1
INDIGENISASI KARAKTER BANGSA DALAM BINGKAI BUDAYA SEKOLAH MELALUI REVITALISASI GURU UNTUK MEWUJUDKAN GENERASI EMAS INDONESIA Wahyu Purwanto SMPN 3 Yosowilangun, Kabupaten Lumajang, Provinsi Jawa Timur e-mail:
[email protected]
Abstrak: Dehumanisasi manusia mengiringi derasnya arus globalisasi yang melanda negeri ini. Peristiwa tersebut ditandai dengan kemerosotan moral pada berbagai elemen kehidupan. Karakter diperlukan sebagai jati diri, identitas dan keberlanjutan sebuah bangsa. Langkah cepat dan tepat untuk menumbuhkan kembali moral bangsa perlu dilakukan. Salah satu cara efektif untuk memutus mata rantai kemerosotan moral, dapat dilakukan melalui pendidikan dengan cara membumikan (indigenisasi) karakter dalam bingkai budaya sekolah. Oleh karena itu, sebuah revitalisasi Guru yang berkarakter (GUTER) sangat dibutuhkan untuk menjalankan pembiasaan dan pembudayaan karakter kepada peserta didik. Tujuannya adalah munculnya guru berkarakter yang menjadi sang tulodho dan panutan secara nyata bagi peserta didik. Saat ini figur GUTER dibutuhkan peserta didik yang merupakan generasi masa depan, sebagai imitasi dan identifikasi dalam bertindak. Harapan ke depan, keselarasan antara bonus demografi dan generasi berkarakter dapat merealisasikan masa keemasan bangsa Indonesia di masa mendatang. Kata Kunci: karakter, budaya sekolah, revitalisasi guru
Pengantar Kemerosotan moral pada bangsa Indonesia dewasa ini, dapat dikatakan sudah mencapai titik nadir. Dehumanisasi manusia sangat mudah kita jumpai dalam kehidupan sehari-hari seiring derasnya arus globalisasi. Menurut Akbar (2016) dehumanisasi itu disebut dengan lima peristiwa “keterasingan” manusia, yaitu semakin jauhnya manusia dengan; (1) tuhannya, yang ditandai maraknya kemaksiatan; (2) sesama, yang ditandai merosotnya moral; (3) lingkungannya, ditandai rusaknya lingkungan oleh tangan tak bertanggungjawab; (4) bangsanya, hal ini ditandai dengan pudarnya amalan nilai pancasila; dan (5) dirinya sendiri,
2
yang ditandai dengan merusak kehidupan sendiri. Puncaknya adalah terjadinya krisis jati diri bangsa (Soedarsono, 2002). Moral yang merosot menjadi adegan setiap elemen bangsa dari rakyat kecil sampai pejabat. Sebagai bukti; kasus korupsi di berbagai sendi birokrasi, peredaran narkoba di kalangan oknum penegak hukum, ataupun kehidupan bebas ala selebritis. Menjadi lebih parah, adegan tersebut merupakan tontonan anak negeri melalui media informasi yang mudah diakses setiap saat. Di lain sisi, negara mengharapkan generasi muda saat ini dapat mengantarkan Indonesia mencapai masa emas pada tahun 2045 (Sugiharto, 2012; Prasetyo, 2014). “Generasi emas adalah generasi dengan visi ke depan yang cemerlang, kompetensi yang memadahi, dan dengan karakter yang kokoh, kecerdasan yang tinggi, dan kompetitif” (Wibowo, 2012). Hal tersebut sangat beralasan, mengingat pada tahun itu negara kita mengalami bonus demografi penduduk produktif yang luar biasa. Harapan dan realita atas keadaan ini, tentu tidak akan berubah dengan sendirinya tanpa kita memulai untuk melakukan suatu perubahan. Pemerintah tentu sudah menyadari bahaya dampak dehumanisasi tersebut. Perubahan kurikulum dengan mengedepankan pembelajaran yang bermakna, sepanjang hayat, dan fokus pada pembangunan karakter didengungkan beberapa tahun ini. Integrasi karakter tersebut mau tidak mau menjadi hitam di atas putih dalam perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi proses pembelajaran. Oleh karena itu, pendidikan harus mengoptimalkan pembangunan karakter dalam wadah budaya sekolah agar karakter generasi penerus lebih kokoh dan tidak tergerus arus peradaban. Selain
pemerintah,
garda
terdepan
suksesi
pembumian
(Indigenisasi) karakter bangsa melalui pendidikan yaitu guru. Mengapa harus guru? Mengingat guru yang berhadapan langsung dengan generasi penerus bangsa yang notabene adalah peserta didik di masa sekarang. Guru sudah seharusnya tidak hanya berperan sebagai sang penilai. Akan
3
tetapi yang lebih penting pada masa sekarang adalah guru sebagai tokoh panutan, idaman, dan syuri teladan bagi para peserta didik. Guru bertindak sebagai model (sang tulodho), mengajarkan, dan menguatkan karakter-karakter bangsa bagi peserta didiknya. Di sinilah diperlukan revitalisasi guru sebagai suksesor untuk membangun kembali karakter mulia bangsa ini.
