INDONESIA DIANTARA PENERAPAN DAN PENGHAPUSAN HUKUMAN MATI (DEATH PENALTY) DARI PERSPEKTIF TREND GLOBAL OLEH : SRI AYU ASTUTI Dosen FH Universitas Muhammadiyah Sidoarjo
ABSTRAK The Argumentation of capital punishment is going to be erased or not in the Indonesia law still become the main object of human rights activies, law experts and justice institution. It is still a big question wheater capital punishment is still going on or erased that can give detterent effect to the defendant. In fact the Supreme Court stated that capital punishment is allowed because it is not against to the Constitution. Both opinion that controversial also happen to the Supreme Court that has capital punishment verdict on capital punishment. The development of capital judgement is on the way where the trend goes in few countries that already erased capital judgement on their national law. This situation shown global trend relased by Hand Off Cain there are 155 countries that erased capital punishment in law system and practically. Indonesia as a law country has it own decision and does not followed the trend based on the Supreme Court decision Mahkamah Konstitusi Nomor 2-3/PUUV/2007stated that capital punishment is konstituent therefore it can be done. This also in the point of view of ICCPR as international law instrument where unlimited the restriction of capital punishment application. Key words : capital punishment application, capital punishment deletion, global trend I.
PENDAHULUAN Mahkamah Agung (MA) telah tiga kali menganulir vonis terpidana mati kasus
narkotika, dan hal ini juga disiarkan oleh berbagai media, satu diantaranya adalah oleh metronews.com (edisi kamis, 12 Oktober 2012). Pro dan kontra ini menjadi perdebatan dikalangan para ilmuwan hukum dan juga masyarakat pemerhati penegakan hukum di Indonesia. MA membatalkan vonis mati terpidana mati kasus narkotika Deni Setia menjadi penjara seumur umur hidup, Deni Setia dalam hal ini dituduh atas kepemilikan 3 Kilogram Kokain dan 3,5 kilogram heroin. Tahun 2010 MA juga memutus hal serupa terhadap pidana mati kasus narkoba Hillary Chimezie yang memiliki 5 Kilogram Heroin. Hakim Agung Imron menganulir hukuman mati terpidana pemilik pabrik ekstasi, henky Gunawan, menjadi 15 tahun penjara atas dasar HAM. Ketiga kasus pidana mati yang dianulir menjadi hukuman seumur hidup itu menjadi kontroversi ditengah trend global negara-negara di dunia berupaya menghapus pelaksanaan hukuman mati. Maka ketika MA untuk ketiga kalinya menganulir vonis terpidana mati menjadi hukuman seumur hidup, tidak sedikit para pakar hukum pidana dan pemerhati penegakan hukum di Indonesia angkat suara, yang menegaskan pelaksanaan hukuman mati di 1
antara penegakan hukuman mati dan kepastian hukum bagi masyarakat, yang berharap dalam negara yang menyatakan diri sebagai Negara hukum dalam Konstitusinya. Seorang Hakim mempunyai hak untuk menjatuhkan vonis suatu perkara yang dijamin dalam ketentuan Konstitusi Negara. Pada kasus Hengky Gunawan, pertimbangan dikabulkannya Putusan PK yang diajukan, berdasarkan dalil bahwa vonis kasasi yang sebelumnya memutuskan hukuman mati bagi Hengky Gunawan adalah bertentangan dan melanggar dengan Pasal 28 Ayat (1) UUD 1945 dan Pasal 4 UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Itu berarti MA melihat bahwa pemberlakuan hukuman mati bertentangan dengan pelaksanaan UUD 1945. Sedangkan Mahkamah Konstitusi (MK), berdasarkan Putusan perkara 15/PUU-X/2012, MK justru menolak pencabutan hukuman mati tersebut, yang justru menunjukan hukuman mati itu masih berlaku di Indonesia. Inskonstitusional, adalah pikiran yang melihat terjadinya perbedaan penafsiran pada dua lembaga peradilan di Indonesia. Mahkamah Konstitusi (MK) yang dipimpin oleh Ketuanya Mahfud, MD menyatakan dalam publikasinya kepada media cetak dan elektronik, satu diantaranya adalah pernyataannya yang ditulis media cetak Sindo (edisi, 15 Oktober 2012), “hak hakim untuk memutus seperti apapun. Tapi kalau memutus pembatalan hukuman mati itu dengan pertimbangan bahwa hukuman mati yang ada di dalam UU itu bertentangan dengan konstitusi, maka hal itu sangat salah. Salahnya, kalau begitu hakim MA mengadili isi UU yang merupakan pengaturan yang abstrak dan bukan hanya mengadili kejahatan narkoba sebagai kasus konkretnya. Padahal hakim MA tidak berwenang mengadili UU.” Lebih lanjut Mahfud menegaskan bahwa “berdasarkan UUD 1945 yang berwenang menyatakan hukuman mati di dalam UU bertentangan dengan konstitusi adalah MK, dan MK sudah memutus bahwa hukuman mati itu konstitusional.” Pertentangan ini, ditanggapi juga oleh ketua Umum Gerakan Nasional Anti Narkotika (Granat) Henry Yosodiningrat yang disampaikan melalui media hukumonline.com menentang putusan PK kasus Hengky Gunawan. Menurutnya “putusan itu menabrak berbagai aturan hukum. PK adalah upaya hukum untuk meninjau apakah terdakwa bersalah atau tidak, bukan meninjau apakah hukuman yang dijatuhkan itu berat atau ringan. Selain itu menurutnya lagi MA tidak berwenang untuk menilai apakah peraturan perundangundangan atau peraturan lain dibawahnya bertentangan dengan konstitusi atau tidak”.
