Intap-Intip Rumah Tangga Negeri (Pengalaman menjadi reporter magang Ekonomi-Bisnis Koran Tempo) Oleh: Tristia Riskawati
M
emahami seluk beluk rumah tangga pangkal mengetahui seluk beluk negara. Begitu ujar mantan Perdana Menteri Inggris Margaret Thatcher. Kendati menjadi panglima laju pemerintahan Inggris, rupanya wanita tangan besi ini memberikan perhatian lebih terhadap urusan remeh temeh seperti kerumahtanggaan. Aku amini perkataan Margaret Thatcher. Untuk mengetahui lebih dalam seluk-beluk negara, perempuan cukup khatam memahami rumah tangganya. Namun, nyatanya, dengan magang menjadi wartawan rubrik ekonomi bisnis, ditakdirkanlah aku untuk mengetahui seluk-beluk rumah tangga negara lebih dulu-- sebelum mengenal seluk beluk rumah tangga keluarga. Pada awalnya, keinginan aku melangsungkan job training di Tempo didasari karena alasan relasi. Aku pernah mengikuti Kemah “Menjadi Indonesia” yang diadakan Tempo Institute pada 2011. Salah satu karyawan Tempo Institute, Mbak Maya Wuysang mengaminiku ketika aku mengutarakan niat aku untuk job training di Tempo. Aku pun diberi kontak Mas
Yudistiro, bagian Sumber Daya Manusia (SDM) dari Tempo. Ternyata, proses diterimanya aku untuk job training di Tempo cukup lama. Terhitung dari pertengahan 2012 mulai menghubungi Mas Yudistiro, aku baru dipersilakan mulai job training sedari 2013 awal. Ternyata, relasiku dengan Tempo tidak menjamin kelancaran proses pengajuan job training-ku. Aku memutuskan untuk bekerja di Koran Tempo ketimbang di Majalah Tempo. Alasannya, bekerja di Majalah Tempo, berarti membutuhkan waktu tiga bulan kerja atau 90 hari kerja dan tidak terpotong libur. Berarti, butuh alokasi dana kebutuhan hidup di Jakarta yang cukup besar. Belum lagi, ketika tengok kanan-kiri, teman-teman sudah mulai menyusun skripsi. Aku mengajukan ingin menjadi reporter di desk Nasional Koran Tempo. Pada awalnya, aku akan ditempatkan di desk tersebut. Namun, di hari pertama aku job training, aku langsung diajukan bekerja di desk Ekonomi-Bisnis (Ekbis). Terus terang, aku agak khawatir bekerja di desk ini. Desk Ekbis mencakup istilah-istilah yang tidak semua awam mengenalinya. Beruntung, di hari pertama aku bergabung dengan kompartemen Ekbis, ketika itu ada kelas Ekonomi desk Ekbis dari ekonom Bank Danamon, Pak Manggih. Oleh redakturku, Mas Muhammad Nafi, aku disuruh mengikuti kelas tersebut. Walhasil, aku diperkenalkan oleh istilah-istilah yang baru aku tahu
semasa aku hidup. Sebut saja tappering off, defisit neraca transaksi, dan lain sebagainya. Kompartemen Ekbis terdiri dari dua sektor. Pertama adalah sektor finansial yang meliput soal ekonomi makro, seperti inflasi, saham, deflasi, defisit neraca, suku bunga, dan lain sebagainya. Peliputan untuk sektor finansial biasanya di Kementerian Keuangan atau di Bank Indonesia. Kedua adalah sektor riil yang membedah soal penggunaan anggaran yang secara langsung menghasilkan output. Output-nya biasanya berupa barang dan jasa. Oleh staf redaksi bernama Mas Abdul Malik, aku ditawari memilih di sektor manakah aku akan melakukan peliputan. Aku memilih sektor riil, karena aku suka isu-isu yang tercakup dalam sektor riil seperti isu pertanian, pertambangan, industri, dan lain sebagainya. Di samping itu, isu-isu di sektor finansial menyimpan istilah-istilah dan pengetahuan yang musykil dipelajari dalam waktu singkat. Terhitung sejak 8 Oktober 2013 yang aku liput ialah soal upaya swasembada lima komoditas pangan (padi, jagung, kedelai, gula, dan daging), sengkarut izin pendirian maskapai, upaya perbaikan infrastruktur, sengkarut pipa gas open access, launching mobil baru, pengambilalihan inalum dari tangan Jepang ke tangan Indonesia, pro kontra soal industri minyak kelapa sawit, kawasan industri, pelarangan ekspor bahan mineral mentah, dan lain sebagainya.
