LENTERA Jurnal Ilmiah Kependidikan Vol. 8. No 1 (2013) 20-29
ISSN: 0216-7433
IMPLIKASI TEORI VAN HIELLE DALAM PEMBELAJARAN GEOMETRI
Zahra Chairani Program studi Pendidikan Matematika STKIP PGRI Banjarmasin Jl.Sultan Adam Kompleks H. Iyus. No. 18 Banjarmasin 70121
Abstrak Kurangnya pemahaman pada konsep geometri di sekolah dasar diduga karena pendekatan dalam pembelajaran geometri tidak mempertimbangkan tingkat perkembangan siswa dan bahan pembelajaran geometri tidak sesuai dengan tingkat berpikir siswa atau konstruksi bahan pelajaran tidak sesuai dengan konstruksi geometri formal. Salah satu teori yang sangat mendasar untuk digunakan dalam pembelajaran geometri dan merupakan fokus pembahasan pada penelitian ini adalah penggunaan teori Van Hielle.Tujuan penulisan ini adalah untuk memberikan gambaran tentang implikasi pembelajaran geometri di sekolah dasar berdasarkan Teori van Hielle. Teori van Hielle dalam teorinya membagi tahapan berpikir siswa dalam tahap visualisasi, tahap analisis, tahap dedfuksi informal, tahap deduksi dan rigor. Sedangkan tahapan dalam pembelajaran Van Hielle membagi dalam tahap inquiri, tahap orientasi terarah, tahap uraian, tahap orientasi bebas dan tahap integrasi. Contoh pembelajaran geometri pada makalah ini merupakan pembelajaran geometri di Sekolah Dasar berdasarkan tahapan pembelajaran berdasarkan Teori van Hielle pada tahapan Kata Kunci : tahapan berpikir , geometri, teori van Hielle
PENDAHULUAN Menarik untuk membicarakan pandangan berbagai ahli matematika yang dapat diimplementasikan dalam pembelajaran. Pengertian tentang keruangan merupakan hal penting untuk menginterpretasi, memahami, dan dihargai sebagai sifat-sifat dalam dunia geometri. Geometri telah mengambil semua ruang dimana anak-anak tinggal, bernafas dan bergerak. Ruang dimana siswa harus belajar untuk mengetahui, mengeksplor, agar dapat hidup , bergerak dan bernafas dengan lebih baik. (NCTM, 1989). Matematika sekolah memberikan dasar pemahaman tentang keruangan melalui dasar-dasar teori geometri. Pembelajaran geometri yang membangun aktivitas praktis dan pemahaman konseptual dalam pembelajaran matematika sekolah sangat diperlukan. Salah satu teori yang sangat mendasar untuk digunakan dalam pembelajaran geometri adalah penggunaan teori Van Hielle. Teori ini menunjukkan bahwa tingkat berpikir geometri siswa dapat dipakai sebagai
20
Zahra Chairani/ LENTERA Jurnal Ilmiah Kependidikan Vol. 8. No 1 (2013) 20-29
prediktor kemampuan siswa dalam menulis bukti geometri. Disamping itu informasi tentang tingkat perkembangan konsep geometri dapat digunakan untuk pertimbangan penyusunan bahan geometri. Hal yang sama dikemukakan dalam berbagai laporan hasil penelitian antara lain Bobango (1993) dalam bukunya Geometry For All students, Burger & Culpepper (1993) dalam bukunya Caracterizing The van Hiele Levels of Development in Geometry, hasil penelitian Zubaedah (1999) yang berjudul Membangun Konsepsi Geometry Melalui Model Perubahan Konseptual Berpandu Pada Teori van Hiele pada Siswa Kelas V SD dan Nuraeni (2000) yang berjudul Model Pembelajaran untuk Memahami Konsep Unsur-unsur Bangun ruang dan Balok Berdasarkan Kesalahan Siswa Kelas V SD serta hasil penelitian Husnaeni (2001) yang berjudul Membangun Konsep Segitiga Melalui Penerapan Teori Van Hiele Pada Siswa Kelas IV SD. Dalam perkembangan kurikulum 2006, Lampiran Standar Isi dalam Permen 22 tahun 2006 berisikan Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar merupakan standar minimal dari kompetensi yang harus dikuasai siswa selama