2
Bagir Manan,1 dalam penegasannya juga menyatakan Undang-Undang masih memungkinkan pemberlakuan hukuman mati, karena dalam beberapa undang-undang mengatakan dimungkinkan hukuman mati seperti Undang-Undang Korupsi, KUHP, maka dimungkinkan kalau ada tuntutan hukuman mati. Menurutnya kalau mau menghapus pemberlakuan hukuman mati itu artinya Undang-Undang-nya harus diubah, para hakim hanya menjalankan undang-undang yang ada. Di dunia terjadi pergeseran positif dalam menata kembali criminal justice system pada tingkat global, hingga trend global penghapusan pidana mati di beberapa negara mulai dihapuskan. Mahkamah Agung sendiri dalam Putusan Nomor 39 PK/ Pid. Sus/2011 pada pokoknya membatalkan putusan kasasi yang menjatuhkan hukuman mati kepada Hengky Gunawan atas kepemilikan pabrik ekstasi. Putusan ini sendiri yang telah di uraikan di atas meletakan titik berat pertentangan pada konsep hukuman mati dengan kategori hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun (non-derogable rights), termasuk di dalamnya hak atas hidup, yang tercantum dalam ketentuan Pasal 28 Ayat (1) UUD 1945 dan Pasal 4 UU No. 39/1999 Tentang Hak Asasi Manusia. Terlepas dari tuntutan Koalisi LSM yang menuntut penghapusan hukuman mati, dan Keputusan dua lembaga peradilan hukum di Indonesia Mahkamah Agung (MA) dan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait yang terjadi pertentangan terhadap penghapusan Hukum mati itu, Justru Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa mengungkapkan pernyataannya “Pemerintah Indonesia akan segera menghapus hukuman mati”, hal ini dikarenaka 140 negara anggota PBB sudah menandatangani moratorium penghapusan hukuman mati. Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia (UI) Hikmahanto Juwana2 menurutnya Pemerintah bukan satu-satunya otoritas untuk menentukan dihapus atau tidaknya hukuman mati di Indonesia. Ada institusi lain yang memiliki peran “Mahkamah Konstitusi (MK), “ telah memutuskan hukuman mati merupakan hukuman yang tidak bertentangan dengan Undang-undang Dasar. Ditegaskannya juga bahwa Indonesia jangan hanya sekedar mengikuti trend saja karena Indonesia memiliki kedaulatan dan menentukan sendiri dihapus tidaknya hukuman mati. Penghapusan hukuman mati (the death penalty abolitionist) dalam hukum Indonesia, ini tidak terlepas pada pesatnya perkembangan hukum nasional dan hukum internasional. Perkembangan terakhir trend global yang semakin mencuat adalah upaya penghapusan 1 2
http;//www.Mahkamahagung.go.id/rnews.asp?jid=8&bid=517 http//m.okezone.com/read/2012/10/17/337/705039/indonesia tak perlu ikut trend penghapusan hukuman mati
3
hukuman mati, disebabkan terkait dengan pandangan “Hukum Kodrat”, yang menyatakan bahwa hak untuk hidup adalah hak yang melekat pada setiap individu yang tidak dapat dirampas dan dikurang-kurang (non derogable rights) oleh siapapun, atas nama apapun dan dalam situasi apapun termasuk oleh negara, atas nama hukum atau dalam situasi darurat. Dalam sistem pemidanaan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 juga dinyatakan sistem pemidanaan Indonesia yaitu menggunakan sistem pemasyarakatan, yaitu suatu tatanan mengenai arah dan batas serta cara pembinaan Warga Pembinaan Pemasyarakatan berdasarkan Pancasila yang dilaksanakan secara terpadu antara pembina, yang dibina dan masyrakat, yang diharapakan ketika kembali dalam lingkungan masyarakat dapat hidup secara wajar kembali sebagai warga yang baik dan bertanggung jawab. Menilik RUU KUHP baru, Penerapan Pidana Mati mengalami kandungan pemikiran reformasi tentang pidana mati itu sendiri. Ini dapat dilihat dari penetapan pidana mati sebagai (1) pidana khusus, (2) pidana mati percobaan (3) bila 10 tahun tidak dilaksanakan maka otomatis menjadi seumur hidup. Rumusan RUU KUHP ini tampak dapat mengakomodir perdebatan panjang dalam penetapan pidana mati. Persoalan pidana mati yang selalu bertentangan tersebut dalam penguatan pada pijakan Konstitusi Negara, dan para hakim yang menjatuhkan vonis, kiranya dapat melihat semangat yang terkandung dalam RUU KUHP. Dalam pikiran penulis, pidana mati dapat diberlakukan tetapi tetap mengikuti ketentuan sistem hukum yang berlaku tanpa juga mengabaikan perasaan keadilan masyarakat, yang berada dalam ruang dan waktu berlakunya ketentuan hukum pada negara yang berdaulat. Berdasarkan latar belakang dirumuskan permasalahan “Bagaimana Penerapan Hukuman Mati dan Penegakan Hukumannya di Indonesia dalam Perspektif Trend Global Penghapusan Pidana Mati”
II.
