Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
IMPLEMENTASI LESSON STUDY MENGGUNAKAN PEMBELAJARAN DENGAN STRATEGI REACT YANG MEMANFAATKAN MEDIA KEMASAN KOTAK MINUMAN Annisa Diniawati Universitas Negeri Malang
[email protected] Abstrak: Lesson Study merupakan suatu proses sistematis yang digunakan oleh guru-guru untuk menguji keefektifan guruannya dalam rangka meningkatkan hasil pembelajaran. Siklus pengkajian pembelajaran yang dilaksanakan melalui tahap perencanaan, pelaksanaan, dan refleksi. Pembelajaran yang dilaksanakan menggunakan strategi REACT. Media kemasan kotak minuman digunakan untuk membantu siswa memahami konsep. Pelaksanaan di dalam kelas tidak berhasil tanpa adanya perencanaan yang matang. Kualitas pembelajaran tidak meningkat tanpa adanya refleksi. Pelaksanaan lesson study tidak berjalan lancar tanpa adanya kolaborasi antar guru. Kata kunci: Lesson Study, Strategi REACT, media kemasan kotak minuman
Kualitas pendidikan di Indonesia saat ini tergolong rendah. Berdasarkan data dalam Education For All (EFA) Global Monitoring Report 2011: The Hidden Crisis, Armed Conflict and Education yang dikeluarkan Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO) yang diluncurkan di New York, Senin (1/3/2011), indeks pembangunan pendidikan atau education development index (EDI) berdasarkan data tahun 2008 adalah 0,934. Nilai itu menempatkan Indonesia di posisi ke-69 dari 127 negara di dunia (Azhar, 2012). Begitupula dengan kemampuan matematika siswa di Indonesia sangat memprihatinkan. Programmme for International Student Assessment (PISA) di bawah Organization Economic Cooperation and Development (OECD) pada tahun 2012 lalu mengeluarkan survei bahwa Indonesia menduduki peringkat 64 dari 65 negara peserta, dalam pemetaan kemampuan matematika, membaca dan sains (OECD, 2013). Sedangkan hasil TIMSS (Trends in Student Achievement in Mathematics and Science) pada tahun 2011, Indonesia berada di urutan ke-38 dengan skor 386 dari 42 negara yang siswanya dites (TIMSS & PIRLS, 2011). Dalam rangka meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia diperlukan upaya yang serius untuk meningkatkan kualitas pendidik. Walaupun bukan satu-satunya pihak yang memiliki peran penting untuk meningkatkan kualitas pendidikan, seorang guru tetap memiliki peran yang paling besar karena inovasi serta peningkatan kualitas pendidikan dapat dimulai di kelas melalui inovasi dalam proses pembelajaran. Pemerintah telah berupaya untuk meningkatkan kemampuan guru dengan lahirnya Undang-undang (UU) Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. Dalam UU tersebut dijelaskan bahwa guru profesional harus memiliki kualifikasi akademik, kompetensi, dan sertifikat pendidik yang disyaratkan. Kualifikasi akademik dapat diperoleh melalui pendidikan tinggi program sarjana dan pascasarjana. Sertifikat pendidik diperoleh guru setelah lulus dalam penilaian sertifikasi. Jenis kompetensi yang dimaksud dalam undang-undang adalah kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetesi sosial, dan kompetensi profesional. Untuk meningkatkan kualitas tersebut perlu adanya pembinaan dalam pembelajaran yang dilakukan selama ini. Selama ini, pembelajaran yang dilakukan oleh guru tidak terekam dengan baik dan refleksi proses pembelajaran pun hanya bersumber dari guru seorang, tidak dari guru yang lain. Hal itu perlu adanya pembinaan yang tepat untuk meningkatkan kualitas pembelajaran. Pembinaan yang tepat tersebut adalah dengan menerapkan lesson study. Lesson study merupakan suatu proses sistematis yang digunakan oleh guru-guru di Jepang untuk menguji keefektifan guruannya dalam rangka meningkatkan hasil pembelajaran (Garfield, 2006). Proses sistematis yang dimaksud adalah kerja guru-guru secara kolaboratif untuk mengembangkan rencana dan perangkat pembelajaran, melakukan observasi, refleksi dan revisi rencana pembelajaran secara bersiklus dan terus menerus. Walker (2005) menyatakan bahwa lesson study adalah suatu pengembangan profesional guru. Lewis (2002) menyebutkan bahwa lesson study merupakan gagasan yang sederhana. Jika guru ingin meningkatkan instruksi 1027
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
dalam pembelajaran, maka guru haruslah bekerja sama dengan guru lainnya dalam merencanakan, mengamati, dan proses refleksi. Dalam pelaksanaannya, kegiatan lesson study dinyatakan dalam bentuk: perencanaan (plan), pelaksanaan (do), refleksi (see) (Isoda, 2010). Plan merupakan tahap perencanaan sebelum pelaksanaan kegiatan mengajar yang dilakukan oleh guru. Do merupakan tahap pelaksanaan dari apa yang telah direncanakan. See merupakan tahap refleksi yang dilakukan oleh guru setelah dilaksanakannya pembelajaran di dalam kelas. Jika kita terlibat dalam lesson study, kita tidak hanya berpikir tentang pembelajaran yang dirancang dan didiskusikan tetapi juga berpikir bagaimana untuk meningkatkan pembelajaran kita (Sugiyama, 2005). Lesson study muncul sebagai salah satu alternatif guna mengatasi masalah praktik pembelajaran yang selama ini kurang efektif (Sudrajat, 2008). Marsigit (2007) menyatakan bahwa tujuan dari kegiatan lesson study adalah: (1) untuk mengembangkan instrumen dan peralatan untuk proses belajar mengajar, (2) untuk mengembangkan metode dan model pembelajaran untuk proses belajar mengajar, (3) untuk mengembangkan materi mengajar untuk proses belajar mengajar, dan (4) untuk mengembangkan evaluasi mengajar untuk proses belajar mengajar. Dengan demikian, profesionalisme guru dapat terwujud secara utuh. Adapun tujuan dalam penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan keterlaksanaan lesson study menggunakan pembelajaran dengan strategi REACT yang memanfaatkan kemasan kotak minuman yang dapat memahamkan siswa mengenai materi barisan dan deret aritmetika di kelas XII B SMA-IT Qardhan Hasana Banjarbaru. METODE PENELITIAN Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan menerapkan lesson study di SMA-IT Qardhan Hasana Banjarbaru. Penelitian ini dilaksanakan dalam dua siklus untuk melihat keterlaksanaan pembelajaran dengan strategi REACT yang memanfaatkan kemasan kotak minuman yang dapat memahamkan siswa mengenai materi barisan dan deret aritmetika untuk mengetahui faktor-faktor yang mendukung dan menghambat dalam pelaksanaan lesson study di SMA-IT Qardhan Hasana Banjarbaru. Peneliti beserta rekan yang tergabung dalam kelompok lesson study berkolaborasi untuk mengembangkan rencana dan perangkat pembelajaran, melakukan observasi, refleksi dan revisi rencana pembelajaran pada siklus 1 dan dilanjutkan ke siklus 2 yang merupakan perbaikan pembelajaran pada siklus 1. Peneliti bertindak sebagai guru model dan rekan sekelompok bertindak sebagai observer. Subjek dalam penelitian ini adalah siswa kelas XII B SMA-IT Qardhan Hasana Banjarbaru yang terdiri dari 20 siswa. Untuk memantau aktivitas siswa selama kegiatan lesson study, digunakan lembar observasi yang diisi oleh observer. Hal-hal yang perlu dicatat dalam lembar observasi berupa aktivitas siswa secara detail ketika pembelajaran berlangsung, mulai dari kegiatan awal, kegiatan inti, hingga kegiatan penutup. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Lesson Study Sebelumnya sudah disebutkan bahwa tahapan lesson study yaitu perencanaan (plan), pelaksanaan (do), refleksi (see). Pelaksanaan lesson study dilaksanakan oleh guru yang betindak sebagai guru model bersama rekan satu kelompok yang bertindak sebagai observer. Dalam pelaksanaannya terdiri dari dua siklus. Dalam melaksanakan pembelajaran, peneliti sebagai guru model melakukan pembelajaran dengan strategi REACT. Strategi REACT mempunyai ciri berupa pembelajaran yang difokuskan pada pembelajaran yang dikaitkan dengan konteks kehidupan sehari-hari. CORD (2001) menyatakan bahwa strategi REACT memuat lima komponen, yaitu Relating (menghubungkan), Experiencing (mengalami), Applying (menerapkan), Cooperating (bekerjasama), dan Transferring (mentransfer). Relating (menghubungkan), yaitu pembelajaran dengan menghubungkan materi yang sudah lebih dulu dipahami dengan materi yang akan dipelajari atau menghubungkan materi yang akan dipelajari dengan contoh-contoh yang terdapat dalam kehidupan sehari-hari. Experiencing (mengalami), yaitu pembelajaran yang membuat siswa belajar dengan mengalami secara langsung (doing mathematics) melalui kegiatan eksplorasi, penemuan, dan pencarian. Applying (menerapkan), yaitu pembelajaran dengan 1028
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
menempatkan konsep-konsep untuk diaplikasikan pada masalah yang bersifat realistik dan relevan. Cooperating (bekerja sama), yaitu belajar dalam konteks saling berbagi, saling menanggapi, dan berkomunikasi dengan siswa lainnya. Transferring (mentransfer), yaitu pembelajaran yang mendorong siswa belajar menggunakan pengetahuan dalam konteks baru atau situasi baru, yang belum dipelajari di kelas berdasarkan pemahaman. (Crawford, 2001). Untuk membantu siswa dalam memahami konsep barisan dan deret aritmetika, peneliti memanfaatkan media kemasan kotak minuman sebagai benda manipulatif yang digunakan siswa dalam pembelajaran. Benda manipulatif merupakan benda-benda fisik yang digunakan sebagai media pembelajaran untuk melibatkan para siswa dalam pembelajaran matematika (Smith, 2009). Kelly (2006) menyatakan bahwa benda manipulatif tidak lebih berupa benda-benda, alatalat, model, atau mesin yang dapat digunakan untuk membantu dalam memahami selama proses pemecahan masalah yang berkaitan dengan suatu konsep atau topik matematika. Pembelajaran yang memanfaatkan benda manipulatif telah terbukti secara empiris dapat memberikan pemahaman kepada siswa dan meningkatkan prestasi belajar kepada siswa (Puchner, dkk, 2008, Kelly, 2009, Al-absi & Nofal, 2010, Boggan, M, dkk., 2010, Dahl, L, 2011). Media kemasan kotak minuman digunakan oleh siswa pada tahap experiencing (mengalami), agar siswa belajar dengan mengalami secara langsung melalui kegiatan eksplorasi, penemuan, dan pencarian secara berkelompok (cooperating). Pada tahap experiencing, benda manipulatif merupakan benda konkrit yang membantu siswa untuk memahami konsep yang abstrak (Crawfod & Mary, W, 1999). Selain itu, belajar secara berkelompok akan membantu siswa dalam memahami konsep dan memecahkan masalah dalam matematika (Toumasis, C, 2004, Carlan, V, G, Rubin, R & Morgan, B, M, 2005, Ferrer, L, 2005, Snyder, S. S, 2006, Terwel, J, 2011, Zakaria, E, dkk, 2013). Pembentukan kelompok siswa diatur seperti pembelajaran kooperatif yaitu siswa belajar dan bekerja dalam kelompok-kelompok kecil secara kolaboratif yang anggotanya terdiri dari 4-6 orang dengan struktur kelompok heterogen (Slavin, 1995). Adapun deskripsi dari masing-masing tahap dalam penerapan lesson study di kelas XII B SMA-IT Qardhan Hasana Banjarbaru tahun pelajaran 2013/2014 adalah sebagai berikut: Siklus 1 1. Perencanaan (plan) a) Guru membuat rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP); b) Guru membuat lembar kegiatan siswa (LKS); c) Guru menyiapkan media pembelajaran berupa kemasan kotak minuman; d) Guru membuat lembar observasi open class-lesson study. 2. Pelaksanaan (do) Pelaksanaan pembelajaran siklus 1 dilaksanakan oleh guru pada tanggal 01 April 2014. Materi yang diajarkan adalah barisan dan deret aritmetika. Adapun kompetensi dasar yang ingin dicapai adalah menentukan suku ke-n barisan dan jumlah n-suku deret aritmetika. Strategi yang digunakan oleh peneliti adalah strategi REACT. Pada tahap pelaksanaan guru bertindak sebagai guru model dan guru lainnya bertindak sebagai observer. 3. Refleksi (see) a) Kesiapan belajar siswa cukup baik, namun ada siswa yang terlambat dan masih ada siswa yang belum menyiapkan buku pelajaran dan alat tulisnya. b) Respon siswa terhadap proses pembelajaran yang dilakukan oleh guru tergolong baik. c) Interaksi siswa dengan guru (guru model) tergolong aktif. Hal ini dapat dilihat dari keaktifan siswa dalam menjawab beberapa pertanyaan dari peneliti, bertanya kepada peneliti apabila siswa mengalami kesulitan dalam mengerjakan LKS . d) Interaksi siswa dengan siswa lain juga tergolong baik. Hal ini dapat dilihat dari keterlibatan siswa dengan siswa lainnya untuk berdiskusi menjawab latihan yang diberikan oleh guru. e) Penggunaan media kemasan kotak minuman efektif dalam memahamkan siswa mengenai barisan dan deret aritmetika, namun masih ada siswa yang terlihat bermainmain dengan media yang disediakan. f) Keterlaksanaan strategi REACT berjalan dengan baik, namun melebihi alokasi waktu yang ditentukan sehingga perlu adanya perbaikan agar alokasi waktu dapat dikelola dengan baik.
1029
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
Siklus 2 1. Perencanaan (plan) a) Guru membuat rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP); b) Guru membuat lembar kegiatan siswa (LKS); c) Guru menyiapkan media pembelajaran berupa kemasan kotak minuman; d) Guru membuat lembar observasi open class-lesson study. 2. Pelaksanaan (do) Pelaksanaan pembelajaran siklus 2 dilaksanakan oleh guru pada tanggal 08 April 2014. Materi yang diajarkan adalah barisan dan deret aritmetika. Adapun kompetensi dasar yang ingin dicapai adalah merancang dan menyelesaikan model matematika yang berkaitan dengan barisan dan deret aritmetika. Strategi yang digunakan oleh peneliti adalah strategi REACT. Pada tahap pelaksanaan guru bertindak sebagai guru model dan guru lainnya bertindak sebagai observer. Dalam melaksanakan pembelajaran, peneliti melakukan pembelajaran dengan strategi REACT. Pada siklus 2 ini tidak lagi menggunakan media kemasan kotak minuman, siswa diberikan LKS yang berisi permasalahan sehari-hari namun masih berkaitan dengan kemasan kotak minuman adar siswa dapat merancang dan menyelesaikan model matematika yang berkaitan dengan barisan dan deret aritmetika. 3. Refleksi (see) a) Kesiapan belajar siswa tergolong baik. b) Respon siswa terhadap proses pembelajaran yang dilakukan oleh peneliti tergolong baik. c) Interaksi siswa dengan peneliti (guru model) tergolong aktif. Hal ini dapat dilihat dari keaktifan siswa dalam menjawab beberapa pertanyaan dari peneliti, bertanya kepada peneliti apabila siswa mengalami kesulitan dalam mengerjakan LKS . d) Interaksi siswa dengan siswa lain juga tergolong baik. Hal ini dapat dilihat dari keterlibatan siswa dengan siswa lainnya untuk berdiskusi dan menjawab latihan yang diberikan oleh peneliti. e) Keterlaksanaan strategi REACT berjalan dengan baik. PEMBAHASAN Pada penerapan lesson study yang dilakukan oleh peneliti di kelas XII SMA-IT Qardhan Hasana Banjarbaru, guru tidak menemui hambatan yang berarti karena siswa kelas XII B adalah siswa yang pernah peneliti ajar pada saat mereka kelas X dan XI dulu, sehingga peneliti sudah mengenal siswa dan karakternya. Strategi REACT yang digunakan dalam pembelajaran menjadikan siswa berperan aktif selama proses pembelajaran berlangsung. Alhasil, selama proses pembelajaran berlangsung, siswa sangat kritis terhadap materi yang disajikan oleh peneliti. Siswa berdiskusi dan melakukan tanya jawab dengan peneliti dengan baik. Guru yang bertugas menjadi guru model dapat fokus mengajarkan materinya, sedangkan peneliti lain yang menjadi observer dapat melihat aktivitas-aktivitas yang dilakukan oleh siswa. Kolaborasi ini sangatlah bermanfaat untuk meningkatkan kualitas pembelajaran yang dilakukan oleh guru. Siswa akan fokus selama proses pembelajaran langsung. Hal ini dikarenakan siswa merasa terawasi oleh observer, meskipun demikan masih ada ditemukan siswa yang tidak fokus terhadap pembelajaran yang dilakukan oleh guru model. Manfaat yang lain dari lesson study ini adalah adanya refleksi dari proses pembelajaran yang telah dilaksanakan sehingga dosen model dapat memperbaiki kekurangan-kekurangan lebih lanjut. Secara keseluruhan hasil dari proses pembelajaran dengan menggunakan konsep lesson study ini adalah pelaksanaan tidak akan berhasil dengan baik tanpa adanya perencanaan. Kualitas pembelajaran tidak akan meningkat apabila tidak adanya refleksi dari proses pembelajaran yang telah dilaksanakan. Tidak hanya itu saja, pentingnya kolaborasi dari guru juga sangat mempengaruhi keberhasilan penerapan lesson study ini. SIMPULAN DAN SARAN Adapun simpulan dalam penerapan lesson study ini adalah sebagai berikut. 1. Ada tiga tahapan dalam pelaksanaan lesson study yaitu perencanaan (plan), pelaksanaan (do), refleksi (see). 2. Komponen dalam tahap perencanaan yaitu membuat RPP, LKS, mempersiapkan media pembelajaran berupa kemasan kotak minuman dan membuat lembar observasi. 1030
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
3. Komponen dalam tahap pelaksanaan yaitu guru yang bertindak guru model dan guru lainnya yang bertindak sebagai observer. 4. Komponen dalam tahap refleksi adalah masukan-masukan dari observer. 5. Pelaksanaan pembelajaran di dalam kelas tidak akan berhasil tanpa adanya perencanaan yang matang. 6. Kualitas pembelajaran tidak akan meningkat apabila tidak ada refleksi dan tindak lanjut dari proses pembelajaran yang dilaksanakan. 7. Kolaborasi antar guru sangat berperan penting untuk keberhasilan pelaksanaan lesson study. Adapun saran dalam penerapan lesson study ini adalah sebagai berikut. 1. Pelaksanaan lesson study harus direncanakan dengan matang, dan kerjasama yang baik antar guru. 2. Pelaksanaan lesson study sebaiknya dilaksanakan secara berkelanjutan oleh guru-guru, tidak hanya guru matematika, namun juga bisa diterapkan guru-guru mata pelajaran lain. DAFTAR RUJUKAN Al-absi, M & Nofal M. 2010. The Effect of Using Manipulatives on the Mathematical Achievement of the First Grade Students. Journal of Instructional Pedagogies. (Online). (http://www.aabri.com), diakses tanggal 06 Mei 2014. Azhar. 2012. Kualitas Pendidikan Indonesia Rangking 69 Tingkat Dunia. (Online). (http://azharmind.blogspot.com), diakses tanggal 07 Mei 2014. Boggan, M., Harper, S., & Whitmire, A. 2010. Using Manipulatives to Teach Elementary Mathematics. United States: Mississippi State University. Damascus University Journal, Vol. 26, No (4), 2010. (Online). (http://www.damascusuniversity.edu.sy), diakses tanggal 06 Mei 2014. Carlan, V, G, Rubin, R & Morgan, B, M. 2005. Cooperative Learning, Mathematical Problem Solving, and Latinos. Brownsville: C&I Department, School of Education. (Online). (http://www.cimt.plymouth.ac.uk), diakses tanggal 06 Mei 2014. CORD. 2001. Teaching Mathematics Contextually: The Cornerstone of Tech Prep. USA: CORD Communications, Inc.(Online). (http://www.cord.org), diakses tanggal 06 Mei 2014. Crawford, Michael L. 2001. Teaching Contextually: Research, Rationale, and Techniques for Improving Student Motivation and Avhievement in Mathematics and Science. Texas: CCI Publishing, Inc. (Online). (http://www.cord.org), diakses tanggal 06 Mei 2014. Crawford, M, L & Mary Witte. 2003. Strategies for Mathematics: Teaching in Context. Texas: EBSCO Publishing. (Online). (http://www.ascd.org), diakses tanggal 06 Mei 2014. Dahl, Laura. 2011. The Impact Of Manipulatives On Learning In The Elementary And Middle School Mathematics Classroom. Bemidji: Bemidji State University. (Online). (http://www.faculty.bemidjistate.edu), diakses tanggal 06 Mei 2014 Ferrer, Lourdes M. 2005. Developing Understanding and Social Skills through Cooperative Learning. Journal of Science and Mathematics Education in S.E. Asia Vol. 27, No. 2.Guam: University of Guam. (Online). (http://www.recsam.edu.my), diakses tanggal 06 Mei 2014. Garfield, J. Exploring the Impact of Lesson Study on Developing Effective Statistics Curriculum. (Online). (http://www.statauckland.ac.nz), diakses tanggal 20 April 2014. Isoda, Masami. 2010. Lesson Study: Problem Solving Approaches in Mathematics Education as a Japanese Experience. International Conference on Mathematics Education Research 2010 (ICMER 2010). Tsukuba: University of Tsukuba. (Online). (http://www.criced.tsukuba.ac.jp), diakses tanggal 06 Mei 2014. Kelly, Catherine. A. 2006. Using Manipulatives in Mathematical Problem Solving: A Performance-Based Analysis. TMME, vol3, no.2, p.184. Colorado Springs: University of Colorado. (Online). (http://www.math.umt.edu), diakses tanggal 06 Mei 2014. Lewis, Catherine and Rebecca Perry. 2003. Instructional Imrovement Through Lesson Study: Progress And Challenges In The U.S. Exploring Collaborations in Science and Mathematics Education, March 17-19, 2003, San Francisco. Oakland: Education Department. (Online). (http://www.lessonresearch.net), diakses tanggal 20 April 2014.
1031
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
Marsigit. 2007. Mathematics Teachers‟ Professional Development through Lesson Study in Indonesia. Eurasia Journal of Mathematics, Science & Technology Education, 2007, 3(2), 141-144. (Online). (http://ejmste.com), diakses tanggal 06 Mei 2014. OECD. 2013. PISA 2012 Results in Focus. (Online). (http://www.oecd.org), diakses tanggal 07 Mei 2014. Puchner, L., Taylor A., O’Donnell, B., & Fick, K. 2008. Teacher learning and mathematics manipulatives: A collective case study about teacher use of manipulatives in elementary and middle school mathematics lessons. School Science and Mathematics 03/2010; 108(7):313 - 325.. (Online). (http://www.researchgate.net), diakses tanggal 06 Mei 2014. Slavin, Robert, E. 1995. Instruction Based on Cooperative Learning. York: Johns Hopkins University and University of York. (Online). (http://www.successforall.org), diakses tanggal 06 Mei 2014 Smith, S.S. 2009. Early Childhood Mathematics (4th ed.) Boston: Pearson Education. (Online). (http://www.teachervision.fen.com), diakses tanggal 06 Mei 2014. Snyder, Sandra S. 2006. Cooperative Learning Groups in the Middle School Mathematics Classroom. Lincoln: University of Nebraska. (Online). (http://scimath.unl.edu), diakses tanggal 06 Mei 2014. Sudrajat, Akhmad. 2008. Lesson Study untuk Meningkatkan Proses dan Hasil Pembelajaran. (Online). (http://akhmadsudrajat.wordpress.com), diakses tanggal 20 April 2014. Sugiyama, Yoshishige. 2005. Lesson Study in Japanese Mathematics Education. Improving Mathematics Teaching and Learning Through Lesson Study, May 20-21, 2005, Chicago. Wasada University. (Online). (http://www.lessonresearch.net), diakses tanggal 06 Mei 2014. Terwel, Jan. 2011. Cooperative learning and Mathematics Education: A happy marriage?. Amsterdam: VU University Amsterdam. (Online). (http://www.oecd.org), diakses tanggal 06 Mei 2014. TIMSS & PIRLS. 2011. Achievement Result in Mathematics. Boston: International Study Centre. (Online). (http://timssandpirls.bc.edu), diakses tanggal 07 Mei 2014. Toumasis, C. 2004. Cooperative Study Teams In Mathematics Classrooms. int. j. math. educ. sci. technol., 2004 vol. 35, no. 5, 669–679Taylor & Francis: Taylor & Francis Ltd. (Online). (www.physics.emory.edu), diakses tanggal 06 Mei 2014. Walker, J. S. 2005. UWEC Math Dept. Journal of Lesson Studies. (Online). (http://uwec.edu), diakses tanggal 20 April 2014. Zakaria, E, dkk. 2013. Effect of Cooperative Learning on Secondary School Students‟ Mathematics Achievement. Creative Education 2013. Vol.4, No.2, 98-100. Scientiffic Research. (Online). (http://www.scirp.org/journal/ce), diakses tanggal 06 Mei 2014.
IMPLEMENTASI INQUIRY TEACHING DALAM PELAJARAN MATEMATIKA Buaddin Hasan Universitas Negeri Malang
[email protected] Abstrak: Penelitian ini untuk mengetahui kemampuan berpikir kritis siswa secara mandiri, kemampuan menganalisa, kemampuan berpendapat, kemampuan berkerjasama dalam pelajaran matematika dengan menggunakan metode inquiry teaching dengan pendekatan strategi kooperatif. Penelitian kualitatif ini menggunakan studi deskriptif action research yang dilakukan dalam 2 siklus. Hasil penelitian ini menyatakan bahwa metode inquiry dapat merangsang pertanyaan, memberikan konsep dan prinsip penyelesaian yang terkait dengan masalah yang dihadapi siswa. sehingga metode inquiry menjadikan siswa lebih aktif dan kreatif serta mampu berpikir kritis dalam interaksi siswa maupun dalam menyelesaikan masalah dengan menggunakan kemampuannya secara mandiri. Kata kunci: inquiry teaching, strategi kooperatif, berpikir kritis.
1032
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
Pembelajaran merupakan proses yang tidak hanya memindahkan pengetahuan dari guru pada siswa, melainkan suatu aktivitas yang memungkinkan siswa dapat membangun pengetahuannya sendiri dan melibatkan berbagai kegiatan serta tindakan yang harus dilakukan untuk mendapatkan hasil belajar yang lebih baik. Pembelajaran yang kondusif penuh interaksi timbal balik antara siswa dengan siswa, siswa dengan guru sangat didambakan oleh setiap pihak pada lingkup pendidikan terlebih jika menyangkut mutu sumber daya manusia. Salah satu cara pengembangan kegiatan pembelajaran yang menekankan berbagai kegiatan dan tindakan yaitu penerapan strategi pembelajaran yang sesuai dengan karakter siswa. Strategi pembelajaran merupakan cara yang teratur untuk mencapai tujuan pengajaran dan untuk memperoleh kemampuan dalam mengembangkan aktivitas belajar yang dilakukan guru dan siswa. Tall, dkk (2002) menyatakan bahwa tujuan pembelajaran matematika adalah untuk kesuksesan siswa. Kesuksesan tersebut diartikan sebagai keberhasilan siswa dalam memahami pelajaran. Namun, pada kenyataannya proses pembelajaran di sekolah masih berpusat pada guru (teacher centered). Morgan (2004) menyatakan bahwa pembelajaran yang berpusat pada guru hanya menjadikan siswa menirukan perlakuan yang diberikan guru (imitation). Hal itu menjadikan siswa kurang aktif dalam belajar. Siswa merasa cepat bosan saat mengikuti pelajaran sehingga berdampak pada kesuksesan siswa dalam memahami pelajaran dan penyelesaian masalah. Baxter, dkk (2010) menyatakan bahwa guru yang mendominasi percakapan dan iteraksi di dalam kelas, penjelasan materi yang hanya mengacu pada ketuntasan kurikulum menjadikan siswa mengalami kesulitan pada saat menyelesaikan masalah matematika. Salah satu faktor penting dalam menunjang keberhasilan proses belajar mengajar adalah keaktifan belajar siswa. Sikap aktif terwujud dengan menempatkan siswa sebagai subyek pendidikan atau pembelajaran yang berpusat pada siswa (student centered), sedangkan peran guru adalah sebagai fasilitator dan bukan sumber utama pembelajaran (teacher centered). Siswa yang aktif mampu memanfaatkan ilmu yang diperoleh dalam kehidupan sehari-hari, dan mampu mengaplikasikan dalam pelajaran (constectual teaching). Pembelajaran dengan strategi yang tepat hendaknya dilaksanakan pada setiap jenjang pendidikan serta dalam semua mata pelajaran termasuk matematika. Matematika merupakan salah satu ilmu dasar yang mempunyai peranan penting dalam upaya penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi. Matematika juga ilmu yang bertujuan untuk mendidik manusia agar dapat berfikir secara logis, kritis, rasional dan percaya diri. Menurut Hannula, Maijala & Pehkonen (2004) kepecayaan siswa pada matematika dan pada diri mereka sebagai siswa yang belajar matematika akan memberikan peranan penting dalam pembelajaran dan kesuksesan mereka dalam matematika. Pengertian matematika yang telah disebutkan di atas memerlukan siswa untuk berpikir rasional, realistis dan objektif yang kesemuanya adalah beberapa indikator dari kepercayaan diri. Pemahaman, penguasaan materi serta prestasi belajar siswa merupakan indikator keberhasilan proses kegiatan pembelajaran matematika. Semakin tinggi pemahaman dan penguasaaan materi serta prestasi belajar maka semakin tinggi pula tingkat keberhasilan pembelajaran. Namun dalam kenyataannya, prestasi belajar matematika yang dicapai siswa masih rendah. Menurut Chambers (2008) matematika adalah fakta-fakta objektif, sebuah studi tentang alasan dan logika, sebuah sistem di sekitar kita yang murni dan cantik, bebas dari pengaruh sosial, berdiri sendiri, dan mempunyai struktur yang saling berhubungan. Rendahnya prestasi belajar matematika juga disebabkan karena keaktifan dalam pembelajaran masih sangat rendah. Keaktifan siswa dalam pembelajaran matematika belum nampak terutama keaktifan dalam mengerjakan soal-soal latihan yang masih sangat kurang, begitu juga masih banyaknya siswa yang jarang mengajukan pertanyaan walaupun guru sering meminta siswa bertanya jika ada hal yang kurang paham serta keberanian siswa untuk aktif mengerjakan soal di depan kelas juga masih belum nampak. Kemampuan berfikir akan mempengaruhi keberhasilan hidup karena menyangkut apa yang akan dikerjakan dan apa yang akan dihasilkan individu. Menurut Bell ( 2011) pembelajaran matematika berbantuan komputer sangat efektif dan menyenangkan. Proses pembelajaran tidak lagi berpusat pada guru, melainkan siswa lebih aktif dalam proses pembelajaran. Hal ini yang menjadi tolak ukur bahwa pentingnya pemilihan metode dalam pembelajaran.
1033
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
Inkuiri adalah salah satu strategi pembelajaran yang dikembangkan dalam dunia pendidikan. Melalui strategi ini, anak akan mengembangkan kreatifitas diri sendiri dengan bantuan yang diberikan oleh guru. Pengembangan kreatifitas anak dipentingkan dalam proses pendidikan mengingat anak secara potensial mempunyai kemampuan untuk berkreatifitas. Kreatifitas itu sendiri adalah modal dalam pencerdasan dan pendewasaaan anak. Melalui pendidikan proses pencerdasan, pendewasaan sosial dan emosional termasuk pendewasaan religius dibangun secara terarah. Pembelajaran inkuiri berarti suatu rangkaian kegiatan belajar yang melibatkan secara maksimal seluruh kemampuan siswa untuk mencari dan menyelidiki secara sistematis, kritis, logis, analitis, sehingga mereka dapat merumuskan sendiri penemuannya dengan penuh percaya diri (W. Gulo, 2008). Bilgin (2009) menyatakan bahwa siswa dengan kelompok inkuiri terbimbing yang belajar secara kooperatif mempunyai pemahaman yang lebih baik terhadap penguasaan konsep materi pelajaran dan menunjukkan sikap yang positif. Menurut Kubicek (2005), pembelajaran berbasis inkuiri dapat meningkatkan pemahaman siswa dengan melibatkan siswa dalam proses kegiatan pembelajaran secara aktif, sehingga konsep yang dicapai lebih baik. Swarso (Tim Dosen, 2000:128), menyatakan bahwa metode pembelajaran inkuiri mampu membangkitkan siswa untuk berperan secara aktif dalam proses pembelajaran, berpikir secara kreatif, dan mampu memecahkan masalah yang diberikan oleh gurunya. Metode pembelajaran inkuiri tidak hanya mengembangkan kemampuan intelektual tetapi seluruh potensi yang ada, termasuk pengembangan emosional dan pengembangan keterampilan. Discovery learning, inqiury-based learning dan problem-based learning semuanya menggambarkan pengalaman siswa saat bergulat dengan pertanyaan atau masalah, berpartisipasi dalam langkah-langkah menyelesaikan masalah dan mengkomunikasikan apa yang mereka temukan kepada orang lain (Dell’Olio & Tony Donk, 2007: 320). Di dalam metode pembelajaran inkuiri siswa dihadapkan pada sebuah masalah yang dibuat oleh guru, sehingga siswa harus berusaha secara aktif dengan kemampuan dan keterampilannya untuk mendapatkan menghasilkan penyelesaian dari masalah yang dihadapinya. Dengan metode pembelajaran inkuiri akan melatih siswa berani mengemukakan pendapat dan menemukan sendiri pengetahuannya yang berguna untuk memecahkan masalah yang dihadapinya. Tujuan penelitian implementasi inquiry teaching dalam pelajaran matematika adalah: pertama untuk mengetahui peningkatkan kemampuan berpikir siswa secara mandiri, kemampuan menganalisa, kemampuan berpendapat, kemampuan bekerjasama dalam pelajaran matematika. Kedua mengetahui peningkatkan kualitas pembelajaran guru dalam pelajaran matematika. METODE PENELITIAN Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dan studi deskriptif untuk implementasi strategi pembelajaran inkuiri dalam pelajaran matematika. Jenis penelitian yang digunakan adalah action research. Menurut Creswell (2009), salah satu karakteristik penelitian kualitatif adalah peneliti sebagai instrumen utama. Penelitian dilakukan dengan mengamati tindakan siswa dalam proses pembelajaran di kelas untuk mengetahui peningkatkan kemampuan berpikir siswa secara mandiri, kemampuan menganalisa, kemampuan berpendapat, kemampuan bekerjasama dalam pelajaran matematika. Penelitian ini dilaksanakan di SMA Negeri 1 Grati, Pasuruan dengan mengambil data di kelas X MIA -1. Tahapan pengumpulan data yaitu observasi dilakukan bersamaan dengan implementasi tindakan. Proses observasi menggunakan lembar observasi yang meliputi lembar keterlaksanaan pembelajaran inkuiri oleh dua orang observer dan lembar kerja yang berisi soal matematika sebagai masalah dalam diskusi kelompok untuk dselesaikan oleh siswa secara mandiri. Untuk mengetahui kemampuan siswa secara individu guru memberikan tes. Soal tes diberikan setelah p tindakan penerapan strategi pembelajaran inkuiri pada tiap akhir pokok bahasan. Tes tersebut berupa soal esai. Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu analisis kualitatif yang terdiri dari tiga komponen yaitu mereduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan.
1034
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
HASIL DAN PEMBAHASAN Strategi pembelajaran Inkuiri adalah model pembelajaran dimana siswa menemukan dan menggunakan berbagai macam sumber-sumber informasi dan ide-ide untuk menambah pemahaman mereka tentang suatu masalah, topik atau isu (Kuhlthau, Maniotes & Caspari, 2007: 2). Pembelajaran ini yang menekankan pada proses berfikir secara kritis dan analitis untuk mencari dan menemukan sendiri jawaban dari suatu masalah yang dipertanyakan. Proses berfikir itu sendiri biasanya dilakukan melalui tanya jawa antara guru dan siswa. Dengan kata lain, inkuiri adalah suatu proses untuk memperoleh dan mendapatkan informasi dengan melakukan observasi dan atau eksperimen untuk mencari jawaban atau memecahkan masalah terhadap pertanyaan atau rumusan masalah dengan menggunakan kemampuan berpikir kritis dan logis. Metode Inquiry melibatkan peserta didik secara aktif dalam pembelajaran yang kolaboratif dan keterampilan sosial, dan meminta kerjasama siswa dari hasil yang dicapai dalam proses pembelajaran sedangkan guru membantu siswa memahami asumsi apapun yang dikemukakan. Bell at al (2005) menyatakan ada empat tahap dalam pembelajaran inquiry, yaitu: confirmation inquiry, structured inquiry, guided inquiry, open inquiry. Empat tahapan tersebut menjadikan siswa terlibat aktif dalam proses pembelajaran. Metode inkuiri juga merupakan metode pembelajaran yang dalam penyampaian bahan pelajarannya tidak dalam bentuknya yang final, atau dalam artian tidak langsung. Artinya, dalam penyampaian metode inkuiri peserta didik sendirilah yang diberi peluang untuk mencari (menyelidiki/meneliti) dan memecahkan sendiri jawaban (permasalahan) dengan mempergunakan teknik pemecahan masalah. Namun demikian pengajar bertindak sebagai pengarah, mediator, dan fasilitator, yang wajib memberikan informasi yang relevan, sesuai dengan permasalahan atau materi pelajaran. Hal tersebut dapat berlangsung dalam kelompok-kelompok kecil dalam kelas melalui diskusi dan bermain peran. Dalam kegiatan ini peserta didik dituntut aktif terlibat dalam situasi belajar. Peserta didik menyadari masalah, mengajukan pertanyaan, selanjutnya menghimpun informasi sebelum mengambil keputusan (Munandar, 1995: 85). Dengan demikian sangat jelas metode inkuiri memberikan kebebasan yang besar pada peserta didik untuk mengembangkan dirinya, meskipun tidak terlepas dari peranan guru dalam memimpin, membimbing, dan memberi arahan dalam proses pembelajaran. Ju-Ling Shih, dkk. (2010) mengatakan “Inquiry Based Learning is a concept which encourages teachers to allow earners to get in touch with authentic situations, and to explore and to solve problems that are analogs to real life” yang artinya pembelajaran inkuiri adalah suatu konsep yang mendorong guru untuk memberikan kesempatan pebelajar untuk memperoleh ketrampilan dengan menyajikan situasi nyata, dan untuk menyelidiki dan menyelesaikan masalah yang berkaitan dengan kehidupan nyata. “Students will develop the skills required for scientific and technological inquiry, for solving problems, for communicating scientific ideas and results, for working collaboratively and for making informed decisions. The skills that students need to develop are: Initiating and Planning, Performing and Recording, Analyzing and Interpreting, and Communication and Teamwork” (Alberta Learning, 2003c, 2003d, p. 3).
Pada dasarnya siswa mampu mengembangkan kemampuan berpikir, dan juga dengan strategi penemuan untuk menyelesaikan masalah, mengkomunikasikan ide dan hasil temuan, bekerja secara kolaboratif dan membuat kesimpulan. Kemampuan siswa tersebut memerlukan suatu perencanaan pembelajaran yang baik, dalam hal ini strategi pembelajaran inkuiri menjadi alternatif dalam mengeksplorasi kemampuan siswa. Menurut Khan (2012) pengajaran berbasis penyelidikan (inquiry) di kelas matematika memberikan kesempatan siswa untuk belajar lebih aktif dalam ruang kelas, meningkatkan interaksi sosial dan pengembangan intelektual dalam proses pembelajaran. Sebagai strategi pembelajaran, inkuiri dapat diimplementasikan secara terpadu dengan strategi lain sehingga dapat membantu pengembangan pengetahuan dan pemahaman serta kemampuan melakukan kegiatan inkuiri oleh siswa. Strategi pembelajaran inkuiri dapat digunakan untuk meningkatkan proses pembelajaran siswa, dan dapat disesuaikan dengan tujuan yang ingin dicapai oleh pembelajaran pada berbagai mata pelajaran, khususnya matematika, yaitu meliputi aspek: kemampuan mengemukakan pendapat, kemampuan menganalisa masalah, kemampuan menuliskan pendapatnya setelah melakukan pengamatan, dan kemampuan menyimpulkan. 1035
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
Catatan hasil observasi selama proses pembelajaran dari observer membantu peneliti untuk refleksi, sehingga kualitas semakin meningkat. Hal ini sesuai dengan pernyataan Widhiartha (2008) observer mengamati kegiatan pembelajaran yang dilakukan dengan memfokuskan pada kinerja siswa sehingga permasalahan yang terjadi di kelas dapat dianalisis dan dicarikan solusi yang tepat, dengan demikian masalah yang terjadi di kelas pada saat kegiatan pembelajaran dapat dipecahkan secara bersama-sama dan kegiatan belajar selanjutnya dapat berjalan dengan baik dan meningkatkan kualitas pembelajaran. Hasil observasi pada pelaksanaan pembelajaran siklus 1 sebagai berikut, Tabel 1. Pengamatan Aktivitas Siswa Aspek P1 Bagaimana respon kesiapan Siswa merasa senang karena belajar siswa? dengan adanya kesiapan belajar dan metode yang kreatif. Bagaimana kondisi/respon siswa ketika guru menyampaikan apersepsi?
A. Bagaimana interaksi yang terjadi dalam pembelajaran, siswa dengan siswa, siswa dengan guru? Deskripsikan pemicu terjadinya interaksi.
B. Siswa mana yang tidak bisa mengikuti pembelajaran dengan baik pada hari ini? Berdasarkan bukti konkrit
Siswa menanggapi apersepsi guru dengan contoh konkrit, karena siswa mempersiapkan materi secara mandir sebelumnya. Siswa dengan siswa : Siswa aktif berdiskusi dengan anggota kelompok untuk menyelesaikan masalah. Siswa dengan guru: Guru berkeliling mengecek dan memberikan arahan pada setiap kelompok
Siswa dengan siswa : Siswa aktif berdiskusi dalam kelompok. Karena adanya penekanan tugas dan tanggungjawab setiap anggota kelompok Siswa dengan guru: Siswa mengajukan pertanyaan kepada guru saat tidak mengerti masalah.
Pemicu terjadinya interaksi. Siswa mulai berinteraksi ketika diberi masalah dalam kelompoknya dan karena guru aktif memebri arahan serta mengecek hasil diskusi kelompok.
Pemicu terjadinya interaksi. Siswa mulai berdiskusi dan bertanya ketika diberi masalah berupa LKS dan mencoba menyelesaikannya secara mandiri. Karena adanya penekanan tugas dan reward
Angota kelompok aktif dalam berdiskusi.
Angota kelompok aktif dalam berdiskusi.
Karena: a. Ada penekanan tugas dan tanggung jawab bagi ketua kelompok untuk menjelaskan dan menegur anggota kelompok yang tidak aktif.
Karena: a. Ada penekanan tugas dan tanggung jawab bagi ketua kelompok untuk menjelaskan dan menegur anggota kelompok yang tidak aktif. b. Adanya tanggunjawab bagi anggota kelompok untuk menjelaskan hasil diskusi kelompok dengan diundi dan rol play. c. Adanya reward bagi kelompok yang paling aktif dalam berdiskusi serta jawaban mendekati sempurna
b. Adanya tanggunjawab bagi anggota kelompok untuk menjelaskan hasil diskusi kelompok dengan diundi dan rol play.
C. Deskripsikan hal-hal unik
P2 Siswa merasa senang. Dilihat dari cara siswa menjawab salam, dan raut wajah siswa yang ceria. Siswa aktif menyebutkan contoh konsep materi.
c. Adanya reward bagi kelompok yang paling aktif dalam berdiskusi serta jawaban mendekati sempurna Siswa merasa terkejut pada saat
1036
Siswa merasa senang saat
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
yang terjadi pada saat pembelajaran. A. Bagaimana siswa terlibat dalam kegiatan penutup (melakukan refleksi, merangkum, dll)
B. Bagaimana respon siswa ketika guru menyampaikan tindak lanjut pembelajaran.? Pelajaran berharga apa yang dapat anda petik dari pengamatan pembelajaran hari ini?
dirinya mendapatkan giliran untuk menjelaskan hasil diskusi berdasarkan undian dan rol play Siswa mengajukan pendapat mengenai materi dan mampu menghargai pendapat orang lain, siswa membuat rangkuman materi dengan baik Siswa meminta guru untuk membuat masalah yang lebih kontektual dan problem solving open ended 1. Berorientasi pada tugas dan tanggungjawab 2. Menghargai pendapat orang lain.
diberi ice breaking setelah pikirannya mulai lelah menyelesaikan masalah, Siswa mencoba mengungkapkan ide mengenai pengetahuan mereka sendiri tentang materi, siswa mencatat hal penting yang diperoleh dari pembelajaran. siswa merasa senang dan lansung melakukan tindak lanjut yang diberikan guru. 1. Kerjasama kelompok. 2. Maidiri dan penuh tanggungjawab.
Berdasarkan tabel 3.1 tentang pengamatan aktivitas siswa dapat dijelaskan bahwa siswa sangat senang dengan adanya strategi pembelajaran inquiry. Hal ini terlihat pada saat guru model melakukan apersepsi siswa menanggapi dengan meberikan contoh konkrit karena siswa mempersiapkan materi dari rumah. Siswa juga mulai mengerti arah pembelajaran yang akan dicapai, mengerti tujuan materi. dan siswa mampu mengungkapkan idenya dalam pembelajaran Interaksi antar siswa terjadi begitu aktif, baik interaksi dengan anggota kelompok maupun interaksi dengan kelompok lain. Interaksi dalam kelompok terjadi karena adanya penekanan tugas dan tangggjawab bagi setiap anggota kelompok dan tanggungjawab ketua kelompok untuk memberikan pemahaman bagi setiap anggota kelompoknya serta menegur anggota kelompok yang tidak aktif. Interaksi antar kelompok dipicu adanya keinginan dan semangat bagi setiap kelompok untuk menjadi yang terbaik dan mendapat reward dari guru. Dengan demikian reward sangat mendukung keaktifan siswa. Reward bisa dilakukan dengan penambahan poin, pemberihan hadiah, atau pemberian pujian. Interaksi antara siswa dengan guru juga dominan lebih aktif. Hal ini terjadi karena dalam proses pembelajaran guru berkeliling mengawasi, mengecek dan memberikan arahan kepada siswa. Pembelajaran konvensional yang lebih menekankan peran guru (teacher centered) dan penghafalan siswa sebagai indikator keberhasilan tidak lagi menjadi bentuk pembelajaran yang tepat. Kebutuhan siswa dalam mengembangkan bakat dasar dan kecenderungan yang secara eksperiensif dimiliki siswa adalah modal utama dalam proses pendewasaan, pematangan dan pemantapan intelektual maupun emosional anak. Di samping itu, dengan memanfaatkan potensi dasar yang sudah dimiliki siswa, guru dapat lebih kreatif sehingga siswa dan guru akan menikmati pembelajaran sebagai sebuah kegiatan yang menyenangkan. Pembelajaran melalui inkuiri, dalam hal ini adalah salah satu model yang cukup membantu dalam mengembangkan bakat siswa. Sesuai situasi dan kondisi perkembangan emosi, moral dan intelektual siswa, inkuiri dapat didesain menjadi sebuah strategi pembelajaran yang menyenangkan. Untuk tingkat dasar, model inkuiri ringan dapat dijadikan salah satu strategi pengayaan dalam pembelajaran matematika agar menjadi sebuah mata pelajaran yang menarik dan menantang. Strategi pembelajaran inkuiri dapat mengunakan media dengan upaya guru menyajikan sejumlah informasi tertentu melalui masalah, bahan bacaan, film, gambar atau yang lainnya. Kemudian guru mendorong siswa untuk menggambarkan atau memahami prinsip-prinsip yang terkandung dalam topik atau bahan yang disajikan melalui pertanyaan-pertanyaan. Demikian pula dengan bentuk inkuiri deduktif yang dikemukakan Schuman bahwa inkuiri dapat dimulai dengan cara yang sangat sederhana dalam membantu mengembangkan kreatifitas berpikir siswa. Akhinoglu (2008) menyatakan bahwa penerapan strategi inqury dapat meningkat kemampuan siswa terhadap ilmu pengetahuan dan teknologi kelas, peningkatan paling signifikan terjadi pada meningkatkan nilai dalam ujian selama dan setelah menyelesaikan masalah.
1037
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
Hasil belajar siswa mengalami peningkatan karena siswa telah melakukan pembelajaran inkuiri dengan baik, karena pada setiap pertemuan aktivitas guru semakin meningkat dalam membimbing dan memberikan penguatan motivasi kepada siswa, membuat siswa lebih terpacu dalam proses pembelajaran. Dengan demikian proses pembelajaran berjalan baik, siswa akan aktif dalam belajar, mudah memahami materi, dan mudah menjawab soal-soal pada waktu tes. Upaya meningkatkan keterampilan proses juga dapat meningkatkan penguasaan konsep yang diukur dengan hasil belajar siswa. Nurhadi (2004) menyatakan hasil belajar merupakan perubahan tingkah laku siswa yang meliputi ranah kognitif, afektif dan psikomotor. Ketiga ranah tersebut berhubungan dengan kemampuan siswa untuk melakukan proses ilmiah sebagaimana cara ilmuan bekerja untuk membentuk pemahaman atau aspek kognitifnya terlebih dahulu. Dalam penelitian ini peningkatan hasil belajar tersebut juga dipengaruhi dari penerapan strategi pembelajaran inkuiri. Langkah-langkah pembelajaran dengan metode pembelajaran inkuiri, antara lain: 1. Observasi atau pengamatan terhadap berbagai konsep dalam matematika. 2. Mengajukan pertanyaan tentang masalah yang dihadapi 3. Mengajukan dugaan atau kemungkinan jawaban. 4. Mengumpulkan data yang terkait dengan pertanyaan yang diajukan 5. Merumuskan kesimpulan-kesimpulan berdasarkan data. KESIMPULAN Hasil penelitian ini menyatakan bahwa metode inquiry dapat merangsang pertanyaan, memberikan konsep dan prinsip penyelesaian yang terkait dengan masalah yang dihadapi siswa. sehingga metode inquiry menjadikan siswa lebih aktif dan kreatif serta mampu berpikir kritis dalam interaksi siswa maupun dalam menyelesaikan masalah dengan menggunakan kemampuannya secara mandiri. Rekomendasi Konstruktif Untuk Pembaikan Pembelajaran Sasaran Pembelajaran inkuiri adalah pembelajaran yang dapat dicapai dengan penerapan inkuiri adalah: 1. Sasaran kognitif a) Memahami bidang khusus dari materi pelajaran b) Mengembangkan keterampilan proses sains c) Mengembangkan kemampuan bertanya, memecahkan masalah dan melakukan penelitian. d) Menerapkan pengetahuan dalam situasi baru yang berbeda. e) Mengevaluasi dan mensintesis informasi, ide dan masalah baru. f) Memperkuat keterampilan berpikir kritis. 2. Sasaran afektif a) Mengembangkan minat terhadap pelajaran dan bidang ilmu b) Memperoleh apresiasi untuk pertimbangan moral dan etika yang relevan dengan bidang ilmu tertentu. c) Meningkatkan intelektual dan integritas. d) Mendapatkan kemampuan untuk belajar dan menerapkan materi pengetahuan. Strategi pembelajaran inkuiri merupakan strategi yang banyak dianjurkan, karena strtegi ini memiliki beberapa manfaat, diantaranya: 1. Metode inqury yang digunakan cukup efektif untuk pembelajaran siswa karena setiap siswa mempunyai tanggung jawab terhadap kelompoknya dan terlibat dalam proses diskusi antar anggota kelompok. Melalui diskusi dalam kelompok kecil cukup membantu siswa memahami materi. 2. Strategi pembelajaran inkuiri merupakan strategi yang menekankan pada pengembangan aspek kognitif, afektif, dan psikomotor secara seimbang, sehingga pembelajaran melalui strtegi ini dianggap lebih bermakna. 3. Strategi pembelajaran inkuiri memberikan ruang kepada siswa untuk belajar sesuai dengan gaya belajar mereka. 4. Strategi pembelajaran inkuiri merupakan strategi yang dianggap sesuai dengan perkembangan psikologi perkembangan modern yang menganggap belajar adalah proses perubahan tingkah laku berkat adanya pengalaman.
1038
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
5.
Strategi pembelajaran inkuiri dapat melayani kebutuhan siswa yang mempunyai kemampuan diatas rata-rata. Artinya, siswa yang memiliki kemampuan belajar bagus tidak akan terhambat oleh siswa yang lemah dalam belajar. Selain mempunyai keunggulan, Strategi pembelajaran inkuiri juga mempunyai kelemahan, di antaranya: 1. Jika strategi pembelajaran inkuiri sebagai srategi pembelajaran, maka akan sulit mengontrol kegiatan dan keberhasilan sisiwa. 2. Strategi ini sulit dalam merencanakan pembelajaran oleh karena terbentuk dengan kebiasaan siswa dalam belajar. 3. Memerlukan waktu yang lama dalam mengimplementasikanya, sehingga guru sulit menyesuaikanya dengan waktu yang telah ditentukan. 4. Selama kriteria keberhasilan belajar ditentukan oleh kemampuan siswa menguasai materi pelajaran, maka strategi pembelajaran inkuiri akan sulit diimplementasikan oleh setiap guru. DAFTAR RUJUKAN Akhinoglu. 2008. Assessment of the inquiry-based project Implementation process in science education Upon students’ points of views, International Journal Of Instruction. Vol.1, No.1 ISSN: 1694-609X. Alberta. 2003. Alberta Learning. Learning and Teaching Resources Branch. Focus on inquiry: a teacher’s guide to implementing inquiry-based learning. Baxter, Juliet and William,. Steven. 2010. Social And Analytic Scaffolding In Middle School Mathematics. Managing The Dilemma Of Telling Volume. 13:7–26. Bell, Allison R. 2011. The Nature Of Self-Regulation, Scaffolding, And Feedback In A Computerbased Developmental Mathematics Classroom, University of Maryland. Bell, R., L. Smetana, and I. Binns. 2005. Simplifying inquiry instruction. The Science Teacher 72(7): 30–34 Bilgin, Ibrahim. 2009. The Effects of Guided Inquiry Instruction Incorporating a Cooperative Learning Approach on University Students’ Achievement of Acid and Bases Concepts and Attitude Toward Guided Inquiry Instruction. Scientific Research and Essay Vol.4 (10), p: 1038-1046. Burton, J. Mason, K. Stacy. 2010. Thinking Mathematically. England Chambers, P. (2008). Teaching Mathematics Developing as a Reflective Secondary Teacher. London: SAGE Publications Ltd. Creswell, Jonh W. 2009. Research Design: Quantitative, Qualitative, and Mixed MethodesApproach. SAGE Publication, Icn: Thaousand Oaks, California Dell’Olio, J.M. & Donk, T. (2007). Models of Teaching Connecting Student Learning With Standars.USA: SAGE Publications Ltd. Hannula, M.S., Maijala, M. & Pehkonen, E. (2004). Development of Understanding SelfConfidence in Mathematics; Grades 5 – 8. Group for the Psychology of Mathematics Education.Vol. 3, pp 17-24. Ju-ling Shih, dkk. 2010. An Inquiry-based Mobile Learning Approach to Enhancing Social Science Learning Effectiveness. Jurnal of Educational Technology & Society. 13 (4), 50–62 Khan, Wali. 2012. Inquiry-Based Teaching in Mathematics Classroom in a Lower Secondary School Of Karachi, International Journal of Academic Research in Progressive Education and Development, Vol. 1, No. 2 Kubicek, P. John. 2005. Inquiry-based learning, the nature of science, andcomputer technology: New possibilities in science education. Canadian Journal of Learning and Technology. Vol 31(1). Page: 1-5. Kuhlthau, C.C., Maniotes, L.K., & Caspari, A.K. (2007). Guided Inquiry. USA: British Library Cataloguing. Morgan, Candia. 2004. Mathematics Teaching School Subject 11-19. RoutledgeFalmler. US and Canada. Munandar, Utami. 1995. Mengembangkan Kreativitas anak Berbakat. Jakarta: Gramedia. Tall, David. 2002. Diagnosing Students’ Difficulties in Learning Mathematics. International Journal of Mathematics Education in Science & Technology. Volume. 12, No. 1, 7-15 1039
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
Widhiartha, Putu Ashinta. 2008. Lesson Study: Sebuah Upaya Peningkatan Mutu Pendidik Pendidikan Nonformal. Surabaya: Balai Pengembangan pendidikan Nonformal dan informal (BPPNFI). W. Gulo. 2008. Strategi Belajar-Mengajar. Jakarta. Grasindo.
ANALISIS KESALAHAN SISWA SMA KRISTEN CHARIS MALANG BERDASARKAN NEWMAN ERROR ANALYSIS DALAM MENYELESAIKAN SOAL PERBANDINGAN TRIGONOMETRI Debita Yuli Purbasari Universitas Negeri Malang
[email protected] Abstrak: Pembelajaran matematika mengembangkan beberapa aspek yaitu penguasaan konsep matematika, kemampuan menyelesaikan masalah, kemampuan bernalar dan berkomunikasi serta kemampuan berpikir kreatif dan inivatif. Kemampuan menyelesaikan masalah adalah komponen yang harus dikembangkan dalam pembelajaran matematika. Penelitian ini merupakan tahap monitoring yang dilakukan guru dalam proses proyek penugasan aplikasi materi perbandingan trigonometri pada 22 siswa kelas XI IPA SMA Kristen Charis. Guru dalam hal ini peneliti melakukan analisis kesalahan siswa menyelesaikan soal cerita perbandingan trigonometri yang bersesuaian dengan proyek yang diberikan dan melakukan analisis kesalahan berdasarkan Newman’s Error Analysis yaitu Reading, Comprehension, Transformation, Process Skill dan Encoding. Kemudian dilakukan pendeskripsian dan pengklasifikasian kesalahan berdasarkan Newman‟s Error Classification yaitu Reading Error, Comprehension Error, Transformation Error, Process Skill Error dan Encoding Error. Analisis ini diperlukan agar guru dapat menindaklanjuti penugasan yang diberikan dan meminimalisasi kemungkinan kesalahan yang dilakukan siswa dalam mengerjakan proyek penugasan tersebut. Lebih lanjut diharapkan siswa akan memperoleh hasil belajar yang lebih baik. Kata kunci: analisa kesalahan, Newman‟s Error Analysis, perbandingan trigonometri
Matematika merupakan salah satu mata pelajaran yang mengembangkan kompetensi, berpikir yang sistematis, logis, kreatif, kritis, konsisten, teliti, serta dapat mengembangkan sikap gigih dalam mengembangkan masalah. Kompetensi-kompetensi ini diperlukan agar siswa dapat memiliki kemampuan memperoleh, mengelola, dan memanfaatkan informasi. Salah satunya adalah dalam menyelesaikan soal matematika. Trigonometri merupakan salah satu materi yang dipelajari dalam matematika. Selain sebagai salah satu materi Ujian Akhir Nasional, trigonometri juga sangat bermanfaat dalam menyelesaikan masalah yang terdapat dalam kehidupan sehari-hari. Aplikasi ilmu trigonometri dalam kehidupan mencakup segala bidang seperti astronomi, geografi, teori musik, elektronik, ekonomi, medical, serta teknik. Oleh sebab itu kemampuan siswa dalam memecahkan masalah trigonometri tentu sangat penting dalam pembelajaran matematika Berdasarkan pengalaman penulis sebagai guru matematika dalam kurun waktu lima tahun ini, ternyata masih banyak siswa yang mengalami kesulitan dalam mengerjakan soal materi trigonometri khususnya materi perbandingan trigonometri. Hal ini terlihat saat siswa menyelesaikan soal perbandingan trigonometri yang diberikan oleh guru. Siswa yang mengalami kesulitan akan melakukan kesalahan pada saat mengerjakan soal matematika. Kesalahan dalam menyelesaikan soal tidak dapat dihindari. Kesalahan inilah yang menyebabkan rendahnya nilai yang diperoleh peserta didik dalam menyelesaikan soal matematika materi trigonometri, khususnya pada materi perbandingan trigonometri. Hal ini perlu mendapatkan perhatian yang serius karena materi perbandingan trigonometri ini merupakan materi dasar, yang merupakan materi prasyarat dalam pembahasan materi trigonometri lebih lanjut. Suyitno (2011) menyatakan bahwa pembelajaran matematika mengembangkan beberapa aspek yaitu penguasaan konsep matematika, kemampuan memecahkan masalah, kemampuan bernalar dan berkomunikasi serta kemampuan berpikir kreatif dan inivatif. Juliet 1040
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
dkk (2010) menyatakan bahwa hal yang paling mendasar yang harus dikuasai siswa adalah pemahaman konsep. Jika hal ini tidak dikuasai maka siswa hanya akan mengikuti prosedur penyelesaian soal seperti yang dicontohkan guru tanpa mengerti maknanya. Akibatnya siswa akan cenderung melakukan kesalahan jika diberikan soal yang berbeda dari soal yang dicontohkan oleh guru. Jenis-jenis kesalahan yang dilakukan oleh siswa pada umumnya terletak pada penggunaan rumus, pemahaman atau kemampuan mencerna bahasa matematika serta kemampuan mengaplikasikan konsep. Terdapat tiga aspek yang harus dikuasai guru agar perannya maksimal, yaitu: pengetahuan matematika, pengetahuan tentang cara belajar siswa, dan pengetahuan konten pedagogis (Brown,2008). Hal ini menegaskan bahwa dalam pelaksanaan pembelajaran matematika tidak terlepas dari peran guru. Namun tidak dapat dipungkiri bahwa keberhasilan pembelajaran juga tidak terlepas dari respon dan peran siswa. Berkaitan dengan tugas guru yang mencakup pembuatan media pembelajaran, melakukan evaluasi pembelajaran, membuat keputusan dalam bentuk grading atau kelulusan secara objektif, guru dalam hal ini penulis memiliki tanggung jawab melakukan analisis dengan cermat terhadap kesulitan dan kebutuhan siswa. Hal ini bersesuaian dengan Jenkins (2010) yang menyatakan bahwa guru harus menggali informasi dari siswa meskipun setiap guru memiliki keflesibilitasan yang berbeda dalam menghadapi permasalahan yang ada di dalam kelas (Leikin dan Dinur, 2007). Menurut Cobb dkk (2008) guru harus memastikan bahwa siswa mengetahui kesalahan atau permasalahan yang mereka hadapi. Terdapat penelitian-penelitian yang telah ada yang berhubungan dengan analisis kesalahan dalam proses pembelajaran yaitu penelitian yang dilakukan oleh Malau (1996), Bingolbali dkk (2004), Wiens (2007) dan penelitian oleh Gal dan Linchevski (2010). Penelitian tersebut memberikan gambaran tentang cara menganalisis hasil pekerjaan siswa namun belum ada yang membahas materi perbandingan trigonometri. Penelitian ini dilakukan dalam rangka tahap monitoring yang dilakukan guru saat proyek penugasan aplikasi perbandingan trigonometri dalam kehidupan sehari-hari. Dalam penugasan tersebut siswa yang tergabung dalam suatu grup diminta untuk mengukur tinggi suatu benda yang mereka temukan dalam kehidupan sehari, kemudian siswa diharuskan membuat video laporan kegiatan mereka. Tahap monitoring ini dilakukukan karena guru ingin memastikan bahwa siswa sudah memahami konsep perbandingan trigonometri yang akan digunakan untuk menyelesaikan masalah penugasan tersebut, dengan cara melakukan analisis kesalahan siswa dalam menyelesaikan soal perbandingan trigonometri yang bersesuaian dengan penugasan tersebut. Analisis ini diperlukan agar guru dapat menindaklanjuti penugasan yang diberikan dan kemungkinan kesalahan yang dilakukan siswa dalam pengerjaannya. Lebih lanjut diharapkan siswa akan memperoleh hasil belajar yang lebih baik.
Pemecahan Masalah Dalam Matematika Hakikat pemecahan masalah adalah melakukan operasi prosedural, urutan tindakan, tahap demi tahap secara sistematis, seperti seorang pemula memecahkan suatu masalah. Pemecahan masalah dipandang sebagai suatu proses untuk menemukan kombinasi dari sejumlah aturan yang dapat diterapkan dalam upaya mengatasi situasi yang baru (Wena, 2009: 52). Jihad (2008) menyatakan bahwa dalam pembelajaran matematika peserta didik mempunyai tujuan khusus yang diantaranya adalah: (1) menggunakan alogaritma (prosedur pekerjaan), (2) melakukan manipulasi secara matematika, (3) mengorganisasi data, (4) memanfatkan simbol, tabel, dan diagram, (5) Mengenal dan menemukan pola dan (6) membuat kesimpulan. Di lain pihak terdapat pemecahan masalah yang dinyatakan dalam buku Polya (2004), How To Solve It yaitu “First you have to understand the problem, second find the connection between the data and the unknown, third carry out your plan, fourth examine the solution obtained.”. Dengan kata lain langkah-langkah menyelesaikan masalah Polya (2004) adalah sebagai berikut: 1. Pemahaman pada masalah (identifikasi dari tujuan) Langkah pertama adalah membaca soal dan yakin bahwa peserta didik memahami maksud dari soal tersebut secara benar. Untuk membantu peserta didik dalam memahami soal bisa dengan beberapa pertanyaan seperti: masalah apa yang dihadapi, informasi apa yang diperoleh dari soal, informasi apa yang tidak diketahui, kuantitas apa yang diberikan pada soal serta bagaimana kondisinya. 1041
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
2. Membuat rencana pemecahan masalah. Rencana pemecahan masalah dilakukan dengan mencari hubungan antara informasi yang diberikan dengan yang tidak diketahui, serta menghubungkannya. Jika tidak ditemukan hubungan secara langsung, gagasan berikut ini dapat membantu dalam menyelesaikan masalah. a. Membuat sub masalah yaitu membagi masalah menjadi beberapa sub masalah. b. Mencoba untuk mengenali sesuatu yang sudah dikenali, yaitu menghubungkan masalah yang sudah ada dengan hal yang sebelumnya sudah diketahui. c. Mencoba untuk mengenali polanya, pola keteraturan atau pengulangan dalam soal dapat dijadikan acuan pola apa yang akan terjadi berikutnya. d. Menggunakan analogi, mencoba untuk memikirkan analogi dari masalah tersebut. e. Memasukkan sesuatu yang baru. Dalam pemecahan masalah, memasukan sesuatu yang baru dapat digunakan membuat hubungan antara data dengan hal yang tidak diketahui. f. Membuat kasus, siswa harus memecah sebuah masalah kedalam beberapa kasus dan memecahkan setiap kasus tersebut. g. Memulai dari akhir (mengasumsikan jawaban). Mengasumsikan jawaban akan sangat berguna jika kita membuat pemisalan solusi masalah, tahap demi tahap mulai dari jawaban masalah sampai ke data yang diberikan. 3. Melaksanakan rencana Menjalankan rencana yang telah dibuat untuk menemukan solusi. Siswa harus menuliskan setiap langkah penyelesaiannya secara detail dan jelas. 4. Melihat kembali Dalam tahap ini siswa mengoreksi kembali hasil dari pekerjaan yang sudah dikerjakan (memvalidasi jawaban). Hal ini untuk memastikan bahwa tiap langkah sudah benar. White (2010) menyatakan bahwa untuk membantu mendeskripsikan kemampuan pemecahan masalah berbentuk soal cerita maka digunakan tahapan analisis Newman yang dikembangkan oleh Anne Newman pada tahun 1977. Tahapan Analisis Newman merupakan tahapan untuk memahami dan menganalisis bagaimana siswa memecahkan masalah berbentuk soal cerita. Berdasarkan yang dikemukakan oleh Newman bahwa ketika siswa berusaha menjawab sebuah permasalahan yang berbentuk soal cerita, maka siswa tersebut telah melewati serangkaian rintangan berupa tahapan dalam pemecahan masalah, yang meliputi: 1. Membaca masalah (Reading) Ketika seseorang membaca sebuah teks, maka oleh pembaca akan direpresentasikan sesuai dengan pemahamannya terhadap apa yang dibacanya, atau dikenal sebagai hasil representasi dari kemampuan mental pembaca tersebut. Selanjutnya, kemampuan membaca siswa dalam menghadapi masalah berpengaruh terhadap bagaimana siswa tersebutakan memecahkan masalah. 2. Memahami masalah (Comprehension) Pada tahapan ini dikatakan mampu memahami masalah, jika siswa mengerti dari maksud semua kata yang digunakan dalam soal sehingga siswa mampu menyatakan soal dengan kalimat sendiri.Pada tahapan ini siswa harus bisa menunjukkan ide masalah berbentuk soal cerita secara umum yang memuat “What, Why, Where, When, Who, dan How”, dimana ide masalah dalam matematika tersebut direpresentasikan ke dalam unsur diketahui, ditanya dan prasyarat. Selanjutnya untuk mengecek kemampuan memahami masalah, siswa diminta menyebutkan apa saja yang diketahui dan ditanyakan dalam masalah. 3. Transformasi masalah (Transformation) Tahap ini, siswa mencoba mencari hubungan antara fakta (yang diketahui) dan yang ditanyakan. Selanjutnya untuk mengecek kemampuan mentransformasikan masalah, siswa diminta menentukan metode, prosedur atau strategi apa yang akan digunakan dalam menyelesaikan soal. 4. Keterampilan memproses ( Process Skill ) Pada tahap ini, siswa diminta mengimplementasikan racangan rencana pemecahan masalah melalui tahapan transformasi masalah untuk menghasilkan sebuah solusi yang diinginkan. Pada tahapan ini yaitu untuk mengecek keterampilan memproses atau
1042
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
prosedur,siswa diminta menyelesaikan soal cerita sesuai dengan aturan-aturan matematika yang telah direncanakan pada tahapan mentransformasikan masalah. 5. Penulisan jawaban (Encoding) Pada tahapan ini, siswa dikatakan telah mencapai tahap penulisan jawaban apabila siswa dapat menuliskan jawaban yang ditanyakan secara tepat.Selanjutnya untuk mengecek kemampuan penulisan jawaban, siswa diminta melakukan pengecekkan kembali terhadap jawaban dan siswa diminta menginterpretasikan jawaban akhir. Dalam penelitian ini peneliti menggunakan langkah-langkah pemecahan masalah matematika berdasarkan tahapan analisis Newman materi pembahasan soal cerita perbandingan trigonometri.
Kesalahan Dalam Menyelesaikan Soal Matematika Menurut Bell (1978), konsep adalah suatu ide atau gagasan abstrak yang memungkinkan seseorang dapat mengklasifikasikan obyek-obyek atau peristiwa-peristiwa tertentu dan memungkinkan pula untuk menentukan apakah obyek-obyek atau peristiwaperistiwa tertentu itu merupakan contoh atau bukan contoh dari gagasan tersebut. Konsep merupakan dasar bagi proses-proses untuk memecahkan suatu masalah. Konsep dalam matematika biasanya dijelaskan melalui definisi atau contoh-contoh. Definisi yang menjelaskan suatu konsep dalam matematika merupakan rumusan kata-kata yang digunakan untuk menjelaskan konsep tersebut. Rumusan kata-kata itu dapat berbeda-beda bergantung pada cara dan pendekatan yang digunakan dalam menjelaskan konsep itu. Ada suatu konsep yang dinyatakan dengan simbol-simbol atau istilah-istilah matematika, ada pula yang dinyatakan dalam kalimat atau kata-kata sehari-hari yang maksudnya sudah jelas dan ada pula penjelasan suatu konsep yang dinyatakan dengan gabungan dari kedua cara tersebut. Bell (1978) juga menuturkan bahwa pengetahuan prosedural merupakan pengetahuan tentang urutan kaidah-kaidah, prosedur-prosedur yang digunakan untuk menyelesaikan soal-soal matematika. Prosedur ini dilakukan secara bertahap dari pernyataan yang ada pada soal menuju pada tahap selesaiannya. Salah satu ciri pengetahuan prosedural adalah adanya urutan langkah yang akan ditempuh "sesudah suatu langkah akan diikuti langkah berikutnya". Ashlock (2006) menyatakan bahwa pembelajaran konseptual dalam matematika selalu berfokus pada ide-ide dan generalisasi yang membuat hubungan antara ide-ide . Sebaliknya, belajar prosedural berfokus pada keterampilan dan prosedur langkah demi langkah. Pengetahuan konseptual dapat meningkatkan kemampuan procedural sedangkan pengetahuan procedural dapat membantu pemahaman konsep. Hal ini didukung oleh Johnson dan Koedinger (2009) memaparkan bahwa pengetahuan konseptual dan pengetahuan prosedural harus dibelajarkan dengan seimbang. 1. Kesalahan Berdasarkan Kamus besar bahasa Indonesia (2008: 1207), kesalahan adalah perihal salah, kekeliruan, kealpaan, tidak sengaja (berbuat sesuatu). Berdasarkan Lannin, dkk (2007) kesalahan yang dilakukan siswa dalam pembelajaran matematika bukanlah sesuatu yang harus dihindari, karena dari kesalahan yang terjadi guru dapat mengetahui sejauh mana pemahaman siswa terhadap materi yang diajarkan dan juga sebagai bekal guru untuk memberikan bantuan serta memperbaiki pengajarannya di masa yang akan datang. Lebih lanjut guru dapat mendorong siswa untuk menggunakan kesalahan sebagai kesempatan untuk belajar. Sebagaimana belajar adalah pengalaman terjadinya perubaan dalam diri siswa terhadap penguasaan materi yang dipelajarinya (Brown, 2008). Berdasarkan Elbrink (2007) kesalahan yang mungkin muncul dalam penyelesaian soal matematika adalah sebagai berikut: a. Kesalahan konseptual, yaitu kesalahan yang terjadi ketika siswa tidak memahami sifat-sifat maupun prinsip-prinsip yang diperlukan dalam menyelesaikan masalah. b. Kesalahan Prosedural, yaitu kesalahan yang terjadi ketika siswa melakukan hal-hal sebagai berikut: c. Misidentification, kesalahan ini muncul ketika siswa salah mengaplikasikan suatu algoritma pada suatu permasalahan. Dengan kata lain algoritma yang digunakan sebenarnya tidak tepat jika diaplikasikan pada masalah yang ingin diselesaikan. d. Misgeneralization, kesalahan ini muncul ketika siswa salah membuat generalisasi terhadap suatu konsep yang ada. 1043
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
e. Repair theory, kesalahan ini muncul ketika siswa tidak mengerti maksud dari soal. Dengan kata lain siswa kesulitan memahami soal yang akan diselesaikan f. Salah mengartikan simbol g. Salah menggunakan simbol Elbrink (2007) mengklasifikasikan kesalahan yang mungkin muncul dalam penyelesaian soal matematika adalah sebagai berikut: a. Calculation Error, klasifikasi untuk kesalahan yang muncul ketika siswa melakukan kesalahan dalam operasi penjumlahan, pengurangan, perkalian dan pembagian. b. Procedural Error, klasifikasi untuk kesalahan yang muncul ketika siswa tidak memahami langkah-langkah apa yang akan dilakukan, mengapa dan bagaimana proses penyelesaian masalah itu dapat diaplikasikan dalam penyelesaian soal. c. Symbolic Error, klasifikasi untuk kesalahan yang muncul ketika siswa salah mengidentifikasi gambar, simbol dan tanda yang dapat digunakan sebagai informasi data yang diketahui dari soal Sedangkan Newman (1983) mengklasifikasikan kesalahan yang mungkin muncul dalam penyelesaian soal matematika sebagai berikut: a. Reading Error, klasifikasi untuk kesalahan yang muncul ketika siswa tidak dapat membaca atau menemukan kata kunci atau simbol yang tertulis dalam soal. Kata kunci atau simbol dalam soal ini akan menolong siswa menentukan langkah penyelesaian soal. b. Comprehension Error, klasifikasi untuk kesalahan yang muncul ketika siswa sudah dapat membaca keseluruhan kata dalam soal namun tidak mengerti makna dari keseluruhan kata tersebut. Hal ini mengakibatkan siswa tidak mampu menentukan langkah penyelesaian soal. c. Transformation Error, klasifikasi untuk kesalahan yang muncul ketika siswa tidak dapat menentukan langkah-langkah atau urutan penyelesaian soal. d. Process Skills Error, klasifikasi untuk kesalahan yang muncul ketika siswa dapat menentukan langkah-langkah maupun proses penyelesaian soal namun tidak melakukannya secara tepat dan akurat. e. Encoding Error, klasifikasi untuk kesalahan yang muncul ketika siswa dapat menemukan selesaian atau hasil akhir dari soal yang diminta namun tidak dapat menuliskan jawaban dengan format yang benar Kesalahan yang dimaksud dalam penelitian ini adalah penyimpangan dari suatu kondisi yang benar, sesuai maupun tepat. Siswa dikatakan melakukan kesalahan apabila melakukan penyimpangan prosedural, konseptual maupun hasil akhir dalam menyelesaikan soal perbandingan trigonometri yang diklasifikasikan berdasarkan Newman‟s Error Clasification. Berikut ini adalah tabel yang akan digunakan peneliti dalam pengklasifikasian kesalahan. Tabel 1. Klasifikasi kesalahan Klasifikasi Kode Jenis kesalahan Kesalahan Reading Error R Tidak membaca soal dengan lengkap Tidak merujuk gambar Comprehension C Kesalahan Error menginterpretasikan bahasa Symbol error
Transformation Error
T
Kode R1 R2
Indikator Siswa melakukan kesalahan ketika ada informasi yang terlewatkan dari soal yang di baca siswa.
C1
Siswa melakukan kesalahan ketika tidak memahami istilah yang tertulis pada soal.
C2
Siswa melakukan kesalahan ketika salah mengidentifikasi gambar, simbol dan tanda yang dapat digunakan sebagai informasi data yang diketahui dan yang ditanyakan dari soal. Siswa melakukan kesalahan ketika salah membuat koneksi antar data yang diketahui maupun yang ditanyakan dari soal. Siswa melakukan kesalahan ketika salah menyederhanakan soal dalam sketsa/gambar. Siswa melakukan kesalahan ketika tidak dapat menggolongkan atau mengklasifikasikan serta memahami sifat dan
Connection error
T1
Visualization error
T2
Conceptual error
T3
1044
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
Process Skills Error
Encoding Error
P
E
Procedural error
T4
Inputing error
P1
Calculating error
P2
Kesalahan penulisan hasil akhir
E1
Kesalahan penarikan kesimpulan
E2
prinsip-prinsip yang diperlukan dalam menyelesaikan soal. Siswa melakukan kesalahan ketika tidak memahami langkah-langkah apa yang akan dilakukan, mengapa dan bagaimana proses penyelesaian masalah itu dapat diaplikasikan dalam penyelesaian soal serta jika langkahlangkah penyelesaian soal tidak urut ataupun tidak lengkap Siswa melakukan kesalahan ketika salah menggunakan informasi data yang diperlukan dalam penyelesaian soal. Siswa melakukan kesalahan ketika salah dalam menjumlahkan, mengurangkan, mengalikan, membagi dan kesalahan dalam operasi matematika lainnya Siswa melakukan kesalahan ketika dapat menemukan selesaian atau hasil akhir dari soal yang diminta namun tidak dapat menuliskan hasil akhir dengan benar Siswa melakukan kesalahan ketika melakukan penyimpulan tanpa alasan pendukung yang benar atau melakukan penyimpulan pernyataan yang tidak sesuai dengan penalaran logis.
