Perbandingan Hasil Atenuasi Tomografi 3D Menggunakan Metoda Spectral Fitting & Spectral Ratio Dalam Usaha Pemetaan Bawah Permukaan (Studi Kasus Gunung Guntur) Awali Priyono1), Gede Suantika2) dan Sri Widiyantoro1) 1) Fakultas Teknik Pertambangan dan Perminyakan Institut Teknologi Bandung, Bandung 2) Pusat Vulkanologi & Mitigasi Bencana Geologi, Bandung e-mail:
[email protected] Diterima 23 Juni 2010, disetujui untuk dipublikasikan 9 Agustus 2010 Abstrak Metoda spectral fitting dan spectral ratio diuji untuk mendapatkan nilai Q atau atenuasi dalam usaha pencitraan bawah permukaan dengan menggunakan teknik inversi tomografi tiga dimensi. Dalam studi ini digunakan data gempamikro di sekitar Gunung Guntur yang direkam dari tahun 1995 sampai 2007 yang terdiri atas 4800 seismogram. Metoda spectral fitting dan spectral ratio secara umum memperlihatkan daerah anomali yang sama. Studi menggunakan gelombang P dan S menunjukkan bahwa daerah atenuasi tinggi bersesuaian dengan daerah kecepatan rendah, yang membentang dari Gunung Guntur sampai Kaldera Kamojang. Dari segi hasil citra terlihat bahwa atenuasi menggunakan spectral ratio dari gelombang S memiliki pola yang sama dengan gelombang P, hal ini disebabkan atenuasi gelombang S diturunkan langsung dari gelombang P. Pada metoda spectral ratio nilai Q sangat tergantung pada lebar jendela frekuensi yang diambil dan pengaruh noise untuk menentukan kemiringan dari hubungan linier antara logaritma natural dari perbandingan spektral dengan frekuensi. Hasil dari spectral fitting menununjukkan bahwa pola citra atenuasi gelombang S memiliki pola citra yang berbeda dibandingkan dengan citra anomali gelombang P, sebab masing-masing ditentukan secara terpisah & tidak bergantung satu sama lain. Mengingat sensitivitas nilai Qp dan Qs sangat penting kaitannya dalam estimasi fluida batuan, maka penentuan Qs sebaiknya tidak bergantung langsung dengan Qp. Dengan alasan di atas dan lebih banyaknya faktor yang berpengaruh dalam estimasi nilai Q menggunanakan spectral ratio, maka metoda spectral fitting lebih direkomendasikan dalam penentuan nilai Q. Kata kunci: Atenuasi, Spectral fitting, Spectral ratio, Tomografi, Gunung Guntur Abstract Spectral fitting and spectral ratio methods are tested to estimate the Q value or attenuation in the effort on imaging the subsurface structure using three-dimensional tomographic inversion techniques. In this study, we used microearthquakes data around Mount Guntur that was collected from 1995 until 2007 that consist of 4800 seismograms. Analyses using the spectral fitting and spectral ratio methods generally depict the same anomalous areas. Studies using P and S waves indicate that the area of high attenuation corresponds to the area of low velocity that extending from mount Guntur to Kamojang caldera. In terms of the image quality, it can be seen that the attenuation derived using the spectral ratio of S wave has the same pattern with the one derived using P wave. This is due to the attenuation of S wave, which was derived directly from the P-wave. The Q value in the spectral ratio method depends on the width of the frequency window taken and the effect of noise in the determination the slope of the linear relationship between the natural logarithm of spectral ratio with frequency. The result of the spectral fitting analysis shows that the pattern of S wave attenuation image is different from the pattern inferred from the P wave data, because each attenuation image has been determined separately and does not depend on each other. Since the sensitivity of the values of Qp and Qs are important in fluid rock identification, the determination of Qs should not depend directly on Qp. With the various reasons above and more influential factor in estimating the value of Q using spectral ratio, the spectral fitting method is more recommendable to be employed to determine the value of Q. Keywords: Attenuation, Spectral fitting, Spectral ratio, Tomography, Mount Guntur sangat penting selain kecepatan penjalarannya dalam usaha memahami sifat material bumi yang dilalui. Sebagai sifat intrinsik batuan, Q adalah perbandingan antara energi yang masuk dengan energi yang terdisipasi pada suatu medium yang dilalui. O’Connel and Budiansky (1978) mendiskusikan secara detail mengenai Q ini dan dalam hubungannya dengan persamaan-persamaan dari medium viscoelastic
