At-Ta’lim, Vol. 11, No. 2, Juli 2012
338
INTERNALISASI PENDIDIKAN NILAI-NILAI RELIGIUS PADA ANAK
Adi Saputra Abstract: Because education in human life can not be separated, then the man should be able malihat identity through dynamic education. Education includes all efforts and actions of the older generation to transfer the experience, knowledge, competence and skills to young people enabling them to perform life functions in association with the best. Thus, the study will form an integral human personality especially in planting and ahklak faith in everyday life. Kata Kunci: Internalisasi, nilai, pendidikan anak A. Pendahuluan Pemahaman tentang manusia merupakan bagian dari kajian filsafat. Tak mengherankan jika banyak sekali kajian atau pemikiran yang telah dicurahkan untuk membahas tentang manusia. Dalam pandangan Islam, manusia adalah mahluk ciptaan Allah, bukan tercipta atau ada dengan sendirinya. Inilah hakikat pertama tentang manusia. Ini masalah keyakinan, dan Al-Qur’an secara berulang-ulang meyakinkannya kepada manusia sampai kepada tingkat menantangnya agar mencari bukti baik pada alam raya maupun pada diri sendiri (Hery, 1999: 58). Salah satu ayat yang menyatakan tentang ini adalah sebagai berikut:
Artinya: Allah-lah yang menciptakan kamu, kemudian memberimu rezki, kemudian mematikanmu, kemudian menghidupkanmu (kembali). Adakah di antara yang kamu sekutukan dengan Allah itu yang dapat berbuat sesuatu dari yang demikian itu? Maha sucilah Dia dan Maha Tinggi dari apa yang mereka persekutukan.(Q.s alRum/30:40) Hakikat manusia yang demikian diyakini oleh kebanyakan manusia bahkan, kaum musyrikin sekalipun. Diantara manusia ada yang tidak meyakininya. Namun, mereka adalah kaum minoritas, yaitu kaum ateis. Pandangan mereka digambarkan di dalam al-Qur’an pada ayat dibawah ini:
338
Adi Saputra, Internalisasi Pendidikan Nilai-Nilai Religius
339
Artinya: Dan mereka berkata: "Kehidupan ini tidak lain hanyalah kehidupan di dunia saja, kita mati dan kita hidup dan tidak ada yang akan membinasakan kita selain masa", dan mereka sekali-kali tidak mempunyai pengetahuan tentang itu, mereka tidak lain hanyalah menduga-duga saja.(Q.s. al-jaatsiyah/ 45:24) Kedudukan manusia dalam Islam dan lebih-lebih dalam kajian spiritual Islam, merupakan pencerminan dan kekuasan Allah SWT Menurut
(Solihin dan Anwar, 2005: 14). Menurut Al-Qur’an (Q.S. Shad, 38: 75), manusia diciptakan “dengan kedua tangan-Ku” dan diterangkan lebih lanjut bahwa Allah SWT. Menciptakan Adam selama empat puluh hari dan Dia memberikan kepada Adam kehidupan dan jiwa degan meniupkan nafs-Nya sendiri kedalam tubuh Adam. Manusia
mempunyai kedudukan yang sangat tinggi, bukan saja
karena ia dimuliakan Tuhan, tetapi lebih dari itu, yaitu karena ia diutus oleh Tuhan sebagai “khalifah di bumi ini”, dan tidak diberikan sekalipun kepada malaikat. Untuk itulah, manusia diberikan oleh Tuhan berbagai kelengkapan. Diajarkan-Nya kepada manusia semua nama, dan ditanamkannya kedalam diri manusia sifat-sifat Tuhan (Solihin dan Anwar, 2005: 15). Khalifah berarti pengganti, penguasa, pengelolah atau pemakmur. Sebelum manusia diciptakan, Allah telah mengemukakan rencana penciptaan tersebut kepada para malaikat (Alim, 2006: 77). Pernyataan
Allah ini
terangkum dalam ayat 30 surat al-Baqarah berikut:
Artinya: Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada Para Malaikat: "Sesungguhnya aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka
340
