan dalam gambar Server Software Stack.
Prosiding
Page AA-11
Forum Ilmiah Tahunan Ikatan Surveyor Indonesia Pekanbaru, 10-11 November 2010
TANTANGAN Sistem pegelolaan data pertanahan di BPN-RI sampai saat ini sedang dalam tahap penyelesaikan seluruh aplikasi untuk melayani keperluan internal pengelolaan data dari tingkat Kantor Pertanahan, Kantor Wilayah, dan Kantor Pusat. Portofolio aplikasi yang sedang dikembangkan adalah integrasi sistem dan data menuju komputerisasi BPN-RI melalui pengembangan 2 (dua) program strategis yaitu Sistem Informasi dan Manajemen Pertanahan Nasional (SIMTANAS) dan Sistem Informasi Pengelolaan Administrasi Ketatausahaan Terpadu (SIMPADU). Kedua program strategis ini akan mengacu pada arsitektur system, apllikasi dan hardware secara terpusat. Pengembangan aplikasi selanjutnya adalah pemanfaatan web 2.0 kepada masyarakat agar dapat berinteraksi secara langsung dengan BPN-RI untuk meningkatkan transparansi pelayanan publik dalam kerangka implementasi e-gov, meningkatkan keakurasian data pertanahan (tekstual dan spasial), dan meningkatkan public trust dalam pengelolaan aset masyarakat dan negara. Pengembangan system ini diharapkan akan meningkatkan iklim investasi, dan Beberapa layanan pertanahan online yang akan disiapkan kepada masyarakat antara lain pendaftaran layanan pertanahan, informasi mengenai pengumuman pendaftaran bidang tanah berikut sanggahannya (jika ada), community mapping, pengecekan sertipikat dan layanan-layanan khusus lainnya untuk pihak-pihak yang berkepentingan dengan data pertanahan seperti PPAT, Bank, dan Instansi Pemerintah lainnya Pengembangan arsitektur sistem perngelolaan pertanahan secara terpusat memerlukan tersedianya sarana komunikasi Internet dan keamanan jaringan yang sangat memadai. Diharapkan Pemerintah (Menkoninfo) beserta penyedia jasa (provider) telekomunikasi dapat menyiapkan infrastruktur komunikasi ini tersedia secara merata diseluruh wilayah Indonesia dengan lebar bandwidth yang cukup.
Prosiding
Page AA-12
Forum Ilmiah Tahunan Ikatan Surveyor Indonesia Pekanbaru, 10-11 November 2010
PELUANG Google Earth mulai yang diluncurkan sejak Juni 2005 rupanya mendapat sambutan hangat dari para pengguna internet. Keberhasilan ini diikuti oleh beberapa penyedia layanan online lainnya seperti Microsoft Virtual Earth, Yahoo Map, Nokia Ovi Map, ataupun Blackberry map sehingga dikenal istilah ‘Virtual Earth’ untuk layanan – layanan internet yang berbasis peta. Kemunculan virtual earth yang dimotori oleh pemain – pemain IT raksasa tersebut bisa dipastikan karena adanya pangsa pasar yang sangat besar di dalam data – data spasial tersebut. Banyak pengembang web mulai membuat aplikasi internet diatas virtual earth tersebut yang dikenal dengan mash-up, baik yang bersifat free maupun layanan berbayar. BPN-RI melihat perlunya mengembangkan modeling sistem dalam pengelolaan data pertanahan untuk memenuhi kepentingan 3 segmen pengguna data pertanahan yaitu pengguna yang berasal dari BPN sendiri, Publik maupun Instansi Pemerintah lainnya. informasi dari modeling system ini diharapkan dap[at memenuhi kerluan dalam hal: Pengambilan keputusan yang tepat dalam menetapan arah kebijakan pertanahan meliputi penetapan nilai tanah, pengadaan tanah, konsolidasi tanah, tanah terlantar, daerah rawan sengketa, reforma agraria. Manajemen aset pemerintah, swasta dan individu. Manajemen asset sangat penting dilakukan inventarisasi kekayaan negara, pelacakan kekayaan (untuk mendukung good governance), reformasi agraria, ataupun penyelesaian kasus – kasus pidana dan perdata. Perencanaan pembangunan fisik seperti perencaan pembuatan jalan baru, saluran irigasi, rel kereta api, rusunami. Beberapa hambatan yang kini dihadapi oleh pemerintah dalam pembangunan fisik adalah masalah besarnya nilai ganti rugi tanah dan pola kepemilikan tanah di lokasi yang akan terkena proyek. BPN mencatat nilai tanah dan juga nilai transaksi tanah, sehingga diharapkan data tersebut dapat membantu pengambilan keputusan secara tepat. Sebagai informasi awal untuk melihat pola-pola spatial pattern dalam rangka penelitian kesehatan seperti flu burung dan malaria, konservasi lingkungan, analisa ekonomi untuk kepentingan pemasaran produk, analisis dampak bencana, pengentasan kemiskinan, politik, dll
Pekanbaru, 10 November 2010
Prosiding
Page AA-13
Forum Ilmiah Tahunan Ikatan Surveyor Indonesia Pekanbaru, 10-11 November 2010
PEMANFAATAN CITRA SATELIT LANDSAT UNTUK ANALISIS POLA PERUBAHAN LAHAN 1994-2001 DI WILAYAH BANDUNG Oleh : Albertus Deliar, D. Muhally Hakim dan Agung Budiharto Kelompok Keahlian Penginderaan Jauh & Sains Informasi Geografis Fakultas Teknik Sipil dan Lingkungan - ITB Email :
[email protected],
[email protected], dan
[email protected]
ABSTRAK Wilayah Bandung merupakan salah satu wilayah yang bersifat dinamis dari segi penggunaannya. Hal ini disebabkan adanya dua karakteristik kewilayahan yang berbeda didalamnya, yaitu perkotaan (Kota Bandung dan Cimahi) di bagian tengah dan pertanian (Kabupaten Bandung) di bagian luar. Bentuk wilayah ini mengakibatkan terjadinya pola perubahan lahan yang dinamis, terutama dampak perkembangan kota terhadap pertanian/pedesaan. Oleh karena itu, diperlukan usaha untuk mengkaji tingkat perubahan lahan yang terjadi selama ini sehingga dapat digunakan untuk membantu pengambilan keputusan dalam menjaga kelestarian lahan. Salah satu cara untuk mengetahui besarnya perubahan lahan ini ialah dengan memanfaatkan teknologi penginderaan jauh/inderaja (remote sensing). Penggunaan teknologi dengan satelit ini digunakan untuk merekam kondisi permukaan bumi secara periodik. Hasil citra rekaman tersebut dianalisis untuk mengetahui seberapa besar perubahan yang terjadi. Dari proses yang dilakukan, citra satelit dapat dimanfaatkan untuk menganalisis pola perubahan lahan. Namun, perlu diperhatikan jenis citra yang digunakan dan tingkat kedalaman informasi yang diinginkan karena setiap citra memiliki resolusi yang berbeda-beda. Selain itu, untuk citra jenis Landsat, informasi yang dihasilkan cukup tinggi untuk skala peta menengah sehingga dapat digunakan untuk membantu dalam pengambilan keputusan yang berkaitan dengan perubahan lahan, seperti untuk perencanaan tata ruang kabupaten. Kata Kunci: Wilayah Bandung, Citra Landsat, perubahan lahan.
