Ingin Tinggal di Asrama Putri? Baca Syarat-Syarat Ini UNAIR NEWS – Asrama Putri merupakan fasilitas dari UNAIR sebagai tempat tinggal mahasiswi aktif dari luar kota. Asrama putri terletak di kampus C. Tepatnya, di depan Fakultas Keperawatan. Gedung yang terdiri dari tiga lantai tersebut setiap tahun menampung mahasiswi yang membutuhkan tempat tinggal. Fasilitasnya antara lain, kamar yang muat untuk dua orang. Di sana terdapat tempat tidur, meja belajar, lemari dan rak sepatu. Dapur umum digunakan untuk memasak bagi para penghuni asrama. Aula bersama digunakan sebagai tempat belajar dan sholat berjama’ah. Ada pula kantin di lantai dua, koperasi, dan layanan wifi. Mahasiwi yang ingin tinggal di asrama putri harus melakukan pendaftaran. Ada sejumlah syarat yang mesti dipenuhi. Misalnya, yang bersangkutan mesti tercatat sebagai mahasiswi UNAIR. Dia mesti mengisi formulir pendaftaran dan melampirkan slip gaji orang tua. Asrama putri mengutamakan mahasiswi yang kurang mampu. Sebagian besar penghuni asrama adalah penerima bidik misi. Hal ini dilakukan karena asrama tersebut memang dibangun untuk membantu dan meringankan mahasiswi yang lebih membutuhkan. Tiap penghuni hanya dapat menempati asrama selama setahun. Dia dapat kembali menghuni tempat itu, bila melakukan daftar ulang. Akan tetapi, batas maksimal menjadi penghuni asrama adalah dua tahun. Tak hanya menjadi tempat tinggal, asrama putri juga mendidik pribadi untuk disiplin dan aktif. Hal ini terbukti dengan
adanya peraturan-peraturan yang diterapkan. Contohnya, saat malam hari, penghuni asrama harus sudah berada di asrama sebelum pukul 10.00. Apabila melanggar, namanya masuk dalam buku pelanggaran. Jika mahasiswa memiliki banyak catatan pelanggaran, sedikit kemungkinannya untuk diterima kembali menjadi penghuni pada periode selanjutnya. Selain itu, kontribusi mahasisiwi dalam kegiatan yang diadakan oleh pihak asrama menjadi pertimbangan dalam pendaftaran selanjutnya. Kegiatan-kegiatan yang diadakan antara lain, seminar softskill tiap tiga bulan. Ada juga pengajian rutin tiap Rabu. Yang jelas, semua aktifitas itu digelar untuk menguatkan pribadi mahasiswi. Biar menjadi pemudi yang disiplin dan berbudi luhur. (*) Penulis: Pipin Anjani Editor: Rio F. Rachman
Internet Tidak Membunuh Koran, Pembunuhnya adalah Pemilik dan Pekerjanya Senjakala media cetak akhir-akhir ini ramai diperbincangkan. Tulisan wartawan Kompas Bre Redana, Inikah Senjakala Kami…, berisi curhatan yang terkesan menyalahkan internet dan jurnalis online. Dari tulisan itu bisa digarisbawahi, jika dia tidak melakukan apa-apa untuk menyelamatkan industrinya. Dia hanya mengeluh dan tidak melakukan apapun. Sebenarnya,
isu
senjakala
media
cetak
sudah
ramai
diperbincangkan terutama di Amerika Serikat dan Inggris sejak 2009. Pangkalnya, penurunan jumlah pendapatan iklan dan jumlah pelanggan. Di Kongres WAN-IFRA (Asosiasi Surat Kabar Dunia), tema-tema yang diangkat adalah seputar bagaimana industri media cetak menghadapi era digital. Mereka tidak lagi berdiskusi bagaimana membuat berita yang bagus atau bagaimana etika jurnalis dalam mencari berita. Fokus mereka cuma satu: bagaimana industri media cetak bisa selamat dari kepunahan. Pada beberapa Kongres WAN-IFRA yang saya ikuti, para pembicara dari koran-koran seperti New York Times, Washington Post, The Wall Street Journal memaparkan model-model bisnis media online masing-masing. Banyak juga yang memaparkan bagaimana membuat konten-konten yang disukai pembaca online. Misalnya, video dan podcast. Intinya, media online digarap serius dan disinergikan dengan media cetak. Koran Masih Bisa Hidup Di tengah kematian koran-koran Amerika, pemilik Amazon, Jeff Bezos, membeli Washington Post senilai 250 juta dollar. Nah, hal ini membuktikan, ada orang yang berani ambil resiko membeli koran. Padahal, biaya yang dibutuhkan sangat besar. Di sisi lain, bagi sebagian orang, ternyata koran masih punya peluang bisnis. The New York Times, Wall Street Journal, Financial Times melakukan bisnis freemium. Konten-konten di website mereka bisa dinikmati secara gratis. Meski hanya sebagian. Jika ingin menikmati semua konten, mereka harus membayar setiap bulannya. Satu hal yang saya tangkap adalah usaha mereka beradaptasi di era digital. Mereka menganggap era ini sebagai peluang dan bukannya ancaman. Hasilnya, The New York Times mempunyai pelanggan digital di atas satu juta. The Guardian menangkap peluang dengan membuat
event-event atau workshop jurnalisme yang hanya bisa diakses jika pembaca menjadi member. Bagi yang ingin menjadi member, mereka harus membayar biaya bulanan. Masih banyak koran yang bertahan dengan membuat model bisnis yang benar-benar baru. Mereka tidak hanya melakukan cara konvensional dengan menjual oplah dan iklan cetak saja. Adaptasi atau Mati Seperti homo sapiens yang berevolusi dengan cara beradaptasi, koran harus melakukannya. Jika tidak, koran akan mati. Hanya yang kuat yang bertahan. Koran tidak boleh berpikir sebagi newspaper semata. Lebih dari itu, harus menjadi news brand. Koran bukan media nomor satu. Tapi, harus disinergikan dengan media-media di bawah brand itu. Sebuah media tidak hanya menjual berita apa adanya. Tapi, harus mengemasnya dengan mengkolaborasikannya.
