INDERAJA Volume II No. 2 | Juli 2011
ISSN 2087-8141 INDERAJA | Volume II • No. 2 | Juli 2011
1
2
INDERAJA | Volume II • No. 2 | Juli 2011
Dari Meja Redaksi Sidang Pembaca Yang Terhormat,
P
enerbitan Majalah Inderaja LAPAN edisi Juli 2011 memasuki nomor edisi kedua setelah namanya berganti dari Majalah Berita Inderaja menjadi Majalah Inderaja. Majalah ini merupakan media distribusi informasi perkembangan teknologi penginderaan jauh (inderaja). Materi tulisan yang disajikan pada edisi Juli 2011 adalah hasil kegiatan penelitian dan operasional di Kantor Kedeputian Bidang Penginderaan Jauh LAPAN yang memanfaatkan data satelit inderaja, diantaranya menggunakan data satelit Quickbird, SPOT, Landsat, MODIS, TRMM, Qmorph, SRTM dan Google Earth. Diharapkan materi/ tulisan yang disampaikan dapat bermanfaat bagi pembaca. Tema tentang pemanfaatan data satelit inderaja untuk ketersediaan informasi potensi rawan bencana mengisi ruang pada Rubrik Topik Inderaja dengan judul Pemanfaatan Data Curah Hujan Global Berbasis Penginderaan Jauh untuk Pemantauan Daerah Potensi Banjir (Studi Kasus Provinsi Sulawesi Selatan) dan Pemantauan Daerah Berpotensi Rawan Kekeringan dan Banjir di Lahan Sawah Kabupaten Kebumen, Jawa Tengah. Rubrik Pengolahan Data Inderaja menyajikan tulisan: Kajian Karakteristik Proyeksi Peta pada Google Earth dan Google Maps. Pada Rubrik Aplikasi Inderaja, disajikan beberapa judul tulisan, diantaranya adalah : Identifikasi Kondisi Terkini Semburan Lumpur Sidoharjo dari Citra Penginderaan Jauh dan Akurasi Prediksi Iklim di Indonesia Akibat Perubahan Suhu Permukaan Laut di Samudera Pasifik. Penyebarluasan informasi perkembangan pemanfaatan teknologi satelit, produk data dan sistem bank data inderaja saat ini, dimuat pada Rubrik Informasi Data Inderaja. Judul tulisannya adalah : Infrastruktur Data Spasial di Indonesia, Pengembangan dan Kendala - Kendalanya, Pembangunan Infrastruktur Data Spasial untuk Mendukung Manajemen Bencana dan Otomatisasi Penyajian Informasi Jumlah Titik Panas di Indonesia. Kami berusaha menyajikan informasi pemanfaatan data inderaja yang up to date. Informasi disampaikan melalui makalah/ tulisan, artikel dan pemuatan poster Peta Citra Satelit inderaja meliputi wilayah di seluruh Indonesia. Pada kesempatan ini, redaksi menyampaikan permohonan ma’af, karena belum dapat memenuhi semua permintaan pembaca yang disampaikan melalui pengembalian Formulir Tanggapan Surat Pembaca. Dan diharapkan pada edisi mendatang, secara bertahap kami dapat memenuhi permintaan pembaca. Terima kasih atas perhatiannya, selamat membaca. Hormat Kami, Redaksi
INDERAJA | Volume II • No. 2 | Juli 2011
Diterbitkan oleh: Bidang Pengembangan Bank Data Penginderaan Jauh Pusat Teknologi dan Data Penginderaan Jauh Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional Pelindung: Kepala LAPAN Deputi Bidang Penginderaan Jauh Penanggung Jawab : Pusat Teknologi dan Data Penginderaan Jauh Editor : Ir. Mahdi Kartasasmita, M.S., Ph.D. Prof. DR. F. S. Hardiyanti Purwadhi Staf Redaksi: Ir. Rubini Jusuf, M.Si, Yudho Dewanto, ST, Drs. Mohammad Natsir, M.T, Drs. Sukmadrajad, M.Sc, Abdul Kholik, SH Bambang Haryanto, SE., Staf Sekretariat: Abdul Makmun Achmad Djafar Wiwi Diyarti Alamat Redaksi: Bidang Pengembangan Bank Data Penginderaan Jauh Pusat Teknologi dan Data Penginderaan Jauh Jl. Lapan No. 70 Jakarta 13710 Telp.: (021) 8717715, 8710786, 8721870. Fax.: (021) 8717715 Website: http://www.lapanrs.com. Email:
[email protected]
Majalah ini diterbitkan untuk pengguna data satelit penginderaan jauh LAPAN. Redaksi menerima tulisan, saran, dan kritik dari para pembaca. Naskah mohon di tik satu spasi dan bila ada gambar dalam format (.gif/.tiff). Frekuensi terbit: 2 kali setahun.
3
Surat Pembaca
Surat Pembaca
Bahan-bahan yang relevan saya langsung kirimkan ke Pemda–Pemda terkait di seluruh Indonesia, kadang kadang dengan komentar saya semua PTN yang besar jumlah mahasiswa lebih dari 10.000, sebaiknya dikirim gratis dan perlu kampanye supaya website digunakan generasi muda. Dorodjatun K. Jakti Prof. Emeritus FEUI. Komplek UI – Ciputat - Tangerang
Redaksi majalah mengucapkan terima kasih kepada Bapak Dorodjatun K. Jakti yang sudah meluangkan waktunya untuk memberikan bahan-bahan dari isi majalah inderaja kepada Pemda-Pemda di Indonesia. Pada kesempatan ini perlu disampaikan bahwa majalah Inderaja telah di distribusikan ke beberapa Perpustakaan Perguruan Tinggi, namun karena terbatasnya jumlah pencetakan setiap edisi, hanya sebagian Perguruan Tinggi saja yang kami kirim. Majalah Inderaja sudah kami upload ke website: http://www.lapanrs.com, terima kasih atas saran dan masukannya. Banyak manfaat yang didapat guna meningkatkan kinerja kami selaku sekretariat BKPRD Kabupaten. Mohon kiranya dapat diadakan kursus Bimtek, Diklat, tersebut yang berkenaan dengan penginderaan jauh, guna meningkatkan kemampuan personil kami di daerah. Ir. Pasarman, M.Sc Kepala Bappeda Kabupaten Merangin, Jl. Jend. Sudirman No. 4, Bangko - Provinsi Jambi
Kami dari Tim Redaksi mengucapkan terima kasih karena, majalah Inderaja telah diterima dan dapat membantu meningkatkan kinerja di instansi Bapak Ir. Pasarman, M.Sc. Kedeputian Bidang Penginderaan Jauh LAPAN sering melaksanakan kegiatan Bimbingan Teknis yang diselenggarakan baik di Kantor LAPAN maupun di Pemerintah Daerah, untuk lebih jelasnya dapat menghubungi Bidang Pengembangan Bank Data, Pusat Teknologi dan Data Penginderaan Jauh Jl. Lapan No. 70, Pekayon Pasar Rebo, Jakarta Timur 13710 Telp. (021) 8710786 Fax. 8717715 Email :
[email protected] Website : http://www.lapanrs.com Masih bagus dan impresif informatif. Pencetakan sering warnanya bertumpah, contoh pada halaman 71 dan 74, foto buram halaman 64 dan 70 Prof. Dr. Otto SR Ongkosongo, APU Peneliti Utama, Agung Barat 42 - Sunter Agung Podomoro - Jakarta Utara
Terima kasih atas saran dan koreksi dari Bapak Prof. Dr. Otto SR Ongkosongo, APU. Kami akan selalu berupaya untuk meningkatkan kualitas isi materi makalah maupun foto/ gambarnya, Terima kasih atas kiriman majalahnya, akan sangat membantu saya dalam mengaplikasikannya di daerah, mohon terus mengirimkan issue terkait dengan aplikasi dan penerapan SIG dan Penginderaan Jauh. Diuraikan juga tahap– tahap mencapai informasi tematik baru dan jangan hanya menampilkan hasil. Proses informasi lebih penting dibanding evaluasi hasil, karena kami akan menerapkannya di daerah. Iwan Mulyawan, S.Si, M.Sc Perencanaan/ Surveyor Pemetaan Bappeda Kuningan Jl. RE. Martadinata – Kuningan Provinsi Jawa Barat
Terima kasih kami sampaikan kepada Bapak Iwan Mulyawan, S.Si, M.Sc, bahwa majalah Inderaja dapat diterima dan dimanfaatkan di Instansi Bapak. Majalah Inderaja terbit 2 kali setahun, isi majalah merupakan aplikasi pemanfataan data citra penginderaan jauh hasil dari penelitian dan kegiatan operasional di LAPAN yang terkait dengan issue potensi sumber daya alam dan lingkungan yang kami sajikan dalam format tulisan populer. Pada edisi kali ini, kami menyampaikan tulisan dengan judul : Pemanfaatan Data Curah Hujan Global Berbasis Penginderaan Jauh untuk Pemantauan Daerah Potensi Banjir (Studi Kasus Provinsi Sulawesi Selatan) dan Pemantauan Daerah Berpotensi Rawan Kekeringan dan Banjir di Lahan Sawah Kabupaten Kebumen, Jawa Tengah Menggunakan Data Penginderaan Jauh yang disampaikan secara tahap demi tahap. Kami berharap semoga judul tulisan ini dapat bermanfaat kepada seluruh pembaca setia majalah Inderaja.
4
INDERAJA | Volume II • No. 2 | Juli 2011
Daftar Isi
6 Halaman
Halaman
3 4 6
PEMANFAATAN DATA CURAH HUJAN GLOBAL BERBASIS PENGINDERAAN JAUH UNTUK PEMANTAUAN DAERAH POTENSI BANJIR (Studi Kasus Provinsi Sulawesi Selatan)
Dari Meja Redaksi Surat Pembaca: Topik Inderaja
Pemantauan Daerah Berpotensi Rawan Kekeringan dan Banjir di Lahan Sawah Kabupaten Kebumen, Jawa Tengah
19
Pengolahan Data Inderaja
27
Aplikasi Inderaja
46
Informasi Data Inderaja
62
Berita Ringan
67
Peristiwa Dalam Gambar
74
Poster
Kajian Karakteristik Proyeksi Peta pada Google Earth dan Google Maps • Identifikasi Kondisi Terkini Semburan Lumpur Sidoharjo dari Citra Penginderaan Jauh • Akurasi Prediksi Iklim di Indonesia Akibat Perubahan Suhu Permukaan Laut di Samudera Pasifik • Infrastruktur Data Spasial di Indonesia, Pengembangan dan Kendala – Kendalanya • Pembangunan Infrastruktur Data Spasial untuk Mendukung Manajemen Bencana • Otomatisasi Penyajian Informasi Jumlah Titik Panas di Indonesia • Pelantikan Kepala LAPAN • Ditopad Selenggarakan Simposium dan Pameran Teknologi Intelijen Geospasial • Forest Classification Workshop • LAPAN turut berkontribusi pada Pameran dan Olimpiade Geografi di Kampus Universitas Gajah Mada (UGM), Yogyakarta • Kunjungan Mahasiswa Jurusan MIPA Fakultas Sain dan Teknik Universitas Jenderal Soedirman - Purwokerto ke Pusat Data Penginderaan Jauh • Bimbingan Teknis Pengolahan Data Inderaja untuk Mendukung Pertahanan dan Keamanan di Pusat Data Penginderaan Jauh LAPAN • 3 Dimensi Landsat-7 Tahun 2000 – 2001 Kabupaten Bulungan Provinsi Kalimantan Timur • Citra Satelit Kota Tanjung Selor Kabupaten Bulungan Provinsi Kalimantan Timur • Citra Satelit Pelabuhan Ratu
Cover :
Depan : Citra Kabupaten Sinjai Sulawesi Selatan Depan Dalam : Citra Satelit Kota Sibolga Provinsi SumateraUtara Belakang Dalam : 3 Dimensi Mosaik Citra Landsat-7 Tahun 2008 –2010 Provinsi Kalimantan Tengah Belakang : Kota Bandar Lampung
INDERAJA | Volume II • No. 2 | Juli 2011
5
TOPIK Inderaja
Pemanfaatan Data Curah Hujan Global Berbasis Penginderaan Jauh untuk Pemantauan Daerah Potensi Banjir (Studi Kasus Provinsi Sulawesi Selatan) Any Zubaidah*, Orbita Roswintiarti** dan Suwarsono* * Peneliti Bidang Lingkungan dan Mitigasi Bencana - Pusfatja LAPAN, ** Kepala Pusat Teknologi Dan Data Penginderaan Jauh LAPAN.
I
ndonesia merupakan negeri beriklim tropis yang mempunyai dua musim yaitu musim hujan dan kemarau. Setiap kali menghadapi musim penghujan menjadi waswas terhadap ancaman antara lain adalah bencana banjir. Hampir setiap tahun bencana itu terjadi serta memakan korban jiwa dan material yang sangat besar, oleh karena itu banjir perlu mendapatkan perhatian yang serius. Banjir selain disebabkan oleh faktor-faktor seperti terjadinya alih fungsi lahan yang tidak terencana, kondisi topografi dan geologi daerah aliran sungai, drainase lahan, serta air pasang laut yang memperlambat aliran sungai ke laut. Selain itu, curah hujan yang tinggi juga dapat menjadi pemicu utama terjadinya banjir. Salah satu cara memperkecil resiko banjir adalah dengan memperkirakan kapan suatu daerah akan
Tulisan ini ditujukan untuk melakukan kaji banding data curah hujan global yang mempunyai resolusi temporal dan cakupan wilayah yang relatif luas berbasis penginderaan jauh untuk analisis daerah potensi banjir. Dipilih studi kasus di wilayah Provinsi Sulawesi Selatan, oleh karena di wilayah tersebut telah terjadi banjir yang mengakibatkan korban jiwa maupun materi sangat besar. Banjir dan longsor telah melanda sejumlah kabupaten di Provinsi Sulawesi Selatan, pada tanggal 20 Juni 2006 pukul 02.00 WIT dini hari. Data korban di Kabupaten Sinjai akibat banjir bandang dan tanah longsor adalah korban tewas mencapai 210 orang, korban hilang 10 orang, pengungsi 7.375 orang, ternak hilang 2.500 ekor, rumah hancur 541 unit, sekolah rusak 70 unit, rumah ibadah hancur 4 unit, jembatan putus 39 buah, 150 hektar are perkebunan rusak, 28 ha hutan longsor, 678 tambak banjir dan
berpotensi terkena banjir. Analisa ini dapat dilakukan dengan memperkirakan potensi terjadinya hujan lebat (curah hujan tinggi) yang diturunkan dari data Qmorph maupun TRMM dan diintegrasikan dengan peta kerawanan bencana banjir yang sudah ada (daerah genangan). Peta kerawanan bencana banjir diperoleh dari Departemen Pekerjaan Umum dengan beberapa revisi (updating) menggunakan data Digital Elevation Model (DEM) dari data SRTM (Shuttle Radar Topography Mission). Hasil dari penggunaan teknik analisis tersebut berupa informasi daerah mana yang kemungkinan akan terjadi banjir dan kapan akan terjadinya. Dalam hal ini, peranan teknologi penginderaan jauh dan Sistem Informasi Geografis sangatlah diperlukan.
3.348 ha pertanian rusak. Data yang diperlukan meliputi data set Qmorph dari NCEP–USA (National Center for Environmental Prediction – USA) dan TRMM. Data Qmorph mempunyai cakupan spasial 60.0°N-60.0°S (8km dan 0,25°), dan cakupan temporal mulai dari Desember 2002 – sekarang (setiap 30 menit), sedangkan Data TRMM mempunyai cakupan spasial – 50.0°N-50.0°S (0,25°), dan cakupan temporal mulai dari Januari 1998 sampai dengan sekarang (setiap 30 jam, bulanan). Akumulasi data curah hujan harian dari set data Qmorph ini dihitung pada pukul 06.00 UTC (13.00 WIB) hari sebelumnya sampai pukul 05.00 UTC (12.00 WIB) pada hari berikutnya. Sedangkan akumulasi data curah hujan harian dari data TRMM dihitung
6
INDERAJA | Volume II • No. 2 | Juli 2011
TOPIK Inderaja pada pukul 06.00 UTC – 03.00 UTC. Data lain yang digunakan adalah data DEM yang diturunkan dari data SRTM dengan resolusi 90 meter dan data peta administrasi dijital untuk wilayah Provinsi Sulawesi Selatan. Informasi daerah potensi banjir diperoleh dengan mengintegrasikan data estimasi curah hujan berpotensial banjir dengan daerah genangan. Banjir didefinisikan sebagai peristiwa terjadinya genangan pada suatu daerah yang biasanya kering (bukan daerah rawa) atau meluapnya limpasan air permukaan (runoff) yang volumenya melebihi kapasitas pengaliran sistem drainase atau sungainya. Banjir ini sebenarnya merupakan produk dari suatu sistem Daerah Aliran Sungai (DAS) yang sangat dipengaruhi oleh kondisi fisik DAS dan intensitas curah hujan sebagai sumbernya. DAS merupakan suatu daerah (kawasan) yang dibatasi oleh pemisah topografi, yang mampu menampung, menyimpulkan dan mengalirkan presipitasi yang jatuh di atasnya melalui sungai ataupun sistem sungai dan mengeluarkan dari daerah tersebut melalui outlet tunggal. Dalam pengertian ini, banjir merupakan kejadian yang wajar dipahami dalam segi hidrolika aliran sungai di suatu Daerah Aliran Sungai (DAS). Diawali dengan terjadinya hujan, air hujan yang mengenai permukaan lahan sebagian akan meresap ke dalam tanah (infiltrasi) dan terus bergerak ke dalam tanah (perkolasi) dan menjadi air tanah (groundwater). Sebagian air hujan akan mengenai tajuk-tajuk vegetasi menjadi aliran intersepsi (interception), sebagian langsung menjadi aliran permukaan (overlandflow). Gabungan overlandflow dan groundwater akan menyusun aliran sungai (direct runoff). Dalam kondisi aliran normal (tidak ada hujan), aliran sungai bersumber dari beberapa mataair yang merupakan keluaran dari air tanah. Hujan akan menimbulkan banjir dalam pengertian hidrograf aliran. Air sungai akan mengalir mengikuti alur-alur sungai yang membentuk pola-pola aliran mulai dari hulu hingga hilir. Tiap-tiap alur mempunyai kapasitas masing-masing dalam menampung air sungai. Pada periode ulang tertentu, volume air dapat melampaui kapasitas saluran, sehingga air akan meluap hingga ke daerah sekitarnya sehingga menimbulkan banjir. Secara lebih komprehensif, faktor-faktor penyebab timbulnya bencana banjir menurut Siswoko (2005) dapat dikelompokkan menjadi 3 (tiga) yaitu kondisi alam, peristiwa alam, dan kegiatan manusia. Kondisi alam meliputi kondisi
INDERAJA | Volume II • No. 2 | Juli 2011
geografi, topografi, geometri alur sungai, kemiringan dasar sungai, meandering, dan sedimentasi. Peristiwa alam antara lain adanya curah hujan tinggi, pembendungan dari laut/ pasang dan sungai induk, amblesan tanah, pendangkalan, kenaikan muka air laut akibat pemanasan global. Kelompok ketiga yaitu kegiatan yang dilakukan oleh manusia diantaranya pembudidayaan dataran banjir, tata ruang/peruntukan dataran banjir yang tidak sesuai, tata ruang/ pengelolaan DAS, permukiman di bantaran sungai, pembangunan drainase yang tidak sesuai, prasarana pengendali banjir yang terbatas, pembuangan sampah padat, amblesan permukaan tanah, dan lain-lain. Analisis daerah genangan Berdasarkan analisis peta daerah genangan yang direvisi menggunakan DEM (SRTM 90 m) menunjukkan bahwa di Provinsi Sulawesi Selatan tersebar di 20 Kota/ Kabupaten. Penelitian ini dilakukan di wilayah Sulawesi Selatan bagian Selatan dan hanya diambil untuk 10 kabupaten yaitu kabupaten Bantaeng, Bone, Bulukumba, Gowa, Jeneponto, Kota Makasar, Maros, Pangkajene Kepulauan, Sinjai, dan Takalar. Jumlah lokasi genangan di setiap kabupaten di Provinsi Sulawesi Selatan dapat dilihat pada Tabel 1. Setiap lokasi genangan mempunyai luasan genangan yang berbeda. NO. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20.
KABUPATEN BANTAENG BARRU BONE BULUKUMBA GOWA JENEPONTO KOTA MAKASSAR LUWU LUWU UTARA MAJENE MAMUJU MAROS PANGKAJENE KEPULAUAN PINRANG POLEWALI MAMASA SIDENRENG RAPPANG SINJAI SOPPENG TAKALAR WAJO
JUMLAH LOKASI GENANGAN 4 23 71 10 10 12 19 62 69 8 71 10 8 43 14 16 3 13 21 43
Tabel 1. Jumlah lokasi genangan disetiap Kabupaten di Provinsi Sulawesi Selatan.
7
TOPIK Inderaja Curah hujan harian dari data Qmorph dan TRMM Curah hujan harian dari set data Qmorph diperoleh dari curah hujan setiap 30 menit yang diakumulasikan menjadi curah hujan harian. Berdasarkan analisa curah hujan ratarata harian di setiap kabupaten ataupun rata-rata kesepuluh kabupaten menunjukkan bahwa tanggal 14 - 21 Juni 2006 curah hujan semakin besar yang menyebabkan daerah tersebut berpotensi untuk banjir. Terlihat adanya 2 puncak curah hujan yaitu pada tanggal 17 Juni 2006 dan 20 Juni 2006 yang mempunyai curah hujan > 20 mm/hari, puncak paling tinggi adalah tanggal 20 Juni 2006 hingga mencapai 115 mm/hari (Gambar 1). Begitu juga halnya untuk curah hujan maksimum harian di setiap kabupaten atau curah hujan maksimum kesepuluh kabupaten mempunyai pola yang sama. Puncak curah hujan maksimum tertinggi mencapai lebih 140 mm/ hari (Gambar 2). Curah hujan harian dari data TRMM diperoleh dari curah hujan setiap 3 jam yang diakumulasikan menjadi curah hujan harian. Berdasarkan analisa curah hujan rata-rata harian di setiap kabupaten ataupun rata-rata kesepuluh kabupaten menunjukkan bahwa tanggal 14 - 21 Juni 2006 curah hujan semakin besar, puncak hujan tertinggi juga terjadi pada tanggal 20 Juni 2006 yang mencapai lebih dari 35 mm/ hari, rata-rata harian kesepuluh kabupaten mencapai lebih dari 30 mm/hari (Gambar 3). Begitu juga halnya untuk curah hujan maksimum harian di setiap kabupaten atau curah hujan maksimum kesepuluh kabupaten mempunyai pola yang sama, dengan puncak curah hujan tertinggi terjadi juga pada tanggal 20 Juni 2006 mencapai lebih dari 45 mm/ hari (Gambar 4). Dari hasil analisis di atas menunjukkan bahwa fluktuasi data curah hujan baik melalui set data Qmorph maupun TRMM mempunyai pola temporal yang sama akan tetapi nilai intensitasnya berbeda. Selanjutnya, nilai-nilai curah hujan Qmorph lebih tinggi dan lebih merata terjadi di setiap wilayah bila dibanding dengan nilai-nilai curah hujan melalui TRMM.
Gambar 1. Curah hujan rata-rata harian disetiap kabupaten dan curah hujanrata-rata harian disepuluh kabupaten di Provinsi Sulawesi Selatan.
Gambar 2. Curah hujan maksimum harian disetiap kabupaten dan curah hujan maksimum harian disepuluh kabupaten di Provinsi Sulawesi Selatan.
Gambar 3. Curah hujan rata-rata harian disetiap kabupaten dan curah hujan rata-rata harian disepuluh kabupaten di Provinsi Sulawesi Selatan.
