EFEKTIVITAS TERAPI BEHAVIORAL TERHADAP INKONTINENSIA URIN PADA USILA DI PSTW BUDI LUHUR YOGYAKARTA
KARYA TULIS ILMIAH Disusun Untuk Memenuhi Sebagian Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Keperawatan Pada Program Studi Ilmu Keperawatan Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Yogyakarta
TEDY JASWADI NIM: 2004 032 0052
PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA 2008
EFEKTIVITAS TERAPI BEHAVIORAL TERHADAP INKONTINENSIA URIN PADA USILA DI PSTW BUDI LUHUR YOGYAKARTA
KARYA TULIS ILMIAH Untuk memenuhi syarat memperoleh derajat Sarjana Keperawatan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta
TEDY JASWADI 20040320052
PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA 2008
i
LEMBAR PENGESAHAN
Karya Tulis Ilmiah
EFEKTIVITAS TERAPI BEHAVIORAL TERHADAP INKONTINENSIA URIN PADA USILA DI PSTW BUDI LUHUR YOGYAKARTA
Telah diseminarkan dan diujikan pada tanggal: 12 November 2008
Oleh : TEDY JASWADI 20040320052
Penguji Catur Budi Susilo, S.Pd., S.Kp., M.Kes (......................................) Titih Huriah., M.Kep., Sp.Kom
(......................................)
Mengetahui : Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Yogyakarta
(dr. H. Erwin Santosa, Sp.A., M.Kes)
ii
KATA PENGANTAR
Assalamua'laikum Wr.Wb Alhamdulillahirobbil'alamin, segala puji syukur kehadirat Allah SWT yang melimpahkan karunia dan rezeki kepada hamba-hambanya, sehingga penulis mampu menyelesaikan penyusunan Karya Tulis Ilmiah dengan judul “Efektivitas Terapi Behavioral terhadap Inkontinensia Urin pada Usila di PSTW Budi Luhur Yogyakarta”. Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurah atas Nabiyullah Rasulullah Muhammad SAW yang telah membawa umat manusia dari kegelapan menuju kehidupan yang terang benderang. Penyusunan Karya Tulis Ilmiah sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana
Ilmu
keperawatan
di
Fakultas
Kedokteran
Universitas
Muhammadiyah Yogyakarta, tidak lepas bimbingan dan dukungan dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini penulis menyampaikan banyak ucapan terima kasih dan penghargaan kepada : 1. Ibu, Ayah (almarhum) dan Adikku tercinta yang telah mendoakan dan memberikan dukungan dalam segala hal. 2. dr. Erwin Santoso, Sp.A., M.Kes, selaku Dekan Fakultas Kedokteran yang telah memberikan izin penelitian dalam menyusun Karya Tulis Ilmiah. 3. Catur Budi Susilo, S.Pd., S.Kp., M.Kes, sebagai pembimbing yang telah bersedia meluangkan waktu untuk memberikan arahan, masukan, dan motivasi yang begitu besar dalam penyusunan KTI. 4. Titih Huriah M.Kep., Sp.Kom, sebagai penguji yang telah memberikan masukan dan saran. 5. Pimpinan PSTW Budi Luhur Yogyakarta beserta staf yang telah memberikan kesempatan untuk melakukan penelitian di PSTW Budi Luhur. 6. Seluruh dosen dan staf
Program Studi Ilmu Keperawatan Universitas
Muhammadiyah Yogyakarta sebagai tenaga pendidik dalam memberikan pengalaman dan ilmu demi masa depan bagi anak didikmu.
iii
Penulis menyadari bahwa kekurangan dan kesalahan tidak lepas dalam penyusunan Karya Tulis Ilmiah ini, maka saran dan kritik sangat diharapkan penulis. Akhirnya dengan kerendahan hati, penulis mengharapkan agar Karya Tulis Ilmiah ini dapat bermanfaat bagi pembaca dan dapat menambah Khasanah ilmu pengetahuan terutama Ilmu Keperawatan. Amin. Wassalamu'alaikum, Wr.Wb Yogyakarta, November 2008
Penulis
iv
Motto Perjuangan, apapun itu ! Jika disyukuri dan dinikmati serta selalu yakin kepada Allah Maka tak ada yang dapat mengalahkan manisnya buah perjuangan.... Hidup adalah untuk berjuang... Di jalan Allah
v
DAFTAR ISI
Halaman HALAMAN JUDUL… ....................................................................................i LEMBAR PENGESAHAN...............................................................................ii KATA PENGANTAR…………………….....……………………….............iii MOTTO.............................................................................................................v DAFTAR ISI……………………………………..………….…………..........vi DAFTAR TABEL…….....…………………………………….……….........viii DAFTAR LAMPIRAN …………………………………………………........ix INTISARI………………………………………………..……………..….......x ABSTRACT..…….... ………………………………………..……….............xi BAB I PENDAHULUAN A.
Latar belakang masalah.......................................................
1
B.
Rumusan masalah................................................................
3
C.
Tujuan penelitian.................................................................
3
D.
Manfaat penelitian...............................................................
4
E.
Penelitian terkait..................................................................
5
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A.
Miksi ..................................................................................
7
B
Inkotinensia Urin…............................................................
8
C
Terapi Behavioral...............................................................
20
D
Usila dan Perubahan fisiologisnya .....................................
26
E.
Kerangka konsep.................................................................
27
F.
Hipotesis.............................................................................
27
BAB III METODOLOGI PENELITIAN A.
Desain penelitian..................................................................
28
B.
Populasi dan sampel.............................................................
28
C.
Lokasi dan waktu penelitian................................................
29
D.
Variabel penelitian dan definisi operasional variabel..........
30
vi
E.
Cara pengambilan data.........................................................
34
F.
Pengolahan data...................................................................
34
G.
Analisa data..........................................................................
34
H.
Kesulitan penelitian..............................................................
35
I.
Etik penelitian......................................................................
35
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Gambaran Lokasi Penelitian.................................................
37
B. Hasil penelitian......................................................................
38
C.
1.
Gambaran karakteristik responden...............................
38
2.
Hasil Penelitian............................................................
39
Pembahasan ........................................................................
43
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan.............................................................................
47
B. Saran……………………………...…………………............
48
C. Kekuatan dan kelemahan penelitian.......................................
48
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
vii
DAFTAR TABEL
Halaman Tabel 1
Tabel 2
Tabel 3
Tabel 4
Distribusi karakteristik responden berdasarkan jenis kelamin, umur, dan pendidikan…...................................
39
Analisis Frekuensi Keluhan Inkontinensia Urin Sebelum dan Sesudah Diberikan Terapi Behavioral pada Usila di PSTW Budi Luhur Yogyakarta...............
41
Analisis Tingkat Penurunan Keluhan Inkontinensia Urin Sebelum dan Sesudah Diberikan Terapi Behavioral pada Usila di PSTW Budi Luhur Yogyakarta......................................................................
42
Analisis Efektivitas Terapi Behavioral terhadap Inkotinensia Urin pada Usila di PSTW Budi Luhur...............................................................................
43
viii
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Permohonan menjadi responden Lampiran 2. Permohonan menjadi asisten peneliti Lampiran 3. Kuesioner Penelitian Lampiran 4. Instrumen Penelitian Lampiran 5. Surat ijin penelitian Lampiran 6. Uji statistik
ix
Jaswadi, Tedy. (2008). Efektivitas Terapi Behavioral terhadap Inkontinensia Urin pada Usila di PSTW Budi Luhur Yogyakarta. Karya Tulis Ilmiah. Program Studi Ilmu Keperawatan, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta. Pembimbing: Catur Budi Susilo, S.Pd., S.Kp., M.Kes INTISARI Inkontinensia urin merupakan gangguan pada sistem perkemihan berupa kehilangan kemampuan kontrol berkemih yang dapat bersifat sementara maupun menetap. Inkontinensia urin lebih sering terjadi pada kelompok usia tua atau lanjut usia (usila). Diperkirakan 1 dari 10 orang yang berusia 65 tahun atau lebih menderita gangguan ini. Kejadian inkontinensia urin dapat ditemukan pada 50% usila yang ada di nursing homes atau panti sosial tresna werdha (PSTW). Terapi utama dalam kelompok terapi non farmakologis dikenal sebagai Behavioral therapies, yaitu berbagai intervensi yang diajarkan kepada pasien untuk memodifikasi perilaku kesehariannya terhadap kontrol kandung kemih. Terapi behavioral dilakukan dengan cara pengaturan frekuensi (penjadwalan) berkemih. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui efektivitas terapi behavioral berupa penurunan frekuensi keluhan inkontinensia urin pada usila. Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan menggunakan desain Pre-Post Test Eksperimen. Sampel penelitian adalah usila inkontinensia urin di PSTW Budi Luhur Yogyakarta. Teknik pengambilan sampel dengan Purposive Sampling, didapat 15 responden. Analisa data yang digunakan adalah uji Wilcoxon untuk mengetahui perbandingan hasil pretest dan posttest setelah perlakuan terapi behavioral. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terapi behavioral tidak mempunyai pengaruh yang bermakna terhadap inkontinensia urin pada usila di PSTW Budi Luhur, dengan nilai Z sebesar -1,694 dan p sebesar 0,090 pada level p<0.05. Kesimpulan penelitian adalah terapi behavioral tidak efektif untuk semua keluhan inkontinensia urin pada usila di PSTW Budi Luhur Yogyakarta. Saran bagi peneliti berikutnya diharapkan dapat meneliti terapi behavioral dengan waktu yang lebih panjang Kata kunci: inkontinensia urin, usila, terapi behavioral
x
Jaswadi, Tedy. (2008). Efficacy of Behavioral Therapy toward Urinary Incontinence at Elderly in PSTW Budi Luhur Yogyakarta. Student Research Project. School of Nursing. Muhammadiyah University of Yogyakarta. Advisers: Catur Budi Susilo, S.Pd., S.Kp., M.Kes
ABSTRACT Urinary Incontinence (UI) is an urinary tract disorder. It is lose of urinate control ability that can temporary or permanent. Urinary incontinence more occurs in old age group. It is estimated 1 of 10 people who have age 65 years old or more suffer this disorder. Urinary incontinence event can found in 50% elderly who live in nursing homes. Prominent therapy in non pharmacology therapy group is known as Behavioral therapies, which are several interventions that taught for patient to modify behavior daily toward vesica urinary control. Behavioral therapy is done by urinate scheduling. Research purpose knows efficacy of behavioral therapy that is decreasing frequency of urinary incontinence’s complaints for elderly. This research is quantitative research by Pre-Post Test Experiment design. Research sample is elderly who suffers urinary incontinence in PSTW Budi Luhur Yogyakarta. Uptake sample technical with Purposive sampling got 15 respondents. Data analysis uses Wilcoxon Test to know comparison of pre test and post test result after behavioral therapy intervention. Result research indicates that behavioral therapy has no means influence toward urinary incontinence for elderly in PSTW Budi Luhur, with Z value -1,694 and p value 0,090 in level p<0.05. Research conclusion is behavioral therapy not effective for all urinary incontinence complaint for elderly in PSTW Budi Luhur Yogyakarta. Suggestion for next researcher is hoped analyzes behavioral therapy with longer time.
Keywords: urinary incontinence, elderly, behavioral therapy
xi
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Inkontinensia urin atau yang lebih dikenal dengan beser sebagai bahasa awam merupakan gangguan pada sistem perkemihan berupa kehilangan kemampuan kontrol berkemih yang dapat bersifat sementara maupun menetap (Potter & Perry, 2005). Penderita akan merasa terganggu, tidak menyenangkan dan tidak nyaman (Aslan et al., 2008). Gangguan ini dapat terjadi pada semua golongan usia. Meskipun demikian, inkontinensia urin lebih sering terjadi pada kelompok usia tua atau usia lanjut (usila). Hal ini lebih diakibatkan oleh penurunan fungsi fisiologis usila seiring bertambahnya umur yang ditandai keluarnya urin tanpa disadari dalam jumlah dan frekuensi yang cukup sehingga mengakibatkan masalah gangguan kesehatan dan atau sosial. Variasi dari inkontinensia urin meliputi keluar hanya beberapa tetes urin saja, sampai benar-benar banyak, bahkan terkadang juga disertai inkontinensia alvi (disertai pengeluaran feses) (Elhan, 2008). Diperkirakan 1 dari 10 orang yang berusia 65 tahun atau lebih menderita gangguan ini. Kejadian inkontinensia urin juga dapat ditemukan pada 50% usila yang ada di nursing homes atau Panti Sosial Tresna Werdha (PSTW) dibandingkan dengan rumah sakit (30%) dan komunitas (15%-30%) (Roach, 2001). Tahun 2006 jumlah usila di Indonesia sudah lebih dari 19 juta jiwa atau 8,90% dari jumlah penduduk di Indonesia. Jumlah ini diperkirakan akan terus
1
2
meningkat sampai lebih dari 23,9 juta jiwa pada tahun 2010 dan 28,8 juta jiwa pada tahun 2020 (Deputi I Menkokesra, 2005). Penatalaksanaan inkontinensia urin terdiri atas tiga kategori utama, yaitu terapi farmakologis, nonfarmakologis dan pembedahan. Terapi farmakologis dan pembedahan dapat dilakukan namun keuntungan serta resikonya tidak selalu dapat diterima (Robert & Ross, 2006). Selain itu, jenis obat tertentu memiliki kontraindikasi terhadap pasien dengan penyakit jantung misalnya propantelin (Pro-Banthine) dan Oksibutinin Klorida (Ditropan) dari golongan obat-obatan antikolinergik serta terazosin (Hytin) yang dapat beresiko memperparah kondisi pasien dengan hipotensi. Sementara itu obat golongan kolinergik seperti betanekol (Urocholine) dapat menyebabkan diare (Potter & Perry, 2005). Terapi nonfarmakologis lebih disukai karena tidak punya efek samping, sedangkan pembedahan dilakukan sebagai alternatif terakhir. Sehingga terapi yang sebaiknya pertama kali dipilih adalah terapi nonfarmakologis sebelum menetapkan menggunakan terapi farmakologis atau terapi
pembedahan.
