InfoPOM
BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA
Vol. 7, No. 2, Maret 2006
BADAN POM RI ISSN 1829-9334
KEBERHASILAN BADAN POM DALAM MENGUNGKAP PABRIK GELAP JAMU YANG MENGANDUNG BAHAN KIMIA OBAT
LATAR BELAKANG Operasi penyidikan Badan POM terus dilaksanakan untuk meningkatkan perlindungan kepada masyarakat dari akibat peredaran produk obat dan makanan yang tidak memenuhi persyaratan kemanfaatan, keamanan dan mutu, tanpa ijin edar maupun obat keras yang dijual disarana yang tidak berwenang. Dari hasil pengawasan selama ini terhadap Produk Obat Tradisional/Jamu, diketahui bahwa yang sering dicampur dengan Bahan Kimia
Obat umumnya adalah jamu-jamu yang diklaim sebagai obat kuat, jamu pegal linu dan jamu pelangsing. Pada bulan Mei 2005 lalu, Penyidik Pegawai Negeri Sipil ( PPNS) Badan POM dalam operasi gabungan dengan POLRI telah berhasil mengungkap produsen sekaligus pengedar jamu yang mengandung Bahan Kimia Obat Keras. Pelaku dengan nama Tjoeng Hermawan alias Oscar telah terbukti secara sah memproduksi
Editorial Dari hasil pengawasan selama ini terhadap Produk Obat Tradisional/Jamu, diketahui bahwa yang sering dicampur dengan Bahan Kimia Obat umumnya adalah jamu-jamu yang diklaim sebagai obat kuat, jamu pelangsing dan jamu pegal linu. Pada bulan Mei 2005 lalu, Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) Badan POM dalam operasi gabungan dengan POLRI telah berhasil mengungkap produsen sekaligus pengedar jamu yang mengandung Bahan Kimia Obat Keras dimana sebagian besar jamu yang diproduksi adalah jamu yang di klaim sebagai penambah stamina pria dimana jamu tersebut dicampur dengan Sildenafil Sitrat. Sebagai artikel pertama kami sajikan artikel dengan judul Keberhasilan Badan POM Dalam Mengungkap Pabrik Gelap Jamu Yang Mengandung Bahan Kimia Obat. Pharmacogenetics yang memberikan janji terhadap revolusi dalam pengobatan, nyatanya masih harus terus diuji, mengingat berdasarkan pengalaman selama ini, selain ada beberapa keberhasilan yang dicapai, berbagai kegagalan tetap saja terjadi. Simak selengkapnya pada artikel dengan judul Pharmacogenetics : Menuju Perbaikan Terapi dengan Obat. Selain itu masih ada satu artikel yang patut disimak yaitu artikel tentang penarikan izin edar Ximelagatran, suatu antikoagulan. Penarikan obat ini dilakukan berkaitan dengan resiko efek samping serius pada hati. Selamat membaca. Redaksi
Edisi Maret 2006
Halaman 1
DAFTAR ISI 1 Keberhasilan Badan POM Dalam Mengungkap Pabrik G e l a p J a m u Ya n g Mengandung Bahan Kimia Obat 2. Pharmacogenetics : Menuju Perbaikan Terapi dengan Obat 3. Penarikan Izin Edar Melagatran dan Ximelagatran
dan mengedarkan jamu yang dicampuri Bahan Kimia Obat Keras. Sebagian besar jamu yang diproduksinya adalah jamu yang di klim sebagai penambah stamina pria dimana jamu tersebut dicampur dengan Sildenafil Sitrat, zat aktif dari obat jadi Viagra. Perbuatan yang bersangkutan dalam hal memproduksi dan mengedarkan produk jamu mengandung Bahan Kimia Obat dan Tanpa izin edar, jelas-jelas terbukti melanggar : pasal 81 ayat (2) huruf C Jo pasal 41 ayat (1) dan pasal 82 ayat (2) huruf D Jo pasal 41 ayat (2) dan pasal 82 ayat (2) huruf B Jo pasal 40 ayat (2) dan atau pasal 81 ayat (1) huruf D Jo pasal 63 ayat (1) Undang – Undang No. 23 tentang KESEHATAN Untuk pelanggaran semacam ini, pada akhirnya masyarakat jugalah yang akan paling terkena dampak negatifnya. Oleh karena itu pengungkapan pelanggaran yang telah dilakukan dianggap perlu untuk
Halaman 2
meningkatkan program pemberdayaan masyarakat / konsumen di bidang obat dan makanan. TEMUAN KASUS Selama ini produk jamu yang mengandung Bahan Kimia Obat umumnya berasal dari daerah Jawa Tengah dan Jakarta diketahui hanya menjadi tempat pemasaran produk jamu ilegal. Tetapi dengan temuan kasus ini anggapan tersebut menjadi tidak benar , karena Jakarta ternyata juga menjadi tempat produksi. Di gudang gelap milik Tjoeng Hermawan di kawasan Pluit Jakarta Utara, telah ditemukan barang bukti berupa bahan baku obat sebanyak 8 drum, produk ruahan sebanyak 109 karton, produk setengah jadi sebanyak 129 karung, produk jadi sebanyak 247 karton, rol kemasan aluminium foil sebanyak 442 rol, cangkang kapsul, dan bahan pengemas berupa box. Untuk menyimpan barang bukti tersebut, Pusat
