Investasi Sebagai Dasar “Kekeluargaan Semu“ Masyarakat Kelurahan Onekore, Ende Timoti Tirta Universitas Indonesia
[email protected]
ABSTRAK
Nama :
Timoti Tirta
Program Studi :
Sosiologi
Judul : Perubahan Sosial dan Budaya: Studi Mengenai Proses Reproduksi Nilai Budaya Wairaki dan Dampaknya Pada Masyarakat Kelurahan Onekore, Flores, NTT
Skripsi ini membahas mengenai permasalahan yang terjadi dari masih dijalankannya budaya wairaki di Kelurahan Onekore Ende. Penelitian akan menjelaskan mengenai pemaknaan masyarakat mengenai keberadaaan budaya wairaki sendiri disertai tujuan dan dampak sosial yang terjadi dari budaya wairaki. Penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan pengolahan data yang konstruktif dari data yang didapat dari lapangan. Hasil dari penelitian menunjukkan adanya perubahan sosial-budaya yang mempengaruhi pamaknaan masyarakat serta tujuan dan dampak sosial dari kegiatan wairaki. Penelitian juga memberikan saran yang didapat dari masyarakat sendiri untuk diri mereka sendiri.
Kata kunci: Perubahan Sosial, Budaya Wairaki, Reproduksi Nilai, Tujuan dan Dampak Sosial
Perubahan sosial..., Timoti Tirta, FISIP UI, 2013
ABSTRACT
Name :
Timoti Tirta
Study Program :
Sociology
Title : Social and Cultural Change: Study of Reproduction Process and impact of Wairaki Culture in Onekore, Flores, NTT
This Thesis discusses about a problem that occur in still-practicing Wairaki in Onekore, Ende. This research should explain about the meaning, purpose and the impact that happened from Wairaki. This research is a qualitative methods with constructive data-processing from field data research. The result from this research shows social-cultural change that effect society’s meaning, purpose, and social effect from Wairaiki’s activities. This research also gives suggestions which are received from the society for themselves.
Key Words: Social Change, Wairaki, Purpose and Social Impact
ii Perubahan sosial..., Timoti Tirta, FISIP UI, 2013
Universitas Indonesia
PENDAHULUAN
Budaya Wairaki dan Kondisi Kehidupan Kelurahan Onekore
Pada masyarakat modern atau mereka yang telah tinggal di kota, biasanya acara adat dan praktek-praktek kebudayaan tradisional semakin memudar atau berubah bentuk dan format untuk menyesuaikan dengan konteks sosial yang berlaku, hal ini biasanya disesuaikan dengan perkembangan sistem ekonomi, pekerjaan, teknologi dan pengetahuan dalam pola kehidupan masyarakat sesuai jamannya. Hal ini ternyata bertolak belakang dengan apa yang terjadi di Kelurahan Onekore, Ende. Pada lokasi penelitian penulis, acara adat masih memegang akar budaya dan kegiatan adat tradisional namun masyarakat seringkali menganggap hal tersebut tidak sesuai dengan konteks kehidupan masyarakat pada saat ini. Acara adat dan berbagai praktik kebudayaan tradisional tentunya memiliki tujuan dan maksud masing-masing sehingga dapat terus dipertahankan bahkan bertambah banyak dan beragam. Pada hal ini berarti ada kemungkinan bahwa nilai budaya yang ada dari kebudayaan tradisional di Ende masih sesuai dan dapat menjadi pedoman kehidupan sehari-hari masyarakat meskipun konteks sosial di masyarakat banyak mengalami perubahan. Penjelasan ini tentunya menjadi kontradiksi tersendiri bagi pernyataan sebelumnya yang didapat dari masyarakatnya sendiri. Hal inilah yang akan dibahas pada tulisan ini.
Perkawinan Sebagai Titik Tolak Kewajiban Budaya Wairaki Perkawinan di dalam runtutan masalah kebudayaan di Ende sendiri memiliki peranan penting sebagai titik tolak dari kewajiban sosial-ekonomi yang harus ditanggung oleh pasangan. Kewajiban sosial-ekonomi yang dimaksud adalah beban yang diberikan oleh pihak keluarga besar dari pasangan, baik pihak laki-laki maupun perempuan, agar pasangan menikah memberikan bermacammacam bantuan berupa berbagai macam hal fisik atau material untuk membantu pihak keluarga luas (diluar pasangan) agar setiap kegiatan adat dapat terselenggara dengan lancar dan tidak kekurangan apapun. Hal tersebut merupakan kebiasaan yang terjadi turun-menurun bagi masyarakat Ende. Masyarakat Onekore seringkali menyebut kebiasaan tersebut sebagai budaya Wairaki. Budaya tersebut bersifat mengikat dan wajib. Bagi mereka yang tidak menjalankan budaya tersebut, tentu saja berbagai macam sanksi sosial telah menunggu. Oleh sebab itu, acara adat dan berbagai macam praktik kebudayaan merupakan hal yang sangat penting sekaligus menimbulkan pertentangan dari pihak yang mengamati maupun masyarakat Ende sendiri sebagai subjek dari budaya wairaki tersebut. Diluar dari berbagai perdebatan mengenai eksistensi budaya tersebut, masyarakat Ende sendiri tetap menjalankan kebiasaan tersebut
iii Perubahan sosial..., Timoti Tirta, FISIP UI, 2013
Universitas Indonesia
dan memberikan perhatian khusus bagi berbagai kegiatan tersebut dalam kehidupan sehari-hari hari masyarakat.
