BAB III PENERAPAN DAN PENGHAPUSAN HUKUMAN MATI DI DUNIA DALAM KAITAN DENGAN INSTRUMEN HUKUM INTERNASIONAL YANG MENGATURNYA
A. Penerapan dan Penghapusan Hukuman Mati di Dunia Pada abad pertengahan, legitimasi hukuman mati didukung oleh banyak pemikir besar pada zaman Ressainance dan Reformation. Grotius menyatakan bahwa hukuman mati dapat dibenarkan dengan merujuk pada Alkitab dan adat Kristen dan bahkan menggunakan persetujuan terhadap hukuman mati ini untuk membenarkan legalitas perang. Thomas Hobbes dan John Locke juga mengakui bahwa hukuman mati dapat dibenarkan. 94 Jean-Jacques Rousseau memegang pandangan bahwa dalam suatu masyarakat, seorang manusia memiliki hak untuk tidak dibunuh selama dia tidak membunuh orang lain. Di lain sisi, penerangan juga terjadi dengan munculnya kaum abolisionis parsial. Contohnya, Montesquieu, yang menghimbau adanya pembatasan pada hukuman mati hanya terhadap pembunuhan, percobaan terhadap pembunuhan, berbagai jenis pembantaian terhadap manusia dan beberapa kejahatan terhadap harta benda, walaupun dia tidak mengikatkan diri pada paham penghapusan penuh. 95 Suara yang menghendaki hapusnya hukuman mati pada dasarnya baru muncul sejak tahun 1764. Cesare Beccaria, seorang Kriminologis Italia, dalam bukunya On Crimes and Punishment menulis uraian sebagai berikut: 94
William A. Schabas, 1, op. cit, hal. 4.
95
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
“Capital punishment, was both inhumane and ineffective: an unacceptable weapon for a modern enlightened state to employ, and less effective than the certainty of imprisonment. Furthermore, that capital punishment was counterproductive if the purpose of law was to impart a moral conception of the duties of citizens to each other. For, if the state were to resort to killing in order to enforce its will, it would legitimize the very behavior which the law sought to repress, namely the use of deadly force to settle disputes.” 96 Terjemahan dalam bahasa Indonesia: “Hukuman mati, yang tidak berperikemanusiaan dan tidak efektif: merupakan suatu senjata yang tidak dapat diterima untuk digunakan oleh suatu negara modern yang telah tercerahkan, dan bahkan lebih tidak efektif daripada kepastian dalam hukuman penjara. Lebih lagi, hukuman mati mendatangkan efek sebaliknya apabila tujuan hukum adalah untuk mengutarakan suatu pemikiran moral tentang kewajiban sesama warga negara. Karena, jika suatu negara sampai menggunakan pembunuhan demi melaksanakan kehendaknya, ini akan mengesahkan suatu tingkah laku yang awalnya berusaha ditekan oleh hukum, yakni penggunaan kekerasan yang mematikan untuk menyelesaikan sengketa.) Hasil karya dari Beccaria berhasil meyakinkan para negarawan seperti Voltaire, Jefferson, Paine, Lafayette dan Robespierre bahwa hukuman mati tidak berguna dan tidak berperikemanusiaan, dan bahkan berhasil menghapuskan hukuman mati di Austria dan Toscany dalam waktu yang sangat singkat.97 Pada tahun 1846, negara bagian Amerika Serikat, Michigan, menjadi yurisdiksi pertama di masa modern yang menghapus hukuman mati untuk kejahatan pembunuhan, diikuti oleh Rhone Island dan Wisconsin. Pada awal Abad ke-20, beberapa negara-negara Eropa telah menghapus hukuman mati di masa damai seperti Portugis, Belanda, Norwegia dan lain-lain, begitu juga dengan beberapa negara di Amerika Selatan setelah mencapai kemerdekaan, seperti
96
Todung Mulya Lubis dan Alexander Lay, op. cit, hal 11.
97
William A. Schabas, 1, op. cit, hal. 5.
Universitas Sumatera Utara
Brazil, Columbia, Ekuador, dan lain-lain. 98 Tentu saja, gerakan ini tidak berjalan mulus. Hukuman mati kembali diberlakukan di beberapa rezim otoriter di Eropa maupun Amerika Selatan. Di Italia, misalnya, hukuman mati diberlakukan kembali oleh rezim Fasis Mussolini pada tahun 1927, dan bahkan dikembangkan di Jerman oleh Nazi. Hancurnya kedua rezim ini setelah Perang Dunia II diikuti langsung dengan gerakan baru penghapusan hukuman mati. 99 Tetapi perlu diakui, saat UDHR disahkan pada tahun 1948, mayoritas negara anggota PBB masih memberlakukan hukuman mati dalam sistem hukum nasionalnya. Demikian juga, pada saat itu hukuman mati juga masih dianggap sebagai hukuman yang pantas bagi para penjahat perang dan dijatuhkan oleh pengadilan pasca perang (postwar tribunals) di Nuremberg dan Tokyo. 100 Dipandang dari segi penerapan langsung oleh negara, berbagai konstitusi nasional pada abad-19 dan awal abad ke-20 juga mengakui hak untuk hidup dengan diikuti dengan frase yang menyatakan bahwa pengecualian terhadap hak untuk hidup berupa hukuman mati. Contohnya Konstitusi Sweden pada tahun 1809 menyatakan bahwa “the King… shall not deprive anyone or permit anyone to be deprived of life without legal trial and sentence.” Yang artinya, Raja tidak boleh merampas nyawa orang atau mengizinkan dirampasnya nyawa orang tanpa
98
Roger Hood, The Death Penalty – A Worldwide Perspective, 3rd ed., (United States: Oxford University Press, 2002), hal. 9-10. 99
Ibid, hal. 10
100
William A. Schabas, 2, op. cit.
Universitas Sumatera Utara
proses peradilan dan penjatuhan hukuman secara sah. 101 Namun seiring dengan perkembangan zaman, hukuman mati tampak tidak begitu meyakinkan lagi dengan semakin dikenalnya norma-norma Hak Asasi Manusia (HAM) dalam hukum internasional. Dalam lingkungan pengadilan internasional misalnya, Pengadilan Pidana Internasional (International Criminal Tribunals) generasi kedua dan pengadilan Ad Hoc untuk negara bekas Yugoslavia dan Rwanda (ad hoc tribunals for the former Yugoslavia and Rwanda) menolak untuk memberlakukan hukuman mati walaupun untuk kejahatan yang paling berat sekalipun. Selain itu, traktat-traktat hak asasi manusia internasional juga telah dilengkapi dengan protokol tambahan (additional protocols) yang melarang hukuman mati. 102 Perubahan pendirian dari Pengadilan Internasional berjalan seiringan dengan perubahan sikap negara-negara di dunia. Pada akhir 1950an, kebanyakan negara Eropa telah pada jalannya untuk melakukan penghapusan dalam hukum nasionalnya sendiri. Penghapusan secara de facto menjadi hukum yang berlaku di Eropa barat. Pada tahun 1980, the Council of Europe mulai menyusun suatu protokol tambahan terhadap European Convention on Human Rights yang menghapus hukuman mati pada masa damai. Protocol No. 6 ini mulai berlaku sejak 1985 dan telah diratifikasi oleh hampir semua dari 43 negara anggota dari Council of Europe. Council of Europe juga menuntut negara anggota baru untuk meratifikasi Protokol tersebut, syarat yang diberlakukan ini telah menyebabkan
101
William A. Schabas, 1, op. cit, hal. 10.
102
William A. Schabas, 2, op. cit.
Universitas Sumatera Utara
pengapusan hukuman mati di seluruh Eropa timur. 103 Pada tahun 1998, telah ada 51 negara yang terikat dengan norma baru dalam hukum internasional ini dan menghapus hukuman mati, baik secara de facto maupun de jure. 104 Tentu saja, ada kalanya negara bergerak mundur, misalnya Papua Nugini yang menghapus hukuman mati pada tahun 1975 memberlakukannya kembali pada tahun 1991. Selain itu, Filipina yang telah menghapus hukuman mati pada tahun 1987 memberlakukannya kembali pada tahun 1993. Masa penghapusan hukuman mati di Gambia lebih pendek lagi, yaitu hanya tiga tahun (1993-1995). Negara bagian Amerika Serikat, New York, juga memberlakukan hukuman mati kembali pada tahun 1995 setelah menghapusnya selama 30 tahun. 105 Asia menunjukkan progres yang paling lambat dalam melakukan penghapusan. Ini tidak berarti norma hukum internasional mengenai hukuman mati tidak dapat menyentuh benua ini. Tidak hanya banyak negara Asia yang merupakan anggota aktif dalam sistem hak asasi manusia, juga telah ada inisiatif yang penting dari masyarakat internasional yang berupaya untuk membatasi dan menghapus hukuman mati. Misalnya, Cina pada saat ini masih berusaha membatasi hukuman mati berhubung negara ini sedang mempersiapkan diri untuk meratifikasi ICCPR, selain itu, parlemen Eropa mengancam akan menarik status pengamat dari Jepang di Council of Europe apabila Jepang tidak mengambil
103
William A. Schabas, 1, op. cit, hal. 14.
104
William A. Schabas, 2, op. cit.
105
Roger Hood, op.cit, hal. 12.
Universitas Sumatera Utara
langkah untuk memenuhi standar hukum internasional. 106 Ada berbagai cara yang berbeda yang dapat ditempuh untuk menghapus hukuman mati. Di beberapa negara, penghapusan hukuman mati bisa dilakukan dengan pencantuman secara eksplisit dalam konstitusi nasional yang telah berevolusi menyesuaikan diri dengan konvensi-konvensi internasional. Sementara di negara-negara lain, penghapusan dilakukan melalui proses peradilan. Para hakim mengambil landasan hukum dari Konstitusi yang walaupun tidak menyebut tentang penghapusan hukuman mati, tetapi menjunjung tinggi hak untuk hidup (right to life) dan melarang adanya hukuman atau perlakuan yang kejam, tidak manusiawi, dan merendahkan martabat manusia (prohibition of cruel, inhuman, and degrading treatment or punishment).107 Secara ringkas, jumlah negara yang mempertahankan atau menghapus hukuman mati pada zaman sekarang dapat dilihat dari data yang dikumpul oleh Amnesty International pada tahun 2006, yang terbagi dalam empat kategori: 108 1.
Sejumlah 88 (delapan puluh delapan) negara dan teritori telah menghapus hukuman mati untuk semua jenis tindak pidana (abolitionist for all crimes).
2.
Sejumlah 11 (sebelas) negara telah menghapus hukuman mati untuk tindak pidana biasa (abolitionist for ordinary crimes only). Negaranegara tersebut masih memberlakukan hukuman mati hanya untuk
106
William A. Schabas, 1, op. cit, hal. 15.
107
William A. Schabas, 2, op. cit.
108
Todung Mulya Lubis dan Alexander Lay, op. cit, hal 59-60.
Universitas Sumatera Utara
kejahatan-kejahatan luar biasa seperti kejahatan-kejahatan yang dilakukan dalam keadaan luar biasa, misalnya dalam keadaan perang. 3.
Sejumlah 30 (tiga puluh) negara telah menghapus hukuman mati dalam praktiknya (tidak pernah lagi menjatuhkan putusan pidana mati) walaupun belum secara resmi menghapus hukuman mati (abolitionist in practice).
4.
Sejumlah 68 (enam puluh delapan) negara masih mempertahankan hukuman mati (retentionist).
Selain sikap daripada negara-negara, tren penghapusan hukuman mati juga dijumpai pada tribunal-tribunal yang dibentuk oleh PBB untuk mengadili para pelaku kejahatan luar biasa misalnya genosida atau kejahatan terhadap kemanusiaan. Apabila dulunya hukuman mati merupakan hukuman yang digunakan oleh pengadilan internasional untuk kejahatan paling berat dan kejam menurut hukum internasional, sekarang tidak lagi demikian. 109 Hal ini dapat dilihat pada ketentuan yang terdapat pada statute-statuta berikut ini: 110 1.
Pasal 77 Ayat (1) Statute of the International Criminal Court of 1998 membatasi bahwa hukuman maksimum adalah hukuman seumur hidup.
2.
Pasal 24 Ayat (1) Statute of the International Criminal Tribunal for the former Yugoslavia of 1993 membatasi bahwa hukuman hanya dalam bentuk hukuman penjara.
109
William A. Schabas, 1, op. cit, hal. 17.
110
Todung Mulya Lubis dan Alexander Lay, op. cit, hal. 57-58.
Universitas Sumatera Utara
3.
Pasal 23 Ayat (1) Statute of the International Criminal Tribunal for Rwanda of 1994 juga membatasi bahwa hukuman hanya dalam bentuk hukuman penjara.
4.
Pasal 19 Ayat (1) Statute of the Special Court for Sierra Leone of 2002
111
menyatakan bahwa Majelis Hakim harus menjatuhkan
hukuman berupa sejumlah tahun tertentu.
B. Instrumen Hukum Internasional yang Mengatur tentang Hukuman Mati Instrumen hukum internasional yang mengatur tentang hukuman mati bermuara dari UDHR, sebagai deklarasi universal, yang kemudian menjadi dasar pembentukan dari suatu perjanjian multilateral (ICCPR) dan tiga konvensi regional yang paling utama (European Convention on Human Rights, American Convention on Human Rights, dan African Charter of Human and People’s Rights) beserta konvensi-konvensi hak asasi manusia lainnya. Isu hukuman mati selalu berasosiasi dengan dua norma hak asasi manusia yang sangat mendasar: hak untuk hidup dan perlindungan terhadap hukuman atau perlakuan yang kejam, tidak manusiawi dan merendahkan martabat manusia. Kedua norma ini dapat dilacak kembali di hukum konstitusional Anglo-American. Jaminan perlindungan terhadap “hukuman kejam dan tidak lazim (cruel and unusual punishment)” ditetapkan dalam English Bill of Rights pada tahun 1689. Sementara “hak untuk hidup” juga dipertahankan oleh kaum revolusionis
111
Mahkamah khusus PBB untuk Sierra Leone di Freetown yang mengadili tindak kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan selama berkecamuknya perang saudara antara tahun 1991 sampai 2001.
Universitas Sumatera Utara
Amerika dalam kalimat “hak untuk hidup tidak dapat dirampas tanpa due process of law 112 ” serta mengambil sikap “tidak memberikan pengakuan eksplisit terhadap legitimasi hukuman mati”. 113
1. Hak Untuk Hidup Hak untuk hidup (right to life) juga sering disebut sebagai “the supreme right”, “one of the most important rights”, “the most fundamental of all rights”, “the primodial right”, “the foundation and cornerstone of all the other rights”, “the prerequisite of all other rights”, dan “a right which is basic to all human rights”. Karena keabstrakannya dan kesulitan untuk mendefinisikan dengan kata yang tepat, ahli hukum Prancis Frederic Sudre menggambarkan hak ini sebagai hak yang “tidak pasti”, karena apabila dibandingkan dengan yang lain, ini adalah hak yang isinya berevolusi secara terus menerus, berkembang bersamaan dengan keragaman tingkah laku manusia seperti hukuman mati, senjata nuklir, aborsi dan euthanasia. 114 Ada dua aliran pendapat dalam interpretasi “hak untuk hidup”. Aliran yang sempit membatasi ruang lingkupnya dalam isu yang dipertimbangkan oleh para perumus UDHR dan ICCPR, dan European Convention on Human Rights.
112
The right of due process adalah suatu prinsip dalam hukum pidana yang mempunyai arti bahwa setiap tersangka berhak diselidiki dan disidik di atas landasan “sesuai dengan hukum acara”. Hak due process dalam melaksanakan tindakan penegakan hukum, bersumber dari cita-cita “negara hukum” yang menjunjung tinggi “Supremasi hukum” (the law is supreme) yang menegaskan “kita diperintah oleh hukum dan bukan oleh orang” (Goverment of law and not of men). 113
William A. Schabas, 2, op. cit.
114
William A. Schabas, 1, op. cit, hal. 8.