1. Pendahuluan Parameter yang dipakai untuk mengukur secara kuantitatif atenuasi gelombang adalah faktor kualitas Q, di mana nilai Q rendah sesuai dengan atenuasi tinggi dan sebaliknya. Dalam bidang seismologi, parameter Q ini disebut sebagai faktor kualitas seismik (seismic quality factor). Faktor kualitas seismik adalah parameter gelombang yang 113
114 JURNAL MATEMATIKA DAN SAINS, DESEMBER 2010, VOL. 15 NOMOR 3 untuk suatu material tertentu. Sifat intrinsik Q di definisikan sebagai:
Q =
ωE W = 2π , -dE/dt ∆W
(1)
di mana E = intantaneous energy dalam sistim, dE/dt = laju energi yang hilang, W = energi elastik yang diberikan saat stress dan strain maksimum dan W= energi yang hilang per satu putaran pada eksitasi harmonik. Atenuasi gelombang dalam batuan dipengaruhi oleh banyak faktor, seperti kandungan mineral, relaksasi dan gesekan antar batas matrik dalam batuan kering (Gordon dan Davis, 1968; Wals, 1966). Adanya fluida dalam batuan juga berpengaruh terhadap atenuasi, termasuk di dalamnya mekanisme aliran inersial dari fluida relatif terhadap matrik batuan, yang disebut aliran Biot, dan berbagai jenis aliran dalam rekahan (Mavko dan Nur, 1975; O’Connel dan Budiansky, 1977). Makin beragam batuan maka makin tinggi atenuasinya (Latchman dkk., 1996 dan Eberhart dkk., 2002). Dalam tulisan ini tidak dibahas dalam kaitannya dengan perubahan nilai Q dalam hubungannya dengan estimasi sifat batuan dan fluida, tetapi bertujuan untuk membandingkan metoda – metoda yang digunakan untuk estimasi nilai Q. Hal ini dianggap penting untuk memahami kelebihan dan kelemahan masingmasing metoda berikut ketelitiannya, sehingga tidak ada keraguan dalam usaha interpretasi sifat fisik batuan dan fluida bawah permukaan. 2. Data Data yang digunakan untuk studi ini adalah data gempamikro yang diukur antara tahun 1995 sampai 2007 menggunakan 23 stasiun gempa, di mana 6 stasiun merupakan stasiun permanen dan lainnya menggunakan portable seismograph yang ditempatkan sesuai dengan keperluan studi. Seismometer yang digunakan memiliki natural frequency 1 Hz dan 2 Hz. Distribusi letak stasiunstasiun gempa ini diperlihatkan pada gambar 1a. Kedalaman sumber gempa antara 2 sampai 12 km di bawah Gunung Guntur dan antara 1-6 km di bawah Kaldera Kamojang, seperti diperlihatkan pada gambar 1b. Gempamikro yang terjadi di daerah studi secara umum lebih kecil dari 2 (dua) skala Richter. Contoh seismogram hasil perekaman di stasiun KBY, CTS dan MIS diperlihatkan pada gambar 2. Dari seismogram terlihat bahwa gelombang P dan S terpisah secara baik, dengan beda waktu antara 2,5-5 detik dan durasi lebih kecil dari 20 detik. Dengan demikian maka analisis gelombang P dan S dapat dilakukan secara terpisah. Seismogram yang digunakan dalam studi ini berjumlah 4800.
(a) stasiun permanen stasiun yang menggunakan portable seismograph
(b) Gambar 1. (a) Lokasi stasiun gempamikro. (b) Lokasi episentrum gempamikro daerah studi.
Gambar 2. Contoh seismogram gempamikro dari stasiun KBY, CTS dan MIS, yang terjadi pada tanggal 09 Juli 2004 Jam 08:13 WIB. 3. Metoda 3.1 Model Spektral Model spektral yang digunakan dalam studi ini adalah produk dari spektrum sumber dengan spektrum atenuasi dari medium, yang dituliskan sebagai berikut: f c2 (2) M ( f ) = 2πfΩ 0 .exp(−πft * ) , 2 2 fc + f di mana Ω0 spectral level, fc frekuensi sudut, t* waktu tempuh dengan pembobotan nilai Q.
