Inovasi Sebagai Keniscayaan Baru Dalam Ilmu dan Praktek Administrasi Publik di Indonesia1 Oleh: Dr. Tri Widodo W. Utomo, SH.,MA2 Orasi Ilmiah Disampaikan pada Wisuda Sarjana ke-9 dan Magister ke-1 Sekolah Tinggi Ilmu Administrasi (STIA) Bandung, 23 Januari 2016
Pengantar Administrasi publik adalah sebuah disiplin dan praktek yang sangat dinamis dan terus berubah, menyesuaikan diri terhadap perkembangan lingkungan strategisnya. Menurut Vyas-Doorgapersad, Shikha & Keith Simmonds (2009), peran administrasi publik berkembang seiring dengan perubahan paradigmatik dari despotism ke democracy; dari traditional public administration ke new public administration/management; dari interdisciplinary menjadi multi-disciplinary perspective; serta dari public administration ke arah e-public administration. Berbagai perubahan paradigma tadi mengilustrasikan bahwa administrasi publik mampu memberikan respons secara positif dan kontekstual terhadap tantangan kehidupan di tengah masyarakat maupun dalam hubungan antar negara, antar organ negara, serta antara negara dengan masyarakat. Administrasi publik sebagai disiplin keilmuan telah memberi kontribusi signifikan, yang menyediakan kerangka berpikir, metodologi, alternatif kebijakan, serta solusi terhadap permasalahan aktual yang dihadapi masyarakat di berbagai belahan dunia. Meskipun demikian, tidak sedikit yang memberi kritik administrasi publik karena dianggap gagal memfungsikan diri sebagai referensi untuk menyelesaikan problematika ekonomi politik maupun sosial budaya di tengah masyarakat. Masalah kesenjangan pembangunan antar wilayah, kemiskinan dan pengangguran yang tidak kunjung teratasi, merebaknya konflik horizontal dan vertikal, perilaku koruptif para pejabat publik, adalah sedikit contoh dari fenomena gunung es yang belum terpecahkan secara memuaskan hingga saat ini. Untuk itu, administrasi publik harus selalu memodernisasikan dirinya, menemukan strategi dan pendekatan yang lebih jitu, dan terus berusaha untuk memperbaharui teori dan instrumentasi agar tidak semakin tertinggal dengan kemajuan jaman. Dalam hal ini, salah satu trend besar yang harus diintegrasikan kedalam disiplin administrasi publik adalah inovasi. Meskipun sudah cukup banyak buku yang mengulas tentang inovasi sektor publik (Bekkers, Edelenbos, Steijn, ed., 2011; Morse dan Buss, 2008; Anttiroiko, Bailey, Valkama, ed., 2011; Windrum dan Koch, 2008, McNabb, 2007), namun sepanjang pemahaman kami, belum ada yang mencoba melihat inovasi sebagai salah satu dimensi penting dari administrasi publik selain aspek human resources management, kelembagaan, perilaku organisasi, kepemimpinan, hubungan pusat-daerah, partisipasi publik,
1
Disampaikan pada Wisuda Sarjana ke IX Sekolah Tinggi Ilmu Administrasi Bandung (STIA B), Bandung, 23 Januari 2016.
2
Orator adalah Deputi Inovasi Administrasi Negara LAN-RI dan Peneliti Ahli Utama Bidang Administrasi. Ia dapat dihubungi lewat email
[email protected] atau
[email protected].
kemitraan dan privatisasi, pelayanan publik, manajemen keuangan negara, etika, atau analisis kebijakan.3 Faktanya, inovasi merupakan sesuatu yang langka atau asing dalam studi administrasi negara selama ini, terutama di Indonesia. Oleh karena itu, jika administrasi publik ingin tetap relevan dengan milieu-nya, yakni negara dan masyarakat, maka inovasi harus menjadi pusat perhatian dalam studi administrasi publik pada masa kini dan masa yang akan datang. Atas dasar pemikiran seperti ini, maka dalam kesempatan yang sangat baik ini saya ingin menyampaikan gagasan tentang prospek pengembangan studi inovasi sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari disiplin administrasi publik. Untuk memberikan gambaran tersebut, saya akan memulai dengan memaparkan peran administrasi publik di era kontemporer, beragam kelemahan dan/atau kegagalan administrasi publik, pentingnya inovasi untuk memperkuat peran administrasi publik, serta saya tutup dengan beberapa harapan sebagai agenda yang perlu ditindaklanjuti oleh berbagai pihak terkait.
Peran Administrasi Publik Cukup banyak literatur yang memberi penekanan terhadap peranan administrasi publik, baik sebagai disiplin ilmu maupun praktek berpemerintahan. Walaupun peran dan respons administrasi publik terhadap pilihan dan praktek kebijakan berbeda-beda antar tradisi governance (Bevir, Rhodes, and Weller, 2003),4 namun secara umum terdapat pengakuan terhadap kontribusi administrasi publik dalam pembangunan. Cristina-Dana Mitu (2012), misalnya, mengemukakan bahwa dari perspektif klasik, pemerintah hanya berperan untuk menyediakan barang publik (public goods) seperti pendidikan, keamanan, atau pemeliharaan ketentraman dan ketertiban sebagai basis bagi pertumbuhan ekonomi. Namun proses globalisasi telah memperluas peran administrasi publik kepada peran-peran baru seperti mendorong produktivitas dan memfasilitasi pembangunan ekonomi dalam arti luas, mengurangi volatilitas (gejolak) pasar, meminimalkan potensi krisis keuangan, menangani secara efektif konsekuensi dari krisis ekonomi, dan menciptakan kerangka regulasi yang baik dan efektif di sektor keuangan dan pasar modal. Bahkan secara sangat menyakinkan ia menyatakan bahwa tidak
3
Untuk memahami substansi dan ruang lingkup administrasi negara atau administrasi publik, lihat George E. Berkley, 1975, The Craft of Pubic Administration, Massachusetts: Allyn and Bacon Inc.; William L. Morrow, 1975, Public Administration: Politics, Policy, and the Political System, 2nd Edition, New York: Random House; atau Howard E. McCurdy, 1977, Public Administration: A Synthesis, Cummings Publishing Co. Baca juga James W. Fesler, 1980, Public Administration: Theory and Practice, Prentice Hall; Rayburn Barton and William L. Chappell Jr., 1985, Public Administration: The Work of Government, Scott Foresman and Co.; Nicholas Henry, 1988, Administrasi Negara dan Masalah-Masalah Kenegaraan, terjemahan Indonesia oleh Luciana D. Pontoh, Rajawali Press; dan H. George Frederickson, 1997, The Spirit of Public Administration, San Fransisco: Jossey-Bass Publisher.