Berbagai tujuan dari diadakannnya acara adat dan praktik kebudayaan tentunya pada awalnya memiliki tujuan positif yang dapat membantu masyarakatnya sendiri sebagai pelaku kebudayaan. Namun dari berbagai tujuan positif yang dicetuskan di awal, ternyata terdapat pula hal-hal yang pada akhirnya berdampak negatif dan memberatkan warga masyarakat yang menjalankan praktik kebudayaan tersebut. Berbagai hal negatif yang dirasa memberatkan kehidupan masyarakat dari adanya berbagai macam acara adat tersebut sebenarnya lebih merupakan suatu tuntutan berupa hal material yang diperlukan untuk setiap keperluan acara adat. Bagi masyarakat Ende, setiap kegiatan adat selalu berkaitan dengan berbagai macam jenis harta yang dimiliki masyarakat, seperti uang, hewan, kain tenun, gading gajah dan lain sebagainya. Hal ini tentunya memberatkan masyarakat Ende sendiri terutama mereka dengan keadaan ekonomi rendah. sampai saat ini, terlepas dari pro kontra dalam melestarikan berbagai kebudayaan tersebut, berbagai kebudayaan masih terus dijalankan dan bahkan semakin berkembang.
Berdasarkan permasalahan di atas, pada tulisan ini peneliti ingin mencari tahu beberapa hal secara lebih mendalam mengenai budaya Wairaki. Oleh sebab itu peneliti merumuskan pertanyaan penelitian umum sebagai berikut : 1. Bagaimana Wairaki?
pemaknaan
masyarakat
mengenai
keberadaan
budaya
2. Tujuan seperti apa yang sebenarnya ingin dicapai oleh masyarakat dengan adanya budaya Wairaki, serta bagaimana dampak yang dihasilkan dari adanya kebudayaan tersebut?
Temuan sebelumnya Dalam disertasi yang dibuat oleh Emmed Prioharyono, dengan judul “Kekuasaan Para Mosalaki dalam Sistem Politik Perdesaan di Desa Nggela dan Desa Tenda, Kecamatan Wolijita, Kabupaten Ende, Flores” ia menjelaskan kekuasaan yang dimiliki mosalaki dikatakan mutlak tanpa bisa dipertanyakan lagi, atau dengan kata lain tidak tergugat. Dalam penjelasannya dapat juga dilihat bahwa ada maksud-maksud tertentu dari mosalaki yang mencoba mengekalkan dan mensakralkan upacara-upacara adat, hal ini bertujuan agar masyarakat masih terus tunduk pada kekuatan adat, yang secara tidak langsung akan tunduk pada peran mosalaki. Hal tersebut dapat terjadi karena hanya mosalaki yang memiliki otoritas dalam memimpin acara adat, hal ini dimaksudkan karena mosalaki merupakan sosok ketua adat dari masyarakat.
iv Perubahan sosial..., Timoti Tirta, FISIP UI, 2013
Universitas Indonesia
Selanjutnya, terdapat analisa mengenai sejarah pemilihan mosalaki pada jaman kolonial. Pada jaman kolonial Belanda dikatakan di berbagai daerah tetap mengenai istilah dubbel bestuur system (sistem pemerintahan ganda antara sistem pemerintahan formal kolonial dan sistem pemerintahan tradisional. Hal ini memungkinkan mosalaki, meski bertindak sebagai pemimpin adat, namun tetap memiliki keterkaitan dengan pemerintahan kolonial pada saat itu. Mereka yang dipilih sebagai mosalaki tentunya telah dianggap lolos terhadap beberapa persyarakat seperti tidak buta huruf, taat terhadap pemerintahan dan lain sebagainya. Alasan yang terakhir tentunya menimbulkan kesan bahwa ia bisa jadi akan menjadi kaki tangan dari pemerintah kolonial yang meneruskan pesan politis terhadap warga masyarakat tradisional. Teori Strukturasi yang dikemukan oleh Giddens, digunakan dalam melihat kekuasaan mosalaki pada konteks ini. Giddens menjelaskan strukturasi sebagai hubungan antara struktur dengan tindakan para pelaku. Seringkali orang menyebutnya sebagai hubungan agen dan struktur. Dalam menjelaskan penelitiannya, peneliti mencoba menganalisa dengan melihat bahwa acara adat sebagai struktur yang diturunan oleh nenek moyang akan terus berinteraksi timbal balik dengan pandangan dan pemikiran para mosalaki sebagai agen dari kegiatan adat itu sendiri. Jadi dimungkinkannya ada pergerakan dari acara adat tersebut bila melihat dari cara berfikir teori strukturasi. Pendekatan Penelitian Penelitian ini akan menggunakan pendekatan Kualitatif dengan tehnik wawancara mendalam serta observasi. Tipe penelitian sendiri merupakan tipe Etnografis dengan tujuan memahami esensi dari suatu budaya tertentu di suatu masyarakat. Penelitian akan dilakukan selama satu bulan penuh di Kelurahan Onekore, Ende, NTT. Sebelumnya peneliti telah melakukan riset awal mengenai tema penelitian pada bulan Juli 2012 selama dua minggu di lokasi yang sama dengan lokasi penelitian pada bulan Januari 2013. Penelitian akan mencoba mencari data yang dihasilkan dari wawancara mendalam terhadap beberapa tokoh secara khusus, serta obrolan-obrolan sehari hari dengan berbagai macam warga di Kelurahan Onekore. Selain itu, peneliti juga akan melakukan observasi setiap hari selama satu bulan, untuk mencari data yang dapat dilihat secara visual. Unit analisis dari penelitian ini adalah masyarakat Kelurahan Onekore secara umum, hal ini dipilih karena dampak dari adanya kebudayaan Wairaki dirasakan oleh berbagai kalangan di Kelurahan Onekore. Oleh sebab itu peneliti akan mencari beberapa orang yang akan dijadikan informan seperti ketua adat setempat, beberapa warga sekitar yang menjalankan maupun yang tidak menjalankan kebudayaan Wairaki, serta pengamat kebudayaan dari Flores. Oleh sebab itu peneliti akan melakukan wawancara mendalam pada beberapa informan, observasi lapangan, serta studi pustaka dalam memahami persoalan yang Informan - Sistem snowball Ketua adat (Mosalaki)
