INDONESIA KRISIS IDENTITAS, BENARKAH?
Montanus Barep Hiovenaguna 125100107111047
PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN JURUSAN TEKNOLOGI HASIL PERTANIAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2013
INDONESIA KRISIS IDENTITAS, BENARKAH? 31 Oktober 2012 detikcom @detikcom RI Akhirnya Beli 1,1 Juta Ton Beras dari Kamboja http://t.co/6pWzL7Rr via @detikfinance
Berita di atas seharusnya dapat membuat pemerintah Indonesia semakin berefleksi diri. Sebenarnya, apa yang sedang terjadi di negara ini? Indonesia yang dikenal sebagai „Jambrud Khatulistiwa‟ harus mengimpor beras dalam jumlah yang besar. Tidakkah sanggup Indonesia sebagai „Ibu Pertiwi‟ memenuhi kebutuhan pokok „Anak-anaknya‟?
Identitas Agraris (?) Indonesia dikenal sebagai negara kepulauan terbesar. Saat ini Indonesia memiliki penduduk kurang lebih berjumlah 240 juta jiwa. Jumlah yang tidak sedikit di mana setiap makhluk hidupnya membutuhkan makanan sebagai sumber energi. Beras masih merupakan makanan pokok di Indonesia. Setiap orang membutuhkan 130 kg beras per tahunnya. Jadi, Indonesia harus menyediakan 31,2 juta ton beras per tahunnya untuk memenuhi kebutuhan seluruh rakyatnya. Suatu hal yang tak dapat ditolerir lagi bahwa di dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 alinea 4 telah ditegaskan, “Pemerintah negara Indonesia harus mampu melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia untuk memajukan kesejahteraan umum.” Bertolak dari sinilah kewajiban pemerintah Indonesia untuk memenuhi kebutuhan beras bagi rakyatnya. Saat ini masalah ketahanan pangan tak lagi menjadi masalah yang laten namun sudah menjadi masalah yang selalu eksis. Permasalahan tersebut muncul dari berbagai aspek, mulai dari harga bibit yang mahal, sistem irigasi yang buruk, harga jual yang rendah, kualitas yang jauh lebih rendah dengan barang impor, kurangnya ketersediaan lahan, sulitnya proses distribusi, dan masih banyak permasalahan lainnya. Sebenarnya apa yang terjadi dengan tanah air ini? Tanah air yang pernah memberi makan pada rakyat kelaparan, seperti di Ethiopia, sekarang tak mampu lagi memberi makan bagi rakyatnya sendiri.
Peran VOC bagi Pertanian Indonesia Indonesia merupakan sebuah bangsa yang terbentuk melalui berbagai benturan pada masa lalu. Salah satu yang paling jelas membekas adalah penjajahan yang dilakukan oleh Belanda. Tak ada hal lain lagi yang membuat Belanda datang ke tanah Indonesia selain kesuburan tanah dan potensi yang dimiliki oleh negara ini. Sesekali waktu mungkin kita pernah mendengar sebutan demikian, “tongkat batu dan kayu jadi tanaman”. Hal inilah yang membuktikan kesuburan yang dimiliki tanah Indonesia. Saat ini negara-negara lain pun mengakui kesuburan yang dimiliki oleh negara Indonesia. Seharusnya kesuburan tanah ini menjadi modal utama bagi bangsa Indonesia dalam bidang pertanian. Namun, apakah realitanya demikian? Apakah Indonesia sudah mampu mengolah sumber daya yang dimiliki dengan baik? Ternyata, tidak. Kembali lagi pada saat Indonesia dijajah oleh Belanda selama kurang lebih 350 tahun. Betulkah Belanda menjajah Indonesia selama itu? Jika diamati secara lebih mendalam, waktu itu tanah Indonesia dikuasai oleh VOC. Penjajah Indonesia bukanlah Belanda, melainkan VOC. Pada hakikatnya VOC merupakan sebuah perusahaan kongsi dagang yang bergerak pada bidang pertanian. Pada saat itu VOC melihat tanah Indonesia mempunyai potensi yang sangat besar dan akhirnya menjadikan pertanian Indonesia sebagai penopang perekonomian. Betapa sukses dan berhasilnya perusahaan tersebut sehingga dapat bertahan selama ratusan tahun untuk membangun sebuah negara, yaitu Belanda. Kesuburan tanah belum menjadi satu-satunya jaminan keberhasilan pertanian terutama untuk meningkatkan perekonomian suatu negara. Diperlukan sebuah sistem yang tepat untuk mengembangkan pertanian itu sendiri. Pertanian di Pulau Jawa lebih baik daripada pulau-pulau lainnya. Mengapa demikian? Hal ini disebabkan karena pada masa lalu VOC membangun sistem irigasi di Pulau Jawa dengan sebaik mungkin dibanding dengan pulau-pulau lain. Sistem irigrasi tersebut hanyalah salah satu contoh dari banyaknya sistem yang dibentuk oleh VOC untuk memperbesar usahanya. Pada masa itu semua pihak dapat mengakui bahwa tidak semua sistem yang dibentuk oleh VOC seluruhnya baik. Sistem kerja paksa, pajak tinggi, dan peraturan-peraturan lainnya banyak dibentuk untuk menguntungkan pihak VOC semata, sedangkan pihak rakyat jelata mengalami penderitaan atas kebijakan itu. Sayangnya, dewasa ini sistem yang kurang baik tersebut masih dapat ditemui dalam pertanian Indonesia.
