Jurnal Matematika dan Sains Vol. 9 No. 1, Maret 2004, hal 175 – 182
Pengaruh Inokulasi Cacing Tanah (Pontoscolex corethrurus Fr Mull) Terhadap Sifat Fisika Kimia Tanah dan Pertumbuhan Tanaman Kacang Hijau (Vigna radiata L.Wilczek) Varietas Walet Adianto1) , Diah Utami Safitri2) dan Nuryati Yuli 2) Laboratorium Ekologi dan Biosistematik 2)Laboratorium Mikrobiologi, Departemen Biologi FMIPAInstitut Teknologi Bandung Jl. Ganesha 10 Bandung, 40132. e-mail:
[email protected]
1)
Diterima September 2003, disetujui untuk dipublikasikan Desember 2003 Abstrak Telah dilakukan penelitian untuk mengevaluasi pengaruh inokulasi cacing tanah terhadap sifat fisika dan kimia tanah dan pertumbuhan tanaman kacang hijau pada pot-pot percobaan. Cacing tanah dengan jumlah kepadatan 4 (C4), 8 (C8), dan 12 (C12) individu per pot dipelihara selama 120 hari dalam media yang mengandung tanah liat, humus dan pasir dengan perbandingan 5 : 3 : 2 berat kering dan diberi pakan feses sapi secara ad libitum. Pot– pot kontrol tidak diinokulasi cacing dan terdiri dari kontrol tanpa pakan (Co-) dan kontrol dengan pakan (Co+).. Hasil penelitian menunjukkan laju respirasi mikroorganisme tertinggi pada C12 dan berbeda nyata (p< 0,05) dari Co- dan Co+ begitu pula tingkat dekomposisi selulosa tertinggi pada C12 dan berbeda nyata dari Co-. Hasil pemeriksaan sifat fisika tanah menunjukkan bahwa terjadi peningkatan porositas total secara nyata pada C8 dan C12 dibandingkan dengan Co- dan Co+. Permeabilitas tanah pada C4 meningkat secara nyata dibandingkan dengan Co-, namun jumlah agregat dengan kestabilan rendah semakin meningkat sejalan dengan bertambahnya jumlah kepadatan cacing, Hasil pemeriksaan sifat kimia tanah menunjukkan bahwa inokulasi cacing tanah dapat menyebabkan kenaikan pH tanah. Kadar C organik makin menurun, penurunan terbesar pada C12 dan terkecil pada Co-. Kandungan N, P, K, Ca dan Mg meningkat pada semua jumlah kepadatan cacing dibandingkan dengan Co-. Hasil pengukuran pertumbuhan tanaman kacang hijau menunjukkan bahwa tinggi tanaman meningkat secara nyata pada C8 dan C12 dibandingkan dengan Co- dan Co+. Berat kering tanaman pada C8 dan C12 lebih tinggi dibandingkan dengan Co- dan Co+. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa inokulasi cacing tanah pada tanah dalam pot dapat mengubah sifat fisika dan kimia tanah menjadi lebih baik bagi pertumbuhan tanaman kacang hijau. Kata kunci: cacing tanah, fisika-kimia tanah, pertumbuhan tanaman Abstract The effect of earthworm inoculation on soil physical and chemical properties and the growth of mung bean in experimental pot had been studied. Earthworms were inoculated at four different densities i.e. 0 (Co), 4 (C4), 8 (C8) and 12 (C12)individuals in pots containing clay : humus : sand (5 :3 : 2) dry weight and kept for 120 days. Cow dung were applied ad libitum. The control (without earthworms inoculation) consisted of two groups ; with and without dung ( Co- and Co+). The results of this experiment indicated that the rate of microorganism respiration was highest in C12 treatment and significantly different (p < 0,05) from Co- and Co+. Cellulose decomposition level was also highest in C12 treatment compared to Co-. Soil physical analysis indicated that total porosity increased significantly in C8 and C12 treatment compared to Co- and Co+ . Water permeability increased significantly in C4 treatment compared to Co-. Soild chemical analysis indicated that soil pH increased due to earthworm inoculation. Organic Carbon decrease in accordance with the increasing number of earthworm, the highest decreaseng in C12 treatment and the lowest in Co-. The N,P,K,Ca and Mg level increased in all treatments compared to Co-.. The plant height increased significantly in C8 and C12 treatment compared to Co- and Co+. Furthermore plant biomass increased significantly in treatment C12 compared to Co- and Co+. It can be concluded that inoculation with earthworms could change the soil physical and chemical properties and improved conditions for the growth of mung bean. Keywords: earthworm, soil physic- chemical, plant growth biomasa tanaman. Hal ini merupakan gangguan terbesar bagi biota tanah. Penelitian menunjukkan bahwa diversitas dan kelimpahan populasi makrofauna tanah pada sistem pertanian daerah tropika menurun lebih dari setengahnya dibandingkan