Teknik
ini
bermanfaat
menurunkan
frekuensi
inkontinensia urin (Elhan, 2008). Terapi utama dalam kelompok terapi non farmakologis dikenal sebagai Behavioral therapies, yaitu berbagai intervensi yang diajarkan kepada pasien untuk memodifikasi perilaku kesehariannya terhadap kontrol kandung kemih. Terapi behavioral dapat dilakukan dengan cara pengaturan frekuensi (penjadwalan) miksi, pengaturan diet, latihan otot dasar panggul, bladder training, program kateterisasi intermitten, dan lain-lain (Elhan, 2008; Fallon
3
Community Health Pain, 2003). Schnelle JF & Smith (2001) menyatakan bahwa sebagian besar inkotinensia urin di PSTW dapat disembuhkan dengan program penjadwalan atau program berkemih yang diperbantukan, sehingga metode tersebut pantas menjadi prioritas utama untuk menangani inkotinensia urin. Berdasarkan survey pendahuluan di PSTW Budi Luhur, penggunaan terapi behavioral belum pernah di lakukan oleh perawat untuk menangani inkontinensia urin pada usila. Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, perlu dilakukan suatu penelitian tentang efektivitas terapi behavioral terhadap inkontinensia urin pada usila untuk mengetahui apakah terapi behavioral efektif untuk mengatasi inkontinensia urin pada usila.
B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka masalah penelitian dirumuskan : ”Apakah terapi behavioral efektif untuk menurunkan inkontinensia urin pada usila ?”
C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum Mengetahui efektivitas terapi behavioral berupa penurunan frekuensi keluhan inkontinensia urin pada usila.
4
2. Tujuan Khusus a. Mengetahui frekuensi keluhan inkontinensia urin sebelum dilakukan terapi behavioral b. Mengetahui frekuensi keluhan inkontinensia urin setelah dilakukan terapi behavioral c. Mengetahui keluhan-keluhan yang mengalami penurunan yang bermakna setelah diberikan terapi behavioral
D. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi : 1. Ilmu Keperawatan Sebagai bahan masukan dalam profesionalisme asuhan keperawatan untuk mengatasi inkontinensia urin. 2. Pimpinan PSTW Budi Luhur Sebagai bahan masukan dalam profesionalisme asuhan keperawatan untuk mengatasi inkontinensia urin pada usila di PSTW Budi Luhur 3. Masyarakat Meningkatkan pengetahuan masyarakat tentang terapi alternatif bagi usila dengan inkontinensia urin sehingga penggunaan obat-obatan yang beresiko menimbulkan efek samping dapat dihindari. 4. Peneliti lain Untuk mengembangkan penelitian mengenai inkontinensia urin maupun terapi behavioral selanjutnya.
5
E. Penelitian Terkait Penelitian mengenai terapi behavioral maupun inkontinensia urin cukup banyak dilakukan, misalnya penelitian Aslan et al. (2008) di Turki yang berjudul Bladder Training and Kegel Exercises for Women with Urinary Compliants in a Rest Home. Hasil penelitian tersebut disimpulkan bahwa Bladder Training dan Kegel Excercises yang merupakan contoh metode terapi behavioral dapat digunakan dengan mudah sebagai salah satu treatment yang efektif untuk inkontinensia urin pada usila wanita yang tinggal di PSTW. Penelitian lain yang terkait yaitu berjudul Pengaruh Kegel Exercise terhadap Pemenuhan Kebutuhan Eliminasi Urin (Inkontinensia Urin) pada Usila di Posyandu Usila Dusun Mangir Tengah, Sendang Sari, Pajangan, Bantul oleh Nurwidiyanti (2008). Hasilnya menunjukkan bahwa terapi Kegel yang dilakukan secara rutin dapat menurunkan keluhan inkotinensia urin. Persamaan penelitian Aslan et al. (2008) dengan penelitian ini adalah tempat penelitian yang dilakukan di PSTW. Dengan demikian, kondisi responden dianggap tidak memiliki banyak perbedaan sehingga sampel mudah dikontrol oleh peneliti. Sedangkan persamaan penelitian ini dengan penelitian Nurwidiyanti (2008) yaitu keduanya mengambil sampel usila wanita dan pria. Berbeda dengan penelitian Aslan et al. (2008) yang menggunakan teknik kombinasi Kegel Exercises dengan penjadwalan berkemih, penelitian ini hanya meneliti efektivitas terapi behavioral dengan bentuk penjadwalan berkemih. Adapun perbedaan penelitian Nurwidiyanti (2008) dengan penelitian ini terletak pada populasi dan bentuk terapi, Nurwidiyanti (2008)
6
menggunakan populasi usila dari komunitas dengan terapi Kegel. Sedangkan populasi penelitian ini seluruhnya berasal dari PSTW.
7
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Miksi Miksi atau berkemih merupakan proses pengosongan kandung kemih bila kandung kemih terisi. Hal ini menimbulkan refleks saraf yang disebut refleks miksi (refleks berkemih) yang berusaha mengosongkan kandung kemih atau jika refleks ini gagal akan menimbulkan sedikit kesadaran akan keinginan untuk berkemih. Refleks miksi merupakan refleks autonomik medula spinalis, namun refleks ini juga bisa dihambat atau ditimbulkan oleh pusat korteks serebri atau batang otak (Guyton & Hall, 2000). Refleks berkemih diawali dengan timbulnya kontraksi berkemih yang disebabkan oleh refleks peregangan yang dimulai oleh reseptor regang sensorik pada dinding kandung kemih, khususnya oleh reseptor pada uretra posterior ketika daerah ini mulai terisi urin pada tekanan kandung kemih yang lebih tinggi. Sinyal sensorik dari reseptor regang kandung kemih dihantarkan ke segmen sakral medula spinalis melalui nervus pelvikus dan kemudian secara refleks kembali lagi ke kandung kemih melalui serat saraf parasimpatis melalui saraf yang sama ini (Guyton & Hall, 2000). Saat refleks berkemih mulai timbul, refleks ini akan menghilang sendiri. Artinya, kontraksi awal kandung kemih selanjutnya akan mengaktifkan reseptor regang untuk menyebabkan peningkatan selanjutnya pada impuls sensorik ke kandung kemih dan uretra posterior, yang menimbulkan
7
8
peningkatan refleks kontraksi kandung kemih lebih lanjut. Siklus ini berulang sampai kandung kemih mencapai kontraksi yang kuat. Ketika refleks berkemih menjadi cukup kuat, hal ini juga akan menimbulkan refleks lain, yang berjalan melalui nervus pudendal ke sfingter eksternus untuk menghambatnya. Jika penghambatan ini lebih kuat dalam otak daripada sinyal konstriktor volunter ke sfingter eksterna, maka akan terjadi berkemih (Guyton & Hall, 2000).
B. Inkontinensia Urin 1. Definisi Sebelum tahun 1998 inkotinensia urin hanya dianggap sebagai gejala, tetapi sesudah tahun 1998 International Continence Society of World Health Organization (ICD-WHO) menetapkan bahwa inkontinensia urin sebagai suatu penyakit. ICD-WHO mendefinisikan inkontinensia urin sebagai keluhan keluarnya urin tanpa disengaja (Caetano et al. 2007). Roach
(2001)
mendefinisikan
inkontinensia
urin
sebagai
ketidakmampuan untuk mengontrol ekskresi urin dari kandung kemih. Meskipun bukan merupakan konsekuensi dari proses penuaan, namun sebagian besar usila menghadapi masalah ini. 2. Prevalensi Prevalensi kelainan ini cukup tinggi, berdasarkan Purnomo (2008) pada wanita kurang lebih 10-40% dan 4-8% diantaranya sudah dalam keadaan cukup parah ketika datang berobat. Sementara prevalensi pada
9
pria lebih rendah daripada wanita yaitu kurang lebih separuhnya. Survey yang dilakukan di berbagai negara Asia didapatkan bahwa prevalensi inkontinensia urin adalah 14,8% pada wanita dan 6,8% pada pria. Dikatakan oleh beberapa sumber bahwa sebenarnya prevalensi yang dilaporkan tersebut baru merupakan 80% dari prevalensi sesungguhnya karena sebagian dari penderita inkontinensia urin tak terdeteksi. Hal ini karena penderita mengganggap penyakit yang dialami ini merupakan hal yang wajar atau mereka enggan untuk menceritakan keadaannya karena takut mendapatkan pemeriksaan yang berlebihan (Purnomo, 2008). Prevalensi inkontinensia urin pada usila lebih tinggi daripada usia reproduksi. Prevalensinya pada usila wanita sebesar 38% dan usila pria sebesar 19% (Diokno, 1997). 3. Patofisiologi Seiring dengan bertambahnya usia, ada beberapa perubahan pada anatomi dan fungsi organ kemih, antara lain: melemahnya otot dasar panggul akibat kehamilan berkali-kali, kebiasaan mengejan yang salah, atau batuk kronis. Hal-hal tersebut dapat mengakibatkan seseorang tidak dapat menahan kencing. Selain itu, adanya kontraksi (gerakan) abnormal dari dinding kandung kemih, sehingga walaupun kandung kemih baru terisi sedikit, sudah menimbulkan rasa ingin berkemih. Penyebab inkontinensia urin antara lain terkait dengan gangguan di saluran kemih bagian bawah, efek obat-obatan, produksi urin meningkat atau adanya gangguan kemampuan/keinginan ke
10
toilet. Gangguan saluran kemih bagian bawah bisa karena infeksi. Jika terjadi infeksi saluran kemih, maka penatalaksanaannya adalah terapi antibiotika. Apabila vaginitis atau uretritis atrofi penyebabnya, maka dilakukan terapi estrogen topikal. Terapi perilaku harus dilakukan jika pasien baru menjalani prostatektomi. Jika terjadi impaksi feses, maka harus dihilangkan misalnya dengan makanan kaya serat, mobilitas, asupan cairan yang adekuat, atau jika perlu penggunaan laksatif. Inkontinensia urin juga bisa terjadi karena produksi urin berlebih karena berbagai sebab. Misalnya gangguan metabolik, seperti diabetes melitus, yang harus terus dipantau. Sebab lain adalah asupan cairan yang berlebihan yang bisa diatasi dengan mengurangi asupan cairan yang bersifat diuretika seperti kafein. Gagal jantung kongestif juga bisa menjadi faktor penyebab produksi urin meningkat dan harus dilakukan terapi medis yang sesuai. Gangguan kemampuan ke toilet bisa disebabkan oleh penyakit kronik, trauma, atau gangguan mobilitas. Untuk mengatasinya penderita harus diupayakan ke toilet secara teratur atau menggunakan substitusi toilet. Apabila penyebabnya adalah masalah psikologis, maka hal itu harus disingkirkan dengan terapi nonfarmakologik atau farmakologik yang tepat. Penderita usila kerap mengonsumsi obat-obatan tertentu karena penyakit yang dideritanya. Obat-obatan ini bisa sebagai penyebab beser pada usila. Jika kondisi ini yang terjadi, maka penghentian atau penggantian obat jika memungkinkan, penurunan dosis atau modifikasi jadwal pemberian obat.