8
INDERAJA | Volume II • No. 2 | Juli 2011
TOPIK Inderaja terdapat lahan-lahan budidaya (tegalan) yang terletak pada lereng-lereng bagian atas. Kondisi demikian tentu saja akan menyebabkan lahan menjadi lebih rentan terhadap bahaya tanah longsor pada bagian hulu dan juga bahaya banjir pada bagian hilir. Gambar 7-9 menunjukkan perbesaran dari Gambar 6 yang memperlihatkan beberapa lokasi yang mengalami perubahan penutup lahan dari data Landsat TM tahun 1989, 2000 dan tahun 2009. Dari citra tersebut tampak telah terjadi perubahan penutup lahan yang nyata dari lahan bervegetasi, terutama hutan menjadi lahan non vegetasi (lahan terbuka). Gambar 4. Curah hujan maksimum harian disetiap kabupaten dan curah hujan maksimum harian disepuluh kabupaten di Provinsi Sulawesi Selatan
Kondisi Tutupan Lahan Di Sepuluh Wilayah Kabupaten di Provinsi Sulawesi Selatan Dari Citra Landsat-7 Tahun 2002. Secara topografis, wilayah ke sepuluh kabupten di Provinsi Sulawesi Selatan bagian selatan terlihat bahwa Kabupaten Sinjai, Bulukumba, Bantaeng dan Jeneponto terletak pada lerengkaki Gunungapi Lampobatang (Gambar 5). Pola-pola aliran cenderung mengikuti arah kemiringan lereng, berhulu pada lereng atas Gunungapi Lampobatang, mengalir secara menyebar sampai bermuara di laut (pola radial sentripetal). Di Kabupaten Sinjai bagian utara, terdapat juga gugusan daerah perbukitan yang telah mengalami pengikisan (perbukitan denudasional) dengan susunan batuan berbeda dengan fomasi batuan penyusun Gunungapi Lampobatang, berbatuan sedimen, berumur lebih tua dan telah lebih banyak mengalami pelapukan yang lanjut. Secara morfologi, daerah tersebut lebih rentan terhadap bencana banjir dan tanah longsor. Daerah yang mengalami banjir, secara morfologi terletak pada daerah dataran aluvial, di dekat muara-muara sungai yang berbatasan dengan perairan laut. Kondisi hidrologi air sungai sangat dipengaruhi oleh kondisi daerah aliran sungai pada daerah-daerah hulu yang terkait dengan kondisi penutupan lahannya Memperhatikan kondisi penutup/penggunaan lahan di lereng Gunungapi Lampobatang, sejak tahun 1989, 2000 hingga 2009 sebenarnya telah mengindikasikan adanya lahanlahan yang telah terbuka/gundul (Gambar 6). Selain itu juga
Gambar 5. Kondisi morfologi dari citra Landsat-7 ETM (2002) dan DEM-SRTM (2000)
A B C
Gambar 6a. Landsat TM, 1 April 1989
A
INDERAJA | Volume II • No. 2 | Juli 2011
B
9
C
C TOPIK Inderaja
A
A B
B C
C
Gambar 6b. Landsat TM, 25 Mei 2000
Gambar 6c. Landsat TM, 25 Oktober 2009
A B
C
(a) Th. 1989
(b) Th. 2000
(c) Th. 2009
Gambar 7. Perubahan penutup lahan dari vegetasi ke no vegetasi dari tahun 1989, 2000 hingga 2009 (perbesaran A)
(a) Th. 1989
(b) Th. 2000
(c) Th. 2009
Gambar 8. Perubahan penutup lahan dari vegetasi ke no vegetasi dari tahun 1989, 2000 hingga 2009 (perbesaran B)
10
INDERAJA | Volume II • No. 2 | Juli 2011
TOPIK Inderaja
(a) Th. 1989
(b) Th. 2000
(c) Th. 2009
Gambar 9. Perubahan penutup lahan dari vegetasi ke no vegetasi dari tahun 1989, 2000 hingga 2009 (perbesaran C)
Daerah Potensi Banjir di Wilayah Provinsi Sulawesi Selatan. Berdasarkan hasil analisis curah hujan dari Qmorph ditumpangsususunkan dengan genangan di sepuluh kabupaten di Provinsi Sulawesi Selatan diperoleh daerah potensi banjir yang tersebar secara merata di 8 kabupaten di Provinsi Sulawesi Selatan. Sedangkan berdasarkan data TRMM diperoleh daerah potensi banjir yang tersebar di 8 kabupaten di Provinsi Sulawesi Selatan. Lokasi dan analisa jumlah daerah potensi banjir di Provinsi Sulawesi Selatan lihat Tabel 2. Adapun distribusi spasial curah hujan dan daerah potensi banjir dari set data Qmorph dapat dilihat pada Gambar 10. Distribusi spasial curah hujan dan daerah potensi banjir dari data TRMM dapat dilihat pada Gambar 11.
Berdasarkan Tabel 2 diketahui bahwa titik-titik potensi banjir yang dihasilkan dari hasil analisis dengan menggunakan data Qmorph relatif sama banyak bila dibandingkan dari hasil analisis dengan menggunakan data TRMM. Meskipun keduanya memiliki persebaran yang sama pada beberapa lokasi kabupaten, namun demikian ada beberapa titik-titik lokasi lainnya yang berbeda, seperti di Kabupaten Pangkajene Kepulauan, Sinjai dan Kota Makasar. Kondisi demikian dapat dijelaskan dengan membandingkan pola persebaran curah hujan secara spasial antara data dari Qmorph dan TRMM (Gambar 11). Pola sebaran curah hujan secara spasial antara data dari Qmorph dan TRMM secara umum terdapat kemiripan, seperti terlihat adanya pola-pola yang mirip di beberapa lokasi bagian ujung selatan dan tenggara Pulau
KABUPATEN
140
Curah hujan rata-rata harian di 10 kabupaten di Provinsi Sulawesi Selatan versus curah hujan ratarata harian di seluruh 10 kabupaten tanggal 14 -21 Juni 2006 (Sumber: Data Qmorph)
Curah Hujan (mm/hari)
120 100 80 60 40 20 0
14-06-06
15-06-06
16-06-06
17-06-06
18-06-06
19-06-06
20-06-06
21-06-06
Tanggal BANTAENG JENEPONTO SINJAI
BONE KOTA MAKASSAR TAKALAR
BULUKUMBA MAROS Rata2
GOWA PANGKAJENE KEPULAUAN
BANTAENG BARRU BONE BULUKUMBA GOWA JENEPONTO KOTA MAKASSAR LUWU LUWU UTARA MAJENE MAMUJU MAROS PANGKAJENE KEPULAUAN PINRANG POLEWALI MAMASA SIDENRENG RAPPANG SINJAI SOPPENG TAKALAR WAJO
Daerah Potensi Banjir Curah Hujan Curah Hujan TRMM Qmorph V V V V V V
V V
V V V V
V
V V
V
Gambar 10. Distribusi spasial curah hujan dan daerah potensi banjir dari set data Qmorph
INDERAJA | Volume II • No. 2 | Juli 2011
Tabel 2. Daerah potensi banjir dari curah hujan Qmorph dan TRMM
11
TOPIK Inderaja
A
B
Gambar 11. Distribusi curah hujan dan daerah potensi banjir Tanggal 20 Juni 2006 di Provinsi Sulawesi Selatan: a) Sumber data Qmorph, b) Sumber data TRMM
Sulawesi. Namun demikian, secara detil lokasi, keduanya tidak sama persis. Seperti telah dijelaskan sebelumnya bahwa fluktuasi intensitas curah hujan baik melalui set data Qmorph maupun TRMM mempunyai pola temporal yang sama, namun secara keseluruhan nilai-nilai curah hujan Qmorph relatif lebih tinggi bila dibandingkan dengan nilai-nilai curah hujan melalui TRMM. Dengan demikian, kondisi tersebut memperjelas lagi bahwa meskipun secara umum mempunyai kemiripan, secara lebih detil keduanya memiliki persebaran yang berbeda pada beberapa titik lokasi kabupaten. Sementara berdasarkan informasi kejadian banjir aktual di Provinsi Sulawesi Selatan pada tanggal 20 Juni 2006 terjadi di 4 (empat) Kabupaten yaitu Kabupaten Bantaeng, Sinjai, Bulukumba dan Jeneponto. Dikaitkan dengan kejadian banjir aktual ini, curah hujan dari set data Qmorph menunjukkan bahwa daerah potensi banjir terjadi di Kabupaten Bantaeng dan Jeneponto, adapun melalui curah hujan dari TRMM daerah potensi banjir terjadi di 4 kabupaten yaitu kabupaten Bantaeng, Bulukumba, Sinjai, dan Jeneponto. Dengan
12
mendasarkan pada hasil tersebut, dapat diketahui bahwa data TRMM relatif lebih mendekati kebenaran dan sesuai dengan kejadian banjir aktual di Provinsi Sulawesi Selatan tanggal 20 Juni 2006, apabila dibandingkan dengan data Qmorph. Disamping itu, dilihat dari analisa curah hujan, bentuk morfologi dan tutupan lahan di Provinsi Selatan, kejadian banjir di Kabupaten Sinjai, Bulukumba, Bantaeng dan Jeneponto lebih disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu 1) curah hujan yang relatif lebat, 2) posisi topografis yang rawan bencana banjir dan 3) kondisi penutup/penggunaan lahan yang telah banyak menjadi lahan-lahan terbuka, terutama sekali pada hulu sungai (Lereng Gunungapi Lampobatang) dimana banyak dijumpai lahan kosong. Berdasarkan hasil analisis di atas maka dapat diketahui bahwa Curah hujan berskala global berbasis penginderaan jauh dari set data Qmorph dan TRMM dapat digunakan sebagai data utama untuk menganalisa daerah potensi banjir disamping data daerah genangan.
INDERAJA | Volume II • No. 2 | Juli 2011
TOPIK Inderaja
Pemantauan Daerah Berpotensi Rawan Kekeringan dan Banjir di Lahan Sawah Kabupaten Kebumen, Jawa Tengah Menggunakan Data Penginderaan Jauh Sukentyas Estuti Siwi* dan Nanin Anggraini** * Peneliti Bidang Teknologi Pengolahan Data - Pustekdata LAPAN, ** Peneliti Bidang Sumber Daya Wilayah Pesisir dan Laut - Pusfatja LAPAN.
[email protected] [email protected]
T
anaman pangan, khususnya tanaman padi, merupakan sumber daya alam yang sangat penting bagi kelangsungan hidup masyarakat Indonesia. Peningkatan produksi tanaman pangan perlu dilakukan untuk mencapai swasembada pangan dan menjamin ketahanan pangan. Dalam Undang-undang No. 7 Tahun 1996 dinyatakan bahwa ketahanan pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, merata, dan terjangkau. Idealnya, dari waktu ke waktu produksi padi terus meningkat sejalan dengan pertambahan penduduk. Pada kenyataannya, produksi padi di suatu negara setiap tahunnya dapat mengalami fluktuasi akibat adanya bencana alam (seperti: kekeringan dan kebanjiran di lahan sawah) dan perubahan lingkungan (seperti: degradasi lahan dan perubahan iklim global). Kekeringan dan kebanjiran merupakan dua kejadian ekstrimitas yang berlawanan, seperti dua sisi dari satu keping mata uang logam. Kejadian tersebut silih berganti, bahkan diprakirakan tidak akan dapat diatasi dalam jangka menengah. Fakta sepuluh tahun terakhir menunjukkan bahwa besaran kekeringan dan banjir, baik intensitas, frekuensi, durasi maupun dampak yang ditimbulkan terus meningkat. Pulau Jawa dengan kemampuannya memasok 50-55% produksi padi nasional, sebagian besar lahan sawahnya beririgasi dan tadah hujan yang mengalami rawan kekeringan 1.448.829 Ha (42%), rawan banjir 340.698 Ha (9%), rawan kekeringan dan banjir 427.894 Ha (13%), dan hanya 36% yang tidak rawan. Proporsi ini dipastikan akan terus memburuk karena lahan yang sampai saat ini tidak rawan kekeringan dan banjir dapat
INDERAJA | Volume II • No. 2 | Juli 2011
berubah menjadi rawan banjir, rawan kekeringan atau rawan keduanya. Ilustrasi ini menunjukkan bahwa kekeringan dan banjir merupakan masalah nasional yang harus diselesaikan secara bertahap dengan mengerahkan segala sumber daya, teknologi dan semua pemangku kepentingan (http://pla. deptan.go.id /rbk/main.html). Berdasarkan data Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Kebumen menunjukkan sebanyak 191 desa di 23 kecamatan (42%) rawan banjir, dan 82 desa di 16 kecamatan (18%) rawan kekeringan dan air bersih. Oleh karena itu identifikasi daerah-daerah rawan kekeringan dan banjir menjadi penting sebagai langkah antisipasi pencegahan dan penanggulangan bencana kekeringan dan banjir. Informasi mengenai fisik permukaan bumi dapat diperoleh secara terus-menerus dengan menggunakan teknologi penginderaan jauh satelit, karena teknologi ini mempunyai kemampuan resolusi temporal yang relative cepat. Beberapa jenis data satelit penginderaan jauh yang dapat digunakan untuk pemantauan perubahan lahan, identifikasi lahan sawah, dan kebakaran hutan diantaranya adalah citra Moderate Resolution Imaging Spectroradiometer (MODIS) dari satelit TERRA-AQUA. Kelebihan sensor MODIS dibandingkan dengan sensor global lainnya adalah dalam hal resolusi spasial, yang terdiri dari 250 m, 500 m dan 1 km. Kelebihan lainnya berupa kalibrasi radiometrik, spasial, dan spektral dilakukan pada saat mengorbit; akurasi radiometrik; resolusi temporal yang tinggi, yakni empat kali sehari; dan akurasi posisi geografis (Gambar 1). Data yang digunakan untuk pemantauan kekeringan dan banjir di lahan sawah terdiri dari data Tingkat Kehijauan
13
TOPIK Inderaja
Gambar 1. Citra MODIS perekaman 18 Juni 2010 Kabupaten Kebumen dan Sekitarnya
Vegetasi (TKV) tanaman padi sawah yang dikemas dalam periode bulanan selama tahun 2010 berbasis citra MODIS per delapan hari agar terlihat perubahan pertumbuhan vegetasinya; data curah hujan harian hasil pengolahan data satelit Climate Prediction Centre (CPC) Morphing Techniques (Cmorph/Qmorph) dan Tropical Rainfall Measurement Mission (TRMM) yang selanjutnya diakumulasikan menjadi curah hujan bulanan (Gambar 2); dan data spasial lahan sawah wilayah Kabupaten Kebumen. Rancangan model untuk mendapatkan daerah-daerah yang berpotensi rawan kekeringan dan banjir dapat dilihat pada Gambar 3. Secara geografis Kabupaten Kebumen terletak pada 7°27’ - 7°50’ Lintang Selatan dan 109°22’ - 109°50’ Bujur Timur. Kabupaten Kebumen berbatasan langsung dengan Kabupaten Banjarnegara di sebelah Utara, Samudera
14
Gambar 2. Informasi Curah Hujan dari citra Qmorph Bulan Juni 2010 Kabupaten Kebumen dan Sekitarnya
INDERAJA | Volume II • No. 2 | Juli 2011
TOPIK Inderaja
Gambar 3. Rancangan model pengolahan data untuk penentuan daerah rawan banjir/kekeringan
Hindia di sebelah Selatan, Kabupaten Wonosobo dan Kabupaten Purworejo di sebelah Timur, dan Kabupaten Banyumas dan Kabupaten Cilacap di sebelah Barat. Bagian selatan Kabupaten Kebumen merupakan dataran rendah, sedangkan pada bagian utara berupa pegunungan, yang merupakan bagian dari rangkaian Pegunungan Serayu. Di selatan daerah Gombong, terdapat rangkaian pegunungan kapur, yang membujur hingga pantai selatan. Kabupaten Kebumen mempunyai luas wilayah sebesar 128.111,50 Ha dengan kondisi beberapa wilayah merupakan daerah pantai dan pegunungan, namun sebagian besar merupakan dataran rendah. Secara administrasi Kabupaten Kebumen terdiri dari 26 kecamatan dengan pusat pemerintahan berada di Kecamatan Kebumen (Gambar 4). Dari luas wilayah Kabupaten Kebumen, tercatat 39.768,00 hektar atau sekitar 31,04% sebagai lahan sawah dan 88,343.50 hektar (68,96%) merupakan lahan kering. Menurut sistem irigasinya, sebagian besar lahan sawah beririgasi teknis (50,34%) dan hampir seluruhnya dapat ditanami dua kali
Gambar 4. Peta Administrasi Kabupaten Kebumen
INDERAJA | Volume II • No. 2 | Juli 2011
15
TOPIK Inderaja
Gambar 5. TKV Bulanan di Kabupaten Kebumen
setahun, beririgasi setengah teknis (9,23%), beririgasi sederhana (5,77%), beririgasi desa (2,65%) dan sebagian berupa sawah tadah hujan dan pasang surut (32,02%). Penggunaan lahan kering (bukan sawah) dibagi menjadi lahan untuk pertanian sebesar 48,45% dan bukan untuk pertanian sebesar 51,55% (Kabupaten Kebumen dalam Angka, 2009). Berdasarkan wawancara dengan penduduk diketahui awal tanam padi di Kabupaten Kebumen pada Bulan Maret
dan Oktober, sedangkan masa panennya Bulan Februari dan Juli. Sedangkan hasil pemantauan TKV (Gambar 5) bulanan dari citra MODIS per delapan hari, diperoleh nilai TKV tinggisangat tinggi terjadi pada Bulan Januari 2010; nilai TKV sedangtinggi terpantau pada Bulan Februari, Juni, dan Desember 2010; nilai TKV rendah-sedang terpantau pada Bulan Maret, Mei, Juni dan September 2010; dan lahan sawah terpantau dengan kondisi bera/air terlihat pada Bulan April, Agustus, Oktober, dan November 2010. Berdasarkan data dari Dinas Sumber Daya Air Energi dan Sumber Daya Mineral (SDA ESDM) Kabupaten Kebumen terpantau curah hujan yang berfluktuatif di tahun 2010. Curah hujan tertinggi terjadi pada Bulan Januari 2010 dan terus menurun hingga Bulan April 2010. Curah hujan kembali naik tinggi pada Bulan Mei 2010 dan terus menurun sampai Agustus 2010. Curah hujan meningkat selama 4 bulan terakhir dari Oktober sampai Desember 2010. Curah hujan yang relatif tinggi dalam waktu lama akibat adanya pengaruh La Nina telah menyebabkan terjadinya banjir pada lahan sawah. Tinggi rendahnya curah hujan dan jumlah hari hujan selama tahun 2010 dapat dilihat pada Gambar 6, dimana dapat dilihat bahwa curah hujan tertinggi terjadi pada Bulan Januari 2010 sebesar 426 mm selama 19 hari dan Bulan Oktober 2010 sebesar 555 mm selama 20 hari. Kondisi rawan banjir tahun 2010 di lahan sawah secara umum terjadi pada Bulan Januari-Maret dan Bulan NovemberDesember, hal ini diperkirakan karena pada bulan-bulan tersebut curah hujan tinggi, di samping itu juga tahun 2010
Gambar 6. Grafik Rata-Rata Curah Hujan dan Jumlah Hari Hujan Bulanan Tahun 2010
16
INDERAJA | Volume II • No. 2 | Juli 2011
TOPIK Inderaja dipengaruhi oleh kejadian La Nina. Selain itu juga berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Totok Gunawan (2004), banjir di wilayah Kabupaten Kebumen didominasi oleh banjir yang diakibatkan adanya pengaruh aktivitas sungai dan drainase, dimana wilayah tergenang ringan seluas 8.418,43 Ha, tergenang sedang seluas 5.441,53 Ha dan tergenang berat seluas 1.254,34 Ha. Banjir yang diakibatkan oleh pasang surut air laut tidak terlalu luas areanya, yaitu 589,20 Ha untuk banjir pada rawa berair tawar dan 409,38 Ha pada rawa berair payau. Hasil pemodelan banjir diperoleh pada Bulan FebruariMaret dan Bulan Oktober-November terpantau bahwa Kabupaten Kebumen mengalami kejadian banjir berat dan sangat berat (Gambar 7). Hasil survei lapangan diperoleh bahwa daerah-daerah yang sering mengalami kebanjiran di lahan sawah adalah Kecamatan Buayan, Ambal, Bulupesantren, Petanahan, Adimulyo, Puring, Kuwarasan, dan Kecamatan Mirit. Berdasarkan data dari BPBD, kecamatan yang sering mengalami kejadian banjir adalah Kecamatan Kuwarasan dan Mirit sebanyak 21 kejadian banjir, Kecamatan Puring sebanyak 17 kejadian, Kecamatan Adimulyo sebanyak 15 kejadian, dan Kecamatan Petanahan sebanyak 12 kejadian. Sedangkan kecamatan yang tidak mengalami kejadian banjir adalah Kecamatan Pejagoan dan Padureso (Gambar 8). Kejadian banjir di Kabupaten Kebumen selama tahun 2010 disebabkan oleh curah hujan yang tinggi dikarenakan anomali cuaca, pengaruh dari aktivitas sungai seperti luapan air sungai dan
Gambar 7. Tingkat Rawan Banjir Kabupaten Kebumen Tahun 2010
adanya tingkat kekeringan berat dan keringan sangat berat di Kabupaten Kebumen. Tetapi pada Bulan Agustus 2010 terpantau adanya tingkat kekeringan berat hampir diseluruh wilayah penelitian. Hal ini disebabkan pada bulan Agustus 2010 tercatat curah hujannya rendah sebanyak 42 mm selama 3 hari.
jebolnya tanggul Kali Kemit, kondisi drainase yang jelek, dan pengaruh pasang surut air laut. Hasil pendeteksian tingkat rawan kekeringan (Gambar 9) lahan sawah di Kabupaten Kebumen selama tahun 2010 terjadi pada bulan-bulan tertentu. Pada musim kemarau Bulan April - Juli 2010 tidak terpantau
INDERAJA | Volume II • No. 2 | Juli 2011
Gambar 8. Kejadian Banjir di Kabupaten Kebumen
17
TOPIK Inderaja
Gambar 9. Tingkat Rawan Kekeringan Kabupaten Kebumen Tahun 2010
Berdasarkan data SDAESDM, kekeringan di lahan sawah disebabkan terjadinya penurunan daya tampung Waduk Sempor akibat tingginya sedimentasi, dimana volume Waduk Sempor menyusut hingga 12,5 juta meter kubik (m3), kini yang tersisa tinggal 25,5 juta m3 dari kapasitas maksimal waduk 38,5 juta m3. Sehingga secara teknis waduk hanya mampu mengairi sekitar 4.500 hektar (ha) lahan. Padahal luas areal yang mengandalkan irigasi dari waduk itu mencapai 6.478 ha. Selain penurunan kapasitas waduk, kekeringan di lahan sawah
juga disebabkan kondisi jaringan irigasi banyak yang rusak karena umur ekonomis bangunan sudah 30 tahun dan harus direhabilitasi total. Hal ini yang mengakibatkan banyaknya lahan sawah yang tidak mendapat pasokan air irigasi selama musim kemarau. Hasil pengolahan data dan survei lapangan diperoleh gambaran bahwa daerah-daerah yang sering mengalami kekeringan di lahan sawah adalah Kecamatan Klirong, Buayan, Bulupesantren, Ambal, Petanahan, Puring, Ayah, dan Kecamatan Mirit. Berdasarkan data dari BPBD, kecamatan yang sering mengalami kejadian kekeringan adalah Kecamatan Ambal, Mirit, dan Ayah sebanyak 6 kejadian, Kecamatan Petanahan dan Puring sebanyak 4 kejadian, Kecamatan Bulupesantren dan Buayan sebanyak 3 kejadian, dan Kecamatan Klirong sebanyak 2 kejadian (Gambar 10). Kekeringan dan banjir di lahan sawah maupun di lahan lainnya, merupakan bencana alam yang perlu ditangani secara terintegrasi. Data satelit penginderaan jauh dapat digunakan untuk mendukung prediksi dan pemantauan kejadian bencana alam kekeringan dan banjir. Makalah ini memperlihatkan salah satu bentuk pemanfaatan data MODIS dan Qmorph untuk pemantauan banjir dan/atau kekeringan di lahan sawah.
Gambar 10. Kejadian Kekeringan Kabupaten Kebumen
18
INDERAJA | Volume II • No. 2 | Juli 2011
Pengolahan Data Inderaja
Kajian Karakteristik Proyeksi Peta pada Google Earth dan Google Maps Atriyon Julzarika Peneliti Bidang Sumber Daya Wilayah Pesisir dan Laut - Pusfatja LAPAN
[email protected]
Sekilas tentang Google Earth oogle Earth (GE) merupakan fitur Google yang digunakan untuk menampilkan bola Bumi digital sehingga dapat langsung menjelajahi Bumi di depan komputer. GE merupakan perpaduan antara citra satelit, peta, dan Google search yang menampilkan Bumi dalam satu sistem informasi (Arsana dan Julzarika, 2007). Bagi pengguna yang tertarik dengan isu spasial menyangkut peta, tata ruang, penjelajahan, dan lain-lain, GE mungkin salah satu yang menyajikan informasi terbaik dan gratis. Dengan GE, kita bisa menjelajahi setiap sudut di permukaan Bumi dengan sangat mudah. GE tersedia atas empat jenis kategori yaitu Google Earth Free, Google Earth Plus, Google Earth Pro, dan Google Enterprise Solutions. Google Earth Free dapat di-download gratis, sedangkan Google Earth Plus dan Google Earth Pro merupakan software komersil (ada bayaran per bulan). Google Earth Enterprise Solutions merupakan produk terbaru Google yang juga bersifat sebagai software komersil. Gambar 1 menunjukkan perbedaan antara Google Earth Free, Google Earth Plus, dan Google Earth Pro. Jika GE telah diinstall di komputer maka segera bisa dilakukan penjelajahan permukaan bumi. pengguna bisa mengunjungi tempat-tempat tertentu, seakan terbang rendah melihatnya dari atas. Fitur GE bukan sebagai Sistem Informasi Geografis (SIG), akan tetapi pengguna bisa menambahkan data SIG pada GE, sehingga dapat menyajikan suatu SIG yang terdistribusi. Jika pengguna mempunyai data SIG maka dapat dilakukan tumpang tindih (overlay) pada GE. Sebagai contoh, jika Anda memilik peta kampus Universitas Gadjah Mada (UGM) dalam format ESRI (*. shp) maka peta ini bisa dikonversi
G
INDERAJA | Volume II • No. 2 | Juli 2011
menjadi format KML (Keyhole Markup Language) menggunakan converter software (perangkat lunak konverter) *.shp dan *.kml yang merupakan software open source (dapat di-download secara gratis). Selanjutnya peta dalam format KML ini bisa dioverlay pada GE yang bisa didistribusikan melalui internet sehingga bisa dimanfaatkan oleh semua pengguna GE. KML merupakan hasil pengembangan dari XML (eXtensible Markup Language). Selain format data *.kml, GE juga mempunyai format data *.kmz (Arsana dan Julzarika, 2007). Format *.kml merupakan format file standar untuk data GE. Format ini memiliki sistem proyeksi peta tertentu dan biasanya dalam sistem koordinat Geodetik dan atau Kartesi dengan sistem proyeksi Plate Carree, Mercator, maupun UTM. Sistem koordinat dan proyeksi ini kemudian digabungkan dengan bahasa pemograman XML sehingga akan menghasilkan format *.kml. Format *.kmz merupakan format file dari format *.kml yang dilakukan kompresi data. Ukuran data format *.kmz jauh lebih sederhana dari format *.kml sehingga akan mempercepat kinerja komputer. Google Maps Google Maps (GM) merupakan fitur Google yang dapat menampilkan model digital Bumi sehingga dapat pengguna dapat melakukan penjelajahan (Arsana dan Julzarika, 2007). Fitur ini lebih sederhana dibandingkan dengan GE, akan tetapi mempunyai kelebihan dalam menampilkan peta tematik. Ada tiga opsi tampilan peta pada GM yaitu Map, Satellite, dan Hybrid. Menu Maps digunakan untuk menampilkan peta. Menu Satellite digunakan untuk melihat tampilan Bumi melalui citra satelit, sedangkan menu Hybrid digunakan untuk menampilkan informasi kombinasi peta dengan citra satelit.
