Informa s i U mum
KEHUTANAN Departemen Kehutanan
DEPARTEMEN KEHUTANAN 2002
INFORMASI UMUM KEHUTANAN 2002 Penanggung Jawab Boen M Purnama Koordinator Bambang Soepijanto Tim Penyusun : Iman Santoso SY. Chrystanto Agus Justianto Anwar Triyono Saputro Agoes Sriyanto Suparman Rais Tetra Yanuardi Purwoto RH Bambang Supriyanto Syaiful Anwar Putera Parthama Widagdo Bambang Sigit Bambang Riyanto Aulia Aruan Hadi Daryanto
Diterbitkan Oleh / Published by :
DEPARTEMEN KEHUTANAN Ministry of Forestry
Boleh dikutip dengan menyebut sumbernya May be cited with refference to the source
KATA PENGANTAR
Dalam rangka memberikan informasi umum tentang kebijakan Departemen Kehutanan dan perkembangan pembangunan kehutanan kepada pegawai Departemen Kehutanan, pemerhati masalah kehutanan dan masyarakat umum yang berkepentingan, kami publikasikan buku “INFORMASI UMUM KEHUTANAN TAHUN 2002”. Buku ini merupakan penerbitan pertama dari rencana penyusunan seri Publikasi kebijakan kehutanan. Kami menyadari masih adanya kekurangan dalam penyusunan buku ini, oleh karena itu kami harapkan adanya kritik dan saran untuk penyempurnaan lebih lanjut. Harapan kami semoga buku ini dapat memberikan manfaat yang optimal. Jakarta, Desember 2002 KEPALA BADAN PLANOLOGI KEHUTANAN
BOEN M PURNAMA NIP. 080037272
i
DAFTAR ISI Halaman KATA PENGANTAR …………………………………………………………………... i DAFTAR ISI ……………………………………………………………………………. ii 1.
PENDAHULUAN ………………………………………………………………... 1.1 Kontribusi Sektor Kehutanan dalam Pembagunan …………………. 1.2 Komitmen International ………………………………………………… 1.3 Komitmen Nasional……………………………………………………...
1 2 3 5
2
SUMBER DAYA HUTAN ………………………………………………………. 2.1 Luas Kawasan Hutan …………………………………………………... 2.2 Tipe Hutan ………………………………………………………………. 2.3 Kondisi Penutupan Lahan …………………………………………… 2.4 Potensi Hutan …………………………………………………………… 2.5. Laju Deforestasi dan Degradasi Hutan ……………………………….
8 8 10 11 14 16
3
PERLINDUNGAN KEANEKARAGAMAN HAYATI DAN KONSERVASI KAWASAN ……………………………………………………. 3.1 Flora dan Fauna yang Dilindungi ……………………………………… 3.2 Konservasi Alam ………………………………………………………... 3.3 Perlindungan Hutan ……………………………………………………..
18 18 18 21
4
5
INDUSTRI KEHUTANAN ………………………………………………………. 4.1 Perkembangan Produksi Kayu bulat, Kayu Gergajian, Kayu Lapis dan Pulp …………………………………………………………………. 4.2 Produksi Hasil Hutan Non Kayu Nasional ……………………………. 4.3 Permintaan Hasil Hutan ………………………………………………... 4.4 Ekspor Kayu Olahan ……………………………………………………. 4.5 Keseimbangan Suplai dan Deman Hasil Hutan …………………….. 4.6 Kebijakan Soft-landing ………………………………………………….
25 25
PENGURUSAN HUTAN ……………………………………………………….. 5.1 Perencanaan Hutan ……………………………………………………..
31 31
ii
26 27 28 29 30
5.2 5.3 5.4 5.5
Pengelolaan Hutan ……………………………………………………... Hutan Kemasyarakatan ………………………………………………… Pengelolaan Hutan Rakyat ……………………………………………. Pengelolaan Hutan Adat ………………………………………………..
34 35 37 37
PENELITIAN, PENGEMBANGAN, DIKLAT DAN PENYULUHAN KEHUTANAN ……………………………………………………………………. 6.1 Penelitian dan Pengembangan Kehutanan ………………………….. 6.2 Pendidikan dan Pelatihan Kehutanan ………………………………... 6.3 Penyuluhan Kehutanan …………………………………………………
39 39 41 42
7
KEBIJAKAN PRIORITAS KEHUTANAN 2002 – 2004 ……………………... 7.1 Pemberantasan Illegal Logging ……………………………………….. 7.2 Penanggulangan Kebakaran Hutan ………………………………….. 7.3 Restrukturisasi Sektor Kehutanan …………………………………….. 7.4 Rehabilitasi dan Konservasi Sumberdaya Hutan …………………… 7.5 Penguatan Desentralisasi Kehutanan ………………………………...
44 45 46 48 49 51
8
MASA DEPAN PEMBANGUNAN KEHUTANAN 8.1 Pengelolaan Sumber Daya Hutan Berkelanjutan …………………… 8.2 Sosial Forestry …………………………….……………………………. 8.3 Pengembangan Sistem Informasi Kehutanan ……………………….
53 53 54 57
DAFTAR ISTILAH ……………………………………………………………………... LAMPIRAN ……………………………………………………………………………... DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………………………………
60 67 84
6
iii
DAFTAR KOTAK
Kotak 1.1 Kotak 1.2 Kotak 1.3 Kotak 1.4 Kotak 2.1 Kotak 2.2 Kotak 2.3 Kotak 2.4 Kotak 3.1 Kotak 5.1 Kotak 5.2 Kotak 5.3 Kotak 6.1 Kotak 6.2 Kotak 7.1
Halaman Visi dan Misi ………………………………………………………... 2 Kuda dan Kusir 4 Komitmen Johanesburg …………………………………………... 6 Komitmen Indonesia terhadap International ……………………. 7 Paduserasi antara RTRWP dan TGHK …………………………. 9 Pemanfaatan Teknologi Penginderaan Jauh …………………... 12 Inventarisasi Hutan Nasional …………………………………….. 13 Permanent and Temporary Sample Plot (TSP/PSP) ………….. 15 Wisata Alam ………………………………………………………... 20 Pertambangan di Dalam Kawasan Hutan ………………………. 33 Daerah Aliran Sungai (DAS) 35 Pandangan Masyarakat Adat …………………………………….. 38 Sebagian dari Hasil Penelitian Kehutanan ……………………… 40 Realisasi Pendidikan Kehutanan ………………………………… 41 Illegal Logging ……………………………………………………… 47
iv
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1 Tabel 2.2 Tabel 2.3 Tabel 2.4 Tabel 2.5 Tabel 2.6 Tabel 3.1. Tabel 3.2 Tabel 3.3 Tabel 3.4 Tabel 4.1. Tabel 4.2 Tabel 4.3 Tabel 4.4 Tabel 4.5 Tabel 4.6
Luas Kawasan Hutan Indonesia berdasarkan Penunjukan Kawasan Hutan dan Perairan untuk 23 Propinsi ……………… Luas Kawasan Hutan Propinsi Sumatera Utara, Riau dan Kalimantan Tengah berdasarkan paduserasi TGHK-RTRWP Tahun 1999 ………………………………………………………… Kondisi Penutupan Lahan/vegetasi Indonesia (diluar P. Irian Jaya) Berdasarkan Hasil Penafsiran Citra Landsat ETM+7 tahun 1999-2000 …………………………………………………... Kondisi Kondisi Penutupan Lahan/vegetasi di dalam Kawasan Hutan di Indonesia Berdasarkan Hasil Penafsiran Citra Landsat ETM+7 tahun 1999-2000 ……………………………… Potensi Rata-Rata Tegakan pada Hutan Produksi (HP+ HPT) . Kriteria Potensi Hutan Alam pada Hutan Produksi dalam rangka IUPHHK ……………………………………………………. Jumlah Spesies yang Dilindungi Undang-Undang …………….. Jumlah Lokasi dan Luas Kawasan Konservasi di Indonesia …. Data Kebakaran Hutan dan Lahan tahun 1999 sampai dengan 2002 ………………………………………………………………… Data Gangguan Kawasan Konservasi Periode 1999-2002 …... Produksi Kayu Bulat, Gergajian, Kayu Lapis dan Pulp selama 5 Tahun Terakhir …………………………………………………... Produksi Hasil Hutan Non Kayu Selama 5 Tahun Terakhir…… Produksi Hasil Hutan Non Kayu Perum Perhutani Tahun 2001 Kapasitas Produksi Industri di Indonesia ……………………….. Ekspor Kayu Olahan selama 5 tahun Terakhit ………………… Proyeksi Produksi dan Konsumsi Kayu Bulat Nasional dari Tahun 1998 – 2019 ………………………………………………..
v
Halaman 8 9 12 13 14 19 20 22 24 25 26 27 28 28 29
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran-1 Lampiran-2 Lampiran-3 Lampiran-4 Lampiran-5 Lampiran-6 Lampiran-7 Lampiran-8 Lampiran-9 Lampiran-10 Lampiran-11
Luas Kawasan Hutan Indonesia berdasarkan Penunjukan Kawasan Hutan dan Perairan Peta Kawasan Hutan Indonesia berdasarkan Penunjukan Kawasan Hutan dan Perairan Kondisi Penutupan Lahan/vegetasi Indonesia (diluar P. Irian Jaya) Berdasarkan Hasil Penafsiran Citra Landsat ETM+7 tahun 1999-2000 Peta Kondisi Penutupan Lahan/vegetasi Indonesia (diluar P. Irian Jaya) Berdasarkan Hasil Penafsiran Citra Landsat ETM+7 tahun 1999-2000 Laju Deforestasi dan Degradasi Hutan Indonesia dari tahun 1985 – 1997 Peta Deforestasi dan Degradasi Hutan Indonesia dari tahun 1985 – 1997 Kawasan Konservasi Darat sampai dengan Tahun 2001 Kawasan Konservasi Laut sampai dengan Tahun 2001 Daftar Taman Nasional di Indonesia sampai dengan tahun 2001 Perkembangan HPH Aktif sampai dengan Desember 2001 Perkembangan HTI sampai dengan Desember 2001
vi
Halaman 69 70 71 75 76 77 78 79 80 82 83
1 PENDAHULUAN
utan sebagai karunia dan amanah Tuhan Yang Maha Esa yang dianugrahkan kepada bangsa Indonesia merupakan kekayaan yang wajib disyukuri, diurus, H dan dimanfaatkan secara optimal serta dijaga kelestariaannya karena memberikan manfaat serba guna kepada umat manusia. Oleh karena itu hutan dikuasai oleh negara dan diselenggarakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat bagi generasi sekarang maupun yang mendatang. Hutan sebagai salah satu penentu ekosistem penyangga kehidupan dan sumber kemakmuran rakyat, cenderung mengalami degradasi, oleh karena itu keberadaannya harus dipertahankan secara optimal, dijaga daya dukungnya secara lestari, dikembalikan fungsinya, dan diurus dengan adil, arif dan bijaksana, terbuka, profesional, serta bertanggung jawab. Pengurusan hutan yang berkelanjutan dan berdimensi perencanaan, pengelolaan, peningkatan profesionalisme dan pengawasan, harus berwawasan global, serta menampung dinamika aspirasi, adat dan budaya, serta tata nilai masyarakat yang berdasarkan pada norma hukum nasional. 1. Kontribusi Sektor Kehutanan dalam Pembangunan Nasional Luas sumberdaya hutan berdasarkan hasil pemaduserasian Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK) dan Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi (RTRWP) adalah 120,35 juta ha atau sekitar 62,6% dari luas daratan Indonesia. Dalam kawasan hutan tersebut terkandung keanekaragaman hayati yang melimpah sehingga Indonesia juga dikenal sebagai mega-biodiversiti country. Sebagai gambaran, Indonesia memiliki sekitar 400 spesies pohon, 25.000 spesies tumbuhan berbunga, Informasi Umum Kehutanan - 2002
1
1.519 species burung, 515 species satwa mamalia, 600 species satwa reptilia, dan 270 species amphibia. Sejauh ini manfaat keragaman hayati tersebut belum mendapat porsi perhatian yang seharusnya. Kotak 1.1
VISI DAN MISI
VISI “Terwujudnya kelestarian fungsi hutan sebagai system penyangga kehidupan, memperkuat ekonomi rakyat serta mendukung perekonomian nasional bagi kesejahteraan rakyat”. MISI • Memantapkan dan melindungi keberadaan kawasan hutan • Rehabilitasi hutan dan lahan kritis • Meningkatkan konservasi sumberdaya alam • Mengoptimalkan fungsi dan pemanfaatan hutan secara adil • Meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pembangunan kehutanan selaras dengan semangat otonomi daerah
Sebelum tahun 2000, produksi kayu bulat dari hutan alam dan hutan tanaman (termasuk hutan tanaman di Pulau Jawa) rata-rata per tahun sebesar 25,40 juta m3. Kontribusi terhadap perekonomian nasional berupa penerimaan devisa dari ekspor komoditas primer kehutanan yang pada tahun 1998 mencapai US $ 7.52 miliar. Tahun 1997 jumlah tenaga kerja pada kegiatan pengusahaan hutan tercatat sebanyak 183 ribu orang. Jumlah masyarakat yang menggantungkan kehidupannya dari sektor kehutanan secara langsung dan tidak langsung diperkirakan sekitar 30 juta orang. Sejak tahun 2000 produksi kayu bulat tersebut cenderung menurun akibat menurunnya kualitas sumberdaya hutan. Timbulnya kesadaran akan bahaya eksploitasi kayu yang berlebihan pada hutan alam mendorong Pemerintah untuk melaksanakan program pengembangan hutan tanaman dan rehabilitasi lahan kritis dan Daerah Aliran Sungai (DAS). Pemerintah juga melaksanakan program hutan rakyat untuk mendorong penduduk pedesaan sekitar kawasan hutan untuk memenuhi permintaan kebutuhan energi dan kayu bangunan rumah tangga sehingga tekanan ekspoitasi terhadap kawasan hutan alam dapat dikurangi. Informasi Umum Kehutanan - 2002
2
Kotak 1.2
KUDA DAN KUSIR Sumber daya hutan digambarkan sebagai “kuda” yang mudah diperas tenaganya untuk kepentingan pembangunan dan peningkatan devisa negara. Sedangkan rimbawan digambarkan sebagai “kusir” yang memelihara dan mengendalikannya. Oleh karena itu laju kerusakan sumber daya hutan sangat tergantung pada kusirnya = Rimbawan. Secara singkat perlu dikatakan bahwa sudah saatnya Rimbawan melakukan introspeksi atas upaya eksploitasi SDH secara berlebihan dan membiarkan “hutan bernafas” sehingga mempunyai kesempatan berkembang memperbaiki ekosistemnya. Walaupun ada pergeseran permintaan produk sumberdaya hutan, namun pemanfaatan hasil hutan non kayu dan jasa lingkungan seperti air, wisata dan lain sebagainya sampai saat ini belum maksimal. Hal tersebut antara lain disebabkan masih terfokusnya pemanfaatan hutan pada produk kayu. Pengelolaan dan pemanfaatan multi-fungsi hutan dan kebun perlu ditingkatkan sebagai alternatif sumber devisa dan pendapatan masyarakat di dan sekitar hutan. Di samping itu memberikan kesempatan pada sumber daya hutan khususnya kayu untuk bernafas. Seluruh Rimbawan tanpa kecuali perlu bercermin, koreksi diri, menyadari kelemahannya dan menatap masa depan melalui upaya konservasi dan rehabilitasi SDA dalam arti luas dengan melibatkan seluruh pihak terkait. Sumber Kuda dan Kusir : Korsa Rimbawan dan Rehabilitasi Hutan (2002)
Upaya pengembangan hutan tanaman ditargetkan dapat mencapai luasan sebesar 8.47 juta hektar tanaman dengan produksi minimum 9,7 juta m3 kayu dapat dihasilkan dari hutan tanaman tersebut pada tahun 2000-an. Namun nampaknya upaya tersebut belum mencapai sasaran, sehingga harapan untuk memenuhi kebutuhan kayu dari hutan tanaman menggantikan produksi kayu dari hutan alam masih jauh dari harapan. Disisi lain, ketersediaan kayu yang berasal dari tanaman karet, kelapa sawit dan kelapa adalah sangat potensial sebagai suplemen kayu Informasi Umum Kehutanan - 2002
3
dalam memenuhi kebutuhan kayu pada masa mendatang, namun belum diperhitungkan secara serius untuk memenuhi kebutuhan yang semakin meningkat. Selain hasil hutan kayu, kawasan hutan Indonesia memberikan komoditi lain dan jasa lingkungan yang tidak kalah penting bagi perekonomian masyarakat maupun perekonomian daerah dan nasional. Sebagai contoh, satwa dan tumbuhan telah menghasilkan devisa ekspor sebesar Rp. 3.799.033 pada tahun 1998/1999. Namun demikian, hasil penelitian Fakultas Kehutanan IPB (1999) pada kawasan hutan produksi memberikan peringatan yang penting dalam pemanfaatan kayu dan hasil hutan non kayu. Penelitian tersebut menyatakan bahwa nilai guna langsung (direct use value) dari kayu maupun komoditi non kayu yang dimanfaatkan oleh HPH maupun masyarakat hanya merupakan bagian kecil dari nilai ekonomi total ((total economic value) hutan; sedangkan bila kayu dan komoditi lainnya dieksploitasi secara berlebihan maka seluruh nilai ekonomi hutan tersebut akan hilang. Oleh karena itu kawasan hutan Indonesia yang saat ini sedang mengalami degradasi yang berat memerlukan penangan yang tepat agar fungsi dan produktivitasnya dapat dipulihkan . 2. Komitmen Internasional Perhatian dunia internasional terhadap hutan tropis pada khususnya dan sumberdaya hutan secara umum kelihatan semakin meningkat, terutama menjelang akhir abad ke 20 karena dirasakan semakin menurunnya potensi dan kualitas sumberdaya hutan yang berpengaruh pada ekosistem global. Perhatian ini ditunjukkan dengan adanya berbagai konvensi yang ditaati oleh hampir seluruh negara yang mempunyai sumberdaya hutan serta negara-negara yang mempunyai kepentingan atas keberadaan hutan di dunia. Indonesia merupakan salah satu negara yang ikut dalam berbagai pembentukan dan menjalankan konvensi tersebut sebagai komitmen dalam pengelolaan sumberdaya hutan dan lingkungan hidup. Untuk menjalin kerjasama dalam pelestarian lahan basah yang mempunyai kepentingan global maka pada tahun 1971, telah ditandatangani Konvensi RAMSAR tentang pengelolaan lahan basah. Selain itu, dalam rangka mengatur perdagangan species yang terancam punah, telah disepakati konvensi internasional CITES (Convention on International Trade in Endangered Species) pada tahun 1973. Sedangkan untuk pengelolaan sumberdaya hutan tropis secara lestari maka pada tahun 1980-an terbentuk organisasi kayu tropis yang dikenal dengan nama International Tropical Timber Organization (ITTO). Organisasi ini telah menerbitkan berbagai pedoman yang terkait dengan Sustainable Forest Management (SFM) dan Informasi Umum Kehutanan - 2002
4
Kotak 1.3.
KOMITMEN JOHANNESBURG Komitmen terdiri dari 6 kelompok yaitu : • • • • • •
From our origin to the future no. 1 to 7 From the Rio Principles to the Johannesburg Commitment on Sustainable Development no. 8 to 14 The challenges we face no. 15 to 21 The Johannesburg Commitment on Sustainable Development no. 22 to 60 Multilateralism is the future no. 61 to 64 Making it happen ! no. 65 to 69
Uraian butir komitmen tersebut adalah antara lain : • • • • •
Pembangunan yang berkelanjutan Pembangunan masyarakat global yang ramah dan layak Menjamin dunia yang bebas dari kejahatan akibat kemiskinan dan kerusakan lingkungan Pembangunan ekonomi, sosial dan perlindungan lingkungan pada tingkat lokal hingga global Mendorong kerjasama dan dialog lintas ras, agama, budaya dan bahasa.
Criteria and Indicators for SFM. Disamping itu, Food and Agriculture Organization (FAO) meluncurkan program yang dikenal dengan Tropical Forest Action Programme (TFAP) pada tahun 1985. Pada tahun 1992, United Nation Conference on Environmental and Development (UNCED) dilaksanakan di Rio de Janeiro yang menghasilkan Forest Principles dan Agenda 21 dalam rangka penyelamatan dan pelestarian lingkungan hidup dan sumberdaya alam. Sebagai tindak lanjut kemudian dilaksanakan Conference on Sustainable Development (CSD) dan disepakatinya Convention on Biodiversity (CBD) pada tahun 1992, Convention on Combating Disertification (CCD) dan Framework Convention on Climate Change (FCCC) pada tahun 1994. Tindak lanjut FCCC yang signifikan adalah Kyoto Protocol yang dicetuskan pasca COP-3 di Kyoto pada tahun 1997. Informasi Umum Kehutanan - 2002
5
Untuk menindaklanjut konvensi-konvensi tersebut, maka pada tahun 1995-1997 telah bekerja suatu kelompok kerja yang disebut Intergovernmental Panel on Forests (IPF) dan dilanjutkan dengan Intergovernmental Forum on Forests (IFF) pada tahun 19972000. Disamping itu juga kelompok kerja lain yang bekerja pada tahun 1995-2000 yaitu Interagency Task Force on Forests (ITFF). Pada tahun 2000-an telah dibentuk forum kehutanan dibawah PBB yang disebut United Nation Forum on Forests (UNFF) pada tahun 2001, serta Collaborative Partnership on Forests (CPF pada tahun 2000). Pada bulan Agustus 2002 dilakukan pertemuan puncak para Kepala Negara di Johannesburg yang menghasilkan berbagai komitmen baru menindak lanjuti komitmen-komitmen yang pernah disepakati di Rio de Janeiro, yang pada intinya para negara bersepakat untuk meningkatkan upaya-upaya pembangunan yang berkelanjutan. 3. Komitmen Nasional Pada tingkat nasional, Indonesia juga telah menyusun Indonesian Forestry Action Plan (IFAP) pada tahun 1991, yang merupakan bagian dari prakarsa TFAP. Lebih lanjut, dalam melaksanakan proses sertifikasi produk-produk hasil hutan telah dibentuk Lembaga Ekolabel Indonesia. Dalam rangka menindaklanjut UNCED, Indonesia juga telah menetapkan peraturan-peraturan dan pedoman-pedoman yang terkait dengan Sustainable Forest Management (SFM) dan Criteria and Indicators of SFM. Selain dari itu, sebagai bagian dari komitmen dengan Consultative Group on Indonesia (CGI) yang ditindaklanjut dengan dibentuknya Consultative Group on Indonesian Forestry (CGIF), Indonesia mempunnyai komitmen yang tinggi untuk menangani berbagai masalah dan isu dalam pengelolaan hutan. Sebagai tindak lanjut dari beberapa perjanjian dan konvensi internasional, seperti Agenda 21, Forest Principles, UNCED, Proposal IPF/IFF dll., Indonesia juga telah melaksanakan National Forest Programme (NFP). Proses NFP telah diawali dengan dibentuknya forum koordinasi bidang kehutanan yang disebut dengan InterDepartmental Committee on Forestry (IDCF).