PEMBAHASAN
2.1
PENERAPAN HUKUMAN MATI DALAM KETENTUAN PERATURAN PERUNDANGAN Hukum dibuat untuk mengatur kepentingan-kepentingan yang berbeda antara pribadi,
masyarakat, dan negara dapat berjalan selaras. Negara dalam penataan hukum diharapkan dapat menjalankannya dan memberikan jaminan kepastian hukum bagi warga negaranya. Hukum pidana diterapkan adalah untuk tujuan dapat mengatasi ketika persoalan menjadi benturan kepentingan dalam penyelenggaraan kehidupan bersama antar manusia. Benturan kepentingan antara pihak yang melanggar norma dengan kepentingan masyarakat 4
umum. Dalam memenuhi rasa keadilan yang terdapat dalam masyarakat yang merugikan orang lain maka Negara akan memberikan sanksi, berupa hukuman, namun yang menjadi persoalan adalah adanya upaya penerapan pidana mati, yang menjadi perdebatan panjang dikalangan para pakar hukum sendiri, masyarakat pemerhati kemanusiaan, yang dengan tegas banyak mempersoalkan penerapan hukuman mati yang banyak terdapat ancamannya di dalam ketentuan peraturan perundang-undangan di Indonesia. Di Indonesia kontroversi hukuman mati memang akan terus berlangsung. Dapat kita simak peristiwa hukuman mati yang pernah memanas ketika eksekusi Tibo Cs dan Amrozi.Di tengah kecenderungan global akan melakukan moratorium hukuman mati, di Indonesia justru praktik ini semakin lazim diterapkan. Data dari Kontras menyebutkan, paling tidak selama empat tahun berturut-turut telah dilaksanakan eksekusi mati terhadap 9 orang narapidana. Momentum pembukanya terjadi pada tahun 2004. Pada tahun 2004 itu terdapat 3 terpidana mati yang sudah dieksekusi, yaitu: Ayodya Prasad Chaubey (warga India, 65 tahun), dieksekusi di Sumatra Utara pada tanggal 5 Agustus 2004 untuk kasus narkoba, Saelow Prasad (India, 62 tahun) di untuk kasus yang sama Sumatra Utara pada tanggal 1 Oktober 2004, dan Namsong Sirilak (Thailand, 32 tahun) di Sumatra Utara pada tanggal 1 Oktober. Sementara itu pada tanggal 20 Maret 2005 pukul 01.15 WIB dini hari di suatu tempat rahasia di Jawa Timur, Astini (perempuan berusia 50 tahun) –terpidana hukuman mati karena kasus pembunuhan- dieksekusi dalam posisi duduk oleh 12 anggota regu tembak -6 di antaranya diisi peluru tajam- Brimob Polda Jatim dari jarak 5 meter. Eksekusi ini mengakhiri masa penantian Astini yang sia-sia setelah seluruh proses hukum untuk membatalkan hukuman mati telah tertutup 9 juli 2004 ketika Presiden Megawati menolak memberikan grasi. Astini merupakan orang pertama yang dieksekusi di Indonesia pada tahun 2005. Orang kedua adalah Turmudi bin Kasturi, 32 tahun, di Jambi pada tanggal 13 Mei 2005. Turmudi dihukum mati karena melakukan pembunuhan terhadap 4 orang sekaligus di Jambi pada tanggal 12 Maret 1997. Sama dengan Astini, Turmudi mengakhiri hidupnya di hadapan 12
personel
Brimob
Polda
Jambi.
Praktik eksekusi mati terjadi lagi di tahun 2006, dan kali ini efeknya jauh lebih buruk. Fabianus Tibo, Dominggus da Silva, dan Marinus Riwu dieksekusi di Palu, Sulawesi Tengah. Mereka divonis sebagai dalang utama kerusuhan horisontal yang terjadi di Poso 1998-2000. Kasus ini sangat kontroversial mengingat proses peradilan terhadap mereka yang bertentangan dengan prinsip fair trial. Eksekusi mereka bisa menutup pintu masuk 16 5
tersangka lain yang mungkin ‘lebih dalang’ dari mereka. Reaksi publik yang begitu intens (baik itu yang pro maupun kontra), hingga hasil pascaeksekusi yang juga penuh dengan aksi kekerasan. Di tahun 2007 terpidana mati Ayub di Bulu bili Kalimantan Tengah dieksekusi mati. Praktik eksekusi di atas menegaskan bahwa Indonesia masih bersikap teguh untuk mempertahankan kebijakan hukuman mati. Sementara itu daftar terpidana mati yang terancam masih panjang. Terlepas dari melanggar HAM atau tidak, namun negara memiliki hak untuk melakukan pemaksaan kepada masyarakatnya agar negara menjadi aman, tertib dan damai, yang penting bagi kita semua adalah, marilah menjadi warga negara yang baik, menjadi warga negara yang memiliki rasa tenggang rasa yang tinggi dan senantiasa waspada di manapun kita berada sebab kejahatan tidak terjadi karena niat namun biasanya karena kesempatan.3 Praktik hukum pidana yang berlaku di Indonesia yang ada saat ini, memang merupakan peninggalan jaman kolonial masa penjajahan belanda. Indonesia masih memberlakukan hukum pidana peninggalan kolonial belanda itu, bahkan masih selalu menggunakan terminologi bahasa belanda. Meski demikian Indonesia telah lama berusaha untuk memperbaharui hukumnya, termasuk pembaharuan dalam lingkup ketentuan hukum pidana. Dalam pembaharuan ketentuan hukum pidana, harus dilakukan secara menyeluruh yaitu meliputi pembaharuan hukum pidana materiil (strafrecht), hukum pidana formal atau hukum