Penyidikan Obat dan Makanan Badan POM harus menyediakan 2 ruangan penyimpan barang bukti. Adapun daftar jamu yang diproduksi oleh Tjoeng Hermawan secara gelap dapat dilihat pada tabel 1. Nama produsen dan nomor pendaftaran yang dicantumkan pada produk jamu illegal umumnya adalah fiktif. Demikian juga seperti halnya dengan produk jamu illegal pada umumnya, produk jamu yang diproduksi oleh Tjoeng Hermawan, nomor registrasi dan produsen yang tercantum pada kemasan juga fiktif. Tindak Lanjut Sehubungan dengan temuan kasus tersebut, pada tangal 31 Mei 2005, Kepala Badan POM telah menggelar Konferensi Pers. Saat itu Kepala Badan POM juga menghimbau agar masyarakat l e b i h w a s pa d a t e r h a d a p
Barang bukti yang ditemukan di TKP sebuah gedung di kawasan Pluit Jakarta Utara
Edisi Maret 2006
Contoh penandaan yang tidak etis pada produk jamu ilegal
peredaran produk-produk obat tradisional yang mengandung bahan kimia obat. Terhadap kasus ini telah dilakukan proses pro-justisia dan sesuai putusan Pengadilan Jakarta Utara No. 1559/Pid.B/ 2005/PN.JKT.UT. yang telah memeriksa dan mengadili perkara pidana telah dijatuhkan putusan dalam perkara terdakwa sbb : TJOENG HERMAWAN alias OSCAR dengan pidana penjara selama 2(dua) bulan dikurangi selama berada dalam tahanan dan membayar denda sebesar Rp. 2.000.000, -( dua juta rupiah) subsidair 2 (dua) bulan kurungan INFO KONSUMEN - Khusus untuk jamu-jamu ilegal yang diklim sebagai penambah stamina pria sebenarnya mudah dikenali dari kemasannya antara lain gambar-gambar (biasanya wanita) yang ditampilkan umumnya tidak sesuai
Edisi Maret 2006
dengan norma kesusilaan. - Umumnya konsumen tidak mengetahui bahwa jamu yang diminumnya ternyata mengandung Bahan Kimia Obat dimana sering kali
Bahan Kimia Obat yang dicampurkan adalah Bahan Kimia Obat Keras yang sangat berbahaya jika diminum tanpa pengawasan dokter dan dengan dosis yang tidak tepat. Oleh karena itu konsumen jangan mudah tergiur efek instan dari jamu. - Bila masyarakat ingin mengetahui apakah suatu jamu tradisional adalah legal atau fiktif, maka dapat menanyakan langsung ke Badan POM melalui Unit Layanan Pengaduan Konsumen dengan telpon 021-4263333, fax 0214209221, atau email
[email protected]. Drs. Bowo Waluyo, MKes Pusat Penyidik Obat & Makanan
Tabel 1 No. Nama Obat Tradisional 1. Kuda Mas kapsul Jamu Kuat dan Tahan Lama 2. Vi-Gra Jamu obat penambah vitalitas dan gairah Sex 3. Pastigra Jamu Obat Kuat Pria Dewasa 4. Spider (Laba-laba) Jamu obat kuat 5. Scorpion kapsul Jamu obat penambah vitalitas pria 6. Pegasus Jamu kuat dan tahan lama 7. Bali-Bali kapsul 8. Bali-Bali kapsul 9. Langsing Alami 10. Pastirex kapsul 11. Spontan On 12. TOP MEN 13. Super Top Men
Produsen PJ. Makmur Abadi Jatim PT. Hema Care PT. Hema Care PJ. Sinar Makmur, Madura PJ. Sinar Makmur, Madura PJ. Alam Sehat, Jabar PJ. Madura Sakti PJ.Jaya Makmur Bandung PT. Hema Care PJ. Sinar Makmur, Indonesia PJ. Sinar Wahyu-Sumbar PT. Karya Mandiri-Jateng PT. Karya Mandiri-Jateng
Daftar jamu yang diproduksi oleh Tjoeng Hermawan secara gelap
Halaman 3
PENENTUAN KADAR ZAT AKTIF DALAM OBAT MENGGUNAKAN HIGH PERFORMANCE LIQUID CHROMATOGRAPHY
Pharmacogenetics : Menuju Perbaikan Terapi dengan Obat Pendahuluan Bulan Agustus 2005 dapat dikatakan sebagai ditandainya era baru pharmacogenomics, saat FDA telah menyetujui suatu pharmacogenetic laboratory test pertama yang digunakan sebagai diagnostik penyerta pemberian obat. Diagnostic molecular sebagai pasangan dari pemberian obat muncul sebagai suatu strategi pengobatan yang patut diperhitungkan. Demikian juga peneliti / sponsor penemuan obat baru yang memasukkan pharmacogenetics ke dalam program pengembangan obatnya, telah semakin meningkat . Hasil dari upaya ini - tentu saja - akan merupakan tantangan terhadap paradigma konvensional pengembangan obat dan regulasi terkait penilaian khasiat dan keamanan obat serta pemanfaatan obat secara klinis. Kedepan diharapkan penerapan pharmacogenetic akan memberikan manfaat dalam menekan angka kesakitan dan kematian karena efek samping obat (ESO). Walau begitu, janji terhadap revolusi dalam pengobatan masih harus terus diuji, mengingat berdasarkan pengalaman selama ini, selain ada beberapa keberhasilan yang dicapai, berbagai kegagalan tetap saja terjadi . Posisi pharmacogenetic dimasa mendatang akan ditentukan oleh pembuktian keterkaitan dan
