Prosiding Seminar Hasil Penelitian LPPM UMP 2014 ISBN 978-602-14930-2-1 Purwokerto, 6 September 2014
Internalisasi Karakter Sosial Melalui Budaya Sekolah Tri Na’imah Program Studi Psikologi, Fakultas Psikologi, Universitas Muhammadiyah Purwokerto Jl. Raya Dukuhwaluh PO Box 202 Purwokerto 53182 Telp (0281) 636751 ext 209 Email :
[email protected] ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk : 1) Mendeskripsikan proses internalisasi karakter sosial anak melalui budaya sekolah di Taman kanak-kanak berbasis Islam di Purwokerto. 2) Mengkaji faktor-faktor apa saja yang mendukung dan menghambat proses internalisasi karakter sosial anak melalui budaya sekolah di Taman kanak-kanak berbasis Islam di Purwokerto. Informan primer adalah guru di TK Harapan Bunda di Purwokerto Timur, TK Diponegoro 16 di Purwokerto Selatan, TK Aisyiyah 14 di Purwokerto barat dan TK Al Fattah di Purwokerto Utara. Metode pengumpulan data menggunakan obervasi dan wawancara dengan instrumen berupa panduan observasi dan panduan wawancara. Analisis data menggunakan analisis model interaktif. Hasil penelitian menunjukkan : 1) Karakter sosial yang dikembangkan di TK adalah karakter kerjasama, karakter komunikasi, karakter hormat menghormati, karakter peduli, dan karakter kepatuhan. 2) Pengembangan karakter di TK lebih ke arah dimensi moral feeling. 3) Proses internalisasi karakter sosial di TK dimulai dengan internalisasi karakter sosial ke dalam visi misi sekolah. Implikasi budaya sekolah tampak dalam pendekatan ke siswa, pengelolaan kelas, interaksi sosial di sekolah, penerapan peraturan sekolah dan hubungan antara sekolah dengan orangtua. Pendekatan yang digunakan dalam pendidikan karakter di TK adalah behavior action. 4) Faktor pendukung internalisasi karakter sosial di TK adalah :visi misi sudah bermuatan karakter, pengalaman mengajar guru diatas 10 tahun, ada hubungan yang baik antara sekolah dengan orangtua. 5) Faktor penghambat internalisasi karakter sosial di TK adalah masih terbatasnya sarana dan prasarana dan media bermain anak. Kata Kunci : Internalisasi, Karakter Sosial, Taman Kanak-kanak. PENDAHULUAN Berdasar pada tujuan pendidikan nasional maka pendidikan dalam seluruh jalur dan jenjang seharusnya mengembangkan pembelajaran, pembiasaan dan keteladanan serta kegiatan dan budaya sekolah yang kondusif agar anak menjadi cerdas dan berkarakter mulia. Penanaman nilai-nilai karakter diberikan melalui keteladanan, pembiasaan, dan pengulangan dalam kehidupan sehari-hari. Suasana dan lingkungan yang aman dan nyaman, perlu diciptakan dalam proses penanaman nilai-nilai karakter. Namun permasalahnnya adalah, mengapa masih ada fenomena-fenomena demoralisasi atau karakter sosial yang kurang baik dalam masyarakat khususnya yang berkait dengan kehidupan sosial anak-anak. Hasil penelitian Na’imah & Suwarti (2012) menunjukkan bahwa permasalahan psikososial pada anak-anak di Purwokerto adalah masalah perselisihan antar teman, tidak bisa diterima dalam kelompok, tidak bisa menjadi pemimpin, dan kebiasaan agresi terhadap teman. Na’imah & Septiningsih (2011) menemukan juga bahwa bentuk perselisihan antar anak di rumah antara lain, mencemooh, menendang, menonjok dan merebut mainan. Data ini menunjukkan masih rendahnya karakter sosial anak-anak di Purwokerto. Kondisi ini bisa disebabkan beberapa faktor. Megawangi (2008) mengatakan bahwa menurunnya moralitas anak salah satu penyebabnya adalah pendidikan yang cenderung mengutamakan aspek kognitif saja. Pendidikan karakter bagi anak TK harusnya disesuaikan dengan aspek aspek perkembangan anak dan dibingkai dalam pembelajaran yang menyenangkan. Karakter sosial perlu dikembangkan pada anak usia dini karena karakter sosial merupakan pondasi bagi perkembangan kemampuan anak berinteraksi dengan lingkungannya secara lebih luas (Goleman, 2005). Dalam berinteraksi dengan orang lain, anak tidak hanya dituntut untuk mampu berinteraksi secara baik dengan orang lain, tetapi juga mampu mengendalikan dirinya secara baik. Ketidakmampuan individu mengendalikan dirinya dapat menimbulkan berbagai masalah sosial dengan orang lain. Sejak usia dini masalah-masalah sosial sudah dapat identifikasi dari berbagai perilaku yang ditampakkan anak, diantaranya anak selalu ingin menang sendiri, bersikap agresif, cepat marah, setiap 206
