Industrialisasi Karya Seni Lukis : Dari Persefektif Bisnis Antara Peluang Dan Tantangan Industri Budaya Oleh: Drs I Wayan Mudana, M.Par. Dosen Seni Murni FSRD. ISI Denpasar) 1. Pendahuluan Terjadi pergeseran yang mengakibatkan munculnya totalitas social baru dengan berbagai pengorbanan dan prinsip-prinsip komodifikasi yang berlebihan dapat menyebabkna kaburnya kultur dengan menampilkan karyakarya yang bersifat tiruan. Setiap komoditas mempunyai nilai ganda. Disatu pihak mempunyai nilai pakai (use value) dan dilain pihak mempunyai nilai tukar(exchange) yang memiliki keterkaitan terhadap tenaga kerja yang terlibat dalam suatu produksi komoditas. Setiap obyek terlepas apakah obyek tersebut komoditas atau bukan bisa memiliki nilai kalau tenaga manusia dikembangkan untuk memproduksinya, dan inilah yang disebut proses dalam teori tenaga kerja. Merupakan suatu perkembangan yang yang relative mutahir sebagai sebuah fenomena empiris dan histories. Berbagai pandangan dari berbagai kalangan, dengan latar belakang dan disiplin ilmu berbeda mencoba memberikan tapsir. Salah satu implikasi penting terhadap karya-karya seni yang dijadikan suatu produk industri (komoditi) yang dapat dikonsumsi langsung maupun tidak langsung untuk memenuhi kebutuhan masyarakat global yang memiliki pemahaman terhadap bentuk, fungsi dan makna berbeda. Hubungan antara supplier dan dimand yang menghasilkan barang dan jasa, sering kali menimbulkan “sinkristissisme baru “ dalam usaha menciptakan produk-produk yang mencerminkan (made to order ). Para pelaku seni dengan senang hati mengikuti keinginan para pembeli dan berusaha sedapat mungkin untuk memberikan kepuasan pada pembeli, sambil mempromosikan produk-produk yang dihasilkan dengan harapan untuk mendapatkan imbalan berupa uang yang lebih banyak. Sering kali akibat komersialisasi yang berlebihan menghasilkan produk-produk yang terkesan melecehkan(dampak negatif). Latar belakang budaya, kemampuan ekonomi, kepercayaan, ilmu pengetahuan , pengalaman dan pangsa pasar seringkali dipakai sebagai kekuatan untuk menekan para pelaku seni untuk melakukan daya tawar yang serendah-rendahnya ( pawer ) sehingga seniman tidak berdaya untuk menerima tawarannya. Sedangkan “interest “merupakan bagian terhadap keterkaitan berhubungan dengan selera yang bias terjadi dari adanya kenangan, kesejarahan Dalam pemenuhan kebutuhan hidup manusia, seni rupa dengan berbagai macam jenis dan sifatnya bagaikan seekor kumbang dengan sekuntum bunga. Dua jenis asal-usul yang berbeda spesies itu menjadi suatu pasangan yang sulit dipisahkan, saling tergantung, dan sama-sama diuntungkan (mutualisme). Rasa saling membutuhkan satu sama lainnya adalah sesuatu yang amat wajar dalam kehidupan bermasyarakat. Sebagai industri budaya, karya seni yang diciptakan pada awalnya untuk memenuhi ekpresi jiwa untuk berkomunikasi melalui karya cipta seni
1
sehingga para seniman akan merasa terangkat harkat dan martabatnya sebagai seniman. Karya-karya ciptaan dengan latar belakang ngayah mulai diekplorasi dengan menggunakan pendekatan ekonomi sebagai realita seniman memang sangat membutuhkan. Sebagai peluang, karya seni mampu menapkahi untuk memenuhi kebutuhan seniman yang perlu hidup sarat dengan kebutuhan material berupa sandang , pangan, papan, dan mewah. Sebagai tantangan, seniman sudah dicekoki pikiran komersial, sehingga pemikiran fundamental sebagaiseniman lama-lama terkikis dan luntur oleh komersialisasi. Sebagai akibat dari komersialisasi uang menjadi penglima sehingga seniman memposisikan karyakaryanya dengan standar-standar tertentu, ada karya yang diciptakan khusus sebagai idealisme dengan standar lebih tinggi ada juga karya diperuntukan untuk dapur memenuhi kebutuhan sehari-hari dengan kualitas lebih rendah. Sebagai akibat dari adanya pemikiran yang mendua tersebut memunculkan identitas semu. Terkadang tidak jarang pelukisnya tidak mengakui karya yang pernah dibuat karena dipasarkan pada kelas standar rendah. Sebagai industri karya seni lukis sudah mengalami pasang surut semenjak abad ke-21 dimana seorang pebisnis berkebangsaan Jerman bernama Neohaus yang sering disebut Tuan “be” (Mister ikan) yang menetap di Br Sindu Sanur memiliki akuarium besar untuk memelihara ikan hias. Atas bujuk rayu Tuan Walter Spies dan Rudolf Bonnet untukmembuka gallery yang bergerak dalam bidang seni untuk menampung , membeli dan memasarkan karya-karya yang diciptakan seniman Bali yang pada waktu itu sebagai hobi atau profesi sampingan. Karena Tuan Be, membeli karya dengan harga murah dengan kualitas karya yang sangat baik pada awalnya karyapun dipasarkan di Jerman(Eropa pada umumnya) dengan harga murah dengan harapan cepat laku memuaskan konsumen dan dapat membeli karya seniman Bali lebih banyak lagi. Ternyata karya susah dijual atau dipasarkan dengan catatan semua pengunjung atau yang melihat terkagum-kagum dengan keindahan karya orang Bali dengan tema-tema yang sangat unik. Lama tidak dapat menjual lukisan menjadikan dia stres, tidak memiliki harapan. Akhirnya, harga karya dinaikan 1000 % dicoba dipasarkan dengan pendekatan yang sudah prustasi. Diluar dugaan ternyata karyakarya yang pada awalnya dipasarkan dengan harga rendah tidak terjual satupun, ketika dinaikkan berlipat lipat ganda habis terjual tanpa sisa. Tuan Be bangkit, untuk cepat ke Bali mencari karya seni. Derajat seniman naik, hidup terjamin dan tuan Be memiliki koleksi terbanyak tentang lukisan tradisional Bali. Komersialisasi seni lukis mengalami kemajuan semenjak dibukanya jalur penerbangan Ngurah Rai di Tuban, yang diiringi dengan semakin banyaknya wisatawan yang terbang langsung ke Bali disusul dengan semakin pesatnya pertumbuhan pembangunan tempat penginapan, villa, cottages, hotel dll. Banyak wisatawan yang pada awalnya hanya berlibur sesaat setelah melihat aktifitas warna lokal dan budaya menjadi sangat tertarik dan akhirnya menetap di Bali. Munculnya seni kreatif akibat dari adanya sinkritisisme baru antara orang lokal dengan orang asing yang mengagumi budaya Bali, orang Bali bahkan agama Hindu, menimbulkan trobosan-trobosan baru dibidang seni kreatif, karena kreatifitas 2
dan inovasi merupakan „ruh‟ dari seni itu sendiri, dan cara kerja utama dalam kreativitas seni sehingga potensi-potensi yang berkaitan dengan kebutuhan orang wisatawan dimaksimalkan tanpa menghilangkan identitasnya. Sebagai „motor‟ kreatifitas dan inovasi ini hanya dapat di realisasikan bila sumber daya dan modal yang ada secara optimal. Sebagai industri kreatif harus mampu membangun sebuah lingkungan kerja yang sehat agar dapat mendorong tumbuhnya karya-karya kreatif dan produk- produk inovatif, untuk menjawab kebutuhan masyarakat. Produk-produk kreatif dapat dikelompokan menjadi: 1) Ide adalah produk kreativitas, berupa: a) ide baru, b) pengenalan ide baru, c) penemuan, d) pengenalan penemuan, e) ide yang berbeda dari bentuk-bentuk yang ada, f) pengenalan sebuah ide yang mengganggu kebiasaan umum. 2). Inovasi dapat berupa: a) inovasi bentuk, b) fungsi, c) tehnik, d) material, e) manajemen atau pasar. 3) Pribadi kreatif kadang- kadang tidk cukup, karena kreatifitas tertentu justru memerlukan kerja kelompok dan kemitraan yang sinergis. Originalitas dapat berarti kemampuan menghasilkan sesuatu yang belum pernah ada sebelumnya atau modifikasi dari yang ada untuk memberi makna baru. Makna dan perubahannya dengan demikian sangat sentral dalam kreativitas. Alven Topler,(2005) mengatakan: yang memeliki peluang untuk memenangkan persaingan global adalah ; (1) etnic society, (2)culture society, (3) emvieromental , (4) impormation and technology. Indonesia salah satu Negara yang memiliki persyaratan tersebut, tetapi masih jauh dari harapan. Indonesia memiliki berbagai macam etnik dari Sabang sampai merauke, ada Papua, Minangkabau, Betawi, Bali, Toraja, Ambon, Sasak, Kupang, dll. Setiap etnik memiliki latar belakang kebudayaan tersendiri, seperti kesenian, adat istiadat, kepercayaan, agama. Kita juga memiliki sumber-sumber alam yang berlimpah; seperti memiliki laut yang sangat luas, pertambangan, hutan yang luas, ada didaerah tropis dengan curah hujan yang cukup dengan hutan yang sangat luas. Sudah barang tentu kalau tidak ditunjang dengan kemampuan teknologi memadai, sumber-sumber alam , etnik, serta budaya yang kita miliki tidak mampu berbicara banyak tanpa didukung oleh imformasi yang kuat dan teknologi yang memadai. Susanne Lenger(1950 dalam Djelantik 1992:56-57) menyatakan: Art is the creation of forms symbolic of human feeling; terjemahannya; kesenian adalah penciptaan wujud-wujud yang merupakan simbol dari perasaan manusia. Simbol dalam arti yang layak adalah suatu pertanda, pernyataan mengenai sesuatu, dalam wujud yang mengandung arti sesuai dengan pernyataan. Simbol adalah sesuatu yang mewakili pesan, pernyataan dan arti dari masing-masing. Simbol harus disepakati oleh semua pihak yang bersangkutan. Sedangkan fungsi simbol dalam estetika adalah ; apa yang disajikan oleh kesenian kepada kita adalah hanya illusi atau bayangan; artinya sesuatu yang bukan sesungguhnya. Pulau Bali sangat dikenal oleh masyarakat dunia yang memiliki keunikan, kebudayaan, alam yang indah, agama yang sangat menyatu antara alam dan peradaban manusia, sehingga para wisatawan sangat merasa nyaman bila dapat berlibur di pulau dewata ini.
3
2. Landasan Teori Teori yang digunakan sebagai landasan dalam dalam penelitian” pemampaatan pasir laut pada teknik blasting sebagai alat untuk menciptakan karya seni(souvenir) yang berbasiskan industri alternatif”, adalah sebagai berikut: a. Teori Fitisisme Komodifikasi Beberapa pernyataan dapat diikhiarkan secara lebih grafis berkenaan dengan berbagai implikasi teori Marx tentang teori Fitisisme Komoditas. Marx (1963:183 dalam Dominic Strinati.1995:63-65), “.....oleh karena itu, misteri wujud komuditas sebenarnya ada dalam karakter sosial usaha kerja manusia yang tampak sebagai suatu karakteristik obyek, suatu sifat alami sosial hasil kerja itu sendiri dan sebagai akibatnya hubungan antara produsen dengan keseluruhan usaha mereka sendiri dihadirkan sebagai suatu hubungan sosial , tidak hanya terjadi diantara mereka sendiri, tapi juga diantara berbagai hasil kerja mereka. Melalui pengalihan ini hasil-hasil usaha menjadi komoditas, benda-benda sosial yang memiliki sifat dapat ditangkap sekaligus tidak dapat ditangkap oleh indra .......Pengalihan ini hanyalah merupakan suatu relasi sosial definitif diantara manusia , yang dimata mereka, mengambil wujud fantastis dari suatu hubungan antara berbagai benda........ Inilah yang saya sebut sebagai fitisisme yang merekatkan dirinya pada hasil-hasil kerja ketika diproduksi sebagai komoditas dan yang karenanya tidak dilepaskan dari produksi komoditas. Manfaat pertukaran merujuk pada uang yang dapat diminta dari sebuah komoditas di pasar, harga jual belinya, sementara nilai manfaatnya merujuk pada kebermanfaatan barang tersebut bagi konsumen, nilai praktis, atau manfaatnya sebagai sebuah komoditas. Dalam kaitannya dengan kapitalisme, azas pertukaran akan selalu mendominasi azas manfaat karena ekonomi kapitalis yang berputarputar disekitar produksi, pemasaran dan konsumsi komoditas akan selalu mendominasi kebutuhan-kebutuhan riel manusia. Gagasan ini merupakan inti teori budaya kapitalis Adorno. Gagasan ini menghubungkan fitisisme komoditas dengan dominasi azas pertukaran dalam pengertian bahwa uang merupakan contoh betapa berbagai relasi sosial diantara orang-orang bisa mengambil perwujudan luar biasa dari suatu hubungan yang didefinisikan oleh sebuah benda yaitu uang sekaligus merupakan sarana utama dimana nilai komoditas didefinisikan untuk mereka yang hidup didalam masyarakat kapitalis. Makna Komodifikasi menurut Barker (2005:517) mendefinisikan komodifikasi sebagai proses yang diasosiasikan dengankapitalisme. Obyek, kualitas dan tanda-tanda diubah menjadi komoditas , yaitu sesuatu yang tujuan utamanya adalah terjual dipasar. Menurut Fairclough (1995) definisi komodifikasi dipahami sebagai proses dominan sosial dan institusi yang melakukan produksi komoditas untuk meraih keuntungan kapital/ekonomi sebesar-besarnya dengan menciptakan suatu konsep produksi, distribusi dan konsumsi. b. Teori Industri Budaya Adorno,(1991:85.dalam Strinati 1995:71-78) Pada semua cabangnya, produksiproduksi yang dihasilkan untuk konsumsi untuk massa, dan pada suatu takaran besar menentukan sifat konsumsi itu, yang dibuat kurang lebih sesuai dengan 4
rencana. Masing-masing cabang itu strukturnya mirip satu sama lain atau sekurang-kuranggya cocok sama lain, dengan menata dirinya sendiri kedalam sebuah sistem nyaris tanpa ada kesenjangan. Hal ini dimungkinkan melalui kecakapan-kecakapan teknis masa kini maupun konsentrasi ekonomi dan administratif. Industri budaya secara sengaja memadukan para konsumennya dari atas. Kerugiandari keduanya mendorong sekaligus bidang seni tinggi dan seni rendah, yang terpisah selama ribuantahun. Keseriusan seni tinggi dihancurkan dalam spekulasi tentang keunggulannya; keseriusan seni rendah sirna bersama kekangan-kekangan peradaban yang dipaksakan pada perlawanan yang berontak yang inheren didalamnya sepanjang kontrol sosial belum terjadi sepenuhnya. Jadi, sekalipun industri budayatak pelak lagi berspekulasi pada kondisi sadar maupun tak sadar jutaan orang yang dituju, massa itu tidak bersifat primer tapi sekunder. Mereka adalah obyek kalkulasi, bagian dari alat. Konsumen bukanlah raja, sebagaimana diyakinkanoleh industri budaya kepada kita, bukan subyek tapi obyek. Dengan merujuk pada analisis industri budaya pada musik pop, Adorno mengatakan teori sangat berkaitan terhadap teori fitisisme komoditas yang dikonsumsi oleh khalayak massal untuk menggambarkan kekuatan industri dalam masyarakat kapitalis. Industri budaya didominasi oleh dua proses yaitu: standarisasi dan individualisme semu. Inti sebenarnya dari substansi disembunyikan oleh tambahan-tambahan sampingan, kebaharuan, atau variasi gaya yang direkatkan sebagai tanda kehasannya. Standarisasi merujuk pada kemiripan yang mendasar, sedangkan individualisme semu merujuk pada perbedaan-perbedaan yang sifatnya kebetulan. Standarisasi mendefinisikan cara bagaimana industri budaya mengatasi segala macam tantangan, orisinalitas, autentisitas, ataupun berupa rangsangan intelektual, sementara individualisme semu memberikan umpan, keunikan, atau kebaruan nyata bagi konsumen. Standarisasi mengandung pengertian bahwa makin mirip satu sama lain semakin dapat saling dipertukarkan, sementara individualisme semu menyamarkan proses sehingga semakin bervariasi dan berlainan satu sama lain. c. Teori Pertukaran dan Pilihan Rasional (Exchange Rational Choice) Homan (1974. dalam Pitana,2005:22); Dengan konsef social behaviorism, dengan prinsip maximization of utility dan dimishing marginal utility (dipinjam dari konsep-konsep ilmu ekonomi), serta hubungan antara stimulti dengan respon (dipinjam dari konsep-konsep psikologi). Ditemukan bahwa semakin manusia itu diberikan penghargaan didalam melakukan sesuatu maka semakin solid prilaku tersebut terbangun secara berpola. Teori ini kemudian lebih dikembangkan oleh koleman (1990), bahwa dengan konsep ultiritarian setiap masyarakat akan memaksimalkan manfaat, dengan perhitungan secara rasional sehingga sering melanggar norma. Menurut Social Exchange Theory, faktor utama yang menentukan prilaku manusia adalah motivasi terhadap benafit (manfaat) atau value (nilai) yang akan diterima dari prilakunya tersebut. Benefit tersebut bukan hanya dalam bentuk ekonomi, melainkan juga dalam bentuk-bentuk lainnya seperti pujian, perhatian, 5
tepuk tangan, senyuman, dan sebagainya. Ada tiga asumsi pokok dalam social exchange theory, yaitu sebagai berikut(Steben,1990): 1. Manusia bertindak dalam usaha mendapatkan benefit. Dalam kaitan ini, manusia diasumsikan sebagai mahluk yang rasional. 2. Semua benefit, apapun bentuknya, mengikuti prinsip saturasi (kejenuhan). Semakin banyak seseorang mendapat benefit yang sama maka nilai kepuasan per unit benefit akan berkurang , sampai akhirnya terjadi kejenuhan, dimana benefit tersebut tidak dirasakan lagi. 3. Benefit hanya bisa didapatkan dalam interaksi, apabila kedua belah pihak saling memberikan benefit, maka masing-masing fihak harus mempunyai sumber daya (resources). Emerson (1981) melihat adanya perbedaan yang mendasar antara pertukaran sosial dalam sosiologi dengan pertukaran dalam ekonomi mikro. Dalam pertukaran sosial (sosiologis), hubungan pertukaran terjadi dalam waktu panjang , dan nilai (benefit) pertukaran bukan semata-mata terletak pada benda yang dipertukarkan, melainkan jauh melampaui batas pertukaran benda tersebut. Sebaliknya pertukaran dalam ekonomi mikro terjadi sesaat , independent, dan hubungan antar pihak segera berhenti setelah benefit tertukarkan. d. Teori Konflik Teori konflik berasal dari Karl Marx, dengan konsep economic made of production, yang menghasilkan kelas yang mengekploitasi dan kelas yang terekplitasi. Dalam teori konflik masalah dominasi dan aturan, norma dan nilainilai yang harus dianut oleh masyarakat sesungguhnya merupakan nilai, norma, atauaturan dari kelompok dominan, yang memaksakannya kepada kelompok subordinat. Dengan pemaksaan nilai dan aturan tersebut , kelompok dominan mempertahankan struktur sosial yang menguntungkan kelompoknya. Teori konflik melolak anggapan bahwa masyarakat ada dalam situasi stabil dan tidak berubah. Sebaliknya, masyarakat selalu dilihat dalam kondisi tidak seimbang atau tidak adil, dan keadilan/keseimbangan dapat dicapai dengan penggunaan kekuasaan revolusi terhadap kelompok-kelompok yang memegang kekuasaan. Dalam masyarakat industri-kapitalis, Marx dan Engels menyebut para pengusaha sebagai kaum bourgeosie atau kapitalis dan karyawan atau buruh sebagai kaum proletar yang tertindas. Keduanya bersifat antagonistik, yang pada akhirnya akan menyebabkan kaum proletar melakukan perlawanan dalam bentuk revolusi. Teori konflik dibedakan atas teori konflik Marxian berakar pada karya-karya Karl Marx (1818-1883) dan Friedrich Engels(1820-1895). Dalam teori konflik yang dipengaruhioleh Marx, dikatakan bahwa pekerja teralienasi dari pekerjaan dan dari produk yang dihasilkannya, karena tenaga kerja sudah menjadi komuditas yang dibeli oleh kelompok borjois dengan harga murah. Surplus value yang terjadi dalam proses produksi dinikmati oleh kaum borjuis melaui mekanisme ekploitasi. Surplus value ini merupakan pondasi dari sistem kapitalis. Kelas dominan dalam ekonomi pada akhirnya juga mendominasi berbagai asfek 6
kehidupan lainnya, seperti politik,agama, dan ideologi, yang pada akhirnya menguatkan dominasi mereka. Ralf Dahrendorf(1959) menolak fundamental Marxism dengan economic relationnya, tetapi mempertahankan konsep dominasi dalam hubungan kekuasaan. Teori konflik juga dianut oleh Herbert Marcuse(1964) dan Jurgen Habermas(1987) yang melihat kelas dari segi administrasi teknis negara. Sedangkan Gramci(1971) mengembangkan konsef cultural hagemony, dimana kelompok yang berkuasa pada suatu negara/masyarakat mendapatkan dominasi terhadap kelompok masyarakat lain dalam hal budaya, moral dan lain-lain melalui sitem pendidikan dan media masa. Hal ini terkait dengan teori Michel Foucault(1980) yang mengedepankan pentingnya pengetahuan sebagai wahana mempertahankan dominasi(knowladge/power relation). Piere Bourdeau(1984) juga membahas perjuangan antar kelas dalam masyarakat, tetapi lebih menekankan pada dimensi cultural atau simbolik. Dia mengatakan bahwa kelas yang berbeda dalam masyarakat, mempunyai bentuk dan tingkat cultural conflict yang berbeda yang nantinya digunakan untuk mempertahankan posisi kelas. Teori-teori pembangunanyang berkembang belakangan, seperti teori Dependensi dan Teori Sistem Dunia(World-System Theory), juga berakar pada teori konflik. Ada tiga asumsi dasar yang menjadi panduan teori-teori konflik, yaitu: 1. Setiap orang(kelompok) mempunyai kepentingan(interest) yang sering berbeda bahkan bertentangan dengan orang(kelompok) lain didalam suatu masyarakat. 2. Sekelompok orang mempunyai power(kekuatan) yang lebih dibandingkan kelompok-kelompok lainnya, sehingga lebih mudah memenuhi interesnya, yang pada akhirnya bermuara pada ketidakadilan, menimbulkan kelompok yang mengekploitasi dan kelompok yang terekploitasi. 3. Interest dan penggunaan kekuatan(power) untuk mencapai interes tersebut dilegitimasi dengan sitem ide dan nilai-nilai yang disebut ideology, sehingga pada akhirnya ideologi yang berkembang adalah ideologi kelompok dominan. Jadi masalah utama yang dibahas dalam teori konflik adalah power, order, dan interest, dan dominasi serta hegemoni. Pada teori konflik umum, pendekatan Marx ditolak, karena dinilai sebagai program aksi, bukan kajian akademis. Pendekatan ekonomi sebagai satu-satunya faktor juga dianggap terlalu menyederhanakan kompleksitas masyarakat. Teori konflik umum melihat bahwa equality yang sepenuhnya tidak pernah terjadi dalam masyarakat, dan konflik tidak pernah bisa dihilangkan dari masyarakat. Mengikuti Marx Weber, teori konflik umum memandang bahwa konflik selalu terjadi sepanjang ada kelangkaan sumber daya, termasuk perebutan prestise dan kekuasaan, bukan saja kekayaan material. e. Teori Dekontruks Derrida (1976) menyatakan bahwa dekontruksi adalah pembongkaran sebuah teks asumsi yang dipegang teks tersebut. Secara khusus dekontruksi dapat diartikan sebagai pembngkaran atas oposisi-oposisi biner hierarkis, seperti 7
realitas/penampakan, alam/budaya yang berfungsi menjamin kebenaran dengan menafikan pasangan yang lebih “imferior” Dalam masing-masing oposisi biner(barker, 2005:102). Industri seni yang berbasiskan seni lukis :dalam mengintif peluang global dapat dilihat sebagai sesuatu yang mengabaikan struktur penciptaan seni denan landasan sepi ing pamerih kearah seni yang dipruksi dengan penekanan nilai ekonomis. f. Teori Strukturasi Anthony Giddens (1986) mengembangkan teori strukturasi, yang berintikan caracara bagaimana agen memproduksi dan mereproduksi struktur melalui tindakantindakan mereka. Salah satu teori inti teori strukturasi Giddens adalah konsef membatasi, tetapi juga memampukan. Artinya bahwa munculnya struktur baru (poststuktural) didalam struktur yang telah ada sebelumnya (stuktural) bukan tanpa makna, tetapi mampu mengisi berbagai kepentingan masyarakatnya dengan tanpa menghancurkan struktur yang telah ada sebelumnya. Artinya bahwa, munculnya karya-karya seni yang melalui proses reproduksi, dengan cara mempercepat proses (produk) tidak sampai menghilangkan identitasnya. g. Teori Hegemoni Gramsci (1971) mengatakan bahwa hegemoni bukanlah dominasi dan kekuasaan, melainkan hubungan persetujuan yang mempergunakan pendekatan kepemimpinan politik dan ideology. Menurutnya ada dua syarat yang harus diperhatikan dalam kaitannya dengan kelas hegemoni, yaitu : (1) hegemoni tidak berarti memaksakan ideologi kelas tertentu,(2) ideology tidak terbentuk secara serta merta, proses kelahirannya tergantung dari pola-pola hubungan kekuatan selama terjadi aliennasi. Hegemoni tidak dipaksakan dari atas, namun hegemoni diproleh melalui negosiasi dan kesepakatan(ratna, 2005:9-10). Sebagaimana muncul dan berkembangnya industry seni di kawasan wisata Ubud, produkproduk lukisan yang diperjual belikan merupakan suatu kesepakatan dengan kepentingan ekonomi, politik dagang. Oleh sebab itu hegemoni dalam karya seni lukis sangat relepan. 2.2 Kajian Konsef Fairclough(1995) mengatakan bahwa : Commodification is the process whereby social domainsand institutions,whose concern is not producing commodities in the narrower economic sence of goods for sale, come nevertheless to be organized and conceptualized in term of commodity production, distribution,and consumtion.( komodifikasi merupakan konsep yang luas yang tidak hanya menyangkut masalah produksi, komoditas dalam pengertian perekonomian yang sempit tentang barang-barang yang diperjual belikan saja, tetapi juga menyangkut tentang bagaimana barang-barang tersebut didistribusikan dan dikonsumsi ). Komodifikasi dapat melahirkan budaya masa. Masyarakat konsumen atau masyarakat komoditas, dan akibat konsumsi massa ini menyebabkan timbulnya budaya konsumen, dan dalam budaya konsumen terdapat tiga bentuk kekuasaan yang beroprasi dibelakang produksi dan komsumsi obyek-obyek estetik yaitu : kekuasaan capital, kekuasaan produser, dan kekuasaan media masa(Piliang,1998:246). Tidak banyak Negara-negara di dunia yang memiliki keunggulan seperti yang dikatakan Marx (dalam Strinati, 1995: 63) mengatakan dalam teori “ fetisisme komoditas” 8
atas pemahaman budaya popular yang dilatar belakangi oleh teori indusri budaya merupakan landasan untuk mengatakan; dominasi modal ekonomi, politis maupun idiologis menjadikan inspirasi sesaat untuk harga komoditas atau barang. Pemikiran ini mengisyaratkan bahwa kaum pemodal besar memiliki peluang sangat besar untuk menentukan kemana arah perkembangan industri yang hendak dituju. Hegemoni terhadap pasar saling berkaitan terhadap ideologis dan isu-isu politis untuk memberikan janji-janji atau kebijakan politik. Pandangan hidup yang dijadikan suatu ideology amatlah susah untuk dibelokkan dan untuk memenangkan suatu pertarungan dalam mempertahankan ideology, mau-tidak mau harus memasuki percaturan politis. Graburn ( dalam Ardika, 2004: 25 ), dampak positif pariwisata terhadap masyarakal lokal, meliputi: (1) Masyarakat lokal memberikan hasil karya seni atau kerajinan yang bermutu tinggi kepada wiasatawan. (2) Untuk menjaga citra dan menunjukkan identitas budaya masyarakat lokalkepada dunia luar. (3) Masyarakat ingin memperoleh uang akibat meningkatnya komersialisasi Dengan adanya pariwisata, masyarakat local selain ikut secara bersama-sama mempromosikan daerahnya dengan memperlihatkan aktifitas kerja, identitas pribadi atau kelompok dengan pencitraan yang dikemas dengan baik dari produk wisata yang dimiliki, juga ingin memikmati jerih payahnya sebagai bagian dari pelaku pariwisata untuk mendapatkan imbalan dari wisatawan. Collingwood (1958) dalam Djelantik (1992:58), menyatakan : Art is imaginative expression; terjemahannya : seni sebagai ekpresi, penuangan dari emosi sang pencipta. Clive Bell (1960:”Significant Form”), menyatakan: “Subyek” maupun “obyek” dalam kesenian dan mengenai hubungan antara kedua social tersebut. (1) Semua pembahasan tentang kesenian harus bertitik tolak pada pengalaman estetis, yang ia rumuskan sebagai emosi yang khas,” emosi estetis”, yang dibangkitkan didalam subyek oleh 9ocia-ciri khas yang ada didalam obyek. (2) Kekhasan dari sesuatu yang ada didalam obyek itu, yang membangkitkan emosi estetis pada pengamat ia sebut “significant form”. (3) Hubungan antara “emosi estetis” dengan “significant form” itu ia anggap sebagai “esensi” (makna) dari setiap karya seni.(Djelantik,1992:59) Konflik pada hakikatnya merupakan gejala yang melekat dalam kehidupan setiap masyarakat yang dipengaruhi oleh power, order, interest, dan dominasi serta hegemoni ( Pitana,2004:21). Konflik dalam masyarakat senantiasa memiliki derajat dan polanya masingmasing. Untuk menganalisis konflik seniman patung dalam menyerap ide-ide modern yang dibawa wisatawan (made to order) di mana seniman Bali sudah terbiasa mengerjakan karya bernafaskan klasik maupun tradisi dihadapkan dengan permintaan terhadap karya-karya yang bernapaskan touristic sehingga menimbulkan dampak terhadap seniman. Gb. 1. Konsef Pemasaran
Evolusi Konsep Pemasaran 9
Product Orientation
Product Concept
Selling Consept
Product and Distribution
Product Quality
Promotion
Marketing Consept
Needs and Wants of Customer Buyer,s Market
Seller,s Markets
DAFTAR PUSTAKA
Alisjahbana, S.T, 1983. Sejarah Kebudayaan Indonesia Dari Segi Nilai-Nilai. Jakarta: PT. Dian Karya. Ardika, I Wayan, 2003. Komponen Budaya Sebagai Daya Tarik Wisata: Denpasar ,Program Studi Magister Kajian Pariwisata Universitas Udayana. ___________, 2004. Bali Menuju Jagaditha: Aneka Perspektif, Pustaka Bali Post. Arikonto, Suharsimi, 1992. Prosedur Penelitian. Suatu Pendekatan Praktik: Yogyakarta, ED. Revisi, Renika Cipta. Artanegara, I Gst Bagus,1977. Wayang Kulit Koleksi Museum Bali: Proyek Rehabilitasi dan Perluasan Museum Bali, Proyek Pengembangan Kebudayaan, Dirjen Kebudayaan P&K,RI. Anarson, H.H., 1986. History of Modern Art. New York: Harry N. Abrams, Inc. Bachtiar, H. W., 1986. Puncak-Puncak Kebudayaan Daerah dan Kebudayaan Bali: Lampiran 1 dalam I Gusti Ngurah Bagus ( Ed ), Denpasar, Sumbangan Nilai Budaya Bali Dalam Pembangunan Kebudayaan Nasional. Proyek Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Bali, Direktorat Jendral Kebudayaan. Bryan S. Turner, 2000. Teori-teori Sosiologi Modernitas dan Posmodernitas, Terj. Imam Baehaqi dan Ahmad Baidlowi, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
10
Claire Holt. 2000. Melacak Jejak Perkembangan Seni di Indonesia (Terj. R.M. Soedarsono), Arti Line untuk Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia (MSPI), Bandung. Dick Hartoko, 1984. Manusia dan Seni, Kanisius, Yogkakarta.
