eJournal Ilmu Hubungan Internasional, 2016, 4 (1) 129-142 ISSN 2477-2623, ejournal.hi.fisip-unmul.ac.id © Copyright 2016
IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NO. 11 TAHUN 2013 DALAM MENGATASI BIOPIRACY DI INDONESIA Candra Purnama1 Nim. 1002045083 Abstract Hijacking case of biodiversity or the so-called biopiracy, has been found in some developing countries. in Indonesia the case of biopiracy become serious problem, because the impact can threaten the country's sovereignty and harming the country's economy. To overcome these problems, the Indonesian government has ratified the Nagoya Protocol through Act No.11 of 2013. This reasearch used descriptive case study where the authors will describe the implementation of Act No. 11 of 2013 in overcoming biopiracy in Indonesia. This study illustrates the problem based on real facts that exist where the data obtained will be compiled in a writing. Implementation of Act No. 11 of 2013 is addressing biopiracy in Indonesia, can be run effectively if the implementation is done by an independent process, coordinated, and holistic. And cases of biopiracy that occurred in Indonesia before implementation Law no. 11 in 2013, like patent wasp species Megalara Garuda, java, and also some medicinal plants, can be prevented. After the implementation of Act no. 11 of 2013 is run by the Indonesian government, until now no one has found cases of biopiracy in Indonesia, so the implementation of Act no. 11 of 2013 is considered effective to prevent biopiracy in Indonesia. Keywords : Biopiracy, Indonesia, Act No. 11 of 2013
Pendahuluan Keanekaragaman hayati atau biodiversitas adalah organisme yang menunjukkan keseluruhan atau totalitas variasi gen, jenis, dan ekosistem pada suatu daerah, yang merupakan dasar kehidupan di bumi. Mempunyai fungsi untuk memenuhi berbagai kebutuhan manusia yang berupa pangan, kesehatan, industri, pembangunan ekonomi dan sosial manusia serta bermanfaat dalam pelestarian yang berkesinambungan. Akibatnya, muncul pengakuan yang berkembang bahwa keanekaragaman hayati merupakan aset global dari nilai yang sangat besar untuk generasi sekarang dan mendatang.
1
Mahasiswa Program S1 Ilmu Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Mulawarman, Email :
[email protected]
eJournal Ilmu Hubungan Internasional, Volume 4, Nomor 1, 2016:129-142
Beberapa upaya untuk melindungi keanekaragaman hayati oleh negara-negara didunia, diawali dengan suatu pengaturan internasional yang mengikat secara hukum, yang pertama yaitu Convention on Biological Diversity (CBD) yang dikenal sebagai Konvensi Keanekaragaman Hayati yang diadopsi dari KTT Bumi 1992 di Rio de Janeiro yang memiliki tujuan, yaitu konservasi keanekaragaman hayati, pemanfaatan berkelanjutan dari komponen keanekaragaman hayati dan pembagian keuntungan atas pemanfaatan sumber daya genetik. CBD merupakan instrumen yang paling komprehensif dan eksplisit berkaitan dengan perlindungan keanekaragaman hayati karena mengakui kedaulatan nasional dan hak-hak negara untuk mengambil manfaat maupun melindungi sumber daya hayati yang dimilikinya. Dilanjutkan oleh, Konferensi Para Pihak Konvensi Keanekaragaman Hayati yang mengadopsi perjanjian tambahan Konvensi yang dikenal sebagai Protokol Cartagena tentang Biosafety atau Keamanan Hayati pada pada tanggal 29 Januari 2000. Protokol Cartagena berusaha untuk melindungi keanekaragaman hayati dari risiko potensial yang ditimbulkan oleh organisme hasil modifikasi yang dihasilkan dari bioteknologi modern. Dan yang terakhir yaitu Protokol Nagoya yang merupakan instrument pengaturan internasional untuk implementasi tujuan ketiga dari CBD. Protokol Nagoya tentang akses pada sumber daya genetik dan pembagian keuntungan yang adil dan seimbang dari pemanfataannya yang telah disepakati dan diadopsi pada COP 10 CBD di Nagoya, Jepang pada tahun 2010. Latar belakang diratifikasinya Protokol Nagoya juga tidak lepas dari isu yang sedang marak terjadi pada tataran internasional yaitu pencurian sumber daya keanekaragaman hayati termasuk didalamnya mikroorganisme hidup, tanaman, hewan serta manusia dan pengetahuan budaya tradisional yang menyertainya dari suatu negara oleh pihak asing atau yang lebih dikenal dengan istilah biopiracy. Tindakan biopiracy biasanya diawali dengan bioprospecting, yaitu proses pencarian sumber daya hayati terutama sumberdaya genetika, material biologi untuk kepentingan komersial. Indonesia sebagai megadiversity country, yaitu dengan luas wilayah hampir 1,3% luas bumi, sehingga tingkat keanekaragaman dan sumber daya genetik makhluk hidup yang sangat tinggi, total dari 17% makhluk hidup didunia memiliki habitat di Indonesia. Berdasarkan hasil topomini atau inventarisasi dan penamaan oleh Direktorat Jenderal Kelautan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Kementerian Kelautan dan Perikanan, tahun 2010, Indonesia terdiri atas lebih dari 13.487 pulau. Pulau yang satu dan yang lain dipisahkan oleh lautan sehingga membuahkan 47 ekosistem yang berbeda. Dari banyaknya jenis dan kegunaan sumber daya genetik yang ada di Indonesia, rawan terjadi adanya praktek biopiracy di Indonesia.
