indeks pengantar redaksi
...................... 2
fokus Kecamatan : Simpul Perencanaan Partisipatif................................... 4 Dana Alokasi Khusus Sebagai Alternatif Pembiayaan Program Pemberdayaan Masyarakat .................................. 6
Foto
: Sekretariat PNPM-PISEW Nasional
selayang pandang Hafrizal : Berharap Aspirasi Masyarakat Terwujud ................................... 8
BAPPENAS
inspirasi Kisah Negeri Belalang ....................10
PELINDUNG Deputi Bidang Pengembangan Regional dan Otonomi Daerah
aktualita Urgensi Identifikasi, Pemantauan dan Evaluasi kebijakan Daerah di Kabupaten Penerima PNPM-PISEW................... 12
artikel Peran Perempuan Dalam Transparansi Pelaksanaan PNPM-PISEW .............. 14
news in box
PENERBIT Sekretariat PNPM-PISEW Nasional
PEN ANG GUNGJ AWAB PENANG ANGGUNGJ GUNGJAWAB Direktur Pengembangan Wilayah PEMIMPIN RED AKSI REDAKSI Uke M. Hussein WAKIL PEMIMPIN RED AKSI REDAKSI Zaenal Arifin RED AKSI REDAKSI MZ. Masngudi Ahmad Yani Nurkholis Novi Mulia Ayu Agung Tatrawardhana LAY-OUT & PRINTING M. Fitrohayana
................................ 15
DISTRIB USI & ADMINISTRASI DISTRIBUSI Dina Fitria Suradi AL AMA T PENERBIT ALAMA AMAT Sekretariat PNPM-PISEW Nasional Jl. Syamsu Rizal No. 2, Menteng Jakarta Pusat 10310 Telp. (021) 31901201, Fax (021) 3156536 e-mail :
[email protected] www.pnpm-pisew.org
Redaksi menerima tulisan dan artikel dari pembaca yang dapat dikirimkan ke alamat penerbit. Tulisan dan artikel dalam buletin ini tidak selalu mencerminkan opini Penerbit (Sekretariat PNPM-PISEW Nasional).
2
pengantar redaksi Rasa syukur mari kita sampaikan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, atas perkenan-Nya Buletin PISEW edisi II (kedua) pada bulan Nopember 2008 dapat terbit. Kita semua berharap banyak dari buletin ini. Jalinan komunikasi antar pengelola dan pelaku PISEW di Daerah dan Pusat serta antar sesama Program Pemberdayaan Masyarakat dapat terwujud. Kita menginkan untuk menjadi sarana untuk mendengar opini masyarakat, bahkan menjadi medium pembelajaran bersama. Buletin Edisi Perdana (01) telah terbit dengan segala kekurangannya. Kami berupaya untuk melakukan evaluasi secara teknis dan terasa ada beberapa hal yang perlu diperbaiki di Edisi Kedua ini. Jumlah halaman perlu ditambah sehingga lebih banyak yang bisa disampaikan. Konten perlu dipertajam, rubrik suara daerah perlu diadakan, sisi artistik juga perlu dibuat lebih menarik. Berdasarkan wawancara dan diskusi dengan para penerima Buletin Edisi 01 menambah deretan usulan materi bagi buletin mendatang, antara lain: 1.
Rubrik tanya jawab, ruang bagi para pelaku yang ingin memperoleh informasi atas berbagai hal teknis terkait dan kebijakan PISEW.
2.
Ekspose daerah tertentu yang menerima program PNPM-PISEW karena kondisi dan potensi yang dimilikinya, dalam semangat pembelajaran bagi daerah lainnya.
Dengan berbagai tugas berat dalam menyusun PISEW Buletin ini, tentu membutuhkan bukan saja kapasitas terbaik dari para pelakunya, namun juga kesungguhan dan semangat kerja yang tinggi dari Sekretariat PNPMPISEW Nasional. Dan melalui kemudahan komunikasi dari dan antar pelaku serta tersedianya media pembelajaran dalam bentuk buletin ini, kiranya tugas berat ini akan menjadi lebih ringan. Pada Buletin Edisi 02 ini dipilih fokus pada proses kajian perencanaan dan kajian dana alokasi khusus yang saat ini sedang dalam proses finalisasi. Selain itu terdapat paparan tentang gender, transparansi program, catatan hasil lokakarya regional yang diselenggarakan Sekretariat PNPM-PISEW Nasional serta serba-serbi kegiatan FGD dan kegiatan program lainnya. Buletin ini akan menjadi semakin menarik tatkala banyak partisipasi dari para pembaca di dalam memberikan tulisan, foto serta menyampaikan sebanyak mungkin informasi yang ada di lingkungan masing-masing, tentunya yang terkait dengan dengan Program PNPM-PISEW.
Selamat membaca, selamat bekerja.
3
fokus Kecamatan : Simpul Perencanaan Partisipatif
Kecamatan merupakan simpul bagi perencanaan partisipatif. Dengan tersedianya berbagai informasi kebijakan yang memadai akan meningkatkan kemampuan analisis perencanaan di tingkat kecamatan. Di kecamatan inilah diharapkan akan menjadi simpul pertemuan antara proses perencanaan bottom-up dan top-down.
Di Kecamatanlah ternyata terjadi titik temu antara perencanaan dari atas dengan perencanaan dari bawah. Kecamatan merupakan Simpul bagi Perencanan Partisipatif, demikian salah satu hipotesa yang dapat diambil pada FGD Perencanaan Partisipatif di Mamuju Sulawesi Barat. Hipotesa ini lalu di “FGD” kan di sejumlah propinsi lainnya, antara lain di Sumatera Utara, Kalimantan Barat, NTB, Bengkulu, dan lain-lain. Ternyata beberapa peserta memberi hipotesa yang menguatkan hipotesa “Mamuju”. Runut terjadinya hipotesa demikian adalah bahwa di pelaksanaan musrenbang kecamatan - RPJM Kabupaten (yang merupakan bagian dari produk top down planning) dijadikan pijakan pihak Kecamatan di dalam melakukan analisis usulan masyarakat. Sementara itu usulan masyarakat yang sudah dirumuskan di musrenbang desa di”bedah” di kecamatan. Dengan demikian sesungguhnya pembangunan nasional yang selama ini berjalan, kualitasnya amat tergantung kepada kualitas pelaksanaan musrenbang kecamatan. Menyadari pentingnya institusi kecamatan bagi pembangunan nasional, tentunya perlu dikaji lebih jauh bagaimana cara meningkatkan kapasitas kecamatan di dalam penyiapan musrenbang di satu sisi, dan penyelenggaraan pembangunan secara umum di sisi lain. Sementara itu juga disadari bahwa musrenbang (desa dan kecamatan) masih dianggap forum yang sifatnya seremonial dan membosankan akibat pada tahuntahun sebelumnya banyak usulan masyarakat yang tidak terakomodir, tanpa ada penjelasan kepada masyarakat (dispute proposal) terkait dengan dengan
4
