INDUKSI OVULASI DAN DERAJAT PENETASAN TELUR IKAN HIKE (Labeobarbus longipinnis) DALAM PENANGKARAN MENGGUNAKAN GnRH ANALOG
ERMA NAJMIYATI
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis “Induksi Ovulasi dan Derajat Penetasan Telur Ikan Hike (Labeobarbus longipinnis) Dalam Penangkaran Menggunakan GnRH Analog” adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Bogor, Februari 2009
Erma Najmiyati NIM. B051050041
ABSTRACT ERMA NAJMIYATI. Ovulation induction and egg hachtability of hike fish (Labeobarbus longipinnis) with gonadothropin releasing hormone analogue (GnRHa) in ex situ cnservation pond. Conducted by TUTY L. YUSUF and ETTY RIANI. Hike fish is an indigenous fish to Majalengka Regency, West Java, and their natural habitat is water territory of Prabu Siliwangi, Pajajar Village, Rajagaluh Subdistrict. The population of hike fishes has decreased due to the decreasing water debit in their natural habitat. In the prelimanary study conducted by the author, Hike fish was classified as Labeobarbus longipinnis, that has a flat and elongated body shape with pattern of blackish color scales in mediolateral body. Male has a more streamline body shape compared to female. It is observed that hike fishes live in water territory in the forest area with clear, low temperature and high dissolved oxygen water and they live in the bottom of stoney water. Regarding the ex situ conservation by breeding was conducted by ovulation induction with gonadothropin releasing hormone analogue (GnRHa) to produce the best ovulation and best egg quality to obtain optimum egg hatchability. The research was conducted in breeding pond in Kumbung Village, Rajagaluh Subdistrict, Majalengka Regency in April August 2007 and February to June 2008. Females reaching post vitellogenic phase in gonad development, were injected intramuscularly with GnRHa at the doses of 8, 10 or 12µg/kgBW. The research using Completely Randomized Design and the obtained data were stastitically analyzed to find the effect of treatments and followed by Tukey’s test if significant different between treatments were found. The results indicated that the induction with GnRHa 8-12µg/kgBW resulted in the ovulation of hike fish and the hatching of eggs to larvas, latent period of 18.75 - 33.5hours, somatic gonad index of 10.34 – 12.14%, fecundity of 604 – 806eggs, egg diameter of 1.78 – 1.91mm, egg fertility of 44.0 – 83.0% and hatchability of 9.0 – 21.5%. Treatment with GnRHa at 12µg/kgBW resulted in the best results, especially to latent period and hatchabilty. Unsuccesful ovulation in females given with 8 or 10µg/kgBW GnRHa were caused by follicle atresia due to too small doses of hormone and due to the difference between water quality in the breeding habitat and in natural habitat, especially in hardness and water turbidity. The low hatchability are correlated with the COD increase during hatchability preparation in aquaria. It is suggested to conduct research on induction ovulation using a higher doses of GnRHa to obtain its optimum dose. Keywords : conservation, hike fish (Labeobarbus longipinnis), ovulation induction, egg hatchability, GnRHa.
RINGKASAN ERMA NAJMIYATI. Induksi Ovulasi dan Derajat Penetasan Telur Ikan Hike (Labeobarbus longipinnis) Dalam Penangkaran Menggunakan GnRH Analog. Dibimbing oleh TUTY L. YUSUF dan ETTY RIANI. Ikan hike merupakan ikan indigenous dari Kabupaten Majalengka, Jawa Barat, tepatnya hidup di kawasan perairan Prabu Siliwangi, Desa Pajajar, Kecamatan Rajagaluh. Populasi ikan hike telah mengalami penurunan yang diakibatkan oleh perubahan habitat yaitu menurunnya debit air sehingga menyebabkan turunnya ketinggian genangan air pada habitat alami tersebut. Penelitian pendahuluan yang dilakukan oleh penulis mengungkapkan bahwa secara taksonomi ikan hike teridentifikasi sebagai Labeobarbus longipinnis. Ikan hike memiliki bentuk tubuh panjang dengan adanya pola sisik berwarna hitam pada bagian medio-lateral tubuh. Karakterisasi habitat alami ikan hike adalah perairan dalam kawasan hutan, airnya jernih berarus, bersuhu rendah, mengandung oksigen terlarut yang tinggi dan dasar perairan berbatu. Dalam rangka konservasi ikan hike secara eks situ melalui penangkaran, telah dilakukan induksi ovulasi menggunakan gonadothropin releasing hormone analogue (GnRHa). Penggunaan GnRHa bertujuan menghasilkan ovulasi serta kualitas telur terbaik sehingga memberikan derajat penetasan telur yang optimum. Penelitian dilakukan pada kolam penangkaran di Desa Kumbung, Kecamatan Rajagaluh, Kabupaten Majalengka dari April-Agustus 2007 dan Pebruari-Juni 2008. Perlakuan diberikan terhadap ikan hike betina yang telah memasuki fase perkembangan gonad postvitelogenesis dengan injeksi GnRHa pada dosis 8, 10 atau 12 µg/kg berat badan secara intra muscular. Penelitian didesain dengan Rancangan Acak Lengkap dan data yang diperoleh dianalisis dengan sidik ragam untuk mengetahui pengaruh perlakuan. Selanjutnya jika terdapat perbedaan yang nyata antar perlakuan (P<0,05) dilanjutkan dengan uji lanjut Tukey’s Hasil menunjukkan bahwa induksi GnRHa dengan dosis 8-12 µg/kg berat badan menghasilkan ovulasi pada ikan hike diikuti dengan keberhasilan telurnya menetas menghasilkan larva. Sedangkan terhadap parameter lain diperoleh hasil yaitu masa laten 18.75-33.5 jam, indek gonad somatik 10.34-12.14%, fekunditas 604-806 butir telur, diameter telur 1.78-1.91 mm, derajat terbuahi telur 44.0-83.0% dan derajat tetas telur 9.0-21.5%. Pada kisaran hasil tersebut, perlakuan induksi GnRHa pada dosis 12µg/kg berat badan memberikan hasil yang nyata lebih baik dibandingkan dengan perlakuan dosis 8 atau 10 µg/kg berat badan, khususnya pada parameter pangamatan masa laten dan derajat telur terbuahi. Kegagalan ovulasi terjadi pada sebagian induk ikan hike yang diberi perlakukan induksi GnRHa pada dosis 8 atau 10 µg/kg berat badan. Diduga kegagalan ovulasi terjadi karena atresia folikel yang disebabkan oleh kurangnya dosis hormon yang diinduksikan dan adanya perbedaan keadaan air pada habitat penangkaran terhadap habitat alami ikan hike, terutama kesadahan dan kekeruhan air. Sedangkan rendahnya derajat penetasan embrio diduga karena terjadinya peningkatan COD. Selanjutnya perlu dilakukan penelitian induksi ovulasi dengan dosis GnRHa yang lebih tinggi agar dapat diketahui dosis yang optimum.
© Hak cipta dilindungi Institut Pertanian Bogor, tahun 2009 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber. a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah. b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar terhadap IPB. 2.
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya ilmiah dalam bentuk apapun tanpa izin IPB
INDUKSI OVULASI DAN DERAJAT PENETASAN TELUR IKAN HIKE (Labeobarbus longipinnis) DALAM PENANGKARAN MENGGUNAKAN GnRH ANALOG
ERMA NAJMIYATI
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Biologi Reproduksi
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009
Judul Tesis
:Induksi Ovulasi dan Derajat Penetasan Telur Ikan Hike (Labeobarbus longipinnis) Dalam Penangkaran Menggunakan GnRH Analog
Nama
: Erma Najmiyati
Nomor Pokok : B051050041
Disetujui Komisi Pembimbing
Prof.Dr.drh. Tuty L. Yusuf, MS. Ketua
Dr.Ir. Etty Riani, MS. Anggota Diketahui Ketua Program Studi
Dekan Sekolah Pascasarjana IPB
Dr.drh. Iman Supriatna
Prof.Dr.Ir. Khairil Anwar Notodipuro, MS
Tanggal Ujian :
Tanggal Lulus :
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr.drh. Amrozi
KATA PENGANTAR Puji dan syukur hanyalah milik Allah semata. Alhamdulillah Arrahman Arrahim, segala puji bagi Allah Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Hanya berkat ridlo-Nya, tesis dengan judul “Induksi Ovulasi dan Derajat Tetas Telur Ikan Hike (Labeobarbus longipinnis) dalam Penangkaran Menggunakan GnRH Analog” ini selesai disusun. Tesis ini merupakan salah satu syarat menyelesaikan pendidikan Program Magister Sains pada Program Studi Biologi Reproduksi, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Hingga selesainya penyusunan tesis ini, penulis telah mendapat bantuan dari berbagai pihak.
Pada kesempatan ini penulis menghaturkan terimakasih dengan
segenap hormat kepada Komisi Pembimbing, Prof. Dr. drh. Tuty L.Yusuf, MS sebagai Pembimbing Ketua dan Dr. Ir. Etty Riani, MS sebagai Pembimbing Anggota, atas kemurahan waktu, kesempatan, perhatian dan bimbingannya.
Terimakasih juga
kepada Dr. drh. Amrozi, sebagai penguji luar komisi atas masukannya untuk perbaikan tesis ini. Terimakasih dan penghargaan juga penulis sampaikan kepada Dra. Titiresmi, MS, Kepala Balai Teknologi Lingkungan, BPPT yang telah memberi ijin sekolah bagi penulis. Kiranya kebaikan senantiasa menyertai Dr.drh.Yanuarso Eddy Hedianto, MAgr dan Dr.drh.Umi Cahyaningsih, MS serta Esi Lisyastuti, SPt. sebagai balasan Allah atas doa, dukungan dan bantuannya kepada penulis dengan tanpa henti. Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada rekan-rekan seangkatan di BRP: Luh De, Roza, Pak Yan, Pak Madi dan terutama Pak Hurip yang sungguh telah banyak memberikan kesiapan untuk direpoti. Secara khusus penulis menyampaikan terimakasih untuk suami, ibu dan anak-anak qurratu ayyuni Nabiel dan Najmu atas doa dan limpahan cintanya Penulis menyadari bahwa tesis ini masih jauh dari sempurna, namun penulis berharap tesis ini dapat memberi manfaat bagi para pembaca dan pecinta ilmu. Sekiranya ada masukan yang konstruktif, penulis berterimaksih untuk menerimanya. Bogor, Februari 2009 Penulis
RIWAYAT HIDUP Penulis lahir di Welahan, Kabupaten Jepara, Jawa Tengah pada tanggal 28 Agustus 1969. Penulis merupakan anak keempat dari lima bersaudara dari pasangan Bapak Imron Syakur (alm) dan Ibu Zainab Achmad. Pendidikan SD dan SMP diselasaikan di Jepara, masing-masing pada SDN 1 Welahan (1981) dan SMPN 1 Pecangaan (1984). Kemudian penulis meneruskan pendidikan lanjut di SMAN 1 Kudus (1987).
Tahun 1988 penulis menempuh
pendidikan tinggi di Fakultas Kedokteran Hewan IPB untuk mendapatkan gelar sarjana (1992) dan pendidikan profesi dokter hewan diselesaikan dari perguruan tinggi yang sama pada tahun 1994. Sejak tahun 1994 penulis bekerja sebagai asisten peneliti pada Direktorat Teknologi Pemukiman dan Lingkungan Hidup, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (Dit. TPLH-BPPT). Berikutnya pada tahun 2001 penulis menjadi staf peneliti di Laboratorium Teknologi Lingkungan yang kemudian berubah menjadi Balai Teknologi Lingkungan (BTL) BPPT hingga sekarang.
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL ................................................................................................. x DAFTAR GAMBAR ............................................................................................ xi DAFTAR LAMPIRAN ........................................................................................ xii PENDAHULUAN .................................................................................................. 1 Latar Belakang .............................................................................................. 1 Kerangka Pemikiran ..................................................................................... 4 Tujuan Penelitian .......................................................................................... 5 Manfaat Penelitian ......................................................................................... 5 Hipotesis ....................................................................................................... 6 TINJAUAN PUSTAKA ......................................................................................... 6 Ikan Genus Labeobarbus ............................................................................ 6 Pertumbuhan dan Perkembangan Gonad Ikan Betina ................................. 8 Mekanisme Reproduksi Hormonal pada Ikan Betina .................................. 14 Induksi Ovulasi Menggunakan GnRHa ...................................................... 16 Kualitas Telur ............................................................................................ 18 Pembuahan dan Penetasan Telur ................................................................ 22 MATERI DAN METODE ................................................................................... 26 Waktu dan Lokasi Penelitian ................................................................... 26 Materi Penelitian ........................................................................................ 26 Metode Penelitian ....................................................................................... 27 Parameter yang Diamati ............................................................................. 30 Rancangan Penelitian dan Analisis Data .................................................... 32 HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................................................. 33 Ikan Hike ..................................................................................................... 33 Kualitas Air ................................................................................................. 35 Keberhasilan Ovulasi ................................................................................. 37 Masa Laten ................................................................................................. 39 Indeks Gonad Somatik dan Fekunditas ...................................................... 42 Diameter Telur ........................................................................................... 46 Derajat Telur Terfertilisasi dan Derajat Tetas Telur .................................. 48 SIMPULAN DAN SARAN .................................................................................. 63 Simpulan .................................................................................................... 63 Saran .......................................................................................................... 64 DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 65 LAMPIRAN .......................................................................................................... 71
DAFTAR TABEL Halaman 1. Jumlah ikan percobaan dan perlakuan ................................................................. 28 2. Persentase keberhasilan ovulasi dengan induksi GnRHa .......................................... 37 3. Nilai rataan lama masa laten, indeks gonad somatik, fekunditas, diameter telur, derajat telur terbuahi dan derajat tetas telur ikan hike setelah diinduksi GnRHa .............................................................................................. 38 4. Kualitas air pada habitat asal dan habitat penangkaran ikan hike ..................... 55 5. Hasil analisa plankton pada habitat asal dan penangkaran ikan hike ................. 59
DAFTAR GAMBAR Halaman 1. Induk Tor tambroides dengan bobot mencapai 20 kg pada kolam pemeliharaan di Sarawak, Malaysia .................................................................... 8 2. Skematik terjadinya ovulasi telur oleh interaksi berbagai faktor ....................... 12 3. Skema garis besar mekanisme reproduksi hormonal ikan ................................. 14 4. Skematik penghambatan kerja dopamin ............................................................ 17 5. Bagan alir tahapan kegiatan dalam penelitian .................................................... 29 6. Ikan hike (Labeobarbus longipinnis), fauna indigenous Majalengka ............... 33 7. Ikan hike muda, warna sisik tubuh kuning keperakan ...................................... 34 8. Bentuk tubuh pada ikan dewasa, jantan (bawah) lebih langsing daripada betina (atas) ....................................................................................................... 34 9. Habitat asal ikan hike, perairan dengan beberapa sumber mata air dikelilingi hutan .................................................................................................................. 36 10. Makroskopik telur ikan hike yang berhasil ovulasi .......................................... 38 11. Makroskopik ovarium ikan hike yang tidak berhasil ovulasi .............................. 38 12. Histogram nilai rataan masa laten ikan hike setelah pemberian GnRHa ........... 40 13. Skematik pematangan oosit ikan hingga terjadi ovulasi ................................... 41 14. Histogram nilai rataan IGS ikan hike setelah pemberian GnRHa ..................... 43 15. Histogram nilai rataan fekunditas ikan hike setelah pemberian GnRHa .......... 43 16. Gambaran histologi ovarium ikan ike dengan 3 tingkat ukuran oosit .............. 45 17. Histogram nilai rataan diameter telur ikan hike setelah pemberian GnRHa .... 46 18. Histogram derajat terbuahi telur ikan hike setelah induksi GnRHa ................. 49 19. Gambaran mikroskopik telur ikan hike fertil, posisi inti sel di tepi dan warna lebih terang ........................................................................................................ 49 20.Gambaran mikroskopik telur ikan hike setelah terfertilisasi .............................. 50 21. Histogram derajat tetas telur ikan hike setelah induksi GnRHa ........................ 51 22. Gambaran histologi ovarium ikan hike yang tidak berhasil mengovulasikan telur ........................................................................................ 52 23. Perubahan hormon selama pematangan oosit dan kejadian atresia .................. 54
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1. Rataan hasil pengamatan dari masing-masing parameter ................................. 72 2. Hasil analisis sidik ragam hasil pengamatan ..................................................... 73
PENDAHULUAN Latar Belakang Ikan hike adalah nama lokal untuk spesies ikan liar endemik yang hidup pada perairan kawasan Pesanggrahan Prabu Siliwangi, Desa Pajajar, Kecamatan Rajagaluh, Kabupaten Majalengka yang berlokasi di kaki Gunung Ciremai. Berdasarkan penelitian pendahuluan oleh penulis, teridentifikasi bahwa secara taksonomis ikan hike memiliki nama Labeobarbus longipinnis. Ikan hike memiliki ciri spesifik yaitu tubuh pipih memanjang, sisik berwarna kuning dengan pola garis berwarna kehitaman pada sisik bagian medio-lateral tubuh. Ikan marga Labeobarbus atau Tor tersebar di Asia Tenggara dan terdapat beberapa jenis yang ditemukan di perairan Indonesia yakni Labeobarbus tambroides, L. soro (ikan soro/batak), L. douronensis (ikan semah) dan L. tambra (ikan tambra) dan L. longipinnis.
Kottelat et al. (1993) menegaskan bahwa ikan marga
Labeoeobarbus pada umumnya merupakan jenis yang terancam punah, karena kerusakan hutan atau penangkapan yang berlebihan. Beberapa jenis ikan batak bahkan saat ini telah digolongkan sebagai ikan langka dan dimasukkan dalam jenis ikan terancam punah yang diterbitkan oleh IUCN tahun 1990.
Penebangan hutan
membawa akibat terhadap habitat ikan sebagaimana dilaporkan bahwa ikan marga Labeobarbus memiliki habitat spesifik pada perairan bagian hulu sungai di daerah perbukitan, terdapat arus air yang cukup kuat, warna air jernih, kandungan oksigen cukup tinggi, suhu air sejuk dan dasar perairan berbatu (Kiat 2004, Nontji 1992). Ikan marga Labeobarbus dikenal sebagai ikan air tawar yang lezat bahkan kelezatannnya disetarakan seperti ikan salmon sehingga marga Labeobarbus seringkali disebut sebagai ikan salmon air tawar. Ikan hike juga dikenal sangat lezat citarasanya, namun adanya kearifan lokal yang menganggapnya sebagai ikan keramat, menghindarkan ikan ini dari penangkapan oleh masyarakat. Hanya saja penebangan liar yang terjadi di bagian atas kawasan Gunung Ciremai telah mengakibatkan penurunan debit air dari mata air di Pesanggrahan Prabu Siliwangi yang menyebabkan turunnya ketinggian genangan air pada kawasan perairan tersebut. Adanya
permasalahan di atas, telah menyebabkan populasi spesies ini pada habitat aslinya terus menurun. Menurut Kottelat et al. (1993), genus Tor termasuk jenis ikan terancam punah yang disebabkan oleh kerusakan hutan dan penangkapan berlebih. Misalnya Tor putitora, ikan tersebut merupakan spesies mayor dalam perikanan komersial di India pada tahun 1960-an awal tetapi sekarang tergolong spesies yang terancam karena dampak degradasi lingkungan dan penangkapan berlebihan (Shrestha 2005). Hal yang serupa terjadi dengan genus Tor di Indonesia seperti yang dikemukakan oleh Gaffar et al. (1991) bahwa keberadaan spesies Tor di Jawa dan Sumatra sudah sangat kritis. Handoko dan Sihotang dalam Primack et al. (1998) menyebut bahwa secara umum ancaman yang sangat serius terhadap keberadaan ikan tambra adalah karena penurunan kualitas habitatnya. Penangkapan berlebihan terhadap spesies Tor umumnya berlatar belakang alasan ekonomi karena harga ikan tersebut sangat tinggi yang diakibatkan oleh tingginya permintaan masyarakat karena daging ikannya terkenal lezat.