Analisis Kesalahan Zodik dan Zaslausky (2008), menyatakan bahwa terdapat beberapa kendala yang mungkin dialami siswa sehingga melakukan kesalahan pada saat mengerjakan soal matematika. Kendala yang terjadi berkisar pada karakteristik matematika yang abstrak, masalah media, masalah siswa itu sendiri ataupun masalah penyampaian guru. Kendala yang muncul merupakan dampak dari kesalahan dalam proses belajar siswa maupun dalam pemahamannya terhadap materi yang diberikan. Lebih rinci kendala-kendala dalam memecahkan masalah dalam matematika dapat terjadi karena: a. siswa tidak dapat memahami konsep dengan benar. b. siswa tidak memahami arti dari lambang-lambang. c. siswa tidak memahami asal usulnya suatu prinsip. d. siswa tidak dapat lancar menggunakan operasi dan prosedur. e. Pengetahuan siswa tidak lengkap Terdapat tiga aspek yang harus dikuasai guru agar perannya maksimal, yaitu: (1) pengetahuan matematika, hal ini tentu saja penting karena akan mempengaruhi apa yang akan diajarkan dan bagaimana hal itu diajarkan, (2) pengetahuan tentang cara belajar siswa, hal ini berkaitan dengan sensitivitas guru terhadap kekuatan dan kelemahan siswanya dsn (3) pengetahuan konten pedagogis, hal ini berkaitan dengan pemahaman bahwa pembelajaran matematika tidak hanya pembelajaran materi saja namun lebih dalam tentang arti pembelajaran itu sendiri (Zodik dan Zaslausky, 2008). Guru harus menyadari bahwa penyebab kesalahan yang sering dilakukan siswa dalam menyelesaikan soal-soal matematika dapat dilihat dari beberapa hal antara lain disebabkan kurangnya pemahaman atas materi prasyarat maupun materi pokok yang dipelajari, kurangnya penguasaan bahasa matematika, keliru menafsirkan atau menerapkan rumus, salah perhitungan, kurang teliti, lupa konsep. Berkaitan dengan tugas guru yang mencakup pembuatan media pembelajaran, melakukan evaluasi pembelajaran, membuat keputusan dalam bentuk grading atau kelulusan secara objektif , guru memiliki tanggung jawab melakukan analisis dengan cermat terhadap kesulitan dan kebutuhan siswa. Berdasarkan kamus besar Bahasa Indonesia (2008: 58) analisis adalah penyelidikan sesuatu peristiwa (karangan, perbuatan dan sebagainya) untuk mengetahui keadaan yang sebenarnya, (sebab-musabab, duduk perkaranya, dan sebagainya). Analisis ini diperlukan agar guru dapat menindaklanjuti kesalahan yang dilakukan peserta didik dalam mengerjakan soal, sehingga dapat memberikan scaffolding secara tepat. Lebih lanjut diharapkan siswa akan memperoleh hasil belajar yang lebih baik. Pateda (1989) menyatakan bahwa analisis kesalahan 1045
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
dapat dilakukan dengan cara-cara berikut: (1) mendeskripsian kesalahan yang dilakukan oleh siswa, (2) mendeskripsian alasan-alasan tentang penyebab terjadinya kesalahan, (3) mengidentifikasi kesalahan, (4) mengklarifikasi kesalahan, (5) memperkirakan daerah rawan kesalahan dan (6) mengkoreksi daerah rawan kesalahan. Penelitian ini dilakukan untuk melakukan analisis kesalahan yang dilakukan oleh siswa dengan cara mendeskripsikan kesalahan, mengidentifikasi kesalahan dan mengklasifikasikan kesalahan siswa tersebut. White (2010) menyatakan bahwa Newman‟s Error Analysis (NEA) merupakan alat ukur yang dapat digunakan seorang guru untuk menentukan letak kesalahan siswa. Analisis kesalahan siswa dalam menyelesaikan soal perbandingan trigonometri ini akan diklasifikasikan berdasarkan Newman „s Error Clasification. METODE PENELITIAN Penelitian ini merupakan penelitian dengan pendekatan kualitatif. Subjek penelitian dalam penelitian ini adalah siswa kelas X SMA Kristen Charis Malang tahun akademik 20132014 sebanyak 22 orang dengan pertimbangan kelas tersebutlah yang mendapatkan proyek penugasan aplikasi perbandingan trigonometri dalam kehidupan sehari-hari serta siswa dalam kelas tersebut telah mendapatkan materi perbandingan trigonometri pada jenjang sebelumnya. Prosedur dalam penelitian ini terdiri atas tahap persiapan, tahap pelaksanaan penelitian, tahap analisis data dan tahap penyusunan laporan. Pada tahap persiapan, peneliti melakukan persiapan berupa penyusunan instrumen penelitian yang merupakan tes kemampuan pemecahan masalah berbentuk soal cerita perbandingan trigonometri yang bersesuaian dengan proyek penugasan yang diberikan ke siswa. Instrumen tersebut diujikan guna mengetahui kesalahan yang dilakukan siswa dalam memecahkan masalah berbentuk soal cerita perbandingan trigonometri menggunakan tahapan analisis Newman. Pada tahap ini, peneliti memberikan tes tulis kepada siswa, kemudian diberikan waktu 30 menit untuk memecahkan soal tersebut. Siswa harus diberi kesempatan untuk berpikir dan menjawab permasalahan mereka sendiri terlebih dahulu sebelum mendapat bantuan dari orang lain (Mann, 2006). Setelah memperoleh hasil tes tulis siswa, kemudian peneliti melakukan analisis data pada hasil tes tulis tersebut. Peneliti melakukan analisis kesalahan yang dilakukan siswa dalam memecahkan soal tersebut dirunut berdasarkan tahapan analisis Newman dan mengklasifikasikan kesalahan tersebut berdasarkan Newman’s Error Clasification. Pada tahapan terakhir yaitu penyusunan laporan didasarkan pada hasil analisis data yang dilakukan peneliti. Hasil yang dideskripsikan peneliti dalam laporan adalah analisis kesalahan siswa dalam menyelesaikan soal cerita perbandingan trigonometri berdasarkan tahapan analisis Newman dan mengklasifikasikan kesalahan tersebut berdasarkan Newman’s Error Clasification. HASIL DAN PEMBAHASAN Berdasarkan hasil tes tulis subyek sebanyak 22 orang siswa kelas XI IPA SMA Kristen Charis, berikut ini akan disajikan tabel kesalahan beserta analisis kesalahan yang muncul dalam menyelesaikan soal cerita perbandingan trigonometri berikut: Tabel 2. Soal
Tes
Kerjakan soal di bawah ini dengan lengkap dan jelas dengan menyertakan komponen apa yang diketahui, ditanyakan, sketsa/gambar, keterangan sketsa/gambar, jawab dan jadi! Seorang anak berdiri dan melihat ujung menara dengan sudut elevasi 60o. Setelah berjalan menjauh 200cm dari posisi semula, anak tersebut berhenti dan melihat ujung menara dengan sudut elevasi sebesar 30o. Jika jarak tanah ke mata anak adalah 160cm, tentukan berapa meter tinggi menara tersebut
Berikut ini akan disajikan tabel klasifikasi dan jenis kesalahan siswa yang muncul dalam penyelesaian soal pada tabel 2. Tabel 3. Klasifikasi dan jenis kesalahan siswa yang muncul dalam penyelesaian soal
Kesalahan yang muncul dari hasil pekerjaan siswa Reading Error
1046
Indikasi / Keterangan
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
1
Ada siswa yang tidak mencantumkan dengan lengkap komponen yang diinginkan soal untuk dicantumkan di lembar jawaban siswa (diketahui, ditanyakan, sketsa/gambar, keterangan sketsa/gambar, jawab dan jadi) 2 Siswa menuliskan hasil akhirnya dalam unit cm Comprehension Error 1 Ada siswa yang tidak mengerti istilah sudut elevasi
2
Ada siswa yang tidak dapat menggambar sketsa dengan benar
Siswa tidak membaca soal dengan lengkap sehingga ada informasi dari soal yang terlewatkan
Pada saat siswa mengerjakan ada siswa yang bertanya kepada guru apa yang dimaksud dengan sudut elevasi Siswa salah membuat koneksi antara data yang diketahui dengan gambar yang sudah dibuat
Gambar 1 Transformation Error 1. Siswa tidak dapat menentukan langkah penyelesaian soal hal 2. Siswa salah menerapkan konsep perbandingan trigonometri
Gambar 2 Process Skill Error 1. Gambar 3 menunjukkan bahwa siswa tidak mampu menyelesaikan operasi perhitungan matematika 2. Gambar 4 menunjukkan bahwa siswa salah menginputkan data apa yang diketahui baik dari data tertulis maupun dari gambar.
Gambar 3
1047
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
Gambar 4 Encoding Error 1. Pada gambar 4 siswa menemukan jawaban yaitu tinggi menara namun tidak disertai dengan jawaban yang logis. 2. Pada gambar 5 Siswa melakukan kesalahan karena menemukan selesaian atau hasil akhir dari soal yang diminta namun tidak dapat menuliskan hasil akhir dengan benar yaitu dalam unit cm
Gambar 5
PEMBAHASAN Berdasarkan temuan kesalahan yang ditemukan dari hasil tes tertulis siswa maka ada beberapa hal yang harus diperhatikan antara lain: 1. Dari 22 orang siswa terdapat 15 orang dapat menemukan hasil akhir dengan benar dan 8 orang diantaranya menuliskan setiap komponen yang diminta soal dengan lengkap dan benar. 2. Dari 22 orang siswa terdapat 7 orang yang tidak dapat menemukan hasil akhir dengan benar. Hal ini disebabkan siswa tersebut tidak menyelesaikan langkah penyelesaian soal yang sudah mereka tuliskan ataupun sudah benar dalam penentuan langkah penyelesaian namun melakukan kesalahan dalam operasi perhitungan matematikanya 3. Jenis kesalahan siswa yang muncul berdasarkan Newman Error Classification yang telah terwakili oleh tabel 3 adalah R1, C1, C4, C5, T1, T2, P1, P2, E1 dan E2. 4. Jenis kesalahan yang paling banyak muncul pada pekerjaan siswa siswa tidak membaca soal dengan lengkap hal ini teridentifikasi dari tidak tercantumkannya komponen jawaban yang diminta oleh soal. 5. Delapan siswa yang menemukan hasil akhir dengan benar menuliskan dengan benar setiap komponen yang diminta soal dengan lengkap dan benar adalah siswa yang telah tersebar dalam masing-masing tim proyek. Selain itu memunculkan peer collaboration dalam aktivitas ini merupakan pilihan yang dapat diambil oleh guru untuk mencapai tujuannya (Paul, dkk, 2009).
1048
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Berdasarkan hasil data penelitian dan pembahasan analisis kesalahan siswa kelas XI IPA SMA Kristen Charis berdasarkan Newman Error Analysis dalam menyelesaikan soal cerita perbandingan trigonometri dapat diperoleh beberapa kesimpulan sebagai berikut: 1. Ditemukan kesalahan pada hasil tes tertulis siswa, hal ini mengidentifikasikan bahwa ada kemungkinan siswa akan melakukan kesalahan yang sama dalam pelaporan proyek penugasan. 2. Delapan siswa yang menemukan hasil akhir dengan benar menuliskan dengan benar setiap komponen yang diminta soal dengan lengkap dan benar adalah siswa yang telah tersebar dalam masing-masing tim proyek sehingga diharapkan hasil akhir dan proses pengerjaan masing-masing tim proyek dapat dilaporkan dengan lengkap dan benar. Saran Berdasarkan hasil penelitian dan kesimpulan, maka peneliti dapat mengungkapkan beberapa saran sebagai berikut: 1. Bagi guru dalam hal ini peneliti sebagai refleksi adalah melakukan review materi perbandingan trigonometri sebelum pemberian proyek penugasan ke siswa serta memastikan bahwa siswa memahami setiap istilah yang berkaitan dengan penyelesaian soal. 2. Untuk peneliti lainnya, penelitian ini masih dalam skala kecil. Apabila penelitian ini ingin dikembangkan maka dapat dilakukan dalam skala besar dengan menggunakan lebih banyak subjek. Untuk memperoleh analisis yang lebih detail dan valid maka diperlukan tahap wawancara siswa dan dilanjutkan praktek scaffolding agar hasil belajar siswa lebih baik. DAFTAR PUSTAKA Ashlock, Robert B. 2006. Error Patterns in Computation. Australia: Pearson Education ink Bell, F. H. 1978. Teaching and Learning Mathematics (In Secondary School). Iowa: Wm. C. Brown Company Publisher. Bingolbali, E., Akkoc, Hatice, Ozmantat, M. Demir, S. 2004. Pre-service an In-service Teachers’ Views of The Sources of Students’ mathematical Difficulties. International Electronic Journal of Mathematics Education. Vol 6 no 1 Brown, Tony. 2008. Truth and The Renewal of knowledge: The Case of Mathematics Education. Journal of Educ Stud Math. Vol 75: 329- 343 Cobb, P., Gresalfi, M.S., & Hodge,. L. 2008. An Interpretive Scheme for Analyzing the identities That Students Develop in Mathematics Classrooms. Journal for Research in Mathematics Education (in press). Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa, Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama Ebrink, megan. 2007. Analyzing and Addressing Common Mathematical Errors in Secondary Education. Ball State University Press Gal, H., Linchevski, L. 2010. Analyzing Difficulties in Geometry from The perspective of Visual Perception. Journal of Educ Stud Math. Vol 74: 163 – 183 Jenkins, O. F. 2010. Developing Teachers Knowladge of Student as learners of Mathematics Through Structured Interviews. Journal of Math Teacher Educ. Vol 13: 141-154 Jihad, Asep. 2008. Pengembangan Kurikulum Matematika. Yogyakarta: Multi Presindo Johnson, B.R., Koedinger, K. 2009. Iterating Between Lesson and Concept and Procedures Can Improve mathematics Knowledge. British Journal of Educational Psychology, 79, 483500 Juliet, A., Baxter, Willliams, S. 2010. Social and Analytic Scaffolding in Middle School Mathematics: Managing The Dilemma of Telling. Journal of Math Teacher Educ, Vol 13: 7- 26 Lannin, K. John, Barker. D.D, Brian. E. 2007. How Student View The general Nature of Their Error. Journal of Educ Stud Math. Vol 66: 43-59 Leikin, R., & Dinur, S. 2007. Teacher Flexibility in Mathematical Discussion. The Journal of Mathematical Behaviour, 26(4), 328- 347 Malau.L. 1996. Analisis Kesalahan Jawaban Siswa Kelas 1 SMU Kampus Nommense Pemantang Siantar Dalam Menyelesaikan Soal-Soal Terapan Siswa, persamaan Linier Dua Variabel. Tesis tidak diterbitkan. Malang: IKIP 1049
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
Mann, E. L. 2006. Creativity: The Essence of Mathematics. Journal for The Education of The Gifted, 30(2), 236-260 Newman, M.A. 1983. Strategies For Diagnosis And Remediation. Sydney:Harcourt Bruce Jovanovich Pateda, Mansoer. 1989. Analisis kesalahan. Flores: Nusa Indah Paul, N.K.L, Singh, P., Hwa. T.Y. 2009. Constracting mathematics in an Interactive classroom Context. Journal of Educ Stud Math. Vol 72: 307- 324 Polya, G. 2004. How to Solve it. New Jersey: Princeton Univercity Press. Sugiyono. 2005. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta Suyitno, Amin. 2011. Dasar-dasar dan Proses Pembelajaran Matematika 1.Semarang: FMIPA UNNES. Wena, Made. 2009. Strategi Pembelajaran Inovatif Kontemporer. Jakarta: Bumi Aksara. White, A.L.2005. Active Mathematics in Classrooms: Finding Out Why Children Make Mistake And Then Doing Something to Help Them. Square one, 15, 15 – 19. White, A.L.2010. Numeracy, Literacy and Newman’s Error Analysis. Journal of Science and Mathematics Education in South Asia, 33, 129-148. Wiens, Andrea. 2007. An Investigation Into Careless Error made by 7th Grade Mathematics Student. Math in the middle Institute partnership Action Reserch Project Report. MA Degree Department of mathematics University of Nebraska-Lincoln Zodik, P., Zaslausky, O. (2008). Characteristics of Teacher: Choise of Examples in and for The Mathematics Class Room. Journal of Educ Stud Math. Vol 69: 165-182
DIAGNOSIS KESULITAN SISWA DALAM MENYELESAIKAN SOAL CERITA LOGIKA MATEMATIKA DENGAN MAPPING MATHEMATICS SERTA UPAYA MENGATASINYA MENGGUNAKAN SCAFFOLDING Andika Adikrisna, Subanji, dan Hery Susanto Universitas Negeri Malang
[email protected] Abstrak: Tujuan penelitian ini adalah menggunakan mapping mathematics untuk mendiagnosis letak dan faktor penyebab kesulitan siswa menyelesaikan soal cerita logika matematika, serta upaya mengatasinya menggunakan scaffolding. Metode yang digunakan adalah penelitian kualitatif, dengan jenis penelitian deskriptif eksploratif. Subjek penelitian sebanyak tujuh siswa kelas X-4 SMA Negeri 1 Kusan Hilir. Data penelitian yang telah terkumpul selanjutnya direduksi, disajikan, dan disimpulkan. Hasil diagnosis menggunakan mapping mathematics memperlihatkan bahwa terdapat enam letak kesulitan yang dihadapi siswa dalam menyelesaikan soal cerita logika matematika, serta enam faktor penyebabnya. Mengetahui letak kesulitan dan faktor penyebabnya merupakan tahapan penting sebelum memberikan scaffolding, sehingga bantuan yang diberikan tepat pada letak kesulitan. Pemberian scaffolding yang tepat pada letak kesulitan, dapat mengatasi kesulitan belajar yang dihadapi siswa. Kata kunci: diagnosis, mapping mathematics, scaffolding
Munculnya kesulitan untuk memahami suatu konsep dalam proses pembelajaran merupakan hal yang wajar, ini menggambarkan bahwa siswa sedang melakukan proses berpikir. Mereka berusaha untuk mengintegrasikan informasi baru kedalam struktur kognitif yang telah dimilikinya. Skemata atau pengetahuan awal setiap siswa tidaklah sama sehingga kesulitan yang dihadapi setiap siswa pun tidaklah selalu sama. Sebagai seorang guru atau orang yang membimbing mereka belajar, kita hendaknya dapat mengenali dan memahami kesulitan yang dihadapi oleh siswa karena jika dibiarkan kesulitan tersebut tidak lagi menjadi sebuah kewajaran, melainkan menjadi masalah yang dapat menghambat perkembangan intelektual siswa.
1050
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
Kondisi yang terjadi kini selain karena konsep matematika itu bersifat abstrak, sebagian besar siswa juga tidak mampu menyelesaikan beberapa tahap yang tidak ia kuasai. Semakin lama materi yang tidak dikuasai semakin bertumpuk, sehingga muncullah persepsi di dalam diri siswa bahwa mata pelajaran matematika itu sangat sulit. Nilai-nilai di bawah KKM yang diperoleh sebagian besar siswa merupakan bukti nyata bahwa mata pelajaran matematika memang dirasakan sulit. Ketika fenomena ini diketahui oleh orang tua atau guru, mereka sering beranggapan bahwa nilai yang berada di bawah KKM tersebut merupakan dampak dari kemalasan siswa dalam belajar. Kenyataannya, guru justru tidak menyadari bahwa kesulitan-kesulitan yang dihadapi oleh siswa tersebut disebabkan oleh kurangnya perhatian, pemahaman, dan peran guru di dalam proses pembelajaran. Selain itu, tak jarang bantuan atau intervensi yang diberikan guru kurang memperhatikan letak kesulitan yang dihadapi oleh siswa. Terkadang guru justru memberikan bantuan di saat siswa juga mampu, jelas hal ini akan membuat siswa merasa terganggu. Sedangkan di saat siswa merasa memerlukan bantuan, justru diabaikan. Hal demikian juga peneliti temukan di SMA Negeri 1 Kusan Hilir, yang menjadi tempat peneliti bertugas. Ketika diberikan kesempatan untuk membimbing siswa pada pokok bahasan logika matematika dalam rangka persiapan menghadapi UN Tahun Pelajaran 2012/2013, peneliti mengawalinya dengan melakukan uji pendahuluan. Hasil uji pendahuluan menunjukkan bahwa hanya 37% siswa kelas XII IA (XII IA-1 dan XII IA-2) SMA Negeri 1 Kusan Hilir yang menjawab dengan benar semua soal logika matematika yang diberikan. Hal ini memperlihatkan bahwa sebagian besar siswa masih mengalami kesulitan dalam menyelesaikan soal logika matematika, terlebih soal logika matematika berbentuk soal cerita. Soal logika matematika berbentuk soal cerita yang dimaksud dalam penelitian ini adalah soal logika matematika yang masing-masing premisnya masih dinyatakan dalam bentuk kalimat (belum dinyatakan dalam bentuk model matematika), sebagaimana diungkapkan Hawa (1999:20) bahwa soal cerita disajikan dalam bentuk cerita yang menggunakan serangkaian katakata atau kalimat-kalimat bermakna. Dengan demikian, soal cerita merupakan soal pemecahan masalah yang dalam penyelesaiannya membutuhkan keterampilan dan pemahaman konsep matematika yang dipelajari sebelumnya. Penyelesaian soal cerita akan mengalami hambatan manakala siswa belum menguasai konsep-konsep matematika yang diperlukan dalam penyelesaiannya. Selain penguasaan konsep, kemampuan menggunakan dan mengaitkan konsep-konsep matematika juga harus dikuasai siswa. Kemampuan menggunakan dan mengaitkan konsep-konsep matematika tergantung dari penguasaan siswa terhadap masalah dalam soal cerita. Berbagai penelitian menunjukkan adanya kesulitan siswa dalam menyelesaikan soal cerita. Menurut Prastiti (1997:89-90) kesulitan yang dialami siswa dalam menyelesaikan soal cerita disebabkan oleh: (1) siswa kurang memahami bahasa dalam soal, (2) siswa kurang menguasai konsep dan menentukan operasi yang diperlukan, (3) siswa kurang memahami konsep operasi dan algoritma tertentu, dan (4) siswa tidak dapat mengaitkan jawaban model matematika kedalam masalah semula. Hasil interview guru pada penelitian Seifi, Haghverdi, dan Azizmohamadi (2012:2924) menunjukkan ketika siswa menyelesaikan soal cerita mengalami kesulitan antara lain: (1) merepresentasikan dan memahami soal 51%, (2) membuat rencana 31%, (3) kosakata 10%, (4) pengetahuan prasyarat 3%, (5) berpikir tingkat tinggi 2%, (6) tidak bisa menyatakan alasan 2%, dan (7) penghitungan 1%. Langkah awal yang harus dilakukan guru untuk membantu mengatasi kesulitan belajar siswa adalah melakukan diagnosis. Mulyadi (2010:3) menyatakan “…proses diagnosis kesulitan belajar yang penting adalah menemukan letak kesulitan dan jenis kesulitan belajar…”. Diagnosis yang digunakan dalam penelitian ini adalah mapping mathematics, yaitu suatu metode analisis khusus dari kebahasaan fungsi sistemik, analisis tematik yang mengungkap kebermaknaan matematika yang ditafsirkan. Mapping mathematics is a particular analytic method from systemic functional linguistic, thematic analysis, which reveals the mathematical meaning potential construed in discourse (Eisenmann dan Otten, 2011:451). Mapping mathematics digunakan untuk menyatakan hubungan yang bermakna antara konsep atau istilah yang berbentuk proposisi-proposisi. Proposisi-proposisi merupakan dua atau lebih konsep, istilah, atau bentuk-bentuk matematis yang dihubungkan oleh kata-kata dalam suatu unit semantik. Jadi, mapping mathematics adalah suatu diagram (visual) yang tersusun
1051
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
atas istilah atau konsep yang saling berkaitan sebagai hasil dari pemetaan terhadap masalah yang diberikan. Menurut Trianto (2008:157), pemetaan yang jelas dalam belajar matematika dapat membantu menghindari miskonsepsi yang dibentuk siswa. Melalui mapping mathematics yang dibuat, dapat dilihat keutuhan (unity) dari bangunan pengetahuan yang dimiliki. Mapping mathematics juga dapat digunakan untuk mengetahui keluasan dan kedalaman pemahaman yang menjadi prasyarat. Melalui analisis terhadap hasil mapping mathematics dari suatu masalah, dapat dilihat hubungan antara istilah yang satu dengan istilah yang lain dan selanjutnya dapat diterima sebagai hubungan yang benar. Dengan demikian, melalui mapping mathematics dapat dideteksi adanya kesulitan (trouble) dalam memecahkan masalah. Ketika melaksanakan diagnosis, guru berinteraksi secara langsung, bertindak sebagai motivator dan membimbing siswa selama proses pembelajaran berlangsung. Dalam hal ini, penerapan teori kognitif sosial yang dikembangkan oleh Lev Vygotsky sangatlah tepat. Vygotsky (dalam Lambas 2004:21) menyatakan bahwa interaksi sosial merupakan faktor terpenting dalam mendorong perkembangan kognitif seseorang. Perkembangan kognitif akan membantu dalam menyelesaikan permasalahan yang tingkat kesulitannya lebih tinggi dari kemampuan dasarnya setelah ia mendapat bantuan dari seseorang yang lebih mampu. Konsep bantuan yang dikemukakan oleh Vygotsky inilah yang disebut dengan scaffolding. Dengan kata lain, scaffolding berarti memberikan sejumlah besar bantuan kepada siswa selama tahap-tahap awal pembelajaran dan kemudian mengurangi bantuan tersebut dan memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengambil alih tanggungjawab yang semakin besar segera setelah ia dapat melakukannya. Bentuk dari bantuan itu berupa petunjuk, peringatan, dorongan, penguraian langkah-langkah pemecahan, pemberian contoh, atau segala sesuatu yang dapat mengakibatkan siswa mandiri. Pernyataan Vygotsky tersebut sejalan dengan pendapat Wood, Bruner & Ross (dalam Anghileri, 2006:33) yang menyatakan bahwa: “the notion of „scaffolding‟ has been used to reflect the way adult support is adjusted as the child learns and is ultimately removed when the learner can „stand alone‟“. Gagasan scaffolding digunakan untuk menggambarkan dukungan yang diberikan orang dewasa disesuaikan dengan kemampuan siswa dalam belajar dan akhirnya dilepas ketika siswa dapat “berdiri sendiri”. Peneliti memilih scaffolding sebagai konsep bantuan karena hal ini sesuai dengan pandangan kurikulum 2013 yang menyatakan bahwa guru mengembangkan kesempatan belajar kepada siswa untuk meniti anak tangga yang membawa siswa ke pemahaman yang lebih tinggi, yang semula dilakukan dengan bantuan guru tetapi semakin lama semakin mandiri. Bagi siswa, pembelajaran harus bergeser dari “diberi tahu” menjadi “aktif mencari tahu” (lampiran permendikbud nomor 81A tahun 2013:34). Anghileri (2006:39) memberikan tiga tingkatan scaffolding, yaitu: (1) environmental provisions, yaitu penataan lingkungan belajar yang memungkinkan berlangsung tanpa intervensi langsung dari guru, (2) explaning, reviewing and restructuring, yaitu melalui penjelasan, peninjauan, dan restrukturisasi, dan (3) developing conceptual thinking, yaitu membangun pemikiran konseptual. Penelitian tentang scaffolding telah banyak dilakukan oleh para peneliti sebelumnya, diantaranya adalah Perets (2006:393), Amiripour (2012:3330), Ismail (2011), Yakin (2011), Abadi (2013), dan Pranyata (2013). Perets (2006:393) dalam penelitiannya mengungkapkan: “There are many applications of the teaching learning space that make mathematics more meaningful and more accessible to the students. One of its most significant applications of the understanding of others”. Ada banyak aplikasi dari ruang belajar dan pembelajaran yang membuat matematika lebih bermakna dan mudah digunakan siswa. Salah satu aplikasi yang paling signifikan adalah scaffolding pemahaman dari orang lain. Lebih lanjut, Amiripour (2012:3330) dalam penelitiannya menyatakan bahwa scaffolding merupakan metode yang efektif untuk menghilangkan kesalahan konsep yang dihadapi siswa. Ismail (2011) mengemukakan bahwa dengan menggunakan scaffolding, banyak kesulitan yang dialami siswa dalam menggambar grafik fungsi kuadrat mengalami penurunan, Yakin (2011) mengemukakan bahwa pemberian scaffolding secara individu lebih efektif dan sesuai dalam mengatasi kesulitan yang dihadapi siswa. Abadi (2013) mengemukakan bahwa setelah dilakukan scaffolding proses berfikir siswa berkembang, sehingga dapat memecahkan masalah. Kebutuhan scaffolding tiap siswa berbeda, tergantung pada siswa dan masalah yang 1052
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
dihadapinya. Pranyata (2013) mengemukakan bahwa kemampuan pemecahan masalah matematika meningkat dan kesalahan yang dibuat siswa mengalami penurunan ditunjukkan pada hasil tes siswa yang lebih baik daripada sebelum diberikannya scaffolding. Berdasarkan uraian diatas, penelitian ini bertujuan untuk mendiagnosis letak dan faktor penyebab kesulitan yang dihadapi siswa dalam menyelesaikan soal cerita logika matematika dengan menggunakan mapping mathematics. Setelah letak dan faktor penyebab kesulitan terdeteksi, selanjutnya peneliti memberikan bantuan berupa scaffolding terhadap letak kesulitan. Diagnosis dan scaffolding yang tepat terhadap letak kesulitan diharapkan dapat mengatasi kesulitan belajar yang dihadapi oleh siswa. METODE PENELITIAN Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif, dengan jenis penelitian deskriptif eksploratif. Pendekatan ini dipilih karena dalam penelitian ini peneliti lebih mementingkan proses berpikir siswa dalam menyelesaikan soal cerita logika matematika daripada hasil yang diperoleh sebagaimana karakteristik dari pendekatan kualitatif. Selain mendiagnosis kesulitan siswa dalam menyelesaikan soal cerita logika matematika, dalam penelitian ini juga diberikan tindakan scaffolding oleh peneliti. Karenanya, kehadiran peneliti sangat diperlukan untuk mengumpulkan data dalam situasi yang sesungguhnya, sehingga peneliti mutlak sebagai perencana, pelaksana tindakan, penganalisis data, dan pelapor hasil penelitian. Pemilihan pendekatan ini sangat tepat karena memenuhi ciri-ciri pendekatan kualitatif sebagaimana dinyatakan oleh Creswell (2007:261-263) bahwa penelitian kualitatif itu mempunyai karakteristik sebagai berikut: (1) menggunakan latar alami sebagai sumber data langsung, (2) peneliti sebagai instrument kunci, (3) menggunakan beragam sumber data, (4) analisis data dilakukan secara induktif, (5) makna merupakan hal yang esensial, (6) proses penelitian berkembang secara dinamis, (7) menggunakan perspektif teoritis, (8) bersifat penafsiran, dan (9) membuat gambaran yang kompleks dari suatu masalah. Subjek dalam penelitian ini adalah tujuh siswa kelas X-4 SMA Negeri 1 Kusan Hilir pada semester genap tahun pelajaran 2013/2014. Dua siswa mewakili kelompok tinggi, tiga siswa mewakili kelompok sedang, dan dua siswa mewakili kelompok rendah. Pemilihan subjek penelitian didasarkan pada kesalahan dalam tes uji pendahuluan, kelancaran komunikasi, serta keterwakilan dari kelompok tinggi-sedang-rendah dengan menggunaka data nilai hasil UTS semester genap. Data yang diperoleh dalam penelitian ini berupa hasil pekerjaan siswa, catatan penelitian, dan rekaman wawancara selama proses pemberian scaffolding. Tes dalam penelitian ini dibagi dalam dua tahap, yaitu tes uji pendahuluan pada tahap pertama dan tes penugasan terstruktur pada tahap kedua. Pada tahap pertama, tes diberikan kepada seluruh siswa kelas X-4 yang berjumlah tiga puluh satu siswa. Tes pada tahap pertama bertujuan untuk memilih tujuh siswa sebagai subjek penelitian. Hasil tes memperlihatkan bahwa dari dua puluh sembilan siswa yang mengikuti tes, satu siswa menjawab dengan benar, lima siswa menjawab hampir benar, tujuh belas siswa berupaya untuk menjawab namun belum benar, dan enam siswa tidak memberikan jawaban. Siswa yang menjawab dengan benar dan siswa yang tidak memberikan jawaban, tidak dipilih sebagai subjek penelitian. Tujuh siswa yang telah terpilih sebagai subjek penelitian, selanjutnya mengikuti tes tahap kedua. Tes tahap kedua bertujuan untuk mengetahui letak kesalahan yang dilakukan melalui diagnosis menggunakan mapping mathematics, serta upaya mengatasi letak kesulitan menggunakan scaffolding. HASIL DAN PEMBAHASAN Letak Kesulitan Siswa dalam Menyelesaikan Soal Cerita pada Pokok Bahasan Logika Matematika Setelah terpilih, ketujuh siswa yang menjadi subjek penelitian selanjutnya mengikuti tes tahap kedua. Lembar hasil pekerjaan subjek dalam menyelesaikan soal cerita logika matematika pada tes tahap kedua selanjutnya didiagnosis oleh peneliti dengan menggunakan mapping mathematics. Hasil diagnosis memperlihatkan bahwa terdapat enam letak penyebab kesalahan yang dilakukan subjek dalam menyelesaikan soal cerita logika matematika. Keenam letak kesalahan tersebut secara rinci akan dibahas satu persatu sebagai berikut.
1053
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
Pertama, menggunakan huruf untuk merepresentasikan variabel. Hasil pekerjaan subjek terhadap soal penugasan terstruktur memperlihatkan bahwa tidak ada satupun subjek yang menuliskan representasi terhadap variabel yang digunakan. Semua subjek pada lembar jawabannya langsung membuat model matematika tanpa terlebih dahulu menuliskan representasi dari variabel. Ketika proses refleksi peneliti menanyakan alasan subjek tidak menuliskan representasi dari variabel yang digunakan, ada dua jawaban yang diberikan subjek kepada peneliti. Jawaban pertama karena lupa, sebagaimana yang diungkapkan oleh S1 dan S3. Jawaban kedua karena adanya anggapan bahwa representasi terhadap variabel boleh untuk tidak dituliskan (bisa diabaikan), sebagaimana yang diungkapkan oleh S2, S4, S5, S6, dan S7. Kesalahan yang dilakukan subjek sejalan dengan hasil penelitian Santoso (2013:131) yang menyebutkan bahwa representasi terhadap variabel biasanya dianggap tidak penting bagi siswa, mereka beralasan jika melakukan hal tersebut akan menghabiskan waktu penyelesaian soal keseluruhan. Mereka langsung menggunakan variabel tanpa terlebih dahulu mendefinisikan variabel-variabelnya. Biasanya dilakukan oleh siswa dengan kemampuan menengah atau tinggi. Akibatnya, tidak adanya tahapan ini membuat hasil akhir pekerjaan siswa tidak sempurna. Menuliskan representasi dari variabel merupakan bagian penting dari proses mengumpulkan informasi, sebagaimana pendapat Wu (2006) yang menyatakan bahwa langkah pertama menyelesaikan masalah diperoleh dengan cara membaca/mendapatkan semua informasi dari pertanyaan (reading/extracting all information from the question). Menuliskan representasi dari variabel yang digunakan akan membantu subjek untuk menyusun model matematika dari permasalahan yang diberikan, disamping itu juga akan memudahkan subjek untuk memeriksa kembali hasil pekerjaannya apabila terjadi kesalahan. Kesalahan dan scaffolding (Sf) menuliskan representasi dari variabel secara lengkap dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1. Kesulitan dan Scaffolding Menentukan Variabel
Kedua, menyatakan premis dan konklusi dengan menggunakan simbol. Menurut Yeo (2009) kesulitan siswa dalam memecahkan masalah disebabkan kurangnya pemahaman dari masalah yang ditimbulkan dan ketidakmampuan untuk menerjemahkan masalah menjadi bentuk matematika. Hasil refleksi memperlihatkan bahwa subjek 1 (S1) masih mengalami kesulitan untuk membuat model matematika. Hasil wawancara antara peneliti dengan subjek diperoleh informasi bahwa ada dua kesulitan yang dihadapi. Pertama, kesulitan untuk menentukan pasangan antara kata hubung logika dengan lambangnya. Kedua, kesulitan untuk menemukan kata kunci dari pernyataan majemuk sehingga tidak dapat menentukan kata hubung logika yang tepat. Kesulitan untuk menentukan pasangan antara kata hubung logika dengan lambangnya dialami oleh S1 ketika menggunakan lambang biimplikasi untuk menyatakan kata hubung implikasi. Ketika refleksi, S1 berulang kali membaca 𝑝 ↔ 𝑞 yang ditulisnya pada premis 1 sebagai 𝑝 implikasi 𝑞. Kesalahan lain juga dilakukan S1 ketika membuat model matematika dari premis 2. S1 menuliskan tanda biimplikasi untuk menyatakan disjungsi. Hasil refleksi diketahui bahwa subjek belum bisa menentukan kata kunci dari pernyataan majemuk. Misalkan, subjek belum memahami bahwa “…jika dan hanya jika…” adalah kata kunci untuk pernyataan biimplikasi.
1054
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
Kesalahan menggunakan simbol matematika sebagaimana yang terjadi pada S1, menunjukkan bahwa subjek masih belum memahami simbol matematika yang digunakan. Menurut Szombathelyi dan Szarvas (1998) siswa harus belajar bagaimana menggunakan simbol-simbol dan bagaimana mereka menyatakannya dalam bahasa matematika. Kesalahan dan scaffolding (Sf) menyatakan premis dan konklusi dengan menggunakan simbol dapat dilihat pada Gambar 2.
Gambar 2. Kesulitan dan Scaffolding Menentukan Model Matematika
Ketiga, menuliskan premis 1 ⋀ premis 2 ⋀ … ⋀ premis 𝑛 → konklusi, 𝑛 = banyak premis. Hasil refleksi menunjukkan bahwa kesalahan yang terjadi pada tahap ini hanya dialami oleh S7, subjek kesulitan untuk membuat bentuk pernyataan implikasi dari suatu argumen. Subjek terlihat bingung pada tahap ini dan belum bisa menentukan langkah penyelesaian berikutnya. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Sujiati (2011) menyimpulkan bahwa pemahaman masalah merupakan komponen penting dalam menyelesaikan masalah, karena kesulitan ini menyebabkan siswa tidak dapat melanjutkan menyelesaikan masalah yang dihadapinya. Hasil pekerjaan S7 memperlihatkan bahwa subjek belum memahami bentuk implikasi dari suatu argumen, sehingga ia tidak bisa menyelesaikan masalah yang dihadapinya. Sholeh (1998) menyatakan bahwa jika siswa tidak dapat memahami asal usul suatu prinsip, maka apabila siswa lupa rumus tersebut ia tidak mampu untuk menyelesaikan soal ataupun masalah yang diberikan. Kesalahan dan scaffolding (Sf) menuliskan simbol dari pernyataan implikasi dari suatu argumen dapat dilihat pada Gambar 3.
Gambar 3. Kesulitan dan scaffolding menentukan semua kemungkinan nilai kebenaran dari variabel
Keempat, menuliskan tabel kebenaran untuk pernyataan implikasi pada langkah 3. Hasil refleksi menunjukkan bahwa pada langkah awal, ketujuh subjek telah mampu menuliskan 1055
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
dengan tepat semua kemungkinan nilai kebenaran dari pernyataan 𝑝, 𝑞, dan 𝑟. Guna mengetahui pemahaman subjek terhadap makna dari kemungkinan nilai kebenaran pernyataan 𝑝, 𝑞, dan 𝑟, peneliti meminta subjek untuk menyampaikan idenya tentang hal tersebut. Beraneka jawaban disampaikan subjek kepada peneliti, S1, S2, S3, S5, dan S6 menyampaikan bahwa ia hanya hafal, tetapi tidak tau maknanya. Jawaban lain disampaikan oleh S4 yang menyebutkan bahwa itu sudah ketentuan. Sementara S7 yang mengatakan bahwa ia hanya menuliskan sebagaimana yang pernah dibacanya dibuku. Menurut Buxton (dalam Rina, 2007) terdapat empat tingkatan pemahaman, yaitu: (1) pemahaman meniru, pada tingkatan ini siswa dapat mengerjakan suatu soal tetapi tidah tahu mengapa, (2) pemahaman observasi, pada tingkatan ini siswa menjadi lebih mengerti setelah melihat adanya suatu pola atau kecenderungan, (3) tahapan pencerahan, tingkatan ini merupakan langkah awal untuk mencapai tingkatan pemahaman relasional oleh Skemp. Dalam tahap ini siswa mampu menjawab soal dengan baik dan tepat, tetapi baru kemudian menyadari mengapa dan bagaimana dia dapat menyelesaikannya setelah berdiskusi ulang atau mempelajari ulang materinya, (4) pemahaman relasional, pada tingkatan ini siswa tidak hanya tahu tentang penyelesaian suatu masalah melainkan juga dapat menerapkannya pada situasi lain yang relevan maupun yang lebih kompleks. Hafal terhadap suatu rumusan konsep belum tentu menjadi jaminan bahwa siswa telah belajar dalam arti yang sebenarnya. Oleh sebab itu, belajar bermakna perlu dilakukan siswa. Karena belajar bermakna dapat mengakibatkan informasi yang dipelajari siswa terintegrasi dengan struktur kognitif yang dimilikinya (Ausubel, 1968:511). Kesalahan dan scaffolding (Sf) menuliskan tabel kebenaran pernyataan implikasi pada langkah 3 dapat dilihat pada Gambar 4.
Gambar 4. Kesulitan dan Scaffolding untuk Menentukan Bentuk dari Suatu Argumen
Kelima, salah menentukan nilai kebenaran dari pernyataan tunggal/majemuk ketika melengkapi tabel kebenaran. Seperti yang dialami oleh S4, subjek tertukar menentukan nilai kebanaran dari implikasi. Seharusnya, benar implikasi salah bernilai salah dan salah implikasi benar bernilai benar. Kesalahan dan scaffolding (Sf) pada tahap ini dapat dilihat pada Gambar 5.
1056
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
Gambar 5. Kesulitan dan Scaffolding untuk Melengkapi Tabel Kebenaran
Keenam, belum memberikan jawaban sempurna. Hasil penugasan terstruktur memperlihatkan bahwa hanya S6 yang menuliskan jawaban terhadap pertanyaan soal, selebihnya masih belum selesai memberikan jawaban. Kesalahan yang terjadi pada tahap ini disebabkan karena subjek tidak mengkomunikasikan jawaban yang telah diperoleh dengan pertanyaan dari soal. Hal ini sesuai dengan pendapat Anwar (1985:2) yang menyebutkan bahwa kesalahan mungkin saja terjadi apabila hasil yang diperoleh tidak digunakan sebagai strategi dalam pengambilan keputusan (menjawab pertanyaan soal). Kesalahan dan scaffolding (Sf) menentukan jawaban dapat dilihat pada Gambar 6.
Gambar 6. Kesulitan dan scaffolding untuk memberikan jawaban soal penugasan terstruktur
Faktor Penyebab Kesulitan Siswa dalam Menyelesaikan Soal Cerita pada Pokok Bahasan Logika Matematika Berdasarkan enam letak kesalahan yang telah dipaparkan, dapat kita peroleh informasi bahwa secara umum ada enam faktor yang menyebabkan terjadinya kesalahan siswa dalam menyelesaikan soal cerita logika matematika. Pertama, adanya anggapan yang keliru dari siswa bahwa menuliskan representasi dari variabel boleh diabaikan. Kedua, siswa belum bisa membedakan simbol dari kata hubung logika matematika, termasuk kata/kalimat yang menjadi kata kuncinya. Ketiga, siswa belum memahami tentang argumen dan bentuk implikasi dari argumen. Keempat, siswa belum memahami makna “semua kemungkinan nilai kebenaran” dari 1057
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
variabel yang digunakan. Kelima, siswa belum memahami aturan menentukan nilai kebenaran dari pernyataan majemuk. Keenam, siswa tidak memeriksa kembali hasil pekerjaannya (dikaitkan dengan pertanyaan soal). Dari keenam faktor penyebab kesulitan siswa tersebut, faktor pertama dan keenam hampir dialami oleh semua subjek. Agar kesulitan yang dihadapi siswa dapat diatasi, maka peneliti memberikan bantuan menggunakan scaffolding tepat pada letak dan faktor penyebab kesulitan yang dialami oleh siswa. Scaffolding terhadap Kesulitan Menyelesaikan Soal Cerita pada Pokok Bahasan Logika Matematika Scaffolding yang diberikan dalam penelitian ini adalah scaffolding yang dikemukakan oleh Anghileri (2006) pada level pertama dan kedua yang meliputi (2) explaning, reviewing and restructuring, yaitu melalui penjelasan, peninjauan, dan restrukturisasi, dan (3) developing conceptual thinking, yaitu membangun pemikiran konseptual. Selain pada enam letak kesulitan diatas, scaffolding juga peneliti berikan kepada S5 yang menduga penyelesaian dengan cara lain terhadap soal penugasan terstruktur yang diberikan. Pemberian scaffolding yang sesuai pada setiap kesulitan menyelesaikan masalah soal cerita logika matematika dapat dilihat pada tabel berikut. Tabel 5.1 Rekap letak-letak kesulitan dan scaffolding semua subjek terhadap soal penugasan terstruktur Letak Subjek yang Bentuk-bentuk scaffolding Kesulitan mengalami kesulitan L1 S1,S2,S3,S4,S5,S6,S7 level 2: explaining menyampaikan tujuan dan manfaat menuliskan representasi dari variabel yang digunakan level 2: reviewing meminta subjek untuk memberikan representasi tertulis terhadap variabel yang digunakan L2 S1,S7 level 2: explaining meminta subjek untuk mengungkapkan pemahaman mereka (terlebih dahulu) terhadap simbol kata hubung pernyataan majemuk dan kata kuncinya level 2: explaining membaca pernyataan majemuk dan memberikan penekanan pada bagian-bagian tertentu yang menjadi kata kuncinya level 2: reviewing meminta subjek untuk melakukan refleksi dan memperbaiki jawabannya L3 S7 level 2: explaining mengajukan pertanyaan arahan, sehingga siswa dapat memahami permasalahan yang diberikan L4 S1, S2,S3,S4,S6,S7 level 2: restructuring memberikan pertanyaan arahan kepeda subjek untuk melihat adanya hubungan antara nilai kebenaran dari 𝑝, 𝑞, dan 𝑟 L5 S2,S3 level 2: reviewing meminta subjek mengingat kembali pengetahuan prasyarat yang telah dipelajari sebelumnya (cara menentukan nilai kebenaran dari pernyataan majemuk) L6 S1,S2,S3,S4,S5,S7 level 2: reviewing meminta siswa untuk membaca kembali, apa yang ditanyakan soal level 3: making connection meminta siswa untuk membuat hubungan antara apa yang ditanyakan dengan hasil yang diperoleh L7 S5 level 3: developing conceptual thinking meminta subjek untuk mencari alternatif lain menyelesaikan masalah level 3: developing conceptual thinking mengajukan pertanyaan arahan, sehingga subjek menemukan kemungkinan konsep lain yang terkait dengan masalah yang sedang
1058
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
dihadapi
Keterangan: L1 = menggunakan huruf untuk merepresentasikan variabel L2 = menyatakan premis dan konklusi dengan menggunakan simbol L3 = menuliskan simbol dari pernyataan implikasi dengan bentuk premis1 premis2 ... premis n konklusi, n banyak pemis L4 = menuliskan semua kemungkinan nilai kebenaran dari 𝑝, 𝑞, dan 𝑟 L5 = menentukan nilai kebenaran untuk pernyataan implikasi pada L3 L6 = menentukan kesimpulan L7 = menduga penyelesaian dengan cara lain KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dan analisis data yang telah dilakukan, dapat disimpulkan bahwa letak kesulitan dan scaffolding yang sesuai terjadi ketika siswa: (a) menganggap bahwa menulis representasi dari variabel boleh diabaikan. Scaffolding yang sesuai adalah menyampaikan tujuan menulis representasi dari variabel, mengingatkan agar siswa selalu menuliskan representasi dari variabel yang digunakan, (b) salah menggunakan kata hubung pernyataan majemuk yang sesuai, salah memahami lambang kata hubung pernyataan majemuk. Scaffolding yang sesuai adalah mengarahkan siswa untuk melihat pernyataan majemuk dalam bentuk yang lebih sederhana dengan cara melihatnya sebagai susunan dari pernyataan tunggal, membaca premis dan konklusi dengan cara memberikan penekanan pada kata-kata tertentu yang menjadi kata kunci, mengingatkan siswa terhadap lambang dari kata hubung logika, (c) salah menuliskan pernyataan implikasi dengan bentuk premis1 premis2 ... premis n konklusi . Scaffolding yang sesuai adalah meminta siswa untuk mengingat kembali cara menentukan bentuk implikasi dari suatu argumen, (d) salah ketika memahami makna “semua kemungkinan nilai kebenaran dari variabel yang digunakan”, salah melengkapi tabel kebenaran. Scaffolding yang sesuai adalah meminta siswa untuk melihat adanya hubungan antar nilai kebenaran dari variabel-variabel yang digunakan, mengingat kembali cara menentukan nilai kebenaran dari pernyataan tunggal maupun pernyataan majemuk, (e) salah membuat kesimpulan, dan belum selesai memberikan jawaban. Scaffolding yang sesuai adalah meminta siswa untuk memeriksa kembali kesimpulan yang telah diperoleh, mengingatkan siswa untuk menyelesaikan jawaban dengan cara menanyakan kembali apa yang diminta soal. Saran Berdasarkan hasil penelitian, beberapa saran yang dapat disampaikan sebagai berikut. Guru hendaknya melakukan diagnosis terhadap penyebab kesulitan yang dialami oleh siswa, sehingga scaffolding yang diberikan dapat efektif mengatasi kesulitan. Materi prasyarat hendaknya selalu diperhatikan oleh guru dalam setiap kegiatan pembelajaran, sehingga siswa mampu menghubungkan dan mengintegrasikan pengetahuan yang telah didapat sebelumnya dengan pengetahuan baru yang dipelajari. Temuan guru terhadap hasil pekerjaan siswa yang menduga ada penyelesaian menggunakan cara lain (terhadap penugasan yang diberikan) hendaknya ditindaklanjuti oleh guru dengan memberikan scaffolding, namun tetap harus memperhatikan materi prasyarat yang telah didapat oleh siswa. DAFTAR RUJUKAN Abadi, M.Y.S. 2013. Proses Berfikir Siswa dalam Memecahkan Masalah Optimalisasi dengan Scaffolding. Tesis tidak diterbitkan. Malang: PPs UM. Amiripour, Parvaneh, Somayeh, M., Ahmad, S. 2012. Scaffolding as Effective Method for Mathematical Learning. Indian Journal of Science and Technology, (Online), 5(9): 3328-3331, (http://www.indjst.org/index.php/indjst/article/download/30681/26575), diakses 7 Juli 2013. Anghileri, J. 2006. Scaffolding Practices that Enhance Mathematics Learning. Journal of Mathematics Teacher Education, (Online), 2006(9): 33-52, (http://id.scribd.com/doc/175687996/Scaffolding-Practices-That-EnhanceMathematics), diakses 23 Agustus 2013.
1059
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
Ausubel, D. P. 1968. Educational Psychology: A Cognitive View. New York: Holt, Rinehart and Winston. Creswell, J.W. 2009. Research Design: Pendekatan Kualitatif, Kuantitatif, dan Mixed. Terjemahan Fawaid. 2010. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Eisenmann, H.B.A. & Otten, S. 2011. Mapping Mathematics in Classroom Discourse. Journal for Research in Mathematics Education. 42(5):451-485. Hawa, S. 1999. Pembelajaran Soal Cerita Matematika dengan Model Polya pada Kelas II Sekolah Dasar. Tesis tidak diterbitkan. Malang: PPs UM. Ismail. 2011. Diagnosis dan Scaffolding Kesulitan Siswa dalam Menggambar Grafik Fungsi Kuadrat. Tesis tidak diterbitkan. Malang: PPs UM. Lambas, dkk. 2004. Materi Pelatihan Terintegrasi. Jakarta: Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah, Departemen Pendidikan Nasional. Lampiran permendikbud nomor 81A tahun 2013:34 Mulyadi. 2010. Diagnosis Kesulitan Belajar dan Bimbingan terhadap Kesulitan Belajar Khusus. Yogyakarta: Nuha Lentera. Perets, D. 2006. Enhancing Reasoning Attitudes of Prospective Elementary School Mathematics Teachers. Journal of Mathematics Teacher Education. 9:381-400. Pranyata, Y. 2013. Analisis Kesulitan Siswa dalam Memecahkan Masalah Trigonometri dan Pemberian Scaffolding. Tesis tidak diterbitkan. Malang: PPs UM. Prastiti, T.D. 1997. Pengaruh Tingkat Kemampuan Penalaran dan Pembelajaran melalui Pendekatan Pemecahan Masalah terhadap Kemampuan Menyelesaikan Soal Cerita Matematika Siswa Kelas V SDN Banjaran Kodya Kediri. Tesis tidak diterbitkan. Malang: PPs UM. Santoso, B. 2013. Diagnosis Kesulitan Siswa dalam Menyelesaikan Soal Cerita Materi Sistem Persamaan Linear Dua Variabel serta Upaya Mengatasinya Menggunakan Scaffolding. Tesis tidak diterbitkan. Malang: PPs UM. Seifi, M., Haghdevi, M., & Azizmohamadi, F. 2012. Recognition of Students Difficulties in Solving Mathematical Word Problems from the Viewpoint of Teachers. Journal of Basic and Applied Scientific Research, (Online), 2(3):2923-2928, (http://www.textroad.com/pdf/JBASR/J.%20Basic.%20Appl.%20Sci.%20Res.,%202(3) 2923-2928,%202012.pdf), diakses 22 Januari 2014. Sholeh, M. 1998. Pokok-pokok Pengajaran Matematika di Sekolah. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI. Sujiati, A. 2011. Proses Berpikir Siswa dalam Pemecahan Masalah dengan Scaffolding. Tesis tidak diterbitkan. Malang: PPs UM. Szombathelyi, A., & Szarvas, T. 1998. Ideas for developing student’s reasoning: A Hungarian Perspective. Mathematics Teacher, 91(8), 677-681. Trianto, 2008. Mendesain Model Pembelajaran Inovatif-Progresif. Prenanda Media Grup. Yakin, M.H.A. 2011. Diagnosis Kesulitan Siswa dalam Menyederhanakan Pecahan Aljabar dan Upaya Mengatasinya dengan Menggunakan Scaffolding. Tesis tidak diterbitkan. Malang: PPs UM. Yeo, K.K.J. 2009. Secondary 2 student difficulties in solving non-rutine problems. International journal for mathematics teaching and learning, 8th.
PENERAPAN PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE TEAM ASSISTED INDIVIDUALIZATION (TAI) MELALUI LESSON STUDY Aulia Ajijah SMAN 11 Banjarmasin
[email protected] Abstrak: Dalam peraturan pemerintah No. 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, Bab IV pasal 19 ayat 1 dinyatakan bahwa proses pembelajaran pada satuan pendidikan diselenggarakan secara interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang,
1060
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
memotivasi siswa untuk berpartisipasi aktif serta memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreatifitas, dan kemandirian sesuai bakat, minat, dan perkembangan fisik serta psikologi siswa. Lesson study merupakan suatu cara peningkatan mutu pendidikan yang berkesinambungan. Fokus pengamatan kegiatan Lesson study yaitu mengamati, bagaimana siswa atau kelompok siswa belajar dan saling belajar. Metode penelitian yang digunakan yaitu deskriptif. Model pembelajaran penelitian ini adalah Team Assisted Individualization (TAI). Pada pembelajaran ini siswa awalnya bekerja individu kemudian berkelompok untuk menyelesaikan permasalahan yang diberikan dan ditekankan untuk saling membantu dalam kelompok. Hasil penelitian dapat disimpulkan siswa mampu bekerjasama dalam tim meski ada beberapa kendala diantaranya masih ada siswa yang bergantung pada jawaban temannya. Kata kunci: Team Assisted Individualization, Lesson Study
Didalam peraturan pemerintah No. 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, Bab IV pasal 19 ayat 1 dinyatakan bahwa proses pembelajaran pada satuan pendidikan diselenggarakan secara interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, memotivasi siswa untuk berpartisipasi aktif serta memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreatifitas, dan kemandirian sesuai bakat, minat, dan perkembangan fisik serta psikologi siswa. Hal ini mengisyaratkan bahwa dalam pembelajaran seorang guru dituntut untuk dapat memiliki sebuah pendekatan, metode, dan teknik-teknik tertentu yang dapat menciptakan kondisi kelas pada pembelajaran yang aktif, inovatif, kreatif, dan menyenangkan. Sehingga pada akhirnya akan diperoleh kondisi kelas yang termotivasi , aktivitas yang tinggi serta hasil belajar yang memuaskan. Lesson Study dapat dijadikan jembatan untuk meniti kearah cita-cita proses pembelajaran yang ideal sebagaimana tercantum dalam Standar Nasional Pendidikan diatas. Di Jepang, guru meningkatkan kemampuan mengajarnya melalui kegiatan “Lesson Study”, suatu proses dimana para guru secara bersama-sama merencanakan, mengamati, menganalisis, dan memperbaiki pembelajaran yang dilakukannya. Lesson study merupakan salah satu upaya pembinaan untuk meningkatkan proses pembelajaran yang dilakukan oleh sekelompok guru secara kolaboratif dan berkesinambungan, dalam merencanakan, melaksanakan, mengobservasi dan melakukan pembelajaran. Lesson Study dilaksanakan dalam tiga tahapan yaitu plan (merencanakan), do (melaksanakan) dan see (merefleksi). Adapun proses pelaksanaan lesson study sebagai berikut.
Dalam tahap perencanaan, para guru yang tergabung dalam Lesson Study berkolaborasi untuk menyusun RPP yang mencerminkan pembelajaran yang berpusat pada siswa. Perencanaan diawali dengan kegiatan menganalisis kebutuhan dan permasalahan yang dihadapi dalam pembelajaran, seperti tentang: kompetensi dasar, cara membelajarkan siswa, mensiasati kekurangan fasilitas dan sarana belajar, dan sebagainya, sehingga dapat ketahui berbagai kondisi nyata yang akan digunakan untuk kepentingan pembelajaran. Kesimpulan dari hasil analisis kebutuhan dan permasalahan menjadi bagian yang harus dipertimbangkan dalam penyusunan RPP, sehingga diharapkan dapat mengantisipasi segala kemungkinan yang akan terjadi selama pelaksanaan pembelajaran berlangsung, baik pada tahap awal, tahap inti sampai dengan tahap akhir pembelajaran Pada tahapan yang kedua, terdapat dua kegiatan utama yaitu: (1) kegiatan pelaksanaan pembelajaran yang dilakukan oleh salah seorang guru model untuk mempraktikkan RPP yang telah disusun pertama, dan (2) kegiatan pengamatan atau observasi yang dilakukan oleh anggota lesson study lainnya. Para observer yang terlibat dalam kegiatan lesson study diharapkan mampu melakukan pengamatan secara teliti terhadap interaksi peserta didik dalam kegiatan pembelajaran juga terkait prilaku anak didik selama proses pembelajaran berlangsung, kegiatan observasi lebih baik di dokumenta- sikan dalam bentuk foto atau video. Tahapan ketiga merupakan tahapan yang sangat penting karena upaya perbaikan proses pembelajaran selanjutnya akan bergantung dari ketajaman analisis para perserta berdasarkan pengamatan terhadap pelaksanaan pembelajaran yang telah dilaksanakan. Kegiatan refleksi dilakukan dalam bentuk diskusi yang diikuti seluruh peserta Lesson Study yang dipandu oleh ketua tim yang ditunjuk. Diskusi dimulai dari penyampaian kesan-kesan pengamat yang telah mempraktikkan pembelajaran, dengan menyam- paikan komentar atau kesan umum maupun
1061
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
kesan khusus atas proses pembelajaran yang dilakukannya, misalnya mengenai kesulitan dan permasalahan yang dirasakan dalam menjalan- kan RPP yang telah disusun. Dengan kata lain lesson study merupakan suatu cara peningkatan mutu pendidikan yang berkesinambungan. Kegiatan Lesson study bermanfaat untuk meningkatnya pengetahuan guru tentang cara mengobservasi aktifitas belajar siswa, menguatkan hubungan kolegalitas baik antara guru maupun dengan observer selain guru, menguatnya hubungan antara pelaksanaan pembelajaran sehari- hari dengan tujuan pembangunan jangka panjang, meningkatnya motivasi guru untuk senantiasa berkembang serta meningkatnya kualitas rencana pembelajaran misalnya bahan ajar, teaching materials (hand on) dan strategi pembelajaran. Berdasarkan hal tersebut di atas, Lesson Study disajikan sebagai kegiatan PPL bagi mahasiswa pascasarjana Universitas Negeri Malang yang berasal dari input guru. Mahasiswa bekerja dalam tim yaitu terdiri 3-4 orang kemudian berdiskusi merancang rencana pelaksanaan pembelajaran dan melaksanakan KBM yang berpusat pada siswa. Hasil dari PPL ini diharapkan mampu menjadi alternatif pilihan dalam mengembangkan pengajaran disekolah ketika mahasiswa telah selesai melaksanakan pendidikannya. Pelaksanaan Lesson Study mempunyai tujuan: Memperoleh pemahaman yang lebih baik tentang bagaimana siswa belajar dan guru mengajar Memperoleh hasil-hasil tertentu yang dapat dimanfaatkan oleh para guru lainnya, diluar peserta Lesson Study Meningkatkan pembelajaran secara sistematis melalui inkuiri kolaboratif Membangun sebuah pengetahuan pedagogis, dimana seorang guru dapat menimba pengetahuan dari guru lainnya Secara Khusus pelaksanaan PPL berbasis Lesson Study bertujuan untuk Meningkatkan kemampuan inovasi dan kreasi dalam pembelajaran serta menambah kemampuan menulis karya ilmiah dan hasil praktik pembelajaran. METODE PENELITIAN PPL dilaksanakan pada bulan April 2014 di SMAN 11 Banjarmasin semester genap tahun ajaran 2013/2014. PPL dilaksanakan dengan pendekatan deskriftif kualitatif berbasis project Lesson Study. Subjek PPL adalah siswa kelas XI IPS 3 yang berjumlah 32 siswa. HASIL DAN PEMBAHASAN Lesson Study yaitu suatu model pembinaan profesi pendidikan melalui pengkajian pembelajaran secara kolaboratif dan berkelanjutan berlandaskan pronsippronsip kolegalitas dan mutual learning untuk membangun komunitas belajar. (Hendayana dkk, 2006 :10). Lesson Study dilaksanakan dalam 3 Tahapan yaitu merencanakan(plan), melaksanakan (do), dan merefleksi (see) yang berupa kegiatan yang berkelanjutan. Tujuan dari Lesson study untuk menjadikan guru yang profesional dengan merancang, mengamati, dan mengimplementasikan serta mengevaluasi dua pembelajaran yang diteliti. Pembelajaran dilengkapi dengan observasi untuk melihat proses berfikir siswa sebagai akibat dari penelitian. Pemberian instrumen pada siswa dapat berupa worksheet sehingga menunjang proses pembelajaran siswa (Verhoef dan Tall, 2011). Jullie (2011) menyatakan bahwa para guru dalam lesson study memberi dampak besar pada pembelajaran untuk meningkatkan kemampuannya dalam strategi pembelajaran siswa. Dalam pelaksanaan lesson study perlu adanya penekanan pengetahuan antara konsep dasar dan prosedur untuk membangun guru yang profesional. Saito (2006) berpendapat bahwa penyajian situasi pembelajaran perlu lebih beragam yaitu langkah yang disajikan oleh guru perlu ditentukan secara kolaboratif. Groningen dan Bennet ( 2012) menyatakan sangat penting dalam sebuah kelompok untuk memiliki kemampuan mengkolaborasikan, berdiskusi, dan merefleksikan pada pembelajaran. Guru dinilai pada kesempatan ini untuk mengobservasi siswa dan saling bertukar ide bagaimana sebuah topik diajarkan. Tahap pelaksanaan yang pertama dari kegiatan Lesson Study ini yaitu pada tanggal 4 dan 8 April 2014 bertempat di SMAN 11 Banjarmasin pada kelas XI IPS 3. Pelaksanaan plan pada tanggal 3 April 2014 di SMAN 10 Banjarmasin dan refleksi tanggal 5 April 2014 di rumah salah satu observer. 1062
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
Pembahasan Plan yaitu mengenai RPP dan LKS dengan mengacu Model pembelajaran yang digunakan adalah Team Assisted Individualization (TAI) yang mempunyai sintak : Placement test, Teaching Group, Curriculum material, Team, Team Study, Whole class unit, Fact Test dan Team score and recognition. LKS dirancang untuk memudahkan anak belajar. LKS dikerjakan terlebih dahulu oleh siswa kemudian LKS tersebut dibawa ke kelompokkelompok untuk didiskusikan. Hall dan Stegila (2003:4) menyatakan TAI merupakan kombinasi dari pembelajaran kelompok dan pembelajaran individu. Slavin (1994:335) menyatakan metode cooperative learning tipe TAI dikembangkan untuk memecahkan masalah pembelajaran klasikal diantaranya, yaitu masalah tingkat pemahaman siswa atas materi yang disampaikan oleh guru dan masalah keakuratan dan kecepatan siswa dalam belajar. Slavin menyatakan metode cooperative learning tipe TAI memiliki 8 komponen yang dijabarkan sebagai berikut. a. Placement test, yaitu pemberian tes pada permulaan program untuk mengetahui tingkat kemampuan siswa. b. Team, yaitu pembentukan kelompok heterogen yang terdiri dari 4 sampai 5 siswa berdasarkan hasil placement test c. Curriculum materials, yaitu lembar kerja siswa dalam kelompok berisi materi yang dipelajari, latihan soal, kunci jawaban latihan soal, dan lembar pengecekan jawaban bersama. d. Team study method, yaitu tahapan kegiatan belajar yang dilakukan siswa dalam kelompok. Tahapan tersebut, yaitu 1) siswa mempelajari materi pada curriculum materials dalam area tim, siswa dapat bertanya kepada guru atau teman jika diperlukan, 2) siswa mengerjakan latihan soal pada curriculum materials dan jika mengalami kesulitan siswa dapat bertanya kepada rekan setimnya atau guru, 3) pengecekan jawaban siswa yang dilakukan oleh patnernya, jika jawabannya masih salah maka siswa diminta untuk mengerjakannya kembali (membetulkannnya) hingga benar. e. Teaching groups, yaitu pengajaran ke grup – grup kecil siswa yang dilakukan oleh guru selama 5-15 menit. Guru menunjukkan konsep utama kepada siswa. Ketika guru mengajar dalam teaching group, siswa yang lain melanjutkan pekerjaan dalam timnya. f. Fact test, yaitu pengerjaan soal kuis oleh siswa berkaitan dengan materi yang sudah dipelajari. g. Whole-class units, yaitu pengajaran klasikal oleh guru. h. Team scores and team recognition, yaitu penghitungan skor tim oleh guru. Skor tim berdasarkan rata-rata jumlah hasil tes individual dan tugas yang dicakup dari masing- masing anggota tim. Kriteria dibentuk dari hasil tim. Kriteria tertinggi adalah himpunan untuk tim yang disebut “superteam”, kriteria sedang adalah himpunan untuk tim yang disebut “greatteam”, dan kriteria terendah adalah himpunan untuk tim yang disebut “goodteam”. (Slavin dkk, 1989: 23-24). Bahan pertimbangan penerapan model pembelajaran ini adalah berdasarkan penelitian sebelumnya tentang pembelajaran TAI. Menurut Awofala dkk (2012) dalam jurnalnya menyebutkan TAI efektif meningkatkan hasil belajar dalam matematika. Laras (2013) menyatakan penerapan metode TAI lebih efektif meningkatkan hasil belajar siswa dibandingkan metode ceramah. Menurut Syaifuddin (2013) menyatakan Penggunaan model pembelajaran kooperatif tipe TAI menghasilkan prestasi yang lebih baik dibandingkan dengan pembelajaran konvensional. Sintak yang akan dilaksanakan pada setiap tindakan berupa kegiatan individual, kegiatan kelompok dan tes. Dalam kegiatan individual, siswa akan belajar secara mandiri untuk menyelesaikan setiap soal yang diberikan pada LKS. Dalam kegiatan berkelompok siswa akan belajar bekerjasama dan saling mentutor temannya untuk menyelesaikan LKS yang belum bisa diselesaikan dikegiatan individual. Pada kegiatan akhir pembelajaran akan diberikan kuis dan diakhir siklus akan diberikan tes akhir. Pada pertemuan kesatu Kegiatan awal pembelajaran dimulai pada saat guru model membuka pelajaran dengan mengucapkan salam. Guru model meangawali pelajaran dengan memberi appersepsi berupa pertanyaan yang berhubungan dengan materi sebelumnya dan materi yang akan dipelajari. Pada kegiatan inti guru model memberikan LKS pada setiap siswa dan meminta mereka mengerjakan sendiri-sendiri. Guru model menanyakan apakah setiap siswa mampu menjawab 1063
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
setiap pertanyaan yang disajikan untuk mengetahui kemampuan siswa secara individu. Guru membagi siswa kedalam kelompok yang terdiri dari 5 siswa heterogen berdasarkan ulangan harian mereka sebelumnya.dan meminta mereka saling sharing jawaban apabila ada temannya yang kesulitan. Selama proses pembelajaran berlangsung, para observer melakukan tugasnya untuk mengamati kegiatan siswa. Selama siswa mengerjakan latihan guru model berkeliling untuk memantau kegiatan siswa, dan membantu kesulitan siswa. Setelah siswa selesai mengerjakan latihan, guru model memita perwakilan kelompok untuk presentasi ke depan kelas. Pada kegiatan akhir, guru model mengajak siswa untuk menyimpulkan materi pembelajaran. Selanjutnya guru memberi motivasi kepada siswa agar mempelajari kembali pelajaran yang sudah dipelajari. Tahap see dilakukan setelah pembelajaran selesai dilaksanakan. Permasalahan yang muncul secara umum selama kegiatan pembelajaran yaitu: 1. Beberapa siswa tidak mengikuti pelajaran dengan baik 2. Pada saat penyampaian materi, siswa fokus memperhatikan 3. Dalam pengerjaan LKS, ada siswa yang hanya membolak-balik LKS tanpa mengerjakan dan berusaha memahami 4. Pada saat berkelompok, beberapa siswa menggantungkan hasil jawaban kepada teman yang lebih pintar Tahap refleksi ada beberapa komentar dan saran dari observer yaitu: Observer 1: Pembelajaran TAI yang ingin dilaksanakan tidak disampaikan ke siswa Siswa masih belum sepenuhnya memusatkan perhatian terhadap penjelasan guru model Materi telah dilaksanakan dengan baik, tapi perlu memperhatikan waktu Observer 2: Model pembelajaran yang ingin diajarkan tidak disampaikan ke siswa Kegiatan apersepsi hanya mengingat materi tanpa menyajikan soal yang dapat memotivasi siswa Perlu memperhatikan waktu Observer 3: Tahapan kegiatan awal berupa motivasi tidak disajikan Pada saat siswa presentasi, guru kurang maksimal dalam mengarahkan siswa Penjelasan tentang pembelajaran apa yang akan disajikan hendaknya disampaikan Manajemen kelas hendaknya lebih diperhatikan Pada pertemuan kedua dilakukan beberapa perbaikan sesuai saran dari observer, Pada awal pembelajaran guru memberikan apersepsi dan memberi soal motivasi kepada siswa. Siswa fokus dan mencoba menjawab pertanyaan yang disajikan kemudian meminta salah satu siswa menyajikan jawaban ke papan tulis. Pada kegiatan inti Siswa mulai mengerjakan LKS secara individual kemudian masuk ke kelompok yang telah ditentukan. Siswa terlihat saling mengajari antar teman, ketika satu kelompok tersebut kesulitan siswa diperbolehkan bertanya pada guru. Setelah berdiskusi dan menemukan jawaban kemudian siswa diminta mempresentasikan hasil jawaban mereka ke depan kelas. Dengan menuliskan dan menjelaskan siswa yang lain terlihat memperhatikan teman ketika presentasi. Pada kegiatan akhir, Guru memberikan fact test kepada seluruh siswa secara individu. Kemudian memberi penghargaan pada kelompok. Tahap see dilakukan setelah pembelajaran selesai dilaksanakan. Permasalahan yang muncul secara umum selama kegiatan pembelajaran yaitu: 1. Siswa mengerjakan LKS yang diberikansecara individu meski terlihat yang mereka jawab duluan adalah soal yang bernomor tinggi, sedang nomer tersebut terbilang lebih sulit dari nomor sebelumnya. 2. Siswa bekerjasama dengan baik dan saling mengajari teman yang kesulitan 3. Pada saat presentase siswa kesulitan menyampaikan pembahasan yang mereka selesaikan di papan tulis meskipun sebenarnya mereka paham dengan soal tersebut. Kegiatan Praktik Pengalaman Lapangan (PPL) berbasis project Lesson study telah dilaksanakan sesuai dengan ketentuan yaitu 2 siklus dengan menggunakan prinsip Lesson Study yang meliputi kegiatan perencanaan pelaksanaan pembelajaran (plan), implementasi dan observasi pembelajaran (do) dan refleksi (see). Dalam pelaksanaan kegiatan PPL tersebut secara
1064
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
keseluruhan tidak ada kendala yang berarti. Bahkan, kami menemukan makna kegiatan lesson study, yaitu menciptakan komunitas guru untuk meningkatkan kualitas pembelajarannya. Ada tukar pikiran (berdiskusi) tentang hambatan maupun keberhasilan yang selama ini dihadapi guru dalam melakukan pembelajaran di sekolahnya masing-masing serta mencari solusi terhadap pelaksanaaan pembelajaran di sekolah tempat praktik yaitu di SMAN 12 Banjarmasin. Mulai mendesain rencana pembelajaran matematika sehingga menghasilkan perangkat pembelajaran yang baik, memecahkan persoalan dalam pelaksanaan pembelajaran, terutama menemukan cara agar siswa dapat senang belajar matematika. Model pembelajaran kooperatif type Team Assisted Individualization (TAI) yang digunakan pada lesson study ini dirasa cukup efektif dalam pembelajaran dikelas karena model pembelajaran ini menuntut siswa untuk bekerjasama dengan temannya. Walaupun demikian, ada beberapa kendala yang dihadapi selama melaksanakan kegiatan PPL berbasis Project Lesson Study di SMAN 11 Banjarmasin, antara lain: 1. Pengertian Lesson Study dan penggunaan model pembelajaran TAI yang dipahami oleh kelompok dan penulis masih minim (baru melakukannya) 2. Dalam melakukan observasi pencatatan kurang optimal sehingga kesulitan dalam mengidentifikasi masalah yang terjadi untuk perbaikan pembelajaran 3. Kondisi kelas yang sangat ramai, ada beberapa siswa yang kurang memperhatikan dan kurang aktif dalam pembelajaran di kelas. 4. Siswa cenderung berbicara dengan temannya ketika mereka tidak bisa menyelesaikan tugas yang diberikan. 5. Guru model terkendala pengelolaan kelas karena yang dihadapi adalah siswa-siswa dari sekolah lain yang karakteristik dan sifat-sifat siswa tersebut belum sepenuhnya dipahami sehingga dalam pelaksanaan KBM tidak optimal. Dengan memperhatikan hambatan-hambatan yang terjadi serta berbagai faktor yang mempengaruhi pelaksanaan PPL berbasis Poject Lesson Study, maka usaha-usaha yang dapat dilaksanakan dalam mengatasi hambatan-hambatan tersebut di atas adalah sebagai berikut: 1. Dalam kelompok dan individu masing-masing mencoba mencari buku referensi sehingga dapat menyamakan persepsi tentang Lesson Study yang pada akhirnya munculah kebersamaan pada kelompok. 2. Meningkatkan interopeksi diri melalui diskusi dengan teman kelompok dalam kegiatan refleksi. Disertai dengan adanya komitmen bersama antara anggota kelompok guru peserta untuk meningkatkan mutu pembelajaran di kelas. 3. Menampilkan hal inovatif karena dengan hal tersebut siswa akan termotivasi dan dapat membelajarkan mereka dengan tepat, berkesan, bermakna dan menyenangkan 4. Guru memantau siswa dengan berkeliling kelas sehingga siswa yang kesulitan bisa bertanya pada guru. 5. Melakukan evaluasi proses dan hasil pembelajaran, bekerjasama dalam mengembangkan kepribadiannya sebagai guru, serta meningkatkan kemampuan berkomunikasi selama proses pembelajaran dan ketika menyampaikan hasil pembelajarannya secara lisan maupun tertulis. Kegiatan PPL dengan menerapkan Lesson Study disekolah dapat: a. Membantu mengimplementasikan teori-teoripembelajaran yang telah diperoleh dibangku kuliah dengan karakteristik siswa yang dihadapi di sekolah praktek. b. Menciptakan rasa empati baik pada sesama tim untuk mempersiapkan pembelajaran agar pelaksanaan pembelajarannya dapat diterima siswa dengan jelas yang selanjutnya dapat memberikan kebermaknaan dan hasil belajar siswa yang baik pula c. Mendorong terjalinnya kekompakan, kerjasama serta komunikasi yang baik antara praktikan dengan guru (pihak sekolah) SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Kondisi pendidikan saat ini sudah lebih baik, namun secara kualitas pendidikan di Indonesia masih jauh tertinggal dari negara lain. Sehingga dibutuhkan suatu strategi untuk meningkatkan mutu pendidikan, yaitu dengan berbagai kegiatan seperti Lesson study. Adapun kesimpulan dalam penerapan lesson study ini yaitu:
1065
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
1. Model pembelajaran kooperatif tipe Team Assisted Individualization (TAI) efektif sebagai sarana pembelajaran di kelas 2. Model pembelajaran kooperatif tipe TAI dapat meningkatkan aktivitas belajar di kelas 3. Respon pembelajaran positif terlihat dari aktifnya siswa dalam pembelajaran berkelompok 4. Lesson study efektif digunakan untuk memperbaiki kualitas pembelajarn 5. Kualitas pembelajaran akan semakin baik jika tim dalam lesson study merencanakan plan dengan efektif Saran 1. Pelaksanaan Lesson Study perlu dirancang dengan efektif dan perlu dilaksanakan secara berkesinambungan untuk meningkatkan kualitas pembelajaran dikelas 2. Jumlah observer perlu ditambah untuk bisa mengawasi siswa secara efektifsehingga aktivitas siswa lebih terawasi 3. Para Guru SMA diharapkan menggunakan pembelajaran kooperatif tipe TAI sebagai alternatif pembelajaran matematika DAFTAR RUJUKAN Aoibhinn. 2013. Lesson Study in a Community of Practice: A Model of In-School Professional Development. (online). http://www.tcd.ie/Education/research/degrees/supervised/aoibhinn-nishuilleabhain/TrinityEducationPapersAoibhinn2013.pdf. Diakses 30 April 2014 Awofala dkk. 2012. Effect of Framing and Team Assisted Individualized Instructional Strategies on Students‟ Achievement in mathematics. (online). http://stanonline.org/journal/pdf/. Diakses 23 februari 2014 Julie A.V. 2011. Lesson Study‟s impacts on teacher perception of efficacy in teaching. (online). https://humboldt-dspace.calstate.edu/. Diakses 30 April 2014 Groningen A.P dan Bennet S. 2012. Lesson Study: Collaboration, Improvement, and Reflection.(online). http://www.ijastnet.com/journals/Vol_2_No_8_April_2012/3.pdf. Diakses 30 April 2014 Hall, Tracey dan Andrea Stegila. 2003. Peer-Mediated Instruction and Intervention, (Online), (http://aim.cast.org/learn/historyarchive/backgroundpapers/peer- mediated_instruction), diakses 4 April 2014 Rohendi, Dedi dkk. 2010. Penerapan model pembelajaran Team Assisted Individualization untuk meningkatkan hasil belajar siswa pada mata pelajaran Teknologi Informasi dan Komunikasi. (online). /cs. upi. edu/. Diakses 16 februari 2014 Saito, Eisuke et al. 2006. Indonesian lesson study in practice: case study of Indonesian mathematics and science teacher education project. http://icls.upi.edu/v5/download/Paper_RJIE.pdf (online). Dikases 30 April 2014 Slavin , Robert E., Madden, Nancy A. dan Robert J. Stevens. 1989. Cooperative Learning Models For The 3R‟s, (Online), 22 – 28, http://www.ascd.org/ASCD/pdf/journals/ed_lead/el_198912_slavin2.pdf, diakses 5 April 2014 Sudarmi, Marmi dkk. 2010. Penerapan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe TAI (Team Assited Individualization) pada materi rambatan kalor. (online) http://staff.uny.ac.id/. Diakses 12 januari 2014 Universitas Negeri Malang, 2014. Pedoman Praktik Pengalaman Lapangan (PPL) Berbasis Project Lesson Study Prodi S2 Pendidikan Matematika. Universitas Negeri Malang. Malang Verhoef & Tall. 2011. LESSON STUDY: THE EFFECT ON TEACHERS‟ PROFESSIONAL DEVELOPMENT. (online). http://homepages.warwick.ac.uk/staff/David.Tall/pdfs/dot2011b-pme-verhoef.pdf. Diakses 30 April 2014 White. A.L dan Sothwell B. 2002. Lesson Study in a Community of Practice: A Model of InSchool Professional Development for teachers of Mathematics in Years 7 to 12. (online). http://www.tcd.ie/Education/research/degrees/supervised/aoibhinn-nishuilleabhain/TrinityEducationPapersAoibhinn2013.pdf. (online). Diaksess 30 April 2014
1066
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
PENERAPAN PEMBELAJARAN TIPE THINK PAIR SHARE UNTUK MEMBANGUN BERPIKIR KRITIS SISWA KELAS XI IPA-1 SMA NEGERI 9 MALANG PADA MATERI LIMIT FUNGSI ALJABAR Diah Kismonowati, I. Nengah Parta, dan Hery Susanto Universitas Negeri Malang Abstrak: Limit fungsi aljabar adalah materi yang sulit bagi siswa XI IPA di SMAN 9 Malang. Tujuan penelitian ini adalah mendeskripsikan langkah-langkah penerapan pembelajaran tipe Think Pair Share untuk membangun berpikir kritis siswa kelas XI IPA1 SMAN 9 Malang pada materi limit fungsi aljabar. Berpikir kritis siswa perlu dibangun agar siswa lebih korektif, dapat mengungkapkan alasan dengan pijakan dasar berpikir yang kuat, reflektif dan komunikatif serta menggunakan suatu model pembelajaran agar siwa termotivasi dan aktif. Pendekatan penelitian yang digunakan adalah kualitatif dengan kuantitatif sebagai pendukungnya. Ini merupakan penelitian tindakan kelas yang datanya diambil saat proses pembelajaran berlangsung.Hasil dari pengamatan observer untuk guru dan siswa menunjukkan kriteria”sangat baik”. Hal itu didukung oleh data kuantitatif yang merupakan hasil pengerjaan LKS dan tes. Hasil menunujukkan lebih dari 26 siswa telah memenuhi kriteria KKM dan kemampuan berpikir kritis. Ini menunjukkan bahwa berpikir kritis siswa terbangun dengan tipe pembelajaran Think Pair Share. Kata kunci: membangun, berpikir kritis, Think Pair Share, limit fungsi aljabar
Materi Limit Fungsi Aljabar adalah materi yang diberikan dikelas XI IPA semester genap pada kurikulum KTSP 2006 dan merupakan materi dasar yang sangat penting dalam penguasaan materi selanjutnya, namun demikian materi ini juga dianggap sulit oleh siswa. Hal ini didukung oleh pernyataan teman sejawat bahwa, hasil tes siswa sebanyak 75 % dari jumlah siswa selalu mendapatkan nilai dibawah KKM sekolah setiap tahun. Tujuan membangun berpikir kritis siswa kelas XI IPA-1 diberikan adalah untuk meluaskan wawasan dan pola berpikir siswa agar mereka lebih cermat,korektif dalam menyelesaikan soal-soal, dapat mengungkapkan alasan sebagai dasar yang kuat dalam menentukan langkah-langkah penyelesaian matematika, reflektif dan komunikatif.Dengan kemampuan itu, diharapkan siswa lebih mudah mengeksplorasi pengetahuan awalnya untuk dikaitkan dengan pengetahuan baru yang dihadapinya. Untuk dapat mewujudkan membangun berpikir kritis siswa, dibutuhkan suatu model pembelajaran yang dapat mengaktifkan kegiatan siswa. Salah satu model pembelajaran yang dipilih oleh peneliti yaitu model pembelajaran tipe Think Pair Share.Model pembelajaran tipe Think Pair Share adalah pembelajaran yang memiliki tahapanThink(berpikir sendiri), Pair (berpasangan dengan teman sebangku),Share (berbagi dengan kelompoknya atau berbagi dengan teman satu kelas). Hal ini didukung oleh Lie (2005:57) yang berpendapat bahwa tekhnik berpikir sendiri, dan berpasangan dua-dua, memberi kesempatan lebih banyak kepada setiap siswa untuk dikenali dan menunjukkan partisipasi mereka kepada orang lain.Pemilihan ini didasarkan pada permasalahan permasalahan di kelas pada pembelajaran sebelumnya dimana ditemukan siswa malas menulis/cenderung mendikte temannya, memilih teman yang dianggap pandai dan meninggalkan teman sebangkunya dalam berdiskusi, terdapat siswa yang ranking 1 paralel dan yang paling rendah yang sulit untuk berkomunikasi. Lutfiyah (2009), menyatakan bahwa, pada saat berpasangan siswa yang berkemampuan rendah mendapat bantuan dari siswa yang berkemampuan tinggi untuk dapat mengkonstruksi pengetahuan terhadap pikirannya.Adapun tujuan dari penelitian ini adalah mendiskripsikan penerapan pembelajaran tipe Think Pair Share untuk membangun berpikir kritis siswa kelas XI IPA-1SMAN 9 Malang pada materi limit fungsi aljabar.Hal tersebut dimaksudkan agar dapat mengetahui bagaimana menyelesaikan permasalahan siswa dalam bersosialisasi dengan teman sekelasnya dan juga diharapkan dapat membangun berpikir kritisnya.