Edisi Maret 2006
manfaat serta kesahihan dalam penelitian-penelitian uji klinik. Sekali lagi, harus diingat bahwa identifikasi dan genotyping polymorphism dalam jumlah sangat besar dalam populasi yang sangat besar bukanlah merupakan suatu pekerjaan yang ringan, bahkan dapat disebut sebagai suatu tantangan yang sangat berat. Artikel ini disusun berdasarkan laporan The Council for International Organizations of Medical Sciences (CIOMS ) dan kelompok kerja pharmacogenetics (Working Group on Pharmacogenetics), serta rangkuman dari beberapa sumber pustaka lain, dimana laporan ini merupakan luaran dari hasil diskusi antara para ilmuwan senior dari institusi/ regulatori obat, industri farmasi serta wakil dari institusi pendidikan/akademik, yang mencerminkan pandangan saat ini dan harapan untuk masa mendatang. Pharmacogenetic Pharmacogenetic merupakan suatu disiplin ilmu yang mempelajari pemrosesan obat dalam tubuh yang dipengaruhi oleh variasi genetik. Karena pengaruh perbedaan gen, dapat terjadi perbedaan yang sangat nyata dalam metabolisme suatu obat, bahkan diantara saudara dalam satu keluarga. Dengan pemahaman yang
mendalam tentang genome manusia, dimungkinkan untuk memprediksi efek terapi suatu obat dengan berdasarkan datadata individu. Dengan melakukan uji seleksi pharmacogenetic (pharmacogenetics screening) akan diperoleh kajian berupa obatobat apa saja yang memberikan efek terapi optimal untuk seorang individu, obat mana saja yang kurang efektif dan obat mana saja yang hampir dipastikan menyebabkan efek samping berat. Dalam kenyataannya pharmacogenetic merupakan suatu disiplin ilmu yang banyak terkait dengan penelitian dan menjanjikan revolusi dalam pengobatan melalui terapi yang dirancang untuk perorangan (individually targeted therapy). Secara prinsip, pemilihan obat yang dirancang untuk perorangan terbukti lebih efektif dalam meningkatkan response rate ( keberhasilan terapi ) dengan kemungkinan terjadinya penurunan efek samping obat. Sebagai contoh adalah pharmacogenetic laboratory test pertama yang telah disetujui FDA, yang bekerja dengan cara mendeteksi perubahan DNA dari gen yang berfungsi memberi kode protein yang terlibat dalam metabolisme irinotecan, suatu kemoterapi. Tes dimaksud akan memberikan ilmuwan informasi tentang risiko
Halaman 5
toksisitas setiap individu terhadap irinotecan. Irinotecan yang telah disetujui untuk digunakan dalam mengatasi kanker kolorektal, pada beberapa waktu lalu telah dilakukan perubahan pada penandaannya / relabelling dengan memasukkan rekomendasi dosis berdasarkan profil genetik pasien. Dengan demikian para ilmuwan dapat memberikan rejimen kemoterapinya untuk perorangan sehingga dapat menurunkan toksisitas obat. Saat ini, salah satu yang telah melaksanakan pharmacogenetics screening test adalah suatu klinik di Swedia yang melaksanakannya melalui Signature Genetics. Respon obat yang tidak normal : suatu kesempatan untuk menurunkan risiko melalui farmakogenetic. Efek samping obat dapat merupakan hasil dari berbagai faktor risiko termasuk keanekaragaman profil farmakokinetik dan farmakodinamik obat akibat perbedaan genetik antar individu. Faktor lain yang berpengaruh adalah faktor eksternal seperti pemberian bersamaan obat lain dan penyakit yang menyertai yang dapat menyebabkan terjadinya peningkatan interaksi obat dengan obat atau obat dengan penyakit. Akibat dari peningkatan kemungkinan interaksi ini, dosis obat yang diberikan dapat menjadi tidak tepat. Biasanya interaksi obat akan memberikan dampak klinik jika kadar salah satu obat dalam plasma meningkat hingga mencapai
Halaman 6
kadar toksik. Dengan menaruh perhatian pada informasi tentang dosis pemberian, penyesuaian pemberian pada pasien usia lanjut dan populasi tertentu dengan risiko tinggi terkena interaksi obat dengan obat atau obat dengan penyakit, dampak efek samping obat dapat diminimalkan. Pada awalnya kelainan yang dialami dan diperoleh karena diwariskan dari orang tuanya, merupakan hasil pengamatan klinis terhadap respon seorang pasien yang tidak normal terhadap suatu obat. Baru setelah pada akhir-akhir ini sejumlah polymorphism dari enzim yang memetabolisme obat dalam tubuh manusia telah muncul dan dikenali, hal ini dapat terjawab. Contohnya adalah terjadinya prolonged apnea setelah