Edisi Perdana, Maret 2007
DEWAN REDAKSI SALAM REDAKSI Penanggung Jawab Dr.Ir. Udisubakti Ciptomulyono, M.Eng.Sc
Pemimpin Redaksi Ir. I Nyoman Pujawan, MEng.,Ph.D
Selamat datang di edisi perdana Newsletter ini,
Rahmi Yuniarti, ST Niken A. Savitri, ST Elly Ismiyah, ST Niniet Indah A. , ST
Newsletter ini dipersembahkan oleh Laboratorium Logistics & Supply Chain Management (LSCM) – Jurusan Teknik Industri ITS dengan tujuan untuk meningkatkan komunikasi antar civitas akademika anggota lab serta sebagai media untuk melakukan diseminasi perkembangan-perkembangan Manajemen Logistik dan SCM ke dunia praktisi. Untuk memperkaya sajian dari Newsletter ini serta menjaga kesinambungannya, kami juga menerima sumbangan artikel dari pembaca untuk edisi-edisi berikutnya.
Pelaksana Teknis
Selamat menikmati sajian kami.
Wakil Pimpinan Redaksi Dr.Eng.Ir. Ahmad Rusdiansyah, M.Eng
Redaktur Pelaksana
Vira Yuliasari Oki Anita Candra Dewi Yunita Kurniawati
REDAKSI
Penyunting & Tata Letak I Wayan Suardika Titik Purnawati M. Nizar Firmansyah
CONTENT
Introduction to LSCM Laboratory Redaksi Newsletter LSCM LABORATORY menerima kiriman artikel dari penulis. Artikel harap disertai identitas diri dan foto. Ukuran file maksimal 2 halaman A4. Silakan kirim kontribusi anda melalui e-mail :
[email protected] Redaksi
...............................
2
Peluncuran Laboratorium LSCM .................................
3
Research in Brief : - Membangun Ketangguhan Supply Chain ...............
4
- Collaborative Logistics Networks, What’s Up? ........
6
Dari Sistem Replenishment Tradisional Menuju Sistem Vendor Managed Inventory (VMI) ...........................
8
Publication & Research News ........................................
11
Rubrik Santai: Productive or Workaholic ......................
13
PPIC Perusahaan Manufaktur Indonesia .....................
14
Membership Form Logistics & Supply Chain Management Laboratory ...........................................
NEWSLETTER
19
-page-1
Edisi Perdana, Maret 2007
Introduction to Logistics & Supply Chain Management Laboratory Laboratorium LSCM ini dibentuk pada awal tahun 2007 dan merupakan lab pertama di Indonesia yang berkonsentrasi pada bidang Manajemen Logistik dan SCM. Pembaca sekalian mungkin sudah menyadari pentingnya bidang Logistik & SCM dewasa ini. Perusahaan yang ingin kompetitif di pasar tidak lagi bisa menciptakan keunggulan sendiri sebagai sebuah organisasi, tetapi membutuhkan kerjasama dengan pihak-pihak di sepanjang supply chain. Barang yang sampai di pelanggan dalam kedaan rusak atau terlambat tidak selalu akibat dari kesalahan atau keterlambatan produksi di pabrik, namun bisa merupakan salah satu atau gabungan dari masalah yang terjadi di pemasok, di gudang, dalam perjalanan, di toko, dan sebagainya. Oleh karena itu, diperlukan kemauan serta mekanisme untuk melakukan koordinasi, pertukaran informasi, serta pembagian keuntungan serta risiko dengan cara yang lebih baik bagi pelaku-pelaku supply chain. Dalam perjalannya yang sudah mencapai sekitar 15 tahunan, konsep-konsep SCM tidak lagi merupakan isu operasional, tetapi banyak juga yang merambah ke tatanan strategis. Istilah supply chain management hampir selalu masuk ke kamus pimpinan perusahaan sehingga saat ini boleh dikatakan jarang sekali pimpinan perusahaan di sektor manufaktur, warehousing, distribusi, dan ritel yang tidak mengenal istilah SCM. Lab LSCM di Jurusan Teknik Industri ITS berkeinginan untuk menjadi Lab yang produktif dalam melakukan riset, mengembangkan materi-materi pengajaran, serta menjalin kemitraan yang dekat dengan industri / para praktisi. Dengan sumber daya manusia yang cukup memadai, Lab LSCM Teknik Industri ITS optimis akan bisa mengemban misi di atas dengan cukup baik. Sebagai Lab yang masih baru berdiri, tentu banyak masukan-masukan yang diperlukan, baik dari komunitas internal TI ITS maupun dari para praktisi yang memiliki keterikatan maupun ketertarikan pada bidang Manajemen Logistik dan SCM.
I Nyoman Pujawan, Ph.D Kepala Laboratorium Logistics & SCM Jurusan Teknik Industri ITS
NEWSLETTER
-page-2
Edisi Perdana, Maret 2007
Peluncuran Laboratorium Logistics & Supply Chain Management (SCM) Rahmi Yuniarti, ST
Peluncuran
Laboratorium LSCM dilakukan dengan mengadakan seminar untuk para manajer dan praktisi bisnis yang selama ini bergelut di bidang Logistik & SCM. Seminar ini dilaksanakan pada Selasa, 5 Desember 2006 dengan ketua panitia Dr Ahmad Rusdiansyah dan operasionalnya digarap oleh para asisten Lab LSCM. Seminar ini mengetengahkan dua pembicara, yaitu I Nyoman Pujawan, Ph.D, dosen Teknik Industri ITS yang sekaligus Kepala Laboratorium LSCM dan Arie Anugrah, Manager Supply Chain Management PT Philips Indonesia. Kedua pembicara mengupas topik yang sangat menarik pada supply chain yaitu “information visibility”. Kegiatan tersebut dikemas dalam acara makan malam dan seminar berkonsep gathering. Harapannya akan terjalin komunikasi yang lebih intens dan produktif antar pelaku SCM maupun dengan kalangan perguruan tinggi.
Melalui forum gathering tersebut nantinya baik praktisi bisnis maupun kalangan perguruan tinggi saling membangun networking dan punya informasi terbaru berkait dengan persoalan logistik and SCM. Seminar ini dihadiri sekitar 35 orang, kebanyakan dari praktisi industri. Beberapa perusahaan yang terwakili antara lain Coca Cola, Sinar Sosro, Agip (Oli), Semen Bosowa, Philips, Energitama, Keramik Diamod. Hadir juga beberapa peserta dari Pemkot Surabaya yang sedang punya upaya menerapkan konsep-konsep SCM pada sektor publik. Acara gathering ini akan dilakukan secara periodik dengan mengangkat topik-topik yang up to date. Pada setiap acara diharapkan ada praktisi yang mau sharing pengalaman. Kalau anda tertarik untuk menjadi pembicara pada suatu acara gathering, silakan kontak kami di
[email protected].
Suasana Seminar dan Peluncuran Laboratorium Logistik & Supply Chain Management, 5 Desember 2006 di Cafe Banana Leaf
NEWSLETTER
-page-3
Edisi Perdana, Maret 2007
Research in Brief
MEMBANGUN KETANGGUHAN SUPPLY CHAIN Titik Purnawati
Redundancy
Kondisi
iklim dunia akhirakhir ini yang semakin tidak menentu, baik yang disebabkan oleh perilaku alam ataupun perilaku sosial seperti fluktuasi ekonomi, kebijakan politik, issue terorisme dan sebagainya menyebabkan tantangan yang dihadapi oleh perusahan terutama yang berhubungan dengan supply chain semakin besar. Tantangan tersebut menyangkut kebutuhan pasar yang dapat dengan mudah berubah, semakin pendeknya product life cycle, kebutuhan untuk memenuhi permintaan pasar dengan cepat, dan sebagainya yang telah berkembang menjadi faktor penentu keberhasilan supply chain. Namun sampai saat ini tidak terdapat cara khusus untuk menangani kondisi-kondisi berisiko tersebut. Beberapa perusahaan yang dapat menghadapi kondisi sulit dengan baikpun ternyata tidak mempunyai cara khusus dalam menanganinya. Akan tetapi terdapat perilaku yang hampir sama pada masing-masing perusahan tersebut yang menghantarkan kita pada sebuah “ketangguhan” supply chain. Pada dasarnya ketangguhan supply chain merupakan kemampuan dari perusahaan untuk menghadapi kondisi tidak terduga yang terjadi dan akan menjadi salah satu dari kesuksesan supply chain. Dalam perkembangan lebih lanjut ketangguhan ini tidak hanya dapat digunakan untuk menghadapi kondisi yang tidak menguntungkan saja bahkan dapat menjadi satu nilai tambah untuk memenangkan persaingan dalam dunia bisnis. Pada ilmu material ketangguhan menunjukkan kemampuan dari spesimen untuk tetap dalam kondisi awalnya sebelum terjadi deformasi. Sedangkan pada supply chain ini ketangguhan merupakan kemampuan dari perusahaan untuk tetap berada pada kondisi normal saat mendapatkan gangguan yang besar. Secara garis besar terdapat tiga cara untuk membentuk ketangguhan supply chain yaitu dengan meningkatkan redundancy, fleksibilitas dan merubah budaya perusahaan.