Universitas Sumatera Utara
Pandangan yang sempit ini membatasi perlindungan yang ditawarkan hak ini terhadap isu-isu seperti hukuman mati, aborsi, penghilangan manusia, eksekusi non-judisial, dan bentuk lain perampasan nyawa yang dilakukan oleh negara baik secara sengaja ataupun tidak. Di lain sisi, pandangan yang lebih luas mengenai hak ini yang baru berkembang tidak lama ini berupaya untuk memperkenalkan suatu isi dalam hal ekonomi dan sosial, yang sering disebut sebagai “hak untuk menjalani hidup”. Menurut pendekatan ini, hak untuk hidup mencakup hak terhadap makanan, perawatan medis, dan lingkungan yang sehat. Pandangan ini juga digunakan oleh Human Rights Committee dalam menafsirkan Pasal 6 dari ICCPR dan turut didukung oleh berbagai praktik negara. 115
Universal Declaration of Human Rights (UDHR) UDHR merupakan instrumen internasional yang sangat penting dan oleh sebagian kalangan dikatakan sebagai cornerstone of comtemporary human rights. UDHR telah menjadi sumber inspirasi tidak saja bagi badan-badan PBB, tetapi juga bagi badan-badan lainnya, termasuk pengadilan, baik itu dalam level nasional, regional, maupun internasional. 116 Penyusun UDHR pada tahun 1948 merujuk pada konstitusi-konstitusi domestik demi menyusun suatu dokumen yang akan menjadi “a common standard of achievement for all peoples and all nations”. 117 Oleh sebab itu, UDHR sangat
115
Ibid, hal. 8-9.
116
Todung Mulya Lubis dan Alexander Lay, op. cit, hal. 46.
117
Pembukaan Universal Declaration of Human Rights.
Universitas Sumatera Utara
dipengaruhi prinsip-prinsip English Bill of Rights, the American Declaration of Independence, dan Bill of Rights dan French Declaration des droits de l’hommes et du citoyen. Dan di seluruh instrumen-instrumen hukum ini, bagian yang paling dijunjung tinggi adalah “hak untuk hidup (right to life)”. 118 Rumusan hak untuk hidup kemudian dituangkan dalam Pasal 3 UDHR yang berbunyi, “everyone has the right to life, liberty and security of person (Setiap orang mempunyai hak untuk hidup, hak atas kebebasan, dan hak atas keamanan diri sendiri).” 119 Saat isi dari UDHR kemudian diadopsi oleh berbagai instrumen hukum internasional baik bersifat universal maupun regional, hukuman mati secara spesifik disebut sebagai suatu pengecualian terhadap hak untuk hidup. 120 Namun pandangan ini tampaknya bertentangan dengan Pasal 30 dari UDHR, yang berbunyi: “Nothing in this Declaration may be interpreted as implying for any State, group or person any right to engage in any activity or to perform any act aimed at the destruction of any of the rights and freedoms set forth herein”. 121 (Tidak sesuatu pun di dalam Deklarasi ini boleh ditafsirkan memberikan sesuatu Negara, kelompok ataupun seseorang, hak untuk terlibat di dalam kegiatan apa pun, atau melakukan perbuatan yang bertujuan merusak hak-
118
William A. Schabas, 2, op. cit.
119
Pasal 3 Universal Declaration of Human Rights.
120
William A. Schabas, 2, op. cit.
121
Pasal 30 Universal Declaration of Human Rights
Universitas Sumatera Utara
hak dan kebebasan-kebebasan yang mana pun yang termaktub di dalam Deklarasi ini.) Ini kemudian diperjelas oleh Rene Cassin dan Eleanor Rooselvelt, dua di antara para perumus UDHR, dengan pendapat bahwa hak untuk hidup tidak mengenal pengecualian, dan tujuan pasal hak untuk hidup itu adalah agar kelak hukuman mati bisa dihapuskan. 122 Berhubung penjelasan UDHR tidak pernah ada, pendapat para perumus UDHR adalah sumber penjelasan yang tepat. 123 Dasar pendapat Rene Cassin dan Eleanor Rooselvelt ini tidak dikarenakan hukum internasional pada masa itu telah mengambil posisi kuat dalam mendukung penghapusan hukuman mati, tetapi karena para perumus UDHR melihat adanya tren perlindungan hak asasi manusia yang mulai muncul di masa itu dan menginginkan agar UDHR bisa tetap menjaga relevansinya di puluhan tahun ke depan ataupun di abad-abad yang akan datang. 124 Rancangan awal UDHR, yang disusun oleh John P. Humphrey pada awal tahun 1947, mengenal hak untuk hidup yang “dapat dikesampingkan hanya untuk orang yang telah terbukti bersalah di bawah general law terhadap beberapa kejahatan yang dapat dijatuhkan hukuman mati.” Tetapi Eleanor Roosevelt, yang menjadi ketua komite penyusunan, menunjukkan bahwa telah ada gerakangerakan penghapusan hukuman mati yang telah berlangsung di beberapa negara,
122
Todung Mulya Lubis dan Alexander Lay, op. cit, hal 13.
123
Ibid.
124
William A. Schabas, 2, op. cit.
Universitas Sumatera Utara
sehingga sebaiknya UDHR tidak melakukan pencantuman eksplisit mengenai masalah ini. Pendapatnya disetujui oleh delegasi Soviet, Koretsky, yang berargumen bahwa PBB tidak boleh menunjukkan sikap pengesahan terhadap hukuman mati. Rene Cassin kemudian mengubah rancangan tersebut dan menghapus bagian yang menyebut tentang hukuman mati. 125 Risalah ini menunjukkan bahwa pada saat penyusunan UDHR, hukuman mati telah dinilai tidak sesuai dengan gagasan perlindungan terhadap hak untuk hidup, dan penghapusan hukuman mati, walaupun tidak disimpulkan pada saat itu, secara implisit telah dijadikan sebagai common standard of achievement bagi semua negara anggota PBB. Penafsiran demikian turut dilakukan oleh Majelis Umum dan Dewan Ekonomi dan Sosial dalam resolusi-resolusi yang dikeluarkannya. 126 Menegaskan pendapat para perumus UDHR, makna yang terkandung dalam Pasal 3 ini kemudian ditafsirkan “secara implisit” menghendaki penghapusan hukuman mati. Hal ini dibuktikan dengan dikutipnya Pasal 3 UDHR dalam konsideran di berbagai instrumen internasional yang bertujuan untuk menghapus hukuman mati, seperti misalnya bagian konsideran Second Optional Protocol to the ICCPR, yang disponsori oleh PBB: Believing that abolition of the death penalty contributes to enhancement of human dignity and progressive development of human rights, Recalling article 3 of the Universal declaration of Human Rights, adopted on 10 December 1948, and article 6 of the International Covenant on Civil and Political Rights, adopted on 16 December 1966. 125
Ibid.
126
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
Terjemahan dalam Bahasa Indonesia: Meyakini bahwa penghapusan hukuman mati dapat memberikan sumbangsih bagi meningkatnya harkat dan martabat manusia serta bagi perkembangan progresif hak-hak asasi manusia, Mengingat Pasal 3 Deklarasi Universal Hak-hak Asasi Manusia yang disahkan pada tanggal 10 Desember 1948, dan Pasal 6 Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik yang disahkan pada tanggal 16 Desember 1966, 127 Beberapa Resolusi penting dari Majelis Umum dan Dewan Ekonomi dan Sosial yang mengatur tentang pembatasan dengan tujuan akhir melakukan penghapusan hukuman mati, menyebutkan pasal 3 UDHR dalam pembukaannya dan menyatakan bawa Pasal tersebut pada dasarnya mendukung penghapusan. Dalam Laporan Sekretaris Jenderal PBB pada tahun 1973 tentang hukuman mati, juga menyatakan bawa Pasal 3 dari UDHR secara tidak langsung mengadung arti pembatasan dan penghapusan hukuman mati. 128
International Covenant of Civil and Political Rights International Covenant of Civil and Political Rights (ICCPR) diadopsi pada tahun 1966 dan memakan waktu 10 tahun untuk bisa berlaku setelah 35 negara meratifikasinya. Ketentuan “hak untuk hidup” yang dimuat dalam Pasal 6 disusun dalam sesi pembahasan Third Committee dari Majelis Umum PBB pada tahun 1957. Walaupun usianya hanya 7 tahun lebih muda daripada dibentuknya bagian European Convention on Human Rights dengan topik pembahasan yang 127
Pembukaan Second Optional Protocol to the International Covenant on Civil and Political Rights, aiming at the abolition of the death penalty; Todung Mulya Lubis dan Alexander Lay, op. cit, hal. 48. 128
William A. Schabas, 1, op. cit, hal. 43.
Universitas Sumatera Utara
sama, ICCPR telah menunjukkan suatu evolusi konsep yang sangat besar dan pesat mengenai hukuman mati. 129 Hak untuk hidup dan hukuman mati diatur dalam Pasal 6 ICCPR, yang bunyinya sebagai berikut: 130 1. Every human being has the inherent right to life. This right shall be protected by law. No one shall be arbitrarily deprived of his life. 2. In countries which have not abolished the death penalty, sentence of death may be imposed only for the most serious crimes in accordance with the law in force at the time of the commission of the crime and not contrary to the provisions of the present Covenant and to the Convention on the Prevention and Punishment of the Crime of Genocide. This penalty can only be carried out pursuant to a final judgment rendered by a competent court. 3. When deprivation of life constitutes the crime of genocide, it is understood that nothing in this article shall authorize any State Party to the present Covenant to derogate in any way from any obligation assumed under the provisions of the Convention on the Prevention and Punishment of the Crime of Genocide. 4. Anyone sentenced to death shall have the right to seek pardon or commutation of the sentence. Amnesty, pardon or commutation of the sentence of death may be granted in all cases. 5. Sentence of death shall not be imposed for crimes committed by persons below eighteen years of age and shall not be carried out on pregnant women. 6. Nothing in this article shall be invoked to delay or to prevent the abolition of capital punishment by any State Party to the present Covenant. Terjemahan dalam bahasa Indonesia adalah sebagai berikut: 131 1. Setiap manusia berhak atas hak untuk hidup yang melekat pada dirinya. Hak ini wajib dilindungi oleh hukum. Tidak seorang pun dapat dirampas hak hidupnya secara sewenang-wenang. 2. Di negara-negara yang belum menghapuskan hukuman mati, putusan hukuman mati hanya dapat dijatuhkan terhadap beberapa kejahatan yang paling serius sesuai dengan peraturan yang berlaku pada saat 129
William A. Schabas, 2, op. cit.
130
Pasal 6 International Covenant on Civil and Political Rights.
131
Todung Mulya Lubis dan Alexander Lay, op. cit, hal 30-31.
Universitas Sumatera Utara
3.
4.
5.
6.
dilakukannya kejahatan tersebut, dan tidak bertentangan dengan ketentuan Kovenan dan Konvensi tentang Pencegahan dan Hukum Kejahatan Genosida. Hukuman ini hanya dapat dilaksanakan atas dasar keputusan akhir yang dijatuhkan oleh suatu pengadilan yang berwenang. Apabila suatu perampasan kehidupan merupakan kejahatan Genosida, harus dipahami, bahwa tidak satu pun dalam Pasal ini yang memberikan kewenangan pada Negara yang menjadi Pihak dalam Kovenan ini, untuk mengurangi kewajiban apa pun yang telah dibebankan oleh ketentuan dalam Konvensi tentang Pencegahan dan Hukuman bagi Kejahatan Genosida. Setiap orang yang telah dijatuhi hukuman mati berhak untuk memohon pengampunan atau penggantian hukuman. Amnesti, pengampunan atau penggantian hukuman mati dapat diberikan dalam semua kasus. Hukuman mati tidak boleh dijatuhkan atas kejahatan yang dilakukan oleh seseorang di bawah usia delapan belas tahun dan tidak boleh dilaksanakan terhadap perempuan yang tengah mengandung. Tidak ada satu pun dalam Pasal ini yang boleh dipakai untuk menunda atau mencegah penghapusan hukuman mati oleh Negara yang menjadi Pihak dalam Kovenan ini.
Memang dalam ICCPR, hukuman mati dianggap sebagai pengecualian dari hak untuk hidup, kata “penghapusan” (abolition) telah muncul dalam Ayat 2 dan Ayat 6, mengindikasikan bahwa Kovenan tersebut bermaksud untuk menghapus hukuman mati, walaupun tidak memberikan suatu kewajiban yang mendesak kepada para negara pihak. 132 Oleh sebab itu, jika Pasal 6 ditinjau secara menyeluruh, maka tampak bahwa hak untuk hidup adalah semangat utama yang harus dihormati sampai nanti ia betul-betul menjadi hak asasi yang absolut, yang sifatnya non-derogable dalam keadaan apa pun. 133 Kehendak ICCPR untuk menghapus hukuman mati tercermin pada paragraf 6 General Comment No. 6: Article 6 (Right to Life) ICCPR yang diterbitkan oleh Human Rights Committee yang merupakan suatu badan yang 132
William A. Schabas, 1, op. cit, hal. 47.
133
Todung Mulya Lubis dan Alexander Lay, op. cit, hal. 14.
Universitas Sumatera Utara
dibentuk berdasarkan Pasal 28 ICCPR. Berikut kutipan paragraf 6 tersebut: “The article also refers generally to abolition in terms which strongly suggest (para. 2(2) and (6)) that abolition is desirable. The committee concludes that all measures of abolition should be considered as progress in the enjoyment of the right to life…” Terjemahan dalam Bahasa Indonesia: “Pasal ini juga secara umum ditujukan pada abolisi (penghapusan) dalam pengertian yang sangat jelas (Ayat 2(2) dan (6)) menghendaki terwujudnya penghapusan hukuman mati. Komite menyimpulkan bahwa semua upaya abolisi harus dianggap sebagai kemajuan dalam penghormatan terhadap hak untuk hidup…” 134 Semangat ICCPR untuk menghapus hukuman mati juga tercermin dalam konsiderans Second Optional Protocol to ICCPR, aiming at the abolition of the death Penalty (Second Optional Protocol) pada tahun 1989 yang secara tegas melarang hukuman mati: “Noting that article 6 of the International Covenant on Civil and Political Rights refers to abolition of the death penalty in terms that strongly suggest that abolition is desirable,” 135 (Memerhatikan bahwa pasal 6 Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik ditujukan pada penghapusan hukuman mati dalam pengertian yang sangat jelas menghendaki terwujudnya penghapusan hukuman mati). Second Optional Protocol merupakan suatu instrumen internasional yang 134
Ibid, hal. 50.
135
Pembukaan Second Optional Protocol to the International Covenant on Civil and Political Rights, aiming at the abolition of the death penalty.
Universitas Sumatera Utara
disponsori oleh PBB yang bertujuan untuk menghapus hukuman mati dalam keadaan apa pun, baik dalam masa damai maupun dalam masa perang. 136
European Convention on Human Rights European Convention on Human Rights disahkan dua tahun setelah pembentukan UDHR. Pengaturan terhadap hukuman mati terdapat dalam Pasal 2 Ayat (1) yang berbunyi, “everyone's right to life shall be protected by law. No one shall be deprived of his life intentionally save in the execution of a sentence of a court following his conviction of a crime for which this penalty is provided by law”. (Hak untuk hidup dari setuap orang harus dilindungi hukum. Tidak ada seorang pun yang dapat dirampas haknya secara sengaja kecuali dengan dilaksanakannya suatu hukuman dari suatu pengadilan mengikuti tuntutan atas suatu kejahatan yang mana hukuman tersebut diperbolehkan oleh hukum.) 137 Pada awal tahun 1970an, the Council of Europe mulai mengerjakan Protokol tambahan terhadap Konvensi tersebut (Protocol No. 6 to the 1950 European Convention for the Protection of Human Rights and Fundamental Freedoms), yang kemudian diberlakukan pada tahun 1983. Pasal 1 dari Protokol ini mengubah isi Pasal 2 European Convention on Human Rights dengan menghapus pemberlakuan hukuman mati di masa damai, “the death penalty shall be abolished. No-one shall be condemned to such penalty or executed”. (hukuman
136
William A. Schabas, 2, op. cit; Todung Mulya Lubis dan Alexander Lay, op. cit, hal.