19
Pengolahan Data Inderaja
Gambar 1. Perbedaan produk pada GE (Arsana dan Julzarika, 2007)
Dengan GM, pengguna bisa melakukan Get a location, Find a business, dan get directions. Selain itu pengguna juga dapat melakukan pencarian lokasi tertentu dengan cara mengetikkan kata kunci pada kotak pencarian kemudian enter atau klik search maps. GM merupakan salah satu aplikasi dari SIG berbasis internet dan tergolong pada SIG terdistribusi. Fitur ini juga bisa digunakan untuk menuju ke suatu lokasi, menemukan lokasi bisnis atau dalam menentukan
20
arah. Selain itu juga terdapat search engine untuk mencari peta suatu daerah. Informasi peta yang lengkap pada GM baru terdapat di Amerika Utara, Eropa, dan Australia. Dilihat dari data cita satelitnya, GM mengunakan data (terutama citra satelit) yang sama dengan GE. Oleh karena itu, peta suatu daerah yang bisa ditampilkan di GM juga bisa ditampilkan di GE dengan ketelitian spasial dan kedetilan informasi yang sama.
INDERAJA | Volume II • No. 2 | Juli 2011
Pengolahan Data Inderaja GM merupakan web mapping service (WMS) gratis yang disediakan Google. GM diluncurkan pertama kali pada Februari 2005. Menurut (Mujiandari, 2007), GE mempunyai kesalahan sumbu x rata-rata sebesar -23,85 m dan sumbu y rata-rata sebesar 0,12 m. GM mempunyai sistem koordinat yang sama dengan GE yaitu koordinat geodetis dan datum World Geodetic System 1984 (WGS’84). Fasilitas-fasilitas yang disediakan GM antara lain zoom in, zoom out, panning, pencarian alamat. Pencarian alamat dapat menggunakan nama jalan, nama daerah, kode pos dan koordinat. Namun, pada saat ini pencarian alamat baru pada daerah tertentu saja. GM mempunyai model tampilan yang berbeda-beda, yaitu : 1. Map (topographic and street map), menampilkan peta, tetapi tidak semua daerah yang sudah mempunyai peta. Peta yang terdapat di GM antara lain peta negara maju dan beberapa negara berkembang. 2. Satellite (satellite and high-resolution aerial photographs), menampilkan citra satelit dan foto udara resolusi tinggi, terutama pada kota-kota besar diseluruh dunia. 3. Hybrid, merupakan hasil overlay antara peta dan citra satelit. Referensi sistem tinggi geodesi Pemodelan bumi memerlukan beberapa model standar untuk menentukan bidang referensi tinggi dan dalam pendefinisian datum. Ada beberapa model yang digunakan yaitu Ellipsoid dan Geoid. Geoid dianggap lebih mendekati kondisi bumi sebenarnya dibanding ellpsoid yang hanya berupa model matematika. Geoid adalah salah satu bidang ekuipotensil gaya berat yang berimpit dengan permukaan air laut rata-rata di seluruh bumi (Vanicek dan Krakiwsky, 1982). Perluasan Geoid meluas ke seluruh benua dan dapat dijabarkan secara matematis untuk beberapa meter di atas (+N) atau dibawah (-N) elipsoid yang diberikan (Gambar 3).
h=H+N Keterangan : h = tinggi geodetik (tinggi diatas elipsoid) H = tinggi diatas Mean Sea Level (MSL) (tinggi orthometris) N = tinggi Geoid Berikut tampilan perbandingan tinggi geodetik (h), tinggi orthometrik (H) dan tinggi Geoid (N).
INDERAJA | Volume II • No. 2 | Juli 2011
Gambar 2. Tinggi Geoid, diperoleh dari kombinasi data gravitasi permukaan Bumi dengan hasil dari satelit CHAMP dan GRACE (EIGENGRACE02S) (GFZ-Postdam, 2005 dan TALOS, 2006)
Gambar 3.Tinggi Geodesi (h), Tinggi Ortometrik (H) dan Tinggi Geoidal (N) (TALOS, 2006)
Hitungan Geodesi memerlukan suatu bidang analitis yang mempunyai bentuk dan ukuran mendekati geoid. Bidang yang teratur, baik bentuk dan ukuran yang mendekati geoid adalah bidang ellipsoid. Metode-metode yang digunakan untuk menentukan bentuk dan ukuran dari ellipsoid adalah sebagai berikut: a. Pengukuran busur di muka bumi (metode Astro Geodesi), b. Pengukuran Variasi gravitasi dimuka bumi (metode Astrogravimetrik), c. Pengukuran medan gravitasi bumi dari orbit satelit buatan. Secara terminologi, kata ”datum vertikal” pada beberapa kegiatan survei digunakan untuk mengartikan suatu titik kontrol, atau keseluruhan jaringan titik kontrol vertikal (Benchmarks) dan/atau ukuran tinggi air pasang permanen. Geoid tidak hanya diaplikasikan pada penggunaan datum vertikal (Gambar 4). Chart datum merupakan contoh
21
Pengolahan Data Inderaja dari datum vertikal digunakan untuk menyusun peta laut. Kemungkinan pilihan lain dari datum vertikal kini sedang banyak diperdebatkan terutama di bidang hidrografi dalam kaitan dengan kebutuhan akan suatu acuan internasional yang tepat untuk data digital.
Pendefinisian Datum Konvensional Ada empat hal yang harus diketahui dalam pendefinisian datum konvensional, yaitu ditetapkan parameter ellipsoid referensi yang dipilih yaitu setengah sumbu panjang (a) dan penggepengan (f). Kemudian pendefinisian ellipsoid referensi menyinggung geoid pada satu titik yang telah ditentukan (titik datum). Pada titik datum, didefinisikan bahwa lintang geodetik (L), bujur geodetik (B) dan azimuth geodetik (A) sama lintang astronomi, bujur astronomi dan azimuth astronomi serta tinggi suatu geometrik yaitu tinggi titik di atas ellipsoid (h), sama dengan tinggi di atas geoid (H) atau dengan perkataan lain undulasi (N) pada titik datum sama dengan nol. Sumbu putar ellipsoid dan bidang meridian nol geodetik sejajar sumbu menengah bumi dan bidang nol astronomi. Gambar 6 merupakan datum horizontal geosentris.
Gambar 4. Datum vertikal (TALOS, 2006)
Datum Geodetik Datum Geodetik adalah titik asal dari sistem perhitungan dan permukaan tempat dilakukannya perhitungan-perhitungan (Rais, 1975). Selain itu, datum geodetik juga didefinisikan sebagai himpunan parameter yang menggambarkan hubungan antara ellipsoid lokal dan sistem referensi geodetik global (Seeber, 1993). Gambar 5 merupakan gambaran datum geodetik berupa hubungan antara koordinat kartesi geosentrik dan koordinat geodesi. Gambar 6. Datum Horizontal Geosentris (TALOS, 2006)
Gambar 5. Meridian Elips, memberikan ilustrasi hubungan antara koordinat kartesi geosentrik (X, Y, Z) dan koordinat geodesi φ , λ dan h (TALOS, 2006).
22
Pendefinisian Datum Modern Ada empat hal yang harus diketahui dalam pendefinisian datum modern, yaitu penentuan parameter dari ellipsoid referensi yang dipilih, yaitu setengah sumbu panjang (a) dan penggepengan (f). selain itu juga penentuan Parameter translasi (ΔX, ΔY, ΔZ) titik asal salib sumbu X,Y dan Z terhadap geocenter (pusat massa bumi) atau titik asal satu conventional Terrestrial System (CTS) tertentu. Hal lain yang harus diketahui adalah penentuan parameter rotasi (Ex,Ey,Ez) sistem salib sumbu X,Y dan Z terhadap CTS. Terakhir adalah penentuan faktor skala (s).
INDERAJA | Volume II • No. 2 | Juli 2011
Pengolahan Data Inderaja Karakteristik proyeksi peta pada GE dan GM GE memiliki karakteristik berupa datum WGS 1984 dan proyeksi peta menggunakan Plate Carree (equidistant cylindrical projection), mirip dengan Mercator. Sedangkan GM memiliki karakteristik berupa datum WGS 1984 dan proyeksi peta menggunakan Mercator. Proyeksi Equirectangular, biasanya disebut equidirectional projection, equidistant cylindrical projection, geographic projection, plate carrée atau carte parallelogrammatique projection atau CPP merupakan proyeksi peta yang sangat sederhana. Proyeksi ini ditemukan oleh Ptolemy sekitar tahun 100 SM. Garis meridian pada proyeksi peta ini akan memiliki kondisi sama dengan arah garis vertikal lurus dan garis lintang digambarkan pada garis mendatar lurus. Proyeksi ini memiliki kondisi tidak equal, tapi konformal. Kondisi ini akan menyebabkan terjadi distorsi peta. Distorsi ini disebabkan oleh pengaruh proyeksi Equirectangular (Plate Carree). Proyeksi Plate Carree biasanya digunakan untuk aplikasi navigasi dan pemetaan kadastral dan lebih utama untuk pemetaan tematik.
Gambar 7. Proyeksi equirectangular (Snyder, 1993 dan Wikipedia, 2001)
Secara de-facto, proyeksi Plate Carree telah menjadi standar proyeksi untuk aplikasi komputer pemetaan skala global seperti GE, Celestia, dan NASA World Wind. Hal ini disebabkan proyeksi ini mempunyai hubungan sederhana antara posisi sebuah piksel citra pada peta terhadap posisi geografis di permukaan Bumi. Gambar 7 di atas merupakan proyeksi equirectangular pada Bumi dengan standar paralel ekuator. Gambar 8 berikut merupakan tampilan deformasi Tissot’s Indicatrix pada proyeksi equirentangular.
INDERAJA | Volume II • No. 2 | Juli 2011
Gambar 8. Tissot’s Indicatrix pada proyeksi Equirectangular (Snyder, 1993 dan Wikipedia, 2001)
Persamaan matematis proyeksi equirectangular/plate carree dengan deformasi Tissot’s Indicatrix. Dengan rician:
adalah bujur dari meridian sentral pada proyeksi plate carree, adalah lintang adalah parallel standar (utara dan selatan dari ekuator) dimana skala proyeksi adalah kondisi sebenarnya. x merupakan nilai koordinat dengan proyeksi equirectangular/plate carree dengan deformasi Tissot’s Indicatrix terhadap arah bujur dan y merupakan nilai koordinat arah lintang. Dengan catatan, bahwa pada sisi kanan persamaan, koordinat dan adalah linier, tidak angular, dan melalui pengukuran. Titik (0, 0) ada pada pusat proyeksi (dalam hal ini membutuhkan masukan input kisaran [-π,π] lebih besar dari [0,2π]. Bujur dan lintang proyeksi peta ini secara langsung didefinisikan pada sumbu x dan y, sehingga disebut juga dengan proyeksi bujur-lintang. Plate Carree digunakan pada bidang datar, dengan kondisi khusus dimana adalah nol. Proyeksi Mercator adalah proyeksi peta silinder yang dipopulerkan oleh kartografer Flandria Gerardus Mercator pada tahun 1569. Proyeksi ini dapat digunakan untuk peta navigasi pelayaran. Kelemahan proyeksi Mercator adalah proyeksi ini menyimpangkan luas daerah yang jauh dari khatulistiwa. Contohnya, jarak antara Norwegia dan Greenland menjadi terlihat begitu jauh, atau luas Greenland terlihat lebih besar dari Amerika Selatan, yang sebenarnya lebih besar dari Greenland. Gambar 9 di atas adalah tampilan proyeksi Mercator dengan standar paralel di ekuator.
23
Pengolahan Data Inderaja
Gambar 9. Proyeksi Mercator (Snyder, 1993 dan Wikipedia, 2001)
Kesesuaian lokasi terhadap GE/GM perlu diketahui karena memiliki dua keterbatasan GE/GM: 1. Proyeksi peta pada GE dan GM bertujuan untuk merepresentasikan seluruh permukaan bumi secara uniform dengan Plate Carree (GE) maupun Mercator (GM). 2. Sumber data yang digunakan pada kota-kota besar merupakan citra Ikonos, yaitu citra resolusi tinggi yang memiliki resolusi spasial 1 m dan 4 m. Kondisi tersebut dapat dilihat pada metadata yang ada pada GE pada bagian lintang-bujur. Google Inc. kemudian melakukan adjustment pada citra-citra tersebut untuk ditransformasi ke sistem lintang-bujur sehingga hal ini akan menimbulkan perambatan kesalahan acak dan tak acak. Kondisi ini bisa menyebabkan terjadi pergeseran yang besar dan bisa juga menyebabkan pergeseran minimal. Ada beberapa contoh terjadi pergeseran, diantaranya hampir satu scene citra di sekitar Universitas California Santa Barbara bergeser sampai puluhan meter, tapi akhirnya Google
24
merevisi geometri tampilan citra tersebut. Contoh lain adalah dalam penetapan batas Nikaragua dengan Kostarika. Untuk wilayah Indonesia, seperti di Universitas Gadjah Mada terjadi pergeseran 1-4 meter. Kalau 1 derajat =111,11111 km maka kalau terjadi pergeseran 1 detik akan terletak pada angka 30.8641972 meter. Sistem koordinat GPS dan sistem koordinat GE Koordinat suatu titik hasil pengamatan Global Positioning System (GPS) akan diekspresikan dengan sistem koordinat geodetik berupa lintang, bujur, dan elevasi. Koordinat tersebut akan mengacu pada ellipsoid Geodetic Reference System (GRS) 1980 dan datum WGS 1984. GE juga memiliki sistem koordinat geodetik yang mengacu pada ellipsoid GRS 1980 dan datum WGS 1984. Sistem proyeksi Simple Cylindrical/Plate Carree pada GE memiliki keterkaitan dengan sistem koordinat GPS. Prinsip dasar proyeksi peta adalah mentransformasikan besaran yang mengacu pada bidang lengkung (misal ellipsoid atau bola) menjadi besaran yang mengacu pada bidang datar (misal silinder, kerucut, atau bidang datar). Pada kondisi ini
INDERAJA | Volume II • No. 2 | Juli 2011
Pengolahan Data Inderaja
Gambar 10. Batas Negara Nikaragua dengan Kostarika (menurut Google Inc.)
posisi suatu titik dalam sistem koordinat geodetik (lintangbujur) mengacu pada ellipsoid GRS’80 (datum WGS’84) yang kemudian ditransformasikan oleh GE menjadi sistem proyeksi Simple Cylindrical. Sistem koordinat geodetik GPS sama dengan sistem koordinat geodetik GE. Suatu titik dengan koordinat geodetik yang diperoleh dari pengamatan GPS yang akurat seharusnya akan sesuai apabila di plot di atas GE. Jika terjadi pergeseran pada citra di GE, hal ini disebabkan oleh kesalahan geometrik yang dilakukan oleh GE. GE dan GM memicu pertikaian batas wilayah Peta online GE/GM telah memicu pertikaian batas wilayah antar negara. Negara yang terlibat adalah Nikaragua dan Kostarika. Pertikaian kedua negara disebabkan karena kesalahan Google dalam menempatkan batas negara Nikaragua di dekat sungai San Juan, menyerobot wilayah Kostarika. Hal ini menjadi pembenaran tentara Nikaragua untuk menginvasi wilayah tersebut dan mengibarkan bendera Nikaragua. Peta batas wilayah ini menjadi deliniasi resmi pemerintah Nikaragua dan dilakukan demarkasi melalui pengibaran bendera Nikaragua. Klaim sepihak ini menyebabkan Kostarika yang tidak memiliki militer sendiri langsung komplain pada lembaga regional Amerika Tengah, Organization of American States. Kostarika menginginkan investigasi tentang
INDERAJA | Volume II • No. 2 | Juli 2011
klaim sepihak Nikaragua terhadap pelanggaran batas wilayah negara. Nikaragua tetap menduduki batas wilayah kedua negara berdasarkan peta GM. Kondisi ini semakin memperkeruh permasalahan batas wilayah kedua negara yang sudah berlangsung sejak lama. Gambar 10 (kiri) berikut merupakan tampilan batas negara Nikaragua dengan Kostarika berdasarkan GE. Gambar 10 (kanan) berikut merupakan batas negara yang dipermasalahkan kedua negara pada wilayah sungai San Juan. Google telah mengakui kesalahan pemetaan delineasi batas wilayah sejauh 2,7 km pada layanan peta online mereka. Kesalahan ini akan segera diperbaiki sesuai peta keluaran Departemen Luar Negeri Amerika Serikat. Sampai saat ini permasalahan ini masih belum menemukan titik temu penyelesaian karena pemerintah Nikaragua meminta Google untuk tidak meng-update delineasi batas wilayah dan Kostarika meminta mediasi dari dunia internasional untuk penyelesaian masalah tersebut. Markas “Batman“ di GE/GM Siapa yang tidak mengenal Batman, superhero dari kota Gotham yang menumpas berbagai kejahatan. Walaupun hanya bersifat fiksi, ternyata GE/GM menemukan markas manusia kelelawar tersebut berupa simbol besar Batman di atas sebuah bangunan (Gambar 11) pada koordinat 260 21’
25
Pengolahan Data Inderaja
Gambar 11. Markas “Batman” (Google Inc., 2010)
28.40” N : 1270 47’ 01.73” E. Beberapa pihak menilai penemuan tersebut hanya kebohongan belaka. Namun kemudian dikonfirmasi Google bahwa bangunan ini benar-benar ada, yakni basis militer Amerika Serikat di Okinawa, Jepang. Kesatuan Air Force’s 44th Fighter Squadron bermarkas di sana. Selain konfirmasi dari Google, juga ada konfirmasi dari Ed Gulick, juru bicara kesatuan angkatan udara Amerika Serikat. Masih banyak lagi kejadian yang belum diketahui masyarakat luas yang dapat ditemukan melalui GE/GM ini.
26
Tulisan ini memiliki referensi ke buku Memanfaatkan Fitur-Fitur Google (penerbit PT. Elexmedia) tahun 2007, pengarang: I Made Andi Arsana dan Atriyon Julzarika. Konsep teknik geodesi dan geomatika pada tulisan ini mengacu pada referensi standar internasional antara International Association of Geodesy (IAG) dengan International Hydrographic Organization (IHO) dan International Oceanographic Commission (IOC) dengan judul Technical Aspect of the Law of the Sea (TALOS) tahun 2006.
INDERAJA | Volume II • No. 2 | Juli 2011
Aplikasi Inderaja
Identifikasi Kondisi Terkini Semburan Lumpur Sidoharjo dari Citra Penginderaan Jauh Tri Muji Susantoro*, dan Doma febriono P.** Lemigas * Peneliti Pertama Bidang Penginderaan Jauh ** Penyelidik Bumi Pertama
L
ebih dari 4 tahun sejak tanggal 29 Mei 2006 terjadinya luapan lumpur ke permukaan pada sumur eksplorasi gas PT Lapindo Brantas, Sidoardjo. Lokasi dari semburan tersebut hanya 100 meter dari Tenggara Sumur Banjar Panji-1 di Desa Siring, Kecamatan Porong, Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur (Sudarsono, et. al., 2008). Sumur BJP-I adalah sumur gas eksplorasi dimana Lapindo Brantas sebagai operator pada Brantas Block (Konspirasi, 2010). Volume dari aliran lumpur terus meningkat dari 5.000 m3/ hari pada Juni, 2006 menjadi 50.000 m3/ hari pada akhir tahun 2006 dan meningkat sampai 100.000 – 120.000 m3/ hari pada tahun 2007 dan belum ada tanda-tanda berhenti dalam waktu dekat (BPLS, 2010). Tragedi dari luapan lumpur Sidoarjo mempunyai dampak negatif untuk penduduk setempat dan lingkungannya. Banyak orang kehilangan tempat tinggalnya, sementara rumah sakit, pabrik, pasar dan sawah terendam lumpur. Akhirnya lumpur Sidoarjo mengubah area tersebut, menjadi danau lumpur dan di beberapa tempat di dekat lokasi semburan terjadi penurunan muka tanah. Adanya semburan lumpur ini juga mempengaruhi kondisi aktifitas perekonomian di Jawa Timur. Beberapa kondisi yang terkait dengan aktivitas perekonomian antara lain (Wikipedia.org (2011): • PT Lapindo sampai Mei 2009,, melalui PT Minarak Lapindo Jaya telah mengeluarkan uang baik untuk mengganti tanah masyarakat maupun membuat tanggul sebesar Rp. 6 Triliun. • Lumpur menggenangi 16 desa di tiga kecamatan. Semula hanya menggenangi empat desa dengan ketinggian sekitar 6 meter, yang membuat dievakuasinya warga setempat untuk diungsikan serta rusaknya areal pertanian. Luapan lumpur ini juga menggenangi sarana pendidikan dan Markas Koramil Porong. Hingga bulan
INDERAJA | Volume II • No. 2 | Juli 2011
•
•
•
•
Agustus 2006, luapan lumpur ini telah menggenangi sejumlah desa/kelurahan di Kecamatan Porong, Jabon, dan Tanggulangin, dengan total warga yang dievakuasi sebanyak lebih dari 8.200 jiwa dan tak 25.000 jiwa mengungsi. Karena tak kurang 10.426 unit rumah terendam lumpur dan 77 unit rumah ibadah terendam lumpur. Lahan dan ternak yang tercatat terkena dampak lumpur hingga Agustus 2006 antara lain: lahan tebu seluas 25,61 ha di Renokenongo, Jatirejo dan Kedungcangkring; lahan padi seluas 172,39 ha di Siring, Renokenongo, Jatirejo, Kedungbendo, Sentul, Besuki Jabon dan Pejarakan Jabon; serta 1.605 ekor unggas, 30 ekor kambing, 2 sapi dan 7 ekor kijang. Sekitar 30 pabrik yang tergenang terpaksa menghentikan aktivitas produksi dan merumahkan ribuan tenaga kerja. Tercatat 1.873 orang tenaga kerja yang terkena dampak lumpur ini. Empat kantor pemerintah juga tak berfungsi dan para pegawai juga terancam tak bekerja. Tidak berfungsinya sarana pendidikan (SD, SMP), Markas Koramil Porong, serta rusaknya sarana dan prasarana infrastruktur (jaringan listrik dan telepon). Rumah/tempat tinggal yang rusak akibat diterjang lumpur dan rusak sebanyak 1.683 unit. Rinciannya: Tempat tinggal 1.810 (Siring 142, Jatirejo 480, Renokenongo 428, Kedungbendo 590, Besuki 170), sekolah 18 (7 sekolah negeri), kantor 2 (Kantor Koramil dan Kelurahan Jatirejo), pabrik 15, masjid dan musala 15 unit. Kerusakan lingkungan terhadap wilayah yang tergenangi, termasuk areal persawahan. Pihak Lapindo melalui Imam P. Agustino, Gene-ral Manager PT Lapindo Brantas, mengaku telah menyisihkan
27
Aplikasi Inderaja US$ 70 juta (sekitar Rp 665 miliar) untuk dana darurat penanggulangan lumpur. • Akibat amblesnya permukaan tanah di sekitar semburan lumpur, pipa air milik PDAM Surabaya patah. • Meledaknya pipa gas milik Pertamina akibat penurunan tanah karena tekanan lumpur dan sekitar 2,5 kilometer pipa gas terendam. • Ditutupnya ruas jalan tol Surabaya-Gempol hingga waktu yang tidak ditentukan, dan mengakibatkan kemacetan di jalur-jalur alternatif, yaitu melalui Sidoarjo-MojosariPorong dan jalur Waru-tol-Porong. • Sebuah SUTET milik PT PLN dan seluruh jaringan telepon dan listrik di empat desa serta satu jembatan di Jalan Raya Porong tak dapat difungsikan. • Penutupan ruas jalan tol ini juga menyebabkan terganggunya jalur transportasi Surabaya-Malang dan Surabaya-Banyuwangi serta kota-kota lain di bagian timur pulau Jawa. Ini berakibat pula terhadap aktivitas produksi di kawasan Ngoro (Mojokerto) dan Pasuruan yang selama ini merupakan salah satu kawasan industri utama di Jawa Timur. Penurunan muka tanah di sekitar lumpur Sidoarjo disebabkan oleh adanya keluarnya material bawah permukaan secara besar-besaran dan dalam waktu lama, menyebabkan kondisi batuan mengalami perubahan sifat. Adanya aliran lumpur ke permukaan menyebabkan adanya pengurangan massa bawah permukaan yang berhubungan dengan adanya sumber lumpur dari penambahan massa bergerak ke arah permukaan. Massa tersebut diduga berasal dari kedalaman 1,2 sd 1,6 km yang merupakan shale formasi Pucangan. Akibat naiknya aliran lumpur ke permukaan maka daya dukung batuan berkurang dan permukaan mengalami penurunan (amblesan/ subsidence). Amblesan ini memiliki tingkat penurunan yang bervariasi tergantung radius terhadap semburan dan struktur geologi yang bekerja. Di pusat semburan amblesan mencapai 20 cm per hari, namun pernah terjadi sampai 300 cm. Di samping itu, rumah-rumah dengan radius 1.000 meter mengalami proses ambles yang mengarah ke pusat semburan, dan juga tanggul pengaman lumpur yang dibangun di Peta Area Terdampak (BPLS, 2010). Data penginderaan jauh dapat digunakan untuk mengidentifikasi kondisi terkini daerah yang terkena pengaruh dari luapan lumpur Sidoarjo, baik adanya
28
penurunan muka tanah dan perubahan luasan lahan yang terkena lumpur. Pada kasus ini digunakan data Landsat dan ALOS Palsar (Phased Array type L-band Synthetic Aperture Radar). Landsat merupakan salah satu citra penginderaan jauh optik yang mampu mengidentifikasi perubahan lahan. Sementara itu Palsar merupakan salah satu citra penginderaan jauh sistem aktif dengan sensor gelombang pendek. Palsar ini merupakan bagian dari Synthetic aperture radar (SAR). Palsar dapat digunakan untuk memonitor kondisi perubahan penurunan muka tanah di sekitar lumpur Sidoarjo, khususnya dengan menggunakan saluran L, dimana pada saluran tersebut tidak terpengaruh oleh kondisi vegetasi, salju dan kondisi atmosfer (Maruya et al., 2009). Teknik yang digunakan untuk mengolah Palsar adalah differential interferometric sysnthetic aperture radar (DInSAR). Teknik ini merupakan salah satu teknik yang digunakan untuk mengukur deformasi. Kelebihan dari metode ini adalah pengukuran bisa lebih cepat, sedikit tenaga kerja yang diperlukan dan lebih murah dibandingkan dengan pengukuran secara langsung di lapangan dengan metode survey (Ng. A.H., et al. 2008). Penurunan muka tanah adalah turunnya atau runtuhnya permukaan tanah yang dapat disebabkan oleh salah satu kegiatan alam atau anthropogenic/ kegiatan yang dilakukan manusia (AH Ng., et al, 2008). Proses antropogenic yang dapat menyebabkan penurunan muka tanah terutama pengambilan air, minyak, dan gas dari reservoir bawah tanah; pemutusan akuifer batu kapur (sinkhole); runtuhnya tambang bawah tanah, pengeringan tanah organik, dan hydrocompaction. Penurunan tanah menyebabkan banyak masalah termasuk: (1) perubahan elevasi dan kemiringan sungai, kanal, dan saluran air, (2) kerusakan jembatan, jalan, rel kereta api, tanggul saluran dan tanggul, (3) kerusakan bangunan dan (4) kegagalan casing sumur dari kekuatan yang dihasilkan oleh tekanan material dalam sistem akuifer (Leake, SA, 2004). Sudarsono et. al. (2008) mengatakan amblesan di daerah Porong, Kabupaten Sidoarjo terjadi karena keluarnya lumpur ke permukaan dalam jumlah yang sangat besar. Area amblesan berbentuk elips memanjang ber-arah Utara - Selatan dengan luas 6,3 km2 mencakup Kecamatan Tanggulangin: Desa Kedungbendo, Kecamatan Porong: Desa Siring, Desa Jatirejo, Desa Mindi, dan Desa Renokenongo, serta Kecamatan Jabon: Desa Pejarakan dan Desa Besuki.