mengikuti pembelajaran di jenjang satuan pendidikan. Hasil penelitian kepustakaan dari Chairani.Z (2013) menunjukkan adanya relevansi antara rumusan kompetensi dasar dengan tingkatan berpikir siswa dalam belajar geometri di Sekolah Dasar dalam tahap visualisasi, analisis, deduksi informal, deduksi, dan rigor. Tingkat Deduksi dan rigor belum nampak pada rumusan standar kompetensi dasar . Sehingga dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa pembelajaran geometri di Sekolah Dasar baru sampai pada tahap berpikir tahap visualisasi, analisis dan deduksi informal. Tulisan ini mencoba untuk melihat implikasi teori van Hielle dalam pembelajaran geometri sebagaimana yang diharapkan dari tahapan berpikir dalam teori tersebut. IMPLIKASI TEORI VAN HIELLE DALAM GEOMETRI SEKOLAH DASAR Sutawijaya (1997) menyatakan bahwa untuk menyusun pembelajaran matematika di Sekolah Dasar, paling sedikit diperlukan 2 (dua) aspek penting, yaitu sifat matematika dan tingkat perkembangan berpikir siswa. Sifat matematika yang abstrak dan dan aksiomatik, simbolik dan deduktif umumnya sulit untuk dipahami siswa di Sekolah Dasar. Oleh karena itu konsep atau ide matematika perlu untuk disesuaikan dengan tingkat perkembangan berpikir siswa. Hudojo (1990) menyatakan bahwa jika seseorang mempelajari konsep B dalam matematika yang mendasarkan pada konsep A, maka seseorang harus memahami terlebih dahulu konsep A. Hal ini sesuai dengan pendapat Eggen dan Kauchak (1998) yang menyatakan bahwa salah satu prinsip yang mempengaruhi hasil belajar adalah pengetahuan awal siswa . Suatu rangkaian pembelajaran dapat diwujudkan dengan benda-benda konkrit, gambar, diagram dan simbol. Siswa sekolah dasar belum mampu untuk menyerap konsep matematika secara formal dan abstrak secara langsung , akan
21
Implikasi Teori Van Hielle dalam Pembelajaran Geometri
tetapi dapat diberikan secara bertahap dari pengenalan, pengelompokkan, mengurutkan, sampai siswa dapat memahami sifat-sifat hubungan dan akhirnya menerapkan sifat-sifat yang sudah dipahaminya. Fuys(1988) dalam Husnaeni (2001) menyatakan bahwa untuk membantu siswa melewati tahap berpikir dari suatu tahap ketahap berikutnya dalam belajar geometri diperlukan pengalaman belajar yang sesuai dengan tahapan berpikir siswa. Proses untuk penguasaan ide atau konsep-konsep matematka memerlukan waktu dan tahapan yang relevan. Salah satu hipotesis deduktif tentang perkembangan siswa yang berkaitan dengan belajar matematika khususnya dalam geometri adalah teori perkembangan berpikir van Hielle. Van Hielle dalam teorinya menyatakan bahwa seseorang dalam belajar geometri akan mengikuti 5 tahap perkembangan berpikir yaitu tahap visualisasi, analisis, deduksi informal, deduksi, dan rigor. (Burger & Culpeper, 1993: 141243) Dalam hal ini setiap tahap menunjukkan karakteristik proses berpikir seseorang dalam memahami geometri. Ke-5 tahap tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut: 1. Tahap visualisasi Menurut Clement dan Batista (1992: 427), tahap visualisasi adalah tahap pengenalan konsep-konsep geometri dalam matematika yang di dasarkan pada karakteristik visual atau penampakan bentuknya. Dalam hal ini penalaran siswa masih didominasi oleh persepsinya. Pemahaman siswa terhadap bangun-bangun geometri masih berdasarkan pada kesamaan bentuk dari apa yang dilihatnya. Bangun geometri dikenal secara keseluruhan bukan secara bagian-bagian. Pada tahap ini siswa dapat membedakan suatu bangun dengan lainnya tanpa harus menyebutkan sifat-sifat masing-masing bangun tersebut. Kemampuan berpikir siswa masih berdasarkan pada kesamaan bentuk secara visual. Sebagai contoh, siswa dapat mengenal suatu bagun persegi panjang, karena bentuknya seperti ” papan tulis” . Dalam hal ini siswa belum dapat menyebutkan unsur-unsur persegi panjang seperti panjang dan lebar. Jadi pada tahap ini siswa belum dapat menentukan sifat-sifat dan karakteristik bangun geometri yang ditunjukkan. 