INTUISI DAN WAHYU (Tinjauan Epistimologis) Oleh: Imam Supriyadi*
Abstract There are four metodes to get into knowledge; Empirisme, This metode to get into knowledge nothing but with the five senses. Rasionalisme, the metode what is depend on just sense to get into knowledge. Intuiti, the metode is of opinion that in the nature there are two nature : sensory nature and intuti nature, in another termonologi there are outside senses and inside senses. Divine Relevation or Vision of God , routinely give out the hint to get into knowledge with scientific metode, realistic what is auxiliaried by two factors/math : experience of previous generatin and experience of now generation and reason to got instruction to cast about the rightness or validity. Be sides there are two fungtion from Vision of God al Qur’an as well/resources knowledge also give sistematic direction and logic to men within recive dan transfer the knowledge. Key Words: Epistimology, Rasionalisme, Empirisme, Intusi, Devine Revelation, Ilumination, Demontratif. * Penulis adalah Dosen STITMA Tuban & DLB Fak. Syari’ah IAIN Sunan Ampel Surabaya PENDAHULUAN Dalam dunia Epistimologi, para pemikir dan filosof masih terjadi perbedaan pendapat tentang cara-cara memperoleh imu pengetahuan. Polemik ini berkepanjangan hingga memunculkan beberapa aliran yang meliputi : Aliran Skeptisme, Academic Doubt, Empirisme, Rasionalisme, Intuisi, dan Metode Praktis Wahyu al Qur’an (Adhim, 1989:14). Aliran
Skeptisme
mengingkari
eksistensi
sesuatu,
kemampuan
pancaindra dan akal sangat terbatas sehingga ilmu pengetahuan yang diperolehnya dianggap tidak ada yang valid. Pancaindra dan akal seseorang dan panca indra dan akal orang lain dalam menggambarkan eksistensi alam berbeda-beda, tidak ada kesamaan. Academic Doubt/ aliran keraguan, memposisikan keraguan sebgai jembatan perantara menuju sebuah kepastian- keyakinan melalui pengujian
(pembuktian) dengan dalil yang menyakinkan. Descrates meragukan segala sesuatu kecuali keraguan itu sendiri. Aku berfilir karena itu aku ada. Menurut aliran Empirisme, cara memperoleh ilmu pengetahuan hanya didasarkan pancaindra semata. Akal sendiri tidak dapat mengetahui kebenaran tanpa melalui pancaindra. Kata John Lock “ pada akal tidak ada sesuatu apapun sebelum sesuatu itu berada pada alat indra. Dalam
memperoleh
Ilmu
Pengetahuan,
Aliran
Rasional
hanya
mengandalkan kemampuan akal semata. Akal sebagai filter untuk menyaring diterima atau tidaknya berbagai informasi dan masukan yang datang melalui indra. Kant dalam karyanya, Kritik terhadap akal murni menyatakan:” Sesungguhnya gambaran dan inti ilmu pengetahuan ada pada akal sekalipun mata kita melihat ke alam luar yang menyangkut hal-hal indrawi dan membentuk gambaran-gambaran seperti itu”. Henry Bergson tokoh aliran Intuisi berpendapat bahwa alam ini ada dua : alam
indrawi
dan
alam
intuisi. Alam
indrawi
bisa
diobservasi
dan
dieksperimentasi oleh ilmu pengetahuan modern. Sedang alam intuisi berkaitan dengan alam kejiwaan yang hanya bisa dideteksi dengan intuisi dengan pendekatan telepati atau pendengaran jarak jauh. Motode Praktis Wahyu al Qur’an, memberi petunjuk tentang cara memperoleh ilmu pengetahuan dengan menawarkan metode ilmiah, realistis yang ditopang oleh dua faktor : pengalaman generasi dulu atau sekarang dan akal untuk mendapat petunjuk dalam upaya mencari kebenaran (Adhim, 1989:14). Tulisan ini akan mendiskripsikan lebih luas tentang Intuisi dan Wahyu sebagai cara dalam memperoleh Ilmu Pengetahuan.
