IMPLIKASI PERUBAHAN BENTUK PERUMKA MENJADI PERSERO TERHADAP HAK-HAK KARYAWAN PT. KERETA API INDONESIA
TESIS
Oleh
SUPARDI 077005134/HK
S
C
N
PA
A
S
K O L A
H
E
A S A R JA
SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2009 Supardi : Implikasi Perubahan Bentuk Perumka Menjadi Persero Terhadap Hak-Hak Karyawan PT. Kereta Api Indonesia, 2009
IMPLIKASI PERUBAHAN BENTUK PERUMKA MENJADI PERSERO TERHADAP HAK-HAK KARYAWAN PT. KERETA API INDONESIA
TESIS
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Magister Humaniora dalam Program Studi Ilmu Hukum pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara
Oleh
SUPARDI 077005134/HK
SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2009 Supardi : Implikasi Perubahan Bentuk Perumka Menjadi Persero Terhadap Hak-Hak Karyawan PT. Kereta Api Indonesia, 2009
Judul Tesis
Nama Mahasiswa Nomor Pokok Program Studi
: IMPLIKASI PERUBAHAN BENTUK PERUMKA MENJADI PERSERO TERHADAP HAK-HAK KARYAWAN PT. KERETA API INDONESIA : Supardi : 077005134 : Ilmu Hukum
Menyetujui Komisi Pembimbing
(Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH) Ketua
(Dr. Sunarmi, SH, M.Hum) Anggota
Ketua Program Studi
(Dr. Mahmul Siregar, SH, M.Hum) Anggota
Direktur
(Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH)(Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B., MSc)
Tanggal lulus : 19 Agustus 2009 Supardi : Implikasi Perubahan Bentuk Perumka Menjadi Persero Terhadap Hak-Hak Karyawan PT. Kereta Api Indonesia, 2009
Telah diuji pada Tanggal 19 Agustus 2009
PANITIA PENGUJI TESIS
Ketua
: Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH
Anggota
: 1. Dr. Sunarmi, SH, M.Hum 2. Dr. Mahmul Siregar, SH, M.Hum 3. Prof. Dr. Budiman Ginting, SH, M.Hum 4. Syafruddin S. Hasibuan, SH, MH, DFM
Supardi : Implikasi Perubahan Bentuk Perumka Menjadi Persero Terhadap Hak-Hak Karyawan PT. Kereta Api Indonesia, 2009
ABSTRAK
Perubahan status Perusahaan Umum (Perum) Kereta Api menjadi PT. Kereta Api Indonesia (Persero) terjadi pada tahun 1999 berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 1998 tentang Pengalihan Bentuk Perum Kereta Api Menjadi Perusahaan Perseroan (Persero). Perubahaan bentuk ini didasarkan pada keinginan ideal untuk mewujudkan perusahaan kereta api yang mandiri dan mampu menghasilkan laba dengan pengelolaan yang lebih profesional dan berbasis pada prinsip-prinsip tata kelola perusahaan yang baik. Terwujudnya keinginan tersebut dengan sendirinya akan membawa pengaruh yang lebih baik terhadap karyawan berupa peningkatan kesejahteraan karyawan. Namun pada kenyataannya perubahan bentuk perusahaan tersebut menimbulkan sejumlah persoalan, tidak terkecuali persoalan yang menyangkut pada kejelasan status dan kesejahteraan karyawan. Penelitian tentang implikasi perubahan bentuk Perumka menjadi Persero terhadap hak-hak karyawan PT. Kereta Api Indonesia ini dilakukan dengan mempergunakan metode penelitian hukum normatif yang bersifat deskriptif. Bahan-bahan hukum yang dikumpulkan dengan tehnik studi pustaka (library research) dianalisis dengan menggunakan metode analisis normatif kualitatif dengan mengacu pada kerangka teoritis yang relevan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perubahaan status Perum Kereta Api menjadi PT. Kereta Api Indonesia (Persero) tidak diiukti dengan kesiapan untuk menyelesaikan masalah status karyawan dan hak-hak karyawan. Pada periode Perusahaan Jawatan status karyawan perusahaan kereta api adalah pegawai negeri sipil. Berdasarkan PP No. 57 Tahun 1990 status Perusahaan Jawatan Kereta Api diubah menjadi Perumka dan status karyawan lebih lanjut akan ditetapkan dengan Surat Keputusan Bersama antara Menteri Perhubungan, Menteri Keuangan dan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara sesuai tuntutan Pasal 15 PP No. 57 Tahun 1990. Pada tahun 1992 Menteri Perhubungan RI mengeluarkan Surat Keputusan No. 18/KP/601/Phb-1992 yang terkesan mengarahkan secara sepihak pilihan karyawan PJKA untuk melepaskan status PNS mereka dengan dalih pilihan tersebut atas permintaan sendiri. Sementara itu SKB sesuai Pasal 15 PP No. 57 Tahun 1990 sampai saat ini belum dikeluarkan yang berarti bahwa masalah status dan hak-hak karyawan eks PJKA belum terselesaikan sepenuhnya, kemudian diundangkan PP No. 19 Tahun 1998 yang membatalkan PP No. 57 Tahun 1990, sehingga menambah rumit permasalahan dikarenakan perusahaan kereta api berubah status lagi menjadi Perusahaan Persero. Seiring perjalan waktu ternyata janji peningkatan tingkat kesejahteraan dan hak-hak karyawan semakin jauh dari kenyataan. Hal ini terbukti dari besaran gaji pokok dasar pensiun dan tunjangan hari tua pegawai Perum maupun PT. Kereta Api Indonesia (Persero) lebih kecil dibandingkan PNS, pelayanan kesehatan pegawai tidak memadai Supardi : Implikasi Perubahan Bentuk Perumka Menjadi Persero Terhadap Hak-Hak Karyawan PT. Kereta Api Indonesia, 2009
dan berada dibawah pelayanan yang diterima PNS, serta tidak adanya kepastian kelangsungan dana pensiun akibat ketidak mampuan perusahaan dalam mengelola dana pensiun. Berdasarkan hal tersebut disimpulkan bahwa perubahan status perusahaan dari perusahaan jawatan menjadi perusahaan umum dan selanjutnya menjadi perusahaan persero lebih didasarkan pada dorongan eksternal dan pengurangan beban anggaran pemerintah bukan didasarkan pada analisis kelayakan terhadap kondisi perusahaan dan kesejahteraan pegawai. Dengan kata lain, perubahan status yang lebih mengarah pada melepaskan perusahaan kereta api sepenuhnya pada mekanisme pasar tersebut pada dasarnya belum tepat untuk dilakukan, apalagi mengingat jasa yang diselenggarakan oleh perusahaan kereta api adalah layanan publik untuk memenuhi tuntutan rakyat atas transportasi yang terjangkau oleh seluruh lapisan masyarakat. Berdasarkan hasil penelitian tersebut sangat diharapkan agar Pemerintah Republik Indonesia segera menyelesaikan masalah pekerja kereta api agar tidak berlarut-larut seperti saat ini dan dengan tetap mengupayakan peningkatan kesejahteraan dan hak-hak pegawai kerta api tersebut.
Kata Kunci : Implikasi Perum, Perubahan menjadi Persero, Hak – hak Karyawan
Supardi : Implikasi Perubahan Bentuk Perumka Menjadi Persero Terhadap Hak-Hak Karyawan PT. Kereta Api Indonesia, 2009
ABSTRACT
Change of Public Company status (Perum) Train become PT. Train Indonesia (Persero) happened in the year 1999 pursuant to Regulation of Government of No. 19 Year 1998 about Transfer Of Form of Perum Train Become Company Of Copartnership (Persero). Perubahaan this form of relied on ideal desire to realize company of self-supporting train and can yield profit with more professional management and base on principles arrange good company management. Its form of the desire by itself will bring better influence to employees in the form of make-up of prosperity of employees. But practically transformation of the company generate a number of problem, do not aside from problem which concerning at clarity of status and prosperity of employees. Research about implication transformation of Perumka become Persero to employees rights of this PT. Train Indonesia is conducted by utilizing method research of law of normatif having the character of is descriptive. collected Law materialss technicsly book study (research library) analysed by using method analyse normatif qualitative by relate [at] relevant theoretical framework. Result of research find that Transformation of status of Perum Train become PT. Train Indonesia (Persero) do not follow with readiness of to finish the problem of employees status and employees rights. At period of Company of Post employees status company of train is public servant of civil. Pursuant to PP No. 57 Year 1990 status Company of Railroads turned into Perumka and furthermore employees status will be specified by letter Decision With between Minister of Communication, Minister for Finance and Minister Utilization of State Aparatus according to demand Section 15 PP No. 57 Year 1990. In the year 1992 Minister of Communication of RI release Decree of No. 18/KP/601/Phb-1992 impressing instruct unilaterally employees choice of PJKA to discharge status of PNS their under the cloak of the choice by request of by self. Meanwhile SKB according to Section 15 PP No. 57 Year 1990 till now not yet been released meaning that the problem of employees rights and status of[is ex PJKA not yet been finished fully, is later;then invited by PP No. 19 Year 1998 canceling PP No. 57 Year 1990, so that growing complicatedly of problems because of company of train change status again become Company of Persero. Along time road;street in the reality promise the make-up of prosperity storey;level and employees rights progressively far from fact. This matter [is] proven from fundamental salary besaran of retired base and old day subsidy of officer of Perum and also of PT. Train Indonesia (compared to Smaller Persero) of PNS, service of health of officer is not adequate and reside in below/ under accepted by service is PNS, and also certainty inexistence of[is continuity of pension fund effect of company unmanageable in managing pension fund. Pursuant to the mentioned concluded that change of company Supardi : Implikasi Perubahan Bentuk Perumka Menjadi Persero Terhadap Hak-Hak Karyawan PT. Kereta Api Indonesia, 2009
status of company of post become public company and hereinafter become company of persero more relied on is motivation of eksternal and mitigation of governmental budget non relied on elegibility analysis to condition of company and prosperity of officer. Equally, change of more status is flange at discharging company of train fully at the market mechanism basically not yet precisely to be conducted, more than anything else remember service carried out by company of train is public service to fulfill people demand of transportation reached by all walks of life. Pursuant to result of the research very expected Republic Government To Indonesia immediately finish the problem of worker of train in order not to long draw out like in this time and fixed strive the make-up of rights and prosperity officer of Train. Key words : Public Company, Company Of Persero, PT. Train Indonesia (Persero), Rights Employees.
Supardi : Implikasi Perubahan Bentuk Perumka Menjadi Persero Terhadap Hak-Hak Karyawan PT. Kereta Api Indonesia, 2009
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis Panjatkan kepada ALLAH SWT atas segala karunia-Nya, rahmat dan hidayah-Nya sehingga Tesis ini dapat diselesaikan dengan baik dan tepat pada waktunya. Tesis ini ditulis dalam rangka memenuhi syarat untuk mencapai gelar Magister Humaniora pada Program Studi Ilmu Hukum, Sekolah Pascasarjana Univesitas Sumatera Utara, Medan. Adapun judul proposal penelitian ini adalah: “ Implikasi Perubahan Bentuk PERUMKA Menjadi Persero Terhadap Hak-Hak Karyawan PT. Kereta Api Indonesia” Di dalam menyelesaikan Tesis ini, penulis banyak memperoleh bantuan baik berupa pengajaran, bimbingan dan arahan dari berbagai pihak. Oleh karena itu Penulis menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya kepada yang terhormat para pembimbing: Prof. Dr. H. Bismar Nasution, S.H., M.H., Dr. Sunarmi, S.H., M.Hum. dan Dr. Mahmul Siregar, S.H., M.Hum. Dimana di tengah-tengah kesibukannya masih tetap meluangkan waktunya untuk memberikan bimbingan, petunjuk, dan mendorong semangat penulis untuk menyelesaikan penulisan Tesis ini. Perkenankanlah juga, penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada semua pihak yang terlibat dalam penyelesaian studi ini, kepada: 1. Direktur Sekolah Pascasarjana Universitas Sumetera Utara, Ibu Prof. Dr. Ir. T.Chairun Nisa B, M.Sc, atas kesempatan menjadi mahasiswa
Supardi : Implikasi Perubahan Bentuk Perumka Menjadi Persero Terhadap Hak-Hak Karyawan PT. Kereta Api Indonesia, 2009
Program Magister Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara. 2. Prof. Dr. H. Bismar Nasution, S.H., M.H., sebagai Ketua Program studi Magister Ilmu Hukum sekaligus sebagai Pembimbing Utama penulis, yang telah meluangkan waktunya untuk membimbing penulis dalam penulisan Tesis ini, serta dorongan dan masukan yang penulis pikir merupakan hal yang sangat penting sehingga Tesis ini selesai di tulis. 3. Dr. Sunarmi, S.H., M.Hum., sebagai Komisi Pembimbing dengan penuh perhatian memberikan dorongan, bimbingan dan saran kepada penulis. 4. Dr. Mahmul Siregar, S.H., M.Hum., sebagai Komisi Pembimbing, dengan penuh perhatian memberikan arahan serta dorongan dalam penulisan Tesis ini. 5. Kedua Orang Tua tercinta yang mendidik dengan penuh rasa kasih sayang, menanamkan budi pekerti yang luhur serta iman dan taqwa kepada ALLAH SWT. 6. Kepada Istri dan Anak-anakku, Saudara-saudara ku, Kakak dan Adik Penulis sayangi, atas kesabaran dan pengertiannya serta memberikan do’a dan semangat kepada penulis dalam menyelesaikan penulisan Tesis ini. 7. Kepada Rekan-rekan di Sekolah pascasarjana, dan rekan-rekan kerja saya yang tidak dapat disebutkan satu persatu.
Supardi : Implikasi Perubahan Bentuk Perumka Menjadi Persero Terhadap Hak-Hak Karyawan PT. Kereta Api Indonesia, 2009
Semoga ALLAH SWT membalas jasa, amal dan budi baik tersebut dengan pahala yang berlipat ganda. Akhirnya penulis berharap semoga Tesis ini dapat memberi manfaat dan menyampaikan permintaan yang tulus jika seandainya dalam penulisan ini terdapat kekurangan dan kekeliruan di sana-sini, penulis juga menerima kritik dan saran yang bertujuan serta bersifat membangun untuk menyempurnakan penulisan Tesis ini.
Medan,
Juli 2009
Penulis,
SUPARDI
Supardi : Implikasi Perubahan Bentuk Perumka Menjadi Persero Terhadap Hak-Hak Karyawan PT. Kereta Api Indonesia, 2009
RIWAYAT HIDUP
Nama
:
Supardi
Tempat/Tanggal Lahir
:
Lubuk Pakam, 24 September 1962
Jenis Kelamin
:
Laki-laki
Agama
:
Islam
Pekerjaan
:
BUMN PT. Kereta Api (Persero)
Alamat
:
Jalan. Bilal Gg Karya No. 294 B Medan
Pendidikan
:
SD Negeri Lubuk Pakam Tamat Tahun 1976 ST Negeri Lubuk Pakam Tamat Tahun 1980 STM Swasta Lubuk Pakam Tamat Tahun 1983 Strata Satu (S1) Universitas Dharmawangsa Tamat Tahun 2001 Strata Dua (S2) Sekolah Pascasarjana Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara Tamat Tahun 2009
Supardi : Implikasi Perubahan Bentuk Perumka Menjadi Persero Terhadap Hak-Hak Karyawan PT. Kereta Api Indonesia, 2009
DAFTAR ISI Halaman ABSTRAK ................................................................................................. i ABSTRACT ................................................................................................ iii KATA PENGANTAR ............................................................................... v RIWAYAT HIDUP ................................................................................... viii DAFTAR ISI ............................................................................................. ix BAB I
PENDAHULUAN ................................................................... 1 A. Latar Belakang ....................................................................
1
B. Perumusan Masalah ............................................................ 21 C. Tujuan Penelitian ................................................................. 22 D. Manfaat Penelitian .............................................................. 23 E. Keaslian Penulisan .............................................................. 24 F. Kerangka Teori dan Konsepsi .............................................. 24 G. Metode Penelitian ............................................................... 33
BAB II
LATAR BELAKANG PERUBAHAN BENTUK PERUSAHAAN KERETA API DARI PERUSAHAAN UMUM (PERUM) MENJADI BADAN PERUSAHAAN PERSERO ............................................................................... 39 A.
Peranan Birokrasi Dalam Mengupayakan Good Governance . 39
B.
Good Governance dan Implementasi Kebijakan Sumber Daya Manusia (SDM) SPKA PT KA (Persero).................... 48 1. Upaya Pemerintah Untuk Menerapkan Prinsip-Prinsip Good Governance ............................................................ 49 2. Transparansi Dalam Keuangan Berdasarkan Good Governance ..................................................................... 52 3. Peran Aparatur Biro Hukum Dalam Good Governance .... 53
Supardi : Implikasi Perubahan Bentuk Perumka Menjadi Persero Terhadap Hak-Hak Karyawan PT. Kereta Api Indonesia, 2009
4.
Implementasi GCM dalam Kebijakan Pengelolaan Sumber Daya Manusia (SDM) ...................................... 59
5. Latar Belakang Perubahan bentuk Perusahaan Kereta Api dari Perusahaan Umum (Perum) menjadi Perusahaan Persero........................................................................... 64 BAB III
IMPLIKASI PERUBAHAN BENTUK PERUM MENJADI PERSERO TERHADAP STATUS KARYAWAN PT. KERETA API INDONESIA ............... 70 A. Dampak Pengalihan Bentuk Perusahaan............................. 70 B. Frekuensi Tuntutan Meninggi ........................................... 84 C. Santunan Purna Jabatan ..................................................... 89 D. Masukan Untuk RUPS ...................................................... 93
BAB IV
HAK-HAK KARYAWAN PT. KERETA API INDONESIA SETELAH TERJADINYA PERUBAHAN BENTUK PERUM MENJADI PERSERO ........................ 101 A. Perjanjian Kerja Bersama (PKB) …………………………..101 B. Hak-Hak Karyawan PT KA (Persero) ...............................115 C. Hak-Hak Pekerja Perum Kereta Api...................................125
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN ..............................................128 A. Kesimpulan .......................................................................128 B. Saran .................................................................................132
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................133
Supardi : Implikasi Perubahan Bentuk Perumka Menjadi Persero Terhadap Hak-Hak Karyawan PT. Kereta Api Indonesia, 2009
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkeretaapian
sebagai
salah
satu
moda
transportasi
memiliki
karakteristik dan keunggulan khusus, terutama dalam kemampuannya untuk mengangkut, baik orang maupun barang secara massal, menghemat energi, menghemat penggunaan ruang, mempunyai faktor keamanan yang tinggi, memiliki tingkat pencemaran yang rendah, serta lebih efisien dibandingkan dengan moda transportasi jalan untuk angkutan jarak jauh dan untuk daerah yang padat lalu lintasnya, seperti angkutan perkotaan. Berdasarkan keunggulan dan karakteristik perkeretaapian tersebut, peran perkeretaapian perlu lebih ditingkatkan dalam upaya pengembangan sistem transportasi nasional secara terpadu. Untuk itu, penyelenggaraan perkeretaapian yang dimulai dari pengadaan, pengoperasian, perawatan, dan pengusahaan perlu diatur dengan sebaik-baiknya sehingga dapat terselenggara angkutan kereta api yang menjamin keselamatan, aman, nyaman, cepat, tepat, tertib, efisien, serta terpadu dengan moda transportasi lain. Dengan demikian, terdapat keserasian dan keseimbangan beban antarmoda transportasi yang mampu meningkatkan penyediaan jasa angkutan bagi mobilitas angkutan orang dan barang. 1
1
Suryo Hapsoro Tri Utomo, “Sejarah Transportasi Kereta Api”, Dikutip dari http://sipilugm.wordpress.com/2008/08/11/sejarah-kereta-api-indonesia/, Diakses tanggal 12 Februari 2009.
Supardi : Implikasi Perubahan Bentuk Perumka Menjadi Persero Terhadap Hak-Hak Karyawan PT. Kereta Api Indonesia, 2009
Sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1992 tentang Perkeretaapian, sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 23 Tahun 2007 tentang Perkeretaapian, kondisi perkeretaapian nasional yang masih bersifat monopoli dihadapkan pada berbagai masalah, antara lain kontribusi perkeretaapian terhadap transportasi nasional masih rendah, prasarana dan sarana belum memadai, jaringan masih terbatas, kemampuan pembiayaan terbatas, tingkat kecelakaan masih tinggi, dan tingkat pelayanan masih jauh dari harapan. 2 Memperhatikan
hal-hal
tersebut,
peran
Pemerintah
dalam
penyelenggaraan perkeretaapian perlu dititikberatkan pada pembinaan yang meliputi penentuan kebijakan, pengaturan, pengendalian, dan pengawasan dengan
mengikutsertakan
peran
masyarakat
sehingga
penyelenggaraan
perkeretaapian dapat terlaksana secara efisien, efektif, transparan, dan dapat dipertanggungjawabkan. Secara de-facto hadirnya kereta api di Indonesia dimulai dengan dibangunnya jalan rel sepanjang 26 km pada lintas Kemijen-Tanggung yang dibangun oleh NV. Nederlandsch Indische Spoorweg Maatschappij (NIS). Pembangunan jalan rel tersebut dimulai dengan penyangkulan pertama pembangunan badan jalan rel oleh Gubernur Jenderal Belanda Mr. L.A.J. Baron Sloet Van De Beele pada hari Jum’at tanggal 17 Juni 1864. Jalur kereta api lintas Kemijen-Tanggung mulai dibuka untuk umum pada hari Sabtu, 10 2
Ibid.
Supardi : Implikasi Perubahan Bentuk Perumka Menjadi Persero Terhadap Hak-Hak Karyawan PT. Kereta Api Indonesia, 2009
Agustus 1867. Sedangkan landasan de-jure pembangunan jalan rel di Jawa ialah disetujuinya undang-undang pembangunan jalan rel oleh pemerintah Hindia Belanda tanggal 6 April 1875. 3 Sejarah
perjuangan
Bangsa
Indonesia
mencatat
pengambilalihan
kekuasaan perkereta-apian dari pihak Jepang oleh Angkatan Moeda Kereta Api (AMKA) pada peristiwa bersejarah tanggal 28 September 1945. Pengelolaan kereta api di Indonesia telah ditangani oleh institusi yang dalam sejarahnya telah mengalami beberapa kali perubahan. Institusi pengelolaan dimulai dengan nasionalisasi seluruh perkereta-apian oleh Djawatan Kereta Api Indonesia (DKARI), yang kemudian namanya dipersingkat dengan Djawatan Kereta Api (DKA), hingga tahun 1950. Institusi tersebut berubah menjadi Perusahaan Negara Kereta Api (PNKA) pada tahun 1963 dengan PP. No. 22 tahun 1963, kemudian dengan PP. No. 61 tahun 1971 berubah menjadi Perusahaan Jawatan Kereta Api (PJKA). Perubahan kembali terjadi pada tahun 1990 dengan PP. No. 57 tahun 1990 status perusahaan jawatan diubah menjadi perusahaan umum sehingga PJKA berubah menjadi Perusahaan Umum Kerata Api (Perumka). Perubahan besar terjadi pada tahun 1998, yaitu perubahan status dari Perusahaan Umum Kereta Api menjadi PT Kereta Api (Persero), berdasarkan PP. No. 19 tahun 1998.
3
Ibid.
Supardi : Implikasi Perubahan Bentuk Perumka Menjadi Persero Terhadap Hak-Hak Karyawan PT. Kereta Api Indonesia, 2009
Perusahaan Umum (PERUM) Kereta Api yang didirikan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 57 Tahun 1990 dialihkan bentuknya menjadi Perusahaan Perseroan (PERSERO) sebagaimana dimaksud dalam Undangundang Nomor 9 Tahun 1969 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 1 Tahun 1969 (Lembaran Negara Tahun 1969 No. 16; Tambahan Lembaran Negara No. 2890) tentang Bentuk-Bentuk Usaha Negara Menjadi Undang-Undang. 4 Pengalihan bentuk Perusahaan Umum (PERUM) Kereta Api dinyatakan bubar pada saat pendirian Perusahaan Perseroan (PERSERO) tersebut dengan ketentuan bahwa segala hak dan kewajiban,
kekayaan serta pegawai
Perusahaan Umum (PERUM) Kereta Api yang ada pada saat pembubarannya beralih kepada Perusahaan Perseroan (PERSERO) yang bersangkutan. 5 Maksud dan tujuan Perusahaan Perseroan (PERSERO) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 adalah untuk menyelenggarakan usaha sebagai berikut: a. Usaha pengangkutan orang dan barang dengan kereta api; b. Kegiatan perawatan prasarana perkeretaapian; c. Pengusahaan prasarana kereta api; d. Pengusahaan usaha penunjang prasarana dan sarana kereta api. 6
4
Republik Indonesia, Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 1998 tentang Pengalihan Bentuk Perusahaan Umum (Perum) Kereta Api Menjadi Perusahaan Perseroan (Persero), Pasal 1 angka (1). 5 Ibid., Pasal 1 angka (2) 6 Ibid., Pasal 2.
Supardi : Implikasi Perubahan Bentuk Perumka Menjadi Persero Terhadap Hak-Hak Karyawan PT. Kereta Api Indonesia, 2009
Peralihan status PT Kereta Api Indonesia (KAI) yang semula berbentuk perum menjadi PT Persero mengakibatkan beban yang karena harus digolongkan dalam kelompok harus dapat untung. 7 Meskipun pemberian status PT (perseroan terbatas) Persero itu merupakan pemberian "gengsi" yang lebih baik daripada status sebagai perusahaan umum (perum) atau perusahaan jawatan (Perjan). Bahkan status Persero membuat manajemen mengalami kesulitan sebab kalau ingin untung harus dengan pengetatan di berbagai pos sehingga mengurangi mutu layanan. Tetapi, kalau memberi layanan wajar berarti harus merugi. Setelah perubahan PT KAI memang berkembang menjadi perusahaan yang kurang
efisien,
produktivitas
per
pegawainya sangat
rendah.
Dengan
pendapatan tahun 2000 sekitar Rp 2,2 trilyun dan 32.000 pegawai, maka produktivitas per pegawai cuma Rp 68,7 juta dan untung perusahaan sekitar Rp 10,7 milyar. Bandingkan dengan PT Telkom yang pendapatannya sekitar Rp 10 trilyun, 38.000 pegawai, produktivitas mencapai sekitar Rp 263 juta, untungnya sekitar Rp 3,4 trilyun. 8 Dilihat dari biaya operasi dan perawatan yang sangat tinggi, maka ada dua yang dikorbankan, biaya pegawai dan biaya perawatan. Biaya operasi tinggi karena memang komponen-komponen produksinya juga tinggi. Tanpa dihitung
7
Moch S. Hendrowijono, “PT KA Menerima Beban Begitu Berat”, Dikutip dari http://www.hendrowijono.com/index.php?option=com_content&view=article&id=473:pt-kereta-apiindonesia-menerima-beban-terlalu-berat&catid=34:perhubungan, Diakses tanggal 12 Februari 2009. 8 Ibid.
Supardi : Implikasi Perubahan Bentuk Perumka Menjadi Persero Terhadap Hak-Hak Karyawan PT. Kereta Api Indonesia, 2009
harga pokok kereta dan lokomotif saja, biaya operasi langsung sudah sangat besar. Misalnya harga BBM yang naik terus, tarif listrik (khususnya untuk KRL) juga tinggi karena PT KAI masuk dalam kelompok usaha. Permasalahannya adalah PT KAI masih menanggung beban penugasan pemerintah tanpa mendapat kompensasi, sehingga sangat memberatkan keuangannya. Dari hitungan PSO (public service obligation) sebagai pelaksana tugas dari pemerintah, seharusnya tahun 2000 pemerintah membayar Rp 434,5 milyar,
ditambah
biaya
pemeliharaan
dan
operasi
prasarana
(IMO-
Infrastructure Maintenance & Operation) Rp 399 milyar, tetapi harus mengembalikan ke pemerintah sewa track dan aksesnya (TAC-Track Access Charge) sebesar Rp 592 milyar. Alhasil, mestinya PT KAI menerima bersih dari pemerintah sekitar Rp 241 milyar. Berapa yang diterima tahun lalu, cuma Rp 59,2 milyar, karena kemampuan pemerintah memang sebesar itu. 9 Padahal, utamanya kereta-kereta kelas ekonomi tingkat biaya perawatannya lebih tinggi, antara lain karena selalu dipadati penumpang sehingga mudah aus, juga akibat kejahilan masyarakat. Misalnya pencurian kelengkapan kereta, pelemparan kaca jendela, atau naik KA tidak bayar. Apabila di perhatikan, PT KAI sebenarnya mempunyai peluang besar dalam meraih penumpang kelas-kelas eksekutif, yang hasilnya bisa digunakan untuk menutup biaya operasinya. Apalagi pemerintah sudah memberi peringatan akan makin sedikitnya dana APBN untuk sektor transportasi. Menurut mantan ketua 9
Ibid.
Supardi : Implikasi Perubahan Bentuk Perumka Menjadi Persero Terhadap Hak-Hak Karyawan PT. Kereta Api Indonesia, 2009
Komisi V, Burhanuddin Napitupulu, hanya Rp 6,5 trilyun di tahun 2002, yang untuk Jawa saja sudah kurang. Padahal PT KAI berambisi membangun jalur ganda baik Jakarta-Surabaya maupun Kroya-Surabaya yang biayanya bisa trilyunan. Menurut Dirjen Perhubungan Darat Susmono Soesilo, biaya double track kalau dari APBN pasti murah, sementara dari pos bantuan luar negeri (BLN) sangat mahal. 10 PT KAI, ingin tarif KA ekonomi naik untuk menutup kekurangan PSO. Selain itu, dipikirkan juga untuk menutup trayek-trayek KA yang sangat merugi, dengan dampak mengurangi beban lintas dan beban perawatan prasarana. Yang jadi masalah, apakah pemerintah punya keberanian politik untuk menaikkan tarif kelas ekonomi. 11 Kereta api termasuk salah satu sarana angkutan tua di Indonesia. Dibangun dan dioperasikan oleh pemerintah Belanda dan ”dikembangkan” oleh Indonesia setelah merdeka. Banyak stasiun kereta api buatan Belanda sampai sekarang masih dioperasikan, baik di Jakarta maupun di kota-kota lainnya. Tapi banyak pula stasiun kereta api yang ditinggalkan alias tidak dioperasikan lagi tanpa alasan yang jelas. Dilihat dari regulasi yang mengatur perkeretaapian Indonesia, dapatlah disimpulkan sarana angkutan massal itu sejak diambil alih dari Belanda hingga kini telah mengalami perubahan status yang luar biasa. Pada mulanya perusahaan Negara terdiri atas tiga bentuk badan usaha, yaitu perusahaan
10 11
Ibid. Ibid.
