INVENTARISASI EMISI GAS RUMAH KACA SEKTOR PERTANIAN DAN OPSI MITIGASINYA DENGAN PENDEKATAN MARGINAL ABATEMENT COST
MIRANTI ARIANI
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014
i
ii
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA* Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Inventarisasi Emisi Gas Rumah Kaca Sektor Pertanian dan Opsi Mitigasinya dengan Pendekatan Marginal Abatement Cost adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada Perguruan Tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir dari tesis ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Mei 2014 Miranti Ariani NIM 110181
iii
RINGKASAN MIRANTI ARIANI. Inventarisasi Emisi Gas Rumah Kaca Sektor Pertanian dan Opsi Mitigasinya dengan Pendekatan Marginal Abatement Cost. Dibimbing oleh MUHAMMAD ARDIANSYAH dan PRIHASTO SETYANTO. Eugenia polyantha yang dikenal dengan nama salam adalah tanaman obat yang baSektor Pertanian menyumbang sebesar 5% dari total emisi Gas Rumah Kaca (GRK) nasional pada tahun 2000 dan meningkat menjadi sebesar 7% pada tahun 2005. Emisi ini diperkirakan akan terus meningkat apabila tidak ada kegiatan penurunan emisi yang dilakukan. Pemerintah melalui Peraturan Presiden (Perpres) No 61 tahun 2011 tentang Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi GRK dan Peraturan Presiden No 71 tahun 2011 tentang Penyelenggaraan Inventarisasi GRK Nasional, mewajibkan setiap kementrian/lembaga dan pemerintah daerah untuk menurunkan emisi GRK sebesar 26% secara nasional. Pelaksanaan Perpres 61/2011, melibatkan keikutsertaan pemerintah daerah secara aktif, karena dalam Perpres tersebut pemerintah daerah diharuskan menyusun Rencana Aksi Daerah Penurunan Emisi GRK. Masing-masing daerah berkewajiban memberikan kontribusi terhadap penurunan emisi secara nasional. Perencanaan aksi-aksi untuk penurunan emisi GRK, perlu mengetahui secara pasti besaran emisi dan serapan GRK. Sektor pertanian dalam Lampiran Perpres No 61/2011 harus menurunkan tingkat emisinya sebesar 8 Gg CO2e. Berbagai perencanaan ditingkat nasional telah dilakukan untuk mencapai target tersebut, akan tetapi partisipasi daerahlah, khususnya pemerintah kabupaten, yang akan sangat menentukan. Penelitian ini bertujuan untuk (1) menganalisis status emisi GRK Sektor Pertanian di Kabupaten Grobogan Propinsi Jawa Tengah dan Kabupaten Tanjung Jabung Timur Propinsi Jambi melalu inventarisasi dan identifikasi kategori kunci (Key Categories Analysis) terhadap sumber-sumber emisi GRK dan perhitungannya serta menyusun BAU Baseline dan (2) menganalisis opsi-opsi mitigasi pada pengelolaan lahan sawah yang mungkin dilakukan dengan pendekatan Marginal Abatement Cost. Inventarisasi GRK membutuhkan masukan data aktivitas yang sangat komplek dan detail, untuk menghasilkan data status emisi GRK yang tepat. Pembangkitan data aktivitas bisa dilakukan dengan berbagai cara, diantaranya dengan melakukan wawancara langsung dengan para ahli, survey lapangan maupun membangun asumsi. Status emisi GRK Kabupaten Grobogan dan Tanjung Jabung Timur berbeda, meski sumber emisi utama adalah gas CH4 dari pengelolaan lahan sawah yang mencapai 50%. Total emisi GRK Kabupaten Grobogan dengan metode IPCC 2006 adalah sekitar 678-758 Gg CO2e dan diperkirakan akan terus meningkat mencapai angka 898 Gg CO2e di tahun 2020 jika tidak ada aksi mitigasi, sedangkan di Kabupaten Tanjung Jabung Timur sekitar 543-659 Gg CO2e dan mencapai angka 820 Gg CO2e tahun 2020. Total emisi GRK Kabupaten Grobogan dan Tanjung Jabung Timur dengan modifikasi metode IPCC 2006 adalah sebesar 670-744 Gg CO2e and 540-658 Gg CO2e. Hasil perhitungan emisi N2O langsung dari tanah yang dikelola di kedua kabupaten dengan metode IPCC 2006 dan modifikasinya hanya berbeda sekitar 4% atau tidak berbeda nyata dengan uji t pada taraf p=0,05. ii
Penentuan teknologi mitigasi dapat dilakukan melalui studi literature terhadap hasil-hasil penelitian yang telah dilakukan, sementara penentuan luasan area yang berpotensi untuk penerapan teknologi mitigasi, dilakukan dengan membangun asumsi-asumsi. Besaran biaya dapat ditentukan berdasarkan pada biaya yang berlaku setempat. Potensi pengurangan emisi pada kurva biaya pengurangan emisi GRK di Kabupaten Grobogan mencapai 212.822 tCO2e/th atau sekitar 24% dapat diturunkan sampai tahun 2020 dengan tambahan biaya dibawah Rp 1.000,-/tCO2e, sementara di Kabupaten Tanjung Jabung Timur sebesar 66.317 tCO2e/th atau sekitar 8,1% dapat diturunkan dengan biaya tambahan dibawah Rp 1.000,-/tCO2e. Teknologi mitigasi yang berpotensi besar menurunkan emisi GRK dengan biaya rendah di Kabupaten Grobogan adalah penerapan teknik budidaya padi dengan penerapan Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) dan penggantian varietas padi dengan varietas padi yang rendah emisi GRK. Sementara di Kabupaten Tanjung Jabung Timur, teknologi ameliorasi dengan kompos, pupuk kandang dan penerapan teknologi tanpa olah tanah+tanam benih langsung merupakan teknologi mitigasi yang memiliki potensi besar menurunkan emisi dengan biaya yang rendah. Kata kunci : biaya pengurangan emisi, gas rumah kaca, inventarisasi, mitigasi, pertanian nyak digunakan dalam mengobati berbagai penyakit, termasuk diabetes, Tujuan penelitian ini adalah memperoleh fraksi teraktif penghambat aktivitas α-amilase dari ekstrak etanol daun salam serta mengidentifikasi kandungan fitokimianya, Ekstrak etanol kasar difraksinasi menggunakan ekstraksi cair-cair memperoleh 3 fraksi, yaitu fraksi n-heksana, fraksi etil asetat, dan fraksi air, Uji aktivitas inhibisi α-amilase menunjukkan bahwa semua fraksi aktif menghambat α-amilase, dengan fraksi air menunjukkan aktivitas tertinggi sebesar 22,52%, Fraksinasi lanjutan fraksi air menggunakan kromatografi kolom silika gel dengan elusi gradien menghasilkan 4 fraksi, Semua fraksi menunjukkan aktivitas hambat α-amilase; fraksi 2 menunjukkan aktivitas tertinggi, yaitu 57,57%, Berdasarkan uji fitokimia, komponen kimia yang terkandung dalam fraksi teraktif adalah golongan alkaloid, flavonoid, dan saponin, Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipiscing elit, Mauris ultrices tellus vel risus tempus non consequat massa sollicitudin, Pellentesque habitant morbi tristique senectus et netus et malesuada fames ac turpis egestas, Proin eget interdum velit, Vestibulum quis justo eu arcu elementum bibendum, Proin venenatis eleifend fermentum, Vivamus ullamcorper dictum quam non mollis, Morbi cursus dolor ut tellus faucibus rutrum, Duis nibh nibh, rutrum nec congue sed, iaculis eget velit, Vivamus tempus, dolor et eleifend interdum, ipsum purus tristique risus, id aliquam libero nunc non neque, Praesent vel massa purus, sed gravida ligula, Etiam vel suscipit erat, Aliquam erat volutpat, Pellentesque habitant morbi tristique senectus et netus et malesuada fames ac turpis egestas, Sed vulputate neque sit amet nibh gravida scelerisque, Nam mattis euismod facilisis, Ut sit amet nunc sem, vel imperdiet risus, Pellentesque iaculis tempus nunc accumsan porttitor, Sed eget odio nec enim ornare feugiat, Quisque viverra sapien a felis molestie dictum, Donec malesuada porttitor sagittis, In hac habitasse platea dictumst, Morbi at justo at tellus tincidunt volutpat sed vel m, saponin
iii
SUMMARY MIRANTI ARIANI. Green House Gases Emission Inventory from agriculture sector and it’s mitigation option with marginal abatement cost curve approach. Supervised by MUHAMMAD ARDIANSYAH and PRIHASTO SETYANTO. Agriculture sector accounts for 5 % of the total national GHG emissions in 2000 and increased to 7% in 2005. Emissions are predicted to continue rising if no emission reduction activities undertaken. Government through Presidential Decree (Decree) No. 61 of 2011 on National Action Plan for Reducing Greenhouse Gases Emissions and Presidential Decree No. 71 of 2011 on the Implementation of the National Greenhouse Gas Inventory, requires each sector to reduce GHG emissions by 26 % nationally. Implementation of Presidential Decree 61/2011, involve active participation of the region, which each are required to prepare the Regional Action Plan for Greenhouse Gas Emission Reduction. Each region is obliged to contribute to the national emission reduction. The amount of GHG emission from each sources need to presented, in regard to determine actions planning for GHG emission reduction. Agricultural sector in the appendix of Presidential Decree No. 61/2011 mentioned should reduce the level of emissions by 8 Gg CO2e. Various national level planning has been done to achieve these targets, but participation from each region will greatly determine. This study has two main objectives that include the following (1) to analyze the status of GHG emissions of Agricultural Sector in Grobogan, Central Java and East Tanjung Jabung, Jambi through the identification of key categories (Key Categories Analysis) to sources of GHG emissions and constract BAU baseline and, (2) to analyze mitigation options that could be done in paddy fields managements with the Marginal Abatement Cost approach. Greenhouse gas inventory requires a very complex and detailed activity data input. Activity data generation can be done in various ways, i.e direct interviews with expert, conduct field surveys and build some assumptions. The results showed that CH4 emissions (rice cultivation, enteric fermentation and manure management) was the main contributor to overall GHG emissions in the two districts with the amount of > 50 % (in CO2e). Overall Grobogan and East Tanjung Jabung GHG emissions from years 2006 to 2011 using IPCC 2006 was 678-758 Gg CO2e and 543-659 Gg CO2 e respectively and overall GHG emissions using modified IPCC 2006 was 670-744 Gg CO2e and 540-658 Gg CO2e. This emission in Grobogan and East Tanjung Jabung was predicted to continue rising and reach the figure of 898 Gg CO2 e and 820 Gg CO2 e in 2020 if no mitigation actions implemented. The result of IPCC 2006 and its modification method was only 4% different in direct N2O emission at two region. The modification method to direct N2O emission from flooded rice could be used because it is simplier and easier both in gathering activity data and the calculation itself. Determination of mitigation technologies can be done through literature study, while determination of the area that has potential mitigation technologies application, are done by build some assumptions. The cost and benefit can be determined based on prevailing local prices. Abatement potential which shows in marginal abatement cost curve in Grobogan, predicted the amount of 212,822
iv
tCO2e/yr or about 24 % up to 2020 can be derived with the additional cost of less than Rp 1,000,-/tCO2e, while in East Tanjung Jabung 66,317 tCO2e/yr, or about 8.1 % by 2020 can be derived at an additional cost of less than Rp 1,000, -/tCO2e. Mitigation activity such as low methane rice varieties and Integrated Crop Management could be applied at Grobogan with low cost, while using amelioration such as compost or manure and non tillage+direct seeded could be applied at East Tanjung Jabung with low cost as well.
Keywords: agriculture, greenhouse gases, inventory, mitigation, marginal abatement cost Eugenia polya edicinal plant to treat various diseases, including diabetes, The objectives of this research are to obtain the active fraction of ethanolic salam leaves extract, which is inhibitory against α-amylase activity, and to identify phytochemical constituents of the fractions, Crude ethanolic extract fractionated by liquid-liquid extraction gave 3 fractions, namely n-hexane, ethyl acetate, and water fractions, All fractions showed inhibitory activity against α-amylase and water fraction showed the highest activity with the inhibition of 22,52%, Subsequent fractionation of the water fraction using silica gel column chromatography with gradient elution produced 4 fractions, All fractions showed inhibitory activity against α-amylase; fraction 2 showed the highest activity with the inhibition of 57,57%, Phytochemical screening showed that alkaloids, flavonoids, and saponins were the chemical constituents of the active fraction, Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipiscing elit, Mauris ultrices tellus vel risus tempus non consequat massa sollicitudin, Pellentesque habitant morbi tristique senectus et netus et malesuada fames ac turpis egestas, Proin eget interdum velit, Vestibulum quis justo eu arcu elementum bibendum, Proin venenatis eleifend fermentum, Vivamus ullamcorper dictum quam non mollis, Morbi cursus dolor ut tellus faucibus rutrum, Duis nibh nibh, rutrum nec congue sed, iaculis eget velit, Vivamus tempus, dolor et eleifend interdum, ipsum purus tristique risus, id aliquam libero nunc non neque, Praesent vel massa purus, sed gravida ligula, Etiam vel suscipit erat, Aliquam erat volutpat, Pellentesque habitant morbi tristique senectus et netus et malesuada fames ac turpis egestas, Sed vulputate neque sit amet nibh gravida scelerisque, Nam mattis euismod facilisis, Ut sit amet nunc sem, vel imperdiet risus, Pellentesque iaculis tempus nunc accumsan porttitor, Sed eget odio nec enim ornare feugiat, Quisque viverra sapien a felis m , α-amylase, Eugenia polyantha, flavonoids, saponins, lorem, ipsum
v
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
vi
INVENTARISASI EMISI GAS RUMAH KACA SEKTOR PERTANIAN DAN OPSI MITIGASINYA DENGAN PENDEKATAN MARGINAL ABATEMENT COST
MIRANTI ARIANI
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Pengelolaan sumberdaya Alam dan Lingkungan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014
i
Penguji Luar Komisi Pada Ujian Tesis : Jumat 30 Mei 2014 Pukul 08.30 WIB Dr. M. Yani, M.Eng Staf Pengajar Fakultas Teknologi Pertanian
ii
Judul Tesis : Inventarisasi Emisi Gas Rumah Kaca Sektor Pertanian dan Opsi Mitigasinya dengan Pendekatan Marginal Abatement Cost Nama : Miranti Ariani NIM : P052110181
Disetujui oleh Komisi Pembimbing
Dr. Muhammad Ardiansyah Ketua
Dr. Prihasto Setyanto, M.Sc Anggota
Diketahui oleh
Ketua Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof. Dr. Cecep Kusmana, MS
Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr
Tanggal Ujian: 30 Mei 2014
Tanggal Lulus:
iii
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Pebruari 2013 ini ialah perubahan iklim, dengan judul Inventarisasi Emisi GRK Sektor Pertanian dan Opsi Mitigasinya dengan Pendekatan Marginal Abatement Cost. Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr. Muhammad Ardiansyah dan Bapak Dr. Prihasto Setyanto selaku pembimbing yang telah banyak memberi saran. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada seluruh Kelompok Peneliti Emisi dan Absorbsi GRK Balai Penelitian Lingkungan Pertanian, yang telah membantu selama pengumpulan data dan pelaksanaan penelitian. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada suami, ayah, ibu, serta seluruh keluarga, atas segala doa dan kasih sayangnya. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Mei 2014 Miranti Ariani
iv
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL
vi
DAFTAR GAMBAR
vii
DAFTAR LAMPIRAN
viii
1 PENDAHULUAN Latar Belakang Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian Ruang Lingkup Penelitian
1 1 3 4 4
2 STATUS EMISI GRK SEKTOR PERTANIAN DI KABUPATEN GROBOGAN DAN TANJUNG JABUNG TIMUR Pendahuluan Bahan dan Metode Hasil Pembahasan Simpulan
6 6 8 16 30 35
3 BIAYA PENGURANGAN (MARGINAL ABATEMENT COST) EMISI GRK Pendahuluan Bahan dan Metode Hasil Pembahasan Simpulan
36 36 38 39 43 46
4 PEMBAHASAN UMUM
48
5 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Saran
51 51 51
DAFTAR PUSTAKA
53
LAMPIRAN
59
RIWAYAT HIDUP
78
v
DAFTAR TABEL Tabel 2.1 Daftar data aktivitas dan sumber data
8
Tabel 2.2 Faktor emisi dan faktor skala rejim air pengelolaan lahan sawah
10
Tabel 2.3 Faktor koreksi jenis tanah pengelolaan lahan sawah
10
Tabel 2.4 Faktor koreksi berbagai varietas padi di Indonesia
11
Tabel 2.5 Faktor emisi N2O langsung dari tanah dikelola (Default direct N2O emission factor from managed soil)
13
Tabel 2.6 Faktor emisi N2O tidak langsung dari tanah dikelola (Default indirect N2O emission factor from managed soil)
13
Tabel 2.7 Faktor emisi CH4 dari fermentasi enterik hewan
14
Tabel 2.8 Faktor emisi CH4 dari pengelolaan kotoran ternak
15
Tabel 2.9 Data aktivitas sub sektor pertanian
18
Tabel 2.10 Data aktivitas sub sektor peternakan Kabupaten Grobogan
19
Tabel 2.11 Data aktivitas sub sektor peternakan Kabupaten Tanjung Jabung Timur
19
Tabel 2.12 Faktor emisi GRK sektor pertanian Kabupaten Grobogan dan Tanjung Jabung Timur
20
Tabel 2.13 Emisi GRK total Kabupaten Grobogan (Gg CO2e/tahun)
27
Tabel 2.14 Emisi GRK total Kabupaten Tanjung Jabung Timur (Gg CO2e/tahun)
27
Tabel 2.15 Perbandingan emisi N2O langsung metode IPCC 2006 dan modifikasi
30
Tabel 2.16 Perbandingan total emisi GRK metode IPCC 2006 dan modifikasi
30
Tabel 3.1 Teknologi mitigasi GRK dari beberapa sumber publikasi
39
Tabel 3.2 Potensi pengurangan emisi (abatement rate) dan biaya tambahan untuk pengurangan emisi (abatement cost)
40
Tabel 3.3 Abatement potensial dan kemungkinan adopsi teknologi mitigasi
41
Tabel 3.4 Potensi penurunan hingga tahun 2020 terhadap proyeksi emisi BAU baseline
42
vi
DAFTAR GAMBAR Gambar 1.1 Skema Non-Binding Commitment Indonesia (Badan Litbang Pertanian, 2011) ..................................................................................2 Gambar 1.2 Skema ruang lingkup penelitian ........................................................5 Gambar 2.1 Emisi CH4 pengelolaan lahan sawah di (Gg CH4/tahun): a) Kabupaten Grobogan dan , b) Kabupaten Tanjung Jabung Timur ................................................................................................21 Gambar 2.3 Emisi N2O langsung dari tanah yang dikelola di (Gg N2O/tahun): a) Kabupaten Grobogan dan , b) Kabupaten Tanjung Jabung Timur ......................................................................23 Gambar 2.5 Emisi CH4 dari Fermentasi Enterik dan Pengelolaan kotoran di (Gg CH4/tahun) a) Kabupaten Grobogan, b) Kabupaten Tanjung Jabung Timur ......................................................................25 Gambar 2.6 Emisi N2O dari Pengelolaan kotoran di (a) Kabupaten Grobogan dan (b) Kabupaten Tanjung Jabung Timur ......................26 Gambar 2.7 Kontribusi tiap jenis gas terhadap total emisi GRK a) Kabupaten Grobogan, b) Kabupaten Tanjung Jabung Timur ...........28 Gambar 2.8 Kontribusi masing-masing sumber emisi terhadap total emisi GRK a) Kabupaten Grobogan, b) Kabupaten Tanjung Jabung Timur ................................................................................................28 Gambar 2.9 BAU Baseline emisi GRK a) Kabupaten Grobogan dan b) Kabupaten Tanjung Jabung Timur ...............................................29 Gambar 3.1 Kurva biaya pengurangan emisi GRK Kabupaten Grobogan ...........42 Gambar 3.2 Kurva biaya pengurangan emisi GRK Kabupaten Tanjung Jabung Timur ....................................................................................43
vii
DAFTAR LAMPIRAN Lampiran 1. Hasil perhitungan status emisi dengan IPCC 2006 worksheet ........ 59 Lampiran 2. Analisis Usahatani............................................................................. 76
viii
1 PENDAHULUAN Latar Belakang Sejak 2 abad terakhir, kegiatan manusia (antropogenik) telah meningkat dengan sangat berarti, khususnya setelah era pra-industri. Peningkatan penggunaan energi dari bahan bakar fosil untuk berbagai kegiatan manusia terutama dalam proses-proses industri dan transportasi, kegiatan pembukaan hutan untuk keperluan pembangunan, dan intensifikasi budi daya tanaman serta produksi limbah, telah menyebabkan emisi gas rumah kaca (GRK) meningkat dengan laju yang semakin cepat. Menurut Petit et al (1999) dan Siegenthaler et al (2005) rata-rata konsentrasi CO2 global di atmosfer pada awal revolusi industri (sekitar tahun 1750an) hanya 280 ppm dan pada tahun 2006 sudah meningkat menjadi 381 ppm. Konsentrasi CO2 (karbondioksida) saat ini diperkirakan tertinggi dalam 650.000 tahun terakhir. Lebih lanjut menurut Pearson dan Palmer (2000) konsentrasi tersebut bahkan yang tertinggi selama 20 juta tahun terakhir. Laju pertumbuhan konsentrasi CO2 dalam tahun 2000-2006 mencapai 1,93 ppm per tahun. Laju ini merupakan laju tertinggi sejak adanya pengukuran secara kontinyu GRK sejak tahun 1959 dan peningkatannya juga sangat signifikan dibanding dengan laju emisi di awal tahun 1980an sebesar1,58 ppm per tahun dan 1990an sebesar 1,49 ppm per tahun (Canadell et al, 2007). Menurut Canadell et al (2007) dilihat dari sisi sumber, dalam periode 19592006 jumlah emisi terbesar berasal dari penggunaan bahan bakar fosil yaitu mencapai 80%, sedangkan dari perubahan penggunaan lahan sekitar 20%. Emisi yang dilepaskan ini sebagian diserap kembali oleh lautan dan daratan. Namun demikian kemampaun lautan dan daratan dalam menyerap kembali CO2 tidak banyak mengalami perubahan. Dengan demikian, terjadinya peningkatan laju emisi menyebabkan konsentrasi CO2 di atmosfer menjadi meningkat dari waktu ke waktu. Hal ini menyebabkan timbulnya masalah pemanasan global dan perubahan iklim. Untuk mengatasi masalah ini, pada KTT (Konferensi Tingkat Tinggi) Bumi di Rio tahun 1992, dilahirkan konvensi perubahan iklim dengan tujuan untuk menstabilisasi konsentrasi GRK di atmosfer pada tingkat yang tidak membahayakan sistem iklim. Tingkat konsentrasi yang dimaksud harus dapat dicapai dalam satu kerangka waktu tertentu sehingga memberikan waktu yang cukup kepada ekosistem untuk beradaptasi secara alami terhadap perubahan iklim dan dapat menjamin produksi pangan tidak terancam dan pembangunan ekonomi dapat berjalan secara berkelanjutan. Indonesia telah menandatangani Protokol Kyoto sejak tahun 1997 yang sebelumnya telah meratifikasi pembentukan UNFCCC melalui UU No 6 tahun 1994. Sejak saat itu, Indonesia menjadi salah satu pihak yang terikat dalam hak dan kewajiban sebagaimana tercakup dalam United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) atau Kerangka Kerja PBB untuk Konvensi Perubahan Iklim. Para pihak yang terikat dalam UNFCCC setuju untuk membangun, memutakhirkan secara periodik, dan menyediakan inventarisasi emisi GRK nasional menurut sumber (source) dan rosot (sink) dengan menggunakan
2 metodologi yang dapat diperbandingkan dan disetujui oleh para pihak (Boer, 2009). Para pihak berkomitmen untuk menyusun dokumen Komunikasi Nasional yang berisikan informasi Inventarisasi GRK Nasional, deskripsi tentang langkahlangkah yang diambil untuk mencapai tujuan konvensi meliputi adaptasi dan mitigasi perubahan iklim, dan informasi lainnya yang relevan dengan tujuan konvensi. Peran serta Indonesia terkait upaya-upaya mitigasi perubahan iklim, salah satunya adalah pernyataan Non-Binding Commitment yang dikemukakan oleh Presiden RI pada pertemuan G-20 di Pittsburgh – USA, 25 September 2009 yang lalu. Komitmen yang tidak mengikat ini mencakup upaya-upaya Indonesia mengurangi tingkat emisi GRK sebesar 26% di tahun 2020 dengan sumbersumber pendanaan dari dalam negeri dan lebih jauh sampai dengan 41% di tahun 2020 apabila ada bantuan donor internasional (Gambar 1.1).
Gambar 1.1
Skema Non-Binding Commitment Indonesia (Badan Litbang Pertanian, 2011)
Menindaklanjuti komitmen tersebut, disusunlah Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi GRK yang tertuang dalam Peraturan Presiden (Perpres) No 61 tahun 2011 yang berisi tentang dokumen rencana kerja untuk pelaksanaan berbagai kegiatan yang secara langsung dan tidak langsung menurunkan emisi GRK nasional sesuai dengan target pembangunan nasional. Dalam pasal 6 Perpres 61/2011, disebutkan bahwa untuk menurunkan emisi GRK di masing- masing wilayah provinsi, gubernur harus menyusun Rencana Aksi Daerah (RAD) GRK. Sebelum menyusun rencana aksi, maka penting untuk mengetahui status emisi maupun serapan GRK dari sumber-sumber potensial yang ada di daerah. Hal ini kemudian dituangkan dalam Perpres No 71 tahun 2011 mengenai Penyelenggaraan Inventarisasi GRK Nasional. Penelitian ini dilakukan dalam rangka memfasilitasi dan mendukung kegiatan inventarisasi GRK yang akan dilakukan di daerah (kabupaten/kota), 2
3 dengan adanya penelitian ini diharapkan akan menjadi pedoman bagi stakeholder di daerah dalam pelaksanaan kegiatan inventarisasi GRK. Fokus penelitian ini hanya pada sektor pertanian, hal ini lebih karena sektor pertanian mempunyai fungsi multidimensi terhadap perubahan iklim, yaitu berperan sebagai korban karena sifatnya yang rentan terhadap perubahan iklim, sebagai sumber penyumbang emisi GRK dan sekaligus juga sebagai solusi untuk penurunan emisi GRK. Dalam RAN (Rencana Aksi Nasional) GRK, sektor pertanian mempunyai kewajiban untuk menurunkan emisi sebesar 8 Gg CO2e. Untuk bisa mencapai target tersebut, berbagai kegiatan mitigasi, baik yang berdampak langsung maupun tidak langsung terhadap penurunan emisi sektor pertanian harus dilakukan. Kegiatan mitigasi bisa berupa kegiatan yang baru maupun kegiatan yang sudah ada yang mempunyai potensi menurunkan emisi GRK. Penelitian ini dilaksanakan di 2 Kabupaten yaitu Kabupaten Grobogan Propinsi Jawa Tengah mewakili ekosistem dengan tanah mineral dan Kabupaten Tanjung Jabung Timur Propinsi Jambi mewakili ekosistem dengan tanah gambut. Propinsi Jawa Tengah dan Propinsi Jambi adalah propinsi yang sampai dengan awal tahun 2012 telah menerbitkan Peraturan Gubernur mengenai RAD GRK, yaitu Pergub Jambi No. 36 tahun 2012 dan Pergub Jateng No. 43 tahun 2012. Kabupaten Grobogan dipilih sebagai lokasi penelitian karena berdasarkan kajian awal merupakan kabupaten yang berperan sebagai lumbung padi Jawa Tengah, kegiatan pertanian sangat bervariasi (tanaman pangan, hortikultura, perkebunan, peternakan, perikanan), areal lahan sawah terluas kedua di Jawa Tengah dan beberapa data sekunder terkait pertanian tersedia pada website resmi masingmasing SKPD dan BPS. Sementara, Kabupaten Tanjung Jabung Timur adalah kabupaten di Propinsi Jambi yang juga merupakan lumbung padi Propinsi Jambi, dengan karakteristik lahan pertanian sebagian besar merupakan lahan marjinal (lahan gambut, rawa dan lebak), kegiatan pertaniannya juga bervariasi, dimana kebanyakan adalah pertanian kebun campur (karet dengan hortikultura atau buahbuahan di sela-selanya). Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis status emisi dan serapan GRK dari lahan pertanian di Kabupaten Grobogan (Jawa Tengah) dan Kabupaten Tanjung Jabung Timur (Jambi) serta upaya-upaya mitigasi yang dapat dilakukan. Terkait hal tersebut maka diperlukan langkah-langkah yang dituangkan dalam beberapa tujuan khusus, yaitu : 1. Menganalisis status emisi GRK Sektor Pertanian di Kabupaten Grobogan Propinsi Jawa Tengah dan Kabupaten Tanjung Jabung Timur Propinsi Jambi melalui inventarisasi dan identifikasi kategori kunci (key categories analysis) terhadap sumber-sumber emisi GRK dan perhitungannya serta menyusun BAU baseline, 2. Menganalisis opsi-opsi mitigasi pada pengelolaan lahan sawah yang mungkin dilakukan dengan pendekatan marginal abatement cost.
