Implementasi Pendidikan Metematika Relistik Sebagai Alternatif Pembelajaran
Oleh Baharuddin Widyaiswara LPMP Provinsi Sulawesi Selatan
Sejak lama sebagian besar para orang tua dan siswa berpendapat bahwa matematika dapat dipahami hanya bila disertai dengan kerja ekstra keras dan bahkan belajar matematika menghendaki kemampuan khusus sehingga matematika hanya dapat dipelajari siswa yang berbakat, padahal matematika sangat diperlukan seluruh siswa sebagai bekal hidup dalam abad globalisasi. Sebagai antisipasi, pembelajaran dengan pendekatan realistik akan dikemukakan secara ringkas: 1. Jawaban terhadap apa matematika, mengapa matematikan diajarkan, dan bagaimana matematika diajarkan, 2. CBSA sebagai kegiatan fisik dan mental, 3. Pendidikan matematika realistik.
Apa Matematika Itu? Sebenarnya sangat sulit mendefenisikan matematika sebab tidak akan mendapat persetujuan serempak di antara matematikawan. Abraham S Luckins menyatakan: “Apakah matematika itu, dapat dijawab secara berbeda tergantung pada bilamana pertanyaan itu dijawab, dimana dijawabnya, siapa yang menjawabnya dan apa saja yang dipandang sebagai termasuk dalam matematika” (Hudojo, 1991, hal. 1) Marilah kita tidak usah mempersoalkan tentang defenisi matematika, sebab kita rasakan bahwa matematika sangat diperlukan dalam kehidupan dan kemaslahatan manusia.
http://www.lpmpsulsel.net/v2/index.php?option=com_content&view=article&id=198:matematika-realistik&catid=42:widyaiswara&Itemid=206
Mengapa Matematika Diajarkan? Matematika merupakan pengetahuan yang berpola dan hirarkis. Cara berfikir matematika deduktif-abstrak dan generalisasi. Matematika dan berpikir matematika mendasari disiplin yang lain dan secara menakjubkan ternyata mengembangkan disiplin yang lain tersebut. Hal ini disebabkan kerja matematika itu pada dasarnya sebagai berikut: 1. Penyusunan model, yaitu mempresentasikan fenomena dunia yang penting dan berguna dengan mengkonstruksikan mental secara visual dan simbul. 2. Optimasi, yaitu mendapatkan penyelesaian yang terbaik dengan bertanya “apa jika...” dan kemudian menjabarkan ke segala kemungkinan. 3. Simbiolisasi, yaitu memperluas bahasa dengan representasi simbiolik sebagai konsep abstrak dalam bentuk yang ”ekonomis” sehingga memungkinkan untuk komunikasi dan komputasi. 4. Inferensi, yaitu menyimpulkan dari data, dari premis, dari grafik, dari sumbersumber yang tidak lengkap dan tidak konsisten. 5. Analisa logis, yaitu mencari implikasi dari premis-premis dan mencari prinsipprinsip untuk menjelaskan fenomena yang diobservasi. 6. Abstraksi, yaitu memilih sesuatu untuk dipelajari secara khusus tentang sifatsifat yang sama dari banyak fenomena yang berbeda. Melihat kerja matematika seperti di atas, belajar matematika dapat membantu siswa berpikir dan membantu siswa dapat mempertanggungjawabkan berpikirnya tersebut. Siswa menjadi terlatih memiliki keyakinan bahwa apabila ia menyelesaikan masalah maka kebenaran cara pemecahan masalahnya memang benar adanya, bukan karena gurunya yang mengatakan, tetapi penalarannya sangat jelas membenarkannya. Di samping itu, belajar matematika dapat mengembangkan kreativitas dan kemandirian. Pemikiran kreatif dapat ditandai: a. Kemampuan berpikir lateral, yaitu kemampuan untuk melihat dan mendapatkan pengertian tentang suatu masalah dari berbagai aspek dan tidak terikat pada pengalaman yang diperoleh sebelumnya; b. Kemampuan berpikir divergen, yaitu kemampuan untuk merumuskan sifat baru dan menerapkan ke pemecahan masalah yang dihadapi.
http://www.lpmpsulsel.net/v2/index.php?option=com_content&view=article&id=198:matematika-realistik&catid=42:widyaiswara&Itemid=206
Kemandirian terlihat diantaranya keuletan, ketekunan, percaya diri dan disiplin dalam bekerja.