PEMBAHASAN Intuisi Ada dua ungkapan yang harus dipahami berbeda, yaitu; knowledge about dan knowledge of. Knowledge about (pengetahuan mengenai) disebut pengetahuan diskursif atau pengetahuan simbolis, dan pengetahuan ini ada perantaranya. Knowledge of (pengetahuan tentang) disebut pengetahuan yang langsung atau
pengetahuan intuitif, dan pengetahuan ini diperoleh secara langsung (Praja, 2003: 31). Dalam dunia Islam abad pertama dan kedua Hijriyah terdapat kemunculan dan berkembangnya tasawuf yang lebih banyak didominasi oleh watak praktis (amali) dari pada teoritis (falsafi). Jauh setelahnya
dalam
perkembangan Tasawuf abad kelima dan keenam, para Pemikir Sufi mengungkapkan pengalaman sufinya dalam bentuk teoritis yang mengakumulasi intuisi (dzauq) dan persepsi. Kemudian ketika masa Suhrawardi, ia menemukan miliew dimana paradigma persepsi dan inferensi dengan paradigma intuisi dan penyingkapan (kasyf), paradigma hati dan mata batin dekat dengan paradigma rasio dan inferensi perseptual, maka ia mempersatukan keduanya dalam filsfat iluminasi (Hanafi, 2007:250). Paradigma Ilmuninatif terbentuk dari dua data: intuisi (al Hads/dzauq) dan pembuktian demontratif/burhani. Bahkan secara fundamental paradigma Iluminatif merupakan paradigma intuitif yang dilanjutkan dengan paradigma burhani. Intuisi akan sempurna melalui hati sedangkan burhani didasarkan pada rasio. Intuisi mendahului burhan dan merupakan landasannya. Suatu pembuktian tidak akan tuntas tanpa intuisi. Demikian juga seorang pembaca tidak akan memahami apa yang dibaca selama dia tidak mempunyai perkiraan (intuisi) terlebih dahulu terhadap apa yang akan dibaca (Hanafi, 2007:296). Suhrawardi dalam Risalah fi I’tiqad al Hukama (Keyakinan para Filsuf) mengekspanasikan harmonitas teologi peripatetik dengan pendidikan spiritualitas al hallaj dalam rangka eksplanasi harmonitas rasio dengan hati, intuisi dengan persepsi, virtualisasi ilmu-ilmu pengetahuan rasional berdasarkan ilmu-ilmu kasyfiyah, dan merekontruksi teologi peripatetik yang didasarkan pada pengalaman empiris spiritual (Hanafi, 2007:296). Menurut Harun Nasution akal manusia yang telah mencapai derajat perolehan dapat mengadakan hubugan dengan Akal Kesepuluh (yang dalam pandangan Ibnu Sina sebagai Jibril) untuk menangkap hal-hal yang bersifat abstrak murni. Akal demikian mempunyai kekuatan suci (qudsiyah) dan diberi nama hads atau intuisi. Tidak ada akal yang lebih kuat dari akal demikian, dan
hanya Nabi-nabi yang memperoleh akal demikian kuat yang membuat seorang Nabi dapat mengadakan komunikasi dengan Jibril sebagai utusan dari Tuhan (Nasution, 1986:18). Dalam pandangan Ibnu Sina, manusia selain memiliki indra luar juga memiliki indra dalam yang meliputi : indra bersama (hiss musytarak), indra khayyal sebagai folder, indra mutahayilah/imajinasi, indra wahmiyah (estimasi), dan indra hafidhah (rekoleksi). Kemudian dalam jiwa manusia terdapat dua daya praktis (amilah) dan daya teoritis (alimah) dengan empat tingkat akalnya: akal materi (aql hayulan sebagai quwwah al fahmi bi ma’an al ma’dumat), akal malakah (sebagai quwwah al fahmi bi al ma’lumat al kulliyah), akal aktif (aql bi al fi’l sebagai kanz al ma’lumat al ma’nawiyah), dan akal perolehan (aql mustafad sebagai kanz ma’an al ma’lumat al musta’adah lil khuruj) (Nasution, 1986:9). Tokoh aliran Intuisi Barat ialah Henry Bergson. Menurutnya alam terdiri dari alam indrawi dan alam intuisi. Alam indrawi didekati dengan observasi dan eksperimen, persoalam yang hanya didekati dengan intuisi dengan metode seperti