Supardi : Implikasi Perubahan Bentuk Perumka Menjadi Persero Terhadap Hak-Hak Karyawan PT. Kereta Api Indonesia, 2009
jawatan (Perjan), perusahaan umum (Perum) dan perusahaan perseroan (Persero). Setelah keluarnya UU No. 19 Tahun 2003 tentang BUMN maka perubahan Negara terdiri atas Perum dan Persero. Perkeretaapian Indonesia pada awal kemerdekaan hanyalah berstatus sebagai salah satu bagian dari Departemen Perhubungan dengan nama jawatan kereta api Indonesia. Dalam perkembangannya instansi ini kemudian diubah menjadi perusahaan jawatan. Sejak itulah badan-badan usaha milik negara di Indonesia terkelompok dalam apa yang disebut Perjan, Perum dan Persero. Perkeretaapian Indonesia pada mulanya berstatus Perjan. Di sini campur tangan pemerintah 100 persen. Semua hal yang menyangkut manajemen, perencanaan dan keuangan, diatur dan ditetapkan pemerintah. Dengan berbagai alasan, statusnya kemudian ”ditingkatkan” menjadi Perum. Di sini unsur-unsur bisnis mulai dilekatkan dalam manajemen perusahaan. Tidak lama setelah itu statusnya ”dinaikkan” lagi menjadi Persero dengan embel-embel PT (Perseroan Terbatas), yang tak sama dengan PT swasta murni. Tapi bagaimana hasil dari semua ”peningkatan” itu? Apakah telah terjadi perbaikan yang signifikan akibat perubahan status itu? Jawabannya tidak. PT KAI masih merugi. Memang terjadi perbaikan dan pengembangan, tapi secara keseluruhan perbaikan itu belumlah seimbang dengan pelayanan yang masih jauh dari bagus. Keluhan calon penumpang dan penumpang, masih terdengar di sana sini. Penumpang naik di atap kereta api masih jadi tontonan biasa. Penumpang tak berkarcis masih sangat banyak, dan petugas yang Supardi : Implikasi Perubahan Bentuk Perumka Menjadi Persero Terhadap Hak-Hak Karyawan PT. Kereta Api Indonesia, 2009
menerima bayaran di atas kereta, yang menyimpang dari ketentuan, juga masih bebas melakukan aksinya seolah tak takut dengan sanksi administrasi. Kesemuanya mencerminkan pengelolaan perkeretaapian Indonesia masih semrawut kalau tak mau dikatakan amburadul. 12 Sepintas, menyangkut aturan-aturan perjalanan kereta api barangkali menjadi wewenang Departemen perhubungan telekomunikasi sedang mengenai penggajian atau kesejahteraan wewenang BUMN. 13 Tahun 1996, Bank Dunia memberikan utang berupa Railway Efficiency Project atau Proyek Efisiensi Perkeretaapian (PEP) kepada Pemerintah Indonesia. PEP merupakan proyek ketiga yang diberikan Bank Dunia untuk moda transportasi kereta api sampai tahun 1996. PEP sendiri diberikan setelah the first railway project di tahun 1974 dan The Railway Technical Assistance Project yang diberikan pada tahun 1987. Proyek pertama untuk kereta api bertujuan “to arrest the decline in the railway’s share in land transport and to increase its capacity and efficiency through a program of rehabilitation and modernization, including a substantial amount of technical assistance and practical training” 14 Proyek utang kemudian dilanjutkan dengan The Railway Technical Assistance Project yang menurut laporan Bank Dunia dianggap berhasil. Proyek Bantuan Teknis untuk pengelolaan perkeretaapian Indonesia telah mengubah struktur pengelolaan perkeretaapian Indonesia dari Perusahaan 12
Ibid. Ibid. 14 World Bank 1996 Hal 6 13
Supardi : Implikasi Perubahan Bentuk Perumka Menjadi Persero Terhadap Hak-Hak Karyawan PT. Kereta Api Indonesia, 2009
Jawatan Kereta Api (PJKA) menjadi Perusahaan Umum Kereta Api (PERUMKA) tahun 1990. Dua proyek ini yang mendorong Bank Dunia memberikan utang ketiga untuk pengelolaan perkeretaapian Indonesia melalui PEP. Tujuan utama yang diharapkan dari PEP ini sendiri seperti yang tertuang dalam dokumen Staff Appraisal Report Bank Dunia 15 meliputi : a) reformasi sektor perkeretaapian melalui hubungan antara pengelola kereta api (operator)
dengan
pemerintah,
sekaligus
membangun
landasan
dalam
mendorong partisipasi swasta, b) rasionalisasi investasi modal sektor perkeretaapian, c) pengembangan manajemen dan operasional perkeretaapian, dan d) peningkatan kapasitas fisik pada koridor utama kereta api. Kalau dibandingkan dengan pemberian utang Bank Dunia untuk sektor transportasi lainnya terutama pengembangan infrastruktur angkutan jalan raya yang berbasis pada otomotif, proyek Bank Dunia untuk kereta api relatif sedikit di mana sampai pada tahun 1996 utang Bank Dunia untuk jalan raya sudah mencapai 15 proyek. PEP terdiri atas lima komponen yang terdiri atas: a) Policy reform involving restructuring of Perumka into a persero and reform of government corporate interfaces;
15
Ibid, Hal 27
Supardi : Implikasi Perubahan Bentuk Perumka Menjadi Persero Terhadap Hak-Hak Karyawan PT. Kereta Api Indonesia, 2009
b) Improvements to the railway between Jakarta and Bandung (170 km) to expand capacity, shorten passenger journey times, and improve safety in this important passenger and freight corridor; c) Implementation of a modern track maintenance system on Java; d) Implementation
of
e
diesel
electric
locomotive
unit
exchange
maintenance system on Java; e) Strengthening of Perumka’s management 16 Secara keseluruhan, besarnya anggaran Proyek Efisiensi Perkeretaapian ini mencapai US$ 207.3 juta yang ditanggung oleh tiga pihak yaitu Pemerintah Indonesia, PT Kereta Api, dan Bank Dunia. Bank Dunia berkomitmen akan memberikan utang sebesar US$ 105 juta, meskipun kemudian implementasinya hanya mencapai US$ 85,2 juta dengan alasan proyek tidak berjalan sesuai dengan yang diharapkan alias tidak memuaskan 17 . Pada bulan Agustus 1998 terjadi pembatalan US$ 20 juta dari yang direncanakan oleh Bank Dunia, sehingga pinjaman yang diterima tinggal US$ 85 juta, terdiri atas pinjaman pemerintah US$ 65,2 juta dan pinjaman PT KAI US$ 19,8 juta. Pinjaman pemerintah
digunakan
untuk
pengembangan
koridor
Jakarta-Bandung,
perbaikan dan pemeliharaan track. Pinjaman PT KAI digunakan untuk reformasi kebijakan/restrukturisasi perkeretaapian, pemeliharaan lokomotif,
16 17
Ibid Ibid, World Bank, Hal 5
Supardi : Implikasi Perubahan Bentuk Perumka Menjadi Persero Terhadap Hak-Hak Karyawan PT. Kereta Api Indonesia, 2009
dan penguatan kelembagaan 18 . Penjelasan mengenai jalannya proyek pada beberapa laporan yang diulas oleh Bank Dunia (2008), PEP berjalan tidak sesuai dengan target yang diharapkan atau unsatisfactory. Hal yang sama juga diungkap dalam laporan pelaksanaan proyek yang dirilis tahun 2005, di mana PEP dianggap tidak sesuai terutama dengan tujuan pertama proyek ini yaitu reformasi sektor perkeretaapian. Menurut Bank Dunia, sampai hari ini belum ada
perubahan
secara
signifikan
dalam
struktur
perkeretaapian
yang
memberikan ruang bagi masuknya swasta. Adapun penyebab utama tidak tercapainya tujuan tersebut adalah adanya resistensi internal perkeretaapian terhadap perubahan itu sendiri, terutama masuknya peran swasta dalam perkeretaapian Indonesia. Selain juga karena kondisi obyektif yang terjadi di tahun 1997 yaitu adanya krisis ekonomi yang melanda Indonesia, sehingga berdampak pada terhambatnya beberapa rencana pengembangan sistem perkeretaapian yang sudah direncanakan dalam PEP. Pertanyaan mendasar adalah benarkah penyebab utama gagalnya PEP ini disebabkan oleh faktor internal perkeretaapian itu sendiri, atau karena kondisi obyektif yang tengah terjadi di Indonesia? Kemungkinan lain rekomendasi yang tertuang dalam proyek itu sendiri tidak sesuai dengan kehendak masyarakat perkeretaapian yang meliputi para pengambil kebijakan (regulator), operator (PT KA), atau kehendak masyarakat sebagai pengguna kereta api? Lebih tragis lagi bilamana rekomendasi tersebut lebih mencerminkan 18
Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, Tahun 2003
Supardi : Implikasi Perubahan Bentuk Perumka Menjadi Persero Terhadap Hak-Hak Karyawan PT. Kereta Api Indonesia, 2009
kepentingan Bank Dunia sendiri terhadap sistem perkeretaapian di Indonesia. Nyatanya, situasi perkeretaapian di Indonesia hingga kini belum menunjukkan peningkatan kualitas layanan secara berarti. Sebaliknya, yang terjadi justru semakin menurunnya kualitas pelayanan kereta api terutama kereta api ekonomi dan juga masih tingginya angka kecelakaan kereta api. Menurut Bank Dunia, kerugian yang harus ditanggung kereta api sangat memberatkan pemerintah dengan pemberian subsidi yang besar. Juga terjadi inefisiensi dalam pengelolaan sistem perkeretaapian akibat sistem ketenagakerjaan yang tidak efisien. Itu sebabnya, perlu ada restrukturisasi dalam pengelolaan kereta api di Indonesia. Belum lagi beban anggaran yang sangat besar yang harus ditanggung untuk merawat dan mengembangkan infrastruktur perkeretaapian yang sebagian besar sudah tua. Bahkan hingga kini masih digunakan infrastruktur kereta api yang dibangun di masa Belanda. Alasan inilah yang dipakai Bank Dunia untuk menyatakan bahwa kereta api harus melakukan efisiensi dengan menerapkan prinsip-prinsip bisnis untuk meraih keuntungan, sehingga ke depan kereta api seyogyanya tidak mendapatkan subsidi pemerintah. Berkaitan dengan hal tersebut, Bank Dunia mendorong diterapkannya sistem pembiayaan melalui sistem public service obligation (PSO), infrastructure maintenance and operation (IMO), dan track access charge (TAC) yang diharapkan transparan dan akuntabel. Saran Lembaga Keuangan Multilateral itu, swasta perlu diberi peranan untuk mengurangi monopoli perkeretaapian di Indonesia yang selama Supardi : Implikasi Perubahan Bentuk Perumka Menjadi Persero Terhadap Hak-Hak Karyawan PT. Kereta Api Indonesia, 2009
ini dipegang oleh PT Kereta Api (PT KA). Saran tersebut dibarengi dengan saran agar diadakan rasionalisasi buruh PT KA yang selama ini strukturnya dianggap terlalu “gemuk”. Termasuk juga pengembangan beberapa koridor dengan
tingkat
beban,
baik
penumpang
maupun
barang,
yang
lebih
menjanjikan seperti pengembangan koridor Jakarta - Bandung. Perubahan kondisi kereta api tidak hanya terjadi di sarana dan prasarana, melainkan juga dalam struktur manajemen. Melalui Peraturan Pemerintah (PP) No. 61/1971, struktur pengelolaan perkeretaapian Indonesia diubah menjadi PJKA yang memiliki tujuan penuh bagi pelayanan publik. Status badan hukum ini mengalami perubahan seiring dengan keluarnya PP No. 57/1990 tentang pengalihan bentuk usaha dari PJKA ke PERUMKA. Lahirnya PP ini merupakan hasil rekomendasi Proyek Bantuan Teknis untuk Perkeretaapian yang didanai utang Bank Dunia. Pada saat inilah pengelolaan kereta api didorong untuk meraih keuntungan dengan menerapkan prinsip-prinsip efisiensi dan efektivitas. Dorongan untuk meraih keuntungan kemudian diperteguh dalam PP No. 19/1998 tentang pengalihan bentuk usaha dari PERUM menjadi persero (PT) yang tunduk pada aturan Kitab UndangUndang Hukum Dagang (KUHD). 19 Sejarah gerakan buruh kereta api juga berjalan seiring dengan perkembangan perkeretaapian di Indonesia, baik perkembangan maupun
19
Infid, Working Paper No. 1, 2008, Proyek Efisiensi Perkeretaapian, hal.5
Supardi : Implikasi Perubahan Bentuk Perumka Menjadi Persero Terhadap Hak-Hak Karyawan PT. Kereta Api Indonesia, 2009
kemundurannya. Gerakan buruh kereta api di Indonesia memiliki sejarah yang panjang seiring dengan sejarah perkeretaapian. Serikat buruh kereta api merupakan serikat buruh pertama di Indonesia dengan berdirinya Staats Spoor Bond (SS-Bond) yang dibentuk oleh para amtenar dan pegawai perusahaan pemerintah tahun 1905, kemudian diikuti berdirinya Vereniging van Spoor – en Tramweg Personeel (VSTP) yang dibentuk oleh buruh kereta api di Semarang tahun 1908 20 . VSTP inilah yang menjadi kekuatan buruh paling progresif di masanya dan menjadi cikal bakal gerakan yang terorganisasi melawan kolonialisme Belanda dan melahirkan organisasi perlawanan rakyat seperti Sarikat Islam di bawah kepemimpinan Semaoen. Serikat buruh kereta api merupakan serikat buruh yang secara aktif memperjuangkan nasib para anggotanya mulai dari tuntutan jam kerja delapan jam sehari, upah yang layak, tunjangan dan penyelesaian perselisihan perburuhan. Ketentuan-ketentuan yang digunakan dalam hal proses pengalihan status pegawai Perumka menjadi pegawai PT KA: a) Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 1998 tentang Pendirian Perusahaan Perseroan. Isi Pasal 1 ayat (2) berbunyi; Pendirian perusahaan perseroan dengan ketentuan bahwa segala hak dan kewajiban, kekayaan serta pegawai Perusahaan Umum Kereta Api yang
20
Sadali 2002 Hal 24
Supardi : Implikasi Perubahan Bentuk Perumka Menjadi Persero Terhadap Hak-Hak Karyawan PT. Kereta Api Indonesia, 2009
saat pembubarannya beralih kepada Perusahaan Perseroan (Persero) yang bersangkutan. b) Pasal 38 PP No. 12 Tahun 1998 tentang Perusahaan Perseroan (Persero) berbunyi;
Pegawai
Persero
merupakan
pekerja
persero
yang
pengangkatan dan pemberhentian, kedudukan, hak serta kewajibannya ditetapkan berdasarkan perjanjian kerja sesuai dengan perundangundangan di bidang ketenagakerjaan. Berdasarkan isi Pasal 6
PP No. 19 Tahun 1998 tentang Pengalihan
bentuk (Perum) Kereta Api menjadi Perusahaan Perseroan (Persero) berbunyi; terhitung sejak berdirinya Perusahaan perseroan, maka PP No. 57 Tahun 1990 dinyatakan tidak berlaku lagi. Masalahnya kemudian adalah penyelesaian status kepegawaian belum tuntas, karena belum dikeluarkannya SKB menteri sesuai isi Pasal 57 PP No. 57 Tahun 1990 dan sudah dinyatakan tidak berlaku lagi sesuai isi Pasal 6 PP No. 16 Tahun 1998. Sehubungan dengan itu ada 2 (dua) kemungkinan proses yang dapat dilaksanakan dalam rangka penyelesaian persoalan status kepegawaian yaitu: (1) PNS PJKA dialihkan menjadi pegawai Perumka lalu dialihkan pula menjadi pegawai PT. Kereta Api (Persero); (2) PNS PJKA langsung dialihkan menjadi pegawai PT K (Persero), karena PP No. 57 Tahun 1990 sudah dinyatakan tidak berlaku lagi. PT. Kereta Api (Persero) Didirikan berdasarkan PP No. 19 Tahun 1998 tentang Pengalihan Bentuk Perum Kereta Api menjadi Perusahaan Perseroan Supardi : Implikasi Perubahan Bentuk Perumka Menjadi Persero Terhadap Hak-Hak Karyawan PT. Kereta Api Indonesia, 2009
(Persero). Akte Notaris Imas Fatimah, SH No. 2 Tahun 1999 tanggal 1 Juni 1999 tentang Pendirian Perusahaan (Perseroan) PT Kereta Api (Persero).Masa status perusahaan mulai dari 1 Juni 1999 sampai saat ini. Kemudian pada era PT Kereta Api (Persero), status pegawai adalah Pegawai Persero. Adapun mengenai Pembinaan Kepegawaiannya PT Kereta Api (Persero)Tunduk pada UU Ketenagakerjaan. Pasal 38 PP No. 12 Tahun 1998 tentang Perusahaan Perseroan (Persero) menyebutkan “Pegawai persero merupakan pekerja persero yang pengangkatan dan pemberhentian, kedudukan, hak serta kewajibannya ditetapkan berdasarkan perjanjian kerja sesuai dengan perundang-undangan di bidang ketenagakerjaan. Pada bagian Penjelasan disebutkan “dengan status ini maka peraturan mengenai kesejahteraan pegawai seperti jaminan kesehatan, kecelakaan, kematian ataupun hari tua diatur oleh persero baik melalui program jamsostek maupun dana pensiun. Pembinaan kepegawaian juga bisa dilakukan melalui Peraturan perusahaan yang disahkan oleh Menteri atau pejabat yang ditunjuk dan pelaksanaannya dilakukan secara bertahap. Kemudian dapat pula diatur dalam Surat kesepakatan bersama antara pengelola perusahaan dengan serikat pekerja. Proses perubahan status kepegawaian itu sendiri diarahkan sedemikian rupa agar pegawai memilih opsi tertentu. Keputusan Mentri Perhubungan RI No. 18/KP/.601/Phb-1992 tersebut antara lain didasarkan pada kesepakatan antara Kepala Biro Kepegawaian Departemen Perhubungan dengan Direktur Supardi : Implikasi Perubahan Bentuk Perumka Menjadi Persero Terhadap Hak-Hak Karyawan PT. Kereta Api Indonesia, 2009
Personalia Perumka. Kesepakatan itu antara lain berisi: (1) Pegawai (PNS) yang telah berusia di atas 50 tahun tetap sebagai Pegawai Negeri Sipil yang diperbantukan di Perumka; (2) Pegawai (PNS) yang berusia di bawah 50 tahun otomatis berubah menjadi Pegawai Perumka dengan melepaskan statusnya sebagai Pegawai Negeri Sipil. 21 Opsi ini pula kemudian mengarahkan pegawai seolah-olah menjatuhkan pilihan atas permintaan sendiri (APS). Secara praktis peraturan atau opsi ini memang terkesan akal-akalan. Karena pembuat peraturan pasti sudah menghitung berapa banyak mereka yang telah berusia 50 tahun dan yang masih berada di bawah 50 tahun. Logikanya tanpa opsi yang demikian maka bisa saja mayoritas pegawai PJKA saat itu memilih tetap berstatus Pegawai Negeri Sipil. Dan bila itu yang terjadi maka dapat dibayangkan betapa beratnya beban pemerintah untuk mendukung perusahaan kereta api saat itu. Lagipula kalau saja pekerja/ karyawan harus keluar dari Perumka, lalu akan kemana harus dipindahkan. Kalau pun ada tempat atau formasi yang bisa menampung, tidak kecil. Banyak faktor yang akan membebani pekerja/ karyawan, apalagi harus pindah tempat tinggal, pindah keluarga, memindahkan pendidikan anak-anak. Pada akhirnya, peraturan dan ketentuan tentang alih status kepegawaian itu secara formal memang menawarkan alternatif atau opsi. Namun secara
21
Jainul A. Dalimunthe, Dari Jalan Hingga Istana, Serikat Pekerja Kereta Api, Bergerak dan Menggebrak, (Jakarta: TIOPS, 2006), hal. 2.
Supardi : Implikasi Perubahan Bentuk Perumka Menjadi Persero Terhadap Hak-Hak Karyawan PT. Kereta Api Indonesia, 2009
praktis dan psikologis pegawai PJKA pada waktu itu, digiring untuk menanggalkan status PNS-nya menjadi pegawai Perumka. Terlepas apakah proses itu dipandang sebagai proses yang berjalan mulus atau bermasalah, nyatanya peralihan status kepegawaian tersebut tetap berlangsung. Hasilnya mayoritas pegawai PJKA yang berstatus PNS saat itu beralih menjadi pegawai Perumka. Pada mulanya ada semacam keyakinan di kalangan pegawai yang beralih status tersebut bahwa masa depan mereka akan lebih cerah. Kesejahteraan mereka akan menjadi lebih baik. Keyakinan itu tentu didasarkan pada kenyataan bahwa pendapatan karyawan/pegawai BUMN pada umumnya lebih baik dibanding PNS. Namun demikian sejalan dengan perputaran waktu, keyakinan tersebut ternyata mengalami degradasi. Apa yang menjadi keyakinan tersebut ternyata tidak terwujud. 22 Ternyata yang terjadi justru pendapatan pegawai Perumka lebih rendah dibanding PNS. Tentu saja hal ini menjadi sangat ironis. Tuntutan SPKA tampak pada kesepakatan bersama antara Direksi PT Kereta Api (Persero) dengan SPKA pada 28 Agustus 2001 pukul 16.20 WIB. Ada dua poin yang disepakati ketika itu, antara lain: (1) Gaji pokok pegawai PT Kereta Api (Persero) naik menjadi 100% gaji pokok PNS baru sesuai Keppres No.64 Tahun 2001, terhitung mulai tanggal 1 Juni sampai dengan 1 Desember 2001; 22
Ibid., hal. 3.
Supardi : Implikasi Perubahan Bentuk Perumka Menjadi Persero Terhadap Hak-Hak Karyawan PT. Kereta Api Indonesia, 2009
(2) Terhitung mulai 1 Januari 2002 gaji pokok pegawai PT Kereta Api (Persero) naik 10 % (menjadi 110% gaji pokok PNS baru sesuai Keppres No.64 Tahun 2001) diproses melalui RUPS RKAP 2002. Kesepakatan yang ditandatangani oleh Direktur Utama PT Kereta Api (Persero) Badar Zaenie dan Ketua Umum SPKA Soedarmo Ramadhan itu menunjukkan bahwa tingkat kesejahteraan pegawai PT Kereta Api (Persero) masih berada di bawah standar pendapatan PNS pada umumnya. 23 Konsisten dengan tuntutan dan kesepakatan tersebut, SPKA kemudian mengeluarkan pernyataan sikap pada tanggal 16 Januari 2002. Intinya mengingatkan Direksi tentang kesepakatan yang ditandatangani sebelumnya. Tiga poin yang menjadi substansi pernyataan sikap ini adalah: (1) Menunjuk surat kesepakatan bersama tanggal 28 Agustus 2001 pukul 16.20 WIB antara Direksi PT Kereta Api (Persero) dengan SPKA; (2) SPKA menuntut dilaksanakan segera kenaikan gaji pokok sebesar 10% dari gaji pokok pegawai PT Kereta Api (Persero) yang berlaku saat itu (dengan dasar perhitungan gaji pokok sesuai dengan Keppres No. 64 Tahun 2001 mengenai Gaji Pokok Pegawai Negeri Sipil); (3) Pelaksanaan pembayaran kenaikan gaji pokok dimaksud paling lambat 1 Februari 2002 (tmt 1 Januari 2002). Kenyataan seperti ini menunjukkan bahwa pendapatan pegawai PT Kereta Api (Persero) ternyata belum juga 23
Ibid., hal. 4.
Supardi : Implikasi Perubahan Bentuk Perumka Menjadi Persero Terhadap Hak-Hak Karyawan PT. Kereta Api Indonesia, 2009
beranjak naik di atas gaji pokok PNS sebagaimana yang diharapkan sebelumnya. Hingga kemudian SPKA berkesimpulan bahwa sesuatu yang salah telah terjadi terkait proses peralihan status pegawai PNS-PJKA menjadi Perumka. Dan sumber masalah munculnya permasalahan tersebut diyakini SPKA adalah Keputusan Menteri Perhubungan RI No. 18/KP.601/Phb-1992 yang dianggap telah merugikan hak-hak pegawai kereta api. 24 Sepintas, menyangkut aturan-aturan perjalanan kereta api barangkali menjadi wewenang Dephubtel sedang mengenai penggajian atau kesejahteraan wewenang BUMN. 25 Manfaat penyelesaian PSL (past service liability) Eks PNS PJKA, yaitu: Menciptakan ketenangan karyawan menghadapi masa pensiun sehingga mendorong kegairahan kerja dan memberi peluang kepada PT. Kereta Api (persero) untuk meningkatkan kesejahteraan pegawai karena tidak dibebani oleh angsuran dana pensiun eks PNS yang belum terselesaikan. 26
B. Perumusan Masalah Berdasarkan uraian dari latar belakang tersebut di atas, selanjutnya dapat dirumuskan permasalahan-permasalahan sebagai berikut:
24
Ibid., hal. 5. Ibid. 26 Dokumen : tentang Pemyelesaian PSL (Edisi Maret 2005) Bandung, Maret 2005 hal. 4 25
Supardi : Implikasi Perubahan Bentuk Perumka Menjadi Persero Terhadap Hak-Hak Karyawan PT. Kereta Api Indonesia, 2009
1. Pertimbangan apa yang melatarbelakangi perubahan bentuk perusahaan Kereta Api dari Perusahaan Umum (Perum) menjadi badan Perusahaan Persero? 2. Bagaimanakah implikasi perubahan bentuk Perum menjadi Persero terhadap status karyawan PT. Kereta Api Indonesia? 3. Bagaimana hak-hak karyawan PT. Kereta Api Indonesia setelah terjadinya perubahan bentuk Perum menjadi Persero?
C. Tujuan Penelitian Adapun yang menjadi tujuan dari pembahasan dalam penelitian ini dapat diuraikan sebagai berikut: 1. Untuk mengetahui Pertimbangan-pertimbangan yang melatarbelakangi perubahan bentuk perusahaan Kereta Api dari Perusahaan Umum (Perum) menjadi perusahaan perseroan terbatas (PT. Persero). 2. Untuk mengetahui implikasi perubahan bentuk Perum menjadi Persero terhadap hak-hak karyawan PT. Kereta Api Indonesia. 3. Untuk mengetahui pengaruh perubahan bentuk Perum menjadi Perusahaan Persero tersebut dengan kesejahteraan karyawan dan upaya-upaya yang dilakukan PT. Kereta Api Indonesia untuk memenuhi kesejahteraan karyawan.
Supardi : Implikasi Perubahan Bentuk Perumka Menjadi Persero Terhadap Hak-Hak Karyawan PT. Kereta Api Indonesia, 2009
D. Manfaat Penelitian Manfaat penulisan yang diharapkan dapat diperoleh dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Secara Teoritis Dapat mengetahui peraturan hukum apa yang dipakai pemerintah untuk tercapainya kesejahteraan karyawan PT. Kereta Api Indonesia. Mengacu pada UU No. 3 Tahun 1992 tentang Kesejahteraan Jamsostek, yaitu terbagi dalam dua hal: a. Untuk pegawai Perum Eks PNS mengacu pada PP No. 64 Tahun 2007; b. Untuk pegawai PT Kereta Api (Persero) murni mengacu pada UU No. 13 Tahun 2003 dan JHT harus membuat Perjanjian Kerja Bersama antara PT Kereta Api (Persero) dengan asuransi jiwasraya (AJS), karena masih mengacu gaji pokok 2001 dan tahun 2009 serta mengacu pada Perjanjian Kerja Bersama. 2. Secara Praktis Dapat menjadi masukan bagi pihak-pihak yang ingin mengetahui lebih lanjut mengenai implikasi perubahan bentuk Perum menjadi Persero terhadap hak-hak karyawan PT. Kereta Api Indonesia. Sehingga dengan adanya penulisan ini pemerintah dapat mengatur upaya peningkatan kesejahteraan karyawan PT. Kereta Api Indonesia. Supardi : Implikasi Perubahan Bentuk Perumka Menjadi Persero Terhadap Hak-Hak Karyawan PT. Kereta Api Indonesia, 2009
E. Keaslian Penulisan Proposal penelitian yang berjudul “Implikasi perubahan bentuk Perum menjadi Persero terhadap hak-hak karyawan PT. Kereta Api Indonesia”, ini sengaja penulis angkat menjadi judul penelitian ini merupakan karya ilmiah yang sejauh ini belum pernah ditulis di lingkungan Sekolah Pascasarjana Magister Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara (USU), terutama yang berkaitan dengan Implikasi perubahan bentuk Perum menjadi Persero terhadap hak-hak karyawan PT. Kereta Api Indonesia. Penulis menyusun penelitian ini berdasarkan referensi buku-buku, media cetak dan media elektronik, juga melalui bantuan dari berbagai pihak.
F. Kerangka Teori dan Konsepsi 1. Kerangka Teori Di antara hiruk pikuk dan berita-berita seputar masalah suprastruktur Badan Usaha Milik Negara (BUMN), tampaknya ada masalah lain yang cukup mendesak untuk disikapi oleh seluruh jajaran manajemen BUMN. Masalah itu adalah bagaimana menciptakan good corporate governance (selanjutnya disingkat dengan GCG) di masing-masing BUMN, mengingat bahwa GCG adalah sebuah sistem yang cukup strategis di dalam pengolahan sebuah entitas bisnis semacam BUMN. Dari
sisi
lain
keinginan
pemerintah
untuk
menciptakan
clean
government dan GCG sudah sangat menggebu. Pemerintah malah sedang giat Supardi : Implikasi Perubahan Bentuk Perumka Menjadi Persero Terhadap Hak-Hak Karyawan PT. Kereta Api Indonesia, 2009
membangun kepercayaan masyarakat dunia, memperkuat struktur ekonomi dan jaringan investasi yang ditandai seringnya presiden beserta rombongan mengunjungi luar negeri. Jika langkah strategis presiden tersebut tidak ditindaklanjuti dalam tahapan operasional, seperti halnya penciptaan clean government dan GCG pada tingkatan entitas bisnis yang ada, maka akan terpupuslah harapan seluruh masyarakat Indonesia yang mendambakan pemulihan perekonomian dalm waktu dekat ini. Sudah selayaknya semua pihak memahami bahwa tanpa adanya satu langkah konkret dari jajaran manajemen masing-masing BUMN untuk mengimplementasikan GCG, tentu tidak akan ada jaminan bahwa suatu perusahaan
akan
dikelola
dengan
memperhatikan
kepentingan
seluruh
stakeholder secara optimal. Selama ini dampak bagi sebagian BUMN juga telah dirasakan. Yaitu lemahnya suatu perusahaan untuk mempertahankan diri dari intervensi berbagai pihak. Dengan demikian timbul kesan kalau roda organisasi dikelola secara tidak profesional dan lebih bernuansa kekerabatan atau politik belaka. Bahkan akronim baru bagi BUMN mulai merebak. Bukan lagi BUMN tetapi bergeser menjadi “Bagi-bagi Uang Milik Negara” atau “Bagian Upaya Mencari Nafkah”.