Priyono, dkk., Perbandingan Hasil Atenuasi Tomografi 3D Menggunakan Metoda Spectral Fitting dan ……… 115 Perubahan harga Ω0 menyebabkan posisi kurva bergerak dalam sumbu vertikal dan secara fisis ditentukan oleh momen seismik sumber dan jarak hiposenter. Sedangkan harga fc menentukan di mana kurva mulai meluruh, yang secara fisis merupakan karakter sumber. Pada metoda spectral fitting ada tiga parameter yang harus ditentukan yaitu spectral level (Ω0), corner frequency (fc), dan operator atenuasi (t*). Ketiga parameter tersebut mempengaruhi bentuk dari spektrum model. Common corner frequency (fc) seharusnya sama untuk satu gempa yang terekam oleh beberapa stasiun, tetapi dalam kenyataannya harganya bisa berbeda-beda. Oleh karena itu nilai fc ini diperoleh dengan cara merata-ratakan terlebih dahulu dari semua stasiun yang ada. Sedangkan operator atenuasi (t*) dan spectral level (Ω0) dihitung untuk setiap stasiun menggunakan nilai corner frequency (fc) ini dengan metoda grid search. Metoda grid search merupakan optimisasi parameter antara data pengamatan dengan data hasil perhitungan sehingga mempunyai faktor kesalahan kecil. Ketiga parameter tersebut dianggap sudah optimum ketika kesalahan/selisih antara spektrum observasi dengan spektrum model minimum (kecil) (Nugraha dkk., 2010). Dalam studi ini metoda grid search diterapkan dalam prosedur spectral-fitting dalam lebar frekuensi 3– 40 Hz. Analisa spektral digunakan baik untuk gelombang P maupun gelombang S untuk memperoleh nilai Qp dan Qs. Gambar 3a menunjukkan rekaman gempamikro dalam domain waktu yang direkam pada stasiun CSP. Terlihat bahwa waktu kedatangan gelombang P maupun S mudah diidentifikasi. Contoh rekaman yang diperbesar diperlihatkan pada gambar 3b dan best fit spektral dari gelombang P dan gelombang S diperlihatkan pada gambar 3c.
3.2 Atenuasi tomografi menggunakan spectral fitting Tomografi Q dalam model ini diturunkan berdasar pada waktu tempuh gelombang dari sumber ke penerima melalui medium kontinu dengan kecepatan V dan faktor kualitas seismik Q, dan di definisikan sebagai berikut (Bath, 1974): t* =
t = t1
∫
t =t0
dl . VQ
(3)
Dalam medium diskrit, persamaan tersebut dapat diparameterisasi ke dalam sejumlah n elemen blok yang diturunkan dari persamaan 3, sehingga menjadi : t *j =
n
dlij
i =1
Vi Qi
∑
t *j ,
(4)
di mana tj* waktu tempuh terbobot dari sinar gelombang ke j yang melalui elemen volum ke i, dlij panjang lintasan dari sinar gelombang ke j dalam elemen volum ke i, Vi kecepatan gelombang dalam elemen volum ke i, dan Qi faktor kualitas dalam elemen volum ke i, n jumlah elemen dalam blok volum di dalam daerah studi. Untuk gelombang P, maka persamaan 3 menjadi: t *pj =
n
dl pij
i =1
V pi Q pi
∑
,
(5)
dan untuk gelombang S menjadi : t sj* =
n
dlsij
i =1
Vsi Qsi
∑
.
(6)
Dengan demikian nilai Qp dan Qs dalam setiap elemen blok volum dapat ditentukan melalui proses inversi masing-masing dari persamaan 5 dan 6. 3.3 Estimasi Q dengan spectral ratio Spektrum sumber gempa yang teramati pada suatu stasiun dapat diekspresikan oleh persamaan berikut (Scherbaum,1990; Scherbaum, 1996):
P
S
S ( f ) = A( f ) I ( f ) R( f ) B ( f ) .
(7)
di mana, S(f) spektrum gempa yang diamati, A(f) spektrum sumber, I(f) spektrum respon instrumen, R(f) spektrum stasiun, dan B(f) spektrum medium . Spektrum sumber A(f) dapat dituliskan sebagai berikut (Scherbaum, 1990; Scherbaum, 1996): A( f ) =
Gambar 3. (a) Seismogram gempamikro Gunung Guntur di stasiun CSP. (b) Kedatangan waktu dan respon gelombang gelombang P dan S yang diperbesar. (c) Best fitting dari kurva spektral .
M 0 R (θ , ϕ ) f cn , 4πρsV 3 f cn + f cn
(8)
di mana M0 momen seismik, R(θ,φ) pola radiasi gelombang merupakan fungsi daripada azimuth (θ) dan incident angle (φ), ρ densitas medium di posisi sumber, s jarak hiposenter, V kecepatan gelombang (P atau S), fc frekuensi sudut sumber (corner frequency), f frekuensi, dan n pangkat bilangan bulat pada frekuensi penyebab amplitudo spektral meluruh pada frekuensi lebih besar daripada fc (n=2 atau n=3).