v Perubahan sosial..., Timoti Tirta, FISIP UI, 2013
Universitas Indonesia
Warga yang masih menjalankan budaya wairaki Warga yang sudah meninggalkan budaya wairaki Orang tua di lokasi penelitian Anak muda di lokasi penelitian Tokoh Formal Setelah melewati tahapan uji proposal, peneliti memulai turun lapangan pada bulan Januari sampai bulan Februari. Kemudian setelah data telah didapatkan sesuai kebutuhan, peneliti mulai melakukan transkrip wawancara dan revisi bab 1 dan 2 pada bulan maret. Kemudian pada bulan April, peneliti membuat deskripsi informan, temuan informan serta temuan data (Bab 3 dan 4). Analisis dilakukan pada pertengahan april sampai pertengahan bulan Mei. Setelah analisis rampung, peneliti melanjutkan dengan kesimpulan, saran serta finalisasi hasil penelitian sampai awal Juni. Teori Pemberian dan mekanisme timbal balik Dalam khazanah ilmu pengetahuan sosial, terutama sosiologi telah banyak sekali ahli yang membahas mengenai hubungan timbal balik seseorang dengan orang lain. Aafke Komter dalam sebuah jurnal menuliskan mengenai pemberian dan relasi sosial sebagai mekanisme atas hubungan timbal balik. Dalam jurnal tersebut, Komter mencoba mengembangkan pemikira-pemikiran sebelumnya tang memang telah membahas mengenai pemberian. Komter melihat bahwa pemberian yang dapat diberikan oleh seseorang tidak hanya berupa benda material yang dapat disentuh dan dapat digunakan saja. Pemberian dapat berupa apapun, seperti semangat, jasa, dan lain sebagainya. Tujuan dari pertukaran pemberian juga bermacam-macam. Dalam pemikiran Mauss (1990), pertukaran merupakan fenomena sosial total karena memiliiki berbagai macam fungsi, seperti ekonomi, sosial, agama moral dan lain sebagainya. Pada dasarnya pemberian dilihat sebagai suatu mekanisme yang menimbulkan pertemuan diantara kedua belah pihak. Dengan memberikan pemberian, maka kedua belah pihak akan bertemu, dan pemberian menjadi simbol dari adanya pertemuan kedua belah pihak. Selain masalah pertemuan, hal yang tidak dapat terlepas adalah tentunya akan menimbulkan suatu relasi diantara kedua belah pihak. Ketika pemberian diberikan, maka akan ada perbincangan, berbagi cerita, sehingga terciptalah suatu relasi diantara kedua belah pihak. Hal ini merupakan hal positif yang bisa didapatkan dari adanya hubungan yang dimulai dari adanya pemberian. Hal yang perlu diperhatikan dari keberadaan teori pemberian adalah dasar utama dari sifat pemberian. Sifat paling mendasar dari sebuah pemberian adalah timbal balik merupakan suatu mekanisme yang akan dilakukan bila seseorang memberikan pemberian kepada orang lain. Jelasnya adalah ketika seseorang memberikan pemberian kepada orang lain, maka sudah pasti akan diikuti dengan
vi Perubahan sosial..., Timoti Tirta, FISIP UI, 2013
Universitas Indonesia
pemberian kembali oleh orang yang bersangkutan. Oleh sebab itu, hal ini sudah tertanam kuat di benak mereka yang memberi pemberian maupun menerima, bahwa bagi pemberi, ketika ia memberikan pemberian, maka ia akan menunggu balasan dari orang yang menerima. Sebaliknya bagi mereka yang menerima pemberian, mereka secara tidak langsung sudah harus bersiap untuk membalas pemberian yang mereka terima dari pihak lain. Hal inilah yang menjadi dasar relasi sosial diantara kedua belah pihak yang ditandai dengan adanya proses timbal balik diantara mereka. Pertukaran akan menimbulkan suatu perasaan ketersambungan atau connectedness Selanjutnya, Komter juga menegaskan bahwa tidak ada pemberian yang bersifat murni. Setiap pemberian tentunya telah disematkan maksud tertentu yang ingin disampaikan kepada pihak yang diberikan pemberian tersebut. Salah satu hal paling menonjol dari pemikiran pemberian yakni suatu pertunjukkan prestis dan gengsi akan timbul setelah seseorang bisa memberikan pemberian pada pihak lain. Pemberian menunjukkan kemampuan seseorang secara ekonomi dan sosial, sebaliknya orang yang menerima bantuan tentunya tidak ingin terlihat kalah dalam hal prestis, akhirnya di kemudian hari ia akan membalas pemberian dengan jumlah yang minimal sama. Komter menegaskan bahwa terdapat beberapa aspek penting dalam suatu proses pemberian, antara lain adalah pemberian dapat mengekspresikan perasaan seseorang dalam bentuk pemberian seperti pertemanan dan solidaritas. Kedua, pemberian dapat memiliki motif dasar untuk menunjukkan prestis secara ekonomi dan sosial bahwa dirinya mampu untuk memberikan pemberian kepada pihak lain. Ketiga, kebutuhan akan proses hubungan timbal balik, yakni mengharapkan pemberian balasan dari pihak yang sebelumnya menerima pemberian. Hal ini dirasa sebagai poin utama dari teori pemberian karena sebagaian besar orang memilih motif ini sebagai alasan melakukan pemberian dalam penelitian Komter. Terakhir, keempat adalah motif manipulasi, misalnya memberikan pemberian untuk melakukan “sogokan” Jadi, inti pemikiran dari Komter dapat dijelaskan dalam empat poin utama, yakni pertama, setiap pemberian tidak memiliki persamaan maksud karena tiap orang dapat “menyematkan” maksud yang ingin mereka capai dari adanya pemberian tersebut. Kedua, pemberian dapat bersifat positif maupun negatif, tergantung kebutuhan dari adanya pemberian yang diberikan. Ketiga relasi sosial akan terbentuk dari adanya suatu pemberian, meski tidak dapat dipastikan relasi seperti apa yang terbentuk baik maupun buruk. Terakhir pemberian akan menimbulkan suatu proses timbal baik yang terus menerus
