ANALISIS PUTUSAN DISSENTING OPINION BERDASARKAN KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM ACARA PIDANA (KUHAP) PADA PERKARA PENIPUAN (Studi Putusan Mahkamah Agung Nomor: 2253 K/Pid/2012) Indra Sukma Putra, Sri Wahyuningsih Yulianti, Bintoro Adi Wicaksono
Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dissenting opinion hakim Mahkamah Agung dalam memeriksa permohonan kasasi penuntut umum dalam perkara penipuan sudah sesuai dengan ketentuan KUHAP dan mengetahui apa yang menjadi dasar pertimbangan hakim Mahkamah Agung dalam memutus mengabulkan permohonan kasasi dengan adanya dissenting opinion Hakim Mahkamah Agung. Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif, atau dikenal sebagai penelitian hukum doktrinal yaitu penelitian hukum yang dilakukan dengan jalan mempelajari dan meneliti bahan – bahan hukum primer dan sekunder. Teknik pengumpulan bahan hukum dalam penulisan ini adalah studi kepustakaan (studi dokumen) yaitu pengumpulan bahan hukum dengan melalui bahan hukum tertulis Teknik analisis yang Penulis gunakan dalam penelitian ini adalah teknik analisis deduksi (deduktif) yaitu menarik kesimpulan dari hal yang bersifat umum terhadap permasalahan konkret yang dihadapi. Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang dihasilkan, dapat disimpulkan bahwa pertimbangan hakim Mahkamah Agung dalam memutus mengabulkan permohonann kasasi perkara penipuan dengan adanya dissenting opinion adalah menerima permohonan kasasi sesuai dengan Pasal 254 jo Pasal 255 ayat (1) KUHAP yaitu mengadili sendiri dan pasal 182 ayat (6) jo pasal 256 KUHAP yaitu menjatuhkan pidana penjara 3 (tiga) tahun kepada terdakwa yang dilakukan dengan mengambil suara terbanyak dan Mahkamah Agung mengabulkan permohonan kasasi dalam perkara penipuan. Kata Kunci : Kasasi, Dissenting Opinion, Penipuan
1
Abstract
This study aims to determine the dissenting opinion of Judges of the Supreme Court's consideration of the appeal of the prosecutor in the case of fraud is in accordance with the provisions of the Code of Criminal Procedure and know that the review the basis for deciding the Supreme Court granted the petition of appeal with the Supreme Court dissenting opinion. This study is a normative research, otherwise known as the doctrinal legal research is conducted legal research and student materials research - primary and secondary legal materials. Legal technique for collecting material in this document is the study of literature (study of documents) is a collection of legal documents by a technical analysis of legal documents written that the author used in this study is the technical analysis of the deduction (deductive) and to draw conclusions from things that are common to specific problems encountered. Based on the research and discussion that is generated, it can be concluded that the judgment of the Supreme Court in the decision to grant an appeal permohonann fraud to the dissenting opinion is to accept the appeal in accordance with Article 254 in conjunction with Article 255 paragraph (1) of the Code of Criminal Procedure which judge and section 182 subsection (6) in conjunction with Article 256 of the Criminal Procedure Code which impose a prison term of three (3 ) years defendant is done by taking the most votes and the Supreme Court granted an appeal in case of fraud. Keywords: Cassation, Dissent, Fraud
2
A.
Pendahuluan Jenis dan tata cara atau modus dilakukannya tindak pidana semakin hari akan semakin bertambah seiring dengan kemajuan zaman pada saat ini. Perkembangan teknologi informasi, pengetahuan bahkan perkembangan hukum ikut serta dalam memajukan perkembangan kejahatan. Peraturan yang semakin banyak dan rumit seakan-akan memaksa pelaku untuk bekerja lebih keras lagi dalam melaksanakan tindak kejahatanya. Kejahatan semakin hari akan semakin bertambah seiring dengan kemajuan zaman pada saat ini. Perkembangan teknologi informasi, pengetahuan bahkan perkembangan hukum ikut serta dalam memajukan perkembangan kejahatan. Peraturan yang semakin banyak dan rumit seakan – akan memaksa pelaku untuk bekerja lebih keras lagi dalam melaksanakan tindak kejahatanya.