penglihatan atau pendengaran jarak jauh yang lazimnya dsebut Telepati (Adhim,1989:16). Intuisi merupakan sarana untuk mengetahui secara langsung atau seketika. Analisis atau pengetahuan yang diperoleh dengan jalan pelukisan, tidak dapat menggantikan hasil pengenalan secara langsung dari pengetahuan intuitif (Praja, 2003:32) . Dalam pandangan Bergson, Rasio hanya sebagai salah satu unsur kekuatan jiwa manusia yang terbatas pada hal-hal mekanis dan determinitif yang pasti dan telah ada. Untuk sampai pada kedalaman realitas bukan rasio yang bertindak melainkan ituisi (Hanafi, 2007). Dengan menggunakan intuisi seseorang dapat memperoleh pengetahuan tentang kejadian sebagai suatu kejadian yang langsung, yang mutlak dan bukannya pengetahuan yang nisbi atau yang ada perantaranya (Praja, 2003:32). Salah satu unsur-unsur yang berharga dalam intuisionisme Bergson ialah paham ini memungkinkan adanya suatu bentuk pengalaman selain pengalaman
yang dihayati oleh indrawi. Pengetahuan yang diperolehnya dapat merupakan tambahan bagi pengetahuan yang dihasilkan oleh pengindraan.
Wahyu Secara etimologi kata wahyu berasar dari bahasa Arab yang merupakan masdar dari kata kerja auha – yuhi - ihaan wa wahyan yang mengandung arti samar dan cepat (hufa – sur’ah). Manna’ Khalil al Qotton menjelaskan bahwa makna wahyu secara bahasa dapat berarti ilham fitri, ilham ghariz, bisikan, isyarah, dan pesan Tuhan (al Qotton, 1973:32). Wahyu dalam arti Ilham fitri diberikan kepada semua manusia, seperti ilham yang diberikan kepada ibunya Nabi Musa AS yang sebagaimana dikisashkan dalam al Qur’an surat al Qasas ayat 7 sebagai berikut : Artinya: Dan Kami ilhamkan kepada ibu Musa; "Susuilah Dia, dan apabila kamu khawatir terhadapnya Maka jatuhkanlah Dia ke sungai (Nil). dan janganlah kamu khawatir dan janganlah (pula) bersedih hati, karena Sesungguhnya Kami akan mengembalikannya kepadamu, dan men- jadikannya (salah seorang) dari Para rasul. Wahyu dalam arti Ilham ghorozi yang diberikan kepada hewan, seperti ilham yang diberikan kepada lebah sebagaimana pernyataan al Qur’an surat al Nahl ayat 68 Artinya: Dan Tuhanmu mewahyukan kepada lebah: "Buatlah sarangsarang di bukit-bukit, di pohon-pohon kayu, dan di tempat-tempat yang dibikin manusia",
Wahyu dalam arti bisikan, seperti bisikan syaiton kepada temannya/ jiwa manusia sebagaimana pernyataan al Qur’an surat al An’am ayat 121 sebagai berikut Artinya : Dan janganlah kamu memakan binatang-binatang yang tidak disebut nama Allah ketika menyembelihnya ( yaitu dengan menyebut nama selin Allah). Sesungguhnya perbuatan yang semacam itu adalah suatu kefasikan. Sesungguhnya syaitan itu membisikkan kepada kawan-kawannya agar mereka membantah kamu; dan jika kamu menuruti mereka, Sesungguhnya kamu tentulah menjadi orang-orang yang musyrik. Wahyu dalam arti Isyarah yang cepat seperti isyarah Nabi Zakariya kepada kaumnya sebagaiman dalam surat Maryam ayat 11 sebagai berikut Artinya: Maka ia keluar dari mihrab menuju kaumnya, lalu ia memberi isyarat kepada mereka; hendaqlah kamu bertasbih di waktu pagi dan petang. Wahyu dalam arti Pesan Allah kepada Malaikat untuk dikerjakan sebagaimana dalam surat al Anfal ayat 12 Artinya: (ingatlah), ketika Tuhanmu mewahyukan kepada Para Malaikat: "Sesungguhnya aku bersama kamu, Maka teguhkan (pendirian) orangorang yang telah beriman". kelak akan aku jatuhkan rasa ketakutan ke dalam hati orang-orang kafir, Maka penggallah kepala mereka dan pancunglah tiap-tiap ujung jari mereka ( Maksudnya: ujung jari disini ialah anggota tangan dan kaki).