INDERAJA | Volume II • No. 2 | Juli 2011
Aplikasi Inderaja Kecepatan amblesan yang diketahui dari monitoring dengan GPS dan interferogram diperkirakan sebesar 2 cm/ hari. Amblesan yang terjadi akan berjalan secara perlahan-lahan karena tebal batuan di atasnya berkisar antara 790 – 1.900 m. Penggunaan PALSAR untuk mengidentifikasi adanya penurunan muka tanah di Sidoarjo telah dilakukan oleh Deguchi dkk (2007). Hasilnya berdasarkan data tersebut penurunan muka tanah antara tanggal 4 Oktober 2006 – 19 November 2006 (46 hari) lebih dari 90 cm. Penurunan tersebut terjadi pada area yang relatif luas sebelum meledaknya pipa Pertamina di sekitar semburan dan kemudian penurunan menjadi melambat tetapi terus berlangsung. Hasil lainnya menunjukkan bahwa di sebelah Tenggara terjadi kenaikan muka tanah (uplift) yang berpotensi sebagai sumber erupsi baru. PALSAR merupakan citra penginderaan jauh sistem gelombang mikro aktif yang tidak dipengaruhi oleh kondisi cuaca dan beroperasi baik siang hari maupun malam hari. PALSAR merupakan generasi lanjut dari Synthetic Aperture Radar (SAR) yang merupakan satelit pengamatan bumi pertama (JERS-1), multi polarisasi dan mampu meningkatkan akurasi untuk analisis struktur geologi dan distribusi batuan. Pada perkembangannya diharapkan dapat berkontribusi untuk eksplorasi sumber daya dan tujuan lainnya secara lebih efektif. Selain itu adanya multi-polarisasi diharapkan efektif digunakan untuk memperoleh informasi vegetasi yang harapannya dapat memberikan gambaran vegetasi secara global dan regional, membedakan kenampakan bumi, klasifikasi penggunaan lahan dan keperluan lainnya. Selain itu, PALSAR dapat digunakan untuk kegiatan darurat seperti bencana alam yang luas (ERSDAC, 2006). Agustan (2009) menyatakan InSAR adalah salah satu metode dalam penginderaan jauh (remote sensing) yang menggunakan prinsip kombinasi nilai tiap piksel dari dua data radar. Dari pengertiannya, InSAR terdiri dari dua tahapan utama yaitu pembentukan citra radar (single look complex/ SLC image) dari data mentah (synthetic aperture radar/ SAR data) hasil pemotretan (dengan menggunakan wahana pesawat atau satelit); dan tahapan pembentukan citra interferogram untuk melihat bentuk permukaan topografi. Hasil pemetaan dengan metode SAR ini adalah citra radar, yang kemudian apabila terdapat sepasang citra (dua citra radar) untuk daerah yang sama (citranya bertampalan)
INDERAJA | Volume II • No. 2 | Juli 2011
yang diamati dengan sensor yang sama, maka dapat dibuat data permukaan secara tiga dimensi atau model topografi permukaan bumi. Hasil ini diperoleh melalui tahapan dalam proses InSAR. Selanjutnya, apabila terdapat model permukaan topografi yang dijadikan sebagai acuan atau apabila terdapat tiga atau lebih citra radar, maka perubahan permukaan dapat ditentukan melalui proses pengurangan atau differential InSAR (DInSAR). Data yang digunakan meliputi data ASTER, Landsat 7ETM+ dan Palsar. Data Palsar diperoleh dari ERSDAC (Earth Remote Sensing Data Analysis Center) dengan dasar proyek kerjasama monitoring lumpur Sidoarjo. Data Palsar yang digunakan telah diproses untuk tujuan inferogram dan fase deformasi. Ada 5 sceenes data yang digunakan dengan tanggal perekaman 7 Oktober 2009, 22 Febuari 2010, 10 Juli 2010, 25 Agustus 2010 dan 10 Oktober 2010. Data Landsat yang digunakan untuk mendukung kegiatan ini adalah data tanggal 2 Agustus 2006, 29 Oktober 2009, 22 Maret 2010 dan 25 Mei 2010, sedangkan data ASTER yang digunakan adalah bulan Juli 2005. Interpretasi untuk deteksi perubahan lahan dilakukan secara manual dengan berdasarkan rona, warna, tekstur, karakteristik, asosiasi dan letak. Deteksi perubahan muka tanah dilakukan dengan menggunakan data Palsar. Metode yang digunakan adalah InSAR yang prinsipnya menganalisa perbedaan fase antara dua citra SAR yang disebut sebagai citra utama dan citra pendukung. InSAR dibangun untuk menghasilkan peta topografi untuk area tertentu atau ketinggian untuk satu point tertentu di permukaan bumi. Hasil dari teknik ini adalah interferogram yang dihasilkan dengan membandingkan antara piksel dengan piksel dari 2 data SAR dan data model ketinggian digital (DEM) yang merepresentasikan topografi permukaan bumi. Gambar 1. berikut merupakan contoh hasil interferogram yang mencerminkan lokasi yang mengalami penurunan muka tanah. Survei lapangan dilakukan dilakukan dua kali, yaitu pada bulan Juni dan November 2010. Survei lapangan ini dilakukan untuk memverifikasi hasil pengolahan citra penginderaan jauh. Penggunaan lahan di area lumpur Sidoarjo sebelum terkena semburan lumpur terdiri dari permukiman, industri dan persawahan. Kondisi ini kemudian berubah dengan adanya bencana semburan lumpur
29
Aplikasi Inderaja
Gambar 1. Contoh hasil interferogram di lokasi semburan lumpur Sidoarjo.
tersebut. Penggunaan lahan dilokasi tersebut diklasifikasikan menjadi 7 kelas, yaitu pemukiman, ladang, sawah, industri, badan air (sungai Porong), tanggul (sungai Porong) dan Area
luas 1.545 Km2 dengan perincian sawah 1.230 Km2, industri 0.174 Km2, permukiman 0.082 Km2 dan ladang 0.060 Km2 (Gambar 2b). Kemudian pada tanggal 29 Oktober 2009
luberan akibat semburan lumpur Sidoarjo. Perubahan ini relatif cepat dan mengejutkan penduduk di sekitar lokasi. Pada Tahun 2005 dengan batas area penelitian seperti Gambar 2a diketahui bahwa wilayah di sekitar lumpur Sidoarjo hasil interpretasi ASTER didominasi oleh Sawah dengan luas mencapai 14,345 Km2. Kemudian permukiman menempati urutan kedua dengan luas mencapai 9.255 Km2, sedangkan industri, ladang, sungai Porong dan Tanggul di sepanjang sungai Porong mempunyai luas berturut-turut 0.691 Km2, 0.621 Km2, 0.540 Km2 dan 0.655 Km2. Pada tanggal 17 Juli 2006 atau tepatnya 49 hari setelah bencana semburan lumpur Sidoarjo (tanggal 29 Mei 2006) wilayah yang terendam lumpur mempunyai
daerah yang terkena dampak langsung semburan lumpur Sidoarjo meluas menjadi 5.465 Km2. Penggunaan lahan yang terkena luberan lumpur tetap jenisnya yaitu sawah 3.501 Km2, permukiman 1.655 Km2, industri 0.177 Km2 dan ladang 0.131 Km2. Perkembangan selanjutnya berdasarkan data Palsar tanggal 10 Oktober 2010 daerah yang terkena langsung luapan lumpur Sidoarjo mencapai 6.773 Km 2 dengan perincian sawah 4.216 Km 2, permukiman 2.197 Km 2, ladang 0.131 Km 2 dan industri 0.229 Km 2. Adapun perubahan penggunaan lahan akibat semburan lumpur Sidoarjo dapat dilihat pada Gambar 3 dan perincian penggunaan lahan dan perubahannya dapat dilihat pada Tabel 1.
30
INDERAJA | Volume II • No. 2 | Juli 2011
Aplikasi Inderaja
a.
Citra ASTER Bulan Mei 2005 Sebelum Terjadi Semburan Lumpur
c.
Citra Landsat 7ETM+ 29 Oktober 2009 dimana luberan lumpur semakin meluas
b.
Citra Landsat 7ETM+ 17 Juli 2006 Setelah Terjadi Semburan Lumpur
d.
Citra Palsar 10 Oktober 2010 dimana tanggul tetap, tetapi di sebelah Utara tanggul permukiman sudah terendam lumpur
Gambar 2. Perubahan Luasan Dampak Dari Citra Penginderaan Jauh
INDERAJA | Volume II • No. 2 | Juli 2011
31
Aplikasi Inderaja
Gambar 3. Peta perubahan penggunaan lahan akibat semburan lumpur Sidoarjo
NO
LUAS YANG TERKENA DAMPAK (Km2)
PENGGUNAAN LAHAN 17 Juli 2006
29 Oktober 2009
10 Oktober 2010
1
Industri
0.174
0.177
0.229
2
Ladang
0.060
0.131
0.131
3
Pemukiman
0.082
1.655
2.197
4
Sawah
1.230
3.501
4.216
TOTAL
1.545
5.465
6.773
Tabel 1. Luasan Wilayah yang Terkena Dampak Luberan Lumpur Sidoarjo Berdasarkan Interpretasi Citra Penginderaan Jauh.
32
INDERAJA | Volume II • No. 2 | Juli 2011
Aplikasi Inderaja Selain dampak langsung yang berupa luapan lumpur Sidoarjo, di beberapa tempat diluar tanggul sumur warga mengalami perubahan warna dan berubah menjadi lumpur. Sumur ini terdapat di bagian Timur Laut tanggul dimana pada saat survei di bulan Juni 2010, sebagian lokasi ini sudah ditinggalkan penghuninya. Gambar 4 adalah retakan-retakan tembok dan lantai rumah pun berdasarkan survei lapangan terlihat jelas. Rumah-rumah di sebelah Utara, Timur dan Barat sudah mulai ditinggalkan penghuninya dan hanya sebagian kecil yang masih tinggal di wilayah yang terkena dampak
a.
tersebut. Hasil survei di bulan November 2010 rumah-rumah di sebelah Barat tanggul di sepanjang Sungai Porong sudah ditinggalkan penghuninya dan mulai dirobohkan oleh masing-masing pemiliknya. Buble-buble kecil terlihat pada saat survei, baik terdapat di dalam tanggul maupun di luar tanggung. Sedikitnya pada survei bulan Juni 2010 terdapat sekitar 18 buble yang kemudian pada survei kedua bulan November sebagian besar buble tersebut sudah berhenti. Gambar 5 adalah foto buble yang terlihat pada saat survei lapangan bulan Juni 2010.
Rumah yang sudah di bongkar di sisi Timur Tanggul (foto b. Bulan Juni 2010)
Retakan yang terjadi akibat penurunan muka tanah di Sisi Barat Tanggul (foto Bulan Juni 2010)
Gambar4. Foto rumah yang telah dibongkar dan tinggalkan penghuninya serta retakan yang terjadi akibat penurunan muka tanah
c.
Buble di Belakang Ruko di Sisi Barat tanggul dekat jalan raya Porong – Sidoarjo (foto Bulan Juni 2010)
d.
Bubble yang relatif besar yang meruntuhkan rumah dua lantai di dekat jalan raya Porong - Sidoarjo (foto Bulan Juni 2010)
Gambar 5. Foto Bubble di sekitar Lumpur Sidoarjo.
INDERAJA | Volume II • No. 2 | Juli 2011
33
Aplikasi Inderaja Lokasi buble banyak ditemukan di Sisi Barat tanggul di dekat jalan raya Porong – Sidoarjo yaitu di daerah yang penurunan muka tanahnya besar. Buble yang muncul berdasarkan survei lapangan terdapat 2 lokasi yang meruntuhkan rumah penduduk. Keduanya terletak di sisi Barat Tanggul. Buble yang ada selain mengeluarkan air juga mengandung gas yang mudah terbakar. Pada awalnya gas yang keluar dari buble tersebut di sebelah Barat tanggul disalah satu tempat dimanfaatkan untuk kegiatan rumah tangga. Gas tersebut disalurkan melalui pipa ke tungku. Namun demikian pada saat tekanan gas membesar mengakibatkan kebakaran yang menimbulkan korban luka bakar serius. Buble terbaru terjadi pada tanggal 19 Agustus 2010 dengan ketinggian 5 – 6 meter dan terdiri dari air yang bercampur lumpur. Buble ini terjadi di lokasi bekas sumur bor di desa Jatirejo, Porong.
Pengolahan Palsar menggunakan metode Inferometry SAR dengan perekaman tanggal 7 Oktober 2009, 22 Febuari 2010, 10 Juli 2010, 25 Agustus 2010 dan 10 Oktober 2010 telah yang dilakukan oleh ERSDAC yang bekerjasama dengan LEMIGAS. Hal ini kemudian dilanjutkan dengan survei bersama pada Bulan Juni 2010 dan Bulan November 2010. Penurunan muka tanah yang terjadi berdasarkan hasil pengolahan tersebut terlihat jelas bahwa penurunan muka tanah terjadi di sekitar area semburan. Penurunan muka tanah dari tanggal 7 Oktober – 22 Febuari 2010 yang paling besar terjadi di sisi sebelah Barat Tanggul lumpur Sidoarjo, tepat di sepanjang jalan raya Porong – Sidoarjo yang juga merupakan jalur rel kereta api. Di sisi Timur Tanggul penurunan muka tanah mengikuti pola melingkar dari sisi Utara.
Gambar 6. Citra Palsar Hasil pengolahan yang menunjukkan adanya penurunan muka tanah, dimana daerah yang dilingkari mempunyai penurunan muka tanah terbesar
34
INDERAJA | Volume II • No. 2 | Juli 2011
Aplikasi Inderaja Penurunan muka tanah antara tanggal 22 Febuari 2010 – 10 Juli 2010 masih mempunyai pola yang sama dengan hasil analisis sebelumya, dimana disisi Barat tanggul terlihat paling besar kemudian membentuk model melingkar ke sisi Timur tanggul. Pola melingkar penurunan muka tanah semakin jelas pada hasil pengolahan Palsar antara tanggal 10 Juli 2010 – 25 Agustus 2010. Disisi Barat pada hasil pengolahan ini mempunyai penurunan muka tanah yang paling besar sama seperti pengolahan data tanggal sebelumnya. Penurunan muka tanah tanggal 25 Agustus 2010 – 10 Oktober 2010 mulai terlihat lebih menyebar disekitar semburan lumpur. Pola melingkar dari penurunan muka tanah tersebut masih terlihat walaupun agak samar. Kondisi penurunan muka tanah di sebelah Barat masih relatif besar. Adapun peta-peta hasil pengolahan Palsar dapat dilihat pada Gambar 6. Penurunan muka tanah di sebelah Barat yang besar diduga selain karena adanya material yang dikeluarkan dari perut bumi yang besar juga karena adanya tekanan yang
besar dari permukaan. Pada daerah tersebut tekanan berasal dari kendaraan bermotor dan kereta api yang melewati daerah tersebut. Sudarsono drr., (2007) dalam Sudarsono dkk, (2008) menjelaskan semburan lumpur yang dikeluarkan semenjak 29 Mei 2007 berupa lumpur bercampur air panas dengan volume tidak kurang dari 50.000 sampai 150.000 m3/ hari. Lumpur tersebut sampai 15 April 2007 telah menggenangi daerah tidak kurang dari 5,0 Km2 dengan tinggi genangan bervariasi dari 10 m di pusat semburan sampai kurang dari 1 m di tepi semburan. Lumpur tersebut diperkirakan berasal dari kedalaman 750 m sampai 1.900 m dengan material kerikil sampai lempung plastis. Akibat penurunan muka tanah setelah terjadi semburan lumpur Sidoarjo yaitu tenggelamnya permukiman, industri, pasar dan persawahan. Selain itu juga terendamnya jalan tol dan meledaknya pipa Pertamina pada tanggal 22 November 2006. Gambar 7. dan Gambar 8. merupakan contoh-contoh gambaran permukaan yang mengalami penurunan permukaan tanah.
Gambar 7. Halaman rumah penduduk yang ambles di sebelah Barat tanggul lumpur Sidoarjo
Gambar 8. Rumah yang mengalami ambles dan terbakar akibat adanya buble di Barat lumpur Sidoarjo
Ucapan Terima Kasih Terima kasih kami ucapkan kepada Mr. Maruyama, Ms. Chiaki Kobayashi dan Mr. Masaaki Kawai dari ERSDAC (Earth Remote Sensing Data Analysis Center) yang telah memberikan data-data Palsar dan kesempatannya untuk melakukan penelitian bersama.
INDERAJA | Volume II • No. 2 | Juli 2011
35
Aplikasi Inderaja
Akurasi Prediksi Iklim di Indonesia Akibat Perubahan Suhu Permukaan Laut di Samudera Pasifik Any Zubaidah*, Nanik Suryo Haryani*, dan Dini Octavia Ambarwati ** * Peneliti Bidang Lingkungan dan Mitigasi Bencana - Pusfatja LAPAN ** Alumni Agrometeorologi IPB
A
khir-akhir ini banyak terjadi penyimpangan iklim, sehingga sering terjadi berbagai bencana, seperti: kekeringan, banjir, ketergantungan ketersediaan air untuk sektor pertanian dan perkebunan terutama pada musim kemarau. Pemanasan suhu permukaan laut yang mengakibatkan terjadinya cuaca ekstrim di wilayah Indonesia mengakibatkan dampak terjadinya La Nina. La Nina merupakan peristiwa mendinginnya suhu muka laut di Samudera pasifik equator bagian tengah diikuti oleh memanasnya suhu muka laut di perairan Indonesia, sehingga suhu muka laut di kawasan Indonesia di atas normal. La Nina menyebabkan penumpukan massa udara yang banyak mengandung uap air di atmosfir Indonesia, sehingga potensi terbentuknya awan hujan menjadi semakin tinggi. Akibatnya pada bulan-bulan di pertengahan tahun 2010 yang seharusnya berlangsung musim kemarau kini justru turun hujan deras di berbagai daerah (Daryono, 2010). Indonesia merupakan Negara agraris sehingga informasi prediksi curah hujan sangat dibutuhkan untuk memprediksi persediaan pangan nasional. Pada umumnya prediksi iklim dalam jangka panjang dapat dilakukan berdasarkan kondisi suhu permukaan laut Pasifik Tropik. Berbagai Negara telah mengembangkan pemodelan untuk memprediksi gejala El Nino dan La Nina. Roswintiarti (1997) telah mengembangkan model prediksi anomali curah hujan di Indonesia yang didasarkan pada anomali suhu permukaan laut Pasifik tropik dan OLR (Out-going Longwave Radiation). Model prediksi ini dibangun berdasarkan data suhu pemukaan
36
laut dan OLR selama periode 22 tahun (1982 – 2003), dan telah dilakukan secara operasioanal oleh LAPAN untuk memprediksi kondisi curah hujan di wilayah Indonesia setiap bulannya hingga 5 bulan yang akan datang. Sebagai masukan bagi model tersebut adalah anomali suhu permukaan laut pasifik tropik. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan Parwati (2008), berkaitan dengan prediksi OLR menunjukkan bahwa akurasi prediksi OLR terhadap OLR aktualnya mencapai nilai tertinggi di musim JJA (R2 = 0,85), musim SON (R2 = 0,76) dan musim DJF (R2 = 0,59). Hal ini adanya hubungan kuat antara prediksi OLR di Indonesia dengan ENSO selama musim kemarau bukan pada musim hujan. Korelasi antara prediksi OLR dan hasil pengamatan OLR selama tahun 2004 – 2007 relatif sama antara rentang waktu 1 hingga 5 bulan kedepan.
Prediksi Kondisi El Nino dan La Nina Tahun 2010/2011 Informasi prediksi ENSO bulanan dari IRI (International Research Institute) di Tahun 2010 hingga May 2011, yang merupakan hasil prediksi ENSO dari 22 model prediksi El Nino yang terdiri dari 14 model dinamik dan 8 model statistik dapat dilahat pada Gambar 1. Sebagian besar model memprediksikan kondisi El Nino menengah pada periode Januari-Februari-Maret hingga Maret-April-Mei tahun 2010, kemudian cenderung menuju kondisi netral hingga pertengahan tahun 2010 (April-Mei-Juni 2010). Kondisi iklim diprediksikan La Nina lemah dan cenderung menuju kondisi La Nina menengah hingga akhir tahun 2010.