seperti yang dijelaskan sebelumnya. 2.2.1
Perubahan Sosial-Budaya
Dimanapun keberadaan masyarakat, tentunya perubahan akan terus ada. Hal ini dipengaruhi berbagai hal. Secara harafiah perubahan terjadi karena 1) perubahan komposisi penduduk. Hal ini menyebabkan keberagaman yang
vii Perubahan sosial..., Timoti Tirta, FISIP UI, 2013
Universitas Indonesia
semakin meluas, baik cara mereka tinggal, cara berfikir, ditemukannya inovasi baru dan lain sebagainya. 2) kemudian perubahan lingkungan fisik tempat tinggal juga menimbulkan perubahan-perubahan pada berbagai aspek kehidupan manusia seperti dibangunnya banyak gedung bertingkat yang dulu mungkin berupa ladang, hal ini tentunya menimbulkan perubahan sosial-budaya bagi masyarakat. Lebih lanjut, (solaeman, 2005) menjelaskan ada perbedaan antara perubahan kebudayaan dengan perubahan sosial. Perubahan kebudayaan merupakan perubahan yang terjadi dalam sistem ide yang dimiliki secara bersama oleh para warga atau masyarakat yang bersangkutan mengenai norma, aturan, bahasa dan gaya hidup masyarakat. Sedangkan perubahan sosial adalah perubahan struktur sosial dan pola-pola hubungan sosial antara lain sistem status, hubungan di dalam keluarga, sistem politik dan kekuasaan, dan lain sebagainya. ANALISA Perubahan sosial-budaya tentu selalu berubah seiring berjalannya waktu. Terdapat 3 aspek perubahan sosial-budaya seperti yang dikemukakan oleh Weber. 1) Karisma melebihi rutinitas. 2) diferensiasi antar bidang kehidupan, 3) kesenjangan antara sistem nilai (world view) dengan realitas sosial (Schroeder, 2002). Kemudian akan dibahas penjelasan dari ketiga aspek perubahan sosialbudaya tersebut:
1. Karisma Mosalaki Tabel 5.1 Keberadaan Mosalaki dan Budaya Wairaki Karisma Mosalaki
Budaya Wairaki
Keterangan
Budaya wairaki terbentuk dan Wairaki pada dijalankan warga karena patuh jaman dahulu Ia dapat menciptakan budaya terhadap mosalaki dan wairaki yang dipercaya dan menyadari peran penting dijalankan oleh warga wairaki bagi kehidupan warga. Onekore Karisma mosalaki tinggi
Mosalaki terus berganti Mosalaki selalu digantikan oleh anak laki-laki paling tua setelah mosalaki sebelumnya meninggal. Karisma dari setiap mosalaki berbeda, karena tidak semua mosalaki memililiki anugrah memiliki karisma yang besar
dari Budaya Wairaki mengalami Proses awal proses internalisasi. terciptanya Karena telah berjalan bertahun- wairaki tahun dan dianggap dapat sampai saat membantu kehidupan warga, ini. akhirnya wairaki dijalankan terus menerus oleh warganya, terlepas dari keberadaan mosalaki sebagai pemimpin
viii Perubahan sosial..., Timoti Tirta, FISIP UI, 2013
Universitas Indonesia
adat.
Mosalaki tidak memiliki Terdapat banyak masalah Saat ini (tahun 2013) karisma. pada budaya Wairaki Pada saat ini, mosalaki hanya dianggap sebagai pemimpin adat secara norma dan formalitas. Mosalaki tidak memiliki pengaruh dalam mengarahkan kehidupan sehari-hari warganya. Hal ini menunjukkan bahwa mosalaki saat ini tidak memiliki karisma yang besar.
Saat ini, banyak warga yang merasa resah dengan keberadaan budaya wairaki mengingat kemampuan warga dalam menjalankan wairaki sangat terbatas. Oleh sebab itu permasalah ini perlu dicari jalan tengahnya dan diperlukan sosok mosalaki yang berkarisma agar dapat didengar dan dipatuhi oleh para warga
Tabel di atas menunjukkan bahwa terjadinya perubahan sosial budaya disertai dengan pergantian mosalaki yang terus dilakukan apabila mosalaki sebelumnya meninggal dan diganti oleh keturunannya, akhirnya menciptakan pergeseran karisma mosalaki dan perannya dalam memberikan peran kontrol bagi berjalannya bdaya wairaki.
2. Perubahan Antar Bidang Kehidupan Terhadap Budaya Wairaki Kemajuan jaman, biasanya selalu mengakibatkan perubahan sosial-budaya dari apa yang dipegang oleh suatu masyarakat. Seperti halnya di kota manapun, kota Ende juga mengalami perubahan sosial-budaya dari adanya perubahan berbagai bidang kehidupan yang ada di kehidupan sehari-hari. Hal ini semakin menegaskan bahwa tidak ada satu bidang-pun dalam kehidupan masyarakat yang dapat terlepas dari bidang lainnya atau dengan kata lain independen diantara bidang-bidang lainnya. Pada penjelasan sebelumnya telah dibahas bahwa ketika bidang lain berubah seperti lingkungan alam dan hewan, ilmu pengetahuan dan pendidikan, serta bidang ekonomi, maka hal ini akan mempengaruhi bidang lainnya, sehingga tercipta suatu kesesuaian baru di dalam masyarakat. Ternyata perubahan dari berbagai bidang tersebut juga berpengaruh pada budaya wairaki. Budaya wairaki sendiri pada dasarnya merupakan budaya yang berdasarkan atas alam dan relasi diantara manusia yang ada di dalam masyarakat.