PENDAHULUAN Wilayah Bandung merupakan kawasan yang memiliki karakteristik keruangan yang cukup unik. Keunikan yang dimaksud disini ialah adanya satu wilayah administrasi pemerintahan, Kabupaten Bandung dan termasuk Kota Cimahi yang pada saat itu belum berpisah, yang mengelilingi administrasi lainnya, Kota Bandung. Dengan bentuk batas administrasi ini maka berbagai aktivitas yang terjadi di Kota Bandung akan berpengaruh terhadap Kabupaten Bandung. Begitu juga sebaliknya terutama untuk daerah di perbatasan. Kota Bandung telah mengalami perkembangan yang cukup pesat sebagai salah satu kota besar di Indonesia, terutama kedudukannya sebagai ibukota propinsi Jawa Barat. Berbagai infrastruktur dan sifat-sifat sebagaimana layaknya sebuah kota telah tumbuh sejalan dengan pertambahan waktu. Hal ini dapat dilihat, antara lain, dengan menjamurnya pusat-pusat perbelanjaan dan peningkatan jumlah sarana prasarana komunikasi. Salah satu implikasi dari pertumbuhan kota yang cepat ini ialah terjadi perubahan lahan baik dari segi fungsi (landuse) maupun tutupannya (landcover), yang mengarah pada peningkatan penggunaan lahan untuk sektor industri dan jasa. Kondisi ini wajar terjadi
Prosiding
Page AB-1
Forum Ilmiah Tahunan Ikatan Surveyor Indonesia Pekanbaru, 10-11 November 2010
sebagai dampak perkembangan kota yang lebih mengarah ke sektor-sektor jasa dan industri tersebut. Namun, akibat peningkatan lahan sebagai sektor usaha ini ialah sukarnya memperoleh lahan dengan harga murah di tengah-tengah kota. Dengan kondisi ini maka masyarakat lebih memilih daerah pinggiran atau luar kota sebagai alternatif lahan untuk memenuhi kebutuhannya, terutama bagi pemukiman. Kabupaten Bandung, termasuk Kota Cimahi yang belum berpisah, sebagai daerah administratif yang melingkari Kota Bandung sudah sewajarnya mengalami dampak perubahan lahan juga, baik positif maupun negatif, yang ditimbulkan dari perubahan lahan di Kota Bandung. Beberapa perubahan yang telah dirasa ialah munculnya daerah-daerah industri dan kawasan permukiman di perbatasan Kabupaten ini dengan Kota Bandung. Hal tersebut dapat terjadi sebagai akibat sukarnya memperoleh lahan di perkotaan. Dengan adanya kondisi ini dan cepatnya perubahan lahan di daerah perkotaan maka sudah sewajarnya dilakukan analisis dinamika lahan yang terjadi. Analisis ini perlu dilakukan sebagai salah satu bentuk masukkan dalam perencanaan penggunaan lahan agar digunakan sesuai dengan kemampuannya. Dengan demikian maka diharapkan perencanaan tersebut dapat mengantisipasi berbagai hal dari penggunaan lahan yang mungkin menimbulkan dampak-dampak negatif bagi masyarakat. Namun, permasalahannya ialah bagaimana perubahan lahan tersebut dapat dianalisis secara cepat. Sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, proses pengumpulan data spasial telah mengalami kemajuan yang pesat dengan adanya teknik penginderaan jauh (remote sensing) atau yang disingkat dengan inderaja. Teknik inderaja ini memanfaatkan citra satelit untuk merekam dan menginformasikan kondisi permukaan bumi secara cepat. Dengan kata lain, teknologi inderaja tersebut mampu untuk mengetahui kondisi landcover (tutupan lahan) yang terjadi setiap saat.
Kota Bandung Kabupaten Bandung
Gambar 1. Batas administrasi Kabupaten Bandung dan Kota Bandung.
Dewasa ini, perkembangan teknologi penginderaan jauh sebagai sarana untuk memperoleh informasi spasial telah berkembang sangat pesat. Hal ini terlihat dari tingkat ketelitian informasi yang dapat diberikan sudah cukup tinggi seperti munculnya citra IKONOS yang memiliki resolusi sekitar 1 meter, bahkan citra Quickbird dengan resolusi sekitar 0,5 m. Telah banyak penelitian dilakukan berkenaan dengan hasil rekaman citra satelit ini. Dimulai dari metode interpretasinya untuk mendapatkan informasi kebumian selengkap dan sedetail mungkin sampai dengan analisis-analisis untuk bidang tertentu. Berbagai penelitian yang menggunakan berbagai jenis citra satelit ini antara lain ialah penelitian tentang pengukuran Prosiding
Page AB-2
Forum Ilmiah Tahunan Ikatan Surveyor Indonesia Pekanbaru, 10-11 November 2010
teksture citra mulai dari Wezka (1976) sampai Tso dan Mather (2001) (dalam Mather,2004); identifikasi lahan bakar pasca kebakaran hutan dengan citra JERS-1 SARS (Budiman, 2003), analisis tutupan lahan Pulau Jawa dengan citra SPOT (Lasmana, 2005) dan lain sebagainya. TUJUAN DAN METODE Sesuai permasalahan yang ada maka tujuan penelitian ini ialah mengkaji kemampuan teknologi inderaja, dalam hal ini menggunakan citra Landsat, secara maksimal dalam membantu menganalisis pola perubahan lahan di Wilayah Bandung (Kota Bandung dan Kabupaten Bandung). Selain itu, penelitian ini juga merupakan salah bagian awal dari penelitian pemodelan prediksi perubahan lahan yang sedang dibangun saat ini. Untuk melaksanakan penelitian ini, beberapa peralatan bahan yang digunakan ialah: Seperangkat komputer Data citra satelit landsat dua periode dengan nomor scene 122/65 dan 121/65. Perangkat lunak pemrosesan citra satelit Peta Rupa Bumi Indonesia di Wilayah Bandung. Penelitian ini diawali dengan melakukan proses klasifikasi citra satelit Landsat TM untuk tahun 1994 dan 2001. Proses klasifikasi untuk memperoleh informasi tutupan lahan dilakukan secara terawasi (supervised classification). Terawasi yang dimaksud disini ialah dengan membandingkannya terhadap peta Rupa Bumi Indonesia (RBI) skala 1:25.000 di daerah tersebut.
Data Proses
· Koreksi geometrik · Klasifikasi citra
· Peta tutupan lahan 1994 · Peta tutupan lahan 2001
Analisis
· Data citra Landsat TM tahun 1994 dan 2001 · Data peta RBI Wilayah Bandung
Informasi
Metode Penelitian
Analisis pola perubahan dan keterkaitan tutupan lahan Kabupaten dan Kota Bandung
Gambar 2. Metode Penelitian
Prosiding
Page AB-3
Forum Ilmiah Tahunan Ikatan Surveyor Indonesia Pekanbaru, 10-11 November 2010
Dengan adanya informasi tutupan lahan di kedua tahun untuk setiap daerah, maka tahapan selanjutnya ialah menganalisis pola perubahan tutupan lahan yang terjadi dan menginvestigasi kemungkinan penggunaan data citra satelit untuk melihat keterkaitan pola perubahan antar daerah, Gambar 2. CITRA LANDSAT Pada tanggal 23 Juli 1972, NASA (National Aeronautics and Space Administration) meluncurkan satelit satelit ERTS-1 (Earth Resource Technology Satellite-1). Tepat sebelum peluncuran satelit ERTS–2, pada 22 Januari 1975, NASA secara resmi mengganti nama program ERTS menjadi Program Landsat sehingga ERTS-1 dan ERTS–2 menjadi Landsat-1 dan Landsat-2. Sampai saat ini jenis yang sudah diorbitkan mencapai Landsat 7 (Sutanto, 1994).
Gambar 3. Karakteristik sensor landsat 7. (http://landsat.gsfc.nasa.gov/project/satellite.html)
Pada Landsat 7, yang merupakan seri satelit lanjutan dari Ladsat 5, dibawa satu sensor yaitu sistem TM (Thematic Mapper) yang ditingkatkan (Enhanched TM/ETM). Sistem ETM mempunyai jumlah band dan sifat spektral serta resolusi spasial yang sama dengan sistem TM pada Ladsat 5, dengan tambahan satu band pankromatik yang resolusi spasialnya sebesar 15 x 15 meter. Dengan resolusi spasial yang lebih tinggi tersebut, sistem ETM ini juga didesain agar lebih efektif dan efisien untuk memantau perubahan objek di permukaan bumi fisik, pemantauan tutupan lahan dan juga pemetaan daerah yang luas (Zulfan, 2005). Tabel 1. Spesifikasi Landsat 7. KRITERIA Waktu Peluncuran Ketinggian Orbit Satelit Sudut Inklinasi Periode Waktu Perekaman Lebar Rekaman Waktu Lintas Ekuator Pengulangan tempat yang sama Sensor TM Saluran 1 (Biru) Saluran 2 (Hijau) Saluran 3 (Merah) Saluran 4 (Inframerah Dekat) Saluran 5 (Inframera Pendek) Saluran 6 (Inframerah Termal) Saluran 7 (Inframerah Pendek)
Prosiding
SPESIFIKASI 15 April 1999 705 km 98,2 ° 16 hari 185 km 10:00 AM Tiap 17 hari 0,45 – 0,52 μm 0,52 – 0,60 μm 0,63 – 0,69 μm 0,76 – 0,90 μm 1,55 – 1,75 μm 10,40 – 12,50 μm 2,08 – 2,35 μm
Page AB-4
Forum Ilmiah Tahunan Ikatan Surveyor Indonesia Pekanbaru, 10-11 November 2010 Sensor ETM Resolusi Spasial Sensor TM Resolusi Spasial Sensor
0,5 – 0,9 μm 30 x 30 meter, band 6 : 60 x 60 meter 15 x 15 meter
PENGOLAHAN DATA CITRA SATELIT Untuk memperoleh informasi dari data citra satelit, perlu dilakukan suatu proses pengolahan data. Proses ini sering juga disebut dengan pengolahan citra digital mengingat data citra satelit disimpan dalam format digital. Secara umum pengolahan citra digital meliputi : a. Data Masukan, adalah data citra satelit pada daerah yang akan dikaji. b. Rektifikasi, merupakan proses merekonstruksi atau perbaikan baik secara radiometrik maupun geometrik. c. Penajaman, adalah proses perbaikan mutu (enhancement) untuk penajaman citra. d. Klasifikasi, merupakan suatu pengolahan untuk menginterpretasikan obyek pada citra sehingga sesuai dengan obyek yang diamati. e. Data Luaran, ialah peta hasil klasifikasi yang dapat dalam dua bentuk yaitu bentuk analog, misalnya film atau kertas warna/foto warna, dan bentuk digital, yang umumnya digunakan sebagai salah satu unsur tumpangan dalam data geografis (Sistem Informasi Geografis). Khusus untuk proses interpretasi citra (klasifikasi), diperlukan pengetahuan untuk memilih saluran yang tepat agar sesuai tujuannya. Misalkan saluran dua memang dimaksudkan untuk menekankan pembedaan vegetasi dan penilaian kesuburan sedangkan saluran empat dimaksudkan untuk dapat membantu identifikasi tanaman. Bahkan kemampuan untuk menggabungkan beberapa saluran juga perlu diketahui untuk membantu menginterpretasikan data citra yang diperoleh sehingga didapat gambaran obyek secara jelas. PELAKSANAAN, HASIL DAN ANALISIS Pelaksanaan Proses teknis pelaksanaan penelitian yang dilakukan dimulai dari persiapan sampai analisis dari hasil interpretasi dan perbandingan dari citra tahun 1994 dan 2001. Secara umum, pekerjaan yang dilakukan dapat dilihat pada gambar 4.