Covvarrubias, M, 1957. Island of Bali. New York: Cornel University Press. C.A. van Peursen, 1988. Strategi Kebudayaan, Kanisius, Yogyakarta.
Djelantik, A. A. M., 1990. Estetika Instrumental. Denpasar: Jilid I, STSI, Bahan Kuliah. __________, 1992. Falsafah Keindahan dan Kesenian. Denpasar,Jilid II: Dasar Ilmu Estetika, Bahan Kuliah Pada Sekolah Tinggi Seni Indonesia. Darsoprajitno Soewarno,2002. Ekologi Pariwisata . Tata Laksana Pengelolaan Obyek dan Daya Tarik Wisata: Angkasa. Erawan, I Nyoman. 1994. Pariwisata dan Pembangunan Ekonomi(Bali Sebagai Kasus). Denpasar:Upada Sastra. Edi Sedyawati, 1991. “Pelestarian dan Pengembangan Kesenian Tradisi”, Panitia Kongres Kebudayaan, Jakarta.
Edmund, 1967. Art As Image and Idea. New Jersey : Prestice Hall, Inc. Franz Boas, 1955. Primitive Art, Dover Publication, New York.
Graburn, Nelson. H.H. 2000. Tradition, Tourism and Textile: Creativity at the Cutting Edge. Dalam Hitchcock, M. and Nuryanthi, Wiendu(eds)., 2000. Building on Batik. The Globalization of a Craft Commonity. Pp: 338-353 Burlington: Ashgate. Gee, C.Y. and Fayos –Sola, eduardo. 1999 International tourism : A Global Persepective . Madrid : WTO. Geriya, Wayan, 1995. Pariwisata dan Dinamika Kebudayaan Lokal, Nasional, Global. Denpasar: Upada Sastra. The Liang Gie, 1975. Garis Besar Estetika ( Filsafat Keindahan ). Fakultas Filsafat: Universitas Gajah Mada.
11
Toffler, Alvin. 1991 Pergeseran Kekuasaan (bagian pertama) (terjemahan ) Hermawan Sulistyo. Jakarta : P.T. Pantja Simpati. Geriya I Wayan, 2000. Transformasi Kebudayaan Bali Memasuki Abad XXI:, Percetakan Bali, Denpasar. Gordon D. Jensen, Luh Ketut Suryani, 1996. Orang Bali, Institut Teknologi Bandung. G. Pudja, 1984. Bhagawadgita (Pancama Weda) , Mayang Sari, Jakarta.
Gombrich, E. H., 1986. The Story of Art. New Jersey: Prentice – Hall, Inc. Gunn Clare A, 1988. Tourism Planing . Revised and Expanded: Taylor & Francis. Giddens, Anthony, 1985. Kapitalisme dan Teori Sosial Modern Suatu Analisis TerhadapKarya Tulis Marx, Durkheim Dan Max Weber. Jakarta: UI Press. Goris R, Tanpa Tahun. Atlas Kebudayaan: Pemerintah Indonesia. Hadinoto, Kusudianto,1996. Perencanaan PengembanganDestinasi Pariwisata, Jakarta: UI- Press. Hans J. Daeng, 2000 Manusia Kebudayaan dan Lingkungan, Tinjauan Antropologi Pustaka Pelajar, Yogyakarta. Herberd Read, 2000. Seni Arti dan Problematikanya, Terj. Soedarso, Sp., Duta Wacana Press. Yogyakarta.
Hostandter, A., and Richard Kuhn, 1976. Design and Aesthetics. London: The University of Chicago Press. Yoga Atmaja, Ida Bagus, 2002. Ekowisata Rakyat. Kuta: Wisnu Press. Inskeep, E, 1991. Tourism Planning: An Integrated & Sustainable Development Approach. New York: Van Nostrand Reinhold. Kean Mc P.F, 1973. Cultural Involution Tourist, Balinese and The Prosess of Modernizasion an Antropological Perspective. Brown University: USA. Koentjaraningrat, 1994. Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Umum. 12
Kusnadi, 1997. Sejarah Seni Rupa Indonesia. Jakarta: Laporan Proyek Pembangunan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Krause Gregor, 2002. Bali 1912: Paper Publications. Kusmayadi dan Sugiarto Endar, 2000. Metodologi Penelitian Dalam Bidang Kepariwisataan. Jakarta: Gramedia Pustaka. Kotler Philip, Bowen John, Makens James, 2002. Pemasaran Perhotelan dan Kepariwisataan. Jakarta: PT Prenhallindo. Koentjaraningrat, 1990. Sejarah Teori Antropolologi II, UI Press , Jakarta. Kusnadi, dkk., 1979. Sejarah Seni Rupa Kita, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Pusat Penelitian Sejarah dan Budaya, Proyek Penelitian dan Pencatat Kebudayaan Daerah, Jakarta.
Lynton, N., 1994. The Story of Modern Art. London: Phaidon Press Limited. Mc Kean, P.F. 1973. “Cultural Involution: Tourist, Balinese,and the Process of Modernization in an Anthropological Perspective” Dissertation Departement of Anthropology, Brown University Press. Mc Phee, Colin 1966. Music in Bali: A Study in Form and Instumental Organization in Balinese Orchestral Music. New Heven: Yale University Press. Maulana Ratnaesih,1997. Ikonografi Hindu. Fakultas Sastra: Universitas Indonesia. Mudana, I Gede,2000. Industrialisasi Pariwisata Budaya di Bali: Studi Kasus Biro Perjalanan Wisata di Kelurahan Kuta. (Tesis) Denpasar: Universitas Udayana. Mathieeson, Alister and G. Wall, 1983. Tourism: economic: Physical and Social Impacts. New Yor: Longman John Wiley and Sons. Marzuki, 1995. Metode Riset. Yogyakarta : Bahan Kuliah Pada Fakultas Ekonomi Unuiversitas Islam Indonesia. Moleong, L. J., 1995. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Tragia Gae Remaja Rosdata Karya. 13
Muhadjir, N., 1992. Metode Penelitian Kualitatif:Yogyakarta, Rike Surasin Murdana, I Ketut, 1985. Karateristik Seni Hias Dalam Busana Tari Bali. Denpasar : STSI. Murdowo, 1998. Seni Budaya Bali Dwipa. Denpasar: Bali Agung. Musa, A. A., 1998. Agama Kebudayaan dan Pembangunan. Yogyakarta: IAIN Sunan Kali Jaga Press. Martin Mowforth and Ian Munt,1998. Tourism And Sustainability. London and New York: New tourism in the Third World. Marianto Dwi M, 2002. Seni Kritik Seni. Yogyakarta: Institut Seni Indonesia. Mayor Polak, 1985. Sosiologi. Jakarta: Ichtiar Baru-Van Hoepe. Mustopo,M,H,1983. Ilmu Budaya Dasar: Manusia dan Budaya Kumpulan Essay. Surabaya: Usaha Nasional. Morgan, M, 1996. Strategi Inovasi Sumber Daya Manusia. Jakarta: PT. Elex Media Kompotindo. Murdowo, 1988. Seni Budaya Bali Dwipa. Denpasar: Bali Agung. Nasution, S., 1995. Metode Reseach: Penelitian Ilmiah. Jakarta: Bumi Aksara Ngurah Bagus, I Gusti, 1997. Menuju Terwujudnya Ilmu Pariwisata di Indonesia. Denpasar: Magister kajian Budaya. Naisbitt John, 1987. Gelobal Paradok . Binarupa Aksara:Semakin besar Ekonomi Dunia, Semakin Kuat Perusahan Kecil. Pendit S, I Nyoman, 1990. Ilmu Pariwisata Sebuah Pengantar. Jakarta: Pradnya Paramitha Perdana. Usman Pelly, Asih Menanti, 1994. Teori-Teori Sosial Budaya. Jakarta: Proyek Pembinaan dan Peningkatan Mutu Lembaga Pendidikan Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Pitana, I Gede, 1994. Dinamika Masyarakat dan Kebudayaan Bali: Denpasar, Bali Post.
14
____________, 2005. Sosiologi Pariwisata. Yogyakarta: Kajian Sosiologis Terhadap Struktur, Sistem, dan Dampak-Dampak Pariwisata, Andi. Paloma ,Margaret M,1984. Sosiologi Kontemporer. Jakarta: CV Rajawali. Piliang,Y.A.1998 Sebuah Dunia yang Dilipat, Realitas Kebudayaan Menjelang malenium Ketiga dan Matinya Posmodernisme:Bandung:Mizan. Patra I Gusti Agung Gde, dalam I Ketut Wiana dan Raka Santri, 1993. Kasta Dalam Hindu Kesalahpahaman Berabad-abad, Yayasan Dharma Naradha, Denpasar. Purnatha P. Md., 1976/1977. Sekitar Perkembangan Seni Rupa di Bali, Proyek Sasana Budaya Bali, Denpasar.
Poespowardojo, S., 1989. Strategi Kebudayaan: Suatu Pendekatan Filosofis. Jakarta: PT. Gramedia. Picard Michel, 1989. Bali . cultural Tourism And Touritic Culture:Archipelago Press.. Peursen, C.A.Van,1970. Strategi Kebudayaan:. Yogyakarta: Kanisius. Peter Burns and Andrew Holden,1995. Tourism A New Perspective: Prentice Hall. Rata, I B., 1997. Eksistensi Budaya Bali. Denpasar: Dalam Pertemuan BudayaBudaya Dunia, Dalam Nyoman Budiana (ed): Widya Sastra Dharma. Rangkuti Freddy, 2003. Analisis SWOT : Teknik Membedah Kasus Bisnis. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Read, Herbert, 1964. A Concise History of Modern Sculture. New York: Oxpord Unversity Press. Rai Sudharta, Tjokorda, 2005. Kompetensi Budaya Dalam Globalisasi. Fakultas Sastra: Universitas Udayana. Ryan Chris, 1991. Recreational Tourism . London: A Social Science Perspective, Reutledge.
15
Shaw, Gareth and A.M. Williams. 1997. The Earshscan reader in Sustainable Tourism . pp106-112. London : Earhscan Publication. Smith, V.L. 1997. Introduction to Hosts and Guests: The Antropology of Tourism dalam France, Lesley., (ed).1997. The eartscan Reader in Sustainable Tourism. Pp 122-128. London: Earthscan Publication. Spillane J , 1987. Ekonomi Pariwisata: Sejarah dan Prospeknya. Jakarta : Kanisius. Spruit, Ruud, 1995. Artists On Bali. W.O.J. Nieuwenkamp, Rudolf Bonnet, Walter Spies, Wllem Hofker, A.J. Le Mayeur, Arie Smit: The Pepin Press. Strinati Dominic, 1992. Populer Culture. Pengantar Menuju Teori Budaya Populer: Bentang Budaya. Soedarsono, RM, 1999. Seni Pertunjukkan Indonesia dan Pariwisata. Bandung: MSPL. Soedarso, SP, 1990. Sejara Perkembangan Seni Rupa Modern. Yogyakarta: Institut Seni Indonesia. . Soedarso Sp., 1990/1991 “Seni Rupa Indonesia Dalam Masa Prasejarah”, dalam Perjalanan Seni Rupa Indonesia dari Zaman Prasejarah hingga Masa Kini Panitia Pameran KIAS, Jakarta. SP. Gustami, 1991 “Dampak Modernisasi Terhadap Seni Kriya di Indonesia “, Beberapa Catatan Tentang Perkembangan Kesenian Kita, Ed. Soedarso Sp.: BP. Institut Seni Indonesia Yogyakarta, Yogyakarta. .............. 1993. ”Seni Ukir dan Masalahnya”: Sekolah Tinggi Seni Rupa Indonesia “ASRI”, Yogyakarta.
Sudarmadji, 1993. Dasar-Dasar Kritik Seni Rupa. Jakarta: Balai Seni Rupa. Supangkat, J, 1996. Multikulturalisme/Multimodernisme: Majalah Kalam. Sudiarja, A., dalam Susanne K. Langer, 1986. Pendekatan Baru Dalam Estetika.Jakarta: PT Gramedia. Sutopo, H., 1988. Metode Penelitian Kualitatif II. Solo: Bahan Kuliah Pada Universitas Sebelas Maret,
16
Swandi, I Wayan, 1999. Inovasi Ida Bagus Tilem Dalam Seni Patung Bali Modern. Denpasar: Program Pasca Sarjana Universitas Udayana. Schroeder Ralph, 2002. Max Weber. Kanisius: Tentang Hegemoni Sistem Kepercayaan. Syamsul Alam Paturusi, tanpa tahun, Perencanaan Kawasan Pariwisata. Program Magister Pariwisata: Universitas Udayana. Storey John, 1993. Teori Budaya dan Budaya Pop. Qalam Yogyakarta: Memetakan Lanskap Konseptual Cultural Studies. Soekanto,S, 1990. Sosiologi Suatu Pengantar Edisi Baru keempat. Jakarta: Raja Grafindo Persada. Sirtha, I Nyoman, 1996. Makna Sosial Hukum Dalam Aksi dan Reaksi Kelompok Masyarakat Ditengah Perubahan Sosial. Surabaya: Universitas Airlangga. Tim Penyusun, 1989. Kamus Besar bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta. Tim Penyusun Monografi Daerah Bali, 1985. Monografi Daerah Bali, Proyek Pemerintah Daerah Tingkat I Propinsi Bali, Denpasar.
Titib I Made, 2001. Teologi & Simbol-Simbol Dalam Agama Hindu. Paramita: Badan Litbang Parisada Hinhu Dharma Indonesia Pusat. Thomas, 1992. The Art and Their Interlation. New York: USA. Van der Hoop, 1949. Indonesische Siermotieven, Houve, Bandung s’ Gravenhage, Bandung.
N.V. Uitgeverij. W. Van
Wiranatha, Agung Suryawan,1999. Pariwisata dan Pembangunan Bali yang Berkelanjutan, Makalah: Seminar Internasional. Pariwisata Berkelanjutan Menurut Persefektif Orang Bali. Denpasar: Pusat Penelitian Kebudayaan dan Pariwisata Universitas Udayana. Wardiman Djoyonagoro, 1994 “Sambutan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan”, pada Peresmian Museum Seni Lukis Klasik Bali Nyoman Gunarsa”, Bali. Wiana I Ketut dan Raka Santri, 1993. Kasta dalam Hindu Kesalahpahaman Berabad- abad , Yayasan Dharma Naradha, Denpasar.
17
Wira Wayan, 1997. “Rontal Bwana Tatwa” . (Alih Aksara. I Dewa Aua Mayun Trisnawati), Karangasem. Wiyoso Yudosaputro, 1990/1991 “Seni Patung Modern”, dalam Perjalanan Seni Rupa Indonesia dari Zaman Prasejarah hingga Masa Kini, Panitia Pameran KIAS, Jakarta.
Yoeti, Oka A., 1996. Pemasaran Pariwisata. Bandung: Angkasa.
18
Nasionalisme S. Sudjojono (1913-1986) Pembuka Babak Baru Sejarah Seni Lukis Modern Indonesia Oleh : Irwan Jamalludin M.Sn (Desain Komunikasi Visual - Sekolah Tinggi Teknologi Nusa Putra) Abstrak Tulisan berikut berupaya untuk mengemukakan tentang kelahiran babak baru sejarah seni lukis modern Indonesia. Babak baru seni lukis modern Indonesia lahir di masa yang sulit. Kelahirannya ditandai oleh kehadiran S. Sudjojono dan Persagi (Persatuan Ahli Gambar Indonesia) dengan membawa semangat “mencari Seni Lukis Indonesia Baru”. Setelah kemunculan S. Sudjojono dengan pemikirannya yang dia lemparkan ke masyarakat dengan cara yang lugas dan langsung, maka kemudian wajah seni di Indonesia menjelma dalam rupanya yang lebih progresif; menuju kepada gaya yang lebih khas dengan menekankan kepada tema-tema tentang kenyataan (realitas) negeri ini. Kata Kunci: Sejarah Seni Lukis Modern Indonesia, S.Sudjojono, Persagi. Pendahuluan Dalam sejarah seni lukis di Indonesia, tonggak penting yang menjadi penanda bergulirnya sejarah seni lukis modern Indonesia, ditancapkan terutama pada periode Mooi Indie sampai Persagi (Persatuan Ahli Gambar Indonesia) yang berlangsung dari kisaran tahun 1900-an sampai dengan tahun 1940-an. Dalam sejarah proses pembentukannya, kedua periode ini berada di dalam setting budaya yang berbeda. Masing-masing periode tersebut memiliki latar belakang dan tema-tema yang merupakan ungkapan dari jiwa zaman (zeitgeist) masing-masing. Lukisan-lukisan Mooi Indie yang ditopang oleh masyarakat Eropa di Jawa menjadi cenderung lebih banyak memenuhi selera masyarakat Eropa. Lukisan-lukisan Mooi Indie adalah lukisan yang mengungkapkan eksotisme alam (sawah-sawah dan gunung di Priangan) dan figur-figur pribumi (terutama kecantikan wanita-wanitanya) dalam kehidupan asli di Hindia Belanda. Sedangkan kemunculan Persagi yang didorong oleh kesadaran sosial politik kelompok pelukis pribumi menjadi sebuah gerakan yang mencoba mencari jati diri seniman pribumi dengan ekspresi karya seni bercorak Indonesia. Lukisanlukisan Persagi menggunakan objek-objek yang lepas dari selera kolonial, dengan tema yang tidak hanya tentang eksotisme alam atau figur-figur kaum wanita pribumi yang cantik, tetapi juga menggambarkan penderitaan para petani dan kehidupan orang-orang kampung dengan mengambil objek-objek seperti peristiwa dan keramaian seni pertunjukan rakyat, seni-seni warisan lama nusantara, situs purbakala peninggalan nenek moyang bangsa Indonesia, dan kehidupan rakyat sendiri. Tulisan berikut berupaya untuk mengemukakan tentang kelahiran babak baru sejarah seni lukis modern Indonesia dengan penanda waktunya yaitu di tahun 1938 saat beberapa tukang gambar dan pelukis pribumi mendirikan organisasi pelukis yaitu Persatuan Ahli Gambar Indonesia atau Persagi. Tokoh utama yang sangat penting dalam babak baru sejarah seni lukis modern Indonesia ini adalah S.
Sudjojono yang menjadi pendiri dan juru bicara Persagi sekaligus pendobrak gaya lukisan Mooi Indie yang mengalami stagnasi dalam kungkungan selera masyarakat Eropa yang menjadi patronnya. S. Sudjojono dan Persagi yang menampilkan realitas Negeri Babak baru seni lukis modern Indonesia bisa ditelusuri dengan mengacu pada setting peristiwa dan budaya pada masa-masa kelahirannya. Untuk meninjau peristiwa dan setting budaya yang hadir pada masa tersebut, empat buah buku yang menjadi sumber rujukan bisa sangat membantu memberi gambaran. Buku-buku rujukan tersebut adalah:
M. Agus Burhan. 2008, Perkembangan Seni Lukis, Mooi Indie sampai Persagi di Batavia, 1900-1942: Galeri Nasional Indonesia, Jakarta. 2. S. Sudjojono. 1946, Seni Loekis, Kesenian dan Seniman: Indonesia Sekarang, Jogjakarta. 3. Aminudin TH Siregar. 2010, Sang Ahli Gambar; Sketsa, Gambar & Pemikiran S. Sudjojono: S. Sudjojono Center dan Galeri Canna, Jakarta. 4. Mia Bustam. 2006, Sudjojono dan Aku: pustaka utan kayu, Jakarta. 1.
Babak baru seni lukis modern Indonesia lahir pada masa-masa yang sulit. Masa yang sulit ini menciptakan celah baru bagi timbulnya kesadaran berbangsa. M. Agus Burhan menuliskan; “… pada kurun waktu antara tahun 1913 sampai tahun 1930 memperlihatkan kemerosotan besar di bidang ekonomi yang justru dapat menimbulkan kesadaran politik pada masyarakat Indonesia.” (M. Agus Burhan, 2008: 4). Pada kisaran waktu tersebut (1913-1930) S. Sudjojono telah hadir menjadi saksi dan mengalami peristiwa-peristiwa yang menimpa negeri dan kondisi sosial yang terjadi di masyarakat. Dalam kondisi negeri yang terhimpit dan masa perjuangan merebut kemerdekaan, semangat kesenimanan S. Sudjojono berpadu dengan semangat perjuangan untuk merdeka dari penjajahan. Pandangannya tentang seni kemudian menemukan jalan yang khas karena latar belakang peristiwa ketika konsep-konsepnya dirumuskan berada dalam keadaan negeri yang genting. Di dalam tulisannya Aminudin TH Siregar mengatakan “Banyak faktor yang mendorong kita untuk selalu kembali menelusuri pemikiran S.Sudjojono persis ketika kita hendak mengamati perkembangan seni rupa modern Indonesia. Dorongan itu terutama berguna untuk memuaskan rasa ingin tahu kita tentang sebab-musabab dan cara seni rupa ini tiba-tiba dirumuskan, dinyatakan, dan dimapankan pada masa kolonial yang terbilang sulit.” (Aminudin TH Siregar, 2010: 31). Maka kemudian pemikirannya tentang seni lukis Indonesia dipenuhi dengan warna dan semangat nasionalisme. Tidak menutup kemungkinan bahwa “keadaan sulit”, seperti yang dinyatakan oleh Aminudin TH Siregar dalam tulisannya ini yang kemudian justru membuat S. Sudjojono menjadi memiliki segudang pemikiran dan konsep tentang seni lukis modern Indonesia yang terbalut semangat perjuangan. Dalam keadaan sulit, S. Sudjojono muncul sebagai motor Persagi (Persatuan Ahli Gambar Indonesia) yang menjadi tonggak dimulainya jaman baru Seni Lukis Indonesia. “Melalui Persagi, terutama melalui peran S. Sudjojono, kita melihat timbulnya pemahaman tentang seni di Indonesia secara organik. Pemahaman ini hendak dinyatakan sedemikian rupa sehingga bisa menjadi kesadaran
bersama. Kenyataan ini tidak saja menunjukkan sifat otentiknya, tetapi juga orisinal karena dilakukan pada masa kolonial. S.Sudjojono keluar dari kemapanan “paradigma” Barat. Dia mencari jalan sendiri, mengukuhkan istilah-istilah itu sekaligus memperjuangkannya.” (Aminudin TH Siregar 2010:125). Hidup di masa yang sulit menjadikan S. Sudjojono sebagai pribadi yang teruji dan diakui kualitasnya sebagai seorang pemikir dan pejuang yang teguh. Maka kemudian dengan bekal semangat sebagai seorang seniman yang berjuang, pada tahun 1938 bersama Agus Djaya dan beberapa seniman lainnya, S. Sudjojono mendirikan Persatuan Ahli-ahli Gambar Indonesia (Persagi) di Batavia. Organisasi ini bertujuan untuk mengadakan suatu pembaharuan dalam seni rupa Indonesia. Seni lukis menjadi media yang dapat merefleksikan realitas sosial masyarakat Indonesia. Seni lukis yang berangkat dari cara pandang tertentu. Persagi banyak melakukan kritik kepada lukisan Mooi Indie yang dianggap merepresentasikan cara pandang kolonial. Gagasan-gagasan S. Sudjojono tentang seni lukis modern Indonesia terangkum dalam bukunya yang terbit pertama kali berjudul: Seni Loekis, Kesenian, dan Seniman (1946). Di dalam tulisannya M. Agus Burhan mengatakan; “Dalam suasana pencarian identitas bangsa dan pasang surutnya pergerakan nasional itu, pada tahun 1938 beberapa tukang gambar dan pelukis mendirikan organisasi pelukis yaitu Persatuan Ahli Gambar Indonesia atau Persagi. Sebagai tokoh penggeraknya adalah S. Sudjojono dan Agus Djaja, serta beberapa tukang gambar sebagai anggota. Organisasi itu mempunyai makna besar dalam dunia seni lukis modern Indonesia karena kegiatannya bukan hanya sekedar melukis bersama dan pameran, melainkan juga memberi reaksi yang keras pada para pelukis Mooi Indie, dan mencari corak seni lukis Indonesia baru.” (M. Agus Burhan, 2008: 5) S. Sudjojono telah melakukan aksi yang berdampak besar pada masa-masa selanjutnya dengan melakukan pembongkaran dan interogasi pada gaya lukisan-lukisan di masa tersebut. ”Akan tetapi, mestinya kita pun memaklumi bahwa pada 1930-an, ketika kesadaran baru tentang nasionalisme semakin merebak di berbagai bidang, tak terkecuali seni, tak ada seorang pun yang menunjukkan jalan untuk menggugat paradigma orientalis secara mendasar. Apa yang dilakukan oleh S. Sudjojono pada masa itu merefleksikan kesadaran kognitif bahwa ada yang salah dalam cara melukis, terutama dalam penggambaran realitas sosial yang dilakukan oleh pelukis pribumi, dan terutama oleh pelukis kolonial. Posisi yang diambil oleh S. Sudjojono adalah menilai kelemahan-kelemahan praktek seni lukis pada masa itu. Kita pun tahu bahwa penilaian tersebut tidak asal kritik, sebab logika-logika yang digunakan oleh S.Sudjojono terbukti secara empiris. Apa yang dilihat oleh S. Sudjojono dalam seni lukis kolonial adalah representasi tentang Timur, yang berhubungan dengan cara Timur dihadirkan, dilukiskan.” (Aminudin TH Siregar 2010: 45-46). S. Sudjojono mempertanyakan ‘wajah’ negeri ini yang tampak dalam lukisan-lukisan pemandangan dan perempuan-perempuan cantik yang menjadi gaya umum para pelukis Indonesia di masa itu. S. Sudjojono mempertanyakan hakekat (nomena) dari yang tampak (fenomena) dalam lukisanlukisan yang menjadi ciri umum pada masa tersebut. “Apa yang dilakukan S.Sudjojono pada prinsipnya
adalah meragukan: apakah corak lukisan itu melukiskan kenyataan alam yang sebenarnya? Pada saat itu S.Sudjojono mengajukan antitesis terhadap pandangan umum yang seolah mengatakan bahwa Mooi Indie adalah satu-satunya corak yang sah dalam seni lukis. Corak seperti itu seolah secara alamiah mewakili segala hal tentang “Indonesia”. Berdasarkan keraguan itu, S.Sudjojono melakukan “denaturalisasi”. Mooi Indie bukanlah “Timur yang sesungguhnya” melainkan “representasi tentang Timur”. Inilah pendirian S.Sudjojono yang dia yakini hingga akhir hayatnya.” (Aminudin TH Siregar 2010:374-375). Semangat Mencari Seni Lukis Indonesia Baru Sesungguhnya segala penolakan yang dilakukan oleh S. Sudjojono adalah sebuah semangat dalam mencari Seni Lukis Indonesia Baru. Ketika S. Sudjojono menolak gaya Barat, bukan berarti S. Sudjojono menolak segala yang berasal dari Barat. S. Sudjojono sendiri menyarankan –jika diperlukanmenggunakan teknik Barat yang sesuai dengan kepentingan dalam perjuangan mencari seni lukis Indonesia. S. Sudjojono menolak gaya (style) Barat yang ada di Indonesia karena pada masa tersebut lukisan-lukisan dengan ‘gaya Barat’ ini cenderung hanya menggambarkan pemandangan alam yang indah tanpa menggambarkan kenyataan negeri ini yang pada masa itu dalam keadaan terjajah (tidak indah). Penolakan yang dilakukan S. Sudjojono bukanlah penolakan terhadap seni lukis Barat, tetapi penolakan terhadap apa yang digambarkan oleh dan dengan teknik Barat tentang keadaan negeri ini yang kesemuanya tampak hanya indahnya saja, sehingga tidak memberi kesadaran kepada masyarakat tentang kenyataan yang sedang dihadapi oleh bangsa ini. S. Sudjojono sendiri dalam kumpulan tulisannya yang berjudul Seniloekis, Kesenian dan Seniman (1946) bahkan menganjurkan agar belajar juga ke Barat untuk mencapai cara dan teknik melukis dengan corak dan gaya Indonesia. “Tjarilah tjara mewoejoedkan kita itoe agar bisa tjorak Indonesia itoe terlihat. Marilah kita bersama-sama mentjari. Pakailah tjara saudara sendiri-sendiri oentoek mendapat nasionalisme seni loekis kita itoe. Di bawah ini saja kemoekakan sesoeatoe tjara jang mentjari djalan ke arah tadi. Kalau saudara mentjari, ta’ ada salahnja saudara mempeladjari seni loekis Barat dari Reneissance Leonardo da Vinci sampai realisme De La Croix keseni loekis baroe Picasso. Tidak diarti teknik saja, tetapi diarti filsafat seni tadi, jang mendjadi sebab-sebab aliran-aliran seni loekis itoe, djoega haroes kita peladjari. “ (Sudjojono, 1946:13) Mencari seni lukis Indonesia Baru bagi S.Sudjojono adalah mengkukuhkan eksistensi seni lukis Indonesia di masa kini. Dalam tulisannya Aminudin TH Siregar menyatakan “Terhadap keyakinan S. Sudjojono ini, lagi-lagi banyak orang yang salah paham. Mereka mengira S. Sudjojono adalah orang yang meyakini “orisinalitas” seni lukis Indonesia, padahal kenyataannya yang dibicarakan oleh S. Sudjojono adalah “eksistensi”. Orang tampaknya sulit membedakan arti antara “orisinalitas, “identitas” dan “eksistensi”. (Aminudin TH Siregar 2010:376).
Dengan demikian sikap yang diyakini oleh S. Sudjojono adalah sikap yang merdeka sebagai seorang seniman. Dengan sikap merdeka ini S. Sudjojono memperjuangkan eksistensi seni lukis Indonesia dengan cara mempelajari teknik dan filsafat seni baik yang berasal dari Barat, Timur atau dari peninggalan sejarah negeri ini untuk mencapai yang dia cita-citakan yaitu: Seni Lukis Indonesia Baru. Kesimpulan Jejak awal sejarah seni lukis modern di Indonesia hadir sebagai suatu dampak dari kolonialisme bangsa Barat. Namun seiring dengan dinamika sosial politik yang mengiringi jalannya sejarah seni lukis modern Indonesia, tercipta babak baru yang memunculkan perumusan sikap budaya dan kesadaran kebangsaan yang tumbuh lewat pemberontakan pada sikap feodalisme dan estetika yang dianut oleh pelukis-pelukis Mooi Indie yang ditopang terutama oleh masyarakat Eropa yang membentuk ‘dunia Barat’ di daerah perkotaan Jawa. Pemikiran-pemikiran S. Sudjojono adalah salah satu pintu gerbang pembuka mata para pelukis pada masa tersebut dan juga menciptakan para seniman dengan karya-karya yang menyentuh lapisan-lapisan dimensi sosial dan politik masyarakat Indonesia yang dahulu tidak pernah tersentuh. Cara pandang Barat yang mendominasi cara pandang para pelukis Indonesia di masa itu mendapatkan tandingannya lewat pemikiran-pemikiran S. Sudjojono yang nasionalis. S. Sudjojono menjadi seorang pelukis Indonesia yang membuka babak baru sejarah seni lukis modern Indonesia dengan mengemukakan pemikiran mengenai kemungkinan tentang pencarian pada gaya seni lukis Indonesia yang tidak terkungkung pada metode dan teknik Barat (kolonialisme). Gagasan ini adalah satu hal yang sebelumnya tidak pernah diungkapkan oleh pelukis nusantara selama berabad-abad. Setelah kemunculan S. Sudjojono dengan pemikirannya yang dia lemparkan ke masyarakat dengan cara yang lugas dan langsung, maka kemudian wajah seni di Indonesia menjelma dalam rupanya yang lebih progresif; menuju kepada gaya yang lebih khas dengan menekankan kepada tema-tema tentang kenyataan (realitas) negeri ini. Bandung , 3 Maret 2016 Irwan Jamalludin M.Sn
DAFTAR PUSTAKA S. Sudjojono. 1946, Seni Loekis, Kesenian dan Seniman: Indonesia Sekarang, Jogjakarta. M. Agus Burhan. 2008, Perkembangan Seni Lukis, Mooi Indie sampai Persagi di Batavia, 19001942: Galeri Nasional Indonesia, Jakarta. Aminudin TH Siregar. 2010, Sang Ahli Gambar; Sketsa, Gambar & Pemikiran S. Sudjojono: S. Sudjojono Center dan Galeri Canna, Jakarta.
