RENCANA
INDUK PENGEMBANGAN KONSERVASI BENTANG ALAM SKALA BESAR DI SUMATERA DAN KALIMANTAN
TIM PENYUSUN Suer Suryadi, Robi Royana, Nurman Hakim, Sunjaya, Agustinus Wijayanto, Koen Meyers, Edy H. Wahyono, Nano Sudarno, Akbar A. Digdo, Ichlas al-Zaqie
PENINJAU Dr. Jatna Supriatna (Kepala Pusat Penelitian Perubahan Iklim, Universitas Indonesia)
Prof. Dr. Y. Purwanto (Direktur Eksekutif Komite Nasional Program Man and Biospher, LIPI)
Yayasan Pendidikan Konservasi dan Lingkungan Hidup Indonesia (Yapeka) dan Yayasan Belantara
ii
Rencana Induk Pengembangan Konservasi Bentang Alam Skala Besar Di Sumatera Dan Kalimantan Copyright© 2016, Yayasan Pendidikan Konservasi dan Lingkungan Hidup Indonesia (Yapeka) dan Yayasan Belantara Pertama kali diterbitkan dalam bahasa Indonesia oleh Yayasan Belantara, Jakarta, 2016 Belantara Foundation Boutique Office, Lt. 3 Jl. Timor No. 6, Gondangdia, Menteng, Jakarta 10350 Penyunting: Mulyawan Karim Perancang sampul & tata letak isi: Cindy Alif Infografik: Serafin Purnamasari Foto sampul: Dok. APP - Kawanan Burung Kuntul (Ardea sp.) di sebuah kawasan hutan pesisir Sumatera bagian timur, November 2007. Saran sitasi: Suryadi, S., Royana, R., Hakim, N., Sunjaya, Wijayanto, A., Meyers, K., Wahyono, E.H., Sudarno, N., Digdo, A.A. & I. Zaqie. 2015. Rencana Induk Pengembangan Konservasi Bentang Alam Skala Besar di Sumatera dan Kalimantan. Yayasan Belantara, Jakarta
Hak cipta dilindungi oleh Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta. Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagain atau seluruh isi buku ini kecuali untuk kepentingan pendidikan, konservasi, dan kegiatan nirlaba, dengan syarat menyebutkan sumber publikasi.
xxxii + 300 hlm. ISBN: 978-602-73968-0-7
Disusun dan diterbitkan atas dukungan:
RENCANA INDUK PENGEMBANGAN KONSERVASI BENTANG ALAM SKALA BESAR DI SUMATERA DAN KALIMANTAN
Salah satu jenis jamur hutan yang tumbuh pada substrat pohon mati di lantai hutan tropis dataran rendah yang sangat lembab di Sumatera, April 2004. (Foto: Dolly Priatna)
iii
RENCANA INDUK PENGEMBANGAN KONSERVASI BENTANG ALAM SKALA BESAR DI SUMATERA DAN KALIMANTAN
Masyarakat desa memanfatkan aliran Sungai Bukit Batu di Bentang Alam Giam Siak Kecil-Bukit Batu (GSKBB), Riau, sebagai akses ke ladang atau mencari ikan. Gambar diambil Februari, 2014. (Foto: Dolly Priatna)
vi
PENGANTAR
P
ertama-tama kami panjatkan puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, yang telah melimpahkan hidayah-Nya, sehingga penyusunan dokumen Rencana Induk Pengembangan Konservasi Bentang Alam Skala Besar di Sumatera dan Kalimantan (selanjutnya disebut Rencana Induk) dapat selesai dengan baik. Gagasan konservasi bentang alam (lanskap) ini telah dimulai sejak April 2014, sedangkan proses penyusunan dokumen Rencana Induk ini berlangsung antara Februari dan Agustus 2015. Kerja penyusunan melalui proses yang relatif panjang: dimulai dari pencanangan komitmen kebijakan jangka panjang Asia Pulp & Paper Group; pertemuan dan diskusi para pihak di tingkat regional dan nasional; diskusi dengan pakar dan praktisi lingkungan dan kehutanan; pengkajian sumber-sumber pustaka, dan pemeriksaan berbagai hasil kajian yang pernah dilakukan perusahaanperusahaan pemegang konsesi, seperti kajian HCV, HCS, konflik sosial, dan pengelolaan gambut. Dokumen ini tidak ditujukan untuk kepentingan pihak tertentu, tetapi disusun dan didedikasikan untuk para pihak yang berkepentingan, yang sama-sama bekerja di dalam suatu kawasan bentang alam yang multisektoral, multidimensi, dan multikepentingan. Partisipasi aktif dan dukungan dari para pihak yang berkepentingan di setiap bentang alam, baik pemerintah pusat dan daerah, swasta, LSM, hingga masyarakat umum, merupakan faktor yang menentukan keberhasilan pencapaian Rencana Induk ini. Sebagai sebuah “dokumen hidup” (living document) dan dokumen bersama, tambahan data dan informasi dari para
pihak dapat terus dilakukan. Penyempurnaan dalam bentuk koreksi atau revisi juga dapat terus dilakukan di masa-masa mendatang. Dalam kesempatan ini kami ingin menyampaikan ucapan berterima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada para pihak, baik selaku individu atau sebagai mewakili berbagai lembaga, yang telah berkontribusi aktif dalam penyusunan dokumen Rencana Induk ini, termasuk namun tidak terbatas kepada: Pertama, jajaran Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, terutama Dr. Ir. Hadi Daryanto, DEA., Direktur Jenderal (Dirjen) Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan Hidup (PSKL) dan unit-unit pelaksana teknisnya; Dirjen Konservasi Sumberdaya Alam dan Ekosistem (KSDAE) dan unit-unit pelaksana teknisnya; Dirjen Pengelolaan Daerah Aliran Sungai dan Hutan Lindung (PDASHL) dan unit-unit pelaksana teknisnya; Dirjen Planologi dan Tata Lingkungan; dan Dirjen Pengendalian Perubahan Iklim serta yang telah memberikan data dan informasi yang terkait dan mendukung pengembangan dokumen Rencana Induk. Kedua, pimpinan dan staf dari unit kerja daerah di setiap bentang alam, termasukBappeda, Dinas Kehutanan, Dinas Perkebunan, Dinas Pertambangan, Badan Lingkungan Hidup Daerah, dan Saturan Kerja Pemerintah Daerah (SKPD) lain yang telah memberikan kontribusi pemikiran agar Rencana Induk ini selaras dengan program pembangunan di berbagai provinsi
RENCANA INDUK PENGEMBANGAN KONSERVASI BENTANG ALAM SKALA BESAR DI SUMATERA DAN KALIMANTAN
dan kabupaten/kota. Ucapan terima kasih secara khusus perlu disampaikan kepada Provinsi Riau dengan Kabupaten/Kota: Dumai, Rokan Hilir, Bengkalis, Kampar, Siak, Indragiri Hilir, Rokan Hilir, Pelalawan, Indragiri Hulu, Kuantan Singingi dan Kota Pekanbaru; Provinsi Jambi, dengan Kabupaten/Kota; Bungo, Tanjung Jabung Barat, Tebo, Muaro Jambi, Tanjung Jabung Timur, Sarolangun dan Kota Jambi; Provinsi Sumatera Selatan dengan Kabupaten/Kota: Banyuasin, Musi Banyuasin, Musi Rawas, Ogan Komering Ilir, Empat Lawang, dan Kota Palembang; Provinsi Kalimantan Barat, dengan Kabupaten/Kota: Kayong Utara, Ketapang, Sanggau dan Kubu Raya; Provinsi Kalimantan Timur, dengan Kabupaten/Kota: Bontang, Kutai Kertanegara, Kutai Timur, dan Kota Samarinda; serta para Kepala KPHP yang menghadiri pertemuan dan FGD, antara lain Kepala KPH Minas Tahura, KPHP Lalan, KPHP Meranti, Kepala UPTD Tahura Tanjung, KPHP Santan, dan KPHP Tasik Besar Serkap. Ketiga, para peneliti dan dosen yang mewakili universitas di masing-masing bentang alam, yakni Universitas Riau, Universitas Islam Riau, Universitas Batanghari, Universitas Jambi, Universitas Sriwijaya, Universitas Muhamadiyah Palembang, Universitas Tanjungpura, dan Universitas Mulawarman. Keempat, lembaga-lembaga swadaya masyarakat dan forum-forum masyarakat yang menghadiri dan berkontribusi di sejumlah pertemuan tingkat lokal, regional, dan nasional untuk membahas, memberikan masukan, dan saran konstruktif sesuai dengan pengetahuan dan pengalamannya di setiap bentang alam untuk melengkapi penyusunan aksi kegiatan yang perlu dilakukan. Untuk itu kami berterima kasih kepada Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Amphal, Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI), Bioclime-GIZ, Borneo Orangutan Survival (BOS), Burung Indonesia, CIFOR, Ekologika, Ecology and Conservation Center for Tropical Studies (Ecositrop), Fauna and Flora International (FFI), Forum Dangku, Forum HarimauKita (FHK), Forum Komunikasi Kehutanan Masyarakat (FKKM) Riau, Forum Konservasi Gajah Indonesia, Forum Orangutan Indonesia (FORINA), Frankfurt Zoological Society (FZS), Jaringan Gambut, Jaringan Kerja Penyelamat Hutan Riau (Jikalahari), Kaki Rimbo, Komisi Daerah (Komda REDD+), Komite Nasional Program Man and Bioshpere (Komnas MAB)-Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Lembaga Advokasi dan Lingkungan Hidup Bakau, Lingkar Borneo, Lembaga Cemerlang Indonesia, Perkumpulan Gita Buana, Perkumpulan PENA, Pinang Sebatang (Pinse), Pusat Studi Gambut,
Sampan, Scale Up, Siak Cerdas, SSS-Pundi-Sumatera, Sustainable Trade Initiative (IDH), The Forest Trust (TFT), The Nature Conservancy (TNC), United Nations Office for REDD+ Coordination in Indonesia (UN Orchid), Yayasan Bakau, Yayasan Bantuan Hukum Lingkungan (YBHL), Yayasan Bina Kelola Lingkungan (Bikal), Yayasan Biosfer Manusia (Bioma), Yayasan Inisiasi Alam Rehabilitasi Indonesia (YIARI), Yayasan Palung, Yayasan Pelestarian Harimau Sumatera (YPHS), Yayasan Titian, Yayasan Wahana Bumi Hijau, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), Wahana Pelestarian dan Advokasi Hutan Sumatera (Walestra), WARSI/Komunitas Konservasi Indonesia, Wetlands International Indonesia Programme, Wildlife Conservation Society (WCS), dan Zoological Society of London (ZSL). Kelima, para tokoh adat, tokoh agama, dan perwakilan masyarakat/lembaga masyarakat dari setiap bentang alam. Keenam, para perwakilan dari pihak swasta yang bekerja di dalam dan di luar kawasan hutan dalam bentuk pengusahaan hutan, hutan tanaman, perkebunan sawit/karet, dan restorasi ekosistem, sehingga dapat memberikan warna dalam melakukan kegiatan konservasi di masing-masing bentang alam (urutan sesuai abjad), yakni PT Agrowiyana, PT Alam Bukit Tigapuluh, PT Alas Kusuma Group, PT Aneka Pura Mukti Kerta, PT Arangan Hutani Lestari, PT Arara Abadi, PT Asia Tani Persada, PT Balai Kayang Mandiri, PT Bangun Tenera, PT Berkat Sawit Sejati, PT Bina Duta Laksana, PT Bukit Batu Hutani Alam, PT Bumi Andalas Permai, PT Bumi Mekar Hijau, PT Bumi Persada Permai, PT Daya Tani Kalbar, PT Diamond Raya Timber, PT Dexter Perkasa Indonesia, PT Indah Kiat Pulp and Paper, Tbk., PT Kalimantan Subur Permai, PT Kandelia Alam, PT Lestari Asri Jaya, PT Lontar Papyrus Pulp and Paper, PT Mayangkara Tanaman Industri, PT Mitra Hutan Jaya, PT Mutiara Sabuk Khatulistiwa, PT Pabrik Kertas Tjiwi Kimia, Tbk., PT Palma Abadi, PT Pesona Belantara, PT Pindo Deli Pulp and Mills, PT Putra Duta Indah Wood, PT Restorasi Ekosistem Indonesia, PT Riau Abadi Lestari, PT RAPP, PT Riau Indo Agropalma, PT Rimba Hutani Mas, PT Rimba Mandau Lestari, PT Ruas Utama Jaya, PT Sarana Bina Semesta Alam, PT Satria Perkasa Agung, PT Sebangun Bumi Andalas, PT Sekato Pratama Makmur, PT Sumalindo Hutani Jaya, PT Sumber Hijau Permai, PT Suntara Gajah Pati, PT Surya Hutani Jaya, PT Tebo Multi Agro, PT Triomas FDI, PT Tripupa Jaya, PT Wana Subur Lestari, dan PT Wirakarya Sakti.
vii
viii
Ketujuh para peninjau (reviewers), yakni Dr. Jatna Supriatna, Prof. Dr. Y. Purwanto, Greenpeace, dan WWF Indonesia, yang telah memberikan ulasan, pandangan, arahan, dan koreksi yang memperkaya substansi, serta Ir. Wiratno, MSc., yang telah memberikan saran, arahan, referensi, informasi, dan gagasan-gagasan kebijakan terkait konservasi, perhutanan sosial, dan kemitraan lingkungan. Kedelapan, para ahli dan perorangan yang telah berkontribusi aktif, berbagi data, informasi, saran, dan gagasan yang telah diberikan kepada tim selama penyusunan dokumen ini, antara lain Nunu Anugrah, SHut., MSc. (Kepala Balai KSDA Sumatera Selatan), yang telah secara total mendukung Forum Dangku; Dr. Najib Asmani (Staf Khusus Gubernur Sumatera Selatan bidang Perubahan Iklim); Ir. Zulfikhar, MM (Sekretaris Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Selatan); Dr. Yaya Rayadin (Universitas Mulawarman); Prof.Dr. Lilik B.Prasetyo (ahli konservasi bentang alam); Yusuf Cahyadin (PT REKI); Prof. Dr. Irwan Effendi (Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Riau); Ir. Irmansyah Rachman (Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Jambi); Syafredo (PMU REB30); Rudi Syaf (WARSI/KKI); Ir. Fredrik Suli, MM (KPHP Minas Tahura); Jaya Nofyandri (YLBHL); Syafrizal (Siak Cerdas); Hendi Sumantri (GIZ-Bioclime); Krismanko P, Donny Gunaryadi (Forum Konservasi Gajah Indonesia); Yoan Dinata, Erwin Wilianto, Hariyawan Wahyudi (Forum HarimauKita); Zulfahmi, Achmad (Greenpeace); Dr. Sunarto, Wishnu Sukmantoro, Aditya Bayunanda, Arnold Sitompul (WWF Indonesia); Haerudin Sadjudin, Ermayanti, dan Muhtadin. Terakhir namun tak kalah penting, ucapan terima kasih juga wajib kami sampaikan kepada pimpinan, staf, dan segenap jajaran Grup APP dan SMF yang telah memberikan dukungan finansial, data, dan informasi untuk menyusun dokumen ini. Dalam hal ini, ucapan terim kasih secar khusus kami haturkan kepada Linda Wijaya, Aida Greenbury, Dolly Priatna, Dewi P. Bramono, Aniela Maria, Rolf M. Jensen, Noubbie Afransyah, Veronika Renyaan, Adnun Salampessy, Elim, Eko Hasan, Supriatno, Iwan Setiawan, dan Adrianto Gunawan.
Kami berharap Rencana Induk ini dapat menjadi dasar agenda kerja, pedoman, serta referensi bersama untuk melengkapi dokumen-dokumen perencanaan yang telah ada di wilayah-wilayah yang mencakup bentang alam-bentang alam target di Sumatera dan Kalimantan. Kami menyadari bahwa tidak mudah untuk melaksanakan komitmen dan tujuan bersama yang disusun dalam dokumen ini, namun rasanya tak ada hal yang tak mungkin diwujudkan jika kita semua memiliki niat dan tekad yang sama untuk saling mendukung sesuai kemampuan dan kompetensinya masing-masing. Semoga cita-cita konservasi bentang alam yang mengarah pada tujuan pembangunan berkelanjutan dapat sama-sama kita wujudkan dengan menyatukan persepsi, kebijakan, langkah, dan tindakan nyata, sebagaimana yang sering kami tekankan pada seluruh tim dalam proses penyusunan dokumen ini bahwa tidak ada yang mudah, namun tidak ada yang tidak mungkin. Nothing is easy but nothing is impossible. Jakarta, Agustus 2015
Tim Penyusun
RENCANA INDUK PENGEMBANGAN KONSERVASI BENTANG ALAM SKALA BESAR DI SUMATERA DAN KALIMANTAN
SAMBUTAN-SAMBUTAN
MARZUKI USMAN Ketua Dewan Pembina Yayasan Belantara Puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas selesainya penyusunan dokumen ini. Tanpa perkenanNya, gagasan untuk menyusunan dan menerbitkan dokumen ini tak mungkin dapat menjadi kenyataan. Dokumen berjudul Rencana Induk Pengembangan Konservasi Bentang Alam Skala Besar di Sumatera dan Kalimantan ini, yang disusun antara lain berdasarkan kajian lapangan serta diskusi-diskusi dengan para pemangku kepentingan di setiap bentang alam kritis, merupakan wujud nyata dari dukungan Yayasan Belantara kepada Pemerintah Indonesia dalam bidang konservasi sumberdaya hutan dan pelestarian alam, yang merupakan isu yang kian hari kian penting di era perubahan iklim dan pemanasan global sekarang ini. Secara khusus, dokumen ini diharapkan dapat berguna bagi para pemangku kepentingan terkait upaya-upaya pelestarian dan pemanfaatan sumberdaya hutan berkelanjutan di Indonesia. Dalam buku Rencana Induk ini, selain disampaikan berbagai analisis pemilihan bentang alam, juga disusun rencana pengelolaan dan strateginya yang mampu menjangkau berbagai kepentingan para stakeholder, mulai dari institusiinstitusi pemerintah baik tingkat pusat maupun daerah, akademisi, Lembaga Swadaya Masyarakat, orang kampong dan sektor swasta, melalui pembangunan konsesus bersama, seta pengelolaan multipihak di tingkat lanskap. Secara mendasar, strategi pengelolaan lanskap multipihak tersebut, termasuk juga menangani upaya pemberdayaan masyarakat dan pembangunan ekonomi lokal di desa-desa sekitar kawasan hutan.
ix
x
Selain melakukan integrasi antara upaya restorasi dan rehabilitasi ekosistem, perlindungan satwa kharismatik terancam punah, mitigasi konflik satwa-manusia, mencegah serta menanggulangi kebakaran hutan dan lahan, meningkatkan efektivitas pengelolaan kawasan konservasi dan kawasan lindung, dan termasuk dukungan studi dan kajian untuk penguatan dan peningkatan efektifitas pengelolaan lanskap. Upaya penyusunan dokumen ini antara lain dilatarbelakangi oleh Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019 serta mengacu pada beberapa dokumen strategi dan rencana aksi yang sudah ada, seperti antara lain Indonesian Biodiversity Strategy and Action Plan 2003-2020 (BAPENAS) dan Kekinian Keanekaragaman Hayati Indonesia (LIPI-BAPENAS-KLH). Secara khusus, dalam Rencana Induk ini juga didorong upaya pemberdayaan masyarakat melalui peningkatan hak dan akses masyarakat mengelola hutan melalui berbagai skema seperti Hutan Kemasyarakatan, Hutan Desa, Hutan Tanaman Rakyat, Kemitraan Kehutanan, Hutan Adat, dan Kemitraan pada Hutan Rakyat, untuk memenuhi target pemanfaatan kawasan hutan Kementerian Lingkungan dan Kehutanan (LHK) seluas sekitar 12,7 juta hektar kawasan Hutan Negara.
Melalui pendekatan multipihak, Yayasan Belantara siap mendukung, berpartisipasi, dan berkontribusi secara langsung untuk mewujudkan program nasional dalam konservasi sumber daya hutan untuk kepentingan bersama sehingga dapat mempercepat target-target pembangunan berkelanjutan di Indonesia. Oleh karenanya, Yayasan Belantara juga sangat mendukung gagasan Kementerian LHK untuk memasukkan isu pengembangan dan konservasi bentang alam ke dalam revisi UU No.5/1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, yang membuka peluang untuk mengembangkan pengelolaan kawasan berbasis bentang alam seperti semangat yang digagas dalam dokumen ini. Inisiatif, konsep, dan arahan program yang dikembangkan di dalam dokumen ini diharapkan menjadi titik awal dan landasan penting bagi para pihak dalam pengembangan dan pengelolaan kawasan berbasis bentang alam. Yayasan Belantara akan terus berkomitmen mendorong proses implementasi di lapangan, termasuk memfasilitasi proses pemantauan, pembelanjaran multipihak, serta mengelola pengetahuan dari program-program kerjasama yang dapat direalisasikan untuk mewujudkan tujuan pembangunan berkelanjutan di Indonesia.
KETUA DEWAN PEMBINA YAYASAN BELANTARA,
MARZUKI USMAN
RENCANA INDUK PENGEMBANGAN KONSERVASI BENTANG ALAM SKALA BESAR DI SUMATERA DAN KALIMANTAN
Provinsi Sumatera Selatan dikelompokkan dalam tiga zona, yakni Zona Hutan dan Lahan Gambut, Zona Tangkapan Air atau Dataran Tinggi, dan Zona Dataran Rendah.
H. ALEX NOERDIN Gubernur Sumatera Selatan Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan menyampaikan apresiasi dan terimakasih pada Yayasan Pendidikan Konservasi dan Lingkungan (Yapeka) dan Yayasan Belantara atas inisiasi untuk menerbitkan Dokumen Rencana Induk Pengembangan Konservasi Landskap di Sumatera dan Kalimantan. Kami sangat senang dan mendukung program yang akan dilaksanakan, tercakup juga rencana Restorasi Lanskap Kawasan-kawasan Bernilai Konservasi Tinggi di Provinsi Sumatera Selatan yakni di Taman Nasional Sembilang (Banyuasin), Hutan Suaka Margasatwa Dangku dan Merantin (Musi Banyuasin), dan Padang Sugihan (Banyuasin dan Ogan Komering Ilir). Hal ini sejalan dengan Program Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan tentang Kemitraan Pengelolaan Ekoregion dalam menjamin kemitraan antar pemangku kepentingan Public, Private, People, Partnership (P4) melalui suatu pendekatan yang terintegrasi dan berkelanjutan untuk pelestarian hutan dan lahan dengan pendekatan lintas wilayah, lintas sektor, dan lintas pelaku pada suatu bentangan alam atau lanskap, yang dapat meluas dalam skala ekoregion. Lanskap di
Kemitraan pengelolaan ekoregion adalah upaya mendorong para pihak untuk melakukan konservasi, restorasi dan rehabilitasi hutan dan lahan serta mencegah terjadinya deforestasi dan degradasi hutan dan lahan, terutama dalam mencegah terjadinya kebakaran dan perambahan hutan. Kegiatan tersebut simultan antara kegiatan pelestarian ekosistem untuk mitigasi perubahan iklim, pertumbuhan ekonomi lokal dan regional, dan kesejahteraan sosial yang dapat meningkatkan akses masyarakat sekitar hutan untuk pengelolaan sumber daya hutan yang berkeadilan. Pengelolaan lingkungan yang berkelanjutan selaras dengan Misi Pembangunan Provinsi Sumatera Selatan 2013-2018 tentang pentingnya pelaksanaan konservasi dan pemanfaatan lingkungan hidup agar terwujudnya peningkatan pengelolaan hutan serta lahan gambut secara lestari, mengendalikan kerusakan lingkungan dengan menurunkan pencemaran lingkungan melalui pengawasan ketaatan pengendalian sumber-sumber pencemaran, dan pengelolaan Daerah Aliran Sungai secara terpadu; Mendukung pertumbuhan ekonomi serta kesejahteraan masyarakat yang berkelanjutan dengan penguasaan dan pengelolaan resiko bencana untuk mengantisipasi perubahan iklim yang berdampak secara global, serta meningkatkan kemampuan mitigasi bencana melalui penguatan kapasitas aparatur pemerintah, menjamin berlangsungnya fungsi sistem peringatan dini dan menyediakan infrastruktur kesiap-siagaan. Upaya-upaya untuk pencapaian misi tersebut di atas, Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan memerlukan dukungan, partisipasi, dan kontribusi dari para pihak disertai regulasi dan kehadiran pemerintah sesuai tugas dan fungsinya. Sikap saling mendukung dan berpartisipasi aktif antara para pihak dalam mewujudkan program-program bersama untuk kepentingan bersama diharapkan dapat mempercepat target-target pembangunan berkelanjutan di Indonesia. Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014, bahwa urusan kehutanan menjadi kewenangan Pemerintah Provinsi, yang mencakup kegiatan perencanaan, pengelolaan, konservasi sumberdaya alam dan ekosistem kecuali Taman Hutan Rakyat yang menjadi kewenangan kabupaten dan kota, penyuluhan dan pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Kondisi tersebut menjadi suatu tantangan agar Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan dapat mendisain arsitektur sistem penyelenggaraan pemerintahan
xi
xii
yang efektif dan efisien sekaligus adaftif pada tataran kelembagaan perangkat daerah untuk meningkatkan kinerja yang baik dan pelayanan prima. Guna terwujudnya pembangunan kawasan yang rendah emisi Green South Sumatera Development, Pemerintah Sumatera Selatan menyambut baik ininsiatif dan konsep pengelolaan kawasan berbasis lanskap yang tercantum dalam Rencana Induk ini. Kita semua mendukung upaya dan komitmen Pemerintah Indionesia untuk menurunkan emisi gas rumah kaca sebesar 26 persen dengan usaha sendiri dan mencapai 41 persen jika mendapat bantuan internasional pada tahun 2020, atau sesuai dengan dokumen kontribusi penurunan emisi karbon yang diniatkan (INDC) Indonesia sebesar 29 persen pada 2020 hingga 2030. Atas dukungan dan kerjasama semua pihak kami ucapkan terimakasih dan permohonan maaf jika terdapat salah dan hilaf. Palembang, 30 Maret 2016
RENCANA INDUK PENGEMBANGAN KONSERVASI BENTANG ALAM SKALA BESAR DI SUMATERA DAN KALIMANTAN
menguranginya, maka dikhawatirkan pada tahun 2030 akan meningkat menjadi sebesar 74 juta ton karbon emisi. Besarnya emisi karbon tersebut diakibatkan tingginya angka luas kebakaran hutan dan lahan, eksploitasi hutan alam serta pengelolaan lahan gambut yang tidak tepat. Pengelolaan sumberdaya pembangunan yang tidak mengikuti prinsip pengelolaan yang lestari terhadap lingkungan akan mengakibatkan tanah, air dan udara akan terus mengalami degradasi, sehingga dapat menimbulkan bencana lingkungan. Sebagai salah satu daerah di Indonesia yang masih memiliki hutan luas yang menjadi “paru-paru dunia”, untuk mendukung komitmen Pemerintah Indonesia dalam menurunkan emisi gas rumah kaca, Provinsi Jambi berpeluang besar dapat melakukan beberapa komponen prioritas kegiatan antara lain mencegah pembakaran hutan dan lahan gambut, mengurangi deforestasi dan meningkatkan produktivitas pertanian berkelanjutan, merehabilitasi lahan gambut yang terdegradasi, mengelola hutan secara lestari dan melakukan reboisasi hutan.
ZUMI ZOLA Gubernur Jambi Sebagaimana yang telah kita ketahui bersama bahwa hutan merupakan suatu sumberdaya alam yang dapat diperbaharui yang di dalamnya terkandung manfaat-manfaat yang sangat luar biasa, baik yang Tangible maupun Intangible. Hutan juga merupakan habitat dari beribu-ribu satwa dan flora yang sangat beranekaragam. Diketahui pula bahwa keberadaan hutan kita, khususnya di Jambi sudah berada dalam kondisi yang memprihatinkan. Tingkat dan laju kerusakan hutan dari tahun ke tahun semakin bertambah, yang diikuti oleh menurunnya kualitas lingkungan global. Hal tersebut berdampak terhadap seringnya terjadi bencana alam, seperti banjir dan erosi. Di masa lalu, kondisi hutan dan Daerah Aliran Sungai (DAS) di Provinsi Jambi masih baik sehingga mampu menjalankan fungsi konservasi tanah dan hidrologi dengan baik sehingga bencana-bencana seperti banjir dan erosi sangat jarang terjadi. Selain itu, berdasarkan kajian dinyatakan pula Provinsi Jambi menyumbang emisi nasional sebesar 57 juta ton karbon emisi di tahun 2005. Jika kita tetap menjalankan business as usual atau tidak memiliki upaya untuk
Sebagai langkah awal, pada tahun 2010 yang lalu Pemerintah Provinsi Jambi telah mendeklarasikan kebijakan “kesejahteraan rendah karbon” untuk menangani permasalahan yang dilematis tersebut di atas. Hal ini sekaligus meluruskan pemikiran, bahwa program pengurangan emisi karbon tidak harus mengorbankan pertumbuhan ekonomi daerah. Demi tercapainya komitmen tersebut, Pemerintah Provinsi Jambi tidak dapat berkerja sendiri secara parsial dan memerlukan dukungan, partisipasi, dan kontribusi dari para pihak. Sebaliknya, para pihak juga memerlukan dukungan regulasi dan kehadiran pemerintah sesuai tugas dan fungsinya. Sikap saling mendukung dan berpartisipasi aktif antara para pihak dalam mewujudkan program-program bersama untuk kepentingan bersama diharapkan dapat mempercepat target-target pembangunan berkelanjutan di Indonesia secara umum dan di Jambi secara khusus. Setelah mencermati dengan seksama substansi dari dokumen Rencana Induk Pengembangan Konservasi Bentang Alam (landscape) di Sumatera dan Kalimantan ini, terdapat sejumlah kesamaan target yang hendak dicapai dalam pengelolaan bentang alam ini dengan target-target umum Pemerintah Provinsi Jambi, seperti upaya dalam mendorong para pihak untuk
xiii
xiv merehabilitasi hutan dan lahan, mencegah serta menanggulangi kebakaran hutan dan lahan, mitigasi perubahan iklim, dan meningkatkan akses masyarakat sekitar hutan dalam pengelolaan sumber daya hutan. Program-program yang terkait dengan pengelolaan hutan lindung, perlindungan satwa liar yang dilindungi, restorasi/pemulihan ekosistem, pencegahan serta penanggulangan kebakaran hutan dan lahan, pengelolaan gambut, dan penegakkan hukum di berbagai inisiatif bentang alam tersebut juga sudah sejalan dengan target-target umum Pemerintah Provinsi Jambi. Oleh karenanya, dalam perencanaan dan pelaksanaan lebih lanjut dari dokumen ini, perlu melibatkan dan keterlibatan dinas-dinas terkait baik di lingkup provinsi maupun kabupaten. Atas dasar pertimbangan-pertimbangan tersebut, Pemerintah Provinsi Jambi menyambut baik inisiatif dan konsep pengelolaan kawasan berbasis bentang alam ini, dengan satu harapan bahwa konsep pengelolaan kawasan seperti ini dapat sejalan serta mendukung upaya untuk mewujudkan pengelolaan hutan secara berkelanjutan serta kesejahteraan rendah karbon di Provinsi Jambi. Jambi, 25 April 2016.
RENCANA INDUK PENGEMBANGAN KONSERVASI BENTANG ALAM SKALA BESAR DI SUMATERA DAN KALIMANTAN
Hutan (Pokja REDD+) di Provinsi Kalimantan Barat, serta Peraturan Gubernur Provinsi Kalimantan Barat Nomor 27 Tahun 2012 tentang Rencana Aksi Daerah Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (RAD-GRK) Provinsi Kalimantan Barat. Implementasi dari upaya penurunan emisi ini dilaksanakan secara terintegrasi, melibatkan semua pemangku kepentingan, mulai dari pemerintah, sektor swasta, masyarakat, dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Hal ini dibuktikan dengan telah diintegrasikannya Strategi dan Rencana Aksi Provinsi (SRAP) REDD+ Kalimantan Barat ke dalam Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional.
CORNELIS MH Gubernur Provinsi Kalimantan Barat Sebagaimana kita ketahui, pada tahun 2000-an wilayah Kalimantan Barat ditutupi hutan seluas 7 juta hektar. Tahun 2011 luasan hutan menyusut hingga tinggal 6,2 juta hektar. Penyempitan luas hutan terjadi akibat kebakaran, penebangan liar, dan perubahan fungsi lainnya. Namun demikian, dengan tutupan hutan sekitar 42%, saat ini Kalimantan Barat masih menjadi salah satu provinsi yang memiliki tutupan hutan terbesar di Indonesia. Dengan kenyataan tersebut, tentu saja kita tidak ingin hutan Kalimantan Barat makin tergerus atau mengalami deforestasi dan degradasi. Di dalam strategi mendukung kebijakan Pemerintah Indonesia untuk menurunkan emisi gas rumah kaca sebesar 26% dengan usaha sendiri dan mencapai 41% jika mendapat bantuan internasional pada tahun 2020, sejak tahun 2008 Pemerintah Provinsi Kalimantan Barat telah banyak mengeluarkan kebijakan dan peraturan yang terkait dengan penurunan emisi, antara lain Keputusan Gubernur Kalimantan Barat Nomor 115/ BLHD/2012 tentang Pembentukan Kelompok Kerja Pengurangan Emisi dari Deforestrasi dan Degradasi
Untuk memperkuat upaya tersebut, Pemerintah Provinsi Kalimantan Barat juga memiliki komitmen untuk menyelamatkan hutan dunia melalui penyusunan rencana kerja Governors Climate and Forest Task Force (GCF), yang mana saya sebagai Gubernur Kalimantan Barat, telah terpilih secara aklamasi untuk menjadi Koordinator Nasional GCF dalam Pertemuan Tingkat Tinggi Satuan Tugas Gubernur untuk iklim dan hutan Indonesia dengan para anggota GCF di Jakarta pada tahun 2015 yang lalu. GCF memiliki tugas dan tanggung jawab antara lain mewakili semua provinsi di Indonesia yang menjadi anggota GCF di tingkat nasional dan internasional, menjadi Juru bicara GCF Indonesia, serta menjadi penyelenggara bersama Sekretariat Nasional , baik untuk kegiatan di tingkat nasional ataupun internasional yang disepakati oleh Sekretariat GCF di Colorado, Amerika Serikat. Lebih lanjut, bersama lima provinsi di Indonesia lainnya, Provinsi Kalimantan Barat juga telah turut menandatangani Deklarasi Rio Branco pada tahun 2014 lalu sebagai bukti tingginya komitmen Pemerintah Provinsi Kalimantan Barat untuk mengurangi angka deforestasi (penggundulan atau penghilangan hutan) dan mengendalikan perubahan iklim. Dalam rangka melaksanakan komitmen Deklarasi Rio Blanco tersebut, melalui GCF Provinsi Kalimantan Barat telah bersepakat melaksanakan 12 rencana aksi guna mengurangi deforestasi, antara lain dengan memperkuat Kesatuan Pengelola Hutan (KPH), mengendalikan penggunaan ruang dan tata kelola izin, membangun kemitraan dengan swasta untuk memastikan rantai pasok komoditas yang ramah lingkungan, serta menjamin pembangunan rendah emisi dengan keterlibatan aktif masyarakat adat dan petani. Namun demikian, kualitas keterlibatan multi-pihak belum optimal seperti yang diharapkan, serta belum sampai pada tingkat kolaborasi akibat belum terjalinnya komunikasi yang baik antara inisiatif-inisiatif penurunan emisi yang telah dilakukan antar dan di antara pemangku kepentingan di Kalimantan Barat.
xv
xvi Demi tercapainya komitmen bersama, Pemerintah Provinsi Kalimantan Barat tidak dapat berkerja sendiri secara parsial dan memerlukan dukungan, partisipasi, dan kontribusi dari para pihak. Sebaliknya, para pihak juga memerlukan dukungan regulasi dan kehadiran pemerintah sesuai tugas dan fungsinya. Sikap saling mendukung dan berpartisipasi aktif antara para pihak dalam mewujudkan program-program bersama untuk kepentingan bersama diharapkan dapat mempercepat target-target pembangunan berkelanjutan di Indonesia secara umum dan di Kalimantan Barat khususnya.
Atas dasar pertimbangan-pertimbangan tersebut, Pemerintah Provinsi Kalimantan Barat menyambut baik inisiatif dan konsep pengelolaan kawasan berbasis bentang alam ini, dengan satu harapan bahwa konsep pengelolaan kawasan seperti ini dapat sejalan dan mendukung upaya untuk mewujudkan pengelolaan hutan secara berkelanjutan pada tingkat jurisdiksi serta mewujudkan upaya mentransformasi seluruh kabupaten dan kota di Kalimantan Barat menuju Kabupaten dan Kota Hijau Berkelanjutan. Pontianak, April 2016.
Setelah mencermati substansi dokumen Rencana Induk Pengembangan Konservasi Bentang Alam (Landscape) di Sumatera dan Kalimantan ini, terdapat sejumlah kesamaan target yang hendak dicapai dalam pengelolaan bentang alam ini dengan target-target umum Pemerintah Provinsi Kalimantan Barat, seperti upaya mendorong para pihak untuk merehabilitasi hutan dan lahan, mencegah serta menanggulangi kebakaran hutan dan lahan, mitigasi perubahan iklim, dan meningkatkan akses masyarakat sekitar hutan dalam pengelolaan sumber daya hutan. Program-program yang terkait dengan pengelolaan hutan lindung, perlindungan satwa liar yang dilindungi, restorasi/pemulihan ekosistem, pencegahan serta penanggulangan kebakaran hutan dan lahan, pengelolaan gambut, dan penegakkan hukum di berbagai inisiatif bentang alam tersebut juga sudah sejalan dengan target-target umum Pemerintah Provinsi Kalimantan Barat. Oleh karenanya, dalam perencanaan dan pelaksanaan lebih lanjut dari dokumen ini, perlu melibatkan dinas instansi terkait baik dilingkup provinsi maupun kabupaten.
RENCANA INDUK PENGEMBANGAN KONSERVASI BENTANG ALAM SKALA BESAR DI SUMATERA DAN KALIMANTAN
RINGKASAN EKSEKUTIF
M
asyarakat internasional mengenal Indonesia sebagai salah satu negara negara dengan tingkat keanekaragaman hayati yang tertinggi dan ekosistem yang beragam, mulai dari terumbu karang hingga puncak gunung bersalju. Namun, tantangan untuk melestarikan sumberdaya alam, hutan, dan keanekagaraman hayatinya juga semakin meningkat. Kawasan hutan mengalami tekanan deforestasi dan degradasi akibat kegiatan-kegiatan yang sah dan tidak sah, terencana dan tidak terencana, termasuk kebakaran hutan, konversi hutan, penebangan hutan, dan konversi lahan gambut. Kondisi itu memicu persoalan baru berupa menurunnya kualitas lingkungan bagi kehidupan manusia, kualitas habitat satwa liar, dan kualitas daya dukung lingkungan untuk mencapai pembangunan yang berkeberlanjutan. Perubahan-perubahan tersebut dipengaruhi oleh sistem pengelolaan hutan di masa lalu yang lebih berorientasi pada pertumbuhan ekonomi dan mengesampingkan dampaknya terhadap lingkungan dan sosial. Perubahan politik di Indonesia pada tahun 1998 telah mendorong dinamika dan perubahan masyarakat pada umumnya, termasuk yang tinggal di dalam dan sekitar kawasan hutan. Gejolak itu menyisakan konflik-konflik tenurial antara masyarakat dengan pemerintah, masyarakat dengan perusahaan, dan antarkelompok masyarakat di kawasan-kawasan hutan itu sendiri. Permasalahan menjadi semakin kompleks dengan semakin menurunnya kualitas dan kuantitas habitat satwa liar, kian maraknya perburuan satwa liar untuk dikonsumsi atau diperdagangkan, yang kemudian menimbulkan konflik manusia-satwa dalam berbagai tingkatan.
Pemerintah Indonesia telah melakukan berbagai upaya konservasi untuk mencegah kepunahan flora dan fauna secara in-situ (di habitat aslinya) dan exsitu (di luar habitatnya). Pemerintah telah menunjuk dan/atau menetapkan 523 kawasan konservasi di darat dan laut dengan luas total 27,36 juta hektar. Selain itu, pemerintah juga menetapkan 25 spesies satwa yang menjadi prioritas untuk ditingkatkan populasinya. Berbagai lembaga swadaya masyarakat lokal, nasional, dan internasional, serta pihak swasta secara sendiri atau bersama-sama, dengan caranya masing-masing, juga telah menunjukkan upaya-upaya untuk menyelamatkan dan melestarikan kawasan hutan beserta isinya. Namun, gangguan dan ancaman terhadap keutuhan hutan terus terjadi. Banjir dan kekeringan di sejumlah daerah merupakan gejala awal bencana ekologis yang akan mempengaruhi kualitas kehidupan sosial-ekonomi masyarakat dan efektivitas pembangunan. Para pihak menyadari sepenuhnya bahwa komitmen, kebijakan, dan implementasi konservasi bentang alam mutlak memerlukan dukungan dan kerjasama dari semua pihak, termasuk masyarakat, pemerintah pusat dan daerah, akademisi/lembaga penelitian, LSM (lokal, nasional, internasional), dan perusahaan-perusahaan yang beroperasi di dalam dan sekitar kawasan hutan. Para pihak itu tidak sekedar menjalankan peran dan tanggung jawabnya masing-masing, tetapi juga berbagi peran dengan pihak lain sesuai kapasitas dan kompetensinya.
xvii
xviii
Kegiatan Focus Group Discussion (FGD) Tingkat Nasional, yang diselenggarakan pada 27 Agustus 2014 sebagai salah satu proses dalam penyusunan dokumen Rencana Induk Lanskap Skala Besar di Sumatera dan Kalimantan ini. (Foto: Adi Gustomo/APP)
Beberapa perusahaan yang beroperasi di dalam dan sekitar kawasan hutan telah mengembangkan program-program yang menjadi kewajiban atau program sukarela, yang terkait dengan isu konservasi, lingkungan hidup, dan sosial budaya. Salah satu pihak swasta yang telah menyatakan komitmennya terhadap isu konservasi dan perubahan iklim adalah Asia Pulp & Paper Group (APP). Komitmen itu mencakup Kebijakan Konservasi Hutan (Forest Conservation Policy/FCP), perlindungan kawasan bernilai konservasi tinggi (High Conservation Value/HCV) dan kawasan dengan cadangan karbon tinggi (High Carbon Stock/HCS), Rencana Pengelolaan Terpadu Hutan Berkelanjutan (Integrated Sustainable Forest Management Plan/ ISFMP), pengelolaan gambut, serta mendukung proteksi dan restorasi satu juta hektar di Sumatera dan Kalimantan. Namun upaya-upaya dari satu pihak di dalam bentang alam belum dapat menyelamatkan keseluruhan bentang alam tanpa didukung dan dilakukan bersama-sama dengan para pihak yang berkepentingan lainnya di dalam bentang alam. Pemerintah selaku regulator, pengawas, dan pengelola kawasan hutan memiliki peran penting dalam menyelaraskan kegiatan pembangunan di berbagai sektor terkait kehutanan sehingga dampaknya dapat diminimalisir.
Mengingat bahwa upaya konservasi spesies, habitat, dan ekosistem dipengaruhi oleh banyak faktor yang membentang dari hulu ke hilir, maka pengelolaan kawasan dengan pendekatan bentang alam merupakan salah satu cara untuk mempertemukan kepentingan lingkungan-konservasi, sosial-budaya, dan produksi/ekonomi. Dukungan dan keterlibatan multi pihak dalam kapasitasnya sebagai regulator, operator, eksekutor, dan penyandang dana merupakan syarat utama terlaksananya pengelolaan kawasan berbasis bentang alam. Dengan pendekatan ini, maka sumberdaya yang dimiliki atau dikuasai oleh para pihak, dapat disinergikan untuk mencapai tujuan pengembangan dan pengelolaan konservasi bentang alam yang berkelanjutan. Terdapat sejumlah pengertian yang berbeda-beda mengenai apa yang disebut sebagai bentang alam, namun untuk dokumen Rencana Induk ini, bentang alam atau lanskap diartikan sebagai luasan lahan heterogen atau mosaik geografis yang terbentuk dari ekosistem-ekosistem atau sub-komponennya yang saling berinteraksi secara berulang-ulang, yang terbentuk dari pengaruh kondisi geologi, iklim, topografi, air, tanah, biota, dan aktivitas manusia.
RENCANA INDUK PENGEMBANGAN KONSERVASI BENTANG ALAM SKALA BESAR DI SUMATERA DAN KALIMANTAN
Dalam perspektif penggunaan lahan oleh manusia, bentang alam diartikan sebagai hasil dari dinamika lingkungan dan masyarakat yang berkembang di dalamnya. Struktur, organisasi, dan dinamika bentang alam secara konstan berinteraksi dengan proses ekologis yang terjadi di dalamnya. Perubahan yang terjadi akibat proses-proses alamiah atau kegiatan manusia merupakan salah satu karakter bentang alam yang akan mempengaruhi proses dan interaksi unit-unit di dalam bentang alam secara keseluruhan. Namun perubahan-perubahan di dalam bentang alam harus dikelola untuk mencapai keberlanjutan kehidupan sosial, pengembangan ekonomi, dan jasajasa ekosistem. Kawasan-kawasan hutan, termasuk hutan produksi dan konservasi pada skala bentang alam tidak dapat dipisahkan dari aktivitas-aktivitas manusia. Tingkat kualitas hubungan manusia dan alam menjadi faktor penentu untuk menyelesaikan krisis lingkungan. Para pihak harus berkompromi terhadap sistem-sistem yang ada di dalam suatu bentang alam, dan melakukan pembagian ruang/zonasi di dalam bentang alam. Aliran energi/materi dan pergerakan makhluk hidup, termasuk manusia, akan terjadi antarruang sehingga perlu pengelolaan bentang alam yang berkelanjutan. Pengelolaan kawasan berbasis bentang alam yang berkelanjutan telah mengalami perbaikan seiring dengan perubahan perspektif yang berorientasi konservasi menjadi kompromi yang mensinergikan berbagai tujuan penggunaan lahan dan sumberdaya, yang berorientasi pada manusia (people-centered). Kawasan konservasi di dalam bentang alam seringkali berada di antara areal pemanfaatan, seperti perkebunan, permukiman, HTI, dan pertambangan. Dengan pendekatan bentang alam yang multisektor, multi-kepentingan, dan multi-pihak, maka pengelolan kawasan konservasi harus mengubah pola pengelolaan skala tunggal (single scale management) menjadi pengelolaan skala jamak (multi-scale management). Tanpa pendekatan multipihak di skala bentang alam, maka kawasan konservasi akan menjadi bercak kecil di antara mosaik kawasan budidaya, menjadi “pulau” yang terisolasi. Fakta itu memperkuat argumentasi perlunya upaya konservasi, proteksi, dan restorasi dalam skala bentang alam agar proses ekologis tetap berlangsung dan saling menguntungkan antara kawasan konservasi dan kawasan budidaya di sekitarnya. Kondisi itu mengharuskan semua pihak membangun mutual respect, mutual trust, dan mutual benefit untuk bersama-sama mengelola bentang alam.
Gagasan Single Large or Several Small (SLOSS) dalam biologi konservasi telah menjadi perdebatan yang panjang dalam konteks efektivitas pengelolaan kawasan. Berdasarkan fakta-fakta perubahan dinamika sosial yang ada di Indonesia, terutama di Sumatera dan Kalimantan, kawasan-kawasan konservasi yang berukuran kecil sebagian besar atau hampir seluruhnya tidak dapat dipertahankan fungsinya. Suaka Margasatwa Balai Raja di Riau, misalnya, hampir seluruhnya sudah menjadi perkebunan sawit. Atas dasar itu, pendekatan single large, satu kawasan yang luas, merupakan pilihan yang lebih memungkinkan dikelola secara kolaboratif. Upaya konservasi pada skala bentang alam yang luas menjadi suatu pilihan yang logis untuk saat ini. Pengelolaan suatu kawasan dengan pendekatan bentang alam ini akan lebih banyak memberikan ruang kerja, ruang koordinasi, dan ruang negosiasi bagi para pihak yang terlibat dan terdampak di dalam bentang alam untuk memformulasikan dan menerapkan praktik-praktik terbaik di dalam bidang usahanya. Konsep itu perlu dituangkan ke dalam Rencana Induk yang utuh, terencana, dan terukur sehingga dapat menjadi panduan atau referensi para pihak dalam merencanakan, melaksanakan, dan memonitorevaluasi program-program konservasi secara umum, restorasi, proteksi, pengembangan masyarakat, dan pengembangan wilayah. Dengan memperhatikan pendapat dan masukan dari para pihak yang tergabung di dalam Solution Working Group (SWG), sebuah wahana tidak mengikat yang memungkinkan organisasi konservasi, pemerintah, dan masyarakat untuk mendiskusikan implementasi kebijakan-kebijakan APP dan capaian Environmental Paper Network (EPN), telah disepakati bahwa komitmen proteksi dan restorasi itu akan diterapkan dalam skala bentang alam. Di dalam pertemuan konsultasi nasional tanggal 24 Juni 2014 di Jakarta, para pihak tersebut mendiskusikan 10 (sepuluh) bentang alam target, yaitu Giam Siak Kecil-Bukit Batu (GSKBB), Bukit Tigapuluh, Berbak-Sembilang, Dangku Meranti, dan Kubu. Sejak itu telah dilakukan serangkaian pertemuan di tingkat bentang alam yang difasilitasi oleh LSM setempat, pemerintah daerah, dan pihak swasta. Pertemuan tersebut bertujuan mengidentifikasi permasalahan dan kebutuhan-kebutuhan aksi konservasi di tingkat bentang alam.
xix
xx Dokumen Rencana Induk Pengembangan Konservasi Bentang Alam Skala Besar di Sumatera dan Kalimantan ini disusun dengan tujuan mensinergikan dan mengharmonisasikan kegiatan-kegiatan di dalam bentang alam yang dilakukan oleh para pihak dengan memperhatikan aspek lingkungan, sosialbudaya, dan pembangunan ekonomi/produksi yang berkelanjutan; memperkuat dan memadukan arahanarahan program dari rencana-rencana pengelolaan yang telah ada di dalam dan sekitar bentang alam; serta menjadi pedoman bersama dan referensi bagi para pihak yang ingin berpartisipasi sesuai kapasitas dan kepentingannya di dalam bentang alam melalui program strategis dan program pendukung. Rencana Induk ini disusun dengan mempertimbangkan pendapat dan saran dari para pihak yang berada di tingkat bentang alam, nasional dan internasional, khususnya yang beroperasi di dalam dan sekitar bentang alam. Penyusunan Rencana Induk dilakukan antara bulan Februari 2015 dan Agustus 2015, mencakup kegiatan pengumpulan data, penelusuran literatur, focus group discussion, wawancara, analisis, tinjauan pakar, dan konsultasi nasional dengan para pihak. Data dan informasi diperoleh dari berbagai sumber berupa file elektronik, dokumen cetak, dan citra satelit yang di konsultasikan ke sejumlah narasumber. Hasil dari analisis keanekaragaman hayati dan ekosistem, kelembagaan dan kebijakan, sosial ekonomi, sosial budaya, pemetaan para pihak, dan analisis spasial di setiap bentang alam ditelaah lebih lanjut dengan analisis SWOT untuk merancang visi, misi, dan strategi konservasi bentang alam. Sepuluh bentang alam target yang dianalisis di dalam dokumen Rencana Induk ini adalah Senepis, Giam Siak Kecil-Bukit Batu (GSKBB), Semenanjung Kampar, Kerumutan, Bukit Tigapuluh, Berbak-Sembilang, Dangku-Meranti, Padang Sugihan, Kubu, dan Kutai. Secara indikatif, total bentang alam target ini mencapai luas 10.145.187,90 hektar, termasuk 19 kawasan konservasi (KSA/KPA) seluas 1.156.003 hektar. Berdasarkan sejumlah publikasi dan dokumen kajian kawasan bernilai konservasi tinggi (High Conservation Value/HCV) di area konsesi hutan, telah teridentifikasi 1.018 spesies vertebrata di dalam bentang alam, termasuk 209 spesies yang dilindungi pemerintah Indonesia, 213 spesies yang masuk dalam kategori Daftar Merah IUCN, 32 spesies kategori Apendiks I CITES, dan 38 spesies EDGE (Evolutionarily Distinct and Globally Endangered). Jumlah tersebut dapat berubah seiring dengan penambahan data dan informasi keanekaragaman hayati di setiap bentang alam.
Dengan mempertimbangkan fitur-fitur konservasi yang ada di dalam bentang alam, ditentukanlah Kawasan Penting Bentang alam (KPL) yang menjadi prioritas area kerja. Fitur-fitur itu mencakup kawasan hutan konservasi (KSA/KPA), hutan lindung, kawasan lindung seperti sempadan sungai, danau, dan pantai, sebaran spesies flagship, kawasan bernilai konservasi tinggi (HCV) dan cadangan karbon tinggi (HCS), serta sebaran gambut dengan kedalaman lebih dari tiga meter. Hasil analisis spasial itu mengidentifikasi total area di dalam bentang alam yang tergolong KPL adalah 6.190.740,02 hektar. Sesuai hasil analisis perbandingan Citra Landsat 8 pada periode cakupan tahun 2003 dan tahun 2014, didapatlah tutupan lahan kawasan yang masih berhutan, terdeforestasi, non-hutan alami, dan non-hutan buatan. Kawasan non hutan alami adalah area yang secara alami memang tidak terklasifikasi sebagai hutan, sedangkan non hutan buatan adalah area yang terjadi akibat intervensi manusia. Status/fungsi lahan yang ada di dalam bentang alam dikelompokkan menjadi KSA/KPA, hutan lindung, hutan produksi yang belum dibebani hak, area konsesi hutan produksi, dan APL. Dengan mempertimbangkan hasil analisis, diskusi, dan wawancara dengan narasumber, maka disusunlah visi, misi, strategi, dan program-program utama konservasi bentang alam dalam skala rencana induk. Gagasan ini diawali dengan melakukan program untuk pengkondisian (enabling condition) berupa pembangunan konsensus, kelembagaan, dan kebijakan pendukung. Pengkondisian itu diarahkan pada dua program strategis utama, yaitu proteksi dan restorasi di bentang alam target. Sedangkan program pendukungnya adalah pemberdayaan masyarakat dan asistensi-pemantauan pada skala bentang alam. Lokasi area kerja untuk proteksi, restorasi, pemberdayaan masyarakat, dan asistensipemantauan di setiap bentang alam ditentukan berdasarkan pengelompokkan status/fungsi lahan dan kondisi penutupan lahan sebagaimana diuraikan di atas. Luasan dan sebaran arahan program utama, serta para pemangku kawasan di setiap bentang alam ditampilkan di dalam Tabel IV-5 dan Gambar IV-12 sampai dengan Gambar IV-20. Arahan program utama di suatu lokasi, misalnya restorasi tidak berarti bahwa kegiatannya hanya restorasi. Kegiatan restorasi itu menjadi fokus, namun tidak dimaksudkan berdiri sendiri, melainkan memerlukan dukungan kegiatan lainnya seperti proteksi dan pemberdayaan masyarakat.
RENCANA INDUK PENGEMBANGAN KONSERVASI BENTANG ALAM SKALA BESAR DI SUMATERA DAN KALIMANTAN
Konservasi bentang alam merupakan aksi kolektif, sehingga kesadaran dan komitmen para pihak adalah faktor pemungkin (pengkondisian) bagi terselengaranya konservasi bentang alam. Kesadaran dan komitmen tersebut harus diwujudkan dalam bentuk konsensus dan pelembagaan agar konservasi bentang alam dapat bertransformasi dari ide bersama menjadi aksi bersama. Bentuk fisik konsensus dapat berupa dokumen-dokumen kesepakatan para pihak, sementara pelembagaan dapat berupa pengarusutamaan konservasi bentang alam kedalam kebijakan, rencana dan kegiatan para pihak. Pelembagaan juga termasuk pembentukan kelembagaan multipihak sebagai wadah koordinasi dan sinkronisasi rencana-rencana kerja para pihak dari unsur pemerintah dan non pemerintah. Program proteksi bentang alam dirumuskan sebagai proses yang bertujuan untuk menjaga keutuhan bentang alam melalui upaya-upaya mempertahankan beberapa jenis penggunaan lahan yang kondisinya masih baik dan memiliki peran penting sebagai perekat keutuhan dan penopang kesehatan suatu ekosistem bentang alam. Program proteksi dan kegiatan-kegiatannya akan beragam di setiap bentang alam, tergantung kondisi dan karakteristik bentang alam, status dan fungsi lahan, dan peluang-peluang yang ada. Fokus investasi diarahkan pada penguatan sistem perlindungan dan pengamanan kawasan hutan pada instusi pengelola hutan di tingkat tapak. Selain itu, intervensi program proteksi bentang alam juga dapat berupa pembentukan organisasi-organisasi perlindungan dan pengamanan berbasis masyarakat (community patrol unit) atau unit-unit tanggap (response units) untuk beberapa kasus khusus dan lintas unit lahan, misalnya unit tanggap penanganan kebakaran hutan dan konflik manusia-satwa. Kegiatan proteksi dapat bersifat preemptive, preventive, dan/ atau repressive tergantung situasinya. Total area yang teridentifikasi menjadi areal kerja proteksi di seluruh bentang alam seluas 2.001.520,92 hektar. Pengertian tentang restorasi cukup beragam, namun restorasi pada konservasi bentang alam di dalam Rencana Induk ini pada dasarnya diarahkan untuk memulihkan habitat spesies flagship sekaligus merehabilitasi daerah tangkapan air dan secara langsung dapat meningkatkan kemampuan ekosistem untuk menyerap dan menyimpan karbon. Secara teknis, perlakuan di dalam restorasi pada 10 bentang alam akan berbeda, tergantung dari sifat tapak (mineral atau gambut) dan ekosistem rujukan berupa habitat spesies bendera. Wilayah kerja restorasi ditujukan pada wilayah KPL yang masuk dalam kategori terdeforestasi di setiap bentang alam, dengan total seluas 320.899, 03 hektar.
Pemberdayaan masyarakat bertumpu pada tiga kegiatan utama, yakni: 1) Meningkatkan akses kepada masyarakat terhadap pengelolaan dan manfaat hutan; 2) Meningkatkan kapasitas masyarakat; dan 3) Meningkatkan asupan teknologi tepat guna, ramah lingkungan, rendah modal, dan jaminan pemasarannya. Tantangan pemberdayaan masyarakat dalam konservasi bentang alam ini adalah meningkatkan keterlibatan masyarakat dalam upaya restorasi dan proteksi sekaligus meningkatkan peluang bagi mereka untuk terlepas dari kondisi kemiskinan struktural dan absolut. Tantangan lainnya adalah meningkatkan kesadaran, pengetahuan, dan keterlibatan masyarakat dalam upaya restorasi dan proteksi. Oleh karenanya pemberdayaan masyarakat juga harus didukung oleh program-program pendidikan lingkungan dan konservasi. Area prioritas untk pemberdayaan di dalam bentang alam sekitar 104.295,78 hektar. Kegiatan pemantauan dan asistensi teknis difokuskan pada hutan produksi yang sudah dibebani hak konsesi, mencakup pemantauan kinerja kegiatankegiatan pada program proteksi dan restorasi serta pemantauan kinerja pengelolaan kawasan bernilai konservasi tinggi dan karbon tinggi di dalam arealareal kerja konsesi hutan produksi. Kegiatan asistensi teknis diarahkan untuk memberikan bantuan teknis (technical assistance) terhadap penyelegggaraaan konservasi bentang alam secara terpadu atau parsial. Kegiatan asistensi teknis sebaiknya dilakukan oleh suatu unit kerja yang dibentuk pada tingkat nasional dalam bentuk Technical Advisor Committee (TAC) untuk mengawal implementasi Rencana Induk di tingkat bentang alam secara terpadu. Area prioritas untuk program pemantauan dan asistensi adalah seluas 293.851,57 hektar.
xxi
xxii
DAFTAR SINGKATAN
AAC AFOLU AHP AATHP APL BAPPENAS BBKSDA BPS BTN CB CBD
Damkarhutla DAS EBA FLR HCS HCV HD HHBK HHK HKm HTR
: Annual Allowable Cut/Jatah Tebangan Tahunan : Agriculture, Forestry, and Other Land Use : ASEAN Declaration on Heritage Parks and Reserves : ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution : Areal Penggunaan Lain : Badan Perencanaan Pembangunan Nasional : Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam : Badan Pusat Statistik : Balai Taman Nasional : Cagar Biosfer : Convention on Biological Diversity/Konvensi Keanekaragaman Hayati : Pemadaman Kebakaran Hutan dan Lahan : Daerah Aliran Sungai : Endemic Bird Area/Kawasan Burung Endemik : Forest Landscape Restoration : High Carbon Stock/Cadangan Karbon Tinggi : High Conservation Value/Nilai Konservasi Tinggi (NKT) : Hutan Desa : Hasil Hutan Bukan Kayu : Hasil Hutan Kayu : Hutan Kemasyarakatan : Hutan Tanaman Rakyat
IBA IBSAP IFCA IPCC IPSDH IUPHHK-RE
IUPHHK-HTI
Jasling KBA
KPH
KLHK KLHS KKHSB KPL KPA
: Important Bird Area/Kawasan Penting Burung : Indonesia Biodiversity Strategy and Action Plan : Indonesian Forest Climate Alliance : Intergovernmental Panel on Climate Change : Inventarisasi dan Pemantauan Sumber Daya Hutan : Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Restorasi Ekosistem : Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Hutan Tanaman Industri : Jasa Lingkungan : Key Biodiversity Area/ Kawasan Keanekaragaman Hayati Kunci : Kesatuan Pengelolaan Hutan. Terdiri dari KPHP (Hutan Produksi), KPHL (Hutan Lindung), dan KPHK (Hutan Konservasi). : Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan : Kajian Lingkungan Hidup Strategis : Kawasan Konservasi Harimau Senepis-Buluhala : Kawasan Penting Lanskap (Bentang alam) : Kawasan Pelestarian Alam. Terdiri dari Taman Nasional (TN), Taman Hutan Raya
RENCANA INDUK PENGEMBANGAN KONSERVASI BENTANG ALAM SKALA BESAR DI SUMATERA DAN KALIMANTAN
KSA
:
KSDAE
:
KMS MAB
: :
MDGs
:
MHA PAK
: :
PDRB
:
Permenhut PHKA
: :
PIAPS
:
PLG/PKG
:
PSKL
:
RHL RPJMD
: :
RPJMN
:
(Tahura), dan Taman Wisata Alam (TWA). Kawasan Suaka Alam. Terdiri dari Cagar Alam (CA) dan Suaka Margasatwa (SM) Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem Konflik Manusia-Satwa-liar Man and the Biosphere/ Manusia dan Biosfir Millennium Development Goals/Tujuan Pembangunan Milenium Masyarakat Hukum Adat Pencadangan Area Kerja. Dialokasikan untuk Hutan Desa (HD), Hutan Kemasyarakatan (HKm), dan Hutan Tanaman Rakyat (HTR). Produk Domestik Regional Bruto Peraturan Menteri Kehutanan Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam Peta Indikatif Arahan Perhutanan Sosial Pusat Latihan Gajah/Pusat Konservasi Gajah Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan Rehabilitasi Hutan dan Lahan Rencana Pembangungan Jangka Menengah Daerah Rencana Pembangungan Jangka Menengah Nasional
RPPLH
RTP RTRW
SDGs
SKPD SRAK Tahura THPB TPTI UNFCC
UPT WCRU
WHS
: Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. : Rumah Tangga Petani : Rencana Tata Ruang Wilayah (tingkat Nasional, Provinsi, Kabupaten) : Sustainable Development Goals/Tujuan Pembangunan Berkelanjutan : Satuan Kerja Perangkat Daerah : Strategi dan Rencana Aksi Konservasi : Taman Hutan Raya (THR) : Tebang Habis dengan Permudaan Buatan : Tebang Pilih Tanam Indonesia : United Nations Framework on Climate Change/Kerangka PBB tentang Perubahan Iklim : Unit Pelaksana Teknis : Wildlife Conflict Respond Unit/ Satuan Tanggap Konflik Satwa Liar : World Heritage Site/Situs Warisan Dunia
xxiii
xxiv
DAFTAR ISI PENGANTAR ..........................................................................................vi SAMBUTAN -SAMBUTAN ..................................................................ix RINGKASAN EKSEKUTIF ...................................................................xvii DAFTAR SINGKATAN ..........................................................................xxii DAFTAR GAMBAR................................................................................xxvi DAFTAR TABEL .....................................................................................xxviii DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................xxx
3.2.1. 3.2.2. 3.2.3. 3.2.4. 3.2.5. 3.2.6. 3.2.7.
BAB SATU PENDAHULUAN ..............................................................................2 1.1. 1.2. 1.3. 1.4.
LATAR BELAKANG .................................................................. 2 MAKSUD DAN TUJUAN ......................................................... 5 RUANG LINGKUP WILAYAH ................................................. 5 TAHAPAN DAN METODOLOGI ............................................ 6
BAB DUA PENGELOLAAN KAWASAN BERBASIS BENTANG ALAM ..14 PENGELOLAAN BENTANG ALAM BERKELANJUTAN ....................................................................14 2.1.1 Cagar Biosfer ........................................................................... 16 2.1.2 Hutan Model (Model Forest) ................................................17 2.1.3 IUCN Kategori V: Protected Landscape ...........................18 2.1.4 Kawasan Ekosistem ............................................................... 19 2.1.5 Koridor Ekosistem .................................................................. 19 2.2 PERSPEKTIF GLOBAL DALAM KONSERVASI BENTANG ALAM ................................................................... 20 2.2.1 Spesies Penting Tingkat Global ....................................... 20 2.2.2 Status Global Kawasan Konservasi ................................. 22 2.2.3 Kerangka Kebijakan Global untuk Mendukung Konservasi Bentang Alam ...................................................24 2.3. KERANGKA HUKUM PENGELOLAAN BENTANG ALAM ....................................................................27 2.3.1. Kawasan Lindung di dalam Bentang Alam ....................27 2.3.2 Regulasi dalam Pengelolaan Bentang Alam .................28 2.4. TANTANGAN DAN PELUANG ........................................... 30 2.4.1. Keterwakilan Ekosistem Penting di Kawasan Konservasi ............................................................ 30 2.4.2. RKTN 2011-2030 dan Target Kementerian LHK ............31 2.4.3. Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) ..................................31 2.4.4. Perhutanan Sosial sebagai Peluang Penyelesaian Konflik Tenurial .......................................................................32 2.4.5. Tantangan Sosial di dalam Bentang Alam .....................36 2.4.6. Konflik Manusia-Satwa Liar .................................................39 2.4.7. Komunitas Masyarakat Hukum Adat ............................... 40 2.1.
BAB TIGA PROFIL BENTANG ALAM .......................................................... 48 3.1. KONDISI UMUM BENTANG ALAM ...................................48 3.1.1. Peta Indikatif Bentang Alam ...............................................48 3.1.2. Kawasan Konservasi dan Konservasi Spesies .............49 3.1.3. Tipe Ekosistem di dalam Bentang Alam .........................52 3.1.4. Nilai Cadangan Karbon Tier-1 .............................................57 3.1.5. Titik Api di Bentang Alam ................................................... 58 3.1.6. Kondisi Sosial-Ekonomi .........................................................61 3.1.7. Konflik Sosial (Tenurial) ........................................................67 3.1.8. Model Konseptual (Miradi) ................................................. 68 3.2. KONDISI KHUSUS BENTANG ALAM ...............................72
3.2.8. 3.2.9. 3.2.10.
Bentang Alam Senepis, Riau ..............................................72 Bentang Alam Giam Siak Kecil-Bukit Batu, Riau ..........75 Bentang Alam Semenanjung Kampar, Riau ...................79 Bentang Alam Kerumutan, Riau ....................................... 82 Bentang Alam Bukit Tigapuluh, Riau dan Jambi ..........87 Bentang Alam Berbak-Sembilang, Jambi dan Sumatera Selatan .................................................................. 90 Bentang Alam Dangku-Meranti, Jambi dan Sumatera Selatan ..........................................................93 Bentang Alam Padang Sugihan, Sumatera Selatan ....97 Bentang Alam Kubu, Kalimantan Barat .........................100 Bentang Alam Kutai, Kalimantan Timur ........................103
BAB EMPAT STRATEGI KONSERVASI BENTANG ALAM ..............................110 KONSEPTUALISASI KONSERVASI BENTANG ALAM .110 4.1. 4.1.1. Konsensus dan Kelembagaan .......................................... 112 4.1.2. Pengembangan Kebijakan dan Kapasitas Kelembagaan .....................................................116 4.1.3. Proteksi ....................................................................................116 4.1.4. Restorasi ..................................................................................118 4.1.5. Pemberdayaan Masyarakat ..............................................122 4.1.6. Pemantauan dan Asistensi Teknis ..................................126 VISI DAN MISI KONSERVASI BENTANG ALAM ........... 127 4.2. PRINSIP KONSERVASI BENTANG ALAM ..................... 128 4.3. STRATEGI KONSERVASI BENTANG ALAM .................. 128 4.4. 4.4.1. Wilayah Intervensi Konservasi Bentang Alam ............. 128 4.4.2. Arahan Intervensi .................................................................130 4.4.3. Strategi Intervensi................................................................. 148 BAB LIMA ARAH PROGRAM DAN PRIORITAS ........................................... 154 5.1. PROGRAM KERJA KONSERVASI BENTANG ALAM ...................................................................154 5.2. PROGRAM STRATEGIS ......................................................154 5.2.1. Program Pembangunan Konsensus ................................154 5.2.2. Program Pengembangan Kelembagaan .......................156 5.2.3. Program Aksi Proteksi .........................................................158 5.2.4. Program Aksi Restorasi .......................................................160 5.3. PROGRAM PENDUKUNG ................................................... 161 5.3.1. Program Pengembangan Kapasitas ................................ 161 5.3.2. Program Pemberdayaan Masyarakat .............................163 5.3.3. Program Pendidikan Lingkungan Hidup dan Konservasi Alam ...........................................................164 5.3.4. Program Pemantauan dan Asistensi Teknis .................165 5.4. HIERARKI DAN PERIODE PERENCANAAN .................. 176 5.4.1. Jenis-jenis Rencana pada Konservasi Bentang Alam ......................................................................... 176 5.4.2. Periode Perencanaan Konservasi Bentang Alam....... 177 5.5. PRIORITAS BENTANG ALAM............................................. 177 5.5.1. Penilaian Aspek Kepentingan ........................................... 177 5.5.2. Penilaian Aspek Kemendesakan ..................................... 178 5.5.3. Penilaian Akhir Prioritas Bentang Alam .........................180 5.6. SKEMA PENDANAAN KONSERVASI BENTANG ALAM ....................................................................181 5.6.1. Sumber Pendanaan ...............................................................181 5.6.2. Skema Pembiayaan ...............................................................181
RENCANA INDUK PENGEMBANGAN KONSERVASI BENTANG ALAM SKALA BESAR DI SUMATERA DAN KALIMANTAN
BAB ENAM MONITORING DAN EVALUASI KONSERVASI BENTANG ALAM ............................................................................ 186 6.1 6.2.
Kerangka Kerja Pemantauan dan Evaluasi ...................186 Penilaian Kinerja Konservasi Bentang Alam ................190
REFERENSI ...................................................................................... 192 LAMPIRAN....................................................................................... 197
xxv
xxvi
DAFTAR GAMBAR Gambar I-1. Gambar I-2. Gambar I-3. Gambar I-4. Gambar I-5. Gambar II-1. Gambar II-2. Gambar II-3. Gambar II-4. Gambar II-5. Gambar II-6. Gambar II-7. Gambar III-1. Gambar III-2. Gambar III-3. Gambar III-4. Gambar III-5. Gambar III-6. Gambar III-7. Gambar III-8. Gambar III-9. Gambar III-10. Gambar III-11. Gambar III-12. Gambar III-13. Gambar III-14. Gambar III-15. Gambar III-16. Gambar III-17. Gambar III-18. Gambar III-19.
Metodologi dan proses penyusunan rencana induk .................................................................. 6 Peta indikatif dan sebaran sepuluh bentang alam target di Sumatera dan Kalimantan ................ 7 Input-input yang diperlukan untuk membangun model konseptual .......................................................... 8 Konfigurasi dasar dari model konseptual di tingkat bentang alam ............................................... 9 Contoh kuadran hasil analisis pengaruh kepentingan para pihak ............................ 9 Empat aspek utama dan empat paradigma manajemen bentang alam...........................................15 Pembagian ruang yang dibutuhkan manusia dalam pengembangan bentang alam .....................15 Delineasi Koridor Rimba di Sumatera .................... 20 Kerangka peraturan perundang-undangan dalam pengelolaan bentang alam ...........................29 Alur permasalahan penyebab kerusakan hutan dan fenomena open access ......................................33 Tipologi kelompok masyarakat untuk pengembangan perhutanan sosial .........................35 Skema relasi aspek sosial ekonomi masyarakat dan problem SDA di dalam bentang alam ............37 Perkiraan nilai cadangan karbon (TonCarbon) di sepuluh bentang alam ............................................58 Jumlah dan sebaran titik api di setiap bentang alam pada periode 2009-2013................59 Pola sebaran lokasi (patches) titik api padat di 10 bentang alam pada periode 2009-2013 ......... 60 Jumlah rumah tangga petani berdasarkan subsektor 2003 di lima provinsi ..............................65 Jumlah rumah tangga petani berdasarkan subsektor 2013 di lima provinsi ................................65 Peta sebaran konflik di sepuluh bentang alam ...69 Tipologi konflik sosial sebelum dan sesudah kajian sosial ...................................................69 Hasil analisis model konseptual Miradi di seluruh bentang alam target ................................71 Peta indikatif bentang alam Senepis, status kawasan, dan tipe ekoregion ......................72 Persentase pendidikan terakhir penduduk di Bentang Alam Senepis .......................................... 74 Peta indikatif Bentang Alam GSK-BB, status kawasan, dan tipe ekoregion ......................76 Persentase pendidikan terakhir penduduk kecamatan di Bentang Alam GSKBB ..................... 77 Peta indikatif Bentang Alam Semenanjung Kampar, status kawasan, dan tipe ekoregion ..................... 80 Persentase pendidikan terakhir penduduk di Bentang Alam Semenanjung Kampar .....................81 Peta indikatif Bentang Alam Kerumutan, status kawasan, dan tipe ekoregion ......................82 Persentase pendidikan terakhir penduduk di Bentang Alam Kerumutan .....................................84 Peta indikatif Bentang Alam Bukit Tigapuluh, status kawasan, dan tipe ekoregion ..................... 86 Persentasi pendidikan terakhir penduduk di Bentang Alam Bukit Tigapuluh ................................87 Peta indikatif Bentang Alam Berbak-Sembilang, status kawasan, dan tipe ekoregion ..................... 90
Gambar III-20. Persentase pendidikan terakhir penduduk di Bentang Alam Berbak Sembilang ...........................92 Gambar III-21. Peta indikatif Bentang Alam Dangku-Meranti, status kawasan, dan tipe ekoregion ......................93 Gambar III-22. Persentase pendidikan terakhir penduduk di Bentang Alam Dangku-Meranti ..........................94 Gambar III-23. Peta indikatif Bentang Alam Padang Sugihan, status kawasan, dan tipe ekoregion ......................98 Gambar III-24. Persentase pendidikan terakhir penduduk di Bentang Alam Padang Sugihan ......................... 99 Gambar III-25. Peta indikatif Bentang Alam Kubu, status kawasan, dan tipe ekoregion ....................100 Gambar III-26. Persentase pendidikan terakhir penduduk di Bentang Alam Kubu ...............................................101 Gambar III-27. Peta indikatif Bentang Alam Kutai, status kawasan, dan tipe ekoregion ....................103 Gambar III-28. Persentase pendidikan terakhir penduduk di Bentang Alam Kutai ..............................................104 Gambar IV-1. Konseptualisasi pengembangan konservasi bentang alam ................................................................ 112 Gambar IV-2. Diagram alur program pembangunan konsensus konservasi bentang alam ................... 113 Gambar IV-3. Model pengembangan kelembagaan multipihak untuk konservasi bentang alam ........ 114 Gambar IV-4. Model pengembangan kapasitas untuk konservasi bentang alam .........................................116 Gambar IV-5. Diagram model program aksi proteksi pada konservasi bentang alam ......................................... 118 Gambar IV-6. Berbagai istilah untuk kegiatan restorasi dan pemulihan kawasan ...................................................120 Gambar IV-7. Diagram model program aksi proteksi pada konservasi bentang alam ......................................... 121 Gambar IV-8. Model pemberdayaan masyarakat pada konservasi bentang alam ........................................ 123 Gambar IV-9. Contoh hasil tumpangsusun area bernilai cadangan karbon tinggi (HCS) dan KPL ............. 129 Gambar IV-10. Proses reklasifikasi tutupan lahan untuk penentuan Arahan Pengelolaan Bentang Alam .....................130 Gambar IV-11. Sebaran pemangku kawasan dan lokasi program utama di KPL Senepis ............................. 135 Gambar IV-12. Sebaran pemangku kawasan dan lokasi program utama di KPL GSKBB ............................... 136 Gambar IV-13. Para pemangku kawasan dan lokasi program utama di KPL Semenanjung Kampar ................... 137 Gambar IV-14. Sebaran pemangku kawasan dan lokasi program utama di KPL Kerumutan ........................ 138 Gambar IV-15. Sebaran pemangku kawasan dan lokasi program utama di KPL Bukit Tigapuluh .............. 139 Gambar IV-16. Sebaran pemangku kawasan dan lokasi program utama di KPL Dangku-Meranti .............140 Gambar IV-17. Sebaran pemangku kawasan dan lokasi program utama di KPL Berbak-Sembilang .......... 141 Gambar IV-18. Sebaran pemangku kawasan dan lokasi program utama di KPL Padang Sugihan ............. 142 Gambar IV-19. Sebaran pemangku kawasan dan lokasi program utama di KPL Kubu ................................... 143 Gambar IV-20. Sebaran pemangku kawasan dan lokasi program utama di KPL Kutai ................................... 144
RENCANA INDUK PENGEMBANGAN KONSERVASI BENTANG ALAM SKALA BESAR DI SUMATERA DAN KALIMANTAN
Gambar V-1. Gambar V-2. Gambar V-3. Gambar VI-1. Gambar VI-2. Gambar VI-3.
Hierarki visi, misi, strategi, dan program kerja konservasi bentang alam ........................................155 Hubungan hierarki berbagai rencana dalam konservasi bentang alam ........................................ 176 Pengelompokkan prioritas bentang alam sesuai kepentingan dan kemendesakan ...........180 Hubungan kausalitas Input-Output-OutcomeBenefit-Impact konservasi bentang alam ...........188 Bagan sistem pemantauan dan evaluasi terpadu .........................................................189 Ilustrasi kinerja program konservasi bentang alam ...............................................................190
xxvii
xxviii
DAFTAR TABEL Tabel I-1. Tabel II-1. Tabel II-2. Tabel II-3. Tabel II-4. Tabel II-5. Tabel II-6. Tabel III-1. Tabel III-2. Tabel III-3. Tabel III-4. Tabel III-5. Tabel III-6. Tabel III-7. Tabel III-8. Tabel III-9. Tabel III-10. Tabel III-11. Tabel III-12. Tabel III-13. Tabel III-14. Tabel III-15. Tabel III-16. Tabel III-17. Tabel III-18. Tabel III-19. Tabel III-20. Tabel III-21. Tabel III-22.
Daftar pertemuan dan diskusi kelompok terfokus (FGD) di tingkat bentang alam ................................... 11 Kategori kawasan konservasi berdasarkan IUCN dan sistem di Indonesia ................................... 18 Kategori kawasan lindung berdasarkan regulasi tata ruang ....................................................................... 28 Persentase kelompok ekosistem di dalam dan luar kawasan konservasi ................................... 30 Perbandingan skema Hutan Kemasyarakatan, Hutan Desa, dan Hutan Tanaman Rakyat ............ 34 Analisis SWOT terhadap tipologi kelompok masyarakat perhutanan sosial ................................. 33 Perspektif sosial ekonomi terhadap tantangan dan peluang konservasi bentang alam ................. 35 Karakteristik batas bentang alam untuk pengembangan sepuluh bentang alam ................ 48 Kawasan suaka alam (KSA) dan kawasan pelestarian alam (KPA) di dalam bentang alam ......................... 50 Jumlah spesies vertebrata di setiap bentang alam .................................................................. 51 Jumlah spesies di bentang alam berdasarkan kategori IUCN, CITES, EDGE, dan PP No.7/1999 ................. 51 Luas lahan gambut dan non-gambut di dalam bentang alam ............................................... 53 Sebaran dan luas ekoregion di sepuluh bentang alam (hektar) ............................................................................ 54 Luas kedalaman gambut diatas 3 meter dan dibawah 3 meter di lima provinsi ............................ 55 Perbandingan istilah dan pengertian gambut dalam regulasi di Indonesia ...................................... 56 Kelas penutupan lahan dan stok karbon (tC/ha) untuk memperkirakan stok karbon ........................ 57 Jumlah dan persentasi luas patch di setiap bentang alam ................................................................. 59 Persentase titik api patches padat di Kawasan Penting Bentang Alam ............................. 60 Jumlah perusahaan, kecamatan, dan desa di area hotspot patches yang padat ............................ 61 Lokasi prioritas pengendalian kebakaran hutan dan lahan ........................................................................ 62 Jumlah kabupaten, kecamatan, dan desa di bentang alam ................................................................. 62 Perkiraan jumlah penduduk kecamatan yang ada di dalam bentang alam tahun 2014 ........................ 63 PDRB Provinsi dalam bentang alam tahun 2011 dan 2012 .......................................................................... 64 Wilayah dan jumlah penduduk kecamatan di dalam bentang alam Senepis ....................................73 Jenis tanaman dan luas areal ditanam di kabupaten dalam bentang alam Senepis .............74 Wilayah dan jumlah penduduk kecamatan di bentang alam Giam Siak Kecil-Bukit Batu .............77 Jenis tanaman dan luas areal ditanam di kabupaten dalam bentang alam GSKBB .............. 78 Wilayah, jumlah, dan kepadatan penduduk kecamatan dalam bentang alam Semenanjung Kampar ....... 80 Jenis tanaman dan luas areal ditanam di kabupaten dalam bentang alam Semenanjung Kampar ......... 81
Tabel III-23. Wilayah dan jumlah penduduk kecamatan dalam bentang alam Kerumutan .......................................... 83 Tabel III-24. Jenis tanaman dan luas areal ditanam di kabupaten dalam bentang alam Kerumutan ....... 84 Tabel III-25. Wilayah, jumlah, dan kepadatan penduduk kecamatan dalam bentang alam Bukit Tigapuluh ............................................................. 88 Tabel III-26. Jenis tanaman dan luas areal ditanam di kabupaten dalam bentang alam Bukit Tigapuluh .................... 89 Tabel III-27. Wilayah, jumlah, dan kepadatan penduduk di bentang alam Berbak Sembilang ............................ 91 Tabel III-28. Jenis tanaman dan luas areal di tanam di kabupaten dalam bentang alam Berbak Sembilang .............. 92 Tabel III-29. Wilayah dan jumlah penduduk kecamatan dalam bentang alam Dangku-Meranti ................................ 95 Tabel III-30. Jenis tanaman dan luas areal ditanam di kabupaten dalam bentang alam Dangku-Meranti .................. 95 Tabel III-31. Wilayah, jumlah dan kepadatan penduduk di bentang alam Padang Sugihan ............................... 99 Tabel III-32. Luas perkebunan (hektar) yang dikelola RTP di bentang alam Padang Sugihan tahun 2013 ......... 99 Tabel III-33. Wilayah, jumlah, dan kepadatan penduduk kecamatan di bentang alam Kubu ......................... 101 Tabel III-34. Jenis tanaman dan luas areal ditanam di kabupaten dalam bentang alam Kubu .................102 Tabel III-35. Wilayah, jumlah, dan kepadatan penduduk kecamatan dalam bentang alam Kutai .................104 Tabel III-36. Jenis tanaman dan luas areal ditanam di kabupaten/kota dalam bentang alam Kutai ...... 106 Tabel IV-1. Peran dan fungsi para pihak dalam kelembagaan pengelolaan bentang alam .......................................115 Tabel IV-2. Gangguan terhadap hutan dan penyebabnya ...117 Tabel IV-3. Luas kawasan penting bentang alam di sepuluh bentang alam (hektar) ...............................................129 Tabel IV-4. Arahan umum pengelolaan konservasi bentang alam di kawasan penting bentang alam ...............131 Tabel IV-5. Alokasi luas arahan umum program utama pengelolaan di KPL ....................................................132 Tabel IV-6. Sebaran area target proteksi bentang alam di 10 bentang alam (hektar) ..........................................133 Tabel IV-7. Arahan umum perumusan program aksi proteksi di setiap fungsi hutan ...............................134 Tabel IV-8. Sebaran area target restorasi bentang alam pada 10 bentang alam (hektar) ...............................145 Tabel IV-9. Alokasi arahan perhutanan sosial di dalam bentang alam target ...................................................146 Tabel IV-10. Hasil identifikasi Kekuatan, Kelemahan, Peluang dan Ancaman konservasi bentang alam .............149 Tabel IV-11. Perumusan strategi konservasi di sepuluh bentang alam .................................................................151 Tabel V-1. Matrik Program, Tujuan, Kegiatan, dan Keluaran dari konservasi bentang alam .................................167 Tabel V-2. Indikator nilai penting unit lahan di dalam bentang alam ................................................................ 177 Tabel V-3. Kombinasi setiap indikator dalam penilaian tingkat kepentingan unit lahan .............................................178 Tabel V-4. Indikator kemendesakan dengan penggunaan indikator Indeks Penutupan Lahan dan Kesesuaian Penggunaan Lahan .............................179
RENCANA INDUK PENGEMBANGAN KONSERVASI BENTANG ALAM SKALA BESAR DI SUMATERA DAN KALIMANTAN
Tabel V-5. Tabel V-6.
Komibinasi antarindikator dalam penilaian tingkat kemendesakan ..............................................179 Penentuan prioritas program berdasarkan kepentingan dan kemendesakan ......................... 180
xxix
xxx
DAFTAR LAMPIRAN Lampiran 1. Lampiran 2. Lampiran 3. Lampiran 4. Lampiran 5. Lampiran 6. Lampiran 7. Lampiran 8. Lampiran 9. Lampiran 10.
Kompilasi rencana aksi yang diusulkan para pihak di tingkat bentang alam................................. 198 Matriks hambatan, tantangan, dan peluang konservasi bentang alam ........................ 205 Kompilasi jumlah spesies vertebrata yang dilindungi di dalam bentang alam ............... 208 Area padat hotspot berdasarkan wilayah administratif (satuan hektar) .................................... 211 Tren pertumbuhan penduduk di dalam bentang alam tahun 2013-2018 .............................. 224 Konflik sosial yang terjadi di beberapa wilayah bentang alam ................................................ 228 Pengaruh dan kepentingan para pihak ............... 243 Perbandingan kegiatan restorasi untuk pemulihan hutan dan lahan ..................................... 271 Program percontohan untuk diterapkan di dalam bentang alam target ................................. 274 Peluang dan potensi sumber pendanaan ........... 288
RENCANA INDUK PENGEMBANGAN KONSERVASI BENTANG ALAM SKALA BESAR DI SUMATERA DAN KALIMANTAN
Ular cabe besar (Maticora bivirgata flaviceps), ular pemalu yang aktif pada malam hari merupakan salah satu jenis ular berbisa kuat yang umum dijumpai di hutan dataran rendah dan perbukitan di Sumatera. Foto diambil pada April 2004. (Foto: Dolly Priatna)
xxxi
xxxii
RENCANA INDUK PENGEMBANGAN KONSERVASI BENTANG ALAM SKALA BESAR DI SUMATERA DAN KALIMANTAN
BAB SATU Pemandangan danau di tengah hutan rawa gambut (tasik) di Bentang Alam GSKBB, Riau, November 2007. (Foto: Dok. APP)
1
2
BAB SATU
PENDAHULUAN Indonesia merupakan salah satu dari sepuluh negeri megadiversitas (megadiversity) yang selalu menjadi perhatian dunia karena memiliki tingkat keanekaragaman hayati dan endemisitas yang tinggi (Mittermeier et al., 1997). Walau luasnya hanya 1,3% dari total luas daratan dunia, Indonesia memiliki tidak kurang dari 10% spesies tumbuhan berbunga, 15% spesies serangga, 25% spesies ikan, 16% spesies amfibi dan reptil, 17% spesies burung, dan 12% spesies mamalia dunia (Mittermeier et.al., 1997).
1.1
LATAR BELAKANG Tak pelak lagi, Indonesia merupakan salah satu tempat di dunia yang paling kaya dalam keanekaragaman hayati. Sayangnya, tak semua kekayaan itu terjaga dengan baik kelestariannya. Tercatat, ada 1.225 spesies florafauna Indonesia yang terancam secara global, termasuk 185 spesies mamalia, 131 spesies burung , 32 spesies reptilia, 32 spesies amfibi, 149 spesies ikan, enam spesies moluska, 282 spesies avertebrata, dan 408 spesies tumbuhan (IUCN, 2014)1. Terkait dengan hal itu, Pemerintah Indonesia telah melakukan berbagai upaya untuk mencegah kepunahan flora dan fauna secara in-situ (di habitat aslinya) dan ex-situ (di luar habitatnya). Hingga tahun 2013, Pemerintah Indonesia telah menunjuk/menetapkan 523 kawasan konservasi di darat dan laut dalam bentuk taman nasional, cagar alam, suaka margasatwa, taman wisata alam, taman hutan raya, dan taman buru dengan total luas 27,36 juta hektar (Ditjen PHKA, 2014). Pemerintah juga telah menetapkan 737 spesies satwa dan tumbuhan yang dilindungi undangundang (Abdulhadi et al., 2014). Bahkan, telah terbit beberapa Peraturan Menteri Kehutanan mengenai Strategi dan Rencana Aksi Konservasi untuk spesies-spesies yang terancam punah, termasuk harimau, gajah, dan orangutan untuk periode 2007-2017.2
Namun, status perlindungan secara nasional dan internasional tidak serta merta menghentikan laju penurunan populasi spesies dan habitatnya. Perburuan, perdagangan liar, dan menurunnya kualitas dan kuantitas habitat akibat konversi kawasan hutan merupakan faktor-faktor yang mempengaruhi kelangsungan hidup keanekaragaman hayati Indonesia. Berdasarkan analisis FWI (2014), kehilangan tutupan hutan alam (deforestasi) di Indonesia pada periode 2009-2013 adalah sekitar 4,50 juta hektar, dengan laju deforestasi sekitar 1,13 juta hektar/tahun. Pada periode yang sama, luas deforestasi di Provinsi Riau 687.547 hektar, Jambi 225.974 hektar, Sumatera Selatan 164.060 hektar, Kalimantan Timur 448.494 hektar, dan Kalimantan Barat 426.390 hektar. Sementara itu, penyebaran satwa liar sangat dipengaruhi oleh kemampuan adaptasinya terhadap perubahan kualitas lingkungan dan faktor-faktor penghambat penyebaran yang bersifat alami (natural barrier) dan buatan (manmade barrier). Fragmentasi habitat buatan manusia seringkali membatasi pergerakan alamiah satwa, sehingga diperkirakan terdapat 80% satwa liar berada di luar kawasan hutan konservasi (Bappenas, 2003). Bahkan sejumlah kajian kawasan bernilai konservasi tinggi (High Conservation Value/HCV) di dalam konsesi hutan produksi dan perkebunan berskala besar
1 Jumlah spesies terancam (hanya kategori Critically Endangered, Endangered dan Vulnerable) untuk setiap kelompok organisme berdasarkan negara. 2 Permenhut No. 43/2007 (harimau sumatera), No. 44/2007 (gajah), dan No. 53/2007 (orangutan).
RENCANA INDUK PENGEMBANGAN KONSERVASI BENTANG ALAM SKALA BESAR DI SUMATERA DAN KALIMANTAN
mengkonfirmasi kehadiran satwa liar tersebut. Menipisnya sumber pakan di habitat-habitat yang tersisa, memaksa satwa liar untuk memasuki area “bekas” habitatnya yang telah berubah menjadi komoditas bernilai ekonomi, hutan tanaman monokultur, dan permukiman. Hal itu menimbulkan konflik manusia-satwa yang mengakibatkan terbunuhnya satwa liar, pemangsaan hewan ternak, rusaknya tanaman pertanian atau perkebunan, rusaknya permukiman/pembibitan tanaman, perburuan satwa, dan korban jiwa manusia. Perubahan-perubahan tersebut dipengaruhi oleh sistem pengelolaan hutan di masa lalu yang lebih berorientasi pada pertumbuhan ekonomi dan mengesampingkan dampaknya terhadap lingkungan dan sosial. Perubahan politik di Indonesia pada tahun 1998 telah mendorong dinamika dan perubahan sosial masyarakat pada umumnya, termasuk yang tinggal di dalam dan sekitar kawasan hutan. Nyaris tidak ada kawasan hutan yang tidak terganggu oleh kegiatan pemanfaatan kawasan hutan secara tidak sah oleh oknum perusahaan dan kelompok-kelompok masyarakat dengan berbagai tipologi kasus. Perubahan sosial politik tersebut menimbulkan konflik-konflik tenurial antara masyarakat lokal dengan pemerintah, masyarakat dengan perusahaan, dan antarkelompok masyarakat di kawasan-kawasan hutan serta konflik manusiasatwa. Kondisi tersebut menjadi salah satu faktor pendorong meningkatnya deforestasi dan degradasi yang menurunkan kuantitas dan kualitas ekosistem hutan tropis dataran rendah dan hutan gambut. Kawasan-kawasan hutan konservasi, produksi, dan lindung menjadi sasaran penebangan kayu tanpa izin, dan berlanjut dalam bentuk penguasaan kawasan hutan dengan berbagai tipologinya. Di sisi lain, klaim-klaim komunitas masyarakat adat dan masyarakat setempat terhadap hak ulayat yang dikuasai negara dan/atau perusahaan telah menimbulkan gesekan sosial yang belum tuntas teratasi, yang berpotensi pada ketahanan lingkungan yang tak terkendali. Kerusakan hutan tropis, termasuk di Indonesia, menjadi perhatian dunia karena terkait erat dengan isu perubahan iklim.
Pada pertemuan negara-negara G20 di Pittsburgh, 25 September 2009, Presiden Indonesia menyatakan bahwa Indonesia berkomitmen untuk menurunkan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) sebesar 26% pada tahun 2020 dari tingkat business as usual dengan usaha sendiri (unilateral) atau 41% jika mendapat dukungan internasional (multilateral). Hal itu ditindaklanjuti dengan penerbitan Peraturan Presiden No. 61 Tahun 2011 tentang Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (RAN-GRK). Rencana Aksi itu terdiri dari kegiatan inti dan kegiatan pendukung, yang mencakup pengendalian kebakaran hutan dan lahan, rehabilitasi hutan dan lahan, pemberantasan illegal logging, pencegahan deforestasi, dan pemberdayaan masyarakat. Rentetan peristiwa tersebut menjadi titik balik yang mendorong perubahan kebijakan dan paradigma pengelolaan sumberdaya alam di Indonesia, khususnya di sektor kehutanan dan perkebunan untuk mengurangi deforestasi, degradasi, dan kebakaran hutan/lahan. Salah satu dari kebijakan itu adalah penundaan (moratorium) pemberian izin baru dan penyempurnaan tata kelola hutan alam primer dan lahan gambut melalui Instruksi Presiden (Inpres) No. 10 Tahun 2011, No. 6 Tahun 2013, dan No. 8 Tahun 2015. Kebijakan ini berdampak pada penyelamatan untuk sementara hutan alam dan hutan gambut di Indonesia yang sudah dan belum menjadi area konsesi. Bersamaan dengan itu, pemerintah juga berupaya untuk mewujudkan Kebijakan Satu Peta (One Map Policy) untuk mengakhiri konflik-konflik tenurial dan perizinan yang tumpang tindih di dalam dan di luar kawasan hutan. Sebagaimana tercantum di dalam RPJMN 2015-2019, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) mengembangkan kebijakan kehutanan yang mengombinasikan kebutuhan industri, sosial, lingkungan, dan kepastian hukum. Kementerian LHK mencanangkan program-program: (1) penanggulangan penebangan liar, perambahan hutan, dan konflik tenurial; (2) meningkatkan tata kelola hutan produksi, efektifitas kawasan konservasi, n pemantapan kawasan hutan, dan membentuk KPH (Kesatuan Pengelolaan Hutan); (3) memperbaiki 15 DAS kritis; (4) mengalokasikan 12,7 juta hektar hutan untuk dikelola masyarakat
3
4
BAB SATU
melalui skema Hutan Desa (HD), Hutan Kemasyarakatan (HKm), Hutan Tanaman Rakyat, dan Hutan Adat; dan (5) meningkatkan populasi 25 spesies satwa terancam punah. 3 Namun demikian, para pihak menyadari sepenuhnya bahwa komitmen-komitmen dan kebijakan pemerintah tersebut mutlak memerlukan dukungan dan kerjasama dari semua pihak, termasuk masyarakat, pemerintah pusat dan daerah, akademisi/lembaga penelitian, LSM (lokal, nasional, internasional), dan perusahaan-perusahaan yang beroperasi di dalam dan sekitar kawasan hutan. Para pihak itu tidak sekedar menjalankan peran dan tanggung jawabnya masing-masing, tetapi juga berbagi peran dengan pihak lain. Masyarakat yang hidup di dalam dan sekitar hutan bukan lagi menjadi obyek, tetapi bagian dari subyek pelaku pengelolaan sumberdaya hutan. Beberapa perusahaan yang beroperasi di dalam dan sekitar kawasan hutan telah menggagas dan/atau mengembangkan program-program terkait konservasi yang menjadi kewajibannya dan yang bersifat sukarela. Salah satu pihak swasta yang telah menyampaikan komitmen secara terbuka kepada publik untuk mengatasi isu konservasi dan perubahan iklim adalah Asia Pulp & Paper Group (APP), dan perusahaanperusahaan pemasok kayu bahan baku kertas APP. Komitmen itu mencakup Kebijakan Konservasi Hutan (Forest Conservation Policy/ FCP), perlindungan kawasan bernilai konservasi tinggi (NKT/HCV) dan kawasan dengan cadangan karbon tinggi (High Carbon Stock/ HCS), Rencana Pengelolaan Terpadu Hutan Berkelanjutan (Integrated Sustainable Forest Management Plan/ISFMP), serta komitmen mendukung pemerintah untuk melakukan proteksi dan restorasi satu juta hektar di Sumatera dan Kalimantan. Dengan memperhatikan pendapat dan masukan dari para pihak yang tergabung di dalam Solution Working Group (SWG), telah disepakati bahwa komitmen APP untuk mendukung proteksi dan restorasi itu akan diterapkan pada skala bentang alam. Di dalam pertemuan konsultasi nasional tanggal 24 Juni 2014 di Jakarta, para pihak tersebut mendiskusikan 10 (sepuluh) bentang alam target yang mencakup kawasan hutan konservasi dan hutan produksi
di Sumatera dan Kalimantan. Kesepuluh bentang alam tersebut adalah Senepis, Giam Siak KecilBukit Batu (GSKBB), Semenanjung Kampar, Kerumutan, Bukit Tigapuluh, Berbak-Sembilang, Dangku Meranti, Padang Sugihan, Kubu, dan Kutai. Sejak itu telah dilakukan serangkaian pertemuan dan diskusi kelompok terfokus di tingkat bentang alam target yang difasilitasi oleh LSM setempat, pemerintah daerah, dan pihak swasta. Pertemuan itu dilakukan sejak Agustus 2014, bertujuan mengidentifikasi permasalahan dan kebutuhan-kebutuhan aksi konservasi di tingkat bentang alam. Rencana-rencana aksi yang telah tersusun berdasarkan masukan para pihak, masih memerlukan konsep yang memadukan aspek sosial ekonomi, budaya, lingkungan, dan produksi untuk mencapai tujuan pengembangan bentang alam berkelanjutan. Pengelolaan suatu kawasan dengan pendekatan bentang alam ini akan lebih banyak memberikan ruang kerja, ruang koordinasi, dan ruang negosiasi bagi para pihak yang terlibat dan terdampak di dalam bentang alam untuk memformulasikan dan menerapkan praktik-praktik terbaik di dalam bidang usahanya. Konsep itu perlu dituangkan ke dalam suatu rencana induk yang utuh, terencana, dan terukur sehingga dapat menjadi roadmap, panduan, dan referensi bagi para pihak untuk merencanakan, melaksanakan, dan memonitorevaluasi program-program konservasi secara umum, termasuk pemberdayaan masyarakat dan pengembangan wilayah dalam arti luas. Sebagaimana dokumen yang diperuntukkan kepada publik, maka substansi Rencana Induk ini perlu dikonsultasikan kepada para pihak, diinternalisasi ke dalam sistem yang telah ada, dan mendapatkan dukungan politik dan kebijakan dari para pihak dalam pelaksanaannya. Dukungan itu dapat berupa kebijakan publik, kebijakan internal perusahaan, bantuan teknis, pendanaan, dan kerjasama yang saling menguntungkan bagi para pihak.