137
Pasal 2 Ayat (1) European Convention on Human Rights.
51.
Universitas Sumatera Utara
mati harus dihapuskan. Tidak ada seorang pun yang dapat dijatuhi hukuman tersebut ataupun dieksekusi) 138 Hanya sedikit eksekusi yang dilakukan oleh negara anggota dari the Council of Europe sejak tahun 1950. Pada tahun 1989, menurut pengamatan the European Court of Human Rights, hukuman mati telah dihapus secara de facto oleh negara-negara penanda tangan European Convention on Human Rights. 139
American Convention on Human Rights Pengaturan terhadap hak untuk hidup terdapat dalam Pasal 4 American Convention on Human Rights, yang bunyinya sebagai berikut: 140 1. Every person has the right to have his life respected. This right shall be protected by law and, in general, from the moment of conception. No one shall be arbitrarily deprived of his life. 2. In countries that have not abolished the death penalty, it may be imposed only for the most serious crimes and pursuant to a final judgment rendered by a competent court and in accordance with a law establishing such punishment, enacted prior to the commission of the crime. The application of such punishment shall not be extended to crimes to which it does not presently apply. 3. The death penalty shall not be reestablished in states that have abolished it. 4. In no case shall capital punishment be inflicted for political offenses or related common crimes. 5. Capital punishment shall not be imposed upon persons who, at the time the crime was committed, were under 18 years of age or over 70 years of age; nor shall it be applied to pregnant women. 6. Every person condemned to death shall have the right to apply for amnesty, pardon, or commutation of sentence, which may be granted in all cases.
138
Pasal 1 Protocol No. 6 to the 1950 European Convention for the Protection of Human Rights and Fundamental Freedoms. 139
William A. Schabas, 2, op. cit.
140
Pasal 4 American Convention on Human Rights.
Universitas Sumatera Utara
Capital punishment shall not be imposed while such a petition is pending decision by the competent authority. Terjemahan dalam Bahasa Indonesia : 1. Setiap orang berhak untuk memperoleh penghormatan atas hidupnya. Hak tersebut harus dilindungi hukum, dan secara umum, sejak awal. Tidak ada seorang pun yang dapat dirampas hidupnya secara sewenang-wenang. 2. Di negara-negara yang belum menghapus hukuman mati, hukuman mati hanya dapat dijatuhkan pada kejahatan yang paling serius dan sesuai dengan putusan akhir yang diberikan oleh suatu pengadilan yang kompeten dan sesuai dengan hukum yang menetapkan hukuman tersebut, yang telah diundangkan sebelum perbuatan jahat tersebut. Implementasi hukuman ini tidak dapat diperluas hingga mencakup kejahatan yang pada saat ini tidak dihukum dengan hukuman mati. 3. Hukuman mati tidak dapat diberlakukan kembali di negara-negara yang telah menghapusnya. 4. Tidak diperbolehkan untuk menjatuhkan hukuman mati pada pelanggaranpelanggaran politik atau kejahatan umum yang terkait. 5. Hukuman mati tidak dapat diberlakukan terhadap orang yang, pada saat melakukan kejahatan, berumur di bawah 18 tahun atau di atas 70 tahun; hukuman mati juga tidak dapat berlaku pada wanita hamil. 6. Setiap orang yang dijatuhi hukuman mati harus memiliki hak untuk mengajukan pengampunan, grasi, atau perubahan hukuman, yang berkemungkinan untuk dikabulkan dalam semua kasus. Hukuman mati tidak dapat diberlakukan saat permohonan tersebut belum diputuskan oleh kekuasaan yang berwenang. Konvensi ini disahkan pada tahun 1969 tetapi baru mulai berlaku sejak tahun 1978. Dengan menjadikan ICCPR sebagai contoh, American Convention on Human Rights memperketat pembatasan penggunaan hukuman mati dan secara eksplisit menyatakan bahwa negara-negara tidak boleh memberlakukan kembali hukuman mati sekali mereka telah menghapusnya. Pengaturan ini jelas menegaskan posisi konvensi tersebut sebagai instrumen abolisionis. 141 Pada tahun 1990, sebuah Protokol Abolisionis yang dirancang berdasarkan contoh dari Second Optional Protocol dari ICCPR disahkan dalam sistem inter141
William A. Schabas, 2, op. cit.
Universitas Sumatera Utara
Amerika. Pasal 1 dalam Protokol tersebut menuntut negara-negara untuk tidak menggunakan
hukuman
mati,
tetapi
tidak
mewajibkan
mereka
untuk
menghapusnya dalam sistem hukum masing-masing. 142
African Charter on Human and Peoples’ Rights African Charter on Human and Peoples’ Rights disahkan pada tahun 1981 dan mulai berlaku sejak tahun 1986. Konvensi ini juga menjunjung tinggi hak untuk hidup, seperti yang tercantum dalam Pasal 4, yang berbunyi, “human beings are inviolable. Every human being shall be entitled to respect for his life and the integrity of his person. No one may be arbitrarily deprived of this right.” (Manusia tidak dapat diganggu gugat. Setiap manusia berhak memperoleh penghormatan atas hidupnya dan integritas dirinya. Tidak ada seorang pun yang dapat dirampas hak ini secara sewenang-wenang). 143 Tetapi berbeda dengan konvensi lainnya baik yang universal maupun yang regional seperti European dan American Convention on Human Rights, Piagam ini tidak menyebutkan hukuman mati sebagai pembatasan ataupun pengecualian hak untuk hidup, tidak ada pula bahan hukum lainnya yang menerangkan pasal-pasal hak untuk hidup dalam African Charter on Human and Peoples’ Rights ini, menyebabkan adanya kekosongan posisi Piagam yang membingungkan interpretasi regulasi tersebut. 144
142
Roger Hood, op.cit, hal. 15.
143
Pasal 4 African Charter on Human and Peoples’ Rights.
144
William A. Schabas, 2, op. cit.
Universitas Sumatera Utara
Ada dua pendapat yang mengisi kekosongan tersebut. Sebagian ahli merujuk
pada
praktik
negara-negara
Afrika
yang
mayoritasnya
masih
memberlakukan hukuman mati, dan menyimpulkan bahwa African Charter on Human and Peoples’ Rights tidak melarang hukuman mati. Sementara itu, pendapat lain menyatakan bahwa interpretasi terhadap Charter ini harus dilakukan sesuai dengan instrumen hukum internasional lainnya, termasuk UDHR dan intrumen-instrumen lainnya yang disahkan oleh PBB, dan setidak-tidaknya, pembatasan-pembatasan dan larangan penggunaan hukuman mati yang terdapat dalam ICCPR harus berlaku. Beberapa negara Afrika telah menghapus hukuman mati, yang terbaru adalah Afrika Selatan. Perkembangan ini jelas akan mempengaruhi interpretasi instrumen hukum ini ke depannya. 145
2. Perlindungan dari Hukuman atau Perlakuan yang Kejam, Tidak Manusiawi dan Merendahkan Martabat Manusia Instrumen-instrumen hukum internasional yang melindungi hak untuk hidup juga menjamin perlindungan dari penyiksaan (torture), hukuman ataupun perlakuan kejam, tidak manusiawi dan merendahkan martabat manusia (cruel, inhuman and degrading treatment or punishment). Apabila diamati dari berbagai bahan hukum, hukuman mati tidak lepas dari pertimbangan “kejam, tidak manusiawi, dan merendahkan martabat manusia” yang dapat merupakan pelanggaran terhadap norma-norma internasional. 146 Awalnya, pertimbangan bahwa hukuman mati dapat juga terkait dengan 145
Ibid.
146
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
norma yang melarang perlakuan atau hukuman yang kejam, tidak manusiawi dan merendahkan martabat manusia, tidak menjadi pembahasan dalam perancangan instrumen-instrumen hukum internasional. Tetapi karena instrumen-instrumen hukum internasional ini kelihatan seperti menyetujui hukuman mati, maka kaum abolisionis memilih untuk menyerang hukuman mati secara tidak langsung dengan menggunakan norma ini. Tantangan-tantangan seperti ini terutama ditujukan terhadap isu “metode eksekusi”, “keterlambatan dalam memberitahukan penangguhan hukuman mati, “death row phenomenon”, dan lain sebagainya. 147 Hukuman yang “kejam” bukanlah suatu istilah yang bermakna statis, karena ia mencerminkan “standar yang berubah” yang menandai perkembangan masyarakat yang semakin dewasa.” Selain itu, banyak tribunal internasional yang menyatakan bahwa norma-norma hak asasi manusia harus diinterpretasi dengan sikap yang terus berkembang dan dinamis. Oleh sebab itu, sekalipun hukuman mati tidak dianggap “kejam” pada tahun 1948, 1957, ataupun 1969, ia mungkin bisa dianggap kejam pada masa sekarang ataupun tahun-tahun yang akan mendatang. 148 Pengaturan mengenai perlindungan ini disebutkan dalam berbagai Konvensi Internasional: 1. Pasal 5 UDHR yang berbunyi “no one shall be subjected to torture or to cruel, inhuman or degrading treatment or punishment”. (Tidak ada seorang pun yang boleh disiksa atau diperlakukan atau dihukum secara
147
William A. Schabas, 1, op. cit, hal. 19.
148
William A. Schabas, 2, op. cit.
Universitas Sumatera Utara
kejam, tidak manusiawi dan merendahkan martabat manusia). 149 2. Pasal 7 ICCPR yang berbunyi “no one shall be subjected to torture or to cruel, inhuman or degrading treatment or punishment. In particular, no one shall be subjected without his free consent to medical or scientific experimentation.” (Tidak seorang pun yang dapat dikenakan penyiksaan atau perlakuan atau hukuman lain yang kejam, tidak manusiawi atau merendahkan martabat. Pada khususnya, tidak seorang pun dapat dijadikan obyek eksperimen medis atau ilmiah tanpa persetujuan yang diberikan secara bebas). 150 3. United Nations Convention Against Torture and Other Cruel, Inhuman, and Degrading Treatment or Punishment, yang disahkan oleh Majelis Umum pada tahun 1984. 151 4. Pasal 3 European Convention on Human Rights yang berbunyi “no one shall be subjected to torture or to inhuman or degrading treatment or punishment.” (Tidak seorang pun yang dapat dikenakan penyiksaan atau perlakuan atau hukuman lain yang kejam, tidak manusiawi atau merendahkan martabat).152 5. Pasal 5 Ayat (2) American Convention on Human Rights yang berbunyi “no one shall be subjected to torture or to cruel, inhuman, or degrading punishment or treatment. All persons deprived of their liberty shall be 149
Pasal 5 Universal Declaration of Human Rights.
150
Pasal 7 International Covenant on Civil and Political Rights
151
William A. Schabas, 1, loc cit.
152
Pasal 3 European Convention on Human Rights.
Universitas Sumatera Utara
treated with respect for the inherent dignity of the human person.” (Tidak seorang pun yang dapat dikenakan penyiksaan atau perlakuan atau hukuman lain yang kejam, tidak manusiawi atau merendahkan martabat. Semua orang yang dirampas kebebasannya harus diperlakukan dengan penghormatan terhadap martabat yang melekat pada dirinya sebagai manusia). 153 Pengertian United Nations Convention Against Torture and Other Cruel, Inhuman, and Degrading Treatment or Punishment secara harafiah akan memberikan kesimpulan bahwa hukuman mati tidak masuk dalam ruang lingkupnya, karena Pasal 1 yang mendefinisikan torture atau penyiksaan juga mencantumkan pengecualian terhadap rasa sakit atau kesengsaraan yang berasal dari hukuman yang sah, (“It does not include pain or suffering arising only from, inherent in or incidental to lawful sanctions.”). 154 Pada awal kerja Committee Against Torture juga menyebutkan bahwa hukuman mati secara teori tidak masuk dalam mandat Committee tersebut. Sedangkan dalam laporan observasinya yang lebih
baru
lagi,
Committee
mengekspresikan
keprihatinannya
terhadap
penggunaan hukuman mati yang masih berlanjut. Lebih lanjut dalam berbagai kesimpulan dan rekomendasi dalam laporan periodiknya, Committee ini sering mengekspresikan kepuasannya terhadap upaya-upaya yang dilakukan negara demi mendorong penghapusan hukuman mati secara total. 155
153
Pasal 5(2) American Convention on Human Rights
154
Pasal 1 Ayat (1) Convention Against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment. 155
William A. Schabas, 1, op. cit, hal. 193.
Universitas Sumatera Utara
Pada tahun 1989, mayoritas dari European Court of Human Rights menolak untuk menyimpulkan bahwa hukuman mati sendiri merupakan hukuman yang kejam, tidak manusiawi dan merendahkan martabat manusia yang dilarang dalam Pasal 3 dari European Convention on Human Rights dalam kasus Soering v. United Kingdom. 156 Pada saat itu, Amnesty International, sebagai amicus curiae 157 dalam kasus tersebut, berpendapat bahwa walaupun Pasal 2 Ayat (1) dari European Convention on Human Rights memperbolehkan hukuman mati sebagai pengecualian dari hak untuk hidup. Hukum tersebut menjadi tidak berlaku dikarenakan isi Pasal 3 yang telah memiliki makna yang berkembang, yang melarang hukuman yang tidak manusiawi dan merendahkan martabat manusia. 158 Pengadilan tersebut kemudian merujuk pada praktik-praktik negara demi mencari elemen yang mendukung interpretasi tersebut. Sesuai pengamatan pengadilan, pada tahun 1980an, negara-negara anggota dari Council of Europe telah memilih untuk memasukkan isu penghapusan hukuman mati dalam bentuk Optional Protocol atau Additional Protocol dan bukan Mandatory Protocol ataupun Amending Protocol. Oleh sebab itu, European Court of Human Rights menyimpulkan bahwa tidak tepat menyatakan bahwa European Convention on
156
William A. Schabas, 2, op. cit.
157
Amicus Curiae merupakan konsep hukum yang berasal dari tradisi hukum Romawi, yang kemudian berkembang dan dipraktikkan dalam tradisi common law, yang mengizinkan pengadilan untuk mengundang pihak ketiga untuk menyediakan informasi atau fakta-fakta hukum berkaitan dengan isu-isu yang belum familiar. Amicus Curiae yang dalam bahasa Inggris disebut "friend of the court", diartikan: "someone who is not a party to the litigation, but who believes that the court's decision may affect its interest". 158
William A. Schabas, 2, op. cit.
Universitas Sumatera Utara
Human Rights pada saat itu bermaksud untuk melarang hukuman mati. 159 Namun demikian, pengadilan tersebut tetap saja menemukan jalan lain untuk menerapkan larangan atas hukuman yang tidak manusiawi dan merendahkan martabat manusia terhadap hukuman mati. Kasus Soering melibatkan ancaman ekstradisi dari Inggris ke Amerika, dimana individu tersebut akan dieksekusi. Bukan hukuman matinya yang dipermasalahkan oleh European Court of Human Rights sebagai pelanggaran atas European Convention on Human Rights, tetapi “death row phenomenon” yang menjadi pelanggaran, dimana terpidana harus menunggu datangnya kematiannya selama bertahun-tahun, dalam kondisi yang tersiksa, baik secara fisik maupun psikologi. 160 Death row phenomenon, telah menjadi salah satu dari isu yang mengkhawatirkan bagi badan-badan adjudikatif hak asasi manusia international. Dalam hal ini, European Court of Human Rights telah mengambil sikap yang lekas untuk mengkritiknya. Tetapi di sisi lain, Human Rights Committee mengambil sikap yang berbeda. Terhadap hukuman mati sendiri, Committee memegang pandangan yang sama dengan European Court bahwa hukuman mati tidak dapat disebut “kejam” dan melanggar Pasal 7 dari ICCPR, tepatnya karena itu diperbolehkan sebagai pengecualian terhadap hak untuk hidup dalam Pasal 6 ICCPR. 161 Sedangkan mengenai death row phenomenon, menurut Human Rights
159
Ibid.
