INDIKATOR KUALITAS REMAJA DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA
IGN. SUKSMADI SUTOYO
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Indikator Kualitas Remaja dan Faktor-faktor yang Mempengaruhinya adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum pernah diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Bogor, Februari 2010 Ign. Suksmadi Sutoyo NIM P21600006
ABSTRACT IGN. SUKSMADI SUTOYO. Study of Teenager Quality Indicators and Factors Affecting Teenager Quality. Under direction of UJANG SUMARWAN, ALI KHOMSAN, and HARTOYO. This research was intended to analyze indicators of teenager quality and factors affecting the teenager quality (TQ). The study developed teenager quality index (TQI) and analyze the effect of TQI to their academic achievement. TQI consist of three indicators, such as body mass index (physical dimension), intelligent quotient, and emotional intelligent (non physical dimension). The study employed a cross sectional design survey involving 300 junior high school students public and private schools at five purposively selected subdistricts of Banyumas. The result indicates that about 21.0% of students considered to have a low and very low index of TQI. Meanwhile, the proportion of students, who have high index is about 7.7%. The study shows that the home and school environments as well as family monetary investment on children have a positive and significant influence on the quality of teenagers. Furthermore, the quality of students and the factors such as school condition, parent control on student time, student activity involvement, family monetary investment, year of schooling of mother, and student expectation to the teacher have significant influence on student academic achievement. Keywords: teenager quality, academic achievement, home environment, school environment, junior high school, intelligent quotient, emotional intelligent, nutritional status, education investment.
RINGKASAN IGN SUKSMADI SUTOYO. Indikator Kualitas Remaja dan Faktor-faktor yang Mempengaruhinya. Dibimbing oleh UJANG SUMARWAN, ALI KHOMSAN, dan HARTOYO.
Kualitas anak remaja merupakan satu kesatuan faktor fisik dan nonfisik. Faktor fisik dicerminkan dengan status gizi seseorang, sementara faktor nonfisik dicerminkan dari segi kecerdasan emosi dan kecerdasan intelektual. Kondisi kualitas anak remaja tersebut merupakan kontribusi dari faktor lingkungan keluarga dan sekolah. Kualitas remaja ini menjadi penting dalam dunia pendidikan, karena kualitas anak remaja tersebut ternyata berperan dalam peningkatan prestasi akademik, selain faktor lingkungan sekolah dan keluarga. Kualitas anak remaja ini menjadi penting sebagai pertanda keberhasilan pembangunan di bidang pendidikan. Tujuan penelitian ini adalah mengidentifikasi indikator kualitas remaja, membuat indeks kualitas remaja, menganalisis faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kualitas remaja, dan menganalisis faktor-faktor yang berpengaruh terhadap prestasi akademik. Penelitian dilaksanakan di Kabupaten Banyumas dengan mengambil 5 wilayah kecamatan. Pemilihan kecamatan dilakukan secara purposif, yaitu Kecamatan Sumpiuh, Kecamatan Rawalo, Kecamatan Ajibarang, Kecamatan Baturaden, dan Purwokerto. Sasaran penelitian adalah siswa (anak) dan keluarga. Dari setiap kecamatan dipilih secara purposif dua sekolah yaitu satu sekolah negeri dan satu sekolah swasta. Dari setiap sekolah dipilih secara acak 30 siswa kelas dua, sehingga total sampel adalah 300 orang. Pengambilan data dilakukan dengan cara wawancara dan observasi dengan siswa dan wawancara dengan ibunya. Jenis data yang diambil meliputi kualitas remaja mencakup nilai IQ siswa, serta tinggi dan berat badan siswa, dan nilai test (prestasi akademik), absensi dan NEM-SD, lingkungan keluarga (home environment), lingkungan sekolah, morbiditas. Data keluarga meliputi karakteristik demografi orang tua, sikap gizi ibu, struktur keluarga, sosial ekonomi keluarga, pengeluaran pendidikan anak, nilai anak, serta kepemilikan aset. Data diolah dengan SPSS 11.5 mencakup analisis diskriptif, uji beda, dan regresi. Adapun pembuatan indeks kualitas remaja dengan microsoft excell. Hasil penelitian menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan antara kelompok siswa sekolah negeri dan sekolah swasta dalam hal nilai ebtanas murni (NEM) SD, kecerdasan intelektual(IQ), kecerdasan emosi (EI), lingkungan sekolah, kondisi sekolah, aktivitas siswa, harapan siswa terhadap guru, lama pendidikan ayah, lama pendidikan ibu, pendapatan, kualitas remaja, prestasi akademis remaja. Perbedaan tersebut menunjukkan bahwa sekolah negeri cenderung lebih baik dibandingkan dengan sekolah swasta. Ada sekitar 21% siswa SMP yang tergolong memiliki indeks kualitas remaja yang rendah, yaitu mereka yang umumnya memiliki skor kecerdasan intelektual dan emosional yang relatif rendah, dan 7.7% tergolong memiliki indeks kualitas yang tinggi. Hasil analisa regresi menunjukkan hasil bahwa
kualitas remaja dipengaruhi oleh lingkungan keluarga dan sekolah, serta investasi pendidikan. Hal ini berarti semakin baik lingkungan keluarga dan sekolah, serta semakin besar keluarga mengalokasikan pendapatannya untuk pendidikan anak, maka besar kemungkinan anak remajanya memiliki kualitas yang lebih baik. Lebih lanjut, kualitas remaja, kondisi sekolah, aktivitas siswa, lama pendidikan ibu, investasi pendidikan dan harapan siswa terhadap guru akan berpengaruh nyata terhadap prestasi belajar remaja. Berdasarkan hasil penelitian ini disarankan untuk memperhatikan kualitas lingkungan keluarga dan sekolah agar tercipta remaja yang berkualitas. Keluarga harus senantiasa melakukan investasi pendidikan anaknya, yaitu dengan mengalokasikan pendapatannya untuk pendidikan anaknya, agar anaknya bisa lebih berkualitas dan menunjukkan prestasi yang lebih baik. Pemerintah harus lebih memperhatikan kualitas sekolah swasta agar tidak terjadi perbedaan kualitas remaja yang besar. Pemerintah harus lebih fokus untuk membantu keluarga miskin agar anaknya bisa memperoleh kesempatan untuk meningkatkan kualitasnya. Untuk mendukung peningkatan prestasi akademik disarankan perlunya upaya peningkatan kemampuan para guru sesuai dengan kompetensinya dan penyediaan fasilitas untuk aktivitas remaja.
Kata kunci: kualitas remaja, prestasi akademik, lingkungan keluarga, lingkungan sekolah, sekolah menengah pertama, kecerdasan intelektual, kecerdasan emosional, status gizi, investasi pendidikan.
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2010 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
INDIKATOR KUALITAS REMAJA DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA
IGN. SUKSMADI SUTOYO
Disertasi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Ilmu Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga Sub Program Studi Ilmu Keluarga dan Konsumen
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010
Judul Penelitian
: Indikator Kualitas Mempengaruhinya
Remaja
dan
Faktor-faktor
Nama
: Ign. Suksmadi Sutoyo
Nomor Pokok
: P21600006
Program Studi
: Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga
yang
Disetujui Komisi Pembimbing
Prof.Dr.Ir. Ujang Sumarwan, M.Sc. Ketua
Dr.Ir. Hartoyo, M.Sc Anggota
Prof.Dr.Ir. Ali Khomsan, M.S. Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga
drh.M. Rizal M Damanik, M.Rep.Sc., Ph.D.
Tanggal Ujian: 22 Februari 2010
Dekan Program Pasca Sarjana
Prof.Dr.Ir. Khairil A Notodiputro, MS.
Tanggal Lulus:
PRAKATA
Saya mengucapkan puji syukur kepada Allah Yang Maha Kuasa, karena atas berkat dan rahmat dari Nya maka saya dapat menyelesaikan disertasi ini. Disertasi ini merupakan karya yang dapat diwujudkan atas bimbingan para dosen pembimbing dan para penguji luar komisi yang telah mengarahkan dan memperbaiki segala kekurangan yang ada pada disertasi ini. Oleh karena itu saya mengucapkan terima kasih serta penghargaan setinggi-tingginya kepada: 1. Prof.Dr.Ir. Ujang Sumarwan, MS selaku ketua komisi pembimbing atas kesabaran, bimbingan dan saran mulai penulisan proposal hingga penulisan disertasi ini. 2. Prof.Dr.Ir. Ali Khomsan, MS selaku anggota komisi pembimbing yang telah membimbing penulis dengan penuh kesabaran, perhatian, serta saran demi kesempurnaan disertasi ini. 3. Dr.Ir. Hartoyo, MSc selaku anggota komisi pembimbing yang telah membimbing, mengarahkan dengan penuh perhatian serta kesabaran demi kesempurnaan disertasi ini. 4. Dr.Ir. Diah K Pranadji, MS dan Dr.Ir. Euis Sunarti, MS selaku penguji pada sidang ujian tertutup yang telah memberikan masukan untuk penyempurnaan disertasi ini. 5. Prof. Dr. Ir. Hidayat Syarief, MS selaku penguji luar pada sidang ujian terbuka yang telah memberikan arahan dan masukan untuk perbaikan disertasi ini. 6. Dr. Ir. Taufik Hanafi, MUP selaku penguji luar pada sidang ujian terbuka yang telah memberikan saran-saran untuk perbaikan disertasi ini. Disertasi ini dapat diwujudkan berkat kerja sama yang baik antara penulis dengan para siswa Sekolah Menengah Pertama dan para orang tua siswa di Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah. Kerja sama yang baik tersebut tidak dapat terwujud tanpa kesediaan mereka untuk menjadi sumber informasi penelitian. Oleh karena itu saya mengucapkan terimakasih atas ketulusan, kerjasama yang baik kepada para siswa dan orang tua siswa.
Disertasi ini ini dapat diwujudkan berkat dukungan dari para rekan kerja dan mahasiswa yang bersedia membantu saya melakukan penelitian di lapangan. Mereka bekerja dengan telaten, teliti, dan bersemangat. Atas dukungan mereka saya mengucapkan terimakasih. Disertasi ini juga tidak akan dapat diwujudkan tanpa dukungan lahir dan batin dari istriku tercinta Yashinta Maria Sri Eni dan anak-anakku Therezita Sahita Laksmi dan Elfrida Sahita Tiksna. Mereka telah mengorbankan waktu untuk kebersamaan dalam keluarga demi studi saya. Kepada ayah Ag. Sutoyo (alm.) dan ibu Y. Sudalmirah yang telah merawat, membesarkan, mendidik saya dengan penuh kasih sayang sehingga saya mendapatkan kemampuan untuk mandiri. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada Dekan, Pembantu Dekan, rekan kerja Program Studi Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial (FISIP) Universitas Jenderal Soedirman, yang senantiasa memberikan perhatian
dan dorongan
sehingga saya dapat menyelesaikan studi ini.
Bogor, Februari 2010
Ign. Suksmadi Sutoyo
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan pada tanggal 1 Februari 1961 di Yogyakarta, Jawa Tengah sebagai anak pertama dari empat bersaudara dari pasangan Ag. Sutoyo (alm.) dan Y. Sudalmirah (alm.). Penulis menikah dengan Yashinta Maria Sri Eni dan dikarunia dua orang putri yaitu Therezita Sahita Laksmi dan Efrida Sahita Tiksna. Penulis menyelesaikan pendidikan Sarjana (S1) di Jurusan Sosiologi, Universitas Gadjah Mada pada tahun 1988. Penulis menyelesaikan pendidikan Pascasarjana (S2) pada jurusan Sosiologi, Universitas Indonesia pada tahun 1997. Penulis menyelesaikan Program Doktor (S3) pada Program Studi Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga (GMSK) Insitut Pertanian Bogor pada tahun 2010. Penulis bekerja sebagai staf pengajar di Program Studi Sosiologi sejak tahun 1989 hingga saat ini. Program Studi Sosiologi saat itu (1989) masih menginduk pada Fakultas Hukum dan tahun 1993 berstatus sebagai Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto, Jawa Tengah
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL …………………………………………………………. DAFTAR GAMBAR ……………………………………………………… DAFTAR LAMPIRAN……………………………………………………. PENDAHULUAN…………………………………………………………. Latar Belakang Masalah………………………………………………….. Permasalahan……………………………………………………………... Tujuan Penelitian…………………………………………………………. Manfaat Penelitian…………………………………………………...........
xiv xvii xviii 1 1 5 6 6
TINJAUAN PUSTAKA ……………………………………………........... Pengertian dan Fungsi Keluarga…………………………………………. Tnjauan Teori Ekonomi Keluarga……………………………………….. Tinjauan Paradigma Pendidikan…………………………………………. Tinjauan Sumberdaya Keluarga…………………………………………. Kajian Empiris Kualitas Anak…………………………………………… Kajian Indikator Kualitas Anak pada Penelitian Terdahulu…………. Faktor-faktor Berpengaruh terhadap Kualitas Anak …………………….
7 7 11 25 29 31 31 38
KERANGKA PEMIKIRAN ……………………………………………… Hipotesa…………………………………………………………..............
82 87
METODE PENELITIAN …………………………………………………. Desain, Tempat, dan Waktu ……………………………………………... Populasi dan Contoh …………………………………………………….. Teknik Penarikan Contoh ………………………………………............... Jenis dan Cara Pengambilan Data ………………………………………. Definisi Operasional ……………………………………………............... Metode Pengukuruan Peubah ……………………………………………. Validasi dan Reliabilitas Instrumen ……………………………………… Pengolahan Data dan Analisis Data …………………………………….. Keterbatasan Penelitian……………………………………………………
88 88 88 89 92 93 96 105 108 115
HASIL DAN PEMBAHASAN……………………………………………. Keadaan Umum Lokasi Penelitian ………………..……………………… Gambaran Umum Kabupaten Banyumas menurut Letak Geografi, Luas Wilayah, dan Topografi ……………………………...…………………… Gambaran Kependudukan di Kabupaten Banyumas …………………….. Karakteristik Contoh berdasarkan Sekolah Negeri dan Swasta………….. Karakteristik Keluarga Contoh ………………………………………...… Indeks Kualitas Remaja…………………………………………………... Analisis Regresi Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap Pengeluaran Pendidikan untuk Contoh ……………………………………………… Analisis Regresi Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap Waktu untuk Mendampingi Anak Belajar ……………………………………………
117 117 117 117 124 160 187 189 193
Analisis Regresi Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap Lingkungan Keluarga……………………………………………………………… Analisis Regresi Faktor-faktor yang berpengaruh terhdap Kecerdasan Emosi Remaja …………………………………………………………. Analisis Regresi Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap Kecerdasan Intelektual Remaja ……………………………………………………. Analisis Regresi Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap Status Gizi Remaja ………………………………………………………………… Analisis Regresi Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap Kualitas Remaja…………………………………………………………………. Analisis Regresi Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap Prestasi Akademik Remaja. ……………………………………………..............
196 200 204 209 214 220
KESIMPULAN DAN SARAN …………………………………………… Kesimpulan ………………………………………………………………. Saran ……………………………………………………………………...
231 231 235
DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………………..
237
LAMPIRAN………………………………………………………………..
253
DAFTAR TABEL Halaman 1 2 3 4
Klasifikasi IQ…………………………………………………………. Populasi siswa sekolah contoh berdasarkan jenis kelamin ................... Peubah, skala, responden, alat dan cara pengukuran ………………… Kategori status gizi remaja laki-laki berdasarkan IMT dan umur dengan Persentil ……………………………………………………… 5 Kategori status gizi remaja perempuan berdasarkan IMT dan umur dengan Persentil ……………………………………………………… 6 Kategori status gizi remaja.............................................................................. 7 Jenis data, peubah dan skoring yang digunakan ............................................. 8 Variabel yang dioperasikan dalam penelitian………………………… 9 Jarak antara Kota Kabupaten Banyumas dengan kota-kota di sekitarnya……………………………………………………………… 10 Jumlah penduduk menurut jenis kelamin keadaan tahun 2000 – 2005.. 11 Jumlah SMP negeri dan swasta di Kabupaten Banyumas tahun 2005……………………………………………………………………. 12 Jenjang pendidikan penduduk di 5 Kecamatan Kabupaten Banyumas... 13 Jumlah sekolah dan siswa sekolah dasar, sekolah menengah pertama, dan sekolah menengah atas 2001 – 2005 di Kabupaten Banyumas …… 14 Penduduk menurut jenis pekerjaan (usia 10 tahun ke atas) …………... 15 Sebaran contoh berdasarkan jenis kelamin ………………………........ 16 Rata-rata dan persentasi sebaran contoh berdasarkan alokasi waktu (jam/hari) ……………………………………………………………… 17 Sebaran contoh berdasarkan pengetahuan gizi remaja ………………… 18 Sebaran contoh berdasarkan sikap gizi remaja ……………………….. 19 Sebaran contoh berdasarkan lingkungan sekolah ……………….......... 20 Sebaran contoh berdasarkan aktivitas siswa …………………….......... 21 Sebaran contoh berdasarkan kondisi sekolah …………………………. 22 Sebaran contoh berdasarkan lingkungan keluarga ……………………. 23 Sebaran contoh berdasarkan pemanfaatan waktu …………………….. 24 Sebaran contoh berdasarkan ikatan keluarga …………………………. 25 Sebaran contoh berdasarkan kategori IQ ……………………………... 26 Sebaran contoh berdasarkan kriteria IMT/U .......................................... 27 Kategori status gizi remaja berdasarkan IMT/U dan jenis kelamin……. 28 Kategori normal dan tidak normal status gizi remaja berdasarkan IMT/U …………………………………………………………………. 29 Kategori normal dan tidak normal status gizi remaja berdasarkan IMT/U dan jenis kelamin ……………………………………………... 30 Kategori status gizi remaja berdasarkan IMT/U dan umur remaja…… 31 Kategori status gizi remaja berdasarkan IMT/U dan umur remaja ……. 32 Sebaran contoh berdasarkan kecerdasan emosi …………………......... 33 Sebaran contoh berdasarkan mengenali emosi diri ................................ 34 Sebaran contoh berdasarkan kendali diri ……………………………... 35 Sebaran contoh berdasarkan motivasi diri …………………………….
80 88 91 100 101 102 103 107 117 118 119 120 121 123 124 125 127 128 129 131 132 134 135 136 138 140 141 142 142 142 143 144 145 145 146
36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50 51 52 53 54 55 56 57 58 59 60 61 62 63 64 65 66 67 68 69 70 71 72 73 74 75
Sebaran contoh berdasarkan empati …………………………………... Sebaran contoh berdasarkan kecakapan sosial ………………………... Sebaran contoh berdasarkan harapan siswa terhadap guru .................... Frekuensi konsumsi pangan dalam mingguan ………………………... Frekuensi konsumsi pangan dalam mingguan sekolah negeri dan swasta …………………………………………………………………. Uji beda Aabsensi, NEM-SD, nilai pelajaran SMP negeri dan swasta .. Absensi siswa berdasarkan status sekolah ……………………………. NEM SD berdasarkan status sekolah ……………………………......... Nilai Rata-rata (6 mata pelajaran) berdasarkan status sekolah …......... Nilai PPKN berdasarkan status sekolah ................................................. Nilai IPS berdasarkan status sekolah …………………………………. Nilai Bahasa Inggris berdasarkan status sekolah ……………………. Nilai Matematika berdasarkan status sekolah ....................................... Nilai Bahasa Indonesia berdasarkan status sekolah ………………….. Nilai IPA berdasarkan status sekolah ………………………………… Sebaran keluarga contoh berdasarkan kategori jumlah anggota keluarga ……………………………………………………………….. Sebaran keluarga contoh berdasarkan struktur keluarga ……………… Sebaran keluarga contoh berdasarkan kategori usia ayah …….............. Sebaran keluarga contoh berdasarkan kategori usia ibu ……………… Sebaran keluarga contoh berdasarkan jenjang pendidikan ayah ……… Sebaran keluarga contoh berdasarkan lama pendidikan ayah ………… Sebaran keluarga contoh berdasarkan jenjang pendidikan ibu .............. Sebaran keluarga contoh berdasarkan lama pendidikan ibu …………. Sebaran keluarga contoh berdasarkan pekerjaan kerja utama ayah ….. Sebaran keluarga contoh berdasarkan pekerjaan kerja utama ibu ……. Sebaran keluarga contoh berdasarkan kategori pendapatan ………….. Sebaran keluarga contoh berdasarkan investasi pendidikan …………. Sebaran keluarga contoh berdasarkan kategori tingkat kesejahteraan .. Sebaran keluarga contoh berdasarkan status kepemilikan rumah…….. Sebaran keluarga contoh berdasarkan kepemilikan aset ……………… Sebaran keluarga contoh berdasarkan alokasi waktu ayah dan ibu …... Sebaran keluarga contoh berdasarkan pengetahuan gizi ………............ Sebaran keluarga contoh berdasarkan sikap gizi ………………........... Rata-rata nilai anak ……………………………………….................... Sebaran contoh berdasarkan kategori frekuensi sakit dalam 1 bulan…. Sebaran contoh berdasarkan jenis penyakit yang diderita 1 bulan terakhir….
Rata-rata lama sakit (hari) yang diderita contoh 1 bulan terakhir ……. Sebaran contoh berdasarkan kategori lama sakit.................................... Kategori indek status gizi remaja............................................................ Analisis regresi faktor-faktor yang mempengaruhi pengeluaran pendidikan ……………………………………………………………. 76 Analisis regresi faktor-faktor yang mempengaruhi pendampingan anak belajar (ayah) …………………………………………………………. 77 Analisis regresi faktor-faktor yang mempengaruhi lingkungan keluarga ……………………………………………………………….. 78 Analisis regresi faktor-faktor yang mempengaruhi kecerdasan emosi...
146 147 149 150 151 152 152 153 154 155 156 157 158 159 160 161 162 163 165 166 167 168 169 170 171 172 174 175 176 177 179 181 183 183 184 185 186 186 188 190 194 197 201
79 Analisis regresi faktor-faktor yang mempengaruhi IQ ……………… 80 Analisis regresi logistik (1=normal; 0=tidak normal) dan linier faktor yang mempengaruhi status gizi ………………………………………. 81 Analisis regresi faktor-faktor yang mempengaruhi kualitas remaja…... 82 Analisis regresi faktor-faktor yang mempengaruhi prestasi akademik ..
205 210 215 221
DAFTAR GAMBAR Halaman 1 2 3 4
Kerangka berpikir …………………………………………………… Diagram pengambilan sampel..................…………………………… Bagan lokasi pengambilan sampel dan jumlah sampel……................ Bagan indeks kualitas remaja...............................................................
83 90 91 187
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1 2 3
Peta Kabupaten Banyumas dan lokasi penelitian…………………… Hasil uji validitas dan realibilitas peubah-peubah penelitian………. Contoh perhitungan indeks kualitas remaja…………………………
254 255 256
PENDAHULUAN Latar Belakang Keluarga adalah orang yang bertempat tinggal bersama yang dihubungkan dengan ikatan-ikatan biologis, perkawinan, adat istiadat, atau dengan adopsi (Sussman & Steinmetz 1987). Reuter (1989) memberikan batasan keluarga sebagai dua orang atau lebih yang dihubungkan dengan darah, adopsi, perkawinan atau kesepakatan untuk hidup di dalam rumahtangga yang sama. Namun lebih khusus lagi dalam UU No 10 tahun 1992 dinyatakan bahwa keluarga adalah unit terkecil dalam masyarakat yang terdiri dari suami istri, atau suami-istri dengan anaknya, atau ayah dengan anaknya, atau ibu dengan anaknya (BKKBN, 1996). Keberadaan anak dalam keluarga memberikan konsekuensi pada pengalokasian dana dan waktu oleh kedua orang tua. Apa yang dikorbankan tersebut merupakan investasi yang dapat disebut human investment. Investasi ini human capital didasarkan pada proposisi bahwa ada pengeluaran tertentu (sacrifies) yang dilakukan secara sengaja untuk menghasilkan kapasitas produktif pada manusia agar mampu memberikan jasa di masa yang akan datang (Schultz 1974). Pada hakekatnya apa yang dilakukan rumah tangga dalam bentuk investasi terhadap anggota keluarganya dapat dikatakan sebagai tindakan altruis. Zeitlin dkk (1995) menyebutkan bahwa altruism in the family adalah penggabungan seluruh household resources dan kemudian dialokasikan kembali berdasarkan aturan yang lazim agar dapat memberikan keuntungan kepada seluruh anggota keluarga. Selanjutnya dikemukakan bahwa keputusan berkenaan dengan alokasi sumberdaya di dalam keluarga sangat ditentukan oleh peran ibu rumah tangga. Zeitlin (1995) mengemukakan jika pendapatan di tangan ibu rumah tangga maka akan mempunyai efek terhadap pengeluaran rumah tangga yang berbeda dibandingkan jika dipegang oleh pria. Pendapatan di tangan ibu rumah tangga berkaitan dengan banyaknya pengeluaran rumah tangga yang cenderung dialokasikan untuk human capital, yang diukur dari household services, kesehatan dan pendidikan, leisure dan recreation, dan juga yang bersifat biologis seperti status gizi anak, imunisasi, daya tahan, dan asupan gizi.
2
Alokasi sumberdaya dalam keluarga tersebut menyesuaikan dalam perkembangan usia anak, semakin dewasa anak maka semakin membutuhkan alokasi sumberdaya yang semakin besar pula sesuai kebutuhan pada usianya. Usia masa remaja dapat dibagi kedalam tiga tahap: remaja awal (11-14 tahun), remaja tanggung (15-17 tahun), dan remaja lanjut (18-21 tahun). Pada masa remaja ini dibutuhkan kalori dan gizi yang banyak dikarenakan pertumbuhan fisik. Selain itu pada masa remaja terjadi pertumbuhan berkaitan dengan hormonal, kognitif, dan emosional (Shelornenself D 2000). Remaja mengalami perubahan sosial (bergeser dari keluarga ke kelompok sebaya), perubahan fisik (masa pubertas), perubahan emosional (pemantapan identitas personal), perubahan kognitif (berpikir secara hipotetis dan berbagai perspektif), dan perubahan seksual (perubahan hormonal mempengaruhi perubahan fisik dan seksual) (Dobbs L 2002).
Perubahan-perubahan tersebut membutuhan kemampuan penyesuaian
keluarga terhadap remaja maupun remaja itu sendiri agar dapat mengalami perkembangan kualitas remaja menjadi lebih baik. Syarief (1997) mendefinisikan kualitas sebagai gabungan karakateristik yang menentukan derajat kehandalan (degree of excellence) sumberdaya manusia. Kualitas SDM dapat diartikan sebagai gabungan dari karakteristik segenap sumberdaya yang ada dalam diri manusia, mencakup karakteristik fisik, akal, kalbu, dan nafsu yang menentukan kehandalan manusia baik sebagai makhluk indiividu maupun makhluk sosial. Kualitas fisik dicerminkan oleh kesehatan dan ketahanan jasmani yang memungkinkan seseorang dapat hidup sehat, aktif, produktif, dan berumur panjang. Kualitas akal dicerminkan oleh daya pikir atau kecerdasan intelektual. Manusia yang berakal selalu terdorong untuk menggali rahasia alam dan kehidupan, dan dengan itu ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) berkembang. Kualitas kalbu dicerminkan oleh keluhuran budi pekerti, moral dan akhlak. Dengan demikian dalam kualitas anak tersebut mengandung unsur kualitas fisik (jasmani), kualitas akal (kecerdasan intelektual), dan kualitas kalbu (mental spiritual). Soekirman (2002) menyatakan bahwa kualitas SDM usia dewasa tidak dapat dipisahkan dengan kualitas hidup pada usia muda. Kualitas hidup manusia
3
muda tersebut tentunya akan berpengaruh pada kualitas sumber daya manusia di kemudian hari. Kualitas SDM dapat dikaitkan dengan perkembangan siklus hidup manusia sejak dalam kandungan sampai memasuki usia lanjut. Pernyataan tersebut menjadi perhatian karena ada kaitan antara kualitas hidup usia muda dengan usia dewasa. Kualitas hidup manusia muda dicerminkan dengan tingginya prevalensi
gizi
kurang
(Basuni
2002),
upaya
perbaikan
gizi
kurang
menggembirakan (Atmarita et all 2000), kekurangan gizi berdampak pada IQ rendah (Karsin 2000), dan rendahnya status gizi berhubungan dengan pengetahuan gizi yang rendah (Khomsan 1998), serta keterlambatan mendaftar sekolah menambah permasalahan lemahnya intelektual yang disebabkan oleh kekurangan gizi (Jukes 2002). Beberapa hal tersebut menunjukkan bahwa kualitas sumberdaya manusia memerlukan perhatian yang serius. Penelitian dalam bidang pendidikan memberikan penjelasan bahwa selain kondisi sosial ekonomi keluarga ada hal lain yang berpengaruh terhadap kualitas pendidikan yaitu lingkungan sekolah dan lingkungan keluarga. Lingkungan sekolah tersebut mencakup guru, aktivitas siswa, kondisi sekolah, dan iklim belajar (Sukadi 1994). Penelitian lain dari Andrea (2003) menjelaskan bahwa prestasi belajar anak dipengaruhi juga oleh orderly (aturan tata tertib), congenial dan well maintained school (ruang sekolah, tanah lapang, fasilitas air dan toilet, fasilitas ruang kelas). Status gizi mempunyai pengaruh terhadap pendidikan. Sedangkan lingkungan keluarga, Levine dan Havighurst (1992) tentang Home Environment and Cognitive Development memberikan kontribusi korelasi antara home environment dengan perkembangan kognitif. Para sosiolog dan psikolog mengidentifikasikan 6 karakteristik home environment yang secara langsung berhubungan dengan perkembangan kognitif dan achievement di sekolah. Beberapa hal tersebut mengetengahkan arti penting kualitas sumberdaya manusia dewasa yang tidak lepas dipengaruhi kondisi pada saat muda. Pada tahap berikutnya perkembangan dari anak-anak ke remaja akan membawa konsekuensi pada kualitas sumberdaya. Apabila pada masa anak-anak mengalami pertumbuhan dan perkembangan yang baik maka akan menghasilkan sumberdaya remaja yang berkualitas. Perkembangan kognitif mencakup perkembangan moral dan kekurang
4
mampuan pengetahuan. Perbedaan perkembangan kognitif antara laki-laki dan perempuan ada pada keyakinan akan kemampuan kognitif dan ketrampilan. Remaja perempuan cenderung merasa yakin pada kemampuan membaca dan ketrampilan sosial dibandingkan remaja laki-laki, dan remaja laki-laki cenderung merasa yakin pada bidang atletik dan matematika (Eccles, Baarber, Jozefowics et all 1999) Remaja
yang
mengalami
kekurangmampuan
pengetahuan
akan
menghadapi masalah dalam hal membaca, berbicara, menulis, mengingat. aritmatika, atau berpikir. Jika remaja yang mengalami problem tersebut masuk sekolah menengah maka akan mengahadapi resiko kegagalan sekolah apabila permasalahan
tersebut
tidak
diatasi.
Bahkan
remaja
yang
mengalami
kekurangmampuan pengetahuan menghadapi tekanan emosional 2 atau 3 kali lebih tinggi dibanding remaja lainnya, dan wanita lebih banyak mengalaminya dibandingkan dengan laki-laki (Svetaz et all 2000). Perkembangan emosional remaja mencakup rasa identitas diri berkaitan dengan orang lain dan belajar mengatasi stres dan mengelola emosi. Remaja perlu memiliki kemampuan menguasai emosi untuk mengelola stres dan efektif berhubungan dengan orang lain atau disebut sebagai kecerdasan emosional (Goleman 1994). Perkembangan fisik mencakup perkembangan pubertas dan seksual, penampilan fisik dan citra tubuh. (Jacquelyn HG & Mary C 2002). Perkembangan fisik berkaitan juga dengan perkembangan
kognitif dimana
metode instruksional dan kurikulum dapat mengarahkan motivasi dan kegiatan belajar siswa. Namun disebutkan juga bahwa perkembangan fisik merupakan suatu faktor stres yang dapat menurunkan motivasi dan kegiatan belajar siswa. Faktor stres tersebut dapat berhubungan dengan perkembangan fisik yaitu transisi dari sekolah dasar ke sekolah menengah atas. Remaja masuk sekolah pada level 8 dari level 6 dan 7 mengalami perubahan negatif dalam motivasi, persepsi diri, dan achievement. (Eccles & Midgley 1989). Keadaan seperti ini tentunya dapat berpengaruh terhadap performa belajar. Dengan demikian antar ketiga perkembangaan (fisik, kognitif, dan emosi) ada keterkaitan berkaitan dengan pendidikan remaja. Tanda rendahnya performa hasil pendidikan dapat ditunjukkan adanya
5
standar kelulusan dengan nilai tidak kurang dari 4,25. Standar nilai ini secara berangsur dari tahun ke tahun ditingkatkan sehingga ini dapat dikatakan sebagai bagian upaya meningkatkan prestasi pendidikan anak remaja. Bahkan ketika kemampuan penguasaan siswa terhadap ilmu dikompetisikan menunjukkan hasil yang rendah. Hasil studi International Educational Achievement (IEA) menunjukkan, bahwa kemampuan membaca siswa SD di Indonesia berada di urutan ke 38 dari 39 negara yang diteliti. Sementara penelitian the Third International Mathematics and Science Repeat tahun 1999 menunjukkan kemampuan siswa SMP Indonesia di bidang ilmu pengetahuan alam di urutan ke 32 dan untuk matematik di posisi ke 34 dari 38 negara yang diteliti (Harsono 2003). Ini menunjukkan bahwa kualitas anak SMP di Indonesia dalam bidang pendidikan jauh tertinggal dibandingkan dengan negara lain. Dengan demikian faktor yang menentukan kualitas remaja SMP perlu diketahui sehingga standar rendah nilai kelulusan semakin dapat dicapai dan ditingkatkan. Salah satu indikator keberhasilan dalam pembangunan sumberdaya manusia adalah Indeks Pembangunan Manusia atau Human Development Index. Human Development Index negara Indonesia berturut-turut menduduki posisi 98 dari 174 negara (1998), pada posisi 109 (2000) (Karsin 2004) dan tahun 2003 pada posisi 112 dari 174 negara (UNDP 2003), tahun 2004 menduduki peringkat 111 dari 177 negara (UNDP 2004). Indeks tersebut mengundang perhatian untuk meningkatkan kualitas manusia Indonesia. Kualitas manusia menjadi sangat penting sebagai pertanda keberhasilan pembangunan. Gambaran-gambaran tersebut menunjukkan adanya kekurangan dalam hal kualitas sumberdaya manusia sehingga perlu dilakukan penelitian. Hasil dari penelitian ini dapat menjadi masukan bagi lingkungan akademis dan pembuat kebijakan mengenai pembangunan sumber daya manusia. Oleh karena itu permasalahan penelitian yang menjadi fokus untuk dikaji adalah sebagai berikut:
1. Faktor-faktor apa sajakah yang berpengaruh terhadap kualitas remaja? 2. Indikator apa sajakah yang menentukan kualitas remaja?
6
Tujuan Tujuan umum penelitian ini adalah untuk mengukur kualitas remaja dan pengaruh faktor individu, lingkungan keluarga, dan lingkungan sosial terhadap kualitas remaja. Tujuan khusus penelitian ini adalah: 1 Mengidentifikasi indikator kualitas remaja dan mengukur kualitas remaja di Kabupaten Banyumas. 2 Menganalisis faktor individu, lingkungan keluarga dan sekolah terhadap kualitas remaja. 4 Menganalisis pengaruh faktor kualitas remaja serta faktor lingkungan keluarga terhadap prestasi akademis.
Manfaat Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi pendidikan dan perhatian
terhadap
kualitas
sumberdaya
manusia.
Penelitian
bertujuan
menganalisis kualitas remaja secara utuh. Kualitas remaja secara utuh mencakup kualitas fisik, kualitas akal, dan kualitas kalbu. Kualitas fisik mengenai status gizi remaja. Kualitas akal mengenai IQ. Kualitas kalbu mengenai kecerdasan emosional. Selain itu memberikan analisis terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi kualitas remaja. Penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan penjelasan terhadap faktor-faktor yang memberikan pengaruh dominan terhadap kualitas remaja. Hasil penelitian diharapkan juga dapat menjadi masukan dalam membuat kebijakan kepada pemerintah berkenaan dengan upaya peningkatan kualitas remaja melalui lingkungan keluarga dan sekolah.
7
TINJAUAN PUSTAKA Pengertian dan Fungsi Keluarga Kiranya perlu diketengahkan bahwa antara keluarga dan kelompok mempunyai pengertian yang berbeda. Klein (1996) menjelaskan mengenai perbedaan keluarga dengan kelompok sebagai berikut: a. Keluarga bertahan dalam waktu yang lama dibandingkan dengan kelompok sosial lainnya (kedudukan orang tua bertahan mulai dari anak-anak lahir, dewasa, menikah, kelahiran cucu, dan berakhir dengan kematian salah satu pasangan), b. Keluarga merupakan kesatuan antar generasi (orang tua – anak), c. Keluarga meliputi hubungan yang bersifat biologis (kelahiran) dan affinal (hukum) di antara para anggotanya, d. Aspek biologis (dan juga affinal) keluarga menjalin mereka ke dalam organisasi kekeluargaan yang besar. Koenig dan Bayer (1967) menyebutkan bahwa ada tiga fungsi keluarga sebagai berikut: a. Fungsi keluarga bagi masyarakat, yaitu hubungan antara keluarga dengan satuan sosial yang luas. b. Fungsi dari subsistem dalam keluarga bagi keluarga itu sendiri, yaitu hubungan keluarga dengan subsistem. c. Fungsi keluarga bagi individu anggota keluarga termasuk perkembangan kepribadian, yaitu hubungan keluarga dan pribadi. Sifat-sifat di atas menjelaskan keluarga sebagaimana yang dimaksud dalam konsep keluarga tradisional/konvensional. Dengan demikian kesatuan orang yang tidak memenuhi syarat-syarat tersebut di atas dapat dikatakan sebagai kelompok sosial, seperti hubungan gay dan lesbian, begitu pula pasangan kumpul kebo. Keragu-raguan akan bentuk keluarga konvensional tampak ketika pandangan struktural fungsional menghadapi kejadian-kejadian yang menguji pandangan tersebut. Scanzoni (1983) mengetengahkan adanya peningkatan angka perceraian, pelanggaran hukum, aktivitas seksual di luar pernikahan, aborsi, hidup bersama seperti suami istri dan lain sebagainya merupakan fenomena yang
8
mencerminkan perkembangan masyarakat yang bergeser dari nilai-nilai dan polapola keluarga konvensional ke arah new relationship. Jawaban terhadap tantangan tersebut dikemukakan oleh Carlson (1999) yang menekankan bahwa dari kebenaran sejarah, dari ilmu sosial, dari ilmu alam, dan agama-agama besar dinyatakan bahwa keluarga adalah alami dan merupakan unit pokok dalam masyarakat. Begitu juga dengan Rosen (1991) meletakkan keluarga dalam fungsi berdasarkan hukum. Bidang hukum dihadapkan pada penentuan keluarga, keluarga yang konvensional ataukah yang new relationship. Menurutnya, hubungan keluarga itu sah jika atas dasar ikatan darah, perkawinan, atau adopsi. Akan tetapi munculnya bentuk hubungan baru dalam rumah tangga, khususnya hubungan antara pasangan gay dan lesbian, mendorong pengadilan untuk memutuskan apakah konsep hubungan keluarga sah secara tradisional ataukah harus diperluas mencakup hubungan baru yang tidak mempunyai dasar hukum. Pengadilan menyatakan bahwa pasangan adalah orang yang mempunyai status perkawinan sah dan hukum tidak membuat ketentuan perkawinan antar jenis kelamin yang sama. Bahkan ditandaskan bahwa perkawinan adalah perjanjian antara seorang laki-laki dan seorang wanita. Kesimpulan dari uraian tersebut bahwa ternyata hubungan keluarga tradisional merupakan dasar yang dipakai dalam pengadilan. Ini artinya, bentuk keluarga yang konvensional masih menjadi bentuk keluarga yang dikehendaki oleh banyak orang dan oleh karena itu perlu dipertahankan. Dengan demikian posisi keluarga menurut pandangan struktural fungsional bagaimanapun membuktikan bahwa keberadaan bentuk keluarga yang konvensional masih menjadi bentuk utama di dalam masyarakat. Lebih lanjut Parson (1983) menjelaskan pengertian keluarga dengan solidaritas. Solidaritas diartikan sebagai kebersamaan anggota dalam suatu sistem yang tergantung satu dengan lainnya, adanya kepercayaan satu dengan yang lain, serta adanya tatanan sosial. Tatanan sosial ini didasarkan oleh norma yang menggiring orang untuk berbuat sesuai dengan apa yang diharapkan norma tersebut. Pandangan Parson dan juga pandangan kaum konservatif pada umumnya adalah bahwa masyarakat menentukan apa yang terbaik bagi individu kemudian individu haruslah menyesuaikan diri dengan ketentuan masyarakat tersebut. Dengan kata lain struktur sosial menentukan perilaku sosial dari masing-masing
9
individu. Penyimpangan darinya akan dikendalikan oleh norma sosial dan dikenai sangsi sosial agar tidak mengancam keteraturan sosial. Ini sebagai wujud dari mekanisme equilibrium (keseimbangan) di dalam masyarakat. Pandangan konservatif menganggap keluarga dan masyarakat sebagai suatu organisme, dan masing-masing bagian memiliki fungsi untuk keseluruhan. Pandangan konservatif juga menekankan responsibilities (tanggung jawab) pada pria maupun wanita di dalam keluarganya. Tanggung jawab ini merupakan manifestasi social status (posisi sosial) seseorang dalam keluarga atau disebut juga sebagai peran sosial (social role). Peran tersebut bersifat saling melengkapi untuk mewujudkan fungsi keluarga sebagaimana mestinya. Atau dengan kata lain dikatakan bahwa keluarga memiliki aspek struktur internal dan fungsional. Megawangi (1999) mengutarakan bahwa keluarga mepunyai aspek struktural dan aspek fungsional. Ada tiga aspek sruktur internal dalam keluarga, yaitu: (1) status sosial, (2) fungsi sosial, dan (3) norma sosial, dimana ketiganya saling berkaitan. Pertama, status sosial, keluarga biasanya distruktur oleh tiga struktur utama yaitu bapak/suami, ibu/istri dan anak-anak. Keberadaan status sosial ini penting karena dapat memberikan identitas kepada individu dan juga adanya hubungan timbal balik antarindividu dengan status sosial berbeda. Kedua, peran sosial menggambarkan peran masing-masing individu atau kelompok menurut status sosialnya dalam sebuah sistem sosial. Atau dikatakan, bahwa setiap status sosial tertentu akan ada fungsi dan peran yang diharapkan dalam interaksinya dengan individu atau kelompok dengan status sosial sosial berbeda. Peran sosial dapat dikatakan sebagai bentuk menifestasi aktif dari status sosial, seperti halnya dalam suatu keluarga terjadi interaksi antara bapak, ibu, dan anak dengan fungsi dan peran masing-masing yang dilandasi oleh norma sosial yang berlaku. Ketiga, norma sosial adalah sebuah peraturan yang menggambarkan bagaimana sebaiknya seseorang bertingkah laku dalam kehidupan sosialnya, tersitimewa dalam sebuah keluarga. Norma sosial tersebut berasal dari dalam masyarakat itu sendiri. Norma sosial merupakan pedoman untuk bertingkah laku sesuai dengan harapan terhadap fungsi dan peran pada status sosial tertentu. Norma sosial dapat berfungsi sebagai kendali terhadap
10
perilaku menyimpang agar berubah menjadi perilaku yang mengikuti norma sosial yang ada. Selanjutnya aspek fungsional keluarga tidak dapat dipisahkan dengan aspek struktural karena keduanya saling berkaitan. Status sosial dalam struktur keluarga memiliki fungsi dan peran sesuai dengan yang diharapkan agar dapat menunjang kelangsungan hidup keluarga. Perubahan struktur keluarga akan merubah fungsi keluarga itu sendiri dan bahkan keluarga sebagai suatu sistem akan terganggu kinerjanya. Perubahan struktur keluarga tersebut dapat dicontohkan dengan kasus perceraian, kematian orang tua. Peristiwa-peristiwa tersebut akan berpengaruh terhadap fungsi keluarga menjadi tidak normal. Levi (diacu dalam Megawangi 1999) menyebutkan bahwa agar keluarga dapat berfungsi maka diperlukan persyaratan struktural yang harus dipenuhi agar struktur keluarga sebagai sistem dapat berfungsi: Pertama, differensiasi peran. Soekanto (1983) mendefinisikan diferensiasi peran sebagai proses dimana peranan-peranan dalam masyarakat bertambah banyak dan meningkat spesialisasinya. Keluargapun memiliki beragam peran, yaitu: ayah sebagai pemimpin, ibu sebagai pengelola rumah tangga, dan anak sebagai pengikat keluarga dan curahan kasih sayang. Diferensiasi peran dalam keluarga ini sangat penting karena pada masing-masing peran tersebut dialokasikan agar keluarga dapat berfungsi secara normal. Kedua, alokasi solidaritas. Distribusi relasi antar anggota keluarga menurut cinta, kekuatan, dan intensitas hubungan. Cinta atau kepuasan menggambarkan hubungan antaranggota. Misalnya keterikatan emosional antara seorang ibu dan anaknya. Kekuatan mengacu pada keutamaan sebuah relasi relatif terhadap relasi lainnya. Hubungan antara bapak dan anak lelaki mungkin lebih utama daripada hubungan antara suami dan istri pada suatu budaya tertentu. Sedangkan intensitas adalah kedalaman relasi anta anggota menurut kadar cinta, kepedulian, ataupun ketakutan Ketiga, alokasi ekonomi. Distribusi barang-barang dan jasa untuk mendapatkan hasil yang diinginkan. Differensiasi tugas juga ada dalam hal ini terutama dalam hal produksi, distribusi dan konsumsi dari barang dan jasa dalam keluarga.
11
Keempat, alokasi politik. Distribusi kekuasaan dalam keluarga dan siapa yang bertanggung jawab atas setiap tindakan anggota keluarga. Agar keluarga dapat berfungsi maka distribusi kekuasaan pada tingkat tertentu diperlukan. Kelima, alokasi integrasi dan ekspresi. Distribusi teknik atau cara untuk sosialisasi, internalisasi, dan pelestarian nilai-nilai dan perilaku yang memenuhi tuntutan norma yang berlaku untuk setiap anggota keluarga. Apabila kelima fungsi tersebut berjalan normal maka secara khusus mempunyai pengaruh terhadap anak dimana anak menjadi mampu bertindak sesuai harapan keluarga dan masyarakat. Dari segi fungsi diferiensasi peran maka keluarga melakukan sosialiasi peran terhadap anak berupa peran sesuai dengan jenis kelamin dan kemampuan cognitif, afektif, dan psikomotorik kepada anak. Bilamana sosialisasi ini berhasil maka anak akan mampu menjalankan peran sebagaimana mustinya.
Dari
segi
alokasi
solidaritas
membutuhkan
keterkaitan emosional antara anggota keluarga, orang tua dengan anak. Ikatan emsoional yang erat antara orang tua dan anak menciptakan kehangatan interaksi dan rasa diterima anak dalam keluarga. Kondisi ini memberikan pengaruh baik terhadap perkembangan emosi anak.
Dari segi alokasi ekonomi, keluarga
mendistribusikan pendapatannya untuk kepentingan keluarga berupa sandang, pangan, papan, kesehatan, dan pendidikan. Dari segi alokasi politik dibutuhkan agar keluarga mempunyai pemimpin keluarga atau kepala keluarga yang mampu membawa arah keluarga menjadi keluarga normal. Dan alokasi integrasi dan ekspresi merupakan suatu proses sosialisasi nilai-nilai sosial kepada anak dan diharapkan nilai-nilai sosial tersebut terinternalisasi pada diri anak, sehingga anak mampu bertindak sesuai dengan harapan masyarakat.
Tinjauan Teori Ekonomi Keluarga Pada hakekatnya ada dua konsep yang menyinggung masalah institusi keluarga, yaitu keluarga dan rumah tangga. Konsep keluarga menyangkut perihal jumlah anggota keluarga, struktur dan fungsi masing-masing anggota keluarga, nilai-nilai yang mempengaruhi sikap terhadap orang-orang di antara anggota keluarga atau terhadap satuan keluarga secara keseluruhan (Rahardjo 1984).
12
Konsep rumah tangga menunjukkan arti ekonomi dari suatu keluarga, misalnya: bagaimana keluarga mengelola kegiatan ekonomi keluarga; pembagian kerja dan fungsi; berapa pendapatan dan konsumsi suatu rumah tangga; jenis dan jasa apa yang dihasilkan; dan sebagainya (Rahardjo 1984). Kajian para ekonom cenderung memfokuskan pada rumah tangga daripada keluarga. Zeitlin (1995) menyebutkan bahwa di dalam rumah tangga para anggotanya menyatukan resources mereka untuk menciptakan kesejahteraan bagi seluruh anggota keluarga. Rumah tangga biasanya beranggotakan anggota keluarga yang berkaitan dengan darah (kerabat), perkawinan, dan kadang-kadang ditambah dengan anggota yang tidak ada hubungan darah (kerabat). Rumah tangga didefinisikan atas dasar residence, sedangkan family didefinisikan atas dasar kekerabatan. Keluarga mempunyai fungsi untuk bertanggung jawab dalam menjaga menumbuhkan dan mengembangkan anggota-anggotanya. Oleh karena itu pemenuhan akan kebutuhan-kebutuhan untuk mampu bertahan, tumbuh dan berkembang perlu tersedia, yaitu: a. Pemenuhan akan kebutuhan pangan, sandang, papan dan kesehatan untuk pengembangan fisik dan sosial b. Kebutuhan akan pendidikan formal, informal dan nonformal untuk pengembangan intelektual, sosial, mental, emosional dan spiritual (Suprihatin Guhardja dkk 1992). Deacon (tanpa tahun) menyebutkan bahwa human capital pada diri seseorang maupun keluarga merupakan total stock dari kemampuan manusia yang sangat berpengaruh terhadap sumberdaya dan penggunaannya di masa yang akan datang. Para ekonom mengartikan human capital sebagai people resources yang mempengaruhi future income. Bahkan Deacon mencontohkan bahwa bagian yang berarti dari human capital development adalah proses pembelajaran yang tidak disadari dan pelatihan yang disadari yang dilakukan oleh anggota-anggota keluarga. Hal ini dicontohkan dengan penggunaan waktu orang tua untuk melatih anak agar dapat melakukan tugasnya. Kegiatan melatih tersebut dapat dikatakan sebagai child’s human capital.
13
Schultz (1961) memfokuskan adanya lima hal utama yang dapat meningkatkan kemampuan manusia dimana orang melakukan investasi, sebagai berikut: a) fasilitas dan jasa kesehatan yang akan berpengaruh terhadap harapan hidup, kekuatan dan ketahanan, dan daya hidup serta ketahanan mental; b) on the job training, c) pendidikan formal, d) progam studi untuk orang dewasa, e) migrasi. Sedangkan Bryant (1990) menjelaskan bahwa melakukan investasi terhadap anggota keluarga yaitu (investing in human capital) dapat dilakukan melalui berbagai cara berikut: a) Pendidikan formal, b) Pelatihan dan pengalaman, c) Pemanfaatan waktu dan uang untuk memelihara kesehatan. Seseorang melakukan investasi pada kesehatan dengan melakukan pemeliharaan dan peningkatan kesehatan fisik dan mental seseorang. Ini dapat dilakukan dengan kegiatan aerobik, periksa ke ahli kesehatan, periksa ke dokter gigi, dan nutrisi yang baik. d) Migrasi. Investasi pada human capital tersebut didasarkan pada proposisi bahwa ada pengeluaran tertentu (sacrifies) yang dilakukan untuk menciptakan cadangan produktif pada manusia yang memberikan jasa di masa yang akan datang (Schultz, 1974). Anak-anak dipandang sebagai bentuk dari human capital. Ada pengorbanan yang diberikan kepada anak-anak berupa membesarkan dan merawat. Bahkan semakin bertambah umur maka akan semakin besar pengeluaran keluarga yang dibutuhkan. Tjiptoherijanto dan Hasmi (2000) menyebutkan bahwa investasi dalam human capital dimaksudkan sebagai upaya yang dicapai melalui kesehatan dan pendidikan. Dan dari sisi human development (UNDP, 1995) ada tiga elemen penting yang harus diperhatikan, yaitu: 1) usia panjang dan sehat, 2) berpendidikan baik, dan 3) mendapatkan akses ke sumber daya yang diperlukan untuk mencapai kehidupan yang baik. Bagaimanapun dalam melakukan investasi tersebut rumah tangga perlu mengalokasikan sumber daya yang dimilikinya, baik dari segi human resources (pengetahuan, ketrampilan psikomotor, kasih sayang, kesehatan, tenaga, dan time) maupun material resources (konsumsi pangan, tempat tinggal, harta rumah tangga, tenaga fisik, uang, dan tabungan). Alokasi waktu merupakan pengorbanan waktu orang tua untuk keperluan perkembangan anak. Deacon (tanpa tahun) menyebutkan bahwa waktu sering menjadi ukuran yang menunjukkan ekonomi
14
bagi sumber daya manusia. Namun, di samping itu waktu juga dapat mempunyai makna kerja tanpa upah, karena waktu tersebut dialokasikan untuk perkembangan anak; sedangkan alokasi uang merupakan distribusi sumber daya ekonomi rumah tangga untuk berbagai kepentingan, termasuk untuk perkembangan anak. Ananta dan Hatmadji (1985) mengemukakan beberapa indikator yang berkaitan dengan kualitas sumber daya manusia adalah pendidikan, kesehatan, dan lingkungan. Indikator tersebut tidak berbeda dengan dua tipe investasi modal manusia, yaitu bidang pendidikan dan kesehatan. Kedua bidang tersebut merupakan indikator kualitas anak yang ditentukan seberapa banyak alokasi investasi yang diberikan. Menurut Becker (1991 dalam Curtis dan Phipps 2000) children’s well being pada dasarnya tergantung pada keputusan investasi yang dilakukan oleh orang tua mereka. Pendekatan ini mengandaikan masing-masing individu hidup dalam dua periode yaitu masa kanak-kanak dan masa dewasa. Utility orang tua pada saat ini dianggap sebagai fungsi dari konsumi saat ini dan child’s income pada waktu yang akan datang:
u1 = U(c1, I2) dimana c1 adalah adult consumption saat ini dan I2 adalah child’s income pada waktu yang akan datang ketika anak sudah dewasa. Ketika anak menjadi dewasa maka utilitasnya akan menjadi: u2= U(c2, I3) Becker beranggapan bahwa orang tua mengalokasikan sumberdaya antara personal consumption saat ini dengan investasi di masa mendatang untuk anak mereka agar dapat memaksimalkan parent’s utility saat ini. Maksimisasi utility tergantung dari keterbatasan pendapatan yang ada, dan perbandingan harga dari barang konsumsi dengan investasi pada anak. Childen’s well being pada masa yang akan datang tergantung seberapa banyak orang tua melakukan investasi kepada anak-anak pada saat ini. Investasi pada anak berarti melakukan pengeluaran
untuk
skill,
kesehatan,
belajar,
motivasi,
credentials,
dan
15
karakteristik-karakteristik lainnya. Prediksi dari kerangka ini adalah bahwa pendapatan anak akan bergantung pada pendapatan orang tua (secara positif) dan jumlah anak dalam keluarga (secara negatif), karena bertambahnya anak berarti mengurangi uang yang dialokasikan kepada setiap anak. Investasi kepada anak tidak hanya bersifat material, akan tetapi berupa non material yaitu waktu. Leibowitz (1974) menambahkan gagasan bahwa investasi kepada anak juga tergantung pada kuantitas dan kualitas waktu orang tua yang diberikan kepada anak tidak berbeda dengan investasi material. Sebenarnya Leibowitz menjelaskan bahwa income merupakan penghasilan atas stock of human capital dimana tergantung dari empat sumber dari capital, yaitu home investment (mencakup kuantitas dan kualitas waktu dan barang), measured ability (IQ), final schooling level, dan postschool investment. Menurut Leibowitz karakteristik genetik orang tua berhubungan dengan ability anak (IQ). Karakteristik genetik orang tua menentukan sifat menurun pada anak. Sumbangan genetik dan pendidikan orang tua menentukan kuantitas dan kualitas waktu untuk anak. Pendapatan keluarga mempengaruhi kuantitas dan kualitas waktu dan barang. Home investment bersama dengan heredity menentukan human capital (IQ). Final schooling level ditentukan oleh family income dan ability (IQ). Pendidikan orang tua (ibu) berpengaruh baik secara langsung maupun melalui heredity pada schooling level Begitu juga pendidikan ibu secara signifikan berhubungan dengan IQ. Curtis dan Phipps (2000) membuktikan bahwa parental time berkorelasi dengan child outcome, khususnya pada keberhasilan sekolahnya. Parental time disini dirinci kedalam bentuk membantu mengerjakan pekerjaan rumah (PR), membacakan untuk anak, mengajak tamasya, memberikan dukungan pada aktivitas sekolah ( pekerjaan rumah dan sekolah, mengantar sekolah, mengikuti piknik sekolah bersama anak).
Kuantitas – Kualitas Pilihan orang tua untuk menentukan pada kuantitas dan kualitas anak menjadi bahan yang menarik dipertimbangkan. Bryant (1990) membangun model
16
pilihan fertilitas yang menekankan pada family size. Ada lima hal yang perlu diperhatikan agar dapat menentukan family size secara benar: 1. Ukuran keluarga akan lengkap jika mempertimbangkan fecunditas perempuan sehingga merupakan jumlah anak yang dibesarkan hingga dewasa. 2. Anak merupakan barang yang dihasilkan oleh rumah tangga yang membutuhkan kombinasi parental time dan barang yang dibeli. 3. Fokus pada waktu ibu dikarenakan pada kenyataannya mayoritas waktu untuk melahirkan dan membesarkan anak ada pada ibu 4. Adanya kepuasan yang diterima oleh orangtua dari child service. Child service merupakan aliran service dari anak yang dinikmati oleh orangtua pada tiaptiap tahun yang berasal dari anak-anak mereka. 5. Child service berasal dari dua komponen anak, yaitu jumlah anak dalam keluarga dan human capital yang
diterima oleh masing-masing anak.
Perbedaan ini perlu dilakukan karena pengeluaran untuk anak meningkat seiring dengan meningkatnya pendapatan. Dipihak lain, bertambahnya jumlah anak maka akan meningkatkan penggunaan waktu dan uang untuk anak. Oleh karena itu, anak yang memiliki human capital yang lebih banyak akan memberikan aliran child services yang lebih besar, dan orang tua lebih bahagia jika anak-anak mereka sehat, berpendidikan, berketrampilan, kecukupan pangan, pakaian, dan tinggal dalam rumah yang layak. Permintaan jumlah anak merupakan komponen dari permintaan child services dan mengabaikan hal ini akan menghilangkan aspek penting dari perilaku fertilitas. Child services tersebut dapat diwujudkan dalam notasi: C = NQ
Notasi tersebut menunjukkan bahwa kuantitas child services yang diproduksi dan dinikmati oleh orangtua (C) merupakan hasil produksi dari jumlah anak (N) dan human capital untuk per anak (Q). Kemudian anggapan dalam model fertilitas yang
sederhana adalah
kedua
orangtua
memperoleh
kepuasan dengan
memproduksi dan mengkonsumsi dua barang, yaitu child services dan parental
17
services. Jumlah parental services dilambangkan dengan S. Dengan demikian preferensi kedua orangtua ditampilkan dalam fungsi utility sebagai berikut: U = w (C, S)
Banyak penelitian memfokuskan kepada masalah preferensi orang tua terhadap kuantitas dan kualitas anak. Penelitian-penelitian tentang kuantitas dan kualitas anak tersebut mempunyai fokus sendiri-sendiri seperti: kajian tentang hipotesa kuantitas dan kualitas anak di negara-negara berkembang (Martina 1996); investasi pada anak dalam keluarga pedesaan di Indonesia (Hartoyo 1998); kuantitas dan kualitas pengasuhan anak (Lundholm & Ohlsson 2000); kuantitas dan kualitas sekolah (Handa & Simler 2000); struktur keluarga, fertilitas dan kualitas anak (Ribero 2000); investasi kepada anak (Brown & Flinn 2002); kuantitas versus kualitas: pengaruh ukuran keluarga terhadap sekolah (Millimet 2003); pengaruh family size terhadap investasi pada kualitas anak (Caceres 2004); kuantitas – kualitas: pengaruh positif dari ukuran keluarga terhadap kelulusan sekolah (Qian 2005); dan trade off kuantitas dan kualitas (Millimet & Wang 2005). Pendidikan Anak Sebagai Bentuk Investasi Pandangan para ahli ekonomi terhadap pendidikan adalah sebagai bagian dari investasi terhadap sumberdaya manusia (Bryant 1990; Schultz 1961&1974; Febrero&Schwartz 1995). Pendidikan dikatakan sebagai investasi karena investasi pada hakekatnya adalah pengorbanan di masa kini untuk memperoleh keuntungan di masa depan; sedang pendidikan itu sendiri harus melibatkan suatu bagian waktu, yang tentu saja mengurangi kesempatan untuk menghasilkan yang lain (Fadjri 2000). Selain itu pendidikan sendiri merupakan usaha sadar untuk menyiapkan peserta didik melalui kegiatan bimbingan, pengajaran dan atau latihan bagi peranannya di masa yang akan datang (Sistem Pendidikan Nasional 1994). Dimana setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan. Oleh karena itu pendidikan menjadi salah satu sasaran utama dalam pembangunan nasional.
18
Sistim pendidikan nasional menyebutkan adanya penyelenggaraan pendidikan yang dilaksanakan melalui 2 (dua) jalur yaitu jalur pendidikan sekolah dan jalur pendidikan luar sekolah. Jalur pendidikan sekolah merupakan pendidikan yang diselenggarakan di sekolah melalui kegiatan belajar mengajar secara berjenjang dan bersinambungan. Jalur pendidikan yang termasuk jalur pendidikan sekolah terdiri atas pendidikan umum, pendidikan kejuruan, pendidikan luar biasa, pendidikan kedinasan, pendidikan keagamaan, pendidikan akademik, dan pendidikan profesional. Sedangkan pendidikan luar sekolah merupakan pendidikan yang diselenggarakan di luar sekolah melalui kegiatan belajar mengajar yang tidak harus berjenjang dan bersinambungan. Dan pendidikan keluarga merupakan bagian dari jalur pendidikan luar sekolah yang diselenggarakan dalam keluarga dan memberikan keyakinan agama, nilai budaya, nilai moral dan ketrampilan. (Sistem Pendidikan Nasional, 1994). Pendidikan keluarga tersebut dapat disebut juga sebagai sosialisasi keluarga terhadap anak. Menurut Bryant (1988) alasan utama melakukan investasi human capital melalui pendidikan formal adalah untuk meningkatkan pendapatan mereka di masa datang dan juga untuk meningkatkan kemakmuran mereka.
Bahkan
dikemukakan bahwa tambahan pendidikan akan meningkatkan produktivitas individu di pasar tenaga kerja, dan para pekerja menerima upah yang lebih tinggi dengan pendidikannya yang lebih tinggi. Investasi terkadang mempertimbangkan akan harapan di masa datang dan jenis kelamin (Bryant 1990). Harapan aktivitas di masa yang akan datang menjadi bahan petimbangan penting untuk mengatur seberapa banyak dan macam investasi human capital bagi individu. Orang tua akan melakukan investasi agar meningkatkan produktivitas pasar tenaga kerja hanya jika ia mempunyai harapan anak dapat mengalokasikan banyak waktu dalam pasar tenaga kerja di masa yang akan datang. Semakin tinggi harapan ini maka semakin banyak pula investasi yang dilakukan. Sedangkan investasi human capital berdasarkan jenis kelamin dapat muncul jika orang tua mempunyai harapan aktivitas di masa mendatang berdasarkan jenis kelamin. Secara historis, perempuan diharapkan menggunakan sebagian besar waktunya
untuk household and leisure activities. Akibatnya,
19
investasi human capital terhadap perempuan lebih rendah dibandingkan laki-laki sehingga masyarakat dan orang tua menurunkan jumlah investasi seperti itu. Becker (Becker 1993 diacu dalam Yueh 2001) mengembangkan model tiga periode sebagai formulasi lebih lanjut dari keputusan investasi orang tua pada children’s human capital. Becker menentukan investasi tersebut dengan peragaan fungsi utility baik orang tua maupun anak dipengaruhi dengan altruism dan rasa bersalah. Yueh (2001) mengetengahkan tiga model investasi orang tua pada anak dengan mempertimbangkan dua rates of return, yaitu personal rate of return dan family rate of return. Pertama, personal rate of return, orang tua akan menginvestasikan lebih banyak resources pada anak dengan return yang lebih besar. Adanya diskriminasi dalam pasar tenaga kerja akan membedakan rates of return childrens’s human capital dan orang tua akan secara menginvestasikan sedikit kepada anak yang akan memberikan returns lebih rendah. Pertimbangan adanya perbedaan penerimaan gaji akan menurunkan return dari pendidikan anak perempuan dan orang tua akan menginvestasikan sedikit pada human capital anak perempuan. Kedua, familial rate of return, orang tua mempertimbangkan adanya transfer ketika pensiun. Familial rate of return didasarkan pada rate of return dari transfer yang diharapkan kepada orang tua ketika mereka pensiun dan ini merupakan bagian dari pendapatan keluarga anak mereka di masa yang akan datang. Akan tetapi faktor lain mempengaruhi keputusan investasi apabila transfer dilakukan oleh keluarga anak di masa mendatang daripada anak itu sendiri, karena ada potential return investasi yang lebih besar pada anak perempuan dibandingkan dengan anak laki-laki berdasarkan pendapatan keluarga anak di masa mendatang. Penelitian lain menemukan bahwa investasi yang dilakukan oleh orang tua kepada anak tetap bersifat altruistic. Bhalotra (2004) melakukan penelitian yang mencari relevansi antara pembagian pendapatan dengan konsumsi anak dewasa, pendidikan, dan tengaga kerja anak. Ia mendapatkan bahwa meningkatnya konsumi anak dewasa berhubungan secara positif dengan proporsi anak dalam keluarga tersebut yang mengikuti pendidikan, dan berhubungan secara negatif dengan proporsi anak yang bekerja. Ia menemukan juga bahwa meningkatnya anak dalam tenaga kerja berhubungan dengan menurunnya konsumsi anak.
20
Penemuan ini diartikan sebagai penolakan terhadap penelitian-penelitian terdahulu yang menyebutkan bahwa pilihan pada tenaga kerja anak merupakan pertimbangan orang tua untuk memperoleh kepentingan atau tujuan orang tua itu sendiri. Penelitian ini relevan dengan penelitian sebelumnya yang menyebutkan bahwa keluarga bersifat altruistic dalam melakukan investasi terhadap anak. Kajian Yueh (2001) menghasilkan adanya perbedaan investasi human capital berdasarkan gender dan tidak bersifat altruistic. Sedangkan kajian Bhalotra (2004) menunjukkan bahwa investasi human capital oleh orangtua kepada anak adalah altruistic. Namun, kajian lain tentang motive investasi human capital terhadap anak berdasarkan gender memberikan hasil tidak adanya perbedaan investasi (Kevane & Levine 2003). Kevane & Levine melakukan penelitian di negara sedang berkembang, Indonesia. Mereka mencoba mengetahui pengaruh perkawinan yang dilakukan dengan investasi yang dilakukan oleh orang tua. Mereka menduga bahwa anak perempuan mendapatkan investasi lebih rendah daripada anak laki-laki. Perkawinan tersebut menjadikan investasi yang diberikan kepada anak perempuan pada akhirnya diperoleh pada pihak keluarga laki-laki, sehingga tidak perlu menginvestasikan banyak kepada anak perempuan. Namun pada kenyataannya ditemukan sedikit bukti adanya preferensi anak laki-laki di daerah virilocal dan ini konsisten dengan bukti lain tidak adanya preferensi anak laki-laki secara sistematis di Indonesia. Juga berdasarkan data Indonesian Family Life Survey tidak ditemukan adanya hubungannya yang kuat antara virilocality dengan perbedaan investasi atau perlakuan terhadap anak perempuan. Dengan demikian kajian ekonomi menunjukan adanya beberapa interest berkenaan dengan preferensi anak hubungannya dengan investasi yang akan dilakukan oleh keluarga. Di satu pihak investasi dilakukan kepada anak tanpa ada preferensi akan tetapi lebih pada sisi altruistic, namun di sisi lain dikarenakan pertimbangan pada kepentingan atau tujuan orangtua.
Alokasi Waktu Orang Tua Untuk Perkembangan Anak Ketika berbicara masalah alokasi waktu anggota keluarga, maka yang menarik adalah alokasi antara wanita dan pria. Adanya pemilahan antara domestic
21
work dan public work membawa konsekuensi terjadinya perbedaan alokasi waktu antara wanita dan pria dalam dunia publik dan domestik. Oleh karena itu dapat dilihat pula perbedaan penggunaan waktu antara wanita dan pria dalam rumah tangga. Hasil survey penggunaan waktu antara tahun 1970 – 1990 menunjukkan bahwa rata-rata alokasi waktu perhari dalam keluarga untuk wanita adalah 0.52, sedangkan pria sebanyak 0.2 (Klevmarken dan Stafford 1997). Hal tersebut menunjukkan bahwa wanita jauh lebih banyak dibandingkan dengan pria dalam hal mengalokasikan waktu untuk keluarga, khususnya dalam perawatan anak. Alokasi waktu yang lebih banyak tersebut memang sesuai dengan peran wanita dalam keluarga. Peranan wanita dapat diperinci atas tiga peranan, yaitu: a) sebagai penyumbang tenaga rumah tangga, b) sebagai pengatur rumah tangga dan pengambil keputusan, c) di luar rumah tangga sebagai pendukung beragam lembaga/organisasi sosial ekonomi dan politik yang ada di dalam masyarakat. (Sajogyo 1983). Guhardja (1992) mengemukakan bahwa pekerjaan rumahtangga adalah pekerjaan yang dilakukan dalam rumahtangga dan berhubungan dengan upaya pemenuhan kebutuhan hidup anggotanya (barang maupun jasa), mulai dari proses perencanaan hingga pelaksanaannya sehingga kebutuhan yang diidentifikasikasi sebagai kebutuhan pangan maupun non-pangan dapat terpenuhi. Fungsi pekerjaan rumahtangga sebagai penghasil barang dan jasa maka pekerjaan rumahtangga sesungguhnya merupakan kegiatan produktif yang dilakukan oleh anggota rumahtangga itu sendiri atau oleh orang yang dipekerjakan sebagai pelaksana pekerjaan rumahtangga sehari-hari yang dikenal sebagai pembantu rumahtangga atau pramuwisma. Pekerjaan rumahtangga tersebut dapat digolongkan ke dalam beberapa jenis pekerjaan antara lain: 1. menyediakan makanan dan keperluan yang berhubungan dengan makanan tersebut 2. memenuhi kebutuhan non-makanan: 3. mengasuh dan merawat serta mendidik anak Berkenaan dengan alokasi waktu rumah tangga, Bryant (1990) menjelaskan ada tiga kategori alokasi sebagai berikut: market work, household work, dan leisure. Market work mencakup semua penggunaan waktu per minggu
22
untuk melakukan pekerjaan dengan upah. Household work mencakup semua penggunaan waktu per minggu untuk kegiatan household production seperti: memasak, mencuci, merawat halaman, merawat anak, merawat anggota keluarga yang sakit, kegiatan perencanaan dan belanja serta kegiatan pengelolaan rumah tangga lainnya. Leisure time merupakan waktu yang tidak digunakan
untuk
market work maupun household work. Dengan adanya status sosial ekonomi yang berbeda antara rumah tangga yang satu dengan lainnya, maka dimungkinkan ada relevansinya dengan tiga kategori alokasi waktu rumah tangga. Status sosial ekonomi keluarga tinggi (lapisan atas) maka wanita cenderung mengalokasikan banyak waktu untuk kepentingan rumah tangga. Lapisan tengah mengalokasikan waktu untuk bekerja sehingga waktu wanita dalam rumah tangga berkurang. Pada lapisan bawah, pola nafkah ganda merupakan strategi untuk bertahan hidup. Wanita dalam keluarga lapisan bawah cenderung mengalokasikan banyak waktu untuk mencari nafkah, sehingga waktu yang dialokasikan untuk keluarga berkurang. Dengan demikian dapat diketahui taraf alokasi wanita dalam tiga kategori alokasi terlebih berkaitan dengan alokasi waktu terhadap anak, semakin tinggi lapisan sosial ekonomi keluarga maka semakin tinggi curahan waktu untuk keluarga. Bryant dan Zick (1996) mengkaji investasi dari segi waktu yang dikorbankan oleh orang tua kepada anaknya. Mereka menaksir total time yang dicurahkan untuk merawat anak yang mencakup perawatan fisik (menyuapi, memandikan, memakaikan baju, memandikan) dan perawatan personal secara langsung seperti mengajari, menasihati, membimbing, mengarahkan, melatih, membahagiakan, dan menghibur. Meskipun wanita kulit putih menikah menggunakan .56 jam setiap hari untuk merawat anak di tahun 1924-1931, tahun 1981 waktu telah meningkat hingga 1.00 jam per hari untuk setiap anak. Pria menikah menggunakan waktunya 0.25 jam setiap hari untuk setiap anak pada tahun 1975. Tahun 1981 meningkat menjadi .33 jam perhari per anak. Bertambahnya dua anak sampai usia 18 membutuhkan sekitar 5.789 jam waktu wanita yang menikah, bekerja, dan berkulit putih dan 14.053 jam waktu wanita yang menikah, tidak bekerja, dan berkulit putih pada tahun 1981. Bertambahnya dua anak hingga usia 18 tahun mempengaruhi penggunaan waktu suami yang
23
menikah sekitar lebih 1.500 jam dibandingkan dengan suami menikah tidak bekerja berkulit putih. Waktu kerja ibu di luar rumah tangga mempunyai kontribusi terhadap pendapatan rumah tangga begitu juga terhadap kualitas anak. Conger (dalam Robert 1999) mengemukakan bahwa keadaan ekonomi keluarga mempengaruhi perkembangan kognitif anak. Ia menggunakan sampel anak-anak dewasa di pedesaan Amerika. Hasil yang ditemukan bahwa permasalahan ekonomi keluarga mempengaruhi
kemampuan
akademis
mereka.
Bahkan
tanpa
dengan
memperhatikan variabel pendidikan orang tua ditemukan hasil adanya hubungan langsung antara tekanan ekonomi dan prestasi rata-rata mereka. Pembagian alokasi waktu dalam rumah tangga tidak lepas dari gender. Susan Losh-Hesselbart (Sussman dan Steinmetz 1988) mengemukakan bahwa di dalam rumah tangga wanita mempunyai peran instrumental dan pria mempunyai peran ekspresif. Selama kegiatan wanita tercurahkan pada kegiatan rumah tangga dan pria pada kegiatan bekerja di luar rumah, maka alokasi waktu
untuk
mengelola rumah tangga tidaklah terganggu. Akan tetapi terserapnya wanita dalam dunia kerja menjadikan waktu yang dialokasikan untuk kegiatan instrumental (rumah tangga) menjadi kegiatan kerja berupah. Piotrkowski et al (Sussman dan Steinmetz 1988) dalam kajiannya tentang families and work mengetengahkan bahwa waktu yang dialokasikan dalam kerja berupah merupakan waktu yang tidak dialokasikan untuk melaksanakan fungsi-fungsi keluarga dan juga tidak untuk anggota keluarga. Pemisahan yang berhubungan dengan kerja melibatkan ketiadaan kontak tatap muka antara anggota keluarga. Waktu juga merupakan sumberdaya penting yang digunakan keluarga menyelesaikan tugastugas keluarga dan juga menjaga solidaritas keluarga. Selanjutnya Pitorkowski et al (1988) mengungkapkan adanya anggapan luas bahwa waktu yang dialokasikan untuk kerja mengganggu kinerja peran-peran keluarga dikarenakan konflik antara kerja dengan peran keluarga dan karena kuantitas peran dan keterbatasan peran. Kebanyakan pekerja mengeluhkan waktu yang
tidak
memadai
untuk
kegiatan-kegiatan
keluarga
dan
sulitnya
meyeimbangkan waktu untuk kerja dan peran-peran keluarga. Karena beratnya tanggung jawab mereka terhadap keluarga, para pekerja wanita merupakan subyek
24
yang mengalami keterbatasan peran. Beberapa kajian telah menemukan bahwa jumlah waktu kerja berkaitan dengan konflik keluarga dan kerja dengan kesulitan mengatur aktivitas pribadi dan keluarga. Ilahi
(2000) meninjau perbedaan region dan rural-urban menemukan
distribusi waktu berdasarkan gender, namun alokasi waktu pria dan wanita tersebut sebagai respon terhadap tekanan-tekanan dan insentif-insentif ekonomi. Apakah pasar tenaga kerja dan barang-barang ada atau tidak mempunyai pengaruh yang penting sebagai penentu apakah pria dan wanita merubah alokasi waktu mereka sebagai respon terhadap perubahan-perubahan dari luar dalam lingkungan mereka. Sebagai contoh, efek –efek perubahan komersialisasi pertanian pembedaan gender tersebut terhadap penggunaan waktu beragam menurut bagaimana fungsi tenaga kerja yang baik dan pasar barang-barang. Dengan demikian perubahan ekonomi yang meningkatkan akses individu ke pasar tenaga kerja, barang-barang, kredit, asuransi dan day-care pasti akan menurunkan kebutuhan penggunaan sumberdaya waktu perempuan sebagai buffer. Disebutkan juga
bahwa
pemanfaatan
waktu
dan
kemiskinan
sangatlah
berkaitan.
Rumahtangga miskin menunjukkan adanya beban kerja yang tinggi yang harus ditanggung oleh wanita. Beban kerja ini akan menurun seiring dengan meningkatnya pendapatan rumahtangga karena tersedianya lapangan kerja. Penggunaan waktu dalam rumahtangga menjadi sangat penting untuk perkembangan anak, karena pada hakekatnya untuk mengasuh dan mendampingi anak dibutuhkan pengorbanan waktu. Penggunaan waktu tersebut dapat dikatakan mengikuti perkembangan usia anak. Semakin muda usia dibutuhkan banyak waktu untuk anak dikarenakan anak masih sangat tergantung kepada orang tua dalam berbagai hal. Akan tetapi semakin bertambah usia, kemampuan mobilitas sosialnya bertambah, maka dengan sendirinya waktu semakin berkurang Meskipun secara kuantitas waktu untuk anak berkurang, namun secara kualitas diperlukan penggunaan waktu secara efektif untuk anak.
25
Tinjauan Education Paradigm Pendidikan adalah salah satu upaya untuk meningkatkan kualitas sumberdaya mansia. Pendidikan secara umum mencakup pendidikan formal, pendidikan nonformal, dan pendidikan informal (UURI No 20/2003 Sisdiknas). Pendidikan formal adalah jalur pendidikan yang terstruktur dan berjenjang yang terdiri atas pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi. Pendidikan nonformal adalah jalur pendidikan di luar pendidikan formal yang dapat dilaksanakan secara terstruktur dan berjenjang. Pendidikan informal adalah jalur pendidikan keluarga dan lingkungan. Dan dalam undang-undang tersebut ditambahkan juga adanya pendidikan anak usia dini. Pendidikan anak usia dini adalah suatu upaya pembinaan yang ditujukan kepada anak sejak lahir sampai dengan usia enam tahun yang dilakukan melalui pemberian rangsangan pendidikan untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani agar anak memiliki kesiapan dalam memasuki pendidikan lebih lanjut.