130
Implementasi UU No.11 Th.2013 Mengatasi Biopiracy di Indonesia (Candra Purnama)
Dalam rangka melindungi keanekaragaman hayati di Indonesia dari kasus biopiracy, Pada tanggal 11 Mei 2011, Indonesia melalui Menteri Lingkungan Hidup telah menandatangani Protokol Nagoya, di Markas Besar PBB dan pada tanggal 8 April 2013, Indonesia telah resmi meratifikasinya melalui Undang-undang Nomor 11 Tahun 2013 tentang Pengesahan Nagoya Protocol on Access to Genetic Resources and the Fair and Equitable Sharing of Benefits Arising From Their Utilization to the Convention on Biological Diversity (Protokol Nagoya tentang Akses pada sumber daya genetik dan pembagian keuntungan yang adil dan seimbang yang timbul dari pemanfaatannya atas konvensi keanekaragaman hayati. Terbitnya UU No. 11 Tahun 2013 merupakan langkah awal yang baik dari Pemerintah Indonesia untuk memerangi praktek biopiracy yang terjadi di Indonesia karena adanya landasan pengaturan bagi pemanfaatan sumber daya genetik serta pengetahuan tradisional terkait dengan sumber daya genetik di Indonesia. Upaya yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia dalam mengatasi masalah biopiracy dalam prosesnya butuh tindakan bukan hanya untuk mencapai tujuan yang sementara tapi juga dalam jangka waktu yang lama sehingga upaya pemerintah Indonesia dalam mengatasi biopiracy melalui UU No. 11 Tahun 2013 seharusnya dapat memberikan kontribusi yang efektif dalam penanganan masalah biopiracy, sehingga dalam karya ilmiah ini penulis ingin mengetahui upaya pemerintah Indonesia dalam menangani biopiracy melalui UU No. 11 Tahun 2013. Kerangka Dasar Teori dan Konsep Teori Kebijakan Publik Thomas R. Dye dalam bukunya Understanding Public Policy mengatakan bahwa kebijakan adalah apa yang dipilih oleh pemerintah untuk dilakukan atau tidak dilakukan, apabila pemerintah memilih untuk melakukan sesuatu maka harus ada tujuannya (obyektifnya) dan kebijakan negara itu harus meliputi semua tindakan pemerintah, jadi bukan semata-mata merupakan pernyataan pemerintah atau pejabat pemerintah saja. (Thomas R. Dye, 2002 : 21) Anderson berpendapat bahwa kebijakan yang diambil pemerintah tentu disebabkan oleh beberapa hal seperti demands/claims/support yang mengalir dari lingkungan sekitar. Pendapat Anderson itupun juga didukung oleh pemikiran William N Dunn yang menyatakan bahwa lingkungan kebijakan seperti, sosial, ekonomi, gejolak politik, kriminalitas, yang ada pada suatu negara akan mempengaruhi atau memaksa pelaku aktor kebijakan untuk meresponsnya, yakni memasukannya kedalam agenda pemerintah dan selanjutnya melahirkan kebijakan publik untuk memecahkan masalah-masalah bersangkutan. Berkaitan dengan demands/claims/support tersebut maka pemerintah akan meresponnya dengan memberlakukan kebijakan yang berkesesuaian.(Joko Widodo,2007:16-17)
131
eJournal Ilmu Hubungan Internasional, Volume 4, Nomor 1, 2016:129-142
Meskipun terdapat berbagai definisi kebijakan publik (Public policy), seperti yang telah dikemukakan sebelumnya, dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa kebijakan publik adalah serangkaian tindakan yang ditetapkan oleh pemerintah yang mempunyai tujuan atau berorientasi pada tujuan tertentu demi kepentingan seluruh masyarakat. (Budi Winarno, 2008 : 17) Konsep Biopiracy "Biopiracy" telah muncul sebagai istilah untuk menggambarkan cara bahwa perusahaan dari kepemilikan negara maju mengklaim, menumpang secara gratis, atau mengambil keuntungan yang tidak adil dari, sumber daya genetik dan pengetahuan tradisional dan teknologi dari negara-negara berkembang. Sementara perusahaan ini dan lainnya telah mengeluh tentang "pembajakan intelektual" yang dilakukan oleh orang-orang di negara-negara berkembang, negara-negara yang terakhir melawan itu, aset ilmiah dan budaya biologis mereka yang sedang "dibajak" oleh orang/usaha yang sama. Biopiracy merupakan fenomena yang baru saja mulai mendapatkan perhatian internasional. Definisi resmi konsep tidak ada. Istilah itu sendiri relatif baru, yang hanya digunakan untuk pertama kalinya di awal 1990-an. Hal ini berkaitan erat dengan istilah bioprospecting yang juga berasal dari tahun 1990-an. Bioprospecting didefinisikan dalam