1067
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
METODE PENELITIAN Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan penelitian kualitatifdan kuantitatif sebagai pendukungnya. Menurut Kurt Lewin (dalam Kusnandar, 2008), jenis penelitian ini adalah penelitian tindakan. Penelitian tindakan adalah suatu rangkaian langkah yang terdiri atas empat tahap yakni perencanaan, tindakan, pengamatan, dan refleksi. Penelitian tindakan ini dikhususkan pada penelitian didalam kelas yang disebut PTK sehingga data yang diperoleh adalah data yang didasarkan pada pengamatan terhadap tindakan guru dan aktivitas siswa selama proses pembelajaran Penelitian ini berangkat dari permasalahan yang ada di kelas dimana peneliti sebagai pengelola kelas kemudian direfleksikan (dilakukan pemikiran kembali terhadap proses pembelajaran yang dijalankan) dan dianalisis berdasarkan teori-teori yang menunjang serta didukung oleh pendapat-pendapat teman sejawat. Dalam penelitian ini, fokus utamanya adalah suatu kegiatan yang berupaya untuk memperbaiki pembelajaran. Peneliti dalam hal ini bertindak sebagai perencana, perancang, pelaksana, pengumpul data, penganalisis data, dan pelapor penelitian. Dengan adanya penelitian ini diharapkan guru dapat memperbaiki pembelajaran, meningkatkan hasil belajar, dan menemukan alternatif pengelolaan kelas yang lebih efektif dengan menggunakan model pembelajaran tipe Think Pair Share. 1. Hasil Validasi Perangkat Perkuliahan dan Instrumen Penelitian Data hasil validasi perangkat pembelajaran dan instrumen tes diperoleh melalui kegiatan validasi yang dilakukan oleh 3 orang validator, yaitu dua dosen dan satu guru senior.Setelah mengisi lembar validasi, skor hasil validasi dari masing-masing validator ditotal kemudian diolah menjadi persentase skor rata-rata hasil validasi.Hasil validasi terhadap perangkat pembelajaran dan instrumen penelitian dianalisis dengan menentukan jumlah skor perolehan masing-masing perangkat dan dikonsultasikan dengan kriteria sebagai berikut: 𝐏𝐞𝐫𝐬𝐞𝐧𝐭𝐚𝐬𝐞 𝐊𝐞𝐛𝐞𝐫𝐡𝐚𝐬𝐢𝐥𝐚𝐧 =
Skor Deskriptor yang muncul × 100% Deskriptor maksimal
Hasil perhitungan persentase keseluruhan komponen supaya mampu memberikan makna dan pengambilan keputusan digunakan ketetapan seperti tertera pada Tabel 3.2 berikut: Tabel. 1. Pengambilan Keputusan Revisi Perangkat Pembelajaran Tingkat Pencapaian
Kualifikasi
80< 𝑋 ≤ 100 sangat layak Layak 60 < 𝑋 ≤ 80 40 < 𝑋 ≤60 cukup layak 20 < 𝑋 ≤ 40 kurang layak 0 ≤ 𝑋 ≤ 20 sangat kurang layak (Sumber dari Wahyu (2011)
Keterangan tidak perlu direvisi tidak perlu direvisi Direvisi Direvisi Direvisi
2. Data Hasil Observasi Aktivitas Siswa dan Guru (peneliti) Untuk mengetahui penerapan model Think Pair Share (TPS), maka data yang diperlukan berupa data hasil pengamatan melalui lembar observasi mengenaiketepatan guru dan siswa dalam menerapkan tahapan pembelajaran dengan model TPS berdasarkan rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP). Persentase keberhasilan tindakan guru ini dihitung dengan rumus sebagai berikut: 𝐏𝐞𝐫𝐬𝐞𝐧𝐭𝐚𝐬𝐞 𝐊𝐞𝐛𝐞𝐫𝐡𝐚𝐬𝐢𝐥𝐚𝐧 =
Skor Deskriptor yang muncul . 100% Deskriptor maksimal
Kesimpulan analisis data disesuaikan dengan kriteria persentase skor rata-rata hasil observasi dapat dilihat dalam Tabel 2. Tabel. 2 Kriteria Skor Hasil Observasi Kegiatan Guru dan Siswa No Persentase Keberhasilan Tindakan 1 80% < 𝑋 ≤ 100% 2 60% < 𝑋 ≤ 80% 3 40% < 𝑋 ≤ 60% 4 20% < 𝑋 ≤ 40% 5 0% ≤ 𝑋 ≤ 20% (Sumber dari Wahyu (2011)
1068
Taraf keberhasilan Sangat Baik Baik Cukup Kurang Sangat Kurang
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
3. Data Hasil Lembar Kegiatan Sisws (LKS) Untuk mengetahui kemampuan berpikir kritis siswa dengan menerapkan model Think Pair Share (TPS), salah satu data yang diperlukan berupa data hasil pengerjaan LKS oleh siswa. Setelah hasil pekerjaan siswa diperoleh dari hasil pengerjaan LKS, kemudian diberi skor sesuai dengan pedoman penskoran kemampuan kognitifnya dan dianalisis dengan menggunakan rumus berikut: 𝑆𝑇 𝑆𝐴 = × 100 𝑆𝑀 Keterangan: SA = Skor akhir hasil pengerjaan LKS satu siswa S T = Skor total hasil pengerjaan LKS satu siswa S M = Skor maksimal hasil pengerjaan LKS Setelah diperoleh hasil pengerjaan LKS dari siswa juga dinilai kemampuan berpikir kritisnya dengan pedoman penskoran berpikir kritis. Pada tahap Think penilaian berpikir kritis dinilai berdasarkan banyaknya indikator berpikir kritis yang muncul sesuai dengan rubrik penilaian yang telah dibuat dengan rincian sebagai berikut: Tabel. 3 Penilaian Berpikir Kritis Siswa di LKS Pada Tahap Think Indikator Kriteria Fokus (focus) Menentukan penalaran yang tepat sesuai dengan fokus pertanyaan Memberi Alasan Memberikan alasan yang mendukung atau melawan kesimpulan yang dibuat (reasons) berdasar situasi dan fakta yang relevan Menarik Kesimpulan Membuat kesimpulan beralasan yang dapat diterima (inference) Memahami Situasi Mengetahui situasi/model soal dan dapat menentukan arah penyelesaian soal. (situation)
Pada tahap Pair dan Share, digunakan penilaian berpikir kritis sesuai dengan kajian indikator berpikir kritis pada BAB II. Hasil penilaian kemudian dianalisis dengan menggunakan rumus persentase kemampuan berpikir kritis berikut: skor perolehan siswa Tingkat Kemampuan Berpikir Kritis Siswa = . 100% skor maksimal Tabel. 4 Kategori Skor Kemampuan Berpikir Kritis No. Skor Kategori 1. 90% TPS 100% Sangat Kritis 2. Kritis 75% TPS 90% 3. Cukup Kritis 60% TPS 75% 4. Kurang Kritis 40%≤ TPS 60% 5. TPS <40% Sangat Kurang Kritis (Sumber dari Hobri (2010: 58))
4. Data Hasil Tes Belajar Data tentang hasil tes belajar siswa diperoleh dari hasil tes tertulis siswa pada akhir penelitian siklus 1 dan siklus 2. Data yang diperoleh berupa data kuantitatif kemampuan kognitif siswa dan kemampuan berpikir kritis siswa. Setelah hasil tes siswa didapatkan, penilaian kognitif hasil tes diberi skor sesuai pedoman penskoran kemudian dianalisis menggunakan aturan: 𝑆𝑅 =
𝑆𝑇 × 100 𝑆𝑀
Keterangan: SR = Skor rata-rata hasil tes satu siswa S T = Skor total hasil tes satu siswa S M = Skor maksimal hasil tes Kriteria keberhasilan tindakan ditentukan berdasarkan kriteria belajar tuntas.Siswa dikatakan tuntas dalam belajar jika siswa memperoleh skor 78 sedangkan keberhasilan kelas 1069
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
minimal 26 siswa mendapat skor 78Setelah hasil pekerjaan siswa diperoleh dari hasil pengerjaan tes, kemudian diberi skor sesuai dengan pedoman penskoran berpikir kritis. Penilaian berpikir kritis diperoleh berdasarkan banyaknya indikator berpikir kritis yang muncul sesuai dengan rubrik penilaian yang telah dibuat dengan rincian sebagai berikut: Tabel. 5 Penilaian Berpikir Kritis Siswa di Tes Akhir Indikator Kriteria Fokus (focus) Menentukan penalaran yang tepat sesuai dengan fokus pertanyaan Memberi Alasan Memberikan alasan yang mendukung atau melawan kesimpulan yang dibuat (reasons) berdasar situasi dan fakta yang relevan Menarik Kesimpulan Membuat kesimpulan beralasan yang dapat diterima (inference) Memahami Situasi Mengetahui situasi/model soal dan dapat menentukan arah penyelesaian soal. (situation)
Hasil penilaian kemudian dianalisis dengan menggunakan rumus persentase kemampuan berpikir kritis berikut: skor perolehan siswa Tingkat Kemampuan Berpikir Kritis Siswa = . 100% skor maksimal
Tabel. 6 Kriteria Skor Kemampuan Berpikir Kritis No. Skor Kategori 1. 90% TPS 100% Sangat Kritis 2. Kritis 75% TPS 90% 3. Cukup Kritis 60% TPS 75% 4. Kurang Kritis 40%≤ TPS 60% 5. TPS <40% Sangat Kurang Kritis (Sumber dari Hobri (2010: 58))
5. Data Hasil Wawancara Wawancara dilakukan untuk mengetahui pemahaman, kesenangan, dan motivasi siswa terhadap pelaksanaan pembelajaran dengan menggunakan pembelajaran kooperatif tipe Think Pair Share pada materi Limit Fungsi Aljabar. Pelaksanaan wawancara dilakukan terhadap 9 siswa dengan pertimbangan, yaitu 3 siswa dari kelompok berkemampuan tinggi, 3 siswa dari kelompok berkemampuan sedang, dan 3 siswa dari kelompok berkemampuan rendah. HASIL PENELITIAN Data hasil penelitian siklus 1 dan siklus 2 telah dijelaskan pada refleksi siklus 1 dan siklus 2.Berdasarkan penjelasan tersebut, dapat disimpulkan bahwa penelitian pada siklus 1 dan siklus 2 telah sesuai dengan kriteria keberhasilan yang telah ditetapkan. Data hasil penelitian dipaparkan sebagai berikut: (1) untuk LKS persentase klasikal yang memperoleh skor kognitif ≥ 80 adalah 73,3 % pada siklus 1 dan 92,6% pada siklus 2 dengan kriteria keberhasilan 72,2%, (2) untuk LKS persentase klasikal yang memperoleh skor berpikir kritis ≥ 75 adalah 65,38 % pada siklus 1 dan 91,2% pada siklus 2 dengan kriteria keberhasilan 72,2%, (3) untuk tes akhir persentase klasikal yang memperoleh skor kognitif di atas KKM ≥ 78 adalah 77,7 % pada siklus 1 dan 97% pada siklus 2 dengan kriteria keberhasilan 72,2%, (4) untuk tes akhir persentase klasikal yang memperoleh skor berpikir kritis ≥ 75 adalah 83,3 % pada siklus 1 dan 97% pada siklus 2 dengan kriteria keberhasilan 72,2%, (5) untuk persentase skor rata-rata tiga observer pada kegiatan guru adalah 96,8% pada siklus 1 dan 96,05% pada siklus 2 dengan kriteria keberhasilan ≥ 80, (6) untuk persentase skor rata-rata tiga observer pada kegiatan siswa adalah 89,49% pada siklus 1 dan 92,75% pada siklus 2 dengan kriteria keberhasilan ≥ 80, (7) untuk wawancara adalah 6 siswa dari 9 siswa memahami materi limit fungsi aljabar pada siklus 1 dan 9 siswa memahami materi limit fungsi aljabar pada siklus 2. TEMUAN PENELITIAN Beberapa temuan penelitian pada guru dan siswa selama pelaksanaan tindakan adalah sebagai berikut.
1070
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
1. Penelitian ini telah menghasilkan langkah-langkah pembelajaran dengan menerapkan model Think Pair Share sehingga mampu membangun berpikir kritis siswa pada materi limit fungsi aljabar khususnya tentang limit x mendekati suatu titik tertentu. Langkahlangkah pembelajaran terdiri dari tahap Think, tahap Pair, tahap Share kelompok dan tahap Share kelas. 2. Kriteria penilaian berpikir kritis yang digunakan dalam penelitian ini adalah penilaian berpikir kritis menurut Ennis yang meliputi fokus (focus), memberi alasan (reasons), menarik kesimpulan (inference), memahami situasi (situation), memberi penjelasan (clarity), meninjau kembali (overview) yang disingkat dengan FRISCO. 3. Dilakukan modifikasi pada penilaian berpikir kritis LKS dan hasil tes akhir siklus. 4. Terjadi peningkatan skor saat pengerjaan LKS. Hal ini ditunjukkan dengan data bahwa pada siklus 1, pertemuan pertama hanya terdapat 11 anak yang dapat menyelesaikan LKS dengan nilai lebih dari sama dengan 80, namun pada pertemuan kedua terdapat 33 anak yang mendapatkan nilai tersebut. lalu pada pertemuan ketiga, 35 anak atau 100% siswa di kelas mampu memperoleh nilai LKS lebih dari sama dengan 80. Sedangkan pada siklus 2, pertemuan pertama dan kedua, sebanyak 92,6 % siswa mampu memperoleh nilai LKS lebih dari sama dengan 80. 5. Terjadi peningkatan yang signifikan pada skor berpikir kritis pada saat mengerjakan LKS, yaitu pada siklus pertama 65,38 % kemudian pada siklus kedua 91,2 %. 6. Hasil tes akhir yang diperoleh siswa setelah tindakan juga menunjukkan hasil yang baik yaitu yang mendapat lebih dari sama dengan 78, pada siklus pertama adalah 77,7 % dan pada siklus kedua 97 %. Sedangkan untuk nilai berpikir kritis, pada siklus I adalah 83,33 % dan pada siklus II adalah 97 %. Hal ini menunjukkan bahwa pemahaman dan berpikir kritis siswa telah terbangun. 7. Dari hasil observasi guru terhadap subyek penelitian, proses pembelajaran menggunakan model Think Pair Share menunjukkan hasil yang sangat baik. 8. Berdasarkan hasil wawancara, siswa merasa senang dengan model Think Pair Share yang diterapkan. salah satu faktor prnghambat yang dikemukakan perwakilan siswa dalam penerapan pembelajaran dengan model Think Pair Share ini adalah siswa cenderung ramai saat berdiskusi sehingga tidak semua siswa dapat berkonsentrasi terhadap pembelajaran dengan baik. 9. Modifikasi pada model Think Pair Share yang dilakukan mendapatkan respon yang positif dari subyek penelitian, mereka lebih menyukai diadakannya diskusi kelompok terlebih dahulu sebelum diadakan diskusi kelas. Hal ini dikarenakan pada diskusi kelompok siswa mendapatkan penguatan argumen dari teman-teman dalam kelompok sehingga mempunyai kepercayaan diri yang lebih untuk mengungkapkan idenya. 10. Tindakan guru pada pembelajaran limit fungsi aljabar dengan model Think Pair Share yang telah dimodifikasi berhasil membangun berpikir kritis siswa kelas XI IPA1 SMAN 9 Malang. Hal ini didasarkan pada perubahan sikap siswa antara lain : (1) dari pasif saat pembelajaran menjadi aktif seluruhnya,(2) dapat memberikan alasan dari setiap pendapat yang dikemukakan dengan jelas dan tepat saat diskusi baik di tahap Pair maupun Share.(3) Ada kemauan belajar di rumah dari yang sebelumnya tidak mau belajar ini diperoleh dari hasil wawancara. PEMBAHASAN Pembelajaran limit fungi aljabar dalam penelitian ini dilaksanakan dalam lima kali pertemuan yang terbagi ke dalam dua siklus, yaitu tiga pertemuan pada siklus pertama dan dua pertemuan pada siklus kedua. Pada tiap akhir siklus, ditambahkan satu pertamuan untuk melakukan tes akhir siklus. Pada siklus pertama, pertemuan pertama untuk menemukan pengertian limit fungsi aljabar di satu titik secara intuitif, pertemuan kedua untuk menentukan cara menyelesaikan limit fungsi aljabar untuk x → a dan pertemuan ketiga untuk memantapkan pemahaman siswa tentang penyelesaian limit fungsi aljabar untuk x→ a serta siswa diminta membuat refleksipada akhir pelajaran pertemuan ketiga. Pada siklus kedua, pertemuan pertama 𝑓(𝑥) untuk menentukan limit fungsi aljabar di tak hingga dengan bentuk fungsi rasional dan 𝑔(𝑥)
pada pertemuan kedua untuk menentukan limit fungsi aljabar di tak hingga dengan bentuk fungsi f(x) – g(x). 1071
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
Dalam setiap pertemuan, secara umum pembelajaran terbagi ke dalam tiga tahap kegiatan yaitu kegiatan pendahuluan, kegiatan inti, dan kegiatan akhir atau penutup.Kegiatan pendahuluan ini dilakukan dengan tujuan menyiapkan siswa secara mental maupun secara fisik sebelum memulai pelajaran. Orton (1992)menyatakan bahwa siswa yang telah siap untuk belajar akan memperoleh hasil belajar yang baik daripada siswa yang tidak siap. Persiapan mental yang dimaksud meliputi kegiatan-kegiatan sebagai berikut: (1) mengucap salam; (2) menyampaikan tujuan pembelajaran. Tujuan pembelajaran diberikan agar siswa dapat mengetahui arah pembelajaran sehingga siswa termotivasi untuk melaksanakan pembelajaran dan mencapai hasil belajar maksimal (Uno, 2008: 34); (3) memberikan pengenalan tentang model pembelajaran yang akan digunakan, dan; (4) tanya jawab materi prasyarat yang diperlukan.Sedangkan persiapan fisik meliputi mengumumkan pembagian kelompok siswa dan menyediakan sarana pembelajaran seperti LKS, lembar tugas kelompok dan penataan tempat duduk sesuai kelompok. Penggunaan LKS pada sikuls I dan siklus II bertujuan mengarahkan siswa untuk dapat memahami materi limit fungsi aljabar. LKS ini berisi langkah-langkah model Think Pair Share dan soal-soal yang dapat menuntun siswa memahami materi yang dipelajari dan dapat mengeksplorasi pengetahuannya baik secara individu maupun kelompok, serta dapat membuat alasan dan kesimpulan yang tepat sesuai dengan yang diharapkan dalam mempelajari limit fungsi aljabar, sehingga kegiatan belajar siswa merupakan kegiatan belajar yang bermakna(meaningful learning). Pada kegiatan inti, mula-mula siswa melalui tahap Thinkdengan mengerjakan LKS secara individu. Selanjutnya siswa bekerja berpasangan dengan teman sebangku pada tahap Pair.Tahap Pair dimaksudkan untuk memberi kesempatan siswa mendiskusikan apa yang telah diperoleh Pada tahap Think sebelum memasuki tahap Share kelompok. Guru memberikan waktu 10-15 menit pada siswa untuk berdiskusi berpasangan. Pada tahap selanjutnya yaitu tahap Share dibagi menjadi dua tahapan yaitu Share kelompok dan Share kelas. Tahap Share kelompok dimulai dengan membagi 36 siswa menjadi enam kelompok besar yang masing-masing terdiri dari tiga pasang siswa.Penyelesaian LKS dengan diskusi kelompok baik secara berpasangan atau penggabungan tiga kelompok bertujuan agar terjadi interaksi sosial dan saling membantu antar siswa baik yang mempunyai kemampuan rendah, sedang dan tinggi.Siswa diarahkan untuk saling mengisi dan saling belajar berkomunikasi untuk menjaga kekompakan dalam kelompoknya sehingga pada saat harus mempresentasikan hasil diskusi kelompoknya mereka dapat mempresentasikan dengan baik. Misalnya ketika mengaitkan hasil pengisian tabel pada LKS dengan pengertian limit fungsi aljabar secara intuitif, terdapat beberapa anggota kelompok yang belum dapat mengaitkan hal tersebut, maka anggota yang lain membantu mendiskusikan untuk menarik kesimpulan yang tepat. Sesuai dengan Eggen & Kauchack (2001) yang menyatakan bahwa pemahaman siswa akan meningkat disebabkan adanya interaksi dalam kelompok. Selanjutnya, memasuki tahap Share kelas, setiap kelompok menunjuk wakilnya untuk mempresentasikan hasil diskusi kelompok untuk diperbandingkan dengan hasil kelompok lain. Tidak sedikit terjadi perdebatan antar kelompok karena masing-masing kelompok mencoba untuk mempertahankan pendapatnya masing-masing dengan memberikan alasan-alasan pendukung pendapatnya.Perdebatan yang terjadi memicu adanya kompetisi antar kelompok, hal ini berdampak siswa berusaha untuk lebih bekerjasama di dalam kelompok agar mendapat nilai yang terbaik.Kagan (1994) menyatakan bahwa kekompakan antar kelompok juga didukung adanya kompetisi antar kelompok yang dimunculkan oleh guru termasuk penggantian juru bicara antar kelompok sangat berperan untuk membuat kelompok kompak dan bangga dengan kelompoknya sehingga hubungan sosial mereka menjadi semakin baik.Gurudalam hal ini berperan sebagai fasilitator diskusi yang bertugas memberikan bimbingan dan arahan kepada siswa melalui pertanyaan-pertanyaan pancingan untuk siswa mengembangkan ide dalam diskusinya. Kegiatan penutup dimulai dengan presentasi hasil pengerjaan tugas kelompok, yang kemudian dievaluasi bersama guru dan siswa.Tugas kelompok diberikan sebagai penguatan atas materi yang telah didiskusikan pada tahap Think Pair Share.Selanjutnya pada tiap akhir siklus dilakukan tes akhir. Dari ketiga tahap kegiatan pembelajaran tersebut, di dalamnya melibatkan indikator berpikir kritis FRISCO, yaitu Focus (Fokus), Reasons (Memberi alasan), Inference (Menarik 1072
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
kesimpulan), Situations (Memahami situasi), Clarity (Memberi penjelasan), dan Overview (Meninjau kembali). Penggunaan dari masing-masing indikator berpikir kritis selama proses pembelajaran dapat dijelaskan sebagai berikut. Fokus, di dalam LKS terdapat instruksi-instruksi maupun pertanyaan yang menuntut siswa untuk dapat memfokuskan arah pertanyaan tersebut sehingga mampu menentukan penalaran yang tepat sesuai dengan fokus pertanyaan.Salah satu contoh soal yang mengandung indikator berpikir kritis ini adalah soal berbentuk tabel tentang mencari nilai fungsi jika diketahui nilai x-nya. Siswa yang fokus, akan mampu menentukan nilai fungsi tanpa menggunakan kalkulator karena dapat menganalisis pengerjaan soal tersebut dengan penalaran yang tepat serta menemukan pola nilai fungsi yang terdapat pada tabel. Memahami situasi, dengan melmendapat nilai yang terbaik.Kagan (1994) menyatakan bahwa kekompakan antar kelompok juga didukung adanya kompetisi antar kelompok yang dimunculkan oleh guru termasuk penggantian juru bicara antar kelompok sangat berperan untuk membuat kelompok kompak dan bangga dengan kelompoknya sehingga hubungan sosial mereka menjadi semakin baik.Gurudalam hal ini berperan sebagai fasilitator diskusi yang bertugas memberikan bimbingan dan arahan kepada siswa melalui pertanyaan-pertanyaan pancingan untuk siswa mengembangkan ide dalam diskusinya. Kegiatan penutup dimulai dengan presentasi hasil pengerjaan tugas kelompok, yang kemudian dievaluasi bersama guru dan siswa.Tugas kelompok diberikan sebagai penguatan atas materi yang telah didiskusikan pada tahap Think Pair Share.Selanjutnya pada tiap akhir siklus dilakukan tes akhir. Dari ketiga tahap kegiatan pembelajaran tersebut, di dalamnya melibatkan indikator berpikir kritis FRISCO, yaitu Focus (Fokus), Reasons (Memberi alasan), Inference (Menarik kesimpulan), Situations (Memahami situasi), Clarity (Memberi penjelasan), dan Overview (Meninjau kembali). Penggunaan dari masing-masing indikator berpikir kritis selama proses pembelajaran dapat dijelaskan sebagai berikut. Fokus, di dalam LKS terdapat instruksi-instruksi maupun pertanyaan yang menuntut siswa untuk dapat memfokuskan arah pertanyaan tersebut sehingga mampu menentukan penalaran yang tepat sesuai dengan fokus pertanyaan.Salah satu contoh soal yang mengandung indikator berpikir kritis ini adalah soal berbentuk tabel tentang mencari nilai fungsi jika diketahui nilai x-nya. Siswa yang fokus, akan mampu menentukan nilai fungsi tanpa menggunakan kalkulator karena dapat menganalisis pengerjaan soal tersebut dengan penalaran yang tepat serta menemukan pola nilai fungsi yang terdapat pada tabel. Memahami situasi, dengan melakukan penalaran yang tepat, siswa akan mampu memperoleh jawaban yang tepat. Memahami situasi yang dimaksud adalah mengetahui situasi soal sehingga dapat menentukan arah penyelesaian soal. Contoh soal dari indikator berpikir kritis ini adalah soal pada LKS 1 siklus 1 sebagai berikut: tentukan nilai 𝑙𝑖𝑚𝑥→0− 𝑓(𝑥),(ditinjau dari sebelah kiri 0) dengan cara mengisi tabel berikut ini! Pada contoh soal ini, siswa dituntut untuk dapat menyelesaikan soal dengan memperkirakan nilai fungsi yang akan diperoleh ketika nilai x semakin mendekati 0. Jawaban yang tepat adalah 𝑙𝑖𝑚𝑥→0− 𝑓(𝑥) = 1, jika siswa tidak dapat memahami situasi soal dengan baik, mungkin siswa akan menjawab 1,00...01 sehingga menghasilkan jawaban yang kurang tepat. Memberi alasan, selain memuat soal yang menuntut siswa untuk dapat menentukan fokus permasalahan, LKS juga memuat soal yang menuntut siswa untuk memberikan alasan yang mendukung ataupun melawan jawaban yang telah mereka hasilkan.Hal ini berguna untuk membantu siswa menentukan kesimpulan. Menarik kesimpulan, berdasarkan analisis yang dilakukan siswa pada soal-soal dalam LKS, siswa dapat menggunakan hasil analisis tersebut untuk membuat kesimpulan.Dibutuhkan kemampuan untuk merangkai alasan-alasan yang tepat untuk menguatkan kesimpulan yang dibuat.Siswa dilatih untuk mengkaitkan data-data yang telah diperoleh untuk mendapatkan kesimpulan yang tepat disertai dengan alasan yang benar. Indikator berpikir kritis menarik kesimpulan tidak hanya muncul pada tahap Think pada soal LKS akan tetapi juga muncul pada tahap Share, karena setelah siswa melakukan diskusi kelompok, siswa diharuskan untuk menghasilkan suatu kesimpulan akhir kegiatan. Memberi penjelasan, indikator berpikir kritis ini muncul pada tahap Pair dan Share, karena pada kedua tahap tersebut siswa diberi kesempatan untuk saling bertukar pendapat
1073
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
sehingga siswa dapat bertanya ataupun menjawab teman dalam diskusi dengan teman sebangku, anggota kelompok dan diskusi di kelas.Memberi penjelasan yang dimaksud adalah siswa wajib bertanya dan menjawab pertanyaan disertai dengan suatu penjelasan yang lengkap. Meninjau kembali, indikator meninjau kembali merupakan salah satu indikator yang sangat penting dimiliki siswa untuk dapat berpikir kritis dengan baik.Meninjau kembali yang dimaksud adalah kemampuan untuk meneliti kembali dan mengorganisasikan secara menyeluruh informasi yang diperoleh. Seperti halnya pada tahap Pairdan Share, siswa diminta untuk menuliskan hasil diskusinya dengan jelas dan siswa dituntut untuk dapat menentukan apakah hasil kerjanya benar atau salah. Jika jawaban siswa salah, maka siswa harus menuliskan pembetulan dari jawaban LKS tersebut.Hal ini melatih siswa untuk dapat menganalisis dengan teperinci letak kesalahan serta membantu siswa untuk terbiasa teliti dalam mengerjakan soal. Pada umumnya aktifitas pembelajaran terbentur oleh waktu sehingga guru harus pandai menyikapi agar pembelajaran tetap berlangsung dengan lancar dan sesuai dengan harapan. KESIMPULAN Berdasarkan paparan data dan pembahasan, dapat disimpulkan dua hal sebagai berikut: 1. Penerapan pembelajaran tipe Think Pair Share untuk membangun berpikir kritis siswa kelas XI IPA-1 SMAN 9 Malang pada materi limit fungsi dilakukan guru dengan langkah-langkah yang tercermin dalam RPP sebagai berikut: (1) Guru menyampaikan tujuan pembelajaran pada materi limit fungsi aljabar untuk memfokuskan perhatian siswa pada tujuan materi yang akan dicapai. (2) dengan tanya jawab guru menggali pengetahuan awal siswa,yaitu mengingatkan siswa tentang posisi titik pada garis bilangan, cara memfaktorkan, mengingatkan cara menyelesaikan limit fungsi aljabar di suatu titik, mengingatkan ketidaksamaan materi aljabar untuk mengantarkan siswa menyelesaikan limit di tak hingga secara intuitif maupun aljabaragar siswa dapat mengeksplorasi pengetahuannnya untuk memecahkan masalah pada materi berikutnya yang akan dibahas. (3) Guru menjelaskan tentang pembelajaran tipeThink Pair Share yang akan dilakukan dan mengumumkan kelompok siswa yang terdiri dari 3 pasang pada pertemuan pertama siklus 1 yang juga berlaku di siklus 2. Diharapkan dengan pengumuman itu siswa tidak terlalu jauh saat bergabung dengan kelompoknya.(4) Think, dengan menggunakan LKS yang berisi materi limit fungsi aljabar, guru memberikan permasalahan yang dapat mengarahkan siswa untuk membangun berpikir kritis yang meliputi indiator: fokus (mengetahui atau menuliskan kembali apa yang ditanyakan), memahami situasi( memahami jenis soal atau menuliskan kembali soalnya), memberi alasan ( sebelum menjawab atau memaparkan jawaban siswa harus menuliskan alasannya ) dan menarik kesimpulan (menulis hasil akhir jawaban atau menyimpulkan hasil yang diharapkan). Guru mengarahkan siswa bahwa soal, pertanyaan, paparan jawaban dan kesimpulan adalah unsur-unsur yang termasuk penilaian berpikir kritis. Pada tahap ini siswa bekerja secara mandiri.Guru berkeliling untuk memberikan bimbingan kepada siswa yang mengalami kesulitan dalam mengerjakan permasalahan yang ada di LKS atau meluruskan pengertian siswa tentang maksud soal. (5) Pair, Pada tahap ini guru mengarahkan siswa bekerja dengan teman sebangku dan mendiskusikan hasil pemikirannya dari tahapThink. Guru meminta siswa menuliskan perbedaan jawaban atau hasil kesimpulan yang diperoleh dari hasil diskusi, mengklarifikasi(memberi penjelasan) dan menulis pembetulan jika dalam diskusi menerima pekerjaannya salah atau menuliskan jika jawabannya sama (meninjau kembali). Hal ini termasuk membangun berpikir kritis: memberi penjelasan dan meninjau kembali. Selanjutnya guru meminta siswa untuk bergabung dengan kelompoknya yang terdiri dari 3 pasang ditahap Share. (6) Share kelompok,pada tahap iniguru memberikan kesempatan kepada siswa untuk membangun berpikir kritis “memberi penjelasan dan menarik kesimpulan” dengan meminta siswa untuk mendiskusikan hasil pekerjaannya di tahap Pair dengan teman satu kelompok yang terdiri dari tiga pasang dan menuliskan kesimpulan yang paling tepat menurut hasil pekerjaannya (membuat kesimpulan), mengklarifikasi (memberi penjelasan) dan melakukan pembetulan pekerjaannya jika di dalam diskusi menerima hasil pekerjaan pada tahap sebelumnya salah. Pada tahap ini wakil kelompok dipilih untuk mempresentasikan hasil diskusi kelompoknya yang dikerjakan melalui tahapThink Pair Share. (7) Share kelas, padatahap ini (1) guru meminta setiap wakil kelompok siswa mempresentasikan hasil diskusinya dari tahap Share kelompok, (2) guru bertindak sebagai fasilitator untuk mengarahkan siswa menentukan 1074
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
kesimpulan yang paling benar dan hasil pekerjaan yang paling benar dengan tanya jawab.(3) guru meminta siswa bersama-sama memberikan penilaian secara terbuka tentang hasil kesimpulan masing-masing kelompok. (8) Sebelum guru menutup pembelajaran, guru memberikan penguatan tentang kesimpulan yang telah diperoleh ditahapShare kelas dan mengingatkan siswa untuk mempelajari materi berikutnya. 2. Penerapan pembelajaran materi limit fungsi aljabar dengan model Think Pair Share telah dapat membangun berpikir kritis siswa. Hal ini tampak adanya perubahan kemampuan dan sikap siswa dari pasif menjadi aktif baik secara individu maupun kelompok. Pada awal pertemuan dalam presentasi kelompok siswa masih agak ragu-ragu dalam menyimpulkan dan mengungkapkan pendapatnya tetapi pada pertemuan berikutnya mereka lebih berani dalam mengungkapkan pendapat dan muncul kompetisi antar kelompok untuk mengungkapkan pendapat yang paling benar karena mereka mempunyai alasan yang kuat dalam menyampaikan pendapatnya atau dalam menyanggah. Mereka juga fokus terhadap pertanyaan yang dimaksud soal dengan mengungkapkan alasan dan kesimpulan yang tepat. Dalam berdiskusi selalu muncul kata dari siswa” alasannya apa” baik di tahap Pair maupun Share. Hal ini juga didukung oleh hasil pekerjaan LKS dan hasil tes yang meningkat dari setiap pertemuan pada setiap siklus baik dari sisi kognitif maupun penilaian indikator berpikir kritisnya. Hasil wawancara dengan 9 siswa pada setiap siklus, semua mengatakan senang dengan pembelajarantipe Think Pair Share dan lebih dari 6 siswa dari 9 siswa yang diwawancarai menyatakan dapat memahami materi limit fungsi aljabar yang mendekati suatu titik tertentu dan di tak hingga. SARAN Beberapa saran yang dapat disampaikan pada penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Untuk materi yang sulit dipahami siswapembelajaran tipe Think Pair Share dapat dipilih sebagai alternatif dalam pelaksanaan pembelajaran. 2. Pembelajaran dengan Think Pair Share adalah salah satu alternatif pembelajaran yang dapat dipilih untuk mendorong siswa menambah jam belajar di rumah karena diskusi yang berjenjang (mandiri, berpasangan, berkelompok) membuat siswa sadar bahwa mereka harus mempunyai pengetahuan yang cukup untuk bekal diskusi. 3. Bagi peneliti lain yang berminat, dapat mengembangkan model pembelajaran Think Pair Sharepada materi matematika atau pelajaran lainnya, sehingga dapat mengetahui efektifitas pembelajaran dengan model Think Pair Share. DAFTAR RUJUKAN Angelo,T.A. 1995. Begining The Dialogue Thoughts on Promoting Critical Thinking: Classroom Assesment for Crical Thinking, Teaching of Psycology. Boston College Arends,R.I. 1997. Classroom Instructional and Management. New York: Mc GrowHill.Company. Inc. Arikunto, S. 2005. Dasar-dasar Evaluasi Pendidikan, Edisi Revisi. Jakarta: Bumi Aksara. Arikunto, S. 2010. Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktek.Jakarta: Rineka Cipta. Cicik, P. 2010. Peningkatan Prestasi Belajar Mahasiswa Prodi Pendidikan Matematika STKIP PGRI Blitar Melalui Pembelajaran Think Pair Share pada Materi Ruang Vektor Real.Tesis. Tidak diterbitkan. Malang. Universitas Negeri Malang. Cottrel.S, 2005.Critical Thinking Skills Developing Effective Analysis and Argument. New York : Palgrave Macmilan, Eggen,P.D & Kauchak, P.P. 2001. Strategies for Teacher: Teaching Content and Thinking Skill. Boston: Alyn & Bacon. Ennis. R. 1996. Critical Thinking.New York: Pearson Halpern. D. F. 2007,.Critical Thinking in Psycology. New York.: Cambridge University Press. Hobri. 2010. Metodologi Penelitian Pengembangan (Aplikasi pada Penelitian Pendidikan Matematika). Jember: Pena Salsabila. Hudojo, H. 1998. Mengajar Belajar Matematika.Jakarta: Dirjen Dikti. Johnson, E. B. 2002.Critical and Creative Thinking in Contextual Teaching and Learning.California: Corwin Press. Inc.. Kagan, L. 1994. Cooperative Learning. San Clemente: Resources for Teachers. Inc.
1075
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
Kusnandar.2008. Langkah Mudah Penelitian Tindakan Kelas sebagai Pengembangan Profesi Guru. Jakarta: Rajawali Pers. Krulik.S, Rudnick.J, Milou. E. 2003, Teaching Mathematics in Middle School: A Pratical Guide, New York: Pearson Education. Inc. Krulik. S, Rudnick. J. 1995). The New Sourcebook For Teaching Reasoning and Problem Solving in Elementary School,New York: Pearson Education.Inc. Kurnianingsih, S, Sulistiyono, Kuntarti. 2010. Matematika SMA dan MA Kelas XI- 2B. Jakarta: Penerbit Esis. Kurnianingsih, S, Sulistiyono, Kuntarti. 2010. Mathematics 2B for Senior High School Grade XI Semester 2. Jakarta: Penerbit Esis. Lie. A. 2005. Cooperatif Learning. Jakarta: PT. Gramedia. Lutfiyah. 2009. Proses Berpikir Siswa dalam Mengkonstruksi Pengetahuan Himpunan melalui Aktivitas Think Pair Share. Tesis. Tidak diterbitkan. Malang. Universitas Negeri Malang. Mason.M. 2008.Critical Thinking and Learning, Malden USA: Blackwell Publishing. Moleong, L.J. 2012.Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung: PT. Remaja Rosda karya. Morgan, B.M. 1999. Research-Based Instructional Strategies: Preservice Teacher Observation of Inservice Teacher Use. National Forum Journal. July 2/2004. Nurhadi.2004. Pembelajaran Kontekstual (Contextual Teaching and Learning/CTL) dan Penerapannya dalam KBK.Malang: Universitas Negeri Malang. Orton, A. 1992. Learning Mathematics: Issues, Theory, and Practice. Great Britain: Redwood Books. Paul. R. 2005. The Miniature Guide to Critical Thinking”Consepts & Tools”. The Foundations of Critical Thinking. California. Sahertian, Piet A. 2010. Konsep dasar & Teknik Supervisi Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta. Sanjaya, W. 2008. Pembelajaran dalam Implementasi Kurikulum Berbasis Kompetensi. Jakarta: Kencana Prenada Media Goup Scriven, M. Paul, 1996, Defining Critical Thinking, A draft statement prepared for the National Council thinking for Excellent in Critical thinking and Instruction. Slavin, E, Robert. 2008. Cooperative Learning. Bandung: Nusa Media. Subanji, 2013.Pembelajaran Matematika Kreatif dan Inovatif. Malang: UM Press. Suherman, dkk. 2003. Strategi Pembelajaran Matematika Kontemporer, Bandung: Penerbit JICA Trianto. 2007. Model-model Pembelajaran Inovatif Berorientasi Konstruktivistik. Jakarta: Prestasi Pustaka Publisher. Uno, B. 2008. Perencanaan Pembelajaran. Jakarta: Bumi Aksara. Wahyu. S. W. 2011, Penerapan Pembelajaran Kooperatif Model Think Pair Square untuk Meningkatkan Hasil Belajar Materi Dimensi Tiga Siswa Kelas X-1 SMA Negeri 1 Lawang. Tesis.Tidak diterbitkan. Malang: Universitas Negeri Malang.
PROSES BERPIKIR KREATIF SISWA KELAS X DALAM MEMECAHKAN MASALAH MATEMATIKA Erni Juraina, Subanji, dan Swasono Rahardjo Universitas Negeri Malang
[email protected] Abstrak: Permasalahan yang dihadapi saat ini bagi dunia pendidikan matematika di Indonesia adalah rendahnya kualitas siswa dalam hal penguasaan matematika dan kemampuan pemecahan masalah matematis siswa yang masih kurang. Penyebabnya adalah berpikir kreatif matematika yang masih rendah. Matematika adalah suatu alat untuk mengembangkan cara berpikir. Salah satu cara berpikir adalah proses berpikir kreatif. Berpikir kreatif (creative thinking) juga merupakan perwujudan dari tingkat berpikir tinggi (higher order thinking) setelah berpikir dasar (basic thinking) dan berpikir kritis (critical thinking). Dengan mengetahui bagaimana proses berpikir kreatif matematika pada siswa
1076
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
akan memberikan pengetahuan bagaimana cara meningkatkan kemampuan berpikir kreatif matematika itu sendiri. Tujuan penelitian ini untuk mendeskripsikan proses berpikir kreatif siswa kelas X dalam memecahkan masalah matematika. Dalam penelitian ini, akan diteliti proses berpikir kreatif pada tahapan-tahapan membangun ide, mensintesis ide, merencanakan penerapan ide, dan menerapkan ide tersebut. Adapun indikator proses berpikir kreatif di dalam penelitian ini terdiri atas kelancaran (fluency), fleksibilitas (flexibility) dan keaslian (originality). Penelitian ini dilakukan di SMA Banua Kalsel Bilingual Boarding School dengan mengambil subjek penelitian sebanyak 4 orang terdiri atas 1 orang dari kelompok tingkat berpikir kreatif tinggi, 2 orang dari kelompok tingkat berpikir kreatif sedang dan 1 orang dari kelompok tingkat berpikir kreatif rendah. Jenis penelitian ini adalah deskriptif kualitatif dengan sifatnya eksploratif. Pengumpulan data dilakukan dengan pemberian tugas pemecahan masalah dan wawancara mendalam. Metode puposive sampling digunakan untuk menentukan subjek penelitian. Data kemudian dianalisis dengan reduksi data, penyajian data dan penarikan kesimpulan. Sedangkan pengecekan keabsahan data menggunakan metode triangulasi sumber. Berdasarkan penelitian diperoleh hasil sebagai berikut: (1) secara umum siswa berpikir kreatif tingkat tinggi, sedang dan rendah sudah memenuhi indikator berpikir kreatif yakni kelancaran (fluency), fleksibilitas (flexibility) dan keaslian (originality) namun menunjukkan derajat yang berbeda-beda antara satu dengan yang lainnya; (2) pada siswa berpikir kreatif tingkat tinggi menunjukkan ciri-ciri sangat lancar, fleksibel dan original dalam mememecahkan masalah yang diberikan baik secara tertulis maupun secara lisan, pada siswa berpikir kreatif tingkat sedang menunjukkan ciri-ciri cukup lancar dan cukup fleksibel dalam menyelesaikan masalah yang diberikan secara tertulis namun tetap original, sedangkan pada siswa berpikir kreatif tingkat rendah dalam memecahkan masalah yang diberikan menunjukkan ciri-ciri cukup bahkan kurang lancar pada ketiga indikator berpikir kreatif; dan (3) adanya perbedaan karakteristik antara siswa berpikir kreatif tingkat tinggi, sedang maupun rendah. Kata kunci: proses berpikir kreatif, memecahkan masalah matematika, kelancaran (fluency), fleksibilitas (flexibility), keaslian (originality).
Salah satu permasalahan yang dihadapi saat ini bagi dunia pendidikan matematika di Indonesia adalah rendahnya kualitas siswa dalam hal penguasaan matematika. Hal ini ditunjukkan dengan hasil evaluasi Trend In Mathematics and Science Study (TIMSS), Program for International Student Assessment (PISA) untuk bidang matematika, United Nations Educational, Scientific, and Cultural Organization (UNESCO) dan National Center for Education in Statistic (Visitasari,2013:2).) Permasalahan lainnya di dalam dunia pendidikan kita juga menunjukkan kemampuan pemecahan masalah matematis siswa yang masih kurang. Padahal kemampuan pemecahan masalah matematis menjadi kemampuan yang penting yang harus dimiliki oleh siswa (Stacey,2013:39). Salah satu penyebabnya adalah kreatifitas matematika yang jarang dikembangkan di lingkungan sekolah. Padahal kreatifitas sangat diperlukan agar peserta didik dapat memiliki kemampuan memperoleh, mengelola, dan memanfaatkan informasi untuk bertahan hidup pada keadaan yang selalu berubah, tidak pasti dan kompetitif (Fauziah dkk.,2013:77). Hal ini mengakibatkan proses berpikir kreatif siswa menjadi terhambat. Siswa tidak menghasilkan ideide kreatif dalam memecahkan masalah (Subur,2013:50; Krisnawati,2012:1). Di dalam dunia pendidikan kita, berpikir kreatif dan kemampuan pemecahan masalah mendapat perhatian yang cukup besar. Ini dibuktikan dengan adanya Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22 tahun 2006 dan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 54 tahun 2013 tentang Standar Kompetensi Lulusan Pendidikan Dasar dan Menengah. Matematika adalah suatu alat untuk mengembangkan cara berpikir (Hudojo, 2003:40). Untuk mengetahui bagaimana proses berpikir dalam belajar matematika dapat diamati melalui proses cara mengerjakan tugas pemecahan masalah dan hasil yang ditulis secara terurut di tambah dengan wawancara mendalam mengenai cara kerjanya (Herbert dalam Herawati,1994:34). Salah satu hal yang diharapkan dalam belajar matematika adalah siswa dapat berlatih berpikir kreatif. Berpikir kreatif dapat diartikan sebagai suatu kombinasi dari berpikir logis dan berpikir divergen yang didasarkan pada intuisi (Pehkonen,1997:63). Intuisi sendiri merupakan 1077
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
kegiatan berpikir yang tidak berdasar penalaran dan bersifat non analitik (Marsigit,2012:2). Sedangkan kreativitas adalah produk dari proses berpikir kreatif. Berpikir kreatif dapat diartikan juga sebagai kemampuan untuk menciptakan suatu ide baru atau kemampuan untuk melihat kombinasi-kombinasi baru atau melihat hubungan-hubungan baru antar unsur, data atau hal-hal yang sudah ada sebelumnya (Semiawan,1987:8). Berpikir kreatif (creative thinking) juga merupakan perwujudan dari tingkat berpikir tinggi (higher order thinking) setelah berpikir dasar (basic thinking), dan berpikir kritis (critical thinking) (Krulick & Rudnick, 1995:3). Dalam penelitian ini, akan diteliti proses berpikir kreatif pada tahapan-tahapan membangun ide, mensintesis ide, merencanakan penerapan ide, dan menerapkan ide tersebut untuk menghasilkan sesuatu yang baru. Adapun indikator proses berpikir kreatif di dalam penelitian ini terdiri atas kelancaran/kefasihan (fluency), fleksibilitas (flexibility) dan keaslian (originality). Ini sesuai dengan yang dinyatakan oleh Silver (1997:78). Indikator kelancaran/kefasihan (fluency) mengacu pada kebenaran dan keberagaman jawaban yang diberikan siswa. Indikator fleksibilitas (flexibility) mengacu pada cara-cara yang berbeda yang diberikan oleh siswa dalam memecahkan masalah. Indikator keaslian (originality) mengacu pada jawaban yang diberikan tidak biasa untuk tingkat pengetahuan siswa pada umumnya atau juga bisa mengacu pada cara baru yang ditampilkan siswa. Cara baru tersebut bisa saja merupakan kombinasi dari pengetahuan yang didapat siswa sebelumnya. Penelitian tentang proses berpikir kreatif matematika yang berkaitan dengan pemecahan masalah matematika telah banyak dilakukan. Hasil penelitian terdahulu secara umum menunjukkan bahwa proses berpikir kreatif siswa yang didorong dan dilatih dengan baik berakibat pada meningkatnya kemampuan siswa dalam memecahkan masalah matematika. Oleh karena itulah sangat penting bagi guru terutama untuk mengetahui bagaimana proses berpikir kreatif siswa dalam memecahkan masalah matematika. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan proses berpikir kreatif siswa kelas X dalam memecahkan masalah matematika. Manfaat penelitian ini adalah untuk mengembangkan khazanah pengetahuan, sebagai salah satu masukan untuk pengembangan pengetahuan dan agar guru dapat merancang kegiatan pembelajaran dengan tujuan untuk meningkatkan proses berpikir kreatif siswa dalam memecahkan masalah matematika. METODE Penelitian ini termasuk penelitian deskriptif kualitatif. Jenis penelitian ini adalah penelitian eksploratif. Subjek penelitian ini terdiri atas 4 orang siswa kelas X SMA Banua BBS Kalimantan Selatan yang masing-masing terdiri atas 1 orang dari kelompok tingkat berpikir kreatif tinggi, 2 orang dari kelompok tingkat berpikir kreatif sedang dan 1 orang dari kelompok tingkat berpikir kreatif rendah. Pengumpulan data dilakukan dengan pemberian tugas pemecahan masalah dan wawancara mendalam. Wawancara dilakukan terhadap subjek penelitian untuk mengeksplorasi proses berpikir kreatifnya dalam memecahkan masalah matematika. Analisis data dilakukan sejak pengumpulan data di lapangan dan berakhir pada waktu penyusunan laporan penelitian. Analisis data di awali dengan reduksi data dengan memeriksa kebenaran jawaban yang dibuat siswa kemudian melihat indikator kelancaran, fleksibilitas dan keaslian dalam memecahkan masalah yang diberikan, menentukan dugaan tingkat berpikir kreatif siswa, mengelompokkan siswa, wawancara dengan teman sejawat untuk mengetahui kelancaran komunikasi siswa yang akan dijadikan subjek penelitian, memilih subjek penelitian, melakukan wawancara mendalam dengan subjek penelitian, membuat rangkuman inti, menyederhanakan data baik yang diperoleh dari analisis terhadap lembar pengerjaan masalah oleh siswa dan hasil wawancara dengan subjek penelitian serta membuang data yang tidak diperlukan. Langkah kedua dengan cara menyajikan data hasil tugas pemecahan masalah dan wawancara kemudian dilakukan pemeriksaan data untuk menentukan kekonsistenan informasi yang diberikan subjek penelitian sehingga diperoleh data penelitian yang kredibel (triangulasi data). Langkah ketiga dilakukan dengan cara menarik kesimpulan. Penarikan kesimpulan didasarkan pada hasil pembahasan terhadap data yang terkumpul dan dimaksudkan untuk merumuskan proses berpikir kreatif siswa kelas X dalam memecahkan masalah matematika.
1078
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Berdasarkan analisis data pengerjaan tugas pemecahan masalah dan wawancara terhadap subjek penelitian diperoleh hasil penelitian sebagai berikut: 1. berdasarkan hasil pelaksanaan tugas pemecahan masalah diperoleh fakta bahwa siswi-siswi kelas X yang dijadikan sebagai kelas penelitian adalah kreatif. Ini dibuktikan dari hasil analisis pekerjaan di mana hampir seluruh siswa mengerjakan semua soal yang diberikan pada lembar tugas pemecahan masalah sebagaimana data yang ada pada tabel berikut. Tabel 1. Analisis pekerjaan siswa terhadap tugas pemecahan masalah Hal yang Diamati Masalah Nomor 1 Masalah Nomor 2 Banyaknya siswa yang menjawab 23 22 Banyaknya siswa yang tidak 0 1 menjawab Banyak jawaban benar 21 10 Banyak jawaban salah 2 12 Persentase banyaknya jawaban 91,3 % 43,5 % benar Persentase banyaknya jawaban 8,7 % 56,5 % salah
Masalah Nomor 3 23 0 22 1 95,6 % 4,4 %
2. Meskipun semua siswa mengerjakan soal-soal tugas pemecahan masalah yang diberikan akan tetapi distribusi banyaknya soal yang dikerjakan dengan benar tidak merata sebagaimana digambarkan pada tabel berikut. Tabel 2. Analisis jawaban benar untuk masing-masing masalah pada lembar tugas pemecahan masalah Hal Masalah Masalah Masalah No. 1 No. 2 No. 3 Banyaknya jawaban benar 21 10 22 Banyaknya jawaban salah 2 12 1 Persentase banyaknya jawaban benar 91,3 % 43,5 % 95,6 % Persentase banyaknya jawaban salah 8,7 % 56,5 % 4,4 % Banyaknya siswa yang menjawab ketiga masalah 9 dengan benar Banyaknya siswa yang menjawab hanya dua 12 masalah dengan benar Banyaknya siswa yang menjawab hanya satu 2 masalah dengan benar Persentase banyaknya siswa yang menjawab ketiga 39,1 % masalah dengan benar Persentase banyaknya siswa yang menjawab hanya 52,2 % dua masalah dengan benar Persentase banyaknya siswa yang menjawab hanya 8,7 % satu masalah dengan benar
3. Berdasarkan hasil analisis terhadap lembar pengerjaan siswa terhadap masalah-masalah matematika yang diberikan diketahui bahwa indikasi proses berpikir kreatif yaitu unsur kelancaran/kefasihan (fluency) lebih dikuasai oleh siswa dibandingkan dengan unsur fleksibilitas (flexibility) dan keaslian (originality). 4. Tiga unsur yang mengindikasikan proses berpikir kreatif dimiliki oleh setiap siswa berbeda. Ada siswa yang hanya memiliki unsur kelancaran/kefasihan (fluency), ada yang memiliki unsur kelancaran/kefasihan (fluency) dan fleksibilitas (flexibility), ada yang memiliki unsur kelancaran/kefasihan (fluency) dan keaslian (originality) dan ada yang memiliki sekaligus ketiga unsurnya yakni kelancaran/kefasihan (fluency), fleksibilitas (flexibility) dan keaslian (originality). 5. Unsur-unsur yang mengindikasikan proses berpikir kreatif siswa dalam memecahkan masalah matematika yakni kelancaran/kefasihan (fluency), fleksibilitas (flexibility) dan
1079
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
keaslian (originality) saling berdiri sendiri, tidak saling mempengaruhi dan satu sama lain tidak saling tergantung. 6. Berdasarkan hasil analisis terhadap proses pengerjaan siswa terhadap lembar tugas pemecahan masalah diketahui bahwa terhadap tiga masalah yang diberikan setiap siswa memunculkan unsur-unsur kreatifitas berpikir yang berbeda-beda. 7. Perbandingan untuk siswa pada tingkat kreativitas tinggi dengan rendah dapat dikatakan sebanding. Sedangkan hal ini tidak berlaku dengan jumlah siswa yang berada pada kelompok tingkat kreativitas tinggi. Asumsi peneliti karena proses pembelajaran di sekolah ini jarang menggunakan masalah-masalah non rutin maka sangatlah logis jika siswa-siswanya tidak terbiasa dalam memecahkan masalah tersebut. Sedangkan perbandingan berimbang antara jumlah siswa pada tingkat kreativitas sedang dan rendah dikarenakan siswa-siswa di sekolah ini merupakan siswa-siswa pilihan yang direkrut melalui serangkaian tes akademik dan psiko test sehingga perbedaan antara tingkat kreativitas sedang dan rendah ada pada unsur fleksibilitasnya (flexibility). Hal ini digambarkan oleh tabel berikut. Tabel 3. Jumlah dan Persentase Siswa Tiap Tingkatan Kreativitas Tingkat Kreativitas Jumlah Siswa Persentase Tinggi 2 8,70% Sedang 10 43,48% Rendah 11 47,83%
8. Berdasarkan hasil analisis terhadap pengerjaan lembar tugas pemecahan masalah dan hasil wawancara, dapat diketahui karakteristik proses berpikir antara subjek kelompok tingkat kreatif tinggi, sedang dan rendah sebagaimana pada tabel berikut. Tabel 4. Perbandingan Karakteristik Proses Berpikir Subjek Tiap Tingkatan Kreativitas untuk Masing-Masing Masalah yang Diberikan Tingkat Kreativitas Masalah Tinggi Sedang Rendah Nomor 1 L, F, O L, F, O L, F, O Nomor 2 L, O L, O L, O Nomor 3 L, F, O L, F, O / L, O L, O Keterangan: L : memenuhi indikator kelancaran (fluency) F : memenuhi indikator fleksibilitas (flexibility) O : memenuhi indikator keaslian (originality)
9. Diperoleh subjek pada tingkat kreativitas yang berbeda mememenuhi indikator berpikir kreatif yang sama. Perbedaannya terletak pada derajat indikator yang dipenuhinya. Hal ini di gambarkan pada tabel berikut. Tabel 5. Perbandingan Proses Berpikir Subjek Tiap Tingkatan Kreativitas terhadap Derajat Indikator Berpikir Kreatif Tingkat Kreativitas Indikator Berpikir Kreatif Tinggi Sedang Rendah Kelancaran (fluency) Tinggi Tinggi/Sedang Sedang/Kurang Fleksibilitas (flexibility) Tinggi/sedang Sedang Kurang Keaslian (originality) Tinggi/sedang Sedang Kurang
10. Berdasarkan hasil analisis lembar pengerjaan subjek tiap tingkatan kreativitas terhadap ketiga masalah yang diberikan dengan tahapan proses berpikir kreatif dikaitkan dengan indikator berpikir kreatif dapat digambarkan sebagaimana tabel berikut. Tabel 6. Perbandingan Tiap Tahapan Proses Berpikir Kreatif Dengan Tingkat Kreativitas Subjek Berdasarkan Indikator Berpikir Kreatif Tingkat Kreativitas Tahapan Proses Berpikir Kreatif Tinggi Sedang Rendah Membangun ide L, F, O L, F, O L, F, O Mensintesis ide L, F, O/ L,O L, F, O/L,O L, O Merencanakan penerapan ide L, F, O/L, O L, F, O/L,O L, O
1080
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
Menerapkan ide L, F, O Keterangan: L : memenuhi indikator kelancaran (fluency) F : memenuhi indikator fleksibilitas (flexibility) O : memenuhi indikator keaslian (originality)
L, F,O/L,O
L, O
11. Adanya perbedaan karakteristik proses berpikir kreatif subjek kelompok tingkat kreativitas tinggi, sedang dan rendah secara kualitatif digambarkan pada tabel berikut. Tabel 7. Karakteristik Proses Berpikir Kreatif Subjek Tiap Tingkat Kreativitas Terhadap Indikator Berpikir Kreatif
Indikator Berpikir Kreatif Kelancaran (fluency)
Fleksibilitas (flexibility)
Karakteristik Proses berpikir Subjek Tingkat Kreativitas Tinggi Sedang Rendah 1. Urutan pengerjaan sistematis, jelas, dan lengkap. 2. Mampu mengkomunikasikan langkah penyelesaiannya secara lancar baik secara tertulis maupun lisan. 3. Mampu menilai proses pemecahan masalah. 4. Mampu mengidentifikasi data, menyajikan masalah dengan variabel, mampu memformulasikan masalah. 5. Lancar membuat koneksi di antara konsep-konsep. 6. Memiliki kemampuan penalaran yang bagus. 7. Lancar menghubungkan antara tahap berpikir yang satu dengan yang lainnya. 8. Terampil melakukan perhitungan baik operasi dasar maupun operasi aljabar.
1. Mampu menyelesaikan masalah dengan lebih dari satu alternatif jawaban dan metode/caranya
1. Urutan pengerjaan cukup sistematis, cukup jelas, dan cukup lengkap. 2. Mampu mengkomunikasikan langkah penyelesaiannya cukup lancar baik secara tertulis maupun lisan. 3. Cukup mampu menilai proses pemecahan masalah. 4. Mampu mengidentifikasi data, menyajikan masalah dengan variabel, mampu memformulasikan masalah. 5. Cukup lancar membuat koneksi di antara konsep-konsep. 6. Memiliki kemampuan penalaran yang cukup bagus. 7. Lancar menghubungkan antara tahap berpikir yang satu dengan yang lainnya meskipun sedikit mengalami hambatan. 8. Cukup terampil melakukan perhitungan baik operasi dasar maupun operasi aljabar.
1. Urutan pengerjaan kurang sistematis, kurang jelas, dan kurang lengkap. 2. Mampu mengkomunikasikan langkah penyelesaiannya cukup lancar. 3. Kurang mampu menilai proses pemecahan masalah. 4. Mampu mengidentifikasi data, menyajikan masalah dengan variabel, mampu memformulasikan masalah. 5. Kadang-kadang cukup lancar membuat koneksi di antara konsep-konsep. 6. Memiliki kemampuan penalaran yang cukup bagus. 7. Kadang-kadang lancar menghubungkan antara tahap berpikir yang satu dengan yang lainnya. 8. Kadang-kadang mengalami hambatan saat melakukan perhitungan baik operasi dasar maupun operasi aljabar. 1. Mampu menyelesaikan 1. Mampu menyelesaikan masalah dengan lebih masalah dengan lebih dari satu alternatif dari satu alternatif jawaban dan jawaban dan metode/caranya metode/caranya menunjukkan pola yang menunjukkan pola 1081
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
Keaslian (originality)
menunjukkan pola sama/berbeda. yang sama/berbeda. yang berbeda. 2. Menyatakan bahwa 2. Menyatakan bahwa 2. Menyatakan bahwa menemukan metode yang terpenting adalah menemukan metode penyelesaian sama menemukan jawaban penyelesaian lebih sulitnya dengan mencari nya baru meninjau sulit daripada mencari jawaban atau metode penyelesaian jawaban atau penyelesaian lainnya lainnya. penyelesaian lainnya. 3. Lebih senang 3. Lebih senang 3. Lebih senang mensintesis daripada menganalisis situasi mensintesis daripada menganalisis situasi. daripada mensintesis menganalisis situasi ide. 1. Mampu membuat satu 1. Mampu membuat satu 1. Mampu membuat satu jawaban berbeda dari jawaban berbeda dari jawaban berbeda dari kebiasaan umum dan kebiasaan umum namun kebiasaan umum menuliskannya secara kurang mampu meskipun tidak fasih dan fleksibel. merepresentasikannya memenuhi indikator secara fasih dan kelancaran dan fleksibel . fleksibilitas.
KESIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah diuraikan pada bab sebelumnya, maka dapat disimpulkan bahwa proses berpikir kreatif siswa dalam memecahkan masalah matematika beragam dan bersifat unik. Proses berpikir siswa tingkat kreatif tinggi, sedang dan rendah secara umum memenuhi ketiga indikator berpikir kreatif yakni (fluency), fleksibilitas (flexibility) dan keaslian (originality). Perbedaan antara ketiganya terletak pada derajat pencapaian ketiga indikator tersebut. Siswa tingkat kreatif tinggi proses berpikir kreatifnya sangat baik sedangkan siswa tingkat kreatif sedang dan rendah proses berpikir kreatifnya cukup baik. Hal ini dapat dilihat pada saat proses siswa memecahkan masalah yang diberikan, siswa tingkat kreatif tinggi tidak mengalami hambatan ketika menuliskan dan mengkomunikasikan jawaban/penyelesaian masalah baik secara tertulis maupun secara lisan. Siswa tingkat kreatif sedang mengalami hambatan ketika menuliskan proses berpikirnya secara tertulis namun jelas ketika memaparkannya secara lisan. Sedangkan siswa tingkat kreatif rendah mengalami hambatan baik pada proses berpikir kreatifnya maupun pada saat menjelaskan jawaban/pemecahannya baik secara tertulis maupun lisan. Proses berpikir kreatif siswa kelompok tingkat kreatif tinggi dalam memecahkan masalah matematika sudah memenuhi indikator berpikir kreatif yakni kelancaran (fluency. Indikator kelancaran (fluency) ditandai dengan perilaku subjek menyelesaikan urutan pengerjaan secara sistematis, jelas dan lengkap, mampu mengkomunikasikan langkah-langkah penyelesaian masalah secara lancar baik tertulis maupun lisan, mampu menilai proses pemecahan masalah, mampu mengidentifikasi data, menyajikan masalah dengan variabel, mampu memformulasikan masalah, lancar membuat koneksi di antara konsep-konsep, memiliki kemampuan penalaran yang bagus, lancar menghubungkan antara tahap berpikir yang satu dengan yang lainnya, terampil melakukan perhitungan baik operasi dasar maupun operasi aljabar. Proses berpikir kreatif siswa kelompok tingkat kreatif tinggi dalam memecahkan masalah matematika sudah memenuhi indikator berpikir kreatif yakni fleksibilitas (flexibility). Indikator fleksibilitas (flexibility) ditandai dengan perilaku subjek mampu menyelesaikan masalah dengan lebih dari satu alternatif jawaban dan metode/caranya menunjukkan pola yang berbeda, lebih senang mensintesis daripada menganalisis situasi serta menyatakan bahwa menemukan metode penyelesaian lebih sulit daripada mencari jawaban atau penyelesaian lainnya. Proses berpikir kreatif siswa kelompok tingkat kreatif tinggi dalam memecahkan masalah matematika sudah memenuhi indikator berpikir kreatif yakni keaslian (originality). Indikator keaslian (originality) ditandai dengan perilaku subjek mampu membuat satu jawaban berbeda dari kebiasaan umum dan menuliskannya secara fasih dan fleksibel. 1082
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
Proses berpikir kreatif siswa kelompok tingkat kreatif sedang dalam memecahkan masalah matematika sudah memenuhi indikator berpikir kreatif yakni kelancaran (fluency. Indikator kelancaran (fluency) ditandai dengan perilaku subjek menyelesaikan urutan pengerjaan cukup sistematis, cukup jelas dan cukup lengkap, mampu mengkomunikasikan langkah-langkah penyelesaiannya cukup lancar baik secara tertulis maupun lisan, cukup mampu menilai proses pemecahan masalah, mampu mengidentifikasi data, menyajikan masalah dengan variabel, mampu memformulasikan masalah, cukup lancara membuat koneksi di antara konsepkonsep, memiliki kemampuan penalaran yang cukup bagus, lancar menghubungkan antara tahap berpikir yang satu dengan yang lainnya meskipun sedikit mengalami hambatan dan cukup terampil melakukan perhitungan baik operasi dasar maupun operasi aljabar. Proses berpikir kreatif siswa kelompok tingkat kreatif sedang dalam memecahkan masalah matematika sudah memenuhi indikator berpikir kreatif yakni fleksibilitas (flexibility). Indikator fleksibilitas (flexibility) ditandai dengan perilaku subjek mampu menyelesaikan masalah dengan lebih dari satu alternatif jawaban dan metode/caranya menunjukkan pola yang sama/berbeda, menyatakan bahwa menemukan metode penyelesaian sama sulitnya dengan mencari jawaban atau penyelesaian lainnya serta lebih senang mensintesis daripada menganalisis situasi. Proses berpikir kreatif siswa kelompok tingkat kreatif sedang dalam memecahkan masalah matematika sudah memenuhi indikator berpikir kreatif yakni keaslian (originality). Indikator keaslian (originality) ditandai dengan perilaku subjek mampu membuat satu jawaban berbeda dari kebiasaan umum namun kurang mampu merepresentasikannya secara fasih dan fleksibel. Proses berpikir kreatif siswa kelompok tingkat kreatif rendah dalam memecahkan masalah matematika sudah memenuhi indikator berpikir kreatif yakni kelancaran (fluency. Indikator kelancaran (fluency) ditandai dengan perilaku subjek menyelesaikan urutan pengerjaan kurang jelas,kurang sistematis dan kurang lengkap, mampu mengkomunikasikan langkah-langkah penyelesaiannya dengan cukup lancar, kurang mampu menilai proses pemecahan masalah, mampu mengidentifikasi data, menyajikan masalah dengan variabel, mampu memformulasikan masalah, kadang-kadang cukup lancar membuat koneksi di antara konsep-konsep, memiliki kemampuan penalaran yang cukup bagus, kadang-kadang lancar menghubungkan antara tahap berpikir yang satu dengan yang lainnya serta kadang-kadang mengalami hambatan saat melakukan perhitungan baik operasi dasar maupun operasi aljabar. Proses berpikir kreatif siswa kelompok tingkat kreatif rendah dalam memecahkan masalah matematika sudah memenuhi indikator berpikir kreatif yakni fleksibilitas (flexibility). Indikator fleksibilitas (flexibility) ditandai dengan perilaku subjek mampu menyelesaikan masalah dengan lebih dari satu alternatif jawaban dan metode/caranya menunjukkan pola yang sama/berbeda, menyatakan bahwa yang terpenting adalah menemukan jawabannya baru meninjau metode penyelesaian lainnya serta lebih senang menganalisis situasi daripada mensintesis ide. Proses berpikir kreatif siswa kelompok tingkat kreatif rendah dalam memecahkan masalah matematika sudah memenuhi indikator berpikir kreatif yakni keaslian (originality). Indikator keaslian (originality) ditandai dengan perilaku subjek mampu membuat satu jawaban berbeda dari kebiasaan umum meskipun tidak memenuhi indikator kelancaran dan fleksibilitas. Dari hasil penelitian ini, maka peneliti menyampaikan beberapa saran sebagai berikut: 1. Peneliti khususnya dan guru pada umumnya perlu untuk memahami proses berpikir kreatif siswa dalam memecahkan masalah matematika, sehingga dapat mengetahui bagaimana jalan berpikir siswa, hambatan-hambatan yang ditemui siswa serta dapat memberikan bantuan yang diperlukan kepada siswa untuk meningkatkan proses berpikir kreatif dan kemampuan berpikir kreatifnya dalam memecahkan masalah matematika terutama masalah yang sifatnya non rutin. 2. Kajian proses berpikir siswa dalam penelitian ini masih terbatas, untuk itu perlu adanya penelitian dengan kajian yang lebih mendalam dengan masalah yang lain. DAFTAR RUJUKAN Arikunto, S. 2006. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta : Rineka Cipta.
1083
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
Ali, M & Asrori, M. 2005. Psikologi Remaja, Perkembangan Peserta Didik. Jakarta : Bumi Aksara. Baker, M. & Rudd, R & Pomeroy, C. 2001. Relationships Between Critical and Creative Thinking. United Stated of America : Texas Teach University. Briggs, M & Davis, S. (2008). Creative Teaching Mathematics in the Early Years& Primary Classrooms. Madison Ave, New York, USA. Blitzer, R. 2008. Thinking Mathematically 4th Edition. New Jersey : Pearson Prentice Hall. Creswell, J.W. 2012. Research Design Pendekatan Kualitatif, Kuantitatif, dan Mixed. Yogyakarta : Pustaka Belajar. Daryanto. 2009. Panduan Proses Pembelajaran Kreatif dan Inovatif. Jakarta : Buku Cerdas dan Mencerdaskan. Diyah, T.R. 2009. Kompetensi Berpikir Kritis dan Kreatif dalam Pemecahan Masalah Matematika di SMP Negeri 2 Malang. Malang : Universitas Negeri Malang. Edward, A. S. 2013. Fostering Creativity through Instruction Rich in Mathematical Problem Solving and Problem Posing. USA : University of Pittsburgh. Eisenberger, R. & Rhoades, L. 2001. Incremental Effects of Reward on Creativity.Journal of Personality and Social Psychology. America. Fauziah, L. N. I. & Usodo, B. & Ekana, H. 2013. Proses Berpikir Kreatif Siswa Kelas X Dalam Memecahkan Masalah Geometri Berdasarkan Tahapan Wallas Ditinjau Dari Adversity Quotient (AQ) Siswa. Surakarta : Jurnal Pendidikan Matematika Solusi. Volume 1. Nomor 1.Maret 2013. Fardah, D. K. 2012. Analisis Proses dan Kemampuan Berpikir Kreatif Siswa dalam Matematika Melalui Tugas Open-Ended. Jurnal Kreano, ISSN 2086-2334. Volume 3. Nomor 2. Desember. Jurusan Matematika FMIPA Unnes. Guershon, H & Larry, S. 2005. Advanced Mathematical-Thinking at Any Age : Its Nature and Its Development. San Diego : Departemen of Mathematics Universityof California. Harris. 1998. Criteria for Evaluating a Creative Solution. (online). (http://www.virtualsalt.com/creative.htm) diakses 23 Januari 2014. Herawati, Susi (1994). Penelusuran Kemampuan Siswa Sekolah Dasar dalam Memahami Bangun-bangun Geometri. (Studi Kasus di kelas V SD No. 4 Purus Selatan). Tesis PPs IKIP Malang. Tidak dipublikasikan. Hudojo, H. 2003. Pengembangan Kurikulum dan Pembelajaran Matematika. Malang : Universitas Negeri Malang Press. Hurlock & Elizabeth, B. 1978. Perkembangan Anak. Jakarta : Erlangga. Isrok’atun. 2012. Creative Problem Solving (CPS) Matematis. Makalah dipresentasikan pada Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika, Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 10 November. Josep, K.K. Secondary 2 Students’ Difficulties in Solving Non-Routine Problems. (email :
[email protected]). Kamus Besar Bahasa Indonesia. 2008. (online), (http://tsharto.staff.gunadarma.ac.id/Downloads/files/21924/Kamus+Indonesia.pdf), diakses 25 September 2013. Kandemir, A.M. 2008. Creativity Training in Problem Solving : A Model of Creativity in Mathematics Teacher Education. Turkey : Balikesir University. Krisnawati, E. 2012. Kreativitas Siswa dalam Memecahkan Masalah Matematika Divergen Berdasarkan Kemampuan Matematika Siswa. Surabaya : Universitas Negeri Surabaya. Krulik, S., Rudnick, J., 1995. The New Sourcebook For Teaching Reasoning and Problem Solving in Elementary School.United States of America : A Simon & Schuster Company. Krulik, S., Rudnick, J., & Milou, E. 2003. Teaching Mathematics in Middle School A Practical Guide. New York : Pearson Education. Kyung Hwa, L. 2005. The Relationship Between Creative Thinking Ability and Creative Personality of Preshoolers. International Education Journal, 6(2), ISSN 1443-1475. h. 194-199. Soongsil University, Seoul, Republic of Korea. Mahmudi, A. 2010. Mengukur Kemampuan Berpikir Kreatif Matematis. Makalah disajikan pada Konferensi Nasional Matematika XV UNIMA . Manado : UNIMA. Juli 2010.
1084
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
Mann, E.L. 2005. Mathematical Creativity and School Mathematics : Indicators of Mathematical Creativity in Middle School Students. Disertasi Univercity of Connecticut. (online). (http://www.gifted.uconn.edu/siegle/Dissertations/Eric%20Mann.pdf.). diakses 23 September 2013. Mann, E.L. 2009. The Search for Mathematical Creativity : Identifying Creative Potential in Middle school Students. Creativity Research Journal, 27 (4), 338 – 348. Purdue University. Marsigit, M.A. 2012. Kajian Penelitian (Review Jurnal Internasional) pendidikan Matematika. Yoyyakarta : UNY. Meissner, H. 2010. Creativity and Mathematics Education. University Meenster. Germany. Moleong, 2012. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung : Remaja Rosdakarya. Munandar, S. C. U. 1999. Kreativitas dan Keberbakatan ; Strategi Mewujudkan Potensi Kreatif dan Bakat. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama. Musbikin, I. 2006. Mendidik Anak Kreatif Ala Einstein. Yogyakarta : Mitra Pustaka. Nadeem, A. M. 2012. A Comparison of Creative Thinking Abilities of high and Low Achievers Secondary School Students. Dimuat dalam International Interdisciplinary journal of Education. Pakistan. National Council of Teachers of Mathematics. 2000. Curriculum and Evaluation Standards for School Mathematics. Reston, V : National Council of Teachers of Mathematics. National Center for Educational Statistic (NCES). 2003. International Student Achievement In Mathematics. (online). (http://tims.b.c.edu/PDF/t03 M chap1.pdf). diakses 20 September 2013. Park, H. (2004). The Effects of Divergent Production Activities with Math Inquiry and Think Aloud of Students With Math Difficulty. Disertasi. (Online) (http://txspace.tamu.edu/bitstream/handle/1969.1/2228/etd-tamu-2004;jsessionid=BE099D46D00F1A54FDB51BF2E73CC609?sequence=1) diakses 15 November 2013 Pehkonen, E. 1997. The State-of-Art in Mathematical Creativity. Zentralblatt für Didaktik der Mathematik (ZDM)–The International Journal on MathematicsEducation. (online) (http://www.emis.de/journals/ZDM/zdm 973a1.pdf.), diakses 25 September 2013. Polya, G. 2004. How to Solve It A New Aspect of Mathematical Method. Princeton Science Library : Princeton University Press. Prianggono, A. & Riyadi & Triyanto. 2011. Analisis Proses Berpikir Kreatif Siswa Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) dalam Pemecahan dan Pengajuan Masalah Matematika pada Materi Persamaan Kuadrat. Surabaya : Universitas Negeri Surabaya. Purwanto, N. 1990. Psikologi Pendidikan. Bandung : Remaja Rosda Karya. Rahmawati, T . D. 2010. Kompetensi Berpikir Kritis dan Kreatif dalam Pemecahan Masalah Matematika di SMP Negeri 2 Malang. Malang : Universitas Negeri Malang. Rizkia, D. P. Identifikasi Proses Berpikir Kreatif Siswa dalam Memecahkan Masalah Open Ended Creative Problem Solving (CPS). Tesis tidak dipublikasikan. Surabaya : Universitas Negeri Surabaya Program Studi Pendidikan Matematika. Rohaeti, E.E. 2008. Sulitnya Berpikir Kreatif Dalam Matematika : Bagaimana dan Mengapa?. Bandung : Jurnal Ilmiah STKIP Volume 2, No. 2. September 2008. Roy, J.& Carter, V. 2005. Elementary Teacher Perceptions of Teaching Practices That Foster Creative Thinking in Students.Dimuat dalam INQUIRY, Volume 14. United States of America. Saefudin, A.A. 2011. Proses Berpikir Kreatif Siswa Sekolah Dasar (SD) Berkemampuan Matematika Tinggi dalam Pemecahan Masalah Matematika Terbuka. Makalah disajikan dalam Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika, Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, Yogyakarta. 3 Desember. Santoso, F. G. I. 2011. Mengasah Kemampuan Berpikir Kreatif dan Rasa Ingin Tahu Melalui Pembelajaran Matematika dengan Berbasis Masalah. Makalah dipresentasikan pada Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika, Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 3 Desember.
1085
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
Saragih,
S. 2008. Mengembangkan Keterampilan Berpikir Matematika. Makalah dipresentasikan pada Seminar nasional Pendidikan Matematika UNY, Yogyakarta, 28 Desember. Semiawan, C., Munandar, A. S. dan Munandar, S.C. Utami. 1987. Memupuk Bakat dan Kreativitas Siswa Sekolah Menengah. Jakarta: Gramedia. Silver, E. A. (1997). Fostering Creativity through Instruction Rich in Mathematical Problem Solving and Problem Posing. Zentralblatt fürDidaktik der Mathematik (ZDM) – The International Journal onnMathematics Education. (online). (http://www.emis.de/journals/ZDM/zdm973a3.pdf.) ISSN 1615-679X. diakses 20 September 2013. Sinead, B.& Ann, O. 2010. Mathematical Thinking and Task Design. Irlandia : Departemen Matematika Universitas Nasional Irlandia. Siswono, T.Y.E. & Kurniawati, Y. 2004. Penerapan Model Wallas untuk Mengidentifikasi Proses Berpikir Kreatif Siswa dalam Pengajuan Masalah Matematika dengan Informasi Berupa Gambar. Jurnal Nasional “Matematika, Jurnal Matematika atau Pembelajarannya”. Tahun 2004. h. 1-20. Siswono, T.Y.E. 2004. Konstruksi Teoritik Tentang Tingkat Berpikir Kreatif Siswa dalam Matematika. Surabaya : Jurusan Matematika FMIPA Universitas Negeri Surabaya. Siswono, T.Y.E. & Rosyidi, A. H. 2005. Menilai Kreativitas Siswa dalam Matematika. Surabaya : Jurusan Matematika FMIPA. Siswono, T.Y.E. 2007. Penjenjangan Kemampuan Proses Berpikir dan Identifikasi Berpikir Kreatif Siswa dalam Memecahkan dan Mengajukan Masalah Matematika. Disertasi tidak dipublikasikan. Surabaya : Universitas Negeri Surabaya Pascasarjana Program Studi Pendidikan Matematika. h 50. Siswono, T.Y.E. 2008. Proses Berpikir Kreatif Siswa dalam Memecahkan dan Mengajukan Masalah matematika. Surabaya: Jurusan Matematika FMIPA Universitas Negeri Surabaya. Stacey, K. 2013. What is Mathematical Thinking and Why Is It Important?. Australia. University of Melbourne. Subanji, 2007. Proses Berpikir Penalaran Kovariasional Pseudo dalam Mengkonstruksi Grafik Fungsi Kejadian Dinamik Berkebalikan. Disertasi tidak diterbitkan. Surabaya : PPs Universitas Negeri Surabaya. Subanji. 2011. Teori Berpikir Pseudo Penalaran Kovariasional. Malang : Universitas Negeri Malang. Subarinah, S. 2013. Profil Berpikir Kreatif Siswa dalam Memecahkan Masalah Tipe Investigasi Matematik Ditinjau dari Perbedaan Gender. Makalah dipresentasikan pada Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika, Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 9 November. Subur, J. Analisis Kreativitas Siswa dalam Memecahkan Masalah Matematika Berdasarkan Tingkat Kemampuan Matematika Di Kelas. Jurnal Penelitian Pendidikan, Volume 14, Nomor 1, April 2013. h. 49-54. Bandung : Universitas Pendidikan Indonesia. Sugiyono, 2011. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan Kombinasi (Mixed Methods). Bandung : Alfabeta. Supardi, U.S. 2013. Peran Berpikir Kreatif dalam Proses Pembelajaran Matematika. Jurnal Formatif 2(3), ISSN 2088-351X, h. 248-262. Jakarta : Universitas Indraprasta PGRI. Susanto, H. A. 2011. Pemahaman Pemecahan Masalah Pembuktian sebagai sarana Berpikir Kreatif. Makalah disajikan pada Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan, dan Penerapan MIPA, Fakultas MIPA, Universitas Negeri Yogyakarta, 14 Mei. Swesty, I. dkk. 2009. Berpikir (Thinking).(online). (http://psikologi.or.id), diakses 23 Mei 2013. Ulfiah, N. & Kahfi, S. 2013. Proses Berpikir Kreatif Siswa Kelas VII-D SMP Negeri 19 Malang dalam Mengajukan Masalah dengan Situasi Semi Terstruktur pada Materi Garis dan Sudut. Malang : Universitas Negeri Malang. Visitasari, R. 2013. Kemampuan Siswa Memecahkan Masalah Berbentuk Soal Cerita Aljabar Menggunakan Tahapan Analisis Newman. Surabaya : Universitas Negeri Surabaya. (online). (http://ejournal.Universitas Negeri Surabaya.ac.id..)diakses tanggal 17 Februari 2014.
1086
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
Yazgan, Y. 2013. Non-routine Mathematical Problem Solving at High School Level and Its Relation with Success on University Entrance Exam. US-China Education Review A. ISSN 2161-623X, Volume 3, Nomor 8, h. 571-579. August. Yudha, A.S. 2004. Berpikir Kreatif Pecahkan Masalah. Bandung : Kompas Cyber Media. __________. 2010. Pedoman Penulisan Karya Ilmiah. Malang : Universitas Negeri Malang. __________.2013. Salinan lampiran Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 54 tentang Standar Kompetensi Lulusan Pendidikan Dasar dan Menengah . Malang: Universitas Negeri Malang.
PENERAPAN SIKLUS BELAJAR (LEARNING CYCLE) EISENKRAFT UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN MEMECAHKAN MASALAH PERSAMAAN KUADRAT PADA SISWA KELAS X4 Helni, Edy Bambang Irawan, dan Santi Irawati Universitas Negeri Malang
[email protected],
[email protected],
[email protected] Abstrak: Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji penerapan siklus belajar (learning cycle) Eisenkraft yang dapat meningkatkan kemampuan memecahkan masalah siswa. Rancangan penelitian yang digunakan adalah penelitian tindakan kelas (PTK). Pelaksanaan pembelajaran dalam penelitian ini terbagi dalam dua pertemuan. Berdasarkan hasil tes akhir siklus 1 diperoleh persentase siswa yang memperoleh skor minimal 75 sebesar 93% sedangkan hasil tes akhir siklus 2 diperoleh persentase siswa yang memperoleh skor minimal 75 sebesar 100%. Sedangkan hasil pengamatan aktivitas guru pada siklus 1 dan 2 dalam kriteria sangat baik. Dan hasil pengamatan aktivitas siswa pada pertemuan 1 dan 2 dalam kriteria sangat baik. Berdasarkan hasil penelitian diperoleh bahwa proses pembelajaran dengan model siklus belajar (learning cycle) Eisenkraft dapat meningkatkan kemampuan siswa dalam memecahkan masalah pada materi persamaan kuadrat yang dilakukan dalam tujuh tahap, yaitu elicite,engagement, exploration, explanation, elaboration, evaluation dan extend. Kata kunci: model siklus belajar (Learning Cycle), pemecahan kuadrat
masalah, persamaan
Trends In International Mathematics and Science Study (TIMSS) merupakan penelitian untuk mengkaji kemampuan matematik siswa dalam mengatur, menarik kesimpulan dari informasi, membuat generalisasi dan memecahkan masalah dari soal-soal yang sifatnya tidak rutin. Berdasarkan hasil penelitian TIMSS kemampuan matematika siswa di Indonesia menduduki rangking ke 36 dari 48 negara dengan kemampuan yang diperoleh hampir mendekati skor 0. TIMSS menggunakan soal-soal untuk mengukur kemampuan siswa pada aspek pengetahuan 38% , aplikasi 41 %, dan reasoning 21 %. Soal-soal aplikasi, penegtahuan dan pemahaman konsep matematis siswa, digunakan untuk pemecahan masalah. Kemudian pada aspek reasoning dipergunakan untuk pemecahan masalah yang disajikan dalam situasi yang tidak biasa, dan membuat keterkaitan antar konsep. Apabila dilihat dari jenis soal aplikasi dan reasoning yang dipergunakan dalam TIMSS menggambarkan bahwa kemampuan pemecahan masalah pada siswa-siswa di Indonesia sangat jauh dibawah ratarata jika dibandingkan dengan negara-negara Asia lainnya seperti Jepang, Hongkong, Korea, Singapura dan Thailand. (SindoNews: 2013) Kemampuan pemecahan masalah persamaan kuadrat yang masih rendah juga dialami siswa kelas X SMAN 1 Pelaihari Kalimantan Selatan. Hal ini berdasarkan pengalaman peneliti selama 3 tahun mengajar dan hasil wawancara dengan 3 orang guru matematika yang bekerja pada sekolah yang sama dengan peneliti, diperoleh informasi bahwa masih banyak siswa mengalami kesulitan dalam menyelesaikan soal pemecahan masalah yang berkaitan
1087
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
dengan materi persamaan kuadrat. Hasil tes siswa tentang materi tersebut menunjukkan bahwa 60% siswa dari 35 orang siswa memperoleh nilai dibawah KKM 7,00. Model pembelajaran yang digunakan pada penelitian ini adalah model pembelajaran siklus belajar (Learning Cycle) Eisenkraft. Siklus Belajar (Learning Cycle) adalah suatu model pembelajaran yang berpusat pada siswa (student centered). Siklus Belajar (Learning Cycle) merupakan rangkaian tahap-tahap kegiatan (fase) yang diorganisasi sedemikian rupa sehingga siswa dapat menguasai kompetensi-kompetensi yang harus dicapai dalam pembelajaran dengan jalan berperan aktif (Fajaroh dan Dasna, 2007:1). Siklus Belajar (Learning Cycle) merupakan model pembelajaran yang dikembangkan Karplus dan Their yang awalnya memiliki tiga fase yakni exploration (penggalian), invention (penciptaan), discovery (penemuan) yang kemudian diganti menjadi exploration (penggalian), concept introduction (pengenalan konsep) dan concept application (aplikasi konsep) (dalam Fauzi, 2011: 19). Tahapan–tahapan dalam Siklus Belajar (Learning Cycle) terus berkembang. Salah satunya berkembang menjadi Siklus Belajar (Learning Cycle) dengan 5 fase belajar. Lorsbach (2002:1) dalam The Learning Cycle as a Tool for For Planning Science Instruction telah mengembangkan Siklus Belajar (Learning Cycle) 3 fase menjadi 5 fase terdiri dari fase engage, fase explore, fase explain, fase elaborate/extend, dan fase evaluate. Fase engagement merupakan fase untuk mendapatkan perhatian siswa dan mendorong kemampuan berpikirnya. Pada fase exploration siswa diberi kegiatan yang dapat melibatkan keaktifan siswa untuk menguji prediksi yang diambil dan mendiskusikannya dengan siswa lain. Pada fase explanation, siswa didorong untuk menjelaskan konsep yang sedang dipelajari. Pada fase elaboration, siswa menelaah kembali konsep yang telah dipelajari dan menggunakannya untuk memecahkan masalah. Dan pada fase evaluation, siswa diberi pertanyaan untuk mendiagnosa pelaksanaan pembelajaran dan mengetahui tingkat pemahaman siswa. Setelah Siklus Belajar (Learning Cycle) mengalami pengkhususan menjadi 5 fase, maka Eisenkraft (2003:57) mengembangkan siklus belajar menjadi 7 fase. Perubahan yang terjadi pada tahapan siklus belajar 5E menjadi 7E terjadi pada tahap Engage menjadi 2 tahapan yaitu menjadi Elicit dan Engage, sedangkan pada tahap Elaborate dan Evaluate menjadi 3 tahapan yaitu menjadi Elaborate, Evaluate dan Extend. Tahapan dari 7fase tersebut yaitu fase Elicit, fase engage, fase explore, fase explain, fase elaborate, fase evaluate, dan fase extend. Siswa mencoba mengkonstruk sendiri pemikirannya sehingga model pembelajaran learning cycle 7 fase merupakan model pembelajaran yang berpusat pada siswa. Pembelajaran dilakukan tidak hanya searah (guru ke siswa) tetapi peran aktif siswa lebih diutamakan sehingga akan terjadi proses pembelajaran dari berbagai arah. Proses diskusi antar siswa, antar kelompok, guru ke siswa ataupun siswa ke guru terjadi dalam pembelajaran ini. Menurut Aunurrahman (2009) model learning cycle 7 fase memberikan kebebasan kepada siswa untuk berpendapat akan konsep yang dipelajari sehingga tercipta suasana sosial dalam pembelajaran ini. Siswa juga diarahkan pada masalah-masalah dalam kehidupan seharihari yang berhubungan dengan materi agar siswa lebih tertarik dan memahami. Guru dituntut untuk mampu membimbing dan memfasilitasi siswa agar mereka dapat memahami kekuatan serta kemampuan yang mereka miliki, untuk selanjutnya memberikan motivasi agar siswa terdorong untuk bekerja atau belajar sebaik mungkin untuk mewujudkan keberhasilan berdasarkan kemampuan yang mereka miliki dalam proses pembelajaran. Penelitian ini mempunyai tujuan untuk mengkaji penerapan siklus belajar (Learning Cycle) Eisenkraft untuk meningkatkan kemampuan memecahkan masalah persamaan kuadrat. Pembelajaran dengan model siklus belajar (Learning Cycle) Eisenkraft nanti akan diukur berdasarkan pengamatan aktivitas guru dan siswa serta hasil tes tertulis siswa setiap akhir siklus. Indikator penilaiannya adalah memahami masalah, merencanakan penyelesaian dengan mengubah bahasa sehari-hari dalam bentuk model matematika, menentukan selesaian dan mengecek kembali selesaian. Tindakan dikatakan berhasil jika skor hasil observasi aktivitas guru dan siswa dalam kriteria minimal baik. Untuk mengukur ketuntasan belajar apabila minimal ≥ 75% siswa mendapat nilai minamal 75. Tes yang digunakan berbentuk uraian. Untuk penskoran hasil tes digunakan panduan rubrik penilaian. Model Siklus Belajar (Learning Cycle) yang dimaksud dalam penelitian ini adalah suatu model pembelajaran yang dikembangkan Eisenkraft dimana pembelajaran dibagi menjadi 7 tahapan/fase belajar yang terdiri dari elicite (memperoleh), engagment 1088
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
(mengundang/mengaitkan), exploration (menyelidiki), explanation (menjelaskan), elaboration (menerapkan), evaluation (mengevaluasi), dan extend (memperluas). Ketujuh tahapan di atas adalah hal-hal yang harus dilakukan guru dan siswa untuk menerapkan model pembelajaran 7-E pada pembelajaran di kelas. Guru dan siswa mempunyai peran masing-masing dalam setiap kegiatan pembelajaran yang dilakukan dengan menggunakan tahapan dari siklus belajar. Tabel 1. Aktivitas Belajar dengan model learning cycle Eisenkraft Fase Learning Cycle Fase aktivitas belajar/ metode Elicit dan Engage Menyiapkan (mengkondisikan) diri siswa, membangkitkan minat dan keingintahuan siswa, dengan cara berikut : Tanya jawab dalam rangka mengeksplorasi pengetahuan awal, pengalaman, dan ide-ide siswa. Explore Siswa bekerja sama dalam kelompok-kelompok kecil, memahami masalah, merencanakan penyelesaian, menentukan penyelesaian dan mengecek kembali dengan diskusi kelompok Explain Siswa menjelaskan konsep dengan kalimat mereka sendiri, guru meminta bukti dan klarifikasi dari penjelesan mereka dan mengarahkan kegiatan diskusi, dengan cara berikut : Mengkaji literatur Diskusi kelompok Elaborate Siswa menerapkan konsep dan keterampilan dalam situasi baru, dengan cara berikut : Diskusi kelompok Evaluate dan Extend Evaluasi terhadap aktifitas fase-fase sebelumnya dengan cara : Refleksi pelaksanaan pembelajaran Tes tertulis Problem solving
METODE Jenis penelitian ini adalah jenis penelitian tindakan kelas karena tujuan penelitian ini sesuai dengan karakteristik PTK yaitu ingin meningkatkan kemampuan pemecahan masalah pada materi persamaan kuadrat dengan model siklus belajar (learning cycle). Subyek penelitian ini adalah siswa kelas X4 SMA Negeri 1 Pelaihari Kalimantan Selatan Tahun Pelajaran 2013/2014 yang berjumlah 34 orang. Dalam penelitian ini empat tahapan penelitian yang akan dilaksanakan adalah sebagai berikut : 1. Perencanaan Tindakan Dalam tahap ini yang dilakukan adalah : (a) menyusun rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP); (b) menyiapkan bahan ajar pembelajaran dan LKS yang berisi aktivitas dan tugas selama proses pembelajaran di kelas; (c) menyusun instrumen penelitian berupa lembar observasi aktivitas guru dan siswa; serta (d) melakukan validasi perangkat pembelajaran dan instrumen. 2. Pelaksanaan Tindakan Melaksanakan tindakan disesuaikan dengan rencana pelaksanaan pembelajaran yang telah disusun. 3. Pengamatan/Observasi Kegiatan observasi dilakukan pada setiap pelaksanaan tindakan dan dilakukan oleh observer. Adapun kegiatan yang diobservasi yaitu kegiatan guru dan siswa. Aspek yang diamati pada observasi kegiatan guru dalam pembelajaran adalah kegiatan awal, kegiatan inti dan kegiatan akhir. Aspek yang diamati pada observasi kegiatan belajar siswa adalah respon siswa dalam menyikapi kegiatan awal, kegiatan inti dan kegiatan akhir yang dilakukan oleh guru. Aspek yang diamati pada observasi keaktifan belajar siswa adalah bertanya, mengajukan pendapat, menjawab pertanyaan, berdiskusi, memperhatikan penjelasan guru dan mengerjakan tugas. 4. Refleksi Refleksi dilakukan setelah tindakan berakhir. Tahap ini merupakan tahap evaluasi terhadap pelaksanaan pembelajaran dan hasil observasi yang dilakukan. Hasil evaluasi 1089
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
dijadikan bahan pertimbangan untuk perbaikan dan merancang rencana tindakan berikutnya. Peneliti mengevaluasi apakah pembelajaran sudah mencapai kriteria keberhasilan atau belum. Jika kriteria di siklus ini belum tercapai, maka peneliti mengulang tindakan pada siklus ini di bagian-bagian yang masih belum tercapai dan memperbaiki kelemahankelemahan tersebut disiklus berikutnya. Data ini dianalisis dengan langkah-langkah berikut : (1) mereduksi data (2) menyajikan data, dan (3) menyimpulkan data. 1. Data Hasil Validasi Perangkat Pembelajaran dan Instrumen Penelitian Data hasil validasi perangkat pembelajaran dan instrumen diperoleh melalui kegiatan validasi yang dilakukan oleh 2 orang validator. Setelah mengisi lembar validasi, skor hasil dari masing-masing validator ditotal kemudian diolah menjadi persentase skor rata-rata hasil validasi. 𝑆 SR = 𝑟 𝑥 100% 𝑆𝑚
Keterangan : SR : persentase skor rata-rata hasil validasi 𝑆𝑟 : skor total hasil validasi masing-masing validator 𝑆𝑚 : skor maksimal yang dapat diperoleh dari hasil validasi Kesimpulan analisis data disesuaikan dengan kriteria persentase skor rata-rata hasil validasi sebagai berikut: 75% ≤ 𝑆𝑅 ≤ 100% : valid tanpa revisi 50% ≤ 𝑆𝑅 < 75% : belum valid dengan sedikit revisi 25% ≤ 𝑆𝑅 < 50% : belum valid dengan banyak revisi 𝑆𝑅 < 25% : tidak valid Perangkat pembelajaran dan instrumen penelitian dikatakan valid jika berdasarkan hasil analisis data hasil validasi kedua orang validator menyatakan perangkat pembelajaran instrumen telah valid. 2. Data Hasil Observasi Aktifitas Guru dan Siswa Data aktifitas guru dan siswa diperoleh melalui kegiatan observasi yang dilakukan observer selama pembelajaran berlangsung. Setelah lembar observasi diisi, hasil observasi dianalisis menggunakan persentase sebagai berikut : 𝑝𝑒𝑟𝑠𝑒𝑛𝑡𝑎𝑠𝑒 𝑠𝑘𝑜𝑟 𝑟𝑎𝑡𝑎 − 𝑟𝑎𝑡𝑎 𝑆𝑅 =
𝑗𝑢𝑚𝑙𝑎 𝑠𝑘𝑜𝑟 𝑥 100% 𝑠𝑘𝑜𝑟 𝑚𝑎𝑘𝑠𝑖𝑚𝑎𝑙
Taraf keberhasilannya sebagai berikut : 90% ≤ 𝑆𝑅 ≤ 100% : sangat baik 80% ≤ 𝑆𝑅 < 90% : baik 70% ≤ 𝑆𝑅 < 80% : cukup 60% ≤ 𝑆𝑅 ≤ 70% : kurang 0% ≤ 𝑆𝑅 < 60% : sangat kurang 3. Data Hasil Tes Akhir Analisis data hasil tes untuk mengukur kemampuan pemecahan masalah siswa dalam pembelajaran siklus belajar (Learning Cycle), digunakan rubrik penilaian sebagai berikut: Tabel 3.2 Panduan pemberian skor dalam kemampuan pemecahan masalah Langkah-langkah Skor Tahap Penyelesaian Memahami Masalah 0 Tidak Ada Jawaban 1 Sebagian masalah disalah tafsirkan 2 Berhasil memahami masalah Merencanakan Rencana Pemecahan Masalah 0 Tidak ada data yang terkumpul 1 Sebagian data terkumpul 2 Semua data terkumpul Melaksanakan Rencana Pemecahan Masalah 0 Tidak ada analisa atau perhitungan 1 Ada analisa perhitungan sebagian 2 Ada analisa perhitungan secara lengkap Mengecek Kembali 0 Jawaban salah 1 Sebagian jawaban benar 2 Seluruh penyelesaian benar
1090
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
(Sumber : Adaptasi dari Barba dan Rubba) Kriteria keberhasilan: 1. Tindakan dikatakan berhasil jika hasil observasi aktifitas guru dan siswa dalam kriteria minimal baik 2. Untuk mengukur ketuntasan belajar apabila terdapat ≥ 75% mendapat nilai ≥ 75. HASIL DAN PEMBAHASAN Uraian data tindakan merupakan penjelasan dari semua kegiatan yang dilakukan oleh peneliti pada saat pelaksanaan tindakan. Pembelajaran dengan materi persamaan kuadrat dilaksanakan dalam dua pertemuan. Pertemuan I diberikan soal pemecahan masalah dengan materi persamaan kuadrat, sedangkan pada pertemuan II diberikan soal pemecahan masalah dengan materi yang sama yaitu persamaan kuadrat dengan tipe soal yang berbeda. Penerapan dengan model siklus belajar (learning cycle) pada penelitian ini terbagi dalam tiga kegiatan, yaitu kegiatan awal, kegiatan inti, dan akhir. Dalam kegiatan awal dari pembelajaran tersebut memuat tahap-tahap learning cycle yang meliputi tahap elicite dan tahap engagement. Pada kegiatan inti meliputi tahap exploration, tahap explanation, dan tahap elaboration. Pada kegiatan akhir memuat tahap evaluation dan tahap extend. Pembahasan dari masing-masing tahap adalah sebagai berikut. 1. Kegiatan awal Sebelum materi pembelajaran diajarkan, peneliti terlebih dahulu mempersiapkan siswa agar benar-benar siap untuk belajar. Hal ini sesuai dengan pendapat Orton (1992:9-10) bahwa peserta didik yang siap untuk belajar akan belajar lebih banyak daripada peserta didik yang tidak siap. Kegiatan menyiapkan siswa meliputi persiapan fisik dan persiapan mental. Persiapan fisik meliputi menyediakan semua sarana yang diperlukan seperti bahan ajar dan lembar kerja siswa. Sedangkan persiapan mental meliputi kegiatan menyampaikan salam, menyampaikan tujuan, memotivasi siswa, menggali dan mengaktifkan pengetahuan awal siswa. Penyampaian tujuan pembelajaran dapat memberikan motivasi belajar pada siswa dan menjadikan siswa fokus pada satu tujuan yang perlu dicapai. Saat tujuan pembelajaran disampaikan, siswa nampak antusias menyimaknya. Keantusiasan ini menjadi bukti bahwa siswa mulai termotivasi. Hal ini didukung oleh pendapat Dahar (1988:174) bahwa penyampaian tujuan pembelajaran selain dapat memotivasi juga dapat memusatkan perhatian peserta didik terhadap aspek yang relevan dalam pembelajaran. Namun pemberian motivasi semata kepada siswa belum cukup untuk menjadikan siswa benar-benar siap belajar. Hal lain yang diperlukan adalah pemahaman siswa terhadap materi yang diperlukan untuk menyelesaikan soal pemecahan masalah yang akan diberikan. Oleh karena itu, peneliti melakukan kegiatan tanya jawab untuk mengecek pemahaman dan membangkitkan kembali ingatan siswa tentang materi persamaan kuadrat. Hal ini senada dengan pendapat Skemp (1987:20) bahwa jika pemahaman konsep kurang sempurna maka konsep lain yang berkaitan dengan konsep tersebut akan berada dalam keadaan yang membahayakan. Selain itu juga didukung oleh pendapat Crawford (2001) yang menjelaskan bahwa pengetahuan prasyarat siswa dapat berfungsi sebagai landasan yang dapat dijadikan dasar untuk membangun pengetahuan baru. 2. Kegiatan inti Pada kegiatan ini, pembelajaran sebagian besar dilakukan dengan menggunakan LKS. Tahap learning cycle yang memanfaatkan LKS meliputi tahap exploration, tahap explanation dan tahap elaboration. Penggunaan LKS dapat membantu arah kerja siswa. Langkah-langkah yang terdapat dalam LKS merupakan suatu bentuk bantuan bagi siswa. Meskipun demikian, LKS tidak menuntun secara mutlak. LKS hanya menguraikan langkah-langkah secara garis besar sehingga siswa masih diberikan kebebasan mengungkapkan ide dan kreatifitasnya. Pembelajaran dengan LKS dilaksanakan dalam kelompok sehingga memungkinkan adanya kerja sama dan diskusi antar siswa. Hal ini dimaksudkan agar terjadi proses bimbingan yang dilakukan oleh siswa yang lebih mampu menyelesaikan masalah kepada siswa yang kurang mampu. Ini sesuai dengan pendapat Machmud (2001:7) yang menyatakan bahwa lembar kerja dapat memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk bekerja secara mandiri dan bekerja sama serta memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk melakukan kegiatan penemuan.
1091
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
Dan juga didukung oleh pendapat Suparno (1997) bahwa sangat penting artinya suatu interaksi sosial dengan orang lain yang mempunyai pengetahuan lebih baik. Dalam diskusi kelompok, siswa berpikir bersama-sama untuk menyelesaikan LKS. Masing-masing siswa menyumbangkan pendapat mereka untuk mendapatkan konsep yang benar. Mereka saling memberikan bantuan dan masukan dalam meningkatkan pemahamannya untuk mencari solusi dari masalah yang dihadapi. Siswa yang kurang mampu bertanya kepada temannya yang lebih mampu mengenai hal-hal yang belum dipahami. Sedangkan siswa yang lebih mampu bertambah pemahamannya melalui proses menjelaskan kepada temannya yang kurang mampu. Hal ini didukung pendapat Eggen dan Kauchak (2001) yang menyatakan bahwa pemahaman siswa akan meningkat disebabkan adanya interaksi dalam kelompok. Pada tahap exploration, siswa secara berkelompok melakukan kegiatan belajar berdasarkan LKS I untuk menemukan penyelesaian dari soal pemecahan masalah. Siswa melakukan langkah Polya dalam mengerjakan soal pemecahan masalah. Langkah-langkah tersebut yaitu memahami masalah, merencanakan penyelesaian, melaksanakan rencana penyelesaian dan mengecek kembali. Sedangkan pada tahap explanation, perwakilan siswa dari suatu kelompok menyampaikan hasil diskusi kelompoknya. Setelah siswa menyampaikan hasil diskusi kelompoknya di depan kelas, siswa dengan arahan guru mengklarifikasi hasil yang diperoleh melalui diskusi kelas. Dalam mendiskusikan hasil kerja kelompok, terjadi diskusi antar kelompok. Diskusi antar kelompok memungkinkan terjadinya pembetulan kesalahan yang dilakukan dalam diskusi kelompok. Diskusi antarkelompok juga melatih siswa dalam mengkomunikasikan ide kelompoknya kepada kelompok lain. Kemudian pembelajaran dilanjutkan ke tahap elaboration. Pada tahap ini, siswa kembali melakukan diskusi kelompok untuk memecahkan permasalahan yang terdapat pada soal selanjutnya. Kegiatan ini dilakukan untuk meningkatkan kemampuan siswa dalam menyelesaikan soal pemecahan masalah lebih mendalam. Pada bagian ini, siswa diberikan soal pemecahan masalah yang berbeda dengan soal pemecahan masalah yang ada pada tahap exploration. 3. Kegiatan akhir Pada kegiatan akhir, dilaksanakan dua komponen learning cycle, yaitu evaluation dan extend. Pada tahap evaluation dan extend, peneliti mengadakan evaluasi melalui tes tertulis secara individu. Hal ini dilakukan untuk mengecek kembali kemampuan siswa. Namun sebelum evaluasi dilaksanakan, siswa terlebih dahulu membuat kesimpulan dari materi yang telah dipelajari dengan arahan dan bimbingan peneliti. Hal ini dimaksudkan untuk menguatkan konsep yang baru dipelajari agar benar-benar tertanam dalam pikiran siswa sehingga tidak mudah lupa. Ini didukung pendapat Degeng (1997:28) bahwa membuat rangkuman atau kesimpulan dari apa yang telah dipelajari perlu dilakukan untuk mempertahankan retensi. Berdasarkan hasil observasi pembelajaran pada pertemuan I terhadap aktivitas guru diperoleh hasil pengamatan P1 sebesar 80% sehingga dalam kriteria baik dan hasil pengamatan P2 sebesar 96% sehingga dalam kriteria sangat baik. Maka disimpulkan bahwa aktivitas guru selama pembelajaran pada pertemuan I berada dalam kriteria baik. Sedangkan hasil observasi pembelajaran pada pertemuan I terhadap aktivitas siswa diperoleh hasil pengamatan P1 sebesar 80% sehingga dalam kriteria baik dan hasil pengamatan P2 sebesar 90% sehingga dalam kriteria sangat baik. Maka disimpulkan bahwa aktivitas siswa selama pembelajaran pada pertemuan I berada dalam kriteria baik. Hasil observasi pembelajaran pada pertemuan 2 terhadap aktivitas guru berdasarkan pengamatan P1 sebesar 88% sehingga berada dalam kriteria baik serta pengamatan P2 sebesar 85% sehingga berada dalam kriteria baik. Maka disimpulkan bahwa aktivitas guru pada pertemuan 2 berada dalam kriteria baik. Sedangkan hasil observasi terhadap aktivitas siswa pada pertemuan 2 berdasarkan pengamatan P1 sebesar 82% sehingga berada dalam kriteria baik, serta pengamatan P3 sebesar 83% sehingga berada dalam kriteria baik. Maka disimpulkan bahwa aktifitas siswa pada pertemuan 2 berada dalam kriteria baik. Dari tes akhir diketahui bahwa persentase siswa yang memperoleh skor ≥ 75 sebesar 93 % dari keseluruhan siswa yang mengikuti tes tersebut. Ini menunjukkan bahwa pembelajaran pada siklus I memenuhi kriteria ketuntasan belajar yaitu apabila terdapat ≥ 75% mendapat nilai ≥ 75. 1092
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
Hasil wawancara yang dilakukan terhadap siswa menunjukkan bahwa respon mereka terhadap kegiatan pembelajan yang dilaksanakan positif. Mereka tampak senang dan termotivasi dalam mengikuti kegiatan pembelajaran yang mereka ikuti. Berdasarkan hasil analisa data yang diuraikan di atas maka kegiatan pembelajaran pada siklus I telah mencapai kriteria keberhasilan. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa siklus I telah memenuhi kriteria keberhasilan yang ditetapkan dalam penelitian tindakan kelas ini. Akan tetapi untuk melihat peningkatan siswa dalam proses kemampuan menyelesaikan soal pemecahan masalah maka harus dilakukan siklus 2. Nilai hasil tes akhir pertemuan dengan hasil tes akhir siklus yang sangat jauh berbeda juga menambah alasan mengapa harus dilakukan siklus 2. Hal ini dapat dilihat dari tabel berikut yang memuat nilai evaluasi siswa disetiap akhir pertemuan dan diakhir siklus. Berdasarkan hasil observasi pembelajaran pada pertemuan I terhadap aktivitas guru diperoleh hasil pengamatan P1 sebesar 90% sehingga dalam kriteria sangat baik dan hasil pengamatan P2 sebesar 90% sehingga dalam kriteria sangat baik. Maka disimpulkan bahwa aktifitas guru selama pembelajaran pada pertemuan I berada dalam kriteria sangat baik. Sedangkan hasil observasi pembelajaran pada pertemuan I terhadap aktivitas siswa diperoleh hasil pengamatan P1 sebesar 92% sehingga dalam kriteria sangat baik dan hasil pengamatan P2 sebesar 90% sehingga dalam kriteria sangat baik. Maka disimpulkan bahwa aktivitas siswa selama pembelajaran pada pertemuan I berada dalam kriteria sangat baik. Hasil observasi pembelajaran pada pertemuan 2 terhadap aktivitas guru berdasarkan pengamatan P1 sebesar 93% sehingga berada dalam kriteria sangat baik serta pengamatan P2 sebesar 92% sehingga berada dalam kriteria sangat baik. Maka disimpulkan bahwa aktivitas guru pada pertemuan 2 berada dalam kriteria sangat baik. Sedangkan hasil observasi terhadap aktivitas siswa pada pertemuan 2 berdasarkan pengamatan P1 sebesar 90% sehingga berada dalam kriteria baik, serta pengamatan P3 sebesar 92% sehingga berada dalam kriteria sangat baik. Maka disimpulkan bahwa aktivitas siswa pada pertemuan 2 berada dalam kriteria sangat baik. Dari tes akhir diketahui bahwa persentase siswa yang memperoleh skor ≥ 75 sebesar 100% dari keseluruhan siswa yang mengikuti tes tersebut. Ini menunjukkan bahwa pembelajaran pada siklus 2 memenuhi kriteria ketuntasan belajar. Hasil wawancara yang dilakukan terhadap siswa menunjukkan bahwa respon mereka terhadap kegiatan pembelajan yang dilaksanakan positif. Mereka tampak senang dan termotivasi dalam mengikuti kegiatan pembelajaran yang mereka ikuti. Berdasarkan hasil analisa data yang diuraikan di atas maka kegiatan pembelajaran pada siklus 2 telah mencapai kriteria keberhasilan dan mengalami peningkatan sebanyak 7% dari siklus 1. Temuan-temuan penelitian pada pelaksanaan tindakan dapat diuraikan sebagai berikut: 1. Langkah memberikan soal pemecahan masalah sangat membantu siswa dalam memahami materi persamaan kuadrat lebih dalam. 2. Dengan mengkondisikan siswa dalam kelompok, membantu siswa aktif dalam berdiskusi, saling bertukar pikiran, dan saling memberikan informasi dalam rangka meningkatkan kemampuan siswa dalam mengerjakan soal pemecahan masalah materi persamaan kuadrat. 3. Diskusi antar kelompok pada saat menampilkan hasil kerja kelompok dapat melatih siswa untuk mengkomunikasikan ide kelompoknya. Selain itu, proses klarifikasi dapat membantu siswa untuk menyamakan persepsi dan membetulkan kesalahan yang terjadi. 4. Penggunaan LKS dapat membantu arah berpikir siswa. Pembelajaran tidak lagi terfokus pada guru dan siswa sudah berani mengemukakan pendapatnya. Suasana kelas terlihat aktif dan siswa antusias menyelesaikan tugas-tugas yang ada pada LKS. 5. Hasil belajar siswa dengan model learning cycle mengalami peningkatan pada setiap akhir siklus. 6. Berdasarkan hasil wawancara, siswa tidak mengalami kendala yang berarti dalam pembelajaran. KESIMPULAN Berdasarkan paparan data dan pembahasan, dapat disimpulkan beberapa hal berikut:
1093
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
1. Proses pembelajaran dengan model learning cycle yang dapat meningkakan kemampuan pemecahan masalah dibagi dalam tujuh tahap, yaitu elicite,engagement, exploration, explanation, elaboration, evaluation dan extend. Tahap elicite dan Tahap engagement Tahap engagement merupakan tahap awal untuk mempersiapkan siswa agar benarbenar siap belajar. Kegiatan ini meliputi pemberian permasalahan yang baru bagi siswa sehingga mereka menjadi termotivasi untuk belajar. Tahap exploration Pada tahap exploration, siswa mencoba menemukan solusi untuk menyelesaikan soal pemecahan masalah yang diberikan. Tahap explanation Pada tahap explanation, siswa dari perwakilan suatu kelompok menyampaikan hasil diskusinya di depan kelas yang kemudian dengan arahan guru diklarifikasi melalui diskusi kelas. Tahap elaboration Pada tahap elaboration, siswa melakukan cara yang sama pada tahap exploration untuk mencari solusi dari soal pemecahan masalah yang berbeda. Tahap evaluation dan extend Pada tahap evaluation, siswa menyelesaikan soal tes tentang materi yang dipelajari secara individu. Tes ini dilakukan untuk mengecek pemahaman siswa terhadap materi yang telah dipelajari. 2. Pembelajaran dengan model learning cycle dapat meningkatkan kemampuan siswa dalam mencari solusi dari soal pemecahan masalah. Hal ini ditunjukkan dengan persentase ketuntasan belajar siswa secara klasikal yang mengalami peningkatan pada setiap akhir siklus. Pada siklus I terdapat 93% siswa yang tuntas belajar. Dan pada siklus 2 terdapat 100% siswa yang tuntas belajar. Sehingga kemampuan siswa mengalami peningkatan sebanyak 7% antara siklus 1 dengan siklus 2. DAFTAR RUJUKAN Abraham, M.R, Renner J. W. 1986. The Sequence of Learning Cycle Activity in High School Chemistry of Research in Science Teaching. Vol 23. PP 121-143. Arikunto, Suharsimi dan Suhardjono dan Supardi. 2010. Penelitian Tindakan Kelas. Jakarta : Bumi Aksara. Aunurrahman .2009. Belajar dan Pembelajaran. Bandung : Alfabeta. Dasna IW, 2006. Filosofi Konstruktivisme dalam Pembelajaran Kimia Model Siklus Belajar (learning cycle) dalam Pembelajaran Kimia. UM. Eisenkraft, A. 2003. Expanding The 5E Model.. vol 70 no 6 hal 56-59. Diakses tanggal 2 November 2013 Fajaroh, Faizatul dan Dasna, I. W, 2007, Pembelajaran dengan Model Siklus Belajar. UM. Fauzi,Yusran. 2011. Pembelajaran Garis dan Sudut dengan Model Siklus belajar Learning Cycle, Lorsbach. Tesis tidak diterbitkan. Malang:PPs UM. Hartono. 2013. Learning Cycle-7E Model To Increase Student’s Critical Thingking On Science. Huda, Miftahul. 2013. Model-model Pengajaran dan Pembelajaran(Edisi ke-2). Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Hudojo, Herman. 1979.Pengembangan Kurikulum Matematika dan Pelaksanaanya di Depan Kelas. Surabaya: Usaha nasional. Hudojo, Herman. 1998. Mengajar Belajar matematika. Jakarta : P2LPTK. Lorsbach, A. W. 1999. The Learning Cycle as a tool for Planning Science Instruction (online). (www. Reviuwing. Co. Uk). Diakses tanggal 9 september 2013 Moleong, Lexy. J. 2005. Metode Penelitian Kualitatif. Terjemahan oleh Tjetjep Rohendi. Rohidi. Jakarta: UI Press. Musser, Gary.L, dkk. 2011. Mathematics for Elementary Teachers Ninth Edition. America : Wiley. Muzdalifah, I. 2009. Peningkatan Kemampuan Pemecahan Masalah Matematika Melalui Pendekatan Problem Possing. Jurnal Matematika, Volume 1, Nomor 1, Malang : Universitas Muhammadiyah Malang.
1094
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
Patrick.
2007. Examining the Learning Cycle . (online). http://www.tused.org/internet/tused/archive/v3/i1/text/tusedv3i1s1.pdf. Diakses tanggal 5 september 2013 Polya, G. 2008. How to Solve It: A New Aspect of Mathematical Method. Prencition, NJ: Prencition University Press. Priwahyu, Hartanti. 2011. Pengembangan Perangkat Pembelajaran Materi Persamaan Kuadrat Untuk Siswa Kelas X SMA. Tesis. Tidak diterbitkan. Malang : Program Pascasarjana Universitas Negeri Malang. Rahmi, Miftachul. 2012. Pengembangan Lembar Kerja Mahasiswa Bercirikan Learning Cycle untuk Meningkatkan Pemahaman Konsep Fungsi Pada Mahasiswa Calon Guru. Tesis. Tidak diterbitkan. Malang : Program Pascasarjana Universitas Negeri Malang. Shadiq, F. 2008. Psikologi Pembelajaran di SMA . Yogyakarta: Pusat Pengembangan Dan Pemberdayaan Pendidik Dan Tenaga Kependidikan. Sindonews. 11 November 2013. http://nasional.sindonews.com/read/2013/11/11/15/804091/pembelajaran-matematika-di-indonesia-masuk-peringkat-rendah Slavin, R. E. 1995. Cooperatife Learning Theory, Research, and Practice. Second edition. Massachusetts(US) : Allyn & Bacon. Soebagi, Soetarno, dan H. Wiwik. 2001. Penggunaan Daur Belajar untuk Peningkatan Kualitas Pembelajaran dan Pemahaman Konsep Elektrolis pada Siswa kelas III SMU Negeri 2 Jombang. Media komunikasi Kimia. Nomor 1 tahun 5 : 48-57. Subanji, Dr. 2013. Pembelajaran Matematika Kreatif dan Inovatif. Malang: Universitas Negeri Malang ( UM PRESS) Suparno. 1997. Filsafat konstruktivisme dalam Pendidikan. Yogyakarta: Kanisius. Wardani I.G.A.K, dkk. 2003. Penelitian Tindakan Kelas. Jakarta: Pusat Penerbitan Universitas Terbuka Wardani, Sri. 2006. Prinsip Penilaian Matematika SMP Berbasis Kompetensi. (Disampaikan pada diklat guru pengembang SMP wilayah Indonesia Timur Jenjang Dasar tanggal 22 september- 5 oktober di PPPG Matematika Yogyakarta) Wijaya, Ariyadi. 2009. Learning Cycle model For Learning Surface Area Of Triangular Prism(online). (http://staff.uny.ac.id/sites/default/files/pengabdian/ariyadi-wijayamsc/wijayaseameo-qitepworkshop-developing-learning-modeltriangularprism.pdf.) Diakses tanggal 8 september 2013. Yeo, K.K.J. 2009. Secondary 2 Student’ Difficulties in Solving Non-Rutine Problems. International Jurnal for Mathematics Teaching and Learning, 8th. Zakaria, E. 2010. Analysis of Students’Error in Learning of Quadratic Equations. Departement of Educatioanal methodology and Practice Faculty of Education, Universiti Kebangsaan Malaysia 43650 Bangi, Selangor, Malaysia Zull, Ronald. 2008. Mathematics and the learning cycle. Teaching children mathematics. (online). Diakses tanggal 8 juli 2013
IMPLEMENTASI PEMBELAJARAN GUIDED INQUIRY BERSETTING MODEL KOOPERATIF TIPE THINK PAIR SHARE (TPS) BERBASIS LESSON STUDY DI SMA NEGERI 7 BARABAI Hini Rahmini Universitas Negeri Malang
[email protected] Abstrak: Lesson study adalah kegiatan kolaboratif dari sekelompok guru secara bersamasama :(1) merencanakan pembelajaran (plan), (2) salah seorang guru (disebut guru model) melaksanakan pembelajaran didepan kelas dan guru lain (disebut guru pengamat) mengamati jalannya proses pembelajaran (do), dan (3) melakukan atau melihat lagi (see) pembelajaran yang telah dilaksanakannya, guna menemukan dan memecahkan masalah
1095
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
yang mungkin muncul, agar pembelajaran berikutnya dapat direncanakan dan dilaksanakan dengan lebih baik. Dalam perencanaan Lesson Study pada kelompok Lesson Study, seorang mahasiswa berperan sebagai guru model, dan mahasiswa yang lain berperan sebagai observer. Pada perencanaan tersebut kelompok Lesson Study memilih model pembelajaran yang tepat sehingga siswa memahami konsep matematika dan memperoleh hasil belajar yang cukup memuaskan. Model pembelajaran think pair share merupakan salah satu model pembelajaran yang berpusat pada siswa yang diterapkan dengan menggunakan 3 langkah yakni : think (berpikir), pair (berpasangan), dan share (berbagi). Sedangkan Guided Inquiry adalah sebuah pendekatan untuk belajar dimana siswa menemukan dan menggunakan berbagai sumber pembentukan informasi dan ide-ide untuk meningkatkan pemahaman mereka tentang masalah. Sehingga dengan adanya implementasi implementasi pembelajaran guided inquiry bersetting model kooperatif tipe think pair share (tps) berbasis lesson study di SMA Negeri 7 Barabai dapat meningkatkan pemahaman siswa. Kata kunci: guided inquiry, think pair share, lesson study
Guru sebagai salah seorang tenaga pendidik tentu dituntut keprofesionalismenya. Untuk mencapai tujuan tersebut tentunya dibutuhkan sumber daya manusia yang tercantum dalam Undang-Undang Republik Indonesia No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. Pada Bab I dalam UU Guru dan Dosen tertulis “ Profesional adalah pekerjaan atau kegiatan yang dilakukan oleh seseorang dan menjadi sumber penghasilan kehidupan yang memerlukan keahlian, kemahiran, atau kecakapan yang memenuhi standar mutu atau norma tertentu serta memerlukan pendidikan profesi”(Hermawan, 2010). Berbagai penataran dan pelatihan guru menjadi salah satu bentuk dari upaya meningkatkan mutu dan professional guru walaupun kurang membekas dalam kesaharian aktivitas guru. Hal inilah yang mendasari perlunya perbaikan yang menitikberatkan kepada kondisi riil di lapangan, mulai dari kondisi di kelas, sekolah dan guru (Rustono, 2008). Suatu model pembinaan guru untuk mencapai kualitas pembelajaran di sekolah adalah Lesson Study. Lesson Study adalah suatu pendekatan peningkatan pembelajaran yang awal mulanya berasal dari Jepang. Pada awalnya dimulai dengan pengkajian materi kurikulum (kyouzai kenkyuu) yang berfokus pada pengajaran matematika bagi guru-guru di Jepang. Kajian tersebut mendasarkan diri pada kurikulum matematika di U.S yang dirancang berbasis temuantemuan penelitian unggul. Kajian tersebut melahirkan suatu perubahan paradigma tentang materi kurikulum dari “memanjakan” menuju pada “ pemberdayaan” potensi siswa. Paradigma “memanjakan” mengalami anomali, karena materi kurikulum sering tidak memperhatikan karakteristik siswa, sehingga substansi materi sering lepas konteks dan tidak relevan dengan kebutuhan siswa. Akibatnya, siswa kurang tertarik, pembelajaran menjadi tidak bermakna, siswa sering menyembunyikan ketidakmampuan. Hal ini terjadi sebagai akibat koreksi dan perhatian guru yang lemah terhadap potensi mereka. Sementara, paradigm “pemberdayaan” bertolak dari potensi siswa yang mampu “mengada”, sehingga materi kurikulum seyogyanya dikembangkan berbasis kebutuhan siswa, materi seyogyanya menyediakan model pedagogi yang mampu menampilkan aspek kemenarikan pembelajaran. Paradigma tersebut dapat berkembang jika pembelajaran dihasilkan dari kerja tim mulai dari perencanaan, pelaksanaan, diskusi, kolaborasi, dan refleksi secara berkesinambungan. Cara seperti ini melahirkan konsep Lesson Study (Santyasa, 2009). Lesson Study merupakan terjemahan dari bahasa Jepang jugyou (instruction = pengajaran, atau lesson = pembelajaran) dan kenkyuu (research = penelitian atau study = kajian). Lesson Study dalam bahasa Jepang yaitu jugyou kenkyuu, adalah sebuah pendekatan untuk melakukan perbaikan-perbaikan pembelajaran di Jepang. Perbaikan-perbaikan pembelajaran tersebut dilakukan melalaui proses-proses kolaborasi antar para guru. Lewis (2002) mendeskripsikan proses-proses tersebut sebagai langkah-langkah kolaborasi dengan guru-guru untuk merencanakan (plan), mengamati (observer) dan melakukan refleksi (reflect) terhadap pembelajaran (lessons). Lebih lanjut ia menyatakan bahwa Lesson Study adalah suatu proses yang kompleks, didukung oleh penataan tujuan secara kolaboratif pencermatan dalam pengumpulan data tentang belajar siswa, dan kesepakatan yang memberi peluang diskusi yang produktif tentang masalah-masalah yang sulit. Lesson Study pada hakikatnya merupakan aktivitas siklikal berkesinambungan yang memiliki implikasi praktis dalam pendidikan.
1096
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
Dalam perencanaan Lesson Study pada kelompok Lesson Study, seorang mahasiswa berperan sebagai guru model, dan mahasiswa yang lain berperan sebagai observer. Pada perencanaan tersebut kelompok Lesson Study memilih model pembelajaran yang tepat sehingga siswa memahami konsep matematika dan memperoleh hasil belajar yang cukup memuaskan (Dewi, 2006). Salah satu model pembelajaran yang dapat digunakan guru adalah pembelajaran kooperatif. Pembelajaran kooperatif adalah model pembelajaran yang mengutamakan kerjasama untuk mencapai tujuan pembelajaran . Pembelajaran kooperatif (cooperative learning) merupakan bentuk pembelajaran dengan cara siswa belajar dan bekerja dalam kelompok – kelompok kecil secara kolaboratif yang anggotanya terdiri dari 4 sampai dengan 6 orang, dengan struktur kelompok yang bersifat heterogen (Majid, 2013). Peran guru dalam pelaksanaan pembelajaran kooperatif adalah sebagai fasilitator, mediator, director-motivator dan evaluator. Di samping itu, guru juga berperan dalam menyediakan sarana pembelajaran, agar suasana belajar tidak monoton dan membosankan. Dengan kreativitasnnya, guru dapat mengatasi keterbatasan sarana sehingga tidak menghambat suasana pembelajaran dikelas (Isjoni, 2012). Pembelajaran kooperatif mempunyai beberapa tipe yaitu Jigsaw, Think Pairs Share (TPS), Numbered Heads Together (NHT), Group Investigation, Make a Match, Listening Team, Inside-Outside Circle, Bambo Dancing, Point-Counter-Point, The Power of Two dan Listening Team (Suprijono, 2012). Sehingga guru mempunyai tugas untuk memilih salah satu tipe pembelajaran kooperatif agar sesuai dengan harapan yang diinginkan yaitu model pembelajaran Think Pair Share (TPS). Model pembelajaran Think-Pair-Share merupakan salah satu model pembelajaran kooperatif sederhana. Teknik ini memberi kesempatan pada siswa untuk bekerja sendiri serta bekerja sama dengan orang lain. Keunggulan teknik ini adalah optimalisasi partisipasi siswa. Dengan metode klasikal yang memungkinkan hanya satu siswa maju dan membagikan hasilnya untuk seluruh kelas, teknik Think-Pair-Share (TPS) ini memberi kesempatan sedikitnya delapan kali lebih banyak kepada setiap siswa untuk dikenali dan menunjukkan partisipasi mereka kepada orang lain (Suyanto dalam Prasetyo, 2012). Model pembelajaran think pair share merupakan salah satu model pembelajaran kooperatif. Model pembelajaran ini berpusat pada siswa yang diterapkan dengan menggunakan 3 langkah yakni : think (berpikir), pair (berpasangan), dan share (berbagi). Pada tahap think siswa berpikir/memikirkan penyelesaian dari suatu permasalahan yang diberikan kepada guru secara individu. Pada tahap pair siswa berpasangan ( pada penelitian ini berpasangan secara berkelompok berdua) untuk mendiskusikan penyelesaian permasalahan berdasarkan pada hasil berpikir secara individu. Sedangkan pada tahap share siswa yang merupakan perwakilan kelompok menyajikan /menyampaikan hasil kerja kelompoknya (kesepakatan hasil diskusi pada tahap pair) dibagikan ke kelompok lain atau kepada seluruh anggota kelasnya. Penelitian Helen Ngozi Ibe (2009) mengungkapkan bahwa strategi metakognitif yang paling efektif dalam meningkatkan prestasi akademik adalah Think Pairs Share (TPS). Adebola S. Ifanuyiwa dan Sunday K. Onakoya (2013) menyatakan bahwa model kooperatif tipe Think Pairs Share (TPS) berdampak positif terhadap prestasi siswa dalam pembelajaran matematika. Kathleen Sipos Trent (2013) menunjukkan bahwa Think Pairs Share (TPS) adalah strategi pembelajaran aktif yang melibatkan pasangan siswa. Tri Wahyuni (2012) menunjukkan implementasi metode cooperative learning model Think Pairs Share (TPS) berdampak positif terhadap peningkatan aktivitas belajar siswa, perbaikan suasana pembelajaran maupun peningkatan hasil belajar siswa. Zulfia Murni (2013) menyatakan bahwa penerapan pembelajaran kooperatif tipe Think Pairs Share (TPS) dapat meningkatkan pemahaman siswa pada pembelajaran matematika. Penelitian Wardhany (2013) menyatakan bahwa peningkatan kemampuan pemahaman matematik peserta didik melalui model kooperatif tipe Think Pairs Share (TPS) dengan pendekatan konstruktivisme lebih baik dibandingkan dengan model kooperatif tipe Think Pairs Share (TPS). Sehingga untuk memaksimalkan hasil penelitian ini, peneliti tertarik untuk menggabungkan Model pembelajaran kooperatif tipe Think Pairs Share (TPS) dengan strategi atau suatu pendekatan pembelajaran yang lain, yaitu pendekatan guided inquiry. Inquiry adalah sebuah pendekatan untuk belajar dimana siswa menemukan dan menggunakan berbagai sumber pembentukan informasi dan ide-ide untuk meningkatkan
1097
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
pemahaman mereka tentang masalah, topik atau dugaan. Hal ini tidak hanya sekedar menjawab pertanyaan atau mendapatkan jawaban yang benar (Kuhlthau,dkk, 2007). Patti Dyjur dan Qing Li (2010) menemukan bahwa guru mengajar dengan menggunakan guided inquiry dapat meningkatkan kemampuan dan minat siswa dalam pembelajaran matematika. Carol Collier Kuhithau (2000) menyatakan bahwa dengan guided inquiry dapat mengatasi kesulitan belajar siswa dan memungkinkan siswa untuk belajar melalui sumber daya yang luas. Paula dan Ryan (2012) menyatakan bahwa guru mengajar dengan menggunakan metode inquiry dapat mengidentifikasi kesulitan siswa di dalam pembelajaran. Caryn (2000) menyatakan dengan guided inquiry dapat membangun belajar siswa dan membuat pembelajaran menjadi lebih aktif. Inquiry adalah sebuah pendekatan untuk belajar dimana siswa menemukan dan menggunakan berbagai sumber pembentukan informasi dan ide-ide untuk meningkatkan pemahaman mereka tentang masalah, topik atau dugaan. Hal ini tidak hanya sekedar menjawab pertanyaan atau mendapatkan jawaban yang benar (Kuhlthau,dkk, 2007). Patti Dyjur dan Qing Li (2010) menemukan bahwa guru mengajar dengan menggunakan guided inquiry dapat meningkatkan kemampuan dan minat siswa dalam pembelajaran matematika. Carol Collier Kuhithau (2000) menyatakan bahwa dengan guided inquiry dapat mengatasi kesulitan belajar siswa dan memungkinkan siswa untuk belajar melalui sumber daya yang luas. Paula dan Ryan (2012) menyatakan bahwa guru mengajar dengan menggunakan metode inquiry dapat mengidentifikasi kesulitan siswa di dalam pembelajaran. Caryn (2000) menyatakan dengan guided inquiry dapat membangun belajar siswa dan membuat pembelajaran menjadi lebih aktif. Berdasarkan latar belakang di atas, peneliti ingin mengemplementasikan pembelajaran guided inquiry bersetting model kooperatif tipe Think Pair Share (TPS) berbasis lesson study di SMA Negeri 7 Barabai. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pemahaman siswa dalam pembelajaran tersebut. METODE PENELITIAN Metode penelitian yang digunakan adalah metode deskriptif berbasis lesson study. Lesson study adalah kegiatan kolaboratif dari sekelompok guru secara bersama-sama : (1) merencanakan pembelajaran (plan), (2) salah seorang guru (disebut guru model) melaksanakan pembelajaran didepan kelas dan guru lain (disebut guru pengamat) mengamati jalannya proses pembelajaran (do), dan (3) melakukan atau melihat lagi (see) pembelajaran yang telah dilaksanakannya, guna menemukan dan memecahkan masalah yang mungkin muncul, agar pembelajaran berikutnya dapat direncanakan dan dilaksanakan dengan lebih baik ( Widjajanti, 2007). Kritik dan saran diarahkan dalam rangka peningkatan kualitas pembelajaran dan disampaikan secara bijak tanpa merendahkan atau menyakiti hati mahasiswa yang praktek membelajarkan matematika. Masukan yang positif dapat digunakan untuk merancang kembali pembelajaran yang lebih baik (Sa’dijah, 2010). Penelitian ini berbasis Lesson Study dilaksanakan di SMA Negeri 7 Barabai pada kelas XI IPA 2 yang terdiri dari 17 orang siswa. Yang berperan sebagai guru model dalam pembelajaran ini adalah Hini Rahmini, sedangkan sebagai observer adalah Amalia Jaina, Eulis Sulastri dan Juairiyah. Pembelajaran ini menggunakan guided inquiry bersetting model kooperatif tipe Think Pair Share (TPS) pada materi turunan fungsi aljabar. Selama kegiatan Lesson Study digunakan lembar observasi. Kegiatan selama pembelajaran diobservasi oleh observer. Hal-hal yang perlu diperhatikan atau ada temuan-temuan yang terjadi selama pembelajaran direkam dalam lembar observasi dan video. HASIL DAN PEMBAHASAN Kegiatan praktek mengajar di kelas berbasis Lesson Study dilaksanakan sebanyak 2 kali pertemuan dan praktek mengajar setiap kali pertemuan adalah 2 jam pelajaran yang dilaksanakan di SMA Negeri 7 Barabai kelas XI IPA 2. Guru model dalam praktek pembelajaran ini adalah Hini Rahmini . Adapun yang bertindak sebagai observer yaitu Amalia Jaina, Eulis Sulastri dan Juairiyah. Jadwal praktek mengajar dan materi yang diajarkan secara lebih rinci disajikan pada Tabel 2.1 berikut.
1098
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
Tabel 2.1 Jadwal Pelaksanaan Praktek Mengajar No. Hari, Tanggal, Jam Kelas Materi Ajar 1.
2.
Senin, 19 2014 Jam 7-8 Rabu, 23 2014 Jam 7-8
April
XI IPA 2
Turunan fungsi aljabar tentang konsep dasar turunan fungsi aljabar.
April
XI IPA 2
Turunan fungsi aljabar tentang operasi penjumlahan fungsi
Secara rinci dijelaskan pada uraian di bawah ini. Pertemuan ke-1 Plan (perencanaan) Tahap perencanaan, guru membuat perangkat pembelajaran yang terdiri dari Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP), Lembar Kerja Siswa (LKS) dan Soal Quiz sesuai dengan materi yang telah direncanakan yaitu tentang konsep turunan fungsi aljabar. Adapun kegiatan pelaksanaan pembelajaran Lesson Study pada pertemuan ke-1 dilaksanakan pada hari Senin tanggal 21 April 2014. Do (pelaksanaan) Pelaksanaan pembelajaran lesson study pertemuan ke-1 dilaksanakan pada hari Senin tanggal 21 April 2014, jam pelajaran ke 7-8. Materi ajar yang diajarkan adalah turunan fungsi aljabar tentang konsep dasar turunan fungsi aljabar. Model pembelajaran yang digunakan adalah pembelajaran guided inquiry bersetting model kooperatif tipe Think Pair Share (TPS). Kegiatan pendahuluan dalam pembelajaran ini, guru mengucapkan salam, meminta siswa berdo’a sebelum memulai pelajaran, mengabsen kehadiran siswa,menyampaikan tujuan pembelajaran dan model yang digunakan dalam pembelajaran ini serta memberikan apersepsi tentang limit fungsi sebagai pengantar belajar anak sebelum mempelajari konsep turunan fungsi aljabar. Pada saat kegiatan pendahuluan, siswa memperhatikan penjelasan guru dan ada beberapa siswa yang bertanya. Kegiatan inti dalam pembelajaran ini, guru membagikan Lembar Kerja Siswa (LKS). LKS yang dibagikan kepada siswa terdiri dari 3 tahap yaitu LKS tahap think (berpikir), tahap pair (berpasangan) dan tahap share ( berbagi). Dalam mengerjakan LKS tahap think (berpikir), siswa diminta mengerjakan LKS secara individu. Ada beberapa siswa yang masih belum mengerti dalam mengerjakan LKS tahap think sehingga membutuhkan bantuan dan bimbingan guru. Setelah siswa selesai mengerjakan LKS bagian think, siswa diminta secara berpasangan dengan teman sebangkunya untuk mendiskusikan jawabannya pada LKS tahap think dan menuliskan hasil diskusinya pada LKS tahap pair. Dalam tahap ini juga ada beberapa pasangan yang masih belum paham cara mengerjakan LKS, sehingga membutuhkan bantuan dan bimbingan guru dalam mengerjakannya. Setelah seluruh pasangan selesai mengerjakan LKS, setiap kelompok diminta mempresentasikan jawaban mereka didepan kelas. Pada tahap presentasi terdapat beberapa perbedaan pendapat atau jawaban sehingga membutuhkan waktu yang cukup lama untuk membahas dan mencari kebenaran dari perbedaan pendapat tersebut. Karena banyaknya perbedaan pendapat atau perbedaan jawaban pada tahap presentasi sehingga alokasi yang telah ditentukan tidak sesuai dengan alokasi yang ada pada RPP dan waktu yang diperlukan lebih banyak. Kegiatan penutup, seluruh siswa menyimpulkan pembelajaran hari ini dengan bimbingan guru. Setelah bersama-sama menyimpulkan pembelajaran, guru mengadakan quiz untuk mengetahui pemahaman siswa. Setelah seluruh siswa menyelesaikan quiz, guru menutup pembelajaran dengan bersama-sama berdo’a. See (refleksi) Tahap refleksi dilaksanakan setelah kegiatan pembelajaran. Adapun refleksi dari observer yaitu : pembuatan LKS sebaiknya menyesuaikan dengan kemampuan siswa, sehingga waktu yang digunakan pada saat siswa menyelesaikan LKS sesuai dengan alokasi waktu yang dibuat. Selain kemampuan siswa, LKS yang dibagikan kepada siswa sebaiknya petunjuk dan pertanyaannya jelas sehingga memudahkan siswa untuk memahami dan menyelesaikannya.Sebagian siswa sudah aktif, tetapi mungkin karena faktor jam terakhir sehingga siswa tidak terlalu focus lagi dalam belajar. Pembelajaran guru dengan model TPS memang sudah membuat siswa lebih aktif tetapi alangkah baiknya jika guru dapat membuat 1099
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
siswa lebih aktif misalnya dengan memberikan LKS dengan warna yang lebih menarik lagi, dsb. Pada tahap share (berbagi) agar waktu yang digunakan cukup dapat sesuai RPP, guru bisa mensiasati dengan memberikan karton pada setiap kelompok agar mempersingkat waktu dalam presentasi.Siswa banyak mengalami kesulitan dalam mengerjakan LKS, hal tersebut terjadi karena sebagian besar siswa tidak mengingat atau menguasai materi prasyarat sebelum mempelajari materi selanjutnya. Agar siswa lebih mudah memahami materi selanjutnya, guru dapat memastikan materi prasyarat tersebut dikuasai siswa. Perbaikan untuk pembelajaran berikutnya: 1. Memastikan materi prasyarat dikuasai oleh siswa agar memudahkan dalam mempelajari materi selanjutnya. 2. LKS yang digunakan menyesuaikan dengan kemampuan siswa . LKS tersebut dimodifikasi agar sesuai dengan indikator yang diinginkan tetapi tidak terlalu sulit dan mudah dimengerti. Petunjuk dan cara pengerjaan LKS dilampirkan secara rinci agar siswa mudah mengeri dan waktu pengerjaan sesuai dengan RPP. 3. LKS dimodifikasi kembali agar lebih menarik, bisa dengan pemberian warna yang berbeda, dsb. Agar mengefesienkan waktu yang digunkaan dalam presentasi, guru memberikan karton atau yang lainnya agar mempercepat dan memudahkan siswa dalam presentasi. Pertemuan ke-2 Plan (perencanaan ) Tahap perencanaan, guru membuat perangkat pembelajaran yang terdiri dari Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP), Lembar Kerja Siswa (LKS) dan Soal Quiz sesuai dengan materi yang telah direncanakan yaitu tentang turunan fungsi aljabar tentang operasi penjumlahan. Adapun kegiatan pelaksanaan pembelajaran Lesson Study pada pertemuan ke-1 dilaksanakan pada hari Rabu tanggal 23 April 2014. Do (pelaksanaan) Setelah diadakan refleksi pada pertemauan pertama, dengan beberapa perbaikan pada pembelajaran pertemuan ke-2. Pelaksanaan pembelajaran Lesson Study pertemuan ke-2 dilaksanakan pada hari Rabu tanggal 23 April 2014, jam pelajaran ke 7-8. Materi ajar yang diajarkan adalah turunan fungsi aljabar tentang operasi penjumlahan fungsi. Model pembelajaran yang digunakan adalah pembelajaran guided inquiry bersetting model kooperatif tipe Think Pair Share (TPS). Kegiatan pendahuluan dalam pembelajaran ini, guru mengucapkan salam, meminta siswa berdo’a sebelum memulai pelajaran, mengabsen kehadiran siswa,menyampaikan tujuan pembelajaran dan model yang digunakan dalam pembelajaran ini serta mengingatkan kembali tentang konsep turunan fungsi aljabar yang telah dipelajari pada pertemuan sebelumnya sebagai pengantar belajar anak. Pada saat kegiatan pendahuluan, siswa memperhatikan penjelasan guru dan ada beberapa siswa yang bertanya. Kegiatan inti dalam pembelajaran ini, guru membagikan Lembar Kerja Siswa (LKS). LKS yang dibagi pada siswa memiliki cover LKS yang berbeda warna, hanya ada 2 buah LKS yang sama warnanya. LKS yang dibagikan kepada siswa terdiri dari 3 tahap yaitu LKS tahap think (berpikir), tahap pair (berpasangan) dan tahap share (berbagi). Dalam mengerjakan LKS tahap think (berpikir), siswa diminta mengerjakan LKS secara individu. Ada beberapa siswa yang masih belum mengerti dalam mengerjakan LKS tahap think sehingga membutuhkan bantuan dan bimbingan guru. Setelah siswa selesai mengerjakan LKS bagian think, siswa diminta mencari pasangannnya yaitu yang memiliki cover warna LKS yang sama. Setelah menemukan pasangannya, siswa diminta untuk mendiskusikan jawabannya pada LKS tahap think dan menuliskan hasil diskusinya pada LKS tahap pair. Dalam tahap ini juga ada beberapa pasangan yang masih belum paham cara mengerjakan LKS, sehingga membutuhkan bantuan dan bimbingan guru dalam mengerjakannya. Setelah seluruh pasangan selesai mengerjakan LKS, guru membagikan kertas karton pada setiap kelompok untuk mempersiapkan presentasi didepan kelas. Setiap kelompok diminta menempelkan kertas karton yang berisi kesimpulan jawaban kelompok mereka dan mempresentasikan jawaban mereka didepan kelas. Pada tahap presentasi terdapat beberapa perbedaan pendapat atau jawaban sehingga membutuhkan waktu yang cukup lama untuk membahas dan mencari kebenaran dari perbedaan pendapat tersebut. Kegiatan penutup, seluruh siswa menyimpulkan pembelajaran hari ini dengan bimbingan guru. Setelah bersama-sama menyimpulkan pembelajaran, guru mengadakan quiz 1100
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
untuk mengetahui pemahaman siswa. Setelah seluruh siswa menyelesaikan quiz, guru menutup pembelajaran dengan bersama-sama berdo’a. See (refleksi) Refleksi dari para observer untuk pertemuan ke-2 yaitu petunjuk dan teknik dalam pengerjaan LKS sudah jelas dan dapat dipahami siswa , sehingga siswa lebih aktif dalam mengerjakan LKS, walaupun masih ada beberapa yang memerlukan bimbingan guru. Adanya perbedaan warna cover pada LKS saat tahap pair (berpasangan) membuat siswa aktif dalam mencari anggota kelompok. Karton yang disediakan sebagai media presentasi membuat siswa lebih antusias dan waktu yang digunakan lebih efektif. Siswa terlihat lebih aktif dan lebih antusias mengikuti kegiatan pembelajaran. Siswa sudah berani mengemukakan pendapatnya, sudah berani memaparkan pendapatnya walaupun jawabannya belum benar, tetapi menerima saran dari teman-temannya. PENUTUP Kesimpulan Hasil –hasil yang diperoleh dalam Lesson Study antara lain : 1) Terjadi peningkatan kualitas proses pembelajaran. Ini dapat dilihat dari jumlah siswa yang aktif semakin banyak, pembelajaran tidak membosankan karena sebagian besar siswa kelihatan antusias dalam belajar. Bagi guru juga dapat keuntungan yaitu dapat melakukan kolaborasi dengan teman sejawat dalam upaya untuk memperbaiki pembelajarannya. 2) Melalui pembelajaran dengan Lesson Study dapat meningkatkan pemahaman belajar siswa. Hal ini terlihat dari hasil tes quiz yang mendapat nilai lebih dari 60 dari pertamuan 1 ke pertemauan 2 meningkat dari 47% menjadi 83% dari 17 siswa. Saran 1) Penelitian ini merupakan upaya dalam perbaikan proses pembelajaran melalui kolaboratif antar guru . Oleh karena itu perlu upaya berkelanjutan implementasi Lesson Study pada setiap pembelajaran dikelas. 2) Implementasi Lesson Study secara umum memerlukan komitmen dari semua pihak dikarenakan prosesnya tidak sederhana dan bersifat berkelanjutan. DAFTAR RUJUKAN Caryn, 2000. Cognitively Guided Instruction : The Inquiry Learning of mathematics. University of Alaska Southeast Dewi, Setya. 2006. Pemahaman konsep volume bola dengan model pembelajaran kontruktivisme dan kontektual pada siswa kelas III SMP Dyjur, Patti & Li, Qing. 2010. A study of designing an inquiry-based unit in mathematics and science. Ph. D Candidate, University of Calgary Flessner, Ryan & Magee, Paula. 2012. Collaborating to improve inquiry-based teaching in elementary science and mathematics methods courses. Indiana University-Indianapolis, USA, Butler University, USA Hernawan, Rudi. 2010. Peningkatan Profesionalisme Guru Matematika Melalui Lesson Study (LS).
[email protected]. Diakses tanggal 8 Mei 2014. Ibe, Helen Ngozi. 2009. Metacognitive Strategies on Classroom Participation and Student Achievement in Senior Secondary School Science Classrooms. Science Education International. Ifamuyiwa, Adebola S & Onakoya Sunday K. 2008. Impact of Think Pair Share Instructional Strategy on Students’ Achievement in Secondary School Mathematics Isjoni, 2012. Pembelajaran Kooperatif. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Kuhlthau, dkk. 2007. Guided Inquiry Learning in the 21 st Century. Library Unlimited, Inc., 88 Post Road West, Westport, CT 06881 Lewis, C. 2002. Lesson Study: A handbook of teacher-led instrutional change. Philadelphia : Research for Better Schools Majid, 2013. Strategi Pembelajaran. PT Remaja Rosdakarya, Bandung Murni, Zulfia. 2013. Penerapan Pembelajaran Kooperatif Think Pairs Share (TPS) untuk memahamkan materi lingkaran bagi siswa kelas VIII BL-1 SMP Negeri 2 Samarinda. Tesis tidak diterbitkan, Universitas Negeri Malang.
1101
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
Rustono, W.S. 2008. Meningkatkan Kemampuan Mahasiswa Menerapkan Strategi Pembelajaran Melalui Lesson Study di Sekolah Dasar. ”Jurnal Pendidikan Dasar” Nomor : 10 Oktober 2008 Santyasa, I Wayan. 2009. Implementasi Lesson Study dalam Pembelajaran. Seminar Implementasi Lesson Study dalam Pembelajaran bagi Guru-Guru TK, Sekolah Dasar, dan Sekolah Menengah Pertama di Kecamatan Nusa Penida, Tanggal 24 Januari 2009. Sa’dijah, Cholis. 2010. Aktivitas dan Respon Calon Guru dalam Penerapan Lesson Study pada Pembelajaran Matematika Berbahasa Inggris di SMA Negeri 3 Malang. Prosding Seminar Nasional Lesson Study 3. Suprijono, 2012. Cooperative Learning. Yogyakarta:Pustaka Pelajar. Prasetyo, 2013. Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Think- Pair- Square di SDN Antasan Besar 7 Banjarmasin Wahyuni, Tri. 2012. Implementasi Cooperative tipe Think Pairs Share (TPS) pada pembelajaran IPS. Program Pascasarjana, Universitas Negeri Semarang, Indonesia. Wardhany, Devy Meilani. 2013. Peningkatan kemampuan pemahaman matematika peserta didik melalui model pembelajaran kooperatif tipe Think Pairs Share (TPS) dengan pendekatan konstruktivisme. Widjajanti, Djamilah Bondan. 2007. Lesson Study: Belajar dari, Tentang dan Untuk Pembelajaran.
[email protected]. Diakses tanggal 28 Mei 2014.
PEMBELAJARAN LESSON STUDY MENGGUNAKAN NUMBER SENSE DALAM MATERI TRIGONOMETRI Juairiyah Universitas Negeri Malang
[email protected] Abstrak: Hasil belajar siswa mempunyai tingkat berbeda dengan siswa yang lainnya. Dengan kemampuan number sense ini siswa dapat lebih cepat memahami suatu materi matematika yang berkaitan dengan bilangan. Pada artikel ini akan dibahas mengenai pembelajaran menggunakan number sense pada materi trigonometri. Ini dimaksudkan untuk membantu pemahaman siswa pada materi trigonometri menggunakan number sense yang dimiliki siswa. Kesimpulan yang didapat adalah menggunakan number sense siswa dalam pembelajaran dapat meningkatkan hasil belajar siswa. Kata kunci: Lesson Study, Number Sense, trigonometri, hasil belajar.
Rendahnya pengetahuan matematika senantiasa menjadi topik pembicaraan yang hangat, banyak siswa yang kurang memahami tentang matematika yang mereka kerjakan. Siswa sering tidak dapat menggunakan pengetahuan matematika yang mereka miliki sebelumnya dengan pengetahuan yang baru, bahkan siswa tidak dapat menggunakan keterampilan menyelesakan soal apabila diberikan soal yang sedikit berbeda dari apa yang dipelajarinya. Dalam pembalajaran matematika, guru hendaknya memilih dan menggunakan strategi, pendekatan, metode dan teknik yang banyak melibatkan siswa aktif dalam belajar, baik secara mental, fisik maupun social. Kreativitas guru juga amat penting untuk mengembangkan model model pembelajaran yang secara khusus cocok dengan kelas yang dibinanya, siswa tidak hanya menerima pengetahuan tapi mengkonstruk pengetahuan tersebut dengan aktivitas pembelajaran. Sehingga pembelajaran menjadi bermakna. Salah satu faktor yang mempengaruhi hasil belajar siswa adalah metode-metode yang dilakukan oleh guru selama proses pembelajaran. Sejalan dengan hal tersebut, pembelajaran lebih menekankan pada proses artinya membelajarkan pebelajar. Dengan demikian, perlu adanya penguatan materi pra syarat (number sense) pada siswa sebelum kegiatan inti pembelajaran. Penggunaan number sense dalam pembelajaran merupakan hal yang baru dalam dunia pendidikan. Manfaat dari penggunaan number sense dalam pembelajaran diharapkan mampu
1102
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
mengatasi permasalahan siswa pada materi pra syarat yang sering dilupakan, khususnya materi trigonometri. Materi trigonometri diberikan kepada siswa pada tingkat Sekolah Menengah Atas (SMA). Terdapat sub-materi pada trigonometri untuk mempermudah dan fokus pada penyampaian materi ini. Sub-materi pada trigonometri diantaranya; perbandingan trigonometri sudut di berbagai kuadran dan perbandingan trigonometri sudut berelasi di kuadran I. Pemanfaatan number sense berupa materi pra syarat diharapkan dapat membantu mengatasi hal tersebut. Khususnya bagi guru merupakan bekal pengetahuan matematika yang kuat perlu dimiliki dalam upaya memberi pelajaran kepada siswa. Sebuah Lesson Study yang dilakukan oleh penulis bersama tim pada kelas x SMA Negeri 7 Barabai menunjukkan bahwa tidak setiap siswa memliki number sense yang baik. Sehingga saat pemberian materi trigonometri direncanakan bersama tim terlebih dahulu kemudian disimpulkan untuk menggunakan number sense dalam pembelajaran. Sebagaimana yang dinyatakan oleh banyak ahli seperti Menon (2004), Hilbert (2001), David (2008), Zanzali (2005) Jonassen (2004), Thompson (2007) bahwa penggunaan number sense lebih baik digunakan agar siswa familier terhadap bilangan termasuk hubungan antar bilangan, representasinya serta mempunyai penalaran dan analisis yang tajam terhadap masalah yang berhubungan dengan bilangan. Dalam tulisan ini, akan dipaparkan secara ringkas mengenai kegiatan lesson study dan bagaimana tahapan-tahapan dalam lesson study, dengan harapan dapat memberikan memberikan kemudahan kepada siswa untuk memahami materi yang disampaikan sebagai guru. Dipihak lain yang terkait untuk dapat mengembangkan lesson study lebih lanjut guna kepentingan peningkatan mutu proses dan hasil pembelajaran siswa. TEORI PEMBELAJARAN MATEMATIKA MENGGUNAKAN NUMBER SENSE Banyak masalah yang dialami siswa , salah satunya terletak dalam proses pembelajaran yang belum optimal. Berdasrakan pandangan kontruktivis, menurut Hudojo (1988) pembelajaran matematika yang optimal adalah pembelajaran matematika yang berorientasi pada (1) mengkondisikan siswa untuk membangun kembali rumus, konsep atau prinsip dalam matematika melalui bimbingan guru, agar siswa terbiasa melakukan penyelidikan dan menemukan sesuatu, (2) pembelajaran matematika yang terfokus pada kegiatan pemecahan masalah oleh siswa, (3)pembelajaran matematika yang dimulai dari pengenalan masalah yang terkait dengan situasi sehari-hari siswa (contextual problem) sehingga siswa terbimbing secara bertahap dan terstruktur untuk menguasai konsep matematika, dan (4) memberikan kesempatan bagi siswa untuk berinteraksi dan mengembangkan pengetahuannya secara optimal melalui kegiatan pembelajaran yang tidak terpusat pada proses transfer ilmu dari guru kepada siswa. Adapun yang mendasari penggunaan number sense dalam pembelajaran adalah sebagai sarana bagi siswa untuk: (1) memahami struktur konsep-konsep yang akan dipelajari sehingga siswa terarah di dalam membangun pengetahuannya, (2) membantu guru di dalam merancang pembelajaran agar terstruktur dimulai dari konsep-konsep yang matematika yang lebih sederhana yang merupakan dasar bagi konsep-konsep yang baru, (3) sebagai media atau sarana memperjelas keterkaitan konsep-konsep yang ada. Hal ini didasari oleh teori belajar asimilasi kognitif oleh David P. Ausubel (dalam Erman Suherman, 2003) yang mengatakan bahwa belajar bermakna terjadi dengan mudah apabila konsep-konsep baru dimasukkan kedalam konsep-konsep yang lebih inklusif. Dengan kata lain, proses belajar terjadi apabila siswa mampu mengasimilasikan pengetahuan yang ia miliki dengan pengetahuan yang baru. NUMBER SENSE Sebagian pendidik matematika setuju bahwa membangun number sense penting. Dilihat dari kebutuhan tinggi untuk membangun number sense yang erat nya dengan kehidupan seharihari. As’ari (2008) menyatakan number sense seseorang menunjukkan kemampuan orang tersebut dalam bersentuhan dengan bilangan. Orang yang memiliki number sense yang tinggi akan sangat peka dengan hal-hal yang berbau dengan bilangan, orang itu bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan dengan bilangan cenderung memiliki kepercayaan diri yang tinggi pula dalam mempelajari matematika. Karena itu, penting bagi siswa kita agar mereka memiliki number sense yang tinggi.
1103
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
Bryant dan Nunes (2002) menyatakan bahwa dasar untuk membangun matematika anak adalah berpikir logis, sistem pengajaran penghitungan konvensional, dan konteks yang lebih bermakna untuk mempelajari matematika. Menurut Smith (2002) untuk membangun pemikiran matematis ini berkaitan dengan kemampuan anak-anak yang berkembang untuk memahami dan membuat hubungan pernyataan. Dengan kata lain, kemampuan untuk membandingkan, mengklasifikasikan dan memahami korespondensi satu-satu. Berdasarkan pernyataan beberapa pakar di atas, maka ada beberapa hal dimiliki oleh orang yang memiliki kemampuan number sense yang baik sebagai berikut : (1) memiliki kepekaan terhadap bilangan atau segala sesuatu yang berhubungan dengan bilangan, (2) memiliki pemahaman yang mantap tentang kegunaan bilangan dan mampu menginterprestasikan hal-hal kedalam bilangan, (3) memiliki kemampuan untuk melakukan perhitungan secara akurat dan efisien, (4) memiliki kepekaan tentang benar atau salahnya suatu pernyataan yang berkaitan dengan bilangan, (5) memiliki kemampuan untuk memeriksa masuk akal atau tidaknya suatu argumen. Karakteristik number sense yang baik meliputi: (1) kelancaran dalam memperkirakan dan menilai besarnya, (2) kemampuan untuk mengenali hasil yang masuk akal, (3) fleksibel dalam perhitungan mental, (4) kemampuan untuk berubah di antara representasi yang berbeda dan menggunakan representasi yang paling tepat. Dengan kata lain, number sense mengacu pada pemahaman siswa dengan konsep bilangan yang meliputi kemampuan siswa dalam memperkirakan untuk mengukur ketepatan jawaban dan memecahkan masalah dengan cara yang bermanfaat dan memadai. HASIL BELAJAR MATEMATIKA Hasil belajar matematika merupakan salah satu indikator keefektifan pembelajaran matematika. Hasil belajar matematika yang tinggi menunjukkan bahwa proses belajar matematika tersebut efektif. Sebaliknya, hasil belajar matematika rendah menunjukkan indikasi ketidakefektifan proses belajar matematika. Banyak faktor yang mempengaruhi hasil belajar matematika siswa. Zulkardi (2003) menyatakan bahwa hasil belajar matematika siswa yang rendah disebabkan oleh banyak hal, seperti: kurikulum yang padat, media belajar yang kurang efektif, strategi dan metode pembelajaran yang dipilih oleh guru kurang tepat, sistem evaluasi yang buruk, kemampuan guru yang kurang dapat membangkitkan motivasi belajar siswa, atau juga karena pendekatan pembelajaran yang masih bersifat konvensional sehingga siswa tidak banyak terlibat dalam proses pembelajaran. Berdasarkan berbagai faktor penyebab rendahnya hasil belajar matematika tersebut, dapat diasumsikan bahwa faktor utama yang menyebabkan rendahnya mutu pembelajaran matematika karena kekurangtepatan guru dalam memilih pendekatan pembelajaran dan kekurangmampuan guru dalam memotivasi belajar siswa. Faktor pendekatan belajar dan motivasi merupakan faktor utama yang mempengaruhi hasil belajar, terlebih lagi untuk pembelajaran matematika di tingkat Sekolah Menengah Atas (SMA). PELAKSANAAN LESSON STUDY Konsep dan praktik lesson study pertama kali dikembangkan oleh para guru pendidikan dasar di Jepang, yang dalam bahasa Jepang-nya disebut dengan istilah kenkyuu jugyo. Adalah Makoto Yoshida, orang yang dianggap berjasa besar dalam mengembangkan kenkyuu jugyo di Jepang. Keberhasilan Jepang dalam mengembangkan lesson study tampaknya mulai diikuti pula oleh beberapa negara lain, termasuk di Amerika Serikat yang secara gigih dikembangkan dan dipopulerkan oleh Catherine Lewis yang telah melakukan penelitian tentang lesson study di Jepang sejak tahun 1993. Sementara di Indonesia pun saat ini mulai gencar disosialisasikan untuk dijadikan sebagai sebuah model dalam rangka meningkatkan proses pembelajaran siswa, bahkan pada beberapa sekolah sudah mulai dipraktikkan. Meski pada awalnya, lesson study dikembangkan pada pendidikan dasar, namun saat ini ada kecenderungan untuk diterapkan pula pada pendidikan menengah dan bahkan pendidikan tinggi. Tahapan-tahapan dalam lesson study ini, dijumpai beberapa pendapat. Menurut Wikipedia (2007) bahwa lesson study dilakukan melalui empat tahapan dengan menggunakan konsep Plan-Do-Check-Act (PDCA). Sementara itu, Mulyana (2007) mengemukakan tiga tahapan dalam lesson study, yaitu: (1) Perencanaan (Plan); (2) Pelaksanaan (Do); dan (3) 1104
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
Refleksi (See). Sedangkan Bill Cerbin dan Bryan Kopp dari University of Wisconsin mengetengahkan enam tahapan dalam lesson study, yaitu: (1) Form a Team; (2) Develop Student Learning Goals; (3) Plan the Research Lesson; (4) Gather Evidence of Student Learning; (5) Analyze Evidence of Learning; (6) Repeat the Process. Pada pelaksaan lesson study yang penulis lakukan besama tim merujuk kepada pendapat Mulyana (2007) yaitu Plan-Do-See untuk lebih jelasnya, di bawah ini akan diuraikan secara ringkas tiga tahapan dalam penyelengggaraan lesson study di kelas X.1 SMA Negeri 7 Barabai pada materi trigonometri. 1. Tahapan Perencanaan (Plan) Dalam tahap perencanaan, penulis sebagai guru model dan anggota tim yang lain ditugasi sebagai obeserver serta guru pamong yang tergabung dalam tim Lesson Study berkolaborasi untuk menyusun RPP yang mencerminkan pembelajaran yang berpusat pada siswa. Perencanaan diawali dengan kegiatan menganalisis kebutuhan dan permasalahan yang dihadapi dalam pembelajaran. Berdasarkan saran dari guru pamong yang dimana pelaksanaan pembelajaran dengan materi trigonometri menggunakan number sense. Kemudian setelah dirancang bahan ajar sebagai salah satu persiapan memberikan pembelajaran, penulis sebagai guru model dan bersama tim melakukan peer teaching ini dimaksudkan sebagai kesiapan guru model. 2. Tahapan Pelaksanaan (Do) Terdapat kegiatan utama pada tahap pelaksanaan yaitu: (1) kegiatan pelaksanaan pembelajaran yang dilakukan oleh salah seorang guru model yang disepakati atau atas permintaan sendiri untuk mempraktikkan RPP yang telah disusun bersama, dan (2) kegiatan pengamatan atau observasi yang dilakukan oleh anggota tim Lesson Study yang lainnya. Pada hari Sabtu tanggal 19 April 2014 pukul 09.15-10.45 penulis menjadi pengajar. Pada awal pengajaran guru model memberikan materi pra syarat berupa perbandingan trigonometri pada segitiga siku-siku dan operasi tanda pada bilangan. Kemudian penulis sebagai guru model menyampaikan materi trigonometri pada sub materi perbandingan trigonometri diberbagai kuadran. Kegiatan inti pelaksanaan pembelajaran berjalan dengan lancar. Selanjutnya pada tahap melaksanakan pemecahan masalah dengan menjawab pertanyaan pada LKS, terlihat beberapa kendala yang muncul. Kebanyakan siswa masih bingung menentukan perbandingan segitiga siku-siku Terlepas dari kendala yang muncul, banyak kelompok yang berhasil memecahkan masalah dalam LKS dengan baik. Penemuan oleh siswa tentang perbandingan trigonometri disemua kuadran ditandai dengan adanya penarikan kesimpulan oleh siswa baik dalam bentuk tulisan pada jawaban LKS serta secara lisan. Selanjutnya pelaksanaan pembelajaran ke-2 dilakukan pada hari Senin tanggal 21April 2014 pada pukul 08.30-10.00 WIB di kelas X.1 SMA Negeri 7 Barabai. Materi yang disajikan adalah trigonometri. Tujuan pembelajaran yang ingin dicapai adalah perbandingan trigonometri sudut berelasi dikuadran I. Pada kegiatan pendahuluan tidak terdapat kendala yang berarti. Kesiapan siswa sangat baik dalam menerima pembelajaran. Motivasi siswa tampak ketika guru menggunakan media karton dalam pembelajaran trigonometri sudut berelasi dikuadran I. Kegiatan apersepsi yaitu terkait materi trigonometri dapat terlaksana dengan baik. Berdasarkan pembelajaran pada kelas sebelumnya tetang perbandingan trigonometri pada semua kuadran. Pertanyaan arahan yang diajukan guru dibuat lebih mengarah pada tujuan yang diharapkan. Pada saat memecahkan masalah siswa memulai kegiatan diskusi sesuai petunjuk guru. Selanjutnya dengan menjawab pertanyaan pada LKS. Kendala terkait pertanyaan berkurang dengan adanya penyusunan pertanyaan yang lebih runtut dan sistematis pada LKS. Berikut adalah contoh-contoh pekerjaan kelompok dalam melengkapi LKS yang diberikan. Penemuan oleh siswa tentang perbandingan trigonometri sudut berelasi dikuadran I ditandai dengan adanya penarikan kesimpulan oleh siswa baik dalam bentuk tulisan pada jawaban LKS serta secara lisan. Namun, sama dengan pembelajaran sebelumnya, berdasarkan pekerjaan mandiri oleh siswa dalam tes yang diberikan masih ditemukan bahwa masih banyak siswa yang belum memahami dengan baik tentang pembelajaran
1105
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
trigonometri. Penulis sebagai guru model juga merasa belum mampu membagi waktu secara optimal dalam kelas. Meskipun telah dilakukan pembagian tugas untuk tiap-tiap kelompok untuk mengefektifkan pengguanan waktu yang ada, pembelajaran ini belum dapat terlaksana dengan baik. Hal tersebut justru menimbulkan pemahaman yang tidak menyeluruh bagi siswa. Kesimpulan yang diperoleh oleh satu kelompok belum tentu dipahami oleh kelompok lainnya. Hal tersebut menjadi kendala tersendiri yang muncul pada pembelajaran tersebut sehingga dapat dipastikan bahwa masih banyak hal yang belum dimengerti siswa terutama yang tidak berkaitan dengan tugas yang diberikan kepada kelompoknya. 3. Tahapan Refleksi (Check) Tahapan ketiga merupakan tahapan yang sangat penting karena upaya perbaikan proses pembelajaran selanjutnya akan bergantung dari ketajaman analisis para perserta berdasarkan pengamatan terhadap pelaksanaan pembelajaran yang telah dilaksanakan. Kegiatan refleksi dilakukan dalam bentuk diskusi yang diikuti seluruh peserta lesson study yang dipandu oleh kepala sekolah atau peserta lainnya yang ditunjuk. Diskusi dimulai dari penyampaian kesan-kesan guru yang telah mempraktikkan pembelajaran, dengan menyampaikan komentar atau kesan umum maupun kesan khusus atas proses pembelajaran yang dilakukannya, misalnya mengenai kesulitan dan permasalahan yang dirasakan dalam menjalankan RPP yang telah disusun. Refleksi dari observer terhadap guru model diuraikan sebagai berikut; guru model mendapatkan masukan dari observer yang lain adalah suara dari guru model kurang begitu jelas, terdapat pengulangan kata-kata yang tidak perlu, tidak memberikan kesempatan pada siswa yang kurang aktif di kelas. Tetapi secara keseluruhan pelaksanaan pembelajaran sudah sesuai dengan RPP yang dirancang. KESIMPULAN Kesimpulan yang didapat pada lesson study yang penulis lakukan adalah dengan menggunakan number sense dalam pembelajaran, siswa yang mempunyai kemampuan matematika yang rendah mudah untuk mengasimilasi pengetahuan yang sudah dimiliki sebelumnya sehingga memudahkan siswa dalam penerimaan ilmu yang baru didapatkan dan meningkatkan hasil belajar siswa. Sebagai mana tujuan dari lesson study memperoleh pemahaman yang lebih baik tentang bagaimana siswa belajar dan guru mengajar dan membangun sebuah pengetahuan pedagogis, dimana seorang guru dapat menimba pengetahuan dari guru lainnya. DAFTAR PUSTAKA As’ari, A. 2006. Number Sense: Mengapa Penting Bagi Siswa?. Makalah disampaikan dalam lokakarya dan workhshop “adventure in math”, Graha Niaga, Jakarta, 13-14 April Bill Cerbin & Bryan Kopp. A Brief Introduction to College Lesson Study. Lesson Study Project. online: http://www.uwlax.edu/sotl/lsp/index2.html. David, P. 2008. Number Sense. Nova Scotia School for Adult Learning.Departement of Labour and Workforce Development. (http://standart.nctm.org/document/appendix/numb.htnml Erman, S, dkk. (2003). Strategi Pembelajaran Matematika Kontemporer. Bandung: JICA Hilbert, B. (2001). Children’s Mathematics learning: The struggle to achieve understanding. Elementary School journal. 1(2), 89-110 Hudojo, H. 1998. Mengajar Belajar Matematika. Jakarta: Depdikbud Menon, R. 2004. Pre service teachers’ Number sense: Focus on learning problems in Mathematics. Los Angeles: California State University. Mulyana, S. 2007. Lesson Study (Makalah). Kuningan: LPMP-Jawa Barat Sowder, J, dkk. 1994. Developing number sense: an intervention study in grade 7. journal for research in mathematics education (Reston, VA), vol25. p.4-29. http://pages.cthome.net/MaJiJeph/page7.html) Thompson, B. 2007. Minnesota K-12 Mathematic Framework. Schimath. NumberSense.(http://www.scimathmn.org/frameworkmath3.1.pdf) Wikipedia.2007. Lesson Study. en.wikipedia.org/wiki/Lesson_study.
1106
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
Zanzali, G.H. 2005. Assessment of High School Children’s number sense: Number sense question bank. Malaysia: University of Technology. Zulkardi.2003. How to Design Mathematics lessons based on the Realistic Approach. www.geocities.com/ratuilmu.co.id. (di akses 5 Mei 2014)
1107
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
PEMBERIAN SCAFFOLDING UNTUK MENGATASI KESULITAN SISWA DALAM MEMAHAMI LOGARITMA Mayang Dintarini Universitas Negeri Malang Abstrak: Logaritma penting untuk dipelajari karena logaritma digunakan dalam aplikasi berbagai bidang, seperti pada sains, komputer, finance, industri dan lain-lain. Namun sangat disayangkan logaritma yang penting ini, tidak didukung oleh hasil belajar siswa yang baik pada materi ini. Penelitian ini bertujuan mengidentifikasi kesulitan-kesulitan siswa dalam memahami logaritma, penyebab kesulitan, serta scaffolding yang dapat diberikan. Lima siswa kelas X diberikan tes diagnostik, diwawancarai, dan diberi scaffolding. Didapati beberapa kesulitan yang ada pada siswa, yaitu kesulitan menentukan strategi mengerjakan soal logaritma, kesulitan memahami dan menerapkan definisi dan sifat-sifat logaritma, serta kesulitan dalam menyederhanakan bentuk aljabar. Kemudian kelima siswa diberi scaffolding sesuai dengan kesulitan yang dimiliki. Teknik scaffolding yang diberikan antara lain: melihat, membahasakan, mengingatkan, menginvestigasi, siswa menjelaskan dan menegaskan, menginterpretasikan hasil kerja siswa dan berbicara, pemodelan parallel, mengidentifikasi konteks penting, menyederhanakan masalah, merangsang siswa mengakses sumber lain, memberikan penguatan positif. Kata kunci: scaffolding, kesulitan, logaritma
Logaritma penting untuk dipelajari karena logaritma digunakan dalam aplikasi berbagai bidang, seperti pada sains, komputer, finance, industri dan lain-lain. Sebagai contoh dalam bidang finance, logaritma digunakan dalam masalah bunga majemuk. Namun sangat disayangkan logaritma yang penting ini, tidak didukung oleh hasil belajar siswa yang baik pada materi ini. Bahkan pada suatu sekolah logaritma menjadi materi yang popular dengan keseramannya. Hal ini tampak dari hasil ulangan logaritma siswa rendah hampir pada semua kelas dan membutuhkan remidi. Boon Liang (2005) juga mengatakan bahwa logaritma merupakan salah satu materi yang sulit untuk siswa. Penelitan lainnya mengenai kesulitan yang dihadapi siswa dalam belajar logaritma adalah penelitian oleh Berezovski (2006) yang mengatakan siswa lebih fokus terhadap pendekatan prosedural dan ketergantungan pada aturan daripada konsep logaritma itu sendiri. Yen (1999) mengungkapkan bahwa siswa seringkali melihat notasi log sebagai objek, bukan operasi. Sehingga siswa seringkali melakukan kanselasi pada pada suatu bentuk logaritma. Sebagai contoh, ln (7x – 12) = 2 ln x, menjadi (7x – 12 ) = 2x. Boon Liang dan Wood (2005) juga mengatakan bahwa siswa tampak mampu melakukan rutinitas perhitungan tetapi kurang mampu ketika menjawab pertanyaan yang membutuhkan tingkat berpikir yang lebih tinggi. Selain itu, banyak kesalahan yang bukan karena kurangnya pengetahuan, tetapi tampaknya didasarkan pada over-generalisasi aturan aljabar. Banyak cara telah dilakukan oleh guru dan peneliti sebelumnya untuk mengatasi berbagai kesulitan siswa dalam memahami logaritma. Salah satunya dengan memberikan scaffolding pada siswa. Scaffolding merupakan praktik yang didasarkan pada konsep Vygotsky tentang assisted learning. Ini merupakan teknik pemberian dukungan belajar yang pada tahap awal diberikan diberikan secara lebih terstruktur, kemudian secara berjenjang menuntun siswa ke arah kemandirian belajar. Vygotsky membatasi pembelajaran scaffolding sebagai peranan guru dalam mendukung perkembangan siswa dan menyediakan struktur dukungan untuk mencapai tahap atau level berikutnya. Anghileri (2006) dalam penelitiannya merumuskan strategi scaffolding yang dapat digunakan pada pembelajaran di kelas. Tabel 1. Strategi Scaffolding
Level Judul 1 Ketersediaan lingkungan (environmental provisions)
1108
Kegiatan Menyiapkan media dan alat pembelajaran Mengondisikan suasana kelas
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
2
Penjelasan, pengkajian dan penstukturan ulang (explaining, reviewing, restructuring)
3
Mengembangkan pemikiran konseptual
Mengorganisasikan kelas Reviewing Melihat, menyentuh, membahasakan Mengingatkan Menginvestigasi Siswa menjelaskan dan menegaskan Menginterpretasikan prilaku siswa dan berbicara Pemodelan paralel Restructuring Mengidentifikasi konteks penting Menyederhanakan masalah Mengulang perkataan siswa Menegosiasikan arti mengembangkan alat-alat yang representatif membuat koneksi menciptakan percakapan konseptual
Berdasarkan hal-hal di atas, penulis mengadakan penelitian lebih lanjut dengan judul “Pemberian Scaffolding untuk Mengatasi Kesulitan Siswa dalam Memahami Logaritma” dengan tujuan untuk mendeskripsikan penyebab kesulitan siswa dalam memahami logaritma serta teknik scaffolding yang tepat untuk mengatasinya. METODE Pada awal penelitian, peneliti melakukan observasi untuk menentukan subyek penelitian. Penentuan subyek penelitian didasarkan tes diagnostik dan wawancara untuk mengetahui letak kesulitan siswa dan penyebab kesulitan tersebut. Setelah penyebab kesulitan teridentifikasi, peneliti memberikan scaffolding untuk mengatasi kesulitan tersebut, kemudian pemberian tes post scaffolding untuk meyakinkan peneliti bahwa scaffolding yang diberikan bermanfaat bagi siswa. Jika dari tes post scaffolding masih ditemui kesulitan pada siswa, maka peneliti memberikan lagi scaffolding dengan teknik yang berbeda. HASIL DAN PEMBAHASAN Dibawah ini akan dibahas mengenai kesulitan siswa, penyebab, serta scaffolding yang diberikan untuk mengatasi kesulitan tersebut. Adapun soal yang digunakan untuk mendiagnosis kesulitan siswa adalah sebagai berikut. 1 a. log4 16 – log4 4 = … b. Jika log 2 3 = a dan log 3 5 = b, maka log 6 15 = ... 1. Deskripsi kesulitan subyek 1 (S1) S1 tidak mengalami kesulitan pada soal nomor 1, S1 memahami definisi logaritma yang ia gunakan untuk mengerjakan soal nomor 1. S1 mengalami kesulitan ketika mengerjakan soal nomor 2. S1 tidak dapat menentukan strategi yang harus ia gunakan dalam mengerjakan soal nomor 2. Berikut merupakan hasil pekerjaan S1.
1109
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
Gambar 1. Hasil tes diagnostik S1 soal nomor 2
S1 mengubah log 6 15 menjadi log 2×3 3 × 5. Hal ini tidak didasari dengan sifat yang tepat. Ketika diwawancarai, S1 mengaku bahwa ia ragu akan sifat yang ia gunakan, S1 tidak hafal sifat-sifat logaritma. Sehingga S1 tidak dapat mengerjakan soal nomor 2. Selain itu, saat siswa diberi scaffolding, S1 juga tampak mempunyai kesulitan dalam 𝑏
𝑎+ 1
menyederhanakan bentuk aljabar. Saat muncul bentuk 2+𝑎𝑎 , S1 berhenti mengerjakan soal tersebut. Setelah pemberian scaffolding, peneliti memberikan tes post scaffolding kepada S1 yang terdiri dari 3 soal, 2 soal serupa dengan tes pre scaffolding, dan 1 soal tambahan untuk memastikan bahwa yang dipahami s1 bukan sekedar menghafal prosedur. Pada tes ini, peneliti mendapati ternyata S1 belum benar-benar memahami materi logaritma. S1 memaknai bentuk 2log 3 9 = log 2×3 9. Hal ini memperlihatkan bahwa s1 belum memahami definisi logaritma sekaligus belum memahami bagaimana cara menerapkan sifat-sifat logaritma. 2. Deskripsi penyebab kesulitan subyek 1 (S1) S1 tidak dapat menggunakan strategi yang tepat dalam menyelesaikan soal nomor 2, dikarenakan S1 tidak hafal sifat-sifat logaritma. Ketika S1 mengerjakan kembali soal nomor 2 dengan membuka buku, untuk melihat sifat-sifat logaritma mana yang dapat digunakan, ternyata S1 masih mengalami kesulitan. S1 tidak mengetahui sifat mana yang harus digunakan untuk menyelesaikan soal nomor 2, sehingga peneliti harus memberikan scaffolding. Salah satu penyebab S1 tidak dapat menentukan strategi yang tepat untuk menyelesaikan soal logaritma adalah dikarenakan S1 tidak pernah belajar dirumah. S1 percaya belajar saat kegiatan pembelajaran disekolah saja sudah cukup untuk mampu memahami logaritma. Hal ini mengakibatkan S1 kurang latihan mengerjakan soal-soal logaritma. Padahal untuk mampu memahami logaritma siswa perlu terbiasa mengerjakan soal-soal logaritma. Selain itu, terkait dengan kesalahan S1 dalam mengerjakan tes post scaffolding (2log 3 9 = log 2×3 9), hal ini disebabkan ketika S1 mendapatkan materi logaritma di sekolah, S1 tidak memperhatikan dengan seksama penempatan bilangan-bilangan pada bentuk logaritma. S1 cenderung mengabaikan posisi bilangan-bilangan pada logaritma, sehingga pada suatu titik tertentu S1 bingung akan bentuk logaritma yang ia tulis dan ia lihat. 3. Deskripsi teknik scaffolding yang diberikan kepada subyek 1 (S1) Berdasarkan kesulitan yang dimiliki S1, peneliti memberikan scaffolding seperti berikut ini. P : “Coba ceritakan lagi, apa yang kamu kerjakan?” S1 : “log 6 15 = log 2×3 3 × 5 …” P : “Sebentar, menurut kamu apakah sifat ini sudah benar?” S1 : “Emmm…Tidak tahu, Bu” P : “Lho kok tidak tahu? Lalu mengapa kamu gunakan sifat itu?” S1 : “Saya tidak hafal sifat-sifatnya Bu, sehingga saya mencoba menghubungkan sendiri antara soal dengan sifat yang harus digunakan” P : “Coba kamu lihat kembali di bukumu, apakah ada sifat yang kamu gunakan itu!” 1110
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
S1 : (Membuka bukunya) “ Tidak ada, Bu” P : “Kalau begitu sifat mana yang seharusnya digunakan?” (Sambil menunjuk beberapa sifat di buku) S1 : (Tidak dapat menentukan sifat yang mana yang seharusnya digunakan) P : “Coba lihat soalnya lagi. Yang diketahui log 2 3 = 𝑎 dan log 3 5 = 𝑏. Berarti kamu harus mengubah bentuk log 6 15 menjadi log 2 3 dan log 3 5.” S1 : (Masih tidak dapat menentukan sifat yang harus digunakan) P : “Coba lihat log 6 15, berapa bilangan pokoknya?” S1 : “6, Bu” P : “Kalau log 2 3 dan log 3 5, berapa bilangan pokoknya?” S1 : “2 dan 3, Bu” P : “Berarti sifat mana yang yang dapat digunakan untuk mengubah bilangan pokok?” log 𝑏 S1 : “Ini, Bu” (menunjuk log 𝑎 𝑏 = log 𝑐 𝑎 ) 𝑐
Selain kesulitan dalam menentukan strategi awal untuk mengerjakan soal nomor 2, S1 juga mengalami kesulitan dalam perhitungan aljabar. Hal ini nampak ketika hendak 𝑏 menyederhanakan 1 . S1 tidak dapat melanjutkan pekerjaannya. 𝑏
𝑎
P : “ 1 = …?” 𝑎
S1 : (tidak dapat memberi jawaban) 1 P : “𝑏: 𝑎 = ⋯ ?” 𝑎
S1 : “Oh iya, Bu. 𝑏 × 1 = 𝑎𝑏" Sedangkan scaffolding yang peneliti berikan setelah pemberian tes post scaffolding adalah sebagai berikut. P : “Ayo coba ceritakan lagi pekerjaanmu?” S1 : “Ini kan 2log3 9, dijadikan log 3×2 9” P : “Lho?Kok bisa gitu?” S1 : “Kan 2 didepan log satu jenis dengan 3 Bu.” P : “Yang benar? Kalau log3 9 sendiri sama dengan apa?” S1 : “2. Oh iya ya, Bu. Itu dikali…Berarti jadi 2 x 2 = 4” P : “Bagus…” Berikut merupakan pekerjaan siswa saat diberikan scaffolding.
1111
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
SCF1
SCF2
Gambar 2. Hasil pekerjaan S1 saat diberikan scaffolding
Setelah S1 diberikan scaffolding, peneliti memberikan tes post scaffolding. Tes post scaffolding yang diberikan, terdiri dari 3 soal, dua soal diantaranya serupa dengan tes dignostik sedangkan satu soal merupakan soal yang berbeda. Ini berguna untuk mengetahui apakah scaffolding yang diberikan meningkatkan pemahaman siswa terhadap materi logaritma atau tidak. Setelah S1 diberi tes post scaffolding, ternyata S1 masih mempunyai kesulitan. Hal ini terlihat dari pekerjaan S1, terdapat kesalahan pada ketiga soal tersebut. Ini berarti scaffolding yang diberikan belum berhasil. Sehingga peneliti harus memberikan scaffolding lagi. a. Scaffolding tes post scaffolding nomor 1
(a)
(b)
Gambar 3(a) Hasil tes post scaffolding S1 soal nomor 1, (b) Hasil scaffolding soal nomor 1
P : “Coba ceritakan lagi pekerjaanmu” S1 : “Ini 2 3log 9 = 3.2 log 9,…” P : “Kenapa kok seperti itu?” 1112
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
S1 : “Iya bu, kan log3 9 = 3log 9. Jadinya 2.3log 9.” P : “Masa seperti itu?” S1 : “…” P : “Coba dilihat dengan seksama penulisannya”(sambil menunjuk 2log39) S1 : (Menuliskan 2 3log 9) P : “Sama atau tidak letak 2 dan 3?” S1 : “Tidak. Oh iya, Bu. Dikali.” b. Scaffolding tes post scaffolding nomor 2
Gambar 4. Hasil tes post scaffolding S1
Dapat dilihat bahwa S1 masih memiliki kesulitan dalam penggunan sifat logaritma, dan penyederhanaan bentuk aljabar. Scaffolding yang diberikan untuk mengatasi kesulitan dalam penggunaan sifat yang relevan, peneliti meminta siswa untuk membuka kembali buku sumber. Sebenarnya S1 sudah mulai memahami harus menggunakan sifat yang mana, namun ia salah menghafalkan sifat yang berlaku. Berikut merupakan scaffolding yang diberikan. log 6 P : ”log 6 98 = log 798?” 7
S1: “ Iya kan bu…” P: “ Coba dicek lagi dibukumu…” S1:”Oh iya Bu, terbalik log 6 98 =
log 7 98 ”. log 7 7
Kemudian peneliti meminta S1 untuk mengerjakan ulang soal tersebut. Dan S1 tidak mengalami kesulitan dalam pengerjaan selanjutnya. c. Scaffolding hasil tes post scaffolding soal nomor 3
Gambar 5. Hasil tes post scaffolding nomor 3
1113
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
Pada soal nomor 3, S1 juga melakukan kesalahan yang sama dengan pekerjaannya pada soal nomor 2, yaitu kesalahan dalam penggunaan sifat-sifat logaritma. Siswa kesulitan menghafal sifat-sifat logaritma. Berikut merupakan scaffolding yang diberikan kepada S1. P : “Berarti yang nomor 3, benar atau salah?”(berdasarkan scaffolding soal nomor 2) 𝑚 S1: “Oh iya, salah Bu. Saya mau pakai sifat yang ini bu.”(Menunjuk log 𝑎 𝑛 𝑏 𝑚 = 𝑛 log 𝑎 𝑏) P : “Boleh” PEMBAHASAN Ditemukan tiga kesulitan siswa dalam memahami logaritma, yaitu kesulitan menghafal dan menerapkan sifat-sifat logaritma, menentukan strategi untuk memecahkan soal logaritma, menyederhanakan bentuk aljabar dalam menyelesaikan soal logaritma. 1. Kesulitan menghafal dan menerapkan sifat-sifat logaritma Kesulitan menghafal dan menerapkan sifat-sifat logaritma seringkali ditemui pada siswa. Banyaknya sifat-sifat dan kompleksitas penggunaan sifat pada soal, menyebabkan siswa menganggap logaritma itu sulit. S1 merupakan salah satu siswa yang mempunyai kesulitan ini. Hal ini tampak pada hasil tes post scaffolding S1. S1 menuliskan log 2 4 log 125 log 4 125 = , seharusnya log 4 125 = 2 . Hal ini menandakan S1 tidak hafal log 2 125
log 2 4
sifat logaritma yang hendak ia gunakan. Sedangkan kesulitan S1 dalam menerapkan sifatsifat logaritma tampak pada hasil tes post scaffolding soal nomor 1, dimana 2log 3 9 ditulis menjadi log 2𝑥3 9. 2. Kesulitan menentukan strategi untuk memecahkan soal logaritma Kesulitan ini ditemui pada hasil tes diagnostic S1. S1 tidak dapat menentukan sifat mana yang harus digunakan untuk menyelesaikan soal. Hal ini terlihat ketika S1 mengubah log 6 15 menjadi log 2 5 + log 2 5 + log 3 3 + log 3 5. 3. Kesulitan menyederhanakan bentuk aljabar dalam soal logaritma Pada tingkat SMA, ternyata masih ditemukan siswa yang mempunyai kesulitan dalam menyederhanakan bentuk aljabar. Logaritma sangat erat kaitannya dengan aljabar. Aljabar merupakan materi prasyarat yang wajib dikuasai oleh siswa. Sebagai contoh hasil 𝑎+1 𝑎 𝑎+1 𝑎𝑏 𝑎𝑏 +𝑏 tes post scaffolding S1 soal nomor 2, s1 menuliskan 𝑎 + = + = + = 𝑏
2𝑎𝑏 +𝑏 𝑏
𝑏
𝑏
𝑏
𝑏
= 2𝑎𝑏. Ini sesuai dengan yang dikatakan Boon Liang dan Wood (2005) banyak kesalahan didasarkan pada over-generalisasi aturan aljabar. Pada sesi wawancara peneliti menemukan bahwa penyebab S1 tidak memahami logaritma adalah karena, S1 tidak pernah belajar dirumah. S1 yakin belajar di sekolah saja sudah cukup. Hal ini mengakibatkan S1 kurang latihan, dan tidak terbiasa mengerjakan soal-soal logaritma. Padahal, walaupun paradigma pendidikan telah berubah menjadi konstruktivis, namun pembiasaan terhadap soal-soal dan masalah-masalah matematika masih diperlukan untuk mengasah pola berpikir siswa. Untuk mengatasi kesulitan tersebut, scaffolding dapat menjadi salah satu cara penyelesaiannya. Berbagai teknik dan bentuk scaffolding telah dikemukakan oleh para peneliti sebelumnya. Dalam tulisan ini, peneliti menggunakan teknik scaffolding sebagai berikut. 1. Membahasakan (verbalizing) 2. Mengingatkan (prompting) 3. Menginvestigasi (probing) 4. Siswa menjelaskan dan menegaskan 5. Menginterpretasikan hasil kerja siswa dan berbicara 6. Pemodelan parallel (parallel modeling) 7. Mengidentifikasi konteks penting 8. Menyederhanakan masalah 9. Merangsang siswa mengakses sumber lain KESIMPULAN Dalam penelitian ini, ditemukan tiga kesulitan siswa dalam memahami logaritma, yaitu kesulitan menghafal dan menerapkan sifat-sifat logaritma, menentukan strategi untuk memecahkan soal logaritma, dan menyederhanakan bentuk aljabar dalam menyelesaikan soal 1114
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
logaritma. Kesulitan-kesulitan yang timbul ini disebabkan oleh gaya belajar siswa yang terlalu santai, hanya mengandalkan belajar di sekolah, dan jarang mengerjakan soal-soal logaritma. Ketika mengerjakan soalpun, siswa selalu membuka buku paket untuk melihat sifat-sifat logaritma. Kurang penguasaan pada materi prasyarat (aljabar), juga menjadi kendala siswa untuk dapat memahami logaritma. DAFTAR PUSTAKA Anghileri, Julia.2006. Scaffolding Practices That Enhance Mathematics Learning. Journal of Mathematics Teacher Education (2006) 9: 33–52 Berezovski, Tanya.2006. Manifold Nature Of Logarithms: Numbers, Operations And Functions. Proceedings Vol.2-62 PME-NA. Boon Liang, Chua. 2005. Secondary School Students’ Foundation in Mathematics: The Case of Logarithms. Dipresentasikan pada 7 agustus 2005 di RRC, ICMI, Earcome 3 Boon Liang, Chua dan Wood, Eric.2005. Working with Logarithms: Students' Misconceptions and Errors. The Mathematics Educator, Vol. 8. N0.2. 53-70. Yen, R. 1999. Reflections on higher school certificate examinations: Learning from their mistakes, High School Certificate 1998. Reflections, 24(3), 3-8.
PEMBELAJARAN KOOPERATIF DENGAN MENGGUNAKAN KOTAK BERWARNA UNTUK MEMAHAMKAN SISWA TENTANG PERMUTASI DAN KOMBINASI Muhammad Ali, Gatot Muhsetyo, dan I Made Sulandra Universitas Negeri Malang
[email protected] Abstrak: Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan langkah-langkah pembelajaran kooperatif dengan menggunakan kotak berwarna. Penelitian ini merupakan penelitian tindakan kelas dengan 2 siklus. Subyek penelitian ini adalah siswa kelas XI MIA 2 SMAN 2 Pasuruan yang berjumlah 38 siswa. Data penelitian ini berupa kajian terhadap jawaban hasil kuis dan tes siswa dan hasil wawancara. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pembelajaran kooperatif dengan menggunakan kotak berwarna dapat memahamkan siswa tentang permutasi dan kombinasi. Terjadi peningkatan jumlah siswa yang tidak melakukan kesalahan yaitu pada siklus I sebesar 44% menjadi 90% pada siklus II dan siswa yang mencapai KKM sebesar 54% pada siklus I menjadi 95%. Kata kunci: pembelajaran kooperatif, pendekatan saintifik, diskusi, presentasi, kotak berwarna
Perubahan paradigma pendidikan yang awalnya berpusat pada guru kemudian berpusat pada siswa, menyebabkan siswa menempati posisi sentral dalam melaksanakan pembelajaran, sekarang ini pembelajaran lebih mengarah pada strategi pembelajaran konstruktivis. Santrock (2011:417) menyatakan bahwa pembelajaran konstruktivis menekankan bahwa anak harus membangun sendiri pengetahuan dan pemahaman sains mereka. Pada pembelajaran konstrultivis guru tidak hanya memberikan informasi kepada siswa tetapi siswa dituntut untuk mengeksplorasi pengetahuan yang telah mereka miliki dan mendorong mereka untuk berpikir kritis. Selanjutnya Santrock (2011) menyatakan bahwa pada pembelajaran konstruktivis, dominasi guru dalam pembelajaran dikurangi sehingga dapat memberikan kesempatan pada siswa untuk lebih mandiri, aktif, dan kreatif. Pembelajaran konstruktivis diharapkan dapat diterapkan pada setiap mata pelajaran khususnya mata pelajaran matematika. Para ahli konstruktivis setuju bahwa belajar matematika melibatkan manipulasi aktif dari pemberian makna terhadap matematika bukan hanya bilangan dan rumus-rumus saja. Setiap tahap dari pembelajaran melibatkan suatu proses penelitian terhadap makna (Suherman, 2001: 72). Sebagai contoh dalam mengajar matematika, seorang guru yang profesional diharapkan tidak mengajarkan siswa mengenai bagaimana menyelesaikan
1115
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
suatu persoalan akan tetapi seorang guru harus mampu menyajikan masalah dengan mendorong siswa untuk menemukan cara yang mereka temukan sendiri dalam mengkonstruksi penyelesaian. Berdasarkan teori Vygotsky, pengetahuan lebih dahulu dikonstruksi dalam konteks sosial kemudian disesuaikan oleh individu (Hudojo, 2005:30). Jadi untuk membangun pengetahuannya sendiri, siswa dapat belajar melalui kelompok dan berdiskusi dengan teman sejawat. Selanjutnya Hudojo (2005: 103) menambahkan, keterlibatan siswa dalam belajar matematika akan terjadi jika materi dan bahan-bahan yang disusun oleh guru memberikan makna bagi siswa sehingga siswa akan terlibat aktif di dalamnya. Dari data di lapangan, diperoleh data awal bahwa banyak siswa mengalami kesulitan dalam memahami tentang permutasi dan kombinasi. Data yang diperoleh, bahwa pada tahun 2012/2013, hanya 60% siswa yang nilainya di atas KKM, dan pada tahun 2011/2012, 50% siswa yang mencapai KKM pada materi permutasi dan kombinasi. Kondisi ini dikhawatirkan dapat menyebabkan siswa memandang bahwa materi permutasi dan kombinasi khususnya dan pelajaran matematika pada umumnya sebagai sesuatu yang menyusahkan, membosankan, dan kurang bermanfaat. Bila hal ini dibiarkan, akan semakin buruk kondisi pembelajaran dan hasil belajar siswa. Berbagai upaya telah dilakukan oleh peneliti untuk mencari penyebab rendahnya pemahaman siswa tersebut, antara lain dengan memperhatikan penyebab kesulitan siswa dalam menyelesaikan persoalan permutasi dan kombinasi yang terletak pada dua faktor, yaitu faktor yang berasal dari dalam diri siswa dan faktor yang berasal dari luar diri siswa. Faktor yang berasal dari dalam diri siswa antara lain: Siswa tidak dapat membedakan persoalan yang penyelesaiannya menggunakan konsep permutasi atau kombinasi. Siswa mengerti tentang konsep awal dari permutasi dan kombinasi, tetapi siswa kesulitan untuk menggunakannya dalam persoalan. Misalkan saja ketika ditanya tentang permutasi, mereka mengetahui jika permutasi menggunakan suatu urutan, tetapi mereka tidak mengerti jika ditanya tentang urutannya itu, mereka tidak segera memberikan jawaban. Faktor yang berasal dari luar diri siswa antara lain adalah: model pembelajaran yang digunakan guru dan belum digunakannya bahan manipulatif untuk mendukung pembelajaran. Pembelajaran matematika di SMAN 2 Pasuruan, guru biasanya menyajikan materi terlebih dahulu kepada siswa, kemudian memberikan contoh soal, dan selanjutnya memberikan soal-soal latihan kepada siswa. Siswa biasanya memperhatikan penjelasan guru kemudian mencatat apa yang ditulis guru di papan tulis. Dalam situasi pembelajaran seperti ini, siswa cenderung pasif, menunggu guru menyampaikan materi, dan kegiatan tanya jawab terjadi hanya jika guru melontarkan pertanyaan. Penggunaan media pembelajaran dan bahan manipulatif sangat penting dalam pembelajaran matematika. Penggunaan media dan bahan manipulatif akan mempermudah siswa untuk memahami pelajaran. Sebenarnya antara media pembelajaran dan bahan manipulatif memiliki perbedaan. Menurut Muhsetyo (2007 ) media pembelajaran adalah alat bantu yang bukan bagian dari pelajaran yang akan diberikan, dimana alat bantu ini berfungsi untuk menampilkan dan menjelaskan bahan pelajaran kepada siswa. Selanjutnya Muhsetyo (2007) menyatakan bahwa bahan manipulatif adalah bagian yang terkait langsung dengan mata pelajaran matematika dimana bahan manipulatif ini dapat dimain-mainkan dengan tangan seperti dipegang, diputar, dipindah, dipotong-potong, atau dibalik Penelitian ini menggunakan bahan manipulatif kotak berwarna yang diintegrasikan dengan pendekatan saintifik. Dengan menggunakan bahan manipulatif, peneliti mengharapkan masalah yang dihadapi dapat diselesaikan. Bahan manipulatif kotak berwarna juga dapat dijadikan rujukan bagi para guru dalam membelajarkan matematika materi permutasi dan kombinasi. METODE PENELITIAN Pendekatan dalam penelitian ini merupakan pendekatan kualitatif dan jenis penelitian termasuk penelitian tindakan kelas. Penelitian tindakan kelas memiliki beberapa karakteristik yaitu (1) inkuiri reflektif, berawal dari kerisauan guru akan kinerjanya, (2) adanya tindakan untuk memperbaiki pembelajaran di kelas, (3) berfokus pada kegiatan pembelajaran, (4) reflektif, dilakukan secara berkelanjutan. Penelitian ini mengacu pada model siklus yang dikemukakan oleh Kemis dan Mc. Taggart yang meliputi empat tahapan, yaitu 1) perencanaan (planning), 2) pelaksanaan tindakan (acting), 3) observasi (observing), dan 4) refleksi (reflecting). Siklus yang dilakukan akan 1116
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
dihentikan jika indikator keberhasilan penelitian telah tercapai. Secara sederhana dapat digambarkan sebagai berikut.
Gambar 1. Siklus Penelitian
Dalam penelitian ini siswa yang menjadi subjek penelitian adalah siswa kelas XI MIA 2 SMAN 2 Pasuruan yang berjumlah 38 siswa. SMAN 2 Pasuruan dipilih karena banyaknya jenis dan atau ragam kesulitan dan kesalahan siswa di sekolah tersebut yang belum memahami tentang permutasi dan kombinasi. Ini terlihat dari banyaknya siswa yang melakukan kesalahan konseptual dan kesalahan prosedural pada saat dilakukan tes awal. Subyek penelitian mendapat perlakuan berupa pembelajaran kooperati dengan menggunakan kotak berwarna. Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini berupa: (1) skor tes yaitu tes awal dan tes akhir dengan siswa sebagai sumber datanya, (2) hasil observasi dengan guru dan siswa sebagai sumber data, (3) hasil wawancara dengan siswa sebagai sumber data, dan (4) catatan lapangan sebagai pelengkap data. Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini meliputi lembar observasi guru dan siswa, tes yang dilaksanakan pada akhir pertemuan dan tes yang dilaksanakan di akhir siklus, wawancara untuk mengetahui tingkat pemahaman siswa dan respon siswa, dan catatan lapangan. Tahapan-tahapan penelitian dalam peneliti meliputi perencanaan, pelaksanaan, analisis data, dan analisis data. Analisis data dilakukan dengan menggunakan teknik reduksi data, paparan data, dan penarikan kesimpulan, verifikasi, dan refleksi. HASIL Penelitian ini diawali dengan tahap pendahuluan yang meliputi observasi awal, validasi instrumen, dan pembagian kelompok. Observasi awal digunakan untuk mencari informasi tentang permasalahan yang terjadi pada proses pembelajaran permutasi dan kombinasi. Observasi awal dilakukan dengan cara mendatangi SMAN 2 Pasuruan dan melakukan observasi di kelas serta melakukan wawancara dengan guru matematika. Validasi instrumen dilakukan oleh guru atau dosen. Pembagian kelompok didasarkan pada tes yang diberikan dengan subjek penelitian. Setiap kelompok terdiri dari 6-7 orang dengan banyaknya kelompok dalam kelas 6 kelompok. Penelitian ini terdiri dari 2 siklus dengan setiap siklus terdiri dari 4 tahap yaitu perencanaan, pelaksanaan, observasi, dan refleksi. Setiap siklus terdiri 3 pertemuan dengan 2 pertemuan digunakan untuk proses pembelajaran dan 1 pertemuan digunakan untuk tes akhir siklus. Setiap pertemuan memiliki alokasi waktu 90 menit. Jumlah soal pada tes akhir siklus berjumlah 5 soal. Pada tahap perencanaan tindakan I ada beberapa hal yang dilakukan oleh peneliti, antara lain adalah: 1117
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
a. Menetapkan materi penelitian yaitu materi permutasi dan kombinasi. b. Berdiskusi dengan guru mata pelajaran matematika untuk menyesuaikan tujuan pembelajaran. c. Menyusun Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) dengan materi: permutasi r unsur dari n unsur dan kombinasi r unsur dari n unsur. d. Menyusun Lembar Aktivitas Siswa (LAS). e. Menyusun soal kuis di setiap pembelajaran disertai dengan pedoman jawaban dan kriteria penskoran. f. Menyusun soal tes akhir siklus I disertai dengan pedoman jawaban dan kriteria penskoran. g. Menyiapkan bahan manipulatif berupa kotak berwarna. h. Menyusun lembar pengamatan/ observasi terhadap kegiatan siswa dan kegiatan guru. i. Melakukan validasi kepada validator terhadap perangkat pembelajaran dan instrumen yang digunakan. j. Membuat daftar kelompok berdasarkan nilai dari tes awal. Nilai dari hasil tes awal diurutkan mulai dari nilai tinggi, sedang, dan rendah sebagai dasar pembagian kelompok. Setelah proses perencanaan selesai dilakukan, peneliti melaksanakan proses tindakan I yang merupakan implementasi dari perencanaan. Pelaksanaan tindakan I terdiri dari 3 pertemuan yaitu 2 pertemuan digunakan untuk proses pembelajaran dan 1 pertemuan digunakan untuk tes akhir siklus I. Pada pertemuan pertama, materi yang disampaikan adalah permutasi r unsur dari n unsur dan pada pertemuan kedua materi yang disampaikan adalah kombinasi r unsur dari n unsur. Peneliti melakukan observasi dan refleksi setelah pelaksaan tindakan siklus I. Observasi dilakukan oleh observer yang waktunya bersamaan dengan pelaksanaan tindakan. Observer melakukan penilaian terhadap proses pembelajaran dengan menggunakan lembar observasi kegiatan guru dan siswa. Di samping menggunakan lembar observasi, observer juga menggunakan catatan lapangan. Refleksi dilakukan untuk mengetahui keberhasilan tindakan I. Refleksi dilakukan dengan cara melakukan analisis terhadap skor kuis dan skor tes akhir siklus. Analisis yang digunakan adalah melihat berapa siswa yang mencapai KKM dan mengidentifikasi jenis kesalahan yang dilakukan siswa baik kesalahan konseptual, kesalahan prosedural, dan kesalahan kalkulasi. Berdasarkan pada skor kuis I dapat diketahui bahwa siswa yang mencapai KKM sebanyak 19 siswa dari 38 siswa. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat ketuntasan siswa hanya 50%. Dari skor itu juga didapatkan bahwa siswa yang tidak melakukan kesalahan baik kesalahan konseptual, kesalahan prosedural, dan kesalahan kalkulasi hanya 12 siswa dari 38 siswa. Ini menunjukkan bahwa siswa yang tidak melakukan kesalahan hanya 32%. Selanjutnya skor kuis II didapatkan bahwa siswa yang mencapai KKM sebanyak 32 siswa dari 36 siswa dikarenakan siswa yang berinisial BM dan SAK tidak dapat mengikuti proses pembelajaran. Jadi dapat disimpulkan bahwa tingkat ketuntasan siswa 89%. Dari skor itu juga didapatkan bahwa siswa yang tidak melakukan kesalahan baik kesalahan konseptual, kesalahan prosedural, dan kesalahan kalkulasi sebanyak 32 siswa dengan persentase mencapai 89%. Dari skor tes akhir siklus I didapatkan bahwa siswa yang mencapai KKM sebanyak 14 siswa sehingga prosentase siswa yang mencapai KKM hanya sebesar 39%. Dari skor itu juga didapatkan siswa yang tidak melakukan kesalahan baik kesalahan konseptual, kesalahan prosedural, dan kesalahan kalkulasi sebanyak 4 siswa. Hal ini berarti bahwa siswa yang tidak melakukan kesalahan mencapai 11%. Berdasarkan pada data skor kuis I, kuis II, dan tes akhir siklus disimpulkan bahwa kriteria keberhasilan dalam penelitian ini masih belum tercapai karena rata-rata siswa yang mencapai KKM sebesar 54 % dan siswa yang tidak melakukan kesalahan mencapai 44%. Kriteria keberhasilan yang telah ditetapkan adalah pemahaman siswa dikatakan meningkat jika jumlah siswa yang tidak melakukan kesalahan konsep, prosedur, dan kalkulasi pada saat mengerjakan tes, minimal adalah 80%. Selain tidak melakukan kesalahan konsep, prosedur dan kalkulasi, pemahaman siswa dikatakan meningkat jika minimal 85% dari jumlah siswa dapat mencapai KKM (Kriteria Ketuntasan Minimum). Oleh karena itu, penelitian dilanjutkan pada siklus II.
1118
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
Siklus II merupakan perbaikan dari siklus I. Kegiatan perbaikan yang dilakukan oleh peneliti adalah sebagai berikut: 1) Menambah alokasi waktu dalam diskusi yang semula 30 menit menjadi 35 menit. Ini bertujuan agar siswa dapat berinteraksi lebih lama dengan teman kelompok sehingga pemahaman mereka meningkat. 2) Membuat diskusi menjadi lebih aktif dan meminta siswa untuk bertanggung jawab terhadap kegiatan dalam diskusi. Siswa yang bermain sendiri yaitu CL dan HF dan siswa yang tidak aktif dalam diskusi yaitu AYB, SW, dan EMA lebih diperhatikan sehingga mereka lebih aktif dalam berdiskusi dan bertanggung jawab. 3) Membuat siswa lebih fokus dalam belajar sehingga kejadian keluar masuk kelas tidak terjadi lagi. 4) Melanjutkan indikator materi permutasi yaitu menentukan permutasi dengan beberapa unsur yang sama dan permutasi siklis. 5) Lebih menekankan perbedaan permutasi dan kombinasi dalam review materi yang telah dipelajari. 6) Siswa yang berinisial BM dan SAK tidak diikutkan dalam penentuan kriteria keberhasilan penelitian. Siklus II diawali dengan proses perencanaan. Pada tahap perencanaan tindakan II ada beberapa hal yang dilakukan oleh peneliti, antara lain adalah: a. Menetapkan materi penelitian yaitu materi permutasi dengan beberapa unsur yang sama dan permutasi siklis. b. Menyusun Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) dengan materi: permutasi dengan beberapa unsur yang sama dan permutasi siklis. Lebih jelasnya dapat diihat pada lampiran. RPP yang dibuat terdiri dari 3 proses pembelajaran. c. Menyusun Lembar Aktivitas Siswa (LAS). Lebih jelasnya dapat dilihat pada lampiran. d. Menyusun soal kuis di setiap pembelajaran disertai dengan pedoman jawaban dan kriteria penskoran. e. Menyusun soal tes akhir siklus I disertai dengan pedoman jawaban dan kriteria penskoran. f. Menyiapkan bahan manipulatif berupa kotak berwarna. g. Menyusun lembar pengamatan/ observasi terhadap kegiatan siswa dan kegiatan guru. Setelah proses perencanaan selesai dilakukan, peneliti melaksanakan proses tindakan II yang merupakan implementasi dari perencanaan. Pelaksanaan tindakan II terdiri dari 3 pertemuan yaitu 2 pertemuan digunakan untuk proses pembelajaran dan 1 pertemuan digunakan untuk tes akhir siklus II. Pada pertemuan keempat, materi yang disampaikan adalah permutasi dengan beberapa unsur yang sama dan pada pertemuan kelima materi yang disampaikan adalah permutasi siklis. Setiap pertemuan memuat proses mengamati, menanya, mengumpulkan data, mengasosiasikan, dan mengkomunikasikan. Peneliti juga melakukan observasi dan refleksi setelah pelaksaan tindakan siklus II. Observasi dilakukan oleh observer yang waktunya bersamaan dengan pelaksanaan tindakan. Observer melakukan penilaian terhadap proses pembelajaran dengan menggunakan lembar observasi kegiatan guru dan siswa. Di samping menggunakan lembar observasi, observer juga menggunakan catatan lapangan. Dari skor kuis I dapat diketahui bahwa siswa yang mencapai KKM sebanyak 34 siswa dikarenakan ada 2 siswa yaitu GAK dan UFL yang tidak dapat mengikuti proses pembelajaran pada pertemuan empat. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat ketuntasan siswa mencapai 100%. Dari skor itu juga didapatkan bahwa tidak ada siswa yang melakukan kesalahan baik kesalahan konseptual, kesalahan prosedural, dan kesalahan kalkulasi. Ini menunjukkan bahwa siswa yang tidak melakukan kesalahan mencapai 100%. Selanjutnya dari skor kuis II didapatkan bahwa siswa yang mencapai KKM sebanyak 29 siswa. Jadi dapat disimpulkan bahwa tingkat ketuntasan siswa 85%. Dari skor itu juga didapatkan bahwa siswa yang tidak melakukan kesalahan baik kesalahan konseptual, kesalahan prosedural, dan kesalahan kalkulasi sebanyak 29 siswa dengan persentase mencapai 85%. Dari skor tes akhir siklus didapatkan bahwa siswa yang mencapai KKM sebanyak 34 siswa sehingga prosentase siswa yang mencapai KKM hanya sebesar 100%. Dari skor itu juga didapatkan siswa yang tidak melakukan kesalahan baik kesalahan konseptual, kesalahan prosedural, dan kesalahan kalkulasi sebanyak 5 siswa. Hal ini berarti bahwa siswa yang tidak melakukan kesalahan mencapai 85%. 1119
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
Berdasarkan pada skor tersebut disimpulkan bahwa kriteria keberhasilan dalam penelitian ini sudah tercapai karena rata-rata siswa yang mencapai KKM sebesar 95 % dan siswa yang tidak melakukan kesalahan mencapai 90%. Jadi penelitian ini sudah dapat dihentikan karena sudah mencapai kriteria keberhasilan penelitian. Siswa yang bernama BM, GAK, SAK, dan UFL tidak diikutkan dalam menentukan kriteria keberhasilan penelitian dikarenakan mereka tidak dapat mengikuti proses pembelajaran secara menyeluruh. Sehingga siswa yang diikutsertakan dalam menentukan kriteria keberhasilan sebanyak 34 siswa. Peneliti melakukan wawancara kepada siswa untuk mengetahui respon siswa terhadap proses pembelajaran kooperatif dengan menggunakan kotak berwarna. Berdasarkan hasil wawancara terhadap 11 siswa tersebut diperoleh suatu kesimpulan bahwa 91% siswa sangat menyukai pembelajaran kooperatif dengan menggunakan kotak berwarna. Mereka sangat menyukai dikarenakan materi permutasi dan kombinasi lebih mudah untuk dipahami. Mereka bisa mempraktekkan secara langsung konsep permutasi dan kombinasi daripada harus belajar teori saja. Mereka juga mengatakan bahwa pembelajaran kooperatif dengan menggunakan kotak berwarna sangat menyenangkan dan tidak membosankan. PEMBAHASAN Peneliti menyusun langkah-langkah pembelajaran permutasi dan kombinasi dengan menggunakan kotak berwarna melalui pendekatan saintifik dipadukan dengan metode diskusi dan presentasi. Pendekatan saintifik memiliki beberapa tahapan yaitu mengamati, menanya, mengumpulkan data, mengasosiasi, dan mengkomunikasikan. Pada tahap mengamati dan menanya, siswa mengamati dan menanyakan tentang kotak berwarna dan bagaimana bekerja dengan kotak berwarna tersebut. Pada tahap mengumpulkan data, siswa melakukan diskusi dengan menggunakan kotak berwarna dan menyelesaikan semua kegiatan yang ada di lembar aktivitas siswa. Pada tahap mengasosiasi, siswa menyimpulkan hasil diskusinya dan pada tahap mengkomunikasikan, siswa mempresentasikan jawaban mereka. Tahapan-tahapan yang telah disusun peneliti seusai dengan teori Dienes (dalam Bell 1981:125-126) menyatakan bahwa tahapan dalam pembelajaran konsep matematika adalah (1) siswa melakukan percobaan dengan benda-benda manipulatif tanpa diatur dan diarahkan, (2) siswa mengamati pola dan keteraturan yang terwujud dalam konsep, (3) siswa menghayati konsep yang disajikan oleh benda konkrit, (4) adanya pembuatan diagram atau tabel, (5) siswa merumuskan dan membuat simbol-simbol matematika untuk mendeskripsikan representasi konsep mereka, (6) siswa menggunakan konsep untuk menyelesaikan masalah matematika. Slavin (2005: 34) mengatakan bahwa dalam pembelajaran kooperatif, anggota kelompok harus membantu teman satu timnya untuk melakukan sesuatu guna membuat kelompok mereka berhasil. Oleh karena itu, pelaksanaan pembelajaran permutasi dan kombinasi dengan menggunakan kotak berwarna dilakukan dalam 6 kelompok kecil dimana tiap kelompoknya terdiri dari 6-7 siswa untuk berdiskusi menyelesaikan kegiatan yang ada di lembar aktivitas siswa. Siswa dituntut untuk saling bekerjasama dalam menyelesaikan soal di lembar aktivitas siswa dengan cara bertukar pendapat, membagi tugas, atau kegiatan kelompok lainnya. Tahap presentasi merupakan bagian dari proses mengkomunikasikan dalam pendekatan saintifik. Tahap presentasi memungkinkan siswa untuk memberikan tanggapan dan koreksi terhadap jawaban anggota kelompok yang lain. Siswa juga akan mengetahui dimana letak kesalahannya dalam memahami materi permutasi dan kombinasi. Berdasarkan hasil pengamatan, siswa aktif dalam menyelesaikan soal kegiatan yang ada di LA bersama kelompoknya. Keaktifan siswa terjadi karena ada faktor: (1) kegiatan dalam LAS melibatkan peragaan kotak berwarna, (2) kegiatan di LAS menantang siswa untuk terus mencoba mendapatkan banyak susunan kotak berwarna, dan (3) siswa terlibat secara aktif dalam mengotak atik susunan kotak berwarna. Ketiga faktor ini secara umum menjelaskan bahwa kegiatan belajar tidak hanya terfokus pada hafalan rumus tetapi kegiatan belajar diarahkan pada pemahaman konsep. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Penerapan pembelajaran kooeperatif dengan menggunakan kotak berwarna yang dapat meningkatkan pemahaman siswa tentang permutasi dan kombinasi memiliki 2 tahapan yaitu menyusun kotak berwarna dengan urutan dari kiri ke kanan, menyusun kotak berwarna secara 1120
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
melingkar, dan menyusun kotak berwarna tanpa memperhatikan urutan dan menghitung banyak susunan kotak berwarna tersebut. Saran 1. Pembelajaran kooperatif dengan menggunakan kotak berwarna perlu menjadi pertimbangan dalam memilih metode pembelajaran pada materi permutasi dan kombinasi karena pembelajaran tersebut dapat meningkatkan pemahaman siswa tentang permutasi dan kombinasi. 2. Dalam proses pembelajaran dengan metode diskusi, guru harus menentukan kelompok siswa dengan perbandingan siswa yang berkategori tinggi, sedang, dan rendah secara seimbang. 3. Pada pembelajaran dengan metode diskusi, guru harus memastikan bahwa setiap anggota kelompok, terlibat aktif di dalam diskusi. DAFTAR PUSTAKA Adhinata, R. 2011. Pembelajaran Kooperatif Tipe Jigsaw Untuk Memahamkan Materi Persamaan Kuadrat Pada Siswa Kelas X SMK Negeri 1 Blitar. Tesis tidak diterbitkan. Malang : Program Pascasarjana Universitas Negeri Malang. Arif. 2003. Belajar Kooperatif Dengan Pendekatan Struktural Untuk Pemahaman Konsep Statistika Siswa Kelas II SLTP Laboratorium Universitas Negeri Malang. Tesis tidak diterbitkan. Malang : Program Pascasarjana Universitas Negeri Malang. Aqib. Z. 2009. Penelitian Tindakan Kelas Untuk Guru SMP, SMA, SMK. Bandung: Yrama Widya. Bell, F. 1981. Teaching and Learning Mathematics (In Secondary Schools). Iowa: Wm. C. Brown Company Publisher. Cipta, D A S . 2012. Penggunaan Gelas, Sedotan, dan Permainan Simonan Untuk Memahamkan Penjumlahan dan Pengurangan Bilangan Bulat Pada Siswa Kelas IV SDN Sokaan I Kabupaten Probolinggo. Tesis tidak diterbitkan. Malang : Program Pascasarjana Universitas Negeri Malang. Depdiknas. 2003. Kurikulum 2004 Standar Kompetensi Mata Pelajaran Matematika Sekolah Dasar dan Madrasah Ibtidaiyah. Jakarta: Depdiknas. Gillies, R. 2008. The Teacher’s Role In Implementing Cooperative Learning In The Classroom. New York : Springer Science + Business Media. Hastuti, I D. 2013. Peningkatan Pemahaman Konsep Kelipatan Persekutuan Terkecil (KPK) Menggunakan Bahan Manipulatif Uang Logam Pada Siswa Kelas IV Sekolah Dasar Negeri Mojorejo Ponorogo. Tesis tidak diterbitkan. Malang : Pascasarjana Universitas Negeri Malang. Hudojo, H.1988.Mengajar Belajar Matematika.Jakarta. Depdikbud. Hudojo, H. 2005. Pengembangan Kurikulum dan Pembelajaran Matematika. Malang: Universitas Negeri Malang (UM PRESS). Joliffe, W. 2007. Cooperative Learning In The Classroom (Putting It Into Practice). London. Paul Chapman Publishing. Kagan, S dan Kagan, M. 2009. Kagan Cooperative Learning. San Clemente : Kagan Publishing. Miles, MB. & Huberman, A.M.1992. Analisis Data Kualitatif. Terjemahan oleh Tjetjep Rohendi Rohidi. Jakarta : Universitas Indonesia Press Moleong, Lexy. J. 2002. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung : Remaja Rosdakarya Offset Muhsetyo, G. 2007. Pembelajaran Matematika SD. Jakarta: Universitas Terbuka. NCTM. 2000. Principles and Standards for School Mathematics. Virginia: Reston. Santrock, John W. 2011. Educational Psychology. New York : The McGraw Hill Companies. Slavin, Robert. (2006). Education Psychology. Massachusetts: Paramount Publishing. Sudjana, N. 2006. Penilaian Hasil Proses Belajar Mengajar. Bandung : Remaja Rosdakarya. Sugiyono. 2008. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D. Bandung: Alfabeta. Suherman, Turmudi, dan Suryadi. 2003. Strategi Pembelajaran Matematika Kontemporer (revisi). Bandung: JICA. Universitas Negeri Malang. 2000. Pedoman Penulisan Karya Ilmiah. Malang: UM Press.
1121
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
IMPLEMENTASI MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE STAD BERBASIS LESSON STUDY UNTUK MENINGKATKAN AKTIVITAS DAN PEMAHAMAN MATEMATIKA DI SMAN 1 KELUMPANG HULU Muhammad Rikhfan Muji, Subanji Universitas Negeri Malang
[email protected],
[email protected] Abstrak: Penelitian ini bertujuan untuk mengimplementasikan model pembelajaran kooperatif Tipe STAD berbasis Lesson Study untuk meningkatkan aktivitas dan pemahaman matematika di SMA Negeri 1 Kelumpang Hulu. Penelitian yang dilakukan merupakan penelitian tindakan dengan pendekatan deskriptif kualitatif dan subjek penelitian yaitu siswa kelas XI IPA di SMA Negeri 1 Kelumpang Hulu sebanyak 25 siswa, seorang guru model, dan 2 orang observer. Hasil penelitian adalah: a) taraf keterlaksanaan langkah-langkah STAD sesuai dengan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran; b) pembelajaran STAD dapat meningkatkan aktivitas dan pemahaman belajar matematika siswa; (3) peningkatan aktivitas dan hasil pemahaman dapat dilihat dari indikator-indikator seperti aktivitas siswa mengikuti pembelajaran dan diskusi, rasa tanggung jawab dengan hasil sebelum tindakan dan sesudah tindakan: (1) 64% menjadi 84%, dan (2) 84% menjadi 100%. Kata Kunci: STAD, Lesson Study, aktivitas, pemahaman
Dalam usaha mencerdaskan kehidupan bangsa, tugas guru sebagai pendidik tidaklah dapat dikatakan ringan, sebab tidak hanya memberikan bekal kepada siswa berupa ilmu pengetahuan semata, tetapi hal yang lebih penting adalah membentuk kepribadian siswa menjadi manusia yang berguna bagi dirinya, orang tua, masyarakat, agama, bangsa, dan Negara. Untuk mewujudkan itu bukan pekerjaan mudah, karena kenyataan dilapangan masih banyaknya ditemukan guru menggunakan metode lama yaitu metode ceramah, yang menitik beratkan guru sebagai satu-satunya sumber belajar. Secara umum pembelajaran yang dilakukan guru dan siswa hanya melihat apa yang dijelaskan guru, siswa mencatat hasil penjelasan guru, dan siswa diam. Aktivitas pembelajaran yang berpusat pada guru (teacher centred) mengakibatkan proses pembelajaran dirasakan tidak bermakna, tidak menyenangkan, membosankan, serta kurang memotivasi siswa untuk belajar. Dalam proses pembelajaran kebanyakan siswa tidak memperhatikan guru mengajar. Mereka asyik bercanda sesama teman, mencoret-coret buku, membuka buku pelajaran lainnya, mengantuk, dan pandangan kosong. Selain itu, siswa kurang aktif ketika proses belajar mengajar berlangsung. Ketika guru bertanya “ada yang ditanyakan” siswa akan menjawab “tidak” dan sebagian siswa lagi memilih diam. Siswa akan menjawab paham ketika ditanya” apakah sudah paham”. Namun ketika ulangan harian, ternyata sebagian besar siswa memperoleh nilai dibawah KKM yang telah ditetapkan oleh sekolah. Hal tersebut dikarenakan perhatian siswa yang masih rendah dalam pembelajaran, sehingga mengakibatkan pemahaman mereka menjadi rendah dan berdampak terhadap hasil belajar matematika. Pemahaman konsep sebagai kemampuan siswa untuk: (1) menjelaskan konsep, dapat diartikan siswa mampu untuk mengungkapkan kembali apa yang telah dikomunikasikan kepadanya, (2) menggunakan konsep pada berbagai situasi yang berbeda, dan (3) mengembangkan beberapa akibat dari adanya suatu konsep, dapat diartikan bahwa siswa paham terhadap suatu konsep akibatnya siswa mempunyai kemampuan untuk menyelesaikan setiap masalah dengan benar (Duffin & Simpson, 2000). Sejalan dengan hal di atas Depdiknas (2003) mengungkapkan bahwa, pemahaman konsep merupakan salah satu kecakapan atau kemahiran matematika yang diharapkan dapat tercapai dalam belajar matematika yaitu dengan menunjukkan pemahaman konsep matematika yang dipelajarinya, menjelaskan keterkaitan antar konsep dan mengaplikasikan. Hal ini sesuai dengan pernyataan Heruman (2008) dalam matematika setiap konsep berkaitan dengan konsep lain, dan suatu konsep menjadi prasyarat bagi konsep lainnya. Oleh sebab itu, pemahaman konsep merupakan hal yang sangat fundamental dalam pembelajaran matematika agar lebih bermakna.