usulan yang tidak terakomodir. Akibatnya sudah barang tentu masyarakat menjadi apatis. Persoalan lainnya yang menonjol juga adalah kapasitas para pelaku di tingkat Kecamatan diakui sangat lemah sehingga tidak maksimal dalam melakukan pendampingan musrenbang desa maupun kecamatan. Di tingkat kabupaten di dapat hipotesa bahwa pemda kabupaten kurang “concern” di dalam mengikuti penyelenggaraan musrenbang kabupaten dengan melihat bahwa pada umumnya pejabat (legislatif, bupati dan para kepala SKPD) hanya hadir pada saat pembukaan saja. Justru pada saat terjadi pembahasan detail, mereka tidak merasa berkepentingan untuk mengikuti dengan seksama. Dengan demikian tidaklah mengherankan jika usulan masyarakat amat mudah diintervensi oleh berbagai pihak karena di musrenbang kabupaten, pembahasan dan pengambilan keputusan atas suatu usulan atau gagasan program masyarakat acapkali hanya diputuskan oleh para staf teknis Bappeda maupun staf teknis SKPD. Gambaran umum sebagaimana diinginkan oleh para peserta FGD berkenaan dengan terlaksananya perencanaan partisipatif terdapat dua hal yang harus dilakukan oleh pemerintah. Pertama, perlunya aspiratif terhadap usulan masyarakat, dan sensitif terhadap kebutuhan masyarakat. Pemerintah perlu mengetahui apa yang dibutuhkan oleh masyarakat serta mau mendengarkan apa kemauannya. Kedua, pemerintah perlu mengoptimalkan segenap potensi dan kemampuan yang dimiliki oleh masyarakat dalam melaksanakan perencanaan pembangunan. Pemerintah dan masyarakat harus mampu menciptakan sinergi. Tanpa secara aktif melibatkan masyarakat, pemerintah tidak akan dapat mencapai hasil pembangunan secara optimal dan hanya melahirkan pemerintahan yang otoriter, serta melahirkan produk-produk baru yang kurang berarti
bagi masyarakatnya, tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakatnya. Demikian pula sebaliknya, tanpa peran optimal dari pemerintah, perencanaan pembangunan akan berjalan secara tidak teratur dan tidak terarah, yang pada akhirnya akan menimbulkan permasalahan baru. Selain memerlukan partisipasi masyarakat, perencanaan pembangunan juga membutuhkan strategi yang tepat agar dapat lebih efisien dari segi pembiayaan dan efektif dari segi hasil. Sejalan dengan hal ini dalam UU No. 25/2004, perencanaan pembangunan dan pelaksanaannya harus berorientasi dari bawah keatas dan dari atas bawah dengan mem-peran-aktifkan masyarakat luas, melalui pemberian wewenang dalam perencanaan, pelaksanaan serta manfaat pembangunan di tingkat daerah. Dengan cara ini pemerintah makin mampu menyerap aspirasi masyarakat, yang pada gilirannya kualitas perencanaan pembangunan serta pelaksanaannya dapat memberdayakan dan memenuhi kebutuhan masyarakat banyak. Keinginan untuk mewujudkan konsep perencanaan pembangunan yang lebih partisipatif seperti dirumuskan pada UU 25/2004, serta secara spesifik diatur melalui Peraturan Pemerintah (PP) 39/2006 tentang Tata Cara Pengendalian dan evaluasi Pelaksanaan Rencana Pembangunan, PP 40/2006 tentang Tata Cara Penyusunan Rencana Pembangunan Nasional serta sistem perencanaan pembangunan dari bawah (bottom up planning). Melalui sistem ini diharapkan terjadi peningkatan mutu perencanaan pembangunan yang komprehensif dan terpadu semakin mampu menjaring aspirasi dan kebutuhan masyarakat. Pelaksanaan perencanaan partisipatif acapkali memang akan mendatangkan dilema akibat kaidahkaidah keilmuan secara komprehensif harus dibenturkan pada peran politis sebagai pendamping, sahabat bagi masyarakat yang memperjuangkan kepentingan-kepentingan mereka pada pemerintah, yang terkadang tidak sesuai dengan kaidah-kaidah teknis. Di sini etika seorang perencana akan teruji.
FGD di 9 provinsi ini bak sebuah wisata. Wisata pemikiran, wisata gagasan, bahkan wisata keluhan. Kalau saya tidak mengeluh ke bapak-bapak yang dari “Pusat” ke siapa lagi kami harus mengeluh? Sekian tahun kami mengikuti musrenbang, sepertinya tak akan pernah berubah, hanya seperti itu-itu saja. Demikian salah satu suara seorang staf kecamatan yang nampaknya masih punya setitik harapan. Kami bermimpi, bahwa suatu saat di sebuah musrenbang desa - seorang Camat mengawali atau membuka acara dengan menampilkan data usalan kami tahun lalu, lengkap dengan catatan mana yang direalisasi, mana yang ditolak, kenapa ditolak, mana yang ditangguhkan ke tahun berikutnya, dan sebagainya. Kami tidak butuh honor. Kalau seorang pejabat pemerintah memulai acara dengan menjelaskan halhal seperti itu, rasanya kami seperti diberi honor yang besar. Honor yang kami butuhkan adalah penghargaan. Demikian ringkasan dari keluhan atau usulan staf kecamatan di acara FGD Bengkulu. “Betul, semua ini seperti sebuah mimpi. Akan tetapi, semua yang besar dimulai dari satu mimpi yang kecil dan dilanjutkan dengan perjuangan dan pengorbanan yang besar. Sekarang tinggal tergantung dari mau atau tidaknya kita untuk mewujudkan mimpi itu. Sebagai penutup, perlu ditegaskan bahwa peran perencana sebagai pihak yang memang harus mampu belajar bersama masyarakat, pihak yang merangkul masyarakat dalam mencapai impian-impian yang selama ini termarjinalkan oleh kekuatan elitis, dan tak pelak hal itu membutuhkan ruang-ruang untuk bersikap kritis dalam kerangka keberpihakan terhadap masyarakat tersebut. DI FGD Perencanaan Partispatif yang sudah dilaksanakan di 9 provinsi dengan melibatkan 32 utusan kabupaten, yaitu para pejabat/staf Bappeda Kabupaten, Camat atau stafnya, dan Bappeda Propinsi, dengan diikuti lebih dari tiga ratus orang, dengan rata-rata dihadiri 30 sampai dengan 40 orang. (MZ Masngudi, Wayan Hartana, Marwa Arsyad Malawat)
Implikasinya akan terlihat pada teori, praktek, dan pembelajaran yang ditunjukkan oleh seorang perencana. Dinamika mekanisme musrenbang di tingkat desa, kecamatan hingga kabupaten yang acapkali dibenturkan pada dilema teknis versus politis ini sangat mengemuka di dalam diskusi-diskusi sepanjang FGD Perencanaan Partisipatif sejak dari Banjarmasin hingga Bengkulu. Dinamika yang mengemuka dalam wujud keluhan, kekecewaan, ketakberdayaan, dan sebagainya ini menjadi sesuatu yang sangat penting untuk dicermati bagi kalangan pelaku dan para “ahli” Pembangunan.
5
fokus
Dana Alokasi Khusus Sebagai Alternatif Pembiayaan Program Pemberdayaan Masyarakat Berbagai inisiatif untuk mengatasi kemiskinan melalui pendekatan pemberdayaan masyarakat (PM) sudah dilakukan sejak belasan tahun lalu. Bahkan sebenarnya sejak sebelum Indonesia menghadapi gelombang krisis pertama di 1997. Program Inpres Dati II sesungguhnya dibangun dalam konstelasi mengatasi kemiskinan dan kesenjangan minus pemberdayaan. Sekedar menyebut beberapa program lain diantaranya adalah, P3DT, P2D, dan PKP2D. Sejak gelombang krisis ekonomi dunia 1997-1998 juga melanda Indonesia, mengatasi kemiskinan melalui pendekatan pemberdayaan seakan-akan menjadi sebuah kewajiban. Dengan lahirnya program Jaring Pengaman Sosial (JPS) yang kemudian disusul dan disempurnakan oleh berbagai program pemberdayaan lainnya seakan-akan cara inilah satu-satunya mengatasi kemiskinan. Namun, segenap inisiatif itu koq selalu datang dari Pusat? Kenapa daerah tidak kunjung terbit inisiatif untuk segera menarik picu menyatakan perang dengan kemiskinan? Jika ditarik alasannya, pasti daerah akan menyatakan tidak punya dana. Berangkat dari situasi inilah, Bappenas melalui PNPMPISEW menggagas untuk mengkaji posibilitas Dana Alokasi Khusus digunakan untuk membiayai programprogram pemberdayaan masyarakat.