Oxford Dictionary sebagai "pencarian spesies tanaman dan hewan untuk obat obatan dan senyawa berharga komersial lainnya yang dapat diperoleh". Istilah ini banyak digunakan untuk "program yang berupaya untuk mengumpulkan bahan genetik dan / atau pengetahuan tentang penggunaannya, biasanya dari daerah dengan konsentrasi tinggi keanekaragaman hayati". Menurut Graham Dutfield istilah biopiracy yaitu biasanya mengacu baik untuk ekstraksi tidak sah sumber daya hayati dan / atau terkait pengetahuan tradisional dari negara-negara berkembang, atau pematenan penemuan palsu berdasarkan pengetahuan atau sumber daya tersebut tanpa kompensasi, biopiracy mengacu pada pencurian sumber daya hayati dan / atau pengetahuan tradisional terkait dan penggunaan sistem kekayaan intelektual untuk melegitimasi kepemilikan eksklusif dan kontrol atas sumber daya dan / atau pengetahuan tradisional terkait, tanpa otorisasi yang memadai dan pembagian keuntungan dari yang lain (biasanya berkembang) negara, masyarakat adat atau lokal. Metode Penelitian Penulis menggunakan tipe penelitian Deskriptif-Eksplanatif yang menjelaskan implementasi Undang-Undang No 11 Tahun 2013 dalam mengatasi biopiracy di Indonesia. Jenis data yang dipakai yaitu jenis data sekunder yaitu data yang berasal dari hasil interpretasi data primer baik berupa buku, artikel dan akses media elektronik. Teknik pengumpulan data dari penelitian ini adalah studi literature yaitu mencari dan membaca buku-buku, laporan jurnal, artikel, tabloid, koran, dan datadata internet baik nasional maupun internasional. Sedangkan teknik analisa data dalam penelitian ini adalah teknik kualitatif yaitu dengan menganalisis data sekunder dan kemudian menggunakan teori sehingga dapat digunakan untuk menjelaskan kejadian yang sedang diteliti.
132
Implementasi UU No.11 Th.2013 Mengatasi Biopiracy di Indonesia (Candra Purnama)
Hasil Penelitian Keanekaragaman Hayati di Indonesia Secara topografi, Indonesia merupakan negara kepulauan dengan lebih dari 17 ribu pulau. Tiap pulau mempunyai karakteristik topografi tersendiri yang berbeda-beda, yang umumnya dari dataran rendah, dataran tinggi, perbukitan, dan pegunungan. Pulau-pulau yang besar di Indonesia seperti, Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, Jawa, dan Papua memiliki dataran rendah, dataran tinggi, dan pegunungan. Indonesia telah dinyatakan sebagai negara yang memiliki jumlah jenis hayati nomor dua paling banyak di dunia (second megadivesity). Penentuan ini didasarkan pada jumlah skor dari urutan jumlah jenis serta skor jumlah persen endemik kelompok hayati tertentu. Nilai diberikan untuk urutan negara yang memiliki jumlah paling tinggi dan masing-masing untuk jumlah persen jenis endemik paling tinggi (dan angka yang lebih kecil pada urutan berikutnya) dari satwa mamalia, burung reptilia, amfibia, ikan air tawar, kupu-kupu, kepik, dan tumbuhan tinggi dari seluruh negara. Berdasarkan data yang dikumpulkan oleh Militermeier pada tahun 1997 disebutkan bahwa Indonesia memiliki 515 jenis mamalia, 1531 jenis burung, 511 jenis reptilian, 270 jenis amfibia, 1400 jenis ikan air tawar, dan sekitar 37000 jenis tumbuhan tinggi. Di Indonesia paling sedikit terdapat 1260 spesies tumbuhan obat yang secara pasti diketahui berasal dari hutan tropis Indonesia. Menurut Direktoral Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan pada tahun 1991, dari 283 spesies tanaman obat yang terdaftar dan digunakan oleh industri tanaman obat di Indonesia, sebanyak 180 spesies berasal dari hutan tropis Indonesia. Diketahui pula bahwa 45 macam obatobatan penting di Amerika yang telah digunakan secara luas untuk pengobatan berasal dari tumbuhan hutan tropis. Tidak kurang 14 spesies tumbuhan untuk bahan obat tersebut berasal dari hutan tropis Indonesia serta tidak satu pun yang dibuat secara sintetis. Sekitar seperempat dari produk farmasi dunia dihasilkan dari tumbuhan. Fakta yang mengejutkan adalah sekitar 75% dari obat yang diresepkan di pasar berasal dari tumbuhan yang ditemukan melalui masyarakat adat. Melihat potensi Indonesia sebagai penyedia keanekaragaman sumber daya genetik untuk menunjang produksi obat-obatan maupun selain produksi