1. Pendahuluan Saat ini penurunan kualitas tanah telah menjadi masalah yang serius akibat konversi lahan hutan alam menjadi lahan pertanian dengan jalan membersihkan lahan dan membakar sejumlah besar 175
JMS Vol. 9 No. 1, Maret 2004
hutan primer. Penelitian terhadap beberapa “keystone” spesies, diantarannya cacing tanah, membuktikan bahwa penurunan diversitas spesies fauna tanah mengakibatkan perubahan regulasi dekomposisi biologi dan ketersediaan nutrien dalam tanah (Matson, 1998). Penggunaan alat-alat berat seperti traktor atau mesin tanam otomatis dalam waktu yang lama dapat mengakibatkan perubahan sifat fisika tanah, penghancuran agregat tanah dan pemadatan tanah (Foth, 1984). Inokulasi cacing tanah Pontoscolex corethrurus Fr. Mull diketahui dapat meningkatkan biomasa mikroba tanah, namun pengaruh inokulasi cacing ini terhadap tanaman memberikan hasil yang berbeda-beda (Pashanashi, et al., 1992) Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui pengaruh cacing tanah (Pontoscolex corethrurus Fr. Mull) terhadap sifat fisika kimia tanah serta pertumbuhan tanaman kacang hijau (Vigna radiata L. Wilczek ) sebagai tanaman uji dalam pot. 2. Bahan dan Cara Kerja 2.1. Bahan Cacing tanah P. corethrurus dewasa dengan berat 0,8 – 1 gram diperoleh dari Cihideung Lembang, Bandung Utara. Media cacing terdiri dari campuran tanah liat, humus dan pasir dengan perbandingan 5:3:2 berat kering. Kadar air media dipertahankan 45 ± 5 %. Pakan cacing berupa feses sapi diperoleh dari Peternakan Pejagalan Bandung. Bibit kacang hijau (Vigna radiata, varietas walet) diperoleh dari Balai Penelitian Tanaman Pangan dan Bioteknologi, Bogor. 2.2. Cara Kerja Inokulasi Cacing Tanah P. corethrurus dan Pemeliharaan Tanaman Kacang hijaum Pot-pot yang sudah berisi media selanjutnya diinokulasi dengan cacing tanah P. corethrurus dengan kepadatan 0 individu (kontrol), 4 individu (C4), 8 individu (C8) , dan 12 individu (C12) per pot masing-masing dengan enam kali ulangan. Kelompok kontrol terdiri dari kontrol tanpa pakan (Co-), dan kontrol dengan pakan (Co+). Pemberian pakan dilakukan secara ad libitum. Percobaan dilakukan selama 120 hari. Pada hari ke 60, pot-pot tersebut ditanami dengan bibit kacang hijau Vigna radiata L Wilczek varietas Walet. Sebelum ditanam, biji kacang hijau diseleksi kualitasnya dan yang digunakan untuk percobaan beratnya berkisar antara 0,06 – 0,07 gram. Selama pemeliharaan tanah medium yang mengandung cacing dan tanaman kacang hijau, suhunya diukur, sedangkan pengukuran pH tanah dilakukan pada awal dan akhir percobaan. Pengukuran tinggi tanaman dilakukan tiap minggu setelah tanam selama enam minggu, sedang biomassa tanaman ditimbang pada akhir percobaan.
176
Pengukuran Konsumsi Oksigen Mikroorganisme Tanah Sampel tanah diambil dari tiap pot sebanyak tiga sampel, dengan menggunakan bor/pipa besi berdiameter 2 cm pada kedalaman sekitar 6 cm. Masing-masing sampel beratnya 2 gram. Pengukuran laju konsumsi oksigen dilakukan dengan menggunakan respirometer Warburg (Umbreit, 1964) Untuk mengetahui perkembangan aktivitas mikroorganisme tanah, pengukuran ini dilakukan setiap 30 hari, selama 120 hari. Pengukuran Sifat Fisika Tanah Pot Pemeliharaan a. Pengukuran berat isi, porositas dan permeabilitas tanah Pengambilan sampel tanah utuh dilakukan dengan menggunakan ring sampler. Ring Sampler terbuat dari besi bergaris tengah 7,4 cm dan tinggi 3,8 cm.. Sampel tanah utuh ini diperlukan untuk pengukuran bobot isi tanah, porositas, dan permeabilitas tanah. b. Penentuan Kadar Air Tanah Tanah ditimbang seberat 10 gram, kemudian dimasukkan ke dalam oven dengan pemanasan 105oC selama 24 jam, lalu ditimbang. Hal ini dilakukan beberapa kali sampai mencapai berat yang konstan. Berat