6
Pemberdayaan Masyarakat Dalam Penanggulangan Kemiskinan Program Pemberdayaan Masyarakat dipandang sebagai strategi yang tepat didalam mengatasi persoalan kemiskinan dan pengangguran karena dalam pemberdayaan masyarakat menempatkan masyarakat sebagai pihak utama atau pusat pengembangan (people or community centered development) melalui suatu proses yang bertitik tolak untuk memandirikan masyarakat agar dapat meningkatkan taraf hidupnya sendiri dengan menggunakan dan mengakses sumberdaya setempat sebaik mungkin. Salah satu Program Pemberdayaan Masyarakat yang tujuan akhirnya mengurangi tingkat kemiskinan dan angka pengangguran adalah Program Pengembangan Infrastruktur Sosial Ekonomi Wilayah yang dikenal dengan nama PISEW (Regional Infrastructure for Social and Economic Development (RISE) yang telah
dicanangkan oleh Pemerintah secara nasional pada tanggal 6 Agustus 2008 . PISEW berorientasi pada konsep “Community Driven Development (CDD)” dan “Labor Intensive Activities (LIA)”.
Oleh sebab itu daerah dalam membangun sarana dan prasarana fisik lebih mengandalkan dari DAK, hal ini mencerminkan masih tingginya ketergantungan finansial daerah terhadap pemerintah pusat.
Keberlanjutan Suatu Program
Perlunya Sebuah Kajian
Seperti Program Pemberdayaan Masyarakat yang ada selama ini, PNPM-PISEW merupakan program yang didanai oleh anggaran kementerian/lembaga dan merupakan dana Tugas Pembantuan (TP) yang bersumber dari pinjaman Pemerintah Jepang (JBIC) serta akan berakhir pada tahun 2011.
Seperti yang telah disebutkan diatas bahwa PNPMPISEW merupakan program yang didanai oleh anggaran kementerian/lembaga yang merupakan dana Tugas Pembantuan (TP) yang bersumber dari pinjaman Pemerintah Jepang (JBIC) yang akan berakhir pada tahun 2011.
Yang menjadi pertanyaan mendasar adalah bagaimana kebelanjutannya setelah program tersebut berakhir terutama dari sisi pendanaannya ? Karena PNPM-PISEW diharapkan tidak hanya berhenti sebatas proyek namun diharapkan mampu berkelanjutan dengan dana yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) atau sumber pendanaan daerah lainnya. Kemandirian daerah yang terbangun diharapkan menjadi salah satu dari exit strategy setelah selesainya pelaksanaan PNPM-PISEW.
Di sisi lain, pasal 108 UU No. 33 Tahun 2004 mengamanatkan bahwa Dana Dekonsentrasi dan Dana Tugas Pembantuan (Dekon/TP) yang merupakan bagian dari anggaran Kementerian Negara/Lembaga yang digunakan untuk melaksanakan urusan yang menurut peraturan perundang-undangan menjadi urusan daerah, secara bertahap akan dialihkan menjadi DAK.
Permasalahan Pendanaan Di Daerah Peranan pemerintah daerah dalam penanggulangan kemiskinan menjadi makin penting setelah dimulainya pelaksanaan kebijakan otonomi daerah sejak tahun 2001 karena kebanyakan pelayanan publik dan berbagai kebijakan yang secara langsung mempengaruhi kehidupan masyarakat berada di tangan pemerintah daerah Seperti diketahui dalam pasal 157 UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dinyatakan bahwa sumber pendapatan daerah terdiri atas: Pendapatan Asli Daerah, Dana Perimbangan; dan lain-lain pendapatan daerah yang sah . Penerimaan Asli Daerah dapat berasal dari penggalian potensi Daerah yang bisa berupa Pajak Daerah, Retribusi Daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan dan sumber-sumber lainnya yang diperbolehkan oleh undang-undang; sementara Dana Perimbangan berasal dari Pemerintah Pusat yang terdiri atas Dana Alokasi Umum, Dana Bagi Hasil dan Dana Alokasi Khusus, Kunci sukses penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan di daerah pada dasarnya ditentukan oleh kemampuan menggali sumber-sumber keuangan yang murni sebagai pendapatan asli daerah (PAD) untuk dimanfaatkan sebesar-besarnya bagi kepentingan rakyat. Namun dalam berbagai kajian peranan PAD didalam pembiayaan pembangunan ekonomi (APBD) tidak terlalu besar, sedangkan dana perimbangan dari pemerintah pusat dalam bentuk DAU, sekitar 80% nya telah habis digunakan untuk belanja rutin terutama untuk gaji pegawai Pemda.
Keberlanjutan sebuah program diyakini hanya akan terjadi jika ada partisipasi dan dukungan dari pemerintah daerah dan masyarakat itu sendiri. Namun rendahnya kapasitas fiskal menyebabkan terbatasnya kemampuan daerah dalam membiayai penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan di daerahnya. Apabila mencermati substansi Pasal 51 PP No. 55 Tahun 2005 tentang Dana Perimbangan, maka pemanfaatan Dana Alokasi Khusus (DAK) untuk mendanai pembangunan infrastruktur dalam program pemberdayaan masyarakat sangat dimungkinkan. Mengingat sifat kegiatan yang dibiayai dengan dana DAK adalah kegiatan khusus yang merupakan urusan daerah dan merupakan bagian dari program yang menjadi prioritas nasional, serta pemanfaatan DAK juga mengutamakan kegiatan pembangunan dan/atau pengadaan dan/atau peningkatan perbaikan infrastruktur fisik pelayanan dasar masyarakat dengan umur ekonomis yang panjang, termasuk pengadaan sarana fisik penunjangnya Untuk itu diperlukan adanya kajian terkait dengan Prospek Pemanfaatan DAK dalam membiayai Pembangunan Infrastruktur dalam Program Pemberdayaan Masyarakat, dengan harapan PNPMPISEW tidak hanya berhenti sebatas proyek. Namun kelak dapat berkelanjutan atas kemandirian daerah dengan dana yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) dan/atau sumber pendanaan daerah lainnya sebagai salah satu exit strategy setelah selesainya pelaksanaan PNPMPISEW. (Hadi Soedarmadji)
7
selayang pandang Berharap Aspirasi Masyarakat Terwujud Hafrizal Kepala Sub Bidang Pertanian Bappeda Kabupaten Rejang Lebong Provinsi Bengkulu
Melalui PNPM-PISEW ini mekanisme perencanaan masyarakat bisa mengakomodir atau melatih masyarakat ikut bagaimana proses perencanaan dari awal. Untuk mengetahui lebih jelasnya berikut petikan wawancara dengan Kepala Sub Bidang Pertanian Kabupaten Rejang Lebong, Hafrizal disela-sela Lokakarya Regional yang diadakan di Jakarta pada akhir Nopember 2008 lalu.
