INDONESIA FINTECH FESTIVAL AND CONFERENCE 2016
Ringkasan Sesi October 2016
2
3
Indonesia telah masuk ke dalam jajaran negara-negara mobile-first, dengan konsumsi data melalui ponsel pintar (smart phone) dan perangkat selular lainnya melampaui data melalui broadband (wired network). Hal ini mendorong gelombang start-up financial technology (fintech) yang mengembangkan situs-situs pembanding, pengelolaan keuangan pribadi (personal financial management), aplikasi pinjaman dan investasi, pembayaran peer-topeer (P2P) dan solusi korporat. Lembaga-lembaga keuangan pertahana pun membuka diri terhadap teknologi digital dan mulai menawarkan produk dan layanan keuangan berbasis teknologi (Fintech). Dalam rangka mendorong pertumbuhan dan potensi industri, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Kamar Dagang dan Industri (Kadin) menyelenggarakan Indonesian Fintech Festival and Conference (IFFC) pada bulan Agustus 2016. Perhelatan ini mempertemukan berbagai pemangku kepentingan industri mulai dari regulator, lembaga keuangan, investor, start-up, inkubator, asosiasi industri dan kalangan akademisi. Dihadiri lebih dari 3.000 partisipan, 100 perusahaan menunjukkan layanannya, dan lebih dari 80 pembicara selama 2 hari, IFFC 2016 memberikan banyak masukan penting bagi pelaku industri. Tulisan ini merangkum beragam diskusi yang terjadi selama IIFC 2016 berlangsung guna memberikan perhatian khusus terhadap masa depan Fintech di Indonesia serta peran yang dapat diambil oleh Fintech dalam mendorong inklusi keuangan.
4
KONTRIBUSI BERMAKNA TERHADAP PEREKONOMIAN INDONESIA
Kesenjangan penghasilan antara kaya dan miskin semakin meluas di Indonesia. Seperti yang disampaikan oleh salah satu keynote speaker, rasio Gini Indonesia terhadap distribusi pendapatan negara, dengan range dari pemerataan sempurna pada nilai nol sampai pada ketimpangan sempurna pada nilai satu, telah meningkat dari tahun-tahun sebelumnya dari 0.37 ke 0.41. Untuk mengatasi hal ini, rencana pengembangan jangka menengah pemerintah Indonesia adalah menyasar pada pengurangan ketimpangan pendapatan dan rasio Gini sebanyak 5 poin pada tahun 2019. Fintech berpotensi membantu dan memberikan kontribusi terhadap perekonomian Indonesia dari dua sisi: inklusi keuangan dan inovasi. Sisi pertama yaitu dapat memperluas akses bagi segmen yang belum terlayani dengan baik oleh industri jasa keuangan. Sementara sisi lainnya dapat menghasilkan produk-produk keuangan yang lebih baik dibandingkan yang tersedia di pasar saat ini. Fintech dapat membawa kontribusi yang luar biasa khususnya di sektor informal serta di kalangan Usaha Kecil dan Menengah (UKM). Sektor ini merupakan tulang punggung riil bagi perekonomian Indonesia dan belum terlayani dengan baik oleh produk serta layanan yang tersedia saat ini; sebagian besar UKM tidak memiliki akses terhadap kredit yang mereka butuhkan. Ant Financial Services Group di Cina bisa menjadi contoh bagaimana Fintech dapat memberikan kontribusi terhadap sektor UKM. Underwriting pinjaman pada sektor tersebut selalu menjadi permasalahan, mengingat terbatasnya riwayat kredit bagi perusahaan kecil, volatilitas pendapatan, dan kebutuhan akan produk keuangan sederhana. Ant Financial membangun bisnis model untuk UKM yang terpusat pada proses underwriting instan dan akurat didukung oleh Big Data. Sebagai hasilnya, bisnis model ini bertumbuh pesat di pasar UKM, dengan pencairan pinjaman mencapai US $50 miliar dalam kurun waktu 4 tahun.