160
Ibid.
161
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
Committee, penundaan dalam pelaksanaan hukuman mati tidak dapat dianggap sebagai hukuman yang kejam, tidak manusiawi dan merendahkan martabat manusia tepatnya karena Pasal 6 ICCPR menjadikan penghapusan total sebagai tujuannya, sebab itu lebih baik bagi terpidana hukuman mati untuk sebisa mungkin memperoleh lebih banyak waktu sebelum dieksekusi. 162 Pendapat serupa juga dapat dilihat dari sikap Special Rapporteur yang selalu ragu untuk menyatakan bahwa “death row phenomenon” bertentangan dengan norma internasional, karena ini dapat mendorong pemerintah untuk melaksanakan eksekusi lebih cepat.163 Namun demikian, metode eksekusi dengan sendirinya bisa dianggap kejam, tidak manusiawi dan merendahkan martabat manusia. Human Rights Committee telah menyatakan bahwa penggunaan kamar gas di negara bagian California melibatkan kesakitan yang berlebihan dan memakan waktu lama sehingga melanggar Pasal 7 ICCPR. Tetapi pernyataan ini mendorong badan ini ke posisi yang sulit untuk mendefinisikan cara apa yang lebih “manusiawi” untuk membunuh seseorang. Committee ini kemudian menyatakan bahwa eksekusi dengan cara suntik mati tidak melanggar hukum tersebut, walaupun beberapa riset juga menunjukkan bahwa metode eksekusi yang modern ini juga dapat mengakibatkan kesakitan yang luar biasa. 164 Kejamnya hukuman mati lebih jelas dideskripsikan oleh Mahkamah
162
William A. Schabas, 1, op. cit, hal. 141.
163
Ibid, hal. 209.
164
William A. Schabas, 2, op. cit.
Universitas Sumatera Utara
Konstitusi Afrika Selatan ketika menghapus hukuman mati dari sistem hukum nasionalnya dalam kasus S v Makwanyane (1995). Dalam kasus ini, Ketua Mahkamah Konstitusi Afrika Selatan, Hakim Chaskalson mendeskripsikan hukuman mati sebagai berikut (terjemahan bahasa Indonesia): Kematian adalah bentuk hukuman yang paling ekstrem yang dapat dijatuhkan terhadap seorang terpidana. Begitu dieksekusi, hukuman ini langsung bersifat final dan tidak dapat diubah lagi. Hukuman tersebut mengakhiri tidak hanya hak untuk hidup itu sendiri, tetapi juga semua hak pribadi lainnya yang telah melekat pada almarhum berdasarkan Bab Tiga Konstitusi. Hukuman mati itu tidak meninggalkan apa-apa kecuali ingatan pada orang-orang lain mengenai apa yang telah terjadi serta harta benda yang diwariskan kepada para ahli waris almarhum. Singkatnya, tidak diragukan lagi bahwa hukuman mati adalah bentuk hukuman yang kejam. Sekali dijatuhkan, si terpidana pun berada dalam baris penunggu kematian, dengan ditemani oleh terpidana-terpidana mati lainnya, menjalani proses banding hingga grasi. Selama periode ini, mereka, orang-orang yang berada dalam barisan penunggu kematian, digantung dalam ketidakpastian sang nasib, tanpa mengetahui akahkah hukuman mereka ditangguhkan ataukah mereka akhirnya benar-benar diseret ke tiang gantungan. Kematian adalah sebuah hukuman yang kejam, dan proses-proses hukum untuk menentukan dibatalkan atau dilaksanakannya hukuman, semakin menambah kekejaman tersebut. Hukuman mati juga berada di luar batas perikemanusiaan, karena “… dengan sendirinya merupakan pengingkaran terhadap kemanusiaan yang bersangkutan”. Hukuman mati juga merendahkan harkat yang bersangkutan karena hukuman mati menghapus segala harkat dan martabat apa pun yang dimiliki si terpidana. Ia diperlakukan sebagai obyek yang harus dieliminasi oleh negara.” 165 Keputusan-keputusan yudisial nasional dapat dipandang sebagai presedenpreseden berbobot, atau pun menjadi sumber-sumber yang mengikat, sesuai dengan pernyataan Marshall C.J. dari Mahkamah Agung Amerika Serikat, “keputusan
pengadilan
setiap
negara
menunjukkan
bagaimana
hukum
internasional, dalam hal-hal tertentu, dimengerti di negara-negara tersebut”. Selain itu, keputusan pengadilan nasional juga dapat menimbulkan perkembangan 165
Todung Mulya Lubis dan Alexander Lay, op. cit, hal. 12-13.
Universitas Sumatera Utara
kaidah-kaidah kebiasaan hukum internasional. 166
C. Pengaruh Instrumen Hukum Internasional terhadap Hukum Nasional dalam Penerapan dan Penghapusan Hukuman Mati Pada dasarnya, hukum internasional masih tetap diwarnai dengan konsepkonsep seperti kedaulatan nasional dan kedaulatan teritorial, dan konsep persamaan
penuh
serta
kemerdekaan
negara-negara.
167
Praktik
hukum
internasional memberikan cukup banyak bahan atau contoh untuk menyimpulkan bahwa pada masa dan tingkat perkembangan masyarakat internasional dewasa ini hukum internasional cukup memiliki pengaruh terhadap hukum nasional untuk mengatakan bahwa umumnya hukum internasional itu ditaati dan hukum nasional itu pada hakikatnya tunduk pada hukum internasional. 168 Hukum internasional terutama sebagai rangkaian prinsip-prinsip yang di dalamnya memuat hak-hak tertentu, atau kewajiban-kewajiban tertentu yang dibebankan kepada negaranegara. 169 Dalam konstitusi masa kini (modern) ada kecenderungan mencantumkan secara tegas bahwa hukum internasional merupakan bagian dari hukum nasional, yang akan mengatasi atau mengalahkan hukum nasional dalam hal terjadi pertentangan. Suatu contoh yang jelas menggambarkan keadaan seperti itu ialah
166
J. G. Starke, 1, op. cit, hal. 59.
167
Ibid, hal. 8.
168
Mochtar Kusumaatmaja & Etty R. Agoes, op. cit, hal. 64.
169
J. G. Starke, 1, op. cit, hal. 4.
Universitas Sumatera Utara
konstitusi Jerman yang dalam Pasal 25 menyatakan bahwa ketentuan-ketentuan hukum internasional merupakan bagian dari hukum nasional Jerman. Ketentuan demikian lebih tinggi kedudukannya dari undang-undang nasional dan langsung menimbulkan hak dan kewajiban bagi penduduk wilayah Federasi Jerman. 170 Selain itu, dalam praktik negara-negara tertentu juga secara tegas memperlakukan hukum internasional sebagai kaidah yang memiliki kekuatan yang sama seperti hukum biasa yang mengikat warga-warga negara mereka. Menurut Konstitusi Amerika Serikat, misalnya, traktat-traktat adalah “hukum negara tertinggi” (the supreme law of the land, dinyatakan dalam ketentuan Pasal VI, ayat 2).171 Walaupun tidak langsung tercantum dalam undang-undang, pengaruh hukum internasional tetap ada sebagai sumber hukum bagi para hakim dalam pengadilan domestik. Betul bahwa kelemahan klasik dari hukum hak asasi manusia internasional sebagai cabang hukum internasional adalah alat implementasinya. Tetapi, dengan semakin meningkatnya pemberlakuan hukum hak asasi manusia internasional oleh pengadilan-pengadilan dalam negeri, ini jelas menambah keefektifannya. Di beberapa negara, hukum hak asasi manusia internasional bahkan lebih diutamakan daripada hukum dalam negerinya yang dianggap tidak cocok. Di negara lain, hukum hak asasi manusia internasional digunakan pengadilan untuk membantu dalam menerjemahkan ruang lingkup norma hukum kebiasaan yang pada umumnya terinspirasi oleh instrumen
170
Mochtar Kusumaatmaja & Etty R. Agoes, op. cit, hal. 87.
171
J. G. Starke, 1, op. cit, hal. 21.
Universitas Sumatera Utara
internasional. 172 Salah satu contohnya seperti dalam Kasus Quebec, suatu propinsi yang ingin memisahkan diri dari Kanada, Mahkamah Agung Kanada dalam putusannya merujuk pada hukum internasional. Menurut Mahkamah Agung Kanada, dalam berbagai kasus, Pengadilan domestik perlu merujuk pada hukum internasional untuk menentukan hak dan kewajiban yang dimiliki para pelaku dalam sistem hukum Kanada. 173 Khususnya dalam kaitan dengan isu hak asasi manusia dalam hukuman mati, pengadilan dari berbagai negara, termasuk Afrika Selatan, Zimbabwe, Kanada, Tanzania dan Inggris juga telah merasakan kemanfaatan dari hukum internasional terutama dalam hal interpretasi bahan hukum mengenai hak untuk hidup dan larangan terhadap hukuman yang kejam, tidak manusiawi, dan merendahkan martabat manusia. Dalam putusan Mahkamah Konstitusi Afrika Selatan yang menyatakan hukuman mati tidak sesuai dengan hak untuk hidup dan perlindungan terhadap hukuman yang kejam, tidak manusiawi, dan merendahkan martabat manusia, tertulis di dalamnya, “The international and foreign authorities are of value because they analyze arguments for and against the death sentence and show how courts of other jurisdictions have dealt with this vexed issue. For that reason alone they require our attention.” (Otoritas internasional dan luar negeri sangat penting oleh karena mereka menganalisis argumen baik yang mendukung maupun yang bertentangan dengan hukuman mati dan menunjukkan
172
William A. Schabas, 2, op. cit.
173
Reference re Secession of Quebec, (1998) 2 S.C.R, 217.
Universitas Sumatera Utara
bagaimana pengadilan-pengadilan dari yurisdiksi lain menangani masalah yang rumit ini. Dengan alasan tunggal ini mereka pantas mendapat perhatian dari kita). 174 Deklarasi PBB mengenai hak asasi manusia yang paling utama dan paling tua, UDHR, selain menjadi inspirasi bagi diterbitkannya instrumen-instrumen hukum hak asasi manusia yang diprakarsai oleh PBB seperti ICCPR maupun Second Optional Protocol to the ICCPR,175 juga menjadi kerangka normatif untuk instrumen-instrumen hak asasi manusia regional lainnya seperti European Convention on Human Rights, American Convention on Human Rights, dan African Charter of Human and People’s Rights, dan lain-lain. 176 UDHR yang ditetapkan oleh Majelis Umum pada tanggal 10 December 1948 disahkan dengan tidak ada satu pun suara penolakan. 177 Deklarasi ini sering disebut sebagai suatu pernyataan atau kodifikasi dari hukum kebiasaan internasional, atau sebagai suatu interpretasi otoritatif terhadap klausula hak asasi manusia dalam Piagam PBB. 178 Pada bulan Juni tahun 1993, the World Conference on Human Rights yang diselenggarakan di Vienna menegaskan bahwa UDHR yang membentuk suatu common standard of achievement untuk semua manusia dan semua negara, adalah sumber inspirasi dan telah menjadi dasar bagi PBB dalam mendorong kemajuan 174
William A. Schabas, 2, op. cit.
175
Todung Mulya Lubis dan Alexander Lay, op. cit, hal. 46.
176
William A. Schabas, 2, op. cit.
177
William A. Schabas, 1, op. cit, hal. 39.
178
Ibid, hal. 23.
Universitas Sumatera Utara
penetapan standar yang terkandung dalam instrumen hak asasi manusia internasional yang ada pada saat ini. 179 Di lain sisi, ICCPR merupakan suatu “binding treaty” (perjanjian yang mengikat). 180 Berdasarkan sifatnya yang universal, perjanjian ini bersama UDHR bisa dikategorikan sebagai “law-making treaties” (perjanjian yang membuat hukum). 181 Hanya saja bedanya, UDHR tidak bertujuan untuk menciptakan treaty obligations yang bersifat mengikat, 182 sementara ICCPR dapat dikategorikan sebagai “Framework Convention” yang membebankan kewajiban-kewajiban pada negara untuk menetapkan perundang-undangan, atau menetapkan pilihan-pilihan, dalam kaitan mana negara-negara harus menetapkan prinsip-prinsip yang ditetapkan di dalam Kovenan tersebut. 183 Mengenai perjanjian regional lainnya seperti European Convention on Human Rights dan American Convention on Human Rights, kaidah-kaidah regional memang tidak perlu tunduk kepada kaidah hukum internasional umum, tetapi bisa saja saling mengisi atau saling berkaitan. 184 Misalnya Pasal 4 Ayat (3) American Convention on Human Rights yang mengatur bahwa negara yang telah menghapus hukuman mati tidak boleh memberlakukannya kembali, 185 norma ini
179
Ibid, hal. 24.
180
Todung Mulya Lubis dan Alexander Lay, op. cit, hal. 48.
181
J. G. Starke, 1, op. cit, hal. 52.
182
William A. Schabas, 2, op. cit.
183
J. G. Starke, 1, op. cit, hal. 53.
184
Ibid, hal. 7.
185
Pasal 4 Ayat (3) American Convention on Human Rights.
Universitas Sumatera Utara
turut dicantumkan dalam Resolusi 62/149 yang ditetapkan Majelis Umum tentang Moratorium on the use of the death penalty. 186 Ini menandakan adanya suatu kaidah yang tengah berkembang secara konsisten dalam sumber hukum internasional universal dan regional. Selain itu, perjanjian-perjanjian internasional yang menjujung tinggi hak asasi manusia tersebut berlaku pada negara-negara penanda tangan berdasarkan asas Pacta Sunt Servanda, 187 yang merupakan dalil absolut dari sistem hukum internasional. 188 Sebab itu, perjanjian-perjanjian internasional tersebut sangat mempengaruhi sikap negara dalam menghadapi isu penerapan hukuman mati. Harus diakui bahwa upaya penghapusan hukuman mati masi harus menempuh jalan yang panjang. Kewajiban menghapus hukuman mati tidak disebutkan dalam batang tubuh berbagai perjanjian internasional yang utama, sementara berbagai Protokol Abolisionis yang disahkan setelahnya masih bersifat additional ataupun optional, sehingga hanya negara yang secara suka rela menandatangai
Protokol
Abolisionis
tersebut
yang
memiliki
kewajiban
menghapus hukuman mati. 189 Begitu juga, penghapusan hukuman mati belum bisa dikategorikan sebagai
186
General Assembly Resolution 62/149 of 18 December 2007, Moratorium on the use of the death penalty, A/62/439/Add.2. 187
Pasal 26 Vienna Convention on the Law of Treaties; Prinsip pacta sunt servanda ini sangat fundamental dalam hukum internasional dan menjadi norma imperatif dalam praktik perjanjian internasional. Dalam Pasal 26 Konvensi Wina dirumuskan pengertian pacta sunt servanda, bahwa setiap perjanjian mengikat terhadap pihak-pihak pada perjanjian itu harus dilaksanakan dengan iktikad baik. 188
J. G. Starke, 1, op. cit, hal. 27.
189
William A. Schabas, 2, op. cit.
Universitas Sumatera Utara
hukum kebiasaan internasional oleh karena tidak memenuhi syarat menjadi kebiasaan umum dan kebiasaan tersebut harus diterima sebagai hukum. 190 Dengan jumlah 68 negara yang masih mempertahankan hukuman mati, 191 sulit bagi hukum internasional untuk menerima penghapusan hukuman mati sebagai suatu kebiasaan, walaupun penghapusan tersebut dikehendaki oleh hukum internasional. Oleh sebab itu, saat ini masih prematur untuk menyatakan hukuman mati dilarang oleh hukum kebiasaan internasional. 192 Tetapi perlu diketahui, jumlah negara yang menghapus hukuman mati terus meningkat dari tahun ke tahun. Data pada tahun 1981 menunjukkan baru ada 63 negara yang telah menghapus hukuman mati melalui sistem hukum maupun praktik, angka tersebut meningkat hingga 129 negara dalam waktu 25 tahun, yaitu pada tahun 2006. 193 Selain itu, bisa saja terjadi sebuah traktat yang pada mulanya dibentuk hanya di antara sejumah peserta terbatas dimana kaidah yang dimuat dalam traktat itu kemudian digeneralisasikan dengan adanya penerimaan atau dipakai secara umum sebagai kaidah yang berdiri sendiri. 194 Seperti dalam Pasal 4 Ayat (3) dari American Convention on Human Rights disebutkan bahwa suatu negara yang telah menghapus hukuman mati tidak boleh memberlakukannya kembali, 195
190
Mochtar Kusumaatmaja & Etty R. Agoes, op. cit, hal. 144.