116 JURNAL MATEMATIKA DAN SAINS, DESEMBER 2010, VOL. 15 NOMOR 3
S s ( f ) Rs (θ , ϕ ) Bs ( f ) = . S p ( f ) R p (θ , ϕ ) B p ( f )
Model yang sesuai dengan pengamatan dan penelitian ini adalah dengan mengambil harga n=2 (Brune, 1970), sehingga model spektrum menjadi: A( f ) =
M 0 R(θ , ϕ )
f c2
4πρsV 3
f c2 + f c2
,
Persamaan (13) juga dapat dituliskan sebagai:
(9)
S s ( f ) Rs (θ , ϕ ) exp(−πft s* ) = . S p ( f ) R p (θ , ϕ ) exp(−πft *p )
di mana Ω0 =
M 0 R (θ , ϕ ) 4πρsV 3
.
⎛ S (f)⎞ ⎟ = −π (t s* − t *p ) f + C , ln⎜ s ⎜ Sp( f ) ⎟ ⎝ ⎠
Spektrum gelombang P dan S yang teramati dapat dirumuskan sebagai berikut:
(11)
S s ( f ) = As ( f ) I s ( f ) Rs ( f ) Bs ( f ) .
(12)
(15)
di mana C = ln(Rs(θ, φ )/(Rp(θ,φ))). Dari persamaan di atas terlihat hubungan antara perbandingan amplitudo spektral dalam logaritma natural terhadap frekuensi merupakan persamaan linier yang memiliki kemiringan sebesar (ts*–tp*) atau ∆tsp*. Parameter ini disebut sebagai differential attenuation. Ilustrasi teknik estimasi Q menggunakan spectral ratio diperlihatkan pada gambar 4 dan 5. Gambar 4a adalah seismogram yang menggambarkan respon gelombang P dan gelombang S yang dicuplik untuk estimasi Q, sedangkan gambar 4b adalah gambar 4a yang diperbesar.
Metoda spectral ratio dilakukan dengan membagi amplitudo spektrum gelombang S dengan amplitudo spektrum gelombang P. Spectral ratio ini dapat menghilangkan efek sumber, efek stasiun, dan efek instrumen, karena gelombang P dan S yang terekam berasal dari sumber gempa, stasiun dan instrumen yang sama. Yang tersisa adalah efek atenuasi medium B(f) dan efek pola radiasi R(θ,φ) yang tercakup di dalam efek sumber (Bath, 1974). Pola radiasi tidak bergantung pada frekuensi f, sehingga persamaan spectral ratio menjadi:
Noise
(14)
Dalam logaritma natural persamaan (14) dapat dituliskan sebagai:
(10)
S p ( f ) = Ap ( f ) I p ( f ) R p ( f ) B p ( f ) ,
(13)
P
(a)
P P
SS
(b)
Gambar 4. (a) Seismogram gempamikro Gunung Guntur di stasiun PSC. (b) Waktu kedatangan gelombang P dan S yang diperbesar.
Priyono, dkk., Perbandingan Hasil Atenuasi Tomografi 3D Menggunakan Metoda Spectral Fitting dan ……… 117
(a)
(c)
(b)
(d)
Gambar 5. (a) Spektrum gelombang P. (b) Spektrum gelombang S dari gambar 4(b). (c) Spectral ratio antara gelombang S dan gelombang P yang memiliki kecenderungan linier pada interval frekuensi antara 5 – 35 Hz. (d) Gradien dari garis linier yang digunakan untuk menghitung harga (ts*-tp*) dan selanjutnya digunakan untuk menghitung harga Q. Gambar 5a dan 5b menggambarkan spektrum dengan ukuran 2 km arah vertikal dan 2 km arah dari gelombang P dan S dari gambar 4a dan 4b, horizontal. Daerah studi meliputi volum sebesar sedangkan gambar 5c menunjukkan spectral ratio 20x20x20 km3 yang terbagi menjadi 1000 elemen volum dengan ukuran 2x2x2 km3. dari gelombang S dan gelombang P. Hubungan linier Koordinat yang dipakai dalam studi ini adalah terjadi pada rentang frekuensi antara 5-35 Hz. Karena koordinat Cartesian dengan sumbu X dan Y masingdata yang digunakan cukup banyak, maka untuk masing menyatakan ke arah Timur dan arah Utara, menghindari pengaruh noise pada rentang frekuensi sesuai dengan arah panah (gambar 6). Sumbu Z tersebut, rentang frekuensi yang digunakan hanya menyatakan arah vertikal. Sebagai titik referensi dibatasi antara 10-20 Hz (lihat gambar 5d). adalah (0,0,0) yang terletak pada koordinat geografi 3.4 Atenuasi tomografi menggunakan spectral ratio 107,7342o BT dan 7,2385o LS. Titik referensi tersebut ditempatkan pada ketinggian 4 km di atas Persamaan tomografi perbandingan spektral permukaan