Haryono
(2006) menyatakan bahwa ikan semah memiliki nilai ekonomi tinggi seperti yang terjadi pada masyarakat Sumatra Selatan bahwa ikan semah yang mencapai ukuran satu kg biasanya dihidangkan pada acara tertentu yang prestisius, atau yang terjadi pada sebagian Masyarakat Batak bahwa ikan soro menjadi bagian penting pada upacara-upacara adat. Kondisi terancam punah pada ikan telah mendorong dilakukannya domestikasi sebagai salah satu upaya penyelamatan sumber plasma nutfah ikan tambra (Lukman et al. 2002). Lebih mendasar lagi karena konservasi spesies liar di Indonesia dapat dilakukan dengan pelestarian dan program penangkaran (Primack et al. 1998). Pelestarian yang dimaksudkan adalah senantiasa memelihara populasi spesies tersebut pada habitat in situ, sementara penangkaran adalah pemeliharaan pada habitat eks situ. Primack et al. (1998) juga mengemukakan bahwa untuk konservasi spesies ikan, terdapat potensi yang sangat besar untuk dibudidayakan.
Kelestarian suatu spesies, terutama spesies liar yang telah mengalami penurunan populasi seperti halnya ikan hike sangat ditentukan oleh keadaan reproduksinya. Konservasi spesies di Indonesia dilakukan melalui pelestarian pada habitat aslinya dan program penangkaran. Penangkaran sebagai bagian upaya konservasi, dilakukan melalui pemeliharaan spesies secara eks situ dengan memperhatikan karakteristik habitat asal. Khususnya untuk konservasi spesies ikan, terdapat potensi yang sangat besar untuk dibudidayakan. Ikan mengalami proses pematangan gonad, ovulasi dan pemijahan karena faktor lingkungan dan hormonal. Keadaan lingkungan seperti suhu, pH dan kualitas air maupun ketersediaan pakan secara alami berperan besar dalam memberikan stimulasi terhadap susunan syaraf pusat agar terjadi proses pematangan gonad. Ikan pada habitat alami akan
mengalami proses perkembangan dan pematangan telur
secara siklik setelah umur ikan mencapai dewasa dan berlangsung secara periodik karena pengaturan hormon-hormon reproduksi. Hal demikian tidak terjadi pada ikanikan liar yang dipelihara dalam habitat buatan (kolam penangkaran), karena kurangnya sekresi LH dari kelenjar hipofisisnya. Keadaan ini berakibat pada terganggunya proses pematangan akhir oosit (FOM/final oocyte maturation), ovulasi, spermiasi dan pemijahan. Oleh karena itu diperlukan intervensi hormon eksogen untuk menambah kecukupan LH akibat defisiensi peran lingkungan pada ikan hike yang dipelihara dalam kolam penangkaran. Diantara preparat hormon eksogen, analog gonadotropin releasing hormone (GnRHa) dapat digunakan untuk menginduksi ovulasi. Mekanisme kerjanya adalah merangsang sekresi gonadotropin oleh kelenjar hipofisis. Selanjutnya hormon gonadotropin yakni GTH II atau luteinizing hormone (LH) akan menstimulasi gonad dengan pengaturan hormon steroid untuk terjadinya ovulasi. Kecukupan hormon dalam bentuk dosis hormon yang diinduksikan penting untuk menghasilkan ovulasi sekaligus dengan jumlah kualitas telur yang baik agar dapat meningkatkan perolehan larva yang berkualitas. Bertolak dari hal-hal di atas, maka dalam rangka penangkaran ikan hike di habitat buatan, akan dilakukan induksi preparat analog GnRH pada induk betina ikan
hike yang dilanjutkan dengan percobaan penetasan larvanya. Sejalan dengan itu juga akan diamati masa laten yang dibutuhkan untuk terjadinya ovulasi, indeks gonad somatik, angka fekunditas dan derajat terbuahi telur ikan hike. Lebih lanjut hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi upaya pembangunan suatu sistem pelestarian, penangkaran atau domestikasi yang tepat untuk ikan hike. Kerangka Pemikiran Penangkaran dapat dilakukan pada semua umur ikan. Namun penangkaran ikan pada usia dewasa (induk) akan memberikan lebih banyak hasil jika dilanjutkan hingga pemijahan dan penetasan larva. Untuk keperluan tersebut maka induk yang layak dipijahkan adalah induk yang telah melewati fase pembentukan kuning telur (fase vitelogenesis) atau memasuki fase dorman.
Apabila rangsangan diberikan
setelah saat fase vitelogenesis atau dorman, akan menyebabkan pematangan oosit, ovulasi (pecahnya folikel) dan oviposisi. Tetapi kondisi lingkungan pada habitat penangkaran seringkali kurang sesuai seperti habitat asli sehingga kurang memenuhi faktor stimulasi lingkungan terhadap otak sebagai pemicu awal berjalannya proses pematangan telur dalam sistem reproduksi ikan. . Manipulasi hormon yang diaplikasikan untuk menambah kecukupan LH akibat defisiensi peran lingkungan pada ikan hike yang dipelihara dalam kolam penangkaran pada penelitian ini adalah dengan induksi analog GnRH (GnRHa). Pemberian GnRHa dilakukan melalui injeksi intra muskular dalam 2 tahap dengan jarak waktu injeksi 12 jam mengingat kerja hormon membutuhkan waktu paruh sekitar 5 jam. Injeksi GnRHa setengah dosis yang pertama dimaksudkan untuk menyerentakkan kematangan sel telur secara sempurna.
Berikutnya injeksi GnRHa setengah dosis yang kedua
dimaksudkan untuk pelepasan sel telur dari ovarium. GnRHa bekerja seperti LHRH untuk menginduksi pelepasan gonadotropin oleh kelenjar hipofisis pada ovulasi ikan yaitu merangsang pelepasan gonadotropin yang akan bekerja menginduksi ovulasi pada oosit yang telah mengalami kematangan tahap akhir. Apabila GnRHa diberikan dalam dosis cukup pada induk ikan yang telah mencapai fase telur postvitellogenic maka akan menstimulasi sekresi LH/GTH II yang
merupakan hormon penginduksi pematangan oosit tahap akhir serta ovulasi disertai peningkatan jumlah telur yang terovulasi dan kualitas telur yang baik. Selanjutnya kualitas telur yang baik akan meningkatkan jumlah perolehan larva berkualitas baik yang akan berguna untuk penangkaran lebih lanjut. Tujuan Penelitian Secara umum penelitian ini mempelajari karakter reproduksi ikan hike (Labeobarbus longipinnis) betina yang dipelihara dalam kolam penangkaran dengan melakukan injeksi preparat analog gonadotropin releasing hormone maka secara rinci, tujuan penelitian ini adalah : 1. Mengetahui karakter habitat asal ikan sebagai dasar referensi pemeliharaan ikan hike pada kolam penangkaran. 2. Menentukan dosis GnRHa yang mampu menghasilkan ovulasi dan kualitas telur terbaik pada induk ikan hike postvitellogenic. 3. Mengetahui beberapa karakter reproduksi ikan hike betina setelah induksi GnRHa, berkaitan dengan masa laten, indeks gonad somatik dan angka fekunditas serta melihat keberhasilan pembuahan dan penetasan telur ikan. Manfaat Penelitian Penelitian ini merupakan aplikasi teknologi reproduksi yang berkaitan dengan intervensi hormon reproduksi eksogen untuk menghasilkan ovulasi pada ikan yang dipelihara dalam kolam penangkaran. Aplikasi teknologi ini diharapkan dapat menghasilkan telur dan larva ikan yang kualitasnya baik dari kegiatan pemijahan secara mbuatan. Selanjutnya, keberhasilan dalam pemijahan dan penangkaran ini akan berguna untuk memperbanyak bibit yang dapat dimanfaatkan untuk restocking ikan ke habitat asalnya di kawasan Pesanggrahan Prabu Siliwangi atau untuk inisiasi ke arah budidaya.
Hipotesis Hipotesis yang dikemukakan dalam penelitian ini adalah bahwa dengan injeksi analog gonadotropin releasing hormone (GnRHa) : 1. Maka akan terjadi ovulasi pada ikan hike betina yang telah memasuki fase telur postvitellogenic. 2. Dalam dosis yang tepat akan meningkatkan kualitas telur ikan hike. 3. Selanjutnya kualitas telur yang baik akan meningkatkan daya tetas telur ikan hike.
TINJAUAN PUSTAKA Ikan Genus Labeobarbus Haryono (2006) mengemukakan bahwa di seluruh dunia terdapat 20 jenis kerabat ikan tambra (genus Labeobarbus atau Tor) yang empat jenis diantaranya telah ditemukan di perairan Indonesia yakni Tor tambroides, Tor soro (ikan batak), Tor douronensis (ikan semah) dan Tor tambra (ikan tambra). Sementara Saanin (1984) menyebutkan bahwa selain keempat spesies tersebut, ditemukan pula Labeobarbus longipinnis yang memiliki nama lokal ikan pidjen. Kottelat et al. (1993) telah merevisi nama genus Labeobarbus menjadi Tor tetapi tidak terdapat pentelaan terhadap L. longipinnis. Secara morfologis Saanin (1984) menyebutkan bahwa genus Labeobarbus memiliki ciri jari-jari sirip punggung yang licin, kepala tidak berkerucut, antara garis rusuk dan sirip punggung terdapat tiga setengah baris sisik. Menurut Shrestha (2005), genus Tor atau Labeobarbus memiliki wilayah penyebaran di kawasan Trans Himalaya (Pakistan, Nepal, India dan Myanmar) dan di kawasan Asia Tenggara seperti Thailand, Laos, Kamboja, Vietnam, Malaysia, Kalimantan, Sumatra dan Jawa. Haryono (2006) mengemukakan bahwa di Indonesia, spesies Tor diantaranya ditemukan di perairan hulu Kalimantan Tengah yakni T. tambroides sedang T. soro dan T. douronensis ditemukan di Sumatra dan Jawa. Di Kabupaten Kuningan, ditemukan spesies Tor dengan nama lokal ikan dewa. Labeobarbus spesies memiliki habitat spesifik, mulai dari sungai-sungai di pegunungan hingga sungai-sungai pada dataran tinggi dengan dasar berbatu (Shrestha 2005). Sependapat dengan hal tersebut, Kiat (2004) menyebut lebih rinci bahwa ikan Tor hidup pada perairan bagian hulu sungai di daerah perbukitan, terdapat arus air yang cukup kuat, warna air jernih, kandungan oksigen cukup tinggi, suhu air sejuk dan dasar perairan berbatu. Haryono (2006) mengemukakan beberapa aspek biologik mengenai ikan tambra yaitu perbedaan jenis kelamin yang dapat diidentifikasi berdasarkan bentuk dan warna tubuh, memiliki kebiasaan makan sebagai omnivora dan kisaran fekunditas 3.125-8.201 butir telur.
Di Malaysia, telah dilaporkan keberhasilan pembiakan beberapa spesies ikan liar asal sungai yang telah menurun populasinya dan memiliki harga mahal termasuk genus Tor, yaitu ikan semah dan emparau (De Silva et al. 2004). Sedangkan di India, Pandey et al. (1998) telah berhasil melakukan pemijahan secara buatan untuk Tor putitora. Lalu Shrestha (2002) menyebutkan bahwa telah diuji pemeliharaan spesies Tor putitora dan Tor tor pada kolam-kolam penangkaran yang memiliki air bersirkulasi terbuka di Wilayah Nepal (India). De Silva et al. (2004) juga melaporkan bahwa di Serawak, Malaysia, telah berhasil ditangkarkan beberapa spesies ikan sungai yang telah menurun populasinya di alam dan memiliki harga mahal termasuk ikan mahseer dari spesies T. tambroides dan T. duoronensis.
Kedua
spesies Tor tersebut ditangkarkan selain karena alasan
konservasi juga karena dianggap bernilai ekonomi tinggi serta memiliki ukuran tubuh besar (Gambar 1).
Gambar 1
Induk Tor tambroides dengan bobot mencapai 20 kg pada kolam pemeliharaan di Sarawak, Malaysia (De Silva et al. 2004) Pertumbuhan dan Perkembangan Gonad Ikan Betina
Pertumbuhan dan perkembangan gonad ikan betina terdiri atas beberapa tingkat yang dapat didasarkan atas pengamatan secara mikroskopis dan makroskopis. Secara makroskopis perkembangan ovarium ditentukan dengan mengamati warna indung telur, ukuran butiran telur dan volume rongga perut ikan. Secara mikroskopis perkembangan telur diamati untuk menilai perkembangan ovarium, antara lain tebal dinding indung telur, keadaan pembuluh darah, inti butiran minyak dan kuning telur.
Pada ovarium ikan, terdapat bakal sel telur yang dilindungi suatu jaringan pengikat yang bagian luarnya dilapisi peritoneum dan bagian dalamnya dilapisi epitelium. Sebagian dari sel-sel epitelium akan membesar, berisi nukleus dan kemudian butiran ini kelak akan menjadi telur. Selama perkembangannya, ukuran oosit akan bervariasi. Pada tahap perkembangan awal, oogonia terlihat masih sangat kecil, berbentuk bulat dengan inti sel yang sangat besar dibandingkan dengan sitoplasmanya. Oogonia terlihat berkelompok tapi kadang-kadang ada juga yang berbentuk tunggal. Pada kebanyakan spesies non mamalia, oosit mencapai ukuran akhir selama vitelogenesis dan memulai tahap pematangan serta ovulasi bila ada stimulasi hormonal yang cukup.
Nagahama (1987a) memaparkan bahwa perubahan pada oosit
dikendalikan oleh sistem syaraf pusat sebagai respon terhadap perubahan lingkungan dengan peran tiga mediator utama yaitu gonadotropin (GTH), MIH (maturation inducing hormone) dan MPF (maturation promoting factor). Sinyal lingkungan yang ditangkap oleh sistem syaraf kemudian direspon oleh hipotalamus dengan mensekresikan gonadotropin releasing hormone (GnRH) yang menstimulasi pelepasan gonadotropin pituitari baik GTH I atau FSH maupun GTH II (LH). Menurut Yaron (1995), kedua substansi gonadotropin bekerja menstimulasi sekresi estradiol dari folikel, akan tetapi GTH II lebih poten menstimulasi sekresi 17,20-P dari folikel postvitelogenik.
Pengaruh umpan balik seks steroid juga digunakan pada
tingkat hipofisis dan otak untuk memungkinkan terjadinya integrasi dengan isyarat lingkungan untuk merangsang terjadinya peningkatan GTH II preovulasi.
Peran
utama yang mengatur sekresi GTH II dari hipofisis pada ikan adalah GnRH dalam bentuk [Trp7, Leu8]-GnRH. Menurut Wallace dan Selman dalam Takashima (1995), pertumbuhan ovarium ikan secara umum dikelompokkan dalam enam fase perkembangan, yakni (1) fase kromatin nukleolus, (2) perinuklear, (3) kortikal-olveoli, (4) vitelogenik, (5) maturasi dan (6) ovulasi. Pertumbuhan ovarium tersebut dicirikan oleh perkembangan oosit yang ada di dalamnya sebagai berikut:
-
Fase kromatin nukleolus, ditandai dengan adanya sebuah nukleus yang terlihat kompak dengan satu nukleolus yang relatif besar, ukuran folikel relatif kecil dengan sitoplasma terpulas zat warna dengan kuat mencirikan ovarium masih belum berkembang.
-
Fase perinuklear, ditandai adanya nukleus dan beberapa nukleoli kecil pada tepi nukleoplasma.
-
Fase kortikal alveoli, ditandai adanya butir-butir lipid di sekitar vesikula germinalis dengan ukuran oosit lebih besar.
-
Fase vitelogenik, ditandai dengan dipenuhinya ruang sitoplasmik oleh butiranbutiran lemak. Sementara itu berkaitan dengan periode waktu pemijahan, Wallace dan Selman
(1981) membedakan ovarium menjadi 3 tipe, yaitu (1) sinkronisme total yaitu seluruh oosit berada pada tingkat perkembangan atau stadia yang sama, (2) sinkronisme per grup yaitu sedikitnya terdapat 2 populasi oosit yang berada dalam stadia yang sama dan (3) asinkronisme yaitu oosit pada ovarium terdiri dari semua stadia. Berdasarkan hal tersebut, lamanya jangka pemijahan pada ikan dapat diduga dari ukuran diameter telur. Jika waktu pemijahan pendek, semua telur matang yang terdapat dalam ovarium berukuran sama. Tetapi bila waktu pemijahan pada kisaran waktu yang lama maka ukuran telur yang berada dalam ovarium berbeda-beda. Pada ikan yang mempunyai siklus reproduksi tahunan atau tengah tahunan akan terlihat adanya puncak-puncak pembelahan oogonia. Pada ikan yang memijah sepanjang tahun, perbanyakan oogonia akan berlangsung terus menerus sepanjang tahun.
Transformasi oogonia menjadi oosit primer banyak terjadi pada tahap
pertumbuhan yang ditandai dengan munculnya kromosom. Segera setelah itu, folikel berubah bentuk, dari semula yang berbentuk skuamosa menjadi berbentuk kapsul oosit. Inti sel terletak pada bagian sentral dibungkus oleh lapisan sitoplasma yang tipis. Pada perkembangan selanjutnya, oosit membentuk lapisan korion, membran, granulosa, membran, dan teka. Butir-butir lemak juga mulai terlihat ditumpuk pada sitoplasma dan bersamaan dengan itu muncul kortikal alveoli.
Butir-butir lemak ini selanjutnya akan bertambah besar pada vitelogenesis yang diawali dengan pembentukan vakuola-vakuola yang kemudian diikuti dengan munculnya globula kuning telur, bersamaan dengan itu oosit membengkak secara menyolok. Kuning telur pada ikan terdiri atas fosfoprotein dan lipoprotein yang dihasilkan oleh hati kemudian disalurkan ke dalam peredaran darah. Pembesaran oosit disebabkan terutama oleh penimbunan kuning telur. Pada kebanyakan ikan, kuning telur merupakan komponen penting oosit ikan teleostei. Fenomena penimbunan material kuning telur oleh oosit ikan dibagi menjadi dua fase, yakni sintesis kuning telur di dalam oosit atau vitelogenesis endogen dan penimbunan prekursor (bahan pembentuk) kuning telur yang disintesis di luar oosit atau vitelogenesis eksogen (Matty 1985). Gelembung kuning telur positif-PAS (mukopolisakarida atau glikoprotein) umumnya merupakan struktur yang pertama muncul dalam sitoplasma oosit selama pertumbuhan sekunder oosit, dan pertama kali muncul di zona terluar dan zona midkortikal pada oosit.
Ketika vitelogenesis
berlangsung, sebagian besar sitoplasma telur matang ditempati oleh banyak gelembung kuning telur yang padat dengan asam lemak dan dikelilingi oleh selapis membran pembatas. Selama tahap akhir vitelogenesis, globula kuning telur akan bergabung satu sama lain membentuk masa tunggal kuning telur. Woynarovich dan Horvath (1980) menyatakan bahwa pada saat menjelang ovulasi akan terjadi peningkatan diameter oosit karena pengisian oleh massa kuning telur yang homogen akibat adanya peningkatan kadar estrogen dan vitelogenin. Selanjutnya dinyatakan bahwa induk yang pantas dipijahkan adalah induk yang telah melewati fase pembentukan kuning telur (fase vitelogenesis) dan masuk ke fase dorman (istirahat). Fase pembentukan kuning telur dimulai sejak terjadinya penumpukan bahan-bahan kuning telur da!am sel telur dan berakhir setelah sel telur mencapai ukuran tertentu atau nukleolus tertarik ke tengah nukleus. Setelah fase pembentukan kuning telur berakhir, sel telur tidak mengalami perubahan bentuk selama beberapa saat, yang disebut fase istirahat. Apabila rangsangan diberikan pada saat fase dorman ini, maka akan menyebabkan terjadinya migrasi inti ke perifer, kemudian inti pecah atau melebur
pada saat pematangan oosit, ovulasi (pecahnya folikel) dan oviposisi (Lam 1985). Sebaliknya bilamana kondisi lingkungan tidak cocok dan rangsangan tidak tersedia pada fase dorman tersebut maka oosit akan mengalami degenerasi lalu diserap kembali oleh lapisan folikel melalui atresia (Suyanto 1986). Faktor-faktor eksternal lain yang menyebabkan terjadinya atresia adalah ketersediaan pakan (Bagenal 1978), sedangkan faktor internal adalah umur telur. Yaron (1995) menyatakan bahwa secara hormonal, akhir proses vitelogenesis berpuncak pada pembentukan 17α-hydroxyprogesteron yang terjadi pada sel teka. Steroid ini akan berdifusi ke dalam sel granulosa dan dikonversi menjadi 17α, 20βdyhidroxy-4-pregnen-3-one, yang merupakan hormon penginduksi maturasi (MIH) pada kebanyakan spesies ikan (Nagahama 1987b). Maka setelah oosit melewati fase vitelogenesis masih diperlukan berbagai faktor lain agar folikel mencapai tahap pematangan akhir dan terjadi ovulasi. Brooks et al. (1997) merangkumnya seperti terlihat pada Gambar 2.