Masalah Karakter bangsa sangat dibutuhkan dalam era global saat ini, dimana manusia dapat berinteraksi dan bersaing pada segala aspek kehidupan dengan mudah dan instan. Karakter diperlukan sebagai jati diri atau identitas sebuah bangsa, agar tidak tergerus peradaban dan menjaga keberlanjutan sebuah bangsa dalam persaingan global. Akan tetapi, kemerosotan moral bangsa saat ini merupakan ancaman nyata pudarnya jati diri bangsa Indonesia. Yang menjadi semakin menyayat hati, dalam dunia pendidikan muncul peristiwa-peristiwa yang selama ini langka terjadi. Realita yang terjadi,
kasus
kekerasan
terhadap
guru.
Sebagai
contoh
kasus
penganiayaan orang tua dan siswa terhadap guru di Sulawesi (Lihat: Kompas.com, 10 Agustus 2016), maupun guru yang dimeja hijaukan di Jawa Timur (Lihat: Surabaya.tribunnews.com, 29 Juni 2016). Hal ini sebagai
gambaran
bahwa
mengawal
pembangunan
karakter
membutuhkan sebuah perjuangan yang tidak mudah. Penulis
mencoba
mengklasifikasikan
penyebab
masalah’
kemerosotan moral bangsa ini dalam empat elemen kehidupan budaya, yaitu; (1)
masyarakat; (2) pemerintahan; (3) penerus bangsa; dan (4)
pendidikan. Empat elemen masalah tersebut diuraikan secara rinci sebagai berikut. (1) Kehidupan Budaya Masyarakat Bermasalah Arus deras globalisasi membawa dampak positif pesatnya teknologi dan informasi. Berbagai akses segala kebutuhan manusia seakan tidak
4
terpisahkan oleh waktu dan tempat. Akan tetapi, dampak positif tersebut nyatanya juga membawa dampak negatif bagi bangsa ini. Dampak negatif yang nyata terjadi antara lain semakin maraknya; pasar gelap, cyber crime, peredaran narkoba, dan peredaran video porno. Beberapa dampak negatif yang mengiringi bagi bangsa ini, secara laten telah membawa pada kemerosotan moral bangsa. (2) Kehidupan Budaya Pemerintahan Bermasalah Pemerintah memang tidak menutup mata dalam mengatasi kemerosotan moral bangsa ini. Akan tetapi, inkonsistensi kebijakan sebagai tameng karakter bangsa menjadi bumerang tersendiri. Sebagai contoh, perubahan kurikulum. Latar belakang perubahan kurikulum sudah tepat untuk membangun kembali karakter bangsa yang kian tenggelam. Akan tetapi, produk yang masih dalam taraf uji kelayakan dan tuntutan akhir
kekuasaan
menjadikan
kurikulum
tersebut
terkesan
untuk
dipaksakan. Pekerjaan rumah bagi Pemerintah yaitu, seberapa tingkat kenegarawanan dengan kemampuan membedakan benang merah antara politik dan pendidikan. (3) Kehidupan Budaya Penerus Bangsa (Generasi Muda) Bermasalah Permasalahan kehidupan keluarga sebagaimana tergambar pada uraian di atas, berdampak pula pada kehidupan generasi muda. Berbagai permasalahan yang terjadi pada generasi muda (notabene adalah para peserta didik di sekolah), antara lain; tawuran antar pelajar, peredaran narkoba, dan perilaku peserta didik menyimpang dari norma. Sebagai contoh yaitu, angka peningkatan perokok di kalangan generasi muda (usia 16 – 19 tahun) dari 7,1% pada tahun 1995 meningkat tiga kali lipat menjadi 20,50% pada tahun 2014. Hal tersebut diperparah lagi perokok pemula (usia 10 – 14 tahun) yang meningkat lebih dari 100% dalam kurun waktu kurang dari 20 tahun, yaitu 8,9% pada tahun 1995 menjadi 18% di tahun 2013 (Kemenkes RI, 2016). Data tersebut belum lagi dibahas tentang penyalahguna narkoba pada generasi muda. (4) Kehidupan Budaya Pendidikan Bermasalah
5
Sistem
pendidikan
pasca
era
reformasi
yang
“mengebiri”
pendidikan bernuansa budi pekerti, seakan-akan kini menuai hasil nyata. Sebagai contoh mata pelajaran PMP, yang kemudian diganti PPKn, yang kemudian diganti lagi PKn. Hal tersebut secara tidak langsung menghilangkan ciri khas karakter bangsa dalam materi pembelajaran. Pelajaran PKn cenderung mengajarkan kepada peserta didik untuk mempelajari ketatanegaraan, minim dengan pembelajaran dengan nilainilai Pancasila. Di lain sisi, peserta didik seakan kehilangan kepercayaan kepada pendidik (guru) di sekolah. Salah satu indikasinya, yaitu guru masih kalah pamor dengan idola-idola para generasi muda saat ini yang dibelai oleh media. Di sinilah letak muara permasalahan bangsa ini. Generasi inilah yang harus dilindungi, mengingat kepada merekalah negeri ini akan tetap berdiri. Oleh karena itu, guru yang mampu menjadi idola, mampu memberikan contoh (sang tulodho), dan sebagai panutan karakter mulia dalam setiap tindakan sangat dibutuhkan pada era ini.