At-Ta’lim, Vol. 11, No. 2, Juli 2012 bumi." mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, Padahal Kami Senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui." (Q.s. al-Baqarah/2:30) Ayat tersebut menjelaskan kepada kita sebagai petunjuk dalam melakukan tugas-tugas kekhalifaan itu, Allah SWT tidak membiarkan mahkluk ciptaan-Nya dalam keadaaan kosong. Manusia dilengkapi Allah dengan berbagai potensi, antara lain bekal pengetahuan. Fungsi keberadaan manusia di dunia adalah untuk melaksanakan tugas kekhalifahan, yaitu membangun dan mengelolah segala potensi alam sesuai dengan kehendak Tuhan (Alim, 2006: 77). Manusia selain khalifah Allah, juga termasuk hamba Allah. Adapun maksud diciptakannya manusia antara lain agar dia mengabdi (beribadah) kepada Allah. Oleh karena itu fungsi manusia yang kedua adalah selaku hambah Allah (Alim, 2006: 79). Manusia tidak mungkin akan menjalankan peranan idealnya tanpa memiliki cukup ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan peranan itu serta kemauan dan kemampuan untuk menjalankannya. Oleh sebab itu, manusia harus mengembangkan berbagai potensi yang ada didalam dirinya, dan untuk itu ia perlu mengetahui asal kejadiannya (Hery, 1999: 66). Allah menyeruh manusia untuk mencari tahu tentang asal kejadiaannya ditegaskan dalam alQur’an surat al- Thariq: 5, sebagi berikut:
Artinya : Maka hendaklah manusia memperhatikan dari Apakah Dia diciptakan? Manusia tidak bisa berkembang dengan sendirinya. Perkembangannya banyak tergantung pada pengaruh lingkungan. Pendidikan merupakan lingkungan yang paling penting dalam membantu manusia untuk mencapai perkembangannya. Oleh sebab itu, dalam Islam, penyelengaraan pendidikan merupakan suatu keharusan. Sejalan dengan kondisi tersebut sama halnya memahami humanisme dalam memahami tentang perkembangan manusia.
Adi Saputra, Internalisasi Pendidikan Nilai-Nilai Religius
341
Dalam kamus Bahasa Indonesia, Humanisme diartikan sebagai sebuah aliran (pemikiran) yang bertujuan menghidupkan rasa keprimanusian dan mencitacitakan pergaulan hidup yang lebih baik, dan diartikan pula sebagai paham yang mengangap manusia sebagai objek studi terpenting. Berangkat dari uraian di atas, dapat dipahami bahwa makna humanisme merujuk pada kemampuan manusia sebagai individu yang rasional dan dipakai sebagai ukuran segala bentuk pemahaman terhadap realitas, serta berbagai jalan pikiran yang memfokuskan diri dalam masalah atau isu-isu yang berhubungan manusia. Alqur’an mengajarkan bahwa fungsi manusia sebagai khalifah dan sebagai hamba Allah harus dilaksanakan secara berkesinambungan, sehingga keselamatan orang lain dipentingkan. Sementara keselamatan diri sendiripun tetap terjaga. Ibadah merupakan bentuk pernyataan kerendahan diri. Berupa pengabdian yang hanya diperuntukan untuk Allah semata, baik ibadah yang bersifat spontanitas maupun yang didasarkan atas perintahnya. Pendidikan merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari hidup dan kehidupan manusia. Pendidikan sebagai salah satu kebutuhan, fungsi sosial, pencerahan, bimbingan, sarana pertumbuhan yang mempersiapkan dan membukakan serta membentuk disiplin hidup (Alim, 2006: 8). Hal demikian membawa pengertian bahwa bagaimanapun sederhanannya sesuatu komunitas manusia, ia akan memerlukan adanya pendidikan. Dalam pengertian umum, kehidupan dari komunitas tersebut akan ditentukan oleh aktivitas dalam pendidikan didalamnya. Konsep kehidupan manusia yang ideal menekankan pentingnya individu yang kuat, bebas, ulet, tidak bergantung kepada orang lain atau terombang-ambing tidak memiliki pendirian. . B. Internalisasi Pendidikan Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (1989: 336) secara etimologis, internalisasi menunjukkan suatu proses. Dalam kaidah bahasa Indonesia akhiranisasi mempunyai definisi proses. Sehingga internalisasi dapat didefinisikan sebagai suatu proses. Dalam kamus besar bahasa Indonesia internalisasi diartikan sebagai penghayatan, pendalaman, penguasaan secara mendalam yang berlangsung melalui binaan, bimbingan dan sebagainya.