Kejahatan adalah
suatu gejala normal di dalam masyarakat yang bercirikan heterogenitas dan perkembangan social dan oleh karena itu tidak mungkin dimusnahkan sampai tuntas (Ninik Widyiyanti dan Panji Anoraga, 1987: 2). Salah satu
kejahatan yang akan penulis sampaikan pada saat ini adalah
penipuan. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (Ananda S,2009 : 364) disebutkan bahwa tipu berarti kecoh, daya cara, perbuatan atau perkataan yang tidak jujur (bohong, palsu, dsb), dengan maksud untuk menyesatkan, mengakali, atau mencari untung, dan pengertian penipuan adalah tindakan seseorang dengan tipu muslihat, rangkaian kebohongan, nama palsu dan keadaan palsu dengan maksud menguntungkan diri sendiri dengan tiada hak. Rangkaian kebohongan ialah susunan kalimat-kalimat bohong yang tersusun demikian rupa yang merupaka cerita sesuatu yang seakan-akan benar (R. Sugandhi, 1980: 396-397) Mengenai kejahatan penipuan pada Pasal 378 KUHP, Soesilo merumuskan sebagai berikut (Lamintang, 1984: 262) 1. Kejahatan ini dinamakan kejahatan penipuan. Penipu itu pekerjaannya:
3
a) Membujuk orang supaya memberikan barang, membuat utang atau menghapuskan piutang. b) Maksud pembujukan itu ialah hendak menguntungkan diri sendiri atau orang lain dengan melawan hak. c) Membujuknya itu dengan memakai 1) Nama palsu atau keadaan palsu 2) Akal cerdik (tipu muslihat) atau 3) Karangan perkataan bohong 2. Membujuk yaitu melakukan pengaruh dengan kelicikan terhadap orang, sehingga orang itu menurutnya berbuat sesuatu yang apabila mengetahui duduk perkara yang sebenarnya, ia tidak akan berbuat demikian itu. 3. Tentang barang tidak disebutkan pembatasan, bahwa barang itu harus kepunyaan orang lain, jadi membujuk orang untuk menyerahkan barang sendiri, juga dapat masuk penipuan, asal elemen elemen lain dipenuhinya. 4. Seperti halnya juga dengan pencurian, maka penipuanpun jika Dilakukan dalam kalangan kekeluargaan berlaku peraturan yang tersebut dalam Pasal 367 jo 394. Hakekat dari kejahatan penipuan itu adalah maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hak, dengan mempergunakan upaya-upaya penipuan seperti yang disebutkan secara limitative di dalam Pasal 378 KUHP. Menurut M. Sudrajat Bassar, penipuan adalah suatu bentuk berkicau, “sifat umum dari perbuatan berkicau itu adalah bahwa orang dibuat keliru, dan oleh karena itu ia rela menyerahkan barangnya atau uangnya. (Sudrajat Bassar. 1986: 81) Pada saat sekarang ini penipuan dapat dilakukan hanya dengan bermodalkan kemampuan berkomukasi saja sehingga orang tersebut percaya kepada si pelaku. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana sendiri pada Pasal 378 menegaskan bahwa seseorang yang melakukan kejahatan penipuan diancam dengan sanksi pidana.