Pendidikan Formal dan Non-formal Pada awal mula istilah school dalam bahasa Latin mempunyai arti leisure atau recreation (Giddens 1993). Arti tersebut masih relevan untuk tahap pendidikan taman-kanak-kanak (TK) sebagai tahap persiapan memasuki pendidikan dasar. Meskipun demikian di tingkat persiapan tersebut sudah dikenalkan juga baca tulis dan menghitung. Pada tahap ini anak diberi pelajaran yang dapat mengasah psikomotorik, afektif, dan cognitifnya. Namun semakin tinggi tingkat pendidikan maka tidak sekedar leisure dan rekreasi, akan tetapi semakin dituntut pada penguasaan ilmu dan teknologi yang beraneka ragam sesuai dengan jamannya. Kemampuan tersebut tidak hanya diperoleh dari pendidikan formal akan tetapi juga dilengkapi dengan pendidikan nonformal sehinga akan menyempurnakan kinerja individu di kemudian waktu. Apalagi jika mempertimbangkan perlunya link and match antara dunia pendidikan dan pekerjaan, maka dunia pendidikan perlu mempersiapkan tenagatenaga profesional atau sumberdaya yang berkualitas sebagai modal pembangunan dalam segala sektor. Partisipasi mencetak sumberdaya manusia melibatkan
26
keluarga, lingkungan pendidikan (sekolah dan para guru) dan masyarakat. Keluarga menyediakan segala kebutuhan materi dan non materi untuk keberhasilan pendidikan anak. Para guru mengasah ketrampilan, ilmu dan teknologi dan juga moral. Masyarakat merupakan ajang belajar dan praktek dari penguasaan ilmu serta teknologi. Sumberdaya berkualitas ini diharapkan dapat menjadi faktor pendorong pembangunan nasional. Dan secara individual memberikan kontribusi kesejahteraan di masa mendatang. Pendidikan dianggap juga sebagai upaya untuk meraih kesetaraan sosial. Para
ekonom
perkembangan
pendidikan pendidikan
senantiasa secara
alami
menyampaikan akan
gagasan
mengurangi
bahwa
ketimpangan
pendapatan (Boudon 1977). Namun pada kenyataannya pendidikan itu sendiri secara tidak langsung menciptakan ketimpangan sosial. Peningkatan waktu untuk pendidikan tidaklah mengurangi ketimpangan sosial akan tetapi justru meningkatkan ketimpangan ekonomi. Dengan demikian pendidikan menjadi modal utama untuk melakukan persaingan dalam angkatan kerja sehingga mampu meningkatkan kesejahteraan individu. Akan tetapi partisipasi anak ke dalam dunia pendidikan tersebut ditentukan oleh latar belakang keluarga. Finnie et al (2004) menemukan bahwa anak yang berasal dari keluarga dengan pendidikan orang tua yang tinggi memiliki partisipasi yang tinggi, sebaliknya anak yang berasal dari keluarga dengan pendidikan orang tua semakin rendah maka partisipasi dalam dunia pendidikan juga semakin merendah. Tipe keluarga juga berpengaruh terhadap tingkat partisipasi anak kedalam dunia pendidikan. Anak yang berasal dari keluarga lengkap cenderung menunjukkan angka yang meningkat dibandingkan dengan anak yang berasal dari keluarga tunggal. Latar belakang keluarga merupakan faktor yang dapat mempengaruhi kualitas
anak
dalam hal
keberhasilan
pendidikannya.
Sparkers
(1999)
menganggap bahwa keberhasilan pendidikan yang dicapai oleh anak tergantung juga dari latar belakang keluarga atau faktor-faktor bukan sekolah. Faktor-faktor tersebut adalah: • Karakteristik personal anak: prestasi sebelumnya, gender, dan kesehatan;
27
• Ekonomi Sosial: pendapatan rendah, orang tua tidak bekerja, klas sosial (pekerjaan orang tua) dan lingkungan tempat tinggal yang padat; • Pendidikan dan ketrampilan orang tua; • Struktur keluarga: family size, orang tua tunggal, tempat penitipan anak; • Etnisitas/bahasa: kelompok etnis, berbahasa Inggris; • Lainnya: kepentingan orang tua/keterlibatan/latihan-latihan. Dari sisi lembaga pendidikan maka kinerja sekolah berpengaruh terhadap prestasi anak. Artinya sekolah yang berkualitas akan menghasilkan output siswa yang berkualitas (Lloyd 2001; Bacolod and Tobias 2003). Lloyd (2001) menemukan bahwa kualitas sekolah (jam belajar, bahan pelajaran, kualitas guru, dinamika klas, perlakuan guru dam sikap guru) berhubungan dengan tingkat pencapaian prestasi siswa. Sedangkan Bacolod and Tobias (2003) menemukan adanya hubungan antara kualitas sekolah dengan prestasi akademik siswa. Fasilitas minimal pada sekolahan memberikan kontribusi pada prestasi belajar siswa. Fasilitas dasar minimal yang harus dimiliki sekolahan adalah fasilitas listrik, ukuran klas, dan program pelatihan guru. Proses pendidikan dapat dikatakan sebagai adanya input yang diolah dalam lembaga pendidikan dan menghasilkan output. Proses tersebut melibatkan lingkungan keluarga, karakteristik anak didik, dan lingkungan sekolah sebagai unsur yang menentukan kualitas output siswa. Sekolah memang merupakan ajang untuk transfer ilmu pengetahuan dan teknologi. Latar belakang keluarga memberikan dukungan baik materiil maupun non materi untuk anak dalam mengikuti proses pendidikan. Sedangkan karakteristik anak didik mencakup jenis kelamin, prestasi sebelumnya dan tingkat kecerdasan. Pada hakekatnya pendidikan itu sendiri merupakan sarana untuk melakukan mobilitas sosial. Semakin terbukanya kesempatan mengikuti pendidikan maka akan semakin mengurangi ketimpangan pendidikan sehingga akan meningkatkan social opportunity atau social mobility.
Apabila jumlah
division of labor dalam masyarakat relatif tetap maka social opportunity tersebut membutuhkan kemampuan bersaing yang semakin tinggi. Maka semakin banyak output pendidikan semakin meningkatkan persaingan. Kondisi ini merupakan
28
bentuk inflasi pendidikan dikarenakan perbandingan kuantitas dan kualitas output pendidikan yang semakin bertambah sementara penyerapan tenaga kerja terbatas sehingga dibutuhkan persyaratan sertifikasi pendidikan yang semakin tinggi untuk pekerjaan tertentu.
Pendidikan Informal dan Usia Dini Pendidikan informal dan usia dini tidak dapat dipisahkan. Pada hakekatnya pendidikan informal berlangsung dalam lingkungan keluarga, begitu juga dengan pendidikan usia dini. Pendidikan dalam lingkup keluarga ini dapat dikatakan sebagai bentuk sosialisasi keluarga kepada anak. Sosialisasi tersebut mencakup berbagai dimensi seperti: psikomotorik, afektif, dan cognitif. Sosialisasi psikomotorik merupakan pelatihan gerak agar dapat melakukan kegiatan mandiri. Sosialisasi afeksi merupakan pelatihan yang menumbuhkan perkembangan emosi anak secara positif. Dan sosialisasi cognitif merupakan pengenalan pengetahuan secara umum termasuk etika sesuai dengan perkembangan usianya. Pendidikan keluarga tersebut dapat dikatakan melengkapi pendidikan formal Nordblom (2001) menganggap bahwa pendidikan dalam keluarga dapat melengkapi dari pendidikan formal karena mencakup kebutuhan waktu dan barang-barang,
usaha-usaha
untuk
mengajari
kebiasaan-kebiasaan
anak,
membantu anak mengerjakan pekerjaan rumah, membeli komputer, atau mengirim untuk mengikuti pendidikan bahasa. Begitu juga masalah kesehatan dan aspek fisik lainnya serta makanan bergizi dan obat merupakan hal yang penting untuk human investment. Proses pendidikan yang terjadi dalam keluarga tersebut melibatkan ragam sumberdaya untuk menghasilkan output, teristimewa child outcome yang berkualitas. Schultz (1961) mengemukakan bahwa sumberdaya tersebut mencakup segi kuantitas dan kualitas. Kuantitas sumber daya meliputi jumlah orang, proporsi orang yang bekerja, dan jam bekerja. Kualitas sumberdaya mencakup komponen ketrampilan, pengetahuan, dan atribut-atribut yang mirip yang mempengaruhi kemampuan produktif manusia. Sumberdaya tersebut dapat bersumber pada ayah atau ibu, atau anggota keluarga lainnya.
29
Sumberdaya tersebut ditransfer oleh orang tua kepada anak melalui pendidikan dalam keluarga. Hasil dari transfer tersebut ditunjukkan dalam peran yang ditampilkan anak dalam keluarga tersebut. Peran tersebut dapat dilakukan secara baik hanya jika anak mempunyai kondisi fisik yang sehat, memiliki kecerdasan intelektual maupun emosional. Kesemua faktor tersebut memberikan dukungan terhadap segi psikomotorik, afeksi, dan kognitif anak yang diwujudkan dalam peran anak dalam keluarga. Tinjauan Sumberdaya Keluarga Household resources dapat diartikan sebagai sumber dari kekuatan, potensi, dan kemampuan untuk mencapai suatu manfaat atau tujuan. Menurut Bryant (1990) household resources dapat dipilah ke dalam human resources dan physical resources. Human resources mencakup time, skill, dan energy dari setiap anggota rumah tangga. Physical resources mencakup financial resources yang dapat diurutkan dari yang most liquid sampai dengan yang less liquid. Sumber daya yang most liquid berupa cash, sedangkan yang less liquid berupa credit line, saving accounts, saham, surat obligasi, mobil, rumah, dan tanah. Dengan maksud yang sama Deacon (tanpa tahun) juga mengemukakan bahwa resources mencakup human resources dan material resources. Human resources merupakan segala sesuatu yang diberikan pada orang yang dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan. Human resources menunjukkan personal characteristic seperti cognitive insights, psychomotoric skill, affective attributes, health, energy, dan time. Material resources merupakan nonhuman means untuk mencapai tujuan-tujuan dan kegiatan-kegiatan. Material resources mencakup consumption good, housing, household capital, physical energy, money, dan investments. Guhardja dkk
(1992) menjelaskan bahwa sumberdaya mempunyai
berbagai jenis yang dapat diklasifikasikan berdasarkan : (1) jenisnya, (2) segi ekonomi, dan (3) letak/asalnya.
Berdasarkan jenisnya maka sumberdaya
dapat diklasifikasikan sebagai (a) sumberdaya manusia dan (b) sumberdaya bukan manusia atau materi. Sumberdaya manusia mempunyaai dua ciri, yaitu ciri-ciri
30
pribadi/personal dan ciri-ciri interpersonal. Ciri-ciri pribadi adalah semua pengetahuan (cognitve), perasaan (affective) dan ketrampilan (psichomotoric). Selain itu, ciri-ciri pribadi mencakup juga enerji manusia, status kesehatan, bakat, tingkat intelegensia, minat dansensitivitas (kepekaan)
Sedangkan ciri-ciri
interpersonal sumberdaya manusia adalah jalinan hubungan natar manusia dalam membentuk
suatu
kerjasama
gotong
royong
atau
keintiman,
keterbukaan/ketertutupan antar personal dalam kaitannya dengan pengembangan. Aspek koginitf
menyangkut nilai-nilai dalam hal jangkauan/penguasaan
pengetahuan dimana mengenal tahapan-tahapan, yaitu: mengetahui, memahami, menganalisa, mensintesis, dan mengevaluasi. Aspek afektif lebih berhubungan dengan sisi subyektif. Afektif merupakan ciri pribadi yang tampak sebagai sumberdaya dalam hubungan antara personal dan dalam penggunaan sumberdaya materi (non manusia). Ada tiga spek pribadi dalam afeksi, yaitu: sikap, perasaan, dan ciri-ciri pribadi (baik hati, lapang dada, pemurah, dan bertanggung jawab). Sedangkan aspek psikomotorik adalah sumberdaya yang berupa kekuatan gerak fisik untuk mengerjakan suatu pekerjaan serta kemampuan untuk menggunakan peralatan, seperti: mencangkul, menyopir traktor, memperbaiki alat, memasak, dan mencuci pakaian, serta lain-lainnya. Sumberdaya bukan manusia atau materi merupakan benda-benda yang mempunyai khasiat dan kegunaan pada individu dan keluarga dalam mencapai tujuan yang diinginkannya. Sumberdaya bukan manusia atau materi terdiri dari benda-benda atau barang, jasa, waktu, dan enerji (Suprihatin Guhardja dkk 1992). Benda-benda yang digunakan dalam proses konsumsi dapat berlangsung malalui berbagai cara dibeli dan langsung dikonsumsi, dibeli kemudian diolah dahulu di rumahtangga, kemudian baru dikonsumsi, dan diperoleh dari luar (dari tetangga,, dari lembaga formal). Sumberdaya jasa mencakup jasa pembantu, jasa sopir, jasa ronda, jasa klinik, jasa perpustakaan, dan lain-lain. Sumberdaya waktu merupakan sumberdaya yang unik, karena selain tidak dapat dikategorikan sebagai sumberdaya manusia atau sumberdaya non manusia, juga tidak apat ditambah, dikurangi, diakumulasi atau disimpan. Sumberdaya waktu yang dimiliki oleh manusuia sama, yaitu dua puluh empat jam sehari. Waktu dapat menjadi ukuran yang mempunyai nilai ekonomis. Sumberdaya enerji merupakan sumberdaya
31
manusia maupun sumberdaya non manusia. Sumberdaya enerji merupakan sumberdaya manusia jika ditinjau dari sudut pandang bahwa enerji yang ada pada diri manusia tidak akan ada apabila manusia itu sendiri tidak ada. Sedangkan jika sumberdaya enerji merupakan sumberdaya non manusia jika ditinjau dari sudut pandang bahwa enerji dapat berada di alam bebas, seperti: enerji matahari, enerji gas dan minyak bumi, enerji angin, ombak, batu bara, kayu dan lainnya. Dengan
demikian
dapat
dikatakan
bahwa
household
resources
menunjukkan pada dua kategori human resources dan physical atau material resoures. Kedua karakter tersebut dapat merupakan kontinuum dari yang asset lancar sampai dengan asset tidak lancar. Bagaimanapun sumberdaya rumahtangga tersebut merupakan sumber daya yang dapat digunakan untuk mencapai tujuan dan aktivitas suatu rumah tangga.
Secara khusus faktor-faktor sumberdaya
keluarga memberikan kontribusi dalam membentuk kualitas anak. Faktor sumberdaya manusia berupa cognitif, afektif, dan psikomotorik merupakan potensi orangtua yang disosialisasikan kepada anak agar anak memiliki potensi yang memadai untuk aktivitas pada tahap usianya. Begitu juga kontribusi sumberdaya bukan manusia menentukan kualitas anak. Sumberdaya bukan manusia ini berupa sandang, pangan, papan, waktu, dan enerji yang disediakan oleh keluarga untuk kepentingan perkembangan anak yang berkualitas baik. Begitu juga sumberdaya ekonomi merupakan hal penting dalam kesejahteraan anak yang dapat diukur melalui kesehatan dan keberhasilan pendidikan (Curtis & Phips 2000) Kajian Empiris Kualitas Anak Kajian Indikator Kualitas Anak pada Penelitian Terdahulu Kualitas anak merupakan suatu output dalam suatu keluarga. Berbagai faktor masukan dikelola dalam keluarga tersebut sehingga mampu menghasilkan output berupa sumber daya manusia yang berkualitas. Beberapa kajian (Hartoyo 1998; Ribero 2000; Brown & Flin 2002; Caceres 2004) langsung menyebut kualitas anak Hartoyo (1998) dalam penelitiannya mengenai investing in children: study of rural families in Indonesia menjelaskan kualitas anak mencakup dimensi
32
jasmani (status gizi) dan kecerdasan (IQ). Ribero (2000) mengungkap bahwa perkawinan mempunyai hubungan positif dengan child quality sedangkan fertility mempunyai hubungan negatif dengan child quality. Ribero mengukur child quality dengan indikator pendidikan anak. Brown & Flin (2000) melakukan kajian mengenai investasi kepada anak dengan memperhatikan status perceraian dan perkawinan pengaruhnya terhadap kualitas anak. Hasilnya menunjukkan bahwa anak dalam keluarga yang menikah memiliki hasil test yang lebih baik dibandingkan dengan anak dalam keluarga perceraian. Indikator kualitas anak adalah Peabody Individual Achievement Test (PIAT) dalam bidang matematika dan membaca. Caceres (2004) mengkaji pengaruh family size terhadap investasi pada child quality. Caceres menggunakan pencapaian pendidikan sebagai indikator kualitas anak. Hidayat (1997) mendefinisikan kualitas sebagai gabungan karakateristik yang menentukan derajat kehandalan (degree of excellence). Oleh karena itu, kualitas SDM dapat didefiniskan sebagai gabungan dari karakteristik segenap sumberdaya yang ada dalam diri manusia, mencakup karakteristik fisik, akal, kalbu, dan nafsu yang menentukan kehandalan manusia baik sebagai makhluk indiividu maupun makhluk sosial. Dalam hal ini yang dimaksud sumber daya manusia berkualitas adalah anak. Kualitas anak tersebut mencakup faktor status gizi (jasmani), kecerdasan intelektual (akal), kecerdasan emosional (kalbu), dan prestasi belajar. Berbeda
dengan
penelitian-penelitian sebelumnya
yang menyebut
langsung kualitas anak, sebaliknya beberapa penelitian berikut tidak menunjuk langsung kualitas anak. Meskipun demikian beberapa penelitian terdahulu tersebut dapat menjadi acuan bagi penelitian selanjutnya.. Beberapa penelitian berikut merupakan penjabaran dari definsi kualitas anak sehingga merupakan bagianbagian dari karakteristik kualitas anak yang mencakup status gizi (jasmani), intelligence quotien (kecerdasan), dan emotional quotien (kecerdasan emsional).
Status Gizi Beberapa penelitian tentang status gizi dilakukan oleh Tambingon (1999), Nurhayati (2000), Paputungan (2000), Soedikarijati (2001), Rahmawati (2001),
33
Yuliana (2002).
Tambingon (1999) menggunakan variabel status ibu,
karakteristik keluarga, pola pengasuhan, dan jenis kelamin. Nurhayati (2000) menggunakan variabel
pengaruh langsung (konsumsi gizi dan infeksi) dan
pengaruh tidak langsung (sanitasi pangan dan lingkungan, pengetahuan sanitasi lingkungan dan pangan, pengeluaran pangan, pantangan pangan, pendapatan keluarga, dan pendidikan ibu. Paputungan (2000) menggunakan penerima PMT JPS-BK dan tidak , konsumsi pangan, status gizi bayi lahir, konsumsi energi, pola pengasuhan, karakteristik keluarga. Soedikarjati (2001) mengoperasikan variabel pendapatan keluarga, dsitribusi pangan, sosiobudaya pangan, kebiasaan pangan, konsumsi pangan, maslah makan anak, dan penyakit diare. Rahmawati (2001) menggunakan variabel kualitas pelaksanaan PMT-AS, karakteritik keluarga, kualitas makan, pengetahuan gizi , status kesehatan. Yuliana (2002) menggunakan variabel karakteristik keluarga, pola asuh makan, pola asuh perkembangan, konsumsi gizi. Status kesehatan, perkembangan. Ada kesamaan penggunaan variabel pada penelitian tersebut adalah sebagai berikut: pengetahuan gizi (Nurhayati 2000; Widayani 2000; Rahmawati 2001; Paputungan 2000; Yuliana 2002), pendapatan keluarga (Nurhayati 2000; Soedikarijati 2001; Widayani 2000; Tambingon 1999; Paputungan 2000; Yuliana 2002), konsumsi pangan (Soedikarijati 2001; Widayani 2000; Paputungan 2000), pola asuh (Widayani 2000; Tambingon 1999; Paputungan 2000; Yuliana 2002), sanitasi lingkungan (Widayani 2000; Nurhayati 2000), konsumsi gizi (Yuliana 2002; Paputungan 2000; Nurhayati 2000), karakteristik keluarga (Yuliana 2002; Paputungan 2000; Tambingon 1999; Rahmawati 2001), status kesehatan (Yuliana 2002: Rahmawati 2001), infeksi (Nurhayati 2000; Paputungan 2000). Adapun perbedaan variabel yang berhubungan dengan status gizi adalah sebagai berikut: status ibu, jenis kelamin anak (Tambingon 1999); perawatan anak, pemberian makan, pantangan makan, pengetahuan sanitasi lingkungan dan pangan (Nurhayati 2000); proses melahirkan dan status gizi bayi lahir (Paputungan 2000); distribusi pangan, sosio budaya pangan kebiasaan pangan (Soedikarijati 2001); alokasi waktu dan jenis pekerjaan (Widayani 2000); kualitas pelaksanaan PMT-AS dan pengetahuan, sikap dan perilaku gizi (Rahmawati 2001); perkembangan (Yuliana 2000).
34
Penggunaan skala pengukuran dalam penelitian-penelitian tersebut beragam mencakup nominal, ordinal. Penggunaan skala nominal sebagai skala pengukuran dijumpai pada status ibu (Tambingon 1999); menerima dan tidak menerima PMT-AS JPS-BK (Paputungan 2000); masalah makan anak dan penyakit diare (Soedikarijati 2001). Penggunaan skala ordinal dijumpai pada karakteristik keluarga, konsumsi gizi bayi, perkembangan anak, status gizi (Yuliana 2000); jumlah anggota keluarga, pendapatan perkapita, pola pengasuhan, lama pendidikan, status gizi (Tambingon 1999); konsumsi gizi pengaruh tidak langsung dan pengaruh langsung, status gizi (Nurhayati 2000); status gizi bayi lahir, konsumsi pangan, pola pengasuhan anak, karakteristik keluarga, status gizi (Paputungan 2000); pendapatan keluarga, distribusi pangan, konsumsi pangan, status gizi (Soedikarijati 2001); pendapatan, pola asuh, pengetahuan gizi, konsumsi pangan, sanitasi lingkungan, status gizi (Widayani 2000); kualitas pelaksanaan PMT-AS, karakteristik keluarga, kualitas makanan, pengetahuan gizi, status kesehatan, status gizi (Rahmawati 2001). Variabel yang diteliti hubungannya dengan status gizi adalah sebagai berikut: pengetahuan, sikap dan perilaku gizi dan kesehatan siswa dengan status gizi siwa (Rahmawati 2001); pendapatan keluarga, distribusi pangan, konsumsi pangan anak balita dengan status gizi (Soedikarjati 2001); sanitasi lingkungan, pola asuh anak balita, dan kosnsumsi pangan dengan status gizi anak (Widayani 2000); proses melahirkan, status gizi bayi lahir, konsumsi energi (Paputungan 2000); pengaruh langsung dan tidak langsung terhadap status gizi anak (Nurhayati 2000); karakteritik keluarga dan pola pengasuhan dengan status gizi (Tambingon 1999); karakteristik keluarga, pola asuh makan, pola asuh perkembangan, kosnumsi gizi bayi dengan status gizi (Yuliana 2002). Alat statistik yang diterapkan dalam penelitian tersebut adalah uji t (Rahmawati 2001; Widayani 2001; Paputungan 2000; Nurhayati 2000); korelasi Spearman (Widayani 2000; Paputungan 2000; Tambingon 19990; korelasi Pearson (Yuliana 2002);
regresi linier (Nurhayati 2000; Soedikarjati 2001;
Widayani 2000; Tambingon 1999; Yuliana 2002). Adapun sampel yang digunakan dalam penelitian ini beragam. Yuliana(2002) menggunakan sampel bayi usia 8-11 bulan. Nurhayati (2000)
35
menggunakan sampel anak usia 6-24 bulan. Rahmawati (2001 menggunakan sampel siswa SD PMT-AS dan Non-PMT-AS. Soedikarjati (2002) menggunakan sampel keluarga pra sejahtera dan sejahtera yang memiliki balita. Tambingon (1999) menggunakan sampel ibu bekerja dan tidak bekerja yang meiliki balita. Paputungan (2000) menggunakan sampel bayi usia 12 –27 bulan dalam keluarga miskin.
Widayani
(2000)
menggunakansampel
rumah
tangga
petani
yangmempunyai anak berusia 12-36 bulan. Persamaan dengan variabel yang akan digunakan dalam penelitian ini yang berhubungan degan status gizi adalah sosial ekonomi keluarga, pengetahuan gizi, sikap gizi dan konsumsi pangan.
Kecerdasan Emosional Beberapa penelitian tentang kecerdasan emosional dilakukan oleh Nurani (2003 ), Handayani (2004), Nuraida (2003), dan Mafriana (2003). Nurani (2003) menggunakan variabel
karakteristik keluarga (pendidikan ibu, pendapatan,
pekerjaan, besar keluarga), kualitas perkawinan (kepuasan, kebahagiaan perkawinan),
pengasuhan
,
kecerdasan
emosional.
Handayani (2004)
menggunakan variabel karakteristik ayah (umur, pendapatan keluarga) kepuasan ayah (terhadap kehidupan keluarga, pekerjaan, anak), tipe pengasuhan anak, karakteristik
anak
(jenis
kelamin,
urutan
kelahiran).
Nuraida
(2003)
menggunakan variabel kurikulum nasional dan kecerdasan emosional. Mafriana (2003) menggunakan variabel karakteristik keluarga (tipe keluarga, pendapatan keluarga, dukungan keluarga, modernitas keluarga), karakteristik pribadi (motivasi orang tua, religiusitas orangtua, karakteristik orang tua, karakteristik anak), dukungan komunitas (institusi pendidikan, institusi kesehatan, lingkungan bermain anak), fungsi ekspresif-instrumental. Dalam penelitian-penelitian tersebut dijumpai adanya kesamaan variabel sebagai berikut: variabel pendidikan (Nurani 2003; Handayani 2004; Maulani 2002); pendapatan (Nurani 2003; Handayani 2004; Maulani 2002; Mafriana 2003); karakteristik anak (Handayani 2004; Maulani 2002); pengasuhan (Nurani 2003; Handayani 2004; Maulani 2002); kecerdasan emosional (Nurani 2003; Handayani 2004; Maulani 2002; Mafriana 2003).
36
Adapun perbedaan variabel yang digunakan adalah sebagai berikut: kualitas perkawinan (kepuasan, kebahagiaan perkawinan) (Nurani 2003); kepuasan ayah (terhadap kehidupan keluarga, pekerjaan, dan anak) (Handayani 2004); besar keluarga dan status ibu (Maulani 2002); keadaan ekonomi keluarga, karakteristik
Pribadi,
dukungan
komunitas,
fungsi
ekspresif-instrumental
(Mafriana 2003). Penggunaan skala pengukuran dalam penelitian-penelitian tersebut beragam mencakup nominal, ordinal, dan skala Likert. Penggunaan skala nominal dijumpai pada etnisitas (Mafriana 2003); pekerjaan (Nurani 2003);
tipe
pengasuhan anak, jenis kelamin (Handayani 2004); jenis kelamin, tingkat pengasuhan/bermain, tipe permainan, pola premainan (Maulani 2002). Sedangkan penggunaan skala ordinal dijumpai pada pendidikan, pendapatan, besar keluarga, kualitas perkawinan, pengasuhan, dan kecerdasan emosional (Nurani 2003); kepuasan ayah, kecerdasan emosional (Handayani 2004); pengasuhan anak, alokasi waktu, kecerdasan emosional (Maulani 2002); keadaan ekonomi keluarga, karakteristik pribadi, dukungan komunitas, fungsi ekspresif-instrumental, kecerdasan emosional (Mafriana 2003). Adapun hubungan yang diteliti adalah sebagai berikut: hubungan keadaan sosial ekonomi, karakteristik pribadi, dukungan komunitas, fungsi ekspresifinstrumental dengan kecerdasan emosional (Mafriana 2003); hubungan kualitas perkawinan, pengasuhan anak dengan kecerdasan emosional (Nurani 2003); hubungan karakteristik ayah, kepuasan ayah, tipe pengasuhan emosional, karakteristik anak dengan kecerdasan emosional (Handayani 2004); hubungan karakteristik keluarga, karakteristik anak, pengasuhan anak, pengasuhan sosial dengan kecerdasan emosional (Maulani 2002). Alat statistik yang diterapkan dalam penelitian tersebut adalah uji beda (Kruskal-Allis, t-test, ANOVA) (Mafriana 2003); korelasi Spearman (Nurani 2003; Handayani 2004; Maulani 2002); regresi linier berganda (Nurani 2003; Mafriana 2003). Adapun sampel yang digunakan dalam penelitian ini beragam sebagai berikut: siswa SLTP (Nurani 2003); keluarga utuh yang mempunyai anak berusia
37
11 tahun SD (Handayani 2004); anak TK dalam keluarga inti lengkap (Maulani 2002); keluarga dari etnik yang berbeda (Mafriana 2003). Kesamaan dengan penelitian yang akan dilakukan adalah penggunaan variabel dan sampel. Penelitian ini menggunakan variabel sosial ekonomi keluarga dan pengasuhan anak hubungannya dengan kecerdasan emosional siswa SLTP. Sampel penelitian ini adalah siswa SLTP yang duduk di kelas dua.
Kecerdasan (IQ) Penelitian dalam kajian kecerdasan (IQ) tergolong jarang dibandingkan dengan penelitian lainnya. Berdasarkan beberapa penelitian yang dijumpai dapat disimpulkan bahwa kajian psikologi lebih banyak memposisikan IQ sebagai independent variable daripada dependent variable. Kajian kecerdasan sebagai dependent variable justru ditemukan dalam kajian ilmu gizi (Arnelia 2002; Mutmainah 1996), sekalipun jumlahnya sedikit. Arnelia (2002) meneliti tentang gizi buruk usia dini dan dampaknya terhadap tingkat kecerdasan dan keragaan sekolah. Arnelia (2002) menempatkan gizi buruk usia dini sebagai independent variable dan IQ serta keragaan sekolah sebagai dependent variable. Sedangkan Mutmainah (1996) meneliti beberapa variabel yang berhubungan dengan tingkat kecerdasan anak usia 2-5 tahun. Mutmainah (1996) menempatkan variabel IQ sebagai dependent variable dan pendapatan keluarga, pendidikan orang tua, ukuran keluarga, serta status gizi sebagai dependent variable. Dengan demikian tampak jelas bahwa kesamaan variabel hanya pada status gizi (Arnelia 2002; Mutmainah 1996), sedangkan perpedaannya tampk dalam penapatan keluarga, pendidikan orangtua, ukuran keluarga (Mutmainah 1996). Dan
penggunaan
skala
pengukuran
dalam
penelitian-penelitian tersebut adalah ordinal (Mutmainah 1996; Arnelia 2002), kecuali untuk mengukur IQ Arnelia (2002) menggunakan Eschler Intelligence Scale for Children (WISC). Adapun alat statistik yang digunakan dalam penelitian tersebut adalah cross-tab dengan analisa deskriptif (Mutmainah 1996); uji beda t-student, uji chi square, ANCOVA (Arnelia 2002). Penelitian tersebut meenggunakan sampel anak
38
usia sekolah SD (Arnelia 2002) dan keluarga yang memiliki anak usia 2-5 tahun (Mutmainah 1996). Perbedaan dengan penelitian yang akan dilakukan adalah penggunaan variabel dan sampel penelitian. Penelitian ini menggunakan kecerdasan emosional sebagai faktor yang berpengaruh terhadap kecerdasan (IQ). Ini merupakan pengaruh internal indikator kualitas anak. Sampel penelitian ini adalah siswa SLTP. Sedangkan persamaannya adalah penggunaan variabel sosial ekonomi dan status gizi.
Faktor-Faktor Berpengaruh Terhadap Kualitas Anak Pengetahuan Gizi Gizi sangat tergantung pada kondisi pangan yang dikonsumsinya. Pengetahuan akan makanan yang bergizi akan dapat mempengaruhi pemilihan jenis makanan yang benar, aman serta berkhasiat untuk dikonsumsi. Salah satu sebab penting dari gangguan gizi adalah kurangnya pengetahuan gizi atau kemampuan untuk meresapkan informasi gizi dalam kehidupan sehari-hari (Suhardjo 1989). Notoatmodjo (1993) menjelaskan bahwa pengetahuan gizi dan kesehatan adalah pengetahuan tentang peranan makanan dan zat gizi, sumber-sumber zat gizi pada makanan, makanan yang aman untuk dimakan sehingga tidak menimbulkan penyakit dan cara mengolah makanan yang baik agar zat gizi dalam makanan tidak hilang serta bagaimana cara hidup sehat. Sedangkan Sapp dan Helen (1997) mendefinisikan pengetahuan gizi adalah kemampuan seseorang untuk mengingat (recall) kembali kandungan gizi makanan, sumber serta kegunaan zat gizi tersebut di dalam tubuh. Pengetahuan gizi ini mencakup proses kognitif yang dubutuhkan untuk menggabungkan informasi gizi dengan perilaku makan agar struktur pengetahuan yang baik tentang gizi dan kesehatan dapat dikembangkan. Tampak jelas bahwa pengetahuan gizi merupakan faktor utama sebagai stock of knowledge tentang gizi yang tidak hanya berhenti sebagai pengetahuan akan tetapi perlu diaktualisasikan dalam pilihan konsumsi makanan. Pentingnya
39
pengetahuan gizi didasarkan pada tiga kenyataan: 1) status gizi yang cukup adalah penting bagi kesehatan dan kesejahteraan, 2) setiap orang hanya akan cukup gizi jika makanan yang dimakannya mampu menyediakan zat gizi yang diperlukan untuk pertumbuhan tubuh optimal, pemeliharaan dan energi, 3) ilmu gizi memberikan
fakta-fakta
yang
perlu
sehingga
penduduk
dapat
belajar
menggunakan pangan dengan baik bagi perbaikan gizi (Suhardjo 1996). Madanijah (2004) menjelaskan bahwa aspek-aspek dalam pengetahuan gizi mencakup: a) pangan dan gizi (pengertian, jenis, fungsi, sumber, akibat kekurangan), b) pangan/gizi bayi (ASI, MPASI, umur pemberian, jenis), c) pangan/gizi balita, d) pangan/gizi ibu hamil, e) pertumbuhan anak (pengertian, cara pengukuran, KMS), f) kesehatan anak (jenis, guna dan umur imunisasi, penyakit yang sering terjadi pada anak dan cara penanggulangan), g) pengetahuan tentang pengasuhan anak (tugas pengasuhan, asuh makan). Apabila
diperhatikan maka
diketahui
bahwa
aspek-aspek
dalam
pengetahuan gizi tersebut sangat dekat dengan peran ibu rumah sebagai pengelola rumah tangga. Pada keluarga konvensional kebanyakan wanita (ibu rumah tangga) memiliki peran fungsional dalam rumah tangga baik secara sosial (nurture) maupun secara alami (nature) untuk menjalankan peran sebagai pengelola rumah tangga. Dengan demikian peran untuk mengelola masalah pangan tergantung pada wanita atau ibu rumah tangga. Ibu adalah sebagai pengambil keputusan dalam menentukan menu makanan keluarga memang memegang peranan penting dalam penyediaan bahan makanan, penyiapan dan pendistribusian makanan di antara anggota-anggota keluarga (Hartog 1995). Sejauh mana peran ibu dalam keluarga sebagai pengelola rumah tangga membuat prioritas dapat ditemukan dalam penelitian Handa (1996). Handa (1996) menemukan bahwa dua alasan mengapa anak-anak dalam rumah tangga miskin yang dikepalai wanita tidak buruk dibandingkan dengan rumah tangga yang dikepalai oleh pria. Pertama, bahwa wanita cenderung memfokuskan pola pengeluarannya untuk anak, maka jika wanita mempunyai kebebasan untuk melakukan preferensi secara efisien, kemudian banyak sumber daya yang dibelanjakan diperuntukkan pada anak-anak dalam keluarga tersebut. Kedua, rumah tangga yang dikepalai oleh wanita mampu memberikan perawatan dan
40
pengasuhan yang lebih baik sehingga anak-anak tidak menderita karena kemiskinan relatif mereka. Hal ini tidak berbeda dengan apa yang diungkapan oleh Khomsan (2004) bahwa pada hakekatnya kesejahteraan rumah tangga tidak hanya tergantung pada penghasilan yang diperoleh, akan tetapi juga oleh siapa yang mencari nafkah dan mengontrol pengeluaran rumah tangga. Kaum perempuan, dibandingkan kaum pria, ternyata cenderung mengalokasikan uang untuk belanja pangan keluarganya. Sementara pendapatan yang berasal dari perempuan berkorelasi erat dengan semakin membaiknya derajat kesehatan dan status gizi anak. Dengan demikian dalam kondisi kecukupan maupun keterbatasan ekonomipun wanita (ibu rumah tangga) masih dapat membuat prioritas pengeluaran untuk anak. Kategori pengetahuan gizi bisa dibagi dalam tiga kelompok yaitu baik, sedang, dan kurang (Khomsan 2000). Cara pengkategorian dilakukan dengan menetapkan cut-off point dari skor yang telah dijadikan persen. Untuk keseragaman maka dianjurkan menggunakan cut of point sebagai berikut: a. Baik
: > 80% jawaban benar
b. Cukup
: 60-80% jawaban benar
c. Kurang
: < 60% jawaban benar
Sikap Gizi Sikap adalah kecenderungan pada diri subyek untuk menerima atau menolak sesuatu obyek berdasarkan penilaian terhadap obyek itu sebagai obyek yang berharga atau tidak berharga, baik atau tidak baik (Winkel 1984). Sikap dapat juga diartikan sebagai suka atau tidak suka pada diri seseorang terhadap obyek. Sedangkan Engel et.al (1994) mendefinisikan sikap sebagai suatu keadaan jiwa (mental) dan keadaan pikiran atau daya nalar yang disiapkan untuk memberikan tanggapan terhadap sesuatu hal, sehingga secara langsung dapat mempengaruhi perilaku.
Beberapa definisi tersebut mengandung pengertian
menerima dan menolak, suka dan tidak suka, baik dan tidak baik, dan pertimbangan nalar.
41
Begitu halnya dengan sikap gizi merupakan suka dan tidak suka, menerima dan menolak, dan pertimbangan rasional. Hal ini menunjukkan bahwa perlu adanya cadangan pengetahuan pada diri seseorang sehingga dapat membuat keputusan menerima atau menolak, suka atau tidak suka, dan pertimbangan yang rasional.
Oleh karenanya sikap terhadap makanan dapat bernilai positif atau
negatif. Sikap tersebut dipengaruhi oleh lingkungan alam, budaya, sosial ekonomi dimana orang tersebut hidup (Khumaidi 1994).
Konsumsi Pangan Pangan dan gizi merupakan salah satu komponen yang sangat penting dalam pembangunan manusia seutuhnya. Pangan merupakan faktor yang dapat menghasilkan
sumberdaya
manusia
yang
berkualitas.
Baliwati
(2004)
menjelaskan bonsumsi pangan adalah jenis dan jumlah pangan yang dimakan oleh seseorang dengan tujuan tertentu pada waktu tertentu. Konsumsi pangan dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan individu secara biologis, psikologis, maupun sosial. Hal ini terkait dengan fungsi sosial makanan yaitu gastronomik, identitas budaya, religi dan magis, komunikasi, lambang status ekonomi, serta simbol kekuatan dan kekuasaan (Mudanijah 2004). Menurut Baliwati (2004) ekspresi setiap individu dalam memilih makanan akan berbeda satu dengan yang lain. Ekspresi tersebut akan membentuk pola perilaku makan yang disebut kebiasaan makan. Tujuan mengkonsumsi pangan adalah untuk memperoleh zat gizi yang diperlukan tubuh (Hardinsyah & Martianto 1989). Menurut Baliwati (2004) kebutuhan pangan dan gizi berbeda antar individu, karena dipengaruhi oleh beberapa hal berikut. 1. Tahap perkembangan meliputi kehidupan sebelum lahir dan sewaktu bayi ( < 1 tahun), masa kanak-kanak (umur 1 – 9 tahun), remaja (10 - 19 tahun), dewasa (20 – 60 tahun), dan lansia ( > 60 tahun). 2. Faktor fisiologis tubuh (misal kehamilan) 3. Keadaan sakit dan dalam penyembuhan 4. Aktivitas fisik yang tinggi makin banyak mememerlukan energi. 5. Ukuran tubuh (berat dan tinggi badan)
42
Meskipun tujuan mengkonsumsi pangan merupakan penentu dari asupan pangan yang bergizi bagi tubuh ditemukan adanya faktor-faktor yang mempengaruhi konsumsi pangan. Faktor-faktor yang mempengaruhi konsumsi pangan adalah faktor ekonomi dan harga, serta faktor sosio-budaya dan religi (Madanijah 2004). Pertama, faktor ekonomi dan harga.
Keadaan ekonomi
keluarga relatif mudah diukur dan berpengaruh besar pada konsumsi pangan, terutama pada golongan miskin. Keluarga miskin menggunakan sebagian besar pendapatannya untuk memnuhi kebutuhan makanan. Ada dua peubah ekonomi yang cukup dominan sebegai determinan konsumsi pangan adalah pendapatan keluarga dan harga. Suhardjo (1993) mengemukakan bahwa daya beli merupakan fungsi dari pendapatan. Jika pendapatan meningkat, maka keterjaminan pangan dan konsumsi atau ketersediaan menu makanan akan lebih baik bagi rumah tangga tersebut. Kedua, faktor sosio – budaya dan religi. Kebudayaan suatu masyarakat mempunyai kekuatan yang berpengaruh terhadap pemilihan bahan makanan yang digunakan untuk dikonsumsi. Aspek sosio – budaya pangan adalah fungsi pangan dalam amsyarakat yang berkembang sesuai dengan keadaan lingkungan, agama, adat, kebiasaan, dan pendidikan masyarakat tersebut. Begitu pula adanya pantangan yang berdasarkan agama terhadap jenis makanan tertentu. Pelanggaran terhadap pantangan tersebut memberikan sangsi dosa bagi pelanggar. Karsin (2004) penggolongan pangan dapat dijumpai dalam daftar komposisi bahan makanan (DKBM). DBKM mengklasifikasikan pangan menjadi 10 golongan, yaitu serealia, umbi-umbian dan hasil olahannya, biji-bijian, kacangkacangan dan hasil olahannya; daging dan hasil olahannya; telur, ikan, kerang, udang and hasil olahannya; sayuran; buah-buahan; susu dan hasil olahannya; lemak dan minyak serta serba-serbi. Selanjutnya Karsin (2004) mengemukakan bahwa secara khusus di Indonesia dikenal penggolongan makanan sesuai dengan pola makan masyarakat. Hal
ini
mencerminkan
perilaku
keluarga/rumah
tangga
dalam
menyusun/menyediakan hidangan sehari-hari. Pengelompokan tersebut meliputi pangan pokok (beras, jagung, sagu, ubi, terigu, singkong), lauk pauk (daging, ikan, telur, tahu, tempe), sayuran, buah, dan susu. Ini dikenal dengan konsep
43
empat sehat lima sempurna dan merupakan salah satu jabaran dai pedoman gizi seimbang. Kemudian Departemen Kesehatan mempromosikan pedoman pangan atau pedoman gizi yang disebut dengan PUGS (Pedoman Umum Gizi Seimbang) (Madanijah 2004). PUGS ini merupakan penyempurnaan dari empat sehat lima sempurna. PUGS meliputi 13 pesan dasar gizi seimbang seperti berikut: 1. Makanlah aneka ragam pangan 2. Makanlah pangan untuk memenuhikecukupan energi 3. Makanlah sumber karbohidrat, setengah dari kebutuhan energi. 4. Batasi konsumsi lemak dan minyak sampai seperempat dari kecukupan energi 5. Gunakan garam beryodium 6. Makanlah sumber zat besi 7. Berikan ASI saja pada bayi sampai usia 4 bulan (ASI eksklusif) 8. Biasakan makan pagi 9. Minumlah air bersih, aman, dan cukup jumlahnya. 10. Lakukan kegiatan fisik dan olah raga secara teratur 11. Hindari minuman beralkohol 12. Makan pangan yang aman bagi kesehatan 13. Bacalah label pada pangan yang dikemas. Kondisi Sosial Ekonomi Rumah Tangga Dan Perkembangan Anak
Kesejahteraan ekonomi rumah tanngga sangat tergantung dari sumber daya yang dimilikinya, khususnya uang. Sumber daya ekonomi dipenuhi dengan cara melakukan aktivitas kerja yang medatangkan upah. Oleh karena itu dibutuhkan kemampuan suami isteri untuk memperoleh sumber daya tersebut. Priyono (1999) mengemukakan bahwa ada dua alasan mengapa seseorang memutuskan untuk bekerja, yaitu motivasi ekonomi (mencari nafkah) dan motivasi aktualisasi diri. Barangkali untuk rumah tangga di pedesaan cenderung memenuhi alasan yang pertama, yaitu memenuhi kebutuhan ekonomi. Dengan alasan seperti itu maka dimungkinkan terjadinya pola nafkah ganda. White 1990 dan Sajogyo 1991 merumuskan arti dan alasan strategi pola nafkah ganda berdasarkan lapisan rumahtangga di pedesaan sebagai berikut: a. Lapisan atas: pola nafkah ganda merupakan strategi akumulasi (accumulation strategy), dimana surplus pertanian mampu membesarkan usaha luar pertanian dan sebaliknya;
44
b. Lapisan tengah: pola nafkah ganda merupakan strategi konsolidasi (consolidation strategy), dimana sektor luar pertanian dipertimbangkan sebagai potensi untuk perkembangan ekonomi; c. Lapisan bawah: pola nafkah ganda merupakan strategi bertahan hidup (survival strategy), dimana sektor luar pertanian merupakan sumber nafkah penting untuk menutup kekurangan di sektor pertanian. Berdasaran tipologi tersebut maka dapat diketahui kecenderungan alokasi income dari nafkah ganda, dimana dimungkinkan melakukan investasi kedalam physical capital, financial capital, dan human capital. Floro dan Seguino (2002) mengkaji keterkaitan kepemilikan pendapatan atau tabungan oleh perempuan dalam rumah tangga dengan kemampuan melakukan bargaining power. Dikemukakan bahwa pergeseran pendapatan ratarata perempuan, yang mana mempengaruhi bargaining power mereka dalam rumah tangga, memiliki pengaruh yang dapat dilihat di dalam household saving, dan secara lebih luas jumlah tabungan tersebut mengakibatkan perbedaan kepemilikan tabungan oleh gender. Suatu kerangka analisa untuk tabungan rumah tangga yang pooled dan non-pooled dikembangkan guna mengkaji mengapa kepemilikan tabungan perempuan dan laki-laki berbeda dan bagaimana perubahan upah rata-rata perempuan berpengaruh terhadap tabungan-tabungan rumah tangga pada pria yang mana menciptakan komponen yang berarti bagi tabungan kotor domestik. Suatu analisa empiris dilakukan dengan menggunakan data 20 ekonomi semi
industri,
yang
dikumpulkan
pada
periode
1975-95.
Hasilnya
mengindikasikan bahwa beberapa ukuran pendapatan perempuan dan bargaining power meningkat, jumlah tabungan meningkat, yang menyatakan pengaruh signifikan gender terhadap jumlah tabungan. Temuan ini menunjukkan pentingnya memahami gender relations pada tingkat rumah tangga dalam perencanaan mobilisasi tabungan dan dalam perumusan kebijakan finansiil dan tabungan. Handa (1996) melakukan penelitian lain berkenaan dengan perilaku pengeluaran dan kesejahteraan anak dalam rumah tangga yang dikepalai oleh wanita di Jamaika. Bukti-bukti di Jamaika menunjukkan bahwa status jenis kelamin dan unit kepala rumah tangga mempunyai pengaruh yanng signifikan terhadap perilaku pengeluaran rumah tangga dengan implikasi bagi anggota-
45
anggota rumah tangga secara perseorangan. Sementara adanya pembuat keputusan pada wanita meningkatkan bagian alokasi pendapatan rumah tangga untuk anak dan barang-barang kebutuhan keluarga, rumah tangga yang dikepalai oelh wanita juga banyak membelanjakan untuk pakaian dewasa dan sedikit membelanjakan untuk kesehatan. Pada keluarga yang dikepalai oleh wanita pengeluaran untuk kesehatan yang rendah sebagian diimbangi dengan pemanfaatan input kesehatan yang lain. Perbedaan alokasi sumber daya ini menjelaskan mengapa rumah tangga miskin yang dikepalai oleh wanita tidak mempunyai kualitas anak yang rendah. Selanjutnya ia menjelaskan bahwa ada dua alasan mengapa anak-anak dalam rumah tangga miskin yang dikepalai wanita tidak buruk dibandingkan dengan rumah tangga yang dikepalai oleh pria. Pertama, bahwa wanita cenderung memfokuskan pola pengeluarannya untuk anak maka jika wanita mempunyai kebebasan untuk melakukan preferensi secara efisien, kemudian banyak sumber daya yang dibelanjakan diperuntukkan pada anak-anak dalam keluarga tersebut. Kedua, rumah tangga yang dikepalai oleh wanita mampu memberikan perawatan dan pengasuhan yang lebih baik sehingga anak-anak tidak menderita karena kemiskinan relatif mereka. Sebagaimana dikemukakan oleh Haddad (1997) bahwa apabila wanita memiliki penguasaan terhadap sumber daya, maka mereka cenderung menggunakannya tidak sama jika dikuasai oleh pria, dimana wanita cenderung lebih banyak membelanjakannya untuk keperluan anak, dan menunjukkan perbedaaan hasil terhadap kesejahteraan rumah tangga. Duncan (1998) mengemukakan
bahwa
kelangkaan
sumber daya
memberikan akibat terhadap ketidakberuntungan ekonomi yang dihadapi oleh keluarga dengan anak-anak. Satu sisi anak-anak dalam keluarga yang berkecukupan uang dan sumber daya ekonomi pada umumnya memiliki kondisi kehidupan yang lebih aman dan kedekatan, juga mempunyai kemudahan akses terhadap peluang sosial, kesehatan, pendidikan dan rekreasi. Hal tersebut merupakan faktor-faktor penting untuk membentuk perkembangan anak yang positif dan sehat. Di sisi lain anak-anak berasal dari keluarga berpendapatan rendah memiliki resiko sosial, fisik dan emosional, khususnya bagi masalahmasalah perilaku dan emosi, dan juga kemampuan akademis yang rendah. Dengan
46
demikian ada korelasi antara kondisi ekonomi rumah tangga terhadap perkembangan anak. Lebih lanjut hasil studi yang dikemukakan oleh Ross (2000) menunjukkan keterkaitan antara pendapatan rumah tangga dan kesejahteraan anak. Hasil dari kajian tersebut adalah sebagai berikut: o Anak anak dari keluarga berpendapatan rendah mengalami dua kali hidup dalam keluarga yang berfungsi buruk seperi anak-anak dari keluarga berpendapatan tinggi o Lebih dari seperempat anak-anak yang berasal dari keluarga berpendapatan rendah mempunyai permasalahan dengan ketetanggaan: penggunaan obatobatan, mabuk-mabukan, kerusuhan anak-anak muda – dibandingkan dengan 1 dari 10 anak dari keluarga berpendapatan tinggi. o Anak-anak dari keluarga berpendapatan rendah dua kali dalam 10% frekuensi perilaku penyimpangannya dibandingkan dengan anak dari
keluarga
berpendapatan menengah, dan mereka mendekati tiga kali skor penyimpangan yang tinggi seperti dalam keluarga yang berpendapatan tinggi. o Anak-anak yang berasal dari keluarga berpendapatan rendah dua dan satu setengah kalinya lebih banyak dibandingkan dengan anak dari keluarga berpendapatan tinggi dalam hal permasalahan dengan satu atau lebih kemampuan seperti penglihatan, pendengaran, kemampuan bicara atau mobilitas o Lebih dari sepertiga anak dari keluarga berpendapatan rendah tertunda perkembangan penguasaan kosa kata dibandingkan dengan hanya 8% dari anak-anak dari keluarga berpendapatan tinggi. o Tiga perempat anak-anak dari keluarga berpendapatan rendah jarang terlibat dalam kegiatan olah raga yang terorganisisr dibandingkan dengan seperempat dari anak-anak keluarga berpendapatan tinggi o Satu dari anak-anak berusia belasan tahun (16 – 19) dari keluarga berpendapatan rendah tidak bekerja maupun bersekolah, dibandingkan dengan yang hanya satu dari 25 anak dari keluarga berpendapatan menengah dan tinggi.
47
Apabila disimak maka penelitian-penelitian tersebut menunjukkan bahwa bagaimanapun pendapatan keluarga, akan dimungkinkan membuat keputusan berkenaan dengan alokasi sumber daya keluarga, khususnya alokasi kepada anak dimana hasilnya merupakan kualitas anak itu sendiri. Kualitas anak mengandung pengertian adanya pengorbanan sumber daya keluarga terhadap anak agar mencapai kualitas yang baik. Hal ini dapat dikatakan sebagai bentuk investasi. Tjiptoherijanto dan Hasmi (2000) menyebutkan bahwa investasi dalam human capital dimaksudkan sebagai upaya yang dicapai melalui kesehatan dan pendidikan. Dan dari sisi human development (UNDP 1995) ada tiga elemen penting yang harus diperhatikan, yaitu: 1) usia panjang dan sehat, 2) berpendidikan baik, dan 3) mendapatkan akses ke sumber daya yang diperlukan untuk mencapai kehidupan yang baik. Sama halnya diungkapkan oleh Ananta dan Hatmadji (1985) yaitu beberapa indikator yang berkaitan dengan kualitas sumber daya manusia adalah pendidikan, kesehatan, dan lingkungan. Indikator tersebut tidak berbeda dengan dua tipe investasi modal manusia, yaitu bidang pendidikan dan kesehatan. Struktur Keluarga Dan Kualitas Anak Struktur keluarga adalah hubungan terpola antara posisi tertentu (ayah, ibu dan anak) dalam satu unit keluarga. Sumarti (1999) menyebutkan bahwa struktur keluarga di Indonesia telah berkembang menjadi 3 pola keluarga tunggal (single headed family), keluarga batih (2 generasi, suami-istri dengan anak), dan keluarga luas (3 generasi, suami-isteri dengan anak, orang tua, menantu, cucu). Giddens(1993) membedakan keluarga dengan nuclear family (keluarga batih) dan extended family (keluarga luas). Keluarga batih beranggotakan dua orang dewasa yang hidup bersama dalam suatu rumah tangga dengan anak sendiri maupun adopsi. Dikebanyakan masyarakat tradisional dalam keluarga batih tidak ada marga lain. Sedangkan keluarga luas dimaksudkan sebagai kelompok beranggotakan tiga atau lebih generasi yang tinggal bersama atau sangat dekat satu dengan lainnya. Ini bisa mencakup kakek, saudara laki-laki dan istri mereka, adik perempuan dan suami mereka, bibi, dan paman, keponakan laki-laki dan perempuan.
48
Kondisi struktur keluarga tersebut tidak selamanya seperti itu, artinya dimungkinkan terjadi adanya perubahan struktur keluarga. Picot (1999) mengemukakan bahwa perubahan struktur keluarga dapat terjadi melalui perceraian, pisah ranjang dan kawin lagi. Peristiwa-peristiwa tersebut dapat berpengaruh cepat dan dalam terhadap kondisi ekonomi keluarga dimana anak tersebut hidup. Perceraian itu sendiri menciptakan kesulitan dan tekanan yang mempengaruhi masyarakat, anak-anak, relasi dan sahabat. Beberapa bentuk perceraian sebagai berikut: a. Emotional divorce, yang menciptakan prkawinan itu sendiri meburuk yang menciptakan tekanan antara pasangan, yang menghantar ke arah perceraian. b. Legal divorce, yang melibatkan hal utama dimana perkawinan diakhiri. c. Economic divorce, tentang pemilahan kesejahteraan dan hak milik. d. Co-parental divorce, yang mencakup permsalahan hak pengasuhan anak dan hak kunjung anak. e. Community divorce, tentang perubahan hubungan persahabatan dan hubungan sosial lainnya dimana seseorang telah bercerai. f. Physical divorce, dimana individu akhirnya memutus ketergantungan emosional, dan menghadapi tuntutan untuk hidup sendiri. (Giddens 1993). Lebih lanjut Giddens menjelaskan bahwa perceraian itu sendiri mempunyai pengaruh buruk terhadap anak. Berbagai hal dapat mempengaruhi dan berpengaruh terhadap proses penyesuaian seperti: peristiwa konflik antar orang tua, usia anak saat cerai, apakah ada atau tidak kakak atau adik, adanya kakek dan nenek serta anggota keluarga lainnya, hubungan dengan orang tuanya, sesering apa ia bisa menyaksikan kedua orang tuanya. Bagaimanapun perubahan struktur keluarga berpengaruh buruk terhadap perkembangan anak. Kerr (2000) menggunakan Survey of Consumer Finances (1981, 1989 dan 1997) menemukan kecenderungan pendapatan rendah seiring dengan perubahan-perubahan yang terjadi dalam struktur keluarga di keluarga Canadian yang memiliki anak. Ditemukan bahwa ada kecenderungan dalam hal lone parenthood, jumlah anak perkeluarga, dan usia orang tua. Keseluruhan perubahan tersebut mempunyai pengaruh yang mengiringi dengan kejadian
49
kemiskinan anak. Selain itu anak-anak yang dibesarkan dalam keluarga miskin konsekuensinya mereka hidup dalam keadaan kemiskinan anak yang jumlahnya relatif tinggi hingga tahun 1990 dan mereka menghadapi permasalahan pasar tenaga kerja ketika menginjak dewasa. Family structure sangat berpengaruh baik secara positif maupun negatif terhadap child outcome. Beberapa penelitian menjelaskan pengaruh antara family structure dengan child outcome: Hartoyo (1998) melakukan penelitian investasi terhadap anak pada keluarga Jawa dan Minang; Ribero (2000) melakukan analisa terhadap family structure dan fertility yang menentukan terhadap child quality di Columbia; Kuan (2000) menjelaskan family structure dan prestasi sekolah; Adams & Ryan (2000) melakukan penelitian longitudinal mengenai keluarga utuh dan orang tua tunggal terhadap prestasi sekolah anak; Kalil et al (2001) melakukan penelitian variasi dan transisi susunan tinggal bersama single-mother families dan perkembangan anak; dan Maralani (2004) membedakan family size dan pendidikan anak dalam keluarga pedesaan dan perkotaan. Hartoyo (1998) melakukan penelitian investasi terhadap anak. Penelitian ini menjelaskan faktor eksternal dan faktor internal pengaruhnya terhadap human capital investment (parental time dan parental monetary). Begitu juga pengaruh human capital investment terhadap child quality. Ribero (2000) melakukan analisa terhadap family structure dan fertility yang menentukan terhadap child quality di Columbia. Ribero menemukan bahwa wanita yang menikah menunjukkan adanya pengaruh positif terhadap child quality (pendidikan anak) sedangkan fertilitas menunjukkan hubungan negatif terhadap child quality. Kuan (2000) menjelaskan family structure dan prestasi sekolah. Kuan merinci family structure kedalam beberapa tipe: keluarga utuh, keluarga utuh multigenerasi, keluarga dengan orangtua tunggal multigenerasi, keluarga dengan orang tua tunggal. Kuan menemukan bahwa ada kontribusi positif keberadaan kakek-nenek terhadap prestasi sekolah baik dalam keluarga utuh maupun keluarga single parent. Namun adanya orangtua tiri dan nenek-kakek yang bertanggung jawab mengasuh cucu tidak dapat mengatasi ketidakadaan orangtua terhadap pestasi sekolah. Keluarga utuh menunjukkan hal positif dalam prestasi sekolah
50
dimana mempunyai sumberdaya ekonomi yang lebih baik, keterlibatan orang tua, harapan pendidikan yang lebih tinggi, dan banyaknya jaringan sumberdaya. Adams & Ryan (2000) melakukan penelitian longitudinal mengenai keluarga utuh dan orang tua tunggal terhadap prestasi sekolah anak. Mereka menemukan perbedaan antara keluarga utuh (kedua orang tua biologis) dibandingkan
keluarga
dengan
orang
tua
tunggal.
Perbedaan
tersebut
menunjukkan bahwa keluarga utuh mempunyai status ekonomi yang lebih tinggi, lebih banyak dukungan kepada keluarga, orang tua mengalami sedikit depresi, dan sedikit disfungsi keluarga daripada keluarga dengan orang tua tunggal. Keluarga utuh juga menunjukkan adanya anak yang sedikit hiperaktif, memiliki kemampuan akademis yang baik, sedikit kekawatiran dan depresi, dan mempunyai prestasi akademis yang baik. Kalil et al (2001) melakukan penelitian variasi dan transisi susunan tinggal bersama single-mother families dan perkembangan anak. Mereka merinci kedalam 4 tipe susunan tinggal bersama terhdap anak: tinggal bersama ibu yang menikah, tinggal bersama orang tua tunggal (ibu) dan nenek-kakek, tinggal bersama dengan orang tua tunggal (ibu) dan kekasihnya, tinggal dengan orang tua tunggal (ibu). Mereka menemukan bahwa tinggal bersama orang tua tunggal (ibu) atau tinggal dalam pasangan yang hidup bersama berhubungan dengan perkembangan anak yang buruk dibandingkan tinggal dengan ibu yang menikah. Sebaliknya, anak yang tinggal bersama orang tua tunggal (ibu) dan nenek-kakek tidak menunjukkan perkembangan anak yang lebih buruk dibandingkan dengan anak yang tinggal dalam keluarga ibu menikah. Maralani (2004) membedakan family size dan pendidikan anak dalam keluarga pedesaan dan perkotaan. Pada kelompok umur 40-49 di pedesaan ditemukan bahwa keluarga yang lebih besar berhubungan dengan semakin banyak yang bersekolah. Hubungan positif tersebut berangsur-angsur menurun dan hubungan negatif tidak muncul dalam kelompok umur yang lebih muda. Pada keluarga perkotaan hubungan ukuran keluarga dengan pendidikan bersifat netral pada kelompok umur yang paling tua akan tetapi hubungan positif antara keluarga kecil dan banyak yang sekolah tampak pada kelompok umur 30-39. Pada kelompok umur 20-29 tampak adanya hubungan positif antara keluarga kecil
51
dengan pencapaian pendidikan dan hubungan negatif antara keluarga besar dengan pencapaian pendidikan.
Pada kelompok umur paling muda di perkotaan
hubungan antara ukuran keluarga dengan pendidikan menunjukan negatif. Ukuran keluarga besar berhubungan dengan taraf penyelesaian studi dan penddikan yang rendah. Hubungan ini tampak di daerah pedesaan.
Gender dan Kualitas Anak Pengambilan keputusan untuk melakukan alokasi sumberdaya dalam keluarga pada dasarnya dipengaruhi oleh norma-norma sosial, budaya, kesempatan dalam pasar tenaga kerja, dan faktor kelembagaan. Dengan pengaruh tersebut, maka dimungkinkan terjadi ketimpangan antara kaum pria dan wanita. Ini tampak dalam pengalokasian sumberdaya keluarga kepada anak dimana alokasi untuk pendidikan, kesehatan dan makanan dimana anak laki-laki cenderung mendapat bagian lebih banyak dibandingkan dengan wanita. Kesenjangan antara laki-laki dan perempuan dapat disebabkan oleh berbagai faktor sebagaimana digambarkan di atas. Apa yang terjadi di dalam masyarakat adalah adanya diskriminasi dalam alokasi sumberdaya di dalam rumah tangga dimana bagian yang didistribusikan dalam bentuk pengeluaran untuk anak laki-laki dan perempuan berbeda. Pengeluaran tersebut untuk pendidikan, kesehatan, dan makanan dimana biasanya anak laki-laki mendapatkan bagian yang lebih besar daripada anak perempuan. Ini dapat dicontohkan dengan hasil penelitian Bian (1996) di China bahwa orang tua lebih banyak menginvestasikan human capital pada anak laki-laki dibandingkan pada anak perempuan.
Ini
membuktikan adanya preferensi anak laki-laki dibandingkan perempuan dalam pembuatan keputusan orang tua. Dengan demikian orang tua memperlakukan anak laki-laki dan perempuan secara berbeda baik dalam jumlah dan jenis investasi. Terlebih lagi di dalam pembuatan keputusan mengenai alokasi sumberdaya keluarga juga dapat ditentukan oleh bargaining power antara suami dan isteri. Ini dikarenakan baik persepsi masyarakat maupunn nilai sosial dalam masyarakat menempatkan perempuan dalam sektor domestik, dimana waktunya
52
lebih banyak dialokasikan pada pekerjaan rumah tangga. Pekerjaan ini tidak mendatangkan uang tunai atau pekerjaan tidak bergaji. Padahal kemampuan melakukan tawar menawar dalam membuat keputusan sangat ditentukan dengan seberapa banyak materi yang dapat dikontribusikan ke dalam rumah tangga. Artinya, kesenjangan antara suami-isteri dapat dikurangi dengan adanya kesejajaran tawar menawar untuk membuat keputusan, khususnya keputusan tentang alokasi sumberdaya rumah tangga untuk anak. Quisumbing dan Maluccio (1999) bahwa alokasi dalam rumah tangga mencerminkan perbedaan pilihan dan bargaining power dari para individu di dalam rumah tangga. Dengan menggunakan serangkaian data rumah tangga yang baru dari Bangladesh, Indonesia, Ethiopia, dan Afrika Selatan, diketengahkan ukuran-ukuran karakteristik individu yang sangat berhubungan dengan bargaining power, yakni human capital dan penguasaan aset-aset secara individu, yang dievaluasi sepanjang pernikahan. Hasilnya menunjukkan bahwa penguasaan aset oleh perempuan mempunyai pengaruh yang berarti dan positif terhadap alokasi pengeluaran untuk generasi berikutnya, seperti pendidikan dan pakaian anak-anak. Dikaji juga hasil pendidikan di tingkat individu dan menemukan bahwa orang tua tidak mempunyai pilihan yang sama untuk anak laki-laki dan perempuan di dalam atau antar negara. Berkaitan dengan kekuatan tawar menawar dalam membuat keputusan, Luis Rubalcava (2002) mengetengahkan pengaruh welfare program terhadap kekuatan perempuan untuk melakukan tawar menawar dalam rumah tangga. Welfare policy ini memberikan keuntungan berupa suatu faktor kekuatan bargaining yang alami dari luar bagi perempuan dalam rumah tangga miskin. Kebijakan kesejahteraan ini memberikan hak penerimaan uang tunai hanya pada perempuan. Karena uang di tangan wanita maka banyak sumberdaya dialokasikan kepada anak perempuan dan laki-laki dalam bentuk pakaian, dan sedikit pengeluaran untuk kebutuhan laki-laki dewasa, seperti pakaian laki-laki. Sejalan dengan, perempuan dengan kekuatan besar cenderung mengalokasikan banyak sumberdaya kepada apa yang diaanggap sebagai suatu perbaikan barang-barang makanan, - seperti sayur-sayuran, tortilla dan kacang-kacangan – diganti dengan banyak sumberdaya yang dialokasikan kepada pembelanjaan barang-barang
53
berprotein baik seperti telur, daging ayam dan sapi. Dapat disimpulkan bahwa welfare program yang secara eksplisit menyatukan kedalam rancangan mereka untuk mengembangkann status perempuan, sesungguhnya mempengaruhi kekuatan tawar menawar perempuan dalam rumah tangga sebagai manifestasi dalam household resource allocation decisions. Bahkan adanya deskriminasi dalam alokasi sumberdaya menjadikan perempuan mengalami perbedaan pula dalam kualitas sumberdaya manusianya. Sebagian besar perempuan berpendidikan rendah. Pendidikan rendah ini mengakibatkan mereka memiliki daya serap rendah dalam pasar tenaga kerja, deskriminasi upah, serta akses ke pelayanan dan sumber ekonomi tidak merata. Dengan demikian secara umum tentunya akan berdampak pada pendapatan perempuan yang lebih rendah dibandingkan dengan pendapatan laki-laki. Kemudian rendahnya pendapatan perempuan bekerja atau bahkan tidak bekerja sama sekali akan mempengaruhi kesejahteraan rumah tangga mereka. Artinya, siklus kesenjangan ini terus akan berlanjut kecuali perempuan diberdayakan agar mampu membuat keputusan alokasi sumberdaya rumahtangga ke kualitas anak. Kualitas anak tersebut diakibatkan juga karena perbedaan pemanfaatan waktu antara mengikuti pendidikan dengan beban kerja domestik. Flora Nankhuni and Jill Findeis (2002) melaporkan hasil penelitiannya yang mengkaji relationship antara degradasi lingkungan dengan status pendidikan anak di Malawi. Studi ini mengkhususkan dalam berapa lama waktu (jam) kerja yang digunakan oleh anak dalam pengumpulan bakar kayu dan air dihubungkan dengan probabilitas usia anak 6-14 tahun yang bersekolah. Dengan menggunakan data Integrated Household Survey yang dilaksanakan pada tahun 1997-98 di Malawi oleh Malawi National Office, studi tersebut menemukan bahwa anakanak terlibat secara nyata dalam pengumpulan suberdaya dan probabilitas kehadiran di sekolah menurun sejalan dengan meningkatnya waktu yang digunakan untuk mengumpulkan bahan bakar dan air. Lebih lanjut studi ini menunjukan bahwa anak-anak perempuan secara tidak seimbang tidak beruntung dimana mereka menggunakan lebih banyak waktunya untuk resource work dan kehadirannya di sekolah dibebani dengan pekerjaan tersebut. Hasil ini mengetengahkan bahwa para orang tua tidak membedakan antara anak perempuan dan laki-laki dalam kehadiran di sekolah
54
akan tetapi anak-anak perempuan mempunyai beban berat dengan domestic work sehingga anak-anak perempuan mempunyai kesulitan untuk maju di dalam sekolahnya. Sesungguhnya data menunjukkan bahwa saat ini 80% dari seluruh anak-anak perempuan dan 79% anak laki-laki Malawi mengikuti primary school. Bagaimanapun anak perempuan lebih banyak drop out dibandingkan dengan anak laki-laki, karenanya menghasilkan kesenjangan pada secondary school level. Sebagai contoh, data dari Population Preference(PRB 2002) menunjukkan bahwa hanya 12% anak perempuan dan 21% anak laki-laki Malawi didaftarkan sekolah. Bank Dunia (2000) melaporkan bahwa ketidaksetaraan gender dalam pendidikan dan kesehatan paling banyak terjadi di kalangan kaum miskin. Selain itu juga dilaporkan bahwa perempuan masih memiliki keterbatasan akses atas beragam sumber daya produktif, termasuk pendidikan, tanah, informasi, dan keuangan. Di Asia Selatan, rata-rata jumlah jam yang digunakan perempuan bersekolah hanya separuh dari yang digunakan laki-laki, dan jumlah anak perempuan yang mendaftar ke sekolah menengah hanya dua pertiga dari jumlah anak laki-laki. Berdasarkan Statistik Indonesia tahun 2002 (2002) diketahui jumlah penduduk usia 7 – 24 tahun yang masih sekolah. Jumlah penduduk usia sekolah usia 7 – 24 tahun laki-laki adalah 22.401.933 dan perempuan adalah 20.793.850. Angka tersebut menunjukkan bahwa ada perbedaan keterserapan antara laki-laki dan perempuan dalam dunia pendidikan. Pada hakekatnya pendidikan dimaksudkan untuk semua warga negara sebagaimana diundangkan dalam UUD 45 bahwa pendidikan adalah merupakan hak semua warga negara. Akan tetapi pendidikan itu sendiri merupakan tempat yang secara tidak langsung menciptakan strata sosial ekonomi. Pendidikan merupakan sarana mobilitas sosial. Sebaliknya pendidikan itu sendiri merupakan investasi yang membutuhkan sumber daya sebagaimana yang diperlukan. Para siswa secara tidak langsung melakukan seleksi diri ketika mendaftarkan ke jenjang pendidikan berikutnya yaitu memilih sekolah favorit sampai dengan sekolah yang merupakan pilihan kesekian kalinya. Ini sudah menunjukkan adanya kecenderungan
strata pendidikan.
Sehingga
ada kecenderungan sekolah
55
berkualitas diminati oleh keluarga mampu dan semakin turun peringkat sekolah ada kecenderungan menampung anak-anak dengan kualitas lebih rendah.
Lingkungan Keluarga dan Kualitas Anak Home Observation for Measurement of the Environment (HOME) Inventory (Caldwell & Bradley 1984) dirancang untuk mengukur kualitas dan kuantitas dari stimulasi dan dukungan yang tersedia bagi anak-anak di lingkungan rumah masing-masing. Fokusnya adalah pada anak-anak dalam lingkungannya, anak-anak merupakan penerima inputs dari objek, peristiwa, dan transaksi yang muncul dalam hubungannya dengan lingkungan keluarga. Versi mula inventory dikenal sebagai the Infant/Toddler (IT) HOME. Ini dirancang untuk digunakan pada kehamilan ( lahir hingga usia tiga tahun). Ini terdiri dari 45 item yang dicakup dalam 6 subbagian: 1) Parental Responsivity, 2) Acceptance of child, 3) Organization of the Environment, 4) Learning Materials, 5) Parental Involvement, dan 6) Variety in Experience. Tiga versi inventory telah dikembangkan semenjak waktu itu; yaitu untuk usia 3 – 6 tahun, 6 – 10 tahun, dan 10 – 15 tahun yang dirinci sebagai berikut (HOME, situs.):
The Early Childhood (EC) HOME dirancang digunakan pada usia 3 sampai dengan 6 tahun. EC HOME ini terdiri dari 55 item yang dicakup dalam 8 subbagian: 1) Learning Materials, 2) Language Stimulation, 3) Physical Environment, 4) Parental Responsivity, 5) Learning Stimulation, 6) Modeling of Social Maturity, 7) Veriety in Experience, and 8) Acceptance of Child.
The Middle Child (MC) HOME yang dirancang untuk usia antara 6 sampai dengan 10 tahun. MC HOME terdiri dari 59 item yang dicakup dalam 8 subbagian: 1) Parental Responsivity, 2) Physical Environment, 3) Learning Materials, 4) Active Stimulation, 5) Encouraging Maturity, 6) Emotional Climate, 7) Parental Involvemenet, 8) Family Participation.
The Early Adolescent (EA) HOME dirancang untuk usia antara 10 sampai 15 tahun. EA HOME teridir dari 60 item yang dicakup dalam 7 subbagian: 1) Physical Environment, 2) Learning Materials, 3) Modeling, 4) Instruction
56
Activities, 5) Regulatory Activities, 6) Variety of Experience, dan 7) Acceptance and Responsivility Kontribusi home environment terhadap perkembangan anak dapat dibuktikan melalui beberapa penelitian. Hine (1991) melakukan penelitian dengan fokus The Home Environment of Gifted Puerto Rican Children: Family Factors Which Support High Achievement. Penelitian ini mengkaji persepsi 10 siswa Puerto Rico yang mampu dan orang tua mereka untuk mengidentifikasi faktorfaktor keluarga yang mampu mendukung prestasi yang tinggi (high achievement). Selanjutnya Hine mengemukakan bahwa ada 8 faktor home environment dengan dukungan kuat terhadap prestasi akademik yang tinggi pada anak sebagai berikut: 1. Press for Achievement, dimaksudkan : a) Orang tua memperhatikan kemajuan sekolah anak mereka dengan memantau hasil sekolah dan berusaha jika sang anak kurang berprestasi, b) Orang tua menawarkan bantuan untuk menyelesaikan pekerjaan rumah yang dirasa sulit atau mencarikan orang yang mampu, c) Orang tua membantu anak untuk menetapkan tujuan akademis yang realistik, d) Orang tua memberikan pujian atas prestasi dan kemampuan yang menonjol, e) Orang tua mengawasi penggunaan waktu untuk mengerjakan pekerjaan rumah, f) Orang tua menunjukkan topik menarik yang dipelajari di sekolah. 2. Press for Language Development dimaksudkan para orang tua dalam pendidikan: a) membaca dan menyanyikan untuk anak-anak ketika masih kecil b) mendorong anak-anak mereka untuk membaca dan membicarakan apa yang sedang dibaca oleh para anggota keluarga c) menunjukkan penggunaan bahasa Spanyol dan Inggris secara benar d) mendorong anak-anak mereka untuk melestarikan bahasa Spanyol sementara mereka mempelajari bahasa Inggris. 3. High Educational and Occupational Aspirations
57
Para orang tua yang berprestasi tinggi mempunyai aspirasi pendidikan dan pekerjaan yang tinggi bagi anak-anaknya dan menekankan pentingnya memperoleh pendidikan yang baik untuk meraih tujuan tersebut. 4. Strong Family Support System Keluarga yang mempunyai anak bersemangat prestasi yang tinggi mempunyai dukungan yanga kuat bagi anak-anak mereka. Aspek-aspek dukungan tersebut adalah sebagai berikut: a. terjadi percakapan informal dalam aktivitas keseharian b. kebijakan pembuatan keputusan keluarga c. memonitor dan mengarahkan dalam kondisi waktu luang d. penjelasan dan nasehat dari orang tua e. memberikan dorongan untuk mencapai tujuan-tujuan 5. Ikatan Keluarga Faktor ikatan keluarga mencakup loyalitas pada keluarga dan kebudayaan, family pride dan motivasi, dan keeratan ikatan keluarga. Keluarga mengajarkan kepada anaknya berkenaan dengan bahasa dan budayanya agar kelak dapat mengembangkan dirinya dalam masyarakat. Orang tua juga memberikan dukungan emosional dan keuangan kepada anak-anak mereka baik keluarga dekat maupun extended dan berupaya penuh untuk menyiapkan masa depan mereka yang lebih baik. Terkadang apa yang dialami oleh siswa adalah ia merupakan anak yang pertama memasuki collegge (baik dari garis ibu maupun bapaknya, sehingga ia dapat menjadi model bagi generasi berikutnya (adikadiknya). 6. Pandangan yang optimis Ada pandangan optimis di lingkungan keluarga siswa bahwa masa depan harus lebih baik dengan persiapan dan kerja keras, dan mereka bersedia menghadapi tantangan dan kendala yang dihadapinya. 7. Reaksi terhadap harapan pengajar dan masyarakat. Keluarga siswa yang mempunyai achievemnet tinggi mengungkapkan bahwa stereotip bias dan negatif dari para pengajar dan orang –orang lain dalam komunitas dapat menjadi motivasi.