Supardi : Implikasi Perubahan Bentuk Perumka Menjadi Persero Terhadap Hak-Hak Karyawan PT. Kereta Api Indonesia, 2009
Kegamangan dari beberapa jajaran top manajemen BUMN, sepertinya tidak terlepas dari situasi belum dilakukannya GCG secara konsisten dan full commited. 27 Selain itu, teori yang menyatakan bahwa hukum sebagai sarana pembangunan dapat diartikan, bahwa hukum sebagai penyalur arah kegiatan manusia kearah yang dikehendaki oleh pembangunan atau pembaharuan. Teori ini dikemukakan oleh Roscoe Pound, yakni “Law as A Tool of Social Engineering” 28 . Dimana hukum harus diusahakan bersifat antisipatif, sehingga tidak menghambat laju perkembangan efisiensi ekonomi nasional, mewujudkan iklim usaha yang kondusif melalui peningkatan kesejahteraan karyawan PT. Kereta Api Indonesia. Secara umum terdapat dua faham tentang pelayanan publik. Pertama, yang didasarkan pada prinsip negara kesejahteraan (welfare state); Kedua, yang menganggap pelayanan publik merupakan usaha untuk mendapatkan keuntungan. Konsepsi negara kesejahteraan (welfare state) menempatkan layanan publik sebagai tanggung jawab negara dan digunakan sepenuhnya untuk kesejahteraan rakyatnya. Prinsip ini dianut oleh sebagian besar negara Eropa terutama negara-negara Skandinavia di mana welfare state dipahami sebagai berikut: 27
Dibyo Soemantri Priambodo, Refleksi BUMN 1993-2003, (Yogyakarta: Media Presindo, 2004), hal. 65-66. 28 Roscoe Pound, “Social Control Through Law: Jurnal Postulets”, Cet.1, dikutip dalam Filsafat Hukum dari Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, (Jakarta: Universitas Indonesia, 2001), hal. 578-579, dikutip dari Pound, Jurisprudence, Vol.3, hal.8-10, dikutip dari Stone, Human Law and Human Justice (1965), hal.280.
Supardi : Implikasi Perubahan Bentuk Perumka Menjadi Persero Terhadap Hak-Hak Karyawan PT. Kereta Api Indonesia, 2009
“Political system under which the state (rather than the individual or the private sector) has responsibility for the welfare of its citizens, providing a guaranteed minimum standart of life, and insurance against the interruption or earning through sickness, injury, old age, or unemployment. They take the forms of unemployment and sickness benefits, family allowances, and incomes also include health and education, financed typically through taxation, and the provision of subsidized “social housing”. Subsidized public transport, leisure facilities, and public libraries, with special discounts for the elderly, unemployment, and disabled, are other noncore elements of a welfare state” 29 Penjelasan tersebut menunjukkan bahwa pelayanan publik bagi negara welfare state adalah tanggung jawab negara, termasuk di dalamnya transportasi publik. Pendanaan pelayanan publik oleh negara disediakan baik melalui asuransi sosial yang diterapkan di Jerman maupun melalui pajak seperti yang dilakukan oleh Inggris. 30 Pilihan para pendiri (founding fathers) Indonesia pada sejarah awal pembebasan dari kolonialisme meletakkan landasan konsep Indonesia sebagai negara kesejahteraan. Pendirian para pendiri bangsa ini bisa dilihat dalam amanat konstitusi Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 pada Pasal 33 yang menyatakan bahwa: 1) Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan; 2) Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara; 29 30
Infid, Working Paper No. 1, 2008, Proyek Efisiensi Perkeretaapian, hal.2 Ibid, hal 3
Supardi : Implikasi Perubahan Bentuk Perumka Menjadi Persero Terhadap Hak-Hak Karyawan PT. Kereta Api Indonesia, 2009
3) Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar bagi kemakmuran rakyat. Dalam penjelasan Pasal 33 terdapat penegasan bahwa “Hanya perusahaan yang tidak menguasai hajat hidup orang banyak boleh ada di tangan orang-seorang.” Sebagai bagian agenda liberalisasi pasar global yang didorong oleh IMF dan Bank Dunia, para legislator melakukan amandemen terhadap UUD 1945 sampai empat kali, dimulai tahun 1999 setelah Indonesia mengalami krisis ekonomi. Amandemen keempat UUD 1945 yang ditetapkan tahun
2002,
secara
eksplisit
menghilangkan
kewajiban
negara
dalam
pengelolaan sumber daya yang penting dan menguasai hajat hidup orang banyak dan tidak lagi membatasi aktor-aktor ekonomi mana yang akan terlibat. Pasal 34 ayat 3 amandemen keempat hanya menegaskan bahwa “Negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak”. Berangkat dari amanat konstitusi di atas, negara berkewajiban menyediakan layanan transportasi yang mampu menjawab kebutuhan mobilitas warga. Untuk daerah dengan penduduk yang padat, kereta api merupakan sarana transportasi massal dengan daya angkut yang besar, memiliki tingkat keselamatan yang lebih tinggi dibanding dengan sarana transportasi darat lainnya seperti jalan tol, juga merupakan sarana transportasi yang ramah lingkungan. Dengan demikian, penyediaan dan pengelolaan sarana dan Supardi : Implikasi Perubahan Bentuk Perumka Menjadi Persero Terhadap Hak-Hak Karyawan PT. Kereta Api Indonesia, 2009
prasarana angkutan kereta api seyogyanya menjadi tanggung jawab negara. Sebagai fasilitas publik yang menjadi kebutuhan sebagian besar rakyat Indonesia dan merupakan badan usaha vital bagi peri kehidupan rakyat, negara bertanggungjawab dalam penyediaan dan pengelolaan kereta api. 31 Dalam pembahasan mengenai Implikasi perubahan bentuk Perum menjadi Persero terhadap hak-hak karyawan PT. Kereta Api Indonesia, teori utama yang digunakan adalah teori kedaulatan negara (staats-souvereiniteit) yang dikemukakan oleh Jean Boudin dan George Jellinek. Menurut teori kedaulatan negara, kekuasaan tertinggi ada pada negara dan negara mengatur kehidupan anggota masyarakatnya. Negara yang berdaulat melindungi anggota masyarakatnya terutama anggota masyarakat yang lemah. Pasal 33 Undangundang Dasar 1945 merupakan ketentuan dasar yang mengatur tentang susunan perekonomian
Indonesia. 32
Dalam
penjelasan
pasal
tersebut
diuraikan
ketentuan dasar mengenai demokrasi ekonomi Indonesia. Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasarkan asas kekeluargaan yang bercorak kolektivistis dengan tidak mengabaikan prinsip hak individu. Secara umum, semua orang adalah sama kedudukannya dalam hukum, berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Hak perseorangan dilindungi oleh hukum. Hak perseorangan adalah relatif, sifat
31
Ibid. hal.4. Mahfud MD, Pergulatan Politik dan Hukum di Indonesia, (Jakarta: Gramedia, 1999), hal. 69., Lihat Buku Imam Kabul, MH, Paradigma Pembangunan Hukum di Indonesia, (Yogyakarta: Kurnia Kalam, 2005), hal. 7. 32
Supardi : Implikasi Perubahan Bentuk Perumka Menjadi Persero Terhadap Hak-Hak Karyawan PT. Kereta Api Indonesia, 2009
perseorangan dalam hukum perjanjian menimbulkan gejala-gejala hukum sebagai akibat hubungan hukum antara persoon dengan persoon lainnya. Konsep hukum dan teori hukum dalam sistem mendekatkan hukum pada permasalahan peran sekaligus fungsi hukum. Orang (termasuk dalam pengertian
kelembagaan)
dapat
melakukan
sesuatu
kehendak
melalui
pemanfaatan hukum. 33
2. Kerangka Konsepsi Penelitian tesis ini menggunakan sejumlah konsep hukum yang terkandung dalam variabel penelitian maupun dalam rumusan permasalahan penelitian. Agar tidak terjadi kesalahahaman mengenai konsep-konsep tersebut, maka perlu diuraikan defenisi operasional sebagai berikut: a. Perkeretaapian adalah satu kesatuan sistem yang terdiri atas prasarana, sarana, dan sumber daya manusia, serta norma, kriteria, persyaratan, dan prosedur untuk penyelenggaraan transportasi kereta api; 34 b. Kereta api adalah sarana perkeretaapian dengan tenaga gerak, baik berjalan sendiri maupun dirangkaikan dengan sarana perkeretaapian lainnya, yang akan ataupun sedang bergerak di jalan rel yang terkait dengan perjalanan kereta api; 35
33
Ibid. Undang-undang No. 23 Tahun 2007 tentang Perkeretaapian, Pasal 1 angka 1. 35 Undang-undang No. 23 Tahun 2007 tentang Perkeretaapian, Pasal 1 angka 2. 34
Supardi : Implikasi Perubahan Bentuk Perumka Menjadi Persero Terhadap Hak-Hak Karyawan PT. Kereta Api Indonesia, 2009
c. Perseroan Terbatas, yang selanjutnya disebut Perseroan, adalah badan hukum yang merupakan persekutuan modal, didirikan berdasarkan perjanjian, melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar yang seluruhnya terbagi dalam saham dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas serta peraturan pelaksanaannya. 36 d. Perusahaan Perseroan, yang selanjutnya disebut Persero, adalah BUMN yang berbentuk perseroan terbatas yang modalnya terbagi dalam saham yang seluruh atau paling sedikit 51 % (lima puluh satu persen) sahamnya dimiliki oleh Negara Republik Indonesia yang tujuan utamanya mengejar keuntungan. 37 Saham kepemilikan Persero sebagaian besar atau setara 51% harus dikuasai oleh pemerintah. Karena Persero diharapkan dapat memperoleh laba yang besar, maka otomatis persero dituntut untuk dapat memberikan produk barang maupun jasa yang terbaik agar produk output yang dihasilkan tetap laku dan terus-menerus mencetak keuntungan. Organ Persero yaitu direksi, komisaris dan RUPS/rapat umum pemegang saham. Contoh persero yaitu: PT Jasamarga, Bank BNI, PT Asuransi Jiwasraya, PT PLN, PT Kereta Api dan lain sebagainya.
36 37
Undang-undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, Pasal 1 angka 1. Undang-Undang No. 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara, Pasal 1 angka 2.
Supardi : Implikasi Perubahan Bentuk Perumka Menjadi Persero Terhadap Hak-Hak Karyawan PT. Kereta Api Indonesia, 2009
e. Perusahaan umum atau disingkat Perum adalah perusahaan unit bisnis negara yang seluruh modal dan kepemilikan dikuasai oleh pemerintah dengan tujuan untuk memberikan penyediaan barang dan jasa publik yang baik demi melayani masyarakat umum serta mengejar keuntungan berdasarkan prinsip pengolahan perusahaan. Organ Perum yaitu dewan pengawas, menteri dan direksi. Contoh perum/perusahaan umum yakni: Perum Peruri/PNRI (Percetakan Negara RI), Perum Perhutani, Perum Damri, Perum Pegadaian, dll. 38 f. Tenaga kerja adalah setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan guna
menghasilkan
barang dan/atau
jasa
baik
untuk
memenuhi
kebutuhan sendiri maupun untuk masyarakat. 39 g. Kesejahteraan
pekerja/buruh
adalah
suatu
pemenuhan kebutuhan
dan/atau keperluan yang bersifat jasmaniah dan rohaniah, baik di dalam maupun di luar hubungan kerja, yang secara langsung atau tidak langsung
dapat
mempertinggi
produktivitas
kerja
dalam
lingkungan kerja yang aman dan sehat. 40 h. Hak-hak Karyawan sebagaimana tercantum dalam Pasal 2 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 64 Tahun 2007 tentang
38
“Jenis BUMN (Badan Usaha Milik Negara), Persero dan Perum (Perusahaan Umum)”, Dikutip dari http://organisasi.org/macam-jenis-bumn-badan-usaha-milik-negara-persero-dan-perumperusahaan-umum, Diakses tanggal 16 Februari 2009. 39 Republik Indonesia, Undang-undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, Pasal 1 angka 2. 40 Republik Indonesia, Undang-undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, Pasal 1 angka 31.
Supardi : Implikasi Perubahan Bentuk Perumka Menjadi Persero Terhadap Hak-Hak Karyawan PT. Kereta Api Indonesia, 2009
Penyesuaian
Pensiun
Perhubungan
Pada
Eks
PT
Pegawai
Kereta
Api
Negeri Indonesia
Sipil
Departemen
(Persero),
yang
menyebutkan bahwa: Pegawai berhak menerima: a) Pensiun; b) Tunjangan keluarga; c) Tunjangan pangan; d) Tunjangan pajak penghasilan pensiun. 41
G. Metode Penelitian Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif. Metode penelitian normatif disebut juga sebagai penelitian doktrinal (doctrinal research) yaitu suatu penelitian yang menganalisis hukum baik yang tertulis di dalam buku (law as it is written in the book), maupun hukum yang diputuskan oleh hakim melalui proses pengadilan (law it is decided by the judge through judicial process) 42 Penelitian hukum normatif berdasarkan data sekunder dan menekankan pada langkah-langkah spekulatif-teoritis dan analisis normatifkualitatif. 43
41
Republik Indonesia, Peraturan Pemerintah Nomor 64 Tahun 2007 tentang Penyesuaian Pensiun Eks Pegawai Negeri Sipil Departemen Perhubungan Pada PT Kereta Api Indonesia (Persero), Pasal 2. 42 Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, (Jakarta : Grafitti Press, 2006), hal. 118. 43 J. Supranto, Metode Penelitian Hukum dan Statistik, (Jakarta: Pradnya Paramitha, 2003), hal. 3.
Supardi : Implikasi Perubahan Bentuk Perumka Menjadi Persero Terhadap Hak-Hak Karyawan PT. Kereta Api Indonesia, 2009
1. Jenis dan Sifat Penelitian Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum normatif, yakni penelitian yang difokuskan untuk mengkaji penerapan kaedah-kaedah atau norma-norma dalam hukum positif. Penelitian ini bersifat deskriptif yang ditujukan untuk menggambarkan secara tepat, sifat individu, suatu gejala, keadaan atau kelompok tertentu. 44 Berdasarkan hal tersebut penelitian ini menggambarkan suatu peraturan hukum dalam konteks teoriteori hukum dan pelaksanaanya, serta menganalisis fakta secara cermat tentang implikasi perubahan bentuk Perum menjadi Persero terhadap hakhak karyawan PT. Kereta Api Indonesia. 2. Pendekatan Masalah Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan perundang-undangan (statute approach). Penelitian ini menggunakan pendekatan tersebut karena yang akan diteliti adalah berbagai aturan hukum yang menjadi fokus sekaligus tema sentral suatu penelitian. 45 Analisis hukum yang dihasilkan oleh suatu penelitian hukum normatif yang menggunakan pendekatan perundangundangan, akan menghasilkan tersebut
melakukan
suatu penelitian yang akurat. Pendekatan
pengkajian
peraturan
perundang-undangan
yang
berhubungan dengan Implikasi perubahan bentuk Perum menjadi Persero terhadap hak-hak karyawan PT Kereta Api Indonesia. 44
Koentjaraningrat, Metode-Metode Penelitian Masyarakat, (Jakarta : Prenada Media, 1997),
45
Johnny Ibrahim, Op.cit., hal 302.
hal. 42.
Supardi : Implikasi Perubahan Bentuk Perumka Menjadi Persero Terhadap Hak-Hak Karyawan PT. Kereta Api Indonesia, 2009
3. Sumber Data Penelitian Sumber-sumber penelitian dapat dibedakan menjadi sumber-sumber penelitian yang berupa bahan-bahan hukum primer dan bahan-bahan hukum sekunder serta bahan hukum tersier, yang digunakan dalam penelitian ini. a. Bahan Hukum Primer Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat autoritatif, artinya mempunyai otoritas. Terdiri dari perundang-undangan, catatancatatan resmi atau risalah dalam pembuatan perundang-undangan dan putusan-putusan hakim. Bahan hukum primer yang dipergunakan, antara lain: Undang-undang No. 23 Tahun 2007 tentang Perkeretaapian, Undangundang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, UU BUMN, UU Ketenagakerjaan, PP No. 45 tahun 2005, Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 1998 tentang Pengalihan Bentuk Perusahaan Umum (Perum) Kereta Api Menjadi Perusahaan Perseroan (Persero) atau peraturan suatu badan hukum atau lembaga negara lainnya, serta Perjanjian Kerja Bersama (PKB) PT. KAI. b. Bahan Hukum Sekunder Berupa semua publikasi tentang hukum yang bukan merupakan dokumen- dokumen resmi. Publikasi tentang hukum meliputi buku-buku teks, kamus-kamus hukum, jurnal-jurnal hukum dan komentar-komentar atas putusan pengadilan. Bahan hukum sekunder terutama adalah buku teks karena buku teks berisi mengenai prinsip-prinsip dasar ilmu hukum Supardi : Implikasi Perubahan Bentuk Perumka Menjadi Persero Terhadap Hak-Hak Karyawan PT. Kereta Api Indonesia, 2009
dan pandangan-pandangan klasik para sarjana yang mempunyai klasifikasi tinggi. 46
c. Bahan hukum tersier Berupa bahan hukum penunjang yang memberi petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum sekunder seperti kamus umum, kamus hukum, majalah dan jurnal ilmiah. 47 Jadi penelitian ini menggunakan bahan hukum primer, sekunder dan tertier sebagai sumber penelitian.
4. Tehnik Pengumpulan Data Tehnik pengumpulan data yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah
teknik
mengumpulkan
Studi data
kepustakaan. Studi sekunder
melalui
kepustakaan pengkajian
dilakukan terhadap
perundang-undangan, literatur-literatur, tulisan-tulisan para pakar
untuk
peraturan hukum,
bahan kuliah, dan putusan-putusan pengadilan yang berkaitan dengan penelitian ini. Studi pustaka dalam penelitian ini bertujuan untuk: (1) Memperdalam pengetahuan peneliti tentang masalah yang diteliti; (2) Menegaskan kerangka teoritis dan konseptual yang menjadi landasan kajian; 46
Petter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta : Pradnya Paramitha, 2005), hal 141. Soerjono Soekanto dan Sri Mamudi, Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjauan Singkat, (Jakarta : Grafitti Press, 1990), hal. 14. 47
Supardi : Implikasi Perubahan Bentuk Perumka Menjadi Persero Terhadap Hak-Hak Karyawan PT. Kereta Api Indonesia, 2009
(3) Menghindarkan terjadi duplikasi; (4) Melalui studi pustaka dibangun konsep-konsep dan teori-teori yang relevan dengan masalah yang diteliti. 48 Selain dengan menggunakan Teknik Pengumpulan data dengan cara studi kepustakaan, juga dilakukan wawancara, wawancara dilakukan dengan pihak-pihak yang dianggap memiliki kompetensi dan ada kaitannya dengan permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini, teknik wawancara dilakukan dengan cara melakukan wawancara mendalam.
5. Analisis Data Pengolahan, analisis dan konstruksi data penelitian hukum normatif dapat dilakukan dengan cara melakukan analisis terhadap kaedah hukum dan kemudian konstruksi dilakukan dengan cara memasukkan pasal-pasal ke dalam kategori-kategori atas dasar pengertian-pengertian dasar dari sistem hukum tersebut. 49 Data yang diperoleh melalui studi kepustakaan yang berupa peraturan perundang-undangan, putusan-putusan pengadilan, diolah dan dianalisis berdasarkan metode kualitatif, yaitu dengan melakukan: a. Menemukan konsep-konsep yang terkandung dalam bahan-bahan hukum (konseptualisasi) yang dilakukan dengan cara memberikan interpretasi terhadap bahan hukum tersebut ;
48 49
Bahder Johan Nasution, Metode Penelitian Hukum, (Bandung. Mandar Maju, 2008) hal.101 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta : Grafindo, 2006), hal. 225.
Supardi : Implikasi Perubahan Bentuk Perumka Menjadi Persero Terhadap Hak-Hak Karyawan PT. Kereta Api Indonesia, 2009
b. Mengelompokkan konsep-konsep atau peraturan-peraturan yang sejenis atau berkaitan. Kategori-kategori dalam penelitian ini adalah Implikasi perubahan bentuk Perum menjadi Persero terhadap hak-hak karyawan PT. Kereta Api Indonesia; c. Menemukan hubungan di antara pelbagai kategori atau peraturan kemudian diolah ; d. Menjelaskan dan menguraikan hubungan di antara pelbagai kategori atau
peraturan
perundang-undangan,
kemudian
dianalisis
secara
deskriptif kualitatif. Sehingga mengungkapkan hasil yang diharapkan dan kesimpulan atas permasalahan.
Supardi : Implikasi Perubahan Bentuk Perumka Menjadi Persero Terhadap Hak-Hak Karyawan PT. Kereta Api Indonesia, 2009
BAB II LATAR BELAKANG PERUBAHAN BENTUK PERUSAHAAN KERETA API DARI PERUSAHAAN UMUM (PERUM) MENJADI BADAN PERUSAHAAN PERSERO A. Peranan Birokrasi Dalam Mengupayakan Good Governance 1. Etos Kerja dan Mutu Kepemimpinan Etos kerja dalam konteks birokrat atau sebagai administrator pemerintahan, administrator pembangunan, dan administrator kemasyarakatan diharapkan memiliki sikap-sikap yang baik, sekaligus menyangkut moralitas. Artinya, sikap-sikap tersebut memiliki etos kerja bersadarkan tanggung jawab. Beratus tahun yang lalu Aristoles dalam bukunya The Nicomachean Ethics mengatakan, bahwa pelajaran tentang kebaikan hanya dapat diberikan kepada orang yang sudah tahu apa itu “baik”. Pendapat itu relevan dengan adanya pendapat yang mengatakan, bahwa kalau orang sama sekali tidak tahu apa itu adil, percuma kita menjelaskan kepadanya kewajiban untuk memperlakukan orang lain dengan adil. 50 Begitu pula dengan hal berkenaan dengan tanggung jawab, orang sudah mesti merasakan apa itu tanggung jawab, bahkan orang tersebut, mesti ingin menjadi manusia yang bertanggung jawab, baru masuk akal ia diberi pegertian tentang tanggung jawab tersebut. Oleh karena itu, ajaran yang berisi 50
Bismar Nasution, Disampaikan pada Diseminasi Policy Paper Komisi Hukum Nasional Republik Indonesia “Reformasi Hukum di Indonesia Melalui Prinsip-prinsip Good Governance”, yang diadakan oleh Komisi Hukum Nasional Republik Indonesia berkerjasama dengan Program Studi Magister Ilmu Hukum Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, tanggal 1-2 Oktober 2003, Medan, Sumatera Utara, hal. 1-2.
Supardi : Implikasi Perubahan Bentuk Perumka Menjadi Persero Terhadap Hak-Hak Karyawan PT. Kereta Api Indonesia, 2009
mengenai kewajiban manusia untuk bertanggung jawab hanya akan efektif pada seseorang apabila ia sudah bersedia bertanggung jawab. Namun, perlu juga diingat bahwa masalah dasar pembangunan sebenarnya bukan hanya masalah etos kerja masyarakat, jajaran birokrat dan sebagainya, melainkan mutu kepemimpinan di semua tingkat kehidupan masyarakat. Bukan mutu masyarakat pada umumnya yang perlu diragukan, melainkan mutu para pemimpinnya yang ditantang. Kalau para pemimpin jujur, terbuka, rendah hati, adil, berdedikasi tinggi, bebas pamrih, bertanggung jawab, berorientasi pada prestasi dan pada pelayanan masyarakat, dapat dipercaya dan bersedia untuk memimpin dan mendahului juga dalam berbuat kebajikan atau pengorbanan, maka etos kerja mereka yang dipimpin dengan sendirinya akan terangkat. Dengan demikian mutu kepemimpinan untuk mewujudkan good governance, penting diformulasikan dengan penegakan hukum atau peraturan perundang-undangan yang memuat prinsip-prinsip yang dapat mendukung pemerintahan tersebut, agar kualitas pengelolaannya dapat mendorong jalannya fungsi utama pemerintahan tersebut, sekaligus untuk menjaga kepercayaan masyarakat, dimana prinsip-prinsip tersebut harus berdasarkan pada keadilan, keterbukaan, pertanggungjawaban dan tanggung jawab.
Supardi : Implikasi Perubahan Bentuk Perumka Menjadi Persero Terhadap Hak-Hak Karyawan PT. Kereta Api Indonesia, 2009
2. Prinsip Keadilan Peraturan berkenaan dengan pengelolaan atau pemerintahan harus menentukan jaminan yang cukup secara tegas
dengan sanksi yang cukup,
dimana pelaksanaan pemerintahan dikelola dengan adil. Di samping itu, tata pemerintahan
itu
harus
menentukan
kemungkinan praktik pemerintahan
secara cukup antisipasi terhadap
yang
dapat merugikan. Selanjutnya
peraturan tersebut harus menentukan secara cukup bahwa setiap kebijakan publiknya harus dapat dilaksanakan secara efektif. 51 Formulasi prinsip pendekatan
pada
prinsip
keadilan
tersebut,
pengawasan,
juga
dimana
harus melakukan kepemimpinanya
mempunyai peran yang cukup untuk mengawasi pemerintahan. Alasan dilakukan pengawasan itu berkaitan dengan upaya menjaga kepercayaan masyarakat. Pemeliharaan kepercayaan masyarakat terhadap integritas sistim pemerintahan diupayakan, oleh karena kepercayaan masyarakat merupakan faktor yang sangat krusial dalam pemerintahan. 52 Alasan lainnya, tanpa pengawasan akan berfotensi membuat kekuasaan tidak terkontrol, akibatnya akan membuat kekuasaan menjadi korup. Oleh karena itu, perlu menciptakan struktur-struktur yang mengarahkan seluruh aparatur pemerintahan ke pola pekerjaan yang diharapkan masyarakat..
51 52
Ibid hal 3 Ibid
Supardi : Implikasi Perubahan Bentuk Perumka Menjadi Persero Terhadap Hak-Hak Karyawan PT. Kereta Api Indonesia, 2009
Selanjutnya, perlu juga diadakan mekanisme-mekanisme kontrol terhadap setiap pelaksanaan kekuasaan. 53 3. Prinsip Transparansi Prinsip transparansi dalam pemerintahan berkaitan dengan prinsip keadilan sebagaimana diuraikan di muka. Oleh karena jalannya prinsip keadilan harus didukung oleh transparansi keadaan pemerintahan. Oleh karena prinsip transparansi tersebut dapat berfungsi untuk menciptakan pemerintahan yang efisien. Barry A.K. Rider mengatakan, “sun light is the best disinfectant and electric light the best policeman.”
54
4. Prinsip Tanggung Jawab Peraturan
itu juga
harus
pemerintah dan stakeholders yang
menentukan antisipasi persoalan antara muncul
karena
adanya
perbedaan
pendapat kepentingan antara Pemerintah dan stakeholders. Di samping itu, ditentukan secara cukup dan jelas fungsi, hak, wewenang dan tanggung jawab masing-masing jajaran birokrat dalam pengelolaan atau pemerintahan. Prinsip tanggung jawab dan transparansi termasuk pula publikasi yang akurat dan arti tanggung jawab terhadap seseorang adalah kunci dari sebuah keputusan. 55
53
Ibid., hal. 2-3. Ibid 55 Reginal Herbold Green, “Bureaucracy and Law and Order”, dalam Julio Faundez, Good Government and Law Legal and Institution Reform in Developing Countries, The British Council, 1977, hal. 54. 54
Supardi : Implikasi Perubahan Bentuk Perumka Menjadi Persero Terhadap Hak-Hak Karyawan PT. Kereta Api Indonesia, 2009
5. Prinsip Pertanggungjawaban Peraturan perundang-undangan harus cukup, agar pengelola atau pemerintahan selalu ketentuan
membuat patuh
ketentuan
secara
terhadap ketentuan-
yang berkaitan dengan pelaksanaan pemerintahan. Untuk itu, perlu
diciptakan kondisi-kondisi sistematis yang menghukum kelakukan yang menyeleweng dari etos kerja yang diharapkan dan menganjari kelakukan yang sesuai. 6. Perlu Penekanan Moral Ada yang sangat menarik untuk disimak pada konstitusi negara-negara lain, dimana pengaturan hukum dasarnya berpedoman pada pola pikir hukum yang bermuatan moral. Hal itu menunjukkan budaya hukum (legal culture) yang dianut tidak hanya memandang hukum an sich atau hukum adalah hukum. Pandangan hukum an sich ini dalam konteks pranata hukum yang didasarkan pada teori hukum itu untuk mencari pola pranata hukum yang tepat dan efektif. Jadi maksudnya adalah untuk mencari sintesis antara pola pikir hukum dan pranata hukum lainnya. Seperti pranata hukum yang mengandung moral, agar hukum yang menanggulangi masalah hukum menjadi bermakna. Karena hukum yang bermuatan moral ini sesuai dengan rasa keadilan. Hal ini sejalan dengan salah satu dari tujuan teori keadilan John Rawls. Di dalam “A Theory of Justice” (1971) Rawls mengatakan, untuk mengartikulasikan konsep keadilan adalah dilakukan dengan cara memasukkan pertimbangan moral dalam
Supardi : Implikasi Perubahan Bentuk Perumka Menjadi Persero Terhadap Hak-Hak Karyawan PT. Kereta Api Indonesia, 2009
membuat sesuatu hukum, kebijaksanaan, dan tindakan pelaksanaan pencapaian keadilan. Pandangan hukum yang bermuatan moral ini terasa tidak terbantah dan tidak boleh diabaikan demi tegaknya hukum. Mengapa tidak, oleh karena sudah sejak lama dikenal oleh kerajaan-kerajaan masa lalu, pada masa kekaisaran Roma telah terdapat pepatah “Quid leges sine moribus” ? “Apa artinya undangundang, kalau tidak disertai moralitas ? Berdasarkan pepatah ini atau tidak, Konstitusi Jepang yang diperlakukan pertama kali abad ke-7 oleh Ratu Shotoko telah sarat muatan moral, Pasal 1 Konstitusi ini menyebutkan, “diatas segala kebanggaan apapun, lakukanlah lebih dahulu kewajiban untuk menghindarkan ketidakbanggaan”. Walaupun pada permulaan Restorasi Meiji tahun 1868 pada saat Jepang berhubungan dengan Barat, secara efektif telah memakai sitem hukum barat dan hukum Tokugawa secara formal dihapuskan. Namun pengelolaan hukumnya tetap saja berdasarkan nilai-nilai kebiasaannya dengan penekanan pada keindahan dalam kehidupan, memelihara teguh struktur sosialnya, penyerapan
nilai-nilai
moral
manusia
dan
menghormati
kebijaksanaan
seseorang yang sudah matang. Pasca Restorasi Meiji, sejak tahun 1895 Jepang telah menjadi negara modern dan hukumnya berjalan dengan baik, suara-suara yang muncul pada jalannya hukum bermakna positif.