4
Tradisi didefinisikan sebagai a set of understandings someone receives during socialization; sedangkan makna tradition of governance adalah a set of inherited beliefs about the institutions and history of government. Dalam hal ini, Bevir, Rhodes, and Weller menyebutkan adanya 4 (empat) tradisi besar dalam administrasi publik, yakni tradisi Anglo-Saxon (minim peran negara) seperti dipraktekkan di Inggris dan Amerika; tradisi Germanic (organis); tradisi Perancis (Napoleonic atau Jacobin); dan tradisi Scandinavian, yang merupakan gabungan antara tradisi AngloSaxon dan Germanic.
ada satupun negara yang bisa bertahan, berkembang dan mencapai kemakmuran tanpa adanya administrasi publik yang efektif (h. 528-534). Peters and Pierre dalam bukunya berjudul Handbook of Public Administration (2003) juga memberi ulasan yang cukup panjang tentang peran administrasi publik. Premis utama dari buku itu adalah bahwa administrasi publik sangat penting dalam pengelolaan suatu negara. Pentingnya administrasi publik bisa dilihat dari beberapa aspek. Pertama, urusan administrasi publik meliputi sejumlah besar pegawai, sumber daya, dan kegiatan. Secara filosofis, baik pegawai, sumber daya, dan seluruh aktivitas tadi merupakan instrumen pemerintah untuk merealisasikan tugasnya melayani dan mensejahterakan rakyat. Kedua, administrasi publik berhubungan dengan implementasi atas kebijakan tingkat UU yang diputuskan oleh legislatif. Meskipun parlemen yang menetapkan UU, namun realitanya para aktor admimistrasi publiklah yang mempengaruhi dan memberikan saran kepada anggota parlemen. Dan pada saat yang bersamaan, administrasi publik juga memiliki fungsi perumusan kebijakan untuk mengelaborasi UU. Dengan perannya sebagai implementator sekaligus formulator kebijakan, serta pengelola sumber daya yang berlimpah tadi, dapat dipahami bahwa kedudukan administrasi publik teramat strategis untuk menentukan tingkat kemajuan sebuah bangsa. Cakupan issu-issu yang dikelolapun teramat luas, dari soal pengentasan kemiskinan, rendahnya kualitas pendidikan dan kesehatan, kerusakan lingkungan, diskriminasi pelayanan publik, keamanan dan ketertiban sosial, penegakan hukum, merebaknya korupsi, pembangunan wilayah, ketertinggalan teknologi, lemahnya daya saing badan usaha milik negara, dan seterusnya. Selain itu, dalam proses pengelolaannya, administrasi publik juga perlu mengenali dan mengakomodasi beragam kepentingan dari berbagai stakeholder dan kelompok masyarakat. Mengingat sedemikian kompleksnya peran administrasi publik, maka diperlukan prinsip kesungguhan dan kehati-hatian dalam menjalankan administrasi publik. Sebab, kegagalan administrasi publik akan berdampak langsung terhadap kegagalan dalam menjalankan tugas-tugas negara.5 Namun jika dicermati kembali realita di berbagai negara, kita harus berbesar hati untuk menyadari bahwa administrasi publik bukanlah sebuah konsepsi yang sempurna. Justru menjadi kewajiban kita sebagai ilmuwan dan praktisi administrasi publik, untuk menjadikannya semakin siap mengantisipasi kebutuhan dan tuntutan masyarakat yang semakin sophisticated (canggih) dan unpredictable (tidak terduga).
Indikasi Kegagalan Administrasi Publik Sebagaimana telah disinggung diatas, disamping peran dan kontribusi yang cukup signifikan, administrasi publik juga memiliki banyak keterbatasan atau limitasi. Praktek administrasi publik
5
Urgensi keberadaan negara sesungguhnya merupakan proses dialektika dari kegagalan pasar dan sektor privat sebagai sebuah mekanisme yang tidak nampak (invisible hand) untuk mengakselerasi pembangunan, mendorong pertumbuhan, menghapus ketimpangan, serta menciptakan kualiats hidup yang lebih baik bagi masyarakat. Invisible hand lebih merupakan mitos, sehingga pilihan untuk kembali kepada peran negara (visible hand) semakin menguat. Namun, jika negara tidak memiliki kapasitas yang memadai untuk mengatur urusan-urusan publik, dikhawatirkan akan memunculkan kembali romantisme pasar sebagai mekanisme yang lebih baik dibanding negara.