konten-konten
menarik
dan
Konten-konten berita, video, audio, infografis, harus dibuat sedemikian rupa disesuaikan dengan karakter pembacanya. Konten media cetak tentu beda dengan konten media online. Karena, karakteristik pembacanya berbeda. Tapi, bukan berarti kualitas media online dibuat lebih buruk dibanding media cetaknya. News brand akan mengemas konten-konten itu di bawah brand sebuah koran dengan kualitas sama. Tantangan Generasi Tanpa Koran Generasi sekarang tidak tumbuh dengan koran. Mereka besar bersama gadget. Ketika dewasa, mereka tidak akan mengingat koran. Sekarang koran masih ada, bagaimana dengan lima atau sepuluh tahun mendatang? Radio yang dulu diramal mati saat televisi muncul. Akhirnya,
bisa beradaptasi. Mobil yang menolong mereka. Meski pendengar radio menurun, pengguna mobil masih membutuhkan radio untuk menemani perjalanannya. Bagaimana dengan koran? Adaptasi apa yang mesti dilakukan? Inilah tugas para pemilik media dan para pekerjanya. Sayang, banyak pemilik koran di sini yang tidak paham dunia online. Banyak yang membuat media online asal-asalan dengan kualitas lebih buruk dibanding media cetaknya. Akhirnya, media online tidak memberi value apa-apa kepada media cetaknya. Kesadaran Pemilik Koran Saat
saya
bekerja
di
media
online
sebuah
koran,
saya
dihadapkan kepada pemiliknya yang tidak paham dunia digital. Dia masih menganggap koran produk media nomer satu di atas media online. Koran baginya masih dalam masa keemasan. Memang, harus diakui jika pendapatan paling besar berasal dari koran. Namun, jumlah revenue iklan dan jumlah pelanggan yang terus menurun serta makin banyaknya orang menyukai berita online, menjadikan anggapan pemilik media itu sebagai utopia. Pada awal saya dan tim membangun media online koran tersebut. Saya mempunyai visi membangun media online berkualitas sama dengan media cetaknya. Saya ingin membuat media online dengan konten-konten menarik serta bervariatif dengan cara elegan. Traffic memang penting tapi bukan itu tujuan utama. Tujuan paling penting adalah meningkatkan value brand koran tersebut di dunia digital. Karena selama ini, brand koran itu masih kalah populer dibanding koran-koran lain. Dengan meningkatnya value brand, diharapkan muncul kepercayaan. Traffic bisa mengikuti. Dari situ kita mulai memikirkan model bisnisnya. Ini jelas membutuhkan waktu lama. Rupanya, visi pemilik koran itu tidak sama dengan visi saya. Dia terbuai dengan traffic yang tinggi tanpa memperdulikan
kualitas berita. Media online yang semula berkualitas sama dengan korannya, diturunkan derajatnya dengan menyajikan berita-berita bombastis dan murahan seperti berita seks dan kriminal dengan judul-judul kacangan. Berita-berita yang “dijual” tidak mengindahkan etika jurnalisme yang baik. Kualitasnya jauh dibanding korannya. Kemudian saya memutuskan keluar. Pemilik koran harus sadar jika media cetak di ambang kepunahan. Koran adalah bisnis yang sudah dekat dengan garis finish. Jika masih dininabobokkan dengan kejayaan dan tidak melakukan tindakan apapun, garis finish sendiri yang akan mendekati koran. Andil Pekerja Membunuh Koran Isu senjakala media cetak ditanggapi beragam oleh para jurnalisnya. Ada yang menyalahkan internet, ada yang tidak percaya adanya isu itu. Sebenarnya, jurnalis koran punya andil mempercepat kepunahan koran. Banyak berita yang ditulis sama dengan berita online, mulai angle berita maupun pemilihan judul. Bahkan ada yang “mencopas” berita online. Ini menimbulkan pertanyaan: jika sama, kenapa orang harus membeli koran? Toh orang bisa membaca media online secara gratis. Koran sudah kalah cepat dengan online. Jika koran kualitasnya sama dengan media online, maka habislah riwayat koran. Orang tak akan lagi mencarinya. Majalah Tempo selalu dicari karena menyajikan angle-angle yang tidak didapat di media online. Koran harus dibuat seperti itu. Tentu tugas jurnalis koran untuk membuat konten-konten yang membuat orang rela membelinya. Beberapa tahun ke depan, penetrasi internet di masyarakat kita akan jauh lebih kuat. Masyarakat akan terbiasa dengan gadget.