Secara teoritis perusahaan yang tangguh dapat dibangun dengan membuat beberapa redundancy proses seperti extra inventory, memiliki banyak supplier, penjagaan utilisisasi kapasitas yang rendah sehingga terdapat cukup ruangan untuk bergerak pada saat menghadapi kondisi yang tidak menguntungkan. Akan tetapi redundancy tersebut juga membutuhkan tambahan ruangan dan energi untuk menjaga redundance tersebut yang menyebabkan besarnya biaya yang dibutuhkan. Redundancy tersebut selain menyebabkan besarnya biaya tambahan juga dapat mengurangi kualitas barang dan meningkatkan operasi yang tidak diperlukan. Beberapa perusahaan besar seperti Toyota menggunakan Lean Production Process dan Six Sigma untuk mengatasi hal tersebut dengan mengarahkan perusahaan agar menjadi hyper-efficient. Dengan demikian operasi perusahaan diarahkan untuk mempunyai inventory minimal dengan mengutamakan produk dengan kualitas tinggi dan fashionable. Oleh karena itu redudansi lebih difokuskan untuk mendapatkan keunggulan tersendiri dan bukan untuk operasi biasa. Fleksibilitas Perusahaan yang mempunyai fleksibilitas cukup tinggi akan dapat dengan mudah menyikapi adanya fluktuasi permintaan dan terjadinya kondisi yang tidak diperkirakan. Fleksibilitas dalam perusahaan dapat diciptakan dengan menggunakan beberapa langkah berikut : •
Menggunakan proses strandar Perusahaan yang menggunakan proses standar akan dengan mudah melakukan penggantian jenis produk yang dihasilkan. Proses standar lebih mudah dimengerti karena tidak terdapat spesifikasi khusus pada setiap prosesnya. Selain itu setiap karyawan dapat mengidentifikasi dengan mudah apabila terjadi kerusakan.
NEWSLETTER
-page-4
Edisi Perdana, Maret 2007
•
Melakukan proses yang berurutan secara bersamaan Dengan menggunakan tipe proses paralel akan mengurangi waktu yang dibutuhkan untuk memproduksi sehingga time to market dapat diminimalkan.
•
Menggunakan strategy postpone Strategy postpone dilakukan dengan mengurangi penyimpanan dalam bentuk produk jadi. Produk setengah jadi akan memberikan beberapa keuntungan antara lain lebih mudah dipindahkan, membutuhkan sedikit tempat dalam penyimpanan dan kebutuhan konsumen akan lebih mudah dipenuhi. Produk tetap dalam bentuk setengah jadi hingga saat perusahaan mempunyai informasi permintaan yang lebih akurat. Dengan demikian akan mengurangi jumlah pengembalian barang yang sangat merugikan perusahaan.
•
Memperkuat strategi pengadaan barang dengan menjaga hubungan baik dengan supplier. Perusahaan yang mempunyai supply chain pendek dan menpunyai sedikit supplier kunci akan dapat dengan mudah menjaga hubungan. Namun pada perusahaan yang mempunyai banyak supplier kunci harus dapat mengidentifikasi supplier-supplier yang sangat mempengaruhi kinerja perusahaan. Selain itu perusahaan harus mengetahui permasalahan yang sedang dihadapi oleh para supplier tersebut dan membentuk solusi untuk memecahkan masalah tersebut. Hal ini terkait dengan terganggunya proses produksi perusahaan jika tidak mendapat supply yang baik. Dengan demikian sangat penting untuk memperhatikan kondisi supplier seperti memperhatikan perusahan sendiri.
Dengan empat langkah diatas perusahaan akan dapat dengan mudah memberikan tanggapan terhadap perubahan yang terjadi dalam perusahaan. Mengubah budaya perusahaan Selain kedua faktor diatas kebiasaan untuk dapat mau berubah secara berkesinambungan dan terus menerus merupakan salah satu faktor penentu untuk mengembalikan perusahaan pada kondisi yang baik. Budaya-budaya baik yang banyak dikembangkan oleh banyak perusahaan besar seperti Nokia, Toyota, UPS, Dell, dsb antara lain :
•
Komunikasi yang baik antar seluruh elemen dalam perusahaan Seluruh karyawan harus mengerti tujuan strategis perusahan, strategi yang dilakukan, dan tingkat ketercapaiannnya. Hal ini memudahkan karyawan untuk dapat memberikan tanggapan dengan cepat terhadap kondisi yang tidak menguntungkan.
•
Memberikan otoritas kepada individu untuk memberikan keputusan Karyawan pada bagian perakitan di Toyota dapat menghentikan proses produksi dengan menekan alarm. Hal ini cukup realistis mengingat para karyawan tersebut yang bersentuhan langsung dengan kondisi pada lantai produksi sehingga kesalahan dapat dengan mudah dideteksi. Kesalahan yang banyak terjadi pada perusahaanperusahaan lain adalah terlalu panjangnya birokrasi yang harus dilakukan untuk membuat sebuah keputusan dan keputusan diambil bukan oleh orang yang menangani secara langsung.
•
Penciptaan iklim gairah dalam bekerja Penciptaan gairah dalam bekerja dapat meningkatkan performa dari perusahaan yang berpengaruh pada produktivitas.
•
Mengkondisikan untuk berhati-hati Albert Wright, juru bicara UPS mengatakan bahwa gangguan yang terjadi merupakan sebuah normalitas namun apabila kita mengganggap gangguan tersebut merupakan bagian dari pekerjaan kita, maka gangguan tersebut tidak akan terlalu berarti.