yang terbentang dari belahan benua Afrika, Amerika, Asia, hingga Eropa, menunjukkan beragam kelemahan dengan kasusnya yang berbeda-beda. Mari kita menengok sedikit ke belakang saat lahirnya buku yang sangat fenomenal karya David Osborne dan Ted Gaebler pada tahun 1992. Buku berjudul Reinventing Government ini, merupakan respon terhadap rezim pemerintahan George Bush Sr. (1989-1993) yang dianggap telah mati. Mereka menggambarkan pemerintah sebagai sistem yang lamban, tersentralisasi, dan terjebak dalam kekakuan aturan dan rantai hirarkhi (sluggish, centralized bureaucracies, preoccupation with rules and regulations, and hierarchical chains of command).6 Sayangnya, ketika AS dipimpin oleh George Bush Jr. (2001-2009), keadaan tidak menjadi lebih baik. Dalam situs The Center for Public Integrity diceritakan tentang 128 kegagalan Presiden George W. Bush selama 8 tahun pemerintahannya.7 Setelah dilakukan survey, ditemukan 10 (sepuluh) kegagalan terbesar Bush Administration sebagai berikut: 1. Dasar pemikiran yang keliru untuk menetapkan kebijakan perang (false premise for going to war); 2. 45 juta rakyat Amerika tidak terlayani asuransi kesehatan (45 million Americans without health insurance); 3. Penggunaan kekuasaan eksekutif yang mengundang kontroversi (controversial assertion of executive power); 4. Defisit anggaran yang meroket (skyrocketing deficit); 5. Adanya tendensi yang menjurus pada praktek penyiksaan (too close to the edge on torture); 6. Politisasi dalam bidang penegakan keadilan (politicization of the department of justice); 7. Tidak adanya kebijakan yang kuat dan berkelanjutan di bidang energi (no robust, sustained alternative energy policy); 8. Penanganan bencana alam/badai oleh Agen Federal yang menyengsarakan rakyat (hurricanes expose Federal Emergency Management Agency woes); 9. Bank investasi berjalan tanpa regulasi (Securities and Exchange Commission allows investment banks to go unregulated); dan 10. Perlindungan anak sangat lemah, UU tentang Tidak Anak yang Tertinggal atau NCLB tidak kunjung selesai (No Child Left Behind: a few bumps in the road).8
6
Baca Ted Gaebler and Alexandra Miller, “Practical Public Administration: A Response to Academic Critique of the Reinvention Trilogy”, Halduskultuur, 2006, vol 7, pp. 16-23. Baca juga Osborne, David, and Ted Gaebler. 1992. Reinventing Government: How the Entrepreneurial Spirit Is Transforming the Public Sector. Reading, MA: Addison-Wesley.
7
Kegagalan pemerintahan Bush Senior dan Junior hanyalah sedikit dari kegagalan pemimpin Amerika sepanjang masa. Pada saat pelantikannya sebagai Presiden AS tanggal 20 Januari 1981, Ronald Reagan menyatakan bahwa “In this present crisis, government is not the solution to our problem; government is the problem.” Pernyataan ini untuk merespon kelesuan dan krisis ekonomi yang berkepanjangan dan sudah berjalan beberapa dekade, sementara pemerintah tidak memiliki kapasitas untuk menyelesaikannya. Pidato lengkap Reagan dapat dibaca di http://www.heritage.org/initiatives/first-principles/primary-sources/reagans-first-inaugural-government-is-not-thesolution-to-our-problem-government-is-the-problem, diakses tanggal 17 Desember 2016.
8
http://www.publicintegrity.org/2009/01/13/2975/top-10-failures-bush-administration, diakses tanggal 16 Desember 2016.
Kegagalan administrasi publik terjadi juga di Afrika, dalam hal ini di Nigeria. Ibrahim (2013) menceritakan bagaimana Nigeria dalam waktu hanya 39 tahun sejak kemerdekaannya tahun 1960, telah berganti 11 orang pemimpin, yang sebagian besar berbentuk junta militer. Suksesi kepemimpinan hampir selalu didahului oleh kudeta berdarah, kecuali pada tahun 1999 dimana diselenggarakan Pemilu yang demokratis dan menghasilkan rezim sipil yang legitimate. Krisis administrasi publik di Nigeria juga ditandai dengan terus bertambahnya negara bagian seiring dengan pergantian rezim, berubah-ubahnya bentuk negara dari Federal menjadi Kesatuan, serta merebaknya korupsi dan perilaku indisipliner dari aparat negara. Nigeria bukan satu-satunya negara di Afrika yang mengalami krisis administrasi publik. Menurut Olowu (2003: 503-505), krisis administrasi publik di Afrika secara umum menjelma dalam 3 (tiga) bentuk, yakni krisis misi, krisis kinerja, dan kinerja manajemen internal. Hal serupa dialami oleh negara-negara lain di dunia seperti India, Portugal, Spanyol, Jerman, Inggris, Perancis, Swedia, dan Belanda, dimana administrasi publik kurang mampu bekerja secara optimal. 9 Bagaimana dengan Indonesia? Dalam pidato Dies Fisipol UGM ke-60 bulan Desember yang lalu, Prof. Agus Dwiyanto (2015) memberikan contoh dari kegagalan pelayanan publik di Indonesia dalam wujud adanya diskonektivitas dari output kegiatan Kementerian dan Lembaga NonKementerian. Sebagai misal, beberapa waduk yang sudah dibangun oleh pemerintah tidak dapat berfungsi karena tidak ada saluran irigasi. Pelabuhan tidak dapat beroperasi secara wajar karena tidak ada jalan yang menghubungkannya dengan kawasan industri. Ditegaskan oleh Dwiyanto bahwa orientasi kegiatan kementerian dan lembaga yang bersifat sektoral bukannya hanya membuat pelayanan publik bersifat parsial, tetapi juga sering mengalami kegagalan. Intinya, lembaga-lembaga pemerintah bekerja sangat terfragmentasi dan tidak membentuk sebuah konsep integrated governance. Indikasi disfungsi administrasi publik juga dapat disimak dari publikasi lembaga Fund for Peace (FFP), yang setiap tahunnya menerbitkan laporan tentang Fragile State Index. Setiap negara yang disurvei masuk dalam salah satu dari 11 kategori yang ditetapkan, yakni very high alert, high alert, alert, high warning, warning, low warning, less stable, stable, more stable, sustainable, serta very sustainable.10 Berbagai pengalaman diatas memberi pelajaran yang sangat berharga kepada kita untuk tidak berhenti memikirkan pembaharuan disiplin administrasi publik. Salah satu kecenderungan masa depan dan menjadi keniscayaan bagi administrasi publik adalah inovasi. Dengan kata lain, inovasi
9
Untuk kasus di berbagai negara tersebut, lihat Mohit Bhattacharya, 1987, “Crisis of Public Administration as a Discipline in India”, dalam Economic and Political Weekly, Vol. 22, No. 48 Nov. 28; Isabel Corte-Real, 2008, “Public management reform in Portugal: successes and failures”, dalam International Journal of Public Sector Management, Vol. 21 No. 2, pp. 205-229, Emerald Group Publishing Limited; dan Mark Bovens, Paul ‘t Hart, and B. Guy Peters (ed.), 2001, Success and Failure in Public Governance: A Comparative Analysis, Edward Elgar Publishing Limited.