Penciptaan Seni Lukis Multi Tampak
PENCIPTAAN SENI LUKIS MULTI TAMPAK Dyan Condro Jurusan Pendidikan Seni Rupa, Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Surabaya Email :
[email protected] Dr. Djuli Djatiprambudi, M.Sn. Jurusan Pendidikan Seni Rupa, Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Surabaya Email :
[email protected]
Abstrak Perkembangan seni rupa kontemporer dengan berbagai keunikan bentuk, media dan teknik, berpengaruh dalam berkreasi, dengan beberapa riset hingga menampilkan seni lukis multi tampak. Peneliti mengangkat tema pop art yang menampilkan beberapa tokoh popular, dengan dikemas kedalam seni lukis multi tampak yang merupakan perkembangan seni rupa kontemporer.Karya multi tampak ini menceritakan bagaimana biografi singkat tokoh popular dunia dengan beberapa problem dalam kehidupannya. Dengan ditampilkan pada kanvas berputar 120 ⁰ berbentuk prisma segitiga.Penciptaan seni lukis multi tampak ditampilkan pada kanvas berputar yang terdiri dari tiga gambar dengan lukisan yang berbeda-beda sehingga membentuk suatu cerita. Dan ditampilkan layaknya seperti karya dua dimensi, sebagai interior pada dinding, serta penonton dapat ber interaksi.
Abstact The development of contemporary art along with the uniqueness in form, media and technique, has an effect in creating something, by doing some researches to the display of multi surface painting in result.The author bring on the pop art theme that presents some popular figures. By packing it into the multi surface painting which is of contemporary art development.This multi surface work tells us how the brief biography of the popular figures in the world along with the problems in their life. By displaying it on the 120 ⁰-rotating canvas in the form of triangular prism.The creation of this multi-visual painting that displayed on the rotating canvas that consists of three pictures with different painting so that created a whole story, and similarly displayed as 2D work, as an interior on the wall, in which the onlooker can interact on it.
Latar belakang peneliti dalam berkesenian dan ketertarikannya terhadap seni lukis, penciptaan ini juga dilatar belakangi dengan beberapa seni rupa kontemporer di Indonesia saat ini mulai berkembang, ditandai banyak seniman-seniman muda yang bermunculan dalam seni rupa kontemporer Indonesia. Dengan berbagai macam eksplorasi media hingga bentuk presentasi karya, dapat terlihat pada pergelaran pameran Artjog, seni rupa nusantara di galnas, biennale jatim, dan beberapa kompetisi seni rupa bergengsi seperti paniting of the year UOB, Bandung Contemporeri Art Award, Indonesia Art Award dan bebrapa kompetisi bergengsi lainnya yang banyak melibatkan seniman-seniman muda. Dan semua karya yang ditampilkan memang tergolong karya seni kontemporer.
PENDAHULUAN Proses berkesenian peneliti dimulai sejak dibangku taman kanak-kanak hingga saat ini menempuh jalur pendidikan setara satu pendidikan seni rupa di Universitas Negeri Surabaya, ketertarikan peneliti akan mengolah beberapa teknik dan media lukis sudah berlangsung sejak awal tahun 2009. Ketertarikan terhadap seni lukis diwujudkan dengan beberapa karya lukis dengan media yang ber macam-macam. Peneliti menempuh pendidikan di Unesa dan memilih jalur kekaryaan sebagai penciptaan skripsi, memang dasar dari awal peneliti sangat tertarik dalam dunia seni rupa terutama seni lukis. Mulai dari beberapa prestasi dalam dunia seni, baik dalam lomba seni lukis, mural, desain. Dan bebrapa kali mengerjakan projek mural museum trick art di beberapa kota, hal ini yang membuat penulis memilih mengambil penciptaan dalam pengerjaan skripsi.
39
Jurnal Pendidikan Seni Rupa, Volume 3 Nomor 2 Tahun 2015, 39-43
Ide Dasar Tuntutan dalam dunia seni untuk menciptakan hal baru dalam berkreasi dan mengolah karya seni rupa, dalam hal ini peneliti memanfaatkan perkembangan ini dengan sedikit bermain-main untuk membuat karya seni lukis yang dapat berubah wujud menjadi beberapa lukisan dalam satu bingkai, ide ini yang akhirnya mendasari semua karya-karya peneliti ini sehingga tersebutlah istilah karya seni lukis “ multi tampak”. Proses penciptan karya ini peneliti memiliki gagasan dalam penciptaan, karya ini menggunakan media lukis kanvas dan kayu dengan teknik penyajian multi tampak, juga disebut sebagai lukisan yang memiliki lebih dari satu tampilan dan lukisan ini yang terdiri dari prisma segitiga ditempatkan di dalam bingkai. Prisma memutar 120 ⁰, masing-masing menampilkan pesan atau informasi baru. Seperti tersirat, tiga gambar individu, atau pesan, dapat disebut multi tampak. Seni lukis multi tampak ini sebenarnya lebih sering kita lihat pada pengaplikasian billboar. Dengan kategori sebagai iklan yang menampilkan tiga pesan / gambar kita jumpai disepanjang jalan pada tahun 2000an. KAJIAN PUSTAKA Proses penciptaan seni lukis multi tampak peneliti menjelaskan bagaimana seni lukis yang dapat disajikan dalam beberapa gambar. Sumber inspirasi dalam menciptakan karya seni lukis ini penulis memiliki kemiripan dengan Galam Zhulkifli yang memiliki konsep melukis “saya hanya melukis wajah manusia. Karena di wajah saya menemukan keberbedaan” penjelasan galam dalam Gelaran Almanac Seni Rupa Jogja 1999-2009, dan dalam seri ilusi karya Galam memberikan penjelasan bagaimana mata melihat benda dengan prespektif yang menggunakan piranti cahaya sebagai pusat pembeda antara lukisan dan gambar yang bekerja dalam satu kanvas ketika cahaya tidak ada, maka kanvas itu menjadi lukisan yang dihamparkan warna. Tetapi ketika cahaya muncul yang terhampar adalah gambar. Cahaya dengan demikian adalah transendensi paling tinggi dari ilusi (Dahlan, 2009:546). Hal tersebut yang membuat galam menggunakan teknik glow in the dark dalam menciptakan karyanya. Penulis dalam menciptakan karya lukisnya memiliki kesamaan dengan karya galam yang sama-sama menampilkan wajah sebagai objek lukisnya dan juga sama-sama memiliki beberapa pesan gambar yang ditampilkan dalam satu bingkai, hanya media dan teknik yang berbeda dalam proses penyajiannya. Dengan menampilkan karya multi tampak yang dapat berputar dan pada setiap putaran memiliki makna kehidupan manusia akan terus berputar dan dan selalu ada akhri dari sebuat putaran. METODE PENCIPTAAN Banyaknya seni lukis dengan berbagai teknik dan visualisasi yang sangat beragam, peneliti yang selalu konsisten dalam proses berkesenian sejak tahun 2011 memulai mengeksplorasi media seni lukis, dengan memberi sentuhan tiga dimensi pada media lukisnya
hingga berkembang seperti saat ini menjadi seni lukis multi tampak. Tahap Proses Kreatif Tahapan proses kreatif peneliti memiliki beberapa tahanpan dalam proses berkaya diantaranya penentuan ide,penentuan tema, penentuan gaya, penentuan media, penentuan teknik, dan proses kerja kreatif a. Ide Penciptaan Berdasarkan proses penciptaan karya peneliti memperoleh sumber ide dari kegiatan sehari-hari dan lingkungan. Ide berawal dari suatu kehidupan yang selalu mengalami perputaran yang ada awal ada akhir, berjalan terus seperti itu dan ber ulang-ulang, ide seketika muncul karena melihat sebuah billboar yang persekian detik dapat berubah dan berputas seperti roda kehidupan yang menampilkan lebih dari satu pesan gambar. Setelah melihat hal itu peneliti mulai mencari tahu bagaimana proses dari perubahan tersebut karena penulis ingin mengaplikasikan kedalam seni lukis, dan berujung pada pengaplikasian media billboar kedalam seni lukis multi tampak, yaitu media yang memiliki lebih dari satu pesan dalam satu bingkai. b. Penentuan Tema Kamus Besar Bahasa Indonesia (2005:756) mengartikan tema adalah pokok pikiran; dasar cerita (yang dipercakapkan dipakai sebagai dasar mengarang, mengubah sajak dan sebagainya). Tema yang diambil dalam penulisan ini adalah ikon dunia dengan kontroversi hidupnya, tema ini dianggap menarik karena ke tiga ikon dunia mempunyai banyak kontroversi dalam kehidupannya sehingga biografi ketiganya sangat menarik untuk disimak. Sehingga penulis melukis wajah masing-masing ikon dunia ini kedalam kanvas. Selain menampilkan wajah lukisan ini juga menyertakan symbol sebagai semiotika untuk menjelaskan biografi ikon dunia ini, diantanya menggunakan gambar tengkorak sebagai symbol kematian. Semiotika (kadang juga disebut semiologi) adalah disiplin ilmu yang mempelajari tanda (sign) (Alex Sobur, 2009:69). Sumber lain mengatakan semiotika adalah ilmu tentang tanda dan kode-kodenya serta penggunaanya dalam masyarakat (Piliang, 2011:26). c. Penentuan Gaya Pop art atau Popular art adalah sebuah perkembangan seni yang dipengaruhi oleh gejala-gejala budaya popular yang terjadi dimasyarakat.(Dahlan, 2009:22) Sedangkan dalam buku untuk apa itu seni pop art adalah gerakan sini yang bertumbuh pada pertengahan tahun 1950 di Inggris dan akhir 1950 di Amerika, sebuah gerakan kebudayaan yang mencoba mencari format baru diluar format kebudayaan yang baku dan mapan. Pop art menawarkan imaji-imaji yang melekat dalam kehidupan sehari-hari yang tampak jelas dipermukaan, terutama lingkungan urban dan dunia popular yang banal, semisal komik, porter selebritis, politikus, hingga persoalan gaya hidup modern. (Sugiarto, 2013:68) Dalam penciptaan karya lukis ini penulis juga menganut gaya pop art karena sesuai dengan penjelasan bahwa pop art memandang budaya komersil sebagi materi mentah, sebuah sumber ide yang tak pernah habis atas hal-hal yang bersifat
Penciptaan Seni Lukis Multi Tampak
subjek piktoral. Para seniman yang menganut gaya pop art biasanya banyak melukis ikon-ikon yang kerap muncul dalam masyarakat, seperti komik, kehidupan kota metropolis, dan iklan yang ditampilkan dalam kanvas atau seni grafis. d. Penentuan Media Media merupakan hal yang sangat penting untuk menuangkan kasil karya seni, media adalah alat atau sarana dalam proses komunikasi antara dua pihak, penulis dalam penciptaan ini memiliki media khusus untuk menyampaikan idenya melalui lukisan Bebrapa media yang digunakan peneliti untuk penciptaan karya ini adalah kayu, kanvas, cat, pensil, kuas. e. Penentuan Teknik Dalam proses penentuan teknik peneliti menggunakan dua teknik untuk menampilkan karyanya yaitu teknik drawing dan teknik air brush, kedua teknik ini masing-masing memiliki peranan penting dalam penyajiannya selain dari segi visual segi bentuk juga dipertimbangkan dalam proses penciptaannya. f. Penciptaan Proses penciptaan karya peneliti memulai dengan beberapa contoh hasil riset pembuatan kontruksi media lalu merealisasikan kedalam bentuk media yang sebenarnya, dilanjut sketsa karya sesuai tema yang ada dan proses pewarnaan dan finising
Gambar 5.3 Dyan Condro, secret #1, : akrilik, pensil, diatas kanvas berputar, Ukuran : 134cm x 140cm Tahun : 2014 (dok. Peneliti) Dalam penciptaan karya secret #1 peneliti menyampaikan bagaimana cerita singkat biografi Merilyn Monroe ketika pada frase naik daun hingga meninggal dengan bebrapa kontroversinya dengan proses pengemasan ke bentuk lukisan yang berputar dan berisi dua lukisan dalam satu bingkai. Gambar pertama menjelaskan pose terpopuler dalam hidupnya, gambar ke dua menjelaskan kematiannya dengan beberapa background wajah Monroe yang sensual.
HASIL DAN PEMBAHASAN Setelah media lukis selesai mulailah pada proses melukis diatas media multi tampak, dengan pemilihan tema panyampaian alur cerita hingga dapat tersusun urut pada media multi tampak. Dalam proses melukis penulis menampilkan potret wajah legendaries dunia yang memiliki biografi unik dan bercerita, penulis memilih wajah Merilyn Monroe, Jhon Lennon, dan Michael Jackson. Wajah ketiga legendaris ini ditampilkan pada media multi tampak yang berbeda hingga membentuk cerita kehidupannya masing-masih. Proses penciptaan ini peneliti menggunakan 2 teknik dalam melukis yaitu perpaduan teknik melukis dengan air brush dan dengan teknik arsir atau drawing. Dengan beberapa seniman sebagai sumber inspirasi seminal mulai melukis dengan gaya lukis pop art (popular art) terutama Galam Zhulkifli adalah salah satu seniman yang melatar belakangi karya penulis. Gambar 5.4 Dyan Condro, secret #2, 133x128 cm akrilik, pensil diatas kanvas 2014 (dok. Peneliti) penciptaan seni lukis multi tampak yang berjudul secret #2 menceritakan biografi singkat John Lennon dengan tampilan tiga lukisan dalam satu bingkai. Di dalam lukisan satu menggambarkan Jhon saat terkenal dengan beberapa albumnya dan terutama album imagine, dan lukisan tahap ke dua menggambarkan bagaimana Jhon dipertemukan
41
Jurnal Pendidikan Seni Rupa, Volume 3 Nomor 2 Tahun 2015, 39-43
dengan David Chapman yang menembak mati Jhon. Dimana saat itu louncing album doble fantasi. dan lukisan terakhir menggambarkan tengkorak kepala dengan beberapa pistol yang menjelaskan kematian Jhon Lennon tertembus oleh peluru panas.
Gambar 5.5 Dyan Condro, secret #3, akrilik, pensil diatas kanvas 85x128 cm tahun : 2014 (dok. Peneliti) Secret #3 ini sama seperti cerita dalam karya sebelumnya dengan menampilkan tiga gambar dalam satu bingkai. Dan gambar pertama menampilkan sosok wajah Michael Jackson saat terkenal, dan gambar ke dua menampilkan perubahan wajah Jackson dari sebulum sampai selesai operasi plastik. Dan yang terkhir menampilkan banyak tengkorak yang menceritakan ketika mati Jackson sudah tidak jelas bentuk tengkoraknya karena efek dari beberapa operasi yang dijalaninnya.
Ke tiga karya multi tampak ini diciptakan sebagai bentuk penulis dalam perkembangan baru karya seni rupa kontemporer di Indonesia terutama dikawasan jurusan pendidikan seni rupa universitas negeri surabya. Dan digunakan sebagai karya skripsi penulis. Kesimpulan Penciptaan Seni Lukis Multi Tampak adalah bagaimana bentuk perwujudan seni lukis kontemporen dengan beberpa pengaplikasian seni lukis kedalam bidang muti tampak yang dapat berubah ubah. Berawal dari proses melukis yang hanya berpacu pada objek dua dimensi seni lukis multi tampak sebagai salah satu penggerak perubahan seni lukis bisa berubah menjadi seni tiga dimensi yang bisa dinikmati dari beberapa sisi, dengan pengaplikasian media multi tampak. Ide berawal ketika peneliti mengalami ketertarikan terhadap media-media lukis yang aneh, hingga pada saatnya melihat bilboar trivision yang saat ini sudah mulai ditinggalkan karena munculnya bilboar LED. Bilboar trivision ini banyak dikenal pada sekitar tahun 2000, banyak iklan-iklan yang menggunkan jasa bilboar trivision untuk mempromosikan prodak-prodak mereka dengan alasan dengan bantuan bilboar trivision prodak mereka mudah dipahami karena menampilkan tiga pesan pada satu bingkai yang dapat berubah sesuai alur yang akan disampaiakan pada prodak itu. Bilboar trivisin ini menggunakan sistem menampilan tiga pesan pada satu bingkai, dengan sistem katrol untuk memutar objek hingga berputar per sekian detik. memiliki lebih dari satu tampilan yang terdiri dari prisma segitiga ditempatkan di dalam bingkai. Prisma memutar 120 ⁰, masing-masing menampilkan pesan atau informasi baru. Seperti tersirat, tiga gambar individu, atau pesan. Sitem yang ada pada bilboar trivision ini melatar belakangi terciptanya seni lukis multi tampak. Proses perpaduan karya lukis multi tampak ini dimulai dengan proses penyederhanaan sitem bilboar dengan membuat prototip mini sistem sederhana dari multi tampak.Dilain pihak ada sedikit hal yang membuat dirinya belum bias mencapai kesempurnaan pada karyanya, ada hal yang belum bisa membuat penulis puas atas pencapaiannya saat ini sebab masih banyak hal dalam memang eksplor media dan teknik yang dirasa masih belum maksimal, mulai dari penggarapan media yang seharusnya sudah meninggalkan unsur tradisi yaitu sudah tidak menggunakan bahan dari kayu lagi, karena harus mempertimbangkan ketahanan dan kekuatan saat karya dapat berinteraksi dengan penonton. Selain media yang membuat peneliti kurang puas pada pengerjaan lukis pun juga masih ada hal yang harus dikoreksi secara visual dan ide peneliti masih ingin mengkaitkan dengan proses yang terjadi pada media multi tampak, sehingga antara media dan visual memiliki kntribusi yang seirama.
Penciptaan Seni Lukis Multi Tampak
DAFTAR PUSTAKA AL-Barry, M.J.D. 1999. Kamus Ilmiah Kontemporer. Bandung:Pustaka Setya.
Zulkifli, G. 2004. Taman Seni: Dari Dunia Imajiner lalu Lompatan Kata Rupa. Yogyakarta: Malibas.
Atmaja, Prof. Dr. Mochtar Kusuma DKK. Perjalanan Seni Rupa Indonesia Dari Zaman Prasejarah Hingga masa kini. Seni Budaya: Bandung. Dahlan, M. M. 2009. Gelaran Almanak Seni Rupa Jogja 1999-2009. Gelaran Budaya: Yogyakarta. Djatiparambudi, Djuli. 2007. Menggugat seni murni. lembaga penerbit fakultas bahasa dan seni Unesa: Surabaya. Djelantik, A.A.M. 1999, Estettika sebuah pengantar, Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia: Bandung. Gie, The Liang. 1996, Filsafat Seni. PUBIB:Yogyakarta. Supangkat, Jim. Dkk. 2000, Yogya Dalam Peta Seni Rupa Kontemporer, “OUTLET”, Cemeti foundation: Yogyakarta. Maharani, S. 2009. Biografi Singkat 1926-1962 Marilyn Monroe. Yogyakarta: A+plus book. Marquez, A. 2009. Jhon Lennon Biografi Singkat 19401980. Yogyakarta:A+plus book. Piliang, Amir Yasraf. 2011. Dunia yang Dilipat: Tamasya Melampaui Batas-Batas Kebudayaan. Bandung:Matahari. Sky, Rick. 2010, Michael Jackson The Bad Year. Harper Collins Pubhlisher: London. Sobur, Alex, Drs., M.Si.. 2009. Semiotika Komunikasi. Bandung:PT Remaja Rosdakarya. Sugiharto, Bambang. 2013. Untuk Apa Seni. Bandung: MATAHARI. Susanto, M. 2012. Diksi Rupa Kumpulan Istilah dan Gerakan Seni Rupa. Yogyakarta:Dicti Art Lab dan djagad Art House. Susanto, M. 2004. Menimbang Ruang Menata Rupa Wajah dan Tata Pameran Seni Rupa. Yogyakarta:Galang Press(anggota IKAPI). Tim Skripsi Jurusan Seni Rupa. 2003. Buku Pedoman Penulisan Skripsi. Surabaya:Unesa University Press.
43
Dadang Rukmana
TETES a solo exhibition
TETES
Wahyudin
“With contemporary art one is always making a new beginning (...) and the beginning not of a new period but of a new kind of periode.” —Arthur C. Danto, The Madonna of the Future (2001: xi, 15) “Like researchers, artists construct the stages where the manifestation and effect of their skills are exhibitied, rendered uncertain in the terms of the new idiom that conveys a new intellectual adventure.” —Jacques Ranciere, The Emancipated Spectator (2009: 22)
P
ada mulanya adalah lukisan kembang yangLain.
Dadang Rukmana adalah salah seorang dari sedikit perupa Jawa Timur yang mampu keluar dari cangkang lokalitasnya untuk mengada di tengah arus utama seni rupa kontemporer Indonesia. Pencapaian artistik lukisan-lukisannya telah memungkinkannya menggelar pameran tunggal dan ikut-serta dalam pelbagai pameran bersama di sejumlah galeri penting di dalam dan luar negeri sepajang satu dasawarsa terakhir. Barangkali itu sebabnya pelukis yang tinggal dan berkarya di Kota Malang ini beroleh penghargaan sebagai seniman berprestasi dari Gubernur Jawa Timur pada 2013. Harus diakui, reputasi baiknya turut menghela harum nama Kota Malang dan Propinsi Jawa Timur di dunia seni rupa Indonesia. Karena itulah Dadang merupakan dengan bagus sosok yang mengingatkan saya pada hikmatkebijaksanaan Anton Ego, kritikus seni kuliner dalam film Ratatouille (2007): “Not everyone can become a great artist, but a great artist can come from anywhere.” Dengan begitu, keberadaannya tidak hanya mampu menambahkan Kota Malang dan Propinsi Jawa Timur sebagai bilangan penting dalam khazanah seni rupa kiwari Indonesia, tapi juga meyakinkan bahwa seorang perupa hidup dan berjaya dengan ikhtiar dan intensitas kreatifnya. Hikmat-kebijaksanaan itulah yang mendorong saya untuk mengamati proses kreatifnya secara saksama dan bekerja sama penuh daya cipta menaja pameran seni rupa, baik pameran tunggal maupun pameran bersama, sekira satu dasawarsa terakhir.
2
TETES
Pada pekan pertama Januari 2015, saya kembali bertandang ke rumah-studio Dadang di Kampung Tongan, Malang. Saat itu hampir enam bulan lamanya dia berjibaku dengan kanvas, mempersiapkan belasan lukisan, untuk pameran tunggal di Semarang Contemporary Art Gallery dan pameran bersama di Art Stage Singapore 2015. Untuk kedua pameran tersebut, Dadang mengusung lukisan berpokok perupaan kembang dengan pendekatan dan teknik yang menyegarkan, kalau bukan membarukan, khasanah seni lukis alam-benda (still-life) di Indonesia. Untuk itu dia perlu menopangnya dengan gagasan kritis akan khasanah tersebut. Baiklah saya kemukakan di sini. Salah satu kritik penting yang dialamatkan kepada seni rupa kontemporer Indonesia adalah miskinnya kajian dan galian artistik di kalangan perupa, terutama yang berkenaan dengan eksplorasi bentuk dan penajaman teknik. Soalnya, seni rupa kontemporer Indonesia terlampau sibuk berkutat dengan ide atau gagasan ekstra-estetik, sehingga mengabaikan perkara artistik yang mendasar, yaitu bentuk dan teknik karya seni rupa. Selain itu, seni rupa kontemporer Indonesia mengalami pemiskinan dalam praktik artistik atau olah-kreatif pokok perupaan karya. Itu diakibatkan oleh terlalu besarnya pusat perhatian seni rupawan kita kepada pokok perupaan potret atau lanskap atau gabungan antara keduanya. Karena itulah, menurut Dadang, kajian dan galian artistik atas tradisi melukis dan lukisan alam-benda menjadi menarik, mengingat dalam konteks seni rupa kontemporer Indonesia, seperti sudah saya singgung di atas, khazanah ini sangat termajinalkan. Kalaupun masih ada yang melakukannya lebih didasarkan pada kepentingan untuk menyuarakan persoalan-persoalan di luar alam-benda. Hal itulah yang mendorong kesadaran kreatif Dadang untuk melakukan pembacaan dan penciptaan ulang atas khasanah alam-benda. Untuk kepentingan itu, dia memilih pokok perupaan bunga. Pertimbangannya, selain kehendak untuk menemurupakan pokok perupaan yang termarjinalkan, bunga sebagai benda/objek alam-benda masih mendapat perlakuan artistik yang memadai di sini, yaitu sebagai benda simbolik. Dengan begitu, sebagai ikhtiar dalam pembacaan dan penciptaan ulang atas persoalan tersebut, dengan mengembalikan objek sebagai objek, aspek bentuk dan teknik menjadi pusat perhatiannya dalam praktik artistik ini. Alih-alih, dia berkehendak sangat mengusung dan
Dadang Rukmana
3
menawarkan gagasan berseni lukis berdasarkan perkara estetik, bukan perkara ekstra-estetik di luar karya itu. Pada titik itu, apa yang menjadi poin penting praktik artistik Dadang adalah ketidaklaziman dalam penggambaran benda. Dalam hal tersebut, unsur warna yang seharusnya menyatu pada objek gambar dia hadirkan secara terpisah dari bentuknya sehingga menghasilkan aspek visual yang berbeda dari asalinya. Dengan begitu, dia menjadi berkepentingan dengan pokok perupaan kembang. Pertimbangannya, selain kehendak menemurupakan pokok perupaan yang termarjinalkan, kembang sebagai objek alam-benda mendapat perlakuan artistik yang memadai di sini, yaitu sebagai benda simbolik.
merupakan ikhtiar kreatifnya yang belum sudah untuk senantiasa mengada dan berjaya di dunia seni rupa kontemporer Indonesia. Itu kali pemirsa disuguhkan kembang yang-Lain sebagai obyek kenikmatan yang tak tepermanai. Lain kali, entah apa lagi yang memikat dan menggetarkan. Ternyata, kemungkinan yang tersurat dalam esai saya berjudul “Kembang yang-Lain Dadang Rukmana” itu—yang telah tersiar lewat Ruang Putih, Jawa Pos (Minggu, 1 Februari 2015), seperti cinta Romeo yang bertakhta di lidah dan hati Juliet. KEMBALI KE MASA DEPAN
Dari situ dia bayangkan mampu memberikan refleksi dan perspektif-bandingan yang beragam kepada khalayak seni rupa dalam melihat dan menyikapi khazanah alambenda dan pokok perupaan kembang sebagai persoalan estetika yang tidak kalah pentingnya dengan khasanah dan pokok perupaan lain di dunia seni rupa kontemporer Indonesia.
“Pride in one’s work lies at the heart of craftsmanship as the reward for skill and commitment (...) Craftmen take pride most in skills that mature (...) Mature means long; one takes lasting ownership of the skill.” —Richard Sennett, The Craftsman (2008: 294295)
Dengan bayangan tersebut, lewat stan Semarang Contemporary Art Gallery, Dadang menggelar 3 buah lukisan akrilik berjudul Safron (200 x 110 cm; 2014), Amarilis (195 x 125 cm; 2014), dan Narsisus (150 x 115 cm; 2 panel, 2013), di Art Stage Singapore 2015—yang berlangsung Marina Bay Sands Expo & Convention Centre, Level B2-Bayfront Avenue, Singapura, pada 22-25 Januari 2015.
Pada 1 Maret 2015, Dadang menghentikan proses kreatif lukisan-lukisan kembangnya untuk sesuatu yang memaksa saya makin sering bolakbalik Yogyakarta-Malang: bertandang ke studionya, mengamati secara saksama laku ciptanya, bertukar-tangkap pendapat, hingga bersunyi-sunyi di depan laptop di rumah saya sendiri.
Ketiga lukisan tersebut memesona Enin Supriyanto, kurator stan Semarang Contemporary Art Gallery di Art Stage Singapore 2015. Dia memuji mereka sebagai lukisanlukisan dengan teknik dan pendekatan yang unik seperti berikut: “With exceptional technical skills, Dadang demonstrates that various visual impressions—in this case: the impression of texture generally achieved with a pencil or charcoal; as well as the transparent quality of colors normally seen ini watercolor works—can be achieved with acrylic paints. With this approach and technique his works often seem to have a very high photographic quality.” Apa pun itu, ada baiknya kita ingat, itu kali kedua Dadang berpameran di Art Stage Singapore setelah sebelumnya berpartisipasi lewat stan Galeri Canna, Jakarta, pada 2011, dengan mengusung lukisan-lukisan berpokok perupaan wajah tokoh dan selebritas dunia. Dengan ingatan tersebut saya ingin menandaskan bahwa lukisan-lukisan berpokok perupaan kembang Dadang itu
4
TETES
Dari sana saya menghasilkan sepotong surat upaya berjudul “Cat Air Baru Dadang Rukmana” yang terbit di Ruang Putih, Jawa Pos (Minggu, 30 Agustus 2015). Saya akan menambal-sulamnya di sini sebagai berikut: Sejatinya Dadang Rukmana adalah seorang pelukis cat air. Selama 14 tahun, sejak 1993 sampai 2007, dia bertungkuslumus dengan seni lukis cat air dan menghasilkan 100-an lukisan berpokok perupaan alam-benda dan lanskap pasar tradisional. Sejumlah kurator dan kritikus seni rupa Indonesia, antara lain Enin Supriyanto dan Jean Couteau, angkat topi dengan nilai artistik lukisan-lukisan cat air di kertas pelukis kelahiran Bandung, 10 Oktober 1964, itu. Kekriyaannya jempolan seturut teknik melukis foto realisme. Bahkan, dengan agak berlebihan, boleh dibilang dialah pelukis Indonesia satu-satunya yang menguasai dengan sempurna teknik foto realisme dalam khazanah seni lukis cat air.