obat-obatan sangatlah besar, sehingga mekanisme akses terhadap pemanfaatan sumber daya genetik haruslah tegas dan jelas agar Indonesia sebagai negara penyedia juga memperoleh keuntungan dari pemanfaatan sumber daya genetik tersebut. Biopiracy Biopiracy merupakan masalah utama bagi kebanyakan negara-negara berkembang. Mereka sering kaya akan keanekaragaman hayati dan sumber daya genetik, tetapi memiliki kekurangan teknologi untuk mengolahnya. Dan pada negara-negara maju kebanyakan kurang memiliki keanekaragaman hayati dikarenakan faktor iklim yaitu pada musim salju banyak varietas tanaman hancur karena terjadinya glasiasi, meskipun mereka memiliki teknologi yang lebih maju untuk mengolah keanekaragaman hayati tersebut. Karena faktor tersebut perusahaan dari negaranegara maju (Multinational Corporation) yang memiliki pengetahuan dan modal, serta mempunyai teknologi untuk mengolah sumber daya genetik yang dibutuhkan, pergi ke negara-negara berkembang yang memiliki kekayaan keanekaragaman hayati
133
eJournal Ilmu Hubungan Internasional, Volume 4, Nomor 1, 2016:129-142
untuk prospeksi terhadap keanekaragaman hayati tersebut. Dari prospeksi tersebut, rentan terjadinya praktek pembajakan keanekaragaman hayati (biopiracy) yang dilakukan MNC terhadap Negara yang dijadikan objek dari prospeksi keanekaragaman hayati, kebanyakan MNC tersebut bergerak di bidang farmasi dan pertanian. Kasus yang dialami oleh Indonesia adalah pemanfaatan virus HN251 yang merupakan bahan pembuatan antivirus untuk penyakit flu burung. Indonesia sebagai salah satu negara produsen virus ini, telah mengirim virus dimaksud kepada World Health Organization (WHO), namun uraian DNA H5Nl asal Indonesia disimpan di Los Alamos National Laboratory New Mexico United States of America yakni laboratorium yang dikontrol Kementerian Energi Amerika Serikat. Para ilmuwan juga tidak dapat mengakses data sequencing DNA H5N1 di WHO Collaborating Center (WHO-CC). Setelah berhasil ditemukan vaksin pandemik, produk dari spesimen yang diserahkan Indonesia dijual kembali ke Indonesia dengan harga pasar yang mahal dan tidak terjangkau. Hal ini merupakan kerja sama yang dilakukan antara WHO dengan perusahaan farmasi komersial. Adapun kasus dari penemuan tawon spesies Megalara Garuda yang merupakan penemuan spesies tawon terbaru di daerah Sulawesi Tenggara, hasil penemuan yang dilansir di jurnal Zookeys pada tahun 2012 tersebut merupakan hasil kerjasama riset antara peneliti dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Rosichon Ubaidillah, peniliti dari University of California (Amerika Serikat) Lynn Kimsey dan peneliti dari Museum fur Naturkunde (Jerman) Michael Ohl, namun, ketika hasil riset tersebut dimuat di jurnal internasional nama peneliti LIPI yaitu Rosichon Ubaidillah tidak dicantumkan dalam jurnal tersebut, padahal pencantuman nama peniliti LIPI dalam kolaborasi peneliti tersebut telah diatur dalam Memorandum of Understanding (MoU), yakni, mencakup penelitian dan publikasi. Kasus lainnya yaitu, Kopi Toraja yang merupakan produk khas Indonesia dimana biji kopi yang tumbuh di daerah Tana Toraja di Sulawesi Selatan, ternyata merk Kopi Toraja tersebut telah dipatenkan oleh perusahaan kopi asal Jepang yaitu Key Coffe, alhasil dari adanya paten tersebut eksportir Indonesia tidak bias langsung menjual Kopi Toraja ke Jepang atau pun Negara lain kecuali melalui Key Coffe, jika mengekspor langsung kopi tersebut pihak eksportir Indonesia bias dituding melanggar merk yang telah dipatenkan tersebut. Perusahaan Jepang lainnya yang melakukan pematenan sumber daya hayati Indonesia yaitu Shiseido Corporation yang merupakan perusahaan kosmetik multinasional di bidang perawatan kulit yang secara diam-diam mendapatkan paten bagi tanaman obat dan rempah yang telah digunakan dan dikembangkan oleh masyarakat Indonesia secara turun temurun. Shiseido Corporation telah mematenkan 9 tanaman asli Indonesia yaitu Kayu Rapet (Parameria laevigata), Kemukus (Piper cubeba), Tempuyung (Sonchus arvensis), Belantas (Pluchea indica L), Mesoyi (Massoia aromatic becc), Pule (Altsonia scholaris), Pulowaras (Alycia reindwartii), Sintok (Cinnamomum sintoc), Wolo (Borasuss flabellifer).