Para petani harus membeli bibit yang telah ditentukan oleh sebuah perusahaan. Kemudian para petani menanam, menumbuhkembangkan tanaman tersebut, hingga berbuah. Buah tersebut nantinya akan dibeli oleh perusahaan yang menjual bibit dengan harga yang telah ditentukan oleh perusahaan itu sendiri. Bibit-bibit yang telah dibeli petani pun hanya dapat ditanam maksimal sebanyak tiga kali karena adanya rekayasa genetik pada bibit tersebut. Sistem yang terjadi saat ini rupanya tidak berbeda jauh dengan sistem VOC yang „mencekik‟ rakyat kecil, yaitu petani. Dahulu VOC menjadi penguasa yang dapat menentukan kebijakan-kebijakan dalam usahanya. Sekarang, tak ada penguasa lain selain pemerintah Indonesia yang dapat menentukan segala kebijakan untuk menentukan arah pertanian Indonesia. Seharusnya pertanian Indonesia menjadi kekuatan perekonomian seperti yang terjadi pada masa VOC. Namun kenyataannya sistem yang berlaku saat ini sama-sama merugikan rakyat kecil dan Indonesia malah mengalami beban perkonomian dengan ditandainya impor kebutuhan pokok yang paling mendasar, yaitu beras.
Agrarius, Quo Vadis? Agrarius, Quo Vadis? Mau dibawa kemana pertanian Indonesia? Siapakah yang dapat menentukan arah pertanian Indonesia? Tentu saja jawabannya adalah pemerintah Indonesia, bukan paguyuban para petani, para pedagang alat dan bahan pertanian, atau bahkan konsumen hasil pertanian. Pada masa orde baru, pertanian memiliki arah dan tujuan secara jelas dengan berbagai program dan kebijakan yang dibuat oleh pemerintah. Kebijakan itu dikenal dengan sebutan „Revolusi Hijau‟. Saat itu para petani sungguh merasa dipuaskan dengan kebijakan yang dibuat oleh pemerintah dan pemerintah pun mendapatkan hasil pertanian yang baik. Namun sayangnya, tradisi yang sebenarnya baik tersebut sekarang tenggelam di antara berbagai permasalahan politik yang lebih menarik. Jumlah petani yang semakin menipis dan berusia lanjut merupakan tolok ukur bahwa kaum muda saat ini enggan untuk menjadi seorang petani. Menjadi petani seyogyanya merupakan sebuah identitas yang membanggakan di negeri agraris ini, bukan malah berlomba-lomba melamar pekerjaan menjadi buruh pabrik. Pemerintah harus mengembalikan identitas bangsa ini sebagai negara agraris dengan membuat adanya sebuah gebrakan baru. Hal ini dilakukan demi tercapainya kesejahteraan sehingga pertanian dapat menjadi perhatian utama. Jika menginginkan perkembangan ekonomi saat ini, maka segala permasalahan pada pertanian tidak dapat hanya didiamkan begitu saja. Perlu adanya sebuah sistem yang dirancang dan diterapkan mulai dari hal-hal mendasar sampai yang paling kompleks pada bidang pertanian. Tidak
ada salahnya jika Indonesia belajar dari sejarah sekalipun belajar dari kekelaman. Membentuk VOC pada masa sekarang ini adalah hal yang tepat. Bukan VOC yang original, tetapi mengambil eksistensinya sebagai perusahaan besar yang bergerak dalam bidang pertanian. Tidak perlu menggunakan program-program, seperti kerja rodi, pajak tinggi, dan lain-lainnya yang membebankan para petani. Namun Indonesia hanya perlu menggambil hal-hal positif untuk membentuk suatu sistem baru. Bagaimana bentuk perusahaan yang selayaknya dibuat? Pertanian bukanlah hal yang patut dianggap remeh. Selayaknya perusahaan, pertanian harus dapat