3 Materi presentasi Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan dalam Rapat Konsultasi dan Koordinasi pada tanggal 17 Desember 2014, di Jakarta.
RENCANA INDUK PENGEMBANGAN KONSERVASI BENTANG ALAM SKALA BESAR DI SUMATERA DAN KALIMANTAN
1.2 MAKSUD DAN TUJUAN Penyusunan Rencana Induk ini dimaksudkan untuk: a. Menyinergikan dan mengharmonisasikan kegiatan-kegiatan di dalam bentang alam yang dilakukan oleh para pihak dengan memperhatikan aspek lingkungan, sosialbudaya, dan pembangunan ekonomi/ produksi yang berkelanjutan. b. Memberikan pedoman dan referensi bagi para pihak yang ingin berpartisipasi sesuai kapasitas dan kepentingannya dalam konservasi bentang alam, melalui program-program (1) perlindungan, restorasi, konservasi spesies dan habitat; (2) penanggulangan kebakaran hutan, illegal logging, perambahan/penguasaan lahan tanpa hak, konflik manusia-satwa, konflik sosial, dan klaim lahan, serta (3) program pengembangan masyarakat dan pendidikan lingkungan di dalam dan sekitar bentang alam. c. Memperkuat dan memadukan arahanarahan program dari rencana-rencana pengelolaan yang telah ada di dalam dan sekitar bentang alam. Rencana Induk ini bertujuan untuk: a. Terdeskripsikannya situasi umum bentang alam, delineasi bentang alam target, kawasan penting bentang alam, dan merumuskan visimisi-strategi yang diinginkan di masa depan; b. Terumuskannya langkah-langkah strategis untuk mengembangkan program-program konservasi bentang alam yang mendukung pemanfaatan sumberdaya alam berkelanjutan; c. Teridentifikasi dan terintegrasikannya potensi dan kapasitas para pihak sebagai regulator, operator, eksekutor, pendamping, dan penyandang dana untuk mendukung konservasi bentang alam; d. Terbentuknya pedoman umum, arahan program strategis, dan memaduserasikan program-program konservasi bentang alam, termasuk restorasi dan proteksi bentang alam sebagai bagian pemanfaatan sumberdaya yang berkelanjutan di bentang alam target; e. Teridentifikasinya prioritas kegiatan, skema model program, pemantauan-evaluasi, dan pendanaan.
1.3
RUANG LINGKUP WILAYAH Dengan memperhatikan keunikan yang ada di dalam bentang alam, seperti sosial-budaya, keanekaragaman hayati, habitat, dan ekosistemnya, serta keberadaan perusahaan-perusahaan yang bergerak di sektor kehutanan, perkebunan dan pertambangan, serta kajian-kajian terdahulu mengenai bentang alam yang ada di Sumatera dan Kalimantan, maka telah teridentifikasi sepuluh bentang alam yang menjadi target dalam Rencana Induk ini, yaitu: 1)
Senepis, Provinsi Riau Proteksi dan restorasi hutan dan lahan gambut, pemberdayaan masyarakat, dan mempertahankan populasi harimau sumatera.
2) Giam Siak Kecil-Bukit Batu (GSKBB), Provinsi Riau Proteksi dan restorasi zona inti Cagar Biosfer GSKBB sebagai habitat harimau dan gajah sumatera, pemberdayaan masyarakat, serta mempertahankan populasi gajah dan harimau sumatera. 3) Semenanjung Kampar, Provinsi Riau Proteksi dan restorasi hutan dan lahan gambut, pemberdayaan masyarakat, mempertahankan populasi harimau sumatera. 4) Kerumutan, Provinsi Riau Proteksi dan restorasi hutan dan lahan gambut, perluasan dan konektivitas antarkawasan lindung, pemberdayaan masyarakat, dan mempertahankan populasi harimau sumatera. 5) Bukit Tigapuluh, Provinsi Riau dan Jambi Proteksi, restorasi, dan memperluas hutan alam di daerah penyangga sekitar taman nasional; membuat koridor satwa, pemberdayaan masyarakat sekitar, mempertahankan populasi orangutan, gajah, dan harimau sumatera, serta mengontrol akses untuk meningkatkan perlindungan TN Bukit Tigapuluh. 6) Berbak-Sembilang, Provinsi Jambi dan Sumatera Selatan Proteksi dan restorasi hutan dan lahan gambut, pemberdayaan masyarakat, mempertahankan populasi harimau sumatera, serta mendukung perlindungan kedua taman nasional.
5
6
BAB SATU
7) Dangku-Meranti, Provinsi Sumatera Selatan
Jambi
dan
dan mempertahankan populasi orangutan kalimantan serta mendukung perlindungan taman nasional.
Proteksi dan restorasi kawasan hutan serta membangun koridor satwa antarkawasan konservasi di dalam bentang alam, pemberdayaan masyarakat, dan mempertahankan populasi harimau sumatera. 8) Padang Selatan
Sugihan,
Provinsi
Perlindungan dan restorasi hutan untuk memelihara stok karbon dan habitat satwa liar merupakan prioritas di semua bentang alam. Hal itu juga mencakup upaya-upaya pencegahan kebakaran hutan dan aktivitas illegal lainnya, serta pemberdayaan masyarakat di dalam dan di sekitar bentang alam sebagai faktor kunci dalam penyusunan Rencana Induk ini.
Sumatera
Proteksi dan restorasi kawasan hutan/ gambut serta membangun koridor satwa antarkawasan konservasi di dalam bentang alam, pengembangan masyarakat, dan mempertahankan populasi gajah sumatera. 9) Kubu, Provinsi Kalimantan Barat Proteksi dan restorasi bakau, hutan, dan lahan gambut, pemberdayaan masyarakat, mempertahankan populasi orangutan kalimantan, buaya sinyulong, bekantan, dan pesut Mahakam. 10) Kutai, Provinsi Kalimantan Timur Proteksi, restorasi, dan memperluas hutan alam di daerah penyangga sekitar taman nasional, membangun koridor satwa,
1.4
TAHAPAN DAN METODOLOGI Rencana Induk ini disusun dengan mempertimbangkan masukan-masukan dari para pihak yang berada di tingkat bentang alam, nasional dan internasional, khususnya yang bekerja/beroperasi di dalam dan sekitar bentang alam. Penyusunan Rencana Induk dilakukan antara bulan Februari dan Agustus 2015, dengan proses dan metodologi sebagaimana diagram di bawah ini:
Gambar I-1. Metodologi dan proses penyusunan rencana induk
RENCANA INDUK PENGEMBANGAN KONSERVASI BENTANG ALAM SKALA BESAR DI SUMATERA DAN KALIMANTAN
1.4.1 Bentang alam dan Peta Indikatif Bentang alam Berdasarkan kajian kepustakaan dan wawancara, dilakukanlah analisis awal untuk membuat peta indikatif batas bentang alam sebagai bahan diskusi dengan para pihak dan analisis spasial lanjutan. Sumber-sumber peta diperoleh dari berbagai sumber resmi dan dilengkapi dengan digitasi terhadap peta yang belum tersedia file elektroniknya. Peta tutupan lahan (land-cover) dan peta penggunaan lahan (land-use) dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Rujukan yang digunakan untuk analisis ini adalah SNI 19-6728.3-2002 tentang Neraca Sumber Daya Lahan Sumber Daya Spasial. Penggunaan lahan dari aspek kehutanan berupa fungsi-fungsi kawasan hutan, dari aspek pertanahan berupa area penggunaan lain sebagai negara atau tanah milik, dan dari aspek tata ruang berupa kawasan lindung dan budidaya. Penentuan batas indikatif bentang alam dilakukan dengan menggunakan batas-batas alam yang dikenal luas oleh masyarakat, misalnya sungai besar dan jalan. Batas bentang alam (boundary) didefinisikan sebagai zona transisi antara unit bentang alam (ekosistem, landcover, atau landuse) yang berperan penting dalam dinamika dan fungsi bentang alam (Forman & Godron, 1986). Batas tersebut dikonstruksi oleh manusia untuk mendefinisikan area aktivitas berdasarkan
tujuan pengelolaan bentang alam atau target spesies (Prof. Lilik B. Prasetyo, Pers.comm., 2015)4. Beberapa ahli menggunakan batas nyata yang dapat ditemukan di alam (tangible boundary) dan batas administrasi sebagai bentang alam (Strayer et al., 2003). Misalnya, konsep batas bentang alam itu diterapkan untuk menentukan batas terluar Cagar Biosfer Cibodas (Purwanto, 2015, pers.comm.)5. Di dalam dokumen ini, batas peta indikatif bentang alam menggunakan pendekatanpendekatan tersebut di atas, yaitu batas alam (sungai, pantai), batas administrasi (desa, kecamatan, kawasan hutan), dan batas buatan manusia ( jalan).
1.4.2 Sosial Ekonomi Kajian dalam aspek sosial-ekonomi (sosek) menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan sistem sosial-ekologi untuk mendapatkan profil sosio-ekonomi (Andries et al., 2004). Analisis aspek sosial ekonomi bertumpu pada data sekunder yang tersedia dan relevan, sedangkan data primer diperoleh melalui diskusi kelompok dan wawancara dengan narasumber (Alston & Bowles, 2003). Model konseptual dibangun untuk memetakan isu-isu sosial ekonomi yang terkait dengan proses ekstraksi sumber daya alam dengan menggunakan software Miradi,
SENEPIS
K A M PA R PENINSULA
East Kalimantan K E RU M U TA N GIAM SIAK KECIL KUBU
Riau
West Kalimantan
K U TA I
West Sumatra BUKIT TIGAPULUH
BERBAK SEMBILANG
Central Kalimantan
Jambi PADANG SUGIHAN
Bengkulu
DANGKU MERANTI
South Sumatra
Lampung
C R I TSuaka I C AMargasatwa, L L A NTaman D S CNasional APE
u n d e r Batas c o n s uindikatif l t a t i o nbentang alam konservasi Wildlife Reserves, National Parks Landscape Conservation Definitive Boundary Gambar I-2. Peta
indikatif dan sebaran sepuluh bentang alam target di Sumatera dan Kalimantan
4 Prof. Dr. Lilik Budi Prasetyo, professor ekologi bentang alam di Fahutan IPB. Wawancara dilakukan tanggal 9 April 2015 5 Prof. Dr. Y. Purwanto, Ketua Program Man and Biosfer-LIPI. Wawancara dilakukan tanggal 10 April 2015.
7
8
BAB SATU
yang dikembangkan oleh WWF, WCS, TNC, RARE sebagai platform perangkat terbuka untuk membantu perencanaan konservasi. Miradi memiliki kemampuan memvisualisasi hubungan sebab-akibat antara faktor-faktor yang sedang berlangsung di suatu tempat, mengombinasikan data dalam berbagai bentuk dan ditampilkan dalam model konseptual untuk membantu para pengambil keputusan. Model Konseptual adalah sebuah perangkat yang menampilkan secara visual asumsi-asumsi dalam konteks kegiatan konservasi secara lebih realistis, termasuk pola hubungan antarelemen tersebut, sesuai dengan kerangka kerja (Margoluis & Salafsky, 1998; Margoluis et.al., 2009). Asumsi realistis yang dibangun bersama para pihak ini diharapkan menjadi dasar yang kuat untuk memicu perubahan di tingkat para pemangku kepentingan. Pengembangan model konseptual dilakukan berdasarkan masukan informasi berikut ini:
Gambar I-3. Input-input yang diperlukan untuk membangun model konseptual
Analisis dengan Miradi digunakan untuk menggambarkan secara visual berupa aspekaspek yang mempengaruhi secara langsung tercapainya suatu tujuan program dan strategi. Secara khusus, model konseptual menggambarkan kekuatan-kekuatan besar yang mempengaruhi suatu target kondisi yang diharapkan sehingga perencana/pengambil keputusan dapat mengidentifikasi aksi-aksi yang paling tepat sesuai kondisi di tingkat tapak (Margoluis et.al., 2009).
ancaman langsung, mewakili kegiatan manusia/ peristiwa yang mempengaruhi pencapaian target. Kotak warna jingga merupakan faktorfaktor pendorong yang mewakili kejadian atau yang mendorong timbulnya ancaman langsung. Heksagon kuning adalah strategi yang akan digunakan untuk mengurangi suatu ancaman langsung atau faktor pendorong.
1.4.3 Ekosistem dan Keanekaragaman Hayati Jenis dan sebaran ekosistem yang terdapat di dalam bentang alam merujuk pada pembagian ekoregion yang dikembangkan oleh WWF (2001). Identifikasi Ekosistem Penting merujuk pada laporan Kementerian Kehutanan dan Kementerian Kelautan dan Perikanan (2013) sedangkan pembagian kawasan lindung merujuk pada ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai tata ruang dan kehutanan. Sebaran hutan/lahan gambut diperoleh dari Wetland International dan Kementerian Pertanian. Sebaran satwa flagship yang diperoleh dari berbagai sumber dipetakan ke dalam peta indikatif bentang alam untuk mendapatkan gambaran wilayah yang digunakan oleh satwa-satwa tersebut. Informasi itu dilengkapi dengan peta sebaran Important Bird Area (IBA) dan Endemic Bird Area (EBA) yang sudah disatukan ke dalam Key Biodiversity Area (KBA). Pendekatan KBA telah digunakan oleh Conservation International untuk menentukan prioritas kawasan konservasi. Data spesies dan sebarannya di bentang alam dikumpulkan dari berbagai sumber, termasuk hasil kajian HCV di area konsesi hutan tanaman. Daftar spesies tersebut dicek statusnya menurut IUCN Red List, Appendiks CITES (Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora), Daftar Spesies EDGE (Evolutionarily Distinct and Globally Endangered), dan status perlindungan menurut Peraturan Pemerintah No.7 tahun 1999.
1.4.4 Kebijakan, Kelembagaan, dan Para Pihak Hukum dan Kebijakan
Blok warna hijau tua pada Gambar I-4 merupakan cakupan (scope) berfikir. Lingkaran hijau muda adalah kondisi yang ingin dicapai dalam suatu program/kegiatan. Kotak merah merupakan
Kajian hukum dan kebijakan dilakukan secara komparatif dan deskriptif terhadap kerangka kebijakan dan peraturan perundang-undangan terkait pengelolaan hutan dan konservasi
RENCANA INDUK PENGEMBANGAN KONSERVASI BENTANG ALAM SKALA BESAR DI SUMATERA DAN KALIMANTAN
Gambar I-4. Konfigurasi dasar dari model konseptual di tingkat bentang alam
di Indonesia. Data diperoleh dari sumber primer, sekunder, dan tersier (Soekanto & Mamudji, 1985). Analisis mencakup kekosongan hukum, inkonsistensi implementasi, dan peluang untuk merevisi atau membuat kebijakan, peraturan perundang-undangan, dan kelembagaan untuk mengatasi hambatan dan mendukung faktorfaktor pemungkin terlaksananya pengelolaan konservasi berbasis bentang alam. Hasil analisis diuraikan di dalam dokumen sesuai tematiknya.
Pemetaan Para Pihak Pemetaan terhadap para pihak dilakukan dengan pendekatan yang dikembangkan Dubois (1998), yaitu 4R: Rights (hak dan kewajiban para pihak), Responsibilities (tanggung-jawab para pihak), Revenue/ Returns (hasil/manfaat yang didapat para pihak), dan Relationship (hubungan para pihak dengan bentang alam) secara langsung dan tak langsung. Pengaruh dan kepentingan para pihak dinilai sesuai bobotnya, untuk kemudian hasilnya diletakkan pada skema kuadran sebagai berikut ini:
Nilai = 1: tidak berpengaruh/berkepentingan, 2: rendah, 3: sedang, 4 : tinggi
Gambar I-5. Contoh kuadran hasil analisis pengaruh-kepentingan para pihak.
9
10
BAB SATU
Kuadran I (subject) merupakan para pihak dengan pengaruh rendah dan kepentingan tinggi sehingga pelibatannya bersifat konsultatif; strategi kolaborasi diterapkan kepada para pihak yang ada di kuadran II (player) karena mereka memiliki pengaruh dan kepentingan tinggi; para pihak di kuadran III (crowd) strategi pelibatannya dengan memberitahukan tentang program yang dijalankan, sedangkan para pihak dengan pengaruh tinggi dan kepentingan rendah berada di kuadran IV (context setters) strateginya dengan dilibatkan di dalam pengelolaan bentang alam (Bryson, 2004).
1.4.5 Analisis SWOT Analisis SWOT dilakukan di tiap bentang alam berdasarkan data/informasi literatur, Focus Group Discussion (FGD) dan wawancara narasumber ahli dan pelaku. Analisis SWOT ini juga mempertimbangkan hasil-hasil analisis sebelumnya untuk aspek sosial ekonomi, keanekaragaman hayati dan ekosistemnya, serta analisis hukum, kebijakan, dan kelembagaan. Analisis dilakukan untuk menyusun strategi dan program strategis dengan memperhatikan kekuatan (strength) dan kelemahan (weakness) serta peluang (opportunity) dan ancaman (threat) (Kurtz, 2008). Kegiatan FGD dilakukan di seluruh bentang alam target dengan topik yang berkaitan untuk menyamakan persepsi dan tujuan konservasi
bentang alam, menggali potensi-tantangansolusi, memverifikasi informasi, dan menggalang kekuatan bersama. Demikian juga halnya topik wawancara seperti yang dilakukan dalam FGD. Di sejumlah bentang alam, disepakati pembentukan tim kecil untuk membahas lebih lanjut kegiatan-kegiatan aksi yang diperlukan untuk mengantisipasi permasalahan dan tantangan di setiap bentang alam. Tim-tim kecil tersebut menggagas kegiatan-kegiatan aksi yang dirangkum di dalam Lampiran 1, dan menjadi bagian tak terpisahkan dari Rencana Induk ini.
1.4.6 Ulasan Ahli dan Konsultasi Publik Dokumen Rencana Induk ini telah mendapatkan masukan dari peninjau ahli yang kompeten pada bidangnya, serta peninjau sukarela dari Greenpeace dan WWF Indonesia. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mengundang para pihak di tingkat nasional, provinsi, dan kabupaten yang mewakili pemerintah, universitas, dan LSM untuk menghadiri rapat konsultasi nasional tanggal 26 Agustus 2015 di Jakarta. Pertemuan dilakukan untuk menyampaikan substansi dokumen Rencana Induk dan mendapatkan masukan dan koreksi dari para pihak, menyamakan persepsi para pihak, dan menyelaraskan program konservasi bentang alam dengan kebijakan dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Dokumen Rencana Induk Pengembangan Konservasi Bentang Alam Skala Besar di Sumatera dan Kalimantan dikonsultasikan kepada para pihak di Jakarta 26 Agustus 2015. Diskusi dipimpin langsung oleh Dr. Ir. Hadi Daryanto, DEA Direktur Jenderal Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan, Kementerian LHK. (Foto: Agus Wijayanto/Yapeka)
RENCANA INDUK PENGEMBANGAN KONSERVASI BENTANG ALAM SKALA BESAR DI SUMATERA DAN KALIMANTAN
Tabel I-1. Daftar pertemuan dan diskusi kelompok terfokus (FGD) di tingkat bentang alam
No.
1
2
3
4
5
Bentang alam
Bukit Tigapuluh
Giam Siak Kecil-Bukit Batu
Berbak-Sembilang
Dangku-Meranti
Kubu
Tanggal
Penyelenggara
Jumlah Peserta
11 Agustus 2014
Warsi/WWF
11 lembaga,
29 September 2014
FZS
8 lembaga,
31 Oktober 2014
PT WKS/APP
9 lembaga,
12 November 2014
WWF
2 lembaga,
27 Mei 2015
Dishut Prov.i Jambi, Yayasan Cemerlang
36 lembagai, 51 peserta
14 Agustus 2014
APP/SMF
16 lembaga, 34 peserta
20 November 2014
APP
4 lembaga,
26 Februari 2015
Yapeka
20 lembaga, 31 peserta
12 Agustus 2014
APP/SMF
31 lembaga, 58 peserta
30 September 2014
ZSL
8 lembaga
30 Oktober 2014
Gita Buana
6 lembaga
6 November 2014
WBH
3 lembaga
13 November 2014
SMF
9 lembaga
14 Januari 2015
ZSL
22 lembaga
12 Agustus 2014
APP/SMF
17 lembaga
6 November 2014
BKSDA Sumsel
7 lembaga
21 November 2014
APP
3 lembaga
16 Januari 2015
Forum Dangku
11 lembaga, 28 peserta
19 Agustus 2014
APP/SMF
13 lembaga, 29 peserta
11 September 2014
Yayasan Titian
17 lembaga
26 Sept, 23 Okt 2014, 15 Des 2014, 6 Januari 2015
IDH
4 lembaga
5 Maret 2015
Yapeka
15 lembaga, 26 peserta
6
Padang Sugihan
12 Maret 2015
Pemda Sumsel
25 lembaga, 29 peserta
7
Kutai
1 April 2015
Yapeka
20 lembaga, 41 peserta
8
Senepis
22-23 April 2015
Yapeka
23 lembaga, 40 peserta
9
Semenanjung Kampar
22-23 April 2015
Yapeka
23 lembaga, 40 peserta
10
Kerumutan
22-23 April 2015
Yapeka
23 lembaga, 40 peserta
11
12
RENCANA INDUK PENGEMBANGAN KONSERVASI BENTANG ALAM SKALA BESAR DI SUMATERA DAN KALIMANTAN
BAB DUA
Aneka warna tajuk pepohonan di hutan primer rawa gambut dalam Bentang Alam Kerumutan, Riau, Februari 2011. (Foto: Rolf M. Jensen)
13
14
BAB DUA
PENGELOLAAN KAWASAN BERBASIS BENTANG ALAM Istilah bentang alam atau lanskap (landscape) memiliki makna yang berbeda-beda, tergantung latar belakang keilmuan dan budayanya. Terdapat pandangan hierarkis dan majemuk terhadap bentang alam ekologi. ‘Hierarkis’ merujuk pada banyaknya tingkat organisasi, skala spasial-temporal, dan derajat lintas disiplin. ‘Kemajemukan’ mengindikasikan kebutuhan untuk mengenali nilai-nilai dari berbagai perspektif dan metode, yang ditentukan oleh tujuannya (Wu, 2008).
Dalam Forman & Godron (1986), bentang alam didefinisikan sebagai bentang lahan heterogen yang terbentuk dari unit-unit/ ekosistem-ekosistem yang saling berinteraksi secara berulang-ulang dalam bentuk yang serupa. Sedangkan Zonneveld & Forman (1990) menyatakan bentang alam ekologi sebagai bagian dari permukaan bumi, yang berisi ekosistem yang kompleks, yang terbentuk dari aktivitas batuan, air, tumbuhan, satwa, dan manusia. Struktur bentang alam terdiri dari unit-unit berupa matrix, patch, dan corridor. Matrix (matriks) adalah bercak yang mendominasi bentang alam, patch (bercak) merupakan area homogen yang dapat dibedakan dengan daerah di sekitarnya, dan corridor adalah patch yang berbentuk memanjang. Misalnya sebuah unit pengelolaan konsesi HTI merupakan bentang alam yang strukturnya terdiri dari hamparan tanaman pokok sebagai matriks, sisa-sisa hutan sekunder/semak belukar sebagai bercak, dan kanal/sungai/jalan sebagai koridor (Jaringan NKT Indonesia, 2013). Pada skala bentang alam yang lebih besar, rawa gambut merupakan matriks dan area konsesi HTI sebagai bercak. Dalam perspektif penggunaan lahan oleh manusia, bentang alam diartikan sebagai hasil dari dinamika lingkungan dan masyarakat yang berkembang di dalamnya. Struktur, organisasi, dan dinamika bentang alam secara konstan berinteraksi dengan proses ekologis yang terjadi
di dalamnya (Burel & Baudry, 2004). Kegiatan apapun yang dilakukan atau terjadi di dalam bentang alam akan mempengaruhi proses dan interaksi unit-unit di dalam bentang alam secara keseluruhan. Perubahan yang terjadi akibat proses-proses alamiah atau kegiatan manusia merupakan salah satu karakter bentang alam. Namun perubahan-perubahan di dalam bentang alam harus dikelola untuk mencapai keberlanjutan kehidupan sosial, pengembangan ekonomi, dan jasa-jasa ekosistem. Bentang alam ekologi memiliki tiga karakter bentang alam yaitu struktur, fungsi, perubahan (Forman & Godron, 1986) dan integritas bentang alam (Liu & Taylor, 2002). Pola pengelolaan sumber daya alam saat ini, yang menghadapi berbagai persoalan sosial-ekonomi-lingkungan, memerlukan perubahan paradigma terhadap empat karakter tersebut dalam tiga prinsip manajemen, yaitu: 1.
Berdasarkan aspek struktur bentang alam, maka diperlukan perubahan dari single scale management menjadi multiscale management
2.
Berdasarkan aspek fungsi bentang alam, maka diperlukan perubahan dari within boundary management menjadi cross boundary management;
RENCANA INDUK PENGEMBANGAN KONSERVASI BENTANG ALAM SKALA BESAR DI SUMATERA DAN KALIMANTAN
Hotspot dan Wilderness Area (Mittermeier et.al., 1999; Myers et.al., 2000), WWF menggunakan Ekoregion (WWF, 2001; Olson & Dinerstein, 2002), dan Global Tiger Initiative mengusulkan sejumlah kawasan sebagai Tiger Conservation Landscape (Global Tiger Initiative Secretariat, 2012). Seluruh pendekatan tersebut mengidentifikasi kawasan luas yang mencakup beberapa ekosistem tanpa mempertimbangkan status kawasan/lahan sebagai area prioritas dalam sebuah bentang alam atau bentang alam. Gambar II-1. Empat aspek utama dan empat paradigma manajemen bentang alam Sumber: Liu & Taylor, 2002.
3.
Berdasarkan aspek perubahan, maka perlu mengubah pola static management menjadi adaptive management;
Kawasan konservasi di dalam skala bentang alam, seringkali berada di antara kawasan pemanfaatan, seperti perkebunan, permukiman, HTI, dan pertambangan. Misalnya, Taman Nasional Berbak (162.700 hektar) dan Taman Nasional Sembilang (202.896,31 hektar), keduanya dikelola secara single scale management. Pada skala bentang alam yang multipihak dan akibatnya multi-scale management, maka sistem pengelolaan taman nasional harus dipaduserasikan dengan sistem pengelolaan multipihak. Tanpa pendekatan multipihak di skala bentang alam, maka kawasan konservasi akan menjadi bercak kecil di antara matriks kawasan budidaya, menjadi “pulau” yang terisolasi. Fakta itu memperkuat argumentasi perlunya upaya konservasi, proteksi, dan restorasi dalam skala bentang alam agar proses ekologis tetap berlangsung dan saling menguntungkan antara kawasan konservasi dan kawasan budidaya di sekitarnya.
Pada tingkat bentang alam, kawasan-kawasan hutan produksi dan konservasi tidak dapat dipisahkan dari aktivitas-aktivitas manusia. Pada beberapa kasus, manusia bahkan merambah kawasan konservasi untuk kepentingan mereka, seperti membuka hutan untuk perkebunan, permukiman, dan pembalakan kayu. Kondisi sosial ekonomi dan budaya manusia terkadang menjadi penyebabnya sehingga perlu dibangun mekanisme pengelolaan kawasan dengan pendekatan bentang alam untuk melindungi keanekaragaman hayati namun tetap memberikan manfaat bagi para pihak secara sosial dan ekonomi (Sayer et al., 2013).
Gambar II-2. Pembagian ruang yang dibutuhkan manusia dalam pengembangan bentang alam Sumber: Odum, 1969
2.1 PENGELOLAAN BENTANG ALAM BERKELANJUTAN Beberapa organisasi internasional yang bergerak di bidang konservasi mengembangkan pendekatan untuk menentukan prioritas konservasi dalam upaya mendukung konservasi kawasan dan satwa liar. Birdlife International menggunakan pendekatan Important Bird Area dan Endemic Bird Area (Alison et.al., 1998), Conservation International menggunakan
Odum (1969) menyatakan bahwa tingkat kualitas hubungan manusia dan alam menjadi faktor penentu untuk menyelesaikan krisis lingkungan. Para pihak harus berkompromi terhadap sistem-sistem yang ada di dalam suatu bentang alam, dan melakukan pembagian ruang/zonasi di dalam bentang alam. Empat ruang yang diusulkan Odum (1969), yaitu produksi, perlindungan, urban-industrial, dan kompromi dari ketiganya dengan lingkungan sebagai target (Lihat Gambar II-2). Aliran energi/ materi dan pergerakan makhluk hidup, termasuk manusia, akan terjadi antarruang sehingga perlu pengelolaan bentang alam yang berkelanjutan.
15
16
BAB DUA
Pengelolaan kawasan berbasis bentang alam yang berkelanjutan telah mengalami perbaikan seiring dengan perubahan perspektif yang berorientasi konservasi menjadi kompromi yang mensinergikan berbagai tujuan penggunaan lahan dan sumber daya. Sayer et al. (2013) menuliskan sepuluh prinsip sebagai panduan bagi pengambil keputusan di dalam bentang alam, yang berorientasi pada manusia (people-centered). Prinsip-prinsip tersebut menekankan pada pola pengelolaan adaptif, keterlibatan para pihak, dan banyak tujuan (multiple objectives). Kondisi itu mengharuskan semua pihak membangun mutual trust, mutual respect, dan mutual benefit untuk bersama-sama mengelola bentang alam. Kesepuluh prinsip tersebut adalah: Prinsip 1:
Proses belajar yang terus-menerus untuk memperbaiki pengelolaan (adaptive management);
Prinsip 2:
Berbagi peran dalam menyelesaikan masalah/isu yang berkembang;
Prinsip 3:
Menyadari adanya banyak sistem dan multiple scales yang saling mempengaruhi;
Prinsip 4:
Multi-fungsi dari bentang alam yang memungkin terjadinya pertukaran kepentingan;.
Prinsip 5:
Multi-stakeholders, sehingga perlu menempatkan para pihak pada posisi yang setara;
Prinsip 6:
Ada negosiasi dan perubahan yang transparan sebagai dasar membangun kepercayaan para pihak;
Prinsip 7:
Kejelasan hak dan tanggung jawab terhadap akses pada sumber daya dan penggunaan lahan;
Prinsip 8:
Pemantauan yang partisipatif dan mudah dilakukan oleh para pihak.
Prinsip 9:
Resilience/kelenturan dalam mengantisipasi ancaman dan aksi untuk menguranginya;
Prinsip 10: Memperkuat kapasitas para pihak karena masyarakat perlu terlibat secara efektif dan menerima berbagai peran dan tanggungjawab. Pengelolaan bentang alam yang berkelanjutan merupakan konsep yang berkembang dan dinamis untuk mempertahankan dan meningkatkan nilai ekonomi, sosial, dan lingkungan dari semua tipe atau kawasan hutan untuk generasi sekarang
dan mendatang. Beberapa konsep atau model telah digagas untuk mewujudkan pengelolaan bentang alam berkelanjutan, antara lain cagar biosfer, model forest, dan kawasan ekosistem. Model pengelolaannya dapat diterapkan dalam pengelolaan bentang alam dengan atau tanpa mendapatkan status yang sama. Beberapa contohnya diuraikan sebagai berikut:
2.1.1 Cagar Biosfer UNESCO melalui program Man and Biosphere (MAB) mengembangkan suatu model kawasan yang dinamai cagar biosfer (biosphere reserve). Cagar Biosfer (CB) adalah kawasan dengan sistem daratan dan pesisir laut, yang dikenal secara internasional untuk mempromosikan dan menunjukkan keterkaitan yang seimbang antara manusia dan alam. Kawasan ini menawarkan contoh-contoh yang merangkum berbagai ide untuk meningkatkan konservasi dan pembangunan berkelanjutan. Setiap cagar biosfer ditujukan untuk memenuhi tiga fungsi dasar, yang saling melengkapi dan memperkuat. Pertama adalah fungsi konservasi, berkontribusi pada konservasi bentang alam, ekosistem, variasi spesies dan genetik; Kedua adalah fungsi pengembangan, termasuk pengembangan ekonomi dan kemanusiaan yang berkelanjutan secara sosio-kultural dan ekologis; Ketiga adalah fungsi pendukung logistic, memberikan dukungan untuk penelitian, pemantauan, pendidikan dan pertukaran informasi yang berhubungan dengan isu lokal, nasional, dan global terkait konservasi dan pembangunan. Sinergi dari fungsi-fungsi inilah yang membuat cagar biosfer sebagai sebuah model yang fungsional (UNESCO, 1996). Cagar Biosfer dinominasikan oleh pemerintah pusat untuk mendapatkan penilaian dari Komisi UNESCO untuk Cagar Biosphere. Bila disetujui, maka kawasan cagar biosfer itu tetap berada di bawah yurisdiksi kedaulatan negara di mana mereka berada. Saat ini terdapat 647 cagar biosfer di 120 negara, termasuk 10 cagar biosfer di Indonesia yaitu Gunung Leuser, Siberut, Giam Siak Kecil-Bukit Batu, Tanjung Puting, Cibodas, Komodo, Lore Lindu, Wakatobi. Dua cagar biosfer yang baru ditetapkan oleh UNESCO pada tahun 2015 adalah Bromo-Tengger-Semeru dan Taka Bone Rate. Status cagar biosfer juga sedang dijajaki untuk bentang alam Kutai, Kalimantan Timur.
RENCANA INDUK PENGEMBANGAN KONSERVASI BENTANG ALAM SKALA BESAR DI SUMATERA DAN KALIMANTAN
Undang-Undang No.5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya mengakui adanya kawasan dengan status cagar biosfer, namun Peraturan Pemerintah yang diamanatkan undangundang tersebut belum diterbitkan. Untuk mengisi kekosongan tersebut, Panitia Nasional Man and Biosphere (MAB) Indonesia-LIPI pada tahun 2004 menerbitkan Pedoman Pengelolaan Cagar Biosfer di Indonesia. Sedangkan rancangan peraturan pemerintahnya hingga kini masih terus diupayakan untuk diterbitkan. Di tingkat nasional, terdapat Komite Nasional Program MAB di bawah pengelolaan LIPI dengan mandat mengimplementasikan misi, program, dan kegiatan MAB di Indonesia. Sedangkan di tingkat tapak, kawasan cagar biosfer dikelola oleh badan pengelola, forum komunikasi, forum koordinasi, atau forum pengelolaan yang ditetapkan resmi berdasarkan Keputusan Gubernur, Bupati, atau kesepakatan para pihak (Direktorat KKBHL, 2014). Dalam skala bentang alam, cagar biosfer mengintegrasikan konsep ekosistem dan aktivitas pemanfaatan lahan oleh berbagai pihak dan berbagai kepentingan sosial, ekonomi, dan lingkungan. Terdapat tiga zona di dalam cagar biosfer, yaitu Zona Inti untuk konservasi ekosistem, habitat, dan spesies, sedangkan Zona Penyangga dan Zona Transisi dialokasikan untuk aspek sosial-ekonomi-budaya. Pola yang terjadi di Indonesia, zona inti pada umumnya berupa kawasan konservasi taman nasional dan suaka margasatwa. Di zona penyangga, masyarakat lokal dapat bermukim dan memanfaatkan lahan dengan aktivitas yang berdampak kecil, sedangkan zona transisi diperuntukkan bagi pemanfaatan yang lebih intensif dan berkelanjutan (Purwanto et al., 2013). Pengembangan dan pengelolaan bentang alam dengan model cagar biosfer ini memerlukan dukungan yang kuat dari masyarakat, komitmen dan dukungan politis-administratif dari para pengambil kebijakan yang ada di dalam bentang alam, termasuk pemerintah dan perusahaan. Dengan memperhatikan karakteristik bentang alam dan cagar biosfer, pengembangan dan pengelolaan di bentang alam target dapat menerapkan prinsip-prinsip yang digunakan di dalam cagar biosfer. Namun hal itu tidak harus selalu dalam bentuk penetapan bentang alam 1 http://www.imfn.net/model-forests
sebagai kawasan cagar biosfer untuk mencapai tujuan pelestarian keanekaragaman hayati, pengembangan sosial ekonomi masyarakat, dan pembangunan kawasan.
2.1.2 Hutan Model (Model Forest) Secara fisik, Model Forest terdiri dari daerah yang relatif luas, didominasi penggunaan lahan untuk sektor kehutanan dengan batasbatasnya berupa unit eko-geografis yang jelas, seperti Daerah Aliran Sungai (DAS). Salah satu ciri utama model forest adalah adanya nilainilai lingkungan, sosial dan ekonomi kunci. Luas model forest yang ada saat ini antara 60.000-2,7 juta hektar. Konsep ini pertama kali dikembangkan di Kanada pada tahun 1990 dan telah berkembang menjadi 58 model forest di 24 negara1. Pendekatan model forest sedang dikembangkan di Gunung Kidul, Yogyakarta untuk membantu pengelolaan hutan dengan skema Hutan Desa dan Hutan Kemasyarakatan. Dari perspektif organisasi, model forest merupakan kegiatan kemitraan yang sukarela antara para pihak untuk mengelola sumberdayanya secara berkelanjutan. Dalam kapasitas sebagai pemilik lahan atau penggarap, setiap orang, organisasi, dan perusahaan yang berkepentingan di kawasan model forest dapat menjadi para pihak dalam pengelolaannya. Model ini bertujuan membuka dan mempengaruhi proses pengambilan keputusan dengan menyediakan forum sehingga para mitra dapat memperoleh pemahaman yang lebih baik terhadap persoalan, berbagi pengetahuan, dan menggabungkan keahlian dan sumberdaya mereka untuk mengidentifikasi, mengembangkan, menerapkan dan memantau efek inovatif, kearifan tradisional untuk mengelola hutan secara berkelanjutan. Model forest menggabungkan penelitian, pengembangan, dan mempromosikan penerapan praktik-praktik yang sesuai melalui percontohan. Kegiatan utama dari model forest adalah pengembangan bersama, pengujian, implementasi dan percontohan yang inovatif, pendekatan pengelolaan hutan berkelanjutan untuk berbagai manfaat yang berbeda sesuai dengan “prinsip-prinsip hutan”. Model forest bukan proyek pengembangan jangka pendek, tetapi proses jangka panjang yang menyatukan para pihak untuk mengelola secara berkelanjutan
17
18
BAB DUA
daerah yang relatif besar untuk berbagai tujuan. Prinsip-prinsip yang diterapkan di dalam model forest adalah tiga pilar, yaitu Pendekatan Bentang alam, Kemitraan, dan Keberlanjutan. Prinsip lainnya mencakup tata kelola dan semangat berjaringan, berbagai pengetahuan, dan membangun kapasitas. Untuk menjalankan pendekatan ini, tidak memerlukan regulasi khusus, karena pendekatan ini tunduk pada ketentuan-ketentuan mengenai perjanjian dan kesepakatan dalam hukum perdata. Perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undangundang bagi para pihak yang membuatnya (pasal 1338, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata).
2.1.3 IUCN Kategori V: Protected Landscape Kawasan konservasi IUCN kategori V adalah kawasan yang dilindungi di mana interaksi masyarakat dan alam dari waktu ke waktu menghasilkan sebuah kawasan dengan karakter yang berbeda secara ekologi, budaya dan nilainilai keindahan yang signifikan (Phillips, 2002). Tujuannya adalah melindungi dan memelihara bentang alam yang penting dan nilai lain yang dibentuk oleh interaksi dengan manusia melalui praktik-praktik pengelolaan tradisional. Tujuan lainnya untuk memelihara keseimbangan interaksi alam dan budaya melalui perlindungan bentang alam dengan pendekatan pengelolaan tradisional, budaya dan nilai-nilai spiritual; berkontribusi pada konservasi dalam arti luas, memelihara spesies terkait dengan budaya dan/atau memberikan kesempatan pelestarian pada bentang alam yang banyak digunakan; memberikan kesempatan untuk kesenangan, kesejahteraan dan aktivitas sosial-ekonomi melalui rekreasi dan pariwisata; memberikan produk-produk alam dan jasa lingkungan; dan berperan sebagai model berkelanjutan sehingga dapat dipelajari untuk penerapan yang lebih luas. Kemenhut & KKP (2013), tidak memberikan penjelasan mengapa memasukkan Taman Buru (TB), Taman Hutan Raya (Tahura), Taman Wisata Alam (TWA), dan Taman Wisata Alam Laut (TWAL) ke dalam kategori V IUCN Protected Landscape/ Seascape. Padahal penggolongan tersebut tidak sesuai dengan karakter dan tujuan Kategori V IUCN. Saat ini peraturan perundang-undangan di Indonesia belum mengadopsi Kategori V dan
Tabel II-1. Kategori kawasan konservasi berdasarkan IUCN dan sistem di Indonesia Tipe
Kategori IUCN
Kategori INDONESIA
IA/IB
Strict Nature Reserve/ Wilderness Protection Areas
Cagar Alam dan Cagar Alam Laut
II
National Park
Taman Nasional danTaman Nasional Laut
III
Nature Monument
Tidak ada
IV
Habitat/Species Management Area
Suaka Margasatwa & Suaka Margasatwa Laut
V
Protected Landscape/ Seascape
Taman Buru, Taman Hutan Raya, Taman Wisata Alam dan Taman Wisata Alam Laut
Protected area with sustainable use of natural resources
Kawasan Konservasi Laut Daerah (KKLD): Kawasan Pengelolaan Terumbu Karang, Kawasan Pengelolaan Laut, Wisata Laut, Kawasan Konservasi Laut Kabupaten, Kawasan Konservasi Air Payau
VI
Kategori VI IUCN sebagai bagian dari kawasan konservasi. Ditjen PHKA (2014) lebih banyak mengembangkan Kawasan Ekosistem Esensial (KEE) yang berada di luar kawasan konservasi. Kawasan ekosistem esensial diatur di dalam PP No.28 tahun 2011 tentang Pengelolaan Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam. Yang tergolong kawasan ekosistem esensial adalah ekosistem karst, lahan basah (danau, sungai, rawa, payau, dan wilayah pasang surut yang tidak lebih dari 6 (enam) meter), bakau, dan gambut yang berada di luar KSA dan KPA. Berdasarkan Permenhut No.18 tahun 2015
RENCANA INDUK PENGEMBANGAN KONSERVASI BENTANG ALAM SKALA BESAR DI SUMATERA DAN KALIMANTAN
tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian LHK, kawasan ekosistem esensial berada di bawah pembinaan Direktorat Bina Pengelolaan Ekosistem Esensial, Ditjen KSDAE. Sejak tahun 2010-2013, telah dikembangkan 17 kawasan ekosistem esensial, yang mencakup Kawasan Karst (Gunung Kidul), gambut (Kapuas Hulu), bakau (Bengkalis), dan lahan basah (Langkat). Model pengelolaan kawasan ekosistem esensial tidak identik dengan pola pengelolaan yang telah ada saat ini untuk kawasan konservasi, namun hal ini membuka peluang baru dalam upaya konservasi bakau dan gambut di di dalam bentang alam target.
2.1.4 Kawasan Ekosistem Kawasan Ekosistem adalah wilayah yang secara alami terintegrasikan oleh faktor-faktor bentang alam, karakteristik khas flora dan fauna, keseimbangan habitat dalam mendukung keseimbangan hidup keanekaragaman hayati, dan faktor-faktor khas lainnya sehingga membentuk satu kesatuan ekosistem tersendiri. Istilah Kawasan Ekosistem ditemukan di dalam Surat Keputusan Menteri Kehutanan No.227/ Kpts-II/1995 yang memberikan hak pengelolaan Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) kepada Yayasan Leuser Internasional (YLI, sebuah badan hukum Yayasan di Indonesia) selama tujuh tahun. Definisi itu diperkuat dengan terbitnya Keputusan Presiden No. 33 tahun 1998 tentang Pengelolaan Kawasan Ekosistem Leuser. Luas KEL adalah 1.790.000 ha yang meliputi Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL), Suaka Margasatwa (SM) Rawa Singkil, hutan lindung, dan hutan produksi yang dikelola sesuai fungsi pokoknya. Setelah penataan batas, terbitlah SK Menhut No. 190/Kpts-II/2001 yang mengesahkan batas KEL di NAD seluas 2.255.577 hektar, sedangkan batas KEL di Sumut seluas 394.294 disahkan berdasarkan SK Menhut No. 10193/ Kpts-II/2002. Total luas KEL pun berubah menjadi 2.639.871 hektar, yang dikelola oleh Pemerintah Pusat bekerjasama dengan YLI atas dasar Persetujuan Kerjasama Pengelolaan antara Menteri Kehutanan dan YLI. Pengawasan pengelolaan KEL dilakukan oleh Kepala Balai TNGL, Kantor Wilayah Kehutanan, dan Dinas Kehutanan. Kerjasama itu mencakup kegiatan perlindungan dan pengamanan, pengawetan, 2 Perpres No.3 tahun 2012 tentang Tata Ruang Pulau Kalimantan 3 Perpres No.13 tahun 2012 tentang Tata Ruang Pulau Sumatera
pemulihan fungsi kawasan, dan pemanfaatan secara lestari. Di dalam proses pelaksanaanya, terdapat gesekan dan kesalahpahaman dalam pengelolaan KEL sehingga terjadi ketidakjelasan pengelolaannya pada saat ini. Pengelolaan kawasan ekosistem pada dasarnya merupakan pengelolaan kawasan berbasis bentang alam. Mengingat bahwa kawasan ekosistem belum disebutkan dalam regulasi sebagai kawasan konservasi, maka perlindungan terhadap ekosistem mengacu pada status kawasan hutan yang ada di dalam ekosistem tersebut. Secara normatif, KEL merupakan areal kerja YLI sebagai mitra pemerintah dalam pengelolaan kawasan hutan, bukan areal administratif konservasi. Kawasan konservasi yang berada di KEL seperti TNGL dan SM Rawa Singkil tetap dikelola oleh Balai TNGL dan BKSDA sebagai unit pelaksana teknis di dalam KEL sebagaimana diatur di dalam UU No. 5/1990 pasal 16 dan 34.
2.1.5 Koridor Ekosistem Istilah Koridor Ekosistem dimunculkan dalam Peraturan Presiden tentang Tata Ruang Pulau Kalimantan2 dan Sumatera3, yang memperluas makna dari Kawasan Koridor yang diatur di dalam Peraturan Pemerintah No.26 Tahun 2008 tentang Rencana Tara Ruang Wilayah Nasional (RTRWN). Kawasan koridor didefinisikan sebagai bagian dari Kawasan Lindung Lainnya untuk jenis satwa atau biota laut yang dilindungi, sedangkan Koridor Ekosistem dimaknai sebagai suatu wilayah yang menjadi bagian dari kawasan lindung dan/atau kawasan budidaya yang berfungsi sebagai alur migrasi satwa/biota laut dan menghubungkan antarkawasan konservasi. Dengan adanya koridor ekosistem, maka jalur yang menghubungkan antara satu kawasan lindung dengan kawasan lindung lainnya, yang berfungsi sebagai jalur migrasi dan pengungsian satwa, mendapatkan bentuk “perlindungan baru”. Di dalam jalur koridor ekosistem tersebut dilakukan pembatasan pengembangan kawasan permukiman, pemanfaatan ruang kawasan budidaya dikendalikan dengan parasarana yang ramah lingkungan. Perpres No.3 Tahun 2012 menetapkan tujuh koridor ekosistem di Pulau Kalimantan yang
19
20
BAB DUA
Gambar II-3. Delineasi Koridor Rimba di Sumatera Sumber: Ditjen Penataan Ruang, Kementerian Pekerjaan Umum
menghubungkan antarekosistem hutan dataran tinggi (satu koridor untuk bekantan dan orangutan), menghubungkan antarekosistem hutan dataran rendah (empat koridor untuk bekantan, orangutan, gajah, dan owa), dan menghubungkan antarekosistem pesisir (dua koridor). Koridor ekosistem di Kalimantan yang relevan dengan Rencana Induk sepuluh bentang alam ini adalah kelompok koridor dataran rendah, yang menghubungkan Cagar Alam Muara Kaman Sedulang-Cagar Alam Padang Luwai-Taman Nasional Kutai. Perpres No.13 Tahun 2012 menetapkan lima koridor ekosistem di Pulau Sumatera, dua di antaranya relevan dan beririsan dengan bentang alam Berbak-Sembilang dan bentang alam Bukit Tigapuluh. yaitu: 1. Koridor Jambi-Sumatera Selatan yang menghubungkan TN Berbak dan TN Sembilang sebagai koridor satwa burung dan harimau; 2. Koridor Rimba (Riau-Jambi-Sumatera Barat) yang menghubungkan SM Bukit RimbangBukit Baling, CA Batang Pangean I dan II, TN Kerinci Seblat, TN Bukit Tigapuluh, TN Berbak, CA Maninjau Utara, CA Bukit Bungkuk,
CA Cempaka, TWA Sungai Bengkal, dan Tahura Thaha Saifuddin sebagai koridor satwa gajah, harimau, dan burung; di dalam koridor ini terdapat 18 kabupaten/kota dari tiga provinsi. Koridor Rimba ini mencakup kawasan hutan konservasi (1,2 juta hektar), hutan lindung (0,6 juta hektar), hutan produksi (1,3 juta hektar), dan kawasan budaya (0,85 juta hektar) sebagai penghubung4. Di antara sepuluh bentang alam target, terdapat dua bentang alam yang beririsan dengan Koridor Rimba, yaitu bentang alam Bukit Tigapuluh dan bentang alam Berbak-Sembilang yang berada di wilayah Jambi. Dengan demikian, diperlukan kegiatan untuk mensinergikan dan menyelaraskan program-program di bentang alam target dan Koridor Rimba. Saat ini, WWF dan mitra-mitranya sedang mengembangkan program untuk mewujudkan Koridor Rimba.
2.2 PERSPEKTIF GLOBAL DALAM KONSERVASI BENTANG ALAM 2.2.1 Spesies Penting Tingkat Global Sepuluh bentang alam target di Sumatera dan
4 Pemaparan Ditjen Penataan Ruang, Kementerian Pekerjaan Umum. Peta Jalan Penyelamatan Ekosistem Sumatera. 18 April 2012.
RENCANA INDUK PENGEMBANGAN KONSERVASI BENTANG ALAM SKALA BESAR DI SUMATERA DAN KALIMANTAN
Kalimantan memiliki sejumlah besar spesies flora dan fauna yang penting secara global. Sedikitnya terdapat tiga instrumen yang menggambarkan status konservasi dan keterancamannya dalam pandangan global. Upaya proteksi dan restorasi dalam arti luas untuk mempertahankan dan/ atau meningkatkan populasi dan habitatnya merupakan kontribusi nyata konservasi di tingkat bentang alam, regional, nasional, dan internasional. Beberapa instrumen yang perlu menjadi perhatian para pihak dalam pengembangan konservasi bentang alam antara lain adalah Daftar Merah Spesies Terancam dari IUCN, CITES, dan EDGE, sebagaimana diuraikan di bawah ini.
2.2.1.1 Daftar Merah IUCN IUCN Red List of Threatened Species (Daftar Merah Spesies Terancam Punah) merupakan daftar yang komprehensif tentang status konservasi global spesies hayati. Daftar ini memberikan informasi status konservasi dan distribusi suatu spesies sebagai dasar membuat kebijakan dalam upaya konservasi keanekaragaman hayati dari tingkat lokal hingga global (IUCN, 2012). Lebih dari 71.000 spesies di seluruh dunia telah dinilai oleh IUCN dalam pemutakhiran daftar merah, termasuk 21.000 spesies telah dianggap terancam kepunahan. Di Indonesia terdapat 1.225 spesies flora-fauna Indonesia yang terancam secara global, termasuk spesies mamalia (185), burung (131), reptilia (32), amfibi (32), ikan (149), moluska (6), avertebrata (282), dan 408 spesies tumbuhan (IUCN, 2014)5. Dari jumlah tersebut, di dalam sepuluh bentang alam terdapat 58 spesies mamalia yang masuk Daftar Merah (CR, EN, VU, NT), 114 spesies burung, 15 spesies reptilia, 9 spesies amfibia, dan 17 spesies ikan. Fakta itu memberikan gambaran pentingnya upaya-upaya perlindungan dan restorasi di sepuluh bentang alam tersebut karena memiliki spesies-spesies yang terancam punah. Kesepuluh bentang alam tersebut menghadapi ancaman kehilangan habitat yang serius dan sebagian besar spesies di tingkat bentang alam tersebut berpotensi punah di tingkat lokal dan global. Hingga kini terdapat 213 spesies terancam dan hampir terancam punah, yang mencakup sedikitnya 11 spesies kategori Kritis (Critically Endangered), 27
spesies Terancam Punah (Endangered), 52 spesies Rentan (Vulnerable) dan 123 spesies Hampir Terancam (Near Threatened). Mempertahankan dan memulihkan populasi yang dapat bertahan dalam jangka panjang dari spesies yang terancam dalam Daftar Merah IUCN merupakan kunci untuk memantau keberhasilan pendekatan konservasi bentang alam di dalam sepuluh bentang alam target.
2.2.1.2 CITES Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora/CITES merupakan perjanjian multilateral untuk melindungi tumbuhan dan satwa yang terancam punah sejak tahun 1975. Pemerintah Indonesia telah meratifikasi CITES melalui Keputusan Presiden No.43 tahun 1978 dan Keputusan Presiden No.1 tahun 1987. Konvensi ini mengharuskan negara anggota CITES bekerja sama untuk memastikan perdagangan tumbuhan dan satwa liar tidak mengancam kelangsungan hidupnya di alam. Untuk mengontrol spesies yang terdaftar dalam Appendiks II perdagangan internasional, Kementerian LHK menentukan kuota penangkapan setiap tahun. Keputusan Menteri Kehutanan No 447/2003 mengatur tata cara pemanenan dan penangkapan satwa/ tumbuhan dari alam dan tempat penangkaran. Di dalam sepuluh bentang alam sedikitnya terdapat 32 spesies Appendiks I, 111 spesies Appendiks II, dan 7 spesies Appendiks III. Banyaknya jumlah spesies yang tergolong Appendix CITES di sepuluh bentang alam itu menunjukkan pentingnya bentang alam dalam perspektif konservasi global. Tingginya jumlah spesies CITES di bentang alam prioritas memberikan kesempatan yang baik untuk mengeksplorasi pendekatan konservasi dan penghidupan di tingkat bentang alam. Namun perlu pengawasan yang ketat terhadap perburuan dan perdagangan spesies Appendiks I, seperti gajah, harimau, orangutan, siamang, dan trenggiling.
2.2.1.3 EDGE (Evolutionary Distinct and Globally Endangered) Spesies yang tergolong EDGE merupakan spesies yang sangat unik dengan skor Evolutionary Distinct di atas rata-rata, dan juga terancam kepunahan. Setiap spesies dalam kelompok taksonomi tertentu (misalnya
5 Jumlah yang diperhitungkan untuk spesies dengan kategori Critically Endangered, Endangered dan Vulnerable untuk setiap kelas taksa.
21
22
BAB DUA
mamalia atau amfibi) dinilai berdasarkan jumlah sejarah evolusi yang unik yang mewakilinya (Evolutionary Distinctiveness, ED), dan status konservasi Keterancaman Global, atau GE (ZSL, 2015). Spesies EDGE biasanya sangat berbeda secara morfologi, ekologi dan susunan genetiknya.
dan memberikan ruang bagi perkembangan manusia secara simultan. Kebijakan itu sesuai dengan prinsip-prinsip pendekatan ekosistem di bawah Konvensi Keanekaragaman Hayati dan hasil dari Penilaian Ekosistem Millennium (MEA, 2005). Beberapa status dan bentuk pengakuan internasional dan regional, antara lain:
Saat ini di seluruh dunia terdapat 502 spesies mamalia yang termasuk kategori EDGE (~ 9% dari total), 799 spesies amfibi EDGE (~14% dari total), dan 1.115 spesies burung EDGE (~11% dari total). Di Indonesia terdapat 86 spesies EDGE, termasuk orangutan sumatera dan trenggiling. Di sepuluh bentang alam target terdapat sedikitnya 23 spesies mamalia EDGE, 1 spesies amfibi EDGE, dan 14 spesies burung EDGE.6
΄Situs Ramsar
2.2.2 Status Global Kawasan Konservasi Tingginya nilai keanekaragaman hayati dan ekosistem secara global memungkinkan beberapa bentang alam atau bagian dari bentang alam mendapat pengakuan dan dukungan internasional. Terdapat beberapa status pengakuan regional/ internasional yang memungkinkan bentang alam menjadi lebih terlindungi dengan menerapkan instrumeninstrumen yang berstandar internasional. Jaringan dari suatu status global dapat menjadi wahana untuk meningkatkan perlindungan bentang alam dari perspektif ekologi, ilmiah, dan sosial. Penerapannya akan sangat bergantung pada komitmen, keseriusan, dan dukungan pemerintah atau pengelola bentang alam dan para pihak. Oleh karena itu, perlu dilakukan kajian di sepuluh bentang alam untuk mendapatkan pengakuan regional atau internasional yang dapat memaksimalkan dukungan terhadap pelestarian yang sedang berlangsung dan usaha pemanfaatan yang berkelanjutan. Regulasi pengelolaan sumberdaya alam, termasuk di kawasan konservasi, telah didefinisikan di masa lalu berdasarkan aspek ilmiah, politik, dan ekonomi. Kebijakan yang dikembangkan secara sentral dan skema managemen yang ada seringkali tidak sesuai dengan kondisi lokal dan berpotensi menjauhkan masyarakat dari lingkungan alamnya. Untuk mendukung kohabitasi manusia-satwa, diperlukan pendekatan dan metode pengelolaan inovatif yang dapat meningkatkan perlindungan
Situs ini ditunjuk berdasarkan Konvensi Ramsar dan secara global dikenal sebagai kawasan penting untuk ekosistem lahan basah.7 Penunjukan Situs Ramsar didasari oleh sembilan kriteria, antara lain keterancaman oleh aktivitas manusia, daya dukung terhadap spesies lahan basah yang terancam punah, merupakan jalur migrasi satwa, dan tempat pemijahan ikan. Konvensi ini melibatkan 168 negara sebagai perjanjian internasional untuk pelestarian dan pemanfaatan lahan basah dan sumber-sumbernya secara bijaksana dalam konteks pembangunan berkelanjutan. Pemerintah Indonesia telah meratifikasi konvensi ini melalui Keputusan Presiden No.48 tahun 1991 tentang Pengesahan Convention on Wetlands of International Importance especially as Waterfowl Habitat. Konvensi Ramsar menekankan adanya hubungan antara keanekaragaman hayati lahan basah dan jasa ekosistem di mana manusia menggantungkan kehidupannya. Konsep tersebut sangat relevan dengan upaya proteksi dan restorasi di bentang alam-bentang alam yang didominasi oleh ekosistem lahan basah. Saat ini di seluruh dunia telah terdaftar 2.193 situs Ramsar dengan total luas 208.843.795 hektar, termasuk TN Berbak dan TN Sembilang yang dalam Rencana Induk ini berada dalam Bentang alam Berbak-Sembilang. Taman Nasional Berbak (Situs Ramsar No.554) mencakup kawasan hutan rawa gambut seluas 115.000 hektar dan hutan rawa air tawar (45.000 hektar), yang dipisahkan oleh sungai besar dan dihuni oleh kelompok kecil masyarakat asli. Hutan-hutan tersebut tergenang sepanjang tahun, bahkan pada musim kemarau, air payau menembus hingga 10 km ke arah hulu. Kawasan ini merupakan sumber makanan penting burung-burung air dan burung migran. Berbagai usaha perlu dilakukan untuk memberikan perlindungan di pesisir sebagai bagian integral konservasi bentang alam.
6 www.edgeofexistence.org/about/edge_science.php 7 The Ramsar Convention.
Retrieved on 20 April 2015.
RENCANA INDUK PENGEMBANGAN KONSERVASI BENTANG ALAM SKALA BESAR DI SUMATERA DAN KALIMANTAN
Taman Nasional Sembilang (Ramsar Site No 1.945), berbatasan langsung dengan TN Berbak, merupakan formasi bakau terluas di Sumatera bagian Timur dan delta alluvial yang luas, menjadikan situs ini sebagai kawasan persinggahan penting untuk burung air migran sepanjang jalur terbang Asia Timur-Australasia. Selama musim dingin sekitar 80.000-100.000 ekor burung migran mencari makan dan beristirahat di kawasan tersebut. Lebih dari 43% spesies bakau di Indonesia ditemukan di taman nasional ini. Kawasan ini merupakan salah satu lokasi perkembangbiakan terbesar di dunia untuk burung bluwok (Mycteria cinerea). Pengelolaan kedua Situs Ramsar harus diintegrasikan dengan pengelolaan di tingkat bentang alam dalam konsep multi-scale management. Panduan kelola situs Ramsar juga dapat diterapkan di bentang alam lainnya yang didominasi oleh lahan basah, untuk menerapkan praktik-praktik terbaik (best practices) oleh pengelola dan para pihak pengambil kebijakan. ΄Cagar Biosfer Satu dari sepuluh bentang alam target telah ditetapkan UNESCO pada tahun 2009 sebagai cagar biosfer, yaitu Giam Siak Kecil-Bukit Batu (CB-GSKBB) seluas 705.271 hektar yang dikenal sebagai habitat harimau, gajah, tapir, dan beruang madu. Pembelajaran dari proses pembentukan dan pengelolaan CB GSKBB akan sangat berguna untuk mengelola bentang alam lainnya (Lihat juga Sub-bab 2.1.1). ΄Situs Warisan Dunia Konvensi Warisan Dunia adalah perjanjian internasional antara negara-negara anggota PBB, yang mencari identitas, perlindungan, pelestarian warisan budaya dan alam yang memiliki nilai universal yang sangat luar biasa (Outstanding Universal Value) untuk diwariskan kepada generasi selanjutnya. Kondisi dan kriteria spesifik, didefinisikan dalam panduan operasional konvensi, yang digunakan untuk mengidentifikasi situssitus yang akan dimasukkan ke dalam Daftar Warisan Dunia (UNESCO, 2011). UNESCO menetapkan nominasi situs warisan dunia yang diusulkan oleh pemerintah setelah mempertimbangkan pendapat dari IUCN untuk
situs alam atau ICOMOS untuk situs budaya. Warisan Dunia Budaya harus memenuhi satu dari enam kriteria, sedangkan Warisan Dunia Alam harus memenuhi satu dari empat kriteria yang telah ditentukan. Sangat sedikit kawasan konservasi di dunia yang memenuhi kriteriakriteria tersebut, sehingga saat ini hanya terdapat 197 situs Warisan Dunia. Pada saat ini, tidak ada kawasan di dalam bentang alam yang berstatus warisan dunia. Taman Nasional Bukit Tigapuluh berpotensi dinominasikan sebagai situs warisan dunia budaya atau gabungan karena memiliki keragaman hayati yang tinggi dan suku asli Talang Mamak, yang telah membuat hutan primer sebagai rumah dan sumber kehidupannya. Kawasan yang dapat dinominasikan sebagai warisan dunia adalah kawasan konservasi yang paling unik dan dikelola dengan sangat baik. Mengingat proses nominasi yang panjang dan sulit, maka pengelolaan bentang alam yang menerapkan standar Warisan Dunia diharapkan dapat meningkatkan perlindungan terhadap bentang alam. Dengan demikian, manfaat, daya dukung, dan daya tampung bentang alam dapat diwariskan kepada generasi mendatang. ΄ASEAN Heritage Park ASEAN Declaration on Heritage Parks and Reserves, ditandatangani oleh negara-negara anggota ASEAN pada tahun 1984. ASEAN Heritage Park (AHP) merupakan kawasan pendidikan dan inspirasional yang bernilai konservasi untuk melestarikan spektrum yang lengkap dari ekosistem yang mewakili kawasan ASEAN.8 Status AHP hanya dapat diberikan pada kawasan-kawasan konservasi. Saat ini sudah terdaftar 35 kawasan AHP, termasuk TN Gunung Leuser, namun tidak ada bentang alam target yang berstatus AHP. Beberapa kriteria untuk mendapatkan status ini adalah terpeliharanya proses ekologi untuk mendukung kehidupan; terpeliharanya keanekaragaman hayati di habitat alaminya; terjaminnya penggunaan sumberdaya yang berkelanjutan; dan adanya peluang untuk pariwisata, pendidikan dan riset. ASEAN Heritage Parks tidak memiliki mekanisme pemantauan yang ketat dan dukungan teknis sebagaimana situs warisan dunia, namun keduanya lebih memberikan penekanan pada aspek konservasi daripada situs cagar biosfer dan Ramsar.
8 ASEAN Heritage Parks and Protected Area Management. . Retrieved on 28 March 2015.
23
24
BAB DUA
2.2.3 Kerangka Kebijakan Global untuk Mendukung Konservasi Bentang Alam Hampir 30 tahun setelah laporan Brundtland Our Common Future diterbitkan, yang mendefinisikan pembangunan berkelanjutan sebagai “development that meets the needs of the present without compromising the ability of future generations to meet their own needs”, sangat sedikit pencapaian untuk menghentikan degradasi lingkungan global. Lingkungan global terus menunjukkan tanda-tanda degradasi yang parah, mulai dari tanah, air, dan atmosfir. Walaupun telah banyak kawasan daratan dan laut yang dilindungi, makin banyak spesies flora dan fauna yang terancam punah, termasuk harimau dan gajah (UNEP, 2012). Untuk mengatasi isu-isu global tersebut, diperlukan berbagai strategi dan aksi tingkat global yang menyentuh ke tingkat tapak dan masyarakat. Untuk mengatasi degradasi lingkungan dan hilangnya keanekaragaman hayati pada tingkat global, telah dilakukan sejumlah perjanjian internasional dan konvensi, seperti Konvensi Keanekaragaman Hayati/CBD (Nairobi-1992).9 Pemerintah Indonesia juga telah meratifikasi banyak konvensi sebagai wujud komitmen untuk melindungi keanekaragaman hayati, tetapi tetap menghadapi ancaman yang serius. Dengan jumlah lebih dari 185 spesies mamalia yang terancam, Indonesia menempati posisi puncak dalam daftar negara-negara yang memiliki jumlah mamalia terancam tertinggi (IUCN, 2014). Di dalam sepuluh bentang alam Sumatera dan Kalimantan, terdapat 11 spesies fauna yang tergolong critically endangered, mengindikasikan pendekatan konservasi konvensional tidak berhasil melindungi keanekaragaman hayati di kawasan konservasi. Sementara itu di luar kawasan konservasi terjadi konversi hutan dan penggunaan lahan yang ekstensif dan eksploitatif. Untuk mengatasi hilangnya keanekaragaman hayati, jasa ekosistem, perubahan iklim, dan faktor negatif lainnya yang berdampak pada lingkungan, maka perlu pendekatan baru yang berfokus pada bentang alam di luar kawasan konservasi. Upaya-upaya global untuk melindungi keanekaragaman hayati telah beralih dari pendekatan spesies dan kawasan
kepada ekosistem dan bentang alam untuk meningkatkan kesinambungan dan ketahanan kawasan. Untuk memastikan tercapainya tujuan konservasi pada skala bentang alam, maka sangat penting untuk menghubungkan target konservasi dengan tujuan pembangunan yang lebih besar, seperti pengentasan kemiskinan, ketahanan pangan, pendidikan dan perubahan iklim, serta strategi yang memandu pendekatan konservasi bentang alam.
2.2.3.1 MDGs, SDGs, Rio+20, dan Global Landscape Forum Salah satu instrumen penting yang menjadi panduan pembangunan selama sepuluh tahun terakhir adalah Tujuan Pembangunan Milenium (MDGs). Tujuan MDGs yang seharusnya dicapai pada tahun 2015, didukung oleh 21 target spesifik dengan lebih dari 60 indikator (United Nations, 2014). Masalah lingkungan merupakan MDG 7, dan target yang paling relevan dengan pengelolaan bentang alam adalah target (7A) memadukan prinsipprinsip pembangunan berkelanjutan dalam kebijakan negara dan program-program untuk mengembalikan sumberdaya lingkungan yang menurun; dan (7B) menurunkan secara signifikan tingkat hilangnya keanekaragaman hayati pada 2010. Kerangka baru tujuan pembangunan global setelah tahun 2015 adalah Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs)10 sebagai agenda pembangunan global menggantikan MDGs. Tujuan nomor 13 dari SDGs sangat relevan dengan pengelolaan bentang alam, yaitu mendorong tindakan yang cepat untuk mengatasi perubahan iklim dan dampak-dampaknya, mengelola hutan secara berkelanjutan, menangani penggurunan, menghentikan dan mengembalikan degradasi lahan, serta menghentikan hilangnya keanekaragaman hayati. Selain itu terdapat tujuan lain dari SDG yang perlu dipertimbangkan dalam pengelolaan bentang alam, antara lain mencapai ketahanan pangan, meningkatkan pertanian berkelanjutan, pengelolaan air dan sanitasi, akses energi yang terjangkau, dan mendorong pertumbuhan ekonomi berkelanjutan. Menggunakan target pembangunan berkelanjutan yang penting secara global akan membantu identifikasi penerapan strategi dan sumberdaya
9 Secretariat of the Convention on Biological Diversity. 2014. Global Biodiversity Outlook 4. Montréal. 10 Sustainable Development Solutions Network. A Global Initiative for the United Nations. (2015). Indicators and Monitoring Framework for the Sustainable Development Goals. Revised working draft (Version 7).
RENCANA INDUK PENGEMBANGAN KONSERVASI BENTANG ALAM SKALA BESAR DI SUMATERA DAN KALIMANTAN
lokal, dan mencapai tujuan-tujuan bentang alam. Indikator-indikator tersebut merupakan panduan untuk memantau dan mengukur perkembangan pengelolaan bentang alam. Dengan menerapkan dan mengintegrasikan SDGs ke dalam pengelolaan bentang alam, maka terbuka potensi untuk menjadi contoh praktikpraktik berkelanjutan terbaik (best practices) pada tingkat nasional dan internasional. Dokumen Rio+20 yang menggarisbawahi komitmen negara-negara anggota terhadap masa depan yang berkelanjutan, juga dapat menjadi panduan penting dalam strategi pengembangan konservasi bentang alam. Dokumen tersebut dihasilkan pada bulan Juni 2013 dalam pertemuan para kepala negara dan pemerintahan yang bertemu di Rio de Janeiro, Brazil. Mereka memperbarui komitmen pembangunan berkelanjutan, dan menjamin peningkatan masa depan yang berkelanjutan untuk generasi saat ini dan yang akan datang. Dokumen Rio+20 menyoroti pentingnya pelestarian keanekaragaman hayati, memperkuat konektivitas habitat, membangun ketahanan ekosistem dan pembangunan berkelanjutan dengan memadukan ekonomi, sosial, dan lingkungan serta mengenali keterkaitan berbagai aspek tersebut.11 Hal itu sejalan dengan tujuan pengembangan konservasi bentang alam. Global Landscape Forum (GLF)12 diadakan bersamaan dengan negosiasi iklim PBB, dengan tujuan menciptakan sebuah platform yang memposisikan bentang alam dalam perjanjian baru internasional terkait iklim dan pembangunan berkelanjutan. Global Landscapes Forum merekomendasikan pendekatan prinsip-prinsip bentang alam pada REDD+, mempertimbangkan bentang alam pada kerangka kerja SDGs pasca 2015, menjamin dukungan jangka panjang untuk pengelolaan daerah aliran sungai, mengenali hak-hak masyarakat lokal, kebijakan fiskal yang terukur dan dirancang dengan baik dalam konteks bentang alam secara signifikan dapat mengatasi degradasi hutan dan deforestasi, dan nilai jasa ekosistem memiliki peran penting dalam ekonomi nasional. Untuk jangka panjang, lembaga-lembaga atau yang terkait dengan pengelola bentang alam perlu membangun jaringan kerja dengan GLF.
2.2.3.2 Pendekatan Ekosistem dan Target Aichi Pendekatan ekosistem (ecosystem approach) merupakan kerangka kerja turunan dari Convention on Biological Diversity/CBD (diratifikasi Pemerintah Indonesia melalui UU No.5 Tahun 1994) yang relevan dengan pengelolaan bentang alam berkelanjutan. Pendekatan ekosistem mencakup strategi pengelolaan lahan terpadu, air dan sumbersumber kehidupan yang meningkatkan pelestarian dan pemanfaatan berkelanjutan secara adil. Penerapan pendekatan ekosistem akan membantu mencapai keseimbangan tiga tujuan utama CBD, yaitu konservasi, pemanfaatan berkelanjutan, dan pembagian manfaat yang adil dan merata terhadap pemanfaatan sumberdaya genetik. Pendekatan ekosistem memiliki 12 prinsip yang saling melengkapi dan dapat menjadi panduan operasional meningkatkan pembagian manfaat, praktik-praktik penggunaan pengelolaan yang adaptif, melakukan langkah-langkah pengelolaan pada skala yang tepat untuk mengatasi berbagai isu yang sedang ditangani, dan menjamin kerja sama inter-sektoral, termasuk sistem produksi yang memberikan dampak bagi keanekaragaman hayati di tingkat bentang alam, termasuk sektor pertanian, perikanan, kehutanan, dan pertambangan (Shepherd, 2004). Terkait dengan upaya penyelamatan keanekaragaman hayati global, telah disepakati oleh negara-negara anggota CBD adanya 20 (dua puluh) Target Aichi untuk menyelamatkan keanekaragaman hayati dan memperbesar manfaatnya bagi manusia. Mereka setuju untuk merevisi dan memasukkan Target Aichi ke dalam Rencana Aksi dan Strategi Keanekaragaman Hayati Nasional (IBSAP). Saat ini Indonesia juga sedang merevisi dokumen rencana strategi dan aksi nasional untuk periode 10 tahun ke depan.
2.2.3.3 ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution Hutan tropis di dalam bentang alam memberikan ketahanan iklim dan air bagi kawasan di sekitarnya, dan tempat berlindung bagi satwa dan manusia. Di sisi lain, hutan tropis merupakan salah satu ekosistem yang paling rentan terhadap perubahan iklim. Penurunan
11 The Future We Want, United Nations Conference on Sustainable Development. United Nations. (2012), Outcome Document. Retrieved on 8 April 2015 12 Global Landscape Forum. 2014. Outcome Document. Retrieved on 2 April, 2015
25
26
BAB DUA
tutupan hutan yang terus terjadi akan mengurangi ketahanan alamiah bentang alam terhadap perubahan iklim dan membahayakan jasa ekosistem, seperti stabilitas iklim dan air, yang pada akhirnya mengancam pembangunan ekonomi berkelanjutan. Salah satu ancaman utama di dalam bentang alam adalah kebakaran hutan dan lahan. Studi yang disusun oleh CIFOR menunjukkan bahwa kebakaran seluas 163.336 hektar, termasuk 137.044 hektar (84%) gambut pada tahun 2013 sempat mengganggu kehidupan masyarakat di hampir seluruh Provinsi Riau. Kebanyakan kebakaran terjadi di kawasan deforestasi (82%, seluas 133.216 hektar). Emisi gas rumah kaca (GHG) dalam kebakaran tersebut diduga mencapai 172.659 Tg CO-eq (atau 31612 Tg C), sekitar 5-10% rata-rata tahunan emisi GHG di Indonesia pada periode 2000–2005 (Peter, 2014; Gaveau et al., 2014). Kebakaran hutan tahunan di Indonesia, yang terjadi antara Mei dan September, dianggap sebagai pemberi kontribusi terbesar asap di tingkat regional Asia Tenggara. Untuk mengatasi isu tersebut, pada tahun 2002, negara-negara anggota ASEAN menandatangani Perjanjian Polusi Asap Lintas Batas yang telah diratifikasi oleh Indonesia pada tahun 201413. Kesepakatan tersebut cukup inovatif, mengingat ini adalah perjanjian regional pertama di dunia untuk mengatasi polusi asap lintas batas. Perjanjian tersebut meminta negara-negara anggota bekerja sama untuk pencegahan, pemantauan, dan pengurangan polusi asap lintas batas dengan mengendalikan pemanfaatan lahan, kebakaran hutan, pengembangan pemantauan, penilaian dan sistem peringatan awal, pertukaran informasi dan teknologi, pemberian bantuan secara timbal balik; menanggapi segera permintaan informasi relevan yang dicari oleh negaranegara yang sedang atau kemungkinan akan terkena dampak polusi asap lintas batas, untuk meminimalisir konsekuensi polusi; mengambil tindakan hukum, administrasi, atau langkah lain untuk melaksanakan kewajiban di bawah perjanjian. Untuk kerja sama itu telah dibentuk ASEAN Coordinating Centre yang akan memfasilitasi kerja sama dan koordinasi dalam mengelola dampak kebakaran hutan dan lahan terutama polusi asapnya. 13 http://haze.asean.org/?page_id=185>. Retrieved on 2 March 2015
2.2.3.4 Green Growth dan Skema Sertifikasi Dengan skenario business as usual, manfaat pembangunan akan dicapai dengan biaya yang mahal akibat adanya dampak lingkungan, hilangnya keanekaragaman hayati, dan perubahan iklim. Pengetahuan ini telah mengubah perilaku konsumen untuk menuntut produk-produk yang lebih ramah lingkungan dan memajukan green growth (Holopainen et al., 2014). Banyak perusahaan swasta yang beroperasi di dalam bentang alam memproduksi barang-barang untuk pasar global, dan tunduk pada perilaku konsumen yang sadar lingkungan. Perusahaanperusahaan yang mengadopsi praktik-praktik dan filosofi hijau akan lebih diuntungkan daripada perusahaan tradisional karena mereka mendapatkan kepercayaan dari konsumen, sekaligus mengurangi dampak produksi pada lingkungan. Menurut laporan UNEP Towards a Green Economy, investasi hijau di sektor kehutanan dan pertanian dapat mengurangi deforestasi dan meremajakan sumberdaya penting ini hingga 4.5 milyar ha untuk 40 tahun mendatang. Namun transisi produksi hijau seringkali sulit dilakukan karena membutuhkan perubahan mind-set produsen, teknologi know-how dan investasi di depan. Untuk mengubah paradigma pembangunan ekonomi menuju ekonomi hijau dalam jangka pendek, diperlukan upaya promosi standar internasional sosial dan lingkungan melalui skema sertifikasi. Peningkatan permintaan konsumen untuk produk bersertifikat “ramah lingkungan dan sosial”, telah mengarah pada peningkatan skema sertifikasi untuk produsen, terutama di sektor perkebunan, kehutanan, dan perikanan. Produsen akan mengikuti proses audit untuk verifikasi agar dapat menggunakan label “environmentally sustainable” dalam produknya. Beberapa skema sertifikasi global penting adalah Forest Stewardship Council (FSC), yang mempromosikan pengelolaan hutan secara bertanggung jawab; ISO 14001 yang mengatur sejumlah kriteria untuk sistem pengelolaan lingkungan; Eco-Management and Audit Scheme (EMAS) yang mencakup instrumen pengelolaan sumber daya lingkungan.
RENCANA INDUK PENGEMBANGAN KONSERVASI BENTANG ALAM SKALA BESAR DI SUMATERA DAN KALIMANTAN
2.3 KERANGKA HUKUM PENGELOLAAN BENTANG ALAM 2.3.1 Kawasan Lindung di dalam Bentang Alam Pada dasarnya, wilayah di Indonesia terdiri dari kawasan hutan, non-kawasan hutan (Area Penggunaan Lain/APL), dan laut/perairan. Kawasan hutan dikelola oleh Kementerian LHK dengan dasar hukum UU bidang Kehutanan. Wilayah APL dikelola oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN) dengan dasar hukum bidang pertanahan. Sedangkan Menteri Kelautan dan Perikanan mengelola laut, wilayah pesisir pantai dan pulau-pulau kecil, termasuk perairan perikanan dan bakau dengan dasar hukum UU No.27 tahun 2007 dan UU No.1 tahun 2014 tentang Pengelolaan Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, UU No.31 tahun 2004 dan UU No.45 tahun 2009 tentang Perikanan, dan UU No.32 tahun 2014 tentang Kelautan). Dasar hukum yang secara khusus mengatur pengelolaan bentang alam/bentang alam memang belum tersedia, namun terdapat beberapa regulasi yang secara interpretatif terkait dengan bentang alam. Undang-undang No.32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH) menyebutkan istilah Ekoregion, yang didefinisikan sebagai wilayah geografis yang memiliki kesamaan ciri iklim, tanah, air, flora, dan fauna asli, serta pola interaksi manusia dengan alam yang menggambarkan integritas sistem alam dan lingkungan hidup. Sedangkan UU No.27 tahun 2007 tentang Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil menggunakan istilah Bioekoregion, yang didefinsikan sebagai bentang alam yang berada di dalam satu hamparan kesatuan ekologis yang ditetapkan oleh batas-batas alam, seperti daerah aliran sungai, teluk, dan arus. Kedua UU tersebut memaknai bentang alam sebagai bagian yang membentuk suatu ekoregion/bioekoregion, namun tidak menyebutkan siapa pengelolanya. Undang-Undang No.32/1999 mewajibkan pemerintah untuk menetapkan wilayah ekoregion sebagai tahapan penyusunan Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH). Penetapannya dilakukan dengan mempertimbangkan karakteristik bentang alam, daerah aliran sungai, flora-fauna, iklim, ekonomi, sosial budaya, dan kelembagaan masyarakat. Sedangkan UU No.27/2007 tidak secara tegas
melakukan penetapan wilayah bioekoregion dalam penyusunan Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau Kecil. Undang-undang No.26 tahun 2007 mengenai Penataan Ruang memisahkan ruang menjadi kawasan budidaya dan kawasan lindung. Kawasan Lindung diartikan sebagai wilayah yang ditetapkan dengan fungsi utama melindungi kelestarian lingkungan hidup yang mencakup sumberdaya alam dan sumberdaya buatan, yang pada dasarnya mengadopsi muatan dari Keputusan Presiden No.32 tahun 1990 mengenai Pengelolaan Kawasan Lindung. Masalah Penataan Ruang diatur lebih lanjut di dalam Peraturan Pemerintah No.26 tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWN). Diperkenalkanlah istilah Kawasan Koridor sebagai bagian dari Kawasan Lindung Lainnya untuk jenis satwa atau biota laut yang dilindungi. Selanjutnya Peraturan Presiden (Perpres) No.3 Tahun 2012 tentang Tata Ruang Kalimantan dan Perpres No.13 Tahun 2012 tentang Tata Ruang Pulau Sumatera memperluas makna Kawasan Koridor menjadi Koridor Ekoistem, yaitu sebagai wilayah yang merupakan bagian dari kawasan lindung dan/atau kawasan budidaya yang berfungsi sebagai alur migrasi satwa atau biota laut, yang menghubungkan antarkawasan konservasi. Koridor ekosistem tersebut mengakomodir gagasan konservasi keanekaragaman hayati yang lebih maju dalam istilah “kawasan pengungsian satwa” dan “kawasan koridor” untuk alur migrasi satwa atau biota laut, konektivitas antarkawasan yang berfungsi konservasi, dan memperluas cakupan wilayahnya ke kawasan budidaya. Arahan strategi pada koridor ekosistem di kedua Perpres tersebut adalah (a) Menetapkan koridor ekosistem pada KSA/KPA, (b) Mengendalikan pemanfaatan ruang kawasan budidaya pada koridor ekosistem, (c) Membatasi pengembangan kawasan permukiman, dan (d) Mengembangkan prasarana ramah lingkungan pada koridor ekosistem antarkawasan berfungsi konservasi. Secara umum, kawasan lindung tersebut dapat digolongkan menjadi dua tipe, yaitu: 1. Kawasan lindung yang memiliki kekuatan hukum, ditata batas sebagai dasar penerbitan perizinan dan ada organisasi yang mengoperasikannya, misalnya KSA/KPA;
27
28
BAB DUA
2. Kawasan lindung yang peruntukannya bersifat arahan, tidak memiliki organisasi pengelola, status kepemilikannya beragam (tanah negara, tanah ulayat, tanah milik). Merujuk pada peraturan perundang-undangan tersebut, maka struktur bentang alam ditata dalam distribusi peruntukan ruang yang berfungsi sebagai kawasan budidaya dan kawasan lindung. Kawasan-kawasan lindung sebagaimana diuraikan di dalam Tabel II-2. akan dibahas lebih lanjut dalam Bab berikutnya untuk diperhitungkan sebagai Kawasan Penting Bentang alam (KPL) dan prioritisasi Arahan Program Strategis dalam dokumen ini.
Tabel II-2. Kategori kawasan lindung berdasarkan regulasi tata ruang 1. Kawasan yang Memberikan Pelindungan Kawasan Bawahannya
2. Kawasan Perlindungan Setempat
΄ Hutan lindung ΄ Kawasan bergambut ΄ Kawasan resapan air
΄ Sempadan pantai ΄ Sempadan sungai ΄ Kawasan sekitar danau/ waduk ΄ Kawasan sekitar mata air
3. KSA, KPA dan Cagar Budaya
4. Kawasan Rawan Bencana Alam
΄ Kawasan Suaka Alam di darat, laut dan perairan lainnya ΄ Kawasan Pelestarian Alam di darat, laut, dan perairan lainnya ΄ Kawasan cagar budaya dan ilmu pengetahuan, kawasan pantai berhutan bakau
΄ Kawasan rawan letusan gunung berapi ΄ Kawasan rawan gempa bumi ΄ Kawasan rawan tanah longsor ΄ Kawasan rawan gelombang pasang ΄ Kawasan rawan banjir
5. Kawasan Lindung Geologi
6. Kawasan Lindung Lainnya
΄ Kawasan cagar alam geologi ΄ Kawasan rawan bencana geologi ΄ Kawasan yang memberikan perlindungan terhadap air tanah
΄ Taman buru, Ramsar, cagar biosfer ΄ Kawasan perlindungan plasma nutfah ΄ Kawasan pengungsian satwa ΄ Terumbu karang ΄ Kawasan koridor bagi jenis satwa atau biota laut yang dilindungi ΄ Koridor ekosistem
2.3.2 Regulasi dalam Pengelolaan Bentang Alam Walaupun tidak ada pengaturan khusus mengenai pengelolaan bentang alam, sejumlah regulasi sektoral tetap berlaku untuk mengatur kegiatan sektoral di dalam bentang alam. Secara kelembagaan terdapat potensi benturan kepentingan dan kewenangan akibat tumpang tindihnya regulasi antarsektor. Tidak jarang hal itu menjadi faktor yang mempengaruhi efektivitas dan efisiensi pengelolaan bentang alam. Selain itu terdapat hal-hal substansial yang belum diatur dengan baik sehingga menimbulkan multitafsir. Namun hal itu dapat diatasi jika para pihak yang berkepentingan di dalam bentang alam memiliki visi dan semangat yang sama untuk membangun kehidupan sosial, ekonomi, dan lingkungan yang lebih baik. Sesuai dengan prinsip keberlanjutan yang memadukan aspek sosial, ekonomi, dan lingkungan, maka kerangka hukum yang perlu mendapatkan perhatian dan menjadi panduan juga meliputi aspek-aspek tersebut di atas. Berdasarkan pengamatan terhadap kondisi bentang alam yang berkembang selama penyusunan dokumen ini, disampaikan diagram beberapa regulasi sektoral yang terkait dengan pengelolaan bentang alam. Berdasarkan gambar II-4., Hukum Lingkungan merupakan payung yang dapat digunakan pada tataran makro karena mencakup lintas sektoral. Semua sektor usaha yang berpotensi memberikan dampak terhadap lingkungan di dalam bentang alam harus melakukan kajian lingkungan (Amdal, RKL/UKL). Bahkan Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) menjadi salah satu instrumen pengembangan wilayah sebagai bagian integral penyusunan RTRW. Lebih jauh lagi, UU No.32 tahun 2009 juga menyebutkan pengelolaan dengan pendekatan ekoregion yang dapat dimaknai dalam suatu bentang alam yang terdiri dari beberapa jenis ekosistem. Ditinjau dari keterkaitan dengan sumberdayanya, maka terdapat beberapa regulasi yang terkait dengan biological resources dan nonbiological resrouces. Regulasi kelompok biological resources inilah yang menjadi tulang punggung pengaturan kawasan dan keanekaragaman hayati. Sedangkan regulasi non-biological resources mengatur tata ruang
RENCANA INDUK PENGEMBANGAN KONSERVASI BENTANG ALAM SKALA BESAR DI SUMATERA DAN KALIMANTAN
dan pemanfaatan di dalam suatu bentang alam yang juga akan mempengaruhi pengembangan dan pengelolaan bentang alam di tingkat tapak. Peraturan perundang-undangan yang bersifat umum dan mencakup lintas sektoral adalah regulasi di bidang korupsi, pencucian uang, dan pidana umum sebagaimana diatur di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana serta Kitab Undang-Undang Hukum Perdata terkait masalah keperdataan antara badan hukum dengan badan hukum lainnya termasuk individu. Seluruh tindak pidana yang terjadi di dalam bentang alam dapat menggunakan kaidah atau delik pidana umum, kecuali diatur khusus oleh regulasi sektoral. Korupsi dan pencucian uang tergolong tindak pidana khusus yang diatur secara khusus, namun dapat diterapkan di semua sektor termasuk kehutanan dan perkebunan. Pengelolaan bentang alam yang menjadi target dalam dokumen ini mengharuskan keterlibatan multipihak karena pengguna lahan/hutan yang ada di dalam bentang alam memiliki banyak kepentingan dan terkait dengan banyak sektor.
Para pihak tersebut ada yang berperan sebagai regulator (misalnya Dinas Kehutanan), operator (misalnya Kesatuan Pengelolaan Hutan), dan eksekutor (misalnya Unit Manajemen Hutan). Kepentingan-kepentingan antarregulator, antaroperator, dan antareksekutor tersebut ada yang sejalan, namun ada pula yang bertentangan. Untuk itu diperlukan upaya untuk mengharmonisasikan kebijakan antarsektor dan antarpihak. Tugas pokok, peran, dan fungsi serta tata hubungan kerja antarpihak tersebut memerlukan badan koordinasi yang disepakati bentuknya, atau diatur oleh regulator dari tingkat pusat atau pemerintah daerah yang membawahi suatu bentang alam. Sebagai contoh adalah Badan Pengelola atau Badan Koordinasi Cagar Biosfer, yang mengkoordinir, mengawasi, dan memantau pengembangan sosial, ekonomi, dan lingkungan di kawasan itu. Pada tingkat informal, dibentuk forum komunikasi seperti Forum Dangku. Badan atau forum ini sangat diperlukan untuk memadukan gerak dan langkah para pihak dalam pengembangan bentang alam sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku dan mengembangkan kebijakan lokal untuk memfasilitasi gagasan-gagasan yang spesifik pada suatu bentang alam.
Gambar II-4. Kerangka peraturan perundang-undangan dalam pengelolaan bentang alam
29
30
BAB DUA
2.4 TANTANGAN DAN PELUANG
Hal itu tidak terlepas dari adanya kecenderungan kebijakan penentuan kawasan konservasi di masa lalu.
Suatu hal yang lazim ketika memulai sebuah inisiatif di wilayah yang dipenuhi oleh banyak kepentingan, multisektor, dan multipihak akan menemui banyak hambatan dan tantangan. Namun tidak sedikit pula peluang yang harus diidentifikasi yang menjadi kepentingan dan agenda bersama. Isu-isu tersebut mencakup kebijakan dan regulasi di tingkat pusat dan daerah, bahkan di tingkat para pihak yang berkepentingan di dalam dan sekitar bentang alam. Berdasarkan hasil FGD dan wawancara dengan narasumber, didapatkanlah berbagai hambatan, tantangan dan peluang yang disampaikan di dalam Lampiran 2. Analisis lebih lanjut dilakukan dengan menggunakan SWOT dan MIRADI, yang hasilnya digunakan untuk mengembangkan strategi dan program aksi.
Pada kelompok Ekosistem Penting dan kelompok Penyangga, tampak bahwa keterwakilan ekoregion hutan dataran rendah, hutan rawa gambut, dan bakau lebih banyak berada di luar kawasan konservasi, termasuk di hutan produksi. Atas dasar itulah, Kemenhut & KKP (2013) merekomendasikan perlindungan ekosistem penting dan penyangga di Sumatera dan Kalimantan yang berstatus non-kawasan konservasi dengan berbagai cara dan pendekatan. Perlindungan itu dapat berupa penetapan kawasan konservasi baru, perluasan kawasan konservasi, atau melalui praktik terbaik pengelolaan hutan produksi, perkebunan, dan pertambangan. Salah satu upaya yang melibatkan multipihak adalah pengelolaan berbasis bentang alam yang memungkinkan interaksi terkontrol antara pengusahaan sumberdaya, kelestarian ekosistem, dan kesejahteraan masyarakat.
2.4.1 Keterwakilan Ekosistem Penting di Kawasan Konservasi Indonesia sudah memiliki 523 kawasan konservasi seluas 27.362.050 hektar (Ditjen PHKA, 2014), namun keterwakilan ekoregion dan Ekosistem Penting14 di kawasan hutan konservasi15 masih rendah persentasenya, kecuali ekosistem hutan hujan pegunungan (Kemenhut & KKP, 2013; lihat Tabel II-3). Masih banyak ekosistem penting berada di luar kawasan sehingga sekitar 80% satwa liar yang terancam punah masih ditemukan berada di luar kawasan konservasi.
Sepuluh bentang alam yang menjadi fokus di dalam Rencana Induk ini sesuai dengan Prioritas dan Arahan Pengelolaan Ekosistem Penting/ Penyangga Sumatera dan Kalimantan. Provinsi Riau, Jambi, dan Sumatera Selatan teridentifikasi sebagai provinsi kunci untuk penyelamatan hutan rawa gambut yang tergolong ekosistem penting. Pengelolaan di sepuluh bentang alam
Tabel II-3. Persentase kelompok ekosistem di dalam dan luar kawasan konservasi Hutan rawa air
Hutan hujan
Hutan hujan
Hutan rawa
Hutan
Hutan
tawar
tropis dataran
pegunungan
gambut
pinus
kerangas
Ekosistem Su Penting-KK
Bakau
rendah Ka
Su
Ka
Su
Ka
Su
Ka
Su
Ka
Su
Ka
2,71
7,49
6,37
2,15
29,89
26,91
6,13
5,34
6,54
9,34
34,30
8,80
Penting-non KK
8,53
41,16
19,15
39,98
33,87
55,05
23,15
43,78
13,81
48,35
42,57
31,05
Penyangga-KK
0,58
3,45
0,49
0,28
1,33
0,43
0,77
4,00
1,21
3,93
0,43
0,73
36,74
29,19
19,45
23,33
20,95
17,21
47,46
21,12
52,78
16,13
17,78
27,48
0,10
0,00
0,29
0,03
0,40
0,00
0,15
0,00
0,05
0,92
0,00
0,00
51,34
18,70
54,26
34,22
13,55
0,40
22,33
25,76
25,61
21,33
4,94
31,94
Penyangga-Non KK Terganggu-KK Terganggu-Non KK
Catatan: KK = Kawasan Konservasi; Su: Sumatera; Ka: Kalimantan. Sumber: Kemenhut & KKP, 2013.
14 Ekosistem penting diartikan sebagai kawasan yang mendukung kelangsungan hidup keanekaragaman htaryati dalam jangka panjang, berupa habitat-habitat utama (prime hectare bitat) dan ekosistem, termasuk ekosistem esensial seperti gambut, savanna, dan rawa. Ekosistem penyangga merupakan ekosistem penghubung/ koridor antarekosistem penting/kawasan konservasi. 15 Kawasan konservasi merujuk kepada UU No.5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, terdiri dari KSA, KPA, dan Taman Buru. Sedangkan Kawasan Konservasi Perairan diatur oleh UU No.31/2004, UU No.45/2009 (Perikanan) dan UU No.27/2007 (Pengelolaan Pesisir dan Pulau-pulau Kecil).
RENCANA INDUK PENGEMBANGAN KONSERVASI BENTANG ALAM SKALA BESAR DI SUMATERA DAN KALIMANTAN
yang dilakukan bersama-sama para pihak merupakan kontribusi nyata untuk membantu Pemerintah Indonesia menekan laju deforestasi dan degradasi hutan.
2.4.2 RKTN 2011-2030 dan Target Kementerian LHK Pemerintah Indonesia memiliki cukup banyak dokumen perencanaan yang terkait dengan bidang kehutanan dan konservasi, salah satunya adalah Rencana Kehutanan Tingkat Nasional (RKTN) 2011-2030. Dokumen perencanaan ini memberikan arahan makro pemanfaatan dan penggunaan ruang serta potensi kawasan hutan untuk pembangunan kehutanan dan pembangunan di luar kehutanan yang menggunakan kawasan hutan dalam skala nasional. Basis ekonomi pembangunan kehutanan berkelanjutan bertujuan menciptakan pertumbuhan dan pemerataan dalam pemanfaatan kawasan hutan. Basis sosial bertujuan meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pemanfaatan kawasan hutan, sedangkan Basis ekologi bertujuan meningkatkan produktifitas kawasan konservasi dan keanekaragaman hayati di kawasan hutan. Sejumlah target-target yang dicanangkan di dalam rencana jangka panjang sebelumnya dapat diubah sesuai dengan perkembangan kebijakan pemerintah baru. Presiden Jokowi dengan program Nawacita-nya, telah diterjemahkan ke dalam kebijakan kehutanan untuk lima tahun ke depan16 dalam bentuk Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019. Beberapa target yang terkait dengan pengembangan konservasi bentang alam di Sumatera dan Kalimantan, antara lain: ΄ Menanggulangi penebangan liar, kebakaran hutan dan lahan, perdagangan tumbuhan dan satwa liar, perambahan hutan, dan penambangan liar; ΄ Meningkatkan populasi 25 spesies terancam punah dan mengelola kawasan konservasi. ΄ Pemulihan 15 DAS, 15 danau, revitalisasi sungai, pemulihan 5.5 juta hektar lahan kritis; ΄ Mentargetkan 12,7 juta hektar hutan dikelola oleh masyarakat melalui mekanisme HKm, HD, HTR, dan Hutan Adat;
΄ Meningkatkan kualitas tata kelola hutan produksi melalui pembentukan 347 unit KPH untuk memantapkan kawasan hutan, efisiensi, dan efektivitas pengelolaan dan mendekatkan pelayanan di tingkat tapak. Strukutur organisasi yang baru di Kementerian LHK telah memberikan ruang dialog dan mitra kerja yang lebih banyak. Sedikitnya terdapat enam Direktorat Jenderal (Ditjen) yang terkait dengan pengembangan konservasi bentang alam, yaitu Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem (KSDAE) terkait upaya proteksi spesies dan restorasi, Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan (PSKL) terkait penanganan konflik-konflik sosial, Pengelolaan Hutan Produksi Lestari (PHPL) terkait pengelolaan hutan produksi, Pengendalian DAS dan Hutan Lindung (PDASHL) terkait rehabilitasi lahan kritis, Penegakan Hukum terkait illegal logging dan perambahan, dan Pengendalian Perubahan Iklim terkait kebakaran hutan dan lahan. Kebijakan-kebijakan umum tersebut merupakan peluang-peluang yang berpotensi mendukung pelaksanaan konservasi bentang alam di Sumatera dan Kalimantan. Persoalan-persoalan mendasar dan akut di dalam dan sekitar kawasan hutan diharapkan dapat terselesaikan dengan lebih terstruktur dan sistematis. Tantangan terbesarnya adalah bagaimana komando kebijakan tersebut dapat dipahami dan dilaksanakan di tingkat tapak oleh unit-unit pelaksana teknis Kementerian LHK, pemerintah daerah, LSM, dan masyarakat.