Prosiding
Page AB-5
Forum Ilmiah Tahunan Ikatan Surveyor Indonesia Pekanbaru, 10-11 November 2010 Persiapan
Proses Interpretasi Citra 2001 : · Koreksi Geometrik · Klasifikasi Terawasi
Peta Tutupan Lahan 1994 Kabupaten & Kota Bandung
Peta Tutupan Lahan 2001 Kabupaten & Kota Bandung
Analisis Pola Tutupan Lahan Kabupaten dan Kota Bandung
Proses
Proses Interpretasi Citra 1994 : · Koreksi Geometrik · Klasifikasi Terawasi
Informasi
Data Citra Landsat TM – 2001 Kabupaten & Kota Bandung
Data Peta Rupa Bumi Indonesia (RBI)
Analisis
Data Citra Landsat TM – 1994 Kabupaten & Kota Bandung
Data
Metode Ilmiah
Gambar 4. Pelaksanaan penelitian
Pada pelaksanaan penelitian ini, koreksi geometrik yang dilakukan untuk menghilangkan kesalahan-kesalahan geometrik pada citra dan juga untuk mendapatkan koordinat citra yang bergeoreferensi menggunakan 20 titik GCP (ground control point) untuk setiap scene yang terletak di posisi yang relatif sama. Dari hasil proses koreksi yang terbaik ini maka proses untuk menggabungkan dua scene (122/65 dan 121/65) di setiap periode (tahun 1994 dan 2001) dapat dilakukan. Sebelum melakukan penggabungan kedua scene setiap periode, dilakukan terlebih dahulu proses interpretasi citra untuk setiap scene (4 scene) dengan cara klasifikasi terawasi. Klasifikasi terawasi dengan metode maximum likelihood ini menggunakan acuan klasifikasi lahan yang terdapat di peta rupa bumi Indonesia, yaitu kelas perairan, hutan, perkebunan, lahan terbangun, lahan kosong, sawah berair, ladang, semak belukar, awan dan bayangan awan. Proses interpretasi setiap citra, sebelum digabungkan sesuai periode, dilakukan untuk menghindari kesalahan akibat nilai pixel yang berbeda di setiap citra untuk kelas yang sama. Hal ini sangat mungkin terjadi sebagai akibat waktu pengambilan citra yang berbeda sehingga nilai kecerahan (pantulan sinar) berbeda juga. Hasil Setelah proses klasifikasi selesai, maka proses penggabungan dua citra untuk setiap waktu dapat dilakukan. Hasil penggabungan tersebut berupa peta klasifikasi lahan di Wilayah Bandung untuk setiap periode, Gambar 5.
Prosiding
Page AB-6
Forum Ilmiah Tahunan Ikatan Surveyor Indonesia Pekanbaru, 10-11 November 2010
a. Tahun 1994.
b. Tahun 2001.
Gambar 5. Citra tutupan lahan di Wilayah Bandung
Analisis Perubahan Lahan Untuk mengetahui informasi perubahan tutupan lahan digunakan metode crosstab antara citra tahun 1994 dengan citra tahun 2001. Hasil dari crosstab memberikan informasi perubahan tutupan lahan di lokasi suatu tempat dan juga total luas perubahan yang terjadi. Hasil proses perhitungan crosstab dari peta tutupan lahan dengan klasifikasi terawasi ditunjukkan pada tabel 2. Pada tabel tersebut terlihat bahwa perubahan yang paling besar terjadi ialah dari hutan menjadi sawah sebesar 333.035 pixel. Dengan resolusi citra Landsat sebesar 30 meter atau 900 m2 untuk setiap pixel-nya, maka luas hutan menjadi sawah tersebut sekitar 29.973,15 ha. Adapun luas perubahan terkecil terjadi pada semak belukar yang menjadi perairan, yaitusebesar 1 pixel (900 m2). Tabel 2. Perubahan tutupan lahan Wilayah Bandung tahun 1994 dan 2001 (pixel). 1994
2001
1
2
1
95.919
4.624
2
2.707
561.129
3
444
126.280
4
950
14.732
3
4 63
5
6
7
8
9
Σ
10
1
12
48
120.094
15.303
82
468
2.668
707.340
76.018
997
988
30
363.893
50.827
634
5.935
63
222.714
201
761
17.530
935
52.918
364
2.441
69.260
103.598
2.540
4.301
48.697
3.264
76.807
24.851
44.651
5
587
2.932
404
6.098
4.975
13.966
12.035
9
684
25
41.715
6
15.020
333.035
64.500
7.971
30.188
499.593
203.955
873
1.327
316
1.156.778
7
1.413
164.767
89.006
16.164
26.492
248.178
259.392
2.105
3.840
63
811.420
8
951
24.983
642
122
1.442
45.212
4.312
0
32
9
77.705
9
451
36.660
4.388
15.050
4.753
17.217
22.712
729
7.395
205
109.560
10
2.429
25.236
1.570
80
289
10.803
3.515
6
50
1.561
45.539
Σ
120.871
1.294.378
320.353
125.397
100.493
1.015.107
649.004
5.436
20.731
4.988
3.656.758
Prosiding
Page AB-7
Forum Ilmiah Tahunan Ikatan Surveyor Indonesia Pekanbaru, 10-11 November 2010 Keterangan : 1 : Perairan, 2 : Hutan, 3 : Perkebunan, 4 : Lahan terbangun, 5 : Lahan kosong, 6 : Sawah berair/basah, 7 : Ladang, 8 : Semak belukar, 9 : Awan, 10: Bayangan awan.