Namun, kecakapan teknik-artistik yang langka itu belum cukup meyakinkan keberadaannya di dunia seni rupa tanah air. Hemat saya, itu disebabkan oleh ketiadaan wacana estetis lukisan-lukisan cat airnya sehingga mereka luput dicatat dan Dadang pun urung dapat tempat terhormat di kancah seni rupa Indonesia pada masa itu. Sepengetahuan saya, dari seratusan lukisan cat airnya itu, hanya dua yang pernah dipertontonkan di ruang publik — di Pre Bali Biennale 2005 dan Summit Event Bali Biennale 2005 — yaitu Sebuah Dilema (2005, cat air di kertas aquarel, 47 x 75 cm) dan Akhir Perjalanan Sang Ikan (2005, cat air di kertas aquarel, 51 x 71 cm). Selebihnya berada dalam “pingitan” di rumah-rumah mewah kolektor dan pecinta karya seni rupa. Tapi, pada 2007, tatkala diundang berpameran 100 Tahun Affandi di Yogyakarta dan Surabaya, Dadang menerobos kenyataan itu dengan mengusung sebuah lukisan akrilik di kanvas berukuran 200 x 140 cm yang bertajuk Aku dan Kau (Two Ego). Lukisan tersebut menggambarkan dengan persis wajahnya di latar depan wajah maestro Affandi yang terangkai dari garis-garis ekspresif nan memikat. Lukisan tersebut merupakan terobosan berarti dalam proses kreatifnya yang tidak hanya memperlihatkan kemampuannya yang sangat memadai dalam teknik melukis foto realisme, dengan pendekatan dan pemahaman estetis baru, tapi juga menjadi penanda eksistensial yang berhasil menghantarkannya meraih modal simbolik di dunia senirupa kontemporer Indonesia. Sejak saat itu dia meninggalkan lukisan cat air untuk menggali-korek sedalam-dalamnya lukisan akrilik. Ikhtiarnya berbuah manis. Sekira 8 tahun terakhir, puluhan lukisan akriliknya telah dipamerkan dalam pelbagai pameran seni rupa dan art fair di dalam dan luar negeri. Dalam rentang masa itu pula dia berhasil menggelar dua pameran tunggal bernilai ekonomi dan artistik tinggi, yaitu Icontroversial di Canna Gallery, Jakarta (2009), dan History (Will Teach Us Nothing) di Nadi Gallery, Jakarta (2010). Keberhasilan itu menghablurkan ikhtiar kreatifnya untuk mencari jalan dan cara yang berbeda dalam khazanah seni lukis kontemporer di republik ini—dan itu dilakukannya dengan memanfaatkan teknik kerok dan pendekatan apropriasi. Harus diakui, teknik dan pendekatan itu tak sepenuh-
nya baru. Tapi suatu hal yang tampak baru, yang sudah barang tentu berbeda dengan lukisan-lukisan apropriasi milik Agus Suwage, atau Dipo Andi, atau Galam Zulkifli, atau Ronald Manulang misalnya—dalam karya-karya apropriasi Dadang adalah kemampuannya “menyulap” alam-benda, foto diri pesohor dan peristiwa sosial-politik dengan teknik kerok yang sederhana namun matang menjadi sebuah karya personal yang autentik dengan kesan seni cetak-digital yang tergurat di kanvas. Dengan begitu, tak syak lagi, dia telah memberikan sentuhan berbeda, kalau bukan baru, dalam gagrak lukisan foto realisme atawa corak lukisan apropriasi di dunia seni rupa tanah air. Pada titik itu, saya ingat seseorang pernah mengatakan bahwa seni rupa kontemporer mutakhir kelihatan hebat bukan karena pemberontakan dan introspeksi inheren yang menjiwainya, tetapi investigasinya yang terus menerus berkenaan dengan potensi cara dan jalan yang tersedia. Sembilan bulan belakangan, hal itulah yang dilakukan Dadang, terutama dalam proses kreatifnya menggelar pameran tunggalnya ini. Hasilnya mencengangkan. Sebagaimana sudah saya sebutkan sebelumnya, dia memutuskan untuk meninggalkan lukisan akrilik dan kembali ke lukisan cat air. Tekad itu sudah bulat. “Saya ingin kembali ke masa depan,” katanya. Apa artinya? Dengan kembali ke lukisan cat air, dia berkehendak menciptakan lukisan “baru” dari lukisan “lama” yang pilar artistiknya telah dikenalnya dengan intim. Dari sini, dia berkeyakinan mampu menghasilkan lukisan cat air yang bukan hanya “baru” dalam bentuk, teknik, dan ide, melainkan juga mengajukan konteks yang hakiki bagi khazanah seni lukis kontemporer di Indonesia. Dadang memperlihatkannya lewat dua lukisan cat air mutakhir berjudul Portrait of Griet (2015, Arches aquarel paper 300 gsm., Winsor & Newton iridescent medium, Talens ecoline liquid water color & pencil, 154 x 112,5 cm) dan Portrait of Miryam as Adhesi (2015, Arches aquarel paper 300 gsm., Winsor & Newton iridescent medium, Talens ecoline liquid water color & pencil, 143 x 107,5 cm). Lukisan yang pertama merupakan apropriasi lukisan terkenal Johannes Vermeer (1632-1675) Girl with a Pearl Earring (1665, cat minyak di kanvas, 44,5 x 39 cm), sementara lukisan yang kedua merupakan apropriasi lukisan masyhur Di Depan Kelambu Terbuka (1939, cat minyak di kanvas, 66 x 86 cm) karya S. Sudjojono (19131986).
Dadang Rukmana
5
Kita lihat, Dadang telah mengalihubah kedua lukisan tersebut dengan media kertas dan cat air yang kompleks, yang kemudian menjelma “wajah yang-Lain” yang serupa tapi tak sama. Di sini, apropriasi teruji-bukti sebagai pendekatan yang memadai atas kekriyaan artistiknya yang mumpuni, yang belum pernah dilakukan oleh pelukis cat air lainnya di Indonesia, yaitu teknik tetes (drip). Demikianlah, lukisan Portrait of Griet tercipta dari 24.605 tetes cat air dan lukisan Portrait of Miryam as Adhesi terwujud dari 28.619 tetes cat air—yang menunjukkan ketekunan nan sublim seorang perajin terhadap bahan dan alat manual-sederhana sehingga menghasilkan karya-karya yang cerlang dan menggetarkan. Kedua lukisan tersebut ditaja Semarang Contemporary Art Gallery di Bazaar Art Jakarta 2015, di The Ritz-Carlton Jakarta Pacific Place, pada 27-30 Agustus 2015. MEMULIAKAN YANG-TERPINGGIRKAN “Every innovation is a sacrifice and, simultaneously, a conquest.” —Boris Groys, On the New (2014: 153) Atas pencapaian artistik itu, seturut pemikiran posmodernisme yang memayungi amalan seni rupa kontemporer, Dadang memperlihatkan kemampuan tingkat tinggi dan keberpihakan mendalam seorang pelukis yang terpanggil untuk menegakkan martabat seni lukis cat air yang terpinggirkan, kalau bukan tersia-sia, di dunia seni rupa kontemporer Indonesia1. Itu sebuah panggilan berseni rupa yang langka di republik ini—tapi sejalan dengan semangat seni posmodern seperti tersurat dalam pernyataan Jean-Francois Lyotard di bukunya yang termasyhur, The Postmodern Condition: A Report on Knowledge (1984: 81), ini: “A postmodern artist (...) is in the position of a philosopher: (...) the work he produces are not in principle governed by preestablished rules, and they cannot be judged according to a determining judgment, by applying familiar categories (...) to the work. Those rules and categories are what the work of art itself is looking for. The artist (...), then, are working without rules in order to formulate the rules of what will have been done. Hence the fact that work (...) have the characters of anevent; hence also, they always come too late for their author, or, what amounts to the same thing, their being put into work, their realization (mise en oeuvre) always begin too soon. Postmodern would have to be understood according to the paradox of the future (post) anterior (modo).”
6
TETES
Dengan kutipan tersebut saya beroleh argumen filosofis untuk mendaulat Dadang sebagai pelukis posmodern. Tapi itu bisa jadi tak terlalu penting baginya. Yang lebih penting adalah upaya susah sungguhnya untuk penuh seluruh mendaya ciptakan seni lukis yang “akan telah dilakukan” dengan kesadaran diri akan harkat dan martabatnya atau pengetahuan dan maknanya. Dengan begitu, saya ingin membijaksanai ikhtiar tak kunjung padamnya untuk menciptakan karya seni lukis yang tidak hanya menyenangkan mata, tapi juga memperdalam cara penghayat seni rupa berpikir—sebagai penghormatan kreatif terhadap hak kesetaraan estetika antara rupa dan rasa, atau pemahaman dan penikmatan, atau narasi besar dan narasi kecil, atau seni rupa atas dan seni rupa bawah. Itu sebabnya Dadang tak lurus-kaku dalam seni berkaryanya. Alih-alih, dia terbilang luwes dan cerdas mengelola oposisi berpasangan itu sebagai kemungkinan inovatif dalam proses perolehan, pemahaman, penerapan, pengubahan, pengelolaan, dan pemindahan pengetahuan seni berkaryanya. Dengan itu, dia beroleh sandaran ontologis untuk mengembalikan ke masa depan seni lukis cat air sebagai seni yang valid dengan merekreasi seni yang valid dari khazanah seni lukis modern dunia—tak terkecuali Indonesia. Dadang merekreasinya dengan strategi inovasi pengubahan (mutating), penggarisan (hatching), pemisahan (splitting), dan pergandaan (doubling)2, yang dirancang secara saksama dan penuh kesadaran diri untuk menciptakan nilai dan karya seni “baru” yang melampaui dengan hormat nilai dan karya seni “lama”—kalau bukan “asli”. Dengan begitu, rekreasi Dadang bisa disebut sebagai revaluasi nilai dan reposisi karya seni rupawan yang menghormati nilai arkais karya seni rupawan yang diacuhnya via reproduksi citrawi dalam relasi timbal-balik dan pertukaran inovatif yang memungkinkannya produktif dan aktif secara artistik—bahkan memampukannya melakukan intervensi formatif dengan interpretasi yang sesuai kebutuhannya menaikkan makna atau harga eksistensial seni lukis cat air di dunia seni rupa kontemporer Indonesia. Pada titik itu, lukisan cat air Dadang merupakan tafsir pertukaran inovatif yang otentik atas lukisan seni rupawan yang masyhur dalam sejarah seni rupa modern dunia. Dengan tafsir itu, dia
menemurupakan orisinalitas lukisan cat airnya berdasar reproduksi citrawi lukisan cat minyak Affandi (1907-1990), Amedeo Modigliani (18841920), Claude Monet (1840-1926), Egon Schiele (1890-1918), Gustav Klimt (1862-1918), Henri de Toulouse-Lautrec (1864-1901), James McNeill Whistler (1834-1903), John Singer Sargent (18561925), Salvador Dali (1904-1989), dan Sandro Botticelli (1445-1510). Dadang merekreasi karya mereka sebagai sumber epistemologis atas pendekatan apropriasi yang selama ini diamalkan tanpa acuan pengetahuan yang memadai di dunia seni rupa kontemporer tanah air seraya menghablurkan kematangan tekniknya yang—dengan kekriyaan nan saksama—memungkinkan lukisan cat air menjadi reflektif dan imajinatif, bukan sekadar imitasi sederhana atau reproduksi biasa yang tak berselera estetis. Alih-alih, yang terpeluk oleh lukisan cat air Dadang adalah selera estetis tinggi dari perbendaharaan seni lukis dunia—warisan besar terdahulu— yang sengaja dipertaruhkannya dengan kekriyaan artistiknya yang “barusan” guna menjadikan mereka “barusan yang terdahulu” miliknya yang otentik. Kepemilikan keprigelan yang sahih itu, seturut pemikiran Lyotard (1984: 79), menempatkan lukisan cat air Dadang dalam “kondisi posmodern” yang “setelah barusan” melakukan “percepatan yang mengagumkan” dan “memacu dirinya sendiri” dengan keperlahanan daya cipta yang panggeng. Maka, mengikuti logika Lyotard itu, lukisan cat air Dadang dalam pameran ini bisa disebut sebagai karya seni posmodern yang merupakan bagian dari karya seni modern. “A work can become modern only if it is first posmodern—sebuah karya dapat menjadi modern hanya jika ia pertamatama adalah posmodern,” tandas Lyotard. Dengan kata lain, kekontemporeran lukisan cat air terletak bukan hanya pada sumber epistemologisnya— dasar pengetahuan ihwal sesuatu merupakan seni rupa—melainkan laku ontologisnya atau kemampuan menemurupakan sesuatu dan memaknainya sebagai seni rupa. Pendeknya, lukisan cat air Dadang adalah karya seni rupa kontemporer—karena alat dan sumber pengetahuannya—sekaligus merupakan bagian dari karya seni rupa modern sebab pengamalan artistiknya yang berkehendak otentik sebagai kelas
istimewa yang menubuhkan kesempurnaan teknik dan kepekaan mata yang terlatih. Itu sebabnya, hemat saya, pada lukisan cat air Dadang “rahasia maha perupa” bangkit dengan ciamik. Bahwa seni lukis belum kehilangan auranya di zaman reproduksi mekanis kini. Bahwa seni rupa masa depan akan terhormati sepenting seni rupa masa lalu—sekalipun kesempurnaannya akan terus menerus disangsikan. Bahwa keberadaan seni rupa kontemporer mengungkapkan kejayaan seni rupa modern tanpa membatasi kehadiran penghayat seni rupa dari masa depan. Alih-alih, proyek seni rupa kontemporer merupakan proyek seni rupa modern yang belum rampung3—yang memungkinkan perupa bebas berkarya seni rupa dengan cara apa pun yang mereka kehendaki—dengan tujuan yang mereka angan-inginkan atau tanpa tujuan sama sekali. Dengan kemungkinan itu, mengikuti Arthur C. Danto dalam The Wake of Art (1998: 123), proyek seni rupa kontemporer menjadi proyek “seni rupa pascahistoris” yang diamalkan di bawah kondisi “pluralisme objektif” yang memampukan seni rupa (wan) bergerak tanpa arahan atau mandat sejarah—setidaknya sejarah seni rupa modern dan kontemporer itu sendiri. Dalam hal tersebut, sebagaimana sudah saya singgung sebelumnya, Dadang berkehendak mengkaji media seni lukis dengan rekreasi artistik yang memungkinkannya membangun status baru seni lukis cat air. Caranya, dengan menguji metode apropriasi melalui media cat air, pun sebaliknya, untuk menemurupakan lukisan para pesohor seni rupa modern sebagai karya seni lukis kontemporer. Dengan itu, Dadang melakukan rekreasi artistik yang mengiris oposisi berpasangan perbedaan-persamaan estetis dan persepsi, sebagian dan keseluruhan, kedataran dan kedalaman, isi dan sebab-akibat, citra dan visual, penggambaran dan pernyataan, serta, pinjam istilah Roland Barthes dalam Camera Lucida (1982: 25-60), punctum (efek rasa langsung) dan studium (keterangan yang dijangkitkan karya seni rupa dan makna yang diterimanya). Dari sana, tak terhindarkan dan sering mengganggu, Dadang membentuk setiap aspek pengalaman artistiknya secara kompleks. Pola dan pengaturan artistiknya menghasilkan lukisan potret tak terduga yang menantang dan menggoncang model penggambaran konvensional dalam penciptaan karya seni lukis. Hasilnya adalah cara baru yang radikal dalam bentuk dan konteks pemikiran dan pengamalan berseni lukis—utamanya seni lukis cat air.
Dadang Rukmana
7
TRANSFIGURASI SOSOK IKONIK “The visible can be arranged in meaningful tropes.” —Jacques Ranciere, The Future of the Image (2007: 7) “(...) Two works resemble one another does not mean that the artist of the one repeating the artist of the other.” —Arthur C. Danto, The Transfiguration of the Commonplace (1981: 38) Bukan kebetulan sepuluh lukisan cat air yang dibuat Dadang untuk pameran ini seluruhnya berpokok perupaan perempuan. “Berkaitan dengan strategi apropriasi,” kata Dadang, “saya sengaja memilih lukisan-lukisan modern berpokok perupaan perempuan—sosok penting yang berpengaruh secara emosional dan inspirasional— sebagai pintu masuk untuk memahami nilai kesenimanan pelukisnya.”4 Nilai kesenimanan itu berkenaan dengan tiga perkara vital dalam gaya dan pokok karya seni lukis—yaitu penguasaan medium (mastery of the medium), ketepatan eksekusi (clarity of execution), dan kekuatan ekspresi (authority of expression)5. Dengan itu, Dadang menemukan ruang penciptaan yang memampukannya memahami “kebaruan dari masa lalu” yang dapat digubah secara artistik dengan medium, eksekusi, dan ekspresi yang berbeda dan otonom. Dari situ Dadang mentransfigurasikan sosok-sosok perempuan dalam lukisan Affandi, Amedeo Modigliani, Claude Monet, Egon Schiele, Gustav Klimt, Henri de ToulouseLautrec, James McNeill Whistler, John Singer Sargent, Salvador Dali, dan Sandro Botticelli—dengan cahaya penampakan yang lain di ruang penampilan yang berbeda di mana mereka hadir sebagai sosok baru yang memukau dalam kesejatiannya makna kekasih, istri, dan ibu.
Galarina (1945, cat minyak di kanvas, 64 x 50 cm). Transfigurasinya terletak pada tekstur artistik atau komposisi gambar berformat pas foto. Dalam hal itu, Dadang bukan hanya mengubah kewaguan komposisi Galarina dengan pembesaran (doubling) ukuran6, melainkan juga merekonfigurasinya dengan pemotongan (cutting) yang menyembunyikan elemen erotis Galarina dari permukaan kertas—alih-alih penggarisan (hatching) yang menampakkannya sebagai misteri sensualitas Gala, istri tercinta Dali, yang sangat mungkin bikin penasaran para lelaki pemuja keindahan tubuh perempuan. Hal yang lebih kurang sama dapat dikatakan untuk Portrait of Simonetta Cattaneo Vespucci (2015, 112 x 93 cm) yang ditemurupakan dari lukisan Sandro Botticelli The Birth of Venus (1486, tempera di kanvas, 172,5 x 278,9 cm). Di sini, di luar pemotongan dan penggarisan anatomi, Dadang melakukan pemisahan (splitting) pokok perupaan untuk menetapkan pusat perhatian gambar pada ekspresi wajah Venus sebagai Simonetta Cattaneo Vespucci yang inosen tapi sedikit sendu. Itu sebabnya, sekalipun berukuran lebih kecil, Portrait of Simonetta Cattaneo Vespucci sejatinya merupakan pembesaran potongan gambar dari The Birth of Venus7. Dari situ, Dadang melancarkan perubahan (mutating) lanskap perasaan dan cakrawala pemikiran lukisan via (pen)judul(an). Dengan, misalnya, judul Portrait of Simonetta Cattaneo Vespucci, Dadang mentransfigurasikan sosok simbolik atau khayali dalam The Birth of Venus menjadi sosok historis yang bertalian hidup dengan Botticelli.
Dengan begitu, sosok-sosok perempuan itu menjelma di kertas Dadang sebagai bukan sekadar representasi indrawi, melainkan citra daya cipta. Mereka ditemurupakan sebagai sumber kekuatan artistik yang menghablur dalam kerampakan bentuk dan kejelasan warna dari ribuan tetes cat air Dadang.
Dengan demikian, apa yang dihadapi pemirsa dalam lukisan Portrait of Simonetta Cattaneo Vespucci bukan lagi substansi khayali Botticelli, melainkan riwayat hayati Botticelli yang dire-presentasikan oleh Dadang dengan gambar seorang perempuan yang nyata bernama Simonetta Cattaneo Vespucci8.
Pada titik itu, transfigurasi yang menitis di kertas Dadang merefleksikan cara peciptaan (way of making) “keserupaan” yang berhasil membebaskan dirinya dari jerat imitasi, kopi dan repetisi—alih-alih mendemonstrasikan dirinya semata sebagai pokok perupaan yang berdiri sendiri dengan lanskap perasaan, cakrawala pemikiran, substansi khayali, dan tekstur artistik tertentu.
Begitu pula yang dilakukan Dadang sebelumnya dalam lukisan berjudul Portrait of Miryam as Adhesi9—dan sesudahnya dalam lukisan berjudul Portrait of Virginie Gautreau (2015, 87 x 112 cm) yang ditemurupakan dari lukisan John Singer Sargent berjudul Portrait of Madame X10 (1884, cat minyak di kanvas, 234,95 x 109,86 cm).
Lihat, misalnya, Portrait of Gala (2015, 112 x 97 cm) yang ditemurupakan dari lukisan Salvador Dali Portrait of
Sementara itu—Dadang memperluas cakupan hal tersebut dengan menjalankan penggarisan
8
TETES
sosok-sosok historis yang “awanama” menjadi “bernama”11 dalam lukisan bertajuk Portrait of Mrs. Anna McNeill Whistler12 (2015, 100 x 130 cm) yang ditemurupakan dari lukisan James McNeill Whistler berjudul Arrangement in Grey and Black No.1: Portrait of the Painter’s Mother (1871, cat minyak di kanvas, 144,3 x 162.4 cm); dan lukisan bertajuk Portrait of Mrs. Radjem13 (2015, 101,5 x 78,5 cm) yang ditemurupakan dari lukisan Affandi berjudul Ibuku (1940, cat minyak di kanvas, 155 x 133 cm). Dengan itu, pada hemat saya, Dadang berhasil mengartikulasikan apa yang disebut Jacques Ranciere (2007: 74) dengan korespondensi di antara tatanan lukisan dan tatanan sejarah yang menambatkan kecakapakan artistik dan horizon pengetahuannya dalam karya seni lukis cat air yang memungkinkan inspeksi citrawi dan hayati terlantaskan sekaligus. CAT AIR BARU “Keunikan medium cat air terletak bukan pada penguasaan teknik atas mediumnya—melainkan pada teknik mengendalikan airnya.” —Dadang Rukmana (2015) Dalam kosa lukis dunia kita mengenal kosa drip painting14—yaitu metode melukis dengan cat cair atau cairan cat yang diteteskan, dipercikkan, atau ditaburkan di atas kanvas dari kuas atau peralatan lain. Metode ini ditemukan pertama kali oleh Max Ernst (1891-1976) ketika dia melubangi sebuah kaleng dan membiarkan cat mengalir melaluinya ke atas kanvas yang diletakkan di lantai. Pada perkembangannya, Jackson Pollock (19211956) mengubahnya menjadi gaya pribadi dengan menyelimuti kanvas yang direbahkan di lantai dengan cat pelbagai jenis dan kental. Dia memenuh-seluruhi kanvas—dari semua sudutnya—dengan gerak spontan untuk menciptakan seolah-olah permadani tipis berwarna. Pada Maret 2015, sebagaimana sudah saya sebut sebelumnya, di rumah-studionya di Kampung Tongan Gang II Nomor 529 B—Dadang mengontekstualisasikan metode itu untuk rekreasi seni lukis cat air. Dengan kata lain, dia menerapkan metode itu, alih-alih menyesuaikannya dengan situasi baru dan konkret dalam seni berkarya cat air.
Itu sebabnya, berbeda dengan Ernst dan Pollock, Dadang mengamalkannya dengan mencelupkan kuas ke dalam cat air lantas menyentuhkannya ke permukaan kertas hingga menggenang sesaat mengering dan membercak. Bercak itulah yang membentuk efek artistik setiap pokok perupaan yang terbayang di kertas. Alih-alih, tanpa sket dan warna putih, pokok perupaan itu menjelma dari aransemen nada dan warna yang bertumpu pada pengendalian kadar air dan pendaya-ciptaan sistem kerja kertas bergaris (paper block) untuk mencapai ketepatan koordinat tetes berjumlah puluhan ribu. Demikianlah, sepanjang sembilan bulan terakhir, satu demi satu lahir lukisan cat air baru dari tangan dan pikiran Dadang yang terancang saksama. Detil media sepuluh lukisan mutakhirnya itu adalah kertas aquarel 300 gram, cat air dan pensil. Urutan lahirnya adalah (1) Portrait of Mrs. Anna McNeill Whistler (tercipta dari 31,775 tetes); (2) Portrait Camille Doncieux and Son (32. 116 tetes); (3) Portrait Mrs. Radjem (27.027 tetes); (4) Portrait of Jeanne Hebuterne (30.429 tetes); (5) Portrait of Simonetta Cattaneo Vespucci (36.120 tetes); (6) Portrait of Virginie Gautreau (33.600 tetes); (7) Portrait of Louise Weber (28.200 tetes); (8) Portrait of Valerie “ Wally “ Neuzil (25.289 tetes); (9) Portrait of Adele Bloch-Bauer (25.461 tetes); dan (10) Portrait of Gala (37.800 tetes). Dengan puluhan ribu tetes itu, Dadang meyakinkan saya bahwa seni rupa kontemporer merupakan jenis baru (a new kind) seni rupa modern. Proyek artistiknya adalah penanggalan kulit tua seni rupa modern yang belum tuntas. Itu sebabnya menjadi bisa dimengerti jika Dadang menggunakan pendekatan apropriasi untuk menghablurkan teknik tetes sebagai senjata artistiknya dalam “menaklukkan” pokok perupaan maha karya seni rupawan modern. Begitulah, hingga ia melepaskan tetes terakhir ke atas kertas Portrait of Gala pada 13 November lalu—saya menyaksikannya langsung begitu khusyuk dalam keasyikan paripurna dengan penemuan dan penataan ruang, permukaan, bentuk, warna, dan lain-lain. Selain itu, dia tak acuh dengan apa pun yang tak berdampak penting bagi peralatan material dan formal karyanya; konten karyanya—pemikiran atau makna yang dijangkitkannya; dan konteks karyanya atau tempatnya dalam tradisi seni lukis kontemporer di dalam dan luar negeri. Pada titik itu, saya tak bisa menghindar lagi untuk menyudahi catatan kuratorial ini dengan garistebal: Sepuluh karya cat air Dadang yang dipajang dalam pameran ini—seluruhnya, pinjam kalimat Jorge Luis Borges dalam Labirin Impian (1999: 91), “mengandung ekspresi yang
Dadang Rukmana
9
sangat halus adab” sekaligus gengsi tertentu karya seni rupa kontemporer yang masuk-menemu makna baru dari karya seni rupa modern: “Terutama karena tak seorang” (perupa) pun senang dianggap berhutang budi kepada rekan sezamannya.”
1Seperempat abad yang lalu, tepatnya pada 24 Agustus 1990, dalam sarasehan pelukis Jawa Timur di Surabaya—Sanento Yuliman menengarai kenyataan ini sebagai “pemiskinan seni lukis” atau “penyusutan dalam ragam atau macam” akibat boom bisnis seni lukis. Pemiskinan dan penyusutan itu, menurutnya, merupakan salah satu “gejala penting yang menyertai, atau mengiringi, boom,” yang “bersifat negatif.” Lebih lengkapnya, dalam makalah berjudul “Boom! Ke mana Seni Lukis Kita?” untuk sarasehan itu dia menulis sebagai berikut:
Malang-Yogyakarta-Semarang, 28 November 2015
“Semua karya yang tampil dalam medan seni lukis dalam masa boom dapat kita pandang secara keseluruhan sebagai sebuah perbendaharaan alias sebuah kosa, yaitu ‘kosa lukis’. Kosa lukis masa boom ini dapat kita bandingkan dengan kosa lukis sebelumnya, yang berkembang sejak awal abad ini hingga dasawarsa 70-an. Yang kita lihat adalah penyusutan dalam ragam atau macam. Perhatikan, misalnya, macam medium, yaitu macam bahan dan teknik yang digunakan. Medan seni lukis kita mengangkat kanvas, cat minyak, dan akrilik menjadi medium ‘bangsawan’, sedangkan medium lain tersepak ke sisi dan nyaris lenyap. Kertas dan cat air, arang, pastel, dan lain-lain, misalnya, menjadi medium ‘sudra’, sedapat mungkin dihindari oleh pembutuh lukisan, galeri, dan oleh kebanyakan pelukis dalam pameran.” Kita bisa mendapatkan makalahnya tersebut dalam buku Dua Seni Rupa: Sepilihan Tulisan Sanento Yuliman (Jakarta: Yayasan Kalam, 2001), hlm. 109-122. Pernyataannya yang saya kutip di atas termaktub di halaman 117-118 dalam bukunya yang disunting oleh Asikin Hasan itu. 2Pengetahuan akan strategi inovasi artistik Dadang ini merujuk
kepada Marina Warner, Fantastic Metamorphoses, Other Worlds: Ways of Telling the Self (New York: Oxford University Press, 2004). 3Pendapat ini, hemat saya, masih terbuka untuk diuji lebih kritis lagi. Dalam hal ini, saya bersandar pada pemikiran Jurgen Habermas dalam “Modernity—An Incomplete Project” (1980). Saya membacanya via Hal Foster (ed.), The Anti-Aesthetic: Essays on Postmodern Culture (Port Townsend, Washington: Bay Press, 1983), hlm. 3-15. 4Kesengajaan Dadang ini secara diskursif dapat ditalikan dengan pengetahuan Ruth Butler dalam bukunya Hidden in the Shadow of the Master: The Model-Wives of Cezanne, Monet, and Rodin (New Haven & London: Yale University Press, 2008). Uraiannya tentang Camille Doncieux dan Claude Monet di Bagian II, halaman 95-204, pada hemat saya, bermanfaat sebagai sudut pandang perbandingan dalam memahami lukisan Dadang Portrait Camille Doncieux and Son yang ditemurupakannya dari lukisan Claude Monet Woman with a Parasol—Madame Monet and Her Son (lihat catatan kaki nomor 6) dalam pameran ini.
“Wally” Neuzil (67 x 111,5 cm) yang ditemurupakannya dari lukisan Egon Schiele Portrait of Wally (1912, cat minyak di panel, 32 x 39,8 cm) 7Setali tiga uangnya adalah lukisan Portrait of Adele Bloch-Bauer I (110,5 x 68,5 cm) yang ditemurupakan Dadang dari lukisan Gustav Klimt Portrait of Adele Bloch-Bauer I alias The Woman in Gold (1907, cat minyak, perak, dan emas di kanvas, 138 x 138 cm). Dalam ukuran media yang lebih besar, Dadang melakukan inovasi pembesaran potongan gambar ini di lukisan Portrait of Louise Weber dan Portrait of Valerie “Wally” Neuzil (lihat catatan kaki nomor 6). 8Ihwal pengalihubahan sosok simbolik Venus menjadi sosok historis Vespucci, saya berbagi pengetahuan bersama Dadang dengan bersandar pada Elizabeth Ripley, Botticelli: A Biography (Philadelphia-New York: J.B. Lippincott, 1960); dan Mile Gebhart dan Victoria Charles, Botticelli (New York: Parkstones Press, 2010). 9Tentang perempuan bernama Miryam alias Adhesi sebagai judul lukisan ini, Dadang bersandar pada keterangan Mia Bustam dalam bukunya Sudjojono dan Aku (Jakarta: Istitut Studi Arus Informasi, 2013), cet. II, hlm. 35-35 dan 237-239. 10Ihwal riwayat lukisan John Singer Sargent dan sosok Virginie
Gautreau yang kontroversial ini, saya berbagi pemikiran dengan Dadang via buku Deborah Davis Strapless: John Singer Sargent and the Fall of Madame X (New York: Tarcher, 2004). 11Sebaliknya, dengan lukisan Portrait of Griet yang ditemurupak-
an dari lukisan Johannes Vermeer Girl with a Pearl Earring, selain melakukan pelipatgandaan ukuran medium (lihat uraian pada bagian “Kembali ke Masa Depan” catatan kuratorial ini, Dadang mengalihubah sosok simbolik “awanama” menjadi sosok khayali “bernama”—yaitu Griet. Dalam hal ini, Dadang merujuk pada novel sejarah Tracy Chevalier Girl with a Pearl Earring (New York: Plume, 1999). 12Tentang riwayat Anna McNeill Whistler dan analisa judul
lukisan Arrangement in Grey and Black No.1: Portrait of the Painter’s Mother James McNeill Whistler ini, saya berbagi dengan Dadang bacaan Ruth Bernard Yeazell, Picture Titles: How and Why Western Paintings Acquired Their Names (Princeton & Oxford: Princeton University Press, 2015), hlm. 204-224. 13Ihwal Radjem sebagai nama ibu Affandi, Dadang bersandar
pada keterangan Nasjah Djamin dalam bukunya Affandi Pelukis (Bandung: Aqua Press, 1979), cet. II, hlm. 41. 14Dalam menjelaskan hal ini, saya meminjam banyak keteran-
gan Hajo Duchting dalam The Prestel Dictionary of Art and Artists in the 20th Century (Munich, London, New York: Prestel, 2000), hlm. 105.