3
4 Manfaat Penelitian Manfaat yang diperoleh dari penelitian ini adalah : 1. Tersedianya data status emisi GRK sektor pertanian Kabupaten Grobogan dan Tanjung Jabung Timur serta langkah-langkah dalam pembangkitan data aktivitas yang diperlukan 2. Tersedianya informasi opsi-opsi mitigasi yang sesuai sebagai bahan masukan terhadap pemerintah kabupaten/kota untuk penyusunan RAD-GRK Ruang Lingkup Penelitian Perpres No 61/2011 yang berisi tentang rencana kerja untuk penurunan emisi GRK terdiri dari 5 sektor sebagai sasaran utama, hampir 90% sasaran penurunan emisi yang direncanakan berasal dari sektor berbasis lahan, salah satunya pertanian. Oleh karena itu, inventarisasi tingkat dan status emisi sektor pertanian perlu dilakukan. Sektor pertanian menjadi korban, penyebab, dan solusi bagi dampak perubahan iklim itu sendiri. Di satu sisi, pertanian berperan penting terhadap ketahanan pangan, kesejahteraan masyarakat, dan sumber mata pencaharian jutaan petani dengan berbagai keterbatasan. Di sisi lain, pertanian rentan (vurnerable) terhadap perubahan iklim, penghasil emisi GRK meski relatif kecil dan juga berpotensi mengurangi emisi GRK melalui upaya-upaya mitigasi. Oleh sebab itu, pembangunan pertanian tidak hanya memprioritaskan upaya adaptasi perubahan iklim, tetapi juga perlu berkontribusi dalam program mitigasi melalui penerapan teknologi untuk meningkatkan penyerapan GRK (Indonesian Climate Change Sectoral Roadmap, 2011). Berikut adalah tahapan dan tata cara penyelenggaraan inventarisasi GRK nasional yang dikembangkan sesuai dengan Inter-govermental Panel on Climate Change (IPCC) Guidelines, 1. Evaluasi inventarisasi GRK tahun sebelumnya (termasuk identifikasi sumbersumber GRK potensial). Tahapan ini bertujuan untuk mengidentifikasi hal-hal yang harus diperbaiki dalam pelaksanan inventarisasi GRK tahun sebelumnya. 2. Identifikasi ketersediaan data dan analisis gap. Tahapan ini bertujuan untuk menetapkan metodologi, termasuk menyiapkan template worksheet, form data aktivitas dan faktor emisi. 3. Melakukan analisis kategori kunci, yaitu mengidentifikasi sumber/searapan utama yang diperkirakan memberikan sumbangan yang besar terhadap total emisi atau serapan GRK. Analisis ini diperlukan untuk menentukan skala prioritas data apa yang perlu mendapatkan perhatian dalam proses pengumpulannya sehingga menghasilkan inventarisasi GRK yang baik. 4. Pengumpulan data dilengkapi dengan form data aktivitas dan faktor emisi. 5. Penghitungan tingkat emisi GRK. 6. Melakukan analisis ketidakpastian. Tahapan ini bertujuan untuk mendapatkan tingkat ketidakpastian untuk data aktivitas dan faktor emisi serta serapan GRK. 7. Melakukan analisis kategori kunci dari hasil penghitungan tahun berjalan, Tahapan ini bertujuan untuk menetapkan sumber-sumber emisi potensial untuk keperluan inventarisasi GRK tahun berikutnya dan sebagai bahan masukan penyusunan rencana mitigasi.
4
5 Berikut adalah gambaran atau skema dari alur pemikiran yang dilaksanakan dalam penelitian ini
Perubahan Iklim
Konsentrasi GRK
Adaptasi
Mitigasi
INDONESIA Perpres 61/2011 RANGRK Perpres 71/2011 INVENTORI
Energi
AFOLU (90%)
Industri
Limbah
Key Category Analisys
Data Aktivitas
Penentuan Metode
Perhitungan Emisi GRK
Penyusunan BAU Baseline
Rencana Pembangunan
Opsi Mitigasi
Ket : AFOLU (Agriculture, Forestry and Other Land Use) BAU (Business as Usual) Gambar 1.2 Skema ruang lingkup penelitian
5
6
2 STATUS EMISI GRK SEKTOR PERTANIAN DI KABUPATEN GROBOGAN DAN TANJUNG JABUNG TIMUR Pendahuluan Lahan pertanian menyumbangkan emisi GRK melalui beberapa proses. Proses-proses tersebut menurut IPCC 2006 adalah (i) emisi CH4 dari fermentasi enterik pada ternak, (ii) emisi CH4 dan N2O dari pengelolaan kotoran ternak, (iii) emisi CH4 dari pengelolaan lahan sawah, (iv) emisi CO2 akibat penggunaan pupuk urea dan (v) emisi N2O langsung dan tidak langsung dari lahan yang dikelola sebagai akibat dari input N. Dalam laporan Komunikasi Nasional Indonesia ke-2 hasil inventarisasi, disebutkan bahwa sektor pertanian secara keseluruhan menyumbangkan sekitar 5% dari total emisi nasional pada tahun 2000. Kegiatan inventarisasi di negara China bahkan sudah dimulai sejak tahun 1990an, hal ini sesuai yang dilaporkan oleh komunikasi Nasional terkait Perubahan Iklim di China ( Initial National Communication on Climate Change of China/INCCCC 2004 dalam Cao et al, 1995 dan Chen dan Bo Zhang, 2010) bahwa tahun 1994 besaran emisi gas rumah kaca di China hasil inventarisasi adalah 3650 Gg CO2e. Hasil penelitian Chen dan Bo Zhang 2007 (Chen dan Bo Zhang, 2010), total gas rumah kaca di China tahun 2007 adalah sebesar 7456,12 Gg CO2e dengan emisi CH4 dari lahan padi sawah dan peternakan sebesar 831,45 Gg CO2e (atau sekitar 9% dari total). Emisi tersebut jauh lebih tinggi dari emisi sektor terkait energi dari beberapa negara maju pada tahun inventori yang sama, yaitu Inggris yang hanya sebesar 523 Gg CO2e, Kanada 572,9 Gg CO2e dan Jerman 798,4 Gg CO2e. Hal ini menunjukkan bahwa di beberapa negara, kontribusi sektor pertanian terhadap emisi GRK, patut diperhitungkan. Hasil studi inventarisasi gas rumah kaca di negara Eropa, oleh Freibauer tahun 2003 menyebutkan bahwa pada tahun 1995 besarnya emisi GRK kegiatan pertanian di Eropa adalah sebesar 840±190 Gg N2O; 810±200 Gg CH4 dan 39.000±2.500 Gg CO2 dengan jumlah sumbangan sebesar 470.000±8.000 Gg CO2e atau 11% dari emisi GRK secara keseluruhan. Hasil penelitian Neufeldt et al, 2006 di German menunjukkan bahwa total emisi GRK dari lahan sawah adalah lebih rendah ( 0,026 – 0,034 Gg CO2e/ha) dibandingkan dengan emisi dari peternakan (0,052 – 0,053 Gg CO2e/ha ). Hal ini selaras dengan hasil penelitian Weiss dan Leip, 2012 besarnya emisi GRK dari sektor pertanian, di antara negara negara Uni Eropa tahun 2010, 80% adalah berasal dari kegiatan peternakan (enterik fermentation, pengelolaan kotoran, produksi daging) yaitu sebesar 623.000 – 852.000 Gg CO2e. Kegiatan inventarisasi GRK di Amerika Serikat tahun 1990-2008 seperti dilaporkan dalam oleh USDA (United States Department of Agriculture) tahun 2011 menunjukkan hasil bahwa kontribusi sektor pertanian terhadap emisi GRK total di AS adalah sebesar 6% atau setara dengan 462.000 Gg CO2e yang berasal dari peternakan, padang rumput dan lahan sawah. Kontributor emisi GRK pertanian adalah emisi gas N2O dari pertanian tanaman pangan dan padang rumput (214.000 Gg CO2e), emisi CH4 dari fermentasi enterik (141.000 Gg CO2e),
6
7 emisi CO2 dari penggunaan energi untuk kegiatan pertanian (72.000 Gg CO2e) dan emisi CH4 dari pengelolaan kotoran (45.000 Gg CO2e). Beberapa negara dengan tingkat konsumsi daging yang tinggi (seperti Uni Eropa dan AS) cenderung memberikan sumbangan emisi GRK dari peternakan yang tinggi. Sementara negara-negara Asia, seperti China dan Indonesia dengan tingkat konsumsi beras yang tinggi, sumbangan emisi GRK dari lahan sawah akan cenderung lebih tinggi. Komitmen Indonesia untuk menurunkan emisi GRK-nya sebesar 26% sampai tahun 2020 telah menjadi kegiatan wajib dengan disyahkannya Peraturan Presiden (Perpres) No 61 tahun 2011 (Perpres 61, 2011) dan Peraturan Presiden No 71 tahun 2011 (Perpres 71, 2011). Pelaksanaan Perpres 61/2011, melibatkan keikutsertaan daerah secara aktif, karena dalam Perpres tersebut pemerintah daerah diharuskan menyusun RAD Penurunan Emisi GRK. Masing-masing daerah berkewajiban memberikan kontribusi terhadap penurunan emisi secara nasional. Perencanaan aksi-aksi untuk penurunan emisi GRK, perlu mengetahui secara pasti besaran emisi dan serapan GRK, Berbagai perencanaan ditingkat nasional telah dilakukan untuk mencapai target tersebut, akan tetapi partisipasi daerahlah yang akan sangat menentukan. Dalam skala global dan nasional, perhitungan besaran emisi telah banyak dilakukan, baik dalam bentuk studi ilmiah maupun laporan nasional terkait status emisi di suatu negara (Chen dan Bo Zhang, 2010). Kegiatan inventarisasi dalam skala wilayah yang lebih sempit, diharapkan dapat memudahkan kompilasi dalam skala wilayah yang lebih luas (Neufeldt et al, 2006), sehingga perencanaan penurunan emisi dapat lebih tepat. Hal yang masih menjadi kendala utama dalam inventarisasi GRK di Indonesia adalah ketersediaan data aktivitas. Pembangkitan data aktivitas dalam skala kabupaten akan menjadi kunci dalam penyusunan basis data di tingkat nasional untuk menghasilkan inventarisasi yang berkualitas. Penelitian ini diharapkan mampu menjadi pedoman bagi daerah dalam melakukan kegiatan inventarisasi, dimulai dari pembangkitan data aktivitas, melakukan perhitungan serta membandingkan estimasi emisi antara metode IPCC 2006 dan modifikasi IPCC 2006 untuk Sektor Pertanian tahun 2006-2011. Metode IPCC 2006 adalah metode yang telah disepakati secara internasional untuk perhitungan emisi GRK. Hasil perhitungan akan sangat berguna sebagai acuan dalam penentuan aksi mitigasi yang akan dilakukan. Kabupaten Grobogan merupakan salah satu kabupaten dengan luas lahan pertanian yang besar di Propinsi Jawa Tengah, begitu juga Kabupaten Tanjung Jabung Timur di Propinsi Jambi. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis status emisi GRK Sektor Pertanian di Kabupaten Grobogan Propinsi Jawa Tengah dan Kabupaten Tanjung Jabung Timur Propinsi Jambi melalu inventarisasi dan identifikasi kategori kunci (key categories analysis) terhadap sumber-sumber emisi GRK dan pendugaan emisi N2O langsung dari tanah yang di kelola dengan metode IPCC 2006 dan modifikasinya serta menyusun BAU baseline. Perhitungan emisi N2O langsung dari tanah yang dikelola memerlukan masukan data aktivitas berupa jumlah N anorganik dan organik yang dimasukkan ke dalam tanah setiap tahunnya. Data aktivitas ini relatif sulit didapat dan harus menggunakan perhitungan yang kompleks serta membangun asumsi-asumsi, karena itu modifikasi metode IPCC 2006 pada persamaan perhitungan emisi N2O
7
8 langsung dari tanah yang dikelola, dilakukan untuk menyederhanakan dalam pengumpulan data aktivitas dan juga perhitungannya. Bahan dan Metode Tempat dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di 2 Kabupaten yaitu Kabupaten Grobogan Propinsi Jawa Tengah mewakili ekosistem dengan tanah mineral dan Kabupaten Tanjung Jabung Timur Propinsi Jambi mewakili ekosistem dengan tanah gambut. Kedua kabupaten ini mempunyai areal pertanian terluas di Propinsi Jawa Tengah dan Jambi. Propinsi Jawa Tengah dan Propinsi Jambi adalah 2 propinsi yang pada awal tahun 2012 telah menerbitkan Peraturan Gubernur mengenai RAD GRK yaitu Pergub Jambi No. 36 tahun 2012 dan Pergub Jateng No. 43 tahun 2012. Penelitian dilaksanakan pada bulan Februari – Juni 2013. Pengumpulan Data Aktivitas Data aktivitas adalah besaran kuantitatif kegiatan atau aktivitas manusia yang dapat melepaskan dan/atau menyerap GRK. Tahapan ini dilakukan dengan mengumpulkan dan mempelajari hasil-hasil penelitian, data statistik dari BPS dan laporan tahunan dari Badan Perencanaan Pembangunan Daerah terutama data aktivitas yang berhubungan dengan inventarisasi GRK sektor pertanian dan upaya-upaya mitigasinya. Apabila data aktivitas tidak tersedia, maka survey dan wawancara langsung untuk mendapatkan expert judgement bisa dilakukan. Data aktivitas dan sumber-sumber emisi yang telah diperoleh kemudian ditabulasi. Sektor pertanian mencakup beberapa sub-sektor yaitu pertanian tanaman pangan, hortikultura, perkebunan dan peternakan. Berikut adalah data aktivitas sektor pertanian dan sumber datanya. Tabel 2.1 Daftar data aktivitas dan sumber data Data Aktivitas Luas panen sawah Jenis pengairan Jenis Varietas Jenis tanah Jumlah penggunaan bahan organik Jumlah/dosis pupuk Jenis Pupuk Jumlah ternak Jenis ternak Cara pengelolaan kotoran ternak
Sumber data BPS (2006-2011), Dinas Pertanian BPS (2006-2011), Dinas Pertanian BPS (2006-2011), Dinas Pertanian Dinas Pertanian, hasil penelitian Dinas Pertanian, Perkebunan, expert judgement Dinas Pertanian, Perkebunan, expert judgement Dinas Pertanian, Perkebunan BPS (2006-211), Dinas Pertanian, Peternakan BPS (2006-2011), Dinas Pertanian, Peternakan Dinas Peternakan, expert judgement
8
9 Metode Perhitungan Penelitian ini menggunakan metode IPCC Guidelines 2006 dengan pendekatan tier 1 dan 2. Tier 1 adalah penghitungan emisi GRK dengan menggunakan persamaan dasar (basic equation) dan default EF (emission factor) yang disediakan dalam IPCC Guidelines, sedangkan tier 2 merupakan metoda yang lebih detail, persamaan yang sedikit kompleks, faktor emisi lebih spesifik lokasi berdasarkan hasil-hasil penelitian. Perhitungan emisi GRK meliputi emisi CH4 dari budidaya padi sawah, emisi N2O dan CO2 dari pemupukan, emisi N2O dari pengelolaan tanah. Subsektor peternakan yang dihitung adalah emisi CH4 dari sendawa ternak (enteric fermentation) dan kotoran ternak serta emisi N2O dari pengelolaan kotoran. Emisi N2O langsung dari tanah sawah irigasi selain dihitung dengan menggunakan metode perhitungan IPCC 2006, juga menggunakan metode modifikasi IPCC 2006. Perhitungan emisi dengan metode IPCC 2006 adalah sebagai berikut: 1. Pengelolaan lahan sawah (Rice cultivation) Dekomposisi bahan organik secara anaerob di lahan sawah menimbulkan emisi CH4 yang terlepas ke atmosfer melalui jaringan tanaman. Emisi CH4 tahunan dari sejumlah luas lahan tertentu di suatu wilayah merupakan fungsi dari masa tanam dan umur tanaman padi. Faktor lain yang juga berpengaruh terhadap emisi CH4 dari lahan sawah adalah jenis tanah, pengairan dan juga varietas padi (IPCC, 2006). Persamaan untuk menduga emisi CH4 dari pengelolaan lahan sawah di suatu wilayah adalah sebagai berikut : Emisi CH4 = Σ (EF * t * A * 10^-6)*CF*SF Dimana : Emisi CH4 = emisi metan dari pengelolaan lahan sawah (Gg CH4/tahun) = Faktor emisi metana dari lahan sawah (nilai lokal Indonesia adalah EF rice 1,61 kg CH4/ha/hari) A = Luas panen (ha) t = umur tanam padi (hari) CF = faktor koreksi untuk jenis tanah dan varietas padi (jika tersedia) SF = faktor skala untuk rejim pengairan (jika tersedia) Faktor koreksi rejim pengelolaan air, jenis tanah dan sebagian varietas padi yang umum digunakan disajikan pada Tabel 2.2, 2.3 dan 2.4. Faktor emisi default dalam IPCC 2006 diperoleh dari hasil-hasil penelitian tentang sumber emisi terkait di dunia.
9
10 Tabel 2.2 Faktor emisi dan faktor skala rejim air pengelolaan lahan sawah 1
Kategori
Dataran tinggi
SF (faktor skala) (berdasarkan IPCC Guidelines 1996)
Sub-kategori
Tidak ada
Irigasi
Pengairan berselang
Tadah hujan
Air dalam
1
Single Aeration
0,5 (0,2-0,7)
Multiple Aeration
0,2 (0,1-0,3)
Rawan banjir Rawan kekeringan
0,8 (0,5-1,0) 0,4 (0-0,5)
Kedalaman air 50-100 cm
0,8 (0,6-1,0)
Kedalaman air < 50 cm
0,6 (0,5-0,8)
1
0,46
0,38-0,53
0,49
0,19-0,75
Sumber : *Setyanto et al, 2011 dan 1 IPCC 2006 **angka kisaran merupakan nilai dari standart deviasinya
Tabel 2.3 Faktor koreksi jenis tanah pengelolaan lahan sawah
Kategori Jenis tanah
Kisaran**
0 Tergenang terus menerus
Dataran rendah
SF (berdasarkan riset di Indonesia)*
Sub-kategori Inceptisol Oksisol Entisol Vertisol Alfisol Histosol Mollisol Andisol Ultisol
CF (faktor koreksi) dari jenis tanah di Indonesia* 1,12 0,29 1,02 1,02 0,84 2,39 1,02 0,29
Kisaran 1,0-1,23 0,1-0,47 0,94-1,09 0,46-1,99 0,32-1,59 0,92-3,86 1,02 0,29
Sumber : Setyanto et al, 2002 (angka kisaran merupakan nilai standrat deviasinya)
10
11 Tabel 2.4 Faktor koreksi berbagai varietas padi di Indonesia No
Varietas
Rata-rata emisi (kg CH4/ha/musim)
Faktor koreksi
1 Gilirang 496,9 2,46 2 Fatmawati 365,9 1,81 3 Aromatic 273,6 1,35 4 Tukad Unda 244,2 1,21 5 IR 72 223,2 1,10 6 Cisadane 204,6 1,01 7 IR 64* 202,3 1,00 8 Margasari 187,2 0,93 9 Cisantana 186,7 0,92 10 Tukad Petanu 157,8 0,78 11 Batang Anai 153,5 0,76 12 IR 36 147,5 0,73 13 Memberamo 146,2 0,72 14 Dodokan 145,6 0,72 15 Way Apoburu 145,5 0,72 16 Muncul 127,0 0,63 17 Tukad Balian 115,6 0,57 18 Cisanggarung 115,2 0,57 19 Ciherang 114,8 0,57 20 Limboto 99,2 0,49 21 Wayrarem 91,6 0,45 22 Maros 73,9 0,37 23 Mendawak 255 1,26 24 Mekongga 234 1,16 25 Memberamo 286 1,41 26 IR42 269 1,33 27 Fatmawati 245 1,21 28 BP360 215 1,06 29 BP205 196 0,97 30 Hipa4 197 0,98 31 Hipa6 219 1,08 32 Rokan 308 1,52 33 Hipa 5 Ceva 323 1,60 34 Hipa 6 Jete 301 1,49 35 Inpari 1 271 1,34 36 Inpari 6 Jete 272 1,34 37 Inpari 9 Elo 359 1,77 Sumber : Hasil-hasil penelitian Balai Penelitian Lingkungan Pertanian dan Konsorsium Perubahan Iklim (Tahun 2003, 2004, 2005, 2008, 2009)
11
12 2. Pemupukan urea Penambahan urea pada lahan pertanian, menyebabkan terlepasnya CO2 yang digunakan selama proses pembuatan urea tersebut di pabrik dan emisi ini dihitung sebagai rosot di sektor industri. Urea (CO(NH)2)2) terlepas menjadi ammonium (NH4+), ion hidroksil (OH-), dan bikarbonat (HCO3-) dengan adanya air dan enzim urease. Pendekatan perhitungan emisi CO2 dari penggunaan pupuk urea di suatu wilayah harus mengetahui terlebih dulu jumlah penggunaan urea pertahunnya (data aktivitas) yang kemudian dikalikan dengan faktor emisi. Persamaan untuk menghitungnya adalah sebagai berikut : Emisi CO2 = (M x EF) x 44/12 Dimana : Emisi CO2 = emisi karbondioksida dari penggunaan urea (tCO2/ha) M = jumlah penggunaan urea (t/th) EF = faktor emisi, tC/t urea 3. Emisi N2O langsung dari tanah yang dikelola (Direct N2O from managed soil) Penambahan input N ke dalam tanah, akan menyebabkan peningkatan proses nitrifikasi-denitrifikasi yang kemudian meningkatkan pula emisi N2O. Pendekatan perhitungan N2O langsung dari tanah yang dikelola, memerlukan masukan data aktivitas jumlah seluruh pupuk N baik organik maupun anorganik yang diaplikasikan di tanah pertanian, dan harus dibedakan antara penggunaan untuk lahan kering dan lahan basah atau lahan sawah, hal ini dilakukan karena faktor emisi N2O sebagai hasil proses nitrifikasi dan denitrifikasi, berbeda besarannya antara yang dihasilkan di tanah dalam kondisi kering dan basah. Persamaan untuk menghitungnya adalah sebagai berikut : Direct N2O = (((FSN + FON)MS x EF1MS ) + ((FSN + FON)FRx EFFR)))x 44/28 Keterangan : N2O langsung = emisi N2O langsung dari pupuk N anorganik yang diberikan pada tanah dikelola dan lahan sawah irigasi (kg N2O/th) FSNMS = jumlah pupuk N anorganik yang digunakan pada tanah dikelola (kg N/th) FONMS = jumlah pupuk organik N yang digunakan pada tanah dikelola (kg N/th) FSNFR = jumlah pupuk N anorganik yang digunakan pada tanah sawah irigasi (kg N/th) FONFR = jumlah pupuk N organik yang digunakan pada tanah sawah irigasi (kg N/th) EF1MS = faktor emisi N2O dari N yang digunakan pada tanah dikelola (kg N2O-N/kg N input) = faktor emisi N2O dari N yang digunakan pada tanah sawah irigasi EF1FR (kg N2O-N/kg N input)
12
13 Tabel 2.5 Faktor emisi N2O langsung dari tanah dikelola (Default direct N2O emission factor from managed soil) Faktor emisi Satuan Nilai Kisaran Input N untuk lahan kering kg N2O-N per N input 0,01 0,003-0,03 Input N untuk sawah irigasi kg N2O-N per N input 0,003 0,000-0,006 Sumber : IPCC 2006 (angka kisaran adalah nilai standart deviasi) 4. Emisi N2O tidak langsung dari tanah yang dikelola (Indirect N2O from managed soil) Perhitungan emisi N2O tidak langsung dari tanah yang dikelola, tidak perlu membedakan penggunaannya di lahan kering maupun lahan sawah, karena besarnya fraksi deposisi N yang tervolatilisasi hanya berbeda pada jenis pupuk N, yaitu N anorganik dan organik. Pemberian pupuk N dalam tanah, selain secara langsung menghasilkan N2O pada tanah yang ditambahkan pupuk N, juga menghasilkan emisi N2O tidak langsung dari volatilisasi NH3 dan NOx dari tanah yang kemudian gas-gas ini dan produknya yang berupa nitrat dan nitrit diendapkan kembali ke dalam tanah dan air. Persamaan untuk menghitungnya adalah sebagai berikut : Emisi N2O = ((FSN x FracGASF) + (FON x FracGASM)) x EF4 x 44/28 Keterangan : Emisi N2O = emisi N2O dari deposisi N yang divolatilisasi dari tanah (kg N2O/th) = jumlah pupuk N anorganik yang diberikan ke tanah ( kg N/th) FSN FracGASF = Fraksi pupuk N anorganik yang divolatilisasi menjadi NH3 dan NOx FON = jumlah pupuk kandang yang diberikan ke tanah (kg N/th) FracGASM = Fraksi pupuk N organik yang divolatilisasi menjadi NH3 dan NOx EF4 = faktor emisi N2O dari N atmosferik tanah dan permukaan air FracGASF = 0,10 dan FracGASM = 0,20 Tabel 2.6
Faktor emisi N2O tidak langsung dari tanah dikelola (Default indirect N2O emission factor from managed soil)
Faktor emisi Dari deposit N pada tanah dan permukaan air FracGasF volatilisasi dari pupuk sintetis FracGasF volatilisasi dari semua pupuk N organic
Satuan kg N2O-N per NH3-N + NOX-N tervolaltilisasi kg N2O-N per NH3-N + NOX-N per kg N yang digunakan kg N2O-N per NH3-N + NOX-N per kg N yang digunakan
Nilai 0,01
Kisaran 0,002-0,05
0,1
0,03-0,3
0,2
0,05-0,5
Sumber : IPCC 2006
13
14 5. Emisi GRK dari kegiatan peternakan Emisi GRK dari kegiatan peternakan berasala dari 3 sumber yaitu emisi CH4 dari fermentasi enterik, emisi CH4 dari pengelolaan kotoran serta emisi N2O dari pengelolaan kotoran. Perhitungan emisi dari peternakan tentu saja yang paling utama adalah harus mengetahui jenis dan jumlah populasi ternak yang kemudian dikalikan dengan faktor emisi masing-masing sumber. Gas CH4 diproduksi oleh herbivora sebagai hasil samping dari proses fermentasi enterik yaitu proses memecah karbohidrat oleh mikro-organisme menjadi molekul yang lebih kecil agar mudah dicerna. Emisi CH4 yang ditimbulkan terutama dipengaruhi oleh jenis alat pencernaan, umur dan jenis pakan. Persamaan untuk menghitung emisi CH4 dari fermentasi enterik adalah sebagai berikut : CH4 Enterik = EF (T) x N(T) x 10-3 CH4 Enterik = emisi metana dari fermentasi enterik (tCH4/th) EF (T) = faktor emisi fermentasi enterik dari jenis ternak tertentu (kg CH4/ekor/th) = jumlah populasi ternak tertentu di suatu wilayah N(T) Tabel 2.7 Faktor emisi CH4 dari fermentasi enterik hewan No
Jenis ternak
1 Sapi pedaging 2 Sapi perah 3 Kerbau 4 Domba 5 Kambing 6 Babi 7 Kuda Sumber : IPCC 2006
Faktor emisi (kg/ekor/tahun) 47 61 55 5 5 1 18
CH4
Penyimpanan kotoran hewan dalam kondisi anaerob akan menyebabkan timbulnya emisi CH4 dan sebaliknya, apabila penyimpana secara aerob akan menimbulkan emisi N2O. Perhitungan emisi CH4 lebih mudah dibandingkan perhitungan emisi N2O-nya, karena data yang diperlukan hanyalah jumlah populasi ternak dan faktor emisinya (default IPCC), sedangkan untuk perhitungan emisi N2O, diperlukan juga data jumlah kotoran ternak dari jenis ternak tertentu di suatu wilayah dan berapa fraksi kotoran yang disimpan dengan sistem penyimpanan tertentu. Berikut ini adalah persamaan untuk menghitung emisi CH4 dan N2O dari pengelolaan kotoran ternak : CH4 pengelolaan kotoran = EF (T) x N(T) x 10-3 CH4 pengelolaan kotoran = emisi metana dari pengelolaan kotoran (tCH4/th)
14
15 EF (T) = faktor emisi pengelolaan kotoran dari jenis ternak tertentu (kg CH4/ekor/th) N(T) = jumlah populasi ternak tertentu di suatu wilayah Tabel 2.8 Faktor emisi CH4 dari pengelolaan kotoran ternak No
Jenis ternak 1 Sapi pedaging 2 Sapi perah 3 Kerbau 4 Domba 5 Kambing 6 Babi 7 Kuda 8 Ayam buras 9 Ayam ras 10 Ayam petelur 11 Bebek Sumber : IPCC 2006
Faktor emisi CH4 (kg/ekor/tahun) 1 31 2 0,2 0,22 7 2,19 0,02 0,02 0,02 0,02
N2O Pengelolaan Kotoran = [ΣS [ΣT (N(T) x Nex(T) x MS(T,S))] x EF3(S) ] x 44/28 N2O pengelolaan kotoran = emisi N2O dari pengelolaan kotoran di suatu wilayah (kg N2O/th) = jumlah populasi ternak tertentu di suatu wilayah N(T) Nex(T) = jumlah kotoran ternak per jenis ternak di suatu wilayah (kg N/ekor/th) MS(T,S) = fraksi dari kotoran ternak yang disimpan dengan cara tertentu di suatu wilayah EF = faktor emisi N2O dari cara pengelolaan kotoran tertentu (kg N2O-N/kg N pada cara pengelolaan tertentu) Perhitungan emisi dengan metode IPCC 2006 untuk emisi N2O langsung dari tanah dikelola Modifikasi metode IPCC 2006 digunakan untuk menduga besaran emisi N2O dari tanah sawah irigasi. Hal ini dilakukan untuk mempermudah pengumpulan data aktivitas dan proses perhitungannya. Asumsi perhitungan bisa didekati dengan cara yang sama seperti perhitungan emisi CH4 dari lahan sawah, yaitu dengan menggunakan data aktivitas berupa luas lahan sawah, umur tanaman serta faktor emisinya. Dalam hal ini, faktor emisi N2O langsung diperoleh dengan cara yang sama faktor emisi CH4 dari lahan sawah, yaitu dengan mengkompilasi berbagai data hasil penelitian mengenai emisi N2O dari tanah sawah irigasi di Indonesia dengan berbagai macam cara budidaya dan kemudian mencari reratanya.