10
Untuk tahun 2015, terdapat 4 negara pada kategori very high alert, 12 negara high alert, 22 alert, 27 high warning, 42 warning, 18 low warning, 12 less stable, 14 stable, 12 more stable, 14 sustainable, dan 1 very sustainable yakni Finlandia. Indonesia sendiri pada tahun 2015 dinilai pada kategori warning, dengan skor total 75. Capaian ini lebih baik dibanding tahun 2012, dimana Indonesia masuk kategori very high warning dengan skor 80,6.
sudah saatnya dijadikan sebagai salah satu dimensi pokok dalam studi administrasi publik. Inovasi tidak lagi memadai hanya sebagai best practices untuk ditarik lesson learned-nya, namun perlu lebih dikembangkan sebagai disiplin mandiri dari ilmu administrasi publik.11 Dengan menjadikan sebagai disiplin ilmu yang diajarkan secara luas, diharapkan inovasi akan semakin mudah berkembang karena dilengkapi dengan pranata teori, metodologi, dan instrumentasinya.
Pentingnya Inovasi Untuk Memperkuat Peran Administrasi Publik Dewasa ini, inovasi telah menjadi praktek nyata yang menjadikan pemerintah di manapun memiliki kinerja yang jauh lebih baik. Artinya, inovasi menjadi sebuah pilihan paling rasional untuk menghindarkan suatu negara dari berbagai bentuk kegagalan. Bahkan, inovasi sesungguhnya sudah tidak lagi menjadi pilihan, melainkan kewajiban dan kebutuhan bagi jajaran pemerintah di semua lini dan semua tingkatan. Tidak berlebihan untuk mengatakan bahwa inovasi merupakan jawaban terhadap setiap permasalahan yang dihadapi oleh sektor publik. Banyak pakar yang menyatakan pentingnya inovasi. Ezell and Atkinson (2010: 6), misalnya, dengan sangat menyakinkan menyebutkan bahwa “Innovation has become a more central driver of growth and competitiveness.” Dalam bahasa yang serupa, Windrum and Koch (2008: 3) mengatakan bahwa “Public sector innovation is a key contributor to national growth, and to the welfare of individual citizens.” Statement Ezell and Atkinson dan Windrum and Koch diatas menegaskan bahwa inovasi memiliki korelasi yang kuat dengan pembangunan ekonomi. Hal ini didukung oleh Fan, Li, Zeng (et.al. 2009: ix) dengan memberi contoh Korea dan China. Korea, GDP per kapita pada tahun 1950-an masih dibawah US$ 100, namun pada tahun 2005 sudah melampaui US$ 15,000. Lonjakan yang fantastis ini terjadi karena negara yang bercirikan Sungai Han ini memiliki kapasitas inovasi yang luar biasa, sehingga sering dijuluki dengan Han River miracle. Demikian pula China. Ketika memulai politik ekonomi terbuka di akhir 1970-an, GDP per kapita China masih dibawah US$ 200, namun melonjak diatas US$ 2,000 hanya dalam waktu kurang dari 30 tahun. Lebih jauh Fan, Li, Zeng (ibid.) juga mengulas bahwa inovasi sangat erat kaitannya dengan daya saing sebuah bangsa, serta pembangunan sektor jasa keuangan. Manfaat inovasi masih bisa diidentifikasikan dalam banyak hal sebagaimana publikasi United Nations dan World Bank. United Nations (2006: 2) menegaskan bahwa inovasi bertujuan untuk merevitalisasi administrasi publik, membuatnya lebih proaktif, efisien, akuntabel, dan lebih berorientasi pada pelayanan. Sementara World Bank (2010: 6, 37) meyakini bahwa inovasi memberi efek positif dalam beragam bidang, melalui pernyataannya sebagai berikut:
11
Langkanya studi tentang inovasi dikemukakan oleh Anttiroiko, Bailey, dan Valkama, (2011: 1) dengan menulis: “Proper theorization of innovation in governance is thin in both innovation literature and governance literature”. Bahkan penggunaan kata “inovasi” pun kurang populer dibanding istilah reformasi, reorganisasi, atau restrukturisasi. Dalam kalimat aslinya, Windrum and Koch (2008: 229) mengakui bahwa “The word ‘innovation’ is not commonly used by public sector practitioners. Rather, terms such as ‘service reforms’, ‘service improvements’, ‘service reorganizations’ and ‘restructuring’ are commonly used.”