tanah terakhir ini disebut berat tanah kering. Berat kandungan air tanah diperoleh dari berat tanah basah dari pot (B) dikurangi berat tanah kering (K) sehingga : B-K(g) Kadar air tanah ( % ) = ---------- x 100% B(g) c. Penentuan Bobot Isi Tanah (Bulk Density) Contoh tanah yang diambil dengan ring sampler ditimbang seluruhnya (tanah, ring, dan tutupnya), dengan timbangan duduk, kemudian dikurangi berat ring dan tutup maka akan diperoleh berat tanah kering udara (B), dengan mengetahui kadar air tanah (% berat) maka dapat dihitung berat tanah kering mutlak (K) 100% K = -------------------- x B (g) 100% + PA(%) PA = kadar air tanah (%) Isi ring sampler = 163,4 cm3 K (g) Bobot Isi (BI) = ------------ (g/cm3) 163,4 cm3
JMS Vol. 9 No. 1, Maret 2004
d. Penentuan Nilai Porositas Total Bobot isi (g/cm3) Porositas = ( 1,0 ------------------------------x 100% ) Total (%) Kepadatan partikel (g/cm3) Nilai kepadatan partikel dipakai angka 2,65 g/cm3 yaitu nilai rata-rata dari 2,6 g/cm3 untuk tanah dengan kandungan organik tinggi dan 2,7 g/cm3 untuk tanah mineral ( Hillel, 1980). e. Pengukuran Permeabilitas Tanah Contoh tanah yang diambil dari pot dengan ring sampler direndam dalam baki perendam berisi air 3 cm dari dasar baki selama 24 jam. Setelah perendaman selesai, contoh tanah yang sudah jenuh air dengan ringnya dipindahkan ke alat pengukur permeabilitas atau unit permeameter kemudian dialiri air. Pengukuran jumlah air yang tertampung pertama dilakukan selama 6 jam, selanjutnya setiap hari sampai 4 kali pengukuran. Terakhir diamati volume air yang telah keluar setelah melalui masa tanah selama 1 jam lagi. Setelah itu diambil rata-rata dari keenam pengukuran itu dan disesuaikan dengan Tabel 1. Tabel 1. Kelas Permeabilitas Menurut Survai Tanah Amerika Serikat (Sarief, 1981) No 1 2 3 4 5 6 7
Kecepatan permeabilitas Keterangan ( cm/jam ) < 0.12 Sangat lambat 0.13 - 0.51 Lambat 0.51 - 2.00 Agak lambat 2.01 - 6.25 Sedang 6.26 - 12.50 Agak cepat 12.51 - 25.00 Cepat > 25.00 Sangat cepat
Perhitungan permeabilitas tanah diperoleh dari rumus:: Q l 1 Permeabilitas (K) = ------- x ----- x ------ (cm/jam) t h A dimana : Q = banyaknya air yang mengalir pada setiap pengukuran (ml) t = waktu pengukuran (jam) l = tebal contoh tanah (cm) h = tinggi permukaan air dari permukaan contoh tanah (cm) A = luas permukaan contoh tanah (cm2) Dalam hal ini , l = 3,8 cm, h = 5 cm, A= 45,72 cm2 Pengukuran Sifat Kimia Tanah Penentuan Kandungan C Organik, N, P, K, Ca dan Mg Kandungan C organik ditentukan dengan metode oksidasi dengan asam kromat. Penentuan kandungan N total dilakukan dengan metoda
177
Kjeldahl. Penentuan kandungan P terlarut dilakukan dengan metode Bray. Penentuan kandungan K dilakukan dengan metode ekstraksi asam. Penentuan kandungan Ca dan Mg dilakukan dengan metode ekstraksi amonium asetat (Hidayat, 1978). 3. Hasil dan Pembahasan 3.1. Faktor lingkungan Suhu udara di rumah kaca selama percobaan pada malam hari adalah 21-22oC dan pada siang hari adalah 31-33oC. Suhu tanah pada malam hari adalah 22-23 oC dan pada siang hari adalah 30-31,5 oC . pH tanah pada awal percobaan adalah 6, dan pada akhir percobaan bervariasi. Kontrol tanpa pakan (Co-) mempunyai pH terendah yaitu 5,8 ± 0,00 dan tertinggi pada perlakuan 12 individu cacing ( C12 ) yaitu sebesar 6,27 ± 0,05 seperti terlihat pada Tabel 2. Pada hasil pengamatan terlihat bahwa pH cenderung naik terutama pada perlakuan C8 dan C12, hal ini diduga karena pada perlakuan tersebut jumlah kalsiumnya lebih tinggi dibandingkan kontrol, pada C8 mengandung 30,52 ± 0,72 mg Ca/100 g tanah dan C12 mengandung 31,19 ± 0,92 mg Ca/100 g tanah (Tabel 6). Kebanyakan kation dapat menetralkan keasaman tanah. Ion bivalen seperti Ca2+ dan Mg2+ dapat menggeser ion monovalen seperti Na+ yang terikat pada misel tanah, sehingga dapat menurunkan elektron negatif partikel tanah. Penambahan kotoran sapi pada tanah dapat pula meningkatkan pH tanah karena dalam pupuk tersebut diantaranya terdapat kalsium dan magnesium. Tabel 2. pH Tanah pada Akhir Percobaan
• •
No.
