Implementasi Metodologi Six Sigma dalam Pemasangan Key Bar pada Fabrikasi Stator Frame Generator 7FH2 Didik Widianto1, Bambang Daryanto W.2 Divisi General Engineering, PT. PAL Indonesia, Surabaya Telepon : (031) 3281344 Fax : (031) 3281345 E-mail :
[email protected] 2 Jurusan Teknik Mesin, FTI-ITS, Surabaya Telepon : (031) 594 6230 Fax : (031) 592 2941 E-mail :
[email protected] 1
Abstrak Makalah ini membahas implementasi metodologi Six Sigma dalam proses pemasangan/pengelasan key bar. Key bar adalah sebuah komponen vital pada stator frame, dimana dalam proses fabrikasi banyak mengalami defect akibat distorsi yang terjadi selama proses pengelasan. Studi awal yang dilakukan terhadap proses pemasangan key bar, sebelum diterapkannya program Six Sigma, menunjukkan tingkat kompetensi yang rendah yang direpresentasikan oleh nilai sigma level se-besar 2,629 untuk pekerjaan tersebut. Program perbaikan yang dilaksanakan mengikuti metodologi Six Sigma telah bisa meningkatkan nilai sigma level menjadi 3,328. Peningkatan tersebut dicapai de-ngan mendapatkan alternatif metode pengelasan yang mampu mengurangi defect, memperpendek waktu penyelesaian pekerjaan, dan menurunkan beaya produksi. Kata kunci : Six Sigma, kompetensi, pengelasan, key bar, distorsi
frame generator tipe 7FH2. Key bar adalah sebuah komponen vital pada stator frame, dimana dalam proses fabrikasi banyak mengalami defect akibat distorsi yang terjadi selama proses pengelasan. Sedangkan akurasi hasil pemasangan key bar sangat menentukan dapat tidaknya stator frame di-assembly dengan rotor generator secara baik. Pada setiap unit stator frame terdapat 15 buah key bar, yang dipasang memanjang sekeliling permukaan bagian dalam stator frame dengan jarak antar key bar yang beraturan. Studi awal yang dilakukan terhadap proses pemasangan key bar, yang dilakukan sebelum di-terapkannya program Six Sigma, menunjukkan tingkat kompetensi yang rendah. Menurut kriteria penilaian yang digunakan dalam Six Sigma, nilai sigma level dari pekerjaan tersebut adalah 2,629. Untuk standar internasional nilai itu dianggap masih rendah. Perusahaan kemudian menetapkan bahwa pekerjaan pemasangan key bar selanjutnya dilaksanakan mengikuti prosedur yang digariskan dalam metodologi Six Sigma, dengan sasaran peningkatan level kompetensi sampai pada nilai sigma diatas tiga.
Peningkatan kualitas, minimalisasi beaya dan penyerahan tepat waktu selalu menjadi fokus perhatian dari perusahaan manufaktur demi menjamin kepuasan pelanggan. Pada suatu pekerjaan berskala internasional, tuntutan pelanggan salah satunya berupa persyaratan/ ketentuan teknis yang sangat ketat, yang memerlukan penanganan serius dari perusahaan. Saat ini PT. PAL Indonesia sedang mengerjakan fabrikasi stator frame pesanan General Elec-tric, USA. Ketatnya persyaratan teknis tercermin dari fakta bahwa di masa awal pelaksanaan peker-jaan banyak reworks yang harus dilakukan demi memenuhi persyaratan/ketentuan teknis dari GE. Karena besarnya “cost of poor quality” yang harus ditanggung oleh perusahaan (tangible dan intangible), PT. PAL menetapkan program perbaikan berkesinambungan dengan sasaran peningkatan level kompetensi dalam melakukan suatu pekerjaan/proyek. Program perbaikan dilaksanakan mengikuti metodologi Six Sigma, yang diterapkan salah sa-tunya pada proses pemasangan/pengelasan key bar pada stator 25
26 Jurnal Teknik Mesin, Volume 3, Nomor 1, Januari 2003
rame or F Stat
A
Top 14 15
A
3 4 5
11 10 9
Keybars bars Key 15pcs. pcs. 15
1 2
13 12
6 8 7
View A-A
Gambar 1. Stator Frame Tipe 7FH2