2.4.3 Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) Untuk mewujudkan pengelolaan hutan yang lestari, UU No.41/1999 yang dijabarkan lebih lanjut oleh Peraturan Pemerintah No.6 tahun 2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan, serta Pemanfaatan Hutan, mengamanatkan pembentukan wilayah pengelolaan hutan dan unit pengelolaan yang dinamakan Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH). Seluruh kawasan hutan terbagi ke dalam unit-unit KPH sesuai fungsi pokok hutan agar kawasan hutan dikelola secara efisien dan lestari (sustainable forest management), yang mencakup KPH Produksi (KPHP), KPH Lindung (KPHL), dan KPH Konservasi (KPHK).
16 Disampaikan oleh Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan saat Pertemuan Konsultasi dan Koordinasi Nasional di Jakarta pada tanggal 17 Desember 2014.
31
32
BAB DUA
Untuk mendukung upaya tersebut, Direktorat Kehutanan dan Konservasi Sumber Daya Air bersama BAPPENAS telah mengkaji peran sektor kehutanan terhadap pembangunan nasional. Organisasi KPH teridentifikasi sebagai solusi dan strategi pembangunan kehutanan yang secara bertahap dikembangkan menuju situasi dan kondisi aktual di tingkat tapak, yang mampu menyerap tenaga kerja, investasi, memproduksi barang dan jasa kehutanan dalam sistem pengelolaan hutan berkelanjutan dan mengurangi praktik monopoli dan oligopoli. Atas dasar itu, BAPPENAS mendorong pengembangan forest-based cluster business sebagai satu kesatuan dalam pengembangan KPH. Hal ini menjadi tantangan bagi para pelaku di sektor kehutanan dalam kapasitas sebagai regulator, operator, dan eksekutor. Pembangunan KPH merupakan prioritas dan target dari rencana strategis pembangunan kehutanan yang harus dicapai. Pada periode 2009–2014 telah ditetapkan target beroperasinya KPH di 15 provinsi. Penyelenggaraan pengelolaan hutan oleh KPH mencakup tata hutan dan penyusunan rencana pengelolaan hutan, pemanfaatan dan penggunaan kawasan hutan, rehabilitasi hutan, perlindungan hutan dan konservasi alam. Unit KPH juga bertugas melaksanakan pengawasan dan pengendalian pemanfaatan hutan di wilayahnya serta membuka peluang investasi guna mendukung tercapainya tujuan pengelolaan hutan. Hingga tahun 2014, Menteri Kehutanan telah menetapkan luas wilayah KPH di setiap provinsi dengan total 120 KPH mencakup area seluas 16.439.718 hektar. Dengan demikian baru sekitar 21% kawasan hutan lindung dan produksi yang telah termasuk dalam KPH (Royana, 2014). Di Sumatera Selatan terdapat 10 KPHL dan 14 KPHP dengan total luas 2.558.407 hektar, Jambi 1 KPHL dan 16 KPHP seluas 1.458.934 hektar, Kalimantan Barat memiliki 5 KPHL dan 29 KPHP seluas 6.973.613 hektar, dan Kalimantan Timur terdapat 4 KPHL dan 30 KPHP dengan total luas 12.567.139 hektar. Adanya unit-unit KPHP/KPHL/KPHK di dalam bentang alam merupakan peluang untuk mewujudkan program proteksi dan restorasi di tingkat bentang alam. Beberapa unit KPHP model telah beroperasi, seperti KPHP Tasik Besar Serkap di Bentang Alam Semenanjung Kampar, Provinsi Riau; KPHP Unit III Lalan Mangsang Mendis (LMM)
di Bentang Alam Berbak-Sembilang, dan KPHP Lakitan di Bentang Alam Dangku-Meranti, Provinsi Sumatera Selatan; serta KPHP Unit VII Limau di Bentang Alam Dangku-Meranti, Provinsi Jambi. Unit-unit KPHP tersebut telah memiliki RPHJP (Rencana Pengelolaan Hutan Jangka Panjang), sehingga perlu didorong implementasi programprogramnya di dalam bentang alam. Dari berbagai diskusi dan publikasi mengenai KPH dapat disimpulkan bahwa titik awal munculnya dorongan untuk membangun KPH adalah respon terhadap kondisi open access yang terjadi pada sebagian besar kawasan hutan. Hal itu terjadi akibat adanya kawasan hutan yang belum dibebani izin pengusahaan/pemanfaatan atau pengelolanya tidak dapat mengontrol kawasan sepenuhnya, atau ditelantarkan pengelolanya. Unit KPH diharapkan mampu meningkatkan nilai tambah pengelolaan atau pemanfaatan hutan di hulu agar sektor kehutanan bisa berkontribusi lebih tinggi terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat, pendapatan asli daerah dan pusat. Harapan ini hanya bisa diwujudkan jika terdapat hubungan-hubungan yang jelas antara pengelolaan hutan di hulu dengan industri di hilir dan pasar. Untuk itu dikembangkan skema forest based cluster industry yang melibatkan beberapa KPH yang secara geografis berdekatan atau unit-unit manajemen pemanfaatan hutan di dalam suatu KPH. Untuk itu, KPH juga harus memiliki rencana pengelolaan dan rencana bisnis yang layak secara ekonomi dan finansial (Royana, 2014). Di dalam bentang alam target terdapat unitunit KPH yang telah mulai beroperasi, misalnya KPH Tasik Besar Serkap (TBS) di Riau. Unit KPH TBS telah memiliki rencana pengelolaan untuk pengembangan budidaya karet, arwana, dan hasil hutan bukan kayu lainnya.
2.4.4 Perhutanan Sosial sebagai Peluang Penyelesaian Konflik Tenurial Suharjito (2014) menegaskan bahwa perspektif sosial ekologi memandang persoalan kerusakan hutan sebagai akibat dari dominasi manusia atas alam, tetapi akarnya terletak pada dominasi manusia atas manusia. Perspektif itu menawarkan strategic priority thesis, yakni mendahulukan pembebasan manusia dari penindasan oleh manusia lain. Konsep
RENCANA INDUK PENGEMBANGAN KONSERVASI BENTANG ALAM SKALA BESAR DI SUMATERA DAN KALIMANTAN
Gambar II-5. Alur permasalahan penyebab kerusakan hutan dan fenomena open access
pembangunan partisipatif menawarkan upaya pengakuan dan penghormatan atas kesetaraan dan keadilan sosial, pengetahuan dan hak-hak masyarakat lokal. Problem krisis lingkungan hidup dan kemiskinan dapat dipecahkan melalui perwujudan status dan peran masyarakat lokal dalam pembangunan, termasuk pembangunan kehutanan. Gambar II-5. menunjukkan rumitnya persoalan yang kait-mengait dan berimbas pada meningkatnya kerusakan hutan dan fenomena open access. Menurut Prof. Didik Suharjito (2014), penduduk miskin yang tinggal di desa-desa hutan berjumlah sekitar 12 juta jiwa atau 32,4% dari penduduk pedesaan sekitar hutan, atau 66,3% dari seluruh penduduk yang tergolong miskin. Tidak kurang dari 25.000 desa berada di pinggir kawasan hutan negara, dimana kegiatan ekonominya sangat tergantung pada kelestarian sumberdaya hutan tersebut. Penduduk miskin yang tinggal di dalam dan sekitar kawasan hutan itulah yang menjadi target dari program Perhutanan Sosial dalam skema Hutan Kemasyarakatan (HKm), Hutan Desa (HD), Hutan Tanaman Rakyat (HTR), Kemitraan perusahaan dengan masyarakat
sekitarnya, dan pengembangan Hutan Adat (HA). Ruang lingkup perhutanan sosial adalah pemberian akses mengelola kawasan hutan negara kepada masyarakat yang hidupnya sangat bergantung pada sumberdaya hutan. Akses pengelolaan jangka panjang akan memberikan kepastian dan perlindungan hak kelola, kepastian usaha, dan meningkatkan meningkatkan produktivitas, ragam komoditas, pengolahan pasca panen, penerapan teknologi tepat guna, dan pengembangan jaringan pemasarannya. Berdasarkan kriteria dan analisis spasial yang dilakukan pada pertengahan tahun 2015, Direktorat Perhutanan Sosial mencadangkan kawasan hutan produksi dan hutan lindung seluas 12,7 hektar untuk arahan kelola perhutanan sosial mengalokasikan kawasan hutan seluas dengan skema HKm, HD, dan HTR dialokasikan seluas 12,7 juta hektar, dengan kriteria:
33
34
BAB DUA
1. Hutan lindung untuk perhutanan sosial (626.577,86 hektar)
Untuk itu masih diperlukan regulasi yang menjadi dasar hukum dalam penerapannya.
2. Hutan produksi yang dicadangkan untuk perhutanan sosial oleh Ditjen PHPL (4.718.612,69 hektar);
Pemberdayaan masyarakat yang tinggal di pinggir hutan bukan terbatas pada pemberian izin kelola, tetapi juga memerlukan pendampingan untuk kemandirian masyarakat dalam kewirausahaan. Pengelolaan Koperasi HKm/HD menjadi tantangan untuk menjawab berbagai persoalan anggota HKm/HD yang terjebak dalam sistem ijon, lemahnya permodalan usaha, dan harga komoditas yang dikendalikan tengkulak.
3. Hasil pemetaan partisipatif-JKPP, BRWA, AMAN, dan KpSHK17 (6.266.740,35 hektar); 4. Provinsi Lampung, Kalimantan Selatan, dan Nusatenggara Barat, yang kawasan hutannya kurang dari 30% sehingga bukan bagian dari Tanah Objek Reforma Agraria (309.285,61 hektar); 5. Hutan Produksi/Hutan lindung sedang dalam proses perizinan perhutanan sosial (800.000 hektar).
Teknologi tepat guna diperlukan untuk pemrosesan pasca panen dari berbagai komoditas untuk meningkatkan keuntungan dan nilai tambah. Berbagai persoalan hama, penyakit, dan rendahnya produktivitas beberapa komoditas yang dikelola juga harus bisa dijawab oleh pendamping, penyuluh, peneliti, pemerintah daerah, termasuk pelaku usaha yang peduli kepada kelompok ini. Tantangan lainnya adalah transisi peran pegawai pemerintah untuk lebih melayani dan memfasilitasi masyarakat desa, serta tetap menjaga fungsi ekologi dalam proses perubahan penggunaan lahan di HD/HKm/HTR.
Sesuai dengan peraturan menteri kehutanan mengenai HKm, HD, dan HTR, maka programprogram perhutanan sosial saat ini difokuskan di kawasan hutan produksi dan hutan lindung. Di masa mendatang, program perhutanan sosial juga dapat dikembangkan sebagai salah satu solusi untuk mengatasi perambahan yang berlarut-larut di dalam kawasan hutan konservasi.
Tabel II-4. Perbandingan skema Hutan Kemasyarakatan, Hutan Desa, dan Hutan Tanaman Rakyat. Uraian
Hutan Kemasyarakatan
HTR ΄
Pemanfaatan hasil hutan kayu hasil tanaman
Peningkatan kesejahteraan desa melalui lembaga desa
΄
Pemenuhan bahan baku kayu industri
΄ ΄ ΄ ΄
Menteri LHK: PAK HD Gubernur: HP HD Menteri LHK: IUPHHK HD Jangka waktu: 35 tahun
΄ ΄ ΄
Menteri LHK: Pencadangan HTR Bupati/KPH: IUPHHK HTR Jangka waktu: 60 tahun
΄
Hutan lindung dan hutan produksi
΄
Hutan produksi
΄ ΄
Lembaga desa, Badan Usaha Milik Desa Koperasi
΄ ΄
Individu Koperasi
Swadaya Bantuan pemerintah Bantuan LSM
΄ ΄ ΄
Swadaya Bantuan pemerintah Bantuan LSM
΄ ΄
Kredit (BLU Kehutanan) Kerjasama Kemitraan dengan swasta
΄ ΄
Jasa Lingkungan (Jasling) Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK)
΄ ΄
Jasa Lingkungan (Jasling) Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK)
΄ ΄ ΄ ΄
Jasa Lingkungan (Jasling) Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) Hasil Hutan Kayu (HHK) Tanaman bawah tegakan
΄ ΄ ΄ ΄
Jasa Lingkungan (Jasling) Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) Hasil Hutan Kayu (HHK) Tanaman bawah tegakan
Filosofi
΄
Pemberdayaan masyarakat
Tujuan Utama
΄
Peningkatan kesejahteraan warga
Status legalitas dan Perizinan
΄ ΄ ΄ ΄
Menteri LHK: PAK HKm Bupati: IUPHKm Menteri LHK: IUPHHK HKm Jangka waktu: 35 tahun
Fungsi Hutan
΄
Hutan lindung dan hutan produksi
Kelembagaan
΄ ΄
Kelompok masyarakat Koperasi
΄ ΄ ΄
Pendanaan
Hutan Desa ΄
Pemberdayaan masyarakat
΄
Hutan Lindung
Pemanfaatan/ Komoditas
--
Hutan Produksi
΄
Hasil Hutan Kayu (HHK)
Sumber: Wiratno, 2015, In.prep 17 JKPP: Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif; BRWA: Badan Registrasi Wiayah Adat yang dibentuk oleh AMAN (Aliansi Masyarakat Adat Nusantara); KpSHK: Konsorsium Pendukung Sistem Hutan Kerakyatan.
RENCANA INDUK PENGEMBANGAN KONSERVASI BENTANG ALAM SKALA BESAR DI SUMATERA DAN KALIMANTAN
Gambar II-6. Tipologi kelompok masyarakat untuk pengembangan perhutanan sosial Sumber: Wiratno, 2015, in.prep
Tabel II-5. Analisis SWOT terhadap tipologi kelompok masyarakat perhutanan sosial
Kuadran Kuadran
1
Kekuatan Potensi Jasling/ HHBK &
Kapasitas Kelembagaan,
Wisata >>
kelompok, kelola teknis dan
Kondisi hutan ++ Modal sosial ++
2
3
keuangan << Infrastruktur <
Peluang
Ancaman
Kemitraan Jasling
Wisata massal >>
Wisata alam, HHBK, pe-
Eksploitasi berlebihan HHBK
nguatan kelembagaan
Dominasi Pemodal Pengijon
Pendampingan >>
>>
Dekat pasar, Akses mudah,
Modal <<, kelembagaan
Pengembangan cash crop,
Tergantung pada pemodal,
biaya transport rendah,
lemah, kemampuan teknis
standarisasi produk, orientasi
keuntungan ditentukan
potensi profit margin >> di
rendah, pembiayaan mikro
ekspor, pendampingan >>
pemodal, penjualan lahan
kelompok
lemah
koperasi
Potensial pengembangan
Ragam komoditas ditentukan
Pengembangan usaha jasa
Kebutuhan uang tunai >>,
cash crops, agroforestri,
pasar, produktivitas rendah
berbasis hutan, HHBK, wisata
perubahan gaya hidup,
jasling, wisata alam
dan beragam, standarisasi
alam, dukungan program
perubahan pola penggunaan
produk <<
SKPD & LSM >>
lahan, spekulan lahan >>
Kelembagaan <<, modal
Pemupukan modal-koperasi,
Inkonsistensi pendampingan
minim, pasar terbatas, terjebak
pendampingan kelembagaan,
pusat, UPT, LSM, SKPD, dan
sistem ijon, keuntungan >> di
produktivitas & pasar
parsial
Kondisi hutan >> 4
Kelemahan
Pemenuhan kebutuhan sendiri, modal sosial >>, kemandirian tinggi
pengumpul
Umumnya tidak menjadi target pendampingan
Sumber: Wiratno, 2015, in.prep
35
36 Pengembangan perhutanan sosial dalam bentuk HD/HKm/HTR tetap diiringi dengan tanggung jawab melakukan perlindungan, rehabilitasi, restorasi, pengeloaan habitat, dan satwa liar (Wiratno, 2014).
2.4.5 Tantangan sosial di dalam Bentang alam Tantangan sosial adalah kondisi atau persoalanpersoalan yang terkait ddengan kehidupan penduduk di dalam KPL yang berpengaruh terhadap pengelolaan KPL. Beberapa permasalahan dalam pemanfaatan sumberdaya alam terdapat di seluruh bentang alam target. Kasus-kasus konversi hutan untuk permukiman dan pertanian, penebangan ilegal, kebakaran lahan dan hutan (rawa gambut), konflik manusiasatwa, serta perburuan satwa yang dilindungi merupakan hambatan utama dalam mencapai tujuan pengelolaan bentang alam. Permasalahan tersebut merupakan aktivitas yang dipicu oleh berbagai faktor pendorong (driven factors) dan pemungkin (enabling factors) sebagaimana ilustrasi Gambar II-7.
A. Faktor pendorong (driven factors) Faktor pendorong adalah segala kebutuhan atau kondisi yang dialami masyarakat dalam kehidupan sosial ekonomi dan kulturalnya yang dapat atau berpotensi mendorong pemanfaatan sumberdaya alam yang memicu permasalahan sosial dan ekologis. Dalam kajian ini, analisis terhadap data-data sekunder, hasil wawancara mendalam, dan FGD mengidentifikasi sedikitnya 4 faktor pendorong yang berpengaruh terhadap kondisi sumberdaya alam di dalam KPL, yaitu: ΄ Perluasan area permukiman. Bertambahnya jumlah penduduk telah meningkatkan kebutuhan lahan untuk permukiman, dan di wilayah yang aktivitas ekonominya makin berkembang juga perlu area permukiman untuk penduduk pendatang. ΄ Kebutuhan lahan produktif. Di lokasi-lokasi yang masyarakatnya hidup dari aktivitas pertanian, pertambahan penduduk dapat mendorong terjadinya perambahan hutan untuk perluasan kebun/pertanian. Misalnya di zona rehabilitasi TN Sembilang, penduduk ex-transmigran di sekitar kawasan telah mencetak sawah baru karena tak ada lagi lahan cadangan untuk kegiatan produktif, dan ketidaktahuan batas hutan.
΄ Kebutuhan uang secara cepat. Dorongan untuk mendapatkan penghasilan dengan cepat (immediate cash) dan dalam jumlah banyak karena kemendesakan kebutuhan atau pertimbangan praktis dan mudah, meski dengan risiko hukum, sering menjadi alasan para pelaku penebangan liar atau perburuan satwa dilindungi untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka. Dalam FGD di Palembang, perwakilan masyarakat desa menjelaskan bahwa para pelaku umumnya telah memiliki lahan, sehingga perambahan dan penebangan liar terjadi bukan karena kebutuhan lahan. ΄ Ekspresi kultural. Faktor ini terkait dengan nilai budaya (cultural values) yang pada suatu lokasi atau sumberdaya. Nilai budaya sebuah sumberdaya alam bersifat intangible, komunal, dan meliputi fungsifungsi subsisten atau kebutuhan dasar sehari-hari seperti air bersih, pendidikan, seremonial, artistik dan rekreasi (Chan et al., 2012). Pada konteks ini, ekspresi kultural sebagai faktor pendorong terkait praktik pemanfaatan sumberdaya alam karena alasan menjalankan tradisi atau adat istiadat, seperti ritual tertentu yang menggunakan spesies flora dan fauna atau lokasi tertentu yang dalam perspektif konservasi dianggap sebagai persoalan. Misalnya, tradisi berpindah ketika terjadi peristiwa kematian pada kerabat (melangun) pada komunitas adat Suku Anak Dalam di Jambi yang berpengaruh pada pola pemanfaatan ruang (hutan).
B. Faktor pemungkin (enabling factors) Faktor pemungkin adalah kondisi atau situasi tertentu yang memberi peluang atau mendukung terjadinya praktik pemanfaatan sumberdaya alam untuk memenuhi satu atau beberapa faktor pendorong. Pengumpulan data sekunder dan hasil FGD berhasil mengidentifikasi beberapa faktor pemungkin, yaitu: ΄ Penegakan hukum tidak efektif. Beberapa kasus penebangan liar, perdagangan satwa atau perusakan hutan berhasil ditangani oleh aparat penegak hukum. Akan tetapi, proses hukum seringkali tidak menimbulkan efek jera sehingga terjadi pengulangan, misalnya: proses hukum terhenti karena berbagai hal atau hukuman yang sangat ringan.
RENCANA INDUK PENGEMBANGAN KONSERVASI BENTANG ALAM SKALA BESAR DI SUMATERA DAN KALIMANTAN
Gambar II-7. Skema relasi aspek sosial ekonomi masyarakat dan problem SDA di dalam bentang alam Sumber: Hasil analisis dari berbagai informasi data sekunder, wawancara mendalam, dan peserta FGD sepanjang pengumpulan data lapangan 2015
΄ Kontrol sosial yang lemah. Kontrol sosial adalah mekanisme di mana masyarakat melakukan penegakan norma atau aturan dalam kelompok mereka, termasuk dalam pemanfaatan sumberdaya alam. Kontrol sosial yang lemah terjadi karena sikap permisif masyarakat, perubahan orientasi nilai tentang perilaku tertentu, serta ketidakmampuan kelompok masyarakat dalam menghadapi kekuasaan yang lebih kuat. Kontrol sosial sejatinya memang membutuhkan kekuasaan (power) untuk menjamin norma atau aturan dijalankan (Orford, 1992). Di beberapa lokasi, aturan dan norma adat masyarakat setempat masih dapat ditegakkan terhadap sesama mereka tetapi sulit dilakukan kepada pelaku penebangan liar atau perambahan
secara masif oleh orang luar atau mereka yang memiliki kekuatan hukum dan politik yang lebih kuat. ΄ Praktik dan pengetahuan lokal mendukung kerusakan lingkungan. Faktor ini juga memungkinkan terjadinya aktivitasaktivitas pemanfaatan sumberdaya alam yang merusak ekosistem, misalnya pembakaran lahan untuk perladangan/ perkebunan. Apa yang dianggap sebagai kebiasaan oleh petani, misalnya di bentang alam Kubu atau Padang Sugihan, dalam praktik pembukaan lahan tentu telah menjadi sistem pengetahuan lokal dan pola praktik yang secara konsisten diterapkan.
37
38
BAB DUA
Tabel II-6. Perspektif sosial ekonomi terhadap tantangan dan peluang konservasi bentang alam
NO
HAMBATAN
TANTANGAN
PELUANG
1.
Perburuan dan perdagangan satwa liar yang dilindungi
΄ Ada jaringan pasar dalam perdagangan satwa ΄ Pengetahuan penduduk tentang satwa dan teknik penangkapan ΄ Kurangnya pemahaman masyarakat tentang nilai penting satwa bagi ekosistem ΄ Keterlibatan oknum penegak hukum dalam perdagangan satwa ΄ Kurangnya kontrol sosial pada masyarakat terhadap pelaku yang terlibat dalam perburuan dan perdagangan satwa dilindungi
΄ Pemantauan proses penegakan hukum yang semakin terbuka ΄ Mengoptimalkan peran komunitas/ Organisasi konservasi dalam penegakan hukum dan kebijakan ΄ Kampanye dan pendidikan konservasi dengan fokus tentang nilai penting satwa dilindungi dan peraturan terkait ΄ Membangun mekanisme pelaporan dengan melibatkan masyarakat lokal dengan memanfaatkan teknologi komunikasi dan media sosial ΄ Mengintegrasikan aspek pelestarian satwa dilindungi dalam peraturan desa/ desa adat
2.
Pembakaran lahan untuk aktivitas pertanian/ perkebunan
΄ Pertimbangan praktis dalam pengolahan lahan ΄ Tidak ada teknologi/ teknik pembukaan lahan alternatif yang dianggap praktis dan efisien namun tidak berisiko terhadap kebakaran lahan dan hutan
΄ Membangun sistem pemantauan kebakaran lahan melalui kelompok masyarakat, terutama saat musim tanam ΄ Pengembangan riset teknolgi pertanian untuk mengurangi kebakaran lahan akibat aktivitas pertanian
3.
Perambahan dan konversi kawasan hutan
΄ Kebutuhan lahan untuk pemukiman, pertanian, perkebunan ΄ Tradisi berpindah sekelompok masyarakat untuk berladang/ bermukim ΄ Klaim masyarakat terhadap lahan/ kawasan hutan ΄ Tata batas wilayah tidak jelas
΄ Pengembangan teknologi pertanian dan perkebunan secara intensif ΄ Penataan batas dan sosialisasi tata batas dengan melibatkan pihak pemerintah dan masyarakat ΄ Melakukan komunikasi melalui berbagai media kepada masyarakat di dalam dan sekitar kawasan hutan
4.
Penebangan liar
΄ Kebutuhan uang tunai secara cepat ΄ Kurangnya kontrol sosial pada masyarakat terhadap pelaku penebangan liar ΄ Keterlibatan oknum penegak hukum ΄ Sanksi hukum tidak membuat efek jera pelaku ΄ Akses terhadap lokasi penebangan dan pemasaran hasil penebangan liar ΄ Tidak ada sumber ekonomi alternatif yang mampu menopang kebutuhan dasar masyarakat ΄ Permintaan kayu meningkat dan perdagangan kayu ilegal yang sistematis
΄ Pengembangan ekonomi alternatif, terutama di desa yang penduduknya terlibat penebangan ilegal ΄ Mengembangkan peraturan desa/ aturan adat yang mengontrol aktivitas penebangan ilegal ΄ Mendorong pembentukan HD, HKm atau HTR ΄ Membangun mekanisme deteksi dini dan pelaporan yang melibatkan masyarakat ΄ Membangun kolaborasi antarpihak yang memantau aktivitas penebangan ilegal dan proses hukumnya ΄ Mendorong sistem sertifikasi kayu untuk menekan peredaran kayu ilegal
RENCANA INDUK PENGEMBANGAN KONSERVASI BENTANG ALAM SKALA BESAR DI SUMATERA DAN KALIMANTAN
΄ Minim/tidak ada teknologi alternatif. Faktor ini memungkinkan terjadinya pembakaran lahan karena tidak adanya teknologi penyiapan lahan pertanian/ perladangan yang dianggap efektif dan efisien oleh masyarakat. Ketiadaan itu dianggap masyarakat sebagai kondisi ‘tanpa pilihan’ sehingga mereka tetap menerapkan kebiasaan teknik tebas bakar, misalnya praktik sonor oleh para petani di bentang alam Padang Sugihan dan petani di bentang alam Kubu terhadap lahan rawa gambut. ΄ Jaringan dan sistem pasar mendukung. Faktor ini meliputi hukum permintaan dan persediaan dalam ekonomi. Misalnya, praktik penebangan liar dan perdagangan satwa dapat terus berlangsung karena adanya permintaan akan komoditas yang dihasilkan, seperti sawit/kopi. Tak hanya itu, nilai tukar yang ditawarkan pasar terhadap komoditas tersebut juga dianggap tinggi atau cukup untuk memenuhi kebutuhan pelaku. Rantai perdagangan kayu ilegal atau satwa liar merupakan jaringan yang juga dipertahankan sebagai sebuah sistem pasar di tingkat lokal, nasional, dan internasional. ΄ Tata batas dianggap tak jelas. Kebanyakan kasus konflik tenurial dipicu oleh tumpang tindih klaim oleh dua atau lebih pihak terhadap teritori yang sama. Hal ini tak hanya terjadi antarkelompok dalam masyarakat atau masyarakat dengan perusahaan, tapi termasuk antarperusahaan pemegang konsesi. Pada konteks kerusakan ekosistem hutan atau sumberdaya alam akibat perambahan atau perluasan lahan pertanian dan permukiman, persoalan tata batas yang tak jelas juga menjadi faktor pemungkin. Kebutuhan lahan yang terus meningkat bisa mendorong terjadinya perambahan manakala penegakan hukum serta tata batas tidak jelas di mata masyarakat atau pelaku. ΄ Alokasi ruang dan akses SDA tidak memadai. Pada beberapa kabupaten, dengan laju pertumbuhan penduduk tinggi, menghadapi kekurangan lahan untuk pengembangan aktivitas penduduk dan pembangunan daerah. Kondisi ini mungkin tidak merata muncul manakala wilayah hutan atau sumberdaya alam potensial telah dialokasikan sebagai kawasan perlindungan atau untuk konsesi
bagi perusahaan perkebunan, kehutanan atau pertambangan. Saat tata ruang daerah tidak mampu menyerap kebutuhan lahan penduduk, pada akhirnya kondisi tersebut memungkinkan perambahan dan konversi hutan terjadi. Di tingkat kebijakan, kebutuhan pemerintah daerah untuk memperluas area bagi pembangunan berujung pada pelepasan kawasan hutan menjadi Area Penggunaan Lain (APL). Kasus seperti ini telah terjadi pada bentang alam Kutai di mana Menteri Kehutanan akhirnya menyetujui pelepasan kawasan hutan TN Kutai seluas kurang lebih 7.000 hektar untuk dimasukkan dalam tata ruang kabupaten sebagai APL. Faktor-faktor pendorong dan pemungkin dapat terjadi di semua KPL, namun dengan intensitas dan kompleksitas yang beragam tergantung kondisi spesifik di tiap lokasi, misalnya: respon pemerintah daerah dalam menghadapi masalah tersebut, peran dan partisipasi stakeholder, karakteristik sosial ekonomi penduduk, serta tipe ekosistem di satu lokasi. Secara umum, faktor-faktor tersebut merupakan bentukbentuk tantangan sosial ekonomi terkait dengan masyarakat yang perlu ditangani dalam mengelola bentang alam di masa mendatang, sebagaimana Tabel II-6.
2.4.6 Konflik Manusia-Satwa Liar Konflik antara manusia dan satwa liar (KMS) merupakan hubungan negatif yang bersifat timbal balik. Penyebab utamanya adalah adanya kompetisi antara satwa dan manusia terhadap penggunaan sumberdaya. Berkurang atau hilangnya habitat satwa akibat perubahan penggunaan lahan oleh manusia mengakibatkan perubahan perilaku dan jelajah satwa liar untuk mencari sumber pakan. Sedangkan dari sudut pandang antropogenik, satwa liar merupakan hama yang merusak tanaman, memakan ternak dan kadang korban jiwa manusia. Ketika satwa harus keluar dari habitatnya untuk mencari sumber pakan, dan manusia meningkatkan aktivitasnya di dalam hutan serta melakukan aktivitas perburuan, pembalakan, dan pembakaran hutan/lahan, maka probabilitas frekuensi dan kuantitas KMS akan bertambah.
39
40
BAB DUA
Pemerintah telah memberikan pedoman penanggulangan KMS melalui Permenhut No.48 tahun 2008, yang mendefinisikan Konflik Manusia dan Satwa liar adalah segala interaksi antara manusia dan satwa liar yang mengakibatkan efek negatif kepada kehidupan sosial manusia, ekonomi, kebudayaan, dan pada konservasi satwa liar dan atau pada lingkungannya. Upaya Penanggulangan KMS diartikan sebagai proses dan upaya untuk mengatasi atau mengurangi KMS dengan mengedepankan kepentingan dan keselamatan manusia tanpa mengorbankan kepentingan dan keselamatan satwa liar. Beberapa prinsip yang ditekankan dalam penanggulangan KMS antara lain bahwa manusia dan satwa sama pentingnya, KMS merupakan tanggung jawab multipihak, penanggulangan disesuaikan dengan lokasi KMS, solusinya harus komprehensif yang diterapkan pada skala bentang alam. Permenhut ini juga mengatur mengenai kelembagaan penanggulangan KMS yang melibatkan BKSDA selaku unit pengelola spesies di tingkat tapak, perusahaan dan masyarakat yang bekerja/hidup di dalam dan sekitar hutan, pemerintah pusat/daerah selaku regulator, dan lembaga-lembaga konservasi satwa. Adanya pembunuhan terhadap satwa liar dan korban manusia seharusnya dapat dihindari dengan membuat suatu sistem pengelolaan bentang alam yang berkelanjutan dan baik untuk semua pihak. Satwa yang sering dikaitkan dengan kasus-kasus KMS adalah harimau sumatera, macan dahan, gajah sumatera, dan orangutan. Pada sejumlah kasus, KMS juga melibatkan buaya, monyet ekor panjang, babi hutan, dan beruang. Berdasarkan penelusuran literatur dan wawancara, catatan kasus KMS di bentang alam target tidak terlalu menonjol dan masih dapat ditanggulangi dengan baik. Namun upaya mitigasi penanganan satwa liar tetap harus dilakukan di tingkat bentang alam, mulai dari pencegahan, hingga penanganan pasca konflik karena korban KMS adalah satwa dan manusia ( jiwa dan/atau harta benda). Pencegahan itu mencakup upaya proteksi, restorasi, dan pembinaan habitat yang ada termasuk pengayaan sumberpakan dan pengembangan corridor/barrier satwa. Di beberapa daerah telah dibentuk unit khusus yang merespons ketika terjadi konflik manusiasatwa, seperti Conservation Respond Unit,
Elephant Flying Squad yang telah menguasai teknik-teknik pencegahan dan penanggulangan KMS. Pelaksanaan mitigasi KMS juga perlu diimbangi dengan usaha untuk mengatasi/ mengendalikan driven factors. Evaluasi mitigasi KMS perlu dilakukan untuk mengukur kemampuan mengatasi faktor-faktor penyebab konflik, bukan sekedar menghalau atau menggiring. Diperlukan pula upaya untuk membangun kelompokkelompok masyarakat untuk bertindak preventif, adaptif, antisipatif, dan responsif terhadap satwa liar. Perencanaan yang jelas dan diketahui semu pihak akan menciptakan pola dukungan yang merata. Pembagian tim kerja bersama dan pola pemantauan akan dapat ditangani dengan baik dengan menggunakan metode yang standar dan mudah dilaksnakan. Dukungan pendanaan pastinya akan tercipta bila kerjasama muti pihak sudah terwujud.
2.4.7 Komunitas Masyarakat Hukum Adat Salah satu faktor yang tak dapat diabaikan dalam penyusunan Rencana Induk ini adalah keberadaan Masyarakat (Hukum) Adat (MA/MHA) setempat. Problem-problem terkait kepentingan MA/MHA terjadi di setiap bentang alam dan umumnya bersinggungan dengan masalah tenurial atau konflik agraria. Persoalan muncul ketika satu kelompok orang yang menyatakan diri sebagai komunitas MA menggugat penguasaan lahan milik mereka oleh pihak lain, terutama perusahaan. Pihak perusahaan menganggap konsesi yang mereka terima dari pemerintah adalah sah, sedangkan komunitas MA mengklaim lahan yang masuk dalam konsesi perusahaan adalah tanah ulayat yang telah menjadi sumber kehidupan mereka secara turun-temurun. Beberapa konflik dianggap selesai melalui negosiasi yang berujung pada ganti rugi lahan, namun ada beberapa kasus lainnya berlanjut ke pengadilan. Tidak sedikit kasus yang berujung aksi kekerasan oleh salah satu atau kedua belah pihak hingga menimbulkan kerusakan fisik dan korban jiwa. Kondisi di atas merupakan bagian dari tantangan dalam pengelolaan bentang alam.
A. Tantangan Identifikasi terhadap persoalan-persoalan yang melibatkan isu komunitas MA/MHA menunjukkan adanya beberapa tantangan dalam pengelolaan 10 bentang alam.
RENCANA INDUK PENGEMBANGAN KONSERVASI BENTANG ALAM SKALA BESAR DI SUMATERA DAN KALIMANTAN
Kawanan kupu-kupu yang umum ditemukan di pinggiran hutan Sumatera, 1992. (Foto: Dolly Priatna)
1. Kepastian legalitas keberadaan komunitas MA/MHA. Regulasi di tingkat nasional dan daerah pada dasarnya telah berupaya mengakomodir keberadaan komunitas MA/MHA di Indonesia, tetapi adanya frasa ‘sepanjang masih ada’ serta ‘tidak bertentangan dengan kepentingan nasional’ menyisakan celah multitafsir. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-X/2012 menganulir beberapa pasal dari UU No.41 tahun 1999 tentang Kehutanan, yang pada intinya sebagai berikut: a) Pasal 1 angka 6, berubah menjadi “Hutan adat adalah hutan yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat”. Hal ini mengakibatkan hutan adat tidak lagi berstatus hutan negara. b) Pasal 4 ayat 3 “Penguasaan hutan oleh Negara tetap memperhatikan hak masyarakat hukum adat, sepanjang kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya, serta tidak bertentangan dengan kepentingan nasional”
bertentangan dengan konstitusi secara bersyarat (conditionally unconstitutional) sehingga menurut MK, Pasal 4 ayat 3 harus dimaknai “Penguasaan hutan oleh negara tetap memperhatikan hak masyarakat hukum adat, sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang”. Pemaknaan tersebut menghilangkan frasa “diakui keberadaannya” namun tetap menekankan bahwa MHA tersebut memang masih ada. Dengan demikian, ketiadaan pengakuan tidak menghilangkan hak dan status MHA atas wilayah adatnya. c) Pasal 5 ayat 3, berubah menjadi “Pemerintah menetapkan status hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1); dan hutan adat ditetapkan sepanjang menurut kenyataannya masyarakat hukum adat yang bersangkutan masih ada dan diakui keberadaannya”. Putusan MK tidak mengubah frasa “diakui keberadaannya” sebagaimana pasal
41
42
BAB DUA
4 ayat 3, sehingga tetap mewajibkan adanya penetapan pemerintah terhadap hutan adat dan pengakuan atas keberadaan MHA.
Dengan memperhatikan Putusan MK tersebut, maka keberadaan MHA juga perlu diidentifikasi lebih dalam untuk mengenal karakter, tipologi, dan eksistensinya sebagai MHA dalam pengelolaan bentang alam. Untuk itu Pemerintah Daerah perlu membentuk tim kajian yang melibatkan tokoh adat, ahli hukum adat, pakar sosial-antropologi, dan wakil pemerintah. Dengan pemahaman tersebut, maka dapat dikembangkan bentuk hubungan yang saling menguntungkan bagi para pihak untuk mengurangi konflik-konflik sosial selanjutnya. Hal ini juga diperlukan oleh komunitas MHA agar tidak ada oknum yang menunggangi isu ini untuk kepentingan pribadi atau golongan yang merugikan komunitas MHA. 2. Pemahaman yang berbeda konsep komunitas MA/MHA.
tentang
Sebagian pihak menilai bahwa definisi dan konsep teoritis tentang komunitas MA tidak penting untuk diperdebatkan. Masalahnya sejauh sebuah definisi masuk dalam konstruksi produk hukum, maka akan berimplikasi terhadap penggunaan kekuasaan, apalagi ketika perspektif legal formal menjadi satu-satunya acuan dalam penyelesaian masalah. Sementara itu, keberadaan komunitas yang mengidentifikasi diri sebagai komunitas MA/MHA cenderung mengacu pada sejarah, nilai kultural, dan ikatan sosial ekonomi mereka dengan wilayah tertentu yang bersifat spesifik dan harus dipahami secara antropologis. Berdasarkan Penjelasan Pasal 67 ayat (1) dan ayat (2) UU No.41/1999 dapat disimpulkan bahwa Masyarakat Hukum Adat (MHA) dicirikan dengan 3 hal pokok, yaitu : 1) Masyarakat itu sendiri masih ada, sebagai satu kesatuan asal usul, hubungan darah, kekerabatan, atau kesatuan bahasa;
(Cymbidium sp.) Salah satu jenis anggrek hutan di dataran tinggi Sumatera, 2004. (Foto: Dolly Priatna)
RENCANA INDUK PENGEMBANGAN KONSERVASI BENTANG ALAM SKALA BESAR DI SUMATERA DAN KALIMANTAN
2) Wilayah. Suatu areal yang diklaim secara adat untuk mendukung kehidupannya, menggunakan batas alam atau tanaman yang diakui seluruh anggota masyarakatnya sebagai wilayah adatnya. 3) Pranata Sosial atau Adat. Pranata terkait dalam hubungan sosial kemasyarakatan dan pengelolaan sumberdaya lahan/ hutannya, yang mengatur dengan jelas apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan oleh anggota masyarakat tersebut, pengaturan pengambilan hasil hutan, tata cara membuka ladang, panen madu hutan, pemanfaatan kayu untuk kepentingan pribadi, kelompok, sosial, dan sebagainya. Selanjutnya dinyatakan bahwa pengukuhan dan penghapusan masyarakat hukum adat ditetapkan dengan Peraturan Daerah, setelah mendapatkan pertimbangan dari hasil penelitian para pakar hukum adat, aspirasi masyarakat setempat, tokoh masyarakat adat, dan pihak lain/instansi yang terkait. Ketentuan yang sama juga berlaku terhadap tanah ulayat yang berada di kawasan non-hutan (APL) sebagaimana diatur di dalam Peraturan Menteri Agraria/ Kepala Badan Pertanahan Nasional No.5 tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat. 3. Perubahan alam dan sosial budaya Perspektif ekologi manusia meyakini adanya hubungan dua arah antara kebudayaan dan lingkungan sebagai sebuah ekosistem. Kebudayaan terbentuk sebagai hasil proses adaptif manusia dengan lingkungan, sedangkan kondisi lingkungan sangat dipengaruhi oleh nilai budaya masyarakat di dalamnya. Perubahan pada kebudayaan akan mendorong perubahan lingkungan alami dan sebaliknya. Di dalam bentang alam, hampir seluruh aktivitas ekonomi penduduknya sangat bergantung pada kondisi sumberdaya alam untuk berburu, meramu, perladangan lahan kering dan berpindah, pertanian intensif, peternakan, dan perkebunan komoditas-komoditas yang dibutuhkan industri. Perubahan sosial ekonomi masyarakat setempat jelas sangat terasa, dan pengendalian arah perubahan yang berdampak negatif terhadap masyarakat dan lingkungan makin sulit dilakukan.
4. Kesejahteraan Tanggal 13 Maret 2015 lalu, harian Rakyat Merdeka memberitakan 11 orang Suku Anak Dalam (SAD) dari kelompok Tumenggung Maritua di Jambi meninggal saat melakukan adat melangun di sekitar kawasan TN Bukit Duabelas18. Melangun adalah tradisi pindah secara berkelompok ke lokasi permukiman baru setelah ada kerabatnya yang meninggal dunia. Dalam berita itu, Menteri Sosial RI menyatakan bahwa mereka meninggal karena kelaparan akibat tak dapat beradaptasi dengan kondisi alam di lokasi baru yang telah menjadi area konsesi perusahaan HTI. Walaupun ukuran kesejahteraan tidak bersifat tetap, kebutuhan seseorang untuk hidup aman, tercukupi secara lahiriah, terdidik, serta dapat mengekspresikan nilai budaya mereka adalah hak-hak yang harus dilindungi. Isu tentang kesejahteraan masyarakat adat masih menjadi tantangan, terutama terkait akses terhadap sumberdaya alam untuk pemenuhan kebutuhan ekonomi, ruang mengekspresikan nilai budaya, dan pembentuk identitas sosial mereka. Pada beberapa komunitas MA/MHA nilai-nilai kultural dan praktik-praktik pemanfaatan SDA di daratan dan perairan, mampu mempertahankan ekosistem yang ada. Hal ini biasanya terjadi pada komunitas-komunitas yang secara geografis tinggal di pedalaman, memiliki intensitas hubungan dengan sistem pasar sangat minimal, penggunaan teknologi produktif secara tradisional, kolektivitas dalam pemenuhan kebutuhan hidup, sistem kepemimpinan dan penegakan aturan adat, serta menganut nilai bahwa manusia dan alam sebagai bagian dari kosmologi di dalam sistem kepercayaan mereka. Kebanyakan dari mereka beradaptasi dengan memburu meramu (foraging), perladangan (holticulture) lahan kering dan berpindah atau kombinasi keduanya. Sepanjang waktu, komunitas-komunitas MA/MHA tersebut harus bersinggungan dengan sistem sosial ekonomi dan politik yang lebih besar dan kuat, yang
18 “11 warga Suku Anak Dalam meninggal saat menjalankan tradisi melangun”. Jumat 13 Maret 2015. http://nusantara.rmol.co (akses 19 Mei 2015)
43
44 mempengaruhi kehidupan mereka. Kebijakan tata ruang, investasi di sektor pemanfaatan sumberdaya alam berbasis ekonomi industri, pertambahan penduduk yang berbeda secara kultural dengan mereka, perkembangan teknologi dan komunikasi, dinamika politik lokal dan nasional, serta orientasi pendidikan nasional adalah bagian dari sistem yang harus dihadapi. Sistem-sistem tersebut secara langsung mempengaruhi perubahan kultural komunitas MA/MHA, atau melalui perubahan lingkungan dan ekosistem yang telah menjadi bagian dari kehidupan mereka.
B. Peluang Perbedaan pemahaman dan perdebatan mengenai pengakuan atas hak-hak MA/ MHA masih berlanjut, namun dalam perkembangannya, wacana mengenai MA/MHA makin diterima di dalam sistem politik dan hukum negara, terutama setelah penerapan otonomi daerah. Ketika Presiden Jokowi memasukkan visi pengakuan atas hak-hak MA/MHA ke dalam Nawacita, hal ini dapat dianggap sebagai fenomena politik nasional yang belum pernah ada. Salah satunya adalah mendorong pengesahan RUU tentang Pengakuan dan Perlindungan Hakhak Masyarakat Adat (PPHMA) yang hingga kini belum diterbitkan. Beberapa regulasi telah membuka peluang lebih besar kepada komunitas MA/MHA untuk memperoleh hakhak dasar mereka, misalnya UU No. 6 tahun 2014 yang memungkinkan pembentukan Desa Adat; Surat Edaran Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 3/SE/IV/2014 tentang Penetapan Eksistensi Masyarakat Hukum Adat dan Tanah Ulayat. Beberapa daerah telah melakukan terobosan hukum untuk mengakui eksistensi MA/ MHA dan wilayah adatnya dalam bentuk Keputusan Bupati, Peraturan Bupati, dan Peraturan Daerah. Misalnya, Surat Keputusan Bupati Halmahera Utara No.189/133/HU/2015 tentang Pengakuan dan Perlindungan MHA Hibualamo sebagai Kesatuan Masyarakat
Hukum Adat19, yang mencakup wilayah hukum adat, kewenangan lembaga adat untuk menjalin hubungan dengan pihakpihak lain dan cara penyelesaian sengketa yang berdasarkan hukum adat. Contoh lainnya adalah Surat Keputusan Bupati Bungo No.1249/2002 tentang Pengukuhan Hutan Adat Desa Batu Kerbau; Peraturan Bupati Jayapura No. 319/2014 tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat; Perda Kabupaten Malinau No.10/2012 tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat, dan Perda Kabupaten Kerinci No. 24/2012 tentang Tata Ruang Wilayah Kabupaten Kerinci yang memuat keberadaan hutan adat20. Contoh-contoh tersebut atas menunjukkan adanya peluang mengintegrasikan keberadaan MA/MHA ke dalam kebijakan daerah. Terdapat pula komunitas MA/MHA yang masih memandang kelestarian hutan sebagai nilai budaya mereka, lalu mengembangkan inisiatif perlindungan secara mandiri. Beberapa tokohnya bahkan mendapatkan penghargaan nasional dan lokal. Misalnya komunitas adat Suku Rimba pimpinan Tumenggung Tarip (Kab. Sarolangun, Jambi) mendapatkan Kehati Award tahun 2000 dan Kalpataru tahun 2006. Mereka berhasil menjalankan sistem perladangan hompongan yang menjadi penghalang aktivitas penebangan liar oleh orang luar di TN Bukit Duabelas21’22. Di Riau, terdapat komunitas adat Buluh Cina yang didukung pemerintah provinsi untuk mengelola hutan ulayat mereka sebagai kawasan wisata yang secara langsung mendukung pelestarian Cagar Biosfer GSKBB23. Inisiatif-inisiatif seperti ini menjadi penting sebagai role model pengembangan peran komunitas MA/ MHA dalam pengelolaan bentang alam ke depan. Peluang lainnya adalah keberadaan lembaga-lembaga yang selama ini intensif melakukan pendampingan dan pemberdayaan komunitas MA/MHA secara damai di dalam dan sekitar bentang alam.
19 http://gaung.aman.or.id/2015/05/22/bupati-halmahera-utara-terbitkan-surat-keputusan-pengakuan-perlindungan-masyarakat-hukum-adat-hibualamo/ (diakses 28 Maret 2015) 20 http://huma.or.id/wp-content/uploads/2015/04/Rumusan-Hasil-Dialog-Nasional-Lombok.pdf (diakses 17 April 2015) 21 http://warsi.or.id/news/2006/News_200606_Kalpataru.php?year=2006&file=News_200606_Kalpataru.php&id=49 (diakses 17 April 2015) 22 http://www.thejakartapost.com/news/2006/06/21/039temenggung039-tarib-kubu-environmental-campaigner.html (diakses 17 April 2015). 23 Wisata Alam Buluh Cina. http://gskbb.blogspot.com/2011/08/taman-wisata-alam-desa-buluh-cina.html (diakses 28 Maret 2015)
RENCANA INDUK PENGEMBANGAN KONSERVASI BENTANG ALAM SKALA BESAR DI SUMATERA DAN KALIMANTAN
Misalnya LSM Warsi di Riau yang telah intensif mendampingi beberapa komunitas orang Rimba di Jambi, FFI-Indonesia yang telah mendampingi komunitas adat Manjau dalam pengembangan Hutan Desa Laman Satong, Kabupaten Ketapang. Pengalaman dan kapasitas lembaga-lembaga tersebut dapat diintegrasikan dalam proses penanganan persoalan-persoalan yang dihadapi komunitas MA/MHA. Kementerian LHK melalui kebijakan perhutanan sosial, juga memberikan peluang pengelolaan hutan melalui skema Hutan Desa, Hutan Kemasyarakatan, Hutan Tanaman Rakyat, Hutan Adat, dan Kemitraan dengan perusahaan. Bahkan Kementerian LHK juga akan mengalokasikan sejumlah kawasan hutan diubah statusnya menjadi hutan adat, membantu penyelesaian konflik tenurial, dan membina pengelolaan hutan adat agar sesuai dengan kebutuhan masyarakat dengan meminimalisir dampaknya pada lingkungan. Skema regulasi yang merupakan peluang untuk menyelesaikan konflik tenurial MA/ MHA antara lain Permenhut Nomor P.56 Tahun 2006 tentang Pedoman Zonasi Taman Nasional, yang memungkinkan adanya Zona Pemanfaatan Tradisional/Zona Khusus jika di dalam taman nasional terdapat MHA atau masyarakat yang sudah tinggal dalam jangka waktu yang lama. Mereka dapat terus mengelola lahan dan memanfaatkan hasil hutan kayu (HHK) dan bukan kayu (HHBK) secara terbatas untuk kehidupannya tanpa mengubah status kawasan. Terhadap tanah ulayat yang berada di APL, dapat menggunakan Peraturan Menteri Agraria/ Kepala Badan Pertanahan Nasional No.5 tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat. Skema regulasi yang terbaru untuk menyelesaikan konflik-konflik tenurial adalah Peraturan Bersama Menteri Dalam Negeri (79/2014), Menteri Kehutanan (PB.3/ Menhut-II/2014), Menteri Pekerjaan Umum (17/PRT/M/2014) dan Kepala Badan
Pertanahan Nasional (8/SKB/X/2014) tentang Tata Cara Penyelesaian Penguasaan Tanah yang Berada di dalam Kawasan Hutan. Perturan Bersama ini mengamanatkan Gubernur membentuk Tim Inventarisasi Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan, dan Pemanfaatan Tanah (Tim IP4T) untuk penyelesaian hak ulayat dan penguasaan tanah di wilayah lintas kabupaten/kota. Sedangkan penyelesaian hak ulayat dan penguasaan tanah di suatu kabupaten/kota, maka Bupati/ Walikota yang akan membentuk Tim IP4T. Di dalam peraturan bersama ini, Hak Ulayat didefinisikan sebagai kewenangan yang menurut hukum adat dipunyai oleh masyarakat hukum adat tertentu atas wilayah tertentu yang merupakan lingkungan para warganya untuk mengambil manfaat dari sumberdaya alam, termasuk tanah, dalam wilayah tersebut, bagi kelangsungan hidup dan kehidupannya, yang timbul dari hubungan secara lahiriah dan batiniah turun temurun dan tidak terputus antara masyarakat hukum adat tersebut dengan wilayah yang bersangkutan. Selanjutnya peraturan ini mengatur tata cara dan tahapan untuk penyelesaian tanah yang berada di dalam kawasan hutan.
45
46
RENCANA INDUK PENGEMBANGAN KONSERVASI BENTANG ALAM SKALA BESAR DI SUMATERA DAN KALIMANTAN
BAB TIGA
Sinar matahari pagi di sebuah kawasan hutan primer dataran tinggi Sumatera. Desember, 2009. (Foto: Dolly Priatna)
47
48
BAB TIGA
PROFIL BENTANG ALAM Uraian tentang kondisi di bentang alam target dalam bab ini dibagi dalam dua subbab, yaitu sub-bab tentang kondisi umum dan sub-bab tentang khusus dari bentang alam. Di bagian tentang kondisi umum, diuraikan secara umum mengenai kondisi masing-masing bentang alam. Informasi yang bersifat lintas-bentang alam atau lintas kabupaten/provinsi juga disampaikan dalam bagian ini, karena ada beberapa bentang alam yang terletak di lebih dari satu kabupaten/provinsi. Pada bagian tentang kondisi khusus disampaikan informasi yang lebih spesifik dari masing-masing bentang alam, termasuk peta indikatif dan status kawasan di dalam bentang alam. 3.1
KONDISI UMUM BENTANG ALAM
3.1.1 Peta Indikatif Bentang Alam Batas bentang alam diperlukan untuk melokalisir ruang aktivitas, ruang kelola, dan ruang negosiasi dalam pengelolaan bentang alam. Forman & Godron (1986) menyatakan batasan bentang alam dapat terbentuk dari: proses geomorfologi yang terjadi dalam waktu lama; pola kolonisasi makhluk hidup; dan gangguan lokal pada suatu ekosistem dalam waktu yang singkat. Mengacu pada Management Guidelines for IUCN Category V Protected Areas: Protected Landscapes/Seascapes (Phillips, 2002),
maka dikembangkanlah kriteria batas bentang alam sebagai berikut: Batas indikatif bentang alam perlu disepakati oleh para pihak sebagai bagian upaya perubahan mindset para pihak dari single to multiscale management (Lihat Liu & Taylor, 2002). Namun batas-batas yang telah disepakati itu tidak memerlukan pal/tanda batas sebagai sebuah kawasan yang permanen karena karakter bentang alam yang selalu berubah dan fleksibel. Masyarakat dimasukkan ke dalam bentang alam karena mereka adalah ’stewards of the landscape’ terhadap faktor antropogenik negatif, dan memposisikannya sebagai ‘the heart of management’ (Phillips, 2002).
Tabel III-1. Karakteristik batas bentang alam untuk pengembangan sepuluh bentang alam Tujuan dan target
Mendukung tujuan dan fokus utama bentang alam.
Skala
Berada di 1-2 kabupaten atau lintas provinsi, terdapat satu atau lebih unit KSA/KPA, lebih dari 1 area konsesi/unit KPH, dan berbagai tujuan pengunaan (permukiman, pertanian, pertambangan, dan lain-lain).
Status legal
Batas bentang alam bersifat konsensus, tidak bertujuan untuk ditata batas (namun di dalamnya terdapat batas fungsi hutan yang bersifat legal)
Keutuhan bentang alam
Memperbesar peluang -zona konservasi- yang mengarah ke bentuk geometrik yang ideal dan meningkatkan konektivitas.
Keterlibatan para pihak
Memperbesar keterlibatan para pihak agar peluang kolaborasi makin terbuka.
Sosial ekonomi budaya
Mengenali aktivitas masyarakat sekitar sebagai faktor antropogenik yang memberikan pengaruh positif atau negatif terhadap bentang alam.
Pengetahuan umum letak batas
Mudah dikenali, orientasi posisi, dan memperjelas area aktivitas yang mencakup antara lain batas administrasi, sungai, jalan, dan batas pantai sebagai penanda batas bentang alam.
Dinamis
Batas bentang alam adalah konsensus yang dibangun dan disepakati para pihak yang bersifat dinamis dan dapat disempurnakan.
RENCANA INDUK PENGEMBANGAN KONSERVASI BENTANG ALAM SKALA BESAR DI SUMATERA DAN KALIMANTAN
Sungai yang membelah hutan rawa gambut primer di Bentang Alam Kerumutan, Riau, Februari 2011. (Foto: Rolf M Jensen)
Peta indikatif dikembangkan dengan memperhatikan hal-hal tersebut di atas dan tujuan utama dari setiap bentang alam. Batasan bentang alam yang digunakan mencakup batas alam, batas buatan manusia, batas administrasi, dan batas kawasan hutan. Peta indikatif batas di setiap bentang alam, sebagaimana ditampilkan pada SubBab 3.2. dari dokumen ini, terbuka untuk didiskusikan dan diperbaiki sebelum disepakati oleh para pihak yang berkepentingan di dalam bentang alam.
3.1.2 Kawasan Konservasi dan Konservasi Spesies Bentang alam yang menjadi target dalam dokumen ini terletak di lima provinsi dengan luas total 10.145.187,85 hektar, termasuk empat taman nasional, sembilan suaka margasatwa, tiga cagar alam, dan tiga tahura (taman hutan raya). Luas total seluruh kawasan konservasi di dalam bentang alam adalah 1.156.003 hektar. Terdapat satu bentang alam berstatus cagar biosfer (Giam Siak Kecil-Bukit Batu) dan satu bentang alam dengan dua Situs Ramsar (Berbak dan Sembilang). Hingga kini tidak ada kawasan konservasi atau Ekosistem Esensial yang ditunjuk/ditetapkan oleh pemerintah di Bentang Alam Kubu.
49
50
BAB TIGA
Tabel III-2. Kawasan suaka alam (KSA) dan kawasan pelestarian alam (KPA) di dalam bentang alam
No. 1
Bentang Alam Senepis
Nama KSA/KPA CA Pulau Berkeh
Luas sesuai SK Menteri 559 hektar
PLG Sebanga Duri
2
Giam Siak Kecil Bukit Batu
-21.500 hektar
Penetapan Menhutbun No.482/ Kpts-II/1999
SM Giam Siak Kecil
50.000 hektar
Penunjukan SK Gubernur Riau No.324/ XI/1983
SM Danau Pulau BesarDanau Pulau Bawah
6.172 hektar
28.237 hektar
Penetapan Menhutbun No.348/ Kpts-II/1999 Penetapan Menhutbun No.668/ Kpts-II/1999
2.529 hektar
Penetapan Menhutbun No.480/ Kpts-II/1999
3.200 hektar SM Tasik Besar-Tasik Metas
Penunjukan Menhut No.173/Kpts-II/1986 (SK penunjukan hutan Provinsi Riau seluas 9.456.160 hektar)
SM Tasik Serkap-Tasik Sarang Burung
Penunjukan Menhut No.173/Kpts-II/1986 (SK penunjukan hutan Provinsi Riau seluas 9.456.160 hektar)
SM Tasik Belat Semenanjung Kampar
Penunjukan Mentan No.13/Kpts/Um/3/68
SM Bukit Batu
Tahura Minas (Sultan Syarif Hektarsim)
3
Notes
6.900 hektar
4
Kerumutan
SM Kerumutan
120.000 hektar
Penunjukan Mentan No.13/3/ 1968 (14 Maret 1968) & Penunjukan Mentan No.350/ Kpts/ Um/6/79 tgl 6 juni 1979
5
Bukit Tigapuluh
TN Bukit Tigapuluh
144.223 hektar
Penetapan Menhut No.6407/ Kpts-II/2002
TN Berbak
162.700 hektar
Penunjukan Menhut No.285/Kpts-II/1992 & GB 28 Okt 1935 No 18 Stbl 1935 No 521 sebagai SM & Menhutbun No.91/Kpts-VIII/ KP/1999
6
Berbak Sembilang TN Sembilang
7
Dangku-Meranti
202.896 hektar
Penetapan Menhut No.95/Kpts-II/2003
Tahura Sekitar Tanjung
21.160 hektar
Penunjukan Menhut No.421/ Kpts-II/1999 (SK Penunjukan kawasan hutan provinsi Jambi seluas 2.179.440 hektar)
SM Dangku
31.752 hektar
Penetapan Menhut No.755/Kpts-II/90 (17 Des 1990, luas 70.274 hektar), Menhut No. 245/ Kpts-II/1991 (6 Mei 1991, luas 31.752 hektar)
CA Kelompok Hutan Durian Luncuk II
41 hektar
Penetapan Menhut No.821/Kpts-II/1997
Tahura Sultan Thaha Syaifuddin
15.830 hektar
Penunjukan Menhut No.94/Kpts-II/2001
75.000 hektar
Penunjukan Menhut No.004/ Kpts-II/1983 (19 April 1983) dan Menhut No.76/Kpts-II/2001
64.700 hektar
Penetapan Menhut No.598/Kpts-II/1995
8
Padang Sugihan
SM Padang Sugihan
10
Kutai
CA Muara Kaman Sedulang
TN Kutai
Total Conservation Areas Sumber: Database Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan
198.604 hektar
1.156.003 hektar
Penunjukan Menhut No.325/ Kpts-II/1995 (dari SM menjadi TN), luas 198.604 hektar.
RENCANA INDUK PENGEMBANGAN KONSERVASI BENTANG ALAM SKALA BESAR DI SUMATERA DAN KALIMANTAN
Di dalam sepuluh bentang alam tersebut terdapat sedikitnya 1018 spesies, termasuk 209 spesies yang dilindungi oleh Pemerintah Indonesia, 213 spesies kategori Red List IUCN, dan 32 spesies kategori Apendiks I.
Jumlah tersebut merupakan jumlah minimal yang terdapat di dalam bentang alam, dan akan bertambah seiring dengan penambahan data dan informasi keanekaragaman hayati di setiap bentang alam.
Tabel III-3. Jumlah spesies vertebrata di setiap bentang alam
Catatan: *) Data tidak tersedia. Data lain diperoleh dari berbagai literatur dan dokumen kajian area bernilai konservasi tinggi (NKT) atau High Conservation Value (HCV) area konsesi di dalam bentang alam.
Tabel III-4. Jumlah spesies di bentang alam berdasarkan kategori IUCN, CITES, EDGE, dan PP No.7/1999.
Kelas
Total
Sen
GSK
Kam
Ker
B30
BS
DM
PS
KR
KT
213
33
43
50
35
64
99
122
56
24
121
CR
11
1
1
4
3
4
9
3
4
1
2
EN
27
11
7
8
10
15
13
11
10
6
8
VU
52
15
9
17
13
18
26
28
12
10
32
NT
123
6
26
21
9
27
51
80
30
7
79
App I
32
11
7
11
11
17
21
14
11
7
10
IUCN*
CITES App I/II
4
1
1
1
0
0
4
1
1
1
1
App II
111
25
32
44
35
24
53
66
43
19
68
App III
7
5
0
2
0
5
7
4
0
0
4
EDGE
38
13
6
11
11
16
23
18
13
6
20
UU RI
209
40
63
61
53
56
139
107
77
35
116
Total
1
2
3
4
5
6
Keterangan: Data diolah dari berbagai sumber. Catatan: Sen= Senepis, GSK= GSKBB, Kam: Semenanjung Kampar, Ker= Kerumutan, B30= Bukit Tigapuluh, BS= Berbak-Sembilang, DM= Dangku-Meranti, PS= Padang Sugihan, KR= Kubu, KT= Kutai. * Status IUCN: CR= Critically Endangered, EN= Endangered, VU= Vulnerable, NT= Nearly Threatened.
7
8
9
10
51
52
BAB TIGA
indikator untuk menentukan area bernilai konservasi tinggi (high conservation value), sehingga menjadi bagian dari pengelolaan unit manajemen. Walaupun penentuan dan pengelolaan area NKT/HCV belum merupakan kewajiban berdasarkan regulasi,1 sejumlah program sertifikasi mewajibkannya, seperti Roundtable Sustainable Palm Oil (RSPO), Forest Stewardship Council (FSC), dan Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO). Kajian-kajian area NKT di sejumlah area konsesi di dalam bentang alam menjadi bagian penting yang telah dipertimbangkan dalam penyusunan dokumen ini, terutama pada informasi mengenai spesies, habitat, dan ekosistem yang penting di dalam bentang alam. Dengan demikian, upaya proteksi dan restorasi di sepuluh bentang alam tersebut memiliki arti dan kontribusi penting dalam upaya penyelamatan keanekaragaman hayati secara lokal, regional, nasional, dan internasional. Daftar selengkapnya status global satwa dan perlindungannya ditampilkan dalam Lampiran 3.
3.1.3 Tipe Ekosistem di dalam Bentang Alam
Kepiting bakau (Scylla sp.) yang banyak terdapat di Bentang Alam Kubu, Kalimantan Barat, November 2007. (Foto: Dok. APP)
Terdapat beberapa flagship species di dalam dan sekitar bentang alam target, yang menjadi perhatian nasional dan internasional, yaitu harimau sumatera, gajah sumatera, bekantan, orangutan sumatera dan orangutan kalimantan, sedangkan spesies perairan antara lain buaya senyulong dan pesut mahakam. Spesies badak dan gajah kalimantan tidak ditemukan di bentang alam Kubu dan Kutai. Sekitar 30% burung yang ada di Indonesia dapat ditemukan di sepuluh bentang alam target, bahkan terdapat 11 spesies burung yang tergolong kritis dari kepunahan. Keberadaan spesies yang berstatus dilindungi, kategori IUCN Red List, dan Appendiks CITES di dalam suatu kawasan menjadi salah satu
Indonesia memiliki tujuh ekoregion laut dan 45 ekoregion terestrial. Dari jumlah tersebut, Sumatera dan Kalimantan masing-masing memiliki 12 dan tujuh ekoregion terestrial, atau total 16 ekoregion terestrial di kedua pulau itu. Terdapat pula ekoregion laut yang bercampur dengan daratan, yaitu Selat Malaka di Senepis dan Selat Makassar di Kutai. Tabel III-5. menggambarkan bahwa kesepuluh bentang alam tersebut memiliki variasi tipe ekosistem yang mewakili lebih dari 50% ekoregion di kedua pulau itu, yaitu sembilan ekoregion terestrial (empat di Sumatera dan enam di Kalimantan). Berdasarkan pendekatan ekoregion dan penyebarannya, tipe ekoregion di bentang alam target adalah ekosistem bakau, gambut (rawa/ lahan), hutan dataran rendah, rawa air tawar, dan hutan kerangas. Analisis Kesenjangan Keterwakilan Ekologis (Kemenhut & KKP, 2013) mengkonfirmasi bahwa ekosistem di bentang alam target tergolong ekosistem penting yang berada di luar kawasan konservasi. Ekosistem
1 Di masa mendatang, ketentuan mengenai area bernilai konservasi tinggi akan diatur pada tingkatan undang-undang. Saat ini, di dalam Struktur Organisasi Kementerian LHK, terdapat Direktorat Bina Pengelolaan Ekosistem Esensial yang akan menangani area bernilai konservasi tinggi. Lihat Permen LHK No.18 tahun 2015.
RENCANA INDUK PENGEMBANGAN KONSERVASI BENTANG ALAM SKALA BESAR DI SUMATERA DAN KALIMANTAN
penting di luar kawasan konservasi itu direkomendasikan untuk dikelola secara khusus, melalui program-program kreatif inovatif, seperti pengelolaan konservasi bentang alam.
Ekosistem Hutan Hujan Dataran Rendah terutama terdapat di Bentang Alam Bukit Tigapuluh dan Dangku-Meranti. Hutan hujan dataran rendah Sumatera memiliki keanekaragaman hayati yang sangat tinggi. Sebanyak 425 jenis atau 2/3 dari 626 jenis burung yang ada di Sumatera hidup di hutan dataran rendah bersama dengan harimau, gajah, orangutan, beruang madu, tapir, dan satwa lainnya.
Ekosistem Bakau/Pantai mempunyai fungsi ekologis yang penting, bagi fungsi lingkungan sekitarnya untuk menjaga keseimbangan ekologis antara ekosistem lautan dan daratan. Sebanyak delapan dari 10 bentang alam memiliki ekosistem bakau di pantai dan muara sungai yang dicirikan oleh keberadaan spesies tertentu, seperti Avicennia spp., Soneratia spp., Rhizophora spp. (Bakau), Bruguiera spp. (Tanjang), dan Nypa fruticans (Nipah). Area bakau dan pesisir ini sangat penting untuk menyelamatkan spesies yang bermigrasi dari daerah utara ke selatan saat musim dingin.
Ekosistem Gambut ditemukan hampir diseluruh bentang alam sebagai tipe ekosistem terluas daripada ekosistem lainnya. Berdasarkan analisis spasial, luas lahan gambut di dalam bentang alam sebagaimana tabel berikut ini.
Tabel III-5. Luas lahan gambut dan non-gambut di dalam bentang alam
Bentang Alam
Luas Lahan (Hektar) Gambut
Jumlah (Hektar)
Non Gambut
Senepis
249.292,54
73.673,01
322.965,55
Giam Siak Kecil Bukit Batu
493.051,38
448.148,98
941.200,36
1.023.873,55
310.976,11
1.334.849,66
665.675,47
78.050,82
743.726,29
18.941,51
1.048.060,46
1.067.001,97
525.974,91
610.782,82
1.136.757,74
Dangku-Meranti
12.717,04
1.035.934,81
1.048.651,85
Padang Sugihan
922.526,76
727.686,54
1.650.213,30
Kubu
907.185,86
15.635,13
922.820,99
Kutai
976.246,71
753,47
977.000,18
5.795.485,74
4.349.702,16
10.145.187,90
Kerumutan Semenanjung Kampar Bukit Tigapuluh Berbak Sembilang
Sub Total Sumber: hasil analisis dari berbagai sumber
53
Sumber: (Diolah dari berbagai sumber)
941.200,36
1.334.849,66
743.726,29
1.067.001,97
1.136.757,74
171.770,49
798.600,36
64.128,11
1.048.651,85
60.688,69
957.036,67
1.650.213,30
101.364,31
1.510.755,67
337,12
37.756,20
Padang Sugihan Kubu
922.820,99
146.435,98
177.331,43
52.148,79
120.562,17
1.835,00
81.198,71
292.052,81
Kutai
977.000,18
322.965,55
79.212,84
33.367,86
1.033.634,11
30.926,49
Dangku Meranti
Total
129.223,70
630.613,67
26.476,85
102.258,77
Berbak Sembilang
429.202,66
38.579,09
1.008.734,81
124.505,10
7.422,93
Bukit Tigapuluh
Hutan kerangas Sundaland
74.163,49
561.757,64
Hutan rawa gambut Sumatera
Bakau dangkalan Sunda
120.760,25
Hutan hujan dataran rendah Sumatera
248.802,06
220.103,39
Hutan rawa air tawar Sumatra
Hutan rawa air tawar Barat Daya Borneo
Palawan/ Borneo Utara
72.386,05
Semenanjung Kampar
445.958,15
Kerumutan
Hutan rawa gambut Borneo
GSK- BB
153.095,43
Senepis
Hutan hujan dataran rendah Borneo rainforests
Ekoregion
Tabel III-6. Sebaran dan luas ekoregion di sepuluh bentang alam (hektar)
10.145.187,85
429.202,66
792.898,69
4.853.320,77
2.326.878,20
470.853,83
297.893,60
1.835,00
527.156,86
445.148,24
Total
54 BAB TIGA
RENCANA INDUK PENGEMBANGAN KONSERVASI BENTANG ALAM SKALA BESAR DI SUMATERA DAN KALIMANTAN
di Sumatera (7,2 juta hektar), Kalimantan (5,8 juta hektar), dan Papua (8,0 juta hektar). Sedikitnya 3 juta hektar lahan gambut di Indonesia telah terdegradasi dan dikonversi antara tahun 1987–2000, sedangkan pada periode 20002005 telah terdeforestasi seluas 89.251 hektar/ tahun di Sumatera dan 9.861 hektar/tahun di Kalimantan. IFCA (2007) melaporkan bahwa deforestasi itu terjadi di lahan gambut yang kedalamannya 2-4 m dan 4-8 meter. Sedangkan FWI (2014) melaporkan deforestasi lahan gambut Indonesia pada periode 2009-2013 adalah 1,1 juta hektar, dengan luasan tertinggi di provinsi Riau yaitu 446.572 hektar.
Salah satu sudut hutan gambut sekunder di Bentang Alam GSKBB, Riau, Februari 2014. (Foto: Dolly Priatna)
Ekosistem gambut memiliki peran penting sebagai pengendali iklim global, habitat flora dan fauna yang dimanfaatkan masyarakat lokal sebagai sumber pakan, pakaian, dan obat serta. Banyak lahan gambut yang telah dikonversi untuk tujuan pertanian dan perkebunan. Hal itu memang memberikan pendapatan dalam jangka pendek tetapi juga menimbulkan masalah pengelolaan lahan gambut dalam jangka panjang. Sekitar 45% spesies dari famili Dipterocarpaceae ditemukan di hutan rawa gambut Sumatera, Kalimantan, Sarawak, dan Sabah. Beberapa spesies endemik yang hidup di rawa gambut antara lain ramin (Gonystylus bancanus), meranti rawa (Shorea pauciflora), Jelutung rawa (Dyera polyphylla), dan pulai rawa (Alstonia pneumatophora). IUCN memasukkan dua puluh spesies dipterokarpus ke dalam status sangat terancam punah, delapan terancam punah, dan tiga rentan (Paoli et al., 2010). Di seluruh dunia terdapat sekitar 400 juta hektar ekosistem gambut yang menyimpan lebih dari 500 milyar ton karbon daratan. Di Indonesia, terdapat 21 juta hektar lahan gambut
Selain akibat deforestasi, emisi dari lahan gambut juga disebabkan oleh oksidasi segera setelah sistem lahan gambut dikeringkan, yang dilanjutkan dengan pemadatan dan subsiden permukaan gambut. Hooijer et al., (2006) melaporkan bahwa drainase mengakibatkan emisi CO2 berkisar antara 355 dan 874 Juta ton/tahun atau rata-rata 632 juta ton / tahun untuk Asia Tenggara. Sumber emisi lainnya adalah kebakaran lahan gambut yang terkait dengan pengeringan. Tabel III-7. Luas kedalaman gambut diatas 3 meter dan dibawah 3 meter di lima provinsi Ketebalan < 3 m
Ketebalan > 3m
Jumlah
Hektar
%
Hektar
%
Total (hektar)
Riau
1.417.762
36,7
2.449.652 63,3
3.867.414
Jambi
234.532
37,8
386.557
62,2
621.089
Sumatera Selatan
1.220.757
96,7
41.627
3,3
1.262.384
Kalimantan Barat
1.240.157
73,8
439.977
26,2
1.680.134
Kalimantan Timur
85.939
25,9
246.427
74,1
332.366
Provinsi
Sumber: BBSDLP, 2011
55
56
BAB TIGA
Tabel III-8. Perbandingan istilah dan pengertian gambut dalam regulasi di Indonesia
Istilah
Definisi
Catatan
Kawasan bergambut
Kawasan yang unsur pembentuk tanahnya sebagian besar berupa sisa-sisa bahan organik yang tertimbun dalam waktu yang lama (Pasal 1 angka 4) Keppres No. 32/1990
Istilah yang digunakan lebih menekankan pada unsur ekosistem dan substansi dari gambut.
Kawasan gambut
Wilayah ekosistem gambut di dalam dan di luar kawasan hutan, yang berfungsi sebagai kawasan lindung atau budidaya. (Lampiran Angka 3.3) Peraturan Menteri Pertanian No.14/2009
Pada istilah ini, telah memisahkan kawasan hutan dan non kawasan hutan.
Lahan gambut
Kawasan gambut yang dapat dimanfaatkan untuk budidaya perkebunan kelapa sawit. (Lampiran Poin 3.5) Permentan No.14/2009
Istilah dan definisi lahan gambut disebutkan di dalam lampiran.
Ekosistem gambut
Tatanan unsur gambut yang merupakan satu kesatuan utuh menyeluruh yang saling mempengaruhi dalam membentuk keseimbangan, stabilitas dan produktivitasnya. (Pasal 1 angka 3) PP No. 71/2014
Kesatuan hidrologi gambut
Ekosistem gambut yang letaknya di antara 2 (dua) sungai, di antara sungai dan laut, dan/ atau pada rawa. (Pasal 1 angka 3) PP No. 71/2014
Kedua istilah ini adalah yang paling baru dan menyesuaikan dengan semangat pendekatan ekoregion yang dianut oleh Undang undang 32 tahun 2009.
Sumber: Indrarto B.G., 2015
Dengan demikian, lahan gambut yang tidak berhutan dan terdegradasi di Asia Tenggara adalah sumber emisi signifikan secara global. Regulasi awal yang mengatur mengenai gambut tercantum di dalam Keputusan Presiden No. 32 Tahun 1990. Regulasi ini mengatur area gambut dengan kedalaman lebih dari tiga meter tidak dapat digunakan untuk pertanian atau perkebunan, sehingga harus dilindungi. Regulasi ini telah diadopsi dalam peraturan perundangundangan di bidang lingkungan hidup, pertanian, kehutanan, dan penataan ruang. Pemerintah Indonesia juga telah meratifikasi Convention on Wetlands of International Importance Especially as Waterfowl Habitat melalui Keputusan Presiden No. 48 Tahun 1991. Lalu pada tahun 2014, pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah No. 71 tahun 2014 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut yang lebih khusus mengatur rencana pengelolaan dan baku kerusakan ekosistem gambut.
Di dalam regulasi-regulasi yang telah diterbitkan tersebut, terdapat berbagai istilah untuk mendefinisikan gambut yang dapat berdampak dalam penerapannya. Namun demikian terdapat satu satu kesamaan pengaturan, yaitu ketentuan mengenai ketebalan gambut yang dapat dimanfaatkan dan dilindungi. Peraturan perundang-undangan melindungi lahan gambut dengan ketebalan atau kedalaman lebih dari 3 meter. Para pihak berharap agar PP No. 71/2014 ini memberi arahan yang lebih jelas dalam pengelolaan gambut, menentukan kesatuan hidrologis gambut, peta final kesatuan hidrologis gambut, fungsi ekosistem gambut, dan RPPEG (Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut). Namun belum diketahui bagaimana memadukan peta final ekosistem gambut dengan kebijakan satu peta. Kesatuan hidrologis gambut ditentukan berdasarkan aspek teknis tanpa mempertimbangkan aspek sosial, sebagaimana definisi yang diberikan di dalam PP ini (Lihat tabel di atas). Padahal pelibatan
RENCANA INDUK PENGEMBANGAN KONSERVASI BENTANG ALAM SKALA BESAR DI SUMATERA DAN KALIMANTAN
Penghitungan perkiraan cadangan karbon di setiap kelas tutupan lahan di setiap bentang alam sesuai hasil analisis tutupan lahan berdasarkan citra Landsat tahun 2003 dan tahun 2014 (Lihat Gambar III-1). Rata-rata cadangan karbon cenderung menurun karena adanya perubahan tutupan lahan di dalam bentang alam kecuali di Bentang Alam Padang Sugihan dan Kutai. Kenaikan terjadi di Bentang Alam Padang Sugihan diduga karena kawasan tersebut telah ditinggalkan HPH sejak tahun 1998. Perusahaan HTI mulai mengelola kawasan tersebut pada tahun 2004. Hal yang sama juga terjadi di Bentang Alam Kutai.
para pihak dalam pengelolaan ekosistem gambut merupakan faktor penting yang akan mempengaruhi tingkat keberhasilannya.
3.1.4 Nilai Cadangan Karbon Tier-1 Cadangan karbon (carbon Stock) adalah simpanan karbon di dalam vegetasi hutan selama jangka waktu tertentu sebagai hasil kemampuan pohon menyerap dan menyimpan karbon dioksida (Machfudh, 2012). Untuk kepentingan dokumen ini telah dilakukan penghitungan perkiraan cadangan karbon dengan tingkat kerincian Tier-1. Faktor emisi mengacu pada Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan sebagaimana diuraikan pada Tabel III-9.
Tabel III-9. Kelas penutupan lahan dan stok karbon (tC/ha) untuk memperkirakan stok karbon
Kode Penutupan Lahan
Kelas Penutupan Lahan
Kode Menurut IPPC 2006 Guideline
Stok Karbon (tC/ha)
Sumber
2001
Hutan Lahan Kering Primer
FL
195,4
TSP/PSP Kemhut
2002
Hutan Lahan Kering Sekunder/bekas tebangan
FL
169,7
TSP/PSP Kemhut
2004
Hutan Bakau Primer
FL
170
*
2005
Hutan Rawa Primer
FL
196
*
2006
Hutan Tanaman Industri (HTI)
FL
100
*
2007
Semak/Belukar
GL
15
Wasrin, 2000
2010
Perkebunan
CL
63
*
2012
Permukiman
S
1
*
2014
Tanah Terbuka
OL
0
*
3000
Savana
GL
4,5
*
5001
Tubuh Air
-
0
*
20041
Hutan Bakau Sekunder/bekas tebangan
FL
120
*
20051
Hutan Rawa Sekunder/bekas tebangan
FL
155
*
20071
Semak/Belukar Rawa
WL
15
*
20091
Pertanian Lahan Kering
CL
8
*
20092
Pertanian Lahan Kering Bercampur Semak
CL
10
*
20093
Sawah
CL
5
*
20094
Tambak
OL
0
*
20121
Airport
OL
0
*
20122
Transmigrasi
CL
10
*
20141
Pertambangan
-
0
*
50011
Rawa
WL
0
*
Keterangan: FL=Forestland, GL=Grassland, CL=Cropland, S=Settlement, OL=Otherland, WL=Wetland. Sumber: Sugardiman (2010) dan Masripatin et.al. (2010).
57
58
BAB TIGA
Gambar III-1. Perkiraan nilai cadangan karbon (TonCarbon) di sepuluh bentang alam Sumber: data diolah dan dianalisis dari berbagai sumber
Sejumlah perusahaan pemegang konsesi HTI di dalam bentang alam telah melakukan kajian cadangan karbon tinggi (High Carbon Stock, HCS) di area konsesinya secara sukarela. Kajian itu dilakukan oleh Ata Marie (2014) untuk menghitung cadangan karbon di atas tanah (above ground) di area konsesi HTI yang belum dikembangkan. Hasil kajian ini berupa penentuan jumlah ton karbon per hektar dan area HCS yang diprioritaskan untuk dilindungi dan dikonservasi.
3.1.5 Titik Api di Bentang Alam Titik api (hotspot) adalah indikator untuk mendeteksi suatu lokasi dengan suhu relatif lebih tinggi daripada suhu di sekitarnya2, yang datanya diperoleh dari satelit sebagai indikasi adanya kebakaran hutan dan lahan. Data titik api yang dianalisis untuk dokumen Rencana Induk ini adalah rangkaian data titik api selama lima tahun antara (20092013), diperoleh dari Kementerian LHK, yang berasal dari stasiun penerima data NOAA-18 (AVHHR) yang dikelola oleh ASMC (ASEAN Specialised Meteorological Centre di Singapura. Ambang batas yang digunakan adalah 318oKalvin atau 45oCelsius. Suatu lokasi dinyatakan sebagai titik api jika suhunya lebih dari 45oC dibandingkan suhu sekitarnya. Berdasarkan
validasi yang dilakukan oleh LAPAN 3 pada tahun 2014, ternyata 45% lokasi yang terdeteksi titik api adalah area kebakaran. Saat ini terdapat lima provinsi prioritas untuk pengendalian kebakaran hutan/lahektarn, yaitu Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, dan Kalimantan Tengah. Sembilan bentang alam yang menjadi target dalam Rencana Induk ini berada di provinsi prioritas tersebut. Berikut ini adalah data sebaran titik api pada periode 2009-2013. Berdasarkan jumlah patches, Bentang Alam Padang Sugihan dan Dangku Meranti memiliki lokasi hotspot padat yang paling banyak dengan sebaran yang relatif merata. Lokasi titik api relatif tersebar merata di KPL dan Non KPL kecuali di Berbak Sembilang dan Bukit Tigapuluh. Padang Sugihan terdeteksi memiliki jumlah titik api terbanyak pada tahun 2011 dan 2012. Pola sebaran lokasi yang memiliki kepadatan titik api tinggi ditampilkan di Gambar III-3. Sebaran lokasi dengan kepadatan titik api tinggi di Kawasan Penting Lanskap (KPL) lebih banyak terdeteksi di lokasi dengan arahan utama kegiatan pemantauan (21%) dan pemberdayaan (20%).
2 Permenhut No. P.12/Menhut-II/2009 tentang Pengendalian Kebakaran Hutan, Pasal 1 (angka 9). 3 LAPAN: Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional. Wawancara dengan Joni dan Franky Zamzani, Ditjen Pengendalian Perubaan Iklim KemenLHK, 25 Juni 2015
RENCANA INDUK PENGEMBANGAN KONSERVASI BENTANG ALAM SKALA BESAR DI SUMATERA DAN KALIMANTAN
Gambar III-2. Jumlah dan sebaran titik api di setiap bentang alam pada periode 2009-2013 Sumber data: Direktorat Penanggulangan Kebakaran Hutan dan Lahan, KemenLHK; Data telah diolah
Tabel III-10. Jumlah dan persentasi luas patch di setiap bentang alam Peristiwa Bentang Alam
∑vPatch
Luas Total Patch (Hektar)
% luas patch Terhadap Luas Bentang Alam
Letak di KPL
Letak di Non KPL
1. Senepis
7
8.903
3%
96%
4%
2. Giam Siak Kecil Bukit Batu
12
38.102
4%
67%
33%
3. Kerumutan
19
76.122
6%
65%
35%
4. Semenanjung Kampar
15
51.334
7%
58%
42%
5. Bukit Tigapuluh
11
94.165
9%
100%
0%
6. Berbak Sembilang
7
23.493
2%
9%
91%
7. Dangku-Meranti
72
130.785
12%
41%
59%
8. Padang Sugihan
110
235.911
14%
61%
39%
9. Kubu
36
68.783
7%
53%
47%
10. Kutai
46
50.219
5%
40%
60%
Sumber: diolah dari data sebaran hotspot, Direktorat Penanggulangan Kebakaran Hutan dan Lahan, KemenLHK
59
60
BAB TIGA
Gambar III-3. Pola sebaran lokasi (patches) titik api padat di 10 bentang alam pada periode 2009-2013
Secara indikatif alokasi desa dan kecamatan yang menjadi target program adalah 388 desa (24% dari 1650 desa di dalam bentang alam) pada 91 Kecamatan (48% dari 190 Kecamatan di dalam bentang alam). Perencana program harus mempertimbangkan data titik api tersebut di atas saat merancang program-program aksi di daerah padat titik api, terutama program
yang berkaitan dengan pencegahan dan penanggulangan kebakaran hutan dan lahan. Tabel diatas memberikan gambaran jumlah desa, kecamatan, dan perusahaan yang di dalam wilayahnya terdapat titik api padat. Area padat titik api berdasarkan wilayah administrasi ditampilkan selengkapnya dalam Lampiran 4. Kebakaran hutan dan lahan di Indonesia
Tabel III-11. Persentase titik api patches padat di Kawasan Penting Bentang Alam
Kawasan Penting Lanskap (KPL) No
Bentang Alam Pemantauan
Pemberdayaan
Proteksi
Restorasi
Non KPL
1.
Senepis
0%
47%
11%
38%
4%
2.
Giam Siak Kecil Bukit Batu
35%
3%
7%
23%
33%
3.
Kerumutan
2%
22%
19%
22%
35%
4.
Semenanjung Kampar
26%
27%
4%
1%
42%
5.
Bukit Tigapuluh
39%
5%
4%
52%
0%
6.
Berbak Sembilang
2%
1%
1%
5%
91%
7.
Dangku-Meranti
14%
8%
8%
11%
59%
8.
Padang Sugihan
28%
30%
3%
0%
39%
9.
Kubu
23%
24%
7%
0%
47%
10
Kutai
2%
31%
6%
1%
60%
Total
21%
20%
6%
12%
40%
Sumber: Diolah dari data sebaran titik api, Direktorat Penanggulangan Kebakaran Hutan dan Lahan, KemenLHK
RENCANA INDUK PENGEMBANGAN KONSERVASI BENTANG ALAM SKALA BESAR DI SUMATERA DAN KALIMANTAN
Tabel III-12. Jumlah perusahaan, kecamatan, dan desa di area hotspot patches yang padat
No
Bentang Alam
Perusahaan
Kecamatan
Kecamatan dalam Bentang Alam
Desa
Desa dalam Bentang Alam
1
Senepis
-
3
8
5
51
2
Giam Siak Kecil Bukit Batu
8
7
23
14
148
3
Kerumutan
2
15
26
50
212
4
Semenanjung Kampar
5
10
11
35
74
5
Bukit Tigapuluh
5
8
30
25
284
6
Berbak Sembilang
4
2
21
12
194
7
Dangku-Meranti
6
15
19
76
186
8
Padang Sugihan
4
15
18
109
259
9
Kubu
4
9
10
31
75
10
Kutai
2
7
24
31
167
45
91
190
388
1650
Jumlah
menjadi persoalan tahunan dan telah berkembang menjadi isu regional. Data titik api satelit NOAA antara tahun 2002 sampai dengan 2010, menunjukkan bahwa 70–80% kebakaran terjadi di luar kawasan hutan. Umumnya disebabkan oleh aktivitas manusia pada saat menyiapkan lahan untuk perladangan, pertanian, dan perkebunan dengan cara membakar semak dan pohon (BNPB, 2013). Sebagaimana telah disampaikan di dalam Bab 2.2.3., bahwa Indonesia telah meratifikasi ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution (AATHP). Hal itu tentu berdampak pada hubungan luar negeri Indonesia dengan negara-negara tetangga di ASEAN. Dengan demikian, permasalahan kebakaran hutan dan lahan tidak lagi menjadi masalah lokal, tetapi menjadi masalah nasional dan regional yang memerlukan perhatian semua pihak yang berada di daerah-daerah rawan kebakaran hutan yang ditandai dengan padatnya titik-titik titik api dalam rentang sepuluh tahun terakhir. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), sebagai lembaga yang mengkoordinasi penanggulangan bencana, telah menyusun
3.1.6
Rencana Kontinjensi Nasional Menghadapi Ancaman Bencana Asap Tahun 2013, sebagai penyempurnaan Rencana Aksi Terpadu Menghadapi Bencana Asap dan Kekeringan Tahun 2012. Dokumen itu menguraikan peran dan tanggungjawab pemadaman kebakaran hutan dan lahan (Damkarhutlah), konsep operasi mengenai mekanisme dan koordinasi pengerahan sumberdaya, dan tindakan yang dilakukan dalam operasi. Saat ini sedang disusun Peraturan Menteri LHK tentang standar organisasi, SDM dan sarpras pengendalian kebakaran hutan dan/atau lahan. Lembaga yang mendapat mandat dalam peraturan itu adalah Pemerintah Daerah, Kesatuan Pengelolaan Hutan, pemegang konsesi kehutanan, pengelola hutan desa, hutan kemasyarakatan dan pemilik hutan hak. Lokasi prioritasnya ditampilkan dalam tabel berikut ini:
Kondisi Sosial-Ekonomi Gambaran umum menyangkut profil demografi dan wilayah administrasi yang bersinggungan dengan batas-batas KPL ini tidak dimaksudkan untuk membuat perbandingan antarbentang alam. Deskripsi mengenai kondisi sosial ekonomi ini untuk memperlihatkan profil umum tentang penduduk dalam KPL berdasarkan data
61
62
BAB TIGA
Tabel III-13. Lokasi prioritas pengendalian kebakaran hutan dan lahan
No.
Lokasi Prioritas
Bentang alam
1.
Daerah-daerah yang menjadi tuan rumah event nasional/internasional
2.
Daerah yang merupakan habitat satwa yang terancam punah, sehingga mendapatkan perhatian dunia seperti gajah, harimau sumatera, orangutan, jalak bali, elang jawa, dan lainlain
Seluruh bentang alam
3.
Daerah tujuan wisata
-
4.
Daerah yang berbatasan dengan negara tetangga, karena asap melintas ke negara tetangga (Riau, Sumatera Utara);
Senepis, GSK-BB
5.
Daerah dataran tinggi yang merupakan sumber mata air.
Bukit Tigapuluh
6.
Daerah lahan gambut yang sangat sulit dipadamkan dan pada saat kebakaran menghasilkan asap yang banyak dan pekat (Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah)
Seluruh bentang alam kecuali Kutai
Sumber: BNPB, 2013.
sekunder yang diterbitkan Badan Pusat Statistik (BPS). Secara administratif, setidaknya terdapat 1.690 desa yang sebagian atau seluruhnya berada di dalam sepuluh bentang alam target (Tabel III-14). Desa-desa tersebut tersebar di 186 kecamatan, yang secara kumulatif berada di 41 kabupaten/kota, namun ada beberapa bentang alam yang terletak di lebih dari satu kabupaten/ kota, sehingga jumlah total kabupaten/kota di sepuluh bentang alam ini adalah tigapuluh satu. Jumlah kecamatan dan desa di atas merupakan perhitungan berdasarkan sinkronisasi peta
batas KPL dengan peta wilayah administrasi Kecamatan serta data Potensi Desa 2014. Jumlah tersebut dapat berubah karena adanya kemungkinan pemekaran kecamatan atau desa baru yang belum tercatat. Dari aspek demografi, total jumlah penduduk berdasarkan kecamatan yang sebagian atau seluruh wilayahnya masuk dalam bentang alam adalah sekitar 6,45 juta jiwa dengan kepadatan penduduk tertinggi di Bentang Alam Kutai sedangkan yang terendah di Bentang Alam Kubu. Ini berarti pengelolaan bentang alam secara langsung dan tak langsung akan
Tabel III-14. Jumlah kabupaten, kecamatan, dan desa di bentang alam
Jumlah wilayah administrasi Bentang Alam
Provinsi
Kabupaten/ kota
Camat
Desa
1.
Senepis
Riau
2
9
52
2.
GSKBB
Riau
6
23
148
3.
Semenanjung Kampar
Riau
2
11
74
4.
Kerumutan
Riau
3
26
216
5.
Bukit Tigapuluh
Riau, Jambi
6
30
293
6.
Berbak Sembilang
Sumatera Selatan, Jambi
5
14
203
7.
Dangku Meranti
Sumatera Selatan, Jambi
7
22
197
8.
Padang Sugihan
Sumatera Selatan
2
16
265
9.
Kubu
Kalimantan Barat
4
11
79
10. Kutai
Kalimantan Timur
4
24
170
41
186
1.690
Total Sumber: diolah dari berbagai sumber (Daerah Dalam Angka, Potensi Desa)
RENCANA INDUK PENGEMBANGAN KONSERVASI BENTANG ALAM SKALA BESAR DI SUMATERA DAN KALIMANTAN
Tabel III-15. Perkiraan jumlah penduduk kecamatan yang ada di dalam bentang alam tahun 2014
Bentang Alam
Total luas kecamatan (km2)
Total
Kepadatan ( jiwa/km2)
1.
Senepis
5.197
371.701
72
2.
GSKBB
24.093
988.098
41
3.
Semenanjung Kampar
10.983
245.586
22
4.
Kerumutan
22.844
806.014
35
5.
Bukit Tigapuluh
14.313
754.485
53
6.
Berbak Sembilang
31.662
615.374
19
7.
Dangku Meranti
18.958
939.363
49
8.
Padang Sugihan
18.619
624.937
33
9.
Kubu
15.524
285.920
18
10. Kutai
9.242
820.475
89
6.451.953
Total
Sumber: Provinsi Dalam Angka 2014 (BPS Riau, Sumatera Selatan, Jambi, Kalimantan TImur, Kalimantan Barat), BPS Kabupaten Dalam Angka 2014
berdampak pada banyak warga yang tinggal di dalam dan sekitarnya. Pertumbuhan jumlah penduduk merupakan salah satu tantangan dalam pengelolaan bentang alam. Peningkatan jumlah penduduk akan langsung berdampak pada kebutuhan lahan pertanian dan permukiman. Dengan membandingkan data demografis per tahun di tiap kabupaten dalam provinsi di mana 10 bentang alam ini berada, terlihat laju pertumbuhan penduduk yang beragam pada lokasi-lokasi yang sebagian atau seluruhnya masuk dalam batas bentang alam. Misalnya Kabupaten Tanjung Jabung Timur (Jambi), yang sebagian wilayahnya berada di bentang alam Bukit Tigapuluh memiliki laju pertumbuhan penduduk terendah (0,70%/tahun) daripada kabupaten/kota lainnya. Sedangkan wilayah dengan laju pertumbuhan tertinggi (6,67%/ tahun) adalah Kabupaten Pelalawan di Riau, yang sebagian wilayahnya di dalam Bentang Alam Kerumutan dan Semenanjung Kampar. Hasil analisis tren pertumbuhan penduduk di setiap bentang alam ditampilkan di dalam Lampiran 5. Data PDRB provinsi-provinsi di mana 10 bentang
alam ini berada menunjukkan bahwa sektor primer—subsektor pertanian, kehutanan, perikanan, perkebunan dan pertambangan— memberi kontribusi paling besar terhadap perekonomian regional di banding subsektor lainnya. Hal ini sebagai indikasi bahwa pemanfaatan sumberdaya alam mepengaruhi perkembangan ekonomi dan kehidupan sosial masyarakat. Di sisi lain, ketergantungan pada sektor primer akan memerlukan area tambahan untuk berbagai aktifitas pemanfaatan sumberdaya alam. Dengan demikian, peluang terjadinya konversi kawasan hutan untuk aktivitas pertambangan, perkebunan, serta pertanian juga tetap besar sebagai bagian dari pengembagan ekonomi daerah. Hal ini tentu akan mempengaruhi pengelolaan KPL. Di Provinsi Riau, Sumatera Selatan, dan Kalimantan Timur, kontribusi subsektor paling besar adalah pertambangan dan galian, antara 40-195 trilyun rupiah. Sedangkan di Jambi dan Kalimantan Barat, kontribusi terbesar terhadap PDRB berasal dari subsektor Pertanian.