laut. Dengan ketinggian ini diharapkan untuk n elemen blok volum dapat dituliskan sebagai, dapat melingkupi seluruh tubuh Gunung Guntur dan n dl n dl pij sij daerah sekitarnya yang digunakan dalam volum −∑ , (16) t sj* − t *pj = ∑ pemodelan. Potongan tegak dan horisontal secara 3D i =1 Vsi Qsi i =1 V pi Q pi dari bawah permukaan komplek Gunung Guntur, di mana, tj* waktu tempuh terbobot dari sinar kaldera Kamojang dan Gandapura diperlihatkan pada gelombang ke j yang melalui elemen volum ke i, dlij gambar 6. panjang lintasan dari sinar gelombang ke j dalam elemen volum ke i, Vi kecepatan gelombang dalam elemen volum ke i, Qi faktor kualitas dalam elemen volum ke i, dan n jumlah elemen dalam blok volum di dalam daerah studi. Dari persamaan (16) di atas terlihat bahwa untuk menghitung Q, selain harga ts* – tp* yang telah dihitung dari kemiringan kurva ratio dari spektral gelombang S dan gelombang P, diperlukan informasi kecepatan gelombang P dan S. Dengan demikian maka untuk perhitungan atenuasi daerah studi ini diperlukan harga kecepatan gelombang P dan S terlebih dahulu.
3.5 Parameterisasi model Dalam metoda tomografi diperlukan parameterisasi daerah studi. Dalam parameterisasi ini daerah target dibagi menjadi elemen kecil volum
Gambar 6. Gambaran sinar gelombang dari episenter ke stasiun gempa.
118 JURNAL MATEMATIKA DAN SAINS, DESEMBER 2010, VOL. 15 NOMOR 3 Sinar gelombang P dan S yang menjalar dari episenter ke stasiun gempa ditentukan dengan metoda pseudo bending (Koketsu dan Sakine, 1998). Metodologi yang digunakan, termasuk didalamnya menggunakan inversi non linier dengan menggunakan ray-tracing tiga dimensi (Widiyantoro dkk., 2000). Inversi untuk Vp dan Vs dihitung secara terpisah, karena gelomang P dan S dapat mudah diidentifikasi dengan baik dalam seismogram. Jumlah sinar penjalaran gelombang P dan S adalah sama. Jumlah sinar gelombang yang melalui daerah studi akan mempengaruhi resolusi tomogram yang dihasilkan. Densitas sinar gelombang di difinisikan sebagai jumlah sinar yang melalui setiap elemen volum yang melalui daerah studi. Hasil memperlihatkan bahwa lingkup sinar gelombang yang melalui Guntur, Gandapura dan kaldera Kamojang terdistribusi sangat baik. Syarat ini diperlukan untuk mendapatkan citra tomografi dengan resolusi tinggi. Kepadatan sinar gelombang dari episenter ke stasiun gempa pada penampang tegak Y= 9 km arah Barat–Timur diperlihatkan pada gambar 7a, sedangkan pada penampang horizontal Z= 7 km diperlihatkan pada gambar 7b. Hasil inversi tomografi menggunakan data sintetik dalam lingkup ruang (volum) yang sama dengan data lapangan yang sesungguhnya menunjukkan resolusi yang baik sebagai fungsi dari densitas sinar gelombang yang melalui daerah studi (Priyono dkk., 2011).
4. Hasil
Sebelum tomografi atenuasi dilakukan, terlebih dahulu dilakukan tomografi waktu-tunda (delay-time tomography) untuk mendapatkan nilai kecepatan. Hal ini harus dilakukan terlebih dahulu mengingat untuk mendapatkan nilai Q diperlukan nilai kecepatan. Untuk keperluan studi ini kecepatan yang digunakan baik gelombang P maupun S adalah berdasar hasil dari studi sebelumnya (Priyono dkk., 2011). Gambar 8a dan 8b memperlihatkan penampang tegak citra tomografi kecepatan untuk gelombang P dan gelombang S pada arah BaratTimur pada posisi Y = 9 km. Kamojang Guntur
Gandapura
(a)
Kamojang Guntur
Gandapura
(b) Gambar 8. (a) Hasil inversi tomografi waktu tunda gelombang P pada penampang tegak, Y = 9 km arah Barat-Timur. (b) Hasil inversi tomografi waktu tunda gelombang gelombang S pada penampang tegak, Y = 9 km arah Barat-Timur.