Pada hari-hari awal job training, aku terkejut mengetahui wartawan harian biasa membuat berita tiga sampai lima berita per harinya. Apalagi, di tiga hari pertamaku job training, aku hanya membuat satu tulisan per hari. Mungkin aku belum terbiasa dengan kemampuan menyusun fakta yang didapat dalam waktu singkat. Namun, lama-kelamaan, aku mulai terbiasa. Pertama-tama, aku ditugasi tandem dengan reporter-reporter Ekbis tiap harinya. Pertama, aku ditugasi tandem oleh Kak Bernadette Christina atau Kak Dedet yang mengepos di Kementerian Pertanian. Tandem pertamaku berlokasi di Ruang Rapat DPR. Aku tidak menyangka bisa masuk ke gedung yang sebelumnya hanya bisa aku lihat di televisi dengan begitu mudahnya. Ibuku sampai minta agar aku mengambil gambar gedung kura-kura DPR tampak depan. Aku bertindak lebih norak lagi: iseng memotret toilet DPR! Hehe. Bagaimanapun, melalui kebijakan tandem ini, aku dapat langsung mengamati kerja reporter Tempo. Kerja reporter Tempo berbeda dengan kerja reporter online seperti detik.com atau vivanews. Reporter Tempo tidak langsung mengetik berita dengan ponsel pada saat wawancara, kemudian langsung dikirim—seperti layaknya reporter online. Namun, mereka biasanya mentranskrip hasil rekaman wawancara dengan narasumber terlebih dahulu. Selama aku magang, wawancara selalu dilakukan dengan cara doorstop atau “mencegat” narasumber setelah acara selesai. Karena isu yang
ditanyakan kepada narasumber tersebut merupakan isu follow up yang aku belum terlalu mengetahuinya, aku pun bingung hendak menanyakan apa. Kadang-kadang aku bertanya, walau seringnya aku tidak bertanya. Atau kadang-kadang aku sudah menyimpan pertanyaan, tapi tidak berani mengajukan karena takut pertanyaan yang aku ajukan terdengar bodoh. Ini yang sebenarnya aku sesali. Aku tidak memiliki keberanian lebih mengajukan pertanyaan aku kepada narasumber saat wawancara doorstop berlangsung. Satu hal mengasyikkan yang terdengar norak (sekali lagi) adalah kesempatan untuk makan enak secara gratis. Hehe. Acara-acara yang harus kuliput biasanya diadakan di hotel. Atau kantor-kantor pemerintahan tertentu. Biasanya, disediakan snack dan hidangan utama yang lezat di acara tersebut. Konon, fasilitas ini akan jarang didapat seandainya aku menjadi reporter Metro (membahas tentang hal-hal yang berkaitan dengan kehidupan Jakarta) yang medan liputannya sangat “jalanan”. Kendati lebih suka meliput di luar ruangan, piket di kantor adalah kesempatan bagi aku untuk bisa menggali isu lebih dalam. Pada saat piket, redaktur Ekbis menitipkan kepadaku memfollow-up isu-isu yang harus dikejar untuk hari itu dengan cara menelepon narasumber tertentu. Ketika piket, dalam sehari aku bisa mem-follow up sampai tujuh isu. Praktis, ini membuat wawasan aku semakin kaya dengan berbagai pendalaman isu.
Selama bekerja di kompartemen Ekbis Koran Tempo, terdapat beberapa pelajaran yang aku dapatkan, terutama terkait pandanganku tentang Indonesia. Pertama, aku menyadari mengurus negara itu sulit luar biasa, termasuk mengatur prioritas pengeluaran anggaran, bagaimana berhubungan dengan pihak luar negeri, bagaimana meyakinkan masyarakat, bagaimana mengatasi mafia monopoli, dan lain sebagainya. Rubrik Ekbis Tempo mengajak pembacanya tahu bagaimana agenda pemerintah membelanjakan anggarannya. Mengupayakan negeri untuk berswasembada kedelai itu tidak semudah kita membalikkan telapak tangan. Butuh perhitungan yang betulan serius. Iklim dan keadaan tanah di beberapa daerah di negeri ini tidak semuanya cocok ditanam kedelai. Contoh lain adalah menasionalisasi perusahaan asing seperti Indonesia Asahan Alumunium (Inalum). Proses nasionalisasi tersebut butuh kejelian dan strategi yang luar biasa. Atau bagaimana mengusahakan keseimbangan antara lancarnya produksi minyak kelapa sawit dengan kelestarian lingkungan hidup. Prinsip people, profit, planet yang diikat oleh legalitas sedang diperjuangkan oleh beberapa aktivis yang peduli terhadap komoditi kelapa sawit. Kita tidak bisa hanya sekadar meneriakkan jargon-jargon klise seperti "nasionalisasikan perusahaan asing!", "jangan tunduk pada kekuatan asing!", "stop pembalakan hutan untuk kelapa sawit!" atau malah jargon yang bertendensi "mosi tidak percaya" seperti
"gulingkan kekuasaan!", "tegakkan khalifah!". Di sini, bukan tempatnya aku berbicara soal benar atau tidaknya ideologi jenis mana pun. Namun satu hal yang niscaya, filosofi dan ideologi manapun tidak sepatutnya “mengaum” tanpa persiapan teknis yang matang. Pelajaran kedua yang aku dapatkan adalah, tidak sinerginya antar perangkat pemerintahan menimbulkan kekacauan dalam mengatur hajat negara. Aku ingat ketika aku mewawancarai Enny Sri Hartati, peneliti Institute for Development of Economics and Finance (INDEF). Ia bilang, Ia mencatat terdapat beberapa pembangunan kawasan industri yang macet seperti di Sei Mangke, Sumatera Utara dan di Palu, Sulawesi Tengah. Enny berpendapat, seharusnya Kementerian Perekonomian mengoordinasi antar instansi agar pembangunan kawasan industri tidak mandek.