Dengan melakukan perbandingan luas dan lokasi tutupan lahan di tahun 1994 yang tidak berubah di tahun 2001 maka penambahan luas yang cukup besar terjadi pada lahan sawah, ladang dan perkebunan. Penambahan untuk luas sawah, ladang dan perkebunan masingmasing sebesar 657,185 pixel; 552,028 pixel dan 260,295 pixel, tabel 3. Tabel 3. Luas penambahan lahan dari 1994 ke 2001 LUAS LAHAN 1 2 3 4 5 6 7 8
Total 2001 (pixel)
Perairan Hutan Perkebunan Lahan Terbangun Lahan Kosong Sawah Ladang Semak Belukar Total
Tetap (pixel)
120.094 707.340 363.893 222.714 41.715 1.156.778 811.420 77.705 3.501.659
Penambahan (pixel)
Penambahan (ha)
24.175 146.211 260.295 145.907 36.740 657.185 552.028 77.705 1.900.246
2.175,75 13.158,99 23.426,55 13.131,63 3.306,60 59.146,65 49.682,52 6.993,45 171.022,14
95.919 561.129 103.598 76.807 4.975 499.593 259.392 0 1.601.413
Dalam menganalisi pola tutupan lahan di masing-masing administrasi (Kabupaten dan Kota Bandung), maka data citra yang ada dibagi dua bagian yaitu data Kabupaten Bandung (termasuk Cimahi) dan data Kota Bandung. Untuk memperoleh data tersebut dilakukan analisis tumpangsusun (overlay) dengan menggunakan batas administrasi yang berupa data vektor. Dari hasil proses tersebut diketahui pola perubahan tutupan lahan di masing-masing daerah, seperti pada Tabel 4 dan 5. Tabel 4. Luas (pixel) pola perubahan Kabupaten Bandung (termasuk Cimahi). 1994
2001
1
2
1
93.661
4.197
2
2.500
559.816
3
402
125.857
4
580
14.497
5
250
2.752
6
11.934
329.634
7
921
164.061
8
803
9
400
Prosiding
3
4 58
5
6
7
8
177
701
15.235
864
52.918
253
2.037
65.209
103.598
2.538
4.277
48.290
3.264
26.274
12.382
405
2.978
2.754
64.499
5.548
89.006
12.908
24.750
642
36.614
4.388
9
Σ
10
1
12
48
114.954
15.161
82
466
2.668
701.110
75.956
997
988
30
362.933
34.600
43.506
631
3.656
63
139.453
10.615
10.078
9
493
25
30.359
24.752
472.791
199.234
873
1.237
316
1.110.818
22.651
238.767
253.488
2.103
3.726
63
787.694
79
1.271
43.494
4.114
0
27
9
75.189
11.730
4.098
16.334
21.724
708
6.236
205
102.437
Page AB-8
Forum Ilmiah Tahunan Ikatan Surveyor Indonesia Pekanbaru, 10-11 November 2010 10
2.192
25.118
1.570
74
262
10.355
3.511
6
49
1.561
44.698
Σ
113.643
1.287.296
320.348
62.559
75.185
955.690
627.636
5.410
16.890
4.988
3.469.645
Dari tabel 4, terlihat untuk Kabupaten Bandung bahwa perubahan lahan terbesar terjadi dari klasifikasi 2 (hutan) menjadi klasifikasi 6 (sawah). Bahkan lahan hutan di tahu 1994 mengalami perubahan terbesar dibandingkan klasifikasi lahan lainnya yaitu sebesar 115.856,64 ha (1.287.296 pixel). Hal ini menunjukkan terjadinya degradasi hutan untuk Kabupaten Bandung. Adapun untuk Kota Bandung, perubahan terbesar terjadi dari lahan kosong (kelas 5) menjadi lahan terbangun (kelas 4) sebesar 1.120,14 ha (12.446 pixel). Hal tersebut disadari mengingat daerah ini merupakan kawasan perkotaan yang relatif perubahannya mengarah ke lahan terbangun sebagai tempat kegiatan usaha dan permukiman. Perubahan lahan secara detai dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5. Luas (pixel) pola perubahan Kota Bandung. 1994 2
3
4
5
6
7
8
9
Σ
10
1
2.256
427
5
24
60
2.295
71
0
0
----
5.138
2
207
1.299
0
111
399
4.021
141
0
2
----
6.180
3
42
417
0
2
24
404
62
0
0
----
951
4
370
234
0
50.508
12.446
10.027
7.305
3
2.276
----
83.169
5
337
180
0
3.113
2.215
3.341
1.944
0
191
----
11.321
6
3.086
3.380
1
2.420
5.415
26.662
4.683
0
90
----
45.737
7
492
702
0
3.243
3.822
9.353
5.867
2
113
----
23.594
8
148
231
0
43
169
1.713
198
0
5
----
2.507
9
51
46
0
3.318
655
882
987
21
1.157
----
7.117
10
237
118
0
6
26
447
4
0
1
----
839
Σ
7.226
7.034
6
62.788
25.231
59.145
21.262
26
3.835
----
186.553
Dalam proses pembagian untuk setiap batas adminitrasi, terjadi perbedaan luas di tahun 2001 akibat perubahan antara total luas Wilayah Bandung dengan jumlah total dari Kabupaten dan Kota Bandung. Total perbedaan yang terjadi antara luas lahan di wilayah dengan total luas lahan kabupaten dan kota sebesar 560 pixel atau 50,4 ha. Adapun lahan sawah (kelas 6) memiliki perbedaan terbesar yaitu 223 pixel (20,07 ha). Secara umum, besarnya perbedaan luas tersebut jika dibandingkan dengan luas daerah Wilayah Bandung (3.656.758 pixel) ternyata tidak kecil karena hanya sebesar 0,02%, bahkan semua klasifikasi lahan masih dibawah 1%, Tabel 6. Tabel 6. Perbedaan luas lahan Wilayah dengan Kabupaten dan Kota Bandung (pixel). KELAS
KABUPATEN
KOTA
KAB. KOTA
WILAYAH
SELISIH
PROSENTASE
(1)
(2)
(3)
(4) = (2)+(3)
(5)
(6) = (5)-(4)
(7) = (6)/(4) %
2001
2001
1
1
114,954
5,138
120,092
120,094
2
0.00%
2
701,110
6,180
707,290
707,340
50
0.01%
3
362,933
951
363,884
363,893
9
0.00%
4
139,453
83,169
222,622
222,714
92
0.04%
Prosiding
Page AB-9
Forum Ilmiah Tahunan Ikatan Surveyor Indonesia Pekanbaru, 10-11 November 2010 5
30,359
11,321
41,680
41,715
35
0.08%
6
1,110,818
45,737
1,156,555
1,156,778
223
0.02%
7
787,694
23,594
811,288
811,420
132
0.02%
8
75,189
2,507
77,696
77,705
9
0.01%
9
102,437
7,117
109,554
109,560
6
0.01%
10
44,698
839
45,537
45,539
2
0.00%
3,469,645
186,553
3,656,198
3,656,758
560
0.02%
Total
Dari data perubahan di Kabupaten dan Kota Bandung ini, analisis keterkaitan perubahan diantara kedua wilayah administrasi tersebut tidak mungkin dilakukan. Hal ini disebabkan data inderaja hanya menyampaikan informasi lokasi tutupan yang terjadi di setiap tempat saja dan tidak memberikan informasi keterkaitan perubahan di suatu tempat sebagai dampak dari perubahan di tempat lain. Berbagai metode matematis (statistika) tidak dapat digunakan untuk mengetahui keterkaitan perubahan lahan antar wilayah dengan hanya mengandalkan data inderaja saja. Untuk mengetahui keterkaitan tersebut, sangat diperlukan informasi dari faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya perubahan lahan. Faktor-faktor inilah yang `mungkin` memiliki keterkaitan antar lokasi sehingga dengan mengetahui pola aktivitas faktor-faktor tersebut maka keterkaitan perubahan lahan di berbagai tempat dapat diketahui. Oleh karena itu, diperlukan penelitian lebih lanjut dalam mengidentifikasi faktor-faktor penyebab perubahan lahan. PENUTUP Dari seluruh aktivitas penelitian ini, baik praktis maupun teoritis, dapat disampaikan beberapa kesimpulan dan saran. Kesimpulan Citra satelit dapat dimanfaatkan untuk menganalisis pola perubahan lahan. Namun, perlu diperhatikan jenis citra yang digunakan dan tingkat kedalaman informasi yang diinginkan karena setiap citra memiliki resolusi yang berbeda-beda. Dalam hal penggunaan citra landsat yang beresolusi 30 meter maka hanya obyek-obyek sebesar 30 meter saja yang secara jelas akan terlihat. Analisis pola perubahan lahan di suatu tempat dapat menggunakan data citra satelit ini. Informasi yang dihasilkan cukup tinggi untuk skala peta menengah sehingga dapat digunakan untuk membantu dalam pengambilan keputusan yang berkaitan dengan perubahan lahan, seperti untuk perencanaan tata ruang kabupaten. Dari hasil klasifikasi lahan, terjadi kerancuan penggunaan jenis klasifikasi yang mencampurkan antara istilah tutupan lahan (landcover) dengan penggunaan/fungsi lahan (landuse). Sebagai contoh, istilah sawah menunjukan penggunaan lahan sedangkan tutupan lahannya ialah padi. Dalam penelitian ini, pengklasifikasian yang digunakan mengacu pada peta rupa bumi Indonesia, dimana istilah tersebut memang saling tercampur. Pada Wilayah Bandung, perubahan lahan yang paling besar berubah ialah lahan hutan. Hal ini terlihat dari 1.294.378 pixel menjadi 707.340 pixel atau berkurang sebesar ±52.833,42 ha di tahun 2001. Hal ini perlu menjadi perhatian, mengingat hutan merupakan salah satu lahan yang perlu dijaga kelestariannya. Keterkaitan pola perubahan tutupan lahan antar wilayah tidak dapat dianalisis jika hanya menggunakan data citra satelit saja. Hal ini didasari atas kemampuan data citra yang
Prosiding