11
Golongan obat yang berkontribusi yaitu diuretika, antikolinergik, analgesik, narkotik, antagonis adrenergic alfa, agonic adrenergic alfa, ACE inhibitor, dan kalsium antagonis. Golongan psikotropika seperti antidepresi, antipsikotik, dan sedatif hipnotik juga memiliki andil dalam inkontinensia urin. Kafein dan alkohol juga berperan dalam terjadinya beser. Selain hal-hal yang disebutkan di atas inkontinensia urin pada wanita juga terjadi akibat kelemahan otot dasar panggul, karena kehamilan, pasca melahirkan, kegemukan (obesitas), menopause, usia lanjut, kurang aktivitas dan operasi vagina. Penambahan berat dan tekanan selama kehamilan dapat menyebabkan melemahnya otot dasar panggul karena ditekan selama sembilan bulan. Proses persalinan juga dapat membuat otot-otot dasar panggul rusak akibat regangan otot dan jaringan penunjang serta robekan jalan lahir, sehingga dapat meningkatkan risiko terjadinya inkontinensia urine. Dengan menurunnya kadar hormon estrogen pada wanita di usia menopause (50 tahun ke atas), akan terjadi penurunan tonus otot vagina dan otot pintu saluran kemih (uretra), sehingga menyebabkan terjadinya inkontinensia urine. Faktor risiko yang lain adalah obesitas atau kegemukan, riwayat operasi kandungan dan lainnya juga berisiko mengakibatkan inkontinensia. Semakin tua seseorang semakin besar kemungkinan mengalami inkontinensia urin karena terjadi perubahan struktur kandung kemih dan otot dasar panggul.
12
4. Patogenesis Inkontinensia urin dapat mengakibatkan timbulnya berbagai masalah fisik, pikologis dan sosial (Weiss, 2007). Masalah fisik yang dapat diakibatkan inkontinensia urin diantaranya ruam di perineal, ulkus dekubitus, infeksi saluran kemih (ISK), jatuh dan fraktur, sedangkan masalah psikologis misalnya malu dan depresi. Masalah sosial seperti isolasi sosial juga dapat terjadi pada penderita inkotinensia (Roach, 2001). 5. Klasifikasi Menurut Purnomo (2008) inkotinensia urin dapat diklasifikasikan menjadi 5 jenis, yaitu : a. Inkontinensia Urgensi Penderita inkontinensia urgensi mengeluh tidak dapat menahan kencing segera setelah timbul sensasi ingin berkemih. Keadaan ini menyebabkan otot detrusor sudah mulai mengadakan kontraksi pada saat kapasitas kandung kemih (Vesica urinaria) belum terpenuhi. Frekuensi berkemih menjadi lebih sering dan tiba-tiba. Penyebab inkontinensia urgensi adalah kelainan yang berasal dari kandung kemih, diantaranya adalah overaktivitas detrusor dan menurunnya komplians kandung kemih. Overaktivitas detrusor dapat disebabkan oleh kelainan neurologis, kelainan non neurologis atau kelainan lain yang belum diketahui. Jika disebabkan oleh kelainan neurologis disebut sebagai hiper-refleksi detrusor, sedangkan jika penyebabnya adalah kelainan non neurologis disebut instabilitas
13
detrusor. Istilah overaktivitas detrusor dipakai jika tidak dapat diketahui penyebabnya. Hiper-refleksi detrusor disebabkan oleh kelainan neurologis, di antaranya adalah stroke, penyakit Parkinson, cedera korda Spinalis, sklerosis multipel, spina bifida atau mielitis transversal. Instabilitas detrusor sering disebabkan oleh: obstruksi infravesika, pasca bedah intravesika, batu kandung kemih, tumor kandung kemih dan sistitis Penurunan kemampuan kandung kemih dalam mempertahankan tekanannya pada saat pengisian urin (komplians) dapat disebabkan karena kandungan kolagen pada matriks detrusor bertambah atau adanya kelainan neurologis. enambahan kandungan kolagen terdapat pada sistitis tuberkulosa, sistitis pasca radiasi, pemakaian kateter menetap dalam jangka waktu lama atau obstruksi infravesika karena hiperplasia prostat. Cedera spinal pada regio thorako-lumbal, pasca histerektomi radikal, reseksi abdomino-perineal dan mielodisplasia diduga dapat mencederai persarafan kandung kemih. Tidak
jarang
inkontinensia
urgensi
menyertai
sindroma
overaktivitas kandung kemih. Sindroma ini ditandai dengan frekuensi, urgensi dan kadang-kadang inkontinensia urgensi. b. Inkontinensia Stress Inkontinensia stress adalah kebocoran urin secara tidak disengaja ketika sedang melaksanakan aktivitas seperti berjalan, berlari, tertawa atau batuk (Robert & Ross, 2006). Berbagai aktivitas tersebut dapat
14
meningkatkan tekanan intraabdominal. Terjadinya inkontinensia ini karena faktor sfingter uretra yang tidak mampu mempertahankan tekanan intrauretra pada saat tekanan intavesika meningkat (kandung kemih terisi). Inkontinensia stress banyak dijumpai pada wanita dan merupakan jenis inkontinensia urin yang paling banyak prevalensinya, yakni kurang lebih 8-33%. Pada pria kelainan uretra yang menyebabkan inkontinensia biasanya
adalah
kerusakan
sfingter
uretra
eksterna
pasca
prostatektomi, sedangkan pada wanita penyebab kerusakan uretra dibedakan dalam dua keadaan, yakni hipermobilitas uretra dan defisiensi intrinsik uretra. Kerusakan sfingter uretra eksterna pasca prostatektomi radikal lebih sering terjadi daripada pasca TURP (reseksi prostat transuretra). Tidak jarang penderita mengalami kerusakan total sfingter eksterna sehingga mengeluh inkontinensia total. c. Inkontinensia paradoksa Mereka yang menderita inkontinensia jenis ini tidak mampu mengosongkan
kandung
kemihnya.
Penderita
seringkali
menghabiskan waktu yang lama untuk berkemih tetapi urin yang dihasilkan hanya sedikit dengan pancaran yang lemah (Toglia, tth). Gangguan ini disebabkan detrusor yang mengalami kelemahan sehingga terjadi atonia atau arefleksia. Keadaan ini ditandai dengan overdistensi kandung kemih (retensi urin), tetapi karena kandung
15
kemih tidak mampu lagi mengosongkan isinya, tampak urin selalu menetes dari meatus uretra eksterna. Kelemahan otot detrusor ini dapat disebabkan karena obstruksi uretra, neuropati diabetikum, cedera spinal, defisiensi vitamin B12, efek samping pemakaian obat atau pasca bedah pada daerah pelvik. d.
Inkontinensia campuran Penderita inkotinensia campuran mengalami gejala gabungan dari inkontinensia stress dan urgensi. Gejalanya berupa kehilangan kontrol kandung kemih saat batuk, bersin atau mengangkat benda berat dan disertai penigkatan frekuensi berkemih dengan tiba-tiba (Grimm et al, 2003).
e. Inkontinensia fungsional Keadaan penderita tidak mampu menjangkau toilet pada saat keinginan miksi timbul sehingga urin keluar tanpa dapat ditahan. Hal ini terjadi karena adanya hambatan yang berupa gangguan fisik, gangguan kognitif maupun penderita yang sedang mengkonsumsi obat-obatan tertentu. Misalnya obat diuretik berdampak pada kandung kemih yang terisi urin lebih cepat. Sedangkan gangguan fisik yang dapat menimbulkan inkontinensia fungsional antara lain : gangguan mobilitas akibat arthritis, paraplegia inferior, stroke, atau gangguan kognitif akibat suatu delirium maupun demensia.
16
6. Penatalaksaan Penatalaksanaan inkontinensia urin terdiri atas tiga kategori utama, yaitu terapi nonfarmakologis, farmakologis, dan pembedahan (National Institute of Diabetes & Digestive & Kidney Disesase, 2002; Elhan, 2008). a. Terapi non farmakologis 1) Terapi behavioral yaitu penderita diberi pengetahuan tentang fisiologi sistem urinaria bagian bawah dan kemudian mengikuti jadwal miksi seperti yang telah ditentukan. Dalam hal ini penderita dilatih untuk mengenal timbulnya sensasi urgensi kemudian mencoba menghambatnya dan selanjutnya menunda saat miksi. Jika sudah terbiasa dengan cara ini, interval diantara miksi menjadi lebih lama dan didapatkan volume miksi yang lebih banyak (Purnomo, 2008). 2) Kegel exercises yaitu latihan yang melibatkan aktivitas fisik untuk memperkuat otot dasar pelvik/panggul. Kuatnya otot dasar panggul bermanfaat ketika ekskresi urin. Latihan ini sangat baik untuk penderita inkontinensia tipe stress karena bertujuan untuk mengontrol menghentikan atau memulai pancaran urin ketika berkemih (Nurwidiyanti, 2008). 3) Pengaturan
diet
dan
menghindari
makanan/minuman
yang
mempengaruhi pola berkemih (seperti cafein, alkohol, teh dan kopi) (Nurwidiyanti, 2008).
17
4) Bladder
Training
yaitu
latihan
yang
dilakukan
untuk
mengembalikan fungsi berkemih secara normal. Latihan ini sangat efektif bagi usila yang menderita inkontinensia urin tipe urgensi. Bladder Training dilakukan dengan cara memberikan anjuran kepada penderita untuk menahan urin sampai waktu yang ditentukan (Roach, 2001). 5) Modifikasi akses lingkungan yaitu membuat lingkungan penderita dengan akses yang lebih mudah untuk berkemih atau untuk mencapai toilet. Selain itu, modifikasi dapat berupa pengaturan furnitur ruangan, membuat portable toilet, membuat dudukan di toilet dan mengantarkan penderita ke toilet untuk berkemih (Roach, 2001). 6) Biofeedback
sering
dimanfaatkan
untuk
membantu
pasien
mengenali ketepatan otot dasar panggul yang akan dilatih (Nurwidiyanti, 2008). 7) Kateterisasi merupakan alternatif yang bisa digunakan jika penderita inkontinensia urin dalam keadaan tidak sadar maupun sadar tetapi sudah tidak memiliki kemampuan sedikitpun untuk mengenali rangsangan berkemih atau merasakan urin yang terekskresi. Kateter yang digunakan dapat berupa eksternal kateter (kateter kondom) maupun indwelling catheter dengan ukuran 14-16 Fr. Penderita yang terpasang kateter harus mendapat perawatan kateter rutin setiap hari (Roach, 2001).
18
8) Functional Electrical Stimulation (FES) yaitu dengan stimulasi di saraf pudendal. Efek terapi ini tergantung pada frekuensi listrik yang diberikan. Keuntungan terapi ini adalah dapat dilakukan pada pasien yang tidak sadar tetapi dapat berdampak pada kontraksi otot yang menjadi lebih lemah dibandingkan saat sadar (Robert & Ross, 2006). b. Terapi Farmakologis Menurut Purnomo (2008), terapi farmakologis dibagi dalam 6 jenis, yaitu : 1) Antikolinergik Antikolinergik adalah obat penghambat sistem parasimpatis eferen pada otot detrusor. Obat ini menghambat transmisi impuls yang menimbulkan kontraksi detrusor dan dapat meningkatkan kapasitas kandung kemih. Jenis obat yang dipergunakan adalah propantheline bromide, oksibutinin dan tolterodine tartrate. 2) Pelemas otot polos Dicyclomine dan Flavoxate merupakan contoh pelemas otot polos yang mempunyai efek antispasmodik. Keduanya berguna pada keadaan hiperrefleksia otot detrusor. 3) Trisiklik antidepresan Imipramin adalah obat golongan antidepresan trisiklik yang mempunyai berbagai macam efek pada inkontinensia urgensi. Obat ini berfungsi sebagai pelemas otot, memberikan anestesi lokal pada
19
kandung kemih, mempunyai efek antikolinergik, menurunkan kontraktilitas kandung kemih, dan meningkatkan resistensi uretra. 4) Penghambat kanal kalsium Kalsium yang dikenal sebagai ion di dalam sel dapat menyebabkan terjadinya kontraksi otot. Kadar ion kalsium di dalam sel dapat diturunkan dengan menghalangi masuknya ion tersebut ke intraseluler melalui hambatan pada kanal kalsium. Hal ini diharapkan dapat menurunkan kontraksi otot detrusor pada instabilitas kandung kemih. 5) Agonis α adrenergik Obat golongan ini merupakan suatu stimulator reseptor adrenergik α yang dapat menyebabkan kontraksi otot polos pada leher kandung kemih dan dan uretra posterior. Jenis obat yang diberikan adalah efedrin, pseudoefedrin, dan fenil propanolamin. 6) Estrogen Pemberian estrogen pada saat menopause dapat meningkatkan kembali jumlah reseptor adrenergik α pada uretra. Saat menopause terjadi penurunan estrogen sehingga semua jaringan yang keberadaannya membutuhkan estrogen menjadi atrofi, diantaranya adalah otot dan jaringan pada dasar panggul. c. Pembedahan Inkotinensia yang disebabkan oleh fistula atau kelainan bawaan ektopik ureter tindakan yang biasa dilakukan adalah pembedahan,
20
berupa penutupan fistula atau neoimplantasi ureter ke kandung kemih. Tindakan pembedahan pada inkontinensia urgensi dan inkontinensia stress dilakukan jika terapi lain tidak memberikan hasil yang maksimal. untuk
Pada inkontinensia urgensi dapat dilakukan rhizolisis
mengurangi
overaktivitas
kandung
kemih,
sedangkan
penurunan komplians kandung kemih dilakukan augmentasi kandung kemih. Hipermobilitas uretra dikoreksi dengan melakukan suspensi leher kandung kemih (Purnomo, 2008).