4
Walaupun demikian
masih dirasa kurang efektif dalam penegakan terhadap
pelanggarannya, karena dalam penegakan hukum pidana tidak hanya cukup dengan diaturnya suatu perbuatan di dalam suatu undang-undang, namun dibutuhkan juga aparat hukum sebagai pelaksana atas ketentuan undang-undang serta lembaga yang berwenang untuk menangani suatu kejahatan seperti kepolisian, kejaksaan dan pengadilan. Tindakan
penipuan
itu selalu ada bahkan cenderung meningkat dan
berkembang di dalam masyarakat seiring kemajuan zaman. Padahal perbuatan penipuan tersebut dipandang dari sudut manapun merupakan perbuatan yang merugikan orang lain selain itu dapat menimbulkan rasa saling tidak percaya dan akibatnya merusak tata kehidupan masyarakat. Dapat kita lihat dalam berbagai media bahwa tindak pidana penipuan secara perlahan telah menyentuh hampir seluruh daerah di Indonesia, baik itu kota besar, kota kecil, kabupaten maupun pedesaan. Penyelenggaraan kekuasaan kehakiman itu sendiri di lingkungan peradilan umum dilaksanakan oleh Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi dan puncak pada Mahkamah Agung. Pengadilan Negeri bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara pidana dan perkara perdata di tingkat pertama, sedang pengadilan tinggi bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara pidana dan perkara perdata di tingkat kedua. Di dalam penyelenggaraan kekuasaan kehakiman perbedaan pendapat di ruang lingkup peradilan sangat mungkin terjadi sebagai konsekuensi pelaksanaan persidangan dengan susunan hakim majelis. Semua pengadilan memeriksa dan memutus perkara dengan sekurang- kurangnya tiga orang hakim, kecuali apabila undang-undang menetukan lain. Diantara para hakim tersebut seorang bertindak sebagai Ketua, dan lainnya sebagai Hakim Anggota sidang. Berdasar pada hal tersebut, maka jelaslah bahwa kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang bebas dan merdeka, terlepas dari segala pengaruh. Oleh karena itu, Hakim dalam memutus perkara seharusnya berpegang teguh pada ketentuan perundang-undangan yang berlaku untuk memenuhi rasa keadilan. Doktrin 5
dissenting opinion lahir dan berkembang dalam negara-negara yang menggunakan sistem hukum Common Law, seperti di Amerika Serikat dan Inggris. Doktrin ini kemudian berkembang dan diadopsi oleh negara-negara yang menganut sistem hukum Civil Law seperti Indonesia, Belanda, Perancis dan Jerman (Jurnal Equality,2007 : 147) . Perbedaan pendapat dalam memutuskan suatu perkara inilah yang disebut dengan istilah “dissenting opinion”. Majelis hakim yang menangani suatu perkara menurut kebiasaan dalam hukum acara adalah berjumlah 3 (tiga) orang, dari ketiga orang anggota majelis hakim ini apabila dalam musyawarah menjelang pengambilan putusan terdapat perbedaan pendapat diantara satu sama lain maka putusan akan diambil dengan jalan voting atau kalau hal ini tidak memungkinkan, pendapat hakim yang paling menguntungkan Sedang kan bagi hakim
bagi terdakwa yang akan dipakai dalam putusan.
anggota yang kalah suara dalam menentukan putusan,
dirinya harus menerima pendapat mayoritas majelis hakim dan dapat menuliskan pendapatnya yang berbeda dengan putusan dalam buku khusus yang dikelola oleh Ketua Pengadilan dan bersifat rahasia. Adanya dissenting opinion membuat masyarakat dapat mengetahui latar belakang lahirnya putusan. Masyarakat juga dapat menilai kualitas hakim dari perbedaan pendapat tersebut, terutama untuk mengetahui hakim mana yang lebih mendengar rasa keadilan yang berkembang dalam masyarakat. Dissenting Opinion merupakan pendapat/putusan yang ditulis oleh seorang hakim atau lebih yang tidak setuju dengan pendapat mayoritas majelis hakim, yang tidak setuju (disagree) dengan putusan yang diambil oleh mayoritas anggota majelis hakim (Pontang Moerad, 2005:111). Perbedaan pendapat dalam lampiran putusan yang dissenting opinion dapat menimbulkan kewibawaan pengadilan semakin berkurang karena sifat definitif suatu putusan sudah diragukan. Tetapi kepastian hukum dari putusan tersebut bersifat mutlak (absolut) walaupun ada salah satu lebih hakim yang berbeda pendapat dalam rapat permusyawaratan dengan hakim mayoritas dalam suatu majelis tetapi tidak 6
mengurangi keabsahan dan mengikatnya putusan karena ketika menjatuhkan putusan semua hakim dalam majelis harus mendatangani berita acara putusan tersebut. Putusan yang dissenting opinion pada dasarnya adalah putusan biasa pada umumnya. Berdasarkan alasan diatas, penulis tertarik untuk mengadakan penelitian yang tertuang dalam bentuk penulisan hukum dengan judul: DISSENTING
OPINION
BERDASARKAN
KITAB
ANALISIS PUTUSAN UNDANG-UNDANG
HUKUM ACARA PIDANA (KUHAP) PADA PERKARA PENIPUAN (Studi Putusan Mahkamah Agung Nomor: 2253 K/Pid/2012).
B.
Metode Penelitian 1.