Ke empat elemen penyebab permasalahan tersebut, tentu dapat dicari muara pemecahannya. Memperbaiki elemen pendidikan merupakan salah satu cara efektif yang dapat dilakukan untuk melakukan perubahan pembentukan kembali karakter bangsa ini. Pendidikan merupakan salah satu cara untuk memperbaiki secara tidak langsung ke tiga elemen lainnya sekaligus.
Pembahasan dan Solusi Arus
globalisasi
membawa
dampak
semakin
kompleksnya
problematika kehidupan manusia. Kecepatan akses informasi dalam berbagai aspek kehidupan membawa pola pikir manusia berkeinginan serba cepat dan instan. Berbagai perilaku manusia yang ingin mencapai tujuan dengan cepat tanpa lagi memikirkan dampak buruk bagi manusia
6
lain menjadi pilihan. Kemerosotan moral bangsa begitu jelas tergambar dalam kehidupan sehari-hari yang kita lalui. Implementasi karakter bangsa dalam kehidupan di masyarakat pada akhir-akhir ini sulit untuk dijumpai. Sebagai contoh, sulit ditemuinya lagi budaya soyo dalam masyarakat pada saat membangun rumah di daerah Jawa. Padahal, budaya ini merupakan cermin karakter bangsa yaitu gotong royong atau saling membantu. Sudah menjadi hal yang langka atau bahkan jika terjadi saat ini, peristiwa tersebut justru menjadi viral di masyarakat. Seakan-akan hal itu membangkitkan kenangan atau memori kebanggaan masa lalu semata. Dehumanisasi manusia sering kali dijumpai dalam kehidupan. Mencari contoh pernyataan di atas, bukan perkara sulit dalam kehidupan di sekitar kita. Sebagai bukti; maraknya kasus korupsi, maraknya kasus suap dan pungli di berbagai instansi, atau kasus penipuan bermilyar rupiah dengan modus pengadaan uang. Hal tersebut sebagai cerminan bahwa sikap manusia yang cenderung ingin meraup tujuan hidup pribadi secara cepat dan instan. Tindakan irasional tersebut, tanpa didasari konsekuensi dan akibat yang ditimbulkan baik kepada masa depan, diri sendiri, sesama manusia, lingkungan, bangsa, bahkan dengan Tuhannya. Penulis mencoba membahasakan dehumanisasi manusia tersebut dengan istilah “amnesia manusia” , yaitu; (1) amnesia manusia dengan tuhannya, yang ditandai maraknya kemaksiatan; (2) amnesia manusia dengan sesama, yang ditandai merosotnya moral; (3) amnesia manusia dengan lingkungannya, ditandai rusaknya lingkungan oleh tangan tak bertanggungjawab; (4) amnesia manusia dengan bangsanya, hal ini ditandai dengan maraknya tindakan melawan hukum, tindakan makar, dan pudarnya amalan nilai pancasila; (5) amnesia manusia dengan dirinya, yang ditandai dengan merusak kehidupan sendiri; dan (6) amnesia manusia dengan masa depannya, yang ditandai oleh semakin maraknya manusia yang ingin serba instan tanpa mempertimbangkan logika.
7
Sebagaimana
diuraikan
dalam
masalah,
penyebab
utama
kemerosotan moral bangsa ini disebabkan antara lain oleh permasalahan empat elemen budaya kehidupan, yaitu; masyarakat, pemerintahan, penerus bangsa (generasi muda), dan pendidikan yang bermasalah. Haryati (2012) mengatakan bahwa penyebab utama dan permasalahan mendasar
penyebab
lemahnya
karakter
bangsa
adalah
budaya,
khususnya karakter manusia bermartabat yang diabaikan. Pada elemen pendidikanlah ketiga elemen lainnya dapat secara tidak langsung juga diperbaiki. Mengingat hakikat pendidikan adalah mempersiapkan generasi masa mendatang (Hariyono, 1995). Akan tetapi, membahas penyebab masalah dan perdebatan siapa yang patut bertanggungjawab terhadap kemerosotan moral bukan merupakan langkah cepat dan tepat pada saat ini. Pembahasan solusi alternatif merupakan hal yang perlu diangkat sebagai upaya dan usaha bersama komponen bangsa membangun kembali karakter bangsa ini. Karakter sebuah bangsa diperlukan sebagai jati diri atau identitas agar tidak tergerus peradaban dan menjaga keberlanjutan sebuah bangsa dalam persaingan global. “Kualitas suatu masyarakat atau bangsa tidak hanya ditentukan oleh derajat kompetensinya dalam ilmu dan teknologi, tetapi juga oleh keyakinan dan sikap hidup yang berlandaskan nilai-nilai keagamaan dan moral” (Parji, 2002). Menurut Dewantara (1962) karakter adalah segala perpaduan tabiat manusia yang sifatnya permanen sehingga dapat menjadi ciri khas antara orang satu dengan yang lainnya. Lebih lanjut lagi Lickona (1992) mendefinisikan karakter sebagai “value in action”, yang berarti nilai yang diwujudkan dalam suatu tindakan. Ketika sebuah kehidupan seseorang bertabiat baik, maka mencerminkan karakter yang baik. Begitu pula sebaliknya, ketika sebuah kehidupan seseorang bertabiat buruk, maka mencerminkan karakter yang buruk pula. Gambaran baik dan buruk tabiat seseorang dapat diukur dari tindakan yang dilakukan dikomparasikan dengan nilai, norma, dan hukum yang berlaku dalam tatanan kehidupan.