JP
pH tanah
1
Co-
5.80 ± 0.00a
2
Co+
5.97 ± 0.47b
3
C4
6.03 ± 0.05c
4
C8
6.25 ± 0.06d
5
C12
6.27 ± 0.05 d
JP : Jenis Perlakuan Huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata secara statistik (P>0,05)
Laju Respirasi Mikroorganisme dan Tingkat Dekomposisi Selulosa Konsumsi O2 pada 30, 60, 90 dan 120 hari pengamatan menunjukkan bahwa C4, C8, dan C12 mempunyai laju konsumsi oksigen lebih tinggi dan berbeda nyata secara statistik dibandingkan dengan Co- dan Co+ (Tabel 3). Laju respirasi semakin meningkat seiring dengan bertambahnya jumlah
JMS Vol. 9 No. 1, Maret 2004
178
kepadatan cacing dan bertambahnya waktu. Pada semua kelompok uji laju respirasi terendah terdapat pada waktu pengamatan 30 hari. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa inokulasi cacing tanah pada pot meningkatkan aktivitas respirasi mikroorganisme tanah. Pada percobaan ini respirasi diukur pada suhu yang seragam (32oC) sehingga dengan makin tingginya respirasi dapat menunjukkan makin bertambahnya populasi mikroorganisme pada tanah yang diuji. Jumlah total O2 yang dikonsumsi mikroorganisme makin bertambah sesuai dengan bertambahnya kepadatan cacing, yaitu tertinggi pada C12. Hal ini terjadi disebabkan adanya penambahan kotoran sapi sebagai pakan cacing yang menghasilkan feses atau kasting yang berguna sebagai media pertumbuhan mikroorganisme. Parle
(1959) dalam Edwards (1972) menunjukkan bahwa pakan setelah melalui saluran pencernaan cacing, (feses yang disebut kasting yang dikeluarkan pada tanah) dapat meningkatkan jumlah aktinomisetes, bakteri berpigmen, dan kelompok bakteri Bacillus cereus. Kasting yang dikeluarkan oleh cacing tanah sangat kaya akan ammonia dan bahan organik yang terdegradasi sehingga menjadi substrat yang bagus bagi pertumbuhan mikroorganisme. Cacing tanah Pontoscolex corethrurus mempunyai mukus yang dikeluarkan oleh usus sebanyak 16% per berat kering tubuh yang dapat menstimulasi pertumbuhan mikroflora sehingga dapat mendegradasi materi organik tanah menjadi bentuk lebih sederhana dan mudah dicerna (Barois, 1992).
Tabel 3. Laju Konsumsi Oksigen Mikroorganisme Tanah No JP 1 2 3 4 5
CoCo+ C4 C8 C12
N 6 6 6 6 6
Konsumsi oksigen ul /jam/gram tanah (rata-rata ± st.dev ) 30 hari 60 hari 90 hari 120 hari 21,45 ± 5,09 a 25,33 ± 4,62 a 28,89 ± 2,16 a 33,57 ± 3,25 a 25,33 ± 4,63 a 29,89 ± 3,07 a 32,39 ± 2,66 b 37,19 ± 3,92 a 34,77 ± 2,62 b 39,73 ± 4,11 b 40,41 ± 3,98 c 44,13 ± 2,15 b 49,49 ± 3,07 c 55,39 ± 5,37 c 57,92 ± 5,32 d 54,74. ± 4,03 c 59,57 ± 6,91 d 67,32 ± 9,18 d 71,93 ± 5,29 e 51,59 ± 2,68 c
Hasil pengukuran tingkat dekomposisi selulosa pada pot Co- sampai dengan C12 dari hari ke 30 sampai dengan hari ke 90 menunjukkan adanya peningkatan. Tingkat dekomposisi selulosa kelompok C8 dan C12 pada waktu pengamatan 30, 60, dan 90 hari lebih tinggi dan berbeda nyata (P< 0,05) dibandingkan Co- dan Co+ (Tabel 4). Hasil ini sejalan dengan percobaan konsumsi oksigen sebelumya. Pada waktu pengamatan 120 hari, selulosa yang terdekomposisi pada C8 dan C12 menurun dibandingkan dengan Co+ dan C4. Hal ini diduga disebabkan karena menurunnya aktivitas mikroorganisme pengurai selulosa akibat inokulasi
Rata-rata 27,31 ± 5,16 a 31,20 ± 4,95 a 39,76 ± 3,85 b 54,39 ± 3,54 c 62,60 ± 8,94 c
cacing tanah yang berlebih (C8 dan C12) sehingga menurunkan kandungan oksigen dalam medium yang mengakibatkan aktivitas mikroorganisme pengurai selulosa misalnya Aspergillus, Pseudomonas dan aktinomisetes juga menurun. Alexander,1977 menyatakan bahwa ada hubungan antara aktivitas mikroorganisme dengan tekanan oksigen. Pada kondisi dimana tekanan oksigen menurun, akibat dari berkurangnya jumlah oksigen di tanah, maka jumlah bakteri anaerob akan meningkat namun jumlah jamur berfilamen dan aktinomisetes akan menurun. Selain oleh faktor oksigen, proses dekomposisi ini tergantung juga pada kadar nitrogen anorganik seperti amonium dan nitrat, suhu, dan pH tanah.