Supardi : Implikasi Perubahan Bentuk Perumka Menjadi Persero Terhadap Hak-Hak Karyawan PT. Kereta Api Indonesia, 2009
Sekarang setelah melalui kekalahan pada Perang Dunia II mereka telah masuk pada tahap negara kesejahteraan. Tentunya tahap negara kesejahteaan ini merupakan jaminan jalannya hukum seperti yang diinginkan masyarakatnya. Wajarlah, oleh karena etika masyarakat Jepang tetap mendorong penegakan hukum dan suara hati (consciences) mereka masih memancarkan moral yang memberi penekanan bahwa masuk ke pengadilan dianggap suatu hal yang memalukan. 56 Dalam dunia akademisi pandangan hukum yang berkaitan dengan moral ini juga telah lama menjadi pembicaraan. H.L.A. Hart dengan sangat simpatik menyebutkan, “hukum harus mengandung aspek internal yang terdiri dari moral dan ketentuan sosial.” 57 Konsep hukum Hart ini telah menyita perhatian para ahli hukum dan mereka berusaha memahaminya, bahkan membuat komentar, diantaranya komentar Howard Davies dan David Holdcroft 58 , yang paling menarik untuk dikaji dalam konsep hukum Hart adalah mengenai moral yang terkandung dalam hukum itu, oleh karena memang setiap hukum harus mempunyai perasaan terhadap suatu perbuatan. Mereka mengatakan, keadaan sekarang ini sangat membutuhkan tuntutan moral dalam memperlakukan hukum.
56
Bismar Nasution, Op Cit. Hal.5. H.L.A Hart, The Concept of Law, (Oxford : The Clarendon Press, 1988). 58 Howards Davies and David Holdcroft, Jurisprudence : Texts and Commentary, (1991). 57
Supardi : Implikasi Perubahan Bentuk Perumka Menjadi Persero Terhadap Hak-Hak Karyawan PT. Kereta Api Indonesia, 2009
Filsafat hukum yang memandang keterkaitan hukum dan moral serta komentar tuntutan moral dalam memperlakukan hukum sangat terasa kebenarannya. Karena hukum yang mengandung pertimbangan moral sangat relevan untuk menjawab tuntutan masuknya moral dalam hukum dan kondisi hukum yang memprihatinkan sekarang ini, maka perlu mengangkat topik internalisasi moral dalam hukum ke permukaan. 59 Artinya ide-ide tentang baik dan buruk dan moralitas penting dipakai untuk menjelaskan tingkah laku manusia, khususnya tingkah laku pejabat publik. Untuk keperluan ini pengamatan harus tertuju pada filsafat hukum yang memandang adanya hubungan yang sangat kuat antara hukum dan moral. Hal ini dapat dimulai dari pendapat Hart yang memandang moral sebagai “nature of a rule”, seterusnya menjadi aspek internal dari suatu ketentuan, seperti yang dikatakannya bahwa suatu hukum harus mengandung unsur eksternal dan internal, aspek internalnya adalah moral dan ketentuan sosial. Cara internalisasi prinsip-prinsip moral dalam hukum dapat dilakukan pada saat pembuatan hukum. Di sini hukum diberikan masukan, seperti ide-ide baik dan buruk, atau moralitas, dan legitimasi, yaitu upaya untuk menjelaskan tingkah laku manusia, khususnya tingkah laku pejabat publik. Sebagai percobaan dapat dilakukan pada internalisasi dimensi moral pejabat publik
59
Bismar Nasution, Op Cit hal 6
Supardi : Implikasi Perubahan Bentuk Perumka Menjadi Persero Terhadap Hak-Hak Karyawan PT. Kereta Api Indonesia, 2009
dalam
pembuatan
hukum,
agar
mempunyai
moralitas
melaksanakan
pemerintahan. Tepatlah pengamatan Lawrence M. Friedman dalam “The Republic of Choice: Law, Authority and Culture (1990), dimana tegaknya hukum tergantung
pada budaya hukum (legal culture) masyarakatnya, seperti
berbagai gagasan, sikap dan harapan rakyat tentang hukum serta proses hukum. Selanjutnya Ia mengatakan, budaya hukum masyarakat tergantung kepada budaya hukum anggota-anggotanya yang dipengaruhi oleh latar belakang pendidikannya,
lingkungan,
budaya,
posisi
atau
kedudukan,
bahkan
kepentingan-kepentingan. 60 Dari budaya hukum hakim inilah mengalir barisan-barisan kekuatan, tekanan-tekanan dan tuntuntan-tuntutan yang membungkus pranata-pranata hukum yang mengandung moral dan pada akhirnya menentukan bentuknya. Pentingnya budaya hukum dalam konstruksi pranata hukum itu sejalan dengan ilustrasi Friedman, apabila “sistem hukum” diibaratkan untuk memproduksi suatu barang, maka kedudukan “substansi hukum” diibaratkan sebagai barang apa yang diproduksi, dan “struktur hukum” diibaratkan sebagai mesin-mesin pengelola barang. Sedangkan “budaya hukum” diibaratkan sebagai orang-orang yang menjalankan mesin dan berkewajiban untuk menghidupkan, menjalankan
60
Bismar Nasution, Op Cit. Hal. 7
Supardi : Implikasi Perubahan Bentuk Perumka Menjadi Persero Terhadap Hak-Hak Karyawan PT. Kereta Api Indonesia, 2009
dan mematikan mesin ini, agar dapat menentukan baik buruknya hasil barang yang diproduksi.
B. Good Governance dan Implementasi Kebijakan Sumber Daya Manusia (SDM) SPKA PT KA (Persero) Berkenaan
dengan
pengelolaan
pemerintahan
yang
baik
(good
governance) harus menunjukkan jaminan keadilan yang tegas dengan sanksi yang cukup dalam penyelenggaraan pemerintahan. Di samping itu, tata pemerintahan
itu
harus menentukan
secara
cukup
antisipasi
terhadap
kemungkinan praktik pemerintahan yang dapat merugikan. Artinya bahwa setiap kebijakan publiknya harus dapat dilaksanakan secara efektif. 61 Formulasi prinsip keadilan ini juga dilakukan dengan pendekatan prinsip pengawasan, dimana kepemimpinannya mempunyai peran yang cukup dalam
menjaga
kepercayaan
masyarakat.
Pemeliharaan
kepercayaan
masyarakat terhadap integritas sistim pemerintahan diupayakan, oleh karena kepercayaan masyarakat merupakan faktor yang sangat krusial dalam pemerintahan. Alasan lainnya, tanpa pengawasan akan berpotensi membuat kekuasaan tidak terkontrol, akibatnya akan membuat kekuasaan menjadi korup. Oleh karena itu , perlu prinsip keterbukaan (transparancy).
61
Koesnadi Hardjasoemantri, “Good Governance Dalam Pembangunan Berkelanjutan Di Indonesia,” makalah disampaikan pada Lokakarya Pembangunan Hukum Nasional ke VIII di Bali, tanggal 15 Juli 2003, hal. 2003.
Supardi : Implikasi Perubahan Bentuk Perumka Menjadi Persero Terhadap Hak-Hak Karyawan PT. Kereta Api Indonesia, 2009
Prinsip keterbukaan dalam pemerintahan berkaitan dengan prinsip keadilan sebagaimana diuraikan diatas. Oleh karena jalannya prinsip keadilan didukung oleh keterbukaan keadaan pemerintahan. Oleh karena prinsip keterbukaan itu dapat berfungsi untuk menciptakan pemerintahan yang efisien. Dalam
konteks
prinsip
tanggung
jawab
(accountability),
penyelenggaraan tata kelola pemerintahan harus pula menentukan antisipasi persoalaan antara pemerintah dan stakeholders yang muncul karena adanya perbedaan pendapat dan kepentingan antara keduanya. Disamping itu, ditentukan secara cukup dan jelas fungsi, hak, wewenang, dan tanggung jwab masing-masing jajaran pemerintahan dalam pengelolaan pemerintahan. Di
samping
itu,
terdapat
pula
prinsip
pertanggungjawaban
(responsibility), dimana prinsip ini menyatakan bahwa peraturan perundangundangan harus membuat ketentuan secara cukup, agar pengelola atau pemerintahan selalu patuh terhadap ketentuan-ketentuan yang berkaitan dengan pelaksanaan pemerintahan. Untuk itu, perlu diciptakan kondisi-kondisi sistematis yang menghukum kelakuan yang menyeleweng dari etos kerja yang diharapkan dan mengganjari dengan kelakuan yang sesuai. 1. Upaya Pemerintah Governance
Untuk
Menerapkan
Prinsip-Prinsip
Good
Menurut Masyarakat Transparansi Indonesia (MTT) untuk memahami good governance terlebih dahulu dipahami apa yang menjadi prinsip-prinsip yang mendasari good governance tersebut. Oleh karena dengan bertitik tolak Supardi : Implikasi Perubahan Bentuk Perumka Menjadi Persero Terhadap Hak-Hak Karyawan PT. Kereta Api Indonesia, 2009
pada prinsip-prinsip tersebut akan didapatkan tolak ukur kinerja pemerintahan. Prinsip-prinsip good governance tersebut adalah sebagai berikut: 62 1) Partisipasi masyarakat: semua warga masyarakat mempunyai suara dalam pengambilan keputusan, baik secara langsung maupun melalui lembagalembaga perwakilan yang sah yang mewakili kepentingan mereka. Partisipasi
menyeluruh
tersebut
dibangun
berdasarkan
berkumpul
dan
mengungkapkan
pendapat,
serta
kebebasan
kapasitas
untuk
berpartisipasi secara konstruktif. 2) Tegaknya supremasi hukum: kerangka hukum harus adil dan diberlakukan tanpa pandang bulu, termasuk di dalamnya hukum-hukum yang menyangkut hak asasi manusia. 3) Transparansi: transparansi dibangun atas dasar informasi yang bebas. Seluruh proses pemerintahan, lembaga-lembaga, dan informasi perlu dapat diakses oleh pihak-pihak yang berkepentingan, dan informasi yang tersedia harus memadai agar dapat dimengerti dan dipantau. 4) Peduli
pada
stakeholder:
lembaga-lembaga
dan
seluruh
proses
pemerintahan harus berusaha melayani semua pihak yang berkepentingan. 5) Berorientasi pada konsensus: tata pemerintahan yang baik menjembatani kepentingan-kepentingan yang berbeda demi terbangunnya suatu konsensus menyeluruh dalam hal apa yang terbaik bagi kelompok-kelompok 62
Ibid.
Supardi : Implikasi Perubahan Bentuk Perumka Menjadi Persero Terhadap Hak-Hak Karyawan PT. Kereta Api Indonesia, 2009
masyarakat, dan bila mungkin, konsensus dalam hal kebijakan-kebijakan dan prosedur-prosedur. 6) Kesetaraan: semua warga masyarakat mempunyai kesempatan memperbaiki atau mempertahankan kesejahteraan mereka. 7) Efektivitas dan efisiensi: proses-proses pemerintahan dan lembaga-lembaga membuahkan hasil sesuai kebutuhan warga masyarakat dan dengan menggunakan sumber-sumber daya yang ada seoptimal mungkin. 8) Akuntabilitas: para pengambil keputusan di pemerintah, sektor swasta, dan organisasi masyarakat bertanggung jawab, baik kepada masyarakat maupun kepada lembaga-lembaga yang berkepentingan. 9) Visi strategis: para pemimpin dan masyarakat memiliki perspektif yang luas dan jauh ke depan atas tata pemerintahan yang baik dan pembangunan manusia, serta kepekaan akan apa saja yang dibutuhkan untuk mewujudkan perkembangan tersebut. Selain itu mereka juga harus memiliki pemahaman atas kompleksitas kesejarahan, budaya, dan sosial yang menjadi dasar bagi perspektif tersebut. Agar berjalan good governance semua prinsip-prinsip Good Governance harus diupayakan oleh Birokrasi Pemerintah. Oleh karena itu, kesembilan
Supardi : Implikasi Perubahan Bentuk Perumka Menjadi Persero Terhadap Hak-Hak Karyawan PT. Kereta Api Indonesia, 2009
prinsip-prinsip
tersebut
harus
menjadi
pedoman
pemerintahan
dalam
melaksanakan tugasnya untuk pelayanan publik. 63 2. Transparansi Dalam Keuangan Berdasarkan Good Governance Dalam
pembahasan
transparansi
keuangan
dalam
rangka
good
governance ini akan ditekankan pada pihak eksekutif, untuk dapat memberikan sumbangan positif bagi perancangan anggaran pendapatan dan belanja pemerintahan, transparansi dalam proses kebijakan publik, dan perencanaan hukum sesuai kebutuhan yang dapat mendukung jalannya prinsip-prinsip good governance. Secara garis besar ada 4 (empat) prinsip dasar yang perlu dalam pengelolaan pemerintahan yang baik antara lain adalah prinsip keadilan (fairness), prinsip keterbukaan (transparancy), prinsip tanggung jawab (accountability), dan prinsip pertanggungjawaban (responsibility). Adanya kemauan politik dari pemerintah (political will) untuk melakukan
perubahan-perubahan
penyelenggaraan
pemerintahan
diimplementasikan dalam Good Governance pada setiap instansi pemerintah yang diarahkan terwujudnya aparatur yang berkualitas, profesional, bebas dari KKN serta terciptanya sistem kelembagaan, sistem pemerintahan dan sistem pengawasan yang berorientasi kepada efisiensi, efektifitas dan transparansi, partisipasi dan akuntabilitas.
63
Ibid
Supardi : Implikasi Perubahan Bentuk Perumka Menjadi Persero Terhadap Hak-Hak Karyawan PT. Kereta Api Indonesia, 2009
Prinsip transparansi (keterbukaan) penting untuk mencegah penipuan (fraud) atau KKN. Fungsi prinsip transparansi untuk mencegah penipuan tersebut adalah pendapat yang paling tua. Dengan demikian prinsip keterbukaan menjadi isu utama yang harus dikaji. Prinsip transparansi sekarang ini bukan merupakan hal baru, tetapi sudah merupakan sejarah yang panjang dalam kegiatan perusahaan, termasuk dalam pengelolaan pemerintahan. Prinsip tanggung jawab dan transparansi termasuk pula publikasi yang akurat dan arti tanggung jawab terhadap seseorang adalah kunci dari sebuah keputusan. Dengan bergulirnya era reformasi adanya tuntutan masyarakat terhadap terciptanya penegakan supremasi hukum telah disikapi pemerintah dengan terbitnya Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 dan Undang-undang Nomor 28 Tahun 1999 sebagai langkah awal terciptanya pemerintahan desentralistik dan political will dalam menyelenggarakan pemerintahan yang bebas KKN. Untuk
terselenggaranya
Pemerintah
Propinsi
pemerintahan
Sumatera
Utara
yang
baik
(good
telah
melakukan
governance), upaya
dengan
mensosialisasikan sepuluh prinsip good governance sebagai pedoman bagi aparat untuk menyelenggarakan pemerintahan. 3. Peran Aparatur Biro Hukum Dalam Good Governance Aparatur
Biro
Hukum
mempunyai
peran
yang
strategis
untuk
mengupayakan prinsip-prinsip good governance, oleh karena menurut Keppres
Supardi : Implikasi Perubahan Bentuk Perumka Menjadi Persero Terhadap Hak-Hak Karyawan PT. Kereta Api Indonesia, 2009
No. 188 tahun 1998 aparatur Biro Hukum diberikan penekanan bahwa biro tersebut harus mendapat porsi yang lebih signifikan dalam penyusunan peraturan perundangan. Ketentuan itu sekaligus menetapkan agar biro hukum harus terlibat secara penuh dalam penyusunan peraturan perundangan sejak penyusunan draft rancangan, hingga tahap sosialisasi. Dengan ini harus pula ada peningkatan koordinasi antar biro hukum dan bagian hukum baik di tingkat pusat maupun daerah dalam sistem jaringan dokumentasi dan informasi hukum. Harus ada koordinasi yang baik dalam penyediaan informasi yang dibutuhkan oleh masyarakat. Oleh karena itu aparatur Biro hukum harus dapat menjadi pintu informasi bagi masyarakat untuk menemukan informasi yang dibutuhkan. Hal ini sejalan dengan upaya mencari bentuk yang bagaimana harus dilakukan aparatur Biro Hukum untuk dapat mendukung jalannya reformasi hukum. Untuk itu, aparatur Biro hukum harus membuka akses masyarakat untuk melakukan pengawasan melalui mekanisme dengar pendapat umum, diskusi dan sebagainya. Dengan cara demikian masyarakat dapat melakukan kontrol. Sejalan dengan itu pula aparatur Biro hukum harus dapat berperan sebagai pintu masuk untuk menerima keluhan dari masyarakat. Gunanya, agar dalam pembuatan
peraturan
perundang-undangan
apa
yang
menjadi
keluhan
masyarakat dapat ditampung dalam peraturan tersebut. Artinya, unsur acomodation dalam pembuatan hukum dapat diwakili dengan penampungan
Supardi : Implikasi Perubahan Bentuk Perumka Menjadi Persero Terhadap Hak-Hak Karyawan PT. Kereta Api Indonesia, 2009
aspirasi masyarakat. Apabila dilihat dari unsur acomodation terpenuhi, maka hukum itu harus mengakomodasi keseimbangan definisi dan status yang jelas bagi
kepentingan
individu-individu
atau
kelompok-kelompok
dalam
masyarakat. 64 Untuk itu, perlu masyarakat dapat memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta mereka mempunyai hak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengelola dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia. Oleh karena itu pula, hak atas informasi hukum bermakna strategis dalam mewujudkan negara yang demokratis. Dengan hak tersebut masyarakat dapat berperan serta dalam pembuatan keputusan publik dan melakukan kontrol terhadap pemerintahan. Namun, apa yang muncul dalam kondisi sekarang ini, seperti kesulitan publik untuk mengakses informasi hukum masih mengemuka, tidak dapat dibantah. Hal ini tentunya tidak terlepas dari keadaan baik karena kendala unsur birokrasi dan unsur masyarakat maupun kendala yang bersifat teknis maupun yang terkait dengan kebijakan pemerintahan. Dalam mengupayakan prinsip-prinsip good governance tersebut, kiranya apa yang menjadi pendapat yang berkembang sekarang ini perlu didukung agar prinsip-prinsip itu dapat berjalan dengan baik. Tentunya salah satunya adalah 64
Lihat. Leonard J. Theberge, “Law and Economic Development”, Journal of International Law and Policy, (Vol. 9, 1980), hal. 232.
Supardi : Implikasi Perubahan Bentuk Perumka Menjadi Persero Terhadap Hak-Hak Karyawan PT. Kereta Api Indonesia, 2009
perlu dirumuskan dan dilakukan penguatan akses publik terhadap informasi hukum. Selanjutnya, perlu pula disadari bersama sebagaimana pendapat yang juga berkembang bahwa pemenuhan hak atas informasi tergantung kepada empat faktor. Pertama, jaminan dalam peraturan perundang-undangan. Kedua, budaya aparatur pemerintah atau pejabat publik. Ketiga, sarana. Keempat, budaya masyarakat. Good governance akan bermakna bila prinsip-prinsipnya didukung berbagai kalangan yang terlibat. Seperti lembaga yang melibatkan kepentingan publik, misalnya, negara, sektor swasta, dan masyarakat madani. Oleh karena itu, pendekatan yang harus diambil dalam mengupayakan prinsip-prinsip good governance harus diramu dari pendekatan multi dan interdisipliner dan lintas sektoral. Dalam konteks birokrasi, untuk mengupayakan prinsip-prinsip good governance tidak terlepas dari budaya birokrasi, yang memang ikut menentukan perilaku pejabat publik dalam melaksanakan tugasnya sebagai pelayan masyarakat. Oleh karena budaya birokrasi harus mencerminkan budaya yang profesional dan memiliki integritas yang kokoh. Akhirnya, birokrasi pemerintah memang harus menyadari bahwa ia merupakan bagian pelayanan publik. Sebab itu merupakan salah satu fungsi penyelenggaraan pemerintahan. Di sini perlu ditanamkan suatu kesadaran yang tinggi bahwa birokrasi pemerintah berfungsi untuk memenuhi kebutuhan
Supardi : Implikasi Perubahan Bentuk Perumka Menjadi Persero Terhadap Hak-Hak Karyawan PT. Kereta Api Indonesia, 2009
masyarakat umum. Dalam melaksanakan fungsinya itu harus didasarkan pada kepastian
hukum,
tertib
penyelenggaraan
negara,
kepentingan
umum,
keterbukaan proporsionalitas, profesionalitas, dan akuntabilitas. 65 Pertumbuhan dan perubahan lingkungan global yang sedemikian cepat ditambah dengan semakin banyak dan kompleksnya pihak-pihak yang berkepentingan dengan perusahaan berdampak pada proses manajemen dan kompetisi dunia usaha yang semakin ketat dan luas. Sebagai konsekuensinya, perusahaan
harus
memiliki
strategi
yang
tepat
untuk
menghadapi
ketidakpastian lingkungan yang tinggi serta untuk menghadapi ketidakpastian lingkungan yang tinggi serta melengkapi perangkat pengendalian yang handal dan terpadu. 66 Untuk mengantisipasi hal tersebut praktek penerapan Good Corporate Governance (GCG) bukan lagi merupakan pilihan bagi perusahaan tetapi menjadi suatu keharusan. PT Kereta Api (Persero) sebagai salah satu keharusan. PT Kereta Api (Persero) sebagai salah satu BUMN telah diwajibkan untuk menerapkan GCG sebagai landasan operasional di lingkungan PT KA (Persero) agar mampu bersaing dengan perusahaan lain. 67 Dalam arti sempit GCG hanya melibatkan organ utama (RUPS, Komisaris dan Direksi) perusahaan, sementara dalam arti luas GCG yang baik 65
Ibid. PT Kereta Api (Persero), Petunjuk Pelaksanaan GCG di Lingkungan PT KA (Persero) (Good Corporate Manajemen), April 2006, hal. 1. 67 Ibid 66
Supardi : Implikasi Perubahan Bentuk Perumka Menjadi Persero Terhadap Hak-Hak Karyawan PT. Kereta Api Indonesia, 2009
melibatkan RUPS, Komisaris, Direksi, Manajemen dan Stakeholders lainnya seperti pemerintah, pegawai, pemasok, pelanggan, kreditur dan masyarakat serta kelompok lainnya. 68 Keterkaitan antara GCG dengan pelaksanaan tata kelola perusahaan yang baik atau disebut Good Corporate Management (GCM) adalah adanya komitmen yang disepakati bersama oleh organ utama (RUPS, Komisaris, dan Direksi), yang meliputi visi, misi, tujuan serta pemilihan strategi dan penilaian kinerja. Komitmen tersebut kemudian diimplementasikan oleh Direksi dalam bentuk pengelolaan perusahaan melalui penetapan kebijakan dan penciptaan budaya dan etika perusahaan yang mendukung tercapainya tujuan perusahaan. 69 Tujuan dan Manfaat 1) Penerapan GCG pada perusahaan bertujuan untuk: 70 a) Memaksimalkan nilai perusahaan; b) Mendorong pengelolaan perusahaan secara profesional, transparan dan efisien, serta memberdayakan fungsi dan meningkatkan kemandirian organ; c) Mendorong agar organ dalam membuat keputusan dan menjalankan tindakan dilandasi nilai moral yang tinggi dan kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku serta kesadaran akan 68
Ibid hal.2 Ibid 70 Ibid hal. 3. 69
Supardi : Implikasi Perubahan Bentuk Perumka Menjadi Persero Terhadap Hak-Hak Karyawan PT. Kereta Api Indonesia, 2009
adanya tanggung jawab sosial perusahaan terhadap stakeholders maupun kelestarian lingkungan di sekitar perusahaan; d) Meningkatkan kontribusi perusahaan dalam perekonomian nasional; e) Meningkatkan iklim investasi nasional; f) Menyukseskan program restrukturisasi/ privatisasi. 2) Manfaat penerapan GCG bagi perusahaan adalah: a) Memperbaiki pondasi perusahaan untuk dapat menjadi perusahaan yang sehat, transparan, dan bertanggung jawab; b) Memperbaiki etika perusahaan sehingga dapat mengurangi perilaku tercela seperti KKN; c) Dapat menarik investor potensial karena pulihnya kepercayaan dengan diterapkannya GCM; d) Terciptanya kinerja perusahaan yang tinggi; e) Terwujudnya citra perusahaan yang baik. 71 4. Implementasi GCM dalam Kebijakan Pengelolaan Sumber Daya Manusia (SDM) Implementasi GCM dalam Kebijakan Pengelolaan Sumber Daya Manusia (SDM), antara lain: 72
71 72
Ibid hal. 4. Ibid hal. 14.
Supardi : Implikasi Perubahan Bentuk Perumka Menjadi Persero Terhadap Hak-Hak Karyawan PT. Kereta Api Indonesia, 2009
a. Suksesi Manajemen 1) Dalam rangka mempersiapkan kader-kader terbaik PT Kereta Api (Persero) terkait dengan suksesi manajemen, harus disusun pola kaderisasi
dan
pemetaan
kompetensi
pegawai
yang
memenuhi
persyaratan berdasarkan tingkat kompetensi (skill, knowledge, and attitude), prestasi kerja, dedikasi, aspirasi dan prospek, yang tertuang dalam Rencana Induk (Master Plan) pembinaan dan dan pengembangan sesuai dengan visi, misi, strategi dan proses bisnis perusahaan. (sesuai dengan Prinsip Akuntabilitas) 2) Pola kaderisasi dan pemetaan kompetensi pegawai harus diinformasikan kepada pegawai. (sesuai dengan Prinsip Transparansi) b. Rekruitmen Pegawai 1) Pemenuhan kebutuhan pegawai harus berdasarkan pada rencana kebutuhan pegawai yang disusun dalam rencana jangka panjang perusahaan (RJPP) dan rencana induk (master plan) pembinaan dan pengembangan SDM sesuai visi, misi, strategi dan proses bisnis perusahaan; (sesuai dengan prinsip Akuntabilitas) 73 2) Rencana kebutuhan pegawai sebagaimana dimaksud pada angka 1) di atas harus memuat informasi sekurang-kurangnya sebagai berikut:
73
Ibid hal. 15.
Supardi : Implikasi Perubahan Bentuk Perumka Menjadi Persero Terhadap Hak-Hak Karyawan PT. Kereta Api Indonesia, 2009
a) Kualifikasi dan persyaratan yang harus dipenuhi; b) Lingkup tugas; c) Status kepegawaian; d) Jumlah kebutuhan; e) Jadwal pengadaan. (sesuai dengan prinsip akuntabilitas) 3) Rencana rekruitmen pegawai berikut kualifikasi, persyaratan dan tahapan-tahapan seleksi harus dipublikasikan melalui saluran resmi (media massa) baik terhadap internal maupun eksternal perusahaan dilakukan melalui tahapan seleksi secara terbuka; (prinsip transparansi) 4) Rekruitmen pegawai sebagaimana dimaksud angka 3) di atas harus menggunakan alat ukur yang jelas yang berpedoman pada tingkat kompetensi, latar belakang pendidikan dan persyaratan lain yang ditetapkan sesuai kebutuhan perusahaan; (prinsip akuntabilitas) 5) Dalam rangka pemenuhan kebutuhan pegawai perusahaan harus memberikan kesempatan kerja yang sama terhadap tenaga kerja tanpa memperhatikan latar belakang etnik, agama, jenis kelamin, usia serta cacat tubuh yang dimiliki seseorang dan/ atau keadaan khusus lainnya yang dilindungi oleh undang-undang; (prinsip kewajaran/ fairness) 6) Manajemen harus menetapkan pengaturan dan penempatan khusus terhadap terhadap pegawai yang mamiliki cacat tubuh dan/ atau keadaan
Supardi : Implikasi Perubahan Bentuk Perumka Menjadi Persero Terhadap Hak-Hak Karyawan PT. Kereta Api Indonesia, 2009
khusus lainnya yang dilindungi oleh undang-undang disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan operasional perusahaan; (prinsip kewajaran/ fairness) 7) Keseluruhan
proses
seleksi
rekruitmen
pegawai
harus
sudah
diselesaikan dalam waktu paling lama 6 (enam) bulan dan apabila dipandang perlu dalam pelaksanaannya baik untuk keseluruhan tahapan seleksi maupun pada salah satu tahapan seleksi dapat melibatkan pihak lain yang kompeten dengan pendamping (counter part) lain dari unit kerja yang terkait sesuai kompetensinya; (prisip akuntabilitas) 8) Guna menghindari konflik kepentingan dan praktek-praktek kolusi dan nepotisme, kolusi dan nepotisme, maka pegawai/ pejabat yang ditunjuk dalam panitia rekruitmen pegawai, apabila ternyata terdapat pelamar yang memiliki pertalian keluarga dan atau kerabat, baik karena hubungan darah atau hubungan perkawinan, maka harus mengundurkan diri dari kepanitiaan; (prinsip kemandirian) 9) Guna
menghindari
terjadinya
penyimpangan-penyimpangan
serta
praktek-praktek korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) dalam proses rekruitmen pegawai, manajemen harus menetapkan prosedur tetap rekruitmen pegawai yang baku berikut ketentuan sanksi terhadap setiap penyimpangan
dalam
pelaksanaan
rekruitmen
pegawai. (prinsip
akuntabilitas)
Supardi : Implikasi Perubahan Bentuk Perumka Menjadi Persero Terhadap Hak-Hak Karyawan PT. Kereta Api Indonesia, 2009
c. Program Pendidikan dan Pelatihan Pegawai 1) Setiap pegawai memiliki kesempatan yang sama untuk memperoleh pendidikan
dan
pelatihan
guna
peningkatan
dan
pengembangan
kompetensi tanpa memperhatikan latar belakang etnik, agama, jenis kelamin, usia serta cacat tubuh yang dimiliki seseorang dan atau keadaan khusus lainnya yang dilindungi oleh undang-undang yang berpedoman pada rencana induk (master plan) pembinaan dan pengembangan SDM; (prinsip kewajaran/ fairness) 74 2) Perusahaan
harus
menyusun
program
pendidikan
dan
pelatihan
berdasarkanhasil analisis kebutuhan pendidikan dan pelatihan (training needs analysis) sesuai tantangan dan lingkungan bisnis perusahaan; (prinsip pertanggungjawaban) 3) Guna meningkatkan motivasi pegawai dalam kegiatan pendidikan dan pelatihan, maka terhadap pegawai yang berprestasi dalam kegiatan pendidikan dan pelatihan, harus ditetapkan sistem penghargaan yang berdampak langsung terhadap kesempatan pengembangan karir; (prinsip pertanggungjawaban) 4) Manajemen harus menetapkan sistem pemberian sanksi terhadap pegawai/pejabat yang menolak dan/ atau atasan pegawai/ pejabat yang menahan pegawai/ pejabat bawahannya, yang telah diperintahkan untuk 74
Ibid hal.17.
