MDVI
Vol. 40 No.4 Tahun 2013: 188-194
Tinjauan Pustaka
INKONTINENSIA PIGMENTI Silvi Suhardi, Fitriani, Soenarto K Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin FK Universitas Sriwijaya/RSUP Dr Moh Hoesin Palembang
ABSTRAK Inkontinensia pigmenti (IP), atau dikenal juga dengan nama sindrom Bloch-Sulzberger merupakan kelainan yang diturunkan secara dominan X-linked terutama mengenai perempuan dan biasa bersifat letal pada laki-laki saat dalam kandungan. Temuan dermatologik merupakan gejala IP yang paling sering ditemukan pertama kali dan tampak saat lahir pada 90% pasien, atau terjadi pada awal masa bayi. Manifestasi kulit secara klasik dibagi menjadi empat stadium: vesikular, verukosa, hiperpigmentasi dan atrofi. Variasi abnormalitas rambut dan kuku, anomali gigi, defisit oftalmologis dan neurologis dihubungkan dengan kelainan ini. Mutasi gen NEMO yang berlokasi pada Xq28 merupakan penyebab IP. Kriteria diagnostik IP telah diajukan oleh Landy dan Donnai, dapat menjadi petunjuk untuk klinisi. Biasanya tidak diperlukan pengobatan lesi kulit. Perawatan baku luka harus dilakukan untuk mencegah superinfeksi bakterial. Kebutaan dan retardasi psikomotor merupakan komplikasi akut dan kronik serius pada kelainan ini, sehingga harus dicari secara seksama dan diobati segera setelah diagnosis IP ditegakkan. Konsultasi segera dengan spesialis mata dan anak seringkali dibutuhkan, baik untuk diagnosis maupun pengobatan. (MDVI 2013; 40/4: 188-194) Kata kunci: inkontinentia pigmenti, sindrom Bloch-Sulzberger, mutasi NEMO
ABSTRACT Incontinentia pigmenti (IP), also known as Bloch-Sulzberger syndrome is a rare X-linked dominant disorder that affects mostly females and usually lethal in male in utero. Dermatologic findings are most often the first observed sign of IP and present at birth in approximately 90% of patients, or develop in early infancy. Cutaneous manifestations are classically divided into 4 stages: vesicular, verrucous, hyperpigmented, and atrophic. Various hair and nail abnormalities, dental anomalies, ophthalmologic and neurologic deficits are associated with the disorder. Mutation in NEMO gene located at Xq28 are responsible for IP. A set of diagnostic criteria for IP has been suggested by Landy and Donnai, offer valuable guidance to physicians Treatment of cutaneous lesions is usually not required. Standard wound care should be provided to prevent bacterial superinfection. Blindness and psychomotor retardation constitute the most serious acute and chronic complications of this disease, should be sought assiduously and treated quickly as soon as the diagnosis of IP is established. Urgent consultations with ophthalmic and pediatric specialists are often needed, both for diagnosis and treatment. (MDVI 2013; 40/4:188-194) Keywords: incontinentia pigmenti, Bloch Sulzberger syndrome, NEMO mutations
Korespondensi:
Jl. Jend. Sudirman Km 3,5 Palembang Telp/Fax. 0711-314172 Email:
[email protected]
188
S Suhardi dkk.
PENDAHULUAN Inkontinesia pigmenti (IP) juga dikenal dengan nama sindrom Bloch-Sulzberger, pertama kali dilaporkan oleh Garrod dkk pada tahun 1906. Kelainan diturunkan secara dominan X-linked terutama mengenai perempuan, (98% kasus), pada sebagian besar laki-laki kelainan ini bersifat letal saat stadium embrionik.1,2 Garrod melaporkan kasus pertama IP berupa pigmentasi kulit yang tidak biasa pada seorang bayi. Bloch dan Sulzberger mendefinisikan keadaan tersebut lebih lanjut pada tahun 1926 dan 1928 sebagai sindrom klinis dengan kumpulan gejala khas termasuk manifestasi kulit.3,4 Dahulu nama yang digunakan untuk menggambarkan keadaan tersebut antara lain kelainan Asboe-Hansen, sindrom Bloch-Siemens, dermatosis pigmentasi Siemens-Bloch, melanoblastosis kutis linearis dan nevus pigmentosus sistematikus.4 Sindrom terjadi akibat mutasi pada nuclear factor-κB (NF-κB) essential modulator (NEMO), yaitu gen yang berlokasi pada kromosom Xq28.1,3,5 Inkontinesia pigmenti merupakan kelainan yang jarang ditemukan. Prevalensi secara pasti tidak