ix Perubahan sosial..., Timoti Tirta, FISIP UI, 2013
Universitas Indonesia
Budaya wairaki secara gamblang menunjukkan bahwa hubungan timbal balik yang dilakukan oleh manusia sebagai bagian dari masyarakat dan tentunya keluarga, akan memerlukan sumber daya alam dalam penyelenggaraannya. Hubungan timbal balik keluarga dalam budaya wairaki ditunjukkan dengan pemberian barang yang berupa hewan, emas, uang, kain, sarung, dan lain sebagainya. Barang barang tersebut dianggap mudah didapat pada jaman dahulu, sehingga dipilih sebagai bagian dari pemberian barang yang akan diberikan pada anggota keluarga yang akan mengadakan kegiatan pesta. Pada saat ini, barang-barang yang biasa diberikan kepada keluarga yang membutuhkan dalam adat wairaki semakin langka. Kelangkaan barang tentunya akan menimbulkan efek yakni semakin tingginya harga barang tersebut di masyarakat. Akhirnya masyarakat membutuhkan kekuatan finansial yang baik agar tetap dapat memenuhi kebutuhan akan permintaan barang-barang tersebut untuk tetap dapat melangsungkan kegiatan wairaki. Pertambahan penduduk di kota Ende juga menimbulkan kenaikan jumlah permintaan barang, sehingga dapat ditebak bahwa harga barang terus semakin mahal karena alam telah berubah dan kekurangan sumber daya yang biasa digunakan untuk upacara adat wairaki, sebut saja hewan maupun emas bagi pihak perempuan dan beras bagi pihak laki-laki. Ketika kondisi perekonomian terhitung bertambah sulit, bidang lain seperti pendidikan dan ilmu pengetahuan alam berkembang pesat dan semakin dianggap penting oleh masyarakat di berbagai tempat, termasuk di kota Ende. Akhirnya hal ini memberikan tantangan sendiri bagi masyarakat Ende, untuk dapat memenuhi kebutuhan pendidikan yang diperlukan bagi keluarganya terutama anak-anak yang selalu dikatakan memiliki masa depan cerah dan diplot sebagai “penggerak kemajuan bangsa”. Tak pelak, akhirnya setiap keluarga harus berjuang ekstra keras untuk dapat memenuhi kebutuhan tersebut, akhirnya semua orang berfikir cara yang paling sesuai untuk dapat memenuhi segala kebutuhan namun tidak berkekurangan pada bidang lainnya. Akhirnya salah satu pemikiran masyarakat mengarah pada permasalahan mengenai budaya wairaki. Tantangannya adalah budaya wairaki tetap harus dijalankan, namun biaya yang dikeluarkan terhitung besar, sedangkan pendidikan juga sangat penting dan membutuhkan biaya yang besar pula. Akhirnya timbul-lah masalah mengenai pertentangan pengeluaran biaya yang dapat memberikan kehidupan yang terbaik bagi setiap warga di kota Ende. Gambaran ini semakin menjelaskan bahwa setiap bidang dalam kehidupan sehari-hari memiliki pengaruhnya tersendiri bagi masyarakat di kota Ende. Ketika kemajuan jaman terjadi, maka diperlukan kesesuaian agar setiap kebutuhan dari masyarakat dapat terpenuhi, namun tentunya memang harus ada hal yang dikorbankan, pertanyaannya adalah, haruskah budaya Wairaki dikorbankan?
3. Rasionalitas Pada masyarakat Onekore sendiri, terlihat dengan sangat jelas timbulnya rasionalitas mempengaruhi cara pandang masyarakat terutama kaum muda dalam menilai kebiasaan yang mereka jalankan sehari-hari. Anak muda di kelurahan
x Perubahan sosial..., Timoti Tirta, FISIP UI, 2013
Universitas Indonesia
Onekore menganggap bahwa menjalankan budaya merupakan suatu pemborosan, lebih baik uangnya digunakan untuk hal yang berbau pendidikan dan ilmu pengetahuan. Pandangan ini jelas mengisyaratkan bahwa telah timbul rasionalitas di kalangan anak muda. Timbulnya pemikiran tersebut tentunya tidak terlepas dari konteks sosial yang memang dihadapi anak muda, dimana dirasakan bahwa pendidikan dapat memberikan jaminan hidup di masa depan yang lebih baik. Secara tidak langsung, mereka menyatakan bahwa hubungan kekeluargaan di masa lalu bisa saja merupakan cara hidup terbaik untuk masa lalu, namun di saat ini, kekeluargaan dirasa tidak lebih baik daripada kepemilikan pengetahuan dan pendidikan untuk kehidupan sehari-hari Hal tersebut secara tidak langsung menunjukkan inti dari paham rasionalitas sendiri yang melihat cara berfikir dan bertindak yang dipegang oleh seseorang sebagai individu di dalam masyarakat dalam menentukan apa yang paling baik dan pas bagi dirinya untuk mencapai suatu tujuan. Masyarakat saat ini melihat bahwa tujuan utama dari masyarakat akan banyak ditentukan oleh berbagai hal yang dapat dijelaskan dengan logika rasional. Dengan berbagai perubahan cara pandang yang didasari oleh munculnya rasionalitas ini, akhirnya daya magis dari adat akan semakin terkikis oleh logika yang melihat pada hal-hal yang berbau rasional. Akhirnya adat tidak lagi dianggap sebagai suatu perujudan hal magis. Oleh sebab itu sangat memungkinkan terjadinya perubahan pandangan oleh masyarakat terhadap adat termasuk budaya wairaki.