Indonesia Fintech Festival & Conference 2016 | Ringkasan Sesi
INDONESIA MENAWARKAN PELUANG BAGI FINTECH, NAMUN SARAT AKAN TANTANGAN
Selama 2 hari konferensi Fintech berlangsung, para pembicara mendiskusikan 5 karakteristik pasar Indonesia yang menawarkan peluang besar bagi perusahaanperusahaan Fintech, yakni: Kondisi ekonomi yang mendukung. Indonesia memiliki jumlah penduduk (populasi) terbesar keempat di dunia. Perekonomiannya diperkirakan akan tumbuh dua kali lipat lebih cepat dari pertumbuhan ekonomi global. Pasar besar, penetrasi rendah. Hanya 36 persen penduduk usia dewasa yang memiliki rekening bank, dan sekitar 50 persen menggunakan jasa non-bank untuk mengirim uang. Hampir 45 persen populasi dewasa (usia >15 tahun) meminjam uang dari kerabat, teman atau pemberi pinjaman informal. Konsumen yang antusias terhadap teknologi. Teknologi digital sangat pesat terintegrasi dalam kehidupan sehari-hari konsumen Indonesia, dengan lebih dari 325 juta pengguna koneksi seluler. Penduduk Jakarta tercatat sebagai pengguna Twitter paling aktif di dunia. Indonesia juga tercatat memiliki populasi pengguna Facebook tertinggi keempat di dunia. Start-up yang inovatif. Selama beberapa tahun terakhir, sekitar 250 perusahaan start-up telah menerima pendanaan, dimana 30 persen diantaranya merupakan pendanaan seri A (berjumlah lebih dari $1,5 juta). Keberhasilan dini tersebut yang pada akhirnya mendorong lebih banyak orang memulai bisinis start-up.
5
6
Profitabilitas industri yang menarik. Sektor perbankan Indonesia merupakan salah satu pasar dengan tingkat suku bunga dan margin laba paling menarik di Asia. Peluang-peluang tersebut datang diikuti dengan beragam tantangan yang harus dihadapi. Diskusi panel pada konferensi ini menyoroti tantangan utama bagi industri Fintech seperti lingkungan bisnis, persyaratan regulasi dan identifikasi secara digital: Lingkungan bisnis dan infrastruktur. Perusahaan-perusahaan Fintech membutuhkan ekosistem yang mendukung kemitraan agar mampu meningkatkan serta mewujudkan potensinya secara penuh. Pasar talenta juga masih terbatas dan sangat kompetitif. Sebagian besar lapangan pekerjaan digital belum tersedia 5 tahun yang lalu dan tidak tersedianya pelatihan formal atau apprenticeship untuk jenis pekerjaan ini di dalam sistem pendidikan Indonesia. Dan sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, kondisi infrastruktur di Indonesia perlu ditingkatkan untuk memudahkan upaya menjangkau masyarakat yang belum mempunyai akses terhadap layanan keuangan di daerah-daerah terpencil. Konektivitas logistik, ketersediaan listrik, dan koneksi internet dapat menjadi hambatan infrastruktur untuk pertumbuhan fintech di masa mendatang. Pemerintah dan berbagai institusi industri telah mulai berinvestasi untuk perbaikan infrastruktur, seperti Palapa Ring Project, investasi senilai Rp 2,7 triliun (US$207 juta) dalam infrastruktur broadband yang akan meningkatkan akses terhadap layanan internet cepat dan mampu menghubungkan 17,000 pulau di seluruh Indonesia. Oleh karena itu, Menteri Komunikasi dan Informatika, Rudiantara juga mendorong para pemain fintech untuk berpikir tentang pertumbuhan yang seimbang di seluruh wilayah, sejalan dengan rencana perkembangan dan inklusi keuangan di Indonesia. Persyaratan identifikasi. Peraturan pemerintah saat ini mewajibkan perusahaan untuk berinteraksi langsung dengan nasabah/pelanggan secara face-to-face dan untuk melakukan konfirmasi identitas diharuskan meminta tandatangan asli. Dengan adanya hambatan infrastruktur, tantangan yang perlu diatasi adalah mempertahankan proses “know your customer” (KYC) sekaligus memperluas pemanfaatan kapabilitas digital yang mampu menjembatani kekurangan yang ada. Gambaran rumit lainnya, industri jasa keuangan di Indonesia saat ini belum memiliki sistem indentifikasi universal yang unik. Akibatnya, berbagai lembaga keuangan perlu melaksanakan proses KYC yang sama atau berulang-ulang untuk satu pelanggan/nasabah. Sementara di India, hal tidak efisien seperti ini telah diatasi melalui Aadhaar, yaitu infrastruktur ID digital pertama di dunia, yang menyediakan ID secara daring (online) melalui personal identification number (PIN) khusus. Otentikasi Aadhaar untuk transaksi keuangan dapat dilakukan melalui berbagai cara – (biometrik, demografis, dan one time password pada ponsel atau alamat e-mail yang telah terdaftar). Peningkatan fleksibilitas tersebut membantu mengurangi kebutuhan interaksi fisik. PIN khusus Aadhar dapat dikonfirmasi di mana pun di India dan disimpan di cloud. Seluruh permintaan otentikasi akan disampaikan pada Central Identities Data Repository yang bertindak sebagai sumber tunggal kebenaran verifikasi. Dengan bantuan Aadhaar, pelanggan dapat mengunjungi toko kelontong di pedesaan dan menarik tunai dari rekening bank yang terhubung dengan Aadhaar, atau mengunjungi Public Distribution Outlet (PDO) di mana saja untuk memperoleh beras atau gandum bersubsidi dari akun pangan yang terhubung dengan Aadhaar.