Tinjuan Pustaka Metodologi Six Sigma pertama kali dikembangkan oleh Motorola pada akhir era 70-an, dido-rong oleh keinginan untuk survive dalam pasar global yang makin kompetitif. Pada 1988 Motorola menerima Malcolm Baldridge National Quality Award atas keberhasilannya menerapkan Six Sigma untuk program peningkatan kualitas [9]. Sejak itu banyak perusahaan yang kemudian mengadopsi Six Sigma, termasuk GE (mulai 1995), untuk program perbaikan yang berkesinambungan diling-kungannya. Dalam program perbaikan, Six Sigma dimaksudkan untuk mengeliminir gap diantara kapabilitas/kualitas potensial dengan aktual, dimana fokus diarahkan pada pencegahan defects, pengurangan cycle time dan penghematan beaya. Aplikasi praktis dari Six Sigma antara lain dilaporkan pada [4], termasuk artikel yang mem-bahas persepsi dan pengalaman dari mereka yang terlibat langsung dalam program Six Sigma [2]. Pentingnya komitmen manajemen demi keberhasilan program Six Sigma diulas di [9]. Bahwa problem distorsi pada proses pengelasan merupakan masalah yang memerlukan perha-tian/penanganan yang serius tercermin dari kenyataan dimana problem tersebut telah menjadi su-byek kajian dari banyak peneliti baik dari kalangan akademisi maupun industri/praktisi, yang melingkup kurun waktu yang lama sampai saat
ini. Pada periode awal kajian tentang distorsi dalam proses pengelasan, penelitian banyak berbasis pada kajian eksperimental [13]. Seiring dengan ke-majuan di bidang komputer digital, periode berikutnya banyak diwarnai oleh aplikasi teknik nume-rik khususnya FEM, untuk menganalisis phenomena distorsi [1, 3]. Perkembangan terakhir antara lain mencakup implementasi artificial neural network untuk menganalisis problem distorsi [14]. Peneliti yang tergabung dalam Welding Research Group, MIT melakukan penelitian berkenaan dengan teknik untuk mengurangi distorsi dan tegangan residu lewat in-process control [7]. Disam-ping artikel ilmiah yang ditulis berdasar aktivitas penelitian, terdapat artikel ilmiah yang ditulis dengan topik ide/masalah praktis operasional, seperti misalnya [8]. Metodologi Six Sigma Six Sigma adalah suatu konsep yang, apabila dianut dan diterapkan oleh sebuah unit usaha (produk atau jasa), dimaksudkan sebagai proses peningkatan kompetensi unit usaha secara berkesinambungan dalam melaksanakan proyek. Dalam konteks ini kompetensi diukur dari kemampuan unit usaha untuk memenuhi kebutuhan atau ketentuan yang ditetapkan oleh customer. Kriteria kuantitatif yang dipakai untuk mengukur/menilai tingkat kompetensi dinyatakan dalam besaran sigma (σ). Sebuah besaran yang diadopsi dari analisis statistik, yaitu standar deviasi yang merupakan be-saran yang mencerminkan, atau dapat dipakai untuk mengukur, variabilitas pada suatu proses. Setiap kali kita (mengulang) melakukan sesuatu hasilnya tidak akan selalu 100% sama, akan terjadi deviasi dari yang kita targetkan/tetapkan semula, meskipun barangkali hanya terjadi deviasi yang kecil. Berdasar pada pemikiran bahwa pada umumnya tidak ada hasil (yield) yang secara ek-sak sesuai dengan target semula, maka kita berpikir dalam kerangka rentang (range) akseptabilitas dari hasil pekerjaan yang dilakukan. Rentang akseptabilitas (limit toleransi) kemudian dikaitkan dengan (atau bisa ditetapkan berdasar) kebutuhan, ekspetansi atau ketentuan customer. Seberapa baik kemampuan kita untuk menyelesaikan pekerjaan tercermin dari kurva distribusi hasil pekerjaan. Disamping itu kurva
Daryanto, Implementasi Metodologi Six Sigma