Page AB-10
Forum Ilmiah Tahunan Ikatan Surveyor Indonesia Pekanbaru, 10-11 November 2010
hanya memberikan informasi tutupan lahan yang terjadi sehingga hanya dapat digunakan untuk mengetahui pola perubahan lahan, bukan keterkaitan perubahan antar daerah. Saran Sebaiknya dilakukan penelitian untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya perubahan lahan sehingga keterkaitan perubahan lahan di suatu tempat dengan tempat lainnya dapat diketahui. Perlu juga dilakukan penelitian untuk melakukan koreksi geometrik dari citra dalam hal penyamaan lokasi pixel dari berbagai citra yang berbeda waktu untuk suatu tempat. Hal ini penting untuk mengeliminir kesalahan akibat pemotongan citra-citra tersebut yang dapat menimbulkan perbedaan luas dari citra terpotong itu. DAFTAR PUSTAKA Budiman, R. (2003), Identifikasi Ketebalan Lahan Bakar Pasca Kebakaran Hutan dengan Citra Satelit JERS-1 SAR, Prosiding FTSP-ITB, Bandung. Deliar, A., D. Muhally Hakim dan Agung Budiharto (2005), Pemanfaatan Penginderaan Jauh Untuk Menganalisis Keterkaitan Pola Perubahan Land Cover Di Kabupaten Bandung Dan Di Kota Bandung, Laporan Penelitian, Departemen Teknik Geodesi, FTSP-ITB, Bandung. Deliar, A. (2003), Pemanfaatan Mean Spatial Statistic Untuk Analisis Pergeseran Populasi Penduduk, Prosiding Seminar Forum Ilmiah Tahunan Masyarakat Penginderaan Jauh, Bandung. Diyono (2001), Kajian Kualitas Interpretasi Citra Untuk Mendeteksi Perubahan Liputan Lahan, Tesis Teknik Geodesi, Program Pasca Sarjana ITB. Field, B. G. dan B. D. MacGregor (1987), Forecasting Techniques for Urban and Regional Planning, UCL Press, London. Gunawan, E. (2002), Pemanfaatan Citra Landsat TM5 dan Citra Landsat TM7 Untuk Pemantauan Perubahan Areal Hutan Dengan Menggunakan NDVI, Tugas Akhir, Departemen Teknik Geodesi-ITB, Bandung. Lesmana, Y. (2005), Analisis Perubahan Tutupan Vegetasi dan Non-Vegetasi di Pulau Jawa Menggunakan Citra SPOT Vegetation, Skripsi, Teknik Geodesi-ITB, Bandung. Liew, C. (2001), Principles of Remote Sensing, National Univercity of Singapore, http://www.crisp.nus.edu.sg/~research/tutorial/optical.htm Lillesand, T. M. dan R. W. Kiefer (1994), Remote Sensing and Image Interpretation, John Wiley and Sons, New York. Mather, P. M. (2004), Computer Processing of Remotely-Sensed Images, 3rd Edition, John Wiley and Sons, West Sussex. NASA (1998), The Landsat 7 Satellite, http://landsat.gsfc.nasa.gov/project/satellite.html
Instrument
and
Data,
Pemerintah Kabupaten Bandung (2004), Situs Resmi Pemerintah Kabupaten Bandung, http://gerbang.jabar.go.id/kabbandung. Sutanto (1994), Penginderaan Jauh, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, Indonesia. Wainwright, J. dan M. Mulligan (2004), Environmental Modelling, Finding Simplicity in Complexity, John Wiley and Sons, West Sussex.
Prosiding
Page AB-11
Forum Ilmiah Tahunan Ikatan Surveyor Indonesia Pekanbaru, 10-11 November 2010
Kajian Ketelitian Pembuatan Digital Elevation Model (DEM) Menggunakan Foto Udara Non Metrik 1
Dr. Ir. Bobby S. Dipokusumo, M.sc, 2 Prof. Dr. Ir. Ishak H. Ismullah, DEA, 3 Soni Darmawan, ST. MT. 4 Miim Wijayanti, ST.
Abstrak Digital Elevation Model (DEM) merupakan representasi geometrik suatu permukaan tanah. Beberapa cara pengukuran/ pengamatan yang dapat digunakan untuk mendapatkan DEM suatu area, yaitu cara pengukuran terrestrial, laser/ radar profiling dan restitusi foto udara atau citra satelit. Tergantung pada jenis aplikasi/ peruntukan serta luas areanya, pemilihan cara pengukuran/ pengamatan yang tepat dilakukan dengan mempertimbangkan faktor efisiensi waktu, biaya serta kemudahan dalam pelaksanaannya. Sistem Foto Udara Format Kecil (FUFK) merupakan salah satu alternatif metoda pengukuran dan pemetaan fotogrametri yang dapat digunakan untuk mendapatkan DEM. Makalah ini membahas tentang ketelitian DEM yang diperoleh dari sistem FUFK. Pengambilan foto udara dilakukan dengan menggunakan wahana pesawat tanpa awak yang dilengkapi dengan kamera non metrik digital. Pemrosesan data dan analisis ketelitian hasil titik-titik DEM dilakukan dengan memperhitungkan faktor kalibrasi kamera, ketinggian terbang, jenis tutupan lahan serta cara penurunan DEM dari area yang diteliti. Dalam penelitian ini dilakukan pula pengembangan sistem navigasi pesawat berbasis GPS dalam upaya agar pemotretan dapat dilakukan dengan sistematik dan lebih efisien. Area penelitian yang dipilih adalah daerah Nagrek, Kabupaten Bandung, Jawa Barat dengan pertimbangan bahwa daerah tersebut dapat mewakili area datar dan perbukitan serta tataguna lahan yang beragam. 1. PENDAHULUAN Teknologi foto udara format kecil (SFAP) dengan pesawat RC merupakan alternatif teknologi akuisisi data untuk aplikasi pada area dengan luas efektif maksimal 300 Ha. SFAP dengan pesawat RC menggunakan komponen sistem perangkat yang relatif lebih sederhana dan lebih murah bila dibandingkan dengan sistem fotogrametri baku. Namun demikian, sampai berapa jauh teknologi tersebut dapat secara teknis digunakan khususnya dari aspek geometrisnya. Sedangkan dari aspek waktu dan biaya, dalam penelitian ini tidak secara langsung dikaji. 1
Staf Pengajar pada Prodi Teknik Geodesi & Geomatika FITB ITB, 2 1 Staf Pengajar pada Prodi Teknik Geodesi & Geomatika FITB ITB, 3 Mahasiswa S3 pada Prodi Teknik Geodesi & Geomatika FITB ITB, 4 Mahasiswa S2 pada Prodi Teknik Geodesi & Geomatika FITB ITB
Prosiding
Page AC-1
Forum Ilmiah Tahunan Ikatan Surveyor Indonesia Pekanbaru, 10-11 November 2010
Penelitian ini menitik-beratkan pada kemampuan sistem ini dalam memperoleh Digital Elevation Model (DEM) dengan memperhitungkan faktor-faktor yang mempengaruhi ketelitian DEM yang dihasilkan. Secara hipotesis, ketelitian hasil restitusi SFAP menjadi DEM tergantung dari kalibrasi kamera, resolusi tanah, jenis tutupan lahan serta cara perolehan DEM disamping tentunya ketelitian titik kontrol tanah yang digunakan untuk restitusi. Resolusi tanah tergantung dari ketinggian terbang, dan khusus untuk penggunaan kamera digital akan tergantung pula dari ukuran pixel CCD dari kamera yang digunakan. Aspek selanjutnya yang menjadi kajian dalam penelitian ini adalah penyertaan data kalibrasi kamera dalam proses restitusi foto udara. Jenis kamera apapun yang digunakan dipastikan akan terjadi penyimpangan/ kesalahan pada foto udara yang dihasilkan. Pada penelitian ini digunakan jenis kamera digital 12 MP. Sebagaimana pada kamera metrik sekalipun maka pada kamera non metrik-pun akan ada penyimpangan/ distorsi dari besaran-besaran kamera. Besaran-besaran tersebut antara lain panjang fokus, titik utama foto dan yang paling dominan adalah distorsi lensa kamera. Proses pembentukan DEM itu sendiri dilakukan dari model pasangan foto stereo. DEM dapat dibuat dengan dua metode, manual dan otomatis. Metode otomatis dilakukan dengan cara mencocokkan fitur-fitur dari foto stereo atau dikenal dengan metode image matching [Mikhail, EM, 2001]. Kedua metode baik manual maupun otomatis memiliki kelebihan dan kekurangan, metode manual dapat menghasilkan DEM yang akurat, namun membutuhkan waktu yang relatif lama dan biaya yang mahal untuk area yang luas. Metode otomatis dapat lebih cepat dan murah, tapi untuk daerah perkotaan dan hutan DEM relatif sulit untuk dibuat. Pemotretan udara format kecil dilakukan pada daerah sekitar Nagrek, Kabupaten Bandung. Pada daerah percobaan telah dilakukan pula pengukuran sejumlah titik kontrol tanah dan titik cek. Titik kontrol tanah digunakan untuk orientasi absolute pada proses restitusi model sedang titik cek digunakan sebagai pembanding hasil penurunan DEM secara fotogrametris dengan DEM terestrial. Dari hasil analisis ketelitian DEM ini kemudian dapat dibuat antara lain suatu tabel yang memperlihatkan hubungan antara saran ketinggian terbang dengan resolusi DEM yang diinginkan.