8
Pada tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara, dengan mayoritas masyarakat yang mempunyai tabiat kehidupan baik maka karakter bangsa tersebut juga baik. Begitu pula sebaliknya, mayoritas masyarakat yang mempunyai tabiat kehidupan buruk maka karakter bangsa tersebut juga buruk. Ancaman bagi bangsa yang tidak berkarakter baik, antara lain; maraknya sikap hidup egois, liberalis, dan kapitalis; mudah terjadi disintegrasi bangsa; dan akhirnya hilangnya sebuah bangsa itu sendiri. Zamroni (2011) Menyatakan bahwa karakter merupakan elemen dari budaya bangsa yang penting untuk diwariskan antar generasi, karena karakter yang baik tidak secara otomatis tumbuh dan berkembang pada diri masyarakat generasi sebelumnya. Beberapa karakter baik yang sudah menjadi identitas bangsa Indonesia dan perlu dibangkitkan kembali kepada generasi penerus bangsa antara lain karakter; religius, jujur, toleransi, disiplin, kerja keras, kreatif, mandiri, demokratis, rasa ingin tahu, nasionalisme, cinta tanah air, menghargai prestasi, komunikatif, cinta damai, gemar membaca, peduli lingkungan, peduli sosial, dan tanggung jawab (Badan Penelitian dan Pengembangan, Pusat Kurikulum, 2010). Beberapa item karakter bangsa tersebut saling terkait dan saling melengkapi. Harapannya dengan integrasi karakter tersebut dalam proses pendidikan, dapat membangun kembali karakter bangsa pada generasi penerus bangsa. “Pendidikan moral yang selama ini cenderung bersifat normatif dan indoktrinatif harus ditinggalkan dan diganti dengan pola pendidikan moral yang lebih bermakna” (Parji, 2002). Sehingga pada masa mendatang muncul generasi masyarakat yang berkarakter. Sekolah
merupakan salah
satu alat yang dapat dijadikan
doktrinisasi pembangun karakter bangsa. Pembentukan karakter dalam konteks budaya sekolah menurut Sudrajat (2011) dapat dilakukan dengan tiga cara, yaitu; (1) pemodelan (Modeling); (2) pengajaran (Teaching); dan (3) penguatan lingkungan (Reinforcing). Ketiga cara tersebut sebenarnya juga mirip dengan apa yang telah diwariskan oleh Ki Hajar Dewantoro.
9
Warisan tersebut adalah sesanti ing ngarso sung tulodho, ing madya mangun karso, dan tut wuri handayani. Selain itu, nilai-nilai Pancasila yang hakiki sudah saatnya ditanamkan kembali kepada perserta didik. Purwanto (2016) mengatakan bahwa Pancasila yang hakiki adalah nilainilai Pancasila yang sesungguhnya, bukan semata sebagai alat doktrinisasi penguasa atau alat politik semata untuk menjinakkan rakyatnya, akan tetapi sebagai konsientisasi (penyadaran) diri akan pentingnya nilai luhur Pancasila dalam kehidupan. Tantangan antara konsep dan realita yang terjadi di lapangan yaitu, sekolah kini bukan lagi menjadi tempat yang aman dan nyaman bagi penumbuhan karakter bangsa. Ironis bagi bangsa ini, sekolah yang merupakan ladang untuk menanam dan menyemai karakter tidak lagi disegani baik oleh masyarakat maupun peserta didik itu sendiri. Karakter andap ashor kepada orang yang berjuang mencerdaskan kehidupan bangsa sudah (bukan lagi mulai) luntur. Slogan guru digugu lan ditiru (dipatuhi dan dianut) menjadi kenangan indah pendidikan pada masa silam. Berbagai peristiwa tersebut belum lagi ditambah dengan kenakalan remaja (Juvenile Deliquency) yang dilakukan para generasi penerus bangsa ini, antara lain; maraknya peredaran narkoba dan miras, maraknya kehidupan bebas, dan merokok seakan menjadi biasa di kalangan pelajar. Oleh karena itu, dukungan dari segala elemen bangsa kepada pendidikan di sekolah sangat diperlukan untuk melanggengkan pembangunan kembali karakter mulia bangsa. Terdapat beberapa pertanyaan besar disini. Pertama, apakah memang guru sudah tidak lagi mempunyai kharisma sebagai seorang guru?. Kedua, apakah peserta didik memang berubah seiring peradaban?. Oleh karena itu, sosok guru berkarakter yang bisa menjadi idola bagi peserta didik sangat dibutuhkan untuk memutus mata rantai kemerosotan moral
bangsa
ini.