C. Terapi Behavioral 1. Definisi Terapi behavioral merupakan suatu bidang yang sulit ditetapkan dalam suatu definisi tunggal. Dalam tingkah laku yang maladaptif, terapi behavioral didefinisikan sebagai aplikasi dari prinsip-prinsip belajar (Krasner cit Purnama, 2008). Pada beberapa kasus, terapi behavioral didefinisikan sebagai metodologi empiris klinis (Golfried & Davidson cit Purnama, 2008). Batasan fundamental empiris klinis itu antara lain: a. Keterbukaan pada metode baru dan berbeda guna terjadinya perubahan dan tidak meletakan kepercayaan hanya pada suatu tradisi tertentu. b. Kepercayaan pada metode penilaian ilmiah guna memvalidasikan hipotesis klinis.
21
c. Tanggung jawab mengajar keterampilan yang dibutuhkan penderita guna mengontrol kehidupan mereka. Istilah terapi behavioral mencakup sejumlah metode terapetik yang didasarkan pada prinsip belajar dan pengkondisian (Purnama, 2008). Terapi behavioral adalah penerapan secara sistematis teknik-teknik dan prinsip-prinsip belajar pada pengobatan terhadap penderita gangguan tingkah laku (Chaplin cit Purnama, 2008). Pada tahap awal ahli terapi behavioral mendengarkan secara seksama pernyataan penderita tentang masalahnya (perilaku apa yang ingin diubah oleh penderita), setelah itu ahli terapi behavioral menentukan perilaku yang akan diubah dan kemudian disusunlah program terapi yang sesuai (Purnama, 2008). 2. Macam Teknik Menurut Purnama (2008), terapi behavioral memiliki berbagai macam teknik yang khas yang berkembang dari sejumlah paradigma, yaitu: a. Systematic Desensitization Prosedur
treatment
ini
dilandasi
oleh
prinsip
belajar
counterconditioning, yaitu respon yang tidak diinginkan digantikan dengan tingkah laku yang diinginkan sebagai hasil latihan yang berulang-ulang.
Teknis
desentisisasi
ini
sangat
efektif
untuk
menghilangkan rasa takut atau fobia. Prinsip terapi ini adalah memasukan suatu respon yang bertentangan dengan kecemasan yaitu relaksasi. Pertama penderita dilatih untuk relaksasi dalam, salah satu caranya misalnya secara progresif
22
merelaksasi berbagai otot, mulai dari otot kaki, pergelangan kaki, kemudian keseluruhan tubuh, leher dan wajah. Tahap selanjutnya ahli terapi membentuk hirarki situasi yang menimbulkan kecemasan pada subyek dari situasi yang menghasilkan kecemasan paling kecil sampai situasi yang paling menakutkan. Setelah itu subyek diminta rileks sambil mengalami atau membayangkan tiap situasi dalam hirarki yang dimulai dari situasi yang paling kecil menimbulkan kecemasan. Akan lebih efektif jika penderita mengalami langsung situasi yang menimbulkan kecemasan dibandingkan dengan cara membayangkan situasi itu. b. Operant Conditioning Operant
conditioning
merupakan
penerapan
dari
prinsip
reinforcement pasif dan negatif, respon cost, shaping by successive approximation dan diskriminasi atau generalisasi. Reinforcement positif digunakan pada terapi behavioral untuk menanggulangi gangguan depresi. Dalam hal ini penderita ditolong untuk mengembangkan suatu daftar kejadian-kejadian yang menyenangkan, yang dapat menjadi penguat dalam memperbaiki tingkah laku seperti memelihara relasi sosial, latihan-latihan dan bekerja dengan efektif. Reinforcement positif juga merupakan elemen yang penting dalam hubungan antara penderita dengan terapis. Ekspresi pujian dan dorongan merupakan hal yang penting dalam menyokong seseorang,
23
dalam pandangan behavioral hal ini merupakan reinforcement positif terhadap usaha optimis dan pernyataan diri positif . Reinforcement negatif digambarkan sebagai pendekatan behavioral dalam menanggulangi tic’s atau gagap. Teknik ini mencakup kombinasi latihan yang berlebihan dan penghargaan yang negatif. Misalnya penderita diminta untuk melakukan tingkah laku yang tidak diinginkan secara berlebihan, maka keadaan berhenti merupakan reinforce. c. Modeling Metode ini didasarkan pada belajar observasional. Modeling telah digunakan
untuk
berbagai
terapetik
dan
pendidikan
sebagai
pengeliminir defisit tingkah laku. Mereduksi ketakutan dan hambatan diri yang berlebihan sebagai fasilitator tingkah laku sosial. Dalam modeling perlu dibedakan tingkah laku sebagai coping dan mastery.
Model
tingkah
laku
coping
misalnya
mula-mula
memperlihatkan ketakutan, tetapi selanjutnya ketakutan menurun dan penampilan perilaku tak baik. Sedangkan model mastery menampilkan tingkah laku ketidaktakutan. Dalam hal ini tampak bahwa tingkah laku coping lebih baik dari model mastery. Modeling telah terbukti berhasil dalam menanggulangi anak autis, fobia dan orang-orang terbelakang serta kecemasan karena model ini memberikan kesempatan pada subyek untuk mengamati orang lain mengalami situasi penimbul kecemasan tanpa menjadi terluka.
24
Penelitian Blanchard menyatakan bahwa modeling memiliki tiga komponen, yaitu modeling non verbal, modeling verbal dan modeling kontak langsung. Dari hasil pengalaman ternyata terapi tampak paling efektif apabila ketiga komponen tersebut digunakan. d. Assertion Training Assertion Training meliputi metode-metode behavioral yang dirancang guna menolong subyek untuk memperbaiki kompetensi interpersonal tanpa menjadi agresif atau submisif yang berlebihan. Terapi ini telah digunakan dalam treatment obsesi kompulsif, penyimpangan seksual, tingkah laku agresif dan sejumlah defisit keterampilan. Metode yang mendasari assertion training diantaranya adalah pembentukan melalui perkiraan. Selain itu digunakan juga metode lain seperti modeling, behavioral rehearsal (latihan bertingkah laku), coaching, feedback dan lain-lain. Meskipun modeling atau behavioral rehearsal dengan coaching atau feedback dapat digunakan dengan efektif secara sendiri-sendiri, namun dari penelitian diketahui bahwa hasil terbaik dicapai apabila semua teknik dikombinasikan dalam suatu kesatuan yang utuh. e. Biofeedback Biofeedback merupakan suatu alat yang dikondisikan pada tingkah laku otomatis manusia. Treatment ini menggunakan alat pencatat yang secara terus menerus memantau respon fisik dari subyek dan
25
memperlihatkan kembali pada subyek. Dengan kata lain alat ini berfungsi sebagai feedback bagi subyek. Biofeedback dapat digunakan dalam menanggulangi sakit kepala karena tension, migrane, tekanan darah tinggi dan serangan jantung. Bagi orang yang mempunyai tekanan darah tinggi lebih baik baginya untuk belajar mengontrol dirinya sendiri daripada selalu bergantung pada obat-obatan yang hanya berhasil mengobati sebagian saja dan mungkin menimbukkan efek samping yang tidak diinginkan. f. Aversive Conditioning Terapi ini dilakukan dengan mengajar penderita untuk menghindari respon-respon seperti penyalahgunaan obat-obatan melalui penggunaan stimulus yang berbahaya. Asumsi yang menjadi dasar aversive conditioning adalah pendapat bahwa penanggulangan dari respon yang tidak diinginkan dengan stimulus yang tidak disukai akan mengurangi nilai penguatan respon dan menyebabkan individu menghentikan tingkah laku tersebut. Terapi ini digunakan untuk menangani masalahmasalah seperti penyimpangan seksual, penggunaan alkohol yang belebihan dan tingkah laku yang merusak diri.
D. Usila dan perubahan fisiologisnya Batasan usia lanjut menurut Undang-Undang No. 4 Tahun 1965 adalah 55 tahun ke atas (Dudy, 2001). Meskipun demikian, PSTW Budi Luhur hanya
26
memperbolehkan usila yang ingin tinggal harus berusia di atas 60 tahun (Dinas Sosial Provinsi DIY, 2008). Proses penuaan pada usila mengakibatkan terjadinya beberapa perubahan fisiologis pada saluran perkemihan bagian bawah baik pada pria maupun wanita (Roach, 2001). Perubahan fisiologis yang terjadi misalnya penurunan kapasitas kandung kemih sementara kontraksi kandung kemih meningkat sehingga frekuensi dan desakan berkemih meningkat (Ouslander cit Leuckenotte, 1996). Perubahan selanjutnya adalah penurunan kemampuan tonus otot dan sfingter untuk mengulur waktu berkemih (berkurangnya kemampuan menunda berkemih) (Roach, 2001). Perubahan-perubahan ini dapat menyebabkan terjadinya inkontinensia urin pada usila (Leuckenotte, 1996). Melemahnya spingter di sekitar uretra juga berdampak urin merembes keluar secara terus-menerus. Penggunaan obat-obatan tertentu seperti beta blocker dapat memperparah inkontinensia urin pada usila karena obat ini bekerja dengan membuat otot-otot halus spingter uretra menjadi lebih rileks. Hal akan berakibat meningkatnya volume residu urin di kandung kemih dari 50 ml menjadi 100 ml (Roach, 2001). Pola berkemih juga turut berubah seiring dengan perubahan usia. Orang yang masih muda pada umumnya mengekskresikan urin lebih banyak pada waktu
siang
atau
saat
terjaga,
sedangkan
para
usila
cenderung
mengekskresikan lebih banyak urinnya pada malam hari. Beberapa
27
diantaranya berdampak pada terjadinya nokturia (misalnya berkemih selama waktu tidur) setiap malam (Roach, 2001). Pada dasarnya perubahan-perubahan tersebut di atas tidak secara langsung menyebabkan terjadinya inkontinensia urin pada usila. Adanya proses penyakit lain atau penggunaan obat-obatan tertentu akan menyebabkan resiko terjadinya inkontinensia urin menjadi meningkat (Roach, 2001).
E. Kerangka Konsep Terapi behavioral
Penderita Inkotinensia Urin
Penurunan Inkotinensia Urin
Faktor penyulit : Ketidakpatuhan lansia mengikuti terapi Kesulitan dalam berkomunikasi Keterangan: Variabel yang akan diteliti Variabel yang tidak diteliti
F. Hipotesis Terapi behavioral efektif dalam menurunkan inkontinensia urin pada usila di PSTW Budi Luhur Yogyakarta.
28
BAB III METODE PENELITIAN
A. Desain Penelitian Metode penelitian ini adalah eksperimen. Penelitian ini termasuk Pre Experiment dengan Pre-Posttest Design (Nursalam, 2003). Desain penelitian:
Kelompok eksperimen
1. O1
Pre
Perlakuan
Post
O1
X
O1’
= Observasi terhadap inkontinensia urin sebelum dilakukan terapi
behavioral pada kelompok eksperimen 2. O1’
= Observasi terhadap inkontinensia urin setelah dilakukan terapi
behavioral pada kelompok eksperimen 3. X1
= Perlakuan (terapi behavioral)
B. Populasi dan Sampel 1. Populasi Populasi dari penelitian ini adalah usila di PSTW Budi Luhur pada tanggal 5-10 November 2008 yang berjumlah 78 orang. 2. Sampel Menurut Sugiyono (2007) sampel adalah bagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh populasi. Pengambilan sampel dilakukan
28
29
dengan cara purposive sampling yaitu dengan cara memilih sampel sesuai dengan kriteria, sehingga sampel tersebut dapat mewakili karakteristik populasi yang telah dikenal sebelumnya. Jumlah sampel dalam penelitian ini adalah 15 orang usila. Yang memenuhi kriteria inklusi sebagai berikut : 1. Usia 60-70 tahun dengan keluhan inkontinensia urin. 2. Usila yang dirawat di PSTW Budi Luhur Yogyakarta. 3. Tidak menderita penyakit jantung kongestif dan hipertensi 4. Tidak sedang mengkonsumsi obat-obatan diuretik 5. Bersedia menjadi responden Adapun kriteria eksklusi dalam penelitian ini : 1. Usila yang sedang menderita penyakit stroke, infeksi saluran kemih, Benign Prostate Hiperplasia (BPH) pada laki-laki 2. Usila yang kondisinya menurun 3. Usila yang menolak untuk berpartisipasi
C. Lokasi dan Waktu Penelitian 1. Lokasi Penelitian Penelitian dilakukan di PSTW Budi Luhur Yogyakarta. 2. Waktu Penelitian a. Penelitian akan dilakukan selama 6 kali pada bulan November 2008. b. Penelitian diawali dengan Pretest yang dilaksanakan pada tanggal 5 November 2008 dan diakhiri post test tanggal 10 November 2008.