2. SISTEM FOTO UDARA FORMAT KECIL Foto udara format kecil adalah suatu sistem pemetaan fotogrametris menggunakan kamera nonmetrik dengan wahana pesawat ringan berawak atau pesawat remote kontrol (RC) tanpa awak. Secara konseptual, sistem foto udara format kecil untuk pemetaan sama dengan sistem pemetaan fotogrametri konvensional menggunakan kamera metrik. Perbedaannya adalah pada Prosiding
Page AC-2
Forum Ilmiah Tahunan Ikatan Surveyor Indonesia Pekanbaru, 10-11 November 2010
wahana dan kamera yang digunakan. Sistem pemetaan fotogrametri konvensional menggunakan wahana pesawat berawak yang mampu membawa kamera metrik dan sistem navigasinya dengan total bobot kurang lebih 35 kg s/d 50 Kg. Sedangkan sistem foto udara format kecil dengan bobot kamera antara 0.3 kg s/d 4 kg dapat menggunakan pesawat tanpa awak, pesawat ultra ringan atau ringan berawak, lihat Gambar 2-1.
Layang-layang
Balon Udara
Pesawat miniatur
Pesawat berawak
Gambar 2-1 Wahana sistem Foto Udara Format Kecil (FUFK)
Pemilihan sistem fotogrametri konvensional, FUFK/(format medium) berawak dan FUFK tanpa awak terutama adalah pada kemampuan jangkauan pemotretannya. Fotogrametri konvensional biasanya digunakan untuk pemetaan dengan luas area > 3000 Ha, bila kurang dari luas tersebut menjadi tidak efisien. Sedang FUFK/(format medium) berawak akan efektif untuk area 300 Ha – 3000 Ha. Sedangkan FUFK tanpa awak lebih cocok digunakan untuk pemetaan area kurang dari 300 Ha. Efektifitas dari penggunaan sistem mana yang digunakan terutama diukur dari aspek waktu serta biaya. Pada penelitian ini system SFAP yang digunakan adalah sistem FUFK dengan menggunakan pesawat R/C (Gambar 2-2). Adapun spesifikasi wahana yang digunakan untuk penelitian mempunyai spesifikasi sbb :
Rentang sayap : 210 cm Panjang : 150 cm Tinggi : 45 cm Berat muatan : 1.5 kg Kecepatan jelajah : 50 km/hr Endurance : 40 menit
Prosiding
Page AC-3
Forum Ilmiah Tahunan Ikatan Surveyor Indonesia Pekanbaru, 10-11 November 2010
To/L track : 15 – 20 m Ketinggian terbang maksimum : 600 m diatas tanah. Radius pengoperasian maksimum : 1000 m
Gambar 2-2 Pesawat Remote Control (R/C)
Pengendalian dari pesawat ini dilakukan menggunakan sistem navigasi berbasis GPS. Rencana terbang dibuat sesuai dengan jarak antar jalur dan jarak antar eksposur yang kemudian diplot pada monitor. Dalam pengendalian pesawat, operator pesawat dipandu oleh sistem tracking yang dapat dilihat dari monitor. Pengembangan sistem ini merupakan bagian dari penelitian sehingga masih perlu disempurnakan lagi untuk sampai pada konsep seperti yang dapat dilihat pada Gambar 3-3. Pada tahap awal pengembangan dalam penelitian ini, belum sampai pada pengembangan monitor 2 yang diperuntukan bagi juru kamera.
Gambar 3-3 Sistem navigasi pesawat FUFK
Prosiding
Page AC-4
Forum Ilmiah Tahunan Ikatan Surveyor Indonesia Pekanbaru, 10-11 November 2010
Sedangkan kamera yang digunakan pada penelitian ini adalah kamera digital non-metrik Panasonic FX 580, dengan spesifikasi kamera sebagai berikut :
3.
Max Resolution (4000 x 3000) pixel Effective pixel 12.1 milion Sensor Size (6.13 x 4.60) mm Sensor Type CCD Focal length 4 mm Dimensi (95 x 57 x 22) mm
MODEL PERMUKAAN DIGITAL Salah satu produk yang umum dalam fotogrametri adalah Digital Elevation Model (DEM) [Mikhail, E.M, 2001]. DEM merupakan representasi diskrit dari permukaan topografi [Wolf, P.R, 2000]. Digital Elevation Model (DEM) adalah model digital informasi ketinggian dari permukaan tanah. Pada penelitian ini DEM diekstrak dari model 3D foto udara format kecil menggunakan dua cara, secara manual dan otomatik. Pembentukan DEM secara otomatik dilakukan dengan menentukan besarnya interval grid titik-titik DEM yang akan diekstrak secara otomatik dari model stereo. Perangkat lunak yang digunakan untuk restitusi dan penurunan DEM adalah PCI Geomatik versi. 9.0 Serial number DPTKL55TACL43WCWLANKKQXDLWQCK8E11.
Gambar 3-1 Digital Elevation Model (DEM)
Dalam penelitian ini pembentukan DEM dilakukan dengan Sistem Foto Udara Format Kecil (SFAP) menggunakan pesawat Remote Kontrol (RC). Daerah kajian yang digunakan dalam penelitian ini adalah daerah sekitar Nagrek. Pemotretan diambil pada ketinggian HT (H terbang) sekitar 220 m dengan menggunakan kamera digital Lumix FX 580 12.1 MB, dengan Prosiding
Page AC-5
Forum Ilmiah Tahunan Ikatan Surveyor Indonesia Pekanbaru, 10-11 November 2010
panjang fokus terkalibrasi 4.45 mm. Ketinggian terbang pemotretan diperoleh dengan menggunakan kontrol jarak di tanah atau menggunakan sejumlah titik kontrol tanah yang disiapkan untuk keperluan pemrosesan data.
Dimana HT adalah tinggi terbang pesawat, f adalah panjang fokus kamera terkalibrasi, bsf adalah bilangan skala foto. Untuk memudahkan cara penghitungan digunakan print foto dengan perbesaran sedemikian rupa sehingga pengukuran kontrol jarak dapat dilakukan dengan mudah dan ketelitian yang cukup. Sejumlah titik kontrol tanah dan titik cek lapangan diukur dengan menggunakan Electronic Total Station (ETS). Enam titik kontrol tanah ditempatkan pada posisi titik standard (gruber points) yang digunakan untuk orientasi absolut. Sedang titik cek lapangan yang ditempatkan berupa grid digunakan untuk menganalisis ketelitian DEM dengan jumlah 39 titik. 4. PERCOBAAN Pada penelitian ini, percobaan yang dilakukan meliputi kalibrasi kamera, restitusi foto stereo, dan pembentukan DEM. Diagram penelitian seperti ditunjukkan pada Gambar 4-1.