Bisa anda beri tanggapan mengenai FGD yang dilaksanakan di Bengkulu? Memang dalam forum FGD propinsi kemarin itu masing-masing daerah berupaya mengapresiasikan proses perencanaan PNPM -PISEW ini termasuk permasalahan dan kendala yang ada dibicarakan dalam forum tersebut. Terus terang kita di daerah banyak kendala juga. Namun apakah permasalahn tersebut bisa dipecahkan atau tidak melalui forum ini, kami berharap paling tidak permasalahan di masyarakat bisa dipecahkan, dicari solusinya. Dalam program ini memang ada program pengentasan kemiskinan, kesenjangan antar wilayah tapi kelihatannya di daerah tidak segampang seperti teori yang ada. Kami lihat masyarakat di kecamatan dan desa sangat berharap sekali melalui program ini. Permasalahannya kalau masalah perencanaannya di PNPM-PISEW memang berangkat dari musrenbang kecamatan. Kendalanya kita di program nasional itu yang sudah SPPN UU No 25 tahun 2004 itu menggariskan bahwa perencanaan dari musrenbangdes ke musrenbang kecamatan. Tetapi terkadang masyarakat sudah jenuh dengan musrenbangdes karena masalah perencanaan pembangunan tingkat kecamatan yang merupakan tindak lanjut dari tingkat desa, dimana rasa jenuh timbul karena semua usulan yang disampaikan masyarakat tingkat desa sampai kecamatan terhambat kendala budget yang minim, jadi tidak
8
semua aspirasi masyarakat yang disampaikan ke tingkat kecamatan bisa didanai oleh dana kabupaten. Sehingga usulan-usulan yang ada jarang sekali terimplementasi karena itu pada acara musrenbang kecamatan hanya beberapa orang saja bahkan cukup diwakili oleh kepala desa saja. Nah ini tidak cukup aspiratif karena yang keluar justru bukan aspirasi kebutuhan di wilayah desanya tetapi keinginan salah satu pihak saja. Nah harapan kita paling tidak di PNPM-PISEW ini bisa mengatasi permasalahan yang ada selama ini misalnya masyarakat tingkat desa yang tadinya susah diajak kumpul karena meninggalkan mata pencaharian mereka yang sebagian besar sebagai petani jadi semangat lagi ikut berkumpul. Apa strategi untuk menarik minat masyarakat? Untuk itu salah satunya adalah tidak terlepas dari bagaimana menggalang kepercayaan masyarakat itu tadi. Apa yang mereka usulkan yang menjadi permasalahan mereka itu bisa diangkat dan bisa terwujud sesuai kebutuhan mereka. Selama ini kita akui memang susah. Karena keterbatasan dana maka aspirasi mereka sulit diwujudkan di tingkat kabupaten. Bagaimana dengan tingkat kepedulian pimpinan daerah misalnya Bupati atau pimpinan DPRD dalam penyelenggaraan musrenbang?
Tingkat kepedulian bupati terhadap kegiatan ini saya lihat cukup karena dalam kegiatan kehadiran bupati cukup intens. Namun ada kelemahan juga yaitu masing-masing dinas instansi yang mewakili sektor SKPD masih memiliki ego sektoral yang tinggi sehingga kurang memperhatikan aspirasi masyarakat dari aspirasi musrenbang ini. Karena sebelum musrenbang kabupaten kita ada forum SKPD dimana Pak Camat membawa hasil musrebang kecamatan yang dipaparkan kemudian dinas instansi menyerap dan mengakomodir apa yang disampaikan Pak Camat itu. Namun kadang-kadang dinas instansi ini mengatakan belum pasti dana pusatnya bakal dikucurkan melalui sektornya. Ini juga yang menjadi kelemahan kita pada saat mengevaluasi seberapa jauh aspirasi masyarakat bisa terealisasi melalui SKPD yang ada ini. Kita juga akhirnya susah juga untuk mengevaluasi seberapa jauh aspirasi tadi. Apa saran anda agar musrenbang SPPN kecamatan desa dengan PNPM-PISEW bisa bersinergi? Mestinya kegiatan kita ini kalau memang aspirasi masyarakat sudah terakomodir melalui musrenbangdes tidak perlu lagi ada musrenbang 1,2 3 atau istilahnya apa di kegiatan PNPM PISEW. Kalaupun aspirasi masyakat betul-betul berjalan sesuai mekanisme yang ada di SPPN itu tidak perlu lagi ada acara itu. Cukup kita ambil saja mana hasil musrenbang kecamatan yang tidak terakomodir oleh dinas instansi. Namun kadang-kadang tidak aspiratif karena ini maunya kepala desa sebab dia yang hadir. Maka kita mulai dari awal lagi dari kelompok diskusi 1 2 dan 3 lagi.
Apa tidak minta pendamping dari KPTKP Jakarta untuk hadir dalam diskusi KDS? Terus terang saya sudah curi start dulu untuk pelaksanaan KDS yang jadwalnya tahun depan. Sekarang aja ada masalahnya, konsultan ini malah banyak bertanya ke kita mestinya dia yang mendampingi masyarakat. Nanti mau saja saya minta pusat untuk datang hadir ke KDS. Ini masukan juga terutama tingkat pusat (Cipta Karya) agar merekrut fasilitator kecamatan itu tolonglah kami dilibatkan dari kabupaten karena kalau orang yang tahu wilayah dia sudah mengetahui budaya itu dan gampang bersosialisasi sehingga mudah. Saya lihat konsultan masih banyak yang tidak tahu bahkan ada juga yang direkrut adalah caleg bahkan kepala desa. (Redaksi)
Tetapi di PNPM-PISEW ini juga kita tidak mengabaikan hasil musrenbang kecamatan, tetap kita ambil sebagai sinkronisasi dari hasil musyarawarah di tingkat desa seperti KDS di PNPM PISEW ini kita bawa ke kecamatan untuk kita sinkronisasikan dengan hasil musyawarah di tingkat kecamatan dan kemudian kita sinkronkan juga dengan hasil musrenbang kabupaten. Mana yang pasti dikerjakan di tingkat kabupaten melalui KDS kita keluarkan tetapi mana yang tidak tercover inilah yang akan kita masukan di PNPMPISEW ini. Bagaimana dengan rencana anda untuk Januari, desa mana yang anda back up suoaya jalannya sesuia dengan desain ini? Saya akan mengevaluasi walaupun tidak semua kecamatan, saya akan bagi-bagi dengan rekan-rekan termasuk dengan pihak konsultan masing-masing FD ini sebagai cross check akan hadir di setiap diskusi KDS nanti.
9
inspirasi KISAH NEGERI BELALANG Tanpa etos kerja dan sikap mandiri, bangsa yang makmur di masa lalu akan terjerembab menjadi bangsa medioker dan terjajah. “Ketergantungan hidup pada orang lain adalah sikap yang salah dan fatal akibatnya”
Syahdan, terjadi geger di negeri antah berantah yang dihuni para belalang yang pada masa itu dikenal gemah ripah lohjinawi. Sang Raja suatu pagi memanggil Mahapatih, Panglima dan Penasehat Kerajaan. “Wahai kalian para abdi kepercayaanku, tolong nanti malam kumpulkan para nayaka, senopati dan semua resi di balairung, ada hal penting yang hendak kusampaikan,” titah Sang Raja dengan muka muram.
kerajaan yang berisi tumpukan peti uang yang tak terbilang banyaknya untuk dibuka dan digunakan untuk memenuhi kebutuhan rakyat mungkin sampai tujuh turunan. Raja mewanti-wanti agar separuh peti itu dibagikan ke para Adipati di daerah sebagai modal membangun daerah masing-masing. Kedua, Raja juga mewariskan harta karun lainnya, namun dimana tempatnya baru ditunjukkan satu windu kemudian dalam surat wasiat kedua.