Informasi Umum Kehutanan - 2002
6
Kotak 1.4 Komitmen Indonesia Terhadap Internasional 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11.
Pemberantasan Penebangan Liar Penanggulangan Kebakaran Hutan dan Lahan Restrukturisasi Industri Kehutanan Hubungan antara Reforestasi dan Kapasitas industri kehutanan Penilaian Sumberdaya Hutan Moratorium Konversi Hutan Alam Program Kehutanan Nasional Penanganan Land Tenure Rekalkulasi tegakan Sistem Pengelolaan Hutan Desentralisasi Pengelolaan Hutan
International Commitment, i.e. : • IPF/IFF/UNFF • Convention: CBD, CCC, CCD, CITES, RAMSAR etc. • CGI Commitment
Law 41/99 Law 5/90 Law 22/99 Law 23/97 Law 24/92 Law 5/60
National Guidelines
NFP LONG TERM FORESTRY PLANNING
National Development Programme (Law No. 25/2000)
Strategic Planning
Long Term Provincial Forestry Planning Long Term District Forestry Planning
Annual Forestry Planning
Strategic Planning on Provincial Level Strategic Planning on District Level
Long Term Forest Management Unit Planning
Informasi Umum Kehutanan - 2002
Regional Development Programme
Strategic Planning on Management Unit Level
Annual Forestry Planning at Provincial Level Annual Forestry Planning at District Level Annual Forestry Planning at Management Unit Level
7
2 SUMBER DAYA HUTAN Keadaan dan Perubahan
1. Luas Kawasan Hutan awasan Hutan Indonesia ditetapkan oleh Menteri Kehutanan. Luas Kawasan Hutan di Indonesia berdasarkan hasil pemaduserasian antara Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi (RTRWP) dengan Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK) tahun 2000 seluas 120,35 juta hektar atau sebesar 62,6% dari total luas daratan Indonesia seluas 192,16 juta ha. Kawasan hutan tersebut dibagi dalam kelompok Hutan Konservasi, Hutan Lindung dan Hutan Produksi. Luas kawasan hutan di Indonesia untuk 23 Propinsi belum termasuk propinsi Sumut, Riau dan Kalimantan Tengah dapat dilihat pada Tabel 2.1.
K
Tabel 2.1.
Luas Kawasan Hutan Indonesia berdasarkan Penunjukan Kawasan Hutan dan Perairan untuk 23 Propinsi
Fungsi Hutan Hutan Konservasi Hutan Lindung Hutan Produksi Tetap Hutan Produksi Terbatas Hutan Produksi Konversi Total
Luas Daratan (juta Ha) 18,15 29,04 27,82 16,21 13,67 104,89
Luas Perairan (juta Ha) 5,07 -
Jumlah (Juta Ha) 23,21 29,04 27,82 16,21 13,67 109,96
Sumber : Statistik Kehutanan 2001, Departemen Kehutanan
Informasi Umum Kehutanan - 2002
8
Penetapan kawasan hutan di tiga propinsi Sumatera Utara, Riau dan Kalimantan Tengah saat ini masih dalam proses penyelesaian. Berdasarkan peta paduserasi Tata Guna Hutan Kesepatan (TGHK) dan Rencana Tata Ruang Propinsi tahun 1999, keadaan kawasan hutan di tiga propinsi tersebut adalah sebagai berikut Tabel 2.2.
Luas Kawasan Hutan Propinsi Sumatera Utara, Riau dan Kalimantan Tengah berdasarkan paduserasi TGHK-RTRWP Tahun 1999 Luas Daratan
Propinsi
(juta Ha)
HSAW
HL
HPT
HP
HPK
(juta Ha)
(juta Ha)
(juta Ha)
(juta Ha)
(juta Ha)
Sumatera Utara
7,17
0,25
1,92
0,76
0,87
0,04
Riau
9,45
0,56
0,36
0,00
2,65
0,33
15,36 31,98
0,68 1,49
1,02 3,30
4,59 5,35
4,45 7,97
0,00 0,37
Kalimantan Tengah Jumlah
Sumber : Statistik Kehutanan 1999, Departemen Kehutanan
Kotak 2.1
Paduserasi antara RTRWP dan TGHK
P
emaduserasian Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK) dan Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi (RTRWP) dilakukan di seluruh propinsi untuk menyempurnakan RTRWP yang telah ada, yaitu dengan mencermati kembali keberadaan kawasankawasan hutan yang secara yuridis telah ada sebelum ditetapkannya RTRWP. Proses pemaduserasian Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK) dan Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi (RTRWP) telah selesai dilaksanakan diseluruh propinsi kecuali Propinsi Sumatera Utara, Riau dan Kalimantan Tengah. Pemantapan peta RTRWP dan TGHK dilakukan oleh tim berdasarkan SK Menteri Kehutanan No. 696/KptsVII/1996 tgl 5 Nopember 1996. Kawasan-kawasan yang perlu dicermati (a) kawasan hutan yang telah dikukuhkan; (b) HPHTI dalam KBNK; (c) areal yang masih berhutan; (d) areal HPH yang diarahkan untuk Hutan Lindung.
Informasi Umum Kehutanan - 2002
9
2. Tipe Hutan Berdasarkan hasil Inventarisasi Hutan Nasional tahun 1996, hutan di Indonesia berada di dalam maupun di luar kawasan hutan. Komposisi hutan menurut tipe dan keberadaannya adalah sebagai berikut : Di dalam kawasan hutan
Di luar kawasan hutan
12%
26%
3% 2% 71%
12%
5% 0%
67%
2%
Hutan Dataran rendah ( < 1000 m dpl) Hutan Dataran Tinggi ( 1000 – 2000 m dpl) Hutan Pegunungan ( > 2000 m dpl) Hutan Mangrove Hutan Rawa
Gambar 2.1. Tipe Hutan di dalam dan di luar kawasan hutan Di dalam kawasan hutan : • • • • •
Hutan dataran rendah dengan ketinggian dibawah 1000 m dpl seluas 63,76 juta ha; Hutan dataran tinggi dengan ketinggian antara 1000 – 2000 m dpl seluas 10,65 juta ha; Hutan Pegunungan dengan ketinggian diatas 2000 m dpl seluas 2,81 juta ha Hutan Mangrove yang didominasi Rhizophora sp, Bruquiera sp, dan Aviceneae seluas 0,002 juta ha; Hutan Rawa seluas 10,53 juta ha
Informasi Umum Kehutanan - 2002
10
Di luar kawasan hutan : • • • • •
Hutan dataran rendah dengan ketinggian dibawah 1000 m dpl seluas 20,46 juta ha; Hutan dataran tinggi dengan ketinggian antara 1000 – 2000 m dpl seluas 0,51 juta ha; Hutan Pegunungan dengan ketinggian diatas 2000 m dpl seluas 0,03 juta ha Hutan Mangrove yang didominasi Rhizophora sp, Bruquiera sp, dan Aviceneae seluas 1,37 juta ha; Hutan Rawa seluas 7,81 juta ha
3. Kondisi Penutupan Lahan Keadaaan penutupan lahan / vegetasi terakhir diperoleh berdasarkan penafsiran citra satelit Landsat ETM+7 seluruh Indonesia sejumlah 204 scenes (data liputan tahun 1999-2000). Penafsiran penutupan lahan / vegetasi dibagi kedalam dua kelas utama yaitu kelompok Hutan dan Non Hutan, yang masing-masing diklasifikasikan lagi secara lebih detil menjadi kelas-kelas sebagai berikut : § Hutan terdiri dari Hutan lahan kering primer, Hutan lahan kering sekunder, Hutan rawa primer, Hutan rawa sekunder, Hutan mangrove primer, Hutan mangrove sekunder, dan Hutan Tanaman. Sedangkan § Non Hutan terdiri dari Semak/Belukar, Belukar rawa, Pertanian lahan kering, campur semak, Perkebunan, Pemukiman, Pertanian lahan kering, Rawa, dan Savanna. Berdasarkan hasil penafsiran citra landsat 7 ETM (angka sementara s/d Juni 2002) di wilayah daratan Indonesia diketahui bahwa luas daratan yang masih berhutan adalah sebesar 41 %, sedangkan daratan yang bukan berupa hutan (Non Hutan) sebesar 47%, sisanya 12% tidak bisa ditafsir karena tertutup awan. Lahan non hutan adalah lahan selain vegetasi hutan, dapat berupa sawah lahan pertanian, pemukiman, alang-alang, semak/belukar serta lahan tidak produktif lainya. Keadaan Penutupan Lahan Berdasarkan penafsiran citra satelit 7 ETM disajikan pada Tabel 2.3 dan Tabel 2.4.
Informasi Umum Kehutanan - 2002
11
Kotak 2.2
Pemanfaatan Teknologi Penginderaan Jauh
Teknologi penginderaan jauh (remote sensing) dikenal pertama kali di USA pada tahun 1950. Perkembangan teknologi RS di bidang kehutanan saat ini sudah sangat maju baik yang menggunakan wahana pesawat terbang maupun satelit antara lain potret udara, citra landsat TM5, landsat ETM 7, Citra radar, SPOT, NOAA, IKONOS, Hyperspectral, dll. Masing-masing teknologi tersebut mempunyai kelebihan baik dalam cakupan maupun resolusi spatialnya dari 1x1 km (NOAA) s/d 1x1 m (IKONOS).
Untuk mengetahui keadaan penutupan lahan dan vegetasi hutan di wilayah Indonesia, digunakan citra satelit Landsat 7 Enhanced Tematic Mapper Plus (ETM+) yang mempunyai resolusi spasial 30m untuk kanal multispektral, 60m untuk kanal thermal dan 15m untuk kanal pankromatik dengan siklus merekam daerah yang sama setiap 16 hari. Citra satelit Landsat 7 ETM+ ini merekam permukaan bumi termasuk liputan awannya, oleh karena itu untuk dapat melihat penyebaran luas hutan diperlukan citra yang bebas ataupun relatif sedikit penutupan awannya. Untuk mendapatkan citra yang bersih dari penutupan awan dapat dilakukan dengan menggabungkan beberapa citra multi temporal (mosaiking) atau melalui kombinasi dengan data citra radar yang mempunyai kemampuan penetrasi terhadap awan. Persebaran hutan di Indonesia yang diliput + 200 scene belum termasuk citra tambahan untuk membuat citra mosaik.
Tabel 2.3.
Kondisi Penutupan Lahan/vegetasi Indonesia (diluar P. Irian Jaya) Berdasarkan Hasil Penafsiran Citra Landsat ETM+7 tahun 1999-2000
Penutupan Lahan Berhutan Bukan Hutan / tidak berhutan Berawan/ tidak ada data Total Daratan yang ditafsir
Luas (ribu ha) 60.087 68.539 18.519 147.145
Persen Luas 40,8 46,0 13,2 100
Sumber : Badan Planologi kehutanan tahun 2002
Catatan : • Wilayah yang belum selesai penafsirannya adalah Irian Jaya seluas 40,8 juta ha • Penafsiran baik di dalam maupun di luar kawasan hutan .
Informasi Umum Kehutanan - 2002
12
Tabel 2.4
Kondisi Kondisi Penutupan Lahan/vegetasi di dalam Kawasan Hutan di Indonesia Berdasarkan Hasil Penafsiran Citra Landsat ETM+7 tahun 1999-2000
Penutupan Lahan Berhutan Bukan Hutan / tidak berhutan Berawan/ tidak ada data
Luas (juta ha) 52,6 27,6 13,4
Persen Luas 56,2 29,5 13,4
Sumber : Badan Planologi kehutanan tahun 2002
Catatan : • Tidak termasuk Propinsi Irian Jaya
Areal berhutan dalam kawasan hutan meliputi hutan primer (virgin forest) seluas 20,4 juta ha, hutan sekunder (secondary forest) seluas 29,7 ha, dan hutan tanaman (HTI) seluas 2,4 juta ha.
Kotak 2.3.
INVENTARISASI HUTAN NASIONAL
P ada tahun 1989 sampai dengan tahun 1996 Indonesia untuk pertama kali melakukan perhitungan potensi hutan berskala nasional melalui “Inventarisasi Hutan Nasional” atau yang dikenal dengan nama National Forest Inventory (NFI) dengan memanfaatkan bantuan pinjaman Bank Dunia. Inventarisasi Hutan Indonesia dilakukan dengan menggunakan teknologi penginderaan jauh (remote sensing) dan GIS yang dikombinasikan dengan pencatatan data plot lapangan dari Temporary Sample Plot (TSP) dan Permanent Sample Plot (PSP) yang berjumlah kurang lebih 2735 klaster. Klaster TSP/PSP tersebar secara sistematik setiap 20 x 20 km di Seluruh Indonesia kecuali Pulau Jawa. Idealnya Inventarisasi Hutan Nasional tersebut dilaksanakan setiap lima tahun. Namun hingga kini NFI belum pernah diulang kembali.
Informasi Umum Kehutanan - 2002
13
4.
Potensi Hutan
Data potensi hutan nasional diperoleh pertama kali melalui survei “Green Book” yang dilaksanakan sejak tahun 1969. Setelah itu melalui Inventarisasi Hutan Nasional, telah disusun buku Laporan Akhir Statistik Sumberdaya Hutan Indonesia pada tahun 1996. Melalui Inventarisasi Hutan Nasional juga dilakukan pengukuran PSP yang dilakukan setiap 5 tahun sekali dengan tujuan mengetahui potensi hutan, pertumbuhan (growth and yield) dan memantau perubahannya. Saat ini telah dilaksanakan pengukuran ulang PSP sebanyak ± 1.100 plot klaster dan telah dilakukan pengolahan data berupa konsistensi dan validasi. Data potensi hutan tersebut juga telah dijabarkan untuk seluruh kabupaten di Indonesia sebagaimana daftar terlampir. Potensi rata-rata tegakan pada hutan produksi (HP+HPT) dihitung berdasarkan basis data lapangan (TSP/PSP) dan basis data GIS pada Inventarisasi Hutan Nasional tahun 1990-1996, seperti disajikan pada Tabel 2.5. Tabel 2.5. Potensi Rata-Rata Tegakan pada Hutan Produksi (HP+HPT)
No
Pulau
1 2 3 4 5
Sumatera Kalimantan Sulawesi Maluku Papua Indonesia
Diameter 20-49 cm Komersial Seluruh jenis Vrata2 N/Ha Vrata2 N/Ha (m3/ha) (m3/ha) 22,9 31,7 56,3 86,3 23,7 29,8 49,2 69,0 11,9 15,4 57,4 77,9 11,5 12,0 46,9 52,6 2,5 3,4 22,9 35,0 20,0 25,8 48,3 69,1
Diameter 50 cm up Komersial Seluruh jenis Vrata2 N/Ha Vrata2 N/Ha (m3/ha) (m3/ha) 26,7 6,9 46,7 12,8 42,6 9,2 60,6 14,4 12,9 4,0 58,6 17,2 19,4 4,3 54,9 11,8 2,3 0,5 15,5 4,5 31,6 7,3 52,3 13,0
Sumber : Data TSP/PSP Inventarisasi Hutan Nasional, Badan Planologi, Tahun 1996
Berdasarkan data TSP/PSP Inventarisasi Hutan Nasional tahun 1996, potensi total rotan di seluruh areal hutan sebesar 8,2 juta ton dan sekitar 91,2% (7,4 juta ton) terdapat di hutan dataran rendah, hutan rawa, dan hutan mangrove. Sesuai dengan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 8171/Kpts-II/2002 tanggal 5 September 2002 telah ditetapkan Kriteria potensi hutan alam pada hutan produksi
Informasi Umum Kehutanan - 2002
14
yang dapat diberikan Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK) pada Hutan Alam sebagai berikut : Tabel 2.6. Kriteria Potensi Hutan Alam pada Hutan Produksi dalam rangka IUPHHK
No
1 2 3 4 5 6
Rayon
Sumatera Kalimantan Sulawesi N. Tenggara Maluku Papua
Potensi Tegakan Hutan (rata-rata Pohon per Hektar) Berdasarkan Kelas Diameter dan Kondisi Tanah Hutan Hutan Tanah Kering Hutan Tanah Basah/Rawa
Ø
Ø
Ø
Ø
Ø
Ø
10-19 Cm N/Ha 108 108 108 108 108 108
20-49 Cm N/Ha 39 39 39 39 39 39
> 50 Cm N/Ha 16 15 15 14 17 14
10-19 Cm N/Ha 108 108 109
20-49 Cm N/Ha 39 39 39
> 50 Cm N/Ha 21 16 18
Ket.
N = Jlh pohon Ø = Dia meter
Kotak 2.4
PERMANENT AND TEMPORARY SAMPLE PLOT (PSP/TSP) Permanent Sample Plot dan Temporary Sample Plot adalah sampel plot berupa klaster dalam kegiatan Inventarisasi Hutan Nasional. Sampel plot klaster dibuat secara sist ematis pada setiap grid 20x20 km di seluruh wilayah Indonesia. Setiap klaster terdiri dari 1 unit PSP dan 9 unit TSP. Tujuan pengukuran TSP adalah untuk pendugaan volume, kondisi tegakan, dan distribusi spesies serta biodiversity, yang pengukurannya dilakukan 1 kali. Sedangkan PSP digunakan untuk mengetahui perubahan sumber daya hutan dan riap pertumbuhan. Pengukuran dilakukan setiap 5 tahun sekali.
Informasi Umum Kehutanan - 2002
15
5. Laju Deforestasi dan Degradasi Hutan. Proses degradasi sumberdaya hutan dalam waktu ±20 tahun ini telah menimbulkan dampak yang cukup luas, yang menyentuh aspek lingkungan, ekonomi, kelembagaan, dan juga sosial-politik. Kerusakan telah terjadi di semua kawasan hutan sebagai akibat dari lemahnya penegakan hukum, pembukaan hutan untuk keperluan pembangunan lain (pertambangan, dan industri), perambahan, kebakaran hutan, lemahnya kesadaran dan perhatian terhadap kelestarian ekosistem DAS, serta kurangnya upaya reboisasi yang dilakukan oleh pemerintah dan pengguna hutan lainnya. Berdasarkan hasil analisis data RePPProt dan data Inventarisasi Hutan Nasional (NFI) tahun 1985-1997 diperoleh angka deforestasi sebesar 22,46 juta ha atau laju deforestasi nasional per tahun sebesar 1.8 juta ha/tahun. Deforestasi terbesar terjadi di Propinsi Sumatera Selatan seluas 2,3 juta ha atau sebesar 65 % dari luas hutannya pada tahun 1985. Kemudian secara berturut turut di Propinsi Kalimantan Selatan, Lampung dan Jambi. Namun Demikian deforestasi terluas terjadi di Pulau Kalimantan seluas 10,3 juta ha, yaitu di Propinsi Kaltim 4,4 juta ha, Propinsi Kalteng 3,1 juta ha, Propinsi Kalbar 2,0 juta ha dan Propinsi Kalsel seluas 0,8 juta ha. Data rincian laju deforestasi/degradasi hutan disajikan pada Lampiran. Laju kerusakan tersebut disebabkan beberapa faktor antara lain : a. Kebijakan pembangunan hutan tanaman melalui konversi hutan alam yang belum diikuti dengan penyiapan sumber daya yang baik telah mengakibatkan terlantarnya rencana penanaman sementara pemanfaatan konversi hutan alam melalui IPK berjalan dengan cepat. Hal ini telah memberikan kontribusi terbesar untuk terciptanya lahan kritis. Produksi kayu dari IPK selama 5 tahun terakhir sebesar 92,6 juta m3. Seiring dengan kondisi tersebut, keberhasilan pembangunan hutan tanaman dinilai belum sesuai dengan rencana. Dari 9,2 juta ha yang direncanakan hingga tahun 2001 baru terealisir 2,3 juta ha. b. Kesenjangan supply-demand bahan baku industri, dimana kapasitas industri terpasang sekitar 58,24 juta m3 sedangkan kemampuan lestari hutan adalah sekitar 25,4 juta m3. Disamping itu kebijakan di masa lalu pembukaan kran ekspor kayu bulat yang belum diikuti dengan kesiapan instrumen Informasi Umum Kehutanan - 2002
16
pengendaliannya telah mengakibatkan terbukanya pasar gelap yang bersumber dari kayu illegal logging. c.
Kebakaran hutan tahun 1997/1998 menyebabkan hilangnya 4,8 juta hektar kawasan hutan. Walaupun upaya pencegahan kebakaran hutan telah dilaksanakan secara terus menerus dalam berbagai upaya, namun hasilnya belum optimal. Setiap tahun masih selalu terjadi kebakaran hutan antara 0,1 – 0,25 juta ha.
d. Masyarakat di sekitar hutan belum sepenuhnya menikmati hasil pembangunan hutan dan bahkan sebagian termarjinalkan akibat sebagian pola pembangunan hutan cenderung tidak mendorong peran serta masyarakat. Kecemburuan akan peran serta di dalam pembangunan kehutanan dan faktor kemiskinan telah mendorong proses pemanfaatan masyarakat oleh intelektual illegal logger. Disamping itu pola slash and burn dalam membuka lahan untuk pertanian dan perkebunan mengakibatkan terjadinya kebakaran lahan dan hutan yang dari tahun ke tahun terus meningkat. e. Tatanan sistem pemerintahan yang semula sentralistis telah berubah menjadi desentralisasi yang memberikan penekanan otonomi urusan di bidang kehutanan belum sepenuhnya diikuti dengan peraturan dan ketentuan di daerah.