Pertanian dan Perkebunan Aktivitas pertanian dan perkebunan oleh
63
64
BAB TIGA
Tabel III-16. PDRB Provinsi dalam bentang alam tahun 2011 dan 2012 PDRB Provinsi (dalam triliun Rp) Lapangan usaha
Sumsel
Riau
Jambi
Kalbar
Kaltim
2011
2012
2011
2012
2011
2012
2011
2012
2011
1. Pertanian
31,39
34,2
17,41
17,87
18,57
21,67
16,81
18,00
23,00
26,57
2. Pertambangan dan Penggalian
41,02
43,98
48,79
48,32
12,06
12,63
1,35
1,50
195,87
197,67
3. Industri Pengolahan
37,48
41,52
11,87
12,24
6,75
7,92
12,01
12,76
91,46
98,65
4. Listrik, Gas , Air Bersih
0,87
1,00
0,23
0,24
0,55
0,67
0,33
0,35
1,02
1,12
5. Konstruksi bangunan
14,02
16,63
3,97
45,29
2,71
3,49
1,35
1,35
10,32
12,49
6. Perdagangan, Hotel, Restoran
23,74
28,13
9,91
11,50
9,51
11,46
15,07
17,04
31,42
36,76
7. Pengangkutan dan Komunikasi
8,61
10,27
3,34
3,75
4,02
4,62
4,94
5,50
14,04
16,65
8. Keuangan, Sewa , Jasa Perusahaan
6,56
7,65
1,52
1,74
3,22
3,75
3,25
3,63
9,29
12,12
18,7
22,96
5,60
6,11
5,90
6,43
6,48
8,10
15,32
17,46
182,39
206,34
102,64
147,06
63,29
72,64
61,59
68,23
391,74
419,49
9. Jasa-jasa PDRB termasuk minyak dan gas
2012
Sumber: Profil Provinsi 2014, Provinsi Dalam Angka 2014 (BPS Sumatera Selatan, Riau, Jambi, Kalimantan Timur, Kalimantan Barat)
penduduk di dalam bentang alam cenderung menggunakan pola ekstensifikasi melalui perluasan lahan. Hal itu tercermin pada trend pertumbuhan luas perkebunan di lima provinsi di mana bentang alam target berada, terutama untuk perkebunan kelapa sawit yang dikelola masyarakat. Berdasarkan data Sensus Pertanian 2013 yang diterbitkan Badan Pusat Statistik (BPS), terjadi penurunan jumlah Rumah Tangga Petani (RTP) yang beraktivitas di sub-sektor pertanian pangan dan hortikultura sepanjang periode 2003-2013, dan penurunan di subsektor perikanan, peternakan dan kehutanan. Peningkatan justru terjadi di subsektor perkebunan. Gambar III-4. dan III-5 memperlihatkan adanya perubahan komposisi RTP yang mana subsektor perkebunan menjadi lebih dominan daripada subsektor lainnya. Kondisi ini mengindikasikan bahwa komoditas-komoditas perkebunan yang berorientasi pasar dan industri, seperti karet dan sawit, makin diandalkan oleh RTP untuk menopang pendapatan mereka. Dibanding
komoditas
lain
di
subsektor
4 Provinsi Kalimantan Barat Dalam Angka, 2014. Badan Pusat Statistik. 5 Provinsi Sumatera Selatan Dalam Angka 2014, Badan Pusat Statistik.
perkebunan, tanaman kelapa sawit merupakan komoditas yang cukup menonjol di setiap provinsi. Berdasarkan luas lahan yang ditanam, terdapat peningkatan pertumbuhan perkebunan sawit dalam skala besar oleh perusahaan dan perkebunan rakyat (small holder estate). Misalnya pada tahun 2013 di Kalimantan Barat, luas tanaman sawit yang dikelola perusahaan perkebunan naik 17,12% dibandingkan tahun sebelumnya, sementara produksinya naik 7,48 persen. Adapun pertumbuhan luas perkebunan sawit rakyat naik 10 persen meski produksinya mengalami penurunan sebesar 2,02 persen.4 Tahun 2013, luas tanaman sawit yang dikelola rakyat adalah 314.938 hektar, meningkat dari 221.858 hektar pada tahun 2009. Di Sumatera Selatan, luas lahan perkebunan rakyat yang ditanami kelapa sawit juga meningkat. Pada tahun 2008, luas lahan perkebunan rakyat untuk komoditas sawit sebesar 295.749 hah. Pada tahun 2011, luasnya menjadi 823.850 hektar, atau meningkat hampir empat kali lipat dalam kurun waktu 3 tahun.5 Namun, luas perkebunan rakyat untuk komoditas karet masih lebih unggul, yaitu
RENCANA INDUK PENGEMBANGAN KONSERVASI BENTANG ALAM SKALA BESAR DI SUMATERA DAN KALIMANTAN
Gambar III-4. Jumlah rumah tangga petani berdasarkan subsektor 2003 di lima provinsi
Gambar III-5. Jumlah rumah tangga petani berdasarkan subsektor 2013 di lima provinsi
1.205.809 hektar pada tahun 2011. Di Provinsi Riau, luas tanaman sawit pada tahun 2013 adalah 2.399.172 hektar dengan bagian terluas ada di Kabupaten Rokan Hilir, Pelalawan dan Kampar. Sejak 2009 hingga 2012, luas perkebunan sawit baik oleh perusahaan maupun perkebunan rakyat mengalami peningkatan rata-rata lebih dari 100 ribu hektar per tahun. 6 Provinsi Riau Dalam Angka 2014, Badan Pusat Statistik
Pada periode yang sama, luas tanaman karet dan kelapa yang luasnya cenderung menurun. Pada tahun 2009 luas keseluruhan lahan perkebunan karet, yang mayoritas dikelola masyarakat, terdapat sekitar 516.474 hektar. Sedangkan di tahun 2013 luasnya menjadi 505.264 hektar. Hal serupa juga terjadi pada luas lahan perkebunan kelapa yang pada tahun 2009 jumlahnya sekitar 527.598 hektar menjadi
65
66
BAB TIGA
520.260 hektar di tahun 2013.6 Suatu kawasan memiliki nilai ekonomi berupa manfaat langsung seperti tanaman komoditas, volume kayu yang dapat ditebang, atau hasil tambang. Terdapat pula manfaat tidak langsung yang diberikan suatu kawasan, yang perlu divaluasi nilainya. Misalnya valuasi ekonomi hutan ulayat di Desa Buluhcina (Kabupaten Kampar), melalui pendekatan produktivitas dan contingency berbagai produk seperti kayu, madu, satwa, tanaman obat, rotan, dan buahbuahan didapatkan nilai ekonomi sebesar Rp. 23.261.613.497 atau Rp.23.261.600/hektar/ tahun (Mukhamadun et al., 2008). Valuasi ekonomi ekosistem bakau di Desa Teluk Pambang (Kabupaten Bengkalis) didapatkan nilai ekonomi dari pemanfaatan kawasan bakau dalam kurun waktu 25 tahun sebesar Rp. 12.793.673.903,53/hektar dengan proporsi pemanfaatan 10% untuk ekosiwata dan kegiatan terbatas dan 90% untuk menjaga kawasan bakau tetap lestari sebagai fungsi ekologi (Qodrina et al., 2012). Sedangkan untuk kawasan pesisir (bakau, terumbu karang, ikan, lahan pesisir) di Bontang-Kalimantan Timur didapatkan nilai ekonomi sebesar Rp. 2.411.030.273.298 (Astuti et al., 2008). Belajar dari contoh di atas, dapat dilihat bahwa sumberdaya alam di suatu wilayah dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan nilai ekonomi dengan kegiatan yang yang ramah lingkungan, seperti pemanfaatan hasil hutan non-kayu, jasa lingkungan, dan pengembangan ekowisata. Potensi ekonomi tersebut dapat berkontribusi bagi pendapatan masyarakat dan pemerintah daerah jika dikelola dengan baik, dengan cara yang dapat memberikan manfaat jangka panjang, bukan dengan eksploitasi sumberdaya alam sebesar-besarnya. Sektor kelautan dan perikanan perlu dieksplorasi lebih banyak agar memberikan manfaat untuk mengimbangi sektor kehutanan, pertambangan, dan perkebunan. Optimalisasi dapat berjalan beriringan antara manfaat ekonomi dan ekologi secara berkelanjutan.
Keberadaan Masyarakat (Hukum) Adat Terdapat kelompok-kelompok masyarakat yang mengidentifikasi diri sebagai Masyarakat
Adat (MA)/ Masyarakat Hukum Adat (MHA) di setiap bentang alam dan mengklaim lahan dan kawasan hutan sebagai wilayah penguasaan adat mereka. Terdapat wilayah-wilayah di mana kelompok MA/MHA menetap dan beraktivitas, terutama di kawasan-kawasan hutan di Bentang Alam GSKBB, Senepis, Semenanjung Kampar, dan Kerumutan. Orang-orang Petalangan, Talang Mamak, Duanu, Sakai, dan Melayu adalah sebagian dari kelompok yang mengidentifikasi diri sebagai MA/MHA berdasarkan asal usul, sejarah penguasaan sumberdaya alam setempat, struktur organisasi sosial dan tradisitradisi yang dijalankan. Di Bentang Alam Bukit Tigapuluh terdapat masyarakat suku Anak Dalam atau orang Rimba yang tersebar di beberapa permukiman, yang dipimpin seorang tumenggung, sementara orang Talang Mamak pemimpinya disebut patih, dan ada pula komunitas yang menyebut pemimpinnya batin. Penyebaran mereka meliputi wilayah hutan di sekitar TN Bukit Duabelas dan TN Bukit Tigapuluh di Jambi, bahkan mencapai ke perbatasan di Provinsi Riau dan Sumatera Selatan. Penduduk asli/ komunitas adat juga ditemukan di Bentang Alam Padang Sugihan, Dangku-Meranti, dan sebagian Berbak Sembilang di Sumatera Selatan, misalnya masyarakat Komering, Ogan, Kayu Agung, Banyuasin. Bahkan terdapat pula komunitas Sakai dan suku Anak Dalam di Bentang Alam Dangku Meranti di perbatasan Jambi. Di Bentang Alam Kutai dan Kubu terdapat komunitas adat suku Dayak yang menetap di perkampungan di dalam dan sekitar hutan, sedangkan orang Melayu menghuni wilayahwilayah pesisir. Sebagian dari orang Dayak masih menjalankan kehidupan yang berhubungan erat dengan sumberdaya hutan, antara lain mengumpulkan hasil hutan dan melakukan perladangan berpindah. Dalam perencanaan konservasi bentang alam, keberadaan komunitas MA/MHA merupakan salah satu faktor yang akan mempengaruhi keberhasilan program proteksi dan restorasi, terutama di daerah yang rawan konflik tenurial. Klaim-klaim mereka atas kawasan hutan, terutama yang berstatus KSA/KPA, akan mendorong kerusakan habitat yang meningkatkan kemungkinan terjadinya konflik
RENCANA INDUK PENGEMBANGAN KONSERVASI BENTANG ALAM SKALA BESAR DI SUMATERA DAN KALIMANTAN
manusia-satwa. Dari perspektif lain, keberadaan komunitas MA/MHA yang masih menerapkan kearifan lokal dalam pemanfaatan sumberdaya hutan, sejauh masih menjadikan kelestarian hutan sebagai sistem kultural mereka, akan sangat mendukung upaya-upaya pelestarian ekosistem dalam bentang alam. Pengetahuan lokal, keterikatan terhadap sumberdaya hutan, penerapan hukum adat dan kelembagaan adat yang masih efektif merupakan modal sosial yang membuat masyarakat adat sebagai mitra potensial dalam konservasi bentang alam.
3.1.7 Konflik Sosial (Tenurial) Terkait pengelolaan sumberdaya alam, seringkali timbul persoalan antara masyarakat sekitar kawasan dengan unit pengelola konsesi, yang kemudian menjadi sebuah konflik sosial. Permasalahan ini juga terjadi di bentang alambentang alam di Sumatera dan Kalimantan, ketika satu pihak merasa ada pihak lain yang memberikan pengaruh negatif kepadanya atau suatu pihak merasa kepentingan itu memberikan pengaruh negatif kepada pihak lainnya (Robbins, 2001). Konflik kepentingan secara khusus terkait tenurial antara perusahaan dengan masyarakat di dalam dan sekitar bentang alam akan memicu persoalan, terutama ketika partisipasi masyarakat relatif minim. Disisi lain, Glasbergen (1995) dalam Rijanta & Baiquni (2003) menyatakan adanya kontribusi kesenjangan kebijakan pembangunan dan lingkungan yang menunjukkan bahwa masalah lingkungan tidak semata-mata persoalan fisik tetapi mencakup kepentingan subyek pelakunya. Kawasan hutan di Indonesia mengalami persoalan cukup serius, termasuk klaim lahan dan konflik tenurial. Maring et al. (2011) pada tahun 2010 mencatat adanya konflik pemanfaatan sumberdaya alam di Riau, yang terjadi di Kabupaten Rokan Hulu (11 kasus), Kabupaten Pelalawan (tujuh kasus), Kabupaten Bengkalis (enam kasus), Kabupaten Siak (lima kasus), dan 1-3 konflik di kabupaten lain. Data dari Dinas Kehutanan Jambi menunjukkan adanya konflik di Kabupaten Tebo (empat kasus), Kabupaten Bungo (delapan kasus), Kabupaten Sarolangun (11 kasus), Kabupaten Tanjungjabung Barat (14 kasus), Kabupaten Tanjungjabung Timur (empat kasus), Kabupaten Muaro Jambi (lima kasus), dan Kota Jambi (satu kasus). Mengingat bahwa
konflik-konflik tersebut terjadi di kabupatenkabupaten yang menjadi bentang alam target, maka dampak sosial dari konflik yang telah dan akan terjadi harus secara hati-hati diperhatikan dan diantisipasi dalam pengelolaan bentang alam. Berdasarkan data yang diperoleh dari berbagai sumber, termasuk hasil FGD dan wawancara, ditemukan berbagai persoalan dan konflik sosial di 10 bentang alam target (Lihat Lampiran 6). Jenis konflik yang terjadi di dalam bentang alam meliputi okupasi dan klaim lahan, penebangan tanaman hutan, perubahan fungsi lahan, hak kelola, tumpang tindih area konsesi, pencemaran, tata batas, akses terhadap sumberdaya alam (penutupan sungai/kanal, dll), dan mata pencaharian alternatif. Gambar III-6 menunjukkan lokasi terjadinya konflik sosial yang tercatat. Menurut UU No.7 Tahun 2007 tentang Penanganan Konflik (Pasal 9), Pemerintah wajib meredam potensi konflik di masyarakat dengan cara membuat rencana dan melaksanakan pembangunan yang memperhatikan aspirasi masyarakat; mengintensifkan dialog antarkelompok masyarakat dan penyelesaian konflik secara damai; menegakkan hukum tanpa diskriminasi. Jika konflik sudah terjadi, maka harus segera dilakukan penghentian kekerasan fisik yang melibatkan tokoh-tokoh masyarakat, agama, dan/atau tokoh adat. Mekanisme penyelesaian konflik secara damai merupakan kebijakan yang berlaku secara nasional dan juga sudah diadposi oleh Kementerian LHK. The Forest Trust (TFT) telah melakukan kajian konflik sosial di area-area konsesi kehutanan di dalam bentang alam, untuk mendapatkan gambaran dan alternatif penyelesaian konflik. Kajian itu mengembangkan tiga konflik yang selama ini dikenal menjadi delapan tipologi konflik. Berdasarkan tipologi konflik tersebut, APP-TFT (2014)7 menyusun langkah-langkah penyelesaiannya sebagai berikut: ΄ Tipologi 1: identifikasi sejarah desa, peta desa, kondisi lapangan, membangun kesepakatan, pemantauan dan evaluasi pelaksanaan perjanjian, pelaporan berkala; ΄ Tipologi 2: identifikasi asal-usul penguasaan lahan, membangun komunikasi dengan pemerintah, membangun kemitraan untuk kelembagaan,
7 Hasil Workshop on Analysis Recommendations ISFMP Development for TMA, WKS and RHM Jambi 28-29 Oktober 2014
67
68
BAB TIGA
pemantauan kesepakatan;
&
evaluasi
pelaksanaan
΄ Tipologi 3: identifikasi ulayat, overlay peta ulayat dan areal kerja perusahaan, kepastian batas tanah ulayat, identifikasi kondisi fisik, membangun kesepakatan kemitraan, pelaksanaan hasil kesepakatan, pemantauan & evaluasi, dan pelaporan kegiatan; ΄ Tipologi 4: identifikasi dan pemetaan sumber penghidupan, diskusi pilihan dalam pemenuhan kebutuhan dasar, membangun kesepakatan penyelesaian sesuai pilihan yang ada, pelaksanaan hasil kesepakatan, pelaporan; ΄ Tipologi 5: pengumpulan bukti & kronologi penguasaan lahan, verifikasi bukti pemindahan hak penguasaan lahan, pendekatan kepada penggarap, ketersediaan laporan ke polisi (proses hukum), pendekatan persuasif untuk meninggalkan lahan, pemantauan & evaluasi kemajuan penyelesaian, pelaporan; ΄ Tipologi 6: identifikasi-susun kronologipengumpulan bukti, sosialisasi status kawasan, pemasangan informasi/pamflet peraturan kehutanan, pendekatan/persuasif untuk meninggalkan lahan, proses hukum, pemantauan dan evaluasi, pelaporan; ΄ Tipologi 7: pengumpulan informasi dan bukti, verifikasi proyek, koordinasi dan konsultasi dengan pihak terkait, pemantauan & evaluasi, pelaporan; ΄ Tipologi 8: pengumpulan informasi dan bukti pendukung, identifikasi tutupan lahan, upaya hukum, pemantauan dan evaluasi, pelaporan. Pembelajaran dari perusahaan-perusahaan yang berupaya menyelesaikan konflik-konflik di kawasan konsesinya perlu mendapatkan perhatian dan apresiasi. Konflik dapat dinyatakan selesai ketika sudah mencapai fase implementasi kesepakatan, dengan urutan sebagai berikut: 1. Fase I : a) pemetaan konflik, b) penyusunan rencana kerja penyelesaian konflik
4. Fase IV : a) implementasi kesepakatan Pasya & Sirait (2011) mengidentifikasi beberapa tipe/gaya bersengketa, yaitu kompromi, akomodatif, kolaboratif, kompetitif, provokatif/ agitatif, dan menghindar. Terhadap tipe kompromi, akomodatif dan kolaboratif, maka para pesengketa dianggap telah memiliki modal sosial yang memadai untuk menyelesaikan masalah melalui proses mediasi. Terhadap gaya sengketa yang kompetitif (bersaing) dan agitatif (menyerang), maka perlu dibangun kepercayaan timbal balik (mutual trust) untuk meyakinkan pihak yang bersengketa untuk mencapai manfaat bersama melalui negosiasi. Terhadap gaya menghindar, maka perlu dilaksanakan identifikasi sengketa secara konstruktif, yaitu adanya mediator yang mengajak masing-masing pihak untuk mau dan bersedia menyampaikan pendapatnya dalam kesempatan terpisah.
3.1.8 Model Konseptual (MIRADI) Perangkat lunak (software) MIRADI digunakan untuk mendapatkan gambaran yang lebih baik mengenai konflik sosial di setiap bentang alam yang hasilnya ditampilkan pada Gambar III-8. Seluruh bentang alam umumnya menghadapi setidaknya 10 ancaman utama yang terkelompok menjadi tiga kelompok, yaitu ancaman yang bersumber pada infrastruktur, pemanfaatan bentang alam yang berdampak berat, dan ekstraksi sumberdaya yang berlebihan. Kelompok pertama terdiri dari tiga ancaman berupa pembangunan permukiman, infrastruktur jalan/ kanal, dan penanaman kayu produksi. Faktor pendorongnya adalah tata batas kawasan yang tidak jelas sehingga menyulitkan penegakan hukum, apalagi diperlemah oleh praktik korupsi dalam pengelolaan kawasan hutan. 8 Ketidakjelasan tata batas itu memicu konflik antara masyarakat dan pengelola kawasan terkait akses terhadap sumberdaya dan kepemilikan lahan, serta mendorong perpindahan penduduk/migrasi ke dalam bentang alam yang dimanfaatkan para spekulan tanah.
2. Fase II : a) pra negosiasi, b) negosiasi 3. Fase III : a) kesepakatan awal, b) tandatangan Memorandum of Understanding (MoU)
Kelompok kedua adalah kegiatan yang berdampak berat pada keutuhan bentang alam, yaitu kegiatan pertambangan (legal
8 Tempo.co. ICW: Sektor Kehutanan Rawan Korupsi. Minggu, 23 November 2014. http://bisnis.tempo.co/read/news/2014/11/23/090623852/icw-sektor-kehutanan-rawan-korupsi. Diakses 25 Juni 2015.
RENCANA INDUK PENGEMBANGAN KONSERVASI BENTANG ALAM SKALA BESAR DI SUMATERA DAN KALIMANTAN
Gambar III-6. Peta sebaran konflik di sepuluh bentang alam Sumber: Diolah dari berbagai sumber data
Gambar III-7. Tipologi konflik sosial sebelum dan sesudah kajian sosial Sumber: APP-The Forest Trust, 2014
69
70
BAB TIGA
bentang alam. Faktor-faktor ekonomi, seperti ketersediaan dan permintaan pasar dinilai turut menggerakkan kegiatan ekstraktif sumberdaya di dalam bentang alam. Fluktuasi harga komoditas/produk terkait dengan sumberdaya alam juga berkontribusi terhadap pengurasan sumberdaya.
Upaya pemadaman kebakaran hutan dan lahan oleh tim gabungan pemangku kepentingan di salah satu bentang alam di Sumatera, Agustus 2015. (Foto: Adnun Salampessy/APP)
dan illegal), kebakaran lahan dan hutan, serta perubahan bentuk dan fungsi ekologi lahan. Kegiatan-kegiatan tersebut mampu mengubah secara drastis karakteristik bentang alam, yang dipicu oleh kurang terpadunya rencana pembangunan daerah yang mengakibatkan tumpang tindih kawasan-kawasan untuk kegiatan yang berbeda. Contohnya alokasi konsesi pertambangan di dalam kawasan konservasi. Hilangnya fungsi ekologi dan perubahan penggunaan lahan akibat okupasi non-prosedural dan klaim lahan, misalnya pembukaan hutan bakau untuk akuakultur di Padang Sugihan. Rendahnya kapasitas masyarakat, kurangnya informasi mengenai metoda-metoda alternatif pengelolaan lahan, teknologi tepat guna, dan kebiasaan dalam praktik tradisional terus mendorong praktikpraktik pembakaran lahan di beberapa
Kelompok ketiga adalah ancaman yang timbul akibat ekstraksi sumberdaya alam (SDA) yang berlebihan, misalnya ekspansi pertanian, perburuan satwa liar, dan penebangan kayu illegal untuk bangunan atau untuk sumber energi (misalnya, arang bakau di Senepis & di Kubu). Rendahnya kesadaran dan ketrampilan terhadap pertanian berkelanjutan dan tingginya permintaan pasar terhadap komoditas tertentu menjadi pemicu utama timbulnya ancamanancaman tersebut. Selain itu, kebiasaan dan pengetahuan tradisional yang mendukung atau sejalan dengan ancaman (misalnya penerapan pola sonor di Padang Sugihan dan sekitarnya, pengetahuan tradisional terhadap lokasi jelajah satwa endemik yang disalahgunakan untuk perburuan) memberikan kontribusi terhadap keberlangsungan ancaman-ancaman yang ada di setiap bentang alam. Dampak lanjut dari setiap ancaman ini adalah terjadinya konflik manusia-satwa yang terjadi di bentang alam, melibatkan flagship species seperti gajah dan harimau sumatera. Semua kegiatan itu, secara akumulatif mengancam keutuhan bentang alam dan kelestarian hutan alam. Analisis umum mengenai seluruh bentang alam dengan menggunakan MIRADI disampaikan dalam Gambar III-8.
RENCANA INDUK PENGEMBANGAN KONSERVASI BENTANG ALAM SKALA BESAR DI SUMATERA DAN KALIMANTAN
Gambar III-8. Hasil analisis model konseptual Miradi di seluruh bentang alam target
71
72
BAB TIGA
3.2 KONDISI KHUSUS BENTANG ALAM
Ekosistem dan Keanekaragaman Hayati
3.2.1 Bentang Alam Senepis, Riau
Bentang Alam Senepis memiliki tipe ekoregion hutan rawa gambut sumatera (77%) dan bakau dangkalan sunda (18%). Sekitar 70% dari bentang alam terletak di Daerah Aliran Sungai (DAS) Rokan dan sisanya berada pada DAS/ SubDAS Buluhala, Dumai, Geniyut, Mampu, Sentauhulu, dan Teras.
Letak Bentang Alam dan Fokus Utamanya Bentang Alam Senepis terletak antara 100° 42’ 40.34’’-101° 24’ 53.13’’ BT dan 2° 18’ 6.4’’ LU 1° 32’ 54.8’’ LU, dengan luas indikatif 322.966 hektar berada di Kota Dumai dan Kabupaten Rokan Hilir dengan total 9 kecamatan dan 52 desa. Status kawasan hutannya terdiri dari 59% HP, 7% HPK, 7% HPT, 2% KSA/KPA dan 26% APL9. Fokus utama program di Senepis adalah melindungi dan mempertahankan populasi harimau sumatera melalui pembinaan habitat, proteksi dan restorasi hutan/lahan gambut serta pemberdayaan masyarakat.
Di sebelah utara Bentang Alam Senepis terdapat Cagar Alam Pulau Berkeh seluas 559 hektar, sesuai dengan penunjukan Keputusan Menteri Pertanian No.13/Kpts/Um/3/1968. Belum diketahui apakah cagar alam ini sudah melalui tahap penetapan. Di Bentang Alam Senepis pernah diusulkan dan telah mendapatkan persetujuan prinsip dari Menteri Kehutanan untuk pembentukan Kawasan Konservasi Harimau Senepis-Buluhala (KKHSB) pada tahun 2006, namun hingga kini belum terwujud.
Gambar III-9. Peta indikatif Bentang Alam Senepis, status kawasan, dan tipe ekoregion
9 HP: Hutan Produksi; HPK: Hutan Produksi Konversi; HPT: Hutan Produksi Terbatas; HL: Hutan Lindung; KSA: Kawasan Suaka Alam; KPA: Kawasan Pelestarian Alam; APL: Areal Penggunaan Lain
RENCANA INDUK PENGEMBANGAN KONSERVASI BENTANG ALAM SKALA BESAR DI SUMATERA DAN KALIMANTAN
Di bentang alam ini sedikitnya terdapat 69 spesies vertebrata10, 40 spesies di antaranya dilindungi11, 24 spesies masuk Daftar Merah IUCN12, 42 spesies tergolong Appendiks I, II, III, CITES dan 13 spesies kategori EDGE. Spesies yang menjadi perhatian dunia adalah harimau sumatera (Panthera tigris sumatrae). Selain itu terdapat pula macan dahan (Neofelis nebulosa), binturong (Arctictis binturong), beruang madu (Helarctos malayanus), siamang (Hylobates syndactylus), trenggiling (Manis javanica), dan tapir (Tapirus indicus). Walau Bentang Alam Senepis tidak menjadi daerah prioritas Tiger Conservation Landscape, Harimau sumatera adalah salah satu flagship species yang masih bertahan di Senepis. Wells (2007) memperkirakan populasinya di Senepis antara 31-42 ekor. Insiden awal konflik manusiasatwa di sekitar Senepis tercatat pada tahun 1998. Hingga tahun 2007 sedikitnya terdapat 11 serangan yang mengakibatkan delapan orang tewas. Penyebab konflik diduga akibat kegiatan penebangan hutan dan konversi hutan menjadi kebun yang telah menurunkan kualitas habitat dan menurunnya jenis dan jumlah pakan (prey). Di dalam budaya orang Melayu yang tinggal di Senepis, harimau dianggap sebagai penegak hukum atas perilaku yang salah dari warganya. Pemangsaan hewan ternak dianggap sebagai hukuman atas perilaku pemilik ternak yang melanggar larangan adat. Namun serangan harimau terhadap manusia tetap tidak dapat diterima oleh warga Melayu Senepis. Sedikitnya telah ditangkap tujuh ekor harimau untuk mengurangi konflik, enam ekor diantaranya dikirim ke Taman Safari Indonesia dan satu ekor tewas (Wells, 2007). Dalam penanganan konflik, seringkali harimau berada dalam posisi yang dikalahkan: terbunuh. direlokasi, atau ”diselamatkan” ke kebun binatang.
Profil Sosial Ekonomi Masyarakat Total jumlah penduduk kecamatan yang ada dalam Bentang Alam Senepis adalah 371.701 jiwa. Penduduk terbanyak berada di Kecamatan Dumai Barat (89.978 jiwa) dan yang paling sedikit di Kecamatan Batu Hampar (7.213 jiwa). Mayoritas penduduknya beragama Islam, sedangkan etnisitasnya cukup beragam. Penduduk asli di wilayah Bentang Alam Senepis adalah orang Melayu. Kelompok suku pendatang yang telah
Tabel III-17. Wilayah dan jumlah penduduk kecamatan di dalam Bentang Alam Senepis
Kabupaten/ kota
Jumlah Jiwa Kecamatan
Total L
P
Dumai Barat
46.148
43.830
89.978
Sungai Sembilan
14.438
13.027
27.465
Bangko
42.166
39.818
81.984
26.855
25.259
52.114
3.725
3.488
7.213
16.447
15.715
32.162
5.776
5.305
11.081
Tanah Putih
29.784
27.854
57.638
Tanah Putih Tanjung Melawan
6.088
5.978
12.066
Dumai
Bangko Pusako
Batu Hampar
Rokan Hilir
Rimba Melintang Sinaboi
371.701
Sumber: Provinsi Riau Dalam Angka 2014, Kabupaten Dalam Angka 2014 (Kota Dumai Dalam Angka, Kabupaten Rokan Hilir Dalam Angka). L: Lelaki; P: Perempuan
mendiami wilayah ini bertahun-tahun adalah Minang, Jawa, Bugis, dan Cina. Perkembangan ekonomi daerah Rokan Hilir dan kota Dumai telah mendorong masuknya masyarakat pendatang untuk bekerja di berbagai sektor usaha. Mayoritas penduduknya, sebanyak 106.768 jiwa telah tamat Sekolah Dasar atau yang sederajat. Penduduk yang berusia di atas 15 tahun dan bekerja jumlahnya 126.889 orang, kebanyakan bekerja di sektor perkebunan (32,58%), pertanian tanaman pangan padi dan palawija (12,91%), perdagangan (12,88%) dan jasa kemasyarakatan (13,37%). Persentase yang bekerja di sektor kehutanan, perikanan dan pertambangan/galian secara keseluruhan sekitar 6,1%.
10 HP: Hutan Produksi; HPK: Hutan Produksi Konversi; HPT: Hutan Produksi Terbatas; HL: Hutan Lindung; KSA: Kawasan Suaka Alam; KPA: Kawasan Pelestarian Alam; APL: Areal Penggunaan Lain 11 PP No.7 Tahun 1999 dan UU No.5 Tahun 1990 12 Hanya yang berstatus Critically Endangered/CR, Endangered/EN, Vulnerable/VU, dan Near Threathened/NT
73
74
BAB TIGA
Ancaman terhadap Bentang Alam Senepis
Gambar III-10. Persentase pendidikan terakhir penduduk di Bentang Alam Senepis
Sebagai perbandingan, luas lahan yang ditanami jenis tanaman perkebunan jauh lebih besar daripada tanaman pertanian, seperti padi atau hortikultura. Sawit merupakan jenis yang paling luas area penanamannya dibanding karet, kelapa atau kakao.
Tabel III-18. Jenis tanaman dan luas areal ditanam di kabupaten dalam Bentang Alam Senepis Luas areal ditanam (hektar) Jenis tanaman Rokan Hilir
Dumai
Total
Pertanian
Padi sawah
12.271
244
12.515
Padi ladang
14
194
208
Jagung
510
41
551
Ubi kayu
316
223
539
Karet
2.926
2355
5.281
Kelapa
5.469
1.929
7.398
273.145
36.345
309.490
260
26
286
Perkebunan
Sawit
Kakao
Sumber: Sensus Pertanian 2013 (BPS Provinsi Riau, 2014)
Di Bentang Alam Senepis sedikitnya terdapat empat ancaman langsung berupa konversi/ pengeringan lahan gambut, konversi kawasan lindung harimau, perambahan kawasan, dan konflik harimau-manusia. Kebijakan tata ruang yang tidak selaras berkontribusi terhadap tumpang tindihnya pengelolaan lahan, pengembangan infrastuktur jalan Sinaboi-Dumai telah memicu timbulnya konflik lahan, perambahan kawasan dan konversi kawasan hutan menjadi kebun dan permukiman. Selain itu, gambut di Senepis juga terancam oleh kegiatan-kegiatan pengeringan gambut. Secara khusus, keterbatasan lahan budidaya di sekitar kawasan hutan Senepis nampaknya memberikan dorongan terjadinya konflik lahan dan meningkatkan peluang konversi hutan Senepis. Sekitar 11.000 hektar konsesi perusahaan telah dikuasai oleh masyarakat dengan berbagai tujuan penggunaan lahan. Tingginya kebutuhan kayu untuk kepentingan pembangunan daerah merupakan salah satu pemicu terjadinya penbangan liar akibat ketiadaan pasokan kayu. Daerah bekas tebangan itu kemudian menjadi sasaran perambahan dan spekulasi lahan. Dinas Kehutanan Kota Dumai mengkonfirmasi bahwa perusahaan pengolah kayu mendapatkan pasokan bahan mentah dari hutan alam yang diperoleh tanpa izin. Terhadap penguasaan lahan, terdapat indikasi adanya jual beli lahan di dalam kawasan hutan dengan dalih hak ulayat. Rawa gambut yang tercatat sebagai area terdampak Inpres Moratorium terancam karena adanya klaim masyarakat setempat atas wilayah itu dari perusahaan. Tiga perusahaan berbasis kehutanan yang ada di Senepis menghadapi persoalan tenurial dengan masyarakat sekitar atau yang datang dari luar wilayah Senepis. Tekanan-tekanan tersebut berpotensi mengancam/mengurangi area yang direncanakan menjadi KKHSB (Wells, 2007). Pemanenan kayu bakau yang berlebihan untuk dibuat menjadi arang juga akan menimbulkan persoalan di sektor perikanan. Beberapa kajian penilaian ekonomi hutan bakau membuktikan bahwa nilai ekonomi arang bakau jauh lebih rendah daripada perikanan.
RENCANA INDUK PENGEMBANGAN KONSERVASI BENTANG ALAM SKALA BESAR DI SUMATERA DAN KALIMANTAN
Rehabilitasi bakau dengan melibatkan masyarakat sangat mendesak untuk dilakukan di Bentang Alam Senepis.
Kelembagaan dan Para Pihak Hingga kini belum ada kelembagaan formal atau informal yang mengkoordinasikan pengelolaan Bentang Alam Senepis. Di dalam Bentang Alam Senepis, Pemerintah Provinsi Riau telah mengusulkan pembentukan KKHSB tahun 2004, dan telah mendapatkan persetujuan prinsip berdasarkan Surat Menteri Kehutanan Nomor S.04/Menhut-VII/2006 tertanggal 3 Januari 2006 yang ditujukan kepada Gubernur Riau, dan Surat Menteri Kehutanan Nomor S.05/ Menhut-VII/2006 tertanggal 3 Januari 2006, telah memerintahkan tindaklanjutnya kepada Dirjen PHKA, Dirjen Bina Produksi Kehutanan, dan Kepala Badan Planologi Kehutanan untuk menindaklanjuti pembentukan KKHSB. Pada tahun 2009-2011 telah dilakukan inisiatif mengatasi konflik harimau-manusia oleh Yayasan Pelestarian Harimau Sumatera melalui uji coba pemangsaan hewan dalam kandang. Sejumlah kegiatan lanjutan telah dilakukan, namun gagasan pembentukan KKHSB belum terwujud. Pada pertemuan FGD di Pekanbaru tanggal 22-23 April 2015, dan pertemuan dengan perwakilan PT. Diamond Raya Timber didapatkan konfirmasi bahwa para pihak masih menunggu kelanjutan gagasan KKHSB. Pelaksanaan KKHSB dapat menjadi opsi penting karena Badan Pengelola KKHSB dapat mensinergikan upaya-upaya konservasi harimau sumatera di Bentang Alam Senepis, yang sebagian besar berstatus hutan produksi.
serta penyelesaian konflik sosial masyarakat secara damai. Perusahaan-perusahaan lain yang menerapkan kebijakan pengelolaan hutan lestari juga perlu mendapat perhatian dan pemantauan secara berkala. LSM dan pihak-pihak lain yang terkait dapat ikut memantau dan memberikan masukan pada implementasi kebijakan Pemerintah dan Perusahaan. Strategi pelibatan yang masuk kuadran II adalah dengan melakukan kolaborasi antara pemerintah-perusahaan-LSM dalam program aksi bersama pengelolaan Bentang Alam Senepis secara nyata. Tingkat pengaruh dan kepentingan dapat dilihat pada Lampiran 7.
3.2.2 Bentang Alam Giam Siak Kecil-Bukit Batu, Riau Letak Bentang Alam dan Fokus Utamanya Bentang Alam GSKBB terletak antara 101° 6’ 44.96’’ -102° 9’ 55.52’’ BT dan 1° 40’ 19.99’’ LU0° 32’ 23.52’’ LU. Bentang alam seluas 941.200 hektar ini berada di Kabupaten Bengkalis, Dumai, Kampar, Pekanbaru, Rokan Hilir dan Siak, dengan total 23 kecamatan dan 148 desa. Status kawasannya terdiri dari 52% HP, 5% HPK, 2% HPT, 12% KSA/KPA dan 28% APL. Bentang Alam GSKBB mencakup Cagar Biosfer Giam Siak Kecil-Bukit Batu (CB GSKBB) dan hutan produksi di sebelah selatan cagar biosfer. Fokus utama program di GSKBB adalah proteksi dan restorasi zona inti CB GSKBB sebagai habitat harimau dan gajah sumatera, pemberdayaan masyarakat, dan mempertahankan populasi gajah dan harimau.
Ekosistem dan Keanekaragaman Hayati Peran yang telah diambil oleh pemerintah pusat dan daerah berupa persetujuan prinsip untuk membangun Kawasan Konservasi Harimau Sumatera Senepis-Buluhala (KKHSB) seluas 106,081 hektar memerlukan dukungan dari semua pihak. Sebagian besar para pihak di Senepis memiliki pola relasi yang tinggi terhadap sumberdaya alam dan bentang alam. Komitmen pihak swasta di dalam bentang alam, seperti yang dilakukan Grup APP melalui Forest Conservation Policy (FCP), perlu didukung dan dipantau implementasinya agar kebijakan itu terlaksana di tingkat tapak, dan keberkelanjutannya untuk memulihkan kerusakan ekosistem di dalam bentang alam
Bentang Alam GSKBB memiliki tipe ekosistem hutan rawa gambut, hutan rawa air tawar, hutan hujan dataran rendah, dan bakau dangkalan sunda. Bentang Alam GSKBB terletak di DAS/SubDAS Siak, Siak Kecil, Bukit Batu, Dumai, Kembeli Besar, Mesjid, dan Pelentung. Sebagian besar Bentang Alam GSKBB telah ditetapkan oleh UNESCO sebagai Cagar Biosfer pada tahun 2009 seluas 705.271 hektar, yang mencakup SM Giam Siak Kecil, SM Bukit Batu, dan blok hutan konsesi di antara dua SM tersebut sebagai zona inti. Telah banyak kegiatan penelitian keanekaragaman hayati di CB GSKBB oleh peneliti dari dalam dan luar negeri.
75
76
BAB TIGA
Gambar III-11. Peta indikatif Bentang Alam GSK-BB, status kawasan, dan tipe ekoregion
Selain kedua suaka margasatwa itu, di dalam Bentang Alam GSKBB juga terdapat Taman Hutan Raya Minas dan Pusat Pelatihan Gajah Duri. Tahura Minas (Sultan Syarif Hasim) ditunjuk pada tahun 1996 dan telah ditetapkan melalui Surat Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan No.348/Kpts-II/1999 tentang Penetapan Kelompok Hutan (Tahura) Minas seluas 6.172 hektar sebagai kawasan hutan. Kini Minas Tahura dikelola oleh KPH Minas Tahura Provinsi Riau. Minas Tahura mengalami tekanan yang luar biasa dalam bentuk penguasaan lahan dan tanaman kelapa sawit. Di dalam kawasan ini juga terdapat Pusat Konservasi Gajah Riau (PKG) binaan BBKSDA Riau, yang dihuni 17 ekor gajah. Tempat pelatihan ini sering dikunjungi masyarakat untuk berwisata menunggangi gajah
RENCANA INDUK PENGEMBANGAN KONSERVASI BENTANG ALAM SKALA BESAR DI SUMATERA DAN KALIMANTAN
Tabel III-19. Wilayah dan jumlah penduduk kecamatan di Bentang Alam Giam Siak Kecil-Bukit Batu
Kabupaten/Kota
Kecamatan
Bengkalis
Jumlah Jiwa L
Bukit Batu
15.424
14.705
30.129
113.848
105.416
219.264
9.691
9.018
18.709
Pinggir
40.517
37.887
78.404
Bukit Kapur
19.958
18.093
38.051
Medang Kampai Tapung
Kampar
Tapung Hilir
Pekanbaru
Rokan Hilir
5.419
4.780
10.199
43.066
39.183
82.249
27.191
24.931
52.122
Lima puluh
20.370
20.963
41.333
Payung sekaki
43.872
42.711
86.583
Rumbai
33.551
31.074
64.625
Rumbai pesisir
33.047
31.651
64.698
Tenayan raya
62.977
60.178
123.155
Tanah Putih
29.784
27.854
57.638
Bunga raya
10.885
10.054
20.939
Kandis
30.135
27.627
57.762
Koto gasib Minas Siak
Total
Mandau Siak Kecil
Dumai
P
9.573
8.940
18.513
13.488
12.449
25.937
Pusako
2.675
2.366
5.041
Sabak auh
5.024
4.774
9.798
Siak
11.321
10.570
21.891
Sungai mandau Tualang
3.786
3.446
7.232
54.679
49.484
104.163
Jumlah TOTAL
988.098
Sumber: Provinsi Riau Dalam Angka 2014, Kabupaten/Kota Dalam Angka 2014. L: Lelaki; P: Perempuan
Di bentang alam ini sedikitnya terdapat 222 spesies vertebrata, 63 spesies di antaranya dilindungi, 43 spesies masuk Daftar Merah IUCN, 40 spesies tergolong Apendiks CITES, dan 6 spesies kategori EDGE. Spesies penting di bentang alam ini antara lain harimau dan gajah sumatera (Elephas maximus sumatranus), beruang madu (Helarctos malayanus), ungko (Hylobates agilis), dan tapir (Tapirus indicus). Perkiraan populasi gajah sumatera di GSKBB sekitar 90-110 individu. Intensitas konflik dalam periode 2009-2014 termasuk sedang.
Profil Sosial Ekonomi Masyarakat Lokasi Bentang Alam GSKBB berdekatan dengan Bentang Alam Senepis dan Bentang Alam Kampar, bahkan dua wilayah kabupaten/ kota yang bersinggungan dengan Senepis juga masuk menjadi bagian Bentang Alam GSKBB.
Gambar III-12. Persentase pendidikan terakhir penduduk kecamatan di Bentang Alam GSKBB
77
78
BAB TIGA
Mayoritas penduduknya beragama Islam dengan budaya asli Melayu. Beberapa penduduk pendatang dari Pulau Jawa, Kalimantan, Sulawesi, dan wilayah sekitar Riau membuat beragamnya komposisi etnis penduduk di Bentang Alam GSKBB.
hingga 2014. Kebakaran hutan yang tidak terkendali diasumsikan sebagai penyebab utama deforestasi. Terjadinya kebakaran hutan pada 2014 telah membakar setidaknya 101.723 hektar kawasan, dengan 9.335 hektar di zona inti, dan 92.368 hektar di zona penyangga dan transisi (Rushayati et al., 2015). Isu-isu pemerintahan yang bertentangan dan belum terpecahkan pada tingkat bentang alam dapat menyebabkan konversi lahan dan kebakaran hutan yang tidak terkendali.
Berdasarkan tingkat pendidikannya, penduduk yang berusia 5 tahun ke atas mengenyam pendidikan SMA atau sederajat. Dari sekitar 438.030 jiwa, persentase penduduk yang berusia 15 tahun ke atas dan bekerja di sektor usaha perkebunan (26,02%), perdagangan (17,23%), jasa kemasyarakatan (12,51%), konstruksi/bangunan (7,66%) dan industri pengolahan (7,14). Penduduk yang bekerja di bidang usaha pertanian, peternakan, atau perikanan jumlahnya hanya sekitar 1-3% dari total tenaga kerja.
Ancaman yang memicu terjadinya permasalahan sosial di Bentang Alam GSKBB terbagi dalam tiga kelompok masalah, yaitu perambahan, konversi lahan di dalam kawasan konservasi, dan penebangan yang berlangsung pada proses konversi itu. Perambahan didorong oleh terbatasnya akses masyarakat ke sumber penghidupan mereka di hutan akibat adanya overlap antara wilayah jelajah mereka dengan konsesi. Permasalahan terkait simpang siur wilayah kelola, sengketa lahan dan penegakan hukum, secara keseluruhan juga turut mendorong terus terjadinya tiga ancaman utama di Bentang Alam Giam Siak Kecil-Bukit Batu. Di beberapa tempat terbangun persepsi adanya tumpang tindih (overlap) kawasan desa mereka dengan wilayah konsesi yang kemudian mendorong mereka untuk memperlebar wilayah dan memicu perambahan hutan alam.
Sensus Pertanian 2013 menunjukkan komoditas perkebunan yang ditanam paling luas adalah sawit, karet, dan kelapa. Hal ini berbeda dengan luas area yang ditanam jenis tanaman pertanian seperti padi, palawija dan hortikultura. Pada tahun yang sama, luas areal yang ditanami padi hanya sekitar 37.601 hektar sawah dan lahan kering/ladang. Sedangkan total lahan yang ditanami jagung dan ketela hanya sekitar 15.611 hektar.
Ancaman Terhadap Bentang Alam GSKBB
Kelembagaan dan Para Pihak
Walaupun ditunjuk sebagai cagar biosfer, Bentang Alam GSK-BB masih menghadapi tantangan dan ancaman serius. Analisis tata ruang terkait perubahan pada tutupan lahan dan penggunaan lahan mengindikasikan bahwa tingkat deforestasi di cagar biosfer tersebut telah mencapai 16.119 ha per tahun sejak 2010
Di Bentang Alam GSKBB telah ada lembaga pengelola Cagar Biosfer GSKBB yang diberi nama Badan Koordinasi Pengelolaan Cagar Biosfer Giam Siak Kecil-Bukit Batu, sesuai SK Gubernur Riau No.Kpts.920/V/2010. Di dalam keputusan itu juga sudah disampaikan
Tabel III-20. Jenis tanaman dan luas areal ditanam di kabupaten dalam Bentang Alam GSKBB
Luas areal ditanam (Hektar)
Kabupaten/Kota
Karet
Siak Kampar
Kelapa
Sawit
Pinang
Kopi
Kakao
16.129
1.657
287.782
259
140
66
101.966
1.806
387.263
99
17
286
Bengkalis
3.786
12.684
198.642
1.005
343
-
Rokan Hilir
2.639
5.469
273.145
117
20
260
Pekanbaru
2.926
6
10.745
-
-
13
Dumai
2.355
1.929
36.345
103
29
26
129.801
23.551
1.193.922
1.583
549
651
Jumlah
Sumber: Sensus Pertanian 2013 (BPS Provinsi Riau, 2014)
RENCANA INDUK PENGEMBANGAN KONSERVASI BENTANG ALAM SKALA BESAR DI SUMATERA DAN KALIMANTAN
struktur organisasi, pihak yang mengisi jabatan dalam organisasi, serta uraian tugas organisasi. Badan koordinasi belum sepenuhnya berjalan sesuai harapan, tetapi Program MAB Indonesia yang berada di LIPI tetap memberikan dukungan penuh dalam pelaksanaan rencana pengelolaan Cagar Biosfer GSKBB. Ketua Komite Nasional Program MAB-LIPI, Prof. Purwanto, menyatakan bahwa secara teknis sangat mungkin mengusulkan Bentang Alam GSKBB sebagai perluasan Cagar Biosfer GSKBB. Inisiasi CB GSKBB mendorong upaya pengelolaan secara terpadu dengan para pihak, termasuk perusahaan, LSM, pemerintah, dan universitas untuk mengembangkan pengelolaan di skala bentang alam. Pada bulan April 2015, dilakukan pertemuan antara MAB-Unesco, Dinas Kehutanan Bengkalis, Dinas Kelautan dan Perikanan Bengkalis, Balitbang Bengkalis, BLH Bengkalis, Bappeda Bengkalis dan perwakilan Sinar Mas Group. Pembahasan tersebut dititikberatkan pada masalah ekonomi, lingkungan, dan penelitian13. Pengelolaan cagar biosfer secara zonasi merupakan contoh pengelolaan Bentang Alam GSKBB. Di bentang alam ini terlah terdapat inisiatif lain dari pihak swasta untuk ikut menjaga keanekaragaman hayati melalui kegiatan budidaya, misalnya di Desa Temiang oleh Sinar Mas Forestry/SMF bersama masyarakat dan Universitas Riau. Universitas Islam Riau mengembangkan budidaya perikanan masyarakat di Desa Tasik Betung. Demikian juga inisiatif dari BKSDA untuk pengembangan tiger sanctuary di SM Bukit Batu dapat didorong implementasinya. Selain itu, contoh-contoh aktivitas kecil dalam bentuk desa hijau dapat menjadi pembelajaran bagi peran serta masyarakat dalam pelestarian lingkungan. Peran pemerintah pusat dan daerah berperan penting dalam implementasi kebijakan di tingkat tapak agar tepat sasaran atau mengembangkan kebijakan yang mendukung konservasi bentang alam. Pihak swasta dan KPH juga perlu didorong untuk mengembangkan perhatiannya ke hasil hutan non kayu, mendukung konservasi dan pemberdayaan masyarakat. Strategi pelibatan melalui kolaborasi/ pemberdayaan (kuadran II), konsultatif di kuadran I, dan pelibatan aktif para pihak di kuadran IV. Tingkat pengaruh dan kepentingan para pihak dapat dilihat pada Lampiran 7.
3.2.3 Bentang Alam Semenanjung Kampar, Riau Letak Bentang Alam dan Fokus Utamanya Bentang Alam Semenanjung Kampar terletak antara 101° 48’ 3.2’’-103° 6’ 30.95’’ BT dan 1° 13’ 49.11’’ LU-0° 10’ 8.08’’ LU. Bentang alam seluas 743.726 hektar ini berada di Kabupaten Pelalawan dan Siak dengan total 11 kecamatan dan 74 desa. Status kawasan terdiri dari 70% HP, 3% HPK, 6% KSA/KPA dan 21% APL. Program utama di bentang alam ini adalah proteksi dan restorasi hutan dan lahan gambut, pemberdayaan masyarakat, dan menjaga populasi harimau sumatera.
Ekosistem dan Keanekaragaman Hayati Bentang Alam Semenanjung Kampar didominasi tipe ekosistem hutan rawa gambut, hutan hujan dataran rendah, hutan rawa air tawar, dan bakau di pesisir. Bentang alam terletak pada DAS/SubDAS Kampar, Siak dan Rawa. Di dalam bentang alam ini terdapat empat kawasan hutan konservasi, yaitu SM Danau Pulau BesarDanau Pulau Bawah (DPB), SM Tasik Belat, SM Tasik Metas, dan SM Tasik Serkap. Suaka Margasatwa DPB ditunjuk pada tahun 1980, dan telah ditetapkan sebagai Suaka Margasatwa seluas 28.237,95 hektar berdasarkan SK Menteri Kehutanan dan Perkebunan No.668/ Kpts-II/1999. Kawasan ini penting sebagai habitat harimau sumatera, buaya air tawar, beruang madu, dan tapir serta vegetasi bernilai ekonomi seperti meranti dan ramin. Kawasan SM Tasik Belat dtunjuk pada tahun 1986, dan telah ditetapkan sebagai suaka margasatwa seluas 2.529 hektar berdasarkan SK Menteri Kehutanan dan Perkebunan No.480/KptsII/1999. Di dalam bentang alam ini terdapat setidaknya 156 spesies vertebrata, yang 61 spesies di antaranya dilindungi, 50 spesies masuk Daftar Merah IUCN, 58 spesies tergolong Appendiks CITES, dan 11 spesies masuk dalam kategori EDGE. Spesies penting di bentang alam ini antara lain harimau sumatera, beruang madu, trenggiling, siamang, gibbon, buaya senyulong, mentok rimba, bangau tongtong, dan bluwok.
13 http://pesisirone.com/view/Politik---Pemerintahan/5726/Lembaga-Pengelola-Cagar-Biosfir-Giam-Bukit-Batu---Siak-Kecil-Rakor-Dengan-UNESCO-.html#.VWlQYWBRfdk diakses tanggal 30 Mei 2015
79
80
BAB TIGA
Gambar III-13. Peta indikatif Bentang Alam Semenanjung Kampar, status kawasan, dan tipe ekoregion
paling tinggi, yakni 177,44 jiwa per km2, adalah Kecamatan Kerinci Kanan di Kabupaten Siak; sementara wilayah kecamatan dengan timhlat kepadatan penduduk paling reandah, yakni 0,03 jika per km2, adalah Kecamatan Teluk Meranti di Kabupaten Pelalawan.
Profil Sosial Ekonomi Masyarakat Bentang Alam Semenanjung Kampar meliputi sebagian wilayah administrasi Kabupaten Siak dan Pelalawan, Provinsi Riau. Terdapat 11 kecamatan di dalam bentang alam dengan jumlah penduduk sekitar 245.586 jiwa ini. Kecamatan yang memiliki tingkat kepadatan penduduk
Tabel III-21. Wilayah, jumlah, dan kepadatan penduduk kecamatan dalam Bentang Alam Semenanjung Kampar
Kabupaten
Kecamatan
Total ( jiwa)
Kepadatan (Jiwa/km2)
P
232,2
14.020
12.525
26.545
114,30
Kerinci Kanan
128,7
11.994
10.835
22.829
177,44
Koto Gasib
704,7
9.573
8.940
18.513
26,27
Lubuk Dalam
155,1
8.732
8.229
16.961
109,36
Mempura
437,5
7.329
6.790
14.119
32,28
Pusako
544,5
2.675
2.366
5.041
9,26
Sungai Apit
1.346,3
12.809
12.203
25.012
18,58
150.265,2
9.183
8.439
17.622
0,12
Pangkalan Kerinci
19.355,5
36.338
33.106
69.444
3,59
Pelalawan
149.811,3
8.233
7.155
15.388
0,10
423.984,4
7.316
6.796
14.112
0,03
Kuala Kampar Pelalawan
Jumlah Jiwa L
Dayun
Siak
Luas (km2)
Teluk Meranti
245.586 Sumber: Provinsi Riau Dalam Angka, 2014, Kabupaten Dalam Angka, 2014 (BPS Kabupaten Pelalawan, BPS Kabupaten Siak). L: Lelaki; P: Perempuan
RENCANA INDUK PENGEMBANGAN KONSERVASI BENTANG ALAM SKALA BESAR DI SUMATERA DAN KALIMANTAN
Tabel III-22. Jenis tanaman dan luas areal ditanam di kabupaten dalam Bentang Alam Semenanjung Kampar
Luas lahan ditanam/diolah (hektar) oleh rumah tangga petani dan jenis tanaman perkebunan
Kabupaten Kakao
Karet
Sawit
Kelapa
Kemiri
Kopi
Pinang
Sagu
Pelalawan
31,68
24.993,90
76.837,62
9.481,36
21,47
60,35
96,12
521,20
Siak
77,04
9.108,24
94.361,24
1.655,95
0,00
12,75
42,45
264,08
108,72
34.102,14
171.198,86
11.137,31
21,47
73,09
138,57
785,28
Total (Hektar)
Sumber: Sensus Pertanian 2013 (BPS Provinsi Riau, 2014)
Gambar III-14. Persentase pendidikan terakhir penduduk di Bentang Alam Semenanjung Kampar
Sebanyak 85,69% penduduk di kedua kabupaten di dalam Bentang Alam Semenanjung Kampar menganut agama Islam, sedangkan penganut agama Protestan 11,7%. Sisanya adalah penganut agama Katolik, Hindu, Budha, dan Konghucu. Persentase penduduk kecamatan dalam Bentang Alam Semenanjung Kampar yang berusia 15 tahun ke atas berdasarkan pendidikan terakhir mayoritas lulusan SD/sederajat (27,44%) dan tidak lulus SD/sederajat (21,12%). Jumlah mereka yang berpendidikan tingkat lanjutan, sebanyak 21,08% berpendidikan SMA/SMK/ sederajat dan 18,06% adalah pendidikan SMP/ sederajat. Sedangkan mereka yang memiliki pendidikan tinggi hanya sekitar 6%. Jumlah tenaga kerja produktif di Bentang Alam Semenanjung Kampar sekitar 93.472 orang. Sebagian besar bekerja di subsektor perkebunan, yaitu 37,28%. Jumlah terbanyak lainnya adalah kelompok penduduk yang bekerja di bidang perdagangan (12,28%) serta jasa kemasyarakatan (11,33%). Ada sekitar 7,80% dari total yang bekerja di bidang industri pengolahan, 5,49% di bidang konstruksi/ bangunan, dan 5,31 di bidang jasa pendidikan. Kelompok penduduk yang bekerja dalam sektor pertanian padi dan palawija hanya sekitar 4,13%.
Subsektor perkebunan merupakan andalan pekerjaan sebagian besar penduduk wilayah kecamatan dalam Bentang Alam Semenanjung Kampar. Di luar jumlah penduduk yang bekerja pada perusahaan-perusahaan perkebunan, hasil Sensus Pertanian 2013 (BPS, 2014) menunjukkan bahwa di tingkat rumah tangga petani, kelapa sawit menjadi komoditas yang paling banyak ditanam di lahan-lahan mereka. Luasan lahan yang ditanami kelapa sawit mencapai 171.191,86 hektar. Jumlah tersebut mencapai lebih dari lima kali lipat luas lahan yang ditanami karet, yang jumlahnya sekitar 34.102,14 hektar.
Ancaman terhadap Bentang Alam Semenanjung Kampar Terdapat tiga ancaman utama di bentang alam ini, yaitu penebangan hutan alam, pengambilalihan lahan hutan alam dan perambahan, serta perusakan vegetasi yang berlangsung di luar kawasan lindung. Perusakan vegetasi yang terjadi karena proses pelibatan masyarakat yang kurang tepat dan memicu terjadinya gesekan. Di beberapa tempat, pembangunan infrastruktur perkebunan di Bentang Alam Semenanjung Kampar ini berbenturan dengan konflik lahan. Secara umum, konflik lahan dipicu oleh ketidakpasitan hak kelola atas tanah dan kondisi ini bisa memutus akses masyarakat terhadap sumber-sumber penghidupan mereka di kawasan yang disengketakan. Kondisi ini kemudian memaksa warga untuk memindahkan kegiatan-kegiatan penghidupan mereka ke lokasi lain yang dapat menimbulkan tekanan bagi hutan di Bentang Alam Semenanjung Kampar.
Kelembagaan dan Para Pihak Di Bentang Alam Semenanjung Kampar, para pihak yang teridentifikasi meliputi Pemerintah Pusat (UPT), Pemerintah Daerah, Perusahaan, dan LSM Lingkungan. Terdapat dua desa
81
82
BAB TIGA
di bentang alam ini yang sudah mendapatkan izin PAK dari Menteri Kehutanan, namun SK Gubernur untuk mendapatkan HPH Desa belum diterbitkan dengan alasan belum selesainya masalah RTRW. Di bentang alam ini juga sudah beroperasi KPHP Tasik Besar Serkap (TBS), yang Rencana Pengelolaan Hutan Jangka Panjangnya telah disetujui Menteri Kehutanan. Rencana bisnis yang sedang dikembangkan adalah penangkaran ikan arwana, buaya, budidaya karet dan sagu. KPHP TBS telah membentuk Forum Masyarakat Semenanjung Kampar dan menjalin kerja sama proyek REDD+ dengan Korea di areal seluas 14.000 hektar. Kawasan KPH ini berada di Kabupaten Pelalawan dan Siak. Beberapa peran yang telah dilakukan oleh para pihak yang teridentifikasi antara lain rencana pengelolaan dan PDD REDD+ (didukung oleh FFI, APRIL, Seknas KPH, Koica, GIZ), Program dari GEF-FFI, Tiger Conservation Landscape sebagai salah satu lokasi untuk program pemulihan harimau sumatera secara nasional oleh pemerintah dan LSM, rencana pengembangan restorasi ekosistem, serta pembelajaran pengelolaan Hutan Desa yang didampingi oleh LSM (Jikalahari, Yayasan Mitra Insani). Forum Masyarakat Penyelamat Semenanjung Kampar (FMPSK) merupakan
wadah untuk mendorong pengelolaan bentang alam ke depan. Beberapa contoh inisiatif tersebut menarik untuk ditindaklanjuti secara kolaboratif untuk pengembangan bentang alam secara lebih luas karena pola relasi yang tinggi dari para pihak pada sumberdaya alam dan bentang alam. Strategi pelibatannya dengan berkolaborasi sebagai para pihak yang kritis pada kuadran II. Untuk tingkat pengaruh dan kepentingan para pihak dapat dilihat pada Lampiran 7.
3.2.4 Bentang Alam Kerumutan, Riau Letak Bentang Alam dan Fokus Utamanya Bentang Alam Kerumutan terletak di antara 101° 54’ 1.88’’-103° 48’ 51.87’’ BT dan 0° 32’ 38.12’’ LU0° 32’ 20.01’’ LS. Bentang alam seluas 1.334.850 hektar ini berada di wilayah Kabupatenkabupaten Indragiri Hilir, Indragiri Hulu, dan Pelalawan, dengan total 26 kecamatan dan 216 desa. Status kawasan terdiri dari 31% HP, 45% HPK, 4% HPT, 7% KSA/KPA, dan 13% APL. Program utamanya adalah proteksi dan restorasi hutan dan lahan gambut, perluasan kawasan lindung dan menghubungkan antarkawasan lindung, pemberdayaan masyarakat, dan mempertahankan populasi harimau sumatera.
Gambar III-15. Peta indikatif Bentang Alam Kerumutan, status kawasan, dan tipe ekoregion
RENCANA INDUK PENGEMBANGAN KONSERVASI BENTANG ALAM SKALA BESAR DI SUMATERA DAN KALIMANTAN
Tabel III-23. Wilayah dan jumlah penduduk kecamatan dalam Bentang Alam Kerumutan
Kabupaten
Indragiri Ilir
Kecamatan
13.642
12.770
26.412
Gaung Gaung Anak Serka
19.903
18.670
38.573
10.750
10.502
21.252
Kateman
22.845
20.938
43.783
Kempas
16.898
15.743
32.641
Mandah
19.441
18.806
38.247
23.032
18.886
41.918
11.422
10.139
21.561
Pelangiran Pulau Burung
8.409
7.717
16.126
Tembilahan
35.073
34.425
69.498
Tembilahektarn Hulu
21.480
21.195
42.675
Tempuling
15.148
14.436
29.584
Kuala Cenaku
6.034
5.738
11.772
Lirik
12.202
11.216
23.418
Rengat
22.963
23.086
46.049
Rengat Barat
20.603
19.216
39.819
Bandar Petalangan
6.500
6.135
12.635
Bunut
6.080
5.674
11.754
Kerumutan
9.972
9.143
19.115
Kuala Kampar Pelalawan
Total
P
Batang Tuaka
Teluk Belengkong
Indragiri Hulu
Jumlah Jiwa L
9.183
8.439
17.622
Pangkalan Kerinci
36.338
33.106
69.444
Pangkalan Kuras
23.669
21.403
45.072
Pangkalan Lesung
13.378
11.873
25.251
Pelalawan Teluk Meranti
8.233
7.155
15.388
7.316
6.796
14.112
Ukui
17.324
14.969
32.293 806.014
Sumber: Provinsi Riau Dalam Angka, 2014; Kabupaten Dalam Angka, 2014 (BPS Kabupaten Indragiri Hilir, Kabupaten Indragiri Hulu, Kabupaten Pelalawan). L: Lelaki; P: Perempuan
Ekosistem dan Keanekaragaman Hayati Bentang Alam Kerumutan memiliki tipe ekosistem yang didominiasi oleh hutan rawa gambut dengan ketebalan lebih dari 4 meter, hutan hujan dataran rendah, hutan rawa air tawar, dan bakau. Bentang alam terletak pada DAS/SubDAS Kampar, Danai, dan Kateman. Di dalam bentang alam ini terdapat SM Kerumutan seluas 120.000 hektar berdasarkan penunjukan SK Menteri Pertanian No.Kep.13/3/1968, dan telah dikukuhkan sebagai suaka margasatwa seluas 93.223 hektar berdasarkan SK Menteri Pertanian No. 350/Kpts/II/6/1979.
Setidaknya terdapat 73 spesies vertebrata, 53 spesies di antaranya dilindungi, 35 spesies masuk Daftar Merah IUCN, dan 46 spesies tergolong Apendiks CITES, dan 11 kategori EDGE. Flagship speciesnya sama dengan yang ada di bentang alam Semenanjung Kampar, yaitu harimau sumatera. Yayasan WWF adalah salah satu LSM yang sedang melakukan penelitian di wilayah ini untuk mendeteksi kehadiran harimau sumatera. Di bentang alam ini ditemukan pula macan dahan (Neofelis nebulosa), beruang madu, rangkong badak (Buceros rhinoceros), ikan arwana (Schleropages formosus), mentok rimba (Cairina scutulata) dan buaya sinyulong.
83
84
BAB TIGA
Suaka Margasatwa Kerumutan juga merupakan wilayah singgah burung migran dan merupakan kawasan Important Bird Area.
Profil Sosial Ekonomi Masyarakat Bentang Alam Kerumutan berada dalam wilayah administrasi Provinsi Riau, yang meliputi tiga kabupaten: Indragiri Hilir, Indragiri Hulu dan Pelalawan. Jumlah kecamatan yang wilayahnya bersinggungan dengan Bentang Alam Kerumutan cukup banyak, yaitu 26 kecamatan. Adapun total penduduk kecamatan dalam Bentang Alam Kerumutan pada tahun 2014 tercatata 806.014 jiwa. Mayoritas penduduk beragama Islam, sedangkan etnis penduduknya mencakup Melayu, Jawa, Minang, dan beberapa suku asal Pulau Sulawesi. Di bentang alam ini terdapat dua suku asli minoritas, yaitu Suku Petalangan dan Duanu. Terdapat 29 pebatinan dan kepenghuluan di bentang alam ini yang berasal dari Kerajaan Pelalawan. Jumlah penduduk usia produktif di Bentang Alam Kerumutan 323.924 jiwa, mayoritas bekerja di perkebunan (45,30%), dan sisanya di sektor perdagangan (11,27%), jasa kemasyarakatan (9,22%), dan pertanian pangan/padi dan palawija (9,09%). Adapun persentase pekerja di bidang usaha lain tidak begitu menonjol, seperti industri pengolahan (5,55%), konstruksi/ bangunan (3,39%), perikanan (2,04%), serta kehutanan (1,04%). Berdasarkan tingkat pendidikannya, penduduk yang berusia lima tahun ke atas mayoritas memiliki latar belakang pendidikan SD/ sederajat (33,91%), sebanyak 21,93% belum atau tidak tamat SD atau pendidikan dasar.
Gambar III-16. Persentase pendidikan terakhir penduduk di Bentang Alam Kerumutan
Tingkat pendidikan lebih dari separuh penduduk kecamatan dalam Bentang Alam Kerumutan berada pada tingkat pendidikan dasar; sedangkan yang menempuh pendidikan lanjutan SMP/sederajat sebanyak 17,16% , dan pendidikan lanjutan SMA/sederajat 16,22%. Berdasarkan luas lahan dan jenis tanaman, komoditas perkebunan merupakan andalan penduduk dalam kecamatan di Bentang Alam Kerumutan, terutama sawit yang luasannya mencapai 546.094 hektar, serta kelapa dengan luas lahan tertanam sebanya 461.031 hektar. Lahan tanaman kelapa terluas berada di Kabupaten Indragiri Hilir, sedangkan sawit banyak ditanam di Indragiri Hilir dan Pelalawan.
Ancaman terhadap Bentang Alam Kerumutan Terdapat empat ancaman utama di Bentang Alam Kerumutan, yaitu kebakaran hutan
Tabel III-24. Jenis tanaman dan luas areal ditanam di kabupaten dalam Bentang Alam Kerumutan
Kabupaten/Kota Indragiri Hulu Indragiri Hilir Pelalawan Total luas lahan tertanam
Luas lahan ditanam dan jenis tanaman perkebunan (hektar) Karet
Kelapa
Sawit
Kopi
Pinang
61.372
1.828
11.897
348
383
5.369
442.335
228.052
1.237
16.384
29.074
16.868
306.145
1.289
53
95.815
461.031
546.094
2.874
16.820
Sumber: Sensus Pertanian 2013 (BPS Pelalawan, BPS Indragiri Hulu, BPS Indragiri Hilir, 2014)
RENCANA INDUK PENGEMBANGAN KONSERVASI BENTANG ALAM SKALA BESAR DI SUMATERA DAN KALIMANTAN
dan lahan, perambahan kawasan, penebangan hutan di kawasan konservasi, dan konversi yang terkait dengan penebangan tersebut yang menyebabkan timbulnya permasalahan sosial. Kombinasi faktor kebijakan ruang yang tumpang tindih, penegakan hukum yang tidak konsisten berkontribusi terhadap terjadinya ancaman langsung. Selain itu konflik pengelolaan lahan yang timbul dapat memutus akses masyarakat terhadap sumberdaya alam. Kesemuanya ini secara bersama-sama atau tersendiri mendorong meluasnya perambahan. Permasalahan tumpang tindih antara izin konsesi dan kawasan konservasi secara khusus telah menyebabkan terjadinya penebangan kayu di kawasan konservasi.
Kelembagaan dan Para Pihak Hingga kini belum ada kelembagaan formal atau informal yang mengkoordinasikan pengelolaan Bentang Alam Kerumutan. Pemetaan para pihak di Bentang Alam Kerumutan menunjukkan pihak-pihak yang terlibat dalam pengelolaan meliputi pemerintah, perusahaan, dan LSM. Pemerintah Pusat lebih banyak berperan pada penyusunan kebijakan di tingkat nasional dan implementasinya, sedangkan Pemerintah Daerah berperan pada kebijakan daerah. LSM banyak berperan dalam peningkatan kapasitas serta pendampingan masyarakat. Namun peran LSM dapat dioptimalkan untu memantau praktek-praktek pemanfaatan hutan yang merusak oleh perusahaan agar dapat dicegah lebih awal. Pada taraf inisiatif, Kerumutan merupakan target Tiger Conservation Lanscape yang menarik perhatian global. Diperlukan terobosan berupa peran aktif dan nyata dari pemerintah pusat dan daerah serta LSM. Pemerintah Pusat dapat mendorong dan mendukung implementasi di tingkat pusat dengan menggalang dukungan secara nasional maupun internasional agar bentang alam ini mendapat perhatian, serta kontrol perizinan skala nasional bagi perusahaan yang beroperasi di bentang alam ini. Pemerintah Daerah berperan untuk mengontrol izin-izin yang dikeluarkan di tingkat daerah,. LSM dapat berperan untuk penyiapan sumberdaya dan penyadartahuan (awareness) secara menyeluruh serta pendampingan kepada masyarakat sekitar bentang alam. Gambaran tingkat pengaruh dan kepentingan para pihak ditampilkan di Lampiran 7.
Atas: Abimanyu, seekor harimau sumatera (Panthera tigris sumatrae) jantan dewasa yang terpantau tengah menjelajah di dalam kawasan hutan lindung dalam sebuah konsesi hutan tanaman di Bentang Alam Berbak-Sembilang, Sumatera SelatanJambi, September 2015. (Foto: Dok. APP)
Bawah: Kijang (Muntiacus muntjak), satwa yang memiliki fungsi ekologis penting dalam menjaga keseimbangan ekosistem di hutan tropis Sumatera sebagai salah satu satwa mangsa utama bagi harimau sumatera. Gambar diambil pada Mei 2004. (Foto: Dolly Priatna)
85
Gambar III-17. Peta indikatif bentang alam Bukit Tigapuluh, status kawasan, dan tipe ekoregion
86 BAB TIGA
RENCANA INDUK PENGEMBANGAN KONSERVASI BENTANG ALAM SKALA BESAR DI SUMATERA DAN KALIMANTAN
3.2.5 Bentang Alam Bukit Tigapuluh, Riau dan Jambi Letak Bentang Alam dan Fokus Utamanya Bentang Alam Bukit Tigapuluh terletak di antara 101° 17’ 41.39’’-103° 7’ 5.53’’ BT dan 0° 22’ 22.61’’ LS-1° 35’ 0.66’’ LS. Bentang alam seluas 1.067.002 hektar berada di Kabupaten Indragiri Hilir, Indragiri Hulu, dan Kuantan Singingi (Provinsi Riau) dengan total 21 kecamatan dan 217 desa; dan di Kabupaten Bungo, Tanjung Jabung Barat, dan Tebo (Provinsi Jambi) dengan total 9 kecamatan dan 76 desa. Status kawasan terdiri dari 27% HP, 4% HPK, 13% HPT, 7% HL,14% KSA/KPA dan 36% APL. Fokus utamanya adalah proteksi, restorasi, dan memperluas hutan alam di daerah penyangga sekitar taman nasional; Membuat koridor satwa, pemberdayaan masyarakat sekitar, menjaga populasi orangutan, gajah, dan harimau sumatera, dan pengaturan akses untuk meningkatkan perlindungan TN Bukit Tigapuluh.
Ekosistem dan Keanekaragaman Hayati Tipe ekosistem Bentang Alam Bukit Tigapuluh adalah hutan hujan dataran rendah (97%) dan sedikit hutan rawa gambut (3%). Bentang alam terletak pada DAS/SubDAS Gangsal, Batanghari, dan Tungkal. Di bentang alam ini terdapat TN Bukit Tigapuluh yang ditunjuk pada tahun 1995, dan ditetapkan berdasarkan SK Menteri Kehutanan No.6407/Kpts-II/2002 seluas 144.223 hektar. Di bentang alam ini sedikitnya terdapat 128 spesies vertebrata, 56 spesies di antaranya dilindungi, 64 spesies masuk Daftar Merah IUCN, dan 46 spesies tergolong Apendiks CITES dan 16 spesies kategori EDGE. Spesies penting di bentang alam ini antara gajah dan harimau sumatera. Orangutan sumatera hasil introduksi di Bukit Tigapuluh populasinya sekitar 103 ekor, hampir seluruhnya berasal dari orangutan hasil rehabilitasi di Sumatera Utara. Perkiraan populasi gajah sumatera di Bukit Tigapuluh antara 35-55 individu. Intensitas konflik dalam periode 2009-2014 termasuk tinggi. Kerugian terjadi dengan adanya 2 korban jiwa tewas dan 6 individu gajah mati; sedangkan kerugian material adalah rusaknya kebun sawit, rumah, sawah, dan tanaman palawija. Faktor penyebab konflik adalah hilangnya habitat gajah akibat degradasi dan fragmentasi hutan (SRAK Gajah Sumatera, 2007). Sedangkan populasi harimau
sumatera di Bukit Tigapuluh diduga sekitar 7-44 individu. Selain itu, terdapat beberapa spesies yang penting untuk ilmu pengetahuan dan konservasi, antara lain mentok rimba (Cairina scutulata), bluwok (Mycteria cinerea), beberapa jenis rangkong seperti rangkong gading (Rhinoplax vigil), macan dahan, beruang madu, trenggiling, dan kukang.
Profil Sosial Ekonomi Masyarakat Area bentang alam Bukit Tigapuluh berada di dua provinsi yang meliputi 6 kabupaten, yaitu Kabupaten Bungo, Tanjung Jabung Barat, dan Tebo di Jambi, serta Kabupaten Indragiri Hilir, Indragiri Hulu, dan Kuantan Singingi di Provinsi Riau. Total penduduk dari seluruh kecamatan di Bentang Alam Bukit Tigapuluh adalah 754.485 jiwa. Mayoritas penduduk beragama Islam (94,82%), sebagian kecil beragama Katolik (4,24%), dan sisanya penganut agama Protestan, Hindu, Budha, Konghucu dan agama lainnya. Dari total penduduk yang berusia 5 tahun atau lebih kebanyakan memiliki pendidikan terakhir Sekolah Dasar/sederajat (32%), dan sekitar 23% dari mereka yang tidak atau belum tamat SD. Persentase penduduk yang memiliki pendidikan lanjutan tingkat SMP dan yang sederajat sebanyak 18%, sedangkan SMA/SMK/sederajat sebesar 15%. Sedangkan mereka jumlah yang berpendidikan sarjana dan pascasarjana hanya sekitar 2,1%. Ada sekitar 303.170 penduduk usia produktif yang mayoritas bekerja di perkebunan (62,37%) atau 189.102 orang, jauh melampaui jumlah penduduk yang bekerja di bidang lain, seperti perdagangan (11,31%), jasa kemasyarakatan (6,66%), dan jasa pendidikan (4,82%).
Gambar III-18. Persentasi pendidikan terakhir penduduk di Bentang Alam Bukit Tigapuluh
87
88
BAB TIGA
Tabel III-25. Wilayah, jumlah, dan kepadatan penduduk kecamatan dalam Bentang Alam Bukit Tigapuluh
Kabupaten Bungo Tanjung Jabung Barat
Kecamatan
Indragiri Hilir
L
P
7.574
7.082
14.656
57,63
Tungkal Ulu
346
6.428
6.158
12.586
36,41
312
8.009
7.293
15.302
49,10
40.692
31.163
28.658
59.821
1,47
Merlung Sumay
126.800
9.066
8.519
17.585
0,14
Tebo Ilir
70.870
12.797
12.212
25.009
0,35
Tebo Tengah
98.356
17.745
16.600
34.345
0,35
Tebo Ulu
41.030
15.839
15.496
31.335
0,76
Vii Koto
65.879
9.253
8.605
17.858
0,27
-
15.418
14.229
29.647
-
778
14.552
13.679
28.231
36,29
-
4.673
4.307
8.980
-
Seberida
63.433
24.187
21.968
46.155
0,73
Batang Cenaku
85.516
14.846
13.547
28.393
0,33
Batang Gansal
16.263
14.179
12.711
26.890
1,65
Kelayang
-
10.730
10.558
21.288
-
Rakit Kulim
-
10.158
9.675
19.833
-
Kemuning Batang Peranap
Pasir Penyu
-
15.888
15.228
31.116
-
Lirik
220
12.202
11.216
23.418
106,25
Sungai Lala
180
6.601
6.337
12.938
71,72
-
20.603
19.216
39.819
-
Benai
249
16.484
15.900
32.384
129,87
Cerenti
456
7.149
6.909
14.058
30,83
Gunung Toar
165
6.393
6.299
12.692
76,80
Rengat Barat
Kuantan Singingi
Kepadatan ( jiwa/km2)
254
Peranap
Indragiri Hulu
Total ( jiwa)
Jujuhan
Rimbo Bujang
Tebo
Jumlah penduduk
Luas (km2)
Hulu Kuantan
384
4.119
3.947
8.066
20,98
Inuman
450
7.212
7.179
14.391
31,98
-
13.069
12.952
26.021
-
Kuantan Mudik
Kuantan Hilir
1.386
16.383
15.416
31.799
22,94
Kuantan Tengah
292
26.880
25.828
52.708
180,67
145
8.532
8.629
17.161
118,09
Pangean Total
Sumber: Provinsi Riau Dalam Angka 2014, Provinsi Jambi Dalam Angka 2014, Kabupten Dalam Angka 2014 (BPS Provinsi Riau, BPS Provinsi Jambi). L: Laki-laki; P: Perempuan
754.485
RENCANA INDUK PENGEMBANGAN KONSERVASI BENTANG ALAM SKALA BESAR DI SUMATERA DAN KALIMANTAN
Bahkan yang bekerja di bidang pertanian padi/ palawija jumlahnya sangat sedikit, yaitu 15.204 (5,22%). Besarnya jumlah pekerja di perkebunan menunjukkan sektor ini mampu menyerap tenaga kerja, khususnya pada rumah tangga petani. Berdasarkan Sensus Pertanian 2013 terlihat bahwa rumah tangga petani di dalam dan sekitar bentang alam mengandalkan tiga komoditas utama, yaitu karet, kelapa sawit dan kelapa.
Kelembagaan dan Para Pihak Berdasarkan pengaruh dan kepentingan para pihak, maka keterlibatan para pihak dalam pengembangan konservasi bentang alam di Bentang Alam Bukit Tigapuluh melalui strategistrategi kolaborasi karena sebagian besar berada di kuadran II. Tindak lanjut dan inisiasi yang menarik serta perlu ditindaklanjuti adalah adanya wadah yang dibentuk Pemerintah Provinsi berdasarkan SK Gubernur Jambi No. 356/Kep.Gub/Ekbang&SDA/2011 tentang Komisi Daerah REDD+ Provinsi Jambi sehingga upaya ini dapat bersinergi dengan penyusunan strategi dan rencana aksi provinsi/SRAP REDD.
Dari jenis-jenis tanaman perkebunan yang paling menonjol, tanaman kelapa sawit cenderung merata dikelola rumah tangga petani di seluruh kabupaten dalam Bentang Alam Bukit Tigapuluh. Sedangkan tanaman karet cukup luas pada wilayah Kabupaten Tebo, Provinsi Jambi, sedangkan lahan yang ditanami kelapa dan sagu dominan dikelola oleh keluarga petani di Kabupaten Indragiri Hilir, Riau.
Beberapa inisiatif yang sudah ada meliputi dukungan dari TNBT untuk pengelolaan kawasan bentang alam bersama FZS (Bukit Tigapuluh Ecosystem Conservation Implementation Plan), yang didukung oleh Pemda Tebo, Tanjabar, Indragiri Hulu, Indragiri Hilir, WWF, Warsi, ZSL, PKHS-2009. Inisiatif lainnya adalah dari Pemerintah Daerah/Dishut dalam rencana pengelolaan hutan di lingkup Provinsi Jambi. Inisiatif dari perusahaan dan LSM difokuskan untuk pengamanan kawasan/ patroli satwa liar (LAJ, WWF, FZL). Inisiatif untuk konservasi di kawasan konsesi antara lain oleh PT. LAJ, TMA, dan Arangan. Sedangkan kegiatan restorasi ekosistem oleh PT Alam Bukit Tigapuluh yang menggunakan area ex-PT Dalek dan blok II, dengan kegiatan pemberdayaan masyarakat, restorasi, dan pengamanan.
Ancaman terhadap Bentang Alam Bukit Tigapuluh Terdapat sedikitnya empat ancaman utama di Bentang Alam Bukit Tigapuluh, yaitu perambahan kawasan hutan, perluasan perkebunan sawit, pertambangan yang tumpang tindih dengan kawasan hutan dan berlangsungnya pembalakan liar. Ketidakjelasan perencanaan dan alokasi ruang menghadirkan berbagai masalah, termasuk kurang jelasnya batas konsesi. Selain itu tekanan ekonomi juga telah menggerakkan persaingan antarkelompok yang memicu ekspansi perkebunan sawit oleh sebagian warga. Lemahnya penegakan hukum membuka peluang terjadinya kegiatan-kegiatan illegal yang berujung pada degradasi hutan alam di bentang alam ini.
Pertemuan para pihak di Jambi tanggal 27 Mei 2015 menyepakati adanya Forum Bentang Alam Bukit Tigapuluh untuk mendukung pengelolaan Bentang Alam Bukit Tigapuluh.
Tabel III-26. Jenis tanaman dan luas areal ditanam di kabupaten dalam Bentang Alam Bukit Tigapuluh Luas lahan (hektar) dan jenis tanaman perkebunan Nama Kabupaten Cengkeh Kuantan Singingi Indragiri Hulu Indragiri Hilir Tanjung Jabung Barat Tebo Bungo Total luas (Hektar)
Karet
Sawit
7,01
Kakao 149,26
47.925,25
36.469,14
Kelapa 288,00
10,15
0,05
8,62
0,13
0,00
0,26
533,94
46.810,77
79.434,38
262,05
14,94
0,01
182,84
0,00
0,50
5,30
93,10
3.939,32
61.178,64
468,58
0,17
10.055,61
1.108,03
13,89
0,00
77,22
9.754,04
54.711,50
3.792,77
3,18
16.712,97
0,00
0,00
210.107,10 35.587,47
Kopi
Lada
Pinang
Sagu
Lainnya
0,77
317,52
109.203,73
28.019,47
189,31
27,17
0,16
7,16
0,00
0,00
6,27
214,69
78.753,80
34.655,78
134,20
489,63
0,00
10,49
0,00
0,00
19,61
1.385,74
296.386,90
294.468,91
246.568,14
4.803,25
3,57
26.977,69
1.108,15
14,39
Sumber: Sensus Pertanian 2013
89
90
BAB TIGA
Forum ini masih memerlukan dukungan untuk keberlanjutannya, mendorong peran strategis dan rencana aksinya. Tingkat pengaruh dan kepentingan dari para pihak ditampilkan di dalam Lampiran 7.
3.2.6 Bentang Alam Berbak-Sembilang, Jambi dan Sumatera Selatan Letak dan Fokus Utama Bentang Alam Bentang Alam Berbak Sembilang terletak antara 103°31’ 8.89’’-104°55’ 10.04’’ BT dan 1°1’12.51’’ LS-2°26’11.12’’ LS. Bentang alam seluas 1.136.758 hektar berada di Provinsi Jambi (Kabupaten Muarojambi, Kabupaten Tanjungjabung Timur, dan Kota Jambi), dengan total 17 kecamatan dan 141 desa, dan Provinsi Sumatera Selatan (Kabupaten Banyuasin dan Kabupaten Musi Banyuasin), dengan total empat kecamatan dan 55 desa. Status kawasan terdiri dari 25% HP, 5% HPT, 2% HL, 38% KSA/KPA dan 30% APL. Fokus utamanya adalah proteksi dan restorasi hutan dan lahan gambut, pemberdayaan masyarakat, mempertahankan populasi harimau sumatera, dan mendukung taman nasional.
Ekosistem dan Keanekaragaman Hayati Bentang Alam Berbak Sembilang memiliki tipe ekosistem hutan rawa gambut, hutan rawa air tawar, bakau, dan hutan hujan dataran rendah.
Bentang alam terletak pada DAS/SubDAS Air Hitam Laut, Bangke, Batanghari, Musi, Sembilang/Benawang. Di dalam bentang alam ini terdapat dua taman nasional, yaitu TN Berbak dan TN Sembilang. Taman Nasional Berbak berasal dari Suaka Margasatwa Berbak, ditetapkan menjadi taman nasional pada tahun 1992 dengan luas 162.700 hektar berdasarkan SK Menteri Kehutanan No.2857/Kpts-II/92. Taman Nasional Sembilang ditunjuk sebagai TN pada tahun 2001, dan telah ditetapkan pada tahun 2003 seluas 202.896,31 hektar berdasarkan SK Menteri Kehutanan No.95/Kpts-II/003. Keduanya sudah dikenal sebagai kawasan konservasi lahan basah, termasuk rawa air tawar, rawa gambut, dan bakau. Keduanya terdaftar sebagai situs Ramsar yang mengindikasikan pentingnya daerah ini secara global. Di bentang alam ini sedikitnya terdapat 461 spesies vertebrata, 139 spesies di antaranya dilindungi, 99 spesies masuk Daftar Merah IUCN, dan 85 spesies tergolong Apendiks CITES dan 23 spesies kategori EDGE. Dengan memperhatikan status konservasi secara nasional dan global, maka Bentang Alam Berbak-Sembilang memiliki nilai penting dari sisi keanekaragaman hayati yang hidup di lahan basah. Bentang alam ini juga dikenal sebagai tempat penting bagi burung yang bermigrasi dari utara ke selatan.
Gambar III-19. Peta indikatif Bentang Alam Berbak-Sembilang, status kawasan, dan tipe ekoregion
RENCANA INDUK PENGEMBANGAN KONSERVASI BENTANG ALAM SKALA BESAR DI SUMATERA DAN KALIMANTAN
Tabel III-27. Wilayah, jumlah, dan kepadatan penduduk di Bentang Alam Berbak Sembilang
Kabupaten/Kota
Kecamatan
Luas
Pelayangan Kota Jambi
Tanjung Jabung Timur
Total ( jiwa)
Kepadatan ( jiwa/km2)
6.942
6.427
13.369
420,3
31.377
31.304
62.681
3.952,5
Jambi Timur
20,21
40.335
39.551
79.886
1.957,0
Telanai Pura
30,39
48.102
48.414
96.516
1.593,1
Nipah Panjang
234,70
13.145
12.847
25.992
54,7
Rantau Rasau
356,12
11.734
11.180
22.914
31,4
33,45
6.386
6.024
12.410
180,1
Tumpeh Ulu Mestong
Musi Banyuasin
P
7,92
Kumpeh
Banyuasin
L
15,29
Jelutung
Sadu Muaro Jambi
Jumlah Jiwa
Banyuasin II Tungkal Ilir
12.920
12.339
25.259
7,4
386,65
25.982
24.524
50.506
63,4
474,70
21.235
19.936
41.171
42,0
3.707,00
21.745
20.453
42.198
5,5
690,00
12.750
11.715
24.465
17,0
4.847,00
39.778
38.859
78.637
8,0
39.200,00
20.670
18.700
39.370
0,5
Bayung Lencir Lalan
1.658,93
615.374 Sumber: Provinsi Sumatera Selatan Dalam Angka 2014, Provinsi Jambi Dalam Angka 2014, Kabupaten/Kota Dalam Angka (BPS Provinsi Sumatera Selatan, BPS Provinsi Jambi 2014). L: Lelaki; P: Perempuan
Perkiraan populasi harimau sumatera di BerbakSembilang sekitar 6-15 individu, ada pula yang memperkirakan populasinya sekitar 23 individu. Beberapa spesies penting lain termasuk mentok rimba, bluwok (Mycteria cinerea), rangkong gading (Rhinoplax vigil), gajah sumatera, harimau sumatera, macan dahan, tapir (Tapirus indicus), binturong (Arctictis binturong), beruang madu, trenggiling, lumba-lumba tanpa-sirip punggung (Neophocaena phocaenoides), lumba-lumba hidung botol (Tursiops turcantus), dan lumbalumba bongkok (Sousa chinensis).
Profil Sosial Ekonomi Masyarakat Batas-batas Bentang Alam Berbak Sembilang mencakup dua wilayah provinsi, yaitu Jambi dan Sumatera Selatan. Di Provinsi Jambi, Bentang Alam Berbak Sembilang mencakup Kabupaten Tanjung Jabung Timur dan Muaro Jambi serta sebagian wilayah Kota Jambi. Sedangkan di Sumatera Selatan mencakup sebagian kecil wilayah Kabupaten Musi Banyuasin dan Banyuasin. Terdapat 14 wilayah administrasi kecamatan yang bersinggungan dengan batas Bentang Alam Berbak Sembilang, sebagian besar
berada di Provinsi Jambi. Total penduduk di seluruh kecamatan tersebut adalah 615.374 jiwa dengan luas wilayah sekitar 31.662,36 km2. Mayoritas penduduknya beragama Islam (91,78%), penganut Katolik (2,49%), Budha (2,10%), dan sisanya penganut agama Protestan, Hindu, dan Konghucu. Penganut agama Budha kebanyakan adalah keturunan Tionghoa yang tinggal di perkotaan, seperti di Kota Jambi. Mayoritas penduduknya memiliki pendidikan terakhir Sekolah Dasar atau sederajat (31,59%). Sekitar 20,56% adalah penduduk yang belum atau tidak tamat sekolah dasar. Persentase penduduk yang berpendidikan sekolah lanjutan SMA atau sederajat adalah 18,93% dan 16,71% adalah SMP atau sederajat. Sedangkan yang berpendidikan perguruan tinggi, baik diploma, S1 dan pascasarjana masih di bawah 5%. Dari sekitar 272.208 orang penduduk usia kerja, persentase yang bekerja di bidang perkebunan mencapai 29,10%, usaha pertanian padi dan palawija 16,88%, dan perikanan sekitar 4,10%. Sisanya bekerja di bidang perdagangan, sebesar 16,25% di total mereka yang bekerja.
91
92
BAB TIGA
Sisanya bekerja di sektor pelayanan masyarakat (8,57%), konstruksi/bangunan (5,76%), transportasi & pergudangan (4,08%), jasa pendidikan (3,67%), dan industri pengolahan (3,05%).
Dengan besarnya pemanfaatan lahan untuk sawit, jika tidak dikontrol dengan baik akan berakibat pada tekanan terhadap bentang alam.
Ancaman Terhadap Bentang Alam Berbak Sembilang Terdapat empat jenis ancaman utama di Bentang Alam Berbak Sembilang, yaitu perusakan hutan berupa penebangan, konflik pemanfaatan tanaman hutan dan kebun antara warga dan perusahaan kehutanan. Ke empat faktor itu menyebabkan terjadinya persoalan sosial. Selain itu perubahan fungsi lahan dan degradasi infrastruktur (kanal/sungai) turut memberikan dampak negative bagi bentang alam yang didominasi gambut ini. Keempat hal ini dipicu terutama oleh ketidakpastian tata kelola ruang dan pengembangan infrastruktur yang tidak selaras dengan kebutuhan. Terciptanya “wilayah abu-abu” ini memicu timbulnya dampak ikutan seperti konflik hak kelola dan perubahan fungsi lahan yang memicu kerusakan ekosistem.
Gambar III-20. Persentase pendidikan terakhir penduduk di Bentang Alam Berbak Sembilang
Dari jenis-jenis tanaman perkebunan yang paling menonjol, lahan yang ditanami kelapa sawit cenderung merata di seluruh kabupaten/ kota di Bentang Alam Berbak Sembilang, namun yang tinggi berada di Kabupaten Musi Banyuasin, demikian juga halnya dengan karet. Selanjutnya, tanaman lain yang dikelola oleh masyarakat yang ada di bentang alam tersebut adalah kelapa, kakao dan pinang.
Kelembagaan dan Para Pihak Dalam pemetaan para pihak di Bentang Alam Berbak Sembilang teridentifikasi adanya inisiatif dari pihak LSM yang didukung oleh pemerintah dan swasta sebagai inisiatif bersama untuk penyelamatan Berbak Sembilang.
Tabel III-28. Jenis tanaman dan luas areal di tanam di kabupaten dalam Bentang Alam Berbak Sembilang
Tanaman perkebunan
Luas lahan ditanam oleh rumah tangga petani (hektar) Muaro Jambi
Tanjung Jabung Timur
Kota Jambi
Musi Banyuasin
Total luas (hektar)
Banyuasin
Karet
48.658,52
8.104,24
2.370,59
145.655,74
71.522,90
276.312,00
Sawit
7.731,47
60.829,44
26.518,28
193.127,69
56.070,80
41.977,70
Pinang
93,41
15.060,69
79,08
4,44
7,03
15.244,64
Kelapa
542,43
39.734,57
461,69
3.128,60
24.234,15
68.101,43
Kakao
1.821,72
96,67
95,47
295,59
216,21
2.525,67
6,87
407,06
6,50
21,53
470,36
912,32
Kopi Gambir Kayu manis Cengkeh
-
-
-
108,25
-
108,25
21,05
-
2,50
-
0,01
23,56
0,09
-
0,88
12,50
12,70
26,17
Kemiri
0,71
16,00
-
1,00
0,11
17,81
Lada
0,60
2,47
1,02
0,06
4,76
8,89
Lainnya
0,83
0,50
3,13
2,61
10,10
17,17
Sumber: Sensus Pertanian Provinsi Jambi 2013, Sensus Pertanian Provinsi Sumatera Selatan 2013 (BPS Provinsi Jambi, BPS Provinsi Sumatera Selatan, 2014).
RENCANA INDUK PENGEMBANGAN KONSERVASI BENTANG ALAM SKALA BESAR DI SUMATERA DAN KALIMANTAN
Beberapa inisiatif yang telah muncul misalnya mitigasi konflik manusia-satwa dan wadah mitigasinya, yaitu wildlife conflict and crime respone unit oleh ZSL, program pemanfaatan karbon melalui skema REDD+ (PT. GAL) di Kabupaten Musi Banyuasin. Selain itu, perusahaan yang mengusulkan untuk RE secara khusus di Kabupaten Musi Banyuasin (REKI) perlu untuk dipantau pelaksanaanya sehingga membawa kontribusi bagi bentang alam. Inisiatif lain meliputi mitigasi lokal dengan penguatan kapasitas dalam pembangunan rendah emisi dan ekonomi hijau oleh Danida, GIZ-Forclime, Icraf, CCROM di Kabupaten Musi Banyuasin dan Kabupaten Banyuasin14. Sudah ada KPHP Meranti dan ditetapkan sebagai KPH model namun belum memiliki rencana pengelolaan jangka panjang. Sedangkan KPHP Unit III Lalan Mangsang Mendis (LLM) sudah ada rencana pengelolaan jangka panjang. Program-program seperti TFCA di Berbak Sembilang dapat menjadi jembatan bagi kemajuan bentang alam ini. Pola relasi yang tinggi di sebagian besar stakeholders memberikan peluang pengelolaan bentang alam ke depan. Pemetaan para pihak menunjukkan posisinya di dalam kuadran I dan kuadran II, sehingga strategi pelibatannya mencakup konsultasi dan kolaboratif (Lihat Lampiran 7).
3.2.7 Bentang Alam Dangku-Meranti, Jambi dan Sumatera Selatan Letak dan Fokus Utama Bentang Alam Bentang Alam Dangku-Meranti terletak di antara 102° 42’ 10.51’’ - 104° 6’ 47.54’’ BT dan 1° 51’ 21.71’’ LS - 2° 53’ 52.16’’ LS. Bentang alam seluas 1.048.652 hektar ini berada di Provinsi Sumatera Selatan (Kab. Banyuasin, Kab. Musi Banyuasin Kab. Musi Rawas dengan total 14 kecamatan dan 151 desa), dan Provinsi Jambi (Kab. Muarojambi dan Kab. Sarolangun dengan total 5 kecamatan dan 43 desa). Status kawasan terdiri dari 23% HP, 4% HPK, 16% HPT, 2% HL, 5% KSA/KPA, dan 51% APL. Program utamanya adalah pengembangan koridor satwa dengan kawasan konservasi sekitarnya dan mempertahankan populasi harimau sumatera.
Ekosistem dan Keanekaragaman Hayati Bentang Alam Dangku-Meranti memiliki tipe ekosistem hutan hujan dataran rendah, hutan rawa gambut, dan hutan rawa air tawar yang terletak pada DAS/SubDAS Batanghari dan Musi. Terdapat dua kawasan konservasi di dalam bentang alam, yaitu Tahura Sultan Thaha Syaifudin dan SM Dangku. Kawasan Tahura Sultan Thaha Syaifudin ditetapkan seluas 15.830 hektar berdasarkan SK Menteri Kehutanan No.94/Kpts-II/2001, untuk selanjutnya dikelola oleh Pemerintah Provinsi Jambi.
Gambar III-21. Peta indikatif Bentang Alam Dangku-Meranti, status kawasan, dan tipe ekoregion 14 Paper Inisiasi Kegiatan “Model Ekosistem Lestari, Surplus Pangan, dan Energi (Eko Region)” Kemitraan dan Sinergi ABGC, Menuju Sumsel Gemilang-Provinsi Maju dan Terdepan di Indonesia. Palembang 31 Januari 2014
93
94
BAB TIGA
Penunjukan Dangku (29.080 hektar) dan Bentayan (19.300 hektar) sebagai suaka margasatwa berdasarkan SK Menteri Pertanian No.276/Kpts/Um/4/1981. Pada tahun 1990, SK Menteri Kehutanan No.755/Kpts-II/90 menetapkan Dangku seluas 70.274 hektar sebagai suaka margasatwa. Namun SK Menteri Kehutanan No.245/Kpts-II/1991, mengubah luas SM Dangku menjadi 31.752 hektar. Di bentang alam ini sedikitnya terdapat 452 spesies vertebrata, 107 spesies di antaranya dilindungi, 122 spesies masuk Daftar Merah IUCN, dan 85 spesies tergolong Apendiks CITES dan 18 spesies kategori EDGE. Spesies penting di bentang alam ini antara lain gajah sumatera, hektarrimau sumatera, rangkong gading, binturong, beruang madu, trenggiling, macan dahan, kelinci sumatera (Nesolagus netscheri), kukang, tapir, ungko, siamang, dan ular pohon emas (Chrysopelea ornate). Populasi harimau sumatera di bentang alam ini diperkirakan antara 7-9 ekor. Penelitian yang intensif terhadap populasi harimau masih terus di lakukan di bentang alam ini oleh PT REKI, ZSL, dan pihak lainnya.