15
16 Hasil perhitungan dengan metode ini dibandingkan dengan hasil perhitungan menggunakan persamaan IPCC 2006. Berikut adalah persamaan modifikasinya : Emisi N2O langsung dari tanah dikelola = ((FSN + FON)MS x EF1MS x 44/28)+(A x EFN2O) A = luas panen sawah irigasi (ha), EF N2O = faktor emisi N2O dari tanah sawah irigasi (0,0027 kg N2O/ha/hari atau sama dengan 0,297 kg N2O/ha/musim (Setyanto et al, 2011) dengan asumsi rerata umur tanam adalah 110 hari) Setelah dipeoleh besaran emisi N2O langsung dari tanah yang dikelola dengan metode IPCC 2006 dan modifikasinya, maka untuk melihat apakah ada perbedaan antara 2 metode perhitungan tersebut adalah dengan menggunakan uji t pada taraf kepercayaan p=0,05. Uji t ini biasa digunakan untuk menentukan perbedaan masing-masing nilai tengah dari hasil 2 pengukuran yang berbeda. Tabel dibawah ini adalah beberapa istilah yang terdapat dalam metode perhitungan emisi GRK dengan IPCC 2006 :
FSNMS : Synthetic N fertilizer applied to manage soil FONMS : Organic N fertilizer applied to manage soil FSNFR : Synthetic N fertilizer applied to flooded rice FONFR : Organic N fertilizer applied to flooded rice FracGASF : fraction of syinthetic fertilizer N that volatilizes as NH3 and NOx FracGASM : fraction of applied organic N fertilizer material that volatilizes as NH3 and NOx
Hasil Karakteristik Wilayah Kabupaten Grobogan Kabupaten Grobogan secara geografis terletak di provinsi Jawa Tengah dengan posisi 110º15’ BT - 111º25’ BT dan 7º LS - 7º30’ LS dengan landform berupa daerah pegunungan kapur, perbukitan dan dataran di bagian tengahnya. Wilayahnya terletak di antara dua Pegunungan Kendeng yang membujur dari arah barat ke timur, dan sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Semarang dan Demak, sebelah utara dengan Kabupaten Kudus, Pati dan Blora. Sebelah timur dengan Kabupaten Blora serta sebelah selatan dengan Kabupaten Ngawi, Sragen dan Boyolali. Secara administratif terdiri dari 273 desa dan 7 kelurahan yang tersebar di 19 kecamatan dengan ibu kota kabupaten di Purwodadi.
16
17 Kabupaten Grobogan memilki luas wilayah 197.586 km² dengan bentang dari barat ke timur sejauh 83 km, sedangkan dari utara ke selatan sejauh 37 km. Wilayahnya merupakan pegunungan kapur dan perbukitan serta dataran rendah di bagian tengahnya: 1. Daerah dataran rendah berada pada ketinggian sampai 50 meter di atas permukaan air laut dengan kelerengan 0o-8o meliputi 6 kecamatan yaitu Kecamatan Gubug, Tegowanu, Godong, Purwodadi, Grobogan sebelah selatan dan Wirosari sebelah selatan. 2. Daerah perbukitan berada pada ketinggian antara 50-100 meter di atas permukaan air laut dengan kelerengan 8o-150o meliputi 4 kecamatan yaitu Kecamatan Klambu, Brati, Grobogan sebelah utara dan Wirosari sebelah utara. 3. Daerah dataran tinggi berada pada ketinggian 100-500 meter di atas permukaan air laut dengan kelerengan lebih dari 15o, meliputi wilayah kecamatan yang berada di sebelah selatan dari wilayah Kabupaten Grobogan. Kabupaten Grobogan merupakan kabupaten yang tiang penyangga perekonomiannya berada pada sektor pertanian dan merupakan daerah yang cenderung cukup sulit mendapatkan air bersih. Hasil laporan statistik tahunan (BPS, 2010) menyebutkan bahwa luas wilayah Kabupaten Grobogan seluruhnya adalah 197.586 ha yang terdiri dari sawah seluas 64.790 ha dimana 20.278 ha diantaranya atau 1/3 adalah sawah tadah hujan, perkebunan rakyat seluas 5.190 ha, hutan nasional seluas 68.633 ha dan sisanya adalah penggunaan lainnya (pemukiman, padang gembala, serta tambak/kolam). Kabupaten Tanjung Jabung Timur Kabupaten Tanjung Jabung Timur terbentuk berdasarkan Undang-undang No. 54 Tahun 1999 jo Undang-undang No. 14 Tahun 2000 dengan luas 5.445 km2 atau 10,2 % dari luas wilayah Propinsi Jambi, namun sejalan dengan berlakunya undang-undang No. 27 Tahun 2007 tentang pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, luas wilayah Kabupaten Tanjung Jabung Timur termasuk perairan dan 30 pulau kecil (termasuk pulau berhala, 11 diantaranya belum bernama) mencapai 13.102 km2 (BPS, 2010). Disamping itu, memiliki panjang pantai sekitar 191 km atau 90,5 % dari panjang pantai Propinsi Jambi. Kabupaten Tanjung Jabung Timur yang terletak di pantai timur Pulau Sumatera ini berbatasan langsung dengan Propinsi Kepulauan Riau dan merupakan daerah hinterland segitiga pertumbuhan ekonomi Singapura-Batam-Johor (SIBAJO). Kabupaten ini di sebelah utara berbatasan dengan Laut Cina Selatan, sebelah selatan berbatasan dengan Kab. Muaro Jambi dan Prov. Sumatera Selatan, sebelah barat berbatasan dengan Kab. Tanjung Jabung Barat dan Kab. Muaro Jambi dan sebelah timur berbatasan dengan Laut Cina Selatan. Secara administratif Kabupaten Tanjung Jabung Timur dengan Ibukota Muaro Sabak terdiri dari 11 Kecamatan, 73 Desa dan 20 Kelurahan. Topografi daerah pada umumnya adalah dataran rendah yang terdiri dari rawa/gambut dengan permukaan tanah banyak dialiri pasang surut air laut. Menurut laporan statistik tahunan (BPS, 2011) luas keseluruhan kabupaten ini adalah sekitar 270.000 ha yang terdiri dari sawah 29.594 ha (26.160 ha merupakan sawah pasang surut), perkebunan rakyat 101.000 ha, perkebunan besar 48.514 ha dan penggunaan lainnya.
17
18 Data Aktivitas dan Faktor Emisi Pengumpulan data aktivitas adalah bagian terpenting dalam melakukan kegiatan inventarisasi GRK. Data aktivitas sektor pertanian adalah satuan kegiatan manusia di bidang pertanian yang diperkirakan menimbulkan emisi GRK, seperti : jumlah dan jenis ternak, pengelolaan kotoran ternak, luasan tanam padi sawah, jenis irigasi, pertanaman di lahan kering, penggunaan pupuk, dan lain sebagainya. Data seperti ini sebagian sudah tersedia dan tercatat di dinas terkait yaitu Dinas Pertanian maupun Badan Pusat Statistik. Akan tetapi, beberapa data seperti cara pengelolaan kotoran ternak, jumlah pupuk urea atau N dalam setahun baik pada lahan sawah maupun lahan kering, dan luas penggunaan varietas padi tertentu, kebanyakan belum tercatat dengan baik. Pada kasus jumlah pupuk N, umumnya data yang tercatat adalah realisasi pupuk musiman dari distributor terutama untuk tanaman pangan, sementara untuk perkebunan tidak tersedia. Untuk mendapatkan jumlah pupuk N dalam setahun, diperoleh dengan mengalikan luas tanam masing-masing pertanaman dengan dosis rekomendasi. Data mengenai bentuk pengelolaan kotoran ternak dan luas varietas padi yang digunakan juga tidak tercatat, oleh karena itu dilakukan survei langsung ke lapang dan wawancara dengan petugas lapang ataupun petani. Luas panen lahan sawah dihitung dengan mengalikan luas tanam dengan masa tanamnya. Masing-masing luas tanam sawah, sudah terbagi ke dalam beberapa jenis pengairan (irigasi teknis, setengah teknis, sederhana, tadah hujan maupun pasang surut (khusus di Tanjung Jabung Timur). Luas panen sawah Kabupaten Grobogan hampir 3 kali lipat Kabupaten Tanjung Jabung Timur (Tabel 2.9). Lebih dari 80% luas panen Tanjung Jabung Timur adalah di lahan pasang surut dengan jenis tanah gambut. Selain luas panen sawah dan jenis pengairan, data aktivitas yang dikumpulkan juga yaitu penggunaan varietas padi. Di Kabupaten Grobogan, tahun 2006 varietas padi yang dominan dibudidayakan yaitu IR64 (57%) dan ciherang (41%) dengan 2% adalah varietas lain. Mulai tahun 2010, ciherang menjadi yang paling dominan yaitu sebesar 87%, sedangkan IR 64 hanya 7% dan varietas lain 6%. Di Tanjung Jabung Timur tahun 2006, varietas yang dominan adalah IR 42 (hampir 80%) dan 20% adalah varietas lain. Mulai tahun 2010, varietas Batanghari menjadi yang paling dominan, Data aktivitas dan faktor emisi yang digunakan dalam perhitungan dapat dilihat pada Tabel 2.9, 2.10 dan 2.11.
Tabel 2.9 Data aktivitas sub sektor pertanian Tahun 2006 2007 2008 2009 2010 2011
Luas panen sawah (ha) Grobogan Tanjabtim 100.707 32.775 99.933 34.043 101.475 33.769 102.675 32.571 107.915 29.848 108.915 29.594
Pupuk N di lahan sawah (t N/th) Grobogan Tanjabtim 11.653 3.675 11.895 3.740 12.964 3.848 13.553 3.788 14.640 3.566 16.627 3.419
Pupuk N di lahan kering (t N/th) Grobogan Tanjabtim 31.746 24.514 34.980 28.508 39.969 27.465 34.908 33.968 27.607 36.896 30.799 42.584
Pupuk Urea t/th Grobogan Tanjabtim 80.102 55.322 77.842 62.354 79.930 60.424 84.042 73.780 74.233 79.215 78.408 91.017
18
19 Tabel 2.10 Data aktivitas sub sektor peternakan Kabupaten Grobogan Populasi Ternak (Ekor)
Jenis Ternak Sapi perah Sapi potong Kerbau Kuda Kambing
2006
2007
2008
2009
2010
2011
388
332
335
335
336
426
105.154
105.549
137.322
137.843
160.838
212.409
1.937
1.206
2.476
2.545
2.536
2.581
722
589
488
494
489
484
99.969
111.928
105.252
104.703
115.394
111.839
215
215
125
139
Babi Domba
15.625
16.634
15.422
14.936
18.938
29.528
940.531
1.420.824
1.204.524
1.146.639
1.115.794
985.995
36.450
42.000
42.000
52.800
52.800
40.466
1.064.800
300.000
264.500
278.000
297.097
200.965
Itik
94.872
102.102
64.617
103.041
102.945
83.412
Itik
84.489
92.697
64.617
92.650
92.650
83.412
Itik Manila
10.383
9.405
10.391
10.295
2.312
5.317
4.785
5.331
5.462
2.775
Burung Puyuh
69.608
48.377
57.173
55.483
59.233
47.596
Kelinci
10.869
12.901
12.587
15.170
15.236
12.776
Ayam Buras Ayam ras (petelur) Ayam Ras (pedaging)
Angsa
Tabel 2.11 Data aktivitas sub sektor peternakan Kabupaten Tanjung Jabung Timur Populasi Ternak (Ekor)
Jenis Ternak Sapi Kerbau
2006
2007
2008
2009
2010
2011
8.746
9.742
10.225
11.458
13.327
13.627
449
451
458
530
178
197
13.497
14.444
15.142
24.080
24.156
32.378
118
99
123
118
104
115
237.136
237.942
239.798
387.270
416.146
621.988
Ayam broiler
56.980
58.360
22.480
33.050
127.931
112.161
Itik
27.737
30.186
31.460
28.303
29.744
32.860
Kambing Domba Ayam kampung/buras
Faktor emisi untuk perhitungan emisi GRK dari pengelolaan lahan sawah, menggunakan angka hasil berbagai penelitian mengenai emisi CH4 di Indonesia yaitu 160,9 kg CH4/ha/musim, angka ini merupakan nilai rata-rata dari berbagai hasil-hasil penelitian di Indonesia terkait emisi CH4 dari lahan sawah, dan sudah digunakan dalam perhitungan emisi untuk Second National Commmunication (Second Natcom, 2009). Selain faktor emisi, pada perhitungan emisi ini juga digunakan faktor skala untuk rejim pengairan dan faktor koreksi untuk jenis tanah dan varietas. Jenis pengairan di Kabupaten Grobogan yaitu irigasi terus menerus (faktor skala = 1), irigasi berselang (faktor skala = 0,46), tadah hujan (faktor skala = 0,49), sedangkan Kabupaten Tanjung Jabung Timur hanya ada tadah hujan dan pasang surut (faktor skala = 0,6). Jenis tanah sawah di Kabupeten Grobogan adalah termasuk dalam jenis tanah entisol (jenis tanah sawah umumnya di Indonesia - Second Natcom) dengan faktor koreksi sebesar 1,02 (Setyanto et al,
19
20 2002). Kabupaten Tanjung Jabung Timur, jenis tanah sawah termasuk dalam kategori histosol yaitu tanah dengan kandungan bahan organik yang tinggi (tanah gambut) dengan faktor koreksi sebesar 2,39 (Setyanto et al, 2002). Faktor koreksi ini diperoleh berdasarkan emisi CH4 rata-rata yang dihasilkan oleh masing-masing jenis tanah. Sementara faktor emisi untuk emisi N2O langsung maupun tidak langsung dan faktor emisi dari kegiatan peternakan masih menggunakan angka default dari IPCC 2006 karena faktor emisi lokal Indonesia belum tersedia. Tabel 2.12 Faktor emisi GRK sektor pertanian Kabupaten Grobogan dan Tanjung Jabung Timur Variabel CH4 lahan sawah Varietas padi
Faktor Emisi
Faktor Skala
160,9 kg/ha/musim* IR 64 = 1* Ciherang = 0,57* Batanghari = 2,2* IR 42 = 1,33*
Rejim air
Irigasi terus menerus =1 Irigasi berselang = 0,46* Tadah hujan = 0,49* Pasang-surut = 0,6**
Jenis Tanah Emisi N2O langsung (lahan kering) Emisi N2O langsung (lahan sawah) IPCC 2006 Emisi N2O (lahan sawah) modifikasi IPCC 2006 Emisi N2O tidak langsung
Faktor Koreksi
Entisol = 1,02* Histosol = 2,39* 0,01 kg N2O-N** 0,003 kg N2O-N** 0,297 kg/ha/musim* 0,01 kg N2O-N**
**Default value IPCC 2006 *hasil penelitian di Indonesia (Setyanto et al 2002;2011) Emisi GRK Emisi GRK dari sektor pertanian di Kabupaten Grobogan dan Tanjung Jabung Timur dihitung dengan menggunakan worksheet IPCC 2006 tier 1. Data aktivitas yang digunakan berasal dari data dinas terkait di daerah yang dikombinasikan dengan data dari BPS dan beberapa dari expert judgement. Beberapa asumsi juga digunakan dalam pembangkitan data aktivitas karena keterbatasan data. Emisi dihitung secara detail dari tahun 2006-2011 yang kemudian diproyeksikan sampai tahun 2020 sebagai gambaran BAU (business as usual) baseline. Emisi dinyatakan dalam satuan jenis gas (Gg CH4, Gg N2O, Gg CO2 dan Gg CO2e per tahun). Konversi ke dalam CO2-equivalen (CO2e) dengan menggunakan nilai Global Warming Potential (GWP) yaitu 21 untuk CH4 dan 310 untuk N2O sesuai dalam IPCC Second Assesment Report ( IPCC SAR, 1996) dan Standart Nasional Indonesia (SNI ISO 14064, 2009).
20
21
Emisi CH4 pengelolaan lahan sawah (Gg CH4/th)
1. Emisi CH4 dari pengelolaan lahan sawah Emisi GRK mempunyai variabilitas ruang dan waktu yang sangat tinggi, terutama dari lahan pertanian. Emisi CH4 dari pengelolaan lahan sawah dihitung dengan mengalikan luasan lahan sawah (ha) pada tahun 2006-2011 dengan faktor emisinya. Tambahan perkalian dengan faktor skala jenis tanah dan varietas padi serta faktor koreksi pengelolaan air dilakukan untuk mendapatkan data emisi yang lebih akurat. Emisi CH4 pengelolaan lahan sawah di Kabupaten Grobogan dari tahun 2006-2011 menunjukkan kecenderungan menurun dengan nilai sebesar 11,23; 11,17; 11,28; 11,28; 10,95 dan 10,51 Gg CH4/tahun (Gambar 2.1), sedangkan di Kabupaten Tanjung Jabung Timur menunjukkan pola yang meningkat dan menurun dengan nilai sebesar sebesar 16,52; 17,21; 17,02; 16,43; 15,09 dan 15,65 Gg CH4/tahun (Gambar 2.1).
y = 0,1192x3 - 1,3446x2 + 4,1084x + 13,576 R² = 0,9324
20 18 16 14 12 10
y = -0,1216x + 11,499 R² = 0,5719
8
Tanjabtim
6
Grobogan
4
Poly. (Tanjabtim)
2
Linear (Grobogan)
0 2006
Gambar 2.1
2007
2008 2009 Tahun
2010
2011
Emisi CH4 pengelolaan lahan sawah di (Gg CH4/tahun): a) Kabupaten Grobogan dan , b) Kabupaten Tanjung Jabung Timur
2. Emisi CO2 dari penggunaan pupuk urea Perhitungan emisi CO2 menggunakan data aktivitas pemakaian pupuk urea total pada lahan pertanian baik lahan basah maupun kering. Faktor emisi yang digunakan adalah default dari IPCC yaitu 0,2 CO2-C/kg Urea. Data penggunaan urea di dapat dari Dinas Pertanian. Emisi CO2 dari penggunaan pupuk urea di Kabupaten Grobogan dari tahun 2006-2011 menunjukkan kecenderungan yang relatif konstan yaitu sebesar 58,1; 57,1; 58,6; 61,6; 54,4 dan 57,5 Gg CO2/tahun (Gambar 2.2), sedangkan di Kabupaten Tanjung Jabung Timur menunjukkan kecenderungan meningkat secara signifikan yaitu sebesar 40,6; 45,7; 44,3; 54,1; 58,1 dan 66,8 Gg CO2/tahun (Gambar 2.2).
21
22
Emisi CO2 pemupukan urea (Gg CO2/th)
80 y = -0,2019x2 + 1,095x + 57,231 R² = 0,118
70 60 50 40
Tanjabtim
y = 5,0792x + 33,814 R² = 0,9268
30
Grobogan
20
Linear (Tanjabtim)
10
Poly. (Grobogan)
0 2006
2007
2008
Tahun
2009
2010
2011
Gambar 2.2 Emisi CO2 penggunaan pupuk urea (Gg CO2/tahun):di a) Kabupaten Grobogan dan , b) Kabupaten Tanjung Jabung Timur
3. Emisi N2O langsung dari tanah yang dikelola Input N inorganik terutama adalah dari penggunaan pupuk N baik tunggal maupun majemuk (urea, ZA, NPK). Perhitungan emisi N2O langsung dari tanah yang dikelola, melibatkan semua jenis pertanaman, yaitu padi sawah dilahan basah/irigasi dan semua pertanaman di lahan kering (palawija, hortikultura dan perkebunan). Data aktivitas yang digunakan adalah konsumsi pupuk N. Dalam metodologi IPCC 2006, besarnya emisi N2O langsung dari tanah dibedakan antara lahan basah dan kering, hal ini dikarenakan emisi N2O dari lahan basah jauh lebih kecil daripada emisi N2O dari lahan kering yang selalu dalam kondisi aerob. Oleh karena itu, dalam perhitungan ini konsumsi pupuk N antar lahan sawah dipisahkan dengan konsumsi N di lahan kering. Data penggunaan pupuk N (urea, ZA, NPK) pada pertanaman tanaman pangan, hortikultura dan palawija di Kabupaten Grobogan telah tersedia, akan tetapi untuk perkebunan tidak tersedia, karena itu kemudian dibangun asumsi dengan menggunakan data luas lahan dan dosis anjuran. Sementara di Kabupaten Tanjung Jabung Timur, data penggunaan pupuk hanya tersedia secara global, karena itu dibangun asumsi dengan menggunakan luas lahan masing-masing pertanaman dan dosis anjuran. Faktor emisi N2O dari lahan kering menggunakan faktor emisi default dari IPCC yaitu 0,01 kg N2O-N/kg N, sedangkan untuk lahan sawah irigasi menggunakan nilai 0,003 kg N2O-N/kg N. Hasil perhitungan menunjukkan bahwa emisi N2O langsung dari tanah yang dikelola di Kabupaten Grobogan tahun 2006-2011 menunjukkan pola sesuai persamaan polynomial dengan nilai sebesar 0,55; 0,61; 0,69; 0,58 dan 0,56 Gg N2O/tahun (Gambar 2.3), sedangkan di Kabupaten Tanjung Timur menunjukkan
22
23 pola yang meningkat secara signifikan dari tahun ke tahun dengan nilai sebesar 0,40; 0,47; 0,45; 0,55; 0,60 dan 0,69 Gg N2O/tahun (Gambar 2.3). Emisi N2O langsung dari tanah yang dikelola (Gg N2O/th)
0,80
y = 0,0048x3 - 0,0651x2 + 0,2513x + 0,3547 R² = 0,792
0,70 0,60 0,50 0,40
Tanjabtim
y = 0,0545x + 0,3344 R² = 0,934
0,30
Grobogan
0,20
Linear (Tanjabtim)
0,10
Poly. (Grobogan)
0,00 2006
2007
2008 2009 Tahun
2010
2011
Gambar 2.3 Emisi N2O langsung dari tanah yang dikelola di (Gg N2O/tahun): a) Kabupaten Grobogan dan , b) Kabupaten Tanjung Jabung Timur
4. Emisi N2O tidak langsung dari tanah dikelola Perhitungan emisi N2O tidak langsung, berdasarkan pada data aktivitas yang sama dengan emisi N2O langsung, yaitu penggunaan pupuk sintetis buatan. Hanya saja pada perhitungannya tidak membedakan penggunaan di lahan basah dan kering. Fraksi N anorganik yang tervolatilisasi menggunakan nilai standar dalam IPCC 2006 yaitu sebesar 0,1 yang berarti bahwa untuk setiap aplikasi pupuk N anorganik 100% pada tanah, hanya 1% yang tervolatilisasi (Mosier, 1999) dan faktor emisi N karena penguapan dan redeposisi adalah 0,01. Hasil perhitungan menunjukkan emisi N2O tidak langsung di Kabupaten Grobogan tahun 2006-2011 menunjukkan pola polinomial dengan nilai 0,07; 0,08; 0,07; 0,08; 0,07 dan 0,08 Gg N2O/tahun (Gambar 2.4). Sementara di Kabupaten Tanjung Jabung Timur menunjukkan pola meningkat secara signifikan dari tahun ke tahun dengan nilai sebesar 0,04; 0,05; 0,05; 0,06; 0,06 dan 0,07 Gg N2O/tahun (Gambar 2.4).
23
Emisi N2O tidak langsung dari tanah yang dikelola (Gg N2O/th)
24 y = 0,0008x3 - 0,0078x2 + 0,0243x + 0,0548 R² = 0,2514
0,09 0,08 0,07 0,06
Tanjabtim
0,05 0,04
Grobogan
y = 0,0054x + 0,0377 R² = 0,9365
0,03
Linear (Tanjabtim) Poly. (Grobogan)
0,02 0,01 0,00 2006
2007
2008
2009
2010
2011
Tahun
Gambar 2.4
Emisi N2O tidak langsung dari tanah yang dikelola di (Gg N2O/tahun): a) Kabupaten Grobogan dan , b) Kabupaten Tanjung Jabung Timur
5. Emisi CH4 dari fermentasi enterik dan pengelolaan kotoran ternak Kegiatan peternakan menyumbangkan emisi GRK dari 3 sumber yaitu gas CH4 dari fermentasi enterik dan pengelolaan kotoran serta N2O dari pengelolaan kotoran. Komposisi jenis ternak sangat menentukan jenis emisi yang dihasilkan. Wilayah dengan jumlah ternak ruminansia (sapi, kerbau, domba, dll) yang besar akan menyumbangkan emisi CH4 dari fermentasi enterik yang besar. Hal ini masih menjadi semacam dilematik, karena seiring dengan kenaikan kebutuhan daging yang terus meningkat, pengusahaan ternak-ternak besar menjadi sebuah keharusan. Perhitungan emisi CH4 dari fermentasi enterik dengan menggunakan data jenis dan jumlah ternak di masing-masing kabupaten, berat badan rata-rata tiap jenis ternak dan faktor emisi CH4 untuk masing-masing jenis menggunakan angka default dalam IPCC 2006. Kotoran ternak disini adalah termasuk urin dan padatan. Faktor yang mempengaruhi pembentukan CH4 dalam hal ini adalah jumlah kotoran yang dihasilkan dan porsi dari kotoran tersebut yang terdekomposisi secara anaerob. Jumlah kotoran yang dihasilkan, tergantung dari produksi kotoran tiap ternak dan jumlah ternak itu sendiri, dan porsi kotoran yang terdekomposisi tergantung dari cara pengelolaan kotoran. Hasil perhitungan menunjukkan besarnya emisi CH4 dari fermentasi enterik dan pengelolaan kotoran ternak di Kabupaten Grobogan tahun 2006-2011 menunjukkan pola peningkatan yang signifikan dari tahun ke tahun dengan nilai sebesar 6,69; 6,76; 6,80; 8,63; 8,67 dan 10,05 Gg CH4/tahun (Gambar 2.5 a), demikian juga di Kabupaten Tanjung Jabung Timur sebesar 0,60; 0,66; 0,69; 0,81; 0,90 dan 0,96 Gg CH4/tahun (Gambar 2.5 b).