acara pidana (strafvorderingsrecht), dan hukum pelaksanaan pidana (stravoll streckungrecht). Ketiga bidang hukum pidana harus dilakukan secara bersama-sama dalam pembaharuannya, jika hal tersebut tidak dilakukan maka akan menimbulkan kesulitan dalam pelaksanaannya, dan tujuan dari pembaharuan hukum dalam rangka mewujudkan suatu hukum nasional yang meletakan pada kepentingan nasional tidak akan dapat dicapai. Arah kebijakan hukum yang jelas akan membawa pada penciptaan kondisi hukum pada kehidupan masyarakat yang selaras, dan seimbang dalam suatu peraturan yang memenuhi rasa keadilan masyarakat. Berangkat dari pemahaman tentang hukum pidana itu, akan membawa kita pada penyelarasan pikir tentang kontroversi pelaksanaan pidana mati yang terus terjadi dan berlarut – larut dalam penerapannya di Indonesia. Pertentangan akan penerapan hukuman 3
http//citizennews.suaramerdeka.com/?option=com content&taks=view&id=371
6
mati itu sendiri, juga menyentuh dua institusi peradilan dalam melakukan penegakannya. Meski jelas terjadi pergeseran dalam penetapan memperjuangkan Hak Asasi Manusia yang termaktub di dalam Ketentuan Konstitusi Negara tidak memberikan pengaruh terhadap semangat perubahan dalam ketentuan dihapusnya pidana mati dari berbagai ketentuan peraturan perundang-undangan. Dapat kita lihat semangat HAM itu dalam ketentuan Amandemen UUD 1945 Pasal 28 Ayat (1) dan (2) dengan tegas menyebutkan : Pasal 28 Ayat (1) “setiap orang berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya.” Ayat (2) “Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun.” Tetapi kenyataaan perubahan nilai dasar dalam konstitusi itu yang dipandang akan membawa konsekuensi terhadap ketentuan perubahan semangat seluruh isi undang-undang itu, tidak memiliki pengaruh yang berarti, hal ini dapat dilihat dengan masih memasukan hukuman mati sebagai salah satu bentuk hukuman yang oleh banyak kalangan pemerhati HAM
menyatakan sudah bertentangan dengan konstitusi. Sebaliknya Mahfud MD
menyatakan sejak era reformasi terjadi pembelokan dan bahkan pembalikan arus dalam penegakan HAM di Indonesia. Menurutnya Upaya memperjuangkan HAM menjadi timpang dengan hanya meminta perhatian pada hak asasi seseorang tanpa orang tersebut melaksanakan kewajiban asasinya.4 Berikut adalah beberapa undang-undang yang masih memasukan hukuman mati sebagai hukuman maksimal. Dalam perspektif HAM dan penggiat kemanusiaan, yang selaras juga Trend Global Penghapusan Pidana Mati harus diamandemen karena bertentangan dengan Konstitusi Negara Indonesia, diantaranya adalah :
1.
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 Tentang Penetapan Perpu nomor 1 Tahun2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Menjadi Undangundang. Undang-undang ini masih mengadopsi pemberlakuan hukuman mati, terlihat pada Pasal 6, Pasal 8, Pasal 10, Pasal 14, Pasal 15 dan Pasal 16.
4
Mahfud MD, Membangun Politik Hukum, Menegakkan Konstitusi, Pustaka LP3ES, Jakarta, 2006, Hal 181-182
7
2.
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Pasal 104 tentang kejahatan Terhadap Keamanan Negara dan Pasal 340 tentang pembunuhan berencana masih mencantumkan hukuman mati sebagai hukuman maksimum.
3.
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang psikotropika, Pasal 59 Tentang Tindak Pidana juga menentapkan hukuman mati sebagai hukuman maksimal.
4.
Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 Tentang pengadilan Hak Asasi Manusia, Pasal 36, Pasal 37 dan Pasal 41. Undang-undang tersebut menyatakan adanya hukuman mati bagi pelanggarnya. Untuk lebih jelas, dapat kita lihat rangkaian peraturan per Undang-Undangan dalam tabel berikut ini : Tabel 1 Hukuman Mati Dalam Beberapa Perundang-Undangan
NO UNDANG-UNDANG 1 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP)
2
PASAL Pasal 104, Pasal 111 ayat (2), Pasal 124 Ayat (3), Pasal 140, Pasal 340. Pasal 365 Ayat (4), Pasal 444, Pasal 368 ayat (2) Pasal 64, Pasal 65, Pasal 67, Pasal Kitab Undang-undang Hukum Pidana Militer 68, Pasal 73 ke 1, ke2, ke 3,dan ke 4, (KUHPM) Pasal 74 ke 1 dan ke 2, Pasal 76 Ayat (1), Pasal 82, Pasal 89 ke 1 dan ke 2, Pasal 109 ke 1 dan ke 2, Pasal 114 ayat (1), Pasal 133 Ayat (1) dan (2), Pasal 135 Ayat (1) ke 1 dan ke 2, Ayat (2), Pasal 137 Ayat (1) an Ayat (2), Pasal 138 Ayat (1) dan (2), dan Pasal 142 Ayat (2) Pasal 1 Ayat (1)
3
Undang-Undang Nomor Tentang Senjata Api
12
Tahun
1951 Pasal 2
4
Penpres Nomor 5 Tahun 1959 Tentang Pasal 2 Wewenang Jaksa Agung/Jaksa Tentara Agung Dalam Hal Memperberat Ancaman Hukuman Terhadap Tindak Pidana yang Membahayakan Pelaksanaan Perlengkapan Sandang Pangan
5
Perpu Nomor 21 Tahun 1959 Tentang Pasal 1 Ayat (1), dan Ayat (2) Memperberat Ancaman Hukuman Terhadap Tindak Pidana Ekonomi 8