134
Implementasi UU No.11 Th.2013 Mengatasi Biopiracy di Indonesia (Candra Purnama)
Beberapa kasus diatas termasuk dalam biopiracy, yang sangat merugikan Indonesia . Perlindungan akan keanekaragaman sumber daya genetik khas Indonesia masih sangat lemah bahkan beberapa waktu terakhir ini diduga kuat telah terjadi praktekpraktek pembajakan hayati dengan perpindahan sumber daya genetik oleh pihak asing melalui program penelitian. Dampaknya lebih terasa setelah dunia internasional menggaungkan hak paten dan terlihat beberapa sumber daya genetik khas Indonesia telah berkembang dan dimiliki negara lain, contohnya kasus virus influenza. Oleh karena itu, pemerintah Indonesia mengambil tindakan dengan meratifikasi Protokol Nagoya melalui UU. No 11 Tahun 2013 untuk menanggulangi ataupun mencegah kasus biopiracy yang mengancam kedaulatan negara. Protokol Nagoya Protokol Nagoya adalah perjanjian internasional yang merupakan pelaksanaan dari Konvensi Keanekaragaman Hayati untuk mengikat para pihak dalam mengatur akses atas sumber daya genetik dan pembagian keuntungan yang adil dan merata yang timbul dari pemanfaatan sumber daya genetik. Lahirnya Protokol Nagoya diawali dari pertemuan The Conference of The Parties 5 tahun 2000 yang membahas mengenai International Regime on Access and Benefit Sharing yang kemudian diadopsi sebagai Bonn Guidelines yang bersifat sukarela pada The Conference of The Parties 6 tahun 2002 sebagai acuan dalam pengaturan akses dan pembagian keuntungan atas pemanfaatan sumber daya genetik. Protokol Nagoya diadopsi pada The Conference of The Parties 10 tahun 2010 di Nagoya, Jepang. Protokol Nagoya memberikan ruang bagi penyedia maupun pengguna sumber daya genetik untuk mendapatkan keuntungan moneter maupun nonmoneter. Untuk mendapatkan pembagian keuntungan atas pemanfaatan sumber daya genetik tetap harus memperhatikan regulasi di negara penyedia serta memastikan sumber daya genetik diakses berdasarkan Persetujuan atas Dasar Informasi Awal (Prior Informed Cosent) dan pembuatan Kesepakatan Bersama (Mutually AgreedTerms). Kewajiban negara peserta, sebagai berikut. a. Mengambil tindakan legislatif, administratif, dan kebijakan untuk memastikan pembagian keuntungan; b. Berdasarkan hak kedaulatan negara, mengambil tindakan legislatif, administratif, dan kebijakan sesuai dengan hukum nasional mengatur akses terhadap pencurian sumber daya genetik dan pengetahuan tradisional yang terkait dengan sumber daya genetik; c. Mengambil tindakan legislatif, administratif, dan kebijakan untuk memastikan pengetahuan tradisional diakses berdasarkan Persetujuan atas Dasar Informasi Awal (Prior Informed Consent) dan Kesepakatan Bersama (Mutually Agreed Terms); d. Menciptakan kondisi untuk mempromosikan dan mendorong penelitian yang berkontribusi pada konservasi dan pemanfaatan berkelanjutan keanekaragaman hayati; e. Mempertimbangkan kebutuhan untuk akses cepat ke sumber daya genetik dengan tetap menjamin pembagian keuntungan yang adil dan merata termasuk akses ke penanganan yang terjangkau oleh mereka yang membutuhkan, dalam hal terjadi situasi darurat yang mengancam kesehatan masyarakat; f. Menunjuk suatu focal point tentang akses dan pembagiankeuntungan;
135
eJournal Ilmu Hubungan Internasional, Volume 4, Nomor 1, 2016:129-142
g. Menunjuk competent national authorithy; h. Membagi informasi melalui Balai Kliring Akses dan Pembagian Keuntungan; i. Mengesahkan peraturan nasional yang mengatur akses dan pembagian keuntungan; j. Menunjuk pos pemeriksaan (national checkpoint); k. Mengeluarkan izin sebagai sertifikat penataan yang diakui secara internasional; l. Mendorong penggunaan dan pengembangan model klausula kontrak sektoral dan lintas sektoral untuk Kesepakatan Bersama; m. Mendorong nonpihak untuk mematuhi Protokol Nagoya Protokol Nagoya juga mendorong terwujudnya pembagian keuntungan multilateral global dalam rangka membahas pembagian keuntungan yang terkait dengan sumber daya genetik yang berada dalam area dan situasi perbatasan di mana Persetujuan atas Dasar Informasi Awal (Prior Informed Consent) tidak bisa diperoleh. Dalam mekanisme pembagian keuntungan multilateral global, para pihak wajib mempertimbangkan kebutuhan dan modalitas suatu mekanisme pembagian keuntungan multilateral global untuk mengatur pembagian keuntungan yang adil dan merata yang diperoleh dari pemanfaatan sumber daya genetik dan pengetahuan tradisional yang terkait dengan sumber daya genetik yang terjadi dalam situasi lintas batas atau yang tidak memungkinkan untuk memberikan atau mendapatkan Persetujuan atas Dasar Informasi Awal (Prior Informed Consent). Keuntungan dari mekanisme ini akan digunakan untuk mendukung konservasi dan pemanfaatan berkelanjutan dari keanekaragaman hayati secara global.