24
25
Emisi CH4 fermentasi enterik dan pengelolaan kotoran (Gg CH4/th)
a) 12 y = 0,6962x + 5,4962 R² = 0,8718
10 8 6 4 2 0
2006
2007
2008
2009
2010
2011
Tahun
b) Emisi CH4 fermentasi enterik dan penegelolaan kotoran (Gg CH4/th)
1,2 y = 0,0758x + 0,5022 R² = 0,9782
1,0 0,8 0,6 0,4 0,2 0,0 2006
2007
2008
2009
2010
2011
Tahun
Gambar 2.5 Emisi CH4 dari Fermentasi Enterik dan Pengelolaan kotoran di (Gg CH4/tahun) a) Kabupaten Grobogan, b) Kabupaten Tanjung Jabung Timur 6. Emisi N2O dari pengelolaan kotoran Emisi N2O dari pengelolaan ternak menggambarkan emisi yang dikeluarkan selama masa penyimpanan dan perlakuan pada kotoran ternak baik padatan maupun cair, sebelum diaplikasikan sebagai pupuk pada lahan pertanian. Besarnya emisi ini tergantung pada kandungan nitrogen dan karbon pada kotoran, lama penyimpanan dan perlakuan. Perhitungan emisi N2O menngunakan data jumlah dan jenis ternak di tiap kabupaten, nilai faktor emisi N2O menggunakan angka default IPCC 2006, kemudian data berat badan ternak menggunakan ratarata berat badan masing-masing jenis ternak di Indonesia. Hasil perhitungan menunjukkan besarnya emisi N2O dari pengelolaan kotoran ternak di Kabupaten Grobogan tahun 2006-2011 menunjukkan pola yang sama dengan emisi CH4-nya namun dengan nilai yang jauh lebih kecil yaitu
25
26 sebesar 0,159; 0,160; 0,166; 0,194; 0,194 dan 0,224 Gg N2O/tahun (Gambar 2.6 a). Sementara, di Kabupaten Tanjung Jabung Timur sebesar 0,016; 0,017; 0,018; 0,023; 0,025 dan 0,029 Gg N2O/tahun (Gambar 2.6 b). a) Emisi N2O pengelolaan kotoran (Gg N2O/th)
0,30 0,25 y = 0,0129x + 0,1377 R² = 0,8936
0,20 0,15 0,10 0,05 0,00
2006
2007
2008 2009 Tahun
2010
2011
2010
2011
b)
Emisi N2O penegelolaan kotoran (Gg N2O/th)
0,03
y = 0,0028x + 0,0115 R² = 0,9466
0,02
0,01
0,00 2006
2007
2008
2009
Tahun
Gambar 2.6 Emisi N2O dari Pengelolaan kotoran di (a) Kabupaten Grobogan dan (b) Kabupaten Tanjung Jabung Timur
Total Emisi GRK Emisi GRK dari 2 kabupaten dari berbagai sumbernya kemudian dijumlahkan dengan sebelumnya mengalikan dengan nilai GWP (Global Warming Potential) yaitu potensi pemanasan global suatu jenis gas disetarakan dengan
26
27 karbondioksida, 21 untuk gas CH4 dan 310 untuk gas N2O sehingga diperoleh hasil secara total. Perhitungan total diperlukan untuk mengetahui tingkat emisi tahunan. Emisi Kabupaten Grobogan menunjukkan kecenderungan yang meningkat dari tahun ke tahun meski sangat kecil (±3-4%). Emisi pada tahun 2010 menunjukkan penurunan, hal ini disebabkan karena emisi dari masingmasing sumber terutama yang berkaitan dengan lahan seperti pengelolaan lahan sawah, emisi N2O langsung dan tidak langsung serta emisi CO2 pemupukan urea juga mengalami penurunan yang disebabkan karena penurunan penggunaan pupuk N anorganik, dan meningkat di tahun 2011 karena peningkatan yang cukup signifikan pada populasi ternak. Sumber-sumber emisi GRK sektor pertanian dari Kabupaten Grobogan dan Tanjung Jabung Timur disajikan pada Tabel 2.13 dan 2.14. Emisi total Kabupaten Tanjung Jabung Timur juga menunjukkan kecenderungan yang meningkat dari tahun ke tahun, dengan rata-rata kenaikan sebesar 5-6%. Hal ini disebabkan karena adanya peningkatan data aktivitas pada masing-masing sumber emisi. Tabel 2.13 Emisi GRK total Kabupaten Grobogan (Gg CO2e/tahun) Sumber Emisi N2O Langsung dari tanah dikelola N2O tidak langsung dari tanah dikelola CO2 pemupukan urea Pengelolaan lahan sawah CH4 fermentasi enterik dan pengelolaan kotoran N2O pengelolaan kotoran Total
2006 171,7 21,9 58,7 235,9
2007 187,8 25,9 57,1 234,6
2008 213,7 21,1 58,6 237,0
2009 189,9 25,8 61,6 237,0
2010 180,2 22,4 54,4 230,0
2011 174,3 25,8 57,5 220,8
140,5 49,3 678,1
141,9 49,7 697,0
142,8 51,4 724,6
181,2 60,2 755,7
182,0 60,3 729,4
211,1 69,3 758,9
Tabel 2.14 Emisi GRK total Kabupaten Tanjung Jabung Timur (Gg CO2e/tahun) Sumber Emisi N2O Langsung dari tanah dikelola N2O tidak langsung dari tanah dikelola CO2 pemupukan urea Pengelolaan lahan sawah CH4 fermentasi enterik dan pengelolaan kotoran N2O pengelolaan kotoran Total
2006 124,8
2007 144,3
2008 139,4
2009 171,0
2010 184,9
2011 212,4
13,8 40,57 346,9
15,7 45,73 361,5
15,3 44,31 357,4
18,4 54,11 345,0
19,8 58,09 317,0
22,5 66,75 328,7
12,5 4,8 543,4
13,8 5,3 586,3
14,5 5,5 576,4
17,0 7,2 612,8
18,8 7,3 606,3
20,1 9,1 650,7
Sumber emisi utama di Kabupaten Grobogan dan Tanjung Jabung Timur adalah gas CH4 yang berasal dari 3 sumber yaitu pengelolaan lahan sawah, fermentasi enterik pada ternak ruminansia dan pengelolaan kotoran ternak yaitu masingmasing sebesar 55% dan 66% terhadap emisi total kabupaten. Sementara, gas N2O 27
28 yang berasal dari emisi langsung dan tidak langsung dari tanah yang dikelola serta pengelolaan kotoran ternak berkontribusi sebesar 36% di Kabupaten Grobogan dan 26% di Kabupaten Tanjung Jabung Timur. a)
CH4
N2O
CO2
b)
9%
CH4
N2O
CO2
8% 26%
36%
55% 66%
Gambar 2.7 Kontribusi tiap jenis gas terhadap total emisi GRK a) Kabupaten Grobogan, b) Kabupaten Tanjung Jabung Timur Jika dilihat kontribusi masing-masing sumber emisi GRK, maka emisi CH4 dari pengelolaan lahan sawah adalah yang dominan di kedua kabupaten, yaitu sebesar 29% dan 50% terhadap emisi total wilayah tersebut tahun 2011 (Gambar 2.8) a)
N2O pengelolaan kotoran 9% CH4 fermentasi enterik dan pengelolaan kotoran 28%
N2O Langsung dari tanah dikelola 23% N2O tidak langsung dari tanah dikelola 3% CO2 pemupukan urea 8%
Pengelolaan lahan sawah 29%
b)
CH4 fermentasi enterik dan pengelolaan kotoran 3%
Pengelolaan lahan sawah 50%
N2O pengelolaan kotoran 1% N2O Langsung dari tanah dikelola 32%
N2O tidak langsung dari tanah dikelola 4% CO2 pemupukan urea 10%
Gambar 2.8 Kontribusi masing-masing sumber emisi terhadap total emisi GRK a) Kabupaten Grobogan, b) Kabupaten Tanjung Jabung Timur
28
29 Penyusunan rencana aksi mitigasi, selain memerlukan informasi status emisi, diperlukan juga baseline emisi hingga beberapa tahun ke depan yang telah ditentukan. Hal ini penting untuk menentukan berapa target emisi yang akan diturunkan. Proyeksi ke depan ini lazim disebut sebagai BAU (Business as Usual) baseline, yaitu prakiraan tingkat emisi yang dihitung berdasarkan pada asumsi jika tidak ada kegiatan mitigasi yang dilakukan menunjukkan kecenderungan kenaikan secara linier dari tahun ke tahun (Gambar 2.9). 1000 Total emisi (Gg CO2e/year)
900 800 700
y = 15,201x + 670,75 R² = 0,9841
BAU Baseline y = 19,348x + 529,74 R² = 0,9895
600 500 400 300 200 100 0
2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019 2020
Tahun
Gambar 2.9 BAU Baseline emisi GRK a) Kabupaten Grobogan dan , b) Kabupaten Tanjung Jabung Timur
Perhitungan emisi N2O langsung dari tanah yang dikelola dengan persamaan modifikasi IPCC 2006 Pada penelitian ini, estimasi emisi N2O dari lahan yang dikelola menggunakan modifikasi IPCC 2006 hanya dikembangkan untuk lahan sawah. Dengan penelitian lebih lanjut, modifikasi juga dapat digunakan untuk menghitung emisi N2O dari lahan kering dengan pendekatan yang sama, yaitu luas panen dikalikan dengan faktor emisinya. Selain itu, dengan penelitian lebih lanjut, perhitungan dengan faktor skala jenis tanah dan rezim air mungkin bisa ditambahkan juga seperti halnya pada emisi CH4 berdasarkan pada hasil-hasil penelitian yang akurat. Perhitungan emisi N2O dari lahan yang dikelola (lahan kering) masih sama seperti sebelumnya. Emisi N2O langsung dari tanah yang dikelola adalah jumlah dari dua sumber emisi ini. Estimasi emisi N2O dengan kedua pendekatan disajikan pada Tabel 2.15, sedangkan emisi total GRK dari kedua pendekatan disajikan pada Tabel 2.16.
29
30 Tabel 2.15 Perbandingan emisi N2O langsung metode IPCC 2006 dan modifikasi Emisi N2O Langsung (Gg CO2e) Tahun IPCC 2006 Modifikasi IPCC Grobogan* Tanjabtim Grobogan* Tanjabtim 2006 171,7 124,8 163,9 120,9 2007 187,8 144,3 179,6 142,6 2008 213,7 139,4 204,1 136,4 2009 189,9 171,0 179,4 167,4 2010 180,2 184,9 168,8 182,9 2011 174,3 212,4 160,0 210,8 *tidak berbeda nyata pada taraf uji t, p = 0,05 Tabel 2.16 Perbandingan total emisi GRK metode IPCC 2006 dan modifikasi Total Emisi GRK (Gg CO2e) Tahun
IPCC 2006 Modifikasi IPCC Grobogan* Tanjabtim Grobogan* Tanjabtim 2006 678,1 543,4 670,4 539,5 2007 697,0 586,3 688,8 584,6 2008 724,6 576,4 715,0 573,4 2009 755,7 612,8 745,3 609,1 2010 729,4 606,3 717,9 604,3 2011 758,9 659,6 744,5 657,9 *tidak berbeda nyata pada taraf uji t, p = 0,05
Pembahasan Lahan pertanian menyumbangkan emisi GRK melalui beberapa proses (Meijede et al, 2009) seperti telah disebutkan sebelumnya, proses tersebut adalah emisi CH4 sebagai hasil dari fermentasi enterik pada ternak, emisi CH4 dan N2O dari pengelolaan kotoran ternak, emisi CH4 dari pengelolaan lahan sawah, emisi CO2 akibat pemupukan urea serta emisi N2O langsung dan tidak langsung pada tanah yang dikelola sebagai akibat dari input N. Dalam laporan komunikasi nasional Indonesia mengenai inventarisasi GRK nasional disebutkan bahwa pertanian secara keseluruhan menyumbangkan sekitar 5% dari total emisi nasional pada tahun 2000 dan meningkat menjadi 7% pada tahun 2005 (Second Natcom, 2010). Inventarisasi GRK memerlukan ketersediaan data aktivitas yang kompleks. Dalam sistem basis data Indonesia, beberapa data aktivitias yang diperlukan tidak terdokumentasikan dengan baik, karena itu untuk membangkitkan data aktivitas diperlukan asumsi-asumsi. Kabupaten Grobogan dan Tanjung Jabung Timur adalah kabupaten dengan luas lahan pertanian terbesar di Propinsi Jawa Tengah dan Jambi. Dalam penelitian ini pengumpulan data aktivitas dilakukan dengan cara survey ke dinas30
31 dinas terkait, BPS dan juga wawancara langsung dengan petani. Dengan menggunakan data aktivitas sebagai dasar perhitungan besarnya emisi GRK, maka semakin besar data aktivitasnya akan semakin besar pula emisi GRK yang ditimbulkan. Hasil pengumpulan dan tabulasi data aktivitas Kabupaten Grobogan untuk luas panen sawah menunjukkan kenaikan dari tahun ke tahun, sementara di Tanjung Jabung Timur sebaliknya. Demikian berimbas pada penggunaan pupuk N di lahan sawah yang menunjukkan pola yang sama. Akan tetapi sebaliknya dengan penggunaan pupuk N di lahan kering, di Grobogan menunjukkan pola yang menurun. sementara di Tanjung Jabung Timur meningkat. Populasi ternakternak besar (sapi perah, sapi potong, kerbau, kambing, dll) di Grobogan dan Tanjung Jabung Timur menunjukkan peningkatan dari tahun ke tahun ( Tabel 2.10 dan 2.11). Laporan Komunikasi Nasional Indonesia kedua (Second Natcom, 2010) menyebutkan bahwa besaran emisi nasional berdasarkan jenis gas, sektor pertanian menyumbang 79,2 % N2O dan 21,5 % CH4. Emisi CH4 dari pertanian, berasal dari 2 sumber utama yaitu pengelolaan padi sawah dan pengelolaan kotoran ternak (IPCC, 2006). Dekomposisi anaerobik dari bahan organik tanah pada lahan padi sawah irigasi menghasilkan gas metana (CH4) yang lepas ke atmosfer terutama melalui tanaman. Besarnya gas CH4 yang teremisikan ke atmosfer dari luasan lahan sawah irigasi dipengaruhi oleh umur tanaman, rejim air sebelum dan selama penanaman, input bahan organik dan anorganik, jenis tanah, suhu dan varietas padi (Cao et al, 1995). Data untuk menghitung besarnya emisi CH4 dari lahan sawah berasal dari data luas lahan pertanian di masing-masing kabupaten dari tahun 2006-2011 yang terbagi dalam beberapa jenis irigasi serta musim tanam, dalam hal ini data sudah tersedia di dinas terkait. Faktor koreksi jenis varietas dan jenis tanah serta faktor skala rejim pengairan sebagai faktorfaktor yang berpengaruh terhadap emisi CH4 dari pengelolaan lahan sawah, masing-masing sudah tersedia berdasarkan hasil kajian dan penelitian di Indonesia. Kabupaten Grobogan dengan rata-rata luas lahan sawah hampir 2 kali lebih besar dari Kabupaten Tanjung Jabung Timur memiliki emisi CH4 yang lebih rendah hal ini disebabkan karena di Grobogan sekitar 1/3 luasan lahan sawah adalah lahan tadah hujan dimana pengairannya hanya tergantung hujan sehingga lahan tidak selalu tergenang (faktor skala rejim pengairan lebih kecil) bahkan cenderung kering. Sementara di Tanjung Jabung Timur sekitar 98% lahan sawah merupakan lahan pasang surut dengan jenis tanah gambut dimana emisi CH4 dari jenis tanah ini adalah 2 kali lipat lebih besar dari tanah mineral (faktor koreksi jenis tanah gambut lebih besar hampir 2x lipat faktor koreksi jenis tanah mineral - Setyanto et al, 2002). Emisi di Kabupaten Grobogan dengan luas panen lahan sawah rata-rata 103.500 ha dalam 6 tahun (2006-2011) adalah sebesar 230 Gg CO2e/th. sementara Kabupaten Tanjung Timur dengan luas panen lahan sawah rata-rata selama 6 tahun seluas 30.500 ha, menurut perhitungan menghasilkan emisi CH4 sebesar 330 CO2e/th. Penambahan urea pada lahan sawah pada saat pemupukan menyebabkan teremisikannya gas CO2 yang terbentuk pada saat proses pembuatan pupuk tersebut di pabrik (IPCC, 2006). Urea (CO(NH2)2) terpecah menjadi ion ammonium (NH4+), ion hidroksil (OH-) dan bikarbonat (HCO3-) pada saat bereaksi dengan air dan enzim urease. Hal ini menyebabkan ion bikarbonat yang terbentuk berubah menjadi CO2 dan air. Sumber GRK dari kategori ini perlu
31
32 dihitung karena besarnya CO2 yang berubah bentuk pada saat pembuatan urea di pabrik, juga dihitung sebagai removal pada sektor industri. Besarnya emisi dari sumber ini di Kabupaten Grobogan berada pada kisaran 54 – 61 Gg CO2/tahun dan menunjukkan penuruan hingga tahun 2011. Hal ini disebabkan karena penggunaan pupuk urea di sektor pertanian memang menurun seiring dengan penurunan luasan lahan perkebunan. Menurut catatan Badan Pusat Statistik (BPS, 2011) luas perkebunan tahun 2008 adalah 16.118 ha dan turun menjadi 7.748 ha pada tahun 2009 serta terus menurun sampai tahun 2011. Sementara di Kabupaten Tanjung Jabung Timur sebaliknya, menunjukkan kenaikan yang relatif signifikan dari tahun ke tahun yang disebabkan karena perluasan areal perkebunan terutama kelapa sawit yang menggunakan pupuk urea cukup besar. Berdasarkan BPS (2011) luas perkebunan pada tahun 2006 adalah 98.435 ha dan bertambah luas menjadi 150.172 ha pada tahun 2011. Penggunaan pupuk urea dan pupuk mengandung N yang lain juga berkontribusi terhadap gas N2O. Gas N2O diproduksi secara alami di dalam tanah melalui proses nitrifikasi dan denitrifikasi (Bouwman, 1996; Jones et al, 2007). Nitrifikasi adalah proses oksidasi ammonium menjadi nitrat oleh mikroba yang terjadi dalam kondisi aerobik, sedangkan denitrifikasi adalah proses reduksi nitrat menjadi gas nitrogen (N2) oleh mikroba dan terjadi dalam kondisi anaerobik. Gas N2O merupakan gas yang terbentuk sebagai produk samping dari proses nitrifikasi. Salah satu faktor penentu dari reaksi proses ini adalah ketersediaan N inorganik dalam tanah (Mosier 1999, 2006). Emisi N2O dari tanah yang dikelola keluar melalui 2 cara yaitu secara langsung dan tidak langsung. Input N inorganik terutama adalah dari penggunaan pupuk N baik tunggal maupun majemuk (urea, ZA, NPK). Perhitungan emisi N2O langsung dari tanah yang dikelola melibatkan semua jenis pertanaman yaitu padi sawah dilahan basah/irigasi dan semua pertanaman di lahan kering (palawija, hortikultura dan perkebunan). Emisi N2O langsung dari tanah yang dikelola di Grobogan menunjukkan peningkatan yang cukup signifikan dari 2006-2008 yaitu sebesar 171 menjadi 213 Gg CO2 e/th. Hal ini disebabkan karena meningkatnya pupuk N yang diaplikasikan pada tanah. Tapi emisi ini cenderung menurun pada tahun 2008-2011 dengan jumlah 213-174 Gg CO2 e/th yang disebabkan karena adanya penurunan signifikan pada areal perkebunan. Sementara di Tanjung Jabung Timur tahun 2006-2011 menunjukkan peningkatan yang signifikan yaitu sebesar 124212 Gg CO2e/th. Hal ini karena peningkatan yang signifikan pada areal perkebunan dari 98.435 ha di 2006 menjadi 150.172 ha pada tahun 2011. Kenaikan ini terutama di perkebunan sawit, baik oleh perusahaan swasta atau petani (BPS, 2011). Perkebunan kelapa sawit mengaplikasikan pupuk N yang tinggi. Penggunaan urea dan pupuk lain yang mengandung N juga berkontribusi terhadap emisi N2O. Emisi N2O tidak langsung dari tanah yang dikelola melalui 2 jalur, yang pertama yaitu volatilisasi N menjadi NH3 dan oksidasi N (NOx), serta deposisi gas ini dan produk yang terbentuk yaitu NH4+ dan NO3- ke dalam tanah dan permukaan air (IPCC, 2006; Glenn et al, 2012). Sumber N yang membentuk NH4+ dan NO3- bukan saja berasal dari tanah pertanian, tapi juga dari pembakaran bahan bakar, pembakaran biomas dan proses industri. Maka dari itu, emisi N2O yang dikeluarkan dari lahan pertanian adalah yang terkait dengan penggunaan pupuk sintetis, pupuk organik dan penggunaan kotoran hewan sebagai pupuk. Jalur
32
33 kedua adalah proses leaching atau pencucian dan aliran dari lahan pertanian yang telah dipupuk. Kehilangan nitrogen melalui proses pencucian pada umumnya dalam bentuk nitrat (IPCC, 2006). Bentuk NO3- ini sangat mudah tercuci karena selalu dalam keadaaan larut dalam tanah, tidak terikat dan tidak dapat membentuk senyawa sukar larut. Hasil perhitungan menunjukkan emisi N2O tidak langsung di Grobogan untuk tahun 2006-2011 berkisar 21,9-25,8 Gg CO2e/th ada kecenderungan menurun pada tahun 2008 dan selanjutnya meningkat, hal ini agak berbeda dengan kecenderungan pada emisi N2O langsung. Jika kembali dilihat pada data aktivitas, perbedaan tersebut disebabkan karena perbedaan kecenderungan pada penggunaan urea di lahan basah dan lahan kering. Pada perhitungan emisi N2O tidak langsung, tidak ada perbedaan antara penggunaan urea di lahan basah maupun kering, sementara untuk menghitung emisi N2O langsung, hal ini dibedakan. Emisi N2O tidak langsung di Tanjung Jabung Timur juga menunjukkan tren yang sama dengan emisi langsung yaitu meningkat secara signifikan dari sebesar 13 menjadi 22,5 Gg CO2e. Emisi GRK dari pengelolaan ternak ada 3 sumber yaitu emisi CH4 dari fermentasi enterik, emisi CH4 dan N2O dari pengelolaan kotoran (Chadwick et al, 1999). Gas CH4 diproduksi oleh hewan herbivora sebagai produk samping dari fermentasi yang terjadi didalam tubuhnya, dimana proses pencernaan karbohidrat dipecah menjadi molekul-molekul oleh mikroorganisme supaya dapat diserap dalam aliran darah (Chadwick et al, 1999; Freibauer, 2003; Liang et al, 2013). Besarnya CH4 yang terbentuk dalam proses ini sangat tergantung pada jenis alat pencernaan makanan dalam tubuh hewan, umur, berat badan serta kualitas dan kuantitas pakannya. Sistem pencernaan sangat menentukan besarnya emisi CH4 yang dihasilkan. Ternak ruminansia memiliki ruang yang lebar, rumen pada bagian depan dari alat pencernaannya yang memungkinkan fermentasi oleh mikroba berlangsung secara intensif. Karena itu besarnya emisi CH4 dari fermentasi enterik sangat dipengaruhi oleh jenis dan jumlah ternak-ternak ruminansia. Data mengenai pengelolaan kotoran ternak tidak tersedia, karena itu dilakukan wawancara dengan para ahli, seperti penyuluh maupun survey langsung ke lapangan. Selain dari fermentasi enterik, emisi CH4 dari pengelolaan kotoran juga dipengaruhi oleh jenis ternak. Hasil perhitungan menunjukkan emisi CH4 dari fermentasi enterik dan pengelolaan kotoran di Grobogan untuk tahun 20062011 menunjukkan peningkatan yang cukup signifikan Selama tahun 2006-2011 yaitu dari 140 – 211 Gg CO2e/th hal ini disebabkan karena adanya peningkatan populasi sapi potong dari 105.154 ekor menjadi 212.409 ekor. Sementara di Tanjung Jabung Timur emisi CH4 hasil dari fermentasi enterik dan pengelolaan kotoran untuk tahun 2006-2011 menunjukkan peningkatan yang signifikan yaitu sebesar 13 menjadi 22 Gg CO2e/th juga karena adanya peningkatan signifikan pada populasi sapi potong dari 8.746 ekor menjadi 13.627 ekor. Emisi N2O dari pengelolaan ternak menggambarkan emisi yang dikeluarkan selama masa penyimpanan dan perlakuan pada kotoran ternak baik padatan maupun cair, sebelum diaplikasikan sebagai pupuk pada lahan pertanian (IPCC, 2006; Merino et al, 2011). Besarnya emisi ini tergantung pada kandungan nitrogen dan karbon pada kotoran, lama penyimpanan dan perlakuan. Proses yang menghasilkan gas N2O pada pengelolaan kotoran sama dengan pada tanah yang dikelola, yaitu terbentuk pada proses nitrifikasi dan denitrifikasi. Nitrifikasi (proses oksidasi ammonia nitrogen menjadi nitrat nitrogen) adalah proses yang
33
34 sangat penting dalam penyimpanan kotoran. Nitrifikasi akan terjadi dalam kondisi aerob selama penyimpanan kotoran. Nitrifikasi tidak akan terjadi pada kondisi yang anaerob. Nitrit dan nitrat berubah bentuk menjadi N2O dan N2 pada proses denitrifikasi secara alami pada kondisi anaerob. Rasio N2O/N2 akan meningkat seiring dengan peningkatan kemasaman, konsentrasi nitrat dan penurunan kelembaban. Produksi dan emisi N2O dari pengelolaan kotoran ternak, tergantung pada ketersediaan nitrat maupun nitrit pada kondisi lingkungan anaerob yang didahului oleh kondisi aerob untuk pembentukan oksida nitrogen. Sementara itu, emisi dari pengelolaan kotoran sangat tergantung dari cara pengelolaan kotoran itu sendiri. Di Kabupaten Grobogan maupun Tanjung Jabung Timur, pengelolaan kotoran adalah secara dry lot yaitu system pengelolaan kotoran dengan cara ditempatkan di ruang terbuka dan secara periodik dipindahkan (IPCC, 2006). Hasil perhitungan menunjukkan besarnya emisi N2O dari pengelolaan kotoran ternak di Grobogan pada tahun 2006-2011 cenderung meningkat setiap tahun dari jumlah 49 menjadi 69 Gg CO2e/th. Peningkatan ini disebabkan karena meningkatnya populasi sapi. kambing dan juga unggas (tabel data aktivitas). Sementara di Tanjung Jabung Timur juga menunjukkan peningkatan yang signifikan dari jumlah 4,8 menjadi 9,1 Gg CO2e/th dan hal ini disebabkan peningkatan populasi sapi potong dan unggas (Tabel 2.9).
