Irfan Teori Abstrak Makalah ini bermaksud untuk menjelaskan pembahasan irfan secara global dan diperuntukkan bagi mereka yang sama sekali tidak pernah bersentuhan dengan pembahasan irfan sebelumnya. Dalam makalah ini, selain menjelaskan beberapa tema-tema penting dalam irfan tapi juga berusaha menjelaskan beberapa istilah irfan. Fokus makalah ini menjelaskan bangunan pemikiran irfan Ibn Arabi sebagai peletak pertama bangunan dasar irfan teori. Kata kunci ; irfan, wujud, wahdatul wujud, zat, Al-Haq, ta’ayyun awwal, ta’ayyun tsani, tajalli, insan kamil. Muqaddimah Sebelum kami menjelaskan lebih jauh, ada baiknya jika kita mengetahui letak persamaan dan perbedaan antara istilah irfan dan tasawwuf. Mungkin ada yang membedakan kedua istilah tersebut berdasarkan mazhab yang ada, bahwa irfan mewakili kaum syi’ah sedangkan tasawwuf mewakili kaum sunni. Mungkin juga ada yang membagi dalam terma lain bahwa irfan dibangun berdasarkan terma-terma filosofis sedangkan tasawwuf non filosofis. Diantara pemilahan irfan dan tasawwuf yang ada, kami lebih memilih pemilahan yang diyakini oleh Ayatullah Murtadha Muthahhari bahwa sebenarnya tidak ada perbedaan sama sekali antara irfan dan tasawwuf. Irfan adalah tasawwuf dan tasawwuf adalah irfan itu sendiri. Perbedaan ini muncul dari sudut pandang seseorang terhadap seorang Sufi. Jika yang kita saksikan pada seorang Sufi adalah sistem alam pemikirannya maka pada hakekatnya kita sedang menyaksikan aspek irfani dari Sufi tersebut, namun jika yang kita saksikan pada seorang Sufi aspek sosialnya – seperti bagaimana prilaku kesehariannya, cara berpakaian, tingkah laku, dst – maka yang sedang kita saksikan pada Sufi tersebut adalah aspek tasawwufnya.1 Berdasarkan hal diatas, pada diri seorang Sufi terdapat dua aspek sekaligus, pertama adalah sisi irfannya dan yang kedua adalah sisi tasawwufnya. Sisi irfan menjelaskan aspek pandangan dunia seorang Sufi, menjelaskan tentang bagaimana pemikiran dia tentang wahdatul wujud, konsep tajalli dan tentang manusia yaitu insan kamil. Sisi tasawwuf menjelaskan aspek sair suluknya yang terbingkai dalam prilaku kesehariannya. Pembahasan kita kali ini menjelaskan tentang irfan teori yaitu menjelaskan aspek pemikiran dari seorang sufi. Oleh karena itu kata yang tepat yang kita gunakan saat ini adalah irfan. Dari hal diatas kita bisa melihat pembagian besar dalam irfan, irfan teori dan irfan amali (tasawwuf). Irfan teori adalah sebuah penafsiran akan eksistensi – dalam hal ini wahdatul wujud – dan konsekwensinya berdasarkan syuhud dan mukasyafah. Sedangkan irfan amali (tasawwuf) menjelaskan proses yang harus dijalani manusia sehingga sampai pada puncak tauhid (wahdatul wujud). Dalam irfan amali seorang Sufi senantiasa berusaha menjalani ‘takhallaqu bi akhlaqillah’. Segala perbuatannya dijalani dalam ruang lingkup syariah dan melalui syariah (zahir) tersebut masuk kedalam inti hakekat (bathin). Tapi disini harus dipahami bahwa terminologi akhlak berbeda dengan terminologi akhlak yang dipahami oleh seorang sufi. Akhlak yang biasanya dipahami oleh kaum awam adalah bermakna memperindah diri dengan sifat-sifat hasanah. Seperti bagaimana seseorang memperindah diri dengan sifat malu, sifat dermawan, rendah diri, dst. Sedangkan akhlak dalam terminologi irfan tidak bermakna