Ketiga petinggi kerajaan itu saling bertukar pandang. Ada apa gerangan karena jarang sekali mengumpulkan para nakaya, senopati dan para resi sekaligus kalau situasi tidak genting.
Dalam hitungan tidak lebih dari tiga musim semi, geger lengsernya raja hilang tak berbekas dan berubah menjadi euforia. Mereka lupa etos kerja yang ditanamkan raja mereka. Tak ada lagi yang secara sukarela bekerja keras, toh dengan harta berpetipeti warisan Raja apapun bisa mereka beli. Para Adipati di daerah kini menobatkan diri sebagai kaisarkaisar kecil yang seolah-olah berhak melakukan apa saja. Mereka berfoya-foya tanpa terkendali, malah sengketa antar raja kecil belalang antar daerah kian merebak.
Malam harinya, suasana balairung ramai bak dengung ribuan tawon yang gelisah. Rasa penasaran tampak dari raut muka para nakaya, para senopati dan para resi. Raja berdehem sebelum kemudian membuka pertemuan, kemudian dikeluarkannya dua gulungan lontar dari balik jubahnya. Secara singkat dan tanpa membuka gulungan lontar, Raja mewartakan ketetapan hatinya untuk berhenti menjadi raja dan ingin menjadi rakyat jelata. Suasana balairung jadi geger, kenapa gerangan raja mereka menyatakan “lengser keprabon madheg pandhito ratu”. Setelah suasana terkendali, Raja memberikan dua gulung lontar tadi kepada Mahapatih. Pesan Raja, gulungan lontar pertama dibacakan sepertanak nasi setelah raja meninggalkan kotaraja. Gulungan kedua hanya boleh dibuka satu windu (8 tahun, red) kemudian. Setelah itu, Raja meninggalkan istana dan menghilang di tengah gelapnya malam. Secara alamiah, lengsernya raja alias suksesi adalah sesuatu yang lumrah. Namun negeri belalang tidak kenal istilah suksesi karena begitu cintanya pada rajanya. Tak pelak ketika tak seorangpun ditunjuk sebagai pengganti, seketika timbul keresahan nasional. Apalagi status raja juga membujang dan sebatang kara. Dalam lontar pertama yang dibacakan Mahapatih, pertama, Raja menitahkan agar gudang harta
10
Harta peninggalan Raja yang seharusnya cukup tujuh turunan, ternyata ludes tak berbekas dalam hitungan tiga tahun saja. Tidak untuk modernisasi angkatan perang atau memperbaiki infrastruktur wilayah, melainkan habis untuk membeli barang-barang konsumtif simbol modernisasi seperti i-Pod dan lainnya. Kaum belalang menjadi bangsa yang konsumtif. Negeri-negeri jiran yang jeli menangkap fenomena ini kemudian terus membanjiri negeri belalang dengan berbagai barang impor simbol modernisasi. Tak perlu bayar cash malah karena para tauke negeri jiran juga menyediakan kredit ekspor dengan bunga rendah plus diskon pula. Mulailah praktik gali lobang tutup lobang berkembang di negeri untuk menutup borosnya biaya hidup kaum belalang. Seisi negeri selama empat tahun penuh hiruk-pikuk. Euforia membuncah. Mereka menertawakan raja yang dulu kikir. Ah, pantas saja dulu raja tak mampu menaklukkan hati ratu kupu-kupu, siapa sudi punya
raja sekaligus suami yang kikir, demikian cela mereka. Padahal kini dengan harta peninggalan raja, mereka mampu “menaklukkan” para kupu-kupu itu meski barang semalam. Tak ada yang terlewatkan begitu seterusnya sepanjang malam sepanjang tahunnya. Sampai kemudian Mahapatih mewartakan agar seluruh negeri belalang mengecangkan ikat pinggang karena harta peningglana raja telah habis. Namun kaum belalang bergeming, lantas mereka teringat masih ada harta karun raja lainnya. Tak usah menunggu tiga tahun lagi, mereka memaksa Mahapatih segera membuka isi surat kedua. Namun Mahapatih tidak menggubrisnya, sehingga para Adipati naik pitam dan sepakat menjebloskan Mahapatih kedalam penjara dengan dalih menghalangi kemajuan negeri. “Kawan-kawan, kita masih punya waktu tiga tahun lagi sebelum harta karun raja dibagikan kembali. Rasa-rasanya negeri-negeri tetanggapun masih bisa berbaik hati untuk meminjami kita,” ketus Adipati Belalang Keling yang memiliki postur tubuh paling besar diantara lainnya. Akuuurr, demikian kemudian terdengar koor serempak para adipati belalang di balairung. Mereka sepakat untuk tetap meneruskan gaya hidup mewah sembari menunggu harta karun raja dibagikan tiga tahun kemudian. Tak ada yang peduli untuk bekerja mengumpulkan putik sari ataupun berlatih tempur, mereka kembali tenggelam dalam gelimang kemewahan. Entah sudah berapa banyak bill atau surat utang mereka tanda tangani. Mereka sudah tidak peduli, melihat isinya pun tidak. Tak terasa tiga tahun dilalui. Para rentenir dari negeri jiran mulai berdatangan untuk menagih piutang mereka. Kini para belalang yang berkumpul di balairung pun mengharap-harap cemas berapa masing-masing dari mereka akan mendapatkan jatah dari harta karun raja. Mereka kemudian membebaskan Mahapatih dari penjara. Maka Mahapatih pun kemudian membacakan wasiat terakhir Sang Raja, yang bunyinya: Para kawulaku, Aku sudah menduga bahwa sepeninggalanku kalian akan kehilangan kendali. Kalian mungkin berpikir bahwa aku akan meninggalkan harta karun yang lebih banyak lagi. Namun ketahuilah, harta karun yang hakiki itu sebenarnya ada pada diri kalian sendiri: kerja keras dan disiplin. Dengan harta karun yang aku tanamkan selama bertahun-tahun itulah selama ini negeri kita mampu selalu unggul dari negeri jiran dalam berbagai hal. Isak-tangis kembali membahana di balairung, kali ini nadanya putus asa. Di hadapan para rentenir negeri jiran mereka tidak punya apa-apa lagi untuk membayar utang. Untuk berperang pun mereka sudah tidak mampu. Tanpa senjata, tanpa pemimpin,
apalagi tubuh mereka sudah terlalu tambun mirip babi-babi. Akhirnya mereka menyerah dan menyatakan takluk kepada pasukan kumbang. Sejak saat itu, negeri belalang bukan lagi merupakan negeri mercu suar tetapi negeri jajahan dari negeri-negeri jiran yang dulu menjadi taklukan mereka. Penduduknya setiap hari bekerja keras, bahkan lebih keras ketimbang semasa raja belalang masih ada. Hidup bagi bangsa belalang ibarat kini sebuah guyon yang mengerikan (a terrible joke). Mereka bukan lagi bekerja untuk menimbun persediaan untuk musim gugur ke dalam gudang-gudang kerajaan, tetapi hanya sekedar untuk membayar utang dan bunganya kepada para tauke dari negeri jiran. Para pembaca yang budiman, cerita inspirasi di atas diilhami oleh cerita klasik kuno dari motivator kondang Andrie Wongso tentang kisah “Menggantungkan hidup dari belas kasihan dan bantuan orang lain adalah sikap hidup yang salah dan fatal” (cuo wu de yi lai). Bangsa belalang yang di masa nenek moyangnya demikian makmur harus terjerembab secara tragis menjadi bangsa medioker dan terjajah. Uniknya kekalahan bukan karena mereka kalah perang secara fisik, jumlah mereka masih lebih banyak ketimbang kumbang maupun kupu-kupu. Mereka menjadi pecundang karena lepas kendali dan sangat bergantung terhadap pralambang atau simbol, yaitu sosok Raja yang menyediakan segala kebutuhan mereka selama ini. Hidup kaum belalang sesuai benar dengan kondisi