Jenis Penelitian : Penelitian hukum ini adalah penelitian hukum normatif, atau dikenal sebagai penelitian hukum doktrinal yaitu penelitian hukum yang dilakukan dengan jalan mempelajari dan meneliti bahan–bahan hukum primer dan sekunder. Sebenarnya tidak perlu menyebut istilah “penelitian hukum normatif” karena dengan istilah “penelitian hukum” saja, sudah jelas bahwa penelitian tersebut bersifat normatif (Peter Mahmud Marzuki, 2013 : 55-56). Penelitian hukum selalu bersifat normatif atau doktrinal dikarenakan penelitian tentang hukum yang empiris bukanlah penelitian hukum akan tetapi sosio-legal research yaitu penelitian sosial tentang hukum atau penelitian sosial dengan obyek hukum. Dengan penelitian hukum ini penulis berharap mampu memberikan jawaban atas permasalahan hukum dalam penelitian ini.
2. Sifat Penelitian : Dalam penelitian hukum ini, penulis menggunakan sifat penelitian preskriptif dan terapan. Sebagai ilmu yang memiliki sifat preskiptif, penelitian hukum yang dilakukan oleh praktisi maupun para scholars tidak dimulai dengan hipotesis. Sehingga dalam hal ini bukan hanya sekedar menetapkan aturan yang ada, melainkan juga menciptakan hukum untuk mengatasi masalah yang dihadapi. Memingat ilmu hukum meruapakan ilmun terapan, penelitian hukum dalam kerangka kegiatan
7
akademis maupun kegiatan praktis harus dibingkai oleh moral (Peter Mahmud Marzuki, 2013: 59 – 70). 3. Pendekatan Penelitian : Di dalam suatu pendekatan suatu penelitian hukum terdapat beberapa pendekatan yang dapat digunakan untuk mendapatkan informasi guna menjawab isu hukum yang sedang diteliti, adapun pendekatann yang dimaksud adalah pendekatan perundang-undangan (statue approach), pendekatan kasus (case approach), pendekatan historis (historical approach), pendekatan perbandingan (comparative approach) dan pendekatan konseptual (conceptual approach). Dalam hal ini menggunakan pendekatan kasus (case approach) dalam penelitian ini. Pendekatan ini dilakukan dengan cara melakukan telaah terhadap kasus–kasus yang berkaitan dengan isu hukum yang dihadapi yang telah menjadi putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.
C.
Hasil Dan Pembahasan 1. Kasus Posisi Pada akhir Tahun 2009, Ali Alias Sogolam mengenal H. Ghandi Arius, SH., M. Hum Bin Yusuf Akhmad
karena merupakan Pengacara saksi Ali sendiri.
kemudian kira - kira Tahun 2010 H. Ghandi menawarkan sebidang tanah kepada saksi Ali Alias Sogolam yang terletak di Kelurahan Talang Kelapa Kecamatan Banyuasin I Kabupaten Musi Banyuasin yang sekarang terletak di Jalan Palembang Betung Km. 15 Kelurahan Tanah Mas Kecamatan Talang Kelapa Kabupaten Banyuasin dengan luas + 46.530 m2. H. Ghandi mendapatkan kuasa untuk menjualkan sebidang tanah tersebut. Kemudian sekitar 3 (tiga) minggu kemudian Ali Alias Sogolam mendatangi rumah saksi Fransh Oh Alias Jenggot dan di tempat tersebut Ali Alias Sogolam juga bertemu dengan Tjandra Alias Ayen, lalu Ali Alias Sogolam menceritakan tentang sebidang tanah yang akan dijual tersebut, kemudian Tjandra Alias Ayen Alias Ayen mengajak saksi Ali Alias Sogolam untuk bergabung membelinya (sepakat membeli
8
tanah). selanjutnya mereka bertiga bersepakat untuk bersama-sama membeli sebidang tanah tersebut, dengan perincian yaitu Tjandra Alias Ayen Alias Ayen sebesar 40%, saksi Ali Alias Sogolam sebesar 40% dan saksi Fransh Oh Alias Jenggot sebesar 20%. Selanjutnya pada sekira bulan Agustus, Tjandra Alias Ayen Alias Ayen mengatakan kepada saksi Ali Alias Sogolam dan saksi Fransh Oh Alias Jenggot secara berulang kali yang meminta agar untuk pengikatan jual beli, menggunakan nama Tjandra Alias Ayen Alias Ayen saja agar mempermudah urusan. Namun ternyata sebelum dilakukan pelunasan, tanpa memberitahu dan tanpa persetujuan saksi Ali Alias Sogolam dan saksi Fransh Oh Alias Jenggot, Tjandra Alias Ayen telah membuat Akte Jual Beli Nomor : 1471/2010 tanggal 26 Oktober 2010 dari H. Hakim Mulyakin Bin H. Yakub dan Rosyidah Binti H. Yakub selaku penjual kepada Tjandra Alias Ayen dan Terdakwa MOEKTI GOENALI Alias AOK selaku pembeli, yang dibuat di Notaris Saripudin Burhan, SH. Sp.N. dan Sertifikat Hak Milik Nomor : 1299/Desa Talang Kelapa tanggal 29 April 1978 atas nama M. Jacub Bin Mat Arif telah dibaliknamakan atas nama Tjandra Alias Ayen Alias Ayen dan Terdakwa, yang dibuat di Kantor Pertanahan Kabupaten Banyuasin.
2. Analisis Dalam memeriksa dan memutus pengajuan kasasi oleh Hakim Mahkamah Agung dapat dilihat dari 2 aspek, yakni dilihat dari aspek terpenuhi syarat formil dan aspek materiil. Jika dilihat dari syarat formil alasan pengajuan kasasi yaitu terdapat pada Pasal 244, Pasal 247,dan Pasal 248 KUHAP, Mahkamah Agung telah mempertimbangkan untuk mengambil keputusan guna memeriksa dan memutus perkara/ menerima permohonan kasasi, karena pengajuan kasasi oleh penuntut umum tersebut telah dianggap memenuhi unsur syarat formil. Pasal 244 sendiri telah dianulir dengan adanya putusan Mahkamah Konstitusi No. 114/PUU-X/2012 yakni telah menghilangkan frase kecuali terhadap putusan bebas sehingga putusan bebas dapat diajukan kasasi. 9
Sedangkan pertimbangan untuk syarat materiil majelis hakim menggunakan pertimbangannya dalam memutus perkara yakni Pasal 253 ayat (1) KUHAP yaitu pemeriksaan dalam tingkat kasasi dilakukan oleh Mahkamah Agung atas permintaan para pihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 244 dan Pasal 248 guna menentukan : a. Apakah benar suatu peraturan hukum tidak diterapkan atau diterapkan tidak sebagaimana mestinya; b. Apakah benar cara mengadili tidak dilaksanakan menurut ketentuan Undang-Undang; c. Apakah benar pengadilan telah melampaui batas wewenangnya. Menurut pandangan penulis pertimbangan hakim dalam mengabulkan permohonan kasasi penuntut umum dengan adanya dissenting opinion Hakim Mahkamah Agung adalah sesuai dengan ketentuan KUHAP. Hakim dalam pertimbangannya telah mempertimbangkan Pasal 253 ayat 1 KUHAP pada kalimat pembebasan tersebut didasarkan oleh penafisiran yang keliru maksudnya adalah hukum tersebut tidak diterapkan sebagaimana mestinya / salah dalam menerapkan hukum. Hakim dalam mengambil putusan tidak hanya mempertimbangkan faktor yuridis melainkan mempertimbangkan faktor ekonomi sosial terdakwa, faktor edukatif, faktor lingkungan terdakwa bertempat tinggal dan dibesarkan, faktor religious, dan yang lainya sehingga putusan menjadi lengkap, dalam artian mencari kebenaran materiil, keadilan, dan norma–norma yang hidup di masyarakat (Lilik Mulyadi,2007: 155 - 156). Sebagaimana yang ditulis dalam Pasal 254 jo Pasal 255 KUHAP Mahkamah Agung dalam memeriksa permohonan kasasi karena telah memenuhi ketentuan Pasal 245,Pasal 246,dan Pasal 247, Mahkamah Agung dapat mengabulkan atau menolak permohonan kasasi dan dalam hal suatu putusan dibatalkan karena peraturan hukum tidak diterapkan atau diterapkan tidak sebagaimana mestinya, Mahkamah Agung mengadili sendiri perkara tersebut. Dari hal tersebut sudah jelas bahwa Mahkamah Agung selaku Judex Juris pengadilan tertinggi memiliki hak untuk menolak ataupun mengabulkan permohonan 10
kasasi serta Mahkamah Agung berhak untuk mengadili sendiri perkara tersebut, apabila putusan dibatalkan karena peraturan hukum tidak diterapkan atau diterapkan tidak sebagaimana mestinya. Dasar putusan Mahkamah Agung itu sendiri dalam kasus ini adalah mengabulkan permohonan kasasi dan membatalkan putusan pengadilan negeri serta mengadili sendiri perkara tersebut. Dari hal ini dapat dilihat bahwa dalam pertimbangannya hakim mengunakan acuan Pasal 253 ayat (1) huruf a KUHAP dan dalam meyelesaikan perkara ini hakim menggunakan Pasal 254 jo Pasal 255 ayat (1) KUHAP. Yang selanjutnya dipertegas dakam Pasal 256 KUHAP Jika Mahkamah Agung mengabulkan permohonan kasasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 254, Mahkamah Agung membatalkan putusan pengadilan yang dimintakan kasasi dan dalam hal itu berlaku ketentuan Pasal 255. Pengambilan
putusan yang dilakukan dengan adanya dissenting opinion
dapat diselesaikan melalui dua jalan yakni diatur dalam Pasal 182 ayat (6) KUHAP yaitu apabila terjadi perbedaan pendapat yang meyebabkan tidak terjadinya pemufakatan maka dilakukan pengambilan suara terbanyak dan apabila masih belum juga mendapatkan hasil mufakat dari pengambilan suara terbanyak maka yang diambil adalah pendapat hakim yang paling menguntungkan terdakwa. Dalam kasus ini hakim menggunakan suara terbanyak dalam
mengambil putusan. Keputusan
hakim tersebut sudah jelas bahwa hakim menggunakan Pasal 182 ayat (6) KUHAP dalam memutus perkara. Meskipun terdapat perbedaan pendapat yang dilakukan oleh hakim Sri Murwahyuni, SH., MH., yang menyatakan bahwa alasan kasasi tidak dibenarkan karena Jaksa/Penuntut Umum tidak dapat membuktikan bahwa putusan Judex Facti merupakan putusan bebas tidak murni. Namun oleh karena hasil dari keputusan yang telah dimusyawarahkan dengan sungguh – sungguh tetapi tidak menemukan mufakat maka jalan yang diambil adalah sesuai dengan apa yang mejadi acuan hukum acara pidana yakni KUHAP, maka dari hal itu keputusan hakim mengambil suara terbanyak dari anggota Majelis adalah tepat. Jadi pertimbangan hakim dalam memutuskan mengabulkan permohonan kasasi dengan adanya dissenting opinion menurut pandangan penulis adalah sudah 11
sesuai dengan berdasarkan ketentuan KUHAP, yakni Pasal 182 ayat (6) huruf a jo Pasal 256 KUHAP. Majelis hakim Mahkamah Agung memiliki hak untuk menerima permohonan kasasi serta memiliki hak untuk mengadili sendiri sesuai dengan Pasal 254 jo Pasal 255 ayat (1) KUHAP yang dipertegas dalam Pasal 256. Sehingga apa yang telah dilakukan Mahkamah Agung pada putusan ini menurut penulis adalah demi terciptanya keadilan sehingga keputusan yang diambil oleh Mahkamah Agung adalah benar yaitu mengabulkan permohonan kasasi dari pemohon kasasi yang dasar hukumnya adalah Pasal 253 ayat (1) huruf a. Meskipun dalam memutus perkara terdapat
dissenting opinion antar anggota majelis akan tetapi tindakan yang
dilakukan oleh Pengadilan tingkat tertinggi ini menurut penulis adalah tepat yakni mengabulkan permohonan kasasi karena peraturan hukum tidak diterapkan atau diterapkan tidak sebagaimana mestinya, membatalkan putusan Pengadilan Negeri Palembang No. 601/Pid.B/ 2012/PN PLG tanggal 12 Juli 2012, dan mengadili sendiri dilakukan dengan mengambil suara terbanyak, hal ini sudah sesuai dengan apa yang tertuang dalam Pasal 182 ayat (6) huruf a juncto Pasal 256 KUHAP.
D.