58
8. Keterlibatan dalam Extrakulikuler/Ikatan Sosial Semua siswa yang mempunyai achievement tinggi aktif terlibat dalam kegiatan sekolah maupun ekstrakulikuler, dan orang tua mereka perhatian serta mendukung keterlibatan tersebut. Penelitian Levine dan Havighurst (1992) tentang Home Environment and Cognitive Development memberikan kontribusi
korelasi antara home
environment dengan perkembangan kognitif. Meskipun latar belakang sosial ekonomi keluarga secara statistik berkorelasi dengan achievement siswa namun ada perkecualian. Rendahnya achievement pada siswa dari kelas bawah dikarenakan pada karakteristik keluarga si anak dan bukan secara universal diakibatkan status sosial ekonomi. Walaupun status sosial ekonomi keluarga secara statistik berkorelasi dengan school achievemen anak, namun ada segi lain yang perlu diketahui. Segi lain tersebut adalah home environment yang mempengaruhi taraf achievemen anak di sekolah. Para sosiolog dan psikolog mengidentifikasikan karakteristik home environment yang secara langsung berhubungan dengan perkembangan kognitif dan achievement di sekolah. Ada 6 karakteristik home environment: 1. Achievement pressure: a. aspirasi orang tua terhadap pendidikan sang anak b. aspirasi sang orang tua sendiri c. ketertarikan orang tua terhadap kegiatan akademis d. pengetahuan kemajuan pendidikan sang anak e. persiapan dan perencanaan untuk mencapai tujuan-tujuan pendidikan 2. Language models: a. a.kualitas bahasa yang digunakan oleh orang tua b. peluang untuk mengembangkan dan mengguanakan kosa kata dan polapola kalimat c. kepandaian orang tua dalam menggunakan bahasa yang benar dan efektif 3. Academic guidence: a. ketersediaan penuntun permasalahan berkaitan dengan pekerjaan sekolah b. kualitas penuntun tersebut c. ketersediaan dan penggunaan bahan-bahan dan fasilitas untuk pelajaran sekolah
59
4. Kegiatan keluarga: a. tingkat dan isi dari kegiatan di luar dan dalam keluarga b. pemakaian televisi dan media serupa lainnya c. penggunaan buku, perpustakaan, dan fasilitas serupa lainnya 5. Intelektualitas di rumah: a. sifat dan kualits mainan, permainan, dan hoby yang tersedia bagi sang anak b. kesempatan untuk berpikir dan berimajinasi dalam aktivitas keseharian 6. Kebiasaan kerja keluarga: a. tingkatan struktur dan rutinitas dalam pengelolaan rumah b. pilihan terhadap aktivitas sekolah diantara hiburan yang menyenangkan. Dalam beberapa kajian terhadap hubungan antara latar belakang sosial siswa dan academic achievement ditemukan prediktor paling baik untuk achievement adalah tersedianya jumlah bahan bacaan di rumah (para pembaca menyadari bahwa klas sosial, tingkat pendidikan, pekerjaan, pendapatan, dan indikator status sosial lainnya sangat berhubungan dengan bahan bacaan di rumah dan ukuranukuran lainnya dari home environment) Vandivere (2000) dalam Snapshots meringkaskan temuan-temuan dari NSAF 1999 pengukuran children’s family environment dari 13 negara bagian di USA. Pengukuran tersebut membandingkan lingkungan keluarga dari anak-anak berpendapatan rendah dengan anak-anak dari keluarga berpendapatan tinggi. Juga membandingkan lingkungan keluarga anak dalam orang tua tunggal dan orang tua utuh. Pengukuran tersebut mencakup: 1. Struktur keluarga (untuk anak usia 0 – 17 th) 2. Frekuensi orang tua membaca cerita kepada anak-anak mereka (untuk anak usia 1–5 th) 3. Frekuensi orang tua mengajak anaknya pergi rekreasi (untuk anak usia 0 – 5 th) 4. Keterlibatan orang tua secara sukarela (untuk anak usia 0 – 17 th) 5. Kehadiran orang tua pada kegiatan keagamaan (untuk anak usia 0 – 17) 6. Tingkatan kejengkelan orang tua (untuk anak usia 0 – 17 th) 7. Gejala-gejala kesehatan mental orang tua miskin (untuk anak usia 0 – 17)
60
Masing-masing dijelaskan sebagai berikut: 1. Family Structure Para ibu tunggal mempunyai kecenderungan miskin, dan kemiskinan berhubungan dengan segi negatif pada diri sang anak. (McLoyd 1998). Dengan bukti yang sama, anak-anak yang hidup bersama dengan kedua orang tua biologisnya mempunyai pengalaman yang lebih positif dibandingkan dengan anak-anak di dalam keluarga tunggal. 2. Membacakan atau Menceritakan Cerita-cerita pada anak Hal ini jika dilakukan akan membantu mereka mengembangkan kemampuan berbahasa, cognitive, dan kemampuan membaca. 3. Mengajak anak berekreasi Hal ini ini jika dilakukan akan merangsang perkembangan cognitive anak. 4. Parent Volunteering Keterlibatan orang tua dengan tindakan sukarela menjadikan orang tua sebagai model peran bagi anak-anak mereka. 5. Keterlibatan orang tua dalam kegiatan keagamaan Keterlibatan orang tua dalam kegiatan keagamaan berhubungan dengan positive child outcome yang mencakup kemampuan cognitive dan sosial, menghindari aktivitas sexual dini, bertanggung jawab, dan kurangnya peristiwa yang menunjukkan adanya depresi. Cara mengukur parental religiosity melalui seberapa seringkah orang tua mengikuti kegiatan-kegiatan keagamaan. 6. Kejengkelan orang tua Para orang tua yang sering menceritakan perasaan frustasi dan stresnya berkenaan dengan pengalaman mengasuh anaknya diartikan sebagai orang tua yang mempunyai parental aggravation tinggi. Anak-anak dengan orang tua yang mengalami aggravation tinggi
mempunyai kecenderungan adanya
permasalahan dalam segi cognitive dan emosi sosial. 7. Para Orang Tua dengan Gejala Kesehatan Mental yang Buruk Anak-anak yang mempunyai orang tua depresi menghadapi resiko negatif pada masalah kesehatan, cognitive, dan emosi sosial.
61
Begitu pula penelitian William (2002) membuktikan relasi antara HOME Environment dengan kesiapan anak masuk sekolah taman kanak-kanak di pedesaan Tennessce Timur. Variabel yang digunakan adalah family income dan family structure, parent’s education, participation in literacy activities, availability of home learning tools, dan waktu yang digunakan anak untuk menonton televisi. Penelitian ini melibatkan 338 anak dan orang tua. Data penelitian dianalisa dengan statistik deskriptif, hubungan antar variabel tergantung dan bebas dengan Kendall,s tau-b dan Cramer,s V, serta t-test dan ANOVAs untuk mengetahui perbedaan Brigances score antar kelompok. Adapun hasil penelitian tersebut adalah sebagai berikut:
Pengkajian analisa hubungan menunjukkan bahwa family income sangat erat berhubungan dengan keberhasilan dalam Brigance K Screen dibandingkan pada variabel lainnya; hal yang penitng lainnya adalah pendidikan orang tua.
Korelasi positif yang signifikan menunjukkan adanya nilai pembacaan orang tua bagi anak-anak mereka, sinau wisata, ketersediaan alat-alat pendidikan, family structure, mealtime conversation, dan jumlah buku anak-anak yang ada di rumah. Namun ditemukan korelasi negatif yang signifikan berkaitan dengan waktu yang digunakan untuk menonton televisi terhadap brigance Scores. Semakin banyak waktu yang digunakan untuk menonton televisi maka nilai anak tersebut semakin rendah.
ANOVAs dan t-test menunjukkan perbedaan yang berarti pada Brigance scores anak-anak pra taman kanak-kanak dari kelompok status ekonomi sosial yang berbeda yang didasarkan pada struktur keluarga, pendapatan keluarga, dan tingkat pendidikan orang tua. Anak-anak berasal dari keluarga lengkap mempunyai nilai yang lebih tinggi dibandingkan dengan situasi keluarga lain, hal ini begitu juga terjadi pada anak-anak dalam keluarga yang ekonominya semakin tinggi. Tigkat pendidikan orang tua juga berpengaruh pada Brigance score; semakin tinggi pendidikan orang tua maka nilai anak juga semakin tinggi.
Analisa multiple regression menunjukkan kekuatan hubungan dan signifikansi antara faktor sosial ekonomi dengan kesiapan anak-anak masuk sekolah taman kanak-kanak.
62
Hasil dari penelitian tersebut memperkuat koreksi yang dilakukan oleh Robert (2001) terhadap hasil penelitiannya yang memfokuskan pada Children and Familial Economic Welfare: The Effect of Income on Child Development. Ia menemukan kekaburan hasil penelitian berdasarkan dua masa penelitian untuk menganalisa hubungan antara perubahan perekonomian keluarga dengan hasil perkembangan anak. Bahkan dalam analisa untuk membuktikan pengaruh variabel bebas pendapatan terhadap hasil perkembangan anak menunjukkan bahwa pengaruh pendapatan terhadap perilaku anak dan kognitifnya relatif kecil, akan tetapi sebagian besar menjadi menguat setelah dilakukan pengontrolan. Temuan
tersebut
ditunjang
dengan
banyaknya
penelitian-penelitian
sebelumnya. Kajian literatur telah menunjukkan bahwa pendapatan berpengaruh terhadap anak melalui home environment mereka. Setelah dilakukan penyusunan index home environment ditemukan bahwa anak-anak berasal dari keluarga yang berkecukupan menunjukkan kecenderungan lebih baik dan mempunyai banyak stimulasi home environment dibandingkan dengan anak-anak dari keluarga berekonomi lebih rendah. Temuan ini menunjukkan bahwa pengaruh income terhadap perkembangan anak adalah lemah untuk menjembatani berbagai perkembangan anak. Bagaimanapun, temuan ini memberikan gagasan bahwa melalui berbagai ragam variabel maka pendapatan dapat benar-benar mempunyai pengaruh terhadap perkembangan anak. Meskipun faktor ekonomi tidak langsung berkorelasi dengan perkembangan anak, melalui mediasi faktor-aktor sumberdaya dalam keluarga, tetap memiliki kontribusi terhadap lingkungan keluarga. Taraf lingkungan keluarga inilah yang kemudian akan berpengaruh terhadap perkembangan anak. Campbell dan Parcel (2002) mengemukakan, bahwa pendidikan orang tua, tingkat pengetahuan dan investasi dalam pendidikan dan aspirasi pendidikan yang tinggi berhubungan dengan
semakin baiknya
lingkungan
keluarga
anak-anak.
Begitu juga
diungkapkan, bahwa keluarga utuh dan berstatus sosial ekonomi tinggi berhubungan dengan home environment yang baik. Sebaliknya keluarga yang besar cenderung mempunyai home environment yang kurang baik. Begitu juga status pekerjaan dan gaji yang lebih tinggi cenderung memperkuat home environment.
63
Akan tetapi faktor lingkungan keluarga tidak selamanya mendukung prestasi akademik anak. Agustina (2003) menemukan dari hasil penelitiannya bahwa semakin banyak fasilitas bermain di rumah akan mempengaruhi semakin banyak alokasi waktu untuk leisure, sedangkan semakin baik lingkungan fisik untuk belajar maka semakin sedikit alokasi waktu leisure anak. Begitu juga semkain bertambah umur anak menyebabkan semakin besar alokasi waktu untuk menonton televisi atau VCD. Jadi perlu ada penekanan dalam hal fasilitas dimana fasilitas yang menunjang pendidikan dan belajar akan mendukung kemajuan belajar dan keberhasilan pendidikan. Beberapa penelitian tentang lingkungan keluarga dengan perkembangan anak menunjukkan adanya beberapa faktor lingkungan keluarga yang berperan terhadap perkembangan anak. Faktor-faktor tersebut adalah dorongan berprestasi, aspirasi pendidikan dan pekerjaan, struktur keluarga, kegiatan ekstrakurikuler, kegiatan keluarga, Lingkungan Sekolah Sutanto (1998) mengartikan lingkungan secara fisiologis, psikologis, dan sosio kultural. Fisiologis diartikan bahwa lingkungan meliputi segala kondisi dan materiil jasmaniah di dalam tubuh seperti gizi, vitamin, air, zat asam, suhu, sistem syaraf, peredaraan darah, pernapasan, pencernaan makanan, kelenjar, sel-sel pertumbuhan, dan kesehatan jasmani. Psikologis diartikan bahwa lingkungan mencakup segenap stimuli yang diterima oleh individu mulai sejak konsesi, kelahiran sampai matinya. Stimuli tersebut misalnya sifat-sifat genes, interaksi genes, selera, keinginan, perasaan, tujuan-tujuan, minat, kebutuhan, kemauan, emosi, dan kapasitas intelektual. Sedangkan dari segi sosio kultural diartikan bahwa lingkungan mencakup segenap stimuli interaksi dan kondisi eksternal dan hubungannya dengan perlakuan ataupun karya orang lain. Pola hidup keluarga, pergaulan kelompok, pola hidup masyarakat, latihan, belajar, pendidikan pengajaran, bimbingan dan penyuluhan, kesemuanya adalah termasuk lingkungan ini. Menurut Ki Hadjar Dewantara (Habsullah 1999) pendidikan secara umum berlangsung dalam lingkungan-lingkungan yang meliputi lingkungan keluarga,
64
lingkungan sekolah, dan lingkungan orgaisasi pemuda, yang disebut Tri Pusat Pendidikan. a. Lingkungan Keluarga Pendidikan keluarga berfungsi: •
Sebagai pengelaman pertama masa kanak-kanak
•
Menjamin kehidupan emosional anak
•
Menanamkan dasar pendidikan moral
•
Memberikan dasar pendidikan sosial
•
Meletakkan dasar-dasar pendidikan agama bagi anak-anak
b. Lingkungan Sekolah Sekolah bertanggung jawab atas pendidikan anak-anak selama mereka diserahkan kepada sekolah. Karena itu sebagai sumbangan sekolah sebagai lembaga terhadap pendidikan di antaranya adalah: •
Sekolah membantu orang tua mengerjakan kebiasaan-kebiasaan yang baik serta menanamkan budi pekerti yang baik.
•
Sekolah memberikan pendidikan untuk kehidupan di alam masyarakat yang sukar atau tidak dapat diberikan di rumah.
•
Sekolah melatih anak-anak memperoleh kecakapan-kecakapan seperti membaca, menulis, berhitung, menggambar serta ilmu-ilmu yang sifatnya mengembangkan kecerdasan dan pengetahuan.
•
Di sekolah diberikan pelajaran etika, keagamaan, estetika, membedakan benar atau salah, dan sebagainya.
c. Lingkungan Organisasi Pemuda Peran organisasi pemuda ini utamanya adalah dalam upaya pengembangan sosialisasi kehidupan pemuda. Melalui organisasi pemuda berkembanglah semacam kesadaran sosial, kecakapan-kecakapan di dalam pergaulan dengan sama kawan (social skill) dan sikap yang tepat di dalam membina hubungan dengan sesama manusia (social attitude). Dalam pengertian disini pendidikan tersebut adalah pendidikan yang secara khusus dilaksanakan di lingkungan sekolah.
Pendidikan tersebut
berlangsung di suatu tempat dengan lingkungan tertentu dengan segala ciri-ciri,
65
sifat dan wataknya (Hadisusanto 1995). Sebagaimana dikemukakan oleh Dalyono (2001) bahwa sekolah sangat berperan dalam meningkatkan pola pikir anak, karena di sekolah mereka dapat belajar bermacam-macam ilmu pengetahuan. Namun dalam pendidikan tidak hanya cukup menguasai segi pengetahuan akan tetapi banyak segi sebagaimana dicantumkan dalam tujuan pendidikan nasional. Masbullah (1999) menekankan bahwa pendidikan nasional mempunyai tujuan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya dengan ciri-ciri sebagai berikut: a. beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa b. berbudi pekerti luhur c. memiliki pengetahuan dan ketrampilan d. sehat jasmani dan rohani e. kepribadian yang mantap dan mandiri f. bertanggung jawab terhadap masyarakat dan bangsa Agar pendidikan dapat mencapai tujuan tersebut maka diperlukan proses pendidikan yang baik dan benar untuk mengahsilkan otuput pendidikan yang memadai. Proses pendidikan tersebut memerlukan input dan output. Input pelaksanaan kegiatan belajar mengajar tersebut mencakup guru, murid, fasilitas sekolah, kurikulum, peraturan, anggaran, dan lain sebagainya dimana dihasilkan otuput yaitu siswa lulus untuk melanjutkan kejenjang pendidikan yang lebih tinggi. Proses pendidikan tersebut membutuhkan tenaga pengajar atau pendidik, sarana dan prasarana dalam upaya menciptakan output pendidikan yang baik. Pendidik yaitu guru ialah orang yang memikul pertanggungan jawab untuk mendidik. Guru secara khusus di lingkungan sekolah bertugas merangsang dan membina perkembangan intelektual anak serta membina pertumbuhan sikap-sikap dan nilai-nilai dalam diri anak (Munandar 1992). Selain itu menurut Masbullah (1999) guru sebagai pendidik formal diperlukan syarat profesional (ijasah), syarat biologis (kesehatan jasmani), syarat psikologis (kesehatan mental), dan syarat paedagogis dan didaktik (pendidikan dan pengajaran). Apabila syarat-syarat tersebut dipenuhi maka diharapkan mendukung proses pendidikan secara baik. Akan tetapi untuk menghasilkan otuput pendidikan yang baik dibutuhkan juga
66
faktor pelayanan,
sarana dan
prasarana
yang mencakup
perpustakaan,
laboratorium dan bengkel, olahraga dan rekreasi, musik dan seni lainnya, serta bimbingan dan penyuluhan (Munandar 1992). Pada kenyataannya sekolah tidak hanya sekedar sebagai institusi akan tetapi juga merupakan sistem organisasi. Sebagai sistem berarti memiliki unit-unit bagian yang menjalankan peran agar intitusi sekolah dapat mencapai tujuannya. Sekolah dapat berperan sebagai agen transformasi ilmu maupun nilai sosial (Sukadi 1994) Oleh karena itu, beberapa aspek penting sekolah yang perlu diperhatikan adalah: a. Guru, yaitu orientasi nilai guru, pola kepemimpinan guru, keteladanan guru, dorongan dari guru dan kontrol guru; b. Aktivitas siswa, yaitu meliputi kegiatan siswa di dalam dan luar kelas dalam bidang kurikuler dan aktivitas siswa dalam organisasi kesiswaan (ko-kurikuler) serta orientasi tugas; c. Kondisi sekolah, yaitu kelengkapan fasilitas dan sarana sekolah seperti sarana olah raga, kesenian, laboatorium, perpustakaan serta lokasi sekolah; d. Iklim belajar, yaitu menyengkut tata tertib sekolah, disiplin siswa, persaingan dan kerja sama dalam belajar dan inovasi dalam proses pembelajaran serta penilaian yang obyektif. Coulson (2003) mengutarakan hal yang sama dalam lingkungan sekolah yaitu adanya orderly (aturan tata tertib), congenial dan well maintained school (ruang sekolah, tanah lapang, fasilitas air dan toilet, fasilitas ruang kelas)
Nilai anak Keberadaan anak dalam suatu keluarga memberikan konsekuensi relasi antara orang tua dan anak. Artinya, relasi antara orang tua dengan anak membutuhkan keterediaan waktu, tenaga, dan biaya dari orang tua masingmasing. Namun keberadaan anak juga dapat memberikan suasana yang dinamis dalam keluarga. Keberadaan anak dalam suatu keluarga mempunyai nilai tersendiri bagi orang tua masing-masing. Pandangan terhadap nilai anak tersebut dapat mempengaruhi berapa jumlah dan jenis kelamin apa anak yang diharapkan oleh suatu keluarga. Pandangan banyak anak banyak rejeki sudah tidak relevan
67
lagi dengan tuntutan terhadap kualitas sumber daya manusia. Banyak anak membutuhkan alokasi waktu, tenaga, dan biaya yang relatif lebih banyak dibandingkan dengan jumlah anak yang sedikit. Sesuai anjuran dari program Keluarga Berencana adalah dua anak cukup, laki-laki atau perempuan sama saja. Upaya meningkatkan kualitas smber daya manusia melalui keluarga tertuang dalam Rencana Pembagunan Jangka Menengah 2004-2009, sebagai berikut: “.......Pembangunan kependudukan dan keluarga kecil berkualitas merupakan langkah
penting dalam mencapai pembangunan berkelanjutan. Hal ini
diselenggarakan melalui pengendalian penduduk dan peningkatan kualitas insani dan sumberdaya manusia. Karakteristik pembangunan antara lain dilaksanakan melalui pengendalian pertumbuhan penduduk, melalui perwujudan keluarga kecil berkualitas….. “ (RPJM 2004-2009). Keluarga kecil berkualitas tersebut dimaksudkan keluarga dengan jumlah anak sedikit. Jumlah anak sedikit dapat memberikan pengaruh terhadap alokasi waktu, tenaga, dan biaya oleh orang tua untuk anak mereka. Alokasi yang mencukupi kebutuhan anak tersebut dapat mendukung pengembangan kualitas anak. Dengan kata lain, kuantitas anak berbanding dengan kualitas anak. Qian (2005) menyebutkan bahwa pembuatan kebijakan di negara berkembang dengan pembatasan ukuran keuarga merupakan strategi yang baik untuk meningkatkan rata-rata investasi
modal manusia (human capital). Artinya bahwa sedikit
kuantitas anak maka meningkatkan kualitas anak. Berapa banyak jumlah anak dipengaruhi oleh persepsi berkenaan dengan nilai anak untuk keluarga. Nilai diatributkan pada anak dapat dipandang sebagai aspek penting dari pengasuhan, relasi orang tua – anak, dan perkembangan anak. Nilai anak ini telah dikonsepkan sebagai kebutuhan bahwa anak memberikan kepuasan terhadap orang tua, yakni, kebutuhan akan keamanan ekonomi, status sosial, dan kasih sayang atau keceriaan. Sussman & Steinmetz (1987) menyebutkan bahwa nilai anak dtitentukan oleh persepsi fungsi-fungsi yang dapat diberikan oleh anak dan kebutuhan-kebutuhan yang dapat dipenuhi oleh anak. Hoffman & Manis (1979 dalam Sussman & Steinmetz 1987) mengidentifikasikan nilai-nilai sebagai berikut:
68
1. Ikatan-ikatan kelompok primer, kasih sayang (cinta dan persahabatan, mempunyai keluarga yang lengkap, manfaat pernikahan, memberikan cinta). 2. Pendorong dan keceriaan (kegiatan, rasa senang menyaksikan anak tumbuh dan berkembang). 3. Pengembangan diri (tujuan hidup, belajar pengalaman, pemenuhan harapan, pengalaman hidup) 4. Status dan identitas sebagai orang dewasa (kedeasaan, merasa berguna, harapan masyarakat, identitas seks). 5. Usaha dan kreativitas (menciptakan kehidupan, melakukan pekerjaan yang bagus, pendidikan). 6. Kegunaan ekonomi (tenaga kerja di rumah, jaminan sosial di hari tua). 7. Moralitas (menjadi orang yang lebih baik).
Esphenshade (1977 dalam Ihromi 1999) menyebutkan sebagai berikut: “The value of children can be thought as the functions they serve or needs they fullfill for parent” (nilai anak adalah fungsi-fungsi yang dilakukan atau dipenuhinya kebutuhan orang tua oleh anak). Pengertian tersebut menunjukkan bahwa nilai anak dilihat dari sudut pandang kepentingan orang tua terhadap keberadaan anak. Keberadaan anak dapat memberikan atau memenuhi kebutuhan yang diharapkan oleh orang tua. Keberadaan anak (kelahiran anak dan pertambahan anak) tersebut dapat dikatakan sebagai wujud dari beberapa faktor pertimbangan yang dilakukan oleh orang tua. Hoffman & Hoffman (1973 dalam Suckow & Klaus, 2002 ) memberikan pengkategorian nilai anak ke dalam tiga dimensi sebagai berikut: nilai psikologi emosional anak, nilai kegunaan ekonomi anak, dan nilai normatif sosial anak. Alasan nilai psikologis mempunyai anak karena mempunyai seseorang untuk disayangi dan dirawat, karena rasa bahagia yang didapat dari menyaksikan anakanak tumbuh dan karena kebahagiaan mempunyai anak berada disekeliling rumah. Alasan nilai kegunaan ekonomi mempunyai anak
karena anak dapat
membantu di rumah, mempunyai lebih dari satu orang membantu keluarga secara ekonomi, atau anak-anak dpat membantu ketika orang tua telah tua. Alasan nilai
69
normatif anak diekspresikan dengan pernyataaan melestarikan nama keluarga atau dengan kata lain memperbaiki reputasi orang tua lebih baik dihadapan anak. Selain itu Sam (2001) juga mengemukakan bahwa nilai anak mencakup juga nilai psikologis, nilai sosial, dan ekonomi anak. Nilai psikologis menunjuk kepada kebahagiaan, senang, dan keadaan yang menyenangkan atau tidak menyenangkan serta stres karena orang tua mempunyai pengalaman mempunyai anak. Nilai sosial menunjukkan kepada keuntungan sosial yang diinginkan atau tidak diinginkan karena memiliki anak (yakni, pengakuan sosial dan status sosial ketika pasangan pernikahan mempunyai anak; penerusan garis keluarga dlm kasus mempnyai anak laki-laki seperti dalam masyarakat patrilinie). Meskipun niai sosial anak dilihat seagai suatu tipe nilai instrumental. Hal ini berbeda dari nilai ekonomi/kegunaan anak. E-voc menunjukan kepada keuntungan material yang diiginkan dan biaa untuk anak ketika mereka muda dan ketika mereka menjadi dewasa (yakni; dukungan ekonomi yang diberikan orang tua terhadap anak-anak muda mereka dan dukungan ekonomi yang diberikan oleh para anak-anak dewasa kepada orang tua mereka masing-masing). Disisi lain Social-voc lebih berkaitan dengan keyakinan tentang keluarga ideal, perkawinan, atau peran perempuan. Social-voc merupakan orientasi kultural dan mungkin lebih relevant dalam kebudayaan tertentu daripada kebudayaan lainnya. Tergantung pada nilai budaya secara umum, nilai sosial ini mempunyai implikasi yang berbeda. Mempunyai anak memenuhi kebutuhan untuk memperbaiki kehidupan keluarga atau perkawinan, atau, dalam masyarakat terttentu, agar supaya dapat diterima sebagai seorang laki-laki atau perempuan. Harapan Siswa terhadap Guru Harapan (expectation) merupakan suatu tindakan berpengharapan atau sesuatu yang diharapkan pada masa mendatang (Longman 1987). Harapan dapat menjadi tujuan hidup sehingga dapat menjadi pengarah segala upaya untuk meraihnya. Harapan tersebut berada pada masa yang mendatang berkaitan dengan keadaan yang lebih baik (Collins 2003). Ini diartikan bahwa harapan bersifat positif untuk maju dibandingkan dengan keadaan yang ada pada saat ini. Sebagaimana para siswa dalam mengikuti proses pendidikan di sekolah mengalami berbagai muatan pendidikan dalam berbagai mata pelajaran dan
70
aktivitas ketrampilan. Harapan dapat menyerupai motivasi untuk maju pada diri siswa yang terwujudkan dalam bentuk harapan memperoleh materi pendidikan dan ketrampilan sebanyak mungkin dari sekolah melalui para pengajar/guru. Ekspektasi dapat diartikan juga dengan harapan atau keyakinan bahwa sesuatu akan terjadi atau seseorang akan memperoleh sebagaimana yang diharapkan (Collins 2003). Apabila demikian maka harapan untuk maju dari para siswa dapat dikatakan sebagai harapan atau keyakinan bahwa sesuatu akan terjadi atau memperoleh sebagaimana yang diharapkan. Guru merupkan sumber informasi lmu dan ketrampilan. Maka, harapan siswa terhadap guru merupakan harapan siswa akan kemampuan guru sebagai sumber iformasi ilmu dan ketrampilan. Harapan siswa terhadap guru merupakan cerminan keinginan siswa untuk maju dalam hal pelajaran dan ketrampilan. Guru menjadi sangat berperan untuk dapat menunjukkan kemampuan sesuai dengan kompetensinya. Maka hubungan guru dan murid merupakan hubungan kooperatif dalam pendidikan dimana guru mengambil bagian untuk dapat meningkatkan kemampuan siswa dalam bidang tertentu. Oleh karena itu, masalah kualitas guru merupakan faktor yang utama agar dapat melaksanakan tugas dan tanggung jawab mengajar secara baik. Leigh & Mead (2005) mengungkapakan bawa pengetahuan dan ketrampilan para guru merupakan faktor yang sangat penting yang mempengaruhi pembelajaran anak. Bahkan bagi anak yang mempunyai latar belakang yang tidak beruntung atau lingkungan keluarga yang yang bermasalah, kualitas pengajaran guru menjadi lebih penting. Leigh & Mead (2005) bahwa pengetahuan guru terhadap materi khusus, tersitimewa di jenjang pendidikan sekolah menengah pertama, merupakan prediktor yang baik terhadap prestasi belajar anak.
Harapan siswa terhadap
penguasaan guru terhadap materi khusus tersebut merupakan orientasi maju para siswa terhadap materi khusus yang dikuasai oleh guru atau para guru. Oleh karena itu para siswa yang mempunyai harapan baik terhadap para guru mereka mempunyai prestasi akademik yang baik. Schilling & Schilling (1999 diacu dalam Miller 2001)
menngungkapkan bahwa ekspektasi membentuk pengalaman
pembelajaran yang begitu berdayaguna, ekspektasi mampu meningkatkan kinerja dimana seseorang yang mempunyai harapan yang tinggi maka mempunyai
71
kinerja/prestasi yang tinggi, dan seseorang dengan ekspektasi yang tinggi menampilkan taraf kinerja/prestasi yang lebih tinggi dibandingkan dengan yang berpengharapan rendah, bahkan meskipun mereka dalam keadaan kemampuan yang sama. Dengan demikian harapan menjadi pendorong siswa untuk meraih prestasi akademik lebih baik melalui kinerja guru yang mampu meningkatkan penguasaan terhadap suatu materi belajar tertentu. Kualitas Remaja Salah satu bidang pembangunan yang perlu ditinjau kondisinya adalah mengenai kualitas sumberdaya manusia, yang pada dasarnya merupakan modal dasar bagi pembangunan. Dan kualitas sumberdaya manusia tersebut ditentukan oleh oleh tiga faktor utama: tingkat pendidikan, status kesehatan, dan pendapatan per kapita (Basuni 2002). Sedangkan Ananta dan Hatmadji (1985) menentukan faktor pendidikan, kesehatan dan lingkungan sebagai indikator berkaitan dengan kalitas sumber daya manusia. Syarief (1997) mendefinisikan kualitas sebagai gabungan karkateristik yang menentukan derajat kehandalan (degree of excellence). Kualitas SDM dapat didefiniskan sebagai gabungan dari karakteristik segenap sumberdaya yang ada dalam diri manusia, mencakup karakteristik fisik, akal, kalbu, dan nafsu yang menentukan kehandalan manusia baik sebagai makhluk indiividu maupun makhluk sosial. Kualitas fisik dicerminkan oleh kesehatan dan ketahanan jasmani yang memungkinkan seseorang dapat hidup sehat, aktif, produktiof, dan berumur panjang. Kualitas akal dicerminkan oleh daya pikir atau kecerdasan intelektual. Manusia yang berakal selalu terdorong untuk menggali rahasia alam dan kehidupan, dan dengan itu ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) berkembang. Kualitas kalbu dicerminkan oleh keluhuran budi pekerti, moral dan akhlak. Pada hakekatnya manusia merupakan makhluk individu dan sosial yang hidup dalam lingkungan keluarga dan masyarakat. Oleh karena itu, kualitas SDM terbentuk melalui proses yang panjang dalam keseluruhan siklus hidup manusia. Keluarga merupakan institusi pertama yang mempunyai peran amat penting dalam mewujudkan SDM yang berkualitas. Keseluruhan siklus hidup manusia, masa janin (pe-natal) sampai dengan usia remaja (sekitar 15 tahun) merupakan periode yang sangat menentukan kualitas SDM. Periode yang paling kritis – terutama
72
ditinjau dari aspek gizi, kesehatan dan psikologi – adalah sampai usia bawah lima tahun (balita). Pada usia selanjutnya faktor gizi tetap berperan penting bagi setiap orang untuk dapat hidup secara sehat, aktif, kreatif dan produktif. Kekuranga gizi pada anak sekolah mengakibatkan lemahnya kemampuan belajar, karena daya tahan tubuhnya yang rendah, cepat lelah dan sakit-sakitan. Dalam kondisi seperti itu, tidak mungkin terbentuk SDM yang berkualitas. Pada usia dewasa, faktor gizi berperan untuk meningkatkan fisik, dan produktivitas kerja. Dengan demikian kualitas anak dapat ditinjau dari kualitas akal, kualitas kalbu, dan kualitas fisik. Kualitas akal merupakan kualitas intelektual. Kualitas kalbu mencerminkan moral yang akan ditinjau melalui kecerdasan emosi. Sedangkan kualitas fisik mencerminkan kesehatan dan katahanan jasmani yang akan ditinjau melalui status gizi anak. Status Gizi Gizi merupakan salah satu penentu kualitas sumberdaya manusia. Kekurangan gizi menyebabkan efek serius seperti: kegagalan pertumbuhan fisik, menurunnya perkembangan kecerdasan, menurunkan produktivitas, menurunkan daya tahan terhadap penyakit serta meningkatkan resiko kesakitan dan kematian. Dan menurut peringkat HDI (Human Development Index) Indonesia berada diurutan 109 dari 174 negara, jauh di bawah negara-negara ASEAN lain seperti Malaysia (peringkat 56), Philipina (77), Thailand (67), Singapore (22) dan Brunei (25). Tiga faktor penentu HDI yang dikembangkan UNDP adalah pendidikan, kesehatan, dan ekonomi. Ketiga faktor tersebut sangat erat kaitanya dengan status gizi masyarakat. (Gizi Anak 2001). Salah satu indikator status gizi penduduk yang rendah adalah tingginya prevalensi gizi kurang (berat menurut umur atau BB/U –2.0 SD median baku WHO-NCHS). Pada tahun 1999 pevalensi gizi kurang pada balita Indonesia berdasarkan data Susenas adalah 25,4%. Pada tahun 1995 dan 1998 prevalensi gizi buruk yang tinggi ini terutama dijumpai pada balita usia antara 6-23 bulan. Pada tahun 1999 prevalensi gizi kurang di Indonesia masih tertinggi di antara negara-negara tetangga ASEAN. Prevalensi balita gizi kurang di Indonesia tahun 2000 masih 25%, yang mengindikasikan bahwa target penurunan prevalensi sampai 19% pada akhir dekade 20 masih belum tercapai. (Basuni 2002).
73
Ukuran lain untuk mengetahui status gizi anak ada ukuran lain yaitu tinggi badan. Departemen Kesehatan melakukan Pengukuran Tinggi Badan Anak Baru Masuk
Sekolah (TBABS). Pada tahun 1994, pertama kali dilaksanakan
pemantauan TBABS di seluruh Indonesia, yang memberikan gambaran rata-rata tinggi badan dan prevalensi gangguan pertumbuhan anak usia sekolah. Untuk memudahkan pengukuran telah dibuat standart penggolongan status gizi berdasarkan indeks tinggi badan dan umur (TB/U) untuk laki-laki dan anak perempuan umur 60 – 102 bulan (5 – 8,5 tahun). Pengukuran ini telah dilakukan oleh Departemen Kesehatan untuk mengetahui kecenderungan pertumbuhan fisik penduduk, dan pada tahun 1998/1999 kembali melakukan TBABS yang kedua pada siswa Sekolah Dasar/Madrasah Ibtidaiyah (SD/MI). Karena keterbatasan dana baru dapat dilakukan di 5 propinsi daerah bantuan CHN3 (Jawa Barat, Jawa Tengah, Nusa Tenggara Timur, Maluku dan Irian Jaya). Selanjutnya pada tahun 1999/2000 dilaksanakan di 22 propinsi lainnya. (Indonesian Nutrition Network 2001). Jellieffe (1989) menyatakan bahwa anthropometry merupakan metode langsung yang lazim digunakan untuk mengukur dua atau lebih permasalahan gizi: 1) malnutrisi enerji dan protein, khususnya pada anak-anak dan wanita hamil, dan 2) obesitas pada semua umur. Adapun keuntungan dengan pengukuran antrhopometry: 1) relatif ekonomis untuk digunakan; 2) obyektif; 3) mudah dipahami; 4) hasilnya berupa angka-angka yang berjenjang; 5) informasi berkenaan pertumbuhan yang lamban, malnutrisi enerji-protein dini dan obesitas tidaklah semudah dan seekonomis metode ini dibandingkan dengan metode lainnya. Namun untuk mendapatkan hasil pengukuran yang optimal maka perlu memperhatikan segi potensi kerugian metode ini. Ada 4 (empat) potensi kerugian yang perlu diperhatikan: 1) mempunyai potensi pengukuran yang kurang akurat; 2) dibutuhkan ketepatan umur anak; 3) mempunyai relefansi diagnosa nutrisi secara terbatas, terutama malnutrisi enerji dan protein; 4) permasalahan berkenaan dengan seleksi referensi data yang memadai dan penetapan poin level atas atau bawah yang berpengaruh pada ketidak normalan. Adapun pengukuran yang lazim digunakan metode antropometri mengukur: 1) body mass (berat tubuh); 2) linier dimension, ketinggian atau panjang; 3) body composition dan reserves kalori dan
74
protein yang dicerminkan dengan lemak subkutan dan otot (WHO 1995; Arisman 2002). Pemantauan dini terhadap pertumbuhan fisik anak tersebut merupakan informasi yang penting untuk melakukan antisipasi dan penanganan berkenaan dengan malnutrisi agar kualitas hidup penduduk menjadi baik. Soekirman (2002) mengemukakan betapa pentingnya perhatian terhadap kualitas hidup ini. Menurutnya, dari sudut gizi kualitas sumberdaya manusia dikaitkan dengan perkembangan siklus hidup manusia sejak dalam kandungan sampai memasuki usia lanjut. Dengan demikian pengembangan kualitas SDM diawali dengan memperhatikan kondisi bayi dalam kandungan dengan memperhatikan kondisi bayi dalam kandungan agar lahir dengan selamat dan sehat. Kemudian menjaga agar bayi tumbuh normal fisik dan mentalnya sebagai bayi sampai anak berumur 5 tahun (balita), agar menjadi anak dan remaja yang cerdas di sekolah, hidup dengan produktif pada usia dewasa, panjang usia dan tetap produktif pada usia lanjut. Penggunaan antropometri juga diterapkan dalam penelitian Soekirman dkk (1999) terhadap siswa sekolah dasar di Jawa Barat dan Bogor berusia antara 8 – 10 tahun. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada usia 8 – 10 tahun anak lakilaki relatif lebih berat dibandingkan dengan anak perempuan. Bagaimanapun anak perempuan berusia 10 tahun rata-rata berat badannya lebih berat 1 (satu) kilogram dibandingkan dengan anak laki-laki. Pola yang sama juga ditunjukkan pada mean tinggi badan anak-anak. Pada usia 8 dan 9 tahun, anak laki-laki lebih tinggi dibandingkan dengan anak perempuan, akan tetapi pada usia 10 tahun anak perempuan rata-rata 1,5 cm lebih tinggi daripada anak laki-laki. Soekirman dkk. (1999) juga membandingkan tinggi dan berat badan antara siswa sekolah swasta dan negeri. Sekolah-sekolah swasta menunjukkan hasil baik berat maupun tinggi badan lebih berat dan tinggi dibandingkan dengan sekolah siswa sekolah negeri. Gejala ini membenarkan status sekolah (sekolah swasta dan negeri) berkaitan denngan status sosial ekonomi orang tua siswa. Kenyataan bahwa tinggi dan berat badan berkorelasi secara positif terhadap status sosial telah dibukukan dalam literatur gizi.
75
Penelitian Usfar (2002) juga menggunakan metode anthropometric terhadap 214 anak-anak dimana 45% laki-laki dan 54,7% perempuan berusia bawah lima tahun. Metode tersebut digunakan untuk meneliti hubungan antara keamanan pangan dan status gizi. Ia mengukur tinggi dan berat badan dengan masa pengambilan dua periode antara Februari-Juni sampai dengan AgustusOktober 2000. Kemudian dari data tersebut diperbandingkan untuk mengetahui perubahan status gizi, khususnya status gizi balita. Bagaimanapun penelitian mengenai status gizi anak masih menarik untuk dilakukan. Ini dimaksudkan untuk memberikan perhatian secara berkelanjutan mengenai status gizi, dimana kebanyakan penelitian diarahkan kepada anak-anak usia balita. Namun tidak menutup kemungkinan untuk melihat status gizi anak usia sekolah yang lebih lanjut, karena ada keterkaitan antara status gizi dengan kemampuan akademis anak. Reynaldo (1998) mengetengahkan betapa pentingnya untuk negara berkembang melakukan perbaikan nutrisi anak. Alasan sederhana. Pertama, kekurangan gizi pada anak-anak merupakan permasalahan umum di negara miskin. Kedua, kekurangan gizi mempunyai konsekuensi buruk dalam jangka pendek dan panjang bagi individu yang dipengaruhi dan masyarakat dimana mereka tinggal. Ketiga, jika nutrisi anak diperbaiki, masa depan generasi akan menjadi lebih sehat dan lebih produktif, dan ini akan menjadi aset bagi perkembangan ekonomi nasional. Dari beberapa penerapan metode antropometri di atas maka dapat dilihat bahwa metode cukup handal untuk mengukur status gizi anak sebagai indikator kualitas
anak.
Dan
didasarkan
pertimbangan
segi
keuntungan
metode
antropometri dengan memperhatikan kelemahan metode ini maka metode ini akan diterapkan dalam penelitian ini. Meskipun kebanyakan penelitian mengarahkan pengukuran kepada anak balita, maka dalam penelitian ini akan memusatkan pengukuran kepada anak sekolah lanjutan tingkat pertama. Kecerdasan Emosi Ketika para psikolog mulai menulis dan berpikir tentang inteligensi, mereka memfokuskan pada aspek kognitif, seperti memory dan pemecahan masalah. Bagaimanapun para peneliti yang mengenal awal terhadap aspek non
76
cognitif merupakan hal yang penting juga. Emotional Intelligence (EI) merupakan hal penting lainnya atau merupakan suatu prediktor yang lebih baik dalam melakukan pengukuran kecerdasan dan keberhasilan manusia. Pengertian EI pada awalnya dikenalkan oleh Thorndike pada tahun 1920 dengan konsep social intelligence – kemampuan bertindak secara bijaksana dalam berinteraksi dengan manusia lainnya. Kemudian tahun 1940 David Wechsler mengartikan kecerdasan sebagai kumpulan atau kemampuan menyeluruh dari individu untuk bertindak secara sengaja, berpikir secara rasional, dan menghadapi lingkungan secara efektif (Cherniss 2000). Ia mengemukakan bahwa faktor non intellective sama pentingnya dengan faktor intellective, yang ia maksudkan adalah faktor affective, personal, dan sosial. Selanjutnya pada tahun 1943 ia membuat proposisi bahwa kemampuan non-intellective merupakan hal yang penting untuk memprediksi kemampuan seseorang dalam hal keberhasilan hidup. Istilah emotional intelligence dicipta oleh Peter Salovey dan John Mayer pada tahun 1990 dan yang kemudian dipopulerkan oleh Daniel Goleman dalam bestsellernya tahun 1995, Emotional Intelligence. (Aziz, tt). Ketika Salovey dan Mayer menciptakan istilah emotional intelligence pada tahun 1990, mereka tertarik pada karya-karya sebelumnya pada non-cognitive aspects dari kecerdasan. Mereka mendeskripsikan emotional intelligence sebagai suatu bentuk social intelligence yang mencakup kemampuan untuk memonitor perasaan dan emosi diri sendiri dan orang lain, untuk membeda-bedakan antara emosi itu, dan menggunakan informasi tersebut untuk membimbing pikiran dan tindakan seseorang (Salovey and Mayer 1990). Pada awal tahun 1990an Daniel Goleman tertarik dengan karyanya Salovey dan Mayer yang kemudian mengilhami karya bukunya Emotional Intelligence. Menurut Goleman (1995), emotional intelligence adalah kemampuan seseorang mengatur kehidupan emosinya dengan inteligensi, menjaga keselarasan emosi dan pengungkapannya melalui ketrampilan kesadaran diri, pengendalian diri, motivasi diri, empati dan ketrampilan sosial. Goleman mengemukakan bahwa emosi merujuk pada suatu perasaan dan pikiran yang khas, suatu keadaan biologis dan psikologis, dan serangkaian kecenderungan untuk bertindak. Menurut Oxford Dictionary emosi diartikan
77
sebagai setiap kegiatan atau pergolakan pikiran, perasaan, nafsu; setiap keadaan mental yang hebat atau meluap-luap. Sejumlah teoritikus menggolongkan emosi adalah sebagai berikut (Goleman 1995): o Amarah: beringas, mengamuk, benci, marah besar, jengkel, kesal hati, terganggu, rasa pahit, berang, tersiinggung, bermusuhan, dan barangkali yang paling hebat, tindak kekerasan dan kebencian patologis. o Kesedihan: pedih, sedih, muram, melankolis, mengsihani, mengasihani diri, kesepian, ditolak, putus asa, dan kalau menjadi patologis, depresi berat. o Rasa takut: cemas, takut, gugup, khawatir, was-was, perasaan takut sekali, waspada, sedih, tidak tenang, ngeri, takut sekali, kecut; sebagai patologi, fobia dan panik. o Kenikmatan: bahagia, gembira, ringan, puas, riang, senang, terhibur, bangga, kenikmatan indrawi, takjub, rasa terpesona, rasa puas, rasa terpenuhi, kegirangan luar biasa, senang, senang sekali, dan batas ujungnya, mania. o Cinta: penerimaan, persahabatan, kepercayaan, kebaikan hati, rasa dekat, bakti, hormat, kasmaran, kasih. o Terkejut: terkejut, terkesiap, takjub, terpana. o Jengkel: hina, jijik, muak, mual, benci, tidak suka, mau muntah. o Malu: rasa salah, malu hati, kesal hati, sesal, hina, aib, dan hati hancur lebur. Orang perlu mempelajari emosi dirinya sendiri sejak muda (Goleman 1995). Karena, pada umumnya
keberhasilan dipikirkan sebagai kemampuan
seseorang yang mempunyai kecerdasan intelektual tinggi (IQ) yang dapat mengendalikan orang-orang atau uang. Hal ini membawa mentalitas masyarakat terhadap pengawasan yang tidak mengabaikan segi kata hati pada pengawasan hirarkis korupsi para politisi, tokoh yang tidak punya hatinurani, pelaksana periklanan yang sinis, eksekutif bisnis yang bermental chainsaw (Steiner 1997). Goleman (1998) mempopulerkan EQ dengan menunjukkan emotional intelligence sebagai kemampuan mengenal perasaan diri sendiri dan perasaan orang lain, untuk memotivasi diri sendiri, dan mengelola emosi secara baik pada diri mereka sendiri dan hubungan antar emosi. EQ berbeda dengan IQ, namun EQ menunjang kecerdasan akademik, dimana secara murni kemampuan kognitif diukur dengan IQ. Dengan kata lain, EQ menentukan kemampuan belajar
78
ketrampilan sehari-hari yang didasarkan pada lima elemen: self awareness, motivation, self-regulation, empathy, dan adeptness in relationships. Emosi merupakan piranti agar membuat hidup ini berhasil dan bermakna. Akan tetapi ketidakmampuan mengendalikan emosi maka emosi akan menghasilkan kekacauan. Dalam kehidupan keseharian, emosi mempengaruhi hubungan kita dengan orang lain, identitas diri kita, dan kemampuan kita untuk menyelesaikan tugas. Agar efektif, proses kognitif kita harus dikendalikan oleh emosi-emosi kita, sehingga emosi berfungsi positif untuk kita bukannya merugikan kita. Salovey (1990) menggabungkan karya beberapa peneliti untuk menentukan ukuran-ukuran penggunaan emosi secara efektif sebagai berikut: 1. Knowing one’s emotions: Self-awareness – mengenali perasaan yang terjadi – merupakan dasar dari EQ. Kemampuan untuk memonitor perasaan dari waktu ke waktu, segi kognitif sama baiknya dengan segi afektif, merupakan hal yang penting bagi tinjauan psikologi dan pemahaman diri sendiri. Ketidakmampuan membaca perasaan kita yang sebenarnya menjauhkan kia dari rasa belas kasihan. 2. Managing emotion: Penguasaan terhadap perasaan-perasaan agar perasaanperasaan tersebut memadai menjadi kemampuan untuk membangun selfawareness. Mempunyai kemampuan untuk menenangkan diri, melepaskan diri dari ketegangan yang hebat, kemuraman atau sifat lekas marah merupakan hal yang penting untuk menyembuhkan dari penurunan dan gangguan kehidupan. 3. Motivating oneself: Penyusunan emosi-emosi untuk mencapai tujuan adalah penting diperhatikan, untuk penguasaan dan motivasi diri, dan untuk kreativitas. Pengendalian emosi diri – dengan penundaan kegembiraan dan mengikuti suara hati - mendasari pencapaian setiap jenis. Dan menemukan keadaan yang mengalir membuat mampu menyelesaikan berbagai ragam kinerja. Orang berketrampilan seperti ini lebih produktif dan efektif terhadap apa saja yang dilakukannya. 4. Recognizing emotions in others: Empathy merupakan kemampuan lain untuk membangun emotional self-awareness. Empathy tersebut merupakan dasar dari ketrampilan orang. Orang yang mampu menunjukkan empatinya membiasakan diri terhadap tanda-tanda sosial yang telah menyatu yang
79
menunjukkan apa yang dibutuhkan dan diinginkan oleh orang lain. Orang berkemampuan seperti ini cenderung lebih produktif dan efektif pada apapun yang ia kerjakan. 5. Handling Relationship: Bagian terbesar dari seni menjalin hubungan adalah ketrampilan didalam mengelola emosi terhadap orang lain. Kemampuan ini mendasari efektivitas kepemimpinan dan hubungan antar pribadi Upaya untuk meningkatkan kecerdasan emosi dapat ditempuh melalui kurikulum
pendidikan.
Program
akademik
yang
menyertakan
pelatihan
Kecerdasan Emosi sebagai bagian dari kurikulum diciptakan oleh sekolah yang mempunyai pandangan kedepan seperti Nueva School di California (Stone 1978). Kurikulum self science di Nueva berkaitan dengan topik-topik sebagai berikut: 1. Self-awareness: melakukan observasi diri dan pengenalan perasaan diri; membangun perbendaharaan kata berkenaan dengan perasaan; mengenal hubungan antara pikiran, perasan, dan reaksi. 2. Personal decision-making: mengkaji tindakan diri dan mengenal akibatakibatnya; mengenal bahwa pikiran atau perasan menentukan pembuatan keputusan; menggunakan pemahaman tersebut terhadap masalah seperti seks dan obat-obatan. 3. Managing feeling: memperhatikan self talk untuk menangkap pesan-pesan negatif seperti memadamkan keadaan di dalam diri dengan mewujudkan apa yang ada di balik perasaan (yakni luka yang melandasi kemarahan); menemukan acra-cara untuk menangani rasa takut dan kawatir, marah, dan sedih. 4. Handling stress: belajar menghargai latihan, perbandingan pedoman, metode relaksasi. 5. Empathy: memahami perasaan dan perhatian orang lain dan dapat menghubungkan pada perspektif mereka; menyadari perbedaan dalam bagaimana orang merasakan sesuatu. 6. Communications: berbicara tentang perasaan secara efektif; belajar menjadi pendengar dan penanya yang baik; membedakan antara apa yang dilakukan dan dibicarakan seseorang dan reaksi diri sendiri atau penilaian tentang reaksi tersebut; pengiriman pesan diri sebagai ganti rasa malu
80
7. Self disclosure: penilaian terhdap keterbukaan dan pembangunan kepercayaan di dalam berhubungan dengan orang lain; mengetahui keadaan aman terhadap resiko membicarakan perasaan yang bersifat pribadi. 8. Insight: menlakukan identifikasi pola-polaemosi dan rekasi diri; mengenal pola-pola yang sama pada diri orang lain. 9. Self-acceptance: memiliki rasa harga diri dan memandang diri dalam sisi positif; mengenali kekuatan dan kelemahan diri; dapat tertawa terhadap diri sendiri. 10. Personal responsibility: mengambil tanggung jawab, mengenali akibat keputusan dan tindakan yang dibuat. Menerima perasaan dan suasan hati, mengikuti komitmen. 11. Assertiveness: menetapkan ketertarikan dan perasaan tanpa marah atau pasif. 12. Group dynamic: bekerjasama; mengenali dan bagaimana memimpin, kapan menjadi pengikut. 13. Conflict resolution: bagaimana bertarung secara fair dengan anak-anak yang lain, dengan orang tua, dengan guru; ini model win/win untuk melakukan negosiasi agar didapat kompromi
Kecerdasan Intelektual (Intelligence Quotient) Tingkat kecerdasan menurut Binet dalam Hadisubrata (1989) adalah suatu kemampuan umum untuk memahami dan memecahkan persoalan dengan penalaran.
Utami Munandar (1992) dan Djamarah (2000) merumuskan
kecerdasan sebagai : a) kemampuan untuk berpikir abstrak, b) kemampuan untuk menangkap hubungan-hubungan dan kemampun untuk belajar, dan c) kemampuan untuk menyesuaikan diri terhadap situasi baru.
Intelligence Quotien tersebut
merupakan kemampuan yang berbeda-beda antara satu orang dengan yang lainnya (Barret 2004). Cattel (Wikipedia 2009) menciptakan teori untuk menjelaskan kecerdasan manusia mencakup fluid intelligence dan crystalized intelligence. Fluid intelligence dan crystalized intelligence merupakan faktor-faktor dari kecerdasan secara umum. Fluid intelligence merupakan kemampuan untuk menemukan makna dalam ketidakjelasan dan memecahkan permasalahan baru. Kemampuan
81
ini menggambarkan kesimpulan dan pemahaman hubungan-hubungan dari berbagai konsep, tidak tergantung pada pengetahuan yang diperlukan. Crystallized
intelligence
merupakan
kemampuan
untuk
menggunakan
ketrampilan-ketrampilan, pengetahuan, dan pengalaman. Kecerdasan ini tidak dianggap sama dengan memori atau pengetahuan, namun kecerdasan ini mendasarkan pada pengaksesan informasi dari memory di masa yang lalu. Dengan kata lain kecerdasan ini diperoleh dari proses pembelajaran dan pengalaman hidup dan dapat meningkat selama manusia berusaha belajar. Cattel (iPedianet tanpa tahun) mengembangkan dan menemukan test IQ yang memisahkan faktor-faktor lingkungan dan genetik yaitu CFIT atau cultural fair intelligence test untuk mengukur kecerdasan manusia secara umum yang mencakup fluid intelligence dan crystallized intelligence. Klasifikasi IQ berdasarkan test CFIT skala 2A dapat diperiksa pada Tabel 1: Tabel 1 Klasifikasi Rendah Agak Rendah Cukup Cukup Tinggi Tinggi
Klasifikasi IQ IQ ≤ 79 81 - 89 90 – 109 110 – 130 >131
Alat test psikologi CFIT merupakan alat ukur dengan item-item yang berwujud gambar-gambar dengan skala 2 dan 3. Hoge (1999) menyebutkan bahwa dalam satu set alat test CFIT terdiri dari 4 subset sebagai berikut: Set 1: test series (series). Test series menguji kemampuan untuk membuat rangkaian menjadi sesuatu yang sistimatis. Set 2: test kalasifikasi (classification). Test klasifikasi adalah test kemampuan melakukan pengelompokkan gambar menjadi satu kesatuan yang memiliki kesamaan. Set 3: test matrik (matrices). Test matrik adalah test kemampuan melakukan pengelompokkan dengan ciri-ciri yang lebih khusus. Set 4: test persyaratan (condition): Test persyaratan adalah test kemampuan melakukan pengelompokkan dengan membedakan dengan lainnya.
82
KERANGKA PEMIKIRAN
Investasi terhadap anak yang dilakukan oleh keluarga berasal dari sumberdaya yang dimilikinya, dimana sumberdaya tersebut meliputi sumberdaya manusia dan material (Bryant 1990; Deacon tanpa tahun). Hasil dari investasi tersebut mewujud dalam kualitas anak itu sendiri. Namun kualitas anak tidak semata-mata karena faktor sosial ekonomi saja akan tetapi investasi waktu untuk anak, lingkungan keluarga, struktur keluarga, sikap gizi, karakteristik siswa, lingkungan sekolah menentukan kualitas anak. Kualitas anak tersebut mencakup dari segi fisik (status gizi), non fisik (kecerdasan emosional dan kecerdasan intelektual. Kemudian kualitas anak dan lingkungan sekolah menentukan prestasi akademik anak. Struktur keluarga merupakan hubungan terpola antara posisi tertentu (ayah, ibu, dan anak) dalam satu unit keluarga. Pola struktur keluarga adalah keluarga tunggal (single headed family), keluarga batih (dua generasi, suami-isteri dengan anak), dan keluarga luas (tiga generasi, suami-isteri dengan anak, orang tua, menantu, cucu) (Giddens 1993; Sumarti 1999). Pola keluarga tunggal dapat terjadi karena meninggal dunia atau perceraian. Disebutkan bahwa perubahan struktur keluarga batih menjadi tunggal tersebut berdampak pada kondisi sosial ekonomi keluarga. Fagan dan Rector (2000) menyebutkan bahwa perceraian berpengaruh pada segi ekonomi. Perceraian mengurangi pendapatan keluarga dan secara serius mengurangi kesejahteraan keluarga. Penurunan pendapatan ini bisa jadi sekitar 50% sehingga akan berpengaruh terhadap masalah ekonomi keluarga. Pada hakekatnya struktur keluarga berpengaruh terhadap investasi anak. Keluarga besar cenderung melakukan sedikit investasi untuk kualitas anak dibandingkan dengan keluarga kecil dalam hal investasi uang maupun waktu (Hartoyo 1998). Selain itu, Kuan (2000) mengungkap bahwa family structure berpengaruh terhadap
prestasi
sekolah. Keluarga utuh memberikan pengaruh positif dalam prestasi sekolah dimana mempunyai sumberdaya ekonomi yang lebih baik, keterlibatan orang tua,
PENGETAHUAN GIZI
SIKAP GIZI
KONSUMSI PANGAN
(X14) DEMOGRAFI: Struktur Keluarga (X1) Umur Ayah-Ibu (X2a, X2i) Jumlah anggota keluarga (X3)
STATUS EKONOMI SOSIAL: Lama Pendidikan (X4a, X4i) Status Kerja (X5a, X5i) Pendapatan keluarga (X6) Kategori Sejahtera (X7)
KARAKTERISTIK ANAK: Jenis Kelamin (X8) Morbiditas (X9) Status sekolah (10) Nilai Anak (X11) Harapan siswa thd guru (X15)
INVESTASI ANAK (Y1) Pengeluaran Pendidikan (Y1a) Waktu Mendampingi anak (Y1ba, Ybi)
LINGKUNGAN KELUARGA (Y2):
KUALITAS REMAJA (Y3): KECERDASAN EMOSIONAL (Y3a) KECERDASAN INTELEKTUAL (IQ) (Y3b) STATUS GIZI ANAK (Y3c)
Dorongan berprestasi (Y2a) Aspirasi pendidikan dan pekerjaan (Y2b) Fasilitas belajar (Y2c) Pemanfaatan waktu (Y2d) Ikatan keluarga (Y2e) PRESTASI AKADEMIK (Y4) LINGKUNGAN SEKOLAH (X12): Guru (X12a) Kondisi sekolah (X12b) Iklim belajar (X12c) Aktivitas Siswa (X12d)
ALOKASI WAKTU IBU (X13): Pekerjaan luar rumah (X13a) Pekerjaan rumah (X13b) Waktu santai (13c)
83
Gambar 1 Bagan Kerangka Pemikiran
84
dan harapan pendidikan yang lebih tinggi. Begitu juga Adams & Ryant (2000) menunjukkan bahwa keluarga utuh mempunyia status ekonomi yang lebih tinggi daripada orang tua tunggal. Selanjutnya dikemukakan juga bahwa perceraian dapat berpengaruh terhadap prestasi pendidikan anak. Berdasarkan pengalaman pendidikan anak disebutkan bahwa perceraian orang tua mempunyai pengaruh terhadap belajar dan prestasi anak.
Anak-anak yang orang tuanya bercerai
mempunyai nilai yang rendah. Bahkan anak-anak sekolah yang dropout lebih banyak terjadi pada anak dimana orang tuanya bercerai dibandingkan anak dalam keluarga batih. Anak yang berasal dari keluarga dengan orang tua utuh menunjang perkembangan prestasi akademik dan emosi anak untuk menjadi lebih baik. Status sosial ekonomi keluarga mencakup lama pendidikan orang tua, status kerja, pendapatan keluarga, dan kategori sejahtera. Pendapatan keluarga menentukan juga bagaimana orang tua mengalokasikan dana kepada anaknya. Pendapatan keluarga tersebut kemudian dialokasikan untuk berbagai kebutuhan keluarga, seperti untuk biaya makan dan non makan. Semakin tinggi kondisi sosial ekonomi keluarga maka akan semakin banyak yang dapat dialokasikan untuk
berbagai
kebutuhan
tersebut.
Duncan
&
Brooks-Gunn
(1997)
mengetengahkan bahwa bagaimanapun pendapatan akan memberikan nilai guna bagi perkembangan anak. Hasil penelitian Human Resources Development Canada (1999) mengungkapkan juga bahwa status sosial ekonomi keluarga menciptakan perbedaan keberhasilan sekolah anak. Hasil penelitian menunjukkan bahwa semakin tinggi status sosial ekonomi keluarga maka ada kecenderungan semakin tinggi pula usahanya, sikap positif terhadap pendidikan dan semangat berprestasi akademik. Pendapatan memberikan dukungan terhadap pengeluaran untuk pendidikan. Selain investasi anak berupa pengeluaran pendapatan tersebut juga diwujudkan dalam alokasi waktu orang tua untuk mendampingi anak belajar. Pendidikan orang tua merupakan modal untuk dapat mendampingi anak belajar. Lama pendidikan orang tua mencerminkan jenjang pendidikan yang dicapai mereka. Dengan demikian ada kesadaran arti penting pendidikan bagi anak sehingga perlu adanya perhatian melalui pendampingan belajar anak. Para orang tua yang berprestasi tinggi mempunyai aspirasi pendidikan dan pekerjaan yang
85
tinggi bagi anak-anaknya dan menekankan pentingnya memperoleh pendidikan yang baik untuk meraih tujuan tersebut. Status sosial ekonomi orang tua (lama pendidikan orang tua) mempunyai pengaruh terhadap kualitas siswa. Karakteristik tersebut adalah lama pendidikan orang tua. Lama pendidikan ibu berpengaruh terhadap kecerdasan intelektual siswa. Hal ini sama dengan penelitian Breslau et al (2001) dimana dalam model 2 – nya menemukan bahwa level pendidikan ibu berhubungan secara positif terhadap IQ anak, sama halnya dengan variabel maternal IQ dan marital status. McGowan dan Johnson (1984) menemukan juga bahwa lama pendidikan ibu memberikan kontribusi untuk mengembangkan kecerdasan intelektual anak pada usia 3 tahun. Dengan demikian lama pendidikan ibu memberikan pengaruh pada kecerdasan intelektual anak. Lama pendidikan orang tua (ibu) berpengaruh terhadap lingkungan keluarga. Campbell dan Parcel (2002) mengemukakan, bahwa pendidikan orang tua, tingkat pengetahuan dan investasi dalam pendidikan dan aspirasi pendidikan yang tinggi berhubungan dengan semakin baiknya lingkungan keluarga anakanak. Semakin tinggi pendidikan orang tua maka menunjukkan adanya kecenderungan mempunyai harapan tingkat pendidikan anak yang lebih tinggi, memberi dukungan kepada anak untuk melakukan yang terbaik di sekolahan, dan pengharapan yang tinggi terhadap prestasi akademik anak (Davis-Kean & Schnabel, 2002 diacu dalam Davis-Kean dan Sexton, tanpa tahun). Lingkungan keluarga tersebut merupakan lingkungan dimana orang tua memberikan perhatian kepada anak berkaitan dengan dorongan untuk berpestasi, aspirasi pendidikan dan pekerjaan, fasilitas belajar, pemanfaatan waktu, dan ikatan keluarga Kualitas anak dipengaruhi juga oleh faktor lingkungan keluarga dan lingkungan sekolah. Lingkungan keluarga dapat menjadi dukungan kuat terhadap perkembangan remaja dengan mewujudkan hubungan sosial yang erat, ketrampilan pengasuhan yang baik, komunikasi yang baik, perilaku orang tua sebagai model yang positif (Aufseeser, 2006). Lingkungan keluarga menjadi tempat yang menentukan untuk perkembangan positif anak dimana usia remaja merupakan tahap transisi dari masa kanak-kanak ke masa remaja. Namun transisi tersebut dipengaruhi oleh keadaan dari masing-masing keluarga. Keretakan
86
keluarga, ketidakberuntungan keluarga, dan penderitaan anggota keluarga (penyakit mental, penyalahgunaan obat, atau cacat) dapat membuat transisi menjadi sulit (Toumbourou & Gregg 2001). Lingkungan sekolah mempunyai kontribusi dalam perkembangan emosi anak. Somersole (2002) mengemukakan adanya beberapa penelitian yang memfokuskan keterkaitan antara sekolah dengan masalah kesehatan mental siswa khususnya iklim ruang kelas. Hubungan terjadi antara iklim ruang kelas dengan masalah emosi dan perilaku siswa baik laki-laki maupun perempuan. Temuan menunjukkan bahwa lingkungan ruang kelas yang nyaman menguntungkan pada para siswa. Iklim ruang kelas yang buruk disebabkan oleh perilaku siswa yang mengacau suasana kenyamanan kelas dan memberikan pengaruh negatif terhadap kondisi selama pelajaran berlangsung. Lingkungan sekolah menunjang prestasi akademik siswa (Sukadi 1994; Coulson 2003). Lingkungan sekolah juga berperan positif terhadap prestasi akademik siswa. Karena di lingkungan sekolah
guru mempunyai peran utama dimana
sebagian peran tersebut adalah informator, motivator, fasilitator, pembimbing dan sebagainya (Syaiful 2000). Dalam lingkungan sekolah dilaksanakan berbagai kegiatan atau aktivitas siswa. Selain itu di lingkungan sekolah mencakup kondisi sekolah itu sendiri, serta iklim belajar. Peran kegiatan ekstrakulikuler menunjukkan hal yang positif terhadap prestasi akademik anak. Semua siswa yang mempunyai achievement tinggi aktif terlibat dalam kegiatan sekolah maupun ekstrakulikuler, dan orang tua mereka perhatian serta mendukung keterlibatan tersebut. Keterlibatan dalam kegiatan ekstrakurikuler menunjukkan hubungan dengan prestasi akademik siswa (Fung dan Wong 1991; Galiher 2006; Eccles et al 2003; dan Moriana et al 2006). Kondisi sekolah mempengaruhi prestasi belajar siswa. Young et al (2003) mengemukakan bahwa para siswa memiliki nilai prestasi (achievement) yang lebih tinggi dengan fasilitas yang lebih baru, kondisi fasilitas yang baru juga membuat nilai achievement lebih baik, juga student achievement yang lebih tinggi berhubungan dengan laboratorium yang lebih baik, sekolah yang terawat, pencahayaan ruang kelas yang memadai juga berpengaruh terhadap
nilai
87
pelajaran (scholasctic performance) dan kehadiran siswa di kelas serta prestasi yang lebih tinggi Prestasi akademik siswa dipengaruhi oleh kualitas remaja yang mencakup kecerdasan intelektual, kecerdasan emosi, dan status gizi remaja. Kecerdasan intelektual, status gizi,
dan kecerdasan emosi mampu menjadi faktor yang
berpengaruh terhadap prestasi akademik. Namun dikemukakan bahwa prestasi akademik juga ditentukan oleh IQ maupun EQ (Marbun, 1998; Lanawati, 1999; dan Widyanto, 2001).
Hipotesa •
Indikator kualitas remaja ditentukan oleh Status Gizi, Kecerdasan Emosional, Kecerdasan Intelektual.
•
Kualitas remaja dipengaruhi oleh lingkungan keluarga, lingkungan sekolah, dan investasi anak.
•
Prestasi akademis remaja dipengaruhi kualitas remaja, lingkungan keluarga, dan lingkungan sekolah.
88
METODE PENELITIAN Disain, Tempat, dan Waktu Penelitian Disain yang digunakan dalam penelitian ini adalah cross-sectional study. Tipe disain cross-sectional survey adalah pengumpulan data yang dilakukan pada suatu waktu tertentu dengan tujuan untuk menggambarkan karakteristik dari sampel, pengidentifikasian perbedaan antara subkelompok, atau penilaian hubungan antarvariabel dari sampel pada saat penelitian dilakukan (Touliatos & Compton, 1988). Penelitian ini dilaksanakan di Kabupaten Banyumas, Propinsi Jawa Tengah. Tujuan pemilihan lokasi ini adalah untuk mengkaji kualitas remaja berpendidikan sekolah menengah pertama di Kabupaten Banyumas. Selain itu, pertimbangan untuk kemudahan pelaksanaan penelitian, pertimbangan waktu dan biaya. Sebanyak sepuluh sekolah dijadikan sebagai lokasi penelitian, masingmasing 5 sekolah negeri mencakup : (1) SMP Negeri 2 Purwokerto, (2) SMP Negeri 1 Ajibarang, (3) SMP Negeri 1 Rawalo, (4) SMP Negeri 2 Sumpiuh, dan (5) SMP Negeri 2 Sumpiuh, dan 5 sekolah swasta mencakup (1) SMP Diponegoro 8 Rawalo, (2) SMP Muhammadiyah Ajibarang, (3) SMP PGRI Baturaden, (4) SMP Giripuro Sumpiuh, dan (5) SMP Susteran Purwokerto. Penelitian ini dilaksanakan selama 6 bulan yakni dari bulan Februari sampai Juli 2006. Populasi dan Contoh Populasi penelitian ini adalah anak remaja Sekolah Menengah Pertama kelas 2 (dua) yang ada di Kabupaten Banyumas, Propinsi Jawa Tengah. Setelah dilakukan observasi awal diperoleh data ada 129 SMP. Kemudian dari 129 sekolah diambil 10 sekolah yang tersebar di 5 kecamatan. Pendataan pada 10 SMP tersebut diperoleh jumlah siswa kelas dua Sekolah Menengah Pertama sebesar 1.659 siswa. Elemen sampling atau contoh merupakan unit analisa atau kasus dalam populasi. Populasi ini dapat merupakan orang, kelompok, atau suatu organisasi, suatu dokumen, atau pesan simbolik, atau bahkan tindakan sosial (Neuman, 1997). Penelitian ini menggunakan elemen sampling berupa siswa sekolah lanjutan tingkat pertama kelas dua yang ada di Kabupaten Banyumas, Propinsi
89
Jawa Tengah. Sekolah dikelompokkan menjadi dua, yakni swasta dan negeri. Sebanyak sepuluh sekolah dijadikan sebagai unit lokasi penelitian, masing-masing 5 sekolah swasta dan 5 sekolah negeri. Pada Tabel 2 disajikan populasi siswa pada sepuluh sekolah tersebut.
Tabel 2 Populasi siswa sekolah contoh berdasarkan jenis kelamin Nama Sekolah Negeri (1) SMP Negeri 2 Purwokerto (2) SMP Negeri 1 Ajibarang (3) SMP Negeri 1 Rawalo (4) SMP Negeri 2 Sumpiuh (5) SMP Negeri 1 Baturaden Swasta (1) SMP Diponegoro 8 Rawalo (2) SMP Muhammadiyah Ajb (3) SMP PGRI Baturaden (4) SMP Giripuro Sumpiuh (5) SMP Susteran Purwokerto Jumlah
Laki-Laki (L) Kelas Kelas 8 7-9
Populasi Perempuan (P) Kelas Kelas 8 7-9
Total (L+P) Kelas Kelas 8 7-9
463 297 295 340 352
112 103 110 115 116
278 420 299 368 388
108 137 92 116 126
741 717 594 708 740
220 140 202 231 242
121 240 155 260 132 2655
46 73 48 90 53 866
132 249 133 60 218 2545
49 95 70 32 68 893
253 489 288 320 350 5200
95 168 118 122 121 1659
Teknik Penarikan Contoh Dikarenakan sifat penelitian kuantitatif, maka diperlukan adanya kerangka sampling (sampling frame). Jika data jumlah siswa sekolah lanjutan tingkat pertama di perkotaan belum tersedia, maka jumlah sampel ditentukan pada saat di lapangan (Singarimbun, 1984). Data tersebut digunakan sebagai bahan untuk menyusun kerangka sampling. Adapun teknik pengambilan sampelnya adalah sebagai berikut:
Pemilihan Lokasi dan Sampel 1. 135 SMP Negeri dan Swasta di Kabupaten Banyumas (27 kecamatan)
Metode • Pemilihan sekolahan dilakukan secara purposive dengan mempertimbangkan klasifikasi prestasi siswa berdasarkan data dari Dinas Pendidikan Kab. Banyumas, yaitu sekolah yang baik di tingkat
90
kecamatan. • Pilihan 5 kecamatan dilakukan secara purposive berdasarkan pertimbangan jarak dan keterwakilan kabupaten. 2. Pemilihan 10 SMP (5 negeri dan 5 swasta) di 5 Kecamatan di Kabupaten Banyumas dari 129 SMP Negeri dan Swasta yang ada
• Mengumpulkan data sekunder berkenaan dengan data siswa di kesepuluh sekolahan di 5 kecamatan.
3. Penentuan jumlah sample untuk penelitian dari populasi
• Berdasarkan data sekunder siswa kelas dua SMP Negeri dan Swasta
4. Penentuan sampel untuk setiap SMP
• Untuk menentukan responden maka ditempuh cara dengan Simple Random sampling
Gambar 2 Diagram pengambilan sampel.
Jumlah sampel pada setiap SMP ditentukan dengan mempertimbangkan kebutuhan minimal analisis statistik yakni 30 sampel. Dengan demikian total sampel penelitian ini adalah 300 siswa.
KABUPATEN BANYUMAS
KOTA PURWOKERTO
SMPN 2 PURWOKERTO
30
KECAMATAN BATURADEN
SMP SUSTERAN
30
SMPN 1 BATURADEN
30
KECAMATAN AJIBARANG
SMP PGRI
30
SMPN 1 AJIBARANG
30
KECAMATAN RAWALO
SMP MUHAM MADIYAH
30
SMPN 1 RAWALO
30
KECAMATAN SUMPIUH
SMP DIPONE GORO
30
SMPN 2 SUMPIUH
30
SMP GIRIPURO
30
Gambar 3 Bagan lokasi pengambilan sampel dan jumlah sampel
91
92
Jenis dan Cara Pengambilan Data Data yang digunakan untuk penelitian ini meliputi data primer dan data sekunder. Data primer meliputi : (1) Konsumsi Pangan, (2) Sikap Gizi, (3) Pengetahuan Gizi, (4) Struktur Keluarga, (5) Sosial Ekonomi Keluarga, (6) Lingkungan Keluarga, (7) Lingkungan Sekolah, (8) Investasi Anak Remaja, (9) Kualitas Anak Remaja, (10) Status Gizi, (11) Kecerdasan Intelektual (IQ), (12) Kecerdasan Emosional dan (13) Prestasi Akademik. Data sekunder mencakup profil sekolah. Profil sekolah mencakup kondisi sekolah, jam pelajaran, lingkungan sekolah dan prestasi siswa. Secara rinci peubah, skala, responden, alat dan cara pengukuran penelitian disajikan pada Tabel 3. Tabel 3 Peubah, skala, responden, alat dan cara pengukuran No.
Peubah
Skala
Responden
Alat dan Cara Pengukuran Frekuensi pangan yang dimakan harian, mingguan, dan bulanan Kuesioner/wawancara Interview dengan kuesioner
1
Konsumsi pangan
Ordinal
Siswa
2
Sikap Gizi
Ordinal
Ibu/Siswa
3
Pengetahuan Gizi
Ordinal
Ibu/Siswa
4
Struktur Keluarga • Keluarga inti • keluarga luas • keluarga tunggal (ibu) Sosial Ekonomi Keluarga • Jumlah anggota keluarga • Umur • Tingkat pendidikan • Pekerjaan • Aset • Pendapatan • Pengeluaran • Morbiditas Lingkungan keluarga • Dorongan berprestasi • Aspirasi pendidikan dan pekerjaan • Fasilitas belajar • Pemanfaatan waktu • Ikatan keluarga Lingkungan Sekolah • Guru • Aktivitas Siswa • Kondisi Sekolah • Iklim Belajar Harapan siswa terhadap guru Nilai anak Investasi untuk pendidikan contoh
Nominal
Ibu
Kuesioner/wawancara
ibu
Kuesioner/wawancara
Ordinal
Ibu
Kuesioner/wawancara
Ordinal
Siswa
Kuesioner/wawancara
Ordinal Ordinal Rasio
Siswa Ibu Ibu
kuesioner kuesioer Kuesioner/wawancara
5
6
7
8 9 10
Rasio Rasio Ordinal Nominal Rasio Rasio Rasio Nominal
93
No.
Peubah
Skala
Responden
ordinal ordinal
Ibu dan siswa Ibu dan siswa
11 12
Pengetahuan gizi Sikap gizi
13
Konsumsi pangan
14 15
Alokasi waktu Kualitas Anak Remaja
Rasio
Ibu/bapak/siswa
1. Status Gizi
Rasio
Siswa
Ordinal Ordinal Rasio Rasio
Siswa Siswa Siswa Siswa
Rasio
Siswa
16 17
2. Kecerdasan (IQ) 3. Kecerdasan Emosional NEM SD Absen
18
Prestasi Akademik
siswa
Alat dan Cara Pengukuran kuesioner kuesioner Wawancara food frekuensi
Antropometri (IMT=BB/TB2)/U Test IQ (CFIT) Kuesioner/wawancara NEM SD Data sekunder Nilai matematika, B. Inggris, B. Indonesia, IPA, IPS, PPKN (data sekunder)
Definisi Operasional 1. Sosial Ekonomi merupakan unsur-unsur terdiri dari jumlah anggota keluarga umur, tingkat pendidikan, pekerjaan,
aset, pendapatan, pengeluaran,
morbiditas. 2. Lama pendidikan adalah masa pendidikan mulai dari sejak mengikuti pendidikan dasar sampai dengan pendidikan terakhir yang dapat diselesaikan oleh seseorang (ayah / ibu). Lama pendidikan mencakup sekolah dasara (6 tahun), sekolah menengah pertama (9 tahun), sekolah menengah atas (12 tahun), akademi (15 tahun), strata satu (16 tahun), strata dua (18 tahun ), strata tiga (21 tahun). 3. Tingkat pendidikan mencakup sekolah dasar, sekolah menengah pertama, sekolah menengah atas, akademi, strata satu, strata dua, strata tiga. 4. Status kerja adalah keadaan sesorang (ayah / ibu) melakukan atau tidak melakukan kegiatan yang mendatangkan pendapatan berupa uang. 5. Pendapatan keluarga adalah hasil dari kegiatan yang mendatangkan hasil berupa pendapatan dari anggota-anggota keluarga (ayah, ibu, anak) yang bekerja dalam masa satu bulan. 6. Kategori sejahtera adalah pengelompokan rumahtangga berdasarkan tingkat kesejahteraan menurut BKBN, yang terdiri dari keluarga pra sejahtera, keluarga sejahtera 1, keluarga sejahtera 2, dan keluarga sejahtera 3.