Towaf
(2014)
mengatakan
bahwa
diperlukan
10
pemberdayaan kepemilikan nilai-nilai dan karakter bangsa melalui pembudayaan dan pendidikan. Berbagai upaya yang sudah dilakukan oleh pemerintah dalam membangun kembali karakter bangsa ini antara lain; merevisi kurikulum pendidikan, mengeluarkan aturan pendukung pengembangan karakter, dan melalui progam utama pemerintah yaitu revolusi mental. Pemerintah telah berupaya mempersiapkan landasan operasional pembangunan karakter tersebut. Sebagai contoh terbaru yaitu, terbitnya peraturan tentang Penumbuhan Budi Pekerti. Pemerintah menganjurkan kepada sekolah untuk melakukan pembiasaan-pembiasaan kehidupan yang berkarakter pada kegiatan sekolah baik intra maupun ekstra kurikuler (Permendikbud No. 23, 2015). Contoh lain yaitu, anjuran untuk memasukkan karakter bangsa pada tahap perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi dalam pembelajaran. Akan tetapi, ketidaksiapan dan ketidakmampuan alat yang ditunjuk pemerintah untuk mengoperasionalkan aturan tersebut menjadi problem tersendiri. Artinya, guru sebagai garda terdepan yang diamanatkan sebagai salah satu pembangun karakter bangsa masih belum siap untuk melaksanakannya. Bagaimana menumbuhkan karakter bangsa kepada peserta didik, apabila guru sebagai sang tulodho yang diamanatkan untuk menumbuhkan karakter belum juga berkarakter baik. Seharusnya, landmark karakter juga harus diterapkan oleh manusia yang berkarakter pula. Perlu diingat, bahwa unsur sebuah karakter menurut Ki Hajar Dewantara mencakup tiga hal yang utama, yaitu ngerti, ngroso, dan nglakoni (dalam Akbar, 2016). Artinya sebuah karakter akan dilakukan oleh
manusia
apabila
mengandung
unsur
mengerti
maknanya,
merasakan, dan melakukan tabiat baik dalam setiap perbuatan dalam kehidupan. Sehingga tujuan pembangunan karakter bagi generasi penerus bangsa benar-benar akan berjalan efektif. Guru dapat dikatakan menjadi “whistleblower” dalam permasalahan kemerosotan moral bangsa ini. Perlu kita ingat bersama, bahwa guru
11
secara etimologis berasal dari bahasa Sansekerta, yang terdiri dari kata Gu dan Ru. Gu artinya kegelapan, dan Ru artinya penghancur, dapat disimpulkan
bahwa
Guru
adalah
penghancur
kegelapan
dengan
wawasan, pengetahuan, dan sikap perilaku yang tercermin dalam setiap kata dan perbuatannya. Towaf (2014) mengatakan bahwa penanganan kemerosotan moral bangsa ini diperlukan sebuah pemberdayaan kepemilikan nilai-nilai dan karakter bangsa melalui proses pembudayaan dan pendidikan. Salah satu alternatif sebagai solusi permasalahan bangsa yang perlu dilakukan terlebih dahulu yaitu dengan cara Revitalisasi Guru. Revitalisasi guru tersebut merupakan upaya pembumian (indigenisasi) pembangunan karakter mulia kepada generasi penerus bangsa di masa mendatang. Maksud dan inti dari Revitalisasi Guru disini adalah membentuk guru-guru yang berkarakter (GUTER) melalui sebuah program pendidikan dan pelatihan dalam jangka waktu tertentu. Langkah strategis dan operasional alternatif Revitalisasi Guru, dapat dilakukan melalui dua cara, yaitu; (1) jangka panjang; dan (2) jangka pendek. Langkah strategis dan operasional tersebut dapat diperinci sebagai berikut. (1) Langkah Strategis Jangka Panjang Langkah
jangka
panjang
tersebut
dapat
dilakukan
dengan
mencetak calon guru yang berkarakter. Tentunya hal ini dapat dilakukan oleh Lembaga Pendidikan Tenaga Keguruan (LPTK). LPTK dalam proses mencetak guru baru, tidak hanya akan menghasilkan output guru yang profesional. Akan tetapi, juga menghasilkan guru yang berkarakter mulia sebagai tongkat estafet pembangun karakter kepada generasi penerus bangsa. (2) Langkah Strategis Jangka Pendek Langkah ini dapat dilakukan dengan melaksanakan pendidikan dan pelatihan bagi guru-guru “terpilih” yang ada sekarang, sebagai pioner pembangun karakter di sekolah. Program pendidikan dan pelatihan
12
tersebut dimaksudkan agar seorang guru memiliki komponen karakter mulia yang mendarah daging dalam kehidupan pribadinya. Hal itulah yang akan dibangun kepada peserta didik melalui pembiasaan dan contoh perbuatan yang nyata, bukan teori terapan saja seperti yang terjadi selama ini. Pada akhirnya, dari pembiasaan tersebut dapat tercipta sebuah budaya sekolah yang berkarakter dan kehidupan masyarakat yang berkarakter.
