Inilah Tiga Hal yang Dibahas dalam Rapat Rektor PTN seJatim UNAIR NEWS – Sebanyak sepuluh pimpinan perguruan tinggi negeri (PTN) di Jawa Timur hadir dalam forum “Rapat Kerja Paguyuban Rektor Perguruan Tinggi Negeri se-Jawa Timur”, Selasa (31/1). Acara dilangsungkan di Gedung Pembangunan Nasional Veteran.
Technopark,
Universitas
Kesepuluh PTN yang hadir itu adalah Universitas Airlangga, Institut Teknologi 10 Nopember, Universitas Brawijaya, Universitas Jember, Universitas Trunojoyo, Universitas Negeri Malang, Universitas Negeri Surabaya, Universitas Negeri Malang, Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang, dan UPN sebagai tuan rumah. Dalam forum yang dipimpin oleh Rektor UNEJ Drs. Moh. Hasan, M.Sc., Ph.D selaku Koordinator Paguyuban Rektor PTN se-Jatim membahas sejumlah poin penting. Yakni, pengadaan bersama jurnal dan buku elektronik, penerbitan buku yang berisi keunggulan PTN se-Jatim, serta penelitian dan publikasi bersama. Terkait pengadaan bersama jurnal dan buku elektronik, saat ini, total anggaran untuk berlangganan jurnal elektronik dan buku elektronik pada 11 perguruan tinggi mencapai Rp 25 miliar. Di UNAIR sendiri, total anggaran mencapai Rp 5,3 miliar, masing-masing adalah Rp 4,1 miliar dan Rp 1,2 miliar. Rektor UNAIR Prof. Dr. M. Nasih, S.E., M.T., Ak, ketika ditemui usai pertemuan tersebut menyampaikan bahwa pengadaan bersama jurnal dan buku elektronik di PTN se-Jatim memakan biaya yang besar. Untuk itu, diperlukan formula yang efektif dan tepat agar biaya berlangganan jurnal menjadi efisien. Solusinya, adalah membentuk konsorsium untuk bersama-sama
berlangganan jurnal. Hanya saja, titik temu pembahasan mengenai pengadaan bersama jurnal dan buku elektronik masih belum disepakati. “Kita tidak bikin satu langganan untuk semua di Jawa Timur sehingga kita bisa dapat jurnal-jurnal yang bervariasi. Tapi masih belum diputuskan di sini. Kita tidak mungkin biarkan teman-teman yang belanjanya hanya Rp 150 juta, kemudian harus tetap segitu, kan nggak ada efeknya. Teman-teman yang belanjanya masih kecil ya kita dorong untuk naik lagi tapi tidak perlu untuk sama seperti UNAIR yang sampai Rp 4 miliar. Biar UNAIR turun, sedangkan yang lain naik sedikit,” tutur Nasih. Dalam forum tersebut, UNAIR ditunjuk menjadi koordinator penerbitan buku yang berisi keunggulan PTN se-Jatim, serta penelitian bersama di bidang sosial dan humaniora. Nantinya, buku itu berisi tentang keunggulan masing-masing PTN se-Jatim. Wakil Rektor IV UNAIR Junaidi Khotib, Ph.D., yang ditemui di sela-sela acara menuturkan, pihaknya tidak membatasi konten dalam buku itu dengan alasan diversifikasi perguruan tinggi. “Ada yang unggul di bidang agribisnis, atau ada juga yang unggul di bidang health sciences (ilmu kesehatan, red). Dan ketika itu menjadi satu buku, itu menjadi kekuatan bahwa perguruan tinggi negeri di Jawa Timur itu memiliki sesuatu yang dibanggakan,” imbuhnya. Targetnya, pada bulan Maret, buku tersebut akan naik cetak di penerbitan. Terkait dengan penelitian dan publikasi bersama di jurnal internasional terindeks Scopus atau Thomson Reuters, diakui Junaidi, lektor kepala dan profesor yang sudah terbiasa untuk mempublikasikan penelitian, hal tersebut bukan masalah besar. Namun, bagi yang belum terbiasa, itu menjadi masalah. Oleh sebab itu, kolaborasi riset dan publikasi antar perguruan tinggi negeri harus ditingkatkan. Ia mencontohkan, dalam satu tim peneliti yang menggunakan