2.Tahap Analisis Clemen & Batista (1992) dalam Husnaeni (2001: 28) menyatakan bahwa siswa pada tahap ini mengakui dan dapat mencirikan bentuk-bentuk bangun geometri berdasarkan sifat-sifatnya, dan sudah tampak adanya analisis terhadap konsep-konsep geometri. Sebagai contoh , melalui pengamatan, eksperiman, mengukur, menggambar, melipat, membuat model dan sebagainya siswa dapat mengenali karakteristik dan menemukan beberapa komponen yang mencirikan kelas suatu bangun. Meskipun demikian siswa belum sepenuhnya bisa menjelaskan hubungan antara sifat-sifat tersebut. Jadi belum bisa melihat hubungan antara berbagai bangun, begitu pula dalam memahami definisi. 3. Tahap Deduksi Informal Tahap ini dikenal dengan tahap abstraksi/relasional ( Clemen & Batista, 1992: 427). Pada tahap ini menurut Kahfi (2000), siswa dapat melihat hubungan sifat-sifat dalam suatu bangun (misal dalam jajar genjang, sisi yang berhadapan sejajar berakibat sudut-sudut yang berhadapan juga sama besar. Siswa dapat menyusun definisi abstrak (definisi menjadi bermakna), siswa juga dapat
22
Zahra Chairani/ LENTERA Jurnal Ilmiah Kependidikan Vol. 8. No 1 (2013) 20-29
menemukan sifat-sifat dari kumpulan bangun pada tahap berpikir deduksi informal. Ketika siswa menemukan sifat-sifat dari berbagai bangun, mereka merasa perlu mengorgansir sifat-sifat tersebut. Satu sifat bisa menjadi menjadi perantara sifat-sifat lain, sehingga definisi tidak sekedar sebagai bentuk deskripsi, akan tetapi sebagai cara pengorganisasian yang logis. Dari kemampuan berpikir ini akan menjadi jelas mengapa persegi adalah persegi panjang, karena siswa dapat menemukan bahwa sifat-sifat persegi ada pada semua sifat-sifat persegipanjang. Perorganisasian yang logis dari ide-ide ini merupakan ungkapan pertama dari deduksi yang benar. Akan tetapi siswa tetap belum memahami bahwa deduksi logis adalah metode untuk membangun kebenaran geometri. Produk penalaran siswa pada tahap ini adalah reorganisasi dari ide-ide yang telah dipahami sebelumnya dengan menghubung-hubungkan antara sifat-sifat bangun dengan kelas-kelasnya (Husnaeni: 2001) 4. Tahap Deduksi Tahap ini juga dikenal dengan deduksi formal (Clements & Batista, 1992) Siswa yang telah mencapai kemampuan berpikir tahap ini telah dapat menyusun teorema-teorema dalam sistem aksiomatis, dapat mengkonstruksi bukti-bukti orisinil. Menurut Husnaeni (2001), siswa dapat membuat serangkaian pernyataanpernyataan logis yang memenuhi untuk menarik kesimpulan yang merangkum pernyataan tersebut. Siswa telah dapat memahami hubungan timbal balik antara syarat perlu dan cukup. Siswa juga berpeluang untuk mengembangkan lebih dari satu cara pembuktian, dan menyadari perlunya pembuktian melalui serangkaian penalaran deduktif. 