Pemotretan Udara
Pengukuran GCP dan Cek point
Restitusi Foto Stereo
Kalibrasi Kamera
GCP
Model Stereo
Pembentukan DEM secara automatic Digital Elevation Model (DEM)
Cek point
Analisis
Gambar 4-1 Diagram Alir Penelitian
Prosiding
Page AC-6
Forum Ilmiah Tahunan Ikatan Surveyor Indonesia Pekanbaru, 10-11 November 2010
4.1 KALIBRASI KAMERA Setiap kamera yang digunakan untuk pengambilan foto udara, secara geometri harus dikalibrasi termasuk kamera FUFK yang digunakan dalam penelitian. Kalibrasi kamera dilakukan dengan tujuan untuk meningkatkan ketelitian DEM Small Format yang dihasilkan dalam penelitian ini. Adapun kalibrasi yang dilakukan pada kamera di atas meliputi kalibrasi distorsi kamera radial dan tangensial, kalibrasi titik tengah foto (Xp, Yp) dan kalibrasi panjang fokus, untuk selanjutnya parameter ini akan digunakan sebagai input preoses orientasi dalam. Pada penelitian ini kalibrasi kamera Panasonic FX 580 dilakukan di laboratorium sebanyak 5kali percobaan, dan diperoleh parameter internal kamera (Tabel 4-1). Tabel 4-1 Parameter internal kamera dari proses kalibrasi kamera Panasonix FX 580 Sesi 1 f
Sesi 2
Sesi 3
Sesi 4
Sesi 5
Rata-Rata
(mm)
4.5311
4.5334
4.5436
4.5472
4.5432
4.54
Xp (mm)
0.0141
0.0098
0.004
0.0032
0.0061
0.007
Yp (mm)
0.0513
0.0535
0.056
0.0531
0.0618
0.055
K1
0.002523
0.00114
0.001524
0.002383
0.001918
0.001898
K2
-0.001056
-0.000386
-0.000572
-0.001028
-0.000771
-0.000765
K3
0.000146
0.000054
0.000079
0.000145
0.000104
0.000105
P1
0.000066
0.000107
0.000141
0.000137
0.00009
0.000108
P2
-0.000423
-0.000411
-0.000387
-0.000344
-0.000466
-0.000406
Persamaan umum yang digunakan untuk menentukan nilai distorsi radial untuk setiap jarak tertentu dari pusat kamera adalah [Atkinson, K.B, 1996]:
Dengan persamaan tersebut, dapat dihitung nilai distorsi radial seperti yang ditunjukkan pada
Distorsi radial (um)
Gambar 4.2 berikut ini.
Prosiding
1 0.5 Series1
0 0 -0.5
1
2
3
4
Linear (Series1)
jarak radial (mm)
Page AC-7
Forum Ilmiah Tahunan Ikatan Surveyor Indonesia Pekanbaru, 10-11 November 2010 Gambar 4-2 Distorsi radial lensa kamera Panasonic FX 580
Distorsi tangensial adalah pergeseran titik yang disebabkan karena kesalahan sentring pada komponen lensa, Nilai distorsi tangensial dihitung dengan menggunakan persamaan berikut ini [Australis guide, 2001]: ( )
(
)
Distorsi tangensial (um)
Dengan persamaan tersebut, dapat dihitung nilai distorsi tangensial seperti yang ditunjukkan pada Gambar 4.3 berikut ini. 0.008 0.006 0.004
Series1
0.002
Linear (Series1)
0 -0.002 0
1 2 3 jarak radial (mm)
4
Gambar 4-3 Distorsi tangensial lensa kamera Panasonic FX 580
4.2 RESTITUSI FOTO STEREO Proses selanjutnya adalah restitusi foto stereo. Pasangan foto yang direstitusi dan diproses menjadi DEM adalah seperti pada Gambar 4-3 di bawah ini :
Gambar 4-3 Pasangan foto stereo (kiri dan kanan) area percobaan
Prosiding
Page AC-8
Forum Ilmiah Tahunan Ikatan Surveyor Indonesia Pekanbaru, 10-11 November 2010
DEM diturunkan dari model stereo yang sudah bergeoreferensi dalam hal ini mengikuti sistem proyeksi UTM. Untuk memperoleh model stereo dilakukan orientasi relatif dengan input 6 titik ikat model (tie point), penyebaran titik dapat dilihat pada Gambar 4-4.
Gambar 4-4 Penyebaran titik ikat model dan titik kontrol tanah
Ketelitian dari hasil orientasi relatif dapat dilihat pada Tabel 1-1. Pada Tabel tersebut, secara keseluruhan ketelitiannya dibawah 1 meter, ketelitian titik paling rendah adalah pada titik 4 foto kanan dan paling maksimum pada titik 5 foto kiri. Tabel 4-2 Nilai residual titik ikat model (tie point) hasil orientasi relatif Point ID
Prosiding
Res
Res X (m)
Res Y (m)
ID Foto
T0001
0.323
-0.061
-0.317
R-907
T0001
0.276
-0.052
-0.271
L-909
T0002
0.019
0.003
0.019
L-909
T0002
0.004
0.002
0.003
R-907
T0003
0.249
0.048
0.244
R-907
T0003
0.21
0.036
0.207
L-909
T0004
0.032
-0.014
-0.029
R-907
T0004
0.007
-0.005
0.005
L-909
T0005
0.011
-0.003
0.01
R-907
T0005
0.01
-0.008
-0.006
L-909
T0006
0.053
-0.017
-0.05
L-909
T0006
0.036
-0.012
-0.034
R-907
Page AC-9
Forum Ilmiah Tahunan Ikatan Surveyor Indonesia Pekanbaru, 10-11 November 2010
Setelah itu model relatif diorientasi absolut, dengan menggunakan 8 titik kontrol tanah dengan penyebaran seperti yang ditunjukkan pada Gambar 4-4. Hasil bundle adjustmet dari titik kontrol tanah pada model stereo dapat dilihat pada tabel 4-3.
Tabel 4-3 Nilai residual titik kontrol tanah (GCP) hasil orientasi absolut Point ID
Diff
Diff X (m)
Diff Y (m)
Diff Z (m)
G0009
1.323
0.586
-0.108
1.184
G0005
1.274
-0.578
0.118
1.13
G0003
1.264
-0.466
0.703
0.942
G0001
1.176
0.653
0.29
-0.934
G0002
1.167
0.026
-0.06
-1.165
G0004
1.155
0.575
0.85
-0.53
G0007
0.899
-0.111
-0.231
-0.862
4.3 PEMBENTUKAN DEM Percobaan pembuatan Digital Elevation Model (DEM) pada penelitian ini dilakukan terhadap pasangan foto yang saling bertampalan dari kamera non-metrik yaitu Panasonic DMC FX 580. DEM degenerate secara otomatic dengan menggunakan spesifikasi, minimum ketinggian adalah 880m dan maksimum ketinggian 930m, serta interval piksel sampling 16 piksel. Dari hasil percobaan diperoleh DEM seperti yang ditunjukkan pada Gambar 4-5.
Gambar 4-5 DEM dari model stereo hasil percobaan (dengan pembesaran Z 10x)
Prosiding
Page AC-10
Forum Ilmiah Tahunan Ikatan Surveyor Indonesia Pekanbaru, 10-11 November 2010
Dengan menggunakan cekpoint yang diukur sebelumnya, diperoleh nilai perbedaan ketinggian antara ketinggian cekpoint dari pengukuran GPS RTK dan ketinggian cek point pada DEM. Dari hasil perhitungan diperoleh nilai selisih kedua pengukuran seperti ditunjukkan pada tabel 4-4. Tabel 4-4 Selisih ketinggian dari hasil pengukuran titik cek dengan GPS RTK dan DEM No
H-GPS (m)
H-DEM (m)
Diff H (m)
No
H-GPS (m)
H-DEM (m)
Diff H (m)
42
895.39
899.922
-4.532
4
903.136
903.185
-0.049
26
896.8
900.776
-3.976
49
896.32
896.367
-0.047
44
904.527
908.417
-3.89
46
898.832
898.673
0.159
41
896.641
900.402
-3.761
19
899.912
899.635
0.277
28
897.677
900.778
-3.101
45
899.522
899.098
0.424
40
898.235
901.303
-3.068
21
901.747
901.211
0.536
38
895.892
898.668
-2.776
5
906.316
905.682
0.634
39
895.036
897.655
-2.619
27
899.484
898.751
0.733
36
892.042
894.63
-2.588
18
901.453
900.678
0.775
35
892.691
894.764
-2.073
17
903.011
901.965
1.046
50
893.758
895.815
-2.057
6
907.69
906.619
1.071
43
894.218
896.226
-2.008
2
903.703
902.393
1.31
34
892.781
894.764
-1.983
16
904.576
903.08
1.496
37
893.341
895.323
-1.982
14
905.65
903.479
2.171
33
892.701
894.513
-1.812
15
906.83
904.591
2.239
3
900.015
901.35
-1.335
8
909.106
906.428
2.678
22
896.962
898.286
-1.324
11
908.457
905.37
3.087
32
892.835
893.82
-0.985
10
909.194
906.056
3.138
25
895.7
896.664
-0.964
7
912.325
908.644
3.681
23
896.648
897.571
-0.923
13
910.712
907.014
3.698
1
901.277
901.946
-0.669
12
910.032
906.328
3.704
24
894.717
895.179
-0.462
9
913.481
908.79
4.691
20
896.893
897.192
-0.299
29
910.358
903.97
6.388
5. ANALISIS KETELITIAN DEM Selisih ketinggian pada titik cek ditunjukkan oleh adanya perbedaan ketinggian antara titiktitik DEM hasil turunan restitusi dengan ketinggian titik cek hasil pengukuran GPS RTK (real time kinematik). Proses restitusi dan penurunan DEM dilakukan secara analitik menggunakan prinsip kesegarisan dan realisasi pencarian pasangan titik pada kedua pasang foto menggunakan teknik “automatic image matching”. Dari Tabel 4-4. dapat dilihat bahwa Prosiding
Page AC-11
Forum Ilmiah Tahunan Ikatan Surveyor Indonesia Pekanbaru, 10-11 November 2010
penyimpangan ketinggian pada titik cek disebabkan oleh kesalahan random (acak) dan kesalahan sistematik.