Bagaimana Matematika Diajarkan? Matematika tidak dapat diajarkan “begitu” saja tanpa memandang kemampuan dan kesiapan siswa. Dalam mengajarkan matematika diperlukan kreativitas guru. Kreativitas siswa akan terbentuk bila cara penyampaian topik kepada siswa cocok dengan kemampuan dan kesiapan intelektual siswa. Kemampuan dan kesiapan siswa pada tingkat Pendidikan Dasar, Pendidikan Menengah dan Pendidikan Tinggi berbeda. Antara cara penyampaian yang menunjukkan interaksi guru dan siswa dan isi program yang terdiri dari topik-topik digambarkan pada bidang koordinat XOY, yaitu sumbu tegak Y yang menunjukkan intensitas guru dan siswa sedang sumbu mendatar X menunjukkan banyak/kedalaman isi program seperti yang ditunjukkan dalam gambar berikut.
Y
PD PM PT X Gambar di atas menunjukkan pada tingkat Pendidikan Dasar, pengajar harus banyak mengintervensi dalam proses pembelajaran hingga kegiatan belajar berjalan efektif, makin tinggi tingkat pendidikan, makin berkurang intervensi pengajar dalam proses pembelajaran, namun kegiatan belajar tetap efektif. Pada tingkat Pendidikan Tinggi kegiatan belajar semestinya memerlukan intervensi minimal dari pengajar. Intervensi hanya dilaksanakan bila peserta didik memerlukan (Hudojo, 19993b). Dengan demikian, format pembelajaran peserta didik bergantung kepada tingkat kemampuan dan kesiapan peserta didik yang dinyatakan bahwa hubungan antara intensitas interaksi guru dan siswa dengan banyak/pendalaman isi program yang seolah-olah bila digambarkan merupakan hiperbola tegak. Dengan proses pembelajaran yang demikian ini, siswa digiring menjadi terlatih dan terkondisi untuk mampu belajar mandiri.
http://www.lpmpsulsel.net/v2/index.php?option=com_content&view=article&id=198:matematika-realistik&catid=42:widyaiswara&Itemid=206
Proses pembelajaran dapat terlaksana secara efektif menghasilkan SDM yang mampu dan mumpuni melaksanakan tugasnya bila menggunakan strategi penyelesaian masalah. Strategi penyelesaian masalah dipergunakan dalam proses pembelajaran untuk melatih peserta didik menghadapi permasalahan yang penyelesaiannya menuntut kreativitas. Strategi penyelesaian masalah ini perlu dilatihkan sejak dari Pendidikan Dasar, intervensi pengajar dalam proses menyelesaikan masalah yang dilakukan siswa harus tinggi dan intervensi tersebut semakin berkurang sesuai dengan tingkat kemampuan siswa sehingga akhirnya siswa mampu menyelesaikan masalah yang dihadapi secara mandiri. Untuk memperjelas penyelesaian masalah yang dikemukakan di atas nampaknya memerlukan pengklarifikasian masalah. Menurut Holmes (1985) masalah matematika diklasifikasikan sebagai masalah rutin dan non-rutin, serta aplikasi dan non-aplikasi. Masalah yang prosedur penyelesaiannya sekedar mengulang lagi, misalnya secara algoritmik disebut masalah rutin, sedang yang prosedur penyelesaiannya memerlukan perencanaan penyelesaian disebut masalah non-rutin. Apabila masalah rutin tersebut dikaitkan dengan dunia nyata/kehidupan seharihari yang prosedur penyelesaiannya standar sebagaimana yang sudah diajarkan disebut masalah rutin aplikasi. Misalnya masalah berikut. Apabila seorang menabung di BNI 1946 sebesar Rp. 1.000.000,00 mulai tanggal 1 januari 2002 dengan bunga sederhana (simple interist) 9% setahun, maka berapa uang orang tersebut pada 31 Oktober 2002? Apabila masalah rutin tersebut lebih kematematikanya daripada kehidupan nyata disebut masalah rutin non-aplikasi. Masalah kualifikasi ini biasanya ditandai dengan pertanyaan yang berkaitan dengan operasi yang dinyatakan dalam kalimat. Misalnya masalah berikut. Apabila terdapat dua bilangan bulat, bilangan pertama dua kali bilangan kedua dan jumlah kedua bilangan tersebut 57, maka carilah kedua bilangan tersebut. Masalah non-rutin aplikasi yang penyelesaiannya menuntut perencanaan dangan mengaitkan dunia nyata/kehidupan sehari-hari, ilmu pengetahuan alam/sosial yang penyelesaiannya mungkin saja open-ended. Misalnya masalah berikut.
http://www.lpmpsulsel.net/v2/index.php?option=com_content&view=article&id=198:matematika-realistik&catid=42:widyaiswara&Itemid=206
Ali dapat mengerjakan sendiri suatu pekerjaan dalam 6 hari dan Ani dapat mengerjakan sendiri pekerjaan tersebut dalam 8 hari. Apabila pekerjaan itu secara bersama dikerjakan mulai hari Senin 07.00 pagi, kapan pekerjaan itu akan selesai bila 1 hari kerja dihitung 7 jam. Masalah non-rutin non-aplikasi adalah masalah yang berkaitan murni tentang hubungan matematis, misalnya bentuk, pola dan logika yang penyelesaiannya mungkin saja open-ended. Misalnya masalah berikut. Lukisan bentuk geometri yang terdiri dari dua bujur sangkar dan empat segitiga menggunakan delapan garis. Dapat diperkirakan bahwa pembelajaran dengan penyelesaian masalah akan merupakan kegiatan mental sekaligus terindikasi dengan kegiatan fisik.