Prosiding Seminar Hasil Penelitian LPPM UMP 2014 ISBN 978-602-14930-2-1 Purwokerto, 6 September 2014 keinginannya selalu harus dituruti, membangkang bahkan menarik diri dari lingkungannya dan tidak mau bergaul dengan teman-temannya. Teori dasar tentang karakter sosial dikembangkan oleh Erich Fromm yang menjelaskan bahwa manusia adalah pribadi yang mandiri, sendiri, tetapi manusia juga tidak bisa menerima kesendirian. Manusia menyadari diri sebagai individu yang terpisah, dan pada saat yang sama juga menyadari kalau kebahagiaannya tergantung kepada kebersamaan dengan orang lain. Konsep karakter sosial merupakan dasar untuk mempelajari proses sosial. Karakter sosial merupakan bentuk reaksi sosial pada saat individu berada pada kelompoknya (Fromm dalam Blunden, 1998). Maka fungsi dari karakter sosial adalah untuk memotivasi orang untuk menyelesaikan tugas-tugas sosial di lingkungannya. Karakter sosial dapat ditumbuhkan melalui interaksi struktur sosial sosio-ekonomi (Calvin, 1993). Menurut Maccoby (2002) karakter sosial bisa tumbuh karena internalisasi budaya dan interaksi dengan karakter orang lain, sehingga karakter sosial bukan semata-mata bawaan dari lahir, tetapi berkembang sesuai dengan rentang kehidupan individu. Oleh karena itu perkembangan karakter sosial membutuhkan komunitas atau lingkungan yang mendukung, antara lain kebebasan dan kesempatan berkreasi. Menurut Fromm (dalam Maccoby, 1999) karakter sosial merupakan sebuah kebutuhan manusia untuk beradaptasi dengan lingkungannya. Pada akhirnya akan terjadi internalisasi nilai yang menjaid tujuan hidup individu. Karakter sosial ini terbentuk dari lingkungan pendidikan di keluarga, sekolah dan tempat kerja. Berdasarkan uraian tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa karakter sosial merupakan rekasi individu terhadap stimulasi lingkungannya. Oleh karena itu karakter sosial bisa ditumbuhkan jika lingkungan sosial dimana anak berada memberikan rasa aman dan nyaman pada anak. Hasil penelitian Ruyadi ( 2010) menunjukkan bahwa pendidikan karakter akan efektif jika dilaksanakan dengan berbasis budaya lokal dimana anak berada. Hasil penelitian ini didasarkan pada teori sosialisasi yang mengatakan bahwa sosialisasi ini bersifat timbal balik dengan saling menukar informasi dan energi yang diberi nama hierarki sibernetis. Dalam hal ini proses pewarisan karakter dilakukan dengan tahap institusionalisasi, sosialisasi, internalisasi dan kontrol yang berlangsung dalam suatu sistem. Internalisasi sebagai bagian dari proses pengembangan karakter, merupakan suatu pengaturan kedalam fikiran atau kepribadian, perbuatan nilai-nilai, patokan-patokan ide atau praktek-praktek dari orang-orang lain menjadi bagian dari diri sendiri (Kartono, 2000). Internalisasi merupakan proses atau cara menanamkan nilai-nilai normatif yang menentukan tingkah laku yang diinginkan bagi suatu sistem yang mendidik sesuai dengan tuntunan menuju terbentuknya kepribadian yang berkarakter. Internalisasi merupakan proses menanamkan keyakinan, sikap dan nilai yang dilakukan secara sengaja. Internalisasi nilai-nilai jika di lakukan sejak dini akan membentuk moral pada perkembangan selanjutnya (Emde, et all, 1991). Secara eksplisit, Peterson & Terrence (2009) mendefinisikan budaya sekolah sebagai sekumpulan nilai yang melandasi perilaku, tradisi, kebiasaan keseharian, dan simbol-simbol yang dipraktikkan oleh kepala sekolah, guru, petugas administrasi, siswa, dan masyarakat sekitar sekolah. Budaya sekolah merupakan ciri khas, karakter atau watak, dan citra sekolah tersebut di masyarakat luas. Budaya sekolah adalah keyakinan dan nilai-nilai