“Innovation has always played a decisive role in the economic and social development of countries: it is the main source of economic growth, it helps improve productivity, it is the foundation of competitiveness, and it improves welfare.” Also, “Innovation is essential to tackling climate change”. Intinya, semakin banyak referensi, semakin panjang pula daftar manfaat dan urgensi dari inovasi. inovasi menjadi jawaban universal atas setiap problem kontekstual. Pada tataran empiris, manfaat inovasi dapat diidentifikasikan dalam beberapa manifestasi, antara lain: percepatan proses atau prosedur kerja, peningkatan efektivitas dan efisiensi dalam penggunaan sumber-sumber daya, pengintegrasian beberapa jenis layanan menjadi terpadu, perluasan pilihan publik (public choice) terhadap barang-barang publik (public goods), penguatan public engagement dalam pengambilan keputusan atau kebijakan publik, pengurangan beban masyarakat atas layanan pemerintah, serta model-model manfaat lain yang terus berkembang sesuai dinamika kebutuhan organisasi publik dan kalangan stakeholder-nya. Melalui program Laboratorium Inovasi12 yang diinisiasi oleh Deputi Inovasi Administrasi Negara LAN-RI sejak awal 2015, terbukti bahwa inovasi tidak hanya mampu menghasilkan output perubahan, namun juga outcomes dan benefit bagi masyarakat luas. Inovasi juga tidak hanya menyentuh perbaikan business process internal birokrasi semata. Lebih dari itu, inovasi telah mampu meningkatkan pemenuhan kebutuhan masyarakat pengguna jasa serta indeks kepuasannya. Praktek inovasi secara empiris sebagaimana dijelaskan diatas, memberikan kepercayaan diri kepada kita semua bahwa administrasi publik di Indonesia akan semakin kokoh dan mampu berperan lebih baik dalam merespon tantangan-tantangan terkini. Inovasi telah menjelma menjadi keniscayaan baru dalam administrasi publik, sebagai faktor pengungkit terwujudnya high performing organization (organisasi berkinerja tinggi). Dan dengan kinerja yang tinggi tersebut, instansi pemerintah yang berinovasi akan semakin mendapatkan dukungan dan kepercayaan dari publik (public trust).
Trend Inovasi Dalam Administrasi Publik: Perspektif Internasional Telah kami terangkan diatas bahwa meskipun inovasi belum menjadi pusat perhatian dalam studi administrasi publik, namun dalam tataran operasional telah banyak sekali praktek inovasi, baik pada skala domestik maupun internasional. Pada skala internasional, sejak tahun 2003 PBB telah menggelar program rutin berupa penganugerahan penghargaan bagi pelayanan publik yang
12
Lab. Inovasi adalah sebuah program yang dimaksudkan untuk mengakselerasi lahirnya gagasan-gagasan dan produk inovasi secara massif dan berkualitas. Program ini pada tahun 2015 telah dilakukan di 4 (empat) daerah yakni Kota Yogyakarta, Kabupaten Majalengka, Kabupaten Muara Enim, dan Kabupaten Ciamis. Dari tiga daerah yang disebut pertama saja, dihasilkan 252 produk inovasi. Metode dan/atau proses pengelolaan Lab Inovasi sendiri terdiri dari 5 (lima) langkah yang dikenal sebagai Metode 5D, yakni Drum-up, Diagnose, Design, Deliver, dan Display. Drumup adalah tahap wake-up call atau penyadaran tentang arti penting inovasi, sehingga output-nya adalah kemauan untuk berinovasi (willingness to innovate). Sedangkan tahap diagnose bertujuan untuk menghasilkan ide/gagasan perubahan, Design untuk menerjemahkan gagasan perubahan menjadi rencana aksi, Deliver untuk melaksanakan rencana dan menghasilkan bukti perubahan (evidence), dan Display merupakan upaya promosi inovasi agar menghasilkan hallo-effect dan pembelajaran bagi pihak lain.
inovatif dari berbagai negara.13 Dari periode 2010-2014, negara-negara di kawasan Asia Pasifik memperoleh penghargaan terbanyak dengan 47 award, disusul dengan kawasan Eropa dan Amerika Utara dengan 34 award, Asia Barat mendapat 31, Afrika memperoleh 25, serta wilayah Amerika Latin dan Karibia sebanyak 23 award. Sementara itu berdasarkan individu negara penerima, Korea mendapat award terbanyak yakni 19, disusul oleh India dan Oman dengan 9 award, Spanyol dan Bazil sebanyak 8 award, Thailand 7, Mexico 6, serta Maroko, Afrika Selatan dan Mesir, masing-masing 5 penghargaan (Deputi Inovasi Administrasi Negara, 2014). Beberapa inisiatif yang memenangkan penghargaan diantaranya adalah One-stop Crisis Center, RS Khon Khaen, Thailand; Gender-responsive Budgeting, Kementerian Keuangan, Maroko; Center for Children Working in Street, Kota Ankara, Turki; Sustainable Work in the Water Sector and Sanitation, Distrik Bangangte, Kamerun; Access to Education for Disadvantaged Female Civil Servants, Civil Service University, Ethiopia; Initiative for Women of Single-Person Household, Kota Seoul, Korea; Integrated Service Delivery Platform, E-Government Authority, Bahrain; Food Coupon System, Kementerian Pembangunan Desa dan Pemerintahan Daerah, Botswana; Increased Transparency in the Decision-making Process, Kantor Kanselir (Kepresidenan) Moldova; Complaints Window, Badan Pemeriksa Negara, Oman; dan sebagainya. Selain inovasi-inovasi yang didokumentasikan dan dipromosikan oleh UNPAN melalui program UNPSA, gagasan kreatif dan berbagai terobosan dalam praktek administrasi publik juga dapat ditemukan dari publikasi Governance International, sebuah lembaga non-profit yang berkedudukan di Birmingham, Inggris. Case study inovasi terbaru yang ditulis pada bulan Desember 2015 menceritakan inisiatif warga Kota Utrecht dan lembaga Hak Asasi Manusia setempat yang mengembangkan website dan Facebook untuk mengkoordinasikan penanganan pengungsi yang datang ke Utrecht. Melalui media web dan FB tadi, arus informasi menyebar cepat diantara penduduk Kota Utrecht, tentang apa saja kebutuhan dalam membantu para pengungi, atau hal-hal apa yang bisa dilakukan oleh warga kota. Para pengungsi juga dapat berbagi pengalaman melalui media tadi, sehingga memberi gambaran yang utuh dan obyektif tentang situasi dan latar belakang yang dihadapi oleh para pengungsi. 14 Inovasi yang menarik ditunjukkan juga oleh Kota Zeist di Belanda. Pemerintah Kota menghadapi situasi tentang keterbatasan anggaran, dan membutuhkan solusi-solusi cerdas dengan segera. Langkah yang dibangun untuk menemukan solusi tadi adalah dengan melibatkan penduduk setempat, dengan asumsi bahwa setiap penduduk adalah ahli di bidangnya masing-masing. Hasilnya cukup mengejutkan, dimana hanya dalam waktu 3 (tiga) bulan, terdapat 200 ahli yang mendiskusikan 8 (delapan) issu dan alternatif solusi secara mendalam. Proses yang mereka sebut dengan istilah “co-comissioning process” ini telah menghasilkan proposal kepada Pemerintah Kota Zeist, dan 95 persen diantaranya diterima apa adanya tanpa perubahan.15 13
Untuk publikasi lengkap tentang program UNPSA (United Nations Public Service Awards), jenis inovasi pelayanan publik, dan negara penerima, lihat website UNPAN (United Nations Public Administration Network) di http://www.unpan.org/unpsa
14
Untuk studi kasus inovasi secara lebih detil di Kota Utrecht dapat dibaca di http://www.govint.org/goodpractice/case-studies/welcome-to-utrecht-how-citizens-and-the-human-rights-city-work-together-to-coordinatehelp-for-refugees/.