(a) N (k
(b) Gambar 7. (a) Kepadatan sinar gelombang dari episenter ke stasiun gempa pada penampang tegak Y = 9 km arah Barat–Timur. (b) Kepadatan sinar gelombang dari episenter ke stasiun gempa pada penampang horizontal Z = 7 km.
Citra tomografi hasil metoda spectral fitting untuk gelombang P dan S ditampilkan dalam parameter atenuasi atau Qp-1 dan Qs-1, tanpa satuan, seperti diperlihatkan pada penampang gambar 9. Sedangkan citra tomografi atenuasi hasil dari spectral ratio diperlihatkan pada gambar 10. Kedua penampang tersebut posisinya sama dengan penampang kecepatan yang disebutkan di atas, baik gelombang P maupun gelombang S. Warna merah tua menggambarkan daerah atenuasi kuat, sedangkan warna biru tua menggambarkan daerah atenuasi rendah. Nilai Qp-1 bervariasi antara 0,007-0,010, sedangkan nilai Qs bervariasi antara 0,0065-0,0085. Secara umum terlihat bahwa daerah atenuasi tinggi sesuai dengan daerah kecepatan rendah, baik untuk gelombang P maupun gelombang S. Pusat anomali ini terlihat di bawah Gunung Guntur dan, di bawah Kaldera Kamojang dan Gandapura.
Priyono, dkk., Perbandingan Hasil Atenuasi Tomografi 3D Menggunakan Metoda Spectral Fitting dan ……… 119 Kamojang Guntur Gandapura
(a)
(b) Gambar 9. (a) Hasil inversi tomografi atenuasi gelombang P pada penampang tegak, Y= 9 km arah Barat-Timur. (b) Hasil inversi tomografi atenuasi gelombang S dengan menggunakan metoda spectral fitting pada penampang tegak, Y= 9 km arah BaratTimur.
Citra tomografi kecepatan dan tomografi atenuasi juga diperlihatkan pada penampang horisontal, Z= 7 km. Gambar 11a dan 11b masingmasing memperlihatkan hasil inversi tomografi kecepatan gelombang P dan gelombang S. Hasil inversi tomografi atenuasi untuk gelombang P dan S, menggunakan metoda spectral fitting dan spectral ratio masing-masing diperlihatkan pada gambar 12a,b dan 13a,b. Seperti halnya pada metoda spectral fitting, dalam metoda spectral ratio juga diperlukan informasi kecepatan untuk menghitung nilai Q. Hanya saja dalam metoda spectral ratio dalam penentuan nilai Qs tidak dapat dilakukan secara mandiri, tetapi harus ditentukan terlebih dahulu hubungannya dengan nilai Qp. Dari studi di daerah ini diperoleh harga Qp rata-rata = 84,52 dan Qs ratarata = 147,56 atau Qp= 0,5728 Qs. Teknik penentuan Qp/Qs ini diperlihatkan pada gambar 14.
N (km)
(a)
N (km)
(a)
(b)
(b) Gambar 10. (a) Hasil inversi tomografi atenuasi gelombang P dengan menggunakan metoda spectral ratio pada penampang tegak, Y= 9 km arah BaratTimur. (b) Hasil inversi tomografi atenuasi gelombang S dengan menggunakan metoda spectral ratio pada penampang tegak, Y= 9 km arah BaratTimur.
Gambar 11. (a) Hasil inversi tomografi waktu tunda (kecepatan) gelombang P pada penampang horizontal, Z = 7 km. (b) Hasil inversi tomografi waktu tunda gelombang S pada penampang horizontal, Z = 7 km.
120 JURNAL MATEMATIKA DAN SAINS, DESEMBER 2010, VOL. 15 NOMOR 3
N (km)
(a) N (km)
(a)
(b) Gambar 12. (a) Hasil inversi tomografi atenuasi gelombang P dengan menggunakan metoda spectral fitting pada penampang horizontal, Z = 7 km. (b) Hasil inversi tomografi atenuasi gelombang S dengan menggunakan metoda spectral fitting pada penampang horizontal, Z = 7 km. N (km
(b)
(a)
N (km
(b) Gambar 13. (a) Hasil inversi tomografi atenuasi gelombang P dengan menggunakan metoda spectral ratio pada penampang horizontal, Z = 7 km. (b) Hasil inversi tomografi atenuasi gelombang S dengan menggunakan metoda spectral ratio pada penampang horizontal, Z = 7 km.