pemberian suksinilkolin, yang ternyata disebabkan oleh atypical genetic polymorphism butirilkolinesterase Saat ini polymorphism pharmacogenetic yang memiliki fungsi nyata, sudah berhasil diidentifikasi dari enzim-enzim yang mengkatalisis biotransformasi obat, target farmakologi dan enzim-enzim yang menentukan respon terhadap obat. Dengan tersedianya data bahwa beberapa eso dapat disebabkan oleh monogeneic atau p o l i g e n e i c , p e m a n f a a ta n pharmacogenetic akan memberikan kesempatan diturunkannya kejadian ataupun keparahan efek samping yang mungkin terjadi. Artikel ini akan menyajikan beberapa data tentang respon obat yang tidak normal terkait
dengan polymorphism dari enzim yang memetabolisme obat, target farmakologi dan transporter obat. PHARMACOGENETIC DAN E N Z I M - E N Z I M YA N G MEMETABOLISME OBAT. Enzim yang diproduksi oleh tubuh manusia mengontrol metabolisme berbagai zat kimia, termasuk sedian farmasetikal, dalam tubuh manusia. Instruksi untuk memproduksi enzim ini ada dalam gen, sehingga variasi/perbedaan gen dapat menyebabkan struktur enzim yang diproduksi berbeda pula pada setiap orang. Hal ini juga yang menyebabkan perbedaan pa d a k e m a m p u a n t u b u h memetabolisme atau memanfaatkan suatu obat. Melalui analisa DNA terhadap gen spesifik yang terkait dengan enzim kunci (key enzymes ) maka para ahli dapat memperkirakan respon obat secara individual. Sejumlah enzim yang memetabolisme obat menunjukkan sifat genetic polymorphism. Studi yang meneliti tentang peranan polymorphism dari enzim – enzim seperti CYP2D6, CYP2C9, CYP2C19, N asetiltransferase (NAT2), thio-puruire S-methyltransferase (TPMT), UDP-glucorono-syltransferase (UGTs) dan di-hydropyrimidine dehydrogenase (DPD) memperlihatkan bahwa ada kecenderungan genetic (genetic predisposition) terhadap terjadinya beberapa efek samping obat. Saat ini, berdasarkan asumsi tentang genetic predisposition tersebut, ada suatu celah besar yang dapat dimanfaatkan untuk Edisi Maret 2006
mencegah terjadinya efek samping obat dan meningkatkan keamanan dan kemanfaatan obat melalui peningkatan pemahaman tentang faktor genetik yang menentukan/berpengaruh terhadap respon obat. Gen polymorphic dan produk dari gene expression telah dipertimbangkan sebagai penanda (marker) dalam mengoptimalkan terapi obat terutama dibidang onkologi. Untuk enzim yang terlibat dalam proses metabolisme obat, akan dibahas sebagai contoh adalah CYP2D6.
rendah sedangkan kadar metabolit obat yang terakumulasi sangat tinggi. Pada kelompok IM, kemampuan memetabolismenya sedikit lebih rendah dari kelompok UM.
Variasi Polymorphic dari CYP 2D6
Salah satu laporan tentang kebermaknaan klinis polymorphism CYP2D6 dan keterkaitannya dengan toksisitas yang fatal adalah neuropathy yang diinduksi oleh perhexilline, pada pasien yang mengalami kegagalan metabolisme obat tersebut. Dosis perhexiline yang dianjurkan adalah 100 mg tiga kali sehari. Namun studi yang dilakukan akhir-akhir ini dengan melibatkan 23 pasien, menunjukkan bahwa untuk menjaga agar kadar dalam plasma mencapai rentang terapi dan aman, dosis perlu diberikan berdasarkan pengelompokan phenotypenya. Untuk PM dosis yang diberikan adalah 10 – 25 mg /hari sedangkan untuk EM dan ultrarapid EM, dosis yang diperlukan adalah 100 – 250 dan 300 – 500 mg / hari.
Sejauh ini, populasi manusia dikelompokkan dalam 2 kelompok phenotype yaitu pertama extensive metabolizer (EM) dan poor metabolizer (PM) - tergantung pada kemampuan untuk memediasi CYP2D6 – dependent hydroxylation debrisoquin suatu obat antihipertensi. Diantara phenotype EM, terbagi lagi kedalam 2 subgrup yaitu ultrarapid metabolizer ( UM ) dan intermediate metabolizer (IM). Pada subgroup UM, populasinya memiliki sejumlah banyak (multiple copies) dari gen yang diperlukan dalam kapasitas metabolik normal sedangkan pada IM, gen yang dimiliki bersifat heterozygous genotype ( “gene-dose effect”). Pada kelompok UM, metabolisme obat berlangsung dengan cepat sehingga kadar parent drug menjadi sangat
Edisi Maret 2006
CYP2D6 bertanggung jawab terhadap metabolisme lebih dari 60 obat termasuk obat antiaritmia, antagonis badrenoseptor, antihipertensi, antiangina, neuroleptik, antidepresi, analgesic dll. Studi menunjukkan bahwa sejumlah eso karena CYP2D6 terkait dengan genotype CYP2D6.