15
Untuk informasi detil tentang inovasi Kota Zeist dapat disimak di http://www.govint.org/good-practice/casestudies/the-austerity-dialogue-in-zeist/objectives/. Model inovasi pelibatan warga masyarakat untuk menghasilkan
Beragam kasus inovasi bisa ditemukan juga dalam publikasi World Bank (2010). Salah satunya tentang inisiatif RS Mata Aravind di India. RS ini memiliki tugas berat untuk mengatasi problem kebutaan di pedesaan India. Untuk menjangkau penderita, RS Aravind melakukan pemeriksaan mingguan sebanyak 20-25 kampung setiap minggunya. Untuk membantuk proses pelayanan dan diagnosa, didirikanlah Kios Internet di lokasi-lokasi terpencil yang mampu mengirim informasi ke klinik mata untuk diagnosis. Dengan inisiatif ini, RS Aravind dapat melayani 1,4 juta pasien dalam satu tahun. Dan sejak awal inisiatif ini, telah dilakukan lebih dari 2 (dua) juta operasi dan lebih dari 16 juta pasien rawat jalan (WB, 2010: 5). Inovasi yang unik terjadi juga di Estonia. Negara kecil dekat Finlandia, yang hanya berpenduduk 1,4 juta jiwa ini mengembangkan revolusi internet dengan menetapkan akses internet sebagai hak dasar manusia. Salah satu aplikasi yang dikembangkan adalah doc@home, yakni kit kesehatan elektronik genggam untuk mengukur tekanan darah, kadar stress, dan berat badan, untuk kemudian mengirimkan warning kepada dokter jika ada indikasi gangguan kesehatan. Ditambah dengan sistem ekonomi liberal, pajak yang rendah, dan tingkah upah yang rendah, membuat Estonis menjadi tujuan bisnis yang menarik bagi negara-negara Eropa, terutama Swedia dan Finlandia (WB, ibid). Bagaimana dengan kasus inovasi domestik? Harus diakui bahwa praktek inovasi sudah cukup banyak dihasilkan di tanah air meski masih jauh dari ideal. Pada tahun 2014 bahkan 5 (lima) inovasi di Indonesia yang sudah menjadi finalis UNPSA, yakni Layanan Kesehatan Ibu Melahirkan dengan Bantuan Tenaga Kesehatan Tradisional (dukun beranak) di Aceh Singkil, Pendistribusian Guru Secara Proporsional Kabupaten Luwu Utara, Pelayanan Perijinan Terpadu Kabupaten Barru, Layanan Administrasi Kependudukan Catatan Sipil Kota Surakarta, dan Unit Pelayanan Informasi dan Keluhan Kota Yogyakarta. Secara substantif, kualitas dan originalitas gagasan inovasi yang kita miliki juga tidak kalah dibanding inovasi di manca negara. Namun harus diakui bahwa saat ini masih terdapat beberapa beberapa permasalahan yang membuat inovasi seperti kurang berkembang. Pertama, lemahnya dokumentasi dan publikasi dari inovasi, terutama di lingkungan pemerintah daerah. Akibatnya, inovasi lebih menyerupai pengakuan atau pendapat pribadi dibanding sebagai sebuah fakta, karena tidak didukung oleh evidences yang obyektif dan terukur. Kedua, kalaupun sebuah inovasi sudah didokumentasi dan dipublikasikan, namun belum ada sebuah instrumen yang valid dan reliable untuk mengukur seberapa besar kadar inovasi dari inisiatif tersebut. Banyaknya lembaga yang memberikan anugerah inovasi dengan indikator dan parameter yang berbeda-beda – meskipun sangat baik gagasan original dalam pemecahan masalah-masalah publik, oleh Jacob Morgan disebut dengan istilah Public Innovation. Menurut Morgan, ide inovasi bisa lahir dari seseorang yang mungkin tidak memiliki hubungan sama sekali dengan institusi yang membutuhkan inovasi tersebut. Morgan mencontohkan, perusahaan Royal Dutch Shell pada pertengahan tahun 1990-an, memperkenalkan program GameChanger. Tujuan dari program ini adalah mematangkan gagasan inovasi yang belum teruji efektivitasnya dalam mempengaruhi kebijakan energi secara drastis. Sebelumnya, program ini hanya diperuntukkan bagi karyawan, namun saat ini bisa diakses oleh siapapun cukup dengan mengisi pada formulir online yang telah disediakan. Semenjak diluncurkan, inisiatif ini telah menghasilkan 3.000 gagasan, dan 300 diantaranya telah ditindaklanjuti sebagai proyek komersial yang menghasilkan keuntungan jutaan dollar. Lihat: https://www.linkedin.com/pulse/5-types-innovation-future-work-ptpublic-jacob-morgan dan http://www.forbes.com/sites/jacobmorgan/2015/08/10/the-5-types-of-innovation-for-thefuture-of-work-pt-5-public-innovation-2/.