94
7. Jenis kelamin adalah pembedaan berdasarkan pria dan wanita. 8. Status sekolah adalah sekolah yang dikelola oleh pemerintah yaitu sekolah negeri dan sekolah yang dikelola oleh swasta yaitu sekolah swasta. 9. Umur adalah jumlah tahun kehidupan yang telah dicapai oleh seseorang (ayah / ibu). 10. Jumlah anggota keluarga adalah keseluruhan anggota yang tinggal dalam suatu keluarga terdiri dari bapak, ibu, anak, dan anggota keluarga lainnya. 11. Morbiditas adalah angka kesakitan yang dialami oleh seseorang dalam waktu sebulan terakhir. 12. Nilai anak adalah keberadaan anak yang mempunyai arti tersendiri bagi orang tua menyangkut segi ekonomi, sosial, dan psikologis. Nilai ekonomi mencakup dukungan ekonomi, jaminan hari tua, tenaga kerja. Nilai sosial mencakup mengangkat harkat orang tua, menjaga keutuhan keluarga, keterlibatan dalam kegiatan anak. Nilai psikologis memberikan kasih sayang suami istri, rasa aman, dan perhatian anak terhadap orang tua. 13. Lingkungan keluarga adalah segala keadaan yang ada dalam lingkungan rumah tangga berupa dorongan berprestasi oleh orang tua, aspirasi pendidikan dan pekerjaan oleh orang tua,
fasilitas belajar untuk anak remaja,
pemanfaatan waktu anak remaja, dan ikatan keluarga. 14. Struktur Keluarga adalah ragam anggota keluarga dalam suatu rumah tangga dimana dapat berujud keluarga inti, keluarga luas, keluarga tunggal, status anak, dan jumlah anak. Keluarga inti terdiri dari ayah, ibu, dan anak. Keluarga luas terdiri selain keluarga inti ditambah dengan anggota lain seperti nenek dan kakek. Keluarga tunggal terdiri dari hanya ayah atau ibu saja dan anak. Status anak adalah kedudukan anak dalam suatu keluarga yaitu anak kandung atau anak angkat. Jumlah anak adalah banyaknya anak yang lahir hidup atau diangkat dalam suatu keluarga. 15. Lingkungan Sekolah adalah kesatuan dari unsur-unsur dalam sekolahan seperti guru, aktivitas siswa, iklim belajar, dan kondisi sekolahan. Guru, yaitu sebagai informator, motivator, fasilitator, dan pembimbing. Aktivitas siswa, yaitu meliputi kegiatan siswa di dalam dan luar kelas dalam bidang kurikuler dan aktivitas siswa dalam organisasi kesiswaan (ko-kurikuler) serta orientasi
95
tugas. Kondisi sekolah, yaitu kelengkapan fasilitas dan sarana sekolah seperti sarana olah raga, kesenian, laboatorium, perpustakaan serta lokasi sekolah, fasilitas air dan toilet, fasilitas ruang kelas. Iklim belajar, yaitu menyangkut tata tertib sekolah, disiplin siswa, persaingan dan kerja sama dalam belajar dan inovasi dalam proses pembelajaran serta penilaian yang obyektif. 16. Harapan siswa terhadap guru adalah harapan positif yang berasal dari siswa terhadap kinerja guru berkaitan dengan kemampuan guru, semangat mengajar guru, dan sikap guru kepada siswa. 17. Pengetahuan Gizi adalah kemampuan seseorang untuk mengingat kembali kandungan gizi makanan, sumber serta kegunaan zat gizi tersebut di dalam tubuh. Jawaban dikategorikan sebagai berikut: Baik
: > 80% jawaban benar
Cukup
: 60 – 80% jawaban benar
Kurang : < 60% jawaban benar 18. Konsumsi Pangan adalah frekuensi makanan yang meliputi pangan pokok (beras, jagung, sagu, ubi, terigu, singkong), lauk pauk (daging, ikan, telur, tahu, tempe), sayuran, buah, dan susu yang dikonsumsi harian, mingguan dan bulanan. 19. Alokasi waktu orang tua adalah pembagian waktu orang tua (ayah/ibu) dalam satu hari (24 jam) untuk kepentingan kerja berupah, kerja di rumah, dan waktu luang. 20. Sikap Gizi adalah kecenderungan pada diri subyek untuk menerima atau menolak sesuatu pangan berdasarkan penilaian terhadap pangan itu sebagai pangan yang berharga atau tidak berharga, baik atau tidak baik, suka atau tidak suka. 21. Kualitas anak adalah derajad kehandalan anak yang meliputi
status gizi,
kecerdasan emosional (EI), dan kecerdasan intelektual (IQ) a. Status gizi anak adalah keadaan gizi pada anak yang dapat dilihat dari berat dan tinggi badan, serta umur anak. Status gizi remaja ditentukan dengan BB/TB2 dengan pedoman NCHS-WHO kemudian dikoreksi dengan umur dan jenis kelamin.
96
b. Kecerdasan emosional adalah kemampuan seseorang mengatur kehidupan emosinya dengan inteligensi, menjaga keselarasan emosi dan pengungkapannya melalui ketrampilan kesadaran diri, pengendalian diri, motivasi diri, empati dan ketrampilan sosial. c. Kecerdasan intelektual (IQ) merupakan kemampuan untuk berpikir abstrak kemampuan untuk menangkap hubungan-hubungan dan kemampun untuk belajar, dan kemampuan untuk menyesuaikan diri terhadap situasi baru. 22. Investasi pada anak remaja merupakan alokasi keuangan dan waktu untuk remaja. Investasi tersebut berpa pembiayaan pendidikan, kesehatan, pangan serta curahan waktu untuk mendampingi dan membantu belajar. 23. Prestasi akademis adalah hasil yang dicapai oleh remaja dalam mengikuti pendidikan diukur melalui tes terstandar mata pelajaran Bahasa Inggris, Matematika, Bahasa Indonesia, Ilmu Pengetahuan Alam, Ilmu Pengetahuan Sosial, dan PPkN.
Metode Pengukuran Peubah Berikut diuraikan metode pengukuran peubah, sistem skoring dan pengkategorian skor yang diperoleh dari variabel-variabel penelitian. Berdasarkan peubah-peubah penelitian dan metode pengukuran yang dilakukan untuk mengkuantifikasi data-data yang dikumpulkan yang selanjutnya akan digunakan untuk analisis statistik. Untuk menyamakan satuan yang digunakan maka semua skor yang diperoleh dikonversi dalam bentuk persen (0-100). Adapun rumus yang digunakan adalah sebagai berikut : X- Nilai Minimum X Y=
x 100 Nilai Maksimum X – Nilai Minimun X
Keterangan : Y= skor dalam persen x = skor yang diperoleh untuk tiap responden 1. Sosial Ekonomi Keluarga (1) Jumlah anggota keluarga. Jumlah anggota keluarga dikelompokkan menjadi 3 (tiga) yakni < 4 orang, 5-6 orang dan > 6 orang.
97
(2) Pendapatan Keluarga. Pendapatan keluarga dibagi dengan jumlah anggota keluarga sehingga diperoleh pendapatan per kapita per bulan. Adapun kategori pendapatan yang digunakan adalah >Rp 60.000, Rp 60.000 - Rp 79.999, Rp 80.000 - Rp 99.999, Rp 100.000 - Rp 149.999, Rp 150.000 Rp 199.999, Rp 200.000 - Rp 299.999, Rp 300.000 - Rp 499.999 dan >= Rp 500.000 (3) Tingkat Kesejahteraan dikategorikan menjadi : Pra KS, KS1, KS2 dan KS3. (4) Aset adalah seluruh kekayaan berupa lahan, barang baik elektronik, perhiasan, modal, asuransi/surat berharga atau sesuatu yang dapat dinilai dengan uang yang dimiliki oleh keluarga. Untuk aset ekonomi yang dimiliki seperti tabungan, rumah, tanah, emas dan aset lainnya yang dinilai dalam bentuk uang, sehingga diperoleh nilai aset dalam rupiah. Aset selanjutnya dikategorikan menjadi dua yakni di bawah rata-rata (< Rp 25.983.541,84) dan di atas rata-rata (>=Rp 25.983.541,84) (5) Pekerjaan.
Pekerjaan
kerja
utama
ayah
dalam
penelitian
ini
dikelompokkan menjadi : PNS (di luar guru dan dosen), Guru, Dosen, ABRI/POLRI, BUMN, Buruh, Pedagang/Wiraswasta, Swasta, Pendeta, Aparat Desa/Kepala Desa, Petani dan Tidak Bekerja (6) Umur. Umur ayah dan ibu dikelompokkan menjadi 4 kategori yakni (1) 36-40 tahun, 41-50 tahun51-60 tahun> 60 tahun (7) Tingkat pendidikan. Pendidikan ayah dan ibu dikelompokkan menjadi: SD, SMP, SLTA, Akademi/Diploma, S1, S2, dan S3. Sementara kategori lama pendidikan ayah adalah : < 12 tahun dan >= 12 tahun. (8) Tingkat kesehatan. Skor tingkat kesehatan diperoleh dengan cara menjumlahkan frekuensi, lama sakit dan skor upaya pengobatan. Upaya pengobatan dinilai berdasarkan kualitas pengobatan yang diterima semakin rendah kualitas pengobatan yang dilakukan misalnya tidak diobati maka skornya akan semakin tinggi. Semakin tinggi skor yang diperoleh maka tingkat kesehatan akan semakin tinggi. Skor yang diperoleh ditransformasi ke dalam skala 0-100 dengan menggunakan rumus yang telah disebut sebelumnya, kemudian dibagi menjadi tiga kategori berdasarkan kelas
98
interval yaitu rendah (skor 0-33.3), sedang (skor 33.4-66.7) dan tinggi (skor 66.8-100.0) 2. Struktur Keluarga Struktur keluarga adalah hubungan terpola antara posisi tertentu (ayah, ibu dan anak) dalam satu unit keluarga. Struktur keluarga mewujud menjadi 3 pola keluarga yaitu keluarga tunggal (single headed family), keluarga batih (2 generasi, suami-istri dengan anak), dan keluarga luas (3 generasi, suami-isteri dengan anak, orang tua, menantu, cucu). 3. Konsumsi Pangan Data pola konsumsi pangan diperoleh dari data frekuensi konsumsi pangan yang dihitung dengan satuan harian, mingguan, dan bulanan. Suatu jenis makanan dapat dikonsumsi berapa kali dalam satu hari (harian), erapa kali dalam seminggu (mingguan), dan berapa kali dalam satu bulan (bulanan). Contoh makanan yang dikonsumsi harian adalah beras (nasi). Jenis makanan nasi ini dikonsumsi setiap hari dengan rata-rata 3 kali sehari. Adapun jenis makanan yang dikonsumsi adalah sumber karbohidrat, lauk pauk, sayuran, buah-buahan, minuman, dan jajanan. Sumber karbohidrat mencakp beras, jagung, ubi jalar, dan roti. Lauk pauk menckaup daging sapi, ikan, ayam telur, tempe, dan tahu. Sayuran mencakup bayam, kangkung, daun singkong, kacan panjang. Buah-buahan mencakup magga, pisang, pepaya, dan jeruk. Minuman mencakup softdrink, teh, sirup, susu air putih. Jajanan mencakup soto, sanck, baso, batagor, mie ayam, siomay, es krim, tekwan. 4. Pengetahuan Gizi dan Sikap Gizi Jumlah pertanyaan masing-masing peubah adalah 20 item dengan skor pertanyaan yang salah adalah 0 dan skor pertanyaan yang benar adalah 1, sehingga skor yang diperoleh berkisar antara 0-20. Skor yang diperoleh ditransformasi dalam bentuk persen (0-100) dan dikategorikan menjadi 3 yakni baik (> 80% jawaban benar), cukup (60 – 80% jawaban benar) dan kurang (< 60% jawaban benar).
99
5. Lingkungan Sekolah Jumlah item pertanyaan adalah 40 buah dengan skor terendah = 1 dan skor tertinggi = 5 sehingga skor yang diperoleh berkisar antara 40 hingga 200. Skor yang diperoleh ditransformasi dalam bentuk persen (0-100) dan dikategorikan menjadi 3 yakni rendah (skor 0-33.3%), sedang (skor 33.4-66.7) dan baik (skor 66.8-100.0). Peubah lingkungan sekolah mencakup 4 sub peubah yakni : a. Guru Jumlah item pertanyaan adalah 10 buah dengan skor terendah = 1 dan skor tertinggi = 5 sehingga skor yang diperoleh berkisar antara 10 hingga 50. b. Aktivitas Siswa Jumlah item pertanyaan adalah 12 buah dengan skor terendah = 1 dan skor tertinggi = 5 sehingga skor yang diperoleh berkisar antara 12 hingga 60. c. Kondisi Sekolah Jumlah item pertanyaan adalah 10 buah dengan skor terendah = 1 dan skor tertinggi = 5 sehingga skor yang diperoleh berkisar antara 10 hingga 50. d. Iklim Belajar Jumlah item pertanyaan adalah 8 buah dengan skor terendah = 1 dan skor tertinggi = 5 sehingga skor yang diperoleh berkisar antara 8 hingga 40.
6. Lingkungan Keluarga Jumlah item pertanyaan adalah 55 buah dengan skor terendah = 1 dan skor tertinggi = 5 sehingga skor yang diperoleh berkisar antara 55 hingga 275. Skor yang diperoleh ditransformasi dalam bentuk persen (0-100) dan dikategorikan menjadi 3 yakni rendah (skor 0-33.3%), sedang (skor 33.4-66.7) dan baik (skor 66.8-100.0). Peubah lingkungan keluarga mencakup 5 sub peubah yakni : a. Dorongan Berprestasi Jumlah item pertanyaan adalah 10 buah dengan skor terendah = 1 dan skor tertinggi = 5 sehingga skor yang diperoleh berkisar antara 10 hingga 50. b. Aspirasi Pendidikan dan Pekerjaan Jumlah item pertanyaan adalah 10 buah dengan skor terendah = 1 dan skor tertinggi = 5 sehingga skor yang diperoleh berkisar antara 10 hingga 50.
100
c. Fasilitas Belajar Jumlah item pertanyaan adalah 10 buah dengan skor terendah = 1 dan skor tertinggi = 5 sehingga skor yang diperoleh berkisar antara 10 hingga 50. d. Pemanfaatan Waktu Jumlah item pertanyaan adalah 10 buah dengan skor terendah = 1 dan skor tertinggi = 5 sehingga skor yang diperoleh berkisar antara 10 hingga 50. e. Ikatan Keluarga Jumlah item pertanyaan adalah 15 buah dengan skor terendah = 1 dan skor tertinggi = 5 sehingga skor yang diperoleh berkisar antara 15 hingga 75.
7. Nilai Anak Jumlah item pertanyaan adalah 15 buah dengan skor terendah = 1 dan skor tertinggi = 5 sehingga skor yang diperoleh berkisar antara 15 hingga 75. Skor yang diperoleh ditransformasi dalam bentuk persen (0-100) dan dikategorikan menjadi 3 yakni rendah (skor 0-33.3), sedang (skor 33.4-66.7) dan baik (skor 66.8-100.0). Peubah nilai anak mencakup 3 sub peubah yakni : a. Nilai Ekonomi Anak Jumlah item pertanyaan adalah 5 buah dengan skor terendah = 1 dan skor tertinggi = 5 sehingga skor yang diperoleh berkisar antara 5 hingga 25. b. Nilai Sosial Anak Jumlah item pertanyaan adalah 5 buah dengan skor terendah = 1 dan skor tertinggi = 5 sehingga skor yang diperoleh berkisar antara 5 hingga 25. c. Nilai Psikologis Anak Jumlah item pertanyaan adalah 5 buah dengan skor terendah = 1 dan skor tertinggi = 5 sehingga skor yang diperoleh berkisar antara 5 hingga 25.
8. Harapan guru terhadap murid Jumlah item ada 10 buah dengan skor terendah = anskor tertinggi = 5 sehingga skor yang diperoleh berkisar antara 5 hingga 50. Skor yang diperoleh ditransformasi dalam bentuk persen (0-100) dan dikategorikan menjadi 3 yakni rendah (skor 0-33.3%), sedang (skor 33.4-66.7) dan baik (skor 66.8-100.0).
101
8. Kualitas Anak Remaja Kualitas anak remaja merupakan output dari proses alokasi yang dilakukan oleh orang tua kepada anaknya. Output tersebut berbentuk kemampuan pikir dan pertumbuhan fisiknya. Output tersebut diukur dengan status gizi (pengukuran antrophometri), IQ, dan kecerdasan emosional (EI). a. Status Gizi Data status gizi ditentukan dengan menggunakan Indeks Massa Tubuh (IMT) yaitu BB (Kg)/(TB (m))2, kemudian dikelompokkan menjadi lima kategori, yaitu: (1) kurus sekali (IMT < 16,9); (2) kurus (IMT 17,0 – 18,4); (3) normal (IMT 18,5 - 25,0); (4) gemuk (IMT 25,1 – 27,0); dan (5) gemuk sekali (IMT > 27,0) (Riyadi, 2004). Namun metode ini kurang tepat apabila digunakan untuk anak remaja usia antara 12 s/d 17 tahun. Indeks masa tubuh tersebut harus dikoreksi dengan usia remaja atau disebut IMT/U. IMT/U mengkategorikan status gizi remaja menjadi status kurus, normal, dan gemuk. Pengkategorian ini didasarkan pada nilai persentile dengan memperhatikan indeks masa tubuh dan usia remaja. Penggunaan indeks masa tubuh dikoreksi dengan umur mempunyai tujuan untuk mendapatkan gambaran mengenai status gizi remaja yang tepat. Penggunaan IMT/U lebih cocok digunakan untuk remaja usia lebih dari 2 - 20 tahun. Nilai persentil menempatkan seorang remaja (laki-laki dan perempuan) pada status gizi tertentu dengan pembatasan kurus ( < persentil ke 15), normal (persentile ke 15 – ke 85), dan gemuk ( > persentil 85). Adapun pembagian kategori dengan mempertimbangkan nilai persentil serta jenis kelamin adalah sebagai berikut:
Tabel 4 Kategori Status Gizi Remaja Laki-laki berdasarkan IMT dan umur dengan Persentil Kategori IMT dan umur dengan persentil Umur Kurus Normal Gemuk 12 < 16.06 16.06 – 21.12 >21.12 13 < 16.62 16.62 – 21.93 > 21.93 14 < 17.20 17.20 – 22.77 > 22.77 15 < 17.70 17.70 – 23.63 > 23.63 16 < 18.32 18.32 – 24.45 > 24.45 17 < 18.68 18.62 – 25.28 > 25.28
102
Tabel 5 Kategori Status Gizi Remaja Perempuan berdasarkan IMT dan umur dengan Persentil Kategori IMT/U dengan persentil Umur Kurus Normal Gemuk 12 < 15.98 15.98 – 22.17 > 22.17 13 < 16.45 16.45 – 23.08 > 23.08 14 < 16.79 16.79 – 23.88 > 23.88 15 < 17.16 17.16 – 24.29 > 24.29 16 < 17.54 17.54 – 24.74 > 24.74 17 < 17.81 17.81 – 25.23 > 25.23 b. Kecerdasan Intelektual (IQ) Kategori kecerdasan intelektual yang digunakan adalah : (1) Rendah (≤79) Agak rendah (81-89), (3) Cukup (90-109), (4) Cukup Tinggi (110-130), dan (5) Tinggi (>130). c. Kecerdasan Emosional Jumlah item pertanyaan adalah 57 buah dengan skor terendah = 1 dan skor tertinggi = 5 sehingga skor yang diperoleh berkisar antara 57 hingga 285. Skor yang diperoleh ditransformasi dalam bentuk persen (0-100) dan dikategorikan menjadi 3 yakni rendah (skor 0-33.3%), sedang (skor 33.4-66.7) dan baik (skor 66.8-100.0). Peubah kecerdasan emosional mencakup 5 sub peubah yakni : i. Mengenali Emosi Diri Jumlah item pertanyaan adalah 10 buah dengan skor terendah = 1 dan skor tertinggi = 5 sehingga skor yang diperoleh berkisar antara 10 hingga 50. ii. Self Control Jumlah item pertanyaan adalah 17 buah dengan skor terendah = 1 dan skor tertinggi = 5 sehingga skor yang diperoleh berkisar antara 17 hingga 85. iii. Empathy Jumlah item pertanyaan adalah 10 buah dengan skor terendah = 1 dan skor tertinggi = 5 sehingga skor yang diperoleh berkisar antara 10 hingga 50. iv. Self Motivation Jumlah item pertanyaan adalah 10 buah dengan skor terendah = 1 dan skor tertinggi = 5 sehingga skor yang diperoleh berkisar antara 10 hingga 50.
103
v. Social Skill Jumlah item pertanyaan adalah 10 buah dengan skor terendah = 1 dan skor tertinggi = 5 sehingga skor yang diperoleh berkisar antara 10 hingga 50.
9. Metode Perhitungan Indeks Kualitas Remaja Indeks Kualitas Remaja (IKR) mencakup Indeks Keceradasan Intelektual (IQ), Indeks Kecerdasan Emosional (EI), dan Indeks Status Gizi (IMT) dengan rumusan sebagai berikut: IKR=
INDEKS IQ + INDEKS EI + INDEKS STATUS GIZI (IMT) 3
Perhitungan masing-masing indeks dalam Indeks Kualitas Remaja secara rinci dapat diperiksa sebagai berikut: a. Perhitungan Indeks Kecerdasan Intelektual (IQ) adalah sebagai berikut: IKI =
NILAI IQ X - NILAI IQ MINIMAL × 100 NILAI IQ MAKSIMAL - NILAI IQ MINIMAL
b. Perhitungan Indeks Kecerdasan Emosional adalah sebagai berikut: IKE =
NILAI EI X - NILAI EI MINIMAL × 100 NILAI EI MAKSIMAL - NILAI EI MINIMAL
c. Perhitungan indeks status gizi remaja Kategori status gizi remaja merncakup kategori normal, kurus, dan gemuk. Kategori ini dapat diperiksa dalam tabel berikut: Tabel 6 Kategori status gizi remaja Z Score Nilai Batas Kategori 1 18,50 – 25,00 Normal -2 17,00 – 18,49 Kurus -3 <15 – 16,99 Sangat Kurus 2 25,01 – 27,00 Gemuk 3 27,01 - > 28,50 Sangat Gemuk
Status gizi tersebut merupakan data yang tidak linier atau berbentuk kurve. Oleh karena itu kategori atau nilai batas tersebut perlu dibuat sebagai data yang linier agar dapar digabungkan dengan kedua data lainnya (kecerdasan emosi dan kecerdasan intelektual).
104
c. Perhitungan indeks status gizi remaja
i
Nilai batas 18,50 – 25,00 diasumsikan sebagai nilai ideal karena nilai batas tersebut merupakan nilai batas dengan kategori normal. Nilai batas antara 18,50 – 25,00 mempunyai nilai indeks 100.
ii Nilai batas < 15,00 – 18,49 merupakan nilai dengan kategori kurus diasumsikan nilai yang mempunyai nilai dibawah ideal/normal. Indeks status gizi pada nilai batas tersebut dihitung dengan cara : Indeks SGK* =
NILAI IMT X - NILAI IMT MINIMAL × 100 NILAI IMT MAKSIMAL - NILAI IMT MINIMAL
* = Indeks Status Gizi Kurus iii Nilai batas 25,01 - > 28,50 merupakan nilai dengan kategori gemuk diasumsikan nilai yang mempunyai nilai diatas ideal/normal. Indeks status gizi pada nilai batas tersebut dihitung dengan cara: Indeks SGG* =
NILAI IMT MAKSIMAL - NILAI IMT X × 100 NILAI IMT MAKSIMAL - NILAI IMT MINIMAL
* = Indeks Status Gizi Gemuk 10. Prestasi Akademis
Informasi yang dibutuhkan untuk mengukur kemampuan akademis anak maka dibutuhkan informasi berkenaan dengan prestasi akademis dari enam mata pelajaran, yaitu: matematika, bahasa Inggris, bahasa Indonesia, Ilmu Pengetahuan Alam, Ilmu Pengetahuan Sosial, dan PPkN.
Secara rinci, jenis data, peubah maupun cut off yang digunakan disajikan pada Tabel 7. Tabel 7 Jenis data, peubah dan skoring yang digunakan No
Peubah
1
Pengetahuan Gizi
2
Sikap Gizi
3 4
Harapan Siswa Terhadap Guru VI. Lingkungan Sekolah A. Guru B. Aktivitas Siswa C. Kondisi Sekolah D. Iklim Belajar
Jumlah Item 20 20 10 40 10 12 10 8
Keterangan nilai Jawaban benar = 1 Jawaban salah = 0 Jawaban benar = 1 Jawaban salah = 0 Nilai 1 - 5 Nilai 1 - 5 Nilai 1 - 5 Nilai 1 - 5 Nilai 1 - 5 Nilai 1 - 5
Skor Min 0
Skor Maks 20
20
100
10 40 10 12 10 8
50 200 50 60 50 40
105
5
7
VII. Lingkungan Keluarga A. Dorongan Berprestasi B. Aspirasi Pendidikan Dan Pekerjaan C. Fasilitas Belajar D. Pemanfaatan Waktu E. Ikatan Keluarga Kecerdasan Emosional C1. Mengenali Emosi Diri C2. Self Control C3. Empathy C4. Self Motivation C5. Social Skill Harapan siswa terhadap guru
55 10 10 10 10 15 57 10 17 10 10 10 10
8
Pengetahuan Gizi
20
9
Sikap Gizi
20
10
Nilai Anak A. Nilai Ekonomi Anak B. Nilai Sosial Anak C. Nilai Psikologis Anak
15 5 5 5
6
Nilai 1 - 5 Nilai 1 - 5 Nilai 1 - 5 Nilai 1 - 5 Nilai 1 - 5 Nilai 1 - 5 Nilai 1 - 5 Nilai 1 - 5 Nilai 1 - 5 Nilai 1 - 5 Nilai 1 - 5 Nilai 1 - 5 Nilai 1 - 5 Jawaban benar = 1 Jawaban salah = 0 Jawaban benar = 1 Jawaban salah = 0 Nilai 1 - 5 Nilai 1 - 5 Nilai 1 - 5 Nilai 1 - 5
55 10 10 10 10 15 57 10 17 10 10 10 10
275 50 50 50 50 75 285 50 85 50 50 50 50
0
20
20
100
15 5 5 5
75 25 25 25
Validasi dan Reliabilitas Instrumen
Untuk pengelolaan data ada beberapa langkah yang akan dilakukan dengan tujuan untuk mengontrol kualitas data, yakni: (1) Validasi content pada saat pengembangan atau modifikasi instrumen. Menurut Babbie (1992), bila koefisien korelasi antara skor suatu indikator dengan skor total seluruh indikator positif dan lebih besar dari 0.3 (r > 0.3), maka instrumen tersebut valid. (2) Uji coba kuesioner sebelum pengumpulan data dilakukan untuk mengetahui pilihan dan bentuk kuesioner (pernyataan atau pertanyaan), kedalaman pertanyaan, ketepatan pemilihan kata, dapat tidaknya suatu pertanyaan ditanyakan, pilihan jawaban yang dimungkinkan, serta lama maksimal wawancara dan mengukur reliabilitas kuesioner ( alpha cronbach)
Validitas
Suatu alat ukur dikatakan valid, jika alat ukur tersebut dapat mengukur apa yang dimaksudkan untuk diukur. Menurut Singarimbun dan Effendi (1995), kesa hihan atau validitas (validity) menunjukkan sejauh mana suatu alat ukur dapat me ngukur apa yang ingin diukur. Validitas menyangkut ketepatan dalam penggunaan
106
alat ukur. Suatu alat ukur dikatakan valid atau sahih, apabila alat ukur tersebut da pat digunakan untuk mengukur secara tepat konsep yang sebenarnya ingin diukur. Menurut Babbie (1992), validitas merujuk pada sejauh mana suatu pengukuran secara empiris cukup menggambarkan makna real dari konsep yang sedang dipertimbangkan. Validitas instrumen diperlukan untuk memberikan keyakinan tentang ketepatan perangkat pengukuran yang digunakan, sehingga menperoleh data sesuai dengan tujuan penelitian. Validitas suatu alat ukur adalah, kebenaran suatu alat ukur untuk mengukur ihwal (hal) yang memang ingin diukur oleh peneliti (Kerlinger, 1973). Validitas instrumen memberi keyakinan pada peneliti bahwa dengan perangkat pengukuran yaang digunakan, ihwal yang diukur dapat diukur. Validitas instrumen tersebut, seyogyanya bersandar pada logika dan pembuktian statistik. Pada
penelitian
ini,
uji
validitas
instrumen
dilakukan
dengan
menggunakan uji validitas isi (validitas butir) dengan cara menyusun indikator pengukuran operasional berdasarkan kerangka teori dari konsep yang akan diukur. Validitas isi dari sebuah instrumen ditentukan dengan jalan mengkorelasikan antara skor masing-masing item dengan total skor masing-masing item. Langkahlangkah cara menguji validitas menurut Ancok (1995) adalah: (1) Mendefinisikan secara operasional konsep yang akan diukur (2) Melakukan uji coba skala pengukuran pada sejumlah responden (3) Mempersiapkan tabel tabulasi jawaban (4) Menghitung korelasi antara masing-masing pernyataan dengan skor total, menggunakan teknik korelasi Rank Spearman Jika r-hitung lebih besar dari r-tabel pada taraf kepercayaan (signifikansi) tertentu, berarti instrumen yang dibuat memenuhi kriteria validitas atau instrumen tersebut valid. Sebaliknya, jika angka korelasi yang diperoleh (r-hitung) lebih kecil dari r-tabel (berkorelasi negatif), berarti pertanyaan tersebut bertentangan dengan pertanyaan lainnya atau instrumen tersebut tidak valid. Menurut Babbie (1992), bila koefisien korelasi antara skor suatu indikator dengan skor total seluruh indikator, positif dan lebih besar dari 0,3 (r > 0,3), maka instrumen tersebut sudah valid (validitas kriteria). Berdasarkan hasil uji validitas
107
dengan menggunakan teknik korelasi Rank Spearman, diperoleh koefisien korelasi (r) masing-masing peubah (Lampiran2)
Reliabilitas
Reliabilitas atau keterandalan menunjukan kekonsistensi suatu alat ukur dalam mengukur hal yang sama. Menurut Singarimbun dan Effendi (1995), reliabilitas adalah istilah yang dipakai untuk menunjukkan sejauh mana suatu hasil pengukuran relatif konsisten apabila pengukuran diulangi dua kali atau lebih. Reliabilitas suatu alat ukur adalah sejauh mana suatu alat ukur dapat dipercaya atau dapat diandalkan. Hasil pengukuran dapat dipercaya, bila beberapa kali pelaksanaan pengukuran terhadap kelompok subyek yang sama diperoleh hasil yang relatif sama selama aspek yang diukur tidak berubah. Pada penelitian ini, uji reliabilitas yang digunakan adalah metode Cronbach atau Cr. Alpha berdasarkn skala Cr. Alpha 0 sampai dengan 1 dengan rumus:
n 1− α = n −1
∑
vi vt
i =1
Keterangan: α = koefisien Alpha Cronbach (koefisien realibilitas) n = besar sampel pada uji instrumen Vi = ragam bagian ke i kelompok indikator Vt = ragam Skor total (perolehan) Suatu instrumen (keseluruhan indikator) dianggap sudah reliabel (reliabilitas konsistensi internal ) bilamana α ≥ 0.6 (Babbie, 1992). Hasil pengujian di lapangan menunjukkan bahwa instrumen yang digunakan reliable dengan nilai αcronbach antara 0.5064-0.8930 (Lampiran2).
108
Pengolahan dan Analisis Data
Pengolahan data dilakukan dengan menggunakan komputer program SPSS 11.5.
Tahapan-tahapan pengolahan data yang dilakukan dalam penelitian ini
mencakup : (1) Penyusunan code-book sebagai panduan entri dan pengolahan data (2) Setelah data dientri, kemudian dilakukan cleaning data untuk memastikan tidak ada kesalahan dalam memasukkan data. Reliabilitas data dicek dengan menyajikan statistik deskriptif mencakup rata-rata, standar deviasi, nilai maksimum dan nilai minumun untuk setiap peubah (3) Skoring terhadap pertanyaan-pertanyaan penelitian (4) Transformasi skor dalam bentuk skala 0-100 (5) Kategorisasi terhadap data skor hasil transformasi (6) Analisis deskriptif dan tabulasi silang (7) Analisis statistik inferensia mencakup analisis regresi linier berganda. Analisis data yang digunakan bertujuan untuk menjawab masing-masing tujuan adalah: (1). Untuk semua peubah digunakan analisis statistik dasar (elementary statistic analysis) yang meliputi frekuensi distribusi dan ukuran sebaran (rata-rata dan
standar deviasi) dan tabulasi. (2). Untuk menjawab perbedaan peubah-peubah penelitian antara siswa swasta dan negeri digunakan analisis uji-t (3). Untuk menganalisis faktor-faktor kualitas remaja menggunakan analisa deskriptif. Analisa deskriptif tersebut dilakukan pada status gizi remaja, kecerdasan intelektual, dan kecerdasan emosional. (4) Variabel-variabel yang dioperasikan dalam penelitian adalah sebagai berikut: Tabel 8 Variabel yang dioperasikan dalam penelitian Kode Deskripsi Jenis variabel Satuan X1 Struktur Keluarga Nominal Inti, luas X2a Umur Ayah Rasio tahun X2i Umur Ibu rasio tahun X3 Jumlah anggota keluarga rasio orang X4a Lama Pendidikan Ayah Rasio Tahun X4i Lama Pendidikan Ibu Rasio Tahun X5a Status Kerja Ayah Nominal 1=Kerja, 0=tidak kerja X5i Status Kerja Ibu Nominal 1=Kerja, 0=tidak kerja
109
Kode Deskripsi X6 Pendapatan Keluarga X7
Kategori Sejahtera
X8
Jenis kelamin
X9 X10 X11 X12 X12a X12b X12c X12d X13 X13a X13b X13c X14 X15
Morbiditas Status Sekolah Nilai Anak Lingkungan Sekolah Guru Kondisi Sekolah Iklim Belajar Aktivitas Siswa Alokasi Waktu Ibu Pekerjaan luar rumah Pekerjaan rumah Waktu luang/santai Sikap Gizi Ibu Harapan siswa terhadap guru Y1 Investasi Anak Y1a Pengeluaran Pendidikan Y1ba Waktu mendampingi anak (ayah) Y1bi Waktu mendampingi anak (ibu) Y2 Lingkungan Keluarga Y2a Dorongan berprestasi Y2b Aspirasi pendidikan dan pekerjaan Y2c Fasilitas belajar Y2d Pemanfaatan waktu Y2e Ikatan Keluarga Y3 Kualitas Anak Y3a Kecerdasan Emosional (EI) Y3b Kecerdasan Intelektual (IQ) Y3c Status Gizi anak Y4 Prestasi Akademik
Jenis variabel Satuan Rasio Rupiah/bulan Pra sejahtera, KS1, Ordinal KS2, KS3 Nominal 0=perempuan 1=laki-laki Ordinal Frekuensi Nominal 1=Negeri, 2=swasta Ordinal Nilai 1 - 5 Ordinal Nilai 1 - 5 Ordinal Nilai 1 - 5 Ordinal Nilai 1 - 5 Ordinal Nilai 1 – 5 Ordinal Nilai 1 - 5 Rasio Jam/hari Rasio Jam/hari Rasio Jam/hari Rasio Jam.hari Nominal Benar, salah Ordinal
Nilai 1 - 5
Rasio Rasio
Rupiah/bulan Rupiah/bulan
Rasio
Jam/hari
Rasio
Jam/hari
Ordinal Ordinal
Nilai 1 - 5 Nilai 1 - 5
Ordinal
Nilai 1 - 5
Ordinal Ordinal Ordinal rasio
Nilai 1 - 5 Nilai 1 - 5 Nilai 1 - 5 Indeks 0 - 100
ordinal
Nilai 1 - 5
rasio
≤ 79 - > 130
rasio rasio
BB/TB2, antropometri Nilai 0 - 100
(5). Analisa faktor-faktor yang berpengaruh terhadap investasi anak mengenai pengeluaran pendidikan untuk anak menggunakan regresi linier berganda. Model analisis regresi liner berganda yang digunakan adalah:
110
Y1a =
α + β1X1 + β2aX2a+ β 3X3 + β 4iX4i + β 5iX5i + β 6X6 + β 7X7 + β 8X8 + β 11X11 + ∈
Keterangan: α adalah konstanta β1, β2a...β11 adalah parameter variabel X1 X2a X3 X4i X5i X6 X7 X8 X11 Y1a ∈
: : : : : : : : : :
keterangan Struktur Keluarga Umur Ibu Jumlah anggota keluarga Lama Pendidikan Ibu Status Kerja Ibu Pendapatan Keluarga Kategori Sejahtera Jenis kelamin Nilai Anak Pengeluaran Pendidikan Anak
adalah galat
(6). Analisa faktor-faktor yang berpengaruh terhadap investasi anak mengenai waktu mendampingi anak belajar menggunakan regresi linier berganda. Model analisis regresi liner berganda yang digunakan adalah: Y1ba = α + β1X1 + β2aX2a + β3 X3 + β4a X4a + Β5a X5a + β7X7 + β8 X8 + β11 X11 + ∈ Keterangan: α adalah konstanta β1, β2a...β11 adalah parameter variabel X1 X2a X3 X4a X5a X7 X8 X11 Y1ba
: : : : : : : : :
keterangan Struktur Keluarga Umur Ayah Jumlah anggota keluarga Lama Pendidikan Ayah Status Kerja Ayah Kategori Sejahtera Jenis kelamin Nilai Anak Waktu mendampingi anak
111
∈ adalah galat
(7). Analisa faktor-faktor yang berpengaruh terhadap lingkungan keluarga menggunakan regresi linier berganda. Model analisis regresi liner berganda yang digunakan adalah: Y2 =
α + β1X1 + β2iX2i + β 4iX4i + β5iX5i + β 7X7 + β 11X11 + β 13bX13b + β 13cX13c +∈
Keterangan: α adalah konstanta β1, β2i ...β13b, β 13c adalah parameter Variabel X1 X2i X3 X4i X5i X7 X11 X13b X13c Y2 ∈
: : : : : : : : : :
keterangan Struktur Keluarga Umur Ibu Jumlah anggota keluarga Lama Pendidikan Ibu Status Kerja Ibu Kategori Sejahtera Nilai Anak Pekerjaan Rumah Waktu Luang/Santai Lingkungan Keluarga
adalah galat
(8). Analisa faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kecerdasan emosi menggunakan regresi linier berganda. Model analisis regresi liner berganda yang digunakan adalah: Y3a = α + β1X1 + β2iX2i + β3X3 + β4iX4i + β5iX5i + β7X7 + β8X8 + β10X10 + β12X12 + β2Y2 + ∈
Keterangan: α adalah konstanta β1, β2i...β12, β2 adalah parameter Variabel X1 X2i X3
: : :
keterangan Struktur Keluarga Umur Ibu Jumlah anggota keluarga
112
X4i X5i X7 X8 X10 X12 Y2
: : : : : : :
Lama Pendidikan Ibu Status Kerja Ibu Kategori Sejahtera Jenis kelamin Status Sekolah Lingkungan Sekolah Lingkungan Keluarga
Y3a
:
Kecerdasan Emosional (EI)
∈ adalah galat (9). Analisa faktor-faktor yang berpengaruh terhadap
kecerdasan intelektual
remaja menggunakan regresi linier berganda. Model analisis regresi liner berganda yang digunakan adalah: Y3b = α + β1X1 + β2iX2i + β3X3 + β4iX4i + β5iX5i +
β6X6 + β67X7 + β8X8 + β9X9 + β11X11 + β12X12 + β14X14 + β1biY1bi + β2Y2 + ∈ Keterangan: α adalah konstanta β1, β2i...β14, β1bi, β2 adalah parameter Variabel X1 X2i X3 X4i X5i X6 X7 X8 X9 X11 X12 X14 Y1bi Y2 Y3b ∈
adalah galat
: : : : : : : : : : : : : : :
Keterangan Struktur Keluarga Umur Ibu Jumlah anggota keluarga Lama Pendidikan Ibu Status Kerja Ibu Pendapatan Keluarga Kategori Sejahtera Jenis kelamin Morbiditas Nilai Anak Lingkungan Sekolah Sikap gizi ibu Waktu mendampingi anak ibu Lingkungan Keluarga Kecerdasan Intelektual (IQ)
113
(10). Analisa faktor-faktor yang berpengaruh terhadap status gizi menggunakan logistik regresi dan regresi linier. Model logistik regresi adalah sebagai berikut: Y3c = α + β1X1 + β3X3 + β4iX4i + β5aX5a + β5iX5i +
β6X6 + β7X7 + β8X8 + β9X9 + β10X10 + β13aX13a + β13bX13b + β14X14 + ∈ Model regesi linier adalah sebagai berikut: Y3c = α + β3X3 + β4iX4i + β5iX5i + β6X6 + β7X7 +
β8X8 + β9X9 + β10X10 + β13aX13a + β13bX13b + β14X14 + ∈ Keterangan: α adalah konstanta β1, β3...β14 adalah parameter ∈ adalah galat Variabel X1 X3 X4i X5a X5i X6 X7 X8 X9 X10 X13a X13b X14 Y3c
(11) Analisa
: : : : : : : : : : : : : :
keterangan Struktur Keluarga Jumlah anggota keluarga Lama Pendidikan Ibu Status Kerja Ayah Status Kerja Ibu Pendapatan Keluarga Kategori Sejahtera Jenis kelamin Morbiditas Nilai Anak Pekerjaan luar rumah ibu Pekerjaan rumah rumah Sikap Gizi Ibu Status Gizi anak (Model 1: dummy variable; Model 2: indeks status gizi)
faktor-faktor
yang
berpengaruh
terhadap
Kualitas
Remaja
menggunakan regresi linier berganda. Model analisis regresi liner berganda yang digunakan adalah:
114
Y3 =
α + β8X8 + β5iX5i + β1X1 + β7X7 + β10X10 + β2Y2 + β12X12 + β11X11 + β2iX2i + β3X3 + β9X9 + β1aY1a + β1biY1bi + β13bX13b + β14X14 + β4iX4i + ∈
Keterangan: α adalah konstanta β8, β5i, β1, ... β9, β13b ... β14, β4i adalah parameter ∈ adalah galat variabel X8 X5i X1 X7 X10 Y2 X12 X11 X2i X3 X9 Y1a Y1bi X13b X14 X4i Y3
: : : : : : : : : : : : : : : : :
keterangan Jenis kelamin Status kerja ibu Keluarga luas /inti Kategori sejahtera Status sekolah Lingkungan keluarga Lingkungan sekolah Nilai anak Umur ibu Jumlah anggota keluarga Morbiditas Pengeluaran untuk pendidikan Pendampingan belajar ibu Pekerjaan di rumah ibu Sikap gizi Lama pendidikan ibu Kualitas Remaja
(12) Analisa regesi faktor-faktor yang berpengaruh terhadap prestasi akademik remaja menggunakan regresi linier berganda. Model analisis regresi liner berganda yang digunakan adalah:
Y4 =
α+ β4iX4i + β12aX12a + β12bX12b + β12cX12c + β12dX12d + β15X15 + β1aY1a + β1biY1bi + β2aY2a + β2bY2b + β2cY2c + β2dY2d + β2eY2e + β3Y3 + ∈
Keterangan: α adalah konstanta β8, β12a, β112b, ... β3 adalah parameter ∈ adalah galat
115
Variabel X4i X12a X12b X12c X12d X15 Y1a Y1bi Y2a Y2b Y2c Y2d Y2e Y3 Y4
: : : : : : : : : : : : : : : :
keterangan Lama pendidikan ibu Guru Kondisi sekolah Iklim belajar Aktivitas siswa Harapan siswa terhadap guru Pengeluaran pendidikan Waktu mendampingi anak Dorongan berprestasi Aspirasi pendidikan dan pekerjaan Fasilitas belajar Pemanfaatan waktu Ikatan keluarga Kualitas remaja Prestasi akademi
Keterbatasan Penelitian
Penelitian ini memiliki keterbatasan dalam hal menentukan alat ukur indikator kualitas remaja. Indikator kualitas remaja mencakup status gizi, kecerdasan intelektual, dan kecerdasan emosi. Untuk alat ukur status gizi telah diakui secara internasional dengan antrophometry. Alat ukur ini merupakan alat ukur yang sudah dibakukan secara internasional. Sedangkan untuk kecerdasan intelektual dan emosional masih mempunyai ragam alat ukur. Kecerdasan intelektual dapat diukur dengan test-test kecerdasan seperti WAIS, WISC, dan CFIT. Dengan mempertimbangkan keragaman alat ukur kecerdasan tersebut maka membutuhkan kesepakatan bersama antara pengguna alat ukur kecerdasan untuk digunakan sebagai alat ukur standar dalam membuat indeks kualitas remaja. Keragaman alat ukur juga ditemukan dalam pengukuran kecerdasan emosional. Mayer, Salovey, dan Caruso memperkenalan pengukuran kecerdasan emosional diman alat ukur tersebut dikenal dengan MSCEIT (Mayer Salovey Caruso Emotional Intelligence Test). Alat ukur kecerdasan emosional lannya dikenal sebagai Goldman’s EQ test. Kemudian dikenal juga alat ukur lain seperti Bar On EQ Test. Test kecerdasan emosional Goldman mempunyai 5 aspek kecerdasan emosional, yaitu: self-awareness, self-regulation, motivation, empathy, and social skill. Bar-On memilah EQ menjadi 5 ketrampilan: intra-personal, inter-
116
personal, adaptability, stress management, and general mood. Keberagaman alat ukur kecerdasan emosional tersebut memberikan pilihan bagi penggunaannya. Pemilihan pada satu alat ukur tentunya memberikan konsekuensi dengan hasil dimana dimungkinkan adanya perbedaan dengan alat ukur satu dengan lainnya. Keterbatasan pada alat ukur dalam penelitian ini dapat disempurnakan pada penelitian-penelitian yang berikutnya dalam topik yang sama.
Keterbatasan lain adalah berkenaan dengan metode penentuan lokasi penelitian. Penentuan lokasi penelitian dilakukan secara purposive dengan menggunakan ketentuan mewakili wilayah Kabupaten Banyumas. Penelitian ini hanya mengambil 5 kecamatan dari 27 kecamatan yang ada di Kabupaten Banyumas. Kelima kecamatan diharapkan dapat mewakili daerah Kabupaten Banyumas. Kemudian penentuan lokasi sekolah ditentukan secara purposive dengan ketentuan sekolah yang dikategorikan terbaik di kecamatan tersebut. Metode penentuan daerah dan sekolah sebagai penelitian secara purposive memberikan kemungkinan kurang menggambarkan kondisi daerah secara maksimal. Keterbatasan lain adalah pada variabel yang diteliti. Variabel-variabel penelitian sangat banyak sehingga membutuhkan pengelolaan yang baik dalam pengambilan data. Upaya untuk mendapatkan data secara baik telah dilakukan dengan diskusi setiap saat dalam proses di lapangan. Namun, tidak menutup kemungkinan adanya kekurangan dalam mengambil data secara benar. Hal ini dimungkinkan karena faktor kelelahan, dan ketidak telitian. Selain itu, pada pihak obyek penelitian dimungkinkan tidak memberikan jawaban secara jujur dan benar sehingga data yang diperoleh menjadi bias.
HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Lokasi Penelitian
1. Gambaran Umum Kabupaten Banyumas Menurut Letak Geografi, Luas Wilayah Dan Topografi a. Letak Geografi Kabupaten Banyumas merupakan salah satu bagian wilayah Propinsi Jawa Tengah terletak diantara: -
1080 39 ‘17” – 1090 27 ‘15” Bujur Timur dan
-
70 15 ‘05” – 70 37 ‘10” Lintang Selatan.
Kabupaten Banyumas terdiri dari 27 Kecamatan dan berbatasan dengan wilayah Beberapa kabupaten yaitu: -
Sebelah Utara dengan Kabupaten Tegal dan Kabupaten Pemalang
-
Sebelah
Timur
dengan
Kabupaten
Purbalingga,
Kabupaten
Banjarnegara dan Kabupaten Pemalang -
Sebelah Selatan dengan Kabupaten Cilacap
-
Sebelah Barat dengan Kabupaten Cilacap dan Kabupaten Brebes
Jarak Kabupaten Banyumas dengan kota-kota disekitarnya dirinci pada Tabel 9 sebagai berikut: Tabel 9 Jarak antara Kabupaten Banyumas dengan kota-kota di sekitarnya Kota Kilometer Kota Kilometer Tegal 114 Banjarnegara 65 Pemalang 144 Kebumen 85 Brebes 127 Cilacap 53 Purbalingga 20 Semarang 211
b. Luas Wilayah Luas wilayah Banyumas sebesar 132.759 Ha dan sekitar 4,08% dari luas wilayah Propinsi Jawa Tengah (3.254 Juta Ha). Luas wilayah tersebut terbagi kedalam beberapa fungsi lahan, yaitu lahan sawah dan lahan bukan sawah (tanah untuk bangunan dan pekarangan/halaman) Luas tanah sawah mencapai 32.770 Ha atau sekitar 24.68% dari wilayah Kabupaten Banyumas, dimana sekitar 10.505 Ha sawah dengan pengariran teknis. Sedangkan luas tanah bukan sawah (bangunan
118
dan pekarangan/halaman) mencapai 99.989 Ha atau 75.32% dari luas wilayah Banyumas, dimana seluas 18731 Ha atau 18.72% merupakan tanah untuk bangunan dan pekarangan/halaman. c. Topografi Wilayah Kabupaten Banyumas memiliki topografi berupa dataran dan daerah ketinggian. Daerah dataran mencapai 45% dari luas wilayah kabupaten Banyumas yang tersebar di bagian Tengah dan Selatan serta membujur dari barat ke Timur. Adapun ketinggian wilayah di Kabupaten banyumas sebagian besar berada pada kisaran 25 – 100 dpl yaitu seluas 42310.3 Ha dan 100 – 500 dpl yaitu seluas 40385.3 Ha. 2. Gambaran Kependudukan di Kabupaten Banyumas a. Jumlah Penduduk menurut Jenis Kelamin Jumlah penduduk menurut jenis kelamin di Kecamatan banyumas dapat dikemukakan berdasarkan jenis kelamin mulai dari tahun 2000 sampai dengan 2005 (kabupaten Banyumas Dalam Angka 2005). Adapun keadaan penduduk menurut jenis kelamin adalah sebagaimana dalam Tabel 10 sebagai berikut: Tabel 10 Jumlah penduduk menurut jenis kelamin keadaan tahun 2000 - 2005 Tahun Laki-laki Perempuan Jumlah 2000 740336 745418 1485754 2001 746952 751170 1498122 2002 753138 756229 1509367 2003 761151 763750 1524901 2004 767988 770297 1538285 2005 771107 774257 1545.64 Sumber: Kabupaten Banyumas Dalam Angka, 2005
Selisih 5082 4218 3091 2599 2309 3150
Persentase 0.34 0.28 0.20 0.17 0.15 0.20
Berdasarkan tabel tersebut dapat diperhatikan bahwa jumlah penduduk Kabupaten Banyumas menurut jenis kelamin senantiasa lebih besar jumlahnya pada kelompok perempuan dari tahun ke tahun. Tahun 2000 sampai dengan tahun 2005 ada selisih jumlah berturut-turut yaitu 5082 (0.34%), 4218 (0.28%), 3.091 (0.20%), 2599 (0.17%), 2309 (015%), dan 3150 (0.20%). Jumlah ini menunjukkan
kecenderungan
jumlah
selisih
penduduk
laki-laki
dengan
perempuan yang menurun, yaitu dari tahun ke tahun selisih jumlah penduduk perempuan mengalami penurunan. Adanya penurunan jumlah selisih penduduk
119
perempuan ini dimungkinkan pada kurun waktu tertentu akan membuat jumlah laki-laki dan perempuan menjadi berimbang. b. Sekolah, Murid, dan Guru Swasta dan Negeri di Kabupaten Banyumas Data mengenai pendidikan sekolah menengah pertama (SM)) mencakup sekolah, murid dan guru baik sekolah negeri maupun swasta kurun waktu antara tahun 2001 sampai dengan tahun 2005 (Kabupaten Banyumas Dalam Angka, 2005). Adapun data mengenai sekolah, murid dan guru sekolah lanjutan tingkat pertama baik negeri maupun swasta ada dalam Tabel 11 sebagai berikut: Tabel 11 Jumlah SMP Negeri dan Swasta di Kabupaten Banyumas tahun 2005 Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama Negeri
Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama Swasta
Tahun
Rasio Murid terhadap Guru 2001 63 40618 1.952 21 2002 63 34379 1.944 18 2003 63 40112 2.11 19 2004 63 40670 2.141 19 2005 63 40266 2.151 19 Sumber: Kabupaten Banyumas Dalam Angka, 2005. Sekolah
Murid
Guru
Sekolah
Murid
Guru
67 70 72 71 71
19999 1934 19936 18769 18900
1114 988 1132 1114 1149
Rasio Murid terhadap Guru 19 20 18 16 16
Berdasarkan data tersebut dapat dilihat adanya perbedaan besar dalam hal daya tampung siswa antara SMP Negeri dan Swasta, dimana sekolah negeri memiliki daya tampung siswa lebih dibandingkan dengan sekolah swasta meskipun jumlah sekolahnya lebih sedikit dibandingkan dengan sekolah swasta. Secara lebih terinci dapat diketahui rata-rata daya tampung setiap sekolahan antara sekolah negeri dan swasta dari tahun 2001 sampai dengan tahun 2005. Rata-rata daya tampung untuk sekolah negeri adalah sebagai berikut 644.7 (2001), 545.7 (2002), 636.7 (2003), 645.5 (2004), dan 639.1 (2005). Sedangkan sekolah swasta adalah sebagai berikut 298.5 (2001), 276.3 (2002), 276.9 (2003), 264.3 (2004), dan 266.2 (2005). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa daya tampung sekolah lanjutan tingkat pertama negeri sebesar dua kali lipat daripada daya tampung sekolah swasta.
120
c. Jenjang Pendidikan Penduduk Kabupaten Banyumas tahun 2005 Data pendidikan penduduk Kabupaten Banyumas tahun 2005 mencakup 4 wilayah kecamatan dan 1 wilayah perkotaan yaitu: Kecamatan Banyumas, Kecamatan Baturaden, Kecamatan Ajibarang, Kecamatan Rawalo, Kecamatan Sumpiuh, dan Purwokerto kota. Data pendidikan tersebut mencakup dari jenjang tidak berpendidikan sampai dengan pendidikan S3. Adapun rincian data pendidikan ada dalam Tabel 12 sebagai berikut: Tabel 12 Jenjang pendidikan penduduk di 5 Kecamatan Kabupaten Banyumas No
Tingkat Pendidikan
Banyumas (*) 0 78.247 0 0 377.049 425.124 171.742 118.926 0 10.126 10.927 14.127
Kabupaten/Kota/Kecamatan(*) Purwokerto Baturaden Ajibarang Rawalo (**) (***) (**) (**) 1.202 0 0 1.830 0 0 0 0 7.532 6.892 0 8.809 1.815 0 0 1.542 27.895 0 0 0 62.317 3.084 33.363 18.174 36.950 3.019 11.780 4.895 36.950 2.783 9.135 2.838 8.473 0 0 438 719 0 648 0 1.560 0 409 0 0 143 0 0
1 Tidak Sekolah 2 Tdk/blm pernah sekolah 3 Belum Tamat SD 4 Tidak Tamat SD 5 Belum/Tdk Tamat SD 6 SD/setara 7 SMP/setara 8 SMA/setara 9 Tamat AK/PT 10 Diploma I/II 11 Diploma III 12 Diploma IV/S1/S2/S3 Sumber: (*). Penduduk Propinsi Jawa Tengah Hasil Survey Penduduk Antar Sensur 2005 (**) Kecamatan dalam Angka, BPS-Banyumas, 2005. (***) Kecamatan dalam Angka, BPS-Banyumas, 2004.
Sumpiuh (**) 0 0 12.791 0 0 27.194 6.578 4.493 540 241 0 0
Keterangan: 0 = tidak ada data atau dicakup dalam data lain
Tabel jenjang pendidikan penduduk di atas memberikan informasi mengenai tingkat pendidikan di 5 lokasi penelitian dan secara umum di Kabupaten Banyumas. Informasi mengenai tingkat pendidikan antara lokasi (kecamatan) tidak selalu sama, khususnya untuk jenjang pendidikan di tingkat sekolah dasar. Ketidakseragaman tersebut menyangkut informasi mengenai status pendidikan dimana ada yang langsung menyebut tidak sekolah tetapi ada yang menggabungkan dengan tidak/belum sekolah. Selain itu ada yang memisahkan dengan belum tamat sekolah dasar dan tidak tamat sekolah dasar, tetapi ada yang menggabungkan menjadi belum/tidak tamat sekolah dasar. Dengan demikian ada kesulitan untuk dapat memberikan gambaran mengenai status pendidikan yang tidak sekolah, sedang sekolah, dan tidak tamat sekolah dasar. Oleh karena itu informasi mengenai jenjang pendidikan khususnya untuk sekolah dasar dicakup dengan informasi tidak/belum sekolah dan belum/tidak tamat sekolah dasar.
121
Ketidakseragaman informasi juga ada di jenjang pendidikan setelah SMA, khususnya untuk tamat akademi/perguruan tinggi dan diploma IV/S1/S2/S3. Informasi tersebut tidak merinci akademi, diploma IV, S1, S2, dan S3. Namun jika mengikuti pemilahan masa studi menurut Data Statistik Indonesia (2007) dapat memperjelas bahwa sistem pendidikan di Indonesia membutuhkan lama studi dari jenjang sekolah dasar sampai dengan perguruan tinggi dengan perincian waktu sebagai berikut: sekolah dasar selama 6 tahun, sekolah lanjutan tingkat pertama selama 3 tahun, sekolah lanjutan tingkat atas selama 3 tahun, diploma (DI, DII, DIII) selama 3 tahun, sarjana (S1) selama 4 tahun, strata dua (S2) selama 2 tahun, dan strata 3 (S3) selama 3 tahun. Waktu untuk menyelesaikan studi lengkap dari SD sampai dengan S3 adalah
21
tahun. Waktu atau lama
pendidikan tersebut diinterpretasikan juga sebagai jenjang pendidikan terakhir yang ditempuh oleh seseorang. d. Penduduk berdasarkan Jenjang Pendidikan di Kabupaten Banyumas Data pendidikan penduduk Kabupaten banyumas mencakup jumlah peserta didik usia sekolah dasar, sekolah menengah pertama, sekolah menengah atas, dan perguruan tinggi. Data memberikan gambaran perubahan keterserapan usia sekolah dari jenjang sekolah dasar sampai dengan perguruan tinggi. Gambaran tersebut dapat menunjukkan prosentase jumlah usia sekolah pada jenjang tertentu yang daat mengikuti pendidikan pada jenjang yang sama. Data dirinci pada pada Tabel 13. Tabel 13 Jumlah sekolah dan siswa sekolah dasar, sekolah menengah pertama, dan sekolah menengah atas 2001 – 2005 di Kabupaten Banyumas Jumlah Sekolah Jumlah Siswa SD SMP SMA SD SMP 2001 991 127 34 164450 60617 2002 987 133 33 163516 53719 2003 985 135 34 161262 60048 2004 969 134 32 157817 59439 2005 969 134 32 156960 59166 Sumber: Kabupaten Banyumas Dalam Angka 2005 dan 2006 Tahun
SMA 17252 16910 16405 16500 16282
Jumlah sekolah dasar mengalami pengurangan jumlah mulai dari tahun 2001 sampai dengan 2005 secara berangsur-angsur 4 sekolah (2002), 6 sekolah (2003), 22 sekolah (2004 dan 2005). Penurunan jumlah sekolahan tersebut
122
merupakan pertanda bahwa jumlah peserta didik yang terserap pada jenjang pendidikan sekolah dasar mengalami penurunan. Penurunan jumlah tersebut tampak pada kolom jumlah siswa sekolah dasar antara tahun 2001 – 2005 megalami penurunan sebesar 7490 siswa. Kadaan jumlah sekolah pada jenjang sekolah dasar berkebalikan dengan jenjang pendidikan sekolah menengah pertama dimana mengalami pertambahan jumlah sekolah sebesar 7 sekolahan antara tahun 2001 – 2005. Meskipun jumlah sekolah mengalami pertambahan, namun jumlah siswa sekolah menengah pertama mengalami penurunan 6898 siswa (2002), 569 siswa (2003), 1178 siswa (2004), dan 1451 siswa (2005). Sedangkan untuk jenjang sekolah menengah atas mengalami penurunan jumlah sekolah sebanyak 2 sekolahan antara tahun 2001 – 2005. Jumlah siswa sekolah menengah atas juga mengalami penurunan sebesar 342 siswa (2002), 847 siswa (2003), 752 siswa (2004), dan 970 siswa (2005) Keterserapan angkatan sekolah dasar ke jenjang pendidikan selanjutnya menunjukkan adanya jumlah selisih yang terpaut banyak sekitar 1/3 jumlah siswa yang dapat terserap pada jenjang pendidikan lebih tinggi (SMP dan SMA). Hal ini dapat diartikan bahwa hanya 1/3 siswa sekolah dasar dapat diserap di jenjang sekolah menengah pertama, begitu juga hanya 1/3 sekolah menengah pertama dapat diserap pada jenjang sekolah menengah atas. Angka partisipasi sekolah usia SD, SMP, SMA , dan Perguruan Tinggi berturutan sebesar 98.1%, 84.3%, 51.0%, dan 10.5% (BPS 2006). Kecenderungan ini memberikan gambaran bahwa semakin tinggi jenjang pendidikan maka semakin berkurang jumlah peserta didik yang dapat diserap oleh jenjang pendidikan tersebut. e. Ragam Pekerjaan Penduduk di 5 Kecamatan Kabupaten Banyumas tahun 2005 Ragam pekerjaan penduduk di 4 kecamatan di Kabupaten Banyumas merupakan data tahun 2005, sedangkan untuk Kecamatan Baturaden merupakan data tahun 2004. Kesemua data tersebut adalah data penduduk usia di atas 10 tahun. Urutan jenis pekerjaan dari yang paling banyak menyerap sampai dengan yang sedikit menyerap tenaga kerja adalah buruh bangunan dan buruh industri, pedagang, petani sendiri, PNS/ABRI, pengusaha, buruh tani, pengangkutan, dan pensiunan. Adapun data secara rinci ada dalam Tabel 14.
123
No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17
Tabel 14 Penduduk menurut jenis pekerjaan (usia 10 tahun ke atas) Kota/Kecamatan Jenis Jumlah Purwokerto Baturaden Ajibarang Rawalo Sumpiuh Pekerjaan
Petani sendiri Buruh tani Tani Ikan Nelayan Pengusaha Buruh industri Buruh bangunan Pedagang Pengangkutan PNS ABRI PNS/ABRI Pegawai BUMN/BUMD Pensiunan Penggalian Jasa sosial Lainnya
(*)
(*)
(*)
(*)
4450 5967 0 0 9972 13104 15202 28426 9645 6288 434 11708 706
(**)
6045 3862 0 0 630 788 2424 2781 358 1717 77 0 140
11269 7295 635 0 1738 5984 1576 3157 485 0 0 834 0
10474 9553 0 19 235 3765 2586 1512 599 581 63 0 0
11049 5.808 0 0 486 1730 1886 1309 542 761 76 14
15521 11792 635 19 12431 24583 22826 37160 11591 9037 663 12542 858
9006 0 1604 26102
680 19 668 687
320 0 0 36373
312 0 0 4711
499 37 2108 25
10810 56 4350 31348
Sumber: (*). Kecamatan dalam Angka, BPS-Banyumas, 2005. (**) Kecamatan dalam Angka, BPS-Banyumas, 2004.
Keterangan: 0 = tidak ada data
Ragam pekerjaan penduduk mencakup banyak jenis kegiatan mata pencaharian yang berbeda-beda antara ke lima lokasi penelitian, dimana ada jenis pekerjaan yang belum tentu ada di daerah lain. Jenis pekerjaan tertentu memang sangat tergantung pada keadaan lingkungan setempat. Hal ini dapat dicontohkan dengan jenis pekerjaan nelayan dimana hanya ada di kecamatan Rawalo. Ini dimungkinkan karena kecamatan Rawalo tidak jauh dari Cilacap dimana kegiatan sebagai nelayan sangat dimungkinkan. Ragam pekerjaan penduduk 5 kecamatan di Kabupaten Banyumas tersebut dapat dipilahkan menjadi pekerjaan di sektor formal dan informal. Pekerjaan di sektor formal menyerap 33910 tenaga kerja mencakup
PNS
(9037),
ABRI
(663),
PNS/ABRI
(12542),
Pegawai
BUMN/BUMD (858) ditambah dengan pensiunan (10810). Sedangkan pekerjaan di sektor informal menyerap 206222 tenaga kerja mencakup petani sendiri, buruh tani, tani ikan, nelayan, pengusaha, buruh industri, buruh bangunan, pedagang, dan pengangkutan. Dengan demikian tenaga kerja di kabupaten Banyumas lebih banyak terserap pada sektor informal.
124
Karakteristik Contoh Berdasarkan Sekolah Negeri dan Swasta
1. Jenis Kelamin Contoh berdasarkan Sekolah Negeri dan Swasta Jenis kelamin contoh dibedakan antara sekolah negeri dan swasta. Jumlah antara laki-laki dan perempuan tidak jauh terpaut dimana 51.70% laki-laki (155 siswa) dan 48.30% perempuan (145 siswa). Berdasarkan status sekolah menunjukkan sedikit perbedaan jumlah dimana di sekolah negeri ada 52% lakilaki (79 siswa) dan 47.30% perempuan (71 siswa), sedangkan di sekolah swasta ada 50.70% laki-laki (76 siswa) dan 49.30% perempuan (74 siswa). Jumlah sampel perempuan lebih banyak di sekolah swasta dibandingkan dengan sampel laki-laki di sekolah negeri. Data secara terinci ada pada Tabel 15 sebagai berikut: Tabel 15 Sebaran contoh berdasarkan jenis kelamin Negeri Swasta Total Jenis Kelamin n % n % n % Laki-Laki 79 52.70 76 50.70 155 51.70 Perempuan 71 47.30 74 49.30 145 48.30 Total 150 100.00 150 100.00 300 100.00 Jumlah sampel penelitian untuk remaja sebanyak 300 remaja yang berasal dari lima kecamatan. Dari ke 300 remaja tersebut terbagi berdasarkan jenis kelamin (laki-laki dan perempuan) serta berdasarkan status sekolah (sekolah negeri dan swasta). Prosentase contoh dari sekolah negeri untuk laki-laki sebesar 52.70% dan perempuan sebesar 47.30%. Sedangkan untuk sekolah swasta besar prosentase contoh untuk laki-laki sebesar 50.70% dan perempuan sebesar 49.30%. Dengan demikian ada perbedaan jumlah dan persentase antara contoh laki-laki dan perempuan di sekolah negeri dan swasta. Jumlah dan persentase laki-laki lebih banyak baik di sekolah negeri maupun swasta, yaitu 79 (52.7%) dan 76 (50.7%). Bahkan secara keseluruhan jumlah contoh laki-laki lebih banyak dibandingkan jumlah contoh perempuan baik di sekolah negeri maupun swasta, yaitu sebesar 155 (51.70%). Meskipun demikian dapat dikatakan bahwa perbedaan jumlah tersebut tidak terlalu mencolok.
125
2. Alokasi Waktu Remaja Alokasi waktu remaja merupakan penggunaan waktu selama 24 jam dalam sehari oleh remaja. Penggunaan waktu tersebut terbagi kedalam waktu untuk kepentingan pendidikan, waktu untuk melakukan pekerjaan rumah, dan waktu untuk santai. Waktu untuk kepentingan pendidikan mencakup kegiatan belajar di sekolah dan kegiatan les pelajaran tertentu di luar jam pelajaran sekolah. Kegiatan pekerjaan rumah adalah melakukan kegiatan rumah seperti memelihara lingkungan tempat tinggal dan mencuci.
Sedangkan waktu untuk santai
mencakup waktu nonton televisi, bermain, santai, urusan pribadi. Adapun data secara rinci dipaparkan pada Tabel 16.
Tabel 16 Rata-rata dan persentasi sebaran contoh berdasarkan alokasi waktu (jam/hari) Kegiatan (jam) Pendidikan Pekerjaan rumah Santai
Negeri Swasta Total p value % Rata-Rata % Rata-Rata % Rata-Rata 8.10 7.96 8.03 33.76 33.15 33.46 0.251 0.37 0.58 0.48 1.54 2.42 1.98 0.004 15.53 15.46 15.50 64.69 64.43 64.56 0.650
Alokasi waktu remaja dibagi menjadi tiga kegiatan dalam kurun waktu 24 jam atau satu hari. Ketiga kegiatan tersebut adalah edukasi (pendidikan), household work (kerja rumahan), dan leisure (waktu luang). Kegiatan edukasi mencakup sekolah, les, belajar. Kegiatan householdwork (kerja rumahan) mencakup nyuci dan pekerjaan di rumah. Kemudian kegiatan leisure mencakup nonton televisi, main, santai, kegiatan untuk sendiri atau mandiri, dan tidur. Penggunaan waktu remaja dalam sehari dipilahkan ke dalam sekolah negeri dan swasta, maka dapat diketahui rata-rata dan prosentase penggunaan waktu untuk jenis kegiatan tertentu di sekolah negeri dan swasta. Di sekolah negeri penggunaan waktu menunjukkan besaran untuk edukasi sebesar 33.76%, household sebesar 1.54%, dan untuk leisure sebesar 64.69%. Sedangkan di sekolah swasta penggunaan waktu menunjukkan besaran untuk edukasi sebesar 33.15%, household sebesar 2.42%, dan untuk leisure sebesar 64.43%. Penggunaan waktu remaja baik di sekolah negeri maupun swasta tidak berbeda nyata (p value 0.251 > 0.10).
126
Ada perbedaan prosentase penggunaan waktu untuk edukasi dan leisure yang lumayan besar. Kegiatan edukasi menempati prosentase jauh lebih rendah dari pada kegiatan leisure baik di sekolah negeri (33.76% untuk edukasi dan 64.69% untuk leisure) dan di sekolah swasta (33.15% untuk edukasi dan 64.43% untuk leisure). Apabila dilihat secara keseluruhan, maka perbedaan penggunaan waktu tersebut 33.46% untuk edukasi dan 64.56% untuk leisure. Prosentase perbedaan antar penggunaan waktu edukasi dan leisure tersebut memang sangat besar. Namun jika ditinjau dari segi waktu yang digunakan, maka kegiatan edukasi menyita waktu untuk belajar di sekolah dan menambah jam pelajaran (les), yaitu rata-rata 8.03 jam/hari. Sedangkan rata-rata kegiatan leisure adalah 15.50 jam/hari. Kegiatan leisure ini mencakup waktu untuk tidur yang membutuhkan waktu panjang selain waktu untuk nonton televisi, santai, main dan kegiatan mandiri. Rata-rata penggunaan waktu oleh masing-masing calon, yaitu: untuk tidur sebesar 7.78 jam/hari, nonton televisi sebesar 1.74 jam/hari, ibadah sebesar 1.44 jam/hari, dan rata-rata waktu lainnya 4.56 jam/hari (makan, main, jalan, santai, olah raga, dan mandi). Perbedaan penggunaan waktu antara waktu untuk pendidikan dan leisure tersebut bukan diartikan sebagai hal yang buruk dan baik, akan tetapi perlu ditempatkan pada fungsi waktu tersebut untuk kepentingan perseorangan. Ada hal yang menarik dalam penggunaan waktu remaja dalam keseharian. Kegiatan
household
membutuhkan
waktu
yang
sangat
sedikit
dalam
kesehariannya. Baik sekolah negeri maupun swasta membutuhkan waktu untuk kegiatan household kurang dari satu jam atau rata-rata 0.48 jam/hari. Rata-rata waktu ini adalah 1.98% dari waktu satu hari atau 24 jam. Penggunaan waktu untuk kegiatan household yang sedikit oleh mereka dapat diartikan bahwa mereka tidak
dibebani
pekerjaan-pekerjaan
rumahtangga
oleh
keluarga
yang
bersangkutan. Begitu juga mereka tidak dibebani kegiatan-kegiatan yang bertujuan mencari pendapatan atau marketwork. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa mereka mengunakan waktu terfokus pada pendidikan dan untuk kegiatan-kegiatan leisure. Pengalokasian waktu remaja seperti itu mencerminkan dukungan positif terhadap kualitas remaja oleh keluarga yang bersangkutan. Alokasi waktu untuk
127
pendidikan memberikan kontribusi positif dalam hal kualitas remaja dalam segi kognitif. Sedangkan alokasi waktu untuk leisure memberikan kontribusi positif juga dalam segi sosial (main), kesehatan (tidur, santai, makan, mandi, dan olah raga), dan religiusitas (ibadah).
3. Pengetahuan Gizi Remaja Pengetahuan gizi remaja merupakan kemampuan seseorang remaja untuk mengingat kembali kandungan gizi makanan, sumber serta kegunaan zat gizi tersebut di dalam tubuh. Pengetahuan gizi remaja dapat dikategorikan menjadi pengetahuan gizi rendah (kurang dari 60% jawaban benar), kategori sedang (60 – 80% jawaban benar), dan kategori baik (lebih dari 80% jawaban benar). Adapun data terinci ada pada tabel 17. Tabel 17 Sebaran contoh berdasarkan pengetahuan gizi remaja Negeri Swasta Total Pengetahuan Gizi Remaja n % n % n % Rendah (<60% benar) 12 8.0 39 26.0 51 17.0 Sedang (60 – 80% benar) 74 49.3 88 58.7 162 54.0 Baik (>80% benar) 64 42.7 23 15.3 87 29.0 Total 150 100.0 150 100.0 300 100.0 Rata-Rata 78.10 66.50 72.30 Kisaran (Min-Maks) 30.00-100.00 25.00-100.00 25.00-100.00 p value 0.000 Pengetahuan gizi remaja antara sekolah negeri dan swasta menunjukkan adanya perbedaan rata-rata yang nyata (p < 0.01). Pengetahuan gizi remaja dibagi kedalam pengetahuan gizi yang baik, sedang, dan rendah. Ketiga jenjang tersebut menunjukkan prosentase yang bervariasi, namun lebih cenderung dominan pada kategori sedang dan baik. Pengetahuan gizi remaja di sekolah negeri menunjukkan jenjang pengetahuan rendah sebesar 8.0%, pengetauan sedang sebesar 49.3%, dan pengetahuan baik sebesar 42.7%. Pengetahuan gizi sekolah swasta menunjukkan jenjang pengtahuan rendah sebesar 26.0%, pengetahuan sedang sebesar 58.7%, dan pengetahuan baik sebesar 15.3%. Apabila dilihat dari pengetahuan gizi secara umum yang rendah sebesar 17%, maka hasil tersebut memiliki arti bahwa hampir sebagian besar dari contoh memiliki pengetahuan gizi yang memadai mencakup pengetahuan gizi sedang dan baik. Namun, apabila ditinjau berdasarkan status
128
sekolah maka sekolah negeri memiliki pengetahuan gizi yang lebih baik dibandingkan sekolah swasta. Pengetahuan gizi merupakan stock of knowledge pada diri remaja dimana pengetahuan tersebut diharapkan mampu menjadi pemicu sikap dan perbuatan mengarah kepada preferensi makanan yang bergizi. Namun, perbedaan pengetahuan gizi itu sendiri merupakan hasil pencerapan pengetahuan oleh siswa melalui pengetahuan yang diajarkan di sekolah masing-masing. Pengetahuan tersebut secara tidak langsung diserap melalui pelajaran dalam ilmu pengetahuan alam. Oleh karena itu penguasaan pengetahuan tersbut sangat kondisional, artinya dipengaruhi oleh metode mengajar (guru dan bahan pengajaran) serta interets setiap siswa untuk mencerap pengetahuan tersebut. Secara umum kompetensi siswa sekolah negeri lebih unggul dibandingkan dengan sekolah swasta. Hal ini ditunjukkan juga dengan hasil test IQ dan nilai test bersama dimana sekolah negeri menunjukkan hasil lebih tinggi dibandingkan dengan sekolah swasta. Dengan demikian sangat
dimungkinkan perbedaan pengetahuan tersebut
merupakan hasil dari perbedaan kemampuan siswa dalam mencerap pengetahuan tersebut.
4. Sikap Gizi Remaja Sikap Gizi adalah kecenderungan pada diri subyek untuk menerima atau menolak sesuatu pangan berdasarkan penilaian terhadap pangan itu sebagai pangan yang berharga atau tidak berharga, baik atau tidak baik, suka atau tidak suka. Sikap gizi remaja dapat dikategorikan menjadi kategori sikap rendah, sikap sedang, dan sikap baik. Adapun data terinci ada pada Tabel 18 sebagai berikut: Tabel 18 Sebaran contoh berdasarkan sikap gizi remaja Negeri Swasta Total Sikap Gizi Remaja n % n % n % Rendah 3 2.0 4 2.7 7 2.3 Sedang 100 66.7 130 86.7 230 76.7 Baik 47 31.3 16 10.7 63 21.0 Total 150 100.0 150 100.0 300 100.0 Rata-Rata 77.45 72.08 74.77 Kisaran (Min-Maks) 53.75-93.75 52.50-96.25 52.50-96.25 p value 0.000
129
Sikap
gizi
remaja
dari
kedua
sekolahan
menunjukkan
adanya
menunjukkan adanya perbedaan rata-rata yang nyata (p < 0.01). Perbedaan ini dibuktikan dengan hasil p value sebesar 0 < 0,01. Artinya bahwa antara remaja di sekolah negeri dan swasta mempunyai perbedaan dal hal sikap gizi mereka mulai dari jenjang sikap gizi yang rendah, sedang, sampai dengan sikap gizi yang baik. Hal ini juga ditunjukkan dengan hasil di sekolah negeri sebesar 2.0% (rendah), 66.7% (sedang), dan 31.3% (baik). Sedangkan hasil dari sekolah swasta menunjukkan besaran prosentase 2.7% (rendah), 86.7% (sedang), dan 10.7% (baik). Secara umum sikap gizi remaja menunjukkan hanya 2.3% yang mempunyai sikap gizi rendah, sedangkan sikap gizi yang sedang (76.7%) dengan sikap gizi baik (21.0%). Berdasarkan data tersebut diketahui bahwa sikap gizi remaja sekolah negeri dan swasta menunjukkan sikap gizi yang memadai (sedang dan baik). Akan tetapi remaja di sekolah negeri memiliki sikap gizi pada kategori sikap gizi baik lebih banyak (31.3%, n = 47) dibandingkan sekolah swasta (10.7%, n = 16).