Selain itu ada beberapa contoh pada pasien-pasien yang membawa allel ( satu atau lebih bentuk alternative gen ) tertentu setelah pernah mengalami
ketidakmemadaian khasiat obat akibat metabolisme yang sangat cepat (UM) yang disebabkan multiple genes atau induksi oleh genes expression. Seperti pada saat diberi perhexiline, beberapa pasien yang termasuk UM juga tidak akan memberikan respon pada pengobatan dengan nortriptilin sehingga memerlukan dosis yang sangat tinggi. Demikian juga PM dapat mengalami kegagalan respon obat yang diperantarai oleh metabolit obat. Sebagai contoh adalah pada PM yang akan mengalami pengurangan efek analgesik setelah pemberian kodein atau tramadol. Disini terlihat bahwa variasi/ perbedaan gen yang dapat menyebabkan struktur enzim yang diproduksi berbeda pada setiap orang, pada akhirnya juga menyebabkan perbedaan pada kemampuan tubuh memetabolisme atau memanfaatkan suatu obat. Dengan demikian, melalui analisa DNA terhadap gen spesifik yang terkait dengan enzim kunci (key enzymes ), maka dapat diperkirakan respon obat secara individual. PHARMACOGENETIC DAN TRANSPORTER Sampai saat ini sebagian besar penyebab terjadinya efek samping obat pada individu yang peka masih belum diketahui. Demikian juga data-data terkait kepekaan secara genetik masih sangat sedikit, bahkan dapat dibilang hampir tidak ada. Dari
Halaman 7
penelitian yang dilakukan akhirakhir ini diketahui bahwa transporter kation dan anion organik tertentu pada organ tubuh manusia memegang peranan penting dalam pengangkutan obat kedalam sel. Transporter ini dapat terlibat dalam terjadinya toksisitas yang diinduksi oleh obat (drug induced toxicity ) atau yang biasa disebut idiosinkrasi . St u d i m o l e c u l a r t e l a h menemukan bukti-bukti bahwa ada polymorphism genetic dari transporter ini didalam hepatocyte. Mutasi dari sistim pemberian kode gen transporter ini dapat mengarah kepada tidak berfungsinya polipeptidapolipeptida, yang tidak hanya akan mempengaruhi profil farmakokinetik obat tapi juga mempengaruhi efek hepatotoksik beberapa obat. Selain itu perubahan /penyimpangan allel berbeda antar etnik, halmana kemungkinan dapat menerangkan adanya perbedaan terhadap potensi hepatotoksisitas suatu obat, pada etnik-etnik tertentu. Studi yang meneliti tentang peran transporter pada pasien dengan hepatotoksisitas ini menjanjikan suatu prospek untuk menggali potensi peran pharmacogenetic tehadap obatobat yang bersifat hepatotoksik. Transporter ini dan juga Pglycoprotein berada di organ penting tubuh manusia seperti saluran cerna, hati dan ginjal. Aktivitas P-glycoprotein dibawah kendala gen MDR1 dan merupakan faktor penting dalam pemanfaatan sejumlah besar obat. Pada MDR (Multi Drug Resistance) proses yang terlibat menunjukkan adanya faktor Halaman 8
variable antar etnik dan antar individu. Sebagai contoh, perubahan/penyimpangan allel yang akhir-akhir ini terjadi dan dikenal sebagai MDR1*2, muncul pada 62 % etnik Amerika keturunan Eropa, sedangkan pada etnik Amerika keturunan Afrika hanya muncul pada 13 % saja. Gen MDR1 dan gen simpangannya mempunyai implikasi yang bermakna terhadap khasiat atau terbentuknya resistensi terhadap antikonvulsan, obat antineoplastik dan obat anti HIV. PHARMACOGENETICS DAN TARGET FARMAKOLOGI Selain efek terhadap metabolisme obat, perubahan genetik pada target farmakologi yang menjanjikan harapan pada perbaikan khasiat , juga sudah mulai banyak diungkapkan. Target farmakologi ini meliputi reseptor, transporter, enzim, chanel dan proses coupling (penduplikasian) intraselular yang memodulasi respon farmakodinamik. Secara luas, yang dipelajari adalah target farmakologi terkait aritmia jantung, asma, depresi dan genotype antigen HLA pada reaksi- reaksi hipersensitivitas. Selama ini, fokus dari penelitian pharmacogenetic terkait eso adalah tentang enzim yang memetabolisme obat. Namun saat ini menjadi jelas bahwa polymorphism dari target farmakologi (polymorphism farmakodinamik) ternyata jauh lebih penting. Dari suatu studi melibatkan 270 pasien penderita kanker yang diberi antiemetic