untuk menumbuhkan semangat berinovasi – dalam beberapa dapat menimbulkan kebingungan banyak kalangan. Ketiga, adanya kecenderungan pimpinan instansi atau daerah yang enggan mereplikasikan inovasi dari tempat lain, dan lebih memilih untuk menghasilkan inovasinya sendiri. Dampaknya, inovasi hanya memberikan kemanfaatan untuk scope yang sempit dan tidak memberi multiplier effect bagi sektor, instansi, maupun daerah lainnya. Keempat, inovasi masih sering bersifat “hangat-hangat tahi ayam”, dalam arti ramai dibicarakan pada suatu masa, namun segera hilang dan dilupakan. Institusionalisasi inovasi dan keberlanjutan inovasi masih menjadi pekerjaan rumah pagi penggiat inovasi di Indonesia.
Penutup Dari pemaparan diatas dapat kita saksikan bahwa perkembangan praktek inovasi tidak berjalan secara konvergen dengan perkembangan teori inovasi dalam disiplin administrasi publik. Produk inovasi tumbuh seperti deret ukur, sementara teoretisasi inovasi berjalan seperti deret hitung. Itulah sebabnya, para ilmuwan administrasi publik harus terpanggil untuk melakukan serangkaian aktivitas akademik agar inovasi lebih cepat diadopsi dalam kurikulum ilmu administrasi publik. Dalam kaitan ini, saya sangat mengharapkan Perguruan Tinggi Negeri maupun Swasta untuk memperkaya khazanah keilmuan administrasi publik dengan menambah jurusan, program studi, atau sekedar konsentrasi tentang inovasi. Pada saat yang sama, mahasiswa dan alumni ilmu administrasi, perlu dibekali dengan pengetahuan dan metode yang memadai untuk membentuk mereka sebagai agen-agen pembaharu atau champion of innovation di lingkungan instansi dan/atau domisilinya masing-masing. Hal penting lain yang perlu digarisbawahi adalah bahwa inovasi secara konkrit telah mampu meningkatkan kinerja sektor publik, sekaligus mengubah mindset praktisi pemerintahan untuk memiliki orientasi kepublikan yang lebih baik dengan terus melakukan pembaharuan yang bermanfaat bagi masyarakat luas. Mindset perubahan seperti inilah yang perlu diperkuat terus sebagai aktualisasi dari spirit revolusi mental. Kinerja institusional yang optimal ditambah mindset aparatur yang positif, merupakan garansi untuk menuju pemerintahan kelas dunia (world-class government) dan pelayanan kelas wahid (first-class public services). Inovasi dan administrasi publik ibarat dua sisi dari keping mata uang yang sama. Inovasi akan memperkaya khazanah administrasi publik dan membuatnya lebih bermakna, sedangkan administrasi publik memberi kerangka teori dan metodologi yang kokoh bagi inovasi agar mampu berkembang lebih pesat lagi. Simbiose mutualisme seperti inilah saya sebut sebagai paradigma baru administrasi publik, dimana inovasi menjadi salah satu keniscayaan didalamnya. Semoga kita selaku administrative scholars and expert siap menerima tantangan ini demi kemaslahatan sebanyak mungkin rakyat Indonesia. Terima kasih.
Referensi Anttiroiko, Ari-Veikko, Stephen J. Bailey, and Pekka Valkama, (ed.), 2011, Innovations in Public Governance, IOS Press. Bekkers, Victor, Jurian Edelenbos, Bram Steijn, (ed.), 2011, “Innovation in The Public Sector: Linking Capacity and Leadership”, dalam IIAS Series: Governance and Public Management, Palgrave Macmillan. Bevir, Mark, R.A.W. Rhodes, and Patrick Weller, 2003, “Traditions of Governance: Interpreting the Changing Role of the Public Sector in Comparative and Historical Perspective”, Public Administration 81, pp. 1-17. Cristina-Dana Mitu, 2012, “The Study on the Role of Public Administration in the Modernization of State”, dalam Contemporary Readings in Law and Social Justice, Volume 4(1), pp. 527–535. Deputi Inovasi Administrasi Negara, 2014, “Public Service Innovation: International Experiences based on UNPSA”, Seri Inovasi Administrasi Negara No. 11, Jakarta: LAN-RI. Dapat diunduh di http://inovasi.lan.go.id/index.php?r=post/read&id=233 Dwiyanto, Agus, 2015, “Integrated Governance: “Satu Pemerintah, Satu Pelayanan”, Pidato Dies ke-60 FISIPOL UGM Yogyakarta. Ezell, Stephen J. and Robert D. Atkinson, 2010, The Good, the Bad, and the Ugly (and the SelfDestructive) of Innovation Policy: A Policymaker’s Guide to Crafting Effective Innovation Policy, The Information Technology & Innovation Foundation. Fan, Qimiao, Kouqing Li, Douglas Zhihua Zeng, Yang Dong, and Runzhong Peng (ed.), 2009, Innovation for Development and The Role of Government: A Perspective from the East Asia and Pacific Region, The World Bank Gaebler, Ted and Alexandra Miller, 2006, “Practical Public Administration: A Response to Academic Critique of the Reinvention Trilogy”, Halduskultuur, vol 7, pp. 16-23. Ibrahim, Inuwa Abdu, 2013, “Failure of Public Administration in Nigeria”, dalam IOSR Journal of Humanities and Social Science (IOSR-JHSS), Volume 18, Issue 6. McNabb, David E., 2007, Knowledge Management in the Public Sector A Blueprint for Innovation in Government, M.E.Sharpe. Morse, Ricardo S. and Terry F. Buss, 2008, “Innovations in Public Leadership Development”, dalam National Academy of Public Administration: Transformational Trends in Governance and democracy, M.E.Sharpe. Olowu, Dele, 2003, “The Crisis in African Public Administration”, dalam B. Guy Peters and Jon Pierre (ed.), 2003, Handbook of Public Administration, The Sage Publication. Peters, B. Guy and Jon Pierre, 2003, “Introduction: The Role of Public Administration in Governing”, dalam B. Guy Peters and Jon Pierre (ed.), 2003, Handbook of Public Administration, The Sage Publication. Vyas-Doorgapersad, Shikha & Keith Simmonds, 2009, “The Changing and Challenging Role of Public Administration: A Universal Issue”, dalam Politeia, Vol. 28, No. 2. United Nations, 2006, Innovations in Governance and Public Administration: Replicating what works, Department of Economic and Social Affairs. Windrum, Paul and Per Koch, (ed.), 2008, Innovation in Public Sector Services Entrepreneurship, Creativity and Management, Edward Elgar Publishing, Inc. World Bank, 2010, Innovation Policy: A Guide for Developing Countries, Washington.