Informasi Umum Kehutanan - 2002
17
3 PERLINDUNGAN KEANEKARAGAMAN HAYATI DAN KONSERVASI
KAWASAN 1.
Flora dan Fauna yang dilindungi
Indonesia merupakan negara mega biodiversity, dengan kelengkapan jenis flora dan fauna yang sangat besar dibanding negara-negara lain. Kekayaan ini tersimpan di dalam kerimbunan hutan Indonesia yang begitu luas. Paling sedikit terdapat 400-an jenis pohon, 500-an jenis mamalia, 1.500-an jenis burung, 25.000-an bungabungaan dan masih banyak lagi. Namun demikian tidak seluruh jenis flora dan fauna tersebut boleh diperdagangkan, sebagian dari mereka dilindungi dari kegiatan pemanfaartan dan perdagangan. Pemanfaatan jenis-jenis tumbuhan alam (flora) dan satwa liar (fauna) diatur dalam UU No. 5/1990 berdasarkan prinsip-prinsip konservasi (sesuai dengan daya dukung, keanekaragaman, dan potensinya). Jumlah species flora dan fauna yang dilindungi di Indonesia dapat dilihat pada Table 3.1. Jenis satwa yang dilindungi antara lain Gajah Sumatera (Elephas maximus), Harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrensis), Badak Sumatera (Dicerorhinus sumatrensis), Babi Rusa (Babyrousa babyrussa), dan Anoa (Bubalus depresicornis). Jumlah spesies di Indonesia yang dilindungi Undang-Undang diberikan Tabel 3.1.
2. Konservasi Alam Hutan Konservasi adalah kawasan hutan dengan ciri khas tertentu, yang mempunyai fungsi pokok pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta
Informasi Umum Kehutanan - 2002
18
ekosistemnya. Hutan Konservasi Indonesia terdiri atas Kawasan Suaka Alam (KSA), Kawasan Pelestarian Alam (KPA) dan Taman Buru (TB). Kawasan Hutan Suaka Alam (KSA) adalah adalah hutan dengan ciri khas tertentu, yang mempunyai fungsi pokok sebagai kawasan pengawetan. Kawasan hutan pelestarian alam (KPA) adalah hutan dengan ciri khas tertentu, yang mempunyai fungsi pokok perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa, serta pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya Taman buru adalah kawasan hutan yang di tetapkan sebagai tempat wisata berburu. Rincian mengenai jumlah lokasi KSA, KPA dan Taman Buru di Indonesia dapat dilihat pada Tabel 3.2. Table 3.1. Jumlah Spesies yang Dilindungi Undang-Undang NO
FLORA/FAUNA
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14
Pohon Bunga Paku-pakuan Mamalia Burung Reptil Ampibi Ikan Kupu-kupu Kerang-kerangan Palm Anggrek Rafflessiaceae Lain-lain (akar bahar, kantong semar, dll)
JUMLAH SPECIES 400 25.000 1.250 515 1.519 600 270 8.500 121 20.000 -
JUMLAH SPECIES DILINDUNGI 13 70 93 20 7 20 14 14 29 semua jenis semua jenis
Sumber: Ditjen PHKA tahun 2002
Informasi Umum Kehutanan - 2002
19
Kotak 3.1
WISATA ALAM
Wisata alam (eco-tourism) adalah obyek atau kegiatan yang berkaitan dengan rekreasi/pariwisata yang memanfaatkan sda dan ekosistemnya. Tujuannya adalah untuk mengembangkan sektor pariwisata sekaligus mempertahankan keutuhan dan keunikan keragaman hayati dan ekosistemnya. Daya tarik wisata alam di Indonesia antara lain : • Keanekaragaman flora (terdapat 375 genera flora asia, 644 flora Australia, 421 flora philipina, terdapat suku dipterocarpaceae sejamulah 386 jenis); • Keanekaragaman Fauna sejumlah 663 jenis seperti komodo, anoa, babirusa, jalak bali, badak jawa,dll); • Keanekaragaman Biota laut (tumbuhan alga 197 jenis, mangrove 38 jenis, karang batu 70 jenis, molusca/siput 1500 jenis, ikan 2000 jenis, penyu 5 jenis, lumba-lumba 24 jenis,dll);
Tabel 3.2
Jumlah lokasi dan luas Kawasan Konservasi di Indonesia Jenis Kawasan
Kawasan Konservasi
Total Luas (juta ha)
Daratan Unit
Perairan
Luas (juta ha)
Unit
Luas (ha)
Unit
22,56
385
17,94
357
4,62
28
Kawasan Suaka Alam 1.
Cagar Alam
2,67
174
2,48
169
0,19
5
2.
Suaka Margasatwa
3,62
50
3,55
47
0,07
3
14,82 0,97
40 93
11,13 0,29
34 79
3,68 0,68
6 14
Kawasan Pelestarian Alam 1. Taman Nasional 2. Taman Wisata Alam 3.
TAHURA
0,24
14
0,24
14
-
-
4.
Taman Buru
0,24
14
0,24
14
-
-
Sumber : Ditjen PHKA tahun 2002
Informasi Umum Kehutanan - 2002
20
Kawasan Konservasi darat yang telah ditunjuk dan ditetapkan sampai dengan tahun 2001 adalah 169 unit Cagar Alam, 47 unit Suaka Margasatwa, 79 Unit Taman Wisata Alam, 14 unit Taman Buru, 34 unit Taman Nasional, dan 14 unit Taman Hutan Raya. Sedangkan Kawasan Konservasi Laut terdiri dari 5 Unit Cagar Alam, 3 unit Suaka Margasatwa, 14 unit Taman Wisata, dan 6 unit Taman Nasional, dengan rincian pada Tabel 3.2. 3. Perlindungan Hutan Perlindungan hutan bertujuan menjaga hutan, kawasan hutan dan lingkungannya agar fungsi lindung, konservasi dan produksi dari hutan tercapai secara optimal dan lestari. Secara umum perlindungan hutan diarahkan untuk menanggulangi bahaya kebakaran hutan, degradasi kawasan dan penurunan potensi ekonomi hutan. 3.1. Kebakaran lahan dan hutan Kebakaran hutan, kebun, dan lahan telah menjadi salah satu bentuk gangguan lingkungan hidup yang akhirnya menjadi gangguan yang serius terhadap pembangunan berkelanjutan. Dampaknya cukup besar terhadap kerugian ekonomis, kerusakan ekologis, estetika, produktivitas tanah, perubahan iklim, serta menurunnya keanekaragaman sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya, yang merupakan sumber plasma nutfah yang tak ternilai. Kebakaran hutan tahun 1997/1998 menyebabkan hilangnya lahan 9,7 juta hektar di mana 4,8 juta hektar merupakan areal hutan. Kerugian ekonomi diperkirakan sebesar 9,3 milyar dollar (Bappenas, 1999). Kerugian seketika akibat asap kebakaran hutan dan kebun antara lain gangguan terhadap kesehatan masyarakat dan transportasi, baik darat, perairan, maupun udara. Kejadian terakhir kebakaran di Sumatra Utara dan di Kalimantan Barat telah menyebabkan ditutupnya bandara di Medan dan di Pontianak untuk beberapa jam pada beberapa minggu yang lalu. Sementara itu, negara tetangga khususnya Singapura dan Malaysia melaporkan adanya gangguan asap yang menyelimuti beberapa bagian negara tersebut. Penyebab kebakaran hutan dan lahan di Indonesia hampir 99% diakibatkan oleh aktivitas manusia, baik disengaja maupun tidak disengaja (kelalaian). Secara umum, konversi hutan menyumbang 34%, peladangan liar 25%, pertanian 17%, kecemburuan sosial (konflik masyarakat dengan pengusaha hutan) 14%, transmigrasi 8%, dan hanya 1% yang disebabkan oleh alam. Faktor lain yang Informasi Umum Kehutanan - 2002
21
menjadi penyebab kebakaran hutan dan lahan adalah iklim yang ekstrim, sumber energi berupa kayu, deposit batubara, dan gambut. Daerah utama yang rawan kebakaran di Indonesia di antaranya adalah Sumatera Utara, Riau, Jambi, Kalimantan Barat, dan Kalimantan Tengah. Data luas kebakaran lahan dan hutan di Indonesia disajikan pada tabel berikut: Tabel 3.3. Data Kebakaran Hutan dan Lahan Tahun 1999 sampai dengan 2002. KEBAKARAN Tahun
Hutan (Ha)
Lahan (Ha)
1999
44,593.50
4,997.11
2000
3,002.45
14,578.13
2001
14,329.50
3,636.79
2002 (s/d Sept)
7,932.34
1,371.50
Sumber : Ditjen PHKA, tahun 2002 Catatan : Data tahun 2002 sampai dengan bulan September
3.2. Pengamanan Hutan Kawasan hutan, termasuk kawasan konservasi dan hutan lindung, pada saat ini umumnya mengalami berbagai gangguan dan tekanan yang luar biasa beratnya. Gangguan tersebut pada umumnya berupa penebangan liar (illegal logging), perburuan liar, perambahan kawasan untuk perladangan dan pemukiman, eksplorasi dan eksploitasi tambang, serta konflik lahan untuk penggunaan lain. Akibatnya, laju degradasi hutan Indonesia sudah sangat memprihatinkan yaitu mencapai 1,6 juta hektar per tahun (interpretasi citra landsat 10 tahun terakhir). Penyebab perusakan tersebut, tidak hanya dari masyarakat sekitar kawasan hutan, namun lebih karena kelemahan kebijaksanaan pemerintah, seperti: 1. Kegagalan menurunkan pertumbuhan penduduk, khususnya masyarakat sekitar kawasan hutan;
2. Kegagalan menjamin kepastian hukum kawasan; 3. Kegagalan reformasi di bidang agraria dan pembaharuan sosial pada lahanlahan produktif; 4. Kegagalan menciptakan lapangan kerja alternatif dalam industri dan agroindustri yang jauh dari kawasan hutan; Informasi Umum Kehutanan - 2002
22
5. Lebih membuka daripada membatasi akses ke kawasan hutan; serta 6. Pemberian susbsidi dan insentif bagi transmigrasi dan translokasi di lahan-lahan hutan negara.
7. Kendala kelembagaan pemerintah yang turut bertanggung jawab terhadap pengelolaan kawasan konservasi, seperti : - Prioritas bagi upaya konservasi alam biasanya rendah karena sistem sosial terbiasa dengan pemanfaaatan sumberdaya alam secara bebas. - Sistem komando dalam struktur organisasi pemerintah kaku, dan lemahnya dukungan dari lembaga-lembaga lain dalam menghadapi konflik; - Kondisi politik, ekonomi, dan sosial saat ini yang melemahkan dukungan finansial dan kemampuan birokrasi untuk menangani tindakan konservasi dan perlindungan. - Adanya tantangan politik lokal, tekanan organisasi kemanusiaan internasional dibidang HAM, dan perkembangan pemberdayaan otoritas daerah, di mana pihak berwenang tidak mendahulukan aspek konservasi dalam kasus-kasus yang terkait dengan eksploitasi sumberdaya alam. Kerugian atau dampak kerusakan hutan sangat memprihatinkan, terutama yang disebabkan oleh illegal logging dan perdagangan kayu haram, di antaranya adalah: -
Degradasi sumberdaya hutan, antara lain berupa (a) Penggundulan hutan dan meningkatnya lahan kritis; (b) Menurunnya kualitas ekosistem; serta (c) Berkurangnya kuantitas dan kualitas biodiversity.
-
Economic Loss, antara lain berupa (a) Hilangnya pendapatan negara seperti DR, IHH, dan pajak-pajak lainnya (diperkirakan sebesar Rp. 2,34 Trilyun per tahun di luar kerugian penyelundupan); (b) Nilai/harga kayu di pasar yang tidak wajar atau rendah akibat suplai yang berlebihan; (c) Rendahnya efisiensi pembalakan (limbahnya besar); serta (d) Pendapatan masyarakat yang tidak nyata dan hanya berjangka pendek.
-
Degradasi moral, baik moral aparat, pengusaha, maupun masyarakat. Hal ini mudah dirasakan, sebagai contoh adalah para pelaku pelanggaran sudah tidak merasa salah/berdosa apabila berbuat penebangan dan peredaran kayu haram/illegal.
-
Degradasi sosial kemasyarakatan, antara lain berupa (a) Masyarakat yang humanis berubah menjadi masyarakat yang individual; (b) Kesederhanaan yang tenteram berubah menjadi ketidakcukupan yang mengedepankan hukum rimba; (c) Pola kecenderungan menjadikan masyarakat bodoh,
Informasi Umum Kehutanan - 2002
23
miskin, dan sengsara dalam jangka panjang; (d) Terwujudnya kesenjangan sosial dalam masyarakat humanis; serta (e) Terbentuknya masyarakat yang tidak/kurang memiliki sikap taat hukum, tidak mau berusaha, dan tidak bekerja secara wajar. -
Degradasi budaya kemasyarakatan, antara lain berupa (a) Rasa cinta alam dan lingkungan tidak berkembang ke generasi berikutnya; (b) Terbangunnya masyarakat munafik, tidak bertanggung jawab, dan apriori; serta (c) Terbangunnya masyarakat malas, tidak beretos kerja, dan pesimistis.
Data gangguan kawasan konservasi periode tahun 1999-2002 disajikan pada Tabel 3.4. Tabel 3.4. Data Gangguan Kawasan Konservasi Periode Tahun 1999-2002 Tahun
Penebangan Liar
Perambahan Hutan
1999
11.773 batang
117.117,97 Ha
45.468 m3
33.480 KK
14.354 batang
136.120,59 Ha
42.466,60 m3
37.248 KK
11.313 batang
2.590.459,25 Ha
279.014,02 m3
43.872 KK
2002
1.491 batang
169.019,71 Ha
(s/d Sept)
1.386.060 m3
39.725 KK
2000 2001
Sumber : Ditjen PHKA 2002
Informasi Umum Kehutanan - 2002
24
4 INDUSTRI KEHUTANAN 1. Perkembangan Produksi Kayu Bulat, Kayu Gergajian , kayu Lapis dan Pulp Kayu gerjajian, kayu lapis dan pulp mulai tahun 1997/1998 mengalami permasalahan yang serius ditandai dengan adanya penurunan produksi sebagaimana dapat dilihat pada Tabel 4.1. Penurunan produksi tersebut disamping karena adanya penurunan potensi hutan alam, juga kemungkinan adanya kegiatan produksi dan perdagangan ilegal yang volumenya tidak tercatat. Keadaan produksi dari industri kehutanan juga tidak jauh berbeda. Jumlah produksi kayu gergajian, kayu lapis, pulp dan produk-produk olahan lainnya juga mengalami penurunan yang signifikan dalam kurun waktu 5 tahun terakhir seperti disajikan pada Tabel 4.1 di bawah ini. Tabel 4.1
Produksi Kayu Bulat, Gergajian, Kayu Lapis, dan Pulp selama 5 tahun terakhir Kayu Bulat
Produksi (m3) Gergajian Kayu Lapis
97/98
29.520.322
2.613.452
6.709.836
2.424.453
98/99
19.026.944
2.707.221
7.154.729
1.993.624
99/00
20.619.942
2.060.163
4.611.878
1.194.283
2000
13.798.240
2.789.543
4.442.735
658.984
2001
10.051.481
674.868
2.101.485
702.121
Tahun
Pulp
Sumber : Ditjen Bina Produksi Kehutanan
Informasi Umum Kehutanan - 2002
25
Perkembangan Produksi Kayu
30.000.000 25.000.000 20.000.000
Kayu Bulat
M3 15.000.000
Kayu Lapis Kayu Gergajian
10.000.000
Pulp 5.000.000 0 97/98
98/99
99/00
2000
2001
2. Produksi Hasil Hutan Non Kayu Nasional Produksi Hasil Hutan Non kayu yang cukup menonjol sampai dengan tahun 2001 antara lain adalah rotan gondorukem, damar, dan kopal. Tabel 4.2 menyajikan produksi hasil hutan non kayu selama lima tahun terakhir. Tabel 4.2.
Produksi Hasil Hutan Non Kayu Selama 5 Tahun Terakhir
Jenis Komoditas Rotan Gondorukem Damar Sagu Terpentin Sutera Kopal M.Kayu Putih
Satuan Ton Ton Ton Ton Ton Kg Ton Liter
1997/98 32.389 69.658 6.423 3.944 13.700 13.440 764 331.457
1998/99 62.644 43.785 7.887 1.479 7.633 13.279 516 357.035
1999/00 38.417 24.025 6.310 585 2.667 1.911 114 63.465
2000
2001
94.752 3.342 114 647 -
23.836 580 2.921 428 -
Sumber : Ditjen BPK tahun 2002
Angka-angka di atas belum termasuk angka produksi PERUM PERHUTANI seperti rotan sampai dengan Desember 2001 mencapai 417.744 batang, serta getah pinus, kopal, daun kayu putih, lak cabang, bambu dan madu. Rincian produksi hasil hutan non kayu di Perum Perhutani seperti disajikan pada Tabel 4.3.
Informasi Umum Kehutanan - 2002
26
Tabel 4.3. Produksi Hasil Hutan Non Kayu di Perum Perhutani Tahun 2001. Jenis Komoditas Getah Pinus Kopal Daun Kayu Putih Lak Cabang Kokon Kopi (Oce) Kopi Glondong Kering Cengkeh Bunga Cengkeh Gagang Rotan Bambu Kelapa Madu
Satuan Ton Ton Ton Ton Kg Kg Kg Kg Kg Btg Ton Btg Btr Kg
Produksi 70.743 428 26.213 966 74.052 28.951 1.196 6.787 102 417.744 7.547 3.200 70.778 10.445
Sumber : Perum Perhutani tahun 2002
3. Permintaan Hasil Hutan Kebutuhan bahan baku kayu untuk kepentingan Industri Perkayuan (kayu lapis, pulp, kayu gergajian, dll) di Indonesia diperkirakan sebesar 58,24 juta m3 berdasarkan dari kapasitas terpasang industri perkayuan. Rincian kebutuhan kayu tersebut meliputi Industri yang terkait HPH 41,09 juta m3 dan industri tak terkait HPH sebesar 17,15 juta m3 (Badan Planologi tahun 2000). Data konsumsi kayu untuk kepentingan domestik (masyarakat) sebesar 0.9 m3 per kapita per tahun (berdasarkan ITTO tahun 1990) secara significant akan terus meningkat sesuai dengan laju pertumbuhan penduduk. Kapasitas izin IPKH tahun 2001 yang terbesar adalah jenis kayu gergajian/sawntimber sebesar 11.048.083 m3/tahun dari 1.618 unit izin IPKH dan kayu lapis sebesar 9.433.095 M3/tahun dari 107 unit izin IPKH.