Faktor-faktor diatas tidak dapat berdiri sendiri untuk membangun sebuah supply chain atau perusahaan yang tangguh. Namun apabila kita dapat mensintesa keseluruhan factor tersebut, kita tidak hanya mendapatkan sebuah perusahaan yang tangguh namun dapat memenangkan permainan. *****Disadur dari Harvard Business Review on Supply Chain Strategy “Buiding a Resilient Supply Chain” oleh Yossi Sheffi
NEWSLETTER
-page-5
Edisi Perdana, Maret 2007
Collaborative Logistics Networks, What’s Up? M. Nizar Firmansyah
Tak
ada kawan atau musuh yang abadi. Yang ada hanyalah kepentingan abadi. Adagium ini begitu populer di percaturan politik. Tetapi, di dunia bisnis, prinsip itu juga berlaku. Tidak selamanya dua perusahaan, yang bergerak di industri yang sama, dengan barang jualan yang mungkin juga sama, harus selalu gontok-gontokan berebut pasar. Pada kondisi tertentu, bisa jadi keduanya malah berkolaborasi dengan mesra, diikat oleh kepentingan bersama (common interest). Sekarang tinggal bagaimana mencari common interest itu. Di tengah persaingan yang sengit, upaya yang lazim dilakukan perusahaan untuk bertahan hidup tidak lagi sekedar mencetak sales sebesar-besarnya, tetapi harus diimbangi peningkatan efisiensi dan produktivitas operasional. Ujung-ujungnya apalagi kalau bukan mendongkrak bottom line. Karenanya, efisiensi bisa menjadi “kepentingan abadi”, yang mendorong dua atau lebih perusahaan berkolaborasi. Mungkin hal tersebutlah yang mendasari Kevin Lynch, seorang Chairman dan CEO dari Nistevo Corporation, menuliskan idenya dalam sebuah jurnal berjudul “Collaborative Logistics Networks Breaking Traditional Performance Barriers for Shippers and Carriers”. Masalah efisiensi operasional merupakan masalah yang sangat signifikan mempengaruhi banyak perusahaan dalam usahanya untuk meminimalisasi total biaya yang dikeluarkannya. Kebanyakan dari mereka merasa tidak efisien dalam pengelolaan logistiknya, khususnya transportasi produkproduknya, baik dari pabrik ke pusat distribusi, atau dari pusat distribusi ke konsumen. Sebagian bahkan seluruhnya memanfaatkan jasa angkutan pihak ketiga sehingga mereka merasa kesulitan dalam mengoptimalkan utilisasi sarana logistiknya. Dalam suatu penelitian didapatkan bahwa sering sekitar 20-25 persen perjalanan truk dari satu titik ke titik lainnya, cuma mengangkut angin alias kosong atau biasa dikenal sebagai “revenue miles” yang diakibatkan dalam perjalanan kembali ke pabrik, truk ini tidak mengangkut apa-apa dimana mereka tetap
membayar biaya truk, tapi tidak membawa apa-apa. Sedang bagi pengusaha truk, meski ia mendapat fee, optimalisasi truknya rendah. Dari sinilah strategi collaboration logistics berperan. Secara konsep sendiri, collaboration logistics menggunakan metode vehicle consolidation yang mirip dengan omprengan. Dimana sebelum adanya konsolidasi tersebut, pada awalnya sewa kendaraan dilakukan untuk melakukan transportasi pergi (linehaul transportation) saja, biaya sewa transportasi untuk satu arah ini lebih tinggi daripada biaya sewa transportasi dua arah, karena biaya sewa transportasi pergi memperhitungkan pula biaya transportasi pulang (backhaul transportation). Dengan kebijakan vehicle consolidation, transportasi pulang dari suatu tempat dapat mengangkut barang lain dari tempat tujuan ke tempat asal ataupun tempat tujuan lainnya, sehingga biaya sewa menjadi lebih rendah. Dengan kata lain, kebijakan ini adalah menggabungkan layanan penghantaran barang (deliveries) dan pengambilan barang (pickups) dari berbagai tempat dalam satu perjalanan truk.
(a) Sistem Pengiriman Barang antar Pabrik Tanpa Vehicle Consolidation
(b) Sistem Pengiriman Barang antar Pabrik menggunakan Vehicle Consolidation
Dengan memanfaatkan aplikasi berbasis Web maka perusahaan akan lebih mudah dalam mengkoordinasikan pengiriman, baik dari pabrik ke pusat distribusi, atau dari pusat distribusi ke konsumen, dengan puluhan maupun ratusan truk milik puluhan perusahaan lain yang tergabung dalam jaringan logistik tersebut. Melalui aplikasi itu,
NEWSLETTER
-page-6
Edisi Perdana, Maret 2007
perusahaan bisa mengaitkan kontrak dengan jumlah angkutan, dan memeringkat penyedia truk berdasarkan kualitas, biaya dan kinerjanya. Berkat stategi collaborative logistic network yang menggunakan fasilitas Internet, perusahaan bisa mengidentifikasi truk-truk mana yang kosong, carrier terbaik, dan mencari rute tercepat, serta berbagi angkutan di lusinan rute milik perusahaan lainnya, yang juga memanfaatkan jaringan logistik tersebut. Seperti pada jenis usaha-usaha outsourcing kegiatan logistik suatu perusahaan, diperlukan suatu pihak ketiga yang berperan sebagai perantara dari komunitas perusahaan pengguna jasa collaborative logistic tersebut. Dengan menggunakan fasilitas atau sistem manajemen logistik berbasis Web atau internet yakni dengan menggunakan aplikasi ASP (application service provider), proses koordinasi antara masing-masing perusahaan dapat berjalan dengan cepat dan efisien dalam segi biaya dan waktu. Manfaat yang bisa diambil dengan penerapan collaborative logistic ini sangat besar dimana secara signifikan akan berpengaruh kepada pengurangan biaya logistik yang dikeluarkan oleh perusahaan yakni sekitar 10 hingga 20 persen atau bahkan lebih. Beberapa manfaat tersebut yakni sebagai berikut : ¾ Meningkatnya logistics service performance pada usaha pengurangan biaya untuk shipper. ¾ Turnover kendaraan dan sopir yang diperoleh lebih rendah bagi carrier. ¾ Mengidentifikasi dengan mudah truk-truk mana yang kosong, carrier terbaik, dan mencari rute tercepat, serta berbagi angkutan di lusinan rute milik perusahaan-perusahaan lainnya yang juga memanfaatkan jaringan logistik tersebut. ¾ Dengan bantuan Internet, pengiriman dapat dilacak secara real time dan data barang apa dimuat ke truk yang mana dapat diketahui setiap waktu. ¾ Dengan adanya koordinasi antara perusahaan, proses distribusi dapat diefisienkan dengan menggabungkan muatan dari berbagai perusahaan yang akan mengirim muatan dengan tujuan searah dengan satu jadwal pengiriman yang sama. ¾ Adanya visibilitas terhadap hidden cost yang terjadi dalam proses distribusi. ¾ Meningkatkan utilitas truk, khususnya di tempattempat di mana surplus truk kosong. ¾ Menghilangkan peran intermediary dalam pengelolaan armada logistik.
Meskipun dengan banyaknya keuntungan yang dapat diperoleh dengan adanya penggunaan strategi collaborative logistic tersebut, pada kenyataannya masih banyak kelemahan yang dirasa dapat menghambat jalannya proses tersebut yang secara tidak langsung mempengaruhi kinerja dari jaringan yang telah terbentuk tersebut, yakni diantra lain tidak banyak perusahaan yang membutuhkan truk dengan spesifikasi khusus seperti truk berpendingin yang digunakan untuk mengangkut produk-produk bahan makanan yang tidak tahan lama atau tidak mungkinnya digabungkan pengiriman produk yang berbeda karakteristik seperti makanan kemasan dengan produk semen barangkali sehingga beberapa perusahaan yang ingin masuk ke dalam jaringan membutuhkan partner atau minimal perusahaan lain yang bergerak di bidang atau industri yang sama. Hal lain juga muncul yakni timbulnya pandangan bahwa bekerjasama dengan perusahaan lain di industri yang sama, dimana mungkin saja perusahaan itu adalah “musuh“ utama, masih belum menjadi konsep sederhana bagi kebanyakan orang. Alasan lain mengapa collaborative logistic masih dianggap sulit dilakukan yakni dengan dilakukannya pembagian rute dengan perusahaan lain dapat membuat perusahaan lebih rentan terhadap penundaan jadwal. Apabila salah satu perusahaan mengalami gangguan pengiriman maka perusahaan lain dapat tertunda pula proses pengirimannya. Masalah-masalah tersebutlah yang seharusnya menjadi tugas bagi para ilmuwan-ilmuwan untuk memberikan solusi pemecahan terbaiknya dalam rangka perbaikan dalam pembentukan jaringan logistik yang benar-benar memberikan suatu manfaat yang optimal dan nyata bagi industri-industri untuk meningkatkan kinerja mereka di bidang operasional termasuk pengelolaan logistik mereka, sehingga penelitian-penelitian ke depan sangat diperlukan untuk mencapai hal tersebut.
Referensi : - “Collaborative Logistics Networks - Breaking Traditional Performance Barriers for Shippers and Carriers” oleh Kevin Lynch - eBizz Asia Information Technology, Communication and e-Business Magazine “Collaborative Logistic Business Case, Berbagi Omprengan Meraih Efisiensi”
NEWSLETTER
-page-7
Edisi Perdana, Maret 2007
DARI SISTEM REPLENISHMENT TRADISIONAL MENUJU SISTEM VENDOR MANAGED INVENTORY (VMI) I Wayan Suardika
Evolusi pasar pada saat ini serta perubahan peraturan dan kekuasaan di dalam suatu jaringan telah merubah persaingan antara perusahaan menjadi persaingan antar satu kesatuan supply chain. Pemusatan strategi dalam peningkatan kinerja suatu jaringan adalah salah satu atau satu-satunya jalan yang dapat diambil oleh perusahaan untuk dapat memenangkan kompetisi.
dengan komposisi produk yang bervariasi sesuai dengan penjualan dan level stok yang telah ditentukan sebelumnya. Jika tanggung jawab untuk proses replenishment berada di tangan pabrik, CR lebih dikenal dengan sistem Vendor-Managed Inventory (VMI). Karakteristik utama dari VMI adalah lead time yang pendek, frekuensi dan penyerahan tepat pada waktunya serta mengoptimalkan produksi dan perencanaan pengangkutan pada proses replenishment.