Metode modifikasi IPCC 2006 untuk pendugaan emisi N2O langsung dari tanah yang dikelola Emisi N2O menggunakan metode modifikasi adalah sekitar 4-6% lebih rendah dibandingkan dengan metode asli sementara total emisi GRK menggunakan metode modifikasi IPCC 2006 1 % lebih rendah dari hasil perhitungan menggunakan metode IPCC 2006 atau tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan dengan uji t pada p=0,05. Perhitungan emisi N2O langsung dari tanah yang dikelola dengan metode IPCC 2006, menggunakan input N anorganik dan organik sebagai data aktivitas. Selain perhitungannya rumit, data aktivitas ini sering tidak tersedia dan sulit diperoleh, sehingga perlu dilakukan modifikasi pada perhitungan metode IPCC 2006. Modifikasi metode perhitungan ini baru dilakukan untuk pendugaan emisi N2O dari lahan sawah dengan menggunakan asumsi yang sama pada pendugaan emisi CH4. Seperti halnya emisi CH4, emisi N2O juga merupakan hasil dari proses yang terjadi di dalam tanah, hanya berbeda faktor yang mempengaruhinya. Modifikasi ini dibuat untuk memudahkan dalam pengumpulan data aktivitas. Dalam metode modifikasi ini, data aktivitas yang diperlukan sama dengan emisi CH4 yaitu luas panen padi. Faktor emisi N2O langsung dari lahan sawah diperoleh dari berbagai hasil penelitian yang dilakukan di Indonesia terkait emisi ini. Emisi N2O dari lahan sawah merupakan hasil dari proses nitrifikasidenitrifikasi dimana faktor-faktor yang berpengaruh terutama adalah ketersediaan N organik maupun anorganik, selain itu juga dipengaruhi oleh suhu, jenis tanah, kondisi lahan dan kondisi iklim. Karena itu, dengan adanya hasil-hasil penelitian mengenai emisi N2O dari lahan sawah pada lahan dengan perbedaan takaran N yang ditambahkan, jenis tanah, suhu, kondisi lahan dan iklim, akan bisa digunakan sebagai faktor skala maupun faktor koreksi dalam pendugaan besaran
34
35 emisi ini. Apabila faktor ini tersedia, maka diikuti oleh input data aktivitas yang sesuai, dan hal ini mungkin akan menjadikan perhitungan menjadi makin kompleks. Akan tetapi dalam hal tidak tersedianya data aktivitas untuk besaran input N masing-masing jenis lahan, maka metode modifikasi yang dikemukakan dalam penelitian ini akan lebih mudah digunakan. Simpulan Inventarisasi GRK membutuhkan masukan data aktivitas yang sangat komplek dan detail, untuk menghasilkan data status emisi GRK yang tepat. Pembangkitan data aktivitas bisa dilakukan dengan berbagai cara, diantaranya dengan melakukan wawancara langsung dengan para ahli, survey lapangan maupun membangun asumsi. Perhitungan status emisi GRK Kabupaten Grobogan dan Tanjung Jabung Timur yang merupakan 2 ekosistem pertanian yang sangat berbeda, menghasilkan nilai emisi yang jauh berbeda pula meski sumber emisi utama adalah gas CH4 dari pengelolaan lahan sawah. Sumber emisi GRK utama berdasarkan jenis gas di 2 kabupaten adalah gas CH4 yaitu > 50% (dalam CO2e). Total emisi GRK Kabupaten Grobogan dengan metode IPCC 2006 adalah sekitar 678-758 Gg CO2e dan diperkirakan akan terus meningkat mencapai angka 898 Gg CO2e di tahun 2020 jika tidak ada aksi mitigasi, sedangkan di Kabupaten Tanjung Jabung Timur sekitar 543-659 Gg CO2e dan mencapai angka 820 Gg CO2e tahun 2020. Total emisi GRK Kabupaten Grobogan dan Tanjung Jabung Timur dengan modifikasi metode IPCC 2006 adalah sebesar 670-744 Gg CO2e and 540-658 Gg CO2e. Hasil perhitungan emisi GRK total di 2 kabupaten dengan metode IPCC 2006 dan modifikasinya hanya berbeda sekitar 1% (tidak berbeda nyata dengan uji t pada taraf p=0,05).
35
36
3 BIAYA PENGURANGAN (MARGINAL ABATEMENT COST) EMISI GRK Pendahuluan Sektor pertanian secara langsung berkaitan dengan isu perubahan iklim dalam aspek lingkungan, ekonomi dan sosial dan dianggap sebagai sektor yang paling rentan terhadap perubahan iklim itu sendiri. Di satu sisi, kegiatan adaptasi adalah kunci keberhasilan sektor pertanian dalam menghadapi perubahan iklim dan mempertahankan keamanan pangan, baik pada skala global, nasional maupun daerah. Di sisi lain, pertanian menyumbang sekitar 14% pada skala global dan 7% pada skala nasional (Second Natcom, 2010). Sebagai sektor kunci dalam pemenuhan kebutuhan pangan, emisi sektor pertanian diperkirakan akan terus meningkat sampai tahun 2030 seiring dengan peningkatan kebutuhan pangan. Untuk mengatasi hal ini. Pemerintah Indonesia telah berkomitmen untuk menurunkan emisi GRK sebesar 26% pada tahun 2020. Target untuk sektor pertanian adalah sebesar 8 Gg CO2e. Teknologi mitigasi GRK untuk pertanian telah banyak dihasilkan, baik di tingkat global (DeAngelo et al, 2006; Verge et al, 2007) maupun nasional (Setyanto et al, 2005; Setyanto et al, 2011). Selain itu, banyak estimasi yang mengindikasikan bahwa beberapa opsi mitigasi dari pertanian relatif lebih rendah biaya dan menghasilkan keuntungan yang signifikan dalam peningkatan produksi dibandingkan dengan sektor yang lain (Smith et al 2006, 2008; Beach et al, 2008; MacLeod et al, 2010). Penggunaan pendekatan biaya pengurangan atau marginal abatement cost (MAC) ini diperlukan untuk membuat pilihan terhadap opsi mitigasi yang sesuai. Pendekatan MAC adalah besarnya tambahan biaya yang diperlukan untuk menurunkan emisi GRK sebesar 1 t CO2e hingga kurun waktu tertentu. Analisis MAC memungkinkan untuk melakukan evaluasi terhadap strategi untuk mengurangi GRK terhadap beberapa skenario referensi yang meliputi biaya maupun manfaat yang diterima. Konsep ini telah banyak dikembangkan selama 20 tahun terakhir (Beach et al, 2008). Pada awalnya konsep ini digunakan oleh perusahaan untuk menentukan pilihan teknologi pengurangan polutan atau limbah dalam jumlah besar dengan biaya yang paling rendah. Demikian pula dalam konteks perubahan iklim, pendekatan ini kemudian dikembangkan untuk melakukan analisis ekonomi terhadap pilihan aksi mitigasi GRK. Secara umum, analisis MAC digunakan untuk menilai potensi ekonomi sektor pertanian dalam pengurangan emisi GRK (MacLeod et al, 2010; Moran et al, 2011). Analisis ini menyediakan opsi mitigasi GRK, di mana opsi tersebut merupakan tambahan untuk kegiatan mitigasi yang diharapkan akan diberikan pada skenario 'business as usual' (Moran et al, 2011). MAC menghasilkan kuantifikasi besarnya emisi GRK yang dapat dikurangi dengan berbagai opsi mitigasi dan mengurutkannya sesuai dengan biaya marjinal yang dibutuhkan. Analisis MAC ini bersifat tidak tetap dan akan berubah dari waktu ke waktu seiring teknologi baru menjadi lebih banyak tersedia dengan biaya yang lebih rendah atau berkembangnya kondisi agronomi dan sosial-ekonomi.
36
37 Beberapa penelitian telah dilakukan untuk mengembangkan konsep MAC dalam konteks perubahan iklim, McKinsey & Company (2008, 2009) dan United States Environmental Protection Agency (USEPA) melakukan analisis ini untuk pengurangan emisi semua sektor di USA, Asian Development Bank melalui Asia Least-cost Greenhouse Gas Abatement Strategy (ADB, 1998) dan Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI, 2009) membuat analisis ini untuk semua sektor di Indonesia. Untuk sektor pertanian, pendekatan ini mulai digunakan sekitar tahun 2000 dengan menggunakan pendapat secara kualitatif (Weiske 2005,2006) dan beberapa penelitian empiris telah dilakukan di USA dan Uni Eropa (Beach et al, 2008; Macleod et al, 2010; Vermont dan DeCara, 2010; De Cara et al, 2011). Menurut Beach et al (2008), Neudfeldt et al (2006) dan USEPA (2005) sektor pertanian mempunyai tantangan yang unik dalam mengembangkan perkiraan biaya mitigasi GRK pada skala regional dan internasional. Pertama, pada sektor pertanian terdapat tingkat keberagaman spasial dan temporal yang tinggi terkait kondisi biofisik dan manajemen, sehingga menimbulkan keberagaman emisi GRK yang dihasilkan, dan hal ini jarang menjadi perhatian. Kedua, banyak kegiatan pertanian yang mengemisikan beberapa jenis GRK dan banyak juga interaksi yang sangat kompleks didalamnya. Ketiga, terdapat kekurangan pada data biaya yang spesifik tiap daerah, dimana dengan data tersebut bisa digunakan untuk memperkirakan implikasi secara ekonomi apabila sebuah aksi mitigasi GRK diterapkan terutama yang terkait perubahan input, penerimaan maupun tenaga kerja. Keempat, sulitnya memperkirakan berapa besar tingkat adopsi terhadap sebuah aksi mitigasi dengan pemberian insentif, atau melakukan penyuluhan langsung yang bertujuan untuk pengurangan emisi GRK, mengingat informasi dan hambatan budaya yang berbeda di tiap daerah. Keberagaman tersebut memungkinkan teknologi mitigasi yang berbeda dapat diterapkan pada sistem pertanian yang berbeda pula dengan biaya dan keuntungan ekonomi maupun dampak lingkungan yang berbeda. Penelitian ini dilakukan untuk menganalisis opsi-opsi mitigasi pada pengelolaan lahan sawah yang mungkin dilakukan menggunakan pendekatan MAC dengan beberapa langkah, yaitu: penentuan teknologi mitigasi, potensi penurunan emisi serta tambahan biaya yang diperlukan pada berbagai teknologi mitigasi dengan menggunakan data biaya yang spesifik lokasi, menyusun kurva MAC sehingga diharapkan dapat membantu daerah dalam memilih opsi mitigasi dengan biaya rendah dan potensi penurunan emisi yang besar. Analisis ini dilakukan secara bottom-up yaitu berdasarkan pada hasil-hasil pengukuran di lapang pada berbagai sistem penggunaan lahan yang beragam (abatement rate) serta biaya yang berlaku setempat, kemudian hasilnya digunakan pada skala yang lebih luas untuk mewakili suatu wilayah dengan sistem penggunaan lahan tertentu. Potensi penurunan emisi dan biaya yang diperlukan di suatu wilayah akan berbeda dengan wilayah yang lain terutama untuk sektor pertanian. Dengan pendekatan ini diharapkan dapat mengakomodasi keberagaman potensi penurunan emisi dan biaya tersebut (Moran et al, 2010).
37
38 Bahan dan Metode Bahan Bahan yang diperlukan pada penelitian ini adalah data biaya penerimaan usahatani di Kabupaten Grobogan dan Tanjung Jabung Timur tahun 2011 yang diperoleh dari dinas terkait serta publikasi-publikasi terkait teknologi mitigasi GRK dari lahan sawah. Metode 1. Menyusun proyeksi BAU baseline sampai periode waktu tertentu sesuai yang di skenariokan seperti disusun pada bab 2. 2. Pengumpulan dan penyaringan terhadap teknologi-teknologi mitigasi GRK dari lahan sawah dari beberapa hasil penelitian yang telah ada. 3. Menghitung abatement cost (Rp/tCO2e) untuk masing-masing aksi mitigasi dalam poin 2 a. Dengan menggunakan data biaya dan penerimaan riil usahatani sebagai BAU baseline biaya dan penerimaan b. Menghitung prakiraan biaya dan penerimaan usahatani untuk masingmasing aksi mitigasi c. Biaya yang diperhitungkan dalam penelitian hanya biaya tenaga kerja, biaya input produksi dan sewa lahan, sementara biaya – biaya sosial, pajak dan bahan bakar selama proses usahatani belum diperhitungkan d. Menentukan tingkat diskonto (discount rate) yaitu sebesar 8 % yang merupakan suku bunga nyata untuk negara-negara berkembang dan banyak digunakan oleh World Bank dalam analisis ekonominya (Sathaye, 1995) e. Menghitung abatement cost dengan pendekatan Net Present Value (NPV) seperti yang digunakan dalam International Energy Agency (IEA, 2009) dan Food & Agricultural Organization (FAO, 2010) 𝑇
NPV = � Ct C0 R T
𝑡=1
𝐶𝑡 − 𝐶0 (1 + 𝑟)𝑡
= cash flow atau aliran kas yang diterima tiap tahun = Investasi awal = tingkat diskonto (discount rate) = durasi proyek MAC =
𝑁𝑃𝑉 𝑚𝑖𝑡𝑖𝑔𝑎𝑠𝑖 − 𝑁𝑃𝑉 𝐵𝐴𝑈 𝐸𝑚𝑖𝑠𝑖 𝐺𝑅𝐾 𝐵𝐴𝑈 − 𝐸𝑚𝑖𝑠𝑖 𝐺𝑅𝐾 𝑚𝑖𝑡𝑖𝑔𝑎𝑠𝑖
4. Menghitung abatement potential (AP) yaitu besarnya GRK yang dapat dikurangi per tahunnya dengan persamaan : 𝐴𝑅 = 𝐴𝑅 𝑥 𝑙𝑢𝑎𝑠𝑎𝑛 𝑙𝑎ℎ𝑎𝑛 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑏𝑒𝑟𝑝𝑜𝑡𝑒𝑛𝑠𝑖 𝑑𝑖𝑙𝑎𝑘𝑢𝑘𝑎𝑛 𝑎𝑘𝑠𝑖 𝑚𝑖𝑡𝑖𝑔𝑎𝑠𝑖
AP = besarnya GRK yang dapat dikurangi tiap tahunnya
38
39 AR = abatement rate yaitu besarnya GRK yang dapat dikurangi per hektar lahan
5. 6.
7. 8.
Perhitungan ini berdasarkan pada asumsi bahwa sekali aksi mitigasi dilakukan, maka akan berlangsung sampai kurun waktu yang telah ditentukan dalam skenario. Perhitungan abatement rate juga dilakukan untuk interaksi antara 2 teknologi mitigasi. Menentukan tingkat kemungkinan adopsi dari masing-masing aksi mitigasi pada 4 kategori berdasarkan pada Moran et al, (2010) dan Mac Leod et al, (2010) sebagi berikut : a. Maximum technical b. High feasibility c. Central feasibility d. Low feasibility Menyusun kurva biaya pengurangan (MAC Curve) emisi GRK. Menghitung potensi penurunan emisi GRK pada akhir periode skenario terhadap proyeksi BAU baseline. Hasil
Penyaringan terhadap aksi mitigasi yang berpotensi diterapkan di Kabupaten Grobogan dan Tanjung Jabung Timur dilakukan melalui studi literature dari hasil-hasil penelitian yang telah dilakukan. Dari hasil studi dipilih 7 teknologi mitigasi dari 5 sumber publikasi [ADB, 1998; Lolingtan 1997-1999; Setyanto et al, 2005; Setyanto et al, 2011; Balingtan 2008-2012 dan Susilawati et al, 2010] seperti dalam Tabel 3.1 berikut ini, Tabel 3.1 Teknologi mitigasi GRK dari beberapa sumber publikasi Teknologi mitigasi
Potensi pengurangan
Hasil padi
Tanam benih langsunga Penggantian urea prill dengan urea tableta Penggunaan varietas rendah emisib PTT (pengairan berselang/intermittent)c Ameliorasi dengan komposd Ameliorasi dengan pupuk kandangd Tanpa Olah Tanah+Tanam benih langsunge
37 kg CH4/ha 18,1 kg CH4/ha 57% 46% 19% 13% 70%
Naik 4,5% Naik 20,5% Naik 15% Naik 5% Naik 23% Naik 25% Naik 3%
a
ADB (1998) Setyanto et,al (2005) c Setyanto et,al ( 2011) d Balingtan (2008-2012), Susilawati et al (2010) e Lolingtan (1997-1999) b
Setiap aksi mitigasi yang telah dipilih terdapat didalamnya besaran potensi pengurangan emisi serta pengaruhnya terhadap hasil padi (Tabel 3.1). Perhitungan potensi pengurangan emisi (tCO2e/ha) didasarkan pada emisi CH4 rata-rata dari lahan sawah di Indonesia yaitu 160,9 kg CH4/ha/musim. Sementara, biaya tambahan untuk melakukan tindakan pengurangan emisi dihitung dengan 39
40 pendekatan NPV yaitu nilai ekonomi yang biasa digunakan dalam analisis prakiraan keuntungan atau investasi dalam periode tertentu (Tabel 3.2). NPV ini menggambarkan perbedaan nilai sekarang dari aliran penerimaan di masa mendatang dari sebuah investasi berdasarkan tingkat diskon tertentu. Analisa NPV biasa digunakan untuk menilai kelayakan sebuah proyek yang akan dijalankan. Tabel 3.2 Potensi pengurangan emisi (abatement rate) dan biaya tambahan untuk pengurangan emisi (abatement cost) Teknologi mitigasi
Tanam benih langsung Penggantian urea prill dengan urea tablet Penggunaan varietas rendah emisi PTT (pengairan berselang/intermiten) Ameliorasi dengan kompos Ameliorasi dengan pupuk kandang Tanpa olah tanah+tanam benih langsung
Abatement rate (tCO2e/ha) 1,6 0,8 3,9 3,1 1,3 1,7 2,6
Abatement cost (Rp/tCO2e) Grobogan Tanjabtim 657 3.582 106 124
504
163 456 608
Abatement Potential Abatement potential atau potensi pengurangan dihitung berdasarkan asumsi sebagai berikut : 1. Kabupaten Grobogan : - Teknologi tanam benih langsung diterapkan pada lahan sawah di daerah tadah hujan yang hanya 1 kali tanam dalam setahun karena minimnya curah hujan yaitu seluas 20.278 ha (Lampiran 1). Pada perhitungan existing emisi, faktor skala rejim air untuk daerah tadah hujan yaitu sebesar 0,49 sudah dimasukkan. - Teknologi penggunaan variets rendah emisi, bisa diterapkan di daerah irigasi ½ teknis, sederhana dan desa. Pada perhitungan existing emisi di lahan tersebut, faktor skala rejim pengairan berselang sudah dimasukkan sesuai kondisi di lapang. - Teknologi pengairan berselang bisa diterapkan pada daerah irigasi teknis, dimana di daerah ini, air selalu tersedia sehingga lahan sawah selalu dalam kondisi tergenang karena petani masih memaksimalkan ketersediaan air untuk pengairan. Pengenalan dan penerapan teknologi ini selain akan lebih menghemat air, hasil padi juga akan meningkat. - Teknologi penggantian urea prill dengan urea tablet juga sesuai untuk diterapkan di lahan sawah yang selalu tergenang, dimana potensi pembentukan gas CH4 besar. Meskipun teknologi ini mempunyai potensi penurunan emisi yang cukup besar dan meningkatkan hasil padi, akan tetapi karena harga urea tablet lebih mahal dibandingkan urea prill, kemungkinan tingkat adopsi oleh petani adalah rendah. Maka dari itu proporsi teknologi ini untuk diterapkan juga pada areal yang sempit yaitu sekitar 20% dari luasan daerah irigasi. Hal ini diasumsikan dengan adanya subsidi atau bantuan dari pemerintah.
40
41 2. Kabupaten Tanjung Jabung Timur : - Teknologi tanam benih langsung bisa diterapkan di daerah tadah hujan, yaitu pada areal lahan sawah seluas 1.542 ha dengan pertimbangan di daerah ini ketersediaan air terbatas. - Teknologi kombinasi tanpa olah tanah dan tanam benih langsung, bisa diterapkan terutama di daerah pasang surut. Lahan sawah di kabupaten ini 80% dari total berada di daerah pasang surut. Lahan pasang surut sendiri terdiri dari 70% bergambut dan sisanya tidak bergambut. Luas lahan pasang surut tidak bergambut yaitu sekitar 8.873 ha dan 20.703 ha lainnya merupakan daerah pasang surut bergambut. Pada lahan pasang surut bergambut, selain diterapkan teknologi tanpa olah tanah dan tanam benih langsung, juga bisa diterapkan teknologi ameliorasi dengan kompos maupun pupuk kandang. Tabel 3.3 Abatement potensial dan kemungkinan adopsi teknologi mitigasi Teknologi Mitigasi
Kemungkinan adopsia
Tanam benih langsung Penggantian urea prill dengan urea tablet Penggunaan varietas rendah emisi PTT (pengairan berselang/intermiten) Ameliorasi dengan kompos Ameliorasi dengan pupuk kandang Tanpa olah tanah+tanam benih langsung
Low feasible Central feasible
31.512 5533
High feasible High feasible
90.776 90.534
a
High feasible High feasible High feasible
Abatament Potential (tCO2e/tahun) Grobogan Tanjabtim 2.396
5.317 13.987 44.618
Moran et al (2010), MacLeod et al (2010)
Kurva Biaya Tambahan Pengurangan Emisi GRK Penyusunan kurva ini dimaksudkan untuk mempermudah dalam pemilihan aksi mitigasi yang paling menguntungkan secara ekonomi dan juga lingkungan. Kurva ini dari kiri ke kanan (sumbu x) menggambarkan potensi penurunan emisi GRK dari sebuah aksi mitigasi dalam tiap tahunnya. Lebar masing-masing batang menyatakan berapa besaran emisi yang dapat dikurangi dari sebuah aksi mitigasi. Total lebar semua batang adalah jumlah total emisi GRK yang dapat dikurangi dengan melakukan semua aksi mitigasi. Makin lebar batang, maka makin besar potensi pengurangan emisinya. Tinggi batang menyatakan besaran biaya tambahan yang diperlukan untuk mengurangi emisi GRK sejumlah 1 ton CO2e, makin ke kanan di sumbu x, maka biaya yang dibutuhkan semakin besar. Biaya tambahan yang dibutuhkan untuk mengurangi emisi GRK dari lahan sawah di Kabupaten Grobogan dimana ekosistemnya adalah tanah mineral, relatif lebih mahal yaitu di kisaran Rp 106,- sampai Rp 3.582,- per tCO2e (Gambar 3.1) sedangkan di Tanjung Jabung Timur kisaran Rp 163,- sampai Rp 608,- per tCO2e (Gambar 3.2).
41
42 Tabel 3.4 Potensi penurunan hingga tahun 2020 terhadap proyeksi emisi BAU baseline Emisi tahun 2020 BAU (tCO2e) Grobogan Tanjabtim 897.967
Emisi tahun 2020 Mitigasi (tCO2e) Grobogan Tanjabtim
820.740
Varietas
Rp4.000
679.540
Intermittent
Tabela
753.682
Urea tablet
Abatement cost (Rp/tCO2e)
Rp3.500 Rp3.000 Rp2.500 Rp2.000 Rp1.500 Rp1.000 Rp500 Rp0 5
30
55
80
105
130
155
180
205
230
Abatement potential (Gg CO2e/th)
Gambar 3.1 Kurva biaya pengurangan emisi GRK Kabupaten Grobogan
42
43
Ameliorasi Kompos
Rp4.000
Ameliorasi Pukan
Tabela
TOT+Tabela
Abatement cost (Rp/tCO2e)
Rp3.500 Rp3.000 Rp2.500 Rp2.000 Rp1.500 Rp1.000 Rp500 Rp0 1
6
11
16
21
26
31
36
41
46
51
56
61
66
Abatement potential (Gg CO2e/th)
Gambar 3.2 Kurva biaya pengurangan emisi GRK Kabupaten Tanjung Jabung Timur Pembahasan Potensi pengurangan emisi dengan kemungkinan adopsi teknologi seperti tertera dalam Tabel 3.3. Dalam hal ini terdapat 3 macam kemungkinan adopsi untuk masing-masing teknologi, yaitu : high feasible, central feasible dan low feasible. Menurut Moran et al, (2010) dan MacLeod et al, (2010), high feasible adalah kemungkinan tingkat adopsi petani terhadap suatu teknologi mitigasi apabila ada peraturan pemerintah, sementara central feasible adalah apabila selain terdapat peraturan pemerintah untuk menerapkan suatu teknologi, juga diberlakukan pemberian subsidi bagi yang menerapkannya, dan low feasible adalah kemungkinan adopsi teknologi jika pemerintah mensosialisasikannya melalui pendidikan/informasi saja jika sesuai untuk suatu kondisi tertentu. Di Kabupaten Grobogan, sebesar 181.310 tCO2e/th dapat dikurangi dengan kemungkinan adopsi yang tinggi (high feasible) yaitu melalui penerapan program PTT (Pengelolaan Tanaman Terpadu) dan penggunaan varietas rendah emisi. Penerapan PTT merupakan kebijakan yang telah diterapkan pemerintah melalui keputusan menteri pertanian, dan penggunaan varietas rendah emisi dimungkinkan untuk diterapkan dengan adanya peraturan yang sejenis. Teknologi PTT adalah suatu pendekatan inovatif dalam upaya meningkatkan produktivitas dan efisiensi usahatani. Peningkatan produktivitas dilakukan melalui pemakaian benih varietas unggul bermutu produktivitas tinggi termasuk benih padi hibrida dan jagung hibrida, sistem jarak tanam jajar legowo, pemupukan berimbang dan pemakaian pupuk organik serta pupuk bio-hayati, pengelolaan pengairan dan perbaikan budidaya disertai pengawalan, pendampingan, pemantauan dan koordinasi. Strategi ini terutama dilaksanakan di wilayah dimana perluasan areal 43
44 sudah sulit dilakukan, sehingga dengan penerapan teknologi spesifik lokasi diharapkan masih dapat ditingkatkan produktivitasnya. Berdasarkan hasil penelitian Setyanto et al (2011), dihitung dari komponen pengelolaan pengairannya, teknologi ini secara signifikan mampu menurunkan emisi GRK dari lahan padi sawah. Varietas padi rendah emisi adalah varietas padi yang teridentifikasi melalui berbagai hasil penelitian menghasilkan emisi CH4 lebih rendah dibandingkan dengan varietas padi yang lain. Metana adalah GRK yang dihasilkan melalui dekomposisi bahan organik secara anaerobik (Cao et al, 1995; Levy et al, 2007). Kemampuan varietas mengemisi gas metan bergantung kepada rongga aerenkhima, jumlah anakan, biomassa, sistem perakaran, dan aktivitas metabolisme (Aulakh, 2001). Proses pembentukan metan merupakan akibat dari dekomposisi bahan organik pada kondisi anaerob. Tanaman padi memegang peran penting dalam emisi gas CH4 dari lahan sawah. Kurang lebih 90% CH4 yang dilepas dari lahan sawah ke atmosfir diemisikan melalui tanaman dan sisanya melalui gelembung air (ebullition). Ruang udara pada pembuluh aerenkima yang terdapat pada daun, batang dan akar yang berkembang dengan baik menyebabkan pertukaran gas pada tanah tergenang (anaerob) berlangsung cepat (Aulakh, 2002). Pembuluh aerenkima bertindak sebagai cerobong (chimney) untuk lepasnya CH4 ke atmosfir. Keragaman emisi gas metan dari lahan sawah ditentukan oleh perbedaan sifat fisiologi dan morfologi varietas padi (Las, 2007; Setyanto et al, 2010). Penggantian urea pril dengan urea tablet mempunyai tingkat penurunan emisi yang cukup besar, akan tetapi teknologi mitigasi ini masuk dalam kategori central feasible karena petani akan lebih tertarik untuk menerapkannya apabila ada kebijakan pemberian subsidi yang berlaku, mengingat harga pupuk urea tablet yang relatif lebih mahal. Urea dalam bentuk tablet mempunyai sifat yang lebih basa (pH 8) dibanding urea dalam bentuk prill karena ber-coating, selain itu penambahan urea dalam bentuk tablet menyebabkan reaksi oksidasi dalam tanah menjadi lebih besar dibanding reaksi reduksi terkait dengan ketersediaan kation dan anion, sehingga nilai potensial redoks manjadi positif. Hal ini terutama berpengaruh pada proses pembentukan gas CH4, dimana gas ini optimal terbentuk pada kondisi keasaman tanah 6-7 dan potensial redoks -150 sampai -200 mV. Teknologi tanpa olah tanah dan tanam benih langsung termasuk high feasible, terutama di Kabupaten Tanjung Jabung Timur dimana sebagian besar areal sawah adalah di lahan pasang surut. Teknologi ini meskipun tidak signifikan menaikkan produksi padi, akan tetapi sangat sesuai diterapkan di daetah pasang surut terutama berkaitan dengan pengelolaan tanah. Tanpa olah tanah berarti meminimalkan gangguan pada kandungan hara dalam tanah, sehingga mengurangi lepasnya karbon tersimpan dalam tanah karena adanya penurunan oksidasi, ddi daerah pasang surut, hal ini berarti menghindari lepasnya pirit yang terbentuk di dalam tanah pada saat tergenang air laut atau sungai. Sementara teknologi tanam benih langsung termasuk low feasible, karena pada umumnya, teknologi ini banyak diterapkan oleh petani di daerah atau pada saat minimnya air. Teknologi ameliorasi, termasuk dalam kategori yang high feasible, hal ini karena penerapan teknologi ameliorasi ini selain mampu menurunkan emisi GRK, juga sebagai bahan pembenah unsur hara tanah sehingga hasil padi menjadi meningkat, dalam hal ini dimungkinkan bagi pemerintah untuk mengeluarkan
44
45 peraturan mengenai penerapannya oleh petani. Sebesar 63.922 tCO2e/th emisi GRK di Kabupaten Tanjung Jabung Timur dapat diturunkan pada tingkat adopsi teknologi yang tinggi. Amelioran adalah bahan yang dapat meningkatkan kesuburan tanah melalui perbaikan kondisi fisik dan kimia. Kriteria amelioran yang baik bagi lahan gambut adalah memiliki kejenuhan basa (KB) yang tinggi, mampu meningkatkan derajat pH secara nyata, mampu memperbaiki struktur tanah, memiliki kandungan unsur hara yang lengkap, dan mampu mengusir senyawa beracun terutama asam-asam organik. Amelioran dapat berupa bahan organik maupun anorganik, Pemberian bahan amelioran seperti pupuk organik, tanah mineral, zeolit, dolomit, fosfat alam, pupuk kandang, kapur pertanian, abu sekam, purun tikus (Eleocharis dulcis) dapat meningkatkan pH tanah dan basa-basa tanah (Subiksa et al, 1997; Salampak, 1999; Mario, 2002). Penambahan bahan-bahan amelioran yang banyak mengandung kation polivalen juga dapat mengurangi pengaruh buruk asam-asam organik beracun. Lahan sawah di Kabupaten Tanjung Timur sebagian besar (lebih dari 70%) berada pada daerah pasang surut dengan jenis tanah gambut sehingga pemberian bahan ameliorant, selain akan memperbaiki struktur tanah gambut yang miskin hara, juga dapat menurunkan emisi GRK (Balingtan, 2008,2009,2010,2011). Kurva biaya pengurangan emisi GRK di Kabupaten Grobogan menunjukkan bahwa sebesar 212.822 tCO2e/th atau sekitar 24% sampai dengan tahun 2020 dapat diturunkan dengan biaya dibawah Rp 1.000,-/tCO2e dan tambahan penurunan emisi sebesar 5.532 tCO2e/th atau 0,12% bisa dicapai dengan biaya tambahan sebesar Rp, 3.582,-/tCO2e, sedangkan di Kabupaten Tanjung Jabung Timur, sebesar 66.317 tCO2e/th atau sekitar 8,1% sampai tahun 2020 dapat diturunkan dengan biaya tambahan dibawah Rp 1.000,-/tCO2e. Penurunan sebesar 24% di Kabupaten Grobogan tersebut akan diperoleh dengan penerapan teknologi mitigasi berupa penggunaan varietas padi yang rendah emisi, sistem pengairan berselang dan cara tanam dengan tabela (tanam benih langsung) pada luasan padi sawah tertentu. Pemilihan aksi mitigasi yang paling menguntungkan secara ekonomi maupun lingkungan dapat dilakukan dengan melihat pada kurva biaya pengurangan emisi GRK. Kabupaten Grobogan akan mendapatkan keuntungan lingkungan dan ekonomi yang maksimal dengan menerapkan aksi mitigasi PTT dan penggantian varietas dengan varietas padi yang rendah emisi, yaitu hanya dengan tambahan biaya pengurangan Rp 100-150,-/tCO2e dapat menurunkan emisi sebesar 181.312 tCO2e/th. Sementara Kabupaten Tanjung Jabung Timur dengan penerapan aksi mitigasi penambahan bahan amelioran mampu menurunkan emisi sebesar 19.304 tCO2e/th dengan tambahan biaya sebesar Rp 150-450,-/tCO2e. Biaya-biaya tersebut dihitung hanya berdasarkan biaya pada faktor input usahatani seperti tenaga kerja dan penggunaan pupuk, sementara biaya penggunaan bahan bakar selama proses usahatani tidak diperhitungkan, seperti halnya biaya-biaya sosial. Biaya-biaya ini dimungkinkan berubah seiring dengan perubahan kebijakan oleh pemerintah. Besaran penurunan emisi berdasarkan asumsi bahwa luas lahan sawah meningkat secara linear, sementara biaya dihitung berdasarkan tingkat diskon 8%/th. Akan tetapi hal ini tentu saja masih sangat tergantung pada kebijakan pemerintah yang diberlakukan. Tingkat adopsi oleh petani, selain dipengaruhi
45
46 oleh kebijakan pemerintah, juga akan dipengaruhi oleh pola hidup, seperti diketahui bahwa sebagian besar petani tidak menerima keuntungan finansial yang maksimum, sehingga pola hidup mereka dipengaruhi oleh banyak faktor termasuk kondisi pasar (misal: harga sarana produksi pertanian dan juga harga jual hasil pertanian). Pike (2008) dalam Bates, 2001 mengemukakan bahwa kondisi pasar merupakan satu set faktor yang mempengaruhi pengambilan keputusan dalam usahatani, yaitu termasuk faktor internal (pengetahuan, kebiasaan dan prilaku), faktor sosial (norma dan peraturan), kebijakan terkait lingkungan dan faktorfaktor lainnya. Kabupeten Grobogan dan Tanjung Timur seperti telah dikemukan pada bab sebelumnya merupakan kabupaten yang memiliki lahan pertanian cukup luas. Selain itu, kontribusi sektor pertanian terhadap produk domestik regional bruto di kedua kabupaten tersebut juga besar. Sektor pertanian di Kabupaten Grobogan tahun 2011 berkontribusi sebesar 43% terhadap total PDRB, sedangkan di Kabupaten Tanjung Jabung Timur berkontribusi sebesar 59% dengan pertumbuhan sebesar 1,2%. Hal ini tentu saja akan membuat pemerintah setempat berhati-hati dalam menentukan sebuah kebijakan. Pendekatan bottom-up yang digunakan dalam penelitian ini memberikan gambaran yang kontras dari pendekatan top-down dimana pendekatan bottom-up ini lebih efisien dalam mengambarkan sebuah aksi mitigasi dengan mengidentifikasi variasi pengukuran pada skala lapang yang kemudian dapat digunakan untuk menghitung pengurangan emisi dan biaya pada sistem pertanian yang berbeda dan skala wilayah yang lebih luas. Pendekatan “bottom-up” yang dimaksud dalam hal ini adalah pendekatan yang lebih teknis, pendekatan dari bawah, yaitu dari hasil pengukuran tingkat penurunan emisi (abatement rate) dan biaya yang diperlukan masing-masing opsi mitigasi pada berbagai sistem pertanian yang beragam yang kemudian digunakan pada skala wilayah yang lebih luas. Sedangkan pendekatan “top-down” adalah pendekatan dari atas, yaitu pendekatan dimana tingkat penurunan emisi dan biaya yang dibutuhkan ditentukan melalui asumsi-asumsi dan permodelan. Dalam pendekatan “top-down” dianggap masing-masing wilayah mempunyai kemampuan yang sama dalam hal penurunan emisi GRK, teknologi yang diadopsi maupun biaya yang diperlukan (Moran et al, 2010). Dalam pertanian, hal ini sulit diterapkan mengingat dalam pertanian, perbedaan kondisi biofisik wilayah sangat beragam sehingga potensi penurunan emisi juga akan sangat beragam antar wilayah, demikian juga dengan biaya yang diperlukan, sangat tergantung pada kondisi sosial ekonomi petani, Karena itu pendekatan “bottom-up” berdasarkan kondisi masing-masing wilayah, dianggap lebih memberikan gambaran nyata untuk mitigasi GRK pertanian.