5Saya menyandarkan tiga perkara yang digali-korek Dadang ini kepada keterangan Michael Findlay dalam The Value of Art: Money, Power, Beauty (Munich, London, New York: Prestel, 2012), hlm. 47. 6Pelipatgandaan ukuran dilakukan juga oleh Dadang dalam lukisan Portrait of Jeanne Hebuterne (110 x 80 cm) yang ditemurupakannya dari lukisan cat minyak Amedeo Modigliani bertahun 1918, Portrait of Jeanne Hebuterne in A Large Hat (54 x 37,5 cm); lukisan Portrait of Louise Weber (107 x 78 cm) yang ditemurupakannya dari lukisan cat minyak Henri de ToulouseLautrec bertarikh 1892, La Goulue Arriving at the Moulin Rouge (79,4 × 59 cm); lukisan Portrait Camille Doncieux and Son (113 x 81 cm) yang ditemurupakannya dari lukisan Claude Monet Woman with a Parasol—Madame Monet and Her Son (1875, cat minyak di kanvas, 100 x 81 cm); dan lukisan Portrait of Valerie
10
TETES
Dadang Rukmana
11
Gustav Klimt Portrait of Adele Bloch-Bauer I oil on canvas, 1907
Dadang Rukmana Portrait of Adele Bloch Bauer 1 water color, pencil on ARCHES aquarel paper 300 gsm, 31.878 drips 110,5 x 68,5 cm, 2015
12
TETES
Dadang Rukmana
13
Claude Monet Woman with a Parasol—Madame Monet and Her Son oil on canvas, 1875
Dadang Rukmana Portrait of Camille Doncieux and Son water color, pencil on ARCHES aquarel paper 300 gsm, 32.116 drips 113 x 81 cm, 2015
14
TETES
Dadang Rukmana
15
Amedeo Modigliani Portrait of Jeanne Hebuterne in A Large Hat oil on canvas, 1918
Dadang Rukmana Portrait of Jeanne Hebuterne water color, pencil on ARCHES aquarel paper 300 gsm, 30.429 drips 110 x 80 cm, 2015
16
TETES
Dadang Rukmana
17
Affandi Ibuku oil on canvas, 1940
Dadang Rukmana Portrait of Mrs Radjem water color, pencil on ARCHES aquarel paper 300 gsm, 27.027 drips 101,5 x 78,5 cm, 2015
18
TETES
Dadang Rukmana
19
James McNeill Whistler Arrangement in Grey and Black No.1 Portrait of the Painter’s Mother oil on canvas, 1871
Dadang Rukmana Portrait of Mrs Anna Mc Neill Whistler TALENS ecoline liquid water color, pencil on ARCHES aquarel paper 300 gsm, 31.775 drips 100 x 130 cm, 2015
20
TETES
Dadang Rukmana
21
Henri de Toulouse-Lautrec La Goulue Arriving at the Moulin Rouge oil on canvas, 1892
Dadang Rukmana Portrait of Louise Weber water color, pencil on ARCHES aquarel paper 300 gsm, 28.200 drips 107 x 78 cm, 2015
22
TETES
Dadang Rukmana
23
Sandro Botticelli The Birth of Venus oil on canvas 1486
Dadang Rukmana Portrait of Simonetta Cataneo Vespucci water color, pencil on ARCHES aquarel paper 300 gsm, 36.120 drips 112 x 93 cm, 2015
24
TETES
Dadang Rukmana
25
John Singer Sargent Portrait of Madame X oil on canvas, 1884
Dadang Rukmana Portrait of Virginie Gautrean water color, pencil on ARCHES aquarel paper 300 gsm, 33.600 drips 87 x 112 cm, 2015
26
TETES
Dadang Rukmana
27
Salvador Dali Portrait of Galarina oil on canvas, 1945
Dadang Rukmana Portrait of Gala water color, pencil on ARCHES aquarel paper 300 gsm, 37.800 drips 112 x 97 cm, 2015
28
TETES
Dadang Rukmana
29
Egon Schiele Portrait of Wally oil on canvas, 1912
Dadang Rukmana Portrait of Valerie “Wally” Neuzi water color, pencil on ARCHES aquarel paper 300 gsm, 25.289 drips 67 x 115,5 cm, 2015
30
TETES
Dadang Rukmana
31
S. Sudjojono Di Depan Kelambu Terbuka oil on canvas, 1939
Dadang Rukmana Portrait of Miryam as Adhesi WINSOR & NEWTON iridescent medium, TALENS ecolin liquid water color & pencil on ARCHES aquarel paper 300 gsm, 28.619 drips 143 x 107,5 cm, 2015
32
TETES
Dadang Rukmana
33
Johannes Vermeer Girl with a Pearl Earring oil on canvas, 1665
Dadang Rukmana Portrait of Griet WINSOR & NEWTON iridescent medium, TALENS ecolin liquid water color & pencil on ARCHES aquarel paper 300 gsm, 24.605 drips 154 x 112 cm, 2015
34
TETES
Dadang Rukmana
35
Dadang Rukmana
Gallery • “Membikinnya Abadi” ulang tahun ke-80 Gunawan Muhammad, Semarang Gallery, Semarang
BORN Bandung, 10 Oktober 1964 EDUCATION 1982 – 1985. Studio Pendidikan Seni Rupa Rangga Gempol Bandung di bawah asuhan Barli Sasmitawinata. SOLO EXHIBITIONS 2010 “History (Will Teach Us Nothing)” Nadi Gallery, Jakarta, Indonesia 2009 “Icontroversial“ Canna Gallery, Jakarta, Indonesia 1992 “One Man Show” Bambo Galerry, Ubud Bali, Indonesia GROUP EXHIBITIONS 2015 • “Kepada Republik“ Jakarta • “Belum Ada Judul” Sangkring Art Space, Yogyakarta 2014 • “Rindu Langit Rindu Bumi” Pasuruan 2013 • “Homo Ludens #4” Bentara Budaya Bali 2012 • “Homo Ludens #3” Emmitan Contemporary Art Gallery, Surabaya 2011 • “Art Stage Singapore” Canna Gallery • “Hongkong International Art Fair” Nadi
36
TETES
2010 • “Transfiguration” Semarang Gallery, Jakarta Art District, Jakarta • “The Show Must Go On” ulang tahun ke 10 Nadi Gallery, Galeri Nasional, Jakarta 2009 • “Indonesia Contemporary Drawing” Andi’s Gallery Galeri Nasional, Jakarta • “Biennale Sastra 2009” Galeri Salihara Jakarta 2008 • “Interpretation” Galeri Canna Jakarta 2007 • “Twenty Fo(u)r Maestro” V-Art Gallery Yogyakarta dan Orasis Art Gallery, Surabaya • “Bianglala” Madiun • “Pameran Seni Lukis 100 Pelukis Untuk Mengenang 100 Hari Wafatnya Pelukis Barli Sasmitawinata” Balai Seni Barli Bandung 2006 • “Pos Ideologi” Gracia Art Gallery Surabaya 2005 • “Summit Event Bali Biennale 2005” Tony Raka Gallery, Mas - Ubud, Bali • “On Discourse” Pra Bali Biennale 2005 Hamur Sava, Malang, Orasis Art Gallery Surabaya, dan Bentara Budaya Yogyakarta • “Holopis Kuntul Baris” Surabaya • “Realistage” di Galeri Goong Bandung, Galeri Semar Malang, dan Museum H. Widayat Magelang 1995 • “Pameran Bertiga” Blue Moon Modern and Contemporary Art Gallery, Ubud Bali 1992 • “Barli And His Following Generation“ Musium Barli, Bandung
Dadang Rukmana
37
In conjunction with the solo exhibition of TETES by Dadang Rukmana Semarang Gallery November 28 - December 27, 2015 Curator Wahyudin Exhibition Organizer Semarang Gallery Published by Semarang Gallery, 2015 Semarang Gallery Jl Taman Srigunting No. 5-6 Semarang 50174 Indonesia T. +62 24 355 2099 F. +62 24 355 2199
[email protected] www.galerisemarang.com Catalogue Production Graphic Design: Chris Dharmawan Photography: Artist Color separation & print: Cahaya Timur Offset Copyright © 2015 Semarang Gallery All rights reserved. No part of this catalogue may be reproduced in any form or means without written permission from the publisher.
POSTMODERNISME TERHADAP BUDAYA BANGSA
Sejarah peradapan Barat memiliki perjalanan yang amat panjang dan berliku. Setelah sekian lama manusia Barat terkungkung dalam kebodohan akibat ulah mayoritas rohaniawan Kristen yang selalu mengatasnamakan agama dalam perilaku yang tidak sesuai dengan akal dengan berdalih sakralitas yang tidak bisa diganggu gugat, mereka mengadakan pemaksaan dogma-dogma sakralitas ke benak setiap manusia Barat. Pemerkosaan keyakinan dan pembunuhan intelektual, itulah kata ekstrim dalam menggambarkan situasi zaman itu. Masa kegelapan (dark ages), itulah istilah yang sering dipakai manusia Barat ketika mengingat masa suram abad pertengahan (Midle Ages, 325-1300). Tekanan demi tekanan yang dilakukan penguasa Gereja ibarat bom waktu yang sewaktu-waktu bisa meledak dan membinasakan mereka. Selain dogma agama yang mereka sampaikan tidak memberi jalan bagi pengembangan ilmu pengetahuan, bahkan tak jarang dogma-dogma itu bertentangan dengan ilmu pengetahuan yang berkembang. Sementara disisi lain, perilaku mereka yang tidak konsekuen atas ajaran agama yang selama itu digembor-gemborkan semakin membuat muak para manusia Barat. Diam-diam para intelektual Barat mengumpulkan daya dan upaya untuk lepas dari belenggu para rohaniawan Kristen. Para ilmuwan mulai mengais-ngais kembali budaya Yunani klasik di kantung-kantung peradaban yang selama ini terlupakan. Pada akhirnya, awal abad ke-14 adalah puncak protes manusia Barat, mereka mengadakan pergolakan besar-besaran sebagai reaksi atas prilaku Gereja dengan mengadakan gerakan pembaharuan, perombakan budaya. Renaissance, itulah puncak pergolakan yang selama ini mereka nantikan. Lepas dari belenggu pembodohan dan bebas dari ikatan-ikatan dogmatis agama yang tak jarang bersifat irrasional, mereka ibaratkan bagai terlahir kembali. Namun, kenyataannya, kebebasan radikal tidak lebih baik dari belenggu pembodohan, dua hal yang telah keluar dari garis netral. Berbagai isme-isme bermunculan di Barat ibarat cendawan di musim hujan, membuat semakin bingung banyak kalangan. Tidak hanya manusia Timur, bahkan manusia Barat sendiri banyak terjebak dalam kebingungan tersebut. Belum lagi menyelesaikan kendala-kendala epistemologis masa enlightenment (age of reason) yang masih “bermasalah”, mereka sudah dibenturkan pada masalah batas kemampuan rasio manusia dalam konsep humanisme. Belum lagi tuntas penentuan batas liberalitas kehendak manusia, mereka telah dihadang dengan permasalahan baru, modernisme. Belum lagi teori modernisme terpecahkan secara tuntas, dimunculkan ide baru, postmodernisme. Dari sini, banyak sekali kecurigaan muncul, ada apa dengan isme-isme tersebut? Apakah gerangan di balik dimunculkannya isme-isme tadi? Adakah manusia Barat hanya sekedar ingin bermain-main dengan isme-isme tadi, ataukah ada target di
balik semua itu? Apa kaitan postmodernisme dengan kita sebagai manusia beragama? Tulisan ringkas ini, akan menganalisa postmodernisme yang terhitung isme terakhir dari sekian isme lain yang dimunculkan oleh manusia Barat. Istilah postmodernist, pertama kali dilontarkan oleh Arnold Toynbee pada tahun 1939. Kendati—sampai saat ini—belum ada kesepakatan dalam pendefinisiannya, tetapi istilah tersebut berhasil menarik perhatian banyak orang di Barat. Pada tahun 1960, untuk pertama kalinya istilah itu berhasil diekspor ke benua Eropa sehingga banyak pemikir Eropa mulai tertarik pada pemikiran tersebut. J. Francois Lyotard, salah satu contoh pribadi yang telah terpikat dengan konsep tersebut. Ia berhasil menggarap karyanya yang berjudul “The Post-Modern Condition” sebagai kritikan atas karya “The Grand Narrative” yang dianggap sebagai dongeng hayalan hasil karya masa Modernitas. Ketidakjelasan definisi—sebagai mana yang telah disinggung—menjadi penyebab munculnya kekacauan dalam memahami konsep tersebut. Tentu, kesalahan berkonsep akan berdampak besar dalam menentukan kebenaran berpikir dan menjadi ambigu. Sedang kekacauan akibat konsep berpikir—akibat ketidakjelasan—akan
membingungkan
pelaku
dalam
pengaplikasian
konsep
tersebut.
Banyak versi dalam mengartikan istilah postmodernisme ini. Foster menjelaskan, sebagian orang seperti Lyotard beranggapan, postmodernisme adalah lawan dari modernisme yang dianggap tidak berhasil mengangkat martabat manusia modern. Sedang sebagian lagi—seperti Jameson—beranggapan, postmodernisme adalah pengembangan dari modernitas seperti yang diungkap Bryan S. Turner dalam Theories of Modernity and Post-Modernity-nya. Dapat dilihat, betapa jauh perbedaan pendapat antara dua kelompok tadi tentang memahami Post-modernisme. Satu mengatakan, konsep modernisme sangat berseberangan dengan postmodernisme bahkan terjadi paradoks, sedang yang lain menganggap bahwa postmodernisme adalah bentuk sempurna dari modernisme, yang mana tidak mungkin kita dapat masuk jenjang postmodernisme tanpa melalui tahapan modernisme. Dari pendapat terakhir inilah akhirnya postmodernisme dibagi menjadi beberapa bagian, antara lain: Post-Modernism Ressistace, PostModernism
Reaction,
Opposition
Post-Modernisme
dan
Affirmative
Post-Modernism.
Akibat dari perdebatan antara dua pendapat di atas, muncullah pendapat ketiga yang ingin menengahi antara dua pendapat yang kontradiktif tadi. Zygmunt Bauman dalam karyanya yang “Post-Modern Ethics” berpendapat, kata “Post” dalam istilah tadi bukan berarti “setelah” (masa berikutnya) sehingga muncullah kesimpulan-kesimpulan seperti di atas tadi. Menurut Bauman, postmodernisme adalah usaha keras sebagai reaksi dari kesia-siaan zaman modernis yang sirna begitu saja bagai ditiup angin. Adapun penyebab dari kesia-siaan zaman modernis adalah akibat dari tekanan yang bersumber dari prasangka (insting,wahm) belaka.
Seni
Kontemporer
adalah
salah
satu
cabang
seni
yang
terpengaruh
dampak
modernisasi.Kontemporer itu artinya kekinian, modern atau lebih tepatnya adalah sesuatu yang sama dengan kondisi waktu yang sama atau saat ini. Jadi Seni kontemporer adalah seni yang tidak terikat oleh aturan-aturan jaman dulu dan berkembang sesuai jaman sekarang. Lukisan kontemporer adalah karya yang secara tematik merefleksikan situasi waktu yang sedang dilalui. Misalnya lukisan yang tidak lagi terikat pada Rennaissance. Begitu pula dengan tarian, lebih kreatif dan modern. Kata “kontemporer” yang berasal dari kata “co” (bersama) dan “tempo” (waktu). Sehingga menegaskan bahwa seni kontemporer adalah karya yang secara tematik merefleksikan situasi waktu yang sedang dilalui. Atau pendapat yang mengatakan bahwa “seni rupa kontemporer adalah seni yang melawan tradisi modernisme Barat”. Ini sebagai pengembangan dari wacana postmodern dan postcolonialism yang berusaha membangkitkan wacana pemunculan indegenous art. Atau khasanah seni lokal yang menjadi tempat tinggal (negara) para seniman. Secara awam seni kontemporer bisa diartikan sebagai berikut: 1. Tiadanya sekat antara berbagai disiplin seni, alias meleburnya batas-batas antara seni lukis, patung, grafis, kriya, teater, tari, musik, anarki, omong kosong, hingga aksi politik. 2. Punya gairah dan nafsu “moralistik” yang berkaitan dengan matra sosial dan politik sebagai tesis. 3. Seni yang cenderung diminati media massa untuk dijadikan komoditas pewacanaan, sebagai aktualitas berita yang fashionable. Dalam seni rupa Indonesia, istilah kontemporer muncul awal 70-an, ketika Gregorius Sidharta menggunakan istilah kontemporer untuk menamai pameran seni patung pada waktu itu. Suwarno Wisetrotomo, seorang pengamat seni rupa, berpendapat bahwa seni rupa kontemporer pada konsep dasar adalah upaya pembebasan dari kontrak-kontrak penilaian yang sudah baku atau mungkin dianggap usang. Pendapat lain dari Yustiono, staf pengajar FSRD ITB, melihat bahwa seni rupa kontemporer di Indonesia tidak lepas dari pecahnya isu postmodernisme (akhir 1993 dan awal 1994), dimana sepanjang tahun 1993 menyulut
perdebatan dan perbincangan luas baik di seminar-seminar maupun di media massa pada waktu itu. Sedangkan kaitan seni kontemporer dan (seni) postmodern, menurut pandangan Yasraf Amior Pilliang, pemerhati seni, pengertian seni kontemporer adalah seni yang dibuat masa kini, jadi berkaitan dengan waktu, dengan catatan khusus bahwa seni postmodern adalah seni yang mengumpulkan idiom-idiom baru. Lebih jelasnya dikatakan bahwa tidak semua seni masa kini (kontemporer) itu bisa dikategorikan sebagai seni postmodern, seni postmodern sendiri di satu sisi memberi pengertian, memungut masa lalu tetapi di sisi lain juga melompat kedepan (bersifat futuris).
Perkembangan seni kontemporer Indonesia Konsep modernisasi telah merambah semua bidang seni ke arah kontemporer ini. Paling menyolok terlihat di bidang tari dan seni lukis. Seni tari tradisional mulai tersisih dari acaraacara televisi dan hanya ada di acara yang bersifat upacara atau seremonial saja. Seperti diungkapkan Humas Pasar Tari Kontemporer di Pusat Latihan Tari (PLT) Sanggar Laksamana Pekanbaru yang tidak hanya diminati para koreografer tari dalam negeri tetapi juga koreografer tari asing yang berasal dari luar negeri. Sebanyak 18 koreografer tari baik dari dalam maupun luar negeri menyatakan siap unjuk kebolehan dalam pasar tari kontemporer tersebut. “Para koreografer sudah tiba di Pekanbaru, mereka menyatakan siap unjuk kebolehan dalam pasar tari itu,” ujar Humas Pasar Tari Kontemporer, Yoserizal Zen di Pekanbaru[1]. Lukisan kontemporer semakin melejit seiring dengan meningkatnya konsep hunian minimalis, terutama di kota-kota besar. Seperti diungkapkan oleh seniman lukis kontemporer Sapto Adi Nugroho dari galeri Tujuh Bintang ArtSpace Yogyakarta, “Lukisan kontemporer semakin diminati seiring dengan merebaknya konsep perumahan minimalis terutama di kota-kota besar. Akan sulit diterima bila kita memasang lukisan pemandangan, misalnya sedangkan interior ruangannya berkonsep modern.”[2] Hal yang senada diungkap oleh kolektor lukisan kontemporer, “Saya mengoleksi lukisan karena mencintai karya seni. Kalaupun nilainya naik, itu bonus,” kata Oei Hong Djien, kolektor dan
kurator lukisan ternama dari Magelang. Begitu juga Biantoro Santoso, kolektor lukisan sekaligus pemilik Nadi Gallery. “Saya membeli karena saya suka. Walaupun harganya tidak naik, tidak masalah,” timpalnya. Oei dan Biantoro tak pernah menjual koleksinya. Oei memilih untuk memajang lebih dari 1.000 bingkai lukisannya di museum pribadinya. Karya-karya besar dari Affandi, Basuki Abdullah, Lee Man Fong, Sudjojono, Hendra Gunawan, dan Widayat terpampang di sana bersama karya-karya pelukis muda.
POSTMODERNISME (POSMO) Konteks Hidup dan Pelayanan Kita Dewasa Ini Jaman di mana kita hidup sedang mengalami ”mega-shift” – pergeseran raksasa!, dari era modern ke era posmodern (posmo). Aspek-aspek dari posmo, entah di sadari atau tidak di sadari telah meresap dan merembesi hampir semua aspek kehidupan kita: dari dunia pendidikan hingga dunia hiburan; dari dunia bisnis hingga dunia keagamaan; dan dari dunia seni hingga dunia kesehatan! Lima Ciri Modernitas yang kian ”suram” di dalam Masyarakat Posmo Posmo atau Postmodern secara harafiah berarti ”sesudah modern”. Jadi Posmo sebenarnya boleh dipandang sebagai kelanjutan atau penyempurnaan, bahkan dalam beberapa aspek boleh dikatakan sebagai ”pengingkaran” terhadap nilai-nilai yang dipegang teguh dalam era modern. Nilai-nilai modernitas apa sajakah yang dikoreksi, disempurnakan, bahkan diingkari oleh masyarakat Posmo?
Kemutlakan Kebenaran Dunia modern percaya bahwa kebenaran itu bersifat absolut. Jika ”sesuatu” itu benar, maka ia benar di mana saja, tak dipengaruhi oleh tempat, waktu dan budaya. Jika kita dapat membuktikan bahwa molekul air itu terbentuk dari dua atom Hidrogen dan satu atom Oksigen, maka kebenaran itu bukan hanya berlaku di Jakarta saja, melainkan juga di London, Hong Kong dan di mana saja. Itu bukan hanya benar sekarang ini saja; itu benar 200 tahun silam, 2000 tahun silam, 200 tahun lagi, dan kapan saja. Masyarakat posmo menolak mentah-mentah kemutlakan kebenaran. Bagi mereka kebenaran itu relatif. Itu mungkin benar bagimu, tapi belum tentu bagiku! Pengobatan Barat mungkin benar bagimu, tapi belum tentu bagiku! Jika bagiku, pengobatan Timur itu benar, anda mau apa? Bagi masyarakat Posmo, ”Truth is in the eyes of the beholder” (Kebenaran itu terletak dalam mata si pengamatnya). Dengan kata lain, kebenaran tidak lagi ditentukan dari ”sononya” melainkan diciptakan oleh subyek yang mengalaminya. Contoh konkrit dari pengingkaran kemutlakan kebenaran dapat dilihat dalam fenomena ”the Da Vinci Code”. Buku itu lebih dari sekedar novel. Latar belakang sejarah yang menjadi lahan main dari aktor-aktor utama semacam Robert Langdon dan Sophie Neveu, di klaim oleh sang pengarang, Dan Brown, sebagai fakta! Uniknya ”fakta” historis yang ditampilkan oleh Dan Brown itu menolak mentah-mentah ”fakta” historis yang dikenal oleh masyarakat selama ini. Dan Brown menciptakan sebuah kebenaran menurut sudut pandangnya sendiri. Namun. efek langsung dari pengingkaran kemutlakan kebenaran ini jelas terlihat dalam wacana keagamaan dewasa ini. Kini yang marak didengung-dengungkan adalah pluralisme, bukan ekslusifisme. Secara sederhana pluralisme dapat digambarkan dalam slogan: ”Sebagaimana ada banyak jalan menuju ke Roma, demikian pula ada banyak jalan menuju kepada keselamatan.” Superioritas Rasio Era modern tak dapat dilepaskan sama sekali dengan berkembangnya paham rationalisme, yang menempatkan rasio sebagai ”hakim” dan ”raja” yang memutuskan segala sesuatu. Itulah
sebabnya di era modern, iman dianggap sebagai kebenaran yang sifatnya subyektif dan tak layak untuk dijadikan wacana publik. Orang tak lagi perlu bergantung pada wahyu, apalagi tahyul sebab, melalui studi empiris dan rationalisme ilmiah, seseorang bisa menetapkan apa yang sejati dan benar. Hal ini bisa terlihat jelas dalam jawaban yang diberikan oleh ilmuwan besar, Marquise de Laplace, kepada Napaleon, kala sang Jenderal besar ini bertanya mengapa Laplace tidak menyebut Tuhan sama sekali dalam karya besarnya yang berjudul, Celestial Mechanics, Laplace menjawab, ”Saya tidak pelu hypothesis semacam itu!” Superioritas rasio ini terlihat jelas dalam dunia pendidikan. IQ (Intellegent Quotient) dipergunakan sebagai alat pengukur yang menentukan keunggulan manusia. Para orang tua mendambakan agar anak-anaknya punya IQ tinggi semacam Albert Einstein dan merasa rendah diri bila anak-anaknya hanya punya IQ” jongkok”. Icon Modernitas bisa kita lihat dalam film yang amat digemari pada era 70-an, Scooby Doo. Pesan film kartun itu jelas! Segala misteri di alam semesta ini dapat dijelaskan dengan rasio dan pendekatan ilmiah. Ada jawaban rasional dibalik fenomena hantu,makhluk gaib dan hal-hal lain yang tak terjelaskan! Masyarakat Posmo bukannya membuang sama sekali rasio. Bagi mereka rasio saja tidak memadai. Rasio bukanlah solusi atas segala sesuatu! Masyarakat Posmo ingin memperlengkapi rasio dengan aspek-aspek lain dari kehidupan manusia yang telah diasingkan dalam kehidupan masyarakat modern. Itulah sebabnya, pengalaman, emosi, bahkan misteri mendapat tempat dalam kehidupan masyarakat Posmo. Jadi jangan heran kalau kini anda mendapati hal-hal semacam EQ (Emotional Quotien), SQ (Spiritual Quotient), dan AQ (Adversity Quotient) kadang lebih diunggulkan dari IQ (Intellegent Quotient) . Icon dari dunia posmo bisa kita lihat jelas dalam film X-files dan Star Trek: The Next Generation. ”The Truth is out there” yang menjadi slogan film the X-files seolah memperingatkan kita bahwa hidup penuh dengan misteri yang tak dapat dipecahkan dengan rasio dan pendekatan ilmiah
saja. Sedang tokoh Data (seorang manusia-robot yang amat cerdas dan selalu akurat, namun rindu menjadi seorang manusia sejati yang mengenal dan sanggup memberi respons terhadap sentuhan-sentuhan emosi) dalam Star Trek: The Next Generation, menggambarkan kerinduan masyarakat Posmo akan sentuhan-sentuhan emosi yang telah lama ditenggelamkan oleh masyarakat modern. Budaya Representatif Ciri lain dari modernitas yang hendak dibongkar oleh masyarakat posmo adalah budaya representatif. Dalam budaya semacam ini, ada asumsi bahwa orang ingin dikontrol dan menginginkan pihak lain membuat keputusan bagi mereka. Jadi jangan heran bila tugas leadership di era modern adalah mengontrol serta membuat aturan-aturan bagi para pengikut agar perusahaan bisa memiliki kinerja yang baik. Jangan heran pula bila di dalam dunia pendidikan, murid yang terbaik adalah murid yang bisa mengungkapkan kata-demi-kata secara sempurna apa yang diajarkan oleh gurunya. Sementara dalam dunia kompetisi tarik suara, pemirsa adalah mereka yang duduk tenang sembari sekali-kali berteriak memberi dukungan, namun tak punya kuasa untuk mengambil keputusan siapa yang layak menang. Keputusan ada di tangan para juri! Masyarakat Posmo lain. Mereka lebih menyukai budaya participatory ketimbang budaya representatif. Dalam budaya participatory ada asumsi bahwa orang memiliki berbagai macam pilihan dan harus membuat pilihan-pilihan mereka sendiri. Jadi jangan heran bila tugas leadership kini lebih diarahkan untuk memberanikan dan memberdayakan orang untuk menjadi pemimpin ketimbang memberikan satu set aturan agar orang jadi pengikut yang baik. Jangan heran pula, bila dalam dunia pendidikan, tugas seorang guru tidak lagi menjadikan murid semacam “cloning” dari dirinya, melainkan memberdayakan dia untuk menjadi penemupenemu kebenaran bagi dirinya sendiri. Jangan heran pula, bila AFI dan Indonesian Idol menjadi acara favorit, karena kini para pemirsa bukan sekedar pasif menonton para jawara vokal di atas panggung; mereka kini turut menentukan siapa yang layak jadi pemenang!
Itulah masyarat posmo yang tak puas dengan dunia yang representatif, melainkan participatory! Itulah masyarakat Posmo yang bermentalitas “supermarket”!: ”Aku punya banyak pilihan dan tak seorangpun boleh memutuskan bagi diriku sendiri karena akau sendiri yang harus memutuskan; ’beli yang ini’ atau ’beli yang itu’”. Masyarakat yang berbasis Kata (Word-Based) Masyarakat modern adalah masyarakat yang berbasis kata (Word-based). Itulah sebabnya buku layak menjadi salah satu icon dari modernitas. Bila anda memperhatikan sebuah buku, pastilah terdapat penataan yang rapi dan terstruktur, entah itu secara logis atau kronologis. Itulah ciri lain dari masyarakat modern yang menghendaki segala sesuatu yang tertata rapi, beraturan dan jelas. Namun masyarakat posmo lain! Mereka adalah masyarakat yang digerakkan oleh image atau ”gambar” (image-driven). Itulah sebabnya kalau anda mengunjungi websites komersil macam eBay dan Amazon anda akan berjumpa dengan gambar-gambar dengan pesan-pesan mereka. Fenomena lain yang menarik dapat kita jumpai dalam penerbitan Ensklopedia. Kini Ensiklopedia multimedia macam Encarta yang sarat dengan muatan gambar secara berangsur juga menggantikan ensklopedia-ensklopedia klasik macam Americana yang lebih dominan bermuatan kata. Iklan-iklan di televisipun kian banyak yang menonjolkan ”image” ketimbang keunggulan produk dan harga kompetetif mereka. Iklan rokok merek Sampoerna misalnya, – Gang Hijau – yang konon mendongkrak penjualan rokok tersebut secara signifikan boleh dikata tak berkata apaapa tentang keunggulan produk dan harga kompetetif Sampoerna. Iklan tersebut lebih menjual”image” dari Rokok yang bermerk ”Sampoerna”. Masyarakat yang digerakkan oleh gambar (image-driven), menurut Leonard Sweet, pakar Posmo dari Drew University, juga cenderung terbuka pada metafor dan cerita-cerita. Jadi jangan heran kalau masyarakat posmo kurang tertarik dengan khotbah-khotbah yang bersifat proposisional. Namun, mereka akan membuka telinganya bagi naratif-preaching (khotbah
naratif-cerita) dan kesaksian-kesaksian hidup. Mereka akan ”tertidur” kala khotbah yang sarat muatan teologis yang ”melayang di awan-awan”dikumandangkan dari atas mimbar; namun akan membuka telinga dan mata mereka lebar-lebar kala mendengar sebuah khotbah yang diwarnai dengan ilustrasi kehidupan yang ditayangkan dalam bentuk video-klip dan drama serta ditampilkan dalam bentuk presentasi powerpoint. Masyarakat yang mengagungkan individualisme Masyarakat modern adalah masyarakat yang mengagungkan individualisme. Kata kunci dalam masyarakat modern adalah: ”I” atau ”Me” (Saya). Jadi jangan heran slogan yang terkenal sekali dalam era modern adalah: ”I think therefore I am” (Aku berpikir, maka Aku ada). Namun dalam masyarakat Posmo, yang namanya ”me” (aku) itu memerlukan ”we” (kita) untuk menjadi ”be” (ada). Jadi dalam masyarakat Posmo individualisme digantikan dengan individualcommunal, atau dalam bahasa kerennya ”Connected”. Coba anda tebak bagian mana dari internet yang dewasa ini dikunjungi oleh orang? Sudah pasti ”chatting room” bukan! Kenapa chatting room? Karena dalam chatting room-lah terjadi perpaduan yang unik di antara individual dan komunal. Kok bisa? Begini penjelasannya: Jika anda memasuki ruang “chatting” (milik www.yahoo.com sebagai misal) – ruang itu amat personal!!! Orang lain tidak bisa pakai “account” anda tanpa ijin anda. Namun anda tahu, kala anda masuk ke ruang “chatting”, anda tahu anda tidak sendirian karena anda terhubung dengan orang-orang lain. Inilah yang disebut perpaduan di antara Individual-Communal!! Kenapa program kuis Who Wants to Be a Millioner begitu popular? Karena program kuis semacam ini menempatkan seorang individu (sendirian) di pusat dari pentas televisi, namun pada saat yang bersamaan dikelilingi oleh orang-orang yang memiliki kaitan dengannya baik secara fisikal maupun secara virtual. Itulah sebabnya setiap saat ia mendapat kesulitan, ia dapat dengan muda meminta bantuan dari audience yang hadir di studio ataupun seorang teman. Sebuah perpaduan yang unik di antara individual-komunal bukan?