At-Ta’lim, Vol. 11, No. 2, Juli 2012
342
Jadi teknik pembinaan agama yang dilakukan melalui internalisasi adalah pembinaan yang mendalam dan menghayati nilai-nilai religius (agama) yang dipadukan dengan nilai-niali pendidikan secara utuh yang sasarannya menyatu dalam kepribadian peserta didik, sehingga menjadi satu karakter atau watak peserta didik. Dalam kerangka psikologis, internalisasi diartikan sebagai penggabungan atau penyatuan sikap, standar tingkah laku, pendapat dan seterusnya di dalam kepribadian. Dalam proses internalisasi yang dikaitkan dengan pembinaan peserta didik atau anak asuh ada tiga tahap yang mewakili proses atau tahap terjadinya internalisasi ( Muhaimin, 1996: 153) a. Tahap Transformasi Nilai: Tahap ini merupakan suatu proses yang dilakukan oleh pendidik dalam menginformasikan nilai-nilai yang baik dan kurang baik. Pada tahap ini hanya terjadi komunikasi yang penting antara pendidik dan peserta didik atau anak asuh. Dengan demikian komunikasi yang seperti inilah yang paling utama yang dapat dilakukan antara pendidik dan peserta didik dalam melangsungkan kegiatan belajar dan mengajarnya. b. Tahap Transaksi Nilai: Suatu tahap pendidikan nilai dengan jalan melakukan komunikasi dua arah, atau interaksi antara peserta didik dengan pendidik yang bersifat interaksi timbal-balik. Maksud dari interaksi timbal balik yaitu transaksi yang saling mengisi antara pendidik dengan peserta didik dalam kegiatan belajar dan mengajar. c. Tahap Transinternalisasi: Tahap ini jauh lebih mendalam dari tahap transaksi. Pada tahap ini bukan hanya dilakukan dengan komunikasi verbal tapi juga sikap mental dan kepribadian. Artinya hubungan ini bukan hanya dilihat dari hubungan kemampuan antara pendidik maupun peserta didik dalam kegiatan belajar, tetapi lebih mendalam lagi jati diri ataupun kepribadian yang dimilki peserta didik. Karena sikap ataupun kepribadian yang dimilki merupakan sumber untuk keberhasilan yang dicapai peserta didik dalam menerima ilmu-ilmu yang telah diberikan oleh pendidik. Jadi pada tahap ini komunikasi kepribadian yang berperan secara aktif . Jadi dikaitkan dengan perkembangan manusia, proses internalisasi harus berjalan sesuai dengan tugas-tugas perkembangan. Internalisasi merupakan sentral proses perubahan kepribadian yang merupakan dimensi
Adi Saputra, Internalisasi Pendidikan Nilai-Nilai Religius
343
kritis pada perolehan atau perubahan diri manusia, termasuk di dalamnya pempribadian makna (nilai) atau implikasi respon terhadap makna. Menurut (http:// internalisasi.com. pendidikan. 