Simpulan Perubahan dalam pola pengelolaan usahatani telah menunjukkan dapat mengurangi emisi GRK yang ditimbulkannya dan dapat menyebabkan perubahan dalam biaya dan penerimaan usahatani tersebut. Dengan memperkirakan besaran potensi pengurangan emisi dan menghitung biaya yang dibutuhkan, memungkinkan untuk menggambarkannya dalam kurva biaya pengurangan emisi
46
47 GRK dalam bentuk besaran tambahan biaya yang dibutuhkan untuk menurunkan emisi GRK per unit setara CO2. Penentuan teknologi mitigasi dapat dilakukan melalui studi literatur, sementara penentuan luasan area yang berpotensi untuk penerapan teknologi mitigasi, dilakukan dengan membangun asumsi-asumsi. Besaran biaya dapat ditentukan berdasarkan pada biaya yang berlaku setempat. Kurva biaya pengurangan emisi GRK di Kabupaten Grobogan menunjukkan bahwa sebesar 212.822 tCO2e/th atau sekitar 24% sampai dengan tahun 2020 dapat diturunkan dengan biaya dibawah Rp 1.000,-/tCO2e, sementara di Kabupaten Tanjung Jabung Timur, sebesar 66.317 tCO2e/th atau sekitar 8,1% sampai tahun 2020 dapat diturunkan dengan biaya tambahan dibawah Rp 1.000,-/tCO2e. Teknologi mitigasi yang berpotensi besar menurunkan emisi GRK dengan biaya rendah di Kabupaten Grobogan adalah penerapan teknik budidaya PTT dan penggantian varietas padi dengan varietas padi yang teridentifikasi rendah emisi GRK. Sementara di Kabupaten Tanjung Jabung Timur, teknologi ameliorasi dengan kompos, pupuk kandang maupun daun babadotan merupakan teknologi mitigasi yang memiliki potensi besar menurunkan emisi dengan biaya yang rendah.
47
48
4 PEMBAHASAN UMUM Komitmen Indonesia untuk menurunkan emisi GRK-nya sebesar 26% sampai tahun 2020, melibatkan keikutsertaan daerah secara aktif, dengan adanya keharusan penyusunan RAD Penurunan Emisi GRK. Masing-masing daerah berkewajiban memberikan kontribusi terhadap penurunan emisi secara nasional. Sebelum membuat perencanaan mengenai aksi-aksi untuk penurunan emisi GRK, terlebih dahulu harus mengetahui secara pasti besaran emisi dan serapan yang ada. Sektor pertanian dalam Lampiran Perpres No 61/2011 disebutkan harus menurunkan tingkat emisi nya sebesar 8 Gg CO2e. Berbagai perencanaan di tingkat nasional telah dilakukan untuk mencapai target tersebut, akan tetapi partisipasi daerahlah yang akan sangat menentukan. Pertumbuhan ekonomi Kabupaten Grobogan dan Tanjung Jabung Timur sangat dipengaruhi oleh sektor pertanian, hal ini terbukti dengan tingginya nilai Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) sektor pertanian di kedua kabupaten tersebut. Di Kabupaten Grobogan, pertanian menyumbang sebesar 43% dari total PDRB dengan rata-rata pertumbuhan 4,8%/tahun selama 5 tahun terakhir (BPS, 2011). Sementara di Tanjung Jabung Timur sebesar 59% dengan rata-rata pertumbuhan 2%/tahun selama 5 tahun terakhir (BPS, 2011). Pertumbuhan sektor pertanian tiap tahunnya tidak terlepas dari komposisi status pekerjaan masyarakatnya. Di Grobogan maupun Tanjung Jabung Timur, mayoritas masyarakat adalah bekerja sebagai petani dengan rata-rata kepemilikan lahan yang sangat kecil. Komitmen penurunan emisi oleh Pemerintah Indonesia, tentu saja harus di dukung oleh semua wilayah di Indonesia, tidak terkecuali Grobogan dan Tanjung Jabung Timur. Sektor Pertanian, selain merupakan sektor yang sangat vital dalam upaya pemenuhan ketahanan pangan masyarakat, juga merupakan sektor yang semestinya menurunkan emisi GRK sesuai target dalam RAN GRK. Kedua hal tersebut yang seharusnya menjadi perhatian para pembuat kebijakan, bagaimana meningkatkan ketersediaan pangan masyarakat sekaligus menurunkan emisi GRK dari proses tersebut. Sektor pertanian menghasilkan tiga GRK utama yaitu karbon dioksida (CO2), metana (CH4), dan dinitrogen oksida (N2O), yang masing-masing mempunyai indeks potensi pemanasan global sebesar 1, 21, dan 310 (SAR, 2004). Selain sumber emisi, sektor ini sekaligus rosot penting GRK. Secara global, pertanian menyumbangkan sekitar 14 % dari total emisi, dimana 60% nya adalah N2O dan 40% nya adalah metana CH4, sedangkan secara nasional memberikan kontribusi sebesar 7% efek rumah kaca (Second Natcom, 2010). Emisi GRK dari sektor pertanian bersumber pada budidaya padi sawah, tanah pertanian, peternakan, pengelolaan limbah/kotoran ternak, dan pembakaran biomassa. Peningkatan emisi CH4 dari lahan sawah terutama disebabkan karena praktek budidaya pertanian yang masih menerapkan cara budidaya konvensional, selain peningkatan luas panen padi sawah untuk terpenuhinya ketahanan pangan. Target pembangunan pertanian nasional salah satunya adalah tercapainya dan tercukupinya kebutuhan pangan nasional seiring dengan laju pertumbuhan penduduk. Sektor pertanian di Indonesia mempunyai beberapa posisi penting, diantaranya sebagai tumpuan utama dalam penyediaan pangan bagi 245 juta penduduk Indonesia, penyedia 87% bahan baku industri kecil dan menengah, serta
48
49 penyumbang 15% Produk Domestik Bruto (PDB) dengan nilai devisa sekitar US $ 43 Milyar. Selain itu, sektor pertanian menyerap sekitar 33% tenaga kerja dan menjadi sumber utama pendapatan dari sekitar 70% rumah tangga pedesaan. Sumbangan dominan emisi CH4 dari lahan sawah pada skala nasional, ternyata juga terjadi pada skala kabupaten. Studi di Kabupaten Grobogan Propinsi Jawa Tengah dan Kabupaten Tanjung Jabung Timur Propinsi Jambi mendapatkan hasil bahwa emisi CH4 dari sumber ini juga dominan. Kedua kabupaten tersebut adalah kabupaten penghasil beras terbesar di propinsinya (BPS, 2010). Proyeksi atau perkiraan emisi total sektor pertanian di Kabupaten Tanjung Jabung Timur menunjukkan kenaikan yang sangat signifikan. Proyeksi yang disusun berdasarkan asumsi linearitas emisi terhadap waktu ini, berguna untuk penentuan target emisi yang harus dikurangi. Emisi GRK dari sumber antropogenik, akan selalu meningkat seiring dengan kenaikan jumlah penduduk. Hal ini tidak bisa dihindari, akan tetapi bisa diupayakan agar peningkatan tersebut tidak terjadi secara tajam. Hal ini tentu saja memerlukan usaha dan modal yang tidak kecil. Kemauan dan kerjasama berbagai pihak akan sangat menentukan. Upaya-upaya pengurangan laju kenaikan emisi ini adalah melalui kegiata-kegiatan yang terutama harus fokus pada penyumbang emisi terbesar, dalam hal ini yaitu lahan sawah. Hasil-hasil penelitian (Khalil dan Rasmussen, 1993; Setyanto et al, 2000; Wassman et al, 2000; Maljanen et al, 2001; Setyanto et al, 2005) menyebutkan bahwa pengelolaan lahan sawah yang ditanami padi adalah sebagai salah satu penyumbang terhadap emisi GRK dari sektor pertanian. Emisi GRK yang dominan pada pengelolaan lahan padi sawah adalah gas CH4, Sekitar 90% emisi CH4 dari lahan sawah, diemisikan oleh tanaman padi terutama pada kondisi lahan yang tergenang. Gas CH4 teremisikan dari dalam tanah dalam 2 cara yaitu melalui pembuluh aerenkima tanaman padi yang berfungsi sebagai cerobong dan melalui ebolusi atau gelembung air yang muncul di permukaan tanah. Kondisi reduktif dimana persediaan oksigen terbatas, juga sangat mempengaruhi terbentuknya gas CH4 dalam tanah. Lahan padi sawah dalam keadaan tergenang air secara terus menerus selama musim tanam tanpa ada pengeringan, akan menyebabkan emisi CH4 yang tinggi (Setyanto et al, 2000). Selain kondisi reduktif, beberapa penelitian juga menyebutkan bahwa emisi CH4 dipengaruhi juga oleh jenis varietas padi (Watanabe et al, 1995 dan Setyanto et al, 2005). Varietas padi yang berumur panjang, akan menghasilkan emisi kumulatif dalam 1 musim tanam yang tinggi, sementara varietas berumur genjah, cenderung menghasilkan emisi yang lebih rendah. Demikian juga untuk varietas dengan jumlah anakan yang banyak, akan tetapi tidak semuanya produktif, juga akan menghasilkan emisi yang lebih tinggi. Emisi CH4 dari pengelolaan padi sawah, pada tanah gambut selain dipengaruhi kondisi reduksi dan varietas padi, juga dipengaruhi oleh sifat fisik dan kimia tanah gambut itu sendiri. Pada penelitian skala laboratorium maupun lapang diperoleh hasil bahwa emisi rata-rata pengelolaan lahan padi sawah di tanah gambut, menghasilkan emisi CH4 sekitar 2x lipat lebih besar (Setyanto et al, 2002). Emisi CH4 yang ditimbulkan akan sangat dipengaruhi oleh dekomposisi bahan organik tersebut terutama dalam kondisi anaerob. Tanah gambut atau histosol dalam klasifikasi tanah menurut USDA (United States Department of
49
50 Agriculture) adalah jenis tanah dengan kandungan bahan organik yang sangat tinggi. Penelitian mengenai upaya pengurangan emisi CH4 dari proses budidaya padi sawah telah banyak dilakukan baik pada skala global maupun nasional. Penerapannya pada skala petani belum banyak dikaji, akan tetapi berbagai upaya pemerintah telah dilakukan terkait dengan upaya perbaikan praktek budidaya padi sawah untuk meningkatkan hasil padi sekaligus menurunkan emisi GRK. Praktekpraktek budidaya padi tersebut antara lain meminimalkan olah tanah, penerapan pengairan berselang pada system Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT), tanam benih langsung, penggantian urea prill dengan urea tablet, penggunaan bahan pembenah tanah (ameliorant) berupa kompos, pupuk kandang dan daun babadotan. Penerapan teknologi tersebut disesuaikan dengan kondisi ekosistem daerah, Sektor pertanian selain sebagai sumber emisi GRK, juga mempunyai potensi pengurangan emisi yang cukup besar dengan biaya yang sangat rendah (ADB, 1998; DNPI, 2009; FAO, 2010). Pendekatan MAC atau pendekatan dengan menggunakan perhitungan besarnya biaya tambahan yang diperlukan untuk menurunkan emisi sebesar 1 tCO2e merupakan salah satu pendekatan yang bisa digunakan untuk mengetahui efektivitas dari masing-masing teknologi mitigasi yang akan diterapkan. Hal ini sangat penting dalam upaya terkait kebijakan yang harus diterapkan oleh pemerintah. Penyusunan kurva biaya tambahan ini berdasarkan pada biaya riil yang berlaku di masyarakat, hal ini dimaksudkan untuk mengetahui efektivitas teknologi tersebut ditingkat pengguna dan juga untuk memperkirakan peluang penurunan emisi dari berbagai teknologi mitigasi. Kurva ini tidak bersifat statis, tapi sebaliknya sangat dinamis, artinya, apa yang ada dalam kurva tersebut, baik itu peluang penurunan emisi maupun biayanya, dapat berubah setiap waktu, tergantung pada hasil-hasil penelitian terbaru mengenai teknologi mitigasi yang sampai saat ini masih terus dikembangkan dan juga pada kondisi perekonomian masyarakat dan kebijakan yang berlaku. Prakiraan biaya tambahan penurunan emisi GRK pertanian berdasarkan pada biaya usahatani masyarakat, menghasilkan nominal yang relatif kecil dengan prakiraan penurunan emisi yang cukup besar. Teknologi mitigasi GRK sektor pertanian yang digunakan dalam perhitungan ini, selain dapat menurunkan emisi juga dapat meningkatkan hasil. Dengan demikian, peningkatan kebutuhan pangan masyarakat dapat terpenuhi. Sekali lagi, perhitungan biaya ini hanya berdasarkan pada perspektif masyarakat (belum memperhitungkan pajak, biaya bahan bakar, dll). Komitmen penurunan emisi GRK di Indonesia masih bersifat sukarela karena dalam skala global, negara berkembang belum mempunyai kewajiban untuk menurunkan emisi GRKnya, akan tetapi seiring laju pertumbuhan penduduk dari waktu ke waktu, emisi antropogenik yang ditimbulkan akan semakin meningkat. Hal ini bukan hanya terjadi di negara-negara maju, tapi juga di negaranegara berkembang. Perubahan iklim dan peningkatan emisi GRK bukan hanya tanggung jawab negara maju untuk meresponnya, melainkan seluruh dunia karena besar maupun kecil, setiap kegiatan manusia akan berkontribusi terhadap peningkatan emisi GRK di atmosfer Perubahan pola hidup kearah yang lebih baik dimulai dari hal-hal kecil, akan memberikan kontribusi pada upaya penurunan emisi GRK.
50
51
5 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Kegiatan inventarisasi GRK sektor pertanian, memerlukan masukan data aktivitas yang kompleks, sebagian data tersebut bahkan tidak tersimpan dengan baik di dinas terkait. Hal ini merupakan tantangan tersendiri dalam melakukan inventarisasi GRK untuk mendapatkan data yang dapat dipercaya. Data yang tidak tersedia di dinas terkait, dapat dikumpulkan dengan melakukan wawancara langsung ke lapang atau dengan para ahli (expert judgement). Sumber emisi utama di Kabupaten Grobogan dan Tanjung Jabung Timur adalah emisi CH4 dari pengelolaan lahan padi sawah (29 % dan 50% dari total emisi). Emisi total Kabupaten Grobogan sekitar 20% lebih tinggi dari Kabupaten Tanjung Jabung Timur karena perbedaan pada data aktivitas, meski demikian, proyeksi emisi Tanjung Jabung Timur sampai tahun 2020 dengan skenario bisnis seperti biasa, menunjukkan kenaikan yang lebih tajam dibandingkan Grobogan. Hal ini terutama disebabkan oleh kenaikan yang tajam pada sumber emisi yang berasal dari penggunaan pupuk urea terutama di areal perkebunan sawit. Modifikasi metode IPCC 2006 untuk pendugaan emisi N2O langsung dari tanah dikelola, bisa digunakan dalam hal tidak tersedianya data mengenai pemberian input N organik maupun anorganik pada lahan sawah. Hal ini untuk memudahkan dalam pengumpulan data aktivitas maupun perhitungannya. Pemilihan aksi mitigasi untuk penurunan emisi GRK, terutama harus difokuskan pada sumber-sumber emisi utama. Di Kabupaten Grobogan dan Tanjung Jabung Timur, sumber emisi utama adalah CH4 dari pengelolaan lahan padi sawah, karena itu penentuan aksi mitigasi, terutama difokuskan pada pengelolaan lahan padi sawah yang menghasilkan emisi CH4 lebih rendah, tapi tetap memprioritaskan kenaikan hasil padi. Introduksi teknologi baru, sudah barang tentu akan membutuhkan tambahan biaya. Beberapa teknologi budidaya padi yang dapat menurunkan emisi dari lahan padi sawah dengan tambahan biaya yang rendah dan potensi penurunan emisi besar di Grobogan diantaranya adalah penggunaan varietas padi rendah emisi dan penerapan PTT. Sementara di Tanjung Jabung Timur, penggunaan bahan ameliorant atau bahan pembenah tanah seperti kompos dan pupuk kandang serta penerapan teknologi tanpa olah tanah+tanam benih langsung. Saran Pelaksanaan kegiatan inventarisasi GRK yang sudah merupakan mandatori, hendaknya didukung dengan sistem basis data aktivitas yang baik. Hal ini bisa dimulai pada unit wilayah yang kecil (kabupaten) dengan melakukan penyimpanan rekaman data dan pengorganisasian yang baik. Kesulitan mengumpulkan data untuk beberapa periode waktu tertentu karena pergantian personil atau mutasi pemegang data, bisa diatasi dengan sistem pengarsipan data yang baik dan pengaturan kelembagaan.Ke depan, perhitungan biaya tambahan untuk penurunan emisi (MAC) yang lebih detail dengan memasukkan komponen biaya social, pajak serta biaya bahan bakar dalam usahatani hendaknya dilakukan untuk memberikan gambaran yang lebih nyata terhadap abatement cost.
51
52 Tingkat adopsi teknologi mitigasi oleh petani, akan sangat dipengaruhi oleh kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah setempat. Oleh karena itu, introduksi sebuah teknologi mitigasi hendaknya juga memberikan keuntungan ekonomi pada pengguna.