Gambar 2 Skematik terjadinya ovulasi telur oleh interaksi berbagai faktor (Brooks et al. 1997)
Seperti pada kebanyakan vertebrata, oosit ikan yang sudah mencapai pematangan tahap akhir belum dapat dibuahi dan harus mencapai tahap akhir penyelesaian pembelahan meiotik dan perubahan struktur oosit.
Proses tersebut
meliputi GVBD, kondensasi kromosom, pembentukan spindel meiotik pertama, pelepasan polar bodi pertama dan pembentukan mikrofil sebagai saluran masuknya spermatozoa ketika terjadi fertilisasi (Nagahama 1987b). Hoar (1972) menyatakan bahwa selama proses vitelogenesis juga terjadi penambahan ketebalan pada zona radiata, perkembangan retikulum endoplasma di dalam granulosa dan sel-sel teka. Tahap berikutnya dari perkembangan telur atau tahap pematangan adalah tahap pergerakan inti ke bagian tepi dan akhirnya melebur membentuk pronukleus dan badan polar I. Inti bergerak mendekati mikropil pada kutub animal telur untuk memudahkan terjadinya pembuahan. Selama tahap vitelogenesis dan pematangan gonad akan dihasilkan peningkatan volume granula kuning telur dan meningkatnya ukuran oosit. Maka nilainilai yang berkaitan dengan TKG (tingkat kematangan gonad), IGS (indeks gonad somatik) dan GVBD seringkali dijadikan sebagai indikator terhadap kematangan oosit akibat berkumpulnya butiran kuning telur atau lempengan lipid yang kemudian diikuti dengan migrasi inti. Semakin bertambah tingkat kematangan gonad, telur yang ada dalam gonad akan semakin besar (Hoar 1972). Menurut Effendie (2002), pertumbuhan bobot gonad ikan betina pada stadium matang gonad dapat mencapai 10-25 persen dari bobot tubuh. Tyler dan Sumpter (1996) menyebutkan bahwa sifat reproduksi ikan menentukan pola perkembangan ovarium. Pada ikan dengan tipe pemijahan sinkronous, IGS berkisar antara 18-25% bahkan kadang mencapai 40%, seperti pada Anguilla japonica. Sedangkan pada ikan dengan tipe pemijahan asinkronous, angka IGS lebih rendah daripada ikan dengan tipe pemijahan sinkronous. Penelitian Gaffar et al. (1991) terhadap Labeobarbus douronensis di hulu Sungai Komering, Sumatra Selatan dengan panjang ikan antara 46-83,5 cm, didapati angka adalah 5,34 hingga 10,78. Sedangkan penelitian Hardjamulia et al. (1999)
masih dengan spesies L. douronensis dalam ukuran panjang ikan antara 10,5-17,1 cm memiliki kisaran IGS 0,11-0,58. Mekanisme Reproduksi Hormonal pada Ikan Betina Pematangan gonad dan ovulasi pada ikan merupakan suatu proses di bawah kendali kerja hormon-hormon. Secara umum mekanisme kerja hormon untuk perkembangan dan pematangan gonad merupakan suatu rangkaian. Yaron (1995) menyatakan bahwa hormon-hormon yang terlibat dalam reproduksi ikan berasal dari tiga bagian utama, yaitu (1) hipotalamus, (2) hipofisis dan (3) gonadotropin. Secara ringkas, mekanisme hormonal untuk pengaturan sistem reproduksi ini dapat dilihat pada Gambar 3.
Gambar 3 Skema garis besar mekanisme reproduksi hormonal ikan
Rangsangan untuk mensintesis hormon GnRH (gonadotropin releasing hormone) diterima oleh hipotalamus dari otak (susunan syaraf pusat) melalui reseptorreseptor yang menerima rangsangan dari luar atau lingkungan. Reseptor penginderaan merupakan penerima rangsangan tersebut, seperti visual untuk fotoperiod dan lawan jenis, kemoreseptor untuk suhu, metabolit dan sebagainya. Stimulasi oleh adanya pelepasan GnRH dari hipotalamus menyebabkan kelenjar hipofisis mensekresikan gonadotropin (GTH) untuk dialirkan ke dalam darah. Selain GnRH yang bersifat memacu, dalam hipotalamus juga dikeluarkan subtansi penghambat pelepasan GTH yaitu dopamin. Hormon gonadotropin sebagai produk hipofisis yang dialirkan lewat darah, dalam kadar tertentu akan merangsang pertumbuhan dan kematangan gonad akhir melalui stimulasi dan sintesis hormon-hormon steroid dalam ovarium. Pada spesies ikan, hormon gonadotropin terdiri dua macam yaitu GTH I dan GTH II yang berbeda dalam senyawa glikoproteinnya. GTH I berperan dalam perkembangan gonad sedangkan GTH II berperan dalam pematangan gonad dan pemijahan. Pada ikan salmon, penelitian terhadap GTH II menunjukkan perannya pada pematangan tahap akhir dan ovulasi serta spermiasi seperti peran LH pada mamalia (Tyler 1991). Sedangkan GTH I secara in vitro menunjukkan perannya pada saat steroidogenesis dan mempengaruhi penyerapan prekursor kuning telur vitelogenin pada ikan salmon (Tyler et al. 1997). Pada ikan jantan, steroid adalah testoteron yang mengontrol pematangan spermaozoa, diproduksi oleh sel Leydig pada testis. Sedangkan pada ikan betina, hormon steroid yang berpengaruh langsung terhadap pematangan sel telur dikenal sebagai hormon estrogen dan disekresi oleh sel intersitial folikel di ovarium. Sedangkan progesteron yang dikenal sebagai steroid yang dihasilkan oleh sel perifer dari ovarium, pengaruhnya hanya pada pematangan akhir oosit saja (Yaron 1995). Secara alami, vitelogenesis dan diferensiasi oosit diawali dengan adanya sinyal lingkungan seperti hujan, perubahan suhu atau katersedian substrat untuk penempelan telur yang diterima oleh sistem syaraf pusat dan diteruskan ke hipotalamus. Hipotalamus akan merespon sinyal tersebut dengan melepaskan GnRH yang bekerja
di kelenjar hipofisis. Selanjutnya kelenjar hipofisis akan melepaskan hormon GTH I yang bekerja di lapisan teka pada oosit (Yaron 1995). Akibat kerja hormon GTH I pada ovarium, lapisan teka akan mensintesis testosteron. Selanjutnya pada lapisan granulosa, testosteron akan diubah menjadi estradiol-17β oleh enzim aromatase. Estradiol-17β akan merangsang hati untuk mensintesis vitelogenin yang merupakan bakal kuning telur. Melalui aliran darah, vitelogenin akan diserap secara selektif oleh lapisan folikel oosit. Proses inilah yang dikenal dengan vitelogenesis, sedangkan proses selanjutnya adalah pematangan akhir yang di dalamnya terjadi pergerakan inti telur ke tepi atau germinal vesicle breakdown (GVBD) dan ovulasi yang ditandai dengan pecahnya lapisan folikel dan keluarnya telur ke dalam rongga ovari (Yaron 1995). Induksi Ovulasi Menggunakan GnRHa Terdapat banyak ikan budidaya yang tidak mampu memijah secara spontan di dalam kolam budidaya karena kurangnya sekresi gonadotropin II (LH) dari kelenjar hipofisisnya.
Keadaan ini berakibat terganggunya proses pematangan akhir oosit
(FOM/ final oocyte maturation), ovulasi, spermiasi dan pemijahan. Hal yang serupa juga terjadi pada ikan yang dipelihara untuk penangkaran. Ikan-ikan tersebut membutuhkan induktor hormon dari eksternal untuk menambah kecukupan LHRHnya yang secara alami telah terganggu oleh mekanisme introduksi budidaya (Zairin 2006). Dalam rangka mencukupi kadar LHRH atau GnRH maka ovulasi pada ikanikan yang diintrodusir atau sedang dalam proses penangkaran, dilakukan dengan induksi menggunakan hormon eksogen yang cukup efektif untuk menginduksi pematangan oosit dan ovulasi pada ikan.
Akan tetapi karena secara komparatif
dibutuhkan dosis LHRH yang besar dan injeksi yang lebih frekuen dalam penggunaanya, maka kemudian disintesa analog LHRH (LHRHa) atau analog GnRH (GnRHa) untuk menggantikan LHRH atau GnRH. Pada kebanyakan jenis ikan, ditemukan bahwa GnRH menyerupai GnRH ikan salmon sehingga disintesis analog gonadatropin releasing hormone yang praktis
dalam bentuk [Trp7, Leu8]-GnRH (salmon GnRH atau sGNRH) yang digunakan untuk memudahkan pekerjaan pemijahan (Nagahama, 1987b). Preparat GnRH analog berperan seperti LHRH untuk merangsang hipofisis agar melepaskan gonadotropin. Gonadotropin yang disekresikan akan mencapai gonad sebagai target organ untuk mempercepat terjadinya pematangan oosit pada induk. Ovaprim merupakan salah satu preparat komersial yang isinya merupakan kombinasi dari analog salmon gonadotropin releasing hormone (s-GnRHa) dan anti dopamin. Setiap 1 ml ovaprim mengandung 20 µg sGnRH-a (D-Arg6, Trip7, Leu8, Pro9-NET) – LHRH dan 10 mg anti dopamin. Hormon ini telah ditemukan sejak tahun 1980-an yang dapat disimpan dalam suhu kamar dalam jangka waktu melebihi setahun dan dapat digunakan secara langsung. Analog GnRH dalam ovaprim merupakan hormon sintetis analog dengan gonadotropin ikan salmon yang terdapat hampir pada seluruh jenis ikan. Di samping itu, kandungan antidopamin (dopamine blocker) dalam ovaprim juga akan berperan menghambat kerja dopamin. Secara alami dopamin menghambat kerja gonadotropin sehingga dengan memberikan antagonis dopamin maka peranan dopamin akan terhenti dan sekresi gonadotropin tetap meningkat setelah pemberian GnRHa. Pada beberapa spesies ikan, dopamin ditemukan menghambat pelepasan hormon gonadotropin oleh hipofisis sehingga terjadi penghambatan respon positif hipofisis terhadap injeksi GnRH analog.
Guna mengurangi penghambatan dopamin, beberapa preparat
digunakan dengan fungsi mampu bekerja sebagai dopamine blocker seperti domperidon, haloperidol dan metoclopromid (Rottman et al. 1991).
Gambar 4 Skematik penghambatan kerja dopamin (Rottman et al. 1991)
Berdasarkan gambar di atas juga diketahui bahwa selain GTH II, prostaglandin juga berperan dalam ovulasi. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Syarial (1988) bahwa prostaglandin diketahui merupakan mediator kerja pecahnya folikel (ovulasi) pada ikan. Mekanisme kerja hormon dalam terjadinya ovulasi dikemukakan oleh Tang dan Affandi (2000) bahwa prostagladin bersama dengan hormon LH akan mempertinggi aktivitas enzim proteolitik di folikel sehingga akan menstimulasi inti sel telur yang berada di tengah untuk bergerak ke pinggir dan selanjutnya melebur menuju kutub animal, yang berarti telur siap diovulasikan. Brzuska (2006) menyatakan bahwa pemijahan buatan pada ikan mas dengan perlakuan GnRHa dan dopamine blocker memberikan persentase hasil pemijahan yang baik. Pandey et al. (1998) berhasil menginduksi pemijahan ikan mahseer Tor putitora dengan tingkat fertilisasi 70-80% dan tingkat penetasan 60-65%. Dosis GnRHa yang digunakan untuk memijahkan ikan umumnya adalah 10µg per kg berat badan. Dalam sediaan cair, khususnya penggunaan ovaprim, dosis yang dipakai untuk merangsang ovulasi pada ikan betina adalah 0,5 ml/kg bobot tubuh sedangkan untuk merangsang spermiasi pada ikan jantan adalah 0,10-0,20 ml/kg bobot tubuh (Pandey et al. 1998). Ompok bimaculatus, satu spesies terancam punah di India juga telah berhasil dibiakkan dalam habitat penangkaran dengan injeksi ovaprim (Sridhar et al. 1998). Kualitas Telur Telur merupakan hasil akhir dari proses gametogenesis, setelah oosit mengalami fase pertumbuhan yang panjang. Pada ikan teleostei, telur merupakan suatu produk akhir dari pertumbuhan dan perkembangan telur (Tyler dan Sumpter 1996). Menurut Yaron (1995), pada kebanyakan ikan teleostei, ovulasi berhubungan dengan peningkatan GTH II yang merangsang ovulasi bagi sejumlah besar oosit. Ovulasi juga berhubungan dengan adanya kerusakan pada germinal folikel (GVBD), pemecahan dan pelepasan folikel yang sudah matang. Peranan MIH secara tidak langsung pada saat ovulasi ditunjukkan oleh Goetz et al. dalam Yaron (1995) bahwa
terjadi peningkatan produksi prostaglandin (hormon induktor ovulasi) pada ikan yellow perch ketika dipaparkan dengan MIH (17α, 20β-dyhidroxy-4-pregnen-3-one). Definisi kualitas telur yang umum digunakan adalah kemampuan telur untuk menghasilkan benih yang baik. Potensi telur untuk menghasilkan benih yang baik ditentukan oleh beberapa faktor, yakni faktor fisik, genetik dan kimia selama terjadi proses perkembangan telur. Jika satu dari faktor esensial ini tidak ada maka telur tidak berkembang dalam beberapa stadia. Menurut Brooks et al. (1997), kualitas telur ikan sangat bervariasi tergantung dari faktor-faktor yang mempengaruhinya. Sedikitnya terdapat 2 faktor yang mempengaruhi kualitas telur, yakni faktor intrinsik telur dan faktor lingkungan yang memberikan pengaruh selama telur difertilisasi hingga menetas. Komponen penting yang mempengaruhi kualitas telur diantaranya adalah keadaan endokrin pada induk selama pertumbuhan oosit di dalam ovarium, diet dan nutrisi induk yang langsung berhubungan dengan oosit dan keadaan fisiko-kimia air selama telur diinkubasikan serta pengaruh genetik induk. Bahkan aspek genetik induk juga berpengaruh terhadap fekunditas. Menurut Bromage et al. (1992), kualitas telur yang baik digambarkan dengan rendahnya tingkat mortalitas pada saat fertilisasi, penetasan dan first feeding. Selanjutnya Kjorsvik et al. (1990) menyebut bahwa penampilan zona pelucida, bentuk telur, transparansi dan distribusi globul minyak merupakan hal-hal yang berhubungan dengan kualitas telur. Lagler (1972) menyebutkan bentuk ukuran, warna dan berat jenis telur tergantung pada spesiesnya.
Sementara itu Scott (1979) mengemukakan bahwa
diameter sel telur untuk setiap spesies ikan beragam antar individu. Hal tersebut antara lain dipengaruhi oleh faktor genetik, lingkungan dan ketersediaan makanan. Purdom (1979) menyatakan bahwa diameter sel telur lebih banyak ditentukan oleh faktor genetik, sedangkan fekunditas dipengaruhi oleh jumlah makanan. Faktor yang menentukan ukuran sel telur menurut Woynarovich dan Hovarth (1980) adalah ukuran inti, ketebalan selaput telur dan ukuran ruang perivitelin. Ukuran inti dan ketebalan selaput kuning telur akan menentukan ukuran sel telur sebelum kontak dengan air.
Sedangkan ukuran ruang perivitelin menentukan ukuran sel telur setelah kontak dengan air. Telur yang belum dibuahi bagian luarnya dilapisi oleh selaput yang dinamakan selaput kapsul atau khorion. Di bawah khorion terdapat selaput yang kedua dinamakan selaput vitelin. Selaput yang mengelilingi plasma telur dinamakan selaput plasma. Ketiga selaput ini semuanya menempel satu sama lain dan tidak terdapat ruang diantaranya. Lapisan vitelin pada ikan mas mempunyai ukuran ketebalan 10.0-10.2 μm dan mempunyai struktur yang komplek dan terdiri dari empat lapisan yang penamaannya berbeda berdasarkan penemu (Linhart et al. 1995). Lapisan bagian luar terdiri 2 bagian berdasarkan perbedaan sitokimia. Selanjutnya dikatakan bahwa kedua lapisan ini kaya akan protein. Selama oogenesis kuning telur mengakumulasi sejumlah besar granula kuning telur dan lipid yang terisi pada bagian tengah. Diameter granula berkisar antara 6-24 μm. Jumlah dan distribusi dari lemak (butir lemak) sangat bervariasi dengan diameter 1-1.5 μm (Linhart et al. 1995). Distribusi dari butir-butir lemak ini juga menjadi parameter kualitas telur. Selama oogenesis, salah satu yang paling menyolok adalah pembentukan sebuah zona tebal yang sangat berdiferensiasi yang terdiri dari membran telur, membran vitelin, zona radiata, zona pelusida dan terletak diantara lapisanlapisan granulosa dan oosit. Bergantung pada spesies dan tahap pertumbuhan oosit, membran telur bervariasi dalam hal ketebalan. Tebalnya 7-8 μm pada oosit ikan mas koki dan sekitar 30 μm pada rainbow trout (Kjorsvik et al. 1990) . Perubahan morfologi yang dialami membran mencerminkan adaptasi terhadap berbagai kondisi ekologi. Membran telur ini banyak mengandung protein dan karbohidrat. Belum dapat dipisahkan apakah asal membran ini dari oosit atau dari sel folikel atau dari kedua-duanya. Pada oosit kuda laut, Hippocampus erectus dan ikan pipa Syngnathus fuscus, membran dibentuk oleh oosit, sehingga diklasifikasikan sebagai selubung primer (Nagahama 1983). Menurut Kjorsvik et al. (1990), morfologi sel juga sering digunakan untuk meneliti kualitas telur dan parameter morfologi ini lebih sensitif dibandingkan dengan kelangsungan hidup. Pada pembelahan awal (blastomer) embrio tidak berdifferensiasi,
dan ini menjadi dasar untuk perkembangan embrio selanjutnya. Kerusakan pada sel ini akan mempengaruhi perkembangan akhir dari embrio, dan akhirnya akan terjadi kerusakan pada salah satu sel dalam perkembangannya. Pengamatan juga termasuk melihat simetri pembelahan awal serta banyaknya embrio dan larva yang cacat. Ukuran telur juga menjadi parameter dalam penentuan kualitas telur. Ukuran telur dapat dinyatakan dalam banyak cara. Diameter tunggal yang biasa digunakan, tetapi diameter terpanjang juga kadang-kadang digunakan. Selain itu panjang telur dan lebar telur juga digunakan. Ukuran-ukuran telur yang lain mencakup volume telur, bobot basah dan bobot kering. Dari segi energetika istilah terbaik untuk ukuran telur adalah kandungan energi per telur atau joule per telur. Kalori telur menunjukkan jumlah energi yang tersedia bagi embrio untuk berkembangan.