INDERAJA | Volume II • No. 2 | Juli 2011
Aplikasi Inderaja Fenomena La Nina ini diprediksi akan terus dominan hingga Maret-April-Mei 2011 dan menuju kondisi netral pada bulan April-Mei-Juni 2011. Data pemantauan suhu muka laut perairan Indonesia menunjukkan bahwa La Nina 2010
menyebabkan suhu perairan Indonesia menjadi paling hangat sepanjang 12 tahun terakhir. Mengacu pada prediksi ini, maka cuaca ekstrem masih akan tetap berlangsung di wilayah Indonesia hingga pertengahan tahun 2011.
Gambar 1. Prakiraan ENSO dari IRI (International Research Institute) periode tahun 2010/2011.
Prediksi Estimasi Curah Hujan Bulanan Tahun 2010 dan 2011. Prediksi estimasi curah hujan bulanan tahun 2010 dibangun berdasarkan input dari data OLR (Outgoing Longwave Radiation) dan SST (Sea Surface Temperature) Pasifik Tropik selama periode 1982-2003, dalam setiap bulannya dilakukan prediksi untuk 5 bulan ke depan dalam selang waktu tunda
INDERAJA | Volume II • No. 2 | Juli 2011
1 hingga 5 bulan (lag 1 hingga lag 5). Pembahasan dalam tulisan ini dibatasi untuk prediksi estimasi curah hujan lag 2. Hasil prediksi curah hujan bulan Januari hingga Juni 2010 ditunjukkan pada Tabel 1 dan hasil prediksi curah hujan Juli hingga Desember 2010 ditunjukkan pada Tabel 2. Sementara prediksi Curah hujan spasial bulan Januari hingga Desember 2010 dapat dilihat pada Gambar 2 (a)-(l).
37
Aplikasi Inderaja Bulan
Estimasi CH
Keterangan/
Wilayah
(mm/bulan)
Gambar
Propinsi Sumatera Barat, Jambi, Sumatera Selatan, Bengkulu, Lampung, Sulawesi Selatan, ≥ 250
OLR dan SPL
Papua
Januari 2010
Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah, Kalimantan, P. Jawa, Bali, Maluku, NTB, NTT, dan Berdasarkan input
150 – 250
Propinsi NAD, Sumatera Utara, Riau, Kep. Riau, Sulawesi Utara, Gorontalo, Maluku Utara
< 150 ≥ 250 Februari 2010
2009 (Gambar 2a)
Propinsi Sumatera Selatan, Bengkulu, Lampung, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, P. Jawa, Papua. Propinsi NAD, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Riau, dan Kep. Riau, Jambi, Bangka
150 – 250
Bulan Nopember
Berdasarkan input OLR dan SPL
Belitung, Kalimantan Timur, Sulawesi Utara, Gorontalo, Sulawesi Tengah, Maluku, Maluku Bulan Desember 2009 Utara, Bali, NTB, NTT
< 150
(Gambar 2b)
Propinsi Sumatera Barat, Jambi, Bangka Belitung, Bengkulu, Sumatera Selatan, Lampung,
≥ 250
Yogyakarta, dan Papua. Propinsi NAD, Sumatera Utara, Riau, Kep. Riau, Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan,
Maret 2010
Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Sulawesi Selatan, DKI Jakarta, Jawa Tengah, DI
150 – 250
Sulawesi Utara, Gorontalo, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, Banten, Jawa Barat, Jawa Timur, Maluku, Maluku Utara, Bali, NTB, NTT
< 150 ≥ 250 April 2010
150 – 250
Berdasarkan input OLR dan SPL Bulan Januari 2010 (Gambar 2c)
Propinsi Sumatera Selatan, Papua Tengah dan Papua Timur.
Berdasarkan input
Propinsi NAD, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Riau, Kep. Riau, Jambi, Bengkulu, Bangka
OLR dan SPL
Belitung, Lampung, Sulawesi Utara, Gorontalo, Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan,
Bulan Februari
Kalimantan, P. Jawa, Maluku, Maluku Utara, Papua Barat. < 150
Propinsi Sulawesi Tenggara, Bali, NTB, NTT
≥ 250
Propinsi NAD dan Sumatera Utara.
2010 (Gambar 2d)
Berdasarkan input Mei 2010
150 – 250
Propinsi Sumatera Barat, Riau, Kep. Riau, Jambi, Bengkulu, Bangka Belitung, Lampung,
OLR dan SPL
Sumatera Selatan, Banten, DKI Jakarta, Kalimantan, P. Sulawesi, Maluku Utara, dan Papua. Bulan Maret 2010 (Gambar 2e)
< 150
Propinsi Jawa Barat, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Jawa Timur, Maluku, Bali, NTB, NTT
≥ 250 Juni 2010
Propinsi NAD, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Riau, Kep. Riau, Jambi, Bengkulu, Bangka
150 – 250
< 150
Belitung, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, Sulawesi Utara, Gorontalo, Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Maluku Utara, dan Papua. Propinsi Lampung, Kalimantan Selatan, Sulawesi Tenggara, Maluku, P. Jawa, Bali, NTB, dan
Berdasarkan input OLR dan SPL Bulan April 2010 (Gambar 2f )
NTT Tabel 1. Prediksi Curah Hujan Bulan Januari hingga Juni 2010
38
INDERAJA | Volume II • No. 2 | Juli 2011
Aplikasi Inderaja Bulan
Estimasi CH (mm/bulan) ≥ 250
Juli
150 – 250
2010
Agustus 2010
Oktober
≥ 250
Propinsi NAD, dan Sumatera Utara.
Propinsi Lampung, Kalimantan Selatan, Maluku, P. Jawa, Bali, NTB, NTT
≥ 250
Propinsi NAD, dan Sumatera Utara, Sumatera Barat, Bengkulu, Riau, Kep. Riau, Jambi, Kalimantan Barat, Papua Barat, Papua Tengah.
150 – 250
(Gambar 2h)
Berdasarkan Propinsi Provinsi Bangka Belitung, Sumatera Selatan, Lampung, Kalimantan input OLR dan Tengah, Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan, Sulawesi Utara, Gorontalo, SPL Bulan Juli 2010 Sulawesi Selatan, Sulawesi Barat, Maluku, Maluku Utara, Papua Timur.
< 150
Propinsi Propinsi Propinsi Sulawesi Tenggara, P. Jawa, Bali, NTB, NTT
≥ 250
Propinsi Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, Banten, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, P. Sumatera, Papua.
150 – 250
Provinsi Kalimantan Selatan, DI Yogyakarta, Jawa Timur, Maluku, Maluku Utara, P. Sulawesi.
< 150
Bali, NTB, NTT
≥ 250
P. Sumatera, Kalimantan, P. Jawa, P. Sulawesi, Maluku Utara, Papua.
150 – 250
(Gambar 2g)
Berdasarkan Propinsi Sumatera Barat, Riau, Kep. Riau, Jambi, Bengkulu, Bangka Belitung, input OLR dan Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, P. SPL Bulan Juni 2010 Sulawesi, Maluku Utara, Papua.
< 150
2010
Nopember
Berdasarkan Propinsi Sumatera Utara, Sumatera Barat, Riau, Kep. Riau, Jambi, Bengkulu, input OLR dan Bangka Belitung, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, SPL Bulan Mei 2010 Kalimantan Timur, Maluku Utara, P. Sulawesi, Papua. Propinsi Propinsi Lampung, Kalimantan Selatan, P. Jawa, Maluku, Bali, NTB, NTT
150 – 250
Keterangan/ Gambar
Propinsi NAD.
< 150
September 2010
Wilayah
Berdasarkan input OLR dan SPL Bulan Agustus 2010 (Gambar 2j)
Provinsi Maluku, Bali, NTB, NTT.
2010 < 150
(Gambar 2i)
-
Berdasarkan input OLR dan SPL Bulan September 2010 (Gambar 2k)
Desember
≥ 250
P. Sumatera, Kalimantan, P. Jawa, P. Sulawesi, Maluku, Maluku Utara, Bali, NTB, NTT, Papua.
150 – 250
-
< 150
-
2010
Berdasarkan input OLR dan SPL Bulan Oktober 2010 (Gambar 2l)
Tabel 2. Prediksi Curah Hujan Bulan Juli hingga Desember 2010
INDERAJA | Volume II • No. 2 | Juli 2011
39
Aplikasi Inderaja Bulan
Estimasi CH
Keterangan/
Wilayah
(mm/bulan)
Gambar
Propinsi Sumatera Barat, Riau, Kep. Riau, Jambi, Bengkulu, Bangka Beliitung, Sumatera ≥ 250 Januari 2011
Selatan, Lampung, Kalimantan, P. Jawa, P. Sulawesi, Maluku, Maluku Utara, Bali, NTB, NTT, Papua.
150 – 250
2010
2011
(Gambar 2a)
Propinsi Bengkulu, Sumatera Selatan, Lampung, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, P. Jawa, Sulawesi Barat, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Papua, Papua Barat. Propinsi NAD, Sumatera Utara Sumatera Barat, Riau, Kep. Riau, Bangka Beliitung, Jambi,.
Februari 150 – 250
OLR dan SPL Bulan Nopember
Propinsi NAD, Sumatera Utara.
< 150 ≥ 250
Berdasarkan input
Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Gorontalo, Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, Bali, Maluku, Maluku Utara, NTB, NTT.
< 150
Berdasarkan input OLR dan SPL Bulan Desember 2009 (Gambar 2b)
Propinsi Bengkulu, Jambi, Sumatera Barat, Sumatera Selatan, Lampung, Kalimantan Barat,
≥ 250
Barat. Propinsi NAD, Sumatera Utara
Maret 2011
Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Sulawesi Barat, Sulawesi Selatan, Papua, Papua
150 – 250
Riau, Kep. Riau, Bangka Beliitung, Kalimantan Timur, SPL Bulan Januari
Gorontalo, Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, P. Jawa, Bali, Maluku, Maluku Utara, NTB, NTT.
< 150 ≥ 250
2011
Mei
150 – 250
Propinsi NAD, Sumatera Utara, Riau, Jambi, Sumatera Barat, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Sulawesi Barat, Papua, Papua Barat. Timur, Gorontalo, Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Selatan, Maluku, Maluku Utara, P. Jawa,
< 150
Bali, NTB, NTT.
≥ 250
Propinsi NAD.
2011
Beliitung, Sumatera Selatan, Lampung, Maluku Utara, Papua, Papua Barat. P. Sulawesi, Kalimantan.
< 150
OLR dan SPL Bulan Februari 2010
Berdasarkan input OLR dan SPL Bulan Maret 2010 (Gambar 2e)
Propinsi Maluku, P. Jawa, Bali, NTB, NTT.
≥ 250
Berdasarkan input
(Gambar 2d)
Propinsi Sumatera Utara, Riau, Jambi, Sumatera Barat, Kep. Riau, Bengkulu, Bangka 150 – 250
2010 (Gambar 2c)
-
Propinsi Bengkulu, Kep. Riau, Bangka Beliitung, Lampung, Kalimantan Selatan, Kalimantan
April
Berdasarkan input OLR dan
Propinsi NAD, Sumatera Utara, Riau, Jambi, Sumatera Barat, Kep. Riau, Bengkulu, Bangka Berdasarkan input
Juni
150 – 250
2011
Belitung, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur,
OLR dan SPL
Sulawesi Utara, Gorontalo, Sulawesi Barat, Sulawesi Tangah, Sulawesi Selatan, Maluku
Bulan April 2010
Utara, Papua, Papua Barat. < 150
(Gambar 2f )
Propinsi Lampung, Kalimantan Selatan, Sulawesi Tenggara, P. Jawa, Maluku, Bali, NTB, NTT. Tabel 3. Prediksi Curah Hujan Bulan Januari hingga Juni 2011
40
INDERAJA | Volume II • No. 2 | Juli 2011
Aplikasi Inderaja
(a) Januari 2010
(b) Februari 2010
(c) Maret 2010
(d) April 2010
(d) Mei 2010
(f ) Juni 2010
(g) Juli 2010
(h) Agustus 2010
(i) September 2010
(j) Oktober 2010
(k) Nopember 2010
(l) Desember 2010
Gambar 2. Prediksi estimasi curah hujan secara spasial selama tahun 2010
INDERAJA | Volume II • No. 2 | Juli 2011
41
Aplikasi Inderaja
(a) Januari
(b) Februari
(c) Maret
(d) April
(d) Mei
(f ) Juni
Gambar 3. Prediksi estimasi curah hujan secara spasial selama tahun 2011
42
INDERAJA | Volume II • No. 2 | Juli 2011
Aplikasi Inderaja Prediksi Awal Musim Kemarau dan Musim Hujan 2010/2011
2,5° x 2,5° (resolusi pikselnya OLR). Poligon ini dibuat hanya di wilayah Indonesia untuk wilayah daratan, sehingga diperoleh
Berdasarkan hasil prediksi estimasi curah hujan
sebanyak 101 set data poligon. Hasil perhitungan estimasi
selama bulan Januari – Desember 2010 (Tabel 1, Tabel 2 dan
curah hujan setiap poligon yang diambil hanya berdasarkan
Gambar 2) dapat diprediksikan bahwa awal musim kemarau
lag 2, Hasil akurasi estimasi curah hujan bulanan dari OLR
2010 di wilayah Indonesia mulai terjadi pada bulan Mei 2010
terhadap curah hujan observasi satelit TRMM bulan Januari
di wilayah Propinsi NTT, NTB dan Bali, selanjutnya di wilayah
hingga Juni 2010 ditunjukkan pada Gambar 4 dan akurasi
Jawa Timur mulai dari bagian timur pada Juli 2010. Curah
estimasi curah hujan bulanan dari OLR terhadap curah hujan
hujan cenderung menurun hingga mencapai nilai terendah
observasi satelit TRMM bulan Juli hingga Desember 2010
pada bulan Agustus 2010. Sementara curah hujan mulai
ditunjukkan pada Gambar 5.
meningkat pada bulan September hingga bulan Desember
Akurasi hasil prediksi estimasi curah hujan ini
2010. Berdasarkan Gambar 2, diperkirakan awal musim hujan
seharusnya dilakukan terhadap curah hujan berdasarkan
2010/2011 telah terjadi pada bulan September 2010 bermula
pengukuran di lapangan, mengingat kesulitan untuk
dari wilayah Propinsi NAD, terus ke barat di Propinsi Sumatera
memperoleh data pengukuran lapangan untuk wilayah yang
Utara. Selanjutnya diperkirakan curah hujan mulai merata
sangat luas yaitu seluruh wilayah Indonesia maka akurasi
terjadi di wilayah Indonesia pada bulan Nopember 2010.
tersebut dilakukan berdasarkan data observasi curah hujan
Berdasarkan analisis hasil prediksi estimasi curah
dari satelit TRMM, dimana data TRMM tersedia secara real time
hujan pada musim hujan 2010/2011 untuk periode Oktober
dan dapat mencakup wilayah yang sangat luas khususnya
2010 hingga Juni 2011 (Gambar 3) dapat ditunjukkan bahwa
wilayah Indonesia. Model prediksi estimasi curah hujan yang
puncak musim hujan di wilayah Indonesia umumnya terjadi
akan diakurasi dibangun berdasarkan data OLR (Outgoing
pada bulan Desember 2010. Curah hujan diprediksikan
Longwave Radiation) dan SST (Sea Surface Temperature) Pasifik
menurun hingga pada bulan Juni 2011. Pada bulan April
Tropik (periode 1982-2003). Oleh karena Resolusi spasial dari
hingga Juni 2011 diprediksikan mulai terjadi musim peralihan
SST maupun OLR adalah 2,5° x 2,5° sedangkan untuk resolusi
dari musim hujan ke musim kemarau.
spasial dari data TRMM adalah 0,25° x 0,25° (27 km) sehingga resolusi dari kedua data tersebut perlu di samakan, dengan
Akurasi Prediksi Estimasi Curah Hujan Tahun 2010
cara dibuat poligon 2,5° x 2,5° (disesuaikan dengan resolusi
Akurasi hasil prediksi estimasi curah hujan ini seharusnya
spasialnya OLR). Poligon ini dibuat hanya di wilayah Indonesia
dilakukan terhadap curah hujan berdasarkan pengukuran
untuk wilayah daratan, dan diperoleh sebanyak 101 set data
di lapangan, mengingat kesulitan untuk memperoleh data
poligon. Hasil perhitungan estimasi curah hujan setiap poligon
pengukuran lapangan untuk seluruh wilayah Indonesia maka
yang diambil hanya berdasarkan lag 2. Gambar 4 dan Gambar
akurasi tersebut dilakukan berdasarkan data observasi curah
5 menunjukkan hubungan antara nilai prediksi estimasi curah
hujan dari data satelit TRMM, dimana data TRMM tersedia
hujan OLR dan curah hujan observasi TRMM selama tahun
secara real time dan dapat mencakup wilayah yang sangat
2010. Gambar tersebut terlihat bahwa hasil akurasi prediksi
luas khususnya wilayah Indonesia. Model prediksi estimasi
estimasi curah hujan bulanan dari OLR terhadap curah hujan
curah hujan yang akan diakurasi dibangun berdasarkan data
observasi satelit mencapai nilai tertinggi pada bulan Maret
OLR (Outgoing Longwave Radiation) dan SST (Sea Surface
2010 yang ditunjukkan oleh nilai koefisien determinasi (R²)
Temperature) Pasifik Tropik (periode 1982-2003). Oleh karena
= 80 %, dan pada bulan Agustus 2010 sebesar (R²) = 77,7 %,
Resolusi spasial dari SST maupun OLR adalah 2,5° x 2,5°
sementara hasil akurasi prediksi estimasi curah hujan bulanan
sedangkan untuk resolusi spasial dari data TRMM adalah 0,25°
yang memiliki nilai akurasi terendah terjadi pada bulan Mei
x 0,25° (27 km) sehingga resolusi dari kedua data tersebut tidak
sebesar (R²) = 39 % selanjutnya di bulan Oktober sebesar (R²)
sama, oleh karena itu curah hujan TRMM dibuat per poligon
= 42,8 %.
INDERAJA | Volume II • No. 2 | Juli 2011
43
Aplikasi Inderaja
600
500 400 300 200 100
y = 1.4675x - 124.76 2 R = 0.5522
0 0
100
200
300
Curah Hujan TRMM (mm/bulan)
Curah HUjan TRMM (mm/bulan)
600
500 400 300 200 100
y = 1.0834x - 135.61 2 R = 0.4666
0 0
400
Januari 2010
300
400
Februari 2010 600
500 400 300 200 100
y = 2.5615x - 349.38 2 R = 0.8003
0 0
100
200
300
Curah Hujan TRMM (mm/bulan)
600
500 400 300 200 100
y = 1.4166x - 21.263 R2 = 0.6318
0
400
0
Curah Hujan OLR (mm/bulan)
100
200
300
400
Curah Hujan OLR (mm/bulan)
Maret 2010
April 2010 600
500 400 300 200 100
y = 0.8619x + 101.29 R2 = 0.3904
0 0
100
200
300
Curah Hujan OLR (mm/bulan)
Mei 2010
Curah Hujan TRMM (mm/bulan)
600
Curah Hujan TRMM (mm/bulan)
200
Curah Hujan OLR (mm/bulan)
Curah HUjan Olr (mm/bulan)
Curah Hujan TRMM (mm/bulan)
100
500 400 300 200 100
y = 1.1182x + 51.037 2 R = 0.4858
0 400
0
100
200
300
400
Curah Hujan OLR (mm/bulan)
Juni 2010
Gambar 4. Akurasi hasil prediksi estimasi curah hujan bulan Januari - Juni 2010
44
INDERAJA | Volume II • No. 2 | Juli 2011
Aplikasi Inderaja 600
500 400 300 200 100
y = 1.2335x + 34.954 R2 = 0.7237
0 0
100
200
300
Curah Hujan TRMM (mm/bulan)
Curah Hujan TRMM (mm/bulan)
600
500 400 300 200 100
y = 1.1113x + 16.595 2 R = 0.777
0 0
400
100
Juli 2010
400
600
500 400 300 200 100
y = 0.8414x + 108.06 R2 = 0.6391
0 0
100
200
300
Curah HUjan TRMM (mm/bulan)
Curah Hujan TRMM (mm/bulan)
300
Agustus 2010
600
500 400 300 200 100
y = 0.5439x + 144.63 R2 = 0.4159
0
400
0
Curah Hujan OLR (mm/bulan)
100
200
300
400
Curah Hujan OLR (mm/bulan)
September 2010
Oktober 2010
600
600
500 400 300 200 100
y = 1.2353x - 109.06 2 R = 0.5737
0 0
100
200
300
Curah Hujan TRMM (mm/bulan)
Curah Hujan TRMM (mm/bulan)
200
Curah Hujan OLR (mm/bulan)
Curah Hujan OLR (mm/bulan)
500 400 300 200 100
y = 1.7917x - 211.89 R2 = 0.6532
0
400
0
Curah Hujan OLR (mm/bulan)
100
200
300
400
Curah Hujan OLR (mm/bulan)
Nopember 2010
Desember 2009
Gambar 5. Akurasi hasil prediksi estimasi curah hujan bulan Juli - Desember 2010
Berdasarkan analisis tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa: 1. Prediksi El Nino dan La Nina dari IRI di Tahun 2010 yang menyatakan terjadinya La Nina lemah hingga menengah, hal ini berkaitan erat dengan prediksi estimasi curah hujan dari OLR. Kejadian tersebut dibuktikan dengan banyaknya curah hujan yang terjadi hampir setiap bulan. Sehingga dapat dikatakan kondisi kemarau pada tahun
INDERAJA | Volume II • No. 2 | Juli 2011
2.
2010 sangat singkat, dan hanya terjadi di Provinsi Jawa Timur bagian timur , Bali, NTB dan NTT. Akurasi prediksi iklim di Indonesia akibat perubahan suhu permukaan laut di samudera Pasifik Tahun 2010/2011 mempunyai akurasi yang paling besar terjadi di bulan Maret 2010 sebesar 80 %, sedangkan akurasi yang terendah terjadi pada bulan Oktober 2010 sebesar 42,8 %.
45
Informasi Data Inderaja
Infrastruktur Data Spasial di Indonesia, Pengembangan dan Kendala-Kendalanya Rubini Jusuf
Kepala Bidang Pengembangan Bank Data Penginderaan Jauh Pusat Teknologi Dan Data Penginderaan Jauh - LAPAN
S
istem teknologi informasi telah berubah dengan cepat dan sekaligus telah pula mengubah budaya kerja
mendistribusikan informasi tersebut untuk memenuhi berbagai kebutuhan” (Mapping Science Committee,
masyarakat saat ini baik di sektor pemerintah maupun swasta. Akses cepat ke data geospasial dan informasi terkait sangat penting untuk pengambilan keputusan dalam bidang ekonomi, sumber daya alam dan lingkungan, serta sosial. Hari ini kebutuhan masyarakat menuntut kemampuan untuk mengintegrasikan dan menganalisis berbagai tipe data yang berbeda. Banyak jenis data referensi spasial yang direkam, disimpan, dimanipulasi, dianalisa, ditransfer dan disimpan dalam bentuk digital. Banyak pula organisasi atau lembaga yang telah merespon dengan memiliki kemampuan teknologi GIS untuk membantu mengelola pengumpulan, analisa, dan pengiriman data spasial tersebut. Masalah utama yang muncul dan harus diatasi dalam pengelolaan data spasial ini adalah duplikasi luas dalam pengumpulan data spasial. Pada level dunia, telah banyak organisasi yang mulai bekerja untuk mengurangi biaya yang timbul akibat tumpang tindih dan duplikasi data ini. Kesadaran mulai terbangun untuk menumbuhkan semangat saling berbagi data dan informasi spasial. Pada tahun 1993, Mapping Science Committee (MSC), sebuah lembaga yang berinduk pada National Research Council of America, menerbitkan hasil studi mereka dengan judul “Toward a coordinated Spatial Data Infrastructure for the nations”. Dalam laporan tersebut National Spatial Data Infrastructure (NSDI) didefinisikan sebagai : • “Infrastruktur Data Spasial Nasional (IDSN) adalah sarana untuk mengumpulkan informasi geografis yang menjelaskan susunan dan atribut fitur dan fenomena di Bumi. Infrastruktur meliputi teknologi material, dan orangorang untuk memperoleh, memproses, menyimpan, dan
1993). Selain definisi IDSN yang tertuang dalam dokumen kajian MSC, terdapat beberapa definisi lain dari sebuah Infrastruktur Data Spasial yang merefleksikan jenis lingkupnya, tingkat yurisdiksinya dan perspektif tematiknya. Satu diantaranya adalah apa yang selalu digunakan oleh Presiden Clinton dalam Executive Order 12906 tentang pengembangan IDSN di USA, dimana IDSN didefinisikan sebagai ”Teknologi, kebijakankebijakan, standard-standard dan sumberdaya manusia yang dibutuhkan untuk mendapatkan, mengolah, menyimpan, mendistribusikan dan meningkatkan pemanfaatan dari data geospasial (Executive Office of President, 1994, Section 1-a). “Informasi Geografis sangat penting untuk meningkatkan pembangunan ekonomi, meningkatkan pelayanan sumber daya alam kita, dan melindungi lingkungan. Teknologi modern sekarang memungkinkan peningkatan akuisisi, distribusi, dan pemanfaatan data geografis (atau geospasial) dan pemetaan. Tinjauan Kinerja Nasional telah merekomendasikan bahwa cabang eksekutif mengembangkan, bekerja sama dengan Negara Bagian, dan Pemerintah Daerah, serta sektor swasta, di bawah koordinasi Infrastruktur Data Spasial Nasional untuk mendukung sektor publik dan swasta dalam pemanfaatan data geospasial di berbagai bidang seperti transportasi, pengembangan masyarakat, pertanian, tanggap darurat, manajemen lingkungan, dan teknologi informasi.” (Executive Office President, 1994).