5. Lingkungan Sekolah Lingkungan sekolah merupakan kesatuan dari unsur-unsur dalam sekolahan seperti guru, aktivitas siswa, iklim belajar, dan kondisi sekolahan. Keadaan lingkungan sekolah diketahui dengan cara siswa menjawab pernyataan berkaitan dengan guru, aktivitas siswa, iklim belajar, dan kondisi sekolah. Keadaan lingkungan sekolah tersebut kemudian dikategorikan rendah, sedang, dan baik untuk sekolah negeri dan swasta. Adapun data terinci ada pada tabel 19 sebagai berikut: Tabel 19
Sebaran contoh berdasarkan lingkungan sekolah Negeri Swasta Total Lingkungan Sekolah n % n % n % Rendah 0 0.0 0 0.0 0 0.0 Sedang 52 34.7 69 46.0 121 40.3 Baik 98 65.3 81 54.0 179 59.7 Total 150 100.0 150 100.0 300 100.0 Rata-Rata 70.36 67.42 68.89 Kisaran (Min-Maks) 50.00-95.00 46.88-86.25 46.88-95.00 p value 0.003
130
Tabel sebaran contoh berdasarkan lingkungan sekolah diatas merupakan respon siswa terhadap pernyataan-pernyataan tentang guru, aktivitas siswa, kondisi sekolah, dan iklim belajar. Respon terhadap pernyataan-pernyataan tersebut berupa pilihan jawaban setuju, kurang setuju, dan tidak setuju. Berdasarkan jawaban-jawaban terhadap pilihan-pilihan tersebut kemudian diperoleh jenjang jawaban dengan kategori rendah, sedang, dan baik. Baik sekolah negeri maupun swasta tidak memberikan jawaban dalam kategori rendah. Kedua sekolahan tersebut menunjukkan jawaban kategori sedang (40.3%) dan baik (59.7%). Sekolah negeri memberikan jawaban kategori sedang sebesar 34.7% dan kategori baik sebesar 65.3%. Sedangkan sekolah swasta memberikan jawaban kategori sedang sebesar 46.0% dan kategori baik sebesar 54.0%. Lebih lanjut, antara sekolah negeri maupun swasta menunjukkan adanya perbedaan rata-rata yang nyata respon terhadap lingkungan sekolah yang mencakup pernyataan terhadap guru, aktivitas siswa, kondisi sekolah, dan iklim belajar. Hal ini ditunjukkan dengan nilai p value sebesar 0.003 < 0.01. Mereka mempunyai perbedaan respon jawaban terhadap pernyataan mengenai guru, aktivitas siswa, kondisi sekolah dan iklim belajar dalam kategori sedang dan baik. Akan tetapi apabila dipilah ke dalam masing-masing indikator maka dapat diperoleh hasil tidak ada perbedaan rata-rata yang nyata untuk jawaban terhadap pernyataan untuk guru dan iklim belajar. Kesemua indikator tersebut menunjukkan p value lebih besar daripada 0.01, yaitu: pernyataan terhadap guru mempunyai p value = 0.175, dan pernyataan terhadap iklim belajar mempunyai p value = 0,830. Kecuali indikator aktivitas siswa dan kondisi sekolah menunjukkan adanya perbedaan nyata antara remaja di sekolah negeri dan swasta. Ini dibuktikan dengan nilai p lebih kecil daripada 0.01. P value aktivitas siswa sekolah negeri dan swasta sebesar 0,003. (0.003 < 0,1). P value kondisi sekolah negeri dan swasta sebesar 0,000 (0.000 < 0,1). Indikator aktivitas siswa dan kondisi sekolah di SMP Negeri maupun Swasta mempunyai kesamaan masuk dalam kategori sedang dan baik. 5a. Aktivitas Siswa Aktivitas siswa merupakan aktivitas yang dilakukan di lingkungan sekolah berkaitan dengan kegiatan belajar. Aktivitas siswa tersebut mencakup
kegiatan
131
ekstrakurikuler, kepustakaan, belajar kelompok, dan bimbingan belajar. Secara umum aktivitas siswa dapat digolongkan pada aktivitas yang baik, sedang, dan rendah (Tabel 20). Tabel 20 Sebaran contoh berdasarkan aktivitas siswa Negeri Swasta Total Aktivitas Siswa n % n % n % Rendah 0 0.0 0 0.0 0 0.0 Sedang 44 29.3 65 43.6 109 36.5 Baik 106 70.7 84 56.4 190 63.5 Total 150 100.0 149 100.0 299 100.0 Rata-Rata 72.68 69.07 70.88 Kisaran (Min-Maks) 50.00-100.00 33.33-97.92 33.33-100.00 p value 0.003 Sebaran contoh berdasarkan aktivitas siswa tersebut di atas menunjukkan adanya perbedaan rata-rata yang nyata (p < 0.01). Perbedaan nyata tersebut berkenaan dengan aktivitas siswa antara sekolah negeri dan swasta. Indikator aktivitas siswa mempunyai arah ingin menggambarkan aktivitas siswa di sekolah masing-masing. Untuk itu maka ditempuh cara dengan meminta siswa memberikan tanggapan terhadap pernyataan yang telah dibuat. Pernyataan tersebut mengenai kegiatan ekstrakurikuler, aktivitas yang berkaitan dengan perpustakaan , aktivitas yang berkaitan dengan komputer, kelompok belajar, dan bimbingan belajar. Data yang terkumpul menunjukkan bahwa sekolah negeri mempunyai tanggapan dengan kategori baik terhadap aktivitas siswa di lingkungan sekolahnya sebanyak 70.7% (n = 106). Sedangkan sekolah swasta mempunyai kategori baik sebanyak 56.4% (n = 84). Dengan demikian aktivitas remaja di sekolah negeri lebih baik dibandingkan dengan sekolah swasta. Perbedaan aktivitas siswa disekolah tersebut dapat dipahami berdasarkan adanya perbedaan fasilitas kegiatan yang ada di sekolah negeri dan swasta. Perbedaan fasilitas kegiatan tersebut dapat ditinjau dari fasilitas olah raga, laboratorium, dan kegiatan ekstrakurikuler. Antara sekolah negeri dan swasta mempunyai perbedaan dalam jumlah fasilitas olah raga, seperti: sepak bola (negeri ada 4 sekolah, swasta ada 2 sekolah); basket (negeri ada 3 sekolah, swasta ada 2 sekolah); voley (negeri ada 3 sekolah, swasta ada 3 sekolahan); atletik (negeri ada 1 sekolah, swasta tidak punya); badminton (negeri ada 5 sekolah, swasta ada 1 sekolah). Untuk fasilitas laboratoriumpun ada perbedaan dalam hal
132
jumlah, sebagai berikut: IPA (negeri ada 4 sekolah, swasta 2 sekolah), Bahasa (negeri ada 3 sekolah, sasta ada 1 sekolah), komputer (negeri ada 5 sekolah, swasta ada 5 sekolah), audioroom (negeri ada 3 sekolah, swasta ada 2 sekolah), tanah lapang (hanya ada 2 sekolah negeri). Kemudian perbedaan lain ada pada kegiatan ekstrakurikuler, sebagai berikut: pramuka (negeri ada 5 sekolah, swasta ada 5 sekolah); olah raga (kesemua sekolah baik negeri maupun swasta memiliki kegiatan olah raga), kesenian ( sekolah negeri ada 5, swasta ada 1), drumband (sekolah negeri 1, sekolah swasta 0), karate (sekolah negeri ada 2, swasta tidak ada), jurnalistik (negeri ada 1 sekolah, swasta tidak ada), Al Quran (negeri tidak ada, swasta 1 sekolah), dan PMR (negeri ada 2 sekolah, swasta tidak ada). Dengan demikian fasilitas olah raga, laboratorium, dan ekstrakurikuler yang ada cenderung dimiliki oleh sekolah negeri dibandingkan sekolah swasta. 5b. Kondisi Sekolah Kondisi sekolah menggambarkan keadaan secara fisik dan fasilitas sekolah berkaitan dengan fungsi fasilitas dan bagian-bagian sekolah sebagai penunjang kegiatan belajar mengajar. Keadaan dan fungsi fisik sekolah tersebut mencakup keadaan gedung sekolah dan ruang kelas, ruang dan peralatan laboratorium, peralatan olah raga, ketersediaan buku-buku pelajaran, keadaan fasilitas WC dan kamar mandi, dan rasa bangga terhadap skeolah. Gambaran mengenai kondisi sekolah tersebut merupakan hasil dari tanggapan terhadap pernyataan mengenai kondisi sekolah oleh siswa di masing-masing sekolah. Secara umum kondisi sekolah dalam keadaan baik (54.3%) dan secara terinci ada dalam Tabel 21. Tabel 21 Sebaran contoh berdasarkan kondisi sekolah Negeri Swasta Total Kondisi Sekolah n % n % n % Rendah 1 0.7 2 1.3 3 1.0 Sedang 56 37.3 78 52.0 134 44.7 Baik 93 62.0 70 46.7 163 54.3 Total 150 100.0 150 100.0 300 100.0 Rata-Rata 70.45 64.45 67.45 Kisaran (Min-Maks) 25.00-100.00 25.00-97.50 25.00-100.00 p value 0.000 Sebaran contoh berdasarkan kondisi sekolah menunjukkan adanya perbedaan rata-rata yang nyata (p < 0.01). Perbedaan nyata ini menunjukkan
133
bahwa dari hasil tanggapan remaja terhadap pernyataan mengenai kondisi sekolah mereka masing-masing mempunyai perbedaan. Indikator kondisi sekolah bertujuan untuk memberikan gambaran kondisi sekolahan secara fisik berkaitan dengan keadaan bangunan, peralatan olah raga, ruang dan laboratorium, perpustakaan, ruang kelas, kamar mandi dan WC. Data menunjukkan bahwa di sekolah negeri memberikan tanggapan untuk kategori rendah sebesar 0.7%, kategori sedang sebesar 37.7%, dan kategori baik sebesar 62.0% . Sedangkan sekolah swasta memberikan tanggapan untuk kategori rendah sebesar 1.3%, kategori sedang sebesar 52.0%, dan kategori tinggi sebesar 46.7%.
Dengan
demikian kondisi sekolah antara sekolah negeri dan swasta memiliki perbedaan, dimana siswa di sekolah negeri cenderung memberi tanggapan terhadap pernyataan mengenai kondisi sekolah masing-masing dengan hasil lebih tinggi daripada sekolah swasta. Hal ini mencerminkan bahwa siswa disekolah negeri merasakan kondisi lingkungan sekolah mereka relatif lebih baik dibandingkan dengan siswa di sekolah swasta. Perbedaan kondisi antara sekolah negeri dan swasta yang mencolok tersebut memang nyata di lapangan dimana kondisi secara umum bangunan sekolah dan keadaan ruang kelas relatif lebih baik sekolah negeri. Hal ini tidak lepas dari kemampuan finansial dari sekolah negeri untuk mengembangkan bangunan fisik. Sekolah negeri mendapatkan dana dari pemeritah, sedangkan sekolah swasta harus mampu mengelola (mencari) keuangan secara mandiri agar dapat melakukan pembangunan. Perbedaan sumber pendapatan antara sekolah negeri dan swasta itulah yang menjadikan adanya berbagai perbedaan di segala hal, seperti: gedung dan ruang kelas, fasilitas ruang dan peralatan laboratorium, fasilitas ruang dan koleksi buku perpustakaan, dan kualiatas guru. Perbedaan sumber pendapatan mempengaruhi juga pada tingkat kesejahteraan guru, dimana secara umum guru sekolah negeri relatif lebih sejahtera dibandingkan dengan guru di sekolah swasta.
6. Lingkungan Keluarga Lingkungan keluarga merupakan gambaran keluarga contoh berkaitan dengan segala sesuatu untuk perkembangan dan kemajuan anak yang mencakup
134
dorongan berprestasi, aspirasi pendidikan dan pekerjaan, fasilitas belajar, pemanfaatan waktu, dan ikatan keluarga. Para siswa memberikan tanggapan terhadap pernyataan faktor-faktor lingkungan keluarga. Hasil dari tanggapan tersebut dapat dikategorikan menjadi rendah, sedang, dan baik. Secara umum lingkungan keluarga ada dalam kategori sedang (74.3%). Adapun data secara rinci ada pada Tabel 22 sebagai berikut: Tabel 22 Sebaran contoh berdasarkan lingkungan keluarga Negeri Swasta Total Lingkungan Keluarga n % N % n % Rendah 0 0.0 1 0.7 1 0.3 Sedang 100 66.7 123 82.0 223 74.3 Baik 33.3 26 17.3 76 25.3 50 Total 150 100.0 150 100.0 300 100.0 61.19 Rata-Rata 61.48 60.89 31.82-83.64 Kisaran (Min-Maks) 35.00-81.82 31.82-83.64 p value 0.546 Lingkungan keluarga contoh menunjukkan tidak adanya perbedaan ratarata nyata antara sekolah negeri dan swasta. Tidak adanya perbedaan rata-rata nyata (p > 0.01). Contoh di sekolah negeri memberikan pernyataan terhadap lingkungan keluarga sebesar 66.7% menyatakan sedang dan 33.3% menyatakan baik. Sedangkan contoh di sekolah swasta memberikan pernyataan terhadap lingkungan keluarga sebesar 0.7% menyatakan rendah, 82.0% menyatakan sedang, dan 17.3% menyatakan baik. Secara keseluruhan contoh memberikan pernyataan terhadap lingkungan keluarga sebesar 0.3% menyatakan rendah, sebesar 74.3% menyatakan sedang, dan sebesar 25.3% menyatakan baik. Indikator lingkungan keluarga contoh tersebut mempunyai tujuan untuk memperoleh gambaran bagian-bagian dalam keluarga contoh sebagai kondisi yang mampu memberikan kontribusi baik kepada anggota keluarga, khususnya anak. Indikator lingkungan keluarga contoh tersebut meliputi dorongan untuk berprestasi, aspirasi pendidikan dan pekerjaan, fasilitas belajar, pemanfaatan waktu, dan ikatan keluarga. Dari indikator-indikator lingkungan keluarga tersebut memberikan informasi bahwa ada perbedaan nyata dan tidak ada perbedaan antara lingkungan keluarga contoh di sekolah negeri dan swasta. Indikator lingkungan keluarga yang tidak menunjukkan adanya perbedaan adalah dorongan berprestasi (p value 0.926 > 0.01), aspirasi pendidikan dan pekerjaan (p value 0.114 > 0.01),
135
fasilitas belajar (p value 0.961 > 0.01), pemanfaatan waktu (periksa Tabel 23, p value 0.020 < 0.01), dan ikatan keluarga (periksa Tabel 10, p value 0.019 < 0.01).
6a. Pemanfaatan Waktu Pemanfaatan
waktu
merupakan
pengawasan
orang
tua
terhadap
penggunaan waktu oleh anak. Pemanfaatan waktu tersebut mencakup perhatian penggunaan waktu di rumah dan di luar rumah, pengaturan waktu menonton televisi, istirahat siang, les tambahan, dan mengerjakan pekerjaan rumah. Tanggapan siswa atas pernyataan mengenai pemanfaatan waktu menjadi gambaran bagaimana orang tua memberikan perhatian terhadap anaknya melalui penggunaan waktunya. Secara umum orang tua memberikan perhatian melalui pemanfaatan waktu anak dalam kategori sedang (80%). Pemanfaatan waktu anak tersebut secara rinci dapat diperiksa pada Tabel 23 sebagai berikut: Tabel 23 Sebaran contoh berdasarkan pemanfaatan waktu Negeri Swasta Total Pemanfaatan Waktu n % n % N % Rendah 3 2.0 2 1.3 5 1.7 Sedang 125 83.3 115 76.7 240 80.0 Baik 22 14.7 33 22.0 55 18.3 Total 150 100.0 150 100.0 300 100.0 Rata-Rata 55.87 58.67 57.27 Kisaran (Min-Maks) 27.50-80.00 25.00-90.00 25.00-90.00 p value 0.020 Pemanfaatan waktu siswa antara sekolah negeri dan swasta menunjukkan tidak adanya perbedaan rata-rata yang nyata (p > 0.01). Tidak adanya perbedaan rata-rata yang nyata tersebut mengartikan bahwa antara sekolah negeri dan swasta mempunyai kesamaan dalam hal memanfaatkan waktu. Pemanfaatan waktu siswa menekankan kepada perhatian dan pengaturan waktu oleh orang tua baik di rumah maupun di luar rumah, seperti: penggunaan waktu di rumah, permintaan ijin bepergian, mengontrol waktu belajar, mengontrol waktu untuk hiburan (televisi), kegiatan les, bantu pekerjaan rumah, dan konsentrasi belajar. Data menunjukkan bahwa pemanfaatan waktu cenderung sdikit lebih baik di sekolah swasta dimana ditunjukkan dengan 22.0% kategori baik sementara di negeri 14.7% kategori baik.
136
6b. Ikatan Keluarga Ikatan keluarga merupakan gambaran mengenai keeratan antara anggota keluarga yang dicerminkan melalui tanggapan anak terhadap pernyataanpernyataan yang berkaitan dengan ikatan keluarga. Pernyataan-pernyataan tersebut mencakup kebersamaan (pergi bersama, mengerjakan pekejaan bersama, menonton televisi bersama), komunikasi orang tua dengan anak (mendengarkan dan mencari solusi keluhan, memberi nasihat, tidak mengolok-olok), perlakuan orang tua terhadap anak, dan keharmonisan orang tua (perselisihan antar orang tua). Secara umum tanggapan terhadap pernyataan tersebut dalam kategori sedang (84.3%). Adapan ikatan keluarga secara rinci ada pada Tabel 24 sebagai berikut: Tabel 24 Sebaran contoh berdasarkan ikatan keluarga Negeri Swasta Total Ikatan Keluarga n % n % n % Rendah 2 1.3 3 2.0 5 1.7 Sedang 119 79.9 133 88.7 252 84.3 Baik 28 18.8 14 9.3 42 14.0 Total 150 100.0 149 100.0 299 100.0 Rata-Rata 57.38 54.57 55.97 Kisaran (Min-Maks) 31.67-83.33 25.00-76.67 25.00-83.33 p value 0.019 Ikatan keluarga contoh menunjukkan tidak ada perbedaan rata-rata yang nyata (p > 0.01). Indikator ikatan keluarga contoh bertujuan untuk memperoleh gambaran keadaan keluarga berkenaan dengan hal-hal yang mendukung ikatan keluarga. Hal-hal tersebut adalah pergi bersama, melakukan pekerjaan rumah secara bersama, kebersamaan dalam makan bersama, menonton televisi bersama, ngobrol bersama keluarga, kesediaan orang tua mendengarkan isi hati anak, memberikan pemecahan masalah anak, kunjungan ke saudara, sikap membiarkan hal yang salah, menghibur anak ketika sedang sedih, perlakuan adil orang tua kepada anak, pertengkaran orang tua, dan orang tua mengolok-olok anak. Kategori ikatan keluarga rendah untuk siswa sekolah negeri sejumlah 2 siswa (1.3%) dan siswa sekolah swasta sejumlah 3 (1.3%). Kategori ikatan keluarga sedang untuk siswa sekolah negeri sejumlah 119 (79.9%) dan untuk siswa sekolah swasta sejumlah 133 siswa (88.7%). Kategori ikatan keluarga tinggi untuk siswa sekolah negeri sejumlah 28 (18.8%) dan untuk siswa sekolah swasta
137
sejumlah 14 (9.3%). Ikatan keluarga contoh secara umum baik sekolah negeri maupun swasta secara dominan ada pada kategori sedang (84.3%), kategori baik (14.0%), dan kategori rendah (1.7%). Perbedaan nyata ikatan keluarga contoh pada kategori baik antara siswa negeri dan siswa swasta menunjukan 18.8% kategori baik untuk siswa negeri dan 9.3% kategori baik untuk siswa swasta.
7. Kualitas Remaja Kualitas
merupakan
standart
ukuran
sesuatu
dengan
melakukan
pembandingan dengan yang lain bagaimana baik dan buruknya sesuatu (Hombi 2002). Begitu juga halnya dengan kualitas remaja merupakan ukuran dengan membandingkan baik dan buruknya unsur-unsur yang ada pada remaja. Kualitas remaja tersebut dapat dicerminkan ke dalam kualitas fisik mencakup segi kesehatan dan ketahanan jasmani yang memungkinkan seseorang dapat hidup sehat, aktif, produktif, dan berumur panjang. Kualitas akal dicerminkan oleh daya pikir atau kecerdasan intelektual. Manusia yang berakal selalu terdorong untuk menggali rahasia alam dan kehidupan, dan dengan itu ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) berkembang. Kualitas kalbu dicerminkan oleh keluhuran budi pekerti, moral dan akhlak. Dengan demikian dalam kualitas anak tersebut mengandung unsur kualitas fisik (jasmani), kualitas akal (kecerdasan intelektual), dan kualitas kalbu (mental spiritual). Syarief (1997) mendefinisikan kualitas sebagai gabungan karakateristik yang menentukan derajat kehandalan (degree of excellence). Oleh karena itu, kualitas sumber daya manusia (SDM) dapat didefiniskan sebagai gabungan dari karakteristik segenap sumberdaya yang ada dalam diri manusia, mencakup karakteristik fisik, akal, kalbu, dan nafsu yang menentukan kehandalan manusia baik sebagai makhluk indiividu maupun makhluk sosial. Dengan demikian kualitas remaja mencakup dimensi yang bersifat non fisik dan fisik. Dimensi non fisik adalah indikator-indikator kecerdasan intelektual (akal) dan kecerdasan emosional (kalbu), sedangkan yang bersifat fisik adalah status gizi. a. Kecerdasan Intelektual Kecerdasan intelektual merupakan hasil test psikologis berkaitan dengan kecerdasan intelektual anak. Kecerdasan intelektual tersebut dikategorikan ke
138
dalam rendah, agak rendah, cukup, cukup tinggi, dan tinggi. Secara umum para remaja ada dalam kategori lebih dari cukup ada 59% atau sejumlah 177 anak). Adapun data secara rinci dapat diperiksa pada Tabel 25 sebagai berikut:
Tabel 25 Sebaran contoh berdasarkan kategori IQ Negeri Swasta Kategori IQ n % n % Rendah 4 2.7 8 5.3 Agak rendah 3 2.0 19 12.7 Cukup 33 22.0 56 37.3 Cukup Tinggi 68 45.3 48 32.0 Tinggi 42 28.0 19 12.7 Total 150 100.0 150 100.0 Rata-Rata 119 106,79 Kisaran (Min-Maks) 63.00-149.00 55.00-148.00 p value 0.000
Total n % 12 4.0 22 7.3 89 29.7 116 38.7 61 20.3 300 100.0 11289 55.00-149.00
Kecerdasan intelektual contoh di sekolah negeri dan swasta menunjukkan adanya perbedaan nyata. Hal ini dibuktikan dengan p value 0.000 > 0,1. Kecerasan intelektual contoh di sekolah negeri 2.7% rendah, 2% agak rendah, 22.0% cukup, 45.3% cukup tinggi, dan 28% tinggi. Sedangkan kecerdasan intelektual contoh di sekolah swasta 5.3% rendah, 12.7% agak rendah, 37.3% cukup, 32.0% cukup tinggi, dan 12.7% tinggi. Secara umum antara sekolah negeri dan swasta menunjukkan kecerdasan intelektual sebesar 4% rendah, 7.3% agak rendah, 29.7% cukup, 38.7% cukup tinggi, dan 20.3% tinggi. Apabila dilihat dari keberadaan siswa baik sekolah negeri maupun swasta, maka perbedaan kecerdasan intelektual contoh dapat dikatakan sangat berbeda. Apabila kemudian mereka berada dalam lingkungan pendidikan yang berbeda ini merupakan hasil dari seleksi alam. Sistem standardisasi nilai kelulusan menjadi syarat utama untuk mendaftarkan sekolah di jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Seleksi tersebut mengelompokkan siswa dengan level atas di sekolah favorit, dan begitu seterusnya sampai pada level terendah. Karena pada hakekatnya pendidikan itu sendiri merupakan seleksi alamiah sesuai dengan kemampuan ekonomi dan akademik sehingga memungkinkan orang atau calon siswa melakukan pilihan-pilihan terhadap sekolah yang ada. Pada akhirnya pendidikan akan membantu mendatangkan lebih banyak persamaan kesempatan untuk
139
sementara orang, akan tetapi juga akan menciptaan ketidaksamaan bagi banyak orang (Robinson 1986). Atas dasar pilihan-pilihan sekolahan tersebut maka menempatkan orang pada kondisi dan situasi sesuai dengan kemampuan ekonomi dan akademinya. Potensi kecerdasan intelektual (akademik) pada mereka akan mempunyai makna jika lingkungan sekolah kondusif untuk menciptakan iklim belajar mengajar. Lingkungan sekolah tersebut mencakup kualitas sekolah, kualitas guru, dan fasilitas pendukung untuk melaksanakan kegiatan belajar mengajar. Sistem pendidikan di Indonesia mengenal 2 jalur pendidikan, yaitu pendidikan berbasis sekolah dan luar sekolah (Min Ho Yeom et al 2002). Pendidikan berbasis sekolah dapat dibagi lagi kedalam pendidikan umum dan pendidikan kejuruan. Pelaksanaan pendidikan berbasis sekolah terebut dilaksanakan oleh sekolah negeri dan sekolah swasta. Namun secara umum kualitas sekolah swasta berada di bawah sekolah negeri menyangkut SDM dan fasilitas pendukungnya sehingga output yang dihasikan juga kurang memuaskan. Kecuali sekolah swasta yang memang benar-benar input siswa maupun SDM dan fasilitas pendukungnya amat baik. Sayangnya keadaan sekolah swasta seperti itu hanya dialami sekolah swasta di perkotaan. Beberapa hal data sekunder berkenaan dengan kondisi sekolah negeri dan swasta dapat digunakan sebagai gambaran tentang fasilitas yang ada di sekolah masing-masing. Fasilitas-fasilitas tersebut mencakup ruang kelas, laboratorium, perpustakaan, laboratorium (komputer, bahasa, ipa), status guru, jenjang pendidikan guru, dan fasilitas olah raga. Fasilitas-fasilits tersebut adalah sebagai berikut: jumlah ruang kelas (negeri ada 92 kelas atau rata-rata per sekolah ada 18 kelas, sedangkan swasta ada 50 kelas atau rata-rata 10 kelas per sekolah), laboratorium (laboratorium komputer, negeri ada 5 dan swasta ada 5 ; ruang audio, negeri ada 3 dan swasta ada 2; laboratorium bahasa, negeri ada 3 dan swasta ada 1; dan laboratorium ipa, negeri ada 4 dan swasta ada 2), tanah lapang (hanya 1 sekolah negeri); perpustakaan, negeri ada 5 dan swasta ada 4, status guru tetap (guru tetap negeri ada 110 guru dan swasta ada 46 guru), status guru honorer (negeri ada 40 guru atau 36.4% dan swasta ada 39 guru atau 84.8%), jenjang pendidikan guru (untuk jenjang S1 sekolah negeri ada 145 guru sedangkan
140
sekolah swasta ada 79 guru), fasilitas olah raga (sepak bola, sekolah negeri ada 4 dan swasta ada 2; badminton, negeri ada 4 dan swasta ada 1), lapangan basket negeri ada 3 dan swasta ada 2. Data-data tersebut menunjukkan adanya perbedaan antara sekolah negeri dan swasta mencakup fasilitas ruang kelas, ruang laboratorium, ruang audio, status guru, fasilitas olahraga. Perbedaan lain adalah dalam hal jumlah fasilitas pendukung kegiatan seperti jumlah komputer, peralatan laboratorium, peralatan olah raga, ketersediaan buku ajar dimana sekolah negeri memiliki jumlah lebih banyak dibandingkan dengan sekolah swasta. Perlu disadari bahwa output pendidikan adalah hasil dari proses dalam lembaga pendidikan tersebut. Proses tersebut melibatkan banyak variabel untuk memproses input agar menjadi output yang berkualitas. Variabel tersebut mencakup sumberdaya manusia (staf pengajar dan administrasi), fasilitas fisik (gedung, peralatan, dan teknologi), kebijakan pemerintah, dan input itu sendiri. Jika semua variabel tersebut baik maka diharapkan dapat menghasilkan output yang baik juga.
b. Status Gizi Remaja Status gizi merupakan keadaan fisik anak dengan membagi berat badan (kg) dengan tinggi badan kuadrat (M2) atau disebut dengan indeks masa tubuh. Namun IMT ini tidak tepat apabila diterapkan langsung kepada anak usia 2 – 20 tahun tanpa dikoreksi dengan usia. Koreksi IMT dengan usia serta jenis kelamin akan dapat menempatkan anak dengan IMT tertentu pada percentile tertentu sehingga akan diperoleh kategori yang tepat bagi anak yang berangkutan. Secara umum anak-anak ada dalam kategori normal (67.3%). Adapun data secara rinci dapat diperiksa pada Tabel 26. Tabel 26 Sebaran contoh berdasarkan kriteria IMT dengan umur Kriteria IMT dengan Negeri Swasta Total Umur n % n % n % Kurus 41 27.3 40 26.7 81 27.0 Normal 98 65.3 104 69.3 202 67.3 Gemuk 11 7.3 6 4.0 17 5.7 Total 150 100.0 150 100.0 300 100.0
141
Tabel
26
tersebut memberikan gambaran bahwa di sekolah negeri
terdapat 27.3% (41 remaja) kategori kurus, 65.3% (98 anak) kategori normal, dan 7.3% (11 anak) kategori gemuk. Sedangkan keadaan status gizi di sekolah swasta terdapat 26.7% (40 anak) kategori kurus, 69.3% (104 anak) kategori normal, dan 4.0% (6 anak) kategori gemuk. Adapun secara keseluruhan ada 81 anak kategori kurus(27.0%), 202 anak kategori normal (67.3%), dan 17 anak kategori gemuk(5.7%). Keadaan ini menyimpulkan bahwa antara sekolah negeri dan swasta relatif menunjukkan keadaan status gizi yang sama meskipun sekolah swasta sedikit lebih banyak siswanya ada dalam kategori normal. Keadaan status gizi remaja juga dapt ditinjau dari jenis kelamin remaja. Berdasarkan jenis kelamin maka dapat diketahui bahwa 80.0% perempuan mempunyai status gizi normal, sedangkan 55.5% laki-laki berstatus gizi normal. Bahkan ada 38.7% laki-laki berstatus gizi kurus atau sepertiga laki-laki berstatus gizi kurus. Dengan demikian status gizi perempuan relatif lebih baik dibandingkan dengan status gizi laki-laki. Rincian kategori status gizi dan jenis kelamin ada pada Tabel 27. Tabel 27 Kategori status gizi remaja berdasarkan IMT/U dan jenis kelamin Perempuan Laki-laki Total Kriteria IMT dengan umur n % n % N % Kurus Normal Gemuk Total
21 116 8 145
14.5 80.0 5.5 100.0
60 86 9 155
38.7 55.5 5.8 100.0
81 202 17 300
27.0 67.3 5.7 100.0
Lebih lanjut kategori status gizi dapat dipilahkan menjadi kategori status gizi normal dan tidak normal. Kategori normal mencakup remaja yang IMT/U masuk dalam persentile 15 sampai dengan 85), sedangkan < 15 (kurus) dan > 85 (gemuk) masuk dalam kategori tidak normal (Tabel 53). Pengkategorian tersebut memberikan hasil bahwa 67.3% berstatus gizi normal dan 32.7% berstatus gizi tidak normal.
142
Tabel 28 Kategori normal dan tidak normal status gizi remaja berdasarkan IMT dengan umur Negeri Swasta Total Kriteria IMT dengan umur n % n % n % Normal 98 65.3 104 69.3 202 67.3 Tidak Normal 52 34.7 46 30.7 98 32.7 Total 150 100.0 150 100.0 300 100.0 Pengkategorian status gizi remaja dapat ditinjau dari jenis kelamin. Berdasarkan Tabel 28 mengenai kategori status gizi normal dan tidak normal dengan mempertimbangkan jenis kelamin maka diketahui bahwa status gizi perempuan cenderung lebih baik. Hal ini ditunjukkan adanya perbedaan antara perempuan dan laki-laki dimana 80% perempuan normal dan 20% tidak normal, sebaliknya 55.5% laki-laki normal dan 44.5% tidak normal (Tabel 29). Tabel 29 Kategori normal dan tidak normal status gizi remaja berdasarkan IMT dengan umur dan Jenis Kelamin Perempuan Laki-laki Total Kriteria IMT dengan umur n % n % n % Normal 116 80 86 55.5 202 67.3 Tidak Normal 29 20 69 44.5 98 32.7 Total 145 100 155 100.0 300 100.0 Pengkategorian status gizi remaja juga dapat ditinjau berdasarkan kelompok umur. Kelompok umur tersebut terbagi ke dalam umur 12 – 13 tahun, 14 – 15 tahun, dan 16 – 17 tahun.. Berdasarkan pertimbangan umur remaja maka dapat diketahui bahwa rentang umur 14 – 15 tahun mempunyai status gizi normal sebanyak 177 siswa (87.6%) dari 202 siswa yang berstatus gizi normal atau 59.0% dari total siswa (Tabel 30). Tabel 30 Kategori status gizi remaja berdasarkan IMT dan umur remaja Kriteria IMT 12 – 13 tahun 14 – 15 tahun 16 – 17 tahun Total Dengan umur n % n % n % n % Kurus 3 17.6 69 26.4 9 40.9 81 27.0 Normal 13 76.5 177 67.8 12 54.5 202 67.3 Gemuk 1 5.9 15 5.7 1 4.5 17 5.7 Total 17 100.0 261 100.0 22 100.0 300 100.0 Kategori status gizi gemuk, normal, dan kurus pada tabel di atas mempunyai pengertian normal dan tidak normal. Kategori gemuk dan kurus
143
dikategorikan ke dalam tidak normal. Kategori tersebut dapat dirinci berdasarkan kelompok umur. Namun apabila status gizi remaja tersebut dikategorikan ke dalam normal dan tidak normal maka dapat diketahui bahwa rentang umur 14 – 15 tahun berada dalam status gizi baik dibandingkan pada kelompok umur 12 – 13 tahun dan 16 – 17 tahun. Keadaan status gizi tersebut dapat diperiksa pada Tabel 31. Tabel 31 Kategori Status Gizi Remaja berdasarkan IMT dan umur remaja Kriteria IMT 12 – 13 tahun 14 – 15 tahun 16 – 17 tahun Total dengan umur n % n % n % n % 13 76.5 177 67.8 12 54.5 202 67.3 Normal 6.4 87.6 5.9 202 100 4 23.5 84 32.2 10 45.5 98 32.7 Tidak Normal 4.1 85.7 10.2 202 100 Total 17 100.0 261 100.0 22 100.0 300 100.0
c. Kecerdasan Emosi Goleman (2002) mengutarakan bahwa emosi adalah dorongan untuk bertindak, rencana seketika untuk mengatasi masalah yang telah ditanamkan secara berangsur-angsur oleh evolusi. Akar kata emosi adalah movere (kata kerja bahasa Latin) yang berarti menggerakkan atau bergerak, kemudan tambahan e untuk memberikan arti bergerak menjauh. Kata bergerak menjauh menyiratkan bahwa kecenderungan bertindak merupakan hal mutlak dalam emosi. Seperti halnya dalam definsi emosi menurut Oxford English Dictionary, bahwa emosi sebagai setiap kegiatan atau pergolakan pikiran, perasaan, nafsu; setiap keadaan mental pada suatu perasaan dan pikiran-pikiran yang khasnya, suatu keadaan biologis dan psikologis, dan serangkaian kecenderungan untuk bertindak. Beberapa dimensi dalam kecerdasan emosi tersebut dapat dicerminkan dalam kategori rendah, sedang, dan baik. Secara umum kecerdasan emosi anak ada dalam kategori sedang (54%), namun kategori baik ditunjukkan sekolah negeri (56.7%) . Adapun data secara rinci ada pada Tabel 32.
144
Tabel 32 Sebaran contoh berdasarkan kecerdasan emosi Negeri Swasta Total Kecerdasan Emosi n % n % n % Rendah 0 0.0 0 0.0 0 0.0 Sedang 65 43.3 97 64.7 162 54.0 Baik 85 56.7 53 35.3 138 46.0 Total 150 100.0 150 100.0 300 100.0 Rata-Rata 68.24 65.29 66.76 Kisaran (Min-Maks) 52.19-96.93 52.63-86.40 52.19-96.93 p value 0.000 Salovey (1993) mengartikan kecerdasan emosi sebagai tipe dari kecerdasan sosial yang meliputi kemampuan untuk memperhatikan emosi diri dan orang lain, membedakan emosi-emosi tersebut, dan memanfaatkan informasi tersebut untuk mengarahkan nalar dan tindakan seseorang (Lazzari 2000). Kecerdasan emosi menentukan kemampuan kita untuk mempelajari ketrampilan praktis yang didasarkan pada lima elemen yaitu mengenali emosi, mengelola emosi, mengambil inisiatif, empathy dan kemampuan menyesuaikan diri dalam hubungan dengan orang lain (Patra 2004). Goleman (1996 dalam Patra 2004) mengemukakan bahwa IQ memberikan kontribusi keberhasilan hanya 20% pada keberhasilan hidup dimana 80% keberhasilan hidup lebih banyak dipengaruhi oleh kecerdasan emosi. Lebih lanjut Goleman memperinci kecerdasan emosi mencakup self-awareness, self-regulation, motivation, empathy dan social skills Kecerdasan emosi contoh antara sekolah negeri maupun swasta menunjukkan adanya perbedaan nyata. Hal ini ditunjukkan dengan hasil p value sebesar 0,000 < 0,1. Kecerdasan emosi contoh di sekolah negeri memiliki kategori rendah sebesar 0%, kategori sedang sebesar 43.3% dan kategori baik sebesar 56.7%. Sedangkan kecerdasan emosi contoh di sekolah swasta memiliki kategori rendah sebesar 0%, kategori sedang sebesar 64.7% dan kategori baik sebesar 35.3%. Adapun kecerdasan emosi secara umum baik contoh di sekolah negeri maupun swasta memiliki kategori rendah sebesar sedang sebesar 37% dan kategori baik sebesar 63%. Kecerdasan emosi contoh mempunyai beberapa indikator yaitu mengenali emosi diri, kendali diri (self control), empathy, motivasi diri (self motivation), dan kecakapan sosial (social skill). Sebagian besar indikator kecerdasan emosi
145
tersebut menunjukkan adanya perbedaan nyata kecuali indikator motivasi diri (self motivation). Motivasi diri contoh di sekolah negeri dan swasta tidak menunjukkan adanya perbedaan yang nyata karena p value 0.339 > 0.01. Sebagian besar contoh menunjukkan self motivation kategori sedang sebesar 24.3% dan kategori baik sebesar 75.3%, dan sebesar 0.3% mempunyai kategori rendah. Indikator mengenali emosi diri menggali perasaan pada diri contoh yang meliputi kekecewaan marah, putus asa, rasa takut, kebahagiaan, kesedihan. Kenali emosi diri menunjukkan adanya perbedaan antara sekolah negeri dan swasta. Kenali emosi diri menunjukkan prosentase lebih besar pada siswa sekolah negeri dibandingkan dengan siswa sekolah swasta di kategori kenali emosi diri yang baik, yaitu 39.3% (siswa sekolah negeri) dan 19.3% (siswa sekolah swasta) (periksa Tabel 33) Tabel 33 Sebaran contoh berdasarkan mengenali emosi diri Negeri Swasta Total Mengenali emosi diri n % n % n % Rendah 1 0.7 0 0.0 1 0.3 Sedang 90 60.0 121 80.7 211 70.3 Baik 59 39.3 29 19.3 88 29.3 Total 150 100.0 150 100.0 300 100.0 Rata-Rata 63.95 59.80 61.88 Kisaran (Min-Maks) 25.00-95.00 37.50-85.00 25.00-95.00 p value 0.001 Indikator kendali diri (Tabel 34) adalah kemampuan untuk mengendalikan diri terhadap marah, tidak sabar, rasa cemas, keinginan, kesedihan, rasa takut, kebahagiaan, dan kebingungan.
Kendali diri antara siswa sekolah negeri dan
Tabel 34 Sebaran contoh berdasarkan kendali diri Negeri Swasta Self Control n % n % Rendah 0 0.0 2 1.3 Sedang 114 76.0 129 86.0 Baik 36 24.0 19 12.7 Total 150 100.0 150 100.0 Rata-Rata 59.17 56.60 Kisaran (Min-Maks) 33.82-100.00 20.59-79.41 p value 0.036
Total n
% 2 0.7 243 81.0 55 18.3 300 100.0 57.88 20.59-100.00
sekolah swasta menunjukkan perbedaan nyata. Siswa sekolah negeri menunjukkan kendali diri kategori baik lebih besar (24.0%) dibandingkan dengan sekolah
146
swasta (12.7%). Namun, apabila dilihat secara keseluruhan maka sebagian besar contoh menunjukkan self control kategori sedang sebesar 81.0% dan kategori baik sebesar 18.3%. Motivasi diri contoh antara sekolah negeri dan swasta tidak menunjukkan adanya perbedaan yang nyata karena p value 0.339 > 0,1. Sebagian besar contoh menunjukkan self control kategori sedang sebesar 24.3% dan kategori baik sebesar 75.3%. Indikator motivasi diri menggali pada diri contoh berkenaan dengan kedisiplinan, rencana kerja, skala prioritas pekerjaan, mengambil inisiatif, tidak mudah patah semangat, dan semangat meraih yang terbaik. Keberadaan motivasi diri yang relatif baik itu menjadi modal kuat bagi para siswa untuk meraih prestasi yang baik dalam pelajaran. Kedisiplinan yang baik untuk belajar, skala prioritas dalam kepentingan belajar, semangat untuk meraih yang terbaik, tidak mudah patah semangat adalah unsur-unsur yang utama untuk dapat berhasil dalam meraih tujuan utama, khususnya tujuan pendidikan para siswa iu sendiri. Tabel 35 Sebaran contoh berdasarkan motivasi diri Negeri Swasta Total Self Motivation n % n % n % Rendah 1 0.7 0 0.0 1 0.3 Sedang 30 20.0 43 28.7 73 24.3 Baik 119 79.3 107 71.3 226 75.3 Total 150 100.0 150 100.0 300 100.0 Rata-Rata 73.08 71.90 72.49 Kisaran(Min-Maks) 30.00-100.00 47.50-100.00 30.00-100.00 p value 0.339 Tabel 36 Sebaran contoh berdasarkan empati Negeri Swasta Empathy n % n % Rendah 0 0.0 0 0.0 Sedang 32 21.3 57 38.0 Baik 118 78.7 93 62.0 Total 150 100.0 150 100.0 Rata-Rata 73.72 69.32 Kisaran (Min-Maks) 37.50-100.00 42.50-97.50 p value 0.000
Total n
% 0 0.0 89 29.7 211 70.3 300 100.0 71.52 37.50-100.00
Empati merupakan kemampuan membayangkan atau merasakan situasi orang lain dan memandang sesuatu atau berfikir dari sudut pandang orang lain
147
tersebut. Empathy dapat dikatakan merupakan kemampuan mendasar untuk keseluruhan kemampuan sosial (Patra 2004). Hasil perhitungan perbedaan antara sekolah negeri dan swasa menunjukkan hasil p value 0.00 < 0.01. Ini berarti ada perbedaan nyata berkaitan dengan empathy siswa sekolah negeri dan swasta. Empathy siswa sekolah negeri cenderung lebih baik dibandingkan dengan siswa sekolah swasta. Siswa sekolah negeri menunjukkan
kategori empathy baik
(78.7%) lebih tinggi dibandingkan siswa sekolah swasta (62.0%). Indikator empati menggali pada diri contoh berkenaan dengan membantu orang lain, merasakan apa yang dialami orang lain, peduli pada orang lain, menolong orang lain, dan menghargai perasaan orang lain. Henry et al (1996) mengemukakan bahwa empathy merupakan suatu aspek dari kemampuan sosial yang berhubungan dengan kualitas hubungan personal yang erat, pengasuhan yang efektif. Empati merupakan juga keinginan untuk membantu orang lain di dalam masyarakat. Aspek-aspek empathy adalah penting
karena aspek-aspek
tersebut berhubungan dengan kemampuan yang baik untuk membina dan melestarikan hubungan persahabatan, meningkatkan kepuasan dalam hubungan yang akrab. Tabel 37 Sebaran contoh berdasarkan kecakapan sosial Negeri Swasta Total Social Skill n % n % n % Rendah 0 0.0 0 0.0 0 0.0 Sedang 49 32.7 62 41.3 111 37.0 Baik 101 67.3 88 58.7 189 63.0 Total 150 100.0 150 100.0 300 100.0 Rata-Rata 70.93 68.82 69.88 Kisaran (Min-Maks) 45.00-100.00 40.00-97.50 40.00-100.00 p value 0.076 Kecakapan sosial merupakan indikator dari kecerdasan emosi. Indikator kecakapan sosial merupakan ketrampilan sosial dari seseorang untuk dapat menjalin relasi, berinteraksi, dan komunikasi dengan individu lainnya. Indikator social skill menggali kemampuan-kemampuan yang ada pada diri contoh mengenai kemampuan berkomunikasi, mencari teman, mendengarkan orang lain, perhatian terhadap orang lain, mampu menjaga kerahasiaan pembicaraan.
148
Kemampuan berkomunikasi adalah kemampuan pada diri seseorang untuk dapat menyampaikan pesan kepada orang lain dan sebaliknya menerima pesan dari orang lain secara baik. Komunikasi tidak sekedar berbicara akan tetapi juga kemampuan untuk menentukan topik pembicaraan dan penguasaan bahan pembicaraan, serta kemampuan mendengarkan pembicaraan orang lain. Apabila masing-masing pihak tidak memiliki bahan pembicaraan serta masing-masing pihak tidak memperhatikan pembicaraan orang lain, maka hal ini menjadi kendala dalam keberlanjutan komunikasi. Komunikasi dapat berkembang meningkat pada level komunikasi interpersonal. Tahap ini merupakan tahap dimana komunikasi telah mencapai keakraban yaitu mencapai tahap memasuki hal-hal yang bersifat pribadi. Komunikasi ini merupakan bentuk dari interaksi sosial. Karena dalam berinteraksi dengan orang lain seseorang melakukan komunikasi. Oleh karena itu kemampuan berkomunnikasi benar-benar dibutuhkan agar interaksi sosial dan komunikasi dapat mencapai pada taraf keakraban yang baik. Kecakapan sosial contoh antara sekolah negeri dan swasta menunjukkan tidak adanya perbedaan nyata. Ini dibuktikan dengan hasil p value sebesar 0.076 < 0.01. Hasil tersebut dapat diartikan bahwa antara sekolah negeri dan swasta memiliki social skill yang tidak berbeda. Hasil tabulasi menunjukkan bahwa social skill contoh di kedua sekolahan tersebut menunjukkan kategori sedang sebesar 37.0% dan baik sebesar 63.0%. Namun secara terinci contoh di sekolah negeri memiliki social skill kategori sedang sebesar 32.7% dan kategori baik sebesar 67.3%. Sedangkan contoh di sekolah swasta mempunyai social skill kategori sedang sebesar 41.3% dan kategori baik sebesar 58.7%. Apabila ditinjau dari besaran prosentase maka tampak bahwa prosentase social skill contoh di sekolah negeri (67.3%) pada kategori baik lebih besar daripada social skill contoh di sekolah swasta (58.7%). 8. Harapan Siswa terhadap Guru Harapan siswa terhadap guru merupakan cerminan bagaimana siswa mempunyai harapan positif terhadap para guru mereka. Harapan tersebut merupakan jawaban terhadap pernyataan-pernyataan untuk guru dengan rentang sangat tidak setuju sampai dengan sangat setuju. Harapan siswa terhadap guru tersebut merupakan wujud tanggapan siswa terhadap pernyataan-pernyataan
149
berkenaan dengan performance guru mereka. Pernyataan-pernyataan tersebut menyangkut kehadiran di kelas, perlakuan terhadap siswa, keterbukaan guru, sikap terhadap siswa, cara mengajar, dorongan kepada siswa. Tanggapan tersebut dapat dikategorikan ke dalam kategori rendah, sedang, dan baik. Secara umum kebanyakan siswa (anak) mempunyai harapan terhadap guru mereka dalam kategori baik (78.7%). Secara rinci data mengenai harapan siswa terhadap guru ada pada Tabel 38.
Tabel 38 Sebaran contoh berdasarkan harapan siswa terhadap guru Harapan Siswa Negeri Swasta Total Terhadap guru n % n % n % Rendah 2 1.3 0 0.0 2 0.7 Sedang 15 10.0 47 31.3 62 20.7 Baik 133 88.7 103 68.7 236 78.7 Total 150 100.0 150 100.0 300 100.0 Rata-Rata 77.98 70.43 74.21 Kisaran (Min-Maks) 27.50-97.50 45.00-92.50 27.50-97.50 p value 0.000 Harapan siswa terhadap guru di sekolah negeri maupun swasta menunjukkan perbedaan rata-rata yang nyata (p < 0.01). Hasil ini dapat diartikan bahwa di kedua sekolahan tersebut memiliki perbedaan harapan siswa terhadap guru. Tabel menunjukkan bahwa contoh di sekolah negeri memberikan tanggapan terhadap pernnyataan mengenai guru mereka kategori rendah sebesar 1.3%, tanggapan kategori sedang sebesar 10.0%, dan tanggapan kategori baik sebesar 88.7%. Sedangkan contoh di sekolah swasta memberikan tanggapan kategori rendah sebesar 0%, kategori sedang sebesar 31.3%, dan tanggapan kategori baik sebesar 68.7%. Secara keseluruhan contoh di sekolah negeri dan swasta memberikan tanggapan kategori rendah sebesar 0.7%, tanggapan kategori sedang sebesar 20.7%, dan tanggapan kategori baik sebesar 78.7%. Dengan demikian berdasarkan hasil tersebut dapat diartikan bahwa unjuk kerja guru di negeri maupun swasta dalam kategori sedang dan baik. Namun, secara khusus guru di sekolah negeri mempunyai pengakuan oleh siswanya pada kategori baik sebesar 88.7% dibandingkan dengan sekolah swasta sebesar 68.7%.
150
9. Frekuensi Konsumsi Pangan Remaja dalam Mingguan Frekuensi konsumsi pangan remaja merupakan ragam makanan dan jumlah konsumsi ragam makanan tersebut. Frekuensi konsumsi pangan remaja didapat dengan melakukan metode food frequensi harian, mingguan, dan sebulan. Frekuensi konsumsi pangan tersebut mencakup pangan karbohidrat, lauk-pauk (hewani dan nabati), minuman, sayuran, dan buah-buahan. Frekuensi konsumsi pangan remaja dikelompokkan dalam rendah, sedang, dan tinggi dalam mingguan dirinci dalam Tabel 39, sedangkan frekuensi konsumsi pangan remaja berdasarkan sekolah negeri dan swasta terinci pada Tabel 40. Tabel 39 Frekuensi konsumsi pangan dalam mingguan Sedang Rendah Tinggi (Seminggu (Seminggu Jenis Pangan (Seminggu < 1 kali) > 3 - 5 kali ) 1-2 kali) n % n % n % Sumber Karbohidrat 0 0,0 0 0.0 Beras 300 100.0 Jagung 251 83.7 43 14.3 6 2.0 Ubi jalar 246 82.0 53 17.7 1 0.3 Roti 262 87.3 7 2.3 31 10.3 Lauk Pauk Daging sapi 250 83.3 44 14.7 6 2.0 Ikan 48 16.0 128 42.7 124 41.3 Ayam 95 31.7 119 39.7 86 28.7 Telur 24 8.0 61 20.3 215 71.7 Tempe 12 4.0 19 6.3 269 89.7 Tahu 23 7.7 34 11.3 243 81.0 Minuman Susu 107 35.7 90 30.0 103 34.3 Konsumsi jenis pangan dapat dipilahkan kedalam sumber karbohidrat, protein, dan lemak. Konsumsi pangan pokok sebagai sumber karbohidrat adalah beras dan roti hanya mencapai 10.3%. Kemudian untuk jenis lauk pauk tempe dan tahu menjadi lauk yang favorit (89.7% dan 81.0%) yang disusul oleh lauk telur (71.7%). Sedangkan untuk lauk jenis ikan menempati urutan keempat (41.3%) serta lauk jenis ayam menjadi urutan kelima (28.7%). Kemudian untuk kebutuhan asupan minuman bergizi hanya 34.3% siswa mengkonsumsi susu. Dengan demikian secara umum sebagian besar siswa mengkonsumsi sumber karbohidrat
151
dari beras dan mengkonsumsi lauk pauk sumber protein nabati dari tempe dan tahu serta sumber protein hewani dari telur. Tabel 40 Frekuensi konsumsi pangan dalam mingguan sekolah negeri dan swasta Negeri (dalam seminggu) Jenis Pangan
Rendah < 1 kali
Swasta (dalam seminggu)
Sedang 1-2 kali
Tinggi > 3 - 5 kali
Rendah < 1 kali
Sedang 1-2 kali
Tinggi > 3 - 5 kali
Total (dalam seminggu) Tinggi Rendah Sedang >3-5 < 1 kali 1-2 kali kali
Sumber Karbohidrat Beras
0.0
0.0
100.0
0.0
0.0
100.0
0.0
0.0
100.0
Jagung
84.7
13.3
2.0
82.7
15.3
2.0
83.7
14.3
2.0
Ubi jalar
81.3
18.7
0.0
82.7
16.7
0.7
82.0
17.7
0.3
Roti
87.3
1.3
11.3
87.3
3.3
9.3
87.3
2.3
10.3
86.0
13.3
0.7
80.7
16.0
3.3
83.3
14.7
2.0
Lauk Pauk Daging sapi Ikan
13.3
48.0
38.7
18.7
37.3
44.0
16.0
42.7
41.3
Ayam
24.0
45.3
30.7
39.3
34.0
26.7
31.7
39.7
28.7
Telur
6.0
22.7
71.3
10.0
18.0
72.0
8.0
20.3
71.7
Tempe
4.0
8.0
88.0
4.0
4.7
91.3
4.0
6.3
89.7
Tahu
8.0
10.0
82.0
7.3
12.7
80.0
7.7
11.3
81.0
32.7
27.3
40.0
38.7
32.7
28.7
35.7
30.0
34.3
Minuman Susu
10. Keadaan Siswa dalam Proses Belajar Sekolah Negeri dan Swasta Keadaan siswa dalam proses belajar mencakup absensi, nilai ebtanas murni SD, dan nilai rata-rata (prestasi akademik). Absensi mencatat keadaan siswa berkaitan dengan kehadiran untuk mengikuti pelajaran di sekolah. Nilai Ebtanas Murni SD merupakan keadaan siswa berkaitan dengan nilai standart kelulusan yang diraih pada jenjang sekolah dasar. Sedangkan prestasi akademik merupakan prestasi yang ditinjau dari 6 nilai test mata pelajaran matematika, bahasa Inggris, bahasa Indonesia, Ilmu Pengetahuan Alam, Ilmu Pengetahuan Sosial, dan PPKn. Antara sekolah negeri dan swasta menunjukkan adanya perbedaan nyata dalam hal pencapaian nilai test mata pelajaran pada 5 mata pelajaran, namun untuk pelajaran IPS tidak menunjukkan adanya perbedaan nyata. Hal ini dapat diartikan bahwa sekolah negeri mempunyai pencapaian nilai test lebih tinggi dan dominan dibandingkan dengan sekolah swasta, namun untuk pencapaian nilai test IPS antara sekolah negeri dan swasta tidak ada perbedaan (p > 0.01) (Tabel 41).
152
Tabel 41 Uji beda terhadap absensi, NEM-SD, dan nilai pelajaran SMP negeri dan swasta Min 0.00 29.59 4.30
Negeri Max 10.25 42.94 9.13
Absensi NEM SD Matematika Bahasa 5.65 8.78 Inggris Bahasa 6.30 8.73 Indonesia IPA 5.93 8.53 IPS 6.23 8.80 PPKN 6.63 8.75 Nilai rata6.27 8.69 rata Keterangan: ** : signifikan
Rataan 1.42 36.36 7.19
Min 0.00 12.84 3.00
Swasta Max 11.50 44.03 9.34
Rataan 2.25 28.92 6.14
Negeri + Swasta Min Max Rataan 0.00 11.50 1.80 12.84 44.03 32.64 3.00 9.34 6.66
P Value 0.000** 0.000** 0.000**
7.12
3.40
9.10
6.10
3.40
9.10
6.61
0.000**
7.68
5.63
8.88
7.12
5.63
8.88
7.40
0.000**
7.28 7.41 750
4.28 5.53 5.70
8.45 9.23 8.48
5.95 7.35 7.24
4.28 5.53 5.70
8.53 9.23 8.75
6.62 7.38 7.37
0.000** 0.430 0.000**
7.36
5.46
8.78
6.65
5.46
8.78
7.01
0.000**
10a. Absensi Siswa Sekolah Negeri dan Swasta Absensi merupakan daftar ketidakhadiran siswa selama mengikuti kegiatan
belajar di sekolah.
Absensi memberikan informasi mengenai
ketidakhadiran siswa dengan ijin maupun tanpa ijin. Secara umum sebagian besar siswa kategori absensi rendah (88.7%). Data secara rinci dapat diperiksa pada Tabel 42.
Absensi Rendah Sedang Tinggi Total Rata-rata Kisaran P Value
Tabel 42 Absensi siswa berdasarkan status sekolah Negeri Swasta Total n % n % n % 143 95.3 123 82.0 266 88.7 6 4.0 25 16.7 31 10.3 1 7 2 1.3 3 1.0 150 150 159 150 150 100,0 1.42 2.25 1.80 0.00 – 10.25 0.00 – 11.50 0.00 – 11.50 0.000
Absensi antara siswa sekolah negeri dan swasta menunjukkan adanya perbedaan rata-rata yang nyata (p
< 0.01). Namun siswa sekolah swasta
mempunyai absensi sedang yang lebih besar (16.7%) dibandingkan dengan sekolah swasta (4.0). Kisaran absensi untuk sekolah negeri adalah 0 – 10.25 hari, sedangkan sekolah swasta adalah 0 – 11.50 hari. Sebagian besar siswa baik negeri maupun swasta (88.7%) digolongkan dalam absensi rendah. Akan tetapi jika dirinci juga untuk siswa yang tidak pernah absen (hadir terus), maka didapat
153
sejumlah 16 siswa atau 10.7% siswa sekolah negeri dan sejumlah 12 atau 8.0% siswa sekolah swasta
10b. Nilai Ebtanas Murni Siswa Sekolah Negeri dan Swasta Nilai Ebtanas Murni (NEM) merupakan nilai hasil ujian untuk 5 mata pelajaran. Nilai ini merupakan hasil ujian bersama secara nasional dengan soal yang sama sehinngga hasil ujian dapat menjadi standart pencapaian nilai test pada masing-masing pelajaran. Selain itu NEM dapat dipergunakan untuk melihat peringkat sekolah di suatu daerah dengan membandingkan sekolah yang satu dengan yang lain. Secara umum NEM Sekolah Dasar berada dalam kategori tingi (51.3%). NEM-SD secara rinci dapat diperiksa pada Tabel 43.
NEM SD Rendah Sedang Tinggi Total Rata-rata Kisaran P Value
Tabel 43 NEM SD berdasarkan status sekolah Negeri Swasta Total n % n % n % 0 .0 43 28.7 43 14.3 38 25.3 65 43.3 103 34.3 112 74.7 42 28.0 154 51.3 150 100.0 150 100.0 300 100.0 36.36 28.92 32.64 29.59 – 42.94 12.84 – 44.03 12.84 – 44.03 0,000
Tabel nilai ebtanas murni berdasarkan status sekolah memberikan hasil adanya perbedaan rata-rata yang nyata antara sekolah negeri dan swasta (p < 0.01). Tabel tersebut secara jelas menunjukkan perbedaan dalam hal peringkat nilai ebtanas murni antara kedua sekolah tersebut. Peringkat NEM tinggi lebih banyak dimiliki oleh siswa di sekolah negeri dengan rincian sejumlah 112 siswa (74.7%), sementara di sekolah swasta hanya sejumlah 42 siswa (28.0%). Siswa sekolah swasta lebih banyak terdistribusikan pada peringkat sedang sebanyak 65 siswa (43.3%) dan rendah sebanyak 43 siswa (28.7%). Bahkan siswa sekolah negeri tidak ada sama sekali yang masuk dalam kategori rendah (0%). Dengan demikian memang ada perbedaan yang nyata antara NEM siswa sekolah negeri dan swasta dimana sekolah negeri menunjukkan NEM yang lebih baik. Keadaan seperti itu adalah keadaan yang alami. Keadaan alami karena sekolah negeri menjadi pilihan pertama sebelum memilih ke sekolah swasta.
154
Seleksi penerimaan siswa baru menggunakan nilai ebtanas murni. Oleh karena itu, siswa yang mempunyai nilai ebtanas murni yang baik cenderung mendaftar di sekolah negeri yang favorit. Setelah mereka ada kemungkinan tidak diterima di sekolah negeri maka akan menurunkan pilihan atau memindahkan pilihan ke sekolah swasta yang pada umumnya waktu pendaftaran lebih lama dibandingkan dengan sekolah negeri. Dengan demikian terjadi adanya seleksi secara alamiah, siswa yang memiliki nilai tinggi masuk dan diterima di sekolah yang favorit sedangkan siswa yang memiliki nilai dibawahnya akan memilih dan diterima di sekolah yang standart nilainya lebih rendah.
10c. Nilai Rata-rata (Prestasi Akademik) Nilai rata-rata meliputi matapelajaran matematika, Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, Ilmu Pengetahuan Sosial, Imu Pengetahuan Alam, dan PPKn. Nilai tersebut dapat mencerminkan kemampuan dari masing-masing sekolah (sekolah negeri dan swasta). Pada umumnya sekolah negeri menunjukkan pencapaian nilai yang lebih baik dibandingkan dengan sekolah swasta. Rincian mengenai nilai rata-rata dapat diperiksa pada Tabel 44 sampai dengan 51.
Tabel 44 Nilai rata-rata (6 mata pelajaran) berdasarkan status sekolah Negeri Swasta Total Nilai rata-rata n % n % n % Rendah 8 5.3 73 48.7 81 27.0 Sedang 99 66.0 63 42.0 162 54.0 Tinggi 43 28.7 14 9.3 57 19.0 Total 150 100.0 150 100.0 300 100.0 Rata-rata 7.36 6.65 7.01 Kisaran 6.27 – 8.69 5.46 – 8.78 5.46 – 8.78 P value 0.000 Nilai rata-rata dari ke enam mata pelajaran (Matematika, IPA, IPS, Bahasa Inggris, Bahasa Indonesia, PPKN) menunjukkan adanya perbedaan nyata antara sekolah negeri dan swasta. Perbedaan nyata ini dibuktikan dengan hasil p value sebesar 0.000 < 0.01. Kategori rendah nilai rata-rata lebih banyak dicapai oleh siswa sekolah swasta sejumlah 73 (48.7%) dibandingkan dengan siswa sekolah negeri yang hanya berjumlah 8 siswa (5.3%). Kategori sedang nilai rata-rata lebih
155
banyak dicapai oleh siswa sekolah negeri sejumlah 99 siswa (66.0%) dibandingkan dengan siswa sekolah swasta sejumlah 63 siswa (42.0%). Kategori tinggi nilai rata-rata lebih banyak dicapai oleh siswa sekolah negeri sejumlah 43 siswa (28.7%) dibandingkan dengan siswa dari sekolah swasta sejumlah 14 siswa (9.3%). Perbedaan tersebut juga dapat diketahui dari kisaran nilai minimum. Kisaran nilai minimum di sekolah negeri adalah 6.27 dan di sekolah swasta adalah 5.46, serta kisaran nilai minimum secara keseluruhan adalah 5.46. Kisaran nilai minimum di sekolah negeri lebih tinggi dibandingkan dengan sekolah swasta maupun nilai minimum secara keseluruhan. Dengan demikian dapat diartikan bahwa nilai rata-rata keseluruh mata pelajaran lebih tinggi pada sekolah negeri dibandingkan dengan sekolah swasta. Prestasi akademik antara sekolah negeri dan swasta menunjukkan hasil adanya perbedaan rata-rata yang nyata (p < 0.01). Akan tetapi ada satu mata pelajaran yang menunjukkan hasil tidak ada perbedaan rata-rata yang nyata antara sekolah negeri dan swasta. Tidak adanya perbedaan nyata ini ditunjukkan dengan p value 0.430 > 0,01 untuk mata pelajaran IPS. Oleh karena itu agar dapat memperoleh gambaran yang rinci maka perlu adanya pemilahan masing-masing nilai mata pelajaran dan nilai rata-rata antara negeri dan swasta (Tabel 46 – 50).
Nilai PPKN berdasarkan Status Sekolah Nilai PPKN antara sekolah negeri dan swasta menunjukkan adanya perbedaan nyata. Perbedaan nyata tersebut ditunjukkan dengan nilai p sebesar 0.000 < 0.01. Secara umum nilai PPKn ada pada kategori sedang (66.3%), namun pencapaian nilai tertinggi ada pada sekolah negeri sebesar 31.3%. Rincian data nilai PPKn ada pada Tabel 45. Nilai PPKn Rendah Sedang Tinggi Total Rata-rata Kisaran P Value
Tabel 45 Nilai PPKn berdasarkan status sekolah Negeri Swasta Total n % n % n % 2 1.3 26 17.3 28 9.3 101 67.3 98 65.3 199 66.3 47 31.3 26 17.3 73 24.3 150 100.0 150 100.0 300 100.0 7.50 7.24 7.37 6.63 – 8.75 5.70 – 8.48 5.70 – 8.75 0.000
156
Nilai PPKN peringkat rendah untuk siswa sekolah negeri sejumah 2 siswa (1.3%) dan untuk siswa sekolah swasta sejumlah 26 siswa (17.3%). Nilai PPKN peringkat sedang untuk siswa sekolah negeri sejumlah 101 siswa (67.3%) dan untuk siswa sekolah swasta sejumlah 98 siswa (65.3%). Nilai PPKN peringkat tinggi untuk siswa sekolah negeri sejumlah 47 siswa (31.3%) dan untuk siswa sekolah swasta sejumlah 26 siswa (17.3%). Berdasarkan hasil tersebut maka dapat diketahui nilai PPKN siswa sekolah negeri cenderung lebih baik daripada siswa sekolah swasta.
Nilai IPS berdasarkan Status Sekolah Nilai IPS antara siswa sekolah negeri dan swasta menunjukkan tidak ada perbedaan rata-rata yang nyata (p > 0.01). Secara umum nilai Ilmu Pengetahuan Sosial menunjukkan kategori sedang sebesar 58.0%. Rincian nilai IPS ada pada Tabel 46.
Nilai IPS Rendah Sedang Tinggi Total Rata-rata Kisaran P Value
Tabel 46 Nilai IPS berdasarkan status sekolah Negeri Swasta Total n % n % n % 16 10.7 21 14.0 37 12.3 85 56.7 89 59.3 174 58.0 49 32.7 40 26.7 89 29.7 150 100.0 150 100.0 300 100.0 7.41 7.35 7.38 6.23 – 8.80 5.53 – 9.23 5.53 – 9.23 0.430
Apabila ditinjau dari kisaran nilai IPS, maka siswa sekolah negeri memiliki kisaran minimum lebih tinggi (6.23) dibandingkan dengan nilai minimum sekolah swasta yang lebih rendah (5.53). Akan tetapi jika dibandingkan nilai maksimum nilai IPS, maka sekolah negeri mempunyai nilai maksimum lebih rendah (8.80) dibandingkan dengan sekolah swasta yang nilai maksimumnya lebih tinggi (9.23). Meskipun demikian dari segi jumlah dan prosentase maka sekolah negeri masih lebih tinggi dibandingkan dengan sekolah swasta untuk peringkat nilai tinggi. Untuk peringkat nilai tinggi ditempati oleh siswa sekolah negeri dengan jumlah 49 siswa (32.7%), sedangkan sekolah swasta berjumlah 40 siswa (26.7%). Dengan keadaan nilai tersebut maka relatif tidak ada perbedaan yang
157
mencolok antara sekolah negeri dan swasta dalam pencapaian nilai Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS).
Nilai Bahasa Inggris berdasarkan Status Sekolah Nilai bahasa Inggris berdasarkan status sekolah menunjukkan adanya perbedaan rata-rata yang nyata (p < 0,01). Secara umum nilai bahasa Inggris ada pada kategori sedang sebesar 57.0%, namun pencapaian tertinggi di sekolah negeri sebesar 45.3% (Tabel 48). Nilai bahasa Inggris peringkat rendah ditempati oleh siswa sekolah swasta sebesar 39 siswa atau 26.0%, sedangkan siswa sekolah negeri sebesar 0 atau 0%. Nilai bahasa Inggris peringkat sedang masing-masing sekolah negeri berjumlah 68 siswa (54.7%), sedangkan siswa sekolah swasta 89 siswa (59.3%). Peringkat nilai tinggi bahasa Inggris ditempati oleh 68 siswa (45.3%) dari sekolah negeri, sedangkan untuk sekolah swasta ada 22 siswa (14.7%). Perbedaan antara nilai rata-rata bahasa Inggris di sekolah negeri dan swasta dapat juga menunjukkan adanya perbedaan kemampuan rata-rata siswa dimana rata-rata nilai di sekolah negeri sebesar 7.12 dan sekolah swasta sebesar 6.10. Perbedaan juga tampak pada kisaran nilai minimum dimana sekolah negeri (5.65) lebih tinggi dibandingkan dengan kisaran nilai minimum di sekolah swasta. Apabila ditinjau lebih lanjut, maka diperoleh sejumlah 56 (37.3%) siswa sekolah swasta mempunyai nilai dibawah kisaran nilai minumum sekolah negeri (5.65). Namun, sebaliknya sekolah swasta memiliki kisaran nilai maksimum (9.10) lebih tinggi dibandingkan dengan sekolah negeri (8.78). Nilai maksimum ini tidak memberikan gambaran yang dominan untuk sekolah swasta karena jumlah siswa Tabel 47 Nilai Bahasa Inggris berdasarkan status sekolah Negeri Swasta Total Nilai Bahasa Inggris n % n % n % Rendah 0 .0 39 26.0 38 13.0 Sedang 82 54.7 89 59.3 171 57.0 45.3 22 14.7 90 30.0 Tinggi 68 Total 150 100.0 150 100.0 300 100.0 Rata-rata 7.12 6.10 6.61 Kisaran 5.65 – 8.78 3.40 – 9.10 3.40 – 9.10 P value 0.000
158
sekolah swasta yang memiliki nilai lebih tinggi dari nilai maksmum sekolah negeri (8.78) hanya 4 orang (2.7%). Dengan demikian secara umum perolehan nilai bahasa Inggris cenderung unggul di sekolah negeri.
Nilai Matematika berdasarkan Status Sekolah Nilai matematika antara sekolah negeri dan swasta menunjukkan adanya perbedaan rata-rata yang nyata (p < 0,01). Secara umum nilai pencapaian matematika ada pada kategori sedang sebesar 60.3%, namun pencapaian tertinggi di sekolah negeri sebesar 47.3%. Rincian data ada pada Tabel 48. Tabel 48 Nilai Matematika berdasarkan status sekolah Negeri Swasta Total Matematika n % n % n % Rendah 2 1.3 25 16.7 27 9.0 Sedang 77 51.3 104 69.3 181 60.3 Tinggi 71 47.3 21 14.0 92 30.7 Total 150 100.0 150 100.0 300 100.0 Rata-rata 7.19 6.14 6.66 Kisaran 4.30 – 9.13 3.00 – 9.34 3.00 – 9.34 P value 0.000 Kategori rendah nilai matematika lebih banyak ditempati oleh siswa sekolah swasta dibandingkan siswa sekolah negeri dengan rincian sekolah swasta sebanyak 25 siswa (16.7%) dan sekolah negeri sebanyak 2 siswa (1.3%). Kategori sedang nilai matematika lebih banyak dicapai oleh siswa sekolah swasta sejumlah
104
siswa
(69.3%), dibandingkan dengan siswa sekolah negeri
sejumlah 77 siswa (47.3%). Untuk kategori tinggi nilai matematika lebih banyak dicapai oleh siswa negri sebanyak 71 siswa (47.3%) dibandingkan dengan siswa sekolah swasta sebanyak 21 siswa (14%). Berdasarkan nilai rata-rata dapat dijelaskan juga adanya perbedaan dimana nilai rata-rata di sekolah negeri lebih tinggi (7.19) dibandingkan dengan nilai rata-rata sekolah swasta (6.14). Nilai ratarata matematika siswa sekolah swasta lebih rendah di bandingkan dengan rata-rata secara menyeluruh (6.66). Perbedaan juga dapat diketahui dari nilai kisaran minimum dimana nilai minimum sekolah negeri (4.30) lebih tinggi dibandingkan dengan sekolah swasta (3.00). Dengan adanya perbedaan-perbedaan tersebut,
159
maka dapat diartikan bahwa pencapaian nilai matematika siswa sekolah negeri relatif lebih baik dibandingkan dengan siswa sekolah swasta. Nilai Bahasa Indonesia berdasarkan Status Sekolah Nilai bahasa Indonesia berdasarkan status sekolah antara siswa sekolah negeri dan siswa sekolah swasta menunjukkan adanya perbedaan rata-rata yang nyata (p < 0.01). Secara umum nilai bahasa Indonesia ada pada kategori sedang (55.3%), namun pencapaian nilai tingi ada pada sekolah negeri sebesar 41.3%. Rincian data ada pada Tabel 49. Tabel 49 Nilai Bahasa Indonesia berdasarkan status sekolah Negeri Swasta Total Bahasa Indonesia n % n % n % Rendah 9 6.0 41 27.3 50 16.7 Sedang 79 52.7 87 58.0 166 55.3 Tinggi 62 41.3 22 14.7 84 28.0 Total 150 100.0 150 100.0 300 100.0 Rata-rata 7.68 7.12 7.40 Kisaran 6.30 – 8.73 5.63 – 8.88 5.63 – 8.88 P value 0.000 Kategori rendah nilai bahasa Indonesia lebih banyak dicapai oleh siswa sekolah swasta sejumlah 41 siswa (27.3%) sedangkan siswa sekolah negeri sejumlah 9 siswa (6.0%). Kategori sedang nilai bahasa Indonesia sedikit lebih banyak siswa sekolah swasta sejumlah 87 (58.0%) dibandingkan dengan siswa sekolah negeri sejumlah 79 siswa (52.7%). Kategori tinggi nilai bahasa Indonesia lebih banyak dicapai oleh siswa sekolah negeri sejumlah 62 siswa (41.3%) dibandingkan siswa sekolah swasta sejumlah 22 (14.7%). Perbedaan juga diperlihatkan dari nilai rata-rata dimana nilai rata-rata siswa sekolah negeri lebih tinggi (7.68) dibandingkan dengan sekolah swasta (7.12). Nilai rata-rata siswa sekolah negeri juga lebih tinggi dibandingkan dengan nilai rata-rata secara keseluruhan (7.40). Perbedaan juga diketahui dari kisaran nilai minimum dimana siswa sekolah negeri mempunyai nilai minimum sebesar 6.30 lebih tinggi dibandingkan dengan kisaran minimum siswa sekolah swasta (5.63). Dengan demikian ada perbedaan nyata nilai Bahasa Indonesia antara sekolah negeri dengan sekolah swasta dimana siswa sekolah negeri menunjukkan nilai Bahasa Indonesia yang lebih baik.
160
Nilai IPA berdasarkan Status Sekolah Nilai Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) berdasarkan status sekolah menunjukkan ada perbedaan rata-rata yang nyata ( p < 0.01). Kategori nilai sedang dan tinggi tidak selisih banyak (39.0 dan 37.7%). Rincian data ada pada Tabel 50.
Nilai IPA Rendah Sedang Tinggi Total Rata-rata Kisaran P value
Tabel 50 Nilai IPA berdasarkan status sekolah Negeri Swasta n % n % 0 0 70 46.7 55 36.7 62 41.3 95 63.3 18 12.0 150 100.0 150 100.0 7.28 5.95 5.93 – 8.53 4.28 – 8.45 0.000
Total n 70 117 113 300
% 23.3 39.0 37.7 100.0
6.62 4.28 – 8.53
Namun apabila ditinjau dari rata-rata nilai, maka sekolah negeri mempunyai nilai rata-rata lebih tinggi (7.28) dibandingkan dengan nilai rata-rata siswa sekolah swasta (5.95). Terlebih lagi jika ditinjau dari kisaran minimum dan maksimum, dimana sekolah negeri kiarannya antara 5.93 – 8.53, sedangkan sekolah swasta kisarannya antara 4.28 – 8.45, maka dapat diketahui bahwa nilai minimum sekolah negeri (5.93) lebih tinggi dibandingkan dengan nilai minimum sekolah swasta (4.28). Hasil perbedaan ini cukup menggambarkan perbedaan pencapaian nilai IPA antara sekolah negeri dan swasta dimana cenderung lebih baik pada sekolah negeri. Prosentase pencapaian nilai kategori tinggi sebesar 63.3% ada pada sekolah negeri, sedangkan sekolah swasta hanya 12%. Sebaliknya sekolah swasta pencapaian nilai kategori rendah sebesar 46.7%. Atas dasar keadaan data seperti itu maka dapat disimpulkan bahwa pencapaian nilai IPA lebih baik pada sekolah negeri daripada sekolah swasta.
Karakteristik Keluarga Contoh
1. Anggota Keluarga Contoh Anggota keluarga contoh merupakan anggota keluarga yang mempunyai kedudukan sebagai ayah, ibu, anak, nenek-kakek, saudara, dan orang lain yang
161
tinggal dalam satu rumah. Jumlah terbanyak anggota keluarga contoh adalah antara 5 – 6 orang (50.3%), kemudian kurang dari 4 orang (37.3%), dan terakhir lebih besar dari 6 orang (12.3%). Anggota keluarga contoh ada pada Tabel 51. Tabel 51 Sebaran keluarga contoh berdasarkan kategori jumlah anggota keluarga Negeri Swasta Total kategori jumlah anggota keluarga n % n % n % <= 4 orang 53 35.3 59 39.3 112 37.3 5-6 orang 78 52.0 73 48.7 151 50.3 > 6 orang 19 12.7 18 12.0 37 12.3 Total 150 100.0 150 100.0 300 100.0 Rata-Rata 5.08 4.92 5.00 Kisaran (Min-Maks) 3.00-9.00 2.00-10.00 2.00-10.00 P value 0.291 Kategori jumlah anggota keluarga contoh di sekolah negeri maupun swasta tidak menunjukkan adanya perbedaan rata-rata yang nyata (p > 0.01). Anggota keluarga contoh dari sekolah negeri dengan kategori anggota keluarga kurang dari 4 orang sebesar 35.3%, kategori 5 – 6 orang sebesar 52.0%, dan kategori lebih dari 6 orang sebesar 12.7%. Anggota keluarga contoh dari sekolah swasta dengan kategori kurang dari 4 orang sebesar 39.3 orang, kategori antara 5 – 6 orang sebesar 48.7%, dan kategori lebih dari 6 orang sebesar 12.0%. Secara keseluruhan baik keluarga contoh di sekolah negeri maupun swasta menunjukkan sebesar 37.3% mempunyai anggota keluarga kurang dari 4 orang, 50.3% mempunyai anggota keluarga antara 5 – 6 orang, dan 12.3% mempunyai anggota keluarga sebesar 12.3%. Rata-rata jumlah anggota keluarga di masing-masing keluarga contoh baik negeri maupun swasta sebesar 5 orang. Keluarga contoh berdasarkan jumlah anggota keluarga mempunyai kecenderungan merupakan keluarga dengan jumlah anggota keluarga lebih dari 5 orang anggota keluarga (72.6%). Sedangkan sisanya (37.3%) merupakan keluarga dengan jumlah anggota keluarga kurang dari 4 anggota keluarga. Keluarga contoh tersebut dapat dikatakan merupakan keluarga dengan anggota keluarga yang banyak. Hal ini berkaitan dengan data berkenaan dengan struktur keluarga. Struktur keluarga contoh menunjukkan sebesar 73.7% merupakan keluarga inti (terdiri dari bapak, ibu dan anak (kandung maupun angkat) ) dan 26.3% mrupakan keluarga luas (terdiri dari bapak, ibu, anak, nenek-kakek, saudara, dan orang lain yang tinggal serumah). Dengan demikian dalam keluarga inti cenderung
162
mempunyai jumlah anggota keluarga yang besar. Tentunya semakin banyak jumlah anggota keluarga akan mempunyai pengaruh dalam hal pengeluaran keluarga untuk kebutuhan hidup sehari-hari.