milik bersama yang menjadi pengikat kuat kebersamaan mereka sebagai warga suatu masyarakat. Pendapat lain tentang budaya sekolah juga dikemukakan oleh Schein (2010), bahwa budaya sekolah adalah suatu pola asumsi dasar hasil invensi, penemuan atau pengembangan oleh suatu kelompok tertentu saat ia belajar mengatasi masalah-masalah yang telah berhasil baik serta dianggap valid, dan akhirnya diajarkan ke warga baru sebagai cara-cara yang benar dalam memandang, memikirkan, dan merasakan masalah-masalah tersebut. Pandangan lain tentang budaya sekolah dikemukakan oleh Zamroni ( 2000 ) bahwa budaya sekolah adalah merupakan suatu pola asumsi-asumsi dasar, nilai-nilai, keyakinankeyakinan, dan kebiasaan-kebiasaan yang dipegang bersama oleh seluruh warga sekolah, yang diyakini dan telah terbukti dapat dipergunakan untuk menghadapi berbagai problem dalam beradaptasi dengan lingkungan yang baru dan melakukan integrasi internal, sehingga pola nilai dan asumsi tersebut dapat diajarkan kepada anggota dan generasi baru agar mereka memiliki pandangan yang tepat bagaimana seharusnya mereka memahami, berpikir, merasakan dan bertindak menghadapi berbagai situasi dan lingkungan yang ada. Kesimpulannya, budaya sekolah adalah pola nilai dan keyakinan yang diyakini seluruh warga sekolah dan berbentuk hubungan sosial antar warga sekolah, kenyamanan di lingkungan sekolah, dan pembiasaan pembentukan perilaku baik. 207
Prosiding Seminar Hasil Penelitian LPPM UMP 2014 ISBN 978-602-14930-2-1 Purwokerto, 6 September 2014
Berdasarkan uraian tersebut, maka perlu dikaji bagaimana proses dan metode internalisasi karakter sosial melalui budaya sekolah. Hasil penelitian ini diharapkan bisa menjadi masukan material, prosedural dan metodologis dalam mengembangkan konsep pendidikan karakter sosial melalui jalur pendidikan di Taman Kanak-kanak. METODE PENELITIAN Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan pendekatan studi kasus. Informan primernya adalah guru TK Diponegoro 16 Kecamatan Purwokerto Selatan, guru TK Al Fatah Kecamatan Purwokerto Utara, guru TK Harapan Bunda Kecamatan Purwokerto Timur dan guru TK ‘Aisyiyah 14 Kecamatan Purwokerto Barat. Sedangkan informan sekundernya adalah orangtua wali anak didik. Metode pengumpulan data menggunakan observasi dan wawancara, sedangkan instrumen penelitian adalah pedoman observasi dan pedoman wawancara. Analisis data menggunakan model analisis interaktif. HASIL DAN PEMBAHASAN Temuan penelitian tentang proses dan metode internalisasi karakter sosial melalui budaya sekolah dideskripsikan berdasarkan aspek-aspek budaya sekolah di Taman Kanak-kanak. Adapun temuan penelitian adalah sebagai berikut : 1. Suasana hubungan sosial di sekolah. Guru menggunakan pendekatan kelompok dan individual secara proporsional baik dalam kegiatan pembelajaran maupun kegiatan bermain. Semua anak diberi kesempatan yang sama untuk terlibat dalam kegiatan kelompok, misalnya dalam mengerjakan tugas harian, bermain dan makan bersama. Hasil penelitian Irianto (2010) menyebutkan bahwa moral loving bisa ditumbuhkan dengan menumbuhkan pola saling membelajarkan antar siswa dan antara guru dengan siswa. Sehingga temuan ini menunjukkan bahwa informan sudah berusaha menginternalisasi moral loving melalui pendekatan kelompok yang bermuatan karakter kepercayaan diri (self esteem), kepekaan terhadap orang lain (emphaty), mencintai kebenaran (loving the good), pengendalian diri (self control), dan kerendahan hati (humility). 