Ukuran telur
berkorelasi dengan ukuran larva. Larva yang besar lebih tahan tanpa pakan dibandingkan dengan larva berukuran kecil yang dipijahkan dari telur kecil. Hubungan positif antara ukuran larva dan ukuran telur telah dilaporkan untuk Salmo salar, Onchorhynchus mykiss, Onchorhynchus keta, dan Clupea harengus (Kamler 1992). Keuntungan ukuran awal yang dimiliki larva yang menetas dari telur besar dapat kurang berarti selama perkembangan selanjutnya, atau bahkan hilang. Pada Salmo salar keuntungan ini hilang setelah 5 minggu pertama pertumbuhan; pada Oncorhynchus mykiss keuntungan ini hilang setelah 16 minggu (Kamler 1992). Kemampuan larva yang kecil untuk bertumbuh sehingga mempunyai kecepatan yang sama dengan larva yang lebih besar sangat penting untuk tujuan komersial. Potensi yang sangat penting adalah menemukan kelangsungan hidup telur dan larva tidak dipengaruhi oleh ukuran telur (Kjorsvik et al. 1990). Ukuran telur juga memiliki hubungan dengan fekunditas. Makin banyak telur yang dipijahkan, ukuran telurnya makin kecil. Ikan salmon atlantik misalnya, dengan diameter telur 5-6 mm memiliki fekunditas 2000-3000 butir dan angka fekunditas naik menjadi 10 juta telur pada diameter 1-1,7 mm (Blaxter 1969). Pada Tor douronensis, Hardjamulia et al. (1995) mendapati bahwa fekunditas rata-rata adalah 2073 butir telur per induk.
Hardjamulia dalam Emmawati et al. (2005) menyebutkan bahwa diameter telur ikan mas dari 4 strian yang ditemukan di Indonesia sangat bervariasi, dari yang paling kecil yakni strain Sinyonya 0,13 mm dan yang terbesar strain Majalaya 0,9-1,6 mm. Rai et al. (2006) menyebutkan bahwa ikan spesies mahseer yakni Tor putitora yang dipelihara dalam kolam penangkaran di Nepal memiliki diameter telur 2,8-3,02 mm. Hardjamulia et al. (1995) menyatakan bahwa pada pemeliharaan keramba jaring apung, ikan semah (Tor douronensis) memiliki telur matang dengan diameter sekitar 2,5 mm.
Sementara hasil pengamatan Rupawan et al. (1999) terhadap ikan semah
hasil penangkapan dari Jambi dengan tingkat kematangan gonad IV memiliki dimeter telur 2,16-3,18 mm. Pembuahan dan Penetasan Telur Pembuahan atau fertilisasi merupakan asosiasi gamet, dimana asosiasi ini merupakan mata rantai awal dan sangat penting pada proses fertilisasi. Rasio pembuahan sering digunakan sebagai parameter untuk mendeteksi kualitas telur. Penggabungan gamet biasanya disertai dengan pengaktifan telur. Selama fertilisasi dan pengaktifan, telur-telur ikan teleostei mengalami reaksi kortikal. Kortikal alveoli melebur, melepaskan cairan koloids, dan selanjutnya memulai pembentukan ruang periviteline (Yamamoto dalam Kjorsvik et al. 1990). Kortikal alveoli muncul setelah terjadinya fertilisasi dan reaksi kortikal yang tidak lengkap menunjukkan kualitas telur yang jelek. Beberapa hal yang mempengaruhi pembuahan adalah berat telur ketika terjadi pembengkakan oleh air, pH cairan ovari, dan konsentrasi protein (Lahnsteiner et al. 2001). Fertilisasi dan proses aktivasi pada telur ikan menjadi penting untuk beberapa perkembangan embrio. Selama fertilisasi dan aktivasi, pada telur-telur ikan teleostei terjadi reaksi kortikal. Alveoli kortikal melebur dan melepaskan kandungannya (koloids) dari lapisan kortikal, dan selanjutnya memulai pembentukan ruang perivitelin (Yamamoto dalam Kjorsvik et al. 1990). Kortikal alveoli muncul setelah terjadinya fertilisasi dan reaksi kortikal yang tidak lengkap menunjukkan kualitas telur yang jelek. Tidak lengkapnya proses aktivasi ini menyebabkan ruang perivitelin
sempit sehingga diameter telur tidak berkembang (Kjorsvik et al. 1984). Pengerasan korion telur selama proses aktivasi akibat dari reaksi enzim. Telur yang kualitasnya bagus memiliki korion yang keras. Selain hal-hal di atas parameter lain yang dapat juga menjadi patokan kualitas telur adalah transparansi telur dan distribusi butiran lemak (Mc. Evoy 1984). Kualitas telur yang baik umumnya transparan dan jelas kelihatan serta pembelahan awal yang simetris. Menurut Lagler et al. (1972), selama pembuahan, penetrasi akan menghasilkan (1) masuknya spermatozoa melalui perubahan kondisi di dalam sel telur, (2) penggabungan materi inti spermatozoa dan sel telur, (3) pembelahan dari satu sel zigot menjadi suatu embrio yang memiliki banyak sel dan (4) organisasi dari multi seluler menjadi organ dan sistem yang memberi bentuk dan fungsi pada embrio. Sumantadinata 1983 menyatakan bahwa setelah memasuki telur, inti spermatozoa mulai membesar dan kromosom mengalami perubahan sehingga memungkinkan untuk bersatu dengan kromosom dari sel telur sebagai fase awal pembelahan. Selanjutnya perkembangan embrio terus terjadi dari mulai terjadinya pembuahan hingga ikan mendapatkan makanan dari luar. Perkembangan tersebut dibedakan menjadi periode telur dimana terjadi perkembangan di dalam membran dan periode pra larva yaitu perkembangan terjadi di luar membran. Effendie (2002) menyebutkan bahwa pembuahan ikan teleos pada umumnya bersifat monospermik. Pada proses pembuahan, hanya kepala spermatozoa yang dapat masuk ke dalam sel telur sedangkan ekor spermatozoa tertinggal di luar. Sitoplasma dan khorion merenggang dan terbentuk semacam sumbat yang segera menutupi mikrofil untuk menghalangi masuknya spermatozoa yang lain. Para ahli Biologi Perkembangan sepakat bahwa kualitas telur ditentukan oleh keadaan intrinsik telur itu sendiri yang berasal induk betina. Maka tidak demikian halnya dengan pembuahan. Tingkat pembuahan dan kualitas embrio setelah terjadinya fertilisasi ditentukan bersama antara induk betina dan jantan (Brooks et al. 1997). Pandey et al. (1998) berhasil mendapatkan tingkat pembuahan telur dari spesies Tor putitora mencapai 70-80%, sementara Joshi et al. (2006) mendapatkan daya pembuahan mencapai 93-95% masih pada spesies yang sama.
Kjorsvik et al. (1990) menyebutkan bahwa pada beberapa penelitian terhadap ikan liar, didapati perbedaan kualitas telur antar musim. Tingkat penetasan telur dari ikan liar juga sangat rendah dikarenakan sulitnya mendapatkan perlakuan kultur yang tepat, terutama pada ikan laut liar. Effendie (2002) menyebutkan bahwa waktu pengeraman adalah saat setelah terjadinya pembuahan hingga telur menetas. Selama waktu tersebut terjadi proses pembentukan embrio. Pada saat penetasan, yang dikeluarkan terlebih dahulu dari cangkang telur adalah bagian ekor embrio. Sedangkan bagian yang paling terakhir keluar adalah bagian kepala karena ukurannya paling besar dibanding bagian tubuh lainnya. Selanjutnya embrio yang keluar dari cangkang telur akan memasuki stadia pra larva dengan ciri masih memiliki kuning telur, tubuh transparan dengan sirip dada dan sirip ekor yang masih belum sempurna. Menurut Blaxter (1969) penetasan terjadi karena menurunnya kekerasan khorion yang disebabkan oleh substansi enzim khorionase yang bersifat mereduksi. Di samping itu dapat pula disebabkan oleh gerakan-gerakan akibat peningkatan suhu, intensitas cahaya atau penyerapan tekanan oksigen.
Menurut Woynarovich dan
Hovarth (1980) larva yang baru menetas akan menggerakkan bagian ekor ke kiri dan ke kanan dengan gerakan lambat dan lebih banyak istirahat karena tidak dapat mempertahankan
keseimbangan
untuk
posisi
tegak.
Perkembangan
embrio
dipengaruhi oleh banyaknya kuning telur. Lama pengeraman telur ikan tergantung pada spesies dan beberapa faktor luar. Menurut Effendie (2002) faktor luar yang terutama mempengaruhi pengeraman telur adalah suhu air. Sedangkan Kjorsvik et al. (1990) menyatakan bahwa masalah lain yang penting dalam pembenihan adalah kontaminasi bakteri selama fase pengeraman. Lewat matang (over ripe) pada telur dapat terjadi pada induk. Hal ini sangat penting untuk menentukan waktu pembuahan telur yang tepat setelah ovulasi. Lewat matang dapat menjadi masalah khususnya pada ikan yang pemijahannya harus diurut dan dibuahi secara buatan. Pertumbuhan gonad, fekunditas dan kemampuan telur diketahui sangat tergantung pada pengaruh lingkungan, seperti suhu, pakan, faktorfaktor stres dan fotoperiodisitas (Aida et al. 1991). Selama gametogenesis suhu sangat
penting untuk keberhasilan pemijahan dan daya hidup telur. Pepin dan Anderson (1997) menyatakan bahwa suhu mempengaruhi perkembangan telur dan pemijahan ikan atlantik cod (Gadus morhua). Kjorsvik et al. (1990) menyimpulkan bahwa suhu penting untuk kualitas telur yang baik seperti pada ikan mas.
MATERI DAN METODE PENELITIAN Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan dalam dua tahap. Penelitian tahap pertama merupakan penelitian pendahuluan untuk mengetahui sifat-sifat ikan secara biologik dan pengamatan habitat, dilakukkan pada bulan Mei dan Agustus 2006 di habitat alami ikan hike yaitu kawasan perairan Prabu Siliwangi, Desa Pajajar Kecamatan Rajagaluh, Kabupaten Majalengka. Selain itu juga dilakukan identifikasi taksonomi ikan hike yang dilakukan di Laboratorium Ichtiologi, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan (FPIK) IPB. Analisis kualitas air dilakukan di Laboratorium Analitik, Balai Teknologi Lingkungan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BTL-BPPT). Identifikasi plankton dilakukan di Laboratorium Planktonologi FPIK IPB. Penelitian tahap kedua merupakan kegiatan utama penelitian ini, yaitu induksi ovulasi serta penetasan telur ikan hike. Kegiatan tersebut mengambil lokasi di Desa Kumbung, Kecamatan Rajagaluh, Kabupaten Majalengka dari akhir Maret sampai Juni 2007 dan dilanjutkan pada Maret sampai Juni 2008. Pada periode tersebut juga dilakukan analisis kualitas air dan identifikasi plankton sebagaimana telah dilakukan pada tahap penelitian pendahuluan. Materi Penelitian Ikan Percobaan Ikan hike yang digunakan dalam penelitian diambil dari habitat alaminya dengan cara dipancing, kemudian diadaptasi selama 1 bulan. Ikan diberi pakan 3 kali sehari, yaitu pada pukul 06.00, 12.00 dan 18.00, sebanyak 3% dari bobot badan. Selanjutnya ikan diseleksi hingga didapatkan sebanyak 6 ekor jantan dewasa dengan bobot 200 g untuk koleksi semen dalam fertilisasi buatan dan betina dewasa dengan bobot badan 250-300 g sebanyak 12 ekor untuk 4 kelompok perlakuan induksi hormon. Seleksi meliputi keadaan fisik yaitu sehat, tidak ditemukan cacat, gerakan renangnya lincah dan ikan betina sudah mememasuki fase telur postvitelogenik yang ditentukan berdasarkan pengamatan visual sudah terlihat pembesaran pada bagian
perut, perut cukup terasa lunak ketika diraba dan diperoleh telur pada saat dilakukan kateterisasi. Pakan Ikan dan Hormon Pakan ikan yang digunakan adalah pakan komersial memiliki kandungan protein kasar 35% (Hardjamulia et al. 1999, Gaffar et al. 1991) dengan nama dagang Atlas. Preparat gonadotropin yang digunakan adalah sediaan komersial dengan nama dagang ovaprim (Syndel International Inc.) yang mengandung analog salmon Gonadotropin Releasing Hormone (sGnRH-a) dan domperidon. Setiap ml ovaprim mengandung 20 µg sGnRH-a (D-Arg6, Trp7, Leu8, Pro9-NET)-LHRH dengan 10 mg domperidon (Pandey et al. 1998) Larutan Pengencer Larutan pengencer yang digunakan untuk pengenceran semen dan fertilisasi buatan adalah larutan Tris-glisin yang mengandung 45 mM NaCl, 5 mM KCl, Tris 2.5 mM dan glisin 19 mM, pH 8 (Billard et al. 1995). Metode Penelitian Pemeriksaan Air pada Habitat Asal Ikan Hike Pengamatan pada habitat alami meliputi pemeriksaan keadaan air. Pada penelitian ini, pemeriksaan berkaitan dengan beberapa sifat fisik-kimia dan biologi (identifikasi plankton).
Parameter fisik-kimia air meliputi DO (disolved
oxygen/oksigen terlarut), COD (chemical oxygen demand), BOD (biologycal oxygen demand), kekeruhan, kesadahan, pH dan temperatur air. Pemeriksaan pH dan temperatur air dilakukan langsung pada lokasi sampling. Sedangkan pemeriksaan DO, COD, BOD, kekeruhan dan kesadahan dilakukan di laboratorium. Persiapan Kolam Penangkaran Berdasarkan hasil pengamatan habitat asal, kolam penangkaran disiapkan sedemikian rupa memiliki keadaan air yang mendekati habitat asal. Lokasi kolam buatan berjarak 3 km dari lokasi habitat asal ikan dengan suplai air bersumber dari
Sungai Cipadung yang berasal dari mata air di kawasan Pesanggrahan Prabu Siliwangi. Kolam berdinding semen berukuran panjang lebar dan tinggi 2x1.5x1.5 m3, diisi air yang mengalir dengan ketinggian air sekitar 70 cm, bagian dasar kolam dilapisi kerikil dan batuan besar sedang bagian atasnya ditutup dengan jaring. Induksi Hormon Perlakuan induksi dibagi dalam 3 kelompok dengan masing-masing perlakuan terdiri 4 ekor betina. Setiap kelompok diberi perlakuan injeksi ovaprim, masingmasing dengan dosis 8, 10 dan 12 µg sGnRHa/kg bobot badan (intramuscular pada otot di bawah sirip punggung). Injeksi diberikan 2 kali, injeksi pertama menggunakan setengah dosis perlakuan, dilakukan pada petang hari jam 17.00-18.00 kemudian 12 jam berikutnya diberikan injeksi yang kedua dengan setengah dosis hormon sisanya. Tabel 1 Jumlah ikan percobaan dan perlakuan Jumlah ikan 4 4 4
Dosis GnRHa (/kg berat badan) 8 µg 10 µg 12 µg
Setelah injeksi, ikan dikembalikan ke kolam penangkaran yang telah dilengkapi jaring untuk memudahkan pengangkatan pada saat dilakukan pengamatan gonad. Pengamatan secara visual untuk melihat perkembangan kematangan gonad dilakukan secara eksternal. Pada saat hiperemia dan pembengkakan sekitar lubang genital semakin kuat, pengamatan dilakukan setiap setengah jam untuk melihat ovulasi telur berdasarkan keberhasilan diperolehnya telur pada saat dilakukan pengurutan (stripping). Secara ringkas bagan alur tahapan-tahapan kegiatan dalam penelitian diilustrasikan pada Gambar 5.
Kolam Penangkaran ♀Injeksi pertama 0,5 dosis ♂Koleksi Semen ♀Injeksi kedua 0,5 dosis OVULASI
Pengamatan Masa Laten
Koleksi Telur
Pengamatan IGS & Fekunditas
Fertilisasi
Pengamatan Fertilisasi
Penetasan
Pengamatan Penetasan
Evaluasi
Gambar 5 Bagan alir tahapan kegiatan dalam penelitian Koleksi Telur Apabila pengamatan telah menunjukkan tanda-tanda ikan ovulasi yaitu tingkat hiperemia, pembengkakan lubang genital yang kuat dan palpasi abdominal caudal yang lunak maka segera dilakukan koleksi telur. Koleksi telur dari setiap ikan pada masing-masing perlakuan dengan cara stripping. Untuk keperluan ini, ikan terlebih dahulu dikeringkan dengan kain bersih dan lubang genitalnya dikeringkan dengan menggunakan kertas tissu. Selanjutnya dilakukan pengeluaran telur dari ovarium dengan cara mengurut
bagian perut secara perlahan hingga telur keluar melalui
lubang genital. Telur yang keluar ditampung dalam wadah plastik dan diukur volumenya untuk keperluan fertilisasi. Koleksi Semen Koleksi semen dilakukan dengan cara stripping seperti pada koleksi telur. Semen yang terkoleksi disedot dengan spuit berskala untuk mengetahui volumenya. Sebelum digunakan untuk fertilisasi, dilakukan pengamatan mikroskopis terhadap
motilitas untuk menentukan kelayakan penggunaannya. Hanya semen segar yang memiliki motilitas 80% atau lebih yang digunakan untuk kegiatan fertilisasi. Fertilisasi Fertilisasi dengan cara menempatkan telur dari setiap ikan yang telah diukur volumenya pada wadah plastik. Ke dalam wadah plastik, dilakukan penambahan semen yang telah diencerkan 1000 kali dalam jumlah yang setara dengan volume telur yang diperoleh (Billard et al. 1995).
Selanjutnya telur dan semen dicampurkan
dengann diaduk secara perlahan selama 3 menit menggunakan bulu ayam. Penetasan Larva Telur yang sudah difertilisasi ditempatkan pada wadah inkubasi yang beraerasi dan bersuhu 22oC hingga menetas. Setiap ulangan menempati 1 wadah inkubasi. Untuk keperluan ini digunakan wadah plastik berukuran 20 x 10 x 40 cm3 yang diisi dengan air yang telah diinapkan dan diaerasi semalam, sebanyak 2/3 volume akuarium. Sebelum digunakan, wadah inkubasi dan perlengkapannya didesinfeksi dengan metilen biru. Parameter yang Diamati Masa Laten Masa laten dihitung sejak dilakukan injeksi hormon yang kedua hingga terjadinya ovulasi. Jika secara visual sudah terlihat hiperemia dan pembukaan pada lubang genital, dilakukan pengurutan abdomen setiap 30 menit untuk melihat terdapatnya ovulasi. Kejadian ovulasi ditandai dengan diperolehnya telur yang sudah bercerai berai pada saat stripping. Indek Gonad Somatik Indek gonad somatik (IGS) dihitung berdasarkan bobot telur total terhadap bobot ikan. Caranya dengan menimbang bobot ikan sesaat sebelum telur dikoleksi dan membandingkannya dengan bobot ikan setelah telur dikoleksi.
Bobot telur
diasumsikan sebagai selisih antara bobot badan ikan sebelum dan sesudah telur dikoleksi (Effendie 2002).