2009) Internalisasi adalah proses pemasukan nilai pada seseorang yang akan membentuk pola pikirnya dalam melihat makna realitas pengalaman. Nilai-nilai tersebut bisa jadi dari berbagai aspek baik agama, budaya, norma sosial dan lain-lain. Pemaknaan atas nilai inilah yang mewarnai pemaknaan dan penyikapan manusia terhadap diri, lingkungan dan kenyataan di sekelilingnya. Misalnya: saya meniru gaya pakaian Ariel peterpan yang sedang ngetrend saat ini, Secara tidak langsung saya telah menginternalisasi diri saya sendiri, karena mengikuti trend Ariel. Namun demikian, sejalan dengan perkembangan zaman dan majunya teknologi dalam kehidupan manusia ini semua tidak terlepas dari pendidikan yang telah diberikan baik dari pihak sekolah, keluarga maupun di lingkungan. Karena dengan pendidikan maka peserta didik dapat melangsungkan kesejahteraan hidupnya. Hal ini sejalan dengan dasar, tujuan, dan fungsi pendidikan. Menurut UU Sisdiknas (Nomor 20 tahun 2003 Pasal 3: 17) pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berahklak mulia, sehat, berilmu, cakap kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. C. Internalisasi Nilai–Nilai Keagamaan melalui Ilmu Alam Internalisai dalam kamus ilmiah populer merupakan bentuk kata pendalaman, penghayatan. Internalisasi pendalaman merupakan suatu proses penanaman nilai-nilai dalam diri ataupun dalam kehidupan peserta didik. Penghayatan juga merupakan proses antara peserta didik dan peserta didik dalam kegiatan belajar mengajarnya. Karena pengahayatan dalam kegiatan pembelajaran merupakan indikasi dari pencapaian ilmu yang telah diberikan. Internalisasi hakikatnya adalah sebuah proses menanamkan sesuatu. Sedangkan
internalisasi
nilai-nilai
keagamaan
adalah
sebuah
proses
menanamkan nilai–nilai keagamaan. Internalisasi ini dapat melalui pintu Institusional yakni melaui pintu-pintu kelembagaan yang ada misalnya
At-Ta’lim, Vol. 11, No. 2, Juli 2012
344
lembaga Studi Islam dan lain sebagainya (http:// id.wikipedia.orr/wiki/ internalisasi. 2011). Selanjutnya adalah pintu personal yakni melalui pintu perorangan khususnya para pengajar. Dan juga pintu material yakni melaui pintu materi perkuliahan atau melalui kurikulum Melaui pendekatan material, tidak hanya terbatas pada mata pelajaran pendidikan Agama Islam tapi juga bisa melalui pelajaran-pelajaran yang lain kususnya bidang keilmuan alam. Dilihat dari segi sumbernya, pengetahuan mempunyai dua sumber yaitu pertama, sumber berupa ayat qur`aniyyah yaitu wahyu yang diturunkan dengan lambang bahasa lukisan dan kata yang terhimpun (al-Qur`an alTadwiny) Kedua, sumber berupa ayat kauniyyah yaitu ayat-ayat Allah yang terhampar dalam alam raya (al-Qur`an al-Takwiny). Sumber pertama melahirkan ilmu akidah, syariah dan akhlak sedangkan sumber kedua melahirkan ilmu-ilmu sosial, alam dan terapan yang rentan terhadap pertumbuhan kuantitatif dan pelipat gandaan. Baik ayat qur`aniyyah maupun ayat kauniyyah mencakup gagasan atau pola dasar tentang semua kenyataan yang ada, keduanya tidak dapat dipisahkan. Banyak ayat-ayat al-Qur`an yang memacu manusia untuk memikirkan dan meneliti berbagai fenomena baik yang ada pada dirinya maupun alam sekitarnya. Bahkan terhadap al-Qur`an sendiri manusia dituntut mengkajinya.