Informasi Umum Kehutanan - 2002
27
Tabel 4.4. No 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Kapasitas Produksi Industri Perkayuan di Indonesia
Jenis Industri Sawntimber Plywood Pulp Block Board Chipmill Chopstick Pencilslat Kerangka Ply/Lunch Box Korek Api
Unit 1.618 107 6 78 7 47 7 3 8
Kapasitas (M3/th) 11.048.083 9.433.095 3.980.000 2.085.738 1.923.236 1.530.557 106.666 7.530 6.576.800
Sumber : Ditjen BPK tahun 2002
4. Ekspor Kayu Olahan Ekspor kayu olahan meliputi jenis kayu gergajian, kayu lapis, wood working dan block board. Selama lima tahun terakhir sampai dengan tahun 2001 ekspor kayu lapis merupakan yang terbesar menghasilkan devisa yaitu 6.093,53 juta US $. Tabel 4.5. Ekspor kayu olahan selama 5 tahun terakhir No
Produk Olahan
1
Sawntimber
1.000 M3 juta US $
0,30 0,48
15,90 22,00
20,50 68,76
9,87 40,52
12,31 5,19
2
Plywood
1.000 M3 juta US $
4.800,74 2.320,38
4.863,38 1.300,53
3.372,88 1.276,41
3.096,24 881,00
930,35 315,21
3
Wood Working
1.000 M3 juta US $
142,11 75,62
1.130,49 480,77
849,14 379,71
1.190,40 309,71
153,90 66,52
4
Block Board
1.000 M3 juta US $
120,63 37,10
511,74 109,39
436,66 114,72
368,78 70,56
407,95 34,05
satuan
97/98
98/99
99/00
2000
2001
Sumber Ditjen BPK tahun 2002
Informasi Umum Kehutanan - 2002
28
Volume Ekspor Kayu Olahan
1.000 M3
5000 4500 4000 3500 3000 2500 2000 1500 1000 500 0
Sawntimber Plywood Wood Working Block Board
97/98
98/99
99/00
2000
2001
Selain kayu, hasil hutan lainnya yang diekspor adalah berupa rotan, arang, kayu manis, kopal, damar, tengkawang, jelutung serta hasil hutan ikutan lainnya. Tetapi untuk tiga tahun terakhir ekspor hasil hutan non kayu yang menonjol adalah rotan, arang dan damar. 5. Keseimbangan Suplai dan Demand Hasil Hutan Berdasarkan informasi diatas maka Indonesia mengalami kesenjangan bahan baku sebesar 32,84 juta m3 per tahunnya. Kesenjangan ini diperoleh dari perbedaan antara produksi kayu bulat sebesar 25,40 juta m3 per tahun dan konsumsi untuk kepentingan industri perkayuan sebesar 58,24 juta m3 per tahun. Berdasarkan kajian proyeksi produksi dan konsumsi kayu bulat nasional tahun 1998 digambarkan perbedaaan pertahun selama lima tahun sebagai berikut: Table 4.6 Tahun 1998-1999 2000-2004 2005-2009 2010-2004 2005-2019
Proyeksi Produksi dan Konsumsi Kayu Bulat Nasional dari tahun 1998 – 2019 Optimis 40,34 51,60 54,16 56,86 60,16 64,02 72,50 70,96 76,99 77,83
Moderat 34,62 50,39 44,30 55,57 48,60 62,39 57,11 68,93 60,02 75,34
Pesimis 29,69 49,18 35,58 54,36 38,45 61,18 44,01 67,71 45,43 73,89
Sumber : Ditjen INTAG tahun 1998
Informasi Umum Kehutanan - 2002
29
Penyebab kesenjangan tersebut antara lain : (a) Pengembangan industri primer melampaui jatah tebangan tahunan (AAC); (b) Kurang berhasilnya pembangunan hutan tanaman; (c) Pemanfaatan hutan alam kurang optimal sehingga banyak limbah yang terbuang (efisiensi pembalakan rendah); (d) Praktek pengelolaan hutan alam yang belum berhasil melestarikan tingkat produksi kayu; (e) Industri perkayuan kurang efisien dalam pemanfaatan kayu karena peralatan/mesin yang sudah ketinggalan zaman. Kesenjangan kemampuan pasokan kayu bulat dengan kebutuhan industri perkayuan merupakan salah satu faktor yang mendorong terjadinya penebangan liar. 6. Kebijakan Soft-landing Sistem pengelolaan hutan produksi di Indonesia berdasarkan asumsi yang diterapkan untuk pengelolaan hutan primer, sedangkan kondisi hutan produksi saat ini didominasi oleh bekas tebangan. Disamping itu, terjadinya konversi, kebakaran, perambahan hutan, penebangan kayu secara liar dan tebangan melebihi jatah tebangan (over-cutting) menunjukkan bahwa Jatah Produksi Tahunan atau Annual Allowable Cut (AAC) yang ada tidak mendukung kelestarian hasil, sedangkan AAC yang lestari merupakan syarat utama untuk pengelolaan hutan lestari dan komitmen dari Pemerintah. Berdasarkan kondisi hutan tersebut, maka dikeluarkan kebijakan Softlanding, yang dilakukan dengan mengurangi AAC secara terencana dan bertahap untuk memberikan kesempatan kepada industri kehutanan menyesuaikan langkah kebijakan terhadap kapasitas mereka. Kebijakan ini ditempuh untuk menghindari “shocklanding” dengan implikasi-implikasi yang berbahaya, seperti permasalahan keuangan dan sosial yang berat. Disamping itu, industri perkayuan akan menuju kebangkrutan jika dihadapkan pada pengurangan pasokan bahan baku secara drastis. Disamping itu, penyesuaian AAC akan merupakan bagian dari penyempurnaan sistem perencanaan manajemen hutan termasuk penyempurnaan metoda inventarisasi hutannya. Langkah-langkah yang dilakukan untuk implementasi kebijakan ini adalah: a. Langkah pertama : menerapkan pengurangan AAC sementara untuk Propinsi, misalnya 25% pada tahun 2002. Pengurangan secara bertahap pada tahun Informasi Umum Kehutanan - 2002
30
berikutnya dapat dilakukan (misalnya 15% untuk tahun 2003 dan 10% untuk tahun 2004) hingga mencapai kelestarian hasil yang dapat dipertangggung jawabkan. Berdasarkan perkiraan bahwa luas hutan primer telah berkurang lebih dari 40%, maka pengurangan AAC sebesar 25% pada tahun depan dan dilanjutkan pada tahun berikutnya merupakan hal yang masuk akal.
b. Langkah kedua : penyusunan Rencana Karya Pengusahaan Hutan (RKPH) baru untuk semua unit pengelolaan hutan disertai dengan penyempurnaan peraturan, pedoman dan petunjuk teknis untuk perencanaan hutan produksi secara lestari. Kebijakan softlanding ditetapkan dalam rangka mengurangi kerusakan hutan yang disebabkan oleh eksploitasi yang berlebihan, yaitu melalui penebangan hutan alam secara bertahap. Perangkat hukum yang mendukung teknis pelaksanaannya adalah: •
• •
Kuota tebangan tahunan nasional sesuai dengan SK Menhut No. 6652/KptsII/2002 tanggal 4 Juli 2002 tentang penyusunan, penilaian dan pengesahan Rancana Kerja Tahunan (RKT) Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (UPHHK) pada hutan alam dan hutan tanaman. Dalam penetapan target produksi tahunan, Kepala Dinas Kehutanan Propinsi wajib mempedomani rakapitulasi LHC (laporan hasil cruising) yang disahkan Bupati/Walikota Rekapitulasi LHC blok tebangan tahunan dijadikan dasar penerbitan SPP PSDH / DR sesuai dengan PP Nomor 25 tahun 2002.
Informasi Umum Kehutanan - 2002
31
5 PENGURUSAN HUTAN
1. Perencanaan Kehutanan Berdasarkan UU No. 41/1999, perencanaan kehutanan perlu dilaksanakan secara transparan, bertanggung-gugat, partisipatif, terpadu, serta memperhatikan kekhasan dan aspirasi daerah. Perencanaan kehutanan meliputi Inventarisasi hutan, pengukuhan kawasan hutan, penatagunaan kawasan hutan, pembentukan wilayah pengelolaan, dan penyusunan rencana kehutanan. Inventarisasi hutan dilaksanakan untuk mengetahui dan memperoleh data dan informasi sumber daya hutan, potensi kekayaan alam hutan serta lingkungan secara lengkap. Hasil inventarisasi tersebut digunakan sebagai dasar pengukuhan kawasan hutan, penyusunan Neraca Sumber Daya Hutan Nasional (NSDH), penyusunan rencana kehutanan dan system informasi kehutanan. Pengukuhan kawasan hutan meliputi proses (a) penunjukan kawasan; (b) penataan batas kawasan hutan; (c) pemetaan kawasan hutan; dan (d) penetapan kawasan hutan. Penatagunaan kawasan hutan meliputi penetapan fungsi dan penggunaan kawasan hutan. Pemanfaatan hutan bertujuan untuk memperoleh manfaat yang optimal bagi kesejahteraan seluruh masyarakat secara adil dan lestari. Pemanfaatan dapat dilakukan diseluruh kawasan hutan kecuali pada cagar alam (CA) dan zona inti atau zona rimba pada TN.
Informasi Umum Kehutanan - 2002
32
Pemanfaatan Hutan Lindung berupa (a) pemanfaatan kawasan; (b) jasa lingkungan; (c) pemungutan hasil hutan non kayu. Sedangkan pada hutan produksi ditambah pemanfaatan hasil hutan kayu. Ijin usaha pemanfaatan kawasan, jasa lingkungan, pemungutan hasil hutan kayu dan non kayu dapat diusahakan oleh perorangan, koperasi, badan usaha milik swasta Indonesia, badan usaha milik negara atau daerah. Pembentukan wilayah pengelolaan hutan tingkat unit pengelolaan dilaksanakan dengan mempertimbangkan karakteristik lahan, tipe hutan, fungsi hutan, kondisi DAS, sosial budaya, ekonomi, kelembagaan masyarakat setempat termasuk masyarakat hukum adat dan batas administrasi pemerintahan. Kotak 5.1.
PERTAMBANGAN DI DALAM KAWASAN HUTAN
Penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan pembangunan non kehutanan meliputi pertambangan dan energi, religi, pertahanan dan keamanan, telekomunikasi, dan perhubungan. Kepentingan pertambangan meliputi (a) pertambangan umum/mineral; (b) minyak dan gas bumi; (c) panas bumi; (d) jalur listrik; (e) instalasi air. UU no.41/1999 pada hakekatnya mengatur penggunaan kawasan hutan di hutan produksi (HP dan HPT) dan hutan lindung (HL) melalui prosedur pinjam pakai. Khusus penambangan di HL dilakukan dengan pola tertutup. Persetujuan penggunaan kawasan hutan yang berdampak luas dilakukan oleh Menhut berdasarkan persetujuan DPR. Hutan yang rusak akibat penggunaan tsb harus direklamasi dan direhabilitasi.
Penyusunan rencana kehutanan berdasarkan jangka waktu perencanaan, skala geografis, fungsi pokok kawasan hutan. Dasar hukum penyusunan rencana kehutanan antara lain adalah propenas 2000-2004 sesuai dengan UU Nomor 25 Tahun 2000 dan Program Kehutanan Nasional yang dikenal dengan National Forest Programme (NFP). Menurut jangka waktu perencanaan perlu disusun Rencana Jangka Panjang (RUK), Rencana Strategis (Renstra), Rencana Pembangunan Tahunan (Repeta). Informasi Umum Kehutanan - 2002
33
Kegiatan mendasar yang perlu diperhatikan dalam perencanaan pembangunan kehutanan adalah (1) penyelesaian penegakan hukum terhadap pelanggaran di sektor kehutanan al. : penebangan dan perdagangan liar, kebakaran hutan,dll.; (2) perubahan paradigma pemanfaatan hasil hutan kayu menjadi non-kayu dan jasa lingkungan (ekotorisme, carbon sequestration,dll); (c) membuka diri terhadap pembangunan sektor lainnya dalam rangka konservasi sumber daya air. 2. Pengelolaan Hutan Pengelolaan hutan meliputi kegiatan (1) tata hutan dan penyusunan rencana pengelolaan hutan; (2) pemanfaatan hutan dan penggunaan kawasan hutan; (3) rehabilitasi dan reklamasi hutan; (4) perlindungan hutan dan konservasi alam. Dalam rangka pengelolaan kawasan hutan yang lebih intensif untuk memperoleh manfaat yang lebih optimal dan lestari dilakukan kegiatan tata hutan meliputi pembagian kawasan hutan dalam blok-blok berdasarkan ekosistem, tipe, fungsi dan rencana pemanfaatan hutan. Rehabilitasi hutan dan lahan dimaksudkan untuk memulihkan, mempertahankan dan meningkatkan fungsi hutan dan lahan sehingga daya dukung, produktivitas dan perananya dalam mendukung sistem penyangga kehidupan tetap terjaga, yaitu dengan memperhatikan kesesuaian luas dan letak hutan dalam Daerah Aliran Sungai (DAS). Rehabilitasi hutan dan lahan meliputi reboisasi, penghijauan, pemeliharaan dan pengayaan tanaman, serta penerapan teknik konservasi tanah secara vegetatif dan sipil teknis pada lahan kritis dan tidak produktif. Pelaksanaan rehabilitasi dengan memperhatikan kondisi biofisik serta potensi masyarakat setempat. Reklamasi hutan meliputi usaha untuk memperbaiki dan memulihkan kembali lahan dan vegetasi hutan yang rusak agar dapat berfungsi secara optimal sesuai fungsinya. Kegiatan reklamasi meliputi kegiatan inventarisasi lokasi, penetapan lokasi, perencanaan dan pelaksanaan reklamasi.
Informasi Umum Kehutanan - 2002
34
Kotak 5.2. DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) Dalam memposisikan hutan sebagai pelindung tanah, air, dan lingkungan, maka rehabilitasi dan reklamasi hutan dan lahan dilakukan dengan menggunakan DAS sebagai unit analisis, dengan kriteria dan indikator kinerja DAS adalah: a. b. c. d. e.
Pengunaan lahan (indikator : penutupan vegetasi, kesesuaian lahan, indeks erosi, dan pengelolaan lahan) Tata air (indikator : debit sungai, sedimen, polutan, dan nisbah handar sedimen) Sosial (indikator : kepedulian individu terhadap konservasi, partisipasi masyarakat, dan tekanan penduduk) Ekonomi (indikator : ketergantungan terhadap lahan, tingkat pendapatan masyarakat, produktivitas lahan dan jasa lingkungan) Kelembagaan (indikator : keberdayaan lembaga adat/lokal, ketergantungan terhadap pemerintah, dan kegiatan usaha bersama)
3. Hutan Kemasyarakatan Pada awalnya, Hutan Kemasyarakatan (HKm) diartikan sebagai hutan yang dikelola dengan tujuan mendukung kehidupan dan kesejahteraan masyarakat di sekitar hutan tanpa mengurangi fungsi pokoknya. Kegiatan tersebut dilaksanakan dengan meningkatkan daya dukung lahan melalui pemanfaatan ruang tumbuh dan bagianbagian tertentu dari areal pertanaman hutan, baik yang berada di dalam maupun di luas kawasan hutan. Prioritas kegiatan hutan kemasyarakatan diarahkan pada daerah-daerah yang mendapat tekanan penduduk penduduk, sebagai akibat desakan kebutuhan akan lahan dan hasil hutan. Model/pola hutan kemasyarakatan pada wilayah tertentu disesuaikan dengan kondisi dan situasi wilayah setempat dengan pendekatan jenis komoditi sesuai dengan kebutuhan masyarakat setempat. Pada tahun 1995 diterbitkan Keputusan Menteri Kehutanan No. 622/Kpts-II/1995 tanggal 20 Nopember 1995 tentang Pedoman Hutan Kemasyarakatan. Dalam keputusan tersebut, yang dimaksud dengan Hutan Kemasyarakatan adalah sistem pengelolaan hutan berdasarkan fungsinya dengan mengikutsertakan masyarakat. Informasi Umum Kehutanan - 2002
35
Hutan kemasyarakatan dilaksanakan dalam rangka rehabilitasi lahan kritis di hutan lindung dan hutan produksi yang ditetapkan untuk kegiatan hutan kemasyarakatan. Tujuannya adalah : a. Meningkatkan kesejahteraan masyarakat di sekitar dan di dalam hutan b. Meningkatkan mutu dan produktivitas hutan sesuai fungsi dan peruntukannya c. Menjaga kelestarian hutan dan lingkungan hidup. Kawasan hutan yang dapat ditetapkan untuk kegiatan Hutan Kemasyarakatan adalah kawasan hutan lindung dan atau hutan produksi yang kritis dan perlu direhabilitasi dan belum dibebani hak-hak lain. Kegiatan HKm dilakukan oleh masyarakat yang berada di dalam ataupun di sekitar kawasan hutan baik perorangan ataupun kelompok atau berupa koperasi. Pada tahun 1998 diterbitkan Keputusan Menteri Kehutanan No. 677/Kpts-II/1998 tentang Hutan Kemasyarakatan yang merupakan bentuk pengusahaan hutan oleh masyarakat. Hutan Kemasyarakatan adalah hutan negara yang dicadangkan atau ditetapkan oleh Menteri untuk diusahakan oleh masyarakat setempat dengan tujuan pemanfaatan hutan secara lestari sesuai dengan fungsinya dan menitik beratkan pada kepentingan mensejahterakan masyarakat. Pada tahun 1999 dilakukan penyempurnaan lagi dengan Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan No. 865/Kpts-II/1999. Selanjutnya dengan terbitnya UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, UU No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah, UU No 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan dan PP No. 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah Pusat dan Kewenangan Propinsi sebagai daerah otonom, dilakukan penyempurnaan lagi dengan diterbitkannya Keputusan Menteri Kehutanan No. 31/Kpts-II/2001 tentang Penyelenggaraan Hutan Kemasyarakatan. Beberapa penyempurnaan kebijakan hutan kemasyaratan antara lain sebagai berikut : 1. Sesuai dengan UU No. 41 Tahun 1999, pengertian Hutan Kemasyarakatan adalah hutan negara dengan sistem pengelolaan hutan yang bertujuan untuk memberdayakan masyarakat setempat tanpa mengganggu fungsi pokoknya. 2. Penyelenggaraan hutan kemasyarakatan berazaskan kelestarian fungsi hutan baik dari aspek ekosistem, kesejahteraan masyarakat yang berkelanjutan, pengelolaan sumberdaya alam yang demokratis, keadilan sosial, akuntabilitas publik serta kepastian hukum. 3. Hutan Kemasyarakatan yang bertujuan untuk memberdayakan masyarakat di dalam dan di sekitar hutan dalam pengelolaan hutan dalam rangka
Informasi Umum Kehutanan - 2002
36
meningkatkan kesejahteraannya dengan tetap menjamin kelestarian fungsi hutan dan ekosistemnya. Prinsip pengelolaannya adalah sebagai berikut : a. Memberi peran yang lebih aktif kepada masyarakat setempat dengan menempatkan masyarakat sebagai pelaku utama dalam pengelolaan hutan; b. Meningkatkan efektifitas dan efisiensi penyelenggaraan hutan kemasyarakatan dengan melimpahkan kewenangan kepada Pemerintah Kabupeten / Kota; c. Memberi peran kepada Pemerintah Kabupaten/Kota untuk : • Bertindak lebih pro aktif dalam pemberdayaan masyarakat setempat secara terus menerus dan berkesinambungan; • Memberikan kemudahan dalam proses penyelenggaraan, berupa penyederhanaan perencanaan, perijinan, penarikan pungutan dan lain-lain; • Membantu dan memfasilitasi masyarakat setempat untuk menentukan kelembagaannya secara mandiri Hutan kemasyarakatan dilaksanakan di seluruh Indonesia, kecuali Jakarta karena tidak adanya kawasan hutan yang dapat ditetapkan pengelolaan hutan kemasyarakatan. Dalam periode 5 tahun 1997/1998 s.d. 2001, total realisasi pembuatan tanaman hutan adalah 35.427 ha.
di Provinsi DKI sebagai wilayah terakhir sejak kemasyarakatan
4. Pengelolaan Hutan Rakyat Pengembangan hutan rakyat mempunyai peranan semakin penting, karena menghasilkan kayu untuk memenuhi permintaan kayu selain dari hutan alam yang kondisinya saat ini cenderung menurun kemampuannya dalam memenuhi permintaan kayu yang semakin meningkat. Dengan demikian pengembangan hutan rakyat akan mendorong berkembangnya usaha rakyat perdesaan. Kegiatan Pengembangan/pembangunan hutan rakyat selama tahun 2000 dan 2001 adalah seluas 5.792 ha. 5. Pengelolaan Hutan Adat Berdasarkan UU no. 41 Tahun 1999, Hutan Adat adalah hutan negara yang berada dalam wilayah adat yang pengelolaannya diserahkan pada masyarakat hukum adat. Hutan Adat tersebut sebelumnya disebut sebagai hutan ulayat, hutan marga, hutan pertuanan atau sebutan lainnya. Dengan demikian masyarakat adat yang keberadaan dan wilayahnya diakui ada, akan memperoleh hak mengelola dan memanfaatkan hutan sebagai hutan adat. Informasi Umum Kehutanan - 2002
37
Hutan Adat merupakan bagian dari hutan negara sebagai konsekuensi penguasaan oleh hutan negara dan prinsip negara kesatuan. Meskipun demikian, hak-hak masyarakat adat untuk melakukan pengelolaan hutan tetap dijunjung tinggi sepanjang kenyataannya masyarakat adat tersebut ada dan diakui keberadaannya. Saat ini sudah disusun Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) Hutan Adat yang mengatur hak dan kewajiban masyarakat adat. Dalam kaitan ini pengelolaan hutan oleh masyarakat adat akan diikuti dengan tanggung jawab pelestarian sumber daya yang dikelola oleh masyarakat.
Kotak 5.3.
Pandangan Masyarakat Adat
Pandangan masyarakat adat mengenai hutan adat sangat beragam dan terkait dengan konsep wilayah adat setempat antara lain : • hutan adat sebagai daerah keramat yang harus dihormati; • hutan adat sebagai hutan lindung atau hutan cadangan yang dapat dibuka jika anggota masyarakat membutuhkannya; • hutan adat adalah semua hutan dalam wilayah adat sebagai hutan adat. Pengertian yang beragam tersebut memerlukan kesepakatan bersama semua stakeholder.
Informasi Umum Kehutanan - 2002
38
6 PENELITIAN, PENGEMBANGAN, DIKLAT DAN PENYULUHAN KEHUTANAN 1. Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Penelitian dan pengembangan kehutanan dimaksudkan untuk meningkatkan penguasaan dan penerapan IPTEK kehutanan guna mendukung percepatan terwujudnya kelestarian hutan dan kesejahteaan masyarakat. Dalam konteks ini, penelitian dan pengemnbangan kehutanan diarahkan untuk menghasilkan kajiankajian ilmiah sebagi dasar pembuatan kebijakan (sebagai pemandu), menghasilkan teknologi untuk pemecahan permasalahan yang dihadapi, dan menghasilkan paketpaket teknologi tepat guna untuk meningkatkan kemampuan pengelolaan dan peningkatan nilai tambah sumberdaya. Berbagai produk telah dihasilkan dari kegiatan penelitian dan pengembangan, namun berbagai permasalahan masih dihadapi oleh Badan Litbang Kehutanan sebagai pemegang otoritas IPTEK kehutanan. Secara umum permasalahan tersebut adalah : (1) Badan Litbang belum menghasilkan IPTEK yang diharapkan membantu pemecahan permasalahan dalam pengelolaan hutan, (2) masih rendahnya appresiasi pihak pengguna atas perlunya IPTEK dalam praktek pengelolaan hutan. Kedua penyebab ini secara bersama-sama dari waktu ke waktu semakin memarginalkan peranan IPTEK (baca: Badan Litbang Kehutanan) dalam konstelasi pembangunan kehutanan, sementara di sisi lain kian disadari bahwa masalahmasalah kompleks dan multidimensi yang dihadapi sektor kehutanan dewasa ini sebagian bersumber dari pengabaian kaidah-kaidah IPTEK dalam pemanfaatan sumberdaya hutan beberapa dasa warsa berselang.
Informasi Umum Kehutanan - 2002
39
Masalah lain yang dihadapi Badan Litbang Kehutanan untuk meningkatkan produktifitasnya berkaitan dengan keterbatasan sumberdaya manusia. Saat ini jumlah tenaga S3 tidak lebih dari 50 orang dan sebagian sudah cukup senior mendekati purna tugas (bandingkan dengan Badan Litbang Pertanian yang mencapai lebih dari 200 orang plus sejumlah besar sedang dalam pendidikan). Kotak 6.1.