Supardi : Implikasi Perubahan Bentuk Perumka Menjadi Persero Terhadap Hak-Hak Karyawan PT. Kereta Api Indonesia, 2009
mengikuti pendidikan dan pelatihan yang ditetapkan perusahaan; (prinsip pertanggungjawaban) 5) Setiap pegawai yang akan melanjutkan pendidikan atas biaya sendiri guna memperoleh ijazah yang lebih tinggi dari ijazah yang dimiliki pada saat melamar di dalam jam kerja yang akan mengganggu pekerjaan/ tugas
pokok dan/
atau
kegiatan operasional
perusahaan, harus
mendapatkan rekomendasi dari atasan langsung dan izin tertulis dari Direktur Personalia dan Umum; (prinsip pertanggungjawaban) 75 5. Latar Belakang Perubahan Bentuk Perusahaan Kereta Api dari Perusahaan Umum (Perum) Menjadi Perusahaan Persero BUMN
merupakan
salah
satu
pelaku
ekonomi
dalam
sistem
perekonomian nasional, di samping usaha sektor usaha swasta dan koperasi. BUMN ikut berperan menghasilkan barang dan/atau jasa yang diperlukan dalam rangka mewujudkan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Peran BUMN dirasakan semakin penting sebagai pelopor atau perintis dalam sektorsektor usaha yang belum diminati oleh swasta. Disamping itu, BUMN juga mempunyai peran strategis sebagai pelaksana pelayanan publik, penyeimbang kekuatan perusahaan swasta besar dan turut membantu pengembangan usaha kecil dan koperasi. BUMN juga merupakan salah satu sumber penerimaan
75
Ibid., hal.18.
Supardi : Implikasi Perubahan Bentuk Perumka Menjadi Persero Terhadap Hak-Hak Karyawan PT. Kereta Api Indonesia, 2009
negara yang signifikan dalam bentuk berbagai jenis pajak, dividen dan hasil privatisasi. 76 Pada abad ke-20 seluruh perusahaan, tidak terkecuali BUMN (baik Perum maupun Persero) dihadapankan pada suatu kecenderungan akan fenomena baru yakni transparansi, liberalisasi dan privatisasi. 77 Fenomena bari ini telah menumbuhkan persaingan pasar yang semakin ketat, baik dalam tataran global maupun domestik karena sangat memungkinkan perusahaanperusahaan transnasional memasuki pasar domestik negara-negara di dunia dengan bebas. Keadaan ini memerlukan pelaku ekonomi yang memiliki kekuatan untuk mampu bersaing dalam semua aspek. 78 Fenomena tersebut kemudian diterima oleh masyarakat dunia sebagai suatu realitas yang mendorong tuntutan untuk dilakukannya penyesuaian baik struktur, organisasi maupun sistem yang sudah ada. BUMN di Indonesia, tidak terkecuali Perum Kerta Api, menghadapi persaingan yang semakin ketat tersebut (persaingan inter maupun antar moda) justru di tengah tidak efisiennya sistem dan kebijakan pengelolaan BUMN. Faktor efisiensi pengelolaan BUMN di Indonesia menjadi persoalan yang sangat serius dan menjadi salah satu faktor penyebab kerugian BUMN. Kalaupun ada BUMN yang meraih keuntungan, umumnya keuntungan tersebut 76
Lebih lanjut baca Penjelasan Umum Atas PP No. 45 Tahun 2005 tentang Pendirian, Pengurusan, Pengawasan dan Pembubaran Badan Usaha Milik Negara. 77 Marwah M. Diah, Restrukturisasi BUMN di Indonesia, (Jakarta : Literata, 2003), hal. 4 78 Huala Adolf, Hukum Ekonomi Internasional, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1997), hal. 58
Supardi : Implikasi Perubahan Bentuk Perumka Menjadi Persero Terhadap Hak-Hak Karyawan PT. Kereta Api Indonesia, 2009
dicapai dengan biaya yang tinggi. Berbagai penelitian telah mencoba mengidentifikasi permasalahan BUMN. Marwah M. Diah mengungkapkan bahwa tidak efisiennya pengelolaan BUMN di Indonesia dikarenakan faktor internal dan eksternal. Faktor eksternal yang mempengaruhi efisiensi BUMN antara lain karena terlalu banyak regulasi dan birokrasi, ekonomi biaya tinggi (high cost economy), kurangnya visi dari birokrat (pemerintah) terutama dalam menghadapi era globalisasi dan kebocoran anggaran serta kolusi antara oknum pejabat pemerintah dan pengusaha. 79
Faktor internal yang menyebabkan
inefesiensi BUMN lebih beragam, antara lain : a. campur tangan pemerintah cq. Menteri Teknis yang terlalu jauh pada manajemen BUMN b. Direksi dan Dewan Komisaris BUMN serta menejemen BUMN pada umumnya sebagian besar tidak profesional sebagai entrepreneur karena pengangkatannya masih dipengaruhi kepentingan yang bersifat politis. c. Sistem rekrutment pimpinan BUMN yang tidak transparan dan syarat dengan kepentingan kelompok atau golongan tertentu. d. BUMN tidak memiliki budaya perusahaan (corporate culture) atau budaya perusahaan yang tidak jelas. e. Pimpinan BUMN yang kurang memahami visi dan misi perusahaan serta tidak peka terhadap lingkungan domestik dan global.
79
Marwah M. Diah, op.cit, hal. 246.
Supardi : Implikasi Perubahan Bentuk Perumka Menjadi Persero Terhadap Hak-Hak Karyawan PT. Kereta Api Indonesia, 2009
f. Sistim penggajian (kompensasi) dan penghargaan (reward) kepada karyawan tidak sesuai. 80 Pemerintah kemudian merspon permasalahan BUMN tersebut dengan berbagai kebijakan. Salah satunya adalah mengeluarkan PP No. 12 Tahun 1998 tentang Perusahaan Persero. Melalui PP ini intervensi pemerintah yang terlalu jauh dalam menejemen BUMN mulai dibatasi dengan memberikan kemandirian pada BUMN Persero dengan kewenangan penuh bagi direksi untuk mengurus perseroan dengan mengacu pada prinsip-prinsip korporasi yang sehat. Selanjutnya diundangkan UU No. 19 Tahun 2003 tentang BUMN dan mewajibkan BUMN menerapkan tata kelola perusahaan yang baik (good corporate governance). BUMN tidak lagi melulu menjalankan fungsi sebagai agent of development tetapi juga sebagai agent of business yang berperan dalam menghasilkan laba (keuntungan) bagi negara sebagai pemegang saham. Reformasi BUMN kemudian dilakukan dengan menjalankan berbagai konsep, antara lain konsep korporatisasi. Korporatisasi merupakan bentuk lain dari restrukturisasi BUMN dan merupakan alternatif pembenahan BUMN selain privatisasi. Ide dasar dari korporatisasi adalah menyerap lingkungan usaha dari perusahaan swasta ke dalam menejemen sektor publik dan kepemilikan perusahaan tetap pada negara. Korporatisasi dengan demikian memasukkan unsur dan semangat bisnis ke dalam lingkungan BUMN sehingga BUMN tersebut dikelola sesuai dengan prinsip-prinsip bisnis. Melalui 80
Ibid., hal. 247.
Supardi : Implikasi Perubahan Bentuk Perumka Menjadi Persero Terhadap Hak-Hak Karyawan PT. Kereta Api Indonesia, 2009
mekanisme kerja BUMN yang berdasarkan prinsip-prinsip bisnis, maka akan menimbulkan lingkungan bisnis yang kompetitif dan mendorong semangat pengelolanya untuk mendapatkan laba.
81
Berdasarkan uraian diatas, maka dapat dikatakan bahwa perubahan bentuk Perusahaan Umum (Perum) Kereta Api menjadi PT. Kereta Api Indonesia (Persero) juga dipengaruhi oleh kecenderungan tersebut diatas. Perubahan bentuk perusahaan keretaapi dilatar belakangi oleh dorongan untuk menjadikan PT. Kereta Api Indonesia (Persero) menjadi perusahaan yang mampu meraih keuntungan (laba). Secara konseptual perusahaan persero akan dikelola secara profesional dan mandiri dengan pengelolaan yang berbasis pada penerapan prinsip-prinsip good corporate governance (GCG). Dengan konsep pengelolaan yang demikian, PT. Kereta Api Indonesia diharapkan akan terlepas dari ketergantungannya terhadap Negara baik dari segi pembinaan, kebijakan maupun pembiayaan. Sebagai badan hukum yang mandiri, PT. Kereta Api Indonesia (Persero) dituntut untuk tetap eksis dalam menghadapi persaingan moda transportasi yang semakin kompetitif. Keadaan ini secara konseptual akan mendorong menejemen PT. Kereta Api Indonesia (Persero) untuk merubaha paradigma pengelolaan perusahaan kearah yang lebih efisien. Apabila pertimbangan secara konseptual tersebut dapat diwujudkan, maka Negara sebagai pemegang saham setidaknya memperoleh dua keuntungan
81
IK Mardjana, “ Korporatisasi dan Privatisasi : Sebagai Alternatif Pembenahan BUMN, “ Jurnal Keuangan dan Moneter, (Vol 2 No. 1), 18 Desember 1994.
Supardi : Implikasi Perubahan Bentuk Perumka Menjadi Persero Terhadap Hak-Hak Karyawan PT. Kereta Api Indonesia, 2009
yakni mengurangi beban Negara dalam membiayai layanan perkertaapian dan mendapatkan keuntungan berupa dividen dari laba yang mungkin dihasilkan PT. Kereta Api Indonesia (Persero). Pertimbangan yang demikian tercermin dalam konsideran PP No. 19 Tahun 1998 tentang Pengalihan Bentuk Perum Kereta Api Menjadi Perusahaan Perseroan (Persero) yang berbunyi : ”Bahwa dalam rangka meningkatkan efisiensi dan efektifitas usaha perkeretaapian, maka Perusahaan Umum (PERUM) Kereta Api yang didirikan dengan Peraturan Pemerintah No. 57 Tahun 1990 perlu dialihkan bentuknya menjadi Perusahaan Perseroan (Persero) sebagaimana dimaksud dalam UU No. 9 Tahun 1969. Pertimbangan kearah korporatisasi perusahaan kereta api melalui perubahan bentuk perusahaan menjadi Persero, juga tercermin oleh semangat UU No. 13 Tahun 1992 tentang Perkeretaapian. UU ini menghendaki adanya pemisahan fungsi antara regulator dan operator. Alih status perusahaan dari Perjan Kereta Api ke Perum Kereta Api belum diikuti dengan pemberian jaminan pensiun, kesehatan, dan kesejahteraan lainnya bagi karyawan sama dengan PNS kepada Eks. PNS Departemen Perhubungan/ PJKA yang dialihkan status kepegawaiannya menjadi pegawai Perum. Peralihan status dari Perum menjadi diharapkan
dapat
menjadi
solusi
untuk
PT. Kereta Api (Persero)
menjawab
persoalan-persoalan
kesejahteraan yang terjadi sebelumnya. Namun pada kenyataannya sampai saat ini belum seperti yang diharapkan.
Supardi : Implikasi Perubahan Bentuk Perumka Menjadi Persero Terhadap Hak-Hak Karyawan PT. Kereta Api Indonesia, 2009
BAB III IMPLIKASI PERUBAHAN BENTUK PERUM MENJADI PERSERO TERHADAP STATUS KARYAWAN PT. KERETA API INDONESIA
A. Dampak Pengalihan Bentuk Perusahaan Perubahan status bentuk Perusahaan Jawatan Kereta Api (PJKA) menjadi Perusahaan Umum Kereta Api (PERUMKA) dan selanjutnya PT. Kereta Api (Persero) tak bisa dipungkiri telah menimbulkan sejumlah dampak. Satu di antaranya adalah dengan perubahan tersebut maka status kepegawaian para pegawai/ pekerja pun turut berubah. Namun konsekuensi yang paling menonjol adalah dimensi hukumnya, dimana telah terjadi pemberhentian para pegawai yang berstatus PNS menjadi pegawai perusahan. Menghadapi kenyataan demikian pihak manajemen bersama dengan Serikat Pekerja Kereta berinisiatif melakukan kajian aspek hukum dari perubahan atau pengalihan status
tersebut.
Kajian
tersebut
kemudian
menemukan sejumlah fakta yang merupakan rangkaian sejarah dari perusahaan pengelola jasa angkutan kereta api tersebut. Kajian tersebut paling tidak dibagi kedalam beberapa periode, yakni: 1) Era PJKA PJKA didirikan berdasarkan PP No. 61 Tahun 1971 tentang Perusahaan Jawatan (PERJAN) Kereta Api. Periode PJKA dimulai sejak tahun 1971 s.d. 1991. Adapun
status kepegawaiannya adalah sebagai Pegawai Negeri Sipil
Supardi : Implikasi Perubahan Bentuk Perumka Menjadi Persero Terhadap Hak-Hak Karyawan PT. Kereta Api Indonesia, 2009
(PNS) yang diatur dalam PP No. 16 Tahun 1979 tanggal 25 Juni 1979 tentang Pengangkatan Calon/ Pegawai Jawatan Kereta Api menjadi Calon/ Pegawai Negeri Sipil. Sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS); diatur dengan SKB Menkeu dan Menhub: Nomor KM.96/LD.302/Phb79-No.127/KMK.07/1979 tanggal 30 Maret 1979 tentang Pelaksanaan Penyelesaian Pendirian PJKA. Karena status pegawai sebagai PNS, maka pembinaan kepegawaian harus mengacu kepada UU No. 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian. 82 Dalam proses pengalihan status pegawai PNS PJKA menjadi pegawai PERUMKA digunakan sejumlah ketentuan-ketentuan, antara lain: 1) Petunjuk-petunjuk Dephub yang dituangkan dalam: a) Keputusan Menteri Perhubungan Nomor: SK.13/KP.406/Phb-78 tanggal 16 Maret 1978 tentang Pemilihan Status Pegawai Negeri Sipil yang diperbantukan pada Perusahaan Umum di lingkungan Departemen Perhubungan. Pasal 2 ayat (5) menyebutkan Pegawai Negeri yang memilih status Pegawai Perusahaan Umum akan diberhentikan dengan hormat sebagai PNS dan menjadi Pegawai Perusahaan Umum penuh. Pasal 3 ayat (2) menyatakan pembinaan pegawai yang memilih menjadi pegawai Perusahaan Umum dilakukan oleh Perusahaan Umum yang bersangkutan. Pasal 4 ayat (1) menyatakan bahwa PNS yang menggunakan hak pilihnya harus
82
Zainul A Dalimunthe, Op cit. hal 103.
Supardi : Implikasi Perubahan Bentuk Perumka Menjadi Persero Terhadap Hak-Hak Karyawan PT. Kereta Api Indonesia, 2009
mengisi dan menandatangani formulir yang disediakan yang dialamatkan
kepada
Menteri
Perhubungan.
Pada
ayat
(3)
disebutkan PNS yang memilih status sebagai Pegawai Perusahaan Umum wajib mengajukan permohonan berhenti sebagai PNS Atas Permintaan Sendiri kepada Menteri Perhubungan. b) Surat
Perintah
Sekretaris
Jenderal
Dephub
Nomor:
SP.629/KP.003/Phb-90 tanggal 20 November 1990. Substansi dari surat ini memerintahkan Direksi Perusahaan Jawatan Kereta Api melaksanakan pendataan Pegawai Negeri Sipil di lingkungan Perusahaan Jawatan Kereta Api untuk persiapan peralihan status. Hasil pendataan dimaksud selambat-lambatnya 1 Maret 1991. Perintah tugas ini ditanda tangani oleh Sekjen Dephub ketika itu Djunaedi Hadisumarto. c) Surat Sekjen Dephub No. KP.406/3/8.Phb-91 tertanggal 8 Januari 1991 tentang Pembinaan Pegawai Perum Kereta Api masa transisi. Substansinya
adalah
dengan
beralihnya
status
perusahaan,
sedangkan status Pegawai Perusahaan Kereta Api belum berubah dan masih tetap berstatus PNS. Berdasarkan Pasal 15 PP 57/ 1990, penyelesaian
status
PNS
akan
dikeluarkan
SKB
Menteri
Perhubungan dengan Menteri Keuangan dan Menpan. Sambil menunggu SKB tersebut Pembinaan Pegawai Negeri Sipil
Supardi : Implikasi Perubahan Bentuk Perumka Menjadi Persero Terhadap Hak-Hak Karyawan PT. Kereta Api Indonesia, 2009
Perumka tetap menjadi Wewenang Kepala Jawatan Kereta Api sesuai keputusan Menhub No. KP.5/KP.008/Phb-88 tanggal 4 Agustus 1988 dan KP.16/KP.008/Phb-89 tanggal 4 September 1989. Surat ini ditanda tangani oleh Sekjen Dephub ketika itu Djunaedi Hadisumarto, namun tidak dilengkapi cap stempel Departemen Perhubungan. d) Surat
Edaran
Kepala
Biro
Kepegawaian
Dephub
No.
Se.2/KP001/PHB-91 tanggal 28 September 1991 tentang Mono Status Pegawai Perum di lingkungan Dephub. Surat ini mempunyai substansi bahwa dalam rangka penyelesaian status kepegawaian terhitung mulai tanggal 1 April 1991 di lingkungan Dephub hanya terdapat satu status yaitu Pegawai Perusahaan Umum (Perum). Untuk sementara jabatan Direksi dan jabatan-jabatan lain di Perum yang dijabat oleh PNS III/ c keatas tetap dijabat oleh PNS sampai dikeluarkannya Peraturan Pemerintah (PP) tentang Status Pegawai Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Surat ini ditanda tangani oleh Swarno Tjitrosuwito, tanda cap stempel Departemen Perhubungan. e) Surat Sekjen Dephub No. KP.406/3/8.Phb-91 tanggal 7 Desember 1991 tentang Pembinaan Pegawai. Isi penting surat ini adalah sambil menunggu penetapan kebijaksanaan lebih lanjut tentang Pembinaan Pegawai Perum di lingkungan Dephub, diberitahukan
Supardi : Implikasi Perubahan Bentuk Perumka Menjadi Persero Terhadap Hak-Hak Karyawan PT. Kereta Api Indonesia, 2009
bahwa beberapa keputusan Menteri Perhubungan masih tetap berlaku
dan
dapat
dipergunakan
untuk
menyelenggarakan
administrasi pembinaan kepegawaian Perumka yakni: a)
Keputusan Menhub No. KM.79/KP.006/Phb-84 tentang PokokPokok
Pembinaan
Kepegawaian
Perumka
di
lingkungan
Dephub. b)
Keputusan
Menhub
No.
KM.194/KP.406/Phb-85
tentang
Pembinaan PNS di lingkungan Dephub yang diperbantukan/ dipekerjakan di luar instansi induk. c)
Keputusan Menteri Perhubungan No. KM.156/KP.406/Phb-86 tentang Petunjuk Pelaksanan PembinaanPNS di lingkungan Dephub yang diperuntukan/ dipekerjakan di luar instansi induk.
2) Keputusan Direksi Nomor: KA/KP/39268/SK/91 tanggal 18 Desember 1991 tentang Pembentukan Tim Pengalihan Status Kepegawaian. a)
Berdasarkan hasil rapat Sub Tim di Wisma PENA Jakarta tanggal 13 Januari 1992.
b)
Sesuai dengan pembicaraan Kepala Biro Kepegawaian Dephub, disepakati bahwa pegawai yang berusia 50 tahun ke atas menjadi PNS yang diperbantukan, sedangkan pegawai yang berusia 50 tahun ke bawah menjadi pegawai Perumka.
Supardi : Implikasi Perubahan Bentuk Perumka Menjadi Persero Terhadap Hak-Hak Karyawan PT. Kereta Api Indonesia, 2009
c)
Prinsip dasar pengalihan status tidak merugikan pegawai.
d)
Menjelang pengalihan status dilaksanakan (1 April 1992) hak-hak pegawai
supaya diselesaikan (KP 1-10-1991 dan kasus-kasus
diselesaikan). KP 1-4-1992 akan diproses sesuai KP PNS. e)
Hasil konsultasi dengan Dephub dan BAKN tentang landasan Pemilihan Status.
Dengan mengacu pada SK Menhub No. 13/KP.406/Phb-87 tanggal
16
Maret 1987, dibicarakan landasan pemilihan Status Kepegawaian batas usia 50 tahun: a. BAKN berpendapat perlu ada penetapan (SK) sebagai landasan berpijak dari pengalihan status. b. Dephub berpendapat cukup dengan surat Dephub (karo kepegawaian) No. KP.304/2/17.Phb-92 tanggal 15 Januari 1992. Setelah dilakukan kajian/ telaah oleh Tim maka diperoleh kesimpulan bahwa dasar pemberhentian Pegawai Negeri Sipil PJKA adalah karena ”Atas Permintaan Sendiri” yang diwajibkan oleh Departemen Perhubungan yang kemudian disikapi dan dilaksanakan oleh Direksi Perumka. Penjelasan Pasal 23 ayat (1) a. Undang-undang No. 8 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Kepegawaian menyebutkan ”Pegawai Negeri Sipil yang meminta berhenti berhenti dengan kemauan sendiri, pada prinsipnya harus diberhentikan dengan hormat. Tetapi apabila kepentingan dinas mendesak, maka permintaan berhenti Supardi : Implikasi Perubahan Bentuk Perumka Menjadi Persero Terhadap Hak-Hak Karyawan PT. Kereta Api Indonesia, 2009
itu dapat ditolak atau ditunda untuk sementara waktu”. Artinya berhenti atas permintaan sendiri adalah karena kemauan pegawai itu sendiri. Dari pengakuan beberapa pegawai eks. PJKA berdasarkan hasil wawancara diperoleh bahwa, pengunduran diri mereka sebagai PNS bukan atas permintaan mereka dan bukan pula atas kemauan mereka sendiri. Melainkan kewajiban atas kebijakan Departemen Perhubungan dan Direksi Perumka saat itu. Karena ada keharusan mengisi dan menandatangani formulir permohonan berhenti sebagai PNS yang sudah disediakan. (Surat Karo Kepegawaian Departemen perhubungan Nomor: KP.304/2/17-Phb-92 tanggal 15 januari 1992). Untuk membuktikan kebenaran hal tersebut Tim Kajian ini mengusulkan agar dilakukan kajian ulang kepada seluruh eks. Pegawai PJKA untuk mengetahui latar belakang tindakan yang sebenarnya. Didasari atas permintaan siapa dan kemauan siapa mereka itu diberhentikan sebagai PNS?. Kalau terbukti latar belakang tindakan mereka bukan atas permintaan sendiri dan bukan pula karena kemauan sendiri, maka kebijakan ini cacat hukum ditinjau berdasarkan pasal tadi. Permintaan berhenti bisa dilakukan hanya oleh karena kemauan sendiri. Apabila terjadi pengalihan hak secara sepihak, maka didalamnya terdapat indikasi unsur pemaksaan. Segala kerugian yang ditimbulkan karena terjadinya pengalihan hak secara sepihak, maka seluruh kerugian tersebut adalah menjadi tanggung jawab yang mengambil alih hak
Supardi : Implikasi Perubahan Bentuk Perumka Menjadi Persero Terhadap Hak-Hak Karyawan PT. Kereta Api Indonesia, 2009
orang lain. Dalam hal ini pemerintah harus menjaminapa yang menjadi hak pegawai. Hingga saat dilakukan kajian ini, status kepegawaian belum tuntas berdasarkan Pasal 57 PP No. 57 Tahun 1990 berbunyi ”penyelesaian pengalihan status pegawai Perusahaan Jawatan (Perjan) Kereta Api menjadi Pegawai Perusahaan Umum (Perum) Kereta Api diatur lebih lanjut oleh Menteri Perhubungan, Menteri Keuangan dan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara. Hingga tahun 2002 SKB dimaksud belum juga keluar. Ditambah lagi kegagalan Direksi Perumka yang menyangkut Pasal 15 jo PP No. 57 1990, berbunyi “tugas dan wewenang Direksi adalah sebagai berikut: menetapkan gaji, pensiun/ jaminan hari tua dan penghasilan lain bagi pegawai serta mengatur semua hal kepegawaian lainnya sesuai dengan ketentuanketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Ketika kedua hal tersebut belum dapat diselesaikan, ternyata perusahaan sudah mengalami perubahan lagi dari bentuk Perumka menjadi PT. Kereta Api (Persero) tertanggal 1 Juni 1999. Atas masalah yang dihadapi tersebut, Tim menyepakati akan meminta penjelasan dan pertanggung jawaban kepada para pejabat terkait atas segala akibat kelalaian maupun kerugian yang ditimbulkannya terutama semasa menjalankan tugas dan wewenangnya. Berdasarkan kajian Tim dari berbagai peraturan yang telah diuraikan di atas, ditinjau dari aspek legalitas, maka penyelesaian status kepegawaian
Supardi : Implikasi Perubahan Bentuk Perumka Menjadi Persero Terhadap Hak-Hak Karyawan PT. Kereta Api Indonesia, 2009
Perusahaan Jawatan Kereta Api (PJKA) menjadi pegawai Perusahaan Umum Kereta Api (Perumka) dianggap belum tuntas. Karena itu hal-hal berikut perlu dipertimbangkan: a) Bagi pegawai yang diangkat semasa PJKA, status kepegawaiannya adalah sebagi PNS yang diperbantukan pada PT. Kereta Api (Persero) dan bagi pegawai yang diangkat pada era Perumka dan era PT. Kereta Api (Persero), status kepegawaiannya adalah sebagai pegawai perusahaan PT. Kereta Api (Persero). b) Segala hak dan kewajiban bagi kedua status pegawai yang ada di PT. Kereta Api (Persero) dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundangundangan yang berlaku. 2) Era PERUMKA Perumka didirikan berdasarkan PP No. 57 Tahun 1990 tentang Pengalihan
Bentuk
Perusahaan
Jawatan
(Perjan)
Kereta
Api
menjadi
Perusahaan Umum (Perum) Kereta Api. Periode status Perumka adalah mulai 1 Juni 1991 s.d. 1 Juni 1999. Status kepegawaiannya adalah Pegawai Perum sesuai PP No. 13 Tahun 1998 tentang Perusahaan Umum (Perum). Status pegawai tidak jelas selama SKB Menteri belum keluar, sesuai Pasal 57 PP No. 57 Tahun 1990 “penyelesaian pengalihan status pegawai PJKA menjadi pegawai Perumka diatur lebih lanjut oleh Menteri Perhubungan, Menteri Keuangan dan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara. Namun SKB
Supardi : Implikasi Perubahan Bentuk Perumka Menjadi Persero Terhadap Hak-Hak Karyawan PT. Kereta Api Indonesia, 2009
tersebut belum pernah ada dan sepanjang SKB tersebut belum dikeluarkan maka pembinaan pegawai dilaksanakan oleh Kaperjanka sebagaimana diatur dengan SK Menhub No. 5/KP.008/Phb-88 tertanggal 4 Agustus 1988 dan KP 16/KP.008/Phb-89 tertanggal 5 September 1989. Landasan pengaturan pembinaan pegawai juga didasarkan pada surat Kepala Biro Kepegawaian Dephub No. SE.2/KP.001/PHB-91 tanggal 28 Februari 1991 tentang Mono status Pegawai Perum di lingkungan Dephub. Ada pula surat Sekjen Dephub Nomor: KP.304/2/2Phb-91 tanggal 8 Februari 1991 tentang Pembinaan Pegawai Perumka. Selanjutnya ada keputusan Menhub No. 7 Tahun 1992 tanggal 2 Maret 1992 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pengalihan Status Kepegawaian dari PNS PJKA menjadi pegawai Perumka. Intinya menyebutkan pegawai yang mencapai usia 50 tahun terhitung mulai tanggal 14-1992 status kepegawaiannya adalah PNS yang diperbantukan pada Perumka. Sedangkan pegawai yang belum mencapai usia tersebut maka status kepegawaiannya dialihkan menjadi pegawai Perumka. PNS yang diperbantukan pada Perumka, pembinaan kepegawaiannya harus mengacu pada UU No. 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian dan Pengelolaan Dana Pensiunnya oleh PT. Taspen (Persero). Sedangkan pembinaan kepegawaian dengan status pegawai Perumka mengacu pada Pasal 15 PP No. 57/ 1990. Selanjutnya PP No. 13 Tahun 1998 tentang Perusahaan Umum (Perum) tanggal 17 Januari 1998 menyatakan pegawai Perum
Supardi : Implikasi Perubahan Bentuk Perumka Menjadi Persero Terhadap Hak-Hak Karyawan PT. Kereta Api Indonesia, 2009
merupakan pekerja Perum yang pengangkatan dan pemberhentian, kedudukan, hak serta kewajibannya ditetapkan berdasarkan perjanjian kerja sesuai dengan perundang-undangan di bidang ketenagakerjaan. Ketentuan-ketentuan yang digunakan dalam proses pengalihan status pegawai Perumka menjadi pegawai PT. Kereta Api (Persero) adalah: a. Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 1998 tentang Pendirian Perusahaan Perseroan. Pasal 1 ayat (2) berbunyi “pendirian perusahaan perseroan dengan ketentuan bahwa segala hak dan kewajiban, kekayaan serta pegawai Perusahaan Umum yang ada pada saat pembubarannya beralih kepada Perusahaan Perseroan (Persero) yang bersangkutan”. b. Pasal 33 PP No. 12 Tahun 1998 tentang Perusahaan Perseroan (Persero) menyatakan
“pegawai
persero
merupakan
pekerja
persero
yang
pengangkatan dan pemberhentian, kedudukan, hak serta kewajibannya ditetapkan
berdasarkan
perjanjian
kerja
sesuai
dengan
peraturan
perundang-undangan di bidang ketenagakerjaan. Terhadap fakta-fakta tersebut di atas, telaah Tim menyatakan bahwa berdasarkan isi Pasal 6 PP No. 19 Tahun 1998 tentang Pengalihan Bentuk Perusahaan Umum (Perum) Kereta Api menjadi Perusahaan Perseroan (Persero) berbunyi ”terhitung sejak berdirinya Perusahaan Perseroan, maka PP No. 57 Tahun 1990 dinyatakan tidak berlaku lagi”. Masalahnya kemudian adalah penyelesaian status kepegawaian dimaksud belum tuntas, karena belum
Supardi : Implikasi Perubahan Bentuk Perumka Menjadi Persero Terhadap Hak-Hak Karyawan PT. Kereta Api Indonesia, 2009
dikeluarkannya SKB 3 Menteri sesuai Pasal 57 PP No. 1990 dan sudah dinyatakan tidak berlaku lagi. Sehubungan dengan itu ada dua kemungkinan proses yang dapat dilaksanakan dalam rangka penyelesaian persoalan status kepegawaian ini, yaitu: a. PNS PJKA dialihkan menjadi pegawai Perumka lalu dialihkan pula menjadi pegawai PT. Kereta Api (Persero); b. PNS PJKA langsung dialihkan menjadi pegawai PT. Kereta Api (Persero), karena PP No. 57 Tahun 1990 sudah dinyatakan tidak berlaku lagi. Oleh karena penyelesaian status kepegawaian Perusahaan Jawatan Kereta Api (PJKA) menjadi pegawai Perusahaan Umum Kereta Api (Perumka) pun belum tuntas, maka dengan memperhatikan waktu dengan biaya diperlukan solusi yang tepat. Solusi tersebut adalah status PNS PJKA langsung diperoleh menjadi PNS yang diperbantukan di PT. Kereta Api (Persero). Sedangkan pegawai penerimaan Perum beralih status menjadi pegawai PT. Kereta Api (Persero). 3) Era PT. Kereta Api (Persero) PT. Kereta Api (Persero) didirikan berdasarkan PP 19 Tahun 1998 tentang Pengalihan Bentuk Perusahaan Umum (Perum) Kereta Api menjadi Perusahaan Perseroan (Persero). Akte Notaris pendirian oleh Imas Fatimah, SH. No. 2 Tahun 1999 tanggal 1 Juni tentang pendirian Perusahaan (Persero) PT. Kereta Api (Persero). Masa status persero tersebut adalah mulai 1 Juni
Supardi : Implikasi Perubahan Bentuk Perumka Menjadi Persero Terhadap Hak-Hak Karyawan PT. Kereta Api Indonesia, 2009
1999 hingga saat ini. Status pegawainya adalah pegawai persero. Adapun mengenai pembinaan kepegawaiannya tunduk pada UU Ketenagakerjaan 83 Bahwa tindak lanjut pengalihan status pegawai perumka menjadi pegawai PT. Kereta Api (Persero) juga tidak jelas, bila dikaitkan dengan PP No. 19 tahun 1998 yang khususnya menyangkut Pasal 1 ayat (2) dan Pasal 38 PP No. 12 tahun 1998 tentang Perusahaan Perseroan (persero). Hal tersebut menunjukkan bahwa proses pengalihan dimaksud belum tuntas hingga saat ini. Belum tuntasnya proses dimaksud tidak saja berdampak pada status hukum (legal standing) nya. Akan tetapi yang lebih penting adalah menyangkut konsekwensi finansial yang memang menjadi hak para pegawai terkait. Misalnya yang berkaitan dengan adanya sejumlah jaminan seperti jaminan hari tua, jaminan kesehatan, pensiun, dll. Dengan berbekal kajian aspek hukum tadi, maka kemudian SPKA pun melakukan berbagai langkah perjuangan yang intinya agar diperoleh kepastian tentang pengalihan status dimaksud hingga tuntas. Penyelesaian pengalihan status yang terkatung-katung antara lain menyebabkan penambahan setian bulannya dana PSL yang menjadi tanggung jawab pemerintah. 84 Bahwa sebagai akibat dari dikeluarkannya Surat Keputusan Menteri Perhubungan Nomor 18/KP.601/Phb-92 tanggal 11 Maret 1992 tentang Pemberhentian dengan sebagai Pegawai Negeri Sipil Perusahaan Jawatan 83 84
Zainul A Dalimunthe, Op cit. hal 113. Ibid. hal 115.