(anti muntah) antagonis reseptor 5 - HTR38, ternyata 30 % pasien tidak berhasil mengatasi muntahnya. Ternyata pada populasi kelompok pemetabolisme sangat cepat (ultrarapid metabolism/UM) tropisetron dan ondansentron (dalam jumlah yang lebih sedikit dibanding tropisetron), khasiat obat menjadi sangat berkurang. Pada penelitian lain dengan peneliti yang sama yang melibatkan pasien homozygous yang telah dihilangkan penyimpangan promotor region 5-HTR38 nya, ternyata frekuensi muntahnya lebih sering dibanding pasien lain. Dalam suatu penelitian pharmacogenetic yang membandingkan parotexine dengan mirtazapine pada 2264 pasien dengan depresi berat, pemutusan pemberian obat akibat eso parotexin ternyata lebih terkait erat dengan 5-HTR24C/C dibanding dengan genotip CYP2D6. Jelas ada hubungan linear yang nyata antara jumlah allel C dan kemungkinan pemutusan pemberian obat. Tingkat keparahan eso pada pasien yang diberi paroxetin yang memiliki genotip C/C juga lebih berat. Jadi walaupun parotexin dimetabolisme oleh CYP2D6, polymorphism 5-HTR ternyata merupakan faktor penentu timbulnya eso parotexin. PHARMACOGENETIC DAN HEPATOTOKSISITAS Hepatotoksisitas merupakan suatu hal yang harus diperhatikan karena tingginya angka kesakitan dan kematian terkait dengan hepatotoksisitas
Edisi Maret 2006
serta merupakan alasan utama penarikan beberapa obat dari peredaran. Terpisah dari peran transporter pada hepatocytesbiliary canalicular interface, sekarang telah ada bukti tentang peran polymorph metabolisme obat dalam timbulnya hepatotoksisitas yang terkait dengan obat. Untuk isoniasid, dasar genetik toksisitasnya sudah diketahui jelas. Individu yang memiliki aktivitas rendah terhadap Nasetiltransferase ( NAT2 slow acetylators) berisiko tinggi terhadap kemungkinan terjadinya hepatotoksisitas yang disebabkan isoniasid. Slow acetylator menghasilkan metabolisme intermediet dalam konsentrasi yang rendah yang juga akan dieliminasi selama proses asetilasi. Kegagalan mengeliminasi metabolit ini menyebabkan diproduksinya metabolit elternatif yang bersifat hepatotoksik. Hepatotoksisitas yang diinduksi oleh perhexillin, yang merupakan faktor utama penarikan obat ini dari pasaran, terkait dengan kegagalan CYP2D6. Keterkaitan faktor genetik dalam hepatotoksisitas yang diinduksi obat, umumnya diduga terjadi karena kepekaan gender tertentu, dalam hal ini wanita. Selain itu, ada laporan mengenai kepekaan suatu keluarga atau suatu etnik tertentu terhadap hepatotoksisitas yang terkait dengan pemberian obat seperti phenitoin dan ibufenak. PHARMACOGENETIC DAN INTERAKSI OBAT Interaksi obat dengan obat dapat Edisi Maret 2006
sangat dipengaruhi oleh perbedaan genotopik. Dari beberapa studi terlihat bahwa pada CYP2D6 PM (dengan allel yang menunjukkan tidak berfungsinya enzim), tidak menunjukkan terjadinya interaksi obat dengan obat seperti yang diperkirakan berdasarkan studi in vitro. Hal ini sangat mengejutkan karena tidak ada fungsi aktivitas CYP2D6 terhadap penghambatan atau penginduksian. Demikian juga pada UM (ultrarapid metabolizer) dapat juga tidak terjadi interaksi obat dengan obat, kecuali kadar obat penghambat metabolismenya sangat tinggi. Orang yang cenderung mengalami interaksi obat dengan obat adalah mereka yang bersifat pemetabolisme sedang atau mereka yang memiliki allel CYP2D6 dengan afinitas tehadap substrat CYP2D6 turun atau meningkat. Untuk CYP2D6, terjadinya interaksi obat dengan obat tergantung juga pada phenotype metaboliknya, contohnya adalah kodein dan metoprolol. Selain itu transporter ion organic dan P-glycoprotein juga merupakan faktor penyebab terjadinya interaksi obat dengan obat dimana faktor pharamacogenetic merupakan faktor penting. MEMPELAJARI GENOTYPING: MENINGKATKAN R E S P O N O B AT D A N MENURUNKAN ESO Telah diperkirakan bahwa dengan mempelajari genotyping akan diperoleh hasil berupa peningkatan 10- 20 % manfaat obat yang disertai dengan pencegahan efek samping obat.