Ringkasan Sebagai penutup dari rangkaian artikel mengenai Postmodernisme ini akan disajikan sebuah tabel yang meringkaskan pergeseran besar dari aspek-aspek dari modernitas kepada aspekaspek dari Posmo di awal abad XXI ini. Kebenaran bersifat Mutlak (Absolut) —————–> Kebenaran bersifat relatif Rasio (Akal) —————————–> Emosi/Experience (Pengalaman) Representative —————————> Participatory Word-based ———————————> Image Driven Individual ——————————–> Individual/Communal Referensi 1. Leonard Sweet. Postmodern Pilgrims. Nashville, TN: Broadman & Holman Publishers, 2000. (acuan utama) 2. Graham Johnston. Preaching to a Postmodern World. Grand Rapids, MI: Baker Books, 2001. 3. Stanley J. Grenz. A Primer on Postmodernism. Grand Rapids, MI: William B. Eerdmans, 1996. 4. Kevin O’Donnel. Postmodernism. Mayfield House: Oxford: Lion Publishing, 2003. 5. Hermawan Kertajaya. Marketing in Venus. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2003. 6. David S. Dockery (ed). Challenge of Postmodernism. Grand Rapids, MI: Baker Book, 2001.
Art Nouveau
• Art Nouveau adalah sebuah aliran / style seni rupa modern yang marak pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 di Eropa daratan. • Art nouveau merupakan lanjutan dari Art and craft movement. • Abad ke-20 merupakan masa yang subur bagi berbagai jenis seni rupa modern untuk berkembang, hal ini dikarenakan pesatnya perkembangan teknologi dan pengaruh-pengaruh budaya baru dan juga didukung oleh • • • •
industrialisasi, kolonialisme, urbanisasi, dan revolusi industri.
Art Nouveau adalah sebuah aliran seni yang memiliki gaya dekoratif tumbuhan yang meliukliuk. Art Nouveau berasal dari bahasa Perancis yang artinya seni baru (new art), diambil dari nama toko di Paris, Maison de l’Art Nouveau yang dibuka pada tahun1895 oleh Siegfried Bing Gaya Art Nouveau berkembang pada masa 1892-1900, pertama kali muncul di Eropa dan menyebar sampai Amerika dengan nama yang berbeda, seperti Jugendstill di Jerman, Liberty di Inggris, Style Moderne di Prancis dan lainlain. Art Nouveau Style adalah gaya extravaganza dengan ornamen yang terinspirasi dari alam seperti flora yang penuh dengan sulur-sulur, kelopak bunga dan kecantikan wanita.
Art Nouveau
Ciri-ciri • Karya Art Nouveau biasanya dicirikan dengan bentukbentuk plastis dan organis, tapi tetap mengandalkan prinsip-prinsip geometris • (sebagai perbandingan: Art Deco yang geometris, kaku meski menggambarkan figur-figur hewan, bunga, atau manusia).
• Aliran seni rupa modern yang kaya akan ornamen & asimetrik yang identik dengan karakteristik tumbuhan yang berliuk-liuk. • Aliran ini marak di Eropa dan Amerika pada tahun 1819 hingga menjelang perang dunia pertama (1914) dan berakhir pada tahun 1920 oleh klasisme pasca perang.
• Art Nouveau dapat diidentikan dengan cita rasa seni bangunan yang eksentrik dan mahal mengingat tingkat kesulitan detail yang tinggi dan penerapan bahan yang mahal.
Art Nouveau
INGGRIS
• Negara awal munculnya Revolusi Indurtri, yaitu pada sekitar abad ke 19 terdapat seorang seniman William Morris yang membuat wallpaper dengan Art Nouveau yang sangat khas. • Dalam karyanya tersebut terdapat motif tumbuh – tumbuhan yang sangat kental. • (Karya nya tersebut dapat dilihat pada bagian Art & Craft Movement) Salah satu karya awal Art Nouveau di Inggris lainya adalah desain mebel yang dituangkan oleh Arthur Mackmurdo dalam desain sebuah kursi pada tahun 1882. • Pada karyanya ia menggunakan garis – garis lengkung dan pola – pola organik seperti tumbuhan.
Art Nouveau
PERANCIS
• Hector Germain yang membangun Metro Station. • Ia menggunakan logam dan kaca dan menghias bagian lengkung dengan menggunakan besi tema dalam karyanya. • Karyanya tersebut merupakan salah satu karya dari Art Nouveau yang mengesankan karena memiliki lengkun yang natural.
• Alphonse Mucha yang membuat poster Job Cigarettes yang sangat terkenal. • Dalam karyanya Mucha menggunakan garis melengkung seperti cambuk, bunga, wanita dengan rambut panjang teruntai kebawah.
Art Nouveau
• Di Austria: seniman Gustav Klimt, ia melukis Klimt’s The Kiss pada tahun 1907-1908. • Ia memilih desain mosaick, garis-garis melingkar pada latar dan karakter 2 dimensi untuk mengekspresikan erotisme dan depresi. • Hermann Obrist, August Endell
• Spanyol: Antoni Gaudi seorang arsitek berkebangsaan spanyol, ia mendesain ulang bagian depan sebuah bangunan apertemen di barselona. • Ia menggunakan garis – garis melengkung, pilar – pilar yang terihat seperti tulang kaki memperlihatkan gaya Art Nuveau yang bercirikan organik.
• Di Amerika : perkembangan Art Nouveau banyak ditemui pada desain – desain mangkuk ataupun vas. • Motif yang digunakan berupa garis – garis natural, ada yang berupa hewan katak (Magkuk minum Rookwood), atau ada juga Tiffany vase yang dibuat oleh Louis Comfort Tiffany yang menggunakan menggunakan bentuk tumbuh – tumbuhan yang dekoratif.
Art Nouveau
Art Nouveau
Art Nouveau
INDONESIA • Dalam seni rupa Indonesia perkembangan Art Nouveau dapat di lihat dari lukisan – lukisan Raden Saleh. • Lukisan – lukisan Raden Saleh sering menggambarkan binatang dengan sangat kuat. • Salah satu perkembangan Art noveau yang mempengaruhi desain di tanah air adalah desain mebel serta ukiran yang ada di Jepara. Desain pada kursi, meja ataupun sekedar hiasan dinding menggunakan ukiran – ukiran berupa tumbuh – tumbuhan, dengan sulur – sulur yang meliuk – liuk ini tanpa kita sadari bahwa Art Nouveau sendiri telah masuk ke Indonesia.
• Pengaruh Arsitektur dengan gaya Art Nouveau mulai di bawa oleh arsitek P.A.J. Moojen 1905
Art Nouveau
INDONESIA • Gaya ini banyak dipengaruhi dari Eropa. • Seni ini juga banyak di padukan dengan Art Deco yang dibawa oleh arsitek berikutnya. Salah satu tempat tersebut adalah pertokoan Braga di Bandung.
• Hingga kini gaya dari dari Art Nouveau itu sendiri sebenarnya sudah dekan dengan kita. • Rumah – rumah dengan hiasan flora masyarakat kelas menengah ke atas merupakan contoh termudah mengenai pengaruh Art Nouveau yang besar dan hidup hingga sekarang. • Dalam dunia fesyen tradisional ataupun modern batik ataupun kebaya merupakan karya seni dan identisas budaya Indonesia yang sudah sangat kita kenal. Apabila kita cermati, hiasan serta ornamaen kain – kain tersebut banyak menggunakan hiasan tumbuh – tumbuhan, entah itu sulur – sulur ataupun flora dan bunga – bunga. • Ternyata tanpa kita sadari banyak benda –benda disekitar kita yang mungkin dipengaruhi dalam seni Art Nouveau.
BAB 2 DESKRIPSI PROYEK 2.1 Tinjauan Judul Proyek
Pengertian Sanggar Seni Lukis Medan adalah: a. Pengertian Sanggar ? Salah satu pengertian ‘sanggar’ di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah tempat untuk kegiatan seni. Dengan kata lain, istilah sanggar juga dapat diartikan sebagai sebuah tempat untuk berkesenian, baik untuk seni lukis, seni tari, seni musik, maupun seni pertunjukkan. Di dalam sanggar individu-individu melakukan interaksi secara berkesinambungan mulai dari hanya sekadar berwacana, beradu argumen, sampai pada implementasi sintesis yang telah disepakati.1 ? Sanggar juga dapat diartikan sebagai suatu tempat atau sarana yang digunakan oleh suatu komunitas atau sekumpulan orang untuk melakukan suatu kegiatan.2 b. Pengertian Seni ? seni adalah proses dan produk dari memilih medium, dan suatu set peraturan untuk penggunaan medium itu, dan suatu set nilai-nilai yang menentukan apa yang pantas dikirimkan dengan ekspresi lewat medium itu, untuk menyampaikan baik kepercayaan, gagasan, sensasi, atau perasaan dengan cara seefektif mungkin untuk medium itu. Sekalipun demikian, banyak seniman mendapat pengaruh dari orang lain masa lalu, dan juga beberapa garis pedoman sudah muncul untuk mengungkap gagasan tertentu lewat simbolisme dan bentuk (seperti bakung yang bermaksud kematian dan mawar merah yang bermaksud cinta).3 ? Kata “seni” adalah sebuah kata yang semua orang di pastikan mengenalnya, walaupun dengan kadar pemahaman yang berbeda. Konon kabarnya kata seni berasal dari kata “SANI” yang kurang lebih artinya “Jiwa Yang Luhur/ Ketulusan jiwa”.4 ? menurut kajian ilimu di eropa mengatakan “ART” (artivisial) yang artinya kurang lebih adalah barang/ atau karya dari sebuah kegiatan. c. Pengertian Lukis Lukis artinya membuat gambar (terutama yang indah-indah).5
d. Pengertian Medan 1
Kamus Besar Bahasa Indonesia http://kbbi.web.id/ diakses pada tanggal 8 Januari 2011 http://id.wikipedia.org/wiki/Sanggar" diakses pada tanggal 8 Januari 2011 3 http://id.wikipedia.org/wiki/Seni" 4 http://id.pengertian-seni.html diakses pada tanggal 8 Januari 2011 5 Kamus Besar Bahasa Indonesia diakses pada tanggal 8 Januari 2011 2
Universitas Sumatera Utara
Medan ibu kota provinsi Sumatera Utara, Indonesia. Kota ini merupakan kota terbesar di Pulau Sumatera.6
Jadi dari pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa Sanggar Seni Lukis Medan adalah suatu tempat atau sarana yang digunakan untuk melakukan suatu kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan seni lukis serta tempat menuangkan ide,inspirasi dan menyalurkan bakat untuk menghasilkan karya seni lukis yang mempunyai nilai keindahan bagi diri sendiri maupun bagi orang lain yang berupa lukisan.
2.2 Tinjauan Umum Tinjauan umum membahas tentang kesenian secara keseluruhan dan secara umum.
2.2..1 Tinjauan terhadap Seni
Kesenian adalah kegiatan seseorang atau sekelompok orang yang diungkapkan secara sadar dan diwujudkan dalam bentuk nada, kata dan warna medium (media/alat) sehingga dapat menggugah rasa seseorang untuk melihat ataupun mendengar.7
Kesenian adalah segala sesuatu mengenai seni yang merupakan ekspresi hasrat manusia akan rasa keindahan dan dilahirkan melalui perantara alat-alat komunikasi ke dalam bentuk yang dapat ditangkap oleh indera pengelihatan atau dilahirkan melalui perantara gerak.
Seni pada mulanya adalah proses dari manusia, dan oleh karena itu merupakan sinonim dari ilmu. Dewasa ini, seni bisa dilihat dalam intisari ekspresi dari kreatifitas manusia. Seni sangat sulit untuk dijelaskan dan juga sulit dinilai, bahwa masing-masing individu artis memilih sendiri peraturan dan parameter yang menuntunnya atau kerjanya, masih bisa dikatakan bahwa seni adalah proses dan produk dari memilih medium, dan suatu set peraturan untuk penggunaan medium itu, dan suatu set nilai-nilai yang menentukan apa yang pantas dikirimkan dengan ekspresi lewat medium itu, untuk menyampaikan baik kepercayaan, gagasan, sensasi, atau perasaan dengan cara seefektif mungkin untuk medium itu.
Seni merupakan salah satu pemanfaatan budi dan akal untuk menghasilkan karya yang dapat menyentuh jiwa spiritual manusia. Karya seni merupakan suatu wujud ekspresi yang 6 7
http://id.wikipedia.org/wiki/Kota_Medan" diakses pada tanggal 8 Januari 2011 http://id. Geogle. Kesenian.html diakses pada tanggal 8 Januari 2011
Universitas Sumatera Utara
bernilai dan dapat dirasakan secara visual maupun audio. Seni terdiri dari musik, tari, rupa, dan drama/sastra.
2.2.2 Jenis-Jenis Seni
Terdapat beberapa jenis seni, antara lain sebagai berikut : ? Seni rupa Seni rupa adalah cabang seni yang membentuk karya seni dengan media yang bisa ditangkap mata dan dirasakan dengan rabaan. Kesan ini diciptakan dengan mengolah konsep garis, bidang, bentuk, volume, warna, tekstur, dan pencahayaan dengan acuan estetika. 8 Perkembangan keilmuan seni rupa dalam beberapa tahun terakhir ini mengalami perluasan ke arah wahana besar yang kita kenal sebagai budaya rupa (visual culture). Lingkup sesungguhnya tidak hanya cabang-cabang seni rupa yang kita kenal saja, seperti lukis, patung, keramik, grafis dan kriya, tapi juga meliputi kegiatan luas dunia desain dan kriya (kerajinan), multimedia, fotografi. Seni rupa di dalam Bahasa Inggris adalah fine art. Namun sesuai perkembangan dunia seni modern, istilah fine art menjadi lebih spesifik kepada pengertian seni rupa murni untuk kemudian menggabungkannya dengan desain dan kriya ke dalam bahasan visual arts. Bidang seni rupa dibedakan ke dalam tiga kategori, yaitu seni rupa murni, kriya, dan desain. Seni rupa murni mengacu kepada karya-karya yang hanya untuk tujuan pemuasan eksresi pribadi, sementara kriya dan desain lebih menitik beratkan fungsi dan kemudahan produksi. Bidang seni rupa,yaitu: 1.
Seni rupa murni ? Seni lukis ? Seni grafis ? Seni patung ? Seni instalasi ? Seni keramik ? Seni koreografi ? Seni fotografi
8
http://Artikel Tentang Macam – Macam Seni.html diakses pada tanggal 8 Januari 2011
Universitas Sumatera Utara
2.
Desain ? Arsitektur ? Desain grafis ? Desain interior ? Desain busana ? Desain produk
3.
Kriya ? Kriya tekstil ? Kriya kayu ? Kriya keramik ? Kriya rotan ? Seni pertunjukan
Seni pertunjukan (Bahasa Inggris: performance art) adalah karya seni yang melibatkan aksi individu atau kelompok di tempat dan waktu tertentu. Seni pertunjukan terdiri dari, yaitu : ?
Seni musik
?
Seni tari
?
Seni teater
?
Seni sastra
Merupakan bentuk pengungkapan melalui puisi atau prosa yang dapat dibacakan di pentas aaupun ditampilkan dalam bentuk kumpulan karya tulis.
2.2.3 Sifat-Sifat Dasar Seni
Seni memiliki sifat-sifat dasar yaitu, antara lain : 1. Sifat kreatif adalah kemampuan seseorang untuk mengubah sesuatu yang ada menjadi baru dan orisinil. Contoh: Batu yang diubah menjadi patung, tanah liat dapat menjadi keramik, suara diubah menjadi musik, gerakan menjadi sebuah tarian, dll. 2. Sifat individual adalah bahwa suatu karya seni memiliki ciri perseorangan dari penciptanya. 3. sifat perasaan, pengertiannya dalam membuat karya seni selalu melibatkan emosi dan jiwa. Oleh sebab itu, untuk dapat menikmati sebuah karya harus menggunakan kepekaan perasaan yang paling dalam.
Universitas Sumatera Utara
4. sifat abadi atau keabadian. Sesungguhnya semua pembuatan manusia memiliki sifat demikian, yaitu perbuatan baik atau tercela yang sudah dilakukan tidak dapat dibatalkan. Seseorang yang telah berjasa kepada kita, sosoknya akan selalu melekat sampai akhir hayat, walau pun mungkin bendanya sudah hilang ditelan masa. Jika membuat karya seni memiliki tujuan estetik atau keindahan, hendaknya orang yang menikmatinya turut berlatih juga untuk berbuat sesuatu yang indah dan terpuji. 5. Sifat universal, artinya seni tidak mengenal batasan waktu, bangsa, bahasa, dll.
2.3 Seni Lukis 2.3.1 Perkembangan seni lukis Seni lukis adalah salah satu induk dari seni rupa.9 Dengan dasar pengertian yang sama, seni lukis adalah sebuah pengembangan yang lebih utuh dari drawing. Periodisasi seni lukis dibagi dalam :
1.
Seni Lukis Zaman Prasejarah
Secara historis, seni lukis sangat terkait dengan gambar. Peninggalan-peninggalan prasejarah memperlihatkan bahwa sejak ribuan tahun yang lalu, nenek moyang manusia telah mulai membuat gambar pada dinding-dinding gua untuk mencitrakan bagian-bagian penting dari kehidupan mereka.
Semua kebudayaan di dunia mengenal seni lukis. Ini disebabkan karena lukisan atau gambar sangat mudah dibuat. Sebuah lukisan atau gambar bisa dibuat hanya dengan menggunakan materi yang sederhana seperti arang, kapur, atau bahan lainnya. Salah satu teknik terkenal gambar prasejarah yang dilakukan orang-orang gua adalah dengan menempelkan tangan di dinding gua, lalu menyemburnya dengan kunyahan daun-daunan atau batu mineral berwarna. Hasilnya adalah jiplakan tangan berwana-warni di dindingdinding gua yang masih bisa dilihat hingga saat ini. Kemudahan ini memungkinkan gambar (dan selanjutnya lukisan) untuk berkembang lebih cepat daripada cabang seni rupa lain seperti seni patung dan seni keramik.
Seperti gambar, lukisan kebanyakan dibuat di atas bidang datar seperti dinding, lantai, kertas, atau kanvas. Dalam pendidikan seni rupa modern di Indonesia, sifat ini 9
"http://id.wikipedia.org/wiki/Seni_lukis" diakses pada tanggal 8 Januari 2011
Universitas Sumatera Utara
disebut juga dengan dwi-matra (dua dimensi, dimensi datar). Seiring dengan perkembangan peradaban, nenek moyang manusia semakin mahir membuat bentuk dan menyusunnya dalam gambar, maka secara otomatis karya-karya mereka mulai membentuk semacam komposisi rupa dan narasi (kisah/cerita) dalam karya-karyanya.
Objek yang sering muncul dalam karya-karya purbakala adalah manusia, binatang, dan obyek-obyek alam lain seperti pohon, bukit, gunung, sungai, dan laut. Bentuk dari obyek yang digambar tidak selalu serupa dengan aslinya. Ini disebut citra dan itu sangat dipengaruhi oleh pemahaman si pelukis terhadap obyeknya. Misalnya, gambar seekor banteng dibuat dengan proporsi tanduk yang luar biasa besar dibandingkan dengan ukuran tanduk asli. Pencitraan ini dipengaruhi oleh pemahaman si pelukis yang menganggap tanduk adalah bagian paling mengesankan dari seekor banteng. Karena itu, citra mengenai satu macam obyek menjadi berbeda-beda tergantung dari pemahaman budaya masyarakat di daerahnya. Pencitraan ini menjadi sangat penting karena juga dipengaruhi oleh imajinasi. Dalam perkembangan seni lukis, imajinasi memegang peranan penting hingga kini. Pada mulanya, perkembangan seni lukis sangat terkait dengan perkembangan peradaban manusia. Sistem bahasa, cara bertahan hidup (memulung, berburu dan memasang perangkap, bercocok-tanam), dan kepercayaan (sebagai cikal bakal agama) adalah hal-hal yang mempengaruhi perkembangan seni lukis. Pengaruh ini terlihat dalam jenis obyek, pencitraan dan narasi di dalamnya. Pada masa-masa ini, seni lukis memiliki kegunaan khusus, misalnya sebagai media pencatat (dalam bentuk rupa) untuk diulangkisahkan. Saat-saat senggang pada masa prasejarah salah satunya diisi dengan menggambar dan melukis. Cara komunikasi dengan menggunakan gambar pada akhirnya merangsang pembentukan sistem tulisan karena huruf sebenarnya berasal dari simbolsimbol gambar yang kemudian disederhanakan dan dibakukan.
2. Seni Lukis zaman Klasik
Di zaman ini lukisan dimaksudkan untuk meniru semirip mungkin bentuk-bentuk yang ada di alam. Hal ini sebagai akibat berkembangnya ilmu pengetahuan dan dimulainya kesadaran bahwa seni lukis mampu berkomunikasi lebih baik daripada katakata dalam banyak hal. Selain itu, kemampuan manusia untuk menetap secara sempurna telah memberikan kesadaran pentingnya keindahan di dalam perkembangan peradaban. Universitas Sumatera Utara
3. Seni Lukis Zaman Pertengahan
Sebagai akibat terlalu kuatnya pengaruh agama di zaman pertengahan, seni lukis mengalami penjauhan dari ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan dianggap sebagai sihir yang bisa menjauhkan manusia dari pengabdian kepada Tuhan. Akibatnya, seni lukis pun tidak lagi bisa sejalan dengan realitas. Kebanyakan lukisan di zaman ini lebih berupa simbolisme, bukan realisme. Sehingga sulit sekali untuk menemukan lukisan yang bisa dikategorikan "bagus". Lukisan pada masa ini digunakan untuk alat propaganda dan religi. Beberapa agama yang melarang penggambaran hewan dan manusia mendorong perkembangan abstrakisme (pemisahan unsur bentuk yang "benar" dari benda). Namun sebagai akibat pemisahan ilmu pengetahuan dari kebudayaan manusia, perkembangan seni pada masa ini mengalami perlambatan hingga dimulainya masa renaissance.
4. Seni Lukis Zaman Renaissance
Berawal dari kota Firenze. Setelah kekalahan dari Turki, banyak sekali ahli sains dan kebudayaan (termasuk pelukis) yang menyingkir dari Bizantium menuju daerah semenanjung Italia sekarang. Dukungan dari keluarga deMedici yang menguasai kota Firenze terhadap ilmu pengetahuan modern dan seni membuat sinergi keduanya menghasilkan banyak sumbangan terhadap kebudayaan baru Eropa. Seni Rupa menemukan jiwa barunya dalam kelahiran kembali seni zaman klasik. Sains di kota ini tidak lagi dianggap sihir, namun sebagai alat baru untuk merebut kembali kekuasaan yang dirampas oleh Turki.Pada akhirnya, pengaruh seni di kota Firenze menyebar ke seluruh Eropa hingga Eropa Timur.
2.3.2 Sejarah Perkembangan Seni Lukis di Indonesia
Seni lukis modern Indonesia dimulai dengan masuknya penjajahan Belanda di Indonesia. Kecenderungan seni rupa Eropa Barat pada zaman itu ke aliran romantisme membuat banyak pelukis Indonesia ikut mengembangkan aliran ini. Awalnya pelukis
Universitas Sumatera Utara
Indonesia lebih sebagai penonton atau asisten, sebab pendidikan kesenian merupakan hal mewah yang sulit dicapai penduduk pribumi. Selain karena harga alat lukis modern yang sulit dicapai penduduk biasa.
Raden Saleh Syarif Bustaman adalah salah seorang asisten yang cukup beruntung bisa mempelajari melukis gaya Eropa yang dipraktekkan pelukis Belanda. Raden Saleh kemudian melanjutkan belajar melukis ke Belanda, sehingga berhasil menjadi seorang pelukis Indonesia yang disegani dan menjadi pelukis istana di beberapa negera Eropa.
Namun seni lukis Indonesia tidak melalui perkembangan yang sama seperti zaman renaisans Eropa, sehingga perkembangannya pun tidak melalui tahapan yang sama.
Era revolusi di Indonesia membuat banyak pelukis Indonesia beralih dari tematema romantisme menjadi cenderung ke arah "kerakyatan". Objek yang berhubungan dengan keindahan alam Indonesia dianggap sebagai tema yang mengkhianati bangsa, sebab dianggap menjilat kepada kaum kapitalis yang menjadi musuh ideologi komunisme yang populer pada masa itu. Para pelukis kemudian beralih kepada potret nyata kehidupan masyarakat kelas bawah dan perjuangan menghadapi penjajah.
Selain itu, alat lukis seperti cat dan kanvas yang semakin sulit didapat membuat lukisan Indonesia cenderung ke bentuk-bentuk yang lebih sederhana, sehingga melahirkan abstraksi.
Gerakan Manifesto Kebudayaan yang bertujuan untuk melawan pemaksaan ideologi komunisme membuat pelukis pada masa 1950an lebih memilih membebaskan karya seni mereka dari kepentingan politik tertentu, sehingga era ekspresionisme dimulai. Lukisan tidak lagi dianggap sebagai penyampai pesan dan alat propaganda, namun lebih sebagai sarana ekspresi pembuatnya. Keyakinan tersebut masih dipegang hingga saat ini. Perjalanan seni lukis kita sejak perintisan R. Saleh sampai awal abad XXI ini, terasa masih terombang-ambing oleh berbagai benturan konsepsi.
Kemapanan seni lukis Indonesia yang belum mencapai tataran keberhasilan sudah diporak-porandakan oleh gagasan modernisme yang membuahkan seni alternatif, dengan munculnya seni konsep (conceptual art): “Installation Art”, dan “Performance Art”, yang pernah menjamur di pelosok kampus perguruan tinggi seni sekitar 1993-
Universitas Sumatera Utara
1996.10 Kemudian muncul berbagai alternatif semacam “kolaborasi” sebagai mode 1996/1997. Bersama itu pula seni lukis konvensional dengan berbagai gaya menghiasi galeri-galeri, yang bukan lagi sebagai bentuk apresiasi terhadap masyarakat, tetapi merupakan bisnis alternatif investasi.
2.3.3 Aliran Seni lukis Berbagai aliran dalam seni lukis berkembang terus dari zaman ke zaman, antara lain :
1. Naturalisme
Yaitu suatu bentuk karya seni lukis (seni rupa) dimana seniman berusaha melukiskan segala sesuatu sesuai dengan nature atau alam nyata, artinya disesuaikan dengan tangkapan mata kita.11 Supaya lukisan yang dibuat benar – benar mirip atau persis dengan nyata, maka susunan, perbandingan, perspektif, tekstur, pewarnaan serta elap terang dikerjakan seteliti mungkin, setepat –setepatnya. di dalam seni rupa adalah usaha menampilkan objek realistis dengan penekanan seting alam. Hal ini merupakan pendalaman lebih lanjut dari gerakan realisme pada abad 19 sebagai reaksi atas kemapanan romantisme.
Tokoh-tokoh Naturalisme : Rembrant, Williamn Hogart dan Frans. Hall di Indonesia yang menganut corak ini : Raden Saleh, Abdullah Sudrio Subroto, Basuki Abdullah, Gambir Anom dan Trubus.
2. Realisme
Realisme adalah suatu corak seni yang menggambarkan kenyataan atau bisa dikatakan benar-benar ada dan yang digambarkan bukan objek melainkan suasana dari kejadian tersebut. 12
Beberapa tokoh terkenal yang beraliran realism adalah: Karl Briullov, Ford Madox Brown, Jean Baptiste Siméon Chardin, Camille Corot, Gustave Courbet. 10
http://geogle.artikel, sejarah kesenian.html diakses pada tanggal 4 Februari 2011 http://astaqauliyah.com/filsafat-naturalisme/ diakses pada tanggal 4 Februari 2011 12 Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas diakses 4 Februari 2011 11
Universitas Sumatera Utara
3. Ekspresionisme
Ekspresionisme adalah kecenderungan seorang seniman untuk mendistorsi kenyataan dengan efek-efek emosional. Ekspresionisme bisa ditemukan di dalam karya lukisan, sastra, film, arsitektur, dan musik. Istilah emosi ini biasanya lebih menuju kepada jenis emosi kemarahan dan depresi daripada emosi bahagia.
4. Kubisme
(Aliran Seni Lukis Kubisme dan Tokoh Seni Lukis Kubisme) – Kubisme adalah sebuah gerakan modern seni rupa pada awal abad ke-20 yang dipelopori oleh Picasso dan Braque. Prinsip dasar yang umum pada kubisme yaitu menggambarkan bentuk objek dengan cara memotong, distorsi, overlap, penyederhanaan, transparansi, deformasi, menyusun dan aneka tampak. Gerakan ini dimulai pada media lukisan dan patung melalui pendekatannya masing-masing Bentuk karyanya menggunakan bentuk geometri (segitiga, segiempat, kerucut, kubus, lingkaran). Seniman kubisme sering menggunakan teknik kolase, misalnya menempelkan potongan kertas surat kabar, gambar poster. Kubisme sebagai pencetus gaya nonimitative muncul setelah Picasso dan Braque menggali sekaligus terpengaruh bentuk kesenian primitif, seperti patung suku bangsa Liberia, ukiran timbul (basrelief) bangsa Mesir, dan topeng-topeng suku Afrika. Juga pengaruh lukisan Paul Cezanne, terutama karya still life dan pemandangan, yang mengenalkan bentuk geometri baru dengan mematahkan perspektif zaman Renaisans. Ini membekas pada keduanya sehingga meneteskan aliran baru.
Istilah “Kubis” itu sendiri, tercetus berkat pengamatan beberapa kritikus. Louis Vauxelles (kritikus Prancis) setelah melihat sebuah karya Braque di Salon des Independants, berkomenmtar bahwa karya Braque sebagai reduces everything to little cubes (menempatkan segala sesuatunya pada bentuk kubus-kubus kecil. Gil Blas menyebutkan lukisan Braque sebagai bizzarries cubiques (kubus ajaib). Sementara itu, Henri Matisse menyebutnya sebagai susunan petits cubes (kubus kecil). Maka untuk selanjutnya dipakai istilah Kubisme untuk memberi ciri dari aliran seperti karya-karya tersebut.
Perkembangan awal Seni Lukis Kubisme Dalam tahap perkembangan awal, Kubisme mengalami fase Analitis yang dilanjutkan pada fase Sintetis. Pada 1908-1909
Universitas Sumatera Utara
Kubisme segera mengarah lebih kompleks dalam corak yang kemudian lebih sistematis berkisar antara tahun 1910-1912. Fase awal ini sering diberi istilah Kubisme Analitis karena objek lukisan harus dianalisis. Semua elemen lukisan harus dipecah-pecah terdiri atas faset-fasetnya atau dalam bentuk kubus. Objek lukisan kadang-kadang setengah tampak digambar dari depan persis, sedangkan setengahnya lagi dilihat dari belakang atau samping. Wajah manusia atau kepala binatang yang diekspos sedemikian rupa, sepintas terlihat dari samping dengan mata yang seharusnya tampak dari depan.
Pada fase Kubisme Analitis ini, para perupa sebenarnya telah membuat pernyataan dimensi keempat dalam lukisan, yaitu ruang dan waktu karena pola perspektif lama telah ditinggalkan. Bila pada pereiode analitis Braque maupun Picasso masih terbelenggu dalam kreativitas yang terbatas, berbeda pada fase Kubisme Sintetis. Kaum Kubis tidak lagi terpaku pada tiga warna pokok dalam goresan-goresannya. Tema karyakarya mereka pun lebih variatif. Dengan keberanian meninggalkan sudut pandang yang menjadi ciri khasnya untuk beranjak ke tingkat inovatif berikutnya. Perkembangan karya kaum Kubis selanjutnya adalah dengan perhatian mereka terhadap realitas. Dengan memasukkan guntingan-guntingan kata atau kalimat yang diambil dari suratpaper colle. kabar kemudian direkatkan pada kanvas sehingga membentuk satu komposisi geometris. Eksperimen tempelan seperti ini lazim disebut teknik kolase atau paper colle. Mengamati perkembangan dunia seni lukis sekarang ini yang bisa dibilang begitu revolusioner, paling tidak Kubisme telah memberi andil dalam kelahiran aliran-aliran baru. Hal ini sekaligus meratakan jalan bagi pengekspresian kreativitas yang tiada batas.
Tokoh Seni Lukis Kubisme: Paul Cezane, Pablo Picasso. George Braque, Metzinger, Albert Glazez, But Mochtar, Moctar Apin, Fajar Sidik, Andre Derain.
Aliran kubisme di Indonesia diperkenalkan oleh Ries Mulder di ITB Bandung selaku dosen instruktur senior di perguruan itu, sedangkan Ries Mulder berguru dari Jack Louis Villon kelompok kubisme di Paris.