anggaran program riset mandat UNAIR, maka ketua tim peneliti berasal dari UNAIR, sedangkan anggota lainnya berasal dari PTN lain. “Setiap grant-nya kan Rp 250 juta. Maka peneliti utama diberikan pada UNAIR, sementara tim peneliti harus mengambil dari peneliti dari perguruan tinggi lain yang termasuk dalam paguyuban ini,” terang dosen Fakultas Farmasi. Sebelumnya, kolaborasi peneliti antar perguruan tinggi adalah hal biasa. Hanya saja, melalui forum ini, kolaborasi penelitian dan publikasi bersama termasuk dalam agenda program agar bisa segera diakselerasi. (*) Penulis: Defrina Sukma S
Perisai Diri UNAIR Borong Piala di Kejuaraan Tingkat Jawa Timur UNAIR NEWS – Unit Kegiatan Mahasiswa Perisai Diri Universitas Airlangga menorehkan prestasi. Kali ini (30/10), UKM Perisai Diri UNAIR mengikuti Kejuaraan Perisai Diri antar Perguruan Tinggi dan Ranting tingkat Provinsi Jawa Timur. Dalam kejuaraan yang diadakan di Universitas Negeri Malang tersebut, UKM Perisai Diri UNAIR berhasil mendapatkan delapan piala. Untuk Piala Juara I didapat dari kategori Kelas D Putri Remaja, Kelas D Putri Dewasa, Beregu Teknik Asli Minang Dewasa dan Beregu Teknik Asli Minang Remaja. Sementara untuk perolehan Piala Juara II didapat dari kategori Berpasangan teknik Gabungan Remaja. Selain itu, UKM Perisai Diri UNAIR juga meraih posisi nomor tiga di kategori
Berpasangan Teknik Gabungan Dewasa, Jurus tunggal IPSI Remaja, dan Kelas C Putri Remaja. Salah satu anggota UKM Perisai Diri UNAIR, Yaniar Sari Raharjo mengatakan bahwa persiapan timnya untuk kejuaraan tersebut hanya membutuhkan waktu dua minggu. Beruntung, selama latihan tidak ada anggota yang mengalami cedera. Senada dengan Yaniar, Ketua UKM Perisai Diri UNAIR Alfiyani Syahriah menambahkan, persiapan latihan cuma memakan sedikit waktu karena bertepatan dengan Ujian Tengah Semester. Kendati demikian, UKM Perisai Diri UNAIR tak menyurutkan hasrat untuk mengharumkan almamater tercinta. “Kendalanya sangat banyak. Mulai dari persiapan latihan yang hanya dua minggu, delegasinya tidak ada, hingga pelatih yang berhalangan untuk melatih kita,” ujar Alfiyani. Ke depan, Yaniar dan Alfiyani berharap anggota UKM Perisai Diri UNAIR semakin bertambah untuk menambah regenerasi anggota. Selain itu, UKM Perisai Diri UNAIR juga diharapkan lebih semangat untuk berlatih agar tetap terus menorehkan prestasi untuk almamater tercinta. “Kan enak kalau anggotanya banyak. Kalau di kejuaraan bisa ikut ke banyak nomor kategori, dan peluang menang juga lebih besar,” pungkas Yaniar. (*) Penulis : Faridah Hariani Editor : Dilan Salsabila
Eksistensi
dan
Pesona