30
c. Terapi behavioral dilaksanakan setiap hari selama 4 hari berturut-turut mulai tanggal 6-9 November 2008. d. Pelaksanaan terapi behavioral dilakukan dengan mengisi jadwal berkemih harian setiap 3 jam pada waktu yang ditentukan.
D. Variabel Penelitian dan Definisi Operasional Variabel 1. Variabel Penelitian a. Variabel bebas (independen)
: Penggunaan terapi behavioral.
b. Variabel terikat (dependen)
: Inkontinensia urin pada usila.
c. Hubungan antar variabel
:
Efektivitas
terapi
behavioral
terhadap inkotinensia urin pada usila. Terapi Behavioral
Inkotinensia Urin
Cara penilaian efektivitasnya yaitu dengan menggunakan lembar interview yang dinilai setelah dilakukan terapi behavioral serta membandingkannya dengan lembar interview sebelum terapi. 2. Definisi Operasional a. Terapi behavioral : Terapi behavioral adalah perlakuan yang diberikan peneliti kepada usila yang tinggal di PSTW Budi Luhur berupa jadwal berkemih harian yang diisi setiap tiga jam sekali tiap selesai berkemih selama empat hari berturut-turut. Setelah berkemih, usila memberi tanda pada
31
jadwal berkemih yaitu pada jam 05.00, 08.00, 11.00, 14.00, 17.00, 20.00 WIB dan tengah malam. b. Inkontinensia urin : Inkontinensia
urin
adalah
ketidakmampuan
usila
mengontrol
berkemih. Parameter yang digunakan adalah frekuensi berkemih dalam 24 jam dan sensasi atau rangsangan untuk berkemih. Alat ukur yang digunakan adalah observasi dan wawancara. Skala yang digunakan adalah interval. Penilaian inkontinensia urin digunakan skor sebagai berikut : 2 = jawaban benar 1 = jawaban kadang 0 = jawaban salah Keterangan : Keterangan : 2= Jawaban BENAR yakni jawaban yang sesuai dengan kunci jawaban kuesioner sebagai berikut, yang menyatakan keadaan normal : 1. T
6. T
11. T 16. Y 21. T
2. Y
7. T
12. Y 17. Y 22. T
3. Y
8. T
13. T 18. T 23. Y
4. T
9. T
14. Y 19. T
5. Y
10. T
15. T 20. T
Keterangan : T= Tidak Y= Ya
32
1= Jawaban KADANG/K pada semua pertanyaan kuesioner 1-23 dan dianggap mengalami gangguan, baik yang diklasifikasikan sebagai inkontinensia urin maupun yang tidak diklasifikasikan tetapi juga menunjukkan adanya gangguan pemenuhan kebutuhan eliminasi urin akan diberi skor 1 0= Jawaban SALAH yakni jawaban yang tidak sesuai dengan kunci jawaban kuesioner, yang menyatakan adanya gangguan pemenuhan kebutuhan
eliminasi
urin
(inkontinensia
urin).
Dimana
inkontinensia urin yang dialami responden dapat diklasifikasikan sebagai berikut : a. Inkontinensia fungsional = soal no. 1 (dengan jawaban Y/Ya) dan atau soal no. 5 (dengan jawaban T/Tidak). b. Inkontinensia urgensi= soal no. 4 (dengan jawaban Y/Ya) dan atau soal no. 7 (dengan jawaban Y/Ya) dan atau soal no. 9 (dengan jawaban Y/Ya) dan atau soal no. 10 (dengan jawaban Y/Ya) dan atau soal no. 12 (dengan jawaban T/Tidak) dan atau soal no. 13 (dengan jawaban Y/Ya) dan atau soal no. 15 (dengan jawaban Y/Ya) dan atau soal no. 17 (dengan jawaban T/Tidak) dan atau soal no. 21 (dengan jawaban Y/Ya). c. Inkontinensia stress= soal no. 9 (dengan jawaban Y/Ya). d. Inkontinensia paradoksa= soal no. 6 (dengan jawaban Y/Ya) dan atau soal no. 8 (dengan jawaban Y/Ya) dan atau soal no. 18 (dengan jawaban Y/Ya).
33
e. Inkontinensia campuran (campuran urgensi dan stress)= soal no. 4 (dengan jawaban Y/Ya) dan atau soal no. 7 (dengan jawaban Y/Ya) dan atau soal no. 9 (dengan jawaban Y/Ya) dan atau soal no. 10 (dengan jawaban Y/Ya) dan atau soal no. 12 (dengan jawaban T/Tidak) dan atau soal no. 13 ( dengan jawaban Y/Ya) dan atau soal no. 15 (dengan jawaban Y/Ya) dan atau soal no. 17 (dengan jawaban T/Tidak) dan atau soal no. 19 (dengan jawaban Y/Ya) dan atau soal no. 21 (dengan jawaban Y/Ya). Sementara jawaban pertanyaan kuesioner yang lain yang bukan merupakan klasifikasi inkontinensia urin di atas dan tidak sesuai dengan kunci jawaban kuesioner atau salah, juga akan diberi skor 0 (nol) karena menunjukkan adanya gangguan eliminasi urin tetapi tidak diklasifikasikan. 2. Faktor penyulit penelitian : a. Ketidakpatuhan responden dalam melaksanakan terapi behavioral. Tindakan yang dilakukan agar faktor ini dapat dikontrol dengan meminta agar pengasuh PSTW dapat menjelaskan tujuan penelitian ini kepada para usila. b. Kesulitan dalam berkomunikasi antara peneliti dengan usila. Latar belakang pendidikan sebagian besar usila yang tidak sekolah dan hanya dapat berbahasa Jawa dapat diatasi dengan bantuan asisten peneliti yang dapat berbahasa Jawa juga.
34
E. Cara Pengumpulan Data Peneliti melakukan pengumpulan data dan pelaksanaan dibantu oleh asisten peneliti. Data primer didapatkan langsung oleh observer dari responden dengan cara wawancara terstruktur dan observasi terstruktur. Wawancara terstruktur dengan menanyakan daftar kuesioner sebanyak 23 item tentang pemenuhan kebutuhan eliminasi urin kepada responden sebelum (untuk mengidentifikasi inkontinensia urin) dan sesudah pelaksanaan terapi behavioral untuk mengetahui efek dari terapi behavioral terhadap inkontinensia urin. Observasi terstruktur dengan melalui buku tanda mengikuti terapi behavioral (penjadwalan berkemih) untuk mengetahui apakah responden menjalankan terapi behavioral dengan teratur.
F. Pengolahan Data Data penelitian yang sudah terkumpul segera dilakukan analisa data melalui beberapa langkah sebagai berikut : pertama, Editing adalah mengecek kelengkapan identitas responden dan data yang diperoleh dari hasil wawancara dan observas. Kedua, Coding merupakan kegiatan pemberian kode berdasarkan kategori. Ketiga, Entri data adalah kegiatan memasukan data yang telah dikumpulkan ke dalam master tabel atau database komputer.
G. Analisis Data Penelitian ini menggunakan metode purposive sampling sehingga uji statistik yang digunakan harus nonparametric. Selain itu dua sampel dalam
35
penelitian ini berhubungan, maka uji statistik yang tepat adalah Wilcoxon Signed Rank Test untuk mengetahui hubungan antara variabel independen dan variabel dependen. Analisis hasil dilakukan dengan keputusan pengujian hipotesis yang didasarkan pada taraf signifikansi p=0,05. Berarti jika nilai p < 0,05 maka Ho ditolak (antara variabel independen dan dependen terdapat pengaruh) atau Ha diterima, sebaliknya jika nilai p > 0,05 maka Ho diterima yang berarti tidak ada pengaruh antara variabel independen dan dependen (Sugiyono, 2007).
H. Kesulitan Penelitian Kesulitan dalam penelitian ini adalah adanya perbedaan karakteristik pada responden sehingga membutuhkan kesabaran, penuh pengertian dan berhatihati dalam berkomunikasi dengan usila.
I. Etik Penelitian Penelitian yang berjudul “Efektivitas Terapi Behavioral terhadap Inkontinensia Urin pada Usila di PSTW Budi Luhur Yogyakarta” memiliki surat ijin penelitian yang sah dari Fakultas Kedokteran Program Studi Ilmu Keperawatan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta dan surat ijin penelitian yang sah dari PSTW Budi Luhur Yogyakarta untuk mengadakan penelitian. Penelitian dilakukan setelah responden mengisi lembar persetujuan menjadi responden dengan memberikan :
36
1. Penjelasan mengenai manfaat penelitian 2. Persetujuan bahwa peneliti dapat menjawab setiap pertanyaan yang diajukan subjek berkaitan dengan penelitian 3. Persetujuan bahwa subjek dapat mengundurkan diri kapan saja 4. Jaminan anonimitas dan kerahasiaan identitas subjek
37
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Gambaran Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan di PSTW Budi Luhur yang menjadi salah satu unit yang dimiliki PSTW Yogyakarta yang terletak di Kasongan, Bangunjiwo, Bantul. PSTW ini merupakan lembaga sosial milik pemerintah yang berada di bawah naungan Dinas Sosial Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Berdasarkan Keputusan Gubernur DIY Nomor 160 Tahun 2002 Tentang Uraian dan Tata Kerja Unit Pelaksana Teknis Dinas Kesehatan dan Kesejahteraan Sosial Provinsi DIY maka PSTW Budi Luhur mempunyai fungsi sebagai berikut : 1. Pusat pelayanan pendampingan dan perlindungan bagi lanjut usia 2. Pusat informasi tentang kesejahteraan sosial lanjut usia 3. Pusat pengembangan ilmu pengetahuan tentang lanjut usia Adapun fasilitas yang dimiliki PSTW Budi Luhur antara lain berupa 8 buah wisma kelayan, 1 buah wisma isolasi, 1 buah gedung 2 lantai yang berfungsi sebagai kantor, 1 ruang poliklinik, 1 ruang dapur, 1 masjid dan lain-lain dengan keseluruhan luas 6.521 m2. Terdapat juga sarana kesenian dan olahraga untuk menunjang aktivitas usila. Usila di PSTW Budi Luhur memiliki beragam aktivitas setiap harinya namun secara keseluruhan jenis aktivitas yang dilakukan dianggap
37
38
homogen untuk semua usila. Aktivitas yang dilakukan antara lain ADL (activity daily living) atau aktivitas kehidupan sehari-hari, bimbingan sosial dan rohani, kesenian, senam, serta rekreasi.
B. Hasil Penelitian 1. Gambaran Karakteristik Responden Responden dalam penelitian ini adalah usila yang mengalami inkontinensia urin dan memenuhi kriteri inklusi dan eksklusi di PSTW Budi Luhur Yogyakarta pada tanggal 5-10 November 2008 yang berjumlah 15 orang. Adapun karakteristik responden adalah sebagai berikut: Tabel 1 Distribusi karakteristik responden berdasarkan jenis kelamin, umur, dan pendidikan Karakteristik responden 1. Jenis kelamin Pria Wanita
Jumlah
Prosentase (%)
6 9
40 60
2. Umur 60-70 tahun di atas 70 tahun
11 4
73,33 26,67
3. Pendidikan Tidak sekolah SD SMP SMA
9 3 0 3
60 20 0 20
Sumber : Data primer
39
Berdasarkan tabel 1 menunjukkan bahwa karakteristik responden berdasarkan jenis kelamin paling banyak adalah perempuan yaitu 9 responden (60%). Umur responden paling banyak berusia 60-70 tahun yaitu 11 responden (73,33%) dengan rentang 60-87 tahun (mean 69 tahun 7 bulan). Sedangkan distribusi karakteristik responden berdasarkan pendidikan paling banyak adalah tidak sekolah dengan jumlah 9 responden (60%) dan yang paling sedikit adalah SMP dengan jumlah 0 responden (0%). 2. Hasil Penelitian
Dari 23 pertanyaan yang diajukan kepada masing-masing responden terdapat 18 keluhan inkotinensia urin. Sisanya merupakan gangguan sistem perkemihan lain dan bukan keluhan inkotinensia urin. Hanya 18 keluhan yang akan dianalisis pada penelitian ini untuk menguji efektivitas terapi behavioral terhadap inkotinensia urin pada usila di PSTW Budi Luhur Yogyakarta. Berikut ini merupakan keluhan-keluhan inkontinensia urin yang dirasakan responden :
40
Tabel 2 Analisis Frekuensi Keluhan Inkontinensia Urin Sebelum dan Sesudah Diberikan Terapi Behavioral pada Usila di PSTW Budi Luhur Yogyakarta Frekuensi Keluhan Sebelum Sesudah Terapi Terapi
Penurunan Keluhan
No.