5. Fauvisme
Fauvisme adalah suatu aliran dalam seni lukis yang berumur cukup pendek menjelang dimulainya era seni rupa modern.
Universitas Sumatera Utara
Tokoh-tokoh yang beraliran fauvism adalah Henri Matissem, André Derainm Georges Braquem , Albert Marquet, Henri Manguin, Charles Camoin, Henri Evenepoel, Jean Puy, Maurice de Vlaminck, Raoul Dufy, Othon Friesz, Georges Roua.
6. Romantisme
Aliran ini umumnya ditandai oleh tema-tema yang fantastis, penuh khayal, atau petualangan para pahlawan purba. Juga banyak menampilkan berbagai perilaku dan karakter manusia yang dilebih-lebihkan.
Aliran Romantisme merupakan aliran tertua di dalam sejarah seni lukis modern Indonesia. Lukisan dengan aliran ini berusaha membangkitkan kenangan romantis dan keindahan di setiap objeknya. Pemandangan alam adalah objek yang sering diambil sebagai latar belakang lukisan.
Romantisme dirintis oleh pelukis-pelukis pada zaman penjajahan Belanda dan ditularkan kepada pelukis pribumi untuk tujuan koleksi dan galeri di zaman kolonial. Salah satu tokoh terkenal dari aliran ini adalah Raden Saleh.
7. Impresionisme
Impresionisme adalah suatu gerakan seni dari abad 19 yang dimulai dari Paris pada tahun 1860an. Nama ini awalnya dikutip dari lukisan Claude Monet, “Impression, Sunrise” (“Impression, soleil levant”). Kritikus Louis Leroy menggunakan kata ini sebagai sindiran dalam artikelnya di Le Charivari. Karakteristik utama lukisan impresionisme adalah kuatnya goresan kuas, warnawarna cerah (bahkan banyak sekali pelukis impresionis yang mengharamkan warna hitam karena dianggap bukan bagian dari cahaya), komposisi terbuka, penekanan pada kualitas pencahayaan, subjek-subjek lukisan yang tidak terlalu menonjol, dan sudut pandang yang tidak biasa. Pengaruh impresionisme dalam seni rupa juga merambah ke bidang musik dan sastra.
Universitas Sumatera Utara
8. Konstruksifisme
Aliran seni ini awalnya berkembang di Rusia penggagasnya antara lain Vladimir Tattin, Antoine Pevsner, dan Naum Gabo. Gaya ini mengetengahkan berbagai karya seni berbentuk tiga dimensional namun wujudnya abstrak. Bahan-bahan yang dipergunakan adalah bahan modern seperti besi beton, kawat, bahkan plastik.
9. Abstrakisme
Adalah usaha untuk mengesampingkan unsur bentuk dari lukisan. Abstraksi berarti tindakan menghindari peniruan objek secara mentah. Unsur yang dianggap mampu memberikan sensasi keberadaan objek diperkuat untuk menggantikan unsur bentuk yang dikurangi porsinya.
Seni ini menampilkan unsur-unsur seni rupa yang disusun tidak terbatas pada bentuk-bentuk yang ada di alam. Garis, bentuk, dan warna ditampilkan tanpa mengindahkan bentuk asli di alam. Kadinsky dan Piet Mondrian marupakan sebagian perupa beraliran abstrak ini. Seni Abstrak ini pada dasarnya berusaha memurnikan karya seni, tanpa terikat dengan wujud di alam.
10. Dadaisme
Adalah gerakan seni rupa modern yang memiliki kecendrungan menihilkan hukum–hukum keindahan yang ada.Ciri utama gaya ini adalah paduan dari berbagai karya lukisan, patung atau barang tertentu dengan menambahkan unsur rupa yang tak lazim sebagai protes pada keadaan sekitarnya, seperti lukisan reproduksi lukisan “Monalisa “ karya Leonardo da Vinci tetapi diberi kumis, atau petusan laki-laki diberi dudukan dan tandatangan, kemudian dipamerkan di suatu galeri. Beberapa tokoh sebagai berikut Affandi, Agus Djaya, Basuki Abdullah dan lain-lain.
11. Surealisme
Adalah penggambaran dunia fantasi psikologis yang diekspresikan secara verbal, tertulis maupun visual. Bentuk-bentuk alam dideformasi, sehingga penuh fantasi dan di luar kewajaran.
Universitas Sumatera Utara
12. Elektisisme
Yaitu gerakan seni awal abad ke- 20 yang mengkombinasikan berbagai sumbergaya yang ada di dunia menjadi wujud seni modern. Banyak yang menjadi sumber inspirasi dari gaya seni ini. Antara lain, gaya seni primitive sejumlah suku bangsa di Afrika, karya seni pra-sejarah, seni amerika Latin, gaya esetik Mesir Purba, dan Yunani Kuno. Tokoh-tokoh seni yang menerapkan gaya ini antasra lain Picasso (disamping sebagai tokoh Kubisme), Paul Gaugguin, Georges Braque, Jean Arp, Henry Moore, dan Gabo.
13. Posmodernisme
Istilah seni ini umumnya disebut seni kontemporer yaitu mengelompokan gaya-gaya seni rupa yang sezaman dengan pengamat atau yang menjadi kecenderungan popular dan dipilih oleh para seniman dalam rentang lima puluh tahun terakhir hingga sekarang. Gaya ini sering diartikan sebagai aliran yang berkembang setelah seni modern. Jika dalam seni modern lebih memusatkan kepada ekspresi pribadi dan penggalian gaya baru, dalam seni Posmodern ungkapan seni lebih ditekankan kepada semantika (makna rupa) dan semiotika (permainan tanda rupa).
2.3.4 Ada Beberapa Pendapat Tentang Seni Lukis
a. Menurut Ki Hadjar Dewantara “seni adalah segala perbuatan manusia yang timbul dari hidup perasaannya dan bersifat indah sehingga dapat menggerakkan jiwa perasaan manusia”. b. Menurut Thomas Munro “seni adalah alat buatan manusia untuk menimbulkan efek-efek psikologis manusia yang melihatnya, efek tersebut mencakup tanggapan-tanggapan yang berujud pengamatan, pengenalan dan imajinasi yang rasional maupun emosional”. c. Menurut Akhdiat karta Mihardja “seni adalah kegiatan rohani manusia yang merefleksikan realitet (kenyamanan) dalam suatu karya yang bentuk dan isinya mempunyai daya yang membangkitkan pengalaman tertentu dalam alam rohani si penerima”. Sedang pengertian seni lukis: Menurut Herbert Read “Seni lukis adalah suatu pengucapan pengalaman artistik yang ditumpahkan dalam bidang dua dimensional yang menggunakan garis dan warna”. “Seni lukis
Universitas Sumatera Utara
adalah penggunaan warna tekstur, ruang dan bentuk pada suatu permukaan yang bertujuan menciptakan image-image yang merupakan pengekspresian ide-ide, emosi dan pengalaman yang dibentuk sedemikian rupa sehingga mencapai harmoni”. Dari pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa: Seni lukis adalah salah satu cabang dalam seni rupa yang menuangkan kreasinya kedalam bentuk dua dimensional dengan berbagai jenis dan ukuran media.
2.3.5 Jenis-jenis Pameran 1.Pameran tetap
Pameran yang menyajikan karya-karya koleksi Galeri Nasional Indonesia secara periodik yang ditata berdasarkan konsep kuratorial dan diselenggarakan oleh Galeri Nasional Indonesia. Waktu penyelenggraan pameran tetap berlangsung minimal 1 kali dalam satu tahun.
2. Pameran Temporer
Pameran Temporer/pameran tidak tetap yang menyajikan karya-karya seni rupa dalam jangka waktu tertentu yang diselenggarakan oleh Galeri Nasional Indonesia atau kerjasama dengan pihak lain. Waktu penyelenggaraan Pameran Temporer berlangsung minimal selama 10 hari, maksimal berlangsung selama 30 hari. 3. Pameran Bersama
Materi yang dipamerkan pada pameran bersama merupakan karya-karya lebih dari satu seniman. Biaya pameran ditanggung oleh seniman yang bersangkutan.Peminjaman gedung dilakukan dengan cara mengajukan permohonan disertai porposal kepada Galeri Nasional Indonesia, selanjutnya permohonan tersebut akan dipertimbangkan oleh Tim Kurator. Fasilitas pokok yang disediakan gedung pameran berupa panel, lampu, bantuan teknis tata pameran dan fasilitas keamanan. Penyelenggaraan pameran dapat dilangsungkan antara 1 minggu sampai 3 minggu. Selama satu tahun pameran yang diselenggarakan di gedung ini dapat mencapai 15 pameran.
4. Pameran Kerja Sama
Pola pameran ini dilaksanakan berdasarkan kerjasama antara Galeri Nasional Indonesia, dengan
pihak
lain.
Pihak
lain
tersebut
dapat
merupakan
lembaga/organisasi
Universitas Sumatera Utara
kebudayaan/kesenian, museum, galeri, dan Pusat-Pusat Kebudayaan negara sahabat. Biaya penyelenggaraan ditanggung bersama. Pameran Kerja sama ini dapat dilaksanakan selama 10 kali dalam 1 tahun, tiap-tiap pameran dapat dilaksanakan antara 2 minggu sampai 1 bulan.
5. Pameran Khusus
Pameran khusus adalah pameran yang biaya penyelenggaraannya sepenuhnya ditanggung oleh Galeri Nasional Indonesia. Materi yang dipamerkan dapat merupakan koleksi Galeri Nasional Indonesia atau milik seniman atau kolektor lainnya. Penyelenggaraan pameran khusus mencapai 2 atau 3 kali dalam setahun.
6. Pameran Keliling
Pameran yang menyajikan karya-karya koleksi Galeri Nasional Indonesia maupun karya di luar koleksi Galeri Nasional Indonesia ke berbagai daerah di Indonesia dan atau di luar negeri yang diselenggarakan oleh Galeri Nasional Indonesia atau kerjasamadengan pihak lain. Waktu penyelenggaraan Pameran Keliling minimal berlangsung selama 10 hari.
2.4 Tinjauan Khusus 2.4.1 Pemilihan Lokasi
Untuk mendesain suatu bangunan dibutuhkan ketelian dalam hal perancanaan bangunan. Masalah site seharusnya mendapat perhatian yang lebih sehubungan dengan fungsi bangunan yang akan dibangun.
A.
Kriteria Pemilihan Lokasi
Sanggar Seni Lukis Medan yagn merupakan gedung yang mengarah pada kegiatan sarana pendidikan dan sarana rekreatif memerlukan pemilihan lokasi yang tepat untuk mendukung fungsi bangunan tersebut. Beberapa faktor kriteria pemilihan lokasi yang tepat untuk mendukung fungsi bangunan tersebut, yaitu:
Universitas Sumatera Utara
a. tinjauan terhadap Struktur Kota penentuan lokasi harus sesuai dengan kebijakan pemerintah terhadap peruntukan lahan kota. Berdasarkan RUTRK, wilayah Komadya Daerah Tingkat II Medan ditetapkan menjadi 5 wilayah pengembangan pembangunan (WPP), yaitu:
kotamadya Medan memiliki 5 Wilayah Pengembangan dan Pembangunan: Tabel 2.1 Peruntukan lahan untuk WPP Kotamadya Medan WP
Cakupan
Pusat
Sasaran
P
Kecamatan
Pengembangan
Peruntukan
A
1.Kecamatan Medan Belawan
Belawan
Pelabuhan, industri, permukiman,
2.Kecamatan Medan Marelan
rekreasi, maritim, usaha kegiatan
3.Kecamatan Medan Labuhan
pembangunan jalan baru, jaringan air minum, septic tank, pendidikan
B
1.Kecamatan Medan Deli
Tanjung Mulia
Kawasan perkantoran, perdagangan, rekreasi indoor, permukiman, pembangunan jalan baru, jaringan air minum, pembuangan sampah dan sarana pendidikan.
C
1.Kecamatan Medan Timur
Aksara
Permukiman,
perdagangan,
2.Kecamatan Medan
rekreasi, pembangunan saluran air
Perjuangan
minum,
3.Kecamatan Medan Tembung
pendidikan, dan kesehatan.
septic
tank,
sarana
4.Kecamatan Medan Area 5.Kecamatan Medan Denai 6.Kecamatan Medan Amplas D
1.Kecamatan Medan Johor
Inti kota
Kawasan perdagangan,
2.Kecamatan Medan Baru
perkantoran, rekreasi indoor,
3.Kecamatan Medan Kota
permukiman dengan program
4.Kecamatan Medan Maimoon
kegiatan pembangunan perumahan
5.Kecamatan Medan Polonia
permanent, penanganan sampah dan sarana pendidikan.
E
1.Kecamatan Medan Barat
Sei Sikambing
Kawasan permukiman,
2.Kecamatan Medan Helvetia
perdagangan, rekreasi, program
3.Kecamatan Medan Petisah
kegiatan sambungan air minum, Universitas Sumatera Utara
4.Kecamatan Medan Sunggal
septic tank, jalan baru, rumah
5.Kecamatan Medan Selayang
permanent, sarana pendidikan dan
6.Kecamatan Medan
kesehatan.
Tuntungan Sumber : RUTRK kota Medan
Berdasarkan ketentuan yang ditetapkan dalam RUTRK diatas , maka WPP yang tepat untuk membangun Sanggar Seni Lukis Medan yaitu pada WPP C dan WPP E yaitu unutk peruntukan wilayah Pendidikan ,rekreatif dan permukiman.
b. Berdasarkan Kriteria Pemilihan Lokasi Ada beberapa kriteria yang digunakan untuk menentukan alternative lokasi dan lokasi site terpilih, yaitu:
Tabel 2.2 Kriteria Lahan Untuk Menentukan Lokasi No. 1.
Kriteria
Lokasi
Tinjauan terhadap struktur kota
Berada dikawasan strategis yang merupakan daerah komersil
mengingat
bangunan
yang
dirancang
memiliki fungsi komersil yang berskala kota sehingga mendukung fungsi bangunan untuk komersil, pameran dan pendidikan. 2.
Wilayah Pengembangan
Berada di WPP yang sesuai dan merupakan termasuk dalam wilayah pengembangan kota Medan.
3.
Lingkungan
Berada di lingkungan yang strategis dan memiliki fungsi eksisting yang dapat mendukung bangunan.
4.
Pencapaian atau aksesibilitas
Dapat diakses dari seluruh penjuru kota, baik angkutan umum ,pribadi mapun pribadi.
5.
Area pelayanan
Lingkungan sekitar merupakan fungsi-fungsi yang dapat saling mendukung dengan bangunan yang direncanakan seperti fungsi komersial, community dan fungsi training.
6.
Utilitas kota / lingkungan
Dekat dengan jaringan utilitas yang memadai sebagai pendukung dalam lokasi site ( listrik, air, telefon, drainase, dll )
Universitas Sumatera Utara
9.
Orientasi
Orientasi bangunan sebaiknya dapat mengurangi cahaya yang masuk kedalam bangunan
10.
View
Adanya view yangg bagus baik dari dalam site maupun dari luar site.
11.
Ukuran lahan
Harus mencukupi untuk program fungsional dan fasilits-fasilitas fasilitas yang direncanakan. ( > 1 Ha )
12.
Kontur tapak / topografi
Sebaiknya
relatif
datar
untuk
memudahkan
perencanaan bangunan. Sumber : Hasil olah data primer
B.
Analisis Pemilihan Lokasi Sanggar Seni Lukis Medan ini diharapkan mendapatkan apresiasi tentunya dari masyarakat seni pada khususnya masyarakat umum pada umumnya.
Berdasarkan kriteria diatas, maka diputuskan memilih 3 alternatif lokasi yang sesuai untuk proyek ini, yaitu : Lokasi 1
: Jln. Perintis Kemerdekaan
Lokasi 2
: Jln. Putri Hijau
Lokasi 3
: Jln. Gatot Subrot
C.
Alternatif lokasi
Alternatif 1
Gambar 2.1 Site Jl. Perintis Kemerdekaan Sumber : Hasil olah data primer
Universitas Sumatera Utara
Lokasi
: berada di Jl. Perintis Kemerdekaan
Luas Lahan : ± 1,4 Ha Kecamatan : Medan Timur Wilayah WPP
: WPP C
Pemilihan lokasi pada persimpangan Jl. Perintis Kemerdekaan karena terletak di pusat kota, yang mana pusat sasarannya yaitu memajukan seni, mudah dalam pencapaian, baik dengan kendaraan pribadi maupun kendaraan umum serta pejalan kaki, berdekatan dengan Taman Budaya Sumatera Utara yang merupakan komunitas seni kota Medan, berdekatan dengan Universitas Nomensen yang berfungsi sebagai pendidikan. Batas – batas site
Sebelah utara berbatasan dengan jalan dan komersil
Sebelah barat berbatasan dengan
Sebelah timur berbatasan
jalan dan komersil
dengan jalan dan universitas nomensen
Sebelah timur berbatasan dengan pemukiman Gambar 2.2 BatasBatas Batas Site Alternatif 1 Sumber : Hasil olah data primer
Universitas Sumatera Utara
Alternatif 2
Gambar 2.3 Site Jl. Putri Hijau Sumber : Hasil olah data primer
Lokasi
: berada di Jl. Putri Hijau
Luas Lahan : ± 1,1Ha Kecamatan
: Medan Barat
Wilayah WPP
: WPP E
Pada lokasi Jl. Putri Hijau site terletak di kawasan Pusat kota, mudah dalam pencapaian, batas-batas batas site utara berbatasan dengan kwasan komersil, selatan berbatasan dengan poldasu, timur imur berbatasan dengan pemukiman sedangkan barat berbatasan dengan rumah sakit.
Universitas Sumatera Utara
Batas –batas site
Sebelah utra berbatasan langsung dengan komersil
Sebelah barat berbatsan
Sebelah timur berbatsan dengan
dengan rumah sakit
jalan dan pemukiman
tembakau deli
Sebelah selatan berbatasan dengan jalan dan perkantoran Gambar 2.4 BatasBatas Batas Site Alternatif 2 Sumber : hasil olah data primer
Alternatif 3
Gambar 2.5 Site Jl. Gatot Subroto Sumber : hasil olah data primer
Universitas Sumatera Utara
Lokasi
: berada di Jl. Gatot Subroto
Luas Lahan : ± 3 Ha Kecamatan
: Medan Sunggal
Wilayah WPP
: WPP E
Pada kawasan Jl. Gatot subroto site berada di pusat kota dengan luas ± 3 Ha dengan batas batasbats site, sebelah utara site berbatasan dengan kawasan komersil, sedangkan sebelah selatan berbatasan dengan pemukiman.
Batas-batas site
Sebelah utara berbatsan dengan Daerah komorsil
Sebelah barat berbatsan dengan perkantoran Sebelah timur berbatasan dengan komersil
Sebelah selatan berbatasan dengan kawasan permukiman
Gambar 2.6 BatasBatas Batas Site Alternatif 3 Sumber : hasil olah data primer
D.
Penilaian Lokasi
Pada Penilaian lokasi, menggunakan system penilaian dari angka angk 1-3 Tabel 2.3 Penilaian Lokasi No 1
Kriteria Lokasi lokasi
Alternatif 1
Alternatif 2
Persimpangan Jl. Perintis Jl. Putri Hijau
Alternatif 3 Jl. Gatot Subroto
Universitas Sumatera Utara
kemerdekaan
dan
Gaharu
Jl Kecamatan
Medan Kecamatan
Kecamatan Barat
Medan
Sunggal
Medan Timur
2
nilai
3
2
potensi
Berada di dekat kampus Berada nomensen Budaya
3
&
di
dekat Berada
daerah
Taman samsat medan, juga komersil
Medan
serta rumah sakit tembakau
Hotel Grand Angkasa
Deli
nilai
3
3
aksesibilitas
Berada di persimpangan Berada di daerah Jl.
Berada di sepanjang
jalan
jalan Gatot Sobroto
yang
2
memiliki Putri Hijau
akses ke pusat kota
4
2
menghubungkan jalan
Yang memiliki akses
guru patimpus
ke pusat kota
2
2
nilai
3
Kondisi jalan
Lebar jalan 13m. kondisi Lebar jalan 12 m. Lebar 15 m. kondisi sangat
karena kondisi jalan cukup jalan sangat padat.
padat
berada di persimpangan
padat
karena
merupakan jalan satu arah nilai 5
Tata
3 guna Merupakan
lahan
7
8
9
3
kawasan Merupakan
kawasan Merupakan kawasan
pendidikan, permukiman, pendidikan, komersil, komersil,perumahan, dan perdangan
pendidikan, kesehatan
perkantoran
3
3
2
Tingkat hunian Hunian sedang
Hunian padat
Hunian sedang
nilai
2
2
2
View
Dekat dengan kampus Dekat dengan rumah Dekat
lingkungan
nomensen,
sekitar
perkantoran, hotel
komersil, hotel
nilai
3
3
2
kemacetan
Lancar
Lancar
lancar
nilai
3
3
3
strategis
Sangat strategis
Cukup strategis
Sangat strategis
nilai
3
2
3
nilai 6
2
komersil, sakit,
perumahan,
samsat, komersil, perkantoran
Universitas Sumatera Utara
10
Kontur tapak
Relatif datar
Relatif datar
Relatif datar
Nilai
3
3
3
Total nilai
29
25
24
Sumber : hasil olah data primer
Keterangan nilai, 3 = sangat baik, 2 = cukup baik, 1 = kurang baik
Dari penilaian diatas disimpulkan bahwa lokasi Jalan Perintis Kemerdekaan adalah merupakan lokasi yang terbaik dari 3 alternatif lokasi yang ada.
E.
Deskripsi Lokasi Sebagai Tapak Rancangan
Gambar 2.7 Gambar Site Lokasi Sumber : hasil olah data primer
Universitas Sumatera Utara
F.
Deskripsi Umum ?
Kasus Proyek
: Sanggar Seni Lukis Medan
?
Status Proyek
: Fiktif
?
Pemilik Proyek
: Swasta
?
Lokasi Tapak
: Jl, Perintis Kemerdekaan, Kecamatan Medan Timur
?
Batas-batas site Batas Utara
: Jl. Perintis Kemerdekaan, Komersil
Batas Selatan
: Jalan, Pemukiman Sedang
Batas Timur
: Jalan, Universitas Nomensen
Batas Barat
: Jalan, Komersil
?
Luas Lahan
: ± 1,4 Ha
?
Kontur
: Relatif Datar
?
KDB
: 80 %
?
KLB
: 2-5 lantai
?
GSB Lebar Jl. Perinis Kemerdekaan
: 13 meter
Lebar Jl. Gaharu
: 10 meter
Lebar Jl. Sena
: 7 meter
Lebar Jl. Timor
: 7 meter
?
Bangunan Eksisting
: lahan kosong
?
Potensi Lahan
:
o Terletak dipusat kota o Berada pada kawasan pendidikan, permukiman dan komersil o Transportasi lancar dan baik o Luas site mendukung : ± 1,4 Ha o Memiliki jalur utilitas yang baik
2.5 Tinjauan fungsi
Masyarakat medan yang saat ini diperkirakan berjumlah kurang lebih 2.121.053 jiwa (tahun 2010). Tidak kurang diantaranya adalah orang yang membutuhkan atau terlibat langsung dalam dunia seni. Karena kurangnya fasilitas merupakan salah satu factor kurangnya promosi kesenian di Medan. Di bawah ini merupakan presentase minat masyarakat terhadap kesenian di sumatera Utara khususnya kota Medan. Universitas Sumatera Utara
Persentase Penduduk Berumur 10 Tahun ke Atas yang Menonton dan Melakukan Pertunjukan Kesenian Selama Tiga Bulan Terakhir,2009 Ter
Gambar 2.8 Persentase Penduduk 10 Tahun ke atas yang Menonton dan Melakukan Pertunjukan Kesenian, 2009 Sumber : BPS, statistik sosial budaya 2009
Gambar 2.8 menampilkan partisipasi penduduk berumur 10 tahun ke atas dalam pertunjukan kesenian baik sebagai penonton maupun pelaku seni. Bila dilihat dari sisi penonton, dari keseluruhan jumlah penduduk berumur 10 tahun ke atas hanya 10,0 persen diantaranya yang menonton pertujukan kesenian. Sedikitnya minat penduduk untuk menonton pertunjukan kesenian. Terjadi baik di daerah perkotaan dan pedesaan, namun bila dilihat proporsinya minat penduduk pedesaan (12,1 persen) relative lebih tinggi dibandingkan penduduk perkotaan (17,8 persen).
Presentase Penduduk Berumur mur 10 Tahun ke Atas yang melakukan Pertunjukan kesenian menurut kelompok umur dan jenis kesenian. Tabel 2.4 Presentase Penduduk Berumur 10 Tahun ke Atas yang melakukan Pertunjukan kesenian menurut kelompok umur dan jenis kesenian. Kelompok
Melakukan pertunjukan Seni
Seni
Seni
Seni
Seni
Seni
Seni
tari
musik
drama
lukis
patung
kerajinan
lainnya
10-19
36,7
55,0
5,0
12,4
1,2
9,8
5,3
20-29
40,7
55,2
3,5
1,8
0,6
5,5
4,7
30-39
40,0
51,9
3,5
1,8
0,7
10,0
4,3
40-49
40,9
53,5
7,9
3,0
1,7
6,8
5,8
50-59
40,3
55,2
8,6
2,1
1,4
5,0
4,7
umur
Universitas Sumatera Utara
60+
42,8
48,8
10,9
2,3
1,1
4,5
7,0
total
39,2
54,1
5,3
5,9
1,1
7,9
5,1
Sumber : BPS, statistik sosial budaya 2009
Presentase Penduduk Berumur 10 Tahun ke Atas yang menonton Pertunjukan kesenian menurut kelompok umur dan jenis kesenian. Tabel 2.5 Presentase Penduduk Berumur 10 Tahun ke Atas yang melakukan Pertunjukan kesenian menurut kelompok umur dan jenis kesenian. Kelompok
Melakukan pertunjukan Seni
Seni
Seni
Seni
Seni
Seni
Seni
tari
musik
drama
lukis
patung
kerajinan
lainnya
10-19
31,6
82,6
8,1
1,4
0,4
1,9
3,2
20-29
27,0
83,3
7,9
0,8
0,4
1,6
2,7
30-39
29,5
80,3
9,7
0,7
0,3
1,7
2,7
40-49
30,5
78,1
12,7
1,0
0,6
1,8
2,6
50-59
31,6
75,4
14,2
0,8
0,4
1,4
2,1
60+
32,6
71,0
17,8
0,6
0,3
0,7
1,4
total
29,9
80,5
10,0
0,9
0,4
1,7
2,7
umur
Sumber : BPS, statistik sosial budaya 2009
Jumlah penduduk yang berumur 10 tahun ke atas = 1.754.774 jiwa (tahun 2010) Jumlah yang melakukan pertunjukan seni = 5,9 % x 1.754.774 jiwa = 103.531 jiwa
Jumlah yang menonton pertunjukan seni = 0,9 % x 1.754.774 jiwa = 15.792 jiwa Jadi, jumlah yang melakukan pertujukan seni lukis kota Medan sebanyak 103.531 sedangkan jumlah yang menonton pertunjukan seni lukis adalah 15.792 jiwa.
2.5.1 Deskripsi Pengguna dan Kegiatan
Sanggar Seni Lukis Medan mrupakan tempat untuk menyalurkan/mengembangkan bakat dalm hal melukis. Disini juga mendapatkan pembelajaran dan pelatihan mengenai seni lukis.
Universitas Sumatera Utara
Kelompok yang menjadi pengguna yang dimaksud adalah semua lapisan masyarakat ingin mengetahui dunia seni lukis :
a.
Pengguna (sanggar) Pengguna bangunan sanggar akan dikelompokkan menjadi 3 bagian menurut tingkat ilmu yang dimiliki : -
Kelompok dasar
: kelompok peserta Sanggar Seni Lukis yang masih tahap awal,
tahap pengenalan, (pemula) -
Kelompok terlatih
: kelompok yang sudah mengerti tentang cara-cara melukis dan
teknik-teknik dasarnya. -
Kelompok terampil : kelompok yang sudah mampu menghasilkan karya seni.
Untuk fasilitas lainnya seperti galeri, gedung serba guna, penggunanya tidak ada pengelompokan karena tergantung banyaknya pengunjung yang dating dari luar. Untuk pengguna auditorium juga tergantung siapa yang akan menggunakan sesuai kepentingan seni lainnya.
b.
Kegiatan Kegiatan yang ada pada sanggar ini terdiri dari sebagai berikut : - Kegiatan edukatif, yaitu kegiatan belajar, berlatih melukis yang dilakukan di sanggar, kegiatannya aNtara lain : proses melukis, diskusi. - Kegiatan rekreatif, yaitu kegiatan yang berlangsung di galeri dan di ruang luar bangunan - Kegiatan komersil, yaitu kegiatan yang dilakukan di auditorium berupa kegiatan pergelaran seni -
Jumlah pengelola sanggar seni lukis Medan dapat diuraikan sebagai berikut : Tabel 2.6 Jumlah pengelola sanggar seni lukis Medan No
Jabatan
Jumlah
1
Pimpinan Sanggar
1 orang
2
Wakil Pimpinan Sanggar
1 orang
3
Bendahara
1 orang
4
Wakil Bendahara
1 orang
5
Staff Keuangan
2 orang
Universitas Sumatera Utara
6
Kepala Bagian Pelatihan
1 orang
7
Staff Pengajar
10 orang
8
Kepala Bagian Pameran
1 orang
9
Koordinator Galeri
1 orang
10
Staff Galeri
6 orang
11
Koord. Auditorium/ Gedung Pameran
1 orang
12
Staff Auditorium
6 orang
13
Koord. Gudang
1 orang
14
Staff gudang
2 orang
15
Kepala Administrasi
1 orang
16
Staff Administrasi
4 orang
17
Staff Statistik
1 orang
18
Staff Worshop
2 orang
19
Kepala Keamanan
1 orang
20
Staff Keamanan
4 orang
jumlah
46 orang
Sumber : hasil olah data primer
Sedangkan pengertian dan fungsi dari personel yhang ada di Sanggar Seni Lukis Medan adalah: ?
Pimpinan Sanggar Orang yang bertanggung jawab atas semua kegiatan yang ada di dalam sanggar.
?
Wakil Pimpinan Sanggar Orang yang membantu tugas pimpinan terutama urusan di dalam sanggar.
?
Koordinator Pelatihan Orang yang bertugas untuk mengkoordinasi aktifitas belajar mengajr (staf/ pengajr dan murid) di dalam sanggar.
?
Staff Pengajar Orang yang bertugas dalam membina/mengajr anak didik dalam sanggar (proses melukis/berkarya) .
?
Kepala Bagian Pameran Orang yang bertanggung jawab atas segala kegiatan pameran dalam sanggar.
?
Kooordinator Galeri
Universitas Sumatera Utara
Menanggungjawabi kegiatan di bagian galeri. ?
Koordinator Galeri Bertanggung jawab atas kegiatan yang dilaksanakan di auditorium (pergelaran seni dari dalam sanggar maupun dari luar sanggar).
?
Koordinator Gudang Bertanggung jawab atas keberadaan barang / karya seni yang ada dalam gudang.
?
Staf Galeri Orang
yang
betrugas
untuk
mempersiapkan
keperluan
pameran
berupa
perlengkapan=perlengkapan untuk galeri . ?
Staff auditorium Orang yang bertugas untuk mempersiapkan keperluan/perlengkapan unutk kegiatan yang akan dilaksankan di auditorium ( keperluan pameran tetap, pameran temporer, dan pameran keliling.
?
Bendahara Orang yang bertanggung jawab atas laporan keuangan sanggar.
?
Wakil bendahara Orang yang bertugas untuk membantu kerja bendahara dalam hal laporan keuangan.
?
Staff Keuangan Orang yang melakukan pembukuan mengenai pemasukan dan pengeluaran keuangan sanggar.
?
Kepala Keamanan Orang yang bertanggung jawab atas kondisi keamanan di lokasi sanggar.
?
Staff Keamanan Melakukan penjagaan keamanan di lokasi sanggar.