52
53
DAFTAR PUSTAKA Aulakh MS, Wassmann R, Bueno C, Rennenberg H. 2001. Impact of root exudates of different cultivars and plant development stages of rice (Oryza sativa L.) on methane production in a paddy soil. Plant Soil, 230 pp. 77-86. Doi: 10.1023/A:1004817212321 Aulakh MS, Wassmann R, Rennenberg H. 2002. Methane transport capacity of twenty-two rice cultivars from five major Asian rice-growing countries. Journal of Agricultural, Ecosystem & Environment, 91 pp. 59-71. PII: S 0167/8809(01)00260-2 [ADB] Asian Development Bank. 1998. Asia Least-cost Greenhouse Gas Abatement Strategy. Philippines. Asian Development Bank Publisher. Badan Litbang Pertanian. 2011. Pedoman umum mitigasi perubahan iklim Sektor Pertanian. Jakarta (ID). Kementerian Pertanian. Bates J. 2001. Economics evaluation of emission reductions of nitrous oxides and methane in agriculture in the EU: bottom up analysis. In : Contribution to a study for DG Environment. European Commission by Ecofys Energy and Environmnent and National Technical University of Athens. Beach RH, DeAngelo BJ, Rose S, Li C, Salas W, DelGrosso SJ. 2008. Mitigation potential and cost for global agricultural greenhouse gas emission. Journal of Agricultural Economics 38 (2), pp . 109-115. Doi: 10.1111/j.1574-0862.2008.00286.x Boer R. 2009. Sekilas Status Komunikasi Nasional Indonesia untuk Perubahan Iklim dipresentasikan pada Enabling Activities for the Preparation of Indonesia’s SNC, Jakarta 21 April 2009. Kementrian Lingkungan Hidup bekerjasama dengan UNDP Indonesia. Bouwman AF. 1996. Direct emission of nitrous oxide from agricultural soils. Nutrient Cycling in Agroecosystems 46, pp. 53-70. Doi: 10.1007/BF00210224 [BPS] Badan Pusat Statistik. 2010. Propinsi Jambi Dalam Angka. Jambi (ID) :BPS [BPS] Badan Pusat Statistik. 2011. Propinsi Jawa Tengah Dalam Angka. Jawa Tengah (ID): BPS [BPS] Badan Pusat Statistik. 2011. Grobogan Dalam Angka. Grobogan (ID) : BPS [BPS] Badan Pusat Statistik. 2011. Tanjung Jabung Timur Dalam Angka. Tanjung Jabung Timur (ID) : BPS Canadell JG, Corinne L, Michael R, Christopher B, Erik T, Philippe C,Thomas JC, Nathan PG, Houghton RA, Gregg M. 2007. Contributions to accelerating atmospheric CO2 growth from economic activity, carbon intensity, and efficiency of natural sinks. PNAS. Vol 104 N0 47, pp. 1886618870 Cao M, Dent JB, Heal OW. 1995. Methane emissions from China’s paddyland. Journal of Agriculture, Ecosystems and Environment 55 (2): 129–137. SSDI 0167-8809 (95) 00613-3 SSDI0167-8809(95)00613-3 SSDI0167-8809(95)00613-3SSDI01678809(95)00613-3
Chadwick DR, Sneath RW, Phillips VR, Pain BF. 1999. A UK inventory of nitrous oxide emissions from farmed livestock. Atmospheric Environment 33 : 3345-3354. Doi: 10.1016/S1352-2310 (98) 00379-3 53
54 Chen GQ, BoZhang, 2010. Greenhouse gas emissions in China 2007: Inventory and input–output analysis. Journal of Energy Policy 38 : 6180-6193. Doi: 10.1016/j.enpol.2010.06.004 DeAngelo BJ, de la Chesnaye FC, Beach RH, Sommer A, Murray BC. 2006. Methane and nitrous oxide mitigation in agriculture. The Energy Journal, Special Issue, pp 89-108. DeCara S, Houze M, Jayet PA. 2011. Marginal abatement cost of greenhouse gas emission from European agriculture, cost effectiveness, and the EU nonETS burden sharing agreement. Ecological Economics 70 : 1680-1690. Doi: 10.1016/j.ecolecon.2011.05.007 [DNPI] Dewan Nasional Perubahan Iklim. 2009. Kurva Biaya Pengurangan Emisi Gas Rumah Kaca Indonesia. Jakarta. DNPI. [FAO] Food & Agricultural Organization. 2010. Using marginal Abatement Cost Curves to realize the economics appraisal of climate smart agriculture policy options, The Ex Ante Carbon-balance Tool. EasyPol Module (http://www.fao.org/docs/up/easypol/780/ex-act-tech-guideline 101en.pdf) akses 26 Juli 2013. Freibauer A. 2003. Regionalised inventory of biogenic greenhouse gas emissions from European agriculture. Europ. J. Agronomy 19 : 135-160 Glenn AJ, Tenuta M, Amiro BD, Mass SE, Wagner-Riddle C. 2012. Nitrouse oxide emissions from an annual crop rotation on poorly drained soil on the Canadian Prairies. Journal of Agricultural and Forest Meteorology, 166167 pp. 41-49. Doi:10.1016/j.agrformet.2012.06.015 [IEA] International Energy Agency. 2009. Methodology for Calculating Electricity and Heat Marginal Abatement Cost Curves (MACC). World Energy Outlook. International Energy Agency, Paris. [Second Natcom] Indonesia Second National Communication Under The United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC). 2010. Present and Future Generation. Kementrian Lingkungan Hidup. Indonesia Climate Change Sectoral Roadmap. 2011. Sektor Pertanian. Bappenas. [IPCC] Inter-governmental Panel on Climate Change. 1996. Second Assesment Report. Intergovernmental Panel on climate Change, Geneva. [IPCC] Inter-governmental Panel on Climate Change. 2006. IPCC Guidelines for National Greenhouse Gas Inventories. Prepared by The National Greenhouse Gas Inventories Programme, Eggleton HS, Buendia L, Miwa K, Ngara T. and Tanabe K. (eds.). Penerbit IGES Jepang. [IPCC] Inter-governmental Panel on Climate Change. Climate Change 2007: The Physical Science Basis. Historical Overview of Climate Change Siences. Intergovernmental Panel on Climate Change, Geneva . Climate Change 2007: The Physical Science Basis. Changes in Atmospheric Constituents and in Rradiative Forcing. Intergovernmental Panel on Climate Change, Geneva. Jones SK, Rees RM, Kosmas D, Skiba UM. 2007. Influence of organic and mineral N fertilizer on N2O fluxes from a temperate grassland. Journal of Agriculture, Ecosystem and Environment 121: 74-73. Doi : 10.1016/j.agee.2006.12.006 Khalil MAK, Rasmussen RA. 1993. Decreasing trend of methane: Unpredictability of future concentrations. Chemosphere 26: 803–814
54
55 Konsorsium PI report 2008-2009. Identifikasi dan Pengujian Varietas Padi Rendah Emisi Gas Rumah Kaca. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Jakarta Las I. 2007. Antisipasi Perubahan Iklim dalam Tabloid Sinar Tani edisi 14 – 20 November 2007. Levy PE, Mobbs DC, Jones SK, Milne R, Campbell C, Sutton M A. 2007. Simulation of Fluxes of Greenhouse Gases from European Grasslands Using the DNDC Model. Journal of Agriculture, Ecosystems and Environment 121 : 186 – 192. Doi : 10.1016/j.agee.2006.12.019. Laporan Tahunan Balingtan 2003. Balai Penelitian Lingkungan Pertanian. Pati (ID): Balingtan. Jawa Tengah Laporan Tahunan Balingtan 2004. Balai Penelitian Lingkungan Pertanian. Pati (ID): Balingtan. Jawa Tengah Laporan Tahunan Balingtan 2005. Balai Penelitian Lingkungan Pertanian. Pati (ID): Balingtan. Jawa Tengah Laporan Tahunan Balingtan 2008. Balai Penelitian Lingkungan Pertanian. Pati (ID): Balingtan. Jawa Tengah Laporan Tahunan Balingtan 2009. Balai Penelitian Lingkungan Pertanian. Pati (ID): Balingtan. Jawa Tengah Laporan Tahunan Balingtan 2010. Balai Penelitian Lingkungan Pertanian. Pati (ID): Balingtan. Jawa Tengah Laporan Tahunan Balingtan 2011. Balai Penelitian Lingkungan Pertanian. Pati (ID): Balingtan. Jawa Tengah Liang L, Lal R, Zhangliu D, Wu W, Meng F. 2013. Estimation of nitrouse oxide and methane emission from livestock of urban agriculture in Beijing. Journal of Agriculture, Ecosystem and Environment., 170: 28-35. Doi: 10.1016/j.agee.2013.02.005 Mac Leod M, Moran D, Wall E, Eory V, McVittie A, Barnes A, Rees R, Topp C, Pajot G, Matthews R, Smith P, Moxey A. 2010. Developing greenhouse gas marginal abatement cost curve for agricultural emission from crops and soil in the UK. Journal of Agricultural System 103 : 198-209. Doi:10.1016/j.agsy.2010.01.002. Maljanen M, Hytonen J, Martikainen PJ. 2001. Fluxes of N2O, CH4 and CO2 on afforested boreal agricultural soils. Plant Soil 231 : 113–121. Doi : 10.1023/A:1010 3729 148 05 Mario, MD. 2002. Peningkatan Produktivitas dan Stabilitas Tanah Gambut dengan Pemberian Tanah Mineral yang Diperkaya oleh Bahan Berkadar Besi Tinggi [Disertasi]. Bogor (ID) : Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. McKinsey & Company, 2008. Pathways to a low-carbon economy – global greenhouse gases (GHG) abatement costs curve. Version 1 of The Global Greenhouse Gas Abatement Costs Curve. McKinsey & Company, 2009. Pathways to a low-carbon economy – global greenhouse gases (GHG) abatement costs curve. Version 2 of The Global Greenhouse Gas Abatement Costs Curve (http://globalghgcostcurve.bymckinsey.com/) akses 4 september 2013.
55
56 Meijede A, Garcia-Torres L, Arce A, Vallejo A. 2009. Nitrogen oxide emissions affected by organic fertilization in a non-irrigated Mediterranean barley field. Journal of Agriculture, Ecosystem and Environment, 132: 106-115. Doi:10.1016/j.agee.2009.03.005 Merino P, Ramirez-Fanlo E, Arriaga H, del Hierro O, Artetxe A, Viguria M. 2011. Regional inventory of methane and nitrouse oxide emission from ruminant livestock in the Basque Country. Journal of Animal Feed Science and Technology 166 : 628-640. Doi:10.1016/j.anfeedsci.2011.04.081 Moran D, MacLeod M, Wall E, Eory V, McVittie A, Barnes A, Rees R, Topp C, Pajot G, Matthews R, Smith P, Moxey A. 2010. Marginal abatement costs curves for UK agricultural greenhouse gas emissions. Journal of Agricultural Economics. Doi: 10.1111/j.1477-9552.2010.00268.x. . 2011. Developing carbon budgets for UK agriculture, land use, land-use change and forestry out to 2022. Climate Change 105 (34) : 43-49. Doi :10.1007/s10584-010-9898-2 Mosier A, Kroeze C, Nevison C, Oenema O, Seitzinger S, van Cleemput O .1999. An overview of the revised 1996 IPCC guidelines for national greenhouse gas inventory methodology for nitrous oxide from agriculture. Environmental Science & Policy 2(3):325–333. PII : S1462-9011(99) 000 22-2. Mosier AR, Halvorson AD, Reule CA, Liu XJ . 2006. Net global warming potential and greenhouse gas intensity in irrigated cropping systems in Northeastern Colorado. J Environmental Quality 35(4):1584–1598. Doi: 10.2134/jeq2005.0232. Neufeldt N, Scha¨fer M, Angenendt E, Li C , Kaltschmitt M, Zeddies J. 2006. Disaggregated greenhouse gas emission inventories from agriculture via a coupled economic-ecosystem model. Journal of Agriculture, Ecosystems and Environment 112: 233-240.doi:10.1016/j.agee.2007.07.008 Pearson P, Palmer M. 2000. Atmospheric carbon dioxide concentrations over the past 60 million years. Nature 406: 695-698 [Perpres 61] Peraturan Presiden. 2011. Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (GRK) Nasional. Pemerintah Indonesia. [Perpres 71] Peraturan Presiden. 2011. Penyelenggaraan Inventarisasi GRK oleh Pemerintah Pusat, Provinsi dan Kab/Kota. Pemerintah Indonesia Petit, J.R., Jouzel J., Raynaud D., Barkov N.I., Barnola J.M., Bender M., Chappellaz J., Davisk M., Delaygue G., 1999. Climate and atmospheric history of the past 420.000 years from the Vostok ice core, Antartica. Nature 299 : 429-431 Salampak, 1999. Peningkatan Produktivitas Tanah Gambut yang Disawahkan dengan Pemberian Bahan Amelioran Tanah Mineral Berkadar Besi Tinggi [Disertasi]. Bogor (ID) Program Pascasarjana Institute Pertanian Bogor. Sathaye, Jayant A, Meyers S. 1995. Greenhouse Gas Mitigation: A Guideline. [http://ies.lbl.gov/iespubs/ggma/ghgcontents.html] Setyanto P, Makarim AK, Fagi AM, Wassmann R, Buendia LV. 2000. Crop management affecting methane emission from irrigated and rainfed rice in central Java. Journal of Nutrient Cycling Ecosystem. 58 : 85-93
56
57 Setyanto P, Rosenani AB, Fauziah CI. 2002. Influence of soil properties on CH4 emission from rice field. Indonesian Journal of Agricultural Science. IAARRD. MoA Indonesia Setyanto P, Rosenani AB, Boer R, Fauziah CI, Khanif MJ. 2005. The Effect of Rice Cultivars on Methane Emission From Irrigated Rice Field. Indonesian Journal of Agricultural Science. IAARRD. MoA Indonesia Setyanto P, Ariani M, Makarim AK. 2010. Reduksi emisi metana melalui varietas padi. Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Inovasi Sumberdaya Lahan Pertanian. 2010. Buku I. BBSDLP hal. 231-245. ISBN 978-9798039-24-6 Setyanto P, Kartikawati R. 2011. Integrated rice crop management for low emitance of methane. Indonesian Journal of Agriculture Sciences 4 (1): 816. Siegenthaler U, Stocker TF, Monnin E, Luthi D, Schwander J, Stauffer B, Raynaud D, Barnola JM, Fische H, Masson-Delmonte V. 2005. Stable carbon cycle-climate relationship during the Late Pleistocene. Science 310: 1313-131 Smith P, Martino D, Cai Z, Gwary D, Janzen H, Kumar P, McCarl B, Ogle S, O’mara F, Rice C, Scholes B, Sirotenko O, Howden M, McAllister T, Pan G, Romanenkov V, Uwe Scneider U, Towprayoon S. 2006. Policy and technological constraints to implementation of greenhouse gas mitigation options in agriculture. Agriculture, Ecosystems and Environment, 118: 6-28. Doi: 10.1016/j.agee.2006.06.006 .2008. Greenhouse gas mitigation in agriculture. Philosophical Transactions of the Royal Society. Biological Sciences 363: 789-813. Doi: 10.1098/rstb.2007.2184 [SNI ISO 14064] Standart Nasional Indonesia. 2009. Gas Rumah Kaca-Bagian 1 :Spesifikasi dengan Panduan pada Level Organisasi untuk Kuantifikasi dan Pelaporan Emisi dan Penghilangan Gas Rumah Kaca. Badan Standarisasi Nasional. Jakarta. Subiksa IGM, Nugroho K, Sholeh M, Widjaja Adhi IPG. 1997. The effect of ameliorants on the chemical properties and productivity of peat soil. In: Rieley and Page (Eds). pp:321-326. Biodiversity and Sustainability of Tropical Peatlands.Samara Publishing Limited, UK Susilawati HL, Ariani M, Kartikawati R, Setyanto P. 2011. Ameliorasi Tanah Gambut Meningkatkan Produksi Padi dan Menekan Emisi Gas Rumah Kaca.Sinar Tani Edisi 6-12 Maret 2011 No 3400 Tahun XLI. [USEPA] Unied Nation Environmental Protection Agency. 2005. Greenhouse gas mitigation potential in US forestry and agriculture. EPA 430-R-05-006. Washington, DC : US Environmental Protection Agency. [USDA] United Nation Department of Agriculture., 2011. U.S. Agriculture and Forestry Greenhouse Gas Inventory: 1990-2008, Climate Change Program Office, Office of the Chief Economist, U.S. Department of Agriculture. Technical Bulletin No. 1930. 159 pp. June, 2011. Verge XPC, Kimpe CD, Desjardins RL. 2007. Agricultural Production, Greenhouse Gas Emissions and Mitigation Potential. Agricultural and Forest Meteorology. 142 : 255-269. doi:10.1016/j.agrformet.2006.06.011
57
58 Vermont B, DeCara S. 2010. How costly is mitigation of non-CO2 greenhouse gas emission from agriculture? A meta analyisis. Ecological Economics 69 (7) :1373-1386.doi:10.1016/j.ecolecon.2010.02.020 Wassmann R, Neue HU, Lantin RS, Buendia LV, Rennenberg H. 2000. Characterization of methane emissions from rice fields in Asia. I. Comparison among field sites in five countries. Nutr. Cycling Agroecosyst. 58:1-12. Watanabe A, Kajiwara M, Tashiro T, Kimura M. 1995. Influence of rice cultivar on methane emission from paddy fields. Plant Soil, 176: 51-56. Doi:10.1007/BF00017674 Weiske A. 2005. Survey of technical and management-based mitigation measures in agriculture. Impact of environmental agreements on the common agricultural policy, Institute of European environmental policy. London. Weiske A. 2006. Selection and specification of technical and management-based measures in agricultural production for modelling. Impact of environmental agreements on the common agricultural policy, Institute of European environmental policy. London. Weiss F, Leip A. 2012. Greenhouse gas emissions from the EU livestock sector. Journal of Agriculture, Ecosystems and Environment, 149: 124-134. doi:10.1016/j.agee.2011.12.015
58
59
LAMPIRAN Lampiran 1. Hasil perhitungan status emisi dengan IPCC 2006 worksheet Emisi N2O langsung dari tanah yang dikelola Kabupaten Grobogan tahun 2006 Sector Category Category code Sheet Equation
Agriculture, Forestry and Other Land Use Direct N2O Emissions from Managed Soils (2006) 3C4 1 of 2 Equation 11.1 Annual amount of N applied Emission factor for N 2O emissions from N inputs
Anthropogenic N input type
-1 (kg N yr )
-1 [kg N2O-N (kg N input) ]
-1 (kg N 2O-N yr )
Table 11.1
N 2O inputs = (F * EF)*44/28
EF
N2O inputs
F
Anthropogenic N input types to estimate annual direct N 2O-N emissions produced from managed soils
Anthropogenic N input types to estimate annual direct N 2O-N emissions produced from flooded rice
Annual direct N 2O-N emissions produced from managed soils
synthetic fertilizers
FSN: N in synthetic fertilizers
29,606,209
0.01
465,240
animal manure, compost, sewage sludge
FON: N in animal manure, compost, sewage sludge, other
2,140,000
0.01
33,629
crop residues
FCR: N in crop residues EF1
FSOM : N in mineral soils that is mineralised, in association with changes to land use loss of soil C from or management soil organic matter as a result of changes to land use or management synthetic fertilizers
FSN: N in synthetic fertilizers
11,152,815
0.003
52,578
animal manure, compost, sewage sludge
FON: N in animal manure, compost, sewage sludge, other
500,000
0.003
2,357
crop residues
FCR: N in crop residues
FSOM : N in mineral soils that is mineralised, in association with changes to land use loss of soil C from or management soil organic matter as a result of changes to land use or management Total
EF1FR
553,804
59
60 Kabupaten Grobogan tahun 2007 Sector Category Category code Sheet Equation
Agriculture, Forestry and Other Land Use Direct N2O Emissions from Managed Soils (2007) 3C4 1 of 2 Equation 11.1 Annual amount of N applied Emission factor for N 2O emissions from N inputs
Anthropogenic N input type
-1
-1
(kg N yr )
[kg N2O-N (kg N input) ]
(kg N2O-N yr-1)
Table 11.1
N2O inputs = (F * EF)*44/28
EF
N2O inputs
F
Anthropogenic N input types to estimate annual direct N 2O-N emissions produced from managed soils
Anthropogenic N input types to estimate annual direct N 2O-N emissions produced from flooded rice
Annual direct N 2O-N emissions produced from managed soils
synthetic fertilizers
FSN: N in synthetic fertilizers
29,167,606
0.01
458,348
animal manure, compost, sewage sludge
FON: N in animal manure, compost, sewage sludge, other
5,812,000
0.01
91,331
crop residues
FCR: N in crop residues EF1
FSOM: N in mineral soils that is mineralised, in association with changes to land use loss of soil C from or management soil organic matter as a result of changes to land use or management synthetic fertilizers
FSN: N in synthetic fertilizers
11,383,965
0.003
53,667
animal manure, compost, sewage sludge
FON: N in animal manure, compost, sewage sludge, other
510,600
0.003
2,407
crop residues
FCR: N in crop residues
FSOM: N in mineral soils that is mineralised, in association with changes to land use loss of soil C from or management soil organic matter as a result of changes to land use or management Total
EF1FR
605,754
60
61 Kabupaten Grobogan tahun 2008 Sector Category Category code Sheet Equation
Agriculture, Forestry and Other Land Use Direct N2O Emissions from Managed Soils (2008) 3C4 1 of 2 Equation 11.1 Annual amount of N applied Emission factor for N 2O emissions from N inputs
Anthropogenic N input type
-1
-1
(kg N yr )
Anthropogenic N input types to estimate annual direct N 2O-N emissions produced from flooded rice
-1
[kg N2O-N (kg N input) ]
(kg N2O-N yr )
Table 11.1
N2O inputs = (F * EF)*44/28
EF
N2O inputs
F
Anthropogenic N input types to estimate annual direct N 2O-N emissions produced from managed soils
Annual direct N 2O-N emissions produced from managed soils
synthetic fertilizers
FSN: N in synthetic fertilizers
29,291,477
0.01
460,295
animal manure, compost, sewage sludge
FON: N in animal manure, compost, sewage sludge, other
10,678,000
0.01
167,797
crop residues
FCR: N in crop residues EF1
FSOM: N in mineral soils that is mineralised, in association with changes to land use loss of soil C from or management soil organic matter as a result of changes to land use or management synthetic fertilizers
FSN: N in synthetic fertilizers
11,728,850
0.003
55,293
animal manure, compost, sewage sludge
FON: N in animal manure, compost, sewage sludge, other
1,235,000
0.003
5,822
crop residues
FCR: N in crop residues
FSOM: N in mineral soils that is mineralised, in association with changes to land use loss of soil C from or management soil organic matter as a result of changes to land use or management Total
EF1FR
689,207
61
62 Kabupaten Grobogan tahun 2009 Sector Category Category code Sheet Equation
Agriculture, Forestry and Other Land Use Direct N2O Emissions from Managed Soils (2009) 3C4 1 of 2 Equation 11.1 Annual amount of N applied Emission factor for N 2O emissions from N inputs
Anthropogenic N input type
-1
(kg N yr-1)
[kg N2O-N (kg N input) ]
(kg N2O-N yr-1)
Table 11.1
N2O inputs = (F * EF)*44/28
EF
N2O inputs
F
Anthropogenic N input types to estimate annual direct N 2O-N emissions produced from managed soils
Anthropogenic N input types to estimate annual direct N2O-N emissions produced from flooded rice
Annual direct N 2O-N emissions produced from managed soils
synthetic fertilizers
FSN: N in synthetic fertilizers
31,489,600
0.01
494,837
animal manure, compost, sewage sludge
FON: N in animal manure, compost, sewage sludge, other
3,418,000
0.01
53,711
crop residues
FCR: N in crop residues EF1
FSOM: N in mineral soils that is mineralised, in association with changes to land use loss of soil C from or management soil organic matter as a result of changes to land use or management synthetic fertilizers
FSN: N in synthetic fertilizers
12,444,955
0.003
58,669
animal manure, compost, sewage sludge
FON: N in animal manure, compost, sewage sludge, other
1,108,400
0.003
5,225
crop residues
FCR: N in crop residues
FSOM: N in mineral soils that is mineralised, in association with changes to land use loss of soil C from or management soil organic matter as a result of changes to land use or management Total
EF1FR
612,442
62
63 Kabupaten Grobogan tahun 2010 Sector Category Category code Sheet Equation
Agriculture, Forestry and Other Land Use Direct N2O Emissions from Managed Soils (2010) 3C4 1 of 2 Equation 11.1 Annual amount of N applied Emission factor for N2O emissions from Annual direct N2ON inputs N emissions produced from managed soils
Anthropogenic N input type
(kg N yr-1)
[kg N2O-N (kg N input)-1]
N2O inputs = (F * EF)*44/28 N2O inputs
Table 11.1 F F : N in synthetic synthetic fertilizers SN fertilizers
Anthropogenic N input types to estimate annual direct N2O-N emissions produced from managed soils
Anthropogenic N input types to estimate annual direct N2O-N emissions produced from flooded rice
(kg N2O-N yr-1)
EF 30,635,478
0.01
481,415
1,972,000
0.01
30,989
animal manure, compost, sewage sludge
FON : N in animal manure, compost, sewage sludge, other
crop residues
FCR : N in crop residues
changes to land use or management
FSOM: N in mineral soils that is mineralised, in association with loss of soil C from soil organic matter as a result of changes to land use or management
synthetic fertilizers
FSN : N in synthetic fertilizers
12,913,580
0.003
60,878
animal manure, compost, sewage sludge
FON : N in animal manure, compost, sewage sludge, other
1,726,600
0.003
8,140
crop residues
FCR : N in crop residues
changes to land use or management
FSOM: N in mineral soils that is mineralised, in association with loss of soil C from soil organic matter as a result of changes to land use or management
Total
EF1
EF1FR
581,421
63
64 Kabupaten Grobogan tahun 2011 Sector Category Category code Sheet Equation
Agriculture, Forestry and Other Land Use Direct N2O Emissions from Managed Soils (2011) 3C4 1 of 2 Equation 11.1 Annual amount of N applied
Emission factor for N 2O emissions from N inputs
-1 (kg N yr )
[kg N2O-N (kg N input) ]
-1 (kg N2O-N yr )
Table 11.1
N2O inputs = (F * EF)*44/28
EF
N2O inputs
Anthropogenic N input type
-1
F
Anthropogenic N input types to estimate annual direct N2O-N emissions produced from managed soils
Anthropogenic N input types to estimate annual direct N2O-N emissions produced from flooded rice
Annual direct N 2O-N emissions produced from managed soils
synthetic fertilizers
FSN: N in synthetic fertilizers
28,375,121
0.01
445,895
animal manure, compost, sewage sludge
FON: N in animal manure, compost, sewage sludge, other
2,424,000
0.01
38,091
crop residues
FCR: N in crop residues EF1
FSOM: N in mineral soils that is mineralised, in association with changes to land use loss of soil C from or management soil organic matter as a result of changes to land use or management synthetic fertilizers
FSN: N in synthetic fertilizers
13,444,075
0.003
63,379
animal manure, compost, sewage sludge
FON: N in animal manure, compost, sewage sludge, other
3,183,400
0.003
15,007
crop residues
FCR: N in crop residues
FSOM: N in mineral soils that is mineralised, in association with changes to land use loss of soil C from or management soil organic matter as a result of changes to land use or management Total
EF1FR
562,373
64
65 Emisi N2O langsung dari tanah yang dikelola Kabupaten Tanjung Jabung Timur tahun 2006 Sector Category Category code Sheet Equation
Agriculture, Forestry and Other Land Use Direct N2O Emissions from Managed Soils (2006) 3C4 1 of 2 Equation 11.1 Annual amount of N applied Emission factor for N 2O emissions from N inputs
Anthropogenic N input type
-1
-1
(kg N yr )
[kg N2O-N (kg N input) ]
-1 (kg N2O-N yr )
Table 11.1
N2O inputs = (F * EF)*44/28
EF
N2O inputs
F
Anthropogenic N input types to estimate annual direct N 2O-N emissions produced from managed soils
Anthropogenic N input types to estimate annual direct N 2O-N emissions produced from flooded rice
Annual direct N 2O-N emissions produced from managed soils
synthetic fertilizers
FSN: N in synthetic fertilizers
24,438,643
0.01
384,036
animal manure, compost, sewage sludge
FON: N in animal manure, compost, sewage sludge, other
75,200
0.01
1,182
crop residues
FCR: N in crop residues
0.003
17,326
0.003
0
EF1
FSOM: N in mineral soils that is mineralised, in association with changes to land use loss of soil C from or management soil organic matter as a result of changes to land use or management synthetic fertilizers
FSN: N in synthetic fertilizers
animal manure, compost, sewage sludge
FON: N in animal manure, compost, sewage sludge, other