Supardi : Implikasi Perubahan Bentuk Perumka Menjadi Persero Terhadap Hak-Hak Karyawan PT. Kereta Api Indonesia, 2009
Kereta Api berdampak pada tingkat kesejahteraan para karyawan yang tidak mengalami perubahan atau dengan kata lain apa yang dijanjikan oleh Direksi pada saat proses pengalihan status ini untuk meningkatkan kesejahteraan beserta kenaikan tunjangan setelah menjadi pegawai perum ternyata sampai saat ini tetap saja tidak mengalami perubahan yang signifikan. Bahkan keadaan ini lebih dirasakan setelah kurang lebih 6 tahun sejak Surat Keputusan Menteri Perhubungan Nomor 18/KP.601/Phb-92 dikeluarkan. Adapun dampak serta kerugian yang lainnya adalah: a. Gaji pokok dasar pensiun dan tunjangan hari tua pegawai PT. Kereta Api (Persero) menjadi lebih kecil dibandingkan dengan gaji pokok dasar pensiun dan tunjangan hari tua Pegawai Negeri Sipil lainnya; b. Pelayanan kesehatan terhadap pegawai aktif tidak memadai dan berada jauh dibawah pelayanan yang diterima oleh Pegawai Negeri Sipil pada umumnya yang dilayani melalui Asuransi Kesehatan (ASKES), serta terhentinya pelayanan kesehatan pegawai ketika memasuki masa pensiun; c. Tidak ada kepastian kelangsungan dana pensiun akibat ketidakmampuan perusahaan dalam mengelola dana pensiun; d. Banyaknya pegawai yang merasa teraniaya secara psikologis akibat menghadapi ketidakpastian masa depan yang berdampak pada buruknya kinerja/ semangat kerja di perusahaan;
Supardi : Implikasi Perubahan Bentuk Perumka Menjadi Persero Terhadap Hak-Hak Karyawan PT. Kereta Api Indonesia, 2009
e. Kesempatan berkarir dari pegawai yang mempunyai kompetensi di bidang
perkeretaapian
menjadi
hilang
akibat
perubahan
status
kepegawaian tersebut; f. Tidak adanya kenaikan uang pensiun seperti yang dialami oleh pensiunan Pegawai Negeri Sipil lainnya; g. Tidak mendapatkan fasilitas kenaikan gaji/ pensiun ke 13; h. Pada saat pengambilan uang pensiun di PT Taspen, ternyata yang dipakai masih tetap NIP (Nomor Induk Pegawai yang notabene merupakan register sebagai Pegawai Negeri Sipil) dan bukan NIPP (Nomor Induk Pegawai Perusahaan).
B. Frekuensi Tuntutan Meninggi Setiap orang pada dasarnya dilahirkan untuk menghadapi masalah dan tantangannya masing-masing. Ini berarti bahwa setiap orang nenang sudah disiapkan untuk hidup pada periode tertentu dengan beragamnya persoalan sendiri.
Terlepas
dari
apakah
hal
ini
merupakan
teori
yang
dapat
dipertanggungjawabkan secara ilmiah atau sebaliknya, tetapi bila ditelusuri sejarah manusia boleh jadi pernyataan (premis) seperti itu ada benarnya. Lihatlah misalnya sejarah Thomas Alfa Edison, seorang ilmuan yang menemukan lampu pijar. Penemuan ini dikemudian hari terbukti sangat bermanfaat bagi manusia dalam kehidupannya. Kalau saja penemuan itu belum Supardi : Implikasi Perubahan Bentuk Perumka Menjadi Persero Terhadap Hak-Hak Karyawan PT. Kereta Api Indonesia, 2009
pernah ada atau seandainya itu baru dilakukan sekarang, maka dapatlah dipastikan bahwa kehidupan manusia tidak semudah saat ini, terutama dalam penggunaan penerangan dan peralatan lainnya yang berbasis teknologi elektronik dan elektrik. Keyakinan yang demikian terjadi pula pada organisasi. Banyak organisasi yang memang diyakini hanya cocok untuk menghadapi tantangan pada jamanny. Jika terpaksa dihadapkan pada jaman berikutnya, boleh jadi organisasi tersebut tidak mampu bertahan. Akibatnya keberadaan organisasi tersebut tak banyak diperhitungkan oleh masyarakat. Karena itu tidaklah heran pada saat yang bersamaan banyak organisasi yang dibangun dan tumbuh, namun tidak sedikit pula yang gulung tikar atau mati. Laksana organisme atau makhluk hidup umumnya, organisasi pun pada kenyataannya bisa hidup, berkembang dan maju pesat, mundur bahkan bisa pula mati. Begitu pula dengan Serikat Pekerja Kereta Api (SPKA), organisasi pekerja yang menaungi lebih dari 30.000 pegawai/ pekerja di lingkungan PT. Kereta Api (Persero). Organisasi ini pun telah melalui berbagai tahapan sebagaimana mestinya. Ada saatnya didirikan atau dilahirkan, kemudian tumbuh dan berkembang. Tiba pula saatnya memperjuangkan hak-hak normatif, gagasan, ide, tuntutan dan keinginannya. Perjuangan yang dilakukan ada
kalanya
terasa
mudah
dan
membutuhkan
waktu
singkat,
tapi
Supardi : Implikasi Perubahan Bentuk Perumka Menjadi Persero Terhadap Hak-Hak Karyawan PT. Kereta Api Indonesia, 2009
kebanyakannya sulit, berliku-liku dan membutuhkan waktu panjang dan keseriusan serta kesabaran ekstra untuk bisa meraih hasil. Namun memasuki usianya yang ke-6 SPKA semakin menunjukan eksistensinya baik dikalangan internal PT. Kereta Api (Persero) maupun dalam pergaulan sesama serikat pekerja di tingkat nasional bahkan internasional. Dan salah satu wujud eksistensi itu adalah semakin meningginya frekuensi tuntutan yang disampaikan kepada berbagai pihak. Lebih-lebih Munas III SPKA 12-13 Juli 2005 di Bandung telah mengamanatkan 14 (empat belas) butir perjuangan yang harus dikerjakan oleh SPKA di bawah kepemimpinan Ketua Umum Amien Abdurrachman. Karena itu tidaklah terlalu aneh bila tuntutan SPKA akan berbagai hal yang pada umumnya terkait dengan tingkat kesejahteraan pegawai dan pengelolaan perusahaan semakin terasa meninggi dalam tahun 2005. tidak berarti tahun-tahun sebelumnya tuntutan SPKA tidak banyak atau tidak intens. Namun pada tahun 2005 memang lebih istimewa selain memang terjadi pergantian kepemimpinan, tetapi juga karena beban yang dialami oleh pegawai PT. Kereta Api (Persero) semakin berat terlebih dengan adanya penurunan daya beli masyarakat pada umumnya, sebagai akibat adanya kenaikan harga BBM yang mencapai 100%. Dan tuntutan yang dimunculkan pun kemudian diajukan ke semua pihak yang dianggap bertanggung jawab atas atau terkait dengan masalah yang ada. Adakalanya ke pihak eksekutif, tetapi ada pula yang
Supardi : Implikasi Perubahan Bentuk Perumka Menjadi Persero Terhadap Hak-Hak Karyawan PT. Kereta Api Indonesia, 2009
disampaikan kepada pihak eksekutif, tetapi ada pula yang disampaikan kepada pihak legislatif dan pihak-pihak lainnya. Sabar ada batasnya!. Begitulah kira-kira yang ada dibenak sebagian besar anggota SP Kereta Api dalam beberapa bulan hampir sepanjang tahun 2005. kegalauan seperti itu memang sangat beralasan, karena kesejahteraan yang mereka dambakan belum juga terwujud apalagi meningkat. Bahkan disadari pula adanya ketidak konsistenan dalam pelaksanaan Perjanjian Kerja Bersama (PKB) terutama dari pihak manajemen. Salah satu ketidak konsistenan yang terjadi adalah seputar kesepakatan bahwa gaji pokok pegawai kereta api haruslah 10% lebih besar dari gaji pokok PNS. Itu tidak pernah direalisasikan. Alasan klasiknya adalah perusahaan belum memiliki kemampuan keuangan untuk memenuhi tuntutan itu. Bahkan yang terjadi adalah penurunan pemenuhan hak-hak pegawai seperti jaminan kesehata, tunjangan hari tua, dll. Dengan komitmen yang jelas dan tegas untuk kepentingan anggotanya, organisasi SPKA pada saatnya akan memiliki pengaruh dan kewibawaan yang disegani banyak pihak tidak saja dari kalangan internal tetapi juga internal. Setidaknya bila kita amati Anggaran Dasar SPKA, maka terlihat bahwa tujuan organisasi ini lebih mengutamakan kepentingan anggotanya dan perusahaan. Itu adalah komitmen yang memang harus diimplementasikan dalam praktik organisasi sehari-hari.
Supardi : Implikasi Perubahan Bentuk Perumka Menjadi Persero Terhadap Hak-Hak Karyawan PT. Kereta Api Indonesia, 2009
Pasal 5 Anggaran Dasar SPKA menyatakan tujuan SPKA adalah untuk: 1) Menjembatani kepentingan aspirasi anggota Serikat Pekerja dengan Perusahaan; 2) Mewujudkan persatuan dan kesatuan anggota Serikat Pekerja; 3) Memperjuangan perlindungan hak dan kepentingan anggota Serikat Pekerja; 4) Melindungi dan menjaga seluruh aset perusahaan; 5) Mengupayakan pembinaan persatuan dan kesatuan serta solidaritas anggota Serikat Pekerja; 6) Memberdayakan dan mendayagunakan anggota Serikat Pekerja secara optimal; 7) Memberikan pengayoman dan penyaluran aspirasi anggota Serikat Pekerja; 8) Meningkatkan kesejahteraan yang layak bagi anggota Serikat Pekerja dan keluarganya; 9) Meningkatkan profesionalisme anggota dalam pelaksanaan tugas pelayanan masyarakat; Sekali lagi poin-poin tersebut menunjukkan bahwa SPKA memang memiliki komitmen yang jelas dalam menjalankan organisasinya dan melakukan perjuangan demi kepentingan anggota dan perusahaan. Adalah merupakan tanggung jawab semua pihak khususnya di kalangan internal PT.
Supardi : Implikasi Perubahan Bentuk Perumka Menjadi Persero Terhadap Hak-Hak Karyawan PT. Kereta Api Indonesia, 2009
Kereta Api (Persero) agar sikap dan komitmen yang demikian jelas bisa berkelanjutan di masa mendatang. Karena tantangan perkereraapian di masa depan pun semakin kompleks dan menuntut pemecahan masalah secara komprehensif.
C. Santunan Purna Jabatan Bermula dari terbitnya Keputusan Direksi PT. Kereta Api (Persero) Nomor: KEP.U/KP.208/IX/2/KA-2003 tentang Santunan Purna Jabatan Direksi dan Dewan Komisaris PT. Kereta Api (Persero) tertanggal 4 September 2003. Keputusan ini mengundang reaksi keras dari kalangan pengurus dan anggota SPKA. Keputusan ini ternyata merefer kepada Risalah Rapat Umum Pemegang Saham PT. Kereta Api (Persero) Nomor BA-47/D2-MBU/2002 tentang Persetujuan Laporan Tahunan dan Pengesahan Perhitungan Tahunan Tahun Buku 2001. pada Bab III butir 7 telah ditetapkan Santunan Purna Jabatan bagi Direksi, Komisaris dan Sekretaris Komisaris PT. Kereta Api (Persero). Substansi dari keputusan ini adalah bahwa terhitung mulai tahun 2003, program santunan purna jabatan bagi Direksi, Komisaris dan Sekretaris Komisaris dilaksanakan melalui asuransi atau tabungan pensiun. Untuk masa peralihan, kepada anggota Direksi, Komisaris dan Sekretaris Komisaris yang telah menjabat, diberikan santunan purna jabatan berdasarkan ketentuan yang berlaku sebelumnya, dimana masa jabatan yang bersangkutan dihitung mulai
Supardi : Implikasi Perubahan Bentuk Perumka Menjadi Persero Terhadap Hak-Hak Karyawan PT. Kereta Api Indonesia, 2009
awal pengangkatan pada jabatan tersebut sampai dengan bulan Desember 2002. premi atau iuran tahunan yang ditanggung oleh perusahaan maksimum 25% dari gaji/ honorarium dalam satu tahun dan jumlah tersebut harus dicantumkan dalam RKAP perusahaan setiap tahun anggaran. Di tengah perjuangan yang sedang dilancarkan oleh SPKA terutama terkait dengan peningkatan pendapatan pegawai sesuai dengan Perjanjian Kerja Bersama (PKB) sebelumnya, tentu saja muncul kabar tentang santunan purna jabatan ini sangat menyinggung rasa keadilan. Betapa tidak. Di saat para pegawai sedang memperjuangkan hak-hak normatifnya belum menampakkan tanda-tanda keberhasilan, para Direksi dan Komisaris yang sesungguhnya memperoleh penghasilan lebih dari cukup itu masih mendapat penghasilan berupa santunan purna jabatan. Melihat ketidakadilan ini, DPDSPKA Kantor Pusat ketika itu, dipimpin oleh Amien Aburrachman, yang memperoleh dokumen tentang santunan purna jabatan yang sebetulnya bersifat rahasia itu, kontan mengeluarkan sikap tentang hal tersebut. Melalui suratnya nomor: 112/DPD.SPKAKP/Um/X/2003 tanggal 2 Oktober 2003, DPD SPKA Kantor Pusat menyampaikan bahwa mereka telah menerima surat tanpa nama dan alamat berisi SK Direksi PT. Kereta Api (Persero) dan bukti pembayaran premi santunan purna jabatan. Surat yang ditujukan kepada DPP SPKA itu, meminta agar dilakukan upaya klarifikasi tentang kebenaran dokumen dimaksud. Dan bila hal tersebut benar,
Supardi : Implikasi Perubahan Bentuk Perumka Menjadi Persero Terhadap Hak-Hak Karyawan PT. Kereta Api Indonesia, 2009
maka DPD SPKA Kantor Pusat sangat menyayangkan jajaran Direksi yang tidak memiliki sense of crisis. Pendeknya, kebijakan Direksi tersebut dipandang sangat tidak sensitif terhadap keadaan yang sedang dialami oleh para pegawai, dimana untuk memenuhi kebutuhan pokoknya saja pun belum sepenuhnya mampu. Padahal para Direksi dan Komisaris yang tanpa santunan purna jabatan itu saja pun, sudah memperoleh gaji/ honorarium yang berlipatlipat lebih besar dari pendapatan pegawai pada umumnya. 85 Sangat beralasan bila kemudian SPKA melakukan sejumlah upaya menolak adanya santunan purna jabatan dimaksud. Beberapa kesempatan dan pndekatan
digunakan
untuk
menggalkan
kebijakan
yang
tidak
mempertimbangkan rasa keadilan tersebut. Namun secara formal upaya penolakan
setidaknya
tampak
melalui
surat
nomor:
143/DPP.SPKA/UM/X/2005 tertanggal 26 Oktober 2005. ini berarti DPP SPKA baru memberikan reaksi resmi dan formal setelah memperoleh informasi dua tahun sebelumnya, yakni melalui surat DPD SPKA Kantor Pusat nomor 2 Oktober 2003. agak terlambat memang. Tapi itu tidak berarti bahwa DPP SPKA vakum selama dua tahun terhadap masalah ini. Sejumlah upaya dan pendekatan dalam bentuk lain tetap dilakukan, namun secara formal dan lebih serius barulah dilakukan dalam bulan Oktober 2005.
85
Zainul A Dalimunthe, Op cit. hal. 21.
Supardi : Implikasi Perubahan Bentuk Perumka Menjadi Persero Terhadap Hak-Hak Karyawan PT. Kereta Api Indonesia, 2009
Dalam surat yang ditujukan kepada Direksi PT. Kereta Api (Persero) tersebut diberitahukan bahwa SPKA tetap konsisten dan menolak perusahaan membayar santunan purna jabatan Direksi dan Komisaris, meskipun sudah ditetapkan dalam Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS). Meskipun surat penolakan SPKA telah diterbitkan, Direksi dan Komisaris tetap pada pendiriannya tidak mencabut ketetapan tentang purna jabatan. Pengelolaan santunan
purna
jabatan
Direksi/
Komisaris
dilakukan
dengan
cara
membayarkan sekaligus premi kepada PT. Asuransi Jiwasraya pada bulan September 2003 sebesar Rp. 1.145.800.250,00. Padahal Badan Pemeriksa Keuangan RI telah pula menyarankan Menneg BUMN agar membatalkan ketetapan mengenai pemberian program asuransi purna jabatan bagi Komisaris yang juga Pegawai Negeri atau Pejabat di Instansi Pemerintah. Pemberian santunan purna jabatan kepada pejabat tersebut tidak patut, karena pada saat yang bersangkutan diberhentikan sebagai pejabat Komisaris RP. Kereta Api (Persero), mereka masih bertugas sebagai pejabat di instansi
pemerintah
dimana
mereka
bertugas.
Terkait
dengan
akan
dibayarkannya kembali sisa santunan purna jabatan Direksi/ Komisaris lama selama 18 (delapan belas) bulan mulai bulan April 2004 s.d. September 2005 dengan besaran 25% dari penghasilan yang diterima, SPKA menyatakan: 1) Menolak/ tidak menyetujui pembayaran sisa santunan purna jabatan Direksi lama, karena diluar kepatutan dan kelayakan pada saat perusahaan sedang
Supardi : Implikasi Perubahan Bentuk Perumka Menjadi Persero Terhadap Hak-Hak Karyawan PT. Kereta Api Indonesia, 2009
mengalami krisis keuangan dan manjemen belum dapat merealisasikan penugasan
pemerintah,
sedangkan
Direksi
lama
telah
menikmati
pembayaran santunan purna jabatan periode awal yang lebih. 2) Mendorong Direksi baru untuk merealisasikan hasil temuan pemeriksaan BPK Tahun 2003 yaitu pembatalan pembayaran santunan purna jabatan kepada Dewan Komisaris yang PNS atau pejabat instansi pemerintah. 3) SPKA akan melaksanakan kegiatan aksi, apabila Direksi baru malakukan tindakan pembayaran sisa santunan purna jabatan Direksi lama. Penggunaan istilah Direksi lama dan Direksi baru adalah sesuai dengan keadaan pada saat surat pernyataan sikap tersebut dikeluarkan. Sebagimana dimaklumi bahwa pada tanggal 28 September 2005 telah dilantik Direksi baru PT. Kereta Api (Persero) yang dipimpin oleh Ronny Wahyudi selaku Direktur Utama. Penetapan Direksi baru ini berdasarkan keputusan Menneg BUMN Nomor: KEP-69/MBU/2005 tertanggal 27 September 2005. Sementara itu yang dimaksud dengan Direksi lama adalah Direksi yang dipimpinan Omar Berto selaku DirekturUtama dan ditetapkan berdasarkan keputusan Menneg BUMN No. KEP-56/M-BUMN/2002 tertanggal 8 Februari 2002.
D. Masukan Untuk RUPS Sebagai organisasi pekerja yang pada dasarnya memiliki kepedulian yang besar terhadap maju mundurnya perusahaan, SPKA juga menaruh Supardi : Implikasi Perubahan Bentuk Perumka Menjadi Persero Terhadap Hak-Hak Karyawan PT. Kereta Api Indonesia, 2009
perhatian terhadap pelaksanaan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) PT. Kereta Api (Persero). SKPKA berusaha memberikan masukan kepada RUPS terkait sejumlah hal yang memiliki implikasi bagi bisnis perusahaan. Masukan ini disampaikan oleh DPD SPKA Kantor Pusat melalui suratnya nomor: 238/DPD.SPKA/UM/XII/2005 tertanggal 28 Desember 2005. Dikeluarkannya surat tersebut terkait erat dengan akan dilaksanakannya RUPS PT. Kereta Api (Persero) pada tanggal 29 Desember 2005 . Surat tersebut ditujukan kepada DPP SPKA, DPD SPKA se Jawa dan Suimatera dan para Kasubdit (setingkat). Sejumlah poin disampaikan oleh SPKA yang meliputi: 1) Mengusulkan kepada RUPS agar PSO yang belum dibayarkan (akumulasi 2000-2004 Rp. 1.337 Trilyun) serta dampak back-log perawatan sarana dan prasarana (akumulasi sampai akhir 2004 Rp. 11.835 Trilyun) dapat segera difasilitasi untuk dipenuhi oleh pemerintah. 2) Memanfaatkan semangat nasionalisme Menneg BUMN yang berpihak kepada PT. Kereta Api (Persero) sebagai BUMN Non TBK dan mendesak PT. BA sebagi perusahaan yang sebagian besar sahamnya dikuasi asing untuk menyesuaikan tarif angkutan batu bara yang memungkinkan PT. Kereta Api berkembang. 3) Implementasi Good Corporate Governance (GCG) sebagai panglima untuk melakukan
leadership
reform
dengan
meningkatkan
kesejahteraan
karyawan, dimana karyawan merupakan bagian dari ”mesin pencetak uang”
Supardi : Implikasi Perubahan Bentuk Perumka Menjadi Persero Terhadap Hak-Hak Karyawan PT. Kereta Api Indonesia, 2009
selain sarana dan prasarana. Ha ini didasarkan pertimbangan prinsip manajemen ”the man behind the gun” yang berarti bagaimana kondisi prasarana dan sarana sangat tergantung pada karyawan yang menanganinya. 4) Membangkitkan etos kerja yang berorientasi pada peningkatan produktifitas dan efisiensi bagi perusahaan dengan stimulus peningkatan kesejahteraan karyawan berdasarkan ”merit system” atau prinsip ”no success no pay” tidak berdasarkan absensi atau sekedar hadir dan bekerja ”as usual”. 5) Optimalisasi pendapatan perusahaan melalui: Angkutan: a) Mengusulkan kenaikan tarif angkutan batubara melalui Divre III Sumsel dengan mempertimbangkan kajian Tim Sucofindo dan Tim Tarif PT. Kereta Api (Persero); b) Mengusulkan kenaikan tarif KA penumpang Kelas Ekonomi dengan besaran yang memperkecil PSO, karena selama ini terbukti APBN tidak mampu mengakomodasi usulan PSO yang diajukan PT. Kereta Api (Persero); c) Melakukan rasionalisasi operasi Kereta Api tertentu yang dinilai kurang diminati pasar dengan indikator rendahnya okupansi, yang diharapkan dapat mengurangi beban kapasitas lintas demi urgensi safety operasi dan meningkatkan kualitas pelayanan kereta api (ketepatan jadwal kereta api); Supardi : Implikasi Perubahan Bentuk Perumka Menjadi Persero Terhadap Hak-Hak Karyawan PT. Kereta Api Indonesia, 2009
d) Memberdayakan peranan marketing perusahaan agar tidak ”jago kandang” semisal memasang spanduk yang hanya di lingkungan PT. Kereta Api (Persero) yang mencerminkan semangat ”menunggu bola” ketimbang ”mengejar bola”; e) Memfasilitasi alokasi APBN secara proporsional untuk perawatan dan rehabilitasi prasarana dengan skala prioritas pada koridor yang memberikan pendapatan terbesar. Non Angkutan: a) Mempertegas
peranan
Divisi
Properti
dengan
mengintegarasikan
pengelolaan dan penanganan potensi bisnis property yang selama ini ditangani secara parsial oleh Direktorat Pengembangan Usaha, Direktori Operasi dan Divisi Properti; b) Pengelolaan KSO agar menganut prinsip: transparan, persaingan bebas secara penuh, melibatkan unsur Serikat Pekerja dalam proses dan mekanisme penangannya. Masukan ini menunjukan betapa seluruh komponen SPKA menaruh perhatian yang penuh terhadap pengelolaan perusahaan dalam berbagai bidang. Dengan begitu seharusnya tidak ada lagi celah yang cukup bagi terjadinya penyimpangan atau penyelewengan oleh siapa pun. Tentu saja terkecuali bila dipaksakan dengan pendekatan kekuasaan. Tapi, sebagai sebuah penyimpangan dan kejahatan, maka perbuatan curang sebesar apapun pada waktunya akan
Supardi : Implikasi Perubahan Bentuk Perumka Menjadi Persero Terhadap Hak-Hak Karyawan PT. Kereta Api Indonesia, 2009
terbongkar maka anggota dan pengurus SPKA yang tersebar diseluruh wilayah operasi PT. Kereta Api (Persero) akan mengawasinya secara seksama. Dengar Pendapat Dengan DPR SPKA sebagai sebuah organisasi serikat pekerja di lingkungan PT. Kereta Api (Persero) memang tidak pernah surut dalam perjuangannya. Berbagai cara dan pendekatan dicoba ditempuh semata-mata untuk mencapai tujuan yang bermanfaat bagi kepentingan anggotannya. Apalagi yang diperjuangkan adalah menyangkut hayat hidup orang banyak. Satu diantara bentuk perjuangan SPKA itu adalah dengan melakukan Rapat Dengar Pendapat (RPD) dengan Komisi V DPR RI di Gedung DPR-MPR Jakarta. Setelah menempuh prosedur yang ada, RDP itu sendiri berlangsung pada Senin, 27 Juni 2005 mulai pukul 10.00 s.d. 12.00 WIB. Rapat tersebut dihadiri oleh sebanyak 20 orang anggota Komisi V DPR RI dan dari SPKA sebanyak 42 orang pengurus dan anggotanya. Rapat Dengar Pendapat ini dipimpin oleh Ketua Komisi V DPR RI Sofyan Mille. Ada 4 (empat) butir pokok bahasan yang dibicarakan pada kesempatan tersebut, yakni: 1) Permasalahan Dana Pensiun (PSL) 2) Tabungan Hari Tua (THT) 3) Asuransi Kesehatan Pegawai Aktif/ Pasif 4) Kerja Sama Operasi (KSO), Rumah Dinas, aset yang tidak dimanfaatkan.