Keluhan-Keluhan
1.
Frekuensi berkemih > 8x dalam 24 jam Berkemih setiap setiap jam atau < 1 jam Tidak dapat merasakan rangsangan berkemih Mengompol pada malam hari Berkemih > 3 x pada waktu malam hari Urin keluar meskipun tidak ingin berkemih Sulit menahan kencing Tidak dapat menahan kencing sampai ke toilet Urin terlanjur keluar sebelum sampai ke toilet Merasa ingin berkemih secara tiba-tiba Aliran urin tidak konstan Kencing tidak dapat dihentikan saat berkemih Mengompol sampai pakaian basah Urin keluar ketika batuk, tertawa, bersin, berlari, atau melompat Urin keluar secara menetes Nyeri ketika berkemih Jumlah urin sedikit Setelah berkemih tidak merasa puas
10
10
0
2
1
1
0
1
-1
2 7
2 3
0 4
0
2
-2
11 2
6 2
5 0
2
3
-1
1
0
1
0 12
1 7
-1 5
1
2
-1
4
1
3
1 2 0 0
1 0 2 0
0 2 -2 0
Total
57
44
13
2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18.
Berdasarkan tabel 2, terdapat tujuh keluhan yang paling banyak dirasakan responden serta mengalami penurunan frekuensi, yaitu : 1. Berkemih setiap setiap jam atau kurang dari 1 jam (kuesioner no.4) 2. Berkemih lebih dari 3 kali pada waktu malam hari (kuesioner no.7) 3. Sulit menahan kencing (kuesioner no.9)
41
4. Merasa ingin berkemih secara tiba-tiba (kuesioner no.15) 5. Kencing tidak dapat dihentikan saat berkemih (kuesioner no.17) 6. Urin keluar ketika batuk, tertawa, bersin, berlari, atau melompat (kuesioner no.19) 7. Nyeri ketika berkemih (kuesioner no.21) Keluhan-keluhan tersebut selanjutnya dianalisis menggunakan uji Wilcoxon untuk menentukan keluhan yang mengalami penurunan signifikan antara sebelum dan sesudah diberikan terapi behavioral. Berikut ini merupakan hasil uji Wilcoxon terhadap ketujuh keluhan tersebut : Tabel 3 Analisis Tingkat Penurunan Keluhan Inkontinensia Urin Sebelum dan Sesudah Diberikan Terapi Behavioral pada Usila di PSTW Budi Luhur Yogyakarta Jumlah Keluhan No.
Keluhan-Keluhan
1.
Berkemih setiap setiap jam atau < 1 jam Berkemih > 3 x pada waktu malam hari Sulit menahan kencing Merasa ingin berkemih secara tiba-tiba Kencing tidak dapat dihentikan saat berkemih Urin keluar ketika batuk, tertawa, bersin, berlari, atau melompat Nyeri ketika berkemih
2. 3. 4. 5. 6. 7.
Total
Penurunan Sebelum Sesudah Keluhan Terapi Terapi
Hasil Uji Statistik A-Sig. 2Tailed
2
1
1
0,157
7
3
4
0,034
11 1
6 0
5 1
0,010 0,317
12
7
5
0,024
4
1
3
0,083
2 39
0 18
2 21
0,180
42
Berdasarkan tabel 3 di atas tampak bahwa terapi behavioral secara signifikan dapat mengurangi keluhan berkemih lebih dari 3 kali pada malam hari, sulit menahan kencing dan kencing tidak dapat dihentikan saat berkemih. Terapi behavioral dapat memberikan pengaruh yang bermakna terhadap keluhan berkemih lebih dari 3 kali pada malam hari dengan nilai p= 0,034, keluhan kencing tidak dapat dihentikan saat berkemih dengan nilai p=0,024, dan keluhan sulit menahan kencing dengan nilai p=0,010. Analisis selanjutnya untuk mengetahui efektivitas terapi behavioral untuk seluruh keluhan yang dirasakan usila sebelum dan sesudah pemberian terapi adalah sebagai berikut : Tabel 4 Analisis Efektivitas Terapi Behavioral terhadap Inkotinensia Urin pada Usila di PSTW Budi Luhur Sebelum Terapi
Sesudah Terapi
Hasil Uji Statistik
N
Mean
N
mean
Negative Rank
Positive Rank
Z
15
6,05
15
8,75
2
10
-1,694
ASig. 2tailed 0,090
Dari tabel 4 di atas tampak bahwa terapi behavioral tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap inkontinensia urin. Terdapat perubahan nilai mean sebelum dan sesudah terapi behavioral dengan nilai 2,70 dan nilai p=0,090.
43
C. Pembahasan Berdasarkan karakteristik responden jumlah usila yang berjenis kelamin wanita dengan usia diantara 60-70 tahun lebih banyak menderita inkotinensia urin yaitu 60%. Menurut Grimm et al. (2003) dan Thurof et al. (2006) masalah ini memang lebih banyak ditemukan pada wanita daripada pria, bahkan 1 dari 4 orang wanita yang telah mengalami menopause (berusia di atas 50 tahun) dipastikan menderita gangguan inkotinensia urin. Inkotinensia urin pada wanita menyebabkan aktivitas sehari-hari menjadi terganggu, kehidupan bersosial dan hubungan perkawinan menjadi bermasalah sehingga berdampak buruk terhadap kualitas hidup wanita (Yip& Chung, 2003). Hasil penelitian menunjukkan bahwa terapi behavioral tidak mempunyai pengaruh yang bermakna terhadap inkontinensia urin pada usila di PSTW Budi Luhur, dengan nilai Z sebesar -1,694 dan p sebesar 0,090. Hal ini diperkirakan sebagai akibat kurangnya waktu adapatasi responden terhadap perubahan pola berkemih sehingga tidak banyak perubahan yang dialami fungsi tubuh responden. Uji Wilcoxon yang dilakukan satu persatu terhadap keluhan-keluhan inkontinensia urin yang paling banyak dirasakan responden diperoleh hasil yang bermakna. Signifikansi hasil uji ini terutama pada keluhan berkemih malam hari lebih dari 3 kali, keluhan sulit menahan kencing, dan keluhan kencing tidak bisa dihentikan pada waktu berkemih.
44
Keluhan berkemih lebih dari 3 kali pada malam hari menunjukkan adanya penurunan frekuensi sebelum dan sesudah terapi behavioral. Terdapat penurunan keluhan sebesar 6 dengan nilai p= 0,034 (bermakna) pada uji Wilcoxon. Grimm et al. (2003) menyatakan hal ini disebabkan karena usila yang mengikuti terapi behavioral diharuskan mengurangi frekuensi berkemih terutama pada malam hari. Jadwal yang diikuti secara benar akan membuat usila hanya berkemih paling banyak 3 kali pada malam hari yaitu pada pukul 20.00, tengah malam dan pukul 05.00. Hasil uji Wilcoxon juga menunjukkan hasil yang sangat signifikan pada keluhan responden sulit menahan kencing. Penurunan keluhan tersebut sebesar 7 dengan nilai p= 0,010. Terjadinya penurunan keluhan ini karena semakin rutin dan teraturnya usila mengikuti terapi behavioral maka kemampuan menahan kencing akan meningkat pula khususnya pada inkotinensia dan disebabkan overactivity (inkontinensia urgensi) dan under-activity (inkontinensia paradoksa) (Bhagwath, 2001). Secara bertahap terapi ini akan meningkatkan interval berkemih yang lebih panjang dari biasanya. Gangguan kencing yang tidak dapat dihentikan sewaktu berkemih juga mengalami penurunan yang signifikan sebesar 9 (p=0,024). Hal ini disebabkan karena kontraksi tonus otot kandung kemih menjadi terlatih (Nurwidiyanti, 2008) sehingga aktivitas kandung kemih dapat lebih dikontrol (Grimm et al., 2003).
45
Masing-masing responden memiliki faktor individual yang berbedabeda. Ketidakpatuhan dan tingkat pemahaman responden dalam mengikuti jadwal berkemih dapat mempengaruhi hasil yang tidak signifikan dalam penelitian ini. Padey et.al., cit Wibisono (2000) mengatakan bahwa subjek yang mempunyai tingkat pendidikan tinggi akan memiliki pengetahuan yang lebih baik. Rendahnya tingkat pendidikan sebagian besar responden (60% tidak sekolah) turut berpengaruh terhadap kepatuhan dan pemahaman terhadap terapi behavioral. Responden merasa kesulitan karena diminta mencatat dan mengingat waktu berkemih selama mengikuti terapi ini. Faktor lainnya adalah konsumsi minuman diuretik seperti teh dan kopi yang sebagian besar responden konsumsi setiap hari. Menurut Kozier (1995), minuman teh dan kopi termasuk dalam minuman diuretik yang mempunyai kandungan zat yang dapat meningkatkan produksi urin. Selain itu terdapat penyakit penyerta yang sedang diderita responden misalnya demensia dan depresi. Demensia merupakan penyakit neurologis yang cukup sering ditemukan pada penderita inkontinensia urin (Leung et al., 1997) karena dapat mengganggu pemahaman usila terhadap sensasi berkemih (Bhagwath, 2001). Vigod & Stewart (2006) melaporkan bahwa terdapat hubungan antara depresi dengan inkontinensia urin sebagai akibat dari peningkatan distress, lepas dari pekerjaan tetap serta tingginya keterlibatan tenaga medis selama hidup penderita sehingga berdampak besar pada kesehatan urology, urogynecology, psikis dan primary care.
46
Terdapat perbedaan hasil penelitian ini dibandingkan dengan penelitian Aslan et al. (2008) yang menyimpulkan bahwa penggunaan terapi behavioral merupakan metode yang mudah dan efektif terhadap inkotinensia urin pada usila perempuan di nursing homes. Perbedaan ini terletak pada bentuk terapi yang diberikan. Aslan memberikan penjadwalan berkemih di tambah latihan Kegel bersamaan dalam waktu 68 minggu sedangkan pada penelitian ini hanya dilakukan penjadwalan dengan frekuensi 4 kali. Penelitian ini juga memperoleh hasil yang berbeda dibandingkan dengan penelitian Nurwidiyanti (2008) dengan judul Pengaruh Kegel Exercise terhadap Pemenuhan Kebutuhan Eliminasi Urin (Inkontinensia Urin) pada Usila di Posyandu Usila Dusun Mangir Tengah, Sendang Sari, Pajangan, Bantul. Perbedaan terjadi karena hasil penelitian Nurwidiyanti (2008) signifikan sedangkan penelitian ini tidak signifikan untuk mengatasi inkotinensia urin. Berdasarkan uraian di atas peneliti dapat menganalisis bahwa penelitian ini akan memperoleh nilai yang signifikan jika diaplikasikan dalam waktu yang lebih lama karena telah terbukti berhasil pada jumlah populasi yang sangat besar (Luxem & Christophersen, 1994). Peneliti meyakini hal ini karena sebagian besar responden sudah menunjukkan perkembangan yang baik ditandai dengan berkurangnya beberapa keluhan inkotinensia urin dengan tiga diantaranya terjadi penurunan yang signifikan.
47
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan Berdasarkan hasil analisa data yang diperoleh dari penelitian dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Frekuensi keluhan inkontinensia urin sebelum diberikan terapi behavioral sebanyak 57 kali dan sesudah diberikan terapi behavioral adalah 44 kali. 2. Terapi behavioral efektif menurunkan keluhan berkemih malam hari lebih dari 3 kali dengan nilai p= 0,034. 3. Terapi behavioral juga dapat mengurangi secara signifikan keluhan sulit menahan kencing (p=0,010) 4. Keluhan kencing tidak dapat dihentikan ketika berkemih juga turun dengan p= 0,024. 5. Terapi behavioral tidak menunjukkan hasil yang signifikan (p= 0,090) terhadap keseluruhan keluhan inkotinensia urin, maka terapi behavioral tidak efektif untuk menurunkan inkotinensia urin pada usila di PSTW Budi Luhur.
47
48
B. Saran 1. Ilmu Keperawatan Menjadi bahan masukan dalam profesionalisme asuhan keperawatan pada bidang keperawatan gerontik untuk mengatasi inkontinensia urin pada usila. 2. Pimpinan PSTW Budi Luhur Kepada pimpinan PSTW Budi Luhur agar mendata usila yang memiliki gangguan inkotinensia urin kemudian memberikan terapi yang tepat. 3. Masyarakat Meningkatkan pengetahuan masyarakat tentang terapi alternatif bagi usila dengan inkontinensia urin sehingga penggunaan obat-obatan yang beresiko menimbulkan efek samping dapat dihindari. 4. Peneliti lain Disarankan kepada peneliti berikutnya agar dapat meneliti terapi behavioral dengan waktu yang lebih panjang.