Undang-Undang No. 11 Tahun 2013 Setelah ikut serta dalam menandatangani Protokol Nagoya pemerintah Indonesia membuat kebijakan dalam negeri untuk menerapkan Protokol Nagoya tersebut di Indonesia, yang diadopsi dari pasal 15 Konvensi Keanekaragaman Hayati yang menyebutkan, bahwa adanya pembagian yang adil dan merata atas hasil penelitian dan pengembangan serta keuntungan yang timbul dari pemanfaatan sumber daya genetika secara komersial maupun tidak. Dengan mengesahkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2013 yang berisi: a. Pasal 1 (1) Mengesahkan Nagoya Protocol on Acces to GeneticResources and the Fair and Equitable Sharing of Benefits Arising from Their Utilization to the Convention on Biological Diversity (Protokol Nagoya tenntang akses pada Sumber Daya Genetik dan Pembagian Keuntungan yang Adil dan Seimbang yang Timbul dari Pemanfaatannya atas Konvensi Keanekaragaman Hayati). (2) Salinan naskah asli pengesahan Nagoya Protocol on Acces to Genetic Resources and the Fair and Equitable Sharing of Benefits Arising from Their Utilization to the Convention on Biological Diversity (Protokol Nagoya tenntang akses pada Sumber Daya Genetik dan Pembagian Keuntungan yang Adil dan Seimbang yang Timbul dari Pemanfaatannya atas Konvensi Keanekaragaman Hayati) dalam bahasa Inggris dan terjemahannya dalam bahasa Indonesia sebagaimana terlampir dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Undang-Undang ini.
136
Implementasi UU No.11 Th.2013 Mengatasi Biopiracy di Indonesia (Candra Purnama)
b. Pasal 2 (1) Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Implementasi Undang-Undang No. 11 Tahun 2013 mempunyai maksud dan tujuan untuk melindungi dan melestarikan sumber daya genetik dan pengetahuan tradisional terkait sumber daya genetik, mencegah pencurian (biopiracy) dan pemanfaatan tidak sah (illegal) terhadap keanekaragaman hayati, dan meletakkan dasar hukum untuk mengatur akses dan pembagian keuntungan yang adil dan seimbang atas pemanfaatan sumber daya genetik dan pengetahuan tradisional yang berkaitan dengan sumber daya genetik kepada penyedia sumber daya genetik berdasarkan kesepakatan bersama (Mutually Agreed Terms). Terbitnya UU No. 11 Tahun 2013 merupakan langkah awal yang baik dari Pemerintah Indonesia untuk memerangi praktek biopiracy yang terjadi di Indonesia karena adanya landasan pengaturan bagi pemanfaatan sumber daya genetik serta pengetahuan tradisional terkait dengan sumber daya genetik di Indonesia. Undang-Undang yang Berkaitan Dengan Biopiracy Upaya pemerintah Indonesia dalam mengatasi kasus pembajakan keanekaragaman hayati (biopiracy),menjadi kebijakan yang sangat penting mengingat dampak kerugian yang didapat negara karena masalah (biopiracy). Pemerintah Indonesia telah meratifikasi beberapa konvensi internasional yang terkait dengan perlindungan sumber daya genetik dan mengesahkan beberapa undang-undang. Berikut beberapa undang-undang yang telah disahkan oleh Pemerintah Indonesia yang terkait perlindungan sumber daya genetik: a. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya b. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1992 tentang Sistem Budi Daya Tanaman. c. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1992 tentang Karantina Hewan, Ikan dan Tumbuhan. d. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1994 tentang Pengesahan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai Keanekaragaman Hayati. e. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan. f. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. g. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional. h. Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2000 tentang Perlindungan Varietas Tanaman. i. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001 tentang Paten. j. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2002 tentang Sistem Nasional Penelitian Pengembangan dan Penerapan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi. k. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan. l. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan. m. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. n. Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. o. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2006 tentang Pengesahan International Treaty on Plant Genetic Resources for Food and Agriculture (Perjanjian mengenai Sumber Daya Genetik Tanaman untuk Pangan dan Pertanian).
137
eJournal Ilmu Hubungan Internasional, Volume 4, Nomor 1, 2016:129-142
p. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan. q. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. r. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. s. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan t. Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan. Implementasi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2013 Potensi sumber daya genetik yang besar di Indonesia diikuti dengan biopiracy dan misappropriation yang besar pula mengharuskan Pemerintah Indonesia membuat regulasi yang mengatur perlindungan terhadap sumber daya genetik yang lengkap dan terintegrasi. Selain amandemen Undang-Undang tentang Paten, alternatif lainnya adalah dengan membuat peraturan yang khusus mengatur tentang sumber daya genetik. Melalui implementasi Undang-Undang Nomor 11 tentang pengesahan Protokol Nagoya dapat dijadikan sebagai acuan dalam membuat peraturan khusus tentang perlindungan terhadap sumber daya genetik. Sehingga rancangan undang-undang yang telah ada sebelumnya dapat disempurnakan disesuaikan dengan ketentuan dalam Protokol Nagoya. Berikut beberapa hal yang perlu dimasukkan dalam peraturan perundang-undangan tentang perlindungan sumber daya genetik, sebagai berikut: a. Pembentukan Model Kelembagaan Kelembagaan merupakan faktor penentu dalam memberikan perlindungan sumber daya genetik, sehingga diperlukan suatu model kelembagaan yang tepat. Berikut mekanisme kelembagaan diatur dengan : a. Penunjukan satu atau beberapa National Competent Authority (NCA) sebagai institusi yang berwenang memberikan izin akses, penentuan kebijakan prosedur akses, dan persyaratan dalam persetujuan atas dasar informasi awal serta kesepakatan bersama b. Penunjukkan pumpunan kegiatan nasional (National Focal Point) yang berfungsi sebagai penghubung para pihak dengan secretariat konvensi keanekaragaman hayati, pumpunan kegiatan nasional dapat juga berfungsi sebagai NCA (National Competent Authority). c. Pembentukan Balai Kliring Akses dan pembagian keuntungan yang merupakan sistem basis data yang berfungsi sebagai sarana pertukaran informasi terhadap akses sumber daya genetik dan pembagian keuntungan atas pemanfaatan sumber daya genetik. d. Pemantauan dilakukan melalui penunjukkan pos pemeriksaan (checkpoints) pada semua level, yaitu penelitian, pengembangan, inovasi, prekomersialisasi, atau komersialisasi serta adanya sistem sertifikasi yang diakui secara internasional.