6
UU Nomor 11/PNPS/1963 Pemberantasan Kegiatan Subversi
7
Undang-Undang Nomor 31/PNPS/1964 Tentang Pasal 23 Ketentuan Pokok Tenaga Atom
8
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1976 Tentang Pasal 479k Ayat (2), Pasal 479o Perubahan dan Penambahan Beberapa Pasal Ayat (2) dalam KUHP Bertalian Dengan Perluasan Berlakunya Ketentuan Perundang-Undangan Pidana Kejahatan Penerbangan dan Kejahatan Terhadap Sarana/Prasarana Penerbangan
9
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 Tentang Pasal 59 Ayat (2) Psikotropika
10
Undang-Undang Nomor Tentang Narkotika
11
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Pasal 2 Ayat (2) Perubahan Atas Undang-Undang 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Korupsi
12
Undang-Undang Nomor Tentang Pengadilan HAM
13
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 Pasal 6, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Pasal 11, Pasal 12, Pasal 14, Pasal Terorisme 15, Pasal 16
14
Undang-Undang Nomor 23 Tentang Perlindungan Anak
35
26
Tentang Pasal 13 Ayat 1 dan Ayat (2), Pasal 1 Ayat (1)
Tahun
Tahun
Tahun
2009 Pasal 113 ayat (1), Ayat (2), Pasal 114 Ayat (1), ayat (2) Pasal 118 Ayat (1), Ayat (2), Pasal 119 Ayat (1) (2). Pasal 121 Ayat (1) (2), Pasal 144 Ayat (1), (2)
2000 Pasal 36, Pasal 37, Pasal 41, Pasal 42 Ayat (3)
2002 Pasal 89 Ayat (1)
Itulah beberapa peraturan perundang-undangan di Indonesia yang menerapkan hukuman mati. Hukuman mati telah lama diterapkan di Indonesia yaitu sejak jaman penjajahan Hindia Belanda, ketika itu hukuman mati diterapkan adalah merupakan upaya untuk memberikan efek jera (deterrent effect) bagi kejahatan, namun sejak tahun 2003 negara Belanda sendiri telah menghapuskan hukuman mati. Batasan hukuman mati adalah penghilangan nyawa seseorang yang telah melakukan kesalahan yang telah terbukti bersalah dengan keputusan pengadilan akan hukuman tersebut. 9
Ketentuan hukuman mati di Indonesia berdasarkan ketentuan perundang-undangan yang ada seperti di atas secara tegas menunjukkan bahwa Indonesia memberlakukan hukuman mati walaupun dalam pengaturannya masih menerapkan sifat alternatif antara pidana mati, pidana seumur hidup, dan pidana penjara. Sebagaimana yang terdapat didalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang telah lama dibahas oleh pemerintah, ancaman hukuman mati tetap ada. Hukuman mati ditentukan sebagai salah satu pidana pokok yang bersifat khusus dan selalu diancamkan secara alternatif , terdapat pada Pasal 66 RUU KUHP. Pidana mati diatur tersendiri dalam Paragraf 11 Pasal 87 sampai dengan Pasal 90 RUU KUHP, serta terdapat ketentuan bahwa pelaksanaan pidana mati tidak memiliki tenggang waktu kadaluwarsa tercantum pada Pasal 155 RUU KUHP.5 Menjadi permasalahan adalah penegakkan hukuman mati yang pada pelaksanaannya sering berlarut-larut tanpa kepastian, sehingga ini menciptakan sebuah keresahan dalam rasa keadilan terhadap si terpidana mati sendiri. Penundaan pidana mati dalam jangka waktu melebihi 10 tahun, ini jelas merupakan pertanggungjawaban langsung dari penguasa yang tidak dapat dibenarkan secara moral dan etika sebagai perbuatan yang tidak pantas dari sudut pandang memberlakukan ketidakadilan perasaan manusia. Mengulur waktu eksekusi tanpa motivasi yang jelas adalah suatu perbuatan yang terbilang kejam karena hal ini adalah pembiaraan proses penderitaan terhadap terpidana mati. Itu disebabkan tidak adanya kepastian dalam tenggang waktu yang lama, yang sesungguhnya terpidana mati sebagai manusia juga mengalami penganiyaan rohani, penyiksaan psikis dan penggerusan mental.6
2.2
PENEGAKAN
PUTUSAN
MAHKAMAH
KONSTITUSI
TERHADAP
HUKUMAN MATI Konstitusi adalah hukum tertinggi (the supreme law of the land) yang menunjukkan jika ada ketentuan peraturan perundang-undangan di bawahnya yang bertentangan dengannya maka ketentuan tersebut harus dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Mahkamah Konstitusi dalam konteks pengujian Materiil bertindak sebagai the guardian of the constitution atau the sole interpreter of the constitution, meminjam istilah
5 6
Imparsial, Menggugat Hukuman Mati Di Indonesia, Jakarta, 2010, Hal. 32 J.E Sahetapy, Pidana Mati dalam Negara Pancadila, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2007, Hal. 68
10