CBSA Sebagai Kegiatan Fisik dan Mental Proses belajar matematika harus melibatkan secara aktif mental siswa. Kegiatan mental untuk belajar ini sangat sulit dilihat/diobservasi kecuali bila kegiatan belajar tersebut diikuti dengan kegiatan fisik. Namun, kegiatan fisik yang dilihat tidak selalu menunjukkan keterlibatan/aktivitas mental seperti berfikir matematik, misalnya kegiatan yang sekedar mengukur berulang-ulang panjang dan lebar suatu meja. Karena itu aktivitas fisik dalam kegiatan belajar matematika harus benar-benar melibatkan mental. Kagiatan semacam inilah yang disebut CBSA. Jadi CBSA perlu digunakan dalam penanaman konsep matematika seperti yang telah dibicarakan. Belajar yang menggunakan CBSA seyogyanya diarahkan untuk kegiatan menyelesaikan masalah dan/atau tanya jawab yang dapat membawa kepada pengertian suatu konsep, sifat dan lain-lain. Masalah bukan sekedar soal-soal seperti yang lazim yang penyelesaiannya secara mekanistik dan rutin. Masalah merupakan soal yang belum pernah diselesaikan, namun konsep yang dipergunakan untuk menyelesaikan masalah tersebut sudah diajarkan dan tidak begitu saja dapat diterapkan. Dalam menyajikan masalah kepada siswa juga perlu diperhatikan kesesuaian masalah dengan kemampuan dan kesiapan siswa. Sebagai contoh penyelesaian masalah yang mencolok dalam berhitung adalah soal cerita.
http://www.lpmpsulsel.net/v2/index.php?option=com_content&view=article&id=198:matematika-realistik&catid=42:widyaiswara&Itemid=206
Penyajian masalah tersebut, penyelesaiannya menuntut keaktifan mental yang sekaligus melibatkan kegiatan fisik yang ditunjukkan dengan ketekunan masing-masing siswa. Kalau memang masalah yang disajikan “cukup berat” diskusi kelompok untuk menyelesaikan masalah tersebut juga baik. Dengan ketekunan siswa menyelesaikan masalah baik secara individu maupun secara kelompok berarti “perasaan” siswa sudah ikut berperan. Ditegaskan sekali lagi disini bahwa kegiatan fisik yang nampak misalnya dengan hiruk pikuknya siswa “berdiskusi” bukan itu yang dicari sebagai CBSA, namun yang utama adalah kegiatan mental yaitu dengan berfikir dengan melibatkan “perasaan” siswa dalam kegiatan tersebut. Sebagai akibatnya, dalam CBSA bisa terjadi proses interaksi aktif antara guru dengan siswa dan siswa dengan siswa. Jadi dalam CBSA di pengajaran matematika tidak cukup hanya bila dikatakan “belajar sambil bekerja”, namun hendaknya “belajar sambil bekerja dan memikirkan apa yang dikerjakan”. Untuk memenuhi CBSA tentu saja yang “paling sesuai” adalah dengan pembelajaran penyelesaian masalah. Sebagai alternatif pembelajarannya yang dikemukakan disini adalah pendidikan matematika realistik.
Pendidikan Matematika Realistik (PMR) Kerangka PMR ini didasarkan kepada dunia nyata dan konstruksi sosial. Dengan demikian PMR dalam kaitannya dengan pembelajaran khususnya didasarkan kepada aplikasi dunia nyata atau pemodelan yang dapat dikembangkan secara bebas dari pendekatan konstruktivisma. Selain itu pembelajaran dimotivasi oleh keinginan memahami belajar matematika oleh siswa yang terjadi dalam situasi sosial/kelas. Perlu diingat bahwa pembelajaran di sini sebagian besar didasarkan kepada karakteristik matematika dan belajar matematika. Matematika adalah merupakan aktivitas manusia kreatif dan belajar matematika terjadi karena siswa mengembangkan cara efektif untuk menyelesaikan masalah. Menurur Freudhental, ini berarti kegiatan matematika ditransformasikan ke obyek matematika.
http://www.lpmpsulsel.net/v2/index.php?option=com_content&view=article&id=198:matematika-realistik&catid=42:widyaiswara&Itemid=206
Prinsip PMR dapat dikemukakan sebagai berikut 1.