46
•
•
INDERAJA | Volume II • No. 2 | Juli 2011
Informasi Data Inderaja Paragraf di atas menunjukkan beberapa elemen penting, antara lain : 1. Bahwa Informasi Geografis (Geographic Information – GI) memiliki kontribusi penting dalam pembangunan ekonomi dan kebijakan lingkungan, 2. Bahwa IDSN membutuhkan kemitraan di berbagai tingkat pemerintah dan juga melibatkan sektor swasta dan akademisi dengan koordinasi yang kuat. Dalam terminologi praktis, infrastruktur data spasial meliputi kegiatan teknis yang terkait dengan diseminasi dan integrasi dataset kunci, dokumentasinya dengan metadata, sehingga mereka dapat ditemukan lebih mudah dan dimanfaatkan lebih baik, kegiatan standardisasi, dan layanan berbasis internet untuk memungkinkan penemuan, akses, dan pemanfaatan dataset-dataset kunci ini. Untuk menangani pengelolaan infrastruktur data spasial ini, Office of Management and Budgetting (OMB) of America membentuk Federal Geographic Data Committee (FGDC) yang bertugas untuk mengkoordinasikan berbagai survei, pemetaan, dan yang terkait data spasial kegiatan untuk memenuhi kebutuhan bangsa. Tujuan utama dari FGDC adalah untuk menghindari duplikasi data dan mengurangi biaya dalam kegiatan pemetaan dan kegiatan-kegiatan lain yang terkait data spasial disamping aktivitas memaksimalkan ketersediaan data. FGDC mendefinisikan beberapa kendala dan tantangan yang harus diatasi dalam pembangunan IDSN, antara lain : 1. Data Geospasial sulit ditemukan. Tidak ditemukan indeks yang memadai dan direktori yang lengkap, 2. Data Geospasial sering didokumentasikan dengan buruk dan tidak konsisten, 3. Data Geospasial sering tidak dikumpulkan secara standar, 4. Proses untuk memperbarui kumpulan data yang kurang jelas, 5. Persyaratan untuk akurasi posisi, informasi konten, dan cakupan geografis data spasial bervariasi secara signifikan di kalangan pengguna. Selain itu, teknikteknik baru untuk pengumpulan dan pengelolaan data geospasial telah mengubah persyaratan-persyaratan tersebut, 6. Apabila memang ada data geospasial, mereka sering sulit untuk diintegrasikan karena perbedaan format, akurasi posisi, dan klasifikasinya,
INDERAJA | Volume II • No. 2 | Juli 2011
7.
8.
Permintaan untuk data geospasial meningkat lebih cepat daripada anggaran untuk mengumpulkan dan mengelola data, Di beberapa organisasi, data digital diperlakukan sebagai komoditas, sehingga memunculkan banyak pertanyaan tentang biaya data, hak cipta, kewajiban, dan penggunaannya yang tepat. (Nystrom, David A, 1993).
INISIATIF NASIONAL Di tingkat nasional sendiri, dari hasil sebuah survei yang cukup lama dan berbagai kegiatan pemetaan, diketahui bahwa Indonesia memiliki koleksi data spasial yang sangat besar yang terdiri dari titik kontrol geodetik, database topografi, database batimetri, dan database tematik yang meliputi sebagian besar wilayah nasional. Data tersebut dikumpulkan dan dikelola oleh badan pemerintah di semua tingkat : nasional, provinsi, kabupaten maupun kota, dan juga disimpan pada standar lokal yang berbeda. Selain mengembangkan database, beberapa lembaga juga membangun metadata-nya yang juga dikembangkan dalam standar metadata lokal. Meskipun hasil yang signifikan dari survei nasional dan kegiatan pemetaan tersebut telah diperoleh, namun kenyataannya pengguna masih sulit untuk mendapatkan dan menggunakan data spasial. Berikut adalah masalah yang dihadapi. Terkait dengan permasalahan untuk mendapatkan data spasial, dapat dijelaskan berikut. Pertama, sebagian besar data spasial yang dihasilkan oleh lembaga-lembaga, dikembangkan untuk digunakan sendiri sehingga masih rendahnya kesadaran untuk menyebarkannya kepada orang lain. Kedua, data tidak dikelola dengan baik yang menyebabkan waktu distribusi (distribution time) data ke pengguna menjadi panjang dan tidak pasti. Mencari data tidak juga lebih mudah daripada memperolehnya karena tidak ada direktori data yang bagus yang tersedia, apalagi direktori data lintas lembaga. Akhirnya, untuk setiap Badan/ Lembaga yang telah siap untuk mendistribusikan data merasa ketidaknyamanan karena tidak ada peraturan atau prosedur untuk melindungi data dari penyalahgunaan. Selain itu, data yang dihasilkan oleh masing-masing lembaga, dibuat dalam standar hanya untuk kebutuhan mereka sendiri. Dataset yang berbeda ini menimbulkan masalah integrasi bagi mereka yang akan menggunakan gabungan
47
Informasi Data Inderaja beberapa dataset. Bahkan jika ada dataset memenuhi standar apapun, tidak memuaskan pengguna karena standar yang digunakan tidak sesuai dengan kebutuhan pengguna. Dalam laporan yang disampaikan oleh Matindas, et.al, 2004, pembangunan Infrastruktur Data Spasial Indonesia (Indonesian Spatial Data Infrastructure - ISDI) secara resmi dimulai pada tahun 1993 ketika sebelas lembaga pemerintah di tingkat nasional bertemu untuk membahas dan bertukar informasi yang terkait dengan pengembangan SIG dalam lembaga-lembaga mereka sendiri. Diskusi dalam pertemuan pertama mengidentifikasi bagaimana fungsi SIG eksis dalam setiap lembaga dan bagaimana hal ini dapat dioptimalkan untuk menyediakan informasi geografis dan untuk membuatnya siap agar dapat digunakan di antara lembaga yang terlibat dalam pertemuan tersebut. Dalam Rapat Koordinasi Nasional Survei dan Pemetaan tahun 2000 dinyatakan bahwa pembangunan
infrastruktur data spasial di Indonesia secara resmi dimulai seperti yang dinyatakan dalam visi dan misi dari rekomendasi pertemuan. Ini akan secara resmi membentuk era baru dalam implementasi survei dan pemetaan dimana teknologi informasi dan komunikasi akan terlibat disamping teknologi Global Positioning System (GPS). Mengacu pada rekomendasi Rapat Koordinasi Nasional Survei dan Pemetaan 2000, pembangunan ISDI harus didasarkan pada lima aspek infrastruktur data spasial yaitu Kelembagaan, Hukum, Fundamental Dataset, Sains dan Teknologi, dan Sumber Daya Manusia. Tujuan dari pengembangan ISDI adalah membuat dataset fundamental dalam wilayah Indonesia pada standar nasional yang tersedia dan dapat diakses oleh pengguna data. Indonesia adalah negara yang luas dimana pemecahan masalah pembuatan dataset fundamental tersedia oleh satu badan nasional menjadi tidak mungkin.
Gambar 1. Lima Komponen IDSN (Bakosurtanal, 2004).
48
INDERAJA | Volume II • No. 2 | Juli 2011
Informasi Data Inderaja Untuk mengatasi masalah ini, ide pengembangan ISDI kemudian diimplementasikan dalam pengembangan ISDI pada tingkat yang berbeda yaitu ISDI nasional, ISDI provinsi dan ISDI kabupaten. Di antara tingkat ini, aspek infrastruktur data spasial adalah sama tetapi standar akurasi data berbeda. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI Menurut Rajabifard (2003), ada sejumlah faktor penting yang berkaitan dengan pembangunan Spatial Data Infrastructure (SDI) dari konseptual teknis, perspektif sosioteknis, politik, kelembagaan dan keuangan. Oleh karena itu, tantangan untuk merancang, membangun. menerapkan, dan memelihara SDI mengacu pada disiplin ilmu yang berbeda dan memerlukan pemeriksaan faktor-faktor tersebut. Adalah penting bagi para pengembang SDI untuk juga memahami betapa pentingnya faktor manusia dan sosial, yang semuanya berkontribusi pada keberhasilan pengembangan SDI. Faktorfaktor dan masalah-masalah ini harus dipertimbangkan dalam rangka pembangunan dan pengembangan SDI yang berkelanjutan.
Terdapat tiga faktor utama yang mempengaruhi atau memberikan kontribusi dalam pengembangan Regional SDI di kawasan Asia Pasifik, termasuk di Indonesia, yaitu faktor-faktor lingkungan (environmental factors), faktorfaktor pengembangan kapasitas (capacity factors) dan faktor kelembagaan SDI (SDI organization factors) sebagaimana digambarkan dalam gambar 2 berikut. Ketiga faktor ini secara bersama-sama mempengaruhi tingkat partisipasi. Lingkungan adalah keseluruhan struktur di mana sistem sosial beroperasi dan ditandai oleh faktor internal dan eksternal. Faktor-faktor lingkungan ini dapat berupa perbedaan karakteristik dari sistem sosial atau masyarakat, faktor politik dan isu-isu pembangunan. Sebagai contoh adalah pengaruh globalisasi (pasar global, ekonomi global dan inisiatif global lainnya), iklim politik dalam suatu negara, stabilitas finansial dan lain-lain. Capacity factors sangat berkaitan erat dengan proses capacity building bagi sebuah SDI, atau dengan kata lain adalah proses peningkatan kemampuan dari seluruh pihak yang terlibat dalam pengembangan dan
Gambar 2. Faktor-faktor yang berpengaruh dalam pengembangan Regional SDI (Rajabifard, 2003).
INDERAJA | Volume II • No. 2 | Juli 2011
49
Informasi Data Inderaja implementasi SDI. Capacity factors mencakup kapasitas teknologi (technological capacity), kapasitas manusia (human capacity), kapasitas keuangan (financial capacity) dan faktor kemitraan. Sementara faktor kelembagaan SDI terkait dengan cara bagaimana SDI didefinisikan, didesain dan diimplementasikan, baik secara teknikal maupun institusional (Rajabifard, 2003). PERAN LAPAN Dalam pengembangan ISDI ini, LAPAN merupakan salah satu lembaga yang terlibat aktif di dalamnya. Dengan terbitnya Peraturan Presiden No. 85 tahun 2007 tentang Jaringan Data Spasial Nasional (JDSN) yang menyebutkan bahwa LAPAN merupakan salah satu Simpul Jaringan dalam JDSN, Kepala LAPAN segera menindaklanjutinya dengan menerbitkan Peraturan Kepala LAPAN No. Per/129/IV/2009 tentang Penyelenggaraan Jaringan Data Spasial. Dalam Perpres No. 85 tahn 2007 disebutkan bahwa JDSN terdiri dari Simpul Jaringan dan Penghubung Simpul Jaringan, yang kemudian dijelaskan dalam Peraturan Ka.
LAPAN yang menyebutkan bahwa LAPAN adalah simpul jaringan dan Bakosurtanal adalah penghubung simpul jaringan. Salah satu tugas utama LAPAN sebagai simpul jaringan adalah melaksanakan pengumpulan, pemeliharaan dan pemutakhiran, pertukaran dan penyebar luasan data spasial di bidang antariksa dan penerbangan. Model kerjasama antar lintas pelaku JDSN dalam penyelenggaraan JDSN adalah model jaringan kerja dimana masing-masing lembaga berperan sebagai simpul jaringan yang saling terikat oleh peraturan perundangundangan. Secara fisik jaringan tersebut merupakan sistem jaringan basisdata tersebar (Distributed Database System) yaitu sistem yang menghubungkan server-server basisdata lintas pelaku IDSN yang independent yang pengelolaan dan pengoperasiannya terintegrasi oleh suatu aturan yang disepakati oleh semua lintas pelaku JDSN tersebut. Sistem jaringan berfungsi untuk menyelenggarakan penyediaan dan penggunaan data dan informasi spasial, yang menganut sistem basisdata tersebar, yang saat ini digunakan oleh berbagai organisasi inisiatif infrastruktur data spasial
Gambar 3. Inter-relasi komponen Custodian, Clearinghouse dan User (Bakosurtanal, 2004).
50
INDERAJA | Volume II • No. 2 | Juli 2011
Informasi Data Inderaja internasional adalah Clearinghouse Data Utama atau disingkat Clearinghouse. Clearinghouse sendiri diartikan sebagai suatu sistem server institusi data produser terdistribusi yang berisi metadata data spasial dengan standar yang ditentukan JDSN dan dapat diakses oleh pengguna melalui internet. Dalam server Clearinghouse dibangun direktori data dan metadata yaitu informasi mengenai data utama yang tersedia dalam sistem Clearinghouse. Clearinghouse berfungsi sebagai titik akses bagi pengguna dan pembuat data utama. Mekanisme dan alur kerja dan inter-relasi antara masing-masing komponen ini dapat dilihat pada gambar berikut. Menurut Peraturan Ka. LAPAN No. Per/129/IV/2009 tentang Penyelenggaraan Jaringan Data Spasial, selain berfungsi sebagai salah satu satker pelaksana fungsi simpul jaringan, Pusat Data Penginderaan Jauh juga berfungsi sebagai Clearinghouse (unit kliring). Clearinghouse bertugas menyediakan metadata dan data spasial dari simpul jaringan untuk disampaikan kepada penghubung simpul jaringan. Sebagai Clearinghouse, Pusat Data Penginderaan Jauh (Pusdata) wajib untuk menyediakan metadata dan data spasial, yang secara spesifik disebutkan dalam Perpres tentang JDSN berupa cakupan citra satelit. Metadata data spasial yang dibangun harus menggunakan standard yang ditetapkan oleh Bakosurtanal, yaitu standard FGDC. Standard FGDC adalah standard yang ditetapkan oleh Federal Geographic
Data Committee. Saat ini LAPAN memiliki data Landsat-5, Landsat-7 serta SPOT yang berjumlah ribuan scene data. Sementara metadata yang dimiliki LAPAN saat ini masih belum sesuai dengan standard FGDC. Standarisasi metadata perlu dilakukan dengan melengkapi field-field sebagaimana ada dalam acuan metadata versi FGDC. Field-field tersebut harus sesuai dengan karakteristik data Landsat maupun SPOT sehingga metadata yang dihasilkan merupakan suatu informasi unik yang dimiliki oleh masing-masing data. Dalam rangka menjalankan fungsi sebagai clearinghouse data penginderaan jauh, Pusdata membangun Sistem Bank Data Penginderaan Jauh Nasional. Desain hubungan antara sistem JDSN dan Bankdata dapat dilihat pada gambar 4. Pada gambar tersebut dijelaskan bahwa pengguna data spasial bisa mengakses web portal data spasial melalui domain lapanrs.com dan Idsn.or.id. Kedua web portal tersebut didesain mengakses sistem Bankdata, yaitu: database metadata dan database citra. Sehingga pengembangan database metadata merupakan bagian dari pengembangan sistem Bankdata. Proses untuk melengkapi dan menyesuaikan metadata agar sesuai standard ini masih berjalan, diharapkan pada saatnya nanti peran LAPAN sebagai simpul jaringan data spasial penerbangan dan antariksa ini dapat dirasakan manfaatnya secara optimal oleh para pengguna.
Gambar 4. Sistem Bank Data Penginderaan Jauh LAPAN (Purba et.al, 2010)
INDERAJA | Volume II • No. 2 | Juli 2011
51
Informasi Data Inderaja
Pembangunan Infrastruktur Data Spasial untuk Mendukung Manajemen Bencana Rubini Jusuf
Kepala Bidang Pengembangan Bank Data Penginderaan Jauh Pusat Teknologi Dan Data Penginderaan Jauh
K
ondisi geologi Indonesia yang merupakan pertemuan lempeng-lempeng tektonik menyajikan kawasan Indonesia ini memiliki kondisi geologi yang sangat kompleks. Selain menjadikan wilayah Indonesia ini kaya akan sumberdaya alam, salah satu konsekwensi logis kekompleksan kondisi geologi ini menjadikan banyak daerah-daerah di Indonesia memiliki tingkat kerawanan yang tinggi terhadap bencana alam. Beberapa diantaranya adalah rawan gempa bumi, tsunami serta rawan letusan gunung api disepanjang ”ring of fire” dari Sumatera – Jawa – Bali – Nusa Tenggara – Banda – Maluku (ITB News, 2005). Masih jelas dalam ingatan kita rentetan kejadian bencana alam yang banyak menyebabkan terjadinya korban jiwa, seperti tragedi tsunami di Aceh dan Nias, gempa bumi dahsyat di Tasikmalaya serta Padang, tanah longsor di Cianjur, bahkan banjir di berbagai daerah yang kerap datang setiap musim hujan. Dan yang terakhir, ditingkat internasional adalah bencana gempa bumi
tektonik dengan kekuatan 8,9 SR diikuti dengan tsunami yang melanda Jepang bagian timur pada tanggal 11 Maret 2011 lalu. Banyak hal yang harus dilakukan baik oleh pemerintah, dalam hal ini instansi-instansi terkait, dan masyarakat untuk berperan aktif dalam penanganan kondisi rawan bencana ini. Pemerintah perlu menerapkan sistem manajemen bencana yang terintegrasi dengan melibatkan banyak pihak Menurut Rajabifard et.al, 2004, Manajemen Bencana adalah siklus kegiatan dimulai dengan melakukan mitigasi (mitigation) kerentanan dan dampak negatif dari bencana, persiapan (preparadness) dalam menanggapi operasi, menanggapi (response) dan memberikan bantuan dalam situasi darurat seperti SAR, pemadam kebakaran, dan lain-lain, dan membantu dalam pemulihan (recovery) yang dapat meliputi rekonstruksi fisik dan kemampuan untuk kembali kualitas kehidupan masyarakat setelah bencana (Gambar 1).
Gambar 1. Siklus Manajemen Bencana (Rajabifard et.al, 2004)
52
INDERAJA | Volume II • No. 2 | Juli 2011
Informasi Data Inderaja Penerapan kemajuan teknologi terkini dalam pengelolaan data spasial dan rekayasa Geomatika dalam manajemen bencana, seperti Teknologi Informasi dan Komunikasi (ICT), Sistem Informasi Geografis (GIS), Penginderaan Jauh, dan Global Positioning System (GPS), telah meningkatkan efektivitas pengelolaan bencana. Data spasial dan GIS telah terbukti penting dalam proses mitigasi, pendeteksian, tanggap darurat, dan pemulihan dari bencana alam (Amdahel, 2002). Tanpa data spasial mungkin pelaksanaan manajemen bencana tidak bisa berjalan secara efektif dan efisien. Respon terhadap situasi darurat 11 September adalah contoh pemanfaatan luas informasi spasial dan teknologi yang terkait dalam tanggap bencana yang efektif dan efisien sebagaimana dilaporkan oleh Donohue (2002). Penyediaan Informasi untuk Respon Bencana Sifat dinamis dari sebuah situasi tanggap darurat yang kadang kala tidak dapat diprediksi kapan terjadinya, membutuhkan adanya proses pemutakhiran berbagai data/informasi yang diperlukan secara tepat waktu, yang berasal dari berbagai organisasi. Hal ini disebabkan karena tidak ada lembaga individu yang dapat memproduksi dan memperbarui semua informasi yang diperlukan. Perlu adanya kemitraan, berbagi data (data sharing) dan pertukaran data (data exchange). Dalam situasi darurat, berbagai organisasi akan terlibat dalam respon bencana. Lembaga-lembaga seperti Dinas Pemadam Kebakaran, Palang Merah, Kepolisian, dan lainlain, akan terlibat langsung dalam operasi tanggap darurat. Organisasi-organisasi lain dengan utilitas khusus yang kadang kala diperlukan dalam situasi darurat tertentu, harus siap untuk menyediakan sumber daya lain yang diperlukan, seperti kebutuhan akan data spasial, peta infrastruktur, peta jaringan dan lain-lain. Organisasi-organisasi ini harus selalu melakukan pemutakhiran set data yang mereka miliki, baik dalam kondisi normal maupun pada situasi darurat. Jika data dan informasi spasial tersebut senantiasa terbaharui dan dicatat dalam basis data yang sesuai, keperluan akan data/informasi untuk respon bencana akan selalu tersedia. Jika data dan informasi ini dibangun dalam sebuah sistem yang sedemikian rupa sehingga dapat berbagi (data sharing) dan bertukar (data exchange) dengan yang lainnya, maka set data tersebut
INDERAJA | Volume II • No. 2 | Juli 2011
akan dapat diakses dan dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang terkait dengan manajemen bencana secara lebih luas. Sistem yang dibangun untuk berbagi dan bertukar data ini harus mengakomodir kesesuaian standar dan model interoperabilitas, sehingga data/informasi tersebut dapat dimanfaatkan oleh sistem yang berbeda. Kebutuhan ini akan membawa kita kepada konsep kemitraan dalam produksi dan berbagi data spasial. Melalui usaha kemitraan ini, data/ informasi spasial yang dibutuhkan bagi manajemen bencana akan senantiasa tersedia serta dapat diakses, digunakan dan dimanfaatkan oleh organisasi manapun yang membutuhkan. Penanganan Bencana di Indonesia Berdasarkan publikasi Bakornas PB tentang data bencana Indonesia tahun 2002-2005, terdapat lebih dari 2.000 bencana di Indonesia pada tahun antara tahun 2002 dan 2005, dengan 743 banjir (35% dari jumlah total), 615 kekeringan (28% dari jumlah total), 222 longsor (l0% dari jumlah total), dan 217 kebakaran (9,9% dari jumlah total). Jumlah korban yang sangat besar dalam tahun-tahun tersebut yakni sejumlah 165,.945 korban jiwa (97 % dari jumlah total) dari gempa bumi dan tsunami, diikuti jumlah 2.223 (29 % dari jumlah total) disebabkan konflik sosiaI. Di sisi lain, banjir membuat sebagian orang kehilangan rumah mereka, yang menyebabkan jumlah korban yang mengungsi sebanyak 2.665.697 jiwa (65% dari jumlah total). Sepanjang tahun 2004-2007, Indonesia dilanda paling sedikit tujuh bencana besar yang menimbulkan kerugian yang sangat besar, seperti terlihat dalam table berikut: Daftar Kejadian Bencana Besar Sepanjang 2004-2007 Kerugian Ekonomi (US$ milyar) No
Nama Bencana
Langsung
Tidak Langsung
1
Tsunami Aceh & Nias 26 Desember 2004
2.92
1.53
2
Flu Burung (2004-2005)
0.6
-
0.6
3
Letusan Merapi - April 2006
-
-
20.000 orang mengungsi
4
Gempa Yogyakarta - 27 Mei 2006
2.5
0.7
3.1
5
Lumpur Panas Sidoarjo Jawa Timur - 29 Mei 2006
1.2
1.8
3
6
Tsunami di selatan Jawa - 17 Juli 2006
0.031
0.063
0.094
7
Banjir Jabodetabek hingga Februari 2007
0.7
-
0.7
Total 4.45
TOTAL (US$ Milyar)
12
• 3.1 persen dari PDB Indonesia (2007) • 15.8 persen dari total APBN 2007
(110.4 Triliun rupiah)
(sumber : “Laporan Akhir Telaah Sistem Terpadu Penanggulangan Bencana di Indonesia”)
53
Informasi Data Inderaja Rangkaian bencana yang terjadi di Indonesia, khususnya pada tahun 2004 dan 2005, telah mengembangkan kesadaran mengenai kerawanan dan kerentanan masyarakat. Sikap reaktif dan pola penanggulangan bencana yang dilakukan dirasakan tidak lagi memadai. Dirasakan kebutuhan untuk mengembangkan sikap baru yang lebih proaktif, menyeluruh, dan mendasar dalam menyikapi bencana. Sistem penanggulangan bencana di Indonesia didasarkan pada kelembagaan yang ditetapkan oleh pemerintah. Pada waktu yang lalu, penanggulangan bencana dilaksanakan oleh satuan kerja-satuan kerja yang terkait. Dalam kondisi tertentu, seperti bencana dalam skala besar pada umumnya pimpinan pemerintah pusat/daerah mengambil inisiatif dan kepemimpinan untuk mengkoordinasikan berbagai satuan kerja yang terkait. Dengan dikeluarkannya UU No. 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, maka terjadi berbagai perubahan yang cukup signifikan terhadap upaya penganggulangan bencana di Indonesia, baik dari tingkat nasional hingga daerah yang secara umum, peraturan ini telah mampu memberi keamanan bagi masyarakat dan wilayah Indonesia dengan cara penanggulangan bencana dalam hal karakeristik, frekuensi dan pemahaman terhadap kerawanan dan risiko bencana. Di dalam UU tersebut, diamanatkan untuk dibentuk badan baru, yaitu Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menggantikan Badan Koordinasi Nasional Penanganan Bencana (Bakornas-PB) dan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) menggantikan Satkorlak dan Satlak di daerah. Namun, dari hasil evaluasi yang dilakukan terhadap implementasi system penanggulangan bencana pada tingkat nasional yang tertuang dalam “Laporan Akhir Telaah Sistem Terpadu Penanggulangan Bencana di Indonesia”, masih banyak ditemukan berbagai isu dan permasalahan yang cukup penting dan membutuhkan penanganan segera. Isu dan permasalahan tersebut meliputi sisi kebijakan maupun sisi strategi dan operasi. Diantara isu kebijakan yang menonjol adalah masalah kelembagaan penanggulangan bencana, yang meliputi permasalahan tugas dan wewenang, koordinasi antara pusat dan daerah, keterbatasan SDM pelaksana, permasalahan anggaran serta kerjasama dan koordinasi dengan lembaga-lembaga terkait. Permasalahan kelembagaan ini akan lebih terasa pada level pemerintah daerah.