Makna Pemberian dalam Tataran Budaya Wairaki Dalam setiap kegiatan budaya wairaki, interaksi antar keluarga terlihat jelas dari awal proses sampai pada akhir proses adat wairaki. Interaksi yang terjadi merupakan suatu simbol hubungan antara saudara perempuan dan saudara lakilaki. Setiap saudara perempuan dan saudara laki-laki sendiri tentunya telah memiliki keluarganya sendiri-sendiri dan terus beranak cucu. Oleh sebab itu wairaki tercipta dengan upaya agar interaksi anak cucu yang dimulai dari hubungan saudara laki-laki dan perempuan dapat terus lestari. Berbagai bantuan diberikan bagi mereka yang sedang kesulitan dalam mempersiapkan hal adat. Bantuan yang diberikan oleh saudara-saudari merupakan bentuk sebuah bantuan yang memiliki berbagai variasi makna. Ketika jaman dahulu, bantuan yang diberikan lebih merupakan keinginan untuk terus bertemu dan menjalin hubungan dengan keluarga, saat ini terjadi pergeseran makna pemberian yang diberikan terhadap saudara pada saat wairaki berlangsung. Dalam melakukan analisa mengenai makna dari menjalankan budaya wairaki, setidaknya terdapat dua hal yang sangat menarik untuk dilihat. Pertama adalah budaya wairaki adalah budaya turun menurun yang telah terinternalisasi oleh warga, sehingga mereka merasa bahwa budaya wairaki adalah hal yang “sudah dari sananya” dan peninggalan nenek moyang, oleh sebab itu perlu terus dijalankan. Permasalahannya adalah budaya wairaki membutuhkan banyak modal
xi Perubahan sosial..., Timoti Tirta, FISIP UI, 2013
Universitas Indonesia
yang harus dikeluarkan untuk memberikan bantuan berupa pemberian. Kedua adalah masyarakat Onekore sangat terkenal dengan budaya gengsi yang melekat pada diri mereka. Hal ini telah diakui oleh para informan, bahwa gengsi memang menjadi hal yang paling menonjol dari sifat masyarakat Onekore. Menjalankan wairaki juga ternyata ada hubungan dengan gengsi yang dimiliki warga, yakni budaya wairaki merupakan salah satu kebanggaan dari warga yang merasa masih dapat mempertahankan adat tradisional meski tinggal di tengah kota. Hal ini sangat dibanggakan oleh masyarakat Onekore dalam penilaiannya terhadap keberadaan budaya wairaki. Kembali menilik pada faktor gengsi yang dimiliki warga, hal ini tidak terlepas dari pandangan para informan dengan kaitannya antara gengsi dan budaya wairaki. Bagi masyarakat Onekore, rasa malu tentu muncul bila tidak bisa memberikan bantuan dalam jumlah banyak, rasa tidak enak hati juga tidak dapat ditinggalkan. Hal ini akhirnya mendorong berbagai informan yang meski tidak memiliki uang, namun berani meminjam uang demi memberikan pemberian pada budaya wairaki. Hal ini dilakukan untuk menghindarkan diri dari “omongan negatif” dan tentunya merasa bangga bila dapat membawa banyak barang. Jadi tidak mengherankan bila terdapat pandangan diantara warga bahwa ketika seseorang membawa banyak barang, maka ia akan memiliki gengsi yang tinggi atau memiliki kebanggaan tersendiri. Namun ketika ia hanya membawa sedikit, maka ia harus siap menerima malu karena akan direndahkan. Dari kedua hal yang telah dipaparkan, akhirnya proses analisa dari pemaknaan budaya wairaki akan mengkerucut pada permasalahan yang dihadapi warga mengenai keberadaan budaya wairaki di tengah terjadinya arus perubahan sosial-budaya yang dihadapi masyarakat Ende baik dari segi internal warga maupun eksternal seperti keadaan fisik alam. Masyarakat Kelurahan Onekore saat ini merasa bahwa terdapat masalah dari keberadaan budaya wairaki menyangkut permasalahan ekonomi yang dialami warga. Dengan terjadinya perubahan sosial dan budaya, maka kesulitan ekonomi akibat perubahan struktur alam dan hewan, serta pengetahuan dan pendidikan akan semakin merebak. Hal ini pada akhirnya akan menimbulkan beban tersendiri bagi masyarakat untuk terus menjalankan wairaki di masa mendatang. Dengan semakin tumbuhnya rasionalitas yang dimiliki masyarakat, akhirnya timbul-lah cara atau pandangan yang paling tepat agar wairaki tetap bisa berjalan, pemberian dapat terus diberikan, namun hal ini tetap menguntungkan warga dalam hal ekonomi. Dalam pemikiran teori pemberian, Komter menjelaskan bahwa tidak ada pemberian yang bersifat “murni”. Pemberian merupakan suatu bentuk bantuan terhadap orang yang dibantu, namun sebagai pemberi bantuan, setiap orang tentunya memiliki maksud terselubung sehingga ia mau membantu orang lain. Dengan rasionalitas yang semakin tinggi, akhirnya timbul-lah pandangan lain bagi masyarakat Onekore, yakni timbul pemahaman bahwa dengan menjalankan budaya wairaki, yakni warga turut hadir dan memberikan pemberian, maka orang tersebut sedang melakukan investasi pada warga yang diberikan pemberian tersebut.