1122
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
Pemahaman konsep tersebut akan lebih bernakna dengan mengaitkan matematika dalam kehidupan sehari-hari yang sesuai dengan pengetahuan siswa. Kemudian siswa diantarkan untuk menyimpulkan konsep tersebut dan menuliskannya dalam bentuk notasi matematika. Pembelajaran matematika yang diharapkan muncul adalah kemampuan memahami konsep matematika itu sendiri. Siswa yang memiliki pemahaman konsep yang bagus akan mengetahui lebih dalam tentang ide - ide matematika yang masih terselubung. Pengetahuan yang dipelajari dengan pemahaman akan memberikan dasar dalam pembentukan pengetahuan baru sehingga dapat digunakan dalam memecahkan masalah - masalah baru, setelah terbentuknya pemahaman dari sebuah konsep, siswa dapat memberikan pendapat, dan menjelaskan suatu konsep. Hal ini memberikan pengertian bahwa materi - materi yang diajarkan kepada siswa bukan hanya sebagai hafalan (Alam, 2012) Untuk menghilangkan kesan bahwa pelajaran bukan hanya sebagai hafalan. Kebutuhan akan orientasi baru dalam pendidikan diperlukan dalam berbagai aspek dan bidang kajian, baik eksakta maupun ilmu-ilmu sosial. Para pendidik dan praktisi pendidikan sudah seyogyanya harus dan mampu merespon perubahan yang terjadi dengan mengubah paradigma pendidikan. Salah satu cara untuk menjawab dan mengatasi perubahan yang terjadi secara terus-menerus adalah dengan mengimplementasikan berbagai model-model pembelajaran inovatif, yang diharapkan mampu mendongkrak kualitas proses pembelajaran. Pembelajaran Student Teams Achievement Division (STAD) merupakan salah satu tipe pembelajaran yang paling baik digunakan pada pendekatan kooperatif (Slavin, 2008). Pembelajaran kooperatif tipe STAD diterapkan dengan langkah-langkah sebagai berikut: (1) Guru menyampaikan materi pembelajaran, (2) tes awal, (3) pembentukan kelompok, (4) diskusi kelompok. (5) presentasi kelas dari perwakilan kelompok, (6) kesimpulan, (7) tes akhir, dan (8) penghargaan kelompok. Pembelajaran kooperatif tipe STAD ini sudah diteliti oleh banyak peneliti. Hasil kajian terhadap beberapa penelitian tentang STAD memberikan kesimpulan bahwa pembelajaran kooperatif Tipe STAD mampu memaksimalkan implementasi aktivitas dan pemahaman pada mata pelajaran matematika yang ditunjukkan oleh aspek-aspek kognitif, afektif dan psikomotorik selama pembelajaran berlangsung. Buwono, dkk (2012) menyatakan bahwa signifikan antara pembelajaran kooperatif tipe STAD terhadap peningkatan belajar. Suriaty (2008) bekerja atau belajar bersama adalah suatu proses kelompok yang disokong oleh anggotaanggota kelompok , di mana ada ketergantungan satu dengan yang lain untuk mencapai suatu tujuan yang disepakati. Ruang kelas adalah tempat yang baik sekali untuk membangun kemahiran kelompok yang di butuhkan kemudian di dalam kehidupan. Falah (2012) menyatakan bahwa aktivitas belajar merupakan kegiatan mental dan fisik yang dilakukan individu untuk mencapai tujuan tertentu dari proses belajar. Sedangkan belajar sendiri dimaksudkan adalah upaya yang dilakukan individu secara sengaja untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhan dan sebagai pengalaman individu dalam proses interaksinya dengan lingkungannya. Hasil belajar dicapai sebagai akibat dari penerapan model pembelajaran dengan model stad ditentukan oleh :(1) keterampilan guru menyusun RPP dengan pembelajaran model STAD (2) keterampilan guru dalam menerapkan model STAD (3) aktivitas siswa. Salah satu untuk meningkatkan profesionalisme guru dalam menyusun RPP, melaksanakan pembelajaran, dan merefleksi kegiatan pembelajaran serta mengevaluasi hasil belajar, adalah dengan Lesson Study agar memperoleh pelajaran berharga sebagai bahan refleksi untuk memperbaiki pembelajaran yang dilaksanakan dalam kelas. Susilo (2013) Lesson Study (LS) didefinisikan sebagai suatu model pembinaan profesi pendidik melalui pengkajian pembelajaran secara kolaboratif dan berkelanjutan, berlandaskan prinsip-prinsip kesejawatan untuk membangun masyarakat belajar. Melalui Lesson Study dapat ditingkatkan keempat kompetensi pendidik yaitu kompetensi kepribadian karena akan semakin meningkat motivasi pelakunya untuk berkembang, kompetensi sosial karena akan semakin kuat hubungan kesejawatan, kompetensi profesional karena akan semakin meningkat penguasaan materi ajar, dan kompetensi pedagogik karena akan semakin meningkat kemampuan merencanakan dan melaksanakan pembelajaran, mengamati kegiatan belajar, mewujudkan pembelajaran yang menyiapkan pebelajar untuk kehidupan masa depan, dan pada gilirannya memungkinkan perbaikan kualitas pembelajaran secara terus menerus. Suparlan (2010) Lesson Study merupakan konsep baru dalam dunia pendidikan di Indonesia, Lesson Study bukan metode mengajar dan juga bukan model pembelajaran. Trimo 1123
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
(2010) paradigma ini memperlakukan, memfasilitasi, dan mendorong peserta didik menjadi subjek pembelajar mandiri yang bertanggung jawab, kreatif, inovatif, sportif, dan berkewirausahaan. Salah satu alternatif untuk merealisasikan maksud luhur tersebut dimulai dari evaluasi diri guru untuk menemukan permasalahan dan sekaligus alternatif pemecahannya melalui aktivitas lesson study berbasis penelitian tindakan kelas. Guru melakukan aktivitas merencanakan, melaksanakan, mengobervasi, dan merefleksi secara kolaboratif dan berkelanjutan. Widarti (2011) Lesson study merupakan salah satu bentuk pembinaan guru (inservice) yang dapat dilakukan untuk meningkatkan profesionalisme guru. Lesson study dilakukan sebagai upaya untuk mengkaji kegiatan pembelajaran melalui kegiatan perencanaan (plan), pelaksanaan (do), melihat/refleksi (see) bersama untuk meningkatkan kualitas pembelajaran itu sendiri. Subanji dan Isnandar (2010) menyatakan salah satu upaya untuk mengubah perilaku guru dari penyampai materi menjadi fasilitator, dapat dilakukan melalui kegiatan lesson study. Dalam penerapan lesson study, dilakukan kegiatan perencanaan (plan) secara kolaboratif, pelaksanaan pembelajaran (do), observasi dan refleksi (see). Beberapa perubahan perilaku guru setelah menerapkan lesson study adalah: (1) terciptanya budaya akademik yang positif dalam membuat rencana pembelajaran kolaboratif, (2) terciptanya budaya ”terbuka” dengan adanya open class, (3) tumbuhnya kebiasaan untuk selalu refleksi dan memperbaiki pembelajaran, (4) adanya upaya untuk meningkatkan potensi diri dengan selalu belajar, dan (5) membiasakan pembelajaran dengan melihat siswa sebagai subjek pembelajaran. Elisabeth (200) Lesson Study merupakan salah satu bentuk pembinaan guru (in-service) yang dapat dilakukan untuk meningkatkan profesionalisme guru. Lesson Study dilakukan sebagai upaya untuk mengkaji kegiatan pembelajaran melalui kegiatan perencanaan (plan), pelaksanaan (do), melihat/refleksi (see) bersama untuk meningkatkan kualitas pembelajaran itu sendiri. Nugroho (2011) melalui kegiatan Lesson Study dikembangkan pembelajaran yang dapat mendorong siswa belajar secara aktif, kreatif, efektif, dan menyenangkan sekaligus dimanfaatkan untuk character building. Adapun manfaat dari pelaksanaan lesson studi adalah adanya feedback dari dosen observer dan adanya evaluasi pelaksanaan pembelajaran. Internalisasi nilai-nilai character building seperti rela berkorban, disiplin, kejujuran, tanggung jawab, kerjasama, peduli sosial dan kerja keras. Wood (2013) menyatakan bahwa interaksi wacana mengungkapkan tentang pembelajaran guru dalam Lesson Study (LS) konteks sebagai guru merencanakan dan mendiskusikan Lesson Study. Penelitian anggota kelompok gabungan sumber daya sosial dan budaya modal dan data yang jelas dari pelajaran penelitian. Hal ini menciptakan kondisi memotivasi memungkinkan akses kolektif untuk praktek membayangkan dan pembangunan bersama praktek mikro. Perbaikan dalam pengajaran berikutnya, dan belajar siswa adalah reported. Iterative, Lesson Study kolaboratif proses memungkinkan guru untuk mengakses sumber daya pengetahuan dan menghapus filter (dikembangkan untuk mengatasi kompleksitas kelas), membuka selubung karakteristik tersembunyi murid. Ini baik menantang dan informasi kepercayaan guru, memotivasi pengembangan bersama praktek ditingkatkan. Kartono (2008) menjelaskan pelaksanaan pembelajaran dengan Lesson Study mampu memberikan fokus yang lebih jelas terkait dengan diskusi konsep-konsep penting dalam pembelajaran serta teknik yang akan dilaksanakan untuk menyampaikan konsep-konsep tersebut. Menggunakan jurnal belajar dibutuhkan penyesuaian dengan kondisi peserta didik sekaligus pembiasaan. Wulan. dkk (2012) penerapan pendekatan berbasis Lesson Study dapat meningkatkan aktivitas belajar siswa yang tingkat kemampuannya rendah dan sedang, tapi untuk siswa yang tingkat kemampuannya tinggi, tidak memberi kontribusi. Sedangkan Wahyuni (2013) meningkatnya hasil belajar, suasana kelas yang aktif terjadinya sharing informasi dengan adanya kolaborasi antar guru model dan obsever sehingga lesson study dapat dilaksanakan atau diterapkan di semua pembelajaran. Sukidjo, dkk (2013) menyatakan bahwa Pembelajaran dengan model lesson study perlu dikembangkan dalam rangka meningkatkan partisipasi dan prestasi siswa. Lukitasari (2012) Pelaksanaan pembelajaran dengan lesson study mampu memberikan fokus yang lebih jelas terkait dengan diskusi konsep-konsep penting dalam Biologi Sel serta teknik yang akan dilaksanakan untuk menyampaikan konsep-konsep tersebut. Suprapto (2013) Implementasi pendidikan karakter dalam perkuliahan analisis vektor meliputi aspek perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi pembelajaran. Dalam perencanaan pembelajaran, nilainilai karakter tersebut diintegrasikan. Sadia (2008) dengan adanya lesson study , guru model 1124
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
sudah mulai merubah cara mengajar yaitu mengajar dengan model - model pembelajaran yang lebih student center. Bean (2011) pelaksanaan pembelajaran dengan Lesson Study memang membutuhkan tenaga dan pikiran yang lebih banyak, tetapi akan membawa dampak pada peningkatan profesionalisme pendidik khususnya dalam bidang pendidikan dan pengajaran. Berdasarkan pernyataan-pernyataan diatas Lesson Study pada hakekatnya adalah merupakan salah satu upaya signifikan untuk meningkatkan kualitas dan profesionalisme guru dalam memfasilitasi proses pembelajaran yang dirancang sebagai bagian penting dari peningkatan terhadap kompetensi pedagogik dan profesionalisme guru. Dalam hal ini, Lesson Study tampaknya dapat dijadikan sebagai salah satu alternatif guna mendorong terjadinya perubahan dalam praktik pembelajaran di Indonesia menuju ke arah yang jauh lebih efektif. Dalam rangka menciptakan inovasi pembelajaran yang perpusat pada siswa. Hamdani, dkk. 2011 Lesson Study bertujuan untuk meningkatkan kualitas dan hasil pembelajaran. Rian Anggara dan Umi Chotimah (2012) Adapun manfaat lesson study adalah: 1. Meningkatnya pengetahuan guru tentang materi ajar dan pembelajarannya 2. Meningkatnya pengetahuan guru tentang cara mengobservasi aktifitas belajar siswa 3. Menguatnya hubungan kolegalitas baik antar guru maupun dengan observer lain selain guru 4. Menguatnya hubungan antara pelaksanaan pembelajaran sehari-hari dengan tujuan pembelajaran jangka panjang 5. Meningkatnya motivasi guru untuk senan-tiasa berkembang 6. Meningkatnya kualitas rencana pembelajaran termasuk komponen-komponennya seperti bahan ajar, teaching materials(hands on) dan strategi pembelajaran (Rusman, 2010). METODE PENELITIAN Tempat dan Subjek penelitian Projek Lesson Study dilaksanakan di SMA Negeri 1 Kelumpang Hulu Kabupaten Kotabaru Provinsi Kalimantan Selatan. Adapun subjek penelitian adalah siswa semester 2 (dua) kelas XI IPA SMA Negeri 1 Kelumpang Hulu tahun pelajaran 2013/2014 sebanyak 25 orang. Jenis Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian tindakan yang mengimplementasikan Lesson Study. Pengimplementasian Lesson Study ini dilakukan sebanyak 2 siklus. Saito (2005) mengenalkan 3 (tiga) tahap Lesson Study, yaitu: (1) perenecanaan (plan), (2) pelaksanaan (do) dan refleksi (see). Pada bagian Plan, dilakukan analisis kebutuhan siswa terkait dengan tema fungsi turunan. Analisis yang dilakukan mencakup prediksi respon siswa untuk menentukan alur belajar siswa serta antisipasi tindakan guru untuk menentukan tahapan pengajaran guru dan strategi interaksi manajemen kelas (Suryadi & Suranto, 2009). Disetiap konsep dasar tersebut dianalisis proposisi definitif, tujuan dan alasan, aplikasi dalam kehidupan sehari-hari, konsep prasyarat dan konsep terkait lainnya, kesulitan yang dihadapi guru dan siswa, pengetahuan awal siswa, faktor yang mempengaruhi siswa, serta rancangan umum pengajaran serta pertanyaan pemandu yang disiapkan. Pada bagian Do, mencakup pelaksanaan dan pengamatan pengajaran dan pembelajaran. Guru model melaksanakan proses pembelajaran di kelas sebagaimana yang biasa dilakukan. Dalam proses pelaksanaan pembelajaran ini, para pengamat (observer) mengamati proses pembelajaran, mulai dari membuka pelajaran, sampai dengan pelaksanaan pembelajaran dengan menggunakan metode atau alat bantu pembelajaran, dan akhirnya sampai dengan mentutup pembelajaran. Para pengamat (observer) melakukan pengamatan dan mencatatnya secara cermat. Sedangkan pada bagian See, tim Lesson Study mengadakan pertemuan berikutnya untuk mendiskusikan hasil pengamatan dari observer. Dalam diskusi ini, disampaikan tentang apa kelebihan yang dilakukan guru model, disamping kemungkinan kekurangan-kekurangan, bahkan kesalahan-kesalahan fatal yang telah dilakukan guru model. Hasil diskusi dalam bentuk kesimpulan disusun secara tertulis, dan kemudian menjadi acuan guru model dan pengamat dalam kegiatan Lesson Study tersebut. Teknik dan Instrumen Pengumpulan data Untuk memperoleh data yang akurat diperlukan sebuah teknik pengumpulan data yang memadai. Teknik yang digunakan dalam pengumpulan data pada projek Lesson Study ini yaitu: (1) metode observasi, metode ini digunakan untuk mengetahui aktivitas guru model dan siswa 1125
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
pada kegiatan Plan, Do, dan See, (2) Metode dokumenter, metode dokumenter yang digunakan dalam projek Lesson Study berupa: dokumentasi fhoto-fhoto dan rekaman hasil kegiatan Plan, Do, dan See. Adapun instrumen yang digunakan dalam projek Lesson Study adalah lembar observasi Plan, Do, dan See untuk mengetahui kualitas pembelajaran dengan tema fungsi turunan yang berisi tentang indikator kegiatan siswa antara lain: kesiapan belajar siswa, kondisi / respon siswa ketika guru menyampaikan kegiatan apersepsi / motivasi / pemanasan berpikir / advance organizer, interaksi yang terjadi dalam pembelajaran: siswa dengan siswa dan siswa dengan guru, siswa yang tidak bisa mengikuti pembelajaran dengan baik, upaya guru untuk mengatasi gangguan belajar, alternatif yang dapat dilakukan untuk mengatasi siswa yang terganggu dalam belajar, usaha guru dalam mendorong siswa yang tidak aktif belajar, hal-hal unik yang terjadi pada saat pembelajaran, siswa terlibat dalam kegiatan penutup (melakukan refleksi, merangkum, dan sebagainya), tindak lanjut pembelajaran, dan pelajaran berharga apa yang dapat di petik dari pengamatan pembelajaran. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Siklus I a. Tahap Perencanaan (Plan) Tahap ini merancang pembelajaran yang akan diterapkan pada Lesson Study. Dalam tahap perencanaan (plan), sesama tim Lesson Study melakukan diskusi mengenai skenario pembelajaran, penetapan materi pembelajaran, dan waktu pelaksanaan do dan see. Hasil diskusi menghasilkan rencana tindakan untuk meningkatkan kualitas pembelajaran dan membangun karakter siswa melalui Lesson Study. Selanjutnya guru model dan observer berdiskusi dalam menyusun lembar observasi, terutama penentuan aspek-aspek yang perlu diperhatikan dalam suatu proses pembelajaran dan indikator-indikatornya, dilihat dari aktivitas siswa. Aspek-aspek proses pembelajaran dan indikator-indikatornya disusun berdasarkan perangkat pembelajaran yang dibuat serta kompetensi dasar yang ditetapkan. Guru model menyusun Rencana Pelaksanaan Pembelajaran dengan model yang digunakan adalah pembelajaran Student Teams Achievement Division (STAD). Adapun perangkat pembelajaran terdiri atas: RPP, Lembar Kerja Siswa (LKS), lembar tes awal dan tes akhir, lembar observasi pembelajaran, alat pendukung pembelajaran (Laptop dan LCD), dan alat perekam video yang akan digunakan pada tahap pelaksanaan. b. Tahap Pelaksanaan (Do) Tahap ini guru model menerapkan RPP dengan model pembelajaran kooperatif tipe STAD yang telah dihasilkan pada tahap perencanaan sebagai berikut: 1. Kegiatan pembelajaran diawali dengan mengucapkan salam dan membuka kegiatan pembelajaran, meminta siswa untuk berdo’a serta mendata kehadiran siswa. Penyampaian tujuan pembelajaran. Kemudian siswa diberikan suatu contoh aplikasi turunan fungsi dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini dimaksudkan untuk membangkitkan motivasi siswa terhadap materi yang akan dipelajari. Setelah pemberian motivasi, guru mengecek materi prasyarat kepada siswa dengan melakukan tanya jawab kepada siswa. Guru juga menyampaikan model pembelajaran yang akan digunakan dalam pembelajaran. 2. Guru memulai kegiatan inti ini dengan memberi tes awal. Dengan bantuan LCD untuk power poin, guru menampilkan materi fungsi turunan secara garis besar dan contoh berupa mengajukan permasalahan kepada siswa, tentang bagaimana siswa mengaplikasikan rumus dan menghitung laju perubahan. Guru memberi kesempatan kepada siswa menyelesaikan permasalahan tesebut dengan cara mereka sendiri secara individu. Kemudian siswa diminta membentuk kelompok terdiri dari 4-5 orang yang sebelumnya sudah dibetuk berdasarkan siswa yang berkemampuan rendah, sedang dan tinggi. Guru membagi Lembar Kerja Kelas (LKS) yang berisi tugas untuk dikerjakan siswa pada setiap kelompok, kemudian didiskusikan antara anggota kelompok dalam menyelesaikan permasalahan yang terdapat di LKS tersebut. Guru berkeliling mengontrol dan melakukan bimbingan ke setiap kelompok. Setelah selesai berdiskusi, guru meminta salah satu perwakilan kelompok untuk mempresentasikan hasil diskusi LKS nya didepan kelas, sehingga terjadi diskusi kelas. Setelah selesai presentasi, guru 1126
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
bersama siswa menyimpulkan hasil dari LKS dan pembelajaran yang telah di laksanakan. Guru memberikan tes akhir. Hasil dari tes awal dan tes akhir ditampilkan didepan untuk memperlihatkan skor kemajuan dalam menentukan kelompok terbaik dan memberikan penghargaan. 3. Guru memberi umpan balik kepada siswa untuk mengulang kembali hasil kesimpulan pembelajaran. Guru memberikan kata-kata pujian kepada siswa atas keaktifan siswa, dan memberikan tugas rumah kepada siswa secara individu. Kemudiann ditutup dengn do’a dan salam. c. Tahap Refleksi (See) Setelah pembelajaran selesai, maka dilakukan refleksi atas jalannya pembelajaran dikelas. Observer dan guru model membahas kelebihan dan kekurangan yang terjadi selama pembelajaran berlangsung. Pada waktu open Lesson Study siklus 1, siswa yang hadir sebanyak 25 orang. Hasil refleksi (see) pada siklus 1 menunjukan siswa sudah aktif mengikuti pembelajaran, pembelajaran terasa lebih hidup serta siswa terlatih untuk berbicara di forum diskusi. Selama pembelajaran berlangsung terlihat karakter dari masing-masing siswa yang teramati secara kualitatif. Adapun waktu pembelajaran yang digunakan pada siklus I adalah 90 menit (2 x @ 45 menit). Berdasarkan hasil refleksi terhadap tindakan yang telah dilakukan pada siklus 1, pada siklus berikutnya perlu ada perbaikan dalam kegiatan pembelajaran selanjutnya, yaitu sebagai berikut: 1. Guru model hendaknya lebih banyak memberikan kesempatan kepada siswa dalam memberikan pendapat ketika menjawab pertanyaan-pertanyaan yang muncul dalam pembelajaran 2. Pada saat tes awal karakter jujur dan percaya diri harus dioptimalkan 3. Keterlibatan siswa dalam diskusi kelompok yang dilanjutkan dengan kegiatan presentasi masih terlihat belum maksimal, sehingga diperlukan motivasi untuk lebih mengoptimalkan kemampuan siswa dalam hal kerjasama dan keaktifan 4. Penarikan kesimpulan masih didominasi guru model, sehingga perlu dioptimalkan agar siswa lebih aktif pada kegiatan menyimpulkan pembelajaran. Siklus II a. Tahap Perencanaan (Plan) Pada fase perencanaan siklus II merupakan kelanjutan dari siklus I, karena pembelajaran siklus I belum maksimal. Perencanaan pada siklus II mengacu pada hasil refleksi siklus I yang berupa rencana-rencana perbaikan dengan tujuan meningkatkan kualitas pembelajaran dapat tercapai secara maksimal. Dengan harapan guru lebih banyak memberikan kesempatan pada siswa untuk memberikan pendapat, siswa lebih jujur dan percaya diri ketika mengerjakan soal tes, semua siswa terlibat aktif dalam diskusi kelompok dan diskusi kelas ketika salah satu kelompok presentasi hasil diskusi, serta siswa lebih aktif terlibat ketika membuat kesimpualan akhir. Sehingga siswa mendapatkan pengalaman belajar yang menyenangkan, aktif, dan inovatif. b. Tahap Pelaksanaan (Do) Tahap ini guru model menerapkan RPP dengan model pembelajaran koopertif tipe STAD yang telah dihasilkan pada tahap perencanaan perbaikan dari siklus I sebagai berikut: 1. Kegiatan pembelajaran diawali dengan mengucapkan salam dan membuka kegiatan pembelajaran, meminta siswa untuk berdo’a serta mendata kehadiran siswa. Penyampaian tujuan pembelajaran. Kemudian siswa diberikan suatu contoh aplikasi turunan fungsi dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini dimaksudkan untuk membangkitkan motivasi siswa terhadap materi yang akan dipelajari. Setelah pemberian motivasi, guru mengecek materi prasyarat kepada siswa dengan melakukan tanya jawab kepada siswa. Guru juga menyampaikan model pembelajaran yang akan digunakan dalam pembelajaran. 2. Guru memulai kegiatan inti ini dengan memberi tes awal. Dengan bantuan LCD untuk power poin, guru menampilkan materi fungsi turunan secara garis besar dan contoh berupa mengajukan permasalahan kepada siswa, tentang bagaimana siswa mengaplikasikan rumus dan menghitung laju perubahan. Guru memberi kesempatan kepada siswa menyelesaikan permasalahan tesebut dengan cara mereka sendiri secara individu. Kemudian siswa diminta membentuk kelompok terdiri dari 4-5 orang yang sebelumnya sudah dibetuk berdasarkan siswa yang berkemampuan rendah, sedang dan 1127
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
tinggi. Guru membagi Lembar Kerja Kelas (LKS) yang berisi tugas untuk dikerjakan siswa pada setiap kelompok, kemudian didiskusikan antara anggota kelompok dalam menyelesaikan permasalahan yang terdapat di LKS tersebut. Guru berkeliling mengontrol dan melakukan bimbingan ke setiap kelompok. Setelah selesai berdiskusi, guru meminta salah satu perwakilan kelompok untuk mempresentasikan hasil diskusi LKS nya didepan kelas, sehingga terjadi diskusi kelas. Setelah selesai presentasi, guru bersama siswa menyimpulkan hasil dari LKS dan pembelajaran yang telah di laksanakan. Guru memberikan tes akhir. Hasil dari tes awal dan tes akhir ditampilkan didepan untuk memperlihatkan skor kemajuan dalam menentukan kelompok terbaik dan memberikan penghargaan. 3. Guru memberi umpan balik kepada siswa untuk mengulang kembali hasil kesimpulan pembelajaran. Guru memberikan kata-kata pujian kepada siswa atas keaktifan siswa, dan memberikan tugas rumah kepada siswa secara individu. Kemudiann ditutup dengan do’a dan salam. c. Tahap Refleksi (See) Setelah pembelajaran selesai di siklus II, maka dilakukan refleksi atas jalannya pembelajaran dikelas. Observer dan guru model membahas kelebihan dan kekurangan yang terjadi selama pembelajaran berlangsung. Pada waktu open Lesson Study siklus II, siswa yang hadir sebnyak 25 orang. Hasil refleksi (see) pada siklus II menunjukan peningkatan yang sangat signifikan, dimana hasil terlihat jelas bahwa siswa sangat aktif mengikuti pembelajaran, pembelajaran lebih hidup serta siswa aktif berbicara di forum diskusi, dan waktu pembelajaran yang digunakan pada siklus II ini lebih singkat sekitar 70 menit. Berdasarkan hasil refleksi terhadap tindakan yang telah dilakukan pada siklus II, sebagai berikut: 1. Tanpa diminta terkebih dahulu, siswa secara aktif berani memberikan pendapat ketika guru model memberikan pertanyaan-pertanyaan 2. Pada tes awal dan tes akhir seluruh siswa mengerjakan soal secara individu secara maksimal 3. Keterlibatan siswa dalam diskusi kelompok yang dilanjutkan dengan kegiatan presentasi terlihat aktif dan berjalan maksimal. 4. Siswa sangat aktif pada kegiatan menyimpulkan pembelajaran. Pembahasan Siklus I Setelah Open Lesson dan refleksi selesai, selanjutnya diberikan analisis berdasarkan hasil pengamatan tim Lesson Study yang telah dilakukan yaitu berupa hasil pengamatan dan hasil pembelajaran. Pada siklus I, dari 25 siswa yang mengikuti pembelajaran, dilakukan tes awal dan diperoleh hasil yang mendapatkan nilai diatas KKM = 70 yaitu sebanyak 16 siswa dan nilai dibawah KKM sebanyak 9 siswa. Setelah mengikuti pembelajaran dan dilakukan tes akhir diperoleh hasil yang mendapatkan nilai diatas KKM = 70 yaitu sebanyak 21 orang dan nilai dibawah KKM sebanyak 4 siswa. Hal ini terlihat bahwa aktivitas siswa dan hasil pemahaman siswa meningkat setelah mereka mendapatkan pembelajaran dan diskusi. Berikut ini disajikan dalam tabel hasil pengamatan kegiatan pembelajaran dan pembentukan karakter siswa dalam pembelajaran siklus I: Tabel 1. Hasil pengamatan aktivitas siswa dalam pembelajaran siklus I Siklus I No Aspek Pengamatan Jumlah Siswa Jumlah (%) 1 Interaksi siswa dengan siswa 25 100% 2 Interaksi siswa dengan guru model 16 64% 25 3 Interaksi siswa dengan sumber belajar (LKK) 25 100% 4 Siswa pasif 2 8,00% Tabel 2. Hasil diskusi kerja kelompok siklus I Kelompok Nilai 1 2 3 4 Kerjasama √ √ √ √
1128
5
6 √
√
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
Tanggung jawab Kreatif Teliti
√ √ √
√ √ -
√ √ √
√ √
√ √ √
-
√ √ -
Tabel 3. Hasil tes awal dan tes akhir siklus I Siklus 1 Ketuntasan Tes awal (%) Tes Akhir (%) Tidak Tuntas 36% 16% Tuntas 64% 84% Tabel 4. Poin kemajuan dan penetapan kelompok mendapatkan penghargaan siklus I Kelompok Jumlah Skor Kemajuan Anggota Kelompok Penghargaan 1 19 Terbaik 2 2 16 3 24 Terbaik 1 4 15 5 17 Terbaik 3 6 16 -
Siklus II Pada siklus II dilakukan analisis berdasarkan hasil pengamatan tim Lesson Study yang telah dilakukan yaitu berupa hasil pengamatan dan hasil pembelajaran. Diperoleh bahwa dari 25 siswa yang mengikuti pembelajaran, dilakukan tes awal dan diperoleh hasil yang mendapatkan nilai diatas KKM = 70 yaitu sebanyak 21 siswa dan nilai dibawah KKM sebanyak 4 siswa. Setelah mengikuti pembelajaran dan dilakukan tes akhir diperoleh hasil yang mendapatkan nilai diatas KKM = 70 yaitu sebanyak 25 orang. Hal ini terlihat bahwa aktivitas siswa dan hasil pemahaman siswa meningkat ketika mereka mendapatkan pembelajaran dan diskusi. Berikut ini disajikan dalam tabel hasil pengamatan kegiatan pembelajaran dan pembentukan karakter siswa dalam pembelajaran siklus II: Tabel 5. Hasil pengamatan aktivitas siswa dalam pembelajaran siklus II Siklus I No Aspek Pengamatan Jumlah Siswa Jumlah (%) 1 Interaksi siswa dengan siswa 25 100% 2 Interaksi siswa dengan guru model 21 84% 25 3 Interaksi siswa dengan Sumber Belajar (LKK) 25 100% 4 Siswa pasif 2 8,00% Tabel 6. Hasil diskusi kerja kelompok siklus II Kelompok Nilai 1 2 3 4 Kerjasama √ √ √ √ Tanggung jawab √ √ √ √ Kreatif √ √ √ √ Teliti √ √ √ √ Tabel 7. Hasil tes awal dan tes akhir siklus II Siklus 1 Ketuntasan Tes awal (%) Tidak Tuntas 16% Tuntas 84%
5
6 √ √ √ √
√ √ √ √
Tes Akhir (%) 0% 100%
Tabel 8. Poin kemajuan dan penetapan kelompok mendapatkan penghargaan siklus II Kelompok Jumlah Skor Kemajuan Anggota Kelompok Penghargaan 1 22 Terbaik 3 2 27 Terbaik 1 3 23 Terbaik 2 4 19 -
1129
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
5 6
21 21
-
Berdasarkan tabel diatas, terlihat bahwa dari siklus I ke siklus II secara umum telah terjadi peningkatan kualitas pembelajaran pada turunan fungsi. Kenyataan ini menunjukan bahwa aktivitas siswa sangat aktif dan hasil pembelajaran berdampak terhadap pemahaman siswa lebih meningkat. Perilaku saat diskusi kelompok semakin kompak antara anggota kelompok dan presentasi yang diberikan kelompok semakin baik dan interaktif. Oleh karena itu, dalam siklus II dapat dikatakan bahwa pembelajaran yang didominasi oleh guru model, sudah mulai bergeser ke dua arah yaitu antara guru model dan siswa, dimana siswa jauh lebih aktif. Sehingga pembentukan karakter siswa pun mengalami perubahan menjadi lebih baik. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Berdasarkan uraian yang dikemukakan diatas, dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut: 1. Lesson study merupakan salah satu model pembinaan profesi pendidik melalui pengkajian pembelajaran secara kolaboratif dan berkelanjutan berlandaskan prinsip-prinsip kolegalitas dan mutual learning untuk membangun komunitas belajar. Dengan demikian Lesson study bukan metode atau strategi pembelajaran tetapi kegiatan Lesson study dapat menerapakan berbagai metode/strategi pembelajaran yang sesuai dengan situasi, kondisi, dan permasalahan yang dihadapi guru. Lesson study dibagi kedalam tiga langkah sederhana, yakni perencanaan (plan), pelaksanaan (do), dan refleksi (see). 2. Aktivitas dan pemahaman matematika siswa kelas XI IPA SMA Negeri 1 Kelumpang Hulu dapat ditingkatkan dengan mengimplementasikan pemebelajaran kooperatif tipe STAD berbasis Project Lesson Study. 3. Peningkatan aktivitas dan hasil pemahaman dapat dilihat dari indikator-indikator seperti aktivitas siswa mengikuti pembelajaran meningkat terutama dalam diskusi kelompok dan diskusi kelas, dan hasil siklus 1 dari tes awal 64% tuntas setelah mendapatkan tindakan melalui tes akhir menjadi 84%. Sedangkan pada siklus 2 dari 84% tuntas setelah mendapatkan tindakan melalui tes akhir menjadi 100% Saran Berdasarkan tinjauan yang dikemukakan diatas dan simpulan yang dapat ditarik, hal yang disarankan yakni: 1. Untuk meningkatkan profesionalisme guru di sekolah dapat dilakukan dengan menerapkan Lesson study. 2. Untuk mebantu tercapainya tujuan Lesson study, sebaiknya dilanjutkan dalam kegiatan penelitian lapangan sebagai ajang penerapan teori dan membantu terwujudnya kegiatan pembelajaran yang lebih memuaskan, khususnya pada mata pelajaran matematika. DAFTAR RUJUKAN Bean, John C , 2011. The Use of Guided Reflective Journals in Clinical Nursing Courses. The Internet Journal of Allied Health Sciences and Practice. (2011): 28-39. http://www.deakin.edu.au.pdf. Diunduh 5 Mei 2013. Depdiknas. 2003. Kurikulum 2004 Standar Kompetensi Sekolah Dasar. Jakarta: Depdiknas Duffin, J.M. & Simpson, A.P. 2000. A Search for understanding. Journal of Mathematical Behavior. 18(4): 415-427 Edy, suprapto. 2013. Implementasi pendidikan karakter berbasis Lesson study pada mata kuliah analisis vector. JEMS (Jurnal Edukasi Matematika dan Sains) Vol. 1 No. 1, Maret 2013 -- ISSN : 2337-9049 Falah, T. 2012. Peningkatan Aktivitas Peserta Didik Dengan Model Tipe STAD Pembelajaran Matematika Sdn 09 Pontianak Utara. http://jurnal.untan.ac.id/index.php/jpdpb/article/viewFile/1228/pdf Hamdani, dkk. 2011. Implementasi Lesson Study Untuk Meningkatkan Kualitas Perkuliahan Fisika Inti. Jurnal pendidikan matematika dan IPA. Vol. 2. No. 1januari 2011:40-49 Heruman. 2008. Kurikulum dan Pembelajaran. Jakarta: Bumi Aksara
1130
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
Kartono. 2008. Penerapan Learning Journal Pada Model Pembelajaran Berbasis Masalah Untuk Meningkatkan Hasil Belajar Materi Pokok Segi Empat. Jurnal penelitian. (Online) http://repository.upi.edu.chapter2.pdf. Lukitasari, M. 2012. Penggunaan Jurnal Belajar Berbasis Lesson Study Untuk Identifikasi Proses Berpikir Dan Pemahaman Konsep Mahasiswa Di Perkuliahan Biologi Sel. Email:
[email protected] Murtiani, Ahmad Fauzan, dan Ratna Wulan. 2012. Penerapan Pendekatan Contextual Teaching And Learning(CTL) Berbasis Lesson Study Dalam Meningkatkan Kualitas Pembelajaran Fisika Di SMP Negeri Kota Padang. Jurnal Penelitian Pembelajaran Fisika 1(2012) 1-21. http://ejournal.unp.ac.id. Rian Anggara dan Umi Chotimah. 2012. Penerapan Lesson Study Berbasis Musyawarah Guru Mata Pelajaran (Mgmp) Terhadap Peningkatan Kompetensi Profesional Guru Pkn Smp Se-Kabupaten Ogan Ilir Jurnal Forum Sosial, Vol. V, No. 02, September 2012 Rodiyah Wahyuni,Endang Uliyanti dan Sri Buwono. 2012. Peningkatan aktivitas belajar menggunakan model kooperatif tipe STAD pembelajaran IPA kelas IV SDN 19. http://jurnal.untan.ac.id/index.php/jpdpb/article/viewFile/532/pdf Rukmini, Elisabeth. 2007. Pendekatan Metode Kolaboratif dalam Pembelajaran Kimia. Jurnal Kajian Teori dan Praktik Kependidikan. 34(2)135-143. Rustono, W.S. (2008). Meningkatkan Kemampuan Mahasiswa Menerapkan Strategi Pembelajaran Melalui Lesson Study Di Sekolah Dasar. Jurnal Pendidikan Dasar. No. 10. Oktober 2008. Sadia, I Wayan. (2008). Lesson Study. (Suatu Strategi Peningkatan Profesioalisme Guru). Jurnal Pendidikan dan Pengajaran UNDIKSHA. Edisi Khusus TH.XXXXI. Mei. 2008 Safrudiannur dan Suriaty. 2008.Penerapan Belajar Kelompokdalam Tahapan Lesson Study pada Materi Teknik Integral.Didaktika. Jurnal Pendidikan Pengembangan Kurikulum danTeknologi Pembelajaran, 9(3): 258-268. Saito, E. 2005. Changing Lessons, Changing Learning: Case Study of Piloting Activities Under IMSTEP. Prosiding Seminar Nasional MIPA dan Pembelajarannya & Exchange Experience of IMSTEP. Malang Sigit, Nugroho. (2011). Model Lesson Study untuk Peningkatan Prestasi Mahasiswa dalamProses Pembelajaran pada Perkuliahan Kinesiologi. Cakrawala Pendidikan,Jurnal Ilmiah Pendidikan Februari 2011, Th XXX, No. 1. Yogyakarta : Kerjasama ISPI-DIY dengan LPM UNY Slavin. R. E. 2008. Cooperative Learning. Bandung: Nusa Media Sri Wahyuni. 2013. Otimalisasi Pembelajaran Melalui Pelaksanaan Lesson Study. Jurnal Pendidikan Almuslim, Vol.I No.1 Agustus 2013 Subanji dan Isnandar. 2010. Meningkatkan Profesionalisme Guru Sekolah Dasar Melalui Teachers Quality Improvement Program (Teqip) Berbasis Lesson Study. J-TEQIP, Tahun 1, Nomor 1, November 2010. Sukidjo, Ali Muhson, Mustofa, dan Maimun Sholeh. 2013. Pengembangan Character Building Dengan Contextual Teaching Andlearning Dalam Pembelajaran Perpajakan Di Jurusan Pendidikanekonomi Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Yogyakarta. Jurnal Pendidikan, Volume 22, Nomor 1, Maret 2013 Susilo, H. 2013. Lesson Study sebagai Sarana Meningkatkan Kompetensi Pendidik Sutarni, dkk. 2013. A Lesson Study as a Development Model of Professional Teachers. International Journal of Education ISSN 1948-5476 2013, Vol. 5, No. 2 Suparlan, 2010. Lesson Study dan Peningkatan Kompetensi Guru. Artikel Pendidikan Suryadi, D dan Suratno, T. 2009. School Improvement Program: A Lesson Study Approach. Buku Panduan, Sekolah Avicenna-Medco Foundation. Trimo. 2010. Peningkatan Kompetensi Profesional Guru Melalui Lesson Study Berbasis Penelitian Tindakan Kelas. Seminar Nasional Lesson Study “Upaya Meningkatkan Kualitas Pembelajaran Melalui Lesson Study” Widarti, H. R. 2012. Study Tentang Pelaksanaa Lesson Studi Di SMA Brawijaya Smart School Malang Semester Genap 2010-2011. Prosiding Seminar Nasional Kimia Unesa 2012 – ISBN : 978-979-028-550-7 Surabaya, 25 Pebruari 2012 1131
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
Wood, K. 2013. A Design for teacher education based on a systematic framework of variation to link teaching with learners’ ways of experiencing the object of learning. International Journal for Lesson and Learning Studies. 2(1): 56-71.
PEMBELAJARAN DENGAN PENDEKATAN OPEN-ENDED BERSETTING KOOPERATIF UNTUK MEMBANGUN KREATIVITAS MATEMATIKA SISWA KELAS X SMAN I KOTABARU Nor Laila SMAN I Kotabaru, Kalimantan Selatan
[email protected] Abstrak: Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan yaitu: (1) rancangan pembelajaran, (2) langkah-langkah pembelajaran, dan (3) hasil belajar siswa dengan pembelajaran dengan pendekatan open-ended bersetting kooperatif untuk meningkatkan kreativitas matematika siswa SMAN I Kotabaru. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian tindakan kelas (PTK). Hasil penelitian menunjukkan bahwa pembelajaran dengan pendekatan open-ended bersetting kooperatif dapat membangun kreativitas matematika siswa yang terdiri dari 6 (enam) tahap, yaitu: (1) Orientasi, (2) pembekalan materi, (3) penyajian masalah open-ended, (4) penyelesaian masalah openended, (5) diskusi kelompok, dan (6) presentasi. Pada tahap diskusi kelompok peneliti melakukan modifikasi dengan memasangkan siswa sebelum masuk kelompok kecil, siswa dilibatkan saling mengoreksi, menanggapi jawaban dan menuliskan kesulitan masingmasing pasangan. Pada tahap presentasi siswa yang menjelaskan ke depan kelas dipilih secara acak dari kelompok yang dipilih secara acak juga, selain itu sebelum presentasi 2 kelompok menampilkan yel-yel kelompok. Rancangan dalam membuat LKS memuat masalah open-ended yang disesuaikan dengan pengetahuan siswa. Sehingga dapat disimpulkan bahwa rancangan dan langkah-langkah pada pendekatan open-ended bersetting kooperatif dapat membangun kreativitas matematika siswa SMAN I Kotabaru. Kata Kunci : Pendekatan Open-Ended, Kooperatif, Kreativitas.
Sebagian besar siswa berpendapat matematika itu adalah pelajaran yang sulit. Sering ditemukan permasalahan-permasalahan siswa dalam memahami suatu materi yang diterimanya. Siswa hanya menghafal proses penyelesaian permasalahan matematika sehingga siswa hanya bisa menyelesaikan soal yang sama dengan yang dicontohkan guru. Ketika guru mengubah sedikit saja sebuah permasalahan matematika, sebagian besar siswa tidak bisa menjawab. Beberapa siswa menganggap matematika terlalu banyak rumus, apabila tidak teliti sedikit saja maka tidak menemukan jawaban benar. Berdasarkan observasi awal yang dilakukan pada bulan Oktober 2013 terhadap siswa kelas X dan guru di SMAN I Kotabaru didapatkan data hasil belajar dan hasil wawancara. Dari data hasil belajar diperoleh informasi bahwa hasil rata-rata kelas tugas harian matematika adalah 55,8. Sedangkan rata-rata kelas pada saat ulangan harian matematika 58,02. Hasil belajar ini jauh dari KKM KD yang ditetapkan oleh sekolah yaitu 70. Dari hasil wawancara kepada siswa diperoleh informasi bahwa 83,33% siswa puas dengan satu cara atau jawaban dalam menyelesaikan masalah matematika. Selain itu, 58,33% siswa menyatakan lebih memilih menunggu siswa yang lebih pintar dalam menyelesaikan masalah matematika daripada berpikir terlebih dahulu pada kegiatan kelompok. Kemudian dari hasil wawancara kepada guru diperoleh informasi bahwa guru mengalami kendala-kendala dalam proses pembelajaran yaitu: (1) sebagian besar siswa tidak menguasai materi yang menjadi prasyarat, (2) siswa tidak menguasai operasi hitung dasar, (3) siswa sering tidak teliti dalam menyelesaikan soal, (4) siswa mempunyai motivasi yang rendah dalam belajar dan (5) siswa tidak bisa mengerjakan soal yang dirubah sedikit dengan contoh yang dijelaskan. Pengalaman peneliti sebagai guru bidang studi matematika di SMAN I Kotabaru mengamati bahwa pada umumnya siswa tidak dilatih untuk mengkonstruksi pengetahuannya 1132
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
sendiri dan berpikir kreatif, biasanya mereka hanya menghafal rumus. Model pembelajaran yang sering digunakan adalah pembelajaran langsung, dimana pembelajaran berpusat pada guru. Hal ini disebabkan karena guru mengejar target kurikulum, guru merasa kurang percaya diri untuk menggunakan metode lain dan kurangnya informasi. Kemudian kebiasaan siawa pada waktu senggang di sekolah, kebanyakan siswa hanya duduk-duduk mengobrol saja di depan maupun di dalam kelas. Mereka tidak memanfaatkannya untuk belajar atau membaca. kebiasaan ini juga mempengaruhi siswa dalam belajar matematika. Mewborn (2003) dalam (Goos. at all, 2007 ) menjelaskan bahwa “from a multitude of research studies that show how students’ mathematics learning and their dispositions towards mathematics are influenced (for better or for worse) by the teaching that they experience at school”. Maksudnya adalah kajian-kajian penelitian terdahulu menunjukkan bahwa bagaimana siswa belajar matematika dan cara pandang mereka yang berbeda terhadap matematika itu sendiri sangatlah dipengaruhi oleh pembelajaran yang dialami oleh siswa tersebut di sekolah, siswa bisa menjadi lebih baik atau menjadi lebih buruk dalam penguasaan matematika. Pembelajaran yang dapat mengarahkan siswa menjadi lebih baik dalam penguasaan matematika adalah pembelajaran yang mengaktifkan siswa. Pembelajaran yang mengaktifkan siswa diantaranya yaitu, REACT, Inquiri, Pendekatan Open-Ended, Problem Solving, Problem Posing dan lain-lain. Pendekatan open-ended adalah salah satu alternatif pembelajaran yang mengaktifkan dan melatih siswa berpikir kreatif. Subanji (2013 : 139-140) menyatakan open-ended merupakan pendekatan pembelajaran yang dilakukan dengan menyajikan masalah yang memiliki jawaban tidak tunggal atau cara penyelesaian tidak tunggal. Jawaban atau proses tidak tunggal tersebut dapat mendorong siswa untuk berpikir kreatif, tidak sekedar mengingat prosedur baku dalam menyelesaikan suatu masalah. Pendekatan open-ended memberi kesempatan siswa untuk mengoptimalkan pola pikir sesuai kemampuan yang dimiliki siswa. Penelitian yang terkait dengan pendekatan open-ended telah banyak dilakukan antara lain, Ayu (2011) menyatakan penerapan strategi open-ended bersetting kooperatif dapat meningkatkan pemahaman dan kreativitas Matematika. Kelebihan penerapan strategi open-ended dalam penelitian Ayu antara lain, (1) dapat membuat siswa berpartisipasi aktif , (2) mengekspresikan ide-ide, (3) siswa memiliki kesempatan untuk melakukan kolaborasi, (4) siswa mendapatkan bantuan dari orang yang lebih mampu untuk menyelesaikan permasalahan yang ada, dan (4) memberikan kesempatan kepada siswa memperoleh pengalaman sebanyak mungkin berdasarkan gagasan dari siswa lain. Penelitian lain yang terkait dengan pendekatan openended juga dilakukan oleh Furnaningtias (2013) yang dalam penelitiannya, memperlihatkan terbangunnya kemampuan berpikir kreatif matematika siswa kelas VIII 5 SMP Negeri 5 Penajam Pasir Utara dengan menggunakan pendekatan open-ended. Kreativitas berhubungan dengan berfikir kreatif. Murdock dan Puccio (dalam Izzati, 2010) menyatakan bahwa berfikir kreatif dan kreativitas merupakan dua hal yang tidak identik, namun kedua istilah itu berelasi secara konseptual. Kreativitas merupakan produk berfikir kreatif dari individu. Peningkatan kreativitas dari individu sejalan dengan peningkatan proses berfikir kreatifnya. Hal ini selaras dengan pendapat Pehkonen (1997: 63) menyatakan bahwa kreativitas merupakan produk berfikir kreatif seseorang. Sedangkan berfikir kreatif merupakan suatu proses yang digunakan ketika kita memunculkan suatu ide baru. Indikator berpikir kreatif siswa dalam menemukan dan menyelesaikan masalah matematika menurut Krulik & Rudnick (1995) yaitu: (1) menghasilkan ide-ide (generating ideas) yang dalam penelitian ini adalah menghasilkan lebih dari satu atau cara penyelesaian benar, (2) Menerapkan ide (Applying ideas) dalam penelitian ini adalah menerapkan kemampuan berpikir pada situasi riil. Locke (2013) mengemukakan “there factors that are pivotal in the development of a student’s ability to be creative, are (1) knowledge and a mastery of that knowledge, (2 ) motivation from within the student and within the classroom, and (3) the ability to interrelate this information and explore cross disciplinary relationships”. Berdasarkan pada pernyataan pernyataan tersebut ada tiga faktor penting dalam mengembangkan kemampuan siswa untuk menjadi kreatif yaitu: (1) pengetahuan dan penguasaan pengetahuan tersebut, (2) motivasi dari dalam diri siswa dan dalam kelas, (2) kemampuan untuk saling menghubungkan informasi dan cara mengeksplorasi hubungan disiplin ilmu. Senada dengan gagasan Locke, Sharp (2004) mengemukakan, “teachers and other early childhood workers can encourage creativity by behaviours such as: asking open-ended question, encouraging experimentation and persistence, praising children who provide unexpected answers”. Berdasarkan pada pernyataan tersebut guru dapat 1133
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
mendorong kreativitas siswa dengan perilaku seperti: mengajukan pertanyaan open-ended, mendorong eksperimentasi, ketekunan dan memuji siswa yang memberikan jawaban yang tak terduga. Ada beberapa faktor pendukung untuk meningkatkan kreativitas siswa di sekolah, seperti pendapat Sahlberg (2011), menyatakan “only rarely is one individual able to come up with original ideas that have value without interacting and influence from other people”. Berdasarkan pernyataan tersebut salah satu faktornya adalah kolaborasi di sekolah dan pembelajaran kooperatif di kelas. Jarang satu individu bisa memunculkan ide-ide kreatif yang memiliki nilai asli tanpa interaksi dan pengaruh orang lain. Pernyataan tersebut juga didukung oleh pendapat Vygotsky (dalam Kennedy dkk, 2008: 50) mengemukakan , “learning is enhanced as adults and peers provide language and feedback while learners process experiences”. Berdasarkan definisi tersebut pembelajaran adalah aktivitas sosial bersama, pembelajaran ditingkat orang dewasa dan teman sebaya memberikan bahasa dan umpan balik, pada saat siswa mengalami proses pengalaman. Pembelajaran kooperatif adalah pembelajaran yang melatih siswa untuk belajar bekerja sama antara satu dengan yang lain, melatih siswa berkomunikasi dalam belajar, saling menghargai pendapat orang lain. Pembelajaran dengan pendekatan open-ended yang didukung dengan kooperatif. Pembelajaran ini aktif melibatkan interaksi berupa diskusi, presentasi dengan teman lain. Vygotsky dalam (Suprijono, 2009: 55) menyatakan keterlibatan orang lain membuka kesempatan bagi mereka mengevaluasi dan memperbaiki pemahaman. Dengan cara ini, pengalaman dalam konteks sosial memberikan mekanisme penting untuk perkembangan pemikiran siswa. Dalam penelitian Ayu (2011) tentang penerapan strategi open-ended menemui beberapa kendala yaitu kesulitan dalam menyiapkan permasalahan yang bermakna dan siswa yang pandai cemas dengan jawabannya. Sedangkan pada penelitian Furnaningtias (2013) juga menemui beberapa kendala salah satunya kekurangan waktu pada pembelajaran dengan pendekatan open-ended, ketidaktercapaian penguasaan bahan ajar siswa dalam pembelajaran dengan pendekatan open-ended . Hal ini dikarenakan siswa belum terbiasa dengan penyajian soal terbuka. Selain itu, dalam diskusi kelompok pun siswa kurang percaya diri dalam memberikan tanggapan kepada kelompok yang persentasi, jika ada jawaban berbeda dengan jawaban yang diperolehnya. Untuk mengantisipasi kendala-kendala yang ditemui peneliti terdahulu maka pada penelitian ini memanajemen waktu dalam tahap orientasi siswa benarbenar dipersiapkan lebih mengenal permasalahan open-ended. Pada tahap pembekalan materi siswa diajak menemukan sendiri konsep dimana guru membantu mengarahkan siswa. Pada tahap penyajian masalah open-ended berisi motivasi untuk siswa, petunjuk pengerjaan dan permasalahan open-ended. Pada tahap penyelesaian masalah individu siswa diberi kesempatan menyelesaikan masalah open-ended. Pada tahap penyelesaian masalah open-ended dalam kelompok siswa menyelesaikan permasalahan secara individu baru berdiskusi dalam kelompok. Hal ini dilakukan agar masing-masing siswa mempunyai bekal untuk didiskusikan dan menghindari siswa yang tidak berpartisispasi. Pada tahap presentasi hasil diskusi kelompok diwakili oleh salah satu siswa yang dipilih secara acak, tetapi apabila siswa mengalami kesulitan teman sekelompok boleh membantu. Selain itu, sebelum presentasi siswa menunjukkan yel-yel kelompok, hal ini bertujuan agar suasana kelas lebih menyenangkan. Dari uraian di atas, maka peneliti termotivasi untuk melakukan penelitian dengan judul “Pembelajaran dengan pendekatan Open-Ended bersetting kooperatif untuk membangun kreativitas matematika siswa kelas X SMAN 1 Kotabaru”. METODE Pada penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Menurut Creswell (2009: 1) ” penelitian kualitatif merupakan metode-metode untuk mengeksplorasi dan memahami makna. Contohnya seperti mengajukan pertanyaan dan prosedur-prosedur, mengumpulkan data yang spesifik dari para partisipan, menganalisis data secara induktif, berfokus terhadap makna individual dan menterjemahkan kompleksitas suatu persoalan. Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian tindakan kelas (PTK) atau classroom action research (CAR). Penelitian ini berawal dari permasalahan yang terjadi di kelas dan bertujuan memperbaiki kualitas pembelajaran di kelas. Dengan memperhatikan rumusan masalah dan tujuan penelitian maka karakteristik penelitian ini sesuai dengan ciri penelitian tindakan kelas. Arikunto (2010: 3) mengemukakan penelitian tindakan kelas yaitu (1) penelitian, (2) tindakan, (3) kelas. Hal ini 1134
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
dapat disimpulkan bahwa penelitian tindakan kelas merupakan suatu pencermatan terhadap kegiatan belajar berupa sebuah tindakan, yang sengaja dimunculkan dan terjadi dalam sebuah kelas secara bersama. Suyadi (2012: 22-23) mengemukakan PTK adalah pencermatan yang dilakukan oleh guru didalam kelas melalui refleksi diri dan bertujuan untuk melakukan perbaikan diberbagai aspek pembelajaran. Subjek penelitian adalah siswa kelas X SMAN I Kotabaru. Objek penelitian merupakan keseluruhan proses dan hasil pembelajaran matematika dengan pendekatan open-ended yang bersetting kooperatif. Penelitian ini dilaksanakan di SMAN I Kotabaru pada bulan Maret 2014 sebanyak 2 siklus, dilakukan 4 kali pertemuan pada siklus I dan 4 kali pertemuan pada siklus II. Data pembelajaran open-ended diperoleh dari lembar observasi guru, lembar observasi siswa, bahan pendukung video kegiatan dan jurnal yang ditulis siswa. Data hasil kreativitas siswa diperoleh dari LKS pada tiap pertemuan. Sedangkan data hasil belajar siswa diperoleh dari tes akhir siklus. HASIL DAN PEMBAHASAN Pembahasan hasil penelitian dilakukan berdasarkan aspek-aspek yang menjadi permasalahan dalam penelitian. Aspek-aspek yang dimaksud adalah rancangan pembelajaran dengan pendekatan open-ended bersetting kooperatif, pembelajaran dengan pendekatan openended bersetting kooperatif, membangun kreativitas matematika siswa dan hasil belajar siswa melalui pembelajaran melalui pembelajaran dengan pendekatan open-ended bersetting kooperatif dan kendala-kendala penelitian. Materi yang digunakan pada penelitian ini adalah dimensi tiga yaitu kedudukan titik, garis, dan bidang dan jarak titik, garis, bidang. A. Pembelajaran dengan pendekatan Open-Ended bersetting koperatif 1. Orientasi Pembelajaran matematika yang dilakukan tidak selalu pada jam pertama atau pagi itu mempengaruhi kesiapan siswa dalam menerima pembelajaran. hal ini sesuai dengan pendapat Bugden (2012) bahwa untuk mencapai keberhasilan akademis ketika semua siswa sehat dan siap untuk belajar. Oleh karena itu guru haruslah melihat kondisi siswa sebelum menerima pembelajaran. Jika ditemukan siswa lesu pada awal pembelajaran maka guru harus memberi penyegaran berupa nyanyian atau rileksasi. Penyampaian tujuan pembelajaran dalam penelitian ini menjadikan siswa fokus pada tujuan yang perlu siswa capai. Hal ini sesuai dengan pendapat Ruseffendi (2005) yang menyatakan bahwa dengan terumusnya tujuan pembelajaran maka pembelajaran akan lebih terarah. Penyampaian tujuan pada penelitian ini dilakukan dengan menampilkan tujuan pada layar LCD. Hal ini dilakukan sebagai salah satu cara menghemat waktu pembelajaran. Memotivasi siswa dengan memberikan contoh aplikasi kehidupan sehari-hari yang berhubungan dengan materi dimensi tiga menambah motivasi siswa untuk mencapai tujuan pembelajaran. Hal ini sesuai pendapat Johnson (2000), guru mempunyai tanggung jawab untuk menyiapkan pembelajaran dan memaksimalkan potensi yang dimiliki siswa. Pada penelitian ini guru menyiapkan materi prasyarat dengan mengajukan pertanyaan, mengajak siswa membandingan suatu situasi. Selain itu pada pertemuan sebelumnya siswa diminta mengerjakan pekerjaan rumah yang berhubungan dengan materi prasyarat. Hal ini dilakukan selain untuk mengajak siswa belajar mengulang kembali materi yang menjadi prasyarat tetapi juga menghemat waktu pada saat pembelajaran. penguasaan materi prasyarat sangat mempengaruhi penerimaan siswa terhadap materi dimensi tiga. Hal ini sesuai dengan pendapat Winarni (2011) yang menyatakan bahwa jika guru tidak memperhatikan pengetahuan awal siswa akan mengalami kesulitan dalam mengikuti pembelajaran berikutnya. Guru menjelaskan langkah-langkah apa saja yang dilakukan pada pembelajaran dengan pendekatan open-ended dan aktivitas yang akan mereka lalui dalam mengerjakan LKS. Hal ini sesuai dengan pendapat Duckworth (2009) bahwa guru memberikan gambaran mengenai langkah-langkah kerja. 2. Pembekalan Materi Pada pembekalan materi pada penilitian ini melakukan aktivitas 1 dalam LKS, yang dimulai dengan menjawab pertanyaan LKS dan presentasi siswa. Siswa disajikan pertanyaanpertanyaan pada LKS yang mengarahkan siswa memahami materi pembelajaran selain itu siswa mengerjakan masalah open-ended. Hal ini bertujuan agar siswa aktif dan dapat mengkontruksi pengetahuannya sendiri melalui pertanyaan-pertanyaan. Hal ini sesuai dengan pendapat pannen 1135
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
dkk (2001: 40) yang mengemukakan bahwa konstruktivisme mengutamakan keaktifan siswa dalam mengkonstruksikan pengetahuan berdasarkan interaksinya dalam pengalaman belajar yang diperoleh atau difasilitasi guru. 3. Penyajian Masalah Open-Ended dan Pengerjaan Masalah Open-Ended Tahap penyajian masalah open-ended dan pengerjaan masalah open-ended, siswa mengerjakan aktivitas 2 dan 3 dalam LKS. Pengerjaan ini dikerjakan secara individu yang bertujuan untuk membuat setiap anak berfikir karena dihadapkan pada sebuah masalah dan bagaimana cara penyelesaiannya. Penyajian masalah open-ended melatih siswa untuk menjawab masalah dengan caranya sendiri-sendiri. Ketika siswa disajikan masalah yang dirancang dengan jawaban tidak tunggal maka berfikir siswa akan bebas menentukan jawabannya, asalkan jawaban tersebut logis dan rasional. Seperti masalah dan jawaban siswa berikut. Gambarlah minimal 2 kubus PQRS.TUVW. Buatlah masing-masing kubus tersebut bidang segitiga dengan nama berbeda. Segitiga tersebut terbentuk dari 3 diagonal sisi kubus kemudian arsirlah bidang tersebut. Tentukan titik-titik sudut kubus yang terletak pada bidang segitiga dan di luar bidang segitiga! Jelaskan!
Gambar 5.1 Masalah yang mempunyai banyak jawaban
Begitu pula untuk masalah yang memiliki jawaban yang tunggal tetapi cara penyelesaiannya tidak tunggal, maka siswa dapat menyelesaikan dengan berbagai bentuk, yang penting proses penyelesaiannya logis dan rasional. Seperti masalah dan jawaban siswa berikut. Tentukan minimal dua cara penyelesaian mencari panjang jarak antara titik W terhadap titik Q!
Gambar 5.2 Masalah dengan banyak cara penyelesaian berbeda
Siswa mengerjakan aktivitas 2 dan 3 memerlukan waktu yang lebih lama. Pada aktivitas ini siswa dibantu alat peraga berupa kerangka kubus, kawat warna, karton yang dibentuk bidang segitiga dan bidang persegi. Alat peraga ini diberikan kepada siswa secara individu. Pada tahap ini siswa kesulitan dalam memahami masalah karena siswa tidak terbiasa menyelesaikan sebuah masalah. Oleh karena itu guru meminta siswa membaca masalah berkali-kali apabila masih tidak mengerti maksud dari masalah tersebut maka guru mengarahkan siswa dengan pertanyaanpertanyaan dengan memperagakan alat peraga agar membantu visualisai siswa. Siswa selalu disajikan masalah dengan diminta menjelasan melatih mereka terampil dalam menjelaskan jawaban yang mereka jawab dengan alasan. Siswa sudah bisa mengkomunikasikan jawaban yang mereka pilih walaupun tidak selalu benar jawabannya. 4. Diskusi Kelompok Pada tahap diskusi kelompok pada pembelajaran Open-Ended bersetting kooperatif pada penelitian ini adalah memasangkan siswa kemudian mengelompokkan dalam kelompok kecil. Pasangan siswa setiap pertemuan berubah. Pemilihan pasangannya pun tidak berdasarkan kemampuan siswa. Teknik pemasangannya dilakukan dengan memasangkan atar kolom atau baris. Pada tahap ini siswa saling mengkoreksi dan mengomentari pekerjaan pasangannya yang berfungsi memperbaiki pemahaman siswa tersebut. Hal ini sesuai dengan pendapat Vygotsky dalam (Suprijono, 2009:55) menyatakan keterlibatan orang lain membuka kesempatan bagi mereka mengevaluasi dan memperbaiki pemahaman. Kemudian menuliskan komentar pada 1136
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
lembar aktivitas 2 dan 3. Selain itu, pasangannya memberi tanda bintang 1 sampai 3 pada lembar aktivitas 4. Bintang satu jika hanya dapat menunjukkan, bintang dua jika ditambah dengan keterangan atau penjelasan, bintang tiga jika lengkap dengan alasan. Hal ini dilakukan agar siswa mempunyai bahan diskusi pada diskusi kelompok, siswa diajak terlibat dalam pengkoreksian walaupun tetap guru melakukan koreksi ulang, dengan berpasangan siswa lebih fokus diskusi dengan pasangannya. Karena pemasangan dilakukan secara acak maka kemungkinan terdapat pasangan yang mempunyai kemampuan rendah keduanya. Untuk mengatasi permasalahan tersebut guru meminta siswa yang tidak mengerti menuliskan pertanyaan atau bagian mana saja yang tidak mengerti. Pertanyaan tersebut sebagai bahan diskusi dengan teman kelompok atau bisa ditanyakan pada tahap presentasi kepada siswa lain atau guru. Anggota kelompok terdiri dari siswa berkemampuan tinggi, sedang dan rendah. Diskusi kelompok sangat membantu siswa dalam pengalaman belajar. Diskusi melatih siswa aktif bertanya maupun menjelaskan. Ini sesuai dengan pendapat Vygotsky dalam (Kennedy dkk, 2008:50) mengemukakan pembelajaran adalah aktvitas bersama, pembelajaran ditingkat orang dewasa dan teman sebaya memberikan bahasa dan umpan balik, pada saat siswa mengalami proses pengalaman. 5. Presentasi Kelompok Tahap presentasi kelompok terdiri dari penampilan yel-yel atau simbol kelompok dan presentasi kelompok. Seluruh siswa terlibat menilai penampilan yel-yel kelompok dengan cara mengisi bintang pada lembar aktivitas 4. Hal ini dimaksudkan untuk mengajari siswa saling menghargai penampilan kelompok lain dan salah satu cara menghindari siswa mengobrol dengan teman sekelompoknya. 6. Penutup Bersama siswa membuat kesimpulan, dengan cara member pertanyaan-pertanyaan untuk mengarahkan siswa menarik kesimpulan dari pembelajaran tersebut. Selain itu member tugas rumah yang merupakan prasyarat materi selanjutnya. Pembelajaran dengan pendekatan Open-Ended bersetting kooperatif pada penelitian ini dilaksanakan sesuai RPP yang telah divalidasi oleh dua validator. B. Kreativitas dan Hasil Belajar Siswa Pembelajaran mengenai pembelajaran dengan pendekatan Open-Endedbersetting kooperatif dan kreativitas matematika siswa telah banyak dilakukan. Diantaranya Ayu (2011) menyatakan penerapan strategi Open-ended bersetting kooperatif dapat meningkatkan pemahaman dan kreativitas matematika. Begitu juga dengan Furnaningtias (2013) yang dalam penelitiannya, memperlihatkan terbangunnya kemampuan berpikir kreatif matematika siswa kelas VIII 5 SMP Negeri 5 Penajam Pasir Utara dengan menggunakan pendekatan open-ended. Berdasarkan pernyataan di atas maka peneliti melakukan pembelajaran dengan pendekatan Open-Ended dengan harapan dapat membangun kreativitas matematika siswa. Indikator kreativitas siswa dalam penelitian ini mengacu pada pendapat Krulik dan Rudnick yaitu generating ideas dan applying ideas, dikarenakan dari indikator ini, peneliti dapat melihat kemampuan siswa di dalam menghasilkan ide-ide dan menerapkan ide sesuai dengan kemampuannya. Rata-rata kreativitas siswa pada siklus I didapatkan14,35% dan pada siklus II didapatkan 52,25%. Karena pada tindakan siklus II sudah mencapai kriteria keberhasilan yaitu 50% siswa memenuhi kriteria kreativitas sedang. Berdasarkan hasil analisis pada data hasil belajar, diketahui bahwa persentase siswa tuntas belajar pada tes akhir siklus I mencapai 62,86%. Persentase yang dicapai tersebut belum memenuhi kriteria keberhasilan. Sedangkan persentase siswa tuntas belajar pada tes akhir siklus II mencapai 74,29% , persentase siklus II ini lebih tinggi dari pada persentase siswa tuntas belajar pada tes akhir siklus I. Sesuai dengan kriteria keberhasilan yang ditentukan, maka pembelajaran pada siklus II dikatakan berhasil. C. Aktivitas Siswa dalam Pembelajaran dengan Pendekatan Open-Ended Bersetting Kooperatif Pada awal pelaksanaan pembelajaran dengan pendekatan Open-Ended bersetting kooperatif aktivitas siswa tergolong belum maksimal hal ini dikarenakan siswa masih melakukan penyesuaian dengan pembelajaran yang belum pernah terima sebelumnya. Namun dengan berjalannya proses pembelajaran, keaktifan siswa mulai tampak. Hal ini terlihat dari mulai banyaknya siswa yang aktif bertanya dan menjawab masalah terbuka yang diajukan oleh 1137
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
peneliti. Selain itu siswa mulai dapat mengkomunikasikan penjelasan dan alasan pada LKS dan saat presentasi. Berdasarkan hasil observasi aktivitas siswa pada pembelajaran oleh 2 observer adalah 2,96 pada pertemuan pertama, 3,29 pada pertemuan kedua, 3,27 pada pertemuan ketiga, 3,5 pada pertemuan keempat. Berdasarkan hasil rata-rata tersebut pertemuan pertama aktivitas siswa dalam kategori sedang, sedangkan pertemuan kedua, ketiga dan keempat dalam kategori tinggi. Sedangkan pada siklus II berada dalam kategori tinggi yaitu 3,58 pada pertemuan pertama, 3,62 pada pertemuan kedua, 3,65 pada pertemuan ketiga, 3,73 pada pertemuan keempat. Dari hasil jurnal yang ditulis siswa mengungkapkan bahwa mereka merasa senang dengan pembelajaran dengan pendekatan Open-Ended bersetting kooperatif. Hal ini dikarenakan mereka bebas berkreasi dalam menjawab masalah yang banyak selesaian. Belajar berinteraksi dengan teman, mereka dapat kesempatan mengemukakan pendapat baik dalam kelompok maupun di depan kelas. Selain itu, siswa senang belajar dengan menggunakan media kerangka kubus yang memudahkan siswa dalam memvisualisaikan. Selanjutnya dalam jurnal siswa mengatakan mereka menjadi bias menggambar dan menjelaskannya dalam LKS. Seperti pendapat Bruner dalam (Shadiq, 2008: 29-30) mengatakan tiga tahap pada proses belajar agar terjadi secara optimal yaitu (1) tahap enaktif adalah mempelajari pengetahuan matematika dengan menggunkan sesuatu yang “konkret” atau “ nyata” yang berarti dapat diamati dengan menggunakan panca indra, (2) tahap ikonik adalah mempelajari suatu pengetahuan dalam bentuk gambar atau diagram sebagai perwujudan dari kegiatan yang menggunakan benda konkret atau nyata tadi, (3) tahap simbolik adalah pengetahuan diwujudkan dalam bentuk simbol-simbol abstrak atau bahasa. D. Aktivitas Guru dalam Pembelajaran dengan Pendekatan Open-Ended Bersetting Kooperatif. Aktivitas guru pada awal pembelajaran dengan pendekatan Open-Ended masih menyesuaikan, melihat situasi yang terjadi dalam kelas dan kondisi siswa itu sendiri. Selain itu guru membiasakan siswa dalam kondisi tersebut. Namun dengan berjalannya waktu, para siswa mulai terbiasa sehingga aktivitas guru berjalan sesuai dengan langkah-langkah pada RPP. Berdasarkan hasil observasi oleh 2 observer didapat skor rata-rata aktivitas guru pada siklus I adalah 3,55 pada pertemuan pertama, 3,62 pada petemuan kedua, 3,71 pada pertemuan ketiga, dan 3,77 pada pertemuan keempat. Berdasarkan hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa aktivitas guru pada pembelajaran tersebut dalam kriteria tinggi. Sedangkan pada siklus II skor rata-rata aktivitas guru adalah 3,55 pada pertemuan pertama, 3,62 pada petemuan kedua, 3,71 pada pertemuan ketiga, dan 3,77 pada pertemuan keempat. Berdasarkan hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa aktivitas guru pada pembelajaran tersebut dalam kriteria tinggi. E. Kendala dalam Pembelajaran dengan Pendekatan Open-Ended Bersetting Kooperatif Dalam membuat masalah open-ended tidak mudah karena harus menyesuaikan materi yang berkelanjutan dan tingkat pengetahuan siswa. Kendala dalam pelaksanaan pembelajaran dengan pendekatan open-ended mulai dari siklus I pertemuan pertama sampai siklus II pertemuan pertama adalah waktu. Jadi pembelajaran dengan pendekatan open-ended membutuhkan penggunaan waktu yang lebih lama untuk benar-benar memahamkan siswa mengenai konsep matematika. Dalam kondisi tersebut guru harus dapat mengolah waktu seefektif mungkin. Hal ini sesuai dengan pendapat Shimada (Becker dan Shimada, 1997) yang menyatakan dalam pembelajaran open-ended, guru harus berhati-hati dalam mengalokasikan dan mengatur waktu. Pada awal pelaksanaan pembelajaran dengan pendekatan open-ended bersetting kooperatif, proses pembelajaran kurang berjalan lancar. Kegiatan yang dilakukan dengan tujuan membiasakan siswa, dilakukan dengan monoton seperti itu terus-menerus mengakibatkan kejenuhan sesuai dengan ungkapan siswa dalam jurnal, oleh karena itu guru mengatasi dengan memberikan sedikit modifikasi dan kejutan-kejutan pada pembelajaran. KESIMPULAN Berdasarkan paparan data penelitian dan pembahasan dapat disimpulkan beberapa hal, yaitu:
1138
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
1. Pembelajaran dengan pendekatan open-ended bersetting kooperatif yang dapat membangun kreativitas siswa sebagai berikut: a. Orientasi Penyampaian tujuan pembelajaran dalam penelitian ini menjadikan siswa fokus pada tujuan yang perlu siswa capai. Memotivasi siswa dengan memberikan contoh aplikasi kehidupan sehari-hari yang berhubungan dengan materi dimensi tiga, dan memotivasi siswa . Menyiapkan materi prasyarat dengan mengajukan pertanyaan. Menjelaskan langkahlangkah apa saja yang dilakukan pada pembelajaran dengan pendekatan open-ended dan aktivitas yang akan mereka lalui dalam mengerjakan LKS. b. Pembekalan Materi Pada pembekalan materi pada penilitian ini melakukan aktivitas 1 dalam LKS, yang dimulai dengan menjawab pertanyaan LKS dan presentasi siswa. Siswa disajikan pertanyaan-pertanyaan pada LKS yang mengarahkan siswa memahami materi pembelajaran dimensi tiga. Selain itu siswa mengerjakan masalah open-ended. c. Penyajian Masalah Open-Ended dan Pengerjaan Masalah Open-Ended Tahap penyajian masalah open-ended dan pengerjaan masalah open-ended, siswa mengerjakan aktivitas 2 dan 3 dalam LKS. Siswa mengerjakan aktivitas 2 dan 3 secara individu. Diskusi Kelompok Pada tahap diskusi kelompok pada pembelajaran Open-Ended bersetting kooperatif pada penelitian ini adalah memasangkan siswa kemudian mengelompokkan dalam kelompok kecil. d. Presentasi Kelompok Tahap presentasi kelompok terdiri dari penampilan yel-yel atau simbol kelompok dan presentasi kelompok. Setelah diskusi kelompok selama 15 menit maka hasil kelompok pada karton ditempel di papan tulis. e. Penutup Bersama siswa membuat kesimpulan, dengan cara memberi pertanyaan-pertanyaan untuk mengarahkan siswa menarik kesimpulan dari pembelajaran tersebut. Selain itu memberi tugas rumah yang berisi prasyarat materi selanjutnya. 2. Kreativitas dan Hasil Belajar Siswa Indikator kreativitas siswa dalam penelitian ini mengacu pada pendapat Krulik dan Rudnick yaitu generating ideas dan applying ideas, dikarenakan dari indikator ini peneliti dapat melihat kemampuan siswa di dalam menghasilkan ide-ide dan menerapkan ide sesuai dengan kemampuannya. Rata-rata kreativitas siswa pada siklus I didapatkan14,35% dan pada siklus II didapatkan 52,25%. Karena pada tindakan siklus II sudah mencapai kriteria keberhasilan yaitu 50% siswa memenuhi kriteria kreativitas sedang. Berdasarkan hasil analisis pada data hasil belajar, diketahui bahwa persentase siswa tuntas belajar pada tes akhir siklus I mencapai 62,86%. Sedangkan persentase siswa tuntas belajar pada tes akhir siklus II mencapai 74,29%, memenuhi kriteria yaitu 70% siswa tuntas. Sesuai dengan kriteria keberhasilan yang ditentukan, maka pembelajaran pada siklus II dikatakan berhasil. SARAN Berdasarkan hasil dan temuan penelitian, maka disarankan kepada guru untuk menggunakan pembelajaran dengan pendekatan open-ended bersetting kooperatif dalam pembelajaran matematika di kelas, dengan memperhatikan hal sebagai berikut: 1. Guru dapat menggunakan pembelajaran dengan pendekatan open-ended bersetting kooperatif ini sebagai inovasi pembelajaran yang dapat membangun kreativitas siswa tetapi tidak secara terus menerus, karena apabila diberikan secara terus menerus akan membuat siswa bosan kecuali ada sedikit modifikasi yang berubah tetapi tetap pada tujuan awal. 2. Membuat masalah open-ended memerlukan waktu yang cukup lama karena harus menyesuaikan dengan materi yang selalu berkelanjutan dan tingkat pengetahuan siswa. Untuk mengatasi hal tersebut guru harus jauh-jauh mempersiapkan masalah yang akan diberikan kepada siswa. 3. Memberikan pekerjaan rumah kepada siswa sebelum pembelajaran yang berhubungan dengan materi prasyarat pembelajaran selanjutnya adalah salah satu alternatif untuk mengatasi siswa tidak menguasai materi prasyarat pada saat pembelajaran. hal ini juga menghemat waktu pada tahap awal pembelajaran karena siswa sudah belajar sebelumnya. 1139
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
DAFTAR RUJUKAN Arikunto, Suharsimi. Dkk (2010). Penelitian Tidakan Kelas . Jakarta : PT Bumi Aksara. Ayu, Hena Dian. (2011). Penerapan Strategi Open-ended Problem Bersetting kooperatif untuk Meningkatkan Kreativitas dan Pemahaman Pecahan bagi siswa kelas VII SMP PGRI 6 Malang. Tesis tidak dipublikasikan : Program Pascasarjana UM. Becker, J. P and Shimada, S. (1997). The Open-Ended Approach : A New Proposal for Teaching Mathematics. Virginia : National Council of Theacher of Mathematics. Creswell, John W.(2009). Research Design. London : SAGE Publications. Furnaningtias. (2013). Penerapan Pendekatan Open-ended untuk Membangun Berpikir Kreatif Matematika Siswa Kelas VIII-5 SMP Negeri 5 Penajam Paser Utara. Tesis tidak dipublikasikan : Program Pascasarjana UM. Goos, Merrilyn, at all (2007). Teaching Secondary School Mathematic. Australia : National Library of Australia. Izzati, N (2009). Berfikir Kreatif dan Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis: Apa, Mengapa, dan Bagaimana Mengembangkannya Para Peserta Didik. Prosiding Seminar National Matematika dan Pendidikan Matematika, Bandung 19 Desember 2009, hal 4960. Kennedy, Leonard M. , Tipps, Steve and Johnson, Art. (2008). Guilding Children’s Learning of Mathematics. America : Thomson Higher Education. Krulik, Stephen, Rudnick, Jesse A, and Milou, Eric. (2003). Teaching Mathematics In Middle School. America : Pearson Education. Locke, John. (2013). ”Factors That Influence Creativity”, (Online), www.matthewsaxby.com/factor_that_influence_Creativity, diakses 5 oktober 2013. Pannen, Paulina. dkk. (2001) . Konstruktivisme dalam Pembelajaran. Jakata : PAU-PPAI-UT. Pehkonen, E 1997. The State-of-Art in Mathematical Creativity. Zentralblatt fur Didaktik der Mathematic (ZDM)- The International Journal on Mathematics Education, (Online), http:www.emis.de/journals/ZDM/zdm973a1.pdf, diakses 25 September 2013. Sahlberg, Pasi. (2011). “ The Role of Education in Promoting Creativity: Potential Barriers and Enabling Factors”. (Online), ec.europa.eu/education/lifelong_learning_policy/doc/creativity/report/barrier.pdf, diakses 5 oktober 2013. Shadiq, Fadjar. (2008). Psikologi Pembelajaran Matematika di SMA. Yogyakarta: Pusat Pengembangan dan Pemberdayaan Pendidik dan Tenaga Kependidikan Matematika Yogyakarta. Sharp, Caroline. (2004). “ Developing Young Children’s Creativity: What Can WE Learn from Research”, (Online), www.nfer.ac.uk/nfer/publications/55502/55502.pdf, diakses 5 oktober 2013. Subanji. 2013. Pembelajaran Matematika Kreatif dan Inovatif. Malang: Universitas Negeri Malang. Suprijono, Agus. 2007. Cooverative Learning. Yogyakarta : Pustaka Belajar Suyadi. 2012. Panduan Penelitian Tindakan Kelas. Yogyakarta: Diva Press
PRAKTIK PENGALAMAN LAPANGAN (PPL) LESSON STUDY Nurlaela Khomariyah Universitas Negeri Malang
[email protected] Abstrak: Praktik pengalaman lapangan merupakan suatu program kependidikan bagi mahasiswa yang dilaksanakan khusus untuk menyiapkan guru yang menguasai kemampuan keguruan yang terintegrasi dan utuh. Sehingga setelah menyelesaikan pendidikannya, mereka siap mengemban tugas dan tanggung jawabnya sebagai guru yang lebih bermutu dan profesional, Dan dalam hal ini PPL yang dilaksanakan adalah PPL Lesson Study. Lesson Study merupakan suatu pendekatan peningkatan kualitas pembelajaran yang
1140
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
dilaksanakan oleh guru secara kolaboratif, dengan langkah-langkah pokok merancang pembelajaran untuk mencapai tujuan, melaksanakan pembelajaran, mengamati pelaksanaan pembelajaran tersebut, serta melakukan refleksi untuk mendiskusikan pembelajaran yang dikaji tersebut untuk bahan penyempurnaan dalam rencana pembelajaran berikutnya. Fokus utama pelaksanaan lesson study adalah aktivitas siswa di kelas, dengan asumsi bahwa aktivitas siswa tersebut terkait dengan aktivitas guru selama mengajar di kelas. Dengan Lesson Study dapat membangun sebuah pengetahuan pedagogis, dimana seorang guru dapat menimba pengetahuan dari guru lainnya. Bercirikan adanya (a) tujuan bersama untuk jangka panjang; (b) materi pelajaran yang penting; (c) studi tentang siswa secara cermat; dan (d) observasi pembelajaran secara langsung. Dan bermanfaat agar (a) guru dapat mendokumentasikan kemajuan kerjanya, (b) guru dapat memperoleh umpan balik dari anggota/komunitas lainnya, dan (c) guru dapat mempublikasikan dan mendiseminasikan hasil akhir dari lesson study. Kata kunci: PPL, Lesson Study
Praktik pengalaman lapangan merupakan suatu program kependidikan bagi mahasiswa yang dilaksanakan khusus untuk menyiapkan guru yang menguasai kemampuan keguruan yang terintegrasi dan utuh. Sehingga setelah menyelesaikan pendidikannya, mereka siap mengemban tugas dan tanggung jawabnya sebagai guru yang lebih bermutu dan profesional (Soekardjo, 2011) Praktik pengalaman lapangan juga merupakan kegiatan belajar mahasiswa yang dilakukan di lapangan (sekolah) meliputi kegiatan latihan mengajar, membimbing siswa, mempelajari administrasi sekolah, menciptakan suasana religius dan sebagai wahana pembentukan profesi kependidikan. Dan dalam hal ini PPL yang dilaksanakan adalah PPL Lesson Study. LESSON STUDY Lesson Study merupakan suatu pendekatan peningkatan kualitas pembelajaran yang dilaksanakan oleh guru secara kolaboratif, dengan langkah-langkah pokok merancang pembelajaran untuk mencapai tujuan, melaksanakan pembelajaran, mengamati pelaksanaan pembelajaran tersebut, serta melakukan refleksi untuk mendiskusikan pembelajaran yang dikaji tersebut untuk bahan penyempurnaan dalam rencana pembelajaran berikutnya. Fokus utama pelaksanaan lesson study adalah aktivitas siswa di kelas, dengan asumsi bahwa aktivitas siswa tersebut terkait dengan aktivitas guru selama mengajar di kelas (Tim Pengembang PPL, 2011). Secara umum, tahapan dalam lesson study meliputi tiga, yaitu plan, do, dan see. Secara teknis, ke tiga tahap tersebut dipaparkan sebagai berikut. a. Plan (perencanaan pembelajaran) Setelah sebelumnya melakukan telaah kurikulum serta merumuskan tujuan pembelajaran dan tujuan pengembangan siswa, langkah awal dalam rangkaian lesson study adalah merancang pembelajaran untuk mencapai tujuan dalam wujud perangkat pembelajaran, termasuk di antaranya Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP). Kegiatan ini dilakukan secara kolaboratif antara mahasiswa praktikan, dosen pembimbing lapangan, dan guru pamong. b. Do (pelaksanaan dan pengamatan pembelajaran) Langkah ini dimaksudkan untuk melaksanakan pembelajaran di kelas berdasarkan perangkat pembelajaran yang telah disiapkan sebelumnya. Kegiatan ini dilakukan oleh salah seorang dari mahasiswa praktikan yang terlibat dalam kegiatan perencanaan pembelajaran tersebut. Bersamaan dengan pelaksanaan pembelajaran, dilakukan pula pengamatan terhadap pelaksanaan pembelajaran tersebut. Pengamatan ini dilakukan oleh mahasiswa praktikan dalam satu bidang studi yang sama, guru pamong, dan dosen pembimbing lapangan. Pengamatan dapat pula melibatkan mahasiswa/guru dalam bidang studi serumpun maupun bidang studi lain. Pada saat melakukan pengamatan (see), perhatian difokuskan kepada perilaku siswa di kelas (bukan pada aktivitas mengajar guru). c. See (refleksi pembelajaran) Setelah melaksanakan pembelajaran dan mengamatinya, seluruh pihak yang terlibat dalam aktivitas pengamatan melakukan refleksi untuk mendiskusikan pembelajaran yang dikaji tersebut dan menyempurkannya, serta merencanakan pembelajaran berikutnya. Dalam
1141
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
tahap refleksi ini, pembahasan tidak dimaksudkan untuk mengomentari aktivitas guru ketika melaksanakan pembelajaran, melainkan lebih diarahkan pada hasil pengamatan terhadap perilaku siswa selama proses pembelajaran di kelas. Dengan demikian tidak ada komentar terhadap perilaku guru ketika mengajar, namun diharapkan berdasarkan refleksi pengamat terhadap perilaku siswa tersebut, guru model akan dapat merefleksi dirinya sendiri. Jadwal Pelaksanaan Lesson Study NO
HARI/TANGGAL
KEGIATAN
TEMPAT
Guru Model
Observer
1
Rabu/ 22 januari 2014
Plan A
Malang
2
Selasa/1 April 2014
Do A1
Banjarbaru
Annisa Diniawati
Do A2
Banjarbaru
Nadiroh
Kamis/3 April 2014
Do A3
Martapura
Mislahiyyah
5
Sabtu/5 april 2014
Do A4
Martapura
Nurlaela Khomariyah
Mislahiyyah, Nadiroh, Nurlaela Khomariyah Annisa Diniawati, Mislahiyyah, Nurlaela Khomariyah Annisa Diniawati, Nadiroh, Nurlaela Khomariyah Annisa Diniawati, Mislahiyyah, Nadiroh
3
Rabu/2 April 2014
4
6 7
Sabtu/5 april 2014 Senin/7 April 2014
See A Plan B
Martapura Banjarbaru
8
Selasa/8 April 2014
Do B1
Banjarbaru
Annisa Diniawati
9
Rabu/9 April 2014
Do B2
Banjarbaru
Nadiroh
10
Kamis/10 April 2014
Do B3
Martapura
Mislahiyyah
Do B4
Martapura
Nurlaela Khomariyah
See B
Martapura
Pembuatan Laporan
Malang
11 12 13
Sabtu/12 April 2014 Sabtu/12 April 2014 Senin/14 April 2014
Mislahiyyah, Nadiroh, Nurlaela Khomariyah Annisa Diniawati, Mislahiyyah, Nurlaela Khomariyah Annisa Diniawati, Nadiroh, Nurlaela Khomariyah Annisa Diniawati, Mislahiyyah, Nadiroh
Rencana Pelaksanaan NAMA
KELAS
SEKOLAH
Annisa Diniawati
XII IPA A
SMA-IT Qardhan Hasana
Nadiroh
X Sos 3
SMAN 1
Mislahiyyah
X
Nurlaela Khomariyah
XI IPA
SMAN 3 SMAN 1 Beruntung Baru
MATERI PEMBELAJARAN I II Barisan dan Barisan dan Deret Deret Aritmetika Aritmetika Persamaan Persamaan Kuadrat Kuadrat Turunan Turunan Penerapan Turunan
Penerapan Turunan
MODEL/STRATEGI REACT CLMMS Problem Creating STAD
Hasil Observasi No.
Do
Kegiatan
1
Do A4
Pendahuluan
Kegitan Inti
Hasil Observasi Siswa siap mengikuti pelajaran. Siswa antusias pada saat guru memberikan motivasi, menjawab pertanyaan guru pada saat guru menggali pengetahuan prasyarat. Interaksi antara siswa dengan siswa terjadi pada saat diskusi kelompok mengerjakan LKS. Interaksi antara siswa dengnan guru terjadi pada saat siswa kerja kelompok, guru berkeliling mengarahkan siswa berdiskusi.
1142
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
No.
Do
Kegiatan
Penutup
2
Do B4
Pendahuluan
Kegiatan Inti
Penutup
Hasil Observasi Siswa-siswa yang mengalami gangguan belajar antara lain: 1. Budi Irawan dan Linda Safitri mengantuk saat pelajaran, karena menunggu temannya saat mengerjakan soal yang ada dalam LKS. 2. Khadijah bercanda dan tidak memperhatikan teman sekelompoknya ketika maju untuk presentasi, karena ia mengganggap bahwa jawabannya yang dipresentasikannya sama dengan jawabannya miliknya. Alternatif yang dilakukan untuk mengatasi siswa yang terganggu adalah guru mendekati siswa yang terlihat tidak aktif dan memnyakan maslah yang dihadapi sehingga dapat memberikan solusi yang tepat bagi mereka. Hal-hal unik yang terjadi pada saat pembelajaran adalah siswa ternyata mampu menyadari bahwa kevepatan dn percepatan yang dipelajari dalam Fisika merupakan aplikasi turunan. Siswa aktif memberikan pandangan/persepsi mereka pada pembelajaran yang telah mereka pelajari. Siswa antusias dan aktif pada saat guru memberikan arahan dan tugas sebagai tindak lanjut dari pembelajaran. Siswa siap mengikuti pelajaran. Siswa antusias pada saat guru memberikan motivasi, menjawab pertanyaan guru pada saat guru menggali pengetahuan prasyarat. Interaksi antara siswa dengan siswa terjadi pada saat diskusi kelompok mengerjakan LKS. Interaksi antara siswa dengnan guru terjadi pada saat siswa kerja kelompok, guru berkeliling mengarahkan siswa berdiskusi. Siswa-siswa yang mengalami gangguan belajar antara lain: 1. Erma Sari merebahkan kepalanya di meja dan terlihat lesu, karena pada saat itu ia sakit. 2. Khadijah dan Fitria bercanda dan tidak memperhatikan ketika kelompok lain maju untuk presentasi, karena ia mengganggap bahwa jawabannya yang dipresentasikannya sama dengan jawabannya miliknya. Alternatif yang dilakukan untuk mengatasi siswa yang terganggu adalah guru mendekati siswa yang terlihat tidak aktif dan memnyakan maslah yang dihadapi sehingga dapat memberikan solusi yang tepat bagi mereka. Hal-hal unik yang terjadi pada saat pembelajaran adalah siswa ternyata mampu mengungkapkan bahwa dengan turunan mereka bisa menentukan nilai maksimum dan minimum. Siswa aktif memberikan pandangan/persepsi mereka pada pembelajaran yang telah mereka pelajari. Siswa antusias dan aktif pada saat guru memberikan arahan dan tugas sebagai tindak lanjut dari pembelajaran.
PENUTUP Berdasarkan hasil implementasi Praktek Pengalaman Lapangan (PPL) Keguruan berbasis lesson study di SMAN 1 Beruntung Baru, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut: 1. Lesson study merupakan salah satu model pembinaan profesi pendidik melalui pengkajian pembelajaran secara kolaboratif dan berkelanjutan berlandaskan pada prinsip-psrinsip kolegalitas dan mutual learning untuk membangun komunitas belajar. Tujuannya adalah untuk: a. Memperoleh pemahaman yang lebih baik tentang bagaimana siswa belajar dan guru mengajar; b. Memperoleh hasil-hasil tertentu yang bermanfaat bagi para guru lainnya dalam melaksanakan pembelajaran; c. Meningkatkan pembelajaran secara sistematis melalui inkuiri kolaboratif; d. Membangun sebuah pengetahuan pedagogis, dimana seorang guru dapat menimba pengetahuan dari guru lainnya. Bercirikan adanya (a) tujuan bersama untuk jangka panjang; (b) materi pelajaran yang penting; (c) studi tentang siswa secara cermat; dan 1143
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
2.
(d) observasi pembelajaran secara langsung. Dan bermanfaat agar (a) guru dapat mendokumentasikan kemajuan kerjanya, (b) guru dapat memperoleh umpan balik dari anggota/komunitas lainnya, dan (c) guru dapat mempublikasikan dan mendiseminasikan hasil akhir dari lesson study. Kegiatan PPL dengan menerapkan lesson study di sekolah dapat: a. Membantu mengimplementasikan teori-teori pembelajaran yang telah diperoleh di bangku kuliah dengan karakteristik siswa yang dihadapi di sekolah praktek. b. Menciptakan rasa empati baik pada sesama tim untuk mempersiapkan pembelajaran agar pelaksanaan pembelajarannya dapat diterima siswa dengan jelas yang selanjutnya dapat memberikan kebermaknaan dan hasil belajar siswa yang baik pula. c. Mendorong terjalinnya kekompakan, kerjasama serta komunikasi yang saling menguntungkan baik antar praktikan, praktikan dengan guru pamong (pihak sekolah), serta praktikan dengan dosen pembimbing (mutual learning dan kesejawatan). d. Menghilangkan rasa egoisme dan rasa menggurui serta menciptakan kesetaraan antara praktikan dengan guru pamong maupun dosen pembimbing sesuai dengan tugas masing-masing. e. Membantu kesulitan guru paktikan dalam mengelola pembelajaran di sekolahnya. f. Meningkatkan pengetahuan dan kualitas pembelajaran matematika seperti mampu menciptakan suasana pembelajaran matematika yang menyenangkan. g. Meningkatkan kemampuan guru menuju guru yang profesional.
DAFTAR RUJUKAN Soekardjo. 2011. Buku Pedoman PPL. (online), http://akademik.fkip.uns.ac.id/wpcontent/uploads/PEDOMAN-PPL-UNS-2011_new.pdf, diakses 14 April 2014. Tim Pengembang PPL. 2011. Petunjuk Teknis Pelaksanaan Lesson Study Universitas Negeri Malang. (online), https://www.academia.edu/5393436/handout_LS_PPL_UM, diakses 14 April 2011.