Kata Wahyu lebih terkenal dalam arti “ apa yang disampaikan Tuhan kepada Nabi-nabi pilihan-Nya agar diteruskan kepada umat manusia untuk dijadikan pedoman hidup baik di dunia maupun di akhirat (al Zarqawi, tt: 56). Wahyu yang termaktub dalam al Kitab disampaikan sejak Rasul dan Nabi pertama Adam sampai Rasul dan Nabi terakhir Muhammad saw. Namun makalah ini menghususkan wahyu yang disampaikan kepada Nabi Muhammad saw dalam bentuk kitab al Qur’an. Menurut DR. M. Abdillah Diraz, wahyu
yang diterima oleh Nabi
Muhammad berbeda dengan ilham yang diperoleh para penyair dan filosof. Karena pada penyair dan filosof terdapat terlebih dahulu dalam diri mereka ide dan kemudian barulah ide itu diungkapkan dalam kata-kata.Sebaliknya dalam diri Nabi tidak ada ide sebelumnya. Nabi menderngar suara yang jelas tanpa ide yang mendahuluinya atau bersamaan dengan kata yang diucapkan (Diraz, 1971:169). Suhrawardi menyakini adanya kesamaan antara para wali dan ahli hikmah (filosof) yang mendalam ketuhanannya dengan para nabi. Akal aktual menurutnya merupakan sumber makrifat dan wahyu. Kesempurnaan para wali dan nabi belum terwujud kecuali setelah pencucian jiwa dengan ibadah fisik dan melakukan perenungan. Kemudian kedua golongan ini mulai beranjak dari tingkatan-tingkatan rasional menuju tingkatan emanasi dan mengambil ilmu dari akal aktual. Secara umum makrifat menurutnya sama saja baik wahyu maupun bukan wahyu yang sumbernya adalah jiwa dan alat mencapainya adalah daya imajinasi (Hilal, tt: 185). Bahkan lebih ekstrim lagi dalam pandangan filosof perspektif teori ide (nazharaiyat al misl) semisal Ibnu Arabi, wahyu bukanlah sesuatu yang berasal dari luar dan kemudian datang melalui Jibril, tetapi wahyu sudah ada di dalam diri manusia. Wahyu adalah sesuatu yang besifat eksternal dan penghubung antara Allah dan Rasulullah saw. Wahyu berpijak pada imajinasi dan berasal dari dalam diri nabi, wahyu tak lain hanyalah representasi imajinasi nabi sebagaimana imajinasi orang yang jatuh cinta, menjelmalah di hadapannya kekasih yang dicintainya. Ia dengarkan omonganya, ia berbicara kepada dirinya sendiri yang juga didengarkan sendiri.