distribusi juga memberikan indikasi probabilitas tentang hasil pekerjaan yang dilakukan selanjutnya. Bila akseptabilitas atau limit toleransi hasil pekerjaan atau produk berada diluar daerah mean±4σ, maka pada hakekatnya dapat dikatakan ada jaminan bahwa di setiap saat dimiliki kemampuan untuk membuahkan hasil/produk yang akseptabel. Tentunya pe-ngertian ini hanya berlaku untuk proses yang mempunyai tendensi memusat (centered) dengan loka-si mean yang relatif tetap sesuai dengan target. Dalam hal ini kapabilitas proses yang ideal dikata-kan tercapai apabila process mean paling tidak berada pada jarak 4σ dari limit toleransi terdekat. Dengan asumsi yang berdasar pada data empirik, bahwa lokasi process mean (dan dengan demikian, juga lokasi distribusi proses) bisa bergeser sejauh ±1,5σ [5], Motorola (sebagai pengembang mula dari Six Sigma) menetapkan standar yang lebih ketat. Dimana untuk mencapai kondisi ideal atau diistilahkan sebagai world-class-quality organization, process mean paling tidak berada pada jarak 6σ dari limit toleransi terdekat. Motorola juga mengintrodusir perubahan wacana kuali-tas, yang tadinya level kualitas diukur dalam persen (parts-per-hundred) menjadi ppm (parts per-million). Apabila sebuah perusahaan/organisasi telah mencapai level kompetensi 6σ, maka perusaha-an/organisasi tersebut telah mampu mengeliminir defect menjadi 3.4 defects per million opportuni-ties (DPMO), sebuah performansi yang dapat disebut sebagai defectfree. Secara tradisional, perusahaan menerima nilai sigma level diantara 3 dan 4 sebagai norma [9]. Tabel 1. Korelasi Nilai Sigma – DPMO Sigma ≤ 1.5 1.6 1.7 1.8 1.9 2.0 2.2 2.4 2.6
DPMO Sigma DPMO Sigma DPMO 96.800 4.6 968 ≥ 500.000 2.8 460.000 3.0 66.800 4.8 483 421.000 3.2 44.600 5.0 233 382.000 3.4 28.700 5.2 108 345.000 3.6 17.900 5.4 48 309.000 3.8 10.700 5.6 21 242.000 4.0 6210 5.8 8 184.000 4.2 3470 6.0 3.4 136.000 4.4 1870
27
Dari tabel diatas diketahui bahwa semakin tinggi sigma level dari suatu proses, semakin ren-dah kemungkinan terjadinya defect atau semakin tinggi level kompetensi perusahaan untuk menye-lesaikan pekerjaan yang dikerjakan. Six Sigma diterapkan secara proyekdemi-proyek (project-by-project basis), memanfaatkan tools (teknik, formula, dsb.) yang digunakan dalam TQM. Model perbaikan performansi dalam im-plementasi Six Sigma dikenal sebagai DMAIC, atau Define, Measure, Analyze, Improve, Control. Implementasi Six Sigma Penentuan sigma level pada hakekatnya berdasar pada perhitungan defect, sehingga perlu diu-kur frekuensi defect. Defect atau error didefinisikan sebagai setiap “kegagalan” untuk memenuhi ketentuan/kriteria demi kepuasan customer. Dalam proses manufaktur kriteria tersebut umumnya berupa spesifikasi teknis yang harus dipenuhi. Dalam pekerjaan pemasangan key bar ketentuan teknis yang dipakai sebagai acuan untuk me-nentukan (menghitung) defect adalah ukuran berkaitan dengan dimensi radial (posisi key bar relatif terhadap titik pusat stator frame), chordal (panjang tali busur antar key bar), twist (ukuran distorsi angular), dan shoulder co-planer (ukuran kesebidangan ujung key bar). Untuk satu unit stator frame dilakukan 524 pengukuran (195 radial, 195 chordal, 120 twist, 14 shoulder co-planer), pada titik/lokasi pengukuran yang ditetapkan oleh GE. Pengukuran dilakukan pada kondisi dingin, sesudah key bar selesai dipasang/dilas. Setiap pengukuran merupakan sebuah opportunity (jadi ada 524 opportunities per unit). Setiap hasil pengukuran yang tidak sesuai dengan spesifikasi yang ditetapkan GE dihitung sebagai sebuah defect. Data untuk keperluan analisis diambil dari hasil pengukuran empat dimensi kunci tersebut diatas. Data yang diperoleh (defects dan opportunities) dari unit-unit stator frame yang ditentukan sebagai sumber data, kemudian dianalisis dengan teknik/formula analisis yang digunakan dalam metodologi Six Sigma untuk menentukan nilai sigma level.