dikoordinasi langsung di bawah tangan pemerintahan Indonesia. Jadi, Indonesia harus memiliki BUMN yang serupa dengan VOC demi membangun perekonomian negara melalui pemanfaatan pertanian Indonesia. Memang perlu modal dalam jumlah yang sangat besar untuk penggebrakan ini, namun pantaskah pemerintah berpikir dua kali demi sesuatu yang pasti akan membawa perubahan menuju yang lebih baik. Banyak keuntungan yang akan didapatkan dengan dibentuknya sebuah BUMN. Hal yang paling mendasar, pertanian Indonesia memiliki tujuan dan target yang harus dicapai sebagai motivasi. Sebagai sebuah perusahaan tentu saja berorientasi pada profit. Jika menggunakan BUMN bukan perusahaan swasta, maka profit dapat dinikmati oleh seluruh rakyat Indonesia dan bukan hanya segelintir orang. Sistem pendataan pada sebuah instansi juga pastinya lebih baik dan akurat. Data tersebut dapat digunakan untuk menentukan tujuan dengan situasi kondisi yang ada dan menghilangkan faktor-faktor penghambat untuk tercapainya tujuan tersebut. Tentu saja masih banyak hal praktis yang menjadi keuntungan ketika dibentuk sebuah BUMN yang bergerak di bidang pertanian. Tujuan dari dibentuknya BUMN serupa VOC ini adalah untuk mengembangkan perekonomian melalui pertanian Indonesia. Tujuan tersebut harus dipegang teguh dalam proses pelakasanaannya. Jangan sampai program-program yang dibuat oleh BUMN ini justru malah merugikan petani. Jangan sampai dengan adanya BUMN ini justru VOC yang sesungguhnya hadir kembali di pertanian Indonesia. BUMN harus dipegang oleh orang-orang yang secara total bersedia mengembangkan pertanian Indonesia. Perlu komitmen tegas untuk melakukan usaha yang bersih dari korupsi seperti permasalahan politik yang hadir saat ini. Tentu saja pembentukan BUMN memiliki sasaran awal sebagai bukti bahwa keberadaannya sungguh dibutuhkan. Memenuhi kebutuhan seluruh rakyat Indonesia adalah kewajiban yang pertama-tama harus diusahakan. Tindakan impor kebutuhan pokok harus diberhentikan dengan tegas agar produk lokal laku di pasaran. Kesejahteraan petani pun harus diperhatikan agar mereka
juga dapat bekerja secara maksimal di dalam pengabdiannya. Di samping itu, hal terpenting dan harus dilakukan yaitu memperbesar jumlah ekspor agar devisa pun meningkat. Inilah titik kunci pertanian sebagai kekuatan ekonomi. Sistem yang baik akan membuat pertanian di Indonesia semakin maju dan akhirnya identitas Indonesia sebagai negara agraris pun akan jaya. Harapannya dengan adanya sistem seperti ini Indonesia memiliki sistem ketahanan pangan yang tangguh. Selain itu, perkembangan ekonomi bangsa ini semakin meningkat dari sektor pertaniannya. Tentusaja dengan itu bangsa Indonesia akan menjadi bangsa yang kuat dan siap bersaing di kancah internasional dengan pertanian/pangan dan ekonomi yang tangguh.
DAFTAR PUSTAKA Creutzberg, Pieter dan J.T.M. vanLaanen. 2005. Sejarah Statistik Ekonomi Indonesia. Jakarta: Buku Obor. Karwan A. Salikin. 2003. Sistem Pertanian Berkelanjutan. Yogyakarta: Penerbit Kanisius. Korlang, D. Diederick J. 2007. The Archives of the Dutch East India Company VOC and the Local Instutitions in Batvia Jakarta. Netherlands: A.C.I.P Sugiharto. 2007. Peran Strategis BUMN dalam Pembangunan Ekonomi Indonesia Hari Ini dan Masa Depan. Jakarta: PT Elex Media Komputindo.