Indonesia Fintech Festival & Conference 2016 | Ringkasan Sesi
TANTANGAN SPESIFIK INDUSTRI FINTECH Selain tantangan spesifik yang dihadapi Indonesia, industri Fintech juga menghadapi hambatan global. Pembicara IFFC juga membahas beberapa tantangan-tantangan besar, dengan fokus utama pada permasalahan keandalan data dan manajemen risiko: Keandalan Data. Kami melihat beberapa kasus manipulasi data oleh para pelaku Fintech di Cina, yang menyebabkan integritas data patut untuk dipertanyakan. Sebagai contoh, Ezubao, pemberi pinjaman secara daring (online) yang dibentuk oleh seorang pengusaha Cina, Ding Ning, pada tahun 2014, dan dengan pesat menjadi pemberi pinjaman peer-to-peer terbesar di Cina. Perusahaan ini menarik 50 miliar yuan ($7.6 miliar) dari hampir 1 juta investor dan nasabah platform peer-to-peer Cina, yang relatif miskin dan tidak memiliki pengalaman dengan lembaga keuangan. Perusahaan yang dimulai sebagai bisnis menjanjikan ini akhirnya berakhir tidak sesuai harapan. Risk controller Ezubao, Yong Lei, mengungkapkan pada tahun 2015 bahwa 95 persen dari proyek-proyek perusahaan bukan merupakan proyek aktual. Bahkan setelah menjanjikan return tahunan mulai dari 9 persen hingga lebih dari 14 persen kepada investor, Ding Ning menghabiskan dana lebih dari 1 miliar yuan untuk pengeluaran pribadi. Pemerintah segera membekukan aset perusahaan yang dinyatakan sebagai skema Ponzi (penipuan investasi)— sangat disayangkan, padahal terbesar di dunia dari segi jumlah depositor. Cybersecurity. Para pelaku Fintech yang tidak memiliki lapisan pengamanan untuk perlindungan terhadap cyber-attack dapat mengalami kerugian besar. Sebagai contoh, kelemahan keamanan lokal dapat memungkinkan para hacker merusak jaringan perbankan lokal pada tahun 2014. Society for Worldwide Interbank Financial Telecommunication (SWIFT), yang jasanya telah digunakan di lebih dari 200 negara, melaporkan bahwa beberapa bank pernah mengalami serangan tersebut dan para hacker mampu mengirimkan pesan tipuan yang isinya permintaan untuk transfer dana melalui layanan pesan SWIFT. Serangan tersebut masih terus terjadi. Pada tahun 2016, SWIFT mengidentifikasi serangan malware di Bangladesh, Ekuador, Filipina dan Vietnam, dengan kerugian $101 juta di Bangladesh dan $12 juta di Ekuador. Bagi industri yang sudah maju seperti industri system pembayaran, startup Fintech dapat memenuhi standar global yang tersedia seperti PCIDSS. Namun demikian, untuk bidang-bidang Fintech lainnya yang masih berkembang, terdapat keterbatasan panduan, baik di tingkat nasional maupun global, dimana perusahaan perlu menjamin sistem keamanannya. Manajemen risiko. Berbagai model bisnis Fintech menggunakan kriteria underwriting yang non-ortodoks, mengakibatkan risiko investasi lebih tinggi bagi konsumen. Pihak regulator dalam konferensi tersebut menyebutkan bahwa mereka perlu mengevaluasi langkah-langkah untuk menjamin perlindungan konsumen. Sebagai contoh, Entrepreneurial Finance Lab (EFL), berupaya menangani asimetri informasi yang dihadapi lembaga keuangan dalam proses screening terhadap usaha-usaha kecil. Untuk melakukannya, perusahaan pun membangun perangkat aplikasi kredit biaya rendah berdasarkan psikometrik melalui riset di Harvard Center for International Development. Aplikasi ini mengandung pertanyaan-pertanyaan psikometrik yang disusun secara internal dan dilisensi oleh pihak ketiga, terkait perilaku, keyakinan, integritas dan kinerja,