28 Jurnal Teknik Mesin, Volume 3, Nomor 1, Januari 2003
Define Inisiatif implementasi Six Sigma dimulai dengan kajian/identifikasi customer requirements yang vital/krusial. Kemudian diidentifikasi aktivitas yang memberi pengaruh negatif terhadap re-quirements tersebut. Manajemen kemudian menetapkan subyek dari program perbaikan, yang dise-but sebagai proyek-proyek perbaikan. Untuk setiap proyek didefinisikan tujuan/target dan lingkup aktivitas perbaikannya. Pada level proyek, target dapat berupa pengurangan defect dan/atau pening-katan throughput [9]. Oleh tim inti yang dibentuk oleh PT. PAL untuk pelaksanaan program perbaikan, pekerjaan pemasangan key bar ditetapkan sebagai salah satu proyek perbaikan. •
Measure Sesudah proyek perbaikan terdefinisikan dengan baik, tahap berikutnya adalah pengukuran performansi. Pengukuran mulanya dilakukan terhadap existing system/condition. Pada tahap meas-ure ini ditetapkan besaran dan satuan ukur, dan prosedur pengukuran yang valid dan reliable, yang bisa dipakai sebagai acuan untuk memonitor kemajuan program perbaikan menuju target yang telah ditetapkan. Penentuan “base line” dari existing performance didasarkan pada hasil pengukuran yang dila-kukan pada 9 unit stator frame yang dikerjakan sebelum program Six Sigma diterapkan. Dari data yang terkumpul, yang kemudian dianalisis menggunakan teknik/formula yang dipakai dalam Six Sigma (langkah/proses analisis tercermin di Tabel 2), didapat overall sigma level sebesar 2,629 yang merupakan “base line” untuk pekerjaan pemasangan key bar. •
Analyze Dengan bantuan diagram Pareto diketahui bahwa dimensi radial mempunyai prosentase defect terbesar (radial 50,2%, chordal 31,3%, twist 15,7%, shoulder co-planer 2,8%). Dengan demikian fo-kus perbaikan diarahkan pada dimensi radial, yang diharapkan juga akan menghasilkan dampak po-sitif terhadap 3 dimensi yang lain.
•
Langkah berikutnya dalam tahap ini adalah menganalisis masalah-masalah yang bisa menga-kibatkan terjadinya defect atau penyimpangan dimensi key bar, dengan memanfaatkan diagram fish-bone. Assessment yang dilakukan oleh tim Six Sigma menyimpulkan bahwa perbaikan pada metoda pengelasan dinilai potensiil untuk bisa mengurangi jumlah defect secara signifikan. Improve Tahap ini merupakan pelaksanaan dari aktivitas perbaikan berdasar hasil analisis di tahap se-belumnya. Aktivitas yang direkomendasikan, yang merupakan perbaikan/koreksi terhadap prosedur yang dipakai sebelumnya, adalah : Perubahan urutan pengelasan, sesudah dilakukan fit-up pada key bar Multi-pass welding dilakukan secara kontinyu atau tanpa jeda pendinginan Pengelasan dilakukan dari bagian tengah key bar menuju bagian ujung key bar Menggunakan mesin las MAG Pulse yang mampu menghasilkan heat input yang rendah Pemasangan key bar dilakukan dengan stator frame diposisikan vertikal, dengan collector end berada dibawah Penerangan yang mencukupi untuk keperluan proses pengelasan
•
Control Pada tahap ini manajemen melakukan monitoring terhadap performansi, agar hasil perbaikan yang telah dicapai dapat dipertahankan. Langkah perbaikan yang terbukti memberikan dampak po-sitif perlu diformalkan, antara lain dengan melakukan dokumentasi dan membakukan prosedur kerja baru. Tabel berikut memuat data yang mencerminkan level kompetensi penyelesaian pekerjaan pe-masangan key bar, sebagai hasil penerapan metodologi Six Sigma. Data diambil dari 10 unit stator frame yang dikerjakan sesudah program Six Sigma dilaksanakan.