Konsep supply chain management ini pertama kali diterapkan pada sektor grocery melalui penyebaran Efficient Consumer Response (ECR) pada awal tahun 1980an dan kemudian diterapkan pada industri pakaian sebagai responnya. Pendekatan inovatif ini kemudian diadopsi. Teori awal perencanaan kembali supply chain, dapat digunakan pada berbagai poin produksi sebagai penghubung dan distribusi (gambar 1), adalah area promosi (efficient promotion), penyortiran (efficient assortment), pengembangan dan pengenalan produk baru (efficient new product introduction), dan logistik yang mempertimbangkan proses pengisian kembali (efficient replenishment). Pemusatan perhatian pada area tersebut akan mengakibatkan peningkatan yang signifikan untuk memperbaiki daya jual antara biaya dan service level dan demikian peningkatan performance keseluruhan saluran SC. Salah satu perbaikan dilakukan dengan Continuous Replenishment (CR). Fasilitas ini merupakan implementasi dari beberapa teknik pendukung seperti EDI, kemudian bar code, scanner, computer-assisted ordering (CAO), cross-docking, multi-drop/multi-pick, Electronic Forecasting System, Billing System, Automated receivable-Payment System, Electronic Warehouse Receiving System, Vehicle Fill Optimisation,Truck Scheduling dan lainlain. CR menyusun kembali sistem tradisional dalam proses ordering dan repenishment dengan memindahkan kegiatan purchase order dari distributor menjadi tanggung jawab supplier. CR adalah suatu proses penyetokan ulang di mana produsen mengirimkan barang pada pusat distribusi
Efficient consumer response Keuntungan menggunakan VMI Penggunaan VMI (Vendor managed inventory) menunjukkan hasil yang sangat bagus pada Electrolux group, VMI memberikan peningkatan keuntungan yang signifikan untuk semua bagian distribusi dan supply chain, misalnya : a) Dapat dengan segera merespon keinginan pelanggan b) Dapat memberikan pelayanan lebih baik c) Mengurangi kesalahan karena penggunaan kertas d) Meningkatkan jangkauan pemasaran e) Memperbaiki perencanaan dan mengurangi perencanaan kembali f) Pengurangan stock secara signifikan dalam perusahaan dari kedua jaringan upstream dan jaringan downstream
NEWSLETTER
-page-8
Edisi Perdana, Maret 2007
g) Dapat mengelola risiko kerugian h) Meningkatkan penjualan
Perbandingan dengan VMI
antara
dan
sistem
kerugian-
tradisional
Mempengaruhi pesanan Salah satu dasar analisis berasal dari proses penetapan pesanan sangat berbeda dan dimodifikasi dari sistem tradisional menjadi VMI adalah kemampuan respon dari pengadaan di tangan supplier yang menerima pesanan yang tidak pasti, tetapi perencanaan jumlah dan waktu untuk pengadaan yang menjamin persediaan yang berubah-ubah sesuai dengan perubahan dan untuk mengoptimalkan tidak hanya pada stock sendiri tetapi juga stock secara keseluruhan. Perubahan data Meskipun pergeseran pengadaan pesanan yang pasti terjadi antara customer dan supplier memberikan ruang untuk mengpotimalkan data dan informasi mengenai peramalan penjualan, stock level pada warehouse/gudang, pemesanan dan penggunaan yang disetujui jaringan bagian hilir, dan juga promosi yang dilakukan melalui konsumen. Penggunaan alat Intensitas dan transfer data yang cepat diperlukan dalam VMI. Aliran material dan informasi yang diperlukan juga berbeda. Peralatan dalam VMI yang mendukung adalah dengan instrument elektronik, standarisasi untuk transmisi dan pengkodean, sistem yang torotomasi untuk mempengaruhi dan mengatur pengadaan yang dilakukan. Sedang pada sistem tradisional menggunkan kertas (berupa Fax,dll). Perencanaan Dalam VMI data penjualan dan aktivitas pemasaran merupakan dua bagian yang saling berkaitan, pertama semua keluaran tidak dapat menurunkan permintaan akibat perpanjangan jaringan (Forrester effect). Ini juga menurunkan tingkat volume pengiriman karena keputusan untuk menetapkan satu anggota jaringan, sebagai pengamanan promosi atau tingkat persediaan. Kedua VMI memperkenankan tingat peramalan pada supplier, oleh karena itu, dapat memperbaiki perencanaan produksi pada suplier. Lebih handalnya peramalan penjualan, mendifinisikan stock level yang berubah-ubah untuk menjamin pelayanan pada pengguna akhir dan mengawasi persediaan secara
berkelanjutan pada jaringan supplier agar dapat menentukan pilihan, tidak sama pada sistem perencanaan produksi secara tradisional sebagian besar dasarnya merubah peramalan penjualan, Rencana produksi lebih stabil (Master Production Schedule—MPS). Mempunyai kebebasan untuk merencanakan penambahan, suplier dapat memenuhi pesanan, untuk mencapai level yang lebih besar dan mengoptimalkan kapasitas produksi, juga sama baiknya dalam menggunakan kapasitas transportasi untuk pengiriman. Performance Bagian logistik yang lebih besar dan sebagian besar informasi terintegrasi tidak hanya menjamin perbaikan yang efisien tidak hanya dari dalam, pada masing-masing unit seperti pada sistem pengadaan tradisional, tetapi secara keseluruhan jaringan pengadaan. Pengawasan secara terus-menerus terhadap permintaan konsumen secara sungguhsungguh memperkenankan pada suplier untuk memilih, alokasi kapasitas atau menyesuaikan kebutuhan material sesuai dengan permintaan pasar sebenarnya. Penerapan VMI Salah satu halangan pengembangan VMI adalah keengganan banyak perusahaan mempertimbangkan keuntungan yang ditawarkan dalam kerjasama. Masih ada beberapa yang bertahan, sebagian besar dari semua distributor mempunyai rasa tidak percaya dalam transfer tanggung jawab pengadaan terhadap produsen dan berbagi data yang berhubungan dengan konsumen, rencana penjualan dan peramalan. Ini merupakan ketakutan mula-mula yang akan menjadi kepercayaan yang kuat sebagai pendorong dalam mengurangi jumlah jaringan, memberikan informasi kepada produsen yang lebih baik mengenai permintaan dan kebutuhn pasar. Banyak distributor tidak memahaminya dan hanya siap bekerjasama dan menginginkan dapat lebih efesien pada kebutuhan pasar oleh karena itu berupaya untuk menjadi jaringan lebih kompetitif. Lebih jauh lagi perlu diperhatikan bahwa implementasi proses VMI memerlukan perubahan organisasi dalam perencanaan produksi. Perubahan itu tidak hanya meliputi fungsi logistik tetapi semua fungsi bagian penjualan (mengurangi kebutuhan stock), perencanaan produksi (fokus pada peningkatan fleksibelitas), pemasaran (bersama bagian distribusi memilih susunan produk),
NEWSLETTER
-page-9
Edisi Perdana, Maret 2007