2. Struktur Keluarga Giddens(1993) membedakan keluarga dengan nuclear family (keluarga batih) dan extended family (keluarga luas). Keluarga batih beranggotakan dua orang dewasa yang hidup bersama dalam suatu rumah tangga dengan anak sendiri maupun adopsi. Dikebanyakan masyarakat tradisional dalam keluarga batih tidak ada marga lain. Sedangkan keluarga luas dimaksudkan sebagai kelompok beranggotakan tiga atau lebih generasi yang tinggal bersama atau sangat dekat satu dengan lainnya. Ini bisa mencakup kakek, saudara laki-laki dan istri mereka, adik perempuan dan suami mereka, bibi, dan paman, keponakan laki-laki dan perempuan. Namun struktur keluarga juga dapat ditentukan berdasarkan status kepala keluarga, yaitu utuh (suami dan istri) atau single parent (hanya suami atau istri). Kondisi struktur keluarga tersebut tidak selamanya seperti itu, artinya dimungkinkan terjadi adanya perubahan struktur keluarga. Picot (1999) mengemukakan bahwa perubahan struktur keluarga dapat terjadi melalui perceraian, pisah ranjang dan kawin lagi. Peristiwa-peristiwa tersebut dapat berpengaruh cepat dan dalam terhadap kondisi ekonomi keluarga dimana anak tersebut hidup. Struktur keluarga contoh ada pada Tabel 52. Tabel 52 Sebaran keluarga contoh berdasarkan struktur keluarga Negeri Swasta Total Struktur Keluarga n % n % n % Single parent 9 6.0 11 7.3 20 6.7 Keluarga Utuh 141 94.0 139 92.7 280 93.3 Total 150 100 150 100 300 100 Keluarga Inti 114 76.0 107 71.3 221 73.7 Keluarga Luas 36 24.0 43 28.7 79 26.3 Total 150 100.0 150 100.0 300 100.0 Struktur keluarga contoh menunjukkan adanya keluarga inti dan keluarga luas serta keluarga dengan kepala keluarga utuh dan single parent. Keluarga inti dari keluarga contoh di sekolah negeri mencapai 76% dan keluarga luas sebesar
163
24.0%. Sedangkan keluarga inti dari keluarga contoh di sekolah swasta sebesar 71.3% dan keluarga luas sebesar 28.7%. Secara keseluruhan keluarga contoh mempunyai struktur keluarga inti (73.7%) dan hanya sebesar 26.3% merupakan struktur keluarga luas. Apabila struktur keluarga dilihat dari status kepala keluarga maka diperoleh data bahwa keluarga single parent pada keluarga siswa sekolah negeri ada 9 orang (6.0) dan keluarga single parent pada keluarga siswa sekolah swasta ada 11 orang (7.3%), Baik keluarga contoh di sekolah negeri maupun swasta ada 20 keluarga (6.7%) dikepalai oleh single parent. Keseluruhan kepala keluarga single parent adalah perempuan. Adapun alasan keluarga dengan status single parent adalah karena suami meninggal dunia atau perceraian.
3. Usia Ayah Keluarga Contoh Kategori usia ayah menunjukkan kisaran antara kurang dari 35 tahun dan lebih dari 60 tahun dimana usia terendah adalah 31 tahun dan usia tertinggi adalah 67 tahun. Kategori usia ayah antara keluarga contoh di sekolah negeri maupun swasta menunjukkan tidak adanya perbedaan rata-rata yang nyata (p > 0.01). Rincian mengenai usia ayah ada pada Tabel 53.
Tabel 53 Sebaran keluarga contoh berdasarkan kategori usia ayah Negeri Swasta Total Kategori Usia Ayah n % n % n % <= 35 tahun 3 2.1 4 2.9 7 2.5 36-40 tahun 30 21.3 38 27.3 68 24.3 41-50 tahun 81 57.4 71 51.1 152 54.3 51-60 tahun 22 15.6 22 15.8 44 15.7 > 60 tahun 5 3.5 4 2.9 9 3.2 Total 141 100.0 139 100.0 280 100.0 Rata-Rata 45.19 45.00 45.10 Kisaran (Min-Maks) 31.00-67.00 32.00-67.00 31.00-67.00 P value 0.808 Ket : 9 orang (sekolah negeri) dan 11 orang (sekolah swasta) meninggal atau cerai
Usia ayah keluarga contoh di sekolah negeri kurang dari 35 tahun sebesar 2,1%, usia 36 – 40 tahun sebesar 21.3%, usia 41 – 50 tahun sebesar 57.4%, usia 51 – 60 tahun sebesar 15.6%, dan usia lebih besar dari 60 tahun sebesar 3.5%. Sedangkan usia ayah keluarga contoh di sekolah swasta kurang dari 35 tahun
164
sebesar 2.9%, usia 36 – 40 tahun sebesar 27.3%, usia 41 – 50 tahun sebesar 51.1%, usia 51 – 60 tahun sebesar 15.8%, dan usia ayah lebih dari 60 tahun sebesar 2.9%. Secara keseluruhan usia ayah baik keluarga contoh di sekolah negeri maupun swasta menunjukkan usia kurang dari 35 tahun sebesar 2.4 %, usia 36 – 40 tahun sebesar 24.3%, usia 41 – 50 taun sebesar 54.3%, usia 51 – 60 tahun sebesar 15.7%, usia ayah lebih dari 60 tahun sebesar 3.2%. Usia ayah keluarga contoh di sekolah negeri dan swasta sebagian besar pada usia 41 – 50 tahun sebesar 54.3%. Sebagian besar dari ayah keluarga contoh dapat dikatakan masuk dalam usia produktif. Kisaran minimum usia ayah adalah 31 tahun dan maksimum adalah 67 tahun. Apabila mengikuti usia kerja (usia 31 – 60 tahun), maka ayah sebagian besar ayah keluarga contoh (96.%) masih masuk dalam kelompok usia bekerja/produktif. Berdasarkan data status pekerjaan, maka dapat disebutkan bahwa sebesar 90% ayah berstatus kerja, hanya 10% tidak bekerja (3.3% tidakbekerja dan 6.7% meninggal dunia). Data pekerjaan ayah juga dapat memberikan penjelasan bahwa sebagian besar ayah memiliki pekerjaan yang terdistribusikan ke dalam ragam pekerjaan (PNS sebesar 7.9%, guru sebesar 5.0%, dosen sebesar 0.7%, ABRI/POLRI sebesar 3.6%, BUMN sebesar 0,7%, buruh sebesar 27.1%, pedagang/wiraswasta sebesar 31.1%, karyawan swasta sebesar 12.1%, pendeta sebesar 0.4%, aparat desa/kepala desa sebsar 14%, petani sebsar 1.4%, tidak bekerja 36%)
4. Usia Ibu Keluarga Contoh Kategori usia ibu keluarga contoh menunjukkan kisaran kurang dari 35 tahun dan lebih dari usia 60 tahun, dimana usia ibu terendah adalah 27 tahun ada di keluarga contoh sekolah swasta dan usia tertinggi 64 tahun ada di keluarga contoh sekolah swasta juga. Perbedaan kategori usia ibu keluarga contoh di sekolah negeri dan swasta tidak menunjukkan perbedaan rata-rata yang nyata (p > 0.01). Rincian mengenai usia ibu keluarga contoh ada pada Tabel 54.
165
Tabel 54 Sebaran keluarga contoh berdasarkan kategori usia ibu Negeri Swasta Total Kategori Usia Ibu n % n % n % <= 35 tahun 21 14.0 32 21.3 53 17.7 36-40 tahun 64 42.7 49 32.7 113 37.7 41-50 tahun 51 34.0 61 40.7 112 37.3 51-60 tahun 13 8.7 7 4.7 20 6.7 > 60 tahun 1 0.7 1 0.7 2 0.7 Total 150 100.0 150 100.0 300 100.0 Rata-Rata 41.21 40.81 41.01 Kisaran (Min-Maks) 30.00-61.00 27.00-64.00 27.00-64.00 P value 0.579 Usia ibu keluarga contoh di sekolah negeri kurang dari 35 tahun sebesar 14.0%, usia 36 – 40 tahun sebesar 42.7%, usia 41 – 50 tahun sebesar 34%, usia 51 – 60 tahun sebesar 6.7%, dan usia lebih besar dari 60 tahun sebesar 0.7%. Sedangkan usia ibu keluarga contoh di sekolah swasta kurang dari 35 tahun sebesar 21.3%, usia 36 – 40 tahun sebesar 32.7%, usia 41 – 50 tahun sebesar 40.0%, usia 51 – 60 tahun sebesar 4.7 %, dan usia ibu lebih dari 60 tahun sebesar 0.7%. Secara keseluruhan usia ibu baik keluarga contoh di sekolah negeri maupun swasta menunjukkan usia kurang dari 35 tahun sebesar 17.7 %, usia 36 – 40 tahun sebesar 37.7%, usia 41 – 50 taun sebesar 37.3%, usia 51 – 60 tahun sebesar 6.7%, usia ibu lebih dari 60 tahun sebesar 0.7%. Usia ibu keluarga contoh di sekolah negeri dan swasta sebagian besar pada usia 36 – 50 tahun sebesar 75%. Apabila dilakukan pemilahan usia ibu berdasarkan usia reproduksi yaitu usia 27 tahun (usia minimum) – 40 tahun maka diperoleh jumlah sebesar 55.4%. Prsosentase tersebut memberikan infromasi bahwa ada sebesar prosentase ibu yang masih dimungkinkan mempunyai anak. Hal ini berkaitan dengan kemungkinan pertambahan anggota keluarga sehingga dapat menambah besaran ukuran keluarga. Rata-rata jumlah anggota keluarga adalah 5 orang dengan kisaran minimum – maksimum 2 – 10 orang. Apabila terjadi pertambahan anggota keluarga melalui kelahiran, maka akan berpengaruh pada besar keluarga.
5. Jenjang Pendidikan Ayah Keluarga Contoh Jenjang pendidikan ayah keluarga contoh merupakan jenjang pendidikan mulai dari sekolah dasar (SD) sampai dengan Strata Tiga (S3). Jenjang pendidikan SLTP merupakan jenjang pendidikan terbanyak (36.1%), dan jumlah terendah
166
adalah jenjang S3 (0.7%). Jenjang pendidikan ayah keluarga contoh secara rinci ada pada Tabel 55. Tabel 55 Sebaran keluarga contoh berdasarkan jenjang pendidikan ayah Negeri Swasta Total Jenjang Pendidikan Ayah n % n % n % SD 9 6.4 18 12.9 27 9.6 SMP 42 29.8 59 42.4 101 36.1 SMA 20 14.2 19 13.7 39 13.9 Akademi/Diploma 38 27.0 29 20.9 67 23.9 S1 9 6.4 3 2.2 12 4.3 S2 22 15.6 10 7.2 32 11.4 S3 1 0.7 1 0.7 2 0.7 Total 141 100.0 139 100.0 280 100.0 Ket : 9 orang (negeri) dan 11 orang (swasta) adalah meninggal atau cerai
Jenjang pendidikan ayah pada keluarga contoh di sekolah negeri menunjukkan jenjang Sekolah Dasar sebesar 6.4 %, Sekolah Menengah Pertama sebesar 29.8%, Sekolah Menengah Atas sebesar 14.2%, Akademi/Diploma sebesar 27.0%, Strata 1 sebesar 6.4%, Strata 2 sebesar 15.6%, dan Strata 3 sebesar 0.7%. Adapun jenjang pendidikan ayah pada keluarga contoh di sekolah swasta menunjukkan jenjang Sekolah Dasar sebesar 12.9%, Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama
sebesar
42.4.%,
Sekolah
Menengah
Atas
sebesar
13.7%,
Akademi/Diploma sebesar 20.9%, Strata 1 sebesar 2.2%, Strata 2 sebesar 7.2%, dan Strata 3 sebesar 0.7%. Berdasarkan tabel tersebut dapat diketahui bahwa prosentase terbanyak pada jenjang pendidikan Sekolah Menengah Pertama, dimana di sekolah negeri sebesar 29.8% dan di sekolah swasta sebesar 42.4% serta secara keseluruhan baik sekolah negeri maupun swasta sebesar 36.1%.
6. Lama Pendidikan Ayah Keluarga Contoh Lama pendidikan ayah keluarga contoh merupakan waktu yang diperlukan untuk menempuh pendidikan sampai pada akhir masa pendidikan ayah. Lama pendidikan ayah dikategorikan kurang dari 12 tahun dan lebih dari 12 tahun. Lama pendidikan tersebut setaraf dengan pendidikan jenjang SMA. Lama pendidikan ayah dapat dilihat pada Tabel 56.
167
Tabel 56 Sebaran keluarga contoh berdasarkan lama pendidikan ayah Negeri Swasta Total Kategori Lama Pendidikan Ayah n % n % n % < 12 tahun 51 36.2 77 55.4 128 45.7 >= 12 tahun 90 63.8 62 44.6 152 54.3 Total 141 100.0 139 100.0 280 100.0 12.94 11.23 12.09 Rata-Rata 6.00-21.00 6.00-21.00 6.00-21.00 Kisaran (Min-Maks) 0.000 P value Ket : 9 orang (negeri) dan 11 orang (swasta) adalah meninggal atau cerai
Sebaran keluarga contoh berdasarkan lama pendidikan ayah menunjukkan adanya perbedaan nyata antara sekolah negeri dan swasta. Perbedaan nyata tersebut dibuktikan dengan hasil p value sebesar 0.0 < 0.01. Lama pendidikan ayah keluarga contoh di sekolah negeri adalah kurang dari 12 tahun sebesar 36.2% dan lebih dari 12 tahun sebesar 63.8%. Sedangkan lama pendidikan keluarga contoh di sekolah swasta adalah kurang dari 12 taun sebesar 55.4% dan lebih dari 12 tahun sebesar 44.6%. Secara umum lama penedidikan ayah adalah kurang dari 12 tahun sebesar 45.7% dan lebih dari 12 tahun sebesar 54.3%. Perbedaan nyata lama pendidikan ayah keluarga contoh mengartikan bahwa antara lama pendidikan ayah dari siswa di sekolah negeri dan swasta tidak sama, dimana jumlah ayah di sekolah negeri lebih banyak jumlahnya di kategori lebih 12 tahun (63.8%) sementara ayah di sekolah swasta hanya 44.6%).
Rata-rata lama
pendidikan ayah tersebut berada di atas rata-rata lama pendidikan laki-laki di propinsi Jawa Tengah dan Indonesia. Berdasarkan data Biro Pusat Statistik (2006) mengenai rata-rata lama pendidikan laki-laki di Jawa Tengah adalah 6.9 (2003) dan 7.1 (2004), serta di tingkat Indonesia adalah 7.6 (2003) dan 7.8 (2004). Angka tersebut lebih rendah dibandingkan dengan rata-rata lama pendidikan laki-laki (ayah) keluarga contoh (12.09).
7. Jenjang Pendidikan Ibu Keluarga Contoh Jenjang pendidikan ibu keluarga contoh merupakan jenjang pendidikan mulai dari sekolah dasar (SD) sampai dengan Strata Dua (S2). Jenjang pendidikan SMP merupakan jenjang pendidikan terbanyak (41.3%), dan jumlah terendah
168
adalah jenjang S1 (4.7%%). Jenjang pendidikan ibu keluarga contoh secara rinci ada pada Tabel 57. Tabel 57 Sebaran keluarga contoh berdasarkan jenjang pendidikan ibu Negeri Swasta Total Jenjang Pendidikan Ibu n % n % n % SD 8 5.3 26 17.3 34 11.3 SMP 57 38.0 67 44.7 124 41.3 SMA 19 12.7 17 11.3 36 12.0 Akademi/Diploma 43 28.7 27 18.0 70 23.3 S1 8 5.3 6 4.0 14 4.7 S2 15 10.0 7 4.7 22 7.3 Total 150 100.0 150 100.0 300 100.0 Jenjang pendidikan ibu pada keluarga contoh di sekolah negeri untuk jenjang pendidikan Sekolah Dasar sebesar 5.3%, Sekolah Menegah Pertama sebesar 38.0%, Sekolah Menengah Atas sebesar 12.7%, Akademi/Diploma sebesar 28,7, Stara 1 sebesar 5.3%, dan Strata 2 sebesar 10.0%. Adapun jenjang pendidikan ibu pada keluarga contoh di sekolah swasta untuk jenjang pendidikan Sekolah dasar sebesar 17.3%, Sekolah lanjutan Tingkat Pertama sebesar 44.7%, Sekolah Lanjutan Tingkat Atas sebesar 11.3%, Akademi/Diploma sebesar 18.0%, Strata 1 sebesar 4.0%, dan Strata 2 sebesar 4.7%. Secara keseluruhan jenjang pendidikan ibu pada keluarga contoh baik di sekolah negeri maupun swasta untuk jenjang pendidikan Sekolah Dasar sebesar 11.3%, Sekolah Menengah Pertama sebesar 41.3%, Sekolah Menengah Atas sebesar 12.0%, Akademi./Diploma sebesar 23.3%, Strata 1 sebesar 4.7%, dan Strata 2 sebesar 7.3%. Berdasarkan tabel di atas diketahui prosentase pendidikan ibu terbanyak ada pada kelompok jenjang pendidikan Sekolah Menengah Pertama, dimana baik di sekolah negeri maupun swasta sebesar 41.3%.
8. Lama Pendidikan Ibu Keluarga Contoh Lama pendidikan ibu keluarga contoh merupakan waktu yang diperlukan untuk menempuh pendidikan sampai pada akhir masa pendidikan ibu. Lama pendidikan ibu dikategorikan kurang dari 12 tahun dan lebih dari 12 tahun. Lama pendidikan tersebut setaraf dengan pendidikan jenjang SMA. Lama pendidikan ibu dapat dilihat pada Tabel 58.
169
Tabel 58 Sebaran keluarga contoh berdasarkan lama pendidikan ibu Negeri Swasta Total Kategori Lama Pendidikan Ibu n % n % n % < 12 tahun 65 43.3 93 62.0 158 52.7 >= 12 tahun 85 56.7 57 38.0 142 47.3 Total 150 100.0 150 100.0 300 100.0 12.31 10.65 11.48 Rata-Rata 6.00-19.00 6.00-19.00 6.00-19.00 Kisaran (Min-Maks) 0.000 P value Sebaran keluarga contoh berdasarkan lama pendidikan ibu menunjukkan adanya perbedaan rata-rata yang nyata (p < 0.01). Lama pendidikan ibu keluarga contoh di sekolah negeri adalah kurang dari 12 tahun sebesar 43.3% dan lebih dari 12 tahun sebesar 56.7%. Sedangkan lama pendidikan ibu keluarga contoh di sekolah swasta adalah kurang dari 12 tahun sebesar 62.0% dan lebih dari 12 tahun sebesar 38.0%. Perbedaan nyata lama pendidikan ibu antara keluarga contoh di sekolah negeri dan swasta mengartikan bahwa lama pendidikan ibu keluarga contoh di sekolah negeri mengalami waktu pendidikan lebih lama (56.7%) dibandingkan
sekolah
swasta
(38.0%).
Rata-rata
lama
pendidikan
ibu
(perempuan) tersebut berada di atas rata-rata lama pendidikan perempuan di propinsi Jawa Tengah dan Indonesia. Berdasarkan data Biro Pusat Statistik (2006) mengenai rata-rata lama pendidikan perempuan di Jawa Tengah adalah 5.8 (2003) dan 7.5 (2004), di tingkat Indonesia adalah 6.6 (2003) dan 6.7 (2004). Angka tersebut lebih rendah dibandingkan dengan rata-rata lama pendidikan perempuan keluarga contoh (11.48).
9. Pekerjaan Utama Ayah Keluarga Contoh Pekerjaan ayah keluarga contoh menunjukkan variasi jenis pekerjaan mulai
dari
tidak
bekerja,
kerja
sektor
formal
(PNS,
Guru,
dosen,
ABRI/Wirasawasta, BUMN, swsta, Aparat Desa/Kepala Desa), dan kerja sektor informal (buruh, pedagang/wiraswasta, petani). Rincian pekerjaan ayah keluarga contoh ada pada Tabel 59.
170
Tabel 59 Sebaran keluarga contoh berdasarkan pekerjaan kerja utama ayah Negeri Swasta Total Pekerjaan Utama Ayah n % n % n % PNS (di luar guru dan dosen) 16 11.3 6 4.3 22 7.9 Guru 11 7.8 3 2.2 14 5.0 Dosen 0 0.0 2 1.4 2 0.7 ABRI/POLRI 8 5.7 2 1.4 10 3.6 BUMN 1 0.7 1 0.7 2 0.7 Buruh 32 22.7 44 31.7 76 27.1 Pedagang/Wiraswasta 34 24.1 53 38.1 87 31.1 Swasta 22 15.6 12 8.6 34 12.1 Pendeta 1 0.7 0 0.0 1 0.4 Aparat Desa/Kepala Desa 4 2.8 0 0.0 4 1.4 Petani 7 5.0 11 7.9 18 6.4 Tidak Bekerja 5 3.5 5 3.6 10 3.6 Total 141 100.0 139 100.0 280 100.0 Ket : 9 orang (negeri) dan 11 orang (swasta) adalah meninggal atau cerai
Pekerjaan utama ayah keluarga contoh di sekolah negeri untuk Pegawai Negeri Sipil (di luar guru dan dosen) sebesar 11.3%, guru sebesar 7.8%, dosen sebesar 0%, ABRI/POLRI 5.7%, BUMN sebesar 0.7%, buruh sebesar 22.7%, pedagang/wiraswasta sebesar 24.1%, swasta sebesar 15.6%, pendeta sebesar 0.7%, aparat desa/kepala desa sebesar 2.8%, petani 5% dan tidak bekerja 3.5%. Adapun pekerjaan utama ayah keluarga contoh di sekolah swasta untuk Pegawai Negeri Sipil 4.3%, Guru sebesar 2.2%, Dosen sebesar 1.4%, ABRI/POLRI 1.4%, BUMN 0.7%, buruh sebesar 31.7%, pedagang/wiraswasta sebesar 38.1%, swasta sebesar 8.6%, pendeta sebesar 0%, aparat desa/kepala desa sebesar 0.0%, petani sebesar 7.9%, dan tidak bekerja sebesar 3.6%. Prosentase terbanyak pekerjaan utama ayah keluarga contoh di sekolah negeri adalah pedagang/wiraswasta sebesar 24.1%, sedangkan prosentase terbanyak pekerjaan utama ayah keluarga contoh di sekolah swasta adalah buruh sebesar 38.1%. Bahkan secara keseluruhan prosentase terbanyak pekerjaan utama ayah di kedua keluarga contoh adalah pedagang/wiraswasta sebesar 31.1%.
10. Pekerjaan Utama Ibu Keluarga Contoh Pekerjaan ibu keluarga contoh menunjukkan variasi jenis pekerjaan mulai dari tidak bekerja/ibu rumah tangga, kerja sektor formal (PNS, Guru, Dosen), dan
171
kerja sektor informal (buruh, pedagang/wiraswasta, petani). Rincian mengenai pekerjaan ibu keluarga contoh ada pada Tabel 60. Tabel 60 Sebaran keluarga contoh berdasarkan pekerjaan kerja utama ibu Negeri Swasta Total Pekerjaan Utama Ibu n % n % n % PNS (di luar guru dan dosen) 3 2.0 1 0.7 4 1.3 Guru 16 10.7 5 3.3 21 7.0 Dosen 0 0.0 1 0.7 1 0.3 Buruh 12 8.0 15 10.0 27 9.0 Pedagang/Wiraswasta 23 15.3 32 21.3 55 18.3 Swasta 6 4.0 4 2.7 10 3.3 IRT 90 60.0 83 55.3 173 57.7 Petani 0 0.0 8 5.3 8 2.7 Tidak Bekerja 0 0.0 1 0.7 1 0.3 Total 150 100.0 150 100.0 300 100.0 Pekerjaan utama ibu pada keluarga contoh di sekolah negeri untuk Pegawai Negeri Sipil sebesar (di luar guru dan dosen) 2.0%, Guru sebesar 10.7%, dosen sebesar 0%, buruh sebesar 8.0%, pedagang/wiraswasta sebesar 15.3%, swasta sebesar 4.0%, ibu rumah tangga sebesar 60%, petani sebesar 4.0%. adapun pekerjaan utama ibu keluarga contoh di sekolah swasta untuk pegawai negeri sipil sebesar (di luar guru dan dosen) 0.7%, guru sebesar 3.3%, dosen sebesar 0.7%, buruh sebesar 10.0%, pedagang/wiraswasta sebesar 21.3%, swasta sebesar 2.7%, ibu rumah tangga sebesar 55.3%, petani sebesar 5.3%, dan tidak bekerja sebesar 0.7%. Secara keseluruhan pekerjaan utama ibu keluarga contoh baik di sekolah negeri maupun sekolah swasta untuk pegawai negri sipil sebesar 1.3%, guru sebesar 7.0%, dosen sebesar 0.3%, buruh sebesar 9.0%, pedagang/wiraswasta sebesar 18.3%, swasta sebesar 3.3%, ibu rumah tangga sebesar 57.7%, petani sebesar 2.7%. Dengan demikian prosentase terbesar pekerjaan utama ibu di keluarga contoh baik untuk sekolah negeri maupun swasta adalah sebagai ibu rumah tangga.
11. Pendapatan Keluarga Contoh Pendapatan keluarga contoh merupakan pendapatan keseluruhan dari keluarga dengan pendapatan minimal kurang dari Rp. 60.000,- dan lebih dari Rp.
172
500.000,-. Jumlah pendapatan keluarga paling banyak ada pada lebih dari Rp. 500.000,- (15,7%). Pendapatan keluarga contoh ada pada Tabel 61. Tabel 61 Sebaran keluarga contoh berdasarkan kategori pendapatan Negeri Swasta Total Kategori Pendapatan n % n % n % >Rp 60.000 13 8.7 14 9.3 27 9.0 Rp 60.000 - Rp 79.999 3 2.0 15 10.0 18 6.0 Rp 80.000 - Rp 99.999 7 4.7 8 5.3 15 5.0 Rp 100.000 - Rp 149.999 21 14.0 18 12.0 39 13.0 Rp 150.000 - Rp 199.999 20 13.3 22 14.7 42 14.0 Rp 200.000 - Rp 299.999 24 16.0 16 10.7 40 13.3 Rp 300.000 - Rp 499.999 25 16.7 22 14.7 47 15.7 >= Rp 500.000 37 24.7 35 23.3 72 24.0 Total 150 100.0 150 100.0 300 100.0 Rata-Rata 344244.16 360998.81 352621.49 14286.0012857.0012857.00Kisaran (Min-Maks) 1280000.00 3000000.00 3000000.00 P value 0.702 Sebaran keluarga contoh berdasarkan tingkat pendapatan mempunyai rentang nilai antara Rp. 12.857,- sampai dengan Rp. 3.000.000,-. Rentang ini ada pada keluarga contoh di sekolah swasta. Adapun keluarga contoh di sekolah negeri memiliki rentang besaran nilai antara Rp. 14.260,- sampai dengan Rp. 1.280.000,-. Apabila ditinjau secara umum dengan melakukan pembagian kurang dari Rp. 500.000,- dan lebih dari Rp. 500.000,- maka diperoleh hasil untuk sekolah negeri sebesar 74.3% (kurang dari Rp. 500.000,-) dan 24.7% (lebih dari Rp. 500.000,-). Kemudian untuk sekolah swasta diperoleh hasil sebesar 76.7% (kkurang dari Rp. 500.000,-) dan 23.3% (lebih dari Rp. 500,000,-). Bahkan secara keseluruhan diperoleh gambaran bahwa keluarga contoh baik sekolah negeri maupun swasta ada sebesar 24.0% memiliki pendapatan lebih dari Rp. 500.000,sedangkan 76% memiliki pendapatan kurang dari Rp. 500.000,-. Sebaran keluarga contoh berdasarkan pendapatan pada Tabel 61 dapat dikatakan tidak ada perbedaan rata-rata yang nyata antara sekolah negeri dan swasta (p > 0.01).
173
12. Investasi Pendidikan Peran pendidikan untuk mencerdaskan dan memberikan ketrampilan merupakan hal yang utama dalam pembangunan manusia. Keberhasilan dalam pendidikan mempunyai arti agar dapat mencapai kebebasan dan peningkatan kuaitas hidup dimasa mendatang (Coulson et al 2003). Tjiptoherijanto dan Hasmi (2000) menyebutkan bahwa investasi dalam human capital dimaksudkan sebagai upaya yang dicapai melalui kesehatan dan pendidikan. Dan dari sisi human development (UNDP 1995) ada tiga elemen penting yang harus diperhatikan, yaitu: 1) usia panjang dan sehat, 2) berpendidikan baik, dan 3) mendapatkan akses ke sumber daya yang diperlukan untuk mencapai kehidupan yang baik. Begitu juga dengan Ananta dan Hatmadji (1985) mengemukakan beberapa indikator yang berkaitan dengan kualitas sumber daya manusia adalah pendidikan, kesehatan, dan lingkungan. Pendidikan dikatakan sebagai investasi karena investasi pada hakekatnya adalah pengorbanan di masa kini untuk memperoleh keuntungan di masa depan; sedang pendidikan itu sendiri harus melibatkan suatu bagian waktu, yang tentu saja mengurangi kesempatan untuk menghasilkan yang lain (Fadjri 2000). Oleh karena itu keluarga mengambil bagian juga dalam melakukan pelaksanaan pendidikan. Peran serta masyarakat tersebut sesuai dengan paradigma pendidikan dimana penyelenggaraan pendidikan, harus mendorong pemberdayaan masyarakat dengan memperluas partisipasi masyarakat dalam pendidikan yang meliputi peran serta perorangan, kelompok, organisasi profesi, dan organisasi kemasyarakatan dalam penyelenggaraan dan pengendalian mutu pelayanan pendidikan (pasal 54 ayat1). Masyarakat dapat berperan sebagai sumber, pelaksana, dan pengguna hasil pendidikan (pasal 54 ayat 2) (Anwar 2003). Investasi pendidikan dapat dilihat pada Tabel 62. Investasi
pendidikan
merupakan
pengeluaran
uang
untuk
biaya
pendidikan anak, Biaya pendidikan tersebut mencakup SPP, transportsi, les, uang saku, alat tulis, jajan, dan buku pelajaran.
Sebaran keluarga contoh berdasarkan
investasi pendidikan tidak menunjukkan adanya perbedaan rata-rata yang nyata (p> 0.01). Apabila dibandingkan antara keluarga contoh di sekolah negeri dan
174
swasta, maka dapat diketahui perbedaan besaran investasi. Hal ini dapat diperhatikan dari kisaran minimum dan maksimum investasi pendidikan contoh. Tabel 62 Sebaran keluarga contoh berdasarkan investasi pendidikan Investasi pendidikan Negeri Swasta Total Investasi pendidikan contoh 138043.33±921 148834.00±1390 143438.67±11 Rata-Rata 67.97 60.17 7894.00 22400.000.00Kisaran (Min-Maks) 531000.00 0.00-803000.00 803000.00 P value 0.429 Total investasi pendidikan keluarga 277614.37±261 285745.67±3252 281680,02±29 Rata-Rata 251.5 72.6 4538.37 36200.0012000.0012000.00 – Kisaran (Min-Maks) 1898000.00 1667000.00 1898000.00 P value 0.811 Sekolah negeri mempunyai kisaran minimum dan maksimum sebesar Rp. 22.400,sampai dengan Rp. 531.000,-. Sedangkan keluarga contoh di sekolah swasta mempunyai besaran pengeluaran untuk investasi pendidikan contoh dengan kisaran minimum (Rp. 0,-) dan maksimum (Rp. 803.000,-). Maka dapat dikatakan pengeluaran untuk investasi pendidikan contoh lebih besar pada keluarga contoh di sekolah swasta. Lebih lanjut, untuk pengeluran investasi pendidikan ini dapat ditinjau dari investasi pendidikan yang tidak hanya untuk contoh akan tetapi juga anggota keluarga yang lain atau merupakan total ivestasi pendidikan keluarga. Total investasi pendidikan keluarga antara sekolah negeri dan swasta tidak menunjukkan adanya perbedaan yang nyata. Hal ini ditunjukkan dengan hasil p value sebesar 0.375 > 0.01. Artinya antara keluarga contoh di sekolah negeri maupun swasta melakukan investasi untuk pendidikan keluarga dengan besaran yang tidak jauh berbeda. Rata-rata pengeluaran untuk investasi pendidikan keluarga di sekolah negeri sebesar Rp. 277.614.37,- dan di sekolah swasta sebesar Rp. 285745.67,-. Pengeluaran investasi pendidikan keluarga di sekolah negeri lebih rendah dari rata-rata total investasi pendidikan keluarga dibandingkan dengan sekolah swasta yang menunjukkan rata-rata lebih tinggi. Namun ketika dilihat dari kisaran minimum dan maksimum total pengeluaran investasi pendidikan keluarga, maka sekolah negeri menunjukkan rentang kisaran dengan
175
nilai maksimal yang lebih tinggi dibandingkan dengan sekolah negeri. Kisaran minimal – maksimal untuk sekolah negeri adalah Rp. 36.200,- - Rp. 1.898.000.,sedangkan untuk sekolah swasta adalah Rp. 12.000,- - Rp. 1.667.000.00,Pengeluaran untuk investasi pendidikan contoh lebih besar di keluarga sekolah swasta dibandingkan sekolah negeri. Namun pengeluaran total investasi pendidikan keluarga di sekolah negeri menunjukkan jumlah yang lebih besar dibandingkan dengan sekolah swasta.
13. Kategori Tingkat Kesejahteraan Keluarga Kategori tingkat kesejahteraan mencakup pra keluarga sejahtera, keluarga sejahtera, keluarga sejahtera 1, keluarga sejahtera 2, dan keluarga sejahtera 3. Kategori keluarga sejahtera 1 merupakan kategori yang terbanyak (48%). Kategori tingkat kesejahteraan ada pada Tabel 63. Tabel 63 Sebaran keluarga contoh berdasarkan kategori tingkat kesejahteraan Negeri Swasta Total Kategori Tingkat Kesejahteraan n % n % n % Pra KS 12 8.0 24 16.0 36 12.0 KS 26 17.3 21 14.0 47 15.7 KS1 78 52.0 66 44.0 144 48.0 KS2 14 9.3 16 10.7 30 10.0 KS3 20 13.3 23 15.3 43 14.3 Total 150 100.0 150 100.0 300 100.0 Kategori tingkat kesejahteraan keluarga contoh tersebar dari kategori Pra KS sampai dengan kategori KS3. Kategori tingkat kejahteraan keluarga contoh di sekolah negeri masing-masing menunjukkan 8.0% (Pra KS), 17.3% (KS), 52.0% (KS1), 9.3% (KS2), dan 13.3% (KS3). Sedangkan tingkat kesejahteraan keluarga contoh di sekolah swasta masing-masing menunjukkan 1.0% (Pra KS), 14.0% (KS), 44.0% (KS1), 10.7% (KS2), dan 15.3% (KS3). Apabila kategori tingkat kesejahteraan tersebut dibandingkan antara sekolah negeri dan swasta dengan dasar prosentase total maka dapat diketahui persentase lebih besar dan kecil untuk masing-masing kategori. Kategori kesejahteraan keluarga contoh di sekolah negeri lebih besar persentasenya untuk KS (17.3 dibandingkan dengan 15.7%) dan KS1 (52.0% lebih besar dibandingkan dengan 44.0%). Kategori kesejahteraan keluarga contoh di sekolah swasta lebih besar persentasenya untuk Pra KS (16.0% lebih
176
besar dibandingkan dengan 12.0%), KS2 (10.7% lebih besar dibandingkan dengan 10.0%), dan KS3 (15.3% lebih besar dibandingkan dengan 14.3%).
14. Kepemilikan/Aset Keluarga Kepemilikan aset keluarga mencakup kepemilikan rumah, kepemilikan kendaraan, kepemilikan alat elektronik, kepemilikan mebel, dan kepemilikan alat rumah tangga. Kepemilikan rumah dapat diperiksa pada Tabel 64. Kepemilikan aset (kendaraan, alat elektronik, mebel, dan alat rumah tangga) ada dalam Tabel 65. Kepemilikan Rumah Kepemilikan rumah merupakan status kepemilikan yang berkaitan dengan tempat tinggal keluarga dimana status kepemilikan tersebut dapat dias, kontrak, milik orang tua, milik sendiri. Kepemilikan rumah menunjukkan bahwa pada umumnya merupakan milik sendiri (85.3%). Rincian mengenai kepemilikan rumah ada pada Tabel 64. Sebaran keluarga contoh berdasarkan status kepemilikan rumah menunjukkan bahwa sebagian besar keluarga contoh memiliki rumah sendiri (85.3%), kemudian disusul dengan rumah milik orang tua (10.3%), rumah kontrakan (3.3%), dan rumah dinas (1.0%). Sebaran keluarga contoh di sekolah negeri menunjukkan bahwa sebagian besar keluarga contoh kepemilikan rumahnya berstatus sendiri (84.7%), kemudian rumah milik orang tua (11.3%), rumah kontrakan (2.7%), dan rumah dinas (1.3). Sebaran keluarga contoh di sekolah swasta menunjukkan sebagian besar keluarga contoh kepemilikan rumahnya berstatus rumah sendiri (86.0%), kemudian rumah milik orang tua (9.3%), rumah kontrakan (4.0%), dan rumah dinas (0.7%). Tabel 64 Sebaran keluarga contoh berdasarkan status kepemilikan rumah Negeri Swasta Total Status Kepemilikan Rumah n % n % n % Dinas 2 1.3 1 0.7 3 1.0 Kontrakan 4 2.7 6 4.0 10 3.3 Orang tua 17 11.3 14 9.3 31 10.3 Sendiri 127 84.7 129 86.0 256 85.3 Total 150 100.0 150 100.0 300 100.0
177
Kepemilikan Aset (kendaraan, alat elektronik, mebel, dan alat rumah tangga) Kepemilikan aset suatu keluarga mencakup kepemilikan kendaraan, alat elektronik, mebel, dan peralatan rumah tangga. Kepemilikan aset tersebut menunjang fungsi keluarga dalam berbaai kepentingan dan kebutuhan keluarga. Secara rinci kepemilikan aset ada dalam Tabel 65. Kepemilikan aset adalah kepemilikan barang-barang sebagai penunjang fungsi dan aktivitas suatu keluarga. Aset-aset tersebut dapat digolongkan ke dalam fungsinya seperti: transportasi, hiburan (alat elektronik), meubeler, peralatan rumah tangga, komunikasi, dan teknologi.
Kepemilikan sarana transportasi
mencakup mobil (14.3%), sepeda motor (53.0%), dan sepeda (67.7%). Lebih dari separuh keluarga contoh memiliki kendaraan sepeda motor dan sepeda. Kepemilikan sarana hiburan mencakup peralatan elektronik yang berfungsi untuk menciptakan hiburan, seperti: radio/tape (77.0%), televisi (92.7%), VCD (62.3), nintendo/sega/PS (14.3%), organ/piano/keybord (6.0%). Kepemilikan alat rumah tangga mencakup kipas angin (42.7%), air conditioner (7.0%), mesin cuci (21.0%), rice cooker/majig jar (61.7%), Tabel 65 Sebaran keluarga contoh berdasarkan kepemilikan aset Kepemilikan Aset Kendaraan Mobil Sepeda Motor Sepeda Alat Elektronik Radio/Tape Televisi VCD Nintendo/Sega/PS Kipas Angin Komputer Air Conditioner Telepon Organ/Piano/Keybr Handphone (HP) Mebel Kursi Tamu Meja Makan Tempat tidur Almari Pakaian Lemari Buku
Negeri
Swasta
n
%
n
22 89 107
14.7 59.3 71.3
21 70 96
121 142 99 24 67 38 3 24 7 94
80.7 94.7 66.0 16.0 44.7 25.3 2.0 16.0 4.7 62.7
147 106 145 142 87
98.0 70.7 96.7 94.7 58.0
Total %
n
%
14.0 46.7 64.0
43 159 203
14.3 53.0 67.7
110 136 88 19 61 28 18 31 11 66
73.3 90.7 58.7 12.7 40.7 18.7 12.0 20.7 7.3 44.0
231 278 187 43 128 66 21 55 18 160
77.0 92.7 62.3 14.3 42.7 22.0 7.0 18.3 6.0 53.3
144 99 149 144 61
96.0 66.0 99.3 96.0 40.7
291 205 294 286 148
97.0 68.3 98.0 95.3 49.3
178
Alat Rumah Tangga Mesin Cuci Rice Cooker/Majig Jar Water Heater Lemari Es Kompor Gas Kompor Minyak Tanah
32 102 14 60 65 120
21.3 68.0 9.3 40.0 43.3 80.0
31 83 23 51 50 109
20.7 55.3 15.3 34.0 33.3 72.7
63 185 37 111 115 229
21.0 61.7 12.3 37.0 38.3 76.3
water heater (12.3%), lemari es (37.0%), kompor gas (38.3%), dan kompor minyak (76.3%). Kepemilikan sarana komunikasi mencakup telepon (18.3%), dan handphone (53.3%). Kepemilikan teknologi mencakup komputer (22.0%). Kepemilikan meubeler mencakup kursi tamu (97.0%), meja makan (68.3%), tempat tidur (98.0%), almari pakaian (95.3%), lemari buku (49.3%). Dari beberapa aset tersebut ada beberapa aset yang sangat dominan dimiliki oleh sebagian besar keluarga contoh (lebih dari 75% keluarga), seperti: radio/tape (77.0%), televisi (92.7%) kursi tamu (97.0%), tempat tidur (98.0%), almari pakaian (95.3%), dan kompor minyak 76.3%).
15. Alokasi Waktu Ayah Dan Ibu Alokasi waktu ayah dan ibu merupakan alokasi waktu dalam satu hari atau 24 jam. Waktu tersebut terbagi ke dalam berbagai kegiatan dalam lingkup waktu kerja (work time), kerja rumah (household time), dan waktu santai (leisure time). Adanya pemilahan antara domestic work dan public work membawa konsekuensi terjadinya perbedaan alokasi waktu antara wanita dan pria dalam dunia publik dan domestik. Alokasi waktu ayah dan ibu ada dalam Tabel 66. Alokasi waktu ayah dan ibu di atas memberikan gambaran rataan alokasi waktu yang berbeda dalam market work, house work, dan leisure time antara ibu dan ayah. Rataan market work ibu sebesar 3.82 jam/hari, sedangkan ayah sebesar 8.31 jam/hari. Perbedaan ini memberikan bukti bahwa sebagian besar alokasi waktu ibu bukan untuk bekerja di luar rumah akan tetapi lebih banyak bekerja di dalam rumah.
179
Tabel 66 Sebaran keluarga contoh berdasarkan alokasi waktu ayah dan ibu Aktivitas Ibu - Market (jam) - House Work Time (jam) - Leisure Time (jam) - Mendampingi Anak (jam) Ayah - Market (jam) - House Work Time (jam) - Leisure Time (jam) - Mendampingi Anak (jam)
Negeri Rataan %
Swasta Rataan %
Total Rataan %
p Value
3.68 6.53 13.79 0.85
15.33 27.19 57.47 3.56
3.95 6.38 13.67 0.79
16.47 26.57 56.96 3.31
3.82 6.45 13.73 0.82
15.90 26.88 57.22 3.43
0.554 0.666 0.717 0.590
8.31 0.97 14.73 0.31
34.60 4.03 61.36 1.28
8.31 0.96 14.73 0.24
34.62 3.99 61.39 1.01
8.31 0.96 14.73 0.28
34.61 4.01 61.38 1.15
0.990 0.950 0.984 0.385
Perbedaan lain juga ada pada house work time antara ibu dan ayah, dimana alokasi waktu ibu lebih banyak dibandingkan dengan ayah. Rataan house work time ibu sebesar 6.45 jam/hari, sedangkan ayah sebesar 0.96 jam/hari. Alokasi waktu yang lebih banyak tersebut memang sesuai dengan peran wanita dalam keluarga. Peranan wanita dapat diperinci atas tiga peranan, yaitu: a) sebagai penyumbang tenaga rumah tangga, b) sebagai pengatur rumah tangga dan pengambil keputusan, c) di luar rumah tangga sebagai pendukung beragam lembaga/organisasi sosial ekonomi dan politik yang ada di dalam masyarakat. (Sajogyo 1983). Guhardja (1992) mengemukakan bahwa pekerjaan rumahtangga adalah pekerjaan yang dilakukan dalam rumahtangga dan berhubungan dengan upaya pemenuhan kebutuhan hidup anggotanya (barang maupun jasa), mulai dari proses perencanaan hingga pelaksanaannya sehingga kebutuhan yang diidentifikasikasi sebagai kebutuhan pangan maupun non-pangan dapat terpenuhi. Fungsi pekerjaan rumahtangga sebagai penghasil barang dan jasa maka pekerjaan rumahtangga sesungguhnya merupakan kegiatan produktif yang dilakukan oleh anggota rumahtangga itu sendiri atau oleh orang yang dipekerjakan sebagai pelaksana pekerjaan rumahtangga sehari-hari yang dikenal sebagai pembantu rumahtangga atau pramuwisma. Pekerjaan rumahtangga tersebut dapat digolongkan ke dalam beberapa jenis pekerjaan antara lain: i.
menyediakan makanan dan keperluan yang berhubungan dengan makanan tersebut ii. memenuhi kebutuhan non-makanan iii. mengasuh dan merawat serta mendidik anak
180
Sebaran contoh berdasarkan alokasi waktu ayah dan ibu tidak menunjukkan adanya perbedaan nyata. Hal ini ditunjukkan dengan kesemua hasil perhitungan p value nilainya lebih besar dibandingkan dengan 0.01 (periksa nilai p pada Tabel 66). Hal ini memberi arti bahwa antara keluarga contoh di sekolah negeri dan swasta tidak ada perbedaan dalam hal mengalokasikan waktu untuk kepentingan market, household, dan leisure. Selain rincian waktu tersebut, maka alokasi waktu keluarga contoh dirinci lagi dengan menambahkan waktu untuk mendampingi anak. Penambahan rincian tersebut dimaksudkan untuk dapat memberikan gambaran tentang penggunaan waktu dalam keluarga baik oleh ayah maupun ibu berkenaan dengan kepentingan anak, khususnya dalam hal belajar. Alokasi waktu untuk mendampingi anak antara ibu dan ayah tidak sama, dimana ibu lebih banyak (0.82 jam/hari) menggunakan waktu untuk mendampingi anak dibandingkan ayah (0.28 jam/hari). Hal menarik terjadi pada alokasi waktu untuk leisure time antara ibu dan ayah dimana alokasi waktu ibu sedikit lebih rendah dibandingkan dengan ayah. Rataan alokasi waktu untuk leisure time ibu sebesar 13.73 jam, sedangkan ayah sebesar 14.73 jam/hari. Leiaure time tersebut mencakup kegiatan mandiri, seperti: mandi, merawat diri, makan, sembahyang, hiburan (nonton televisi dan hobby), dan tidur. Tingginya alokasi waktu untuk leisure memberikan kesan bahwa banyak waktu yang digunakan untuk kepentingan mandiri. Pengalokasian waktu tersebut tidak memberikan pertimbangan lain yang sebenarnya dapat dialihkan kepada perhatian terhadap anak. Meskipun ayah memiliki leisure time yang tinggi namun tidak memiliki pengalokasian waktu mendampingi anak belajar yang banyak jika dibandingkan dengan ibu. Apabila ditinjau dari lama pendidikan antara ibu dan ayah lebih dari 12 th, maka ada 54.3% ayah dan 47.3% ibu. Ini menunjukkan bahwa jumlah ayah berpendidikan lebih banyak daripada wanita. Atas dasar kemampun karena pendidikan tersebut, maka ayah dimungkinkan dapat mendampingi belajar anak lebih banyak waktu dibandingkan yang dilakukan oleh ibu. 16. Pengetahuan Gizi Ibu Pengetahuan gizi ibu merupakan kemampuan seseorang ibu untuk mengingat kembali kandungan gizi makanan, sumber serta kegunaan zat gizi
181
tersebut di dalam tubuh. Pengetahuan gizi ibu dapat dikategorikan menjadi pengetahuan gizi rendah (kurang dari 60% jawaban benar), kategori sedang (60 – 80% jawaban benar), dan kategori baik (lebih dari 80% jawaban benar). Adapun data terinci ada pada Tabel 67. Tabel 67 Sebaran keluarga contoh berdasarkan pengetahuan gizi Negeri Swasta Total Pengetahuan Gizi n % n % n % Rendah 16 10.7 38 25.3 54 18.0 Sedang 64 42.7 58 38.7 122 40.7 Baik 70 46.7 54 36.0 124 41.3 Total 150 100.0 150 100.0 300 100.0 Rata-Rata 76.77 69.10 72.93 Kisaran (Min-Maks) 5.00-100.00 0.00-100.00 0.00-100.00 P value 0.001 Pengetahuan
gizi
merupakan
cadangan
informasi
yang
menjadi
pengetahuan pada diri seseorang sehingga mampu menyikapi persoalan-persoalan gizi, khususnya berkaitan dengan jenis pangan bermanfaat yang dikonsumsi oleh anggota keluarga. Pentingnya pengetahuan gizi didasarkan pada tiga kenyataan: 1) status gizi yang cukup adalah penting bagi kesehatan dan kesejahteraan, 2) setiap orang hanya akan cukup gizi jika makanan yang dimakannya mampu menyediakan zat gizi yang diperlukan untuk pertumbuhan tubuh optimal, pemeliharaan dan energi, 3) ilmu gizi memberikan fakta-fakta yang perlu sehingga penduduk dapat belajar menggunakan pangan dengan baik bagi perbaikan gizi (Suhardjo 1996). Oleh karena itu, pengetahuan gizi ibu menjadi penting dan menentukan jenis pangan yang dikonsumsi oleh anggota keluarga. Pengetahuan gizi tersebut sangat dekat dengan peran ibu rumah sebagai pengelola rumah tangga. Pada keluarga konvensional kebanyakan wanita (ibu rumah tangga) memiliki peran fungsional dalam rumah tangga baik secara sosial (nurture) maupun secara alami (nature) untuk menjalankan peran sebagai pengelola rumah tangga. Peran untuk mengelola masalah pangan tergantung pada wanita atau ibu rumah tangga. Ibu adalah sebagai pengambil keputusan dalam menentukan menu makanan keluarga. Dengan demikian ibu memegang peranan penting dalam penyediaan bahan makanan, penyiapan dan pendistribusian makanan di antara anggota-anggota keluarga (Hartog 1995).
182
Pengetahuan gizi ibu keluarga contoh antara sekolah negeri dan swasta menujukkan adanya perbedaan. Hal ini dibuktikan dengan hasil p value sebesar 0.001 < 0.01. Perbedaan ini mengartikan bahwa antara keluarga contoh di sekolah negri dan swasta mempunyai perbedaan pengetahuan tentang gizi. Perbedaan tersebut juga ditunjukkan dengan besaran jumlah dan persentase, dimana keluarga contoh di sekolah negeri menunjukkan jumlah dan persentase lebih tinggi dibandingkan sekolah swasta untuk kategori pengetahuan gizi sedang dan baik. Begitu juga dengan pengetahuan gizi kategori rendah menunjukkan jumlah dan prersentase yang lebih rendah dibandingkan dengan keluarga contoh di sekolah swasta. Artinya pengetahuan gizi ibu keluarga contoh di sekolah negeri lebih baik dibandingkan pengetahuan gizi ibu keluarga contoh di sekolah swasta. Perbedaan pengetahuan tersebut juga dapat diketahui dari kisaran minimum – maksimum. Kisaran minimum dan maksimum menunjukkan bahwa angka minimum terendah ada di keluarga contoh sekolah swasta yaitu 0 atau jawaban salah semua, sedangkan di keluarga contoh sekolah negeri nilai terendah adalah 5. Namun secara umum pengetahuan gizi keluarga contoh baik negeri maupun swasta menunjukkan pengetahuan rendah (18.0%), pengetahuan sedang (40.7%), dan pengetahuan baik (41.3%). Dengan demikian pengetahuan gizi ibu keluarga contoh baik sekolah negeri maupun swasta dapat dikatakan relatif baik. 17. Sikap Gizi Sikap gizi ibu adalah kecenderungan pada diri subyek untuk menerima atau menolak sesuatu pangan berdasarkan penilaian terhadap pangan itu sebagai pangan yang berharga atau tidak berharga, baik atau tidak baik, suka atau tidak suka. Sikap gizi ibu dapat dikategorikan menjadi kategori sikap rendah, sikap sedang, dan sikap baik. Adapun data terinci ada pada Tabel 68. Sikap gizi keluarga contoh antara sekolah negeri dan swasta menunjukkan tidak adanya perbedaan, karena nilai p value sebesar 0.171 > 0.01. Sikap gizi ibu keluarga contoh di sekolah negeri menunjukkan sikap rendah (1.3%), sikap sedang (62.7%), dan sikap baik (36.0%).
Kemudian sikap gizi ibu
(70.0%), dan sikap baik (30.0%), Secara umum sikap gizi ibu baik keluarga contoh di sekolah negeri dan swasta menunjukkan sikap rendah (0.7%), sikap sedang (66.3%), dan sikap baik (33.0%).
183
Tabel 68 Sebaran keluarga contoh berdasarkan sikap gizi Negeri Swasta Total Sikap Gizi n % n % n % Rendah 1.3 0 0.0 2 0.7 2 Sedang 94 62.7 105 70.0 199 66.3 Tinggi 36.0 45 30.0 99 33.0 54 Total 150 100.0 150 100.0 300 100.0 Rata-Rata 79.28 78.03 78.7 Kisaran (Min-Maks) 48.75-97.50 63.75-96.25 48.8-97.5 P value 0.171
18. Nilai Anak Nilai anak mempunyai pengertian secara psikologis, sosial, dan ekonomis. Nilai psikologis anak mempunyai pengertian adanya rasa kasih sayang, dicintai, rasa aman oleh anak kepada orang tua. Nilai sosial anak mempunyai pengertian bahwa anak dapat mengangkat harkat dan martabat orang tua serta memberikan kemungkinan orang tua bergabung dengan kegiatan-kegiatan berkaitan dengan anak. Nilai sosial ekonomi mempunyai pengertian anak memberikan keuntugan ecara ekonomis bagi orang tua untuk kepentingan ekonomi keluarga, cadangan tenaga kerja keluarga, dan menjamin masa tua. Nilai ekonomi anak mempunyai total ilai paling rendah (53.60) namun menunjukkan adanya perbedaan rata-rata yang nyata antara sekolah negeri dan swasta. Rincian nilai anak ada pada Tabel 69. Nilai Anak Nilai Psikologis Anak Nilai Sosial Anak Nilai Ekonomi Anak Nilai Anak Total
Tabel 69 Rata-rata nilai anak Negeri Swasta 73.77 74.83 74.80 73.33 51.23 55.97 66.60 68.04
Total 74.30 74.07 53.60 67.32
p value 0.434 0.197 0.009 0.070
Nilai anak antara siswa di sekolah negeri dan swasta secara total menunjukkan tidak adanya perbedaan rata-rata yang nyata (p < 0.01). Nilai anak mencakup nilai psikologis anak, nilai sosial anak, dan nilai ekonomi anak. Nilai psikologis dan nilai sosial anak menunjukkan hasil p value lebih besar daripada 0 (0.434 dan 0.197 > 0.01). Namun nilai ekonomi anak menunjukkan hasil ada perbedaan rata-rata yang nyata antara sekolah negeri dan swasta (p < 0.01).
184
Dengan membandingkan rata-rata skor untuk nilai ekonomi anak dan nilai anak total antara sekolah negeri dan swasta maka diketahui bahwa sekolah swasta mempunyai skor rata-rata lebih tinggi daripada sekolah negeri.
19. Morbiditas Remaja Morbiditas remaja merupakan keadaan mengalami sakit atau menderita penyakit yang dapat berpengaruh terhadap kondisi kesehatan dan kualitas hidup remaja (Webster’s Online Dictionary 2007). Keadaan ini dapat dilihat selama satu bulan terakhir sehingga dapat dibuat kategori frekuensi sakit mulai dari yang tidak pernah sakit sampai dengan lebih dari 3 kali sakit. Kategori tidak pernah sakit merupakan jumlah yang paling banyak (56.3%), 38% mengalami sakit antara 1 – 3 kali, dan 5.7% mengalami sakit lebih banyak dari 3. Rincian morbidity remaja ada pada Tabel 70.
Tabel 70 Sebaran contoh berdasarkan kategori frekuensi sakit dalam 1 bulan Negeri Swasta Total Kategori Frekuensi Sakit n % n % n % Tidak Pernah 93 62.0 76 50.7 169 56.3 1-3 kali 47 31.3 67 44.7 114 38.0 > 3 kali 10 6.7 7 4.7 17 5.7 Total 150 100.0 150 100.0 300 100.0 Rata-Rata 0.71 0.95 0.83 Kisaran (Min-Maks) 0.00-6.00 0.00-9.00 0.00-9.00 Uji Beda T-Test (p) 0.103 Sebaran contoh berdasarkan kategori frekuensi sakit dalam 1 bulan terakhir antara sekolah negeri dan swasta tidak menunjukkan adanya perbedaan rata-rata yang nyata (p > 0.01). Kategori frekuensi sakit terbagi menjadi tidak pernah sakit (56.3%), 1 – 3 kali (38.0%), dan lebih dari 3 kali (5.7%). Kondisi ini menggambarkan bahwa sebagian besar contoh dalam kondisi tidak mengalami sakit atau dengan kata lain kondisi kesehatannya baik. Namun apabila ditinjau lebih lanjut antar contoh di ekolah negeri dan swasta ada sedikit perbedaan. Contoh di sekolah negeri menunjukkan tidak pernah sakit (62.0%) lebih besar dibandingkan dengan contoh di seklah swasta (50.7%). Frekueinsi sakiat contoh 1 – 3 kali lebih besar pada contoh di sekolah swasta (44.7%) dibandingkan dengan
185
contoh di sekolah negeri (31.3). Kemudian untuk frekuensi sakit lebih dari 3 kali/bulan menunjukkan prosentase sedikit lebih besar pada contoh di sekolah negeri (6.7%) daripada contoh di sekolah swasta (4.7%). Adapun penyakit yang diderita oleh contoh baik di sekolah negeri maupun swasta mencakup demam (10.3%), flu (23.3%), batuk-ISPA (2.3%), batuk-asthma ( 1.0%), batuk-dyspnoe (7.7%), sakit kepala (83.%), batuk berdarahTB (0%), demam tinggi (0.3%), bercak merah pada kulit (1.0%), diare > 3 kali sehari (1.3%), diare disertai darah (0%), muntah (0.3%), sawan/ayan (0%), lumpuh (0%), telinga bernanah disertai demam (0%), lainnya (11.3%). Dari sekian penyakit yang menonjol diderita oleh contoh secara berturuan dari prosentase terbesar adalah adalah flu (negeri 19.3% dan swasta 27.3%), demam (negeri 4.7% dan swasta 16.0%), sakit kepala (negeri 10.7% dan swasta 6.0%). Berdasarkan jenis penyakit yang diderita oleh para contoh baik di sekolah negeri maupun swasta dapat disimpulkan kebanyakan menderita penyakit ringan dan umum. Kondisi ini dapat diperiksa pada Tabel 71. Tabel 71 Sebaran contoh berdasarkan jenis penyakit yang diderita 1 bulan terakhir No
Jenis Penyakit
Negeri
Swasta Total
n
%
n
%
n
%
7 29
4.7 19.3
24 41
16.0 27.3
31 70
10.3 23.3
1 2
Demam Flu
3 4
Batuk (ISPA) Batuk (Asthma)
3 2
2.0 1.3
4 1
2.7 0.7
7 3
2.3 1.0
5 6
Batuk (Dyspnoe) Sakit kepala
9 16
6.0 10.7
14 9
9.3 6.0
23 25
7.7 8.3
7 8
Batuk berdarah (TB) Demam tinggi
0 1
0.0 0.7
0 0
0.0 0.0
0 1
0.0 0.3
9 10
Bercak merah pada kulit Diare > 3 kali sehari
2 1
1.3 0.7
1 3
0.7 2.0
3 4
1.0 1.3
11 12
Diare disertai darah Muntah
0 0
0.0 0.0
0 1
0.0 0.7
0 1
0.0 0.3
13 14
Sawan/ayan Lumpuh
0 0
0.0 0.0
0 0
0.0 0.0
0 0
0.0 0.0
15 16
Telinga bernanah disertai demam Lainnya
0 11
0.0 7.3
0 23
0.0 15.3
0 34
0.0 11.3
Morbiditas remaja dapat ditinjau juga dari rata-rata lama sakit yang diderita oleh contoh dalam 1 bulan terakhir. Apabila diambil rata-rata lama sakit maka dapat disimpulkan bahwa semua contoh tidak mengalami sakit lebih satu
186
hari, bahkan dapat dikatakan menderita sakit selama tidak penuh satu hari. Keadaan ini dapat diperiksa pada Tabel 72. Tabel 72 Rata-rata lama sakit (hari) yang diderita contoh 1 bulan terakhir No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16
Jenis Penyakit Demam Flu Batuk (ISPA) Batuk (Asthma) Batuk (Dyspnoe) Sakit kepala Batuk berdarah (TB) Demam tinggi Bercak merah pada kulit Diare > 3 kali sehari Diare disertai darah Muntah Sawan/ayan Lumpuh Telinga bernanah disertai demam Lainnya:
Negeri 0.17 0.59 0.07 0.05 0.22 0.23 0.00 0.05 0.21 0.02 0.00 0.00 0.00 0.00
Swasta 0.74 0.88 0.12 0.03 0.43 0.11 0.00 0.00 0.01 0.05 0.00 0.01 0.00 0.00
Total 0.45 0.73 0.09 0.04 0.33 0.17 0.00 0.02 0.11 0.04 0.00 0.01 0.00 0.00
0.00 0.34
0.00 1.11
0.00 0.73
Namun gambaran rata-rata lama sakit tersebut akan lebih lengkap apabila dilihat secara khusus sebaran contoh berdasarkan kategori lama sakit (Tabel 73). Sebaran contoh berdasarkan kategori sakit dibagi menjadi tidak pernah sakit (56.3%), kurang dari 7 hari (29.3%), antara 7 – 14 hari (13.0%), dan lebih dari 14 hari (13.0%). Tabel 73 Sebaran contoh berdasarkan kategori lama sakit Negeri Swasta Total Kategori skor lama sakit n % n % n % Tidak pernah 93 62.0 76 50.7 169 56.3 < 7 hari 41 27.3 47 31.3 88 29.3 7-14 hari 14 9.3 25 16.7 39 13.0 > 14 hari 2 1.3 2 1.3 4 1.3 Total 150 100.0 150 100.0 300 100.0 Rata-rata 1.93 2.95 2.44 Kisaran (Min-Maks) 0.00-21.00 0.00-22.00 0.00-22.00 Uji beda t-test (p) 0.025 Sebaran contoh berdasarkan kategori lama sakit antara sekolah negeri dan swasta menunjukkan tidak ada perbedaan rata-rata yang nyata (p > 0.01). Sebaran contoh pada kategori tidak sakit di sekolah negeri ada 62.0% dan swasta ada 50.7%, kategori sakit kurang dari 7 hari untuk sekolah negeri ada 27.3% dan
187
swasta ada 31.3%, kategori sakit antara 7 hingga 14 hari untuk sekolah negeri ada 9.3% dan wasta ada 16.7%, sakit lebih dari 14 hari untuk negeri ada 1.3% dan swasta 1.3% juga. Secara umum sekolah negeri memiliki keadaan yang lebih baik berkenaan dengan sakit yang diderita oleh contoh. Contoh di sekolah negeri cenderung menunjukkan prosentase yang lebih rendah dan baik dalam kategori sakit kurang dari 7 hari, dan sakit lebih dari 7 hingga 14 hari. Sedangkan kategori tidak pernah sakit contoh menujukkan prosentase lebih tinggi dibandingkan dengan sekolah swasta. Maka dapat diartikan, bahwa sekolah negeri cenderung baik dibandingkan dengan sekolah swasta. Indeks Kualitas Remaja Indeks kualitas remaja merupakan nilai hasil dari penggabungan faktor fisik dan non fisik (Syarief 1997). Faktor fisik dan non fisik mempunyai ketiga faktor penentu kualitas remaja, yaitu: status gizi (faktor fisik), kecerdasan intelektual dan kecerdasan emosional (faktor non fisik). Indeks gabungan tersebut merupakan indeks yang mampu menggambarkan potensi diri seseorang remaja sesuai dengan komposisi antara status gizi, kecerdasan intelektual, dan kecerdasan emosional.
INDEKS KUALITAS REMAJA
INDEKS STATUS GIZI
INDEKS KECERDASAN EMOSI
INDEKS KECERDASAN INTELEKTUAL
Gambar 4 Bagan Indeks kualitas remaja terdiri dari faktor fisik (indeks status gizi) dan faktor non fisik (kecerdasan emosi dan intelektual).
188
Hasil Perhitungan Indeks Kualitas Remaja Hasil perhitungan indeks kualitas remaja dapat ditunjukkan dalam kategori kualiatas remaja. Kategori Kualitas Remaja dibagi menjadi empat kategori, yaitu: tinggi, sedang, rendah, dan sangat rendah. Pembagian menjadi keempat kategori tersebut didasarkan pada nilai indeks maksimal adalah 100 sehingga pembagian indeks tersebut ditentukan dengan interval 25 sebagai berikut: a. Kategori tinggi
: 75.01 – 100
b. Kategori sedang
: 50.01 – 75.00
c. Kategori rendah
: 25.01 – 50.00
d. Kategori sangat rendah : 0 – 25.00
Hasil perhitungan kategori tersebut dapat diperiksa pada Tabel 74. Tabel 74 Kategori Sangat Rendah Rendah Sedang Tinggi Jumlah
Kategori indeks kualitas remaja Sekolah Jumlah Negeri Swasta 1 0 1 (0.7%) (0%) 24 38 62 (16%) (25.3%) 109 105 214 (72.7%) (70.0%) 16 7 23 (10.7%) (4.%) 150 150 300 100% 100%
Persentase 0.3 20.7 71.3 7.7 100
Berdasarkan hasil perhitungan indeks kualitas remaja maka dapat diketahui bahwa kecenderungan kategori indeks rendah adalah sekolah swasta (25.3%), sedangkan kecenderungan indeks tinggi ada di sekolah negeri (10.7%). Pada umumnya kualitas remaja didominasi pada kategori sedang (71.3%). Kategori sedang merupakan kategori di atas rata-rata indeks kualitas remaja. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar remaja berada pada kategori di atas ratarata. Keadaan ini dapat diartikan bahwa kualitas remaja pada umumnya adalah baik. Adanya perbedaan kualitas antara sekola negeri dan swasta sesuai dengan keadaan yang ditunjukkan pada hasil uji-t (uji beda) antara sekolah negeri dan swasta dalam hal kecerdasan intelektual, kecerdasan emosional, nilai ebtanas
189
murni (NEM SD). Uji-t tersebut menunjukkan bahwa sekolah negeri berada pada posisi yang lebih baik.
Analisis Regresi Faktor-faktor yang Berpengaruh terhadap Investasi Pendidikan Contoh
Keluarga merupakan institusi yang paling awal melakukan sosialisasi atau pendidikan yang berkaitan dengan nilai-nilai sosial, pengetahuan dan ketrampilan. Ketika anak sudah memenuhi syarat mengikuti pendidikan formal maka kemudian pendidikan berpindah ke pendidikan formal. Atau dengan kata lain dapat disebutkan bahwa keluarga mengalokaskan sumberdaya yang dimiliki baik segi human resources (pengetahuan, ketrampilan psikomotor, kasih sayang, kesehatan, tenaga, dan waktu) maupun material resources (konsumsi pangan, tempat tinggal, harta rumah tangga, tenaga fisik, uang, dan tabungan). Keluarga mengalokasikan uang
untuk pendidikan formal anak, namun tidak menutup kemungkinan
mengalokasikan waktu untuk memberikan dukungan pada pendidikan formal anak. Aspek biaya pendidikan berhubungan erat dengan pengeluaran keluarga untuk pendidikan. Pengeluaran pendidikan dilakukan melalui dua lingkungan yang saling melengkapi, yaitu rumah tangga dan lembaga (Tilak 2002).
Pengeluaran Uang untuk Pendidikan Formal Anak Pandangan para ahli ekonomi terhadap pendidikan adalah sebagai bagian dari investasi terhadap sumberdaya manusia (Bryant 1990; Schultz 1961&1974; Febrero&Schwartz 1995). Pendidikan dikatakan sebagai investasi karena investasi pada hakekatnya adalah pengorbanan di masa kini untuk memperoleh keuntungan di masa depan; sedang pendidikan itu sendiri harus melibatkan suatu bagian waktu, yang tentu saja mengurangi kesempatan untuk menghasilkan yang lain (Fadjri 2000). Selain itu pendidikan sendiri merupakan usaha sadar untuk menyiapkan peserta didik melalui kegiatan bimbingan, pengajaran dan atau latihan bagi peranannya di masa yang akan datang (Sistem Pendidikan Nasional 1994).
Namun pertimbangan keluarga untuk melakukan alokasi uang atau
melakukan pengeluaran untuk biaya pendidikan dipengaruhi oleh beberapa faktor
190
sebagaimana dalam model berikut (Tabel 75). Pengeluaran pendidikan tersebut merupakan wujud alokasi dana oleh keluarga untuk kepentingan pendidikan. Alokasi dana tersebut dapat diwujudkan dalam bentuk uang sumbangan penyelenggaraan pendidikan (SPP), transportasi, uang les, uang saku, buku pelajaran, dan alat tulis. Tabel 75 Analisis regresi faktor-faktor yang mempengaruhi pengeluaran pendidikan Peubah Bebas Jenis kelamin Status kerja ibu Keluarga luas/inti Kategori sejahtera Nilai Anak Umur ibu Lama pendidikan ibu Jumlah angggota keluarga Pendapatan per kapita R Adjusted R square Sig.
Koefisien distandarisasi (Beta) -.048 -.034 .066 -.008 -.064 .040 .198 .001 .596
Sig. .242 .401 .136 .845 .119 .325 .000 .975 .000 .732 .522 .000
Identifikasi model pengeluaran uang untuk pendidikan anak oleh keluarga mencakup beberapa faktor, yaitu: jenis kelamin anak, status kerja ibu, keluarga luas/inti, kategori sejahtera, nilai anak, umur ibu, jumlah keluarga, dan pendapatan per kapita. Identifikasi model tersebut signifikan (p < 0.01). Model ini mempunyai adjusted R square sebesar 0.522 menunjukkan bahwa pengeluaran uang oleh keluarga dapat dijelaskan sebesar 52.2% oleh variance, sedangkan sisanya sebesar 47.8% dijelaskan di luar variance tersebut. Model pengeluaran uang untuk pendidikan anak menunjukkan pengaruh faktor-faktor yang signifikan (p < 0.01) dan tidak signifikan (p > 0.01). Pengaruh faktor-faktor yang sigfnifikan mencakup lama pendidikan ibu dan pendapatan perkapita, sedangkan pengaruh faktor-faktor yang tidak signifikan mencakup jenis kelamin, status kerja ibu, keluarga luas/inti, kategori sejahtera, nilai anak, umur ibu, dan jumlah keluarga. Lama pendidikan ibu berpengaruh secara nyata terhadap pengeluaran uang untuk pendidikan anak (p < 0.01). Hal ini memberikan arti bahwa lama pendidikan ibu dapat menjadi determinan terhadap pengeluaran uang untuk
191
pendidikan anak. Pendidikan merupakan proses
transformasi keilmuan dan
ketrampilan dari pendidikan kepada peserta didik. Keterlibatan dalam pendidikan memberikan wawasan dan arti penting pendidikan untuk meningkatkan kualitas sumberdaya manusia, teristimewa untuk anak. Pendidikan menjadi kebutuhan dari setiap orang agar dapat meningkatkan kualitas diri dalam hal keilmuan dan ketrampilan. Oleh karena lama pendidikan orang tua (ibu) cenderung menyadari arti penting pendidikan untuk anak, maka rela melakukan pengeluaran uang untuk kepentingan pendidikan anak. Tilak (2002) dalam penelitiannya mengenai determinan dari pengeluaran rumah tangga untuk pendidikan di pedesaan India menemukan beberapa faktor sebagai
penentu
pengeluaran
rumah
tangga
untuk
pendidikan.
Tilak
mengemukakan bahwa determinan pengeluaran rumah tangga untuk pendidikan adalah karkateristik rumah tangga seperti pendapatan rumah tangga dan jenjang pendidikan orang tua. Namun selain itu ditemukan juga diterminan besaran rumah tangga, kasta dan agama. Sama halnya dengan Aves, Capareda, dan Fernandez (2003) dalam penelitiannya tentang faktor-faktor yang berhubungan dengan pengeluaan keluarga di Mindanao menemukan faktor pendidikan dan pekerjaan orang tua, serta pendapatan keluarga dan besaran keluarga. Mauldin, Mimura, dan Lino (2004) dalam Parental Expenditure on Children’s Education mengkaji faktor-faktor yang berhubungan dengan alokasi uang oleh orang tua untuk pendidikan dasar dan menengah anak. Faktor-faktor yang berhubungan dengan pengeluaran uang untuk pendidikan dasar dan menengah adalah pendidikan orang tua, daerah, dan musim tahunan. Sedangkan mengenai besarnya pengeluaran tersebut berhubungan dengan pendidkan orang tua, umur, dan ras. Namun pada kenyataanya ketimpangan sosial ekonomi merupakan kendala tersendiri bagi keluarga-keluarga untuk dapat mengakses pendidikan formal. Pendidikan formal menjadi suatu kebutuhan yang harus dinikmati oleh masyarakat tanpa adanya alternatif dengan mengunakan kemampuan ekonomi keluarga. Ketimpangan sosial ekonomi menjadikan akses dan partisipasi usia sekolah tidak sama. Keluarga yang mempunyai status sosial ekonomi relatif baik maka akan memiliki daya beli terhadap pendidikan formal dibandingkan keluarga yang berstatus sosial ekonomi kurang baik. Upaya untuk mengatasi ketimpangan
192
sosial ekonomi tersebut maka pemerintah membuat program BOS (Bantuan Operasional Sekolah). BOS ini diharapkan dapat membantu siswa agar dapat memperoleh akses ke pendidikan formal. Upaya BOS ini menjadikan anak secara minimal dapat dibantu dalam pembiayaan pendidikan. Laporan penelitian SMERU (2006) menunjukkan bahwa Program BOS meningkatkan penerimaan sekolah sehingga memungkinkan perbaikan kegiatan belajar mengajar dan berpotensi meningkatkan akses masyarakat, termasuk masyarakat miskin, terhadap pendidikan. Dengan dana BOS sekolah dapat meningkatkan: ketersediaan sarana dan prasarana belajar-mengajar, pendaptan guru (guru honorer, guru kontrak, dan guru tetap), kegiatan ekstrakurikuler, pelajaran tambahan, dan mutu guru. Selanjutnya dikemukakan bahwa ada dampak positif dari program BOS terhadap partisipasi pendidikan. Ada indikasi bahwa Program BOS meningkatkan motivasi belajar siswa dari keluarga miskin karena tidak ada kekhawatiran akan ditagih tunggakan iuran sekolah dan lebih terpenuhinya perlengkapan sekolah. Bagaimanapun upaya tersebut tidak dapat maksimal mengurangi ketimpangan sosial yang ada. Pendidikan tetap menciptakan adanya ketimpangan sosial ekonomi. Sistem seleksi penerimaan siswa baru telah mengelompokkan siswa berdasarkan prestasi akademik mereka, sehingga karakteristik siswa dan sekolah membentuk jenjang mulai dari peringkat prestasi atas dan sekolah favorit sampai dengan prestasi lebih rendah dan sekolah yang tidak favorit. Seleksi alamiah ini sudah membentuk adanya ketimpangan dalam sistem pendidikan. Selain itu dari segi kemampun ekonomi keluarga untuk dapat memperoleh fasilitas pendidikan memerlukan pengeluaran yang relatif lebih banyak yang sangat tergantung pada kemampuan ekonomi keluarga. Keterbatasan ekonomi keluarga menjadikan pola pilih sekolah apa adanya dan ada kecenderungan anak drop out. Pendapatan perkapita berpengaruh secara nyata terhadap investasi untuk anak (p < 0.01). Pengeluaran uang untuk pendidikan sangat bergantung pada kemampuan ekonomi untuk membiayai pendidikan anak. Pengeluaran tersebut diwujudkan dalam bentuk uang sumbangan penyelenggaraan pendidikan (SPP), transportasi, uang les, uang saku, buku pelajaran, dan alat tulis. Kemampuan
193
melakukan investasi tersebut tergantung dari lama pendidikan orang tua. Lama pendidikan orang tua menjadi penentu terhadap pengeluaran untuk pendidikan. Hal ini memberikan makna bahwa lama pendidikan memberikan wawasan dan harapan bagi orang tua untuk memperhatikan masa depan anak melalui pendidikan anak. Secara umum diketahui bahwa pendidikan berkaitan dengan pekerjaan dimana pendidikan seseorang menentukan jenis pekerjaan dan
tingkat
pendapatan. Hal ini dimungkinkan karena semakin tinggi tingkat pendidikan maka orang berpendidikan tersebut semakin produktif apabila dibandingkan dengan orang yang tidak berpendidikan. Jenkins (2002) mengkaji hubungan antara output anak, sumber keuangan orang tua, dan latar belakang orang tua yang merupakan mekanisme transmisi yang berkaitan antara pendapatan dan hasil anak. Memiliki banyak uang memberikan kemudahan untuk melakukan beberapa peran, mulai dari peningkatan kemampuan membeli barang-barang yang disediakan untuk anak (seperti buku-buku dan peralatan pendidikan). Keadaan keuangan orang tua secara umum diyakini mempunyai hubungan yang kuat dengan keberhasilan studi anak. Begitu juga Veloso (2002) mengemukakan temuan empiris bahwa komposisi pendapatan keluarga antara ibu dan ayah merupakan determinan yang penting terhadap fertilitas dan investasi untuk pendidikan anak. Keterlibatan ibu dalam pekerjaan di luar rumah di satu sisi akan menambah pendapatan keluarga namun di lain sisi akan mengurangi waktu untuk anak. Akan tetapi kemampuan untuk meperoleh pendapatan tersebut berpengaruh terhadap pendidikan anak saat remaja. Hal ini dapat diartikan bahwa pendapatan tersebut memberikan kontribusi pendapatan keluarga untuk mengalokasikan pengeluaran untuk pendidikan. Dengan demikian pengeluaran untuk pendidikan tidak dapat lepas dari pendapatan keluarga.
Analisis Regresi Faktor-faktor yang Berpengaruh terhadap Waktu untuk Mendampingi Anak Belajar
Curahan Waktu Orang Tua untuk Pendampingan Anak Belajar Investasi kepada anak tidak hanya bersifat material, akan tetapi berupa non material yaitu waktu. Leibowitz (1974) menambahkan gagasan bahwa investasi
194
kepada anak juga tergantung pada kuantitas dan kualitas waktu orang tua yang diberikan kepada anak tidak berbeda dengan investasi material. Investasi waktu kepada anak dapat diwujudkan ke dalam bentuk mengerjakan pekerjaan rumah (tugas PR), membacakan untuk anak, mengajak tamsya, memberikan dukungan pada aktivitas sekolah (pekerjaan rumah dan sekolah, mengantar sekolah, mengikuti piknik sekolah bersama anak) (Curtis dan Phipps 2000). Investasi waktu untuk anak ditekankan pada waktu yang digunakan untuk mendampingi anak belajar (Tabel 76). Tabel 76 Analisis regresi faktor-faktor yang mempengaruhi pendampingan anak belajar (ayah) Peubah Bebas Jenis kelamin Keluarga luas/inti Kategori sejahtera Jumlah angggota keluarga Nilai Anak Status kerja ayah Umur ayah Pendidikan ayah (lama) R Adjusted R square Sig.
Koefisien distandarisasi (Beta) -.013 -.002 -.080 -.008 .079 .054 .079 .271
Sig. .834 .978 .198 .901 .189 .368 .193 .000 .275 .048 .006
Identifikasi terhadap faktor-faktor yang berpengaruh terhadap curahan waktu untuk mendampingi anak belajar mencakup jenis kelamin, keluarga luas/inti, kategori sejahtera, jumlah anggota keluarga, nilai anak, status kerja ayah, umur ayah, dan lama pendidikan ayah. Identifikasi model tersebut menunjukkan hasil signifikan (p < 0.01). Model ini mempunyai adjusted R square sebesar 0.048 artinya bahwa curahan waktu untuk mendampingi anak belajar dapat dijelaskan sebesar 4.8% oleh variance, sedangkan sisanya sebesar 93.2% dijelaskan dari luar variance tersebut. Model curahan waktu untuk mendampingi anak menunjukkan faktor yang signifikan (p < 0.01), dan faktor-faktor yang tidak signifikan (p > 0.01). Faktor yang signifikan berpengaruh terhadap curahan waktu untuk mendampingi belajar anak adalah lama pendidikan ayah (p < 0.01), sedangkan faktor-faktor yang tidak
195
signifikan adalah jenis kelamin, keluarga luas/inti, kategori sejahtera, jumlah anggota keluarga, nilai anak, status kerja ayah, umur ayah, dan lama pendidikan ayah (p > 0.01). Lama pendidikan ayah berpengaruh secara nyata terhadap curahan waktu untuk mendampingi anak (p < 0.01). Pendidikan merupakan cara untuk mentransformasikan ilmu dan ketrampilan dari pendidik ke anak didik. Semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang, maka dimungkinkan untuk memiliki ilmu dan ketrampilan yang relatif lebih tinggi dibandingkan dengan yang kurang berpendidikan.