Gambar 14. (a) Hubungan antara waktu tempuh terbobot, t* dengan waktu tempuh, t untuk menentukan nilai rata-rata dari Qp . (b) Hubungan antara waktu tempuh terbobot, t* dengan waktu tempuh, t untuk menentukan nilai rata-rata dari Qs. Hasilnya diperoleh harga Qp rata-rata = 84.52 dan Qs rata-rata = 147.56 atau Qp=0.5728Qs.
Dari hasil di atas terlihat bahwa daerah atenuasi tinggi hasil spectral fitting secara umum menempati area yang relatif sama dengan hasil spectral ratio. Walaupun demikian apabila dilihat lebih detil terdapat perbedaan tingkat atenuasi yang dihasilkan di bawah kaldera Kamojang, di mana tingkat atenuasi yang dihasilkan spectral ratio lebih rendah dibandingkan dengan hasil dari spectral fitting. Hal tersebut bertentangan dengan adanya anomali kecepatan rendah dari hasil tomografi waktu tunda, di mana pada daerah tersebut terjadi penurunan kecepatan yang cukup drastis. Ketidakkonsistenan tersebut kemungkinan disebabkan karena faktor pengaruh pengambilan rentang frekuensi yang digunakan selalu menggunakan lebar spektral yang tetap (10 - 20 Hz) dan pengaruh adanya noise pada rentang tersebut untuk menghitung faktor kualitas Q. Faktor ini juga
Priyono, dkk., Perbandingan Hasil Atenuasi Tomografi 3D Menggunakan Metoda Spectral Fitting dan ……… 121 menyebabkan hasil citra dari metoda spectral ratio terlihat lebih spotty, seperti diperlihatkan pada gambar 13. Pengambilan rentang frekuensi ini sebenarnya tidak harus tetap, perlu dilihat pengaruh noise-nya juga, sehingga pengambilan garis linier menjadi optimum. 5. Diskusi
Hasil citra tomografi atenuasi dari metoda spectral fitting dan spectral ratio memperlihatkan atenuasi tinggi dibawah gunung Guntur dan kaldera Kamojang, baik dilihat atenuasi gelombang P maupun gelombang S. Daerah atenuasi tinggi tersebut bersesuaian dengan anomali kecepatan rendah dari hasil inversi tomografi waktu tunda gelombang P maupun gelombang S. Walaupun demikian terlihat bahwa citra hasil inversi tomografi waktu tunda dan atenuasi dari gelombang P memperlihatkan citra yang lebih tegas dibandingkan dengan gelombang S. Hal ini disebabkan karena picking dari gelombang P lebih mudah dibandingkan dengan gelombang S. Demikian pula dalam mengekstraksi wavelet, gelombang P lebih mudah dibandingkan dengan gelombang S dalam proses perhitungan faktor kualitas Q. Dalam kaitannya dengan estimasi factor kualitas Q, secara umum hasil citra atenuasi dari metoda spectral ratio dan spectral fitting memperlihatkan area atenuasi tinggi yang hampir sama. Perbedaannya terlihat dari tingkat atenuasinya, di mana di bawah kaldera Kamojang atenuasi yang diperoleh menggunakan spectral ratio secara umum lebih rendah dibandingkan dengan menggunakan spectral fitting. Hal ini disebabkan karena rentang frekuensi yang digunakan untuk menentukan garis linier pada estimasi Q dipaksakan sama, tanpa mempertimbangkan pengaruh noise. Kelemahan lain dari metoda spectral ratio dalam estimasi Q tidak dilakukan secara independen, di mana terlebih dahulu harus menentukan hubungan antara Qp dan Qs secara empiris. Sehingga citra atenuasi gelombang S yang dihasilkan memiliki kesamaan pola dengan gelombang P. Padahal sensitivitas perubahan nilai Qp dan Qs secara independen dari satu posisi dengan posisi lainnya sangat penting dalam estimasi fluida dalam batuan. Dengan kenyataan seperti itu terlihat bahwa metoda spectral ratio memiliki banyak kelemahannya dibandingkan dengan metoda spectral fitting. 5. Kesimpulan
Metoda spectral fitting dan spectral ratio masing-masing dapat digunakan untuk memetakan bawah permukaan Gunung Guntur dan sekitarnya berdasarkan sifat atenuasi gelombang dengan teknik inversi tomografi. Keunggulan metoda spectral fitting dalam estimasi Qs tidak bergantung nilai Qp, sehingga perhitungannya dapat dilakukan secara terpisah. Independensi dalam penentuan nilai Qp dan Qs ini sangat penting, mengingat dalam estimasi