Profil Sosial Ekonomi Masyarakat Lokasi Bentang Alam Dangku-Meranti berada di dua provinsi, yaitu Jambi dan Sumatera Selatan, meliputi 1 wilayah administrasi kota Jambi dan 3 kabupaten di Provinsi Jambi, serta dua kabupaten di Provinsi Sumatera Selatan, yaitu Musi Rawas dan Musi Banyuasin. Secara keseluruhan ada 22 kecamatan yang sebagian atau keseluruhan wilayahnya berada dalam batas Bentang Alam Dangku dengan total jumlah penduduk sekitar 939.363 jiwa, yang mayoritas beragama Islam (96,96%).
Jumlah penduduk usia kerja di Bentang Alam Dangku-Meranti pada tahun 2014 sekitar 431.064 orang, sebagian besar (54,94%) bekerja di sektor perkebunan. Sedangkan yang bekerja di sektor perdagangan sekitar 11,44%, pertanian pangan (padi dan palawija) sekitar 4,33%, di sektor pertanian hortikultura, perikanan, kehutanan dan pertambangan/ galian yang jumlahnya tak lebih dari 2%, dan industri pengolahan (2,7%). Dari bidang usaha di atas, sektor perkebunan menjadi bidang usaha yang cukup banyak menyerap tenaga kerja. Berdasarkan pendidikan, mayoritas penduduk Bentang Alam Dangku-Meranti mengenyam pendidikan terakhir Sekolah Dasar/sederajat (32,73%), bahkan ada sekitar 21,41% yang tidak/ belum tamat SD. Persentase mereka yang memiliki pendidikan sekolah lanjutan pertama SMP/sederajat sekitar 17,53%, dan SMA/ sederajat sekitar 17,20%. Di tingkat rumah tangga petani, lahan untuk jenis tanaman perkebunan jauh lebih luas daripada tanaman pertanian, terutama tanaman pokok pangan. Hasil sensus pertanian tahun 2013 (BPS, 2014) memperlihatkan luas lahan tanaman karet yang diusahakan rumah tangga petani cukup banyak, yaitu 520.313,14 hektar, atau lebih dari dua kali lipat luas daripada lahan yang ditanami kelapa sawit yang mencapai 203.874,90 hektar. Luas lahan tanaman karet dominan berada di Kabupaten Musi Rawas dan Musi Banyuasin, Provinsi Sumatera Selatan. Sedangkan untuk kelapa sawit luas lahannya cenderung merata di seluruh kabupaten, kecuali Kota Jambi. Untuk tanaman kakao dan kelapa, luasnya juga cukup merata, namun kakao dominan di Muaro Jambi, dan kelapa di Musi Banyuasin. Adapun kopi banyak ditanam oleh rumah tangga petani di Musi Rawas yang luasnya mencapai 2.296,28 hektar.
Ancaman terhadap Bentang Alam Dangku-Meranti
Gambar III-22. Persentase pendidikan terakhir penduduk di Bentang Alam Dangku-Meranti
Sedikitnya terdapat lima ancaman Utama di Dangku-Meranti, yaitu pertambangan, perambahan hutan, penebangan liar (illegal logging), perburuan satwa liar, serta kebakaran hutan dan lahan. Faktor pendorong di balik ancaman-ancaman itu bersumber pada permasalahan hak kelola lahan, tekanan ekonomi, dan kurangnya informasi yang secara khusus melatarbelakangi terjadinya kebakaran hutan dan lahan.
RENCANA INDUK PENGEMBANGAN KONSERVASI BENTANG ALAM SKALA BESAR DI SUMATERA DAN KALIMANTAN
Tabel III-29. Wilayah dan jumlah penduduk kecamatan dalam Bentang Alam Dangku-Meranti
Kabupaten
Jumlah penduduk ( jiwa)
Kecamatan
Kota Jambi
L
Kota Baru Batin 24
Batanghari
Sarolangun
Muaro Jambi
74.017
150.720
13.145
12.256
25.401
Pemayung
15.056
14.594
29.650
27.848
27.084
54.932
Mandiangin
16.716
15.565
32.281
Pauh
11.353
10.583
21.936
Pelawan
14.945
14.662
29.607
singkut
19.624
18.652
38.276
Sungai Bahar
13.855
12.390
26.245
Jambi Luar Kota
32.691
31.422
64.113
Rawas Ulu
16.152
16.419
32.571
16.554
16.609
33.163
9.276
9.320
18.596
Karang Dapo Nibung
12.118
11.248
23.366
Rawas Ilir
15.035
14.534
29.569
Bayung Lencir
39.778 31.400
38.859
78.637
Sanga Desa Musi Banyuasin
76.703
Muara Bulian
Rupit Musi Rawas
Total
P
31.400
Babat Toman
30.100
30.100
Sekayu
80.800
80.800
Keluang
29.300
29.300
Sungai Lilin
56.600
56.600
Batanghari Leko
22.100
22.100 939.363
Sumber: Kabupaten/Kota Dalam Angka 2014 (BPS Kabupaten Musi Banyuasin, Musi Rawas, Muaro Jambi, Sarolangun, Batanghari, dan Kota Jambi) L: Lelaki; P: Perempuan
Tabel III-30. Jenis tanaman dan luas areal ditanam di kabupaten dalam Bentang Alam Dangku-Meranti
Luas lahan ditanam oleh rumah tangga petani (hektar) Kabupaten/Kota Musi Rawas Musi Banyuasin
Gambir
Kakao
Karet
Kelapa Sawit
Kelapa
Kopi
Pinang
-
408,81
170.253,69
26.753,84
206,56
2.296,28
2,66
108,25
295,59
145.655,74
60.829,44
3.128,60
21,53
4,44
Sarolangun
-
104,60
84.716,85
17.301,61
50,90
15,67
3,07
Batang Hektarri
-
100,36
68.657,74
35.187,74
143,53
5,48
13,51
Muaro Jambi
-
1.821,72
48.658,52
56.070,80
542,43
6,87
93,41
Kota Jambi
-
95,47
2.370,59
7.731,47
6,50
79,08
108,25
2.826,55
520.313,14
203.874,90
2.352,33
196,17
Total
Sumber: Sensus Pertanian 2013 (BPS Provinsi Sumatera Selatan, BPS Provinsi Jambi, 2014)
461,69 4.533,70
95
96
BAB TIGA
Selain itu, terjadinya tumpang tindih kebijakan, dan tata kelola lahan turut berkontribusi pada timbulnya masalah kelestarian Bentang Alam Dangku-Meranti yang berujung pada konflik/ masalah sosial.
Kelembagaan dan Para Pihak Para pihak yang diidentifikasi di Bentang Alam Dangku-Meranti berasal dari berbagai pihak. Yang menarik adalah keberadaan perusahaan dalam konsesi restorasi ekosistem dimana perusahaan terdorong dalam pengembangan restorasi ekosistem (misalnya PT. REKI di Kabupaten Musi Banyuasin yang merupakan bagian wilayah Bentang Alam Dangku-Meranti). KPHP Meranti sudah ditetapkan sebagai KPH model namun belum memiliki rencana pengelolaan jangka panjang. Sedangkan KPHP Unit III Lalan Mangsang Mendis (LLM) di Kabupaten Musi Banyuasin, KPHP Unit VII Limau di Kabupaten Sarolangun, serta KPHP Lakitan di Kabupaten Musi Rawas sudah memiliki rencana pengelolaan jangka panjang. Di lain pihak, upaya pelestarian bentang alam juga diinisiasi oleh Forum Dangku yang merupakan forum komunikasi dan koordinasi konservasi yang beranggotakan para pihak. Inisiatif lain adalah pengembangan koridor satwa liar (harimau sumatera) secara kolaboratif yang diinisiasi oleh ZSL. Selain itu adanya upaya pengolahan limbah sawit di Kabupaten Musi Banyuasin oleh PT. PMB menarik untuk menjadi pembelajaran pengelolaan limbah.
Anggrek raksasa (Grammatophyllum sp.) yang tumbuh di sebatang pohon setinggi sekitar 30 meter di kawasan hutan Bentang Alam Dangku, Sumatera Selatan, Desember 2005. (Foto: Dolly Priatna)
Tapir (Tapirus indicus) yang terekam oleh kamera intai di Bentang Alam Dangku, Juli 2006. (Foto: Dok. ZSL Indonesia)
Pola relasi terhadap SDA dan bentang alam yang sebagian besar tinggi menjadi peluang untuk pengelolaan bersama pada Bentang Alam Dangku-Meranti ini. Tingkat pengaruh dan kepentingan menunjukan di kuadran I, II, dan III, sehingga strategi pelibatan yang mungkin dilakukan dengan konsultasi untuk para pihak di kuadran I, melakukan kolaborasi pada para pihak yang berada di kuadran II, dan memberitahu kepada para pihak di kuadran III tentang inisiatif pengelolaan Bentang Alam Dangku Meranti. Tingkat pengaruh dan kepentingan para pihak ditampilkan di dalam Lampiran 7.
RENCANA INDUK PENGEMBANGAN KONSERVASI BENTANG ALAM SKALA BESAR DI SUMATERA DAN KALIMANTAN
Sekelompok gajah Sumatera (Elephas maximus sumatrae) liar yang meninggalkan habitat aslinya dan mendekati pemukiman penduduk akibat banyaknya kegiatan ilegal di dalam kawasan hutan Bentang Alam Padang Sugihan, Sumatera Selatan, akhir 2015. (Foto: Heru Purnomo/APP)
3.2.8 Bentang Alam Padang Sugihan, Sumatera Selatan Letak dan Wilayah Administratif Bentang Alam Padang Sugihan, Provinsi Sumatera Selatan, terletak di antara 104° 49’ 26.7’’ - 106° 4’ 49.11’’ BT dan 2° 19’ 47.95’’ LS 4° 8’ 49.08’’ LS. Bentang alam seluas 1.650.213 ha berada di Kabupaten Banyuasin dan Ogan Komering Ilir dengan total 16 kecamatan dan 265 desa. Status kawasan terdiri dari 37 % HP, 2% HPK, 1% HPT, 7% HL, 5% KSA/KPA dan 48% APL. Program utamanya adalah pengembangan koridor satwa dengan kawasan konservasi sekitarnya dan mempertahankan populasi gajah sumatera.
Ekosistem dan Keanekaragaman Hayati Bentang alam ini memiliki tipe ekosistem hutan rawa gambut, hutan rawa air tawar, dan bakau. Bentang alam terletak pada DAS/Sub DAS Batang, Jatingombol, Jeruju, Koyan, Mesuji, Musi, Pidada, Pulau Dalem, Riding, Teluk Daun,
dan Teluk Puleh. Terdapat Suaka Margasatwa Padang Sugihan seluas 75.000 hektar yang ditunjuk berdasarkan SK Menteri Kehutanan No.04/Kpts-II/1983. Suaka ini dibentuk sebagai respon atas penggiringan 232 ekor gajah dari area transmigrasi di sekitar Padang Sugihan. Di dalam Bentang Alam Padang Sugihan sedikitnya terdapat 250 spesies vertebrata, 77 spesies di antaranya dilindungi, 56 spesies masuk Daftar Merah IUCN, dan 55 spesies tergolong Apendiks CITES dan 13 spesies kategori EDGE. Spesies penting di bentang alam ini antara lain gajah dan harimau sumatera. Perkiraan populasi gajah sumatera di Padang Sugihan sekitar 100-150 individu. Intensitas konflik dalam periode 2009-2014 termasuk kategori rendah. Faktor penyebab konflik adalah daerah jelajah gajah semakin sempit, dan terjadi saat musim kemarau yang panjang (SRAK Gajah Sumatera, 2007).
97
98
BAB TIGA
Gambar III-23. Peta indikatif Bentang Alam Padang Sugihan, status kawasan, dan tipe ekoregion
Profil Sosial Ekonomi Masyarakat Jumlah penduduk kecamatan di Bentang Alam Padang Sugihan sekitar 624.937 jiwa, terdiri dari 327.481 laki-laki dan 297.456 perempuan. Kecamatan Kota Kayu Agung di Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI) memiliki jumlah dan kepadatan penduduk tertinggi, sedangkan Kecamatan Pedamaran Timur paling sedikit jumlah penduduknya. Mayoritas penduduk kecamatan dalam Bentang Alam Padang Sugihan menganut Islam (99,21%). Etnis penduduknya mencakup suku-suku yang ada di Sumatera Selatan pada umumnya, seperti orang Komering, Kayu Agung, Ogan, Sekayu dengan akar budaya Melayu. Sedangkan pendatang kebanyakan berasal dari etnis Jawa, Bugis, dan Minangkabau, yang bekerja di sektor perdagangan, pertambakan dan pertanian. Mayoritas penduduk kecamatan yang berada di dalam Bentang Alam Padang Sugihan berpendidikan SMA/MI/SMK dan sederajat, dan 39,86% dari keseluruhan penduduk berusia di atas lima tahun. Penduduk yang pendidikan tinggi, seperti diploma dan sarjana atau pascasarjana jumlahnya masih sangat sedikit, yaitu di bawah 1%.
Terdapat sekitar 293.700 penduduk usia produktif, yang mayoritas bekerja di sektor pertanian padi dan palawija (41,16%) serta perkebunan (23,78%). Pertanian padi menjadi andalan penduduk di Padang Sugihan di mana masih banyak hamparan sawah, terutama di desa-desa transmigrasi yang mayoritas penduduknya berasal dari Pulau Jawa. Sekitar 6,5% penduduk yang bekerja di bidang perikanan terutama tinggal di desa-desa di daerah pesisir, seperti di Kecamatan Cengal, Sungai Menang, Tulung Selapan, Muara Sugihan, dan Banyuasin I. Mereka menjadi pemilik tambak udang dan bandeng, atau nelayan tangkap di laut. Desa-desa di kecamatan yang tidak berada di pesisir, seperti desa-desa di Kecamatan Jejawi, penduduknya ada juga yang mengandalkan perikanan sungai di sekitar desa sebagai sumber kehidupan mereka. Di subsektor perkebunan, komoditas karet merupakan andalah penduduk kabupaten dalam wilayah Bentang Alam Padang Sugihan. Baik di Kabupaten OKI maupun Banyuasin luas lahan yang ditanami kelapa sawit, kelapa, kakao, dan kopi oleh keluarg-keluarga petaninya masih jauh di atas jenis-jenis tanaman lain.
RENCANA INDUK PENGEMBANGAN KONSERVASI BENTANG ALAM SKALA BESAR DI SUMATERA DAN KALIMANTAN
Tabel III-31. Wilayah, jumlah dan kepadatan penduduk di Bentang Alam Padang Sugihan
Kabupaten
Banyuasin
Luas (km2)
Kecamatan
L
P
Total ( jiwa)
Kepadatan penduduk ( jiwa/km2)
Muara Sugihektarn
723,00
21.195
2.098
23.293
32,2
Muara Padang
945,00
16.206
15.063
31.269
33,1
Air Saleh
339,00
18.325
17.496
35.821
105,7
Banyuasin I
227,00
26.375
25.669
52.044
229,3
Rambutan
481,00
21.354
20.720
42.074
87,5
2.593,82
16.998
16.168
33.166
12,8
1.139,75
13.199
13.973
27.172
23,8
Pampangan
177,42
14.702
14.625
29.327
165,3
Jejawi
218,98
19.501
19.738
39.239
179,2
Air Sugihan Pangkalan Lapam
Ogan Komering Ilir
Jumlah Jiwa
Sirah Pulau Padang
149,08
22.100
21.512
43.612
292,5
Kota Kayu Agung
145,45
32.898
32.863
65.761
452,1
1.059,68
21.424
20.918
42.342
40,0
464,79
11.101
10.433
21.534
46,3
Cengal
2.226,41
25.202
21.598
46.800
21,0
Sungai Menang
2.876,17
25.700
23.529
49.229
17,1
Tulung Selapan
4.853,40
21.201
21.053
42.254
8,7
Pedamaran Pedamaran Timur
Sumber: Provinsi Sumatera Selatan Dalam Angka 2014, Kabupaten Dalam Angka 2014 (BPS Sumatera Selatan, BPS Kabupaten Ogan Komering Ilir, BPS Kabupaten Banyuasin). L: Laki-laki; P: Perempuan
Tabel III-32. Luas perkebunan (hektar) yang dikelola RTP di Bentang Alam Padang Sugihan tahun 2013
Kabupaten/Kota
Kakao
Karet
Sawit
Ogan Komering Ilir
396,20
153.237
12.845,00
Banyuasin
216,21
71.522,90
26.518,28
Kelapa
Kopi
3.895,00
277,43
24.234,15
Lainnya
470,36
4,00 10,10
Sumber: Provinsi Sumatera Selatan Dalam Angka 2014, Kabupaten Dalam Angka 2014 (BPS Sumatera Selatan, BPS Kabupaten Ogan Komering Ilir, BPS Kabupaten Banyuasin)
Ancaman terhadap Bentang Alam Padang Sugihan
Gambar III-24. Persentase pendidikan terakhir penduduk di bentang alam Padang Sugihan
Analisis MIRADI di Bentang Alam Padang Sugihan menunjukkan adanya lima ancaman utama, yaitu kebakaran hutan dan lahan, konflik gajah, illegal logging, perambahan kawasan, dan konversi bakau untuk tambak di daerah pesisirnya. Ancaman tersebut dipicu oleh rangkaian faktor penunjang, seperti tekanan ekonomi, kapasitas masyarakat yang lemah, hilangnya akses masyarakat ke sumber penghidupan, konflik lahan, dan pembukaan lahan baru di habitat gajah. Selain itu, tumpang tindih kebijakan tata ruang dan wilayah kelola menjadi penggerak terjadinya permasalahan yang sudah disebutkan sebelumnya, seperti konflik lahan dan hilangnya akses sumberdaya alam.
99
100
BAB TIGA
Kelembagaan dan Para Pihak Pemerintah pusat dan daerah sebagai para pihak yang memiliki pengaruh dan kepentingan yang tinggi terhadap bentang alam. Perusahaan memiliki pengaruh sedang dan kepentingan tinggi terkait produksi hasil hutan. LSM memiliki pengaruh sedang dan kepentingan tinggi. Dengan adanya kepentingan yang tinggi antara para pihak tersebut dimungkinkan untuk melakukan kegiatan secara kolaboratif untuk mengembangkan bentang alam. Pemerintah berperan dalam perencanaan, implementasi, dan memantau kebijakan yang diterbitkan; perusanaan melakukan pelestarian bentang alam melalui restorasi dan proteksi; dan LSM mengoptimalkan perannya melakukan kajian dan pendampingan masyarakat. Di sisi lain, ada inisiatif kemitraan HTI dan Masyarakat (SMF dan Masyarakat di Air Sugihan) yang muncul dengan adanya demonstration plot tumpang sari tanaman kehidupan dan Badan Usaha Milik Desa. Selanjutnya inisiasi rencana aksi konservasi sumberdaya alam pesisir dan energi (SMF,WBH, JICA, UNDP, PT. TAP) di Pantai Timur Ogan Komering Ilir. Inisiatif tersebut perlu mendapat perhatian dari pemerintah sebagai pihak pengambil kebijakan di tingkat Pusat
maupun Daerah sehingga dapat mensinergikan pembangunan daerah dengan pengelolaan hutan secara berkelanjutan. Tingkat pengaruh dan kepentingan para pihak di bentang alam ini dapat dilihat pada Lampiran 7.
3.2.9 Bentang Alam Kubu, Kalimantan Barat Letak dan Fokus Utama Bentang Alam Bentang Alam Kubu, Provinsi Kalimantan Barat, terletak di antara 109° 14’ 15.02’’ - 110° 26’ 48.6’’ BT dan 0° 2’ 59.25’’ LS - 1° 18’ 32.57’’ LS. Bentang alam seluas 922.821 hektar berada di Kabupaten-kabupaten Kubu, Sanggau, Ketapang dan Kabupaten Kayong Utara, dengan total 11 kecamatan dan 79 desa. Status kawasan terdiri dari 43% HP, 1% HPK, 8% HPT, 17% HL, 0% KSA/KPA dan 31% APL. Program utamanya adalah proteksi dan restorasi bakau, hutan, dan lahan gambut, pemberdayaan masyarakat, mempertahankan populasi orangutan kalimantan, bekantan, buaya, dan pesut mahakam.
Gambar III-25. Peta indikatif bentang alam Kubu, status kawasan, dan tipe ekoregion
RENCANA INDUK PENGEMBANGAN KONSERVASI BENTANG ALAM SKALA BESAR DI SUMATERA DAN KALIMANTAN
Ekosistem dan Keanekaragaman Hayati Bentang Alam Kubu memiliki tipe ekosistem hutan hujan dataran rendah, hutan rawa gambut, hutan rawa air tawar, dan bakau. Bentang alam terletak pada DAS/SubDAS Kapuas, Pawan, dan Kepulauan Kaya Karimata. Tidak ada kawasan konservasi yang berstatus KSA/KPA atau ekosistem esensial di bentang alam ini. Di dalam Bentang Alam Kubu setidaknya terdapat 57 spesies satwa vertebrata, yang 35 spesies di antaranya dilindungi, 24 spesies masuk Daftar Merah IUCN, dan 27 spesies tergolong Apendiks CITES dan enam spesies masuk kategori EDGE. Spesies penting di bentang alam ini antara lain orangutan (Pongo pygmaeus), beruang madu, bekantan (Nasalis larvatus), kelawat (Hylobates muelleri), kukang (Nycticebus coucang), dan tarsius (Tarsius bancanus).
pejabat pemerintah Kabupaten Kubu menyatakan, pemerintah kabupaten berencana tidak lagi menerima transmigran dari luar daerah dan akan lebih memprioritaskan transmigrasi bagi penduduk setempat, agar terjadi pemerataan kepadatan penduduk antar kecamatan di dalam wilayah kabupaten15. Mayoritas penduduk beragama Islam. Data BPS Kalimantan Barat 2014 menunjukkan, sekitar 46,5% penduduk di Bentang Alam Kubu bekerja di sektor perkebunan atau menjadi mayoritas dibandingkan jumlah pekerja di sektor lain. Sedangkan jumlah pekerja terbanyak lainnya ada di sektor pertanian padi dan palawija.
Profil Sosial Ekonomi Masyarakat Penduduk di Bentang Alam Kubu berjumlah 285.920 jiwa atau sekitar 6,5% dari total penduduk Kalimantan Barat yang berjumlah 4.395.983 jiwa. Tingkat kepadatan penduduk paling rendah ada di Kecamatan Terantang di Kabupaten Kubu, salah satu daerah tujuan transmigrasi lokal dari kecamatan yang padat penduduk. Dalam sebuah pernyataannya,
Gambar III-26. Persentase pendidikan terakhir penduduk di Bentang Alam Kubu
Tabel III-33. Wilayah, jumlah, dan kepadatan penduduk kecamatan di Bentang Alam Kubu
Kabupaten
Kecamatan
Luas (km2)
Pulau Maya/Karimata Kayong Utara
Simpang Hilir
Ketapang
Simpang Hulu
Teluk Batang Batu Ampar Kubu
Sanggau
Kubu Telok Pa’kedai
Total
Kepadatan
( jiwa)
( jiwa/km2)
1.189,42
14.017
12
1.538,99
30.708
20
654,77
20.151
31
3.175,00
29.496
9
2.002,70
34.252
17
1.211,60
37.434
31
291,90
19.549
67
Terentang
1.786,40
10.720
6
Meliau
1.495,74
46.150
31
Tayan Hilir
1.050,50
31.250
30
1.127,20
12.193
11
15.524,22
285.920
Toba Total
Sumber: Kabupaten Dalam Angka 2014 (BPS Kabupaten Sanggau, BPS Kabupaten Kubu, BPS Ketapang, BPS Kabupaten Kayong Utara)
15 http://www.thejakartapost.com/news/2015/05/11/kubu-raya-limit-transmigrants-other-regions.html
101
102
BAB TIGA
Jumlah penduduk yang bekerja di sektor pertambangan, konstruksi, transportasi, kehutanan dan pertambangan jumlahnya di bawah 10%. Total jumlah pekerja di sektor lainnya adalah 8,7%, yang mencakup sektor jasa keuangan, transportasi, listrik dan gas, jasa pendidikan, dan layanan sosial.
di luar kendali, dan perambahan hutan di kawasan konservasi. Faktor kebijakan pengelolaan ruang dan faktor ekonomi dan kurangnya pengetahuan tentang pengelolaan lahan menjadi faktor mendasar terjadinya berbagai tekanan terhadap Bentang Alam Kubu. Ketidakpastian ruang yang terjadi, kemudian secara berantai menyebabkan ketidakpastian penegakan hukum. Konflik pengelolaan lahan yang kemudian memicu terjadinya ancamanancaman langsung terhadap hutan alam juga terjadi di Bentang Alam Kubu ini.
Berdasarkan tingkat pendidikan terakhir, ratarata kelompok penduduk kecamatan-kecamatan dalam Bentang Alam Kubu berpendidikan tingkat dasar, yaitu mereka yang tidak/belum tamat SD (32%) maupun yang telah menamatkan SD (30%). Mereka yang memiliki berpendidikan sekolah lanjutan SMP/sederajat hanya 11%, sedangkan tingkat SMA/SMK/sederajat sekitar 7%. Adapun kelompok penduduk yang memiliki pendidikan tingkat lebih tinggi, diploma, S1 atau pascasarjana persentasenya masih di bawah 2%.
Kelembagaan dan Para Pihak Di Bentang Alam Kubu, terpetakan para pihak yang memiliki upaya dan peran penting dalam upaya mengatasi persoalan di bentang alam, misalnya kolaborasi antar-perusahaan yang berkoordinasi dengan pemangku kepentingan kawasan terkait untuk mengatasi kebakaran hutan. Di sisi lain, kesiapan RTRW yang dikembangkan pemerintah untuk mendukung pengelolaan bentang alam merupakan tantangan ke depannya dengan melihat pola relasi para pihak terhadap sumberdaya alam dan bentang alam. Sebagian besar para pihak memiliki relasi yang tinggi terhadap bentang alam sehingga perlu aturan main yang lebih baik. Strategi pelibatan para pihak dapat dlakukan dengan berkolaborasi (kuadran II), berkonsultasi (kuadran I), dan memberitahukan (kuadran III) untuk pengelolaan bentang alam Kubu ini. Tingkat pengaruh dan kepentingan para pihak dapat dilihat di bawah ini, dan secara lengkap dapat dilihat di Lampiran 7.
Karet dan kelapa sawit adalah tumbuhan komoditas ekonomi yang paling banyak ditanam oleh rumah tangga petani. Berdasarkan Sensus Pertanian 2013 (BPS, 2014), jumlah lahan yang ditanami karet oleh masyarakat mencapai 254.096, 97 hektar, sedangkan total luas lahan yang ditanami sawit mencapai 101.090,45 hektar. Di Kabupaten Sanggau, jenis tanaman dibudidayakan mayoritas warga adalah kelapa sawit dan karet, sedangkan di Kabupaten Kubu dan Kayong Utara adalah tanaman karet, kelapa, dan kopi. Berikut ini gambaran jenis tanaman dan luas arealnya:
Ancaman terhadap Bentang Alam Kubu Berdasarkan tinjauan yang ada, Bentang Alam Kubu mengalami sejumlah ancaman langsung pada ekosistemnya, yaitu kebakaran hutan dan lahan, pencemaran sungai, pertambangan, penebangan liar, pertambahan kebun sawit
Tabel III-34. Jenis tanaman dan luas areal ditanam di kabupaten dalam Bentang Alam Kubu Kabupaten Kayong Utara
Luas lahan ditanam/diolah (hektar) Cengkeh
Kakao
Karet
Kelapa
4,63
Kubu
52,31
62,50
Sanggau
48,65
951,43
121.213,67
67.400,43
Ketapang
3,50
94,02
94.272,93
29.438,39
116,19
1.112,58
254.096,97
101.090,45
28.541,49
Total luas (hektar)
8.218,00
Sawit
11,74
30.392,37
Kopi
Lada
Pinang
Sagu
252,21
3.382,50
1.020,94
22,43
6,26
-
3.999,41
23.209,28
4.053,33
223,10
592,04
296,97
670,73
10,42
1.168,20
0,02
1,44
1.278,97
372,00
4,79
0,98
0,34
5.456,69
1.418,51
599,30
298,75
Sumber: Kabupaten Dalam Angka 2014 (BPS Kabupaten Sanggau, BPS Kabupaten Kubu, BPS Ketapang, BPS Kabupaten Kayong Utara)
RENCANA INDUK PENGEMBANGAN KONSERVASI BENTANG ALAM SKALA BESAR DI SUMATERA DAN KALIMANTAN
Gambar III-27. Peta indikatif Bentang Alam Kutai, status kawasan, dan tipe ekoregion
3.2.10 Bentang Alam Kutai, Kalimantan Timur Letak dan Fokus Utama Bentang Alam Bentang Alam Kutai, Provinsi Kalimantan Timur, terletak di antara 116° 37’ 8.55’’ - 117° 36’ 45.8’’ BT dan 0° 36’ 47.45’’ LU - 0° 35’ 21.94’’ LS. Bentang alam seluas 977.000 hektar ini berada di Kabupaten Kutai Kartanegara, Kutai Timur, dan Kota Bontang dan Samarinda, mencakup wilayah dari 24 kecamatan dan 170 desa. Status kawasan terdiri dari 29% HP, 0% HPK, 0% HPT, 2% HL, 26% KSA/KPA, dan 42% APL. Program utamanya adalah proteksi, restorasi, dan memperluas hutan alam di daerah penyangga sekitar taman nasional, menyediakan koridor satwa, dan menjaga populasi orangutan kalimantan serta mendukung taman nasional.
Ekosistem dan Keanekaragaman Hayati Bentang Alam Kutai memiliki tipe ekosistem hutan hujan dataran rendah, hutan rawa gambut, dan hutan rawa air tawar yang terletak pada DAS/SubDAS Mahakam, Sangata, dan Santan. Di dalam bentang alam terdapat Cagar Alam Muara Kaman Sedulang dan TN Kutai. Penunjukan hutan sekitar Muara Kaman Sedulang seluas 62.500 hektar sebagai cagar alam didasarkan pada SK Menteri Pertanian No.290/Kpts/
Um/5/1976. Penunjukan itu sebagai upaya melindungi lumba-lumba mahakam dan satwa liar terestrial lainnya. Penunjukan Taman Nasional Kutai seluas 198.629 hektar berawal dari SK Menteri Kehutanan No.325/Kpts-II/95 yang mengubah Suaka Margasatwa Kutai menjadi taman nasional. Kawasan ini telah dicalonkan menjadi TN sejak tahun 1982 melalui deklarasi Menteri Pertanian. Taman Nasional Kutai sedang dikaji kecocokannya untuk mendapatkan status cagar biosfer. Adanya multipihak yang beroperasi di dalam bentang alam dan beberapa spesies kunci memungkinkan Kutai sebagai laboratorium alam dalam aspek sosial, lingkungan, dan industri berkelanjutan. Di bentang alam ini sedikitnya terdapat 534 spesies vertebrata, 116 spesies di antaranya dilindungi, 121 spesies masuk Daftar Merah IUCN, dan 83 spesies tergolong Apendiks CITES dan 21 spesies kategori EDGE. Spesies penting di bentang alam ini antara lain orangutan kalimantan, bekantan, dan pesut mahakam (Orcaella brevirostris). Populasi orangutan di bentang alam Kutai diperkirakan antara 2.500-3.000 ekor.16
16 http://regional.kompasiana.com/2011/10/17/landscape-kutai-benteng-terakhir-orangutan-404130.html
103
104
BAB TIGA
Tabel III-35. Wilayah, jumlah, dan kepadatan penduduk kecamatan dalam Bentang Alam Kutai
Kabupaten/kota
Bontang
Luas (km2)
Kecamatan
Total ( jiwa)
Kepadatan ( jiwa/km2)
13.133
11.714
24.847
12,9
Bontang Selatan
104,4
29.969
27.473
57.442
550,2
2620
32.319
29.075
61.394
23,4
Anggana
1.798,8
17.353
15.335
32.688
18,2
Loa Janan
644,2
28.829
27.242
56.071
87,0
1.405,7
20.845
19.093
39.938
28,4
Marang Kayu
1.165,7
12.284
11.110
23.394
20,1
Muara Badak
939,09
20.918
18.916
39.834
42,4
Muara Kaman
3.410,1
18.030
15.879
33.909
9,9
Sebulu
859,5
19.305
17.115
36.420
42,4
Tenggarong Seberang
Samarinda
P
1.920
Loa Kulu
Kutai Timur
L
Bontang Barat
Bontang Utara
Kutai Kartanegara
Jenis kelamin
437
32.933
28.508
61.441
140,6
Batu Ampar
204,50
2.210
1.991
4.201
20,5
Long Mesangat
526,98
2.271
1.979
4.250
8,1
Muara Ancalong
2.739,30
6.564
5.947
12.511
4,6
Muara Bengkal
1.522,80
5.911
5.420
11.331
7,4
Rantau Pulung
143,82
3.907
3.296
7.203
50,1
Sangatta Selatan
1.660,85
9.804
8.390
18.194
11,0
Sangatta Utara
1.262,59
39.699
32.457
72.156
57,1
Teluk Pandan
831,00
6.554
5.654
12.208
14,7
Samarinda Ilir
17,18
62.615
58.321
120.936
7.039,3
Samarinda Seberang
12,49
59.082
55.101
114.183
9.142,0
Sungai Kunjang
69,23
58.961
55.083
114.044
1.647,3
Samarinda Ulu Samarinda Utara TOTAL
22,12
65.732
60.919
126.651
5.725,6
229,52
105.313
97.294
202.607
882,7
1.287.853
Sumber: Kalimantan Timur Dalam Angka 2014, Kabupaten/Kota Dalam Angka 2014 (BPS Kabupaten Kutai Timur, BPS Kab/Kota Samarinda, BKS Kabupaten Kutai Kertanegara, BPS Kota Bontang)
Profil Sosial Ekonomi Masyarakat Jumlah penduduk kecamatan di dalam Bentang Alam Kutai adalah 1.287.853 jiwa yang mayoritas beragama Islam (91,35%). Kepadatan penduduk tertinggi berada di Kecamatan Samarinda Seberang (9.142 jiwa/km2), sedangkan yang terendah di Kecamatan Muara Ancalong yaitu 4,6 jiwa/km2.
Gambar III-28. Persentase pendidikan terakhir penduduk di Bentang Alam Kutai
Berdasarkan etnisitasnya, penduduk di Bentang Alam Kutai berasal dari etnis asli di wilayah ini, yaitu orang-orang Kutai dan beberapa subetnis Dayak, termasuk Kenyah.
RENCANA INDUK PENGEMBANGAN KONSERVASI BENTANG ALAM SKALA BESAR DI SUMATERA DAN KALIMANTAN
Namun, banyak juga penduduk dari suku Bugis dan Jawa. Mereka datang karena program transmigrasi sejak tahun 1970-an. Sebagian berdatangan dan menetap karena pekerjaan, seperti di perusahaan perkayuan, perkebunan, dan pertambangan. Secara historis, orang-orang Bugis dan suku lain dari Sulawesi Selatan telah ada dan menetap sejak zaman Kesultanan Kutai. Berdasarkan tingkat pendidikannya, persentase terbesar penduduk berusia 5 tahun ke atas terbesar adalah mereka yang berpendidikan terakhir SMA/SMK/sederajat, yang persentasenya mencapai 29,1%. Mereka yang memiliki pendidikan terakhir SD/sederajat mencapai 22,9%, SMP/sederajat 18,2 %, dan mereka yang tidak/belum tamat SD berjumlah 17,8%. Sementara itu, persentase mereka yang memiliki pendidikan terakhir sarjana lebih tinggi dibanding mereka yang berpendidikan diploma I-III. Ada sekitar 561.082 penduduk berusia produktif; mayoritas bekerja di bidang perdagangan (17,6%), jasa kemasyarakatan (12,6%), pertambangan dan galian (10,1%), konstruksi (7,4%), serta pertanian tanaman padi dan palawija (7,1%). Sekitar 8,9% dari pekerja tersebut bekerja di bidang perhotelan dan rumah makan, jasa keuangan dan asuransi, serta jasa pendidikan. Berbeda dengan bentang alam lain, usaha perkebunan di Bentang Alam Kutai tergolong rendah, yakni 3,6%. Berdasarkan Sensus Pertanian 2013, luas lahan yang ditanami jenis tanaman perkebunan oleh rumah tangga petani di kabupaten/kota dalam Bentang Alam Kutai tidak terlalu besar, terutama di Kabupaten Kutai Timur dan Kutai Kartanegara yang kebanyakan penduduknya bekerja di sektor pertanian dan perkebunan. Tanaman karet dan sawit secara keseluruhan memiliki luas areal tanam yang paling besar, masingmasing 38.942 hektar dan 38.938 hektar. Jumlah tersebut jauh di atas luas lahan yang ditanami kelapa, kakao atau lada.
Ancaman terhadap Bentang Alam Kutai Terdapat empat ancaman utama di Bentang Alam Kutai, yaitu pencemaran, illegal logging, perambahan hutan alam, dan pertambahan kebun sawit yang tidak terkendali. Tumpang tindihnya penggunaan lahan dan tata ruang mengakibatkan konflik tanah di masyarakat. Permasalahan terkait pelaksanaan kebijakan
Tumbuhan kantong semar (Nepenthes sp.) yang banyak ditemukan di hutan gambut Bentang Alam GSKBB, Riau, Februari 2014. (Foto: Dolly Priatna)
105
106
BAB TIGA
Tabel III-36. Jenis tanaman dan luas areal ditanam di kabupaten/kota dalam Bentang Alam Kutai
Luas lahan di tanam oleh rumah tangga petani (hektar) Kabupaten/kota Aren
Cengkeh
Kutai Kartanegara
42
28
Kutai Timur
34
Samarinda Bontang
Kakao
Karet
Sawit
Kelapa
Kemiri
1.000
26.167
18.849
2.884
48
27
2.746
10.472
17.111
1.031
22
0
47
1.715
1.833
9
1
53
589
107
56
3.845
38.942
Kopi
Lada
Lainnya
172
1.423
6
259
172
303
5
113
296
46
31
4
1.145
175
35
27
9
3
38.938
4.202
638
417
1.766
18
Sumber: Sensus Pertanian Provinsi Kalimantan Timur 2013 (BPS Provinsi Kalimantan Timur 2014)
dan pengelolaan kawasan-kawasan konsesi pendorong terjadinya kasus-kasus perambahan hutan. Penegakan hukum menjadi tidak mudah karena kebijakan yang tumpang tindih. Kombinasi dari faktor-faktor tersebut merupakan ancaman serius bagi kelestarian Bentang Alam Kutai.
Kelembagaan dan Para Pihak Para pihak yang diidentifikasi di Bentang Alam Kutai meliputi pemerintah pusat (UPT), pemerintah daerah, perusahaan HTI, dan LSM Lingkungan. Pada bentang alam ini teridentifikasi peran para pihak (perusahaan dan universitas) yang melakukan insiatif untuk konservasi orangutan, terutama di hutan produksi. Inisiasi usulan Kutai sebagai cagar biosfer (MAB-LIPI) patut mendapat dukungan dalam pengelolaan bentang alam ini ke depannya. Selain itu, inisiatif yang telah dilakukan oleh SMF dan mitranya (PT Surya Hutani Jaya) adalah di Taman Nasional Kutai, Hutan Lindung Bontang, serta dukungan perluasan koridor untuk orangutan di Cagar Alam Muara Kaman. Pemerintah yang mengelola kawasan memiliki pengaruh dan kepentingan yang tinggi terhadap kawasan, sehingga kebijakan yang dikeluarkan hendaknya mengarah pada pengelolaan bentang alam yang lebih baik melalui pengembangan jaringan dan forum multipihak pengelolaan bentang alam bersama universitas, LSM, dan perusahaan. Tingkat pengaruh dan kepentingan para pihak ditampilkan dalam Lampiran 7.
Orangutan kalimantan (Pongo pygmaeus) jantan dewasa penghuni kawasan hutan di Bentang Alam Kubu, Kalimantan Barat dan Kutai, Kalimantan Timur, Juli 2013. (Foto: Rolf M Jensen)
RENCANA INDUK PENGEMBANGAN KONSERVASI BENTANG ALAM SKALA BESAR DI SUMATERA DAN KALIMANTAN
Salah satu lahan garapan masyarakat di dalam kawasan hutan yang umum dijumpai di dalam bentang alam Sumatera maupun Kalimantan, Desember 2014. (Foto: Dok. APP)
107
108
RENCANA INDUK PENGEMBANGAN KONSERVASI BENTANG ALAM SKALA BESAR DI SUMATERA DAN KALIMANTAN
109
BAB EMPAT Foto udara yang menunjukkan variasi pemanfaatan lahan di areal transisi di Bentang Alam GSKBB, Riau, Desember, 2009. (Foto: Dolly Priatna)
110
BAB EMPAT
STRATEGI KONSERVASI BENTANG ALAM Konservasi bentang alam sebagai pokok pikiran dalam dokumen ini merupakan suatu proses sistematis untuk mempertahankan kualitas (kesehatan) bentang alam. Pada konteks ini selalu ada bagian-bagian di dalam bentang alam yang menjadi perhatian karena dipahami dan disepakati sebagai penopang utama kesehatan bentang alam secara keseluruhan atau sering disebut sebagai benefit beyond boundaries. Bagianbagian ini adalah mosaik atau unit lahan yang berupa ekosistem hutan.
4.1
KONSEPTUALISASI KONSERVASI BENTANG ALAM Keberadaan ekosistem hutan pada suatu bentang alam dalam proporsi luas dan kualitas tertentu dibutuhkan untuk mendukung keberlangsungan kegiatan sosial dan ekonomi yang terjadi di dalam dan wilayah sekitar (on site) bahkan di wilayah yang jauh (off site) dari ekosistem hutan tersebut. Dalam konteks ini hubungan saling ketergantungan antara pembangunan sosial, ekonomi dengan konservasi ekosistem hutan dapat dipahami secara jelas dan ditelaah lebih mendalam melalui konsep daya daya dukung (carryng capacity).1 Ekosistem hutan pada 10 bentang alam didominasi oleh lahan basah, yaitu hutan bakau, hutan rawa gambut, dan hutan rawa air tawar. Ekosistem lainnya yang ada di dalam bentang alam adalah hutan hujan dataran rendah dan hutan kerangas. Ekosistem hutan dataran rendah dan lahan basah merupakan habitat penting satwa. Namun, secara umum hutan-hutan tersebut memiliki manfaat yang menunjang kehidupan manusia dalam bentuk jasa ekosistem seperti tata air, kesuburan tanah, penyimpan karbon, penyedia berbagai hasil hutan langsung, dan jasa ekosistem hutan lainnya.
Pemikiran mengenai kesehatan bentang alam sebenarnya telah terinternalisasi dalam instrumen pembangunan di Indonesia. Pemberlakukan Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) dalam proses penataan ruang wilayah serta penetapan angka 30% luas hutan yang harus dipertahankan secara proporsional terhadap luas wilayah adminsitrasi pemerintahan atau terhadap luas DAS merupakan salah satu instrumen makro dalam pembangunan yang ditujukan untuk menjaga kesehatan bentang alam. Pada tingkat lebih mikro, setiap proyek pembangunan di berbagai sektor wajib melakukan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan, Upaya Pengelolaan Lingkungan, dan Upaya Pemantauan Lingkungan. Pada sektor kehutanan, standar-standar kelestarian ekologis untuk kegiatan-kegiatan ekonomi berbasis hutan di tingkat tapak telah muncul baik yang bersifat wajib (mandatory) maupun sukarela (voluntary). Standar yang bersifat wajib di antaranya adalah standar Pengelolaan Hutan Produksi Lestari (PHPL) dan Nilai Konservasi Tinggi (NKT); sementara itu, standar kelestarian pengelolaan hutan yang bersifat sukarela misalnya yang dikembangkan Forest Stewardship Council, Lembaga Ekolabel Indonesia, dan Indonesian Forestry Certification Cooperation (IFCC).
1 Daya dukung dalam ekologi didefinisikan oleh Colinvaoux (1986) sebagai jumlah maksimum individu unsur hayati yang masih dapat dijamin hidup dengan baik pada kondisi lingkungan tertentu. Dalam sistem ekologi setiap spesies berarti sebagai lingkungan bagi spesies lainnya, sehingga lingkungan itu sendiri adalah hubungan interdependensi diantara spesies yang ditambahkan dengan unsur fisik. Dalam kerangka legal pengelolaan taman nasional perlakuan untuk menjaga kondisi daya dukung diterjemahkan oleh fungsi pokok perlindungan sistem penyangga kehidupan dan pengawetan keanekaragaman hayati dan genetik.
RENCANA INDUK PENGEMBANGAN KONSERVASI BENTANG ALAM SKALA BESAR DI SUMATERA DAN KALIMANTAN
Gajah sumatera (Elephas maximus sumatrae) jantan di habitat aslinya di sebuah kawasan hutan tropis dataran rendah Sumatera, Oktober 2003. (Foto: Dolly Priatna)
Kondisi terkini ekosistem hutan pada 10 bentang alam dari aspek luas dan kualitasnya sangat beragam, namun fungsinya sebagai penopang kesehatan bentang alam dapat diamati langsung melalui beberapa indikator yang secara langsung atau tidak langsung berpengaruh terhadap kehidupan masyarakat, misalnya: debit dan kualitas air sungai, suhu udara, frekuensi banjir, kekeringan, erosi, longsor, penurunan populasi satwa, dan kejadian konflik satwamanusia. Hasil identifikasi selama penyusunan Rencana Induk ini memperlihatkan kemunculan indikator-indikator tersebut, dan setelah didalami mengarah pada kesimpulan bahwa 10 bentang alam dalam kondisi tidak sehat karena luas dan kualitas ekosistem hutan yang ada di dalamnya tidak memadai. Dalam konteks ini pula ditemukan urgensi untuk melakukan upaya tambahan (additionality) di luar upaya-upaya yang telah dilakukan selama ini (business as usual), yaitu konservasi bentang alam yang didorong dan didukung oleh para pihak secara nyata, dengan program-program yang kreatif, inovatif, dan adaptif. Kawasan hutan adalah wilayah di mana ekosistem hutan seharusnya berada. Namun pada kenyataannya, kawasan hutan tidak selalu berhutan karena terjadinya perubahan-perubahan yang disebabkan oleh kegiatan-kegiatan manusia yang tidak terencana/non-prosedural yang mengurangi luas dan kualitas hutan.
Di sisi lain, daya rusak yang timbul tidak cukup diimbangi dengan kegiatan-kegiatan terencana untuk melestarikan hutan (pengelolaan kawasan konservasi dan hutan lindung) atau mengelola hutan secara lestari (pengelolaan hutan produksi lestari) yang dipayungi oleh sejumlah peraturan dan kebijakan. Konservasi 10 bentang alam diarahkan untuk mempertahankan hutan dalam luasan yang cukup dan kualitas yang baik secara proporsional pada setiap bentang alam. Secara teknis arahan ini diterjemahkan dalam bentuk intervensi: melindungi ekosistem hutan yang masih dalam kondisi baik dan yang sedang dalam tahap suksesi serta memperbaiki ekosistem hutan yang telah terlanjur rusak. Konservasi bentang alam juga tidak mengesampingkan tantangan yang telah, sedang, dan akan terus berkembang, terutama yang berkaitan dengan isu-isu sosial, ekonomi, dan budaya. Oleh karenanya, intervensi dalam kerangka konservasi bentang alam ini juga mencakup pengelolaan sosial di antaranya: pemberdayaan masyarakat, penyadartahuan, dan pendidikan lingkungan hidup. Bentang alam terdiri dari berbagai unit lahan, fungsi lahan, dan pemangku unit lahan, sehingga merupakan hamparan kompleks kepentingan. Dengan demikian, intervensi konservasi pada suatu bentang alam tidak bisa didominasi oleh
111
RENCANA PEMBANGUNAN
LANSKAP
RPJPN/D; RPJMN/D; RENSTRA KEHUTANAN SKPD DAN UPT PUSAT
112
SWASTA UMH
LANSKAP
MASYARAKAT, NGO,DLL
BAB EMPAT pg 112
SOSIAL-EKONOMI -BUDAYAMASYARAKAT PERSPEKTIF PENGETAHUAN PENGELOLAAN LANSKAP (GLOBAL-NASIONALLOKAL)
LANSKAP
NILAI PENTING KONSERVASI LANSKAP
PERSPEKTIF LEGAL DAN AKTUAL PENGELOLAAN LANSKAP
UNIT-UNIT LAHAN PADA LANSKAP
KONDISI LANSKAP
PENDIDIKAN LINK & KONSERVASI PEMBERDAYAAN MASYARAKAT PROTEKSI PADA EKOSISTEM YANG MASIH BAIK
KONSENSUS PARA PIHAK
UNIT-UNIT LAHAN PENTING PADA LANSKAP
KONSERVASI LANSKAP
LANSKAP SEHAT
RESTORASI PADA EKOSISTEM YANG RUSAK
ISU-ISU LINGKUNGAN DAN KONSERVASI PADA LANSKAP
STAKEHOLDERS
EKOSISTEM HUTAN YANG MASIH BAIK AMAN
KELEMBAGAAN PARA PIHAK
EKOSISTEM HUTAN RUSAK TERPULIHKAN
MONITORING ASISTENSI
Gambar IV-1. Konseptualisasi pengembangan konservasi bentang alam
satu pihak saja. Konservasi bentang alam menuntut kesadaran dan komitmen kolektif, kesepakatan para pihak, serta jalinan hubungan dan peran yang terorganisasikan secara baik dalam kerangka penyelenggaraan konservasi bentang alam. Wujud nyata dari hal tersebut adalah berupa konsensus dan lembaga multi pihak untuk konservasi bentang alam. Dari penjelasan-penjelasan tersebut di atas maka bentuk konsep konservasi bentang alam dalam Rencana Induk ini seperti yang tampak pada Gambar IV-1. di bawah. Walaupun konsep tersebut terkesan rumit sejalan dengan kondisi bentang alam yang kompleks, namun konsep ini relatif mudah dijelaskan karena merupakan kumpulan fakta yang saling berhubungan. Dengan demikian, intervensi bentang alam juga harus merupakan sekumpulan program aksi yang sistematis, logis, dan saling berkontribusi satu dengan yang lain.
4.1.1 Konsensus dan Kelembagaan Konservasi bentang alam harus merupakan aksi kolektif, sehingga kesadaran dan komitmen para pihak adalah pemungkin bagi terselengaranya konservasi bentang alam. Kesadaran dan komitmen tersebut harus diwujudkan dalam bentuk konsensus dan pelembagaan agar konservasi bentang alam dapat bertransformasi dari ide bersama menjadi aksi bersama.
Bentuk fisik konsensus dapat berupa dokumendokumen kesepakatan para pihak, sementara pelembagaan dapat berupa pengarusutamaan konservasi bentang alam kedalam kebijakan, rencana, dan kegiatan para pihak. Pelembagaan juga termasuk pembentukan kelembagaan multipihak sebagai wadah koordinasi dan sinkronisasi rencana-rencana kerja para pihak baik dari unsur pemerintah maupun nonpemerintah. Para pihak yang seharusnya terlibat dalam konsensus konservasi bentang alam adalah para pihak yang memiliki pengaruh dan kepentingan terhadap bentang alam yang mencakup unsur pemerintah dan nonpemerintah, di antaranya: Pemerintah Pusat dan Unit Pelsanaka Teknis Pemerintah Pusat yang terkait dengan pengelolaan lahan bentang alam, instansi pemerintah daerah pada sektor berbasis lahan di tingkat bentang alam, forum atau kelembagaan multipihak terkait dengan pengelolaan lahan yang telah ada sebelumnya (Forum DAS, Badan Pengelola Cagar Biosfer, KPH, dll), unit-unit manajemen lahan (terutama unit manajemen hutan), lembaga swadaya masyarakat, masyarakat, dan perguruan tinggi. Model untuk pembangunan konsensus konservasi bentang alam di dalam Rencana Induk ini adalah sebagai berikut:
RENCANA INDUK PENGEMBANGAN KONSERVASI BENTANG ALAM SKALA BESAR DI SUMATERA DAN KALIMANTAN
FORUM DAS TERPADU
RENCANA TINGKAT LANSKAP LAINNYA
KPH
FORUM DAS
ENTITAS LANSKAP LAINNYA
RENCANA KAWASAN RTRW, RKTN, RKTD
RENCANA PEMBANGUNAN
PEMBANGUNAN KONSENSUS KONSERVASI LANSKAP
MOU PARA PIHAK
RPJPN/D; RPJMN/D; RENSTRA KEHUTANAN SKPD DAN UPT PUSAT
pg 112
SWASTA UMH
POKJA KONSERVASI LANSKAP
MASYARAKAT, NGO,DLL
RENCANA KONSERVASI LANSKAP MAINSTREAMING
RPKPH
MAINSTREAMING
pg 113
Gambar IV-2. Diagram alur program pembangunan konsensus konservasi bentang alam
SOSIAL-EKONOMI -BUDAYApengelolaan MASYARAKAT
PENDIDIKAN LINK & KONSERVASI
Kelembagaan multipihak untuk pada Rencana Induk ini harus memperlihatkan PEMBERDAYAAN MASYARAKAT PERSPEKTIF bentang alam telah cukup banyak dibentuk baik nilai tambahnya. Hasil diskusi dan konsultasi PENGETAHUAN yang didorongPENGELOLAAN melalui kebijakan pemerintah dengan para pihak di tingkat bentang alam PROTEKSI KONSENSUS UNIT-UNIT LANSKAP EKOSISTEM PADA seperti Forum(GLOBAL-NASIONALDAS atau yang didorong oleh PARA memberikan informasi bahwa hampir seluruh LAHAN PADA HUTAN EKOSISTEM LOKAL) PIHAK LANSKAP YANG yang telah dibangun nonpemerintah seperti Badan Pengelola Cagar kelembagaan multipihak YANG MASIH MASIH BAIK AMAN Biosfer, Forum Dangku untuk pengelolaan belum optimal. BAIK Persoalan mendasarnya UNIT-UNIT bentang alam NILAI Dangku lain-lain. LAHAN terletak pada struktur kelembagaan dan sistem PENTINGMeranti, dan KONSERVASI KONDISI LANSKAP LANSKAP KONSERVASI LANSKAP Disamping lembaga multipihak terdapat pengambilan keputusan yang selalu LANSKAP pulaPENTING SEHATbertumpu LANSKAP PADA lembaga yang secara struktural berada di bawahLANSKAP pada pimpinan-pimpinan instansi pemerintah, RESTORASI PADAmereka dibatasi waktu dan masa pemerintah yang bertugas melakukan kordinasi padahal ISU-ISU EKOSISTEM EKOSISTEM LINGKUNGAN dan kegiatanPERSPEKTIF perlindungan pengelolaan jabatan sehingga tidak optimal mengawal dan YANG LEGAL dan HUTAN DAN KONSERVASI RUSAK DAN AKTUAL RUSAK PADAyaitu LANSKAP lingkungan di PENGELOLAAN tingkat ekoregion, Pusat menjalankan roda organisasi pada lembaga TERPULIHKAN LANSKAP Pengendalian Pengembangan Ekoregion di multipihak. Di berbagai tempat seringkali terjadi KELEMBAGAAN PARA PIHAK bawah Kementerian LingkunganSTAKEHOLDERS Hidup dan perubahan komitmen manakala pimpinan Kehutanan. Secara umum lembaga-lembaga instansi berganti seiring dengan terjadinya MONITORING ASISTENSI tersebut memiliki tujuan yang hampir sama, suksesi kepemimpinan. yaitu mensinergikan kebijakan, rencana dan program dalam rangka perlindungan ekosistemModel arah kelembagaan konservasi bentang ekosistem penting. alam yang disarikan dari pembelajaran mengenai kinerja lembaga-lembaga multipihak Konservasi bentang alam pada Rencana yang telah ada sebelumnya serta masukanInduk ini juga memberikan arahan untuk masukan selama proses diskusi dalam rangka mengembangkan atau membentuk penyusunan Rencana Induk ini adalah sebagai kelembagaan multipihak sebagai wadah berikut: koordinasi kebijakan dan perencanaan serta kolaborasi program dalam kerangka konservasi bentang alam. Arahan kelembagaan multipihak pada Rencana Induk ini bisa saja merupakan pengembangaan dari lembaga multipihak yang telah ada sebelumnya, tetapi bisa juga merupakan bentukan baru sepanjang belum ada. Tentu saja, arahan kelembagaan multipihak
113
114
BAB EMPAT
Gambar IV-3. Model pengembangan kelembagaan multipihak untuk konservasi bentang alam
Pohon beringin pencekik yang buahnya merupakan sumber pakan utama bagi banyak jenis satwa di hutan tropis Asia. Foto diambil di salah satu hutan dataran rendah Sumatera, 2004. (Foto: Dolly Priatna)
Arah kelembagaan multipihak pada Rencana Induk ini sangat memperhatikan aspek keterwakilan dan juga tidak mengesampingkan nilai penting pelibatan para pimpinan instansi pemerintah yang terkait. Namun demikian, agar roda organisasi pada lembaga multipihak dapat berjalan intensif dan efektif maka diperlukan inovasi kelembagaan. Dalam konteks ini, inovasi yang dimaksud diarahkan pada penataan peran melalui pemilahan peran regulator, operator dan eksekutor. Para pimpinan instansi pemerintah pusat maupun daerah adalah regulator, dalam konteks kelembagaan multipihak mereka akan menjadi steering committee konservasi bentang alam. Wakil-wakil para pihak adalah staf-staf pada setiap instansi pemerintah dan lembaga non pemerintah yang secara individual memiliki kompetensi yang relevan agar ditugaskan untuk menjadi bagian dari operator konservasi bentang alam yang akan mengelola program-program konservasi bentang alam. Sementara para pemangku lahan (UMH swasta dan masyarakat) serta entitas lain biasa bekerja di tingkat tapak adalah eksekutor kegiatan-kegiatan konservasi bentang alam di tingkat tapak. Dalam kerangka pengaturan ini maka peran operator konservasi bentang alam memegang peranan penting dalam penyelenggaraan konservasi bentang alam, sehingga perlu diperkuat dan dilengkapi unsurunsur pendukungnya.
RENCANA INDUK PENGEMBANGAN KONSERVASI BENTANG ALAM SKALA BESAR DI SUMATERA DAN KALIMANTAN
Tabel IV-1. Peran dan fungsi para pihak dalam kelembagaan pengelolaan bentang alam No.
Peran
1
Regulator
2
Operator § Administratur
Fungsi ΄ Mengembangkan kebijakan yang mendukung konservasi bentang alam ΄ Memberikan arahan program konservasi bentang alam ΄ Menyetujui program-program konservasi bentang alam
΄ ΄ ΄ ΄ ΄
§ Gugus Tugas Restorasi
΄ ΄ ΄ ΄
΄
§ Gugus Tugas Pemberdayaan dan Pendidikan Lingkungan
΄
΄
΄ ΄
΄
§ Gugus Tugas Pemantauan, Bantuan Teknis, dan Pengembangan kapasitas
Pimpinan Instansi Pemerintah Pusat dan Daerah pada sektor terkait
Mengelola roda organisasi pada lembaga multipihak ΄ ΄
§ Gugus Tugas Proteksi
Para Pihak
΄
΄
΄
Membuat rencana teknis program proteksi pada tingkat bentang alam. Menyampaikan dan menjelaskan usulan program proteksi bentang alam kepada regulator untuk mendapat persetujuan. Membangun jaringan kerja baik teknis dan pendanaan untuk mendukung program proteksi bentang alam. Memberikan pembinaan teknis terhadap para eksekutor kegiatankegiatan pada program proteksi di tingkat tapak. Membuat laporan pelaksanaan program proteksi bentang alam
΄ Bagian Perlindungan Dinas Kehutanan. ΄ Bagian Perlindungan dari Balai/ Balai Besar KSDA. ΄ Bagian Perlindungan Restorasi Balai/Balai Taman Nasional ΄ Perguruan Tinggi.
Membuat rencana teknis program restorasi pada tingkat bentang alam. Menyampaikan dan menjelaskan usulan program restorasi bentang alam kepada regulator untuk mendapat persetujuan. Membangun jaringan kerja baik teknis dan pendanaan untuk mendukung program restorasi bentang alam. Memberikan pembinaan teknis terhadap para eksekutor kegiatankegiatan pada program restorasi di tingkat tapak. Membuat laporan pelaksanaan program restorasi bentang alam
΄ Bagian RHL Dinas Kehutanan. ΄ Bagian Teknis/PEH/ Restorasi Balai/Balai Besar KSDA. ΄ Bagian Teknis/PEH/ Restorasi Balai/Balai TN ΄ Perguruan Tinggi.
Membuat rencana teknis program Pemberdayaan Masyarakat dan Pendidikan Lingkungan untuk mendukung program proteksi dan restorasi bentang alam. Menyampaikan dan menjelaskan usulan program Pemberdayaan Masyarakat dan Pendidikan Lingkungan untuk mendukung program proteksi dan restorasi bentang alam kepada regulator untuk mendapat persetujuan. Membangun jaringan kerja baik teknis dan pendanaan untuk mendukung program Pemberdayaan Masyarakat dan Pendidikan Lingkungan untuk mendukung program proteksi dan restorasi bentang alam. Memberikan pembinaan teknis terhadap para pelaksana kegiatankegiatan pada program Pemberdayaan Masyarakat dan Pendidikan Lingkungan untuk mendukung program proteksi dan restorasi bentang alam. Membuat laporan pelaksanaan program Pemberdayaan Masyarakat dan Pendidikan Lingkungan Membuat rencana teknis program Pemantauan Bantuan Teknis, dan Pengembangan Kapasitas untuk penyelenggaraan program proteksi dan restorasi bentang alam Menyampaikan dan menjelaskan usulan program Pemantauan Bantuan Teknis, dan Pengembangan Kapasitas untuk penyelenggaraan program proteksi dan restorasi bentang alam. Membangun jaringan kerja baik teknis dan pendanaan untuk mendukung program Pemantauan Bantuan Teknis, dan Pengembangan Kapasitas untuk penyelenggaraan program proteksi dan restorasi bentang alam. Memberikan pembinaan teknis terhadap para pelaksana kegiatankegiatan pada program Pemantauan Bantuan Teknis, dan Pengembangan Kapasitas untuk penyelenggaraan program proteksi dan restorasi bentang alam. Membuat laporan pelaksanaan program Pemantauan Bantuan Teknis, dan Pengembangan Kapasitas untuk penyelenggaraan program proteksi dan restorasi bentang alam.
΄ Penyuluh dari Dinas Kehutanan ΄ Penyuluh dari Balai/Balai Besar KSDA ΄ Penyuluh dari Balai/Balai TN ΄ Penyuluh dari BLH ΄ LSM pendamping masyarakat ΄ Devisi Comdev/CSR Perusahanperusahaan ΄ Perguruan Tinggi ΄ Dll
΄ Perguruan Tinggi ΄ LSM Lingkungan dan Konservasi ΄ Bagian evaluasi pada Dinas Kehutanan ΄ Bagian evaluasi pada Balai/Balai Besar KSDA ΄ Bagian evaluasi pada Balai/Balai Besar TN ΄ Bagian Evaluasi / Pemantauan dari BLH
΄
3
Eksekutor
΄ ΄ ΄ ΄
Melaksakan kegiatan proteksi di tingkat tapak Melaksanakan kegiatan restorasi di tingkat tapak Melaksanakan kegiatan pemberdayaan masyarakat Melaksanakan kegiatan pendidikan lingkungan dan konservasi
΄
΄ ΄ ΄
Kelompok masyarakat pemegang ijin pengelolaan hutan Kelompok masyarakat yang dibentuk untuk kegiatan restorasi dan proteksi Pengelola KSA/KPA di tingkat tapak (seksi/resort) Swasta pemegang ijin pengusahaan hutan LSM pendamping masyarakat
115
116
BAB EMPAT
4.1.2 Pengembangan Kebijakan dan Kapasitas Kelembagaan Model pengembangan kapasitas yang diajukan pada Rencana Induk konservasi bentang alam ditunjukan pada gambar di bawah ini. Kinerja kebijakan, rencana, program, dan kegiatan akan sangat tergantung pada kondisi kapasitas yang dimiliki oleh para pengambil kebijakan. Oleh sebab itu, suatu kebijakan, rencana, program, dan kegiatan lebih baik mengintegrasikan agenda pengembangan kapasitas untuk lebih meningkatkan peluang pencapaian tujuan-tujuan yang telah ditetapkan. Pengembangan kapasitas mencakup tiga tingkatan, yaitu: sistem, lembaga, dan individu. Pengembangan kapasitas pada tingkat sistem mencakup kerangka kerja yang berhubungan dengan aturan dan kebijakan. Pengembangan kapasitas pada tingkat lembaga mencakup struktur organisasi, proses pengambilan keputusan, sumberdaya, hubungan-hubungan, dan jaringan antarorganisasi. Sementara pengembangan kapasitas pada tingkat individu menyangkut pengetahuan, keterampilan, dan tingkah laku. Ketiga tingkatan tersebut saling bergantung, oleh karenanya pengembangan kapasitas harus menyoroti kebutuhan kapasitas pada semua tingkatan.
4.1.3 Proteksi Istilah proteksi atau perlindungan dalam konteks ekologi seringkali digunakan untuk beberapa terminologi, di antaranya adalah: perlindungan ekosistem, perlindungan habitat, perlindungan hutan, perlindungan spesies hidupan liar. Setiap terminologi itu memiliki cakupan yang berbeda tetapi pada prakteknya di tingkat tapak sangat terkait satu dengan lainnya. Perlindungan spesies di alam berarti perlindungan hidupan liar yang dalam prakteknya bertumpu pada perlindungan habitat. Jika salah satu unsur habitat suatu spesies di alam adalah hutan maka perlindungan habitatnya mencakup perlindungan hutan. Sementara hutan dalam ekosistem daratan merupakan penopang utama kestabilan struktur dan fungsi ekosistem, sehingga perlindungan terhadap ekosistem akan besar pengaruhnya terhadap perlindungan hutan. Proteksi bentang alam dirumuskan sebagai proses yang bertujuan untuk menjaga keutuhan bentang alam melalui upayaupaya mempertahankan beberapa jenis penggunaan lahan yang kondisinya masih baik dan memiliki peran penting sebagai perekat keutuhan dan penopang kesehatan suatu ekosistem bentang alam.
Gambar IV-4. Model pengembangan kapasitas untuk konservasi bentang alam
RENCANA INDUK PENGEMBANGAN KONSERVASI BENTANG ALAM SKALA BESAR DI SUMATERA DAN KALIMANTAN
Program proteksi dan kegiatan-kegiatannya akan beragam di setiap bentang alam, tergantung kondisi dan karakteristik bentang alam, status dan fungsi lahan, dan peluang-peluang yang ada. Terhadap gangguan yang sifatnya terencana merupakan bagian dari usaha pemanfaatan kawasan hutan, sehingga upaya yang dapat dilakukan adalah pemantauan (monitoring) pelaksanannya agar sesuai rencana kerja dan memperhatikan aspek lingkungan, sosial, dan produksinya. Sedangkan konservasi bentang alam ini diprioritaskan pada gangguan pada hutan yang tidak terencana. Penerapan hukum yang bersifat administratif, pidana, dan persuasif menjadi bagian terpenting agar tidak terjadi kerusakan hutan yang semakin parah dan tidak terkontrol. Konsep proteksi bentang alam di dalam Rencana Induk ini harus sistematis, terencana, dan melibatkan para pihak yang relevan. Fokus investasi pada proteksi bentang alam diarahkan pada penguatan sistem perlindungan
dan pengamanan kawasan hutan pada institusi pengelola hutan di tingkat tapak, misalnya: memperkuat unit kerja perlindungan pengamanan hutan pada Balai/Balai Besar KSDA dan Taman Nasional, dinas kehutanan, unit-unit manajemen hutan (IUPHHK, IUPHKm, IUPHTR, HPHD, dll), dan lain-lain. Selain itu, intervensi program proteksi bentang alam juga dapat berupa pembentukan organisasi-organisasi perlindungan dan pengamanan berbasis masyarakat (community patrol unit) atau satuan tanggap (response unit) untuk beberapa kasus khusus dan lintas unit lahan, misalnya satuan tanggap penanganan kebakaran hutan dan unit konflik satwa-manusia. Kegiatan-kegiatan dalam program proteksi bentang alam dapat merupakan salah satu atau kombinasi dari kegiatan perlindungan yang bersifat tindakan mendahului (preemptive), pencegahan (preventive), dan/atau penekanan/ pemaksaan (repressive), tergantung situasinya. Sementara jenis-jenis kegiatan perlindungan yang dilakukan tergantung pada jenis gangguan yang terjadi, misalnya, penanggulangan kebakaran hutan dan penyelesaian perambahan hutan/penebangan liar (illegal logging).
Tabel IV-2. Gangguan terhadap hutan dan penyebabnya
Penyebab Gangguan
Terencana
Gangguan Terhadap Hutan Degradasi Hutan
΄ Pemanenan pada IUPHHK-HA sebagai pelaksanaan sistem silvikultur TPTI
Deforestasi
΄ Perubahan fungsi HPK menjadi non-kawasan hutan untuk mengakomodasi kegiatan nonkehutanan ΄ Land clearing (sebagai bentuk pelaksanaan sistem silvikultur THPB ) di lokasi HTI pada hutan yang masih baik ΄ Pinjam pakai untuk pembangunan infrastruktur ( jalan, dll)
Tidak terencana
΄ Illegal logging ΄ Over cutting (penebangan melebihi jatah tebang tahunan/ AAC) pada IUPHHK-HA atau IUPHHK-HT
΄ Perambahan di kawasan hutan (HP, HL, HK) ΄ Kebakaran hutan/lahan ΄ Penggunaan kawasan non- prosedural (pembangunan jalan, dll)
117
118
BAB EMPAT
Gambar IV-5. Diagram model program aksi proteksi pada konservasi bentang alam
4.1.4 Restorasi Pengertian tentang restorasi cukup beragam, walaupun memiliki inti yang sama. Elliot et al. (1995) dan Forest Restoration Research Unit (2006) mendefinisikan restorasi sebagai salah satu upaya untuk menyelamatkan dan memperbaiki kondisi ekosistem hutan sebagai habitat bagi flora-fauna yang hidup di dalamnya. Restorasi juga dipahami sebagai proses yang intensif untuk membantu pemulihan dan pengelolaan keutuhan ekologi suatu ekosistem yang rusak termasuk berbagai variabel keanekaragaman hayati penting, struktur dan proses-proses ekologi, konteks sejarah dan kewilayahan, dan kelestarian budaya (Perrow & Davy, 2002). Restorasi ekosistem menurut Society for Ecological Restoration (SER, 2002) adalah proses membantu pemulihan suatu ekoisistem yang telah terganggu, rusak atau punah. Restorasi disarankan ketika suatu
ekosistem telah berubah ke tingkat tertentu sehingga tidak bisa lagi diperbaiki atau diperbaharui atau memperbaharui diri sendiri. Dalam kondisi ini, homeostatis ekosistem telah berhenti secara permanen dan proses normal untuk regenerasi normal atau perbaikan alami dari kerusakan terhalangi oleh berbagai sebab. Beberapa organisasi yang bekerja di Indonesia (ITTO, Tropenbos Indonesia, dan IUCN) mendorong terbentuknya Kelompok Kerja (Pokja) Nasional Restorasi Bentang Alam yang menggagas restorasi bentang alam hutan (forest landcape restoration/FLR). Pokja tersebut mendefinisikan FLR sebagai proses pemulihan untuk mengembalikan keutuhan ekologis dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat di kawasan bentang alam hutan yang terdeforestasi dan terdegradasi.
RENCANA INDUK PENGEMBANGAN KONSERVASI BENTANG ALAM SKALA BESAR DI SUMATERA DAN KALIMANTAN
Pokja ini menghasilkan 10 asas dan 34 panduan restorasi bentang alam di Indonesia. Pedoman disusun dengan mengacu pada Panduan ITTO – Policy Development Series No. 13 tentang ITTO Guidelines for Restoration, Management and Rehabilitation of Degraded and Secondary Tropical Forests, Panduan IUCN-ITTO – Policy Development Series No. 17 tentang ITTO/IUCN Guidelines for the Conservation and Sustainable Use of Biodiversity in Tropical Timber Production Forests, dan lain-lain.2 Beberapa pengalamanan penerapan FLR di Amerika Latin dituliskan oleh para praktisi yang menghasilkan prinsip dan praktik FLR (Newton & Tejedor, 2011). Pemerintah Indonesia telah memiliki perangkat hukum untuk penyelenggaraan pemulihan hutan dan lahan, yang dikenal dengan istilah reboisasi, rehabilitasi, dan reklamasi. Di dalam UndangUndang No.41/1999 tentang Kehutanan, pada bagian Rehabilitasi dan Reklamasi Hutan (Pasal 40-45) yang mengatur upaya pemulihan hutan dan lahan sebagai bagian dari pengelolaan hutan dan menjaga keberlangsungan fungsifungsi hutan (produksi, lindung, konservasi) dan lahan. Ketentuan lebih lanjut diatur dalam Peraturan Pemerintah No.76 tahun 2008 tentang Rehabilitasi dan Reklamasi Hutan (RRH). Pedoman-pedoman teknis pelaksanaannya diatur melalui beberapa Peraturan Menteri, antara lain Permenhut No.P.39/2010 (Kriteria dan Standar RRH), P.4/2011 (Pedoman reklamasi hutan), P.32/2009 (Rencana Teknis Rehabilitasi Hutan dan Lahan). Berdasarkan regulasi tersebut, didapatlah beberapa istilah yang resmi digunakan oleh pemerintah untuk berbagai kegiatan penanaman pohon dengan tujuan tertentu, sebagaimana dijelaskan berikut ini: a. Rehabilitasi Hutan dan Lahan (RHL) merupakan upaya untuk memulihkan, mempertahankan, dan meningkatkan fungsi hutan dan lahan sehingga daya dukung, produktivitas, dan peranannya dalam mendukung sistem penyangga kehidupan tetap terjaga. Kegiatan rehabilitasi di dalam kawasan hutan dilakukan di kawasan hutan kecuali cagar alam dan zona inti taman nasional. Kegiatan rehabilitasi di luar kawasan hutan dilakukan pada lahan yang kritis. Program RHL dilakukan melalui kegiatan reboisasi dan penghijauan, dan pengayaan tanaman serta konservasi tanah di lahan kritis/tidak produktif.
b. Reboisasi adalah bagian dari RHL, merupakan kegiatan penanaman jenis pohon hutan pada kawasan hutan rusak, berupa lahan kosong, alang-alang, atau semak belukar untuk mengembalikan fungsi hutan di kawasan hutan lindung, hutan produksi, dan hutan konservasi. Reboisasi di hutan lindung bertujuan memulihkan fungsi pokok perlindungan sistem penyangga kehidupan dan mengatur tata air, mencegah banjir, mengendalikan erosi, mencegah intrusi air laut, dan memelihara kesuburan tanah. Reboisasi di hutan produksi bertujuan meningkatkan produktivitas hutan produksi. Reboisasi di hutan konservasi bertujuan untuk pembinaan habitat dan peningkatan keanekaragaman hayati. c. Penghijauan adalah bagian dari RHL, merupakan kegiatan pemulihan lahan kritis di luar kawasan hutan (APL) untuk memulihkan dan meningkatkan produktivitas lahan yang kondisinya rusak agar dapat berfungsi secara optimal. Penghijauan dilakukan dengan cara membangun hutan hak (hutan rakyat), hutan kota, atau penghijauan lingkungan. Pengayaan tanaman adalah bagian dari RHL, berupa kegiatan memperbanyak keragaman spesies dengan cara pemanfaatan ruang tumbuh secara optimal melalui penanaman pohon. d. Reklamasi Hutan adalah usaha untuk memperbaiki atau memulihkan kembali lahan dan vegetasi hutan yang rusak agar dapat berfungsi secara optimal sesuai peruntukannya. Dilakukan pada lahan dan vegetasi hutan di kawasan hutan yang telah mengalami perubahan permukaan tanah dan perubahan penutupan tanah akibat bencana alam dan penggunaan kawasan hutan, seperti pertambangan. Revegetasi adalah bagian dari program reklamasi, untuk memperbaiki dan memulihkan vegetasi yang rusak melalui kegiatan penanaman dan pemeliharaan di lahan bekas penggunaan kawasan hutan. Peraturan Pemerintah No.28 Tahun 2011 tentang Pengelolaan KSA dan KPA, menggunakan istilah pemulihan ekosistem yang dilakukan melalui mekanisme alam, rehabilitasi, dan restorasi.
2 Tropenbos International. 2009. Forest Landcape Restoration. Bahan Prensetasi Workshop Restorasi di Wanagama 7-8 Desember 2008.
119
120
BAB EMPAT
Mekanisme alam berupa penutupan kawasan atau perlindungan proses alam terhadap intervensi aktivitas manusia yang dapat berupa kegiatan menjaga dan melindungi ekosistem agar proses pemulihan ekosistem dapat berlangsung secara alami. Rehabilitasi adalah upaya pemulihan melalui penanaman atau pengayaan jenis dengan jenis tanaman asli atau pernah tumbuh secara alami di lokasi tersebut. Pola rehabilitasi selama ini dipergunakan untuk pemulihan ekosistem di kawasan konservasi, dan telah dianggap kurang sesuai untuk terus diterapkan. Sedangkan Restorasi adalah upaya pemulihan melalui kegiatan pemeliharaan, perlindungan, penanaman, pengayaan jenis tumbuhan dan satwa liar, atau pelepasliaran satwa liar hasil penangkaran atau relokasi satwa liar dari lokasi lain. Pola restorasi telah dianggap sebagai konsep yang paling sesuai diterapkan untuk pemulihan ekosistem di kawasan konservasi. Istilah restorasi juga digunakan untuk kawasan hutan produksi dengan istilah Restorasi Ekosistem, yang berawal dari Surat Keputusan Menteri Kehutanan No.159/Kpts-II/2004 mengenai Restorasi Ekosistem di Kawasan Hutan Produksi. Ketentuan ini kemudian diadopsi oleh Peraturan Pemerintah No.6 tahun 2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan serta Pemanfaatan Hutan, sehingga lahirlah Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Restorasi Ekosistem (IUPHHK-RE). Untuk pertama kalinya, IUPHHK-RE diberikan
kepada PT REKI pada Februari 2008 dan hingga kini telah terdapat 15 ijin IUPHHK-RE. Izin Restorasi Ekosistem (IUPHHK-RE) diberikan untuk membangun hutan alam pada hutan produksi yang memiliki ekosistem penting sehingga dapat dipertahankan fungsi dan keterwakilannya melalui kegiatan pemeliharaan, perlindungan, dan pemulihan ekosistem hutan termasuk penanaman, pengayaan, penjarangan, penangkaran satwa, pelepasliaran flora dan fauna untuk mengembalikan unsur hayati (flora dan fauna) serta unsur non-hayati (tanah, iklim, dan topografi) pada suatu kawasan kepada jenis yang asli, sehingga tercapai keseimbangan hayati dan ekosistemnya. Perbandingan mekanisme restorasi/pemulihan kawasan ditampilkan di dalam Lampiran 8. Regulasi mengenai penyelenggaraan restorasi di Indonesia masih bersifat umum, dan hingga saat ini belum tersedia panduan teknisnya. Sementara dari praktek-praktek di lapangan muncul berbagai istilah, di antaranya adalah restorasi habitat, restorasi hidrologi, dan restorasi ekosistem. Perbedaan di antara ketiganya ditentukan oleh tujuan dan kondisi lahan atau tapaknya. Sementara persamaannya adalah sama-sama ingin mencapai kondisi yang seimbang.
Gambar IV-6. Berbagai istilah untuk kegiatan restorasi dan pemulihan kawasan Sumber dari beberapa peraturan perundang-undangan
RENCANA INDUK PENGEMBANGAN KONSERVASI BENTANG ALAM SKALA BESAR DI SUMATERA DAN KALIMANTAN
Gambar IV-7. Diagram model program aksi proteksi pada konservasi bentang alam
Restorasi habitat ditujukan untuk menyediakan tempat hidup yang sesuai untuk satu, beberapa, atau keseluruhan kenakeragaman hayati yang diinginkan melalui penyediaan komponenkomponen habitat kunci. Pertimbanganpertimbangan penting dalam restorasi habitat mencakup faktor spasial atau luasan yang sesuai untuk tempat hidup dalam unit populasi tertentu atau terkait dengan konektivitas habitat, struktur populasi, fitness populasi, dan viabilitas populasi. Restorasi hidrologi sebenarnya merupakan rekayasa terhadap sifat tapak sehingga memungkinkan untuk dilakukan upaya pemulihan terhadap struktur diatasnya. Restorasi hidrologi dilakukan pada sifat tapak berupa lahan basah seperti lahan gambut, rawa bakau, dan rawa air tawar. Restorasi hidrologi pada dasarnya adalah pengaturan kondisi tata air mikro yang ditujukan untuk memperkecil faktor penghambat atau membesar faktor
pemicu terjadinya pemulihan struktur baik secara alami maupun oleh manusia. Selanjutnya adalah restorasi ekosistem, merupakan aktivitas pemulihan dalam skala lebih luas yang didalamnya bisa terdiri dari berbagai jenis kegiatan restorasi yang ditujukan untuk mengembalikan ekosistem mendekati ekosistem asli. Kajian tentang restorasi/pemulihan kawasan sangat diperlukan untuk meningkatkan pemahaman tentang suksesi ekosistem hutan, sebagai dasar menyusun tujuan restorasi yang luwes dan terbuka untuk perubahan. Suksesi hutan juga menyarankan tentang rekonstruksi dalam dinamika ekosistem yang menggabungkan respon akibat perubahan dalam ekosistem (interaksi spesies) dan akibat kerusakan dari luar (modifikasi untuk variabel abiotik tetapi juga invasi dari biotik). Pada tingkat komunitas, pengetahuan mengenai suksesi dapat menjelaskan informasi tentang
121
122
BAB EMPAT
biomasa, kekayaan jenis, kelimpahan jenis dan kesatuan spasial yang berguna dalam manajemen restorasi. Suksesi, selain dicirikan oleh jangkauan perkiraan waktu yang lama, juga menjadi prediksi perubahan untuk waktu yang pendek dalam dinamika spesies dan pengadaan sistem rujukan untuk manajemen restorasi (Aroson & van Andel, 2006). Informasi dari suksesi yang bermanfaat untuk restorasi, meliputi fungsional dari kelompok tumbuhan (atribut pokok), spesies penyaring, kumpulan ekosistem, model transisi dan permodelan biogeokemikal (Walker et al., 2007). Restorasi pada konservasi bentang alam di dalam Rencana Induk ini pada dasarnya diarahkan untuk memulihkan habitat spesies flagship sekaligus merehabilitasi daerah tangkapan air dan secara langsung dapat meningkatkan kemampuan ekosistem untuk menyerap dan menyimpan karbon. Secara teknis, perlakuan di dalam restorasi pada 10 bentang alam akan berbeda, tergantung dari sifat tapak (mineral atau gambut) dan ekosistem rujukan berupa habitat spesies bendera. Pada konteks penyelenggaraannya, restorasi di setiap bentang alam diilustrasikan dalam gambar IV-7.
4.1.5 Pemberdayaan Masyarakat Pemberdayaan masyarakat hampir selalu menjadi bagian penting dalam kebijakan dan program pengelolaan sumberdaya alam. Pengertian mengenai pemberdayaan masyarakat cukup beragam, dalam sejumlah publikasi ditemukan beberapa definisi mengenai pemberdayaan masyarakat yang paling relevan terhadap inisiatif konservasi bentang alam ini, yaitu: a. Pemberdayaan masyarakat adalah segala bentuk kegiatan yang bertujuan untuk terus meningkatkan keberdayaan masyarakat, memperbaiki kesejahteraan, dan meningkatkan partisipasi mereka dalam segala kegiatan konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya secara berkelanjutan. 3 b. Pemberdayaan masyarakat adalah suatu proses pengembangan pola pikir dan pola
sikap yang mendorong timbulnya kesadaran anggota masyarakat agar mau memperbaiki kehidupannya dengan menggunakan potensi yang dimilikinya. Pemberdayaan itu berupa kegiatan untuk mendapatkan manfaat sumberdaya hutan, melalui pengembangan kapasitas dan pemberian akses dalam rangka peningkatan kesejahteraan masyarakat setempat.4 Selain pemberdayaan masyarakat, terdapat pula terminologi lain terkait dengan peran masyarakat dalam pengelolaan hutan, yaitu peran serta masyarakat dalam pengelolaan hutan. Konsep peran serta diartikan sebagai pelibatan masyarakat dalam beberapa bagian kegiatan pengelolaan hutan, misalnya dalam hal pengamanan kawasan hutan, pengendalian kebakaran hutan, dan lain-lain. Pada faktanya masyarakat dapat menjadi pelestari lingkungan yang sangat efektif, tetapi sebaliknya, mereka juga dapat menjadi mesin penghancur yang efektif. Dari berbagai laporan para pihak ditemukan kesamaan alasan mengenai dua fenomena yang bertolak belakang tersebut, yaitu: a. Fenomena sinergi antara masyarakat dan pengelolaan hutan di beberapa tempat secara mendasar disebabkan oleh pemberian hak dan akses kepada masyarakat terhadap pengelolaan dan manfaat hutan. Kondisi ini ditemukan pada kegiatan pemberdayaan masyarakat di Hutan Lindung Sungai Wein Kalimantan Timur, pengelolaan gambut bersama masyarakat di Desa Harapan JayaKab. Indragiri Hilir-Riau5. Selain itu, telah di lakukan kegiatan pengelolaan hutan berbentuk hutan adat yang diakui oleh pemerintah daerah seperti di Kabupaten Bungo dan Sarolangun sejak tahun 1990 melalui skema pengelolaan hutan berbasis masyarakat yang masih dilakukan hingga saat ini. Selanjutnya, di Jambi, Pemerintah Daerah telah menerbitkan surat keputusan dalam pengelolaan hutan desa. Hal tersebut merupakan contoh wilayah yang telah menerapkan Hutan Desa dengan luas sekitar 54.978 hektar melalui Hak Pengelolaan Hutan Desa dan mendapat dukungan dari pemerintah setempat6.
3 Direkorat PJLWA. 2008. Pedoman Monitoring dan Evaluasi Pemberdayaan Masyarakat di Sekitar Kawasan Konservasi. Direktorat Jenderal PHKA. Jakarta. 4 Kepmenhut. 2007. Rencana makro pemberdayaan masyarakat di dalam dan sekitar Hutan. Jakarta 5 Sebuah Inisiatif Pengelolaan Kawasan Gambut Berbasis Masyarakat di Desa Harapan Jaya-Indragiri Hilir Provinsi Riau. Pemerintah Desa Harapan Jaya, Kabupaten Indragiri Hilir-European Union. Diskusi Singkat Konsep Pengelolaan Kawasan Gambut yang Berkelanjutan di Riau. Pekanbaru 11 Desember 2012. 6 http://warsi.or.id/news/2013/News_201308_Gubernur_Tandatangani_17_Hak_Pengelolaan_Hutan_Desa.php?year=2013&file=News_201308_Gubernur_Tandatangani_17_Hak_Pengelolaan_Hutan_Desa.php&id=249
RENCANA INDUK PENGEMBANGAN KONSERVASI BENTANG ALAM SKALA BESAR DI SUMATERA DAN KALIMANTAN
b. Fenomena hubungan buruk antara masyarakat dan hutan dilaporkan sebagai dampak dari ketiadaan hak dan akses masyarakat terhadap pengelolaan dan manfaat hutan. Kondisi ini mungkin lebih banyak terjadi yang diindikasikan dengan daftar konflik yang berujung pada pengerusakan yang sangat cepat terhadap hutan yang pemulihannya membutuhkan waktu yang lama dan biaya yang sangat besar.7 Dengan mengacu pada alasan tersebut maka dapat dikatakan masyarakat menjadi salah satu aktor kunci dalam upaya mempertahankan atau memperbaiki hutan. Sehingga pengintegrasian skema-skema masyarakat dalam konservasi bentang alam adalah salah satu faktor pemungkin terselenggaranya dan tercapainya tujuantujuan dari konservasi bentang alam. Masyarakat harus diberi kesempatan dan peluang untuk bertanggung jawab terhadap pengelolaan hutan, diperbesar aksesnya terhadap manfaat hutan, dilibatkan dalam berbagai kegiatan pengelolaan hutan, dan diperkuat kapasitasnya dalam hal kelola kelembagaan, kelola areal kerja, dan kelola usaha. Program pemberdayaan masyarakat dalam konservasi bentang alam harus mampu mengatasi isu terpenting dari pemberdayaan masyarakat hutan, yaitu mengenai kemiskinan masyarakat yang tinggal di dalam dan sekitar hutan. Kemiskinan itu mencakup kondisi keterbatasan dalam berbagai hal, misalnya: pangan, papan, akses kesehatan, pendidikan, informasi, pekerjaan, dan kebebasan (eksistensi diri). Sehingga pemberdayaan masyarakat dalam konservasi bentang alam ini salah satunya
berorientasi pada pengentasan kemiskinan, yaitu aksi untuk mengubah keadaan sehingga terpenuhinya sandang, pangan, papan, akses terhadap pendidikan dan kesehatan, terlindungi dari ancaman kerusakan lingkungan, kepastian wilayah kelola dan jaminan pelindungnya, serta dapat menyuarakan aspirasinya. Aksi pengentasan kemiskinan harus dapat menjangkau dan mengatasi dua tipe kemiskinan, yakni kemiskinan struktural dan kemiskinan absolut. Kemiskinan struktural terjadi akibat struktur yang membelenggu masyarakat secara keseluruhan untuk melakukan kemajuan. Rendahnya alokasi atau akses mengelola kawasan hutan negara secara sah merupakan salah satu bentuk kemiskinan struktural. Sedangkan kemiskinan absolut terjadi akibat sangat terbatasnya sumber-sumberdaya alam dan faktor keterpencilan (remoteness) yang berakibat rendahnya daya dukung alam untuk menghidupi masyarakat. Berbagai laporan juga menginformasikan bahwa kemiskinan masyarakat hutan disebabkan oleh lemahnya akses masyarakat terhadap manfaat ekonomi hutan; rendahnya kapasitas masyarakat; kurangnya asupan teknologi tepat guna yang dapat digunakan oleh masyarakat untuk mengoptimalkan manfaat sumberdaya lokal, dan mengatasi masalah pemasaran hasilnya. Oleh karena itu, pemberdayaan masyarakat selalu bertumpu pada tiga kegiatan utama, yakni: 1) Meningkatkan akses kepada masyarakat terhadap pengelolaan dan manfaat hutan; 2) Meningkatkan kapasitas masyarakat; dan 3) Meningkatkan asupan teknologi tepat guna, ramah lingkungan, rendah modal, dan jaminan pemasarannya.
Gambar IV-8. Model pemberdayaan masyarakat pada konservasi bentang alam 7 Kasus perambahan yang melibatkan aktor intelektual atau pemodal besar untuk pembukaan kebun sawit sawit banyak terjadi di Provinsi Riau, sedangkan untuk pertambangan terindikasi kuat di bentang alam Kutai.
123
124
BAB EMPAT
Pemberdayaan masyarakat yang diproyeksikan untuk jangka panjang tidak dapat dilakukan secara parsial tetapi harus dilakukan secara sistemik dalam kebijakan, rencana, dan program pembangunan daerah. Oleh karenanya aspek keterpaduan akan menjadi salah satu kriteria dalam penentuan program pemberdayaan masyarakat dalam konservasi bentang alam ini. Tantangan pemberdayaan masyarakat dalam konservasi bentang alam ini adalah meningkatkan keterlibatan masyarakat dalam upaya restorasi dan proteksi sekaligus meningkatkan peluang bagi mereka untuk terlepas dari kondisi kemiskinan struktural dan absolut. Tantangan lainnya adalah meningkatkan kesadaran, pengetahuan, dan keterlibatan masyarakat dalam upaya restorasi dan proteksi. Oleh karenanya pemberdayaan masyarakat juga harus didukung oleh program-program pendidikan lingkungan dan konservasi. Program ini juga diproyeksikan untuk membentuk generasi selanjutnya yang lebih sadar dan memiliki kemandirian dalam upaya-upaya pelestarian hutan dan lingkungan. Sisi lain dari hubungan masyarakat dan hutan adalah mengenai kerusakan hutan yang disebabkan oleh kelompok-kelompok masyarakat yang secara sosiologis dan antropologis tidak memiliki hubungan sejarah dengan hutan, misalnya seperti kasus perambahan yang melibatkan masyarakat luar dan sejumlah aktor intelektual atau pemodal besar untuk kepentingan pembukaan perkebunan sawit dan pertambangan. Pada kasus-kasus seperti ini program-program untuk mendorong penegakan hukum mungkin lebih sesuai daripada pemberdayaan masyarakat. Upaya untuk mengelola aspek sosial dalam konservasi bentang alam ini harus didahului oleh serangkaian studi sosial dan antropologi untuk menentukan tipologi kelompok sasaran, strategi, pola pendekatan, dan pola pendampingan program kelola sosial yang paling sesuai penerapannya. Kelompok masyarakat yang lokasi usaha taninya sangat terpencil, akses jalan/transportasi sangat buruk (Lihat Gambar II-6, halaman 36). Namun jenis komoditas yang ditanam sudah berorientasi pada pasar karena kesesuaian lahan untuk komoditas tersebut. Misalnya beberapa kelompok HKm di Lampung dengan komoditas kopi,
menjadi sasaran pengijon yang memiliki modal untuk mengangkut kopinya ke pasar. Kelompok ini juga terjebak pada lemahnya permodalan, masalah hama dan penyakit tanamannya. Nilai keuntungan sebagian besar justru lebih banyak didapatkan oleh pengijon atau pengumpul. Kelompok masyarakat yang lokasi usaha taninya dekat dengan jalan besar sekaligus komoditasnya berorientasi pada pasar. Kelompok ini hanya memerlukan sedikit dukungan permodalan, pengorganisasian sistem keuangan mikro, pembentukan koperasi atau kelompok usaha bersama. Kelompok ini juga memerlukan dukungan dari para penyuluh pertanian/perkebunan karena kemudahan akses untuk mendatangi masyarakat. Ancaman pada kelompok ini adalah kecenderungannya untuk menjual atau menyewakan areal usahanya kepada pihak luar. Kelompok yang semula subsisten lalu mulai berorientasi pada pasar karena terbukanya akses jalan/transportasi dan munculnya pusatpusat pertumbuhan ekonomi di desa, kecamatan, dan kabupaten. Pemekaran kabupaten adalah contoh langsung yang membuka akses desadesa yang semula terpencil, menuju terbukanya akses ke pasar. Keterbukaan akses ini akan mempengaruhi pola usaha tani dari komoditas subsisten ke komoditas yang berorientasi pada pasar. Fenomena yang dihadapi kelompok ini adalah peralihan pengusahaan pertanian yang subsisten kepada perkebunan yang cepat menghasilkan uang, bahkan beralih ke tanaman kayu-kayuan untuk keperluan industri. Kelompok yang hidupnya sangat terpencil dan sebagian besar usaha taninya masih berorietasi pada pemenuhan kebutuhan hidupnya. Sebagian besar komoditas yang dipasarkan sangat tergantung pada pengumpul/pengijon yang lebih banyak mendapatkan keuntungan. Namun kelompok ini memiliki pengetahuan yang bagus mengenai sumberdaya hutan di sekitarnya karena mereka sangat tergantung pada berbagai manfaat hutan. Daya tahan hidupnya tinggi karena terbiasa hidup dalam keterpencilan. Pendampingan pada kelompok ini memerlukan konsistensi dan kehatihatian agar tidak merusak modal sosial dan kearifan tradisional yang mereka miliki. Potensi yang besar pada kelompok ini antara lain pengembangan ekowisata berbasis masyarakat dan jasa lingkungan.
RENCANA INDUK PENGEMBANGAN KONSERVASI BENTANG ALAM SKALA BESAR DI SUMATERA DAN KALIMANTAN
Pemandangan dari udara, memperlihatkan areal inti Bentang Alam GSKBB, Riau, yang didominasi oleh tasik-tasik yang menyimpan keanekaragaman hayati perairan tawar yang tinggi, November 2007. (Foto: Dok. APP)
Program pendidikan lingkungan dan konservasi alam pada inisiatif konservasi bentang alam ini mempunyai tujuan-tujuan yang hampir sama dengan tujuan-tujuan pendidikan lingkungan pada umunnya, yaitu untuk: 1) Meningkatkan Kesadaran, yakni untuk membantu kelompok sosial dan atau perorangan menjadi sadar dan peka terhadap lingkungan keseluruhan serta berbagai permasalahan yang terkait didalamnya; 2) Menambah Pengetahuan, yakni untuk membantu kelompok sosial dan atau perorangan mendapatkan beragam pengalaman serta memiliki pemahaman dasar mengenai lingkungan; 3) Memperbaiki Sikap dan kebiasaan, yakni untuk membantu kelompok sosial dan atau perorangan untuk menyusun kerangka nilai-nilai dan perasaan peduli terhadap lingkungan, serta termotivasi untuk berpartisipasi dalam perbaikan dan perlindungan lingkungan; 4) Mengembangkan Keterampilan, yakni untuk membantu kelompok sosial dan atau perorangan mengembangkan keterampilan untuk mengidentifikasi dan menjawab permasalahan lingkungan; dan 5) Membangun Partisipasi Aktif, yakni untuk membantu menjadikan kelompok sosial dan individu secara aktif terlibat di setiap tingkatan upaya menuju penyelesaian masalah lingkungan.
Kondisi sosial masyarakat dan potensi sumberdaya alam serta hubungan-hubungan yang terjadi di antara keduanya di setiap tempat berbeda satu dengan lainnya. Sehingga proses-proses transformasi nilai-nilai yang didorongkan dari luar memerlukan berbagai bentuk penyesuaian terhadap aspek local specific yang ada di setiap tempat. Pemahaman menganai hal ini harus menjadi salah satu dasar pertimbangan dalam penyelenggaraan program pendidikan lingkungan dan konservasi alam. Oleh karenanya penyelenggaraan pendidikan lingkungan dan konservasi alam dalam kerangka konservasi 10 bentang alam ini dirancang sedimikian rupa agar sesuai dengan isu-isu lingkungan dan konservasi alam di setiap bentang alam, budaya atau adat-istiadat setempat dan kondisi kelompok sasaran. Secara fisik, hal-hal tersebut termuat di dalam material dan media pendidikan lingkungan dan pendidikan konservasi yang dipergunakan. Pendidikan lingkungan dan konservasi alam sebenarnya telah menjadi bagian dari tugas dan fungsi pemerintah, dalam konteks ini adalah Balai dan Balai Besar Konservasi Sumberdaya Alam (BKSDA dan BBKSDA)
125
126
BAB EMPAT
Sebuah bentang alam di Sumatera yang menunjukkan interaksi antara kawasan hutan, pemukiman masyarakat, dan perkebunan. Gambar diambil Juni 2010. (Foto: Rolf M Jensen)
yang merupakan Unit Pelaksana Teknis dari Direktorat Jenderal Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekosistem (KSDAE) Kementerian LHK. Instansi ini salah satunya memiliki tugas dan fungsi dalam penyelenggaraan bina cinta alam dan penyuluhan konservasi sumberdaya alam. Sementara di tingkat pemerintah daerah, instansi yang memiliki tugas dan fungsi terkait dengan program ini adalah Badan Linkungan Hidup Daerah (BLHD). Untuk mencapai tujuan-tujuan dari pendidikan lingkungan dan konservasi alam sebagaimana disebutkan di atas, sejumlah inovasi perlu dirancang untuk mengefektifkan program bina cinta alam dan penyuluhan konservasi alam, sekaligus untuk mengoptimalkan kinerja instansi yang memiliki tugas dan fungsi terkait dengan pendidikan lingkungan dan konservasi. Inovasi program yang diajukan dalam Rencana Induk ini berupa program pembangunan pusat pembelajaran konservasi alam, satuan kampanye bergerak (mobile campaign unit), serta perpustakaan bergerak (mobile library) dan kunjungan ke sekolah-sekolah (school visit).