Jika petanda genetik (genetic marker) dari efek samping obat yang banyak terjadi dapat diidentifikasi dan jika genotyping pasien dapat dilakukan dengan cepat dan rutin dengan biaya murah, maka dampak efek samping obat terhadap angka kesakitan dan kematian akan menurun. Telah dilakukan kajian cost effectiveness terhadap studi genetik dan telah diidentifikasi 5 karakter/komponen yang akan meningkatkan cost effectiveness penerapan pharmacogenetics yaitu : 1. Keterkaitan yang mapan antara genotype dan respon obat 2. Penyimpangan gen yang umum/sering terjadi 3. Uji genetik yang relatif cepat dan murah 4. Kesulitan dalam memonitor respon obat 5. K o n d i s i k l i n i k a t a u konsekuensi ekonomi yang parah jika tidak dilakukan pemanfaatan atas informasi pharmacogenetic. Selain itu ada juga yang manambahkan tentang pentingnya menentukan penyimpangan allel yang paling umum dalam proses menetapkan cost effectiveness penerapan pharmacogenetic dalam pengobatan. Namun ada juga yang berpendapat bahwa pharmacogentic kadang-kadang dapat memberikan manfaat dan hanya bermanfaat terutama obat yang digunakan terus menerus pada penyakit kronik dimana pharmacogenetic dapat mencegah penggunaan obat yang sebetulnya tidak perlu digunakan secara terus menerus untuk si pasien. Halaman 9
PERAN FARMASIS Peran farmasi dalam penerapan pharmacogenetic telah dibahas pada kongres ke 62 FIP (International Pharmacy Federation ) tahun 2002. Salah satu isu mendasar yang dibahas dalam kongres antara lain perbedaan respon antara pria dan wanita terhadap pemberian obat dimana hal ini terkait erat dengan pemahaman tentang pharmacogenetic, karena telah diketahui bahwa kepekaan gender tertentu menyebabkan perbedaan profil farmakologi dari banyak obat. Contohnya adalah wanita yang sering memiliki klirens hepatik CYP2D6 dan CYP3A4 ( enzim yang berperan dalam metabolisme pada lebih dari 50 % obat ) yang lebih tinggi dibanding laki-laki. Walaupun banyak penelitian telah membuktikan bahwa peningkatan aktivitas CYP3A4 pada perempuan telah menigkatkan klirens siklosporin, diazepam, eritromisin, metilprednisolon, nifedipin dan verapamil sebesar 20 – 40 %, tetap perlu dipelajari lebih lanjut peranan glycoprotein, sebagai transporter. Hal ini menunjukan bahwa farmasis perlu memahami pharmacogenetic karena akan memberikan dampak dan manfaat yang besar terhadap praktek kefarmasian melalui peningkatan kualitas layanan kesehatan serta penurunan biaya layanan kesehatan. Farmasis dapat berperan dengan cara menfasilitasi pilihan pengobatan yang paling sesuai berdasarkan Halaman 10
karakteristik DNA setiap pasien sehingga akan menurunkan jumlah kegagalan pengobatan dan kemungkinan terjadinya efek samping obat . Untuk itu farmasis harus lebih memahami konsep-konsep tentang polymorphism dan peranan enzim CYP dalam interaksi obat serta respon terhadap obat yang berbeda antar individu. Awalnya mereka harus mengenali terlebih dahulu harapan yang dapat atau akan diberikan dengan diterapkannya pharmacogenetics dalam rangka mengoptimalkan terapi obat dan meminimalkan efek samping obat. Selanjutnya farmasis harus terus mengembangkan kemampuan pengetahuan yang diperlukan untuk memperluas perananannya dalam hal penerapan pharmacogenetics, saat melakukan konseling dan pelayanan informasi. KESIMPULAN Tentu saja tidak benar bahwa penerapan pharmacogenetic akan dapat mengatasi masalah eso secara menyeluruh. Sejauh ini memang sudah ada studi yang memberikan panduan awal tentang obat yang dimetabo-lisme oleh CYP2D6 d a n C Y P 2 C 1 9 , b e r u pa genotype/pheno-type-specific dose schedule. Namun demikian tetap harus hati-hati dalam memberikan rekomendasi dosis - terutama rekomendasi dosis tinggi yang ternyata dapat tidak sesuai, karena hal ini dengan mudah dapat menghapus potensi serta
manfaat pharmacogenetic. Saat menerapkan pharmacogenetic pada layanan kilinis sehari-hari, penting untuk mengaitkan profil farmakologi metabolit terhadap parent drug nya, fraksi obat yang dikeluarkan oleh jalur polymorphic dan indeks terapetik obat. Kajian terhadap peran pharmacogenetic sudah seharusnya dilaksanakan baik dalam proses pengembangan suatu obat ataupun sesudah obat tersebut dipasarkan sehingga diperoleh data tentang eso yang jarang dan belum muncul pada fase pengembang-an obat. Hal inilah yang akan membuat penerapan pharmacogenetic memberikan manfaat dalam menekan angka kesakitan dan kematian karena efek samping obat . Dra Reri Indriani Daftar Pustaka : 1. Conference Report Does Sex Matter ? 62nd International Pharmaceutical Federation (FIP ) Congress; August 31September 5, 2002; Nice, France 2. International Pharmaceutical Federation 3. Pharmacogenetics : towards improving treatment with medicine : WHO Drug Information, vol 19, 2005 4. Recommendations of the NIGMS Working Group Understanding Individual Variations in Drug Responses: From Phenotype to Genotype National Institute of General Medical Sciences, Bethesda USA, 1998 5. Pharmacogenetics cancer test receives FDA clearance Decision News Media, Maret 2006 Edisi Maret 2006