Justice Marshall7, karena di tangan sembilan hakim Mahkamah Konstitusi ini UndangUndang Dasar 1945 dipasrahkan untuk dijaga agar jangan disubversi oleh produk peraturan perundang-undangan yang meskipun lahir secara demokratis dengan suara mayoritas tetapi bisa saja tidak konsisten atau in conflict dengan UUD 1945. Berkaitan hak hidup manusia yang terdapat dalam Pasal 28 BAB XA ada 7 (tujuh) hak sebagai hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun. Hak itu meliputi hak untuk hidup, hak kemerdekaan, untuk tidak disiksa, hak pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut. Pernyataan itu khususnya terdapat dalam Pasal 28I Ayat (1) UUD 1945. Hak-hak itu dinyatakan sebagai non-derogable rights atau hak tertentu yang dinyatakan tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun. Ini berdasarkan Pasal 4 Ayat (2) ICCPR yang memuat 8 (delapan) hak, hanya satu hak yang tidak termasuk dalam kategori non-derogable rights dalam UUD 1945 adalah hak untuk tidak dipenjara karena ketidakmampuan memenuhi kewajiban kontrak (No one shall be improsoned merely on the ground of inability to fulfil a contractual obligation).8 Dengan adanya ketentuan Pasal 28I Ayat (1) tersebut, menjadi persoalan tersendiri ketika terkait dengan penerapan hukuman mati karena akan bertentangan dengan prinsip nonderogable rights. Terlebih berkaitan dengan Pasal 28 J ayat (2) yang menyatakan : “Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib dan tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.” Makna pembatasan di atas dalam Pasal 28J Ayat (1) itu adalah untuk memberikan pemenuhan hak orang lain dan menyeimbangkan antara hak individu dengan kepentingan masyarakat. Pasal ini juga yang memperkuat alasan hukum oleh Mahkamah Konstitusi ketika menolak upaya hukum penghapusan hukuman mati di Indonesia terhadap pengajuan pengujian Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 Tentang Narkotika, khususnya Pasal 80 Ayat (1) huruf a, Pasal 80 Ayat (2) huruf a, Pasal 81 Ayat (3) huruf 1, Pasal 82 ayat (1) huruf
7
Todung Mulya Lubis, alexander Lay, Kontroversi Hukuman Mati Perbedaan Pendapat Hakim Konstitusi, Gramedia, Jakarta 2009, Hal. 15 - 16 8 Muladi, Hak Asasi Manusia, Politik dan Sistem Peradilan Pidana, Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang, 1997, hal. 2-4
11
a, Pasal 82 Ayat (2) huruf a, dan Pasal 82 Ayat (3) huruf a, yang semuanya memuat ancaman pidana hukuman mati. Permohonan pengajuan pengujian itu diajukan oleh Edith Yunita Sianturi, Rani Andriani, Myuran Sukumaran, dan Andrew Chan, masing-masing adalah terpidana mati berdasarkan Undang-Undang Narkotika. Permohonan diajukan berdasarkan argumentasi bahwa hukuman mati bertentangan dengan UUD 1945 yang menjamin hak hidup dalam Pasal 28A dan mengklasifikasikannya sebagai non-derogable rights berdasarkan Pasal 28I Ayat (1). Permohonan ini dinyatakan ditolak melalui Putusan MK Nomor 2-3/PUU-V/2007 tanggal 30 Oktober 2007.9 Menurut Mahkamah Konstitusi dalil yang menyatakan bahwa pidana mati yang diatur dalam Undang-Undang Narkotika telah melanggar hak untuk hidup (right to life) sebagaimana dijamin dalam Pasal 28I Ayat (1) UUD 1945, hak hidup tersebut masuk dalam pembatasan yang diatur dalam Pasal 28J Ayat (2) UUD 1945 sehingga pembatasan hak hidup berupa hukuman mati adalah sah dan tidak bertentangan dengan Konstitusi. Hal itu juga sejalan dan mengacu pada pendapat ahli
Maria Farida Indrati, yang menyatakan
“kemungkinan untuk melakukan pembatasan hak asasi manusia tidak dapat diberlakukan terhadap Pasal 28I Ayat (1), karena adanya anak kalimat (frasa) “dalam keadaan apapun”.10 Selanjutnya Mahkamah Konstitusi juga menolak permohonan hukuman mati terpidana mati Amrozi, Mukhlas dan Imam Samudra dengan. Mahkamah Konstitusi dalam putusan yang dibacakan Majelis Hakim Konstitusi yang dipimpin Mahfud MD dalam sidang di Mahkamah Konstitusi, Jakarta (Selasa, 21 Oktober 2008) menolak permohonan amrozi, mukhlas, dan imam samudra yang mempersoalkan hukuman mati dengan cara ditembak. Dalam putusannya MK menegaskan tata cara pelaksanaan hukuman mati di Indonesia adalah menurut UU nomor 2/Pnps/1964 tentang Tata Cara Pelaksanaan Hukuman Mati yang merupakan lex specialis yang menegaskan Pasal 11 KUHAP. MK juga menyatakan UndangUndang Nomor 2/Pnps/1964 Tentang Tata Cara Pelaksanaan Hukuman Mati yang dijatuhkan oleh Pengadilan di Lingkungan Peradilan Umum dan Militer tidak bertentangan dengan Pasal 28I ayat (1) Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945.11
9
Putusan Nomor 2-3/PUU-V/2007 mengenai Pengujian UU No. 22 Tahun 1997 tentang Narkotika, Putusan diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum pada 23 Oktober 2007 10 Imparsial, Menggugat Hukuman Mati Di Indonesia, Jakarta, 2010, Hal. 60-61 11 Putusan Nomor 21/PUU-VI/2008 mengenai Pengujian UU No. 02/Pnps/1964 tentang Tata Cara Pelaksanaan hukuman mati. Putusan ini diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum pada 15 Oktober 2008
12
Banyak kalangan yang pro pada penghapusan hukuman mati mengatakan putusan Mahkamah
Konstitusi
adalah
inkonstitusional.