C. Kekuatan dan Kelemahan Penelitian Kekuatan dalam penelitian ini adalah karena menggunakan desain eksperimen secara prospektif sehingga setiap perkembangan dan perubahan pada usila dapat dipantau secara terperinci. Kemudian data dalam penelitian ini langsung dilakukan sendiri oleh peneliti dan juga pengisian kuesioner dilakukan ketika bertatap muka dengan responden sehingga peneliti mengetahui proses dan hasil data yang diperoleh.
49
Kelemahan dalam penelitian ini adalah penelitian hanya menggunakan sampel 15 orang. Penelitian-penelitian serupa hendaknya menggunakan sampel yang lebih banyak untuk mendukung keakuratan hasil. Kelemahan lain yang ada pada penelitian ini adalah peneliti tidak dapat mengawasi kepatuhan respoden selama 24 jam setiap harinya dalam mengikuti jadwal yang diberikan, sehingga kejujuran responden dalam mengikuti jadwal sangat dibutuhkan untuk mengikuti terapi behavioral.
DAFTAR PUSTAKA
Aslan E, Komurcu N, Beji NK, Yalcin O. (2008). Bladder Training and Kegel Exercises for Women with Urinary Compliants in a Rest Home [abstrak]. Gerontology; 54(4) 224-31. Diakses 27 Juli 2008 dari http://www.ncbi. nlm.nih.gov/pubmed/18483451?ordinalpos=1&itool=EntrezSystem2.PEntre z.Pubmed.Pubmed_ResultsPanel.Pubmed_RVDocSum Bhagwath, Gayathri. (2001). Urinary Incontinence in the Elderly : Pathogenesis and Management. Journal, Indian Academy of Clinical Medicine Vol. 2(4). Diakses 17 November 2008 dari medind.nic.in/jac/t01/i4/jact01i4p270.pdf Caetano, A.S., Tavares, & Lopes (2007). Urinary incontinence and physical activity practice. Rev Bras Med Esporte 13(4). 245e-248e. Diakses 7 November 2008 dari www.scielo.br/pdf/rbme/v13n4/en_12.pdf Deputi I Menkokesra (2005). Lansia Masa Kini dan Mendatang. Diakses 6 Juli 2008 dari http://www.menkokesra.go.id. Dinas Sosial Provinsi DIY. (2008). PSTW Yogyakarta [Brosur]. Diokno, Ananias (1997). Geriatrik. Jilid I. Jakarta : EGC Dudy, D Nurkusuma (2001). Posyandu Lanjut Usia di Puskesmas Pare Kabupaten Temanggung. www.tempo.co.id/medika/arsip/082001/lap-1.htm Elhan, M. Gema. (2008) Inkontinensia Urine. Diakses pada 17 juli 2008 dari http://ilmukedokteran.net/Ilmu-Penyakit-Ginjal-dan-Saluran-kemih/Inkonti nensia-Urine.html. Fallon Community Health Pain. (2003). Sacral Nerve Stimulation for Urinary Incontinence. Diakses 7 November 2008 dari www.bcbsnc.com/services/ medical-policy/pdf/sacral_nerve_modulation_stimulation_for_urinary_incon tinence.pdf Grimm, T., Wright, T., Vega, J., McCray, T., Shagam, JY. (2003). Diagnnosis and Treating Urinary Incontinence. Health Smart 12(4). Diakses 7 November 2008 dari hospitals.unm.edu/AboutUs/Healthsmart/Fall03.pdf Guyton & Hall (2000). Fisiologi Manusia. Jakarta : EGC Kozier. (1995). Fundamental of Nursing; Concepts, Process, and Practice. California: Redwood City.
Leuckenotte. (1996). Gerontological Nursing. St. Louis : Mosby Leung, KS., Ng, MF., Pang, FC., Au, SY. (1997). Urinary Incontinence: an Ignored Problem in Elderly. HKMJ 1997;3:27-33. Diakses 17 November 2008 dari sunzi1.lib.hku.hk/hkjo/view/22/2200244.pdf Luxem, M., & Christophersen, E. (1994). Behavioral toilet training in early childhood: Research, practice, and implications. Journal of Developmental and Behavioral Pediatrics, 15, 370–378. National Institute of Diabetes & Digestive & Kidney Disesase. (2002). Urinary Incontinence in Women. www.niddk.nih.gov./health/urology/pubs/uiwomen.htm Nursalam (2003). Konsep dan penerapan metodologi penelitian ilmu keperawatan, pedoman skripsi, tesis dan instrumen penelitian keperawatan. Jakarta : Salemba Medika Nurwidiyanti, Erika (2008). Pengaruh Kegel Exercise terhadap Pemenuhan Kebutuhan Eliminasi Urin (Inkotinensia Urin) pada Lansia di Posyandu Lansia Dusun Mangir Tengah Sendang Sari, Pajangan, Bantul. Skripsi Strata Satu. Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, Yogyakarta Potter & Perry. (2005). Buku Ajar Fundamental Keperawatan : Konsep, Proses dan Praktik, Ed.4 Vol.2. Jakarta : EGC Purnama (2008). behavioral
http://one.indoskripsi.com/content/tugas-makalah-terapi-
Purnomo, Basuki B. 2008. Dasar-Dasar Urologi Edisi Kedua. Malang : Sagung Seto Roach, Sally. (2001). Introductory Gerontological Nursing. Philadelphia : Lippincott Robert & Ross (2006). Conservative Management of Urinary Incontinence. Clinical Practice Guideline 186, 1113-1118. Diakses 7 November 2008, dari www.sogc.org/guidelines/documents/186E-CPG-Decembre2006.pdf Schnelle J.F., PhD, and Smith, Rick L. MD (2001). Quality Indicators for the Management of Urinary Incontinence in Vulnerable Community-Dwelling Elders. Ann Intern Med. 2001;135:752-758. Diakses 10 November 2008 dari www.annals.org. Sugiyono. (2006). Statistika untuk penelitian. Bandung: CV Alfabeta
Thuroff, J., Abrams, P., Andersson, K.E., Artibani, W., Chartier-Kastler, E., Hampel, C., van Kerrebroeck, Ph. (2006). Guidelines on Urinary Incontinence. European Assosiation of Urology. Diakses 7 November 2008 dari www.mediforum.sk/pdf/EAU_Urinary_Incontinence.pdf Toglia, Marc R (tth). Understanding Female Urinary Incontinence. Women Health Source ; Menopause and You. Article 4(1). Diakses 7 November 2008 dari www.firstcalleap.org/files/myunderstandingfemaleurinaryincontinence_ 10266.pdf Vigod, SN., Stewart, DE. (2006). Major Depression in Female Urinary Incontinence. Psychosomatics 47:2. Diakses 14 November 2008 dari http://psy.psychiatryonline.org Weiss, Barry. (2007). Urinary Incontinence – Treatment. Elder Care ; a Resources for Provider 1(5). Arizona Reynolds Program Of Applied Geriatrics. Diakses 10 November 2008 dari www.reynolds.med.arizona.edu Wibisono, S. Y. (2000). Kualitas hidup dengan status fungsional penderita karsinoma payudara stadium lamjut yang di rawat di SMF penyakit dalam RSUP dr. Sardjito Yogyakarta. Tesis Pasca Sarjana UGM Yip, S.K., Chung, T.K.H. (2003). Treatment-seeking behavior in Hong Kong Chinese women with urinary symptoms [abstract]. Int Urogynecol J (2003) 14: 27–30. Diakses 10 November 2008 dari www.springelink.com
PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA PERMOHONAN MENJADI RESPONDEN
Kepada Yth. Bapak/Ibu Di tempat
Dengan hormat, saya yang bertanda tangan di bawah ini adalah mahasiswa Program Studi Ilmu Keperawatan Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Yogyakarta. Nama : TEDY JASWADI NIM : 20040320052 Bermaksud mengadakan penelitian dengan judul Efektivitas Terapi Behavioral terhadap Inkotinensia Urin pada Usila di PSTW Budi Luhur Yogyakarta, manfaat dari penelitian ini adalah mengetahui efektivitas metode terapi behavioral untuk mengurangi frekuensi inkontinensia urin.. Untuk itu saya mohon kesediaan Bapak/Ibu untuk berpartisipasi dalam penelitian ini sebagai responden. Atas kesediaan dan partisipasi Bapak/Ibu menjadi responden dan meluangkan waktu untuk mengisi data identitas yang ada ini merupakan penghargaan bagi saya dan sebelumnya saya mengucapkan terima kasih.
Yogyakarta, 29 Oktober 2008 Peneliti
Tedy Jaswadi
PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA LEMBAR PERSETUJUAN MENJADI RESPONDEN
Yang bertanda tangan dibawah ini adalah, Nama : Umur : Pendidikan : Alamat : Menyatakan bersedia menjadi responden untuk penelitian yang berjudul Efektivitas Terapi Behavioral terhadap Inkotinensia Urin pada Usila di PSTW Budi Luhur Yogyakarta. Maksud penelitian adalah mengetahui efektivitas metode terapi behavioral untuk mengurangi frekuensi inkontinensia urin. Demikian surat persetujuan yang saya buat.
Yogyakarta, 29 Oktober 2008
Mengetahui, Peneliti
(Tedy Jaswadi)
Responden
(
)
PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA PERMOHONAN MENJADI ASISTEN PENELITI
Kepada Yth. Saudara/Saudari Di tempat
Dengan hormat, saya yang bertanda tangan di bawah ini adalah mahasiswa Program Studi Ilmu Keperawatan Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Yogyakarta. Nama : TEDY JASWADI NIM : 20040320052 Bermaksud mengadakan penelitian dengan judul Efektivitas Terapi Behavioral terhadap Inkotinensia Urin pada Usila di PSTW Budi Luhur Yogyakarta, manfaat dari penelitian ini adalah mengetahui efektivitas metode terapi behavioral untuk mengurangi frekuensi inkontinensia urin. Untuk itu saya mohon kesediaan Saudara/Saudari untuk berpartisipasi dalam penelitian ini sebagai asisten peneliti. Atas kesediaan dan partisipasi Saudara/Saudari menjadi asisten peneliti dan meluangkan waktu untuk mengisi data identitas yang ada ini merupakan penghargaan bagi saya dan sebelumnya saya mengucapkan terima kasih.
Yogyakarta, 29 Oktober 2008 Peneliti
Tedy Jaswadi
PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA LEMBAR PERSETUJUAN MENJADI ASISTEN PENELITI
Yang bertanda tangan dibawah ini adalah pasien, Nama
:
Pendidikan
:
Dengan ini menyatakan kesediaan saya, untuk menjadi asisten peneliti dalam membantu penelitian saudara yang berjudul Efektivitas Terapi Behavioral terhadap Inkotinensia Urin pada Usila di PSTW Budi Luhur Yogyakarta. Demikian surat persetujuan yang saya buat, untuk dapat digunakan sebagaimana mestinya.
Yogyakarta, 29 Oktober 2008
Mengetahui,
Peneliti
(Tedy Jaswadi)
Responden
(
)
WAWANCARA PERUBAHAN PEMENUHAN KEBUTUHAN ELIMINASI URIN SEBELUM DAN SESUDAH TERAPI BEHAVIORAL
No.Responden : Nama
:
A. Data demografi 1. Jenis kelamin a. Laki-laki b. Perempuan 2. Pendidikan a. Tidak sekolah b. SD c. SMP d. SMA e. Perguruan tinggi 3. Umur a. 55-65 tahun b. 66-75 tahun c. > 75 tahun 4. Agama/kepercayaan a. Islam b. Kristen c. Hindu d. Budha e. Lain-lain
B. Riwayat kesehatan 1. Riwayat penyakit yang diderita a. Depresi b. Stroke c. Gagal jantung kongestif d. BPH (Benign Prostate Hiperplasia)
e. Penyakit paru obstruktif kronik f. Gangguan mobilitas g. Infeksi saluran kemih 2. Minuman yang diminum dalam minggu ini a. Teh b. Kopi c. Susu d. Minuman beralkohol e. Air putih 3. Obat-obatan yang diminum dalam minggu ini a. Furosemide b. Chlosothiazid c. Ethacrynic acid
C. Pemeriksaan fisik Berat badan
:
Tinggi badan
:
Tekanan darah
:
D. Pengkajian pemenuhan kebutuhan eliminasi urin No
Daftar pertanyaan
1
Apakah frekuensi berkemih Anda dalam 24 jam lebih dari 8 kali?
2
Apakah frekuensi berkemih Anda dalam 24 jam 5-7 kali?