yang digambarkan budayawan almarhum Nurcholish Madjid, dalam tulisannya A Terrible Joke yang pernah dimuat Tabloid Tekad beberapa tahun silam. Cak Nur menulis bahwa sebagian manusia mengatakan bahwa hidup ini semata-mata gejala alam, sama dengan gejala alam manapun juga. Tidak relevan mempertanyakan dari mana, menuju kemana, apakah ada makna hidupnya. Semuanya absurd. Meminjam ungkapan Albert Camus bahwa “all that was is no more, all that will be is not yet, and all that is no sufficient” (semua yang lalu itu tidak ada lagi, apa yang akan ada itu belum lagi ada, dan yang ada sekarang tidaklah memuaskan). Hidup sekedar menjalani, tanpa pilihan. Alangkah tragisnya hidup seperti ini. Kondisi kaum belalang yang putus asa juga kemudian digambarkan pula secara satir oleh Filsuf Dorrow dan Schoppenhauer dalam nada yang lebih pesimis lagi yaitu: karena manusia yang hidup pasti akan mati, dan kematian adalah suatu kemestian yang paling mengerikan, maka hidup ini benar-benar sebuah “guyonan yang mengerikan” (terrible joke). (Ahmad Yani)
11
aktualita
Deputi Menneg PPN/Kepala Bappenas Bidang Pengembangan Regional dan Otonomi Daerah, Max H. Pohan, didampingi Direktur Pengembangan Wilayah Bappenas, Arifin Rudiyanto, saat memberikan arahan pada peserta Lokakarya Regional
Urgensi Identifikasi, Pemantauan dan Evaluasi Kebijakan Daerah di Kabupaten Penerima PNPM-PISEW
Implementasi kebijakan otonomi daerah di Indonesia membawa implikasi semakin meningkatnya kewenangan dan tanggung jawab Pemerintah Daerah, terutama dalam menyusun dan menetapkan kebijakan daerah yang bermuara pada peningkatan kesejahteraan masyarakatnya. Dalam pelaksanaannya, kebijakan daerah yang seharusnya tersedia, justru belum disusun oleh Pemda. Kondisi yang lain, kebijakan yang sudah ditetapkan acapkali tidak memiliki benang merah dengan kebijakan di tingkat nasional. Bappenas selaku Coordinating Agency PNPM-PISEW dan sebagai institusi perencana memandang perlunya identifikasi sejak awal pelaksanaan program Tahun 2008 terhadap ketersediaan (baseline) kebijakan daerah yang terkait dengan 3 (tiga) tujuan PNPM-PISEW pada Tahun 20092011. Selanjutnya melalui instrumen pemantauan dan evaluasi kebijakan, dapat diketahui sejauhmana efektivitas dan relevansi kebijakan tersebut dalam mendukung keberhasilan pencapaian tujuan PNPM-PISEW. Dalam jangka menengah, penyiapan kebijakan daerah akan menjadi salah satu prasyarat penting agar Pemda dapat melaksanakan program secara mandiri pada Tahun 2012.
Demikian pokok-pokok pemikiran dalam Lokakarya Regional dengan tema “Sosialisasi Mekanisme Pemantauan dan Evaluasi serta Hasil Identifikasi Kondisi Awal Kebijakan Daerah Kabupaten Penerima PNPM-PISEW” yang diselenggarakan Sekretariat PNPMPISEW Nasional pada akhir November 2008 di Hotel Bumikarsa-Bidakara Jakarta. Dalam lokakarya ini, para peserta berkesempatan berdiskusi langsung dengan Deputi Menneg PPN/Kepala Bappenas Bidang Pengembangan Regional dan Otonomi Daerah, Max H. Pohan dan Direktur Pengembangan Wilayah, Bappenas, Arifin Rudiyanto, serta dengan para pemakalah yaitu Ketua Sekretariat PNPM-PISEW Nasional, Uke M. Hussein, dan PPK Satuan Kerja PISEW-Bappenas TA 2008, Zaenal Arifin, terkait dengan perkembangan kebijakan pembangunan nasional, pembangunan daerah dan relevansinya dengan Program PNPM-PISEW. Sehubungan dengan fungsi dan peran Bappenas sebagai Coordinating Agency dalam PNPM–PISEW yang bertanggung jawab dalam hal koordinasi, penguatan kebijakan dan pengembangan program, maka Satuan Kerja PISEW-Bappenas melakukan dua studi, yaitu : (1) studi Identifikasi Kondisi Awal Kebijakan Daerah di Kabupaten Penerima PNPM-PISEW dan (2) studi Penyusunan Prosedur dan Mekanisme Pemantauan dan Evaluasi Kebijakan Daerah di Kabupaten Penerima PNPM-PISEW, yang keduanya difokuskan pada bagaimana mendukung keberhasilan pencapaian tujuan program dari aspek kebijakan. Kebijakan daerah yang menjadi fokus identifikasi, pemantauan dan evaluasi adalah kebijakan yang terkait dengan tiga tujuan PNPM-PISEW, yakni Pengurangan Kesenjangan Wilayah, Penguatan Kapasitas Aparatur dan
12
Kelembagaan Pemda serta Institusi Lokal di Tingkat Desa, dan Pengurangan Tingkat Kemiskinan dan Angka Pengangguran. Indikator kebijakan daerah yang disusun dalam studi didasarkan pada beberapa peraturan perundangan yang terkait dengan tiga tujuan tersebut diatas, antara lain: UU No. 25/2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah, UU No. 33/2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pusat dan Daerah, UU No. 26/2007 tentang Penataan Ruang serta PP No. 38/ 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota. Sesuai definisi dalam PP No. 6/2008, kebijakan daerah adalah arah dan/atau tindakan yang diambil oleh kepala daerah dan DPRD baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama yang dituangkan dalam peraturan daerah, peraturan kepala daerah, keputusan kepala daerah, keputusan DPRD, atau keputusan pimpinan DPRD. Sedangkan prosedur dan mekanisme pemantauan dan evaluasinya disusun berdasarkan pada PP No. 79/2005 tentang Pedoman Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, PP No. 39/2006 tentang Pengendalian dan Evaluasi Pelaksanaan Perencanaan Pembangunan, PP No. 6/2008 tentang Pedoman Evaluasi Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, dan Permendagri No. 23/2007 tentang Pedoman Tatacara Pengawasan Atas Penyelenggaraan Pemerintah Daerah. Forum sosialisasi
Pelaksanaan lokakarya merupakan forum sosialisasi hasil dari kedua studi diatas sekaligus sebagai sarana untuk membentuk jejaring kelembagaan dalam rangka pemantauan dan evaluasi perkembangan penyusunan kebijakan daerah yang terkait dengan tujuan PNPM-PISEW dari tingkat Kabupaten, Provinsi, sampai Pusat. Dalam forum ini, Bappenas mengundang berbagai stakeholders yang terkait, baik dari pusat maupun daerah penerima program (9 Provinsi dan 32 Kabupaten), yang dibagi ke dalam dua kelompok wilayah, yaitu Regional I terdiri dari Provinsi Sumatera Utara, Jambi, Bengkulu, dan Bangka Belitung, dan Regional II terdiri dari Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, Sulawesi Selatan, Sulawesi Barat, dan Nusa Tenggara Barat. Secara umum peserta menyambut antusias adanya skema baru tentang identifikasi, pemantauan dan evaluasi terhadap kebijakan daerah, bukan pada tataran baseline data statistik di daerah. Peserta daerah memandang hal ini sangat penting dalam meningkatkan kesadaran atas status kesiapan dan ketersediaan kebijakan daerah dalam mendukung keberhasilan pencapaian tujuan dan menjamin keberlanjutan PNPM-PISEW. Selama ini programprogram yang sejenis, siklus hidupnya hanya sebatas jangka waktu proyek dan sulit untuk dilanjutkan atau direplikasi secara mandiri oleh Pemda karena tidak terintegrasi kedalam kebijakan daerah dan kurangnya penyiapan kapasitas aparatur dan kelembagaan Pemda.