Tabel 4. Tingkat Dekomposisi Selulosa No. JP
Tingkat dekomposisi selulosa (% rata-rata ± st.dev )
N 30 hari
60 hari
90 hari
120 hari
Rata-rata
1 Co-
6
17,37 ± 2,68 a
26,49 ± 1,98 a
39,28 ± 3,98 a
53,51 ± 2,67 a
34,83 ± 16,04 a
2 Co+
6
28,10 ± 2,44 b
40,06 ± 2,16 b
53,83 ± 4,25 b
65,46 ± 1,56 b
46,85 ± 16,24 ab
3 C4
6
30,97 ± 3,22 bc 44,92 ± 6,36 bc
52,27 ± 6,88 bc
66,35 ± 4,12 b
48,77 ± 14,79 ab
4
C8
6
50,22 ± 2,66 d
55,98 ± 4,96 d
62,05 ± 3,67 d
52,79 ± 7,63 a
55,28 ± 5,10 ab
5 C12
6
51,56 ± 12,98 d
62,11 ± 2,60 e
64,29 ± 2,6 d
51,64 ± 7,10 a
57,43 ± 6,75 b
Keterangan : JP : Jenis Perlakuan N : Jumlah ulangan Huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata (P>0,05)
JMS Vol. 9 No. 1, Maret 2004
179
3.2. Sifat Fisika Tanah Permeabilitas tanah terhadap air pada penelitian ini meningkat pada kelompok C4 dan peningkatan tersebut berbeda nyata (P<0,05) dibandingkan dengan Co- (Tabel 5). Hal ini disebabkan karena aktivitas cacing dalam membuat lubang saluran dalam tanah, sehingga air dapat dengan mudah menembus ke dalam tanah. Pada percobaan dengan menggunakan kolom plastik yang berisi tanah, lubang-lubang yang dibuat cacing A. caliginosa dapat meningkatkan permeabilitas air, dan pada kolom yang diinokulasi cacing permeabilitas berkolerasi dengan panjang lubang (Joschko et. al., 1992). Permeabilitas tanah pada pot C8 dan C12 lebih rendah dari pada C4, walaupun secara statistik tidak berbeda nyata (P>0,05). Hal ini kemungkinan disebabkan oleh menurunnya aktivitas cacing tanah menjelang akhir masa percobaan pada kedua perlakuan tersebut karena pengaruh kepadatan. Pada perlakuan C8 dan C12, melalui analisis kimia tanah diketahui bahwa dikedua perlakuan tersebut jumlah kalsiumnya tinggi (Tabel 5), hal ini juga diduga memberi pengaruh pada meningkatnya daya ikat tanah terhadap air sehingga permeabilitasnya menurun. Kalsium telah diketahui
dapat memflokulasikan materi liat yang terdispersi sehingga lebih bisa menjebak air (Tisdale, 1993). Porositas total pada kelompok perlakuan C8 yaitu ( 76,17± 1,05 %) dan C12 yaitu (74,55± 1,67%) jumlahnya lebih tinggi dan berbeda nyata dari kontrol (Tabel 5) . Hal ini disebabkan karena bobot isi tanah dari kelompok perlakuan tersebut lebih rendah dibandingkan dengan kontrol, menurunnya bobot isi ini kemungkinan disebabkan oleh adanya kasting. Kasting cacing tanah diketahui mempunyai bobot isi yang lebih rendah sebesar 1,11 mg/m3 dibandingkan tanah disekitarnya yaitu 1,28 mg/m3 (Brady, 1984). Cacing tanah selain dapat menghancurkan materi organik juga dapat menghancurkan partikel tanah melalui sistem enzim pencernaannya . Partikel tanah yang bertekstur halus seperti tanah liat, mempunyai ruang pori total lebih banyak dan proporsinya relatif besar disusun oleh pori-pori kecil, sehingga tanah mempunyai kapasitas menahan air yang tinggi. Dalam hal ini suatu substansi dapat menjadi sangat porus namun belum tentu sangat permeabel terhadap air . Hal ini dapat dijadikan penjelasan pula bahwa pada C8 dan C12 porositas total lebih tinggi dari pada C4, tetapi permeabilitasnya lebih rendah dari C4.