1. Kesalahan random pada pengadaan titik kontrol tanah dan titik cek antara lain :
Ketelitian pengukuran titik kontrol model dan titik cek lapangan yang dilakukan menggunakan GPS RTK. Ketelitian relatif pengukuran posisi dan ketinggian menggunakan GPS real time kinematik cukup baik. Dalam penelitian ini tidak dilakukan kajian secara khusus berapa besar ketelitian penentuan posisi dengan cara ini. Dari manual di sebutkan bahwa ketelitian penentuan posisi (X,Y) sebesar = 10 mm dan Z sebesar = 20 mm [Prinle, J.K, 2004]. Khusus untuk kajian DEM, ketelitian Z di atas dianggap non stokastik. ketelitian identifikasi dan penandaan titik-titik kontrol model yang digunakan untuk restitusi model 3 dimensi. Ketelitian identifikasi dan penandaan titik dilakukan secara manual pada titik-titik “natural”. Dari ketinggian terbang sekitar 220 meter dengan resolusi tanah (X,Y) sekitar 6 cm diperkirakan ketelitian identifikasi dan penandaan titik kontrol model dan titik cek berkisar 5 s/d 10 piksel atau 30 – 60 cm. Untuk daerah yang relatif datar maka hal tersebut tidak akan berpengaruh terhadap kesalahan penentuan harga Z.
2. Kesalahan sistematik
Kesalahan kamera yakni distorsi radial dimana dalam percobaan ini telah dikoreksi. Berdasarkan hasil kalibrasi yang dilakukan diperoleh parameter kalibrasi seperti yang ditunjukkan pada Tabel 4-1. Dari hitungan terhadap titik yang terjauh dari titik utama memberikan simpangan maksimal sebesar 0.9748 mikro meter atau di tanah = 4.779cm. Besaran ini ternyata relatif kecil atau kurang dari satu piksel dimana peneliti menganggap hasilnya tidak mewakili sampel yang cukup karena percobaan hanya dilakukan menggunakan satu kamera dan hanya pada satu model stereo saja.
Kesalahan pada proses restitusi model 3D seperti yang dibahas di atas dilakukan secara analitik dimana prinsip kesegarisan direalisasikan dengan cara otomatic image matching. Dari Tabel 4.4. dan pola penyebaran titik cek dapat dilihat adanya penyimpangan ketinggian yang cukup signifikan yang disebabkan oleh pola tutupan lahan yang berbeda, kesalahan akibat image matching serta pola distorsi model akibat kesalahan restitusi.
Prosiding
Page AC-12
Forum Ilmiah Tahunan Ikatan Surveyor Indonesia Pekanbaru, 10-11 November 2010
(a) Pada titik-titik yang terdapat pada daerah vegetasi dan perumahan mempunyai perbedaan yang cukup besar sedang pada titik-titik yang terdapat di atas tanah terbuka perbedaannya relatif kecil (di bawah satu meter) . Pada kasus ini memang merupakan kelemahan metoda fotogrametri dimana informasi ketinggian tanah tidak dapat diperoleh secara langsung melalui pengamatan model foto udara. Bila permukaan tanah terhalang oleh awan, vegetasi atau bangunan maka DEM dari bagian area-area tersebut tidak akan akurat. (b) Kesalahan akibat “automatic image matching”. Perbedaan ketinggian disebabkan adanya ketidak-ketepatan dalam proses automatic image matching. Penyebabnya adalah ketidaksamaan antara pasangan foto kiri dan kanan. Ketidak-samaan dapat berupa antara lain : (1) perbedaan detail dari kedua pasang area (search window) satu dengan lainnya sebagai akibat sudut pengambilan foto yang berbeda. Misalnya suatu titik yang terletak pada perbatasan area terbuka dengan area vegetasi atau bangunan yang mempunyai ketinggian; (2) skala foto yang berbeda, (3) kecerahan yang berbeda. Pada percobaan terlihat beberapa titik yang masuk dalam kategori (1) yang di sebutkan memang mempunyai perbedaan yang cukup signifikan. (c) Pola distorsi model akibat kesalahan restitusi. Pada percobaan hasil restitusi model 3D terlihat adanya distorsi yang mirip dengan distorsi model akibat kesalahan elemen orientasi. Pada Gambar 5-1 di bawah ini terlihat distorsi ungkitan dan puntiran.
Gambar 5-1 Distorsi model akibat
Prosiding
Page AC-13
Forum Ilmiah Tahunan Ikatan Surveyor Indonesia Pekanbaru, 10-11 November 2010
6. KESIMPULAN & SARAN
Kesimpulan :
Secara umum ketelitian DEM ditentukan oleh sumber data dari sistem fotogrametri yakni foto udara serta karakteristik survey area. Beberapa hal yang terkait baik langsung maupun tidak langsung dengan hal yang disebutkan di atas dapat disimpulkan sebagai berikut : 1. Pengadaan titik kontrol tanah harus disesuaikan dengan tingkat kebutuhan resolusi/ ketelitian DEM. Untuk skala besar/ resolusi tinggi maka dapat disamakan dengan tingkat kebutuhan untuk pembuatan peta besar. Termasuk ketelitian identifikasi/ penandaan titik kontrol dan tinggi terbang pesawat karena ketelitian merupakan fungsi dari tinggi terbang. 2. Untuk penggunaan kamera format kecil, kalibrasi kamera khususnya distorsi akibat lensa kamera menjadi syarat mutlak, meskipun pada penelitian yang dilakukan tidak terlalu signifikan karena kemungkinan secara kebetulan pengaruh distorsi lensa kamera pada sampel model yang digunakan hanya dari satu kamera. Penelitian lebih lanjut perlu dilakukan dengan menyertakan jenis dan jumlah kamera yang lebih banyak. 3. Pada sistem restitusi dan penurunan DEM menggunakan automatic image matching perlu dilakukan kajian yang lebih dalam mengingat hasil yang dilakukan secara berulang pada penelitian ini tidak terlalu stabil, khususnya pada pasangan window yang agak berbeda, misal pada titik sekitar vegetasi, bangunan atau topografi yang ekstrim. 4. Ketelitian DEM tergantung dari jenis liputan area terkait. Fotogrametri mempunyai kelemahan untuk daerah yang tertutup vegetasi dan bangunan. Perlu adanya survey penyempurnaan untuk jenis daerah tersebut di atas. 5. Untuk keperluan pembentukan DEM untuk area terbatas, metoda SFAP menggunakan pesawat R/C dapat menjadi suatu alternatif di samping metoda pemetaan baku yang ada.
Saran : 1. Kalibrasi kamera merupakan faktor yang sangat penting dalam menentukan ketelitian hasil DEM. 2. Untuk mendapatkan jalur dengan overlap dan sidelap yang teratur navigasi berbasis GPS perlu disempurnakan
Prosiding
Page AC-14
Forum Ilmiah Tahunan Ikatan Surveyor Indonesia Pekanbaru, 10-11 November 2010
3. Sesuai dengan kebutuhan resolusi DEM yang hendak diturunkan maka perlu disesuaikan tinggi terbang pesawat saat pemotretan. 4. Untuk DEM area bervegetasi sebaiknya dikombinasikan dengan metoda data akuisisi lainnya.
7. DAFTAR PUSTAKA 1. Atkinson, J.B, 1996, Close range Photogrammetry and Machine Vision, Whittles Publishing, Scotland, UK. 2. Mikhael, M.E., Bethel, J.S., McGlone, J.S, 2006, Introduction to Modern Photogrammetry, John Willey & Sons, Inc. USA. 3. Sarapirome, S, Application of DEM Data to Geological Interpretation: Thong Pha Phum Area, Thailand. 4. Pringle, J.K, et. al, 2004, 3D high-resolution Digital Models of Outcrop Analogue Study Sites to Constrain Reservoir Model Uncertainty : an Example from Alport Castles, Derbyshire, UK . Petroleum Geoscience, Vol. 10, pp. 343-352. 5. Wolf, P.R, 2000, Element Photogrammetry third Edition, McGraw-Hill Companies, US. 6. (2000). Matching methods for automatic DTM generation, Geodaetisches Seminar SS, (http://www.photogrammetry.ethz.ch/general/persons/maria/matching.pdf).
Prosiding
Page AC-15