GUTER diharapkan mampu menjalankan tiga unsur karakter yaitu ngerti, ngroso, dan nglakoni dalam kehidupannya. Sehingga peserta didik benar-benar mendapatkan guru yang Ing ngarso sung tulodho. Contoh dan panutan seorang guru dalam kehidupan sehari-hari secara nyata, diharapkan akan membangun karakter melalui budaya sekolah. Budaya sekolah yang berkarakter secara langsung akan merubah karakter peserta didik dan kehidupan masyarakat secara tidak langsung. Program pendidikan dan pelatihan GUTER dapat dilakukan secara In service dan On service. Sehingga selain mendapatkan pendidikan dan pelatihan karakter, juga secara langsung dapat mengaplikasikan hasilnya di sekolah dan sekaligus di masyarakat. Solusi ini dapat secara efektif untuk menumbuhkan pembiasaan-pembiasaan karakter yang tentunya dalam jangka waktu panjang akan menjadi sebuah budaya di sekolah. Pada akhirnya budaya sekolah tersebut akan berdampak pada perubahan karakter baik dalam kehidupan pribadi peserta didik maupun masyarakat secara umum. Dan yang terpenting, generasi emas bangsa Indonesia pada tahun 2045 benar-benar akan terwujud. Sudah menjadi rahasia umum, bahwa produk guru era sekarang mayoritas merupakan orang-orang yang terjun pada dunia yang bukan pilihan pertamanya. Oleh karena itu, langkah untuk menciptakan GUTER tersebut sangat strategis dan lebih efektif untuk dilakukan. Metode atau model yang akan diterapkan oleh pemerintah sebagai pemangku
13
kebijakan dalam membangun karakter, tentu akan lebih berjalan efektif dan tidak stagnan. Kenyataan ke depan, generasi emas bangsa Indonesia pada tahun 2045 benar-benar bukan harapan ilusi belaka, melainkan sebuah realita. Selain hal tersebut, yang tidak kalah pentingnya yaitu kebersamaan setiap elemen bangsa untuk berperan dalam membangun karakter mulia sebuah bangsa. Sehingga empat elemen penyebab masalah kemerosotan moral bangsa, yaitu; kehidupan budaya masyarakat bermasalah, buadaya pemerintahan bermasalah, budaya pendidikan bermasalah, dan budaya generasi penerus bangsa bermasalah akan berubah menjadi budaya berkarakter dan bermartabat. Teknis dalam pemilihan peserta program pendidikan dan pelatihan GUTER tersebut, dapat dilakukan dengan beberapa kriteria/cara sebagai berikut. (1)
Sosiogram Guru, yaitu grafik yang menggambarkan pola-pola
tertentu antar anggota satu kelompok. Dengan metode ini, dapat diperoleh gambaran riil tentang sosok guru yang paling disegani pada setiap kelompok atau sekolah. Figur guru yang paling diseganidan sebagai panutan di sebuah sekolah, mencerminkan bahwa guru tersebut memiliki karakter lebih baik dari pada guru lainnya. (2)
Guru Pilihan, yaitu guru yang terpilih berdasarkan kriteria tertentu.
Sebagai contoh; atas dasar kriteria prestasi kinerja, hasil Uji Kompetensi Guru (UKG), atau guru dengan masa kerja masih lama. Guru dengan masa kerja masih lama atau golongan usia muda, mayoritas memiliki beberapa kelebihan. Kelebihan tersebut antara lain; idealis, tidak gaptek, mampu mengikuti perkembangan, dan mobilitas tinggi. (3)
Leader di sekolah, yaitu guru yang mempunyai tugas dan
kewenangan untuk membuat kebijakan di sekolah. Dalam hal ini, yaitu Kepala Sekolah. Proses pendidikan dan pelatihan kepada leader tersebut dapat dilakukan pada saat sebelum seorang guru menjabat menjadi kepala sekolah. Sehingga dapat mengaplikasikan secara langsung dan
14
memiliki kewenangan lebih besar dalam mempengaruhi pembangunan karakter melalui kebijakan di sekolah.