54
UU No. 24 tahun 2007 mengamanatkan pembentukan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) menggantikan fungsi Satkorlak dan Satlak di daerah. Namun pada implementasinya terdapat banyak faktor penghambat, diantaranya anggapan bahwa pembentukan BPBD bukanlah prioritas, hambatan tata komando dilapangan, hingga hambatan fungsi koordinasi dengan dinas terkait disebabkan karena adanya benturan fungsi dan tugas. Hal ini terjadi baik pada BPBD provinsi maupun BPBD kota/kabupaten. Ketidak selarasan ini menyebabkan penanganan bencana yang terjadi di daerah menjadi lambat. Potensipotensi yang dimiliki oleh tiap lembaga yang terkait dengan penanggulangan bencana tidak dapat dimanfaatkan seoptimalnya. Perlu adanya suatu terobosan baik secara kelembagaan maupun strategi operasi dalam penanggulagan bencana baik bencana yang dikategorikan sebagai bencana nasional maupun lokal. Peran SDI dalam Manajemen Bencana Konsep Infrastrutur Data Spasial (Spatial Data Infrastructure – SDI), dibangun berdasarkan kebutuhan yang meningkat terhadap data dan informasi spasial lintas berbagai organisasi dan sektor. SDI merupakan sebuah inisiatif untuk membangun sebuah lingkungan yang memungkinkan pengguna dalam cakupan yang lebih luas dapat mengakses, memperoleh dan menyebarluaskan data dan informasi spasial dengan cara yang mudah dan aman (Rajabifard, 2004). SDI memungkinkan pengguna untuk berbagi data/informasi yang sangat berguna, dengan penghematan dari sisi sumber daya, waktu dan tenaga untuk memperoleh data/informasi tersebut. Dengan pemikiran seperti ini, banyak negara mengembangkan SDI untuk pengelolaan dan pemanfaatan aset data spasial mereka secara lebih baik, diawali dengan pengembangan SDI di tingkat lokal hingga tingkat nasional, kemudian ke tingkat regional, dan berlanjut hingga tingkat global. Oleh karena itu, SDI sebagai sebuah infrastruktur informasi dapat menjadi kerangka kerja yang tepat dalam merespon tanggap darurat bencana dan memfasilitasi pengambilan keputusan yang tepat untuk manajemen bencana seperti yang diilustrasikan pada Gambar 2. Dengan merancang sebuah model SDI untuk manajemen
INDERAJA | Volume II • No. 2 | Juli 2011
Informasi Data Inderaja bencana, dan dengan memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) yang relevan dalam manajemen bencana, adalah mungkin untuk menghasilkan pengambilan keputusan yang lebih baik. Hal ini sekaligus pula meningkatkan efisiensi dan efektivitas dari semua tingkat aktivitas sebuah manajemen bencana dari mulai fase mitigasi, fase kesiapsiagaan, fase respon hingga fase pemulihan. Pengambilan keputusan yang tepat dengan didukung oleh system SDI tersebut dapat langsung memberikan kontribusi pada proses pemulihan dampak bencana, baik sektor ekonomi, sosial maupun lingkungan. Dalam kerangka kerja ini harus dicatat bahwa tantangan dalam mendesain, membangun, mengimplementasikan
Gambar 2. SDI untuk mendukung Manajemen Bencana (diadopsi dari Rajabifard et.al, 2004)
dan memelihara sebuah SDI akan sangat berkaitan dengan berbagai disiplin ilmu dan membutuhkan pengujian dari berbagai faktor dan isu yang berbeda yang terkait dengan sisi konseptual, teknis, kelembagaan dan penganggaran. Sehingga, sangatlah penting bagi para pihak dan pengambil keputusan dalam manajemen bencana ini untuk memahami dan mempertimbangkan faktor-faktor tersebut dalam pengembangan SDI.
INDERAJA | Volume II • No. 2 | Juli 2011
Contoh Implementasi Pada tataran implementasi, Rajabifard et.al, 2004, memberikan satu contoh system SDI yang dibangun untuk mendukung manajemen bencana di Iran. Gambar 3, menggambarkan struktur keseluruhan dari sistem yang dirancang. Sebagaimana ditunjukkan dalam gambar, masingmasing organisasi yang terlibat memiliki database yang berisi dataset yang dibutuhkan mereka untuk bisnis/aktivitas seharihari juga untuk respon bencana. Ada juga sebuah database pada Emergency Operation Center (EOC) di mana perwakilan dari organisasi-organisasi yang terlibat dapat berkumpul untuk mengkoordinasikan aksi tanggap darurat bencana. Database EOC berisi peta dasar yang merupakan dataset fundamental yang diperlukan untuk manajemen bencana. Masing-masing organisasi yang terlibat bertanggung jawab untuk memproduksi dan memutakhirkan satu atau lebih dataset dalam database EOC sebelum dan setelah bencana. Setiap organisasi kemudian dapat menggunakan dataset yang diperlukan dari database EOC untuk mereka gunakan sendiri. Ini menunjukkan konsep penting kemitraan dalam memproduksi dan memutakhirkan dataset, serta konsep berbagi dataset, yang memungkinkan setiap organisasi untuk bekerja pada sebuah database bersama. Berdasarkan Gambar 3, semua organisasi terhubung ke database EOC melalui jaringan inter- dan intranet, yang memungkinkan seluruh organisasi dapat berbagi dan mengakses dataset yang dibutuhkan mereka. Sebagaimana juga ditunjukkan pada Gambar 3, kemampuan semua pihak untuk memiliki akses ke informasi yang menggambarkan situasi darurat saat ini melalui pengembangan EOC, akan memungkinkan respon yang lebih terkoordinasi terhadap kejadian bencana. Gambar tersebut mengilustrasikan bahwa proses produksi, pemutakhiran, pengaksesan dan penggunaan data spasial, dilakukan berdasarkan kerangka kerja SDI. Proyek percontohan ini dikembangkan untuk merespon kejadian gempa yang diasumsikan terjadi di Iran dan membutuhkan adanya kolaborasi dan keterlibatan dari 12 organisasi tersebut. Model perangkat lunak dan database dikembangkan berdasarkan pada konsep Emergency Operation Center seperti yang ditunjukkan pada Gambar 3. Dalam rangka merespon situasi tanggap darurat yang akan terjadi, ke-12 organisasi tersebut masing-masing mengelola
55
Informasi Data Inderaja
Gambar 3. Prototype system SDI berbasis Web untuk Manajemen Bencana di Iran (Rajabifard et.al, 2004)
dan memperbarui dataset mereka sendiri dan membaginya dengan pihak lain yang terlibat. Tujuan dari proyek percontohan ini adalah untuk:
pembuatan keputusan dan meningkatkan efektivitas serta efisiensi dalam semua tingkat aktivitas manajemen bencana dari fase mitigasi hingga fase pemulihan.
• •
Indonesia sebagai sala satu negara yang rawan bencana, saat ini telah memiliki lembaga yang khusus menangani bencana. Melalui UU no. 24 tahun 2007 dibentuklah BNPB pada level national dan BPBD pada level daerah. Namun kendala-kendala implementasi di lapangan menyebabkan kurang optimalnya pelaksanaan penanganan bencana. Indonesia dapat mencontoh negara lain dalam pengembangan SDI untuk mendukung manajemen bencana. Pelibatan instansi-instansi terkait penanganan kebencanaan untuk bersama-sama membangun kemitraan, saling berbagi dan bertukar data/informasi spasial, sehingga penanganan bencana di Indonesia dapat dilaksanakan dengan lebih efektif dan efisien.
mengembangkan model SDI konseptual; menguji sistem dan mendapatkan umpan balik untuk desain dan pengembangan sistem sesungguhnya; • menyajikan secara keseluruhan struktur, konsep, dan keuntungan dari pengembangan system seperti ini, dan • menyajikan keuntungan dari penggunaan model SDI dalam pengembangan sistem tanggap darurat bencana. Data/informasi spasial serta teknologi informasi dan komunikasi (TIK) adalah elemen-elemen penting dalam penanggulangan bencana. Perancangan dan pengembangan sebuah model SDI sebagai kerangka kerja dalam mendukung manajemen bencana dapat membantu lembaga-lembaga terkait manajemen bencana dalam meningkatkan kualitas-
56
INDERAJA | Volume II • No. 2 | Juli 2011
Informasi Data Inderaja
Otomatisasi Penyajian Informasi Jumlah Titik Panas di Indonesia Budhi Gustiandi*, dan Nanik Suryo Haryani** * Peneliti Bidang Teknologi Akuisisi dan Stasiun Bumi - Pustekdata LAPAN, ** Peneliti Bidang Lingkungan dan Mitigasi Bencana - Pusfatja LAPAN.
[email protected] [email protected]
I
ntensitas kebakaran hutan dan lahan marak terjadi akhirakhir ini. Salah satu akibat yang ditimbulkannya adalah kabut asap. Gangguan kabut asap akibat kebakaran hutan dan lahan memiliki dampak yang beragam, mulai dari kesehatan, pencemaran lingkungan, hingga kegiatan investasi. Di sejumlah daerah, kabut asap akibat terjadinya kebakaran hutan dan lahan mengakibatkan jarak pandang diperkirakan di bawah 300 meter, sehingga menyebabkan aktivitas penerbangan dihentikan yang mengakibatkan kerugian secara material yang tidak sedikit. Bahkan, kabut asap tersebut telah sampai ke negara tetangga kita, seperti Singapura. Teknologi satelit penginderaan jauh telah memberikan andil yang nyata dalam pemantauan kebakaran hutan dan lahan di Indonesia. Diluncurkannya satelit Terra pada tahun 1999 dan satelit Aqua pada tahun 2002, yang membawa sensor Moderate Imaging Resolution Spectroradiometer (MODIS) memberikan andil yang besar dalam hal penyediaan data untuk pemantauan titik panas (hot spot) selain data yang disediakan oleh National Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA). Keberadaan titik panas inilah yang dapat dijadikan indikator apakah di suatu daerah sedang terjadi kebakaran hutan dan lahan atau tidak. Pemantauan titik panas tersebut secara konsisten dilakukan oleh Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) selama lebih dari satu dekade. Informasi penting hasil pemantauan titik panas tersebut disajikan dalam sebuah sistem berbasis web yang dinamakan Indofire. Semua pihak yang berkepentingan dapat mengakses informasi tersebut secara gratis dan terbuka.
INDERAJA | Volume II • No. 2 | Juli 2011
Selain Indofire, LAPAN juga sudah merancang dan membangun sistem pemantauan titik panas alternatif yang memiliki fitur-fitur yang diharapkan akan saling melengkapi dengan fitur-fitur yang telah tersedia pada sistem Indofire. Perbedaannya adalah pada sistem Indofire para penggunanya menggunakan peramban-peramban web (seperti Google Chrome, Mozilla Firefox, Apple Safari, Opera, dan Internet Explorer) untuk mengakses informasi yang diberikan. Sedangkan pada sistem yang baru, para penggunanya menggunakan peramban-peramban bumi (seperti Google Earth yang telah dikenal secara luas oleh umum) untuk mengakses informasi yang diberikan. Beberapa kelebihan fitur yang diberikan oleh sistem yang baru tersebut, yaitu penyajian data yang lebih mudah digunakan oleh pengguna, kecepatan akses data sampai 5,22 kali lipat lebih cepat, dan peningkatan efisiensi kebutuhan penyimpanan volume data sampai 80,87% dibandingkan sistem Indofire. Keyhole Markup Language (KML) merupakan sebuah format berkas yang digunakan untuk menampilkan data geografis pada sebuah peramban bumi atau yang sejenisnya, seperti Google Earth, NASA WorldWind, dan ESRI ArcGIS Explorer. Bahkan format berkas tersebut ke depannya akan dijadikan standar untuk menyajikan data geospasial. Struktur bahasa KML digunakan untuk merancang dan membangun sistem pemantauan titik panas alternatif. Proses pembuatan laporan informasi jumlah titik panas sebagai hasil dari pemantauan sistem Indofire masih dilakukan secara manual. Banyak sekali langkah pengolahan
57
Informasi Data Inderaja yang harus dilakukan untuk dapat menyajikan informasi tersebut ke dalam suatu format yang dapat dengan mudah digunakan oleh pihak yang berkepentingan. Setiap hari dilakukan proses tersebut secara berulang-ulang. Begitu juga dengan sistem pengiriman berkas laporannya, dilakukan secara manual dengan mengirimkan berkas laporan tersebut secara langsung atau melalui e-mail ke beberapa pihak yang berkepentingan dalam memanfaatkan data tersebut. Solusi dari permasalahan tersebut adalah dengan merubah proses pembuatan dan pengiriman berkas laporan jumlah titik panas menjadi otomatis. Dibangunnya sistem otomatisasi penyajian informasi jumlah titik panas di Indonesia diharapkan dapat meningkatkan efisiensi waktu, tenaga, dan volume penyimpanan berkas pada computer dalam pembuatan pelaporan. Hal tersebut dimungkinkan dengan mengembangkan struktur bahasa KML yang telah digunakan sehingga dapat menampilkan informasi rekapitulasi jumlah titik panas di wilayah Indonesia berbasis harian, bulanan, dan tahunan. Konfigurasi sistem pemantauan titik panas alternatif yang telah dibuat diperlihatkan pada Gambar 1 di bawah ini. Sistem akan secara otomatis mengeluarkan berkas KML dinamis yang kemudian dikirimkan ke peramban bumi yang digunakan oleh pengguna (seperti Google Earth) pada
saat pengguna tersebut memanggil program pemrosesan yang tersimpan pada server melalui berkas KML statis yang tersimpan pada komputer/ laptopnya. Sehingga apabila terjadi pembaharuan data yang tersimpan di dalam basis data pada server (misalkan menambah/ mengurangi/ mengubah datanya), maka secara otomatis data terbaharui tersebut akan dikirim langsung kepada para pengguna tanpa harus memperbaharui berkas KML statis yang tersimpan pada komputer/ laptopnya. Begitu pula dengan program pemrosesan yang secara otomatis menghasilkan berkas KML dinamis tersebut. Program pemrosesan tersebut berada di dalam server, bukan di masing-masing komputer/ laptop penggunanya, maka ketika akan dilakukan modifikasi, para pengguna sistem tersebut tidak perlu memperbaharui berkas KML statis yang telah terpasang pada masing-masing komputer/ laptopnya. Hal ini akan menghilangkan kecenderungan tidak berjalannya sistem dikarenakan versi yang berbeda antara yang digunakan oleh pengguna dengan versi program pemrosesan yang dimodifikasi tersebut. Oleh karena itu, pengembangan sistem yang dilakukan, dalam hal ini penambahan fitur otomatisasi informasi rekapitulasi jumlah titik panas harian, bulanan, dan tahunan, dilakukan dengan memodifikasi program pemrosesan yang
Gambar 1. Konfigurasi sistem pemantauan titik panas alternatif.
58
INDERAJA | Volume II • No. 2 | Juli 2011
Informasi Data Inderaja terdapat pada server, bukan yang terdapat pada masingmasing komputer/ laptop penggunanya. Penambahan algoritma dapat dilakukan secara modular, sehingga tidak akan mengganggu alur pemrosesan yang telah berjalan sebelumnya. Gambar 2 memperlihatkan salah satu tampilan pada peramban bumi Google Earth hasil pembacaan berkas KML dinamis yang dihasilkan oleh program pemrosesan sistem sebelum dikembangkan. Pada gambar tersebut beberapa fitur yang ditampilkan memiliki penjelasan sebagai berikut : 1. Struktur informasi bisa dinyalakan dan dimatikan sesuai dengan kebutuhan pengguna. 2. Informasi detil mengenai masing-masing titik panas yang langsung dapat diakses oleh pengguna dengan cara mengklik titik panas tersebut. Pada Gambar 2 tersebut diperlihatkan lima informasi mengenai titik panas, yaitu posisi bujur, posisi lintang, nama provinsi lokasi titik panas tersebut, satelit yang menjadi sumber datanya, dan nama stasiun bumi penerima datanya. 3. Antarmuka pengguna grafis untuk melakukan pengaturan rentang waktu yang berfungsi untuk analisis temporal titik panas sesuai dengan kebutuhan pengguna.
4.
Informasi tambahan lain yang dibutuhkan untuk diperlihatkan kepada pengguna, seperti keterangan program, log pengembangan program, dan kontributor program. 5. Logo LAPAN sebagai lembaga yang sedang mengembangkan program tersebut. Sedangkan Gambar 3 memperlihatkan salah satu tampilan pada peramban bumi Google Earth hasil pembacaan berkas KML dinamis yang dihasilkan oleh program pemrosesan sistem setelah dikembangkan. Gambar 3 tersebut memperlihatkan tampilan yang dihasilkan oleh sistem per-tanggal 13 April 2011. Pada gambar tersebut terlihat bahwa fitur-fitur telah dikembangkan dengan penjelasan sebagai berikut : 1. Penambahan struktur informasi rekapitulasi jumlah titik api yang bisa dinyalakan dan dimatikan sesuai dengan kebutuhan pengguna. 2. Informasi rekapitulasi jumlah titik api harian, bulanan, dan tahunan yang disajikan dalam bentuk tabel beserta visualisasi dalam bentuk grafik. Guna mengetahui tingkat kebenaran algoritma otomatisasi dari fitur yang ditambahkan, dilakukan validasi secara manual, yaitu dengan cara menghitung jumlah titik
Gambar 2. Tampilan pembacaan berkas KML dinamis yang dihasilkan sistem pada peramban bumi Google Earth sebelum penambahan fitur.
INDERAJA | Volume II • No. 2 | Juli 2011
59
Informasi Data Inderaja
Gambar 2. Tampilan pembacaan berkas KML dinamis yang dihasilkan sistem pada peramban bumi Google Earth sebelum penambahan fitur.
Gambar 3. Tampilan pembacaan berkas KML dinamis yang dihasilkan sistem pada peramban bumi Google Earth setelah penambahan fitur.
60
INDERAJA | Volume II • No. 2 | Juli 2011
Informasi Data Inderaja panas yang terdapat di dalam basis data secara manual, kemudian membandingkannya dengan jumlah titik panas yang ditampilkan oleh fitur tersebut. Validasi yang dilakukan diperlihatkan pada Tabel 1 di bawah ini. Hasil dari validasi tersebut menunjukkan bahwa fitur yang ditambahkan tersebut memiliki tingkat kebenaran sebesar 100 %. Waktu
Jumlah Titik Panas Basis Data Fitur Otomatisasi 17 17 16 16 31 31 46 46 16 16 8 8 18 18 45 45 15 15 4 4 44 44 6 6 22 22 24 24 29 29 30 30 30 30 4 4 1 1 1 1 11 11 2 2 1 1 4 4 2 2 14 14 73 73 82 82 149 149 23 23 67 67 82 82 57 57 32 32 12 12 1 1 11 11
Selisih
1 Maret 2011 0 4 Maret 2011 0 5 Maret 2011 0 6 Maret 2011 0 7 Maret 2011 0 8 Maret 2011 0 9 Maret 2011 0 10 Maret 2011 0 11 Maret 2011 0 12 Maret 2011 0 13 Maret 2011 0 14 Maret 2011 0 15 Maret 2011 0 16 Maret 2011 0 17 Maret 2011 0 18 Maret 2011 0 19 Maret 2011 0 20 Maret 2011 0 21 Maret 2011 0 22 Maret 2011 0 24 Maret 2011 0 26 Maret 2011 0 28 Maret 2011 0 30 Maret 2011 0 31 Maret 2011 0 1 April 2011 0 2 April 2011 0 3 April 2011 0 4 April 2011 0 5 April 2011 0 6 April 2011 0 7 April 2011 0 8 April 2011 0 9 April 2011 0 10 April 2011 0 11 April 2011 0 12 April 2011 0 Total Selisih 0 Tabel 1. Perbandingan jumlah titik panas di dalam basis data dengan yang ditampilkan oleh fitur otomatisasi.
INDERAJA | Volume II • No. 2 | Juli 2011
Analisis dilakukan untuk mengetahui seberapa besar penambahan volume berkas keluaran sistem setelah diberi tambahan fitur otomatisasi tersebut. Volume berkas keluaran sistem sebelum ditambahkan fitur adalah sebesar 491 kB dan volume berkas keluaran sistem setelah ditambahkan fitur adalah sebesar 499 kB, seperti yang diperlihatkan pada Gambar 4 di bawah ini, maka terjadi penambahan volume berkas keluaran sebesar 8 kB. Pembuatan berkas laporan yang dilakukan pada saat ini membutuhkan volume penyimpanan berkas sebesar 895 kB, sehingga penambahan fitur tersebut dapat menurunkan kebutuhan volume penyimpanan berkas sampai sebesar 884 kB atau sekitar 99 %-nya. Karena kecepatan akses pengguna berbanding terbalik dengan volume data yang diakses, hal ini akan mempengaruhi kecepatan akses pengguna hingga sekitar 111, 875 kali lipat.
Gambar 4. Perhitungan volume berkas keluaran sebelum dan sesudah penambahan fitur otomatisasi.
Analisis pembuatan fitur otomatisasi dilakukan untuk mengetahui seberapa lama waktu yang dapat diefisienkan dengan penambahan fitur otomatisasi tersebut. Rata-rata waktu yang dibutuhkan untuk mengolah laporan secara manual adalah sekitar 2 jam, maka fitur otomatisasi tersebut dapat mengefisienkan waktu pembuatan laporan sebesar 2 jam juga, karena tidak lagi diperlukan perhitungan jumlah titik api secara manual, dan pengguna yang berkepentingan akan mendapat laporan rekapitulasi jumlah titik panas secara otomatis tanpa harus menghubungi pihak pembuat laporan terlebih dahulu untuk mengirimkan berkas laporannya. Di samping itu, fitur otomatisasi juga menghitung rekapitulasi jumlah titik panas bulanan dan tahunan, sehingga tidak perlu lagi dilakukan perhitungan bulanan dan tahunan secara berkala. Sistem pemantauan titik panas alternatif tersebut untuk selanjutnya diharapkan dapat dikembangkan untuk menyajikan informasi jumlah titik panas di wilayah Indonesia per provinsi/ kabupaten/ kecamatan secara otomatis. Hal tersebut sedang dalam proses pelaksanaan kegiatan penelitian dan pengembangan yang sedang dilakukan di LAPAN.
61
Berita Ringan
Kepala LAPAN yang baru, Drs. Bambang Setiawan Tejasukmana, Dipl.Ing saat menandatangani Berita Acara Pelantikan disaksikan Menristek RI Drs Suharna Surapranata M.T.