Kesimpulan & Saran 1. Kesimpulan Pertimbangan Majelis Hakim Mahkamah Agung dalam mengabulkan permohonan kasasi dengan adanya dissenting opinion Hakim Mahkamah Agung dalam perkara penipuan adalah sudah sesuai dengan ketetentuan KUHAP. Pengadilan Mahkamah Agung memiliki hak untuk menerima permohonan kasasi serta memiliki hak untuk mengadili sendiri sesuai dengan Pasal 254 jo Pasal 255 ayat (1) KUHAP. Meskipun dalam memutus perkara terdapat dissenting opinion antar anggota majelis akan tetapi putusan yang dilakukan oleh Mahkamah Agung ini adalah tepat yakni mengabulkan permohonan kasasi karena peraturan hukum tidak diterapkan atau diterapkan tidak sebagaimana mestinya, membatalkan putusan Pengadilan Negeri Palembang No. 601/Pid.B/ 2012/PN PLG tanggal 12 Juli 2012, dan mengadili sendiri 12
menjatuhkan pidana penjara 3 (tiga) tahun kepada terdakwa dilakukan dengan mengambil suara terbanyak, hal ini sudah sesuai dengan apa yang tertuang dalam Pasal 182 ayat (6) huruf a juncto Pasal 256 KUHAP. 2. Saran a) Untuk kedepannya hakim dalam memeriksa dan memutus perkara sebaiknya harus lebih diteliti lagi dengan memperhatikan beberapa aspekaspek lainnya yang berkesinambungan sehingga tidak ada lagi pihak yang merasa dirugikan. b) Dalam
kasus
ini
terdapat
perbedaan
pendapat
antara
anggota
majelis,sehingga menimbulkan perbedaan alangkah baiknya penyelesaian dengan jalan musyawarah mufakat lebih diutamakan demi terciptanya keadilan yang diharapkan masyarakat.
13
DAFTAR PUSTAKA
Bassar, Sudrajat, 1986. Tindak-Tindak Pidana Tertentu Dalam KUHP. Bandung: Remaja Karya Lamintang, 1984. Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia. Bandung: Sinar Baru Marzuki, Peter Mahmud. 2013 . Penelitian Hukum Edisi Revisi . Jakarta : Kencana Prenada Media Group. Moerad, Pontang B.M. 2005. Pembentukan Hukum Melalui Putusan Pengadilan Dalam Perkara Pidana. Bandung: P.T. Alumni Mulyadi, Lilik. 2007. Hukum acara pidana. Jakarta : PT. Citra Aditya Bakti Putusan Mahkamah Agung Nomor: 2253 K/Pid/2012 Santoso, Ananda. 2009. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Surabaya : Kartika. Sugandhi R, 1980, Kitab Undang-undang Hukum Pidana dan Penjelasannya, Usaha Nasional, Surabaya. Sunarmi, Dissenting Opinion Sebagai Wujud Transparansi Dalam Putusan Peradilan Jurnal Equality, Vol. 12 No. 2 Agustus 2007 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana (KUHP) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman Undang Undang No. 14 Tahun 1985, sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 dan perubahan kedua dengan Undang Undang No. 3 Tahun 2009 tentang Mahkamah Agung Widiyanti, Ninik Dan Panji Anoraga. 1987. Perkembangan Kejahatan Dan Permasalahannya. Jakarta : Pradnya Paramita
14
KORESPONDENSI I
DATA PRIBADI Nama Lengkap
:
INDRA SUKMA PUTRA
Tempat Tanggal Lahir:
SUKOHARJO, 24 DESEMBER 1989
Alamat
:
KEDUNGGALAR RT 06 RW 09, NGAWI
Jenis Kelamin
:
LAKI-LAKI
Nomor HP
:
085735532940
Email
:
[email protected]
15
KORESPONDENSI II
DATA PRIBADI Nama Lengkap
:
SRI WAHYUNINGSIH YULIANTI, S.H., M.H
Tempat Tanggal Lahir:
-
Alamat
:
JALAN SERSAN SADIKIN NOMOR GIRIMULYO, GERGUNUNG, KLATEN
Jenis Kelamin
:
PEREMPUAN
Nomor HP
:
08156870523
Email
:
[email protected]
73
16
KORESPONDENSI III
DATA PRIBADI Nama Lengkap
:
BINTORO ADI WICAKSONO
Tempat Tanggal Lahir:
WONOGIRI, 14 MEI 1992
Alamat
:
BRUBUH RT 04/RW 01 NGADIROJO, WONOGIRI
Jenis Kelamin
:
LAKI-LAKI
Nomor HP
:
08562533379
Email
:
[email protected]
NGADIROJO
LOR,
17