Kesimpulan dan Harapan Penulis Adanya kesenjangan antara harapan dan realita yang terjadi pada bangsa ini membawa pemikiran untuk melakukan sebuah perubahan. Indigenisasi karakter bangsa menjadi penting untuk dilakukan sebagai upaya untuk memutus mata rantai kemerosotan moral bangsa. Oleh karena itu, perlunya membangun dan memperbaiki karakter generasi penerus bangsa melalui sebuah pendidikan dengan budaya sekolah yang berkarakter. Untuk mewujudkan pembangunan karakter melalui pendidikan, tentunya pelaksana pendidikan harus memahami dan mengaplikasikan tiga unsur karakter, yaitu ngerti, ngrasa, dan nglakoni. Guru sebagai pelaksana atau garda terdepan pembangun karakter, harus dapat menjadi panutan secara langsung oleh peserta didiknya. Pada posisi ini diperlukan guru
yang
berkarakter
(GUTER)
sebagai
mengaplikasikan pembiasaan tindak perbuatan
sang
tulodho
untuk
yang berkarakter pula.
Pada akhirnya pembangunan karakter bukan hanya sebagai retorika belaka, akan tetapi akan lebih nyata dan bermakna bagi peserta didik. Penumbuhan karakter tentu harus dimulai dan dicontohkan oleh seorang panutan yang juga berkarakter. Revitalisasi guru menjadi guru berkarakter (GUTER) menjadi penting dilakukan sebagai solusi alternatif dan scaffolding karakter peserta didik, serta menciptakan budaya sekolah yang berkarakter. Langkah strategis dan operasional alternatif Revitalisasi Guruberkarakter, dapat dilakukan melalui dua cara, yaitu; (1) jangka panjang melalui persiapan mencetak guru berkarakter oleh LPTK; dan (2) jangka pendek melalui program pendidikan dan pelatihan bagi guru terpilih sebagai pioner untuk membangun karakter bangsa. Harapan yang akan menjadi kenyataan di masa mendatang bagi bangsa Indonesia adalah masa kejayaan bangsa. Sebagaimana dapat
15
dilihat pada gambar sebagai berikut tentang keberlanjutan GUTER, budaya sekolah, dan masyarakat masa depan yang berkarakter.
Gambar. Skema Keberlanjutan Budaya Sekolah
Perjalanan dalam proses pembangunan karakter tersebut sangat hebat jika tidak hanya segelintir guru berkarakter yang berperan, melainkan kekompakkan segenap elemen bangsa. Sinergi antara pemerintah, guru berkarakter (GUTER), generasi muda, dan peran serta masyarakat sangat dibutuhkan. Sehingga karakter yang dimulai dari budaya
sekolah
akan
menjadi
karakter
mulia
sebuah
bangsa.
Kekompakan setiap elemen bangsa menjadi penting untuk mewujudkan bangsa yang berkarakter dan mewujudkan generasi emas bangsa Indonesia. Kenyataan ke depan, generasi emas bangsa Indonesia pada tahun 2045 benar-benar bukan merupakan harapan ilusi belaka, melainkan kenyataan kejayaan Indonesia.
16
Daftar Pustaka Akbar, Sa’dun. 2016. Optimalisasi Peran Sekolah dalam Membangun Karakter. Makalah Disajikan pada Seminar Nasional Optimalisasi Peran Keluarga dan Sekolah dalam Pembangunan Karakter Anak, Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Malang, Malang, 1 September. Badan
Penelitian dan Pengembangan, Pusat Kurikulum. 2010. Pengembangan Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa: Pedoman Sekolah. Jakarta: Pusat Kurikulum, Badan Penelitian dan Pengembangan Kemendiknas.
Dewantara, Ki Hajar. 1962. Bagian I: Pendidikan. Yogyakarta: Taman Siswa. Hariyati. 2012. Pengembangan Pendidikan Karakter Menuju Penguatan Karakter dan Jati Diri Bangsa di Era Global. Jurnal PKn Progresif, 7(2): 169 – 176. Hariyono. 1995. Mempelajari Sejarah Secara Efektif. Jakarta: PT. Dunia Pustaka Jaya. Kemenkes RI. 2016. HTTS 2016: Suarakan Kebenaran, Jangan Bunuh Dirimu Dengan Candu Rokok. (www.depkes.go.id/article/print/16060300002/htts-2016-suarakankebenaran-jangan-bunuh-dirimu-dengan-candu-rokok.html), (online), diakses 31 Mei 2016. Kompas.com. 2016. Anak Dihukum Karena Tak Bikin Tugas, Orangtua Pukul Pak Guru. (www.googleweblight.com/?lite_url=http://regional.kompas.com/re ad/2016/08/10/16135971/anak.dihukum.karena.tak.bikin.tugas.ora ngtua.pukul.pak.guru&lc=idID&s=1&m=285&host=www.google.co.id&ts=1478752626&sig=AF 9NedmXbgV-tLmR6alolDbuADUoyjc_nw), (Online), diakses 10 November 2016. Lickona, Thomas. 1992. Character and Value Education. New York: Bantam Book. Parji. 2002. Strategi Pembelajaran Pendidikan Moral pada Era Teknologi Informasi. Jurnal Ilmu Pendidikan, 9(2): 97 – 107. Permendikbud No. 23 Tahun 2015 Tentang Penumbuhan Budi Pekerti.