pengadaan (mencoba penerapan konsep VMI pada supplier bagian hilir). Pengembangan struktur organisasi sehingga lebih lebih siap dan tidak terpusat. Di satu pihak pertimbangan jaringan mengenai karakteristik permintaan produk, sebagian bervariasi dan dapat diprediksi. Pertimbangan lain adalah volume produk yang di inginkan. Pengaruh dari variabel ini pada performansi VMI tidak dapat dianalisa tanpa mempertimbangkan variabel 'fleksibilitas'. Dengan fleksibilitas perusahaan serta fleksibilitas produksi suplier yang tinggi VMI menunjukkan pengurangan yang cukup besar terhadap perubahan pasar maupun terhadap kelebihan produksi. Keuntungan dari VMI adalah peramalan yang lebih baik dan perencanaan produksi dapat dikurangi. Selain itu performansi VMI menghasilkan ketepatan level permintaan, tentu saja dengan demand yang berfluktuasi dan dengan reliability yang rendah dan keakuratan informasi yang rendah antara customer dan suplier. Keuntungan VMI tidak akan begitu terlihat jika dibandingkan dengan sistem tradisional. VMI benar-benar memerlukan infopartnership yang aktual. Vergin dan Barr (1999) serta referensi lain yang berhubungan dengan ECR menandakan perlunya masa kritis untuk investasi teknologi untuk mendukung VMI. Waller mendemonstrasikan bagaimana bersamaan dengan peningkatan volume, performa jaringan meningkat pula, khusunya level persediaan, dan oleh sebab itu biaya yang berhubungan hal-hal tersebut menurun. Pada beberapa kasus, biaya adalah satu dari variabel utama yang mempengaruhi pilihan antara menggunakan VMI dan sistem tradisional upstream dan downstream. Volume dan jarak geografis antara partner juga berhubungan dengan IT dan level otomasi yang diperlukan dan oleh sebab itu untuk keperluan investasi teknologi yang dapat di-trade off hanya terhadap volume tinggi dan pengurangan jarak. Banyak orang menganggap VMI semata sebagai proses pemenuhan persediaan/replenishment yang otomatis dan kegunaannya adalah hanya untuk menyesuaikan standar produk, dengan karakteristik permintaan yang tetap, siklus hidup yang panjang tapi mengurangi batas, yang oleh Fisher disebut sebagai produk fungsional. Menurut Fisher, produk-produk tersebut memerlukan supply chain yang efektif, dimana fokus utama adalah optimasi dari aliran fisik
produk, yaitu pengurangan dari harga melalui standardisasi dan otomasi proses. Sebaliknya, produk inovatif memerlukan supply chain yang lebih reaktif, yang ditandai dengan fleksibilitas tinggi dan aktifitas marketing komprehensif, karena peningkatan ketidakpastian pasar dan produk yang cepat kadaluarsa dan oleh sebab itu biaya yang muncul terkait dengan persediaan yang berlebih. Potensi keuntungan dari VMI berhubungan erat dengan strategi kolaborasi dengan partner. Jika ini adalah unit produksi yang mengatur suply dari customernya sendiri dengan persetujuan berbagi peramalan penjualan, insidental tapi tanpa informasi mengenai tindakan nyata, seperti kampanye promosi yang menangani customer atau pengenalan produk baru oleh bagian pemasaran,VMI akan menghasilkan inefisiensi yang besar dan kerugian untuk kedua belah pihak. Lagipula, keuntungan dari VMI, berasal dari pengalokasian resource yang lebih efisien, berdasarkan kebutuhan aktual, yang bisa jadi lebih besar untuk produk inovatif daripada produk fungsional. Oleh karena itu VMI menawarkan potensi yang lebih besar untuk kedua tipe produk tersebut. Pada kasus tertentu, inovasi produk tidak mempengaruhi pilihan terhadap sistem pemenuhan persediaan, tapi mempunyai pengaruh terhadap pengaturan beberapa parameter yang membangun proses VMI, seperti servis level yang diperlukan, target persediaan, dan frekuensi pemenuhan persediaan. Ciri bagian upstream untuk menetapkan pilihan pada VMI adalah spesifik, critical, dan penggunaan kode pada ruang. Kode tersebut tersedia dengan spesifikasi tinggi, tingkat kritis rendah dan peningkatan penggunan volume space diatur dengan kebijakan replenishment yang berbeda dari VMI; Kode-kode tersebut adalah variabel "volume space" dan "kekhususan" yang mungkin lebih penting dibandingkan dengan yang lain dengan kebijakan replenisment tradisional dengan jumlah reorder pada saat diperlukan dan replenishment perjam. ****Disarikan dari International Journal of Production Economics 96 (2005) 63–79 “From a traditional replenishment system to vendor-managed inventory: A case study from the household electrical appliances sector” oleh Alberto Felice De Toni & Elena Zamolo
NEWSLETTER
-page-10
Edisi Perdana, Maret 2007
Publication & Research News Satu Artikel Dari Lab LSCM Diterima Di Jurnal Internasional Artikel berjudul Schedule Instability in a Supply Chain: An Experimental Study yang ditulis oleh Dr. Nyoman Pujawan diterima untuk dipublikasikan di International Journal of Inventory Research. Jurnal ini diterbitkan oleh Indescience Ltd dengan editor Professor Timothy Urban dari University of Tulsa, USA.
@@@@@@@ Tiga Orang Dosen Lab LSCM Akan Mempresentasikan 7 Makalah Di 2nd OSCM Conference Di Bangkok Ada 3 orang dosen dari Lab LSCM ITS akan mempresentasikan makalah di 2nd International Conference on Operations and Supply Chain Management (OSCM) yang akan diadakan di Hotel Novotel – Bangkok pada tanggal 18 – 20 Mei 2007. Ketiga dosen tersebut adalah Dr. Nyoman Pujawan, Dr. Ahmad Rusdiansyah, dan Iwan Vanany, ST. MT. Konferensi ini adalah kelanjutan dari 1st OSCM conference yang diselenggarakan di Nusa Dua – Bali pada bulan Desember 2005 lalu dimana Jurusan Teknik Industri ITS sebagai pionir dan tuan rumah. Ketujuh makalah yang akan dipresentasikan pada konferensi tersebut adalah : 1. A Model For Proactive Supply Chain Risk Management (Nyoman Pujawan & Laudine H. Geraldin) 2. Principles Of Simulation Modeling For International Supply Network (Mahendrawathi & Nyoman Pujawan) 3. Schedule Instability And Collective Efficacy : A Working Paper In The Pearl River Delta (Kris Law & Nyoman Pujawan) 4. Supply Chain Risk Management : Literature Review And Future Research (Iwan Vanany, Suhaiza Zailani, Nyoman Pujawan) 5. Supply Chain Risk Management (SCRM) In The Indonesian Manufacturing Companies: Survey From Manager Perspectives (Iwan Vanany, Suhaiza Zailani, Ahmad Rusdiansyah)
6. Developing a software prototype of Vehicle Routing Problem with loading constraints using genetic algorithms (Ahmad Rusdiansyah, Ira Prasetyaningrum, Budi Santosa, De-bi Cao) 7. Heuristic modeling for solving inventory routing problem with simultaneous delivery and pickup (Ahmad Rusdiansyah & De-bi Cao)
@@@@@@@ Dua Penelitian Dari Lab LSCM Didanai Oleh DIPA ITS Dua proposal penelitian dari Lab LSCM diterima untuk didanai oleh ITS melalui dana DIPA. Proposal pertama mengangkat masalah supply chain pisang di Jawa Timur dengan ketua peneliti Dr. Nyoman Pujawan. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi perbedaan kebijakan terkait dengan pengelolaan informasi terhadap perilaku pasokan dan harga pisang di Jawa Timur. Studi akan dilakukan dengan pendekatan sistem dinamis. Proposal kedua adalah tentang Perancangan Prototipe Perangkat Lunak Untuk Pengelolaan Inter-Office Mail Courier System dengan ketua peneliti Dr. Ahmad Rusdiansyah. Kedua penelitian tersebut melibatkan mahasiswa sebagai tim peneliti yaitu Niniet Indah dan Elly Ismiyah untuk penelitian pertama, sedangkan untuk penelitian kedua adalah Fadilatul Imami dan Ery Ira Kusumah. Diterimanya dua proposal ini merupakan prestasi yang bagus mengingat persaingan untuk mendapatkan pendanaan DIPA di ITS sangat ketat (dengan tingkat penerimaan sekitar 10% – 15% dari jumlah proposal yang masuk).