Sebagian dari Hasil Penelitian Kehutanan • • • • • • • •
•
Teknologi pembangunan hutan tanaman meranti Teknologi pemanfaatan mikrobiologi tanah (mikoriza dan bakteri) untuk mempercepat pertumbuhan Varietas ulat sutera unggul, Teknologi budidaya lebah dan pengolahan madu Teknologi budidaya gaharu Teknologi penangkaran burung bayan (burung langka) Perangkat perencanaan pengelolaan hutan produksi Pengolahan batang sawit sebagai substitut kayu Kapasitas jenis-jenis hutan tanaman sebagai rosot karbon
Saat ini Badan Litbang Kehutanan sedang membenahi dan mereposisi diri. Satu langkah awal yang dilakukan ialah menata kembali program penelitian dan pengembangan jangka panjang (Renstra LITBANG) agar tanggap dengan permasalahan sektor kehutanan. Kegiatan penelitian dan pengembangan diarahkan lebih berorientasi kepada pengguna; hanya kegiatan-kegiatan yang akan menghasilkan IPTEK yang diperlukan oleh pengguna yang akan dilakukan. Secara khusus, dalam jangka menengah, kegiatan penelitian difokuskan pada interface (persinggungan) antara progam penelitian dan pengembangan jangka panjang (10 program) dan 5 (lima) kebijakan prioritas Departemen Kehutanan. Selain itu, kegiatan jangka pendek juga mencakup pengkajian atas status (review) dan sintesis IPTEK berbagai bidang. Untuk itu penyelenggaraan penelitian dan pengembangan dimasa datang akan dilakukan dalam bentuk jejaring (networking) dengan berbagai pihak, termasuk perguruan tinggi, perusahaan swasta, dan organisasi atau lembaga penelitian Informasi Umum Kehutanan - 2002
40
lainnya. Diharapkan melalui starategi ini akan dihindarkan terjadinya duplikasi yang tidak perlu, sekaligus untuk meningkatkan sinergi. 2. Pendidikan dan Pelatihan Kehutanan Keberhasilan pembangunan kehutanan sangat tergantung pada kualitas sumberdaya manusia, bahkan pada era reformasi dan globalisasi dalam persaingan antar negara yang tajam maka tuntutan tersedianya tenaga yang professional adalah mutlak. Dengan demikian pengembangan sumber daya manusia kehutanan sangat penting dan strategis. Untuk itu Visi pembangunan sumberdaya manusia kehutanan adalah terwujudnya tenaga kehutanan yang professional dan berintegritas moral tinggi, berwawasan lingkungan dan peduli terhadap dinamika sosial masyarakat. Adapun misinya adalah (1) menyelenggarakan diklat kehutanan; (2) meningkatkan kualitas sumber daya manusia; (3) meningkatkan kerjasama dan kemitraan.
Kotak 6.2.
Realisasi Pendidikan Kehutanan Jumlah karya siswa Departemen Kehutanan sejak tahun 1994 - 2001 seluruhnya berjumlah 443 orang terdiri dari • S3 (Dalam Negeri dan Luar Negeri) sejumlah 76 orang; • S2 sejumlah 167 org (Luar Negeri) dan 169 orang (Dalam Negeri); • MM/MBA sejumlah 15 orang; dan • S1 sejumlah 16 orang. Dari jumlah 443 orang sejumlah 332 orang telah
menyelesaikan pendidikannya sedangkan 90 Kegiatan diklat yang menonjol orang masih dalam penyelesaian studi dan drop antara lain : (1) melanjutkan out sejumlah 20 orang. program pendidikan sarjana dan pasca sarjana, diploma, menengah kejuruan kehutanan; (2) menyelenggarakan pelatihan aparatur/PNS; (3) mengembangkan tenaga kediklatan; (4) mengembangkan kerjasama pendidikan dan pelatihan antara lain dengan ITTO mengenai Sustainable Forest Management and Human Resources Development, Australia mengenai Reduce Impact Logging (RIL), Denmark mengenai TOT and production of extention materials.
Informasi Umum Kehutanan - 2002
41
3. Penyuluhan Kehutanan. Penyuluhan kehutanan sebagai bagian integral dari pembangunan kehutanan yang intinya adalah upaya pemberdayaan masyarakat, dunia usaha dan para pihak lainnya, merupakan investasi dalam mengamankan asset negara terutama sumber daya hutan. Tujuan penyuluhan untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan serta mengubah sikap dan perilaku masyarakat agar mau dan mampu mendukung pembangunan kehutanan sehingga terwujud masyarakat yang mandiri yang berbasis kehutanan. Adapun sasarannya adalah masyarakat di dalam maupun diluar kawasan hutan yang berkaitan dengan pembangunan kehutanan. Tenaga Penyuluh Kehutanan saat ini sebanyak: 5.767 orang yang terdiri dari Penyuluh PNS sebanyak 5.038 orang, Penyuluh CPNS 180 orang, Calon Penyuluh PNS 114 orang dan Calon Penyuluh Honorer sebanyak 435 orang.
114
435
180
P-PNS P-CPNS CP-PNS CP-HONOR 5,038
Gambar 6.1. Komposisi Tenaga Penyuluh Kehutanan
Wilayah binaan penyuluh kehutanan mencapai 21 propinsi terdiri atas 38 kabupaten/kota yang meliputi 2.192 kecamatan dan terdiri atas 11.725 Desa, dengan jumlah masyarakat binaan sebanyak 27.363 Kelompok Tani atau sebanyak 1.328.040 orang petani. Permasalahan yang dihadapi antara lain lemahnya kelembagaan masyarakat, belum optimalnya metodologi dan pelaksanaan penyuluhan yang melibatkan potensi masyarakat dan LSM. Informasi Umum Kehutanan - 2002
42
Kebijakan operasional dalam penyelenggaraan penyuluhan kehutanan, yaitu: (1) mengembangkan system perencanaan dan program pennyuluhan dengan pendekatan bottom up–top down; (2) meningkatkan fungsi kelembagaan penyuluhan kehutanan Pusat, Daerah, dan Masyarakat; (3) meningkatkan peran serta penyuluhan dalam pembangunan kehutanan; (4) melakukan desentralisasi penyelenggaraan penyuluhan; dan (5) meningkatkan kualitas SDM penyuluhan saran dan prasarana dalam rangka pelaksanaan penyuluhan secara professional, efektif dan efisien.
Informasi Umum Kehutanan - 2002
43
7 KEBIJAKAN PRIORITAS KEHUTANAN 2002 - 2004
Upaya dan strategi yang
dilakukan Departemen Kehutanan bersama masyarakat dan Pemerintah Daerah untuk mengatasi permasalahan sektor kehutanan diharapkan akan menciptakan keseragaman pemahaman semua pihak untuk mendukung pencapaian pengelolaan hutan lestari yang selanjutnya dapat mengembalikan citra positif dalam penyelenggaraan pembangunan kehutanan dan pada gilirannya dapat memacu persaingan produk hutan Indonesia di pasar global serta peningkatan kesejahteraan masyarakat. Dalam rangka itu, untuk menangani permasalahan-permasalahan tersebut diatas Departemen Kehutanan pada tahun 2002 – 2004 memprioritaskan program pembangunan sebagai berikut : 1. 2. 3. 4. 5.
Pemberantasan penebangan liar. Penanggulangan kebakaran hutan. Restrukturisasi sektor kehutanan. Rehabilitasi dan Konservasi Sumberdaya Hutan Desentralisasi bidang kehutanan
Berdasarkan evaluasi pembangunan kehutanan, titik lemah kebijakan pembangunan kehutanan adalah pada tataran orientasi operasional. Selama ini orientasi pembangunan cenderung memberikan peluang yang besar bagi pelaku ekonomi skala besar. Masyarakat hanya diikutsertakan bukan sebagai pelaku usaha, sementara itu hutan diberlakukan sebagai objek bukan sebagai suatu bagian sistem pembangunan. Design kebijakan pembangunan kehutanan dilakukan secara Informasi Umum Kehutanan - 2002
44
sentralistis dan sifatnya berlaku makro sehingga muatan-muatan lokal kurang terwakili. 1. Pemberantasan Illegal Logging Kebijakan pemberantasan illegal logging dimaksudkan untuk mencegah dan mengurangi kerusakan sumberdaya hutan, mempertahankan dan menjaga hak-hak negara, masyarakat dan perorangan atas hutan. Di samping itu, kebijakan ini juga dimaksudkan untuk membangun persepsi yang sama dari seluruh pemangku kepentingan bahwa illegal logging telah menyebabkan masalah multidimensi yang berhubungan dengan aspek sosial, ekonomi, budaya dan lingkungan. Implementasi kebijakan berupa : 1. Sampai saat ini, pemberantasan illegal logging masih ditangani secara parsial, sehingga belum mampu menyelesaikan akar permasalahannya. Kegiatannya masih terfokus pada penangkapan dan pelelangan barang bukti. 2.
Illegal logging terjadi bukan hanya karena adanya ketimpangan pasokan dan permintaan saja, tetapi pada sisi lain juga sangat terkait dengan penegakan hukum dan masalah kesejahteraan masyarakat di dalam dan di sekitar hutan. Masalah ini tidak dapat ditangani hanya oleh satu institusi saja, karena melibatkan banyak sektor. Untuk itu perlu adanya komitmen dan koordinasi yang sinergis di antara sektor-sektor terkait.
3. Dampak dari adanya illegal logging tidak hanya dirasakan pada tingkat lokal saja, tetapi juga dirasakan sampai tingkat regional, nasional bahkan internasional. Untuk itu penanganan illegal logging harus dimulai sejak dari awal kegiatan penebangan terjadi sampai kepada jalur pemasaran di semua tingkatan. 4. Beberapa hal yang harus ditangani adalah: a. Penyusunan konsep pemberantasan illegal logging secara komprehensif dan sistematis. b. Pembangunan sistem informasi antara Pusat dan Daerah serta antardaerah dan perbaikan tata usaha kayu serta penguatan data dan informasi. c. Percepatan proses yustisi yang didukung oleh sistem pemantauan penyelesaian perkara. Informasi Umum Kehutanan - 2002
45
d. Pengadaan, pemberdayaan dan pendayagunaan PPNS Kehutanan, POLHUT dan PPKBRI. e. Penegakan hukum tanpa pandang bulu oleh instansi penegak hukum di daerah dengan dukungan secara tegas dari Pemerintah Pusat. f.
Penggalangan dan peningkatan komitmen pemberantasan illegal logging dan illegal trade sebagai masalah nasional dan internasional.
g. Dukungan dana operasional dan sarana prasarana yang memadai. h. Peningkatan kegiatan penyuluhan untuk penyamaan persepsi. i.
Pemberian insentif bagi pihak-pihak yang berjasa.
j.
Pengkajian efektivitas kinerja operasi pengamanan hutan Wanalaga dan Wanabahari.
k. Membangun flying-team GAKKUM (penegakan hukum) yang memberi dukungan kepada daerah yang menghadapi masalah penegakan hukum. 2. Penanggulangan Kebakaran Hutan Kebijakan penanggulangan kebakaran hutan dimaksudkan untuk mencegah dan mengendalikan kebakaran hutan serta mewujudkan kondisi masyarakat yang terlindungi dari berbagai dampak akibat kebakaran hutan. Kebakaran hutan menimbulkan dampak negatif berupa kerusakan hutan dan lingkungan termasuk musnahnya keanekaragaman hayati. Implementasi kebijakan berupa : 1. Kebakaran hutan tidak hanya merupakan ancaman yang serius bagi keutuhan dan kelestarian hutan, tetapi juga sangat merugikan perekonomian dan lingkungan hidup, baik di tingkat lokal, regional, nasional maupun internasional. Untuk itu kemampuan pencegahan dan penanggulangan terhadap gangguan kebakaran hutan harus terus ditingkatkan. 2. Pembangunan jejaring kerja antar daerah perlu dilaksanakan untuk memungkinkan terbentuknya kerjasama dan dukungan antar daerah dalam upaya penanggulangan kebakaran hutan yang efektif dan sinergis.
Informasi Umum Kehutanan - 2002
46
Kotak 7.1.
ILLEGAL LOGGING
Dalam pemberantasan illegal logging, pada akhir tahun 2001 telah mengeluarkan beberapa kebijakan yang penting antara lain : (1) Instruksi Presiden tentang Pemberantasan Illegal Logging di TN Gunung Leuser dan TN Tanjung Putting, (2) SKB Menhut dengan Mendagri tentang Larangan Ekspor Log, (3) Kerjasama Dephut dengan Polri dan TNI Angkatan Laut tentang Wanalaga dan Wanabahari, (4) SK Menhut tentang Moratorium Ramin dan (5) SK Menhut tentang Penertiban IPK,HPHH,IPPK dan Penetapan P2LHP,P3KB. Operasi Wanalaga dilaksanakan di seluruh wilayah hukum Indonesia (kecuali Nanggroe Aceh Darussalam, Maluku dan Maluku Utara) adalah berupa penegakan hukum terhadap kejahatan pencurian, penebangan, pengangkutan dan perdagangan kayu secara illegal. Hasil Operasi wanalaga adalah sebagai berikut : • • •
Jumlah kasus yang diungkap : 1.031 perkara Jumlah tersangka yang ditangkap : 1.277 orang Jumlah barang bukti yang disita : o Kayu : 317.954,9 m3 ; 125.868 batang log; 11.161 lembar; 28,5 ton o 39 unit alat pemotong dan 6 unit alat berat o Alat angkut : 72 unit kapal; 201 unit truck dan 45 unit roda 4
Taksiran kerugian negara yang dapat diselamatkan mencapai Rp. 286,159 milyar (dengan standar harga Rp. 900.000/m3) Sedangkan Operasi Wanabahari yang dilaksanakan TNI-AL adalah dalam rangka penegakan hukum pengangkutan dan perdagangan kayu secara illegal dan pencegahan penyelundupan kayu ke luar negeri melalui transportasi laut Hasil Operasi Wanabahari pada Januari-April 2002 adalah menahan dan memproses sejumlah 35 unit kapal. Disamping pelaksanaan Operasi Wanabahari dan Operasi Wanalaga, Jajaran kehutanan bekerjasama dengan instansi terkait di daerah juga melaksanakan operasi pengamanan hutan secara terus menerus, anatara lain seperti : • Operasi fungsional TN Gunung Leuser • Operasi Gabungan TN Kerinci Seblat di Bengkulu • Operasi gabungan dengan POLRES Rejang Lebong • Operasi Gabungan Unit KSDA Riau di Suaka Margasatwa Bukit Rimbang Bukit Baling • Operasi Pamhut Dinas Kehutanan Propinsi Kaltim dan CDK Bulungan
Informasi Umum Kehutanan - 2002
47
3. Dalam jangka panjang penanggulangan kebakaran hutan dilaksanakan dengan membangun kelembagaan daerah dengan dukungan pusat yang melibatkan peran aktif masyarakat di dalam dan sekitar hutan. 4. Beberapa hal yang harus ditangani: a. Untuk mengatasi kebakaran hutan secara cepat dan tepat diupayakan tersedianya dana siap pakai (on-call budget) secara nasional. b. Memfokuskan upaya penanggulangan kebakaran hutan pada usaha pencegahan dengan mengembangkan sistem peringatan dini (early warning system) dan membangun satuan-satuan pemadam kebakaran hutan (brigade kebakaran) di tiap daerah yang rawan gangguan kebakaran hutan, dengan dukungan dana, sarana dan prasarana yang memadai. c. Membangun jejaring kerja antara pusat dan daerah serta antardaerah. d. Mengadakan kampanye penanggulangan kebakaran hutan 3. Restrukturisasi Sektor Kehutanan Kebijakan restrukturisasi sektor kehutanan dimaksudkan agar sumberdaya hutan dapat dikelola secara lestari, sehingga dapat memberikan manfaat ekonomi, sosial dan lingkungan. Untuk itu, dalam kerangka restrukturisasi industri kehutanan diharapkan dapat tercipta industri kehutanan yang tangguh, kompetitif, tidak rentan terhadap perubahan lingkungan, serta terwujudnya struktur industri pengolahan kayu yang efisien dan berwawasan lingkungan yang dapat menghasilkan produk bernilai tinggi dan berdaya saing global. Implementasi kebijakan berupa : 1. Terjadinya perubahan kondisi dan penurunan potensi sumber daya hutan yang signifikan mengharuskan dilakukannya redesign pengelolaan sumber daya hutan. Termasuk dalam hal ini adalah penetapan sistem pengelolaan dan sistem silvikultur yang sesuai dengan kondisi dan potensi sumber daya hutan, serta kondisi sosial masyarakat setempat. 2. Mempercepat pembangunan hutan tanaman untuk mengatasi kekurangan bahan baku industri. 3. Merasionalkan kapasitas industri, sehingga seimbang dengan kemampuan pasokan bahan baku secara lestari. Informasi Umum Kehutanan - 2002
48
4. Mendukung penutupan industri kehutanan yang bermasalah di BPPN, tidak efisien dan tidak didukung penyediaan bahan baku. 5. Beberapa hal yang perlu dilakukan adalah : a. Pemberlakuan sertifikasi wajib pengelolaan hutan alam produksi lestari bagi HPH/IUPHHK. b. Pendataan kapasitas industri kehutanan yang ada saat ini dan kemampuan pasokan bahan baku. c. Melakukan evaluasi potensi sumberdaya hutan yang ada sebagai dasar rasionalisasi kapasitas industri. 4. Rehabilitasi dan Konservasi Sumberdaya Hutan Kebijakan rehabilitasi dan konservasi sumberdaya hutan dimaksudkan untuk mempercepat pulihnya kondisi sumberdaya hutan yang rusak dan lahan yang kritis serta mempertahankan dan melindungi kawasan konservasi dan keaneka ragaman hayati beserta ekosistemnya. Kegiatan-kegiatan rehabilitasi hutan ditujukan
untuk peningkatan hasil hutan kayu dan bukan kayu.
Dalam kaitan dengan tujuan pemenuhan kebutuhan kayu, kebijakan ini dimaksudkan untuk mewujudkan hutan tanaman yang produktif dan bernilai tinggi. Sedangkan konservasi sumberdaya hutan tidak hanya dilakukan pada kawasan konservasi, tetapi juga pada hutan lindung, hutan produksi dan kawasan ekosistem esensial lainnya di luar kawasan hutan, dengan harapan keanekaragaman hayati dapat tetap terpelihara dan bahkan meningkat. Implementasi kebijakan berupa : 1. Keberhasilan rehabilitasi hutan memerlukan komitmen Pemerintah Pusat, Provinsi, Kabupaten/Kota dan para pemangku kepentingan, dengan dukungan dana, iptek dan SDM yang memadai. 2. Daerah Aliran Sungai (DAS) harus dijadikan unit analisis/perencanaan dalam penyelenggaraan rehabilitasi hutan dan lahan. 3. Pembangunan Hutan Kemasyarakatan (HKM) harus mencirikan jenis tanaman pokok hutan unggulan setempat yang dipadukan dengan jenis tanaman yang bernilai tinggi. 4. Model pembangunan hutan yang berkolaborasi dengan masyarakat perlu dikembangkan, termasuk model Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat Informasi Umum Kehutanan - 2002
49
(PHBM) yang dikembangkan oleh PERHUTANI. Namun demikian perlu diikuti dengan evaluasi atas keberhasilannya. 5. Penanganan tindakan hukum secara tegas dan tuntas terhadap pelaku perusakan kawasan konservasi, perburuan liar, dan pemanfaatan tumbuhan dan satwa liar secara tidak sah, agar lebih diprioritaskan dan ditingkatkan. 6. Penciptaan kondisi dan iklim usaha yang kondusif dalam usaha hutan tanaman, melalui pemberian kepastian hukum yang mantap dan perlindungan kepada investor hutan tanaman secara konsisten. 7. Beberapa hal yang perlu dilakukan adalah: a. Mempercepat pengesahan pedoman penyusunan Master Plan Rehabilitasi Hutan dan Lahan. b. Memacu kegiatan rehabilitasi dengan memprioritaskan pada kawasankawasan hutan yang sudah dikukuhkan. c. Menerapkan cost benefit sharing dalam pengembangan hutan rakyat. d. Menyelesaikan secara tuntas pembangunan HTI yang menggunakan dana reboisasi yang dinilai bermasalah dengan mempedomani ketentuan yang berlaku. Restrukturisasi perusahaan HTI Patungan dan HTI BUMN mengupayakan pembenahan yang dilakukan dalam kegiatan usaha Pembangunan HTI yang didanai sebagian dari DR. e. Mengembangkan hutan tanaman yang memiliki nilai ekonomis dan ekologis pada areal yang tidak produktif dalam kawasan hutan produksi (berupa lahan kosong, padang alang-alang dan semak belukar). f.
Memenuhi kebutuhan bahan baku industri perkayuan dalam negeri, dengan tingkat harga jual yang wajar dan seimbang dengan harga jual kayu di pasar regional dan global.
g. Mengembangkan Lembaga Keuangan dan Lembaga Pemasaran yang sesuai dengan sifat dan karakter usaha hutan tanaman, antara lain berjangka panjang dan beresiko tinggi. h. Melaksanakan penelitian terhadap jati unggul hasil pembiakan kultur jaringan yang saat ini banyak beredar di masyarakat. i.
Mempercepat penyusunan standar dan kriteria reklamasi kawasan hutan bekas penambangan.
Informasi Umum Kehutanan - 2002
50
j.
Mengembangkan mekanisme pengawasan dan pengendalian yang efektif dalam penyelenggaran RHL melalui DAK-DR.
k. Mengintegrasikan antara kepentingan konservasi dan kebutuhan masyarakat akan sumber penghasilan dalam pengelolaan kawasan konservasi. l.