memperindah diri, akan tetapi bermakna perjalanan manusia dari satu titik terendah menuju titik yang paling puncak yaitu wahdatul wujud. Akhlak dalam irfan adalah gerak dari satu stasiun menuju stasiun lainnya, dari gerak kesadaran, menuju taubat hingga sampai pada puncak tauhid yaitu wahdatul wujud. Akhlak dalam irfan bersifat dinamis, sedangkan selainnya bersifat statis. Secara garis besar pembahasan irfan membahas dua tema penting yang menjadi poros seluruh pembahasan irfan. Kedua persoalan tersebut adalah tauhid dan muwahhid. Yang dimaksud dengan tauhid oleh kaum Sufi adalah wahdatul wujud. 1
Lihat ; pengantar irfan Islam, murtadha muthahhari
1
Para Sufi meyakini bahwa wujud hanya layak dinisbahkan kepada Al-Haq. Selain Al-Haq hanyalah nama-nama-Nya dan manifestasi-Nya saja yang secara zati nama-nama tersebut tidak memiliki wujud yang independen. Konsekwensi dari prinsip wahdatul wujud ini meniscayakan penafian wujud selain Al-Haq. Hal ini akan semakin rumit ketika menjelaskan relasi antara Al-Haq dan selain Haq. Relasi antara Al-Haq dan selain Haq dalam irfan diselesaikan dengan prinsip tajalli. Tajalli hanyalah bayangan diri-Nya yang beraneka ragam. Keaneka ragaman ini bergantung pada bentuk-bentuk cermin yang ada. Cermin menampakkan wajah-Nya bergantung pada potensi dan bentuk yang ada pada cermin. Yang menarik dalam terminologi ini bahwa kita bisa menemukan banyak teks-teks dalam hadits dan qur’an yang menggunakan terminologi bayangan tersebut dengan istilah tanda. Bahkan penamaan didalam surah pun dijelaskan dengan istilah ayat (tanda). Karena itu dalam pandangan dunia irfan segala sesuatu selain Al-Haq adalah tanda-tanda tentang diri-Nya (kemana pun wajahmu menghadap maka engkau akan menemukan wajah-Nya). Pembahasan kedua dalam irfan menjelaskan tentang konsep insan kamil (muwahhid = seseorang yang mampu menampung hakekat wahdatul wujud). Insan kamil dalam irfan adalah penampakan Al-Haq yang paling sempurna. Cermin yang paling sempurna diantara cermin yang ada adalah insan kamil. Konsep ini sejalan dengan apa yang ada dalam hadits ‘khalaqa adam ‘ala shuratih’ bahwa Tuhan menciptakan manusia sesuai dengan bentuk-Nya, atau dalam hadits lain dijelaskan ‘laulak lama khalaqtul aflak’ (jika bukan engkau wahai Muhammad maka aku tidak akan menciptakan alam. Berdasarkan hal ini insan kamil merupakan batin atau ruh alam semesta, sedangkan alam semesta adalah badan atau tubuh insan kamil. Perbedaan Irfan dengan Filsafat Irfan sebagaimana filsafat berusaha untuk menjelaskan tiga hal utama ; Tuhan, Alam, dan manusia. Akan tetapi masingmasing menjelaskan sesuai dengan pondasi bangunan pemikirannya. Berikut ini beberapa perbedaan tersebut ; 1. Metode Metode yang digunakan dalam filsafat dalam menjelaskan hakekat yaitu melalui argumentasi. Filsafat berangkat dalam menyelusuri hakekat melalui akalnya. Sedangkan dalam irfan metode yang digunakan adalah kasyf dan syuhud. Seluruh eksistensi dirinya berangkat menuju Tuhan. Di filsafat dengan hushuli, sedangkan irfan adalah hudhuri. 