@@@@@@@ Publikasi Di IPOMS Newsletter Satu artikel yang ditulis Iwan Vanany telah diterima pada IPOMS Newsletters untuk diterbitkan pada edisi ke-3. Artikel tersebut berjudul "Pemetaan dan prioritasi sumber-sumber resiko inbound supply chain di industri manufaktur Indonesia"
NEWSLETTER
-page-11
Edisi Perdana, Maret 2007
BREAK FIRST . . . . . .
SYNCHRONIZING SUPPLY CHAIN AND MARKETING Secara tradisional selalu terjadi conflicting interest antara fungsi marketing dengan fungsi supply chain. Bagaimana konflik tersebut bisa direkonsiliasi ? Teknik-teknik apa yang bisa digunakan ? Isu hangat ini akan dikupas pada acara berbentuk gathering yang akan diselenggarakan pada :
At
28 April 2007 BANANA LEAF
Manyar Kertoarjo No.35
Untuk Pendaftaran dan Informasi Lebih Lanjut hubungi : Niniet 08165437008 Vira 08563412571 Atau E-mail di
[email protected]
LOGISTICS & SCM LABORATORY presents … >> Strategic Procurement Training, 30-31 Mei 2007 >> Inventory Management Training, 4-5 Juni 2007 >> Warehouse Management Training, 18-19 Juli 2007
Improve your knowledge through our quality training modules Untuk Pendaftaran dan Informasi Lebih Lanjut hubungi : Elly 081331623008 Yunita 085649526124 Atau E-mail di
[email protected]
NEWSLETTER
-page-12
Edisi Perdana, Maret 2007
Rubrik Santai
Productive or Workaholic??? semacam ini biasanya lebih menimati hidup. Datang dan pulang kantor sesuai jadwal, bercanda dengan keluarga dan mendapatkan promosi yang diidamidamkan.
By Titik Purnawati
Saat kita
sedang mengincar posisi tertentu dalam pekerjaan, sering kali fokus kehidupan hanya berkutat pada masalah bekerja dan bekerja. Bahkan seringkali seluruh waktu, pikiran dan energi hanya untuk pekerjaan hingga tubuh kelelahan dan menjadi langganan rumah sakit. Namun sayangnya posisi yang diidam-idamkan tak juga datang. Sering kali posisi tersebut justru melanyang ke tangan orang lain yang tidak bekerja sekeras kita. Lantas apa yang salah?
Yes for Productive Not to Workaholic o
o
o
Banyak orang yang beranggapan banyaknya waktu yang digunakan untuk bekerja berkorelasi dengan kualitas dan berkontribusi lebih pada perusahaan. Oleh karena itu banyak orang yang menjadi ‘workaholic’. Workaholic merupakan behavior yang beranggapan bahwa pekerjaan merupakan kehidupan. Orang yang menderita workaholic akan disibukkan oleh pekerjaan hampir 24 jam sehari. Mereka tidak mempunyai waktu untuk sedikit bersantai untuk minum teh atau sekedar ngobrol dengan teman. Menurut mereka hal tersebut merupakan hal yang tidak penting dilakukan. Yang penting hanyalah pekerjaan.
o
o o
Produktivitas orang yang produktif dan workaholic bisa saja sama atau bahkan malah lebih baik. Kuncinya adalah penjadwalan pekerjaan dan prioritas. Dengan hal itu anda dapat meraih karier yang anda impikan tanpa menjadi korban dari ambisi anda sendiri.
Namun sayang pengorbanan tersebut tidak mendapat hasil yang baik. Perusahaan tidak menilai lama waktu bekerja namun kualitas pekerjaan. Orang yang productive dapat membagi pekerjaannya dan menyelesaikan pekerjaan dengan kualitas baik tanpa membiarkan dirinya tertelan oleh pekerjaan. Orang
Workaholic
Jadwal kerja Buat jadwal kerja dan target secara sistematis dan teratur tanpa mengorbankan waktu istirahat Skala prioritas Jangan biarkan ada pekerjaan yang tumpang tindih Pendelegasian tugas Fokus terhadap pekerjaan kita dan delegasikan tugas pada anak buah jika mungkin One Job for One time Jangan bekerja secara borongan untuk banyak pekerjaan karena akan mengurangi kualitas hasil . Sehat Jaga kondisi fisik dan mental Rilex Sisihkan waktu untuk dapat bersosialisasi dengan lingkungan untuk mehilangkan kepenatan dan segar kembali.
Vs H
H Bekerja terus menerus dan mengorbankan kepentingan keluarga H Panik jika target tidak tercapai H Hanya berpikir pekerjaan dan tidak bisa mengalihkan perhatian
Productive Mempunyai batas untuk pekerjaan dan masih mempunyai waktu untuk aktivitas yang lain H Dapat mengendalikan diri untuk tetap tenang H Mampu mengalihkan perhatian pada hal selain pekerjaan
NEWSLETTER
-page-13
Edisi Perdana, Maret 2007
PPIC Perusahaan Manufaktur Indonesia: State of Practice I Nyoman Pujawan, Ph.D
perusahaan manufaktur di Indonesia mengalami schedule nervousness serta apa yang mereka lakukan untuk mengatasi hal tersebut.
2. Responden
1. Pendahuluan Schedule nervousness sudah lama merupakan topik menarik dalam konteks sistem perencanaan dan pengendalian produksi. Steele (1975) adalah diantara penulis awal yang mengangkat isu schedule nervousness pada sistem produksi. Berawal dari implementasi model MRP pada perencanaan produksi dan pengadaan material, schedule nervousness pada hakekatnya digunakan untuk merepresentasikan teramplifikasinya perubahan-perubahan yang terjadi pada rencana induk produksi (master production schedule) kedalam perubahan-perubahan pada kebutuhan material dan komponen yang menyusun produk akhir. Perubahan-perubahan yang terjadi tersebut mengakibatkan ketidakstabilan sistem penjadwalan, mulai dari berubahnya penugasan operator produksi, berubahnya urutan setup mesin, perubahan alat angkut (mode of transportation) yang perlu digunakan untuk mengirim material yang dibutuhkan secara mendesak dan tiba-tiba, serta perubahan-perubahan lainnya. Perubahan yang terlalu banyak akan mengakibatkan biaya pada sistem supply chain menjadi tinggi dan kepercayaan staf terhadap sistem penjadwalan menjadi berkurang. Untuk memahami fenomena perubahan-perubahan jadwal yang terjadi serta berbagai hal lain yang terkait dengan state of practice PPIC di perusahaanperusahaan di Indonesia, baru-baru kami mengadakan survey terhadap permasalahan tersebut pada. Tujuan penelitian ini adalah untuk mendapatkan gambaran bagaimana prakterk PPIC di perusahaan-perusahaan manufaktur di Indonesia serta seberapa baik kinerja mereka. Di samping itu, penelitian ini juga bermaksud mendapatkan gambaran sejauh bagaimana perusahaan-
Responden penelitian ini adalah manajer atau staff pada fungsi perencanaan dan pengendalian produksi atau fungsi-fungsi lain yang terkait. Dari sekitar 105 calon responden yang dikontak, 65 diantaranya mengembalikan jawaban. Dengan demikian, response rate-nya sekitar 62%. Dari 65 responden tersebut, sebagian besar adalah perusahaan yang bersifat make to stock (artinya memproduksi produk-produk standar berdasarkan ramalan) dan make to order (membuat produk standar berdasarkan pesanan dari pelanggan). Sedangkan responden dari perusahaan yang menggunakan model assembly to order dan engineer to order masing-masing hanya berjumlah 7 dan 5. tabel 1 di bawah ini menunjukan jumlah responden dari masing-masing kategori tersebut. Tabel 1 Klasifikasi responden berdasarkan tipe operasi perusahaan Tipe operasi
Jumlah responden
Make to stock
27
Make to order
29
Assembly to order
7
Engineer to order
5
Berbagai jenis industri terwakili pada survey ini. Lima yang terbesar adalah kelompok komponen otomotif (12 perusahaan), makanan dan minuman (12 perusahaan), elektronik (8 perusahaan), obat / farmasi (5 perusahaan), dan tekstil dan pakaian (4 perusahaan). Di samping itu, masih ada berbagai industri lain seperti furniture, peralatan kantor, kimia, bahan bangunan, dan sebagainya.