Oleh karena itu, lama pendidikan ayah menggambarkan
penguasaan ilmu dan ketrampilan yang semakin baik pada diri ayah. Penguasaan kemampuan ini memberikan kemudahan untuk mendampingi belajar anak dibandingkan dengan orang tua (ayah) yang kurang memiliki kemampuan keilmuan. Guryan, Hurst, dan Kearney (2008) mengkaji mengenai investasi orang tua baik sumberdaya material maupun waktu yang merupakan hal penting bagi perkembangan kualitas anak. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada hubungan positif yang kuat antara pendidikan oang tua, pendapatan, dengan waktu yang dialokasikan untuk anak. Tingkat pendidikan orang tua menentukan dalam upaya pendampingan terhadap belajar anak. Hal ini dapat dimengerti karena pendampingan selain sekedar waktu mendampingi belajar tetapi juga memberikan bantuan untuk menjelaskan dan mengerjakan pekerjaan rumah serta materi pelajaran. Pada kenyataanya pengaruh pendampingan belajar anak oleh ayah mempunyai pengaruh yang baik terhadap kehidupan anak dan keberhasilan studi. Pendampingan belajar anak merupakan usaha untuk memaksimalkan kemampuan anak dalam mengikuti pendidikan. Pendampingan tersebut merupakan bagian dari dukungan penuh dari orang tua agar anak berhasil dalam pendidikan. Dukungan penuh ditempuh melalui pengeluaran biaya pendidikan dan pendampingan belajar. Survey US Departemen of Education terhadap 20.000 orang tua dimana ayah terlibat dalam urusan pendidikan anak menunjukkan adanya pengaruh baik (menghadiri pertemuan sekolah, terlibat dalam aksi sukarela di sekolah, membantu anak menyelesaikan pekerjaan rumah), dimana anak cenderung mendapat nilai baik, berpartisipasi dalam ekstrakurikuler, merasa senang di
196
sekolah, dan jarang mengulang tingkat (dalam Green 2002). Peran pendidikan ayah terhadap keberhasilan pendidikan anak tidak hanya ada jenjang sekolah lanjutan akan tetapi juga ada pada pendidikan anak di perguruan tinggi. Sewell dan Shah (1968) dalam Parents' Education and Children's Educational Aspirations and Achievements menunjukkan bahwa pendidikan ayah sedikit lebih kuat berpengaruh dibandingkan pendidikan ibu terhadap
parental encouragement,
rencana mengikuti pendidikan di perguruan tinggi, kehadiran di perguruan tinggi, dan kelulusan di perguruan tinggi pada laki-laki. Hasil penelitian tersebut menunjukkan adanya kepentingan orang tua untuk dapat mendukung anaknya berhasil dalam pendidikan. Pendampingan belajar anak oleh orang tua merupakan bentuk dari kerjasama antara sekolah dengan siswa. Pendampingan belajar merupakan bagian dari keterlibatan orang tua terhadap anak dalam hal pendidikan dengan berbagai aktivitas yang mencakup kegiatan di rumah, pengasuhan yang baik, membantu mengerjakan pekerjaan rumah (PR), pembicaraan dengan guru, menghadiri kegiatan-kegiatan sekolah, sampai dengan mengambil bagian di sekolah (Desforges dan Abouchaar 2003). Hal ini merupakan perwujudan juga dari apa yang disebut siswa aktif guru aktif dan orang tua aktif. Keaktifan secara bersama tersebut bertujuan untuk memaksimalkan kemampuan dan hasil belajar siswa. Smith (1998) mengemukakan bahwa dari berbagai keterlibatan orang tua hanya keterlibatan orang tua di rumah ditemukan mempunyai keterkaitan positif dengan peringkat nilai siswa. Ia menunjukkan hasil penelitian bahwa pendampingan belajar anak (membantu tugas berupa pekerjaan rumah) berhubungan secara positif dengan keberhasilan studi. Artinya anak yang mendapat perhatian dari orang tua melalui pendampingan belajar dapat menunjukkan adanya kemajuan positif dalam keberhasilan studi.
Analisis Regresi Faktor-faktor yang Berpengaruh terhadap Lingkungan Keluarga Lingkungan keluarga merupakan segala keadaan yang ada dalam lingkungan keluarga berupa dorongan berprestasi oleh orang tua, aspirasi pendidikan dan pekerjaan oleh orang tua, fasilitas belajar untuk anak remaja,
197
pemanfaatan waktu anak remaja, dan ikatan keluarga. Identifikasi faktor-faktor yang berpengaruh terhadap lingkungan keluarga menjelaskan berbagai faktor yang menjadi determinan terhadap lingkungan keluarga yang mencakup kelima indikator dalam lingkungan keluarga (Tabel 77). Identifikasi model lingkungan keluarga mencakup beberapa faktor, yaitu: status kerja ibu, keluarga luas/inti, kategori sejahtera, umur ibu, lama pendidikan ibu, jumlah anggota keluarga, nilai anak, waktu kerja rumah tangga, dan waktu luang. Identifikasi model tersebut signifikan (p < 0.01). Model tersebut mempunyai adjusted R square sebesar 0.110 memberikan arti bahwa lingkungan keluarga dapat dijelaskan sebesar 11% oleh variance, sedangkan sisanya sebesar 89% dijelaskan di luar variance tersebut. Adapun lingkungan keluarga mencakup dorongan berprestasi, aspirasi pendidikan dan pekerjaan, fasilitas belajar, pemanfaatan waktu, dan ikatan keluarga. Model lingkungan keluarga tersebut menunjukkan pengaruh faktor-faktor yang signifikan (p < 0.01) dan tidak signifikan (p > 0.01). Pengaruh faktor-faktor yang signifikan mencakup keluarga luas / inti (struktur keluarga), dan lama pendidikan ibu. Sedangkan faktor-faktor yang tidak signifikan adalah status kerja ibu, kategori sejahtera, umur ibu, jumlah anggota keluarga, nilai anak, waktu kerja rumah tangga, dan waktu luang. Tabel 77 Analisis regresi terhadap lingkungan keluarga Peubah Bebas Status kerja ibu Keluarga luas/inti Kategori sejahtera Umur ibu Lama pendidikan ibu Jumlah angggota keluarga Nilai Anak Waktu Kerja Rumah Tangga (House Work Time Ibu) Waktu Luang (Leisure Time Ibu) R Adjusted R Square Sig.
Koefisien distandarisasi (Beta)
Sig.
.042 .172 .016 -.071 .264 -.079 -.089 .059 -.071
.543 .005 .789 .207 .000 .192 .112 .358 .274 .369 .110 .000
198
Struktur keluarga (keluarga luas/inti) mempunyai pengaruh nyata terhadap lingkungan keluarga (p < 0.01). Hal ini memberikan arti bahwa struktur keluarga (keluarga luas / inti) dapat menjadi determinan terhadap lingkungan keluarga yang mencakup dorongan berprestasi oleh orang tua, aspirasi pendidikan dan pekerjaan oleh orang tua, fasilitas belajar untuk anak remaja, pemanfaatan waktu anak remaja, dan ikatan keluarga. Keluarga inti terdiri dari ayah, ibu, dan anak. Keluarga luas terdiri selain keluarga inti ditambah dengan anggota lain seperti nenek dan kakek serta saudara yang tinggal dalam satu rumah. Pengaruh struktur keluarga terhadap lingkungan keluarga bersifat positif. Pengaruh positif tersebut menunjukkan bahwa ada kecenderungan ke arah struktur keluarga (keluarga luas) mempunyai pengaruh terhadap lingkungan keluarga. Struktur
keluarga
berpengaruh
pula
terhadap
ikatan
keluarga.
Kecenderungan keluarga luas memberikan pengaruh terhadap ikatan keluarga. Keluarga luas terdiri dari anggota keluarga inti dan anggota keluarga lain seperti nenek dan kakek Keberadaan anggota keluarga lain dapat menciptakan keadaan dalam lingkungan keluarga dapat berinteraksi secara maksimal antara anggota keluarga. Posisi orang tua (nenek – kakek) merupakan posisi yang penting dalam kultur Jawa. Nenek – kakek merupakan payung keluarga yang menjadi pemersatu generasi keturunan mereka. Nenek – kakek merupakan peran yang dihormati anggota keluarga yang relatif lebih muda. Feiring dan Lewis (1988 dalam Loury 2006) menyebutkan bahwa para anggota keluarga dewasa dalam keluarga luas merupakan bagian penting dalam jaringan anak-anak muda, namun tipe interaksi para anggota keluarga luas berubah seiring dengan pertumbuhan anak yang semakin dewasa. Benson (1993 dalam Loury 2006) melaporkan bahwa pembicaraan serius dengan orang dewasa bukan orang tuanya meningkat dari 26% untuk tingkat 6 menjadi 39% untuk tingkat 9 dan 60% untuk tingkat dua belas. Pembicaraan serius ini merupakan wujud dari interaksi sosial yang dapat membangun ikatan keluarga lebih erat. Keberadaan anggota keluarga luas tersebut menjadikan interaksi anggota keluarga menjadi baik. Ikatan keluarga merupakan bentuk interaksi yang terjadi antara anggota keluarga dalam suatu keluarga. Coleman (1990 diacu dalam Israel dan Beaulieu tanpa tahun) menjelaskan bahwa ikatan sosial merupakan bagian
199
dari modal sosial keluarga. Coleman menyebutkan bahwa sosial kapital keluarga mencakup norma-norma sosial, jaringan sosial, dan hubungan antara orang dewasa dan anak yang berguna bagi anak-anak dalam masa pertumbuhannya. Hal ini merupakan modal sosial yang diinvestasikan khususnya dalam hubungan yang muncul melalui interaksi sosial antar angota keluarga dewasa dan anak-anak. Dengan demikian anggota keluarga luas mendukung adanya modal sosial yang diinvestasikan dalam keluarga tersebut khususnya dalam membangun interaksi sosial sehingga dapat membangun ikatan keluarga yang lebih erat. Keluarga menjadi penting untuk pengembangan sikap dan perilaku mulai dari kanak-kanak hingga remaja. Pentingnya kedekatan antara orang tua dan remaja dalam keluarga merupakan hal utama untuk membangun intekasi sosial yang baik antara anggota keluarga dewasa dan remaja. Interaksi sosial ini merupakan bentuk dari ikatan sosial yang dijalin antara para anggota keluarga. Jessor dan Jessor (1977 diacu dalam Toumbourou dan Gregg 2001) mengemukakan bahwa interaksi sosial yang positif dalam keluarga dapat meningkatkan pengaruh orang tua pada perkembangan sikap dan perilaku remaja yang baik yang dapat menurunkan tindakan-tindakan yang mengarah pada bentuk perlawanan. Lama pendidikan ibu mempunyai pengaruh nyata terhadap lingkungan keluarga (p > 0.01). Hal ini menunjukkan bahwa lama pendidikan ibu dapat menjadi determinan terhadap lingkungan keluarga. Pengaruh tersebut bersifat positif dimana memberikan arti bahwa semakin ibu berpendidikan lebih lama maka mempunyai pengaruh terhadap lingkungan keluarga secara baik. Campbell dan Parcel (2002) mengemukakan, bahwa pendidikan orang tua, tingkat pengetahuan dan investasi dalam pendidikan dan aspirasi pendidikan yang tinggi berhubungan dengan semakin baiknya lingkungan keluarga anak-anak. Begitu juga diungkapkan, bahwa keluarga utuh dan berstatus sosial ekonomi tinggi berhubungan dengan lingkungan keluarga yang baik. Davis-Kean dan Sexton (tanpa tahun) juga mengemukakan bahwa lingkungan keluarga dipengaruhi oleh pendidikan dan pendapatan Pendidikan memberikan wawasan kepada seseorang lebih luas arti penting pendidikan bagi anak. Lingkungan keluarga merupakan lingkungan dimana orang
200
tua memberikan perhatian kepada anak berkaitan dengan dorongan untuk berpestasi, aspirasi pendidikan dan pekerjaan, fasilitas belajar, pemanfaatan waktu, dan ikatan keluarga. Lama pendidikan ibu berpengaruh besar terhadap fasilitas belajar dan ikatan keluarga. Lama pendidikan ibu berpengaruh secara nyata terhadap fasilitas belajar. Pengaruh ini menunjukkan bahwa lama pendidikan ibu mempunyai kontribusi dukungan terhadap keberhasilan belajar anak melalui pemenuhan fasilitas belajar. Semakin tinggi pendidikan orang tua maka menunjukkan adanya kecenderungan mempunyai harapan
tingkat
pendidikan anak yang lebih tinggi, memberi dukungan kepada anak untuk melakukan yang terbaik di sekolahan, dan pengharapan yang tinggi terhadap prestasi akademik anak (Davis-Kean & Schnabel 2002 diacu dalam Davis-Kean dan Sexton tanpa tahun). Harapan-harapan yang berkaitan dengan pendidikan anak yang lebih tinggi dan baik tersebut merupakan cerminan dari aspirasi orang tua terhadap pendidikan dan pekerjaan anak. Pendidikan ibu memungkinkan mempunyai wawasan arti penting keberhasilan pendidikan anak dengan memberikan fasilitas kepada anak berkaitan dengan kepentingan pendidikan anak. Dukungan pendidikan anak tersebut mewujud dalam fasilitas yang disediakan dan dipenuhi untuk pendidikan anak. Tingkat pendidikan menjadikan orang tua menyadari arti penting pendidikan untuk masa depan anak. Pendidikan merupakan investasi pada anak yang akan meningkatkan kemampuan anak dalam bidang tertentu sehingga dapat masuk dalam pasar tenaga kerja.
Analisis Regresi Faktor-faktor yang Berpengaruh terhadap Kecerdasan Emosi Remaja
Kecerdasan emosi adalah kemampuan seseorang mengatur kehidupan emosinya dengan inteligensi, menjaga keselarasan emosi dan pengungkapannya melalui ketrampilan kesadaran diri, pengendalian diri, motivasi diri, empati dan ketrampilan sosial (Goleman 1995). Goleman mengemukakan bahwa emosi merujuk pada suatu perasaan dan pikiran yang khas, suatu keadaan biologis dan psikologis, dan serangkaian kecenderungan untuk bertindak. Menurut Oxford Dictionary emosi diartikan sebagai setiap kegiatan atau pergolakan pikiran,
201
perasaan, nafsu; setiap keadaan mental yang hebat atau meluap-luap. Emosi pada diri seseorang dibentuk tidak lepas dari lingkungan dimana anak berada. Keluarga merupakan lembaga yang paling pertama menjadi lingkungan dimana anak lahir, diasuh, dan dibesarkan. Tabel 78 Analisis regresi faktor-faktor yang mempengaruhi kecerdasan emosi Peubah Bebas Jenis kelamin Status kerja ibu Keluarga luas/inti Kategori sejahtera Status Sekolah Lingkungan Keluarga Lingkungan Sekolah Umur Ibu Lama pendidikan ibu Jumlah angggota keluarga R Adjusted R Square Sig.
Koefisien distandarisasi (Beta)
Sig.
.059 -.009 .013 .053 -.138 .266 .416 -.041 -.093 .038
.225 .845 .797 .296 .006 .000 .000 .392 .078 .478 .600 .338 .000
Identifikasi kecerdasan emosi mencakup jenis kelamin anak, status kerja ibu, keluarga luas/inti, kategori sejahtera, status sekolah, lingkungan keluarga, lingkungan sekolah, umur ibu, lama pendidikan ibu, jumlah anggota keluarga. Identifikasi model tersebut signifikan (p < 0.01). Model tersebut mempuyai adjusted R square sebesar 0.338 memberikan arti bahwa kecerdasan emosi remaja dapat dijelaskan sebesar 33.8% oleh variance, sedangkan sisanya sebesar 72.2% dijelaskan di luar variance tersebut. Model kecerdasan emosi tersebut menunjukkan adanya pengaruh faktorfaktor yang signifkan (p < 0.01) dan tidak signifikan (p > 0.01). Pengaruh faktorfaktor yang signifkan (p < 0.01) mencakup status sekolah, lingkungan keluarga, dan lingkungan sekolah. Sedangkan lama pendidikan ibu mempunyai pengaruh signifikan dengan catatan pada level p < 0.01). Adapun pengaruh faktor-faktor yang tidak signifikan adalah jenis kelamin, status kerja ibu, keluarga luas/inti, kategori sejahtera, umur ibu, dan jumlah anggota keluarga. Hasil analisa statistik lingkungan keluarga terhadap kecerdasan emosi menunjukkan hasil pengaruh signifikan (p < 0.01). Lingkungan keluarga
202
merupakan lingkungan pertama dan utama bagi tumbuh kembang anak. Lingkungan keluarga mempunyai sumberdaya yang dipergunakan untuk mendukung tumbuh kembang anak. Deacon (tanpa tahun) juga mengemukakan bahwa resources mencakup sumberdaya manusia (human resources) dan samburdaya material (material resources). Sumberdaya manusia merupakan segala sesuatu yang diberikan pada orang yang dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan. Sumberdaya manusia menunjukkan karakteristik pribadi (personal characteristic) seperti cognitive insights, psychomotoric skill, affective attributes, health, energy, dan time. Material resources merupakan nonhuman means untuk mencapai tujuan-tujuan dan kegiatan-kegiatan. Material resources mencakup consumption good, housing, household capital, physical energy, money, dan investments. Keluarga adalah orang yang bertempat tinggal bersama yang dihubungkan dengan ikatan-ikatan biologis, perkawinan, adat istiadat, atau dengan adopsi (Sussman & Steinmetz 1987). Reuter (1989) memberikan batasan keluarga sebagai dua orang atau lebih yang dihubungkan dengan darah, adopsi, perkawinan atau kesepakatan untuk hidup di dalam rumahtangga yang sama. Namun lebih khusus lagi dalam UU No 10 tahun 1992 dinyatakan bahwa keluarga adalah unit terkecil dalam masyarakat yang terdiri dari suami istri, atau suami-istri dengan anaknya, atau ayah dengan anaknya, atau ibu dengan anaknya (BKKBN 1996). Mattessich and Hill (1987 dikutip dalam Zeitlin et al 1995) menjelaskan bahwa keluarga merupakan kelompok yang dihubungkan dengan adanya pertalian keluarga, tempat tinggal, atau ikatan emosional yang
erat dan mereka
menunjukkan empat ciri-ciri yang bersifat sistemik, yaitu saling ketergantungan yang erat, pelestarian ikatan, kemampuan untuk menyesuaikan terhadap perubahan dan menjaga identitas mereka sepanjang masa, dan melaksanakan tugas-tugas keluarga. Tugas-tugas keluarga tersebut mencakup pemeliharaan jasmani, sosialisasi dan pendidikan, kontrol sosial dan perilaku seksual, memelihara moral dan motivasi keluarga untuk menjalankan peran di dalam dan di luar keluarga, penambahan angota keluarga dewasa dengan pemilihan pasangan, penambahan anggota keluarga baru melalui kelahiran dan adopsi. Aneka tugas keluarga tersebut menjadikan keluarga sebagai lingkungan
203
yang sangat penting untuk membentuk anak agar berkembang secara positif dalam berbagai hal. Lingkungan keluarga dapat menjadi dukungan kuat terhadap perkembangan remaja dengan mewujudkan hubungan sosial yang erat, ketrampilan pengasuhan yang baik, komunikasi yang baik, perilaku orang tua sebagai model yang positif (Aufseeser 2006). Lingkungan keluarga menjadi tempat yang menentukan untuk perkembangan positif anak dimana usia remaja merupakan tahap transisi dari masa kanak-kanak ke masa remaja. Namun transisi tersebut dipengaruhi oleh keadaan dari masing-masing keluarga. Keretakan keluarga, ketidakberuntungan keluarga, dan penderitaan anggota keluarga (penyakit mental, penyalahgunaan obat, atau cacat) dapat membuat transisi menjadi sulit (Toumbourou & Gregg 2001). Hasil analisa statistik lingkungan sekolah berpengaruh positif terhadap kecerdasan emosi (p < 0.01).
Hasil analisa ini memberikan makna bahwa
semakin baik lingkungan sekolah maka semakin menunjukkan kecerdasan emosi. Hasil ini diperjelas dengan analisa statistik status sekolah berpengaruh negatif terhadap kecerdasan emosi (p < 0.01). Hasil analisa tersebut memberikan makna bahwa semakin status sekolah swasta maka semakin mengalami penurunan kecerdasan emosional. Atau dengan kata lain sekolah negeri cenderung menunjukkan kecerdasan emosi yang lebih baik. Hasil ini jika dikaitkan dengan pengaruh lingkungan sekolah dengan kecerdasan emosi maka dapat disimpulkan juga bahwa lingkungan sekolah negeri cenderung mempunyai kontribusi terhadap kecerdasan emosi. Somersole (2002) mengemukakan adanya beberapa penelitian yang memfokuskan keterkaitan antara sekolah dengan masalah kesehatan mental siswa khususnya iklim ruang kelas. Hubungan terjadi antara iklim ruang kelas dengan masalah emosi dan perilaku siswa baik laki-laki maupun perempuan. Temuan menunjukkan bahwa lingkungan ruang kelas yang nyaman menguntungkan pada para siswa. Iklim ruang kelas yang buruk disebabkan oleh perilaku siswa yang mengacau suasana kenyamanan kelas dan memberikan pengaruh negatif terhadap kondisi selama pelajaran berlangsung. Fakta menunjukkan bahwa sekolah negeri cenderung memiliki lingkungan sekolah (guru, iklim belajar, aktivitas siswa, dan kondisi sekolah) yang cenderung
204
lebih baik dibandingkan dengan sekolah swasta. Hal ini dibuktikan dengan hasil uji beda antara sekolah negeri dan swasta berkenaan dengan lingkungan sekolah dimana ada perbedaan nyata lingkungan sekolah negeri dan swasta (Tabel 19). Perbedaan ini memberikan informasi bahwa lingkungan sekolah negeri lebih baik dibandingkan dengan sekolah swasta. Tentunya kondisi ini memberikan dukungan terhadap proses kegiatan belajar mengajar di sekolah tersebut.
Analisis Regresi Faktor-faktor yang Berpengaruh terhadap Kecerdasan Intelektual Remaja Kecerdasan intelektual remaja merupakan ukuran kemampuan intelektual pada diri remaja. Wikipedia memberikan definisi mengenai intelligence berasal dari istilah Latin yang berarti memahami. Selanjutnya Wikipedia menjelaskan bahwa
intelligence
adalah
suatu
istilah
besar
yang
digunakan
untuk
menggambarkan kemampuan untuk berpikir yang mencakup banyak kemampuan; seperti penalaran, membuat rencana, memecahkan permasalahan, berpikir secara abstrak, berpikir secara luas, menggunakan tatabahasa, dan untuk belajar. Wikipedia Foundation (2007) mengemukakan bahwa kecerdasan intelektual tersebut menjadi prediktor terhadap pencapaian intelektual, seperti prestasi belajar. Bahkan kecerdasan intelektual juga berkorelasi dengan kemampuan kerja dan pendapatan, serta kesehatan. Kecerdasan intelektual menjadi prediktor terhadap prestasi belajar menegaskan bahwa nilai kecerdasan intelektual siswa dapat menjadi gambaran akan kemampuan siswa untuk meraih prestasi akademis dalam lingkungan sekolah tertentu. Tabel 79 merupakan model faktor-faktor yang diduga berpengaruh terhadap kecerdasan intelektual siswa. Identifikasi model kecerdasan intelektual siswa mencakup beberapa faktor jenis kelamin, status kerja ibu, struktur keluarga (keluarga luas/inti), kategori sejahtera, lingkungan keluarga, lingkungan sekolah, nilai anak, jumlah anggota keluarga, morbiditas, lama pendidikan ibu, umur ibu, sikap gizi ibu, dan pendampingan anak belajar. Identifikais model tersebut menunjukkan hasil signifikan (p < 0.01). Model tersebut mempunyai adjusted R square sebesar 0.221 yang bermakna bahwa kecerdasan intelektual siswa dapat dijelaskan sebesar
205
22.1% oleh variance, sedangkan sisanya sebesar 77.9% dijelaskan di luar variance tersebut.
Tabel 79 Analisis regresi faktor-faktor yang berpengaruh terhadap IQ Peubah Bebas Jenis kelamin Status kerja ibu Keluarga luas/inti Kategori sejahtera Lingkungan Keluarga Lingkungan Sekolah Nilai Anak Jumlah Anggota Keluarga Morbiditas Lama pendidikan ibu Umur ibu Sikap Gizi Ibu Mendamping anak belajar (ibu) R Adjusted R Square Sig.
Koefisien distandarisasi (Beta)
Sig.
.024 -.035 -.145 .019 .039 .191 -.031 .067 -.078 .324 .073 .073 .014
.646 .498 .011 .734 .513 .001 .592 .244 .161 .000 .167 .242 .795 .505 .221 .000
Model kecerdasan intelektual siswa menunjukkan pengaruh faktor-faktor yang signifikan (p < 0.01) dan tidak signifikan (p > 0.01). Pengaruh faktor-faktor yang signifikan (p < 0.01) mencakup faktor strukur keluarga, lingkungan sekolah, dan lama pendidikan ibu, namun ada faktor usia ibu dapat disebut signifikan pada level signifikansi p < 0.01). Sedangkan pengaruh faktor-faktor yang tidak signifikan mencakup jenis kelamin, tipe keluarga, kategori sejahera, lingkungan keluarga, nilai anak, jumlah anggota keluarga, morbiditas, sikap gizi ibu, dan mendapingi anak belajar. Struktur keluarga menunjukkan pengaruh signifikan terhadap kecerdasan intelektual (p < 0.01). Namun pengaruh struktur keluarga terhadap kecerdasan intelektual tersebut bersifat negatif. Pengaruh negatif mempunyai penjelasan bahwa semakin keluarga tersebut merupakan tipe keluarga inti maka semakin menunjukkan kecerdasan intelektual anak yang semakin baik. Hal ini dimaknai bahwa perbedaan keluarga inti dengan keluarga luas adalah pada kuantitas anggota keluarga yang berada pada satu hunian. Artinya apabila keluarga tersebut bertipe keluarga luas maka kuantitas anggota keluarga akan lebih banyak
206
dibandingkan dengan keluarga inti. Perbedaan jumlah anggota tersebut tentunya memberikan dampak terhadap berbagai segi kehidupan keluarga, paling tidak pada segi ekonomi. Dampak pada segi ekonomis pada keluarga luas adalah berupa pengeluaran (pangan) akan lebih banyak, sehingga alokasi pangan kepada anak tidak merata dengan baik. Lingkungan sekolah berpengaruh nyata terhadap kecerdasan intelektual siswa. Pengaruh tersebut bersifat positif sehingga apabila semakin lingkungan sekolah tersebut baik maka semakin menunjukkan siswa yang memiliki kecerdasan intelektual. Lingkungan sekolah tersebut mencakup guru, aktivitas siswa, kondisi sekolah, dan iklim belajar. Artinya semakin baik kinerja guru, aktivitas siswa, kondisi sekolah, dan iklim belajar maka semakin menunjukkan kecerdasan intelektual siswa yang semakin baik. Mekanisme siswa memilih sekolah sangat menentukan keberadaan siswa dalam lingkungan sekolah tertentu. Pada hakekatnya seleksi dilakukan dengan menentukan siswa menurut kriteria kemampuan akademis dan kemampuan plus (prestasi dalam lomba preseorangan maupun kelompok). Seleksi demikian menjadikan lemaga-lembaga pendidikan menerima siswa berdasarkan pestasi sehingga terjadi pengelompokkan siswa. Pengelompokkan siswa tersebut mengikuti pola dari prestasi tertinggi sampai terendah. Oleh karena itu terjadi strata lembaga pendidikan, dimana ada sekolah yang sangat maju sampai yang kurang maju. Sebagaimana diungkapkan dalam Educaton for All (UNESCO 2003/04) bahwa upaya partisipasi secara umum dalam pendidikan secara mendasar tergantung pada kualitas pendidikan yang ada. Orang tua mengirim anak-anak mereka ke sekolah tergantung pada penilaian yang mereka buat berkenaan dengan kualitas pengajaran dan pembelajaran yang dilakukan di sekolah tersebut. Kondisi fasilitas dan sumberdaya manusia sekolah negeri secara umum cenderung lebih baik dibandingkan dengan sekolah swasta. Hal ini menjadi daya tarik dalam melakukan pemilihan sekolahan lanjutan. Oleh karena itu, seleksi tersebut menempatkan siswa-siswa berprestasi dalam suatu lingkungan pendidikan tertentu. Keragaman lembaga dalam strata lembaga pendidikan menunjukkan adanya
perbedaan
aktivitas
dalam
lingkungan
sekolah
masing-masing.
207
Lingkungan sekolah tersebut mencakup guru, aktivitas siswa, iklim belajar, dan kondisi sekolah. Sekolah yang maju mempunyai tenaga pengajar yang relatif lebih baik, aktivitas siswa yang beragam, iklim belajar yang mendukung belajar mengajar, dan kondisi sekolah yang relatif lebih baik. Keadaan lingkungan sekolah yang baik tersebut menciptakan kondisi yang mendukung perkembangan kecerdasan intelektual anak. Penelitian Scheeren et al (1989 diacu dalam Rowe 2000) membuktikan bahwa kelas atau guru mempunyai peran penting. Dari 9 negara ada 8 negara menunjukkan proporsi variansi prestsi belajar siswa dikarenakan pengaruh guru dan kelas anara 16% sampai dengan 40%, dimana sekolah mempunyai pengaruh kecil antara 0 sampai dengan 9%. Peran guru sangat penting dalam menciptakan kondisi belajar mengajar sehingga mampu memberikan kontribusi bagi perkembangan kemampuan siswa. Darling-Hammond (2000 dalam Rowe 2000) mengemukakan akan pentingnya guru dan kelas. Pengaruh kualitas mengajar yang buruk pada prestasi siswa adalah bersifat melemahkan dan bersifat kumulatif. Pengaruh kualitas mengajar pada hasil pendidikan adalah lebih besar dibandingkan dengan yang diakibatkan dari latar belakang siswa. Percaya pada standart kurikulum dan penilaian keseluruh negara tanpa memperhatikan kualiatas guru membuat pencapaian perbaikan yang kurang memadai terrhadap prestasi siswa. Kualitas pendidikan guru pengajaran sangat berhubungan erat dengan prestasi siswa dibandingkan ukuran kelas, level keseluruhan pengeluaran atau gaji guru. Peran guru dalam lingkungan sekolah menjadi peran yang penting. Guru melakukan interaksi secara langsung dengan siswa dalam proses transfer ilmu dan pengetahuan. Guru secara khusus di lingkungan sekolah bertugas merangsang dan membina perkembangan intelektual anak serta membina pertumbuhan sikap-sikap dan nilai-nilai dalam diri anak (Munandar 1992). Selain itu menurut Masbullah (1999) guru sebagai pendidik formal diperlukan syarat profesional (ijasah), syarat biologis (kesehatan jasmani), syarat psikologis (kesehatan mental), dan syarat paedagogis dan didaktik (pendidikan dan pengajaran). Apabila syarat-syarat tersebut dipenuhi maka diharapkan mendukung proses pendidikan secara baik. Guru mempunyai peran penting dalam dunia pendidikan, karena transformasi ilmu dilakukan melalui guru. Koedel (2007) mengemukakan
208
temuannya bahwa guru berperan dalam meningkatkan prestasi belajar siswa. Sama halnya dengan John Goodlad dalam bukunya Behind the Classroom Doors (diacu dalam Suyanto 2007) menunjukkan bahwa peran guru amat signifikan bagi setiap keberhasilan proses pembelajaran. Ketika para guru telah memasuki ruang kelas dan menutup rapat-rapat pintu kelas, maka kualitas pembelajaran akan lebih banyak ditentukan oleh guru. Guru menjadi sangat berperan dalam pengembangan intelektual, sikap-sikap, dan nilai-nilai. Begitu juga halnya penelitian Centra & Potter (1980) membuktikan adanya pengaruh variabel sekolah dan guru terhadap student achievement. Dukungan terhadap proses pendidikan juga ditentukan oleh fasilitas lingkungan sekolah. Pencapaian output pendidikan yang baik dibutuhkan juga faktor pelayanan,
sarana dan
prasarana
yang mencakup
perpustakaan,
laboratorium dan bengkel, olahraga dan rekreasi, musik dan seni lainnya, serta bimbingan dan penyuluhan (Munandar 1992). Begitu juga EFA-Global Monitoring Report (2003/2004) mengemukakan bahwa keberhasilan pengajaran dan pembelajaran sangat dipengaruhi oleh sumberdaya yang menopang proses dan mengarahkan bagaimana sumberdaya dikelola. Sumberdaya tersebut mencakup guru, buku pelajaran atau bahan pelajaran yang membuat pekerjaan menjadi efektif. Namun guru merupakan unsur yang pokok dalam proses pendidikan. Lama pendidikan ibu berpengaruh nyata terhadap kualitas remaja, khususnya kecerdasan intelektual. Lama pendidikan memberikan makna bahwa jumlah waktu untuk menyelesaikan pendidikan menjadi gambaran bahwa semakin lama pendidikan maka semakin tinggi tingkat pendidikan. Data Statistik Indonesia (2007) menjelaskan bahwa sistem pendidikan di Indonesia membutuhkan lama studi dari jenjang sekolah dasar sampai dengan perguruan tinggi dengan perincian waktu sebagai berikut: sekolah dasar selama 6 tahun, sekolah lanjutan tingkat pertama selama 3 tahun, sekolah lanjutan tingkat atas selama 3 tahun, diploma (DI, DII, DIII) selama 3 tahun, sarjana (S1) selama 4 tahun, strata dua (S2) selama 3 tahun, dan strata 3 (S3) selama 4 tahun. Waktu untuk menyelesaikan studi lengkap dari SD sampai dengan S3 adalah
24
tahun. Waktu atau lama
pendidikan tersebut diinterpretasikan juga sebagai jenjang pendidikan terakhir yang ditempuh oleh seseorang.
209
Lama pendidikan ibu ternyata berpengaruh terhadap kecerdasan intelektual anak. Semakin tinggi pendidikan orang tua maka semakin jelas menunjukkan keinginan keinginan pendidikan serta prestasi akademis yang lebih tinggi (DavisKean & Sexton tanpa tahun). Thomas et al (1991) mengemukakan bahwa banyak kajian telah menunjukkan bahwa pendidikan orang tua mempunyai pengaruh positif yang signifikan terhadap kesehatan anak. Thomas mengidentifikasi mekanisme melalui pengaruh pendidikan ibu terhadap indikator kesehatan anak dengan tinggi berdasarkan umur dan jenis kelamin. Indikator kesehatan ini merupakan bagian dari kualitas anak atau remaja itu sendiri. Lama pendidikan ibu juga berpengaruh terhadap IQ siswa secara positif. Hal ini sama dengan penelitian Breslau et al (2001) dimana dalam model 2 – nya menemukan bahwa level pendidikan ibu berhubungan secara positif terhadap IQ anak, sama halnya dengan variabel maternal IQ dan marital status. McGowan dan Johnson (1984) menemukan juga bahwa lama pendidikan ibu memberikan kontribusi untuk mengembangkan kecerdasan intelektual anak pada usia 3 tahun. Dengan demikian lama pendidikan ibu memberikan pengaruh pada kecerdasan intelektual anak. Analisis Regresi Faktor-faktor yang Berpengaruh terhadap Status Gizi Remaja Status gizi merupakan salah satu unsur dari kualitas manusia. Untuk mengukur status gizi dapat digunakan cara antropometri. Anthropometry merupakan metode langsung yang lazim digunakan untuk mengukur: 1) body mass (berat tubuh); 2) linier dimension, ketinggian atau panjang; 3) body composition dan reserves kalori dan protein yang dicerminkan dengan lemak subkutan dan otot (WHO 1995; Arisman 2002). Pengukuran status gizi menggunakan perbandingan antara berat tubuh dan ketinggian yang kemudian dikoreksi dengan umur contoh serta jenis kelamin. Status gizi kemudian dikategorikan kedalam normal dan tidak normal. Status gizi diduga dipengaruhi oleh berbagai faktor sebagaimana dalam Tabel 80 di bawah. Identifikasi status gizi remaja mencakup jenis kelamin, kerja ayah, kerja ibu, struktur keluarga, kategori keluarga, sikap gizi ibu, nilai anak, morbiditas, lama pendidikan ibu, jumlah anggota keluarga, pekerjaan rumah ibu, dan waktu
210
kerja ibu. Model tersebut mempunyai nilai R square sebesar 0.144 memberikan arti bahwa status gizi remaja dapat dijelaskan sebesar 14.4% oleh variance, sedangkan sisanya sebesar 85.6% dijelaskan di luar variance tersebut. Model status gizi remaja tersebut menunjukkan adanya pengaruh faktorfaktor yang signifikan (p<0.01 dan p<0.05) dan tidak signifikan (p>0.01). Pengaruh faktor yang signifikan (p<0.01) adalah jenis kelamin contoh, sedangkan faktor berpengaruh (p<0.05) adalah status kerja ibu. Adapun faktor-faktor yang tidak berpengaruh secara signifikan (p>0.01) adalah status kerja ayah, struktur keluarga, kategori keluarga, sikap gizi ibu, nilai anak, morbiditas, lama pendidikan ibu, jumlah anggota keluarga, kerja rumah ibu, dan waktu kerja ibu. Tabel 80 Analisis faktor-faktor yang berpengaruh terhadap status gizi remaja Regresi Logistik
Regresi Linier
Peubah
Unstandard ized Coefficients
Standardiz ed Coefficients
Sig.
-10.347
-.225
.000
-.143
.048
B -1.028 -1.259
Wald 12.738 1.335
Sig. .000 .248
Exp(B) .358 .284
Kerja ibu Struktur keluarga
-.739 .534
3.923 1.998
.048 .158
.477 1.707
-6.636
Kategori keluarga Sikap gizi (ibu)
-.404 -.031
.690 2.361
.406 .124
.668 .969
1.746
.025
.685
-.310
-.106
.114
Nilai anak Morbiditas
.022 -.005
1.049 .390
.306 .532
1.022 .995
Lama pendidikan ibu Jumlah anggota keluarga
-.008 -.037
.035 .090
.852 .764
Pekerjaan rumah ibu Waktu kerja ibu
-.057 .059
.771 .990
.380 .320
Jenis Kelamin Kerja ayah
Nagelkerke R Square
.097
.029
.641
-.023
-.019
.764
.992 .964
-.248
-.040
.566
-.339
-.019
.738
.945 1.061
-.911
-.119
.138
.078
.014
.882
.144
R Adjusted R Square
.292 .085
Sig
.054
Hasil analisa statistik pengaruh jenis kelamin terhadap status gizi remaja menunjukkan hasil pengaruh secara nyata (p<0,01) dengan peluang atau nilai odd ratio sebesar 358, artinya remaja laki-laki berpeluang kurang dari satu atau 0.358 kali untuk mempunyai status gizi normal dibandingkan dengan remaja perempuan. Hasil analisa ini didukung juga dengan hasil analisa deskriptif Tabel
211
55
mengenai kategori normal dan tidak normal status gizi remaja berdasarkan
IMT/U dan jenis kelamin. Hasil dari analisa deskriptif tersebut menunjukkan bahwa perempuan cenderung mempunyai status gizi normal dibandingkan dengan laki-laki. Status gizi perempuan ada pada kategori normal sebanyak 116 (80%) dan tidak normal sebanyak 29 (20%). Status gizi perempuan tidak normal terinci sebanyak 8 (5.5%) gemuk dan 21 (14.5%) kurus. Status gizi laki-laki ada pada kategori normal sebanyak 86 (55.5%) dan tidak normal sebanyak 69 (44.5%). Status gizi tidak normal laki-laki terinci sebanyak 9 (5.8%) gemuk dan 60 (38.7%) kurus. Berdasarkan analisa regresi dan didukung dengan analisa deskriptif tersebut maka dapat disimpulkan bahwa status gizi remaja dipengaruhi oleh jenis kelamin, dimana perempuan mempunyai status gizi normal dibandingkan dengan laki-laki. Status gizi tersebut tidak lepas dari masalah yang berkaitan dengan dari asupan pangan dan adanya gangguan kesehatan. Hasil ini bertentangan dengan temuan dari Anwer dan Awan (2003) mengenai perbandingan status gizi anak sekolah di pedesaan dan perkotaan di Faisalabad, Pakistan. Hasil temuan penelitian tersebut menunjukkan bahwa proporsi status gizi tidak normal lebih tinggi perempuan dibandingkan dengan laki-laki. Penelitian mengenai status gizi yang buruk pada perempuan tersebut tidak lepas juga dari adanya budaya dimana perempuan mendapatkan bagian makan lebih sedikit dibandingkan dengan pria (Pakistan Planning Commission 2001 diacu dalam Anwer dan Awar 2003). Penelitian ini menunjukkan bahwa asupan pangan dipengaruhi juga oleh budaya dimana laki-laki memperoleh tempat istimewa termasuk dalam mendapatkan bagian pangan yang dikonsumsi. Laki-laki dianggap sebagai penjain masa tua sehungga perlu memberi makan yang baik dan menjaga agar jangan sampai sakit. Keadaan berkenaan dengan pangan ini tidak lepas dari faktor sosial budaya setempat. Foster dan Anderson (1986) mengemukakan bahwa nutrisi dapat dipandang juga sebagai ciri lingkungan sosiobudaya. Nutrisi tentu tidak dapat melewati batas dari yang disediakan oleh alam sekitar. Namun nutrisi tersebut merupakan masalah kebudayaan. Nutrisi adalah juga bagian dari lingkungan sosiobudaya dalam situasi dimana, misalnya, pria makan lebih dulu dan menerima lebih banyak makanan yang kaya protein, sedangkan wanita dan
212
anak-anak memperoleh sisanya, sehingga seringkali hal itu mengakibatkan mereka kekurangan nutrisi yang serius. Hasil penelitian tersebut memang berbeda dengan hasil penelitian bahwasanya perempuan mempunyai status gizi normal dibandingkan dengan lakilaki. Anwer dan Awan (2003) mengemukakan bahwa keadaan status gizi pada setiap komunitas tergantung pada berbagai faktor, seperti: ketahanan pangan, keamanan pangan, status sosial, diskriminasi gender, pendidikan perempuan, tempat tinggal, perawatan kesehatan, ketersediaan air dan sanitasi. Khususnya menyangkut diskriminasi gender dapat dikatakan bukan merupakan kendala yang terjadi pada masyarakat. Hal ini dapat dilihat bahwa pada umumnya anak-anak perempuan disekolahkan. Kesempatan anak-anak perempuan tersebut dapat menuntut pendidikan sama dengan anak laki-laki merupakan pertanda bahwa mereka tidak dibedakan dalam proses pendidikan. Bahkan sebagian besar keluarga baik ayah maupun ibu juga mempunyai riwayat pendidikan yang baik. Lama pendidikan ayah lebih dari 12 tahun atau setara dengan sekolah lanjutan atas mencapai 54.3%. Namun lama pendidikan ibu lebih dari 12 tahun atau setara dengan sekolah lanjutan atas hanya 47.3%. Pendidikan terendah ayah dan ibu adalah sekolah dasar. Pengalaman pendidikan orang tua tersebut setidaknya memberikan wawasan arti penting pendidikan bagi anak tanpa memandang gender. Gambaran mengenai kesempatan pendidikan anak dan riwayat pendidikan orang tua tersebut dapat diartikan tidak ada perbedaan perlakuan terhadap anak laki-laki dan perempuan dalam segala hal. Maka akan dimungkinkan tidak membedakan pula dalam hal asupan pangan untuk anak-anak mereka baik lakilaki maupun perempuan. Keadaan ini tentunya memberikan peluang anak perempuan memperoleh makanan yang dibutuhkan untuk pertumbuhan fisik mereka. Status kerja ibu mempengaruhi secara nyata dan negatif (p<0.05) terhadap status gizi remaja dengan peluang atau nilai odd ratio sebesar 477, artinya ibu yang bekerja kemungkinan mempunyai anak berstatus gizi normal kurang dari satu atau 0.477 dibandingkan dengan ibu yang bekerja. Pengaruh status kerja ibu terhadap kesehatan anak sering diperdebatkan. Hobcraft dan McDonald (1984
213
diacu dalam Deeb 2005) mengungkapkan bahwa perempuan yang bekerja di sektor formal mampu memberikan kontribusi terhadap pendapatan keluarga serta memperkuat status mereka didalam rumah tangga dan juga masyarakat. Namun perempuan yang bekerja di luar rumah memberikan hambatan pada para ibu untuk memberikan perawatan yang memadai untuk anak mereka. Hal ini dapat diartikan bahwa ibu tidak bekerja dapat mencurahkan perhatian untuk kesehatan anak. Perhatian terhadap kesehatan tersebut memungkinkan adanya kontribusi terhadap kesehatan anak yang baik. Kesehatan anak yang baik dicerminkan dengan status gizi anak (remaja) normal. Penelitian lain berkenaan dengan status kerja, peran gender dan spesialisasi kerja dalam rumah tangga menunjukkan hasil berbeda. Meskipun ibu bekerja dan berpendapatan akan tetapi tetap memiliki peran yang tidak dapat digantikan dalam perawatan anak. Status kerja ibu berpengaruh terhadap jumlah alokasi waktu untuk rumah tangga. Pembagian kerja dalam rumah tangga antara ayah dan ibu dipengaruhi oleh keterserapan ayah atau ibu dalam pasar tenaga kerja. Fernandes dan Sanz (2006) mengemukakan bahwa adanya peningkatan human capital perempuan maka meningkatkan partisipasi tenaga kerja perempuan dan mengurangi waktu perempuan yang diabdikan untuk produksi rumah tangga. Selanjutnya Fernandes dan Sanz mengemukakan juga meskipun ibu bekerja di sektor formal bukan berarti tanggung jawab untuk mengelola rumah tangga menjadi berkurang. Perempuan yang bekerja dan berpendapatan tidak serta merta lepas tangan untuk mengurus rumahtangga. Ini dikaitkan dengan norma sosial mengenai peran gender dan spesialisasi pekerjaan dalam rumah tangga dimana perempuan memiliki tanggung jawab berbeda dengan laki-laki dalam mengelola rumah tangga. Norma sosial peran gender memposisikan perempuan untuk dapat mengalokasikan waktu untuk perawatan anak. Pemanfaatan waktu untuk perawatan ini memberikan kontribusi terhadap kesehatan anak yang terwujud dalam status gizi anak. Leibowitz (diacu dalam Waldfogel 2003) mengemukakan pengaruh ibu bekerja terhadap kesehatan anak tidaklah nyata secara jelas karena menunjukkan pengaruh baik positif maupun negatif. Pada satu sisi ibu bekerja di pasar tenaga kerja kurang mempunyai waktu dialokasikan untuk anaknya serta aktivitas
214
sebagai upaya meningkatkan kesehatan anak di rumah. Seorang ibu yang bekerja barangkali juga tertekan dan memungkinkan menjadi kurang peka atau kurang merawat anak meskipun ia ada di rumah.
Di sisi lain, ibu bekerja akan
meningkatkan pendapatan keluarga dan juga upaya akses pada asuransi kesehatan, keduanya dapat memperbaiki kesehatan anak. Apabila pekerjaannya mendapatkan ganjaran dan memuaskan ibu bekerja memiliki kesehatan mental dan mungkin memberikann perawatan pada anak yang lebih baik selama ia di rumah. Analisis Regresi Beberapa Faktor Yang Berpengaruh terhadap Kualitas Remaja Kualitas remaja merupakan suatu kesatuan dari aspek fisik dan non fisik. Syarief (1997) mendefinisikan kualitas sebagai gabungan karakteristik yang menentukan derajat kehandalan (degree of excellence). Oleh karena itu, kualitas SDM dapat didefiniskan sebagai gabungan dari karakteristik segenap sumberdaya yang ada dalam diri manusia, mencakup karakteristik fisik, akal, kalbu, dan nafsu yang menentukan kehandalan manusia baik sebagai makhluk individu maupun makhluk sosial. Kualitas fisik dicerminkan oleh kesehatan dan ketahanan jasmani yang memungkinkan seseorang dapat hidup sehat, aktif, produktif, dan berumur panjang. Kualitas akal dicerminkan oleh daya pikir atau kecerdasan intelektual. Manusia yang berakal selalu terdorong untuk menggali rahasia alam dan kehidupan, dan dengan itu ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) berkembang. Kualitas kalbu dicerminkan oleh keluhuran budi pekerti, moral dan akhlak. Dengan demikian dalam kualitas remaja tersebut mengandung unsur kualitas fisik (jasmani), kualitas akal (kecerdasan intelektual), dan kualitas kalbu (mental spiritual). Ketiga aspek dalam kualitas remaja tersebut mencakup status gizi (kualitas fisik), kecerdasan emosional (kualitas kalbu), dan kecerdasan intelektual (kualitas akal). Ketiga aspek tersebut bukan lagi merupakan aspek-aspek yang terpisah-pisah melainkan melebur menjadi satu kesatuan ukuran mengeai kualitas remaja. Adapun beberapa faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kualitas remaja ada dalam Tabel 81.
215
Analisa terhadap beberapa faktor yang berpengaruh terhadap kualitas remaja mencakup jenis kelamin, status kerja ibu, keluarga luas/inti, kategori sejahtera, status sekolah, lingkungan keluarga, lingkungan seolah, nilai anak, umur ibu, jumlah anggota keluarga, morbiditas, pendampingan belajar ibu, pekerjaan di rumah (ibu), sikap gizi ibu, lama pendidikan ibu, dan investasi pendidikan. Analisa model tersebut mennunjukkan hasil signifikan p < 0.01). Model ini mempunyai adjusted R square sebesar 0.193 artinya bahwa kualitas remaja dapat dijelaskan sebesar 19.3% oleh variance, sedangkan sisanya sebesar 80.7% dijelaskan di luar variance tersebut. Tabel 81 Analisis regresi Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kualitas remaja Peubah Bebas Status kerja ibu Keluarga luas/inti Jenis kelamin Status sekolah Kategori sejahtera Lingkungan keluarga Lingkungan sekolah Nilai Anak Umur ibu Jumlah angggota keluarga Morbiditas Mendamping anak belajar (ibu) Kerja rumah (Ibu) Sikap Gizi Lama pendidikan ibu Investasi pendidikan untuk contoh R Adjusted R Square Signifikansi
Koefisien distandarisasi (Beta)
Sig.
-.032 -.022 -.115 -.164 .015 .124 .223 .005 -.028 .034 -.027 -.040 .089 .008 .062 .145
.577 .705 .035 .004 .792 .045 .000 .929 .613 .566 .649 .491 .170 .901 .385 .029 .486 .193 0.00
Model kualitas remaja menunjukkan faktor yang signifikan (p < 0.01 dan p < 0.05) dan faktor yang tidak signifikan (p > 0.05). Faktor yang signifikan berpengaruh terhadap kualitas remaja adalah jenis kelamin (p < 0.05), status sekolah (p < 0.05), dan lingkungan keluarga (p < 0.05), lingkungan sekolah (p < 0.01), serta investasi untuk remaja (p < 0.05). Sedangkan faktor yang tidak signifikan adalah status kerja ibu, keluarga luas/inti, kategori sejahtera, nilai anak,
216
umur ibu, jumlah anggota keluarga, morbiditas, pendampingan belajar ibu, pekerjaan ibu di rumah, sikap gizi ibu, dan lama pendidikan ibu. Jenis kelamin remaja berpengaruh secara negatif dan nyata terhadap kualitas remaja (p < 0.01). Pengaruah negatif tersebut mengisyaratkan bahwa remaja putri cenderung mempunyai kualitas yang lebih dibandingkan dengan remaja laki-laki. Selain itu status sekolah berpengaruh secara negatif dan nyata terhadap kualitas remaja (p < 0.01). Pengaruh secara negatif dan nyata tersebut menunjukkan bahwa semakin status sekolah tersebut sekolah negeri maka semakin berkualitas para remajanya. Hal ini dapat diartikan juga bahwa semakin status sekolah tersebut swasta maka semakin menunjukkan penurunan kualitas para remajanya. Status sekolah negeri memang menjadi pilihan dimana seorang calon siswa memilih untuk mendaftarkan diri sebagai siswa. Berdasarkan uji-t pada Tabel 41 (halaman 152) dapat diketahui bahwa memang ada perbedaan nyata nilai ebtanas murni (NEM) sekolah dasar antara sekolah negeri dan swasta. NEM sekolah negeri adalah sebesar 36.36, sedangkan NEM sekolah swasta sebesar 28.92. Nilai rata-rata NEM tersebut dapat menjadi petunjuk bahwa input siswa antara sekolah negeri dan swasta berbeda dimana sekolah negeri mempunyai input siswa yang mempunyai NEM cenderung lebih baik. Sekolah negeri menerima siswa dengan batas minimal NEM sebesar 29.59, sedangkan sekolah swasta menerima siswa dengan batas minimal sebesar 12.84. Dari data tersebut dapat menjadi gambaran bahwa sekolah negeri mempunyai input siswa yang berprestasi akademik lebih baik dibandingkan dengan sekolah swasta. Perbedaan lain antara sekolah negeri dan swasta ditunjukkan pula dengan kecerdasan intelektual (Tabel 25 halaman 138) dan kecerdasan emosi. Kedua kecerdasan tersebut menunjukkan adannya perbedaan nyata antara sekolah negeri dan swasta Perbedaan tersebut memberikan gambaran bahwa sekolah negeri memiliki kecerdasan intelektual lebih tinggi dibandingkan dengan sekolah swasta. Hal ini dapat ditunjukkan dengan rata-rata nilai test IQ sekolah negeri sebesar 119 (rentang nilai 63.00 – 149.00), sedangkan sekolah swasta sebesar 106,79 (rentang nilai 55.00 – 148.00). Selain itu, sekolah negeri menunjukkan nilai kecerdasan emosi lebih baik dibandingkan dengan sekolah swasta (Tabel 32 halaman 144). Keadaan siswa antara sekolah negeri dan swasta tersebut memang memiliki
217
perbedaan yang mendasar pada ketiga aspek dari kualitas remaja tersebut. Dengan perbedaan tersebut maka status sekolah negeri cenderung mempunyai siswa yang lebih berkualitas dibandingkan dengan sekolah swasta. Lingkungan keluarga berpengaruh secara nyata terhadap kualitas remaja (p < 0.05). Semakin baik lingkungan keluarga maka semakin baik pula kualitas remaja. Lingkungan keluarga meliputi dorongan berprestasi, aspirasi pendidikan dan pekerjaan, pemanfaatan waktu, dan ikatan keluarga. Dorongan berprestasi merupakan dorongan yang berasal dari orang tua kepada anak agar mampu meraih nilai yang terbaik di sekolah mereka. Borkowsky et al (2002 diacu dalam Aufseeer et al (2006) mengemukakan bahwa para orang tua membentuk kehidupan anak-anak mereka sejak bayi sampai dengan dewasa. Pada masa remaja, pengaruh teman-teman dan kelompok pergaulan menjadi penting, namun penelitian secara jelas menunjukkan arti penting orang tua yang terus tetap membentuk perilaku dan pilihan-pilihan para remaja ketika mereka menghadapi tantangan dalam masa tumbuh dewasa. Hubungan erat antara orang tua dan anak, ketrampilan pengasuhan yang baik, kegiatan bersama keluarga dan peran orang tua yang positif memberikan pengaruh terhadap kesehatan dan perkembangan remaja. Vandivere, More, dan Zaslow (2000) mengungkapkan bahwa lingkungan anak-anak erat berkaitan dengan perilaku dan kesejahteraan remaja di tempat tinggal mereka dan lingkungan-lingkungan dimana anak-anak tersebut tinggal berpengaruh terhadap kesejahteraan (kesehatan dan kebahagiaan) mereka. Lingkungan keluarga tersebut merupakan tempat tinggal dimana anak mengalami tumbuh dan kembang. Keluarga menyediakan segala kebutuhan untuk anak agar dapat berkembang fisik dan non fisik mereka. Kebutuhan fisik dicukupi dengan kebutuhan asupan pangan yang memadai agar memperoleh gizi yang memadai sehingga pertumbuhan fisik dapat normal. Prof Soekirman (tanpa tahun) mengemukakan bahwa gizi dan masalah gizi selama ini dipahami sebagai hubungan sebab akibat antara makanan (input) dengan kesehatan (outcome). Apabila masalah gizi dianggap sebagai masalah input maka titik tolak identifikasi masalah pangan, makanan (pangan diolah) dan konsumsi. Apabila masalah gizi dilihat sebagai outcome, maka identifikasi masalah dimulai pada pola pertumbuhan dan status gizi anak. Status gizi tersebut dapat diketahui melalui
218
tinggi dan berat badan. Lebih dari sepertiga (36.1%) anak usia sekolah di Indonesia tergolong pendek ketika memasuki usia sekolah yang merupakan indikator adanya kurang gizi kronis (Hadi 2005). Selanjutnya dikemukakan bahwa anak yang menderita kurang gizi berat mempunyai rata-rata IQ 11 point lebih rendah dibandingkan rata-rata anak-anak yang tidak kurang gizi berat. Keadaan tersebut memberikan kontribusi kurang baik terhadap kualitas remaja dimana status gizi merupakan salah satu aspek dari kualitas remaja. Pengaruh lingkungan keluarga terhadap kualitas remaja juga dapat dicerminkan
dengan
kecerdasan
emosi
remaja.
Frydenberg
(1997)
mengungkapkan bahwa keluarga, sekolah merupakan pelaku-pelaku utama untuk sosialisasi guna meningkatkan perbaikan segi kesehatan dan psikologis. Lembaga keluarga merupakan lembaga yang paling awal dimana anak mengenal berbagai hal seperti: sosialisasi nilai-nilai sosial, pengetahuan, ketrampilan, bahkan sosialisasi emosi. Gondoli & Braungart-Reiker (1998 diacu dalam Denham, Baseett, dan Wyatt dalam Grusec dan Hastings 2006) sosialisasi emosi mencakup banyak perilaku yang berhubungan dengan tanggung jawab, kehangatan, dan pengawasan orang tua. Stratton & Reid (2004) menunjukkan hasil penelitian bahwa emosi, penyesuaian perilaku dan sosial anak-anak merupakan masalah penting untuk keberhasilan sekolah karena ada kesiapan pengetahuan dan akademis. Anak-anak yang memiliki kesulitan memusatkan perhatian, mengikuti pengarahan guru, bergaul dengan anak-anak lainnya, dan mengendalikan emosi yang negatif mempunyai kinerja yang rendah di sekolahan. Lebih lanjut dikemukakan bahwa beberapa penelitian menunjukkan bahwa anak-anak dengan kompetensi sosial dan emosi yang rendah banyak ditemukan dalam keluarga dimana para orang tua melakukan pengasuhan yang bersifat bermusuhan, menciptakan banyak perselisihan, dan banyak memberikan perhatian pada perilaku negatif daripada yang positif. Lingkungan sekolah berpengaruh secara nyata terhadap kualitas remaja (p < 0.05). Semakin baik lingkungan sekolah maka semakin baik kualitas remaja. Lingkungan sekolah meliputi guru, aktivitas siswa, kondisi sekolah, dan iklim belajar. Lingkungan sekolah merupakan satu kesatuan dari berbagai kegiatan belajar mengajar dimana melibatkan staf edukasi dan administrasi, sarana fisik
219
sekolah, dan para siswa. Sekolah merupakan proses mengelola masukan berupa siswa yang mempunyai aneka kemampuan. Perbaikan sekolah merupakan investasi di masa depan menjadi dasar untuk perbaikan pembelajaran dan kinerja siswa (Nelly 2006). Proses tersebut menghasilkan keluaran para siswa dengan peningkatan kemampuan penguasaan materi pelajaran yang diberikan di sekolah tersebut. Lingkungan
sekolah
merupakan
lingkungan
dimana
anak-anak
meluangkan banyak waktu untuk berinteraksi dengan para guru dan siswa lain. Lingkungan sekolah menjadi penting untuk perkembangan kompetensi emosi dan kesehatan mental anak. Garmezi (1991 diacu dalam Pahl & Barret tanpa tahun) mengemukakan bahwa kompetensi emosi sosial dilihat sebagai faktor proteksi yang penting bagi anak-anak muda, melindungi mereka dari tekanan-tekanan dan mencegah perkembangan masalah emosi sosial dan perilaku yang bermasalah di kemudian hari. Marin & Brown (2008) mengemukakan bahwa lingkungan sekolah juga dapat berpengaruh langsung terhadap kesehatan para siswa. Para siswa di lingkungan sekolah yang berbahaya banyak terlibat pada perkelahian, menjadi terluka/korban, dan mengalami tekanan emosional. Lingkungan sekolah yang berbahaya tersebut tentunya mempengaruhi perkembangan para siswa menjadi kurang baik. Lingkungan sekolah dapat menjadi wilayah yang menciptakan suatu iklim yang mendukung proses belar mengajar. Freiberg & Stein (1999) menyebutkan dalam istilah lain sebagai iklim sekolah yang dapat diartikan sebagai kualitas sekolah yang dapat menciptakan tempat pembelajaran yang sehat, membantu untuk mewujudkan harapan dan aspirasi para anak dan orang tua, merangsang semangat dan kreativitas guru, dan mendorong maju semua anggota sekolah tersebut. Sekolah merupakan tempat untuk belajar, bekerja, berbagai gagasan dan berinteraksi dengan orang-orang. Menurut Haertel, Walberg dan Haertel (1981 diacu dalam Fraser 1999) iklim atau lingkungan kelas dan sekolah bukan saja penting namun dapat berpengaruh juga terhadap prestasi belajar dan sikap anak. Lingkungan sekolah dapat menjadi lingkungan pembelajaran emosi. Fasano dan Pelliteri (2006) mengemukakan berkenaan dengan penyertaan pembelajaran emosi kedalam lingkungan sekolah. Setiap sekolah mempunyai
220
peluang untuk mengembangkan kecerdasan emosional anak melalui pengelolaan lingkungan sekolah. Intervensi yang dapat meningkatkan pembelajaran emosional dan mempunyai pengaruh signifikan terhadap kecerdasan emosional adalah: peran guru, para administrator, dan instruksi klas terhadap konsep psikologis dirancang untuk memberikan kontribusi siswa pada kesehatan emosional lingkungan sekolah. Dengan demikian lingkungan sekolah merupakan lingkungan yang dapat meningkatkan kualitas siswa (remaja), khususnya dalam segi kecerdasan emosi mereka.
Analisis Regresi Faktor-faktor yang Berpengaruh terhadap Prestasi Akademik Remaja
Prestasi akademik merupakan hasil nilai yang diraih oleh siswa didik dalam suatu masa menekuni mata pelajaran yang diajarkan di sekolah. Nilai diperoleh melalui test terhadap mata pelajaran yang diajarkan sebagai suatu tolok ukur penguasaan siswa terhdap materi pelajaran yang telah diajarkan. Test tersebut merupakan evaluasi terhadap siswa dalam proes belajar mengajar di sekolah. Evaluasi menentukan apakah siswa mempunyai atau tidak mempunyai nilai. Oleh karena itu ada dua hal yang dapat diperhatikan yaitu evaluasi mempunyai makna sebagai suatu tindakan dan penentuan nilai. Evaluasi tersebut dilaksanakan dengan cara melakukan pengukuran
untuk mendapatkan data.
Kemudian berdasarkan data tersebut dapat ditentukan nilai atau kualitas sesuatu itu (Arifin 1991). Hasil dari evaluasi dan pengukuran tersebut dapat menjadi pedoman untuk menentukan prestasi belajar siswa. Analisa regresi model prestasi akademik siswa mencakup beberapa faktor, yaitu kualitas remaja, ikatan keluarga, pemanfaatan waktu, fasilitas belajar, aspirasi pendidikan dan pekerjaan, dorongan berprestasi, iklim belajar, kondisi sekolah, aktivitas siswa, guru, pengeluaran pendidikan, dampingi anak belajar (ibu), dan harapan siswa terhadap guru. Model prestasi akademik siswa tersebut menunjukkan pengaruh faktor-faktor yang signifikan (p < 0.01) dan tidak signifikan (p > 0.01).
221
Faktor-faktor yang berpengaruh signifikan mencakup kualitas remaja, pemanfaatan waktu, kondisi sekolah, aktivitas siswa, guru, dan pengeluaran pendidikan, lama pendidikan ibu, dan harapan siswa terhadap guru. Sedangkan pengaruh faktor-faktor yang tidak signifikan mencakup ikatan keluarga, fasilitas belajar, aspirasi pendidikan dan pekerjaan, dorongan berprestasi, jenis kelamin, dan dampingi anak belajar (ibu). Model ini mempunyai adjusted R square sebesar 0.407 mempunyai makna bahwa prestsi akademik remaja dapat dijelaskan sebesar 40.7% oleh variance, sedangkan sisanya sebesar 59.3% dijelaskan di luar variance tersebut. Hasil analisa regresi model ini dapat diperiksa pada Tabel 82.
Tabel 82 Analisis regresi faktor-faktor berpengaruh terhadap prestasi akademik remaja Koefisien distandarisasi
Signifikansi
.137 -.050 -.139 -.028 .040 -.031 -.107 .150 .107 -.092 .222 -.027 .296 .233
.008 .405 .010 .640 .491 .608 .086 .012 .042 .107 .000 .561 .000 .000
(Beta) Kualitas remaja Ikatan keluarga Pemanfaatan waktu Fasilitas belajar Aspirasi pendidikan dan pekerjaan Dorongan berprestasi Iklim belajar Kondisi sekolah Aktivitas siswa Guru Pengeluaran pendidikan Mendamping anak belajar (ibu) Lama pendidikan ibu Harapan siswa thd guru R Adjusted R Square Signifikan
.659 .407 .000
Model prestasi akademis siswa merupakan upaya untuk meninjau pengaruh kualitas remaja terhadap prestasi akademis siswa. Kualitas merupakan tingkatan-tingkatan dari sesuatu yang paling baik sampai dengan yang paling buruk (The Free Dicionary 2007). Selain itu, kualitas merupakan standart ukuran sesuatu dengan melakukan pembandingan dengan yang lain bagaimana baik dan buruknya sesuatu (Hombi 2002). Kualitas remaja mencakup dimensi fisik dan non-fisik (Syarief 1997). Kualitas fisik remaja mencakup status gizi, sedangkan kualitas non fisik mencakup intelligence quotient (IQ) dan kecerdasan emosional (EI). Dengan demikian kualitas remaja merupakan standard ukuran dengan
222
membandingkan derajad baik dan buruk ketiga dimensi kualitas (IQ, EI, dan Status Gizi) pada remaja.
Akan tetapi dari
ketiga faktor tersebut faktor
kecerdasan emosi dan kecerdasan intelektual yang signifikan berpengaruh terhadap prestasi akademi siswa, sedangkan status gizi tidak menunjukkan hasil yang signifikan. Kecerdasan intelektual mempunyai pengaruh terhadap prestasi akademis siswa (p < 0.01). Peranan kecerdasan intelektual terhadap prestasi akademik merupakan kemampuan personal diri seseorang dalam bidang akademis. Kecerdasan intelektual (IQ) menjadi determinan terhadap prestasi akademik. IQ test digunakan sebagai prediktor prestasi pendidikan. Orang dengan nilai IQ yang rendah terkadang ditempatkan dalam pendidikan yang khusus, dan orang dengan IQ yang tinggi terkadang ditempatkan dalam program untuk anak berbakat atau program-program pengkayaan. (Wikipedia The Free Encyclopedia 2007). Kecerdasan intelektual (Intelligence quotient) merupakan faktor yang menjadi prediktor dapat berpengaruh terhadap prestasi belajar (educational achievement), kinerja (job performance) dan pendapatan, begitu juga dengan kesehatan (Wikipedia 2007), kesejahteraan national (Whetzel and McDaniel 2006), ekologi dan pendidikan (Barber 2005), pertumbuhan ekonomi (Ram 2007). Penelitian pengaruh IQ terhadap educational attainment dilakukan oleh Neisser et al (dikutip dalam Wikipedia 2007) menemukan hasil bahwa anak-anak dengan nilai IQ yang tinggi cenderung mampu belajar lebih banyak pelajaran di sekolah dibandingkan dengan mereka yang mempunyai nilai IQ lebih rendah. Lynn (2006) mengetengahkan bahwa ada hubungan antara IQ secara national dengan nilai matapelajaran. Ia menemukan bahwa IQ secara nasional mempunyai hubungan dengan pelajaran matematika dan ilmu pengetahuan. Ia menegaskan bahwa perbedaan dalam educational attainment ditengarai dengan perbedaan IQ. Hasilhasil penelitian tersebut sesuai dengan
penelitian ini bahwa IQ berpengaruh
terhadap prestasi akademik remaja. Beberapa peneliti telah membuktikan bahwa faktor IQ dapat menjadi prediktor terhadap prestasi akademik. Peran faktor IQ memang besar terhadap daya kreativitas siswa sehingga mampu memberikan kontribusi terhadap kemampuan penalaran siswa. Olatoye dan Oyundoyin (2007) melakukan
223
penelitian terhadap 460 siswa dari 20 sekolah menengah pertama mengenai faktor IQ terhadap kreativitas siswa. Ia menemukan bahwa faktor IQ dapat menjadi prediktor terhadap kreativitas siswa. Kreativitas siswa tersebut bukan tidak mungkin dapat menjadi faktor yang memberikan kontribusi terhadap keberhasilan siswa dalam meraih prestasi akademis. Kecerdasan emosi menunjukkan pengaruh nyata terhadap prestasi akademik remaja (p < 0.05). Hasil ini berbeda dengan beberapa penelitian yang dilakukan oleh peneliti yang mencoba menjelaskan hubungan antara kecerdasan emosional dengan prestasi akademik. Schutte et al (dikutip dalam Zee et al 2002) menemukan tidak adanya hubungan antara kecerdasan emosi dengan dengan kemampuan kognitif. Davis et al (dikutip dalam Zee et al 2002) mengkaji hubungan kecerdasan emosi dengan kecerdasan akademik yang mendapatkan hasil tidak adanya hubungan antara variabel tersebut. Begitu juga penelitian Zee et al (2002) mencoba mengkaji hubungan antara emotional intelligence dengan academic intelligence dimana perhitungan regresi menunjukkan hasil yang tidak kuat, hanya 9% saja dari variance dapat menjelaskan hubungan tersebut, bahkan beberapa menunjukkan hubungan yang negatif. Namun penelitian lain menunjukkan bahwa kecerdasan emosi berpengaruh terhadap prestasi akademik siswa. Penelitian Samra (2000) mengenai hubungan antara kecerdasan emosional dengan prestasi belajar terhadap 500 siswa pada level 11 menunjukkan hasil bahwa kecerdasan emosi berhubungan dengan prestasi akademik. Culver dan Yokomoto (1999) mengemukakan bahwa kompetensi emosional berpengaruh terhadap performance optimum. Prestasi akademik maksimal muncul ketika para siswa mampu mengembangkan disiplin dan kemampuan pembelajaran yang efektif. Para siswa yang mempunyai performa tinggi mampu belajar lebih efektif dan menghasilkan motivasi intrinsik dan pengetahuan yang lebih tinggi. Sebagaimana dikemukakan oleh Parker (2003), Low dan Nelson (2004), dan Abismara (2000) dalam kajian hubungan antara kecerdasan emosi, keterlibatan orang tua dan prestasi akademis pada para siswa sekolah menengah pertama di Ibadan, Nigeria (dalam Aremu, Tella dan Tella
tanpa tahun). Parker (2003) menemukan bahwa emotional intelligence
menjadi prediktor yang signifikan terhadap academic success. Begitu juga, Low
224
dan Nelson (2004) melaporkan bahwa emotional intelligence merupakan faktor penting dalam academic achievement dan test performance di high school dan colege student. Sama halnya, Abisamra (2000) melaporkan bahwa ada hubungan yang positif antara emotional intelligence dan academic achievement. Petrides, Frederickson dan Furnham di Cotton dan Wikelund (2005) berpendapat bahwa efek potensial emotional intelligence terhadap academic performance telah ditemukan menjadi sangat penting. Vela (2003) melakukan penelitian mengenai peranan kecerdasan emosional dengan prestasi belajar pada 760 siswa sekolah menengah atas tahun pertama. Penelitian tersebut menemukan bahwa kecerdasan emosional mempunyai hubungan dengan prestasi akademik. Beberapa penelitian tersebut menegaskan bahwa kecerdasan emosi menjadi prediktor terhadap prestasi akademik para siswa. Status gizi merupakan faktor yang menjadi bagian kualitas remaja mempunyai kontribusi dalam kualitas remaja, sehingga pengrauh kualitas remaja terhadap presatasi akademik merupakan kontriusi status gizi remaja juga. Review literatur status gizi anak dan perkembangan kognitif mengungkapkan banyak penelitian menemukan bahwa kekurangan gizi kronis pada masa kanak-anak berhubungan dengan hasil test perkembangan kognitif yang rendah (Lewit dan Kerrebrock 1997). Rungo (2008) mengemukakan adanya beberapa jumlah paper menunjukkan kesehatan atau status gizi anak berpengaruh terhadap kemampuan belajar. Selain itu, kemampuan anak belajar tergantung pada beberapa karakteristk individual, mulai dari faktor genetik status kesehatan dan perkembangan intelektual, begitu juga faktor-faktor lingkungan dan keluarga. Status gizi yang tidak baik menghambat perkembangan perkembangan intelektual anak dan kemampuan anak untuk merespon rangsangan pendidikan. Status gizi mempunyai peran penting untuk anak-anak sekolah. Dhian (2006) mengemukakan bahwa status gizi akan berpengaruh terhadap kondisi fisik, semangat belajar dan prestasi akademik. Zaini et al (2005) menemukan beberapa faktor berpengaruh terhadap academic performance para siswa. Ia mengkaji hubungan status gizi dengan academic performance. Temuan Zaini menunjukkan bahwa academic performance berhubungan dengan body mass index (BMI)/status gizi, pendapatan dan pendidikan orang tua, serta makan pagi. Healthy Food Policy
225
Resources Guide (tanpa tahun) mengemukakan bahwa perbaikan status gizi mempunyai pengaruh langsung dan positif terhadap academic achievement. Florencio (1995) menemukan bahwa academic performance dan kecakapan mental para siswa dengan status gizi yang baik menunjukkan peringkat yang lebih tinggi dibandingkan dengan para siswa yang mempunyai status gizi buruk. Beberapa penelitian tersebut membuktikan bahwa status gizi mempunyai pengaruh terhadap prestasi akademik siswa. Pengawasan orang tua berkenaan dengan pemanfaatan waktu berpengaruh secara nyata terhadap prestasi akademik siswa (p < 0.01). Pemanfaatan waktu berpengaruh secara negatif terhadap prestasi akademik siswa. Artinya bahwa semakin orang tua mengawasi pemanfaatan waktu anak maka semakin menunjukkan prestasi akademik yang cenderung rendah. Dengan kata lain dapat diartikan bahwa semakin kurang pengawasan penggunaan waktu anak maka semakin menunjukkan prestasi akademik yang cenderung baik. Pemanfaatan waktu tersebut mencakup pengawasan dan pengaturan yang dilakukan oleh orang tua menyangkut waktu di rumah, di luar rumah, waktu belajar, waktu menonton televisi, waktu tidur siang, dan waktu bermain dengan teman. Analisa statistik menunjukkan pengaruh yang bersifat negatif. Pengaruh tersebut menyimpulkan bahwa apabila anak terlalu diawasi dan diatur berkenaan dengan pemanfaatan waktu setelah sekolah maka dapat diartikan seagai bentuk kekurang mandirian dalam mengelola waktu untuk diri sendiri. Anak yang mampu mengelola waktu secara mandiri merupakan wujud tanggung jawab anak untuk membagi waktu untuk keperlan rekreasi dan belajar. Dengan demikian berkurangnya pengawasan dan pengaturan waktu oleh orangtua seiring dengan kemampuan anak untuk bertanggung jawab mengatur waktu untuk kepentingan belajar. Kondisi sekolah berpengaruh terhadap prestasi akademik siswa (p < 0.05). Penelitian Edward pada tahun 1991 (dikutip dalam Frazier 1993) menemukan bahwa perbaikan kondisi sekolah dari kondisi buruk ke kondisi yang lumayan dapat menaikkan nilai prestasi rata-rata sebesar 5.45 persen. Jika sekolah diperbaiki kondisinya dari kondisi buruk ke kondisi yang baik sekali dapat meningkatkan nilai sebesar 10.9 persen. Young et al (2003) mengemukakan
226
bahwa para siswa memiliki nilai prestasi (achievement) yang lebih tinggi dengan fasilitas yang lebih baru, kondisi fasilitas yang baru juga membuat nilai achievement lebih baik, juga student achievement yang lebih tinggi berhubungan dengan laboratorium yang lebih baik, sekolah yang terawat, pencahayaan ruang kelas yang memadai juga berpengaruh terhadap
nilai pelajaran (scholasctic
performance) dan kehadiran siswa di kelas serta prestasi yang lebih tinggi. Cash (diacu dalam Al-Enezi 2002) menemukan bahwa nilai prestasi akademis lebih tinggi di sekolah dengan kondisi bangunan yang lebih baik. Ia juga menemukan bahwa prestasi akademis siswa dalam ilmu pengetahuan 5% lebih tinggi di sekolah dengan kondisi di atas standart dibandingkan dengan bangunan di bawah standart. Permasalahan perbaikan kondisi sekolah tergantung pada dana yang dialokasikan untuk sekolah. Apabila sekolah membuat prioritas perbaikan kondisi sekolah maka dana akan dialokasikan ke perbaikan kondisi sekolah. Begitu halnya dengan Picus et al (2005) mengemukakan bahwa dana sekolah yang memadai untuk perbaikan kondisi fasilitas sekolahan kemudian kondisi fasilitas sekolahan tersebut berperan dalam mendukung belajar siswa. Kondisi sekolah yang baik diharapkan berpengaruh terhadap prestasi belajar siswa. Hasil studi Guy (2001) dapat menunjukkan bahwa meskipun para siswa sebagian besar yang sekolah di gedung relatif kondisinya lebih baik kebanyakan adalah siswa tidak mampu namun nilai mereka cenderung lebih baik dibandingkan dengan para siswa yang ada pada kondisi sekolah dibawah rata-rata. Kenyataan ini menunjukkan bahwa dampak kemiskinan terhadap prestasi belajar dapat diperbaiki dengan kondisi sekolah yang lebih baik. Namun pada kebanyakan kenyataan yang ada adalah kondisi sekolah yang baik cenderung mempunyai siswa yang berkualitas. Kondisi sekolah berkaitan dengan pembelajaran siswa. McEwen (2006) menuturkan bahwa perbaikan sekolah merupakan suatu cara untuk memperkuat keberhasilan pengajaran dan pembelajaran siswa. McGeehan (dikutip dalam McEwen 2006) mensintesa temuan penelitian tentang kepandaian hubungannya dengan cara belajar siswa ke dalam tiga hal, yaitu emosi, intelligence dan makna, dan cara-cara ketiga hal ini diterapkan di ruang kelas. Emosi merupakan pengatur belajar siswa karena
227
terciptanya suasana emosi yang aman dan dapat diramalkan dimulai dengan menjalin hubungan yang positif antara guru dan siswa. Intelligence merupakan fungsi dari pengalaman dimana siswa dapat belajar dari pengalaman di dalam dan di luar sekolah. Makna personal merupakan hal yang penting terhadap ingatan. Para guru harus membangun hubungan personal dengan siswa agar mengetahui apa yang bermakna bagi para siswa yang dapat dikaitkan dengan kurikulum (rencana pelajaran) untuk kehidupan mereka. Aktivitas siswa berpengaruh secara nyata terhadap prestasi akademik siswa (p < 0.01). Aktivitas siswa merupakan aktivitas yang dilakukan oleh siswa di lingkungan sekolah berkaitan dengan kegiatan belajar mengajar. Aktivitas siswa
tersebut
mencakup
kegiatan
estrakurikuler,
pemanfaatan
fasilitas
perpustakaan dan komputer, keterlibatan dalam perlombaan, keterlibatan dalam kelompok belajar,
dan keterlibatan dalam bimbingan belajar. Semakin siswa
terlibat dalam berbagai aktivitas tersebut maka semakin menunjukkan prestasi akademi yang baik. Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian Fung dan Wong (1991), Galiher (2006), Eccles et al (2003), dan Moriana et al (2006). Penelitian tersebut menemukan bahwa keterlibatan dalam kegiatan ekstrakurikuler menunjukkan hubungan dengan prestasi akademik siswa. Fung dan Wong (1991) melakukan penelitian 294 siswa sekolah menengah di Hongkong untuk menjawab keterkaitan antara keterlibatan pada kegiatan ekstrakurikuler, prestasi akademis, dan penerimaan teman sekelas. Ternyata keterlibatan pada kegiatan ekstrakurikuler berhubungan positif terhadap prestasi akademi, kepribadian, dan penerimaan teman sekelas. Sedangkan Galiher (2006) meninjau perbedaan level partisipasi dengan nilai rata-rata kumulatif siswa. Ia menemukan bahwa ada hubungan positif anatara level partisipasi siswa dalam aktivitas ekstrakurikuler di skeolah dengan level nilai rata-rata kumulatif. Sama halnya dengan Eccles et al (2003) menemukan adanya beberapa hal yang dapat dikaitkan dengan partisipasi kegiatan yang terstruktur, seperti: memberikan perkembangan positif terhadap kaum muda, partisipasi kegiatan ekstrakurikuler dengan perilaku beresiko selama remaja dan dewasa, serta partisipasi dalam banyak hal kegiatan ekstrakurikuler meraih hasil pendidikan lebih baik dibandingkan dengan yang tidak mengikuti. Tidak berbeda
228
dengan penelitian Moriana (2006) menemukan bahwa kelompok yang terlibat dalam kegiatan ekstrakurikuler mempunyai prestasi akdemis yang lebih baik. Pengeluaran pendidikan untuk contoh berpengaruh nyata terhadap prestasi pendidikan. Investasi pendidikan merupakan wujud alokasi dana oleh keluarga untuk kepentingan pendidikan. Alokasi dana tersebut dapat diwujudkan dalam bentuk uang sumbangan penyelenggaraan pendidikan (SPP), transportasi, uang les, uang saku, buku pelajaran, dan alat tulis. Kemampuan keluarga untuk mengalokasikan dana untuk biaya di bidang pendidikan tidak lepas dari faktor ekonomi keluarga. Pendapatan perkapita berpengaruh secara signifikan terhadap pengeluaran pendidikan. Artinya bahwa semakin besar pendapatan maka semakin besar kemampuan pengeluaran untuk pendidikan. Jenkins (2002) mengkaji hubungan antara output anak, sumber keuangan orang tua, dan latar belakang orang tua yang merupakan mekanisme transmisi yang berkaitan antara pendapatan dan hasil anak. Memiliki banyak uang memberikan kemudahan untuk melakukan beberapa peran, mulai dari peningkatan kemampuan membeli barang-barang yang disediakan untuk anak (seperti buku-buku dan peralatan pendidikan) . Keadaan keuangan orang tua secara umum diyakini mempunyai hubungan yang kuat dengan keberhasilan studi anak. Begitu juga dengan Tansel (1998) menemukan adanya pengaruh antara pendapatan dengan pencapaian pendidikan anak laki-laki dan perempuan mulai dari tingkat sekolah dasar, sekolah menengah pertama dan atas dengan pendapatan permanen keluarga. Bahkan ditegaskan bahwa semakin tinggi pendapatan semakin mengarah ke pencapaian pendidikan yang lebih tinggi. Hal tersebut secara tidak langsung akan memberikan kontribusi kepada kemampuan ekonomi keluarga untuk melakukan pengeluaran keuangan keluarga untuk dialokasikan pada pendidikan anak. Lama pendidikan ibu berpengaruh secara nyata terhadap prestasi akademik remaja (p < 0.01). Tansel (1998) menemukan bahwa lama studi ayah dan ibu memiliki arti yang tinggi dan positif berkenaan dengan perhatian pada kesemua level pendidikan. Peningkatan lama pendidikan orang tua secara jelas mengurangi kemungkinan anak buta aksara dan meningkatkan kemungkinan pencapaian tingkat pendidikan anak yang lebih tinggi. Schultz (1993 diacu dalam Tansel 1998) mengemukakan bahwa pendidikan ibu ditemukan lebih penting
229
dibandingkan dengan pendidikan ayah di negara-negara yang berpendapatan tinggi.