4.1.6 Pemantauan dan Asistensi Teknis Kegiatan pemantauan diarahkan paling tidak pada dua lingkup utama, yaitu: memantau kinerja kegiatan-kegiatan pada program proteksi dan restorasi serta memantau kinerja
pengelolaan kawasan bernilai konservasi tinggi dan karbon tinggi di dalam areal-areal kerja konsesi hutan produksi. Sementara asistensi diarahkan untuk memberikan bantuan teknis (technical assistance) terhadap penyelegggaraaan konservasi bentang alam secara terpadu atau parsial. Kegiatan asistensi teknis sebaiknya dilakukan oleh suatu unit kerja yang dibentuk pada tingkat nasional dalam bentuk Technical Advisor Committee (TAC) untuk mengawal implementasi Rencana Induk di tingkat bentang alam atau penyelenggaraan konservasi bentang alam secara baik secara terpadu maupun parsial. Khusus di kawasan hutan produksi yang telah menjadi areal kerja konsesi pengusahaan hutan, kegiatan pemantauan dan asistensi diarahkan untuk memantau dan memberikan bantuan teknis kepada pemegang konsesi dalam pemenuhan syarat-syarat kelestarian pengelolaan hutan produksi lestari yang bersifat wajib atau sukarela. Kegiatan asistensi berupa dukungan teknis terhadap unit manajemen hutan (UMH) yang sedang dalam tahap penilaian dan perencanaan untuk penerapan instrument-instrument kelestarian pengelolaan hutan lestari. Sedangkan kegiatan pemantauan yang akan dilakukan berupa pemantauan terhadap pelaksanaan rencana kerja instrumentinstrument kelestarian pengelolaan hutan.
RENCANA INDUK PENGEMBANGAN KONSERVASI BENTANG ALAM SKALA BESAR DI SUMATERA DAN KALIMANTAN
“
VISI: Terwujudnya struktur dan fungsi ekosistem bentang alam yang berkualitas sehingga mampu menjadi penopang pembangunan berkelanjutan pada 10 bentang alam di Sumatera dan Kalimantan.
“
Pengelolaan bentang alam selalu didominasi oleh isu-isu mengenai penggunaan lahan. Begitu pula dengan pengelolaan bentang alam yang berkelanjutan (sustainable landscape management) akan selalu didominasi oleh pembahasan mengenai penggunaan lahan yang berkelanjutan (sustainable landuse management) yang mencerminkan bahwa penggunaan atau pemanfaatan lahan adalah inti dari pengelolaan bentang alam. Para pihak dari kalangan akademisi, pengambil kebijakan, praktisi, bahkan beberapa dari elemen masyarakat telah sejak lama memformulasikan konsep dan parameter-parameter untuk keberlanjutan pengelolaan wilayah. Berbagai bentuk kebijakan, rencana dan program juga telah diberlakukan, tetapi hasilnya baru terlihat maju “di atas kertas”, sementara di tingkat tapak hingga saat ini cenderung masih didominasi oleh isu-isu kerusakan lingkungan dan konflik kepentingan para pihak mengenai penguasaan dan pemanfaatan lahan. Kondisi tersebut juga ditemukan pada 10 bentang alam yang menjadi unit analisis perencanaan pada Rencana Induk ini. Sehingga istilah “sustainable” dalam setiap inisiatif pengelolaan bentang alam selalu menjadi cita-cita yang mencerminkan kondisi yang ingin dicapai atau diharapkan. Salah satu instrumen kunci untuk mewujudkan keberlanjutan (sustainability) tersebut adalah konservasi, sehingga rumusan visi konservasi bentang alam dalam Rencana Induk ini adalah:
“
MISI: 1. Menyelenggarakan upaya-upaya perlindungan terhadap kawasankawasan penting bentang alam yang masih dalam kondisi baik pada 10 bentang alam di Sumatera dan Kalimantan; 2. Menyelenggarakan upaya-upaya pemulihan terhadap kawasan-kawasan penting bentang alam yang telah terlanjur rusak pada 10 bentang alam di Sumatera dan Kalimantan.
“
4.2 VISI DAN MISI KONSERVASI BENTANG ALAM
Struktur dan fungsi ekosistem yang berkualitas dalam Rencana Induk ini didekati dengan konsep kesehatan ekosistem (ecosystem health) yaitu suatu kondisi ekosistem yang mampu untuk memperbaharui dirinya sendiri secara alami. Program konservasi pada 10 bentang alam yang menjadi pokok perencanaan dalam Rencana Induk ini diformulasikan tidak pada kondisi “hampa kepentingan”. Kondisi biofisik pada 10 bentang alam tersebut juga tidak dalam kondisi baik akibat berbagai bentuk aktivitas manusia baik yang direncanakan maupun yang tidak direncanakan. Oleh karenanya konservasi dalam konteks Rencana Induk ini memiliki dua fokus utama yakni perlindungan terhadap ekosistem alami yang masih tersisa dan pemulihan ekosistem alami yang termasuk dalam kategori kawasan penting bentang alam tetapi kondisinya telah terlanjur rusak. Fokus ini mencerminkan misi dari konservasi bentang alam pada rencana iniduk ini, yaitu:
Misi tersebut akan dilaksanakan melalui strategi-strategi yang dirumuskan dari informasi-informasi yang dihimpun secara inklusif dengan melibatkan para pemangku kepentingan pada setiap unit lahan pada masing-masing bentang alam. Pelibatan para pihak tersebut juga diharapkan menjadikan Rencana Induk ini tidak saja sebagai dokumen perencanaan tetapi juga memiliki nilai kesepakatan dan program yang tepat sasaran di tingkat tapak.
127
128
BAB EMPAT
4.3 PRINSIP KONSERVASI BENTANG ALAM
4.4.1 Wilayah Intervensi Bentang alam
Konservasi bentang alam merupakan bagian dari pengelolaan ekosistem yang berkelanjutan. Interaksi antarkomponen sistem di dalam bentang alam, termasuk manusia dengan beragam kepentingannya, dikelola dengan terencana dan terukur sehingga ekosistem bentang alam tetap terjaga kesehatannya. Dengan memperhatikan berbagai perspektif dan isu ekologis yang berkembang di tingkat tapak, masukan-masukan dari para pihak, kerangka regulasi dan konsep-konsep pengelolaan kawasan yang telah ada, maka dirumuskan 5 prinsip konservasi bentang alam yang akan menjadi sumber inspirasi untuk perumusan strategi dan program aksi konservasi bentang alam pada Rencana Induk ini, yaitu:
1. Melestarikan dan memulihkan kualitas atau kesehatan ekosistem sebagai prioritas tanpa menggangu keutuhan ekosistem.
2. Dasar acuan bersama bagi pemerintah pusat, pemerintah daerah, swasta, dan masyarakat dalam pelaksanaan konservasi bentang alam yang bersifat pengelolaan terpadu pada masing-masing jenis penggunaan lahan.
3. Kekhususan masing-masing tempat (local specific) melalui proses (adaptive management).
yang
dinamis
4. Fisibilitas dan keberlanjutan pendananaan. 5. Pengembangan dan penguatan kapasitas untuk pelaksanaan konservasi bentang alam.
Konservasi
Konservasi bentang alam pada pada Rencana Induk ini difokuskan pada kawasan hutan yang teridentifikasi sebagai Kawasan Penting Bentang alam (KPL), yaitu kawasan-kawasan yang memiliki nilai penting dalam jaringan hidrologi, keanekaragaman hayati, dan karbon di masing-masing bentang alam sehingga teridentifikasi mana yang harus dipertahankan dan/atau dipulihkan keasliannya. Ukuran-ukuran mengenai nilai penting pada ketiga aspek tersebut sejalan dengan kriteria penetapan kawasan lindung sebagaimana diatur di dalam regulasi tata ruang, lingkungan hidup, dan kehutanan.8 Selain merujuk pada pola ruang dan fungsi hutan yang telah ditetapkan secara resmi, informasi tematik lainnya yang menjadi dasar penentuan KPL adalah peta sebaran dan kedalaman gambut dan peta sebaran satwasatwa yang dianggap penting pada setiap bentang alam. Secara keseluruhan kriteria yang diapakai untuk menentukan KPL adalah sebagai berikut:
1. Area yang ditunjuk/ditetapkan sebagai Kawasan Suaka Alam (KSA) dan Kawasan Pelestarian Alam (KPA).
2. Area yang ditetapkan sebagai Hutan Lindung.
3. Area jelajah satwa kunci (key spesies/flagship spesies) atau area kunci keanekaragaman hayati (key biodiversity area), area penting burung (important bird areaI), dan area dengan keanekaragaman hayati tinggi.
Penerapan prinsip-prinsip tersebut juga tetap memperhatikan pengalaman/praktik pengelolaan, pertimbangan-pertimbangan ilmiah, tantangan dan peluang yang diuraikan di dalam Bab II, serta fakta-fakta yang diuraikan di dalam Bab III.
4. Area sempadan sungai atau 50-100 meter di
4.4 STRATEGI KONSERVASI BENTANG ALAM
Hasil akhir dari analisis spasial untuk penentuan KPL pada Rencana Induk ini telah mendapatkan luas KPL sebesar 6,19 juta hektar dari total luas 10 bentang alam sebesar 10,15 juta hektar, dengan distribusi sebagai berikut:
Strategi konservasi bentang alam pada Rencana Induk ini mencakup Penentuan Wilayah Intervensi Konservasi Bentang alam, Penentuan Arahan Intervensi, dan Perumusan Strategi Implementasi, yang secara berurutan dijelaskan sebagai berikut:
kiri dan kanan sungai.
5. Area sempadan pantai atau 100 meter dari titik terluar air pasang.
6. Area lahan gambut berkedalaman lebih dari 3 meter.
Kriteria yang digunakan untuk menentukan area bernilai konservasi tinggi (NKT 1, NKT 2, NKT 3, dan NKT 4) sudah tercakup di dalam kriteria KPL tersebut di atas.
8 Kategori tersebut disusun sesuai dengan Keputusan Presiden No.32 tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung, UU No.26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang, dan PP No.26 tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional. Lihat juga Tabel II-2 dari dokumen Rencana Induk ini.
RENCANA INDUK PENGEMBANGAN KONSERVASI BENTANG ALAM SKALA BESAR DI SUMATERA DAN KALIMANTAN
Tabel IV-3. Luas kawasan penting bentang alam di sepuluh bentang alam (hektar)
No.
Bentang Alam
KPL
Non KPL
Total
1
Senepis
293,780.65
29,184.90
322,965.55
2
Giam Siak Kecil Bukit Batu
627,869.38
313,330.98
941,200.36
3
Kerumutan
616,402.68
718,446.99
1,334,849.66
4
Semenanjung Kampar
609,562.71
134,163.58
743,726.29
5
Bukit Tigapuluh
755,792.67
311,209.30
1,067,001.97
6
Berbak Sembilang
564,562.34
572,195.40
1,136,757.74
7
Dangku-Meranti
480,552.38
568,099.47
1,048,651.85
8
Padang Sugihan
1,123,417.73
526,795.57
1,650,213.30
9
Kubu
596,973.60
325,847.39
922,820.99
10
Kutai
521,825.89
455,174.24
977,000.13
Total
6,190,740.02
3,954,447.83
10,145,187.85
Dengan demikian, area yang berpotensi bernilai konservasi tinggi sudah berada di dalam KPL. Beberapa perusahaan hutan tanaman telah melakukan kajian cadangan karbon tinggi (High Carbon Stock, HCS) di area konsesinya. Berdasarkan data yang diterima Tim Penyusun Rencana Induk, area HCS tersebut
ditumpangsusunkan di dalam bentang alam, yang hasilnya menunjukkan bahwa sebagian besar area HCS sudah berada di dalam KPL, sebagaimana tampak pada gambar berikut ini:
Gambar IV-9. Contoh hasil tumpangsusun area bernilai cadangan karbon tinggi (HCS) dan KPL
129
130
BAB EMPAT
Sebagaimana akan diuraikan pada bagian selanjutnya, pengelolaan area NKT dan HCS di dalam wilayah konsesi merupakan tanggungjawab dari pemegang konsesi. Namun Rencana Induk ini memberikan arahan program berupa pemantauan dan asistensi teknis bagi para pemegang konsesi.
4.4.2 Arahan Intervensi Arahan intervensi pengelolaan KPL adalah arahan di tingkat tapak dan masih bersifat indikatif. Arah intervensi dirumuskan dengan mengacu pada tujuan konservasi bentang alam yang telah disepakati para pihak dengan memperhatikan pola ruang pada RTRW, fungsi hutan, hasil analisis perubahan tutupan lahan, dan kondisi tapak lahan (gambut atau non gambut). Sumber-sumber data yang dipakai berasal dari Direktorat Inventarisasi dan Pemantauan Sumberdaya Hutan (IPSDH), Direktorat Jenderal Planologi-Kementerian LHK dan sumber resmi lainnya. Sedangkan data primer diperoleh melalui analisis perubahan penutupan lahan menggunakan citra Landsat 8 liputan tahun 2003–2014. Analisis perubahan tutupan lahan dilakukan untuk mengidentifikasi lokasi terdeforestasi. Pengamatan terhadap tutupan lahan merupakan hal penting untuk mengidentifikasi fitur alami, fitur antropogenik, dan memahami hubungan antara keduanya untuk menyusun keputusan pengelolaan dan penggunaan sumberdaya alam. Klasifikasi penutupan lahan yang diacu dalam analisis spasial pada Rencana Induk ini adalah klasifikasi penutupan lahan Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan yang disetarakan dengan klasifikasi penutupan lahan AFOLU (Agriculture, Forestry, and other Land Use) – tahun 2006. Selanjutnya, untuk kebutuhan penentuan arah intervensi dilakukan pengklasifikasian tutupan lahan yang lebih sederhana agar lebih mudah
dikomunikasikan dan menjawab kebutuhan pengembangan konservasi bentang alam. Klasifikasi akhir tutupan lahan yang dimaksud adalah sebagai berikut: 1. Hutan. Tutupan lahan berupa hutan pada tahun 2003 dan 2014. 2. Deforestasi. Area yang mengalami perubahan dari tutupan hutan pada tahun 2003 menjadi non-hutan pada tahun 2014. 3. Hutan Non-alami (natural environment). Tutupan lahan bukan hutan (not forested land) yang teridentifikasi dalam citra sebagai kenampakan alami seperti belukar rawa/ lahan basah. 4. Hutan Non-buatan (man-made environment). Tutupan lahan bukan hutan (not forested land) yang teridentifikasi dalam citra berupa kenampakan hasil aktivitas manusia seperti sawah, tambak, pertambangan, permukiman dan lahan terbangun. Pelaksanaan program ini juga mengakui dan menghormati hak-hak para pihak yang ada di dalam bentang alam, termasuk hakhak konsesi hutan dan lahan yang dimiliki masyarakat dan/atau perusahaan, sehingga dalam pelaksanaannya akan tetap dilakukan bersama-sama dengan para pihak dengan prinsip saling percaya, saling menghormati, dan saling menguntungkan. Berdasarkan berbagai pertimbangan maka arahan intervensi pada program konservasi bentang alam di KPL dirumuskan sebagai berikut: Arahan umum pengelolaan ini disebut juga dengan Program Utama Konservasi Bentang alam, yang terdiri dari: 1) Arahan Proteksi dimaksudkan untuk mempertahankan lokasi KPL yang masih baik melalui program-program proteksi spesies,
Gambar IV-10. Proses reklasifikasi tutupan lahan untuk penentuan Arahan Pengelolaan Bentang Alam
RENCANA INDUK PENGEMBANGAN KONSERVASI BENTANG ALAM SKALA BESAR DI SUMATERA DAN KALIMANTAN
habitat, dan ekosistemnya, pencegahan konflik manusia-satwa liar dan kebakaran hutan, serta pengembangan koridor satwa.
seperti ISFMP/Integrated Sustainable Forestry Management Plan dan pengelolaan lahan gambut.
2) Arahan Restorasi dimaksudkan untuk memulihkan lokasi KPL yang telah terlanjur rusak (deforestasi) melalui kegiatan-kegiatan pemulihan ekosistem dengan metode yang sesuai dengan karakter bentang alam dan hasil kajian lapangan pada program aksi.
Arahan suatu program utama di suatu area tidak dapat berdiri sendiri karena keberhasilannya akan dipengaruhi oleh banyak faktor. Oleh karena itu, di area yang menjadi alokasi program utama restorasi dapat disertai dengan program proteksi dan pemberdayaan masyarakat.
3) Arahan Pemberdayaan dimaksudkan untuk mendukung program proteksi dan restorasi melalui program-program aksi penyadartahuan, pemberdayaan masyarakat, pengembangan ekonomi alternatif dan teknologi tepat guna untuk meningkatkan efektivitas pemanfaatan sumberdaya alam. Program ini difokuskan pada KPL di APL di dalam dan sekitar KPL yang memiliki interaksi intensif dengan bentang alam.
Terhadap KSA/KPA, hutan lindung, atau hutan produksi yang belum dibebani izin dan tutupan lahannya terdeteksi sebagai non hutan-buatan, maka di kawasan tersebut patut diduga telah terjadi perubahan tutupan lahan akibat bencana alam, kebakaran hutan, dan/ atau kegiatan manusia yang tidak sesuai dengan peruntukan kawasan. Arahan umum terhadap kawasan tersebut berupa program kombinasi yang didahului dengan penyadartahuan, penyelesaian masalah secara persuasif dan non-litigasi, pemberdayaan masyarakat, dan pemulihan kawasan ketika keadaan sudah memungkinkan. Sedangkan terhadap penguasaan lahan yang sudah bersifat komersial, dilakukan upaya penegakan hukum yang tegas dan konsisten kepada tokoh intelektual dan penggerak utamanya. Penjelasan mengenai masing-masing arahan intervensi pada KPL sebagaimana diulas sebelumnya adalah sebagai berikut:
4) Arahan Asistensi dan Pemantauan dimaksudkan untuk memberikan dukungan teknis kepada pemegang konsesi di hutan produksi dan/atau KPHP sesuai dengan rencana kerjanya, untuk memonitor perkembangan di lokasi KPL yang ada di dalam wilayah kerjanya. Pemantauan mencakup namun tidak terbatas pada pola penggunaan lahan, kehadiran satwa liar, pencegahan dan penanggulangan konflik manusia-satwa dan kebakaran hutan/lahan, perlindungan kawasan HCV, High Carbon Stock (HCS), pemberdayaan masyarakat, serta mendukung inisiatif khusus konsesi,
Tabel IV-4. Arahan umum pengelolaan konservasi bentang alam di kawasan penting bentang alam
Penutupan Lahan Status/Fungsi Hutan
Deforestasi
Hutan Non-alami
Hutan Non-buatan
KSA/KPA
Proteksi
Restorasi
Proteksi
Pemberdayaan
Hutan Lindung
Proteksi
Restorasi
Proteksi
Pemberdayaan
Hutan Produksi tidak dibebani izin
Proteksi
Restorasi
Proteksi
Pemberdayaan
Hutan Produksi dibebani izin
Asistensi dan Pemantauan Proteksi
Asistensi dan Pemantauan Restorasi
Asistensi dan Pemantauan Proteksi
Asistensi dan Pemantauan
Areal Penggunaan Lain
Pemberdayaan Proteksi
Pemberdayaan Restorasi
Pemberdayaan Proteksi
Pemberdayaan
131
132
BAB EMPAT
Tabel IV-5. Alokasi luas arahan umum program utama pengelolaan di KPL No.
BENTANG ALAM
ARAHAN UMUM PENGELOLAAN DI KPL (ha) Proteksi
Restorasi
Pemberdayaan
Pemantauan
NON-KPL
TOTAL (ha)
1
Senepis
35,226.50
22,245.59
80,241.09
156,067.46
29,184.90
322,965.55
2
GSKBB Semenanjung
130,021.96
39,612.13
141,331.51
316,903.77
313,330.98
941,200.36
147,056.81
5,192.77
62,112.54
395,200.59
134,163.58
743,726.29
283,560.79
52,398.91
106,949.70
173,493.28
718,446.99
1,334,849.66
223,518.07
136,248.53
206,668.85
189,357.21
311,209.30
1,067,001.97
472,992.08
13,434.48
53,590.47
24,545.31
572,195.40
1,136,757.74
80,343.40
33,438.44
160,168.79
206,601.75
568,099.47
1,048,651.85
158,294.94
3,216.23
452,358.44
509,548.12
526,795.57
1,650,213.30 922,820.99
3 4
Kampar Kerumutan
5
Bukit Tigapuluh
6 7 8
Berbak Sembilang DangkuMeranti Padang Sugihan
9
Kubu
188,600.66
10,225.59
104,295.78
293,851.57
325,847.39
10
Kutai
281,905.72
4,886.37
104,233.67
130,800.13
455,174.24
977,000.13
2,001,520.92
320,899.03
1,471,950.86
2,396,369.21
3,954,447.83
10,145,187.85
Total (ha)
1. Proteksi di Kawasan Penting Bentang Alam Target wilayah kerja proteksi bentang alam di dalam KPL yang struktur penggunaan lahannya relatif masih asli dan fungsinya juga relatif masih baik. Penentuan wilayah target proteksi melalui dua tahap penapisan (screening). Pertama, mengidentifikasi jenis-jenis penggunaan lahan hutan dan atau penggunaan lahan yang strukturnya relatif masih asli atau alami dan fungsinya masih baik di dalam KPL. Proses ini dilakukan melalui analisis penutupan lahan sebagaimana diuraikan di dalam sub-bab 4.3, dan hasilnya disajikan dalam Tabel IV2. Wilayah kerja proteksi diarahkan pada dua jenis penggunaan lahan yaitu: (1) hutan (forest land) kecuali hutan tanaman; dan (2) non hutan-alami yang bisa berupa grass land (semak belukar dan savana), tubuh air, dan wetland (semak belukar rawa).
Kedua, mengidentifikasi status lahan untuk memperoleh arahan lebih lanjut mengenai program aksi proteksi yang sesuai dengan peruntukan lahannya. Pada penapisan tahap kedua ini, target proteksi diprioritaskan di kawasan hutan konservasi, hutan lindung, dan hutan produksi yang belum dibebani izin agar kepastian status dan fungsi lahannya lebih jelas. Dari proses tersebut telah terindentifikasi target areal untuk proteksi bentang alam di sepuluh bentang alam seluas 2 juta ha, dengan rincian sebagai berikut:
RENCANA INDUK PENGEMBANGAN KONSERVASI BENTANG ALAM SKALA BESAR DI SUMATERA DAN KALIMANTAN
Tabel IV-6. Sebaran area target proteksi bentang alam di 10 bentang alam (hektar)
No.
Bentang Alam
1
Senepis
2
KSA/KPA
HP*
HL
Total
5,929.01
29,291.46
6.03
35,226.50
Giam Siak Kecil Bukit Batu
92,590.15
37,431.81
--
130,021.96
3
Kerumutan
93,518.76
190,019.03
23.00
283,560.79
4
Semenanjung Kampar
43,895.88
103,160.93
--
147,056.81
5
Bukit Tigapuluh
138,278.56
60,621.75
24,617.76
223,518.07
6
Berbak Sembilang
416,194.71
36,161.27
20,636.09
472,992.08
7
Dangku-Meranti
25,747.35
43,257.56
11,338.49
80,343.40
8
Padang Sugihan
57,175.83
24,418.38
76,700.73
158,294.94
9
Kubu
--
50,194.99
138,405.67
188,600.66
10
Kutai
244,610.35
22,927.00
14,368.37
281,905.72
Total
1,117,940.60
597,484.17
286,096.15
2,001,520.92
* Catatan: Hutan Produksi yang belum dibebani izin
Lokasi arahan umum pengelolaan yang menjadi program utama di setiap bentang alam ditampilkan di dalam Gambar IV-12 s.d. IV-21. di dalam peta itu juga ditampilkan areal para pemangku kawasan termasuk perusahaan pemegang konsesi di dalam bentang alam. Dengan demikian, para pihak dapat mengetahui siapa berbuat apa dan di mana lokasinya dalam implementasi proteksi, restorasi, pemberdayaan masyarakat, dan pemantauan-asistensi di setiap bentang alam.
133
134 Tabel IV-7. Arahan umum perumusan program aksi proteksi di setiap fungsi hutan
Status/Fungsi Lahan
Arahan Umum ΄ Memperkuat pengelolaan di tingkat tapak
KSA/KPA (HK)
΄ Memperkuat upaya pengamanan hutan secara partispatif. ΄ Memperkuat upaya pencegahan dan penanggulangan kebakaran hutan/lahan secara partisipatif ΄ Memperkuat upaya pencegahan dan penanggulangan konflik manusia-satwa liar ΄ Mendorong kemantapan kawasan konservasi (penetapan kawasan) ΄ Meningkatkan pemberdayaan masyarakat di daerah penyangga ΄ Melakukan penegakan hukum proporsional dan tepat sasaran ΄ Peningkatan kapasitas institusi dan sumberdaya manusia
΄ Membantu pengembangan Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Hutan Lindung
΄ Memperkuat pengelolaan di tingkat tapak melalui pembentukan unit manajemen hutan di Hutan Desa, dan Hutan Kemasyarakatan. ΄ Memperkuat upaya pengamanan dan penjagaan hutan secara partispatif. ΄ Memperkuat upaya pencegahan dan penanggulangan kebakaran hutan/lahan secara partisipatif ΄ Memperkuat upaya pencegahan dan penanggulangan konflik manusia-satwa liar ΄ Mendorong pemantapan/penetapan kawasan hutan lindung. ΄ Meningkatkan pemberdayaan masyarakat di sekitar kawasan hutan lindung ΄ Melakukan penegakan hukum proporsional dan tepat sasaran. ΄ Peningkatan kapasitas institusi dan sumberdaya manusia
΄ Mendorong pembangunan kelembagaan Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi Hutan Produksi belum ada izin
(KPHP). ΄ Memperkuat pengelolaan di tingkat tapak melalui pembentukan unit manajemen hutan di Hutan Desa, Hutan Kemasyarakatan, Hutan Tanaman Rakyat, atau IUPHHK-RE. ΄ Memperkuat upaya pengamanan hutan secara partispatif. ΄ Memperkuat upaya pencegahan dan penanggulangan kebakaran hutan/lahan secara partisipatif ΄ Mendorong pemantapan/penetapan kawasan hutan produksi. ΄ Meningkatkan pembangunan masyarakat di sekitar kawasan hutan. ΄ Mendorong penegakan hukum proporsional dan tepat sasaran. ΄ Mendorong perubahan fungsi dari HPK menjadi HPT atau kawasan konservasi.
Hutan Produksi Konversi
΄ Memasukkan HPK dengan proyeksi perubahan menjadi HPT atau KK ke dalam pembinaan KPHP/L ΄ Memperkuat upaya pengamanan hutan secara partispatif. ΄ Memperkuat upaya pencegahan dan penanggulangan kebakaran hutan/lahan secara partisipatif ΄ Membuat koridor satwa dan memperkuat upaya pencegahan dan penanggulangan konflik manusia-satwa liar ΄ Meningkatkan pemberdayaan masyarakat di sekitar kawasan hutan. ΄ Mendorong penegakan hukum proporsional dan tepat sasaran.
Gambar IV-11. Sebaran pemangku kawasan dan lokasi program utama di KPL Senepis
RENCANA INDUK PENGEMBANGAN KONSERVASI BENTANG ALAM SKALA BESAR DI SUMATERA DAN KALIMANTAN
135
Gambar IV-12. Sebaran pemangku kawasan dan lokasi program utama di KPL GSKBB
136 BAB EMPAT
Gambar IV-13. Para pemangku kawasan dan lokasi program utama di KPL Semenanjung Kampar
RENCANA INDUK PENGEMBANGAN KONSERVASI BENTANG ALAM SKALA BESAR DI SUMATERA DAN KALIMANTAN
137
Gambar IV-14. Sebaran pemangku kawasan dan lokasi program utama di KPL Kerumutan
138 BAB EMPAT
Gambar IV-15. Sebaran pemangku kawasan dan lokasi program utama di KPL Bukit Tigapuluh
RENCANA INDUK PENGEMBANGAN KONSERVASI BENTANG ALAM SKALA BESAR DI SUMATERA DAN KALIMANTAN
139
Gambar IV-16. Sebaran pemangku kawasan dan lokasi program utama di KPL Dangku-Meranti
140 BAB EMPAT
Gambar IV-17. Sebaran pemangku kawasan dan lokasi program utama di KPL Berbak-Sembilang
RENCANA INDUK PENGEMBANGAN KONSERVASI BENTANG ALAM SKALA BESAR DI SUMATERA DAN KALIMANTAN
141
Gambar IV-18. Sebaran pemangku kawasan dan lokasi program utama di KPL Padang Sugihan
142 BAB EMPAT
Gambar IV-19. Sebaran pemangku kawasan dan lokasi program utama di KPL Kubu
RENCANA INDUK PENGEMBANGAN KONSERVASI BENTANG ALAM SKALA BESAR DI SUMATERA DAN KALIMANTAN
143
Gambar IV-20. Sebaran pemangku kawasan dan lokasi program utama di KPL Kutai
144 BAB EMPAT
RENCANA INDUK PENGEMBANGAN KONSERVASI BENTANG ALAM SKALA BESAR DI SUMATERA DAN KALIMANTAN
2. Restorasi di Kawasan Penting Bentang
di setiap tempat akan beragam, tergantung dari keadaan suksesi yang sedang terjadi pada setiap ekosistemnya. Oleh karenanya apapun arahan metode restorasinya, tahapan kegiatan dalam program aksi restorasi dalam inisiatif konservasi bentang alam ini akan melalui fase-fase berikut ini:
Alam Dengan memperhatikan berbagai konsep dan pengertian restorasi yang ada maka Restorasi Bentang Alam dalam Rencana Induk ini dirumuskan sebagai proses pemulihan struktur, fungsi, dan keutuhan bentang alam melalui upaya-upaya perbaikan lahan dan/atau hutan yang penting bagi keanekaragaman hayati, pengaturan tata air, kehidupan sosial masyarakat, dan sumber karbon, yang kondisinya telah terlanjur rusak secara lingkungan, ekonomi, dan sosial. Wilayah kerja restorasi bentang alam adalah wilayah-wilayah di dalam KPL yang struktur penggunaan lahannya telah terlanjur rusak sehingga fungsinya menurun signifikan. Proses untuk mendapatkan wilayah kerja restorasi bentang alam melalui dua tahap penapisan, sebagaimana dilakukan untuk menentukan wilayah kerja proteksi bentang alam. Dari proses tersebut telah terindentifikasi areal target untuk wilayah kerja restorasi bentang alam di 10 bentang alam seluas 320.899 hektar dengan rincian sebagaimana ditunjukan pada tabel dibawah ini:
1) Fase Diagnostik (mengetahui inisiasi yang sudah ada serta status kondisi aspek biofisik maupun sosial ekonomi dan budaya sebelum intervensi), 2) Fase Peningkatan Kapasitas (meningkatkan pengetahuan, keahlian, dan kesadaran masyarakat dan pengelola kawasan tentang restorasi ekosistem), 3) Fase Pengelolaan Kolaboratif (pelaksanaan tahapan restorasi dengan melibatkan masyarakat dan pengelola kawasan), dan 4) Exit Strategy (memfasilitasi pengakhiran pendampingan secara perlahan untuk memastikan bahwa seluruh inisiasi dan fasilitasi yang dilakukan sepenuhnya dilanjutkan oleh pemangku kepentingan kawasan).
3. Pemberdayaan Masyarakat di KPL Untuk menjawab tantangan sosial dan ekonomi masyarakat yang dihadapi dalam penyelenggaraan konservasi bentang alam
Walaupun area target restorasi memiliki jenis lahan dan tujuan spesifik yang mungkin hampir sama, kegiatan teknis restorasi
Tabel IV-8. Sebaran area target restorasi bentang alam pada 10 bentang alam (hektar)
NO
Bentang Alam
1
Senepis
2
Giam Siak Kecil Bukit Batu
3
Kerumutan
4
Semenanjung Kampar
5
KSA/KPA
HP
HL
Total
0
22245.5923
22,245.59
8,205.67
31406.46
39,612.13
642.06
51756.8459
52,398.91
177.60
5015.16515
5,192.77
Bukit Tigapuluh
2,222.04
101782.852
32,243.63
136,248.53
6
Berbak Sembilang
8,354.06
5018.19697
62.22
13,434.48
7
Dangku-Meranti
9,074.93
23991.3158
372.19
33,438.44
8
Padang Sugihan
45.74
3.63354618
3,166.86
3,216.23
9
Kubu
0
1732.72369
8,492.86
10,225.59
10
Kutai
2,918.50
843.393094
1,124.48
4,886.37
Total
31,640.61
243796.178
45,462.24
320,899.03
145
146
BAB EMPAT
sebagaimana telah diuraikan pada bab sebelumnya, maka program pemberdayaan masyarakat pada konservasi bentang alam ini akan dilaksanakan melalui empat model sebagai berikut: a. Pelibatan masyarakat dalam program atau kegiatan-kegiatan tematik berbasis hutan, khususnya dalam program aksi proteksi dan restorasi, misalnya: ΄ Masyarakat peduli api untuk pencegahan dan penanggulangan kebakaran hutan; ΄ Pengamanan hutan swakarsa; ΄ Pengembangan hutan rakyat berbagai jenis (wanatani) pada hutan terdeforestasi di APL yang masuk dalam KPL yang akan diarahkan sebagai pemberdayaan masyarakat berbasis konservasi-restorasi. Program ini akan sejalan dengan program RHL; ΄ Pengembangan model desa konservasi di daerah penyangga KSA/KPA b. Pemberian hak dan akses kepada masyarakat untuk mengelola hutan melalui skema perhutanan sosial yang disiapkan pemerintah, yaitu Hutan Desa, Hutan Kemasyarakatan, dan Hutan Tanaman Rakyat, sebagaimana diuraikan dalam Tabel IV-9. c. Meningkatakan kapasitas masyarakat untuk mampu mengelola hutan secara lestari. Peningkatan kapasitas rentangnya mulai dari penyadartahuan dan pendidikan lingkungan dan konservasi, pranata dan kelembagaan masyarakat, hingga menyangkut teknis silvikultur dan teknologi tepat guna. d. Menerapkan sistem insentif untuk masyarakat yang telah terbukti mampu melestarikan hutan dan mengelola hutan berdasarkan pada hak pengelolaan yang telah diperolehnya. Sistem insentif yang efektif akan mendorong pengelolaan hutan yang lestari oleh masyarakat tanpa harus dipaksa oleh aturan-aturan. Apabila ada masyarakat yang berhasil membangun atau memelihara hutan dan menghasilkan fungsi yang dapat dinikmati oleh masyarakat luas,9 misalnya dapat
mengendalikan terjadinya banjir, meningkatkan populasi satwa dilindungi, mencegah mencegah emisi karbon, meningkatkan penyerapan karbon, maka selayaknya mereka mendapatkan insentif. Hasil analisis yang dilakukan Direktorat Penyiapan Kawasan Perhutanan Sosial (PKPS)10 Ditjen PSKL Kementerian LHK, menunjukkan adanya Pencadangan Area Kerja HD dan HTR di dalam bentang alam target, yaitu seluas 84.110 hektar. Sedangkan berdasarkan Peta Indikatif Arahan Perhutanan Sosial (PIAPS) terdapat sekitar total 563.906 hektar yang dialokasikan untuk perhutanan sosial di dalam bentang alam target.11 Adanya skema perhutanan sosial di dalam bentang alam merupakan salah satu peluang untuk mengatasi isu konflik sosial dan tenurial di dalam bentang alam. Tabel IV-9. Alokasi arahan perhutanan sosial di dalam bentang alam target
No.
Bentang Alam
Total (ha)
1
Senepis
2
Giam Siak Kecil Bukit Batu
41.829
3
Kerumutan
48.175
4
Semenanjung Kampar
5
Bukit Tigapuluh
183.791
6
Berbak Sembilang
28.327
7
Dangku-Meranti
16.726
8
Padang Sugihan
12.216
9
Kubu
99.383
10
Kutai
36.642
Total (Hektar)
6.872
4.192
478.153
Sumber: Direktorat Penyiapan Kawasan Perhutanan Sosial, 2015.
9 Karakteristik manfaat hutan salah satunya bersifat benefit beyond boundaries, yakni manfaat yang tidak hanya untuk manusia yang hidup di dalam atau sekitar hutan saja, tetapi banyak kelompok-kelompok manusia lain yang hidup jauh dari hutan juga tergantung pada manfaat hutan. Kasus “hulu-hilir dan pemanasan global dapat menjelaskan karakteristik ini. 10 Sebelumnya bernama Direktorat Perhutanan Sosial-Ditjen Bina Daerah Aliran Sungai dan Perhutanan Sosial, Kementerian Kehutanan. 11 Hasil perhitungan sementara dari Direktorat PKPS hingga awal Agustus 2015. Luas pencadangan akan dimutakhirkan setiap enam bulan.
RENCANA INDUK PENGEMBANGAN KONSERVASI BENTANG ALAM SKALA BESAR DI SUMATERA DAN KALIMANTAN
Bunga Rafflesia (Rafflesia sp.) yang sedang mekar di hutan primer dataran rendah Sumatera bagian tengah, 2003. (Foto: Dolly Priatna)
4. Asistensi dan Pemantauan pada KPL Kawasan bentang alam dalam Rencana Induk ini mencakup pula kawasan hutan produksi yang telah dibebani izin pengusahaan hutan. Kawasan Penting Bentang alam di hutan produksi yang telah berizin dikeluarkan dari prioritas proteksi dan restorasi karena sesuai regulasi, mereka berkewajiban melindungi dan merestorasi kawasan penting dalam konsesi, termasuk area NKT/ HCV. Konsumen dari produk-produk hasil hutan dan turunannya juga telah menuntut adanya bukti pengelolaan hutan produksi lestari. Terlepas dari itu semua, inisiatif konservasi bentang alam ini mengakui dan menghormati hak-hak terhadap lahan yang telah dimiliki oleh para pihak, termasuk hak-hak konsesi di hutan produksi, hutan lindung, atau tanah masyarakat.
Dengan mempertimbangkan hal-hal tersebut di atas, maka inisiatif konservasi bentang alam ini akan berupaya untuk mendukung pemenuhan syarat-syarat kelestarian pengelolaan hutan produksi lestari yang difokuskan pada beberapa instrumen, yaitu hutan bernilai konservasi tinggi (HNKT/HCVF) dan Pengelolaan Hutan Produksi Lestari (Sustainbale Forest Management/ SFM). Bentuk dukungan yang akan dilakukan terdiri dari dua kegiatan utama, yaitu asistensi dan pemantauan. Kegiatan asistensi berupa dukungan teknis terhadap unit manajemen hutan (UMH) yang sedang dalam tahap penilaian dan perencanaan untuk penerapan instrumeninstrumen kelestarian pengelolaan hutan lestari yang bersifat sukarela (voluntary) dan wajib (mandatory). Sedangkan kegiatan pemantauan yang akan dilakukan berupa pemantauan terhadap pelaksanaan rencana kerja instrumeninstrumen kelestarian pengelolaan hutan yang wajib (mandatory) dan sukarela (voluntary).
147
148
BAB EMPAT
4.4.3 Strategi Intervensi Perumusan strategi intervensi pada Rencana Induk konservasi bentang alam ini didekati dengan menggunakan analisis kekuatan (strength), kelemahan (weaknes), peluang (opportunity), dan ancaman (threaten) atau SWOT. Analisis SWOT berusaha mengelompokan faktor-faktor internal (kekuatan dan kelemahan) dan faktor-faktor eksternal (peluang dan ancaman) yang merupakan dasar pemikiran alternatif pengembangan suatu upaya. Perumusan strategi melalui analisis SWOT akan mengarah pada pemanfaatan peluang dan kekuatan serta meminimalkan kelemahan dan ancaman. Ketepatan penarikan strategi melalui analisis SWOT akan sangat tergantung pada kelengkapan dan ketepatan informasi mengenai kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman. Lebih lanjut, strategi juga harus memiliki nilai legitimasi yang memadai sehingga cara pengumpulan informasi harus ditempuh melalui berbagai bentuk pelibatan pemangku kepentingan. Informasi-informasi mengenai kekuatan dan kelemahan internal serta peluang dan ancaman eksternal yang dianalisis dari hasil-hasil konsultasi dengan para pihak di tingkat bentang alam adalah sebagai berikut:
Cara penarikan strategi melalui analisis SWOT dilakukan melalui matriks SWOT, dimana kisi-kisi yang terdapat pada matrik ini menggambarkan secara jelas bagaimana peluang dan ancaman eksternal yang dihadapi dalam konservasi bentang alam yang disesuaikan dengan kekuatan dan kelemahan internal yang dimiliki. Matriks SWOT ini menghasilkan 4 kemungkinan alternatif strategi, yaitu sebagai berikut: 1.
Salah satu daerah hulu sungai yang mengalir deras di kawasan hutan primer pedalaman Sumatera, April 2010. (Foto: Dolly Priatna)
Strategi S – O (Kekuatan – Peluang) Strategi ini menggunakan kekuatan yang dimiliki pihak manajemen program konservasi bentang alam untuk memanfaatkan peluang yang disediakan oleh pihak di luar managemen program konservasi bentang alam. Strategi S-O ini adalah sebagai berikut: ΄ Membangun konsensus mengenai batas wilayah kerja konservasi bentang alam dan kawasan penting bentang alam untuk proteksi dan restorasi. ΄ Melibatkan para pihak secara lebih terorganisir dalam pelaksanaan program konservasi bentang alam. ΄ Meningkatkan sinkronisasi perencanaan
RENCANA INDUK PENGEMBANGAN KONSERVASI BENTANG ALAM SKALA BESAR DI SUMATERA DAN KALIMANTAN
Tabel IV-10. Hasil identifikasi Kekuatan, Kelemahan, Peluang dan Ancaman konservasi bentang alam
149
150
BAB EMPAT
dan optimalisasi kinerja instansi pemerintah yang memiliki tugas dan fungsi terkait dengan program konservasi lanskap. ΄ Pengembangan kapasitas dalam rangka pelaksanaan tugas dan fungsi masingmasing instansi yang terkait dengan konservasi bentang alam. ΄ Mengembangkan model-model perhutanan sosial yang mendukung tujuan konservasi bentang alam. 2. Strategi S – T (Kekuatan – Ancaman) Strategi ini menggunakan kekuatan yang dimiliki pihak manajemen program konservasi bentang alam untuk mengatasi ancaman yang dapat timbul dari pihak di luar managemen program konservasi bentang alam. Strategi S-T ini adalah sebagai berikut: ΄ Mendorong/mendukung upaya-upaya para pihak dalam perlindungan dan pengamanan hutan yang masih dalam kondisi baik. ΄ Mendorong/mendukung upaya-upaya para pihak dalam pemulihan hutan yang dalam kondisi dalam kondisi rusak. ΄ Mendorong/mendukung pendidikan lingkungan dan konservasi alam oleh lembaga konservasi sesuai kompetensi, tugas dan fungsi. ΄ Pengembangan kapasitas dan pendampingan masyarakat dalam rangka pengembangan model-model perhutanan sosial yang mendukung tujuan konservasi bentang alam. ΄ Membangun dan mengembangkan program-program tematik perlindungan hutan yang bersifat insidental seperti wildlife protection and forest fire respond unit. 3. Strategi W – O (Kelemahan – Peluang)
Strategi ini memanfaatkan peluang yang ada dalam mendukung keberhasilan konservasi bentang alam untuk meminimalkan kelemahan yang ada pihak manajemen konservasi bentang alam. Strategi W-O ini adalah sebagai berikut: ΄ Membentuk lembaga koordinatif untuk pengelolaan bentang alam dan/atau memperkuat lembaga/forum koordinatif yang telah ada. ΄ Mengembangkan pendidikan lingkungan dan konservasi alam serta teknologi ramah lingkungan dan tepat guna kepada masyarakat. ΄ Mendukung percepatan dan penguatan kelembagaan KPH. 4. Strategi W – T (Kelemahan – Ancaman) Strategi ini didasarkan pada kegiatan yang bersifat defensif dan berusaha meminimalkan kelemahan yang ada serta menghindari ancaman. Strategi W-T ini adalah sebagai berikut: ΄ Pengembangan kegiatan usaha ekonomi produktif dan teknologi tepat guna yang ramah lingkungan untuk masyarakat di sekitar kawasan penting bentang alam. ΄ Peningkatan upaya perlindungan dan pengamanan hutan. ΄ Penyelesaian sengketa alternatif atau non litigasi. ΄ Penegakan hukum yang tegas dan konsisten.
΄ Belum terselenggaranya kelembagaan pengelola bentang alam yang bersifat koordinatif. ΄ Masih kurangnya pengetahuan masyarakat tentang fungsi hutan. ΄ Terbatasnya sosialisasi program dan maanfaat konservasi bentang alam ΄ Belum berkembangnya KPH pada sebagian besar area target konservasi bentang alam.
Kelemahan (W)
΄ Sasaran konservasi bentang alam di 10 bentang alam target dan kawasan penting bentang alam teridentifikasi. ΄ Persepsi para pihak terhadap konservasi bentang alam cukup baik. ΄ Tersediannya lembaga-lembaga pemerintah yang bekerja untuk pelestarian bentang alam. ΄ Tersediannya lembaga-lembaga pemerintah pemerintah yang bekerja untuk pelestarian bentang alam. ΄ Tersedianya lembaga-lembaga pengelola hutan dan lahan.
Kekuatan (S)
Internal
Ekternal
΄ Pengembangan kegiatan usaha ekonomi produktif untuk masyarakat di sekitar kawasan penting bentang alam. ΄ Peningkatan upaya perlindungan dan pengamanan hutan. ΄ Penyelesaian sengketa alternatif atau non litigasi. ΄ Penegakan hukum yang tegas dan konsisten.
STRATEGI W – T
STRATEGI O – W ΄ Membentuk lembaga koordinatif untuk pengelolaan bentang alam ΄ Mengembangkan pendidikan lingkungan dan konservasi alam kepada masyarakat ΄ Mendukung percepatan dan penguatan kelembagaan KPH.
΄ Mendorong/mendukung upaya-upaya para pihak dalam perlindungan dan pengamanan hutan yang masih dalam kondisi baik. ΄ Mendorong/mendukung upaya-upaya para pihak dalam pemulihan hutan yang masih dalam kondisi rusak. ΄ Mendorong/mendukung pendidikan lingkungan dan konservasi alam oleh lembaga konservasi yang memiliki tugas dan fungsi. ΄ Pengembangan kapasitas dan pendampingan masyarakat dalam rangka pengembangan model-model perhutanan sosial yang mendukung tujuan konservasi bentang alam. ΄ Membangun wildlife protection and forest firerespond unit
΄ Membangun konsensus mengenai batas wilayah kerja konservasi bentang alam dan kawasan penting bentang alam untuk proteksi dan restorasi. ΄ Melibatkan para pihak secara lebih terorganisir dalam pelaksanaan program konservasi bentang alam. ΄ Meningkatkan sinkronisasi perencanaan dan optimalisasi kinerja instansi pemerintah yang memiliki tugas dan fungsi terkait dengan program konservasi lanskap. ΄ Pengembangan kapasitas dalam rangka pelaksanaan tugas dan fungsi masing-masing instansi yang terkait konservasi bentang alam. ΄ Mengembangkan model-model perhutanan sosial yang mendukung tujuan konservasi bentang alam.
STRATEGI S – T
΄ Rendahnya tingkat pendidikan masyarakat ΄ Terbatasnya alternatif sumber pendapatan masyarakat. ΄ Perambahan hutan untuk lahan pertanian dan perkebunan. ΄ Konflik satwa-manusia ΄ Migrasi masyarakat ΄ Ekspansi perkebunan sawit
΄ Adanya peraturan perundangan mengenai kawasan lindung dan pengelolaan lingkungan hidup. ΄ Adanya kebijakan prioritas kehutanan untuk membangun KPH. ΄ Adanya kebijakan perhutanan sosial dengan target 12,7 juta untuk dikelola masyarakat. ΄ Adanya kebijakan 20% konsesi HTI dikelola masyarakat. ΄ Adanya dukungan pemerintah daerah dan swasta serta lembaga donor untuk konservasi bentang alam. ΄ Adanya kegiatan dan alokasi dana di beberapa instansi yang sejalan dengan program konservasi bentang alam. STRATEGI S – O
Ancaman (T)
Peluang (O)
Tabel IV-11. Perumusan strategi konservasi di sepuluh bentang alam RENCANA INDUK PENGEMBANGAN KONSERVASI BENTANG ALAM SKALA BESAR DI SUMATERA DAN KALIMANTAN
151
152
RENCANA INDUK PENGEMBANGAN KONSERVASI BENTANG ALAM SKALA BESAR DI SUMATERA DAN KALIMANTAN
BAB LIMA Kawanan Burung Kuntul (Ardea sp.) bergerombol di sekitar sarang mereka di kawasan hutan di pesisir timur Sumatera, November 2007. (Foto: Dok. APP)
153
154
BAB LIMA
ARAH PROGRAM DAN PRIORITAS Program kerja konservasi bentang alam merupakan penumpahruahan seluruh pernyataan visi, misi dan strategi ke dalam serangkaian kegiatan yang sistematis, logis dan rasional. Oleh karenanya perumusan program kerja harus dapat memperlihatkan hubungan hierarki yang jelas mulai dari visi, misi, strategi, hingga program.
5.1 PROGRAM KERJA KONSERVASI BENTANG ALAM Program kerja secara langsung dirumuskan dari strategi, tetapi konstruksi akhirnya perlu disesuaikan sedemikian rupa sehingga dapat dilihat keteraturan hubungan-hubungan antarprogram kerja. Pada Rencana Induk konservasi bentang alam ini pengaturan program kerja diseleksi dengan menggunakan beberapa pertimbangan yang secara berurutan adalah: 1. Program kerja di tingkat tapak yang secara langsung berkontribusi terhadap pencapaian visi dan pelaksanaan misi konservasi bentang alam. 2. Program kerja yang menjadi faktor pemungkin terlaksananya program kerja di tingkat tapak. 3. Program kerja yang secara langsung mempengaruhi kelancaran dan keberhasilan pelaksanaan program di tingkat tapak. Dari pertimbangan-pertimbangan tersebut maka program kerja konservasi bentang alam dikelompokkan dalam dua program, yaitu Program Strategis, yang memuat program kerja di tingkat tapak dan faktor pemungkinnya; dan Program Pendukung, yang memuat berbagai program kerja untuk melancarkan dan mempengaruhi keberhasilan program strategis. Lokasi pelaksanaan program strategis dan pendukung akan memperhatikan arahan fungsi lahan pada KPL yang telah ditentukan berdasarkan analisis spasial.
5.2 PROGRAM STRATEGIS 5.2.1 Program Pembangunan Konsensus 5.2.1.1 Tujuan Spesifik Tujuan dari program pembangunan konsensus dalam Rencana Induk konservasi bentang alam ini adalah untuk mendapatkan kesepakatan mengenai wilayah kerja konservasi bentang alam, kelompok kerja konservasi bentang alam, rencana konservasi bentang alam dan komitmen pengarusutamaannya ke dalam rencana-rencana kerja setiap instansi/ lembaga baik dari unsur pemerintah maupun nonpemerintah.
5.2.1.2 Kegiatan Kegiatan-kegiatan dalam program pembangunan konsensus dirumuskan dari tujuan-tujuan program pembangunan konsensus, yaitu sebagai berikut: 1. Kegiatan pertemuan multipihak di tingkat bentang alam untuk membangun kesepahaman dan kesepakatan. Para pihak yang menjadi sasaran adalah yang memiliki peran dan pengaruh terhadap bentang alam baik dari unsur pemerintah maupun nonpemerintah. 2. Kegiatan pertemuan multipihak untuk membentuk dan menetapkan POKJA konservasi bentang alam yang memiliki legitimasi dan legalitas yang memadai.
RENCANA INDUK PENGEMBANGAN KONSERVASI BENTANG ALAM SKALA BESAR DI SUMATERA DAN KALIMANTAN
Gambar V-1. Hierarki visi, misi, strategi, dan program kerja konservasi bentang alam
3. Penyusunan rencana kerja POKJA dalam rangka penyusunan rencana konservasi bentang alam. 4. Penyusunan rencana konservasi bentang alam pada tingkat bentang alam oleh POKJA konservasi bentang alam. 5. Konsultasi publik rancangan rencana konservasi bentang alam dan pengesahan rencana konservasi bentang alam. 6. Pengarusutamaan rencana konservasi bentang alam ke dalam perencanaan pembangunan daerah, rencana strategis dan rencana kerja setiap instansi atau lembaga yang terkait dengan konservasi bentang alam dari unsur pemerintah dan nonpemerintah.
5.2.1.3 Lokasi Program Kegiatan-kegiatan pada program pembangunan konsensus dilaksanakan pada seluruh wilayah administrasi yang melingkupi bentang alam dengan pusat koordinasi pada tingkat provinsi.
5.2.1.4 Keluaran Keluaran terukur dari program pembangunan konsensus adalah sebagai berikut: 1. Dokumen kesepahaman dan kesepakatan konservasi bentang alam yang disahkan oleh unsur pimpinan daerah di tingkat bentang alam. Dokumen kesepahaman dan kesepakatan ini paling kurang memuat wilayah kerja konservasi bentang alam, arahan fungsi lahan di dalam kawasan penting lanskap, arahan program kerja pada
155
156
BAB LIMA
masing-masing fungsi lahan, dan komitmen para pihak untuk penyelenggaraan konservasi bentang alam; 2. Kelompok kerja konservasi bentang alam pada masing-masing bentang alam, yang beranggotakan perwakilan dari Badan Perencanaan Pembangunan Daerah, Dinas Kehutanan, Badan Lingkungan Hidup Daerah, Unit Pelaksana Teknis Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Kesatuan Pengelolaan Hutan, lembaga atau forum multipihak yang telah ada sebelumnya, Perusahaan Pemegang Ijin Usaha Kehutanan, NGOs, perguruan tinggi, komunitas masyarakat yang berpotensi terkena dampak konservasi lanskap, dan unsur-unsur lain yang dianggap memiliki peran dan pengaruh terhadap bentang alam. 3. Dokumen Rencana kerja POKJA konservasi bentang alam yang memuat rencana kegiatan koordinasi para pihak sesuai dengan dokumen kesepakatan, penyusunan rencana konservasi bentang alam, pengesahan rencana konservasi bentang alam, pengarusutamaan konservasi bentang alam. 4. Rencana konservasi bentang alam yang disusun oleh POKJA, disetujui oleh seluruh pimpinan instansi atau lembaga yang terlibat dalam POKJA, dan disahkan oleh pimpinan daerah. Rencana konservasi bentang alam minimal memuat profil bentang alam dan kawasan penting bentang alam, permasalahan, arahan fungsi lahan dan program kerja pada kawasan penting bentang alam, tahapan dan tata waktu program konservasi bentang alam, kelembagaan konservasi bentang alam, rancangan kebutuhan anggaran dan sistem pendanaan, dan skema pemantauan kinerja. 5. Inisiasi pengarusutamaan rencana konservasi bentang alam ke dalam rencanarencana strategis dan rencana-rencana kerja instansi atau lembaga baik dari unsur pemerintah maupun nonpemerintah.
5.2.2 Program Pengembangan Kelembagaan 5.2.2.1 Tujuan Spesifik Membangun kelembagaan multipihak untuk konservasi bentang alam yang memiliki legitimasi atau mandat yang memadai dari para pihak serta mampu bekerja secara intensif
dan efektif dalam melakukan sinkronisasi perencanaan dan optimalisasi kinerja setiap instansi/lembaga untuk konservasi bentang alam sesuai dengan tugas dan fungsinya masing-masing.
5.2.2.2 Kegiatan Untuk mencapai tujuan sebagaimana disebutkan diatas maka kegiatan-kegiatan pada program pengembangan kelembagaan multipihak untuk konservasi bentang alam ini adalah sebagai berikut: 1. Melakukan analisis kelembagaan untuk mengidentifikasi lembaga-lembaga sektoral dan nonsektoral dari unsur pemerintah dan nonpemerintah yang terkait dengan bentang alam berdasarkan tugas dan wewenangnya masing-masing. 2. Melakukan analisis stakeholder dan memetakan stakeholder bentang alam berdasarkan peran dan pengaruhnya terhadap bentang alam. 3. Pertemuan multipihak untuk membahas dan menyepakati konsep kelembagaan yang telah tertuang dalam rencana konservasi bentang alam. 4. Pertemuan multipihak untuk menyusun kelengkapan kelembagaan multipihak yang meliputi: struktur organisasi, tugas dan wewenang, unit-unit kerja atau gugus tugas, sistem manajemen, mekanisme hubungan dan koordinasi, standard operational procedure, sumberdaya manusia, kebutuhan dan pemenuhan fasilitas, dan lain-lain. 5. Pertemuan multipihak untuk menetapkan dan mengesahkan kelembagaan multipihak untuk konservasi bentang alam. 6. Penyusunan rencana kerja lembaga multipihak untuk mengimplementasikan rencana konservasi bentang alam yang telah disusun dan disahkan pada tahap sebelumnya. 7. Lembaga multipihak mendorong pembentukan dan atau penguatan lembaga pengelola hutan di tingkat tapak, baik pada tingkat kelembagaan KPH maupun satuan manajemen hutan yang berbasis masyarakat seperti Hutan Kemasyarakatan, Hutan Desa, dan Hutan Tanaman Rakyat.
RENCANA INDUK PENGEMBANGAN KONSERVASI BENTANG ALAM SKALA BESAR DI SUMATERA DAN KALIMANTAN
5.2.2.3 Lokasi Kegiatan Lokasi pelaksanaan kegiatan-kegiatan pada program pengembangan kelembagaan multipihak untuk konservasi bentang alam dilaksanakan pada wilayah administrasi yang melingkupi bentang alam dengan pusat koordinasi pada tingkat provinsi. Khusus untuk kegiatan penguatan kelembagaan pengelolaan hutan di tingkat tapak, lokasi kegiatannya akan diarahkan pada kawasan penting bentang alam yang merupakan kawasan hutan yang belum ada pengelolanya.
5.2.2.4 Keluaran Keluaran langsung dari setiap kegiatan dalam program pengembangan kelembagaan adalah sebagai berikut: 1. Database mengenai lembaga-lembaga sektoral dan non sektoral dari unsur pemerintah dan non pemerintah yang terkait dengan bentang alam dengan atributatributnya meliputi tugas dan kewenangan setiap instansi atau lembaga. 2. Peta stakeholder bentang alam yang memperlihatkan peran dan pengaruh setiap pihak terhadap bentang alam. Peta stakeholder ini merupakan hasil analisis lebih lanjut dari analisis kelembagaan. 3. Kelembagaan multipihak untuk konservasi bentang alam yang telah disetujui oleh setiap instansi atau lembaga dan disahkan oleh pimpinan daerah. Kelembagaan multipihak ini disertai dengan kelengkapan kelembagaan yang meliputi: struktur organisasi, tugas dan wewenang, unit-unit kerja atau gugus tugas, sistem manajemen, mekanisme hubungan dan koordinasi, standard operational procedure, kebutuhan dan pemenuhan fasilitas, dan lain-lain. Menara pengintai (viewing tower) setinggi sekitar 40 meter di salah satu titik ekowisata yang dibangun oleh Balai Besar KSDA Riau di Suaka Margasatwa Bukit Batu, Bentang Alam GSKBB, Riau, Februari 2014. (Foto: Dolly Priatna)
4. Rencana kerja Lembaga Multipihak dalam rangka pengelolaan program aksi proteksi dan restorasi serta program pendukung berdasarkan rencana konservasi bentang alam yang telah disahkan pada tahap sebelumnya. 5. KPH yang beroperasi dan unit-unit pengelolaan hutan berbasis masyarakat dalam bentuk Kelompok Masyarakat Hutan Kemasyarakatan, Hutan Desa dan Hutan Tanaman Rakyat.
157
158
BAB LIMA
5.2.3 Program Aksi Proteksi Luas indikatif wilayah kerja program aksi proteksi pada 10 bentang alam berdasarkan hasil analisis spasial adalah seluas 2 juta ha yang tersebar pada berbagai fungsi hutan. Angka luas tersebut dimungkinkan berubah setelah melalui proses pencermatan lebih mendalam pada saat penyusunan rencana konservasi bentang alam oleh POKJA pada masing-masing bentang alam.
5.2.3.1 Tujuan Spesifik Program aksi proteksi ditujukan untuk melindungi atau mempertahankan kondisi ekosistem yang relatif masih alami pada kawasan penting bentang alam dari ancaman kerusakan yang diakibatkan oleh kegiatan terencana dan tidak terencana.
5.2.3.2 Kegiatan Arah intervensi pada program aksi proteksi ditentukan kondisi yang dibentuk oleh kombinasi antara fungsi hutan dan kelembagaan pengelolaan di tingkat tapak, yaitu sebagai berikut: 1. Hutan konservasi ada pengelolanya dan aktif melakukan kegiatan-kegiatan perlindungan tingkat tapak. Intervensi program aksi proteksi pada kondisi ini diarahkan pada penyediaan dukungan atau bantuan teknis dan fasilitas untuk memperkuat pengelola kawasan dalam melaksanaan kegiatan-kegiatan perlindungan yang lebih intensif dan efektif. 2. Hutan konservasi ada pengelolanya tetapi kurang aktif atau lemah dalam melaksanakan kegiatan-kegiatan perlindungan di tingkat tapak. Intervensi program aksi proteksi pada kondisi ini diarahkan pada penguatan kelembagaan pengelola hutan konservasi yang bekerja di tingkat tapak atau yang disebut resort dan dukungan atau bantuan teknis dan fasilitas untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan perlindungan yang intensif dan efektif. 3. Hutan lindung ada pengelolanya yang aktif melakukan kegiatan perlindungan tingkat tapak. Intervensi program aksi proteksi pada kondisi ini diarahkan pada penyediaan dukungan atau bantuan teknis dan fasilitas untuk memperkuat pengelola hutan lindung dalam melaksanaan kegiatan-kegiatan perlindungan yang lebih intensif dan efektif.
4. Hutan lindung tidak ada pengelolanya di tingkat tapak. Intervensi program aksi proteksi pada kondisi ini diarahkan untuk mendorong pembentukan kelembagaan pengelolaan hutan lindung baik pada tingkat KPHL maupun unit-unit pengelolaan dalam skema perhutanan sosial yang dapat dilakukan pada kawasan hutan lindung, yaitu Hutan Desa dan Hutan Kemasyarakatan. 5. Hutan lindung ada pengelolanya tetapi kurang aktif atau lemah dalam melaksanakan kegiatan-kegiatan perlindungan di tingkat tapak. Intervensi program aksi proteksi pada kondisi ini diarahkan pada penguatan kelembagaan pengelola hutan lindung yang ada dan dukungan atau bantuan teknis dan fasilitas untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan perlindungan yang intensif dan efektif. 6. Hutan produksi dan hutan produksi terbatas tidak ada pengelolanya Intervensi program aksi proteksi pada kondisi ini diarahkan untuk mendorong pembentukan kelembagaan pengelolaan hutan produksi pada tingkat KPHP dan unitunit pengelolaan dalam skema perhutanan sosial yang dapat dilakukan pada kawasan hutan produksi, yaitu Hutan Desa dan Hutan Kemasyarakatan. Bentuk unit pengelolaan lainnya yang dapat didorong pada kondisi kawasan hutan ini adalah Restorasi Ekosistem melalui IUPHHK-RE. Pilihan intervensi lain pada kondisi hutan seperti ini adalah mendorong perubahan fungsi kawasan hutan dari hutan produksi menjadi hutan produksi terbatas atau hutan lindung dan hutan konservasi. 7. Hutan produksi konversi Intervensi program aksi proteksi pada hutan produksi yang dapat dikonversi dimulai dengan mendorong perubahan fungsi kawasan hutan dari hutan produksi yang dapat dikonversi menjadi hutan produksi terbatas atau hutan lindung atau hutan konservasi. Selanjutnya adalah mendorong pembentukan kelembagaan pengelolaan hutan pada tingkat KPHP dan unit-unit pengelolaan dalam skema yang disesuaikan dengan kerangka peraturan untuk hutan produksi atau hutan lindung atau hutan konservasi.
RENCANA INDUK PENGEMBANGAN KONSERVASI BENTANG ALAM SKALA BESAR DI SUMATERA DAN KALIMANTAN
Dari arahan-arahan intervensi tersebut maka kegiatan-kegiatan pada program aksi proteksi adalah sebagai berikut: a. Penyusunan rencana teknis program aksi proteksi pada tingkat bentang alam oleh gugus tugas proteksi bentang alam yang mencakup proteksi terhadap kawasan hutan, proteksi terhadap tanah hutan, proteksi terhadap kerusakan hutan, proteksi terhadap hasil-hasil hutan, dan proteksi terhadap keanekaragaman hayati hutan. b. Penyusunan rencana-rencana kegiatan yang tercantum dalam rencana teknis program aksi proteksi pada masingmasing tapak di dalam suatu bentang alam oleh masing-masing pemangku atau pengelola kawasan. c. Penyusunan modul-modul untuk setiap jenis kegiatan program aksi proteksi dan pedoman-pedoman praktis untuk pelaksanaan setiap kegiatan program aksi proteksi. d. Proteksi di tingkat tapak dilaksanakan pada seluruh wilayah kerja program aksi proteksi seluas 2 juta ha pada 10 bentang alam yang tersebar pada KSA/KPA seluas 1,1 juta hektar; Hutan Produksi seluas 597,5 ribu hektar; Hutan Lindung seluas 286,1 ribu hektar, dan pada APL seluas 19,5 hektar. Jenis-jenis kegiatan proteksi ditingkat tapak terdiri dari: i. Peningkatan kesadartahuan masyarakat melalui penyuluhan, kampanye, dan pendidikan lingkungan dan konservasi alam. ii. Pemberdayaan masyarakat melalui peningkatan askes masyarakat terhadap pengelolaan hutan dan peningkatan kapasitas masyarakat. iii. Penataan batas kawasan hutan secara partisipatif, sosialisasi batasbatas kawasan hutan, pemeliharaan dan pengamanan tanda-tanda batas kawasan hutan. iv. Pengamanan melalui penjagaan hutan.
patroli
dan
v. Tindakan penegakan hukum.
e. Advokasi kebijakan dan penguatan kelembagaan yang terdiri dari: i. Kegiatan dukungan untuk penetapan kawasan hutan yang dilakukan melalui tahapan pengukuhan kawasan hutan secara partisipatif pada wilayah kerja program aksi proteksi yang belum ditetapkan baik pada KSA/KPA maupun pada hutan produksi dan hutan lindung. ii. Kegiatan dukungan untuk percepatan terbentuknya kelembagaan hutan baik di tingkat KPH, unit manajemen hutan berbasis swasta berupa IUPHHK-RE, dan unit manajemen hutan berbasis masyarakat melalui skema HKm, HD, dan HTR. iii. Mendorong perubahan fungsi hutan produksi dikonversi pada wilayah kerja program aksi proteksi seluas 78.437 hektar yang tersebar di 9 bentang alam yaitu: Senepis seluas 2.989 hektar, GSKBB seluas 7.626 hektar, Kerumutan seluas 44.489 hektar, Kampar seluas 8.733 hektar, Bukit Tigapuluh seluas 3.186 hektar, Dangku Meranti seluas 692 hektar, Padang Sugihan seluas 7.630 hektar, Kubu seluas 1958 hektar, dan Kutai seluas 1.134 hektar menjadi hutan produksi terbatas atau hutan lindung atau hutan konservasi.
5.2.3.3 Lokasi Lokasi program aksi proteksi dilakukan pada wilayah kerja program aksi proteksi seluas 2 juta hektar. Program aksi proteksi juga dilakukan pada wilayah kerja program aksi restorasi untuk mendukung terselenggaranya kegiatan-kegiatan restorasi.
5.2.3.4 Keluaran Hasil akhir dari program aksi proteksi adalah terpeliharanya kondisi ekosistem alami yang masih baik seluas 2 juta hektar pada 10 bentang alam yang dicirikan dengan munculnya keluaran-keluaran sebagai berikut:
pengendalian
1. Dokumen rencana teknis program aksi proteksi sebagai pedoman kerja gugus tugas proteksi bentang alam.
vii. Pengelolaan konflik manusia dan satwa liar melalui pembentukan unit-unit tanggap untuk penanganan kejadian konflik satwa-manusia (wildlife conflict respon unit).
2. Dokumen-dokumen rencana kegiatan proteksi pada setiap tapak yang akan menjadi pedoman teknis tahapan pelaksanaan kegiatan proteksi di tingkat
vi. Pencegahan dan kebakaran hutan.
159
160
BAB LIMA
tapak oleh para eksekutor pengelolaan hutan di tingkat tapak. 3. Modul-modul untuk pelatihan dan pedomanpedoman praktis setiap jenis kegiatan proteksi untuk pelaksanaan kegiatan di tingkat tapak. 4. Dokumen-dokumen penetapan kawasan hutan pada seluruh wilayah kerja program proteksi seluas 1,98 juta hektar melalui proses partisipatif. 5. Unit patroli pengamanan hutan partisipatif yang bekerja secara regular dan efektif. 6. Unit pengendalian kebakaran hutan partisipatif yang bekerja secara efektif. 7. Unit pengelolaan konflik satwa liar partisipatif yang bekerja secara efektif. 8. Penuntutan dan vonis pengadilan terhadap kasus-kasus perambahan, penebangan liar, perambahan dan kegiatan-kegiatan illegal lainnya. 9. Dokumen usulan dari daerah dan atau keputusan Menteri LHK mengenai perubahan status hutan produksi konversi seluas 78.437 hektar menjadi hutan produksi, hutan produksi tetap, hutan lindung, dan atau hutan konservasi . 10. Keputusan Menteri LHK untuk Ijin Usaha Pemanfataan Hutan Kemasyarakatan dan Hutan Tanaman Rakyat, serta Hak Pengusahaan Hutan Desa dari Gubernur.
5.2.4 Program Aksi Restorasi Luas indikatif wilayah kerja program aksi restorasi pada 10 bentang alam berdasarkan hasil analisis spasial adalah seluas 320,9 ribu hektar yang tersebar pada berbagai fungsi hutan. Angka luas tersebut akan diverifikasi melalui proses pencermatan lebih mendalam pada saat penyusunan konservasi bentang alam oleh POKJA pada masing-masing bentang alam.
5.2.4.1 Tujuan Spesifik Program aksi restorasi ditujukan untuk memulihkan struktur dan fungsi ekosistem yang telah terlanjur rusak seluas 320,9 ribu hektar pada kawasan penting bentang alam yang tersebar di 10 bentang alam.
5.2.4.2 Kegiatan Arah intervensi program aksi restorasi ditentukan oleh tujuan konservasi bentang
alam pada masing-masing bentang alam, tingkat kerusakan ekosistem, dan jenis lahan hektarn. Tujuan konservasi bentang alam telah disepakati yaitu untuk melestarikan satwa-satwa kharismatik pada masing-masing bentang alam, sehingga kondisi ekosistem hutan yang akan dibangun harus merupakan kondisi ekosistem yang sesuai (ekosistem referensi) untuk tempat hidup satwa-satwa kharismatik yang telah ditetapkan untuk masing-masing bentang alam. Tingkat kerusakan ekosistem menentukan jenis perlakuan, misalnya penanaman secara masif, pengkayaan (enrichment), percepatan regenerasi alami (accelerated natural regeneration/ANR), dan lain-lain). Sementara jenis lahan terdiri dari lahan organik atau gambut dan lahan anorganik atau mineral akan menentukan teknik perlakuan pada bidang lahan atau tanahnya. 1. Penyusunan rencana teknis program aksi restorasi pada tingkat bentang alam oleh gugus tugas restorasi bentang alam. Rencana teknis program aksi paling kurang memuat gambaran umum lokasi-lokasi yang menjadi wilayah kerja program aksi restorasi pada suatu bentang alam, jenis-jenis kegiatan restorasi berdasarkan karakter kondisi masing-masing lokasi (tingkat kerusakan, jenis lahan atau tanah, kondisi sosekbud, dll). 2. Penyusunan rencana kegiatan restorasi pada masing-masing tapak di dalam suatu bentang alam oleh masing-masing pemangku atau pengelola kawasan. Rencana kegiatan memuat paling tidak: tujuan restorasi, kondisi tapak pada lokasi restorasi dan sejarah kerusakan hutan, ekosistem referensi, kondisi sosekbud, rancangan kegiatan restorasi sesuai tujuan dan kondisi aktual tapak serta soseksbud, kelembagaan restorasi yang memasukan peran masyarakat, rancangan biaya, dan pemantauan evaluasi. 3. Penyusunan modul-modul pelatihan program aksi restorasi dan pedomanpedoman praktis untuk pelaksanaan setiap jenis kegiatan pada program aksi restorasi oleh pelaksana (executor) di tingkat tapak. 4. Pelaksanaan kegiatan restorasi pada kawasan hutan produksi oleh pelaksana (wilayah tertentu oleh KPH, kelompok masyarakat, dll) merujuk pada rencana kegiatan yang telah disusun.
RENCANA INDUK PENGEMBANGAN KONSERVASI BENTANG ALAM SKALA BESAR DI SUMATERA DAN KALIMANTAN
5. Pelaksanaan kegiatan restorasi di KSA/KPA oleh Balai Konservasi Sumberdaya Alam atau Balai Taman Nasional yang melibatkan masyarakat.
5.2.4.3 Lokasi Lokasi-lokasi kegiatan pada program aksi restorasi seluas 320,9 ribu hektar yang tersebar pada 10 bentang alam. Total luas tersebut dapat berubah setelah dilakukan penilaian lebih mendalam pada saat penyusunan rencana konservasi bentang alam dan rencana kegiatan pada setiap lokasi di dalam suatu bentang alam.
5.2.4.4 Keluaran Keluaran akhir dari program aksi restorasi adalah terpulihkannya struktur dan fungsi ekosistem seluas 320,9 hektar pada 10 bentang alam. Sementara keluaran-keluaran antara yang diharapkan dari program ini adalah sebagai berikut: 1. Dokumen rencana teknis program aksi restorasi sebagai pedoman kerja gugus tugas restorasi bentang alam. 2. Dokumen-dokumen rencana kegiatan restorasi pada setiap tapak yang akan menjadi pedoman teknis tahapan pelaksanaan kegiatan restorasi di tingkat tapak oleh para eksekutor pengelolaan hutan di tingkat tapak. 3. Modul-modul untuk pelatihan kegiatan restorasi dan pedoman-pedoman praktis untuk pelaksanaan kegiatan di tingkat tapak sesuai dengan kondisi biofisiknya. 4. Dokumen-dokumen laporan pelaksanaan kegiatan-kegiatan pada program aksi proteksi yang dikoordinasikan oleh Gugus Tugas Restorasi Bentang alam. Kegiatan percontohan untuk melakukan restorasi habitat orangutan dan bekantan di tampilkan pada Lampiran 9. Kegiatan ini difokuskan untuk menghubungkan populasi orangutan dan bekantan serta keanekaragaman hayati lainnya antara TN Kutai, konsesi HTI dan perkebunan, dengan CA Muara Kaman Sedulang. Koneksi tersebut dibangun sepanjang koridor Sungai Menamangkanan, Sungai Santan, dan Sungai Ngajau. Kegiatan ini akan mencakup luasan sekitar 316 hektar.
5.3 PROGRAM PENDUKUNG
Program pendukung pada Rencana Induk konservasi bentang alam ini merupakan program-program yang terkait dengan pelaksanaan proteksi dan restorasi dengan tujuan untuk meningkatkan peluang keberhasilan program aksi proteksi dan restorasi. Berdasarkan hasil diskusi dengan berbagai pihak di tingkat bentang alam dapat disimpulkan jenis-jenis program pendukung yang sangat dibutuhkan, yaitu: program pengembangan kapasitas, pemberdayaan masyarakat, pendidikan lingkungan dan konservasi alam, dan asistensi teknis dan pemantauan pengelolaan KPL yang berada di dalam area konsesi hutan.
5.3.1 Program Pengembangan Kapasitas 5.3.1.1 Tujuan Spesifik Terdapat dua tujuan utama dalam program pengembangan kapasitas untuk konservasi bentang alam, yaitu sebagai berikut: 1. Mengetahui dan menyepakati kebutuhan kapasitas dan agenda pengembangan kapasitas atau rencana pengembangan kapasitas pada setiap tingkatan guna memenuhi terselenggaranya program aksi proteksi dan restorasi di setiap bentang alam sesuai dengan rencana konservasi bentang alam, rencana teknis setiap program aksi, dan rencana-rencana kegiatan yang teruang dalam rencana teknis program aksi. 2. Melakukan penguatan kapasitas pada tingkat sistem, lembaga, dan individu berdasarkan rencana pengembangan kapasitas yang telah disetujui dan ditetapkan bersama.
5.3.1.2 Kegiatan Program pengembangan kapasitas pada konservasi bentang alam adalah sebagai berikut: 1. Penyusunan rencana teknis program pengembangan kapasitas pada tingkat sistem, lembaga dan individu di masingmasing bentang alam merujuk pada rencana konservasi bentang alam, dan rencana teknis program aksi proteksi dan restorasi. Rencana teknis pengembangan kapasitas disusun oleh Gugus Tugas Program Pengembangan Kapasitas. Pada proses penyusunan rencana teknis pengembangan kapasitas ini dilakukan penilaian kebutuhan
161
162
BAB LIMA
kapasitas sesuai dengan rencana-rencana kegiatan proteksi dan restorasi yang telah ditetapkan. Penilaian kapasitas dilakukan melalui: a. Lokakarya eksplorasi dalam rangka penilaian kebutuhan peraturan dan kebijakan yang lebih mendukung upaya proteksi KPL yang masih dalam kondisi baik dan restorasi KPL yang telah terlanjur rusak; b. Lokakarya eksplorasi dalam rangka penilaian kebutuhan penguatan kelembagaan dan sumberdaya manusia untuk penyelenggaraan perlindungan ekosistem yang masih dalam kondisi baik dan pemulihan ekosistem yang telah terlanjur rusak pada KPL di setiap bentang alam; c. Lokakarya eksplorasi dalam rangka penyusunan rencana aksi pengembangan kapasitas di tingkat sistem, lembaga, dan individu dalam rangka mendukung upaya perlindungan dan pemulihan di KPL pada setiap bentang alam. 2. Penyusunan rencana-rencana setiap kegiatan dalam program pengembangan kapasitas sesuai dengan rencana teknis program yang telah ditetapkan.
3. Pelaksanaan pengembangan kapasitas melalui kegiatan-kegiatan sebagai berikut: a. Pelaksanaan rencana-rencana kegiatan pada tingkat sistem dalam rangka penguatan kebijakan dan peraturan untuk memperkuat legal basis konservasi bentang alam melalui program proteksi dan restorasi pada setiap bentang alam. b. Pelaksanaan rencana-rencana kegiatan pada tingkat lembaga dalam rangka penguatan kapasitas kelembagaan pada setiap lembaga eksekutor kegiatan restorasi dan proteksi sesuai dengan tugas dan fungsinya.
5.3.1.3 Lokasi Program pengembangan kapasitas perlu dilakukan di semua bentang alam yang terintegrasi pada seluruh komponen program konservasi bentang alam.
5.3.1.4 Keluaran 1. Rencana teknis program pengembangan kapasitas yang disusun berdasarkan rencana konservasi bentang alam. Rencana teknis program pengembangan kapasitas ini disusun oleh gugus tugas program pengembangan kapasitas.
Menyusuri Sungai Bukit Batu di Suaka Margasatwa Bukit Batu sebagai salah satu bentuk kegiatan ekowisata di Bentang alam GSKBB, Riau, Februari 2014. (Foto: Dolly Priatna)
RENCANA INDUK PENGEMBANGAN KONSERVASI BENTANG ALAM SKALA BESAR DI SUMATERA DAN KALIMANTAN
2. Rencana-rencana kegiatan untuk seluruh kegiatan yang tercantum dalam rencana teknis program pengembangan kapasitas yang telah ditetapkan. 3. Kondisi aktual peraturan dan kebijakan, kesenjangan peraturan dan kebijakan, dan rekomendasi penguatan peraturan dan kebijakan yang lebih mendukung penyelenggaraan program proteksi dan restorasi pada setiap bentang alam. 4. Kondisi aktual kelmbagaan, kesenjangan aspek kelembagaan dan rekomendasi penguatan kelembagaan yang lebih mampu melaksanakan kegiatan-kegiatan dalam program proteksi dan restorasi pada setiap bentang alam. 5. Rencana aksi pengembangan kapasitas di tingkat sistem (peraturan dan kebijakan) dan kelembagaan untuk mendukung program proteksi dan restorasi pada setiap bentang alam. 6. Rencana aksi pelatihan dan pendidikan dalam rangka peningkatan kapasitas individu. 7. Kebijakan, rencana, program dan kegiatan pada setiap institusi pemangku kepentingan yang mendukung program konservasi bentang alam. 8. Lembaga multipihak untuk konservasi bentang alam yang mampu berperan secara efektif dalam melakukan koordinasi antarinstansi atau lembaga, sinkronisasi perencanaan dan mengoptimalkan kinerja instansi dalam penyelenggaraan program konservasi bentang alam. 9. Unit kerja pada lembaga pelaksana kegiatan restorasi dan proteksi yang mampu bekerja optimal dalam melaksanakan kegiatan restorasi dan proteksi. 10. Kesatuan pengelolaan hutan yang beroperasi dalam penyelenggaraan pengelolaan hutan di tingkat tapak dan mendukung program konservasi bentang alam. 11. Unit-unit pengelolaan hutan berbasis masyarakat dalam skema Hutan Kemasyarakatan, Hutan Desa, dan Hutan Tanaman Rakyat yang mampu bekerja secara efektif dan mendukung program konservasi bentang alam.
5.3.2 Program Pemberdayaan Masyarakat 5.3.2.1 Tujuan Spesifik
Tujuan program pemberdayaan masyarakat berdasarkan model-model pemberdayaan yang diajukan adalah meningkatkan keterlibatan masyarakat dalam penyelenggaraan program aksi proteksi dan restorasi yang sejalan dengan peningkatan kesejahteraan dari pengelolaan hutan dan sumberdaya alam lokal lainnya secara berkelanjutan.
5.3.2.2 Kegiatan Kegiatan-kegiatan dalam pemberdayaan masyarakat secara langsung diarahkan untuk mencapai tujuan-tujuan pemberdayaan masyarakat dalam program konservasi bentang alam, yaitu sebagai berikut: 1. Penyusunan rencana teknis program pemberdayaan masyarakat pada tingkat bentang alam oleh gugus tugas pemberdayaan masyarakat. 2. Penyusunan rencana-rencana kegiatan pemberdayaan masyarakat untuk masingmasing model pemberdayaan oleh masingmasing pemangku atau pengelola kawasan. 3. Penyusunan modul-modul pelatihan untuk program pemberdayaan masyarakat dan pedoman-pedoman praktis untuk pelaksanaan kegiatan-kegiatan pada program pemberdayaan masyarakat. 4. Membangun atau merevitalisasi sistem proteksi hutan berbasis masyarakat, di antaranya adalah: a. Pengamanan hutan berbasis masyarakat, dilakukan melalui rekruitmen tenaga pengamaman hutan dari warga masyarakat sekitar hutan, membentuk kelembagaan informal masyarakat untuk pengaman hutan hutan (PAM Swakarsa), dan membangun sistem patroli hutan berbasis masyarakat (community patrol unit). b. Pengendalian kebakaran hutan berbasis masyarakat, dilakukan melalui rekruitmen tenaga pengendalian kebakaran hutan dari warga masyarakat sekitar hutan dan membentuk kelembagaan informal masyarakat untuk pengendalian kebakaran hutan seperti Masyarakat Peduli Api (MPA). 5. Mengembangkan berbagai bentuk kegiatan usaha yang secara langsung meningkatkan atau menambah pendapatan masyarakat.
163
164
BAB LIMA
6. Melakukan fasilitasi dan pendamingan terhadap masyarakat dalam pengajuan permohonan dan pelaksanaan pengelolaan hutan dalam skema Hutan Kemasyarakatan, Hutan Desa dan Hutan Tanaman Rakyat. 7. Meningkatkan nilai guna sumberdaya lokal dan penggunaan teknologi tepat guna untuk mendukung kegiatan ekonomi produktif masyarakat (composting, dll) dan pemenuhan sumber energi alternatif ramah lingkungan (biogas, mikrohidro, pikohidro, dll).
5.3.2.3 Lokasi Lokasi kegiatan-kegiatan pemberdayaan masyarakat dilakukan pada seluruh desa yang bertampalan atau bersinggungan dengan lokasi-lokasi kegiatan proteksi dan restorasi.
Di dalam Lampiran 9, disampaikan dua kegiatan percontohan, yaitu Pusat Arena Pembelajaran (Learning Center) dan pengembangan Pengusahaan Hutan Berbasis Masyarakat. Pusat Pembelajaran ini akan mencakup isu-isu tematik yang disampaikan pada program pemberdayaan masyarakat dan pendidikan lingkungan.
5.3.3 Program Pendidikan Lingkungan Hidup dan Konservasi Alam 5.3.3.1 Tujuan Spesifik
5.3.2.4 Keluaran 1. Dokumen rencana teknis program pemberdayaan masyarakat pada tingkat bentang alam yang telah disahkan. 2. Dokumen-dokumen rencana kegiatan pemberdayaan masyarakat untuk masingmasing model pemberdayaan oleh masingmasing pemangku atau pengelola kawasan. 3. Modul-modul pelatihan untuk program pemberdayaan masyarakat dan pedomanpedoman praktis untuk pelaksanaan kegiatan-kegiatan pada program pemberdayaan masyarakat. 4. Tenaga pengamanan hutan yang berasal dari warga masyarakat sekitar hutan. 5. Lembaga informal masyarakat untuk pengaman hutan (PAM Swakarsa) yang efektif bekerja. 6. Laporan-laporan kegiatan patrol pengamanan hutan oleh masyarakat.
rutin
7. Tenaga pengendalian kebakaran hutan yang berasal dari warga masyarakat sekitar hutan. 8. Lembaga informal masyarakat untuk pengendalian kebakaran hutan (Masyarakat Peduli Api) yang efektif bekerja. 9. Berbagai bentuk kegiatan usaha yang secara langsung meningkatkan atau menambah pendapatan masyarakat. 10. Usulan permohonan dan ijin Hutan Kemasyarakatan, Hutan Desa dan Hutan Tanaman Rakyat. 11. Berbagai bentuk kegiatan sumberdaya lokal dan
teknologi tepat guna untuk mendukung kegiatan ekonomi produktif masyarakat (composting, dll) dan pemenuhan sumber energi alternatif ramah lingkungan (biogas, mikrohidro, pikohidro, dll).
penggunaan penggunaan
Tujuan program pendidikan lingkungan dan konservasi alam dalam program besar konservasi bentang alam ini adalah mengembangkan sistem pendidikan lingkungan dan konservasi yang efektif.
5.3.3.2 Kegiatan Untuk mencapai tujuan di atas, beberapa program yang perlu dilakukan, agar informasi, pengetahuan itu diterima oleh beberapa lapisan masyarakat adalah sebagai berikut: 1. Penyusunan rencana teknis program pendidikan lingkungan dan konservasi alam pada tingkat bentang alam oleh gugus tugas pendidikan lingkungan dan konservasi alam. 2. Melakukan studi penilaian atau inventarisasi isu-isu lingkungan dan konservasi alam pada setiap KPL yang menjadi lokasi program proteksi dan restorasi. 3. Melakukan studi sosial-budaya masyarakat untuk menemukan dan mengetahui budaya kelompok sasaran program pendidikan lingkungan dan konservasi alam. 4. Penyusunan rencana-rencana kegiatan mobile campaign, mobile liberary, dan school visit. 5. Menyusun material (buku, modul, dll) dan menentukan media pendidikan lingkungan dan konservasi alam yang sesuai isu-isu lingkungan dan konservasi alam yang terjadi di masing-masing lokasi, profil kelompok sasaran dan karakteristik sosial budanya.
RENCANA INDUK PENGEMBANGAN KONSERVASI BENTANG ALAM SKALA BESAR DI SUMATERA DAN KALIMANTAN
6. Membangun koordinasi dan kerjasama dengan BKSDA atau BBKSDA dan BLHD dalam rangka membangun pusat pendidikan lingkungan dan konservasi alam terpadu. 7. Pembentukan kelembagaan pusat pendidikan lingkungan dan konservasi alam terpadu yang melibatkan BKSDA atau BBKSDA dan BLHD serta kelompok peduli lingkungan dan konservasi yang relevan. 8. Pelatihan terhadap seluruh personil mobile campaign unit, mobile library dan school visit yang melibatkan BKSDA atau BBKSDA dan BLHD serta kelompok peduli lindkungan. 9. Melakukan kegiatan pendidikan lingkungan dan konservasi alam melalui mobile campaign unit, mobile library dan school visit.
5.3.3.3 Lokasi Lokasi-lokasi kegiatan untuk program pendidikan lingkungan dan konservasi alam adalah daerah-daerah disekitar kawasan penting bentang alam. Sementara kelompok sasarannya akan dinilai lebih lanjut dan menjadi bagian kegiatan dalam program pendidikan lingkungan dan konservasi alam.
7. Kelembagaan program mobile campaign unit, mobile library dan school visit yang melibatkan BKSDA atau BBKSDA dan BLHD serta kelompok peduli lingkungan dan konservasi yang relevan. 8. Personil terlatih untuk operasinalisasi mobile campaign unit, mobile library dan school visit yang terdiri dari staff BKSDA atau BBKSDA dan BLHD serta kelompok peduli lingkungan. 9. Kegiatan pendidikan lingkungan dan konservasi alam melalui mobile campaign unit, mobile library dan school visit berjalan. 10. Pusat Pendidikan Lingkungan dan Konservasi alam beroperasi di setiap bentang alam.
5.3.4 Program Pemantauan dan Asistensi Teknis 5.3.4.1 Tujuan Spesifik Mendukung dan memantau pelaksanaan perlindungan kawasan-kawasan bernilai konservasi tinggi di dalam areal konsesi hutan baik hutan alam maupun hutan tanaman.
5.3.4.2 Kegiatan 5.3.3.4 Keluaran 1. Dokumen rencana teknis program pendidikan lingkungan dan konservasi alam yang telah disahkan. 2. Dokumen-dokumen rencana kegiatan mobile campaign unit, mobile library dan school visit. 3. Profil isu lingkungan dan konservasi alam pada setiap KPL yang menjadi lokasi program proteksi dan restorasi di 10 bentang alam. 4. Profil kelompok sasaran dan kareteristik sosial budaya pada setiap KPL yang menjadi lokasi program proteksi dan restorasi di 10 bentang alam. 5. Meterial dan media pendidikan lingkungan dan konservasi alam yang sesuai dengan isu-isu lingkungan dan konservasi alam yang terjadi di masing-masing lokasi, profil kelompok sasaran dan karakteristik sosial budaya 6. Kerjasama pengembangan mobile campaign unit, mobile library dan school visit dengan BKSDA atau BBKSDA dan BLHD dalam rangka membangun mobile campaign unit, mobile library dan school visit.
Kegiatan-kegiatan dalam program asistensi teknis dan monitoring ini adalah sebagai berikut: 1. Penyusunan teknis program bantuan teknis dan pemantauan pengelolaan KPL pada areal konsesi hutan oleh lembaga multipihak untuk konservasi bentang alam. 2. Penyusunan rencana kegiatan bantuan teknis dan pemantauan pengelolaan KPL pada areal konsesi hutan oleh lembaga multipihak untuk konservasi bentang alam. 3. Penyusunan modul-modul pelatihan dan pedoman teknis pelaksanaan penilaian, perencanaan dan pemantauan pengelolaan KPL pada areal konsesi hutan. 4. Memberikan bantuan teknis terhadap unitunit manajemen hutan tanaman dan hutan hutan alam dalam proses penilaian dan perencanaan untuk penerapan instrumeninstrumen kelestarian pengelolaan hutan lestari baik yang bersifat voluntary maupun mandatory. 5. Melakukan pemantauan terhadap pelaksanaan rencana kerja instrumeninstrumen kelestarian pengelolaan hutan baik yang mandatory maupun voluntary.
165
166 5.3.4.3 Lokasi Kegiatan-kegiatan dalam program asistensi teknis dan pemantauan ini dilaksanakan pada areal konsesi hutan.
5.3.4.4 Keluaran 1. Dokumen rencana teknis program bantuan teknis dan pemantauan pengelolaan KPL pada areal konsesi hutan produksi. 2. Dokumen-dokumen rencana kegiatan dalam program bantuan teknis dan pemantauan pengelolaan KPL pada areal konsesi hutan produksi. 3. Modul-modul pelatihan dan pedoman teknis pelaksanaan penilaian, perencanaan, dan pemantauan pengelolaan KPL pada areal konsesi hutan produksi. 4. Dokumen-dokumen laporan kegiatan bantuan teknis penilaian dan perencanaan untuk penerapan instrumen-instrumen kelestarian pengelolaan hutan lestari baik yang bersifat voluntary maupun mandatory. 5. Dokumen-dokumen laporan kegiatan pemantauan terhadap pelaksanaan rencana kerja intrument-intrument kelestarian pengelolaan hutan baik yang mandatory maupun voluntary.
Titan arum atau lebih umum dikenal sebagai bunga bangkai raksasa (Amorphophallus titanum) yang tingginya mencapai 2,5 m telah menjadikannya sebagai bunga tertinggi di dunia dan hanya dapat ditemukan (endemik) di hutan hujan tropis Sumatera. Diabadikan pada tahun 1997 di salah satu sudut hutan dataran rendah Sumatera. (Foto: Dolly Priatna)
RENCANA INDUK PENGEMBANGAN KONSERVASI BENTANG ALAM SKALA BESAR DI SUMATERA DAN KALIMANTAN
Tabel V-1. Matrik Program, Tujuan, Kegiatan, dan Keluaran dari konservasi bentang alam
NO
PROGRAM
A.
Program Strategis
1.
Program Pembangunan Konsensus
TUJUAN
KEGIATAN
KELUARAN
Untuk mendapatkan kesepakatan mengenai wilayah kerja konservasi bentang alam, kelompok kerja konservasi bentang alam, rencana konservasi bentang alam dan komitmen pengarusutamaannya ke dalam rencana-rencana kerja setiap instansi/ lembaga baik dari unsur pemerintah maupun nonpemerintah
Kegiatan pertemuan multipihak di tingkat bentang alam yang memiliki peran dan pengaruh terhadap bentang alam baik dari unsur pemerintah maupun nonpemerintah untuk membangun kesepahaman dan kesepakatan.
Dokumen kesepahaman dan kesepakatan konservasi bentang alam paling kurang memuat wilayah kerja konservasi bentang alam, arahan fungsi lahan di dalam kawasan penting lanskap, arahan program kerja pada masing-masing fungsi lahan, dan komitmen para pihak untuk penyelenggaraan konservasi bentang alam yang disahkan oleh unsur pimpinan daerah di tingkat bentang alam.
Kegiatan pertemuan multipihak untuk membentuk dan menetapkan POKJA konservasi bentang alam yang memiliki legitimasi dan legalitas yang memadai.
Kelompok kerja konservasi bentang alam di setiap bentang alam, yang beranggotakan perwakilan dari Badan Perencanaan Pembangunan Daerah, Dinas Kehutanan, Badan Lingkungan Hidup Daerah, Unit Pelaksana Teknis Kementerian LHK, Kesatuan Pengelolaan Hutan, lembaga atau forum multipihak yang telah ada sebelumnya, Perusahaan Pemegang Ijin Usaha Kehutanan, NGOs, perguruan tinggi, komunitas masyarakat yang berpotensi terkena dampak konservasi bentang alam, dan unsur-unsur lain yang dianggap memiliki peran dan pengaruh terhadap bentang alam.
Penyusunan rencana kerja POKJA dalam rangka penyusunan rencana konservasi bentang alam.
Dokumen Rencana kerja POKJA konservasi bentang alam yang memuat rencana kegiatan koordinasi para pihak sesuai dengan dokumen kesepakatan, penyusunan rencana konservasi bentang alam, pengesahan rencana konservasi bentang alam, pengarusutamaan konservasi bentang alam.
Penyusunan rencana konservasi bentang alam pada tingkat bentang alam oleh POKJA konservasi bentang alam.
Rencana konservasi bentang alam yang disusun oleh POKJA, disetujui oleh seluruh pimpinan lembaga yang terlibat dalam POKJA, dan disahkan oleh pimpinan daerah. Rencana konservasi bentang alam minimal memuat profil bentang alam dan kawasan penting bentang alam, permasalahan, arahan fungsi lahan dan program kerja pada kawasan penting bentang alam, tahapan dan tata waktu program konservasi bentang alam, kelembagaan konservasi bentang alam, rancangan kebutuhan anggaran dan sistem pendanaan, dan skema pemantauan kinerja.
167
168
BAB LIMA
NO A.
PROGRAM
TUJUAN
KEGIATAN
KELUARAN
Program Strategis Konsultasi publik rancangan rencana konservasi bentang alam dan pengesahan rencana konservasi bentang alam.
Inisiasi pengarusutamaan rencana konservasi bentang alam ke dalam rencana-rencana strategis dan rencana-rencana kerja instansi pemerintah dan nonpemerintah
Pengarusutamaan rencana konservasi bentang alam ke dalam perencanaan pembangunan daerah, rencana strategis dan rencana kerja setiap instansi atau lembaga yang terkait dengan konservasi bentang alam baik dari unsur pemerintah maupun nonpemerintah. 2.
Program Pembangunan/ Pengembangan Kelembagaan
Membangun kelembagaan multipihak untuk konservasi bentang alam yang memiliki legitimasi atau mandat yang memadai dari para pihak serta mampu bekerja secara intensif dan efektif dalam melakukan sinkronisasi perencanaan dan optimalisasi kinerja setiap instansi/lembaga untuk konservasi bentang alam sesuai dengan tugas dan fungsinya masing-masing
Analisis kelembagaan untuk mengidentifikasi lembaga-lembaga sektoral dan non sektoral dari unsur pemerintah dan nonpemerintah yang terkait dengan bentang alam berdasarkan tugas dan wewenangnya masingmasing.
Database lembaga-lembaga sektoral dan non sektoral dari unsur pemerintah dan nonpemerintah yang terkait dengan bentang alam dengan atribut-atributnya meliputi tugas dan kewenangan setiap instansi atau lembaga.
Analisis stakeholder dan memetakan stakeholder bentang alam berdasarkan peran dan pengaruhnya terhadap bentang alam.
Peta stakeholder bentang alam yang memperlihatkan peran dan pengaruh setiap pihak terhadap bentang alam. Peta stakeholder ini merupakan hasil analisis lebih lanjut dari analisis kelembagaan.
Pertemuan multipihak untuk membahas dan menyepakati konsep kelembagaan yang telah tertuang dalam rencana konservasi bentang alam.
Kelembagaan multipihak untuk konservasi bentang alam yang telah disetujui oleh setiap instansi atau lembaga dan disahkan oleh pimpinan daerah. Kelembagaan multipihak ini disertai dengan kelengkapan kelembagaan yang meliputi: struktur organisasi, tugas dan wewenang, unit-unit kerja atau gugus tugas, sistem manajemen, mekanisme hubungan dan koordinasi, standard operational procedure, kebutuhan dan pemenuhan fasilitas, dan lain-lain.
Pertemuan multipihak untuk menyusun kelengkapan kelembagaan multipihak Pertemuan multipihak untuk menetapkan dan mengesahkan kelembagaan multipihak untuk konservasi bentang alam.
3.