fluida dalam batuan, perubahan harga relatif atau nilai ratio antara keduanya sangat diperlukan. Pada kasus di mana Qs/Qp >1 dapat ditafsirkan sebagai pengaruh fluida yang tidak jenuh dalam batuan, sedangkan pada kasus di mana Qs/Qp<1 ditafsirkan fluida jenuh dalam batuan (Haukkson and Shearer, 2006). Di samping metoda spectral ratio dalam penentuan nilai Qs bergantung pada Qp, metoda ini sangat dipengaruhi oleh adanya noise, sehingga pengambilan rentang frekuensi yang tetap dalam penentuan garis linier menyebabkan nilai Q yang diperoleh tidak akurat. Dengan demikian ada faktor subyektivitas dalam penentuan nilai Q dengan menggunakan spectral ratio. Walaupun demikian masing-masing metoda mampu memetakan daerah atenuasi tinggi yang berkorelasi dengan daerah kecepatan rendah yang ditafsirkan sebagai zona lemah sebagai hasil letusan gunung api masa lampau yang memiliki temperatur tinggi. 6. Ucapan Terima Kasih
Penelitian ini didanai oleh Kementerian Riset dan Teknologi Republik Indonesia melalui program riset insentif 2008/2009 dan sebagian didanai oleh Fellowship dari Ikatan Alumni Institut Teknologi Bandung 2009/2010. Daftar Pustaka
Bath, M., 1974, Spectral Analysis in Geophysics. Elsevier Scientific Publishing Company, Amsterdam-Oxford-New York. Brune, J. N., 1970, Tectonic Stress and the Spectra of Seismic Shear Waves from Earthquakes, J. Geophys. Res., 75:26, 4997 – 5009. Eberhart, D. P., M. Chadwick, 2002, Three dimensional attenuation model of the shallow Hikurangi subduction zone in the Raukumara peninsula, New Zealand, J. Geophys. Res., 107, 1 – 15. Gordon, R. B. and L. A. Davis, 1968, Velocity and attenuation of seismic waves in imperfectly elastic rock, J. Geophys. Res., 73, 39173935. Hauksson, E. and P. M. Shearer, 2006, Attenuation model (Qp and Qs) in three dimensions of the southern California crust: inferred fluid saturation at seismogenic depths. J. Geophys. Res., 111, B05302, doi: 10.1029/2005JB003947. Koketsu, K. and S. Sekine, 1998, Pseudo-bending method for three-dimensional seismic ray tracing in a spherical earth with discontinuities, Geophys. J. Int., 132, 339346. Latchman, J. L., W. B. Ambeh and L. L. Lynch, 1996, Attenuation of seismic waves in the Trinidad and Tobago area, Tectonophysics, 253, 111 - 127.
122 JURNAL MATEMATIKA DAN SAINS, DESEMBER 2010, VOL. 15 NOMOR 3 Mavko, G.M. and A. Nur., 1975, Wave attenuation in partially saturated rocks, Geophysics, 44, 1979. Nugraha, A. D., J. Mori and S. Ohmi, 2010, Thermal Structure of the Subduction Zone in Western Japan derived from Seismic Attenuation Data, Geophys. Res. Lett., 37, L06310, doi: 10.1029/2009GL041522. O’ Connel, R. J. and B. B. Budiansky, 1977, Viscoelastic properties of fluid-saturated cracked solids, J. Geophys. Res., 82, 57195735. O’ Connel, R. J. and B. B. Budiansky, B., 1978, Measures of dissipation in viscoelastic media, Geophys. Res. Lett., 5, 5 – 8. Priyono, A., G. Suantika, S. Widiyantoro, B., B. Priadi, and Surono, 2011, Three-dimensional P- and S-wave velocity structures of Mt. Guntur, West Java, Indonesia, from Seismic Tomography, International Journal of
Tomography and Statistics, 16, Copyright @2010-11 by IJTS (CESER Publications). Scherbaum, F., 1990, Combined Inversion for the Three-Dimensional Q Structure and Source Parameters Using Microearthquakes Spectra, J. Geophys. Res., 95, B8, 12, 42312, 438. Scherbaum, F., 1996, Of Poles and Zeros, Fundamentals of Digital Seismology, Kluwer Academic Publisher, Dordrecht / Boston / London. Walsh, J.B., 1966, Seismic wave attenuation in rock due to friction, J. Geophys. Res., 71, 25912599. Widiyantoro, S., A. Gorbatov, B.L.N. Kennet, and Y. Fukao, 2000, Improving global shear wave traveltime tomography using threeDimensional ray tracing and iterative inversion, Geophys. J. Int., 141,747-758.