3. Metodologi Penelitian Penelitian ini dilakukan melalui survey secara elektronik. Calon-calon peserta diperoleh dari berbagai mailing list elektronik yang terkait dengan bidang PPIC. Selanjutnya, calon-calon responden
NEWSLETTER
-page-14
Edisi Perdana, Maret 2007
tersebut diminta untuk mengisi kuisioner yang sudah dibuat di suatu situs web. Alternatif lainnya adalah mereka mengisi kuisioner dalam bentuk file word yang dikirim lewat e-mail. Sekitar 50% responden memilih mengisi di web dan setengah sisanya mengisi kuisioner yang dikirim sebagai attachment melalui email. Di samping mengisi kuisioner, sebagian responden juga diminta untuk menjawab secara deskriptif berbagai pertanyaan yang dianggap relevan dengan isu-isu schedule nervousness.
4. Hasil Pada tulisan ini, hasil-hasil penelitian akan dibagi menjadi dua bagian. Pada bagian pertama akan disajikan hasil-hasil yang berkaitan dengan pertanyaan-pertanyaan umum menyangkut proses dan kinerja, sedangkan bagian kedua nanti akan mengetengahkan hal-hal yang berkaitan dengan schedule nervousness sebagai isu penting dalam sistem PPIC.
b. Akurasi Catatan Persediaan Akurasi catatan persediaan merupakan isu yang penting dalam kegiatan supply chain. Akurasi yang rendah berimplikasi pada pembelian atau produksi berlebih ataupun mengakibatkan kekurangan material atau produk. Dengan kata lain, akurasi persediaan sangat penting dalam menciptakan supply chain yang efisien dan responsif. Dari hasil survey diperoleh bahwa hampir setengah responden mengatakan mencapai akrasi catatan persediaan di atas 90%. Tentu saja adanya sistem MRP atau ERP bisa membantu meningkatkan akurasi ini, namun yang tidak kalah pentingnya adalah kedisiplinan semua pihak untuk menginputkan data pemasukan maupun pengeluaran barang secara teliti dan tepat waktu. Masih cukup banyak yang hanya mencapai akurasi antara 70-90% (yaitu 48%), sedangkan yang 3% tingkat akurasinya masih di bawah 70%.
<70% 3%
4.1 Proses dan Kinerja a. Akurasi Ramalan Ketika ditanya tentang akurasi ramalan yang dihasilkan, hanya sekitar 31% responden mengatakan akurasinya di atas 80%. Hampir 50% responden mengatakan mencapai nilai antara 50%-80%, sedangkan sebagian kecil (11%) mencapai akurasi sangat rendah (di bawah 50%). Sekitar 6% tidak memiliki data akurasi ramalan, dan sekitar 3% mengatakan bahwa akurasi ramalan tidak relevan karena sistem produksinya tidak berdasarkan ramalan atau perusahaan tidak melakukan sendiri proses peramalan karena hanya menjadi subkontraktor perusahaan lain. Gambar 1 menunjukkan grafik jawaban responden terhadap pertanyaan ini. tidak relevan 3% Tidak tahu 6%
<50% 11%
>80% 31% 50%-80% 49%
Berapa Persenkah akurasi ramalan di perusahaan anda?
>90% 49%
70%-90% 48%
Berapa persenkah akurasi catatan persediaan di perusahaan anda?
c. Tingkat Perputaran Persediaan Seperti yang bisa dilihat pada grafik di bawah, 36% responden menjawab memiliki tingkat perputaran persediaan antara 2-7 kali dalam setahun, 21% mencapai di atas 7 kali, sedangkan 6% mencapai hanya di bawah 2 kali dalam setahun. Memang untuk bisa mengatakan apakah kinerja ini bagus atau tidak, diperlukana analisis per kelompok industri. Namun demikian, data ini berarti bahwa masih cukup banyak perusahaan yang kemampuan memutar persediaan mereka masih relatif rendah. Menariknya, sangat besar proporsi responden yang mengatakan tidak memiliki pengetahuan tentang tingakt perputaran persediaan yang ada di perusahaannya. Padahal, untuk memonitor kinerja perusahaan manufaktur atau kinerja supply chain, indikator ini sangat penting. Tingkat perputaran persediaan untuk perusahaan yang berproduksi secara make to stock (MTS) bisa berlaku untuk produk jadi maupun bahan baku. Sedangkan untuk yang MTO
NEWSLETTER
-page-15
Edisi Perdana, Maret 2007
atau ATO, biasanya dikaitkan dengan tingkat perputaran persediaan bahan baku karena mereka tidak memiliki inventory produk jadi di sepanjang supply chain.
80% dari plan/ schedule yang mereka buat. Namun masih cukup besar proporsi perusahaan yang hanya mencapai realisasi 50% - 80% dan ada sebagian kecil (6%) yang hanya bisa mengimplementasikan plan / schedule di bawah 50% yang mereka buat.
<2 6% Tidak tahu 37%
<50% 6%
2-7 36%
50%-80% 25% >7 21%
>80% 69%
Berapakah tingkat perputaran persediaan?
d. Inventory Days of Supply Kinerja lain yang juga ditanyakan pada survey ini adalah tentang inventory days of supply yang artinya adalah untuk berapa hari rata-rata perusahaan memiliki cadangan barang (persediaan). Mayoritas responden (58%) menjawab antara 15-45 hari. Sebanyak 21% memiliki cadangan persediaan yang relatif rendah, yakni di bawah 15 hari, sedangkan sekitar 16% memiliki cadangan barang cukup tinggi, yakni di atas 45 hari. Hanya 5% responden mengatakan tidak mengetahui kinerja ini. Jadi, dibandingkan dengan inventory turnover rate, tampaknya perusahaanperusahaan lebih lumrah menggunakan istilah inventory days of supply. Grafik distribusi jawaban untuk pertanyaan ini bisa dilihat pada gambar di bawah.
Tidak tahu 5%
Persentase plan / schedule yang terlaksana f. Persentase Material yang Datang Tepat Waktu Kinerja ketepatan waktu kedatangan material dari supplier ditunjukkan oleh pie chart di bawah. Pada gambar tersebut bisa kita lihat bahwa mayoritas perusahaan memiliki ketepatan waktu kedatangan material antara 70% - 90%, yang artinya hanya 10% 30% dari material yang dipesan datang terlambat. Selanjutnya, sekitar 27% responden menjawab bahwa material yang datang tepat waktu di atas 90%, suatu kinerja yang sangat bagus. Ada sejumlah 13% yang kinerjanya cukup rendah, dimana material yang datang tepat waktu kurang dari 70% dan ada 3% dari responden yang tidak mengetahui kinerja ini.
>45 16%
<15 21%
Tidak tahu <70 3% 13% >90 27%
15 - 45 58%
Inventory days of supply
e. Persentase Plan / Schedule yang Terlaksana Pada sistem PPIC, hal yang juga penting untuk diukur adalah persentase plan/schedule yang terlaksana. Plan/schedule yang tidak terlaksana tentu merupakan salah satu indikator efektif tidaknya sistem PPIC suatu perusahaan. Sebagian besar responden (69%) menjawab bahwa mereka bisa melaksanakan di atas
70-90 57%
Persentase material datang tepat waktu
g. Teknologi Informasi yang Digunakan Dari segi kecanggihan teknologi informasi yang digunakan, perusahaan-perusahaan manufaktur memiliki kondisi yang cukup baik. Dari jawaban yang diperoleh, 40% sudah menggunakan ERP yang terintegrasi secara internal dan 14% menggunakan aplikasi SCM yang terintegrasi secara eksternal
NEWSLETTER
-page-16
Edisi Perdana, Maret 2007
(terutama dengan unit bisnis lain didalam satu hubungan kepemilikan). Hampir setengah dari responden masih menggunakan spreadsheet sebagai alat utama dalam mengelola informasi dan sudah tidak ada lagi perusahaan yang hanya menggunakan kalkulator dan mesin ketik.
Kalkulator, measin ketik SCM 0% terintegrasi 14% Spreadsheet 46% ERP 40%
Teknologi yang digunakan.