Tabel 5. Data Sifat Fisika Tanah pada Akhir Percobaan No
Pot
N
Permeabilitas
Berat isi
Porositas total
(cm/jam) Kelas gram/cm3 % 1 Co- 6 10.66 ± 3.30a Agak cepat 0.72 ± 0.03a 72.89 ± 1.34a 2 Co+ 6 12.03 ± 2.52ab Agak cepat 0.75 ± 0.04a 71.93 ± 1.51a 3 C4 6 16.46 ± 4.76bc Cepat 0.74 ± 0.01a 73.20 ± 0.67ab 4 C8 6 14.77 ± 5.44abc Cepat 0.63 ± 0.03b 76.17 ± 1.05bc 5 C12 6 11.41 ± 2.13abc Agak cepat 0.67 ± 0.05bc 74.55 ± 1.67bc N = ulangan Keterangan : Huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata (P>0,05) 3.3. Sifat Kimia Tanah Kadar karbon organik pada kelompok C4, C8 dan C12 lebih rendah dan berbeda nyata dibandingkan dengan Co- maupun Co+ (Tabel 6), hal ini menunjukkan bahwa aktivitas dekomposisi karbon organik pada C4, C8 dan C12 berlangsung lebih tinggi dibandingkan Co- dan Co+. Kandungan karbon dalam tanah menjadi rendah disebabkan oleh aktivitas mikroorganisme yang mengubah karbon organik menjadi karbondioksida yang dilepas ke udara. Hasil ini sejalan dengan percobaan sebelumnya bahwa laju konsumsi oksigen mikroorganisme tanah pada C4, C8 dan C12 juga lebih tinggi dibandingkan dengan Co- maupun Co+ akibat adanya proses dekomposisi mikroorganisme. Kandungan nitrogen total cenderung meningkat baik pada Co+, C4, C8 maupun C12, dan pada C4, C8 dan C12 penigkatan tersebut berbeda nyata dibandingkan Co- (Tabel 6). Peningkatan jumlah nitrogen total berasal dari nitrogen organik
dan anorganik. Nitrogen anorganik yang berupa nitrat dan amonium diantaranya berasal dari aktivitas proses mineralisasi oleh mikroba (Alexander, 1977). Aktivitas cacing sendiri juga dapat menyebabkan peningkatan nitrogen di lingkungan. Kasting yang dihasilkan cacing mengandung nitrogen lebih tinggi dibandingkan dengan tanah di sekitarnya (Brady, 1984). Lebih dari 50% nitrogen tersebut dalam bentuk nitrat, selain hal tersebut kotoran sapi yang mengandung amonia dapat langsung diserap tanaman (Tisdale, 1993). Kadar fosfor pada kelompok Co+ , C4, C8 dan C12 lebih tinggi dan berbeda nyata secara statistik dibandingkan dengan Co- (Tabel 6). Kenaikan ini diduga berasal dari aktivitas dekomposisi yang mengubah fosfor organik dari materi feses sapi menjadi fosfor anorganik. Kasting yang dikeluarkan cacing mengandung fosfor yang tersedia bagi tanaman lebih banyak dibandingkan tanah sekitarnya (Edwards,1972) .
JMS Vol. 9 No. 1, Maret 2004
180
Kadar kalium pada Co+, C4, C8 dan C12 jumlahnya lebih tinggi dan berbeda nyata (P<0,05) dibandingkan dengan Co- (Tabel 6). Tingginya kadar kalium ini berasal dari aktivitas dekomposisi mikroba, tetapi hampir 2/3 dari kalium yang berasal dari residu tumbuhan tidak terikat kuat dan dapat segera larut dalam air. Kasting cacing diketahui mengandung kalium yang tersedia bagi tanaman, kadar kalium pada kasting sebanyak 44,6 mg/100 g berat kering dibandingkan dengan 7,0 mg/100 mg berat kering pada tanah di sekitarnya (Brady, 1984). Kadar Ca pada pot C8 dan C12 jumlahnya lebih tinggi yaitu sebesar 30,52 ± 0,72 dan 31,19 ± 0,92 mg Ca/100g dibandingkan dengan pot Cosebesar 21,51 ± 1,54 mg Ca/100g dan kenaikan ini berbeda nyata secara statistik (Tabel 6). Tingginya kadar Ca ini disebabkan diantaranya karena cacing tanah memiliki kelenjar kalsiferus di daerah oesofagus yang mensekresikan mukusnya melalui saluran pencernaan (Edwards, 1972).. Penelitian lain
menyebutkan tanah yang diinokulasi cacing Octalasium bihariensis mengandung 126 μg/g Ca sedangkan pada tanah yang tidak diinokulasi cacing mengandung 77 μg/g Ca. Pada pot Co+, C4, C8 dan C12 mengandung Mg yang lebih tinggi dan berbeda nyata secara statistik dibandingkan dengan Co- (Tabel 6). Hasil ini sejalan dengan data penelitian yang menunjukkan bahwa, tanah yang diinokulasi cacing mengandung 60 μg/g Mg, dibandingkan pada tanah yang tidak diinokulasi cacing yaitu 36 μg/g Mg (Victor et.al., 1992). Meningkatnya kadar Ca dan Mg ini juga disebabkan oleh aktivitas mikroorganisme yang dapat mensintesis senyawa tertentu yang dapat membebaskan Ca dan Mg dari mineral tanah dan dari garam yang tidak larut (Alexander, 1977). Selain hal tersebut pakan yang berupa feses sapi juga mengandung Ca dan Mg sehingga kasting yang dikeluarkannya juga mengandung Ca dan Mg.