7
8
demikian pula pertanyaan-pertanyaan umum serta pengumpulan metada, seperti bagaimana pemohon aplikasi berinteraksi dengan perangkat tersebut. Setelah mengidentifikasi pertanyaan yang dapat memperkirakan potensi risiko kredit, EFL mengembangkan aplikasi komersial berdasarkan respon pada perangkat kredit psikometrik serta perilaku selanjutnya. Melihat kecepatan pertumbuhan industri, regulator perlu mewaspadai potensi risiko sistemik yang muncul seiring dengan pencapaian industri tersebut. Pasar pemberi pinjaman P2P internet di Cina, misalnya, mulai meluncurkan platform P2P pertamanya, PPdai pada tahun 2007 dan mulai merebak di tahun 2013. Namun demikian, sejak pertengahan tahun 2015, semakin banyak pula platform serupa yang mulai berguguran. Sementara pinjaman P2P belum merupakan bagian signifikan dalam sistem keuangan, kendali risiko tetap menjadi perhatian khusus, Fintech seringkali kurang diposisikan dengan baik dan tidak memiliki mekanisme, tim, serta model risiko untuk membangun sistem manajemen risiko yang komperehensif sebagaimana terdapat pada lembaga-lembaga keuangan biasa.
KESIMPULAN DAN LANGKAH SELANJUTNYA Fintech memiliki prospek yang sangat luar biasa di Indonesia dilihat dari tingginya komitmen dari stakeholder yang hadir di konferensi IFFC 2016 dalam meningkatkan inklusi keuangan dan berinovasi. Komitmen juga dirasakan dari partisipasi tinggi para pejabat Pemerintah serta para pemangku kepentingan industri terkait serta diskusi-diskusi mendalam yang dilakukan dalam berbagai sesi konferensi. Namun demikian, masih terdapat beberapa tantangan yang harus menjadi perhatian. Berikut ini kami simpulkan 6 langkah yang diusulkan para peserta serta contributor panel guna membuka seluruh potensi Fintech di Indonesia. 1. Mendorong KYC digital Proses KYC secara face-to-face yang sudah berjalan saat ini menghambat perkembangan potensi solusi keuangan digital. Para pelaku Fintech, sebagaimana yang ditampilkan dalam konferensi, telah berupaya mencari cara terbaik untuk memenuhi persyaratan-persyaratan yang ada dengan menggunakan tools yang dimiliki, namun hasilnya belum optimal. Berdasarkan fakta bahwa KYC digital juga memiliki risiko tersendiri, para pelaku industri mengusulkan beberapa solusi yang memungkinkan, seperti: Memungkinkan lembaga keuangan untuk saling menggunakan data satu sama lainnya antara kelompok bisnis. Hal ini dilakukan melalui transfer dana dari bank ke bank untuk melakukan validasi identifikasi nasabah. Sejumlah negara di Eropa telah menerapkan pendekatan ini, diantaranya Spanyol dan Inggris. Di negara-negara tersebut, nasabah yang telah memiliki rekening pada suatu bank dapat membuka rekening di bank lain tanpa memerlukan proses KYC secara tatap muka. Nasabah hanya diminta melakukan transfer dana sebesar 1 dolar dari rekening bank yang telah dimiliki untuk validasi dan menyatakan bahwa proses KYC tatap muka telah dilakukan guna membuka rekening baru atas nama nasabah yang sama.