2. Ketersediaan sarana pendidikan dan media pembelajaran. Semua informan menyatakan bahwa fasilitas dan media yang ada di sekolah masih belum memadai, tetapi informan berusaha mengoptimalkan semua fasilitas dan media yang ada untuk pembelajaran. Sekolah menyediakan media pembelajaran yang berkaitan dengan pengembangan karakter sosial yang berbentuk media berupa gambar anak yang sedang berinteraksi dan boneka. Sekolah juga menyediakan taman bermain yang dilengkapi dengan alat bermain ayunan, komidi putar, halang rintang dan papan titian. Fasiltas lain yang disediakan adalah ruang kelas untuk pembelajaran. Masing-masing TK memiliki jumlah kelas yang berbeda. Tetapi semua TK melengkapi kelas dengan tempat duduk anak dengan setting kelompok karena semua TK menyelenggarakan sistem belajar dengan pendekatan sentra. Ketersediaan sarana dan prasarana merupakan faktor penentu tercipatanya atmosfir akademik di sekolah. Kondisi inilah yang sangat menunjang keberhasilan pendidikan karakter (Ryan & Karen, 1999). Menurut Akbar (2010) penataan fisik mencakup penataan ruang, penataan bangunan, penataan perabotan, penataan asesories atau poster, gambar, kata-kata bijak dan lainnya di lingkungan sekolah perlu dalam pendidikan karakter anak. Pendidikan pada dasarnya adalah “dialog”antara peserta didik dengan lingkungan belajarnya (ruang hidupnya). Dalam ruang hidup terdapat gejala-gejala yang teramati, dari apa yang diamati akan menjadi sebuah penghayatan, dan dari penghayatan itulah yang akan melahirkan perilaku (karakter). Agar isi ruang hidup tetap hidup maka isi ruang hidup perlu diusahakan terus diubah-ubah sedinamis mungkin agar menjadi sarana dialog edukatif bagi anak didik. 3. Pembiasaan kerjasama antar anak didik. Temuan penelitian menunjukkan bahwa guru mengajarkan anak untuk bekerja dalam kelompok serta menyelesaikan tugas kelompok. Guru membantu anak yang mengalami kesulitan dalam bekerjasama dengan temannya. Guru juga membiasakan anak bergotong royong untuk menyiapkan kelas sebelum pembelajaran, membersihkan kelas setelah pembelajaran dan merapikan teras kelas, membersihkan halaman depan sekolah. Model pendidikan karakter seperti ini menggunakan pendekatan action learning approach, yaitu memberi kesempatan anak melakukan perbuatan yang bermuatan moral secara individual maupun kelompok sehingga anak belajar dari moral knowing ke moral behavior ( Superka, et all., 1976)
208
Prosiding Seminar Hasil Penelitian LPPM UMP 2014 ISBN 978-602-14930-2-1 Purwokerto, 6 September 2014 4. Komunikasi di sekolah. Temuan penelitian menunjukkan bahwa dalam pergaulan sehari-hari guru membiasakan menggunakan bahasa pengantar bahasa Indonesia dan atau bahasa Jawa Banyumasan. Tetapi walaupun begitu masih ditemukan masalah keterampilan komunikasi anak antara lain anak kadang-kadang berkata kasar terhadap temannya dengan bahasa jawa kasar. Ada juga ditemukan anak yang masih belum mampu berkomunikasi dengan guru, misalnya kalau menginginkan sesuatu tidak mau berbicara langsung dengan guru, tetapi meminta tolong kepada temannya. Selain itu, ada temuan anak yang belum mampu komunikasi dengan orang yang baru dikenalnya, misalnya jika di sekolah ada tamu atau ada murid baru. Dalam menghadapi anak yang bermasalah dalam komunikasi, guru langsung menegur dan meluruskan dengan cara memberi contoh cara berbicara dengan bahasa Banyumasan yang halus. Guru juga mengajarkan cara berbicara yang baik melalui permainan sosiodrama, tanya jawab dan memberikan contoh secara langsung. Anak bisa langsung dan bebas berlatih komunikasi, karena anak di bawa ke dalam situasi yang nyaman dalam sebuah permainan. Sebagaimana hasil penelitiannya Stevick (1976) yang menemukan bahwa berbahasa bisa meningkatkan self esteem, berfikir positif, pemahaman diri, membantu anak untuk berhubungan dengan orang lain, dan menemukan kekuatannya. Dengan demikian, berbahasa yang baik merupakan wujud pemerolehan karakter sosial anak. 5. Pembiasaan hormat menghormati. Temuan penelitian menunjukkan bahwa anak mempunyai kebiasaan memberi salam guru pada saat masuk sekolah di pagi hari dan pada saat akan meninggalkan sekolah pada siang hari. Anak-anak melakukannya tidak saling berebutan, tetapi bergilir, secara berurutan. Guru mengajarkan pada anak untuk menghargai perbedaan misalnya dengan cara mengajarkan pada anak untuk berganti-ganti kelompok, untuk menghindari sikap eksklusif, sehingga anak terbiasa berkelompok dengan siapa saja. Anak didik yang dapat menghargai orang lain akan menjadi anak yang tahu berterima kasih, dan pada akhirnya ia menjadi tahu bersyukur pula. Dengan belajar bagaimana menghargai orang lain anak didik akan belajar sopan santun, anak bisa menghormati orang yang lebih tua, anak akan melindungi yang lemah, dan peduli pada sekelilingnya. Anak akan tumbuh menjadi pribadi yang menyenangkan sebab anak akan bersedia mendengarkan orang lain, penuh perhatian, bersedia antri, dan tidak akan menyakiti orang lain dengan kata-katanya (baik lisan maupun tulisan) maupun perbuatannya (Arliani, 2012). 