2.5.2 Deskrpisi Persyaratan Ruang
Sebagai bangunan yang berfungsi untuk kegiatan seni, seharusnya bangunan ini menampilkan citra yang mengekspresikan seni.
Secara umum ruang-ruang dalam sanggar ini mempunyai persyaratan dan kriteria tertentu, adapun kriteria dan persyaratan tersebut adalah : ?
Ruang-ruang yang bernuansa informal terhadap pengguna
?
Kedinamisan dan kebebasan dari segi view, sirkulasi, maupun bentuk. Universitas Sumatera Utara
Secara umum galeri adalah tempat memajangkan atau memamerkan suatu karya seni agar para kolektor seni maupun masyarakat awam dapat menikmati karya seni. Sedangkan fungsi galeri adalah sebagai wadah komunikasi antara konsumen dengan produsen. Pihak produsen yang dimaksud adalah para seniman sedangkan konsumen adalah kolektor dan masyarakat. Fungsi galeri adah sbb: ?
Sebagai wadah promosi barang-barang seni.
?
Sebagai wadah pembinaan dan pengarahan bagi para seniman dalam mengembangkan dan memasarkan hasil karyanya.
?
Sebagai sarana komunikasi antara pengelola dan pengunjung dalam suasana yang rekreatif.
Galeri suatu fasilitas berisi ruang pamer yang mengkomunikasikan karya-karya visual art atau seni visual. Salah satu faktor penting dalam fasilitas galeri adalah membangkitkan suasana dan ritme yang baik. Berdasarkan studi banding hal tersebut dapat dicapai melalui perbedaan luasan ruang.
Faktor-faktor dalam mengkomunikasi karya-karya visual art yang berhubungan langsung dengan manusia harus memperhatikan:
a.
Tinggi rrata-rata manusia Indonesia sehingga pandangan mata dapat mencakup obyek yang dilihat dalam posisi nyaman.
Tabel 2.7 tinggi rata-rata manusia Indonesia Tinggi rata-rata
Pandangan mata
Pria
165 cm
160 cm
Wanita
155 cm
150 cm
Anak-anak
115 cm
100 cm
Universitas Sumatera Utara
Gambar 2.9 Jarak Pandang mata Terhadap Lukisan Sumber : data arsitek
Gambar 2.10 Sudut pandang lukisan
Gambar 2.11 kemampuan gerak anatomi manusia
Universitas Sumatera Utara
b.
Pencahayaan yang dapat membangkitka emosi pengunjung dan meningkatkan kualitas presentasi suatu karya visual arts yang diterima oleh pengunjung.
Faktor-faktor dalam mengkomunikasikan karya-karya visual art yang berhubungan langsung dengan karya itu sendiri harus memperhatikan environtment control (kontrol terhadap lingkungan galeri) yaitu dengan kunci-kunci komponen environment control sebagai berikut.
a.
Climate Control
Adalah meliputi pemeliharaan atmosfir lingkungan yang stabil, yaitu dengan kontrol terhadap temperatur dan kelembapan ruang, kualitas udara dan vibrasi ruang. Implementasi climate control ini meminimalkan resiko kerusakan terhadap karya-karya seni yang ada dan meningkatkan kenyamanan pengunjung dan pengguna bangunan.
b.
Temperature And Relative Humidity
Fluktuasi dalam temperatur dan kelembapan dapat merusak karya-karya seni yang ada, dengan
faktor
yang
paling
kritis
adalah
kelembapan.
Perubahan
kelembapan
ruang/lingkungan dapat mengakibatkan pengerutan dan penyusutan dimana kondisi ligkungan sangat kering, sedangkan dalam kondisi sebaliknya dapat mengakibatkan karya-karya seni yang ada mengembung dan menjamur. Standart temperatur dan kelembapan pada daerah tropis adalah sebagai berikut :
Temperatur 21ºC ± 1ºC, kelembapan 55% ± 5%.
c.
Air Filtration
Udara yang tidak terfilter mengandung polusi, berupa gas dan partikel dimana dapat merusak karya-karya seni dan yang paling penting adalah ketidaknyamanan pengunjung dan pengguna bangunan. Penyaringan udara kotor ini dapat dikontrol melalui suatu sistem ducting dan standart efisiensi penyaringan tersebut 80 % sampai 98%.
Universitas Sumatera Utara
d.
Light
Pencahayaan adalah faktor paling penting dalam sebuah galeri sebab sangat mempengaruhi pengalaman pengunjung dalam memapresiasikan karya-karya seni yang ada dan penciptaan suatu suasana/atmosfir ruang. Dengan kata lai melalui pencahayaan dapat mengakibatkan emosi pengunjung.
Cahaya buatan maupun alami dapat mengakibatkan kerusakan jika tidak diperhatikan intensitasnya. Untuk cahaya buatan, intensitas cahaya tergantung dari bahan/material dari karya-karya seni tersebut. ?
Karya dengan bahan kertas : 50 Lux
?
Karya lukisan di atas kanvas : 150-200 Lux
?
Metal, keramik, glass dan batu : 300 Lux
Tingkat intensitas cahaya diatas adalah berdasarkan survei galeri-galeri seni profesional di australia. Untuk cahaya alami, penyinaran tidak boleh langsung jatuh pada karya-karya seni yang ada. Caranya adalah dengan penggunaan cahaya alami dari atas (lighting from above) dan penggunaan cahaya alamidari samping (lateral lighting). Studi Jarak Pengamat Terhadap Objek Lukisan ? Daerah Visual Pandangan Mata
Gambar 2.12 Daerah Visual Pandangan Mata Sumber : Dimensi Manusia dan Ruang Interior, Julius Panero
Universitas Sumatera Utara
Dari gambar di atas, disimpulkan bahwa pandangan yang nyaman ke arah objek (lukisan)adalah pandangan di dalam daerah visual 30° ke arah atas, 30° ke arah bawah, 30° ke arah kanan, dan 30° ke arah kiri. Hal tersebut dikarenakan pada daerah tersebut merupakan daerah dimana mata kita dapat mengenali warna atau membedakan warna dengan baik. ?
Jarak Pengamat dan Jarak Antar Lukisan Jarak pengamat = ½ x (t.lukisan) / tg30° Jarak antar lukisan = (j.pengamat) x tg45°- ½ x (t.lukisan)
Studi Pencahayaan Dalam Ruangan Pencahayaan di dalam galeri seni lukis dapat berupa cahaya alami [daylaight] dan dapat berupa cahaya buatan (dengan menggunakan spotlight). ?
Pencahayaan Alami([Daylight)
Pencahayaan alami harus diperhitungkan agar pengguna ruangan yang berada di dalamnya merasa nyaman dan lukisan terhindar dari sinar matahari. Berikut ini adalah perhitungan-perhitungan bagaimana menyaring sinar matahari.
Gambar 2.13 Pencahayaan Alami Sumber : Dimensi Manusia dan Ruang Interior, Julius Panero
Sinar dan cahaya yang diterima apabila tidak menggunakan shading dan filter adalah hampir 97% mengakibatkan ruang tidak nyaman. Pada gambar kedua, cahaya yang diterima apabila menggunakan shading adalah 80% mengakibatkan ruang nyaman. Pada gambar
Universitas Sumatera Utara
ketiga, cahaya yang diterima ruangan apabila menggunakan shading dan dinding menjadi tidak langsung adalah 72% sehingga ruang lebih nyaman. ?
Pencahayaan Buatan
Lampu sebagai sumber cahaya artifisial dapat diatur arah cahayanya dengan tata letak tertentu. Inilah kelebihan lampu dibanding matahari, cahaya matahari tidak bisa kita pindahkan atau diatur kekuatannya. Selain itu intensitas dan sudut cahaya matahari selalu berubah-ubah.
a. tujuan pemanfaatan pencahayan buatan: ?
menampilkan detail objek, baik dari segi tekstur maupun warna, menampilkan karakter objek seperti yang diharapkan, memberikan penekanan yang merata pada objek pamer.
Adapun beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam keputusan desain pencahayaan buatan bagi Galeri seni lukis kentemporer adalah: ?
dampak aratur dan reflektor, ketidak seragaman penerangan karena sebaran yang terlalu jauh sehingga perlu diperhatikan jarak minimal antar titik lampu dan ketinggian titik lampu.
Dengan demikian dapat dihindari pengaruh negatif dari sistem pencahayaan secara buatan, seperti: ?
timbulnya glare (silau), timbulnya bayangan, timbulnya pantulan yang mengganggu.
b. Teknik pencahayaan buatan
Secara garis basar, penggunaan teknik pencahayan buatan dalam perencanaan Galeri seni lukis kontemporer disesuaikan dengan berdasarkan objek pamer, dimana bentuk objek yang dipamerkan merupakan objek 2 dimensi. Bentuk pengaturan cahaya sesuai dengan karakter objek, lukisan yaitu: ?
cat minyak (tingkat cahaya maksimum adalah 200 lux).
?
cat air dan tinta (tingkat cahaya maksimum adalah 50 lux).
Universitas Sumatera Utara
Pencahayaan buatan memberikan pengaruh yang lebih pada perancangan ruang display, terutama untuk menghasilkan efek dramatis dan penekanan pada objek-objek tertentu didalam Galeri seni.
Ada empat macam pencahayaan buatan : 1. pencahayaan langsung, merupakan pencahayaan yang menciptakan bayangan dan refleksi yang jelas. Cocok untuk objek pamer 2 dimensi yang membutuhkan pemfokusan khusus dan cukup murah. 2. Pencahayaan langsung oleh beberapa titik lampu, sistem pencahayaan ini dapat menimbulkan bayangan yang lembut. Kendala terletak pada biaya yang agak mahal. 3. Pencahayaan tidak langsung oleh lampu reflektor pada plafon untuk menciptakan bayangan yang lemah. Cocok untuk sirkulasi pada ruangan. Biaya mahal 4. pencahayaan tidak langsung oleh titik lampu dengan menggunakan perantara plafon yang berfungsi sebagi bahan pemfokus cahaya. Sistem ini hampir tidak menghasilkan efek bayangan. Biaya pemasangan lebih mahal karena banyaknya lampu yang dipasang.
Arah pencahayaan secara garis besar dapat dibagi menjadi 5 katagori yaitu: downlight, uplight, sidelight, backlight, dan frontlight. 1. Pencahayaan kebawah (downlight).
Arah pencahayaan datang dari atas dan menyinari objek dibawahnya. Hampir setiap ruang dirumah memerlukan pencahayaan downlight, yang berfungsi sebagai pencahayaan secara merata. Cahaya berasal dari lampu yang ditanam pada langit-langit dengan bangunan lampu yang menjorok keluar, masuk kedalam, menempel pada tembok atau berupa lampu gantung. Melalui pengaturan sudut jatuh cahaya, lampu dengan arah downlight dapat menumbuhkan suasana yang berbeda apabila difungsikan sebagai pencahayaan setempat dan dekoratif, salah satunya adalah mengarahkan cahaya kedinding sehingga tekstur dan warna dinding muncul.
2. Pencahayaan keatas (Uplight).
Dimana posisi lampu dihadapkan keatas jenis pencahayaan lebih cenderung ke pencahayaan dekoratif ,contoh umum adalah kolom rumah, kesan yang ditimbulkan adalah kemegahan.
Universitas Sumatera Utara
3. Pencahayaan dari belakang (backlight).
Backlight bararti cahayanya berasal dari belakang objek hal ini dilakukan untuk memberikan aksentuasi pada objek,misalnya untuk memunculkan siluet. Pada objek tertentu, pencahayaan backlight ini memberikan cahaya pinggir yang mempesona membuat Gambar (bcklight) bentuk-bentuk objek lebih jelas terlihat.
4. Pencahayaan samping (sidelight).
Sama
halnya
(sidelight)
seperti
dimaksud
pada untuk
pencahayaan
backligt,
memberikan
tekanan
arah pada
cahaya
dari
samping
elemen-elemen
Interior
tertentu yang menjadi aksen. Kebanyakan arah cahaya ini dipakai artwok, atau (sidelight) benda-benda seni lainnya.
5. Pencahayaan dari depan (Frontlight).
Untuk lukisan dan foto yang berwujud dua dimensional, frontlight diaplikasikan. Cahaya yang datangnya dari depan objek ini sebaiknya rata, cahaya yang tersebar rata membuat foto/lukisan tersebut terlihat apa adanya.
Universitas Sumatera Utara
jarak nyaman pengamat lukisan terhadap objek lukisan (baik bagi para orang normal dan para difabel,, yakni sebagai berikut. a.
Jarak Pengamat Lukisan Ukuran Kecil (ukuran 50cm x 50cm)
Gambar 2.14 Jarak Pengamat Lukisan Ukuran Kecil Sumber : Dimensi Manusia dan Ruang Interior, Julius Panero
Jarak lukisan dengan pengamat [orang normal] adalah X sin30°/sin60°=(1/2 t.lukisan)/X sin30°/sin60°=25cm/X X=43,3cm 44cm difabel] adalah X’ Jarak lukisan dengan pengamat [difabel sin30°/sin60°=((t.m.normal-t.m.pengguna t.m.pengguna kursi roda)+1/2 t.lukisan)/X’ sin30°/sin60°=((148--110)+25)/X’ X’=109,11cm 110cm
Universitas Sumatera Utara
b.
Jarak Pengamat Lukisan Ukuran Sedang 1 (ukuran 100cm x 100cm)
Gambar 2.15 Jarak Pengamat Ukuran Sedang 1 Sumber : Dimensi Manusia dan Ruang Interior, Julius Panero.
Jarak lukisan dengan pengamat [orang normal] adalah X sin30°/sin60°=(1/2 t.lukisan)/X sin30°/sin60°=50cm/X X=86,6cm 87cm Jarak lukisan dengan pengamat [difabel] adalah X’ sin30°/sin60°=((t.m.normal-t.m.pengguna kursi roda)+1/2 t.lukisan)/X’ sin30°/sin60°=((148-110)+50)/X’ X’=152,42cm 153cm
Universitas Sumatera Utara
c.
Jarak Pengamat Lukisan Ukuran Sedang 2 (ukuran 200cm x 200cm)
Gambar 2.16 Jarak Pengamat Ukuran Sedang 2 Sumber : Dimensi Manusia dan Ruang Interior, Julius Panero
Jarak lukisan dengan pengamat [orang normal] adalah X sin30°/sin60°=(1/2 t.lukisan)/X sin30°/sin60°=100cm/X X=173,20cm 174cm Jarak lukisan dengan pengamat [difabel] adalah X’ sin30°/sin60°=((t.m.normal-t.m.pengguna kursi roda)+1/2 t.lukisan)/X’ sin30°/sin60°=((148-110)+100)/X’ X’=239,02cm 240cm
Universitas Sumatera Utara
d.
Jarak Pengamat Lukisan Ukuran Besar (ukuran 300cm x 300cm)
Gambar 2.17 Jarak Pengamat Ukuran Besar Sumber : Dimensi Manusia dan Ruang Interior, Julius Panero
Jarak lukisan dengan pengamat [orang normal] adalah X sin30°/sin60°=(1/2 t.lukisan)/X sin30°/sin60°=150cm/X X=259.80cm 260cm Jarak lukisan dengan pengamat [di difabel] adalah X’ sin30°/sin60°=((t.m.normal-t.m.pengguna t.m.pengguna kursi roda)+1/2 t.lukisan)/X’ sin30°/sin60°=((148--110)+150)/X’ X’=325,62cm 326cm Jarak antar lukisan a. Jarak Antar Lukisan Ukuran Kecil (ukuran 50cm x 50cm) Jarak antar lukisan = jarak pengamat X tg45° – (1/2 t.lukisan) = 44cm X tg45° - (25cm) = 19cm
Universitas Sumatera Utara
b. Jarak Antar Lukisan Ukuran Sedang 1 (ukuran 100cm x 100cm)
Jarak antar lukisan = jarak pengamat X tg45° – (1/2 t.lukisan) = 87cm X tg45° - (50cm) = 37cm
c. Jarak Antar Lukisan Ukuran Sedang 2 (ukuran 200cm x 200cm) Jarak antar lukisan = jarak pengamat X tg45° – (1/2 t.lukisan) = 174cm X tg45° - (100cm) = 74cm
d. Jarak Antar Lukisan Ukuran Besar (ukuran 300cm x 300cm) Jarak antar lukisan = jarak pengamat X tg45° – (1/2 t.lukisan) = 260cm X tg45° - (150cm) = 110cm
Universitas Sumatera Utara
Besaran Modul Ruang Pameran a. Ruang Pameran Lukisan Ukuran Kecil (ukuran 50cm x 50cm)
Gambar 2.18 Ruang Pameran Lukisan Ukuran Kecil Sumber : Dimensi Manusia dan Ruang Interior, Julius Panero
b.
Ruang Pamer Lukisan Ukuran Sedang 1 (ukuran 100cm x 100cm)
Gambar 2.19 Ruang Pameran Ukuran Sedang 1 Sumber : Dimensi Manusia dan Ruang Interior, Julius Panero
Universitas Sumatera Utara
c.
Ruang Pamer Lukisan Ukuran Sedang 2 (ukuran 200cm x 200cm)
Gambar 2.20 Ruang Pamer Lukisan Ukuran Sedang 2 Sumber : Dimensi Manusia dan Ruang Interior, Julius Panero
d. Ruang Pamer Lukisan Ukuran Besar (ukuran 300cm x 300cm)
Gambar 2.21 Ruang Pamer Lukisan Ukuran Besar Sumber : Dimensi Manusia dan Ruang Interior, Julius Panero
Universitas Sumatera Utara
Besaran Modul Ruang Workshop a. Standart Besaran Ruang Workshop
Gambar 2.22 Besaran Ruang Workshop Sumber : Dimensi Manusia dan Ruang Interior, Julius Panero
Gambar di atas adalah standart mengenai ruang fasilitas untuk melukis. Space untuk 1 orang adalah 275cmX183cm, namun standart yang adalah bukan bagi para difabel. Tabel 2.8 standart mengenai ruang fasilitas untuk melukis
Sumber : Dimensi Manusia dan Ruang Interior, Julius Panero
Universitas Sumatera Utara
b. Analisis Besaran Ruang Workshop Bagi Difabel
Gambar 2.23 Ruang Workshop Bagi disafel Sumber : Dimensi Manusia dan Ruang Interior, Julius Panero
Gambar di atas ini adalah besaran modul ruang workshop bagi pengguna kursi roda, space yang dibutuhkan lebih luas [dibanding standart yang ada], yakni 244cmX336cm.
2.6 Studi Banding Proyek Sejenis
2.6.1 Galeri Seni Payung Teduh
Gambar 2.24 ruang pameran galeri seni paying teduh Medan Sumber : hasil olah data primer
Universitas Sumatera Utara
Galeri ini merupakan galeri yang sering mengadakan pameran seni. Setiap dua kali setahun pameran ini mengadakan pameran. Galeri ini mempunyai banyak karya seni yang dipamerkan setiap hari. Untuk ruangan yang terdapat pada galeri ini masih kurang sesuai untuk sebuah pameran seni lukis.
2.6.2 Galeri Nasional Indonesia
Gambar 2.25 bangunan utama galeri nasional indonesia Sumber : internet
Galeri Nasional Indonesia memiliki 3 (tiga) orientasi program, yaitu; Pelestarian, Pengembangan dan Pemanfaatan Karya Seni Rupa. Implementasi program mengacu pada prinsip-prinsip permuseuman sebagaimana yang dirumuskan oleh The International Council of Museum (ICOM), seperti; Registrasi, Inventarisasi (Data Base), Penyimpanan, Perawatan, Penelitian dan Penyajian koleksi melalui ajang pameran tetap, pameran temporer, pameran keliling dan program bimbingan edukasi untuk kalangan pelajar dan masyarakat luas. Visi dan Misi Galeri Nasional Indonesia ?
Visi
Menjadi pusat kegiatan pelestarian, pengembangan dan penyajian karya seni rupa yang berorientasi kedepan, dinamis, kreatif, inovatif, dan demokratis sebagai wahana mewujudkan masyarakat Indonesia yang berbudaya dan memiliki jati diri ditengah-tengah pergaulan antar bangsa dan tantangan global. ?
Misi
? Menghimpun, melestarikan, dan mengembangkan karya seni rupa dalam lingkup nasional maupun internasional. ? Memberdayakan kreatifitas dan apresiasi seni rupa melalui program pameran, pendidikan, penelitian, penukaran, workshop, kompetisi dan komitmen Universitas Sumatera Utara
? Mengkaji dan menyebarluaskan data dan informasi tentang koleksi Galeri Nasional Indonesia. ? Mengembangkan pemikiran, an, pandangan dan tanggapan terhadap karya seni rupa dalam kerangka peningkatan wawasan dan perluasan komunitas kreator dan apresiator. ? Memberikan bimbingan (guiding) dan pembelajaran seni melalui publik program yang bersifat edukatif-kultural kultural dan rekreatif. rekreati
Fasilitas Galeri Nasional Indonesia
Galeri Nasional Indonesia memiliki fasilitas yang memadai untuk mendukung kegiatan yang berhubungan dengan tugasnya sebagai lembaga yang mengkoleksi karya seni rupa, pameran dan seminar maupun pelatihan seni rupa dalam dalam kapasitasnya sebagai institusi resmi pemerintah Indonesia terhadap pelestarian nilai-nilai nilai nilai budaya, khususnya karya seni rupa. ?
Ruang Pameran
Galeri Nasional Indonesia memiliki empat (4) gedung pameran, yakni: ? Gedung A
Gambar2.26 interior ruang pamer gedung A Sumber : internet
? Gedung B
Gambar2.27 interior ruang pamer gedung B Sumber : internet
Universitas Sumatera Utara
? Gedung C
Gambar 2.28 interior ruang pamer gedung C Sumber : internet
? Gedung D Hingga saat ini luas tanah Galeri Nasional Indonesia adalah 28.620 m. ?
.Ruang Seminar
Gambar 2.29 interior ruang seminar Sumber : internet
Galeri Nasional Indonesia memiliki fasilitas ruang seminar (serba guna) untuk mendukung kegiatan seminar, diskusi pembahasan karya seni rupa. Ruang seminar ini dilengkapi dengan pendingin ruangan (AC), agar suasana seminar atau diskusi terasa nyaman. ?
Ruang Restorasi
Pekerjaan konservasi-restorasi konservasi restorasi dilakukan pada Laboratarium Konservasi dengan fasilitas penerangan lampu polikhromatis dan ultra-violet. ultra violet. Bersikulasi udara, ber ber- AC, dan dialiri air distilasi. Laboratarium ini juga dilengkapi tabung-tabung tabung tabung gelas yang berfung berfungsi sebagai wadah atau alat ukur/ analisa, alat-alat alat alat ukur elektronik dan komputer pendukung untuk analisa dan simulasi pekerjaan teknis mekanis. Alat mikrokopis, alat kontrol klimotologi, ruang fumigasi serta alat pendingin untuk membasmi jamur atau serangg serangga Universitas Sumatera Utara
juga melengkapi laboratorium ini. Para tenaga terlatih kami siap melayani anda secara profesional. ?
Ruang Penyimpanan Karya
Gambar 2.30 interior ruang penyimpanan karya Sumber : internet
Karya-karya karya seni rupa koleksi Galeri Nasional Indonesia sebagian besar di tempatkan di ruang penyimpanan (storage) yang sudah memenuhi persyaratan peyimpanan karya seni rupa karena ruang penyimpanan tersebut sudah dilengkapi dengan fasilitas mesin penyejuk ruangan, alat pengatur suhu udara, lemari kayu, kayu, panel geser, panel kawat dan panel kayu, serta dilengkapi juga dengan alarm system sebagai sarana pengamanannya. ?
Café Galeri Nasional Indonesia
Gambar 2.31 café galeri nasional Indonesia Sumber : internet
2.6.2 Taman Ismail Marzuki (TIM)
Pusat Kesenian Jakarta Taman Ismail Marzuki yang populer disebut Taman Ismail Marzuki (TIM) berlokasi dijalan Cikini Raya 73, Jakarta Pusat, merupakan sebuah pusat kesenian dan kebudayaan.. Taman Ismail Marzuki dibangun dengan tujuan menjadi wadah untuk para seniman-seniman seniman di Jakarta untuk menyalurkan semua karyanya Acara-acara acara seni dan budaya dipertunjukkan secara rutin di pusat kesenian ini, termasuk pementasan drama, tari, wayang, musik, pembacaan puisi, pameran lukisan dan pertunjukan
Universitas Sumatera Utara
film. Berbagai jenis kesenian tradisional dan kontemporer, baik yang merupakan ttradisi asli Indonesia maupun dari luar negeri juga dapat ditemukan di tempat ini. Nama pusat kesenian ini berasal dari nama pencipta lagu terkenal Indonesia, Indonesia Ismail Marzuki Marzuki.
Gambar 2.32 eksterior Taman Ismail Marzuki (TIM) Sumber : internet
Fasilitas Taman Ismail Marzuki (TMI) ?
Graha Bhakti Budaya
Graha Bhakti Budaya (GBB) adalah Gedung Pertunjukan yang besar, mempunyai kapasitas 800 kursi, 600 kursi berada di bawah dan 200 kursi di balkon. Panggung GBB berukuran 15m x 10m x 6m. Gedung ini dapat dipergunakan untuk gedung pertunjukan konser musik, teater baik tradisional maupun modern, tari, film, dan dilengkapi dengan tata cahaya, sound sistem akustik, serta pendingin dingin ruangan. ?
Galeri Cipta II dan Galeri Cipta III
Galeri Cipta II (GC II) adalah ruang pameran yang lebih besar dari Galeri Cipta III (GC III). Kedua ruang tersebut dapat dipergunakan untuk pameran seni lukis, seni patung, diskusi dan seminar, dan pemutaran utaran film pendek. Gedung ini dapat memuat sekitar 80 lukisan dan 20 patung serta dilengkapi dengan pendingin ruangan, tata cahaya khusus, tata suara serta panel yang dapat dipindah-pindahkan.
Universitas Sumatera Utara
Gambar 2.33 interior Galeri Cipta II dan Galeri Cipta III Sumber : internet
?
Teater Kecil/Teater Studio
Merupakan gedung pertunjukan yang dipersiapkan untuk 200 orang. Gedung ini mempunyai banyak fungsi seperti seni pertunjukan teater, musik, pembacaan puisi, seminar,dll. Teater Kecil mempunyai ukuran panggung 10m x 5m x 6m. Gedung ini juga dilengkapi sistem akustik, tata cahaya dan pendingin ruangan. ?
Teater Halaman (Studio Pertunjukan Seni)
Dipersiapkan untuk pertunjukan seni eksperimen bagi seniman muda teater dan puisi, mempunyai kapasitas pasitas penonton yang fleksibel. ?
Plaza dan Halaman
TIM mempunyai areal parkir yang cukup luas yang merupakan lahan serba guna dan dapat dipergunakan untuk berbagai pertunjukkan kesenian open air.
2.6.3 Taman Budaya Sumatera Utara
Gambar 2.34 taman budaya sumatera utara Sumber : internet
Taman Budaya Sumatera Utara berada di Jl. Perintis Kemerdekaan N0.33 medan dengan luas Tapak 8.216 m2. Ditempat ini terdapat beberapa sanggar yang dibina dan diberikan fasilitas latihan dan juga pertunjukan, ukan, sanggar yang dibina tersebut terdiri dari seni tari, seni music dan Universitas Sumatera Utara
seni teater. Taman Budaya Sumatera Utara yang berada di Jl. Perintis Kemerdekaan memiliki 7 bangunan eksisting yaitu: ?
Satu unit gedung utama yang terdiri dari gedung pertunjukan dan tata usaha
Gambar 2.35 gedung utama dan tata usaha Sumber : hasil olah data primer
?
Satu unit gedung sanggar tari
?
Satu unit gedung sanggar teater
?
Satu unit gedung sanggar musik
?
Dua unit gedung pameran
Gambar 2.36 gedung pameran Sumber : hasil olah data primer
?
Satu unit open stage/ teater terbuka
Gambar 2.37 open stage/ teater terbuka Sumber : hasil olah data primer
?
Satu unit perpustakaan
?
Mushollah Universitas Sumatera Utara
Gambar 2.38 mushollah Sumber : hasil olah data primer
2.6.4 Selasar Sunaryo
Gambar 2.39. galeri sunaryo Sumber : internet
Selasar Sunaryo terdiri dari beberapa ruang indoor dan outdoor yang begitu mendukung kenyamanan bagi setiap pengunjung untuk menikmati setiap karya. Udara yang sejuk dan juga arsitektur bangunan yang menarik membuat pengunjung betah dan ingin berlama berlama-lama sambil menikmati panorama pegunungan yang indah disekitarnya.
Selasar Sunaryo terdiri dari beberapa bangunan yaitu: 'Ruang A' (Galeri A)
Gambar : 2.40 ruang A Sumber : internet
Ruang A (sekitar 177 m2), digunakan untuk rumah dan pameran karya Sunaryo yang dipilih oleh Universitas Sumatera Utara
Dewan Kurator berdasarkan timeline dan periode penciptaan. Ruangan ini juga digunakan untuk pameran skala besar mempromosikan seniman Indonesia dan luar negeri.
Stone Garden
Gambar 2.41 stone garden Sumber : internet
Stone Garden (sekitar 190 m2), sebuah ruang yang digunakan untuk memperlihatkan Sunaryo karya seni yang terbuat dari batu. 'Ruang Sayap' (Galeri Wing)
Gambar 2.42 ruang sayap Sumber : intternet
Ruang Sayap (sekitar 48 m2), digunakan untuk menampilkan pameran karya seniman muda dari Indonesia maupun luar negeri. Ruang ini juga digunakan untuk menyajikan koleksi permanen dari Artspace yang mencakup karya-karya karya yang dipilih seniman dari Indonesia dan luar negeri.
Universitas Sumatera Utara
'B Ruang' (Galeri B)
Gambar 2.43 ruang B
Ruang B (sekitar 210 m2), digunakan untuk menyajikan pameran seniman muda dari Indonesia maupun luar negeri. Ruang ini juga digunakan untuk menyajikan koleksi permanen Artspace dan karya-karya karya seniman dari Indonesia dan luar negeri.
'Kopi Selasar' (Cafe Selasar)
Gambar 2.44 kopi selasar Sumber : internet
Kopi Selasar (sekitar 157 m2), sebuah kafe outdoor yang besar adalah temp tempat yang tepat untuk bersantai dan menikmati kopi yang sangat baik, makanan ringan dan makan siang,
'Cinderamata Selasar' (Shop Selasar)
Gambar 2.45 shop selasar Sumber : internet
Selasar cinderamata, toko di mana orang dapat membeli dan array seni seni dan budaya buku dan jurnal serta hadiah dan souvenir. Untuk mengenang kedatangan di Selasar Sunaryo, Amphitheate
Universitas Sumatera Utara
Gambar 2.46 ampiteater Sumber : internet
Amphitheatre (sekitar 198 m2), ruang melingkar terbuka dengan layar lebar, memiliki kapasitas maksimal 300 orang dan khusus dibangun dan terstruktur untuk pementasan acara performingarts, pembacaan puisi, pemutaran dan acara budaya lainnya. Rumah Bambu
Gambar 2.47 rumah bambu Sumber : internet
Rumah Bambu (sekitar 76 m2), yang sederhana rumah yang terbuat dari bambu. Mengunjungi seniman sering menghabiskan malam sementara yang terlibat dalam sebuah program dan juga digunakan oleh seniman di rumah, dan tamu istimewa.
Bale Handap
Gambar 2.48 bale handap Sumber : interenet
Bale handap adalah ruang serba guna yang digunakan untuk diskusi, pertunjukan, acara dan lokakarya. Bangunan ini terinspirasi oleh Javenese tradisional arsitektur dengan teras terbuka.
Universitas Sumatera Utara
Bale Handap terpisah dari bangunan utama, terletak antara Bamboo Bamboo House pada tingkat terendah Selasar. Bale Tonggoh (Hall Upper)
Gambar 2.49 bale tonggoh Sumber : internet
Bale Tonggoh (sekitar 190 m2), merupakan sebuah bangunan semi-permanen semi permanen berfungsi sebagai ruang proyek dan ruang pameran sementara.
Universitas Sumatera Utara