xii Perubahan sosial..., Timoti Tirta, FISIP UI, 2013
Universitas Indonesia
Kemudian, mengacu pada persoalan gengsi, sebelumnya telah dijelaskan bahwa gengsi yang dimiliki oleh masyarakat Onekore sangat besar, oleh sebab itu tidak mengherankan apabila berbagai cara akan dilakukan oleh masyarakat untuk dapat terus menjalankan budaya wairaki, hal ini adalah langkah antisipasi dari adanya “pelecehan” dari segi status warga yang akan dianggap rendah bila tidak menjalankan budaya wairaki, serta melonggarnya hubungan keluarga. Pemberian yang diterima seseorang memiliki makna tertentu yang telah “disematkan” oleh mereka yang memberi pemberian tersebut. Oleh sebab itu, makna investasi yang dilakukan warga dalam memberikan pemberian tidak terlepas dari permasalahan gengsi yang merekat pada warga. Mencoba mendalami pemikiran warga dengan makna investasi dan gengsi yang sangat besar, maka ketika seseorang memberikan barang, ia pasti akan mengharapkan pemberian kembali oleh mereka yang telah dibantu, pada saat si pemberi memiliki acara. Dengan adanya kultur dan sifat gengsi yang begitu besar, maka timbul suatu keyakinan tersendiri bahwa di penerima yang juga memiliki gengsi yang besar, akan membalasnya di kemudian hari. Hal ini menjadi wajar karena warga Onekore paling pantang bila tidak membalas, karena akan merasa malu dan gengsi. Pada dasarnya setiap pemberian merupakan suatu perwujudan harga diri seseorang yang dilambangkan melalui pemberian, oleh sebab itu mereka yang menerima pemberian berarti mereka seakan telah “menerima” keberadaan dari harga diri si pemberi. Oleh sebab itu, pemberian merupakan beban tersendiri bagi penerima bila ia tidak membalas pemberian tersebut. Dengan adanya kondisi tersebut maka si pemberi akhirnya akan membalas pemberian dengan nominal yang sedikit lebih besar untuk menunjukkan harga dirinya juga. Hal ini akan terjadi begitu seterusnya. Apa yang dipertukarkan bukan nilai harafiah barang, namun “prestasi” nilai menurut sistem makna. Ketika ternyata tidak dibalas, maka si pemberi akan merasa investasinya tidak berjalan, sehingga akan menimbulkan rasa kesal bagi si pemberi dan akhirnya terjadi konflik diantara kedua belah pihak. Dari adanya penjelasan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa budaya wairaki ingin terus dilakukan oleh warga. Hal ini tidak terlepas dari faktor gengsi yang sangat besar yang telah melekat pada warga. Dengan adanya rasionalitas yang menjadi aktor utama timbulnya makna baru, maka dalam proses menjalani wairaki dan melakukan pemberian, ternyata warga telah menyematkan makna investasi bagi bagi setiap pemberian yang dilakukan olehnya. Mereka yang memberikan bantuan merasa memiliki rasa aman, dengan kondisi bahwa ketika dirinya sedang kesulitan dan membutuhkan bantuan dari pihak lain, maka pihak lain yang sebelumnya ia bantu akan berbalik membantu dirinya.
Kesimpulan Seiring berjalannya waktu, berbagai perubahan dialami oleh masyarakat Kelurahan Onekore dalam menjalani kehidupan sehari-hari. Berbagai perubahan di berbagai bidang seperti berkurangnya jumlah hewan, emas, lahan pertanian, dan lain sebagainya akhirnya mempengaruhi berbagai bidang yang lain seperti
xiii Perubahan sosial..., Timoti Tirta, FISIP UI, 2013
Universitas Indonesia
timbulnya permasalahan ekonomi warga. Warga yang sebagian besar masyarakat menengah ke bawah merasa beban hidup semakin tinggi hal ini ditambah dengan kemajuan dari ilmu pengetahuan dan pendidikan yang menyebabkan melonjaknya kebutuhan untuk mendapatkan berbagai akses tersebut. Adat tradisional dan budaya masih dipegang erat oleh warga Kelurahan Onekore, namun yang harus disadari bahwa adat seperti wairaki membutuhkan banyak biaya yang harus dikeluarkan untuk dapat menjalankannya dengan lancar. Oleh sebab itu, berbagai perubahan yang telah dijelaskan sebelumnya akhirnya akan merubah pandangan masyarakat Onekore dalam memandang budaya Wairaki dan memposisikan diri mereka dalam menjalankan budaya wairaki. Dengan adanya perubahan tersebut akhirnya terjadilah suatu pergeseran makna budaya wairaki yang sebelumnya lebih kepada wujud kekeluargaan dengan membantu keluarga yang sedang kesulitan tanpa pamrih, saat ini justru warga memaknai pemberian dalam budaya wairaki sebagai suatu investasi dan penunjukkan prestis. Rasionalitas yang tumbuh pada pandangan warga akhirnya mendorong orang untuk mencari cara agar dapat terus menjalankan wairaki namun tidak terbebani dengan masalah ekonomi. Akhirnya pemberian diberikan dengan dasar investasi. Dorongan untuk melakukan investasi juga sangat dipengaruhi oleh karakteristik masyarakat Ende yang memiliki gengsi yang sangat besar. Oleh sebab itu, pemberian sama halnya dengan gengsi dirinya namun dituangkan dalam rupa barang material. Dalam memberikan pemberian kepada pihak lain, setiap orang tentunya memiliki tujuan tertentu agar pemberian yang diberikan oleh dirinya tidak menjadi pemberian yang sia-sia. Pemberian dilakukan dengan tujuan sebagai sarana pemenuhan kebutuhan ekonomi dan sosial. Seperti pemaknaan akan investasi dan prestis, maka tujuan dari pemberian dalam segi ekonomi yaitu pemberian dapat dianggap sebagai suatu investasi yang memberikan rasa aman warga dalam mengahadapi tantangan akan kebutuhan ekonomi di masa mendatang. Sedangkan secara sosial, pemberian merupakan suatu kontestasi prestis dan penunjukkan status sosial. Akhirnya dapat disimpulkan bahwa keuntungan diri sendiri merupakan hal yang ditekankan oleh seseorang dalam memberikan suatu pemberian. Terakhir. Dengan adanya pemberian maka proses timbal balik akan terjadi, ketika proses timbal balik terjadi maka akan ada relasi sosial diantara kedua belah pihak baik pemberi maupun penerima. Hal ini dilihat oleh warga sebagai sifat kekeluargaan. Namun karena penekanan yang mereka tekankan adalah kepentingan pribadi si pemberi, akhirnya sifat kekeluargaan terkesan semu. Ketika orang kesulitan dalam menjalankan wairaki, maka akan terjadi perpecahan dan perselisihan. Oleh sebab itu, dampak yang terjadi dari proses budaya wairaki adalah di satu sisi hubungan, relasi sosial dan timbal balik akan terjaga namun di sisi lain adalah terciptanya kekeluargaan yang semu yang rentan akan perpecahan diantara anggota keluarga luas.