Indonesia Fintech Festival & Conference 2016 | Ringkasan Sesi
Memperkenalkan KYC digital kepada kelompok segmen terbatas, misalnya bagi kelompok nasabah dengan saldo rekening maksimum Rp 50 juta per bulan, dengan ini memberi industri kesempatan untuk menerima risiko-risiko tertentu. Proses verifikasi rekening tersebut dapat terhubung dengan database yang telah ada (existing), diantaranya: Sistem Informasi Administrasi Kependudukan, Sistem Informasi Debitur, Informasi Debitur Individual, atau database mendatang lainnya. India merupakan satu contoh negara yang telah menerapkan pendekatan serupa melalui pengenalan Payment Bank pada tahun 2014. Payment Bank merupakan bank model baru dengan persyaratan KYC yang lebih longgar. Pembukaan rekening dapat dilakukan hanya dengan satu dokumen yang membuktikan alamat nasabah. Dokumen tersebut dapat bersifat permanen maupun lokal, yang dapat diverifikasi melalui surat registrasi—atau bahkan hanya melalui telepon. Namun demikian, rekening tersebut memiliki persyaratan maksimal setoran dan saldo (tidak lebih dari Rs 10,000 atau US $1,500 sepanjang waktu). Penawaran pinjaman dan kartu kredit juga tidak berlaku untuk rekening-rekening tersebut. Mendorong penerimaan tandatangan digital. Meski tandatangan secara digital telah diakui sah oleh perundang-undangan melalui UU ITE, para pelaku industri masih meragukan validitasnya secara hukum. Pengumuman yang dilakukan bersama oleh OJK dan Kementerian Komunikasi dan Informatika untuk mensosialisasikan penggunaan tandatangan digital yang disahkan Pemerintah dalam kegiatan-kegiatan di bidang jasa keuangan masih menyisakan keraguan terkait masalah perbedaan efek hukum antara tandatangan digital yang disahkan Pemerintah dan yang tidak disahkan Pemerintah. Jika pihak regulator dapat melakukan klarifikasi sekaligus menegaskan penerimaan jenis tandatangan digital yang berbedar tersebut, maka akan sangat membantu dalam mengatasi keraguan masyarakat. 2. Menetapkan satu pintu untuk Fintech Perusahaan-perusahaan Fintech beroperasi dan berhubungan dengan berbagai regulator terkait (misalnya OJK untuk jasa keuangan, Menkominfo untuk TI/teknologi, dan BI untuk pembayaran – bagi sebagian pelaku). Para pelaku industri meyakini bahwa dengan keberadaan regulator utama yang bertindak sebagai otoritas industri terkait akan dapat memberikan arahan lebih jelas dan memungkinkan mereka bertumbuh dengan lebih cepat. Para pelaku industri juga mendukung dan mendorong inisiatif peluncuran Inkubator Fintech sebagaimana yang diumumkan oleh OJK dan KADIN pada IFFC 2016. Beberapa negara lain telah menerapkan pendekatan serupa. Di Singapura, Monetary Authority of Singapore (MAS) dan National Research Foundation (NRF) membentuk FinTech Office bersama tahun 2016 sebagai suatu entitas virtual one-stop yang melayani seluruh bidang terkait Fintech. Di Inggris, Financial Conduct Authority (FCA) meluncurkan Innovation Hub pada tahun 2014 sebagati pusat panduan bagi para pelaku bisnis baru dan yang telah ada (baik yang diatur maupun tidak) guna membantu memahami kerangka regulasi serta menyiapkan dan mengajukan permohonan otorisasi.