6. Pembiasaan peduli ke orang lain. Kepedulian terhadap orang lain diajarkan guru melalui program infak rutin setiap hari jum’at, dan pengumpulan sumbangan pada saat ada peristiwa tertentu, misalnya ada temannya sakit atau ada bencana alam. Di Taman kanak-kanak Al Fattah ada program peduli kepada janda-janda tua dan miskin. Anak didik dibiasakan menyantuni secara langsung dan untuk besarnya sumbangan, guru membatasi dan memberi tahu ke anak bahwa uang yang disumbangkan harus berasal dari uang jajan mereka. Guru juga membiasakan mendoakan sesama teman jika ada yang sakit dan menunjuk pada perwakilan anak untuk menengoknya. Orangtua wali anak juga terlibat dalam meningkatkan kepedulian anak, misalnya dalam bentuk pemberian sumbangan untuk korban bencana, ikut menengok jika ada anak yang sakit atau guru yang sakit dan atau melahirkan. Hal ini sesuai dengan pedoman pendidikan karakter anak usia dini yang menegaskan bahwa prinsip pendidikan karakter di TK adalah optimalisasi peran pendidik dalam menumbuhkan rasa empati anak, yaitu dengan mengajak anak merasakan apa yang dirasakan orang lain (Anonim, 2012). 7. Penerapan peraturan di sekolah. Peraturan dan tata tertib sekolah disosialisasikan kepada orangtua wali anak pada saat pertama kali anak masuk sekolah. Dalam aplikasinya guru lebih banyak memberikan contoh bagaimana berperilaku yang sesuai dengan aturan sekolah, misalnya mengikuti kegiatan belajar di kelas, pemakaian seragam sekolah, bermain bersama teman, membersihkan peralatan belajar, merapikan kelas, membuang sampah pada tempatnya, menghormati guru dan teman. Sangsi terhadap pelanggaran aturan sekolah diberikan secara bertahap, mulai dari teguran lesan sampai dengan pemanggilan orangtua. Tetapi semua informan menjelaskan belum pernah ada tindakan pemanggilan orangtua karena pelanggaran tata tertib. Artinya, selama ini belum ditemukan jenis pelanggaran aturan sekolah yang berat, sehingga bisa diselesaikan dengan teguran dan pemberian contoh perilaku yang baik dari guru. Temuan ini bisa dimaknai bahwa penanganan masalah pelanggaran aturan sekolah dilaksanakan secara bertahap sesuai dengan pendapatnya Lickona (2008), yang menegaskan bahwa untuk mengatasi pelanggaran peraturan di sekolah perlu ada kesepakatan dengan orangtua dalam menentukan tahap tindakan, yaitu : pelanggaran pertama, guru mengingatkan ke anak tentang pelanggarannya ; pelanggaran kedua, guru berbicara dengan anak di luar kelas ; pelanggaran ketiga, guru mengirimkan catatan khusus ke orangtua ; 209
Prosiding Seminar Hasil Penelitian LPPM UMP 2014 ISBN 978-602-14930-2-1 Purwokerto, 6 September 2014 pelanggaran keempat, orangtua datang kesekolah untuk diskusi tentang pelanggaran anak ; pelanggaran ke lima, orangtua, guru dan kepala sekolah berdiskusi untuk menentukan tindakan selanjutnya. Menurut Akbar (2010) berbagai tata tertib dan aturan yang diciptakan untuk pendidikan karakter di sekolah sebaiknya tidak didominasi oleh guru dan kepala sekolah. Tata tertib sekolah sebaiknya tidak menuntut kewajiban dan tanggung jawab anak saja, tetapi juga pemenuhan hak-hak anak. Hasil temuan penelitian ini menunjukkan bahwa sekolah sudah berusaha melibatkan orangtua dalam penegakan tata tertib sekolah, sehingga diharapkan orangtua juga terlibat dalam pendidikan karakter anak. 8. Kerjasama antara sekolah dengan orangtua anak didik. Bentuk kerjasama antara orangtua dengan sekolah