Internet akan mudah diakses. Tujuan internet hadir adalah memberi kemudahan kepada masyarakat untuk mengakses informasi. Imbasnya, koran bukan sumber informasi paling penting. Kendali di tangan pembaca. Ini tantangan yang harus dihadapi koran. Beberapa waktu lalu, pemilik Koran Sinar Harapan menutup korannya. Sebelumnya, Harian Bola juga ditutup. Internet tidak lahir untuk membunuh koran. Tapi pemilik koranlah yang selama ini membunuhnya pelan-pelan, tentu dengan “bantuan” pekerjanya. (*)
Aktif Berorganisasi, Jangan Jadi Mahasiswa “Kupu-Kupu” UNAIR NEWS – Menjadi mahasiswa yang aktif dalam kegiatan kampus dan beroganisasi sangat menunjang karir di masa mendatang. Sebab, berorganisasi akan mengasah softskill yang ada dalam diri masing-masing. Sayangnya, tak banyak mahasiswa yang mau untuk menjadi mahasiswa yang aktif dalam mengembangkan softskil. Sebaliknya, malah asyik menjadi mahasiswa kupu-kupu (kuliah pulang-kuliah pulang). Wakil BEM (Badan Eksekutif Mahasiswa) Fakultas Perikanan dan Kelauatan Unair, Faris Kukuh Harwinda, mengungkapkan, aktif beroganisasi di masa-masa kuliah mempunyai banyak manfaat. “Dengan berorganisasi kita belajar memecahkan ragam masalah. Tidak hanya berkutat soal akademik bangku kelas kuliah,” kata dia. “Selain itu, berorganisasi juga membuka peluang kita untuk bisa berkenalan dengan orang-orang hebat,” imbuh staf LPM Mercusuar UNAIR tersebut. Ada beberapa hal yang juga harus diperhatikan. Antara lain, soal niat. Ya, niatkan semua yang kita lakukan adalah untuk
Tuhan, Bangsa dan Almamater. Selalu resapi motivasi ini ketika akan berkegiatan. Di samping itu, biasakanlah untuk tidak sering pulang ke rumah atau kost. Berkegiatan yang positif di kampus akan lebih membentuk diri menjadi seseorang yang berkarakter. Kalau rasa malas mulai menghantui, ingatlah orang tua yang sudah membiayai kehidupan sejak kecil. “Bila semua dilakukan berdasarkan passion, pasti akan lebih enjoy,” tambahnya. Jadilah mahasiswa yang cerdas baik di sisi akedemik maupun non akademik. Di luar sana, ada banyak yang memiliki nilai akademik baik. Maka, jadilah berbeda dengan kapabilitas poin non akademik. salah satunya, dengan berorganisasi. Penulis: Silda Damayanti Editor: Rio F. Rachman
Senin Besok, Proses SNMPTN Dimulai UNAIR NEWS – Mulai Senin (18/1) besok, proses seleksi nasional masuk perguruan tinggi negeri (SNMPTN) tahun 2016 mulai dilaksanakan. Pada tanggal tersebut para kepala sekolah sudah bisa mengisi pangkalan data sekolah dan siswa (PDSS). Seperti diketahui dalam pelaksanaan SNMPTN ini tiap sekolah diberi jatah berbeda dalam mendaftarkan siswanya. Rektor Universitas Airlangga Prof. Dr. Mohammad Nasih, SE., MT., Ak, dengan keterangannya kepada wartawan, di ruang kerjanya, Sabtu (16/1) siang menjelaskan bahwa sekolah dengan status akreditasi A diberikan jatah 75 persen untuk mendaftarkan pelajar kelas XII di sekolahnya dalam SNMPTN