Jika bobot badan ikan sesaat sebelum telur dikoleksi
dinyatakan dengan B1 dan sesudah telur dikoleksi dinyatakan dengan B0 dibagi dengan bobot ikan setelah koleksi (B0), maka angka IGS yang dinyatakan dalam persen dihitung sebagai berikut: % B = B1-B0 x100%. B0 Fekunditas Fekunditas dihitung secara mutlak berdasarkan jumlah telur yang diperoleh dari ovulasi masing-masing induk. Jumlah telur dinyatakan dalam jumlah butir. Diameter Telur Pengamatan kualitas oosit dilakukan terhadap telur yang terkoleksi melalui stripping. Telur yang diamati dari setiap induk berjumlah 50 butir. Pengamatan menggunakan mikroskop lensa objektif 4x dan lensa okuler 10x. Selain ukuran diameter telur, diamati juga keseragaman ukuran telur, keutuhan lapis membran dan bermigrasinya inti oosit mendekati lubang mikropil (Yueh dan Chang 2000). Derajat Telur Terbuahi Tingkatan telur yang berhasil dibuahi dihitung dalam waktu 15 menit setelah dilakukan fertilisasi buatan. Caranya dengan mengambil secara acak 50 butir telur dan dilihat secara mikroskopis (pembesaran 40 kali) untuk mengetahui terjadi atau tidaknya fertilisasi. Telur yang telah dibuahi akan tampak bening dengan kemunculan badan polar II. Persentase atau tingkat telur terfertilisasi dihitung berdasarkan jumlah telur (F0) yang berhasil dibuahi (F1) dibagi jumlah total telur (F0) dikalikan 100%, sebagai berikut % F = F1 x100%. F0 Derajat Penetasan Telur Tingkat penetasan dihitung dalam waktu 5 hari setelah telur diinkubasikan dalam wadah inkubasi. Untuk keperluan tersebut, setelah dilakukan fertilisasi, disiapkan sekitar 100 butir telur dari masing-masing induk dan diinkubasikan ke
dalam wadah inkubasi yang berbeda. Persentase penetasan dihitung secara langsung berdasarkan jumlah telur yang tidak berhasil menetas (T1) dibagi dengan jumlah telur awal (T0) dikalikan 100%, sebagai berikut: % T = T1 x100%. T0 Rancangan Penelitian dan Analisis Data Penelitian pendahuluan untuk identifikasi ikan, identifikasi plankton dan pengamatan habitat dilakukan secara deskriptif. Sedangkan penelitian utama dilakukan menggunakan Rancangan Acak Lengkap dengan 3 perlakuan dan 4 ulangan yaitu: 1. Perlakuan injeksi sGnRH-a 8 µg per kg bobot badan. 2. Perlakuan injeksi sGnRH-a 10 µg per kg bobot badan. 3. Perlakuan injeksi sGnRH-a 12 µg per kg bobot badan. Data yang diperoleh pada penelitian inti kemudian dianalisis dengan sidik ragam untuk mengetahui pengaruh perlakuan. Jika terdapat perbedaan yang nyata antar perlakuan (P<0.05) dilanjutkan dengan uji Tukey’s (Steel dan Torrie 1993) menggunakan rumus persamaan sebagai berikut : W = ± qk,v,n/2 Sy √ (1/n +1/n) √2 Sy = √RJKgalat v = N-k Keterangan: W = rentang signifikan terkecil k = jumlah perlakuan v = db galat n = jumlah ulangan tiap perlakuan q = rentang yang diperoleh dari tabel rentang N = jumlah data
HASIL DAN PEMBAHASAN Ikan Hike Berdasarkan penelitian pendahuluan yang dilakukan oleh penulis, diperoleh hasil bahwa ikan hike memiliki gambaran morfologi yang mirip dengan ikan mas (Gambar 6). HAsil identifikasi terhadap ikan hike terlihat bahwa secara taksonomi ikan hike mempunyai nama spesies Labeobarbus longipinnis. Secara rinci ikan hike yang digunakan dalam penelitian ini diklasifikasikan sebagai berikut: Kelas
: Teleostei
Ordo
: Cypriniformes
Sub ordo
: Cyprinoidea
Famili
: Cyprinidae
Sub famili
: Cyprininae
Genus
: Labeobarbus (Tor)
Spesies
: Labeobarbus longipinnis
Gambar 6 Ikan hike (Labeobarbus longipinnis), fauna indigenous Majalengka Berdasarkan pernyataan Kottelat et al. (1993) diketahui bahwa genus Barbus telah direvisi menjadi genus Tor akan tetapi tidak dicantumkan pentelaan terhadap Labeobarbus longipinnis. Sedangkan Weber dan Beaufort dalam Haryono (2006) menggunakan Labeobarbus sebagai nama marga dengan karakter utama adalah keberadaan dan ukuran cuping pada bibir bawah untuk membedakan diantara jenisjenisnya. Sementara itu menurut Saanin (1984) disebutkan bahwa L. longipinnis memiliki ciri spesfik untuk identifikasi yang akan membedakan dengan Labeobarbus
spesies lainnya yaitu bibir tidak berkeping dan sirip dubur lebih tinggi daripada sirip punggung. Secara morfologis ikan hike memiliki tubuh pipih memanjang (stream line) dengan warna kuning keperakan pada ikan muda dan berangsur-angsur menjadi kuning kehijauan pada ikan dewasa (Gambar 7 dan 8). Bentuk tubuh pada ikan betina lebih lebar dibandingkan dengan ikan jantan. Ciri spesifik lainnya adalah adanya pola garis berwarna kehitaman pada sisik bagian medio-lateral tubuh yang semakin nyata pada ikan dewasa.
Gambar 7 Ikan hike muda, warna sisik tubuh kuning keperakan
Gambar 8 Bentuk tubuh pada ikan dewasa, jantan (bawah) lebih langsing daripada betina (atas) Terkait dengan sifat reproduksi, didapatkan hasil bahwa ikan jantan berukuran panjang 11 cm dengan bobot badan 45 gram telah mencapai umur dewasa kelamin
yang ditandai dengan diperolehnya semen berwarna putih pada saat dilakukan stripping serta ditemukan sel-sel spermatozoa pada saat pemeriksaan semen secara mikroskopis. Sedangkan dari hasil pemancingan yang dilakukan pada bulan Mei 2007 diperoleh ikan hike betina yang memiliki tingkat kematangan gonad pada fase postvitellogenetic pada ikan dengan ukuran panjang tubuh 27 cm dan bobot badan 186 gram. Ikan hike mempunyai gerakan yang sangat agresif, yang tampak pada saat ikan mengejar mangsa atau menghindar dari ancaman, kadangkala meloncat melintasi permukaan air. Mengingat sifat gerakan ikan hike sangat agresif maka penangkapan ikan lebih cocok jika menggunakan pancing. Ikan dengan ukuran besar relatif senang bersembungi di balik batu-batu sementara yang berukuran kecil sering terlihat melalui permukaan air yang jernih dan berarus.
Ikan hike termasuk pemakan segala
(omnivora). Bahkan pada penangkapan dengan cara pancing berhasil menangkap ikan hike dengan menggunakan berbagai umpan (cacing, pelet ikan dan kerupuk). Ikan hike termasuk golongan ikan yang lebih aktif di malam hari (nocturnal), sehingga pemancingan lebih berhasil apabila dilakukan mulai petang hingga pagi hari. Sifat ikan dewasa yang lebih menyukai bersembunyi di balik batuan juga menunjukkan bahwa ikan hike kurang menyukai perairan yang banyak cahaya. Kualitas Air Ikan hike merupakan spesies ikan liar endemik dari Kabupaten Majalengka, tepatnya di kawasan perairan Pesanggrahan Prabu Siliwangi, Desa Pajajar, Kecamatan Rajagaluh.
Hasil pengamatan pada penelitian pendahuluan menunjukkan bahwa
habitat ikan hike merupakan perairan di kaki Gunung Ceremai dengan ketinggian 1200 meter di atas permukaan air laut.
Kawasan perairan Pesanggrahan Prabu
Siliwangi memiliki beberapa titik sumber mata air, airnya jernih, arus air cukup deras, dasar perairan berbatu, suhu air relatif rendah (pada musim kemarau 21-22oC), pH air 6.8, kandungan oksigen tinggi dengan angka DO (dissolved oxygen) berkisar 6,4-6,5 mg/l dan lingkungan sekitar berupa hutan (Gambar 9).
Gambar 9 Habitat asal ikan hike, perairan dengan beberapa sumber mata air dikelilingi hutan Berdasarkan hasil pemeriksaan air pada kawasan habitat ikan didapatkan parameter biologis lainnya yaitu terdapat plankton yang berfungsi sebagai pakan alami.
Dari pengamatan terhadap plankton terlihat bahwa terdapat keragaman
beberapa famili dengan genus sebagai berikut: Bacillariophyceae: Synedra sp Navicula sp Chlorophyceae: Spirogyra sp Cyanophyta: Lyngbya sp Algae: Pinnularia sp Tribonema sp Ulothrix sp Secara keseluruhan hasil pengamatan terhadap kualitas air pada habitat alam ikan hike menunjukkan kondisi perairan yang terpelihara bahkan memenuhi baku
mutu air yang baik yaitu klasifikasi dan kriteria air kelas I. Hal ini mengacu pada PP no 82 tahun 2001 pasal 8 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, Klasifikasi dan Kriteria Mutu Air, ditetapkan bahwa mutu air kelas I yaitu air dapat digunakan untuk bahan baku air minum atau peruntukan lainnya yang mempersyaratkan mutu air yang sama. Keadaan air dari mata air yang demikian dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai sumber air untuk kebutuhan rumah tangga termasuk memasak dan air minum. Beberapa desa di Kecamatan Rajagaluh mendapatkan suplai air dari mata air yang bersumber dari kawasan Pesanggrahan Prabu Siliwangi. Sedangkan air yang masuk dalam aliran Sungai Cipadung dimanfaatkan oleh masyarakat diantaranya untuk kegiatan perikanan. Keberhasilan Ovulasi Pada penelitian percobaan ovulasi didapatkan hasil bahwa induksi ovulasi ikan hike (Labeobarbus longipinnis) dengan perlakuan pemberian gonadotropin releasing hormone analog (GnRHa) pada dosis 8 μg, 10 μg dan 12 μg per kg tidak mengakibatkan seluruh ikan berovulasi. Keberhasilan ovulasi dari masing-masing perlakuan tersaji pada Tabel 2. Induksi dengan dosis 8 μg/kg berat badan hanya menghasilkan satu ekor dari 4 ekor ikan induk yang diinduksi. Demikian pula halnya dengan dosis 10 μg/kg berat badan, tidak berhasil mengovulasikan seluruh induk, dalam hal ini dari 4 induk yang mendapat perlakuan hanya 3 induk yang dapat berovulasi. Pada perlakuan GnRHa dengan dosis 12 μg/kg berat badan, semua induk berhasil melakukan ovulasi. Adapun gambaran makroskopik telur ikan hike yang berhasil ovulasi dapat dilihat pada Gambar 10. Sedangkan yang tidak berhasil ovulasi dapat dilihat pada Gambar 11. Tabel 2 Persentase keberhasilan ovulasi dengan induksi GnRHa Dosis perlakuan (/kg berat badan)
Induk ovulasi (ekor)
Keberhasilan (%)
8 μg (n=4)
1
25
10 μg (n=4)
3
75
12 μg (n=4)
4
100
Gambar 10 Makroskopik telur ikan hike yang berhasil ovulasi
Gambar 11 Makroskopik ovarium ikan hike yang tidak berhasil ovulasi
Ketidakberhasilan ovulasi pada sebagian induk ini akan mempengaruhi penampilan reproduksi lainnya. Artinya, tidak terovulasikannya telur mengakibatkan tidak dimungkinkan pengamatan dan pengambilan data berikutnya yaitu masa laten, indeks gonad somatik (IGS), fekunditas, diameter telur, derajat terbuahi telur dan derajat tetas telur ikan hike. Sementara itu dari ikan hike yang berhasil ovulasi, diperoleh telur yang dapat difertilisasi dan menetas menghasilkan larva. Pada penelitian ini juga terlihat bahwa perlakuan induksi GnRHa hanya berpengaruh terhadap masa laten dan derajat
telur terbuahi, sedangkan terhadap
keempat penampilan reproduksi lainnya yaitu indeks gonad somatik (IGS), fekunditas, diameter telur dan derajat tetas telur tidak memberikan pengaruh yang nyata (Tabel 3). Tabel 3 Nilai rataan lama masa laten, indeks gonad somatik, fekunditas, diameter telur, derajat telur terbuahi dan derajat tetas telur ikan hike setelah diinduksi GnRHa Perlakuan Masa Laten Dosis GnRHa (jam) (/kg berat badan)
Indeks Gonad Somatik (%)
Fekunditas (butir)
Diameter Telur (mm)
Derajat Telur Terbuahi (%)
Derajat Tetas Telur (%)
806±0,00 a
1,78±0,00a
44,0±0,0a
9,0±0,0a
8 μg
33,50±0,00a 10,34±0,00a
10 μg
21,00±1,32ab 11,94±0,57a 604±113,86 a 1,84±0.08a 68,7±3,1ab 18,3±4,2a
12 μg
18,75±0,98bc 12,14±1,42a 675±125,75 a 1,91±0,16a 83,0±3,7bc 21,5±5,1a
Keterangan: Nilai dengan superscript yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan nyata (α=0,05)
Masa Laten Respon ikan setelah induksi GnRHa terhadap kecepatan masa laten dapat dilihat pada Tabel 3. Masa laten tercepat diperoleh pada perlakuan pemberian GnRHa dosis 12 μg/kg bobot badan, yaitu dengan rataan 18,75 jam. Pada dosis tersebut seluruh betina yang diinduksi berhasil melakukan ovulasi.
Masa laten tercepat
berikutnya adalah pada perlakuan GnRHa dosis 10 μg/kg bobot badan dengan rata-rata masa laten 21 jam. Dari 4 ekor induk yang diinduksi dengan dosis tersebut terdapat 1 ekor induk yang tidak memberikan respon yang nyata, yang terlihat dari ikan yang diberi perlakuan tidak berhasil melakukan ovulasi. Perlakuan yang membutuhkan masa laten paling lama adalah induk yang diinduksi GnRHa pada dosis 8 μg/kg bobot badan, namun hanya 1 ekor induk yang menghasilkan ovulasi yaitu dengan masa laten 33,50 jam. Berdasarkan hasil analis sidik ragam satu faktor tunggal diperoleh hasil bahwa perlakuan induksi berpengaruh sangat nyata (P<0,01) terhadap masa laten. Selanjutnya dengan uji rentang Tukey diperoleh hasil bahwa terdapat perbedaan pengaruh yang sangat nyata antar kelompok perlakuan yaitu dosis induksi GnRHa 8 μg/kg berat badan dengan dosis induksi 10 μg/kg berat badan dan 12 μg/kg berat badan. Akan tetapi tidak terdapat perbedaan yang nyata antara kelompok perlakuan dosis induksi GnRHa 10 μg/kg berat badan dengan dosis induksi GnRHa 12 μg/kg berat badan. Gambaran secara diagramik pengaruh dosis GnRHa terhadap masa laten dapat dilihat pada Gambar 12.
Gambar 12 Histogram nilai rataan masa laten ikan hike setelah pemberian GnRHa Berdasarkan hasil penelitian ini diketahui bahwa masa laten yang dibutuhkan untuk mencapai ovulasi dari telur postvitellogenic berbeda-beda antar perlakuan dan penelitian ini menunjukkan bahwa semakin meningkat dosis GnRHa yang diinduksikan (dari 8,10 dan 12 µg/kg berat badan) menghasilkan masa laten yang lebih singkat.
Berdasarkan analisis sidik ragam menunjukkan bahwa terdapat
pengaruh induksi terhadap masa laten, dan dari uji lanjut Tukey diketahui bahwa terdapat pengaruh yang berbeda sangat nyata atau nyata diantara kelompok perlakuan dosis. Hasil perbandingan masa laten pada penelitian ini memperlihatkan bahwa masa laten yang terpanjang dengan masa laten tersingkat, terdapat selisih rata-rata 14,75 jam untuk perlakuan dosis induksi GnRH 8 dan 12 µg/kg berat badan. Perbedaan masa laten dalam penelitian ini diduga karena pengaruh dosis hormon yang diinduksikan. Hal ini dapat dijelaskan bahwa induksi GnRHa dalam dosis yang lebih besar terhadap ikan hike berperan dalam memberikan semakin besarnya stimulasi dan sekresi gonadotropin. Selanjutnya sekresi gonadotropin dalam hal ini GTH II atau LH sebagai produk dari kelenjar hipofisis akan dialirkan melalui darah. Gonadotropin dalam kadar yang lebih tinggi akan lebih cepat merangsang
kematangan oosit tahap akhir serta pecahnya folikel (ovulasi) melalui perannya dalam menstimulasi sekresi 17,20-P dari folikel postvitellogenic. Masa laten yang dihitung dalam penelitian ini adalah jarak waktu dari dilakukannya induksi GnRHa yang kedua hingga terjadinya ovulasi yang dideteksi melalui keberhasilan koleksi telur. Masa laten merupakan masa yang dibutuhkan agar terjadi ovulasi dari telur yang sudah matang. Dalam setiap proses perkembangan secara biologi termasuk oosit ikan, perkembangan antara satu fase ke fase yang berikutnya membutuhkan waktu tertentu. Kejadian ovulasi telur dalam penelitian ini berlangsung setelah adanya pematangan oosit, seperti dijelaskan oleh Brooks et al. (2003) bahwa pada oosit yang telah matang, sitoplasma akan menjadi bening, oil droplet bergabung menjadi satu dan berukuran besar serta
terjadi
breakdown
germinal vesikel (Gambar 13). Lebih lanjut, Nagahama (1987b) menambahkan pernyataan bahwa proses pematangan telur disertai dengan kondensasi kromosom, pembentukan spindel meiotik pertama, pelepasan polar bodi pertama dan pembentukan mikrofil sebagai saluran masuknya spermatozoa ketika terjadi fertilisasi.
Gambar 13 Skematik pematangan oosit ikan hingga terjadi ovulasi (Brooks et al. 2003) Masa laten ikan hike setelah perlakuan induksi GnRHa yang diperlihatkan dalam penelitian ini mendekati masa laten yang diperlihatkan oleh spesies golden mahseer, Tor putitora yang mendapatkan induksi tunggal ovaprim pada dosis 0,2
ml/kg berat badan yaitu 24 jam setelah injkesi (Pandey et al. 1998). Demikian juga terhadap hasil penelitian De Siva et al. (2004) untuk Tor duoronensis yang memiliki masa laten 23-53 jam pasca injeksi ovaprim 0,2 ml/kg berat badan. Perbedaan masa laten selain ditentukan oleh dosis hormon penginduksi, juga sangat ditentukan oleh cara pemberian dan sediaan preparat hormon. Pada pemberian hormon dalam sediaan terlarut lemak umumnya bahkan tidak dilakukan penghitungan masa laten karena pelepasan hormon terjadi secara perlahan dan ovulasi terjadi dalam waktu yang lama setelah perlakuan. Indeks Gonad Somatik dan Fekunditas Hasil pengamatan terhadap rataan indeks gonad somatik secara keseluruhan berkisar antara 10,34%-12,14% (Tabel 3). Nilai rataan indeks gonad somatik tertinggi diperoleh pada ikan yang diinduksi GnRHa dengan dosis 12 μg/kg berat badan, yaitu sebesar 12.14%, yang diikuti oleh dosis induksi 10 μg/kg berat badan dengan rataan indeks gonad somatik sebesar 11,15%. Nilai rataan IGS terendah ditunjukkan pada perlakuan induksi GnRHa dengan dosis 8 μg/kg berat badan yaitu sebesar 10,34%. Berdasarkan analisis sidik ragam, perlakuan tidak memberikan pengaruh terhadap indeks gonad somatik ikan hike. Untuk lebih jelasnya pengaruh perlakuan terhadap nilai rataan indeks gonad somatik ikan hike dapat dilihat pada Gambar 14. Berdasarkan analisis sidik ragam kemudian dapat dilihat bahwa seperti halnya terhadap indeks gonad somatik, perlakuan induksi tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap fekunditas ikan hike. Jumlah telur yang dihasilkan ikan dari seluruh perlakuan berkisar antara 604-806 butir.
Fekunditas tertinggi dihasilkan oleh
perlakuan dosis induksi 8 μg/kg berat badan sedangkan fekunditas terendah dihasilkan oleh dosis perlakuan 10 μg/kg berat badan. Perlakuan induksi dengan dosis 12 μg/kg berat badan menempati rataan fekunditas 675 butir dengan simpangan deviasi 125 butir telur. Gambaran pengaruh induksi GnRHa terhadap nilai rataan fekunditas ikan hike dapat dilihat pada Gambar 15.