191
Todung Mulya Lubis dan Alexander Lay, op. cit, hal 60.
192
William A. Schabas, 2, op. cit.
193
Todung Mulya Lubis dan Alexander Lay, op. cit, hal 61.
194
J. G. Starke, 1, op. cit, hal. 56.
195
Pasal 4 Ayat (3) American Convention on Human Rights.
Universitas Sumatera Utara
kaidah ini kemudian turut ditegaskan dalam Resolusi Majelis Umum PBB, Moratorium on the use of death penalty.196 Mengingat jumlah negara abolisionis yang terus bertambah, juga semangat hukum internasional yang mengarah ke penghapusan hukuman mati, seperti yang tercermin dalam risalah penyusunan UDHR,
197
maka dapat disimpulkan,
walaupun hukuman mati saat ini tidak dilarang secara keras dalam hukum internasional, tetapi suatu corong penghapusan telah disediakan untuk negaranegara yang berkomitmen untuk menghapus hukuman mati, yaitu Protokol Abolisionis. Bagi negara-negara yang masih memberlakukan hukuman mati, selain dibebani oleh berbagai kewajiban di bawah ICCPR maupun konvensi regional lainnya, juga akan menghadapi tekanan yang semakin besar seiring dengan berkembangnya pengakuan internasional terhadap hak asasi manusia. Isu hukuman mati dapat diparalelkan dengan penganiayaan dan perbudakan. Perbudakan merupakan praktik umum dalam sejarah, dan pelarangannya, bahkan di negara-negara beradab pun seperti Inggris dan Amerika pun, baru dilakukan pada tahun 1800an. Penganiayaan pernah diterima secara umum dan diakui dalam berbagai situasi, sampai pada selesainya Perang Dunia II. Kedua bentuk kebiadaban ini sekarang dilarang keras dalam hukum hak asasi manusia internasional, tidak hanya dalam bentuk norma konvensional tetapi juga dalam norma kebiasaan. Kedua norma ini juga telah memperoleh status sebagai preemptory norms, rules of jus cogens, yang diagungkan dalam kebiasaan 196
General Assembly Resolution 62/149 of 18 December 2007, Moratorium on the use of the death penalty, A/62/439/Add.2. 197
William A. Schabas, 2, op. cit.
Universitas Sumatera Utara
internasional. Bukan tidak mungkin bagi penghapusan hukuman mati untuk menjadi pengikut larangan perbudakan dan penganiayaan dalam waktu beberapa dekade ke depan. 198
198
William A. Schabas, 1, op. cit, hal. 20.
Universitas Sumatera Utara
BAB IV UPAYA PERLINDUNGAN HAK ASASI MANUSIA SECARA INTERNASIONAL DALAM PENERAPAN HUKUMAN MATI OLEH SUATU NEGARA
A. Berbagai Perlindungan dalam Penerapan Hukuman Mati Sejak tahun 1957, dengan memerhatikan bahwa penghapusan hukuman mati tidak ada pada agenda internasional dalam waktu dekat, PBB memfokuskan upayanya pada pembatasan ruang lingkup dengan, misalnya, mengurangi jumlah kejahatan yang dapat diancam hukuman mati, dan menetapkan beberapa kelompok manusia sebagai pengecualian dari ruang lingkupnya, dan menuntut adanya procedural control (pengendalian prosedural) yang ketat saat hukuman mati dipergunakan. Badan-badan yang terlibat dalam kerja ini termasuk the Commission on Human Rights, Dewan Ekonomi dan Sosial, Majelis Umum, the Committee on Crime Prevention and Control, serta the Congress on the Prevention of Crime and the Treatment of Offenders. 199
1. The Safeguards Guaranteeing Protection of the Rights of those Facing the Death Penalty The Safeguards Guaranteeing Protection of the Rights of those Facing the Death Penalty dirancang oleh Committee on Crime Prevention and Control dalam sesi tahun 1984. Safeguards ini merupakan hasil penambahan dari pembatasan penggunaan hukuman mati yang tercantum dalam Pasal 6 dari ICCPR, 200 yang 199
Ibid, hal. 13.
200
William A. Schabas, 2, op. cit.
Universitas Sumatera Utara
walaupun mengenal hukuman mati sebagai pengecualian dari hak untuk hidup, tetapi juga mencantumkan pembatasan-pembatasan. 201 Safeguards Guaranteeing Protection of the Rights of Those Facing the Death Penalty ini kemudian dicantumkan dalam lampiran Resolusi Dewan Ekonomi dan Sosial pada tahun 1984, yang isinya sebagai berikut: 202 1. In countries which have not abolished the death penalty, capital punishment may be imposed only for the most serious crimes, it being understood that their scope should not go beyond intentional crimes with lethal or other extremely grave consequences. 2. Capital punishment may be imposed only for a crime for which the death penalty is prescribed by law at the time of its commission, it being understood that if, subsequent to the commission of the crime, provision is made by law for the imposition of a lighter penalty, the offender shall benefit thereby. 3. Persons below 18 years of age at the time of the commission of the crime shall not be sentenced to death, nor shall the death sentence be carried out on pregnant women, or on new mothers, or on persons who have become insane. 4. Capital punishment may be imposed only when the guilt of the person charged is based upon clear and convincing evidence leaving no room for an alternative explanation of the facts. 5. Capital punishment may only be carried out pursuant to a final judgement rendered by a competent court after legal process which gives all possible safeguards to ensure a fair trial, at least equal to those contained in article 14 of the International Covenant on Civil and Political Rights, including the right of anyone suspected of or charged with a crime for which capital punishment may be imposed to adequate legal assistance at all stages of the proceedings. 6. Anyone sentenced to death shall have the right to appeal to a court of higher jurisdiction, and steps should be taken to ensure that such appeals shall become mandatory. 7. Anyone sentenced to death shall have the right to seek pardon, or commutation of sentence; pardon or commutation of sentence may be granted in all cases of capital punishment.
201
William A. Schabas, 1, loc cit.
202
Annex to Economic and Social Council Resolution 1984/50 of 25 May 1984, Safeguards Guaranteeing Protection of the Rights of Those Facing the Death Penalty, E.S.C. res. 1984/50, annex, 1984 U.N. ESCOR Supp. (No. 1) at 33, U.N. Doc. E/1984/84 (1984).
Universitas Sumatera Utara
8. Capital punishment shall not be carried out pending any appeal or other recourse procedure or other proceeding relating to pardon or commutation of the sentence. 9. Where capital punishment occurs, it shall be carried out so as to inflict the minimum possible suffering. Terjemahan dalam Bahasa Indonesia: 1. Di negara yang belum menghapuskan hukuman mati, penerapannya hanya bisa berlaku bagi ‘kejahatan yang paling serius’, yang kategorinya harus sesuai dengan tingkat konsekwensi yang sangat keji. 2. Hukuman mati hanya boleh berlaku bila kejahatan tersebut tercantum dalam produk hukum tertulis yang tidak bisa bersifat retroaktif pada saat kejahatan tersebut dilakukan. Dan jika di dalam produk hukum tersebut tersedia hukuman yang lebih ringan, maka yang terakhir ini yang harus diterapkan. 3. Hukuman mati tidak boleh diterapkan pada anak yang berusia 18 tahun pada saat ia melakukan kejahatan tersebut. Hukuman mati tidak boleh diterapkan kepada perempuan yang sedang hamil atau ibu yang baru melahirkan. Hukuman mati tidak boleh dijatuhkan kepada orang yang cacat mental atau gila. 4. Hukuman mati hanya boleh diterapkan ketika kesalahan si pelaku sudah tidak menyediakan sedikitpun celah yang meragukan dari suatu fakta atau kejadian. 5. Hukuman mati hanya bisa dijatuhkan sesuai dengan keputusan hukum yang final lewat sebuah persidangan yang kompeten yang menjamin seluruh prinsip fair trial, paling tidak sesuai dengan Pasal 14 Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik, termasuk pada setiap kasus yang diancam hukuman mati, seorang terdakwa harus disediakan pembelaan hukum yang memadai. 6. Seseorang yang dijatuhi hukuman mati berhak untuk mengajukan banding ke pengadilan yang lebih tinggi dan banding tersebut bersifat imperatif/wajib. 7. Seseorang yang dijatuhi hukuman mati berhak untuk mengajukan pengampunan, atau perubahan hukuman. Hal ini harus mencakup semua jenis kejahatan. 8. Hukuman mati tidak boleh diberlakukan untuk membatalkan upaya pengajuan pengampunan atau perubahan hukuman. 9. Ketika eksekusi mati dijalankan, metodenya harus seminimal mungkin menimbulkan penderitaan. Isi penting dari Safeguards selain menyebutkan bahwa penggunaan hukuman mati harus dibatasi pada kejahatan yang “intentional, with lethal or other extremely grave consequences”, juga menegaskan perlunya pengadilan yang
Universitas Sumatera Utara
kompeten, yang setidaknya sesuai dengan standar dalam Pasal 14 ICCPR. Mengenai kategori orang yang harus dikecualikan dari hukuman mati, Safeguards menambahkan “new mothers” dan “person who have become insane” ke dalam isi kategori pelaku di bawah umur dan wanita hamil yang telah dilindungi oleh Article 6 Ayat (5) dari ICCPR. 203 Selain itu, Safeguards ini ditetapkan PBB dengan pandangan bahwa isinya tidak akan dijadikan alasan atau digunakan untuk menunda atau mencegah penghapusan hukuman mati. 204
2. Larangan atas Perampasan Hak Hidup Secara Sewenang-wenang (Arbitrariness) Menurut Human Rights Committee, kata “kesewenang-wenangan” (arbitrariness) tidak bisa disamakan dengan “melawan hukum”, tetapi harus diinterpretasikan secara lebih luas, dan memasukkan arti ketidakpantasan (inappropriateness), ketidakadilan (injustice), dan sifat kurang dapat diprediksi (lack of predictability).205 Lebih lanjut dijelaskan oleh Daniel Nsereko, bahwa suatu perampasan hak untuk hidup adalah sewenang-wenang jika dilakukan tanpa mempertimbangkan rules of natural justice atau due process of law, jika dilakukan dengan sikap yang bertentangan dengan hukum, ataupun jika dilakukan dengan menurut hukum yang bersifat otoriter dan tirani serta bertentangan dengan standar hak asasi manusia
203
William A. Schabas, 2, op. cit.
204
Roger Hood, op.cit, hal. 1.
205
William A. Schabas, 1, op.cit, hal. 98.
Universitas Sumatera Utara
internasional ataupun hukum humaniter internasional. 206
Larangan Penerapan Hukuman Mati dan Eksekusi terhadap Kelompok Orang Tertentu Larangan penerapan hukuman mati dan eksekusi dicantumkan dalam ICCPR yakni pada Pasal 6 Ayat (5) terhadap kejahatan yang dilakukan oleh seseorang di bawah usia delapan belas tahun dan tidak boleh dilaksanakan terhadap perempuan yang tengah mengandung. 207 Dalam American Convention on Human Rights, selain turut memasukkan ide ICCPR, Konvensi tersebut memperluas
perlindungannya
dengan
mencakup
pengecualian
penerapan
hukuman mati terhadap orang yang berumur di atas 70 tahun. 208 Aturan pengecualian terhadap anak di bawah umur pada dasarnya merupakan bentuk penghormatan terhadap prinsip dasar dari hukum pidana, bahwa anak-anak memiliki tanggung jawab yang lebih sedikit karena ketidakdewasaan mereka. Selain ICCPR dan American Convention on Human Rights, aturan ini juga didukung oleh organisasi-organisasi internasional beserta dengan instrumen hukum internasional yang lain: 209 1. Inter-American Commission on Human Rights telah menyatakan bahwa ada norma hukum kebiasaan yang melarang eksekusi atas kejahatan yang
206
Ibid, hal. 99.
207
Pasal 6 Ayat (5) International Covenant on Civil and Political Rights.
208
Pasal 4 Ayat (5) American Convention on Human Rights.
209
William A. Schabas, 2, op. cit.
Universitas Sumatera Utara
dilakukan anak-anak, walaupun Commission ini belum bisa menentukan bahwa umur minimum adalah 18. Commission ini hanya bersedia untuk menyimpulkan bahwa norma yang menetapkan umur 18 sebagai umur minimum mulai “muncul”. 2. Convention on the Rights of the Child, Fourth Geneva Convention beserta dua additional protocol-nya, menetapkan umur 18 sebagai umur minimum. Walaupun dalam peraturan hukum di atas hanya disebutkan tentang pengecualian terhadap anak di bawah umur dan wanita hamil, perlu diperhatikan bahwa ruang lingkup perlindungannya tidak terbatas pada kategori itu saja. Misalnya, “orang gila” tidak disebutkan dalam pasal-pasal di atas. Hal ini dikarenakan para perancang instrumen hukum internasional merasa tidak perlu untuk membuat daftar pengecualian yang terlalu panjang dan rumit. Eksekusi terhadap orang gila pada dasarnya bertentangan dengan hukum nasional di negara mana pun di dunia dan mungkin saja telah menjadi hukum kebiasaan dari hukum hak asasi manusia internasional. Upaya apapun, untuk mengeksekusi orang gila dapat dikategorikan sebagai tindakan “sewenang-wenang” dan melanggar ICCPR. 210
Pembatasan Pengertian dari “The Most Serious Crimes” Walaupun lebih menghendaki agar hukuman mati dihapuskan, ICCPR masih memberikan toleransi kepada Nnegara yang menjadi pihak dalam ICCPR 210
William A. Schabas,1, op.cit, hal. 100.
Universitas Sumatera Utara
yang masih belum menghapus hukuman mati untuk tetap mempraktikkan hukuman mati, tetapi dibatasi hanya pada the most serious crimes atau beberapa kejahatan yang sangat serius. ICCPR tidak memberikan penjelasan lebih lanjut tentang definisi the most serious crimes, namun paragraf 7 General Comment No. 6 ICCPR menegaskan: “The Committee (Human Rights Committee) is of the opinion that the expression “most serious crimes” must be read restrictively to mean that the death penalty should be a quite exceptional measure.” Terjemahan dalam bahasa Indonesia: “Komite (Komite Hak-hak Asasi Manusia) berpendapat bahwa ungkapan ‘kejahatan-kejahatan yang paling serius’ harus dibaca dalam arti yang terbatas. Ini berarti hukuman mati seharusnya merupakan suatu upaya yang sangat luar biasa.” 211 Arti dari frase the most serious crimes kemudian dijelaskan lebih lanjut dalam paragraf 91 Report of Special Rapporteur (E/CN.4/1997/60), tanggal 24 Desember 1996: “In addition, paragraph 1 of the Safeguards guaranteeing protection of the rights of those facing the death penalty, approved by the Economic and Social Council in its resolution 1984/50 of 25 May 1984, states that the scope of crimes subject to the death penalty should not go beyond intentional crimes with lethal or other extremely grave consequences. The Special Rapporteur concludes from this, that the death penalty should be eliminated for crimes such as economic crimes and drug-related offences.” Terjemahan dalam bahasa Indonesia:
211
Todung Mulya Lubis dan Alexander Lay, op.cit, hal. 51.