Tabel 6. Kandungan Unsur Kimia Tanah pada Akhir Percobaan N % 1 Co- 11.19± 0.74a 0.47 ± 0.03a 2 Co+ 11.01± 1.07a 0.52± 0.03ab 3 C4 10.25± 0.49a 0.54 ± 0.05b 4 C8 9.82 ± 0.98b 0.54 ± 0.07b 5 C12 9.26 ± 0.78b 0.55 ± 0.07b
No Pot
C
C/N 23.83 ± 1.17a 20.66± 1.21ab 18.83± 1.17bc 18.17± 1.33bc 17.17 ± 1.17c
P
K mg/100g 4.81 ± 0.29a 61.68 ± 4.51a 15.57 ± 2.03b 203.37 ± 18.95b 17.07 ± 1.94b 236.87 ± 10.87c 17.48± 1.16bc 201.50±10.86bd 18.86 ± 2.96c 210.15±22.22bd
Ca
Mg mg/100g 21.51± 1.57a 6.88 ± 0.22a 22.99± 1.18a 8.76 ± 0.35b 24.82± 1.46a 9.15 ± 0.60bc 30.52± 0.72b 10.40 ± 0.43d 31.19± 0.92b 10.66 ± 0.57d
Keterangan: Huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata (P>0,05) Hijau
C4, C8 dan C12, sementara itu Co+ berbeda nyata dari C12.
Pertambahan ukuran tanaman pada fase vegetatif sering ditentukan diantaranya dengan cara mengukur tinggi batang. Selain faktor air, jaringan yang tumbuh juga memerlukan zat-zat terlarut berupa garam mineral dari larutan tanah dan gula yang terurai dari simpanan atau dari hasil fotosintesis. Meningkatnya porositas tanah sebagai hasil dari aktivitas cacing dapat menciptakan kondisi aerasi yang baik bagi perkembangan akar tanaman, sehingga penyerapan zat-zat hara menjadi lebih baik. Pada penelitian ini tinggi tanaman antara kelompok kontrol dan kelompok C8 dan C12 menunjukkan perbedaan yang nyata secara statistik (Tabel 7 dan Gambar 1). Hal ini diduga karena pada perlakuan ini unsur hara, yaitu garam mineral yang dibutuhkan oleh tanaman seperti N,P,K,Ca dan Mg terdapat dalam jumlah yang cukup untuk menunjang pertumbuhan tanaman. Selain itu, kondisi fisik tanah seperti porositas tanah pada kelompok C8 dan C12 lebih tinggi dibandingkan dengan kontrol, sehingga tanah dapat menyerap air lebih banyak dan mendapat aerasi yang lebih baik dari pada perlakuan yang lain. Pada hasil pengukuran biomasa kering tanaman terlihat bahwa Co- biomasanya paling rendah dan berbeda secara nyata (P<0,05) dari Co+,
Tabel 7. Tinggi Tanaman dan Biomasa Kacang Hijau pada 42 Hari Setelah Tanam
3.4.
Pertumbuhan Tanaman (Vigna radiata L. Wilczek)
Kacang
No
JP
Tinggi (cm)
Biomasa
Jumlah
kering (g)
Daun
Co-
24.65 ± 1.54 a
0.18 ± 0.03a
4
2
Co
24.76 ± 0.64 a 0.23 ± 0.02b
4
3
C4
24.20 ± 0.60 a 0.23 ± 0.01b
4
4
C8
26.90 ± 1.78 b 0.27 ± 0.04bc
4
5
C12 26.47± 1.63 b
0.28 ± 0.04c
4
JP = Jenis Perlakuan Keterangan: huruf yang sama dalam kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata (P>0,05)
JMS Vol. 9 No. 1, Maret 2004
181
tinggi tanaman (cm)
4. Kesimpulan 30 25 20 15 10 5 0
CoCo+ C4 C8 C12 1
2
3 4 5 minggu ke
6
Gambar 1. Tinggi tanaman kacang hijau selama 42 hari setelah tanam. Hal ini menunjukkan bahwa penambahan kotoran sapi dan inokulasi cacing tanah dapat meningkatkan tersedianya zat-zat yang diperlukan tanaman untuk menyokong pertumbuhannya. Beberapa tanaman pada Co- mati dan klorosis. Kematian tanaman tersebut diduga karena kekurangan unsur hara terutama makronutrien dan layu akibat cekaman air. Terjadinya cekaman air pada tanaman juga diketahui dapat meyebabkan penurunan fotosintesis, yang disebabkan oleh penutupan stomata. Kandungan bahan organik pada pot Co- paling rendah, selain hal tersebut pada pot Co- tanahnya cepat mengeras dan pecah-pecah terutama pada bagian atas akibat penguapan yang lebih cepat dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Sedangkan pada pot Co+, C4, C8 dan C12 air lebih dapat terserap oleh tanah karena mengandung bahan organik yang berasal dari kotoran sapi dan tersedianya pori-pori akibat aktivitas cacing tanah sehingga pengeringan dan pengerasan tanah dapat dihindari. Klorosis yang terjadi pada daun yang sudah tua pada Co- diduga karena kekurangan nitrogen yang tersedia bagi tanaman, mengingat kadar N pada Co- paling rendah dan C/N yang paling tinggi dibandingkan dengan kelompok lainnya. Tumbuhan yang kekurangan N menunjukkan gejala klorosis terutama pada daun yang paling tua, pada beberapa kasus daun menjadi kuning dan coklat kemudian mati. Gejala klorosis pada daun tua ini juga bisa disebabkan karena kekurangan unsur K dan Mg, karena Mg merupakan unsur yang penting dalam pembentukan klorofil. Pada kelompok C8 dan C12 rasio C/N masing-masing sebesar 18 dan 17, lebih rendah dibandingkan dengan rasio C/N pada Co- dan Co+ yaitu sebesar 24 dan 21. Hal ini menunjukkan bahwa kondisi tanah C8 dan C12 lebih baik bagi pertumbuhan tanaman dibandingkan kontrol, karena dengan rasio C/N yang rendah, nitrogen berada dalam bentuk yang tersedia bagi tanaman. Edwards (1972) menyatakan bahwa C/N sama dengan 20 atau lebih menyebabkan tanaman sukar mengasimilasi nitrogen .