Artinya: Ini adalah sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya mereka memperhatikan ayat-ayatnya dan supaya mendapat pelajaran orang-orang yang mempunyai fikiran. (Q.S. Shaad : 29 )
Artinya: Sesungguhnya pada langit dan bumi benar-benar terdapat tandatanda (kekuasaan Allah) untuk orang-orang yang beriman, Dan pada penciptakan kamu dan pada binatang-binatang yang melata
Adi Saputra, Internalisasi Pendidikan Nilai-Nilai Religius
345
yang bertebaran (di muka bumi) terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) untuk kaum yang meyakini, dan pada pergantian malam dan siang dan hujan yang diturunkan Allah dari langit lalu dihidupkanNya dengan air hujan itu bumi sesudah matinya; dan pada perkisaran angin terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang berakal ( Q.S. al-Jasiyah : 3-5 ) Segala ilmu pengetahuan bersumber dari yang satu yakni Allah SWT. Menurut Husain Nasr, hanya orang yang mampu memasuki dimensi dirinya yang paling dalam yang dapat melihat bahwa alam raya ini merupakan simbol dan realitas tembus pandang sehingga bisa memahami alam ini dalam arti yang sebenarnya. Konsep integrasi keilmuan juga berangkat dari doktrin keesaan Tuhan (tauhid). Doktrin keesaan Tuhan, atau iman dalam pandangan Isma’il Raji alFaruqi, bukanlah semata-mata suatu kategori etika. Ia adalah suatu kategori kognitif yang berhubungan dengan pengetahuan, dengan kebenaran proposisiproposisinya. Dengan demikian Islam tidak mengenal pemisahan antara ilmu agama dan ilmu umum. Konsep ajaran Islam tentang pengembangan ilmu pengetahuan yang demikian itu didasarkan kepada beberapa prinsip sebagai berikut : Pertama, ilmu pengetahuan dalam Islam dikembangkan dalam kerangka tauhid dan teologi. Yaitu teologi yang bukan semata-mata meyakini adanya
Tuhan
dalam
hati,
mengucapkannya
dengan
lisan
dan
mengamalkannya dengan tingkah laku, melainkan teologi yang menyangkut aktivitas mental berupa kesadaran manusia yang paling dalam perihal hubungan manusia dengan Tuhan, lingkungan dan sesamanya. Dengan pandangan teologi yang demikian itu, maka alam raya, manusia, masyarakat dan Tuhan merupakan satu kesatuan yang saling berhubungan. Alam raya terikat oleh hukum alam (nature of law) yang dalam pandangan Islam adalah Sunatullah, aturan Allah dan ayat Allah. Alam raya ini selanjutnya menjadi objek kajian dalam pengembangan ilmu pengetahuan (sains) seperti ilmu Fisika, Biologi dan sebagainya. Kedua, ilmu pengetahuan dalam Islam hendaknya dikembangkan dalam rangka bertaqwa dan beribadah kepada Allah SWT. Hal ini penting ditegaskan, karena dorongan Al-Qur’an untuk mempelajari fenomena alam dan sosial tampak kurang diperhatikan, sebagai akibat dan perhatian dakwah Islam yang semula lebih tertuju untuk memperoleh keselamatan di akhirat. Hal ini
At-Ta’lim, Vol. 11, No. 2, Juli 2012
346
mesti diimbangi dengan perintah mengabdi kepada Allah dalam arti yang luas, termasuk mengembangkan ilmu pengetahuan. Ketiga, reorientasi pengembangan ilmu pengetahuan harus dimulai dengan suatu pemahaman yang segera dan kritis atas epistimologi Islam klasik dan suatu rumusan kontemporer tentang konsep ilmu. Keempat, ilmu pengetahuan harus dikembangkan oleh orang-orang Islam yang memiliki keseimbangan antara kecerdasan akal dengan kecerdasan moral yang dibarengi dengan kesungguhan untuk beribadah kepada Allah dalam arti yang seluas-luasnya. Kelima, ilmu pengetahuan harus dikembangkan dalam kerangka yang integral. Yakni, bahwa antara ilmu agama dan ilmu umum walaupun bentuk formulasinya berbeda-beda, namun hakikatnya sama, yaitu sama-sama sebagai tanda kekuasaan Allah. Dengan pandangan yang demikian itu, maka tidak ada lagi perasaan yang merasa lebih unggul antara satu dan lainnya (http:// www.unjk. Ac.id/index.php/category). Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa ilmu agama dan ilmu umum tidaklah ada pemisahan yang sangat siknifikan dalam kehidupan karena ilmu agama maupun ilmu umum merupakan bekal dari segala kehidupan masa depan. D. Akidah dan Ahklak Dalam Pendidikan Islam Akidah tauhid sebagai kebenaran merupakan landasan keyakinan bagi seorang muslim. Keyakinan yang mendasar itu menjadi penopang seluruh perilaku, membentuk dan memberi corak dan warna kehidupan dalam hubunganya dengan makhluk lain dan hubungan dengan Tuhan (Abdullah, 1996: 92). Dzat dan sifat Tuhan yang diinformasikan oleh Tuhan sendiri yang terangkum dalam akidah tauhid, menjadikan seorang muslim yakin akan kebenarannya. Keyakinan itu akan membawa dan memberikan ketenangan dan ketentraman dalam pengabdiannya dan penyerahan dirinya secara utuh kepada Allah SWT. Dengan demikian dalam hubungan dengan manusia, keyakinan tauhid ini menjadi dorongan utama untuk bergaul dan berbuat baik seta perbuatan maslahat bagi manusia dan mahkluk lainnya. Dorongan keyakinan ini akan sanggup meniadakan segala pamrih duniawi dan balas jasa dari kebaikan yang ditanamkan terhadap manusia lain.
Adi Saputra, Internalisasi Pendidikan Nilai-Nilai Religius
347
Akidah memiliki peranan dalam kehidupan seorang muslim serta memiliki implikasi terhadap sikap hidupnya. Peranan tersebut diantaranya: a. Penyerahan secara total kepada Allah dengan meniadakan sama sekali kekuatan dan kekuasaan di luar Allah yang dapat mendominasi dirinya. b. Keyakinan terhadap Allah, menjadikan orang memilki keberanian untuk berbuat, karena tidak ada baginya yang ditakuti selain melangar perintah Allah. c. Keyakinan dapat membentuk rasa optimis menjalani kehidupan Menurut (Abdullah, 1996: 94). Jadi dari penjelasan peranan akidah tersebut suatu pola yang membentuk jati di manusia baik dari sesama khususnya kepada Allah SWT. Dengan mempelajari akhlak ini akan dapat menjadi sarana terbentuknya insan kamil (manusia sempurna, ideal). Insan kamil dapat diartikan sebagai manusia yang sehat dan terbina potensi rohaninya sehingga berfungsi secara optimal dan dapat berhubungan dengan Allah dan dengan mahkluk lainnya secara benar sesuai dengan ajaran ahklak. Manusia yang akan selamat hidup di dunia dan akhirat (Alim, 2006: 160). Untuk mengetahui ciri-ciri insan kamil dapat ditelusuri berbagai pendapat yang dikemukakan para ulama yang kompeten dan terkemuka. Ciricirinya sebagai berikut: a. Berfungsi akalnya secara optimal, b. Berfungsi intuisinya, c. Mampu menciptakan budaya, d. Menghiasai diri dengan sifat-sifat ketuhahannya e. Berahklak mulia f. Berjiwa seimbang (Alim, 2006: 160-162). Uraian di atas diyakini belum menjelaskan ciri-ciri insan kamil secara keseluruhan. Tetapi cir-ciri tersebut jika diamalkan secara konsisten akan mewujudkan insan kamil sebagaimana yang dimaksud. Seluruh ciri tersebut menunjukkan bahwa insan kamil lebih menunjukkan pada manusia yang segenap potensi intelektual, intuisi, rohani, hati sanubari, ketuhanan, fitrah, dan kejiwaannya berfungsi dengan baik. Maka upaya mewujudkan insan kamil perlu diarahkan melalui pembeinaan intelektual, kepribadian, akhlak, ibadah, pengalaman tasawauf, bermasyarakat, research dan lain sebagainya.
At-Ta’lim, Vol. 11, No. 2, Juli 2012
348 E. Penutup
Di kehidupan manusia sudah terpatri dalam kalbunya untuk melaksanakan pendidikan yang konkrit. Karena dengan pendidikan maka kehidupan yang dijalani masyarakat akan menjadi lebih baik, baik di mata Allah maupun sesama masyarakat pada umumnya. Namun faktanya dalam masyarakat sekarang banyak yang belum paham arti dari pendidikan itu sendiri. Hal ini bisa dilihat dari akidah dan ahklak yang ada pada masyarakat. Dengan maju pesatnya perkembangan ilmu teknologi dalam kehidupan maka banyak masyarakat tidak bisa menempatkan dirinya dari kemajuan tersebut. Ini bisa dibuktikan dari penanaman akidah dan ahklak yang adalah pada masyarakat khususnya pada peserta didik dan masayarakat pada umumnya. Dampak dari ini tidak sedikit masyarakat khususnya peserta didik yang terlibat dalam pergaulan yang salah masalnya, melawan kedua orang tua, terlibat pergaulan bebas, terlibat narkoba, sering bolos sekolah, dan lain sebagainya. Ini semua disebabkan dari diri masyarakat tersebut khususya peserta didik banyak yang tidak mau mengamalkan arti dari pendidikan tersebut khususnya pendidikan yang bernuansa Islam atau pendidikan agama. Namun demikian permasalahan tersebut tidak bisa dibiarkan berlanjut, hal ini banyak usaha dari pemerintah untuk merintis dari mulai kegiatan yang bersifat sosial sampai melakukan kerjasama terhadap yayasan khususnya di jenjang pendidikan yang bernuansa santri. Penulis : Adi Saputra, M.Pd adalah Calon Dosen Tetap Jurusan Tarbiyah Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Bengkulu. DAFTAR PUSTAKA Al-Qur’an dan Terjemahnya. Jakarta: Depag RI. Abdullah, M. Amin. 1996. Studi Agama, Normativitas atau Historisitas?. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Alim, M. 2006. Pendidikan Agama Islam (Upaya Pembentukan Pemikiran dan Kepribadian Muslim). Bandung: Rosdakarya. Aly, Hery Noer, dan Munzier. 2000. Watak Pendidikan Islam. Jakarta: Friska Agung Insani. -----------------. 1999. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Logos. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan 1989. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarat: Depdiknas.
Adi Saputra, Internalisasi Pendidikan Nilai-Nilai Religius
349
http:// internalisasi.com. pendidikan. 2009 http:// id.wikipedia.orr/wiki/ internalisasi. 2011 Ilyas, Yunahar. 2006. Kuliah Akhlak. Yogyakarta: LPPI. Margono. 2009. Metodologi Penelitian Pendidikan. Jakarta:Rineka Cipta. Ma’rif, Syamsul. 2007. Revitalisasi Pendidikan Islam. Yogyakarta: Graha Ilmu Muhaimin. 1996. Paradigma Pendidikan Islam. Bandung: PT. Rosdakarya. Mujib, Abdul dan Jusup Muzakkir. 2006. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Kencana Prenada Media Group. Nata, Abuddin. 2003. Metodologi Studi Islam. Jakarta: Rajawali Pers. Qomar, Mujamil. 2005. Pesantren (Dari Transformasi Metodologi Menuju Demokratis Institusi). Jakarta: Erlangga. Ritonga, Rahman. 2005. Akhlak (Merakit Hubungan Dengan Sesama Manusia), Surabaya: Amelia. Solihin, Mukhtamar dan Anwar, Rosihon. 2005. Psikologi Islam (Hakikat Manusia). Bandung: Pustaka Setia. Sugiyono. 2008. Metode penelitian Kuantitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta. Undang-Undang Sistem pendidikan Nasional. 2010. Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional. Yogyakarta: bening. Usman, Husaini dan Purnomosutiadi Akbar. 2006. Metode Penelitian Sosial. Jakarta: Bumi Aksara. Zubaedi. 2003. Tatanan dalam Kehidupan Sosial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. ----------. 2007. Pendidikan Berbasis Masyarakat, Upaya Menawarkan Solusi Terhadap Berbagai Problem Sosial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.