Universitas Sumatera Utara
Selain itu, Ayat 1 Safeguards (Upaya-upaya perlindungan) yang menjamin perlindungan hak-hak orang-orang yang mengadapi hukuman mati, yang disahkan oleh Dewan Ekonomi dan Sosial dalam resolusinya 1984/50 tanggal 25 Mei 1984, menyatakan bahwa kejahatan yang dapat dijatuhi hukuman mati harus dibatasi hanya pada kejahatan-kejahatan yang disengaja, yang menimbulkan akibat-akibat yang mematikan atau dampakdampak lainnya yang benar-benar sangat serius. Dari ini, Special Rappoteur tersebut menyimpulkan bahwa hukuman mati harus dihapuskan untuk kejahatan seperti kejahatan-kejahatan ekonomi dan pelanggaranpelanggaran yang berhubungan dengan obat-obat terlarang. 212 Human Rights Committee telah mendaftarkan sejumlah kejahatan, dan menyataan bahwa kejahatan tersebut tidak memenuhi standar dari Pasal 6 Ayat (2) ICCPR untuk dapat dijatuhi hukuman mati, yakni: pengingkaran atas agama atau tatanan moral, tindakan menghasut orang untuk membunuh diri, tindakan homoseksual, hubungan seks ilegal, spionase, pengelakan tanggung jawab militer, kejahatan ekonomi, kejahatan mata uang, kejahatan terhadap harta benda, penyalahgunaan dana publik, kejahatan terhadap ekonomi, dan Committee ini terutama menegaskan soal kejahatan politik. 213 Selain membatasi jenis-jenis kejahatan tertentu yang dapat dijatuhi hukuman mati, hukum internasional juga melarang perluasan ruang lingkup hukuman mati. Menurut Special Rapporteur PBB, perluasan ruang lingkup hukuman mati bertentangan dengan semangat Pasal 6 dari ICCPR, yang bertujuan mendukung pengurangan progresif dalam jumlah kejahatan yang dapat dijatuhi hukuman mati. 214
212
Ibid, hal. 51-52.
213
William A. Schabas, 1, op.cit, hal. 108-109.
214
William A. Schabas, 1, op.cit, hal. 104.
Universitas Sumatera Utara
3. Larangan atas Summary Execution dengan Tidak Memenuhi Syarat Pengadilan yang Kompeten (Procedural Safeguards) Hukuman mati hanya dapat dijatuhkan dalam keadaaan “when the guilt of the person charged is based upon clear and convincing evidence leaving no room for an alternative explanation of the facts.” 215 Untuk menentukan hal ini, tentu saja diperlukan proses peradilan yang memadai. Dalam Pasal 6 Ayat (2) dari ICCPR menyebutkan bahwa hukuman mati hanya dapat dilaksanakan dengan putusan yang final dari pengadilan yang kompeten (final judgment rendered by a competent court).
216
Pengadilan
kompeten dalam hal ini tentu saja harus memenuhi syarat-syarat internasional ataupun yang dinamakan dengan procedural safeguards, yang diuraikan dalam Pasal 14 ICCPR. 217 Penjatuhan hukuman mati dengan peradilan yang tidak adil adalah pelanggaran tidak hanya pada norma prosedural tetapi juga pada hak untuk hidup. Dengan kata lain, jika Pasal 14 ICCPR dilanggar dalam proses peradilan yang menjatuhkan hukuman mati, maka Pasal 6 juga turut terlanggar. Hal ini membuat Pasal 14 turut menjadi pasal yang non-derogable (tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun) khususnya dalam kasus hukuman mati. 218 Hal ini sesuai dengan pendapat mantan Special Rappoteur PBB, Amos Wako, pengadilan yang dijalankan tanpa memenuhi jaminan dalam Pasal 14 215
William A. Schabas, 2, op. cit.
216
Pasal 6(2) International Covenant on Civil and Political Rights.
217
William A. Schabas, 1, op.cit, hal. 101.
218
Ibid, hal. 113.
Universitas Sumatera Utara
ICCPR adalah merupakan “summary executions” 219 dan merupakan pelanggaran terhadap Pasal 6 ICCPR, apabila hukuman mati dijatuhkan. 220 Dalam konteks summary executions, hukuman mati biasanya dijatuhkan oleh pengadilan khusus, seperti people’s court, revolutionary court, ataupun military tribunal, tanpa peraturan prosedural standar. Seringkali persidangan diadakan dengan in camera (tidak terbuka untuk umum), terdakwa tidak diberikan penasehat hukum, dan ‘hakim’nya juga baru direkrut tidak lama, dan biasanya dari militer, tidak ada pengakuan hak untuk mengajukan banding ataupun memohon grasi (pardon and clemency), dan eksekusi dilakukan dalam waktu cepat setelah penjatuhan hukuman. 221 Menurut Pasal 14 ICCPR, pengadilan yang kompeten harus bisa memberikan jaminan sebagai berikut (dalam Bahasa Indonesia): 222 1. Semua orang mempunyai kedudukan yang sama di hadapan pengadilan dan badan peradilan. Dalam menentukan tuduhan pidana terhadapnya, atau dalam menentukan segala hak dan kewajibannya dalam suatu gugatan, setiap orang berhak atas pemeriksaan yang adil da terbuka untuk umum, oleh suatu badan peradilan yang berwenang, bebas dan tidak berpihak dan dibentuk menurut hukum. Media dan masyarakat dapat dilarang untuk mengikuti seluruh atau sebagian sidang karena alasan moral , ketertiban umum atau keamanan nasional dalam suatu masyarakat yang demokratis atau apabila benar-benar diperlukan menurut pendapat pengadilan dalam keadaan khusus, dimana publikasi justru akan merugikan kepentingan keadilan sendiri; namun setiap keputusan yang diambil dalam perkara pidana maupun perdata harus diucapkan dalam sidang yang terbuka, kecuali bilamana kepentingan 219
Istilah Summary Execution harus dibedakan dari Arbitrary Execution. Dalam Summary Executions, perlindungan prosedural yang tercantum dalam Pasal 14 dan Pasal 15 ICCPR tidak dipatuhi; sedangkan dalam Arbitrary Executions sama sekali tidak terdapat proses hukum. 220
William A. Schabas, 1, op.cit, hal. 101.
221
Ibid.
222
Pasal 14(3) International Covenant on Civil and Political Rights.
Universitas Sumatera Utara
2. 3.
4.
5.
anak-anak menentukan sebaliknya, atau apabila persidangan tersebut berkenaan dengan perselisihan perkawinan atau perwalian anak-anak. Setiap orang yang dituduh melakukan kejahatan berhak dianggap tidak bersalah sampai kesalahannya dibuktikan menurut hukum. Dalam menentukan tindak pidana yang dituduhkan padanya, setiap orang berhak atas jaminan-jaminan minimal berikut ini, dalam persamaan yang penuh: a) Untuk diberitahukan secepatnya dan secara rinci dalam bahasa yang dapat dimengertinya, tentang sifat dan alasan tuduhan yang dikenakan terhadapnya; b) Untuk diberi waktu dan fasilitas yang memadai untuk mempersiapkan pembelaan dan berhubungan dengan pengacara yang dipilihnya sendiri; c) Untuk diadili tanpa penundaan yang tidak semestinya; d) Untuk diadili dengan kehadirannya, dan untuk membela diri secara langsung atau melalui pembela yang dipilihnya sendiri, untuk diberitahukan tentang hak ini bila ia tidak mempunyai pembela; dan untuk mendapatkan bantuan hukum demi kepentigan keadilan, dan tanpa membayar jika ia tidak memiliki dana yang cukup untuk membayarnya; e) Untuk memeriksa atau meminta diperiksanya saksi-saksi yang memberatkannya dan meminta dihadirkan dan diperiksanya saksisaksi yang meringankannya, dengan syarat-syarat yang sama dengan saksi-saksi yang memberatkannya; f) Untuk mendapatkan bantuan cuma-cuma dari penerjemah apabila ia tidak mengerti atau tidak dapat berbicara dalam bahasa yang digunakan di pengadilan; g) Untuk tidak dipaksa memberikan kesaksian yang memberatkan dirinya, atau dipaksa mengaku bersalah. Dalam kasus orang di bawah umur, prosedur yang dipakai harus mempertimbangkan usia mereka dan keinginan untuk meningkatkan rehabilitasi bagi mereka. Setiap orang yang dijatuhi hukuman berhak atas peninjauan kembali terhadap keputusannya atau hukumannya oleh pengadilan yang lebih tinggi, sesuai dengan hukum.
Perlu ditambahkan bahwa, selain syarat prosedural seperti pada Pasal 14 ICCPR di atas, pelanggaran terhadap Vienna Convention on Consular Relations misalnya, juga dapat menimbulkan isu hak asasi manusia yang sangat serius. Pasal 36 Ayat (1) Huruf (b), misalnya, yang menjamin hak untuk diberitahukan dan hak untuk memperoleh bantuan Konsuler bagi seorang warga negara asing.
Universitas Sumatera Utara
Pasal ini menjamin keadilan prosedural yang sangat penting dalam kasus hukuman mati. 223
4. Berbagai Standar Perlindungan Internasional terhadap Penerapan Hukuman Mati sebagai Hukum Kebiasaan Internasional Hukum kebiasaan internasional baru ada jika adanya bukti praktik negara yang dilakukan (aspek materi) secara berulang-ulang dan didampingi dengan opinio juris sive necessitates (aspek psikologis). Kaidah kebiasaan tersebut harus bisa dibuktikan bahwa “karena sifatnya, dan telah diterima secara luas dan umum, kaidah tersebut hampir tidak mungkin akan ditolak oleh setiap negara beradab.” 224 Ini sesuai dengan isi putusan Mahkamah Internasional dalam kasus Libya/Malta, bahwa muatan dari hukum internasional harus dilihat terutama dari praktik actual dan opinio juris dari negara-negara. 225 Dengan kurang dari setengah negara-negara di dunia yang masih memberlakukan hukuman mati. Masih terlalu cepat untuk berpendapat bahwa penghapusan hukuman mati telah memperoleh posisi norma kebiasaan dalam hukum internasional. Namun, ada argumen yang cukup kuat untuk menyatakan bahwa pembatasan-pembatasan dalam pemberlakuan hukuman mati yang tercantum dalam Pasal 6 ICCPR telah menjadi hukum kebiasaan internasional. 226 223
William A. Schabas, 1, op.cit, hal. 18.
224
J. G. Starke, 1, op.cit, hal. 49.
225
Malcolm N. Shaw, International Law, 5th ed., (United Kingdom: Cambridge University Press, 2003), hal. 70. 226
William A. Schabas, 2, op. cit.
Universitas Sumatera Utara
Keharusan bagi setiap negara untuk memastikan pelaksanaan hukuman mati didampingi procedural safeguards seperti yang dicantumkan dalam Pasal 14 ICCPR, jelas merupakan hukum kebiasaan internasional. Celaan universal terhadap summary execution dalam badan-badan hak asasi manusia di PBB menunjukkan adanya persamaan sikap dalam hal ini. Lebih-lebih lagi, Common Article 3 dalam Geneva Conventions, yang dianggap sebagai lowest common denominator of humane behavior, menyebutkan bahwa “the passing of sentences and the carrying out of executions without previous judgment pronounced by a regularly constituted court affording all the judicial guarantees which are recognized as indispensable by civilized peoples.” (penjatuhan dan pelaksanaan hukuman mati tanpa didahului keputusan yang dijatuhkan oleh suatu pengadilan yang dibentuk secara teratur, yang memberikan segenap jaminan peradilan yang diakui sebagai keharusan oleh bangsa-bangsa beradab). Mahkamah Internasional telah menyatakan bahwa Common Article 3 merupakan norma kebiasaan. 227 Pada dasarnya serangkaian traktat yang menetapkan aturan yang sama secara beruang-ulang dapat membentuk suatu prinsip hukum kebiasaan internasional yang maksudnya sama.
228
Selain itu, suatu kaidah kebiasaan
mengikat bagi semua negara, termasuk kebiasaan-kebiasaan yang tidak diterima oleh negara tersebut, asalkan perkembangannya tidak ditolak secara tegas dan terus-menerus. 229
227
Ibid.
228
J. G. Starke, 1, op.cit, hal. 55.
229
C. de Rover, op.cit, hal. 53.
Universitas Sumatera Utara
Dalam General Comment, Human Rights Committee menyatakan bahwa isi dari ICCPR yang juga merupakan hukum kebiasaan internasional tidak boleh dilakukan reservasi, norma hukum kebiasaan tersebut kemudian disebutkan sebagai berikut: Accordingly, a State may not reserve the right to engage in slavery, in torture, to subject persons to cruel, inhuman or degrading treatment of punishment, to arbitrarily deprive persons of their lives, to arbitrarily arrest and detain persons, to deny freedom of thought, conscience and religion, to presume a person guilty unless he proves his innocence, to execute pregnant women and children, to permit the advocacy of national, racial or religious hatred, to deny to persons of marriageable age the right to marry, or to deny to minorities the right to enjoy their own culture, profess their own religion or use their own language. And while reservations to particular clauses of Article 14 may be acceptable, a general reservation to a fair trial would not be. 230 Terjemahan dalam Bahasa Indonesia: Suatu negara tidak diperbolehkan untuk membuat reservasi atas haknya untuk terlibat dalam pembudakan, dalam penyiksaan, untuk memperlakukan atau menghukum seseorang secara kejam, tidak manusiawi dan merendahkan martabat, untuk mencabut hidup mereka secara sewenang-wenang, untuk menangkap dan menahan orang secara sewenang-wenang, untuk mengingkari kebebasan berpikir dan kebebasan beragama, untuk menduga seseorang bersalah sebelum dibuktikan ketidakbersalahannya, untuk mengeksekusi wanita hamil dan anak-anak, untuk memperbolehkan pembelaan atas kebencian berdasarkan kewarganegaraan, ras dan agama, untuk menyangkal hak nikah seseorang pada umur yang pantas untuk nikah, atau menyangkal hak minoritas untuk menikmati budaya mereka, menganut agama sendiri atau menggunakan bahasa sendiri. Dan walaupun reservasi terhadap klausula tertentu dari Pasal 14 dapat diterima, suatu reservasi secara umum terhadap proses peradilan yang adil merupakan suatu hal yang tidak dapat diterima. Berdasarkan pandangan Human Rights Committee di atas, maka dapat disimpulkan bahwa perampasan nyawa seseorang secara sewenang-wenang, mengeksekusi wanita dan anak-anak, ataupun membuat reservasi terhadap
230
William A. Schabas, 1, op.cit, hal. 83
Universitas Sumatera Utara
pengaturan peradilan yang adil merupakan bentuk-bentuk pelanggaran terhadap hukum kebiasaan internasional.
B. Penolakan Ekstradisi atas Kejahatan yang Diancam Hukuman Mati sebagai Instrumen untuk Mendorong Penghapusan Hukuman Mati Ancaman
hukuman
terhadap
kejahatan
yang
dapat
dimintakan
penyerahannya mungkin berbeda antara hukum di negara-peminta dengan hukum di negara-diminta. Perbedaan ancaman hukuman tersebut juga mempunyai arti penting dalam perumusan suatu perjanjian ekstradisi internasaional apabila kejahatan yang dijadikan sebagai dasar atau alasan untuk meminta penyerahan atas diri pelaku kejahatan yang diancam hukuman mati oleh negara-peminta sedangkan oleh hukum negara-diminta diancam dengan hukuman yang lebih ringan. 231 Dalam hal ini, ekstradisi sendiri telah menjadi instrumen penting bagi masyarakat internasional kaum abolisionis untuk mendorong penghapusan hukuman mati walau secara tidak langsung. Negara-negara yang masih mempertahankan hukuman mati sering harus menghadapi tekanan dari luar negeri yang menghimbau dilakukannya penghapusan. Salah satu contoh tekanan yang paling langsung misalnya adalah penolakan ekstradisi penjahat yang kemungkinan akan berhadapan dengan hukuman mati. 232
231
I Wayan Parthiana, 1, op.cit, hal . 99.
232
William A. Schabas, 2, op. cit.