9
10
3. Penyelarasan proses perizinan dan pendaftaran Para pelaku industri mengusulkan pembagian peran yang jelas antara para regulator dalam mengelola Fintech di Indonesia, untuk meminimalkan tumpang tindih sekaligus memperoleh kejelasan. Para pelaku Fintech yang ada saat ini beroperasi dengan beragam izin usaha, mulai dari konsultan manajemen, jasa portal internet, hingga broker keuangan, dan masih banyak lagi. Di sisi lain, model-model bisnis baru seperti pinjaman P2P, agregasi rekening atau pembayaran dengan blockchain, membutuhkan perizinan yang lebih spesifik untuk memberi akses lebih luas terhadap perlindungan yang diberikan oleh Pemerintah terhadap perusahaan, tingkat kenyamanan lebih tinggi bagi para pemangku kepentingan, serta peluang ekspansi lebih besar. 4. Mendorong eksperimentasi melalui regulatory sandbox Para pelaku industri mengharapkan kerangka regulasi yang memungkinkan percobaan sekaligus penawaran lapangan usaha bagi para pebisnis baru. Sebagai referensi, Monetary Authority of Singapore (MAS) menetapkan kerangka regulasi yang memungkinkan perusahaan serta lembaga keuangan melakukan percobaan dengan solusi Fintech, namun tetap pada lingkup dan durasi yang ditetapkan dengan baik. Tetap mematuhi kerangka regulasi yang ada, sebagai contoh, MAS sedikit melonggarkan beberapa persyaratan khusus. Para pelaku industri meyakini bahwa pendekatan serupa juga dapat diterapkan di Indonesia untuk menyeimbangkan kebutuhan atas inovasi dan stabilitas keuangan; menerima kegagalan yang mungin terjadi namun tetap dalam kendali. 5. Menambahkan Fintech dalam kerangka perlindungan konsumen Indonesia Di tengah proses pembelajaran konsumen yang berkesinambungan tentang industri Fintech, diskusi mengenai cyber security dan perlindungan data menjadi sangat vital. Dengan pemahaman tersebut, para pelaku industri pun menyarankan penyesuaian regulasi terkait perlindungan konsumen—diantaranya dengan menambahkan Fintech ke dalam kerangka kerja perlindungan konsumen Indonesia serta memberi penegasan regulasi atas hak konsumen dalam hubungan usaha dengan perusahaan Fintech. Kerangka kerja tersebut perlu menangani permasalahan-permasalahan utama mulai dari kerahasiaan dan keamanan data yang disampaikan konsumen hingga integritas dan reliabilitas data yang disajikan perusahaan Fintech kepada masyarakat. 6. Menyediakan akses kepada lembaga kredit nasional Para pelaku industri meyakini bahwa pembukaan akses terhadap biro-biro kredit seperti BI-SID atau lembaga-lembaga kredit lainnya menjadi sangat kritikal untuk menciptakan lapangan usaha yang setara bagi seluruh pemberi pinjaman di bidang Fintech. Sebaliknya, para pelaku bisnis Fintech juga dapat berkontribusi terhadap database dengan menyediakan data actual konsumen untuk digunakan dalam mitigasi para peminjam yang telah melampaui batas.
11
Indonesia Fintech Festival & Conference 2016 | Ringkasan Sesi
Sebagai contoh, saat ini Thailand sedang dalam proses amandemen Undang-Undang yang mengatur tentang National Credit Bureau (NCB). Amandemen tersebut akan memungkinkan para pemberi pinjaman P2P untuk menjadi anggota lembaga, sehingga dapat memperoleh akses kepada data kredit konsumen untuk tujuan penilaian risiko pinjaman sebagai bagian dari viabilitas pasar jangka lebih panjang. *
*
*
PERNYATAAN/ACKNOWLDGEMENT Ringkasan dan tanggapan ini disusun oleh McKinsey & Company, mitra pengetahuan resmi (official knowledge partner) IFFC 2016. Tim penyusun menyampaikan terima kasih kepada OJK, KADIN Indonesia, dan Asosiasi FinTech Indonesia atas dukungan yang luar biasa dalam penyusunan materi ini.