2016. “Artinya, apabila ada 100 pelajar kelas XII, maka sekolah dengan status akreditasi A itu bisa mendaftarkan 75 muridnya,” tutur Rektor UNAIR. Sekolah dengan status akreditasi B diberikan jatah 50% untuk mendaftarkan pelajar kelas XII dalam SNMPTN 2016. Begitu pula sekolah dengan status akreditasi C memiliki jatah 20%, dan sekolah dengan status akreditasi lainnya memiliki jatah 10%. Lain halnya dengan pelaksanaan Seleksi Bersama Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SBMPTN). Pelaksanaan SBMPTN dilakukan dengan dua cara, yaitu computer based testing (CBT) dan paper based testing (PBT). Dijelaskan oleh Rektor UNAIR Surabaya itu, kuota pelaksanaan SBMPTN dengan cara CBT untuk pendaftar SBMPTN masih dibatasi pada angka sepuluh ribu pendaftar. “Kenapa sepuluh ribu? Kita belum bisa memfasilitasi kebutuhan komputer. Masing-masing perguruan tinggi memiliki jumlah komputer yang terbatas,” ujar Prof. Nasih. Wilayah tes SBMPTN dengan CBT masih belum ditentukan. Untuk itu dikatakan masih ada hal-hal yang perlu dievaluasi. Namun dalam hal ini UNAIR siap membantu sebanyak 500 komputer dalam proses pelaksanaan SBMPTN dengan CBT. Daya Tampung UNAIR Pada seleksi penerimaan mahasiswa baru jenjang sarjana (S1) tahun 2016 ini UNAIR memiliki daya tampung sekitar 5.200 kursi. Walaupun belum bisa dikatakan sebagai jumlah yang pasti. Tetapi secara persentase alokasi kursi untuk SNMPTN tersebut diatur sesuatu ketentuan nasional bagi semua PTN peserta seleksi nasional, yakni jalur SNM-PTN kuotanya minimal 40%, SBMPTN minimal 30%, dan jalur mandiri maksimal 30% dihitung dari kapasitas daya tampung masing-masing PTN. Salah satu pembeda dalam proses seleksi penerimaan mahasiswa
baru tahun 2016 dengan tahun-tahun sebelumnya adalah siswa yang kurang mampu secara ekonomi diperbolehkan masuk melalui jalur mandiri, namun tetap dikenai uang kuliah tunggal golongan satu (I). “Hal ini juga berlaku bagi mereka yang berada di wilayah 3T (Terluar, Terdepan, Tertinggal). Mereka yang kurang mampu mungkin saja saat bersekolah kurang fokus karena harus membantu orang tua dan sebagainya. Kalau mereka mendaftar melalui jalur SNMPTN, mereka akan tereliminasi karena rankingnya kurang. Pada jalur SBMPTN pun mereka bisa tersingkir karena seleksinya lebih ketat,” kata Prof. Nasih, Guru Besar Ilmu Akuntansi Fakultas Ekonomi dan Bisnis UNAIR itu. Untuk itu, Rektor UNAIR mengimbau kepada para kepala sekolah untuk mendaftarkan siswa/siswinya yang kurang mampu, tetapi memiliki potensi akademik dan non-akademik yang baik pada beasiswa Bidikmisi, termasuk pada jalur mandiri. Seperti diketahui sejak dua tahun silam atas penunjukkan Kemendikbud, UNAIR diminta membuka Program Studi Diluar Domisili (PDD) di Kab. Banyuwangi, yang sementara untuk empat program studi: yaitu Akuntansi, Kesehatan Masyarakat, Kedokteran Hewan, dan Perikanan dan Kelautan. Tetapi pada penerimaan mahasiswa baru tahun 2016 ini, lanjut Prof. Nasih, UNAIR PDD Banyuwangi itu hanya akan menerima mahasiswa baru lewat jalur SBMPTN dan Jalur Mandiri. “Hal ini karena fasilitas yang tersedia saat ini belum siap untuk menambah daya tampung lebih banyak dari tahun sebelumnya,” katanya. (*) Penulis : Defrina Sukma S.
Prof. Pantja: Mempertahankan Sapi Lokal untuk Cadangan Konsumsi UNAIR NEWS – Problem tentang ketersediaan daging sapi akan terus menjadi berita terhangat bagi publik, terutama menjelang hari-hari besar seperti Idul Fitri dan Idul Adha. Pada harihari besar itu, konsumsi daging sapi akan melonjak. Kelangkaan daging akan mengakibatkan kenaikan harga jual meski tidak terjadi secara merata di Indonesia. Untuk menghindari kelangkaan daging, Prof. Dr. drh. Sri Pantja Madyawati, M.Si, menjelaskan bahwa pemerintah harus melakukan terobosan program yang signifikan dalam pembangunan peternakan sapi. Peternakan sapi itu diperkuat dengan ‘melestarikan’ sapi-sapi lokal. Ungkapan itu ia sampaikan dalam orasi ilmiahnya saat prosesi pengukuhan guru besar. Orasi ilmiah berjudul Penguatan Ilmu Fisiologi Reproduksi Veteriner untuk Mempertahankan Diversitas Fauna dalam Mencapai Swasembada Ternak Sapi Indonesia, disampaikan oleh Prof. Pantja dalam pengukuhan dirinya sebagai Guru Besar bidang Fisiologi Reproduksi, Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Airlangga. Pengukuhan dilaksanakan di Aula Garuda Mukti, Kantor Manajemen UNAIR, Sabtu (16/1). Tingginya harga daging sapi yang disebabkan kelangkaan itu mengakibatkan beralihnya pilihan konsumen kepada produk yang lain. Padahal, daging sapi memiliki kandungan protein hewani yang dibutuhkan oleh tubuh. Guru Besar ke-444 UNAIR mengutip sejumlah data yang dimuat pada media massa. Pada tahun 2009, tingkat konsumsi daging sapi masyarakat Indonesia masih rendah jika dibandingkan dengan negara lain. Pada tahun 2009, tingkat konsumsi daging sapi di Indonesia 1,88 kilogram per kapita per tahun. Data
terakhir pada tahun 2014, tingkat konsumsi daging sapi di Indonesia sebesar 2,56 kg per kapita per tahun. Oleh karena itu, untuk mendorong tingkat konsumsi daging, dibutuhkan ketersediaan daging yang melimpah di pasaran. Memperbanyak stok daging pada akhirnya akan mempengaruhi harga menjadi lebih terjangkau oleh masyarakat. Sebagai Guru Besar bidang Fisiologi Reproduksi, Prof. Pantja berpendapat bahwa produktivitas dan populasi sapi lokal perlu ditunjang oleh tiga faktor, yaitu breeding (pembiakan), feeding (makanan), dan management (manajemen). Faktor breeding dalam reproduksi seekor sapi betina untuk menghasilkan pedet dengan menggunakan bibit unggul dari sapisapi lokal Indonesia. Dengan pembibitan unggul, maka keanekaragaman sapi lokal di Indonesia dapat dipertahankan. Pembiakan itu dapat memanfaatkan teknologi reproduksi, seperti teknik sinkronisasi birahi, superovulasi, teknik inseminasi dengan menggunakan semen beku, dan pemanfaatan teknik embrio transfer. Pemerintah pusat maupun daerah sama-sama memiliki program untuk pembibitan dan penggemukan sapi. Pada tahun 2015, misalnya, Direktorat Jenderal Peternakan mencanangkan pendirian Sentra Pembibitan Ternak dan program penggemukan sapi secara terpadu, terencana, menyeluruh, dan berkesinambungan. Namun, bagi Prof. Pantja, kebijakan pembibitan dan penggemukan sapi belum dilaksanakan secara terpadu di semua lini. “Tahun 2015, FKH UNAIR, ditunjuk oleh Direktur Kesehatan Hewan, Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan, Kementerian Pertanian, sebagai tim penanggulangan gangguan kesehatan reproduksi. Seharusnya tim penanggulangan gangguan kesehatan reproduksi ini berdampingan dengan kegiatan getak birahi dan inseminasi buatan,” tuturnya.
“Inseminasi buatan dan kawin suntik pada ternak itu dilakukan apabila tidak ada cacatnya dalam tubuh sapi. Tapi kalau tidak normal, seperti gangguan reproduksi, ini harus dilakukan berkesinambungan atau berkaitan,” imbuh Guru Besar aktif ke-21 FKH UNAIR. Dari orasi ilmiah Prof. Pantja, ia menyampaikan bahwa Indonesia kaya akan jenis sapi lokal. Oleh karena itu, sapi lokal itu harus dilestarikan. “Sapi lokal kita, baik dari Nusa Tenggara Timur sampai Aceh, itu perlu diberdayakan. Caranya? Dengan teknik inseminasi buatan. Itu adalah salah satu cara membiakkan ternak-ternak sapi lokal yang ada di daerah masing-masing. Kita dari akademisi akan membantu proses pencapaian peningkatan populasi,” tegas Guru Besar ke-152 sejak UNAIR PTN-BH.(*) Penulis : Defrina Sukma S.
Prof. Anwar: Inovasi Peternakan Bisa Kendalikan Penyakit pada Hewan UNAIR NEWS – Prof. Dr. Anwar Ma’ruf, M.Kes, drh., dalam pengukuhannya sebagai
Guru
Besar
ke-446
Universitas
Airlangga,
Sabtu
(16/1)
menyampaikan orasi ilmiah berjudul Inovasi Pengendalian Penyakit dan Peningkatan Produksi Ternak Melalui Komunikasi Sel Secara Fisiologi Veteriner. Guru besar UNAIR PTN-BH ke-154 ini mengatakan bahwa dengan mengendalikan komunikasi sel, kita bisa mengendalikan penyakit pada hewan dan meningkatkan produksi ternak.