antara lain dalam mendukung pelaksanaan program sekolah. Bentuk kerja tidak hanya dalam bentuk keuangan, tetapi juga partisipasi dalam kegiatan anak. Di TK Al Fatah dan TK Harapan Bunda memiliki program rutin diskusi antara orangtua dengan sekolah baik tentang kemajuan belajar anak maupun tentang parenting. Sebagai narasumber, kadangkadang sekolah memanggil tenaga ahli dari luar, tetapi seringkali diisi oleh perwakilan orangtua. Pada saat sekolah mengadakan kegiatan out door, orang tua lah yang mengkoordinasi secara teknik tentang persiapan, pemberangkatan dan kepulangan anak. Guru berperan dalam pengisian unsur edukasi dari kegiatan tersebut. Untuk memudahkan kerjasama tersebut, di masing-masing taman kanakkanak membentuk persatuan orangtua wali murid dan guru (POMG). Manfaat dari organisasi ini adalah meningkatkan partisipasi orangtua dalam pendidikan anak di sekolah, menjalin komunikasi baik komunikasi antar orangtua maupun antara guru dengan orangtua. Hal ini bermanfaat untuk mencegah terjadinya masalah miskomunikasi antara pihak sekolah dengan orangtua. Akbar (2010) mencontohkan bentuk komunikasi yang kurang baik antara orangtua dengan sekolah misalnya orangtua mengintervensi tata tertib di sekolah jika terjadi pelanggaran yang dilakukan anaknya. Temuan penelitian ini menunjukkan bahwa sekolah sudah menjaga keharmonisan hubungan dengan orangtua sehingga semua aspirasi orangtua tersalurkan lewat organisasi POMG. Pendidikan karakter dengan cara ini disebut dengan Partnership Within the School Community. Dengan bekerjasama maka sekolah dan keluarga memiliki kekuatan untuk membesarkan anak yang berkarakter. Pendekatan yang bisa digunakan adalah dengan mengusulkan kepada orangtua tentang nilai karakter yang akan dikembangkan di sekolah dan mengajak orangtua untuk berkomitmen untuk mencapai tujuan pendidikan (Lickona, 2008). Selanjutnya, faktor pendukung internalisasi karakter sosial di TK yaitu : 1. Temuan penelitian menunjukkan bahwa visi misi sekolah sudah bermuatan pendidikan karakter. Nilainilai yang dicanangkan di visi misi sekolah antara lain berakhlak mulia, taqwa, mandiri, jujur, kreatif. Visi misi sekolah disosialisasikan kepada orangtua secara lesan maupun tertulis sejak anak pertama kali masuk sekolah. Implementasinya adalah dalam pembelajaran dan program sekolah lain. Visi misi sekolah merupakan landasan atau pondasi bagi pengembangan kurikulum di Taman Kanak-kanak. Visi misi sekolah dikembangkan berbasis nilai-nilai islami, sehingga mendukung internalisasi karakter dalam pendidikannya. 2. Keterlibatan orangtua dalam pendidikan anak. Semua informan mengungkapkan bahwa orangtua menunjukkan kepedulian terhadap perkembangan anak, sehingga program pendidikan di sekolah selalu mendapatkan dukungan dari orangtua. 3. Pendidikan guru minimal Diploma 2 dan rata-rata mempunyai pengalaman pendidikan dan pelatihan yang memadai. Pengalaman mengajar guru yang rata-rata di atas 10 tahun memungkinkan guru semakin menguasai kompetensi paedagogik. Temuan penelitian menunjukkan bahwa guru menguasai metode pengajaran anak usia dini dan mampu memberi perlakuan yang tepat terhadap anak usia dini. Temuan penelitian ini sesuai dengan pendapat Bafadal (2007) yang menjelaskan bahwa pendekatan pendidikan karakter dengan Whole School Approach bisa dilakukan dengan memasukkan nilai pada seluruh aspek kehidupan sekolah yakni pada visi misi sekolah, karena visi misi sekolah dapat menjadi sumber motivasi bagi akselerasi peningkatan mutu sekolah. Visi misi ini akan tertuang dalam kurikulum dan budaya sekolah dan diimplikasikan dalam kegiatan sehari-hari. dengan penciptaan iklim yang kondusif sehingga dapat memicu dan memacu perkembangan nilai-nilai yang diunggulkan di sekolah. Penciptaan lingkungan sekolah yang kondusif artinya siswa, guru, staff, dan orang tua dengan kompak menyuburkan pertumbuhan nilai-nilai, dan pendidikan nilai dilakukan sesuai dengan tingkat perkembangan fisik dan psikologis siswa.