DAFTAR RIWAYAT HIDUP I.
II.
Data Pribadi Name Jenis Kelamin Tempat/Tgl Lahir Status Posisi
: : : : :
Gelar Akademik
:
Alamat Kantor Alamat Rumah Email/Phone
: : :
Dr. Tri Widodo Wahyu Utomo, SH.,MA Laki-Laki Yogyakarta, 15 Juli 1968 Nkah dengan 5 anak – Deputi Inovasi Administrasi Negara LAN-RI; – Ahli Peneliti Utama bidang Administrasi. – Doktor, Universitas Gadjah Mada University, Yogyakarta; – Master of Arts, Department of International Cooperation, Graduate School of International Development (GSID), Nagoya University, Japan. Jl. Veteran No. 10, Jakarta 10110 Villa Melati Mas, Blok M6-12A Tangerang Selatan, Banten
[email protected]; tri,
[email protected] +62-81317869936
Pengalaman Akademik 1. 2. 3. 4.
July 2013 – sekarang, Dosen Tidak Tetap, STIA-LAN Jakarta; November 2010 – sekarang, Ahli Peneliti Utama. 13 Mei-13 Juni 2011, Visiting Researcher, FISIPOL UGM, Yogyakarta. Spring 2009 (1 April-31 JulI 2009), Visiting Researcher / Professor, Graduate School of International Development, Nagoya University.
III. Partisipasi pada Program Internasional 1. 2015, December 7-11, Strategic Dialogue on Institutionalizing Merit in Indonesian Civil Service, Australian Public Service Commission, Canberra. 2. 2015, November 2-6, Workshop and Benchmarking, Public Administration in Productivity, Innovation and Change: Developing Projects to Improve Connectivity, Civil Service College and Temasek Foundation, Singapore. 3. 2015, October 17-21, EROPA Conference: Modernization of Governance: Reforms and Good Practices in Emerging Markets. Shanghai, China. 4. 2014, January 19-30, Integrated Human Resource Management System (IHRMS), at University of California, Irvine, USA. 2014, January 19-30, Integrated Human Resource Management System (IHRMS), at University of California, Irvine, USA. IV.
Presentasi pada Program Internasional 1. September 7-8, 2015, “In Search of Innovative Local Administration: Indonesia’s LGs Facing New Phase and Opportunities”, Presented in “The Indonesia-Japan Local Administration Seminar”, held by National Institute of Public Administration (NIPA), Republic of Indonesia, Ministry of Internal Affairs and Communication of Japan (MIC),
2.
3.
4. 5.
6. 7.
8.
Japan International Cooperation Agency (JICA), and Japan Council of Local Authorities for International Relations (CLAIR), Singapore. August 24, 2015, “Customized Public Service: Indonesian Experience on Innovating Public Sector”, Presented in the Korea-Indonesia Workshop on New Paradigm of Government Services, held by National Institute of Public Administration (NIPA) and Korean Embassy, Jakarta. June 9, 2015, “Innovation and Public Sector Performance in Indonesia: Fulfilling Constitution Oath and People’s Rights of Welfare”, presented in The International Workshop on Democracy and Innovation for Good Governance, conducted by NIPA and Ministry of Foreign Affairs, Jakarta. June 26, 2014, “Government Functions and Future Development”, Discussion Note, presented in the World Bank Round Table Discussion on The Role of the Center of Government in Indonesia, Jakarta. April 23, 2014, “Recruitment Framework of Civil Servant: Indonesia’s New Experience”, presented for delegates from Independent Administrative Reform and Civil Service Commission, Republic of Afghanistan; Jakarta. April 22, 2014, “Leadership Training Reform in Indonesia”, presented for delegates from Independent Administrative Reform and Civil Service Commission, Republic of Afghanistan; Jakarta. March 24, 2014, “Changing Organization and Challenges of Policy System in Indonesia: a Little Note to Consider”, presented for delegates from BCS Administration Academy of Bangladesh. Jakarta. June 11-12, 2014, “Blusukan as a New Paradigm of Collaborative Leadership: Indonesian Experience” Presented in The 1st Asian Public Governance Forum on Innovation, held by OECD Korea Policy Center and National Institute of Public Administration, Republic of Indonesia, Jakarta.