Titik awal pembelajaran adalah nyata secara eksperimental bagi siswa sehingga secara individu segera memahami aktivitas matematika secara bermakna.
2.
Harus memperhitungkan bahwa matematika yang diketahui secara potensial pada saat itu oleh siswa.
3.
Urutan pembelajaran menunjukkan keterlibatan siswa. Siswa mengkreasi dan merinci model-model simbolik aktivitas matematika informalnya, misalnya memuat gambar, tabel atau terlibat mengembangkan notasi informal atau menggunakan notasi matematika. Keseluruhan urutan pembelajaran didasari langkah-langkah psikologis. Dengan bimbingan guru model-model yang dibuat siswa dan aktivitas informalnya dapat mengembangkan secara bertahap dan kontinu ke dalam model agar penalaran matematikanya abstrak berkembang. Dari ketiga prinsip PMR ini pembelajaran akan efektif bila dilaksanakan secara
interaktif antara guru-siswa dan siswa-siswa yaitu menjelaskan dan memberikan alasan jawaban, memahami penyelesaian siswa yang lain, menyetujui atau tidak menyetujui, memberikan alternatif pertanyaan yang kemudian merefleksi. Contoh pembelajaran dengan PMR (Hudojo, 1999) dapat dikemukakan disini soal cerita yang non-rutin aplikasi yang penyelesaiannya menuntut perencanaan yang mengaitkan dunia nyata/kehidupan sehari-hari. Ani membeli 4 buku tulis dan 4 pensil merk Staeler seharga Rp. 11.000,00. Ali membeli 3 buku tulis dan 5 pensil yang sama dengan yang dibeli Ani seharga Rp. 11.250,00. a. Berapa harga setiap buku tulis? b. Berapa harga setiap pensil? c. Berikan alasan-alasan jawabanmu Masalah tersebut bisa diselesaikan oleh siswa SD. Penyelesaiannya mungkin sebagai berikut.
http://www.lpmpsulsel.net/v2/index.php?option=com_content&view=article&id=198:matematika-realistik&catid=42:widyaiswara&Itemid=206
Penyelesaian I Untuk siswa SMP, soal cerita tersebut dapat diselesaikan sebagai berikut Bila harga setiap buku tulisan x rupiah Harga setiap pensil y rupiah Maka dapat disusun persamaan berikut 4x + 4y = 11.000 3x + 5y = 11.250 Model matematika ini di SMP dikenal sebagai dua persamaan linier dengan dua variabel yang tentu saja penyelesaiannya dengan menghitung x dan y. X = 1.250 Y = 1.500 Sebenarnya penyelesaian ini sebagai langkah lebih lanjut dari penyelesaiannya II dengan semi konkret bila dipergunakan wujud buku dan pensil. Contoh tersebut dapat digunakan sebagai contoh penamaan pemahaman/konsep sistem persamaan linier dua variabel. Misalnya siswa menyelesaikan masalah/soal tadi (mungkin dengan bimbingan guru) berpola seperti penyelesaian II. Lihat langkah penyelesaian II (konkret/gambar) ditransformasikan ke simbol. Harga buku
Harga pensil
Harga
4x
4y
11.000
3x
5y
11.250
Model matematika (Sistem persamaan linear)
http://www.lpmpsulsel.net/v2/index.php?option=com_content&view=article&id=198:matematika-realistik&catid=42:widyaiswara&Itemid=206
Dengan mudah dapat dicari harga 1 buku Rp. 1.250,00. Disini terlihat konsep penyelesaian eliminasi. Dipersilahkan pembaca mencoba untuk menjelaskan sistem persamaan linier dua variabel bila siswa menyelesaikan sesuai dengan penyelesaian I, hasil yang diperoleh menggunakan penyelesaian subtitusi
Penutup Matematika tidak semestinya dipandang sebagai suatu mata pelajaran yang sulit. Guru semestinya berusaha memberikan motivasi kepada siswanya dengan penyajian yang menantang dan menarik dengan menyajikan masalah-masalah yang terkait dengan pengalaman kehidupan siswa. Untuk ini perlu sekiranya guru mencoba alternatif pembelajaran dengan pendekatan PMR dikemukakan di contoh tersebut di atas. Semoga uraian ini bermanfaat bagi kemaslahatan generasi masa depan.
http://www.lpmpsulsel.net/v2/index.php?option=com_content&view=article&id=198:matematika-realistik&catid=42:widyaiswara&Itemid=206