210
Prosiding Seminar Hasil Penelitian LPPM UMP 2014 ISBN 978-602-14930-2-1 Purwokerto, 6 September 2014 Pengembangan dan implementasi pendidikan karakter perlu dilakukan dengan mengacu pada grand design yang merupakan konfigurasi karakter dalam konteks totalitas proses psikologis dan sosialkultural, meliputi olah hati (spiritual and emotional development), olah pikir (intellectual development), olah raga dan kinestetik (physical and kinestetic development), dan olah rasa dan karsa (affective and creativity development) (Sudrajat, 2008). Tahap awalnya dimulai dari proses penyusunan kurikulum tingkat satuan pendidikan. Disinilah peran guru diperlukan. Kepala sekolah dan guru harus mampu menentukan visi dan misi sekolah yang diarahkan untuk membentuk manusia yang utuh. Penentuan visi dan misi sekolah harus terpola dengan baik sehingga mampu mendeskripsikan tujuan pendidikan secara utuh. Adapun faktor yang menghambat internalisasi karakter sosial di TK yaitu : terbatasnya sarana prasarana pendidikan dan media pembelajaran. Misalnya ketersediaan kamar mandi/toilet anak yang terbatas, sehingga membuat anak harus berebut menggunakannya. Media pembelajaran yang tersedia sebagian besar untuk pengembangan aspek kognitif dan motorik dan berbentuk gambar. Media yang mendukung karakter sosial misalnya video atau film, panggung boneka belum tersedia. Hasil penelitian ini sesuai dengan pedoman pendidikan karakter pada anak usia dini yang menegaskan bahwa pendidikan karakter di TK bisa dilakukan dengan pengkondisian, yaitu mengkondisikan situasi dan kondisi lembaga PAUD sebagai pendukung kegiatan pendidikan karakter. Misalnya dengan pemeliharaan toilet yang bersih, penyediaan bak sampah, dan kerapian alat permainan edukatif, untuk menanamkan nilai karakter seperti tanggung jawab (K4 = Kebersihan, Kesehatan, Kerapian dan Keamanan) (Anonim, 2012). KESIMPULAN 1. Karakter sosial yang dikembangkan di TK adalah karakter kerjasama, karakter komunikasi, karakter hormat menghormati, karakter peduli, dan karakter kepatuhan. 2. Pengembangan karakter di TK lebih ke arah dimensi moral feeling. 3. Proses internalisasi karakter sosial di TK dimulai dengan internalisasi karakter sosial ke dalam visi misi sekolah. Implikasi budaya sekolah tampak dalam pendekatan ke siswa, pengelolaan kelas, interaksi sosial di sekolah, penerapan peraturan sekolah dan hubungan antara sekolah dengan orangtua. Pendekatan yang digunakan dalam pendidikan karakter di TK adalah behavior action. 4. Faktor pendukung internalisasi karakter sosial di TK adalah :visi misi sudah bermuatan karakter, pengalaman mengajar guru diatas 10 tahun, ada hubungan yang baik antara sekolah dengan orangtua. 5. Faktor penghambat internalisasi karakter sosial di TK adalah masih terbatasnya sarana dan prasarana dan media bermain anak DAFTAR PUSTAKA Anonim, (2012), Pedoman Pendidikan Karakter pada Usia Dini, Jakarta : Dirjen Pendidikan Anak Usia Dini, Nonformal, dan Informal Arliani, E., (2012), “Mengembangkan Sikap Saling Menghargai Melalui Pembelajaran Matematika : Upaya Memperbaiki Karakter Bangsa”, dalam Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika dengan tema ” Kontribusi Pendidikan Matematika dan Matematika dalam Membangun Karakter Guru dan Siswa" pada tanggal 10 November 2012 di Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY , ISBN : 978-979-16353-8-7. Akbar, S., (2011), “Revitalisasi Pendidikan Karakter Di Sekolah Dasar”, Naskah Pidato Pengukuhan Guru Besar Universitas Malang, 8 Juni 2011. Blunden,
A, (1998), “Character and social process”, dalam http://marxists.org/archive/fromm/works/1942/character.htm. diakses 23 April 2014.