Lain halnya menurut Ali Abd. Adhim, wahyu Al Qur’an selain mengajarkan adanya Tuhan lewat akal pemikiran serta memberi bimbingan bagaimana metode berfikir sistematis untuk mengenal Tuhan, juga dalam memberikan isyarah dan pengarahannya meletakkan kerangka-kerangka ilmiah yang sangat cermat untuk menjaga penyimpangan dan penyelewengan dalam dua cara, yaitu Pewarisan Pengalaman dan Pemikiran Logis (Adhim, 1989:18). Faktor Pewarisan Pengalaman didasarkan atas bangkitnya setiap generasi untuk mentransformasi pengalaman dan aneka pengetahuan kepada generasi berikutnya. Untuk pembuktiannya bahwa wahyu al Qur’an konsisten dengan transformasi pengetahuan. Berikut ini adalah prinsip-prinsip qur’aninya : 1. Orang yang berilmu tidak boleh menyembunyikan ilmu dan pengetahuan yang dimilikinya (Al Baqarah 2 : 159) Artinya: Sesungguhnya orang-orang yang Menyembunyikan apa yang telah Kami turunkan berupa keterangan-keterangan (yang jelas) dan petunjuk, setelah Kami menerangkannya kepada manusia dalam Al Kitab, mereka itu dila'nati Allah dan dila'nati (pula) oleh semua (mahluk) yang dapat mela'nati, 2. Amanat ilmu menduduki tempat pertama untuk ditransfer oleh orang yang berilmu dengan jelas tanpa penyimpangan dan perubahan informasi dan tanpa mencampur adukan kebenaran dan kebatilan ( Al Baqarah 2 : 42,75 ). Artinya: Dan janganlah kamu campur adukkan yang hak dengan yang bathil dan janganlah kamu sembunyikan yang hak itu, sedang kamu mengetahui.
Di antara yang mereka sembunyikan itu Ialah: Tuhan akan mengutus seorang Nabi dari keturunan Ismail yang akan membangun umat yang besar di belakang hari, Yaitu Nabi Muhammad s.a.w. Artinya : Apakah kamu masih mengharapkan mereka akan percaya kepadamu, Padahal segolongan dari mereka mendengar firman Allah, lalu mereka mengubahnya setelah mereka memahaminya, sedang mereka mengetahui. Yang dimaksud ialah nenek-moyang mereka yang menyimpan Taurat, lalu Taurat itu dirobah-robah mereka; di antaranya sifat-sifat Nabi Muhammad s.a.w. yang tersebut dalam Taurat itu. 3. Pengetahuan itu harus disebar luaskan kepada umat tanpa tendensi duniawi (Yasin 36 : 21, Shad : 86-88, Al Ma’idah : 44). Artinya: Ikutilah orang yang tiada minta Balasan kepadamu; dan mereka adalah orang-orang yang mendapat petunjuk.
Artinya: Katakanlah (hai Muhammad): "Aku tidak meminta upah sedikitpun padamu atas da'wahku dan bukanlah aku Termasuk orang-orang yang mengada-adakan. Al Quran ini tidak lain hanyalah peringatan bagi semesta alam..
Dan Sesungguhnya kamu akan mengetahui (kebenaran) berita Al Quran setelah beberapa waktu lagi. (Kebenaran berita-berita Al Quran itu ada yang terlaksana di dunia dan ada pula yang terlaksana di akhirat; yang terlaksana di dunia seperti kebenaran janji Allah kepada orang-orang mukmin bahwa mereka akan menang dalam peperangan dengan kaum musyrikin, dan yang terlaksana di akhirat seperti kebenaran janji Allah tentang Balasan atau perhitungan yang akan dilakukan terhadap manusia). 4. Hindari menyia-nyiakan waktu dalam diskusi yang berkepanjangan yang tujuannya bukan mencari kebenaran (Al An’am 6:68). Artinya: Dan apabila kamu melihat orang-orang memperolok-olokkan ayat-ayat Kami, Maka tinggalkanlah mereka sehingga mereka membicarakan pembicaraan yang lain. dan jika syaitan menjadikan kamu lupa (akan larangan ini), Maka janganlah kamu duduk bersama orang-orang yang zalim itu sesudah teringat (akan larangan itu). 5. Menerima kebenaran berdasarkan dasar argumentasi yang kuat , jujur, dan transparan. (Fussilat 41 : 26 , Nuh 71:7). Artinya: Dan orang-orang yang kafir berkata: "Janganlah kamu mendengar dengan sungguh-sungguh akan Al Quran ini dan buatlah hirukpikuk terhadapnya, supaya kamu dapat mengalahkan mereka".