5. Rigor Pada tahap ini siswa bernalar secara formal dalam sistem matematika, dan dapat mengkaji geometri tanpa referensi model-model. Sasaran penalaran adalah hubungan-hubungan antara konstruk-konstruk formal. Produk penalarannya adalah mengelaborasi dan membandingkan sistem-sistem aksiomatis pada geometri. Menurut pandangan van Hiele, pembelajaran geometri hanya akan efektif apabila sesuai dengan struktur kemampuan siswa (Husnaeni, 2001). Dengan demikian pengorganisasian pembelajaran baik isi dan materi maupun strategi pembelajaran merupakan peran strategis dalam mendorong kecepatan siswa untuk melalui tahap-tahap belajar geometri. Van Hiele dalam Kahfi (2000) berkeyakinan bahwa tingkat yang lebih tinggi tidak diperoleh guru lewat ceramah, akan tetapi melalui pemilihan latihan yang tepat. Oleh karena itu van Hiele menawarkan lima tahap pembelajaran yang berurutan dan sekaligus merupakan peran guru dalam mengelola proses pembelajaran, yaitu (1) Inquiri, (2) Orientasi Terarah, (3) Uraian , (4) Orientasi bebas, dan (5) Integrasi. ( D’Augustine dan Smith, 1992; Clement dan Batista, 1992). Ke-5 tahap tersebut akan dijelaskan sebagai berikut: Tahap I: Inquiri Pada tahap ini, konsep-konsep baru di geometri diperkenalkan melalui interaksi antara guru dan siswa. Pertanyaan yang diajukan diharapkan akan
23
Implikasi Teori Van Hielle dalam Pembelajaran Geometri
mendorong siswa untuk meneliti dan mengamati, tentang perbedaan dan kesamaan obyek. Tujuan kegiatan ini antara lain digunakan untuk memperoleh informasi tentang pengetahuan awal siswa untuk materi yang akan dipelajari dan dan dapat mengarahkan siswa pada pembelajaran selanjutnya. Tahap 2: Orientasi Terarah Pada tahap ini guru mengarahkan siswa untuk meneliti karakteristik khusus dari obyek-obyek yang dipelajari. Tujuan pembelajaran pada tahap ini adalah agar (1) siswa secara aktif melakukan kegiatan eksplorasi obyek-obyek (seperti mengukur, melipat) untuk menemukan hubungan sifat-sifat dari bentuk-bentuk bangun, (2) mengarahkan siswa dan membimbingnya dalam kegiatan eksplorasi sehingga mendapatkan hubungan sifat-sifat dari bentuk-bentuk geometri Tahap 3: Uraian Pada tahap ini guru memberikan kesempatan pada siswa untuk membagi pengalamannya tentang bangun yang diamatinya dengan menggunakan bahasanya sendiri. Pada fase ini siswa diberikan peluang untuk menguraikan pengalamannya, mengekspresikan, dan mengubah pengetahuan intuitif mereka yang tidak sesuai dengan struktur bangun yang diamati. Bobango (1993) menyatakan bahwa aktivitas siswa dalam tahap ini adalah mengkomunikasikan pendekatan dan temuan mereka kepada teman-temannya yang lain. Peran guru pada tahap ini adalah mengarahkan siswa ketahap pemahaman pada obyek-obyek, ide-ide geometri, hubungan, pola-pola dan sebagainya melalui diskusi antar siswa dengan menggunakan bahasa siswa sendiri. Tahap 4: Orientasi bebas Pada tahap ini siswa mendapatkan tugas-tugas dalam bentuk pemecahan masalah, dimana mereka diarahkan agar dapat menyelesaikannya masalah dengan cara mereka sendiri dalam berbagai cara. Tahap orientasi bebas bertujuan agar siswa memperoleh pengalaman menyelesaikan permasalahan dengan strategi sendiri. Guru berperan memfasilitasi soal-soal geometri yang memungkinkan siswa untuk menyelesaikan permasalahan. Tahap 5: Integrasi Pada tahap ini siswa direncanakan untuk membuat revieu dan ringkasan dari apa yang telah dipelajarinya. Dalam hal ini guru berperan mendorong siswa untuk membuat ringkasan , dan mengkonsolidasikan hasil pengamatan maupun penemuan mereka yang telah didiskusikan dan mengklarifikasi pengetahuan mereka. Dalam penerapannya tahapan van Hielle tidak harus dilakukan secara berurut, akan tetapi dapat dilakukan secara berulang tergantung dari pemahaman siswa. Apabila dalam suatu tahap dianggap siswa belum dapat memahami materi, maka pelajaran dapat diulangi pada tahap sebelumnya. Untuk jelasnya tahap tersebut dapat dilihat pada Gambar 2.1 berikut.