Gambar 14 Histogram nilai rataan IGS ikan hike setelah pemberian GnRHa
Gambar 15 Histogram nilai rataan fekunditas ikan hike setelah pemberian GnRHa
Perlakuan peningkatan dosis induksi ovulasi dengan GnRHa berperan meningkatkan nilai indeks gonad somatik dengan kisaran nilai IGS 10,34%-12,14%. Sebaliknya pada induk yang tidak mengalami ovulasi, tidak dapat dilakukan pengukuran tehadap gonad sehingga tidak dapat dihitung nilai IGS. Nilai indeks gonad somatik yang diperoleh dalam penelitian ini berada dalam kisaran pertambahan gonad pada ikan betina yaitu antara 10-25% dari bobot tubuh (Tang dan Affandi 2000, Effendie 2002). Peningkatan nilai indeks gonad somatik yang diperoleh dalam penelitian ini disebabkan oleh adanya perkembangan oosit karena penimbunan kuning telur. Sebagaimana disebutkan oleh Tyler (1991) bahwa kuning telur merupakan komponen utama dari oosit yang sedang tumbuh. Pada saat proses vitelogenesis berlangsung, granula kuning telur bertambah dalam jumlah dan ukuran sehingga volume oosit membesar. Selama proses tersebut berlangsung, sebagian besar hasil metabolisme tertuju untuk perkembangan gonad. Hal ini menyebabkan terdapat perubahan gonad dalam bentuk peningkatan volume dan massa. Secara visual, peningkatan volume gonad dapat dikenali melalui pembesaran bagian abdomen ikan. Bahkan pada saat ikan sudah mencapai perkembangan gonad pada tingkat akhir, bagian kaudal abdomennya akan semakin besar dan lunak apabila dipalpasi. Adapun peningkatan massa gonad dapat dilihat dari relativitasnya terhadap massa tubuh dengan cara penghitungan indeks gonad somatik. Perlakuan induksi GnRHa dalam penelitian ini secara statistika tidak memberikan pengaruh yang berbeda nyata antar perlakuan, baik dalam parameter indeks gonad somatik maupun perolehan fekunditas. Hal ini diduga ada kaitannya dengan kecukupan kadar hormon GnRHa yang diinduksikan. Fekunditas ikan hike dengan bobot induk 240-300 gram dalam penelitian ini menghasilkan telur dalam kisaran 604-806 butir. Maka fekunditas relatif setiap kilogram induk dapat dihitung dan menghasilkan kisaran angka di atas kertas sebesar 2500-2700 butir telur. Angka fekunditas relatif ini mendekati fekunditas maksimum yang dilaporkan oleh Ingram et al. 2007 pada spesies Tor tambroides yaitu sebesar
2265 butir telur untuk setiap kilogram induk dan spesies Tor duoronensis sebesar 4463 butir telur untuk setiap kiligram induk. Berkaitan
dengan
perkembangan
oosit
dalam
ovarium,
pengamatan
mikroskopis terhadap sediaan histologi ovarium yang tidak berhasil melakukan ovulasi juga mengindikasikan bahwa ikan hike termasuk tipe ikan dengan tipe pemijahan parsial.
Keberadaan sel-sel oosit dalam ovarium memperlihatkan
gambaran bahwa setidaknya terdapat 3 tingkat ukuran oosit yang berbeda (Gambar 16).
Gambar 16 Gambaran histologi ovarium ikan hike dengan 3 tingkat ukuran oosit (Pewarnaan HE, pembesaran 10x40) A. Fase vitelogenik, sitoplasma penuh butiran lemak B. Fase kortikal alveoli, butiran lemak sedikit dekat vesikula germinalis C. Fase perinuklear, nukleoli kecil pada tepi nukleoplasma Berdasarkan ukuran oosit tersebut maka diduga bahwa ikan hike dapat memijah lebih dari satu kali dalam setahun selain pada periode Mei-Juni yang merupakan waktu dilakukannya penelitian ini.
Keadaan ini serupa dengan yang
dikemukakan oleh Ingram et al. (2007) pada ikan Tor tambroides dan Tor duoronensis bahwa kedua spesies ini memiliki tipe pemijahan parsial, asinkronous atau intermitten. Hal ini juga sesuai dengan penelitian Hardjamulia et al. (1995) yang mengemukakan hal serupa untuk spesies Tor duoronensis, bahwa ikan tersebut memiliki 4 tingkat perkembangan ovari dan 5 stadium perkembangan oosit.
Diameter Telur Rata–rata diameter telur terovulasi yang dihasilkan oleh induk ikan hike disajikan pada Tabel 3.
Distribusi diameter telur pada setiap pengamatan
menunjukkan ukuran diameter telur yang bervariasi, dengan perolehan diameter telur berukuran 1,78-1,91 mm. Ukuran diameter telur yang relatif besar didominasi oleh hasil pemijahan induk yang diberi perlakuan induksi dengan dosis 12 μg/kg berat badan. Nilai rataan diameter telur terbesar berikutnya diperoleh dari hasil induksi dengan dosis 10 μg/kg berat badan, sedangkan perlakuan dosis induksi 8 μg/kg berat badan hanya menghasilkan 1 ekor induk ovulasi dengan rataan diameter telur 1,78 mm. Berdasarkan analisis sidik ragam diketahui bahwa tidak terdapat pengaruh yang nyata dari perlakuan terhadap ukuran diameter telur dengan gambaran hasil secara histogramik disajikan pada Gambar 17 di bawah ini.
Gambar 17 Histogram nilai rataan diameter telur ikan hike setelah pemberian GnRHa Gambaran telur secara mikroskopik juga memperlihatkan tidak tampaknya perbedaan antara perlakuan dosis 8, 10 dan 12 μg/kg berat badan dalam hal kematangan telur pada tahap akhir, ditandai dengan posisi inti sel yang berada di tepi.
Hal ini mengandung arti bahwa ikan induk siap dipijahkan atau dilakukan koleksi telur untuk fertilisasi. Dari hasil pengamatan terhadap mikroskopik gonad pada induk yang tidak berhasil mengovulasikan telurnya, memperlihatkan bahwa sebagian telur pada gonad mengalami atresia. Diameter telur ikan hike dalam penelitian ini tidak dipengaruhi oleh perlakuan induksi GnRHa. Ukuran diameter telur menggambarkan potensi cadangan energi untuk pertumbuhan larva. Selain hal tersebut, ukuran telur juga dapat berkorelasi dengan ukuran larva. Dengan makna bahwa larva yang besar lebih tahan tanpa pakan dibandingkan dengan larva berukuran kecil yang dipijahkan dari telur kecil. Ukuran diameter telur ikan hike termasuk besar jika dibandingkan dengan diameter telur ikan mas. Telur ikan mas Majalaya yang merupakan strain besar hanya berukuran 0,9-1,6 mm. Akan tetapi dibandingkan dengan spesies Tor yang lain, telur ikan hike relatif berukuran kecil. Ikan spesies mahseer yakni Tor putitora yang dipelihara dalam kolam penangkaran di Nepal memiliki diameter telur 2,8-3,02 mm (Rai et al. 2006). Ikan semah (Tor douronensis) dalam pemeliharaan jaring apung memiliki telur matang dengan diameter sekitar 2,5 mm (Hardjamulia et al. 1995), sementara hasil pengamatan Rupawan
et al. 1999 terhadap ikan semah hasil
penangkapan dari Jambi dengan tingkat kematangan gonad IV memiliki dimeter telur 2,16-3,18 mm. Hal ini menunjukkan bahwa ukuran telur juga berkaitan dengan ukuran induknya. Pengamataan antar individu dalam penelitian ini juga memperlihatkan terdapatnya kecenderungan kaitan antara fekunditas dengan diameter telur. Meskipun parameter fekunditas dan diameter telur dalam penelitian ini, keduanya tidak dipengaruhi oleh perlakuan tapi secara relatif ditemukan kecenderungan keterkaitan antara fekunditas dengan ukuran diameter telur. Pada penelitian ini, induksi GnRHa dengan dosis 8 μg/kg berat badan menghasilkan fekunditas lebih banyak dan ukuran diameter telur yang lebih kecil dibandingkan perlakuan induksi GnRHa dengan dosis 10 μg/kg berat badan yang menghasilkan angka fekunditas lebih kecil dan ukuran telur ralatif lebih tinggi.
Banyak penelitian terdahulu yang menunjukkan bahwa
semakin banyak telur yang dipijahkan oleh ikan, ukuran telurnya akan semakin kecil.
Hal tersebut diantaranya ditemukan pada ikan salmon atlantik, ikan dengan diameter telur 5-6 mm memiliki fekunditas 2000-3000 butir dan angka fekunditas naik menjadi 10 juta telur pada diameter 1-1,7 mm (Blaxter 1969). Derajat Telur Terfertilisasi dan Derajat Tetas Telur Nilai rataan telur terfertilisasi ikan hike tertinggi ditemukan pada ikan yang diberi induksi GnRHa dengan dosis 12 μg/kg berat badan, yaitu 83,0±3,7%, diikuti oleh perlakuan dosis 10 μg/kg berat badan dengan rataan derajat telur terfertilisasi sebesar 68,7±3,1%.
Derajat telur terfertilisasi paling rendah ditemukan pada
perlakuan dosis 8 μg/kg berat badan yaitu sebesar 44,0±0,0%. Berdasarkan analisis sidik ragam diketahui bahwa induksi GnRHa memberikan pengaruh sangat nyata (P<0,01) terhadap derajat telur terfertilisasi. Selanjutnya, berdasarkan uji rentang Tukey diketahui bahwa antar kelompok perlakuan dosis juga menunjukkan perbedaan pengaruh. Hasil perlakuan dosis GnRH 8 μg/kg berat badan berbeda sangat nyata (P<0,01) dibandingkan dengan dosis perlakuan 10 μg/kg berat badan. Demikian pula dosis GnRH 8 μg/kg berat badan memberikan pengaruh yang berbeda sangat nyata (P<0,01) dibandingkan dengan dosis perlakuan 12 μg/kg berat badan. Hal serupa juga terjadi antara dosis perlakuan 10 μg/kg berat badan dengan dosis GnRHa 12 μg/kg berat badan, terdapat perbedaan pengaruh sangat nyata (P<0,01) antara keduanya terhadap derajat telur terfertilisasi.
Gambar histogram mengenai perlakuan dosis
GnRHa terhadap derajat terbuahi telur ikan hike dapat dilihat pada Gambar 18. Pengamatan telur terfertilisasi dilakukan dalam waktu setengah jam setelah dilakukan pencampuran antara telur dengan semen. Pada umur tersebut gambaran mikroskopik yang terlihat pada telur fertil adalah warnanya menjadi terang akibat telah terbentuknya polar bodi II karena telah terjadi peleburan inti sel telur dan inti sel spermatozoa (Gambar 19).
Gambar 18 Histogram derajat terbuahi telur ikan hike setelah induksi GnRHa
Gambar 19 Gambaran mikroskopik telur ikan hike fertil, posisi inti sel di tepi dan warna lebih terang (pembesaran 4x10) Selanjutnya pada pengamatan telur 3 jam pasca fertilisasi menunjukkan bahwa telur telah memasuki periode pembelahan (Gambar 20a) dan pada umur 72 jam pasca fertilisasi, pada telur telah terbentuk embrio dalam stadium gastrula (Gambar 20b).
Gambar 20 Gambaran mikroskopik embrio ikan hike setelah fertilisasi (pembesaran 10x10) A. Fase pembelahan (3 jam) B. Fase gastrulasi (72 jam) Pada penelitian ini didapatkan hasil bahwa derajat tetas telur tertinggi ditemukan pada perlakuan dosis GnRH 12 μg/kg berat badan dengan rataan tingkat penetasan telur sebesar 21,5±5,1%, selanjutnya diikuti oleh dosis perlakuan 10 μg/kg berat badan dengan rataan 18,3±4,2%. Perlakuan dosis GnRH 8 μg/kg berat badan menghasilkan derajat penetasan telur paling rendah yaitu sebesar 9,0±0,0%. Berdasarkan
hal
tersebut
dapat
dikatakan
bahwa
terdapat
kecenderungan
meningkatnya perolehan hasil penetasan larva seiring dengan peningkatan dosis perlakuan induksi GnRHa, tetapi secara statistika tidak terdapat pengaruh antar dosis perlakuan GnRHa. Hal yang sama juga terlihat berkaitan antara tingkat penetasan telur dengan tingkat telur terfertilisasi.
Pada derajat fertilisasi telur yang tinggi,
diperoleh tingkat penetasan larva yang tinggi, sebaliknya pada tingkat fertilisasi telur yang rendah diperoleh derajat penetasan telur yang rendah (Tabel 3). Gambaran histogram derajat tetas telur ikan hike setelah induksi GnRHa tersaji pada Gambar 21.
Gambar 21 Histogram derajat tetas telur ikan hike setelah induksi GnRHa Secara umum kualitas telur yang baik dapat dilihat dari derajat telur terfertilisasi dan derajat tetas telur. Pada penelitian ini terlihat bahwa rataan derajat telur terfertilisasi dipengaruhi secara nyata oleh perlakuan induksi GnRHa. Dalam hal ini semakin meningkat dosis perlakuan, derajat fertilitas telur juga meningkat. Berdasarkan uji rentang Tukey diketahui terdapat perbedaan pengaruh yang sangat nyata antar perlakuan dosis 8 dangan 10 dan 12 µg/kg berat badan atau antara perlakuan dosis 10 dengan 12 µg/kg berat badan. Selama fertilisasi, derajat keberhasilan pembuahan dari pihak induk betina sangat ditentukan oleh tingginya akumulasi lemak dalam telur yang berfungsi sebagai sumber energi utama. Selain hal tersebut, derajat pembuahan secara tidak langsung juga berkaitan erat dengan senyawa prostagladin yang akan mengawal keberhasilan ovulasi telur hingga penetasannya. Hal ini sesuai dengan pendapat Goodman 1994 yang menyatakan bahwa bahan baku senyawa prostagladin adalah asam arakhidonat yang bersumber dari asam lemak esensial sehingga akumulasi asam lemak esensial dalam telur yang meningkat akan berperan meningkatkan derajat pembuahan. Maka
dalam hal ini dapat juga ditarik kaitan antara diameter telur dengan potensi telur agar terbuahi. Pada penelitian ini dapat dilihat bahwa pada kelompok telur dengan rataan diameter telur yang tinggi diikuti dengan tingkat fertilisasi telur yang tinggi dan sebaliknya pada kelompok telur dengan rataan diameter yang rendah juga diikuti dengan tingkat fertilisasi telur yang rendah (Tabel 3). Selanjutnya pada fase setelah fertilisasi, kekurangan prostagladin pada telur akan menyebabkan gagalnya proses pembelahan sel dan akibatnya akan menghasilkan derajat tetas telur yang rendah seperti yang dihasilkan oleh induk dengan dosis induksi 6μg/kg berat badan dengan daya tetas 9.00%. Ketidakmampuan ovulasi induk (4 dari 12 ekor) dalam penelitian ini diduga merupakan akibat kejadian atresia folikel yang terlihat sebagaimana dalam gambaran ovarium secara mikroskopis (Gambar 22). Folikel sebenarnya telah tumbuh dan berhasil mencapai tahapan oosit postvitellogenic, tetapi kemudian mengalami degenerasi sehingga tidak berhasil mencapai ovulasi.
Hal ini dipastikan dengan
diperolehnya telur pada saat dilakukan kateterisasi telur sebelum diberikan perlakuan. Atresia folikel dalam penelitian ini diduga diakibatkan oleh dua hal, yaitu karena tidak mencukupinya faktor induksi hormon dan terdapatnya perbedaan keadaan air antara habitat penangkaran dengan habitat asal.
Gambar 22 Gambaran histologi ovarium ikan hike yang tidak berhasil mengovulasikan telur, (Pewarnaan HE, pembesaran 10x40) A. Folikel vitelogenik normal B. Folikel atretik (nukleolus kecil, tidak jelas)
Tidak mencukupinya dosis induksi hormon merupakan faktor penyebab kegagalan ovulasi dalam penelitian ini. Hal ini diperlihatkan dari hasil penelitian bahwa keberhasilan ovulasi pada dosis induksi 8 µg/kg berat badan memberikan keberhasilan ovulasi induk dengan persentase terkecil (25%), diikuti perlakuan dosis induksi 10 µg/kg berat badan dengan persentase keberhasilan 75% dan perlakuan dosis induksi 12 µg/kg berat badan yang memberikan persentase keberhasilan ovulasi tertinggi (100%). Berdasarkan hal tersebut dapat dikatakan bahwa meningkatnya perlakuan dosis hormon berperan dalam meningkatkan persentase keberhasilan ovulasi. Keadaan atresia folikel seperti yang terjadi pada penelitian ini dapat dijelaskan berdasarkan pendapat Mylonas dan Zohar (2001). Gambar 23 memperlihatkan bahwa manipulasi hormonal dalam bentuk memberikan injeksi GnRHa pada ikan yang telah mengalami fase pertumbuhan oosit akan berakibat terjadinya lonjakan LH dan segera diikuti dengan meningkatnya MIH dalam plasma darah. Sebaliknya jika setelah fase pertumbuhan oosit, ternyata konsentrasi LH terus berkurang maka tidak terjadi peningkatan keberadaan MIH dalam darah. MIH atau maturation inducing hormon merupakan mediator penting dalam keberhasilan ovulasi pada ikan. Berkaitan dengan hal ini, Nagahama (1987b) menjelaskan bahwa proses pematangan oosit diatur oleh tiga faktor yaitu LH, MIH dan MPF (maturation promoting factor). Selanjutnya disebutkan juga bahwa aktivitas LH dalam mempengaruhi kematangan oosit sesungguhnya bersifat tidak langsung, yakni melalui perantaraan produksi MIH dari sel folikel. Aktivitas LH pada sel teka dapat meningkatkan 17-hydroxyprogesterone melalui mediasi reseptor sistem adenilat siklase-cAMP. Selanjutnya 17-hydroxyprogesterone diubah ke dalam bentuk 17,20dihydroxy-4-pregnen-3-one
oleh
sel
granulosa
yang
merupakan
tempat
berlangsungnya aktivitas LH dalam mempengaruhi sintesis de novo enzim 20hydroxysteroid dehydrogenase (20 HSD).
Gambar 23 Perubahan hormon selama pematangan oosit dan kejadian atresia (Mylonas dan Zohar 2001) Faktor penyebab lain dari kejadian atresia folikel pada penelitian ini adalah karena terdapatnya perbedaan kualitas air pada habitat penangkaran dengan habitat asal ikan hike. Meskipun kolam penangkaran yang digunakan dalam penelitian ini mendapat aliran air yang berasal dari habitat asal ikan hike (melalui Sungai Cipadung), akan tetapi didapati perbedaan dalam beberapa parameter kualitas air (Tabel 4). Berdasarkan Tabel 4, diketahui terdapat perbedaan keadaan air terutama pada tiga parameter kualitas air yaitu kesadahan, kekeruhan dan COD (chemical oxygen demand) terutama COD pada saat penetasan telur. Pengukuran terhadap BOD (biologycal oxygen demand)) dan suhu juga menunjukkan peningkatan selama berlangsungnya penelitian meskipun tidak begitu besar sehingga dapat diabaikan. Sementara itu, hasil pengukuran terhadap pH air tidak menunjukkan perbedaan antara habitat asal dengan habitat penangkaran. Hal yang sama juga terjadi pada oksigen terlarut (DO/dissolved oxygen) yang juga tidak berbeda kecuali pada saat sebelum dilakukannya penelitian dan pada saat sebelum dilakukan pengambilan data.