•
Daryanto, Implementasi Metodologi Six Sigma
29
Tabel 2. Kemampuan Proses Radial Chordal Twist Co-planer Overall
Defect 77 54 37 9 177
Unit 10 10 10 10
Oppt. 195 195 120 14
Total 1950 1950 1200 140 5240
DPU (defects per unit) = Total Defects / Total Units DPO (defects per opportunity) = DPU / Opportunities per Unit DPMO (defects per million opportunities) = DPO x 106 Sebagai pembanding, kemampuan proses sebelum diterapkannya program Six Sigma direpre-sentasikan oleh nilai sigma level sebagai berikut : overall = 2.629, radial = 2.437, chordal = 2.733, twist = 2.848, shoulder co-planer = 2.603 Disamping peningkatan level kompetensi seperti disebutkan diatas, diperoleh pula dampak positif yang lain sebagai akibat dari implementasi metodologi Six Sigma sebagaimana disampaikan dalam Kesimpulan. Kesimpulan Implementasi metodologi Six Sigma dalam pekerjaan pemasangan key bar pada fabrikasi sta-tor frame generator tipe 7FH2 telah mendapatkan alternatif pelaksanaan proses pengelasan (sebagaimana disebutkan pada rekomendasi diatas) yang menghasilkan perbaikan sebagai berikut : Peningkatan level kompetensi dalam menyelesaikan pekerjaan, yang tercermin pada peningkat-an nilai sigma dari 2,629 (overall) menjadi 3,328 (overall) Rata-rata penyelesaian pemasangan key bar pada satu unit stator frame berkurang dari 41 hari (sebelum) menjadi 25,4 hari (sesudah) Rata-rata beaya pemasangan key bar pada satu unit stator frame berkurang dari Rp. 60.270.000,- (sebelum) menjadi Rp. 36.608.000,- (sesudah)
DPU 7.70 5.40 3.70 0.90
DPO 0.039487 0.027692 0.030833 0.064286 0.033779
DPMO 39487 27692 30833 64286 33779
Sigma 3.257 3.416 3.369 3.020 3.328
Referensi [1] Birk-Sorensen, Martin., and Kierkegaard, H., 1997, “Simulation of Welding Distortions in Theory and Practice”, Proc. 9th Intl. Conf. on Computer Applications in Shipbuilding, Tokyo, pp. 383-398. [2] Dusharme, Dirk, 2001, “Six Sigma Survey: Breaking Through the Six Sigma Hype”, QCI International, http://www.qualitydigest.com. [3] Goldak, John, Chakravarti, A., and Bibby, M., 1984, “A New Finite Element Model for Welding Heat Sources”, Metallurgical Transactions B, Vol. 15B, pp. 299-305. [4] Goyal, Niraj, 2000, “Six Sigma Case Study: Converting Paper to Electronic Documents”, iSixSigma, http://www.isixsigma.com. [5] Grove, Janet (ed.), 1996, Six Sigma Playbook, GE Aircraft Engines Executive Communication, Schenectady, New York. [6] Harry, Mikel J., 1994, The Vision of Six Sigma: A Roadmap for Breakthrough, Sigma Publishing Co., Phoenix, AZ. [7] Masubuchi, Koichi, 1993, “Recent MIT Research on Residual Stresses and Distortion in Welded Structures”, J. of Ship Production, Vol. 9, No. 3, pp. 137145. [8] Miller, Duane K., 1999, “Watch Out for Nothin’ Welds”, Welding Innovation, Vol. XVI, No. 1, pp. 16-18. [9] Pyzdek, Thomas, 1995, “The Six Sigma Revolution: Why Six Sigma?”, Quality America Inc., http://www.qa-inc.com. [10] Shaw, James, 2000, “Six Sigma”, CQ Online, http://www.cost-quality.com. [11] Surak, John G., Hussain, S.A., and Cawley, J.L., 2001, “Achieving Customer Specifications Through Process
30 Jurnal Teknik Mesin, Volume 3, Nomor 1, Januari 2003
[12]
[13]
[14]
[15]
Improvement”, Northwest Analytical Inc., http://www.nwasoft.com. Urdhwareshe, Hemant, 2000, “The Six Sigma Approach”, Quality & Productivity, http://www.symphonytech.com. Watanabe, Masaki, and Satoh, K., 1961, “Effect of Welding Conditions on the Shrinkage Distortion in Welded Structures”, Welding Research Supplement, No. 40, pp. 377-384. Yuliadi, M.Z., 2000, “A Study on the Topology of Ship Plate Distortion by Neural Networks”, Doctoral Thesis, University of Newcastle upon Tyne, UK. Zuffoletti, Victor, 1996, Six Sigma Application, GEPS Playbook, GE Power Systems, Training and Development, Schenectady, NY.