Seperti halnya manusia yang saling berkomunikasi, sel-sel di dalam jaringan pun saling berkomunikasi untuk menjalankan fungsinya bagi tubuh kita. Sel berkomunikasi melalui pesan kimiawi yang berikatan dengan reseptor protein di permukaan sel atau dalam kondisi tertentu di sitoplasma atau inti sel. Terdapat tiga jenis komunikasi antar sel yang umum, yaitu komunikasi saraf, komunikasi endokrin (hormon), dan komunikasi parakrin (difusi produk sel). Sementara itu, ada juga komunikasi antar sel yang bersifat khusus, yaitu komunikasi autokrin dan jukstakrin. Di dalam komunikasi sel, terdapat reseptor di sel yang tersusun atas protein. “Protein reseptor ini jumlahnya berubah-ubah sebagai respon terhadap berbagai rangsangan,” jelas Prof. Anwar. Pada hewan bersel banyak, terdapat sensor komunikasi sel, yang merupakan mekanisme pengatur untuk mempertahankan lingkungan sel dalam keadaan normal. Kegagalan dalam komunikasi sel dari adaptasi suatu organisme untuk bereaksi secara tepat terhadap rangsangan atau tekanan, menimbulkan gangguan pada fungsi sistem tubuh. “Dalam kondisi sakit, komunikasi ini dalam keadaan menyimpang. Kita bisa mengendalikan komunikasi sel yang tidak normal untuk kembali normal,” papar Guru Besar aktif ke-22 Fakultas Kedokteran Hewan UNAIR ini. Selain untuk pengendalian penyakit, intervensi pada komunikasi sel juga bisa dimanfaatkan untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas produksi ternak. “Dengan mencermati elemen-elemen dalam komunikasi sel secara fisiologi veteriner untuk mempertahankan keadaan normal (homeostatis), dapat dilakukan intervensi pada komunikasi sel yang bertujuan untuk inovasi pengendalian penyakit dan peningkatan produksi ternak,” pungkas Prof. Anwar.(*)
Penulis : Defrina Sukma S.
Prof. Narsa: Akuntan Tak Sekadar Bookkeeper, Tapi Juga Pengambil Keputusan UNAIR NEWS – Dewasa ini, peran akuntan mengalami pergeseran fenomenal. Dulu, akuntan hanya dikenal sebagai auditor, bookkeeper, dan penyedia informasi. Sekarang, profesi akuntan sudah masuk ke lintas sektoral hingga ke puncak pimpinan tertinggi. Pernyataan itu disampaikan oleh Prof. Dr. I Made Narsa, S.E., M.Si., CA, selaku Guru Besar dalam bidang Ilmu Akuntansi, Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Airlangga. Dalam pengukuhannya sebagai Guru Besar FEB UNAIR, Narsa menyampaikan orasi ilmiah berjudul Pergeseran-pergeseran dalam Akuntansi dan Peran Strategis Akuntan untuk Mengawal Tata Kelola yang Baik dan Bersih. Orasi itu disampaikan di Aula Garuda Mukti, Kantor Manajemen, UNAIR, pada Sabtu (16/1). Prof. Narsa dalam pidatonya menyampaikan bahwa seorang akuntan harus memiliki mindset yang berbeda dari sebelumnya. Profesi akuntan harus bisa mengawal pemerintahan yang bersih, berintegritas, dan akuntabel. Secara alamiah, ilmu akuntansi akan berevolusi mengikuti perkembangan lingkungan. Ketika tuntutan perlunya harmonisasi akuntansi di seluruh dunia, akuntansi bergeser dari rule-based ke principle-based. Ketika proses bisnis semakin rumit, dalam akuntansi telah muncul konsep activity based costing. “Ketika isu-isu tentang lingkungan mulai menyeruak, maka akuntansi juga berevolusi dengan melahirkan konsep green accounting dan sustainability reporting. Berkembangnya forensic accounting juga bentuk respon akuntansi terhadap kebutuhan akan pentingnya tata kelola yang baik dan bersih. Akuntansi saat ini bahkan telah berkembang beyond materiality
memasukkan dimensi-dimensi spiritualitas untuk menciptakan nilai bagi stakeholder yang lebih luas,” tutur Guru Besar ke-445 UNAIR. Lingkungan yang dinamis menantang akuntan untuk mengubah mindset. Prof. Narsa mengatakan bahwa akuntan harus sanggup dan mau berperan pada posisi strategis sebagai pengurai masalah, pemimpin perusahaan, dan enabler. Sebagai seorang pengurai masalah, akuntan dituntut untuk mampu berpikir kritis dan kreatif. Penggabungan pemikiran kritis dan kreatif, kata Prof. Narsa, akan memunculkan pandanganpandangan baru dalam memecahkan persoalan bangsa. “Akuntan bukan lagi penyedia informasi, melainkan pengambil keputusan. Akuntan harus terus belajar untuk lihai mengkomunikasikan gagasan, menegosiasikan kemenangan, mengelola human capital, lincah dalam membangun jaringan, dan mampu berhadapan dengan berbagai masalah sosial budaya,” jelas Prof. Narsa yang juga Kepala Perpustakaan UNAIR itu. Presiden RI Joko Widodo bercita-cita menciptakan pemerintahan yang bersih (clean governance). Salah satu indikator bersihnya pemerintahan adalah raihan opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP). Namun, opini WTP tidak menjamin bebas korupsi. Beberapa provinsi, kabupaten, dan kota yang laporan keuangannya mendapat opini WTP dari Badan Pemeriksa Keuangan, justru pejabatnya tertangkap kasus korupsi. “Jika yang memperoleh opini WTP saja belum clean, bagaimana dengan laporan keuangan yang memperoleh opini selain WTP?,” tegasnya. Ia menambahkan bahwa seorang akuntan memiliki tantangan strategis. Menurut Prof. Narsa, tantangan itu adalah memberdayakan semua sumber daya untuk berfungsi secara optimal, efektif dan efisien, serta meningkatkan literasi akuntansi masyarakat.(*)
Penulis : Defrina Sukma S.