2. Objek Pembahasan Objek pembahasan yang dibahas dalam filsafat adalah eksistensi qua eksistensi ‘wujud bima hua wujud’ atau wujud sebagaimana wujud itu sendiri. Maksudnya bahwa dalam filsafat, pluralitas eksistensi masih diakui walaupun wujud pada hakekatnya hanya satu (annal wujud fi wahdatihi ‘ainul katsrah wal katsrah ‘ainul wahddah = bahwa wujud dalam kesatuannya adalah pluralitas itu sendiri dan pluralitas adalah kesatuannya itu sendiri). Sedangkan dalam irfan objek yang dibahas adalah Al-Haq dimana Al-Haq adalah wujud itu sendiri dan wujud adalah Al-Haq. Irfan menafikan adanya pluralitas dalam wujud. Al-wujud hanya dinisbahkan kepada Tuhan dan selain Tuhan adalah fatamorgana. 3. Hirarki Alam Filsafat menjelaskan bahwa alam ini adalah akibat dari Tuhan dimana Tuhan sebagai sebab sedangkan alam ini sebagai akibatnya. Filsafat dalam menjelaskan hirarki alam eksistensi masih menggunakan prinsip kausalitas dan dalam prinsip kausalitas ini meniscayakan adanya pluralitas wujud, paling minimal ada dua wujud. Wujud sebab yakni Tuhan dan wujud akibat yaitu selain Tuhan. Tapi dalam irfan hirarki alam semesta dijelaskan dengan 2
pendekatan asmaulhusna, bahwa selain Tuhan hanyalah penampakan dari nama-namanya. Oleh karena itu dalam irfan wujud tidak memiliki gradasi akan tetapi yang bergradasi adalah nama-nama Tuhan. Dalam irfan segala persoalan diselesaikan dengan pendekatan asmaulhusna. Dari perbedaan hal diatas kita bisa menyaksikan adanya perbedaan pandangan dunia yang cukup signifikan. Perbedaaan ini berasal dari perbedaan metodologi yang kemudian mempengaruhi cara pandang seseorang terhadap segala sesuatu. Sebagaimana yang telah kami ungkapkan sebelumnya bahwa hirarki alam dalam irfan memiliki ciri khas tersendiri yang berbeda dengan bentuk hirarki alam dalam fakultas filsafat. Berikut ini adalah hirarki alam dalam irfan ;
AHZAT HAQQADIYAH
WAHIDIYYAT
ALAM AKAL ALAM MITSAL ALAM MATERI
Zat Haqq (maqam ghaib al-ghuyub) Ibn Arabi meyakini bahwa Zat Haqq adalah maqam yang tak tersentuh. Tidak satupun yang bisa sampai kepada maqam Zat. Hal ini ditegaskan dalam do’a Rasulullah saw ; ma ‘araftuka haqqa ma’rifatik wa ma’abadtuka haqqa ‘ibadatik (aku tidak mengetahui diri-Mu sebagaimana hakekat diri-Mu dan aku tidak mungkin menyembah-Mu sebagaimana hakekat ibadah itu sendiri). Hal ini menjelaskan bahwa baik akal tidak mungkin sampai kepada hakekat diri-Nya maupun syuhud tidak mungkin sampai dalam menyaksikan diri-Nya. Oleh karena itu maqam Zat adalah maqam penafian atas segala 3
identias diri-Nya. Dia adalah tanpa nama, tanpa definisi, tanpa ikatan, dan bahkan menafikan ikatan tanpa … itu sendiri. Karena itu dalam irfan maqam Zat bukan objek pembahasan. Nah sekarang, hakekat Al-Haqq yang tersembunyi tidak akan diketahui tanpa dijelaskan oleh diri-Nya sendiri. Kuntu kanzan makhfiya fa ahbabtu anu’raf, fakhalaqtul khalq likai u’raf ; Aku adalah perbendaharaan yang tersembunyi maka aku cinta untuk dikenal, maka aku mencipta agar aku dikenal. Cinta disini menunjukkan maqam Zat Al-Haq. Hal ini menunjukkan bahwa ketika Zat ingin menyaksikan kesempurnaannya sendiri dalam maqam Zatnya, untuk menyaksikan kesempurnaan tersebut bisa melalui dua cara. Cara pertama adalah tanpa perantara apapun dan yang kedua adalah melalui perantara sesuatu dan sebaik-baiknya perantara adalah cermin karena cermin lah yang bisa menunjukkan segala hakekat yang ada sebagaimana adanya. Menyaksikan keindahan diri melalui cermin jauh lebih indah dari pada menyaksikan diri tanpa cermin, dan karena indah dan keindahan adalah