Tabel 4 Kualitas air pada habitat asal dan habitat penangkaran ikan hike Parameter Kualitas Air Habitat
DO mg/L
BOD mg/L
COD mg/L
pH
Suhu (oC)
Kesadahan mg/L
Kekeruhan mg/L
HA
6,4
1,1
10,5
6,8
21,5
12,60
0,15
HP1
6,5
1,0
10,0
6,8
22,0
20,55
0,20
HP2
6,4
1,3
25,5
6,8
22,0
19,24
13,89
HP3
6,4
2,2
96,83
6,8
22,5
26,07
9,45
Keterangan: HA : habitat asal HP1 : habitat penangkaran sebelum percobaan HP2 : habitat penangkaran pada pertengahan percobaan HP3 : akuarium penetasan telur
Terdapat peningkatan kesadahan air dari 12,60 mg/L pada habitat alami menjadi 19,24-26,07 mg/L pada habitat penangkaran dan akuarium penetasan. Hasil pengukuran kesadahan air pada kedua habitat ikan hike, baik habitat asal maupun habitat penangkaran ikan hike sesungguhnya masih tergolong dalam kesadahan air lunak (soft water) karena nilai kesadahannya masih dibawah 50 mg/L. Kekeruhan air juga meningkat dari 0,15 mg/L pada habitat alami menjadi 0,20-13,89 mg/L pada habitat penangkaran dan akuarium penetasan ikan hike. Kesadahan merupakan ukuran yang menunjukkan jumlah ion kalsium (Ca++) dan ion magnesium (Mg++) dalam air. Secara praktis, kesadahan merupakan petunjuk kemampuan air untuk membentuk busa apabila dicampur dengan sabun. Pada air berkesadahan rendah, air akan dapat membentuk busa apabila dicampur dengan sabun, sedangkan pada air berkesadahan tinggi tidak akan terbentuk busa. Kesadahan sangat penting artinya karena merupakan salah satu petunjuk kualitas air yang diperlukan bagi ikan. Kesadahan air yang meningkat pada habitat ikan membawa akibat pada penyimpangan homeostasis kalsium dan magnesium terionisasi pada tubuh ikan yakni dalam cairan ekstrasel. Dalam hal ini Ganner (1997) menyebutkan bahwa untuk menjamin semua proses fisiologis tubuh berjalan normal, konsentrasi Ca++ dalam plasma harus dipertahankan dalam batas-batas yang sangat sempit. Kalsium dalam
bentuk terionisasi yang dipertahankan pada konsentrasi 1,1-1,3 mmol/L pada ikan air tawar merupakan fraksi yang biologis aktif. Bahkan pada mamalia disebutkan bahwa, peningkatan kalsium plasma yang nyata dapat mengakibatkan kematian karena paralisis otot dan koma. Tidak semua ikan dapat hidup pada nilai kesadahan yang sama. Secara umum ketidaksesuaian dalam kesadahan akan mempengaruhi transfer gizi dan hasil sekresi melalui membran dan dapat mempengaruhi kesuburan, fungsi organ dalam seperti ginjal dan pertumbuhan. Setiap jenis ikan memerlukan kisaran kesadahan tertentu untuk hidupnya. Pada umumnya, hampir semua jenis ikan dan tanaman dapat beradaptasi dengan kondisi kesadahan air setempat meskipun demikian tidak demikian halnya dengan proses pemijahan. Pemijahan bisa gagal apabila dilakukan pada air dengan nilai kesadahan yang tidak tepat. Lukman et al. 2002 mendapati bahwa anakan Labeobarbus sp yang dipelihara pada bak pendederan di Kuningan masih dapat tumbuh pada media dengan kesadahan 100-112,5 CaCO3mg/L. Sedangkan ikan hike pada habitat asalnya hidup dalam air berkesadahan rendah. Dalam kolam penangkaran, ikan hike dapat bertahan hidup tetapi hanya sebagian yang mampu melanjutkan aktifitas reproduksinya dengan memberikan respon terhadap induksi gonadotropin sementara sebagian induk ikan hike mengalami atresia folikel. Meningkatnya kesadahan air yang terukur pada kolam penangkaran dalam penelitian ini diduga diakibatkan oleh cemaran rumah tangga mengingat kolam penangkaran mendapatkan inlet pasokan air dari sistem yang terbuka.
Sumber
cemaran air yang dimaksud berasal dari aktifitas mencuci, mandi dan masuknya limbah dari kegiatan rumah tangga oleh penduduk setempat. Kekeruhan merupakan manifestasi terdapatnya padatan yang tersuspensi dalam air. Ikan hike pada habitat asalnya menempati kolam dengan sumber mata air yang sangat jernih dengan dasar perairan berpasir dan berbatu.
Walaupun kolam
penangkaran untuk pemeliharaan juga diupayakan dengan memberikan batuan pada dasar kolam, rupanya tidak mampu menghadirkan keadaan yang mendekati kolam asalnya. Terutama setelah penelitian berlangsung, terdapat peningkatan frekuensi dan
intensitas (curah hujan) yang mengakibatkan membawa lebih banyak hanyutan dari daratan sekitarnya. Hal tersebut dicirikan dengan warna air dalam kolam penangkaran yang berwarna coklat keruh dan terbentuknya endapan lumpur pada dasar kolam. Pengaruh dari kekeruhan air dapat mengakibatkan ikan sulit untuk menemukan makanan, insang ikan menjadi kotor dan ikan menjadi kesulitan bernafas. Mekanisme patologis tersebut terjadi karena pada perairan yang keruh, partikel tanah akan menempel pada selaput lendir insang selama respirasi. Semakin lama keadaan ini akan menimbulkan gangguan pada sistem respirasi. Spesies Labeobarbus dikenal sebagai ikan dengan habitat air yang jernih. Sekalipun demikian untuk ikan kancra di Kuningan masih dapat memijah secara alami dengan kondisi kekeruhan 11-50 mg/L padatan tersuspensi (Lukman et al. 2002), Pada ikan hike, dengan tingkat kekeruhan air di bawah 14 mg/L sudah merupakan kondisi lingkungan perairan yang diduga memberikan pengaruh terhadap keberhasilan ovulasi. Suhu perairan pada habitat penangkaran juga lebih tinggi 0,5 derajat dibandingkan dengan habitat asal. Reddy 1993 menyatakan bahwa ikan adalah hewan berdarah dingin, yang suhu tubuhnya selalu menyesuaikan dengan suhu sekitarnya. Selanjutnya dikatakan pula bahwa ikan mempunyai kemampuan untuk mengenali dan memilih range suhu tertentu yang memberikan kesempatan untuk melakukan aktivitas secara maksimum termasuk aktivitas reproduksi. Hal ini sejalan dengan pendapat Laevastu dan Hela 1970 yang mengatakan bahwa pengaruh suhu terhadap ikan adalah dalam proses metabolisme, seperti pertumbuhan dan pengambilan makanan, aktivitas tubuh, seperti kecepatan renang, serta dalam rangsangan syaraf. Pada umumnya ikan lebih cepat matang gonad dan berovulasi pada suhu yang sedikit lebih tinggi. Kraak dan Pankhurst dalam Herianti 2005 menyatakan bahwa suhu yang lebih tinggi berpotensi mempengaruhi (1) pembebasan GnRH pada sekresi gonadotropin dari pituitari, (2) mempengaruhi aksi gonadotropin pada produksi steroid gonad dan (3) mempengaruhi estradiol 17-β pada produksi vitelogonin di dalam hepar. Menurut Hartuti et al. 2004, pada beberapa jenis ikan, suhu air dapat mempercepat atau memperlambat mulainya pemijahan. Dalam penelitian ini, perbedaan suhu pada
habitat diduga berperan dalam memperlambat atau berkurangnya rangsangan terhadap susunan syaraf pusat untuk menstimulasi kerja kelenjar hipofisis dalam fungsi reproduksinya.
Mengacu pernyataan Shanbhag dan Saidapur 1996 bahwa
hipofisektomi akan menyebabkan atresia folikel. Paparan sinar matahari terhadap air pada kolam penangkaran juga diduga berperan dalam meningkatnya suhu air pada kolam penangkaran.
Keadaan ini
sebetulnya telah disiasati dengan memberikan paranet sebagai pentup kolam mengingat kolam asal ikan hike memiliki canopi yang rapat dari pohon-pohon besar. Namun rupanya hal tersebut masih belum cukup mengkondisikan agar tidak terjadi perbedaan suhu. Bahkan pada dasar kolam juga disediakan naungan berbahan paralon sebagai tempat ikan bersembunyi mengingat ikan hike bersifat nokturnal. Parameter air yang diukur dengan hasil berbeda juga adalah COD dan BOD. COD yang meningkat pada kolam penangkaran diduga karena keberadaan bahan organik yang terikut oleh air selama perjalanan hingga masuk kolam penangkaran. Sedangkan BOD yang meningkat disebabkan oleh kehadiran biota air, baik yang bersumber dari aliran air (Sungai Cipadung) maupun yang merupakan biota dalam kolam penangkaran sendiri. Pemeriksaan plankton pada kedua habitat menunjukkan bahwa air berasal dari kolam penangkaran memiliki tingkat kesuburan dan keragaman plankton yang lebih tinggi dibandingkan dengan kolam asal ikan hike (Tabel 5). Berdasarkan hal tersebut maka kualitas air secara biologi berkaitan dengan kelimpahan plankton sebagai sumber pakan alami
diduga bukan merupakan unsur yang mempengaruhi hasil
penelitian ini. Plankton merupakan jasad renik yang melayang dan selalu mengikuti gerakan air. Ditemukan 6 jumlah taksa pada kolam penangkaran dibandingkan 4 taksa pada kolam asal ikan hike.
Kelimpahan plankton pada kolam penangkaran berjumlah
51510 dibandingkan 20000 (individu/m3 air) pada kolam asal ikan hike. Serta angka keseragaman 1,28 pada kolam penangkaran dibandingkan 0,69 pada kolam asal ikan hike.
Kesuburan atau kelimpahan dan keberagaman plankton dalam batas tertentu
umumnya menjadi indikasi yang baik terhadap kualitas air yang diperlukan dalam
pemeliharaan ikan. Oleh karena semakin tinggi kesuburan dan keberagaman plankton menunjukkan ketersediaan pakan secara alami dalam perairan. Tabel 5 Hasil analisa plankton pada habitat asal dan penangkaran ikan hike Biota Bacillariophyceae Cyclotella sp Cosconidiskus Synedra sp Navicula sp Surirella sp Chlorophyceae Dedogonium sp Spyrogyra sp Ankistrodesmus sp Cyanophyta Lyngbya sp Oscillatoria sp Nemathel Minthes Diplogasteroides sp Algae Chlorella sp Pinnularia sp Tribonema sp Ulothrix sp Jumlah taxa Kelimpahan (ind/m3) Keragaman Keseragaman Dominasi
HA
HP1
HP2
9090 4000
3030 30300
4440
8000
3030
2220
4000
3030
1665 5555 4000 4 20000 0,69 0,5 0,28
3030 6 15510 1,28 0,71 0,39
4 13880 0,58 0,45 0,23
Keterangan: HA : habitat asal HP1 : habitat penangkaran pada pertengahan percobaan HP2 : akuarium penetasan telur
Perbedaan kesuburan dan keberagaman plankton yang ditemukan antara kolam asal dan kolam penangkaran ikan hike diduga karena kolam penangkaran juga digunakan sebagai kolam budidaya (ikan nila).
Kondisi ini memungkinkan
terbentuknya perairan yang lebih subur karena adanya sisa-sisa pakan dari kegiatan budidaya ikan berpotensi sebagai penyedia unsur hara yang baik bagi tumbuhnya jenis
plankton tertentu. Selain itu tingkat kekeruhan yang lebih tinggi dan penyinaran matahari yang lebih banyak pada habitat penangkaran disuga juga berperan terhadap lebih beragamnya spesies plankton yang dapat berkembang. Sebagaimana disebutkan oleh Wetzel (1975) tentang beberapa faktor yang menentukan perkembangan hidup fitoplankton adalah kekeruhan, proses fotosintesis dan ketersediaan unsur hara yang memadai. Dalam penelitian ini ditemukan bahwa plankton dari spesies Cyclotella sp dan Navicula sp tidak didapati pada habitat asal ikan hike, tetapi justru ditemukan pada perairan penangkaran sedangkan kedua spesies plankton di atas merupakan jenis fitoplankton. Terhadap pengukuran parameter kimia air lainnya, sekalipun angka BOD antara 2 habitat menunjukkan perbedaan, tetapi DO yang tidak berbeda pada kedua habitat sangat berperan mencukupi ketersediaan oksigen yang sangat penting bagi ikan. Kolam penangkaran memiliki suplai air yang berarus cukup deras sehingga memberikan ketersediaan oksigen yang cukup bagi ikan. Seperti halnya DO, pH air juga tidak menunjukkan perbedaan antar 2 kolam. pH air 6,8 menunjukkan angka mendekati netral. Lukman et al. 2002 mendapatkan hasil pengukuran pH pada kolam pemijahan alami ikan tambra (Labeobarbus sp) di Kuningan pada kisaran 5,96-7,53. Secara keseluruhan kualitas air yang diperoleh dari kolam penangkaran merupakan keadaan air yang cukup layak untuk penangkaran ikan hike, terbukti hingga penelitian berakhir tidak ditemukan ikan mati. Ketidakberhasilan ovulasi pada sebagian induk pada penelitian ini yang diduga karena kejadian atresia folikel, yang merupakan akibat interaksi antara faktor lingkungan dan hormon.
Sekalipun
lingkungan perairan cukup layak menjadi tempat hidupnya ikan, tetapi dibutuhkan stimulasi lingkungan yang kuat agar hormon-hormon reproduksi berada pada level yang cukup untuk terjadinya ovulasi. Atau jika stimulasi lingkungan dalam prose penangkaran ikan tidak terpenuhi maka dibutuhkan intervensi hormon eksogen yang cukup agar tidak terjadi atresia folikel. Sebagaimana dikemukakan oleh Bromage dan Cumaranatuga dalam Tyler dan Sumpter (1996) bahwa atresia folikel merupakan hal yang umum terjadi dalam
kegiatan penangkaran ikan,
bahkan kejadian atresia folikel sangat signifikan
ditemukan pada penangkaran salmon.
Hal ini terjadi karena kondisi lingkungan
penangkaran tidak berhasil memberi stimulasi yang cukup bagi susunan syaraf pusat untuk memulai bekerjanya sistem hormon. Pendapat yang sama disebutkan oleh Tyler (1991) bahwa kejadian atresia akan meningkat pada keadaan lingkungan yang sub optimal. Pada pemijahan yang tidak diinduksi hormon, ovulasi mutlak terjadi karena keberhasilan rangsangan lingkungan terhadap otak yang kemudian mengirim sinyal ke pituitari, sehingga seluruh sistem reproduksi dapat bekerja saling terkait. Pada ikan yang ovulasinya diinduksi hormon, stimulasi oleh lingkungan yang tidak mencukupi memerlukan dukungan kecukupan hormonal dengan cara intervensi hormon eksogen. Oleh karena itu dari hasil penelitian ini dapat dipelajari bahwa keterkaitan antara faktor lingkungan dengan faktor hormonal merupakan penyebab kegagalan ovulasi ikan hike yang dipelihara dalam habitat penangkaran. Demikian pula, dosis yang tepat sangat penting ketika dilakukan induksi hormon. Kekurangan dosis hormon sedikit saja akan berakibat kegagalan ovulasi seperti didapati pada perlakuan dosis induksi GnRH lebih rendah (8 dan 10 µg/kg berat badan). Sebaliknya kelebihan dosis dapat mengakibatkan turunnya kualitas telur yang akan berpengaruh terhadap rendahnya kualitas larva. Dalam penelitian ini telah terjadi peningkatan angka COD yang sangat tinggi pada akuarium penetasan. Hal tersebut diduga mejadi penyebab rendahnya tingkat penetasan embrio yang hanya mencapai 9,0-%21,5% dari keseluruhan telur yang berhasil dikoleksi. COD dan BOD sesungguhnya keduanya menunjukkan jumlah oksigen yang ada dalam air. Akan tetapi COD berkaitan dengan jumlah oksigen yang digunakan dalam reaksi-reaksi kimia dalam air. Sebagaimana kesadahan air pada kolam penangkaran telah menjadi penyebab langsung terhadap ketidakberhasilan ovulasi pada sebagian induk, secara tidak langsung kesadahan air juga berpengaruh terhadap peningkatan COD dan selanjutnya COD berperan dalam keberhasilan penetasan. Hal tesebut dapat dilihat pada Tabel 4
bahwa COD telah meningkat dari 19,24 mg/l pada kolam penangkaran menjadi 26,07 mg/l pada akuarium penetasan. Hal kedua yang diduga berpengaruh terhadap rendahnya perolehan derajat penetasan embrio adalah persiapan penetasan. Persiapan penetasan yang dimaksud dalam penelitian ini adalah penggunaan desinfektan untuk membebashamakan perlengkapan dan peralatan penetasan terutama akuarium menggunakan metilen biru. Penggunaan metilen dalam hal ini telah mengakibatkan toksifikasi terhadap embrio sebagaimana dapat dilihat pada Tabel 3 bahwa derajat fertilisasi yang mencapai 44,0%-83,0% tidak diikuti dengan derajat penetasan yang baik tapi perolehan derajat penetasan hanya
berkisar 9,0-%21,5%.
Toksifikasi metilen biru terhadap biota
dinyatakan oleh Raghuvansi et al. 2004 bahwa keberadaan metilen biru dalam perairan diantaranya berpengaruh secara kinetik dalam menghambat penggunaan oksigen terlarut. Dalam penelitan ini, kandungan oksigen terlarut dalam air selama penetasan tetap tinggi (Tabel 4) tetapi hal tersebut tidak sinergis dengan kebutuhan oksigen untuk penguraian bahan organik secara kimiawi .
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Berdasarkan hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa: Ikan hike yang digunakan sebagai bahan penelitian adalah Labeobarbus longipinnis, hidup pada perairan berarus dan jernih, dasar perairan berbatu, suhu air 21-22oC, pH air 6.8 dan kandungan oksigen terlarut yang tinggi. Perlakuan induksi GnRHa dengan dosis 8-12 μg/kg berat badan menghasilkan ovulasi pada ikan hike yang dipelihara dalam kolam penangkaran kemudian diikuti dengan kemampuan telurnya untuk menetas manghasilkan larva. (2) Perlakuan induksi GnRHa memberikan pengaruh terhadap masa laten dan derajat telur terbuahi, sedangkan terhadap keempat penampilan reproduksi lainnya yaitu indeks gonad somatik, fekunditas, diameter telur dan derajat tetas telur tidak memberikan pengaruh yang nyata. (3)
Induksi GnRH dengan dosis 12 μg/kg berat badan menghasilkan laten tercepat setelah injeksi hormon yang kedua yaitu 18,75 jam, indeks gonad somatik tertinggi yaitu 12,14%, fekunditas tertinggi yaitu 806 butir telur, diameter telur dengan ukuran terbesar yaitu 1,91 mm, derajat telur terbuahi tertinggi yaitu 83,0% dan derajat tetas telur tertinggi 21,5%. Dengan demikian induksi GnRH pada induk ikan hike betina fase postvitelogenik dengan dosis 12 μg/kg berat badan memberikan ovulasi dengan kaulitas telur yang paling baik dibandingkan dengan induksi GnRHa pada dosis 8 atau 10 μg/kg berat badan.
(4) Kegagalan ovulasi pada sebagian induk ikan hike diduga karena terjadinya atresia folikel yang disebabkan oleh kurangnya dosis hormon yang diinduksikan dan perbedaan keadaan air pada kolam penangkaran terutama kesadahan, kekeruhan air dan peningkatan COD.
Sedangkan rendahnya tingkat penetasan embrio
diduga diakibatkan oleh peningkatan COD air selama penetasan dan toksifikasi metilen biru pada saat dilakukan desinfeksi perlengkapan penetasan.
Saran Dalam rangka penangkaran ikan hike, perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai: (1) Dosis optimal GnRHa untuk menginduksi ovulasi dan menghasilkan tingkat penetasan telur ikan hike yang paling baik karena dalam penelitian ini dihasilkan data pengamatan yang terus meningkat seiring dengan meningkatnya dosis induksi GnRHa. (2) Pemeliharaan larva ikan hike sebagai kelanjutan dari penelitian ini serta hal-hal lain yang berkaitan dengan aspek reproduksi ikan hike jantan.. (3) Pemijahan ikan hike dapat dilakukan lebih dari sekali dalam setahun setelah memperhatikan tipe pemijahan ikan hike adalah asinkronous (memijah tidak serempak).