PENARIKAN IZIN EDAR MELAGATRAN DAN XIMELAGATRAN
Ximelagatran adalah pro-drug dari melagatran, merupakan antikoagulan yang menghambat secara langsung enzim serine protease -thrombin (enzim yang berperan dalam proses pembekuan darah). Produk dengan zat aktif ximelagatran dan melagatran yang sudah mendapat izin edar di Indonesia adalah Exanta 24 mg tablet salut selaput dan Exanta 3 mg/0,3 ml injeksi subcutan. Persetujuan izin edar ini diberikan pada tanggal 3 Mei 2005, setelah melalui proses evaluasi oleh Komite Nasional Penilai Obat Jadi (KOMNAS POJ). Adapun indikasi yang disetujui adalah pencegahan Venous Thromboembolic Events (VTE) pada pasien yang mengalami elective hip fracture atau knee replacement surgery. Pemberian obat harus dimulai hanya setelah pembedahan dengan menggunakan larutan injeksi subcutan (sc) dilakukan pada 4 jam setelah pembedahan selesai ditunjang dengan hasil haemostasis yang adekuat (pemberian obat selambat-lambatnya 8 jam paska pembedahan). Pemberian obat secara per oral (po) dapat diberikan selama 8 sampai 11 hari dari total pemberian obat (sc dan po). Berdasarkan data uji klinik terbaru yaitu studi EXTEND, PT. AstraZeneca memutuskan untuk menarik secara sukarela Exanta (melagatran/ximelagatran) berkaitan dengan risiko efek samping serius pada hati. Studi EXTEND adalah uji klinis fase III untuk membandingkan efikasi dan keamanan melagatran sc yang diberikan segera paska operasi dilanjutkan ximelagatran oral dengan enoxaparine untuk pencegahan VTE pada pasien yang menjalani hip replacement atau hip fracture surgery. Pada studi tersebut, Exanta diberikan sampai 35 hari setelah operasi (durasi penggunaan lebih lama dari yang telah disetujui yaitu 11 hari). Hasil pemeriksaan sampai 35 hari pengobatan mengindikasikan adanya risiko efek samping potensial berupa kerusakan hati yang berat pada 1 subyek. Berdasarkan hal tersebut diatas, PT. AstraZeneca mengambil beberapa tindakan sebagai berikut : Menghentikan semua studi klinik Exanta diantaranya 2 studi klinik on going yaitu EXTEND dan SPORTIF IV. Menarik produk Exanta di negara-negara dimana Exanta telah dipasarkan. Melakukan penarikan dengan segera produk Exanta di negara dimana Exanta belum dipasarkan (dalam hal ini di Indonesia). Sejak mendapat persetujuan beredar di Indonesia pada tanggal 3 Mei 2005, sampai saat ini Exanta tablet salut selaput dan injeksi belum dipasarkan dan pendaftar telah menyerahkan nomor izin edar (NIE) pada tanggal 16 Februari 2006. Obat dengan indikasi sejenis yang dapat digunakan yaitu : Heparin Na (Inviclot) Low Molecular Weight Heparin : Nadroparin Ca (Fraxiparine), Enoxaparine (Lovenox), Dalteparine (Fragmin), Certoparine Na (Troparin) Streptokinase (Fimakinase) Warfarin (Warfarin Esai) Fondaparinux (Arixtra) Untuk memberikan perlindungan yang optimal pada masyarakat, pemantauan penggunaan obat ini di Indonesia secara terus-menerus tetap dilakukan oleh Badan POM.
Edisi Maret 2006
Halaman 11
771829 933428
Redaksi menerima naskah yang berisi informasi yang terkait dengan obat, makanan, kosmetika, obat tradisonal, komplemen makanan, additif dan bahan berbahaya. Kirimkan melalui alamat redaksi dengan format MS. Word 97 spasi ganda maksimal 2 halaman kuarto. Redaksi berhak mengubah sebagian isi naskah untuk diterbitkan.
9
Alamat Redaksi : Pusat Informasi Obat dan Makanan Badan Pengawas Obat dan Makanan, Jl. Percetakan Negara No. 23, Jakarta Pusat, Telp. 021-4259945, Fax. 021-42889117, e-mail :
[email protected]
ISSN
Penasehat : Drs. H. Sampurno, MBA; Penanggung Jawab: Dra. Mawarwati Djamaluddin; Pimpinan Redaksi : Dra. Aziza Nuraini MM; Sekretaris Redaksi : Dra. Reri Indriani; Tim Editor : Dra. Rosmulyati Ilyas, Dra. Srihariyati, MSc, Dra. Dedeh Endawati, Drs. Siam Subagyo, MSi, Dra. Darmawati Malik, Drs. Bowo Waluyo, MKes, Dra. Endang Susigandhawati, MM, Dra. Yunida Nugrahanti, Judhi Saraswati,SP, Irhamahayati, SSi; Redaksi Pelaksana : Dra. Yuniar Marpaung, Dra. T. Asti Isnariani M.Pharm, Wardhono Tirtosudarmo, Ssi, Yulinar, SKM, Indah Widiyaningrum, SSi; Sirkulasi : Surtiningsih, Netty Sirait
1829-9334
INFOPOM