UNAIR Kukuhkan Tiga Guru Besar di Awal Tahun 2016 UNAIR NEWS – Pada awal tahun 2016 ini, Rektor Universitas Airlangga mengukuhkan tiga staf pengajar menjadi guru besar. Ketiga guru besar yang dikukuhkan di Aula Garuda Mukti, Kantor Manajemen UNAIR, itu adalah Prof. Dr. drh. Sri Pantja Madyawati, M.Si selaku Guru Besar bidang Fisiologi Reproduksi, Prof. Dr. I Made Narsa, S.E., M.Si., CA, selaku Guru Besar dalam bidang Ilmu Akuntansi, dan Prof. Dr. Anwar Ma’ruf, M.Kes, drh., selaku Guru Besar dalam bidang Fisiologi Veteriner. Sejak UNAIR didirikan pada tahun 1954, secara berurutan ketiganya merupakan guru besar ke-444, 445, dan 446. Namun, sejak UNAIR berstatus perguruan tinggi negeri berbadan hukum (PTN-BH), ketiganya merupakan guru besar ke-152, 153, dan 154. Dalam pengukuhan guru besar kali ini, Ketua Majelis Wali Amanat UNAIR Sudi Silalahi, dan Ketua Senat Akademik UNAIR Prof. Dr. Muhammad Amin, dr., Sp.P(K) turut hadir dalam prosesi tersebut. Selain keduanya, ada juga guru besar tamu dari berbagai perguruan tinggi di Indonesia dan Malaysia seperti diantaranya Universitas Malaysia Kelantan, Universitas Putra Malaysia, Universitas Gadjah Mada, Institut Pertanian Bogor, Universitas Brawijaya. Dalam sambutannya, Rektor UNAIR menunggu kontribusi nyata dari ketiga guru besar yang baru dilantik. “Kita menunggu bagaimana pemikiran itu direalisasikan dan diamalkan. Sehingga, UNAIR bisa berkontribusi secara nyata di bidang swasembada pangan
dan pengambilan keputusan berdasarkan informasi yang tepat,” tutur Rektor UNAIR.(*) Penulis : Defrina Sukma S.
Sejarah Baru, RS UNAIR Lakukan Operasi Aorta Metode TEVAR UNAIR NEWS – Universitas Airlangga menorehkan sejarah baru. Melalui Rumah Sakit Universitas Airlangga (RS UNAIR) kini memiliki metode baru dalam bedah kardiovaskuler. Metode tersebut adalah Thoracic Endo-vascular Aortic Repair (TEVAR), sebuah metode yang baru berkembang di dunia kedokteran sekitar lima tahun belakangan ini. Metode ini minim sayatan karena tidak memerlukan operasi bedah open repair untuk memasukkan thoracic stent graft ke dalam pembuluh darah jantung (aorta). Stent atau alat untuk menyangga aorta yang melebar dimasukkan menggunakan kateter. Sejarah itu terukir Jumat (15/1), saat RS UNAIR melakukan penanganan TEVAR pertama kali pada pasien anorisma (pelebaran pembuluh darah aorta) atas nama Nurul Aminah (55). Penanganan ini dipandu oleh seorang supervisor ahli TEVAR, Dr. Tze Tec Chong, Kepala Departemen Bedah Vaskuler Singapore General Hospital. Dr Chong dikirim oleh Medtronic, sebuah perusahaan alat kedokteran yang memproduksi alat TEVAR tersebut. Dokter senior spesialis bedah torak dan kardiovaskuler UNAIR, Prof. Dr. Med. H. Puruhito, Sp.B-TKV, mengatakan bahwa metode ini di Indonesia belum populer. “Baru ada di Jakarta dan Bandung. Jadi di UNAIR ini yang pertama di Indonesia Timur,”
papar Prof Puruhito. Rektor UNAIR periode 2001-2005 ini menambahkan, dengan metode TEVAR pasien tidak perlu menjalani pembedahan. Hal ini memberikan beberapa keuntungan, diantaranya waktu penanganan lebih singkat, tidak menimbulkan banyak pendarahan, dan pascaoperasi pasien tidak perlu lama-lama menjalani rawat inap di rumah sakit, cukup satu sampai dua hari saja. Dengan TEVAR, pemasangan stent graft hanya membutuhkan waktu satu sampai dua jam, sementara jika menggunakan metode bedah open repair membutuhkan waktu tiga sampai empat jam. Akan tetapi, Prof. Puruhito mengatakan, bahwa