Inokulasi cacing tanah Pontoscolex corethrurus Fr. Mull dengan jumlah kepadatan 4, 8, dan 12 individu ke dalam pot dapat menyebabkan peningkatan respirasi mikrorganisme tanah, tingkat dekomposisi selulosa, serta menurunnya kadar C organik tanah. Di samping itu inokulasi cacing tanah dapat memperbaiki kondisi fisika kimia tanah yang ditandai dengan meningkatnya permeabilitas, porositas serta kandungan unsur hara tanah. Kondisi ini menyebabkan pertumbuhan tanaman kacang hijau meningkat pada tanah yang diinokulasi cacing tanah. Daftar Pustaka 1.
Alexander, M., “Introduction to Soil Microbiology”, Second Edition, John Wiley & Sons Inc., New York, (1977). 2. Barois, I., “Mucus Production and Microbial Activity in the Gut of Two Species of Amynthas (Megascolecidae) from Cold and Warm Tropical Climates”, Soil Biol. Biochem., 24, 1507-1510, (1992). 3. Brady, N.C., “The Nature and Properties of Soils”, Ninth Edition, Macmillan Publ. Co., New York , (1984). 4. Edwards, C.A. & Lofty J.R., “Biology of Earthworm”, Chapman and Hall Ltd., London, (1972). 5. Hidayat, A., “Methods of Soil Chemical Analysis”, Japan International Coorperation Agency, Bogor, (1978). 6. Hillel, D., “Fundamentals of Soil Physics” Academic Press, New York, (1980). 7. Joslchko M., Sochtig W., & Larink O., “Functional Relationship Between Earthworm Burrows and Soil Water Movement in Column Experiments”, Soil Biol. Biochem., 24, 15451547, (1992). 8. Marrinissen, J.C.Y., “Earthworms, Soil Aggregates, and Organic Matter Decomposition in Agro-ecosystems in The Netherlands”. Thesis Landbouw Universiteit Wageningen, (1995). 9. Matson , P.A., Parton, W.J., Power A.G., & Swift M.J., “Agricultural Intensification and Ecosystem properties”, Science, 277, 505-506, (1998). 10. Pashanashi, B., Malendez, G., Szott, L., & Lavelle, P., “Effect of Inoculation with the Endogenic Earthworm Pontoscolex corethrurus (Glossoscolecidae) on N Avaibility, Soil Microbial Biomass and the Growth of Three Tropical Fruit Tree Seedling in a Pot Experiment”. Soil Biol. Biochem., 24, 16551659, (1992). 11. Salisbury, F.B., & Cleon W.R., “Plant Physiology”, Third Edition, Wadsworth Publ. Co. California, (1985).
JMS Vol. 9 No. 1, Maret 2004
12. Sarief, S., “Ilmu Tanah Pertanian”, Jurusan Tanah Fak. Pertanian. Univ. Padjadjaran, Bandung, (1981). 13. Satchell, J.E., “Earthworm Ecology from Darwin to Vermiculture”, Chapman and Hall, New York, (1983). 14. Tan, K.H., “Dasar-dasar Kimia Tanah”, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, (1991). 15. Tisdale S.L., Nelson W.L., Beaton J.D., & Havlin J.L., “Soil Fertility and Fertilizers”, Fifth Edition, Macmillan Publ.Co., New York, (1993).
182
16. Umbreit, W.W., Burris R.H., & Staufer J.F., “Manometric Technique : a Manual Describing methods applicable to the study of tissue metabolism”. Fourth edition, Burgess Publ. Co. (1964). 17. Victor, V., Postolache, T. & Craciun, C., “Calciphorous Earthworm Activity in Soil. An Experimental Approach”. Soil Biol. Biochem., 24, 1483-1490, (1992).