merupakan hakekat diri-Nya maka terciptalah cermin tersebut, dimana cermin dalam istilah irfan adalah tajalli. Oleh karena itu tajalli pertama disebut dengan maqam Ahadiyah yang sangat identik dengan Al-Haq. Para Sufi menyebut Ahadiyah ini dengan Hakekah Muhammadiyah. Ahadiyah (ta’ayyun awwal) Sebagaimana yang telah kami jelaskan diatas bahwa Ahadiyah adalah tajalli pertama Al-Haq. Dalam Ahadiyah dikarenakan keidentikannya dengan Al-Haq maka segala nama-nama (asmaulhusna) belum terpisah-pisah antara satu dengan lainnya, baik secara konsep maupun secara hakekat. Selanjutnya berdasarkan Faidh Aqdas (curahan tersuci) Ilahi maka Ahadiyah tadi bertajalli yang disebut dengan Wahidiyah (ta’ayyun tsani) Wahidiyah (ta’ayyun tsani) Dalam ta’ayyun tsani walaupun nama-nama Al-haq satu sama lain belum terpilah-pilah secara hakiki, akan tetapi secara konsep nama-nama tersebut sudah bisa terpilah-pilah. Kemudian berdasarkan Faidh Muqaddas (curahan suci) maka masing-masing dari nama tersebut meminta dirinya untuk memiliki ‘wujud ilmi’ berdasarkan kapasitas dari masingmasing nama tersebut. Kemudian seluruh nama-nama tersebut terinci secara detail dalam a’yanusstabitah (identitasidentitas permanen). Dalam pandangan irfan segala yang ada dialam ini telah terinci sebelumnya di ‘ayanusstabitah. Mulai dari alam akal, mitsal, dan materi segalanya telah terinci sebelumnya di ‘ayanusstabitah. Namun dipahami dengan baik sebelumya bahwa Ahadiyah dan Wahidiyah masih wilayah Uluhiyyah atau wilayah ilmu Al-Haq. Namun setelahnya – alam akal, mitsal dan materi – sudah disebut dengan alam konkrit. Insan Kamil Hal yang paling terpenting dalam pembahasan irfan selain pembahasan wahdatul wujud adalah pembahasan insan kamil. Insan kamil dalam terminologi syariat disebut dengan Khalifatullah. Insan kamil merupakan hakekat yang berada dalam seluruh hirarki tajalli. Mulai dari materi hingga sampai menembus maqam Ahadiyah. Tapi disini harus dipahami bahwa insan kamil memiliki maqam yang berbeda-beda walaupun mereka berasal dari cahaya yang satu ; nahnu min nurin wahid (kami dari cahaya yang satu) sebagaimana yang dijelaskan oleh Imam Ali bin Abi Thalib as. Oleh karena itu tidak semua para Nabi mampu sampai pada puncak maqam Ahadiyah, hanya Rasulullah saw saja yang mampu menembus maqam Ahadiyah. Karena Rasulullah saw merupakan Hakekat Muhammadiyah itu sendiri. Insan kamil lah yang layak menjadi Khalifatullah. Karena pengganti harus memiliki keidentikan dengan yang diganti dalam hal ini Al-Haq. Karena itu sebagaimana Al-Haq ; Dia rendah dalam ketinggiannya dan tinggi dalam kerendahannya, maka insan kamil pun mempresentasikan diri-Nya yaitu tinggi dalam kerendahannya dan rendah dalam ketinggiannya. Jika Al-Haq mengetahui segala sesuatu maka Rasulullah saw dengan izin-Nya mengetahui segala sesuatu. Sebagaimana Rasulullah pernah menyatakan dirinya di depan pada sahabatnya ; apakah kalian percaya bahwa di tangan kanan saya adalah nama-nama orang baik mulai dari awal penciptaan hingga akhir penciptaan ! kemudian sahabat pun 4
menjawabnya ; benar wahai Rasulullah kami mempercayainya. Dan apakah kalian meyakini bahwa ditangan kiri saya adalah nama-nama orang buruk mulai dari awal penciptaan hingga akhir kiamat ! sahabat pun menjawabnya benar wahai Rasululah kami mempercayainya.
5