Supardi : Implikasi Perubahan Bentuk Perumka Menjadi Persero Terhadap Hak-Hak Karyawan PT. Kereta Api Indonesia, 2009
Dalam penyampaian aspirasi yang dipaparkan oleh Pjs. Ketua Umum Amien Abdurrachman dan ditambahkan oleh para ketua DPD serta FKPPKA kepada Ketua Komisi V DPR RI pada dasarnya dapat diterima. Namun hal demikian itu akan dikonfirmasikan kepada Menteri Negara BUMN dan Menteri Perhubungan. Dari perbincangan rapat dengar pendapat tersebut Ketua Komisi V Sofyan Mille memberikan beberapa informasi sebagai berikut: 1) Pemerintah telah memberikan bantuan untuk perkeretaapian di Indonesia sebesar Rp. 2 Trilyun per tahun dan sudah dilakukan sebanyak 2 (dua) kali sehingga jumlahnya Rp. 4 Trilyun. 2) Hari Rabu, 29 Juni 2005 akan dilakukan Rapat Dengar Pendapat (RDP) antara Komisi V DPR RI dengan Menteri Negara BUMN, Menteri Perhubungan, Menteri Keuangan dan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara. 3) Komisi V DPR RI dalam Rapat Dengar Pendapat akan memanggil Kepala Badan Kepegawaian Negara dan para mantan Direksi Perum? Persero Kereta
Api
yang
berkaitan
dengan
masalah
perkeretaapian
dan
ketenagakerjaan di lingkungan PT. Kereta Api (Persero). 4) Dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) antara Komisi V DPR RI dengan Menteri Negara BUMN dan Menteri Perhubungan, SPKA dan FKPPKA diperbolehkan hadir untuk mengikuti.
Supardi : Implikasi Perubahan Bentuk Perumka Menjadi Persero Terhadap Hak-Hak Karyawan PT. Kereta Api Indonesia, 2009
Sebagai hasil akhir dari rapat dengar pendapat ini disepakati beberapa poin yang merupakan kesimpulan rapat, yaitu: 1) Komisi V DPR RI dalam rangka penyelesaian kemelut masalah dana pensiun (PSL), Tabungan Hari Tua (THT), Asuransi Kesehatan Pegawai Aktif/ Pasif, KSO, Rumah Dinas dan asset yang tidak dimanfaatkan PT. Kereta Api (Persero), akan dilakukan audit bersama dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). 2) Apabila tidak ada penyelesaian dari aspirasi yang disampaikan dalam rapat dengar pendapat antara SPKA, FKPPKA dengan Komisi V DPR RI ini, maka Serikat Pekerja Kereta Api akan melakukan aksi mogok. Uraian di atas menunjukkan bahwa sekali lagi SPKA tidak pernah mundur dan surut dalam memperjuangkan sesuatu yang diyakini kebenarannya. Rapat Dengar Pendapat dengan pihak legislatif dalam hal ini Komisi V DPR RI tersebut merupakan langkah perjuangan yang cukup strategis. Sebagai wakil rakyat pihak legislatif memang seyogianya mendengar, menampung dan memperjuangkan aspirasi rakyat termasuk SPKA yang beranggotakan lebih dari 30.000 pekerja/ pegawai di lingkungan PT. Kereta Api (Persero). Selain itu masih banyak pihak lain yang juga dilobby, didekati, dipengaruhi, dll. Oleh SPKA semata-mata untuk mencari pemecahan atas masalah yang sedang dihadapi oleh organisasi pekerja ini.
Supardi : Implikasi Perubahan Bentuk Perumka Menjadi Persero Terhadap Hak-Hak Karyawan PT. Kereta Api Indonesia, 2009
Bagaimanapun dibutuhkan keseriusan, konsintensi dan ketangguhan para pemimpin dan seluruh anggota SPKA dalam memperjuangkan aspirasi dan kepentingannya, agar bisa mencapai hasil yang diharapkan. Dan untungnya, SPKA memiliki kelebihan-kelebihan tersebut sehingga perjuangannya tidak pernah surut dan mundur hanya karena kesulitan kecil dan tantangan yang tidak berarti. Berkat hal itu maka SPKA dengan masalah yang dihadapinya bisa diketshui oleh para stakeholders perusahan ini dan para pengambilan keputusan di negeri ini.
Supardi : Implikasi Perubahan Bentuk Perumka Menjadi Persero Terhadap Hak-Hak Karyawan PT. Kereta Api Indonesia, 2009
BAB IV HAK-HAK KARYAWAN PT. KERETA API INDONESIA SETELAH TERJADINYA PERUBAHAN BENTUK PERUM MENJADI PERSERO
A. Perjanjian Kerja Bersama (PKB) 1. Pengertian Perjanjian Kerja Bersama Perjanjian Kerja Bersama adalah perjanjian yang merupakan hasil perundingan antara serikat pekerja/ serikat buruh atau beberapa serikat pekerja/ serikat buruh yang tercacat pada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan dengan pengusaha atau pekumpulan pengusaha yang memuat syarat-syarat, serta
hak dan kewajiban kedua belah pihak. Istilah yang
dipergunakan sebelumnya berlakunya undang-undang nomor 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan untuk perjanjian kerja bersama ini adalah kesepakatan kerja bersama, sedang undang-undang nomor 21 tahun 1954 tentang perjanjian perburuhan menggunakan istilah perjanjian perburuhan untuk menunjukan maksud yang sama. Perjanjian kerja bersama merupakan hasil perundingan para pihak yang yaitu serikat pekerja/serikat buruh atau beberapa serikat pekerja/serikat buruh dengan pengusaha atau beberapa pengusaha yang mengatur syarat-syarat kerja, serta hak dan kewajiban masing-masing pihak. Perjanjian Kerja Bersama tidak hanya mengikat para pihak yang membuatnya yaitu serikat pekerja/serikat buruh dan pengusaha saja tetapi juga mengikat pihak ke tiga yang tidak ikut
Supardi : Implikasi Perubahan Bentuk Perumka Menjadi Persero Terhadap Hak-Hak Karyawan PT. Kereta Api Indonesia, 2009
dalam perundingan yaitu pekerja/buruh, terlepas dari apakah pekerja/buruh tersebut menerima atau menolak isi Perjanjian Kerja Bersama dan apakah pekerja/ buruh tersebut menjadi anggota serikat pekerja/buruh yang berunding atau tidak. 86 Penggunaan istilah bersama dalam Perjajian Kerja Bersama ini menunjuk pada kekuatan berlakunya perjanjian yaitu pengusaha atau beberapa pengusaha, serikat pekerja/serikat buruh dan pekerja/buruh itu sendiri. Penggunaan istilah tersebut bukan menunjuk bersama dalam arti seliruh pekerja/buruh ikut berunding dalam pembuatan perjanjian kerja bersama pekerja/buruh bukan merupakan pihak dalam berunding Pembuatan Perjanjian Kerja Bersama dilakukan secara musyawarah antara para pihak yang berunding. Apabila musyawarah tidak mencapai kesepakatan tentang suatu hal maka penyelesaiannya dilakukan melalui mekanisme penyelesaian perselisian hubungan industrial. Perjanjian Kerja Bersama harus di buat dalam bentuk tertulis dalam bentuk latin dan menggunakan bahasa Indonesia. Dalam hal perjanjian kerja bersama dibuat bukan dengan bahasa Indonesia maka harus diterjemahkan dalam bahasa Indonesia oleh penerjemah resmi yang telah di sumpah dan hasil terjemahan tersebut dianggap sebagai perjanjian kerja bersama yang telah memenuhi syarat perundang-undangan. Dalam satu perusahaan hanya boleh dibuat 1(satu)
86
Maun,Op.Cit,hlm.108
Supardi : Implikasi Perubahan Bentuk Perumka Menjadi Persero Terhadap Hak-Hak Karyawan PT. Kereta Api Indonesia, 2009
Perjajian
Kerja
Bersama
yang
berlaku
untuk
pengusaha
dan
semua
pekerja/buruh di perusahaan tersebut. Dalam hal suatu perusahaan memiliki cabang-cabang perusahaan. PKB induk memuat ketentuan yang berlaku umum diseluruh cabang perusahan dan PKB turunan memuat pelaksanaan PKB induk yang disesuaikan dengan kondisi cabang perusahaan masing-masing. Apabila PKB induk telah berlaku di perusahaan namun dikehendaki adanya PKB turunan di cabang perusahaan tetapi PKB turunan belum disepakati maka yang berlaku adalah PKB induk. Bagi beberapa perusahaan yang tergabung dalam satu group
dan
masing-masing perusahaan merupakan badan hukum sendiri-sendiri maka PKB dibuat
dan
dirundingkan
oleh
masing-masing
pengusaha
dan
serikat
pekerja/serikat buruh masing-masing perusahaan Keberadaan sebuah PKB bagi suatu organisasi pekerja seperti SPKA tentulah sangat penting. PKB menjadi media yang bisa mengakomodir kepentingan kedua pihak yakni perusahaan dan serikat pekerja. Selain itu PKB memiliki kekuatan hukum yang jelas karena merupakan perikatan perdata kedua belah pihak yakni manajemen dan serikat pekerja. Sekalipun sudah berdiri sejak 13 September 1999 namun PKB antara SPKA dengan manajemen PT. Kereta Api (Persero) baru ditanda tangani pertama kalinya pada tanggal 5 Mei 2003. Adapun periode PKB ini adalah 2 (dua) tahun. Sekalipun ini tidak berarti bahwa PKB yang ada otomatis tidak berlaku ketika PKB yang baru
Supardi : Implikasi Perubahan Bentuk Perumka Menjadi Persero Terhadap Hak-Hak Karyawan PT. Kereta Api Indonesia, 2009
belum ada. Namun perundingan untuk memperbaiki dan memperpanjang PKB tersebut untuk periode berikutnya menjadi urgen untuk dilaksanakan. Kesadaran bahwa ada kebutuhan untuk memperbaiki dan membuat PKB baru untuk periode selanjutnya sebetulnya udah ada sejak awal berkembang di kalangan SPKA. Namun karena satu dan lain hal terutama di kalangan manajemen, maka perundingan yang dimaksud tidak terwujud meski periode PKB yang ada sudah berakhir 5 Mei 2005. Perundingan tersebut baru dilaksanakan setelah Direksi PT. Kereta Api (Persero) yang baru dilantik 28 September 2005. Maka perundingan pun akhirnya digelar 4 (empat) hari mulai tanggal 20-23 Desember 2005 di Ciater, Subang, Jawa Barat. Ini juga berarti bahwa perundingan tersebut dilaksanakan setelah peristiwa 5 Agustus 2005 dimana pemerintah menjanjikan tiga butir komitmen terhadap permasalahan terhadap permasalahan yang dihadapi oleh pegawai PT. Kereta Api (Persero).
2. Tujuan Perjanjian Kerja Bersama Perjanjian kerja bersama sebagai salah satu sarana dalam melaksanakan hubungan industrial bertujuan : 87 a. Mempertegas dan memperjelas hak dan kewajiban pekerja/ buruh atau serikat pekerja/ serikat buruh di perusahaan. 87
Direktorat Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial, Pedoman Pembuatan Perjanjian Kerja Bersama, (Jakarta : Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI, 2005), hlm 6
Supardi : Implikasi Perubahan Bentuk Perumka Menjadi Persero Terhadap Hak-Hak Karyawan PT. Kereta Api Indonesia, 2009
b. Mempertegas dan menciptakan hubungan industrial yang harrmonis dalam perusahaan. c. Secara bersama menetapkan syarat-syarat kerja dan atau hubungan ketenagakerjaan yang belum diatur dalam perundang-undangan. d. mengatur tata cara penyelesaian keluh kesah dan perbedaan pendapat antara pekerja/buruh atau serikat pekerja/ serikat buruh denga pihak pengusaha. e. menciptakan ketenangan kerja bagi pekerja/buruh dan kepastian usaha bagi pengusaha karena adanya pengaturan hak dan kewajiban yang jelas bagi kedua belah pihak. 1. Butir-Butir Kesepakatan antara SPKA dengan PT KAI. Berikut
adalah
butir-butir
kesepakatan
yang
dihasilkan
dalam
perundingan antara Tim Perunding SPKA dengan Tim Perunding manajemen PT. Kereta Api (Persero) selama empat hari di Ciater, Subang, Jawa Barat. Perundingan yang dilakukan meliputi : a. Perundingan I 1) Para pihak sepakat bahwa bahan pembahasan PKB 2006-2008 menggunakan konsep PKB SPKA; 2) Awal pembahasan sesuai Tata Tertib yakni mendahulukan pembahasan materi yang berdampak finansial;
Supardi : Implikasi Perubahan Bentuk Perumka Menjadi Persero Terhadap Hak-Hak Karyawan PT. Kereta Api Indonesia, 2009
3) Menyangkut draft Pasal 40 dan 41 tentang Penghasilan Pegawai pihak SPKA menuntut kepada manajemen adanya kenaikan gaji pokok sebesar 100% di atas gaji pokok PNS yang berlaku; 4) Tanggapan dari pihak manajemen bahwa kenaikan gaji pokok pegawai pada tahun 2006 ± 10% dari gaji pokok pegawai tahun 2003; 5) Atas pembahasan Pasal 40 dan 41 tentang Penghasilan Pegawai, para pihak belum dapat menyepakati besaran kenaikan gaji pokok pegawai; 6) Para pihak sepakat bahwa perundingan materi bahasan Pasal 40 dan 41 untuk sementara ditunda sampai dengan perundingan hari kedua. b. Perundingan II 1) Terkait dengan rumusan Pasal 41 tentang Dasar Penetapan dan Komponen Penghasilan pada Konsep PKB 2006-2008, kedua pihak sepakat bahwa sebagai dasar penetapan Gaji Pokok Pegawai adalah sekurang-kurangnya sebesar 10% di atas Gaji Pokok PNS yang berlaku yang didasarkan pada golongan dan masa kerja; 2) Kedua pihak sepakat bahwa di dalam komponen Gaji Pegawai ditambahkan adanya Tunjangan Perbaikan Penghasilan (TPP) yang didasarkan pada potensi-potensi sumber pendapat perusahaan yang besarannya akan diformulasikan dan disepakati oleh kedua pihak yang akan dituangkan ke dalam pasal tersendiri;
Supardi : Implikasi Perubahan Bentuk Perumka Menjadi Persero Terhadap Hak-Hak Karyawan PT. Kereta Api Indonesia, 2009
3) Rumusan Pasal 41 dan pasal baru tentang Tunjangan Perbaikan Penghasilan (TPP) dimaksud akan disusun dan dirumuskan oleh Tim Perumus kedua pihak untuk kemudian disampaikan kepada Tim Perunding kedua pihak untuk disepakati pada perundingan hari ketiga. c. Perundingan III 1) Para pihak sepakat untuk mentaati Tata Tertib Perundingan butir 10 dengan menaati kesepakatan perundingan pada hari kedua, yaitu pasal 41 PKB; 2) Para pihak sepakat klausul Pasal 41 ayat (1) khusus huruf a; ayat (3) khusus Tunjangan Perumahan, Transportasi, Kelemahan dan Khusus; ayat (4) khusus Tunjangan Akomodasi; ayat (5) dan (6) akan dikaji ulang; 3) Kedua pihak sepakat atas klausul tentang Tunjangan Perbaikan Penghasilan (TPP) dan Tunjangan Prestasi (TP) dibuat oleh pihak Manajemen dan untuk sementara pembahasannya ditunda untuk diformulasikan oleh pihak Manajemen; 4) Kedua
pihak
sepakat
Pasal
50
tentang
Tunjangan
Perumahan
pembahasannya ditunda; 5) Kedua pihak sepakat Pasal 53 tentang Tunjangan Pendidikan Awal Tahun Ajaran Baru tahun 2006 diberikan sebesar Rp. 500.000,-,
Supardi : Implikasi Perubahan Bentuk Perumka Menjadi Persero Terhadap Hak-Hak Karyawan PT. Kereta Api Indonesia, 2009
6) Pasal 61 tentang Pakaian Dinas ayat (3) dipending, menunggu kesepakatan jumlah pakaian dinas yang diberikan setiap tahunnya. 7) Pasal yang mengatur tentang Kesehatan akan dibahas pada perundingan hari keempat. d. Perundingan IV a. Kedua pihak sepakat atas klausul Pasal 61 PKB 2006-2008 tentang prinsip pemeliharaan kesehatan: 1) Ayat (1), perusahaan memberikan jaminan pemeliharaan kesehatan bagi pegawai, pensiunan, janda/ duda pensiunan dan anak yang berhak; 2) Ayat (2), sepakat. 2) Ayat (3), dihapus. 3) Ayat (4) disepakati menjadi ayat (3) dengan isi klausul sebagai berikut: bahwa pengelolaan dana jaminan pemeliharaan kesehatan sebagaimana dimasud dalam ayat (1) dilakukan dengan metode dan prinsip asuransi kesehatan dengan manfaat minimal sama dengan PNS oleh badan yang ditunjuk atas kesepakatan kedua pihak;
Supardi : Implikasi Perubahan Bentuk Perumka Menjadi Persero Terhadap Hak-Hak Karyawan PT. Kereta Api Indonesia, 2009
b) Kedua pihak sepakat bahwa klausul Pasal 62 PKB 2006-2008 tentang Kriteria Pelayanan Kesehatan akan dibahas kemudian; c) Kedua pihak sepakat pada klausul 7 tentang Fasilitas/ Bantuan dan Dispensasi untuk keperluan SPKA sebagai berikut: 1) Ayat (1) sepakat; 2) Ayat (2) perlu dibahas kemudian; 3) Ayat (3) dan (4) dengan klausul sebagai berikut: bahwa pegawai yang menjabat pengurus SPKA dalam melaksanakan tugas-tugas organisasi harus diberikan dispensasi olehh manajemen. Dengan ketentuan jikalebih dari 2 (dua) hari harus dengan ijin tertulis; d) Kedua pihak sepakat bahwa masalah pelayanan kesehatan segera dibahas tersendiri di luar perundingan PKB. Hasil pembahasan tersebut akan menjadi materi PKB 2006-2008. e) Kedua pihak sepakat akan melakukan pertemuan informal antara Tim Penyusun untuk mempersiapkan bahan perundingan tahap selanjutnya. Pelanggaran terhadap klausul yang disepakati sesungguhnya merupakan pelanggaran hukum perjanjian yang bersifat privat atau perdata. Karena PKB pada dasarnya sebuah produk hukum yang timbul akibat perikatan kedua belah pihak.
Supardi : Implikasi Perubahan Bentuk Perumka Menjadi Persero Terhadap Hak-Hak Karyawan PT. Kereta Api Indonesia, 2009
Perundingan kali ini memang belum serta merta menghasilkan sebuah PKB yang siap diimplementasikan. Tetapi dinamika dan sikap kritis yang ditampilkan oleh SPKA membuktikan bahwa internalisasi sejumlah masalah sebagai bahan perjuangan tidak pernah berhenti dilakukan. 2. Kontribusi Dalam Revisi UU Perkeretapian Sejauh ini Indonesia sudah memiliki Undang-undang Perekeretapian yaitu undang-undang Nomor 13 Tahun 1992 yang dituangkan pada tanggal 11 Mei 1992. Undang-undang ini boleh dibilang tergolong visioner. Apalagi sejauh ini pelaku bisnis kereta api sebtulnya hanya ada satu yakni PT. Kereta Api (Persero). Jadi sebetulnya cenderung monopolistis. Berbeda misalnya dengan perposan/ kurir dimana pelaku bisnisnya bergitu banyak bahkan sampai ribuan, namun belum memiliki undang-undang pos.keberadaan Undang-undang Perkeretaapian dengan demikian justru dimaksudkan untuk memajukan dunia perkeretaapian nasional yang sudah barang tentu tidak mungkin bersifat monopolistis. Sementara itu perkeretaapian sebagai salah satu moda transportasi nasional diselenggarakan berdasarkan asas manfaat, adil dan merata, keseimbangan, kepentingan umum, keterpaduan dan percaya pada diri sendiri. Perkeretaapian
diselenggarakan
dengan
tujuan
untuk
memperlancar
perpindahan orang dan atau barang secara massal, menunjang pemerataan,
Supardi : Implikasi Perubahan Bentuk Perumka Menjadi Persero Terhadap Hak-Hak Karyawan PT. Kereta Api Indonesia, 2009
pertumbuhan
dan
stabilitas
serta
sebagai
pendorong
dan
penggerak
pembangunan nasional. Dengan
aturan
yang
demikian,
maka
sulit
diharapkan
dunia
perkeretaapian akan maju sebagimana di Negara lain dimana rasio pengguna kereta api demikian tinggi. Realitas jumlah penduduk kita menunjukkan bahwa bangsa ini sangat membutuhkan moda transportasi yang bernama kereta api. Melihat kenyataan demikian, maka tidak ada jalan lain kecuali Undang-undang Perkeretaapian haruslah direvisi. Undang-undang Perkeretaapian haruslah didesign sedemikian rupa agar memiliki daya tarik dan insentif yang menggiurkan bagi investor untuk menanamkan modalnya dalam bisnis perkeretaapian nasional. Bagimanapun pemerintah tidak mungkin membangun perkeretapian sendiri tanpa adanya peran serta pihak swasta lokal maupun internasional. Kenyataan menunjukkan pemerintah masih teramat sibuk dengan urusan lain yang memang memerlukan perhatian yang lebih khusus. Namun kereta api haruslah dikembangkan dengan serius oleh pemerintah dengan dukungan serius oleh pemerintah dengan dukungan pihak swasta, karena dapat dipastikan kereta api akan mendorong pertumbuhan ekonomi dan peningkatan dan kesejahteraan rakyat. Terkait dengan revisi Undang-undang Perkeretaapian, DPR RI yakni Komisi V melalui Sekretaris Jenderalnya telah mengundang SPKA pada tanggal 22 Februari 2006. acaranya adalah Rapat Dengar Pendapat Umum
Supardi : Implikasi Perubahan Bentuk Perumka Menjadi Persero Terhadap Hak-Hak Karyawan PT. Kereta Api Indonesia, 2009
(RDPU) untuk mendapatkan masukan dalam rangka pembahasan RUU Perkeretaapian. Selain SPKA pada kesempatan itu Komisi V DPR RI juga mengundang Asosiasi Profesi Kereta Api (APKA). Pada kesempatan itu menyampaikan
sejumlah
masukan
kepada
DPR
yang
kirannya
dapat
mempertimbangkan untuk diakomodasi dalam Undang-undang Perkerataapian yang baru kelak. Dalam kesempatan itu SPKA menyoroti sejumlah hal diantaranya terkait dengan penurunan dalam berbagai bidang dalam perkeretaapian nasional yang ada sejauh ini. Misalnya panjang jalan kereta api mengalami penurunan 41% dalam 61 tahun. Bila dalam tahun 1939 panjangnya 6.811 KM dan turun menjadi 6.096 KM, maka pada tahun 2000 sudah turun menjadi 4.030 KM. Begitu juga dengan stasiun perhentian. Jika pada tahun 1955 berjumlah 1.516 titik, pada tahun 2000 sudah menjadi 571 titik. Jadi penurunan 62% dalam 45 tahun. Adapun sarana yakni lokomotif juga mengalami penurunan dari semula tahun 1939 berjumlah 1.314 unit turun menjadi 30 unit pada tahun 2000. Ini berarti terjadi penurunan 60% dalam 61 tahun. Sedangkan jumlah penumpang terus mengalami peningkatan. Bila dalam tahun 1955 jumlah penumpang berjumlah 146,9 juta orang, maka dalam tahun 2000 naik menjadi 191,1 juta orang atau naik 30% dalam 45 tahun. Dalam kaitan itu semua SPKA kemudian mengharapkan agar dilakukan perbaikan kebijakan menyangkut antara lain asset yang ada agar prasarana
Supardi : Implikasi Perubahan Bentuk Perumka Menjadi Persero Terhadap Hak-Hak Karyawan PT. Kereta Api Indonesia, 2009
dikelola oleh PT. Kereta Api (Persero) dan tanah tetap dimiliki oleh PT. Kereta Api (Persero). Kemudian diusulkan pula agar dibentuk badan pengelola/ penyelenggara yang beragam untuk mengurusi prasarana dan sarana yang bersifat multi operator (open access). Sementara regulator menerapkan kebijakan-kebijakan dalam kaitan standar teknis dan keselamatan, persyaratan, prosedur, audit dan perizinan. Untuk mempercepat pemulihan kondisi SPKA memandang perlu dilakukan beberapa hal, yaitu: 1) Melakukan normalisasi lintasan dengan mengenali koridor dengan beban yang tinggi; 2) Memprioritaskan pembangunan double track untuk meningkatkan kapasitas yang ada; 3) Memulai pembangunan infrastruktur kereta dengan kecepatan tinggi; dan 4) Sinkronisasi angkutan strategis militer. Terkait dengan peningkatan kontribusi pekerja/ pegawai kereta api, SPKA mendorong agar dimungkinkannya rekruitmen pekerja/ pegawai PT. Kereta Api (Persero) oleh pendatang atau operator baru. Kemudian dirasakan pentingnya ditumbuhkan sikap enterpreneurship di lingkungan PT. Kereta Api (Persero) dengan merekrut tenaga profesional. Lalu memperkuat implementasi good coorporate governance (GCG) dalam bisnis PT. Kereta Api (Persero) menjadi sangat penting ketika multi operator sudah menjadi realitas Supardi : Implikasi Perubahan Bentuk Perumka Menjadi Persero Terhadap Hak-Hak Karyawan PT. Kereta Api Indonesia, 2009
perkerataapian nasional. Selanjutnya pemerintah diharapkan memberikan perlakuan yang sama dalam hal regulasi sebagaimana juga berlaku pada BUMN lain seperti PLN, Telkom dan lain-lain. Dalam RDPU tersebut akhirnya SPKA menyampaikan beberapa poin harapan, yaitu: 1) Langkah
revisi
Perkeretaapian
Undang-undang akan
memajukan
Nomor
13
perkertaapian
Tahun
1992
Indonesia
tentang sekaligus
memajukan PT. Kereta Api (Persero) menjadi leader dalam bisnis perkeretaapian nasional; 2) Semua stakeholder perkeretaapian hendaknya satu pandangan dalam mewujudkan kemajuan melalui revisi UU No. 13 Tahun 1992 tersebut; dan 3) Terjadinya pilihan prioritas dalam pengembangan transportasi nasional (berdasarkan cost and benefit opportunity). Begitulah RDPU yang digelar oleh Komisi V DPR RI dalam mendapatkan masukan seputar pembahasan RUU Perkeretaapian yang sedang digodok di Senayan. Dengan hadirnya SPKA dalam RDPU kali ini maka dapat dipastikan bahwa SPKA telah dipandang oleh DPR sebagai pihak (salah satu stakeholder) kompeten dalam memberikan masukan. Tentu kiprah dan peran serta SPKA selama ini menjadi pertimbangan yang nyata sehingga masukannya diperlukan.
Supardi : Implikasi Perubahan Bentuk Perumka Menjadi Persero Terhadap Hak-Hak Karyawan PT. Kereta Api Indonesia, 2009
Revisi UU Perkeretaapian memang sudah terdengar setidaknya dalam empat tahun lalu. Namun nampaknya kali ini DPR bersama Pemerintah jauh lebih serius dalam menggarap penyelesaiannya. Sudah barang tentu kebutuhan akan kereta api yang demikian besar menjadi salah satu alasan pentingnya revisi UU Perkeretaapian. Bagi SPKA dengan anggota mencapai 30.000 orang revisi UU Perkeretaapian hendak dijadikan sebagai peringatan dini (early warning system) bahwa persaingan dalam bisnis perkeretaapian di masa mendatang akan semakin serius. PT. Kereta Api (Persero) dimana SPKA menjadi
tulang
punggungnya
semestinya
dapat
berbenah
sejak
dini,
menyongsong persaingan yang semakin ketat dengan tidak melupakan kontribusi pengabdiannya bagi kemaslahatan para pengguna jasa angkutan kereta api di negeri ini.
B. Hak-Hak Karyawan PT KA (Persero) 1. Fungsi dan Manfaat Perjanjian Kerja Bersama Perjanjian Kerja Bersama merupakan kesepakatan antara pengusaha dan serikat pekerja/ pekerja buruh yang mengatur hak dan kewajiban dalam hubungan kerja tentunya merupakan nuansa yang telah memperhatikan aspirasi
Supardi : Implikasi Perubahan Bentuk Perumka Menjadi Persero Terhadap Hak-Hak Karyawan PT. Kereta Api Indonesia, 2009
kepentingan pekerja/buruh maupun pengusaha, mempunyai fungsi antara lain : 88 a. sebagai pedoman induk pengaturan hak dan kewajiban bagi pekerja/ buruh dan pengusaha, sehingga dapat dihindarkan adanya perbedaan –perbedaan penafsiran teknis pelaksanaan hubungan kerja. b. Sebagai sarana untuk menciptakan kebersamaan, keterbukaan, ketenangan kerja dan kelangsungan berusaha. c. Merupakan media partisipasi pekerja/ buruh dalam perumusan kebijakan perusahaan. d. Mengisi kekosongan hukum mengenai pengaturan syarat-syarat kerja atau kondisi kerja yang belum diatur dalam peraturan perundang-undangan. e. Meningkatkan kesejahteraan pekerja/ buruh secara periodik. Perjanjian kerja bersama merupakan salah satu sarana dalam rangka pelaksanaan hubungan industrial yang serasi, aman, mantap dan dinamis berdasarkan pancasila, sehingga mempunyai manfaat sebagai berikut : 89 1) Adanya kepastian hak dan kewajiban a. Dengan perjanjian kerja bersama akan tercipta suatu kepastian hukum tentang hak dan kewajiban yang berhubungan dengan hubungan kerja antara pekerja/ buruh dan pengusaha. 88 89
Ibid, hlm, 7 Ibid, hlm 7-8
Supardi : Implikasi Perubahan Bentuk Perumka Menjadi Persero Terhadap Hak-Hak Karyawan PT. Kereta Api Indonesia, 2009
b. Perjanjian Kerja Bersama memberikan kepastian terlaksananya syaratsyarat kerja perusahaan. 2) Menciptakan semangat kerja a. Perjanjian Kerja Bersama dapat menghindarkan berbagai kemungkinan kesewenangan-wenangan dan tindakan merugikan dari pihak yang satu terhadap pihak yang lain dalam hal pelaksanaan hak dan kewajiban pekerja/ buruh dan pengusaha. b. Perjanjian Kerja Bersama dapat menciptakan suasana dan semangat kerja yang harmonis, dinamis bagi para pihak dalam hubungan kerja. 3) Mendorong peningkatan produktivitas kerja a. Perjanjian Kerja Bersama dapat membantu meningkatkan produktivitas kerja dan mengurangi timbulnya perselisihan. b. Perjanjian Kerja Bersama dapat menciptakan ketenangan kerja dan ketenangan berusaha yang dinamis dan kompetitif. c. Dengan adanya Perjanjian Kerja Bersama pengusaha dapat menyusun rencana-rencana untuk menetapkan biaya produksi yang dicanangkan dalam pengembangan perusahaan. 2. Para Pihak Dalam Perjanjian Kerja Bersama Menurut Pasal 1 angka 21 Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan disebutkan bahwa, Perjanjian Kerja Bersama adalah
Supardi : Implikasi Perubahan Bentuk Perumka Menjadi Persero Terhadap Hak-Hak Karyawan PT. Kereta Api Indonesia, 2009
perjanjian yang merupakan hasil perundingan antara serikat pekerja/ serikat buruh atau beberapa serikat pekerja/ pekerja buruh yang tercatat pada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan dengan pengusaha atau beberapa pengusaha atau perkumpulan pengusaha. Perjanjian Kerja Bersama PT KA (persero) dengan Serikat Pekerja Kereta Api periode 2006-2008 (namun masih berlaku hingga tahun 2009 ini), membahas tentang hak-hak pekerja PT KA (persero), yaitu antara lain: 90 1. Hak pembebasan dari kewajiban bekerja, mengatur tentang: a.