138
Implementasi UU No.11 Th.2013 Mengatasi Biopiracy di Indonesia (Candra Purnama)
b. Pedoman Pemberitahuan Atas Informasi Awal (Prior Informed Consent) dan Kesepakatan Bersama (Mutually Agreed Terms) serta Prosedur Akses. Persetujuan atas Dasar Informasi Awal (Prior Informed Cosent) adalah pemberitahuan dari pemohon akses kepada penyedia sumber daya genetik tentang semua informasi dalam rangka kegiatan akses sumber daya genetik yang dipergunakan oleh penyedia sumber daya genetik sebagai bahan pertimbangan dalam memberikan persetujuan akses terhadap sumber daya genetik yang dimilikinya. Dengan Persetujuan atas Dasar Informasi Awal (Prior Informed Cosent), penyedia akan mengetahui maksud dan tujuan dari pemohon, sehingga ketransparanan atas pemanfaatan sumber daya genetik menjadi jelas, apakah nantinya dari pemanfaatan tersebut terdapat keuntungan finansial untuk pemohon ataukah sumber daya genetik tersebut dimanfaatkan untuk kepentingan penelitian. Komponen utama dari Persetujuan atas Dasar Informasi Awal (Prior Informed Consent), sebagai berikut: a. Prior atau mendahului, yaitu negosiasi yang dilakukan sebelum kegiatan dilakukan. Dalam hal ini adalah sebelum permohonan untuk mendapatkan akses terhadap sumber daya genetik; b. Informed atau Diinformasikan, yaitu pihak atau orang luar harus memberikan semua informasi yang mereka miliki kepada penyedia. Hal ini dimaksudkan agar informasi yang diberikan kepada pemohon lengkap dan benar; c. Consent atau Persetujuan, yaitu persetujuan atau keputusan harus dibuat melalui sebuah proses terbuka dan bertahap terhadap pemanfaatan sumber daya genetik. Dengan adanya “consent” menjadikan akses terhadap sumber daya genetik lebih aman, karena setiap tahapan proses peralihannya harus sesuai dengan prosedur yang berlaku dan mendapatkan ijin dari pihak yang berwenang. Selain itu, dengan terbukanya setiap proses akan memberikan transparansi dalam pelaksanaan akses, terutama kebenaran data yang diberikan oleh penyedia dan kejelasan tujuan atas pemanfaatan sumber daya genetik oleh penyedia. Hambatan Pemerintah Indonesia Dalam Mengatasi Biopiracy Melalui UU No. 11 Tahun 2013 Upaya-upaya yang telah dilakukan oleh pemerintah Indonesia ternyata menemukan hambatan-hambatan didalam pelaksanaannya. Beberapa hambatan tersebut, di antaranya : a. Dapat terjadi nepotisme dalam sistem kelembagaan, karena terdiri dari beberapa lembaga yang terpisah. b. Belum adanya regulasi yang mengikat pidana, terhadap pihak yang melanggar perjanjian tersebut c. Seringkali sukar dalam mengidentifikasi keanekaragaman hayati di perbatasan negara, provinsi, atau kota. Pemanfaatan pengaturan pembagian keanekaragaman hayati menjadi sangat tidak praktis karena banyak negara dan masyarakat akan mengklaim kepemilikan atas keanekaragaman hayati yang sama. d. Konflik kepemilikan kontrol atas keanekaragaman hayati antara pemerintah dan masyarakat lokal.