Kesenian Tradisional Kentrung di Blitar Berada di bawah kaki Gunung Kelud, Desa Dayu Kabupaten Blitar menyimpan pesona kesenian tradisional kentrung yang masih eksis hingga saat ini. Kelompok kesenian tersebut yaitu Tri Santoso Budoyo, dengan dalangnya yang bernama Adam Sumeh. Kesenian tradisional kentrung ini tepatnya terdapat di dusun Dayu Dukuh Sanan, Nglegok, Blitar. Kelompok kesenian kentrung ini masih tetap eksis, dan sering memenuhi undangan untuk tampil di berbagai pertunjukan dan hajatan, terhitung sejak berdirinya sekitar tahun 1990 silam. Menonton kentrung sama halnya dengan menonton ketoprak dan juga merupakan hiburan tersendiri. Selain itu, kita dapat mengambil pesan dari lakon atau cerita yang dibawakan sang dalang. Lakon yang dibawakan merupakan tokoh-tokoh heroik yang berasal dari Jawa, yang tentunya memiliki pesan moral yang dapat diambil. Kentrung merupakan kesenian tradisional yang mencoba melestarikan cerita rakyat yang bernafas Islam asli dari Jawa Timur. Komposisi dari pertunjukan kentrung ini yaitu dalang sebagai pencerita utama lakon yang sekaligus memaninkan alat musik kendhang, dibantu oleh dua orang panjak yang memainkan alat musik berupa rebana dan templing, seorang penabuh saron, serta seorang sinden. Beberapa lakon yang sering dibawakan yaitu kisah-kisah Wali Sanga, Jaka Tinggir, Aryo Blitar, dan berbagai cerita khas Jawa lainnya. Cerita-cerita tersebut ia bumbui dengan lawakan dan guyonan. Sehingga para penonton selain mendapat unsur edukasi melalui cerita yang dibawakan, juga terhibur karena lawakan-lawakannya. Hal yang membuat kelompok kesenian ini tetap eksis hingga saat ini yaitu kegigihan sang dalang Adam Sumeh, dalam usaha melestarikan kesenian kentrung. Sang dalang pandai menginovasi
pertunjukannya, hingga tetap dapat dinikmati meskipun zaman sudah semakin modern. Berbagai inovasi tersebut ia lakukan agar pertunjukan tidak monoton sehingga gampang menyebabkan penonton bosan. Selain itu, visi sang dalang dalam berkesian juga sangat berpengaruh. Sang dalang berkesian bukan sematamata untuk mencari uang atau untuk menopang penghidupannya. Namun untuk nguri-nguri budoyo, ngibadah, dan sekaligus bekerja. Menurut salah satu penanggap yang pernah penulis temui, kesenian ini juga dapat menjadi daya tarik untuk menarik dan menghimpun masa. Hal ini yang kemudian menyebabkan berbagai permintaan tanggapan sering datang dari berbagai daerah di Blitar. Hajat tanggapannya pun bermacam-macam. Ada yang dalam rangka syukuran, khitanan, tahun baruan, bahkan untuk menarik masa dalam rangka kampanye politik. Yang membedakan antara keseniannya dengan kesenian kentrung yang lain selain jumlah personil yang lebih banyak, pada kesenian ini juga disisipkan campursari, sebagai salah satu hiburan yang juga khas Jawa, yang menambah kesan ramai pada pertunjukan. Dulunya, kesenian ini pernah dilombakan di Gedung Budaya Cak Durasim Surabaya, dan mendapatkan juara satu se-Jawa Timur. Di tempat yang sama, sang dalang juga pernah mengajar berkesian Kentrung mahasiswa-mahasiswa penggiat seni pada tahun 2011. Untuk para penggiat dan pemerhati kesian saat ini, seyogianya bukan hanya mempelajari iilmu dan teorinya saja, namun juga ikut memikirkan kelangsungan eksistensi berbagai kesenian tersebut di masa mendatang. Hal tersebut agar kekayaan budaya bangsa tidak semakin punah seiring dengan perkembangan zaman. (*)