24
Zahra Chairani/ LENTERA Jurnal Ilmiah Kependidikan Vol. 8. No 1 (2013) 20-29
Masuk (awal) tahap
Inquiri/Informasi
Orientasi Terarah
Uraian
Orientasi Bebas
Integrasi
Akhir(tahap baru) Gambar 2.1. Penerapan Tahap Belajar van Hielle (Burger & Culpepper, 1993) Keterangan : Tanda panah ( ) menunjukkan urutan tahap pembelajaran Tanda panah ( ) menunjukkan pengulangan pada tahap pembelajaran sebelumnya. Berikut ini suatu contoh implementasi fase-fase pembelajaran teori berdasarkan van Hielle dalam materi Geometri di kelas IV semester 2 Sekolah Dasar dengan standar kompetensi dan kompetensi dasar berikut. Standar Kompetensi : Memahami sifat bangun ruang sederhana dan hubungan antar bangun datar Kompetensi Dasar : 8.1 Menentukan sifat-sifat bangun ruang sederhana 8.2 Menentukan jaring-jaring balok dan kubus 8.3 Mengidentifikasi benda-benda dan bangun datar simetris 8.4 Menentukan hasil pencerminan suatu bangun datar Dari empat kompetensi dasar tersebut, contoh implikasi tahapan teori van Hielle dipilih untuk kompetensi dasar 8.2 , yaitu menentukan jaring-jaring balok dan kubus. Uraian setiap tahap dapat dilihat pada Tabel berikut ini
25
Implikasi Teori Van Hielle dalam Pembelajaran Geometri
Tabel Hubungan Fase dan Kegiatan Pembelajaran Fase Pembelajaran Fase 1. Inquiri / Informasi
Fase 2. Orientasi Terarah
Fase 3 ; Uraian
Kegiatan Pembelajaran • Dengan Tanya jawab guru lakukan eksplorasi atau menggali pengetahuan / konsep yang telah dipahami siswa sebelumnya tentang sifat-sifat bangun ruang sederhana seperti kubus, balok, prisma dan limas. Untuk mengarah pada tujuan pembelajaran, pertanyaan diarahkan pada pengertian tentang permukaan kubus , balok , prisma dan limas yang sudah dipelajari sebelumnya • Siswa dibagi dalam beberapa kelompok kelompok, masing-masing beranggotakan 4-6 orang . Masing-masing kelompok diberikan paket alat peraga berupa kubus, balok, prisma dan limas . Kemudian siswa diminta untuk membuka kubus , balok , prisma dan limas tersebut sehingga semua permukaannya dapat dibabarkan menjadi bidang datar • Guru mengarahkan siswa untuk menyalin seluruh permukaan setiap bangun ruang yang diberikan pada kertas yang tersedia, dan meminta masing-masing kelompok untuk mengenali bentuk dari masing-masing permukaan setiap bangun ruang tersebut. . Guru meminta siswa untuk menjelaskan bentuk masing-masing permukaan setiap bangun ruang tersebut. Dengan menggunakan metode tanya jawab guru mengenalkan nama jaringjaring untuk semua permukaan bangun ruang yang dapat dibentuk dari sebuah bangun ruang jika permukaan tersebut kembali dirangkai kembali Bersama-sama siswa mengidentifikasi bentuk-bentuk permukaan dari setiap bangun ruang yang dapat dirangkai kembali menjadi jaring-jaring
26
Zahra Chairani/ LENTERA Jurnal Ilmiah Kependidikan Vol. 8. No 1 (2013) 20-29
Fase 4. Orientasi bebas
Fase 5. Integrasi
Guru meminta siswa dalam kelompoknya, menemukan banyaknya jaring-jaring kubus dan jaring-jaring balok yang berbeda dengan caranya sendiri Siswa dapat menemukan sebanyakbanyaknya kemungkinan yang dapat mereka temukan Setiap kelompok diminta menggambarkan berbagai jaring-jaring kubus dan balok yang ditemukannya . .