biaya TEVAR lebih mahal, berkisar pada Rp 100 juta, sementara dengan pembedahan konvensional hanya Rp 40 – 50 juta. “Karena mahal, TEVAR ini tidak ditanggung BPJS,” tambah Prof. Puruhito. RS UNAIR sendiri telah memiliki fasilitas yang memadai untuk melakukan bedah torak dan kardiovaskuler non-invasive (tanpa luka sayatan) di Catheter Lab. Selain itu, RS UNAIR setidaknya memiliki tiga orang ahli bedah torak dan kardiovaskuler yang mahir menggunakan peralatan endo-vascular, yaitu Prof. Puruhito, dr. Yan Efrata Sembiring, Sp.B-TKV (K), dan dr. Niko Azhari Hidayat, Sp.B-TKV. Sebelumnya, RS UNAIR sudah melakukan lima kali penanganan Endo-vascular Aortic Repair (EVAR), sementara TEVAR baru dilakukan pertama kali ini. Kedepan RS UNAIR akan melayani pasien yang ingin diberikan penanganan TEVAR. (*) Penulis: Inda Karsunawati Editor : Bambang Bes.
Enzim Ciptaan Prof. Nyoman Mampu Hasilkan Kertas Daur Ulang Berkualitas UNAIR NEWS – Mengeksplorasi kekayaan alam lokal melalui penelitian enzim dengan memanfaatkan limbah pertanian demi pengembangan bidang argoindustri. Itulah yang dilakukan oleh Prof. Dr. Ni Nyoman Tri Puspaningsih, Dra., M.Si. Guru Besar bidang Kimia Organik yang akrab dipanggil Prof. Nyoman telah melakukan penelitian enzim itu sejak tahun 2001, dan masih berlanjut hingga sekarang. Penelitiannya yang bergerak di bidang agroindustri itu didasari oleh keinginannya yang kuat untuk mengeksplorasi kekayaan alam di Indonesia. Awalnya, Prof. Nyoman berpikir tentang berbagai jenis mikroorganisme atau biota-biota yang hidup di sekitar sumber air panas. Kemudian, ia terpikir untuk memanfaatkan enzim yang tahan dengan suhu tinggi. “Enzim-enzim yang tahan dengan suhu tinggi pasti diperlukan untuk industri-industri yang menggunakan proses dengan pemanasan. Apabila kita menggunakan enzim, kita bisa mengurangi penggunaan bahan-bahan kimia. Contohnya, adalah pabrik kertas,” tutur Prof. Nyoman. Selama penelitian, Prof. Nyoman bersama kelompok studi Proteomik, Institute of Tropical Disease, UNAIR, telah mengembangkan enzim sebagai bioproduk yang bersumber dari mikroorganisme Indonesia. Bioproduk enzim ini bernama Excelzyme. Nama ‘Excelzyme’ ini sendiri telah dipatenkan oleh Kementerian Hukum dan HAM pada tahun 2011. Bioproduk Excelzyme 1 telah diformulasi oleh Prof. Nyoman dan kelompok studinya dalam proses daur ulang kertas bekas. Pada proses daur ulang kertas, biasanya pabrik konvensional menggunakan bahan-bahan kimia untuk melakukan proses pemutihan
(bleaching). Bagi Prof. Nyoman, bahan-bahan kimia inilah yang menyebabkan masalah bagi lingkungan. Dalam proses uji coba Excelzyme 1 di salah satu pabrik kertas di Surabaya, bioproduk buatan Prof. Nyoman menghasilkan kertas daur ulang dengan kualitas di atas standar yang ditetapkan. Pada uji kecerahan, sesuai dengan SNI 14-0091-1998, Excelzyme 1 menghasilkan tingkat kecerahan sampai 60,40% ISO. Pada pengujian indeks tarik, kertas daur ulang yang menggunakan Excelzyme 1 menghasilkan indeks tarik sebesar 25,78 Nm/g, dari standar yang ditetapkan oleh SNI 21,50 Nm/g. Sedangkan, pada pengujian indeks sobek, kertas daur ulang yang menggunakan Excelzyme 1 menghasilkan indeks sobek sebesar 8,36 mN.m 2 /g, jauh di atas standar SNI yaitu 3,56 mN.m2/g. Dengan menggunakan bioproduk Excelzyme 1, Prof. Nyoman berharap bahwa produk ini mampu mengurangi penggunaan bahan kimia berbahaya dalam proses daur ulang kertas.(*) Penulis :
Defrina Sukma Satiti