Merehabilitasi kawasan konservasi yang rusak dengan suksesi alami atau rehabilitasi buatan apabila diperlukan, dengan mengutamakan jenis setempat.
m. Membentuk kelembagaan taman nasional yang sudah ditetapkan. n. Menterjemahkan manfaat kawasan konservasi ke dalam nilai-nilai nyata yang dapat dipahami seluruh lapisan masyarakat. o. Mengembangkan pemanfaatan dan pemasaran keanekaragaman hayati dan jasa lingkungan yang didahului dengan penyusunan kriteria, indikator, prosedur dan mekanisme pemanfaatannya. p. Membangun sistem pengelolaan daerah penyangga kawasan konservasi yang efektif dikaitkan dengan upaya penyediaan alternatif pendapatan atau lapangan usaha bagi masyarakat di sekitar kawasan konservasi serta pencegahan terjadinya konflik kepentingan antara masyarakat dan satwa. q. Mensosialisasikan PP No. 35 tahun 2002 tentang Dana Reboisasi, termasuk skema penggunaan DR untuk kredit. 5. Penguatan Desentralisasi Kehutanan Kebijakan penguatan desentralisasi kehutanan dimaksudkan agar terselenggara koordinasi antarpemangku kepentingan pada berbagai tingkat. Dengan demikian dapat terbentuk kesamaan pemahaman dan tindakan tentang desentralisasi bidang kehutanan dalam rangka mewujudkan pengelolaan hutan lestari. Mengacu kepada GBHN 1999-2004, maka desentralisasi pengelolaan sumberdaya alam dilaksanakan secara bertahap, selektif dan sesuai dengan kemampuan daerah. Untuk mencapai maksud tersebut antara lain perlu dibangun jejaring kerja yang efektif dan diterima oleh segenap pemangku kewenangan di bidang kehutanan. Implementasi kebijakan berupa :
Informasi Umum Kehutanan - 2002
51
1. Perbedaan pandangan tentang kewenangan antara pemerintah pusat, provinsi dan kabupaten/kota yang dapat memperburuk pelaksanaan administrasi kepemerintahan, harus diakhiri dengan meningkatkan komunikasi antarpemangku kepentingan. 2. Pembagian peran antara pihak-pihak yang menangani pengelolaan hutan merupakan sikap terbaik daripada hanya mempermasalahkan kewenangan. 3. Pelaksanaan Undang-Undang Kehutanan yang dihubungkan dengan undangundang lainnya harus disikapi secara arif dan bijaksana yang dilandasi dengan suara “hati nurani” dalam memilih yang terbaik bagi kelestarian hutan. 4. Dalam rangka membangun jejaring kerja perlu ditetapkan hirarkhi dan sistem manajemennya, mencakup perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan, sehingga norma-norma pelaksanaannya dapat diketahui dengan pasti. 5. Pelaksanaan tata batas dalam rangka pengukuhan kawasan hutan memerlukan legitimasi masyarakat dengan pendekatan partisipatif. 6. Dalam pembentukan institusi kehutanan (pusat dan memperhatikan luasan wilayah atas dasar kesatuan ekosistem.
daerah)
perlu
7. Hal-hal yang perlu dilaksanakan : a. Membangun jejaring kerja kehutanan untuk menciptakan sinergi pengelolaan hutan, yang diimplementasikan dalam bentuk Tata Hubungan Kerja antara pusat, provinsi, kabupaten/kota. b. Mengkomunikasikan PP No. 34 Tahun 2002 dan PP No. 35 Tahun 2002 serta PP lainnya sebagai penjabaran UU No. 41 Tahun 1999, kepada semua pihak terkait oleh tim terpadu yang kompeten. c. Pelimpahan kewenangan pembinaan dan pengawasan terhadap pengelolaan hutan kepada Gubernur sesuai dengan UU No. 41 Tahun 1999 dan PP No. 20 Tahun 2001 serta Keppres No. 74 Tahun 2001. d. Meningkatkan jaringan komunikasi antara pusat, provinsi dan kabupaten/kota sebagai sarana pertukaran data dan informasi aktual yang berkaitan dengan pengelolaan hutan.
Informasi Umum Kehutanan - 2002
52
8 MASA DEPAN PEMBANGUNAN KEHUTANAN
1. Pengelolaan Sumber Daya Hutan Berkelanjutan Pengelolaan hutan sebagai bagian dari pembangunan wilayah masih menghadapi berbagai masalah yang komplek dan saling terkait. Permasalahan tersebut antara lain terjadinya banjir, erosi, kekeringan, degradasi lahan, belum adanya keterpaduan antar sektor dan antar instansi, dan kesadaran masyarakat yang rendah tentang pelestarian manfaat sumberdaya alam. Pembangunan kehutanan ke depan harus bisa memecahkan permasalahanpermasalahan tersebut dengan peluang-peluang yang ada. Peluang yang paling memungkinkan dalam menghadapi permasalahan yang komplek tersebut adalah dengan meningkatkan pengelolaan hutan dalam kontek pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS) terpadu. Pengelolaan DAS mempunyai tujuan membina kelestarian dan keserasian ekosistem hutan, tanah, dan air dalam DAS serta meningkatkan daya dukung dan manfaat sumberdaya alam bagi manusia secara berkelanjutan. Pengelolaan ini dilakukan secara terpadu melalui pendekatan ekosistem DAS yang dilaksanakan berdasarkan prinsip “ satu sungai, satu rencana, satu pengelolaan”.
Informasi Umum Kehutanan - 2002
53
2. Social Forestry Pada waktu lampau, pengelolaan hutan menekankan pada pendekatan teknik dan ekonomi. Namun sekarang rimbawan dituntut untuk menfokuskan masalah sosial sebagai bagian dari proses pengelolaan hutan yang lestari. Memecahkan masalah sosial memerlukan sebuah pemahaman terhadap nilai-nilai yang dipegang oleh masyarakat dan partisipasi dari kelompok masyarakat kunci dalam membuat keputusan antara hutan sebagai barang atau sebagai jasa. Social Forestry dilaksanakan dengan prinsip: 1) Penciptaan suasana yang memungkinkan berkembangnya potensi/daya yang dimiliki masyarakat, 2) memperkuat potensi/daya yang dimiliki masyarakat, dan 3) melindungi masyarakat dari dampak persaingan yang tidak sehat, antara lain dengan pemihakan kepada masyarakat. Sebagai dasar konsepsi, pembangunan social Forestry dimaksudkan untuk meningkatkan kemampuan dan kemandirian masyarakat setempat dalam pemanfaatan hutan, dengan tujuan membangkitkan ekonomi masyarakat di dalam dan sekitar hutan dan mempercepat rehabilitasi hutan dengan mempersatukan masyarakat, investasi, dan institusi usaha pengelolaan hutan. Konsepsi berikutnya adalah bahwa social foresty merupakan: bentuk usaha pemanfaatan hutan dengan struktur usaha yang kokoh yang berkeadilan sosial bagi rakyat Indonesia, tahapan yang dibangun melalui proses (enterpreneurships masyarakat), kemitraan dengan pelaku usaha, dan bentuk pemanfaatkan hutan sesuai fungsinya. Social Forestry harus dilaksanakan dengan berpedoman pada prinsip pengelolaan sumber daya hutan dan pemberdayaan masyarakat, yaitu : kelestarian sumberdaya hutan, kerakyatan, swadaya masyarakat, kemitraan dan berkelanjutan. Berdasarkan prinsip tersebut diperlukan : • • •
Pengembangan social forestry harus menjamin peningkatan integritas kelestarian ekosistem sumberdaya hutan; Pembangunan kehutanan diutamakan bagi sebesar-besar kemakmuran rakyat banyak, bukan perorangan; Bantuan, bimbingan dan dukungan yang diberikan harus mampu menumbuhkan kemampuan dan kemandirian masyarakat sebagai kelompok penerima manfaat (target beneficiaries);
Informasi Umum Kehutanan - 2002
54
• •
Pembangunan social forestry perlu dilaksanakan melalui kemitraan antara peserta social forestry dengan dunia usaha dan lembaga non bisnis (diklat, litbang) sesuai prinsip kesetaraan, ketergantungan dan saling menguntungkan; Pembangunan social forestry dilaksanakan sesuai dengan potensi dan kemampuan masyarakat setempat serta kesinambungan manfaat dan kelestarian lingkungannya.
Pada prinsipnya pembangunan social forestry mempunyai 2 (dua) pokok pemahaman yaitu (a) meningkatkan kelestarian pengelolaan hutan; (b) memberdayakan peran serta masyarakat. Sedangkan tujuan jangka panjang adalah : • • •
Meningkatkan kesejahteraan masyarakat di dalam dan disekitar hutan; Mewujudkan kelestarian SDH sehingga dapat berfungsi secara optimal sebagai system penyangga kehidupan (life support system); Memberikan kontribusi nyata dalam ketahanan pangan nasional.
Tujuan jangka menengah pembangunan social forestry adalah : • • • •
Merehabilitasi kawasan hutan yang rusak sesuai dengan fungsinya; Mengembangkan dan memperkuat kelembagaan ekonomi rakyat di dalam dan disekitar hutan (on farm dan off farm) yang efektif, efisien dan competitive; Menciptakan iklim usaha rakyat yang berbasis kehutanan secara kondusif; Menyediakan sarana dan prasarana yang mendukung kelancaran pengembangan usaha social forestry.
Untuk itu, dalam rangka pemecahan masalah-masalah sosial kehutanan, pengelolaan hutan harus selalu diupayakan berorientasi kepada seluruh potensi sumberdaya hutan dan berbasis kepada kepentingan masyarakat melalui pemberian peluang usaha kepada masyarakat setempat yang terintegrasi dalam pengelolaan pembangunan pedesaan. Pengelolaan hutan berbasis masyarakat ini diselenggarakan berazaskan kelestarian fungsi hutan dari aspek ekosistem, kesejahteraan masyarakat yang berkelanjutan, pengelolaan sumberdaya alam yang demokratis, keadilan social, akuntabilitas public serta kepastian hukum. Perubahan paradigma pembangunan kehutanan menyebabkan perubahan kebijakan dan implementasi pengelolaan hutan yang lebih berkeadilan sosial, demokratis dan dapat dipertanggung jawabkan, yaitu: pengelolaan hutan bersama/berbasis/oleh masyarakat dalam rangka mengantisipasi tuntutan kebutuhan dan menampung aspirasi yang berkembang di masyarakat.
Informasi Umum Kehutanan - 2002
55
Pengelolaan ini bertujuan meningkatkan partisipasi masyarakat setempat dalam pengelolaan hutan dalam rangka meningkatkan kesejahteraannya dengan tetap menjaga kelestarian fungsi hutan dan lingkungan hidup. Kegiatan-kegiatan di lapangan difokuskan pada pengembangan kelembagaan, pengelolaan SDA dan pemberdayaan masyarakat. Dalam pelaksanaannya, pengelolaan ini harus memperkecil permasalahanpermasalahan yang biasanya timbul pada pengelolaan yang bersifat Top-down, yaitu dengan: a. memperhatikan dan mengakomodir aturan-aturan dan nilai adat tradisional, b. memperhatikan dan mengakui hak-hak penguasaan lahan adat tradisional, c. memperhatikan keikutsertaan dan pemberdayaan masyarakat local, dan d. menciptakan alternatif sumber pendapatan yang memadai Strategi pembangunan social forestry meliputi : •
• • • • •
Peningkatan produksi pangan dalam rangka menanggulangi kemiskinan dan kerawanan ketahanan pangan nasional melalui (a) membuka akses masyarakat terhadap pemnanfaatan SDH; (b) menciptakan dan memperluas lapangan kerja; (c) meningkatkan produktivitas lahan; (d) meningkatkan akses terhadap pasar, sumber pembiayaan, teknologi dan informasi. Penguatan kapasitas (Institutional capacity building) melalui pengembangan SDM dan pemantapan jejaring kerja (networking) yang melibatkan perguruan tinggi, LSM, dan lembaga penelitian; Pengembangan kelembagaan ekonomi rakyat melalui penguatan kelembagaan SF sebagai suatu system agribisnis kehutanan dengan pelaku utama masayarakat dan pemerintah berperan sebagai fasilitator; Pengembangan permodalan sesuai dengan kelembagaan masyarakat dan ketersediaan SDH melalui bantuan murni, bantuan bergulir, kredit subsidi, dan kredit komersial. Pengembangan agribisnis social forestry dengan karakteristik tersendiri berdasarkan sistem usaha kehutanan; Pengembangan sistem tenurial (land tenure system) dilaksanakan dalam rangka mengurangi konflik kepentingan antara SDH dengan berbagai pihak;
Informasi Umum Kehutanan - 2002
56
3. Pengembangan Sistem Informasi Kehutanan Pengembangan Sistem Informasi Kehutanan berbasis komputer sudah dimulai sejak tahun 1990. Pengembangannya di bagi dalam tiga tahap pengembangan. Tahap pertama tahun 1990 – 1994 adalah tahap Persiapan. Target pada tahap persiapan ini adalah terciptanya pola sistem informasi yang dapat memenuhi kebutuhan masing-masing organisasi di Departemen Kehutanan dan terpenuhinya kebutuhan sumberdaya meliputi tenaga, perangkat keras dan perangkat lunak. Pada tahun 1991 telah dibangun laboratorium Sistem Informasi Geografis dan Penginderaan Jauh dan sistem jaringan komputer lokal (LAN) di beberapa lantai di Gedung Departemen Kehutanan Pusat. Dalam pengembangan database kehutanan telah dimulai pengumpulan database kehutanan secara spasial berupa peta-peta sumberdaya hutan dan potensi hutan, dan database kepegawaian. Tahap kedua adalah tahap pengembangan dari tahun 1995 – 1999. Pada tahap ini diharapkan terciptanya suatu siatem informasi yang terintegrasi yang didukung dengan sistem pengumpulan data dan distribusi Informasi yang mantap, dan terpenuhinya kebutuhan sumber daya operasional dalam memenuhi kebutuhan sistem informasi baik di pusat maupun di daerah. Pada tahap ini, di gedung pusat Departemen Kehutanan untuk pertama kalinya dibangun secara lengkap sistem jaringan komputer lokal (LAN) di 14 lantai gedung Blok I dan 8 lantai gedung Blok VII dan pembangunan sistem internet dan surat elektronis (email). Pada tahun 1996 Departemen Kehutanan mulai meluncurkan Website Departemen Kehutanan pada alamat http://www.dephut.go.id/ yang terus berkembang hingga saat ini. Pada tahap pengembangan ini juga dibangun sistem jaringan komunikasi data jarak jauh di 4 unit kantor kehutanan di Bogor dan 27 unit Kantor Wilayah Kehutanan Propinsi, dan beberapa unit Unit Pelaksana Teknis (UPT) Dephut, kemudian pengembangan Sistem Informasi Geografis di beberapa UPT Departemen Kehutanan. Informasi Umum Kehutanan - 2002
57
Tahap ketiga adalah tahap mantap (tahun 2000 ke atas) dimana telah tercipta suatu sistem informasi Departemen Kehutanan yang mampu memberikan semua informasi bagi manajemen dan pelayanan kepada masyarakat dengan didukung oleh suatu sistem pengelolaan data dan informasi yang mantap dan telah terpenuhinya seluruh kebutuhan hardware, software dan sumberdaya manusia yang mampu memantapkan pemenuhan kebutuhan data dan informasi bagi manajemen dan masyarakat. Pada kenyataannya harapan ini masih sulit untuk dipenuhi. Sampai dengan saat ini perkembangan sistem informasi kehutanan masih bergumul dengan keberagaman database kehutanan yang cenderung tidak konsisten dan tidak akurat, belum lagi adanya kendala terganggunya aliran komunikasi data dari daerah ke pusat setelah diterapkannya otonomi daerah pada tahun 2000. Dengan terganggunya aliran data dari daerah ke pusat, pusat mengalami kesulitan yang sangat serius dalam mengkompilasi data kehutanan untuk menghasilkan angka nasional. Dalam mengatasi permasalahan-permasalahan sistem informasi kehutanan, kedepan Departemen Kehutanan perlu mengembangkan sistem informasi kehutanan yang dapat menjangkau sebagian besar pelaku/pemerhati/pemakai data dan informasi kehutanan. Teknologi yang paling dimungkinkan adalah mengembangkan sistem informasi kehutanan yang berbasis internet (web) dengan aktivitas antara lain : a. Memantapkan dan mengembangkan Sistem Informasi Kehutanan dalam bentuk pembangunan database kehutanan yang terpadu berbasis web. b. Mengkaji dan menyempurnakan strategi pengembangan sistem informasi kehutanan. c. Mengoptimalkan pemberdayaan SDM dan teknologi informasi yang relevan melalui program pelatihan dan pendidikan formal dan program magang (on the job training); d. Memelihara dan mengembangkan jaringan komputer dan infrastruktur web di Pusat dan Daerah. e. Meningkatkan kesadaran pemanfaatan data dan informasi kehutanan melalui workshop, seminar dan konsultasi publik. f.
Meningkatkan mutu pelayanan data dan informasi kehutanan melalui evaluasi secara periodic sesuai perkembangan teknologi informasi;
Informasi Umum Kehutanan - 2002
58
Pengembangan aplikasi sistem informasi kehutanan yang telah dilakukan oleh Departemen Kehutanan antara lain : •
Aplikasi penyusunan anggaran LK/PO/DIP
•
Monitoring persuratan/disposisi Menteri Kehutanan
•
Aplikasi sistem gaji
•
Sistem Kepegawaian (SIMPEG)
•
Aplikasi CITES
•
Inventarisasi kekayaan milik negara
•
Sistem monitoring absensi kepegawaian
Sedangkan pembangunan aplikasi sistem informasi kehutanan yang akan datang antara lain adalah : •
Sistem administrasi perencanaan;
•
Sistem informasi kepegawaian;
•
Sistem Informasi keuangan;
•
Sistem informasi dokumentasi, antara lain kearsipann, perlengkapan, perundang-undangan, kelembagaan, tata laksana, hubungan luar negeri dan kehumasan;
•
Sistem informasi pemanfaatan hutan;
•
Sistem informasi sumberdaya hutan antara lain HTI, PSDH, penutupan lahan, pelestarian alam dan lain-lain;
•
Sistem informasi pengawasan hutan;
•
Sistem informasi perpetaan kehutanan.
Informasi Umum Kehutanan - 2002
59
DAFTAR ISTILAH Hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan yang lainnya tidak terpisahkan. Kehutanan adalah sistem pengurusan yang bersangkut paut dengan hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan yang diselenggarakan secara terpadu. Kawasan hutan adalah wilayah tertentu yang ditunjuk atau ditetapkan oleh pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap. Hutan negara adalah hutan yang berada pada tanah yang tidak dibebani hak atas tanah. Hutan hak adalah hutan yang berada pada tanah yang dibebani hak atas tanah. Hutan adat adalah hutan negara yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat. Masyarakat hukum adat adalah kelompok masyarakat yang terikat oleh hukum adat, keturunan dan tempat tinggal. Hutan desa adalah hutan negara yang dikelola desa untuk kesejahteraan desa. Hutan kemasyarakatan adalah hutan negara yang pemanfaatan utamanya untuk memberdayakan masyarakat tanpa mengganggu fungsi pokoknya. Hutan rakyat adalah hutan pada tanah yang diakui sebagai milik rakyat baik bersama maupun perorangan Hutan produksi adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok memproduksi hasil hutan.
Informasi Umum Kehutanan - 2002
60
Hutan lindung adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah banjir, mengendalikan erosi, mencegah intrusi air laut, dan memelihara kesuburan tanah. Hutan konservasi adalah kawasan hutan dengan ciri khas tertentu, yang mempunyai fungsi pokok pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekositemnya. Kawasan hutan suaka alam adalah hutan dengan ciri khas tertentu, yang mempunyai fungsi pokok sebagai kawasan pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya, yang juga berfungsi sebagai wilayah sistem penyangga kehidupan. Kawasan hutan pelestarian alam adalah hutan dengan khas tertentu, yang mempunyai fungsi pokok perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa, serta pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya. Hutan bakau adalah zona peralihan antara ekosistem darat dan ekosistem laut yang memiliki nilai penting untuk perlindungan pantai, penahanan endapan lumpur dan fungsi keseimbangan lingkungan. Cagar alam adalah kawasan suaka alam yang mempunyai ciri khas tumbuhan, satwa dan ekosistemnya atau ekosistem tertentu yang perlu dilindungi untuk kepentingan ilmu pengetahuan dan kebudayaan dan perkembangannya berlangsung secara alami. Suaka margasatwa adalah kawasan suaka alam yang mempunyai ciri khas berupa keanekaragaman dan atau keunikan jenis satwa bagi ilmu pengetahuan dan kebudayaan dan kebanggaan nasional yang untuk kelangsungan hidupnya dapat dilakukan pembinaan terhadap habitatnya. Taman nasional adalah kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk keperluan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikaan, penunjang budidaya tumbuhan dan atau satwa, pariwisata dan rekreasi. Taman hutan raya adalah kawasan pelestarian alam untuk tujuan koleksi tumbuhan dan atau satwa yang alami atau bukan alami, jenis asli atau bukan jenis asli yang
Informasi Umum Kehutanan - 2002
61
dimanfaatkan bagi kepentingan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, penunjang budidaya tumbuhan dan atau satwa, budaya, pariwisata, dan rekreasi. Taman wisata alam adalah kawasan pelestarian alam dengan tujuan untuk dimanfaatkan bagi kepentingan pariwisata dan rekreasi alam. Taman buru adalah kawasan hutan yang ditetapkan sebagai tempat wisata buru. Kebakaran vegetasi adalah istilah yang dipakai dalam menggambarkan kebakaran hutan dan lahan yang meliputi penangkapan, pengolahan, penginterpretasian, dan presentasi data kebakaran yang diperoleh NOAA. Kebakaran liar (wild fire) adalah istilah yang dipakai untuk kebakaran tetumbuhan yang tidak terkendali. Titik panas (hot spot) adalah istilah untuk menunjukkan lokasi terjadinya kebakaran vegetasi yang terlihat di layar komputer atau di peta kebakaran, atau sebagaimana yang diindikasikan oleh koordinatnya. Asap (smoke) adalah gas yang tampak akibat dari pembakaran (Deutches Institut fur Normung) Kabut (haze) adalah partikel-partikel kering yang mengakibatkan berkurangnya jarak pandang (World Meteorological Organization) Penutupan lahan/vegetasi adalah kondisi permukaan bumi yang menggambarkan kenampakan penutupan lahan dan vegetasi. Perubahan kawasan hutan adalah berubahnya luas kawasan hutan sebagai akibat dari adanya pelepasan kawasan hutan (untuk keperluan non kehutanan), adanya tukar menukar kawasan atau adanya perubahan fungsi hutan. Penataan batas kawasan hutan adalah suatu kegiatan dalam rangka menetapkan batas-batas yang pasti mengenai batas kawasan hutan berdasarkan fungsi-fungsinya yaitu fungsi hutan konservasi, hutan lindung dan hutan produksi. Inventarisasi hutan adalah kegiatan untuk mengetahui keadaan potensi hutan berupa flora, fauna, sumberdaya manusia dan sosial ekonomi serta potensi budaya masyarakat di dalam dan luar kawasan hutan. Informasi Umum Kehutanan - 2002
62
Pengusahaan hutan adalah kegiatan pemanfaatan hutan yang berdasarkan atas azas kelestarian fungsi dan azas perusahaan yang meliputi penanaman, peliharaan, pengamanan, pemanenan hasil, dan pemasran hasil hutan. Hak pengusahaan hutan tanaman industri (HPHTI) adalah hak yang diberikan oleh Menteri Kehutanan kepada Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Badan Usaha Milik Swasta atau Koperasi untuk mengusahakan Hutan Tanaman Industri dalam jangka waktu tertentu. Hasil hutan adalah benda-benda hayati, nonhayati turunannya, serta jasa yang berasal dari hutan. Kayu gergajian adalah kayu hasil konversi kayu bulat dengan menggunakan mesin gergaji, mempunyai bentuk yang teratur dengan sisi-sisi sejajar dan sudut-sudutnya siku dengan kadar air tidak lebih dari 18%. Kayu lapis adalah panel kayu yang tersusun dari lapisan veneer dibagian luarnya, sedangkan dibagian intinya (core) bisa berupa veneer atau material lain, diikat dengan lem kemudian ditekan sedemikian rupa sehingga menjadi panel yang kuat. Termasuk dalam artian ini adalah kayu lapis yang dilapisi lagi dengan material lain. Rotan adalah rotan asalan yang dihasilkan dari hutan alam atau hasil budidaya masyarakat hutan. Gondorukem adalah getah dari pohon pinus (Pinus merkusii) yang kemudian diolah menjadi gondorukem. Kegunaan gondorukem adalah untuk bahan baku industri kertas, keramik, plastik, cat, batik, sabun, tinta etak, politur, farmasi, kosmetik, dll. Terpentin adalah getah dari pohon pinus (Pinus merkusii) yang kemudian diolah menjadi terpentin. Kegunaan terpentin adalah untuk bahan baku industri kosmetik, minyak cat, campuran bahan pelarut, antiseptik, kamfer dan farmasi. Minyak kayu putih adalah produk dari daun pohon kayu putih (Melaleuca leucadendron) melalui proses penyulingan dihasilkan minyak kayu putih. Kegunaan minyak kayu putih adalah untuk bahan farmasi. Damar adalah hasil sekresi (getah) dari pohon Shorea sp., Vatica sp., Dryobalanops sp., dan dari suku Dipterocarpaceae, termasuk damar mata kucing dan damar gelap. Informasi Umum Kehutanan - 2002
63
Kegunaan damar adalah sebagai bahan korek api, plastik, plester, vernis, lak, dan sebagainya. Sagu adalah ekstrak tepung sagu yang diambil dari empulur pohon sagu (Metroxylon rumphii Mart) yang tumbuh secara alam dan tanaman. Sutera adalah hasil/produk Usaha Tani Persuteraan Alam yang merupakan kegiatan usaha tani dengan hasil pokok berupa kokon atau benang sutera mentah. Kopal adalah getah dari pohon damar (Agathis alba) yang kemudian diolah menjadi kopal. Kegunaan kopal adalah untuk melapisi kertas agar tidak rusak kalau ditulis dengan tinta. Perlebahan adalah budidaya lebah untuk menghasilkan madu, jelly, lilin dan hasil lainnya.