4.2 Hubungan Perusahaan dengan Supplier Pada penelitian ini, kami juga mencoba mengamati bagaimana aspek-aspek yang terkait dengan hubungan antara perusahaan dengan supplier, hubungan perusahaan dengan buyer, dan faktor-faktor internal. Ketiga faktor tersebut dikembangkan menjadi sejumlah pernyataan yaitu: • • •
5 pernyataan untuk hubungan antara perusahaan dengan supplier (kode 11 sampai 15) 5 pernyataan untuk hubungan antara perusahaan dengan pelanggan (kode 21 sampai 25) 6 pernyataan terkait dengan internal perusahaan (kode 31 sampai 36)
Masing-masing pernyataan tersebut diberi 5 pilihan angka sebagai berikut: 1 – berarti sangat tidak setuju dengan pernyataan tersebut 2 – berarti tidak setuju 3 – berarti netral 4 – berarti setuju 5 – berarti sangat setuju Jawaban dari semua responden kemudian dicari ratarata dan standar deviasinya. Semakin besar rata-rata nilai suatu pernyataan berarti semakin baik hubungan perusahaan dengan suppliernya pada aspek tersebut. Semakin besar nilai standar deviasinya berarti semakin
bervariasi jawaban antara satu responden dengan responden lainnya. Pada tabel 2 di bawah disajikan hasil perhitungan untuk 16 pernyataan di atas, diurutkan dari yang rataratanya tertinggi sampai yang terendah. Dari tabel tersebut bisa kita katakan bahwa rata-rata perusahaan memiliki tim lintas fungsi yang cukup efektif. Tim lintas fungsi di sini adalah tim yang berasal dari fungsi atau bagian yang berbeda seperti pemasaran, produksi, pembelian, engineering (teknik), dan planning. Dewasa ini, dengan tingginya dinamika kebutuhan pelanggan serta ketidakpastian pada pasokan bahan baku, tim lintas fungsi yang tidak solid akan menjadi penghambat dalam menciptakan kemampuan untuk berkompetisi. Tim lintas fungsi yang baik biasanya difasilitasi oleh sistem yang menghubungkan fungsifungsi pada perusahaan, seperti sistem ERP. Nilai yang cukup tinggi juga ditunjukkan oleh tingkat teknologi informasi dan komunikasi yang dimiliki pelanggan serta kemampuan staff PPIC. Di sisi lain, nilai yang terendah ditunjukkan oleh order firmness from buyer, yakni keajegan pesanan dari pelanggan. Ini berarti bahwa responden rata-rata merasa bahwa pelanggan sering melakukan perubahan pada pesanan mereka. Dua aspek lain yang nilainya juga rendah adalah adanya time fencing serta fasilitas informasi dan komunikasi yang dimiliki supplier. Time fencing di sini adalah sekat-sekat waktu yang memberikan batasan kapan suatu order boleh berubah, kapan perubahan boleh dilakukan dengan dengan suatu persetujuan khusus, dan kapan suatu order sudah tidak boleh diubah lagi. Adalah hal yang sangat menyulitkan bagi mereka yang bekerja di bagian planning dan produksi, manakala pelanggan sering melakukan perubahan pesanan, tapi sistem time fencing tidak ada. Suatu hal yang menarik juga untuk dilihat bahwa kemajuan teknologi informasi pelanggan cukup bagus (ranking 2 dari atas), sementara supplier berada pada sisi yang berlawanan (no. 3 dari bawah). Namun demikian, seperti juga ditunjukkan oleh tabel di bawah ini, supplier rata-rata mau berbagi informasi secara lebih transparan dibandingkan dengan pelanggan. Code
Sub-factors
Average
STD
Rank of effect
36
Effectiveness of cross functional team
3.680
0.831
8
25
Customers have good ITC infrastructure
3.650
0.936
15
34
Staff competency
3.612
0.731
4
13
Suppliers share information
3.602
0.932
11
33
Planning system flexibility
3.553
0.849
16
NEWSLETTER
-page-17
Edisi Perdana, Maret 2007
32
Component commonality
3.544
1.127
17
24
Collaborative planning with customers
3.534
0.948
3
21
Early information about orders
3.524
1.074
12
23
Information sharing about inventory, etc.
3.447
1.026
6
14
Collaborative planning with suppliers
3.447
1.091
14
12
Delivery reliability from suppliers
3.369
0.960
2
11
Supplier Flexibility
3.350
1.007
5
31
Production system reliability
3.311
0.908
10
15
Key suppliers have good ITC infrastructure
3.233
0.952
7
35
Availability of time fencing
3.175
1.089
9
22
Order firmness from buyers
2.932
0.993
1
4.3 Schedule Nervousness Studi ini juga mencoba mencari keterkaitan antara faktor-faktor di atas dengan perceived schedule nervousness (ketidakstabilan jadwal yang dirasakan oleh responden). Setelah melakukan analisis korelasi, diperoleh hasil sebagai berikut: •
•
Secara bersama-sama, elemen-elemen yang tergabung dalam faktor 1 (hubungan dengan supplier), faktor 2 (hubungan dengan pelanggan), dan faktor 3 (faktor internal) memiliki korelasi negatif dan signifikan terhadap schedule nervousness. Artinya, perusahaan-perusahaan yang memiliki hubungan yang lebih baik dengan supplier akan merasakan ketidakstabilan jadwal yang lebih rendah. Demikian pula, perusahaanperusahaan yang memiliki hubungan yang lebih baik dengan pelanggan serta yang memiliki kondisi operasi internal yang lebih baik akan merasakan schedule nervousness yang lebih rendah. Dilihat dari elemen-elemen secara individual, tidak semua memiliki korelasi yang signifikan. Pada tabel di atas, kolom terakhir menunjukkan ranking nilai korelasi dimana ranking tertinggi adalah pada nilai korelasi yang paling negatif. Dari tabel terlihat bahwa
elemen yang rankingnya no. 1 adalah order firmness, yang kebetulan nilai rata-ratanya paling rendah. Ini berarti bahwa elemen ini yang paling perlu untuk mendapatkan perhatian kalau perusahaan-perusahaan mau menurunkan schedule nervousness. Ranking 2 adalah ketepatan waktu kirim dari supplier. Ini juga berarti bahwa untuk mengurangi schedule nervousness, perusahaan harus mampu meningkatkan kemampuan supplier untuk mengirim secara tepat waktu.
5. Penutup Tulisan ini menyajikan ringkasan hasil survey tentang berbagai aspek terkait perencanaan produksi dan pengendalian persediaan. Bidang ini, seiring dengan meningkatnya kompleksitas serta ketidakpastian pada supply chain, akan terus menghadapi tantangan yang tidak mudah. Bagian PPIC adalah bagian yang menentukan apa yang harus dieksekusi oleh bagian produksi, pembelian, dan pengiriman. Rencana yang tidak efektif tentu akan menjadi penyebab kemampuan kompetisi yang rendah. Dari penelitian ini bisa ditarik satu hal penting yaitu: efektivitas sistem PPIC juga ditentukan oleh baik tidaknya hubungan perusahaan dengan supplier dan customer. Oleh karena itu, PPIC tidak lagi menjadi pekerjaan yang terisolasi dalam satu organisasi, tetapi juga menjadi satu domain dimana kerjasama lintas fungsi dan lintas organisasi harus terjadi.
Referensi STEELE, D. C., 1975, The nervous MRP system: How to do battle. Production and Inventory Management 16(4), 83-89.
Ucapan Terima Kasih Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua responden yang telah meluangkan waktu untuk berpartisipasi pada penelitian ini.
FFF GGG
NEWSLETTER
-page-18
Edisi Perdana, Maret 2007
Membership Form Logistics & Supply Chain Management (SCM) Laboratory PLEASE FILL IN THE FORM BELOW AND SEND TO:
[email protected] or FAX 031- 5939362 THANK YOU. ______________________________________
Name
: …………………………………………………………………………….
Address
: …………………………………………………………………………….
Place, date of birth
: ……………………………………………………………………………..
Company/Organization
: ……………………………………………………….…………………….
Title
: ……………………………………………………………………………..
E-mail
: …………………………………………………………….……………….
Phone
: Home
: ………………………………………………………..………
Mobile : ……………………………………………………………….. Office
: ……………………………………………………………….
Surabaya,
(………………….………………)
NEWSLETTER
-page-19