Program Aksi Proteksi
Melindungi atau mempertahankan kondisi ekosistem yang relatif masih alami pada kawasan penting bentang alam dari ancaman kerusakan yang diakibatkan oleh kegiatan terencana maupun tidak terencana
Penyusunan rencana teknis program aksi proteksi pada tingkat bentang alam oleh gugus tugas proteksi bentang alam
Dokumen rencana teknis program aksi proteksi sebagai pedoman kerja gugus tugas proteksi bentang alam minimal memuat proteksi terhadap kawasan hutan, proteksi terhadap kerusakan hutan, proteksi terhadap hasil-hasil hutan, dan proteksi terhadap keanekaragaman hayati hutan.
RENCANA INDUK PENGEMBANGAN KONSERVASI BENTANG ALAM SKALA BESAR DI SUMATERA DAN KALIMANTAN
NO A.
PROGRAM
TUJUAN
KEGIATAN
KELUARAN
Penyusunan rencana-rencana kegiatan yang tercantum dalam rencana teknis program aksi proteksi pada masingmasing tapak .
Dokumen-dokumen rencana kegiatan proteksi pada setiap tapak yang akan menjadi pedoman teknis tahapan pelaksanaan kegiatan proteksi di tingkat tapak oleh para eksekutor pengelolaan hutan di tingkat tapak.
Penyusunan modul-modul untuk setiap jenis kegiatan program aksi proteksi dan pedoman-pedoman praktis untuk pelaksanaan setiap kegiatan program aksi proteksi.
Modul-modul untuk pelatihan dan pedoman-pedoman praktis setiap jenis kegiatan proteksi untuk pelaksanaan kegiatan di tingkat tapak.
Proteksi di tingkat tapak dilaksanakan pada seluruh wilayah kerja program aksi proteksi
Dokumen-dokumen pengukuhan kawasan hutan pada seluruh wilayah kerja program proteksi seluas 2 juta hektar pada 10 bentang alam yang tersebar pada KSA/KPA seluas 1,1 juta hektar; Hutan Produksi seluas 597,5 ribu hektar; Hutan Lindung seluas 286,1 ribu hektar, dan pada APL seluas 19,5 hektar.
Program Strategis
Unit patroli pengamanan hutan partisipatif yang bekerja secara regular dan efektif.
Unit pengendalian kebakaran hutan partisipatif yang bekerja secara efektif.
Unit pengelolaan konflik satwa liar partisipatif yang bekerja secara efektif.
Penuntutan dan vonis pengadilan terhadap kasus-kasus perambahan, penebangan liar, perambahan dan kegiatan-kegiatan illegal lainnya. Advokasi kebijakan dan pembentukan/penguatan kelembagaan pengelolaan di tingkat tapak
Dokumen usulan dari daerah dan atau keputusan Menteri LHK mengenai perubahan fungsi hutan produksi konversi seluas 78.437 hektar menjadi hutan produksi, hutan produksi tetap, hutan lindung, dan atau hutan konservasi . SK Menteri LHK mengenai perubahan fungsi utan produksi konversi seluas 78.437 hektar menjadi hutan produksi, hutan produksi tetap, hutan lindung, dan atau hutan konservasi
169
170
BAB LIMA
NO A.
PROGRAM
TUJUAN
KEGIATAN
KELUARAN
Program Strategis Keputusan Menteri LHK untuk Ijin Usaha Pemanfataan Hutan Kemasyarakatan dan Hutan Tanaman Rakyat, serta Hak Pengusahaan Hutan Desa dari Gubernur.
4.
Program Aksi Restorasi
Penyusunan rencana teknis program aksi restorasi pada tingkat bentang alam oleh gugus tugas restorasi bentang alam.
Penyusunan rencana teknis program aksi proteksi pada tingkat bentang alam oleh gugus tugas proteksi bentang alam
Dokumen rencana teknis program aksi restorasi sebagai pedoman kerja gugus tugas restorasi bentang alam yang memuat paling kurang memuat gambaran umum lokasilokasi yang menjadi wilayah kerja program aksi restorasi pada suatu bentang alam, jenis-jenis kegiatan restorasi berdasarkan karakter kondisi masing-masing lokasi (tingkat kerusakan, jenis lahan atau tanah, kondisi sosekbud, dll).
Penyusunan rencana kegiatan restorasi pada masing-masing tapak di dalam suatu bentang alam oleh masing-masing pemangku atau pengelola kawasan.
Dokumen-dokumen rencana kegiatan restorasi pada setiap tapak yang akan menjadi pedoman teknis tahapan pelaksanaan kegiatan restorasi di tingkat tapak. Rencana kegiatan memuat paling tidak: tujuan restorasi, kondisi tapak pada lokasi restorasi dan sejarah kerusakan hutan, ekosistem referensi, kondisi sosekbud, rancangan kegiatan restorasi sesuai tujuan dan kondisi aktual tapak serta soseksbud, kelembagaan restorasi yang memasukan peran masyarakat, rancangan biaya, dan pemantauan evaluasi.
Penyusunan modul-modul pelatihan program aksi restorasi dan pedomanpedoman praktis untuk pelaksanaan setiap jenis kegiatan pada program aksi restorasi di tingkat tapak.
Modul-modul untuk pelatihan kegiatan restorasi dan pedomanpedoman praktis untuk pelaksanaan kegiatan di tingkat tapak sesuai dengan kondisi biofisiknya.
Pelaksanaan kegiatan restorasi pada kawasan hutan produksi yang merujuk pada rencana kegiatan yang telah disusun.
Lokasi yang menjadi wilayah kerja program aksi restorasi seluas 320,9 ribu hektar pada kawasan penting bentang alam yang tersebar di 10 bentang alam terpulihkan
Pelaksanaan kegiatan restorasi di KSA/KPA oleh Balai Konservasi Sumberdaya Alam atau Balai Taman Nasional yang melibatkan masyarakat.
RENCANA INDUK PENGEMBANGAN KONSERVASI BENTANG ALAM SKALA BESAR DI SUMATERA DAN KALIMANTAN
NO
PROGRAM
B.
Program Pendukung
5.
Program Pengembangan Kapasitas
TUJUAN
Mengetahui dan menyepakati kebutuhan kapasitas dan agenda/ rencana pengembangan kapasitas pada setiap tingkatan guna terselenggaranya program aksi proteksi dan restorasi di setiap bentang alam sesuai dengan rencana konservasi bentang alam, rencana teknis setiap program aksi, dan rencana-rencana kegiatan yang teruang dalam rencana teknis program aksi. Melakukan penguatan kapasitas pada tingkat sistem, lembaga, dan individu berdasarkan rencana pengembangan kapasitas yang telah disetujui dan ditetapkan bersama
KEGIATAN
KELUARAN
Lokakarya eksplorasi dalam rangka penilaian kebutuhan peraturan dan kebijakan yang lebih mendukung upaya proteksi KPL yang masih dalam kondisi baik dan restorasi KPL yang telah terlanjur rusak;
Kondisi aktual peraturan dan kebijakan, kesenjangan peraturan dan kebijakan, dan rekomendasi penguatan peraturan dan kebijakan yang lebih mendukung penyelenggaraan program proteksi dan restorasi pada setiap bentang alam
Lokakarya eksplorasi dalam rangka penilaian kebutuhan penguatan kelembagaan dan sumberdaya manusia untuk penyelenggaraan perlindungan ekosistem yang masih dalam kondisi baik dan pemulihan ekosistem yang telah terlanjur rusak pada KPL di setiap bentang alam;
Kondisi aktual kelembagaan, kesenjangan aspek kelembagaan dan rekomendasi penguatan kelembagaan yang lebih mampu melaksanakan kegiatan-kegiatan dalam program proteksi dan restorasi pada setiap bentang alam
Lokakarya eksplorasi dalam rangka penyusunan rencana aksi pengembangan kapasitas di tingkat sistem, lembaga, dan individu dalam rangka mendukung upaya perlindungan dan pemulihan di KPL pada setiap bentang alam
Rencana teknis program pengembangan kapasitas yang disusun berdasarkan rencana konservasi bentang alam. Rencana teknis program pengembangan kapasitas ini disusun oleh gugus tugas program pengembangan kapasitas.
Penyusunan rencana-rencana setiap kegiatan dalam program pengembangan kapasitas sesuai dengan rencana teknis program yang telah ditetapkan
Rencana-rencana kegiatan untuk seluruh kegiatan yang tercantum dalam rencana teknis program pengembangan kapasitas yang telah ditetapkan. Rencana aksi pengembangan kapasitas di tingkat sistem (peraturan dan kebijakan) dan kelembagaan untuk mendukung program proteksi dan restorasi pada setiap bentang alam. Rencana aksi pelatihan dan pendidikan dalam rangka peningkatan kapasitas individu.
Pelaksanaan rencanarencana kegiatan pada tingkat sistem dalam rangka penguatan kebijakan dan peraturan untuk memperkuat legal basis program proteksi dan restorasi pada setiap bentang alam.
Kebijakan, rencana, program dan kegiatan pada setiap institusi pemangku kepentingan yang mendukung program konservasi bentang alam.
171
172
BAB LIMA
NO B.
PROGRAM
TUJUAN
KEGIATAN
KELUARAN
Program Pendukung Pelaksanaan rencanarencana kegiatan pada tingkat lembaga dalam rangka penguatan kapasitas kelembagaan pada setiap lembaga eksekutor kegiatan restorasi dan proteksi sesuai dengan tugas dan fungsinya.
Kondisi aktual peraturan dan kebijakan, kesenjangan peraturan dan kebijakan, dan rekomendasi penguatan peraturan dan kebijakan yang lebih mendukung penyelenggaraan program proteksi dan restorasi pada setiap bentang alam
Pelaksanaan rencanarencana kegiatan pada tingkat lembaga dalam rangka penguatan kapasitas kelembagaan pada setiap lembaga eksekutor kegiatan restorasi dan proteksi sesuai dengan tugas dan fungsinya.
Lembaga multipihak untuk konservasi bentang alam yang mampu berperan secara efektif dalam melakukan koordinasi antarinstansi atau lembaga, sinkronisasi perencanaan dan mengoptimalkan kinerja instansi dalam pengelolaann program konservasi bentang alam.
Unit kerja pada lembaga pelaksana kegiatan restorasi dan proteksi yang mampu bekerja optimal untuk melaksanakan kegiatan restorasi dan proteksi.
Unit pengelolaan hutan yang beroperasi dalam penyelenggaraan pengelolaan hutan di tingkat tapak dan mendukung program konservasi bentang alam. Unit-unit pengelolaan hutan berbasis masyarakat dalam skema Hutan Kemasyarakatan, Hutan Desa, dan Hutan Tanaman Rakyat yang mampu bekerja secara efektif dan mendukung program konservasi bentang alam.
6.
Program Pemberdayaan Masyarakat
Meningkatkan keterlibatan masyarakat dalam penyelenggaraan program aksi proteksi dan restorasi yang sejalan dengan peningkatan kesejahteraan dari pengelolaan hutan dan sumberdaya alam lokal lainnya secara berkelanjutan
Penyusunan rencana teknis program pemberdayaan masyarakat pada tingkat bentang alam oleh gugus tugas pemberdayaan masyarakat.
Dokumen rencana teknis program pemberdayaan masyarakat pada tingkat bentang alam yang telah disahkan.
Penyusunan rencana-rencana kegiatan pemberdayaan masyarakat untuk masingmasing model pemberdayaan oleh masing-masing pemangku atau pengelola kawasan.
Dokumen-dokumen rencana kegiatan pemberdayaan masyarakat untuk masing-masing model pemberdayaan oleh masing-masing pemangku atau pengelola kawasan.
Penyusunan modul-modul pelatihan untuk program pemberdayaan masyarakat dan pedoman-pedoman praktis untuk pelaksanaan kegiatan-kegiatan pada program pemberdayaan masyarakat.
Modul-modul pelatihan untuk program pemberdayaan masyarakat dan pedoman-pedoman praktis untuk pelaksanaan kegiatankegiatan pada program pemberdayaan masyarakat.
RENCANA INDUK PENGEMBANGAN KONSERVASI BENTANG ALAM SKALA BESAR DI SUMATERA DAN KALIMANTAN
NO B.
PROGRAM
TUJUAN
KEGIATAN
KELUARAN
Program Pendukung Membangun atau merevitalisasi sistem proteksi hutan berbasis masyarakat
Tenaga pengamanan hutan yang berasal dari masyarakat sekitar hutan. Lembaga informal masyarakat untuk pengaman hutan (PAM Swakarsa) yang efektif bekerja. Laporan-laporan kegiatan patrol rutin pengamanan hutan oleh masyarakat. Tenaga pengendalian kebakaran hutan yang berasal dari warga masyarakat sekitar hutan. Lembaga informal masyarakat untuk pengendalian kebakaran hutan (Masyarakat Peduli Api) yang efektif bekerja.
7.
Program Kampaye dan Pendidikan Lingkungan dan Konservasi Alam
Mengembangkan sistem pendidikan lingkungan dan konservasi yang efektif
Melakukan fasilitasi dan pendamingan terhadap masyarakat dalam pengajuan permohonan dan pelaksanaan pengelolaan hutan dalam skema Hutan Kemasyarakatan, Hutan Desa dan Hutan Tanaman Rakyat.
Usulan permohonan dan ijin Hutan Kemasyarakatan, Hutan Desa dan Hutan Tanaman Rakyat.
Mengembangkan berbagai bentuk kegiatan usaha yang secara langsung meningkatkan atau menambah pendapatan masyarakat.
Berbagai bentuk kegiatan usaha yang secara langsung meningkatkan atau menambah pendapatan masyarakat.
Meningkatkan nilai guna sumberdaya lokal dan penggunaan teknologi tepat guna untuk mendukung kegiatan ekonomi produktif masyarakat dan pemenuhan sumber energi alternatif ramah lingkungan
Berbagai bentuk kegiatan penggunaan sumberdaya lokal dan penggunaan teknologi tepat guna untuk mendukung kegiatan ekonomi produktif masyarakat (composting, dll) dan pemenuhan sumber energi alternatif ramah lingkungan (biogas, mikrohidro, pikohidro, dll)
Penyusunan rencana teknis program pendidikan lingkungan dan konservasi alam pada tingkat bentang alam oleh gugus tugas pendidikan lingkungan dan konservasi alam.
Dokumen rencana teknis program pendidikan lingkungan dan konservasi alam yang telah disahkan.
Melakukan studi penilaian atau inventarisasi isu-isu lingkungan dan konservasi alam pada setiap KPL yang menjadi lokasi program proteksi dan restorasi.
Profil isu lingkungan dan konservasi alam pada setiap KPL yang menjadi lokasi program proteksi dan restorasi di 10 bentang alam.
173
174
BAB LIMA
NO B.
PROGRAM
TUJUAN
KEGIATAN
KELUARAN
Melakukan studi sosialbudaya masyarakat untuk menemukan dan mengetahui budaya kelompok sasaran program pendidikan lingkungan dan konservasi alam.
Profil kelompok sasaran dan karakteristik sosial budanya pada setiap KPL yang menjadi lokasi program proteksi dan restorasi di 10 bentang alam.
Penyusunan rencana-rencana kegiatan mobile campaign, mobile liberary, dan school visit.
Dokumen-dokumen rencana kegiatan mobile campaign unit, mobile library dan school visit.
Menyusun material (buku, modul, dll) dan menentukan media pendidikan lingkungan dan konservasi alam
Meterial dan media pendidikan lingkungan dan konservasi alam yang sesuai dengan isu-isu lingkungan dan konservasi alam yang terjadi di masing-masing lokasi, profil kelompok sasaran dan karakteristik sosial budaya
Membangun koordinasi dan kerjsama dengan BKSDA atau BBKSDA dan BLHD dalam rangka membangun pusat pendidikan lingkungan dan konservasi alam terpadu.
Kerjasama pengembangan mobile campaign unit, mobile library dan school visit dengan BKSDA atau BBKSDA dan BLHD dalam rangka membangun mobile campaign unit, mobile library dan school visit.
Pembentukan kelembagaan pusat pendidikan lingkungan dan konservasi alam terpadu yang melibatkan BKSDA atau BBKSDA dan BLHD serta kelompok peduli lingkungan dan konservasi yang relevan.
Kelembagaan program mobile campaign unit, mobile library dan school visit yang melibatkan BKSDA atau BBKSDA dan BLHD serta kelompok peduli lindkungan dan konservasi yang relevan.
Program Pendukung
Pusat Pendidikan Lingkungan dan Konservasi alam beroperasi di setiap bentang alam
8.
Program Asistensi dan Pemantauan
Mendukung dan memantau pelaksanaan perlindungan kawasankawasan bernilai konservasi tinggi di dalam areal konsesi hutan baik hutan alam maupun hutan tanaman
Pelatihan terhadap seluruh personil mobile campaign unit, mobile library dan school visit yang melibatkan BKSDA atau BBKSDA dan BLHD serta kelompok peduli lingkungan.
Personil terlatih untuk operasinalisasi mobile campaign unit, mobile library dan school visit yang terdiri dari staff BKSDA atau BBKSDA dan BLHD serta kelompok peduli lingkungan.
Melakukan kegiatan pendidikan lingkungan dan konservasi alam melalui mobile campaign unit, mobile library dan school visit
Kegiatan pendidikan lingkungan dan konservasi alam melalui mobile campaign unit, mobile library dan school visit berjalan
Penyusunan teknis program bantuan teknis dan pemantauan pengelolaan KPL pada areal konsesi hutan oleh lembaga multi pihak untuk konservasi bentang alam.
Dokumen rencana teknis program bantuan teknis dan pemantauan pengelolaan KPL pada areal konsesi hutan produksi.
RENCANA INDUK PENGEMBANGAN KONSERVASI BENTANG ALAM SKALA BESAR DI SUMATERA DAN KALIMANTAN
NO B.
PROGRAM
TUJUAN
KEGIATAN
KELUARAN
Penyusunan rencana kegiatan bantuan teknis dan pemantauan pengelolaan KPL pada areal konsesi hutan oleh lembaga multipihak untuk konservasi bentang alam.
Dokumen-dokumen rencana kegiatan dalam program bantuan teknis dan pemantauan pengelolaan KPL pada areal konsesi hutan produksi.
Penyusunan modul-modul pelatihan dan pedoman teknis pelaksanaan penilaian, perencanaan dan pemantauan pengelolaan KPL pada areal konsesi hutan.
Modul-modul pelatihan dan pedoman teknis pelaksanaan penilaian, perencanaan, dan pemantauan pengelolaan KPL pada areal konsesi hutan produksi.
Memberikan bantuan teknis terhadap unit-unit manajemen hutan tanaman dan hutan hutan alam dalam proses penilaian dan perencanaan untuk penerapan instrumeninstrumen kelestarian pengelolaan hutan lestari baik yang bersifat voluntary maupun mandatory.
Dokumen-dokumen laporan kegiatan bantuan teknis penilaian dan perencanaan untuk penerapan instrumen-instrumen kelestarian pengelolaan hutan lestari baik yang bersifat voluntary maupun mandatory.
Melakukan pemantauan terhadap pelaksanaan rencana kerja intrumentintrument kelestarian pengelolaan hutan baik yang mandatory maupun voluntary.
Dokumen-dokumen laporan kegiatan pemantauan terhadap pelaksanaan rencana kerja intrument-intrument kelestarian pengelolaan hutan baik yang mandatory maupun voluntary.
Program Pendukung
175
176
BAB LIMA
5.4 HIERARKI DAN PERIODE PERENCANAAN Perencanaan dalam konservasi bentang alam akan terdiri dari beberapa bentuk yang memiliki hubungan hierarkis, yaitu sebagai berikut:
Gambar V-2. Hubungan hierarki berbagai rencana dalam konservasi bentang alam
5.4.1 Jenis-jenis Rencana pada Konservasi Bentang Alam 5.4.1.1 Rencana Induk Konservasi 10 Bentang alam Rencana Induk Konservasi 10 Bentang alam merupakan rencana indikatif kegiatan konservasi bentang alam yang disusun berdasar kondisi biofisik, sosial ekonomi dan kelembagaan pengelolaan hutan dan lahan dalam satuan unit bentang alam untuk kurun waktu 10 tahun. Rencana Induk Konservasi 10 Bentang alam paling sedikit memuat empat hal, yaitu sebagai berikut: 1. Pembangunan Konsensus
5.4.1.2 Rencana Konservasi Bentang alam Rencana Konservasi Bentang Alam merupakan rencana manajemen (management plan) dalam rangka penyelenggaraan konservasi bentang alam pada tingkat satu bentang alam sesuai dengan kewenangan pemerintah, pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Rencana konservasi bentang alam juga memuat peran dari unsur nonpemerintah, yakni LSM dan swasta. Rencana Konservasi Bentang Alam disusun dengan menggunakan unit analisis satu satuan bentang alam dan unitunit lahan di dalam bentang alam untuk kurun waktu lima tahun.
2. Pengembangan Kelembagaan 3. Aksi Proteksi 4. Aksi Restorasi 5. Pengembangan Kapasitas 6. Pemberdayaan Masyarakat 7. Pendidikan Lingkungan dan Konservasi Alam 8. Asistensi Teknis dan Pemantauan Pengelolaan KPL pada Areal Konsesi Hutan 9. Pemantauan dan Bentang alam
Evaluasi
Konservasi
Rencana Konservasi Bentang alam disusun oleh POKJA Konservasi Bentang alam disahkan oleh Bupati jika berada dalam satu wilayah kabupaten, oleh Gubernur jika wilayahnya lintas kabupaten, dan oleh setiap Gubernur jika wilayahnya lintas provinsi.
RENCANA INDUK PENGEMBANGAN KONSERVASI BENTANG ALAM SKALA BESAR DI SUMATERA DAN KALIMANTAN
5.4.1.3 Rencana Teknis Program
5.5.1 Penilaian Aspek Kepentingan
Rencana Teknis Program merupakan rencana definitive pelaksanaan program-program yang direncanakan dalam Rencana Konservasi Bentang alam. Rencana Teknis Program disusun oleh setiap gugus tugas, disetujui oleh administrator pada lembaga multipihak, dan disahkan oleh oversight committee yang mewakili unsur stakeholder di dalam lembaga multipihak. Kurun waktu Rencana Teknis Program paling lama selama 5 tahun yang disesuaikan dengan kaidah teknis-ilmiah setiap kegiatan.
Konservasi bentang alam ini memiliki konsen terhadap tiga hal yang selama ini menjadi isu penting konservasi, yaitu: konservasi spesies, konservasi karbon, dan konservasi air. Konservasi spesies dilakukan melalui proteksi dan restorasi habitat, konservasi karbon dilakukan melalui proteksi dan restorasi gambut, dan konservasi air dilakukan melalui proteksi dan restorasi daerah resapan air. Oleh karenanya nilai penting lahan dalam konservasi bentang alam ini dilihat dari fungsinya sebagai habitat keanekaragaman hayati, penambat karbon (source) atau penyerap karbon (sink), serta pengatur tata air. Dengan demikian, lokasi yang akan menjadi prioritas pertama adalah lokasi di dalam kawasan penting bentang alam yang memiliki tingkat kepentingan yang relatif lebih tinggi dibandingkan dengan lokasi lainnya ditinjau dari aspek habitat, gambut, dan daerah resapan air. Cara penilaian sederhana yang dilakukan untuk masing-masing indikator nilai penting dapat dilihat pada Tabel di bawah.
5.4.1.4 Rencana Kegiatan Rencana Kegiatan merupakan rencana fisik yang lebih detail setiap tahun, yang merupakan penjabaran dari Rencana Teknis Program dan digunakan sebagai dasar pelaksanaan kegiatan.
5.4.2 Periode Perencanaan Konservasi Bentang alam Berdasarkan visi, misi dan strategi pelaksanaan konservasi 10 bentang alam, maka ditetapkan dua periode waktu perencanaan yaitu: 1. Periode Pertama, merupakan periode penyelenggaraan konservasi bentang alam yang diproyeksikan untuk memunculkan keluaran (output) dan hasil (outcome) dari program besar konservasi bentang alam. Periode pertama dilaksanakan selama 5 tahun (2016-2020).
Tabel V-2. Indikator nilai penting unit lahan di dalam bentang alam
Indikator
Verifier
Standar Nilai
1
2
3
Spesies Prioritas
2. Periode Kedua, merupakan periode penyelenggaraan konservasi bentang alam yang diproyeksikan untuk memunculkan manfaat (benefit) dan dampak konservasi (conservation impact) dari program besar konservasi bentang alam. Periode kedua dilaksanakan selama 5 tahun (2021-2025).
5.5 PRIORITAS BENTANG ALAM Penilaian prioritas diperlukan untuk mengarahkan sumberdaya yang biasanya tidak sepenuhnya tersedia. Penilaian prioritas dilakukan dengan menggunakan aspek kepentingan dan kemendesakan. Melalui penilaian ini akan diperoleh daftar prioritas lokasi di dalam kawasan penting bentang alam sekaligus mengarahkan lokasi di dalam kawasan penting bentang alam yang paling harus segera ditangani.
Stok Karbon
Jumlah Spesies Kharismatik: harimau sumatera, gajah sumatera, orangutan sumatera, orangutan kalimantan, bekantan.
Dominasi Lahan Gambut (DLG): LLG DLG = ----- x 100 % L LLG = Luas Lahan Gambut LL = Luas Bentang alam
-
-
Spesies kharismatik lebih dari dua Spesies kharismatik hanya satu Spesies kharismatik tidak ada
-
DLG > 75%
-
IPL 30% 75%
-
IPL< 30 %
Skor 4 Tinggi
Sedang
Rendah
Tinggi
Sedang
Rendah
177
178
BAB LIMA
Penilaian tingkat kepentingan yang menggabungkan ketiga indikator tersebut dilakukan melalui kombinasi matrik secara bertingkat. Jika indikator spesies prioritas diletakan pada baris suatu matrik di sebelah kiri, indikator daerah resapan air pada baris sebelah kanan, dan indikator gambut diletakkan pada kolom matrik di tengah diantara baris paling kiri dan paling kanan tersebut, maka akan diperoleh hubungan yang teratur antara ketiganya, sebagaimana diperlihatkan pada Tabel V-2.
ilegal. Perubahan-perubahan tersebut bervariasi skalanya yang diikuti dengan perubahan daya dukungnya terhadap kelestarian keanakeragaman hayati, kondisi karbon hutan, dan kondisi resapan air. Variasi tersebut akan mengarahkan pada pengambilan keputusan dalam konservasi bentang alam berkaitan dengan mana lokasi-lokasi yang paling mendesak untuk diintervensi melalui berbagai program dalam konservasi bentang alam. Oleh karenanya perlu dilakukan penilaian tingkat kemendesakan yang memperlihatkan urutan lokasi di dalam kawasan penting bentang alam dari yang paling mendesak untuk ditangani hingga yang kurang mendesak. Penilaian tingkat kemendesakan didekati dengan dua indikator, yaitu Indek Penutupan Lahan (IPL) dan Kesesuaian Penggunaan Lahan (KLP). Cara penilaian terhadap kedua indikator tersebut adalah sebagai berikut:
5.5.2 Penilaian Aspek Kemendesakan Kondisi lahan pada 10 bentang alam dipastikan telah mengalami banyak perubahan yang disebabkan oleh berbagai kegiatan terencana atau legal maupun yang tidak terencana atau
Tabel V-3. Kombinasi setiap indikator dalam penilaian tingkat kepentingan unit lahan
Stok Karbon Species Prioritas
Rendah
Sedang
Tinggi
Daerah Resapan Rendah
Sedang
Tinggi
RRR
RSR
RTR
Kurang Penting
Penting
Penting
SRS
SSS
STS
Penting
Penting
Sangat Penting
TRT
TST
TTT
Sangat Penting
Sangat Penting
Sangat Penting
Rendah
Sedang
Tinggi
RENCANA INDUK PENGEMBANGAN KONSERVASI BENTANG ALAM SKALA BESAR DI SUMATERA DAN KALIMANTAN
Tingkat kemendesakan diperoleh melalui kombinasi kedua indikator tingkat kemendesakan tersebut. Jika indikator IPL diletakan pada baris suatu matrik dan indikator KGL diletakkan pada kolom matrik tersebut, maka akan diperoleh hubungan yang teratur antara keduanya, sebagaimana diperlihatkan pada Tabel di bawah.
Tabel V-4. Indikator kemendesakan dengan penggunaan indikator Indeks Penutupan Lahan dan Kesesuaian Penggunaan Lahan
Indikator
Verifier
Standar Nilai
1
2
3
Penutupan Lahan
Indeks Penutupan Lahan (IPL): LVP IPL = -------- x 100 %
Skor
4
΄ IPL > 75 %
΄ Baik
΄ IPL 30 % - 75 %
΄ Sedang
΄ IPL<30 %
΄ Kurang
΄ KGL > 75 %
΄ Baik
΄ KGL 40 % - 75 %
΄ Sedang
΄ KGL <40%
΄ Kurang
L - LPV = Luas lahan berpenutupan pohon - L = Luas Bentang alam Kesesuaian Penggunaan Lahan
Kesesuaian Penggunaan Lahan (KGL): LPS KGL = ------ x 100 % L - LPS = Luas Penggunaan Lahan yang sesuai dengan peruntukkannya - L = Luas Bentang alam
Tabel V-5. Komibinasi antarindikator dalam penilaian tingkat kemendesakan
Kesesuaian Penggunaan Lahan Indek Penutupan Lahan Baik
Sedang
Kurang
BB Kurang Mendesak
BS Mendesak
BK Sangat Mendesak
Sedang
SB Mendesak
SS Mendesak
SK Sangat Mendesak
Kurang
KB Sangat Mendesak
KS Sangat Mendesak
KK Sangat Mendesak
Baik
179
180
BAB LIMA
5.5.3 Penilaian Akhir Prioritas Bentang alam Penilaian akhir prioritas bentang alam merupakan hasil kombinasi antara tingkat kepentingan dan tingkat kemendesakan. Kombinasi ini akan mengelompokan 10 setiap unit lahan atau lokasi di dalam kawasan penting bentang alam dalam empat kuadran prioritas seperti ditunjukan pada tabel di bawah ini.
Tabel V-6. Penentuan prioritas program berdasarkan kepentingan dan kemendesakan
Gambar V-3. Pengelompokkan prioritas bentang alam sesuai kepentingan dan kemendesakan
RENCANA INDUK PENGEMBANGAN KONSERVASI BENTANG ALAM SKALA BESAR DI SUMATERA DAN KALIMANTAN
5.6 SKEMA PENDANAAN KONSERVASI BENTANG ALAM 5.6.1 Sumber Pendanaan Faktor pembiayaan hingga saat ini masih dianggap sebagai salah satu kendala bagi penyelenggaraan konservasi sumberdaya alam hayati. Pada inisiatif konservasi bentang alam ini telah teridentifikasi berbagai potensi pembiayaan bagi konservasi yang inovatif. Beberapa di antaranya adalah investasi langsung pemerintah dalam bentuk dana publik (direct government investment); investasi sukarela swasta (voluntary private investment); investasi swasta berregulasi (regulated private investment); dan investasi swasta berbasis pasar (market based private investment). Penjelasan singkat untuk setiap potensi pembiayaan tersebut adalah sebagai berikut: 1. Investasi langsung pemerintah dalam bentuk dana publik, di antaranya adalah APBN dan APBD melalui instansi-instansi pada unit-unit kerja pemerintah yang menangani sektor berbasis lahan dan pemberdayaan masyarakat. Investasi lansung pemerintah juga dapat berasal dari pemerintah luar negeri dalam berbagai bentuk dana hibah luar negeri. 2. Investasi sukarela swasta, yaitu danadana corporate social and environmental responsibility. 3. Investasi swasta beregulasi, misalnya adalah dana-dana untuk penyusunan analisis mengenai lingkungan, upaya pengelolaan lingkungan, dan upaya pemantauan lingkungan, dana reboisasi, dana provinsi sumberdaya hutan, dan lainlain. 4. Investasi swasta berbasis pasar, misalnya adalah persyaratan-persyaratan yang diterapkan pasar atau customer produk dari hutan terhadap pemasoknya agar menerapkan pengelolaan hutan produksi yang lestari. 5. Fasilitas pendanaan lingkungan yang dibangun oleh lembaga-lembaga multilateral, seperti badan-badan dunia di bawah Perserikatan Bangsa-Bangsa, World Bank, dan Asian Development Bank. Sumber pendanaan yang perlu digali dan diyakini oleh beberapa pakar sebagai
sustainable financing mechanism untuk konservasi adalah penerapan sistem transaksi, insentif, dan kompensasi terhadap penyediaan jasa-jasa lingkungan dari ekosistem. Secara konvensional, terdapat pula sejumlah lembagalembaga donor yang secara rutin memberikan dana hibah kepada LSM dan kelompok masyarakat. Beberapa contoh sumber-sumber pendanaan ditampilkan di dalam Lampiran 10.
Skema Pembiayaan Beberapa skema pembiayaan yang dapat dikembangkan untuk mendukung upaya proteksi dan restorasi pada 10 bentang alam ini antara lain: 1. Skema Anggaran Pemerintah Pelaksanaan program proteksi dan restorasi pada 10 bentang alam baik seluruhnya atau beberapa bagiannya harus dapat direncanakan dalam anggaran rutin setiap instansi pemerintah baik pusat dan daerah sesuai dengan kewenangan, tugas dan fungsinya masing-masing dari sumber Anggaran Penerimaan dan Belanja Negara (APBN) dan Anggaran Penerimaan dan Belanja Daerah (APBN). Anggaran dan kegiatan program proteksi dan restorasi pada setiap instansi pemerintah harus bersifat multiyear dengan merujuk pada tahapan pada Rencana Induk dan rencana konservasi bentang alam. 2. Skema Kerjasama Berbagai bentuk kerjasama dapat dibangun dalam penyelenggaraan konservasi bentang alam yang secara langsung ditujukan untuk merealisasikan kegiatan-kegiatan yang telah dirancang. Beberapa bentuk kerjasama yang berpeluang untuk dibangun dalam penyelenggaraan program konservasi bentang alam adalah sebagai berikut: a. Kerjasama Kontribusi (Contributory Partnership), yaitu kerjasama dalam bentuk pemberian dukungan fasilitas (dana, peralatan, dll) untuk berjalannya kegiatan-kegiatan konservasi bentang alam yang diusulkan oleh lembaga multipihak untuk konservasi bentang alam dan disepakati oleh kontributor. Kontribusi bisa terhadap seluruh kegiatan atau terhadap salah satu atau beberapa bagian
181
182
BAB LIMA
kegiatan yang disepakati oleh kontributor. Dalam kerjasama ini kontrol pengelolaan program sepenuhnya dipegang oleh lembaga multipihak konservasi bentang alam. Salah satu sumber pendanaan yang sesuai dengan skema kerjasama kontribusi Corporate Social Responsibilty (CSR) dari berbagai perusahaan. b. Kerjasama Konsultasi (Consultative Partnership), yaitu kerjasama dalam bentuk pemberian nasihat atau dukungan teknis (technical assistance) terhadap salah satu atau beberapa kegiatan dalam program konservasi bentang alam. Kerjasama ini biasanya dilakukan dengan lembaga-lembaga penelitian atau pendidikan atau kepakaran seperti LIPI, perguruan tinggi, dan lain-lain. Dalam kerjasama ini kontrol pengelolaan program sepenuhnya dipegang oleh lembaga multipihak konservasi bentang alam. c. Kerjasama Operasional (Operational Partnership), yaitu kerjasama berbagi peran dalam program yang secara utuh disepakati bersama. Pembagian peran dalam kerjasama operasional biasanya dalam bentuk pembagian tanggung jawab pelaksanaan kegiatan. Dalam kerjasama ini keputusan akhir dalam pengelolaan program dipegang oleh lembaga multipihak konservasi bentang alam, namun pihak yang terlibat dalam kerjasama memiliki hak untuk memberikan masukan-masukan. d. Kerjasama Kolaborasi (Collaborative Partnership), yaitu kerjasama berbagi sumberdaya dan kewenangan (resource and authority sharing) dalam pengelolaan suatu program atau kegiatan secara utuh. Dalam kerjasama ini keputusan dibicarakan dan ditetapkan bersama. 3. Skema Dana Perwalian Dana perwalian (trust fund) dapat didefinisikan sebagai sejumlah aset financial yang berupa properti, uang, sekuritas (trust) yang oleh orang atau lembaga (trustor/ donor/grantor) dititipkan atau diserahkan untuk dikelola dengan baik oleh sebuah lembaga (trustee) dan disalurkan atau dimanfaatkan untuk kepentingan penerima manfaat (beneficiaries) sesuai dengan maksud dan tujuan yang dimandatkan. Dana perwalian merupakan mekanisme pembiayaan program yang membutuhkan
biaya relatif besar secara berkelanjutan dalam jangka menengah/panjang, yang salah satunya adalah untuk tujuan pelestarian sumberdaya alam dan penanggulangan masalah sosial. Proteksi dan restorasi pada 10 bentang alam membutuhkan dana yang sangat besar, mengingat cakupan wilayah intervensinya yang cukup luas. Skema dana perwalian sangat memungkinkan untuk mendukung program proteksi dan restorasi pada 10 bentang alam karena format penganggaran yang lebih fleksibel sesuai kebutuhan, berbeda dengan skema APBN yang tergantung dengan tahun anggaran. Mekanisme pendanaan melalui dana perwalian memiliki beberapa kelebihan di antaranya: a. Mendukung pendanaan dalam kerangka spefisik tertentu, b. Memperkuat koordinasi dan keberlanjutan kegiatan yang sama, c. Mendukung pendanaan program dan kegiatan baik publik maupun swasta, d. Mempercepat pembiayaan program dan kegiatan dengan memangkas prosedur birokrasi, e. Bersifat transparan dan akuntabel. Dasar hukum dana perwalian di Indonesia di antaranya adalah UU No.17/2003 tentang Keuangan Negara, Pasal 26 dan Pasal 38 UU No.1/2004 tentang Perbendaharaan, UU No.25/2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN), pasal 42 dan pasal 47 PP No.10/2011 tentang Tata Cara Pengadaan Pinjaman Luar Negeri dan Penerimaan Hibah. Dana perwalian dapat berupa: (i) dana abadi, yaitu dana yang diserahkan untuk dikelola secara abadi tanpa ada batasan waktu; (ii) dana bergulir, yaitu dana yang diserahkan untuk dikelola secara bergulir karena umumnya berupa pinjaman, modal usaha, atau dana awal (initial cost), dana bergulir karena mendapatkan pendapatan dari pengembalian pinjaman atau penjualan jasa/produk; (iii) dana menurun, yaitu dana yang diserahkan untuk dikelola untuk mengelola program sesuai anggaran yang telah disepakati karena dana tersebut diharapkan dapat terserap habis; dan (iv) dana gabungan, yaitu gabungan ketiga bentuk dana perwalian berupa dana abadi, dana bergulir, dan dana menurun.
RENCANA INDUK PENGEMBANGAN KONSERVASI BENTANG ALAM SKALA BESAR DI SUMATERA DAN KALIMANTAN
alam, yaitu sebesar Rp. 232.7 milyar. Contoh-contoh dana perwalian yang ada saat ini di antaranya (i) Tropical Forest Conservation Act (TFCA), Indonesia Biodiversity Foundation Project adalah contoh dana perwalian tunggal (single trust fund); (ii) Multistakeholder Forestry Programme (MFP), Water and Sanitation Programme (WASAP) (contoh dana perwalian sektor khusus (sector-specific trust fund) (iii) MDTF Aceh-Nias, Java Reconstruction Fund, PNPM Support Facility adalah contoh dana perwalian multidonor (multidonor trust fund (Sumber: Hernowo, Bappenas-2011 dan sumber-sumber lain). 4. Perkiraan Kebutuhan Biaya Perkiraan besaran anggaran yang dibutuhkan untuk melaksanakan kegiatan konservasi bentang alam pada Rencana Induk ini didekati dengan analisis komparasi, yaitu mengumpulkan informasi pendanaan optimal untuk program dan atau kegiatan yang serupa. Beberapa informasi yang dijadikan rujukan adalah sebagai berikut: a. Besaran set up cost program konservasi bentang alam di setiap bentang alam pada Rencana Induk ini merupakan biaya untuk pemenuhan kondisi pemungkin berupa program pembangunan konsensus dan pembangunan/pengembangan kelembagaan. Tidak ada standar untuk komponen biaya ini sehingga hanya bisa didekati dengan penetapan alokasi anggaran. Pada Rencana Induk ini biaya yang dianggarkan untuk program pembangunan konsensus dan kelembagaan adalah Rp. 1 Milyar untuk setiap bentang alam, sehingga total untuk 10 bentang alam sebesar Rp. 10 Milyar. b. Studi pendanaan kawasan konservasi di Indonesia yang dilaksanakan oleh TNC pada tahun 2006. Informasi yang diambil dari hasil studi ini adalah pendanaan optimal untuk setiap jenis kawasan konservasi di Indonesia, salah satunya adalah cagar alam yaitu sebesar US$ 8,95 perhektar. Seperti diketahui bahwa cagar alam adalah kawasan konservasi yang kegiatan pengelolaannya didominasi atau bahkan seluruhnya seluruhnya berupa perlindungan. Dengan demikian perkiraan kasar untuk besaran anggaran program aksi proteksi seluas 2 juta hektar pada Rencana Induk ini dapat didekati dengan biaya optimal untuk pengelolaan cagar
c. Standar biaya pelaksanaan reboisasi dan rehabilitasi lahan yang ditetapkan oleh pemerintah. Biaya pelaksanaan reboisasi selama 3 tahun rata-rata sebesar Rp. 7 juta mulai dari perencanaan, pelaksanaan kegiatan rebosisasi, hingga pemantauan dan evaluasi. Sedangkan hasil kajian JICA melalui berbagai demplot yang telah dikembangkan menghasilkan perkiraan anggaran untuk pelaksanaan restorasi mulai dari persiapan, perencanaan, pelaksanaan, dan pemeliharaan, dan evaluasi berkisar antara Rp. 12.154.000-Rp. 22.698.000,tergantung dari kondisi areal dan perlakuan restorasinya (suksesi alam, penunjang suksesi alam, pengkayaan, atau penanaman). Merujuk pada kisaran angka tersebut maka pelaksanaan restorasi pada wilayah kerja program aksi restorasi seluas 320.900 hektar pada Rencana Induk ini akan membutuhkan anggaran sebesar Rp. 3,9 – 7,9 trilyun. d. Besaran biaya untuk pemberdayaan masyarakat dalam skema perhutanan sosial merujuk pada pengalaman Kemitraan dalam pendampingan HKm di Lampung, NTB dan Yogyakarta tahun 2007 dan 2008. Hasil perhitungan Kemitraan memperlihatkan biaya yang dibutuhkan untuk pengembangan program, sejak inisiasi, fasilitasi penguatan kapasitas, pemetaan, penyusunan rencana/usulan, dan sampai tersusunnya usulan oleh pemerintah Daerah kepada Kementerian Kehutanan, rata-rata sebesar Rp. 500.000/ hektar. Dengan demikian biaya untuk pemberdayaan masyarakat dalam skema perhutanan sosial dengan arahan lokasi seluas 883,6 ribu hektar (hutan produksi seluas 597,5 ribu hektar dan hutan lindung seluas 286,1 ribu hektar adalah sebesar Rp 441,8 miliar.
183
184
RENCANA INDUK PENGEMBANGAN KONSERVASI BENTANG ALAM SKALA BESAR DI SUMATERA DAN KALIMANTAN
BAB ENAM Sungai yang mengalir dari sebuah tasik di sebuah kawasan hutan gambut di Bentang Alam Semenanjung Kampar, Riau, November 2011. (Foto: Rolf M. Jensen)
185
186
BAB ENAM
PEMANTAUAN DAN EVALUASI KONSERVASI BENTANG ALAM Dalam siklus pelaksanaan suatu program atau proyek, kegiatan pemantauan (monitoring) dan evaluasi menjadi rangkaian kegiatan yang tidak dapat dipisahkan satu dengan lainnya. Kegiatan pemantauan dan evaluasi ini menjadi mutlak dilaksanakan oleh pihak penyelenggara atau pengelola untuk mengetahui tingkat keberhasilan atau kinerja dari suatu program.
6.1 Kerangka Kerja Pemantauan dan Evaluasi Pemantauan dan evaluasi merupakan bagian dari sistem pengendalian pembangunan, termasuk juga dalam program konservasi bentang alam. Menurut definisi, pengendalian adalah serangkaian kegiatan manajemen yang dimaksudkan untuk menjamin agar suatu program/kegiatan yang dilaksanakan sesuai dengan rencana yang ditetapkan. Sedangkan pengertian pemantauan adalah kegiatan mengamati perkembangan pelaksanaan rencana pembangunan, mengidentifikasi serta mengantisipasi permasalahan yang timbul dan/ atau akan timbul untuk dapat diambil tindakan sedini mungkin. Evaluasi adalah sebagai rangkaian kegiatan membandingkan realisasi masukan (input), keluaran (output), dan hasil (outcome) terhadap rencana dan standar.
Pemantauan dan evaluasi merupakan suatu rangkaian proses pengelolaan untuk menilai apakah pelaksanaan setiap program atau kegiatan sudah mengarah pada pencapaian tujuan-tujuan yang telah ditetapkan. Tujuantujuan tersebut merupakan sumber dari standar sehingga semua data dan informasi yang diperoleh harus diperbandingkan terhadapnya. Dengan demikian selain penilaian itu sendiri maka perumusan standar merupakan proses kunci yang harus dilakukan terlebih dahulu.
Terdapat beberapa kerangka yang dapat digunakan untuk merumuskan standar, salah satu yang biasa dipakai adalah model logical framework atau disebut juga sebagai kerangka input-proses-output-outcome-benefit-impact. Program Konservasi Bentang alam harus merupakan kegiatan yang sistemik dimana input, output, outcome, benefit, dan impact program yang saling terkait dan mempengaruhi sehingga masing-masing dapat diidentifikasi dan dapat diukur. Dengan demikian pemantauanevaluasi program konservasi bentang alam menjadi sangat penting keberadaannya untuk memastikan program berjalan sesuai rencana dan standar yang ditentukan. Pengertian inputproses-output-outcome-impact-benefit pada konservasi bentang alam ini adalah sebagai berikut: 1. Input dalam program konservasi bentang alam adalah hal-hal yang dibutuhkan untuk menggerakkan setiap kegiatan dalam program konservasi bentang alam. Dalam program konservasi bentang alam, inputinput tersebut adalah: a. Wilayah kerja konservasi bentang alam b. Rencana konservasi bentang alam c. POKJA konservasi bentang alam d. Sumberdaya manusia POKJA e. Anggaran Input-input ini harus terlebih dahulu ada sebelum kegiatan utama konservasi bentang alam berjalan atau sebagai enabler,
RENCANA INDUK PENGEMBANGAN KONSERVASI BENTANG ALAM SKALA BESAR DI SUMATERA DAN KALIMANTAN
Elang bondol (Haliastur indus) di langit sebuah kawasan pesisir Sumatera, November 2007. (Foto: Dok. APP)
sehingga penyediaan input-input ini menjadi bagian dari proses kegiatan dalam penyelenggaraan konservasi bentang alam. 2. Output adalah keluaran langsung dari setiap kegiatan dalam program konservasi bentang alam yang merupakan hasil langsung dari input. Dalam program konservasi bentang alam ini output-output tersebut adalah: a. Dokumen kesepakatan b. Dokumen perencanaan c. Lembaga multipihak yang dengan gugus tugas program
dilengkapi
d. Organisasi berbasis masyarakat e. SDM terlatih dari staff instansi pemerintah terkait dan anggota masyarakat. f. Anggaran yang jelas dan memadai. 3. Outcome adalah suatu hasil yang mengindikasikan output kegiatan dalam program konservasi bentang alam telah berfungsi. Dalam program konservasi bentang alam ini outcome tersebut adalah: a. Ekosistem asli seluas 2 juta hektar pada 10 bentang alam terlindungi b. Ekosistem rusak seluas 320,9 ribu hektar pada 10 bentang alam terpulihkan c. Peningkatan peran serta masyarakat dalam kegiatan proteksi dan restorasi. d. Perubahan status HPK menjadi HP, HPT, HL, KSA/KPA seluas 78 ribu hektar di 9 bentang alam.
e. Kawasan hutan yang sebelumnya tidak ada pengelolanya menjadi ada pengelolanya seluas 2,3 juta hektar pada 10 bentang alam melalui skema IUPHKM, IUPHTR, HPHD, dan IUPHHK-RE f. Konflik manusia-satwa menurun, g. Kawasan penting bentang alam di dalam areal konsesi HT dan HA seluas 2,4 juta terpantau pengelolaannya. h. Munculnyanya kader-kader dan konservasi masyarakat
lingkungan
4. Benefit adalah manfaat langsung dari keberadaan hasil-hasil yang telah tercapai dalam program konservasi bentang alam. Dalam program konservasi bentang alam ini benefit tersebut adalah sebagai berikut: a. Manfaat biofisik (peningkatan indeks penutupan lahan dan peningkatan kesesuaian penggunaan lahan) b. Manfaat sosial-ekonomi (peningkatan pendapatan, penurunan tekanan sosial terhadap ekosistem alam) c. Manfaat kelembagaan (peningkatan peran serta masyarakat dalam kegiatan proteksi dan restorasi, unit pengelolaan hutan berbasis masyarakat, dan kelembagaan pengelolaan hutan di tingkat tapak) 5. Impact kegiatan dalam program konservasi bentang alam adalah indikator-indikator pada off-site/di luar atau di sekitar lokasi kegiatan program konservasi bentang alam yang
187
188
BAB ENAM
menunjukkan adanya dampak/pengaruh dari kegiatan program konservasi bentang alam, yaitu sebagai berikut: a. Populasi spesies flagship meningkat b. Penurunan emisi karbon dari deforestasi dan degradasi hutan serta peningkatan cadangan karbon c. Perbaikan kondisi daerah resapan air Secara sistemik, hubungan kausalitas antara input-proses-output-outcome-impact-benefit dalam program konservasi bentang alam ini ditunjukkan pada Gambar VI-1.
Konsep pemantauan/monitoring dan evaluasi (monev) konservasi bentang alam harus dikembangkan secara terpadu dengan menggunakan alat bantu berupa sistem aplikasi agar mudah dilaksanakan serta produktif dalam menghasilkan umpan balik untuk perbaikan program dan kegiatan konservasi bentang alam pada tahap selanjutnya. Hasil monev juga menjadi sarana komunikasi kepada publik dalam konteks klaim kinerja program konservasi bentang alam. Gambaran mengenai sistem monev konservasi bentang alam yang komprehensif dan terpadu ditunjukan pada Gambar VI-2.
Gambar VI-1. Hubungan kausalitas Input-Output-Outcome-Benefit-Impact konservasi bentang alam
RENCANA INDUK PENGEMBANGAN KONSERVASI BENTANG ALAM SKALA BESAR DI SUMATERA DAN KALIMANTAN
pg 189
RENCANA INDUK KONSERVASI LANSKAP
POKJA PENGEMBANGAN MEMBANGUN KONSENSUS
š AREA KERJA KONSERVASI LANSKAP š KAWASAN PENTING LANSKAP š ARAHAN PENGGUNAAN LAHAN
SISTEM DATABASE HASIL MONEV (AFTER PROJECT)
RENCANA KONSERVASI LANSKAP
MEMBANGUN KELEMBAGAAN
RENCANA TEKNIS PROGRAM BASELINE STUDY
PROTEKSI
RESTORASI
RENCANA AKSI
PENINGKATAN KAPASITAS PEMBERDAYAAN MASYARAKAT PENDIDIKAN LINGKUNGAN DAN KONSERVASI ALAM
MONEV OUTPUT MONEV OUTCOME MONEV BENEFIT MONEV IMPACT
OUTCOME BENEFIT IMPACT
Gambar VI-2. Bagan sistem pemantauan dan evaluasi terpadu
Gambar VI-2. Bagan sistem pemantauan dan evaluasi terpadu
PROGRAM BANTUAN TEKNIS DAN MONITORING UNTUK PENGELOLAAN KPL DI AREA KONSESI
189
190
BAB ENAM
Gambar VI-3. Ilustrasi kinerja program konservasi bentang alam
6.2 Penilaian Kinerja Konservasi Bentang Alam Kinerja program konservasi bentang alam pada akhirnya akan diukur dari sejauh mana dampak-dampak positif yang diharapkan dapat tercapai. Penilaian kinerja dilakukan melalui pengumpulan data dan informasi dari seluruh aspek pelaksanaan kegiatan konservasi bentang alam. Dari data dan informasi tersebut, selanjutnya dilakukan analisis sehingga diperoleh hasil penilaian yang sesuai dengan kondisi riil di lapangan. Data hasil penilaian tersebut diperbandingkan dengan kondisi dasar (baseline) yang telah disusun sebelum atau pada saat program konservasi bentang alam akan dimulai. Sesuai dengan kepentingan konservasi bentang alam yang telah dibahas sebelumnya, maka peningkatan atau additionality dari program konservasi bentang alam ini pada akhirnya adalah untuk meningkatkan viabilitas populasi
spesies flagship, penurunan emisi karbon akibat kegiatan deforestasi dan degradasi hutan, peningkatan stok karbon hutan dari upaya restorasi, dan perbaikan daerah tangkapan air. Dampak-dampak yang diharapkan tersebut diyakini dapat terwujud jika terjadi perbaikan struktur dan fungsi ekosistem pada kawasankawasan penting bentang alam yang telah terlanjur rusak dan pemeliharaan struktur dan fungsi ekosistem pada kawasan penting bentang alam yang masih dalam kondisi baik. Dengan demikian, kinerja akhir dari program konservasi bentang alam dapat diilustrasikan di gambar VI-3. Agar tidak terjebak pada orientasi hasil tanpa memperhatikan kualitasnya berdasarkan proses-proses yang harus dilalui, maka diperlukan penilaian paling tidak terhadap hasil dan manfaat dari program konservasi bentang alam. Penilaian terhadap hasil dan manfaat menjamin hasil akhir berupa dampak positif yang muncul memiliki kualitas yang diharapkan.
RENCANA INDUK PENGEMBANGAN KONSERVASI BENTANG ALAM SKALA BESAR DI SUMATERA DAN KALIMANTAN
Atas: Macan dahan (Neofelis nebulosa) salah satu satwa karnivora yang biasa mencari makan diatas pepohonan hutan primer di Sumatera dan Kalimantan, Mei 2004. (Foto: Dolly Priatna)
Bawah: Kucing emas (Catopuma temminckii), salah satu jenis kucing liar yang jarang menampakkan diri dan hanya dapat terdapat di hutanhutan primer yang tidak terganggu di Sumatera dan sebagaian daratan Asia Tenggara. Foto diabadikan melalui kamera intai di pedalaman hutan Sumatera Mei 2013. (Foto: Dolly Priatna)
191
192
REFERENSI
REFERENSI
Abdulhadi, R., E.E. Widjaja, Y. Rahayuningsih, R. Ubaidillah, I. Maryanto & J.S. Rahajoe (eds.). 2014. Kekinian keanekaragaman hayati Indonesia. LIPI-Bapenas-Kementerian Lingkungan Hidup, Jakarta.
BBSDLP. 2011. Peta Lahan Gambut Indonesia Skala 1:250.000 Peta Lahan gambut Indonesia skala 1:250.000. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian, Bogor.
Agnes Indra, M. 2012. Strategi Konservasi Gajah Sumatera (Elephas maximus sumatranus Temminck) di Suaka Margasatwa Padang Sugihan Provinsi Sumatera Selatan Berdasarkan Daya Dukung Habitat. Program Magister Ilmu Lingkungan, Universitas Diponegoro.
Bappenas. 2003. Strategi dan rencana aksi keanekaragaman hayati Indonesia 2003-2020 (Indonesia Biodiversity Strategy and Action Plan 2003-2020): IBSAP Dokumen Nasional. Bappenas, Jakarta.
Agung, R.S. 2010. Penentuan Tingkat Referensi Emisis. Materi Presentasi Pada 2nd Technical Roundtable on MRV “In Search in setting up appropriate REL for Indonesia”. Ditjen Planologi. Jakarta. Alston, M. & W. Bowles. 2003. Research for Social Workers : An introduction and methods. 2nd Edition. Allen & Unwin. Australia. Alison, J.S., M.J. Crosby, A.J. Long & D.C. Wege. 1998. Endemic Areas of the World: Priorities for Biodiversity Conservation. Birdlife International, Cambridge, UK. Andel J.V. and Aronson.J. 2006. Restoration Ecology. Blackwell Science Ltd, a Blackwell Publishing company. Andries, J. M., M. A. Janssen, & E. Ostrom. 2004. A framework to analyze the robustness of social-ecological systems from an institutional perspective. Ecology and Society 9 (1): 18. Astuti, J., M. Nurdin & A. Munir. 2008. Valuasi ekonomi sumberdaya alam dan lingkungan pesisir Kota Bontang Kalimantan Timur. Analisis, Maret 2008, Vol 5 No. 1 :53-64.
Bradshaw, A.D. 1987. Restoration: an acid test for ecology. Cambridge University Press. Cambridge. Bryson, J.M. 2004. What to do when stakeholders matters : stakeholder identification and analysis techniques. Public Management Review. Vol. 6 (1): 21-53. Burel, F. & J. Baudry. 2004. Landscape ecology: Concept, methods, and applications. Science Publishers, Inc., New Hampshire. Chan, K.M.A., T. Satterfield & J. Goldstein. 2012. Rethinking ecosystem services to better address and navigate cultural values. Ecological Economic. Vol. 74. 2012. Hal. 8-18. Danielsen, F. & M.Heegaard. 2011. The birds of Bukit Tigapuluh, southern Riau, Sumatra. Kukila (7): 99–120. Direktorat KKBHL. 2014. Indonesian Biosphere Reserve: To linkage biological and cultural diversity for sustainable development. Dit. KKBHL, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Jakarta.
RENCANA INDUK PENGEMBANGAN KONSERVASI BENTANG ALAM SKALA BESAR DI SUMATERA DAN KALIMANTAN
Direkorat PJLWA. 2008. Pedoman Monitoring dan Evaluasi Pemberdayaan Masyarakat di Sekitar Kawasan Konservasi. Direktorat Jenderal PHKA. Jakarta. Ditjen PHKA. 2014. Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah Ditjen PHKA 2013. Ditjen PHKA-Kementerian Kehutanan, Jakarta. Dubois, O. 1998. Capacity to manage role changes in forestry. Introducing the 4Rs framework. Forest Participation Series No. 11. International Institute for Environment and Development (IIED), London, UK. Elliott, S., Anusarnsunthorn, V., Garwood, N. & D. Blakesley. 1995. Research needs for restoring the forests of Thailand. Natural History Bulletin of the Siam Society. Thailand Fithra, R.Y. & Y.I. Siregar. 2010. Keanekaragaman ikan Sungai Kampar: Inventarisasi dari Sungai Kampar Kanan. Journal of environmental Science, 2, 139–147. Forest Restoration Research Unit. 2006. How to plant a forest: The principles and practice of restoring tropical forests. Biology Department, Science Faculty, Chiang Mai University, Thailand. Forman, R.T.T & M. Godron. 1986. Landscape Ecology. John Wiley & Sons, New York. Fujita, M.S., Irham, M., Fitriana, Y.S., Samejima, H., Wijamukti, S., Haryadi, D.S. & A.Muhammad. 2012. Mammals and Birds in Bukit Batu Area of Giam Siak Kecil-Bukit Batu Biosphere Reserve, Riau, Indonesia. Kyoto Working Papers on Area Studies: G-COE Series, 126, 1–70. FWI. 2014. Potret Keadaan Hutan Indonesia Periode 2009-2013. Forest Watch Indonesia, Bogor. Gaveau, D. L. A., M.A.Salim, K. Hergoualc’h, B. Locatelli, S.Sloan, M. Wooster, M.E. Marlier, E. Molidena, H. Yaen, R. DeFries, L. Verchot, D. Murdiyarso, R. Nasi, P.Holmgren, & D. Sheil. 2014. Major atmospheric emissions from peat fires in Southeast Asia during non-drought years: evidence from the 2013 Sumatran fires. Sci. Rep. 4: 6112 Giesen W. 1991. Berbak Wildlife Reserve, Jambi, Sumatra. Final Draft Survey Report. PHPA/AWB Sumatra Wetland Project Report. Global Tiger Initiative Secretariat. 2012. Managing tiger conservation landscapes and habitat connectivity: Threats and possible solutions. The World Bank, Washington, D.C. Hooijer, A., Silvius, M., Wösten, H. & Page, S. 2006. PEAT-CO2, Assessment of CO2 emissions from drained peatlands in SE Asia. Delft Hydraulics report Q3943
Holopainen, J.M., L. Häyrinen & A. Toppinen. 2014. Consumer value dimensions for sustainable wood products: results from the Finnish retail sector. Scandinavian Journal of Forest Research, 29 (4): 378-385. IFCA. 2007. Reducing Emission from Deforestation and Forest Degradation in Indonesia. REDD Methodology and Strategies, Summary for Policy Makers. Departemen Kehutanan-IFCA. Jakarta. Indrarto, B.G. 2015. Aspek legalitas dari perlindungan dan pengelolaan gambut di Indonesia. Indonesia Peatlanad Network. CIFOR, Bogor (www.cifor.org/ipn-toolbox). IUCN. 2012. Guidelines for Application of IUCN Red List Criteria at Regional and National Levels: Version 4.0. Gland, Switzerland and Cambridge, UK. IUCN. 2014. The IUCN Red List of Threatened Species version 2014.3. http://www.iucnredlist.org. Diakses April 2015. IPCC. 2006. 2006 IPCC Guidelines for National Greenhouse Gas Inventories, prepared by the National Greenhouse Gas Inventories Programme, Eggleston H.S., Buendia L., Miwa K., Ngara T. and Tanabe K. (eds). Published: IGES, Japan. Isaac, N.J.B., S.T.Turvey., B.Collen, C.Waterman & J.F.M. Baillie. 2007. Mammals on the EDGE: Conservation Priorities Based on Threat and Phylogeny. PLoS ONE 2 (3): 296. Jaringan NKT Indonesia. 2013. Panduan Pengelolaan dan Pemantauan Nilai Konservasi Tinggi. IFACS-USAID. Jakarta. Kemenhut & KKP. 2013. Analisis Kesenjangan Keterwakilan Ekologis Kawasan Konservasi di Indonesia. Kementerian Kehutanan & Kementerian Kelautan dan Perikanan, Jakarta. Kurtz, D. L. 2008. Principle of Contemporary Marketing. South-Western Educational Publishing, Stamford. Liu, J. & W.W. Taylor. 2002. Integrating landscape Ecology Into Natural Resource Management. Cambridge University Press, UK. Machfudh. 2012. Istilah-istilah dalam REDD+ dan Perubahan Iklim. Kemenhut RI, UN-REDD, FAO, UNDP, UNEP. Jakarta. Maddox, T., Priatna, D., Smith, J., Gemita, E. & A. Salampessy. 2007. Rapid survey for tigers and other large mammals SM Bentayan and SM Dangku, South Sumatra. Zoological Society of London.
193
194
REFERENSI
Maring, P., Afrizal, J.Suhendri, Rosyani, R.Rafiq, A.Fitri, M. Jawawi, A.Sadat, M.Silalahi, M. Darwis, Yenrizal, B.Dewangga, H.Jatmiko, Muhaimin, A.P.Bayu & S. Marelo. 2011. Studi pemahaman dan praktik alternatif penyelesaian sengketa oleh melembagaan Mediasi konflik sumber daya alam di Propinsi Riau, Jambi, Sumatera Barat, dan Sumatera Selatan (Laporan penelitian). Scale Up-Ford Foundation. Margoluis, R. & N. Salafsky. 1998. Measures of Success: Designing, Managing, and Monitoring Conservation and Development Projects. Island Press, Washington, DC. Margoluis, R. , Stem, C., Salafsky, N., & M. Brown. 2009. Using conceptual models as a planning and evaluation tool in conservation. Evaluation and Program Planning 32 (2009) 138–147.
Odum,
E.P. 1969. The Strategy of Ecosystem Development. Science, Vol. 64 (3877): 262-270.
Olson, D.M. & E. Dinerstein. 2002. The Global 200: Priority ecoregions for global conservation. Ann.Missouri Bot.Gard. 89 (89): 199-224. Orford, J. 1992. Community psychology, Theory and practice. John Willey& Sons Ltd, West Sussex. Panitia Nasional MAB Indonesia. 2004. Pedoman Pengelolaan Cagar Biosfer di Indonesia. LIPI, Jakarta. Paoli, G. D., P. L. Wells & E. Meijaard. 2010. Biodiversity conservation in the REDD. Carbon balance and management 5: 7-11. Perrow, M.R. & A.J. Davy. 2002. Handbook of Ecological Restoration. Vol. 1. Principles of restoration. Cambridge University Press, Cambridge, UK.
Masripatin N, K. Ginoga, A. Wibowo, W.S. Dharmawan, C.A. Siregar, M. Lugina, Indartik, W. Wulandari, N. Sakuntaladewi, R. Maryani, G. Pari, D. Apriyanto, B. Subekti, D. Puspasari, & A.S. Utomo. 2010. Pedoman Pengukuran Karbon untuk mendukung Penerapan REDD+ di Indonesia, Pusat Penelitian dan Pengembangan Perubahan Iklim dan Kebijakan. Kampus Balitbang Kehutanan, Bogor.
Peter, H. 2014. Fire and haze in Riau: Looking beyond the hotspots. CIFOR. retrieved on 15 April 2015
Millennium Ecosystem Assessment. 2005. Ecosystems and Human Well-being: Synthesis. Island Press, Washington, DC.
Purwanto, Y., B. Prasetya & C. Ningrum (eds.). 2013. Pengelolaan Terpadu dan Berkelanjutan Cagar Biosfer Tanjung Puting. ICIAR-LIPI, Bogor.
Mittermeier, R.A., P.R. Gil & C.G. Mittermeier. (eds.). 1997. Megadiversity: Earth’s Biologically Wealthiest Nations. CEMEX, Monterrey, Mexico.
Qodrina, L., R.Hamidy & Zulkarnaini. Valuasi Ekonomi Ekowistem Mangrove di Desa Teluk Pambang Kecamatan Bantan Kabupaten Bengkalis Provinsi Riau. Jurnal Ilmu Lingkungan. Program Studi Ilmu Lingkungan PPS Universitas Riau.
Mittermeier, R.A., N. Myers, P.R. Gil & C.G. Mittermeier (eds.). 1999. Hotspots: Earth’s Biological Richest and Most Endangered Terrestrial Ecoregions. Cemex, Monterrey, Mexico. Mukhamadun, T.Efrizal & S.Tarumun. 2008. Valuasi Ekonomi Hutan Ulayat Buluhcina Desa Buluhcina Kecamatan Siak Hulu Kabupaten Kampar. Jurnal Ilmu Lingkungan. Program Studi Ilmu Lingkungan PPS, Universias Riau. Myers, N., R.A. Mittermeier, C.G. Mittermeier, G.A.B. da Fonseca & J. Kent. 2000. Biodiversity Hotspots for Conservation Priorities. Nature. Vol. 403, 853-858. Nash, S.V. & A.D. Nash. (undated). A checklist of the forest and forest edge birds of the PadangSugihan Wildlife Reserve, South Sumatra. Kukila (2): 51–59. Newton, A.C. & N. Tejedor (Eds.). 2011. Principles and Practice of Forest Landscape Restoration: Case studies from the drylands of Latin America. IUCN, Gland, Switzerland.
Phillips, A. 2002. Management Guidelines for IUCN Category V Protected Areas: Protected Landscapes/ Seascapes. IUCN Gland, Switzerland and Cambridge, UK.
Rijanta, R. & M. Baiquni. 2003. Otonomi Daerah, Transisi Masyarakat dan Konflik Pengelolaan Sumber daya (pemahaman teoritis dan pemaknaan empiris). Prosiding Lokakarya Nasional Menuju Pengelolaan Sumber daya Wilayah Berbasis Ekosistem untuk Mereduksi Potensi Konflik Antar Daerah. Fakultas Geografi UGM, 30 Agustus 2003. Robbins, S.P . 2001. Organizational Behaviour. 9th edition. Prentice Hall, New Jersey. Royana, R. 2014. Peran sektor kehutanan dalam pembangunan nasional dan regional. Bappenas. Sayer, J., T. Sunderland, J.Ghazoul, J.L. Pfund, D. Sheil, E. Meijaard, M.Venter, A.K.Boedihartono, M.Day, C. Garcia, C.van Oosten & L.E.Buck. 2013. Ten Principles of for a landscape approach to reconciling agriculture, conservation, and other competing land uses. Proceeding of the National Academy of Science 110 (21): 83498356.
RENCANA INDUK PENGEMBANGAN KONSERVASI BENTANG ALAM SKALA BESAR DI SUMATERA DAN KALIMANTAN
Scale Up. 2012. Laporan Tahunan (Ringkasan) Konflik Sumber Daya Alam di Riau Tahun 2008, 2009, 2010, 2011. Pekanbaru. Shepherd, G. 2004. The Ecosystem Approach: Five Steps to Implementation. IUCN, Gland, Switzerland and Cambridge, UK. Silvius, M.J. & W.J. Verheugt. 2011. The birds of Berbak Game Reserve, Jambi Province, Sumatra. Kukila (2): 76–84. Society for Ecological Restoration. 2002. The SER primer on ecological restoration. Science & Policy Working Group. www.ser.org/primer.pdf. Soekanto, S. & S. Mamudji. 1985. Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Singkat. Rajawali Press, Jakarta. Strayer, D.L., M.E. Power, W.F. Fagan, S.T.A. Pickett & J. Belnap. 2003. A Classification of Ecological Boundaries. BioScience 53 (28): 723-729. Sugardiman, R.A. 2010. Defining Refference Emission Level. REL for RED: National Carbon Accounting and Sub-National Implementation. Materi Presentasi disampaikan pada 2nd Technical Roundtable on MRV “In search of setting-up appropriate Reference Emission Level (REL) for Indonesia” di Jakarta 19 Agustus 2010. Suharjito, D. 2014. Devolusi Pengelolaan Hutan dan Pembangunan Masyarakat Pedesaan. Orasi Ilmiah Guru Besar IPB, IPB. Auditorium Rektorat, 03 Mei 2014. Taman Nasional Kutai.2013. Statistik Taman Nasional Kutai 2013. Balai Taman Nasional Kutai. The Zoological Society. Evolutionarily Distinct and Globally Endangered (EDGE) species. . Retrieved on 12 April, 2015. Tropenbos International. 2009. Forest Landcape Restoration. Bahan Prensetasi Workshop Restorasi di Wanagama 7-8 Desember 2008. United Nations. 2014. The Millennium Development Goals Report 2014. UN, New York UNEP.
2012. Global Environmental Outlook 5. Environment for the future we want. UNEP, Nairobi
UNESCO. 1996. Biosphere Reserves: The Seville Strategy and the Statutory Framework of the World Network. UNESCO, Paris. UNESCO. 2011. Preparing World Heritage Nominations. UNESCO, Paris Wahyunto, S.R. & H.Subagjo. 2003. Peta Luas Sebaran Lahan Gambut dan Keandungan Karbon di Pulau Sumatera 1990-2002. Wetlands International-Indonesia Programme & Wildlife Habitat Canada (WHC).
Walker, B., C. S. Holling, S. R. Carpenter, & A. Kinzig. 2004. Resilience, adaptability and transformability in social–ecological systems. Ecology and Society 9 (2): 5. Walker, L.R., Walker, J. & Hobbs, R.J. (eds.) 2007. Linking restoration and ecological succession. Springer, New York, NY, US. Wells, P. 2007. The Senepis Tiger Conservation Area, the Current Status of Tigers and Future Conservation Options. Unpublished Report to Sinar Mas Forestry. Wiratno. 2014. Hutan kemasyarakatan dan hutan desa: Solusi konflik, pengentasan kemiskinan, dan penyelamatan habitat dan perlindungan keanekaragaman hayati. Dalam: Hakim, I & L.R. Wibowo (eds.). 2014. Hutan untuk Rakyat: Jalan terjal reforma agraria sektor kehutanan. LKISYogyakarta dan Puspijak-Bogor. Wu, J. 2008. Landscape ecology. In: S. E. Jorgensen (ed.). Encyclopedia of Ecology. Elsevier, Oxford: 2103-2108. WWF. 2001. WWF’s Global Conservation Priorities. WWF, Gland, Switzerland. Yunus, M. 2008. Annual Report PKHS/STTCP 2008. PKHS/STTCP Bukit Tigapuluh. Zonneveld, I.S. & R.T.T. Forman. 1990. Changing Landscape: An Ecological Perspective. Springer Verlag, New York.
195
196
RENCANA INDUK PENGEMBANGAN KONSERVASI BENTANG ALAM SKALA BESAR DI SUMATERA DAN KALIMANTAN
LAMPIRAN
Bangau tongtong (Leptoptilos javanicus) di sebuah kawasan hutan bakau di pesisir timur Sumatera, November 2007. (Foto: Rolf M. Jensen)
197
Lampiran 1 Kompilasi rencana aksi yang diusulkan para pihak di tingkat lanskap
198 LAMPIRAN-LAMPIRAN
RENCANA INDUK PENGEMBANGAN KONSERVASI BENTANG ALAM SKALA BESAR DI SUMATERA DAN KALIMANTAN
199
200
LAMPIRAN-LAMPIRAN
RENCANA INDUK PENGEMBANGAN KONSERVASI BENTANG ALAM SKALA BESAR DI SUMATERA DAN KALIMANTAN
201
202
LAMPIRAN-LAMPIRAN
RENCANA INDUK PENGEMBANGAN KONSERVASI BENTANG ALAM SKALA BESAR DI SUMATERA DAN KALIMANTAN
203
204
LAMPIRAN-LAMPIRAN
Lampiran 2 Matriks hambatan, tantangan, dan peluang konservasi lanskap
RENCANA INDUK PENGEMBANGAN KONSERVASI BENTANG ALAM SKALA BESAR DI SUMATERA DAN KALIMANTAN
205
206
LAMPIRAN-LAMPIRAN
RENCANA INDUK PENGEMBANGAN KONSERVASI BENTANG ALAM SKALA BESAR DI SUMATERA DAN KALIMANTAN
207
Lampiran 3 Kompilasi jumlah spesies vertebrata yang dilindungi di dalam lanskap
208 LAMPIRAN-LAMPIRAN
RENCANA INDUK PENGEMBANGAN KONSERVASI BENTANG ALAM SKALA BESAR DI SUMATERA DAN KALIMANTAN
209
210
LAMPIRAN-LAMPIRAN
Lampiran 4 Area padat hotspot berdasarkan wilayah administratif (satuan hektar)
RENCANA INDUK PENGEMBANGAN KONSERVASI BENTANG ALAM SKALA BESAR DI SUMATERA DAN KALIMANTAN
211
212
LAMPIRAN-LAMPIRAN
RENCANA INDUK PENGEMBANGAN KONSERVASI BENTANG ALAM SKALA BESAR DI SUMATERA DAN KALIMANTAN
213
214
LAMPIRAN-LAMPIRAN
RENCANA INDUK PENGEMBANGAN KONSERVASI BENTANG ALAM SKALA BESAR DI SUMATERA DAN KALIMANTAN
215
216
LAMPIRAN-LAMPIRAN
RENCANA INDUK PENGEMBANGAN KONSERVASI BENTANG ALAM SKALA BESAR DI SUMATERA DAN KALIMANTAN
217
218
LAMPIRAN-LAMPIRAN
RENCANA INDUK PENGEMBANGAN KONSERVASI BENTANG ALAM SKALA BESAR DI SUMATERA DAN KALIMANTAN
219
220
LAMPIRAN-LAMPIRAN
RENCANA INDUK PENGEMBANGAN KONSERVASI BENTANG ALAM SKALA BESAR DI SUMATERA DAN KALIMANTAN
221
222
LAMPIRAN-LAMPIRAN
RENCANA INDUK PENGEMBANGAN KONSERVASI BENTANG ALAM SKALA BESAR DI SUMATERA DAN KALIMANTAN
223
5.2. Tren pertumbuhan penduduk kabupaten di Provinsi Sumatera Selatan 2013-2018
5.1 Tren pertumbuhan penduduk di dalam lanskap tahun 2013-2018
Lampiran 5 Tren pertumbuhan penduduk di dalam lanskap tahun 2013-2018
224 LAMPIRAN-LAMPIRAN
5.3. Tren pertumbuhan penduduk kabupaten di Provinsi Jambi 2013-2018
RENCANA INDUK PENGEMBANGAN KONSERVASI BENTANG ALAM SKALA BESAR DI SUMATERA DAN KALIMANTAN
225
5.4. Tren pertumbuhan penduduk kabupaten di Provinsi Kalimantan Barat 2013-2018
226 LAMPIRAN-LAMPIRAN
5.5. Tren pertumbuhan penduduk kabupaten di Provinsi Kalimantan Timur 2013-2018
RENCANA INDUK PENGEMBANGAN KONSERVASI BENTANG ALAM SKALA BESAR DI SUMATERA DAN KALIMANTAN
227
Lampiran 6 Konflik sosial yang terjadi di beberapa wilayah lanskap
228 LAMPIRAN-LAMPIRAN
RENCANA INDUK PENGEMBANGAN KONSERVASI BENTANG ALAM SKALA BESAR DI SUMATERA DAN KALIMANTAN
229
230
LAMPIRAN-LAMPIRAN
RENCANA INDUK PENGEMBANGAN KONSERVASI BENTANG ALAM SKALA BESAR DI SUMATERA DAN KALIMANTAN
231
232
LAMPIRAN-LAMPIRAN
RENCANA INDUK PENGEMBANGAN KONSERVASI BENTANG ALAM SKALA BESAR DI SUMATERA DAN KALIMANTAN
233
234
LAMPIRAN-LAMPIRAN
RENCANA INDUK PENGEMBANGAN KONSERVASI BENTANG ALAM SKALA BESAR DI SUMATERA DAN KALIMANTAN
235
236
LAMPIRAN-LAMPIRAN
RENCANA INDUK PENGEMBANGAN KONSERVASI BENTANG ALAM SKALA BESAR DI SUMATERA DAN KALIMANTAN
237
238
LAMPIRAN-LAMPIRAN
RENCANA INDUK PENGEMBANGAN KONSERVASI BENTANG ALAM SKALA BESAR DI SUMATERA DAN KALIMANTAN
239
240
LAMPIRAN-LAMPIRAN
RENCANA INDUK PENGEMBANGAN KONSERVASI BENTANG ALAM SKALA BESAR DI SUMATERA DAN KALIMANTAN
241
242
LAMPIRAN-LAMPIRAN
1. Lanskap Senepis Tingkat pengaruh dan kepentingan para pihak: Nilai = 1: tidak berpengaruh/berkepentingan, 2 :rendah, 3: sedang, 4 : tinggi
Lampiran 7 Pengaruh dan kepentingan para pihak
RENCANA INDUK PENGEMBANGAN KONSERVASI BENTANG ALAM SKALA BESAR DI SUMATERA DAN KALIMANTAN
243
Berdasarkan kuadran di samping, yang menunjukkan posisi para pihak pada kuadran II, maka strategi pelibatannya adalah dengan kolaborasi para pihak dalam rencana aksi yang terkait pengelolaan lanskap.
Tingkat pengaruh dan kepentingan para pihak di lanskap Senepis
Selanjutnya, data dari tabel di atas dimasukkan dalam kuadran dan hasilnya para pihak yang dipetakan masuk dalam kuadran II seperti pada gambar di samping.
244 LAMPIRAN-LAMPIRAN
Tinggi
Sedang Tinggi
Tinggi Tinggi
Tinggi Tinggi Sedang Sedang
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (MAB-CB GSK BB )
Balai Penelitian Kehutanan Aek Nauli
BPDAS Indragiri Rokan
PB2HP Pekanbaru
PUSDALBANGHUT Regional I-Sumatera
Dinas Kehutanan Provinsi Riau
Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Riau
KPHP Minas Tahura
Dinas Perkebunan dan Kehutanan Kabupaten Bengkalis
Dinas Kehutanan Kabupaten Siak
Dinas Kehutanan Kabupaten Kampar
Badan Pertanahan Nasional Wilayah Riau
Dinas Kehutanan Kabupaten Rokan Hilir
Dinas Pertanian, Perkebunan, dan Kehutanan Kota Dumai
BAPPEDA Riau
Dinas Peternakan, Kelautan, dan Perikanan Dumai
Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Rokan Hilir
Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Bengkalis
Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Siak
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
Sedang
Sedang
Tinggi
Sedang
Tinggi
Tinggi
Sedang
Tinggi
Tinggi
Sedang
Tinggi
BPKH Wilayah XII Tanjungpinang
2
Tinggi
Keterangan
Pengaruh
BKSDA Riau
Nama Para Pihak (Organisasi/Kelompok)
1
No
2. Lanskap GSKBB Tingkat pengaruh dan kepentingan para pihak: Nilai = 1: tidak berpengaruh/berkepentingan, 2 :rendah, 3: sedang, 4 : tinggi
3
3
3
3
4
4
4
3
4
4
4
4
3
4
4
3
4
3
4
4
4
Nilai
Tinggi
Tinggi
Tinggi
Tinggi
Tinggi
Tinggi
Tinggi
Tinggi
Tinggi
Tinggi
Tinggi
Tinggi
Tinggi
Tinggi
Tinggi
Tinggi
Tinggi
Tinggi
Tinggi
Tinggi
Tinggi
Keterangan
Kepentingan
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
Nilai
RENCANA INDUK PENGEMBANGAN KONSERVASI BENTANG ALAM SKALA BESAR DI SUMATERA DAN KALIMANTAN
245
Sedang Sedang
Kepolisian Resort Rokan Hilir
Kepolisian Resort Bengkalis
Kepolisian Resort Siak
24
25
26
Sedang
23
The Forest Trust/TFT
Ekologika
44
45
Selanjutnya, data dari tabel di atas dimasukkan dalam kuadran dan hasilnya para pihak yang dipetakan masuk dalam kuadran I, II, dan IV seperti pada gambar di bawah ini.
Siak Cerdas
43
Greenpeace
39
Scale Up
FKKM Riau
38
42
WWF Riau
37
Jikalahari
Universitas Islam Riau (UIR)
36
Yapeka
Universitas Riau (UNRI)
35
41
PT Dexter Perkasa Indonesia
34
40
Sinar Mas Forestry (SMF)
33
Sedang
PT Bukit Batu Hutani Alam
Asia Pulp and Paper (APP)
31
PT Balai Kayang Mandiri
30
32
Sedang
PT Sekato Pratama Makmur
29
Sedang
Sedang
Sedang
Sedang
Sedang
Sedang
Sedang
Sedang
Sedang
Rendah
Rendah
Sedang
Sedang
Sedang
Sedang
Sedang
PT Arara Abadi
PT Satria Perkasa Agung
27
28
Sedang
Sedang
Sedang
Kepolisian Daerah Riau
Kepolisian Resort Dumai
22
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
2
2
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
Tinggi
Sedang
Tinggi
Rendah
Sedang
Sedang
Tinggi
Tinggi
Tinggi
Tinggi
Sedang
Sedang
Tinggi
Tinggi
Tinggi
Tinggi
Tinggi
Tinggi
Tinggi
Tinggi
Tinggi
Tinggi
Tinggi
Tinggi
4
3
4
2
3
3
4
4
4
4
3
3
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
246 LAMPIRAN-LAMPIRAN
Berdasarkan kuadran di samping, maka strategi pelibatan para pihak di kuadran I adalah dengan melakukan konsultasi/diskusi dengan para pihak terkait rencana pengembangan lanskap. Para pihak di kuadran II dapat melakukan strategi pelibatan dengan berkolaborasi dalam rencana aksi bersama antarpara pihak yang terkait dalam pengelolaan lanskap. Sedangkan para pihak di kuadran IV dapat melakukan strategi dengan melibatkan para pihak tersebut untuk pengelolaan lanskap ke depannya.
Tingkat pengaruh dan kepentingan para pihak di lanskap GSK-BB
RENCANA INDUK PENGEMBANGAN KONSERVASI BENTANG ALAM SKALA BESAR DI SUMATERA DAN KALIMANTAN
247
Sedang Sedang
Sedang Sedang
Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Siak
Kepolisian Daerah Riau
Kepolisian Resort Pelalawan
Kepolisian Resort Siak
PT Arara Abadi
PT Triomas FDI
WWF Riau
Jikalahari
FFI
15
16
17
18
19
20
21
22
Sedang
Sedang
Sedang
Sedang
Sedang
Sedang
Sedang
Tinggi
Tinggi
Tinggi
14
KPHP Tasik Besar Serkab
9
Sedang
Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Pelalawan
Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Riau
8
Tinggi
13
Dinas Kehutanan Provinsi Riau
7
Tinggi
BPN Wilayah Riau
PUSDALBANGHUT Regional I-Sumatera
6
Sedang
12
BP2HP Pekanbaru
5
Tinggi
Dinas Kehutanan Kabupaten Pelalawan
BPDAS Indragiri Rokan
4
Sedang
Dinas Kehutanan Kabupaten Siak
Balai Penelitian Kehutanan Aek Nauli
3
Tinggi
11
BPKH Wilayah XII Tanjungpinang
2
Tinggi
Keterangan
Pengaruh
10
BKSDA Riau
(Organisasi/Kelompok)
1
No
Nama Para Pihak
3. Lanskap Semenanjung Kampar Tingkat pengaruh dan kepentingan para pihak: Nilai = 1: tidak berpengaruh/berkepentingan, 2 :rendah, 3: sedang, 4 : tinggi
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
4
4
4
3
4
4
3
4
3
4
4
Nilai
Tinggi
Tinggi
Tinggi
Tinggi
Tinggi
Tinggi
Tinggi
Tinggi
Tinggi
Tinggi
Tinggi
Tinggi
Tinggi
Tinggi
Tinggi
Tinggi
Tinggi
Tinggi
Tinggi
Tinggi
Tinggi
Tinggi
Keterangan
Kepentingan
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
Nilai
248 LAMPIRAN-LAMPIRAN
Selanjutnya, data dari tabel di atas dimasukkan dalam kuadran dan hasilnya para pihak yang dipetakan masuk dalam kuadran II yang dapat dilihat seperti pada gambar di bawah ini.
Berdasarkan kuadran di samping, yang menunjukkan posisi para pihak pada kuadran II, maka strategi pelibatannya adalah dengan kolaborasi para pihak untuk mengembangkan rencana aksi dan implementasi bersama pemerintah, perusahaan, dan LSM dalam pengelolaan lanskap Semenanjung Kampar.
Tingkat pengaruh dan kepentingan para pihak di lanskap Semenanjung Kampar
RENCANA INDUK PENGEMBANGAN KONSERVASI BENTANG ALAM SKALA BESAR DI SUMATERA DAN KALIMANTAN
249
Sedang Sedang
Balai Penelitian Kehutanan Aek Nauli
BPDAS Indragiri Rokan
BP2HP Pekanbaru
PUSDALBANGHUT Regional I-Sumatera
Dinas Kehutanan Provinsi Riau
Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Riau
KPHP Tasik Besar Serkab
Dinas Kehutanan Kabupaten Pelalawan
Dinas Kehutanan Kabupaten Indragiri Hilir
Dinas Kehutanan Kabupaten Indragiri Hulu
BPN Wilayah Riau
Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Pelalawan
Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Indragiri Hilir
Kepolisian Daerah Riau
Kepolisian Resort Pelalawan
Kepolisian Resort Indragiri Hilir
Kepolisian Resort Indragiri Hulu
PT Arara Abadi
PT Riau Indo Agropalma
PT Satria Perkasa Agung
PT Bina Duta Laksana
WWF Riau
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
Sedang
Sedang
Sedang
Sedang
Sedang
Sedang
Sedang
Sedang
Sedang
Sedang
Tinggi
Tinggi
Tinggi
Tinggi
Sedang
Tinggi
Tinggi
Sedang
Tinggi
Sedang
Tinggi
BPKH Wilayah XII Tanjungpinang
Tinggi
BKSDA Riau
Keterangan
Pengaruh
1
(Organisasi/Kelompok)
Nama Para Pihak
2
No.
4. Lanskap Kerumutan Tingkat pengaruh dan kepentingan para pihak: Nilai = 1: tidak berpengaruh/berkepentingan, 2 :rendah, 3: sedang, 4 : tinggi
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
4
4
4
4
3
4
4
3
4
3
4
4
Nilai
Tinggi
Tinggi
Tinggi
Tinggi
Tinggi
Tinggi
Tinggi
Tinggi
Tinggi
Tinggi
Tinggi
Tinggi
Tinggi
Tinggi
Tinggi
Tinggi
Tinggi
Tinggi
Tinggi
Tinggi
Tinggi
Tinggi
Tinggi
Tinggi
Keterangan
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
Nilai
Kepentingan
250 LAMPIRAN-LAMPIRAN
Selanjutnya, data dari tabel di atas dimasukkan dalam kuadran dan hasilnya para pihak yang dipetakan masuk dalam kuadran II seperti pada gambar di bawah ini.
Berdasarkan kuadran di samping, yang menunjukkan posisi para pihak pada kuadran II, maka strategi pelibatannya adalah dengan kolaborasi para pihak untuk mengembangkan rancana aksi dan implementasi bersama pemerintah, perusahaan, dan LSM dalam pengelolaan lanskap Kerumutan.
Tingkat pengaruh dan kepentingan para pihak di lanskap Kerumutan
RENCANA INDUK PENGEMBANGAN KONSERVASI BENTANG ALAM SKALA BESAR DI SUMATERA DAN KALIMANTAN
251
Sedang Sedang
Tinggi Tinggi
Tinggi Tinggi
Tinggi Sedang
Balai Penelitian Kehutanan Aek Nauli
Balai Penelitian Kehutanan Palembang
BP2HP Wilayah III Pekanbaru
BP2HP Wilayah IV Jambi
BPDAS Indragiri Rokan
BPDAS Batanghari
PUSDALBANGHUT Regional I-Sumatera
BPKH Wilayah XII Tanjung Pinang
BPKH Wilayah XIII Pangkalpinang
Dinas Kehutanan Provinsi Jambi
Dinas Kehutanan Provinsi Riau
BAPPEDA Provinsi Jambi
Dinas Kehutanan Kabupaten Tebo
Dinas Kehutanan Kabupaten Tanjungjabung Barat
Dinas Kehutanan Kabupaten Bungo
BPN Wilayah Riau
BPN Wilayah Jambi
Kepolisian Daerah Riau
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
Sedang
Sedang
Tinggi
Tinggi
Tinggi
Tinggi
Tinggi
Tinggi
Sedang
Sedang
Tinggi
Balai TN Bukit Tigapuluh
2
Tinggi
Keterangan
Pengaruh
BKSDA Jambi
(Organisasi/Kelompok)
Nama Para Pihak
1
No.
5. Lanskap Bukit Tigapuluh Tingkat pengaruh dan kepentingan para pihak: Nilai = 1: tidak berpengaruh/berkepentingan, 2 :rendah, 3: sedang, 4 : tinggi
3
3
3
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
3
3
3
3
4
4
Nilai
Tinggi
Tinggi
Tinggi
Tinggi
Tinggi
Tinggi
Tinggi
Tinggi
Tinggi
Tinggi
Tinggi
Tinggi
Tinggi
Tinggi
Tinggi
Tinggi
Tinggi
Tinggi
Tinggi
Tinggi
Keterangan
Kepentingan
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
Nilai
252 LAMPIRAN-LAMPIRAN
Nama Para Pihak
Sedang Sedang
Sedang Sedang
Sedang Sedang
Kepolisian Resort Tanjung Jabung Barat
Kepolisian Resort Bungo
PT Wirakarya Sakti
PT Rimba Hutani Mas
PT Tebo Multi Agro
PT Lestari Asri Jaya (LAJ)
WWF Riau
FZS
Warsi
Walhi
Yayasan Pelestarian Harimau Sumatera/PKHS
AMAN
Suku Anak Dalam
Pokja REDD Komda Jambi
APHI
PT Agrowiyana
PT Aneka Pura Mukti Kerta
PT Palma Abadi
23
24
25
26
27
28
29
30
31
32
33
34
35
36
37
38
39
40
berpengaruh
Tidak
Sedang
Tinggi
Rendah
Sedang
Sedang
Sedang
Sedang
Sedang
Sedang
Sedang
Sedang
Sedang
Kepolisian Resort Tebo
Sedang
Kepolisian Daerah Jambi
Keterangan
Pengaruh
21
(Organisasi/Kelompok)
22
No.
1
3
3
3
4
2
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
Nilai
berkepentingan
Tidak
Sedang
Sedang
Tinggi
Tinggi
Sedang
Tinggi
Tinggi
Tinggi
Tinggi
Tinggi
Tinggi
Tinggi
Tinggi
Tinggi
Tinggi
Tinggi
Tinggi
Tinggi
Tinggi
Keterangan
Kepentingan
1
3
3
4
4
3
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
Nilai RENCANA INDUK PENGEMBANGAN KONSERVASI BENTANG ALAM SKALA BESAR DI SUMATERA DAN KALIMANTAN
253
Selanjutnya, data dari tabel di atas dimasukkan dalam kuadran dan hasilnya para pihak yang dipetakan masuk dalam kuadran I, II, dan III seperti pada gambar di bawah ini.
Berdasarkan kuadran di samping, yang menunjukkan posisi para pihak pada kuadran I, II, dan III, maka strategi pelibatannya adalah sebagai berikut. Pada kuadran I dilakukan konsultasi/ diskusi dengan para pihak yang terkait rencana pengembangan lanskap. Pada kuadran II, yang ditempati oleh sebagian besar para pihak, strategi pelibatannya adalah dengan kolaborasi para pihak tersebut untuk implementasi bersama dalam pengelolaan lanskap. Pada kuadran III strategi yang dilakukan adalah dengan pemberitahuan kepada para pihak yang terkait pengelolaan lanskap.
Tingkat pengaruh dan kepentingan para pihak di lanskap Bukit Tigapuluh
254 LAMPIRAN-LAMPIRAN
Tinggi Sedang
Tinggi Tinggi
Balai Taman Nasional Sembilang
Balai Taman Nasional Berbak
Balai Penelitian Kehutanan Palembang
PUSDALBANGHUT Regional I-Sumatera
BPDAS Batanghari
BPDAS Musi
BPKH Wilayah II & XIII (Pangkalpinang)
BP2HP Wilayah IV Jambi
BP2HP Wilayah V Palembang
Dinas Kehutanan Provinsi Jambi
Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Selatan
Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Jambi
Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Sumatera Selatan
BAPPEDA Provinsi Sumatera Selatan
BAPPEDA Provinsi Jambi
KPHP Meranti
KPHP Lalan Mangsang Mendis
BLH Kota Jambi
Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Muaro Jambi
Dinas Kehutanan dan Perkebunan Tanjungjabung Timur
Dinas Kehutanan Kabupaten Banyuasin
Dinas Kehutanan Kabupaten Musi Banyuasin
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
Tinggi
Tinggi
Tinggi
Tinggi
Tinggi
Tinggi
Tinggi
Sedang
Sedang
Tinggi
Tinggi
Sedang
Sedang
Tinggi
Tinggi
Tinggi
Sedang
Tinggi
Tinggi
BKSDA Sumatera Selatan
Tinggi
BKSDA Jambi
Keterangan
Pengaruh
1
Nama Para Pihak (Organisasi/Kelompok)
2
No
6. Lanskap Berbak Sembilang Tingkat pengaruh dan kepentingan para pihak: Nilai = 1: tidak berpengaruh/berkepentingan, 2 :rendah, 3: sedang, 4 : tinggi
4
4
4
4
4
4
4
4
4
3
3
4
4
3
3
4
4
4
3
3
4
4
4
4
Nilai
Tinggi
Tinggi
Tinggi
Tinggi
Tinggi
Tinggi
Tinggi
Tinggi
Tinggi
Tinggi
Tinggi
Tinggi
Tinggi
Tinggi
Tinggi
Tinggi
Tinggi
Tinggi
Tinggi
Tinggi
Tinggi
Tinggi
Tinggi
Tinggi
Keterangan
Kepentingan
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
Nilai
RENCANA INDUK PENGEMBANGAN KONSERVASI BENTANG ALAM SKALA BESAR DI SUMATERA DAN KALIMANTAN
255
Pengaruh
Sedang Sedang
Sedang Sedang
Sedang Sedang
Sedang Sedang
Sedang Tinggi
BPN Wilayah Jambi
BPN Wilayah Sumatera Selatan
Kepolisian Daerah Jambi
Kepolisian Daerah Sumatera Selatan
Kepolisian Resort Tanjung Jabung Timur
Kepolisian Resort Musi Banyuasin
Kepolisian Resort Banyuasin
Kepolisian Resort Muaro Jambi
PT Wirakarya Sakti
PT Rimba Hutani Mas
PT BPP
APP
SMF
PT Putra Duta
PT REKI
WWF
Warsi
Walhi
Forum Harimau Kita
Walestra
ZSL/Zoological Society of London
Burung Indonesia
Wahana Bumi Hijau/WBH
AMAN
The Forest Trust/TFT
27
28
29
30
31
32
33
34
35
36
37
38
39
40
41
42
43
44
45
46
47
48
49
50
51
Sedang
Sedang
Sedang
Sedang
Rendah
Sedang
Sedang
Sedang
Sedang
Sedang
Sedang
Sedang
Sedang
Sedang
Sedang
Sedang
Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Musi Banyuasin
26
Sedang
Keterangan
Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Tanjung Jabung Timur
Nama Para Pihak (Organisasi/Kelompok)
25
No
3
3
3
3
4
3
2
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
Nilai
Sedang
Sedang
Sedang
Sedang
Tinggi
Tinggi
Sedang
Sedang
Sedang
Tinggi
Sedang
Sedang
Tinggi
Tinggi
Tinggi
Tinggi
Tinggi
Tinggi
Tinggi
Tinggi
Tinggi
Tinggi
Tinggi
Tinggi
Tinggi
Tinggi
Tinggi
Keterangan
Kepentingan
3
3
3
3
4
4
3
3
3
4
3
3
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
Nilai
256 LAMPIRAN-LAMPIRAN
Sedang Sedang
PT Ekologika
GIZ
Universitas Jambi
Universitas Batanghari
Universitas Sriwijaya
54
55
56
57
58
Rendah
Sedang
Sedang
Sedang
Rendah
Gita Buana Club
Gita Buana
Keterangan
Pengaruh
53
Nama Para Pihak (Organisasi/Kelompok)
52
No
3
3
3
3
3
2
2
Nilai
Sedang
Tinggi
Tinggi
Tinggi
Tinggi
Tinggi
Sedang
Keterangan
Kepentingan
3
4
4
4
4
4
3
Nilai
RENCANA INDUK PENGEMBANGAN KONSERVASI BENTANG ALAM SKALA BESAR DI SUMATERA DAN KALIMANTAN
257
Selanjutnya, data dari tabel di atas dimasukkan dalam kuadran dan hasilnya para pihak yang dipetakan masuk dalam kuadran I dan II seperti pada gambar di samping.
Berdasarkan kuadran di samping, yang menunjukkan posisi para pihak pada kuadran I dan II, maka strategi pelibatannya untuk kuadran I adalah dengan melakukan konsultasi/ diskusi dengan para pihak tentang bagaimana pengelolaan lanskap ke depan. Sedangkan untuk kuadran II adalah dengan kolaborasi para pihak tersebut.
Tingkat pengaruh dan kepentingan para pihak di lanskap Berbak Sembilang
258 LAMPIRAN-LAMPIRAN
Tinggi Tinggi
Tinggi Tinggi
Balai Penelitian Kehutanan Palembang
PUSDALBANGHUT Regional I-Sumatera
BPDAS Batanghari
BPDAS Musi
BPKH Wilayah II dan XIII (Pangkalpinang)
BP2HP Wilayah IV Jambi
BP2HP Wilayah V Palembang
Dinas Kehutanan Provinsi Jambi
Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Selatan
BAPPEDA Provinsi Sumatera Selatan
BAPPEDA Provinsi Jambi
KPHP Meranti
KPHP Unit III Lalan Mangsang Mendis
KPHP Unit IV Lakitan
Dinas Kehutanan Kabupaten Muaro Jambi
Dinas Kehutanan dan Perkebunan Sarolangun
Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Banyuasin
Dinas Kehutanan Kabupaten Musi Banyuasin
Dinas Kehutanan Musi Rawas
BPN Wilayah Jambi
BPN Wilayah Sumatera Selatan
Kepolisian Daerah Jambi
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
Sedang
Sedang
Sedang
Tinggi
Tinggi
Tinggi
Tinggi
Tinggi
Tinggi
Tinggi
Tinggi
Sedang
Sedang
Tinggi
Tinggi
Tinggi
Sedang
Sedang
Tinggi
BKSDA Jambi
2
Tinggi
Keterangan
Pengaruh
BKSDA Sumatera Selatan
Nama Para Pihak (Organisasi/Kelompok)
1
No.