17
Prasetyo, Zuhdan K. 2014. Generasi Emas 2045 sebagai Fondasi Mewujudkan Siklus Peradaban Bangsa Melalui Implementasi Kurikulum 2013 di Sekolah Dasar. Makalah Disajikan dalam Seminar Nasional Kurikulum 2013, Universitas Tanjungpura, Pontianak, 16 April. Purwanto, Wahyu. 2016. Landasan kurikulum IPS untuk Mewujudkan Generasi Emas Bangsa Indonesia. Harmonisasi Pendidikan Kumpulan Naskah Terpilih Multidisiplin Ilmu Pengetahuan. Lumajang: CV. Mahameru. Soedarsono. 2002. Character Building: Membentuk Watak. Jakarta: Elex Media Komputindo. Sudrajat, Ajat. 2011. Membangun Budaya Sekolah Berbasis Karakter Terpuji: Pendidikan Karakter dalam Perspektif Teori dan Praktik. Penyunting Darmiyanti Zuhdi. Yogyakarta: UNY Press. Sugiharto. 2012. Menyongsong Indonesia Emas 2045. Makalah Disajikan dalam Kuliah Perdana, Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa (UST), Yogyakarta, 17 September. Surabaya.tribunnews.com. 2016. Cubit Siswa, Guru SMP di Sidoarjo Diadili, Simak Perjalanan Kasusnya. (http://surabaya.tribunnews.com/2016/06/29/cubit-siswa-guru-disidoarjo-diadili-simak-perjalanan-kasusnya), (Online), diakses 10 November 2016. Towaf, Siti Malikhah. 2014. Pendidikan Karakter pada Mata Pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial. Jurnal Ilmu Pendidikan, 20(1): 75 – 85. Wibowo, Mungin Eddy. 2012. Menyiapkan Bangkitnya Generasi Emas Indonesia. Prosiding Seminar Nasional: Merajut Generasi Emas Indonesia. Kudus: Universitas Muria Kudus. Zamroni. 2011.Strategi dan Model Implementasi Pendidikan Karakter di Sekolah, Pendidikan Karakter dalam Perspektif Teori dan Praktik. Penyunting Darmiyati Zuhdi. Yogyakarta: UNY Press.
18
RIWAYAT HIDUP Wahyu Purwanto, dilahirkan di kota Sang Proklamator Bung Karno yaitu Blitar, Jawa Timur pada tanggal 20 Juli 1986. Anak bungsu dari tiga bersaudara putra pasangan guru, yaitu Bapak (Alm.)
M.
Purwono,
Widartiningsih. pendidikan
S.Pd
Pendidikan
menengah
telah
dan dasar
Ibu
J.
sampai
ditempuh
di
kampung halamannya di Blitar. Pendidikan sekolah dasar ditempuh selama 6 tahun di SD Negeri 01 Nglegok dan lulus pada tahun 1998. Pendidikan menengah ditempuh selama 3 tahun di SLTP Negeri 2 Nglegok dan lulus pada tahun 2001. Kemudian melanjutkan studi di SMA Negeri 2 Blitar selama 3 tahun dan lulus pada tahun 2004. Pendidikan berikutnya ia tempuh di Universitas Negeri Malang (UM), pada program studi S1 Pendidikan Ekonomi. Program Magister Pendidikan Dasar pada Universitas yang sama menjadi jujugan selanjutnya saat ini, yaitu pada Pascasarjana program studi S2 Pendidikan Dasar IPS. Pada tahun 2010 ia diberikan amanah sebagai Pegawai Negeri Sipil di lingkungan Dinas Pendidikan Kabupaten Lumajang, yaitu sebagai guru IPS di SMPN 3 Yosowilangun. Publikasi ilmiah yang pernah ia hasilkan antara lain artikel yang diterbitkan pada Jurnal Gamma, JPTPP Pascasarjana UM, dan Majalah Suara PGRI Lumajang. Selain itu, buku Harmonisasi Pendidikan merupakan kumpulan karya bersama dengan berbagai guru di Indonesia. Pengalaman lain yang pernah diperoleh, antara lain: juara dua lomba pembelajaran PAKEM, juara tiga menulis feature, sepuluh naskah terpilih multidisipilin ilmu, dan penerima program beasiswa S2 Pemprov. Jatim tahun 2015. Selain itu ia juga pernah merasakan perkuliahan 18-unit Diploma bidang pembelajaran IPS di Miriam College, Philippines.