Aakvik, Salvanes, dan Vaage (2005) menemukan bahwa faktor-faktor
yang relatif permanen seperti pendapatan keluarga dan pendidikan orang tua merupakan faktor-faktor yang penting dalam pencapaian pendidikan. Khayyer (1997) meneliti hubungan antara pekerjaan ayah, pendidikan ayah dan ibu, serta indeks sosioekonomi, dan prestasi belajar siswa. Ia menemukan bahwa pekerjaan ayah serta pendidikan ayah dan ibu merupakan prediktor terhadap prestasi akademik siswa. Rendahnya pendidikan orang tua berpengaruh terhadap rendahnya prestasi belajar anak di sekolah. Arvilommi (2003) mengungkapkan bahwa beberapa kodisi sosial eonomi keluarga, seperti jenjang pendidikan, status sosial ekonomi dan pendapatan keluarga yang rendah, ditemukan kaitannya dengan prestasi belajar yang rendah di sekolah. Selanjutnya diungkapkan bahwa para orang tua dengan latar belakang sosial ekonomi dan pendidikan yang rendah menunjukkan kekurang hangatan, disiplin harsher, dan mempunyai harapan untuk maju yang rendah dibandingkan dengan para orang tua berasal dari keluarga berlatar belakang sosial ekonomi dan pendidikan yang tinggi. Harapan siswa terhadap guru berpengaruh secara positif terhadap prestasi belajar siswa (p < 0.01). Ekspektasi merupakan suatu tindakan berpengharapan atau sesuatu yang diharapkan pada masa mendatang (Longman 1987). Ekspektasi dapat diartikan juga dengan harapan atau keyakinan bahwa sesuatu akan terjadi atau seseorang akan memperoleh sebagaimana yang diharapkan (Collins 2003). Ekspektasi atau harapan merupakan sesuatu dimasa yang akan datang berkaitan dengan keadaan lebih baik. Harapan siswa terhadap guru merupakan harapan para siswa terhadap kemampuan yang dapat diwujudkan oleh para guru berkaitan dengan tanggung jawab mata pelajaran. Harapan tersebut merupakan cerminan taraf keinginan maju para siswa berkaitan dengan mata pelajaran tertentu. Relasi guru murid merupakan relasi pendidikan dimana guru mengambil bagian untuk dapat meningkatkan kemampuan siswa dalam bidang tertentu. Oleh karena itu, masalah kualitas guru merupakan faktor yang utama agar dapat melaksanakan tugas dan tanggung jawab mengajar secara baik. Leigh & Mead (2005) mengungkapakan bawa pengetahuan dan ketrampilan para guru merupakan faktor
230
yang sangat penting yang mempengaruhi pembelajaran anak. Bahkan bagi anak yang mempunyai latar belakang yang tidak beruntung atau lingkungan keluarga yang bermasalah, kualitas pengajaran guru menjadi lebih penting. Harapan siswa terhadap guru merupakan harapan kepada para guru untuk menjadi pengajar yang baik sebagaimana mereka harapkan. Harapan para siswa tersebut dapat diartikan sebagai cerminan bahawa para siswa mempunyai orientasi untuk maju. Apabila melihat sebaran contoh berdasarkan harapan siswa terhadap guru (Tabel 38 halaman 149) maka dapat diketahui bahwa ada perbedaan nyata antara sekolah negeri dan swasta dimana sekolah negeri menunjukkan kecenderungan mempunyai harapan baik lebih banyak. Sekolah negeri cenderung mempunyai lingkungan sekolah yang lebih baik dibandingkan dengan sekolah swasta. Sekolah negeri mempunyai guru dan siswa yang tergolong lebih baik dibandingkan dengan sekolah swasta. Bahkan kemampuan opreasionalpun cenderung lebih baik dibandingkan dengan sekolah swasta. Hal ini sebagaimana digambarkan oleh Leigh & Mead (2005) bahwa
pengetahuan guru terhadap
materi khusus, tersitimewa di jenjang pendidikan sekolah menengah pertama, merupakan prediktor yang baik terhadap prestasi belajar anak. Harapan siswa terhadap penguasaan guru terhadap materi khusus tersebut merupakan orientasi maju para siswa terhadap materi khusus yang dikuasai oleh guru atau para guru. Oleh karena itu para siswa yang mempunyai harapan baik terhadap para guru mereka mempunyai prestasi akademik yang baik. Schilling & Schilling (1999 diacu dalam Miller 2001)
menngungkapkan bahwa ekspektasi membentuk
pengalaman pembelajaran yang begitu berdayaguna, ekspektasi mampu meningkatkan kinerja dimana seseorang yang mempunyai harapan yang tinggi maka mempunyai kinerja/prestasi yang tinggi, dan seseorang dengan ekspektasi yang tinggi menampilkan level kinerja/prestasi yang lebih tinggi dibandingkan dengan yang berpengharapan rendah, bahkan meskipun mereka dalam keadaan kemampuan yang sama. Dengan demikian harapan menjadi pendorong siswa untuk meraih prestasi akademik lebih baik melalui kinerja guru yang mampu meningkatkan penguasaan terhadap suatu materi belajar tertentu.
231
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan 1. Kualitas remaja mencakup kecerdasan intelektual (IQ), status gizi (IMT/U), dan kecerdasan emosi. a) Analisis deskriptif terhadap kecerdasan intelektual menunjukkan hasil bahwa sekolah negeri cenderung lebih tinggi dibandingkan dengan sekolah swasta. Keadaan ini tidak lepas dari citra sekolah negeri dibandingkan dengan sekolah swasta dimana sekolah negeri masih menjadi favorit siswa. Kecerdasan intelektual tersebut berkaitan dengan pencapaian nilai ebtanas sekolah dasar (NEM-SD) siswa menunjukkan bahwa sebagian besar pendaftar di sekolah negeri memiliki NEM yang berkategori baik. Dengan demikian para siswa yang mendaftarkan diri di sekolah negeri cenderung mempunyai kemampuan akademis yang baik. Secara umum kemampuan kecerdasan intelektual siswa pada kategori cukup (57%), cukup tinggi (30%, dan tinggi (10%), selain itu berkategori rendah (0.3%) dan 2.7%. b) Analisis deskriptif status gizi remaja berdasarkan jenis kelamin menunjukkan perbedaan dimana status gizi remaja berdasarkan umur dan jenis kelamin menunjukkan jumlah perempuan kategori normal (80%) lebih banyak remaja
dibandingkan laki-laki (55.5%).
berkategori
tidak
normal
lebih
Sedangkan status gizi
besar
laki-laki
(44.5%)
dibandingkan dengan perempuan (20%). Status gizi tidak normal perempuan dibagi dalam kategori gemuk (5.5%) dan kurus (14.5%). Kemudian status gizi tidak normal laki-laki dibagi dalam kategori gemuk (5.8%) dan
kategori kurus (38.7%). Secara umum status gizi remaja
berkategori normal (67.3%) hanya 30.7% yang berkategori tidak normal. c) Analisis deskriptif kecerdasan emosi sekolah negeri dibandingkan dengan sekolah swasta menunjukkan adanya perbedaan nyata dimana sekolah negeri cenderung lebih baik. Perbedaan kecerdasan emosi remaja tersebut menunjukkan adanya perbedaan nyata pada kemampuan untuk mengenali emosi diri dan kemampuan melakukan empati. Secara umum kecerdasan emosi siswa berada pada kategori sedang (54%) dan baik (46%). Hal ini
232
menunjukkan bahwa kecerdasan emosi siswa secara umum adalah diatas sedang. d) Indeks kualitas Remaja merupakan penggabungan indeks status gizi, indeks kecerdasan intelektual, dan indeks kecerdasan emosi. Kualitas remaja menunjukkan indeks 86.23 sebagai indeks tertinggi dan indeks 23.42 sebagai indeks terendah. Hasil uji beda indeks kualitas remaja antara sekolah negeri dan swasta menunjukkan bahwa sekolah negeri cenderung lebih baik dibandingkan dengan sekolah swasta. 2. Uji beda pengeluaran keluarga untuk investasi pendidikan tidak menunjukkan perbedaan nyata antara sekolah negeri dan swasta. Artinya baik keluarga yang mempunyai anak bersekolah negeri maupun swasta mempunyai pengeluaran pendidikan tidak jauh berbeda. Analisis regresi terhadap pengeluaran keluarga untuk pendidikan menujukkan bahwa pengeluaran pendidikan keluarga untuk anak tersebut dipengaruhi oleh faktor lama pendidikan ibu dan pendapatan keluarga. Pendidikan ibu mempunyai kontribusi dalam memprioritaskan arti penting pendidikan untuk masa depan anak. Selain itu prioritas pendidikan untuk anak didukung dengan adanya kemampuan keuangan keluarga untuk membiayai pendidikan. Kedua faktor ini merupakan faktor penentu keterlibatan anak dalam pendidikan formal. 3. Uji beda lama pendidikan ayah dan ibu menunjukkan perbedaan nyata dimana ayah siswa sekolah negeri menunjukkan
diatas 12 tahun masa studi,
sedangkan lama pendidikan ayah siswa sekolah swasta kurang dari 12 tahun atau setara pendidikan SMA. Analisa regresi terhadap pendampingan anak belajar
oleh
orang
tua
dipengaruhi
oleh faktor
pendidikan
ayah.
Pendampingan anak belajar adalah wujud investasi yang diberikan kepada anak dengan memanfaatkan waktu dan kemampuan yang ada untuk membimbing dan membantu anak belajar. Pendidikan orang tua (ayah) menjadi faktor yang mempermudah pendampingan belajar anak karena pendidikan menjadi sumber kemampuan dalam pendampingan tersebut. 4. Uji beda antara lingkungan keluarga siswa SMP negeri dan swasta menunjukkan tidak adanya perbedaan nyata. Analisis regresi terhadap lingkungan keluarga menunjukkan bahwa lingkungan keluarga dipengaruhi
233
oleh faktor keluarga luas / inti dan lama pendidikan ibu. Aggota keluarga dalam keluarga luas merupakan bagian penting dalam jaringan anak-anak muda. Interaksi sosial antara anggota keluarga muda dan tua menciptakan adanya ikatan sosial dalam keluarga tersebut. Ikatan sosial tersebut merupakan modal sosial untuk membangun ikatan keluarga yang lebih erat. Lingkungan keluarga dipengaruhi oleh pendidikan ibu. Lama pendidikan memberikan wawasan maju berkaitan dengan pentingnya keluarga sebagai pendorong, menyediakan fasilitas, serta mempunyai harapan pendidikan setinggi mungkin untuk anak-anak. 5. Analisis regresi terhadap kecerdasan emosi menunjukkan hasil bahwa kecerdasan emosi dipengaruhi oleh faktor status sekolah, lingkungan keluarga, lingkungan sekolah, dan lama pendidikan ibu. Status sekolah negeri dan lingkungan sekolah yang baik merupakan lingkungan yang mendukung perkembangan emosi secara baik. Uji beda lingkungan sekolah menunjukkan adanya perbedaan nyata dimana sekolah negeri mempunyai lingkungan yang relatif baik dibandingkan dengan sekolah swasta. 6. Analisis regresi terhadap kecerdasan intelektual dipengaruhi oleh faktor keluarga luas / inti, lingkungan sekolah, dan lama pendidikan ibu. 7. Analisis analisa regresi logistik terhadap status gizi remaja menunjukkan hasil bahwa status gizi remaja dipengaruhi oleh jenis kelamin dan status kerja ibu. Kategori status gizi perempuan cenderung lebih normal dibandingkan dengan laki-laki. Status ibu tidak bekerja berpengaruh terhadap status gizi remaja. Ibu tidak bekerja mempunyai waktu relatif lebih banyak untuk dapat merawat anak dibandingkan dengan ibu bekerja. Namun penelitian menunjukkan bahwa ibu bekerjapun tidak dapat lepas dalam mengurus rumah tangga termasuk merawat anak. Ini dikaitkan dengan norma sosial mengenai peran gender dan spesialisasi pekerjaan rumah tangga. 8. Prestasi akademik siswa diukur dengan 6 mata pelajaran, yaitu: matematika, IPA, IPS, Bahasa Inggris, Bahasa Indonesia, dan PPKN. Nilai kelima mata pelajaran menunjukkan adanya kecenderungan siswa sekolah negeri lebih baik dibandingkan sekolah swasta. Nilai mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial menunjukkan adanya kesamaan prestasi antara sekolah negeri dan swasta.
234
Analisis deskriptif terhadap prestasi akademik siswa negeri dan swasta menunjukkan hasil adanya perbedaan dimana sekolah negeri cenderung mempunyai nilai rata-rata lebih baik dibandingkan dengan sekolah swasta. Prestasi siswa sekolah negeri ini didukung dengan nilai ebtanas murni di tingkat sekolah dasar dimana sekolah negeri mempunyai NEM lebih baik dibandingkan dengan swasta. Selain itu didukung juga oleh faktor IQ antara sekolah negeri dan swasta dimana IQ siswa sekolah negeri cenderung lebih tinggi. 9. Analisis regresi faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kualitas remaja adalah lingkungan keluarga, lingkungan sekolah, dan investasi pendidikan untuk remaja.
Kualitas remaja merupakan penggabungan status gizi,
kecerdasan emosi, dan kecerdasan intelektual. Kualitas remaja menyebar pada kategori sedang (71.3%) dan 7.7% berkategori tinggi, sedangkan sisanya berkategori rendah (20.7%) serta sangat rendah (0.3%) 10. Analisis regresi terhadap prestasi akademik remaja menunjukkan hasil bahwa prestasi akademik dipengaruhi oleh kualitas remaja, pemanfaatan waktu, iklim belajar, kondisi sekolah, aktivitas siswa, dan investasi pendidikan. Kualitas remaja mencakup kecerdasan intelektual dan emosi serta status gizi remaja. Faktor kecerdasan intelektual dan kecerdasan emosi menunjukkan pengaruh terhadap prestasi akademik siswa. Kecerdasan emosi merupakan prediktor signifikan terhadap prestasi belajar. Namun pengaruh pengawasan orang tua terhadap prestasi belajar siswa bersifat negatif. Artinya semakin diawasi maka semakin berprestasi rendah. Di sisi lain dapat dijelaskan bahwa para siswa sudah dewasa dan bertanggung jawab terhadap kepentingan sekolah mereka sehingga tanpa harus diawasi sudah mampu memprioritaskan kepentingan sekolah diantara kegiatan yang lain. Kondisi sekolah juga berpengaruh terhadap prestasi akademis siswa. Aktivitas siswa berpengaruh terhadap prestasi akademik siswa. Selain itu pengeluaran pendidikan berpengaruh terhadap pendidikan. Investasi pendidikan tidak lepas dari keuangan keluarga dimana kondisi keuangan terebut memberikan kemudahan untuk mendukung proses pendidikan anak.
235
Saran: Penelitian ini mengkaji kualitas remaja dan dampaknya terhadap prestasi belajar remaja. Penelitian ini mempunyai lingkup pada lingkungan sekolah dan lingkungan keluarga. Hasil penelitian menunjukkan bahwa status sekolah, lingkungan keluarga dan sekolah, serta investasi pendidikan berpengaruh terhadap kualitas remaja. Prestasi akademis remaja dipengaruhi oleh kualitas remaja, pemanfaatan waktu, kondisi sekolah, aktivitas siswa, investasi pendidikan, lama pendidikan ibu, dan harapan siswa terhadap guru. Namun, uji beda menunjukkan adanya perbedaan antara sekolah negeri dan swasta. Perbedaan ini mencakup nilai ebtanas murni (NEM) SD, kecerdasan intelektual(IQ), kecerdasan emosi (EI), lingkungan sekolah, kondisi sekolah, aktivitas siswa, harapan siswa terhadap guru, lama pendidikan ayah, lama pendidikan ibu, pendapatan, kualitas remaja, prestasi akademis remaja. Untuk meningkatkan kualitas remaja diperlukan peningkatan dari sisi lingkungan keluarga maupun sekolah. Pelibatan orang tua murid dalam proses belajar mengajar secara langsung dapat merangsang keadaan lingkungan keluarga untuk memberikan perhatian kepada anak mencakup memberikan dorongan, menyediakan fasilitas belajar, memperhatikan aspirasi pendidikan dan pekerjaan, dan memberikan perhatian dalam suasana kebersamaan. Selain itu, keluarga juga perlu mengalokasikan biaya pendidikan lebih banyak agar dapat meningkatkan kualitas remaja, begitu juga terhadap prestasinya. Masalah investasi pendidikan tidak lepas dari masalah pendapatan. Analisis regresi menunjukkan adanya hubungan positif antara pendapatan dengan investasi pendidikan. Artinya, semakin tinggi pendapatan maka dimungkinkan akan semakin banyak uang dapat diinvestasikan untuk pendidikan. Hal ini mengisyratkan bahwa alokasi biaya untuk investasi pendidikan membutuhkan pendapatan yang kuat. Hanya keluarga berpendapatan kuat yang dapat menikmati pendidikan berkualitas. Sistem pendidikan saat ini secara tidak disadari menciptakan struktur sosial baru. Keluarga miskin tidak mampu membeli pendidikan berkualitas karena memerlukan baiya yang besar. Mereka akhirnya mengisi strtuktur sosial yang semakin di bawah. Apabila ini dibiarkan saja maka akan semakin tercipta
236
kesenjangan orang miskin tidak berpendidikan dan orang kaya berpendidikan. Oleh karena itu perlu dipikirkan pendidikan yang dapat menyerap siswa dari keluarga miskin. Perhatian terhadap keluarga miskin dapat dilakukan melalui upaya swadaya maupun pemerintah. Upaya swadaya dapat ditempuh dengan cara solidaritas orang tua siswa, atau melalui upaya kelembagaan seperti komite sekolah. Karena pendanan melalui BOS ditujukan untuk semua siswa, maka perlu bantuan yang secara khusus untuk kelompok siswa dari keluarga miskin. Upayaupaya tersebut diharapkan dapat memberikan kesempatan siswa miskin memperoleh pendidikan yang baik sehingga dapat meningkatkan kualitasnya terlebih prestasi akademiknya. Dengan demikian diharapkan akan dapat mengurangi kesenjangan sosial yang ada. Selain itu, pemerintah perlu meningkatkan dukungan terhadap sekolah swasta guna meningkatkan kualitas sekolah swasta. Perbedaan lingkungan sekolah diatasi dengan peningkatan kemampuan para guru sesuai kompetensi keilmuan masing-masing, peningkatan aktivitas siswa melalui peran guru yang kreatif, peningkatan iklim belajar melalui kinerja guru di kelas yang dapat meningkatkan konsentrasi belajar, dan peningkatan kondisi sekolah menjadi lebih baik. Begitu juga dengan kondisi sekolah, pemerintah perlu memberi perhatian yang seimbang terhadap sekolah swasta dan negeri berkaitan dengan pembiayaan peningkatan kualitas kondisi sekolah. Peningkatan kualitas kondisi sekolah diharapkan dapat meningkatkan kualitas dan prestasi belajar remaja. Upaya-upaya tersebut alhasil akan dapat mengurangi kesenjangan antara sekolah negeri dan swasta. Hendaknya peningkatan kemampuan guru dalam keilmuannya menjadi fakus utama pemerintah. Peningkatan penguasaan keilmuan diwajibkan sesuai kompetensi masing-masing. Hal ini ekaligus merupakan peningkatan sumberdaya manusia, yaitu guru. Pemerintah perlu mengawasi dan mengevaluasi kesesuaian pendidikan guru dengan keilmuan yang diajarkan, agar dapat meningkatkan penguasaan keilmuan sesuai bidangnya. Bahkan kesesuaian keilmuan ketika guru melanjutkan studi di jenjang lebih tinggi. Guru bermutu akan menghasilkan siswa berkualitas.
DAFTAR PUSTAKA
Aakvik A, Salvanes KG, Vaage K. 2005. Educational Attainment and Family Background. Centre for Economic Studies in Social Insurance. Departement of Economics. University of Bergen. http://www.econ.uib.no/filer/1330.pdf Adams GR & Ryan BR. 2000. A Longitudinal Analysis of Family Relationship and Children’s School Achievement in One – and Two – Parent Families. HRDC Publications Centre Human Resources Development Canada 140 Promenade du Portage Phase IV, Level 0 Hull, Québec, Canada K1A 0J9 Agustina H. 2003. Alokasi Waktu Anak untuk Leisure dan Hubungannya dengan Prestasi Belajar Siswa SD di Kota Medan [Tesis]. Bogor: GMK, Institut Pertanian Bogor. Al-Enezi MM. 2002. A Study of The Relationship Between School Building Condition and Academic Achievement of Twelfth Grade Student in Kuwait Public High Schools. [Dissertation]. Virginia Polytechnic Institute and State University. Ananta A., Harijati H. 1985. Mutu Modal Manusia. Jakarta: Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia. Anderson, et al. 2004. Investing in Health: The Long-Term Impact of Head Start. Working Paper No. 04-W26. Departement of Economics, Vanderbilt University, Nashville, TN 37235. www.vanderbilt.edu/econ . [8/09/2005]. Anwar A. 2003. Memahami Paradigma Baru Pendidikan Nasional dalam UndangUndang SISDIKNAS, POKSI VI FP DPR RI. www.asahi-net.or.jp/ [19/8/2005]. Anwer & Awan J. 2003. Nutritional status comparison of rural with urban school children in Faisalabad District, Pakisan http://www.rrh.org.au/publishedarticles/ article_print_130.pdf Arifin Z. 1991. Evaluasi Instruksional. Prinsip – Teknik – Prosedur. Bandung: Penerbit PT. Remaja Resdakarya. Aremu O. (tanpa tahun). Relationship among Emotional Intelligence, Parental Involvement and Academic Achievement of Secondary School Students in Ibadan, Nigeria. http://www.google.com/search?q=cache: TaVm3uP8 Fr0J:www.usca. edu/essays/vol182006/tella1.pdf+%22emotional+intelligence%22%2B%22 aca demic+performance%22&hl=id&ct=clnk&cd=23&gl=id Arifin Z. 1991. Evaluasi Instruksional. Prinsip – Teknik – Prosedur. Bandung: Penerbit PT. Remaja Resdakarya. Arisman. 2002. Gizi dalam Daur Kehidupan, Buku Ajar Ilmu Gizi. Bagian Ilmu Gizi. Fakultas Kedokteran. Palembang.: Universitas Sriwijaya Palembang. Arnelia. 2002. Gizi Buruk Pada Usia Dini dan Dampaknya Terhadap Tingkat Kecerdasan Dan Keragaan Sekolah Anak Media Gizi & Keluarga, Juli 2002, XXVI (1). Arvilommi TO. 2003. Pupils Achievement Strategies, Family Background and School Performance. University of Helsinki, Departement of Psychology, Research Reports No: 23.
238
Atmarita AB, Dini L, Soekirman, Tilden RL. 2000. The Effect of Economic Crisis on The Nutritional Status of Indonesian Pre-School Children. Gizi Indonesia. Journal of the Indonesian Nutrition Association. Persatuan Gizi Indonesia. Vol. XXIV. Aufseeser D, Jekilek S, & Brown B. 2006. The Family Environment and Adolescent Wellbeing: Exposure to Positive and Negative Family Influences. Washington, D.C.: Child Trends; and San Francisco, CA: National Adolescent Health Information Center, University of California, San Francisco. http://www.childtrends.org /Files/ Family Environment RB.pdf [9/10/2006]. Aves JC, Capareda DG; Fernandez GT. 2003. Family Expenditure and its Correlates: The Northern Mindanao Perspective. http://www.nscb.gov.ph/ncs/10thNCS /abstracts/Contributed/57_Poverty/10thNCS_Abstract_JCAvesDGCaparedaGTFe rnandez.pdf Azhari. 2000. Hubungan antara Faktor-faktor Internal dan Eksternal dengan Prestasi Belajar Siswa di SPK Depkes Lubuk Linggau [Tesis]. Jakarta: PPs-UI, IKM, FKM. Aziz RMA. Emotional Intelligence ini Education: A Shift for the Mllenium. Fakulti Pengajian, Universiti Puttra Malaysia Prosiding GREduc 2001. www.educ.upm.my/ [29/08/2003]. Bacolod & Justin LT, 2003. Schools, School Quality and Academic Achievement: Evidence From the Philippines. University of California-Irvine 3151 Social Science Plaza A Irvine, CA 92697-5100. Baliwati YF & Retnaningsih. 2004. Kebutuhan Gizi dalam Pengantar Pangan dan Gizi dengan editor Yayuk Farida Baliwati, Ali Khomsan, dan C. Meti Dwiriani. Jakarta: Penebar Swadaya. Baliwati YF & Katrin R. 2004. Sistim Pangan dan Gizi dalam Pengantar Pangan dan Gizi dengan editor Yayuk Farida Baliwati, Ali Khomsan, dan C. Meti Dwiriani. Jakarta: Penebar Swadaya. Bank Dunia. 2000. Laporan Penelitian Kebijakan Bank Dunia. Rangkuman Pembangunan Berspektif Gender. Barbel N. Educational and ecological correlates of IQ: A cross national investigaton. Intelligence. Volume 33, Issue 3, May-June 2005, pages 273-284. www.iapsych.com/ [8/11/2007]. Barret J. 2004. Career, Aptitude and Selection Tests diterjemahkan oleh UPTP2 Universitas Sebelas Maret dengan judul Tes Karier, Bakat, dan Seleksi. Solo: PT Tiga Serangkai. Basuni JA, Sumarno I. Status Gizi Penduduk Indonesia. Majalah Pangan No. 38/XI/Jan/2002. Jakarta: Puslitbang Bulog. Jakarta Selatan. Bhakti S. 2002. Fungsi Ekspresif-Instrumental Orangtua dan Kecerdasan Emosional Anak [Tesis]. Bogor: GMSK, IPB. Bhalotra S. 2004. Early Childhood Investments in Human Capital: Parental Resources and Preferences. Bristol: Departement of Economics, University of Bristol, 8 Woodland Road. Bian J. 1996. Parental Monetary Investment in Children: A Fokus on China. Journal of Family and Economic Issues. Vol. 17 (1)
239
BKKBN. 1996. Panduan Pembangunan Keluarga Sejahtera Dalam Penanggulangan Kemiskinan. Jakarta: Kantor Menteri Kependudukan/BKKBN.
Rangka Negara
Borkowsky J, Ramey S, & Bristol-Power M, editor. 2002. Parenting and the child’s world: Influences on academic, intellectual, and social-emotional development. Diacu dalam Aufseeser, Dena, Susan Jekilek, dan Brett Brown. 2006. The Family Environment and Adolsecent Well-Being: Exposure to Positive and Negative Family Influences. Washington, D.C.: Child Trends; and San Francisco, CA: National Adolescent Health Information Center, University of California, San Francisco. BPS. 2006. Beberapa Indikator Penting Sosial-Ekonomi Indonesia. Edisi Juli 2006. http:/www.bps.go.id/leaflet/bookletjuli2006.df? [27/6/2007]. Breslau N, et al. 2001. Stability and Change in Children’s Intelligence Quotient Scores: A Comparison of Two Socioeconomically Disparate Communities. American Journal of Epidemiology, 2001, Vol. 154, No. : 711 – 717. http://aje. Oxford journals.org [01/11/207]. Brown M & Flinn CJ. 2002. Investment in hild Quality Over Marital stage. Meta Brown, Department of Economics, University of Wisconsin, Madison. Christopher J Flinn, Department of Economics, New York University, New York. Bryant WK. 1990. The economic organization of the household. Cambridge: Cambridge University Press. Bryant WK, Cathleen DZ. 1996. Are We Investing Less in the Next Generation? Historical Trends in Time Spent Caring for Children. Journal of Family and Economic Issues, Vol. 17 (3/4), Winter. Cabrera NJ, Catherine S. Tamis-LeMonda, Michael EL, Kimberly B. 1999. Measuring Father Involvement in The Early Head Start Evaluation: A Multidimensional Conceptualization. National Conference on Health Statistic. Washington, D.C. Caceres J. 2004. Impact of Family Size on Investment in Child Quality: Multiple Births as a Natural Experiment. University of Maryland, College Park. Caldwell, Bettye M, Bradley, & Robert H. 1984. Home Observation for Measurement of the Environment. Center for Child Development and Education. University of Arkansas. Little Rock. Arkansas. Campbell LA & Parcel TL. 2002. Children of Mothers, Children of Fathers: Does Gender of the Parent Affect the Process of Establishing Children’s Home Environments?,The Ohio State University. Centra JA & Potter DA. 1980. School and Techer Effect: An Interrelational Model. Review of Educational Research, Vol. 50, No. 2. American Educational Research Assoiation. http://www.jstor.org/, 1980. [8/11/2007]. Carlson A. 1999. The Family as Fundamental Unit of Society. (Bahan Perkuliahan Teori Keluarga Lanjut). Cherniss C. 2000. Emotional Intelligence: What it is and Why it matters. Graduate School of Applied and Professional Psychology. Rutger University. Piscataway. Paper presented at the annual Meeting of the Society for Industrial and Organization Psychology. New Orleans, LA. April 15, 2000. http://www.eiconsortium.org Clara E. 2002. Status sosial ekonomi dan sosialisasi di keluarga dalam menunjang prestasi belajar siswa [Tesis]. Jakarta: Sosiologi, PPs-UI, FISIP.
240
Collins Cobuild English Dictionary for Advanced Learners 4th edition published in 2003. Coulson A. et al. 2003. Implementing “Education for All” Moving from Goals to Action. The 2nd Incontro Internazionale Milanoliberal. Milan. Italy. 17 Mey 2003. Culver R, Yokomoto, Charles. 1999. Optimum Academic Performance and Its Relation to Emotional Intelligence. 29th ASEE/IEEE Frontiers in EducationConference. November 10 – 13, 1999 San Juan, Puerto Rico. Curtis L, Phipps, & Shelley. 2000. Economic Resources and Children’s Health and Success at School An Analysis Using the NLSCY. Applied Research Branch Strategic Policy Human Resources Development Canada. HRDC Publication Centre Human Resources Development Canada, 140 Promenade du Portage. Phase IV, Level 0. Hull Quebec, Canada. K1A 0J9. Dalyono. 2001. Psikologi Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta. Data Statistik Indonesia. 2007. Lamanya Pendidikan. http://www.datastatistik_ indonesia.com [21/11/2007]. David LS. 2001. Value of Children: Effects of Globaization on Fertility Behavior and Child-Rearing Practices in Ghana . Research Review NS 172.2 Davis J & Lynd M. 2005. Improving Children,s Health Status and Educational Outcomes in Guinea, West Africa. http://www.air.org/news/documents/AERA2005 Children. [27/06/2007]. Davis-Kean P. tanpa tahun. How Does Parent’ Education Level Influence Parenting and Children’s Achievement. University of Michigan. Davis-Kean PE & Schnabel K. 2002. “The Impact of Socio-Economic Characteristic on Child Outcomes: The Mediating Role of Parents Beliefs and Behaviors” Presented at the International Society for the Study of Behavioral Development, Ottawa, Canada. (Specific, SES, 11) Davis-Kean, Pamela E & Sexton HR. tanpa tahun. How Does Parent’s Educatioan Level Influence Parenting and Children’s Achievement. (Specific, SES, 11) Deacon RE. tanpa tahun. Family Resources Management. Boston: Allyn and Bacon, Inc.. Deeb BE. 2005. Social Determinants of Health and Health Inequality in Egyp. http://gis.emro.who.int/HealthSystemObservatory/PDF/Social%20determinants% 20of%20heatlh/Egypt.pdf. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2003. Indikator Indonesia Sehat 2010. Keputusan Meneri Kesehatan Noor 1202/MENKES/SK/VIII/2003. Departemen Kesehatan R.I. Jakarta. 2003. Desforges C & Abouchaar A. 2003. The Impact of Parental Involvement, Parental Support and Family Education o Pupil Achievement and Adjustment: A Literature Riview. Research Report No 433. ISBN 1 84185 999 10 June 2003. Dobbs L. 2002. Human Development: Children, Youth, and Adult Maltreatment on Human Development. California social Work Educaation Center, University of California, Berkeley Duncan GJ, Brooks-Gunn J. 1997. Consequencs of Growing Up Poor. New York: Russell Sage Foundation. Duncan G, Yeung Y, Brooks-Gunn J, Smith. 1998. How much does childhood poverty affect the life chance of children. American Sociological Review.
241
Eccles JS & Midgley C. 1989. Stage/environment fit: Developmentally appropriate classrooms for early adolescents. In C. Ames & R.E. Ames (Eds.), Research on motivation in education, Vol. 8 (pp. 139–186). New York: Academic Press. Eccles JS, Barber BL, Stone M, Hunt J. Extracurricular Activities and Adolescent Developmnet. Journal of Social Issues. Volume 59 Issue 4 December 2003. http://www3.interscience.wiley.com/journal/118833388/abstract?CRETRY=1& SRETRY=0 EFA-Gobal Monitoring Report. 2003/2004. Understanding Education Quality. United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization. http://EFAREPORT.UNESCO.ORG. [5/9/2007]. Fadjri PA. 2000. Analisis Kualitas Sumber Daya Manusia Menurut Kota di Indonesia, Berdasarkan Data Susenas 1998. Jakarta: Warta Demografi, Th-30, No. 3. Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Fassano C, Pelliteri J. 2006. Infusing Emotional into the School Environment dalam John Pelitteri., Robin Stern, Clauida Shelton, Barbara Muller-Ackerman (editor), Emotionally Intelligent School Counseling. Lawrence Erlbaum Associates, Mahwah, New Jersey, 2006. Febrero & Schwartz. 1995. The Essence of Becker. California: Hoover Institution Press. Stanfod University. Stanford. Fernandez C & Sanz AS. 2006. Social Norms and Househod Time Allocation. Institute for Social and Ecoomic Research. Working paper 2006-38. Colchester: University of Essex. http:// www.iser.essex.ac.uk/ pubs/workpaps/ Finnie R, Christine L, Eric L. 2004. Family Background and Access to Post-Secondary Education: What Happened over the 1990s? Business and Labour Market Analysis Division 24-E, R.H. Coats Building, Ottawa, K1A 0T6 Florencio CA. 1995. Child, School, Home Determinants o Academic Performance. Eduksyon (Vol. 1 No. 2. April – June 1995) A Quarterly Monograph Series of the UP Education Research Prgram. Floro MS., Stephanie S. 2002. Gender Effects on Aggregate Saving: A Theoritical and Empirical Analysis. Policy Research Report On Gender and Development. Working Paper Series No. 23. World Bank. Foster GM dan Anderson BG. 1986. Antropolgi Kesehatan. Penerjemah Priyanti Pakan Suryadarma dan Meutia F Swasono. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia (UIPress). Fraser B. 1999. Using Learning Environment Assessment to Improve Classroom and School Climates dalam Jerome Feiberg (editor) School Climate: Measuring Improving and Sustaining Healthy Learning Environments. Falmer Press. Taylor & Francis Group. Frazier LM. 1993. Deteriorating School Facilitis and Student Learning. ERIC Digest 82 May 1993. http://www. Scholarsbank.uoregon.edu/ [8/11/2007] Freiberg J & Stein. 1999. Measuring, Improving and Sustaining Healthy Learning Environments dalam Jerome Feiberg (editor). School Climate: Measuring Improving and Sustaining Healthy Learning Environments. Falmer Press. Taylor & Francis Group. Frydenberg E. 1997. Adolescent Coping: Theoritical and Research. Adolescence and Society Series. Routledge. London.
242
Fung Y and Wong N. 1991. Involvement in Extracurricular Activities as Related to Academic Performance, Personality, and Peer Acceptance. Educational Journal Vol. 19 No.2pp. 155-160. Chinese University of Hongkong. Galiher S. 2006. Understanding the Effect of Extracurricular Involvement. A Research Project Report Presented to the School of Education Indiana University South Bend. Giddens,A. 1993. Sociology. Cambridge: Polity Press.. Gizi Anak. (2001). Gizi Anak Penentu Kualitas Bangsa. Koalisi untuk Indonesia Sehat.Jalan Kuningan Barat 26. Jakarta. Website: http://www.koalisi.org Goleman D. 1995. Emotional Intelligence: Why it can matter more than IQ. New York: Bantam Books. ---------------------. 1998. Working with Emotional Intelligence. New York: Bantam Books. ---------------------. 2002. Emotional Intelligence; alih bahasa: T. Hermaya. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Gottfredson LS. 1998. The General Intelligence Factor. Scientific American Present. http://www.udel.edu/educ/gottfredson/reprints/ .pdf [15/06/2007]. Gottman J & DeClaire J. 2001. Kiat-kiat Membesarkan Anak yang Memiliki Kecerdasan Emosional (T. Hermaya, penerjemah). Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Green S. 2002. Involving Fathers in Cildren’s Literacy Development: An Intoduction to the Fathers Reading Every Day (FRED) Program. Extension Journal, Inc. ISSN 10077-5315. http://www.joe.org/joe/2002october/iw4.shtml Gunanto. 2002. Motivasi Berprestasi, Kebiasaan Belajar dan Prestasi Belajar antara siswa kelas unggulan dengan bukan unggulan di SMU Negeri 48 Jakarta [Tesis]. PPs-Ilmu Administrasi, FISIP_UI. Guryan JHE & Kearney MS. 2008. Parental Education and Parenal Time With Children. NBER Working Paper No. 13993, Issued in May 2008. http://faculty.chicagobooth.edu/jonathan.guryan/research/w13993.pdf Guy LG. 2001. Student Achievement and School Condition: Examining the Relationship in West Virginia’s High School. [Disertasi]. Departemen of Education Leadership, Morgantown, West Virginia http://wvuscholar.wvu.edu:8881 //exlibris/dtl/ d3_1/ apache_media/5158.pdf [24/10/2007]. Haddad L. 1997. Intrahousehold Resource Allocation in Developing Countries: Models, Methods, and Policies. Food Policy Statement no. 24. -----------------------. 2002. Nutrition and Poverty in Nutrition: A Foundation for Development. Geneva: ACC/SCN. http://www.bvsde.paho.org/ texcom/ nutricion/ intnut8.pdf [12/05/2003]. Habsullah. 1999. Dasar-dasar Ilmu Pendidikan. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.. Hadisusanto D. 1995. Pengantar Ilmu Pendidikan. Yogyakarta: Fakultas Ilmu Pendidikan Institut Keguruan dan Ilmu Kependidikan. Hadi H. 2005. Beban Ganda Masalah Gizi dan Implikasinya terhadap Kebijakan Pembangunan Kesehatan Nasional. Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar pada Fakultas Kedokteran Unversitas Gadjah Mada. 5 Februari 2005.
243
Handa S. 1996. Expenditure behavior and children’s welfare: An analysis of female headed household in Jamaica. Journal of Development Economics. Vol. 50. Jamaica. Handa S & Simler KR. 2000. Quality or Quantity? The Supply-Side Determinants of Primary Schooling in Rural Mozambique. Food Consumption and Nutrition Division, International Food Policy Research Institute, Washington DC, USA. Hardinsyah & Martianto D. 1989. Menaksir Kecukupan Energi dan Protein serta Penilaian Mutu Gizi Konsumsi Pangan. Bogor: Jurusan Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga. Institut Pertanian Bogor. Harsono EB. 2003. Pendidikan Indonesia Terburuk di Asia. Suara Pembaruan. 7 Mei 2003. Hartog D, WA van Staveren, ID Brouwer. 1995. Manual for Soscial Surveys on Food Habits and Consumption in Developing Countries. Margarf Verlag. Weikersheim. Hartoyo. 1998. Investing in Children: Study of Rural Families in Indonesia [Disertasi]. Virginia Tech. Blacksburg, Virginia. Hine CY. 1991. The Home Environment of Gifted Puerto Rican Children: Family Factor Which Support High Achievement. [abstract]. University of Connecticut. http://digitalcommons.uconn.edu/dissertations/ AAI9215413/ Hoge RD. 1999. Assessing Adolescents in Education, Counseling and Other Settings Homby AS. 2002. Oxford Advanced Learner’s Dictionary of Current English. Oxford Andvance Genie, Oxford University Press. Human Resources Development Canada. 1999. Which Family Characteristics Make the Most Difference in Children’s Success in School? Ihromi TO. 1999. Bunga Rampai Sosiologi Keluarga. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta Ilahi N. 2000. The Intra-household Allocation of Time and Task: What Have We Learnt from the Empirical Literature? The World Bank Development Research Group/Poverty Reduction and Economic Management Network. Policy Research Report On Gender And Development. Working Paper Series No. 13. http://www.worldbank.org/gender/prr. Indonesia Nutrition Network (INN). 2001. Pedoman Pemantauan Tinggi Badan Anak Baru Masuk Sekolah (TBABS) Tahun Anggaran 1999/2000. Jl. HR. Rasuna Said Blok X-5 Kav. No. 4-9 Lt 8. Jakarta. Website: http://www.gizi.net iPedianet. What is Cultural Fair Iii?. http://www Israel GD & Beaulieu LJ. (tanpa tahun). The Influence of Social Capital on Test Scores: How Much Do Families, School & Communities Matter? http://aaae.okstate.edu/regions/ southern/02.israel.beaulieu.paper.pdf. Jukes M, et al. 2002. Nutrition and Education in Nutrition: A Foundation for Development. Geneva: ACC/SCN. http://acc.unsystem.org.scn/. [24/04/2003]. Kalil A. 2001. Living Arrangements Of Single-Mother Families: Variations, Transition, And Child Development Outcomes. University of Chicago, Harris Graduate School of Public Studies. Kantor Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan Republik Indonesia 2000 – 2004. Jakarta: Jalan Merdeka Barat No. 15..
244
Karsin, ES. 2004. Klasifikasi Pangan dan Gizi dalam Pengantar Pangan dan Gizi dengan editor Yayuk Farida Baliwati, Ali Khomsan, dan C. Meti Dwiriani. Penebar Swadaya. Jakarta. --------------------. 2004. Peranan Pangan dan Gizi Dalam Pembangunan dalam Pengantar Pangan dan Gizi dengan editor Yayuk Farida Baliwati, Ali Khomsan, dan C. Meti Dwiriani. Penebar Swadaya. Jakarta. Kerr D, Roderic B. 2000. Child Poverty and Family Structure in Canada. Population Study Center. University of Western. Kevane M & Levine DL. 2003. Are Investment in Daugther Lower When Daughter Move Away? Center for international and development Economics research Working Paper No. C3-127. http://www.escholarship.org/uc/tem/5xv3g4sd [15/3/2005].. Khayyer. 1997. A Study of the Relationship Between Some Socioeconomic Indexes and the Academic Achievement Among A Group of Freshman High School Students in the New Educational System. Journal of Social Sciences & Humanities Vol. 12, No. 2, Spring 1997. Khomsan A, Rustiawan A, Widodo Y. 1998. Pengetahuan Gizi dan Perilaku Kesehatan Anak SD dan Orang Tua di Desa IDT Penerima PMT-AS. Gizi Indonesia. Vol. XXIII. ------------------. 2000. Tehnik Pengukuran Pengetahuan Gizi. Jurusan Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bogor. ------------------. 2004. Peranan Pangan dan Gizi untuk Kualitas Hidup. PT Gramedia Widiasarana Indonesia. Jakarta. Khumaidi. 1994. Gizi Masyarakat. Pusat Antar Universitas Institut Pertanian Bogor Klein DM. 1996. The Family Theory, An Introduction. SAGE Publication. Thousand Oaks. California. Klevmarken NA dan Stafford FP. 1997. Time Diary Measures Of Investment In Young Children. Department of Economics, Uppsala University, Box 513, S-751 20 Uppsala, Sweden. Koedel C. 2007. Teacher Quality and Educational Production in Secondary School. University of Missouri. http://economics.missouri.edu/workingpaper/2007/wp0707 koedel. pdf. [20/11/2007]. Koenig DJ, Bayer AE. 1967. The Institutional Frame of Reference in Family Study in Emerging Conceptual Frameworks in Family Analysis. New York.: The Macmillan Company. Kuan & Ping-Yin. 2000. Educational Achievement and Family Structure: Evidence from Two Cohorts of Adolescents in Taiwan. Departemen of Sociology, National Chengchi University, Wen-Shan, Taipe, Taiwan. Kusumaningrum. 2000. ps27,28.htm.
http://www.asiamaya.com/hukum/uu_kesehatan/penjelasan_
Lanawati. 1999. Hubungan antara Emotional Intelligence (EI) dan Inteligensi (IQ) dengan Prestasi Belajar siswa SMU Methodist Jakarta. Tesis. PPs-UI, Program Studi Psikologi. Jakarta. Lazzari SAD. 2000. Emotional Intelligence, Meaning, and Psychological Well Being: A Comparison Between Early and Late Adolescence Trinity Western University.
245
Leibowitz A. 1974. Home Investment in Children dalam Economics of the Family Marriage, Children, and Human Capital editor Theodore W. Schultz. The University of Chicago Press, Chicago and London. Leigh A & Sara M. 2005. Lifting Teacher Performance. Progressive Policy Institute. Policy Report. http://www.ppionline.org Levine DU & Havighurst RJ. 1992. Society and Education. Boston. Lewit EM & Kerrebrock N. 1997. Population-Based Growth Stunting. The Future of Children Children and Poverty Vol 7 No 2. Lipman EL, Boyle MH, Dooley MD, Offord DR. 1998. What About Children in LoneMother Families? based on the research paper Children and Lone-Mother Families: An Investigation of the Factors Influencing Child Well-Being. Apllied research Branch. Human Resources Development Canada. Lloyd , et al. 2001. Determinants of Educational Attainment Among Adolescents Egypt: Does School Quality Make Difference? Policy Research Division, Population Council. Sahar El Tawila is Research Associate, Social Research Center, American University in Cairo. Longman Dictionary of Contemporary English. 1987. Great Britain, Richard Clay Ltd. Bungay. Suffolk. Loury LD. 2006. All in the Extended Family: Grandparents, Aunts, and Uncles and Educational Attainment. Departement of Economic, Working Paper 2006, Tufts University, Medford. Lundholm M & Ohlsson H. 2000. Who Takes Care of The Children? The QuantityQuality Model Revisited. Department of Economics, Stockholm University, Stockholm, Sweden. Lynn R and Mikk J. 2006. National differences in intelligence and educational attainment. Intelligence Volume 35, Issue 2, March-April 2007, Pages 115-121. http://www.iapsych.com/articles/lynn2007.pdf [15/06/2007]. Madanijah S. 2004. Pendidikan Gizi dalam Pengantar Pangan dan Gizi dengan editor Yayuk Farida Baliwati, Ali Khomsan, dan C. Meti Dwiriani. Jakarta: Penebar Swadaya. Madanijah S. 2004. Pola Konsumsi Pangan dalam Pengantar Pangan dan Gizi dengan editor Yayuk Farida Baliwati, Ali Khomsan, dan C. Meti Dwiriani. Jakarta: Penebar Swadaya.. Maralani V. 2004. Family Size and Educational Attainmen in Indonesia: A Cohort Perspective. Department of Sociology, UCLA. Los Engeles. Marbun J. 1998. Hubungan Inteligensi, Emosional Intelligence dan Spritual Gift terhadap Prestasi Akademik Mahasiswa Institue Theolia dan Keguruan Indonesia. [Tesis] Depok: PPs-UI, Psikologi, Fakultas Psikologi. Marin P, Brown B. 2008. The School Environment and Adolescent Well-Being: Beyond Academics. National Adolescent Health Information Center. Child Trends. Washington. http://www.childtrends.org Martina A. 1996. The Quantity/Quality of Children Hypothesis in Develping countries: Testing by Considering Some demographic Experiences in China, India and Africa. Health Transition Review, Supplement to Volume 6, 1996, 191-212. Department of Economic History, Australian National University, Canberra, australia.
246
Masbullah. 1999. Dasar Dasar Ilmu Pendidikan. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Mayer SE. 2002. The Influence of Parental Income on Chilren’s Outcomes. ISBN: 0-47825121-1. http://www.msd.govt.nz. [10/04/2003]. McGowan RJ., Johnson DL. 1984. The Mother-Child Relationship and Other Antecendents of Academic Performance: A Causal Analysis. Hispanic Journal of Behavioral Sciences, Vol. 6, No. 3. Sage Publication. McLanahan S. 2001. Life Without Father: What Happens to the Children?. Center for Research on Child Wellbeing. Working Paper #01-21. Princeton University. http://www.familyindex.net/Categories/Parenthood-Childrearing/Parental+ Absence/ 00297.htm [17/ 04/2004] Megawangi R. 1999. Membiarkan Berbeda, Sudut Pandang Baru tentang Relasi Gender. Bandung: Mizan. MinHo Y, et al. 2002. The Reform o Secondary Education in Indonesia During the 1990s: Basic Education Expansion and Quality Improvement Through Curriculum Decentration. Asia Pacific Education Review, 2002, Vol. 3, No. 1,56-68. http://www. springelink.com/content/q68j5x843278881/fulltext. pdf? page=1 [23/4/2004]. Millimet DL. 2003. Household Size on Schooling in Indonesia. Department of Economics, Southern Methodist University, Dallas. Millimet DL & Wang L. 2005. Is the Quantity-Quality Trade-off Really a Trade-off for All?. Department of Economics, Southern Methodist University, Dallas. Moeloek FA. 2003. Pembangunan Berkelanjutan Dalam Peningkatan Derajat Kesehatan Masyarakat. Seminar pembangunan hukum nasional VIII tema Penegakan Hukum dalam Era Pembangunan Berkelanjutan Diselenggarakan Oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman Dan Hak Asasi Manusia RI Denpasar, 14 - 18 Juli 2003. Moriana JA, et al. 2006. Extra-curricular Activities and Academic Performance in Secondary Students. Depaertement of Psychology, School of Educational Sciences, University of Cordova. Electronic Journal of Research in Educational Psychology. ISSN. 1696-2095. No 8, Vol 4 (1) 2006, pp: 33-46 Mulyati. 2004. Hubungan antara pengalaman belajar pada siswa pra sekolah dan sikap terhadap sekolah dengan prestasi belajar. [Tesis]. Depok: PPs-UI, Psikologi. Munandar U. 1992. Mengembangkan Bakat dan Kreativitas Anak Sekolah Petunjuk Bagi Para Guru dan Orang Tua. Jakarta: PT Gramedia Widiasarana Indonesia. Mutmainah A. 1996. Beberapa Variabel Yang Berhubungan Dengan Tingkat Kecerdasan Anak Usia 2-5 Tahun. Media Gizi & Keluarga, Juli 1996, XX (1). McEwen N. 2006. Improving Schools - Investing in Our Future. School Improvement Branch, Alberta Education, Alberta. ISBN 0-7785-4760-4. http://education.alberta.ca/media/618564/imp_schools_invst_2006.pdf [28/06/2007]. Nordblom K. 2001. Within-the-Family Education and its Impact on Equality. Dept. of Economics Uppsala University, Box 513, SE-75120 Uppsala, Sweden. Notoatmodjo, S. 1993. Pengantar Pendidikan Kesehatan dan Ilmu Perilaku Kesehatan. Jakarta: BPKM Fakultas Kesehatan Masyarakat. Universitas Indonesia.
247
Nuraida. 2003. Dampak Program Akselerasi Indonesia yang Berbasis Kurikulum Nasional Terhadap Kecerdasan Emosional Siswa Peserta Akselerasi Tingkat SMU di Jakarta. [Tesis] Depok: PPs Psikologi UI.. Nurhayati, A. 2000. Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap status gizi anak usia 6 –24 bulan di kecamatan Bandung Kulon Kotamadya Bandung [Tesis]. Bogor: GMK, PPs IPB. Olatoye RA dan Oyundoyin JO. 2007. Intelligence Quotient as a Predictor of Creativity Among Some Nigerian Secondary School Student. Educational Research and Review Vol. 2 (4), pp.092-095, April 2007 Available online at http://www.academicjournals.org/ERR ISSN 1990-3839 © 2007 Academic Journals Pahl KM & Paula MB. tanpa tahun. The Development of Social-Emotional Competence in Preschool Aged Children: An Introductioan of the Fn FRIENDS Program. Pathways Helath and Research Centre, Brisbane. http://www. ecta.org.au/_dbase_upl/07_Fun%20FRIENDS%20-%20Review.pdf. Paputungan H. 2000. Status Gizi Balita Dari Keluarga Yang Mengikuti Program PMT Ibu Hamil JPS-BK Di Kabupaten Bolaang Mongondow Propinsi Sulawesi Utara. [Tesis] Bogor: GMK, PPs-IPB. Patra S. 2004. Role of Emotional Intelligence in Educational Management, Journal of Indian Education. http:/www. [7/06/2007]. Petrides NF, Adrian F. 2002. The Role of Trait Emotional Intelligence in Academic Perormance and Deviant Behavior at School. Institute of Education, University of London. http//:www.elsevier.com/locate/paid/a4_3d Picus LO, et al. 2005. Understanding the Relationship Between Studen Achievement and the Quality of Educational Facilities: Evidence rom Wyoming. Peabody Journal of Education, Vol. 80, No. 3, Pages 71-95. http://www.eric.ed.gov/ ERICWebPortal/custom/portlets/recordDetails/detailmini.jsp?_nfpb=true&_&ER ICExtSearch_SearchValue_0=EJ695548&ERICExtSearch_SearchType_0=no&a ccno=EJ695548 [8/11/2007]. Priyono E. 1999. Pengembangan Sumber Daya Manusia Dalam Dimensi Makro dan Mikro. Depok: Warta Demografi. Th-29, No.3. Lembaga Demografi FE-UI.. Purwati EU. 1989. Sikap Ibu terhadap Cara Pengasuhan yang Meningkatkan Harga Diri Anak. Jakarta: Fakultas Psikologi, Universitas Idonesia. Qian N. 2005. Quantity-Qualilty: The Positif Effect of Family Size on School Enrollment in China. Department of Economics, MIT, Cambridge. Quisumbing AR. 1995. The Extended Family and Intrahousehold Allocation Inheritance and Investment in Children in the Rural Philipines. FCND Discussion Paper No. 3 . http://www.ifpri.org [16/2/2002]. Quisumbing AR & Maluccio JA. 1999. Intrahousehold Allocation and Gender Relation: New Empirical Evidence. Policy Research Report On Gender and Development, Working Series no.2. World Bank. Rahardjo D. 1984. Transformasi Pertanian, Industrialisasi, dan Kesempatan Kerja. Jakarta: Universitas Indonesia Press, Indonesia. Rahmawati T. Keragaman Konsumsi Pangan, Aktivitas Fisik dan Status Gizi Pada Wanita Menopause. Media Gizi & Keluarga, Juli 2001, XXV (1).
248
Ram R. 2007. IQ and economic growth: Further augmentation of Mankiw-Romer-Weil model. Economic Leters, Volume 94, Issue 1, pages 7-11. http://www. [ 8/11/ 2007]. Reynaldo M. 1998. Nutrition, Human Capital, And National Economic Development dalam Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VI. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Jakarta. Ribero R. 2000. Family Structure, Fertility and Child Quality in Columbia. Economic Growth Center, Yale University, New Haven, Connecticut. Ritzer G. 1992. Sociological Theory. McGraw-Hill. New York. Robert P, Smith P, Nason H. April 2001. Children and Familial Economic Welfare: The Effect of Income on Child Development. Applied Research Branch Strategic Policy, Human Resources Development Canada. Canada. Robison P. 1986. Beberapa Perspektf Sosiologi Pendidikan; alih bahasa, Hasan Basari. Jakarta: rajawali. Rohner RP. 1986. The Warmth Dimension Fondation of Parental Acceptance-Rejection Theory. SAGE Publication. The Publishers of Professional Social Science. Beverly Hills Newbury Park. London New Delhi. Ross D, Robert P, Scott K. 2000. Family Income and Child Well Being. Canada. Rowe K. 2002. The Importance of Teacher Quality. No 22, Principal Research Fellow, Australian Council for Educational Research, Private Bag 55, Camberwell, Victoria 3124, Australia; February 28th 2002.. [http://www.cis.org.au/issue_analysis/IA22/IA22. PDF] Rozen D. ---. What Is a Family Theory, An Introduction. SAGE Publication. Thousand Oaks. California. Rubalcava L. 2002. Welfare Design, Women’s Empowerment and Income Pooling. Rungo P. 2008. The Impact of Child Health Status on Learning ability and school entrance age. Economics Bulletin, Vol. 9, No. 27 pp. 1-9. Sajogyo P. 1983. Peranan Wanita dalam Pemberdayaan Masyarakat Desa. Jakarta: CV Rajawali.. Salovey P and Mayer J. 1990. Emotional Intellidence. Imagination,, cognition, and personality, 9(3), 185-211. Salovey, P., Mayer, & Caruso. 2000. The Positive Psychology of Emotion Intelligence. Departmen of Psychology, New Haven. http:/www. [24/02/2005]. Sam DL. 2001. (Research Review NS 172.2 (2001) 5-16 Value of Children: Effects of Globaization on Fertility Behavior and Child-Rearing Practices in Ghana Samra NA. 2000. The Relationship between Emotional Intelligence and Academic Achievement in Elventh Graders. Auurn University at Montgomery. Research in Education. Sapp SG. & Jensen HH. 1997. Reliability and Validity of Nutrition Knoeledge and DietHealth Awareness Tests Developed from the 1989-1991 Diet and Health Knowledge Surveys. Journal of Nutrition Education Vol 29 No 2. Schilling KM & Shilling KL. 1999. Increasing Expectation for Student Efoort. About Campus diacu dalam Miller, Ross . 2001. Greater Expectation to Improve Student Learning. Association of America Colleges and University.
249
Schultz TW. 1961. Investment in Human Capital. The American Economic Review, Volume LI, March 1961, Number One. ------------------. 1974. Economic of the Family: Marriage, Children, and Human Capital. National Bureau of Economic Research. The University of Chicago Press. Chicago and London. Sevilla CG, et al. 1993. Pengantar Metode Penelitian. Jakarta: UI-PRESS. Shelornenself D. 2000. Nutrition and Physical Activity Guidelines for Adolescents. California Department of Health Services. http://www.cdph.ca.gov [21/10/2005] Sistem Pendidikan Nasional. 1994. Jakarta: Golden Terayon Press.. SMERU. 2006. Kajian Cepat PKPS-BBM Bidang Pendidikan: Bantuan Operasional Sekolah (BOS) 2005. Jakarta: Lembaga Penelitian SMERU. http://www.smeru.or.id Smith BB. 1998. Effects of Home – School Collaboraton and Different Forms of Parent Involvement on Reading Achievement. [Disertasi] Backsburg, VA. Soedikarijati. 2001. Sosio Budaya Pangan, Konsumsi pangan dan Status Gizi Anak Balita Masyarakat IDT di Kecamatan Cilincing Kota Madya Jakarta Utara [Tesis]. Bogor: PPs GMK. Soekanto S. 1977. Sosiologi Suatu Pengantar. Yayasan Penerbit Universitas Indonesia. Jakarta. Soekirman, et al. 1999. Nurition Status, Dietary and Physical Activity Patterns of Urban Primary School Children in Indonesia. Bogor Agricultural University. School of Nutrition. Ministry of Health International Life Science Insitute. South East Asia. Jakarta. Soekirman. tanpa tahun. Perlu paradigma baru untuk menanggulangi masalah gizi makro di Indonesia. http:// www.gizi.net [5/4/2003] Soekirman. 2002. Peran Gizi Dalam Perencanaan Sumberdaya Manusia (SDM). Majalah Pangan No. 38/XI/2002. Jakarta: Puslitbang Bulog. Jakarta Selatan.. Somersalo H. 2002. School environment and children’s mental well-being A child psychiatric view on relations between classroom climate, school budget cuts and children’s mental health. [disertasi]. Helsinki. http://ethesis.helsinki.fi/ julkaisut/laa/kliin/vk/somersalo/schoolen.pdf. Sparkers J. 1999. Schools, Education and Social Exclusion. Centre for Analysis of Social Exclusion, London School of Economics, Houghton Street, London. Steiner C & Perry P. 1997. Achieving Emotional Literacy, A personal Program To Increase Your Emotional Intelligence. London: Bloomsbury. Stone KF dan Dillehunt HQ. 1978. Self Science: the Subject is Me. Goodyear Publishing Co. Santa Monica. Straton CW & Reid J. 2004. Strengthening Social and Emotional Competence in Young Children – The Foudation for Early School Readines and Success. Infant and Young Children Vol. 17, No. 2, pp. 96-113. Lippincott Williams & Wilkins, Inc. Suckow J & Klaus D. 2002. Value of Children in Six Culture. Proceeding of The Sympozium Organized of Faculty of Social Studies. Masaryk University BRNO (19-21 Sept. 2002).
250
Suhardjo. 1993. Pertanian, Pangan dan Gizi. Makalah disampakan dalam Pelatihan Pengembangan Kurikulum Bidang Pangan dan Gizi tanggal 1 – 21 Agustus 1994. Jurusan GMSK, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Suyanto. 2007. Guru yang Profesional dan Efektif. LPMKI DKI. http://www.lpmpdki.web.id/index.php?option=com_content&view=article&id=1 95:guru-yang-profesional-dan-efektif&catid=113:artikel-pendidikan&Itemid=331 [24/10/2007]. Sukadi. 1994. Nilai Modern di Kalangan Siswa SMTA di Bali [Tesis]. Jakarta: IKIP. Soekirman. tanpa tahun. Perlu Paradigma Baru untuk Menanggulangi masalah gizi makro di Indonesia. Guru Besar Ilmu Gizi / Kepala Pusat Studi Kebijakan Pangan dan Gizi Indtitut Pertanian Bogor (IPB) 25/04/2003 14:26 WIB http://www. Sunarti E. 2004. Mengasuh Dengan Hati Tantangan yang Menyenangkan. Jakarta: PT Elex Meida Komputindo, Gramedia. Sunarto K. 2000. Pegantar Sosiologi. Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Sussman MB & Steinmetz SK, editor. 1987. Handbook of Marriage and the Family. Plenum Press. New York and London. Sutanto W. 1998. Psikologi Pendidikan Landasan Kerja Pemimpin Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta. Svetaz MV, Ireland M & Blum M. 2000. Adolescents with learning disabilities: Risk and protective factors associated with emotional well-being: Findings from the National Longitudinal Study of Adolescent Health. Journal of Adolescent Health, 27, 340-348 Syarief H. 1997. Membangun Sumberdaya Manusia Berkualitas Suatu Telaahan Gizi Masyarakat dan Sumber Daya Keluarga. Orasi Olmiah Guru Besar Ilmu Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Kelaurga. Fakultas Pertanian.Institut Pertahanan Bogor. 6 September 1997. Tambingon, HN. 1999. Pola Pengasuhan Anak Berdasarkan Gender dalam Keluarga Ibu Bekerja dan Tidak Bekerja Serta kaitannya dengan Status Gizi Anak Balita. [Tesis]. Bogor: GMK, PPs-IPB, GMK. Tansel A. 1998. Determinans of School Attainment of Boys and Girls in Turkey. Economic growth center, yale university, P.O. Box 208269, 27 Hillhouse Avenue, New Haven, CT 06520-8269. Center Discussion Paper NO. 789, http://www.econ.yale.edu/growth_pdf/cdp789.pdf. Thomas D, et all. 1991. How Does Mother’s Education Affect Child Height? [abstract] The Journal of Human Resources, Vol. 26, No. 2, pp. 183-211. http://www.jstor.org/pss/ 145920 [21/11/2007]. Tilak JBG. 2002. Determinants of Household Expenditure on Education in Rural India. Working Paper Series No. 88. National Council of Applied Economic Research, Parisila Bhawan, 11 Indraprastha Estate, New Delhi, India. http://www.ncaer.org/ Downloads/WorkingPapers/WP88.pdf Tjiptoherijanto P, Hasmi E. 2000. The Future of Indonesia’s Economic Strategy From Human Capital Policy Point of View: A Lesson From The Current Economic Crisis. Journal of Population, vol.6, no.1&2.
251
Toumbourou JW & Gregg ME. 2001. Working with families to promote healthy adolescent development. [abstract] Australian Institute of Family Studies. Family Maters No. 59 Winter.. http://www.eric.ed.gov/ERICWebPortal/ custom/portlets/recordDetails/detailmini.jsp?_nfpb=true&_&ERICExt Search SearchValue_0=EJ663326&ERICExtSearch_SearchType_0=no& accno=EJ663326 [14/11/207]. Trommsdorff G & Nauck B. 2005. The Value of Children in Cross Cultural Perspective. Konstanzer Online-Publication System. http://kops.ub.uni-konsanz.de /volltexte/2009/8192/ UNESCO. 2003/2004. Understanding Education Quality. EFA-Global Monitoring Report 2003/04. http://EFAREPORT.UNESCO.ORG. United Nations Development Program. 1995. Programme Action of the United Nations International Conference on Population and Development. New York. Usfar AA. 2002. Household Coping Strategies for Food Security in Indonesia and the Relation to Nutritional Status: A Comparison before and after the 1997 Economic Crisis [Disertasi]. Verlag Grauer. Beuren. Stuttgart. Vandivere S, Moore KA, Zaslov M. 2000. Chldren’s Family Environment, Findings from the National Survey of America’s Family. Child Trends. Washington. http://www.childrends. Org Vela RH. 2003. The Role of Emotional Intelligece in the Academic Achievement of First Year Colege Students. [Disertasi]. Texas A&M University-Kingsville. Veloso FA. 2002. Income Composition, Endogenous Fertility and Schooling Investment in Children. Departement of Economics, Ibmec. http://www.econ.pucrio.br/pdf/seminario/ fernandoveloso_08_11_2002.pdf [15/9/2003]. Waldfogel J. 2003. Work and Family Research: Commentary from a Public Policy Perspective. Columbia Uiversity Prepared for the NICHD Work, Family, Health, and Well-Being Conference Washington, DC June 16-18, 2003 Whetzel DL & McDaniel M. 2006. Prediction of national wealth. Intellgence, Volume 34, Isue 5, Setember-Oktober, pages 449-458.. http://www.iapsych.com/articles/ whetzel2006.pdf [8/11/2007]. Widyanto EH. 2001. Sumbangan Inteligensi Umum & Inteligensi Emosional terhadap Prestasi Belajar dan terhadap Ciri Kepemimpinan Transformasional di SMU AL Azhar Bumi Serpong Damai. [Tesis]. Jakarta: PPs-UI, Psikologi. Wikipedia. 2007a. Intelligence Qutient from Wikipedia, the free encyclopedia. http://en.wikipedia.org/wiki/intelligence quotient. [15/06/2007]. ---------------2007b. Morbidity from Wikipedia, the http://en.wikipedia.org/wiki/ Morbidity. [11/072007].
free
encyclopedia.
----------------2009. Cattel Culture Fair Iii. Wikipedia, The Free Encyclopedia. William NC. 2002. The Relationship of Home Environment and Kindergarten Readiness. A Disertation presented to the faculty of the Departement of Educational Administration and Policy Analysis. East Tennesse State University. Winkell. 1986. Psikologi Pendidikan dan Evaluasi Belajar. Jakarta: PT Gramedia. World Health Organization (WHO). 1995. Physical Status: The Use and Intrepretation of Anthropometry. Geneva
252
Yueh LY. 2001. A Model of Parental Investment in Children’s Human Capital. SKOPE Research Paper No 15 Spring 2001. St. Edmund Hall, University of Oxford. Yuliana. 2002. Faktor-Faktor Yang Berpengaruh Terhadap Status Gizi Bayi Di Kota Bogor. Media Gizi & Keluarga, Desember 2002, 26 (2). Young E. et al. 2003. Do K-12 School Facilities Affect Education Outcomes? The Tennessee Advisory Commission on Intergovernmental Relation, Tennessee. http://www. state.tn.us/tacir. [12/11/2007]. Zaini, et al. 2005. Effects of Nutritional Status on Academic Performance of Malaysian Primary School Children. Asia-Pacific of Public Health, Vol. 17, No. 2. Zee, et al. 2002. The Relationship of Emotional Intelligence with Academic Intellgence and the Big Five. European Journal of Personality. Eur. J. Pers. 16: 103-125. http://www. defence.gov.au/ dpe/psmp/documents. [7/06/2007]. Zeitlin MF, et al. 1995. Strengthening the family - Implications for international development. United Nations University Press TOKYO • NEW YORK • PARIS.
LAMPIRAN
254
LAMPIRAN 1 Peta Kabupaten Banyumas dan Lokasi Penelitian
BATURADEN AJIBARANG
SMPN1 SMP PGRI
SMPN1 SMP MUHAMMADIYAH
PURWOKERTO SMPN2 SMP SANTA MARIA
SUMPIUH SMPN2 SMP GIRIPURO
RAWALO SMPN1 SMP DIPONEGORO
255
LAMPIRAN 2
Tabel Hasil uji validitas dan reliabilitas peubah-peubah penelitian Peubah Remaja Pengetahuan Gizi Sikap Gizi Harapan Siswa Terhadap Guru Lingkungan Sekolah a. Guru b. Aktivitas Siswa c. Kondisi Sekolah d. Iklim Belajar Lingkungan Keluarga a. Dorongan Berprestasi b. Aspirasi Pendidikan Dan Pekerjaan c. Fasilitas Belajar d. Pemanfaatan Waktu e. Ikatan Keluarga Kecerdasan Emosional a. Mengenali Emosi Diri b. Self Control c. Empathy d. Self Motivation e. Social Skill Keluarga Pengetahuan Gizi Sikap Gizi Nilai Anak a. Nilai Ekonomi Anak b. Nilai Sosial Anak c. Nilai Psikologis Anak
Jumlah Item
Validitas
Reliabilitas
0.188*-0.615* 0.178*-0.556* 0.278*-0.659* 0.199*-0.568* 0.253*-0.612* 0.301*-0.595* 0.361*-0.681* 0.447*-0.605* 0.046-0.569* 0.362*-0.649*
0.7166 0.6874 0.6658 0.8403 0.5441 0.6596 0.7689 0.6094 0.8882 0.7563
0.157*-0.649* 0.307*-0.715* 0.220*-0.609* 0.205*-0.606* 0.044-0.474* 0.296*-0.606* 0.090-0.591* 0.374*-0.635* 0.286-0.698* 0.405*-0.579*
0.6719 0.7017 0.5064 0.6666 0.8484 0.6283 0.6737 0.7435 0.7156 0.6969
10 10 15 57 10 17 10 10 10
0.251*-0.637* 0.132-0.738* 0.143-0.567* 0.529*-0.637* 0.509*-0.694* 0.560*-0.746*
0.8797 0.8930 0.6035 0.5713 0.5538 0.7575
20 20 15 5 5 5
20 20 10 40 10 12 10 8 55 10 10
256
LAMPIRAN 3
Perhitungan Indeks Kualitas Remaja Indeks Kualitas Remaja (IKR) mencakup Indeks Kecerdasan Intelektual (IQ), Indeks Kecerdasan Emosional (EI), dan Indeks Status Gizi (IMT) dengan rumus sebagai berikut: INDEKS IQ + INDEKS EI + INDEKS STATUS GIZI (IMT) 3
IKR=
Perhitungan masing-masing indeks dalam Indeks Kualitas Remaja secara rinci dapat diperiksa sebagai berikut: a. Perhitungan Indeks Kecerdasan Intelektual (IQ) adalah sebagai berikut: NILAI IQ X - NILAI IQ MINIMAL × 100 NILAI IQ MAKSIMAL - NILAI IQ MINIMAL
IKI =
Contoh perhitungan: 150 = (150 – 55.00 / 155 – 55.00) x 100 = 95 75 = (75 – 55.00 / 155 – 55.00) x 100 = 21 b. Perhitungan Indeks Kecerdasan Emosional adalah sebagai berikut: IKE =
NILAI EI X - NILAI EI MINIMAL × 100 NILAI EI MAKSIMAL - NILAI EI MINIMAL
Contoh perhitungan:
270 = (270 – 176 / 278 – 176) x 100 = 92.15 179 = (199 – 176 / 278 – 176) x 100 = 22.5 c. Perhitungan indeks status gizi remaja
Kategori status gizi remaja mencakup kategori normal, kurus, dan gemuk. Kategori ini dapat diperiksa dalam tabel berikut: Z Score 1 -2 -3 2 3
Tabel Kategori status gizi remaja Nilai Batas Kategori 18,50 – 25,00 Normal 17,00 – 18,49 Kurus <15 – 16,99 Sangat Kurus 25,01 – 27,00 Gemuk 27,01 - > 28,50 Sangat Gemuk
Kategori Normal Tidak normal Tidak normal Tidak normal Tidak normal
Status gizi tersebut merupakan data yang tidak linier atau berbentuk kurve. Oleh karena itu kategori atau nilai batas tersebut perlu dibuat sebagai data yang linier
257
agar dapar digabungkan dengan kedua data lainnya (kecerdasan emosi dan kecerdasan intelektual).
d. Perhitungan indeks status gizi remaja
i
Nilai batas 18,50 – 25,00 diasumsikan sebagai nilai ideal karena nilai batas tersebut merupakan nilai batas dengan kategori normal. Nilai batas antara 18,50 – 25,00 mempunyai nilai indeks 100.
ii Nilai batas < 15,00 – 18,49 merupakan nilai dengan kategori kurus diasumsikan nilai di bawah ideal/normal. Indeks status gizi pada nilai batas tersebut dihitung dengan cara : Indeks SGK* =
NILAI IMT X - NILAI IMT MINIMAL × 100 NILAI IMT MAKSIMAL - NILAI IMT MINIMAL
*= Indeks Status Gizi Kurus Contoh perhitungan:
17 = (17.00 – 14.08 / 18.49 – 14.08) x 100 = 66,21 15 = (15.00 – 14.08 / 18.49 – 14.08) x 100 = 20.86 iii Nilai batas 25,01 - > 28,50 merupakan nilai dengan kategori gemuk diasumsikan nilai di atas ideal/normal. Indeks status gizi pada nilai batas tersebut dihitung dengan cara: Indeks SGG* =
NILAI IMT MAKSIMAL - NILAI IMT X × 100 NILAI IMT MAKSIMAL - NILAI IMT MINIMAL
* = Indeks Status Gizi Gemuk Contoh perhitungan:
28 = (41.65 – 28.00 / 41.65 – 25.01) x 100 = 82.03 26 = (41.65 – 26.00 / 41.65 – 25.01) x 100 = 94.05
Apabila seseorang mempunyai IQ tinggi, kecerdasan emosi tinggi, dan status gizi normal maka akan mempunyai indeks kualitas remaja (IKR): IKR = (95 + 92.5 + 100) / 3 = 95.83
Namun, apabila seseorang memiliki IQ rendah, kecerdasan emosi rendah, dan status gizi tidak normal maka akan mempunyai indeks kualitas remaja: IKR = (21 + 22.5 + 20.86 ) / 3 = 21.45