7. Lanskap Dangku-Meranti Tingkat pengaruh dan kepentingan para pihak: Nilai = 1: tidak berpengaruh/berkepentingan, 2 :rendah, 3: sedang, 4 : tinggi
3
3
3
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
3
3
4
4
4
3
3
4
4
Nilai
Tinggi
Tinggi
Tinggi
Tinggi
Tinggi
Tinggi
Tinggi
Tinggi
Tinggi
Tinggi
Tinggi
Tinggi
Tinggi
Tinggi
Tinggi
Tinggi
Tinggi
Tinggi
Tinggi
Tinggi
Tinggi
Tinggi
Tinggi
Tinggi
Keterangan
Kepentingan
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
Nilai
RENCANA INDUK PENGEMBANGAN KONSERVASI BENTANG ALAM SKALA BESAR DI SUMATERA DAN KALIMANTAN
259
Pengaruh
Sedang Sedang
Kepolisian Resort Musi Banyuasin
Kepolisian Resort Banyuasin
27
28
Sedang Sedang
PT Wirakarya Sakti
PT Tripupa Jaya
PT Rimba Hutani Mas
31
32
33
Sedang Sedang
SMF
PT Sumber Hijau Permai
36
37
Tinggi Sedang
PT Sentosa Mulia Bahagia (Haji Alim)
PT REKI
Burung Indonesia
40
41
42
Sedang Tinggi
Forum Harimau Kita
Walestra
ZSL/Zoological Society of London
Wahana Bumi Hijau/WBH
AMAN
The Forest Trust/TFT
Gita Buana Club
45
46
47
48
49
50
51
Sedang
Sedang
Sedang
Sedang
Sedang
Sedang
Wetland
Walhi
43
44
Sedang
Sedang
Sedang
PT Putra Duta Indah Wood
PT Sentosa Bahagia Bersama (Haji Alim)
38
39
Sedang
Sedang
PT BPP/Bumi Persada Permai
APP
34
35
Sedang
Sedang
Sedang
Kepolisian Resort Sarolangun
Kepolisian Resort Musi Rawas
29
30
Sedang
Sedang
Kepolisian Resort Muaro Jambi
26
Sedang
Keterangan
Kepolisian Daerah Sumatera Selatan
Nama Para Pihak (Organisasi/Kelompok)
25
No.
3
3
3
3
4
3
3
3
3
4
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
Nilai
Sedang
Tinggi
Sedang
Tinggi
Tinggi
Sedang
Tinggi
Sedang
Tinggi
Tinggi
Tinggi
Tinggi
Tinggi
Tinggi
Tinggi
Tinggi
Tinggi
Tinggi
Tinggi
Tinggi
Tinggi
Tinggi
Tinggi
Tinggi
Tinggi
Tinggi
Tinggi
Keterangan
Kepentingan
3
4
3
4
4
3
4
3
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
Nilai
260 LAMPIRAN-LAMPIRAN
Gita Buana
Ekologika
GIZ
Kobar 9
52
53
54
55
No.
Nama Para Pihak (Organisasi/Kelompok)
Rendah
Rendah
Sedang
Rendah
Keterangan
Pengaruh
2
2
3
2
Nilai
Rendah
Tinggi
Tinggi
Sedang
Keterangan
Kepentingan
2
4
4
3
Nilai
RENCANA INDUK PENGEMBANGAN KONSERVASI BENTANG ALAM SKALA BESAR DI SUMATERA DAN KALIMANTAN
261
Selanjutnya, data dari tabel di atas dimasukkan dalam kuadran dan hasilnya para pihak yang dipetakan masuk dalam kuadran I, II, dan III seperti pada gambar di samping.
Kuadran di samping menunjukkan bahwa para pihak berada di kuadran I, II, dan III. Strategi pelibatan yang mungkin dilakukan ialah dengan konsultasi untuk para pihak di kuadran I, melakukan kolaborasi para pihak untuk mengembangkan rencana aksi dan implementasi dalam pengelolaan lanskap yang berada di kuadran II, sedangkan di kuadran III dengan memberitahu para pihak untuk ikut terlibat dalam pengelolaan.
Tingkat pengaruh dan kepentingan para pihak di lanskap Dangku-Meranti
262 LAMPIRAN-LAMPIRAN
Tinggi Sedang
PUSDALBANGHUT Regional I-Sumatera
BPDAS Musi
BPKH Wilayah XIII Pangkalpinang
BP2HP Wilayah V Palembang
Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Selatan
Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Sumatera Selatan
BAPPEDA Provinsi Sumatera Selatan
BLHD Provinsi
Dinas Kehutanan Kabupaten Banyuasin
KPHL Banyuasin (Unit I)
Dinas Kehutanan Kabupaten Ogan Komering Ilir
Dinas Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan Kota Palembang
BPN Wilayah Sumatera Selatan
Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Ogan Komering Ilir
Kepolisian Daerah Sumatera Selatan
Kepolisian Resort Palembang
Kepolisian Resort Banyuasin
Kepolisian Resort Ogan Komering Ilir
PT Sebangun Bumi Andalas
PT Bumi Mekar Hijau
PT. Bumi Andalas Permai
WCS Indonesia
Walhi
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
Sedang
Sedang
Sedang
Sedang
Sedang
Sedang
Sedang
Sedang
Sedang
Sedang
Tinggi
Tinggi
Tinggi
Tinggi
Tinggi
Sedang
Tinggi
Sedang
Tinggi
Tinggi
Sedang
Sedang
Balai Penelitian Kehutanan Palembang
2
Tinggi
Keterangan
Pengaruh
BKSDA Sumatera Selatan
Nama Para Pihak (Organisasi/Kelompok)
1
No.
8. Lanskap Padang Sugihan Tingkat pengaruh dan kepentingan para pihak: Nilai = 1: tidak berpengaruh/berkepentingan, 2 :rendah, 3: sedang, 4 : tinggi
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
4
4
4
4
4
4
3
4
3
4
4
3
3
4
Nilai
Tinggi
Tinggi
Tinggi
Tinggi
Tinggi
Tinggi
Tinggi
Tinggi
Tinggi
Tinggi
Tinggi
Tinggi
Tinggi
Tinggi
Tinggi
Tinggi
Tinggi
Tinggi
Tinggi
Tinggi
Tinggi
Tinggi
Tinggi
Tinggi
Tinggi
Keterangan
Kepentingan
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
Nilai
RENCANA INDUK PENGEMBANGAN KONSERVASI BENTANG ALAM SKALA BESAR DI SUMATERA DAN KALIMANTAN
263
Berdasarkan kuadran di samping, para pihak berada di kuadran II, sehingga strategi pelibatannya ialah dengan melakukan kolaborasi para pihak untuk mengembangkan rencana aksi dan implementasi dalam pengelolaan lanskap ke depannya bersama para pihak yang ada.
Tingkat pengaruh dan kepentingan para pihak di lanskap Padang Sugihan
Selanjutnya, data dari tabel di atas dimasukkan dalam kuadran dan hasilnya para pihak yang dipetakan masuk dalam kuadran II seperti pada gambar di samping.
264 LAMPIRAN-LAMPIRAN
Sedang Tinggi
BP2HP Wilayah X Pontianak
Balai Penelitian Kehutanan Banjarbaru
PUSDALBANGHUT Regional III-Kalimantan
4
5
6
Tinggi
Tinggi Tinggi
BAPPEDA Provinsi Kalimantan Barat
BLHD Provinsi Kalimantan Barat
9
10
Sedang Sedang
Dinas Kehutanan Kabupaten Ketapang
Dinas Kehutanan Kabupaten Kuburaya
Dinas Kehutanan Kabupaten Sanggau
Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Kuburaya
Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Ketapang
Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Kayong Utara
Kepolisian Daerah Kalimantan Barat
Kepolisian Resort Kayong Utara
Kepolisian Resort Kuburaya
Kepolisian Resort Ketapang
Kepolisian Resort Sanggau
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
Sedang
Sedang
Sedang
Sedang
Sedang
Sedang
Tinggi
Tinggi
Tinggi
Tinggi
Dinas Kehutanan Kabupaten Kayong Utara
KPHP Kendawangan
11
12
Tinggi
Sedang
Dinas Kehutanan Provinsi Kalimantan Barat
Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Kalimantan Barat
7
8
Sedang
Sedang
Tinggi
BPKH Wilayah III Pontianak
BPDAS Kapuas
Tinggi
Keterangan
Pengaruh
3
Nama Para Pihak (Organisasi/Kelompok)
2
BKSDA Kalimantan Barat
1
No.
9. Lanskap Kubu Tingkat pengaruh dan kepentingan para pihak: Nilai = 1: tidak berpengaruh/berkepentingan, 2 :rendah, 3: sedang, 4 : tinggi
3
3
3
3
3
3
3
3
4
4
4
4
4
4
4
3
4
3
3
3
4
4
4
Nilai
Tinggi
Tinggi
Tinggi
Tinggi
Tinggi
Tinggi
Tinggi
Tinggi
Tinggi
Tinggi
Tinggi
Tinggi
Tinggi
Tinggi
Tinggi
Tinggi
Tinggi
Tinggi
Tinggi
Tinggi
Tinggi
Tinggi
Tinggi
Keterangan
Kepentingan
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
Nilai
RENCANA INDUK PENGEMBANGAN KONSERVASI BENTANG ALAM SKALA BESAR DI SUMATERA DAN KALIMANTAN
265
Sedang Sedang
PT Asia Tani Persada
PT Mayangkara Tanaman Industri
PT Wana Subur Lestari
APP
SMF
WWF
FFI
Titian
Wetland
Forum Orangutan Indonesia
Ekologika
IDH
IFC
Universitas Tanjung Pura
26
27
28
29
30
31
32
33
34
35
36
37
38
39
Rendah
Rendah
Rendah
Sedang
Sedang
Sedang
Sedang
Sedang
Sedang
Sedang
Sedang
Sedang
Sedang
PT Daya Tani Kalbar
25
Sedang
Keterangan
Pengaruh
PT Kalimantan Subur Permai
Nama Para Pihak (Organisasi/Kelompok)
24
No.
2
2
2
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
Nilai
Sedang
Rendah
Sedang
Tinggi
Tinggi
Tinggi
Tinggi
Tinggi
Tinggi
Tinggi
Tinggi
Tinggi
Tinggi
Tinggi
Tinggi
Tinggi
Keterangan
Kepentingan
3
2
3
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
Nilai
266 LAMPIRAN-LAMPIRAN
Selanjutnya, data dari tabel di atas dimasukkan dalam kuadran dan hasilnya para pihak yang dipetakan masuk dalam kuadran I, II, dan III seperti pada gambar di bawah ini.
Kuadran di samping menunjukkan bahwa para pihak yang dipetakan masuk dalam kuadran I, II, dan III. Strategi pelibatannya untuk kuadran I melalui konsultasi/diskusi dengan para pihak tersebut bagaimana pengelolaan lanskap ke depannya, strategi pelibatan kuadran II dengan kolaborasi para pihak tersebut, sedangkan pada kuadran III dengan pemberitahuan upaya pengelolaan lanskap kepada para pihak terkait.
Tingkat pengaruh dan kepentingan para pihak di lanskap Kubu
RENCANA INDUK PENGEMBANGAN KONSERVASI BENTANG ALAM SKALA BESAR DI SUMATERA DAN KALIMANTAN
267
Pengaruh
Sedang Sedang
Sedang Sedang
Dinas Kehutanan Bontang
Dinas Kelautan dan Perikanan Bontang
Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Kutai Kertanegara
Badan Pertanahan Nasiolan Wilayah Kalimantan Timur
Kepolisian Daerah Kalimantan Timur
Kepolisian Resort Kutai Kertanegara
Kepolisian Resort Bontang
Kepolisian Resort Kutai Timur
PT Surya Hutani Jaya
PT Sumalindo Hutani Jaya
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
Tinggi
Sedang
Sedang
Sedang
Sedang
Sedang
Tinggi
Tinggi
KPHP Meratus
Dinas Kehutana Samarinda
Tinggi
Tinggi
Sedang
Sedang
Tinggi
13
Dinas Kehutanan Kabupaten Kutai Timur
11
Tinggi Sedang
12
BLHD Kutai Kertanegara
10
Tinggi
Balai Penelitian Kehutanan Banjarbaru
7
Dinas Kehutanan Provinsi Kalimantan Timur
PUSDALBANGHUT Regional III-Kalimantan
6
Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Kalimantan Timur
BPDAS Mahakam
5
8
BP2HP Wilayah XIII Samarinda
4
9
Sedang
BPKH Wilayah IV Samarinda
3
Tinggi
Balai Taman Nasional Kutai
2
Tinggi
Keterangan
BKSDA Kalimantan Timur
Nama Para Pihak (Organisasi/Kelompok)
1
No.
Tingkat pengaruh dan kepentingan para pihak: Nilai = 1: tidak berpengaruh/berkepentingan, 2 : rendah, 3 : sedang, 4 : tinggi
10. Lanskap Kutai
3
3
3
3
3
3
3
3
3
4
4
4
4
4
3
4
3
3
4
3
4
4
4
Nilai
Tinggi
Tinggi
Tinggi
Tinggi
Tinggi
Tinggi
Tinggi
Tinggi
Tinggi
Tinggi
Tinggi
Tinggi
Tinggi
Tinggi
Tinggi
Tinggi
Tinggi
Tinggi
Tinggi
Tinggi
Tinggi
Tinggi
Tinggi
Keterangan
Kepentingan
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
Nilai
268 LAMPIRAN-LAMPIRAN
WWF
BOS
TNC
Universitas Mulawarman
24
25
26
27
No.
Nama Para Pihak (Organisasi/Kelompok)
Sedang
Sedang
Sedang
Sedang
Keterangan
Pengaruh
3
3
3
3
Nilai
Sedang
Tinggi
Tinggi
Tinggi
Keterangan
Kepentingan
3
4
4
4
Nilai
RENCANA INDUK PENGEMBANGAN KONSERVASI BENTANG ALAM SKALA BESAR DI SUMATERA DAN KALIMANTAN
269
Kuadran di samping menunjukkan bahwa para pihak yang dipetakan masuk dalam kuadran II. Maka untuk strategi pelibatannya dilakukan kolaborasi para pihak tersebut dengan pemerintah, perusahaan, dan LSM.
Tingkat pengaruh dan kepentingan para pihak di lanskap Kutai
Selanjutnya, data dari tabel di atas dimasukkan dalam kuadran dan hasilnya para pihak yang dipetakan masuk dalam kuadran II seperti pada gambar di samping.
270 LAMPIRAN-LAMPIRAN
Penyebab kerusakan
Kondisi sebelum
Status kawasan / lahan
Tujuan
Kegiatan
Tipe
Mengembalikan fungsi hutan
΄ Tambak
΄ Kebun
΄ Illegal logging
΄ Kebakaran hutan
Semak belukar
Alang-alang,
Lahan kosong,
΄ Hutan lindung
΄ Kebakaran hutan ΄ Illegal logging ΄ Kebun ΄ Tambak
΄ Illegal logging
΄ Kebun
΄ Tambak
Lahan kritis (lahan yang kondisinya rusak/tidak ada pohon)
΄ Kebakaran hutan
Hutan dan lahan yang produktivitasnya kurang
΄ Hutan hak
΄ Di hutan hak, hutan kota atau di semua lahan kritis (berada dalam beberapa wilayah DAS)
΄ Di luar kawasan hutan
Memulihkan dan meningkatkan produktivitas lahan yang kondisinya rusak agar dapat berfungsi secara optimal
Memperbanyak keragaman tanaman guna meningkatkan produktivitas lahan dan hutan
Reboisasi
΄ Hutan rawang, baik di hutan produksi, hutan ΄ Hutan produksi lindung, maupun hutan konservasi, ΄ Hutan kecuali pada konservasi cagar alam dan (kecuali CA zona inti taman dan zona inti nasional. TN)
Penghijauan
Pengayaan Tanaman
Rehabilitasi Hutan dan Lahan ¹
Reklamasi Hutan ¹
΄ Bencana alam.
΄ Kepentingan pertahanan keamanan
΄ Kepentingan religi
΄ Instalasi jaringan listrik, telepon, instalasi air
΄ Pertambangan
Lahan dan vegetasi hutan yang rusak
΄ Semua kawasan hutan akibat bencana alam (kecuali CA dan zona inti TN)
΄ Kawasan hutan yang telah mengalami perubahan permukaan tanah dan perubahan penutupan tanah.
΄ Kebun
΄ Illegal logging
΄ Kebakaran hutan
Kawasan hutan yang tutupan vegetasinya sangat jarang, semak belukar, perladangan, dan tanah kosong.
Hutan produksi
Mengembalikan unsur biotik (flora-fauna) dan unsur abiotik (tanah, iklim dan topografi) di hutan produksi, sehingga tercapai keseimbangan hayati
Restorasi Ekosistem ²
RESTORASI
Memperbaiki atau memulihkan kembali lahan dan vegetasi hutan yang rusak agar dapat berfungsi secara optimal sesuai dengan peruntukannya
Lampiran 8 Perbandingan kegiatan restorasi untuk pemulihan hutan dan lahan
Rehabilitasi Memulihkan struktur, fungsi, dinamika populasi, serta keanekaragaman hayati dan ekosistemnya
Memulihkan struktur, fungsi, dinamika populasi, serta keanekaragaman hayati dan ekosistemnya
Restorasi
΄ Kebakaran hutan ΄ Illegal logging ΄ Perambahan kawasan ΄ Penggembala-an liar
΄ Kebun
΄ Illegal logging
΄ Kebakaran hutan
΄ Kebun
΄ Illegal logging
΄ Kebakaran hutan
Ekosistem yang mengalami kerusakan fungsi berupa berkurangnya penutupan lahan, kerusakan badan air atau bentang alam laut
΄ Taman wisata alam
΄ Taman hutan raya
΄ Suaka margasatwa
΄ Cagar alam
΄ Taman nasional
Melindungi dan mengamankan proses alami
Mekanisme Alam
Pemulihan Ekosistem ³
RENCANA INDUK PENGEMBANGAN KONSERVASI BENTANG ALAM SKALA BESAR DI SUMATERA DAN KALIMANTAN
271
Sumber dana
Pelaksana
Kegiatan
Tipe
΄ Pemegang hak/ izin
΄ Pemerintah Kabupaten/Kota
Pengayaan Tanaman
΄ Di hutan lindung dan hutan produksi yang dikelola Badan Usaha Milik Negara, atau diberikan izin pemanfaatan hutan/ izin penggunaan kawasan hutan dilaksanakan oleh pemegang hak/izin
΄ DI hutan lindung dan hutan produksi yang tidak dibebani hak dilaksanakan oleh pemerintah kabupaten/kota
Penghijauan
΄ Pemegang izin penggunaan kawasan hutan (untuk kegiatan di luar kehutanan)
΄ Pemerintah dan pemerintah daerah (untuk semua kawasan hutan karena bencana alam)
΄ Pemegang hak atau izin untuk kawasan hutan yang telah dibebani hak atau izin
΄ Pemerintah provinsi atau kabupaten/kota untuk taman hutan raya
Perusahaan pemilik izin (pemegang konsesi RE)
Perusahaan pemegang izin restorasi ekosistem di kawasan hutan produksi atau Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan KayuRestorasi Ekosistem (IUPHHK-RE)
Restorasi Ekosistem ²
RESTORASI Reklamasi Hutan ¹
΄ Pemerintah kabupaten/kota atau kesatuan pengelola hutan untuk kawasan hutan produksi dan hutan lindung
΄ Pemerintah untuk kawasan hutan konservasi
΄ Di Tahura dilaksanakan oleh Pemprov/ Pemkab/kota
΄ Di hutan konservasi dilaksanakan oleh pemerintah pusat kecuali Tahura
Reboisasi
Rehabilitasi Hutan dan Lahan ¹
΄ Badan usaha
΄ Unit pengelola
Rehabilitasi
΄ Badan usaha
΄ Unit pengelola
Restorasi
΄ Sumber dana lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
΄ Pemerintah provinsi atau kabupaten/kota untuk taman hutan raya (APBD)
΄ Pemerintah untuk kawasan hutan konservasi (APBN)
Unit pengelola
Mekanisme Alam
Pemulihan Ekosistem ³
272 LAMPIRAN-LAMPIRAN
pembibitan
΄ Persemaian/
΄ Revegetasi dan pengamanan (perlindungan hutan dan penanaman dengan jenis tanaman hutan unggulan setempat dan permudaan alam)
΄ Pengelolaan lapisan tanah
΄ Pengendalian erosi dan sedimentasi
΄ Pengaturan bentuk kawasan hutan
΄ Penyiapan kawasan hutan
Penghijauan
΄ ΄ ΄ ΄
Penjagaan Patroli Pengawasan dan Pelaporan
Reklamasi Hutan ¹
΄ Sejauh mungkin menghindari jenis tumbuhan eksotis atau jenis tumbuhan asing
΄ Tumbuhan dapat bersifat monokultur atau campuran, dan
΄ Jenis tumbuhan yang sesuai dengan fungsi hidrologis
Di hutan lindung dan hutan produksi
΄ Berbagai jenis tanaman hutan
΄ Tumbuhan yang sesuai keadaan habitat setempat, dan
΄ Jenis tumbuhan asli setempat
Di hutan konservasi :
pendukung
΄ Pemelihara-an ΄ Penanaman tanaman ΄ Pemeliharaan ΄ Pengamanan tanaman dan pengamanan ΄ Kegiatan
΄ Penanaman
΄ Persemaian/ pembibitan
Reboisasi
Pengayaan Tanaman
Rehabilitasi Hutan dan Lahan ¹
΄ Di kawasan hutan produksi yang kurang produktif dengan jenis tanaman hutan dan permudaan alam.
΄ DI kawasan hutan produksi yang tidak produktif dengan jenis tanaman hutan unggulan setempat dan permudaan alam.
΄ Perlindungan dan pengamanan ΄ Penanaman ΄ Pengayaan jenis ΄ Pembinaan populasi
Restorasi Ekosistem ²
RESTORASI
Catatan : 1 = PP No 76 tahun 2008 tentang Rehabilitasi dan Reklamasi Hutan 2 = PP No.6 tahun 2007 dan Permenhut SK 159 tahun 2004 tentang Restorasi Ekosistem di Kawasan Hutan Produksi 3 = PP No 28 tahun 2011 tentang Pengelolaan Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestaraian Alam
Jenis bibit tanaman
Kegiatan
Kegiatan
Tipe
-
΄ Perlindungan dan pengamanan; ΄ Pembinaan habitat, ruang jelajah atau pembinaan objek wisata alam ΄ Penanaman ΄ Pembinaan populasi.
Mekanisme Alam
Tanaman asli
΄ Kegiatan pendukung
΄ Pengamanan
΄ Pemeliharaan tanaman
΄ Penanaman
΄ Persemaian/pembibitan
Rehabilitasi
Pemulihan Ekosistem ³ Restorasi RENCANA INDUK PENGEMBANGAN KONSERVASI BENTANG ALAM SKALA BESAR DI SUMATERA DAN KALIMANTAN
273
274
LAMPIRAN-LAMPIRAN
Lampiran 9. Program percontohan untuk diterapkan di dalam lanskap target
10.1. Program Model pusat pembelajaran konservasi, lingkungan hidup, dan pemberdayaan masyarakat (Learning Center) A. Tujuan APL (Arena Pembelajaran Lingkungan) 1. Secara umum. Untuk meningkatknan efektifitas dan efisiensi kegiatan proses belajar mengajar di alam, dengan menyediakan berbagai obyek dengan menggunakan metode tradisional (alami) dan non-tradisional (menggunakan alat peraga), untuk memudahkan peserta dalam mengikuti belajar mengajar di alam bebas. 2. Secara khusus. ΄ APL mempunyai peranan yang menentukan dalam meningkatkan efektifitas dan efisiensi proses belajar mengajar. Oleh karena itu APL bukan semata-mata suatu tempat belajar mengajar, namun diperlukan obyek yang sesuai dengan tujuan utama, yaitu lokasi pembelajaran konservasi alam dengan berbagai obyek alam. ΄ APL mempunyai visi terutama sebagai pusat sumber belajar untuk pengembangan pengetahuan konservasi, sehingga diperlukan sarana pendukung seperti bahan bacaan, pelayanan informasi di lapangan. Hal ini dimaksudkan untuk mencapai keberhasilan dalam pelaksanaan misi tersebut.
B. Komponen pembelajaran: 1. Pesan. Informasi atau pengetahuan konservasi yang akan disampaikan kepada peserta agar peserta mengetahui, memahami dan harapanya melakukan aksi dalam kegiatan konservasi. 2. Penyampai pesan (pendidik lapang/ interpreter). Penyampai pesan harus benar-benar memahami apa yang perlu disampaikan, agar peserta dapat mengerti pesan apa yang akan disampaikan.
3. Materi. Pengatahuan alam yang yang menjadi obyek pembelajaran yang perlu diketahui, dipelari dan dipahami oleh peserta. 4. Alat peraga. Perangkat apa yang dapat membantu dalam meyampaikan pesan, dalam hal ini diperlukan bahan-bahan atau langsung bersentuhan dengan obyek. 5. Metode pembelajaran. Metode pembelajran ini sangat penting artinya, dimana sangat diperlukan seorang interpreter memberikan metode yang mudah dimengerti, mudah dipahami oleh peserta. Metode yang umum digunakan di dalam pembelajaran mengenai konservasi adalah simulasi dan permainan alam. 6. Arena pembelajaran/ lingkungan. Lingkungan yang digunakan dalam pembelajaran ini adalah di alam terbuka atau outdoor, sehingga diperlukan sebuah jalur interpretasi agar semua peserta tertarik untuk mengikuti.
C. Manfaat : 1. Masyarakat umum dapat belajar berbagai tehnologi tepat guna seperti pertanian organik, peternakan, perikanan, energy terbarukan. a. Siswa sekolah dan atau komunitas pendidikan, dapat belajar berbagai demplot yang disediakan sabagai pembelajaran mengenai lingkunga untuk menunjang pelajaran di sekolah. b. Sebagai arena eisata pendidikan untuk belajar mengenai lingkungan. c. APP memberikan bantuan untuk kegiatan pembelajaran lingkungan untuk menunjang program perlindungan dan restorasi sejuta hektar.
D. Kelompok sasaran : 1. Masyarakat umum. 2. Komunitas sekolah. 3. Perguruan tinggi,
RENCANA INDUK PENGEMBANGAN KONSERVASI BENTANG ALAM SKALA BESAR DI SUMATERA DAN KALIMANTAN
4. Lembaga pemerintahan yang terkait. 5. LSM yang mempunyai kegiatan serupa. 6. Staf dan petugas lapangan perusahaan.
E. Lokasi pembangunan model : Dari 10 lanskap yang diinisiasi oleh APP, tersebar di beberapa provinsi al : 1. Provinsi Riau : Sinepis, Giam Siak, Semenjanjung Kampar, Kerumutan, sebagian Bukit Tigapuluh. 2. Provinsi Jambi : Sebagian bukit Tigapuluh dan TN Berbak. 3. Provinsi Sumatera Selatan : TN Sembilang, Padang Sugihan dan Dangku. 4. Provinsi Kalimantan Barat : Kubu Raya. 5. Provinsi Kalimantan Timur : Kutai. Dilihat sebaranya, maka lokasi pembangunan Model arena Pembelajaran Lingungan adalah : 1. Provinsi Riau ada 4 bentang alam, dan diusulkan di Tahura Minas/Giam Siak. 2. Jambi dan Sumatera Selatan, diusulkan di Padang Sugihan 3. Kalimantan Barat di Hutan Lindung Padu Banjar, Kab. Kayong Utara. 4. Kalimantan Timur di Taman Nasional Kutai.
F. Fasilitator Pembelajaran: Dalam memanfaatkan obyek pengetahuan yang berbasis alam itu, seorang fasilitator lapangan, mempunyai tanggung jawab untuk membantu peserta agar lebih mudah untuk memahami pengetahuan yang menjadi obyek pembelajaran mengenai alam. Oleh karena itu di dalam pengembangan Pusat Pembelajaran Lingkungan ini, perlu fasilitator lapang yang mampu dalam : 1. Menggunakan obyek dari alam dalam kegiatan belajar di alam. 2. Memilih obyek belajar sesuai dengan target peserta. 3. Mengenalkan dan menyajikan sumber pengetahuan itu kepada peserta. 4. Menerangkan peranan sumber belajar itu dalam kehidupan sehari hari.
5. Menjelaskan hubungan timbal balik antara sumber belajar yang satu dengan yang lain. 6. Memberikan simulasi bila obyek itu tidak ada atau musnah atau rusak.
G. Materi pembelajaran : Sumber belajar selain dari alam, juga dapat diciptakan, dibuat atau didesain sesuai dengan kebutuhan. Sumber belajar yang diciptakan ini, merupakan inovasi untuk mendukung kegiatan sehari-hari, atau sengaja dibuat agar peserta dapat mencontoh atau melakukan kegiatan di tempat tinggal mereka, baik kelompok ataupun individu.
H. Sumber belajar yang sengaja dibuat atau disiapkan adalah : 1. 2. 3. 4. 5.
Demplot pertanian. Demplot perikanan. Demplot peternakan. Demplot energi terbarukan. Demplot pembibitan disesuaikan dengan kondisi alam. 6. Demplot ujicoba penanaman jenis-jenis tumbuhan di masing-masing bentang alam.
275
276
LAMPIRAN-LAMPIRAN
No
Program
Kegiatan
Pusat Informasi yang berfungsi sebagai : ΄ ΄ ΄ ΄
Memberikan pelayanan/informasi kepada pengunjung. Menyediakan aneka buku pengetahuan Menyediakan display mengenai arena pembelajran Tempat penyampaian informasi berupa audio visual, seperti pemutran film, diskusi dsb.
Jalur interpretasi. Jalur interpretasi ini sumber belajarnya dari alam seperti flora fauna, bentang alam, ekosistem, habitat ΄ ΄ ΄ ΄
Menentukan jalur interpretasi yang mewakili ekosistem di sebuah landscape. Membuat jalur interpretasi, berupa loop trail ( jalur melingkar) dengan jarak pendek, menengah dan panjang disesuaikan dengan tingkatan peserta. Menentukan titik “point of interest” (daya tarik) sebagai sumber belajar di alam. Membuat peta jalur interpretasi.
Demplot terpadu pengembangan ekonomi kreatif berbasis sumber daya alam lokal. Demplot ini merupakan sumber belajar yang diciptakan sebagai obyek pembelajaran peserta. 3.1. Demplot pertanian Membuat petak-petak pertanian 3.2. Demplot peternakan Membuat beberapa kandang dengan beberapa ternak (sapi, kambing, bebek) 3.2. Demplot perikanan Membuat kolam dengan berbaagai jenis ikan darat. 3.4. Demplot energi terbarukan ΄ Membangun degester bogas. ΄ Membangun pemanfaatan ampas biogas untuk pertanian/pupuk organik. ΄ Membangun pencontohan pemanfaatan ampas biogas untuk pakan ternak. Membangun pemanfaatan biogas untuk kebutuhan energi (kompor/lampu). 3.5. Demplot restorasi berdasarkan kondisi alam setempat. ΄ Demplot penanaman tumbuhan pada lahan gambut. Demplot penanaman pada lahan non gambut. Buku Panduan lapangan Menyusun buku panduan mengenal berbagai jenis Flora dan fauna. Menyusun buku-buku panduan untuk kegiatan berdasarkan demplot yang dibuat. Menyusun buku panduan mengenai tehnik restorasi di setiap bentang alam.
RENCANA INDUK PENGEMBANGAN KONSERVASI BENTANG ALAM SKALA BESAR DI SUMATERA DAN KALIMANTAN
I.
Arahan Program Pengembangan APL.
J. Peranan para pihak.
3. 4. 5. 6.
Peranan para pihak dalam melakukan pendidikan lingkungan dan atau pembangunan arena pembelajaran konservasi alam ini, tentu tidak dapat dilakukan oleh salah satu pihak saja. Akan tetapi diperlukan para pihak agar kegiatan ini dapat dilakukan bersama, sehingga tercapai tujuanya dan meringankan dalam pembiayaan. 1. Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (TN/BKSDA) 2. Pemerintah Daerah (Dinas Kehutanan, Dinas Pendidikan, Dinas Pariwisata). LSM local dan internasional. Peneliti. Kelompok bisnis. Kelompok masyarakat.
277
278
LAMPIRAN-LAMPIRAN
K. Perkiraan dana pembuatan demplot pembelajaran
No
Program
Kegiatan
A.
Pembangunan Pusat Informasi yang berfungsi sebagai :
΄ ΄ ΄ ΄
B.
Dana/106 (IDR) 1,500
Perkiraan membuat 1 bangunan beserta isinya(display dan audio visual)
Pembangunan Jalur interpretasi. Jalur interpretasi ini sumber belajarnya dari alam seperti flora fauna, bentang alam, ekosistem, habitat. Kegiatan yang perlu dilakukan dalam penyiapan jalur ini adalah :
΄ ΄
΄ ΄
C.
Memberikan pelayanan/informasi kepada pengunjung. Menyediakan aneka buku pengetahuan Menyediakan display mengenai arena pembelajran Tempat penyampaian informasi berupa audio visual, seperti pemutran film, diskusi dsb.
PIC
Menentukan jalur interpretasi yang mewakili ekosistem di sebuah landscape. Membuat jalur interpretasi, berupa loop trail ( jalur melingkar) dengan jarak pendek, menengah dan panjang disesuaikan dengan tingkatan peserta. Menentukan titik “point of interest” (daya tarik) sebagai sumber belajar di alam. Membuat peta jalur interpretasi.
300 Membuat jalur interpretasi atau jalan setapak dengan beberapa papan nama
Demplot terpadu pengembangan ekonomi kreatif berbasis sumber daya alam lokal. Demplot ini merupakan sumber belajar yang diciptakan sebagai obyek pembelajaran peserta, biaya termasuk SDM. Demplot pertanian ΄ Membuat petak-petak pertanian
100
Demplot peternakan ΄ Membuat beberapa kandang dengan beberapa ternak (sapi, kambing, bebek), termasuk pembelian beberapa ternak.
150
Demplot perikanan ΄ Membuat kolam dengan berbagai jenis ikan darat (termasuk jenis-jenis ikan dan pakan)
150
RENCANA INDUK PENGEMBANGAN KONSERVASI BENTANG ALAM SKALA BESAR DI SUMATERA DAN KALIMANTAN
No
Program
Kegiatan
PIC
Demplot energi terbarukan ΄ Membangun degester bogas. ΄ Membangun pemanfaatan ampas biogas untuk pertanian/pupuk organik. ΄ Membangun pencontohan pemanfaatan ampas biogas untuk pakan ternak. ΄ Membangun pemanfaatan biogas untuk kebutuhan energi (kompor/lampu). Demplot restorasi berdasarkan kondisi alam setempat. ΄ Demplot penanaman tumbuhan pada lahan gambut. ΄ Demplot penanaman pada lahan non gambut. D.
Dana/106 (IDR) 150 Membuat 1 degester biogas dengan beberapa alat pendukung/ satu paket 150
Buku Panduan lapangan
΄
Menyusun buku panduan mengenal berbagai jenis Flora dan fauna.
150
΄
Menyusun buku-buku panduan untuk kegiatan berdasarkan demplot yang dibuat.
150
΄
Menyusun buku panduan mengenai tehnik restorasi di setiap bentang alam.
150 2,950
10. 2. Program model pengembangan pengelolaan hutan berbasis masyarakat (PHBM) Program pengelolaan hutan berbasis masyarakat (PHBM) dapat dilakukan pada wilayah-wilayah hutan yang ada dalam kawasan hutan maupun di luar kawasan hutan. Di Indonesia bentukbentuk PHBM cukup beragam, baik yang dilakukan secara mandiri oleh masyarakat maupun melalui program kemitraan dengan pihak lain. Pengelolaan hutan adat oleh masyarakat setempat secara tradisional, Hutan Kemasyarakatan (Hkm), Hutan Desa (HD), Hutan Tanaman Rakyat (HTR), hutan kemitraan, dan sebagainya adalah istilah-istilah yang mengacu pada konsep PHBM. Perbedaan-perbedaan antara suatu bentuk PHBM dengan lainnya cenderung berada pada aspek legal di mana pada kawasan hutan, kawasan lindung, atau status hutan yang berbeda memiliki peraturan perundangan yang juga berbeda.
Inti dari program ini adalah pemberian dan pengakuan hak dan akses masyarakat dalam mengelola dan melestarikan suatu wilayah hutan, baik untuk kepentingan peningkatan kesejahteraan mereka, perlindungan habitat, maupun restorasi ekosistem. Dengan demikian, apapun bentuk dan penamaan dari sebuah pengelolaan hutan dapat dikatakan sebagai bagian dari konsep PHBM sejauh memenuhi substansi di atas. Adapun dari segi implementasi pengelolaan sangat bergantung pada tujuan PHBM, fungsi hutan serta karakteristik sosial ekonomi masyarakat yang akan menjadi pengelola. Kegiatan PHBM dapat saja ditujukan semata-mata peningkatan ekonomi masyarakat secara berkelanjutan, misalnya dalam pengelolaan HTR. Akan tetapi, PHBM dapat juga dilakukan murni untuk menjaga ekosistem yang diharapkan memberi manfaat jangka panjang, misalnya perlindungan hutan lindung sebagai bagian dari konservasi sumber mata air bagi penduduk. Namun, integrasi antara kepentingan pelestarian dan peningkatan kesejahteraan masyarakat lebih banyak dikembangkan mengingat keduanya memiliki hubungan saling mempengaruhi.
279
280
LAMPIRAN-LAMPIRAN
Dengan demikian prinsip kemaslahatan bagi masyarakat setempat tetap menjadi titik berat dari pengembangan sebuah PHBM. Untuk kepentingan pengelolaan KPL ini, model pengembangan PHBM sangat mungkin dilakukan di tiap lanskap sejauh kejelasan status lokasi PHBM, tujuan serta potensi keterlibatan masyarakat setempat teridentifisi dengan baik. Sebuah model PHBM dapat diarahkan sebagai strategi dalam upaya-upaya proteksi habitat, restorasi ekosistem, serta pemberdayaan masyarakat.
Arahan PHBM model
Arahan model PHBM yang akan dikembangkan dapat disesuaikan dengan tipe ekosistem, bentuk-bentuk ancaman, serta karakteristik masyarakat setempat. Beberapa arahan yang dapat menjadi panduan antara lain: 1. PHBM ditujukan untuk mendukung proteksi pada kawasan konservasi, kawasan lindung, dan habitat-habitat satwa langka dan dilindungi. 2. PHBM ditujukan untuk memperkuat proses restorasi suatu ekosistem yang menekankan pada partisipasi masyarakat. 3. PHBM ditujukan untuk pengembangan nilai tambah sumberdaya hutan bagi kesejahteraan penduduk setempat. Berikut ini gambaran pemberdayaan masyarakat terhadap PHBM di dalam dan sekitar kawasan : Model PHBM dalam KPL dapat diintegrasikan dengan program-program restorasi dan pemberdayaan yang diusulkan dalam MP ini, misalnya pengembangan koridor orangutan
dan bekantan di TN Kutai dan SM Muara Kaman di lanskap Kutai, atau pengembangan Learning Center di tempat lain.
Tahapan pengembangan Apapun bentuknya beberapa langkah berikut ini mungkin dapat menjadi acuan dasar pengembangan model PHBM di dalam KPL oleh berbagai pihak, yaitu:
1. Persiapan Dalam proses persiapan, sebuah tim kerja dapat dibentuk terdiri dari orang-orang yang memiliki kemampuan dalam melakukan pemetaan, kajian biofisik, hukum dan sosial ekonomi. ΄ Pemetaan untuk menentukan batasbatasnya serta lokasi-lokasi indikatif terkait dengan aktivitas pemanfaatan, keberadaan satwa tertentu, pemukiman penduduk, atau hal lain yang mempengaruhi kondisi hutan. ΄ Kajian biofisik untuk melihat kondisi fisik, tipe ekosistem, nilai jasa lingkungan, serta keanekaragaman hayatinya. ΄ Kajian hukum untuk memahami status lokasi berdasarkan peraturan dan perundang-undangan yang berlaku. Identifikasi pula bentuk-bentuk dan status hukum penguasaan oleh berbagai pihak pada lokasi tersebut. ΄ Kajian sosial ekonomi untuk melihat kondisi demografis dan ekonomi masyarakat di dalam dan sekitar lokasi, tingkat ketergantungan terhadap lokasi, serta kelembagaan yang berkembang
Skema pemberdayaan masyarakat di dalam dan sekitar hutan (Ditjen. RLPS, 2009 dalam Hakim et al, 2011)
RENCANA INDUK PENGEMBANGAN KONSERVASI BENTANG ALAM SKALA BESAR DI SUMATERA DAN KALIMANTAN
dalam masyarakat. Identifikasi pula adanya peluang atau keinginan masyarakat untuk melakukan pengelolaan terhadap wilayah hutan yang akan dikembangkan untuk PHBM. ΄ Kajian program untuk melihat opsi-opsi bentuk PHBM yang dapat dikembangkan dengan melihat kondisi biofisik, status hukum dan karakteristik sosial ekonomi.
2. Sosialisasi Sosialisasi adalah proses komunikasi tentang rencana PHBM kepada berbagai pihak terkait, terutama masyarakat yang berpontensi untuk menjadi pelaku utama PHBM. Bentuk komunikasi tersebut dapat dilakukan dalam kegiatan seminar, workshop atau pertemuan kampung dengan penduduk di sekitar lokasi. Langkah yang dapat dilakukan di antaranya: ΄ Menyampaikan nilai penting hutan lokasi PHBM bagi masyarakat ΄ Pemaparan hasil kajian terhadap lokasi calon PHBM ΄ Opsi pengelolaan hutan yang dapat dilakukan masyarakat dan pihak lain Komitmen dan inisiatif dari masyarakat serta pihak lain sangat dibutuhkan sebelum menentukan apakah PHBM akan dikembangkan di lokasi tersebut. Tanpa keinginan dari masyarakat, PHBM tentu saja tak mungkin dilakukan. Pemaksaan terhadap PHBM hanya akan menyebabkan kegiatan kurang mendapat dukungan masyarakat. Sebanyak apapun sumberdaya yang dimiliki akan sulit mencapai tujuan PHBM secara berkelanjutan. Prinsip-prinsip FPIC perlu digunakan dalam proses sosialisasi ini.
3. Perencanaan program Perencanaan program dilakukan ketika telah terjadi komitmen dari satu atau beberapa masyarakat untuk mengembangkan PHBM pada hutan yang telah diidentifikasi. Perencanaan program dilakukan bersama masyarakat dengan melibatkan pihak terkait, misalnya: LSM, universitas, dinas kehutanan setempat, BKSDA atau Balai Taman Nasional, perusahaan yang tertarik pengembangan PHBM, dan sebagainya. Dalam perencanaan program masyarakat dan pendamping perlu: ΄ Menetapkan tujuan PHBM, ΄ Mengidentifikasi ancaman untuk mencapai tujuan tersebut dan solusi yang dapat dilakukan, ΄ Menentukan opsi status hukum atau dukungan kebijakan pada lokasi dan kegiatan PHBM,
΄ Menentukan bentuk kegiatan untuk mencapai tujuan, misalnya: pengembangan ekonomi berbasis sumberdaya hutan non-kayu, pembuatan instalasi air bersih, ekowisata, pengembangan learning center, pelaksanaan patroli hutan, pelatihan monitoring kondisi hutan, dan sebagainya. ΄ Menghitung sumberdaya yang dibutuhkan untuk menjalankan kegiatan serta mengidentifikasi sumber-sumber potensial, misalnya: pendanaan, tenaga ahli dan pendampingan, infrastrusktur, dan sebagainya. Perlu pula didiskusikan suamberdaya yang dapat disediakan secara mandiri oleh masyarakat. ΄ Membentuk kelompok pelaksana PHBM. Perlu diperhatikan aspek representasi dari kelompok-kelompok sosial dalam masyarakat setempat, kepemimpinan, serta keberadaan kelompok serupa yang mungkin telah ada dan dapat dioptimalkan perannya dalam PHBM. ΄ Menyusun dan menyepakati aturan dan penegakannya. Perlu dicermati pula konsekuensi-konsekuensi negatif dari penegakan aturan tersebut, misalnya konflik dalam masyarakat. ΄ Menentukan strategi kemitraan dengan pihak lain. PHBM yang sepenuhnya dijalankan oleh masyarakat sangat sulit terjadi, terutama pada lokasi hutan dengan permasalahan yang sangat kompleks. Akan tetapi prinsip kolaborasi tetap harus mementingkan unsur kemandirian dan kedaulatan pengelolaan oleh masyarakat setempat. Proses-proses negosiasi secara tebuka dan adil dalam menentukan hak dan tanggungjawab dalam kolaborasi. Langkah-langkah di atas bersifat umum dan fleksibel, situasi spesifik pada lokasi dan masyarakat tertentu memungkinkan adanya modifikasi atau perbedaan. Akan tetapi, beberapa faktor mendasar dari keberhasilan sebuah PHBM mungkin perlu dijadikan rujukan pada wilayah manapun. Meminjam pemikiran Agrawal dan Anglesen (2009: 205), setidaknya ada 4 faktor yang menentukan karakteristik keberhasilan program pengelolaan hutan dan sumberdaya alam berbasis masyarakat, termasuk kegiatan restorasi, sebagaimana dalam tabel berikut:
281
282
LAMPIRAN-LAMPIRAN
Kluster
Faktor berpengaruh terhadap keberhasilan - Luasan area tidak besar sehingga mudah dikelola dan dimonitor.
Ekosistem ΄ biophysical
- Batas-batas jelas (clean and clear) atau bebas dari konflik penguasaan (lahan). - Manfaat dapat diidentifikasi - Nilai sumberdaya ( jasa lingkungan) jelas dan penting - Relatif kecil atau tidak banyak sehingga memudahkan komunikasi, fasilitasi dan koordinasi.
Kelompok pengelola dan pemanfaat ΄ user group
- Saling bergantung sehingga kerjasama terjadi - Memiliki kepentingan terhadap manfaat yang dihasilkan - Memiliki pengetahuan dan pengalaman pengelolaan hutan/sumberdaya alam
dalam
kegiatan
- Aturan mudah dipahami dan dijalankan masyarakat - Aturan bersifat lokal Pengaturan ΄ institutional arrangement
- Aturan dapat mengatasi konflik - Sanksi efektif bagi penegakan aturan - Jaminan atas kepastian tenurial - kemampuan menghalangi (exclude) pihak lain yang menghambat program - Kebijakan pemerintah mendukung dan konsisten
Context ΄ Demografi, sistem pasar, politik makro
- Jaminan pemasaran ( jika ada nilai tambah secara ekonomi dari sumberdaya alam yang dikelola) - Pengembangan teknologi dan ilmu pengetahuan mendukung pengelolaan - Persoalan demografi teratasi, tidak ada tekanan dari pertambahan penduduk, misalnya: pendatang meningkat.
Lokasi Pengembangan Model Pengembangan model PHBM ini dapat diterapkan di seluruh provinsi pada lanskap tersebut, namun secara prioritas dapat dilakukan di : 1. Provinsi Riau : Provinsi ini memiliki wilayah 4 laskap meliputi Senepis, Semenanjung Kampar, Kerumutan, dan GSKBB. Model pengembangan ini dapat dilakukan di lanskap GSKBB dengan pertimbangan sebaran penduduk yang tinggi berada disekitar GSKBB, sehingga pengurangan tekanan terhadap kawasan hutan dapat dilakukan melalui skema PHBM. Hal ini dapat menjadi jawaban terhadap bagaimana masyarakat memiliki akses dalam pengelolaan hutan di kawasan mereka. Program yang dilakukan di Riau dapat diintegrasikan dengan Learning Center.
2. Provinsi Jambi. Provinsi Jambi memiliki kawasan di lanskap Berbak Sembilang yang salah satu kawasannya yaitu Tanjung Jabung Timur. Model PHBM tersebut dapat diterapkan karena Pemerintah Kabupaten memiliki inisiatif untuk pengembangan pengelolaan hutan skema PHBM. Komitmen juga tertuang dari Pemerintah Provinsi dalam RPJMD 2011-2015 yaitu pelaksanaan pembangunan dengan konsep “green economy” yang memiliki kepedulian dengan lingkungan. Disisi lain, pengembangan hutan berbasis masyarakat juga mendapat dukungan dari LSM sehingga inisiatif tersebut dapat menjadi pintu masuk implementasi PHBM desa-desa di sekitar wilayah tersebut.
RENCANA INDUK PENGEMBANGAN KONSERVASI BENTANG ALAM SKALA BESAR DI SUMATERA DAN KALIMANTAN
3.
Provinsi Kalimantan Timur. Model PHBM dalam KPL dapat dilakukan dengan program restorasi dan pemberdayaan masyarakat sekitar kawasan konservasi. Sebagai contoh pengembangan koridor satwa liar (orangutan dan bekantan) yang berada di TN Kutai dan SM Muara Kaman di lanskap Kutai.
10.3. Program model restorasi koridor habitat di lanskap Kutai Restorasi habitat merupakan bagian dari kegiatan restorasi ekosistem melalui kegiatan pemeliharaan, perlindungan, penanaman, pengkayaan jenis tumbuhan dan satwa liar, atau pelepasliaran satwa liar hasil penangkaran atau relokasi satwa liar dari lokasi lain. (PP 28 tahun 2011 tentang Pengelolaan Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestaraian Alam, Pasal 29 ayat 5). Dan menurut Permenhut No P48 tahun 2014 tentang tata cara pelaksanaan pemulihan ekosistem pada kawasan suaka alam dan kawasan pelestaraian alam, Pasal 38 ayat 3 dikatakan bahwa, pembinaan populasi dilakukan dengan meningkatkan jumlah populasi hidupan liar melalui : pelepasliaran satwa dan satwa
mangsa yang secara alami pernah ada atau jenis satwa asli setempat yang populasinya terancam punah, introduksi berbagai jenis tumbuhan asli atau pernah tumbuh secara alami untuk memperbaiki tempat hidup, tempat pakan, tempat bersarang, dan tempat penjelajahan satwa liar; dan relokasi satwa liar dan atau eradikasi. Lanskap Kutai seperti tampak pada gambar peta dibawah ini memiliki 2 (dua) kawasan konservasi yang letaknya cukup berjauhan, kedua kawasan konservasi tersebut adalah Taman Nasional Kutai dan Cagar Alam Muara Kaman Sedulang. Keberadaan kedua kawasan konservasi ini sangat penting artinya bagi pelestarian satwa, khususnya mamalia yang dilindungi yang ditemukan dan masih tersebar di kawasan hutan tanaman perusahaanperusahan pemilik konsesi yang ada diantara kedua kawasan tersebut, seperti PT Surya Hutani Jaya, PT Hamparan Sentosa dan PT Agri East Borneo Kencana, sehingga pada beberapa area perusahaan-perusahaan tersebut masih sering dijumpai beberapa satwa liar yang sedang mencari makan yang masih dapat bertahan hidup.
283
284
LAMPIRAN-LAMPIRAN
Daerah sempadan sungai, khusunya pada sempadan Sungai Menamangkanan dan Sungai Ngajau yang dapat menjadi kawasan koridor habitat Bekantan, Orangutan dan satwa liar lainnya dapat diperbaiki kawasannya yang telah rusak atau dipertahankan keberadaannya yang masih baik. Hal ini sangat penting bagi lalu lintas satwa liar ke kawasan konservasi, atau sebagai tempat mengungsi, tempat bersembunyi maupun sebagai tempat tidur berbagai jenis satwa liar. Berdasarkan informasi dari pihak PT Surya Hutani Jaya pada saat pelaksanaan FGD Inisiatif Konservasi (Perlindungan dan Restorasi) Lanskap Kutai pada tanggal 01 April 2015 di Hotel Amaris-Samarinda, bahwa perjumpaan dengan Bekantan, Orangutan serta satwa liar lainnya sering ditemui oleh beberapa pegawainya di sempadan sungai atau kawasan berhutan pada area konsesinya. Pihak Surya Hutani Jaya, telah menetapkan kawasan lindung yang dianggap perlu dijadikan kawasan konservasi, seperti daerah sempadan sungai, yang dijadikan kawasan koridor bagi satwa yang ada dalam kawasan konsesinya menuju Taman Nasional Kutai. Beberapa kegiatan yang telah dilakukan oleh PT Surya Hutani Jaya dalam merestorasi habitat Bekantan, Orangutan serta satwa liar lainnya adalah dengan merestorasi daerahdaerah yang rusak di sempadan sungai dengan tanaman-tanaman jenis asli dan jenis lainnya
yang merupakan sumber pakan bekantan dan mempunyai kemapuan untuk memperkuat tepi sungai. Pihak Surya Hutani Jaya juga melibatkan masyarakat dalam kegiatan tersebut, khususnya pada dearah-daerah target restorasi yang berdekatan dengan wilayah pemukiman atau wilayah kerja (tempat beraktifitas) mereka. Kegiatan restorasi di sepanjang Sungai Menamangkanan dan Sungai Santan, yakni selebar 500 meter kanan-kiri sungai dan luas areanya sekitar 12.988 ha ini diperuntukan sebagai wilayah HCV (High Conservation Value). Kawasan sempadan sungai yang telah ditetapkan oleh pihak Surya Hutani Jaya, difungsikan sebagai koridor dan refugia (tempat pelarian) bagi satwa-satwa yang berasal dari kawasan hutan Taman Nasional Kutai. Beberapa satwa, khususnya mamalia seperti Bekantan dan Orangutan dapat memanfaatkan kedekatan posisi kawasan tersebut untuk tempat pelarian, mencari makan dan aktivitas-aktivitas lainnya. Seperti yang kita ketahui, Bekantan adalah salah satu primata yang hanya ditemukan di daratan Kalimantan. Umumnya mereka hidup berkelompok, dengan jantan dominan (single male) dan multi male, atau dalam kelompok itu semua jantan muda.
Peta gambaran koridor orangutan pada konsesi PT Surya Hutani Jaya
RENCANA INDUK PENGEMBANGAN KONSERVASI BENTANG ALAM SKALA BESAR DI SUMATERA DAN KALIMANTAN
Bekantan mengkonsumsi hampir semua bagian tumbuhan. Komposisi pakannya terdiri dari lebih dari 50% daun muda, sekitar 40% buah, sisanya bunga dan biji, serta beberapa jenis serangga. Bekantan berstatus satwa dilindungi baik secara nasional maupun internasional. Secara nasional bekantan dilindungi berdasarkan Peraturan Pemerintah nomor 7 tahun 1999. Secara internasional Bekantan termasuk dalam Appendix I CITES (Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora), dan sejak tahun 2000 masuk dalam kategori endangered species berdasarkan Red Book IUCN (International Union for Conservation of Nature and Natural Resources) (Meijaard et al., 2008). Orangutan merupakan salah satu hewan yang terancam punah. Di Indonesia, hewan ini hanya ada di sebagian pulau sumatera dan sebagian pulau kalimantan. Orangutan berperan sebagai pengendali ekosistem dengan fungsinya sebagai herbivora terestrial terbesar yang ada. Jenis Orangutan yang terdapat di sekitar areal PT Surya Hutani Jaya termasuk ke dalam sub spesies Pongo pygmaeus morio. Perjumpaan karyawan PT Surya Hutani Jaya dengan orangutan di dalam areal konsesi biasanya tersebar dan tidak merata (patchy). Keterpisahan populasi orangutan tersebut, tentunya akan berpengaruh terhadap ‘viabilitas’ (kemampuan bertahanan hidup) jenis ini dalam jangka panjang. Pembentukan koridor habitat Orangutan akan dapat meminimalkan potensi ancaman tersebut. Dengan telah dimulainya kegiatan perlindungan di sempadan sungai oleh pihak PT Surya Hutani Jaya dalam program restorasi habitat Bekantan, Orangutan dan satwa liar lainnya, tentunya saat ini tinggal melanjutkan saja kegiatan yang serupa di sempadan Sungai Menamangkanan dan Sungai Ngajau yang belum terestorasi agar dapat menyambungkan jalur habitat Bekantan dan Orangutan serta satwa liar dari kawasan Taman Nasional Kutai ke kawasan Cagar Alam Muara Kaman Sedulang atau sebaliknya. Dari peta lanskap Kutai diatas dapat diketahui pula bahwa Sungai Menamangkanan dan Sungai Ngajau masuk didalam administrasi Desa Sedulang dan Desa Menamangkiri serta sedikit masuk di Desa Menamangkanan, Kecamatan Muara Kaman, Kabupaten Kutai Kartanegara, Provinsi Kalimantan Timur.
Kedua sungai tersebut menghubungkan antara batas konsesi PT Surya Hutani Jaya dengan Cagar Alam Muara Kaman Sedulang. Di dalam Peta Sebaran Perkebunan Besar Swasta Tahun 2012 Kabupaten Kutai Kartanegara, Provinsi Kalimantan Timur, Sungai Menamangkanan dan Sungai Ngajau yang menghubungkan antara konsesi PT Surya Hutani Jaya dengan Cagar Alam Muara Kaman terdapat beberapa area konsesi perusahaan perkebunan, seperti PT Hamparan Sentosa dan PT Agri East Borneo Kencana. Kedua perusahaan yang bergerak dalam bidang perkebunan sawit ini tentunya dapat diajak untuk mengikuti kegiatan restorasi habitat bekantan yang telah dilakukan oleh pihak PT Surya Hutani Jaya dengan melakukan restorasi daerah-daerah yang rusak di sempadan Sungai Menamangkanan dan Sungai Ngajau hingga masuk dalam kawasan Cagar Alam Muara Kaman Sedulang. Pihak Pemerintah dalam hal ini Kementerian Pertanian, Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur dan Pemerintah Kabupaten Kutai Kartanegara, perlu mendukung rencana ini dengan mengarahkan kepada pihak PT Hamparan Sentosa dan PT Agri East Borneo Kencana selaku perusahaan perkebunan sawit agar dapat memiliki sertifikat ISPO (Indonesian Sustainable Palm Oil System) dan melakukan kegiatan restorasi daerah di sempadan Sungai Menamangkanan dan sempadan Sungai Ngajau hingga batas kawasan Cagar Alam Muara Kaman Sedulang. Dengan melakukan kegiatan restorasi di sempadan Sungai Menamangkanan dan sempadan Sungai Ngajau hingga batas kawasan Cagar Alam Muara Kaman Sedulang, tentunya kedua perusahaan perkebunan sawit tersebut dapat mendukung pengurangan gas rumah kaca serta memberi perhatian terhadap masalah lingkungan yang menjadi tujuan besar dari ISPO (Indonesian Sustainable Palm Oil System). Pihak Pemerintah juga dapat mendorong kedua perusahaan perkebunan sawit tersebut, yakni PT Hamparan Sentosa dan PT Agri East Borneo Kencana untuk dapat melindungi dan melestarikan sempadan sungai yang berada di dalam area konsesinya, sesuai dengan arahan yang ada pada Peraturan Pemerintah Republik Indonesia nomor 38 tahun 2011 tentang Sungai, khususnya pada Pasal 10 dan Pasal 54.
285
286
LAMPIRAN-LAMPIRAN
Peta sebaran para pihak konsesi kehutanan dan perkebunan besar swasta di Kabupaten Kutai Kartanegara (2012)
RENCANA INDUK PENGEMBANGAN KONSERVASI BENTANG ALAM SKALA BESAR DI SUMATERA DAN KALIMANTAN
Peta gambaran Sungai Menamangkanan dan Sungai Ngajau
Pelibatan masyarakat, khususnya masyarakat dari Desa Sedulang dan Desa Menamangkiri serta Desa Menamangkanan, Kecamatan Muara Kaman, Kabupaten Kutai Kartanegara, Provinsi Kalimantan Timur, dalam program restorasi ini tentunya menjadi prioritas. Program restorasi yang dimaksud adalah mulai dari perencanaan dan pelaksanaan kegiatan restorasi hingga pengamanan area sempadan sungai nya. Sosialisai program ini juga sebaiknya dilakukan kepada masyarakat Desa Sedulang, Desa Menamangkiri dan Desa Menamangkanan serta kepada pihak Muspika Kecamatan Muara Kaman maupun Muspida Kabupaten Kutai Kartanegara. Selain para pihak dan stakeholder yang ada disekitar lokasi sempadan sungai dapai mengetahui kegiatan tersebut, dukungan mereka juga dapat memperlancar program ini.
Berdasarkan analisa GIS, panjang sungai antara batas area konsesi PT Surya Hutani Jaya dengan batas Cagar Alam Muara Kaman Sedulang diperkirakan berjarak 15,8 Km. Jumlah ini didapat dari panjang Sungai Menamangkanan ditambah dengan panjang Sungai Ngajau. Apabila program restorasi habitat ini memerlukan lebar kiri-kanan sungainya seluas 200 m, maka dapat diperkirakan luas area restorasi habitat tersebut adalah 316 ha. Dengan mengacu pada acuan biaya restorasi yang ada pada buku Pedoman Tata Cara Restorasi, JICA-RECA dan Dirtjen PHKAKementerian Kehutanan, Januari 2014, kita dapat mengetahui bahwa perkiraan biaya yang dibutuhkan bagi Model Restorasi Habitat di Koridor Taman Nasional Kutai dan Cagar Alam Muara Kaman Sedulang dengan luas area sekitar 316 ha (tiga ratus enam belas hektar) adalah sebagai berikut: Biaya Restorasi
No
Tahap
1
Persiapan dan Perencanaan
2
Pelaksanaan Penanaman
3
Evaluasi
Tahun I
Sub Total
Tahun 2
Tahun 3
1.327.200.000
1.485.200.000
1.643.200.000
4.202.800.000
4.676.800.000
5.403.600.000
94.800.000
94.800.000
126.400.000
5.624.800.000
6.256.800.000
7.173.200.000
Total
19.054.800.000
287
Millennium Challenge Account - Indonesia (MCA-Indonesia) Hibah Program Compact bertujuan membantu mengurangi kemiskinan melalui pertumbuhan ekonomi di Indonesia. Proyek utama adalah kemakmuran hijau, kesehatan dan gizi berbasis masyarakat, dan modernisasi pengadaan. Hibah untuk komunitas dan pinjaman untuk sektor swasta US $ 332,5 juta untuk proyek Kemakmuran Hijau/Green Prosperity Project saja Hingga 2018 http://mca-indonesia.go.id/ Jambi (Merangin, Muaro Jambi, Kerinci, Tanjung Jabung Timur), Sumatera Barat (Solok Selatan, Pesisir Selatan), Kalimantan Barat (Kapuas Hulu, Sintang) Kalimantan Utara (Malinau), Kalimantan Timur (Mahakam Ulu, Berau) Proyek kemakmuran hijau untuk meningkatkan produktivitas dan mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil dengan memperluas penggunaan energi terbarukan dan mengurangi emisi gas rumah kaca berbasis pengelolaan lahan, dengan memperbaiki praktik penggunaan lahan dan pengelolaan sumber daya alam.
Nama pendanaan/Institusi
Mekanisme pendanaan
Deskripsi
Kelayakan
Jumlah
Periode aplikasi
Website
Daerah prioritas
Kegiatan prioritas
Pemerintah Amerika Serikat (USAID) dan Pemerintah Indonesia (Kementrian Kehutanan) Tropical Forest Conservation Action for Sumatera (TFCA-Sumatera) - Aksi Nyata Konservasi Hutan Tropis Sumatera - Yayasan KEHATI, CI-Indonesia Hibah. Pengajuan pendanaan melalui mekanisme call for concept paper atau call for proposal. Pelaksanaan skema pengalihan utang untuk lingkungan (Debt for-Nature Swap) antara pemerintah Amerika Serikat dan Pemerintah Indonesia yang memfasilitasi pendanaan hibah bagi program restorasi dan konservasi kawasan dengan prioritas wilayah kerja di Sumatera. Universitas yang fokus pada upaya pelestarian dan restorasi hutan Sumatera, LSM lokal, kelompok masyarakat. USD 30 juta Komitmen 8 tahun (2009-2018)
Sumber dana
Nama pendanaan/Institusi
Mekanisme pendanaan
Deskripsi
Kelayakan
Jumlah
Periode aplikasi
B. Tropical Forest Conservation Action for Sumatera (TFCA-Sumatera)
Pemerintah Amerika Serikat, Pemerintah Indonesia (tax reimbursement)
Sumber dana
A. Millennium Challenge Account - Indonesia (MCA-Indonesia)
Donor Tunggal
Peluang dan potensi sumber pendanaan
Lampiran 10.
288 LAMPIRAN-LAMPIRAN
(1) Lanskap Sumatera Bagian Utara terdiri dari Hutan Warisan Ulu Masen/Seulawah, Taman Nasional Gunung Leuser dan Ekosistem Leuser, Taman Nasional Batang Gadis, Ekosistem Angkola, Batang Toru, dan Daeran Aliran Sungai Toba Barat; (2) Lanskap Sumatera Bagian Tengah terdiri dari Taman Nasional Bukit Tigapuluh, Semenanjung Kampar - Senepis, Ekosistem Tesso Nilo, Ekosistem Kerinci–Seblat, dan Taman Nasional Siberut & Mentawai; dan (3) Lansekap Sumatera Bagian Selatan terdiri dari Taman Nasional Bukit Barisan Selatan dan Taman Nasional Way Kambas, Sembilang – Berbak. (1) Restorasi, perlindungan dan pemeliharaan kawasan konservasi; (2) Pemulihan populasi, perlindungan dan pemanfaatan berbagai spesies tumbuhan dan satwa liar secara berkelanjutan; (3) Pengembangan dan penerapan sistem pengelolaan ekosistem dan lahan; (4) Pelatihan untuk meningkatkan kapasitas ilmiah, manajerial dan teknis bidang konservasi, baik pada tingkat individu maupun organisasi; (5) Penelitian dan identifikasi tumbuhan obat yang dapat digunakan untuk menanggulangi penyakit dan hal lain yang berhubungan dengan kesehatan; (6) Pengembangan dan dukungan bagi mata pencaharian masyarakat lokal yang hidup di sekitar kawasan konservasi yang mampu menjamin kelestarian sumber daya alam.
Daerah prioritas
Kegiatan prioritas
Pemerintah Amerika Serikat (USAID) dan Pemerintah Indonesia (Kementrian Kehutanan) Tropical Forest Conservation Action for Kalimantan (TFCA-Kalimantan) - Aksi Nyata Konservasi Hutan Tropis Kalimantan Yayasan KEHATI, TNC, WWF-Indonesia, dan Yayasan KEHATI (administrator) Hibah TFCA kesepakatan pertama telah diimplementasi melalui program TFCA Sumatera. Untuk pelaksanaaan kesepakatan TFCA tahap kedua dilaksanakan melalui program TFCA-Kalimantan. Program ini merupakan bagian dari skema pengalihan hutang untuk mendukung pembangunan berkelanjutan dengan tujuan melindungi keanekaragaman hayati secara global, melindungi karbon hutan, pemanfaatan lestari sumber daya alam, mengurangi emisi jangka panjang dan meningkatkan sumber mata pencaharian masyarakat dengan cara melindungi hutan Kalimantan secara konsisten. Pemerintah daerah, organisasi masyarakat sipil (seperti LSM, Ormas, KSM, dan lain-lain), tingkat lokal, dan pihak swasta yang terkait di kabupaten target. Hingga 2019 http://tfcakalimantan.org/ 4 Kabupaten : Kabupaten Berau, Kabupaten Kutai Barat, Kabupaten Mahakam Ulu di Kalimantan Timur; serta Kabupaten Kapuas Hulu di Kalimantan Barat.
Sumber dana
Nama pendanaan/Institusi
Mekanisme pendanaan
Deskripsi
Kelayakan
Periode aplikasi
Website
Daerah prioritas
C. Tropical Forest Conservation Action for Kalimantan (TFCA-Kalimantan)
http://www.tfcasumatera.org
Website
RENCANA INDUK PENGEMBANGAN KONSERVASI BENTANG ALAM SKALA BESAR DI SUMATERA DAN KALIMANTAN
289
Kegiatan prioritas
(1) Mendukung pengembangan green economy pada aspek-aspek terkait hutan (2) Perencanaan tata ruang berbasis ekosistem (3) Pengelolaan sumber daya alam komunitas yang berkelanjutan (4) Pengembangan institusional (5) Produksi yang berkelanjutan (6) Strategi mendukung spesies kunci (6) Ekowisata berbasis masyarakat (7) Pengembangan kebijakan jangka panjang (8) Produksi yang berkelanjutan (9) Perikanan air tawar (10) Produk hutan non-kayu (11) Pengelolaan sumber daya alam (12) Managemen perlindungan hutan.
Multi Stakeholder Forestry Program (MFP) fase 3 Hibah Tujuan dana hibah adalah mendorong partisipasi dan/atau kolaborasi masyarakat Indonesia, membangun dan meningkatkan kapasitas kelompok swadaya masyarakat dan organisasi swadaya masyarakat untuk pencapaian rencana dan pelaksanaan program MFP3 di tingkat nasional maupun lokal, melalui berbagai proses yang lebih partisipatif dan terbuka, seperti perencanaan, anggaran dan layanan. Institusi atau organisasi dengan status legal di Indonesia yang mencakup masyarakat sipil atau organisasi massa, lembaga penelitian atau kebijakan, universitas, perguruan tinggi, lembaga pelatihan, organisasi kebudayaan, asosiasi profesi, lembaga pemerintahan, serikat buruh atau serikat pekerja di sektor kehutanan. Maksimum 3 juta poundsterling Hingga September 2016, program hibah dilaksanakan selama dan tidak lebih dari 2 tahun. http://mfp.or.id Proposal yang diajukan harus memenuhi setidaknya satu sasaran dan prinsip MFP3 yaitu: Memiliki hasil yang diharapkan dan terhubung dengan sasaran-sasaran MFP3; memiliki komponen cost-share dari sisi pemohon; diserahkan oleh organisasi yang layak; dan memiliki rekening bank atas nama lembaga. Legalitas kayu, pengembangan wirausaha kehutanan, akses masyarakat ke hutan.
Nama pendanaan/Institusi
Mekanisme pendanaan
Deskripsi
Kelayakan
Jumlah
Periode aplikasi
website
Dukungan persiapan proposal
Kegiatan prioritas Pemerintah Selandia Baru Hibah
Selandia Baru berkomitmen NZD 10.5 juta pada kegiatan peningkatan dan transformasi peningkatan kegiatan panas bumi di Indonesia. Kegiatan tambahan dengan bantuan senilai NZD 2 juta berupa identifikasi untuk proyek-proyek baru terkait panas bumi di Indonesia. Saat ini bekerja sama dengan World Bank, PT. Pertamina, dan Universitas Gajah Mada
Sumber dana
Mekanisme pendanaan
Deskripsi
Kelayakan
E. New Zealand Aid Programme – NZAid
Department for International Development (DFID)
Sumber dana
D. Multi Stakeholder Forestry Program (MFP) fase 3
11
290 LAMPIRAN-LAMPIRAN
http://www.aid.govt.nz/ Sejak 2012, sebanyak 103 industri dan staf universitas menerima pelatihan mengenai panas bumi dari GNS Science dan Universitas Gajah Mada, yang bertujuan untuk meningkatkan kapasitas dibidang panas bumi. Program Community Resilience and Economic Development (CaRED) sedang diimplementasi dengan Universitas Gajah Mada dengan mitra-mitra Selandia Baru, berfokus pada pengembangan ekonomi secara berkelanjutan, energi terbarukan, managemen risiko bencana, dan pencegahan konflik.
Website
Kegiatan prioritas
Pemerintah Amerika Serikat – USAid Indonesia Forest and Climate Support (IFACS) - USAid Hibah IFACS adalah project pengelolaan hutan berkelanjutan yang dibentuk untuk membantu Pemerintah Indonesia mengurangi emisi GHG dari degradasi hutan. Kegiatan ini membantu mitigasi perubahan iklim dan membangun ketahanan lokal terhadap variabilitas iklim. Bekerja sama dengan pemerintah lokal, grantees, subkontraktor, dan implementasi secara langsung untuk menjalankan program. http://www.ifacs.or.id/ Wilayah di Sumatera, Kalimantan, dan Papua. Wilayah kerja di Kalimantan termasuk bentang daratan Ketapang, Kalimantan Timur, Bentang Daratan Katingan, Kalimantan Tengah. Kegiatan dan tema project IFACS di Indonesia termasuk diantaranya: (1) Hutan dan dukungan pada iklim: Mengurangi emisi melalui pengelolaan hutan berkelanjutan (Forest and Climate Support: Reducing Emissions through Sustainable Forest Management) (2) Konservasi keanekaragaman hayati: perlindungan satwa, tanaman dan ekosistem (Biodiversity Conservation: Preserving Wildlife, Plants, and Ecosystems) (3) Kajian Lingkungan Hidup Strategis: Menuju pengembangan emisi rendah (Strategic Environmental Assessments: Moving Toward Low-Emission Development) (4) Praktik pengelolaan terbaik: Bagaimana bisnis bisa memperoleh keuntungan dari konservasi (Best Management Practices: How Businesses can Benefit from Conservation) (5) Forum para pihak: platform untuk memberikan masyarakat arahan terhadap kebutuhan mereka di masa datang (Multi Stakeholder Forums: A Platform to Give People a Say in their Future) (6) Program konservasi kawasan (Landscape Conservation Plans: A Roadmap to a Sustainable Future).
Sumber dana
Nama pendanaan/Institusi
Mekanisme pendanaan
Deskripsi
Kelayakan
Website
Daerah prioritas
Kegiatan prioritas
F. Indonesia Forest and Climate Support (IFACS) - USAid
NZD 10.5 juta untuk peningkatan dan transformasi peningkatan kegiatan panas bumi di Indonesia selama 5 tahun; NZD 2 juta identifikasi proyek-proyek baru terkait panas bumi di Indonesia; NZD 3 juta dengan program Community Resilience and Economic Development (CaRED).
Jumlah
RENCANA INDUK PENGEMBANGAN KONSERVASI BENTANG ALAM SKALA BESAR DI SUMATERA DAN KALIMANTAN
291
Penyediaan Air Minum dan Sanitasi Berbasis Masyarakat (PAMSIMAS)/World Bank-Kementrian PU, Kemenkes, Kemndagri, Bappenas, STBM-Indonesia. Hibah Program PAMSIMAS adalah program dan aksi pemerintah pusat dan daerah dengan dukungan Bank Dunia untuk meningkatkan penyediaan air minum, sanitasi, dan meningkatkan derajat kesahatan masyarakat dalam menurunkan angka penyakit diare dan lainnya yang ditularkan melalui air dan lingkungan. US$ 104 juta (AUSAid) Hingga 2018 http://dfat.gov.au/geo/indonesia/development-assistance/Pages/infrastructure-assistance-in-indonesia.aspx dan http://new. pamsimas.org/ seluruh Indonesia Pemberdayaan masyarakat dan pengembangan kelembagaan lokal, peningkatan kesehatan dan perilaku higienis dan pelayanan sanitasi, penyediaan sarana air minum dan sanitasi umum, insentif untuk desa/kelurahan, kabupaten/kota dan dukungan pelanksaan dan manajemen proyek.
Nama pendanaan/Institusi
Mekanisme pendanaan
Deskripsi
Jumlah
Periode aplikasi
Website
Daerah prioritas
Kegiatan prioritas
Asian Development Bank (ADB), World Bank, dan International Finance Corporation (IFC) Program Investasi Kehutanan Proyek I, Strategic Climate Fund Hibah Membantu pemerintah Indonesia dalam menyiapkan rencana investasi kehutanan. Kegiatan ini merupakan investasi khusus berbasis masyarakat untuk mengatasi deforestasi dan degradasi hutan, serta bagaimana kontribusi terhadap penurunan emisi nasional. Fokus pada masyarakat desa US$ 17 juta 5 tahun mulai Juli tahun 2015 Kegiatan terfokus pada 10 desa yang terpilih pada 3 KPH (Kesatuan Pengelolaan Hutan) di Kapuas Hulu dan Sintang, Kalimantan Barat.
Sumber dana
Nama pendanaan/Institusi
Mekanisme pendanaan
Deskripsi
Kelayakan
Jumlah
Periode aplikasi
Daerah prioritas
A. Program Investasi Kehutanan Proyek I, Strategic Climate Fund
Multidonor
Hibah AUSAid dan APBN-Rupiah murni. Setelah pendanaan selesai, daerah diharapkan melanjutkan dengan dana APBD.
Sumber dana
G. Pendanaan Pemerintah Australia – AUSAid (bidang sosial)
292 LAMPIRAN-LAMPIRAN
Upaya meningkatkan mata pencaharian masyarakat setempat (desa), melalui usaha ekonomi yang berkelanjutan, baik dalam bentuk kegiatan land-base dan non-land base, untuk mengurangi tekanan terhadap hutan dan menumbuhkan kesadaran pentingnya menjaga kelestarian hutan bagi semua; membantu upaya provinsi dalam mencapai target pengurangan emisi GRK dengan cara meningkatkan kapasitas pemerintah Kabupaten dan provinsi di Kalimantan Barat, mempromosikan pengelolaan hutan lestari, meningkatkan simpanan karbon serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui penanggulangan kemiskinan, peningkatan kualitas hidup untuk masyarakat di sekitar hutan dan perlindungan hak kepemilikan lahan masyarakat adat, serta meningkakan konservasi keanekaragaman hayati dan jasa ekosistem.
Indonesia Climate Change Trust Fund (ICCTF) - UNDP bertindak sebagai interim fund manager (1) Innovation Fund: Hibah untuk executing agency dan implementeing agency; (2) Climate partnership fund (CPF) untuk memfasilitasi proyek-proyek NAMAs (National Apropriate Mitigation Actions) yang dilakukan melalui kemitraan pemerintah, swasta, dan investor; proyek terintegrasi dengan kerangka kebijakan mitigasi. ICCTF dibentuk untuk mendukung upaya Pemerintah Indonesia dan pihak terkait dalam penurunan emisi gas rumah kaca, melindungi pembangunan ekonomi rendah karbon dan beradaptasi terhadap dampak perubahan iklim. ICCTF bertujuan mendapatkan, mengatur, dan memobilisasi dana dari berbagai pihak dan menyelaraskannya dengan anggaran Pemerintah Indonesia. Institusi pelaksana: pemerintah pusat
Nama pendanaan/Institusi
Mekanisme pendanaan
Deskripsi
Kelayakan
Hingga 2020 dan akan terus berlanjut http://www.icctf.or.id Indonesia Mitigasi berbasis lahan, energi, adaptasi dan ketahanan
Periode aplikasi
Website
Daerah prioritas
Kegiatan prioritas
Netherland’s Minister for Foreign Trade and Development Cooperation, SECO, DANIDA IDH - The Sustainable Trade Initiative Co-funding berbentuk hibah.
Sumber dana
Nama pendanaan/Institusi
Mekanisme pendanaan
C. IDH-The Sustainable Trade Initiative
Fase awal US$ 10.922.587,65 & SEK 1,000,000
Jumlah
Badan pelaksana: pemerintah pusat dan daerah, LSM, kelompok masyarakat, swasta, universitas, dan lembaga penelitian nonpemerintah.
DFID, AusAID, SIDA (Swedish International Development Cooperation Agency). Proyeksi sumber dana selanjutnya akan berasal dari APBN, proyek bersama (co-finance) dengan pihak swasta, CSR, International Climate Funds (seperti Adaptation Fund dan Green Climate Fund)
Sumber dana
B. Indonesia Climate Change Trust Fund (ICCTF)
Kegiatan prioritas
RENCANA INDUK PENGEMBANGAN KONSERVASI BENTANG ALAM SKALA BESAR DI SUMATERA DAN KALIMANTAN
293
IDH bekerja sama dengan partner seperti LSM, Universitas, Badan pemerintah, dan institusi riset. € 155 juta co-funding dari Pemerintah Belanda, Swiss, dan Denmark, serta pihak swasta yang terlibat. Kelapa sawit (2012 – 2020). N/A untuk sektor lain. http://www.idhsustainabletrade.com/ Kelapa sawit (Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Jambi, Riau, Kalimantan Barat). Tambang timah (Bangka-Belitung) Coklat (Sumatera Barat). IDH bekerja pada sektor kelapa sawit, teh, pulp dan kertas, cokelat, dan timah.
Kelayakan
Jumlah
Periode aplikasi
Website
Daerah prioritas
Kegiatan prioritas GEF (Global Environment Facility) Trust Fund
Transforming the Effectiveness of Biodiversity Conservation in Priority Sumatran Landscapes/Implementing agency: UNDP; Implementing partner: Ditjen PHKA, Kemenhut Indonesia. Executing agency/leading partner: Sumatran Tiger Conservation Forum (HarimauKita), Wildlife Conservation Society (WCS), Fauna & Flora International (FFI), dan Zoological Society of London (ZSL). Hibah Kegiatan ini bertujuan pada isu-isu institusional untuk meningkatkan konservasi keanekaragaman hayati dengan prioritas kawasan Sumatera dengan mengadopsi praktik-praktik managemen yang terbaik di kawasan konservasi dan kawasan produksi di sekitarnya, dengan menggunakan pemulihan harimau sebagai indikator kesuksesan kunci. US$ 9 Juta Dalam proses inisiasi kegiatan https://www.thegef.org/ Kegiatan fokus pada empat taman nasional (Kerinci Seblat, Bukit Barisan Selatan, Leuser, dan Berbak-Sembilang) dan kawasan di sekitar (5.49 juta hektar), serta kawasan Kampar-Kerumutan (0,98 juta hektar).
Sumber dana
Nama pendanaan/Institusi
Mekanisme pendanaan
Deskripsi
Jumlah
Periode aplikasi
Website
Daerah prioritas
D. Transforming the Effectiveness of Biodiversity Conservation in Priority Sumatran Landscapes
IDH adalah kemitraan publik dan swasta untuk menyatukan kepentingan public, yaitu penanggulangan kemiskinan/pertumbuhan ekonomi, perlindungan lingkungan, dan akses geopolitik kepada sumber-sumber daya, dan kepentingan pihak swasta, seperti perizininan pengoperasian dan akses terhadap suplai. Hal ini diarahkan untuk menghasilkan komoditas produksi yang berkelanjutan. Kerja sama publik dan swasta ini membawa dana, entrepreneurship, hukum, legislasi/perundang-undangan, regulasi, keterampilan teknis (know-how), jaringan, keahlian lokal, dan kredibilitas pada program-program yang dikembangkan.
Deskripsi
294 LAMPIRAN-LAMPIRAN
Proyek ini fokus pada tiga tingkatan aktivitas: (1) masing-masing kawasan konservasi akan menerima training dan dukungan untuk penguatan managemen secara institusional (teknis, administrasi, dan finansial), dan prioritas terhadap aktivitas inti mereka; (2) pada kawasan sekitar akan ditargetkan untuk peningkatan kordinasi dan kerja sama antara pemerintah dan organisasi masyarakat untuk secara bersama menghadapi pelanggaran terhadap sumber daya alam, terutama perdagangan satwa ilegal, dan; (3) dukungan secara nasional akan diberikan untuk koordinasi implementasi proyek secara efektif.
Sustainable Management of Petland Ecosystems in Indonesia (2014-2018)/Implementing agency: IFAD; implementing partner: KemenLH, sekretariat ASEAN, Global Environment Centre, dan pemerintah lokal. Hibah Kegiatan ini berfokus pada konservasi dan secara signifikan akan mengurangi emisi GHG di kawasan lahan gambut melalui pengelolaan kawasan gambut secara berkelanjutan sekaligus memenuhi kebutuhan hidup masyarakat yang menetap di kawasan sekitar. US$ 4.766.756 Dalam proses inisiasi kegiatan https://www.thegef.org/ Provinsi Riau (Kabupaten Indragiri Hilir, Rokan Hilir, Dumai, dan Bengkalis) Kegiatan fokus pada peningkatan kapasitas untuk managemen lahan gambut yang lebih berkelanjutan, mengurangi degradasi lahan gambut dan kebakaran lahan untuk mengurangi polusi asap dan emisi GHG, dan manajemen kawasan lahan gambut secara berkelanjutan yang terintegrasi.
Nama pendanaan/Institusi
Mekanisme pendanaan
Deskripsi
Jumlah
Periode aplikasi
website
Daerah prioritas
Kegiatan prioritas
Corporate Social Responsibility Wilmar Sustainability/Wilmar Hibah, penyediaan fasilitas Menerapkan strategi no deforestation, no peat, dan no exploitation policy pada perusahaan Pemerintah daerah, LSM http://www.wilmar-international.com/sustainability/ Kawasan HCV milik Wilmar dan kawasan sekitar operasional perusahaan
Sumber dana
Nama pendanaan/Institusi
Mekanisme pendanaan
Deskripsi
Kelayakan
Website
Daerah prioritas
A. Corporate Social Responsibility Wilmar
Corporate Social Responsibility
GEF (Global Environment Facility) Trust Fund
Sumber dana
E. Sustainable Management of Petland Ecosystems in Indonesia (2014-2018)
Kegiatan prioritas
RENCANA INDUK PENGEMBANGAN KONSERVASI BENTANG ALAM SKALA BESAR DI SUMATERA DAN KALIMANTAN
295
(1) Memasang camera trap di perkebunan Wilmar di Indonesia dan Malaysia untuk survei spesies di HCV Wilmar. Training kepada staf untuk kemampuan menggunakan kamera tersebut; (2) Memasang penampang lintang (transects) di seluruh kawasan HCV milik Wilmar untuk memonitor populasi orangutan dan mengurangi dampak risiko terhadap populasi tersebut ; (3) Kolaborasi dengan Borneo Orangutan Survavival Foundation (BOSF) dan Gubernur Kalimantan Tengah untuk mengembangkan praktik managemen terbaik untuk konservasi orangutan di kawasan perkebunan kelapa sawit yang berakhir 31 desember 2012; (4) Bekerja sama dengan Orangutan Land Trust, organisasi non-profit dengan fokus mendukung pelestarian, restorasi dan perlindungan lahan di mana orangutan hidup atau pernah hidup di masa lalu; (5) Bekerja sama dengan Zoological Society of London dalam program Biodiversity and Agricultural Commodities Programme (BACP) di Kalimantan Tengah dan Sumatera; (6) Program rehabilitasi gibbon di Sumatera bersama Yayasan Kalaweit Indonesia yang mensurvei 2.200 hektar HCV milik Wilmar di perkebunan di Padang, Sumatera sebagai lahan untuk melepas-liar gibbon.
Corporate Social Responsibility – PT Sarana Multi Infrastruktur Tipe pendanaan: Bantuan pembangunan dan pemeliharaan infrastruktur melalui program kemitraan dan bina lingkungan, dengan salah satu fokus : pelestarian alam/environmental preservation. Hibah, penyediaan fasilitas PT Sarana Multi Infrastruktur berdiri pada tahun 2009 dengan 100% saham milik Pemerintah Republik Indonesia melalui Kementrian Keuangan. PT SMI berperan sebagai katalis dalam percepatan pembangunan infrastruktur di Indonesia dengan kegiatan utama jasa pembiayaan dan investasi, jasa konsultasi, dan jasa pengembangan proyek untuk proyek-proyek infrastruktur di Indonesia. Program CSR dapat dilakukan melalui pihak ketiga www.ptsmi.co.id Seluruh Indonesia Kegiatan pembangunan infrastruktur yang berkaitan dengan pelestarian alam, bencana alam, peningkatan kesehatan, sarana dan prasarana umum, pendidikan dan pelatihan, serta sarana ibadah.
Nama pendanaan/Institusi
Mekanisme pendanaan
Deskripsi
Kelayakan
Website
Daerah prioritas
Kegiatan prioritas
Program CSR Chevron CSR Chevron Hibah, penyediaan fasilitas
Sumber dana
Nama pendanaan/Institusi
Mekanisme pendanaan
C. Corporate Social Responsibility - Chevron Indonesia
Laba perseroan yang dilokasi untuk program CSR PT SMI
Sumber dana
B. Corporate Social Responsibility – PT Sarana Multi Infrastruktur
Kegiatan prioritas
296 LAMPIRAN-LAMPIRAN
Bekerja sama dengan pihak ketiga untuk implementasi http://www.chevron.com/corporateresponsibility/ Kegiatan dilakukan di sekitar kawasan eksplorasi dan produksi Chevron Indonesia beroperasi di Rokan Sumatera serta lepas pantai Kalimantan Timur. Serta project eksplorasi panas bumi Darajat dan Salak di wilayah Jawa Barat. (1) Bekerja sama dengan majalah nasional Geographic Indonesia memproduksi peta wisata untuk mempromosikan ekosistem laut di Kepulauan Berau, dimana kawasan ini termasuk Pulau Derawan, rumah bagi penyu hijau yang terancam punah; (2) Rehabilitasi Taman Kota Balikpapan Telaga Sari dengan membangun Pusat Pendidikan hutan dan melakukan penanaman pohon; (3) Bekerja sama dengan Yayasan KEHATI mengembangkan ekowisata di Pulau Maratua (Marine Ecotourism and Sustainable Small Island) sejak Januari 2015
Kelayakan
Website
Daerah prioritas
Kegiatan prioritas
Corporate Social Responsibility – ConocoPhillips Hibah, penyediaan fasilitas Konsep CSR ConocoPhillips terkait pembangunan berkelanjutan berarti melakukan usaha untuk mempromosikan pengembangan perekonomian, lingkungan yang sehat, dan masyarakat yang giat. Program dapat dilakukan pihak ketiga http://www.conocophillips.com/sustainable-development/ Sekitar kawasan operasional di Sumatera (1) ConocoPhillips bekerja sama dengan Conservation International (CI) untuk mendampingi mitra-mitra di Indonesia bagian barat dengan ilmu pengetahuan, sistem managemen, dan keterampilan untuk melestarikan secara efektif dan mengelola ekosistem Kepulauan Natuna dan Anambas (2) Salah satu program Action Plan 2014 – 2016 adalah memperbaharui index pemetaan sensitivitas lingkungan pada wilayah operasi di lepas pantai dan dalam kawasan daratan di Indonesia (3) Melakukan pengembangan ekonomi di Sumatera Selatan, Jambi, dan Kepulauan Riau dengan mengimplementasi program penanaman karet untuk petani lokal dan pengembangan pada program di sektor perikanan.
Nama pendanaan/Institusi
Mekanisme pendanaan
Deskripsi
Kelayakan
Website
Daerah prioritas
Kegiatan prioritas
Pemerintah Denmark melalui DANIDA Environmental Support Program (ESP3)
Sumber dana
Nama pendanaan/Institusi
A. Environmental Support Program (ESP3) – DANIDA
REDD+
Program CSR ConocoPhillips
Sumber dana
D. Corporate Social Responsibility – ConocoPhillips
Prinsip CSR dengan memberikan energi secara bertanggung jawab sekaligus melindungi alam, dan bekerja sama dengan mitramitra memperkuat komunitas.
Deskripsi
RENCANA INDUK PENGEMBANGAN KONSERVASI BENTANG ALAM SKALA BESAR DI SUMATERA DAN KALIMANTAN
297
Kegiatan yang bertujuan meminimalisir perubahan iklim dan mempersiapkan Indonesia dalam menghadapi konsekuensi pemanasan global. ESP3 bertujuan untuk mendukung pengelolaan lingkungan, energi, dan sumber daya alam pada masyarakat lokal. Kegiatan inti adalah transfer, adopsi, dan adaptasi pengetahuan dengan identifikasi, analisis, presentasi, dan diseminasi informasi para pihak dan multisektor yang kompleks. Pemerintah pusat (kementrian) dan daerah, serta LSM. DKK 270 Juta (US$ 50 Juta) Hingga 2017 http://www.esp3.org/ Tingkat nasional dan tingkat daerah di Sumatera dan Kalimantan (i) Meningkatkan kapasitas pemerintah pusat dan daerah agar dapat memenuhi tugas mereka dalam mengimplementasi, promosi, dan kordinasi pada isu-isu lingkungan di berbagai sektor; (ii) Energy Efficiency and Conservation Clearing House (EECCH) pada tingkat nasional, serta identifikasi untuk implementasi pada tingkat lokal; (iii) Kerja sama langsung dengan LSM atau melalui Kementrian PPN/Bappenas dan Kementrian Kehutanan. Kegiatan diantaranya: mendukung tujuan Rainforest bersama Burung Indonesia, aksi mitigasi lokal yang tepat bersama World Agroforestry Center (ICRAF), fasilitas dukungan REDD+ bersama World Bank, FSC sertifikasi skala besar bersama Borneo Initiatives, dan dukungan program investasi hutan Indonesia bersama World Bank.
Deskripsi
Kelayakan
Jumlah
Periode aplikasi
Website
Daerah prioritas
Kegiatan prioritas
Bank Pembangunan Jerman KfW dengan dana dari The Federal Ministry for Economic Cooperation and Development (BMZ) Forests and Climate Change Program (FORCLIME)/GIZ dengan Kemenhut Hibah Program ini bertujuan untuk mengurangi emisi GHG dari sektor kehutanan dengan meningkatkan kesejahteraan masyarakat miskin di kawasan perdesaan Indonesia. Program ini membantu Pemerintah Indonesia untuk mendesain dan mengimplementasi aspek hukum, kebijakan, dan reformasi institusional untuk konservasi dan pengelolaan hutan yang berkelanjutan di tingkat lokal, provinsi, dan nasional. Salah satu aktivitas kuncinya adalah mendukung para pengambil kebijakan dengan pengalaman bagaimana REDD+ diimplementasi di level paling dasar. Mendukung Pusdiklat Kementrian Kehutanan, berkolaborasi dengan LSM, dan sektor swasta. € 20 Juta Hingga 2020 http://www.forclime.org Kapuas Hulu (Kalimantan Barat), Malinau (Kalimantan Utara), dan Berau (Kalimantan Timur)
Sumber dana
Nama pendanaan/Institusi
Mekanisme pendanaan
Deskripsi
Kelayakan
Jumlah
Periode aplikasi
Website
Daerah prioritas
B. Forests and Climate Change Program (FORCLIME)
Hibah
Mekanisme pendanaan
298 LAMPIRAN-LAMPIRAN
(1) Kerangka kebijakan tingkat nasional dan sub-nasional (kebijakan bidang kehutanan) untuk melengkapi sektor kehutanan dan perencanaan jangka menengah guna memenuhi persyaratan pengurangan emisi GHG, tata kelola hutan, dan pengembangan berkelanjutan ; (2) Pengembangan Forest Management Unit (FMU) pada level lokal dan nasional ; (3) Pengelolaan hutan yang berkelanjutan (SFM), bekerja sama dengan sektor swasta asosiasi pemegang konsesi hutan untuk meningkatkan kesadaran akan pentingnya hutan dalam konteks REDD+ dan pengelolaan hutan yang berkelanjutan (SFM) ; (4) Green economy; dan (5) Pengembangan kapasitas manusia dengan membantu pengembangan kapasitas sumber daya manusia pada level nasional dan sub-nasional untuk mendukung pengelolaan hutan berkelanjutan.
Funds for REDD+ Indonesia (FREDDI) Hibah untuk program, proyek, dan aktivitas, pinjaman (loan), investasi (equity investment), performance base, serta perantara dagang (trade intermediary). Berperan sebagai sumber pendanaan kunci bagi implementasi strategi nasional REDD+, saat ini sedang dalam proses untuk memulai kegiatan. Pelaksanaan REDD+ dan strategi nasional memiliki 5 landasan: Kelembagaan dan proses, kerangka peraturan dan regulasi, program strategis, pergeseran paradigma dan budaya kerja, dan keterlibatan para pihak. USD 10 milyar Dalam proses pembuatan 11 provinsi dengan Kalimantan Tengah sebagai provinsi pilot. Provinsi lainnya berperan sebagai provinsi mitra dengan mendukung pengembangan strategi REDD+ dan rencana aksi serta pemetaan di masing-masing Provinsi (mulai dari Jambi, Sumsel, Riau, Kaltim, Papua, Sumbar, dan Sulawesi Tengah). Fokus kegiatan untuk hibah adalah kesiapan, infrastruktur, pengingkatan kapasitas. Kegiatan yang akan didanai termasuk inisiatif nasional dan keadaan darurat, serta inisiatif subnasional yang akan diseleksi secara kompetitif.
Nama pendanaan/Institusi
Mekanisme pendanaan
Deskripsi
Jumlah
Website
Daerah prioritas
Kegiatan prioritas
Institutional donors: Adessium Foundation, IDH, National Postcode Loterij; corporate donors; housing corporations fund.
The Borneo Initiatives – International Platform for SVLK/PHPL and FSC Forest Certification Initiatives in Indonesia
Subsidi dalam bentuk cicilan, berdasarkan tiga tahap: The scoping phase, certification phase, dan surveillance phase, tidak dibayarkan langsung kepada pihak penerima bantuan tapi kepada pihak ketiga penyedia jasa terkait.
Sumber dana
Nama pendanaan/ Institusi
Mekanisme pendanaan
The Borneo Initiatives
PES
Mobilisasi pendanaan: Norway USD 1 milyar, sektor publik lain USD 2 milyar, dan swasta USD 7 milyar.
Sumber dana
C. Funds for REDD+ Indonesia (FREDDI)
Kegiatan prioritas
RENCANA INDUK PENGEMBANGAN KONSERVASI BENTANG ALAM SKALA BESAR DI SUMATERA DAN KALIMANTAN
299
The Borneo Initiatives memiliki misi mencegah deforestasi atau degradasi hutan tropis karena eksploitasi yang berlebihan. Target TBI adalah meningkatkan kawasan hutan yang bersertifikat di Indonesia dari 1.1 juta hektar tahun 2009 dan 4 juta hektar pada akhir 2013; hingga 5 juta hektar pada akhir 2014 dan 9 juta hektar pada 2016. TBI menawarkan subsidi pada pengusahaan hutan (misal pemilik konsesi hutan); pengusaha hutan dapat menggunakan pendanaan tersebut untuk membayar sertifikasi tertentu. TBI menghubungkan pemain pada dua ujung rantai pemasaran yang memerlukan kolaborasi untuk memobilisasi rantai komoditas, yaitu pemasok kayu di Indonesia dan pengguna akhir produk kayu tropis di Eropa atau Amerika Serikat.
TBI memberikan prioritas kepada pengusahaan hutan dengan luas kawasan pengelolaan menengah hingga luas dengan cakupan kawasan > 75.000 hektar. Menawarkan dukungan finansial untuk perusahaan pengelola hutan sebesar US$ 2 per hektar. Batasan maksimum bantuan sebanyak US$ 300.000. Jika ada perusahaan dengan wilayah 150.000 hektar atau lebih, bantuan maksimum tetap US$ 300.000. TBI juga akan mempertimbangkan bantuan dengan basis US$ 3 per hektar dengan maksimum bantuan US$ 150.000 per kasus tertentu dengan perusahaan yang memiliki areal 35.000 – 75.000 hektar.
US$ 2 per hektar maksimum US$ 300.000 untuk areal > 75.000 hektar; dan US$3 per hektar maksimum US$ 150.000 untuk areal 35.000 – 75.000 hektar.
http://www.theborneoinitiative.org/
Kalimantan, Indonesia
Membantu mitra-mitra untuk mendapatkan dan mempertahankan SVLK/PHPL dan sertifikasi pengelolaan kawasan hutan FSC (dengan program ForCES Forest certification for ecosystem services).
Deskripsi
Kelayakan
Jumlah
Website
Daerah prioritas
Kegiatan prioritas
300 LAMPIRAN-LAMPIRAN