Universitas Sumatera Utara
1. Pengertian Ekstradisi Secara Umum Tidak ada negara yang dapat menjalankan pengendalian fisik terhadap seorang individual dalam teritori negara lain. Di sisi lain, suatu negara dapat mengizinkan seorang warga negara asing untuk tinggal dalam teritorinya berdasarkan diskresi negara tersebut. Oleh sebab itu, sangat mungkin bagi seorang pelanggar hukum untuk melarikan diri dengan melewati batas negara. Dengan tidak melakukan kejahatan di negara dimana dia bersembunyi, pihak berwenang dalam negara tersebut tidak memiliki dasar yang valid untuk menangkapnya. Inilah situasi yang menyebabkan munculnya lembaga ekstradisi. 233 Menurut L. Oppenheim, istilah ekstradisi dapat didefinisikan sebagai berikut: “Extradition is the delivery of an accused or a convicted individual to the state on whose territory he is alleged to have committed, or to have been convicted of, a crime, by the state on whose territory the alleged criminal happens for the time to be”.234 (Ekstradisi adalah penyerahan seorang tertuduh oleh suatu negara diwilayah mana ia suatu waktu berada, kepada negara dimana ia disangka melakukan atau telah melakukan atau telah dihukum karena perbuatan kejahatan). Menurut J.G. Starke, istilah “ekstradisi” menunjuk kepada proses di mana berdasarkan traktat atau atas dasar resiprositas suatu negara menyerahkan kepada 233
N A Maryan Green, op. cit, hal. 105.
234
L. Oppenheim, ‘International Law - A Treatise’, 8th ed., (United Kingdom: Longmans, Green and Co Ltd., 1955), hal. 696
Universitas Sumatera Utara
negara lain atas permintaannya seseorang yang dituduh atau dihukum karena melakukan tindak kejahatan yang dilakukan terhadap hukum negara yang mengajukan permintaan, negara yang meminta ekstradisi memiliki kompetensi untuk mengadili tertuduh pelaku tindak pidana tersebut. 235 Sedangkan menurut I. Wayan Parthiana, definisi ekstradisi adalah sebagai berikut: Ekstradisi adalah penyerahan yang dilakukan secara formal baik berdasarkan perjanjian ekstradisi yang diadakan sebelumnya atau berdasarkan prinsip timbal balik, atas seseorang yang dituduh melakukan tindah pidana kejahatan (tersangka, tertuduh, terdakwa) atau atas seseorang yang telah dijatuhi hukuman atas kejahatan yang telah dilakukannya (terhukum, terpidana), oleh negara tempatnya melarikan diri atau berada atau bersembunyi, kepada negara yang memiliki yurisdiksi untuk mengadili atau menghukumnya atas permintaan dari negara tersebut, dengan tujuan untuk mengadili atau melaksanakan hukumannya. 236 Sementara menurut pendapat M. Budiarto, secara umum ekstradisi dapat diartikan suatu proses penyerahan seorang tersangka atau terpidana karena telah melakukan suatu kejahatan yang dilakukan secara formal oleh suatu negara kepada negara lain yang berwenang memeriksa dan mengadili penjahat tersebut.237 Gerakan hak asasi manusia, yang memiliki efek yang besar terhadap hukum internasional dan hubungan antarnegara setelah Perang Dunia II, telah menfokuskan diri pada isu ekstradisi dalam beberapa tahun ini. Pada saat yang 235
J. G. Starke, Pengantar Hukum Internasional 2, Edisi Ke-10, (Jakarta: Sinar Grafika, 2001), hal. 469-470. 236
I Wayan Parthiana, 1, op.cit, hal 15.
237
M. Budiarto, Masalah Ekstradisi dan Jaminan Perlindungan atas Hak-Hak Asasi Manusia, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1980), hal. 13.
Universitas Sumatera Utara
sama, kejahatan transnasional dan internasional juga terus meningkat. Tidak dapat dihindari, bahwa ada suatu ketegangan antara tuntutan dimasukkannya perlindungan hak asasi manusia dengan tuntutan kerja sama internasional yang lebih efektif dalam menekan kejahatan yang menjadi harapan dari masyarakat. Ini ditekankan oleh European Court of Human Rights dalam kasus Soering v. United Kingdom: “Inherent in the whole of the [European] Convention [on Human Rights] is a search for a fair balance between the demands of the general interest of the community and the requirements of the protection of the individual's fundamental rights. As movement about the world becomes easier and crime takes on a larger international dimension, it is increasingly in the interests of all nations that suspected offenders who flee abroad should be brought to justice. Conversely, the establishment of safe havens for fugitives would not only result in danger for the State obliged to harbour the protected person but also tend to undermine the foundations of extradition. These considerations must also be included among the factors to be taken into account in the interpretation and application of the notions of inhuman and degrading treatment or punishment in extradition cases.” 238 Terjemahan dalam Bahasa Indonesia : Yang melekat dalam seluruh konvensi ini adalah pencarian atas suatu keseimbangan yang adil antara tuntutan akan kepentingan komunitas dan kebutuhan akan perlindungan hak-hak fundamental seorang individual. Berhubung gerakan dalam dunia ini menjadi semakin mudah dan kejahatan juga dilakukan dalam dimensi internasional yang lebih luas, kepentingan setiap negara untuk mengadili orang yang diduga sebagai pelaku kejahatan yang melarikan diri ke luar negeri menjadi lebih besar. Sebaliknya, pendirian suatu tempat perlindungan bagi buronan tidak hanya akan mengakibatkan bahaya bagi negara yang melindungi orang tersebut tetapi juga cenderung akan merusak fondasi dari lembaga ekstradisi. Pertimbangan-pertimbangan ini harus dimasukkan dalam faktor-faktor yang dipertimbangkan dalam interpretasi dan penerapan pengertian perlakuan atau hukuman yang tidak manusiawi dan merendahkan martabat manusia dalam kasus-kasus ekstradisi. 238
John Dugard & Christine Van den Wyngaert, “Reconciling Extradition with Human Rights”, 92. A. J. I. L. 187, (1998).
Universitas Sumatera Utara
2. Penolakan Ekstradisi Atas Kejahatan yang Diancam Hukuman Mati Untuk mengatasi perbedaan ancaman hukuman antara negara-peminta dan negara-diminta, negara-negara melakukan kompromi dalam perjanjian ekstradisi. Apabila menurut hukum negara-diminta, kejahatan yang dijadikan sebagai dasar untuk meminta penyerahan tidak diancam hukuman mati, tetapi menurut hukum negara-peminta kejahatan tersebut diancam dengan hukuman mati. Penyerahan tetap dapat dilakukan melalui prosedur ekstradisi, tetapi dengan persyaratan bahwa negara-peminta tidak boleh menjatuhkan hukuman mati atas diri si pelaku kejahatan tersebut. 239 Dalam perjanjian-perjanjian ekstradisi yang merumuskan pengaturan kompromi tersebut pun terdapat beberapa perbedaan. Perbedaan mana terletak pada bagian penekanannya. Ada penekanan yang terletak pada hak-hak negaradiminta untuk menolak permintaan penyerahan, ada yang menekankan pada kewajiban negara-peminta untuk tidak menjatuhkan hukuman mati dan ada yang berusaha untuk memelihara atau menekankan pada keseimbangan antara keduanya itu. 240 Sejak abad ke-19, perjanjian-perjanjian ekstradisi mulai memuat klausula yang menyatakan bahwa negara anggota boleh menolak mengekstradisi terpidana kejahatan berat ke negara pemohon kecuali ada jaminan bahwa hukuman mati tidak akan dijatuhkan. Pengaturan seperti ini dapat dilacak kembali pada tahun
239
I Wayan Parthiana, 1, op.cit, hal. 105.
240
Ibid, hal. 106.
Universitas Sumatera Utara
1889 dalam South American Convention, dalam perjanjian ekstradisi tahun 1892 antara Inggris dan Portugis, dalam perjanjian ekstradisi tahun 1908 antara Amerika dan Portugis, dan dalam perjanjian tahun 1912 yang dipersiapkan oleh International Commission of Jurists. Klausula-klausula ini telah menjadi kalimat baku dalam hukum internasional dan dimuat dalam berbagai model perjanjian ekstradisi yang digunakan beberapa organisasi internasional termasuk PBB. 241 Dalam Model Perjanjian Ekstradisi dari PBB 1990, Pasal 4 butir d (Optional Grounds for Refusal) yang merupakan salah satu alasan yang bersifat fakultatif untuk menolak mengekstradisikan orang yang diminta, menyatakan sebagai berikut: “If the offence for which extradition is requested carries the death penatty under the law of the Requesting State, unless that State gives such assurance as the Requested State considers sufficient that the death penalty will not be imposed or, if imposed, will not be carried out.” 242 (Jika kejahatan yang terhadapnya dimintakan ekstradisi memuat hukuman mati di bawah hukum Negara-Peminta, kecuali bila Negara tersebut memberikan jaminan yang menurut Negara-Diminta telah cukup bahwa hukuman mati tidak akan dijatuhkan atau, jika dijatuhkan, tidak akan dilaksanakan). Selama beberapa dekade, negara-negara Uni Eropa telah menolak untuk mengekstradisi tersangka pidana untuk diperiksa di peradilan Amerika Serikat – 241
William A. Schabas, 2, op. cit.
242
I Wayan Parthiana, Ekstradisi Dalam Hukum Internasional Modern, (Bandung: Yrama Widya, 2009), hal. 296.
Universitas Sumatera Utara
bahkan tersangka yang diduga sebagai teroris - sebelum mendapatkan jaminan dari jaksa untuk meniadakan kemungkinan penjatuhan hukuman mati. 243 Seperti dalam kasus Jens Soering, yang telah ditangkap di Inggris di bawah extradition warrant atas permintaan Amerika Serikat. Dalam putusan yang dikeluarkan pada tanggal 7 Juli 1989, European Court of Human Rights menegaskan bahwa kondisi yang dihadapi berkaitan ke hukuman mati akan menimbulkan isu penghormatan larangan terhadap hukuman atau perlakuan yang tidak manusiawi dan kejam, dan memutuskan bahwa jika Inggris mengekstradisi Soering ke Virginia, akan melanggar European Convention on Human Rights. 244 Yang menarik dalam kasus ini adalah bahwa Pengadilan tersebut cenderung untuk berlandaskan putusannya pada death row phenomenon dan bukan pada hukuman mati adalah karena hukuman mati tidak dilarang dalam konvensi tersebut, sementara death row phenomenon sebagai hukuman atau perlakuan yang kejam, tidak manusiawi dan merendahkan martabat manusia dilarang keras. 245 Contoh lain misalnya dalam kasus Lei Ch’an Wa, yang diancam ekstradisi dari Macao ke China atas kejahatan yang dapat dijatuhi hukuman mati, yakni pengedaran narkotika. Wakil dari media China, yang secara tidak resmi mewakili kepentingan China di Macao, menyatakan bahwa hukuman mati tidak akan dijatuhkan, dan menyatakan bahwa ini sesuai dengan hukum ekstradisi Portugis yang pada saat itu berlaku di Macao. Tetapi menurut konstitusi Portugis, 243
Michael J. Kelly, “Aut Dedere Aut Judicare and the Death Penalty Extradition Prohibition”, 10 Int’l Legal Theory 53, (2004). 244
William A. Schabas, 2, op. cit.
245
Michael J. Kelly, op.cit.
Universitas Sumatera Utara
ekstradisi dilarang untuk kejahatan yang dapat dijatuhi hukuman mati di negarapeminta. Dengan kata lain, ekstradisi tersebut dilarang oleh konstitusi, walaupun telah memperoleh jaminan dari wakil China. 246 Pada bulan Juni tahun 1996, Mahkamah Konstitusi Italia mengambil tindakan hukum lebih jauh lagi untuk menolak ekstradisi atas capital crimes. Ia menolak untuk mengirim Pietro Venezia ke Amerika Serikat walaupun telah mendapat jaminan dari Jaksa Amerika bahwa hukuman mati tidak akan dijatuhkan. Jaminan ini diberikan oleh pemerintah Amerika Serikat pada tanggal 12 Januari 1996 dalam bentuk verbal, tetapi ini tetap saja tidak cukup bagi Mahkamah Konstitusi Italia. 247 Menurut putusan Mahkamah, larangan hukuman mati mempunyai posisi penting yang khusus. Hak untuk hidup adalah hak asasi manusia pertama yang tidak dapat dilanggar. Mengenai ketidakcukupan dari jaminan pihak Amerika Serikat untuk tidak menjatuhkan hukuman mati pada Pietro, Mahkamah Konstitusi Italia menjelaskan bahwa: “The extradition of a fugitive indicted for a crime for which capital punishment is provided by the law of the requesting state would violate Articles 2 and 27 of the Italian Constitution, regardless of the sufficiency of the assurances provided by the requesting state that the death penalty would not be imposed or, if imposed, would not be executed.” 248 Terjemahan dalam Bahasa Indonesia: “Ekstradisi seorang buronan yang dituduh atas suatu kejahatan yang mana hukuman mati diperbolehkan oleh hukum negara-peminta akan melanggar 246
William A. Schabas, 2, op. cit.
247
Ibid.
248
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
Pasal 2 dan 27 dari Konstitusi Italia, di luar kecukupan jaminan yang diberikan oleh negara-peminta bahwa hukuman mati tidak akan dijatuhkan atau, jika dijatuhkan, tidak akan dilaksanakan.” Lebih lanjut, pengadilan menyatakan bahwa jaminan yang diberikan oleh Amerika Serikat bahwa hukuman mati tidak akan dijatuhkan merupakan suatu jaminan yang tidak memadai, berhubung jaminan yang dibuat oleh bagian eksekutif tidak dapat mengikat kekuasaan judikatif. 249
3. Justifikasi Hak Suatu Negara untuk Menolak Ekstradisi. Menurut hukum internasional tidak ada kewajiban untuk menyerahkan juga tidak ada kewajiban untuk tidak menyerahkan. Karena alasan inilah, ekstradisi disebut oleh para penulis sebagai “kewajiban yang tidak sempurna”. Dalam hal tidak adanya traktat atau statuta, maka pemberian ekstradisi bergantung hanya pada asas resiprositas atau kepantasan (courtesy). 250 ICCPR tidak menyebutkan secara eksplisit tentang apakah suatu negara boleh mengekstradisi, mengusir atau mendeportasi seseorang yang diancam hukuman mati. Di lain sisi, dalam Convention Against Torture diatur bahwa “no State Party shall expel, return (“refouler”) or extradite a person to another State where there are substantial grounds for believing that he would be in danger of being subjected to torture.” (Tidak diperkenankan bagi Negara Pihak untuk mengusir, mengembalikan atau mengekstradisi seseorang ke negara lain dimana ada dasar yang kuat untuk percaya bahwa dia akan berhadapan dengan bahaya
249
John Dugard & Christine Van den Wyngaert, op.cit.
250
J. G. Starke, 2, op.cit, hal. 471.
Universitas Sumatera Utara
dikenakan penyiksaan). 251 Menurut pendapat Human Rights Committee, berhubung hukuman mati tidak bertentangan dengan ICCPR, maka tidak merupakan suatu pelanggaran untuk mengekstradisi seseorang yang dapat dikenakan hukuman mati di negara penerima. Walaupun badan ini setuju bahwa negara anggota harus berhati-hati atas kewajiban mereka untuk melindungi hak hidup dari individu-individu dalam yurisdiksi mereka saat menjalankan diskresi dalam memutuskan apakah individu tersebut akan dideportasi. Beberapa dissenting opinion telah mengkritik pendapat tersebut dengan mengembangkan argument bahwa suatu negara yang telah menghapus hukuman mati tidak bisa menerapkannya secara tidak langsung. 252 Tentu saja, pendirian Human Rights Committee untuk tidak menyalahkan ekstradisi tersebut tidak berarti badan ini mengambil posisi mendukung. Dalam berbagai kesempatan presentasi, Committee ini telah menyatakan apresiasi terhadap tindakan negara untuk menolak permintaan ekstradisi sebelum mendapat jaminan bahwa hukuman mati tidak akan dilaksanakan. 253 Kejahatan yang diancam dengan hukuman mati menurut hukum negara peminta tetapi tidak diancam dengan hukuman mati menurut hukum negara diminta, merupakan salah satu alasan untuk menolak permintaan negara peminta atas orang yang diminta, tetapi ini bukanlah merupakan alasan yang bersifat wajib, melainkan alasan yang bersifat fakultatif. Jadi, tidak merupakan keharusan 251
William A. Schabas, 1, op.cit, hal. 139; Pasal 3 Ayat (1) Convention Against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment. 252
Ibid.