Informasi Umum Kehutanan - 2002
64
DAFTAR SINGKATAN AAC CBD CCD CGI CGIF CIFOR CITES CPF CSD DAS DAK-DR DR FAO FCCC GDP GOI HKM HPH HPHH HRD HTI ICRAF IDCF IFAP IPF/IFF
adalah Annual Allowable Cut adalah Convention on Biodiversity adalah Convention on Combating Disertification adalah Consultative Group on Indonesian adalah Consultative Group on Indonesian Forestry adalah Centre for International Forestry Research adalah Convention on International Trade in Endangered Species adalah Collaborative Partnership on Forest adalah Conference on Sustainable Development adalah Daerah Aliran Sungai adalah Dana Alokasi Khusus-Dana Reboisasi adalah Dana Reboisasi adalah Food and Agricultural Organization adalah Framework Convention on Climate Change adalah Gross Domestic Product adalah Government of Indonesia adalah Hutan Kemasyarakatan adalah Hak Pengusahaan Hutan adalah Hak Pemungutan Hasil Hutan adalah Human Resources Development adalah Hutan Tanaman Industry adalah International Centre for Research in Agro Forestry adalah Interdepartmental Committee on Forestry adalah Indonesian Forestry Action Plan adalah Intergovernmental Panel on Forests/Intergovernmental Forum on Forests IPKH adalah Industri Pengolahan Kayu Hilir IUPHHK adalah Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu ITFF adalah Interagency Task Force on Forest ITTO adalah International Tropical Timber Organization JICA adalah Japanese International Co-operation Agency LSM adalah Lembaga Swadaya Masyarakat NFP adalah National Forest Programme PHBM adalah Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat
Informasi Umum Kehutanan - 2002
65
POLHUT RIL RHL SFM SDM SIK TFAP TOT UNFF UNCED WFC WWF WTO
adalah Polisi Hutan adalah Reduce Impact Logging adalah Rehabilitasi Hutan dan Lahan adalah Sustainable Forest Management adalah Sumber Daya Manusia adalah Sistem Informasi Kehutanan adalah Tropical Forest Action Programme adalah Training of Trainers adalah Unit Nation Forum on Forests adalah Conference on Environmental and Development adalah World Forestry Congress adalah World Wide Fund for Nature adalah World Trade Organisation
Informasi Umum Kehutanan - 2002
66
LAMPIRAN
Lampiran 1. Luas Kawasan Hutan Indonesia berdasarkan Penunjukan Kawasan Hutan dan Perairan. No
Propinsi
Luas Daratan
Nomor SK Menhut
Tanggal SK
KSA / KPA Jumlah
Perairan
HL Daratan
Daratat
HPT Daratan
HP Daratan
Jml luas kawasan daratan dan perairan
Jml Luas Kawasan Hutan daratan
HPK Daratan
1
N. Aceh Darussalam
5.539.000 170/Kpts-II/2000 29-06-00
1.066.733
231.400
835.333
1.844.500
37.300
601.280
-
3.318.413
3.549.813
2
Sumbar
4.289.800 422/Kpts-II/1999 15-06-99
846.175
39.900
806.275
910.533
246.383
407.849
189.346
2.560.386
2.600.286
3
Jambi
5.343.600 421/Kpts-II/1999 15-06-99
676.120
0
676.120
191.130
340.700
971.490
-
2.179.440
2.179.440
4
Bengkulu **)
1.978.900 420/Kpts-II/1999 15-06-99
444.882
0
444.882
252.042
189.075
34.965
-
920.964
920.964
5
Lampung
3.538.500 256/Kpts-II/2000 23-08-00
462.030
0
462.030
317.615
33.358
191.732
-
1.004.735
1.004.735
6
Jabar
4.317.700 419/Kpts-II/1999 15-06-99
252.604
46.187
206.417
240.402
213.412
338.653
-
998.883
1.045.071
7
Jateng
3.254.900 435/Kpts-II/1999 15-06-99
115.086
110.117
4.969
75.538
174.185
396.751
-
651.443
761.560
8
Jatim
4.792.300 417/Kpts-II/1999 15-06-99
230.248
0
230.248
315.505
-
811.453
-
1.357.206
1.357.206
9
DI Yogyakarta
-
10 Bali 11 DKI Jakarta
318.600 171/Kpts-II/2000 29-06-00
910
0
910
2.058
563.300 433/Kpts-II/1999 15-06-99
26.293
3.415
22.879
95.766
13.851
-
16.819
16.819
6.719
1.907
-
127.271
130.686
66.400 220/Kpts-II/2000 02-08-00
108.272
108.000
272
45
158
-
475
108.475
12 Kalsel
3.653.500 453/Kpts-II/1999 17-06-99
175.565
0
175.565
554.139
155.268
-
688.884
265.638
1.839.494
1.839.494
13 Kalbar
14.680.700 259/Kpts-II/2000 23-08-00
1.645.580
77.000
1.568.580
2.307.045
2.445.985
2.265.800
514.350
9.101.760
9.178.760
14 Sulut
2.748.800 452/Kpts-II/1999 17-06-99
518.130
89.065
429.065
341.447
552.573
168.108
34.812
1.526.005
1.615.070
15 Sultra
3.814.000 454/Kpts-II/1999 17-06-99
1.664.069 1.471.800
192.269
1.061.270
419.244
633.431
212.123
2.518.337
3.990.137
16 Sulteng
6.368.900 757/Kpts-II/1999 23-09-99
676.248
0
676.248
1.489.923
1.476.316
500.589
251.856
4.394.932
4.394.932
17 Sulsel
6.248.300 890/Kpts-II/1999 14-10-99
789.066
580.765
208.301
1.944.416
855.730
188.486
102.073
3.299.006
3.879.771
18 Maluku
7.787.100 415/Kpts-II/1999 15-06-99
443.345
118.598
324.747
1.809.634
1.653.625
1.053.171
2.304.932
7.146.109
7.264.707
19 NTB **)
2.015.300 418/Kpts-II/1999 15-06-99
139.025
11.064
127.961
421.854
334.409
126.278
-
1.010.502
1.021.566
20 NTT
4.734.900 423/Kpts-II/1999 15-06-99
350.330
253.922
96.408
731.220
197.250
428.360
101.830
1.555.068
1.808.990
21 Irja
42.198.100 891/Kpts-II/1999 14-10-99
9.704.300 1.926.475
7.777.825
10.619.090
2.054.110
10.585.210
22 Sumsel
10.925.400 76/Kpts-II/2001
15-03-01
714.416
0
714.416
760.523
217.370
2.293.083
23 Kaltim
21.098.500 79/Kpts-II/2001
15-03-01
2.165.198
500
2.164.698
2.751.702
4.612.965
5.121.688
9.262.130 40.298.365 42.224.840 431.445
4.416.837
4.416.837
- 14.651.053 14.651.553
24 Sumut
7.168.000
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
25 Riau
9.456.100
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
15.356.400 192.257.000
-
-
26 Kalteng Jumlah
23.214.626 5.068.209 18.146.418 29.037.397 16.215.977 27.823.177 13.670.535 104.893.505 109.961.713
Sumber : Statistik Kehutanan, 2001, Departemen Kehutanan Catatan) Luas Kawasan Hutan dan Perairan yang telah ditetapkan Menhutbun/Menhut di 23 Propinsi semula luasnya : 108.571.713,28 Ha, belum termasuk TN (L) Wakatobi Prop. Sultra seluas 1.390.000 Ha (KPA Perairan di Prop. Sulawesi Tenggara semula luasnya 271.800 Ha menjadi 1.471.800 Ha), sehingga luas kawasan hutan dan perairan menjadi 109.961.713 Ha
Lampiran 2. Peta Kawasan Hutan Indonesia berdasarkan Penunjukan Kawasan Hutan dan Perairan
PETA KAWASAN HUTAN INDONESIA
Berdasarkan Penunjukan Kawasan Hutan dan Perairan
Lampiran 3.
No
Kondisi Penutupan Lahan/vegetasi Indonesia (diluar P. Irian Jaya) Berdasarkan Hasil Penafsiran Citra Landsat ETM+7 tahun 19992000 KAWASAN HUTAN (X 1.000 Ha) HUTAN TETAP
PROPINSI HL
1 N. ACEH DARUSSALAM A. Hutan B. Non Hutan C. Tidak Ada Data Total 2 SUMATERA UTARA A. Hutan B. Non Hutan C. Tidak Ada Data Total 3 RIAU A. Hutan B. Non Hutan C. Tidak Ada Data Total 4 SUMATERA BARAT A. Hutan B. Non Hutan C. Tidak Ada Data Total 5 BENGKULU A. Hutan B. Non Hutan C. Tidak Ada Data Total 6 JAMBI A. Hutan B. Non Hutan C. Tidak Ada Data Total 7 SUMATERA SELATAN A. Hutan B. Non Hutan C. Tidak Ada Data Total 8 BANGKA BELITUNG A. Hutan B. Non Hutan C. Tidak Ada Data Total
KSA-KPA
HP
HPK
HPT
APL TOTAL Jumlah Jumlah (X 1.000 (X 1.000 Ha) Ha)
1.570 153 130 1.853
730 26 72 828
438 128 72 637
18 16 4 37
0 0 0 0
466 1.554 238 2.258
3.221 1.876 515 5.613
725 623 207 1.556
181 19 70 270
236 246 39 520
790 760 190 1.740
113 242 6 361
300 2.156 235 2.690
2.346 4.045 746 7.137
210 104 87 401
188 40 133 361
655 435 728 1.818
1.126 728 448 2.301
849 2.943 805 4.597
3 172 9 184
3.030 4.422 2.209 9.661
549 294 101 944
603 64 107 774
234 101 93 428
131 67 25 223
87 68 24 179
161 1.224 274 1.658
1.766 1.817 625 4.208
175 44 32 251
390 50 22 461
22 15 1 38
136 47 2 185
0 0 0 0
168 855 67 1.090
891 1.011 124 2.025
96 23 56 174
349 187 177 714
575 241 194 1.010
211 58 34 303
0 0 0 0
232 1.862 509 2.603
1.463 2.372 970 4.804
201 327 24 552
239 301 192 732
205 1.359 211 1.774
29 210 3 242
18 544 33 595
175 4.294 277 4.745
866 7.035 739 8.639
50 131 37 218
0 0 0 0
96 327 57 480
0 0 0 0
0 0 0 0
46 767 143 956
192 1.225 237 1.654
Lampiran 3. (…. lanjutan)
No
KAWASAN HUTAN (X 1.000 Ha) HUTAN TETAP
PROPINSI HL
9 LAMPUNG A. Hutan B. Non Hutan C. Tidak Ada Data Total SUMATERA A. Hutan B. Non Hutan C. Tidak Ada Data Total 10 BANTEN A. Hutan B. Non Hutan C. Tidak Ada Data Total 11 DKI JAKARTA A. Hutan B. Non Hutan C. Tidak Ada Data Total 12 JAWA BARAT A. Hutan B. Non Hutan C. Tidak Ada Data Total 13 JAWA TENGAH A. Hutan B. Non Hutan C. Tidak Ada Data Total 14 D.I.YOGYAKARTA A. Hutan B. Non Hutan C. Tidak Ada Data Total 15 JAWA TIMUR A. Hutan B. Non Hutan C. Tidak Ada Data Total JAWA A. Hutan B. Non Hutan C. Tidak Ada Data Total
KSA-KPA
HP
HPT
HPK
APL Jumlah (X 1.000 Ha)
TOTAL Jumlah (X 1.000 Ha)
54 237 26 317
248 129 16 393
72 97 4 172
11 25 0 36
0 0 0 0
185 2.169 84 2.438
569 2.657 129 3.355
3.629 1.936 700 6.265
2.929 816 789 4.534
2.532 2.948 1.399 6.878
2.452 1.911 705 5.067
1.067 3.797 867 5.731
1.735 15.052 1.835 18.622
14.344 26.459 6.294 47.097
16 11 3 30
66 7 7 80
12 17 0 29
32 31 2 65
0 0 0 0
26 698 20 743
151 764 32 947
0 0 0 0
0 0 0 0
0 0 0 0
0 0 0 0
0 0 0 0
0 65 11 76
0 65 11 76
109 98 5 211
75 34 0 109
124 191 0 315
87 86 4 177
0 0 0 0
103 2.658 154 2.916
497 3.066 163 3.727
60 14 0 74
3 5 1 9
276 186 6 467
73 38 7 119
0 0 0 0
193 2.505 76 2.775
605 2.748 90 3.444
2 1 0 3
0 1 0 1
1 12 0 13
0 0 0 0
0 0 0 0
8 280 14 302
12 293 14 318
283 70 0 354
198 28 4 230
443 395 4 842
0 0 0 0
0 0 0 0
159 3.185 91 3.435
1.083 3.677 100 4.860
470 194 9 672
342 74 13 428
856 800 11 1.666
192 156 13 360
0 0 0 0
489 9.391 366 10.246
2.349 10.613 411 13.372
Lampiran 3. ( ….Lanjutan) No
KAWASAN HUTAN (X 1.000 Ha) HUTAN TETAP
PROPINSI HL
16 KALIMANTAN BARAT A. Hutan B. Non Hutan C. Tidak Ada Data Total 17 KALIMANTAN TENGAH A. Hutan B. Non Hutan C. Tidak Ada Data Total 18 KALIMANTAN TIMUR A. Hutan B. Non Hutan C. Tidak Ada Data Total 19 KALIMANTAN SELATAN A. Hutan B. Non Hutan C. Tidak Ada Data Total KALIMANTAN A. Hutan B. Non Hutan C. Tidak Ada Data Total 20 SULAWESI UTARA A. Hutan B. Non Hutan C. Tidak Ada Data Total 21 GORONTALO A. Hutan B. Non Hutan C. Tidak Ada Data Total 22 SULAWESI TENGAH A. Hutan B. Non Hutan C. Tidak Ada Data Total 23 SULAWESI TENGGARA A. Hutan B. Non Hutan C. Tidak Ada Data Total
KSA-KPA
HP
HPT
HPK
APL Jumlah (X 1.000 Ha)
TOTAL Jumlah (X 1.000 Ha)
1.770 392 130 2.293
1.184 190 244 1.618
952 1.113 215 2.279
1.492 686 236 2.414
296 169 0 465
1.018 3.969 655 5.642
6.712 6.520 1.480 14.712
762 35 43 840
516 77 40 633
3.670 2.072 270 6.013
2.853 1.676 341 2.539 191 99 3.384 4.315
6 54 5 65
9.483 5.118 648 15.249
2.343 84 366 2.794
1.185 238 347 1.769
2.685 1.432 506 4.623
4.064 372 736 5.172
0 0 0 0
2.035 2.735 381 5.151
12.312 4.860 2.336 19.509
215 106 163 484
72 47 12 131
351 306 181 838
71 15 47 133
29 120 50 199
198 1.374 356 1.929
936 1.968 810 3.714
5.091 618 702 6.411
2.957 551 643 4.151
7.658 8.479 2.001 4.923 1.414 2.828 1.173 1.210 150 13.753 11.103 4.979
3.257 8.133 1.397 12.787
29.443 18.466 5.275 53.184
71 43 68 183
101 20 127 247
37 21 8 66
118 45 55 218
13 1 2 15
75 499 146 720
415 628 406 1.449
136 17 20 174
154 10 30 194
68 20 11 98
277 28 46 351
13 6 2 21
77 258 13 348
725 338 123 1.186
866 68 394 1.328
310 44 224 578
263 60 141 464
913 114 391 1.418
165 38 67 270
585 997 335 1.917
3.102 1.321 1.553 5.975
626 72 372 1.070
161 47 93 301
299 142 124 565
314 37 111 463
55 78 40 172
211 694 183 1.089
1.666 1.070 923 3.659
Lampiran 3. ( …. Lanjutan) No
PROPINSI
KAWASAN HUTAN (X 1.000 Ha) HUTAN TETAP HPK KSA-KPA HP HPT
APL TOTAL Jumlah Jumlah (X 1.000 Ha) (X 1.000 Ha)
HL 24 SULAWESI SELATAN A. Hutan 1.274 63 91 559 42 271 2.300 B. Non Hutan 403 95 78 186 40 2.249 3.052 C. Tidak Ada Data 301 47 30 104 21 231 732 Total 1.978 206 199 849 102 2.750 6.084 SULAWESI A. Hutan 2.973 789 758 2.182 287 1.219 8.209 4.696 6.409 B. Non Hutan 604 215 321 410 162 C. Tidak Ada Data 1.155 521 314 707 131 908 3.736 Total 4.732 1.525 1.393 3.299 581 6.823 18.354 25 BALI A. Hutan 49 12 0 1 0 32 94 B. Non Hutan 23 7 2 4 0 341 376 C. Tidak Ada Data 28 4 0 2 0 69 103 Total 100 23 2 6 0 441 573 26 NUSA TENGGARA BARAT A. Hutan 367 66 103 200 0 196 932 B. Non Hutan 78 61 54 55 0 652 900 C. Tidak Ada Data 38 47 13 22 0 87 207 Total 483 174 170 277 0 935 2.039 27 NUSA TENGGARA TIMUR A. Hutan 227 144 58 74 16 436 955 B. Non Hutan 409 147 196 116 91 2.315 3.275 C. Tidak Ada Data 66 8 58 31 6 326 495 Total 702 299 313 221 113 3.077 4.725 BALI DAN NUSA TENGGARA A. Hutan 643 222 162 275 16 663 1.980 B. Non Hutan 509 215 252 174 91 3.309 4.550 C. Tidak Ada Data 133 59 71 56 6 481 806 Total 1.286 496 485 505 113 4.453 7.337 28 MALUKU UTARA +MALUKU A. Hutan 830 256 550 1.015 943 167 3.761 B. Non Hutan 149 52 316 155 1.036 332 2.041 C. Tidak Ada Data 378 143 322 412 586 158 1.998 Total 1.357 451 1.189 1.581 2.565 657 7.800 INDONESIA A. Hutan 13.637 7.495 12.516 14.595 4.314 7.530 60.086 B. Non Hutan 4.010 1.923 9.559 4.219 7.915 40.913 68.539 C. Tidak Ada Data 3.076 2.167 3.290 3.102 1.740 5.145 18.519 TOTAL INDONESIA 20.723 11.585 25.365 21.916 13.969 53.587 147.145 29 IRIAN JAYA 40.849 Sumber : Badan Planologi Kehutanan Keterangan : - KSA-KPA termasuk didalamnya Taman Buru - HPT = Hutan Produkasi Terbatas - HL = Hutan Lindung - HPK = Hutan Produksi yang dapat Dikonversi - HL = Hutan Lindung - HPK = Hutan Produksi yang dapat Dikonversi - KSA-KPA = Kawasan Suaka Alam/ Kawasan Pelestarian Alam - APL = Areal Penggunaan Lain - HP = Hutan Produksi Tetap (Non Kawasan Hutan)
Lampiran 4.
Peta Kondisi Penutupan Lahan/vegetasi Indonesia Berdasarkan Hasil Penafsiran Citra Landsat ETM+7 tahun 1999-2000
Peta Penutupan Lahan / Vegetasi Indonesia
Berdasarkan Hasil Penafsiran Citra Landsat 1999/2000
Lampiran 5. Laju Deforestasi Hutan Indonesia periode 1985 – 1997 No.