DAFTAR PUSTAKA Aida K, Shimizu A, Asahina and Hanyu I. 1991. Photoperiodism in reproduction in bitterlings. Proceedings of Fourth International Symposium on Reproductive Physiology of Fish. Univ of East Anglia. Norwich. Bagenal TB. 1969. Relationship between egg size and fry survival in Brown trout (Salmo Trutta L). J Fish Biol 1: 349-353. Billard R, Cosson J, Perhec G and Linhart O. 1995. Biology of sperm and artificial reproduction in carp. Aquaculture. 129: 92-112. Blaxter HS. 1969. Development of egg and larvae. In Hoar W.S, Randall DJ and Donaldson EM (eds). Fish Physiology Vol III. Academic Press Inc. p: 184190. Bromage J, Randall J, Thrush C, Davies M, Springate B, Duston J and Barker G. 1992. Broodstock management, fecundity, egg guality and the timing of egg production on the rainbow trout (Oncorhyncus mykiss). Aquaculture 100, 141166. Brooks S, Tyler CR and Sumpter JP. 1997. Egg quality in fish: what makes a good eggs? Rev in Fish Biology and Fisheries 7: 387-416. Brzuska E. 2006. Artificial spawning of female Lithuanian strain B carp (Cypinus carpio L.) after treatment with carp pituitary homogenate, Ovopel or [d-Tle6, ProNHEt9] GnRH-a (Lecirelin). Aquaculture Reseach. 37 (3): 264-271. Cerda J, Calman BG, Lafleur Jr GJ and. Limesand S. 1996. Pattern of vitellogenesis and ovarian follicular cycle of Fundulus heteroclitus. Gen and Comp Endocrinol. 103: 24-35. De Silva SS, Ingram B, Sungan S, Tinggi D, Gooley G and Sim SY. 2004. Artificial propagation of the indigenous Tor species, empurau (T. tambroides) and semah (T. douronensis), Sarawak East Malaysia. Aquaculture Asia 9:15-20. Effendie MI. 2002. Biologi Perikanan. Yayasan Pustaka Nusantara. Yogyakarta. 163 hal. Gaffar AK, Utomo AD dan Adjie S. 1991. Pola pertumbuhan, makanan dan fekunditas ikan semah (Labeobarbus douronensis) di Sungai Komering bagian hulu, Sumatera Selatan. Bull. Penel. Perik. Darat. 10 (1): 17-21. Goodman S. 1994. Vitamin C the master nutrient. Terjemahan oleh Muhilal Komar. Gramedia. Jakarta.
Granner DK. 1997. Hormon yang mengatur metabolisme kalsium. dalam Biokimia Harper Edisi 24. Murray RK, Granner DK, Mayes PA and Rodwell VW (eds). Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta Hardjamulia A, Suhenda N, Muharam B dan Wahyudin E. 1999. Pengaruh pakan berkadar protein berbeda terhadap pertumbuhan, laju sintasan dan perkembangan ovari gelondongan ikan semah (Tor douronensis). Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia. Vol. V, No.4: 7-14. Harikumar S, Kodovayour G, Padmanabhan, Puthanvetil AJ and Kortmulder K. 1994. Dry season spawning in a Cyprinid fish of Southern India. Enviromental Biology of Fishes, 39: 129-136. Hartuti M, Prayogi, Mulyaningsih W dan Manoppo A. 2004. Implementasi dan Pembinaan Aplikasi Informasi Zona Potensi Penangkapan Ikan di Situbando dan Makassar. Laporan Semester. Lapan. Haryono. 2006. Tambra, Ikan Kancra dari Pegunungan Muller. Rakyat: Kamis, 15 Juni 2006.
Harian Pikiran
Herianti I. 2005. Rekayasa lingkungan untuk memacu perkembangan ovarium ikan sidat (Anguilla bicolor) Oseanologi dan Limnologi di Indonesia. No. 37:2541. Hoar WS. 1972. Reproduction In Hoar WS,.Randall DJ and Donaldson EM (eds) Fish Physiology. Academic Press. New York. Ingram B, Sungan S, Gooley G, Sim SY, Tinggi D and De Silva SS. 2005. Induced spawning, larval development and rearing of two indigenous Malaysian mahseer, Tor tambroides and Tor douronensis. Aquaculture Reseach 36: 1001-1014. Ingram B, Sungan S, Tinggi D, Sim SY and De Silva SS. 2007. Breeding performance of Malaysian mahseer, Tor tambroides and Tor douronensis broodfish in captivity. Aquaculture Reseach 38: 809-818. Joshi PL, Gurung TB, Basnyat SR and Nepal AP. 2002. Domestication of wild golden mahseer (Tor putitora) and hatchery operation. FAO Fisheries Technical Paper. Corporate Documentary Respository. Rome. Italia. Kamler E. 192. Early life history of fish. An energetic approach. Chapman and Hill. London. 267p. Kiat Ng Chi. 2004. The kings of rivers Masheer in Malayan and the region. Inter Sea Fishery, Selangor. Malaysia.
Kjorsvik E and Lonning S. 1984. Morphological, physiological and genetical studies of egg quality in Cod fish (Gadus morhua L). In the Propagation of Cod Gadus morhua L. Flodevigen rapport serie 1: 67–86. Kjorsvik E, Mangor-Jensen A and Holmfjord I. Advances in Marine Biology, 26: 71-113.
1990.
Egg quality in fishes.
Kottelat M, Whitten AJ, Kartikasari SN and Wirjoatmodjo S. 1993. Freshwater Fishes of Western Indonesia and Sulawesi. Periplus Editions. Lagler KF, Bardach JE, Miller KK and Passino DRM. 1977. Ichthyology. Second edition. John Willey and Son’s. New York. 506p. Lahnsteiner F, Urbanyi B, Horvarth A and Weismann. 2001. Bio-markers for egg quality determination in cyprinid fish. Aquaculture 195: 331-352. Lam TJ and Sharma R. 1985. Effects of salinity and thyroxin on growth and development in the carp, Cyprinus carpio. Aquaculture, 44:201-212. Linhart O, Kudo S, Billard R, Slechta V and Mikodina EV. 1995. Mordhology composition and fertilization of carp eggs: A review. Aquaculture 129: 75-93. Lukman H, Fauzi dan Laelasari. 2002. Upaya domestikasi ikan kancra (Labeobarbus sp) di Kuningan. Prosiding Seminar Nasional Limnologi. Puslit Limnologi LIPI. Matty AJ. 1985. Fish Endocrinology. Leaper and Gard Ltd. London. Mylonas CC and Zohar Y. 2001. Use of GnRHa-delivery sytems for the control of reproduction fish. Rev in Fish Biology and Fisheries10: 463-491. Nagahama Y. 1987a. Gonadotropin action on gametogenesis and steroidogenesis in teleostei gonads. Zoological Science. 4: 209-222. Nagahama Y. 1987b. 17α, 20β-dyhidroxy-4-pregnen-3-one: a teleost maturation inducing hormone. Develop. Growth and Differ. 29(1):1-12. Nagahama Y. 2000. Gonadal steroid hormones: mayor regulator of gonadal sex differentiation and gametogenesis in fish. Proceeding of The 6th International Symposium on Reproductive Physiology of Fish. Bergen, Norway. p. 211222. Nagahama Y. Yoshikuni M., Yamashita M., Tokumoto T and Katsu Y. 1995. Regulation of oosit growth and maturation in fish. In: Pedersen RA. and
Schatten GP (eds). Current Topics in Developmental Biology. Academic Press. New York. Vol. 30. p: 223-275. Nontji A. 1992. Lake Kerinci: Fisheries and aquatic weeds problem. Asian Wetland Bureu. Indonesia Project Report No. 37. Pandey AK, Patiyal RS, Upadhyay JC, Tyagi M and Mahanta PC. Induced spawning of endangered golden mahseer, Tor putitora with ovaprim at the state fish farm near Dehradun. Indian J. Fish. Vol 45 (4) : 457-459. Pepin P, Orr DC and Anderson JT. 1997. Time to hatch and larval size in relation to temperature and egg size in atlantic cod (Gadus morhua). Canadian J. Fish Aquatic Sci. 54: 2-10 Primack RB, Supriatna J, Indrawan M dan Kramadibrata P. 1998. Biologi Konservasi. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta. Purdom CE. 1979. Genetics of growth and reproduction in teleost. In: Miller PJ (ed). Fish Phenology Adaptivness in Teleost. The Zoologycal Sociaty of London. Academic Press Inc. London. Raghuvanshi SP, Singh R and Kaushik CP. 2004. Kinetics study of methylene blue dye bioadsorption on baggase. Applied Ecology and Environmental Reseach 2 (2): 35-43. Budapest. Hungary. Rai PL, Joshi A, Nepal A, Baidya and Bista. 2002. Breeding of pond reared golden mahseer (Tor putitora) in Pokhara, Nepal. FAO Fisheries Technical Paper. Corporate Documentary Respository. Rome. Italia. Reddy MPM. 1993. Influence of the various oceanographig parameters on the abundance of fish catch. Proceeding of International Workshop on Apllication of Satelite Remote Sensing for Identifiying and Forecasting Potential Fishing Zones in Developing Countries. India. Rottmann RW, Shireman JV and Chapman FA. 1991. Hormonal control of reproduction in fish for Induced spawning. SRAC Publication No. 424. United States Departemen of Agriculture. Rupawan, Gaffar AK dan Husnah. 1999. Beberapa sifat biologi dan ekologi ikan semah (Tor douronensis) di Danau Kerinci dan Sungai Merangin, Jambi. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia. Vol. V, No.4: 1-6. Saanin H. 1984. Taksonomi dan Kunci Identifikasi Ikan.Volume 1& 2. Binacipta. Bandung.
Satyani D. 1998. Aplikasi hormon sebagai perangsang dalam pemijahan ikan untuk meningkatkan produksi dalam pembenihan ikan budidaya. Warta Penelitian Perikanan Indonesia. Jakarta. Scott BCC. 1979. Environmental timing and control of reproduction in teleost fish. In: Miller PJ (ed). Fish Phenology Adaptivness in Teleost. The Zoologycal Sociaty of London. Academic Press Inc. London. Shanbhag BA and Saidapur SK. 1996. Atretik folicles and corpora lutea in the ovaries of fish. Datta Munshi JS and Dutta HM (eds). Fish Morphology. Horizon of New Reseach. Science Publisher Inc.:147-168. Shrestha TK. 2002. Ranching mahseer (Tor tor and Tor putitora) in the running waters of Nepal. Petr T and Swar DB (eds). Food and Agriculture Organization of The United Nations. Rome. Italia. Sridhar S, Vijayakumar C and. Haniffa MA. 1998. Induce spawning and establishment of a captive population for an endangered fish, Ompok bimaculatus in India. Current Science. 75(10): 1066-1068. Steel RGD and Torrie JH. 1993. Prinsip dan Prosedur Statistik. Soemantri (Penerjemah). Gramedia. Jakarta. Suyanto SR. 1986. Budidaya Ikan Lele. Penebar Swadaya. Jakarta. Takashima F. 1995. Gonad. Takashima F and Hibiya T (ed) An Atlas of Fish Hystology. Normal and Pathological Features. 2nd Edition. Kodansha LTD, Tokyo: 128-153. Tang UM. dan Affandi R. 2000. Biologi Reproduksi Ikan. Bogor. Tyler CR and Sumpter JP. 1996. Oocyte growth and development in teleost. Reviews in Fish Biology and Fisheries 6. 287-318. Tyler CR, Pottinger TG, Coward K, Prat F, Beresford N and Maddix S. 1997. Salmonid Follicle-Stimulating Hormone (GTH I) mediates vitellogenic development of oocytes in rainbow trout, Oncorhynchus mykiss. Biology of Reproduction. 57: 1238-1244. Tyler CR. 1991. Vitellogenesis in Salmonid. In: Scott AP, Sumpter JP, Kime DE and Rolfe MS (eds). Proceedings of the Fourth International Symposium on the Reproductive Physiology of Fish. University of East Anglia. Norwich. p.295299.
Wallace R. and. Selman K. 1981. Celluler and dynamic aspects of oocyte growth in teleost. Anim Zool. 21:325-343. Wetzel RG. 1975. Lymnology. Saunder Company Publishing. West Washington. Philadelphia. 743pp. Woynarovich E and Horvath L. 1980. The Artificial Propagation of Warm Water Finfish. FAO Fisheries Technical Paper No. 201. FIR/T 201. Yaron Z. 1995. Endocrine control of gametogenesis and spawning induction in the carp. Aquaculture. 129: 49-73. Yueh WS and Chang CF 2000. Marphological changes and competence of maturing oocytes in the protandrous black porgy, Acanthopagrus schlegeli. Zoological Studies. 39 (2): 114-122. Zairin Jr M. 2006. Perkembangan dan penerapan bioteknologi reproduksi dalam bidang perikanan di Indonesia. Makalah pada Seminar Nasional Peranan Teknologi Reproduksi dalam Pembangunan Peternakan di Indonesia. FKH, IPB. Bogor.
LAMPIRAN
Lampiran 1 Rataan hasil pengamatan dari masing-masing parameter 1a Nilai rataan masa laten ikan hike setelah induksi GnRHa Perlakuan Dosis GnRHa (µg/kg BB)
8 10 12
Masa Laten (jam) 1
2
19,5 18,25
3 20,0
4 33,5 22,0 19,0
21,5 17,75
Rataan 33,50±0,00 21,00±1,32 18,75±0,98
1b Nilai rataan indeks gonad somatik ikan hike setelah induksi GnRHa Perlakuan Dosis GnRHa (µg/kg BB)
8 10 12
Indeks Gonad Somatik (%) 1
2
11,54 11,78
11,29
3 10,34 11,69 14,24
4 12,59 11,25
Rataan 10,34±0,00 11,94±0,57 12,14±1,42
1c Nilai rataan fekunditas ikan hike setelah induksi GnRHa Perlakuan Dosis GnRHa (µg/kg BB)
Fekunditas (butir telur) 1
8 10 12
2 476 589
3 737
4 806 694 821
642 553
Rataan 806±0,0 604±113,86 675±125,75
1,79 2,12
Rataan 1,78±0,00 1,84±0.08 1,91±0,16
1d Nilai rataan diameter telur ikan hike setelah induksi GnRHa Perlakuan Dosis GnRHa (µg/kg BB)
Diameter Telur (mm) 1
8 10 12
2 1,94 1,91
3 1,86
4 1,78 1,80 1,73
1e Nilai rataan derajat terbuahi telur ikan hike setelah induksi GnRHa Perlakuan Dosis GnRHa (µg/kg BB)
8 10
Derajat Telur Terbuahi (%) 1
2 72,0
3 -
4 44,0 66,0
68,0
Rataan 44,0±0,0 68,7±3,1
12
83,0
82,0
79,0
88,0
83,0±3,7
1f Nilai rataan derajat tetas telur ikan hike setelah induksi GnRHa Perlakuan Dosis GnRHa (µg/kg BB)
Derajat Tetas Telur (%) 1
8 10 12
2 23,0 25,0
3 20,0
4 9,0 15,0 15,0
Rataan 9,0±0,0 18,3±4,2 21,5±5,1
17,0 26,0
Lampiran 2 Hasil analisis sidik ragam hasil pengamatan 2a Analisis ragam lama waktu matang gonad ikan hike setelah induksi GnRHa Sumber keragaman
db
JK
JRK
F tabel
F hitung
0,05
Perlakuan
2
174,97
87,48
Galat
5
9,37
1,87
Total
7
184,34
46,68
0,01
5,79 13,27
2b Analisis ragam indeks gonad somatik ikan hike setelah induksi GnRHa Sumber keragaman
db
JK
JRK
Perlakuan
2
2,64
1,32
Galat
5
6,70
1,34
Total
7
9,34
F hitung 0,98
F tabel 0,05
0,01
5,79
13,27
2c Analisis ragam fekunditas ikan hike setelah induksi GnRHa Sumber keragaman
db
JK
JRK
F hitung
F tabel 0,05
Perlakuan
2
31,44
15,72
Galat
5
73,34
14,67
Total
7
104,78
1,07
0,01
5,79 13,27
2d Analisis ragam diameter telur ikan hike setelah induksi GnRHa Sumber keragaman
db
JK
JRK
F hitung
F tabel 0,05
Perlakuan
2
0,02
0,01
Galat
5
0,09
0,02
Total
7
0,11
0,56
0,01
5,79 13,27
2e Analisis ragam derajat terbuahi telur ikan hike setelah induksi GnRHa Sumber keragaman
db
JK
JRK
F hitung
F tabel 0,05
Perlakuan
2
1296,23
648,12
Galat
5
61,27
12,25
Total
7
1357,50
52,89
0,01
5,79 13,27
2f Analisis ragam derajat tetas telur ikan hike setelah induksi GnRHa Sumber keragaman
db
JK
JRK
Perlakuan
2
125,83
62,92
Galat
5
111,67
22,33
Total
7
237,50
F hitung 2,82
F tabel 0,05
0,01
5,79
13,27
Kesimpulan: Faktor induksi GnRHa 8µ, 10µ dan 12µ memiliki pengaruh sangat nyata terhadap masa laten ikan hike. Faktor induksi GnRHa 8µ, 10µ, dan 12µ tidak berpengaruh terhadap indeks gonad somatik ikan hike. Faktor induksi GnRHa 8µ, 10µ, dan 12µ tidak berpengaruh terhadap fekunditas ikan hike. Faktor induksi GnRHa 8µ, 10µ, dan 12µ tidak berpengaruh terhadap diameter telur ikan hike. Faktor induksi GnRHa 8µ, 10µ, dan 12µ memiliki pengaruh sangat nyata terhadap derajat telur terfertilisasi ikan hike. Faktor induksi GnRHa 8µ, 10µ, dan 12µ tidak berpengaruh terhadap derajat tetas telur ikan hike.
Uji Rentang Tukey terhadap data masa laten ikan hike setelah induksi Tujuan: mengetahui ada tidaknya perbedaan antar kelompok perlakuan dosis induksi GnRHa 8µ, 10µ, dan 12µ terhadap masa laten ikan hike. Hipotesis: H0 : Tidak terdapat perbedaan antar kelompok perlakuan dosis induksi GnRHa 8µ,10µ, dan 12µ terhadap masa laten ikan hike. Ha : Terdapat perbedaan antar kelompok perlakuan dosis induksi GnRHa 8µ, 10µ, dan 12µ terhadap masa laten ikan hike. Statistika pengujian : W = ± qk,v,n/2 Sy √ (1/n +1/n) √2 Sy = √RJKgalat v = N-k Keterangan: W = rentang signifikan terkecil k = jumlah perlakuan v = db galat n = jumlah ulangan tiap perlakuan q = rentang yang diperoleh dari tabel rentang N = jumlah data Taraf nyata: Untuk α = 0,05 dan dbgalat (2,5), maka nilai q0,05 = 3,635 Untuk α = 0,01 dan dbgalat (2,5), maka nilai q0,01 = 5,702 Kriteria pengujian : H0 diterima jika selisih rata-rata antar kelompok yang berbeda
nilai Whitung Hasil perhitungan : A. Uji rentang Tukey terhadap data masa laten ikan hike setelah induksi GnRHa Sy = 1,369 Whitung untuk α = 0,05 adalah ± 2,837 Whitung untuk α = 0,01 adalah ± 5,519
GnRHa 8µ
Selisih rata-rata antar kelompok
GnRHa 10µ
12,50
GnRHa 12µ
14,75
2,25
GnRHa 8µ
GnRHa 10µ
GnRHa 12µ
Keterangan : = berbeda nyata (α = 0,05) = sangat berbeda nyata (α = 0,01) = tidak terdapat perbedaan
B. Uji rentang Tukey terhadap data derajat terbuahi telur ikan hike setelah induksi GnRHa Sy = 4,726 Whitung untuk α = 0,05 adalah ± 8,996 Whitung untuk α = 0,01 adalah ± 14,114 GnRHa 8µ
Selisih rata-rata antar kelompok
GnRHa 10µ
24,70
GnRHa 12µ
39,00
14,30
GnRHa 8µ
GnRHa 10µ
Keterangan : = berbeda nyata (α = 0,05) = sangat berbeda nyata (α = 0,01) = tidak terdapat perbedaan
GnRHa 12µ