xiv Perubahan sosial..., Timoti Tirta, FISIP UI, 2013
Universitas Indonesia
DAFTAR PUSTAKA
Buku Alland, Alexander. 1980. To Be Human: An Introduction to Anthropology. USA: John Willey & Sons Inc Back, Les; Bennett, Andy; and dkk. 2012. Cultural Sociology: An Introduction. UK. Willey-Blackwell Berger, Peter and Luckman, Thomas. 1996. The Social Construction of Reality. New York: Doubleday Burns, Tom, dkk. 1987. Manusia, Keputusan, Masyarakat: Teori Dinamika Antara Aktor dan Sistem Untuk Ilmuan Sosial. Jakarta: Pradnya Paramita Creswell. 2003. Research Design: Qualitative, Quantitative, and Mixed Methods Approaches. USA: Sage Publications Ferraro, Gary. 2008. Cultural Anthropology: an Applied Perspective. USA: Thomson Wadsworth Freund, Julien. 1969. The Sociology of Max Weber. New York: Vintage Books Fox, James. 1980. The Flow of Life: Essays on Eastern Indonesia. Cambridge: Harverd University Press Haviland. William. 1999. Antropologi jilid 1. Jakarta: Erlangga Haviland. William. 1999. Antropologi jilid 2. Jakarta: Erlangga Hidajat. Z. M. 1976. Masyarakat dan Kebudayaan: Suku-Suku Bangsa di Nusa Tenggara Timur. Bandung: Penerbit Tarsito Howell, Signe. 1996. For The Sake of Our Culture. Netherlands: CNWS Publications Koentjaraningrat. 1990. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: PT. RINEKA CIPTA Kohl, Karl-Heinz. 2009. Raran Tonu Wujo: Aspek Aspek Inti Sebuah Budaya Lokal di Flores Timur. Yogyakarta: Titian Galang Printika Kottak, Conrad. 1991. Anthropology: The Exploration of Human Diversity. USA: McGrawHill Kompas. 2011. Ekspedisi Jejak Peradaban NTT: Laporan Jurnalistik KOMPAS. Jakarta: PT Kompas Media Nusantara Lewis, E. D. 1988. People of the Source: The Social and Ceremonial Order of
xv Perubahan sosial..., Timoti Tirta, FISIP UI, 2013
Universitas Indonesia
Tana Wai Brama on Flores. Dordrecht: Foris (KITLV Verhandelingen) Macionis, John. 2008. Sociology. USA: Prentice Hall Malesevic, Sinisa. 2004. The Sociology of Ethnicity. USA: Sage Publications Mauss, Marcel. 1992. Pemberian: Bentuk dan Fungsi Pertukaran di Masyarakat Kuno. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia Neuman, Lawrence. 2006. Social Research Methods : Qualitative and Quantitative Approaches. USA: Allyn and Bacon Penyalur Berita Keuskupan Agung Ende bulan February 2004 Vol XI no. 1 Perdue, William. 1986. Sociological Theory: Explanation, Paradigm, and Ideology. California: Mayfield Publishing Company Prior, John Mansford. 1987 Church and Marriage in an Indonesian Village: A Study of Customary Church and Marriage among Ata Lio of Central Flores, Indonesia, as a Paradigm of the Ecclesial Interrelationship between Village and Institutional Catholicism. New York: Verlag Peter Lang. Ritzer, George and Goodman, Douglas. 2010. Teori Sosiologi Modern. Indonesia: Prenada Media Group Schroeder, Ralph. 2002. Max Weber: Tentang Hegemoni Sistem Kepercayaan. Yogyakarta: Penerbit Kanisius Scott, John. 2012. Teori Sosial: Masalah-Masalah Pokok dalam Sosiologi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Soerjono, Soekanto. 1982. Teori Sosiologi Tentang Pribadi Dalam Masyarakat. Jakarta: Ghalia Indonesia Solaeman, Munandar. 2005. Ilmu Budaya Dasar. Bandung: Refika Aditama Soemardjan, Selo dan Soemardi, Soelaeman. 1964. Setangkai Bunga Sosiologi. Jakarta: Yayasan Badan Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia Soroka, Bryjak. 1994. Sociology: Cultural Diversity in a Changing World. USA: Allyn and Bacon Sunarto, Kamanto. 2004. Pengantar Sosiologi. Jakarta: Lembaga Penerbit FEUI Turner, Jonathan. 1982. The Structure of Sociological Theory. USA: Dorsey Press Weber, Max. 2012. Teori Dasar Analisis Kebudayaan. Jogjakarta: Ircisod Young, Kimball. 1949. Sociology: a Study of Society and Culture. USA: American Book Company
Skripsi, Thesis, dan Disertasi
xvi Perubahan sosial..., Timoti Tirta, FISIP UI, 2013
Universitas Indonesia
Tarsisius Florentinus Sio Sewa (2002). “Pola Komunikasi Antar Etnis Asli dengan Etnis Pendatang (Studi Komunikasi Antar Budaya Etnis Ende, Lio dengan Etnis Cina dan Padang di Kota Ende Flores)” J. Emmed M. Prioharyono (2012). “Kekuasaan Para Mosalaki dalam Sistem Politik Perdesaan di Desa Nggela dan Desa Tenda, Kecamatan Wolijita, Kabupaten Ende, Flores” Halim Edjid, Universitas Negeri Nusa Cendana. “Tiga Ratus Tahun Kerajaan Ende 1638 – 1962”
Media Online http://www.sentra-edukasi.com/2011/08/upacara-adat.html http://www.tamanmini.com/budaya/BUpacara/232742124326/Upacara-Adat-diNusa-Tenggara-Timurl
Jurnal Komter, Aafke. 2007. Gifts And Social Relations: The Mechanisms of Reciprocity.
Sumber Lain Renstra kelurahan onekore
xvii Perubahan sosial..., Timoti Tirta, FISIP UI, 2013
Universitas Indonesia