• Guru meminta setiap kelompok melaporkan hasil jaring-jaring yang ditemukan dan mengelompokkannya menjadi berbagai jaringjaring yang berbeda untuk kubus dan balok. PENUTUP
Teori van Hielle merupakan suatu teori tentang tahap berpikir siswa dalam pembelajaran matematika khususnya geometri. Implikasi teori ini dijelaskan melalui contoh pembelajaran geometri di sekolah dasar yang diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi para guru khususnya guru Sekolah Dasar sebagai salah satu pendekatan untuk mengajar geometri agar membuat pembelajaran menjadi lebih efektif. DAFTAR PUSTAKA Bell.H.Frederick. 1978. Teaching and Learning Mathematics (In Secondary School). United States of America: Brown Company Publisher. Bobango, J.C. 1993. Geometry For All Students: Phase-based Instruction. Dalam G.Cueves & M.Driscoll (Eds). Reaching All Students With Mathematics. Reton, VA. National Council of Teachers of Mathematics. Burger,W. F & Culpepper, B. 1993. Restructuring Geometry. Dalam P.S. Wilson.(Ed). Research Ideas for the Classroom (High school Mathematics). New York: Macmillan Publishing Company. Burger,W. F & Shaughnessy, J.M.1986. Caracterizing The van Hiele Levels of Development in Geometry. Journal for Research in mathematics Education.
27
Implikasi Teori Van Hielle dalam Pembelajaran Geometri
Burger,W. F & Gary L.Musser . 1991. Mathematics for Elementary Teachers A Contemporary Approach (Third Edition). Macmillan College Publishing Company. New York. Chairani.Z (2013). Relevansi Standar Isi dan Standar Proses dalam Geometri Sekolah Dasar dengan Tahapan Berpikir dan Tahapan Pembelajaran Berdasarkan Teori van Hielle. Hasil Penelitian STKIP PGRI Banjarmasin. Tidak diterbitkan. Clement, D.H, dan Batista, M.T. 1992. Geometry and Spatial Reasoning. Dalam D.A. Grouws (Ed). Hand book of Research on Mathematics and Learning. N ew York: Macmillan Publishing Company. Depdiknas, 2005. Peraturan Pemerintah Nomor 19 /2005 tentang Standar Nasional Pendidikan . Jakarta. ------------. 2006.Lampiran Peraturan Pemerintah Nomor 22 /2006 tentang Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar Matematika Sekolah Dasar . Jakarta. -------------. 2007. Peraturan Menteri Nomor 41/ 2007, Tentang Standar Proses Fuys, D., Geddes, D., & Tischler, R. (1988). The van Hiele model of Thinking in Geometry Among Adolescents. JRME Monograph Number 3. Grouws. A.Douglas. 1992. Handbook of Research on Mathematics Teaching and Learning. A Proyect of the National Council of Teachers of Mathematics (NCTM). New York: Macmilian Publishing Company Hudojo, H. 1990. Srategi Mengajar Belajar Matematika. Malang: IKIP Malang. -------------. 2000. Suatu Usaha Meningkatkan Kemampuan Siswa Dalam Belajar Matematika. Makalah disampaikan pada Seminar nasional Pengajaran Matematika Sekolah Menengah, Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UM, 4 April. Husnaeni (2001). Membangun Konsep Segitiga Melalui Penerapan Teori Van Hiele Pada Siswa Kelas IV Sekolah Dasar. Tesis tidak diterbitkan.Malang: PPS Universitas Negeri Malang. Kahfi, M.S. 2000. Merancang Pembelajaran Geometri di Sekolah Berdasarkan Tahap- Tahap Belajar Van Hiele. Makalah disampaikan pada Seminar Nasional Pengajaran Matematika Sekolah Menengah, Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UM, 25 Maret l. Mestika, Z. 2008. Metode Penelitian Kepustakaan. Yayasan Obor Indonesia . Jakarta.
28
Zahra Chairani/ LENTERA Jurnal Ilmiah Kependidikan Vol. 8. No 1 (2013) 20-29
Nuraeni. 2000. Model Pembelajaran untuk Memahami Konsep Unsur-unsur Bangun ruang dan Balok Berdasarkan Kesalahan Siswa Kelas V Sekolah Dasar Tesis tidak diterbitkan.Malang: PPS Universitas Negeri Malang. Slavin, R.E. 1994. Educational Psychology Theory and practice (4th Edition). Boston: Allyn and Bacon. Soedjadi, R. 1999/2000. Kiat Pendidikan Matematika di Indonesia: Konstatasi Keadaan Masa Kini Menuju Harapan Masa Depan. Jakarta: Ditjen dikti, Depdiknas.
29