139
eJournal Ilmu Hubungan Internasional, Volume 4, Nomor 1, 2016:129-142
e. Perbedaan ukuran dan kriteria keanekaragaman hayati, dapat menyebabkan kesalahan informasi, karena ada ukuran dan kriteria yang berbeda yang digunakan oleh pemerintah dan masyarakat lokal. Pemerintah, perusahaan atau peneliti dapat mengklaim bahwa kebenaran informasi mereka dari masyarakat, tetapi masyarakat akan mengklaim sebaliknya. f. Potensi skema pembagian keuntungan keanekaragaman hayati dapat menciptakan konflik dan perpecahan antara masyarakat dengan masyarakat yang tinggi terutama jika manfaat hanya ditulis dalam bentuk moneter. Kesimpulan Upaya pemerintah Indonesia dalam mengatasi biopiracy melalui undang-undang no. 11 tahun 2013 mengenai pengesahan protokol nagoya, dengan menyiapkan beberapa konsep sebagai instrumen pendukung, yaitu a) Strategi Nasional Implementasi Protokol Nagoya, b) Kelembagaan, Kementerian Lingkungan Hidup selaku National Focal Point, Kementerian Kehutanan, Kementerian Pertanian, dan Kementerian Kelautan dan Perikanan merupakan National Competent Authorities, LIPI selaku Scientific Authority, Balai Kliring dan checkpoints, c) Pedoman Pemberitahuan Atas Informasi Awal (Prior Informed Consent) dan Kesepakatan Bersama (Mutually Agreed Terms) serta Prosedur Akses. Implementasi UU No. 11 Tahun 2013 dalam mengatasi biopiracy di Indonesia, dapat berjalan secara efektif jika dalam pelaksanaannya dilakukan dengan proses yang independen, koordinatif, dan holistik. Dan kasus-kasus biopiracy yang terjadi di Indonesia sebelum diimplementasinya UU no. 11 tahun 2013, seperti paten spesies tawon Megalara Garuda, Kopi Toraja, dan juga beberapa tanaman obat, dapat dicegah. Setelah implementasi UU no. 11 tahun 2013 dijalankan oleh pemerintah Indonesia, sampai sekarang belum ada ditemukan kasus biopiracy di Indonesia, sehingga implementasi UU no. 11 tahun 2013 dinilai efektif untuk mencegah terjadinya biopiracy di Indonesia. Daftar Pustaka Literatur Buku Dutfield Graham, 2004, Intellectual Property, Biogenetic Resources, and Traditional Knowledge, Earthscan. Hamilton C, 2006. “Biodiversity, biopiracy and benefits: what allegations of biopiracy tell us about intellectual property.” Developing world bioethics, , Vol. 6(3). Mohtar Mas’oed,1989,Studi Hubungan Internasional : Tingkat Analisi dan Teorisasi, Yogyakarta Pusat Antar Universitas - Studi Sosial – Universitas Gajah Mada,. Nugroho, D Riant. 2006. Kebijakan Publik untuk Negara-Negara Berkembang, Jakarta, PT. Elex Media Komputindo. Sardjono, Agus.2006. Hak Kekayaan Intelektual dan Pengetahuan Tradisional, PT. Alumni, Bandung.
140
Implementasi UU No.11 Th.2013 Mengatasi Biopiracy di Indonesia (Candra Purnama)
Shiva Vandana, 2001.Protect or Plunder? Understanding Intellectual Property Rights, London, Zed Books. Subarsono. 2005. Analisis kebijakan publik: Konsep, teori dan aplikasi. Yogyakarta: Pustaka pelajar. Widodo, Joko. 2007. Analisis kebijakan publik : konsep dan aplikasi analisis proses kebijakan publik. Malang: Bayu media publishing. E-Journal Rani Faisyal, 2015, Kepentingan Indonesia Meratifikasi Protokol Nagoya 2013. (Online). Jom FISIP Volume 2 No. 2. http://jom.unri.ac.id/index.php/JOMFSIP/article/download/4925/4807. diakses pada 23 Maret 2015 Internet Anonym, http://biodiversityeducation.ca/files/2012/03/Biodiversity_Concepts.pdf, diakses pada 1 Maret 2015. Biopiracy http://www.globalexchange.org/sites/default/files/MXbiopiracy.pdf diakses pada 1 November 2014. Bioprospecting”, Oxford Dictionaries, Oxford University Press,http://oxforddictionaries.com/definition/english/bioprospecting. diakses pada 10 Desember 2014 Convention on Biological Diversity-1992 https://www.cbd.int/doc/legal/cbd-en.pdf diakses pada 20 Desember 2014. Graham Dutfield, What is Biopiracy http://moderncms.ecosystemmarketplace.com/repository/moderncms_documents /I.3.pdf Kementerian Lingkungan Hidup Republik Indonesia. (2013). Peluncuran UU no. 10 dan 11 tahun 2013 tentang pengesahan konvensi Rotterdam dan Nagoya sambut hari KEHATI 2013. Jakarta. http://www.menlh.go.id/peluncuran-uu-no-10-dan11-tahun-2013-tentang-pengesahan-konvensi-roterdam-dan-nagoya-sambut-harikehati-2013/ diakses pada 1 November. Peluang dan Tantangan Protokol Nagoya bagi Indonesia. http://www.menlh.go.id/peluang-dan-tantangan-protokol-nagoya-bagiindonesia/. Diakses pada 1 November 2014. PP Nomor 64 Tahun 2010 http://www.kp3k.kkp.go.id/index.php/arsip/c/239/PPNomor-64-Tahun-2010-tentang-Mitigasi-Bencana-di-Wilayah-Pesisir-danPulau-pulau-Kecil/. Diakses pada 15 Februari 2015.
141
eJournal Ilmu Hubungan Internasional, Volume 4, Nomor 1, 2016:129-142
The Nagoya Protocol on Access and Benefit-sharing http://www.cbd.int/abs diakses pada 20 Desember 2014. Utomo YW. (2012). LIPI akan selidiki praktik “biopiracy”. Jakarta: PT. Kompas Cyber Media. http://sains.kompas.com/read/2012/05/04/08175361/LIPI.Akan.Selidiki.Praktik. Biopiracy. diakses pada 1 November 2014.
142