RePPProT (1985)
RePPProT - Dephutbun
Dephutbun (1997)
PROPINSI Province
Total
Hutan
%
Total *
Hutan
%
Lain-lain **
Def.
% Def.
1
D.I. Aceh
5,674,800
3,882,300 68.4
5,669,345
3,611,953
63.7
13,533
270,347
7.0
2
Sumatera Utara
7,250,100
2,812,000 38.8
7,113,131
1,891,819
26.6
100,508
920,181
32.7
3
Sumatera Barat
4,169,000
2,590,400 62.1
4,153,618
1,944,015
46.8
597,757
646,385
25.0
4
Riau
9,859,700
5,936,500 60.2
9,661,817
5,071,891
52.5
2,506
864,609
14.6
5
Jambi
4,873,900
2,765,800 56.7
4,855,923
1,603,079
33.0
232,890
1,162,721
42.0
6
Sumatera Selatan
10,226,300
3,562,100 34.8
10,149,068
1,248,209
12.3
913,789
2,313,891
65.0
7
Bengkulu
2,090,400
1,126,600 53.9
2,096,606
899,858
42.9
0
226,742
20.1
8
Lampung
3,386,700
647,800 19.1
3,359,906
361,319
10.8
237,929
286,481
44.2
9
Kalimantan Barat
14,753,000
8,700,600 59.0
14,546,318
6,713,026
46.1
243,570
1,987,574
22.8
10
Kalimantan Tengah
15,360,400
11,614,400 75.6
15,249,222
8,543,384
56.0
1,883,359
3,071,016
26.4
11
Kalimantan Selatan
12
Kalimantan Timur
13
3,749,000
1,795,900 47.9
3,703,550
999,182
27.0
288,120
796,718
44.4
19,721,000
17,875,100 90.6
19,504,912
13,361,195
68.5
716,512
4,513,905
25.3
Sulawesi Utara
2,655,500
1,553,600 58.5
2,645,243
1,106,031
41.8
635,586
447,569
28.8
14
Sulawesi Tengah
6,032,900
4,359,100 72.3
6,001,253
2,892,697
48.2
1,152,403
1,466,403
33.6
15
Sulawesi Selatan
6,245,100
2,879,200 46.1
6,139,434
2,114,703
34.4
534,416
764,497
26.6
16
Sulawesi Tenggara
3,681,000
2,477,500 67.3
3,676,422
1,975,726
53.7
329,540
501,774
20.3
17
Maluku
7,801,900
6,348,000 81.4
7,808,786
5,538,506
70.9
939,414
809,494
12.8
18
Irian Jaya
41,480,000
34,958,300 84.3
40,756,291
33,548,021
82.3
3,812,903
1,410,279
4.0
19
Jawa dan Bali
13,820,400
20
Nusa Tenggara
8,074,000
2,469,400 30.6
INDONESIA
190,905,100
119,700,500 62.7
167,090,847
93,424,613
55.9
12,634,735
22,460,587
18.8
1,345,900
9.7
Laju Deforestasi nasional per tahun : 1.871.716 ha (selama periode 19985-1997) Sumber : Data RePPProt (1985) dan Dephutbun (1997)
Lampiran 6. Peta Deforestasi Hutan Indonesia periode 1985 – 1997
Peta Deforestasi Hutan Indonesia Periode 1985 - 1997
Lampiran 7. Kawasan Konservasi Darat sampai dengan tahun 2001 NO
PROPINSI
Cagar Alam
Suaka Margasatwa
Taman Wisata
Taman Buru
Taman Nasional
Unit
Luas (Ha)
Unit
Luas (Ha)
Unit
Luas (Ha)
Unit
Luas (Ha)
Unit
Luas (Ha)
TAHURA
JUMLAH
Unit Luas (Ha)
Unit
Luas (Ha)
1
N. Aceh Darussalam
2
11.300
1
10.500
-
-
1
80.000
1
1.094.692
1
6.300
6
1.202.792
2
Sumatera Utara
8
12.568
4
85.552
6
3.506
1
8.350
-
-
1
51.600
20
161.576
3
Sumatera Barat
7
39.494
-
-
3
610
-
-
1
190.500
1
71.807
12
302.411
4
Riau
3
5.900
2
145.000
1
2.066
1
16.000
1
127.698
1
5.920
9
302.584
5
Jambi
4
6.616
-
-
1
300
-
-
3
1.598.550
1
15.830
8
1.621.296
6
Bengkulu
9
1.782
-
-
2
14.612
2
25.300
-
-
1
1.122
14
42.816
7
Sumatera Selatan
1
1
7
292.414
1
50
-
-
-
-
-
-
9
292.465
8
Bangka Belitung
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
9
Lampung
-
-
-
-
-
-
-
-
2
490.621
1
22.244
3
512.865
10 DKI. Jakarta
2
343
2
115
-
-
-
-
-
-
-
-
4
458
11 Jawa Barat
27
45.216
2
13.528
14
3.501
1
12.421
2
55.000
2
596
49
130.262
12 Banten
3
4.230
-
-
2
1.323
-
-
1
122.956
-
-
6
128.509
13 Jawa Tengah
25
3.053
-
-
5
254
-
-
-
-
-
-
30
3.307
14 DI. Yogyakarta
3
286
-
-
2
1.085
-
-
-
-
-
-
5
1.371
16
10.999
2
17.976
3
297
-
-
4
176.696
1
25.000
26
230.970
15 Jawa Timur 16 Bali
1
17
-
-
2
69
-
-
1
19.002
1
12
5
19.100
17 NTB
1
543
-
-
5
5.641
3
63.250
1
40.000
1
3.155
11
112.590
18 NTT
5
29.384
4
8.060
5
43.101
2
3.062
4
313.298
1
1.900
21
398.804
19 Kalimantan Barat
4
186.788
1
180.000
2
835
-
-
4
1.203.090
-
-
11
1.570.713 501.444
20 Kalimantan Tengah
4
83.871
-
-
2
2.533
-
-
1
415.040
-
-
7
21 Kalimantan Selatan
4
67.242
1
6.000
2
1.560
-
-
-
-
1
112.000
8
186.803
22 Kalimantan Timur
3
51.964
-
-
1
61.250
-
-
2
1.559.129
-
-
6
1.672.344
23 Sulawesi Utara
4
16.233
1
6.500
2
1.250
1
21.400
1
287.115
-
-
11
332.498
24 Gorontalo
3
45.847
1
31.125
-
-
-
-
-
-
-
-
2
76.973
25 Sulawesi Tengah
3
219.646
5
20.747
1
250
1
5.000
1
217.991
1
7.128
12
470.762
26 Sulawesi Selatan
6
85.098
3
9.390
9
105.408
1
4.610
-
-
-
-
19
204.506
27 Sulawesi Tenggara
2
509
4
124.621
2
5.700
1
8.000
1
105.194
1
7.878
11
251.902
11
54.557
3
14.000
2
11.734
-
-
1
189.000
-
-
17
269.292
1
1.250
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
1
1.250
13 175
1.369.599 2.354.339
4 47
2.552.018 3.517.547
6 81
14.283 281.219
15
247.393
2 2.863.810 34 11.069.382
16
332.492
25 368
6.799.710 17.802.372
28 Maluku 29 Maluku Utara 30 Irian Jaya Jumlah
Sumber : Ditjen Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam
Lampiran 8. Kawasan Konservasi Laut sampai dengan tahun 2001 NO
PROPINSI
Cagar Alam Unit -
Luas (Ha) -
Sk Margasatwa
Taman Wisata
Taman Nasional
Unit -
Luas (Ha) -
Unit 2
Luas (Ha) 231.400
Unit -
Luas (Ha) -
Unit 2
JUMLAH Luas (Ha) 231.400
1
N. Aceh Darussalam
2
Sumatera Utara
1
1950
-
-
-
-
-
-
1
195
3
Sumatera Barat
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
4
Riau
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
5
Jambi
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
6
Bengkulu
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
7
Sumatera Selatan
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
8
Lampung
1
13.7350
-
-
-
-
-
-
1
13.735
9
DKI. Jakarta
-
-
-
-
-
-
1
108.000
1
108.000
10 Jawa Barat
1
1.150
-
-
-
-
-
-
1
1.150
11 Banten
1
700
-
-
-
-
-
-
1
700
12 Jawa tengah
-
-
-
-
-
-
1
110.117
1
110.117
13 DI. Yogyakarta
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
14 Jawa Timur
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
15 Bali
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
16 NTB
-
-
-
-
2
728
-
-
2
728
17 NTT
1
2.000
-
-
3
119.350
-
-
4
121.350
18 Kalimantan Barat
1
77.000
-
-
-
-
-
-
1
77.000
19 Kalimantan Tengah
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
20 Kalimantan Selatan
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
21 Kalimantan Timur
-
-
1
220
1
280
-
-
2
500
22 Sulawesi Utara
-
-
-
-
-
-
1
89.065
1
89.065
23 Gorontalo
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
24 Sulawesi Tengah
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
25 Sulawesi Selatan
-
-
-
-
1
50.000
1
530.765
2
580.765
26 Sulawesi Tenggara
-
-
-
-
1
81.800
1
1.390.000
2
1.471.800
27 Maluku
2
116.500
-
-
3
2.378
-
-
5
118.878
28 Maluku Utara
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
29 Irian Jaya
-
-
2
65.000
1
183.000
1
1.453.500
4
1.701.500
65.220
14
668.936
6
3.681.447
31
4.626.884
JUMLAH 8 211.280 3 Sumber : Ditjen Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam
Lampiran 9. Daftar Taman Nasional di Indonesia sampai dengan Tahun 2001 No A 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34
Nama
Lokasi Kawasan
TAMAN NASIONAL DARAT Gunung Leuser D.I. Aceh dan Sumatera Utara Siberut Sumatera Barat Bukit Tiga Puluh Riau, Jambi Kerinci Seblat Sumbar,Jambi,Bengkulu, Sumsel Berbak Jambi Bukit Dua Belas Jambi Bukit Barisan Selatan Lampung dan Bengkulu Way Kambas Lampung Ujung Kulon Banten Gn. Gede Pangrango Jawa Barat Gunung Halimun Jawa Barat Bromo Tengger Semeru Jawa Timur Meru Betiri Jawa Timur Baluran Jawa Timur Alas Purwo Jawa Timur Bali Barat Bali Gunung Rinjani Nusa Tenggara Barat Kelimutu Nusa Tenggara Timur Komodo Nusa Tenggara Timur Manupeu-Tanah Daru Nusa Tenggara Timur Laiwangi-Wanggameti Nusa Tenggara Timur Gunung Palung Kalimantan Barat Betung Kerihun Kalimantan Barat Bukit Baka-Bukit Raya Kalimantan Barat Danau Sentarum Kalimantan Barat Tanjung Puting Kalimantan Tengah Kutai Kalimantan Timur Kayan Mentarang Kalimantan Timur Bogani Nani Wartabone Sulawesi Utara Lore Lindu Sulawesi Tengah Rawa Aopa Watumohai Sulawesi Tenggara Manusela Maluku Wasur Irian Jaya Lorentz Irian Jaya JUMLAH/Total A :
Luas (Ha) 1.094.692 190.500 127.698 1.375.349 162.700 60.500 365.000 125.621 122.956 15.000 40.000 50.276 58.000 25.000 43.420 19.002 40.000 5.000 173.300 87.984 47.014 90.000 800.000 181.090 132.000 415.040 198.629 1.360.500 287.115 217.991 105.194 189.000 413.810 2.450.000 11.069.382
No
Nama
Lokasi Kawasan
B
TAMAN NASIONAL LAUT
1
Kepulauan Seribu Kepulauan Karimun Jawa Bunaken Taka Bone Rate Kepulauan Wakatobi Teluk Cendrawasih
2 3 4 5 6
DKI. Jakarta Jawa Tengah Sulawesi Utara Sulawesi Selatan Sulawesi Tenggara Irian Jaya
Jumlah/Total B :
108.000 110.117 89.065 530.765 1.390.000 1.453.500 3.681.447
JUMLAH/Total Sumber : Ditjen PHKA
Luas (Ha)
14.750.829
Lampiran 10. Perkembangan HPH Aktif sampai dengan Desember 2001 Swasta Murni No
Propinsi
1
2
Unit
Luas (Ha)
3
4
BUMN Murni
Penyertaan
Unit
Luas (Ha)
Luas (Ha)
5
6
8
7
Patungan
Jumlah
Unit
Luas (Ha)
Unit
Luas (Ha)
9
10
11
12
1
NAD
6
491.000
-
-
6
409.544
-
-
12
900.544
2
Sumut
2
97.000
1
139.100
6
372.181
-
-
9
608.281
3
Sumbar
5
299.556
-
-
1
33.700
-
-
6
333.256
4
Riau
10
776.401
3
164.483
11
641.720
1
45.990
25
1.628.594
5
Jambi
8
533.479
2
115.375
-
-
3
143.740
13
792.594
6
Sumsel
2
190.000
2
466.720
2
162.930
-
-
6
819.650
7
Bengkulu
8
Kaltim
9
Kalsel
1
45.275
-
-
-
-
1
45.100
2
90.375
31
3.467.890
7
1.878.750
32
2.461.327
4
360.250
74
8.168.217
-
-
2
358.500
3
244.170
-
-
5
602.670
10 Kalteng
19
1.311.168
8
805.010
29
2.530.922
7
556.156
63
5.203.256
11 Kalbar
11
801.100
2
388.470
12
725.789
1
77.780
26
1.993.139
12 Sulut
7
344.150
-
-
2
126.234
-
-
9
470.384
10
746.835
-
-
4
264.610
-
-
14
1.011.445
14 Sultra
2
416.000
-
-
-
-
-
-
2
416.000
15 Sulsel
4
239.162
1
48.640
1
50.800
-
-
6
338.602
16 N T B
1
31.550
-
-
-
-
-
-
1
31.550
17 Maluku
23
1.771.221
-
-
4
338.271
1
148.450
28
2.257.942
18 Papua
50
10.751.613
-
-
-
-
-
-
50 10.751.613
192
22.313.400
28
4.365.048
113
8.362.198
18
1.377.466
351 36.418.112
13 Sulteng
Jumlah
I. (Sumber : Ditjen Bina Produksi Kehutanan)
Lampiran 11. Perkembangan HTI sampai dengan Desember 2001 No.
Propinsi
Pertukangan Pertukangan Lainnya Jumlah (Non-Trans) (Trans) Unit Luas (Ha) Unit Luas (Ha) Unit Luas (Ha) Unit Luas (Ha) Unit Luas (Ha) PULP
1
NAD
2
208.300
-
-
4
25.570
-
-
6
233.870
2
SUMUT
2
299.060
4
43.445
1
6.200
-
-
7
348.705
3
SUMBAR
-
-
-
-
1
6.675
1
28.617
2
35.292
4
RIAU
3
535.492
4
109.692
6
83.190
-
-
13
728.374
5
JAMBI
1
191.130
5
92.330
5
100.760
-
-
11
384.220
6
SUMSEL
2
340.100
1
40.000
-
-
-
-
3
380.100
7
LAMPUNG
-
-
4
149.067
-
-
-
-
4
149.067
8
KALBAR
2
412.896
1
56.060
9
120.744
-
-
12
589.700
9
KALTENG
2
166.880
-
-
7
108.795
-
-
9
275.675
10 KALSEL
1
268.585
2
26.635
3
37.040
-
-
6
332.260
11 KALTIM
5
793.237
7
258.529
10
159.789
-
-
22
1.211.555
12 SULSEL
-
-
1
29.000
1
13.300
-
-
2
42.300
13 SULTENG
-
-
1
10.041
1
13.400
-
-
2
23.441
14 SULTRA
-
-
1
37.845
-
-
-
-
1
37.845
15 MALUKU
-
-
1
14.851
3
49.717
-
-
4
64.568
16 IRJA
1
206.800
-
-
-
-
-
-
1
206.800
TOTAL 21 3.422.480 32 867.495 Sumber : Ditjen Bina Produksi Kehutanan
51
725.180
1
28.617 105
5.043.772
DAFTAR PUSTAKA Badan Pusat Statistik. 2001. Statistik Indonesia Tahun 2001. Badan Pusat Statistik. Jakarta. Chrystanto and Agus Justianto. 2002. Indonesia’s Forest Policy Reviews. FAO. Bangkok. CIFOR. 2002a. Warta Kebijakan No. 1 tahun 2002 : Pengusahaan Hutan di Daerah. Bogor. CIFOR. 2002b. Warta Kebijakan No. 2 tahun 2002 : Masyarakat Adat. Bogor. Departemen Kehutanan. 2002a. Statistik Kehutanan Indonesia Tahun 2001, Departemen Kehutanan, Jakarta. Departemen Kehutanan. 2002b. Eksekutif Data Strategis Kehutanan Tahun 2002, Departemen Kehutanan, Jakarta. Departemen Kehutanan. 2002c. Reporting Criteria and Indicators at National Level for ITTO. Departemen Kehutanan . Jakarta. Departemen Kehutanan. 2002d. MKI 2002 Majalah Kehutanan Indonesia; Edisi VI/2002 : Restrukturisasi Sektor Kehutanan. Jakarta. Departemen Kehutanan. 2001a. Perkembangan Hutan Kemasyarakatan Sampai Dengan Mei 2001. Direktorat Bina Hutan Kemasyarakatan Bekerjasama Dengan The Ford Foundation, Direktorat Jenderal Rehabilitasi Lahan Dan Perhutanan Sosial, Departemen Kehutanan, Jakarta. Departemen Kehutanan. 2001b. Suatu Kajian Strategi Dan Rencana Induk Sistim Informasi Manajemen Kehutanan (SIMHUTAN), Badan Planologi Kehutanan, Departemen Kehutanan, Jakarta. Departemen Kehutanan. 2001c. Panel Discussion on Sustainable Wooden Based Industry Strategy in the frame of data analysis and forestry sector policy. Agency for Forestry Planning, Proceeding. Departemen Kehutanan. Jakarta. Informasi Umum Kehutanan - 2002
84
Departemen Kehutanan. 2000. Rekalkulasi Areal Hutan Produksi, Hutan Lindung dan Kawasan Konservasi. Badan Planologi Kehutanan. Jakarta Departemen Kehutanan dan Perkebunan. 2000. Rencana Stratejik (RENSTRA) tahun 2001-2005. Jakarta. 31 hal. Departemen Kehutanan. 1997. Country Brief Indonesian Forestry Action Program (IFAP). Jakarta. Departemen Kehutanan & ITTO. 2001a. Penanggulangan Penebangan Liar; Seri 1 Hasil Laporan Misi Teknis ITTO untuk Indonesia. Jakarta. Departemen Kehutanan & ITTO. 2001b. Restrukturisasi Industri Kehutanan; Seri 2 Hasil Laporan Misi Teknis ITTO untuk Indonesia. Jakarta. Departemen Kehutanan & ITTO. 2001c. Hutan Tanaman Untuk Penciptaan Sumber Daya; Seri 3 Hasil Laporan Misi Teknis ITTO untuk Indonesia. Jakarta. Departemen Kehutanan & ITTO. 2001d. Rekalkulasi Nilai Kayu; Seri 4 Hasil Laporan Misi Teknis ITTO untuk Indonesia. Jakarta. Departemen Kehutanan & ITTO. 2001e. Desentralisasi Sektor Kehutanan; Seri 5 Hasil Laporan Misi Teknis ITTO untuk Indonesia. Jakarta. FAO. 2001. The Global Forest Resources Assessment 2000: Summary Report. COFO-2001/INF-5. Rome. FAO. 1999. State of World’s Forests. Rome. FAO. 1988. Asia-Pacific Forestry Towards 2010. Report of the Asia-Pacific Forestry Sector Outlook Study. Rome. GOI/FAO. 1991. An Agenda for Forestry Sector Development in Indonesia. UTF/INS/065/INS Forestry Studies. Jakarta. Kartodihardjo, H. 1999. Forest Management Policy Reform in Indonesia : The Need of Accountable Direction. Mimeo Nasendi, B.D. 1997. A State of the Art Report on Some Recent Forestry Policies, Initiatives and Achievements in Indonesia. MoF, Jakarta. Pemerintah Indonesia, 2002. Peraturan Pemerintah No. 34 tahun 2002 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Pemanfaatan Hutan dan Penggunaan Kawasan Hutan. Jakarta.
Informasi Umum Kehutanan - 2002
85
Pemerintah Indonesia 2000. Peraturan Pemerintah No.25 Tahun 2000 Tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi Sebagai Daerah Otonomi Pemerintah Indonesia 2002. Peraturan Pemerintah No.63 Tahun 2002 Tentang Hutan Kota. Pemerintah Indonesia. 1999a. Undang Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan Pemerintah Indonesia. 1999b. Undang Undang Nomor 22 Tahun 1999 Tentang Permerintahan Daerah Pemerintah Indonesia. 1999c. Undang Undang Nomor 25 Tahun 1999 Tentang Perimbangan Keuangan Pusat Dan Daerah. Pemerintah Indonesia. 1992. Undang Undang Nomor 24 Tahun 1992 Tentang Penataan Ruang. Patrick Durst and Thomas Enters. 2002. Ten Reason Why We Know Less about Forestry Statistic in Asia than We Should, EC-FAO Partnership Program, Bangkok. P. 19 – 25 Scotland, N., A. Fraser and N. Jewell. 1999. Round-wood Supply and Demand in the Forest Sector in Indonesia. Indonesia – U.K. Tropical Forest Management Programme. Sunderlin, William D. 1998. Between Danger and Opportunity: Indonesia’s Forests in an Era of Economic Crisis and Political Change. CIFOR, Bogor. Walton, T.E. 2000. Coordination and Implementation of Forest Strategy in Indonesia: Ten Years of History and Some Directions for the Future. Paper presented at the Workshop on “Forest Strategy: Coordination and Implementation at Country Level” held at the World Bank. Jakarta. May 16-18, 2000. World Bank. 1995. The Economics of Long-term Management of Indonesia’s Natural Forests. Jakarta.
Informasi Umum Kehutanan - 2002
86