253
Ibid, hal. 140.
Universitas Sumatera Utara
melainkan kebolehan. Negara-diminta boleh saja mengabulkan permintaan negara peminta, asalkan, negara-peminta memberikan jaminan yang dipandang cukup dan memadai sehingga benar-benar dapat meyakinkan negara diminta, bahwa orang yang diminta tidak akan diancam dan atau dijatuhi hukuman mati. Itulah sebabnya ketentuan tentang hukuman mati ini ditempatkan di dalam pasal Model Perjanjian Ekstradisi PBB dengan judul Optional Grounds for Refusal dan bukan Mandatory Grounds for Refusal. 254 Sebagai tambahan, penerapan standar yang lebih tinggi oleh hukum nasional dalam melindungi hak asasi manusia, termasuk ‘hak untuk hidup’ oleh Negara yang menjadi Pihak tetap dimungkinkan oleh Pasal 5 Ayat (2) ICCPR, yang berbunyi: “There shall be no restriction upon or derogation from any of the fundamental human rights recognized or existing in any State Party to the present Covenant pursuant to law, conventions, regulations or custom on the pretext that the present Covenant does not recognize such rights or that it recognizes them to a lesser extent.” Terjemahan dalam Bahasa Indonesia adalah sebagai berikut: “Tidak diperkenankan adanya suatu pembatasan atau pengurangan hakhak asasi manusia yang mendasar diakui atau yang ada di suatu Negara yang menjadi pihak dalam Kovenan ini menurut hukum, konvensi, peraturan atau kebiasaan, dengan alasan bahwa Kovenan ini tidak mengakui hak-hak tersebut, atau mengakuinya sebagai hak yang lebih rendah sifatnya.” 255 Pasal ini menjamin eksistensi hukum nasional negara untuk menerapkan hak asasi manusia dengan standar yang lebih tinggi daripada yang diatur dalam ICCPR. Hal ini sesuai dengan asas bahwa hukum internasional menerapkan 254
I Wayan Parthiana, 2, op. cit, hal. 296-297.
255
Pasal 5(2) International Covenant on Civil and Political Rights.
Universitas Sumatera Utara
standar kewajiban yang minimum terhadap negara dalam perlindungan hak asasi manusia. 256 Oleh sebab itu, walaupun larangan ekstradisi tidak disebutkan, hak negara untuk menolak ekstradisi telah diakui ICCPR dalam pasal tersebut. Hal ini senada dengan Model Perjanjian Ekstradisi PBB, bahwa negara-diminta “boleh” dan “berhak” menolak ekstradisi atas kejahatan yang diancam hukuman mati.
C. Penerapan Hukuman Mati di Masa Perang Pada dasarnya istilah “masa perang” dalam berbagai instrumen hukum hak asasi manusia internasional, apabila diinterpretasi secara luas dapat mencakup konflik bersenjata internal atau perang saudara. Tetapi ini juga terdapat perbedaan pendapat, Komentator Protocol No. 6 to the European Convention on Human Rights, telah menyarankan bahwa istilah tersebut tidak seharusnya mencakup perang saudara, apabila “perang saudara” menjadi pertimbangan penyusun Protocol tersebut, maka istilah itu akan disebutkan secara eksplisit. Hukum internasional secara umum menggunakan istilah “perang” hanya saat berkaitan dengan konflik bersenjata internasional. 257 Menurut Appeal Chamber of the International Criminal Tribunal for the former Yugoslavia, istilah “armed conflict” ataupun konflik bersenjata terjadi saat ada penyelesaian masalah dengan angkatan bersenjata antara negara atau penggunaan kekerasan bersenjata yang berkepanjangan antara pemerintah dan kelompok bersenjata terorganisasi atau antara kelompok-kelompok dalam suatu
256
Todung Mulya Lubis dan Alexander Lay, op.cit, hal. 43.
257
William A. Schabas, 1, op.cit, hal. 183.
Universitas Sumatera Utara
negara. 258 Kebanyakan produk hukum nasional menerapkan aturan yang berbeda mengenai pemberlakuan hukuman mati di masa perang; lebih sering dijatuhkan dan tidak terlalu mempedulikan procedural safeguards. Perbedaan ini juga diakui dalam beberapa Protokol Abolisionis. Dalam Protocol No. 6 to the European Convention on Human Rights, eksekusi di masa perang tidak masuk dalam ruang lingkup pengaturannya. Protokol tersebut melarang hukuman mati hanya di masa damai, dan memperbolehkan negara membuat peraturan sendiri tentang hukuman mati di masa perang berdasarkan bunyi Pasal 2, “a state may make provision in its law for the death penalty in respect of acts committed in time of war or of imminent threat of war.” 259 Kompromi pada saat perancangan dari traktat ini mencerminkan fakta bahwa kebanyakan negara Eropa baru menghapus hukuman mati di masa damai. Tetapi pada saat ini, ada kecenderungan bagi negara-negara tersebut untuk menghapus hukuman mati secara menyeluruh. 260 ICCPR yang memungkinkan hukuman mati diberlakukan pada saat damai mengambil langkah yang konsisten walau dalam masa perang. Pasal 4 ayat (1) dari ICCPR menyebutkan: “In time of public emergency which threatens the life of the nation and the existence of which is officially proclaimed, the States Parties to the present Covenant may take measures derogating from their obligations under the 258
Ibid, hal. 184.
259
Pasal 2 Protocol No. 6 to the 1950 European Convention for the Protection of Human Rights and Fundamental Freedoms. 260
William A. Schabas, 2, op. cit.
Universitas Sumatera Utara
present Covenant to the extent strictly required by the exigencies of the situation, provided that such measures are not inconsistent with their other obligations under international law and do not involve discrimination solely on the ground of race, colour, sex, language, religion or social origin.” Terjemahan dalam Bahasa Indonesia: “Dalam keadaan darurat yang mengancam kehidupan bangsa dan keberadaannya, yang telah diumumkan secara resmi, Negara-negara Pihak Kovenan ini dapat mengambil langkah-langkah yang mengurangi kewajiban-kewajiban mereka berdasarkan Kovenan ini, sejauh memang sangat diperlukan dalam situasi darurat tersebut, sepanjang langkahlangkah tersebut tidak bertentangan dengan kewajiban-kewajiban lainnya berdasarkan hukum internasional dan tidak mengandung diskriminasi semata-mata berdasarkan atas ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama atau asal-usul sosial.” 261 Dalam ayat ini ICCPR memperbolehkan negara anggota untuk mengambil langkah yang berbeda, yang mengurangi kewajiban mereka di bawah konvensi ini untuk menangani masalah hak sipil dan politik di masa darurat. Sekilas seperti ICCPR memberi ruang yang cukup luas untuk mengambil pendekatan berbeda di masa perang, tetapi hal ini tidak dapat diterapkan pada semua jenis hak asasi. ICCPR kemudian menegaskan dalam ayat (2) di pasal yang sama, bahwa “no derogation from articles 6, 7, 8 (paragraphs I and 2), 11, 15, 16 and 18 may be made under this provision.” Mengenai hak untuk hidup dan hukuman mati yang diatur dalam pasal 6 ICCPR, tidak diizinkan adanya pengurangan kewajiban walaupun negara dalam keadaan darurat sekalipun. 262 Hak-hak asasi yang tidak dapat dikurangi kewajiban untuk menerapkannya ini dikenal dengan istilah non-
261
Pasal 4 Ayat (1) International Covenant on Civil and Political Rights.
262
Pasal 4 (1) dan (2) International Covenant on Civil and Political Rights.
Universitas Sumatera Utara
derogable rights. 263 Hal ini ditegaskan kembali oleh United Nations Human Rights Committee bahwa hak untuk hidup (right to life) adalah the supreme right yang pengurangan kewajiban (derogation) terhadapnya tidak diizinkan, dalam keadaan darurat sekalipun. 264 Second Optional Protocol dari ICCPR mengambil pendekatan yang berbeda, melarang hukuman mati dalam segala keadaan, tetapi memperbolehkan negara untuk membuat reservasi apabila mereka ingin mempertahankan kemungkinan memberlakukan hukuman mati di masa perang untuk kejahatan berat yang bersifat militer. 265 Pendekatan ini walaupun berbeda namun tetap dalam koridor ICCPR karena ICCPR pada dasarnya tidak melarang hukuman mati. Hukum humaniter turut mencatat pengaturan spesifik mengenai hukuman mati di masa perang, seperti Third Geneva Convention tahun 1949. Menurut konvensi ini, tawanan perang tunduk pada hukum, pengaturan dan perintah dari pihak yang menahannya. Apabila hukuman mati berlaku dalam hukum pihak yang menahannya, maka seorang tawanan perang bisa diancam dijatuhkannya hukuman mati. 266 Sedangkan dalam Fourth Geneva Convention yang mengatur tentang 263
Todung Mulya Lubis dan Alexander Lay, op.cit, hal. 31.
264
Ibid.
265
Pasal 2 Second Optional Protocol to the International Covenant on Civil and Political Rights, aiming at the abolition of the death penalty; William A. Schabas, 2, op. cit. 266
William A. Schabas, Ibid.
Universitas Sumatera Utara
okupasi atau pendudukan (sebagai hasil rancangan setelah penyalahgunaan hukuman mati secara besar-besaran oleh Nazi), konvensi ini melarang eksekusi terhadap orang yang melakukan kejahataan pada saat di bawah umur 18 tahun, dan menerapkan penangguhan 6 bulan untuk eksekusi setelah dijatuhi hukuman. Di dalamnya juga disebutkan bahwa pihak yang melakukan pendudukan tidak boleh menerapkan hukuman mati apabila hukuman tersebut telah dihapus oleh negara yang diduduki sebelum terjadinya konflik.
267
267
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan 1. PBB berperan penting dalam pembentukan hukum internasional yang berpengaruh terhadap status hukuman mati. Sejak tahun 1959 telah ada suara yang menghimbau PBB untuk memperhatikan isu hukuman mati, dan bersamaan dengan dikeluarkannya UDHR serta berbagai instrumen hukum hak asasi manusia internasional, PBB mulai terlibat dalam upaya yang bertujuan untuk membatasi penggunaan hukuman mati, yang mengharapkan agar pada akhirnya dapat mewujudkan penghapusan total. Berbagai badan dan organ PBB telah mengeluarkan resolusi-resolusi, di antaranya seperti Annex Resolusi Dewan Ekonomi dan Sosial yang memuat Safeguards Guaranteeing Protection of the Rights of Those Facing the Death Penalty, Resolusi Commission on Human Rights, dan Resolusi Majelis Umum tentang Moratorium on the use of death penalty, dan lain-lain. Resolusi-resolusi ini, walaupun tidak bersifat mengikat, tetap merupakan sumber hukum internasional berdasarkan keterimaan dari para negara anggota serta dapat memberi sumbangsih terhadap pembentukan hukum kebiasaan internasional. 2. Masyarakat internasional cenderung bergerak ke arah penghapusan hukuman mati. Telah ada perkembangan pesat dalam arus penghapusan hukuman mati. Selain berbagai pengadilan pidana internasional telah
Universitas Sumatera Utara
menghapus hukuman mati dalam statutanya, negara-negara yang menghapus hukuman mati baik secara de jure maupun de facto juga telah meningkat drastis. Instrumen hukum internasional yang berkaitan dengan hukuman mati pada dasarnya berfokus pada dua hak, yakni hak untuk hidup serta perlindungan daari hukuman atau perlakuan yang kejam, tidak manusiawi dan merendahkan martabat manusia. Instrumen-instrumen hukum hak asasi manusia ini memang tidak melarang hukuman mati dan mengakuinya sebagai pengecualian dari hak untuk hidup, serta hukuman itu sendiri tidak merupakan hukuman yang kejam, tidak manusiawi dan merendahkan martabat manusia, tetapi konvensi-konvensi tersebut juga telah menunjukkan konsistensi dalam tujuan implisit yaitu mewujudkan penghapusan total di kemudian hari. Selain itu, berbagai additional protocols telah membuka peluang bagi negara abolisionis untuk berkomitmen
penuh
atas
penghapusan
hukuman
mati.
Melihat
perkembangan tren penghapusan hukuman mati serta sifat dinamis dari hukum internasional, tidak tertutup kemungkinan bagi penghapusan hukuman
mati
yang
belum
mendapat
status
hukum
kebiasaan
internasional, untuk menjadi norma internasional yang diterima secara umum di masa yang akan datang. 3. Sebagai respons terhadap hukuman mati yang belum terhapus total, masyarakat
internasional
yang
mendukung
penghapusan
telah
mengembangkan sejumlah norma dan upaya perlindungan hak asasi manusia dalam penerapan hukuman mati oleh suatu negara. Selain norma
Universitas Sumatera Utara
perlindungan yang tercantum dalam Safeguards Guaranteeing Protection of the Rights of Those Facing the Death Penalty oleh Dewan Ekonomi dan Sosial, hukum internasional juga melarang perampasan nyawa secara sewenang-wenang dan tidak memenuhi syarat pengadilan yang kompeten (procedural
safeguards)
sesuai
dengan
ICCPR.
Standar-standar
perlindungan ini telah menjadi suatu hukum kebiasaan internasional. Selain itu, demi mendorong penghapusan hukuman mati, hukum internasional
memperbolehkan
negara
abolisionis
untuk
menolak
permintaan ekstradisi atas kejahatan yang dapat diancam hukuman mati, kecuali negara-peminta memberi jaminan bahwa hukuman mati tidak akan dijatuhkan. Dalam keadaan perang, umumnya diperbolehkan adanya kelonggaran dalam penerapan hukuman mati. Tetapi perlindunganperlindungan yang dasar tetap harus dipatuhi, seperti pembatasan umur dan kondisi penerapan hukuman mati sesuai dengan hukum humaniter internasional.
B. Saran 1. Agar instrumen-instrumen hukum internasional bisa mengambil posisi yang lebih jelas dalam hal pengaturan tentang hukuman mati. Protokolprotokol yang masih bersifat additional ataupun optional, setelah mendapat dukungan yang lebih besar dari masyarakat internasional hendaknya dapat diubah menjadi protokol yang bersifat mandatory ataupun amending. Bersamaan dengan Resolusi Majelis Umum PBB dan
Universitas Sumatera Utara
organ-organ lainnya, diharapkan kelak penghapusan hukuman mati dapat menjadi suatu hukum kebiasaan internasional yang mengikat semua negara. 2. Kepada negara-negara yang masih mempertahankan hukuman mati agar memperhatikan ketentuan-ketentuan internasional yang berlaku seperti safeguards demi menjaga hak asasi manusia pelaku kejahatan, seperti hak dalam peradilan, orang-orang tertentu yang tidak dapat dijatuhkan hukuman mati dan lain-lain, serta berhati-hati dalam menyusun daftar kejahatan yang dapat dijatuhi hukuman mati; kepada negara-negara yang telah menghapus hukuman mati hendaknya tidak memberlakukan kembali hukuman mati dalam sistem hukumnya. 3. Kepada organ-organ PBB yang bergerak dalam bidang hak asasi manusia, agar melakukan studi yang lebih menyeluruh mengenai perkembangan penerapan dan penghapusan hukuman mati oleh negara-negara di dunia, baik dari segi produk hukum maupun putusan yuridis, dan membuat laporan yang dapat menjadi masukan dan penentu perkembangan hukum internasional dalam bidang tersebut. Pemantauan tersebut juga bermaksud untuk mencegah atau menindaklanjuti pelanggaran hak asasi manusia oleh suatu negara dengan merampas hak untuk hidup secara sewenang-wenang ataupun mengabaikan procedural safeguards.
Universitas Sumatera Utara