Calvin.,H, . (1993). Teori-Teori Psikodinamik (Klinis).Yogyakarta: Kanisius Emde, R. N., Biringen, Z., Clyman, R. B. & Oppenheim, D. (1991). The Moral Self of Infancy: Affective Core and Procedural Knowledge. Developmental Review, 11, 251-270 Goleman, D.,( 2005). Kecerdasan Emosi : Untuk Mencapai Puncak Prestasi. (Terjemahan Alex Tri Kantjono). Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama.
211
Prosiding Seminar Hasil Penelitian LPPM UMP 2014 ISBN 978-602-14930-2-1 Purwokerto, 6 September 2014 Irianto, Y.B. (2010), “Strategi Manajemen Pendidikan Karakter (Membangun Peradaban Berbasis Ahlaqul Kharimah)”, dalam Proceedings of The 4th International Conference on Teacher Education; Join Conference UPI & UPSI, Bandung, Indonesia, 8-10 November 2010 Kartono, K (2000). Pemimpin dan Kepimimpinan. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Lickona, T., (2008), Educating for Character, New York : Bantam Book. Maccoby, M, (1999)., “The self in transition: from bureaucratic to interactive social character”, paper american academy of psychoanalysis 43rd annual meeting, may 14, 1999. Washington, dc. _________, (2002), “Toward a science social character” , paper in international forum of psychoanalysis 11: (33-44) Na’imah T, & Suwarti, (2012), “Pengembangan Model Pemberdayaan Keluarga dengan Pendekatan Improvement dan Berbasis Masalah Psikososial Anak dari Keluarga Miskin di Purwokerto Selatan”. Laporan Penelitian tahun II, tidak diterbitkan, LPPM Univ. Muhammadiyah Purwokerto. ________., & Septiningsih, DS., (2011), “Studi Tentang Pola Parenting Wanita Miskin Dalam Mengatasi Masalah Psikososial Anak Akibat Kemiskinan Di Purwokerto”, Laporan Penelitian, LPPM, Universitas Muhammadiyah Purwokerto. Peterson, K.D. and Terrence E. D. (2009). The Shaping School Culture Filedbook. San Francisco: JossesBass Ruyadi, Y., (2010), ” Model pendidikan karakter berbasis kearifan budaya lokal (penelitian terhadap masyarakat adat kampung benda kerep Cirebon provinsi jawa barat untuk pengembangan pendidikan karakter di sekolah)”, Proceedings of The 4th International Conference on Teacher Education; Join Conference UPI & UPSI Bandung, Indonesia, 8-10 November 2010 Schein,
E.H., (2010), “Organizational Culture & Leadership”. MIT Review. (http://www.tnellen.com/ted/tc/schein.html) .
Sloan
Management
Stevick, E.W. (1976), Memory, Meaning and Method. Mass: Newbury House Sudradjat, A., ( 2008). Pengertian, Pendekatan, Strategi, Metode, Teknik, Taktik, dan Model Pembelajaran. http://akhmadsudrajat.wordpress.com/2008/09/12 diakses 15 April 2014. Superka, D.P., Ahrens, C., Hedstrom, J.E., Ford, L.J. & Johnson, P.L. (1976). Values education sourcebook : Conceptual approach, material, analyses, and an annotated bibliography, Boulder,CO : Social Sciences Education Consortium Zamroni. (2000). Paradigma pendidikan masa depan. Yogyakarta: Bigraf Publishing.
212