Studi tidak dimaksudkan sebagai penilaian kinerja kebijakan daerah, melainkan menyajikan informasi dasar perkembangannya dalam mendukung PNPMPISEW. Keberadaan informasi dasar kebijakan daerah penting bagi Bappenas selaku coordinating agency untuk menyiapkan exit-strategy, agar terjadi ketersinambungan pelaksanaan program di daerah paska PNPM-PISEW. Pemantauan dan Evaluasi Kebijakan Daerah Sementara itu, PPK PISEW Bappenas dalam pemaparannya menjelaskan bahwa pelaksanaan pemantauan dan evaluasi kebijakan daerah pada prinsipnya merupakan bentuk implementasi dari fungsi, tanggung jawab, dan peran Bappenas sebagai Coordinating Agency Program PNPM-PISEW. Kegiatan ini memiliki tujuan, antara lain : 1) melihat hasil identifikasi dan mekanisme pemantauan dan evaluasi kebijakan daerah tersebut dapat dijadikan instrumen untuk mengevaluasi konsep maupun desain program PNPM-PISEW, 2) memfungsikan jejaring Kelembagaan Pemantauan dan Evaluasi kebijakan daerah di Kabupaten penerima Program PNPM-PISEW; 3) mendorong Pemda untuk berkontribusi dalam pencapaian tiga tujuan program, sehingga mempermudah dalam penyiapan kemandirian daerah dan exit strategy paska program secara terpadu; 4) mengembangkan Sistem Pelaporan Pelaksanaan Pemantauan dan Evaluasi Kebijakan Daerah Kabupaten Penerima PNPM-PISEW.
Implikasi Otonomi Daerah Dalam diskusi dengan peserta lokakarya, Deputi Bidang Pengembangan Regional dan Otonomi Daerah Bappenas, menekankan bahwa melalui penyerahan hak dan kewenangan urusan pemerintahan dari Pusat ke Daerah, desentralisasi diharapkan dapat terbentuk melalui proses bottom-up sehingga diperlukan sinkronisasi kebijakan antara Pusat dengan Daerah yang dapat diawali melalui kesepahaman persepsi terhadap berbagai persoalan dan program pembangunan daerah. Untuk itu, Pemda harus dapat menjalankan fungsi utamanya yaitu sebagai regulator, fasilitator, dan enabler pembangunan, serta penyedia barang dan pelayanan publik di wilayah masingmasing. Direktur Pengembangan Wilayah, Bappenas, mengemukakan bahwa pelaksanaan PNPM-PISEW merupakan realisasi dari proses transisi/pengalihan untuk menyiapkan Pemda agar dapat melaksanakan atau mereplikasi program secara mandiri. Kedepan Pemda dituntut untuk meningkatkan kemandirian dalam pengembangan kebijakan daerah, terlebih lagi sejak adanya otonomi daerah anggaran belanja daerah juga meningkat. Identifikasi Awal Kebijakan Daerah Terkait dengan pelaksanaan studi identifikasi kondisi awal kebijakan daerah, Ketua Sekretariat PNPM-PISEW Nasional, mengemukakan, studi bertujuan untuk menyusun informasi dasar terkait kondisi dan status kebijakan daerah hasil dari identifikasi berbagai kebijakan daerah di kabupaten lokasi penerima sebelum pelaksanaan PNPM-PISEW.
PPK PISEW sedang menjelaskan tujuan mekanisme pemantauan dan evaluasi kebijakan daerah
Urgensi dari pelaksanaan kegiatan ini akan memberikan beberapa manfaat, antara lain untuk: a) memastikan konsistensi dan kesinergian antara kebijakan di Pusat dan di daerah Kabupaten; b) sebagai proses fasilitasi untuk mendorong daerah Kabupaten dalam menyusun dan melengkapi kebijakan daerah yang sinkron dengan peraturan perundangan yang telah ada; c) membantu daerah Kabupaten dalam menjawab tantangan dan permasalahan pembangunannya, khususnya terkait Penanggulangan Kemiskinan dan Pemberdayaan Masyarakat; dan d) mendukung dan memperkuat pelaksanaan pemantauan dan evaluasi penyelenggaraan pemerintahan daerah sesuai dengan mekanisme reguler di Kabupaten, khususnya dalam aspek kebijakan daerah. (Ahmad Yani)
13
artikel Per an P er empuan eran Per erempuan ansi Dalam T ansparansi Trranspar Pelak sanaan elaksanaan PNPM-PISEW Istilah “korupsi” sering dinyatakan sebagai suatu perbuatan tidak jujur atau penyelewengan yang dilakukan karena adanya suatu pemberian. Dalam prakteknya, korupsi lebih dikenal sebagai menerima uang yang ada hubungannya dengan jabatan tanpa ada catatan administrasinya. Permasalahan utama pemberantasan korupsi berhubungan erat dengan sikap dan perilaku. Struktur dan sistem politik yang korup telah melahirkan apatisme dan sikap yang cenderung toleran terhadap perilaku korupsi. Akibatnya sistem sosial yang terbentuk dalam masyarakat melahirkan sikap dan perilaku permisif dan menganggap korupsi sebagai suatu hal yang wajar dan normal. Dalam rangka penanganan korupsi secara sistemik, pemerintah telah menyusun langkah-langkah menuju kepada pencegahan dan penindakan dengan beberapa agenda seperti pemberlakukan sejumlah Peraturan yang terkait dengan Pemberantasan Korupsi. Dengan semangat yang sama kemitraan dari Dunia Usaha dan Masyarakat Madani mengajak seluruh komponen bangsa untuk membangun gerakan nasional anti korupsi (9 Desember 2006). PISEW sebagai salah satu program pemberdayaan masyarakat dalam payung PNPM Mandiri menunjukkan keseriusannya untuk membentuk sistem sosial anti korupsi sejak awal. Untuk itu PNPM-PISEW berusaha mendorong penyelenggara pemerintah daerah yang baik sejak dari kecamatan, kabupaten dan seterusnya. Baik-buruknya pemerintahan bisa dinilai bila ia telah bersinggungan dengan berbagai unsur prinsip-prinsip good governance diantaranya dalam PISEW adalah partisipasi masyarakat, transparansi dan kesetaraan. Di sisi lain, Inpres No. 9 Tahun 2000 menegaskan pengarusutamaan Gender (PUG) menjadi strategi pembangunan sebagai landasan hukum integrasi program kesetaraan gender dalam PISEW. PUG adalah strategi mencapai kesetaraan dan keadilan gender melalui kebijakan dan program pembangunan. (integrasi pengalaman, aspirasi, kebutuhan dan permasalahan perempuan dan lakilaki di berbagai bidang kehidupan pembangunan). PISEW akan memotivasi daerah untuk melaksanakan aplikasi pengarusutamaan gender dengan pendekatan daerah masing-masing.
14
Analisis gender biasanya dilakukan pada tingkat mikro seperti keluarga, kelompok-kelompok kecil atau komunitas, dan pada semua sektor. Analisis gender bisa juga dilakukan pada lingkup yang lebih besar dengan tingkatan kompleksitas yang lebih tinggi. Analisis gender penting dilakukan untuk mengidentifikasikan suatu siklus proyek yang dapat menjamin bahwa perempuan dan laki-laki dapat berpartisipasi sesuai dengan kemampuan, kebutuhan dan kepentingannya, serta dapat memperoleh manfaat secara adil dari proyek tersebut. Beberapa pemerintah daerah telah mulai memandang perempuan sebagai pihak terkait yang penting dan secara aktif membuat program-program untuk mempromosikan hak-hak perempuan. Tahun 2009 -2012 program PISEW di provinsi kabupaten dan kecamatan akan dipraktekkan penyusunan kegiatan dan pelaksanaan pembangunan dengan lebih peduli gender dan mengarusutamakan gender. Dalam beberapa hal, perempuan merupakan aktor potensial dalam melakukan korupsi. Dengan demikian yang harus di ke depankan bukanlah asumsi bahwa perempuan merupakan pemicu terjadinya korupsi, melainkan bagaimana meningkatkan peran perempuan dalam mendorong gerakan anti-korupsi. Perempuan sejatinya bisa menjadi inspirator gerakan antikorupsi sejak dalam lingkup kehidupan yang paling kecil, yakni keluarga. (Sekretariat ICW, diskusi reguler dengan narasumber, diantaranya Rival Gulam Ahmad, Peneliti PSHK dan Direktur Advokasi LBH APIK). Mencari benang merah antara perempuan dan korupsi barangkali akan lebih gamblang jika menggunakan pendekatan korban. Artinya bahwa perempuan merupakan korban paling menderita dari praktek korupsi sehingga ada rasionalisasi akan pentingnya keterlibatan perempuan dalam gerakan anti-korupsi. (Rini Hendrowibowo)
news in box FGD Penyusunan Prosedur dan Mekanisme Pemantauan dan Evaluasi Kebijakan Daerah
FGD Prospek DAK dan Mekanisme Perencanaan
Penyelenggaraan FGD di Makasar Provinsi Sulawesi Selatan merupakan FGD putaran terakhir dari seluruh rangkaian rencana penyelenggaraan FGD di 9 Provinsi yang ada dalam wilayah PNPM-PISEW. Pada putaran terakhir ini selain di Makassar, pada tanggal 18-20 November 2008 juga dilaksanakan FGD di Bengkulu dan Pangkal Pinang. Bertempat di Hotel Kenari Tower Kota Makassar, seluruh peserta yang hadir adalah berasal dari instansi yang terkait dalam program PNPM-PISEW ditambah dengan Tim koordinasi Provinsi PNPMPISEW yaitu dari 4 (empat) Kabupaten PNPM-PISEW yaitu Kabupaten Jeneponto, Sinjai, Enrekang, Bone ditambah dengan peserta yang berasal dari Provinsi Sulawesi Selatan. FGD Makassar ini sangat istimewa, karena dihadiri oleh salah satu pejabat pusat Bappenas yakni Bagus Rumbogo selaku Inspektur Utama di Bappenas pada kesempatan tersebut Bagus Rumbogo memberikan sambutan pertama, kemudian disusul oleh sambutan dari Kepala Bappeda Provinsi Sulawesi Selatan, Tan Malaka, sekaligus membuka secara resmi acara FGD. Setelah itu dilanjutkan penjelasan umum tentang FGD oleh Zaenal Arifin, PPK PNPM-PISEW Bappenas. Ada satu hal yang menarik, peserta memberikan pemikiran yang cukup maju dan direspon cukup hangat dari peserta lainnya sehingga diskusi menjadi semakin hidup, yaitu mencoba memberikan pemikiran agar seluruh mekanisme perencanaan partisipatif yang ada di daerah baik yang sumber dananya berasal dari APBD maupun sumber dana loan atau lainnya,bernaung dalam satu mekanisme perencanaan yang mengacu pada UU 25/2004. Dengan konsekuensi bahwa pemerintah harus punya komitmen yang kuat untuk mendukung hal tersebut. Pemikiran ini sangat siginifikan dengan banyaknya mekanisme perencanaan yang ada di daerah. Hingga akhir diskusi seluruh peserta mencoba memberikan pemikiran-pemikiran yang inovatif untuk penyempurnaan sistim perencanaan partisipatif yang telah ada, diskusi berakhir dengan beberapa rekomendasi yang diharapkan dapat memperkuat perencanaan partisipatif di daerah, serta gagasan penggunaan DAK sebagai alternatif pembiayaan program pemberdayaan masyarakat. (Redaksi)
Pada tahun 2008, Bappenas melakukan beberapa kegiatan kajian terkait dengan pelaksanaan program. Salah satunya adalah Kajian Penyusunan Prosedur dan Mekanisme Monitoring dan Evaluasi Program PNPMPISEW. Salah satu tahapan dalam pelaksanaan kegiatan kajian tersebut adalah Focus Discusion Group (FGD) di 9 Provinsi yang menjadi lokasi penerima PNPM-PISEW yaitu : Kegiatan FGD dilakukan di tingkat Provinsi melibatkan stakeholder yang terkait di kabupaten-kabupaten yang menjadi lokasi penerima PNPM-PISEW. Kegiatan FGD tersebut penting dilakukan untuk mendapatkan informasi serta masukan pada Prosedur dan Mekanisme Monitoring dan Evaluasi Program PNPMPISEW di kabupaten-kabupaten penerima PNPMPISEW. Keluaran yang diharapkan dari pelaksanaan kegiatan FGD ini adalah informasi, dan masukan tentang prosedur dan mekanisme monitoring dan evaluasi kebijakan PNPM-PISEW di kabupaten-kabupaten penerima PNPM-PISEW. Peserta kegiatan FGD ini adalah perwakilan dari satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD)/dinas/badan/ kantor di provinsi dan kabupaten penerima PNPMPISEW yang terlibat secara langsung atau terkait dengan substansi kajian Penyusunan Prosedur dan Mekanisme Monitoring dan Evaluasi Program PNPMPISEW, antara lain: a. Dinas/Kantor/Badan Anggota Tim Koordinasi dan/ atau Sekretariat PNPM-PISEW Provinsi (Bappeda, PU, BPMD, Sekda Bagian Hukum dan Tata Pemerintahan). b. Dinas/Kantor/Badan Anggota Tim Koordinasi dan/ atau Sekretariat PNPM-PISEW Kabupaten (Bappeda, PU, BPMD, Sekda Bagian Hukum dan Tata Pemerintahan). c. DPRD Tingkat II d. Konsultan Manajemen Provinsi e. Konsultan Manajemen Kabupaten Kegiatan FGD ini telah dilaksanakan di tingkat Provinsi yang dibantu jajaran Bappeda Provinsi yaitu Provinsi Bengkulu dan Sulawesi Selatan pada tanggal 16 Oktober 2008. Dilanjutkan di Provinsi Kalimantan Selatan, Nusa Tenggara Barat, Sumatera Utara pada tanggal 26 Oktober 2008, kemudian di Provinsi Kalimantan Selatan serta Provinsi Jambi pada tanggal 28 Oktober 2008. (Redaksi)
15