Artinya: Dan Sesungguhnya Setiap kali aku menyeru mereka (kepada iman) agar Engkau mengampuni mereka, mereka memasukkan anak jari mereka ke dalam telinganya dan menutupkan bajunya (kemukanya) dan mereka tetap (mengingkari) dan menyombongkan diri dengan sangat. 6. Mengambil ilmu pengetahuan yang bernilai manfaat dan tidak sia-sia. (Al Furqon 25:72, Al Maidah 5:10). Artinya: Dan orang-orang yang tidak memberikan persaksian palsu, dan apabila mereka bertemu dengan (orang-orang) yang mengerjakan perbuatan-perbuatan yang tidak berfaedah, mereka lalui (saja) dengan menjaga kehormatan dirinya. Artinya: Adapun orang-orang yang kafir dan mendustakan ayat-ayat Kami, mereka itu adalah penghuni neraka. 7. Selektif terhadap informasi demi kepentingan umat (Al Zumar : 17-18). Artinya: Dan orang-orang yang menjauhi Thaghut (yaitu) tidak menyembah-nya dan kembali kepada Allah, bagi mereka berita gembira; sebab itu sampaikanlah berita itu kepada hamba-hamba-Ku. Yang mendengarkan Perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya mereka Itulah orang-orang yang telah diberi Allah petunjuk dan mereka Itulah orang-orang yang mempunyai akal.
8. Menerima ilmu pengetahuan dari orang yang berkopenten ( Al Anbiya 21 : 7, Yunus : 94). Artinya:
Kamii
tiada
mengutus
Rasul
Rasul
sebelum
kamu
(Muhammad), melainkan beberapa orang-laki-laki yang Kami beri wahyu kepada mereka, Maka Tanyakanlah olehmu kepada orang-orang yang berilmu, jika kamu tiada mengetahui. Artinya: Maka jika kamu (Muhammad) berada dalam keragu-raguan tentang apa yang Kami turunkan kepadamu, Maka Tanyakanlah kepada orang-orang yang membaca kitab sebelum kamu. Sesungguhnya telah datang kebenaran kepadamu dari Tuhanmu, sebab itu janganlah sekali-kali kamu temasuk orang-orang yang ragu-ragu. Dari 8 poin tersebut dapat dipahami patokan dan kreteria cermat yang ditawarkan wahyu al Qur’an guna menyaring ilmu pengetahuan yang diwariskan dari generasi ke generasi berikutnya. Kemudian Faktor Pemikiran Logis sebagai factor pengalaman praktis yang didasarkan atas pemahaman logis dan sehat dengan dasar-dasar dari gambaran al Qur’an sebagai berikut : 1) Pemikiran harus dibebaskan dari belenggu taqlid dan kungkungan tradisi budaya nenek moyang. (Al Zuhruf 43 : 23-24).