3
Apakah frekuensi berkemih Anda dalam 24 jam 3-4 kali
4
Apakah Anda berkemih setiap jam atau kurang dari 1 jam?
5
Apakah rangsangan untuk berkemih dapat Anda rasakan?
6
Pernahkan Anda mengompol pada malam hari?
7
Pernahkan Anda buang air kecil lebih dari 3 kali pada waktu malam hari?
8
Pernahkan Anda mengeluarkan air seni padahal tidak ingin buang air kecil?
9
Apakah Anda merasa kesulitan dalam menahan kencing?
Ya Kadang Tidak
10
Apakah ada kesulitan dalam memulai mengeluarkan air seni?
11
Apakah masalah-masalah tersebut di atas Anda alami lebih dari 1 minggu?
12
Apakah Anda dapat menahan kencing sampai toilet?
13
Apakah Anda saat buang air kecil, terlanjur mengeluarkan air seni sebelum sampai toilet?
14
Dapatkah Anda mengeluarkan urin setelah merasakan rangsangan untuk berkemih?
15
Apakah Anda sering merasa sangat ingin buang air kecil secara tiba-tiba?
16
Apakah aliran urin konstan?
17
Dapatkah kencing dihentikan pada waktu berkemih?
18
Apakah Anda saat mengompol sampai membuat basah pakaian?
19
Pernahkan Anda ketika batuk, tertawa, bersin, berlari, atau melompat mengompol?
20
Apakah keluarnya urin secara menetes?
21
Apakah Anda merasa nyeri saat atau setelah buang air kecil?
22
Apakah setiap kali Anda berkemih jumlah urin hanya sedikit?
23
Apakah Anda merasa puas setelah Anda buang air kecil?
INSTRUMEN PENELITIAN EFEKTIVITAS TERAPI BEHAVIORAL TERHADAP INKONTINENSIA URIN PADA USILA DI PSTW BUDI LUHUR YOGYAKARTA
JADWAL BERKEMIH HARIAN
Nomor Responden
:
Nama
:
Jenis Kelamin
:
Usia
:
Jam Hari ke Inkontinensia Tengah Urin 05.00 08.00 11.00 14.00 17.00 20.00 malam 1 2 3 4 Perhatian
:
1. Jadwal harus diisi setiap 3 jam sekali selama 4 hari mulai tanggal 6-9 November 2008 sesuai waktu pada tabel setelah berkemih dengan memberikan tanda (9) pada kolom yang tersedia. 2. Jika ada perasaan ingin berkemih responden harus berusaha menahan sampai waktu yang ditentukan, jika tidak bisa diperbolehkan berkemih kemudian memberikan tanda (9) pada kolom inkontinensia urin sesuai dengan frekuensinya. 3. Jika ada salah satu waktu yang terlambat maka secepatnya harus berkemih dan waktu selanjutnya harus tepat. 4. Setelah 4 hari akan ada evaluasi efektivitas penjadwalan ini dan diharapkan partisipasi dari semua responden yang mengikuti program ini.
Tabulasi Kuesioner Gangguan Pemenuhan Kebutuhan Eliminasi Urin Data sebelum terapi behaviour No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15
1 0 2 2 0 1 0 1 0 0 2 0 1 2 0 2
2 0 2 2 0 2 0 2 1 0 2 0 1 2 2 2
3 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
4 2 2 2 2 2 2 2 2 1 2 0 2 2 2 2
5 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2
6 0 1 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2
7 2 2 2 1 2 1 2 2 0 0 0 1 2 1 2
8 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2
9 0 1 1 1 1 0 0 2 2 2 0 2 1 0 1
10 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2
11 0 0 0 0 0 0 2 2 2 2 0 2 2 2 0
12 0 1 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2
13 0 1 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2
14 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2
15 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 0 2 2 2 2
16 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2
17 0 1 0 0 0 0 0 2 1 2 0 2 0 0 0
18 2 1 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2
19 1 1 1 2 2 2 2 2 2 2 2 2 1 2 2
20 2 2 2 2 2 2 2 2 0 2 2 2 2 2 2
21 2 2 0 1 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2
22 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2
23 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2
Skor 27 35 36 33 38 33 39 41 34 42 28 41 40 37 39
9 0 1 2 2 2 2 0 2 0 2 2 2 1 1 2
10 2 2 2 2 2 2 2 2 0 2 2 2 2 2 2
11 0 0 2 0 0 0 2 2 2 2 0 2 2 2 0
12 0 2 2 2 2 2 2 2 1 2 2 2 2 2 2
13 0 2 2 2 2 2 2 2 1 2 2 2 0 2 2
14 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2
15 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2
16 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 0 2 2
17 0 2 0 1 0 2 0 2 2 2 2 2 0 0 2
18 2 2 2 2 2 2 2 2 0 2 2 2 0 2 2
19 1 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2
20 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 0 2 2
21 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2
22 2 2 1 2 2 2 2 2 2 2 2 2 0 2 2
23 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2
Skor 27 40 41 36 39 39 39 41 31 44 35 43 29 40 42
Data sesudah terapi behaviour No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15
1 0 2 2 0 1 0 1 0 0 2 0 1 2 1 2
2 0 2 2 0 2 1 2 1 1 1 0 2 2 2 2
3 0 0 0 0 0 0 0 0 0 2 0 0 0 0 0
4 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 1 2 2 2 2
5 2 2 2 2 2 2 2 2 1 2 2 2 2 2 2
6 0 1 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2
7 2 2 2 1 2 2 2 2 2 1 0 2 2 2 2
8 2 2 2 2 2 2 2 2 1 2 2 2 0 2 2
Analisis Efektivitas Terapi Behavioral terhadap Inkotinensia Urin pada Usila di PSTW Budi Luhur Yogyakarta Wilcoxon Signed Ranks Test Ranks N SetelahTerapiBehavioral SebelumTerapiBehavioral
Negative Ranks Positive Ranks Ties Total
2a 10b 3c 15
a. SetelahTerapiBehavioral < SebelumTerapiBehavioral b. SetelahTerapiBehavioral > SebelumTerapiBehavioral c. SetelahTerapiBehavioral = SebelumTerapiBehavioral
Test Statisticsb
Z Asymp. Sig. (2-tailed)
Setelah Terapi Behavioral Sebelum Terapi Behavioral -1.694a .090
a. Based on negative ranks. b. Wilcoxon Signed Ranks Test
Mean Rank 8.75 6.05
Sum of Ranks 17.50 60.50
Analisis Efektivitas Terapi Behavioral terhadap Inkotinensia Urin pada Usila dengan keluhan BAK malam hari lebih dari 3 kali Wilcoxon Signed Ranks Test Ranks N SetelahTerapiBehavioral SebelumTErapi Behavioral
Negative Ranks Positive Ranks Ties Total
0a 5b 10c 15
a. SetelahTerapiBehavioral < SebelumTErapiBehavioral b. SetelahTerapiBehavioral > SebelumTErapiBehavioral c. SetelahTerapiBehavioral = SebelumTErapiBehavioral Test Statisticsb
Z Asymp. Sig. (2-tailed)
Setelah Terapi Behavioral Sebelum TErapi Behavioral -2.121a .034
a. Based on negative ranks. b. Wilcoxon Signed Ranks Test
Mean Rank .00 3.00
Sum of Ranks .00 15.00
Analisis Efektivitas Terapi Behavioral terhadap Inkotinensia Urin pada Usila dengan keluhan kencing tidak dapat dihentikan ketika berkemih Wilcoxon Signed Ranks Test Ranks N SetelahTerapiBehavioral SebelumTErapi Behavioral
Negative Ranks Positive Ranks Ties Total
0a 6b 9c 15
a. SetelahTerapiBehavioral < SebelumTErapiBehavioral b. SetelahTerapiBehavioral > SebelumTErapiBehavioral c. SetelahTerapiBehavioral = SebelumTErapiBehavioral
Test Statisticsb
Z Asymp. Sig. (2-tailed)
Setelah Terapi Behavioral Sebelum TErapi Behavioral -2.251a .024
a. Based on negative ranks. b. Wilcoxon Signed Ranks Test
Mean Rank .00 3.50
Sum of Ranks .00 21.00
Analisis Efektivitas Terapi Behavioral terhadap Inkotinensia Urin pada Usila dengan keluhan sulit menahan kencing Wilcoxon Signed Ranks Test Ranks N SesudahTerapi Behavioral SebelumTerapi Behavioral
Negative Ranks Positive Ranks Ties Total
9a 1b 5c 15
Mean Rank 5.78 3.00
a. SesudahTerapiBehavioral < SebelumTerapiBehavioral b. SesudahTerapiBehavioral > SebelumTerapiBehavioral c. SesudahTerapiBehavioral = SebelumTerapiBehavioral
Test Statisticsb
Z Asymp. Sig. (2-tailed)
Sesudah Terapi Behavioral Sebelum Terapi Behavioral -2.565a .010
a. Based on positive ranks. b. Wilcoxon Signed Ranks Test
Sum of Ranks 52.00 3.00
Analisis Efektivitas Terapi Behavioral terhadap Inkotinensia Urin pada Usila dengan keluhan Berkemih setiap setiap jam atau < 1 jam
Wilcoxon Signed Ranks Test Ranks N Sesudah_Terapi_ Behavioral - Sebelum_ Terapi_Behavioral
Negative Ranks Positive Ranks Ties Total
0a 2b 13c 15
Mean Rank .00 1.50
a. Sesudah_Terapi_Behavioral < Sebelum_Terapi_Behavioral b. Sesudah_Terapi_Behavioral > Sebelum_Terapi_Behavioral c. Sesudah_Terapi_Behavioral = Sebelum_Terapi_Behavioral Test Statisticsb
Z Asymp. Sig. (2-tailed)
Sesudah_ Terapi_ Behavioral Sebelum_ Terapi_ Behavioral -1.414a .157
a. Based on negative ranks. b. Wilcoxon Signed Ranks Test
Sum of Ranks .00 3.00
Analisis Efektivitas Terapi Behavioral terhadap Inkotinensia Urin pada Usila dengan keluhan sering merasa sangat ingin berkemih secara tiba-tiba
Wilcoxon Signed Ranks Test Ranks N Sesudah_Terapi_ Behavioral - Sebelum_ Terapi_Behavioral
Negative Ranks Positive Ranks Ties Total
0a 1b 14c 15
Mean Rank .00 1.00
a. Sesudah_Terapi_Behavioral < Sebelum_Terapi_Behavioral b. Sesudah_Terapi_Behavioral > Sebelum_Terapi_Behavioral c. Sesudah_Terapi_Behavioral = Sebelum_Terapi_Behavioral Test Statisticsb
Z Asymp. Sig. (2-tailed)
Sesudah_ Terapi_ Behavioral Sebelum_ Terapi_ Behavioral -1.000a .317
a. Based on negative ranks. b. Wilcoxon Signed Ranks Test
Sum of Ranks .00 1.00
Analisis Efektivitas Terapi Behavioral terhadap Inkotinensia Urin pada Usila dengan keluhan mengompol ketika batuk, tertawa, bersin, berlari, atau melompat
Wilcoxon Signed Ranks Test Ranks N Sesudah_Terapi_ Behavioral - Sebelum_ Terapi_Behavioral
Negative Ranks Positive Ranks Ties Total
0a 3b 12c 15
Mean Rank .00 2.00
a. Sesudah_Terapi_Behavioral < Sebelum_Terapi_Behavioral b. Sesudah_Terapi_Behavioral > Sebelum_Terapi_Behavioral c. Sesudah_Terapi_Behavioral = Sebelum_Terapi_Behavioral Test Statisticsb
Z Asymp. Sig. (2-tailed)
Sesudah_ Terapi_ Behavioral Sebelum_ Terapi_ Behavioral -1.732a .083
a. Based on negative ranks. b. Wilcoxon Signed Ranks Test
Sum of Ranks .00 6.00
Analisis Efektivitas Terapi Behavioral terhadap Inkotinensia Urin pada Usila dengan keluhan merasa nyeri saat atau setelah buang air kecil
Wilcoxon Signed Ranks Test Ranks N Sesudah_Terapi_ Behavioral - Sebelum_ Terapi_Behavioral
Negative Ranks Positive Ranks Ties Total
0a 2b 13c 15
Mean Rank .00 1.50
a. Sesudah_Terapi_Behavioral < Sebelum_Terapi_Behavioral b. Sesudah_Terapi_Behavioral > Sebelum_Terapi_Behavioral c. Sesudah_Terapi_Behavioral = Sebelum_Terapi_Behavioral Test Statisticsb
Z Asymp. Sig. (2-tailed)
Sesudah_ Terapi_ Behavioral Sebelum_ Terapi_ Behavioral -1.342a .180
a. Based on negative ranks. b. Wilcoxon Signed Ranks Test
Sum of Ranks .00 3.00