R
Pelantikan Kepala LAPAN
abu, 2 Maret 2011 diselenggarakan acara pelantikan dan pengambilan sumpah jabatan Kepala Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) di Gedung Balai Pertemuan Dirgantara Kantor LAPAN Pusat - Rawamangun Jakarta Timur dipimpin oleh Menteri Riset dan Teknologi Drs.H.Suharna Surapranata, MT. Menristek mengatakan dalam pidatonya, bahwa program LAPAN yang sudah ada harus terus dikembangkan dan perlu bersinergi dengan berbagai pihak agar dapat dicapai peningkatan yang lebih cepat dan efisien. Acara pelantikan dan serah terima jabatan ini juga dihadiri oleh Kepala LIPI. Kepala LAPAN yang baru Drs. Bambang Setiawan Tejasukmana, Dipl.Ing menggantikan Dr. Adi Sadewo Salatun, M.Sc, yang telah memasuki masa pensiun Januari 2011. Sebelum menjabat Kepala LAPAN, Drs. Bambang Setiawan Tejasukmana, Dipl.Ing menjabat sebagai Deputi Sains, Pengkajian, dan Informasi Kedirgantaraan LAPAN. Kepala LAPAN menyampaikan, bahwa kedepan akan membangun sinergi dengan lembaga/ instansi lain yang terkait untuk menciptakan potensi nasional. Program LAPAN memerlukan sinergi yang sangat besar dan bekerja dalam jaringan, sehingga dapat menjadikan LAPAN semakin kuat. Program LAPAN kedepan diantaranya adalah: Peluncuran Roket (RX550) diharapkan nantinya akan
62
menjadi basis roket peluncur satelit Indonesia, dimana saat ini masih dalam tahap tes statis (tes di permukaan guna mengukur kekuatan daya dorong, tes ini dilakukan di daerah Pamengpeuk, Garut - Jawa Barat). Kemudian LAPAN juga akan meluncurkan 2 (dua) satelit mikro untuk observasi equatorial yang sekarang masih berada dalam tahap integrasi. Peluncuran jenis satelit ini, dilaksanakan bersamaan dengan peluncuran satelit India (Piggy back). Satelit ini dipersiapkan untuk mendukung ketahanan pangan nasional (pemantauan sawah) dan juga pemantauan hutan. Khusus untuk sistem radar yang besar, LAPAN akan bekerja sama dengan pihak asing.untuk pemantauan kapal asing (illegal fishing) di wilayah equatorial. Selain itu untuk pengembangan pemanfaatan teknologi penginderaan jauh, LAPAN tetap akan membangun satelit yang memiliki kemampuan untuk menyediakan data. Dalam kegiatan pemanfaatan teknologi penerbangan, LAPAN juga akan membangun Pusat Pengembangan Teknologi Penerbangan yang dimulai dari pesawat terbang kecepatan tinggi. Dan program lainnya adalah Tentang Perumusan Undang-Undang
Antariksa
Nasional,
LAPAN
sudah
mengajukannya ke Kementerian Hukum dan HAM dan bila sudah selesai selanjutnya akan segera diajukan ke DPR RI.
INDERAJA | Volume II • No. 2 | Juli 2011
Berita Ringan
Gambar 1. Deputi Bidang Penginderaan Jauh LAPAN memberikan paparan pada simposium teknologi intelijen geospasial.
DITOPAD SELENGGARAKAN SIMPOSIUM DAN PAMERAN TEKNOLOGI INTELIJEN GEOSPASIAL
K
epala Staf TNI Angkatan Darat Jenderal TNI George Toisutta membuka Simposium dan Pameran Teknologi Intelijen Geospasial yang bertemakan Pembangunan Intelijen Geospasial dalam Rangka Mendukung Pertahanan Negara. Simposium dan Pameran berlangsung tanggal 10 Maret 2011 di Direktorat Topografi Angkatan Darat, Jalan Kalibaru Timur V No. 47 Jakarta Pusat. Kegiatan ini bertujuan untuk memberikan dan membuka wawasan yang jelas dan konprehensif tentang pemanfaatan konsep Intelijen Geospasial, juga sekaligus merupakan upaya awal untuk mengejar ketertinggalan teknologi informasi dan komunikasi. Deputi Bidang Penginderaan Jauh LAPAN Bapak Ir. Nurhidayat, Dipl.Ing., menyampaikan paparan dalam simposium dengan topik “Dukungan dan Komitmen Penginderaan Jauh LAPAN di Sektor Pertahanan Negara”. Dalam paparannya, Pak Nurhidayat menyampaikan LAPAN siap mendukung data dan informasi Inderaja untuk operasi dan latihan militer, antara lain : wilayah batas NKRI dan
INDERAJA | Volume II • No. 2 | Juli 2011
teritorial, pulau terluar, daerah latihan, daerah binaan, obyek vital, dan obyek militer. LAPAN telah melakukan kerjasama dengan Direktorat Topografi membuat album pulau terluar. Dikatakan oleh Pak Nur, bahwa dalam kerjasama “banyak yang terlibat itu lebih baik”, karena dengan banyak yang terlibat pasti akan lebih teliti. Untuk itu diharapkan banyak institusi yang mau melakukan kerjasama untuk kemajuan Pertahanan Negara yang kita cintai. Penandatangan Piagam Kesepakatan Bersama antara LAPAN dengan Ditopad dilaksanakan setelah acara Pembukaan Simposium oleh Kepala Staf TNI Angkatan Darat Jenderal TNI George Toisutta. Kepala Pusat Data Penginderaan Jauh LAPAN Dr. Orbita Roswintiarti, M.Sc. yang mewakili LAPAN, dan dari pihak Direktorat Topografi Angkatan Darat adalah Brigadir Jenderal Sutrisno menandatangani Piagam Kesepakatan Bersama, tentang Penelitian, Pengembangan, Pengkajian serta Pemanfaatan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Survey dan Pemetaan serta Penginderaan Jauh.
63
Berita Ringan LAPAN turut berpartisipasi dengan menampilkan panel-panel Peta Citra Satelit, Brosur, Buku, dan Album Pulaupulau Terluar. Diharapkan produk LAPAN dapat bermanfaat dalam konteks kepentingan pertahanan negara, seperti yang disampaikan Kasad dalam pidato sambuan Keynote Speech. Permasalahan penyediaan informasi geografi untuk
kepentingan pertahanan negara saat ini bukan lagi menjadi milik eksklusif Direktorat Topografi Angkatan Darat, namun menjadi tugas kita bersama dengan instansi yang terkait dengan penyelenggaraan penyediaan data atau Informasi Geografi, baik itu Pemerintah, TNI maupun Masyarakat Profesional. (AK)
Gambar 2. Kepala Pusat Data Penginderaan Jauh LAPAN menandatangani Nota Kesepakatan antara LAPAN dan Direktorat Topografi Angkatan Darat.
Gambar 3. Kepala Staf TNI-AD Jenderal George Toisutta sedang menerima penjelasan Deputi Bidang Inderaja LAPAN tentang Pulau-Pulau Kecil Terluar.
64
INDERAJA | Volume II • No. 2 | Juli 2011
Berita Ringan
FOREST CLASSIFICATION WORKSHOP CSIRO, Perth 1 – 20 Mei 2011 Oleh : (Ita Carolita, Diannovita, Rossy Hamzah)
I
NCAS (Indonesia’s National Carbon Accounting System) bertujuan untuk meyediakan sistem penghitungan lahan Indonesia yang dapat dipercaya dan komprehensif berdasarkan profile emisi dan kapasitas sink. Untuk memenuhi persyaratan tingkat kepercayaan yang tinggi dan berkualitas INCAS mengintegrasi informasi dari sektor kehutanan dan pertanian seperti: biomass dan pertumbuhan, perubahan penutup lahan, management dan penggunaan lahan, iklim dan tanah, Spatial and Temporal Eco Modeling untuk menyediakan profile emisi yang mapan. Kedeputian Bidang Penginderaan Jauh – LAPAN, dalam INCAS mempunyai peran untuk melakukan pengolahan data penginderaan jauh dalam hal ini melakukan proses klasifikasi kelas hutan dan non hutan data multitemporal dengan tujuan untuk mendapatkan informasi
INDERAJA | Volume II • No. 2 | Juli 2011
Peserta Worskhop dan Experts dari CSIRO secara digital dan kuantitatif tentang perubahan penutupan hutan di Indonesia. Data yang digunakan berasal dari USGS, GISTDA, Geosciences Australia dan LAPAN yang seluruhnya berjumlah 4396 scenes. Proses pengolahan data meliputi : scene selection, ortho-rectification dan terrain illumination correction, cloud masking, mosaicking dan klasifikasi. Proses dilaksanakan di LAPAN Jakarta dan di CSIRO MIS (Commonwealth Scientific Industrial Research Organization Mathematics Informatics and Statistics) Perth - Australia. Untuk proses klasifikasi dilakukan pada “Forest Classification Workshop” di CSIRO-MIS Perth Australia, tepatnya dari tanggal 2 - 20 Mei 2011. Workshop ini diikuti oleh 3 instansi Pemerintah dan 1 LSM dari Indonesia yang terdiri dari: LAPAN (3 orang: Ita Carolita, Dianovita, dan Rossi Hamzah,) Dinas Kehutanan Propinsi Kalimantan Timur (1 orang: Jhon Andreas),
65
Berita Ringan Pengarahan dari Fasilitator/ Expert CSIRO
Pengarahan dari Fasilitator/ Expert CSIRO
Bakosurtanal (2 orang: Habib dan Prita Prada Bumi) dan KFCP Kalimantan Tengah (1 Orang : Faturahman) Worskhop bertujuan untuk melakukan pengumpulan data dan informasi tutupan lahan untuk seluruh wilayah Kalimantan baik dari citra resolusi tinggi, data lapangan dari beberapa instansi dan lokal knowladge dari peserta workshop; memahami konsep serta proses klasifikasi digital hutan – non hutan untuk mendukung kegiatan INCAS, membangun probabilitas hutan untuk seluruh wilayah kalimantan pada tahun 2008 Pada Workshop dilakukan diskusi, dan pengolahan data. Pengolahan data diawali dengan penentuan wilayah
Proses Pengolahan Data
atau zone yang akan dikerjakan oleh masing2 peserta praktikum, pengambilan sample dengan pengisian atribut melalui informasi kunci interpretasi visual, data resolusi tinggi dan local knowledge, penentuan indeks dan threshold, membangun probabilitas hutan pada zone yang ditentukan, penentuan batas yang tepat pada citra yang sesuai dengan indeks dan threshold yang digunakan. Output dari proses ini adalah probabilitas hutan untuk wilayah Kalimantan tahun 2008 yang akan digunakan sebagai dasar penentuan probabiliti hutan pada wilayah Kalimantan untuk tahun citra yang lain. (IC, DV, RH)
66
INDERAJA | Volume II • No. 2 | Juli 2011
Peristiwa dalam Gambar
Gambar 1. Dekan Fakultas Geografi UGM saat meresmikan Pembukaan Olimpiade Geografi Nasional.
LAPAN turut berkontribusi pada Pameran dan Olimpiade Geografi di Kampus Universitas Gajah Mada (UGM), Yogyakarta
P
ada tanggal 12 Februari 2011, Olimpiade Geografi Nasional Tingkat SMA 2011 mengambil tema “Geografi dalam mitigasi bencana dan pengelolaan lingkungan” diselenggarakan di Aula Fakultas Geografi Kampus Universitas Gajah Mada (UGM). Acara Olimpiade Geografi Tingkat Nasional ini dibuka oleh Dekan Fakultas Geografi UGM Prof. Suratman. Adapun maksud dari pengambilan tema ini adalah untuk mensosialisasikan ilmu geografi dan kontribusinya untuk pengambilan keputusan dan penanganan mitigasi bencana serta permasalahan lingkungan. Acara ini juga untuk menanamkan kesadaran mengenai peran penting ilmu geografi dalam tata hubungan antara pelaksanaan pengelolaan sumber daya alam dan penyelarasan lingkungan. Olimpiade ini merupakan bentuk implementasi dari sebuah bidang keilmuan dan sekaligus mendidik generasi muda yang tanggap terhadap masalah bangsa, terutama yang terkait dengan wilayah/ ruang, aset sumber daya alam dan lingkungan serta mitigasi bencana. Kontribusi Ilmu Geografi
INDERAJA | Volume II • No. 2 | Juli 2011
dalam mitigasi bencana dan pengelolaan lingkungan dipilih sebagai tema karena sesuai dengan masalah yang terjadi di Indonesia. Hal ini didasari atas keprihatinan terhadap lemahnya pemahaman masyarakat dalam mitigasi bencana, sehingga mengakibatkan jatuhnya banyak korban dan juga proses pemulihan yang lama. Melalui olimpiade ini diharapkan kemampuan pemahaman dan keterampilan dalam bidang ilmu geografi khususnya untuk mitigasi bencana dan pengelolaan lingkungan dapat meningkat. Olimpiade ini juga dimaksudkan untuk menamankan nilainilai tanggap bencana sejak dini, khususnya pada siswasiswi di tingkat SMP dan SMA. Selain Olimpiade Geografi juga diselenggarakan kegiatan Pameran, dan LAPAN turut berpartisipasi dengan menampilkan panel-panel Peta Citra Satelit, Brosur, BukuBuku, dan Album Pulau-Pulau Kecil Terluar. Diharapkan produk ini dapat bermanfaat dan memberikan informasi dalam upaya mitigasi bencana dan pengelolaan lingkungan berkelanjutan di Indonesia.
67
Peristiwa dalam Gambar
Gambar 2. Pemandu pameran dari LAPAN saat memberikan penjelasan kepada pengunjung.
Bersamaan dengan diselenggarakannya Olimpiade juga diadakan Workshop dan Seminar Geografi bagi para Guru Mata Pelajaran Geografi yang mendampingi/ membimbing para Siswa Peserta Olimpiade. Adapun tema seminar ini adalah “Analisis Dampak Bencana dan Usaha Penanggulangannya melalui Aplikasi Sistem Informasi Geografis. Dimana data inderaja memiliki keunggulan karakteristik, seperti: multi spasial, spektral dan temporal ini sehingga dapat digunakan untuk melakukan analisis terhadap perubahan tutupan lahan dan juga dapat dimanfaatkan untuk mitigasi bencana. Pengembangan analisis informasi tutupan lahan dan mitigasi bencana dapat dilakukan dengan berbagai cara, yakni
melalui inventarisasi sumber daya alam, pemantauan kondisi lingkungan, pemanfaatan sumber daya alam berwawasan lingkungan, pemantauan perubahan tutupan lahan serta pengelolaan wilayah dan lingkungan. Kegiatan Olimpiade ini terselenggara didukung oleh Kantor Kementerian Lingkungan Hidup, Badan Nasional Penanggulangan
Bencana
(BNPB),
LAPAN,
LIPI,
dan
BAKOSURTANAL. Pada kesempatan ini, LAPAN menawarkan bentuk kegiatan kerjasama yang terkait dengan pemanfaatan teknologi penginderaan jauh kepada seluruh peserta dalam acara Olimpiade Geografi di UGM Yogyakarta.(AK)
Gambar 3. Kabag Humas, Peneliti Pusdata dan Pusfatsatklim LAPAN saat memberikan paparan.
68
INDERAJA | Volume II • No. 2 | Juli 2011
Peristiwa dalam Gambar
Kunjungan Mahasiswa Jurusan MIPA Fakultas Sain dan Teknik Universitas Jenderal Soedirman - Purwokerto ke Pusat Data Penginderaan Jauh Kepala Bidang Penyajian Data Ir. Yuliantini Erowati, M.Si (berdiri kedua dari kanan) didampingi oleh staf Pusdata Andie Setiyoko, ST, M.T (berdiri paling kanan) dan Abdul Kholik, SH (berdiri paling kiri), berfoto bersama rombongan Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto Fakultas Sain dan Teknik Jurusan MIPA di depan kantor PUSDATA – LAPAN
S
elasa, 25/01/11, Pusat Data Penginderaan Jauh LAPAN menerima kunjungan Mahasiswa Program Studi Fisika Jurusan MIPA Fakultas Sain dan Teknik - Universitas Jenderal Soedirman (UNSOED). Rombongan Mahasiswa/i jumlahnya terdiri dari 29 orang dan 2 orang Dosen Pedamping, Jamrud Aminudin, M.Si dan Senah, M.Si. Acara kunjungan diterima langsung oleh Kepala Bidang Penyajian Data LAPAN Ir. Yuliantini Erowati, M.Si dan didampingi oleh Andie Setiyoko, ST, M.T. Didalam sambutannya Ir. Yuliantini Erowati, M.Si menyampaikan ucapan terima kasih atas kunjungannya ke fasilitas penginderaan jauh LAPAN. Tentunya dengan waktu yang sangat singkat ini dapat dimanfaatkan dengan sebaikbaiknya. Pada kesempatan tersebut juga disampaikan, bahwa tidak menutup kemungkinan Mahasiswa/i UNSOED dapat melakukan Pratek Kerja Lapangan (PKL) maupun Tugas Akhir di LAPAN dan kami dengan senang hati akan siap membantu. Pada kesempatan lain, sebagai Ketua rombongan Jamrud Aminudin, M.Si dalam sambutannya, menyampaikan ucapan terima kasih atas dibukanya kesempatan bagi mahasiswa/i untuk melakukan Pratek Kerja Lapangan maupun Tugas Akhir di LAPAN dan informasi ini nantinya akan disampaikan ke Pimpinan/ Rektor. Juga ditambahkan, bahwa maksud dan tujuan kedatangan/ kunjungan rombongan ke Fasilitas Pusat Data Penginderaan Jauh LAPAN adalah ingin mengetahui lebih dekat tentang contoh data citra satelit inderaja, fasilitas peralatan, produksi data dan informasi inderaja. Serta harapannya mudah - mudahan acara kunjungan ini dapat menambah wawasan ilmu pengetahuan
INDERAJA | Volume II • No. 2 | Juli 2011
tentang teknologi inderaja bagi para mahasiswa/i. Setelah memberikan kata sambutan, kemudian acara dilanjutkan dengan pemaparan yang disampaikan oleh Andie Setiyoko, ST, M.T tentang Tugas dan Fungsi LAPAN khususnya pada Kedeputian Bidang Penginderaan Jauh, Informasi perkembangan teknologi penginderaan jauh serta Sistem Akuisisi (instalasi/ stasiun bumi) yang dimiliki oleh LAPAN. Instalasi/ stasiun bumi ini dapat menerima dan merekam data satelit penginderaan jauh, yaitu : Instalasi Inderaja Sumber Daya Alam yang berlokasi di Parepare - Sulawesi Selatan, Instalasi Inderaja Cuaca di Biak - Papua dan Instalasi Lingkungan dan Cuaca di Pekayon - Jakarta Timur. Adapun data satelit inderaja yang dapat diterima diantaranya, yaitu: Landsat, SPOT, ERS, MODIS, NOAA, FengYun dan MTSAT. Dari berbagai jenis data inderaja tersebut, masing-masing mempunyai spesifikasi yang berbeda. Produk aplikasi/ informasi yang dihasilkan sangat beragam dan bermafaat bagi masyarakat. Juga disampaikan bahwa, LAPAN selalu berupaya untuk mendukung dan berperan serta pada program pembangunan baik di pusat maupun daerah. LAPAN juga siap melakukan kegiatan kerjasama dengan Instansi Pemerintah Pusat dan Daerah, Polri, TNI, BPK, BPS, BIN dan lain sebagainya. Selesai acara tanya jawab dilanjutkan dengan meninjau ke fasilitas peralatan sistem produksi data dan informasi inderaja yang ada di Satuan Kerja Pusat Data - LAPAN Pekayon. (BH)
69
Peristiwa dalam Gambar
Bimbingan Teknis ”Pengolahan Data Inderaja Untuk Mendukung Pertahanan Dan Keamanan” (Pekayon - Jakarta, 21 Februari s/d 4 Maret 2011)
S
enin, 21/2/2011, Pusat Data Penginderaan Jauh di Kedeputian Bidang Penginderaan Jauh LAPAN pada awal kegiatan Tahun Anggaran 2011 melaksanakan program Bimbingan Teknis (Bimtek). Kegiatan Bimtek ini diikuti oleh peserta dari berbagai institusi antara lain: TNI AL 15 orang peserta, Direktorat Topografi AD (Dittopad) 3 orang peserta, Badan Inteljen Negara (BIN) 2 orang peserta, dan Badan Koordinasi Keamanan Laut (Bakorkamla) 2 orang perserta. Deputi Bidang Penginderaan Jauh Bapak Ir. Nurhidayat Dipl. Ing dalam acara sambutan pada pembukaan Bimtek menyampaikan pesan kepada Peserta Bimtek maupun para Instruktur agar dapat menggunakan kesempatan ini, karena kegiatan ini merupakan salah satu momentum yang baik dalam meningkatkan kemampuan sumber daya manusia di bidang pengolahan data penginderaan jauh. Harapan Deputi Inderaja Ir. Nurhidayat Dipl. Ing, dengan adanya kegiatan bimtek ini dapat bermanfaat dimasa yang akan datang serta untuk membangun networking antar institusi di bidang analisis data citra satelit. Sehingga dapat memperlancar kegiatan distribusi informasi tentang pemanfaatan teknologi dan data penginderaan jauh di tanah air. Juga disampaikan oleh Deputi Inderaja Ir. Nurhidayat Dipl. Ing bahwa, LAPAN merupakan lembaga/ institusi Bank Data Inderaja Nasional siap untuk membantu penyediaan data penginderaan jauh melalui berbagai kegiatan kerjasama. Selanjutnya dalam sambutan Kadis Informasi Pengolahan Data AL (Infolahtal) Bapak TNI AL Laksamana
70
Pertama Iwan Kustiyawan, S.IP, MM menyampaikan pesan bahwa kegiatan Bimtek yang dilaksanakan dalam waktu yang relatif singkat dan sangat baik ini agar dimanfaatkan dengan baik. Kegiatan Bimtek dilaksanakan untuk meningkatkan kontribusi dan peran serta aparat terkait guna mendukung Pertahanan dan Keamanan yang mandiri melalui pemanfaatan Teknologi dan Data Citra Satelit Penginderaan Jauh. Kadis Infolahtal juga menyampaikan ucapan terima kasih kepada LAPAN yang telah memberikan kesempatan kepada kami untuk mengikuti Bimbingan Teknis. Setelah acara sambutan, dilanjutkan pembukaan kegiatan Bimbingan Teknis dengan tema: ”Pengolahan Data Inderaja untuk Mendukung Pertahanan dan Keamanan”. Dan secara simbolis Deputi Inderaja Ir. Nurhidayat Dipl. Ing beserta Kadis Infolahtal Bapak Laksamana Pertama Iwan Kustiyawan S.IP, MM menyematkan tanda peserta perwakilan dari TNI AL Mayor Laut (KH) Ali Agus, S.Kom dan Ellys Dyah Permatasari dari Badan Inteljen Negara. Acara pembukaan dihadiri oleh para undangan Pejabat Struktural pada Kedeputian Bidang Inderaja dan perwakilan dari TNI AL serta Dittopad. Kegiatan Bimtek dilaksanakan selama 10 hari kerja dimulai dari tanggal 21 Februari s/d 4 Maret 2011. Materi Bimtek yang diberikan adalah teknik pengolahan data satelit penginderaan jauh untuk mendukung kegiatan pertahanan dan keamanan NKRI menggunakan software ER Mapper, Arc View dan Arc GIS, pemakaian alat GPS, pembacaan Peta Survei Lapangan yang sudah dilengkapi dengan titik lokasi survey serta Kamera digital. (BH).
INDERAJA | Volume II • No. 2 | Juli 2011
eM 00 23 PPPP T jet PPPPP gn esi PPPPP D HP PPPPP
FP
HP De s ig n je
t T770
s e r ie s
Free Consultation
Demo Print
PuPPlPes PlPtteP for more information and assistance, please contact : PT. CENTRAL PLOTTER INDONESIA
Jln. Dr. Saharjo No.76-B, Manggarai - Jakarta Selatan 12850 Telp. (021) 8309744, 8305434, 8309686 - Fax. (021) 83706763 Email :
[email protected] - Website : www.centralplotter.com Contact Person : Dodo (0852.20212714), Tuti (0816.1432984)
SUPPLIES & SUPPORT • Printing Peta & Jilid Album • Ink Cartridge & Printhead • Inkjet Media / Roll Paper • Maintenance & Service • Personal Computer • Software ESRI • Notebook • Printer • Networking
Kepada, Yth:
Majalah Inderaja - LAPAN
Para Peneliti/ Perekayasa di Bidang Pemanfaatan Teknologi dan Aplikasi Penginderaan Jauh Pada Tahun anggaran 2011 kami bermaksud menerbitkan Majalah INDERAJA Volume II, No. 3, Desember 2011. Untuk terbitan edisi berikutnya, kami mengundang Bapak/ Ibu Peneliti/ Perekayasa mengirimkan tulisan/ artikel yang berisi informasi teknologi maupun aplikasi untuk mendukung kegiatan pembangunan diberbagai sektor terutama dengan menggunakan data penginderaan jauh (inderaja) sebagai data utama. Tema untuk penerbitan majalah Tahun Anggaran 2011 adalah: “Kajian dan Diseminasi Hasil Litbang Teknologi Penginderaan Jauh” Naskah di sampaikan ke Sekretariat Majalah Inderaja – Bidang Penyajian Data, kami tunggu sampai dengan akhir Oktober 2011. Teknis Penulisan Makalah: Naskah ditulis dalam Microsoft Word, Huruf : Arial Size : 12 Spasi : 1½ Gambar/ foto dibuat dalam file tersendiri Format : Tiff Ukuran resolusi : 300 Dpi (Minimal) Grafik/ tabel : Microsoft Excel. Majalah Inderaja didistribusikan kepada Bappeda Provinsi, Kabupaten, Kota seluruh Indonesia sebagai segmen utama pembaca, beberapa Perpustakaan Perguruan Tinggi, Kegiatan Pameran dan Bimbingan Tekins (inderaja). Pekayon, Juli 2011 Ttd Dewan Redaksi
POSTER
INDERAJA | Volume II • No. 2 | Juli 2011
73
POSTER
74
INDERAJA | Volume II • No. 2 | Juli 2011
POSTER
INDERAJA | Volume II • No. 2 | Juli 2011
75
POSTER
76
INDERAJA | Volume II • No. 2 | Juli 2011
POSTER
INDERAJA | Volume II • No. 2 | Juli 2011
77
POSTER
78
INDERAJA | Volume II • No. 2 | Juli 2011
POSTER
INDERAJA | Volume II • No. 2 | Juli 2011
79