Hari libur resmi diatur dalam Pasal 39;
b. Hak untuk mendapat Cuti diatur dalam Pasal 40; c.
Hak untuk mendapat Cuti tahunan diatur dalam Pasal 41;
d. Hak untuk mendapat Cuti besar diatur dalam Pasal 42; e.
Hak untuk mendapat Cuti sakit diatur dalam Pasal 43;
f.
Hak untuk mendapat Cuti haid diatur dalam Pasal 44;
g. Hak untuk mendapat Cuti bersalin diatur dalam Pasal 45; h. Hak untuk mendapat Cuti penting diatur dalam Pasal 46; i.
Hak untuk mendapat Cuti menunaikan ibadah keagamaan diatur dalam Pasal 47;
90
Lihat Perjanjian Kerja Bersama PT KA (persero) dengan Serikat Pekerja Kereta Api periode 2006-2008.
Supardi : Implikasi Perubahan Bentuk Perumka Menjadi Persero Terhadap Hak-Hak Karyawan PT. Kereta Api Indonesia, 2009
j.
Hak untuk mendapat Cuti di luar tanggungan perusahaan diatur dalam Pasal 48;
k. Perihal untuk mempekerjakan kembali pegawai diatur dalam Pasal 49. 2. Hak dalam penghasilan dan kesejahteraan pekerja, mengatur ketentuan: a. Mengenai hak untuk mendapat komponen penghasilan diatur dalam Pasal 50; b. Mengenai hak untuk mendapat pembayaran penghasilan diatur dalam Pasal 51; c. Mengenai pajak penghasilan diatur dalam Pasal 52; d. Mengenai potongan penghasilan diatur dalam Pasal 53; e. Mengenai premi/ emolumen diatur dalam Pasal 54; f. Mengenai hak untuk mendapat tunjangan jabatan struktural diatur dalam Pasal 55; g. Mengenai hak untuk mendapat tunjangan jabatan fungsional diatur dalam Pasal 56; h. Mengenai hak untuk mendapat tunjangan hari raya keagamaan diatur dalam Pasal 57; i. Mengenai hak untuk mendapat tunjangan efisiensi diatur dalam Pasal 58; Banyak hak-hak karyawan yang tercantum dalam PKB belum dipenuhi oleh Perusahaan, jadi PKB yang dibuat dan berlaku mulai tahun 2006-2009
Supardi : Implikasi Perubahan Bentuk Perumka Menjadi Persero Terhadap Hak-Hak Karyawan PT. Kereta Api Indonesia, 2009
tersebut ternyata tidak dipatuhi oleh perusahaan, seperti pendapatan yang masih dibawah PNS, Cuti besar tidak ada dan pengaturan tentang pensiun juga belum memadai.sehingga Karyawan merasa bahwa PT. Kereta Api Indonesia belum serius memikirkan nasib dan status karyawan PT. KA. 3. Syarat Perjajian Kerja Bersama Perjanjian Kerja Bersama harus dibuat secara tertulis dengan huruf latin dan menggunakan bahasa Indonesia. Dalam hal ini perjanjian kerja bersama yang dibuat tidak menggunakan bahasa Indonesia , Perjanjian Kerja Bersama harus di terjemahkan dalam bahasa Indonesia
oleh penerjemah
tersumpah (swara translator) dan terjemahan tersebut dianggap sudah memenuhi ketentuan. Dalam hal ini Perjanjian Kerja Bersama dibuat dalam bahasa indonesia dan di terjemahkan dalam bahasa lain, kemudian terjadi perbedaan panafsiran maka yang berlaku adalah perjanjian kerja bersama yang menggunakan bahasa Indonesia. Selanjutnya, Perjanjian Kerja Bersama sekurang-kurangnya memuat : 91 a. nama,tempat kududukan,serta alamat serikat pekerja/serikat buruh b. nama, tempat kedudukan serta alamat pengusaha c. nomor serta tanggal pencatatan serikat pekerja/serikat buruh pada instansi
91
Ibid, hlm, 73
Supardi : Implikasi Perubahan Bentuk Perumka Menjadi Persero Terhadap Hak-Hak Karyawan PT. Kereta Api Indonesia, 2009
yang bertanggun jawab di bidang ketenagakerjaan Kabupaten/Kota d. hak dan kewajiban pengusaha e. hak dan kewajiban serikat pekerja/serikat buruh serta pekerja/buruh f. jangka waktu dan tanggal mulai berlakunya perjanjian kerja bersama dan g. tanda tangan pembuat Perjanjian Kerja Bersama Apabila Perjanjian Kerja Bersama ditandatangani oleh wakilnya, maka harus ada kuasa khusus yang di lampirkan pada perjanjian kerja bersama. Adapun isi Perjanjian Kerja Bersama tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Maksudnya, kualitas dan kuantitas perjanjian kerja bersama tidak boleh lebih rendah dari perundangundangan. Dalam hal Perjanjian Kerja Bersama bertentangan dengan perundangundangan yang berlaku, maka yang bertentangan tersebut batal demi hukum yang berlaku adalah ketentuan dalam peraturan perundang-undangan. Dengan demikian, tidak seluruh isi Perjanjian Kerja Bersama batal demi hukum, namun yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan saja yang batal demi hukum. 4. Tata Cara Perundingan Perjanjian Kerja Bersama Pembuatan Perjanjian Kerja Bersama harus berdasarkan filosofi yang terkandung dalam hubungan industrial yang berdasarkan pada nilai-nilai
Supardi : Implikasi Perubahan Bentuk Perumka Menjadi Persero Terhadap Hak-Hak Karyawan PT. Kereta Api Indonesia, 2009
Pancasila yaitu musyawarah untuk mufakat. Pada dasarnya Perjanjian Kerja Bersama adalah merupakan suatu cara dalam rangka pengembangan partisipasi pekerja. Dengan adanya partisipasi tersebut diharapakan timbul suatu sikap atau rasa memiliki dan bertanggung jawab terhadap kelangsungan hidup perusahaan. Guna lebih mendorong dan memperlancar jalannya perundingan pembuatan Perjanjian Kerja Bersama melalui keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No.48/MEN/IV/2004 tentang Tata Cara Pembuatan dan Pengesahan Peraturan Perusahaan serta Pembuatan Pendaftaran Perjanjian Kerja Bersama sebagai salah satu peraturan pelaksanaan Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan yaitu;
92
a. Prosedur Pembuatan PKB 1) Pembuatan Perjanjian Kerja Bersama merupakan hasil perundingan antara Serikat Pekerja/Buruh dengan pengusaha yang di laksanakan secara musyawarah dan mufakat 2) Perjanjian Kerja Bersama dibuat oleh Seriknat Pekerja/Serikat Buruh atau gabungan Serikat Pekerja/Serikat Buruh yang telah tercatat pada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan dengan pengusaha atau beberapa pengusaha 3) Dalam hal ini di suatu perusahaan hanya terdapat suatu Serikat Pekerja/Serikat Buruh, maka Serikat Pekerja/ SerikatBuruh tersebut 92
Direktorat Jendral Pembinaan Hubumngan Industrial, Op Cit, hlm, 9
Supardi : Implikasi Perubahan Bentuk Perumka Menjadi Persero Terhadap Hak-Hak Karyawan PT. Kereta Api Indonesia, 2009
berhak
mewakili
pekerja/buruh
dalam perlindungan
pembuatan
Perjanjian Kerja Bersama dengan pengusaha apabila memiliki jumlah anggota lebih dari 50% (Lima puluh per seratus) dari jumlah seluruh pekerja/ buruh di perusahaan bersangkutan 4) Dalam
hal
ini
satu
perusahaan
hanya
terdapat
satu
Serikat
Pekerja/Serikat Buruh sebagaimana tersangkut pada angka (3) tetapi tidak memiliki jumlah anggota lebih dari 50% (lime per seratus) dari jumlah seluruh pekerja/ buruh di perusahaan maka Serikat Pekerja/ Buruh dapat mewakili pekerja/ buruh dalam perundingan dengan pengusaha apabila Serikat Pekerja/ Serikat Buruh yang bersangkutan telah dapat dukungan lebih 50% (lima puluh per seratus) dari seluruh pekerja/ buruh di perusahaan mulai melakukan pemungutan suara 5) Dalam dukungan tidak tercapai (tidak tercapai 50%) maka Serikat Pekerja/ Serikat Buruh yang bersangkutan dapat mengajukan kembali permintaannya untuk merundingkan Perjanjian Kerja Bersama dengan perusahaan setelah melampaui jangka waktu 6 (enam) bulan terhitung sejak dilakukannya pemungutan suara dengan mengikuti prosedur sebagai mana dimaksut point (3) 6) Dalam hal di satu perusahaan terdapat lebih dari 1 (satu) Serikat Pekerja/ Serikat Buruh maka yang berhak mewakili pekerja/ buruh melakukan
perundingan
dengan
pengusaha
yang
jumlah
ke
Supardi : Implikasi Perubahan Bentuk Perumka Menjadi Persero Terhadap Hak-Hak Karyawan PT. Kereta Api Indonesia, 2009
anggotaannya lebih dari 50% (lima puluh per seratus) dari seluruh jumlah/ buruh di perusahaan tersebut 7) Dalam hal ketentuan sebagaimana di maksud pada angka (6) tidak ter penuhi, maka Serikat Pekerja/ Serikat Buruh dapat melakukan koalisi sehingga tercapai jumlah lebih dari 50% (lima puluh per seratus ) dari seluruh jumlah pekeja/ buruh di perusahaan tersebut untuk mewakili perundingan denngan pengusaha 8) Dalam hal ketentuan sebagai mana di maksud sebagai point(5) dan (6) tidak terpenuhi, maka para Serikat pekerja/Serikat Buruh membentuk tim perunding yang keanggotaannya di tentukan secara proposional berdasarkan jumlah anggota masing-masing Serikat Pekerja/Serikat Buruh 9) Tim perunding yang telah terbentuk, minimal harus menerima materi perundingan yang di ajukan oleh pekerja/ buruh yang bukan menjadi anggota Serikat Pekerjaan/Serikat Buruh b. Verifikasi Untuk mendapatkan validasi data keanggotaan Serikat Pekerja/Serikat Buruh yang dapat di terima sebagai para pihak sesuai denan Pasal 18 Keputusan
Mentri
Tenaga
Kerja
dan
Transmigrasi
RI
Nomor
Kep,48/Men/IV/2004, perlu dilakukan verifikasi.
Supardi : Implikasi Perubahan Bentuk Perumka Menjadi Persero Terhadap Hak-Hak Karyawan PT. Kereta Api Indonesia, 2009
Dalam hal penentuan keanggotaan Serikat Pekerja/Serikat Buruh dalam 1 (satu) perusahaan terdapat 1(satu) atau lebih Serikat Pekerja/Serikat Buruh, maka yang berhak mewakili pekerja/buruh untuk melakukan perundingan dengan pengusaha adalah serikat pekerja/serikat buruh yang memiliki anggota lebih dari 50% (lima puluh per seratus) dari seluruh jumlah pekerja/buruh di perusahaan tersubut. Untuk menentukan jumlah keanggotaan serikat pekerja/buruh yang valid perlu di lakukan
verifikasi keanggotaan serikat pekerja/ buruh yang
dilakukan oleh panitia verifikasi yang terdiri dari wakil pengurus serikat pekerja/ serikat buruh yang ada di perusahaan dengan disaksikan oleh wakil dari instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaaan dan pengusaha.
C. Hak-Hak Pekerja Perum Kereta Api Hak pekerja berdasarkan Perjanjian Kerjasama antara Perum Kereta Api dengan PT Taspen (persero) No.KP/503/IX/4/KA-95/JAN-603/DIR/1995, tertanggal 28 September 1995 tentang Penyelenggaraa dan Pengelolaan Program Pensiun, Program Tabungan Hari Tua, dan Program Jaminan
Supardi : Implikasi Perubahan Bentuk Perumka Menjadi Persero Terhadap Hak-Hak Karyawan PT. Kereta Api Indonesia, 2009
Kecelakaan Kerja Pegawai Perumka. Dimana perjanjian tersebut membahas tentang ketentuan: 93 1. Hak untuk mendapat pensiun pegawai diatur dalam Pasal 8; 2. Mengenai pegawai yang diberhentikan karena alasan lain diatur dalam Pasal 9; 3. Mengenai hak untuk mendapat pensiun jika janda/duda diatur dalam Pasal 10; 4. Mengenai besar pensiunan pegawai diatur dalam Pasal 11; 5. Mengenai besar pensiunan janda/duda diatur dalam Pasal 12; 6. Mengenai hak untuk mendapat pensiunan jika pegawai tewas diatur dalam Pasal 13; 7. Mengenai hak untuk mendapat tunjangan keluarga dan tunjangan pangan diatur dalam Pasal 14; 8. Mengenai pensiun terusan diatur dalam Pasal 15; 9. Mengenai pegawai/ penerima pensiun hilang diatur dalam Pasal 16; 10. Mengenai hak untuk mendapat uang duka jika wafat diatur dalam Pasal 17; 11. Mengenai mulainya pemberian pensiun jada/ duda diatur dalam Pasal 18; 12. Mengenai batalnya hak pensiun diatur dalam Pasal 19; 93
Perjanjian Kerjasama antara Perum Kereta Api dengan PT Taspen (persero) No.KP/503/IX/4/KA-95/JAN-603/DIR/1995, tertanggal 28 September 1995 tentang Penyelenggaraa dan Pengelolaan Program Pensiun, Program Tabungan Hari Tua, dan Program Jaminan Kecelakaan Kerja Pegawai Perumka.
Supardi : Implikasi Perubahan Bentuk Perumka Menjadi Persero Terhadap Hak-Hak Karyawan PT. Kereta Api Indonesia, 2009
13. Mengenai berakhirnya hak pensiun diatur dalam Pasal 20; 14. Mengenai pajak penghasilan diatur dalam Pasal 21; 15. Mengenai hak untuk mendapat tabungan hari tua pegawai diatur dalam Pasal 22; 16. Mengenai hak untuk mendapat asuransi kematian pegawai diatur dalam Pasal 23; 17. Mengenai hilangnya hak asuransi kematian diatur dalam Pasal 24; 18. Mengenai hak untuk mendapat jaminan kecelakaan kerja pegawai diatur dalam Pasal 25; 19. Mengenai pembayaran jaminan kecelakaan kerja diatur dalam Pasal 26; 20. Mengenai hapusnya hak jaminan kecelakaan kerja diatur dalam Pasal 27. Pada Masa Perum tidak ada dibuat Perjanjian Kerja Bersama (PKB) antara Perusahaan dengan Karyawan, sehingga banyak hak-hak karyawan yang terabaikan.
Supardi : Implikasi Perubahan Bentuk Perumka Menjadi Persero Terhadap Hak-Hak Karyawan PT. Kereta Api Indonesia, 2009
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Berdasarkan uraian analisis pada bab-bab sebelumnya, selanjutnya dapat dirumuskan beberapa kesimpulan sebagai berikut : 1. Perubahan bentuk Perusahaan Umum (Perum) Kereta Api menjadi PT. Kereta Api Indonesia (Persero) dilatar belakangi oleh dorongan untuk menjadikan PT. Kereta Api Indonesia (Persero) menjadi perusahaan yang mampu meraih keuntungan (laba). Secara konseptual perusahaan persero akan dikelola secara profesional dan mandiri dengan pengelolaan yang berbasis pada penerapan prinsip-prinsip good corporate governance (GCG). Dengan konsep pengelolaan yang demikian, PT. Kereta Api Indonesia diharapkan akan terlepas dari ketergantungannya terhadap Negara baik dari segi pembinaan, kebijakan maupun pembiayaan. Sebagai badan hukum yang mandiri, PT. Kereta Api Indonesia (Persero) dituntut untuk tetap eksis dalam menghadapi persaingan moda transportasi yang semakin kompetitif. Keadaan ini secara konseptual akan mendorong manajemen PT. Kereta Api Indonesia (Persero) untuk merubah paradigma pengelolaan perusahaan kearah yang lebih efisien. Pertimbangan yang demikian terkandung dalam konsideran PP No. 19 Tahun 1998 tentang Pengalihan Bentuk Perum Kereta Api Menjadi Perusahaan Perseroan (Persero).
Supardi : Implikasi Perubahan Bentuk Perumka Menjadi Persero Terhadap Hak-Hak Karyawan PT. Kereta Api Indonesia, 2009
Apabila pertimbangan secara konseptual tersebut dapat diwujudkan, maka Negara sebagai pemegang saham setidaknya memperoleh dua keuntungan yakni mengurangi beban Negara dalam membiayai layanan perkeretaapian dan mendapatkan keuntungan berupa dividen dari laba yang mungkin dihasilkan PT. Kereta Api Indonesia (Persero). 2. Perubahan status perusahaan kereta api dari perusahaan jawatan menjadi perusahaan umum dan akhirnya berubah menjadi perusahaan persero menimbulkan dampak ketidakjelasan status pegawai kereta api. Pada masa perusahaan jawatan status pegawai Perusahaan Jawatan Kereta Api adalah Pegawai Negeri Sipil (PNS). Bentuk hukum perusahaan kemudian berubah menjadi Perusahaan Umum Kereta Api berdasarkan PP No. 57 Tahun 1990. Pasal 15 PP No. 57 Tahun 1990 tersebut menetapkan bahwa penyelesaian status PNS di lingkungan Perum Kereta Api akan diselesaikan berdasarkan Surat Keputusan Bersama (SKB) antara Menteri Perhubungan, Menteri Keuangan dan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara. Dengan demikian status kepegawaian perusahaan kereta api sampai dikeluarkannya SKB tersebut adalah dalam masa transisi. Pegawai perusahaan kereta api diberikan pilihan bebas untuk memilih sebagai pegawai Perum secara penuh atau tetap sebagai PNS. Namun kemudian, dikeluarkan SK Menteri Perhubungan RI No. 18/KP.601/Phb-92 tanggal 11 Maret 1992 tentang Pemberhentian dengan Hormat PNS Perusahaan Jawatan Kereta Api. Padahal berdasarkan PP No. 57 Tahun 1990 status pegawai perusahaan Supardi : Implikasi Perubahan Bentuk Perumka Menjadi Persero Terhadap Hak-Hak Karyawan PT. Kereta Api Indonesia, 2009
kereta api akan diselesaikan dengan SKB antara Menteri Perhubungan, Menteri Keuangan dan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara. Pada kenyataanya SKB tersebut belum dikeluarkan sampai saat ini, tetapi PP No. 57 Tahun 1990 yang memerintahkan penyelesaian status PNS melalui SKB tersebut telah dinyatakan tidak berlaku berdasarkan ketentuan Pasal 6 PP No. 16 Tahun 1998 tentang Pengalihan Bentuk Perum Kereta Api Menjadi Perusahaan Perseroan (Persero). Ada dua alternatif cara yang dapat dipergunakan untuk menyelesaikan status kepegawaian tersebut : (1). Mengalihkan PNS pada masa Perjan menjadi pegawai Perum lalu selanjutnya merubah status kepegawaian menjadi pegawai PT. Kereta Api Indonesia (Persero), atau (2). Langsung mengalihkan status PNS menjadi pegawai PT. Kereta Api Indonesia (Persero) secara penuh. 3. Perubahan status pegawai Perjan Kereta Api yang semula PNS menjadi pegawai Perum berdampak pada penurunan tingkat kesejahteraan dan hakhak yang diterima pegawai. Hal yang sama juga terjadi pada perubahan status dari pegawai Perum menjadi pegawai PT. Persero. Beberapa indikator menunjukkan menurunnya tingkat kesejahteraan tersebut, antara lain : (a) Gaji pokok dasar pensiun dan tunjangan hari tua pegawai PT. Kereta Api Indonesia (Persero) menjadi lebih kecil dibandingkan dengan gaji pokok dasar pensiun dan tunjangan hari tua PNS lain ;
Supardi : Implikasi Perubahan Bentuk Perumka Menjadi Persero Terhadap Hak-Hak Karyawan PT. Kereta Api Indonesia, 2009
(b) Pelayanan kesehatan bagi pegawai aktif tidak memadai dan jauh dibawah layanan yang diterima PNS pada umumnya yang dilayani oleh Asuransi Kesehatan, serta terhentinya layanan kesehatan pegawai ketika memasuki masa pensiun. (c) tidak ada kepastian kelangsungan dana pensiun akibat ketidakmampuan perusahaan mengelola dana pensiun dan post service liabilities yang tidak dipenuhi perusahaan. (d) banyak pegawai yang merasa teraniaya secara psikologis akibat menghadapi ketidakpastian masa depan yang berdampak pada buruknya kinerja/ semangat kerja di perusahaan. (e) kesempatan berkarir dari pegawai yang memiliki kompetensi di bidang perkeretaapian menjadi hilang akibat perubahan status kepegawaian tersebut. (f) Tidak ada kenaikan uang pensiun seperti yang dialami oleh pensiunan PNS lain. (g) Tidak ada fasilitas kenaikan gaji/ gaji ke-13; (h) Pada saat pengambilan pensiun di PT. Taspen, ternyata yang dipakai masih NIP (Nomor Induk Pegawai) untuk PNS bukan NIPP (Nomor Induk Pegawai Perusahaan).
Supardi : Implikasi Perubahan Bentuk Perumka Menjadi Persero Terhadap Hak-Hak Karyawan PT. Kereta Api Indonesia, 2009
B. Saran Berdasarkan rumusan kesimpulan tersebut, selanjutnya disarankan halhal sebagai berikut : 1. Sebaiknya pertimbangan perubahan bentuk perusahaan jawatan menjadi perusahaan umum atau menjadi perusahaan persero tidak semata-mata didasarkan pertimbangan yang didasarkan pada peluang perusahaan untuk menghasilkan laba, tetapi juga diperhatikan kemampuan perusahaan untuk mensejahterakan pegawainya. Hal ini sejalan dengan fungsi BUMN yang bukan semata-mata menjalankan fungsi bisnis untuk menghasilkan laba, tetapi juga fungsi sebagai agen pembangunan yang salah satunya adalah meningkatkan kesejahteraan dan kelayakan hidup para pegawainya. 2. Karyawan PT. Kereta Api meminta kepada Pemerintah agar segera menyelesaikan persoalan perubahan status pagawai PNS di lingkungan PT. Kereta Api Indonesia (Persero) agar tidak berlarut-larut sampai saat ini; 3. Karyawan PT. Kereta Api meminta kepada pemerintah untuk turut serta dalam mengupayakan peningkatan kesejahteraan pegawai PT. Perusahaan Kereta Api (Persero), agar tidak membawa pengaruh yang lebih buruk pada kinerja perusahaan.
Supardi : Implikasi Perubahan Bentuk Perumka Menjadi Persero Terhadap Hak-Hak Karyawan PT. Kereta Api Indonesia, 2009
DAFTAR PUSTAKA Buku Amiruddin, Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Jakarta: Grafitti Press, 2006. Dalimunthe, Jainul A., Dari Jalan Hingga Istana, Serikat Pekerja Kereta Api, Bergerak dan Menggebrak, Jakarta: TIOPS, 2006. Davies, Howards, and David Holdcroft, Jurisprudence : Texts and Commentary, 1991. Ernst & Young, Privatization : Investing in State Owned Enterprises Around the World, New York : Jhon Wiley & Sons, Inc, 1994. Green, Reginal Herbold, “Bureaucracy and Law and Order”, dalam Julio Faundez, Good Government and Law Legal and Institution Reform in Developing Countries, The British Council, 1977. Hart, H.L.A, The Concept of Law, Oxford : The Clarendon Press, 1988. Hartono, Sunaryati, Penelitian Hukum di Indonesia Pada Akhir Abad ke-20, Bandung: Rineka Cipta, 1994. Ibrahim, Johnny, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Bandung : Citra Aditya Bakti, 2007. Kabul, Imam, Paradigma Pembangunan Hukum di Indonesia, Yogyakarta: Kurnia Kalam, 2005. Koentjaraningrat, Metode-Metode Penelitian Masyarakat, Jakarta : Prenada Media, 1997. Marzuki, Petter Mahmud, Penelitian Hukum, Jakarta : Pradnya Paramitha, 2005.
Supardi : Implikasi Perubahan Bentuk Perumka Menjadi Persero Terhadap Hak-Hak Karyawan PT. Kereta Api Indonesia, 2009
MD, Mahfud, Pergulatan Politik dan Hukum di Indonesia, Jakarta: Gramedia, 1999 Nasution, Bahder Johan, Metode Penelitian Hukum, Bandung. Mandar Maju, 2008. Priambodo, Dibyo Soemantri, Refleksi BUMN 1993-2003, Yogyakarta: Media Presindo, 2004. Ramanadham, V.V, Privatization : A Global Perspective, London and New York: Routledge, 1993. Riduan, Metode & Teknik Menyusun Tesis, Bandung : Bina Cipta, 2004. Soekanto, Soerjono, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta : Grafindo, 2006. ---------- dan Sri Mamudi, Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjauan Singkat, Jakarta : Grafindo, 1990. Supranto,
J., Metode Penelitian Hukum dan Statistik, Jakarta: Pradnya Paramitha, 2003.
Upper, Jack L., and George B. Baldwin, Public Enterprises: Restructuring and Privatization, International Development and Negotiation: International Law Institute, 1996. Widjaja, Gunawan. Risiko Hukum sebagai Direksi, Komisaris & Pemilik PT (Jakarta: Forum Sahabat, 2008
Jurnal, Media, Makalah Clarke, George R.G., dan Robert Cull, Political and Economics Determinants of The Likelihood of Privatizing Argentina Public Bank, Jurnal of Law and economics, (Vol. XLV, April 2002), The University of Chicago.
Supardi : Implikasi Perubahan Bentuk Perumka Menjadi Persero Terhadap Hak-Hak Karyawan PT. Kereta Api Indonesia, 2009
Hardjasoemantri, Koesnadi, “Good Governance Dalam Pembangunan Berkelanjutan Di Indonesia,” makalah disampaikan pada Lokakarya Pembangunan Hukum Nasional ke VIII di Bali, tanggal 15 Juli 2003, hal. 2003. Nasution, Bismar, Disampaikan pada Diseminasi Policy Paper Komisi Hukum Nasional Republik Indonesia “Reformasi Hukum di Indonesia Melalui Prinsip-prinsip Good Governance”, yang diadakan oleh Komisi Hukum Nasional Republik Indonesia berkerjasama dengan Program Studi Magister Ilmu Hukum Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, tanggal 1-2 Oktober 2003, Medan, Sumatera Utara. PT Kereta Api (Persero), Petunjuk Pelaksanaan GCG di Lingkungan PT. KA (Persero) (Good Corporate Manajemen), April 2006. Pound, Roscoe, “Social Control Through Law: Jurnal Postulets”, Cet.1, dikutip dalam Filsafat Hukum dari Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta: Universitas Indonesia, 2001 -----------, Jurisprudence, Vol.3. Sitompul, Zulkarnain, “Pembatasan Kepemilikan Bank : Gagasan Untuk Memperkuat Sistem Perbankan,” Jurnal Hukum Bisnis, Volume 22, No. 6, Tahun 2003. Stone, Human Law and Human Justice, 1965. Theberge, Leonard J., “Law and Economic Development”, Journal of International Law and Policy, Vol. 9, 1980.
Perundang-undangan Republik
Indonesia, Undang-undang Perkeretaapian.
No.
23
Tahun
2007
tentang
Republik Indonesia, Undang-undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.
Supardi : Implikasi Perubahan Bentuk Perumka Menjadi Persero Terhadap Hak-Hak Karyawan PT. Kereta Api Indonesia, 2009
Republik Indonesia, Undang-undang No. 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara. Republik Indonesia, Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 1998 tentang Pengalihan Bentuk Perusahaan Umum (Perum) Kereta Api Menjadi Perusahaan Perseroan (Persero). Perjanjian Kerjasama antara Perum Kereta Api dengan PT Taspen (persero) No.KP/503/IX/4/KA-95/JAN-603/DIR/1995, tertanggal 28 September 1995 tentang Penyelenggaraa dan Pengelolaan Program Pensiun, Program Tabungan Hari Tua, dan Program Jaminan Kecelakaan Kerja Pegawai Perumka. Perjanjian Kerja Bersama antara PT Kereta Api Persero dengan Serikat Pekerja Kereta Api, Periode 2006-2008. Internet Hendrowijono, Moch S., “PT KA Menerima Beban Begitu Berat”, Dikutip dari http://www.hendrowijono.com/index.php?option=com _content&view=article&id=473:pt-kereta-api-indonesiamenerima-beban-terlalu-berat&catid=34:perhubungan, Diakses tanggal 12 Februari 2009. “Jenis BUMN (Badan Usaha Milik Negara), Persero dan Perum (Perusahaan Umum)”, Dikutip dari http://organisasi.org/macam-jenis-bumnbadan-usaha-milik-negara-persero-dan-perum-perusahaan-umum, Diakses tanggal 16 Februari 2009. Taj, “Dilema PT KA”, Artikel Berita Koran Sinar Harapan, terbit 27 Desember 2005, Dikutip dari http://www.sinarharapan.co.id/berita/ 0112/27/taj01.html, Diakses tanggal 12 Februari 2009. Utomo, Suryo Hapsoro Tri, Sejarah Transportasi Kereta Api, Dikutip dari http://sipilugm.wordpress.com/2008/08/11/sejarah-kereta-apiindonesia/, Diakses tanggal 12 Februari 2009.
Supardi : Implikasi Perubahan Bentuk Perumka Menjadi Persero Terhadap Hak-Hak Karyawan PT. Kereta Api Indonesia, 2009