12
LAMPIRAN – REGULATOR SEBAGAI PENDORONG INOVASI Di seluruh dunia, regulator memegang peranan lebih aktif dalam mendorong inovasi Fintech dengan mengupayakan pencapaian keseimbangan tepat atas regulasi yang “terlalu rendah” vs. “terlalu tinggi”. Bagaimana regulator dapat menciptakan lingkungan yang lebih mendorong para pemain baru di satu sisi sementara terus berupaya menyeimbangkan risiko yang terikat pada inovasi-inovasi tersebut? Di Singapura, Monetary Authority of Singapore (MAS) membentuk “regulatory sandbox” (wadah regulasi) (lihat tabel di bawah ini) untuk membantu perusahaan bereksperimen melalui pendekatan Fintech tingkat tinggi yang menjanjikan. Sejak diumumkan pada bulan Juni 2016, wadah ini mendorong lembaga keuangan (FI) serta lembaga non-keuangan untuk bereksperimen dengan solusi FinTech. Hal ini memungkinkan perusahaan menawarkan produk atau layanan kepada kelompok pelanggan spesifik (mis: 100 adopter pertama) selama periode tertentu, misalnya 6 bulan, selama mereka mengikuti batasan persyaratan yang ditetapkan oleh MAS. Setelah masa sandbox tersebut, perusahaan dapat menawarkan produk atau layanan secara lebih meluas jika MAS dan perusahaan puas dengan hasil pengujian yang diperoleh serta dapat memenuhi persyaratan hukum dan regulasi terkait.
What is a “regulatory sandbox”?
Who will benefit?
Guidelines that enable financial institutions as well as non-financial players to experiment with Fintech solutions
Players within the Fintech space: Enables the testing of new solutions for customer acceptance and for feasibility
Experiments are allowed within a welldefined space and duration during which specific regulatory requirements will be relaxed
Consumers: Benefits from the introduction of new products and services
“MAS aims to provide a responsive and forward-looking regulatory approach that will enable promising Fintech innovations to develop and flourish. The sandbox will help reduce regulatory friction and provide a safer environment for Fintech experiments.” Ms Jacqueline Loh, Deputy Managing Director of MAS
Di India, regulator mendorong pembentukan platform infrastruktur pembayaran efisien dan lintas operasional seperti: Immediate Payment Service (IMPS). IMPS menawarkan sistem transfer dana elektronik antar bank secara real-time selama 24 jam sehari, 7 hari seminggu. United Payments Interface (UPI). Merupakan rancangan umum dan interface Aplikasi standar untuk memfasilitasi transfer dana antar bank tanpa perlu meminta nomor rekening atau kode bank. Semua pengguna smartphone Android yang memiliki rekening pada bank mitra UPI dapat mengunduh aplikasi UPI untuk melakukan transaksi e-commerce secara person-to-person (P2P) menggunakan alamat virtual seperti
@bankname. UPI dibangun terpisah dari IMPS. Aadhaar Payment Bridg. Sistem ini membantu kelancaran transfer pembayaran dana kesejahteraan kepada warga yang berhak menerima. Nasabah tidak perlu membuka rekening di beberapa bank berbeda untuk memperoleh subsidi dan tunjangan tersebut; mereka hanya perlu membuka 1 rekening dan dihubungkan ke nomor Aadhaar. Pencairan dana subsidi akan secra otomatis dikirimkan ke rekening bank tanpa perlu menginformasikan detil rekening bank Nasabah kepada pihak Pemerintah.
Indonesia Fintech Festival & Conference 2016 | Ringkasan Sesi
Selain itu, Reserve Bank of India juga membentuk kategori bank baru yang disebut sebagai Payment Bank, yang telah mengeluarkan 11 perizinan hingga tulisan ini disusun. Payment bank dapat menerima setoran terbatas (saat ini terbatas sebesar 1 lakh rupee per rekening – setara $1,500). Bank-bank tersebut tidak dapat menyediakan pinjaman atau kartu kredit, namun dapat menawarkan produk dan layanan seperti kartu ATM, kartu debit, serta online dan mobile banking. Terakhir, sebagian besar pemangku kepentingan juga meyakini bahwa Visakhapatnam/Vizag dapat menjadi hub Fintech di masa mendatang. Inisiatif ini, yang menunjukkan komitmen seluruh pemangku kepentingan yang terlibat, merupakan inisiatif pertama dimana Negara secara langsung melibatkan pihak universitas, pemerintah dan industri. Pemerintah daerah menunjuk Andhra University untuk meluncurkan dan melaksanakan pilot kursus Fintech. Konten, silabus dan tata waktu serta modul kursus tersebut akan ditetapkan oleh industri berikut narasumber. Diharapkan para lulusan universitas dapat diperkerjakan atau membangun perusahaan pada industri tersebut setelah mereka menyelesaikan program pendidikan
13
Knowledge partner: