Index Kondisi Bangunan dan Sisa Masa Pakai Kayu
15
INDEKS KONDISI BANGUNAN DAN PENDUGAAN SISA MASA PAKAI KAYU KOMPONEN RUMAH SEDERHANA DI ALAM SINAR SARI – BOGOR Building Condition Index and Remaining Service Lifetime Estimation for Wood Component of Low Cost House at Alam Sinar Sari – Bogor Effendi Tri BAHTIAR1), ARINANA1), Muhamad Ari KURNIAWAN1) Corresponding Author:
[email protected] ABSTRACT The objectives of this research are to evaluate the performances of the buildings and to estimate the remaining service lifetime of wood which have been used as components of 17 years old low cost house at Alam Sinar Sari - Bogor. The most severe degraded rafters and battens of the low cost house are chosen as samples in order to get the safe estimation. The performance of all building components are assessed during this study, then an index of condition is calculated. The index represented the health of each component whether in good, fine, lightly damaged, moderately damaged, or severely damaged. The physical and mechanical properties are measured, and creep testing is conducted in order to estimate the wood remaining service lifetime. Assessment on the house performance results two different condition index values. The value of condition index for the front part which was built on 1996 is 67.6%, while the back part which was built on 2002 was 80.2%. Both values justified that the house is still in fine condition. Wood identification showed the front part of the house using Saninten (Castanopsis sp.) as battens and Kamper (Dryobalanops sp.) as rafters. In other hand, the back part of the house uses Bentawas (Wrightia sp.) as battens and Meranti (Shorea sp.) as rafters. According to its mechanical properties, creep testing, and the rate of damaged area, it could be calculated that the front and back part of the house can safely serve for residential usage for next 3 and 5 years, respectively. So it is recommended to set up a renovation in the next 3 years. Keywords: Battens, building performance, creep testing, low cost housing, rafters, remaining service lifetime PENDAHULUAN Kabupaten Bogor dengan luas wilayah 2.997,13 km2 memiliki jumlah penduduk 4,86 juta jiwa (BPS, 2011). Seiring dengan tingginya jumlah penduduk, kebutuhan perumahan di Kabupaten Bogor juga terus meningkat. Salah satu pemukiman yang berkembang pesat di Bogor adalah Perumahan Alam Sinar Sari yang mulai dibangun tahun 1996. Kaso dan reng merupakan komponen penyusun atap yang memiliki peranan sangat vital dalam konstruksi bangunan rumah tinggal. Kaso dan reng rumah tinggal di Alam Sinar Sari menggunakan kayu sebagai bahan bakunya. Sebagai material organik, kayu rentan diserang organisme perusak. Sifatnya yang higroskopis menyebabkan 1
Departemen Hasil Hutan, Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor
kayu dipengaruhi oleh fluktuasi suhu dan kelembaban lingkungan sekitar. Kayu lebih mampu menahan beban sementara daripada beban jangka panjang. Beban jangka panjang memberikan deformasi akibat rangkak (creep) yang dapat mengakibatkan kerusakan. Pendugaan sisa umur pakai kayu komponen bangunan rumah diperlukan agar engineer dapat memberikan jaminan seberapa lama lagi sebuah bangunan mampu melayani penghuninya secara aman. Pendugaan yang baik mengenai sisa umur pakai komponen bangunan dapat memberikan gambaran kapan perlu dilakukan renovasi sehingga menghindari pemborosan sumberdaya akibat penggantian komponen sebelum waktu layannya berakhir, namun tetap memberikan rasa aman. BAHAN DAN METODE Penilaian Kondisi Bangunan Penelitian ini dilaksanakan dengan metode rekayasa forensic dalam rangka mengukur indeks kondisi bangunan. Obyek yang diteliti adalah bangunan rumah sederhana berumur 17 (tujuh belas) tahun di Alam Sinar Sari E213 - Bogor. Komponen bangunan disurvei menggunakan nilai pembobotan yang sama pada kriteria pemberian nilai bangunan sederhana tidak bertingkat yang digunakan Suryadi (2005). Nilai indeks kondisi bangunan dihitung menggunakan rumus: BS Ik 100% (1) 500 Catatan : I k = Indeks kondisi (%) B = Bobot kepentingan komponen S = Skor nilai hasil survey lapangan 500 = Total skor nilai maksimum kali bobot Hasil nilai indeks kondisi, kemudian diklasifikasikan menjadi lima kelas kondisi bangunan yaitu baik, sedang, rusak ringan, rusak sedang, dan rusak berat seperti yang ditampilkan pada Tabel 1. Beberapa reng dan kaso yang mengalami kerusakan paling parah diambil dari komponen penyusun atap rumah untuk dijadikan contoh uji. Contoh uji diidentifikasi jenis kayunya, diukur kadar air dan berat jenisnya, diuji lentur statis, diukur kedalaman kerusakan, dan dilakukan uji rangkak (creep). Sisa masa pakai kayu komponen rumah tersebut diestimasi dengan mengikuti prosedur perhitungan sebagaimana dilakukan Bahtiar et al. (2012). Identifikasi jenis kayu Foto makroskopis bidang lintang dengan perbesaran 30x dan 10x digunakan sebagai bantuan awal. Hasil pemotretan
Jurnal Ilmu dan Teknologi Hasil Hutan 5(2):15-22 (2012)
16
Bahtiar, et al
kemudian dicocokkan dengan Pedoman Identifikasi Kayu (Mandang dan Pandit, 2002). Tabel 1. Kategori nilai indeks kondisi bangunan (Sulaiman, 2005) Indeks Kategori Uraian Kondisi Bangunan Kondisi (%) 81 – 100 Baik Apabila Kondisi pada komponen tersebut masih berfungsi dengan baik dan ada pemeliharaan rutin 61 – 80 Sedang Apabila Kondisi pada komponen tersebut masih berfungsi meskipun tidak ada pemeliharaan rutin 41 – 60 Rusak Apabila kerusakan terjadi pada komponen non Ringan struktural lebih sering terlihat sebagai kerusakan pada pekerjaan finishing, seperti penutup atap, pasangan plafon, pasangan keramik pasangan bata, plesteran dan lainlain 21 – 40 Rusak Apabila kerusakan terjadi pada sebagian Sedang komponen non strukutural maupun struktur atap, struktur langit-langit, struktur beton, lantai, dan lain-lain. Pada fasilitas utilitas kerusakan yang terjadi sudah mengganggu fungsional dari fasilitas tersebut 0 – 20 Rusak Kerusakan terjadi pada sebagian besar Berat komponen bangunan, baik struktural maupun non struktural yang apabila setelah diperbaiki masih dapat berfungsi dengan baik sebagaimana mestinya meski dengan pembiayaan yang cukup mahal.
Pengujian sifat fisis Pengujian sifat fisis kayu meliputi kadar air (Mc) berat jenis (), dan degradasi kerapatan di tiap-tiap kedalaman (i). Kadar air diperoleh dengan cara menimbang contoh uji dalam kondisi kering udara, dan kondisi setelah dioven selama 24 jam pada suhu (103±2) oC. Nilai kadar air (Mc) dihitung dengan Persamaan 2: W Wo Mc a 100% (2) Wo Catatan : Wa = Berat kayu kering udara (g) Wo = Berat kayu kering oven (g) Berat jenis () kayu adalah nilai rasio kerapatan kayu setelah dioven terhadap kerapatan air (Persamaan 3). Wo Vu (3) 100%
Vi =Volume kayu sebelum serutan ke-i (cm3) V(i+1) =Volume kayu setelah serutan ke-i (cm3) Apabila kerapatan kayu lebih rendah daripada kerapatan kayu bagian tengah (kontrol) maka dapat diketahui telah terjadi degradasi mutu pada kedalaman tersebut. Titik batas degradasi kayu ditentukan pada pertemuan kerapatan kayu pada tiap kedalaman dengan kerapatan kontrol. Kayu bagian tengah digunakan sebagai kontrol karena bagian tersebut tidak terekspose dan terlindungi dari berbagai faktor perusak. Pengujian sifat mekanis Pengujian lentur statis dengan konfigurasi one point loading (Gambar 1) dilakukan sesuai dengan prosedur British Standard (BS 373-1957) untuk memperoleh nilai MOE, MOR, defleksi ketika patah, dan beban maksimum (Pmaks). Contoh uji berukuran 2 cm x 2 cm x 30 cm, sejumlah 10 buah dari setiap komponen rangka atap. Pengujian rangkak (creep) Pengujian rangkak dilakukan untuk menentukan penurunan kekuatan kayu akibat beban jangka panjang. Konfigurasi pembebanan yang dipilih adalah pengujian lentur dengan beban tunggal terpusat di tengah bentang. Contoh uji berukuran 2 cm x 2 cm x 30 cm, dengan jumlah contoh uji sebanyak 6 buah untuk setiap komponen. Adapun variasi beban (P) yang diberikan pada masing-masing contoh uji yaitu 10 kgf, 20 kgf, 30 kgf, 40 kgf, 50 kgf dan 60 kgf. Besarnya defleksi diukur per 30 menit pada setengah hari ke-1, per 1 jam pada setengah hari berikutnya, per 2 jam pada setengah hari ke-2, per 3 jam pada setengah hari berikutnya, per 4 jam pada setengah hari ke-3, dan selanjutnya per 6 jam sampai hari ke-15. Data waktu dan defleksi diplotkan pada diagram cartesius dan dicari hubungannya melalui regresi linier sederhana dengan transformasi logaritmik. Pengukuran kelembaban dan suhu lingkungan dilakukan bersamaan dengan pengukuran defleksi pada uji rangkak.
air
Catatan : Vu
= Volume kayu kering udara (cm3) air = Kerapatan air (1 g/cm3) Pengukuran degradasi kerapatan contoh uji dilakukan pada lima tingkat kedalaman. Kayu diserut berulang-ulang untuk mendapatkan kerapatan di tiap-tiap tingkat kedalaman. Kerapatan kayu di tiap tingkat kedalaman (i) diperoleh dengan mengukur dimensi dan menimbang berat contoh uji sebelum dan sesudah diserut. Kerapatan pada setiap tingkat kedalaman dihitung sesuai dengan Persamaan 4 yang disarankan oleh Bahtiar et al. (2012):
Wi W(i1) Vi V(i1) =Berat kayu sebelum serutan ke-i (g) =Berat kayu setelah serutan ke-i (g)
i
Catatan : Wi W(i+1)
(4)
Jurnal Ilmu dan Teknologi Hasil Hutan 5(2):15-22 (2012)
Gambar 1. Bentuk dan ukuran contoh uji lentur Pendugaan sisa masa pakai kayu Pendugaan sisa masa pakai kayu ditentukan melalui perhitungan mekanika teknik yaitu membandingkan sisa kekuatan dan sisa luas penampang dengan tegangan aktual yang terjadi. Pendugaan sisa masa pakai kayu pada penelitian ini dihitung dibawah asumsi bahwa pembangunan rumah tinggal tersebut telah dilakukan secara efisien, yaitu tegangan rencana bernilai sama dengan tegangan izinnya. Sesuai dengan Peraturan Konstruksi Kayu Indonesia (PKKI) NI-5 1961, nilai
Index Kondisi Bangunan dan Sisa Masa Pakai Kayu tegangan izin lentur ( lt ) dapat dihitung berdasarkan berat jenis ()-nya (Persamaan 5): (5) lt 170 HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Bangunan Bangunan yang diteliti merupakan rumah hunian sederhana berlokasi di Perumahan Alam Sinar Sari E213 - Bogor. Bangunan asli berupa rumah tipe 21 dibangun tahun 1996, kemudian pada tahun 2002 ditambahkan bangunan di belakang bangunan asli. Bahan konstruksi bagian belakang juga tidak sama dengan bagian belakang. Sesuai dengan hasil survei lapangan, komponen bangunan bagian depan memiliki nilai indeks kondisi yang lebih rendah dibandingkan bangunan bagian belakang yaitu adalah sebesar 67,6% untuk bangunan bagian depan, sedangkan bagian belakang adalah sebesar 80,2%. Kedua nilai kondisi bangunan tersebut menurut Sulaiman (2005) menggambarkan bangunan masih berada dalam kondisi sedang (61%-80%) yaitu komponen bangunan tersebut masih berfungsi meskipun tidak ada pemeliharaan rutin. Perbedaan nilai indeks kondisi ini dipengaruhi oleh beberapa faktor perusak atau kegagalan konstruksi. Contoh kegagalan konstruksi yang terjadi adalah dinding pada bagian sambungan antar rumah disebelahnya tidak diplester, sehingga air hujan merembes melalui dinding. Faktor perusak biologis yang ditemukan di dalam rumah diantaranya rayap, kecoa, jamur, tumbuhan liar, lebah, dan lumut. Kayu komponen bangunan bagian depan banyak mengalami penurunan kualitas dibandingkan bagian belakang. Hal tersebut dibuktikan dengan ditemukannya serangan jamur, rayap tanah, rembesan air hujan dan retakan pada balok kayu struktur rumah (Gambar 2). Retakan pada balok kayu dapat segera ditangani dengan memberikan pelat sambung di samping balok untuk mengurangi resiko puntiran. Untuk memperpanjang umur pakai kayu komponen rumah tinggal tersebut, penanganan khusus perlu dilakukan untuk mencegah semakin berkembangnya organisme perusak. Tindakan yang direkomendasikan antara lain fumigasi, pelaburan bahan pengawet, dan pembasmian koloni rayap.
17 Kadar Air dan Berat Jenis Kadar air (Mc) keempat contoh uji berada pada kisaran 12,17%-12,91% yaitu kadar air kayu kering udara (Tabel 3). Kadar air kayu kering udara di Indonesia berkisar 10%-18% (Kasmudjo 2010). Kaso rumah bagian depan yaitu kayu kamper memiliki berat jenis (BJ) tertinggi (0,63). BJ kayu terendah (0,38) adalah kaso rumah bagian belakang yang dibuat dari kayu meranti. Reng rumah bagian depan juga memiliki BJ cukup tinggi (0,5) dibandingkan reng rumah bagian belakang yang memiliki BJ 0,48. Kayu yang memiliki BJ tinggi, umumnya semakin tinggi pula kekuatannya. Secara umum dapat dikatakan komponen rumah bagian depan lebih kuat dibandingkan komponen rumah bagian belakang karena pemilihan jenis kayu yang lebih baik. Seiring dengan semakin terbatasnya ketersediaan kayu bermutu tinggi dewasa ini, kayu-kayu komponen rumah sederhana yang dibangun lebih akhir umumnya menggunakan kayu yang bermutu lebih rendah daripada yang dibangun pada masa sebelumnya. Kayu bentawas dahulu hanya digunakan untuk perabot rumah tangga, namun kini telah digunakan untuk komponen struktural seperti reng. Kebanyakan masyarakat telah memanfaatkan kayu-kayu rakyat dari pohon cepat tumbuh untuk memenuhi berbagai keperluannya termasuk komponen rumah sebagai pengganti kayu dari hutan alam.
Identifikasi Jenis Kayu Seperti disebutkan sebelumnya bahwa rumah dibangun pada dua masa yang berbeda, sehingga contoh uji berupa kaso dan reng diambil dari komponen atap bagian depan dan bagian belakang. Empat potong contoh uji diambil yaitu Reng Belakang (RB), Reng Depan (RD), Kaso Belakang (KB), dan Kaso Depan (KD). Identifikasi jenis kayu dilakukan secara makroskopis dan dibandingkan dengan Pedoman Identifikasi Kayu (Mandang dan Pandit 2002). Hasil identifikasi kayu disajikan pada Tabel 2. Bangunan asli dibangun tahun 1996 menggunakan kayu kamper (Dryobalanops sp.) untuk kaso dan Saninten (Castanopsis sp.). untuk reng. Bangunan tambahan pada rumah bagian belakang menggunakan kayu Meranti (Shorea sp) untuk kaso dan Bentawas (Wrightia sp.) untuk reng. Mandang dan Pandit (2002) menyebutkan bahwa jenis meranti, kamper, dan saninten merupakan jenis kayu yang biasa digunakan untuk bahan bangunan.
Gambar 2. Beberapa kerusakan yang terjadi pada konstruksi atap bangunan (retakan, tunnel rayap, serangan white rot, rembesan air, dan serangan brown rot). Degradasi Kerapatan Gambar 3 memperlihatkan degradasi kerapatan pada tiap kedalaman kayu yang terjadi pada keempat contoh komponen rumah. Komponen rumah bagian depan (Kaso Depan, Reng Depan) memperlihatkan grafik yang lebih curam dibandingkan komponen rumah bagian belakang (Kaso Belakang, Reng Belakang). Hal ini menunjukkan bahwa kerusakan yang dialami komponen rumah bagian depan lebih parah dibanding bagian belakang. Batas kedalaman kerusakan kayu yang telah terjadi juga tergambarkan pada Gambar 3. Batas kerusakan kayu
Jurnal Ilmu dan Teknologi Hasil Hutan 5(2):15-22 (2012)
18
Bahtiar, et al
diperoleh dari titik pertemuan kerapatan kontrol dengan kurva kerapatan dari setiap tingkat kedalaman. Kontrol yang digunakan adalah bagian tengah contoh uji. Kaso rumah bagian depan mengalami degradasi paling tinggi yaitu sedalam 7,86 mm diikuti dengan reng rumah bagian depan yang mengalami degradasi sedalam 4,37 mm. Keadaan ini terjadi karena umur pemakaian dari kayu rumah bagian depan sudah 17 tahun lamanya. Sedangkan rumah bagian belakang, sebagai konstruksi tambahan yang baru digunakan selama 11 tahun, tingkat kerusakannya lebih rendah. Kerusakan kaso dan reng rumah bagian belakang hanya sedalam 3,22 mm dan 2,92 mm. 0.65 Kontrol=0,62
Kerapatan (g/cm3)
0.60
Kontrol=0,58
0.55
Uji Lentur Nilai MOE dan SR hasil pengujian lentur statis pada umummya lebih rendah dibandingkan referensi dari Atlas Kayu Indonesia (Martawijaya dan Kartasujana, 2005) dan eProsea (Ba, et al 1995) (Tabel 4). Hasil uji lentur menunjukkan nilai modulus elastisitas (MOE) yang paling tinggi dari keempat contoh uji adalah reng rumah bagian belakang dengan nilai MOE sebesar 126.751 kg/cm2. Sedangkan MOE paling rendah dimiliki kaso rumah bagian belakang sebesar 74.265 kg/cm2. Reng rumah bagian depan memiliki nilai Modulus of Rupture (SR) paling tinggi yaitu 669 kg/cm2. Sedangkan paling rendah adalah reng rumah bagian depan sebesar 437 kg/cm2. Oleh karena nilai hasil pengujian pada umumnya lebih rendah daripada referensi, dapat dikatakan bahwa kayu telah terdegradasi sehingga kekuatannya menurun.
Kontrol=050
0.50 0.45
Uji Creep (Rangkak)
Kontrol=0.43
0.40
Reng Depan Reng Belakang Kaso Depan
0.35 0.30 0
2 4 6 8 Jarak contoh uji dari tepi balok (mm)
10
Gambar 3. Kerapatan contoh uji pada berbagai kedalaman Tabel 2. Identifikasi kayu secara makroskopis Photo Kaso Belakang
Kaso Depan
Padanan (Mandang dan Pandit 2002) Meranti Ciri Utama: (Shorea sp.) Saluran aksial menyebar menurut garis tangensial panjang berisi endapan putih, pori soliter dan berganda radial ada yang berisi tilosis, kayu teras merah muda kecoklatan. Kamper Ciri Utama: (Dryobalanops sp.) Saluran aksial menyebar garis tangensial panjang, pori soliter beberapa berisi tilosis, ada yang bergejala kerinyut, kayu berwarna merah, bila segar berbau kamper.
Reng Belakang
Bentawas (Wrightia sp.)
Reng Depan
Saninten (Castanopsis .sp)
Ciri Utama: Kayu kuning pucat, tekstur halus dan rata, pori berukuran kecil, sebagian berganda radial terdiri atas 2-3 pori, jumlah pori banyak, jari-jari sempit dan rapat, parenkima pita pendek di antara jari-jari. Ciri Utama: Kayu berwarna kuning kecoklatan, porinya berkelompok radial hingga diagonal, jarijarinya dua ukuran lebar, parenkim berbentuk jala
Jurnal Ilmu dan Teknologi Hasil Hutan 5(2):15-22 (2012)
Menurut Mardikanto et al. (2011) kayu yang dibebani secara terus menerus dengan beban tetap selama 10 tahun, diperkirakan hanya mampu menahan beban sebesar 60%-nya dibandingkan pembebanan pada standar waktu pengujian. Bila pembebanan hanya berlangsung singkat maka kapasitas menahan beban pada kayu lebih besar dibandingkan bila beban bekerja dalam jangka waktu panjang. Tabel 3. Hasil pengujian kadar air (Mc) dan berat jenis () Berat Jenis Kayu Kadar Air (%) Jenis Reng Saninten 12,9 0,50 Depan (Castanopsis sp.) Kaso Kamper 12,5 0,63 Depan (Dryobalanops sp.) Reng Bentawas 12,6 0,48 Belakang (Wrightia sp.) Kaso Meranti 12,2 0,38 Belakang (Shorea sp.) Tabel 4. Rataan Hasil Pengujian MOE dan SR (kgf/cm2) Pengujian Referensi Contoh Uji MOE SR MOE SR Reng Depan 104.549 669 103.000*) 978*) (Saninten) Kaso Depan 91.204 537 111.000-172.000*) 635 -1100*) (Kamper) Reng Belakang 126.751 437 65.750**) 900**) (Bentawas) Kaso Belakang 74.265 590 98.000-123.000*) 587-856*) (Meranti) Catatan: *) Martawijaya dan Kartasujana (2005); **) Ba, et al (1995) Bila kayu dibebani, awalnya kayu akan berubah bentuk secara elastis. Jika beban diteruskan maka terjadi deformasi sejalan dengan berjalannya waktu. Kayu yang mendapat beban terus menerus akan mengalami deformasi plastis, umumnya sangat lambat namun persisten dalam jangka waktu lama. Inilah yang dikatakan creep. Meskipun pada tegangan rendah, creep terus berlangsung selama beban bekerja. Bila bebannya cukup tinggi maka kerusakan dapat terjadi. Grafik hasil pengujian creep kayu Saninten disajikan pada Gambar 4.
Index Kondisi Bangunan dan Sisa Masa Pakai Kayu
19
12
Defleksi (mm)
10 8 6 4 2 0 0
50 10 kgf
100 20 kgf
150 200 Jangka waktu pembebanan (jam) 30 kgf
40 kgf
250
300
50 kgf
60 kgf
Gambar 4. Hasil pengujian creep pada kayu saninten sebagai reng komponen rumah depan Gambar 4 memperlihatkan bahwa defleksi lebih besar terjadi pada beban tinggi dibandingkan beban yang lebih ringan. Gejala ini berlaku untuk semua material pada umumnya, tidak terkecuali kayu, sebagaimana dilaporkan oleh beberapa peneliti antara lain: Barbara (2000) yang mengukur creep defleksi pada balok fiberboard, balok chipboard, dan balok majemuk berpenampang box; Gowda et al. (1996) pada kayu pinus, spruce, glulam, laminated veneer lumber (LVL), dan balok I, Leivo (1992) pada kayu gergajian, sambungan nail plate, dan rangka kuda-kuda. Semua peneliti tersebut melaporkan bahwa defleksi pada komponen yang menerima beban permanen akan meningkat dengan semakin tingginya tingkat beban. Gambar 4 juga memperlihatkan defleksi yang meningkat pada jangka waktu pembebanan yang semakin panjang meskipun besarnya beban yang diberikan adalah tetap. Kurva creep defleksi mengikuti fungsi logaritma dari lama pembebanan. Temuan ini diperkuat oleh peneliti sebelumnya yang melaporkan hal serupa. Bazant and Meiri (1995) melaporkan bahwa regangan pada kayu spruce pada uji rangkak dapat dipas dengan fungsi dari waktu yang diskala logaritmik. Hoffmeyer (1990) juga mencatat bahwa tingkat tegangan hingga patah memiliki hubungan linier dengan lama pembebanan dalam skala logaritmik. Sejalan dengan laporan para peneliti tersebut, maka pendekatan regresi linier sederhana dengan transformasi logaritmik dilakukan pada penelitian ini dan menghasilkan Persamaan 6, 7, 8, 9, 10 dan 11 yang memiliki signifikasi model yang sangat nyata dengan koefisien determinasi (R2) 68,3%95,01%. Dengan demikian persamaan-persamaan tersebut (Persamaan 6, 7, 8, 9, 10 dan 11) berturut-turut dapat digunakan untuk menduga besarnya defleksi pada pembebanan 10 kgf, 20 kgf, 30 kgf, 40 kgf, 50 kgf, dan 60 kgf dalam jangka waktu tertentu. (6) y 0,1389 ln T 0,9620; R2 68,3%
y 0,2623 ln T 0,9397; R2 72,16%
(7)
y 0,2822 ln T 1,8521; R2 90,19%
y 0,3805 ln T 0,9409; R2 77,77% y 0,4638 ln T 1,9323; R 87,57% 2
y 1,3521 ln T 2,1622; R 95,01% 2
(8) (9) (10) (11)
Catatan
: y = defleksi (mm), T = jangka waktu pembebanan (jam) Fluktuasi defleksi pada pengujian rangkak dipengaruhi oleh fluktuasi suhu dan kelembaban udara ruangan pengujian. Puncak (peak) pada kurva creep defleksi secara teratur berada pada jarak yang sama dari puncak kurva suhu dan lembah kurva kelembaban. (Gambar 5). Gambar 5 memperlihatkan hubungan antara kelembaban udara dan suhu terhadap fluktuasi defleksi pada beban 60 kg. Pengukuran terhadap kelembaban udara menunjukkan fluktuasi yang berbanding terbalik dengan fluktuasi pada grafik defleksi uji rangkak. Fenomena ini dapat dijelaskan dengan sifat higroskopis kayu yang dapat mengembang dan menyusut akibat perubahan kadar air yang dipengaruhi oleh kelembaban udara. Sementara itu pada kondisi pembebanan yang sama, semakin tinggi temperatur, defleksi yang terjadi juga semakin meningkat. Fenomena serupa berlaku untuk semua tingkat beban dan semua jenis kayu yang diuji pada penelitian ini. Hasil pengujian lentur statis kayu saninten pada bentang 28 cm memperlihatkan bahwa rata-rata defleksi pada beban patah adalah 7,4 mm. Sementara itu, defleksi sebesar 7,4 mm akibat beban permanen berdasarkan persamaan 1, 2, 3, 4, 5, dan 6 masing-masing dapat dicapai pada jangka waktu 100 juta tahun; 5,6 juta tahun; 39.300 tahun; 2.690 tahun; 14,98 tahun; dan 0,0055 tahun untuk pembebanan 10 kgf, 20 kgf, 30 kgf, 40 kgf, 50 kgf, dan 60 kgf. Diagram kartesius besarnya beban permanen yang diperlukan agar contoh uji patah pada jangka waktu pembebanan tertentu disajikan pada Gambar 6. Seperti terlihat pada Gambar 6, regresi linier sederhana dengan transformasi power berhasil mendapatkan Persamaan 12 yang memiliki koefisien determinasi yang cukup tinggi (R2 =
Jurnal Ilmu dan Teknologi Hasil Hutan 5(2):15-22 (2012)
20
Bahtiar, et al
b
3
,37 T h 417 T (15) 12 Catatan : b = lebar penampang balok (cm), h =tinggi penampang balok (cm) Dengan demikian rasio momen inersia pada kondisi mula-mula (Ikini) dengan momen inersia pada waktu mendatang (Inanti) dapat disajikan pada Persamaan 16: I kini bh3 (16) 3 ,37 ,37 I nanti b 417 T h 417 T
I
4,37 17
80
10
70
Defleksi (mm)
9 8
60
7
50
6 5
40
4
30
3 2
Kelembaban (%) dan Suhu (C)
11
20 0
12
24
Defleksi Beban 60 kgf
36 48 60 Waktu Pembebanan Suhu
72
84
Kelembaban Udara
Gambar 5. Hubungan defleksi dengan fluktuasi suhu dan kelembaban udara
Jurnal Ilmu dan Teknologi Hasil Hutan 5(2):15-22 (2012)
80
40
y = 50,04x-0.045 R² = 0,9601
Beban (kgf)
96,01%) sehingga cukup baik untuk menduga besarnya beban patah pada jangka waktu pembebanan tertentu. (12) P 50,04T 0.045 Catatan : P = beban permanen (kgf), T = waktu patah (tahun) Saat pengujian lentur statis kayu saninten, diperoleh hasil rata-rata beban patah (Pmaks) sebesar 140,35 kg sehingga rasio (K) antara beban permanen dengan beban patah dapat disajikan menjadi Persamaan 13. P K 0,3565T 0,045 (13) Pmaks Oleh karena K adalah rasio beban permanen dengan beban maksimum pada pengujian lentur statis maka nilai K equivalen dengan rasio tegangan permanen dengan Modulus of Rupture (SR) hasil pengujian lentur statis. (Persamaan 14) P K (14) Pmaks S R Seperti disampaikan sebelumnya kerusakan kayu Saninten telah terjadi hingga kedalaman 4,37 mm akibat beban tetap serta degradasi oleh faktor lingkungan baik biologis maupun non biologis selama jangka waktu penggunaan 17 tahun. Jika laju degradasi ini diasumsikan linier, maka momen inersia (I) penampang semakin rendah dengan berjalannya waktu (T). Degradasi momen inersia disajikan pada Persamaan 15.
20
10 0.001
1
1000
1000000 1E+09
1E+12
1E+15
Waktu Patah (Tahun)
Gambar 6. Kurva waktu patah pembebanan dan beban permanen Secara umum, tegangan lentur lazim disajikan dalam Persamaan 17: Mc (17) I Simbol c adalah centroid, yaitu setengah dari tinggi penampang balok, sehingga rasio tegangan lentur yang bisa ditahan setelah pemberian beban dalam jangka waktu tertentu dibandingkan dengan nilai saat ini adalah :
nanti M 12 h 417,37 T I kini kini M 12 h I nanti
(18)
yang dapat disederhanakan menjadi Persamaan 19 :
nanti bh2 kini b 0,2572T h 0,2572T 2
(19)
Selanjutnya dengan mengkombinasikan Persamaan 14 dengan Persamaan 19 dapat diperoleh rasio kekuatan kayu nanti dibandingkan kini adalah :
SR
b 0,2572T h 0,2572T 2 0,3565T 0,045 bh2
(20)
Oleh karena modulus of rupture (SR) rata-rata hasil pengujian reng rumah depan yang terbuat dari kayu Saninten adalah 669 kg/cm2 (Tabel 3), maka tegangan lentur maksimum yang masih dapat diterima dalam jangka waktu tertentu di masa datang adalah :
b 0,2572T h 0,2572T 2 238,48T 0,045
(21) bh2 Perhitungan mekanika teknik dari Persamaan 6 sampai Persamaan 21 telah dilakukan pula dalam penelitian ini untuk tiga jenis kayu yang lain yang digunakan untuk reng atau kaso, sehingga diperoleh Persamaan 22, 23, dan 24 berturut-turut untuk kaso rumah depan (Kamper), reng rumah belakang (Bentawas), dan kaso rumah belakang (Meranti):
Index Kondisi Bangunan dan Sisa Masa Pakai Kayu
b 0,4625T h 0,4625T 2 285,21T 0,006
21
(22)
2
bh b 0,2656T h 0,2656T 2 292,12T 0,004 (23) bh2 b 0,2926T h 0,2926T 2 260,97T 0,023 (24) bh2 Persamaan 21, 22, 23, dan 24 dapat disajikan dalam bentuk tabulasi seperti pada Tabel 5. Tabel 5. Estimasi waktu patah setiap komponen rangka atap (kaso/reng) jika menerima tegangan aktual tertentu. Waktu σaktual (kg/cm2) yang diberikan Patah Reng Kaso Reng Kaso (tahun) Depan (3/5) Depan (5/7) Belakang (3/5) Belakang (5/7) 1 196.17 225.76 238.72 225.59 2 154.13 174.35 191.50 190.45 3 120.57 131.60 150.94 160.47 4 92.86 96.45 116.36 134.28 5 69.92 68.08 87.25 111.31 6 51.06 45.74 63.11 91.21 7 35.77 28.71 43.49 73.72 8 23.62 16.28 27.95 58.62 9 14.22 7.75 16.03 45.70 10 7.23 2.43 7.29 34.78
Jika bangunan rumah telah dibangun secara efisien, maka tegangan aktual di lapangan dapat diasumsikan sama dengan tegangan izin kayunya. Sesuai dengan rumus berat jenis yang ditetapkan PKKI NI-5 Tahun 1961, tegangan izin lentur keempat jenis kayu yang digunakan untuk reng dan kaso rumah sederhana yang diteliti disajikan pada Tabel 6. Apabila kayu mendapatkan tegangan aktual sesuai dengan nilai tegangan izinnya, maka sisa masa pakai kayu dapat diestimasi dengan membaca Tabel 5. Hasil estimasi sisa masa pakai tersebut disajikan pada Tabel 6. Seperti terlihat pada kolom terakhir pada Tabel 6, rumah bagian depan harus direnovasi pada waktu tiga tahun ke depan, sedangkan rumah bagian belakang masih aman digunakan hingga lima tahun mendatang. Estimasi ini dipilih pada kondisi paling aman karena contoh uji diambil dari bagian yang mengalami rusak paling parah, dan beban aktual diambil sesuai dengan tegangan izinnya. Tabel 6. Nilai tegangan izin dan estimasi sisa pakai kayu komponen rumah sederhana Contoh Uji
Jenis Kayu
σ izin = σaktual Sisa Masa Pakai (kg/cm2) Kayu (Tahun)
Saninten (Castanopsis sp.) Kamper Kaso Depan (Dryobalanops sp.) Bentawas Reng Belakang (Wrightia.sp)
85,0
4
107,1
3
81,6
5
Kaso Belakang Meranti (Shorea.sp)
64,6
7
Reng Depan