crop residues
FCR: N in crop residues
FSOM: N in mineral soils that is mineralised, in association with changes to land use loss of soil C from or management soil organic matter as a result of changes to land use or management Total
3,675,285
EF1FR
402,544
65
66
Kabupaten Tanjung Jabung Timur tahun 2007 Sector Category Category code Sheet Equation
Agriculture, Forestry and Other Land Use Direct N2O Emissions from Managed Soils 3C4 1 of 2 Equation 11.1 Annual amount of N applied
Emission factor for N 2O emissions from N inputs
Annual direct N 2O-N emissions produced from managed soils
(kg N yr-1)
[kg N2O-N (kg N input)-1]
(kg N2O-N yr-1)
Table 11.1
N2O inputs = (F * EF)*44/28
EF
N2O inputs
Anthropogenic N input type
F
Anthropogenic N input types to estimate annual direct N2O-N emissions produced from managed soils
Anthropogenic N input types to estimate annual direct N2O-N emissions produced from flooded rice
synthetic fertilizers
FSN: N in synthetic fertilizers
28.425.302
0,01
446.683
animal manure, compost, sewage sludge
FON: N in animal manure, compost, sewage sludge, other
82.400
0,01
1.295
crop residues
FCR: N in crop residues
FSOM: N in mineral soils that is mineralised, in association with changes to land use loss of soil C from or management soil organic matter as a result of changes to land use or management
EF1
synthetic fertilizers
FSN: N in synthetic fertilizers
0,003
10.144
animal manure, compost, sewage sludge
FON: N in animal manure, compost, sewage sludge, other
0,003
0
crop residues
FCR: N in crop residues
FSOM: N in mineral soils that is mineralised, in association with changes to land use loss of soil C from or management soil organic matter as a result of changes to land use or management Total
EF1FR
458.122
66
67 Kabupaten Tanjung Jabung Timur tahun 2008 Sector Category Category code Sheet Equation
Agriculture, Forestry and Other Land Use Direct N2O Emissions from Managed Soils 3C4 1 of 2 Equation 11.1 Annual amount of N applied
Emission factor for N 2O emissions from N inputs
(kg N yr-1)
[kg N2O-N (kg N input) ]
-1 (kg N2O-N yr )
Table 11.1
N2O inputs = (F * EF)*44/28
EF
N2O inputs
Anthropogenic N input type
-1
F
Anthropogenic N input types to estimate annual direct N2O-N emissions produced from managed soils
Anthropogenic N input types to estimate annual direct N2O-N emissions produced from flooded rice
Annual direct N 2O-N emissions produced from managed soils
synthetic fertilizers
FSN: N in synthetic fertilizers
27.385.327
0,01
430.341
animal manure, compost, sewage sludge
FON: N in animal manure, compost, sewage sludge, other
80.000
0,01
1.257
crop residues
FCR: N in crop residues
FSOM: N in mineral soils that is mineralised, in association with changes to land use loss of soil C from or management soil organic matter as a result of changes to land use or management
EF1
synthetic fertilizers
FSN: N in synthetic fertilizers
0,003
10.036
animal manure, compost, sewage sludge
FON: N in animal manure, compost, sewage sludge, other
0,003
0
crop residues
FCR: N in crop residues
FSOM: N in mineral soils that is mineralised, in association with changes to land use loss of soil C from or management soil organic matter as a result of changes to land use or management Total
EF1FR
441.634
67
68 Kabupaten Tanjung Jabung Timur tahun 2009 Sector Category Category code Sheet
Agriculture, Forestry and Other Land Use Direct N2O Emissions from Managed Soils 3C4 1 of 2
Equation
Equation 11.1 Annual amount of N applied
Emission factor for N 2O emissions from N inputs
(kg N yr-1)
[kg N2O-N (kg N input) ]
-1 (kg N2O-N yr )
Table 11.1
N2O inputs = (F * EF)*44/28
EF
N2O inputs
Anthropogenic N input type
-1
F
Anthropogenic N input types to estimate annual direct N2O-N emissions produced from managed soils
Anthropogenic N input types to estimate annual direct N2O-N emissions produced from flooded rice
Annual direct N 2O-N emissions produced from managed soils
synthetic fertilizers
FSN: N in synthetic fertilizers
33.853.293
0,01
531.980
animal manure, compost, sewage sludge
FON: N in animal manure, compost, sewage sludge, other
115.200
0,01
1.810
crop residues
FCR: N in crop residues
FSOM: N in mineral soils that is mineralised, in association with changes to land use loss of soil C from or management soil organic matter as a result of changes to land use or management
EF1
synthetic fertilizers
FSN: N in synthetic fertilizers
0,003
9.699
animal manure, compost, sewage sludge
FON: N in animal manure, compost, sewage sludge, other
0,003
0
crop residues
FCR: N in crop residues
FSOM: N in mineral soils that is mineralised, in association with changes to land use loss of soil C from or management soil organic matter as a result of changes to land use or management Total
EF1FR
543.489
68
69 Kabupaten Tanjung Jabung Timur tahun 2010 Sector Category Category code Sheet Equation
Agriculture, Forestry and Other Land Use Direct N2O Emissions from Managed Soils 3C4 1 of 2 Equation 11.1 Annual amount of N applied
Emission factor for N 2O emissions from N inputs
(kg N yr-1)
[kg N2O-N (kg N input) ]
-1 (kg N2O-N yr )
Table 11.1
N2O inputs = (F * EF)*44/28
EF
N2O inputs
Anthropogenic N input type
-1
F
Anthropogenic N input types to estimate annual direct N2O-N emissions produced from managed soils
Anthropogenic N input types to estimate annual direct N2O-N emissions produced from flooded rice
Annual direct N 2O-N emissions produced from managed soils
synthetic fertilizers
FSN: N in synthetic fertilizers
36.773.568
0,01
577.870
animal manure, compost, sewage sludge
FON: N in animal manure, compost, sewage sludge, other
122.000
0,01
1.917
crop residues
FCR: N in crop residues
FSOM: N in mineral soils that is mineralised, in association with changes to land use loss of soil C from or management soil organic matter as a result of changes to land use or management
EF1
synthetic fertilizers
FSN: N in synthetic fertilizers
0,003
8.894
animal manure, compost, sewage sludge
FON: N in animal manure, compost, sewage sludge, other
0,003
0
crop residues
FCR: N in crop residues
FSOM: N in mineral soils that is mineralised, in association with changes to land use loss of soil C from or management soil organic matter as a result of changes to land use or management Total
EF1FR
588.682
69
70 Kabupaten Tanjung Jabung Timur tahun 2011 Sector Category Category code Sheet
Agriculture, Forestry and Other Land Use Direct N2O Emissions from Managed Soils 3C4 1 of 2
Equation
Equation 11.1 Annual amount of N applied
Emission factor for N 2O emissions from N inputs
(kg N yr-1)
[kg N2O-N (kg N input) ]
-1 (kg N2O-N yr )
Table 11.1
N2O inputs = (F * EF)*44/28
EF
N2O inputs
Anthropogenic N input type
-1
F
Anthropogenic N input types to estimate annual direct N2O-N emissions produced from managed soils
Anthropogenic N input types to estimate annual direct N2O-N emissions produced from flooded rice
Annual direct N 2O-N emissions produced from managed soils
synthetic fertilizers
FSN: N in synthetic fertilizers
42.382.413
0,01
666.009
animal manure, compost, sewage sludge
FON: N in animal manure, compost, sewage sludge, other
202.000
0,01
3.174
crop residues
FCR: N in crop residues
FSOM: N in mineral soils that is mineralised, in association with changes to land use loss of soil C from or management soil organic matter as a result of changes to land use or management
EF1
synthetic fertilizers
FSN: N in synthetic fertilizers
0,003
9.242
animal manure, compost, sewage sludge
FON: N in animal manure, compost, sewage sludge, other
0,003
0
crop residues
FCR: N in crop residues
FSOM: N in mineral soils that is mineralised, in association with changes to land use loss of soil C from or management soil organic matter as a result of changes to land use or management Total
EF1FR
678.426
70
71 Emisi N2O tidak langsung dari tanah yang dikelola Kabupaten Grobogan Sector Category Category code Sheet Equation
Agriculture, Forestry and Other Land Use Indirect N2O Emissions from Managed Soils: N2O from Atmospheric Deposition of N Volatilised from Managed Soils 3C5 1 of 2 Annual amount of Fraction of synthetic synthetic fertilizer N fertilizer N that applied to soils volatilises
Anthropogenic N input type -1
(kg N yr )
Equation 11.9 Annual amount of Fraction of applied Emission factor for Annual amount of urine and dung N organic N fertilizer N2O emission from animal manure, deposited by compost, sewage materials (FON) and atmospheric sludge and other grazing animals on of urine and dung N deposition of N on organic N additions pasture, range and soils and water deposited by paddock intentionally applied surfaces grazing animals to soils (FPRP) that volatilises
(kg NH3-N + NOx-N) (kg of N applied)-1
-1
(kg N yr )
-1 (kg N yr )
Table 11.3
Annual amount of N2O-N produced from atmospheric deposition of N volatilised from managed soils
(kg NH3-N + NOx-N) (kg N2O-N) (kg NH3(kg of N applied or N + NOx-N deposited)-1 volatilized)-1
Table 11.3
Table 11.3
FracGASM
EF4
-1 (kg N2Oyr )
N2O(ATD)-N = [(FSN * FracGASF ) + (FON + FPRP) * FracGASM)] * EF4
FSN
FracGASF
FON
FPRP
N2O
2006
40,759,024
0.1
2,140,000
0.2
0.01
70,776
2007 2008 2009
40,551,571 41,020,327 43,934,555
0.1 0.1 0.1
6,322,600 1,191,300 4,526,400
0.2 0.2 0.2
0.01 0.01 0.01
83,595 68,205 83,266
2010 2011
38,549,058 41819196
0.1 0.1
3,698,600 5607400
0.2 0.2
0.01 0.01
72,201 83339
Total
Kabupaten Tanjung Jabung Timur Sector
Agriculture, Forestry and Other Land Use
Category Indirect N2O Emissions from Managed Soils: N2O from Atmospheric Deposition of N Volatilised from Managed Soils Category code 3C5 Sheet 1 of 2 Equation Equation 11.9 Annual amount of Fraction of synthetic Annual amount of Annual amount of Fraction of applied Emission factor for synthetic fertilizer N fertilizer N that animal manure, urine and dung N organic N fertilizer N2O emission from applied to soils volatilises compost, sewage deposited by materials (FON) and atmospheric sludge and other grazing animals on of urine and dung N deposition of N on organic N additions pasture, range and soils and water deposited by intentionally applied paddock surfaces grazing animals to soils (FPRP) that volatilises
Anthropogenic N input type (kg N yr-1)
(kg NH3-N + NOx-N) (kg of N applied)-1
(kg N yr-1)
(kg N yr-1)
Table 11.3
(kg NH3-N + NOx-N) (kg N2O-N) (kg NH3(kg of N applied or N + NOx-N deposited)-1 volatilized)-1
Table 11.3
Table 11.3
FracGASM
EF4
Annual amount of N2O-N produced from atmospheric deposition of N volatilised from managed soils
-1
(kg N2Oyr )
N2O(ATD)-N = [(FSN * FracGASF ) + (FON + FPRP) * FracGASM)] * EF4
FSN
FracGASF
FON
FPRP
N2O
2006
28,113,928
0.1
75,200
0.2
0.01
44,415
2007 2008 2009 2010 2011
32,165,562 31,232,997 37,641,393 40,339,143 45801018
0.1 0.1 0.1 0.1 0.1
82,400 80,000 115,200 122,000 202000
0.2 0.2 0.2 0.2 0.2
0.01 0.01 0.01 0.01 0.01
50,805 49,332 59,513 63,774 72608
Total
71
72 Emisi CO2 dari penggunaan pupuk urea Kabupaten Grobogan Sector Category Category code Sheet Equation
Agriculture, Forestry and Other Land Use Urea Fertilization: Annual CO2 emissions from Urea Fertilization 3C3 1 of 1 Annual am ount of Urea Fertilization
Subcategories for reporting year
(tonnes urea yr-1)
M 2006 2007
Equation 11.13 Em is s ion factor
[tonnes of C (tonne of urea)-1]
-1 (tonnes C yr )
default is 0.20
CO2 Em is s ion =(M * EF)*44/12
EF
CO2 Emission
80,102 77,842 79,930 84,042 74,233 78,408
2008 2009 2010 2011
Annual CO2-C em is s ions from Urea Fertilization
16,020 15,568
58,741 57,084
15,986 16,808
58,615 61,631
14,847 15,682
54,438 57,499
Total
Kabupaten Tanjung Jabung Timur Sector Category Category code Sheet Equation
Agriculture, Forestry and Other Land Use Urea Fertilization: Annual CO2 emissions from Urea Fertilization 3C3 1 of 1 Annual am ount of Urea Fertilization
Subcategories for reporting year
(tonnes urea yr-1)
M 2006 2007 2008 2009 2010 2011
55,322 62,354 60,424 73,780 79,215 91,017
Equation 11.13 Em is s ion factor
Annual CO2-C em is s ions from Urea Fertilization
[tonnes of C (tonne -1 of urea) ]
(tonnes C yr-1)
default is 0.20
CO2 Em is s ion =(M * EF)*44/12
EF
CO2 Emission 11,064 12,471 12,085 14,756 15,843 18,203
40,569 45,726 44,311 54,105 58,091 66,746
Total
72
73 Emisi CH4 dari pengelolaan lahan sawah Kabupaten Grobogan Data Aktivitas Irigasi Teknis CF water regim musim 2006 2007 2008 2009 2010 2011
1 1
26 26 21 21
1/2 teknis 1 2 1 18688 18694 18644 18644 18185 18185
sederhana 0.46 2 1 1801 1801 1801 1801 1528 240 1528 240
Irigasi Desa/Non PU tadah hujan 0.46 0.49 2 1 2 1 1745 5509 24287 1690 5509 24133 1669 5506 25207 1669 5506 25207 2705 468 7196 20278 2705 468 7196 20278
2 total 10467 10206 10501 10501 13840 13840
62765 63435 63729 63729 64790 64790
Emisi CH4
Emisi CH4 2006 2007 2008 2009 2010 2011
0.00 0.00 0.00 0.00 2.28 1.84
6.01 6.02 6.00 6.00 3.34 3.34
0.00
0.58 0.58 0.58 0.58 0.49 0.49
0.00 0.00 0.00 0.00 0.02 0.02
0.26 0.25 0.25 0.25 0.40 0.40
0.00 0.00 0.00 0.00 0.03 0.03
0.82 0.82 0.82 0.82 0.61 0.61
total (Gg CH4) 1.65 11.23 1.61 11.17 1.66 11.28 1.66 11.28 2.18 10.95 2.18 10.51
1.91 1.90 1.99 1.99 1.60 1.60
Kabupaten Tanjung Jabung Timur Data Aktivitas Irigasi Teknis Musim 1x 2x Water rejim 2006 2007 2008 2009 2010 2011
1/2 teknis 1x 2x
sederhana 1x 2x
tadah hujan 1 0.49 1251 1336 1430 1605 1165 1542
2
Pasang surut 1 2 0.6 31524 32595 112 32317 22 30881 85 28584 99 26614 1352
3 total 32775 34043 33769 32571 29848 29594
86
Emisi CH4
emisi CH4 2006 2007 2008 2009 2010 2011
0.52 0.55 0.59 0.67 0.48 0.64
16.00 16.55 16.40 15.68 14.51 13.51
0.00 0.11 0.02 0.09 0.10 1.37
Gg CH4 0.00 16.52 0.00 17.21 0.00 17.02 0.00 16.43 0.00 15.09 0.13 15.65 73
74
Emisi CH4 dari fermentasi enterik dan pengelolaan kotoran Kabupaten Grobogan Sektor Kategori
AFOLU Emisi Metana dari Enterik Fermentation dan pengelolaan kotoran hewan
2006 Equation Jenis Ternak
Equation 10.19 EF dari Enterik Jumlah Ternak Fermentation (Ekor)
(Kg/ekor/th)
Eq.10.19 dan 10.20 Emisi CH4 dari Enterik Fermentation (Gg CH4/th)
Equation 10.22 Emisi CH4 dari Manure EF untuk Manure Management Management (Kg/ekor/th) -6
N (T)
Sapi perah Sapi potong Kerbau Domba Kambing Kuda
388 104,135 1,901 15,625 98,979 722
Total
221,750
EF (T) Tabel 10.10 & 10.11 61 55 55 5 5 18
CH4 Enterik 0.02 5.73 0.10 0.08 0.49 0.01
(Gg CH4/th)
(Gg CH4/th) -6
CH4 enterik = N (T)*EF(T)*10 T
Total CH4
CH4 manure = N (T)*EF(T)*10 EF (T) Tabel 10.14 - 10.16 31 2 2 0.2 0.22 2.19
CH4 manure
6.44
0.012 0.208 0.004 0.003 0.022 0.002
0.04 5.94 0.11 0.08 0.52 0.01
0.251
6.69
Kabupaten Tanjung Jabung Timur Sektor Kategori
AFOLU Emisi Metana dari Enterik Fermentation dan pengelolaan kotoran hewan
2006 Equation Jenis Ternak
Equation 10.19 EF dari Enterik Jumlah Ternak Fermentation (Ekor)
(Kg/ekor/th)
Eq.10.19 dan 10.20 Emisi CH4 dari Enterik Fermentation (Gg CH4/th)
Equation 10.22 EF untuk Manure Emisi CH4 dari Manure Management Management (Kg/ekor/th) (Gg CH4/th) CH4 manure = N (T)*EF(T)*10
CH4 enterik = N (T)*EF(T)*10 N (T)
Sapi perah Sapi potong Kerbau Domba Kambing Kuda
8,746 449 118 13,497
Total
22,810
EF (T) Tabel 10.10 & 10.11 61 55 55 5 5 18
CH4 Enterik 0.00 0.48 0.02 0.00 0.07 0.00
0.57
(Gg CH4/th) -6
-6
T
Total CH4
EF (T) Tabel 10.14 - 10.16 31 2 2 0.2 0.22 2.19
CH4 manure 0.000 0.017 0.001 0.000 0.003 0.000
0.00 0.50 0.03 0.00 0.07 0.00
0.021
0.60
74
75 Emisi N2O dari pengelolaan kotoran Kabupaten Grobogan Sector Agriculture, Forestry and Other Land Use Category Manure Management: Direct N2O Emissions from Manure Management Systems (2006) Category code 3A2 Sheet 1 of 1 Equation
Eq. 10.25 Number of animals
Manure Species/Livestock Management category System (MMS)1
Equation 10.30 Default N excretion rate
[kg N (head)
(1000 kg animal) -1 day ]
Equation 10.25
Typical Annual N excretion Fraction of total annual nitrogen animal per head of excretion managed in MMS for mass for species/livestock each species/livestock category livestock category3 category (kg N animal
-1
(kg)
Total nitrogen excretion for the MMS 4
-1
(kg N yr-1)
(kg N in MMS)-1]
NEMMS = Tables 10A- Nex(T) = Nrate(T) * 4 to 10A-9 TAM * 10-3 * 365
Table 10.19 S PASTURA*
T
Annual direct N2O emissions from Manure Management
[kg N2O-N (-)
year-1)
Emission factor for direct N2O-N emissions from MMS*)
kg N2O yr
-1
N2O(mm) =
Tables A4-A8
N(T) * Nex(T) * MS(T,S)
Table 10.21
NEMMS * EF3(S) * 44/28
MS(T,S)
NEMMS
EF3(S)
N2OD(mm)
Nrate(T)
TAM
0
0.34
350
43.44
327
0.47
319
54.72
100%
17,895
0.0144
405
N(T)
Beef Cattle**
Nex(T)
0
-
-
Total DRY LOT
Dairy Cattle Total Beef Cattle***
DRY LOT
104,054
0.34
350
43.44
100%
4,519,585
0.0144
102,272
Buffalo
1,867
0.32
330
38.54
100%
71,962
0.0144
1,628
Sheep
15,625
1.17
28
11.96
100%
186,834
0.02
5,872
Goats
99,969
1.37
30
15.00
100%
1,499,685
0.02
47,133
0
0.50
28
5.11
100%
0
0.02
0
701
0.46
238
39.96
100%
28,012
0.02
880
Swine Horses Total POULTRY Broiler WITH LITTER Layer POULTRY WITHOUT LITTER
36,489
1.10
0.9
0.36
100%
13,185
0.001
21
1,064,600
0.82
1.8
0.54
100%
573,543
0.001
901
936,567
0.82
0.9
0.27
100%
252,283
0.001
396
94,872
0.83
1.5
0.45
100%
43,112
0.001
Total Native Chicken Duck Total
68 159,172
2,355,071
Kabupaten Tanjung Jabung Timur Sector Category Category code Sheet Equation
Agriculture, Forestry and Other Land Use Manure Management: Direct N2O Emissions from Manure Management Systems (2006) 3A2 1 of 1 Eq. 10.25 Number of animals
Manure Management System (MMS)1
Species/Livestock category
Equation 10.30 Default N excretion rate
Typical animal mass for livestock category
[kg N (1000 kg animal)-1 day-1]
(head)
Equation 10.25 Annual N excretion Fraction of total annual nitrogen per head of excretion managed in MMS for species/livestock each species/livestock category category3 (kg N animal
(kg)
Total nitrogen excretion for the MMS 4
-1
-1
Emission factor for direct N2O-N emissions from MMS*) [kg N2O-N
(-)
(kg N yr-1)
year )
-1 (kg N in MMS) ]
S
T Beef Cattle**
N(T) 0
kg N2O yr
-1
N2O(mm) =
NEMMS =
PASTURA*
Annual direct N2O emissions from Manure Management
Table 10.19
Tables 10A4 to 10A-9
Nex(T) = Nrate(T) * TAM * 10-3 * 365
Tables A4-A8
N(T) * Nex(T) * MS(T,S)
Table 10.21
NEMMS * EF3(S) * 44/28
Nrate(T)
TAM
Nex(T)
MS(T,S)
NEMMS
EF3(S)
N2OD(mm)
0.34
350
43.44
0.47
319
54.72
0
-
-
100%
0
0.0144
0
Total DRY LOT
Dairy Cattle Total Beef Cattle***
DRY LOT
8,746
0.34
350
43.44
100%
379,883
0.0144
8,596
Buffalo
449
0.32
330
38.54
100%
17,306
0.0144
392
Sheep
118
1.17
28
11.96
100%
1,411
0.02
44
Goats
13,497
1.37
30
15.00
100%
202,475
0.02
6,364
Swine
0.50
28
5.11
100%
0
0.02
0
Horses
0.46
238
39.96
100%
0
0.02
0
Total Broiler POULTRY WITH LITTER Layer POULTRY WITHOUT LITTER
56,980
1.10
0.9
0.36
100%
20,590
0.001
32
0.82
1.8
0.54
100%
0
0.001
0
237,136
0.82
0.9
0.27
100%
63,877
0.001
100
27,737
0.83
1.5
0.45
100%
12,604
0.001
Total Native Chicken Duck Total
344,663
20 15,548
75
76 Lampiran 2. Analisis Usahatani Kabupaten Grobogan ANALISA
EKONOMI USAHA TANI (PER HA)
(La ha n Sa w a h / Ke ring) Ka b. Groboga n Tanaman : Padi URAIAN
2011 TENAGA KERJA KELUARGA
TENAGA KERJA UPAHAN (RIL DIKELUARKAN) F I S I K HKP HKWHKTJKM
NILAI (Rp) HKP
F I S I K HKW HKT JKM
NILAI (Rp)
INPUT A.
TENAGA KERJA I
Pra Panen 1
Pes em aian
2
Pengolahan tanah s /d s iap tanam
5
-
150,000
1
-
-
-
25,000
1
350,000
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
50,000
-
-
25,000
Mem bajak (Brngn Traktor)
-
-
-
Menggaru/ Meratakan
-
-
-
Mencangkul
7
-
-
-
210,000
2
3
Menanam (borongan)
5
22
-
-
460,000
1
4
Mem upuk
5
-
-
-
150,000
1
-
-
-
25,000
5
Menyiang
6
18
-
-
630,000
1
1
-
-
42,000
6
Pengendalian H & P
4
-
-
-
100,000
1
-
-
-
25,000
7
Lain-lain 2
-
-
-
50,000
1
-
-
25,000
34
40
-
1
2,100,000
8
-
-
217,000
-
-
-
510,000
1
-
-
25,000
-
-
-
........................
-
........................
-
........................ 1
Pas ca Panen 1
Mem anen (borongan)
2
Merontok (borongan)
3
Mem bers ihkan
4
Mengangkut
6
-
-
5
Mengeringkan
5
3
-
6
Menyim pan
7
Lain-lain -
........................
-
........................
-
........................
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
165,000
-
-
-
-
-
175,000
1
1
42,000
Jumlah A.II
11
3
-
-
850,000
2
1
-
-
67,000
JUMLAH A = A.I+ A.II
45
43
-
1
2,950,000
10
2
-
-
284,000
URAIAN B.
-
-
Jumlah A.I II
-
SARANA PRODUKSI 1 Beniht (berlabel/tidak*) (kg) 2 Pupuk: a. Anorganik (kg): - Urea - TSP - KCl/ ZK - ZA - NPK / Phons ka b. Organik (kg) c. PPC - ........................ (ltr) - ........................ (ltr) - ........................ (kg) - ........................ (kg) d. ZPT - Score F720 (klg) - .................. (ltr) - .................. (kg) - .................. (kg) 3 Pes tis ida a. Padat (kg) * Furadan
4
- ............... b. Cair (ltr) * Arivo 30 EC (klg) - Fas tax - ............... Herbis ida (gr) a. Padat (kg) - ............... - ………… b. Cair (ltr) - ...............
- ............... Fungis ida - ...................... (ltr) - ...................... (ltr) - ...................... (kg) 6 Lain-lain - Grentonik (klg) - ....................... - ....................... - ....................... Jumlah B
RIL DIKELUARKAN NILAI Rp.) F I S I K 40
240,000
250 200 100
387,500 440,000 220,000
-
-
-
-
5.00 -
200,000 -
5 5
176,000
10.0 8.0
65,000 72,000
-
-
6
45,000
DIPERHITUNGKAN NILAI Rp.) F I S I K
750
375,000
5
LAIN-LAIN PENGELUARAN 1 Pajak Lahan (m us im ) 2 Sewa Tanah (ha/m us im ) 3 Bunga Kredit (m us im ) 4 Iuran P3A (m us im ) Jumlah C Jumlah A + B + C
1,845,500
375,000
C.
1 1 1 1
50,000 2,250,000 50,000 2,350,000 7,145,500 TBRD
1 1 1 1
659,000 TBD
OUTPUT 1 Total produks i
=
2 Harga rata-rata s etem pat di tingkat petani
=
3 Nilai Total Produks i (NTP) = Total produks i x Harga
=
Rp.19,604,000.-
4 Total Biaya Produks i (TBP) = TBRD + TBD
=
Rp.7,804,500.-
6,032
kg
Rp.3,250.-
/kg
PENDAPATAN BERSIH: 1 Secara Us aha Tani : NTP - TBP
=
Rp.11,799,500.-
2 Petani
=
Rp.12,458,500.-
: NTP - TBRD
76
77 Kabupaten Tanjung Jabung Timur ANALISA
EKONOMI USAHA TANI (PER HA)
(La ha n Sa w a h / Ke ring) Ka b. Ta njung Ja bung Timur Tanaman : Padi URAIAN
2011 TENAGA KERJA KELUARGA
TENAGA KERJA UPAHAN (RIL DIKELUARKAN) F I S I K HKP HKWHKTJKM
NILAI (Rp)
F I S I K HKW HKT JKM
HKP
NILAI (Rp)
INPUT A.
TENAGA KERJA I
Pra Panen 1 2
Pes em aian Pengolahan tanah s /d s iap tanam -
Manus ia
-
-
16
-
-
-
400,000
-
Ternak
-
-
-
-
-
-
-
-
Mes in 25
-
125,000
3
Menanam (borongan)
4
Mem upuk
5
Menyiang
6
Pengendalian H & P
7
Lain-lain
625,000 2
30
-
........................
-
........................
-
........................
Jumlah A.I II
-
-
-
750,000
-
-
-
-
-
50,000
10
-
-
250,000
4
-
-
-
100,000
15
-
55
-
-
1,375,000
22
-
-
925,000
1
Mem anen (borongan)
16
14
-
-
750,000
1
-
-
25,000
2
Merontok (borongan)
16
14
-
750,000
-
-
-
3
Mem bers ihkan
4
Mengangkut
8
-
-
5
Mengeringkan
2
1
-
6
Menyim pan
7
Lain-lain
Pas ca Panen
-
........................
-
........................
-
........................
2 -
50,000
-
2
-
-
200,000
-
-
-
-
75,000
1
1
50,000 42,000
Jumlah A.II
42
31
-
-
1,825,000
2
3
-
-
117,000
JUMLAH A = A.I+ A.II
42
86
-
-
3,200,000
24
18
-
-
1,042,000
URAIAN
RIL DIKELUARKAN NILAI Rp.)
DIPERHITUNGKAN NILAI Rp.) F I S I K
F I S I K B.
5
SARANA PRODUKSI 1 Beniht (berlabel/tidak*) (kg) 2 Pupuk: a. Anorganik (kg): - Urea - TSP - KCl/ ZK - ZA - NPK / Phons ka b. Organik (kg) c. PPC - ........................ (ltr) - ........................ (ltr) - ........................ (kg) - ........................ (kg) d. ZPT - Score F720 (klg) - .................. (ltr) - .................. (kg) - .................. (kg) 3 Pes tis ida a. Padat (kg)
4
- ............... b. Cair (ltr) * Arivo 30 EC (klg) - Fas tax - ............... Herbis ida (gr) a. Padat (kg) - ............... - ………… b. Cair (ltr) - ...............
30
150,000
150 100 50
225,000 200,000 100,000
-
-
-
-
5.00 -
200,000 -
12
120,000
-
-
-
-
- ............... Fungis ida - ...................... (ltr) - ...................... (ltr) - ...................... (kg) 6 Lain-lain - Grentonik (klg) - ....................... - ....................... - ....................... Jumlah B
60,000
5
LAIN-LAIN PENGELUARAN 1 Pajak Lahan (m us im ) 2 Sewa Tanah (ha/m us im ) 3 Bunga Kredit (m us im ) 4 Iuran P3A (m us im ) Jumlah C Jumlah A + B + C
995,000
60,000
C.
1 1 1 1
1 1 1 1
600,000 -
1,102,000 TBD
600,000 4,795,000 TBRD
OUTPUT 1 Total produks i
=
2 Harga rata-rata s etem pat di tingkat petani
=
3 Nilai Total Produks i (NTP) = Total produks i x Harga
=
Rp.17,731,000.-
4 Total Biaya Produks i (TBP) = TBRD + TBD
=
Rp.5,897,000.-
4,172
kg
Rp.4,250.-
/kg
PENDAPATAN BERSIH: 1 Secara Us aha Tani : NTP - TBP
=
Rp.11,834,000.-
2 Petani
=
Rp.12,936,000.-
: NTP - TBRD
77
78
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Kudus pada 22 maret 1981 sebagai anak pertama dari pasangan Bambang Muryadi dan Djatmiatun. Pendidikan sarjana ditempuh di Program Studi Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret Surakarta lulus tahun 2002. Pada tahun 2011 penulis diterima di Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan pada Program Pascasarjana IPB. Pada tahun 2006, penulis diterima bekerja sebagai Pegawai Negeri Sipil di Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Kementerian Pertanian. Selama menempuh pendidikan Program Pascasarjana IPB, penulis juga masih aktif bekerja sebagai peneliti pada Balai Penelitian Lingkungan Pertanian dan menerbitkan beberapa tulisan pada jurnal maupun prosiding dalam seminar nasional, diantaranya adalah makalah berjudul “Emisi Nitro Oksida (N2O) Pada Sistem Pengelolaan Tanaman Di Lahan Sawah Tadah Hujan” dan “Emisi Dan Absorpsi Karbon Pada Penggunaan Ameliorant Pada Lahan Padi Gambut” yang diterbitkan dalam Jurnal Tanah dan Iklim Balai Besar Sumberdaya Lahan Pertanian serta makalah “Pengaruh Pemberian Jerami dan Pupuk Kandang terhadap Emisi N2O dan Hasil Padi pada Sistem Integrasi Tanaman Ternak” yang diterbitkan pada Jurnal Penelitian Pertanian Tanaman Pangan, Puslitbang Tanaman Pangan. Sebuah makalah berjudul “Inventarisasi Emisi GRK Dari Tanah Pertanian Menggunakan Metode IPCC 2006 dan Modifikasinya” yang merupakan bagian Bab 2 dari tesis ini sedang menunggu penerbitan pada Jurnal Tanah dan Iklim.
78