Artinya: Dan Demikianlah, Kami tidak mengutus sebelum kamu seorang pemberi peringatanpun dalam suatu negeri, melainkan orang-orang yang hidup mewah di negeri itu berkata: "Sesungguhnya Kami mendapati bapak- bapak Kami menganut suatu agama dan Sesungguhnya Kami adalah pengikut jejak-jejak mereka".. (Rasul itu) berkata: "Apakah (kamu akan mengikutinya juga) Sekalipun aku membawa untukmu (agama) yang lebih (nyata) memberi petunjuk daripada apa yang kamu dapati bapak-bapakmu menganutnya?" mereka menjawab: "Sesungguhnya Kami mengingkari agama yang kamu diutus untuk menyampaikannya." 2) Pancaindra dan akal haru digunakan sekaligus dalam mendapatkan pengetahuan baik Native Science maupun Foreign Science. (Al Nahl 16 : 78, Al Isra 17 : 36). Artinya: Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam Keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur. Artinya: Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya. 3) Selain indra dan akal, Tuhan memberi hal yang tersembunyi yang disebut “hikmah” atau “bashirah mulhimah”. (Al Baqarah 2 : 269, Luqman 31 : 12, Yusuf 12 : 22, dan al Jumu’ah 62 : 2).
Artinya: Allah menganugerahkan Al Hikmah (kefahaman yang dalam tentang Al Quran dan As Sunnah) kepada siapa yang dikehendaki-Nya. dan Barangsiapa yang dianugerahi hikmah, ia benar-benar telah dianugerahi karunia yang banyak. dan hanya orang-orang yang berakallah yang dapat mengambil pelajaran (dari firman Allah). Artinya: Dan Sesungguhnya telah Kami berikan hikmat kepada Luqman, Yaitu: "Bersyukurlah kepada Allah. dan Barangsiapa yang bersyukur (kepada Allah), Maka Sesungguhnya ia bersyukur untuk dirinya sendiri; dan Barangsiapa yang tidak bersyukur, Maka Sesungguhnya Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji". Artinya: Dan tatkala Dia cukup dewasa [Nabi Yusuf mencapai umur antara 30- 40 tahun] Kami berikan kepadanya Hikmah dan ilmu. Demikianlah Kami memberi Balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. Artinya: Dia-lah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang Rasul di antara mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka,
mensucikan mereka dan mengajarkan mereka kitab dan Hikmah (As Sunnah). dan Sesungguhnya mereka sebelumnya benar-benar dalam kesesatan yang nyata.
PENUTUP Dalam Intuitsi memungkinkan adanya suatu bentuk pengalaman selain pengalaman yang dihayati oleh indrawi baik indra luar (hiss al khariji) maupun indra dalam (hiss dakhili). Pengetahuan yang diperolehnya dapat merupakan tambahan dan penyempurna bagi pengetahuan yang dihasilkan oleh pengindraan. Wahyu al-Qur’an memiliki fungsi ganda selain sebagai sumber informasi pengetahuan juga memberikan arahan sestematis dan logis kepada manusia dalam menerima dan mentransformasikan ilmu pengetahuan.
DAFTAR RUJUKAN Adhim, Ali Abd. 1989. Falsafah al Ma’rifah fi al Qur’an al Karim. Terj. Khalilullah Ahmad Masykur Hakim, Epistimologi dan Aksiologi Ilmu Perspektif al Qur’an. Bandung: Rosdakarya. al Qotton, Manna’ Khalil. , 1393 H/1973 M Mabahits fi Ulum al Qur’an. Kairo: Manshurat al ‘Asr al Hadith. al Zarqawi, M.A.A. (tt). Manahil al ‘Irfan fi Ulum al Qur’an, I, Cairo: Isa al Babi al Halabi. Ya’kub, Hamzah. 1983. Filsafat Ketuhanan. Bandung: PT Al Ma’arif. Nasution, Harun. 1986. Akal dan Wahyu dalam Islam. Jakarta: UI Press. Hanafi, Hasan. 2007. Dirosah Islamiyah, terj. Miftah Faqih, Islamologi 2, Yogyakarta: LKIS. Hilal, Ibrahim. (tt). Al Tasawuf bayna al Din wa al Falsafah. Kairo: Dar al nahdhah al Arabiyah. Praja, Juhaya S. 2003. Aliran-aliran Filsafat & Etika. Jakarta: Prenada Media. Diraz, M. Abdullah 1971. Madkhal ila al Qur’an al Karim. Kuwait: Dar al Qalam.