Sementara
Mahakamah
Konstitusi
mengatakan hukuman mati yang berdasarkan ketentuan UU Nomor 2/Pnps/1964 itu bukan merupakan tindakan penyiksaan adalah sebuah keputusan yang terjebak positivisme hukum formal, karena hanya melihat unsur yang digugat saja yaitu penyiksaan. Putusan Mahkamah Konstitusi dipandang telah mengabaikan perkembangan ilmu pengetahuan hukum dan peraturan perundang-undangan di Indonesia yang telah mengalami perubahan paradigma sebagaimana juga terdapat dalam RUU KUHP yang sudah menempatkan hukuman mati sebagai pidana yang bersifat khusus dan diancamkan secara alternatif. Dalam arti Pidana mati dapat diterapkan secara bersyarat dengan memberikan masa percobaan, sehingga dalam tenggang waktu masa percobaan tersebut terpidana diharapkan dapat memperbaiki diri sehingga pidana mati tidak dilaksanakan. Putusan Mahkamah Konstitusi sebagai pengawal Konstitusi Negara dianggap bertentangan, dengan pijakan filosofis Konstitusi Negara Indonesia yang dikonkritkan dalam ketetapan MPR Nomor XVII/MPR/1998 secara eksplisit telah menyebutkan pandangan dan sikap bangsa Indonesia mengenai hak asasi manusia adalah bersumber dari ajaran agama, nilai moral universal dan nilai luhur budaya bangsa serta berdasarkan Pancasila. Dalam pandangan itu hak asasi manusia adalah hak dasar yang melekat pada diri manusia yang sifatnya kodrati dan universal sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa dan berfungsi dalam menjamin kelangsungan hidup, kemerdekaan, perkembangan manusia dan masyarakat yang tidak boleh diabaikan, dirampas atau diganggu oleh siapapun. Namun demikian hak itu tidak mutlak (absolut) karena di dalam hak hidup setiap manusia, ada juga hak hidup orang lain itu berarti setiap orang harusnya senantiasa memiliki kewajiban untuk dapat menjaga dan menyeimbangkan hak hidup yang dimilikinya agar tidak merugikan orang lain yang sama-sama memiliki hak hidup di dunia ini.
2.3
KECENDERUNGAN DUNIA INTERNASIONAL (TREND INTERNATIONAL GLOBAL) MENGHENDAKI PENGHAPUSAN PIDANA MATI Pembahasan langsung tentang hukuman mati dalam hukum Internasional pertama kali
muncul dalam Konvensi Jenewa 1929 tentang Tawanan perang. Dalam Konvensi tersebut diatur secara khusus sejumlah prosedur yang harus dipatuhi apabila hendak menghukum mati seorang tawanan perang. Ketentuan tersebut semakin dikukuhkan dengan lahirnya Konvensi
13
Jenewa 1949 tentang warga sipil memuat ketentuan penting, yakni tidak diperbolehkannya pemberlakuan hukuman mati terhadap warga sipil di wilayah yang diduduki.12 Perkembangan seperti di atas terhadap penghapusan hukuman mati bergerak melalui pendekatan hukum Internasional menuju pembatasan dan pada akhirnya penghapusan pidana mati. Memang titik awal dalam hukum hak-hak asasi manusia Internasional adalah Deklarasi Universal Hak-hak Asasi Manusia (Universal Declaration of Human Rights) yang diadopsi oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa pada 10 Desember 1948. DUHAM menjamin hak hidup dan perlindungan terhadap penyiksaan, dan hal itu juga dimaksudkan untuk mengakui hukuman mati sebagai bentuk pengecualian terhadap hak untuk hidup. Setelah itu muncul sejumlah traktat (treaty), yang mengakui hukuman mati sebagai pengecualian terhadap hak untuk hidup. Traktat yang berlaku secara universal yakni Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik (International Covenant on Civil and Political Rights) yang diadopsi Tahun 1966. Kovenan tersebut menyatakan bahwa di negaranegara yang belum menghapus hukuman mati, hukuman mati hanya dapat diberlakukan terhadap kejahatan-kejahatan yang paling serius (most serious crimes), disamping itu juga terdapat ketentuan bahwa tidak ada satu pun ketentuan dalam kovenan tersebut yang boleh menghambat dihapuskannya hukuman mati. Hukum hak asasi manusia Internasional secara tegas menyatakan hukuman mati bertentangan dengan prinsip yang diatur di dalam Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik (International Covenant on Civil and Political Rights-ICCPR). Hak untuk hidup (rights to life) yaitu yang terdapat pada Bagian III, Pasal 6 Ayat (1), dan ada ketentuan pengecualian ; Pasal 6 Ayat (1), menyatakan : “Setiap manusia berhak atas hak untuk hidup dan berhak mendapatkan perlindungan hukum dan tiada yang dapat mencabut hak itu.” Kemudian, ada pernyataan pengecualiaan yang terdapat pada ketentuan Pasal 6 Ayat (2), berikut ini : Pasal 6 Ayat (2) : “Bagi negara yang belum menghapus ketentuan hukuman mati, putusan tersebut berlaku hanya pada kejahatan yang termasuk kategori yang serius sesuai hukum yang berlaku saat itu dan tak bertentangan dengan kovenan ini dan Convention on Prevention and Punishment of the Crime of Genosida. Hukuman tersebut hanya dapat dilaksanakan merujuk pada putusan final (final judgement)yang diputuskan oleh pengadilan yang berkompeten,” Pasal 6 Ayat (5) : 12
Ibid,
14
“Bahwa hukuman mati tidak dapat dilaksanakan bagi kejahatan yang dilakukan oleh orang di bawah umur 18 tahun dan juga tidak berlaku pada perempuan hamil” Dari ketentuan yang terdapat dalam ICCPR itu menjadi rujukan terjadinya trend global International secara kuat menuju upaya penghapusan pidana mati. Hal ini dipandang sebagai sesuatu yang konsisten dengan pernyataan kebijakan yang diserukan oleh pihak PBB. Penghapusan pidana mati secara resmi dapat dilakukan dengan penegasan dalam konstitusi setiap negara, atau dengan cara menghilangkan jenis hukuman mati dari hukum positif yang ada. Penegasan penghapusan pidana mati dalam konstitusi biasanya terkait dengan atas jaminan hak hidup yang terkait dengan pelaksanaan kekuasaan peradilan. Pada Tahun 2010 telah ada 96 Negara dari 140 Negara anggota PBB yang menghapuskan hukuman mati dari hukuman nasional, sedangkan negara – negara lainnya masih melakukan hukuman mati dengan berbagai pertimbangan alasan secara ketentuan hukum yang berlaku di masing-masing negara tersebut, namun sampai dengan Tahun 2012 dalam catatan yang dikeluarkan Hands Off Cain Info menegaskan terdapat 155 Negara telah menghapus kebijakan hukuman mati dalam sistem hukum maupun praktiknya. 99 Negara telah menghapuskan kebijakan hukuman mati, untuk semua kategori kejahatan secara keseluruhan, 44 negara telah menghapuskan kebijakan hukuman mati dalam praktiknya (de facto abolisionits), 7 (tujuh) negara telah menghapuskan hukuman mati untuk kejahatan biasa (ordinary crime abolisionist), dan 5 (lima) negara telah melakukan penundaan (moratorium) eksekusi di tempat, sedangkan Indonesia merupakan tahun keempat tidak terjadi eksekusi mati. Pemerintah Indonesia sendiri dalam pernyataannya melalui Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa, telah mengurangi vonis hukuman mati ini dikarenakan Indonesia bersama 139 negara anggota Perserikatan Bangsa-bangsa, telah memiliki moratorium pengurangan hukuman mati, tetapi keikutsertaan Indonesia dalam moratorium tersebut tidak berarti Indonesia lalu mengambil keputusan untuk mengikuti trend global menghapuskan hukuman mati. Hal itu ditegaskan langsung oleh juru bicara Kementerian Luar Negeri Michael Tene (Rabu, 17 Oktober 2012, melalui Kompas.com).13 Artinya Indonesia sebagai negara berdaulat meski mengadopsi HAM dari kovenant ICCPR dalam ketentuan Pasal 28 Bab XA yang memasukkan Hak Asasi Manusia, memiliki sikap sendiri dalam penentuan penghapusan hukuman pidana mati dalam berbagai pasal yang terdapat pada keseluruhan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Negara 13
Loc.cit
15
Hukum Indonesia. Menurut penulis, sikap Indonesia tersebut bukan tanpa alasan yang berarti, lantaran Indonesia yang merupakan negara atas beragam etnis juga memiliki sistem hukum yang beragam dalam masyarakatnya seperti hukum adat dan hukum Islam, harus bijak menyikapi situasi itu dengan pertimbangan memenuhi juga rasa keadilan masyarakat atas perbuatan pidana yang dilakukan seseorang.
III.
KESIMPULAN Pidana mati (the death penalty) dalam ketentuan peraturan perundang-undangan,
dimaksudkan untuk mendapatkan efek jera (deterrend effek), meski demikian pidana mati juga diharapkan dapat memenuhi keadilan masyarakat, karena tidak semua masyarakat dapat menerima bahwa kejahatan dapat dilepaskan begitu saja setelah seseorang melakukan perbuatan pidananya. Indonesia juga memiliki ketentuan peraturan perundang-undangan yang terkait dengan ketentuan hukum adat yang menjadi keyakinan masyarakat adat setempat. Untuk itu Indonesia tidak perlu harus mengikuti ketentuan sikap menghapus pidana mati (the death penalty abolitionist) dari ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Bila sejarah hukum kedepan akan mengambil keputusan untuk menghapus hukuman mati tersebut, harus dilakukan sangat bijak mengambil keputusan dihapuskannya hukuman mati dalam ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia. Keputusan itu tidak hanya disandarkan pada gagasan keadilan dari sudut pandang negara saja tetapi juga menyerap aspirasi dan kehendak masyarakat, meski harus tetap memperhatikan adanya perubahan yang terjadi pada hukum nasional dan internasional. Menjadi penting untuk diperhatikan oleh para penegak hukum adalah penegakkan kepastian hukum sebagai konsistensi terhadap konstitusi, perundang-undangan yang berlaku dan tuntutan keadilan masyarakat.
16
DAFTAR PUSTAKA BUKU Imparsial, Menggugat Hukuman Mati Di Indonesia, Jakarta, 2010 J.E Sahetapy, Pidana Mati dalam Negara Pancadila, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2007 Mahfud MD, Membangun Politik Hukum, Menegakkan Konstitusi, Pustaka LP3ES, Jakarta, 2006 Muladi, Hak Asasi Manusia, Politik dan Sistem Peradilan Pidana, Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang, 1997 Todung Mulya Lubis, alexander Lay, Kontroversi Hukuman Mati Perbedaan Pendapat Hakim Konstitusi, Gramedia, Jakarta, 2009 PUTUSAN DAN INTERNET Putusan Nomor 2-3/PUU-V/2007 mengenai Pengujian UU No. 22 Tahun 1997 tentang Narkotika, Putusan diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum pada 23 Oktober 2007 Putusan Nomor 21/PUU-VI/2008 mengenai Pengujian UU No. 02/Pnps/1964 tentang Tata Cara Pelaksanaan hukuman mati. Putusan ini diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum pada 15 Oktober 2008 http//citizennews.suaramerdeka.com/?option=com content&taks=view&id=371 http;//www.Mahkamahagung.go.id/rnews.asp?jid=8&bid=517 http//m.okezone.com/read/2012/10/17/337/705039/indonesia
tak
perlu
ikut
trend
penghapusan hukuman mati
17