diketahui, tetapi lebih dari 700 kasus IP telah dilaporkan di dunia.3,4 Data kunjungan pasien IP yang datang berobat ke poliklinik IKKK Rumah Sakit Moh.Hoesin pada tahun 2008-2012 berjumlah 1 kasus. Kemungkinan IP tidak dilaporkan karena seringkali tidak terdiagnosis pada kasus ringan atau tanpa komplikasi. Sebagian besar kasus ditemukan pada ras kulit putih, walaupun IP pernah dilaporkan pada ras kulit hitam dan Asia.3,4 Perbandingan perempuan terhadap laki-laki lebih dari 37:1.6 Inkontinensia pigmenti dapat terjadi pada laki-laki dengan sindrom Klinefelter (sindrom XXY) tapi sangat jarang ditemukan.5 Manifestasi kulit secara klasik dibagi menjadi empat stadia yaitu berturut-turut stadium vesikular, verukosa, hiperpigmentasi, dan atrofi. Stadium ini umumnya terjadi secara berurutan dimulai sejak bayi. Lesi kulit yang khas pada stadium vesikular tampak saat lahir atau terjadi dalam beberapa minggu pertama kehidupan pada 90% pasien. Lesi stadium vesikular secara progresif menjadi stadium verukosa. Manifestasi kulit stadium hiperpigmentasi terjadi saat bayi dan menetap selama masa kanak-kanak. Lesi hiperpigmentasi memudar sewaktu masa remaja. Stadium hipopigmentasi/ atrofi terjadi saat masa remaja dan dewasa muda serta menetap secara permanen. Anomali rambut, kuku dan gigi pertama kali bermanifestasi saat bayi dan bersifat permanen. Inkontinensia pigmenti awitan lanjut sering dilaporkan pada usia bayi lebih besar. Sekuele neurologik dan oftalmologik sering bermanifestasi saat awal masa bayi.3 Manifestasi IP tidak hanya mengenai kulit, melainkan melibatkan banyak sistem meliputi rambut, kuku, gigi, mata, dan sistem saraf pusat.2-4 Inkontinensia pigmenti merupakan kelainan yang berpotensi serius karena perkembangan abnormal multisistem. Inkontinensia pigmenti dapat menyebabkan anomali sistem saraf pusat yang dapat menjadi
Inkontinensia pigmenti
ancaman besar terhadap kehidupan normal. Kebutaan dan retardasi psikomotor merupakan komplikasi akut dan kronik yang paling serius, sehingga komplikasi tersebut harus dicari sedini dan secermat mungkin setelah diagnosis IP ditegakkan. Abnormalitas multiorgan dan sistem kadang-kadang menyulitkan dokter untuk memulai penilaian kondisi pasien atau memberikan konseling kepada orang tua pasien. Selain itu bayi tidak dapat mengeluhkan mengenai penurunan visus dan gangguan fungsi serebral.6,7 Tinjauan pustaka ini akan membahas gejala klinis, diagnosis dan penatalaksanaan IP, dengan tujuan agar dapat mengenali kasus IP sedini mungkin sehingga dapat ditangani secara cepat dan tepat, mencegah komplikasi serius, meminimalisasi abnormalitas dan pada akhirnya dapat meningkatkan kualitas hidup pasien IP.
ETIOPATOGENESIS Inkontinesia pigmenti disebabkan oleh mutasi gen NEMO, yaitu produk protein yang memproteksi sel terhadap tumor necrosis factor-α (TNF-α)-penginduksi apoptosis.8 Transmisi dominan X-linked letal pada laki-laki didukung dengan temuan: (1) perbandingan perempuan yang terkena jauh lebih banyak dibandingkan dengan laki-laki, (2) transmisi perempuan ke perempuan, dan (3) perbandingan perempuan terkena dengan perempuan normal dan laki-laki normal dari ibu dengan IP adalah 1:1:1. Selain itu, insidens abortus meningkat pada pasien IP, yang mengasumsikan fetus laki-laki letal in utero.4,9 Mekanisme terjadinya stadium inflamasi pada IP telah digambarkan berdasarkan percobaan pada tikus. Manifestasi kulit pada stadium pertama menggambarkan jumlah keratinosit yang defisiensi-NEMO gagal mengaktivasi NFкB, mengakibatkan apoptosis keratinosit.1,10 Pada keadaan normal, NF-кB mengatur proliferasi, inflamasi dan TNF-αpenginduksi apoptosis sel.1,2 Keratinosit defisiensi-NEMO yang apoptosis mengaktivasi sinyal NF-кB keratinosit normal. Aktivasi NF-кB menginduksi sintesis dan pengeluaran kemokin yaitu monocyte chemoattractant protein-1 (MCP-1) dan eotaxin serta sitokin seperti interleukin-1 (IL-1) dan TNF-α. Produksi eotaxin menarik eosinofil ke epidermis sehingga terjadi akumulasi eosinofil di epidermis. Degranulasi eosinofil merusak adesi sel epidermis dan terjadi pembentukkan vesikel berisi eosinofil pada stadium pertama. Sitokin yang dihasilkan keratinosit normal akan membunuh keratinosit yang defisiensi-NEMO. Jumlah keratinosit yang defisiensi-NEMO berkurang akibat apoptosis dan digantikan oleh keratinosit normal. Setelah itu stadium inflamasi atau vesikular berakhir.1,10 Hiperproliferasi pada stadium dua disebabkan oleh proliferasi keratinosit normal untuk kompensasi. Hiperpigmentasi pada stadium tiga terjadi akibat inkontinensia pigmen melanin dari epidermis ke dermis. Hiperpigmentasi akan memudar secara perlahan setelah beberapa tahun. Hipopigmentasi pada stadium empat menggambarkan jaringan parut dermis pasca inflamasi.1
189
MDVI
Vol. 40 No.4 Tahun 2013: 188-194
GEJALA KLINIS Manisfestasi klinis IP bervariasi, bahkan di antara anggota keluarga. Inkontinensia pigmenti dapat mengenai kulit, rambut, kuku, gigi, mata, sistem saraf pusat dan organ lain.2-4
Kulit Manifestasi kulit ditandai oleh lesi khas yang mengikuti garis Blaschko, biasanya dibagi menjadi empat stadia. Stadium ini umumnya terjadi secara berurutan. Beberapa di antaranya dapat terjadi secara bersamaan. Pada IP, manifestasi kulit kadang-kadang tidak ditemukan, terutama pada perempuan yang lebih tua setelah resolusi lesi.1,4,11 Karakteristik lesi kulit dapat dilihat pada tabel 1. Stadium pertama atau dikenal sebagian stadium vesikular, vesikobulosa atau inflamasi diperkirakan terjadi pada 90% kasus. Sembilan puluh dua persen pasien stadium pertama menunjukkan lesi yang khas pada usia dua minggu dan 4% pada usia enam minggu. Pada
beberapa kasus lesi kulit dimulai pada tahun pertama kehidupan. Stadium ini diawali dengan eritema dan vesikel superfisial dengan dasar inflamasi, dan terdistribusi linear. Sebanyak 64% kasus mengenai trunkus dan ekstremitas serta 33% pada ekstremitas saja. Wajah biasanya tidak terkena, meskipun lesi di skalp cukup sering ditemukan. Ukuran lepuh dapat bervariasi mulai dari 1 mm sampai ≥ 1 cm. Jika terjadi akumulasi eksudat inflamasi dalam rongga vesikel, dapat timbul pustul. Stadium vesikel ini sering diduga sebagai herpes zoster atau infeksi bakteri. Jika vesikel sembuh akan digantikan dengan pembentukan vesikel baru. Vesikel hilang secara menyeluruh pada usia empat bulan. Lesi di ekstremitas sering berkembang progresif menjadi stadium dua, dengan kemungkinan terjadi parut pada stadium empat atau atrofi. Lesi di trunkus dapat sembuh tanpa atrofi.4 Biopsi vesikel pada stadium pertama menunjukkan vesikel epidermis berisi eosinofil. Fase vesikular dapat mengalami reaktivasi secara fokal, terutama pada bayi setelah infeksi, imunisasi, atau trauma fisis.2
Tabel 1. Karakteristik lesi kulit dan histopatologik stadium IP4 Stadium 1
Frekuensi 90%
Usia awitan 0-2 minggu
Usia resolusi 4 bulan
2
70%
2-6 minggu
6 bulan
3
98%
12-26 minggu
Pubertas
4
42%
Awal remajadewasa
-
Gambaran klinis Eritema, vesikel terdistribusi linear pada trunkus dan/atau ekstremitas Papul dan plak hiperkeratotik verukosa pada ekstremitas Garis dan uliran pigmentasi coklat mengikuti garis Blaschko pada trunkus Garis atrofi hipopigmentasi dan tidak berambut pada ekstremitas
Stadium dua dikenal juga sebagai stadium verukosa terjadi pada 70% kasus, dengan puncak awitan pada usia 2-6 minggu. Vesikel mengering dan mulai timbul plak serta papul verukosa yang tersusun linear. Distribusi plak dan papul verukosa dapat berhubungan dengan distribusi inflamasi dan vesikel pada stadium sebelumnya. Lebih dari 92% kasus, lesi verukosa mengenai satu ekstremitas atau lebih, terutama pada bagian distal. Wajah dan trunkus jarang sekali terkena, meskipun lesi verukosa pada skalp dapat ditemukan. Durasi stadium ini berlangsung selama beberapa minggu dan hilang saat usia 6 bulan pada 80% kasus. Lesi verukosa dapat bertahan sampai dewasa atau timbul pada akhir proses penyakit sebagai garis verukosa linear dengan predileksi di telapak tangan dan kaki.2,4 Gambaran lesi stadium verukosa dapat dilihat pada gambar 1.
190
Gambaran histopatologik Dermatitis spongiotik, eosinofilia epidermis dan dermis, vesikel berisi eosinofil, beberapa sel diskeratotik Papiloma, hiperplasia epidermis, hiperkeratosis, sel diskeratotik Melanofag dermis, perubahan vakuolar pada stratum basal epidermis Rete ridges dan kumparan kelenjar keringat dermal hilang
Gambar 1. Stadium verukosa IP tampak papul verukosa tersusun linear pada plantar pedis (foto dokumen pribadi)
S Suhardi dkk.
Hampir 98% pasien IP mengalami stadium tiga. Lesi khas stadium ini tampak sebagai garis dan uliran pigmentasi coklat sampai abu-abu mengikuti garis Blaschko menyerupai corak marble cake. Paling sering mengenai trunkus dan ekstremitas pada 65% kasus dan 27% mengenai trunkus saja. Hiperpigmentasi sering didapatkan di daerah areola mammae, aksila dan lipat paha. Daerah hiperpigmentasi secara umum tidak berhubungan dengan lokasi inflamasi dan vesikel sebelumnya, jadi bukan merupakan proses hiperpigmentasi pasca inflamasi. Hiperpigmentasi disebabkan oleh inkontinensia pigmen melanin dari epidermis ke dermis. Stadium ini paling sering dimulai pada usia 12-26 minggu dan lesi persisten sampai beberapa tahun atau dekade. Resolusi klinis hiperpigmentasi tampak jelas pada masa pubertas atau dewasa. Hiperpigmentasi memanjang terutama di aksila dan lipat paha ditemukan pada beberapa pasien saat akhir usia 40 tahun.1,4 Hiperpigmentasi menyerupai corak marble cake dapat dilihat pada gambar 2.
Inkontinensia pigmenti
Kuku Prevalensi distrofi kuku bervariasi antara 7-51%. Perubahan kuku misalnya ridging, pitting atau disrupsi kuku, dimulai pada awal masa kanak-kanak dan melibatkan semua atau sebagian kuku tangan dan kaki. Perubahan kuku cenderung mengalami regresi dan menghilang seiring bertambahnya usia. Pada lebih dari 10% kasus, dapat timbul tumor keratotik subungual dan periungual pada stadium lanjut, setelah pubertas dari usia 15-30 tahun. Kuku jari tangan lebih sering terkena daripada kuku jari kaki. Tumor dapat mengalami regresi spontan tapi dapat terus tumbuh, menimbulkan rasa nyeri, distrofi kuku dan destruksi tulang falang terminal.2,4
Gigi Abnormalitas gigi merupakan manifestasi non kutan yang paling sering ditemukan pada 70-95% kasus IP. Abnormalitas gigi, berupa anodontia parsial atau beberapa gigi tidak tumbuh, didapatkan pada 43% kasus. Sekitar 30% kasus menunjukkan gigi seperti baji atau kerucut dan 18% mengalami pertumbuhan gigi terlambat. Temuan lain meliputi malformasi gigi, jumlah gigi berlebih dan riwayat hipodontia dalam keluarga. Kualitas enamel gigi yang buruk sering ditemukan pada pasien IP, menyebabkan terjadi peningkatan insidens karies dentis.2,4,12 Mata
Gambar 2. Hiperpigmentasi coklat-abu abu, ireguler, menyerupai marble cake pada stadium tiga IP mengenai trunkus (dokumen pribadi)
Stadium empat atau atrofi ditandai dengan garis atrofi hipopigmentasi persisten yang timbul setelah resolusi stadium vesikobulosa dan verukosa, namun sebelum resolusi hiperpigmentasi. Lokasi paling sering ditemukan pada lengan, paha, tungkai bawah bagian posterior dan sangat jarang pada trunkus. Daerah yang terlibat menunjukkan hilangnya rambut, kelenjar ekrin, dan pori-pori keringat. Garis hipopigmentasi dapat sangat menonjol dengan pemeriksaan lampu Wood. Gambaran garis atrofi hipopigmentasi bersifat permanen dan sering menjadi satusatunya tanda keterlibatan kulit pada pasien dewasa.2,4
Rambut Alopesia sikatrikal terlihat pada 38-66% pasien. Alopesia di daerah vertex merupakan manifestasi rambut paling sering, ditemukan pada 38% kasus IP. Alopesia diikuti inflamasi dan vesikulasi pada daerah tersebut serta dihubungkan dengan jaringan parut. Agenesis alis dan bulu mata jarang ditemukan pada kasus IP.2,4
Sebagian besar pasien IP memiliki visus yang normal. Anomali oftalmologis merupakan manifestasi berat IP dan sering dihubungkan dengan defisit neurologis. Diperkirakan 35% pasien IP memiliki satu atau lebih manifestasi oftalmologis, dan sekitar 19% mengalami gangguan serius atau mengancam penglihatan. Temuan okular dibagi menjadi manifestasi retina dan non retina. Manifestasi retina dapat mengenai retina perifer atau makula fovea mengakibatkan vaso-oklusi dan iskemi dengan vasoproliferasi kompensatoir. Temuan lain meliputi hipoplasia fovea, hipopigmentasi atau hiperpigmentasi epitel retinal, retina yang avaskular, neovaskularisasi, vitreous hemoragik dan proliferasi fibrovaskular. Perubahan tersebut dapat progresif, mengakibatkan retinal detachment pada 3% kasus. Lesi retina timbul antara periode neonatus sampai usia satu tahun. Manifestasi non retina meliputi strabismus 18-33%, atrofi nervus optik 4% dan yang jarang ditemukan misalnya pigmentasi konjungtiva, hipoplasia iris, nistagmus serta uveitis. Lesi non retina timbul lebih lambat daripada lesi retina namun biasanya tidak melebihi usia dua tahun.2-4 Pasien IP disarankan untuk menjalani pemeriksaan oftalmologis setiap bulan selama empat bulan pertama, setiap tiga bulan selama satu tahun pertama, dua kali setahun sampai usia tiga tahun dan selanjutnya setiap tahun.2-4
191
MDVI
Vol. 40 No.4 Tahun 2013: 188-194
Sistem saraf pusat
Pemeriksaan histopatologi
Defisit sistem saraf pusat paling penting karena dapat mengganggu kehidupan normal pasien IP. Prevalensi gangguan neurologis diperkirakan lebih dari 30% kasus. Manifestasi klinis berupa spasme infantil dan kejang, paralisis spastik, retardasi motorik dan mikrosefali. Kejang dini menandakan migrasi sel neural crest dan neuron abnormal, mengakibatkan malformasi serebral yang luas. Kejang dapat terjadi dalam minggu pertama kehidupan. Manifestasi neurologis terjadi akibat iskemia vaso-oklusif mikrovaskular yang melibatkan sistem saraf pusat sehingga dapat terjadi stroke akut rekuren. Manifestasi lain yang jarang ditemukan berupa ataksia serebral, kehilangan pendengaran kongenital, paresis otot, dan ensefalomielitis aseptik.3,4
Pemeriksaan histopatologi mempunyai nilai diagnostik jika dilakukan pada awal stadium vesikular.3 Bahan dari lesi kulit stadium pertama secara karakteristik menunjukkan dermatitis spongiotik dengan eosinofilia intraepidermis dan dermis masif, sesuai dengan vesikel intraepidermis berisi eosinofil. Sejumlah besar makrofag dapat ditemukan. Pada lesi kulit stadium pertama lanjut, dapat ditemukan sel diskeratotik multipel pada epidermis. Kombinasi spongiosis eosinofilik, vesikulasi dan keratinosit diskeratotik merupakan gambaran histopatologi yang sangat spefisik untuk IP.4 Stadium dua menunjukkan papiloma akibat hiperplasia epidermis dengan penambahan jumlah sel diskeratotik dan hiperkeratosis. Akumulasi eosinofilik terdapat di lapisan epidermis dan dermis. Melanofag dapat ditemukan pada papila dermis.4 Stadium tiga menunjukkan deposit melanin dalam melanofag papila dermis yang menebal. Melanin dermis terlihat jelas menggunakan pewarnaan silver. Spongiosis eosinofilik biasanya tidak ditemukan.4 Temuan histopatologik pada stadium ini sering mengarah ke diagnosis IP tapi tidak spesifik.3 Stadium empat menunjukkan atrofi epidermis dengan hilangnya rete ridges dan kumparan kelenjar keringat dermis. Sisa jaringan pilosebasea berupa otot erector pili. Struktur melanosit basal normal namun jumlah sangat berkurang.4 Badan koloid dan apoptotik dapat tersebar dalam epidermis. Temuan histopatologik pada stadium ini tidak spesifik, tapi dapat membantu menegakkan diagnosis IP pada pasien perempuan dewasa dengan riwayat klinis IP.3
Manifestasi lain Beberapa abnormalitas mammae dihubungkan dengan IP, meliputi jumlah areolae mammae yang berlebih, hipoplasia areolae mammae dan hipoplasia atau aplasia mammae.3,4 Malformasi bukal meliputi lengkung palatum yang tinggi, hipoplasia palatum mole, bibir dan palatum sumbing. Anomali skeletal dalam bentuk kerdil, distrofi tulang rawan, postur kecil, spina bifida, deformitas tulang tengkorak, club-foot, sklerodaktili dan anomali telinga juga dapat ditemukan pada pasien IP.4
PEMERIKSAAN PENUNJANG Pemeriksaan laboratorium dan biopsi untuk pemeriksaan histopatologik dapat mendukung diagnosis IP pada kasus yang meragukan.4
Pemeriksaan laboratorium Pemeriksaan laboratorium meliputi hematologi dan radiologi. Hasil laboratorium hematologi yang paling menonjol pada IP stadium pertama berupa leukositosis dan eosinofilia nyata. Jumlah leukosit dapat mencapai 84.000 sel/µL dan eosinofil 5-79%, dengan kadar tertinggi saat usia 3-5 minggu. Kadar imunoglobulin dan limfosit dalam batas normal.4 Pemeriksaan radiologi berupa angiografi resonansi magnetik, spektroskopi, angiografi fluoresein dan ensefalografi. Pada angiografi resonansi magnetik dan spektroskopi menunjukkan aliran darah arteri serebri media berkurang dan peningkatan kadar laktat dalam cairan serebrospinalis. Pemeriksaan angiografi fluoresein dengan anestesi umum, berguna untuk mendeteksi abnormalitas vaskular retina. Pemeriksaan ensefalografi pada pasien IP dengan kejang penting dilakukan untuk diagnosis dan penentuan lokasi lesi pada sistem saraf pusat.4
192
DIAGNOSIS Diagnosis IP dapat ditegakkan berdasarkan gambaran klinis yang khas. Empat stadia lesi kulit yang terjadi secara kronologis sejak bayi merupakan gambaran klinis IP yang diagnostik. Pada kasus dengan gambaran tidak khas perlu dilakukan biopsi.13 Landy dan Donnai mengajukan kriteria diagnostik IP yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi gambaran klasik IP. Kriteria ini bertujuan untuk mengenali kasus lebih dalam dan menyingkirkan IP dari kelainan yang serupa. Sensitivitas dan spesifisitas kriteria Landy dan Donnai belum ditentukan, tetapi kriteria ini dapat dijadikan acuan klinisi untuk menegakkan diagnosis. Pemeriksaan genetik berupa identifikasi gen dapat membantu memecahkan kasus yang meragukan.4 Kriteria Landy dan Donnai terdiri atas kriteria mayor dan minor. Pada kasus tanpa riwayat IP dalam keluarga diperlukan minimal satu kriteria mayor dan minor. Diagnosis IP diragukan jika tanpa kombinasi kedua kriteria tersebut. Pada kasus dengan riwayat IP dalam keluarga, satu atau lebih kriteria mayor mendukung kuat diagnosis IP.13 Kriteria mayor dan minor Landy dan Donnai dapat dilihat pada tabel 2 berikut.
S Suhardi dkk.
Inkontinensia pigmenti
Tabel 2. Kriteria diagnostik IP13 Riwayat keluarga Tidak ada riwayat IP pada anggota keluarga perempuan tingkat pertama
• •
• Ada riwayat IP pada anggota keluarga perempuan tingkat pertama
•
• • • •
Kriteria mayor Ruam neonatus khas: eritema dan vesikel dengan eosinofilia Hiperpigmentasi khas terutama di trunkus, mengikuti garis Blaschko, memudar saat remaja Lesi atrofi, linear, tidak berambut Riwayat atau ditemukan ada ruam khas, hiperpigmentasi, lesi atrofi tidak berambut Alopesia vertex Anomali gigi Kelainan retina Abortus pada bayi lakilaki berulang
Komunikasi, informasi dan edukasi (KIE) Kriteria minor • Anomali gigi • Alopesia • Kuku abnormal • Kelainan retina
DIAGNOSIS BANDING Setiap stadium dapat memberikan gambaran berbagai diagnosis banding jika ditemukan secara terpisah. Kombinasi stadium lesi kulit IP memungkinkan diagnosis yang tepat.4 Diagnosis banding IP dapat dilihat pada tabel 3. Tabel 3. Diagnosis banding IP4 Stadium 1
2 3
Campuran
Diagnosis banding Infeksi: impetigo bulosa, herpes simpleks, varicela Histiositosis sel Langerhans Kekerasan pada anak Dermatosis autoimun: dermatitis herpertiformis, epidermolisis bulosa akuisita, sistemik lupus eritematosus bulosa, dermatosis bulosa IgA linear, pemfigoid bulosa, pemfigus vulgaris Epidermolisis bulosa yang diturunkan Mastositosis bulosa Veruka vulgaris Nevus epidermal linear Liken striatus Hipermelanosis nevoid berulir dan linear Dermopatia pigmentosa retikularis Sindrom Naegeli-Franceschetti-Jadassohn X-linked dominant chondrodysplasia punctata Pigment mosaicism Sindrom Goltz
PENATALAKSANAAN Komunikasi, informasi dan edukasi (KIE) berupa konseling genetik dan perencanaan keluarga perlu diberikan pada ibu yang memiliki anak IP atau perempuan dengan IP. Selain itu manifestasi IP tidak hanya mengenai kulit, melainkan merupakan sindrom multisistem sehingga penatalaksanaan IP dilakukan secara multidisplin meliputi kulit, kuku, gigi, mata dan sistem saraf pusat.4
Pada perempuan dewasa muda dengan IP atau ibu dengan anak IP perlu diberikan KIE jika merencanakan kehamilan. Diagnosis pra natal perlu dilakukan dengan analisis Deoxyribonuclease acid (DNA). Bahan DNA diambil dari sel fetus melalui amniosintesis pada minggu 15-18 kehamilan atau dari vili korionik pada minggu 10-12 kehamilan. Usia kehamilan dihitung dari hari pertama haid terakhir (HPHT) atau berdasarkan pengukuran ultrasonografi (USG).14,15 Konseling genetik harus diberikan pada perempuan IP berupa diskusi risiko pada keturunan dan pilihan reproduksi. Risiko yang mungkin terjadi: (1) jika kariotipe fetus 46,XX orangtua harus diinformasikan bahwa 50% kemungkinan fetus akan terkena IP, (2) jika kariotipe fetus 46,XY, konseling harus disertai diskusi peningkatan risiko abortus pada fetus laki-laki yang terkena setelah trisemester pertama, dan (3) jika kariotipe fetus 47,XXY, konseling harus disertai diskusi IP yang berat pada laki-laki dan sindrom Klinefelter.14,15
Kulit Kulit pasien IP jarang menimbulkan masalah. Perbaikan dan resolusi spontan lesi kulit sering terjadi pada IP, sehingga keluarga harus diberi pengertian. Pemberian steroid atau takrolimus topikal dapat menghentikan progresivitas stadium vesikular, walaupun lesi dapat resolusi secara spontan. Kompres terbuka dengan larutan antiseptik dapat dilakukan untuk mencegah superinfeksi bakteri. Penggunaan laser untuk pengobatan hiperpigmentasi tidak disarankan karena dapat menimbulkan erupsi vesikobulosa luas.4,16,17
Kuku Tumor subungal dan periungual harus ditangani segera karena dapat menyebabkan destruksi tulang falang distal. Pengobatan baku meliputi bedah eksisi pertumbuhan tumor, disertai kuretase tulang. Rekurensi tidak pernah dilaporkan tetapi lesi baru dapat timbul, sehingga perlu dilakukan operasi berulang. Desikasi dan kuretase dapat digunakan. Malvehy dkk. melaporkan kasus dengan resolusi tumor dan distrofi kuku tanpa rekurensi pada perempuan berusia 40 tahun setelah pemberian etretinat oral dengan dosis awal 75 mg/hari selama tiga bulan, diikuti dosis 35 mg/hari selama dua bulan dan 10 mg/hari selama satu bulan. Modalitas pengobatan lain yang memungkinkan adalah pengangkatan lesi dengan laser CO2 continuous-wave.4,18
Gigi Orangtua pasien harus diingatkan bahwa sering terjadi erupsi gigi terlambat dan gigi tidak tumbuh. Evaluasi radiologik dan intervensi gigi dapat dilakukan pada usia dua tahun. Pada kasus sangat parah, intervensi
193
MDVI
dental dini dan berulang diperlukan untuk mencegah defisiensi nutrisi dan retardasi pertumbuhan.4
Mata Belum terdapat pedoman pasti untuk pemeriksaan oftalmologik pada pasien IP. Pemeriksaan oftalmologik disarankan setiap bulan selama empat bulan pertama, setiap tiga bulan selama setahun pertama, dua kali setahun sampai usia tiga tahun dan selanjutnya setiap tahun. Laser fotokoagulasi atau bedah beku dapat meningkatkan regresi neovaskularisasi dan retinopati proliferatif pada IP. Retinal detachment membutuhkan intervensi pembedahan dan vitrektomi.4,13
Sistem saraf pusat Pemeriksaan neurologik lengkap harus dilakukan pada semua bayi yang baru didiagnosis IP. Pemeriksaan computed tomography scan (CT scan) kepala, magnetic resonance imaging (MRI) dan angiografi dianjurkan jika ditemukan defisit neurologis atau oftalmologis. Kejang pada neonatus merupakan indikator prognostik yang penting dan dapat memprediksi pertumbuhan terlambat. Pada umumnya, kejang yang terjadi pada masa kanak-kanak lanjut atau remaja tidak mengakibatkan gangguan sistem saraf pusat atau retardasi mental. Kejang dapat dikendalikan dengan terapi antikonvulsan. Orangtua harus diinformasikan bahwa prognosis baik jika defisit neurologik tidak terjadi saat bayi.4
PROGNOSIS Prognosis IP secara umum baik. Morbiditas dan mortalitas dihubungkan dengan sekuele neurologik dan oftalmologik berupa kejang, gangguan visual dan retardasi mental. Pasien dengan abnormalitas struktur otak dan kejang saat neonatus berisiko lebih besar terjadi gangguan motorik dan intektual.3
Vol. 40 No.4 Tahun 2013: 188-194
kulit jarang menyebabkan morbiditas yang serius sehingga tidak diperlukan pengobatan khusus untuk lesi kulit. Kebutaan dan retardasi psikomotor merupakan komplikasi akut dan kronik yang paling serius. Komplikasi ini harus dicari sedini dan secermat mungkin setelah diagnosis IP ditegakkan. Konsultasi dengan dokter spesialis mata dan anak perlu segera dilakukan untuk mencegah terjadinya komplikasi yang serius. DAFTAR PUSTAKA 1.
2. 3. 4. 5.
6. 7. 8. 9.
10.
11.
RINGKASAN Inkontinensia pigmenti atau sindrom Bloch-Sulzberger merupakan genodermatosis yang jarang ditemukan serta diturunkan secara dominan X-linked. Genodermatosis ini lebih sering mengenai perempuan dan bersifat letal pada laki-laki. Inkontinensia pigmenti terjadi akibat mutasi pada gen NEMO. Inkontinensia pigmenti ditandai dengan kelainan multisistem yang mengenai jaringan yang berasal dari ektodermis dan mesodermis yaitu kulit, rambut, kuku, gigi, mata, serta sistem saraf pusat. Manifestasi kulit merupakan gejala pertama yang paling sering ditemukan. Manifestasi kulit secara klasik dibagi menjadi empat stadia yaitu stadium vesikular, verukosa, hiperpigmentasi dan atrofi. Stadium ini umumnya terjadi secara berurutan sejak bayi. Penatalaksanaan IP dilakukan secara multidisplin meliputi kulit, kuku, gigi, mata dan sistem saraf pusat. Lesi
194
12. 13. 14. 15. 16.
17.
18.
Lapeere H, Boone B, Schepper SD, Verhaeghe E, Gele MV, Ongenae K, penyunting. Hypomelanoses and hypermelanoses. Dalam: Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ, penyunting. Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine Volume 1. Edisi ke-8. New York: McGraw-Hill companies; 2012. h. 804-25 Mancini AJ, Paller AS. Hurwitz Clinical Pediatric Dermatology. Edisi ke-4. New York: Elsevier Saunders; 2011. h. 234-67 Shah KN, Elston DM. Incontinentia Pigmenti. Medscape Education 2012. Diambil dari: http://emedicine.medscape.com/ article/1114205clinical pada tanggal 24 September 2012. Berlin AL, Paller AS, Chan LS. Incontinesia pigmenti: a review and update on the molecular basis of pathophysiology. J Am Acad Dermatol. 2002; 47: 169-87 Gibbs NF, Makkar HS. Disorders of hyperpigmentation and melanocytes. Dalam: Eichenfield LF, Frieden IJ, Esterly NB, penyunting. Neonatal Dermatology. Edisi ke-2. New York: Elsevier Saunders; 2008. h. 397-421 Carney RG. Incontinentia pigmenti a world statistical analysis. Arch Dermatol. 1976; 112: 535-42 Goldberg MF. The skin is not the predominant problem in incontinentia pigmenti. Arch Dermatol. 2004; 140: 748-50 Jabbari A, Ralston J, Schaffer JV. Incontinentia pigmenti. Dermatol Online J. 2010; 16(11): 9 McGrath JA, McLean WHI. Genetics in relation to the skin. Dalam: Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ, penyunting. Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine. Edisi ke-8. New York: McGraw-Hill companies; 2012. h. 75-90 Jean-Baptiste S, Toole EA, Guitart J, Paller A, Chan LS. Expression of eotaxin, an eosinophil-selective chemokine, parallels eosinophil accumulation in the vesicubullous stage of incontinentia pigmenti. Clin Exp Immunol. 2002; 127: 470-8 Morrel DS, Burkhart CN, Siegel D. Selected hereditary diseases. Dalam: Eichenfield LF, Frieden IJ, Esterly NB, penyunting. Neonatal Dermatology. Edisi ke-2. New York: Elsevier Saunders; 2008. h. 477-501 Shotts N, Emery EH. Bloch-Sulzberger syndrome (incontinentia pigmenti). J Med Genet. 1966; 3: 148-52 Landy SJ, Donnai D. Incontinentia pigmenti (Bloch-Sulzberger syndrome). J Med Genet. 1993; 30: 53-9 Sybert VP. Guide to information for families with inherited skin disorders. Pediatr Dermatol. 1990; 7(3): 214-7 Pagon RA, Bird TD, Dolan CR, dkk., penyunting. GeneReviews™. Diambil dari: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK1472/?report=printable diunduh pada tanggal 19 November 2012. Stavrianeas NG, Kakepis ME. Incontinentia pigmenti. Orphanet Encyclopedia 2004 [Cited 2012 Sep 13]. Diambil dari: http://www.orpha.net/data/patho/GB/uk-incontinentia-pigmenti.pdf diunduh pada tanggal 13 September 2013 Kaya TI, Tursen U, Ikizoglu G. Therapeutic use of topical corticosteroids in the vesiculobullous lesions of incontinentia pigmenti. Clin Exp Dermatol 2009; 34(8): e611-3 Malvehy J, Palou J, Mascaro JM. Painful subungual tumour in incontinentia pigmenti. Response to treatment with etretinat. Br J Dermatol. 1998; 138: 554-5