KESIMPULAN Bangunan rumah tinggal sederhana di Komplek Alam Sinar Sari E213 Bogor memiliki umur yang berbeda sehingga kondisi saat ini dinilai memiliki dua nilai indeks kondisi. Nilai indeks kondisi bangunan sebesar 67,6% diberikan untuk rumah bagian depan yang dibangun tahun 1996, sedangkan kondisi rumah bagian belakang yang dibangun tahun 2002 masih lebih baik daripada bagian depan sehingga mendapat nilai sebesar 80,2%. Capaian nilai indeks kondisi tersebut menggambarkan rumah tersebut, baik bagian depan maupun belakang, berada dalam kondisi sedang (61%-80%). Identifikasi jenis kayu memperlihatkan bahwa rumah bagian depan menggunakan kayu Saninten (Castanopsis sp.) sebagai reng dan Kamper (Dryobalanops sp.) sebagai kaso. Sedangkan rumah bagian belakang menggunakan kayu Bentawas (Wrightia sp.) sebagai reng dan kayu Meranti (Shorea sp.) sebagai kaso. Perhitungan sisa masa pakai kayu komponen penyusun struktur atap rumah tersebut, menunjukkan bahwa komponen kayu rumah bagian depan dan belakang berturut-turut masih aman digunakan sampai tiga dan lima tahun mendatang. DAFTAR PUSTAKA [BPS] Biro Pusat Statistik. (2011). Statistik Kabupaten Bogor, BPS, Jakarta. Ba, N., Thin, N.N., Tonanon, N. dan Sudo, S., 1995. Wrightia R.Br.In: Lemmens, R.H.M.J., Soerianegara, I. and Wong, W.C. (Editors). Plant Resources of South-East Asia No. 5(2): Timber trees; Minor commercial timbers. Backhuys Publisher, Leiden, The Netherlands. Bahtiar, E.T., Nugroho, N., Arinana, dan Darwis, A. (2012). “Pendugaan Sisa Umur Pakai Kayu Komponen Cooling Tower di Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) Unit II Kamojang.” Jurnal Teknik Sipil, Vol.19, No. 2, Agustus, hal 103-114, Fakultas Teknik Sipil dan Lingkungan ITB, Bandung. Barbara, M. (2000). “Creep of beams of wood and wood-based materials under transverse load”. Proceeding of World Conference on Timber Engineering. British Columbia, 31 July – 3 August 2000, Whistler Resort Canada. Bazant, Z.P., and Meiri, S. (1985). “Measurement of compression creep of wood at humidity changes.” Wood Sci. Technol, Vol. 19, No. 2, hal179-182, Springer-Verlag, New York USA. Gowda, C., Kortesmaa, M., and Ranta-Maunus, A. (1996). “Long term creep tests on timber beams in heated and non-heated environments”. VTT Building Technology, Technical Research Center of Findland.
Jurnal Ilmu dan Teknologi Hasil Hutan 5(2):15-22 (2012)
22
Hoffmeyer, P. (1990). “Failure of wood as influenced by moisture and duration of load.” Doctoral dissertation. College of Environmental Science and Forestry, State University of New York, Syracuse, N.Y., USA. Kasmudjo. (2010). Teknologi Hasil Hutan, Cakrawala Media, Yogyakarta. Leivo, M. (1992). “Modeling the creep for the wood structures.” Rakenteinden Mekaniika, Vol. 25 No. 2, hal 39-57, Finnish Association for Structural Mechanics, Finland. Mandang, Y.I. dan Pandit I.K.N. (2002). Pedoman Identifikasi Jenis Kayu di Lapangan, Yayasan Prosea, Bogor. Mardikanto, T.R., Karlinasari, L., dan Bahtiar, E.T. (2011). Sifat Mekanis Kayu, IPB Press, Bogor.
Jurnal Ilmu dan Teknologi Hasil Hutan 5(2):15-22 (2012)
Bahtiar, et al
Martawijaya, A., dan Kartasujana, I., (2005). Atlas Kayu Indonesia, Departemen Kehutanan, Bogor. Sulaiman (2005). “Keterandalan Konstruksi Bangunan Pendidikan (Studi Kasus pada Gedung Sekolah Dasar).” Thesis, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Suryadi, D. 2005. “Kekokohan Konstruksi Bangunan Sekolah Dasar Negeri (Studi Kasus :Kec. Cibarusah Kab. Bekasi).” Skripsi, Fakultas Teknik Universitas Pakuan, Bogor. Yayasan Lembaga Penyelidikan Masalah Bangunan. (1978). Peraturan Konstruksi Kayu Indonesia (PKKI) NI-5 1961. Departemen Pekerjaan Umum, Direktorat Jenderal Ciptakarya.