1144
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
LESSON STUDY DALAM PEMBELAJARAN PENEMUAN PADA MATERI TRIGONOMETRI DI KELAS X Raingyusywaeko Universitas Negeri Malang
[email protected] Abstrak: Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan peningkatan hasil belajar siswa menggunakan metode penemuan terbimbing pada materi trigonometri kelas X. Metode penelitian ini adalah penelitian tindakan kelas. Penelitian ini dilakukan dalam 2 skilus, dengan hasil pekerjaan siswa dalam LKS dapat diketahui bahwa 5 dari 6 kelompok siswa berhasil memahami konsep perbandingan trigonometri dan 4 dari 6 kelompok siswa berhasil menyimpulkan nilai perbandingan trigonometri sudut istimewa pada kuadran I dengan benar. Dengan demikian penelitian menggunakan metode penemuan terbimbing pada pembelajaran matematika dapat meningkatkan hasil belajar siswa. Kata kunci: hasil belajar, metode penemuan terbimbing, trigonometri
Peran guru dalam peningkatan kualitas pendidikan di Indonesia adalah sangat sentral. Guru sebagai agen pembelajaran berperan sebagai fasilitator, motivator, pemacu, perekayasa pembelajaran, dan pemberi inspirasi belajar bagi peserta didik, serta pembangkit belajar bagi mereka. Oleh karena itu, guru harus memiliki kompetensi pedagogic, professional, kepribadian, dan sikap sosial yang tinggi.Dimana, guru harus mampu (1) mengelola pembelajaran bagi peserta didik, (2) berkepribadian mantap, berakhlaq mulia, arif, berwibawa, serta menjadi teladan yang baik bagi peserta didik, (3) menguasai materi pelajaran secara luas dan mendalam, (4) berkomunikasi dan berinteraksi secara efektif dan efisien sengan peserta didik, sesama guru, orang tua/wali peserta didik, dan masyarakat sekitar. Garfield (dalam Ibrohim, 2009) menjelaskan bahwa Lesson Study merupakan suatu proses sistematis yang digunakan oleh guru-guru Jepang untuk menguji keefektifan pengajarannya dalam rangka meningkatkan hasil pembelajaran. Proses sistematis yang dimaksud adalah kerja guru-guru secara bersiklus dan terus-menerus. Menurut Yoshida (1999), kegiatan utama Lesson Study dapat dikelompokkan menjadi 3 bagian utama: (1) identifikasi tema penelitian (research theme) dari Lesson Study; (2) pelaksanaan sejumlah research lesson yang akan mengeksplorasi research theme; dan (3) refleksi proses pelaksanaan Lesson Study, termasuk pembuatan laporan tertulis. Kegiatan PPL tidak hanya diperuntukkan bagi calon tenaga pendidik, namun juga diwajibkan bagi guru yang telah berpengalaman dalam mengajar. Hal ini, dilakukan untuk memperbaiki proses belajar mengajar yang telah terlaksana selama ini, yang dirasa kurang dapat memotivasi siswa dalam pembelajaran. Salah satu alternatif untuk memperbaiki kondisi pembelajaran yang dipaparkan di atas adalah model pembelajaran yang tepat bagi siswa serta dapat memecahkan masalah yang dihadapi. Dalam pelaksanaannya, guru diwajibkan menerapkan model pembelajaran yang inovatif yang memberikan kesempatan kepada siswa secra aktif dalam pembelajaran. Model pembelajaran yang melibatkan siswa secara langsung dalam penemuan konsep sekaligus menimbulkan rasa senang pada siswa, karena tumbuhnya rasa menyelidiki dan berhasil adalah model pembelajaran penemuan. Berdasarkan pengalaman dan refleksi diri dalam mengajarkan materi trigonometri, selama ini guru belum menekankan penanaman konsep pada siswa. Selain itu, guru masih menggunakan metode pembelajaran yang konvensional dan belum menggunakan metode pembelajaran yang bervariasi. Ketersediaan alat peraga yang terbatas dan belum menggunakan alat peraga yang bervariasi menjadikan siswa sulit memahami materi yang disampaikan, mudah lupa, dan bingung dalam mengerjakannya. Kenyataan yang ada di lapangan bahwa nilai hasil belajar siswa pada materi trigonometri di kelas X SMA AL Hikmah Surabaya masih rendah. Ini dapat dilihat pada tahun pelajaran 2012/2013, dari 28 sisa 50% siswa belum mencapai kriteria ketuntasan minimal. Untuk mengatasi kesenjangan yang terjadi dan untuk meningkatkan hasil belajar siswa dalam pembelajaran matematika tersebut diperlukan suatu tindakan yaitu dengan menerapkan metode penemuan terbimbing. Metode ini cocok diterapkan dalam pembelajaran matematika
1145
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
untuk melatih siswa agar mampu menggunakan berbagai konsep dan keterampilan matematika dalam proses penemuan terhadap suatu masalah. Dengan demikian, diharapkan hasil belajar siswa pun akan meningkat. Berdasarkan latar belakang di atas, yang menjadi masalah umum dalam penelitian ini adalah ―Bagaimana penerapan lesson study dalam pembelajaran penemuan (discovery learning) materi trigonometri kelas X SMA Al Hikmah Surabaya?‖ Tujuan umum penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan peningkatan hasil belajar siswa menggunakan metode penemuan terbimbing pada materi trigonometri kelas X SMA Al Hikmah? Penemuan (discovery) merupakan suatu model pembelajaran yang dikembangkan berdasarkan pandangan konstruktivisme. Model ini menekankan pentingnya pemahaman struktur atau ide-ide penting terhadap suatu disiplin ilmu, melalui keterlibatan siswa ssecara aktif dalam proses pembelajaran. Menurut Wilcox (Slavin, 1977), dalam pembelajaran dengan penemuan siswa didorong untuk belajar sebagian besar melalui keterlibatan aktif mereka sendiri dengan konsep-konsep dan prinsip-prinsip, dan guru mendorong siswa untuk memiliki pengalaman dan melakukan percobaan yang memungkinkan mereka menemukan prinsip-prinsip untuk diri mereka sendiri. Pengertian discovery learning menurut Jerome Bruner adalah metode belajar yang mendorong siswa untuk mengajukan pertanyaan dan menarik kesimpulan dari prinsip-prinsip umum praktis contoh pengalaman. Dan yang menjadi dasar ide J. Bruner ialah pendapat dari piaget yang menyatakan bahwa anak harus berperan secara aktif didalam belajar di kelas. Untuk itu Bruner memakai cara dengan apa yang disebutnya discovery learning, yaitu dimana murid mengorganisasikan bahan yang dipelajari dengan suatu bentuk akhir. Model pembelajaran ini memungkinkan siswa berkembangan dengan cepat sesuai dengan kecepatan sendiri, membuat perkiraan (conjucture), merumuskan suatu hipotesis dan menemukan kebenaran dengan menggunakan prose induktif atau proses dedukatif, melakukan observasi dan membuat ekstrapolasi. Pada pembelajaran penemuan, siswa didorong untuk terutama belajar sendiri melalui keterlibatan aktif dengan konsep-konsep dan prinsip-prinsip. Guru mendorong siswa agar mempunyai pengalaman dan melakukan eksperimen dengan memungkinkan mereka menemukan prinsip-prinsip atau konsep-konsep bagi diri mereka sendiri. Terdapat lima fase pembelajaran penemuan yaitu: (1) stimulation (stimulasi/pemberian rangsangan), (2) problem statement (pernyataan/ identifikasi masalah), (3) Data collection (pengumpulan data), (4) data processing (pengolahan data), (5) generalization (menarik kesimpulan/generalisasi), dan (6) verification (pembuktian). Menurut Beni S. Ambarjaya, ―Dalam metode penemuan terbimbing, guru memiliki peran untuk menyatakan persoalan, kemudian membimbing siswa untuk menemukan penyelesaian dari persoalan itu dengan perintah-perintah atau lembar kerja. Selanjutnya, siswa mengikuti petunjuk dan menemukan sendiri penyelesaiannya.‖ Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa metode penemuan terbimbing merupakan suatu proses kegiatan pembelajaran yang menekankan pada proses berpikir secara kritis dan analitis untuk menemukan suatu masalah yang dipertanyakan berdasarkan instruksi dari guru. Adapun kelebihan metode penemuan terbimbing seperti yang dijelaskan oleh Ismail,dkk (2008:6.22) sebagai berikut (1)Siswa benar-benar aktif dalam kegiatan belajar, sebab dituntut berpikir, menggunakan kemampuannya, dan pengalamannya untuk menemukan hasil akhir.(2)Siswa benar-benar dapat memahami bahan pelajaran (konsep/rumus), karena mengalami sendiri proses untuk mendapatkan konsep /rumus tersebut sehingga akan lebih lama diingat.(3)Menumbuhkan minat belajar, karena dengan menemukan sendiri timbul rasa puas dan mendorong siswa untuk berbuat hal yang sama.(4)Menumbuhkan sikap ilmiah dan rasa ingin tahu dari siswa.(5)Siswa yang memperoleh pengetahuan dengan metode ini akan lebih mampu mentransfer pengetahuannya ke berbagai konteks.(6)Melatih siswa untuk belajar sendiri.Langkah atau tahapan yang harus dilakukan siswa seperti yang dikemukakan oleh Ismail,dkk (2008:6.21), sebagai berikut (1)Memahami masalah.(2)Memproses data / keterangan atau menyederhanakan masalah. (3)Melihat pola yang terjadi dan membuat dugaan.(4)Menguji dugaan tersebut.(5)Menggeneralisasikan atau menyatakan dalam bentuk umum. Menurut Nana Sudjana (2011:22) menyatakan bahwa ―Hasil belajar adalah kemampuan-kemampuan yang dimiliki siswa setelah iamenerima pengalaman belajarnya‖. ada dua faktor yang mempengaruhi hasil belajar siswa yang dikemukakan oleh Yatna Supriyatna 1146
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
(http://orangmajalengka.blogspot.com) sebagai berikut (1)Faktor Internal, meliputi faktor fisiologis yaitu kondisi jasmani dan faktor psikologis yaitu yang mendorong atau memotivasi belajar. Faktor-faktor tersebut diantaranya adanya keinginan untuk tahu, agar mendapat simpati dari orang lain, untuk memperbaiki kegagalan, dan untuk mendapatkan rasa aman.(2)Faktor Eksternal, yaitu faktor dari luar diri anak yang ikut mempengaruhi belajar anak, yang antara lain berasal dari orang tua, sekolah, dan masyarakat.Dari pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa faktor yang mempengaruhi hasil belajar dapat berasal dari kesadaran dan kemauan diri sendiri serta dari orang lain seperti orang tua, teman sebaya, teman dalam bergaul, dan lingkungan masyarakat sekitar. Nana Sudjana (2011:4) menambahkan bahwa ada beberapa tujuan penilaian hasil belajar sebagai berikut (1)Mendeskripsikan kecakapan belajar para siswa sehingga dapat diketahui kelebihan dan kekurangannya dalam berbagai bidang studi atau mata pelajaran yang ditempuhnya.(2)Mengetahui keberhasilan proses pendidikan dan pengajaran di sekolah.(3)Menentukan tindak lanjut hasil penilaian. (4) Memberikan pertanggungjawaban dari pihak sekolah kepada pihak-pihak yang berkepentingan. Empat jenis penilaian hasil belajar yang dipaparkan oleh M. Ngalim Purwanto (2010:108) sebagai berikut (1)Penilaian formatif, yakni penilaian yang dilakukan pada setiap akhir satuan pelajaran.(2) Penilaian sumatif, yakni penilaian yang dilakukan tiap caturwulan atau semester.(3) Penilaian penempatan, yang berfungsi untuk menempatkan siswa dalam situasi belajar mengajar.(4) Penilaian diagnostik, yang berfungsi untuk membantu memecahkan kesulitan belajar siswa.Dengan kata lain, hasil belajar dalam penelitian ini menggunakan penilaian formatif, karena penilaian dilakukan pada setiap akhir pembelajaran untuk melihat adanya peningkatan hasil belajar siswa atau tidak. METODE PENELITIAN Penelitian kualitatif mempunyai karakteristik antara lain: (1) latar alamiah, (2) manusia sebagai alat (instrumen), (3) metode kualitatif, (4) analisis data secara induktif, (5) lebih mementingkan proses daripada hasil, dan (6) desain yang bersifat sementara (Moleong, 2006:813). Bentuk penelitian ini adalah penelitian tindakan kelas.Tukiran Taniredja,dkk (2010:16— 17) menyatakan ―Penelitian Tindakan Kelas adalah penelitian yang mengangkat masalahmasalah yang aktual yang dilakukan oleh para guru yang merupakan pencermatan kegiatan belajar yang berupa tindakan untuk memperbaiki dan meningkatkan praktek pembelajaran di kelas secara lebih profesional. Berdasarkan pendapat tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa penelitian tindakan kelas adalah penelitian yang dilakukan guru dengan mengangkat masalah yang terjadi di kelasnya sendiri dengan cara merencanakan tindakan, melaksanakan tindakan, observasi, dan refleksi tindakan secara kolaboratif dengan tujuan memperbaiki dan meningkatkan kinerjanya, sehingga hasil belajar siswa juga dapat meningkat. Dipilihnya jenis penelitian tindakan kelas dalam penelitian ini adalah karena tujuan penelitian ini sesuai dengan karakteristik PTK, yaitu ingin memperbaiki pembelajaran pada materi trigonometri, peneliti adalah guru matematika di sekolah tempat penelitian. Subyek dalam peniltian ini adalah siswa kelas X IPA 6 di SMA Al Hikmah Surabaya dengan siswa berjumlah siswa 25 orang. Pelaksanaan penelitian dilakukan pada rabu 26 – 27 Februari 2014. Intrumen dalam penelitian ini adalah (1) Tes awal –akhir, tes awal ini dimaksudkan untuk mengetahui kemampuan prasyarat siswa tentang materi volume bangun ruang. Sedangkan tes akhir dimaksudkan untuk mengetahui penguasaan siswa terhadap materi trigonometri; (2) Rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP) mencakup waktu pelaksanaan pembelajaran, materi yang dibahas, alokasi waktu, merumuskan indikator yang dicapai, menentukan pengalaman belajar, menetapkan strategi pembelajaran yang akan digunakan, menyusun langkah-langkah pembelajaran, menetapkan media, kelengkapan (bahan) dan sumber belajar, serta menetapkan penilaian pembelajaran; (3) Lembar kerja siswa (LKS) yang disusun memuat perintah untuk kegiatan-kegiatan yang sesuai dengan pengalaman siswa sehari-hari dan taraf berpikir mereka; (4) Lembar observasi aktivitas guru dan siswa ini dibuat untuk memperoleh gambaran tentang aktivitas guru dan siswa selama proses pembelajaran berlangsung. Kehadiran peneliti di lokasi penelitian sangat diutamakan karena selain sebagai pemberi tindakan, peneliti merupakan instrumen kunci. Sebagai pemberi tindakan, peneliti bertindak sebagai pengajar yang membuat rancangan pembelajaran dan sekaligus menyampaikan bahan ajar selama kegiatan penelitian. Sebagai instrumen kunci berarti bahwa peneliti adalah pengumpul data. 1147
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
Teknik Pengumpulan Data dalam penelitian ini meliputi tes dan observasi. Sedangkan teknik analisis data dari data yang dikumpulkan pada setiap kegiatan observasi dari pelaksanaan lesson study dianalisis secara deskriptif dengan menggunakan teknik presentase untuk melihat kecenderungan yang terjadi dalam kegiatan pembelajaran. Analisis data yang digunakan peneliti adalah melalui analisis data hasil tes dan pengerjaan LKS dengan menggunakan rumus rata-rata kelas. M=
fx x100% N
Keterangan: M = Mean (Nilai rata-rata) ∑ fx = Jumlah nilai seluruh siswa N = Jumlah siswa keseluruhan Data observasi nantinya digunakan untuk melihat hasil realita dikelas saat sebelum maupun sesudah penerapan pembelajaran penemuan untuk dilakukan perbaikan dalam perencanaan maupun tindakan pada pelaksanaan siklus kedua HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Hasil penelitian tindakan kelas yang berjudul “Lesson Study Dalam Pembelajaran Penemuan Pada Materi Trigonometri Di Kelas X” diuraikan dalam tahapan siklus-siklus pembelajaran yang telah dirancang dan dilaksanakan oleh peneliti. Data tersebut diambil pada setiap siklus penelitian tindakan kelas sebagai berikut: A. Siklus 1 1. Perencanaan Tahap perencanaan meliputi: menentukan sasaran siswa yaitu: kelas X IPA 6 SMA AL Hikmah, materi yang akan diajarkan: Trigonometri (nilai perbandingan trigonometri), waktu pelaksanaan siklus ke-1 pada rabu, 26 februari 2014 mulai pukul 13.00-14.30, peralatan yang dibutuhkan: handycam, camera, alat peraga, perangkat pembelajaran, perangkat pembelajaran: RPP dan LKS yang telah dibuat guru model dianalisis dan diperbaiki, model pembelajaran yang akan digunakan: pembelajaran penemuan dan perbaikan LKS pada no.7 menambahkan kesimpulan perbandingan trigonometri cosecant, secan dan cotangent. Serta menyiapkan alat pengumpul data yang berupa lembar observasi guru dan lembar observasi siswa. 2. Pelaksanaan Pelaksanaan siklus 1 dilaksanakan pada hari rabu, 26 Februari 2014 selama 90 menit atau 2 jam pelajaran, tepatnya pukul 13.00 -14.30 WIB. Siswa yang hadir berjumlah 25 orang. Pelaksanaan pembelajaran yang dilakukan guru sekaligus peneliti antara lain: mengucapkan salam, mengecek kehadiran siswa dan menanyakan kondisi siswa. Selanjutnya guru memberikan apersepsi dengan tentang sudut, segitiga siku-siku dan segitiga sebangun, memberikan motivasi dengan mengakitkan segitiga sebangun sebagai konsep awal membangun konsep trigonometri, daben rtanya kepada siswa ―Berapa pahala orang yang sholat berjamaah?‖;―Jika X dan Y sama-sama sholat berjamaah, namun Y lebih ikhlas melakukan sholat berjamaah daripada X, siapa yang lebih mulia di mata Allah? secara ilustrasi matematika. Serta menceritakan beberapa manfaat penggunaan bangun ruang sisi datar dalam kehidupan sehari-hari. Kemudian, guru memberikan informasi mengenai tujuan pembelajaran hari itu dan menerangkan model pembelajaran yang akan digunakan. Pada kegiatan inti guru mengawali dengan menciptakan stimulus dengan memberikan gambar dua kelompok segitiga kepada setiap kelompok, dimana kelompok diskusi telah dibentuk sebelum pelaksanaan Siklus 1 berdasarkan nilai tes pada materi sebelumnya dan arahan walikelas dan guru matematika dikelas tersebut. Selanjutnya siswa diminta untuk menyelidiki kelompok segitiga yang sebangun. Selama proses diskusi berlangsung guru berkeliling pada masing – masing kelompok untuk memberikan bantuan kecil (scaffolding) serta motivasi pada siswa untuk aktif dalam kelompoknya. Guru selanjutanya menyiapkan rumusan masalah dengan memberikan LKS 1, kemudian siswa mengumpulkan data, mengolah data dan memverifikasi data. Guru berkeliling mencermati siswa bekerja, mencermati dan menemukan berbagai kesulitan yang dialami siswa, serta memberikan kesempatan kepada siswa untuk bertanya hal-hal yang belum dipahami. 1148
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
Memberikan kesempatan kepada siswa untuk menjelaskan di depan kelas atas jawaban yang telah mereka dapatkan. Dan bersama-sama dengan siswa menyimpulkan hasil yang diperoleh. Setelah siswa memahami materi dengan bekerja bersama kelompok, guru memberikan penguatan terhadap materi yang telah dipelajari pada hari itu dan meminta siswa untuk mengumpulkan hasil pekerjaan mereka (LKS). Selanjutnya, guru memberikan informasi terkait materi yang akan dibahas pada pertemuan berikutnya dan memimpin doa bersama setelah belajar serta mengakhiri pertemuan dengan mengucapkan ―Alhamdulillah‖. 3. Observasi Hasil observasi siklus 1 tentang kemampuan guru dalam melaksanakan pembelajaran menggunakan metode penemuan terbimbing baik hanya perlu beberapa hal yang perlu diperbaiki. Sedangkan hasil observasi siklus 1 tentang hasil belajar siswa menggunakan metode penemuan terbimbing pada materi trigonometri adalah 4 kelompok dari 6 kelompok yang dapat menyelesaiakan LKS dengan baik (menyimpulkan dengan benar). 4. Refleksi Hasil refleksi dari siklus 1 antara lain: penekanan penyampaian tujuan pembelajaran, alat peraga busur harus ditambah dan diperlukan alat hitung agar setiap anggpta kelompok memiliki peran. B. Siklus 2 1. Perencanaan Tahap perencanaan meliputi: materi yang akan diajarkan: Trigonometri (nilai perbandingan trigonometri sudut-sudut istimewa di kuadran I), waktu pelaksanaan siklus ke-2 pada kamis, 27 februari 2014 mulai pukul 06.30-18.00, perangkat pembelajaran berupa RPP dan LKS, model pembelajaran yang akan digunakan: pembelajaran penemuan Serta menyiapkan alat pengumpul data yang berupa lembar observasi guru dan lembar observasi siswa. 2. Pelaksanaan Pelaksanaan siklus 2 dilaksanakan pada hari kamis, 27 Februari 2014 selama 70 menit atau 2 jam pelajaran, tepatnya pukul 06.30 - 08.30 WIB. Siswa yang hadir berjumlah 25 orang. Pelaksanaan pembelajaran yang dilakukan guru sekaligus peneliti antara lain: apersepsi dengan memberikan pertanyaan mengenai kesulitan dalam mengerjakan latihan dirumah dan perbandingan trigonometri yang telah dipelajari pada pertemuan sebelumya.Selanjutnya, guru memberikan motivasi dengan menceritakan pentingnya pembelajaran yang akan dipelajari saat ini dalam dalam kehidupan sehari-hari. Guru menunjukan alat peraga yang akan digunakan dan memberikan pertanyaan ―apakah kalian bisa menentukan sudut
1 1 putaran penuh atau putaran penuh?‖ Kemudian, guru 2 4
memberikan informasi mengenai tujuan pembelajaran hari itu dan menyampaikan model pembelajaran yang akan digunakan.K egiatan inti guru mengawali dengan menciptakan stimulus dengan memberikan alat peraga yang dipakai kepada setiap kelompok dan mendemonstrasikan penggunaannya di depan kelas. Selanjutnya siswa diminta untuk menunjukan letak
1 putaran penuh. Selama proses berlangsung guru berkeliling pada 4
masing – masing kelompok untuk memberikan bantuan kecil (scaffolding) serta motivasi pada siswa untuk aktif dalam kelompoknya. Guru selanjutanya menyiapkan rumusan masalah dengan memberikan LKS 2, kemudian siswa mengumpulkan data, mengolah data dan memverifikasi data. Guru berkeliling mencermati siswa bekerja, mencermati dan menemukan berbagai kesulitan yang dialami siswa, serta memberikan kesempatan kepada siswa untuk bertanya hal-hal yang belum dipahami. Memberikan kesempatan kepada siswa untuk menjelaskan di depan kelas atas jawaban yang telah mereka dapatkan. Guru bersama siswa menyimpulkan hasil pembelajaran pada hari itu dan memberikan dorongan kepada siswa untuk rajin belajar. 3. Observasi Hasil observasi siklus 2 tentang kemampuan guru dalam melaksanakan pembelajaran menggunakan metode penemuan sudah baik. Sedangkan hasil observasi
1149
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
siklus 2 tentang hasil belajar siswa menggunakan metode penemuan terbimbing pada materi trigonometri adalah 4 kelompok dari 6 kelompok yang dapat menyelesaiakan LKS dengan baik (menyimpulkan dengan benar). 4. Refleksi Hasil refleksi dari siklus 1 antara lain: kemampuan guru dalam melaksanakan pembelajaran sudah lebih baik karena guru sudah mulai terbiasa menggunakan metode penemuan. Hasil belajar siswa mengalami penurunan, hal ini dikarenakan waktu yang seharusnya 90 menit terpotong 20 menit karena ada kegiatan sekolah. Pembahasan Setelah melakukan 2 siklus penelitian pada pembelajaran matematika dengan materi trigonometri dengan menggunakan metode penemuan yang dilakukan peneliti selaku guru matematika kelas X dan diamati oleh teman sejawat, diperoleh rekapitulasi dari siklus 1 sampai siklus 2 antara lain: kemampuan guru dalam melaksanakan pembelajaran menggunakan metode penemuan pada pembelajaran matematika dengan materi trigonometri mengalami peningkatan. Dari hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa kemampuan guru dalam mengajar menggunakan metode penemuan terbimbing pada pembelajaran matematika dengan materi trigonometri adalah baik. Hasil belajar siswa pada pembelajaran matematika dengan materi trigonometri kelas X mengalami penurunan. Dimulai dari siklus 1 dengan 5 dari 6 kelompok dapat menyimpulkan dengan benar, kemudian mengalami penurunan pada siklus 2 menjadi 4 dari 6 kelompok yang bisa mengerjakan dengan baik dikarenakan berkurangnya waktu pembelajaran karena ada kegiatan sekolah. SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Berdasarkan hasil yang diperoleh dari penelitian ― Lesson Study Dalam Pembelajaran Penemuan Pada Materi Trigonometri Di Kelas X kelas X SMA Al Hikmah Suraaya‖ dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut: (1) Kemampuan guru dalam melaksanakan pembelajaran menggunakan metode penemuan dalam hal ini dikategorikan baik. (2) Penerapan metode penemuan terbimbing pada materi trigonometri baik, meskipun pada sikuls ke-1 terdapat 83% siswa dapat menyimpulkan/menjawab LKS dengan benar dan pada siklus ke-2 terdapat 67% siswa dapat menyimpulkan/menjawab LKS dengan benar hal ini karena berkurangnya waktu pembelajaran. Saran Berdasarkan hasil penelitian yang telah diperoleh dan kendala-kendala yang dialami di lapangan, maka dapat disarankan hal-hal sebagai berikut: (1) Hendaknya dalam pembelajaran matematika lebih ditekankan pada penanaman konsep yang melibatkan siswa untuk aktif dalam menemukan sendiri pemecahan suatu masalah seperti metode penemuan terbimbing agar pembelajaran lebih bermakna, dan menyenangkan serta menambah pengetahuan dan keterampilan bagi siswa. (2) Guru hendaknya selalu melakukan refleksi terhadap pelaksanaan pelaksanaan pembelajaran agar guru dapat mengetahui kekurangan pada pembelajaran sebelumnya dan dapat memperbaiki pada pembelajaran selanjutnya. (3) Sebaiknya guru selalu menerapkan metode pembelajaran dan media pembelajaran yang bervariasi agar pembelajaran mudah dipahami dan dimengerti oleh siswa. DAFTAR RUJUKAN Alfieri, Louis. 2011 Does Discovery-Based Instruction Enhance Learning?. Journal of Educational Psychology. City University of New York Karim, Asrul. 2011. Penerapan Metode Penemuan Terbimbing Dalam Pembelajaran Matematika untuk Meningkatkan Pemahaman Konsep dan Kemampuan berfikir. Journal. Universitas Pendidikan Indonesia Arikunto, Suharsimi. 1992. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: PT Rineka Cipta. Bruner, J. S. 1967. On Knowing: Essays for The Left Hand. Cambrige, Mass: Harvard University Press (www.learning-theories.com/discovery-learning-bruner.html) Beni S. Ambarjaya. (2012). Psikologi Pendidikan dan Pengajaran Teori dan Praktik. Yogyakarta: CAPS. 1150
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
De Jong. Ton 2010. Scientific Discovery Learning with Computer Simulations of Conceptual Domains. University of Twente, The Netherlands Fruner, dan S, Robinson. 2004. Using TIMSS to Improve the Undergraduate Preparation of Mathematics Teachers. IUMPST: The Journal Curiculum,Vol 4. Klahr, David. 2004. The Equivalence Of Learning Paths In Early Science Instruction: Effects Of Direct Instruction And Discovery Learning. Journal of Educational Psychology. Carnegie Mellon University Depdiknas. 2008. Panduan Pengembangan Bahan Ajar. Direktorat Jenderal manajemen Pendidikan dasar dan Menengah. Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Atas. Jakarta. BNSP. Depdiknas, 2013. Materi Diklat/Bimtek Kurikulum 2013 SMA. Hudoyo, Herman. 1990. Strategi Belajar Mengajar Matematika. Malang: IKIP Malang. Ibrohim, 2009. Panduan Pelaksanaan Lesson Study di KKG. Malang. Universitas Negeri Malang Press. Ismail,dkk. (2008). Kapita Selekta Pembelajaran Matematika. Jakarta: Universitas Terbuka Kemdikbud, 2013. Materi Pelatihan Guru Implementasi Kurikulum 2013. Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia Pendidikan dan Kebudayaan dan Penjaminan Mutu Pendidikan Kemdikbud, 2014. Materi Pelatihan Guru Matematika SMP Kurikulum 2013. Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia Pendidikan dan Kebudayaan dan Penjaminan Mutu Pendidikan Markaban. 2006. Model Pembelajaran Matematika dengan Pendekatan Penemuan Terbimbing. PPPG. Yogyakarta: Depdiknas. Moleong L. J.. 2006. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosda. Nana Sudjana. (2011). Penilaian Hasil Proses Belajar Mengajar. (Cetakan ke-16). Ratumanan, Tanwey Gerson, 2004. Belajar dan Pembelajaran Edisi ke-2. Surabaya: Unesa University Prees Soedjadi, R. 1999. Kiat Pendidikan Matematika di Indonesia Konstatasi Keadaan Masa Kini Soebanji, 2014. Pedoman Pengalaman Lapangan Berbasis Project Lesson Study.Malang: Universitas Negeri Malang. Sulipan, 2011. Metode Pembelajaran Penemuan. (Online) (http://sulipan.wordpress.com/2011/05/16/metode-pembelajaran-penemuan-discovery-learning/) Suharsimi Arikunto. (2010). Penelitian Tindakan. Yogyakarta: Aditya Media. Sutawidjaja, A.. 2002. Konstruktivisme Konsep dan Implikasinya pada Pembelajaran Matematika. Jurnal Matematika atau Pembelajarannya. VIII (Edisi Khusus):355-359. TIM UM, 2010. Pedoman Penulisan Karya Ilmiah, Skripsi, Tesis, Disertasi, Artikel, Makalah, Tugas Akhir, Laporan Penelitian Edisi Kelima.Malang: Universitas Negeri Malang Tukiran Taniredja, Irma Pujiati, Nyata. (2010). Penelitian Tindakan Kelas. Bandung: Alfabeta. Wardani, I.G.A.K., dkk.. 2003. Penelitian Tindakan Kelas. Jakarta: Pusat Penerbitan Universitas Terbuka.
PEMBELAJARAN KOOPERATIF SIMETRI DALAM KELOMPOK KECIL Siti Khusnah SMA Negeri Tamanan, Bondowoso
[email protected] Abstrak: Pembelajaran kooperatif perlu untuk diterapkan pada pembelajaran matematika di sekolah. Termasuk dalam mengajarkan materi simetri yang menggunakan kegiatan pembelajaran kooperatif sebagai bentuk pembelajaran aktif untuk menambah atau mengganti pembelajaran tradisional. Artikel ini menjelaskan efektifitas pembelajaran kooperatif, dan penggunaan kegiatan pembelajaran kooperatif dalam belajar mengajar simetri. Berbagai cara menggunakan kegiatan pembelajaran kooperatif dijelaskan bersama
1151
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
dengan alasan untuk menerapkan jenis metode pembelajaran.Karakteristik belajar kelompok yang baik juga dijelaskan dalam artikel ini. Kata kunci: pembelajaran kooperatif; kelompok-kelompok kecil.
Pembelajaran kooperatif lazim dibicarakan dalam pembicaraan mengenai peningkatan mutu pendidikan. Beberapa definisi dari pembelajaran kooperatif meliputi: 1) Penggunaan pembelajaran kelompok-kelompok kecil sehingga siswa bekerja sama untuk memaksimalkan mereka sendiri dan belajar satu sama lain (Johnson, Johnson, dan Smith 1991), 2) Kegiatan yang melibatkan sekelompok kecil siswa yang bekerja sama sebagai sebuah tim untuk memecahkan masalah, menyelesaikan tugas, atau mencapai tujuan bersama (Artzt dan Newman 1990), 3) Sebuah tugas untuk diskusi kelompok dan resolusi (jika mungkin), membutuhkan interaksi face-to-face, suasana kerja sama dan saling menolong, dan akuntabilitas individu (Davidson 1990). Sedangkan pembelajaran tidak kooperatif menurut Johnson et al.(1991) adalah tidak ada siswa duduk side-by-side di meja yang sama dan berbicara satu sama lain, seperti siswa mengerjakan tugas masing-masing, setelah siswa melakukan tugas individu dengan instruksi bahwa mereka yang selesai lebih dulu harus membantu siswa yang lebih lambat, atau menugaskan laporan kepada kelompok di mana satu siswa mengerjakan semua pekerjaan dan yang lainnya hanya menempatkan nama mereka di atas lembar kerja. Efektivitas pembelajaran kooperatif Penelitian yang telah menganalisis pengaruh pembelajaran kooperatif pada pembelajaran siswa telah menunjukkan manfaat dalam dua yaitu variabel kognitif dan afektif (Johnson, Johnson & Stanne, 2000; Johnson, Maruyama, Johnson & Smith, 1998). Mayoritas studi ini membandingkan keberhasilan pembelajaran kooperatif dengan pengajaran kompetitif dan individualistis. Singkatnya, hasilnya adalah sebagai berikut: berkaitan dengan variabel kognitif, pembelajaran kooperatif menimbulkan kemampuan yang lebih besar dalam pemecahan masalah, memudahkan retensi, penerimaan konsep, produktivitas yang lebih besar, yg menimbulkan kualitas penalaran yang lebih tinggi, serta transfer dari apa yang telah dipelajari. Sehubungan dengan variabel afektif: pembelajaran kooperatif mendorong hubungan yang lebih baik antar kalangan siswa, dukungan sosial dari anggota kelompok, hubungan dari keberhasilan atau kegagalan tugas dilakukan dalam kelompok, rasa ingin tahu yang lebih besar dan motivasi untuk melanjutkan, dan komitmen yang lebih besar untuk belajar (Lara & Reparaz, 2007) Menggunakan Pembelajaran Kooperatifbdalam Kelompok Mengajarkan matematika menggunakan pembelajaran tradisional di mana guru memberikan informasi kepada siswa kemudian siswa harus menghafalkan sudah saatnya dilakukan perubahan. Guru didorong untuk memperkenalkan kegiatan pembelajaran aktif dimana siswa dapat membangun pengetahuan . Salah satu cara bagi guru untuk memasukkan pembelajaran aktif di kelas adalah menyusun kesempatan bagi siswa untuk belajar bersama dalam kelompok-kelompok kecil. Sesuai pengembangan kurikulum 2013 yang mengisyaratkan bahwa pembelajaran tradisional diubah menjadi pembelajaran yang menuntut kreatifitas siswa. Mayoritas studi penelitian yang dipublikasikan meneliti kegiatan pembelajaran kooperatif di sekolah dasar dan menengah, dan subkelompok dari studi ini berfokus pada kelas matematika. Implikasi dari studi ini adalah bahwa penggunaan kegiatan belajar kelompok kecil menyebabkan produktivitas kelompok lebih baik, sikap yang lebih baik, dan kadang-kadang, peningkatan prestasi (Garfield, in press). Jones (1991) memperkenalkan kegiatan pembelajaran kooperatif mengamati peningkatan dramatis dalam kehadiran, partisipasi kelas, kunjungan kantor, dan sikap siswa. Argumen lain untuk menggunakan kelompok kooperatif berkaitan dengan teori belajar konstruktivis, di mana sebagian besar reformasi saat ini sebagai dasar dalam matematika dan ilmu pendidikan. Teori ini menjelaskan belajar secara aktif membangun pengetahuan sendiri. Konstruktivis melihat siswa membawa ke kelas ide-ide mereka sendiri, pengalaman, dan keyakinan, yang mempengaruhi bagaimana mereka memahami dan belajar materi baru . Daripada "menerima" materi di kelas seperti yang "disampaikan", siswa merestrukturisasi informasi baru untuk masuk ke dalam kerangka kognitif mereka. Dengan cara ini, mereka secara aktif dan secara individu membangun pengetahuan mereka sendiri, daripada menyalin
1152
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
pengetahuan kepada mereka. Sebuah teori yang terkait pengajaran berfokus pada pengembangan pemahaman siswa, bukan pada pengembangan keterampilan hafalan. Kegiatan belajar Kelompok Kecil dapat dirancang untuk mendorong siswa untuk membangun pengetahuan ketika mereka belajar materi baru, mengubah kelas menjadi komunitas pelajar, aktif bekerja sama untuk memahami materi simetri. Peran guru berubah dari "sumber informasi" menjadi "fasilitator pembelajaran". Sebagian fungsi fasilitator pembelajaran adalah untuk menjadi penilai siswa pada saat pembelajaran sedang berlangsung. Sebagai bagian dari reformasi saat ini adalah penilaian kinerja siswa, guru didorong untuk mengumpulkan berbagai informasi penilaian dari sumber selain tes individu siswa. Kegiatan pembelajaran kooperatif dalam kelompok dapat disusun untuk memberikan beberapa informasi yang banyak bagi para guru untuk digunakan dalam menilai sifat belajar siswa. Sambil berjalan di sekitar kelas dan mengamati siswa saat mereka bekerja dalam kelompok, guru mampu mendengar siswa mengekspresikan pemahaman mereka tentang apa yang telah mereka pelajari, yang menyiapkan guru-guru dengan terus-menerus, melakukan penilaian informal berkelanjutan untuk menilai seberapa baik siswa belajar dan memahami konsepkonsep simetri. Laporan tertulis tentang kegiatan kelompok dapat digunakan untuk menilai kemampuan siswa untuk memecahkan suatu masalah tertentu, menerapkan keterampilan, menunjukkan pemahaman tentang konsep yang penting, atau menggunakan ketrampilan penalaran. Argumen akhir untuk memasukkan kegiatan pembelajaran kooperatif dalam kelompok pada pembelajaran simetri adalah bahwa dalam dunia bisnis semakin dibutuhkan karyawan yang mampu bekerja sama pada proyek-proyek dan untuk memecahkan masalah sebagai sebuah tim. Oleh karena itu, penting untuk memberikan siswa latihan dalam mengembangkan keterampilan ini dengan bekerja secara kooperatif pada berbagai kegiatan . Jenis pengalaman tidak hanya akan membangun kemampuan memecahkan masalah kolaboratif, tetapi juga akan membantu siswa belajar menghargai sudut pandang lain, pendekatan lain untuk memecahkan masalah, dan gaya belajar lainnya. Kegiatan Pembelajaran Kooperatif yang Dapat Membantu Siswa Belajar Penggunaan kegiatan belajar kelompok kecil tampaknya menguntungkan siswa dengan cara yang berbeda. Kegiatan ini sering mengakibatkan siswa mengajar satu sama lain atau disebut ―tutor sebaya‖, terutama ketika beberapa siswa memahami materi lebih baik atau belajar lebih cepat daripada yang lain. Siswa yang mengambil peran sebagai "tutor" sering menemukan bahwa mengajar orang lain mengarah ke peningkatan pemahaman materi mereka sendiri . Hasil ini diperkuat oleh penelitian tentang tutor sebaya yang menunjukkan bahwa memiliki siswa mengajar satu sama lain adalah cara yang sangat efektif untuk meningkatkan pembelajaran siswa (McKeachie, Pintrich , Yi-Guang, dan Smith 1986). Bekerja sama mendorong siswa untuk membandingkan solusi yang berbeda untuk masalah simetri (lampiran 1), strategi pemecahan masalah, dan cara memahami masalah tertentu . Hal ini memungkinkan siswa untuk belajar bahwa untuk memecahkan sebagian besar masalah simetri bisa menggunakan lebih dari satu cara. Kegiatan kelompok kecil juga memberi siswa kesempatan untuk mengekspresikan secara verbal pemahaman mereka tentang apa yang telah dipelajari, sebagai kebalikan dari interaksi dengan materi yang hanya melibatkan kegiatan mendengarkan dan membaca. Dengan memiliki kesempatan untuk sering berlatih berkomunikasi siswa lebih mampu melihat pada materi tertentu yang belum mereka kuasai yaitu ketika mereka tidak dapat menjelaskan sesuatu secara memadai atau berkomunikasi secara efektif dengan anggota kelompok. Diskusi kelompok kecil juga memungkinkan siswa untuk bertanya dan menjawab lebih banyak pertanyaan daripada dalam diskusi kelompok besar di mana biasanya beberapa siswa mendominasi diskusi. Akhirnya, motivasi berprestasi siswa seringkali lebih tinggi dalam kegiatan kelompok kecil karena siswa merasa lebih positif karena mampu menyelesaikan tugas dengan orang lain daripada bekerja secara individual (Johnson et al . 1991) . Bekerja sama menuju tujuan bersama juga menghasilkan ikatan emosional di mana anggota kelompok mengembangkan perasaan positif terhadap kelompok dan komitmen terhadap bekerja bersama-sama. Peningkatan motivasi juga dapat menyebabkan peningkatan sikap siswa terhadap pelajaran dan materi yang dipelajari. Jenis Kelompok Kooperatif 1153
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
Tidak ada satu cara yang benar untuk bekerja dalam kelompok, meskipun ada pedoman untuk menggunakan kelompok dengan efektik dalam berbagai jenis pengaturan saja. Guru dapat memungkinkan siswa untuk memilih anggota kelompok sendiri atau kelompok dapat dibentuk oleh guru untuk menjadi baik homogen atau heterogen pada karakteristik tertentu (misalnya, pengelompokan bersama semua siswa yang menerima nilai A pada kuis terakhir, atau pencampuran siswa dengan nilai yang berbeda). Johnson et al. (1991) menggambarkan beberapa jenis kelompok, termasuk kelompok-kelompok informal dan formal. Kelompok informal sering digunakan untuk melengkapi pengajaran di kelas besar , dan dapat berubah setiap hari . Kegiatan yang bisa dilakukan untuk kelompok informal misalnya diskusi untuk meringkas jawaban untuk pertanyaan yang sedang dibahas, memberikan reaksi untuk diskusi, atau menghubungkan informasi baru untuk pembelajaran masa lalu. Dalam kelompok formal, siswa bekerja dengan siswa yang sama untuk jangka waktu yang lama, kadang-kadang untuk seluruh semester. Dalam kelompok ini siswa dapat membagi pekerjaan yang harus dilakukan pada kegiatan tertentu di kelas, bekerja sama untuk memecahkan masalah atau menerapkan metode simetri, atau bekerja pada proyek-proyek jangka panjang . Siswa juga dapat menggunakan kelompok ini untuk meninjau materi, pekerjaan rumah lengkap, mengajar setiap informasi lainnya, mendorong dan mendukung satu sama lain, dan saling memberi informasi tentang permasalahan yang telah terjawab di kelas. Pelaksanaan Kelompok Ketika pertama kali memperkenalkan kegiatan kelompok perlu untuk menetapkan beberapa aturan bagi siswa. Mereka harus diberitahu bahwa mereka selalu bertanggung jawab untuk pekerjaan mereka sendiri tetapi juga harus bersedia untuk membantu setiap anggota kelompok yang meminta bantuan. Contoh pembelajaran simetri dalam kelompok dapat dilihat pada lampiran 1. Jika mereka memiliki pertanyaan tentang aktivitas mereka pertama kali harus bertanya satu sama lain, dan dapat bertanya pada guru hanya jika ada satu dalam kelompok dapat menjawab pertanyaan mereka. Mereka harus mendengarkan dengan cermat satu sama lain dan berbagi kepemimpinan, memastikan semua orang berpartisipasi dan tidak ada yang mendominasi . Hal ini juga penting untuk membangun rasa hormat dan pertimbangan untuk semua anggota kelompok. Salah satu cara adalah dengan menunjukkan bahwa semua orang belajar pada tingkat yang berbeda dan bahwa ada banyak cara yang berbeda di mana orang-orang terbaik belajar. Adalah penting bahwa siswa mengakui dan menerima perbedaan-perbedaan ini dan menghormati satu sama lain. Siswa dapat diberitahu bahwa mereka akan belajar simetri lebih efektif dengan mengajukan pertanyaan, menjawab pertanyaan, saling membantu, dan menganalisis kesalahan masing-masing. Akhirnya, siswa harus menyadari bahwa masalah yang akan mereka pecahkan kemungkinan akan diselesaikan dengan cara yang berbeda. Mereka harus dimotivasi untuk mencoba belajar satu sama lain dengan membandingkan dan menjelaskan solusi yang berbeda . Peran Kelompok Dalam rangka mendorong saling ketergantungan positif di antara anggota kelompok , siswa dapat ditugaskan untuk peran tertentu, yang dapat diubah setiap hari ( Johnson et al . 1991). Peran-peran ini dapat membantu siswa memulai aktivitas dan juga mencegah satu orang dari melakukan semua pekerjaan . Seorang "organizer" bertugas menetapkan tugas kepada anggota kelompok, moderator diskusi kelompok, mengawasi bahwa tugas yang diberikan dilaksanakan, dan membantu untuk menjaga kelompok pada materi. Sebuah pekerjaan "penyimpul" adalah untuk meringkas diskusi atau solusi masalah yang diselesaikan dalam kelompok, sehingga "notulen" dapat menuliskan ringkasan hasil diskusi. Karakteristik Kegiatan Kelompok yang Baik Meskipun kegiatan pembelajaran kooperatif dalam kelompok dapat digunakan dalam berbagai cara, sangat penting untuk mempertimbangkan karakteristik kegiatan yang baik dalam merancang kegiatan untuk pembelajaran simetri di kelas. Kegiatan harus mensyaratkan bahwa semua anggota kelompok terlibat, dan tidak memungkinkan hanya satu atau dua siswa untuk melakukan pekerjaan sedangkan siswa yang lain mengamati mereka . Petunjuk untuk kegiatan harus dibuat sangat jelas sehingga siswa tidak menghabiskan waktu untuk mencari tahu apa 1154
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
yang akan mereka lakukan, atau melakukan aktivitas yang tidak sesuai dengan yang diharapkan oleh guru. Siswa harus tahu sebelumnya bahwa mereka bertanggung jawab untuk memperoleh hasil akhir, baik secara individu maupun sebagai kelompok. Hal ini dapat mengakibatkan siswa berkontribusi pada hasil diskusi kelompok, di mana siswa dapat diminta untuk mengevaluasi sejauh mana kontribusi masing-masing anggota kelompok. Ada juga beberapa penilaian dari hasil kegiatan kelompok sehingga siswa menerima umpan balik dan belajar dari setiap kesalahan yang dibuat . Mengevaluasi Belajar Siswa Sangat penting dalam kegiatan kelompok menyimpulkan dengan beberapa jenis ringkasan dari apa yang dipelajari siswa. Siswa diminta untuk mendiskusikan hasil pekerjaan masing-masing atau untuk menulis ringkasan hasil kerja kelompok dari kegiatan tersebut. Nilai atau poin dapat diberikan dengan cara yang berbeda. Jika siswa bekerja bersama-sama tapi menyerahkan laporan terpisah, ini dapat dinilai secara individual dan kemudian skor kelompok berdasarkan rata-rata tugas. Jika hanya skor kelompok ditugaskan untuk produk kelompok, siswa dapat diminta untuk secara sukarela membuat presentase kontribusi mereka, dan hal ini dapat digunakan untuk menentukan nilai mereka dari poin kelompok. Atau, skor kelompok dapat diberikan dan semua orang menerima skor. Metode akan bervariasi berdasarkan jenis tugas yang diberikan. Selain guru harus mengevaluasi produk kelompok, siswa harus didorong untuk menilai hasil kelompok mereka sendiri, serta seberapa efektif kelompok mereka dalam bekerja sama. Kadang-kadang jawaban kelompok dapat dipertukarkan antara kelompok sehingga siswa dapat mengkritik pekerjaan masing-masing. Siswa juga dapat berpartisipasi dalam kuis kelompok, di mana mereka bekerja sama untuk memecahkan masalah pada kuis. Metode ini sangat efektif jika terjadi setelah siswa secara individual mengambil kuis yang sama. KESIMPULAN Pembelajaran Kooperatif kelompok mencakup berbagai macam kegiatan yang dapat diimplementasikan dalam beberapa cara berbeda pada pelajaran simetri. Kegiatan ini menawarkan cara bagi siswa untuk menjadi lebih terlibat dalam belajar dan mengembangkan keterampilan dalam bekerja dengan orang lain. Dukungan kuat dari penelitian dan rekomendasi dari laporan terbaru mendesak reformasi pendidikan harus mendorong guru untuk lebih memperkenalkan kegiatan kelompok kooperatif dalam kelas. Mungkin sebagai guru yang lebih berpeluang bereksperimen dengan penggunaan kelompok kecil dan untuk mengevaluasi efektivitas mereka dalam meningkatkan pembelajaran siswa, kita akan mampu untuk mengembangkan inti dari penelitian untuk menginformasikan kepada kami mengenai jenis terbaik kegiatan untuk digunakan dalam membantu siswa mempelajari konsep-konsep tertentu. SARAN Diperlukan kajian-kajian yang mendalam dan kerja sama dari para praktisi pendidikan khususnya bagi guru untuk mendalami dan melakukan evaluasi-evaluasi terhadap pelaksanaan pembelajaran kooperatif pada materi-materi tertentu yang pada akhirnya akan dapat meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia. LAMPIRAN Contoh Kegiatan Kelompok Tindakan A.1 Setiap kelompok peserta diberi beberapa gambar sebagai berikut: Mereka diberi petunjuk berikut: 1. Dalam kelompok, diskusikan masing-masing dari benda di dalam gambar yang Anda lihat di LKS, manakah yang mempunyai sifat simetri lipat mana yang tidak.
1155
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
2. Dalam kelompok, diskusikan masing-masing dari benda di dalam gambar yang Anda lihat di LKS, manakah yang mempunyai sifat simetri putar mana yang tidak. 3. Dalam kelompok, diskusikan berapa derajat putar dari benda di dalam gambar yang Anda lihat di LKS dan memenuhi sifat simetri putar. 4. Dalam kelompok, diskusikan definisi simetri lipat dan simetri putar menurut bahasa kalian sendiri. 5. Dalam kelompok, sebutkan 10 benda di sekitar kita yang memenuhi sifat simetri lipat atau simetri putar atau keduanya. DAFTAR RUJUKAN Artzt, A. and Newman, C. (1990), How to Use Cooperative Learning in the Mathematics Class, Reston, VA: National Council of Teachers of Mathematics. Cobb, George (1992), "Teaching Statistics," in Heeding the Call for Change: Suggestions for Curricular Action, ed. L. Steen, MAA Notes, No. 22. Davidson, N. (ed.) (1990), Cooperative Learning in Mathematics: A Handbook for Teachers, Menlo Park: Addison Wesley. Garfield, J. (in press), "How Students Learn Statistics," International Statistical Review. Goodsell, A., Maher, M., and Tinto, V. (1992), Collaborative Learning: A Sourcebook for Higher Education, University Park, PA: National Center on Postsecondary Teaching, Learning and Assessment. Johnson, D., Johnson, R., and Smith, K. (1991), Cooperative Learning: Increasing College Faculty Instructional Productivity, ASHE-ERIC Higher Education Report No. 4, Washington, DC: The George Washington University. Johnson, D.W., Johnson, R.T. and Smith, K. (1998). Controversy within Decision makingMaking-Sitations. In M. Rahim (Ed). Managing Conflict:An Interdisciplinary Approach. New York: Praeger Publishing Co. Johnson, D.W., Johnson., R and Stanne, M. B. (2000, May). Cooperative Learning Methods: A Meta-Analysis, [online]. The Cooperative Learning Center at The University of Minnesota. Disponible: http://clcrc.com/pages/cl=methods. Html [2001. December] Jones, L. (1991), Using Cooperative Learning to Teach Statistics, Research Report Number 912, The L.L. Thurstone Psychometric Laboratory, University of North Carolina. Lara, S., Reparaz, C., (2007), Effectiveness of cooperative learning fostered by working with WebQuest, Electronic Journal of Research in Educational Psycology, N.13 Vol. 5 (3), ISSN:1696-2095. pp : 731-756. University of Navarra, Spain.
1156
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
McKeachie, W., Pintrich, P., Yi-Guang, L., and Smith, D. (1986), Teaching and Learning in the College Classroom: A Review of the Research Literature, Ann Arbor: Regents of the University of Michigan. Moyer, Patricia. "Patterns and Symmetry: Reflections of Culture." Teaching Children Mathematics 8 (November 2001): 140-144. Examines the use of patterns and symmetry as one starting point for integrating culture into mathematics lessons. National Council of Teachers of Mathematics (1989), Curriculum and Evaluation Standards for School Mathematics, Reston, VA: Author. National Council of Teachers of Mathematics (1991), Professional Standards for Teaching Mathematics, Reston, VA: Author. National Research Council (1989), Everybody Counts: A Report to the Nation on the Future of Mathematics Education, Washington, DC: National Academy Press.
IMPLEMENTASI MODEL PEMBELAJARAN NHT BERBASIS LESSON STUDY UNTUK MENINGKATKAN KEMANDIRIAN BELAJAR MATEMATIKA SISWA DI SMA NEGERI 10 BANJARMASIN Syamsir Kamal, Ipung Yuwono, dan Swasono Rahardjo Universitas Negeri Malang
[email protected] Abstrak: Penelitian ini bertujuan untuk mengimplementasikan model pembelajaran NHT berbasis Lesson Study untuk meningkatkan kemandirian belajar matematika siswa di SMA Negeri 10 Banjarmasin. Adapun subyek penelitian adalah siswa kelas XII IPA SMA Negeri 10 Banjarmasin Tahun Pelajaran 2013/2014 berjumlah 28 orang. Pelaksanaan penelitian dilakukan dalam 2 kali putaran. Model pembelajaran yang dipilih yaitu model Pembelajaran Kooperatif tipe Numbered Head Together (NHT). Indikator kemandirian belajar yang diamati adalah hasil aktifitas belajar yang meliputi mempelajari materi yang akan dipelajari dengan sendirinya, bertanya kepada guru bila merasa kesulitan, menjawab pertanyaan guru, berdiskusi dengan kelompok, serta menanggapi dan bertanya saat presentasi. Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa adanya peningkatan kemandirian belajar matematika siswa . Hal ini dapat dilihat indikator – indikator antara lain : (1) mempelajari materi yang akan dipelajari dengan sendirinya sebelum dilakukan tindakan sebesar 32,14% dan di akhir tindakan mencapai 78,57%, , (2) bertanya kepada guru bila merasa kesulitan sebelum dilakukan tindakan sebesar 21,42% dan di akhir tindakan mencapai 89,28%, (3) menjawab pertanyaan guru sebelum dilakukan tindakan sebesar 28,57% dan di akhir tindakan mencapai 82,14%, (4) berdiskusi dengan kelompok sebelum dilakukan tindakan sebesar 25% dan di akhir tindakan mencapai 60,71% dan (5) menanggapi dan bertanya saat presentasi sebelum dilakukan tindakan sebesar 21,42% dan di akhir tindakan mencapai 71,42% . Dari penelitian ini disimpulkan bahwa implementasi model pembelajaran NHT Berbasis Lesson Study dapat meningkatkan kemandirian belajar matematika siswa. Kata kunci: model pembelajaran NHT berbasis Lesson Study, kemandirian belajar matematika siswa
Proses pembelajaran merupakan proses pengembangan potensi-potensi siswa sebagai peserta didik secara menyeluruh dan terpadu. Keberhasilan suatu proses pembelajaran dipengaruhi oleh berbagai komponen yang ada didalamnya, antara lain tujuan, bahan atau materi, model pembelajaran, media, guru, dan siswa. Terkait dengan model pembelajaran, masih banyak guru matematika menggunakan Pembelajaran langsung, yang berpusat pada guru dan kurang melibatkan siswa dalam pembelajaran. Selain itu Guru dituntut untuk mampu menyampaikan materi pelajaran dan juga harus mampu mengaktualisasi peran strategisnya dalam upaya membentuk watak siswa melalui pengembangan kepribadian dan nilai-nilai yang berlaku. 1157
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
Pembelajaran matematika di kelas seringkali masih terlihat monoton, hal ini disebabkan siswa pasif dalam mengikuti proses pembelajaran. Pembelajaran seperti itu termasuk pembelajaran yang masih konvensional, di mana guru masih terlihat dominan dalam proses pembelajaran. Guru tidak menciptakan interaksi dengan siswa, sehingga siswa terlihat pasif dan hanya mendengarkan penjelasan dari guru. Selain itu, guru seringkali tidak memberikan kesempatan kepada siswa untuk dapat mengeksplorasi kemampuan yang dimiliki secara mandiri, seperti halnya mengeksplorasi materi secara mandiri tanpa pembelajaran dari guru. Dalam segi penyampaian materi, guru tidak mengkaitkan materi dalam kehidupan sehari – hari sehingga siswa tidak mengerti arti pentingnya materi dalam kehidupan sehari – hari. Hal ini menyebabkan rendahnya kemandirian siswa dalam mengikuti proses pembelajaran. Dalam proses pembelajaran setiap siswa atau peserta didik selalu diarahkan agar menjadi siswa yang mandiri, dan untuk menjadi mandiri seseorang individu harus belajar, sehingga dapat dicapai suatu kemandirian belajar. Dalam perkembangannya kemandirian muncul sebagai hasil proses belajar dan pengalaman. Kemandirian berasal dari kata mandiri yang berarti berdiri sendiri, yaitu suatu keadaan yang memungkinkan seseorang mengatur dan mengarahkan diri sendiri sesuai tingkat perkembangannya. Belajar mandiri adalah belajar atas inisiatif sendiri dalam mengidentifikasi kebutuhan belajar, merumuskan tujuan belajar, mengidentifikasi sumber belajar, memilih dan menetapkan strategi belajar, serta mengevaluasi hasil belajar. Kemandirian adalah hal atau keadaan dapat berdiri sendiri tanpa bergantung kepada orang lain. Dalam kenyataannya tidak ada manusia yang mampu hidup berdiri sendiri tanpa bergantung kepada orang lain. Manusia adalah makhluk sosial yang tidak lepas dari kehidupan bermasyarakat, mereka saling menghubungkan sikap , tingkah laku dan perbuatan , saling memberi dan menerima sehingga meskipun ukurannya sedikit tetap saja memerlukan bantuan orang lain. Kemandirian belajar merupakan proses belajar atas inisiatif sendiri dan merupakan keinginan sendiri. Siswa termotivasi untuk belajar dan menyelesaikan masalah sendiri, namun artian sendiri ini siswa tidak belajar seorang diri tetapi juga dapat bekerja sama dengan teman. Kemandirian belajar atau self regulated learning mempunyai banyak pengertian. Long (Kerlin, 1992) misalnya, memandang belajar sebagai proses kognitif yang dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti keadaan individu, pengetahuan sebelumnya, sikap, pandangan individu, konten, dan cara penyajian. Satu sub-faktor penting dari keadaan individu yang mempengaruhi belajar adalah self-regulated learning (kemandirian belajar). Paris dan Winogard (1998) mengartikan kemandirian belajar sebagai suatu proses seseorang berinisiatif belajar dengan atau tanpa bantuan orang lain, mendiagnosa kebutuhan belajarnya sendiri, merumuskan tujuan belajarnya sendiri, dan mengevaluasi hasil belajarnya. Moore (dalam Keegan, 1991) mengatakan bahwa belajar peserta didik adalah sejauh mana dalam proses pembelajaran itu siswa dapat ikut menentukan tujuan, bahan, dan pengalaman belajar, serta evaluasi pembelajarannya. Sedangkan menurut Schunk dan Zimmerman (1998) terdapat tiga fase utama dalam siklus self regulated learning yaitu merancang belajar, memantau kemampuan belajar selama menerapkan rancangan, dan mengevaluasi hasil belajar secara lengkap. Karakteristik atau ciri-ciri pembelajar mandiri (Mynard, 2002) yaitu percaya diri,dapat membuat suatu keputusan tentang pembelajarannya sendiri, sadar akan kekuatan dan kelemahan dirinya sendiri, dapat menghubungkan hasil pembelajaran di kelas dengan kehidupan nyata, bertanggung jawab atas pembelajarannya sendiri, mengetahui macam-macam strategi pembelajaran, merencanakan pembelajaran dan merancang tujuan belajarnya secara mandiri, termotivasi untuk melakukan peningkatan dalam pembelajaran, dan sering melakukan refleksi pada proses pembelajaran dan peningkatan pada dirinya sendiri. Sedangkan Sumarmo (2004) menjabarkan karakteristik utama kemandirian belajar menjadi 3 yaitu merancang tujuan, memilih strategi, memantau proses kognitif dan afektif yang berlangsung ketika seseorang menyelesaikan suatu tugas. Butler (2002) mengemukakan bahwa self regulated learning merupakan siklus kegiatan kognitif yang rekursif (berulang-ulang) yang memuat kegiatan: menganalisis tugas; memilih, mengadopsi, atau menemukan pendekatan strategi untuk mencapai tujuan tugas; dan memantau hasil dari strategi yang telah dilaksanakan. Untuk menjadi pembelajar yang mandiri Zimmerman dan Matinez-Pons (1986) mengajukan model yang menjabarkan strategi kemandirian belajar meliputi mengevaluasi diri (self evaluation), merancang dan mentransformasi proses belajarnya 1158
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
(organizing and transforming), merencanakan dan merancang tujuan belajar (goal setting and planning), mencari berbagai informasi yang terkait (seeking information), membuat catatan dan memonitor proses belajarnya (keeping records and monitoring), menyusun, mengalokasi dan memonitor lingkungan belajarnya meliputi pula waktu, tenaga dan tempat (environmental structuring), self consequences, mengulang dan mengingat materi belajar (rehearsing and memorizing), mencari pendamping belajar yang sebaya (seeking peer assistance), mencari bimbingan guru (seeking teacher assistance), mencari pendamping belajar yang lebih senior (seeking adult assitance), mempelajari ulang soal-soal (reviewing test), mempelajari ulang buku catatan (reviewing notes), dan mempelajari ulang buku pegangan (reviweing text). Steinberg (2002), menyatakan bahwa kemandirian sebagai aspek psikis, dalam perkembangannya dipengaruhi oleh berbagai stimulus yang datang dari lingkungannya. Perkembangan kemandirian dipengaruhi oleh faktor eksogen dan faktor endogen. Faktor eksogen meliputi keluarga, kelompok teman sebaya, sekolah, dan masyarakat. Faktor endogen meliputi faktor fisiologis dan psikologis. Faktor fisiologis di antaranya adalah kondisi fisik seperti sehat dan tidak sehat atau sempurna dan tidak sempurna, sedangkan faktor psikologis meliputi bakat, minat, motivasi, dan kognisi. Menurut Fischer (1998) salah satu hal yang berperan penting di dalam pembentukan kemandirian belajar pada diri siswa adalah dari dukungan yang diterima oleh siswa dari komunitas tempat siswa berada, seperti dari sekolah, teman, orang tua, guru, dan sebagainya. Kemandirian belajar dalam penelitian ini adalah kemandirian seseorang dalam kegiatan belajarnya. dengan indikator – indikator antara lain : 1) Memiliki rasa tanggung jawab, 2) Tidak tergantung pada orang lain, 3) Memilki rasa ingin tahu dan 4) Percaya diri. Kemandirian belajar mendorong seseorang mengambil prinsip terhadap kegiatan serta segala aspek kegiatan belajarnya. Song and Hill (2007) menyebutkan bahwa kemandirian terdiri dari beberapa aspek, yaitu: 1) Personal Attributes, 2) Processes dan 3) Learning Context. Sedangkan menurut Stone, Schunk & Swartz (Cobb, 2003) self-regulated learning, dipengaruhi oleh tiga faktor utama, yaitu: keyakinan diri (self-efficacy), motivasi dan tujuan. Bokaerts (1996) menyatakan bahwa banyak peneliti sepakat bahwa faktor yang paling mendasar dari self regulated learning adalah keinginan untuk mencapai tujuan dalam belajar. Atribut personal lain yang juga terlibat dalam mempengaruhi self regulated Learning antara lain adalah (1) kesadaran akan penghargaan terhadap diri sendiri, (2) keinginan untuk mencoba, (3) komitmen, (4) manajemen waktu, (5) kesadaran akan metakognitif, dan (6) penggunaan energi yang efesien. Sedangkan faktor-faktor yang memunculkan self regulated learning yang buruk antara lain impulsivitas, tujuan akademik yang rendah, penghargaan diri yang rendah, kontrol yang buruk, serta perilaku menghindar. Pembelajaran sebagai suatu sistem bertujuan untuk membantu proses belajar siswa, yang berisi serangkaian peristiwa yang dirancang, disusun sedemikian rupa untuk mendukung dan mempengaruhi terjadinya proses belajar siswa yang bersifat internal. Dalam pembelajaran, situasi atau kondisi yang memungkinkan terjadinya proses belajar harus dirancang dan dipertimbangkan terlebih dahulu oleh guru. Pembelajaran dapat dirancang secara sistematis melalui kegiatan lesson study. Menurut Styler dan Hiebert (dalam Sparks, 1999) Lesson Study adalah suatu proses kolaboratif di mana sekelompok guru mengidentifikasi suatu masalah pembelajaran, merancang suatu skenario pembelajaran (yang meliputi kegiatan mencari buku dan artikel mengenai topik yang akan dibelajarkan); membelajarkan siswa sesuai skenario (salah seorang guru melaksanakan pembelajaran sementara yang lain mengamati), mengevaluasi dan merevisi skenario pembelajaran, membelajarkan lagi skenario pembelajaran yang telah direvisi, mengevaluasi lagi pembelajaran dan membagikan hasilnya dengan guru-guru lain (mendiseminasikannya). Lesson study merupakan suatu proses yang digunakan oleh guru-guru di Jepang untuk mengkaji ulang secara sistematis keefektifan dari cara mengajar mereka untuk pencapaian tujuan pembelajaran seperti yang diinginkan (Garfield, 2006). ada beberapa tahap yang perlu diperhatikan. Menurut Lewis (2002) ada 6 (enam) tahap yang perlu dilakukan dalam mengimplementasikan suatu Lesson Study, yaitu: (1) membentuk grup lesson study, (2) memfokuskan lesson study, (3) merencanakan research lesson (pelajaran yang diteliti), (4) mengajar dan mengamati research lesson, (5) mendiskusikan dan menganalisis research lesson, dan (6) merefleksikan lesson study Anda dan merencanakan tahap-tahap berikutnya.
1159
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
Sudrajat (2008) menyatakan bahwa Lesson Study merupakan kegiatan yang dapat mendorong terbentuknya sebuah komunitas belajar (learning society) yang secara konsisten dan sistematis melakukan perbaikan diri, baik pada tataran individual maupun manajerial. Tahapan Lesson Study yaitu (1) perencanaan (plan) bertujuan menghasilkan rancangan pembelajaran yang diyakini mampu membelajarkan siswa secara efektif dan membangkitkan partisipasi siswa dalam pembelajaran, (2) pelaksanaan (do) dimaksudkan untuk menerapkan rangcangan pembelajaran yang telah direncanakan. Salah satu anggota tim Lesson Study lesson study sebagai model dan yang lainya sebagai pengamat, (3) pengamatan dan refleksi (see) tujuannya untuk menemukan kelebihan dan kelemahan pelaksanaan pembelajaran. Lesson Study merupakan suatu model pengkajian pembelajaran secara kolaboratif dan berkelanjutan, berlandaskan prinsip-prinsip kolegialitas yang saling membantu dalam belajar untuk membangun komunitas belajar. Prinsip kolegialitas dan mutual learning (saling belajar) diterapkan dalam berkolaborasi ketika melaksanakan kegiatan Lesson Study (Friedkin, 2005). Menurut Yoshida (1999) adapun karakteristik dari Lesson Study sebagai berikut. (1) Lesson Study memberi kesempatan nyata kepada para guru menyaksikan pengajaran (teaching) dan pembelajaran (learning) di ruang kelas. (2) karakteristik unik yang lain dari Lesson Study adalah bahwa Lesson Study menjaga agar siswa selalu menjadi jantung kegiatan pengembangan profesi guru. (3) ciri lain dari Lesson Study adalah bahwa ia merupakan pengembangan profesi yang dimotori guru. Bill Cerbin & Bryan Kopp (2004) mengemukakan bahwa Lesson Study memiliki empat tujuan utama, yaitu untuk: (1) memperoleh pemahaman yang lebih baik tentang bagaimana siswa belajar dan guru mengajar, (2) memperoleh hasil-hasil tertentu yang dapat dimanfaatkan oleh para guru lainnya, di luar peserta Lesson Study , (3) meningkatkan pembelajaran secara sistematis melalui inkuiri kolaboratif, dan (4) membangun sebuah pengetahuan pedagogis, di mana seorang guru dapat menimba pengetahuan dari guru lainnya. Kemandirian belajar matematika masih perlu ditingkatkan. Sebagian besar siswa masih cenderung menganggap guru sebagai satu-satunya sumber ilmu. Siswa hanya menerima dan mendengarkan ilmu yang diberikan oleh guru . Selain itu siswa cenderung kurang aktif dalam mencari sumber-sumber pendukung ilmu yang dipelajarinya. Hasil observasi awal menunjukkan bahwa sekitar 80% siswa kurang mandiri dan terlalu bergantung dengan apa yang diajarkan guru. Siswa baru akan mengerjakan tugas yang diberikan ketika diberitahukan bahwa besok harus dikumpulkan. Jika tidak ada pemberitahuan bahwa tugas tersebut dikumpulkan maka kebanyakan siswa tidak mengerjakan tugas tersebut. Sehingga perlu adanya upaya yang dilakukan untuk mendorong kemandirian siswa dalam belajar. Siswa kurang aktif dalam belajar bisa disebabkan perencanaan dan implementasi pembelajaran yang tidak sistematis. Faktor yang mempengaruhi rendahnya kemandirian belajar siswa di SMA Negeri 10 Banjarmasin antara lain adalah strategi pembelajaran yang digunakan guru kurang efektif, di mana proses pembelajaran masih didominasi oleh guru dan siswa hanya mendengarkan. Guru sudah melakukan perbaikan, akan tetapi belum mampu meningkatkan kemampuan siswa secara keseluruhan Untuk itu telah dilakukan penelitian dengan tujuan untuk meningkatkan kemandirian belajar matematika siswa SMA Negeri 10 Banjarmasin melalui implementasi model pembelajaran NHT berbasis Lesson Study. Pada penelitian ini model pembelajaran yang dipilih yaitu model pembelajaran kooperatif tipe Numbered Heads Together (NHT). Alasan pemilihian model ini karena model pembelajaran Numbered Heads Together (NHT) merupakan salah satu pembelajaran inovatif yang bisa menjadi solusi untuk meningkatkan hasil belajar yang rendah. Model ini merupakan pembelajaran kooperatif yang dirancang untuk meningkatkan pola interaksi siswa sebagai upaya untuk mengatasi kesulitan belajar pada saat proses pembelajaran (Arends, 2007). Sedangkan menurut Lie (2010), model pembelajaran kooperatif tipe NHT memberikan kesempatan lebih luas kepada peserta didik untuk saling membagikan ide-ide dan mempertimbangkan pemecahan masalah yang paling tepat, hal ini mendorong peserta didik untuk meningkatkan semangat kerja sama dalam menyelesaikan masalah. Lebih lanjut, dikemukakan pula bahwa model pembelajaran ini dapat diterapkan pada semua mata pelajaran dan untuk semua tingkatan usia peserta didik. NHT adalah suatu model pendekatan yang dikembangkan oleh Spencer Kagan (1998) untuk melibatkan lebih banyak siswa dalam menelaah materi yang tercakup dalam suatu pelajaran dan mengecek pemahaman mereka terhadap isi pelajaran tersebut (Arends, 2007). 1160
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
Sebagai gantinya mengajukan pertanyaan kepada seluruh kelas, Dalam mengajukan pertanyaan kepada seluruh kelas, guru menggunakan struktur empat fase sebagai sintaks NHT :yaitu 1) penomoran (numbering), guru membagi siswa menjadi beberapa kelompok atau tim yang beranggotakan 4 sampai 5 orang dan memberi mereka nomor sehingga tiap siswa dalam tim memiliki nomor berbeda. 2) pengajuan pertanyaan (questioning), guru mengajukan suatu pertanyaan kepada para siswa. Pertanyaan dapat bervariasi dari yang bersifat spesifik hingga yang bersifat umum. 3) berpikir bersama (heads together), para siswa berfikir bersama untuk menggambarkan dan meyakinkan bahwa tiap orang mengetahui jawabannya.dan 4) menjawab (answering), guru menyebutkan satu nomor dan para siswa dari tiap kelompok dengan nomor yang sama mengangkat tangan dan menyiapkan jawaban untuk seluruh kelas. Haydon, Maheady, dan Hunter (2010) melakukan penelitian dimana hasil penelitiannya menunjukkan bahwa NHT memberikan pengaruh yang signifikan terhadap peningkatan prestasi dan kemandirian belajar siswa. Sedangkan Paul (2013) dalam penelitiannya juga menyatakan bahwa penggunaan model pembelajaran Numbered Heads Together (NHT) lebih efektif dibandingkan dengan pembelajaran tradisional. METODE Penelitian yang dilaksanakan ini merupakan penelitian deskriptif dengan mengimplementasikan model pembelajaran NHT berbasis Lesson Study. Adapun subyek penelitian siswa kelas XII IPA.1 SMA Negeri 10 Banjarmasin Tahun Pelajaran 2013/2014 berjumlah 28 orang. Pelaksanaan penelitian dilakukan dalam 2 kali putaran. Saito (2005) mengenalkan ada 3 tahap utama Lesson Study, yakni: (1) perencanaan (plan), (2) pelaksanaan (do) dan refleksi (see). Penyederhanaan menjadi 3 tahap saja dilakukan dengan pertimbangan untuk memudahkan praktiknya dan menghilangkan kesan bahwa Lesson Study sebagai kegiatan yang rumit dan sulit dilakukan. Ketiga tahapan tersebut dilakukan secara berulang dan terus menerus (siklus). perencanaan dilakukan bersama tim Lesson Study untuk menentukan materi yang akan diajarkan, guru model dan instrumen pengamatan. materi yang dipilih untuk diajarkan adalah Barisan dan Deret Aritmetika. Model pembelajaran yang dipilih yaitu model Pembelajaran Kooperatif tipe Numbered Head Together (NHT) . Selain itu untuk mengetahui peningkatan kemandirian belajar matematika siswa juga di lakukan pengisian angket kemandirian belajar matematika siswa secara individu. HASIL DAN PEMBAHASAN Langkah awal penelitian ini adalah melakukan observasi awal untuk memantapkan permasalahan yang akan diambil sebagai fokus penelitian dan menentukan indikator – indikator yang akan dicapai dalam peningkatan kemandirian belajara matematika siswa. Indikator – indikator yang diambil antara lain mempelajari materi yang akan dipelajari dengan sendirinya, bertanya kepada guru bila merasa kesulitan, menjawab pertanyaan guru, berdiskusi dengan kelompok, serta menanggapi dan bertanya saat presentasi. Hasil observasi awal sebelum adanya tindakan mengimplementasikan model pembelajaran NHT berbasis Lesson Study, antara lain : 1) mempelajari materi yang akan dipelajari dengan sendirinya sebanyak 9 siswa (32,14%), 2) bertanya kepada guru bila merasa kesulitan sebanyak 6 siswa (21,42%), 3) menjawab pertanyaan guru sebanyak 8 siswa (28,57%), 4) berdiskusi dengan kelompok sebanyak 7 siswa (25%), dan 5) menanggapi dan bertanya saat presentasi sebanyak 6 siswa (21,42%) Putaran I (Siklus 1) a. Perencanaan (Plan) Tim lesson study menyusun rencana pembelajaran yang bernuansa kontekstual dengan model yang digunakan adalah Pembelajaran kooperatif tipe Numbered Head Together (NHT), menyusun Lembar Kerja siswa, RPP, menyiapkan instrumen penilaian dan menyiapkan lembar observasi kegiatan pembelajaran. Materi yang diajarkan adalah Barisan dan Deret Aritmetika b. Implementasi (Open class) dan Observasi 1) Guru memotivasi siswa dengan mengajukan pertanyaan dan melakukan apersepsi. 2) Guru menulis materi pokok mengenai barisan aritmetika di papan tulis. Dilanjutkan dengan menulis tujuan pembelajaran, sebagian besar siswa memperhatikan. 3) Guru menjelaskan model pembelajaran tipe NHT.
1161
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
4) Guru membagi LKS tentang barisan aritmetika pada setiap siswa, dan siswa dalam posisi individu, materi dibaca selama kurang lebih 10 menit, sambil memikirkan apa isi materi tersebut. Siswa mempelajari materi yang akan didiskusikan dengan teman. selanjutnya bertanya kepada guru jika mengalami kesulitan memahami materi pelajaran. 5) Guru menulis pertanyaan di papan tulis. Pertanyaan disesuaikan dengan tujuan pembelajaran. 6) Siswa berkelompok, untuk mencari jawaban dengan cara diskusi dan siswa melakukan diskusi dengan teman dalam kelompok . 7) Guru menunjuk 3 orang secara bergantian maju ke depan kelas untuk mempresentasikan secara singkat hasil diskusi dengan kelompoknya. Pada saat presentasi siswa yang lain menanggapi dan bertanya. 8) Siswa dan guru menyimpulkan materi tentang barisan aritmetika. 9) Guru melakukan evaluasi. Pada tindakan siklus I, strategi Pembelajaran kooperatif tipe Numbered Head Together (NHT) belum sepenuhnya terlaksana. Akan tetapi, tingkat kemandirian belajar siswa sudah mulai mengalami peningkatan dibandingkan dengan sebelum adanya tindakan dengan mengimplementasikan Pembelajaran kooperatif tipe Numbered Head Together (NHT). Peningkatan kemandirian siswa dapat dilihat dari indikator – indikator, seperti 1) mempelajari materi yang akan dipelajari dengan sendirinya 57,14%, 2) bertanya kepada guru bila merasa kesulitan 64,28%, 3) menjawab pertanyaan guru 35,71%, 4) berdiskusi dengan kelompok 32,14%, dan 5) menanggapi dan bertanya saat presentasi 32,14%. Aktifitas yang menunjukkan adanya kemandirian belajar siswa pada putaran I dapat dilihat pada Tabel 1. No 1
2 3 4 5
Tabel 1. Kemandirian Belajar Pada Putaran I (Siklus 1) Indikator Kemandirian Belajar Jumlah siswa mempelajari materi yang akan dipelajari 16 dengan sendirinya miliki rasa tanggung jawab bertanya kepada guru bila merasa kesulitan 18 menjawab pertanyaan guru 10 berdiskusi dengan kelompok 9 menanggapi dan bertanya saat presentasi 11
% 57,14
64,28 35,71 32,14 39,28
c. Refleksi Hasil refleksi (see) pada putaran 1 menunjukkan siswa sudah aktif mempelajari materi yang diberikan, melakukan diskusi kelompok. Tetapi hanya sebagian kecil saja yang bertanya kepada guru bila menemui kesulitan dalam mempelajari materi pelajaran maupun dalam presentasi. Selain itu masih kurang siswa yang menjawab pertanyaan dan memberi tanggapan pada saat temannya mempresentasikan hasil diskusinya. Hambatan yang masih ditemui yaitu waktu pembelajaran belum optimal karena melebihi waktu seharusnya. Putaran II a. Perencanaan (Plan) Berdasarkan hasil refleksi, hambatan yang perlu diselesaikan adalah waktu pembelajaran melebihi alokasi waktu yang telah ditetapkan. Untuk mengantisipasi kelebihan waktu, masih kurangnya mahasiswa bertanya dan menjawab pertanyaan, maka Tim lesson study menyusun rencana pembelajaran dengan menggunakan media pembelajaran. Media pembelajaran yang digunakan adalah powerpoint. Materi yang diajarkan adalah Deret Aritmetika b. Implementasi (Open class) dan Observasi 1) Pembentukan kelompok dengan mempertimbangkan kemampuan dan jenis kelamin siswa. Dengan kegiatan kelompok yaitu bagi siswa yang lambat dapat belajar lebih baik dengan bantuan siswa yang cepat menangkap pelajaran, siswa yang cepat menangkap pelajaran dapat memperdalam pemahaman dengan memberi penjelasan atas subyek pada siswa yang lambat, bagi seluruh siswa dapat menyelesaikan permasalahan dengan mendengarkan dan memanfaatkan pemikiran dan gagasan siswa lain serta dapat
1162
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
membangun hubungan yang lebih baik satu sama lain. Setiap kelompok beranggotakan 4 orang. 2) Guru memberi motivasi kepada siswa, menyampaikan konsep-konsep penting yang dipelajari sehingga memungkinkan mahasiswa melihat lebih jelas hubungan antara materi satu dengan yang lain. 3) Guru membagikan LKS kepada setiap kelompok sebagai bahan diskusi. Setiap 3 kelompok memperoleh materi diskusi yang sama. Siswa mempelajari materi yang akan dipelajari dengan sendirinya. Setiap kelompok ditugaskan untuk mendiskusikan materi yang diberikan dan berkewajiban mempresentasikan hasil diskusi dalam kelompoknya. Siswa melakukan diskusi dalam kelompoknya dan mengemukakan tanggapan serta bertanya pada saat baik kelompok sendiri maupun kelompok lain mempresentasikan hasil diskusinya. 4) Untuk memberdayakan kemampuan siswa untuk bertanya maka digunakan metode tanya jawab. Guru memberi kesempatan kepada siswa untuk bertanya sehingga guru mengetahui hal-hal yang belum dimengerti oleh siswa, serta komunikasi dan interaksi yang terjadi tidak hanya satu arah. 5) Siswa bersama guru menyimpulkan materi tentang Deret Aritmetika. Selanjutnya dilakukan evaluasi. Pada siklus II indikator – indikator kemandirian belajar mengalami peningkatan daripada siklus sebelumnya. Tindakan dengan strategi pembelajaran siklus berjalan sesuai yang telah direncanakan. Tingkat kemandirian siswa pada siklus II dapat dilihat dari indikator – indikator, seperti: 1) mempelajari materi yang akan dipelajari dengan sendirinya 78,57%, 2) bertanya kepada guru bila merasa kesulitan 89,28%, 3) menjawab pertanyaan guru 82,14%, 4) berdiskusi dengan kelompok 60,71%, dan 5) menanggapi dan bertanya saat presentasi 71,42%. Aktifitas yang menunjukkan adanya kemandirian belajar siswa pada putaran II dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Kemandirian Belajar Pada Putaran II No Indikator Kemandirian Belajar 1 2 3 4 5
mempelajari materi yang akan dipelajari dengan sendirinya miliki rasa tanggung jawab bertanya kepada guru bila merasa kesulitan menjawab pertanyaan guru berdiskusi dengan kelompok menanggapi dan bertanya saat presentasi
Jumlah siswa 22
%
25 23 19 21
89,28 82.14 60,71 71,42
78,57
c. Refleksi Hasil refleksi (see) pada putaran II menunjukkan adanya peningkatan aktifitas belajar siswa dalam melakukan diskusi kelompok, kemampuan bertanya dan menjawab pertanyaan. Namun demikian masih ada adanya anggota kelompok yang tidak aktif mengikuti diskusi. Sehingga untuk perencanaan berikutnya perlu adanya perhatian khusus pada siswa yang kurang aktif dalam diskusi dan siswa yang tidak pernah mengajukan pertanyaan serta menjawab pertanyaan. Kemandirian belajar siswa yang ditunjukkan pada aktifitasnya ketika proses pembelajaran berlangsung selama 2 putaran mengalami kenaikan. Hal ini terlihat pada jumlah siswa yang melakukan berbagai aktifitas yang meliputi mempelajari materi yang akan dipelajari dengan sendirinya, bertanya kepada guru bila merasa kesulitan dan menjawab pertanyaan guru, berdiskusi dengan kelompok, menanggapi dan bertanya saat presentasi. Berdasarkan pengamatan yang dilakukan oleh peneliti selama tindakan berlangsung menyimpulkan bahwa indikator kemandirian yang digunakan sebagai fokus dalam penelitian mengalami peningkatan, walaupun ada beberapa indikator dengan prosentase peningkatan yang masih sedikit. Pada tindakan siklus I, siswa mulai bertanggung jawab dengan kelompoknya dalam pembahasan materi maupun pengerjaan LKS. Selain itu, siswa tidak tergantung pada orang lain, hal ini terbukti ketika siswa mengerjakan soal evaluasi secara individu dengan suasana cukup tenang dan berusaha mengerjakan sendiri, serta beberapa siswa sudah berani untuk bertanya jika masih mengalami kesulitan dalam pembelajaran dan berani maju ke depan untuk mempresentasikan hasil kerjanya. Walaupun demikian, pembelajaran pada tindakan siklus I belum sepenuhnya terlaksana sesuai yang diharapkan. Guru masih terlihat dominan 1163
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
dalam pembelajaran di kelas, guru belum memberikan kesempatan kepada siswa untuk memahami materi sendiri tanpa pembelajaran langsung dari guru. Siswa belum termotivasi untuk maju ke depan menjelaskan materi yang telah dipahami sebelumnya. Sikap percaya diri siswa masih terlihat rendah, hal ini dilihat dari sedikitnya siswa yang termotivasi untuk maju ke depan mempresentasikan hasil kerjanya dengan alasan jawaban sudah sama dengan temannya. Hasil refleksi pada tindakan siklus I dapat dijadikan sebagai acuan untuk melakukan perbaikan tindakan selanjutnya. Berdasarkan hasil refleksi tindakan siklus I, pelaksanaan tindakan siklus II memberikan hasil yang lebih baik daripada tindakan sebelumnya. Dapat dilihat dari tercapainya indikator – indikator kemandirian, seperti siswa lebih termotivasi untuk maju ke depan kelas mempresentasikan hasil kerjanya, mempunyai rasa tanggung jawab dalam kelompoknya, lebih berani bertanya jika mengalami kesulitan dan berusaha mengerjakan sendiri soal evaluasi individu. Suasana kelas sudah mulai kondusif daripada sebelumnya. KESIMPULAN Kemandirian belajar matematika siswa kelas XII IPA.1 SMA Negeri 10 Banjarmasin dapat ditingkatkan dengan mengimplementasikan pembelajaran kooperatif tipe Numbered Head Together (NHT) Berbasis Lesson Study. Peningkatan terlihat dari hasil pengamatan berbagai aktifitas siswa dalam pembelajaran matematika yang dapat dilihat dari indikator – indikator yang meliputi mempelajari materi yang akan dipelajari dengan sendirinya, bertanya kepada guru bila merasa kesulitan dan menjawab pertanyaan guru, berdiskusi dengan kelompok, serta menanggapi dan bertanya saat presentasi. DAFTAR RUJUKAN Arends, RI. 2007. Learning to Teach Seventh Edition. Mc. Graw Hill Companies. New York. Bill Cerbin & Bryan Kopp. 2004. A Brief Introduction to College Lesson Study. Lesson Study Project. online: http://www.uwlax.edu/sotl/lsp/index2.htm, di akses 1 Mei 2014 Butler, D.L. (2002). Individualizing Instrction in Self-Regulated Learning. http//articles.findarticles.com/p/articles/mi_mOQM/is_2_41/ni_90190495, di akses 2 Mei 2014 Boekaerts, M. (1996). Self-regulated learning at the junction of cognition and motivation. European Psychologist,. http://www.unco.edu/cebs/psychology/kevinpugh/motivation_project/resources/boekaerts96.pdf, di akses 31 April 2014 Cobb, R.J., (2003). The relationship between self-regulated learning behaviors and academic performance in web-based course. Disertation, Virginia: Blacksburg http://scholar.lib.vt.edu/theses/available/etd03212003130332/unrestricted/srlonline_disser tation.pdf, di akses 30 April 2014 Fischer, G. (1998). Conceptual frameworksand innovative computational environments in support of self directed and lifelong learning. University of Colorado. Boulder.) http://www.springer.com/cda/content/document/cda_downloaddocument/9781461417392 -c1.pdf?SGWID=0-0-45-1391509-p174197659, di akses 5 Mei 2014 Friedkin, Shelley. 2005. What is Lesson Study?. http://www.lessonresearch.net/. di akses 6 Mei 2014 Garfield, J. 2006. Exploring the Impact of Lesson study on Developing Effective Statistics Curriculum, (Online), www.stat.auckland.ac.nz/-iase/ publications/11/- Garfield.doc. di akses 31 April 2014 Haydon, T., Maheady, L. dan Hunter, W. (2010). Effects of Numbered Heads Together on The Daily Quiz Scores and On-Task Behavior of Students with Disabilities. Journal of Behavioral Education. Vol. 19. pp. 222-238, di akses 25 April 2014 Keegan, D. 1993. Theoretical Principles of Distance Education. London & New York: Routledge. Kerlin, B. A.(1992). Cognitive Engagemant Style: Self-Regulated Learning and Cooperative Learning. Lewis, Catherine C. 2002. Lesson Study: A Handbook of Teacher-Led Instructional Change. Philadelphia, PA: Research for Better Schools, Inc. Lie, A. 2010. Mempraktikkan Cooperative Learning di Ruang-ruang Kelas. Jakarta: Grasindo Mynard & Sorflaten, 2002, Independent Learning In Your Classroom, 1164
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
http://ilearn.20m.com/research/zuinde.htm Paris & Winograd. (1998). The National Science Foundation, 2000. Paul, B, D. 2013. The Effects Of Implementing The Cooperative Learning Structure, Numbered Heads Together, In Chemistry Classes At A Rural, Low Performing High School. (Online) (http://etd.lsu.edu/docs/available/etd-07012013-224034/unrestricted/DanielPBakerThesis.pdf), di akses 5 Mei 2014 Saito, E., 2005. Changing Lessons, Changing Learning: Case Study of Piloting Activities under IMSTEP. Prosiding Seminar Nasional MIPA dan Pembelajarannya & Exchange Experience of IMSTEP. Malang, Spark, Dennis. 1999. Using Lesson Study to Improve Teaching. (Online). http://www.learningpt.org/msc/products/tot.htm Sudrajat, A. 2008. Lesson study untuk meningkatkan hasil dan proses pembelajaran. www.duniaguru.com Shunck, D.H., & B.J Zimmerman. (1998). Introduction to the Self Regulated Learning (SRL) Cycle. Song and Hill. (2007). A Conceptual Model for Under Standing Self-Directed Learning in Online Environments. Journal of Interactive Online Learning, Volume 6, Number 1. University of Georgia. Steinberg, L. 2002. Adolescence. New York: McGraw Hill Companies, Inc http://www.mltei.org/cqn/Adolescent%20Development/Resources/Family/Steinberg,%20 Adolescence.pdf, di akses 7 Mei 2014 Sudrajat, A. 2008. Lesson study untuk meningkatkan hasil dan proses pembelajaran.. www.duniaguru.com Sumarmo, U. 2004, Kemandirian Belajar: Apa, Mengapa, dan Bagaimana Dikembangkan Pada Peserta Didik, Makalah disajikan pada Seminar Pendidikan Matematika di Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY Yoshida, M. (1999). Lesson Study: A Case Study of a Japanese Approach to Improving Instruction Through School-Based Teacher Development. http://www.lpmpnad.com/?content=article_detail&idb=11, di akses 4 Mei 2014 Zimmerman dan Matinez-Pons.1998., Recent Perspectives in The Studi of motivation: Goal Orientation Theory, http://www.unco.edu/cebs/psychology/kevinpugh/motivation_project/resources/arias04.pdf, di akses 30 April 2014
IMPLEMENTASI MODEL PEMBELAJARAN THINK PAIR SHARE (TPS) BERBASIS LESSON STUDY UNTUK MENINGKATKAN PEMAHAMAN MATEMATIKA SISWA KELAS XI IPA SMAN 1 KINTAP Wagiati, Sri Mulyati, dan Makbul Muksar Universitas Negeri Malang
[email protected],
[email protected],
[email protected] Abstrak: Pemahaman matematis merupakan salah satu hard skill matematis yang perlu dikembangkan pada siswa sekolah menengah, dimana siswa mengenal, memahami dan menerapkan konsep, prosedur, prinsip dan idea matematis Tujuan penelitian ini adalah untuk meningkatkan pemahaman siswa pada materi turunan fungsi aljabar di kelas XI IPA SMAN 1 Kintap dengan menerapakan model pembelajaran Think Pair Share (TPS) berbasis Lesson Study. Subjek penelitian berjumlah 28 orang. Berdasarkan hasil penelitian diperoleh kesimpulan bahwa penerapan TPS berbasis Lesson Study dapat meningkatkan pemahaman siswa pada materi turunan fungsi aljabar. Kata kunci: model pembelajaran Think Pair Share (TPS), Lesson Study, pemahaman matematika, turunan fungsi aljabar.
1165
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
Berdasarkan PP No. 32 Tahun 13 tentang Standar Nasional Pendidikan dan UU No 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen dijelaskan bahwa pendidik sebagai agen pembelajaran harus memiliki empat jenis kompetensi yaitu kompetensi pedagogik, kompetensi profesional, kompetensi kepribadian dan kompetensi sosial. Namun, untuk menjadi pendidik yang profesional diperlukan upaya yang sistematik, konsisten dan berkesinambungan dari pendidik itu sendiri (Puspita, 2009). Salah satunya upaya untuk meningkatkan profesionalisme tersebut adalah melalui Lesson study. Lesson Study pertama kali dikembangkan oleh guru-guru di Jepang dengan sebutan jugyou kenkyuu (Sugiyama, 2005:233; Lewis, 2002:4), dimana guru-guru di Jepang membuat perubahan dari ―teaching as telling” ke “teaching for understanding”. Lesson Study kemudian diterapkan di United States pada tahun 2000, New Jersey pada tahun 2005, Canada pada tahun 2004, hingga menyebar di berbagai tempat di Amerika Utara (Yoshida, et al, 2005: 254). Sedangkan di Indonesia Lesson Study mulai diterapkan sejak tahun 2006 melalui program Strengthening In-Service Teacher Training of Mathematics and Science (Susilo dalam Santyasa, 2009:3) Lesson Study merupakan suatu model pembinaan profesi pendidikan melalui pengkajian pembelajaran secara kolaboratif dan berkelanjutan berdasarkan prinsip-prinsip kolegalitas dan mutual learning untuk membangun komunitas belajar (Rustono, 2008; Susilo, 2013:4). Sedangkan Cerbin dan Koop (2006:2) menjelaskan bahwa ―A lesson “study” is a systematic investigation of student learning and teaching during a research lesson‖ . Ada tiga fase dalam proses Lesson Study yaitu planning phase, observation phase dan Reflection to Revision phase (Lewis dalam Cooper, et al, 2011:27). Namun, pelaksanaannya di Indonesia Lesson Study dinyatakan dalam tahap: (1) plan (merencanakan); (2) do (melaksanakan); dan (3) see (refleksi) yang berkelanjutan. Dengan kata lain Lesson Study merupakan suatu cara peningkatan mutu pendidikan yang tidak pernah berakhir (Puspita, 2009; Mahmudi, 2009:3). Sa’dijah (2010:35-36) menjelaskan bahwa tahap plan bertujuan untuk menghasilkan rancangan pembelajaran yang diyakini mampu membelajarkan siswa secara efektif serta membangkitkan partisipasi siswa dalam pembelajaran matematika. Tahap do bertujuan untuk mengimplementasikan rancangan pembelajaran, dan tahap See bertujuan untuk menemukan kelebihan dan kekurangan pelaksanaan pembelajaran.
PLAN (merencanakan)
DO (melaksanakan)
SEE (merefleksi)
Gambar 1. Skema Kegiatan Lesson Study
Penerapan lesson Study sangat mendukung dalam meningkatkan kualitas pembelajaran. Beberapa penelitian terkait dengan Lesson Study memberikan dampak yang positif terhadap peningkatan kualitas pembelajaran dan profesionalisme guru (Subanji dan Iskandar, 2010; Sa’dijah, 2010; Suprapto, 2013). Dalam pembelajaran matematika, Lesson Study dapat digunakan untuk mengubah persepsi siswa tentang matematika selama ini. Banyak siswa yang mengaggap bahwa pelajaran matematika merupakan pelajaran yang sulit dan rumit (Wardhany, 2013). Selain itu, siswa sering kesulitan dalam menerapkan konsep. Hal ini serupa dengan yang diungkapkan Ruseffendi E.T (2016:157) bahwa matematika dianggap ilmu yang sukar, ruwet dan memperdayakan. Sehingga masih banyak peserta didik yang belum paham dan memperoleh nilai kurang dari Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM). Padahal Pemahaman matematis merupakan salah satu hard skill matematis yang perlu dikembangkan pada siswa sekolah
1166
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
menengah dimana siswa mengenal, memahami dan menerapkan konsep, prosedur, prinsip dan idea matematis (Sumarmo, 2014:6). Salah satu permasalahan yang terjadi di SMA Negeri 1 Kintap adalah rendahnya tingkat pemahaman siswa pada materi turunan yang dilihat berdasarkan hasil tes belajar pada tiap akhir pembahasan materi. Dari tahun 2009-2012 menunjukkan bahwa persentase siswa yang memperoleh nilai di bawah Kriteria Ketuntasan Minimal 6,50 berkisar 50% - 60%.. Padahal dalam pelaksanaan Ujian Nasional tingkat SMA, turunan merupakan salah satu topik pelajaran yang diujikan baik untuk program IPA maupun IPS. Upaya peningkatan pemahaman siswa terhadap konsep turunan perlu terus dilakukan dengan cara mencari kemungkinan-kemungkinan penyebabnya. Hasil penelitian Tuncay Saritas and Omur Akdemir (2009) menunjukkan tiga faktor yang paling berpengaruh yang harus dipertimbangkan dalam pembelajaran yaitu (1) strategi pembelajaran dan metode, (2) kompetensi guru dalam pendidikan matematika , dan (3) motivasi atau konsentrasi. Berkaitan dengan strategi dan metode pembelajaran, salah satu penyebab rendahnya pemahaman peserta didik mungkin disebabkan model pembelajaran yang kurang efektif (Wardhany, 2013). Pada umumnya guru mengajar dengan menggunakan cara yang konvensional. Pembelajaran yang dilakukan terpaku pada kebiasaan urutan sajian pembelajaran sebagai berikut: (1) diajarkan teori/ teorema/ definisi, (2) diberikan contoh-contoh soal, dan (3) diberikan soal-soal latihan (Hermawan, 2013: 5). Menyikapi permasalahan yang terjadi di SMAN 1 Kintap serta kemungkinan penyebabnya, maka hal yang harus dilakukan adalah bagaimana membuat siswa senang untuk belajar matematika. Guru harus merancang pembelajaran yang bisa membangkitkan diskusi dan memberikan kesempatan kepada siswa untuk menjelaskan pemahaman konsep matematika mereka melalui gambar, kata-kata dan angka. Guru harus berusaha agar dapat menciptakan kondisi yang kondusif agar kegiatan belajar dapat mencapai tujuan yang efektif dan efisien. Berbagai upaya untuk menciptakan kondisi belajar yang kondusif dan siswa yang aktif, kritis serta kreatif telah memunculkan model-model, strategi-strategi, metode-metode ataupun pendekatan-pendekatan yang baru. Salah satunya adalah Think Pair Share (TPS). TPS adalah suatu strategi pembelajaran yang dikembangkan pertama kali oleh Frank Lyman di Universitas Maryland pada tahun 1981 dan diadopsi oleh banyak penulis sebagai bagian dari pembelajaran kooperatif (Huda, 2013). Tahapan TPS yang dilakukan pada saat pembelajaran (Raymon, 2012) adalah sebagai berikut: (1) thinking yaitu tahap dimana siswa berpikir tentang apa yang mereka ketahui atau telah dipelajari berkaitan topik atau permasalahan yang ditanyakan oleh guru, (2) pairing yaitu tahap dimana siswa dipasangkan dengan siswa lain atau dengan kelompok kecil untuk mendiskusikan dan menuliskan jawaban, (3) sharing yaitu tahap dimana siswa berbagi pemikiran dengan pasangannya dan kemudian menyampaikan hasil diskusinya ke seluruh kelas. Beberapa kajian terhadap penelitian yang relevan dengan model pembelajaran Think Pair Share memberikan kesimpulan sebagai berikut: (1) TPS dapat meningkatkan prestasi belajar mahasiswa pada Materi Ruang Vektor Real (Pramesti, 2010); (2) TPS dapat meningkatkan ketuntasan belajar siswa pada materi Logaritma (Patrianto, 2012); (3) TPS dapat meningkatkan pemahaman siswa dalam memahami materi lingkaran (Murni ,2013); (4) TPS dapat meningkatkan kemampuan siswa dalam menyelesaikan soal cerita (Utami, 2013); (5) ratarata 83% siswa terlibat dalam proses pembelajaran dengan TPS yang tampak dari kegiatan mereka pada saat menuliskan solusi masalah, mendiskusikan dengan temsannya atau menulis dan mengikuti diskusi kelas (Kothiyal, et all, 2013); (6) TPS dapat meningkatkan hasil belajar siswa (Juniarti, dkk, 2013) dan menunjukkan tidak ada perbedaan yang signifikan antara hasil belajar siswa laki-laki dan perempuan (Ifamuyiwa, dkk, 2013). Oleh karena itu, berdasarkan permasalahan yang ada di SMAN 1 Kintap serta kelebihan dari model pembelajaran TPS maka penelitian ini bertujuan untuk meningkatakan pemahaman peserta didik pada materi turunan fungsi aljabar di kelas XI IPA SMAN 1 Kintap dengan menerapakan model pembelajaran Think Pair Share (TPS) berbasis Lesson Study
1167
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
METODE PENELITIAN Tempat dan Subyek Penelitian Tempat pelaksanaan penelitian adalah SMAN 1 Kintap, Kab. Tanah Laut, Kalimantan Selatan. Subyek penelitan adalah siswa kelas XI IPA pada semester genap tahun ajaran 2013/2014 dengan jumlah 28 orang. Jenis Penelitian Penelitian dilakukan berbasis Lesson Study yang terdiri dari tiga tahapan utama yaitu perencanaan (plan), pelaksanaan (do) dan refleksi (see). Setelah membuat perencanaan (plan) yang berupa perencanaan pembelajaran maka salah satu dari kelompok guru akan menjadi guru model dan melaksanakan perencanaan yang telah dibuat (do). Guru-guru yang lain sebagai observer. Hasil pembelajaran direfleksi (See) untuk melihat sejauh mana pembelajaran dilaksanakan serta hal-hal apa saja yang masih kurang atau perlu diperbaiki. Adapun prosedure Lesson Study berfokus pada delapan langkah kolaboratif LS Stigler dan Hiebert (dalam Cheng dan Yee, 2012:41), dapat dilihat pada tabel dibawah ini. Tabel 1. Prosedur Lesson Study yang akan dilaksanakan Tahapan No Delapan Langkah Kolaboratif Study 1 menentukan permasalahan pada Plan pertemuan pertama 2 merencanakan pembelajaran matematika 3 mengajar dan mengobservasi Do pembelajaran di kelas 4 merefleksi pembelajaran See 5 memperbaiki pembelajaran Plan 6 mengajar dan mengobservasi perbaikan Do pembelajaran 7 refleksi pembelajaran See 8 membuat laporan hasil LS
Lesson
Keterangan Siklus ke-1 dilaksanakan pada tanggal 7 april 2014
Siklus ke-2 dilaksanakan pada tanggal 8 April 2014
Teknik Pengumpulan Data Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan metode observasi, dokumentasi dan tes. Lembar observasi open class dan dokumentasi berupa foto dan video digunakan untuk mengetahui kualitas pembelajaran. Sedangkan hasil lembar kerja siswa dan tes evaluasi digunakan untuk melihat sejauh mana pemahaman siswa pada materi Turunan Fungsi Aljabar. HASIL DAN PEMBAHASAN Pelaksanaan Lesson Study Siklus 1 Perencanaan (Plan) Tahap perencanaan dilaksanakan pada akhir bulan Februari 2014 di Universitas Negeri Malang. Pada tahap ini dibentuk kelompok Lesson Study dengan anggota 3 orang dan mendiskusikan tentang permasalahan dalam pembelajaran matematika, tempat dan waktu pelaksanaan Lesson Study. Penelitian yang akan dilakukan di SMAN 1 Kintap adalah untuk mengatasi permasalahan tentang masih kurangnya pemahaman siswa pada materi turunan. Pada pertemuan pertama, materi yang akan diajarkan adalah turunan fungsi aljabar dengan subpokok bahasan nilai turunan di suatu titik, turunan terhadap operasi pembagian fungsi aljabar serta turunan kedua suatu fungsi. Sedangkan model pembelajaran yang digunakan adalah Think Pair Share (TPS). Setelah menentukan fokus permasalahan, selanjutnya merencanakan pembelajaran dengan menyusun rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP), Lembar Kerja Siswa (LKS), tes evaluasi, menyiakan lembar observasi Open Class, dan menyiapkan video untuk merekam proses pembelajaran yang berlangsung. Pelaksanaan (Do) Pelaksanaan pembelajaran dilaksanakan hari Senin, 7 April 2014 pukul 10.45 – 12.15, dimana peneliti bertindak sebagai guru model dan 2 anggota tim Lesson Study lainnya sebagai observer.
1168
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
Pada kegiatan awal, suasana kelas kondusif dan siswa siap untuk mengikuti pembelajaran. Siswa diingatkan kembali tentang materi yang sudah dipelajari sebelumnya dan manfaat turunan dalam kehidupan sehari-hari. Siswa menyimak tujuan pembelajaran, penjelasan tentang model Think Pair Share dan membentu kelompok. Pada kegiatan inti, guru membagikan LKS Tahap Think kepada masing-masing kelompok. Namun, masing-masing anggota kelompok mendapatkan LKS yang berbeda yaitu ―Think A” dan “Think B‖. Pada tahap Pair, guru membagiakan LKS ―PAIR‖ dan meminta siswa untuk mempelajari dan menyelesaikan soal-soal pada LKS tersebut. Kemudian beberapa perwakilan siswa menuliskan hasil diskusinya pada tahap Share. Pada kegiatan penutup, siswa membuat kesimpulan dengan dibantu guru, guru mengingatkan materi yang akan dipelajari pada pertemuan selnjutnya dan menutup pelajaran. Refleksi (See) Setelah pembelajaran siklus 1 dilaksanakan, maka dilakukan refleksi terhadap jalannya pembelajaran. Guru model bersama observer membahas kelebihan dan kekurangan yang terjadi selama pembelajaran berlangsung dengan melihat catatan pada lembar observasi open class dan video. Tabel 2. Hasil Observasi Open Class Siklus I No Aspek yang diobservasi Kriteria 1 Kesiapan belajar siswa Baik 2 Respon siswa ketika guru Baik menyampaikan kegiatan apersepsi 3 Interaksi antara siswa dengan Aktif siswa 4 Interaksi antar siswa dengan Aktif guru 5
Keterlibatan siswa dalam kegiatan penutup
Aktif
Keterangan Suasana kelas kondusif dan siswa sangat kooperatif. Siswa aktif menjawab pertanyaan-pertanyaan guru dan tidak mengalami kesulitan ketika mengingat kembali materi yang sudah dipelajari Siswa aktif berdiskusi menyelesaikan LKS Interaksi terjadi selama pembelajaran seperti siswa aktif menjawab pertanyaan guru dan bertanya jika ada hal yang tidak dipahami. Siswa aktif mengemukakan jawaban saat guru bertanya kepada siswa apa saja yang telah dipelajari selama pembelajaran
Adapun refleksi terhadap kekurangan pada pelaksanaan pembelajaran pada siklus ke-1 adalah: waktu yang diperlukan untuk tahap Think dan Pair ternyata melebihi alokasi waktu yang telah direncanakan, evaluasi tidak terlaksana sehingga pada pertemuan selanjutnya diharapkan evaluasi yang telah direncanakan dapat terlaksana, dan beberapa siswa tidak ingat tentang sifat-sifat pangkat, sehingga pada saat menyelesaikan soal siswa tersebut mengalami kesulitan. Hasil refleksi yang telah diperoleh kemudian digunakan untuk perbaikan pembelajaran pada siklus 2. Berdasarkan hasil evaluasi siswa pada LKS Tahap Think dan Pair diperoleh data sebagai berikut:
1169
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
12,00 10,00
Diagram Nilai LKS Siswa Pada Siklus I Pair
8,00 6,00 4,00 2,00 0,00 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 Gambar 2. Nilai LKS Siswa Pada LKS Siklus I
Pada tahap Think siswa mempelajari tentang nilai turunan di suatu titik dan mengerjakan LKS secara individu. Berdasarkan gambar 2, terlihat bahwa ada 4 siswa (14,3%) yang memperoleh nilai di bawah KKM 6,50 sedangkan 24 siswa (85,7%) memperoleh nilai di atas KKM. Rata-rata nilai yang diperoleh siswa pada tahap Think adalah 7,35. Ini menunjukkan bahwa rata-rata tingkat pemahaman siswa dilihat dari hasil belajarnya pada materi nilai turunan di suatu titik adalah 73,5%. Pada tahap Pair siswa mempelajari tentang turunan terhadap operasi pembagian dan turunan kedua suatu fungsi. Seluruh siswa memperoleh nilai di atas KKM dengan rata-rata 7,75. Ini menunjukkan bahwa rata-rata tingkat pemahaman siswa dilihat dari hasil belajarnya pada materi tersebut adalah 77,5%. Pelaksanaan Lesson Study Siklus II Perencanaan (Plan) Perencanaan untuk pelaksanaan pembelajaran pada siklus 2 berupa perbaikan yang akan dilakukan untuk mengatasi kekurangan yang terdapat pada pembelajaran siklus 1. Hal ini bertujuan agar pada pembelajaran pada siklus 2 memberikan hasil yang lebih baik. Perbaikan tersebut berupa: mengingatkan materi materi prasyarat yaitu fungsi komposisi, LKS akan disusun sesuai dengan alokasi waktu yang tersedia, pada LKS tahap think, siswa akan mengingat kembali materi prasyarat fungsi komposisi sebelum mengaitkannya dengan materi turunan, soal evaluasi yang dibuat dapat diselesaikan sesuai dengan alokasi waktu yang tersedia, dan waktu pelaksanaan pertemuan ke-2 adalah jam 12.30 – 13.15, sehingga agar siswa lebih termotivasi dan lebih bersemangat guru akan menampilkan video dengan durasi kurang dari 2 menit untuk membuat mereka lebih rileks. Pelaksanaan (Do) Pembelajaran pada siklus ke-2 dilaksanakan pada hari Selasa, 8 April 2014, jam ke 6-7. Materi yang akan disampaikan pada adalah tentang turunan fungsi komposisi dengan dalil rantai. Pada kegiatan awal, suasana kelas kondusif dan siswa siap untuk mengikuti pembelajaran. Siswa diingatkan kembali tentang materi yang sudah dipelajari sebelumnya. Selanjutnya siswa diberikan tayangan berupa video dengan durasi 1 menit untuk memotivasi siswa agar bersemangat belajar. Siswa menyimak tujuan pembelajaran, penjelasan tentang model Think Pair Share dan membentu kelompok. Pada kegiatan inti, guru membagikan LKS Tahap Think kepada masing-masing kelompok. Masing-masing anggota kelompok mendapatkan LKS yang berbeda yaitu ―Think A” dan “ Think B‖. Sebagian besar siswa dapat menyelesaiakan LKS tersebut sesuai dengan alokasi waktu yang disediakan. Pada tahap Pair, guru membagiakan LKS ―PAIR‖ dan meminta siswa untuk mempelajari dan menyelesaikan soal-soal pada LKS tersebut. Kemudian beberapa perwakilan siswa menuliskan hasil diskusinya pada tahap Share.
1170
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
Pada kegiata penutup, siswa membuat kesimpulan dengan dibantu guru. Siswa mengerjakan satu soal evaluasi dimana siswa yang duduk disebelah kanan mendapatkan soal yang berbeda dengan siswa yang duduk disebelah kiri. Guru menutup pelajaran ketika siswa telah selesai mengerjakan soal evaluasi tersebut. Refleksi (See) Setelah pertemuan ke-2 dilaksanakan, kegiatan pembelajaran yang telah dilaksanakan direfleksi dengan hasil sebagai berikut: Tabel 3. Hasil Observasi Open Class Siklus II No Aspek yang diobservasi Kriteria 1 Kesiapan belajar siswa Baik 2 Respon siswa ketika guru Baik menyampaikan kegiatan apersepsi
3 4
5
Interaksi antara siswa dengan siswa Interaksi antar siswa dengan guru
Aktif
Keterlibatan siswa kegiatan penutup
Aktif
dalam
Aktif
Keterangan Suasana kelas kondusif dan siswa sangat kooperatif. - Siswa aktif menjawab pertanyaan-pertanyaan guru dan mengingat kembali materi yang sudah dipelajari - Siswa mengingatkan tentang materi prasyarat yaitu fungsi komposisi Siswa aktif berdiskusi menyelesaikan LKS . Interaksi terjadi selama pembelajaran seperti siswa aktif menjawab pertanyaan guru dan bertanya jika ada hal yang tidak dipahami. - Siswa aktif mengemukakan jawaban saat guru bertanya kepada siswa apa saja yang telah dipelajari selama pembelajaran - Siswa melaksanakan evaluasi
Setelah diadakannya perbaikan, alokasi waktu untuk mengerjakan Tahap Think, Pair dan Share pada pembelajaran siklus 2 telah sesuai dengan alokasi waktu yang direncanakan pada RPP. Berdasarkan tabel 2 dan tabel 3, tampak bahwa dengan adanya perbaikan dari siklus 1 ke siklus berikutnya kualitas pembelajaran pada materi turunan fungsi alajabar mengalami peningkatan. Siswa lebih aktif dalam belajar Pembelajaran tidak berpusat kepada guru (teacher centered learning) sehingga guru tidak lagi mendominasi. Hasil evaluasi siswa pada LKS Tahap Think dan Pair pada pembelajaran siklus II diperoleh data sebagai berikut:
Diagram Nilai LKS Siswa Siklus II 12,00
Think
Pair
10,00 8,00 6,00 4,00 2,00 0,00 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 Gambar 3. Nilai LKS Siswa Pada Siklus II
1171
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
Pada tahap Think dan Pair siswa mempelajari tentang turunan fungsi komposisi dengan dalil rantai. Berdasarkan gambar 3, terlihat bahwa seluruh siswa memperoleh nilai di atas KKM baik pada LKS Think maupun Pair. Rata-rata nilai yang diperoleh siswa pada tahap Think adalah 9,57, sedangkan pada tahap Pair rata-rata nilai yang diperoleh siswa adalah 8, 92. Laporan Hasil Penelitian Hasil penelitian Lesson Study yang telah dilakukan kemudian ditulis dalam bentuk laporan dan artikel ilmiah. PEMBAHASAN Berdasarkan pengamatan tim lesson study, penelitian ini berjalan dengan lancar meskipun masih terdapat sedikit kekurangan. Namun demikian, siswa lebih banyak yang aktif mengikuti pelajaran. Keaktifan siswa tersebut juga didukung oleh beberapa faktor yaitu: penguasaan kelas yang baik dan suasana berkelompok yang menimbulkan rasa ingin tahu tinggi. Berdasarkan nilai yang diperoleh siswa dalam menyelesaikan LKS, diketahui bahwa tingkat pemahaman siswa dalam memahami materi juga meningkat. Tabel 4. Rata-Rata Nilai LKS Siswa Siklus ke- Think Pair Rata-rata I 7.35 7.75 7.55 II 9.57 8.92 9.25
Pada pembelajaran siklus I, nilai rata-rata siswa adalah 7,55. Namun, setelah diadakannya perbaikan berdasarkan hasil refleksi pada pembelajaran di siklus I terjadi peningkatan pemahaman siswa terhadap materi Turunan Fungsi Aljabar. Adapun rata-rata persentase tingkat pemahaman siswa terhadap materi yang dipelajari dapat dilihat pada tabel 5. Tabel 5. Persentase tingkat pemahaman siswa Materi Nilai turunan di suatu titik Turunan terhadapa operasi pembagian fungsi aljabar dan turunan kedua suatu fungsi Turunan Fungsi Komposisi dengan Dalil Rantai
Persentase Tingkat Pemahaman Siswa 73.5% 77.5% 92.5%
Di samping itu, hasil tes evaluasi di akhir pembelajaran siklus II menunjukkan bahwa siswa telah memahami materi yang telah dipelajari dan nilai rata-rata yang diperoleh siswa adalah 9,25.
1172
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
Hasil Tes Pembelajaran Siklus II 12 Nilai; 10,00 10 8 6 4 2 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 Gambar 4. Hasil Tes Pembelajaran Siklus II
Dalam proses pembelajaran yang telah dilaksanakan, guru tidak lagi menjelaskan secara detail materi yang dipelajari siswa. Guru tidak lagi mendominasi pembelajaran. Namun, siswa yang aktif belajar untuk membangun pemahamannya terhadap suatu konsep. Hal ini sejalan dengan pendapat Subanji (2014; 2), Reeve (2006: 225) dan Muwarni (2006:67) bahwa guru adalah sebagai fasilitator. Guru berperan melayani siswa dalam membelajarkan siswa dan membuat siswa mengalami serta menyukai belajar. Model pembelajaran Think Pair Share yang diterapkan sejalan dengan pandangan konstruktivis, dimana siswa diberi kesempatan untuk membangun sendiri pengetahuannya serta saling bekerja sama dengan kelompok masing-masing guna tercapainya tujuan belajar bersama. Seperti yang dikemukakan oleh Confrey dan Kazak (2006:306) bahwa ―Constructivism did so by focusing the stengths and resourse children bought to the task, and by making their active involvement and participation central to the theoretical framework“
Penelitian ini telah menemukan bahwa penerapan model pembelajaran Think Pair Share yang berbasis Lesson study dapat meningkatkan pemahaman siswa dalam mempelajari materi turunan fungsi aljabar serta dapat meningkatkan keaktifan siswa dalam pembelajaran. Meskipun demikian, perlu dilakukan kajian terus menerus serta pengembangan terhadap penelitian yang telah dilakukan. Sehingga diperoleh model yang benar-benar efektif dalam meningkatkan pemahaman siswa terhadap materi yang dipelajari dan berdampak pada hasil belajar siswa yang terus meningkat. SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Berdasarkan hasil penelitian yang berbasis Lesson Study dapa disimpulkan bahwa : 1. Penerapan model pembelajaran Think Pair Share (TPS) dapat meningkatkan pemahaman peserta didik pada materi turunan fungsi aljabar. Siswa aktif membangun pemahamannya secara individu pada tahap think, dan berdiskusi dengan pasangannya pada tahap pair. Kemudian menunjukkan hasil diskusinya pada tahap Share. 2. Penelitian berbasis Lesson Study dapat melatih guru atau calon guru untuk membuat persiapan mengajar dalam bentuk perangkat pembelajaran (RPP dan LKS), menguasai teknik pelaksanan pengajaran, dan membuat inovasi dalam pembelajaran yang kreatif. 3. Adanya kelompok Lesson Study sangat membantu guru dalam memperbaiki, merancang dan meningkatkan kualitas pembelajaran. Saran 1173
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
Berdasarkan simpulan yang diperoleh dari hasil penelitian, maka disarankan bahwa: 1. Guru dan calon guru matematika sebaiknya memberikan kebebasan kepada siswa untuk aktif dalam belajar, kreatif dalam berpikir, serta dapat bekerja sama sehingga memberikan kesempatan untuk membangun pengetahuannya. salah satunya dengan menggunkan model pembelajaran Think Pair Share (TPS). 2. Penerapan Lesson Study hendaknya dapat dilaksanakan secara berkesinambungan untuk meningkatkan profesionalisme guru. DAFTAR RUJUKAN Cerbin, Bill dan Kopp Bryan. 2006. Using Lesson Study to Improve Teaching and Learning. (Online), (http://www.uwlax.edu/sotl/lsp/supplements/T echniques%20that%20Make%20Student%20Thinking%20Visible%20%20An%20Excerpt%20from%20Using%20Lesson%20Study%20to%20Improve%20T eaching%20and%20Learning.pdf), diakses tanggal 8 Mei 2014. Cheng, Lu Pien dan Yee, Lee Peng. 2012. A Singapore Case Of Lesson study. The Mathematics Educator 2011/2012 Vol. 21, no.2, p 34-57. (Online). (http://tme.coe.uga.edu/wpcontent/uploads/2012/08/v21n2_Cheng-Yee.pdf), diakses tanggal 8 april 2014. Confrey, Jere dan Kazak, sibel. 2006. A thirty-Year reflection On Constructivism In Mathematics educatioan In PME. (Online), (http://imo.pau.edu.tr/sibel/confreykazak_constructivism.pdf), diakses tanggal 8 Mei 2014. Cooper, et al. 2011. Lesson study among mathematics Educators: Professional Collaboration Enabled Through a Virtual Faculty Learning Community. Learning Communities Journal,3, 21-40 Hermawan, Rudi. 2013. Peningkatan Profesionalisme Guru matematika Melalui Lesson study (LS). (Online), (http://sumsel.kemenag.go.id/file/dokumen/lsjurnal.pdf), diakses tanggal 8 Mei 2014. Huda, Miftahul. 2013. Model-model Pengajaran dan Pembelajaran. Yogyakarta : Pustaka Belajar Offset. Ifamuyiwa, Adebola S. 2013. Impact of Think Pair Share Instructional Strategy on Students Achievement in Secondary School Mathematics. (Online), (http://stanonline.org/journal/pdf/JSTAN-Adebola&Sunday%202013.pdf), diakses tanggal 7 November 2013. Juniari, Dsk. Md, dkk. 2013. Pengaruh Model Pembelajaran Kooperatif Tipe TPS Terhadap Hsil Belajar Perkalian dan Pembagian Pecahan pada Siswa Kelas V SD. Jurnal Jurusan Pendidikan Guru Sekolah Dasar Vol 1 2013.(Online), (http://ejournal.undiksha.ac.id/index.php/JJPGSD/), diakses tanggal 8 September 2013. Kothiyal, Aditi, et all. 2013. Effect of Think Pair Share in a Large CS1 Class : 83% Sistained Engagement. (Online), (http://www.it.iitb.ac.in/~sri /papers/tps-icer2013.pdf), diakses tanggal 7 November 2013 Lewis, Catherine. 2002. Does Lesson study have a future in the United States? Nagoya Journal of Education and human Development, January 2002, N0.1,pp.1-23. Mahmudi, Ali. 2009. Mengembangkan Kompetensi Guru Melalui Lesson study. Jurnal forum Kependidikan FKIP UNSRI. Vo. 28, No. 2, Maret 2009, ISSN 0215-9392. Murni, Zulfia. 2013. Penerapan Pembelajaran Kooperatif Think Pair Share (TPS) untuk memahamkan materi lingkaran bagi siswa kelas VIII BL-1 SMP Negeri 2 Samarinda. Tesis tidak diterbitkan. Malang : Universitas Negeri Malang. Murwarni, Elika Dwi. 2006. Peran Guru Dalam Membangun Kesadaran Kritis Siswa. Jurnal Pendidikan Penabur No.06/Th.V/Juni 2006. (Online), (http://www.bpkpenabur.or.id/files/Hal.59-68%20Peran%20Guru.pdf ), diakses tanggal 8 Mei 2014. Patrianto, Utama. 2012. Penerapan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Think Pair Share untuk Memahamkan Materi Logaritma Kelas X SMKN 5 Malang. (Online), (http://jurnal-online.um.ac.id/data /artikel/artikel FF78F36ADF773C182704824E300C97F7.pdf), diakses 7 November 2013. Peraturan pemerintah No 19 tahun 2005 tentang Standar nasional Pendidikan. (Online), (https://akhmadsudrajat.files.wordpress.com/2009/04/pp-ri-n0-19-th-2005-ttg-snp.pdf) diakses tanggal 8 Mei 2014. Puspita, Entit. 2009. Upaya Meningkatkan Kemampuan Guru Matematika Melakukan Penelitian Tindakan Kelas (PTK) Melalui Kegiatan Lesson study.(Online). 1174
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
(http://file.upi.edu/Direktori/FPMIPA/JUR._PEND._ MATEMATIKA/196704081994032-ENTIT_PUSPITA/ Makalah_seminar_ttg_Lesson_Study.pdf), diakses tanggal 8 Mei 2014. Raymon. C, Jones. 2012. Strategies for reading comprehension: Think Pair Share. Cooperative Learning Community. (Frank Lyman). reading Quest. Org. (Online), (http://www.readingquest.org/strat/tps.html), diakses tanggal 14 November 2013 Reeve, Johnmarshall. 2006. Teacher as facilitators: What Autonomy-Supportive Teachers Do and Why Their Students Benefit. The Elementary school Journal. Vol. 106, Number 3, p. 225-236 Ruseffendi,E.T. (2005). Dasar-dasar Penelitian Pendidikan dan Bidang Non-Eksakta Lainnya. Bandung: Tarsito. Rustono W.S. 2008. Meningkatkan Kemampuan Mahasiswa Menerapkan Strategi Pembelajaran Melalui Lesson Study. Jurnal Pendidikan Dasar No. 10, Oktober 2008. Sa’dijah, cholis. 2010. Aktivitas dan respon Calon Guru Dalam Penerapan Lesson Studmatika Berbahasa Inggris di SMA Negeri 3 Malang. Prosiding Seminar Nasional Lesson Study 3. FMIPA Ynuversitas Negeri Malang, 9 Oktober 2014. Santyasa, I Wayan. 2009. Implementasi Lesson Study Dalam Pembelajaran. Disajikan dalam Seminar Implementasi Lesson study dalam pembelajaran bagi guru-guru TK, SD, dan SMP di Kecamatan Nusa Penida, 24 Januari 2009. Saritas, Tuncay and Omur Akdemir. (2009). Identifying Factors Affecting the Mathematics Achievement of Students for Better Instructional Design. (http://www.itdl.org/Journal/Dec_09/article.htm) Subanji. 2014. Pedoman Praktik Pengalaman Lapangan (PPL) Berbasis Lesson Study Prodi S2 Pendidikan Matematika. Malang: Universitas Negeri Malang. Subanji dan Isnandar. 2010. Meningkatkan Profesionalisme Guru Sekolah Dasar Melalui Teacher Quality Improvement Program (TEQIP) Berbasis Lesson Study. J-TEQIP, Tahun 1, Nomor 1, November 2010. Sugiyama, Yoshishige. 2005. Lesson Study in Japanese Mathematics Education. Presented at Improving Mathematics Teaching and Learning Through Lesson study, May 20-21, 2005. Sumarmo, Utami. 2014. Pengembangan Hard Skill dan Soft Skill Matematika bagi Guru dan Siswa untuk Mendukung Implementasi Kurikulum 2013. Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika. Vol. 1 tahun 2014. ISSN 2355-0478, p.4-15. Suprapto, Edy. 2013. Implementasi Pendidikan Karakter Berbasis Lesson Study Pada Mata Kuliah Analisis Vektor. Jurnal Edukasi Matematika dan Sains. Vol. 1, No. 1, Maret 2013 Susilo, Herawati. 2013. Lesson Study Sebagai Sarana Meningkatkan Kompetensi Peserta Didik. Makalah disajikan pada seminar dan Lokakarya PLEASE 2013 di Sekolah Tinggi Aletheia , 9 Juli 2013. Undang-Undang No 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. PP No 32 Tahun 2013 tentang Perubahan atas PP No 19 Tahun 2005 tentang Sistem Pendidikan Nasional Wardhany, Devi Meilani. 2013. Peningkatan Kemampuan Pemahaman Matematika Peserta Didik Melalui Model kooperatif Tipe Think pair share (TPS) dengan Pendekatan Konstruktivisme. (http://jurnal.unsil.ac.id). Yoshida, Makoto, et al. 2005. Lesson study U.S-Japan Panel Discussion. Presented at Improving Mathematics Teaching and Learning Through Lesson Study, May 20-25, 2005.
PENERAPAN PEMBELAJARAN THINK PAIR SHARE BERBASIS LESSON STUDY DALAM MENINGKATKAN HASIL BELAJAR KELAS X-2 DI SMAN 1 PAMUKAN UTARA Willmar Fensisca Simanjuntak
1175
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
Universitas Negeri Malang
[email protected] Abstrak: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui penerapan pembelajaran Think Pair Share (TPS) berbasis lesson study. Subjek penelitian ini sebanyak 24 siswa yaitu siswa kelas X-2 SMAN 1 Pamukan Utara. Pelaksanakan lesson study ada empat tahap dalam yaitu perencanaan (plan), pelaksanaan (do), refleksi (check) dan tindak lanjut (act). Tahap perencanaan meliputi pembuatan RPP, peer teaching dan lembar observasi. Komponen dalam pelaksanaan meliputi guru yang bertindak sebagai guru model menggunakan pembelajaran think pair share dan guru lainnya yang bertindak sebagai observer. Komponen dalam tahap refleksi meliputi perbaikan pembelajaran yang berasal dari masukan dan saran dari observer. Sedangkan komponen dalam tahap tindak lanjut adalah upaya yang dilakukan oleh guru model untuk memperbaiki hasil dari pembelajaran yang telah direfleksi. Berdasarkan data hasil penelitian menggunakan lesson study pada pembelajaran think pair share meningkatan hasil belajar matematika siswa sesuai yang diharapkan. Kata kunci: Think Pair Share, Lesson Study, hasil belajar.
Dalam era globalisasi dan pasar bebas kita dihadapkan pada perubahan-perubahan yang tidak menentu. Oleh karena itu, pemerintah menggagas KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan), sebagai tindak lanjut dari pembaruan kurikulum berbasis kompetensi dan kebijakan pendidikan dalam konteks otonomi daerah dan desentralisasi. KTSP merupakan kurikulum operasional yang pengembangannya diserahkan kepada daerah dan satuan pendidikan. Dengan demikian, melalui KTSP ini pemerintah berharap mendekatkan kembali jarak antara pendidikan dan pembangunan, serta kebutuhan dunia kerja. Pendidikan adalah salah satu bentuk perwujudan kebudayaan manusia yang dinamis dan sarat perkembangan. Oleh karena itu, perubahan atau perkembangan pendidikan adalah hal yang harus terjadi sejalan dengan perubahan budaya kehidupan. Perubahan dalam arti perbaikan pendidikan pada semua jenjang perlu terus menerus dilakukan sebagai antisipasi kepentingan masa depan. Pada umumnya penerapan pembelajaran Matematika di SMA Negeri 1 Pamukan Utara yang telah dilakukan oleh guru juga masih kurang bervariasi. Pembelajaran yang diterapkan yaitu pembelajaran konvensional dengan metode ceramah. Model pembelajaran ini bersifat satu arah sehingga siswa cenderung kurang aktif sebagai penerima pelajaran dimana suasana kelas cenderung teacher-centered (cara belajar yang berpusat pada guru). Proses pembelajaran siswa pada kelas X (Sepuluh) lebih banyak mencatat dan mendengarkan ceramah materi dari guru. sebagian siswa kurang memperhatikan penjelasan guru. Ada siswa yang lain lebih banyak menggunakan waktunya bermain dengan temannya. Ada pula siswa yang asik berbicara dan bercanda dengan siswa yang lain. Siswa tertidur di kelas karena kelelahan pada saat proses belajar berlangsung. Hal ini meningkatkan rasa bosan mengikuti pelajaran karena siswa tidak fokus pada materi yang diajarkan. Berdasarkan hal di atas, sekitar 50% - 60% hasil belajar siswa siswa masih dibawah kriteria ketuntasan minimal (KKM) 70. Hasil penelitian Ampadu (2013) menyimpulkan bahwa siswa mengakui pentingnya pendekatan yang berpusat pada siswa untuk belajar, pentingnya kerja kelompok dalam pemahaman dan perolehan keterampilan dan konsep-konsep matematika. Namun, meskipun penyebaran pengakuan luas akan pentingnya pengajaran berpusat pada siswa dan pendekatan pembelajaran, sebagian besar siswa mempertimbangkan mengikuti pendekatan guru sebagai kunci untuk pembelajaran yang efektif. Hasil penelitian juga menyarankan bahwa guru adalah peserta aktif dalam proses belajar mengajar, tindakannya dianggap pemicu untuk belajar siswa. Oleh karena itu diusulkan agar menggunakan pendekatan baru pengajaran dan pembelajaran di mana guru dan siswa dianggap sebagai mitra dalam proses belajar-mengajar untuk menjembatani kesenjangan antara teori dan praktek di kelas matematika. Menurut Subanji (2013) pembelajaran kooperatif merupakan pendekatan dimana para siswa dibentuk dalam kelompok-kelompok kecil untuk memecahkan suatu masalah, menyelesaikan suatu tugas atau mencapai tujuan bersama. Pembelajaran kooperatif, berkembang menjadi banyak jenis, antara lain : JIGSAW, Student Team Achievement Division
1176
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
(STAD), Teams Game Tournament (TGT), Learning Together (LT), One Stay Two Stray, Numbered Heads Together (NHT), dan Think Pair Share (TPS). Huda (2013) menyatakan bahwa Think Pair Share (TPS) merupakan strategi pembelajaran yang memperkenalkan gagasan tentang waktu ―tunggu atau berpikir‖ (wait or think time) pada elemen interaksi pembelajaran kooperatif yang saat ini menjadi salah satu faktor dalam meningkatkan respon siswa terhadap pertanyaan. Menurut Lyman (dalam Raymon, 2012) ada tiga tahapan Think Pair Share (TPS) yang dilakukan pada saat pembelajaran berlangsung : (1) thinking, yaitu tahap di mana siswa berpikir tentang apa yang mereka ketahui atau telah dipelajari berkaitan topik atau permasalahan yang ditanyakan oleh guru, (2) pairing, yaitu tahap di mana siswa dipasangkan dengan siswa lain atau dengan kelompok kecil untuk mendiskusikan dan menuliskan jawaban, (3) sharing, yaitu tahap dimana siswa berbagi pemikiran dengan pasangannya dan kemudian menyampaikan hasil diskusinya ke seluruh kelas. Pembelajaran kooperatif Think Pair Share (TPS) memberi kesempatan siswa untuk bekerja sendiri serta bekerja sama dengan orang lain serta mengoptimalisasikan partisipasi siswa. Sehingga diharapkan siswa akan lebih terdorong dan termotivasi untuk lebih giat belajar dan mengikuti pembelajaran. Siswa dapat saling bertukar informasi dengan siswa lain untuk menyelesaikan permasalahan secara bersama-sama sehingga diharapkan akan meningkatkan motivasi belajar siswa (Huda, 2013). Untuk mendukung hal tersebut perlu dikembangkan strategi pembelajaran matematika yang dapat melibatkan siswa secara aktif dalam kegiatan pembelajaran untuk menemukan dan menerapkan ide-ide mereka serta keterampilan memperoleh pengetahuan dan mengkomunikasikan hasilnya. Hal ini berarti proses belajar mengajar di SMA tidak hanya berlandaskan pada teori pembelajaran perilaku, tetapi lebih menekankan pada penerapan prinsip-prinsip belajar dari teori kognitif. Implikasi teori belajar kognitif dalam pengajaran matematika adalah memusatkan kepada berpikir atau proses mental anak, dan tidak sekedar kepada hasilnya. Relevansi dari teori konstruktivis, siswa secara aktif membangun pengetahuan sendiri. Salah satu bentuk pembelajaran yang berorientasi pada pendekatan konstruktivis adalah pembelajaran kooperatif tipe TPS. Pembelajaran kooperatif tipe TPS dicirikan oleh suatu struktur tugas, tujuan dan penghargaan kooperatif. Siswa bekerja sama dalam situasi semangat pembelajaran kooperatif seperti membutuhkan kerjasama untuk mencapai tujuan bersama dan mengkoordinasikan usahanya untuk menyelesaikan tugas. Peningkatkan kualitas pembelajaran diperlukan adanya pembinaan dalam pelaksanaan pembelajaran yang dilakukan. Selama ini, pembelajaran yang dilakukan oleh guru tidak terekam dengan baik dan refleksi proses pembelajaran pun hanya bersumber dari guru seorang, tidak dari guru yang lain. Hal itu perlu adanya pembinaan yang tepat untuk meningkatkan kualitas pembelajaran. Pembinaan yang tepat tersebut adalah dengan menerapkan lesson study. Lesson study merupakan salah satu upaya untuk meningkatkan proses dan hasil pembelajaran yang dilaksanakan secara kolaboratif dan berkelanjutan oleh sekelompok guru. Lesson study muncul sebagai salah satu alternatif guna mengatasi masalah praktik pembelajaran yang selama ini kurang efektif. Lesson study awalnya digunakan oleh para guru pendidikan dasar di Jepang. Lesson study pertama kali dikembangkan di Jepang dengan istilah kenkyuu jugyo oleh Makoto Yoshida. Makoto Yoshida dianggap sebagai orang yang berjasa besar dalam mengembangkan lesson study. Berlatar belakang keberhasilan lesson study di Jepang, Catherine Lewis kemudian menerapkan lesson study di Amerika Serikat. Lewis (2002) menyebutkan bahwa lesson study merupakan gagasan yang sederhana. Sementara saat ini juga di Indonesia mulai mensosialisasikan untuk dijadikan sebagai sebuah model dalam rangka meningkatkan proses pembelajaran siswa, bahkan pada beberapa sekolah sudah mulai dipraktikan untuk meningkatkan kualitas pendidikan. Suparlan (2010) lesson study merupakan konsep baru dalam dunia pendidikan di Indonesia, lesson study bukan metode mengajar dan juga bukan model pembelajaran. Trimo (2010) paradigma ini memperlakukan, memfasilitasi, dan mendorong peserta didik menjadi subjek pembelajar mandiri yang bertanggung jawab, kreatif, inovatif, sportif, dan berkewirausahaan. Salah satu alternatif untuk merealisasikan maksud luhur tersebut dimulai dari evaluasi diri guru untuk menemukan permasalahan dan sekaligus alternatif pemecahannya melalui aktivitas lesson study berbasis penelitian tindakan kelas. Guru melakukan aktivitas
1177
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
merencanakan, melaksanakan, mengobervasi, dan merefleksi secara kolaboratif dan berkelanjutan. Widarti (2011) lesson study merupakan salah satu bentuk pembinaan guru (in-service) yang dapat dilakukan untuk meningkatkan profesionalisme guru. Lesson study dilakukan sebagai upaya untuk mengkaji kegiatan pembelajaran melalui kegiatan perencanaan (plan), pelaksanaan (do), melihat/refleksi (see) bersama untuk meningkatkan kualitas pembelajaran itu sendiri. Lesson study bukanlah suatu strategi atau metode dalam pembelajaran, melainkan merupakan salah satu upaya pembinaan untuk meningkatkan proses pembelajaran yang dilakukan oleh sekolompok guru secara kolaboratif dan berkesinambungan, dalam merencanakan, mengobservasi, dan melaporkan hasil pembelajaran (Sudrajat, 2008). Lesson study merupakan salah satu pengembangan profesi guru atau guru (Santyasa, 2009). Sekelompok guru mengembangkan pembelajaran secara bersama-sama. Salah satu guru bertugas melaksanakan pembelajaran, guru lainnya selaku observer yang mengamati segala kekurangan dan kesulitan yang menyebabkan proses membelajarkan siswa. Oleh karena itu, guru haruslah bekerja sama dengan guru lainnya dalam merencanakan, mengamati, dan merefleksi sehingga memperoleh perencanaan baru yang akan membuat pembelajaran lebih baik. Subanji dan Isnandar (2010) menyatakan salah satu upaya untuk mengubah perilaku guru dari penyampai materi menjadi fasilitator, dapat dilakukan melalui kegiatan lesson study. Penerapan lesson study dilakukan kegiatan perencanaan (plan) secara kolaboratif, pelaksanaan pembelajaran (do), observasi dan refleksi (see). Beberapa perubahan perilaku guru setelah menerapkan lesson study adalah: (1) terciptanya budaya akademik yang positif dalam membuat rencana pembelajaran kolaboratif, (2) terciptanya budaya ‖terbuka‖ dengan adanya open class, (3) tumbuhnya kebiasaan untuk selalu refleksi dan memperbaiki pembelajaran, (4) adanya upaya untuk meningkatkan potensi diri dengan selalu belajar, dan (5) membiasakan pembelajaran dengan melihat siswa sebagai subjek pembelajaran. Mulyana (2007) menyebutkan bahwa ada empat tahapan dalam lesson study yaitu (1) plan merupakan tahap perencanaan sebelum pelaksanaan kegiatan mengajar yang dilakukan oleh guru, (2) do merupakan tahap pelaksanaan dari apa yang telah direncanakan, (3) check merupakan tahap refleksi yang dilakukan oleh guru setelah dilaksanakannya pembelajaran di dalam kelas, dan (4) act merupakan tindak lanjut dari guru untuk memperbaiki kekurangankekurangan dalam pembelajaran yang telah dilakukan di dalam kelas atau dengan kata lain menindaklanjuti hasil dari refleksi. Rian Anggara dan Umi Chotimah (2012) Adapun manfaat lesson study adalah: (1) meningkatnya pengetahuan guru tentang ma-teri ajar dan pembelajarannya; (2) meningkatnya pengetahuan guru tentang cara mengobservasi aktifitas belajar siswa; (3) menguatnya hubungan kolegalitas baik antar guru maupun dengan observer lain selain guru; (4) menguatnya hubungan antara pelaksanaan pembelajaran sehari-hari dengan tujuan pembelajaran jangka panjang; (5) meningkatnya motivasi guru untuk senantiasa berkembang; (6) meningkatnya kualitas rencana pembelajaran termasuk komponen-komponennya seperti bahan ajar, teaching materials (hands on) dan strategi pembelajaran (Rusman, 2010). Berdasarkan paparan di atas, penelitian ini untuk mengetahui pembelajaran think pair share berbasis lesson study dalam meningkatkan aktivitas siswa dalam belajar matematika kelas X SMAN 1 Pamukan Utara. METODE Penelitian ini dilaksanakan di SMAN 1 Pamukan Utara kabupaten Kotabaru Kalimantan selatan. Subjek penelitian ini adalah siswa kelas X-2 SMAN 1 Pamukan Utara khususnya pada materi pebandingan trigonometri. Jenis penelitian ini adalah lesson study yang terdiri atas tiga tahapan yaitu: (1) plan (perencanaan), (2) do( pelaksanaan), dan (3) see (melihat/refleksi). Deskripsi Setiap tahapan pada penelitian lesson study mata pelajaran matematika di SMAN 1 Pamukan Utara kelas X-2, yaitu (1) guru membuat perencanaan pembelajaran, (2) melaksanakan pembelajaran, dan (3) melihat/merefleksi hasil pembelajaran.
1178
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
Pengumpulan data dilakukan menggunakan observasi, dokumentasi (video/foto) dan tes. Observasi dan dokumentasi (video/foto) digunakan untuk mengetahui kegiatan pembelajaran, sedangkan tes digunakan untuk mengukur hasil belajar. HASIL DAN PEMBAHASAN Pelaksanaan lesson study siklus 1 Perencanaan (Plan) Pada tahap perencanaan, penelitian ini dilakukan oleh 3 orang yang dikelompokkan untuk melakukan penelitian lesson study. Sebelum pelaksanaan pembelajaran di kelas, peserta PPL menyiapkan beberapa keperluan penting diantaranya, yaitu: (1) mempersiapkan diri, baik dari penguasaan materi dan mental melalui diskusi bersama anggota kelompok lesson study; (2) mempersiapkan bahan ajar dan kelas sebagai tempat pelaksanaan yang akan dipergunakan saat melakukan pembelajaran dengan berdiskusi dengan guru matematika yang mengajar di sekolah tersebut; (3) membuat Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) dan Lembar Kerja Siswa (LKS) untuk pertemuan pembelajaran; (4) mempersiapan video peer teaching oleh guru model bersama anggota kelompok berdasarkan hasil diskusi sebelumnya. Guru model bersama dua anggota kelompok PPL yang lain melakukan refleksi setelah pembelajaran berakhir dengan berdiskusi yang bertujuan untuk perbaikan-perbaikan pembelajaran dari kekurangan yang telah dilakukan pada saat pembelajaran, yaitu: (1) Peneliti melakukan kegiatan peer teaching dalam kelompoknya; (2) membuat rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP) dan Lembar Kerja Siswa (LKS) sesuai dengan materi lanjutan;(3) membuat lembar observasi aktivitas guru dan siswa yang dapat dipahami sehingga mudah untuk diisi oleh guru lain. Pelaksanaan (Do) Pelaksanaan pembelajaran dilakukan penulis sebagai guru model dan dua anggota lesson study pada hari Rabu tanggal 23 April 2014 pukul 10.00–11.30 penulis menjadi guru model dengan materi ajar ―Perbandingan Trigonometri pada segitiga siku-siku‖. Guru model menggunakan pembelajaran think pair share dengan menggunakan lembar kerja siswa (LKS) yang telah disiapkan sebelumnya. Peneliti sebagai guru model melaksanakan pembelajaran yang telah dipersiapkan sesuai dengan RPP, sedangkan anggota kelompok yang tidak melakukan pengajaran mengamati dan mencatat hal-hal yang dirasa perlu dilakukan perbaikan dari kekurangan atau kelemahan pada saat guru model yang melaksanakan pengajaran di kelas. Pada saat pendahuluan kesiapan belajar siswa dan respon siswa tergolong baik. guru kesulitan dan terlalu banyak waktu karena perkenalan dengan siswa di awal. Pada appersepsi masih ada siswa yang malu-malu mengeluarkan pendapat untuk menjawab pertanyaan dari guru. Pada tahap think, siswa kesulitan memahami untuk mengisi LKS. Sebagian siswa lagi sudah berdiskusi dengan teman dibelakang tempat duduknya dan ada dua siswa berjalan-jalan menanyakan dengan teman sekitar tempat duduknya. Hal tersebut dikarenakan adanya perbedaan pendapat antara jawaban LKS tersebut dan kurangnya menguasai pengetahuan awal seperti menggunakan konsep pythagoras, operasi perkalian dan pembagian. Guru mendekati menanyakan permasalahan dalam LKS yang dihadapinya, kemudian guru memberikan arahan dan bimbingan untuk menyelesaikan permasalahan yang dihadapi. Pada tahap pair siswa dibagi kelompok yang terdiri atas dua orang yang di bentuk dari siswa yang berdekatan. Siswa dipasangkan dengan siswa yang lain agar mendiskusikan hasil pemikirannya dan menjawab soal latihan dengan mengisi LKS, tetapi ada siswa yang pasif dalam kelompok sehingga pasangannya hanya bekerja sendiri. Adapun juga kelompok yang bertanya karena tidak dapat memahami perintah soal yang termuat dalam LKS. Guru mendekati kelompok tersebut dengan memberi arahan agar siswa mengerti maksud dari perintah LKS tersebut. Pada tahap share, guru memberikan kesempatan pada setiap kelompok untuk mempresentasikan hasil diskusi kelompok masing-masing. Beberapa kelompok masih malumalu untuk mengangkat tangan agar kelompoknya dapat mempresentasikannya. Guru kemudian menunjuk salah satu kelompok untuk mempresentasikannya. Kelompok yang mempresentasikan pun malu-malu untuk memaparkan penjelasannya sehingga suaranya kurang jelas. Ketika satu kelompok mempresentasikan dan menuliskan jawabannya, beberapa siswa
1179
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
secara bersamaan dari kelompok lain menanyakan hal-hal yang tidak sesuai dengan pendapatnya. Suasana tersebut mengakibatkan suasana menjadi ribut. Pada tahap penutup, guru membimbing siswa menyimpulkan pelajaran yang telah dipelajarinya. Kemudian guru memberikan tes. Guru memberikan penghargaan pada kelompok yang berprestasi dari hasil nilai rata-rata tes individu dari setiap kelompoknya. Refleksi (See) Guru model melakukan refleksi bersama anggota lesson study setelah dilakukan pengajaran di kelas. Pada pertemuan ini guru model mendapat masukan yaitu ; (1) perintah dan soal LKS kurang jelas; (2) tentang alokasi waktu tiap tahap kegiatan pembelajaran think pair share kurang terkontrol misalnya pada tahap think selama 30 menit, siswa terlalu lama untuk berpikir sendiri padahal dirinya tidak menguasai pengetahuan awal; (3) adanya kelompok yang dominan sehingga tidak merata, karena dalam kelompok terdapat kedua anggota yang pandai; dan (4) guru model belum mengarahkan bagaimana cara siswa berdiskusi dengan baik. Pelaksanaan lesson study siklus 2 Perencanaan (Plan) Pertemuan selanjutnya, pada hari Kamis tanggal 24 April 2014 pukul 07.30-09.00 penulis kembali menjadi guru model. Pembelajaran ini memuat materi ajar tentang ―Perbandingan trigonometri pada sudut-sudut khusus atau istimewa‖. Perencanaan untuk pelaksanaan pembelajaran pada siklus 2 merupakan perbaikan kendala dan kekurangan pada pembelajaran pada siklus 1. Perbaikan dari hasil refleksi yang didiskusikan peneliti berupa: (1) lebih menggali lagi pengetahuan awal dan kemampuan prasyarat untuk materi yang akan dilaksanakan dalam pembelajaran; (2) mengalokasikan waktu pada tahap think dari 30 menit menjadi 20 menit; (3) mengelompokkan siswa sesuai dengan kemampuan kognitif yang heterogen yang diperoleh dari hasil tes siklus 1; (4) membuat dan mengkaji ulang RPP dan LKS yang akan diberikan pada pertemuan berikutnya. Pelaksanaan (Do) Siswa-siswa lebih aktif untuk berpikir bertanya untuk menyelesaikan LKS pada tahap think. Siswa juga lebih aktif bertanya apabila ada suatu hal yang kurang dipahami siswa. Guru berkeliling memonitor pekerjaan siswa. Pada tahap pair, guru mengelompokkan siswa sesuai kelompok yang sudah dipersiapkan sebelumnya. Siswa dalam kelompoknya lebih aktif berdiskusi untuk mengerjakan soal dan latihan pada LKS. Siswa antusias untuk memahami agar pada saat tes individu meraka dapat nilai yang baik, sehingga kelompok mereka yang berkemungkinan mendapatkan hadiah. Pada saat share, peneliti memberi kesempatan kepada salah satu kelompok untuk mempresentasikan hasil diskusi kelompoknya. hasil diskusi kelompok, guru memberikan kesempatan kepada kelompok yang mau maju pertama untuk mempresentasikan hasil diskusi kelompoknya. Suasana diskusi dalam kelas berjalan optimal. Begitu seterusnya berlanjut kesempatan kepada kelompok lain untuk maju mempresentasikan kerja kelompok secara bergantian. Setiap kelompok penyaji selesai mempresentasikan, siswa yang lain memberikan apresiasi dengan bertepuk tangan untuk kelompok yang presentasi. Tahap presentasi berakhir, kegiatan dilanjutkan peneliti memberikan koreksi pada hasil dan jawaban yang dipresentasikan siswa. Pada tahap penutup guru bersama siswa membuat kesimpulan tentang tanda perbandingan trigonometri sudut-sudut istimewa/khusus. Pada akhir pembelajaran siswa kembali ke tempat duduknya masing-masing. Guru membagikan tes/kuis yang dikerjakan siswa secara individu. Dari nilai kuis tersebut, guru mengambil nilai rata-rata kelompok. Kemudian peneliti meranking nilai kelompok tersebut dari nilai yang tertinggi. Guru mengambil tiga peringkat ke atas. Sama dengan sebelumnya peneliti menemukan empat mempunyai nilai rata-rata yang sama. Guru memutuskan kelompok yang maju pertama presentasi untuk menduduki peringkat pertama. Siswa menerima keputusan yang dibuat guru. Guru memberikan hadiah kepada kelompok yang berprestasi. Pada akhirnya peneliti menutup pembelajaran dengan mengucapkan salam. Refleksi (See) Penggalian pengetahuan awal siswa mempermudah siswa dalam mnyelesaikan LKS pada tahap think, Siswa sudah aktif dalam bertanya ketika menghadapi masalah dalam mengerjakan LKS dan ketika kesulitan mengerjakan soal latihan. Seluruh kelompok mampu membuat kesimpulan. 1180
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
HASIL BELAJAR Tujuan penelitian ini adalah untuk meningkatkan hasil belajar melalui penerapan think pair share. Penelitian yang telah dilaksanakan terdiri atas dua siklus terdapat peningkatan belajar yang dapat dilihat pada tabel berikut. Tabel 1. Hasil Belajar Siswa Tiap Siklus Siklus Nilai rata-rata Jumlah Siswa Tuntas Belajar 1 70,58 15 2 79,81 21
Tuntas Belajar Klasikal 62,5% 87,5%
Keterangan Belum tuntas Tuntas
Berdasarkan tabel di atas, dapat dilihat bahwa hasil belajar siswa meningkat dari siklus 1 ke siklus 2, yaitu nilai rata-rata siswa pada siklus 1 sebesar 70,58 meningkat ke siklus 2 sebesar 79,81. Peningkatan hasil belajar juga terjadi pada ketuntasan belajar secara klasikal. Ketuntasan belajar klasikal dari siklus 1 sebesar 62,5% meningkat pada siklus 2 sebesar 87,5%. Hal itu juga menyababkan ketuntasan belajar siswa secara klasikal yaitu ≥ 80%. KESIMPULAN Adapun kesimpulan dalam penerapan lesson study ini yaitu: (1) ada empat tahapan dalam pelaksanaan lesson study yaitu perencanaan, pelaksanaan, refleksi, dan tindak lanjut; (2) tahap perencanaan yaitu melaksanakan peer teaching, membuat RPP dan lembar observasi; (3) tahap pelaksanaan yaitu guru yang bertindak guru model dan guru lainnya yang bertindak sebagai observer; (3) tahap refleksi adalah masukan-masukan dari observer yang berupa kekurangan dan kelemahan pada saat proses pembelajaran berlangsung; dan (4) tahap tindak lanjut adalah upaya perbaikan yang dilakukan oleh guru model terhadap hasil refleksi. SARAN Berdasarkan hasil penelitian dalam penerapan think pair share berbasis lesson study ini, peneliti memberikan beberapa saran, yaitu: (1) sebelum kegiatan inti dimulai, perlu memberikan apersepsi untuk menggali pengetahuan awal siswa; (2) guru hendaknya menggunakan pembelajaran kooperatif tipe think pair share berbasis lesson study pada mata pelajaran matematika; dan (3) penelitian ini dapat menjadi acuan bagi penelti selanjutnya dalam penelitian maupun penulisan karya ilmiah. DAFTAR RUJUKAN Ampadu, E. 2013. Aspiring Mathematicians: Students’ Views Regarding What it Takes to be Successful in Mathematics. (Online), (http://www.cimt.plymouth.ac.uk/journal/ampadu.pdf). Edy Suprapto. 2013. Implementasi pendidikan karakter berbasis Lesson study pada mata kuliah analisis vector. JEMS (Jurnal Edukasi Matematika dan Sains) Vol. 1 No. 1, Maret 2013 -- ISSN : 2337-9049 Heruman. 2008. Kurikulum dan Pembelajaran. Jakarta: Bumi Aksara Huda, M. 2013. Model-Model Pengajaran dan Pembelajaran: Isu-Isu Metodis dan Paradigmatis. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Huda, M. 2013. Cooperatif Learning: Metode, Teknik, Struktur dan Model Penerapan. Yogyakarta : Pustaka Pelajar Lewis, Catherine. 2002. Does Lesson Study Have a Future in the United States?. Online: sowionline.de/journal/2002-1/lesson_lewis.html. Mulyana, Slamet. 2007. Lesson Study. Kuningan: LPMP-Jawa Barat. Rian Anggara dan Umi Chotimah. 2012. Penerapan Lesson Study Berbasis Musyawarah Guru Mata Pelajaran (Mgmp) Terhadap Peningkatan Kompetensi Profesional Guru Pkn Smp Se-Kabupaten Ogan Ilir. Jurnal Forum Sosial, Vol. V, No. 02, September 2012 Santyasa, I Wayan. 2009. Implementasi Lesson Study dalam Pembelajaran. Bali: Universitas Pendidikan Ganesha Sudrajat, Akhmad. 2008. Lesson Study untuk Meningkatkan Proses dan Hasil Pembelajaran. (online): http://akhmadsudrajat.wordpress.com/2008/02/22/lesson-study-untukmeningkatkan-pembelajaran.
1181
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
Suparlan, 2010. Lesson Study dan Peningkatan Kompetensi Guru. Artikel Pendidikan Trimo. 2010. Peningkatan Kompetensi Profesional Guru Melalui Lesson Study Berbasis Penelitian Tindakan Kelas. Seminar Nasional Lesson Study ―Upaya Meningkatkan Kualitas Pembelajaran Melalui Lesson Study‖. Widarti, H. R. 2012. Study Tentang Pelaksanaa Lesson Studi Di SMA Brawijaya Smart School Malang Semester Genap 2010-2011. Prosiding Seminar Nasional Kimia Unesa 2012 – ISBN : 978-979-028-550-7 Surabaya, 25 Pebruari 2012. Subanji, Dr. 2013. Pembelajaran Matematika Kreatif dan Inovatif. Malang : Universitas Negeri Malang (UM PRESS) Subanji dan Isnandar. 2010. Meningkatkan Profesionalisme Guru Sekolah Dasar Melalui Teachers Quality Improvement Program (Teqip) Berbasis Lesson Study. J-TEQIP, Tahun 1, Nomor 1, November 2010.
1182
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
PEMANFAATAN FLOWCHART SEBAGAI ALGORITMA DALAM MERENCANAKAN STRATEGI PEMECAHAN MASALAH MATEMATIKA BERDASARKAN TAHAPAN POLYA Ageng Jelly Purwanto Universitas Negeri Malang
[email protected] Abstrak: Masalah matematika memang sulit untuk dipahami dan dimengerti, bahkan penyelesaiannya membutuhkan strategi-strategi khusus dan bukan cara-cara yang biasa digunakan oleh siswa. Siswa SMK khususnya jurusan computer terbiasa dengan penggunaan algoritma yang salahsatunya adalah flowchart. Flowchart merupakan gambar atau bagan yang memperlihatkan urutan dan hubungan antar proses beserta instruksinya. Hal ini membantu siswa dalam membuat perencanaan penyelesaian masalah matematika berdasarkan tahapan-tahapan Polya. Kata kunci: masalah matematika, Flowchart, Polya
Matematika sering dianggap sebagai mata pelajaran yang sulit bagi siswa, khususnya yang berupa masalah. Masalah adalah sesuatu yang sulit untuk dipahami atau dimengerti (Brown dkk, 1995: 921), tidak bisa diselesaikan secara langsung, dan membutuhkan strategi khusus dalam menyelesaikannya. Pemecahan masalah merupakan proses menemukan solusi sesuatu yang sulit untuk dipahami atau dimengerti, tidak bisa diselesaikan secara langsung, dan membutuhkan strategi khusus dalam menyelesaikannya. Polya (2004), mengemukakan bahwa solusi soal pemecahan masalah memuat empat fase penyelesaian yaitu Understanding the problem, Devising a plan, Carrying out the plan, Looking back. Pada tahap Merencanakan penyelesaian (Devising a plan), merupakan tahap yang sulit karena pengalaman siswa dalam menyelesaikan masalah sangat dibutuhkan karena dalam satu masalah dapat memiliki beberapa rencana penyelesaian. Rencana penyelesaian tersebut dapat dituliskan dalam bentuk algoritma. Algoritma adalah kumpulan instruksi yang dibuat secara jelas untuk menunjukan langkah-langkah penyelesaian suatu masalah. Pada umumnya algoritma kurang lebih sama dengan suatu prosedur yang sering dilakukan setiap hari, misalnya prosedur untuk mengganti ban bocor/pecah, prosedur pemakaian telepon umum, prosedur membuat kue dan lain-lain. Salah satu metode dalam merancang algoritma adalah flowchart. Flowchart merupakan gambar atau bagan yang memperlihatkan urutan dan hubungan antar proses beserta instruksinya. Gambaran ini dinyatakan dengan simbol. Dengan demikian setiap simbol menggambarkan proses tertentu. Sedangkan hubungan antar proses digambarkan dengan garis penghubung. Flowchart biasa digunakan di bidang komputasi, sehingga siswa SMK jurusan komputer terbiasa menggunakan flowchart. Berdasarkan masalah tersebut, maka akan dibahas tentang pemanfaatan flowchart sebagai algoritma dalam merencanakan strategi pemecahan masalah matematika berdasarkan tahapan Polya. Masalah Matematika Masalah adalah sesuatu yang sulit untuk dipahami atau dimengerti (Brown dkk, 1995: 921), tidak bisa diselesaikan secara langsung, dan membutuhkan strategi khusus dalam menyelesaikannya (Posamentier dan Krulik, 1998). Tidak semua soal matematika dapat dikategorikan sebagai soal pemecahan masalah, walaupun soal tersebut berupa soal cerita yang penyelesaiannya memerlukan perhitungan matematika (Sulistyowati, 2009: 61). Moursund (2005: 29), menyatakan bahwa seseorang dianggap mengalami masalah bila menghadapi kondisi: (a) memahami dengan jelas kondisi yang sedang terjadi, (b) memahami dengan jelas tujuan yang diharapkan untuk menyelesaikan masalah, (c) memahami sekumpulan sumber daya yang dapat dimafaatkan untuk mengatasi situasi yang terjadi sesuai dengan tujuan yang diinginkan, dan (d) memiliki kemampuan untuk menggunakan berbagai sumber daya untuk mencapai tujuan. Jadi, masalah tidak bisa secara langsung diselesaikan, membutuhkan strategi strategi dan ketelitian. 1183
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
Pemecahan masalah merupakan proses menemukan solusi sesuatu yang sulit untuk dipahami atau dimengerti, tidak bisa diselesaikan secara langsung, dan membutuhkan strategi khusus dalam menyelesaikannya. Pemecahan masalah terbuka adalah proses menemukan solusi dari permasalahan yang tidak memiliki batasan yang ditentukan serta rumit atau kompleks. Pehkonen (2008: 3), menyatakan bahwa pemecahan masalah terbuka adalah proses menemukan solusi dari masalah yang memiliki beberapa jawaban benar dan beberapa cara untuk jawaban benar. Mourtos dkk (2004:1), mengemukakan bahwa siswa yang menyukai pemecahan masalah menunjukkan hal-hal berikut: (1) bersedia menghabiskan waktu untuk membaca, mengumpulkan informasi dan mendefinisikan masalah, (2) menggunakan proses, serta berbagai taktik untuk mengatasi masalah (3) memantau proses pemecahan masalah mereka dan merenungkan efektivitasnya, (4) menekankan akurasi dari pada kecepatan, (5) menuliskan ideide dan membuat grafik/angka, selama memecahkan masalah (6) terorganisir dan sistematis, (7) fleksibel (bisa melihat situasi dari berbagai perspektif/sudut pandang), (8) menggambar pada pengetahuan subjek yang bersangkutan, obyektif dan kritis menilai kualitas, akurasi, dan ketepatan dari pengetahuan/data, (9) Bersedia mengambil risiko dan mengatasi ambiguitas, menerima perubahan dan mengelola tekanan, dan (10) menggunakan pendekatan yang menyeluruh yang menekankan fundamental dari pada mencoba untuk menggabungkan berbagai hafalan solusi dari contoh-contoh. Menurut Posamentier dan Krulik (1998), pemecahan masalah berperan : (1) sebagai subjek untuk dipelajari, (2) sebagai pendekatan terhadap permasalahan, (3) sebagai cara dalam mengajar (way of teaching). Seperti yang di tulis oleh Arean dkk (2010), menyatakan bahwa penggunaan terapi pengobatan dengan pemecahan masalah merupakan pengobatan yang sangat efektif untuk penyakit yang berhubungan dengan otak. Kizilkaya dan Askar (2009), menyatakan bahwa pemecahan masalah dapat mengembangkan skala keterampilan berpikir reflektif. Didonato (2013), menyatakan bahwa pemecahan masalah dapat meningkatkan kemampuan belajar mandiri siswa. Strategi Penyelesaian Masalah Matematika Polya (2004), mengemukakan bahwa solusi soal pemecahan masalah memuat empat fase penyelesaian yaitu seperti yang terdapat dalam Tabel betikut. Tabel 1. Fase Penyelesaian Masalah Menurut Polya Fase Keterangan Understanding the Memahami masalah dengan jelas problem Devising a plann Merencanakan penyelesaian Bergantung pada pengalaman siswa dalam menyelesaikan masalah Carrying out the plann Menyelesaikan masalah sesuai perencanaan Secara tertulis atau tidak tertulis Looking back Melakukan pengecekan kembali terhadap setiap tahapan yang telah dikerjakan Mengoreksi kesalahan Kesesuaian jawaban dengan permasalahan
Sukayasa (2010) mengemukakan bahwa Fase-fase pemecahan masalah menurut Polya lebih populer digunakan karena: (1) fase-fase dalam proses pemecahan masalah yang dikemukan Polya cukup sederhana, (2) aktivitas-aktivitas pada setiap fase yang dikemukakan Polya cukup jelas dan, dan (3) fase-fase pemecahan masalah menurut Polya telah lazim digunakan dalam memecahkan masalah matematika. Posamentier dan Krulik (1998) serta Posamentier dan Schulz (1996), lebih menekankan pada sepuluh strategi dalam menyelesaikan masalah yaitu seperti yang terdapat pada Tabel. Tabel 2. Strategi Penyelesaian Masalah Strategi Keterangan Working backwards Cara ini digunakan ketika pemecah masalah mendapati suatu masalah yang memiliki titik akhir (end-point) namun mendapati terlalu banyak/ rumit cara untuk menyelesaikan masalah ketika melalui titik awal permasalahan
1184
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
Strategi Finding a pattern
Keterangan Salah satu keindahan matematika adalah kelogisan dan keteraturan yang menjadi sifat alaminya. Kelogisan tersebut dapat terlihat secara fisik sebagai pola maupun serangkaian pola.
Adopting a different point of view
Mengerjakan soal matematika dengan menyelesaikan secara langsung memang memberikan solusi tetapi belum tentu cara tersebut efesien. Terkadang, akan sangat menguntungkan bagi pemecah masalah ketika mencoba mengadopsi sudut pandang yang berbeda dari suatu permasalahan. Salah satu metode yang kadangkala dapat memunculkan jawaban adalah dengan mengubah soal dalam bentuk yang lebih mudah untuk dikerjakan. Beberapa soal dapat dipecahkan dengan mudah dengan meninjau kasus ekstrim dalam soal tersebut. Gambar/visualisasi akan berfungsi sebagai fasilitator untuk menyelesaikan masalah dibanding sebagai unsur-unsur dari permasalahan.
Solving a simpler, analogous problem Considering extreme cases Making a drawing (visual representation) Intelligent guessing and testing (including approximation Accounting for all possibilities Organizing data Logical reasoning
Metode ini cukup berbeda dengan trial-and-error karena terjadi pembatasan nilai variabel yang pada akhirnya terfokus kepada jawaban yang dicari. Dalam metode ini, jawaban akan terlihat lebih teratur Strategi ini seringkali disebut dengan “mengeliminasi/menghilangkan kemungkinan” yakni strategi di mana pemecah masalah menghilangkan kemungkinan jawaban sampai menyisakan jawaban yang benar. Mengorganisasi ulang data yang diberikan mungkin bisa menjadi alternatif dalam memandang suatu soal/permasalahan secara visual Kemampuan melakukan penalaran logis bergantung pada banyak latihan maupun pengalaman yang telah didapat. Karena materi matematika salng berhubungan, maka dalam permasalahan matematika, validnya suatu penalaran akan sangat bergantung terhadap keluwesan dan penguasaan materi-materi matematika tersebut.
Algoritma dan Flowchart Algoritma adalah urutan langkah-langkah logis penyelesaian masalah yang disusun secara sistematis dan logis. Kata logis merupakan kata kunci dalam algoritma. Langkah-langkah dalam algoritma harus logis dan harus dapat ditentukan bernilai salah atau benar (Zarlis dan Handrizal: 2008: 1). Dalam beberapa konteks, algoritma adalahspesifikasi urutan langkah untuk melakukan pekerjaan tertentu. Pertimbangan dalam pemilihan algoritma adalah, pertama, algoritma haruslah benar. Artinya algoritma akan memberikan keluaran yang dikehendaki dari sejumlah masukan yang diberikan. Tidak peduli sebagus apapun algoritma, kalau memberikan keluaran yang salah, pastilah algoritma tersebut bukanlah algoritma yang baik. Pertimbangan kedua yang harus diperhatikan adalah kita harus mengetahui seberapa baik hasil yang dicapai oleh algoritma tersebut. Hal ini penting terutama pada algoritma untuk menyelesaikan masalah yang memerlukan aproksimasi hasil (hasil yang hanya berupa pendekatan). Algoritma yang baik harus mampu memberikan hasil yang sedekat mungkin dengan nilai yang sebenarnya. Ketiga adalah efisiensi algoritma. Efisiensi algoritma dapat ditinjau dari 2 hal yaitu efisiensi waktu dan memori. Meskipun algoritma memberikan keluaran yang benar (paling mendekati), tetapi jika kita harus menunggu berjam-jam untuk mendapatkan keluarannya, algoritma tersebut biasanya tidak akan dipakai, setiap orang menginginkan keluaran yang cepat. Begitu juga dengan memori, semakin besar memori yang terpakai maka semakin buruklah algoritma tersebut Flowchart merupakan gambar atau bagan yang memperlihatkan urutan dan hubungan antar proses beserta instruksinya. Gambaran ini dinyatakan dengan simbol. Dengan demikian setiap simbol menggambarkan proses tertentu. Sedangkan hubungan antar proses digambarkan dengan garis penghubung. Flowchart ini merupakan langkah awal pembuatan program. Dengan adanya flowchart urutan poses kegiatan menjadi lebih jelas. Jika ada penambahan proses maka dapat dilakukan lebih mudah. Setelah flowchart selesai disusun, selanjutnya pemrogram (programmer) menerjemahkannya ke bentuk program dengan bahsa pemrograman.
1185
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
Simbol-simbol Flowchart Flowchart disusun dengan simbol-simbol. Simbol ini dipakai sebagai alat bantu menggambarkan proses di dalam program. Simbol-simbol yang dipakai antara lain : Flow Direction symbol Yaitu simbol yang digunakan untuk menghubungkan antara simbol yang satu dengan simbol yang lain. Simbol ini disebut juga connecting line.
Terminator Symbol Yaitu simbol untuk permulaan (start) atau akhir (stop) dari suatu kegiatan Connector Symbol Yaitu simbol untuk keluar – masuk atau penyambungan proses dalam lembar / halaman yang sama. Connector Symbol Yaitu simbol untuk keluar – masuk atau penyambungan proses pada lembar / halaman yang berbeda. Processing Symbol Simbol yang menunjukkan pengolahan yang dilakukan oleh komputer
Simbol Manual Operation Simbol yang menunjukkan pengolahan yang tidak dilakukan oleh komputer
Simbol Decision Simbol pemilihan proses berdasarkan kondisi yang ada.
Simbol Input-Output Simbol yang menyatakan proses input dan output tanpa tergantung dengan jenis peralatannya Simbol Manual Input Simbol untuk pemasukan data secara manual on-line keyboard
Simbol Preparation Simbol untuk mempersiapkan penyimpanan yang akan digunakan sebagai tempat pengolahan di dalam storage.
Simbol Predefine Proses Simbol untuk pelaksanaan suatu bagian (sub-program)/prosedure
Simbol Display Simbol yang menyatakan peralatan output yang digunakan yaitu layar, plotter, printer dan sebagainya.
Simbol disk and On-line Storage Simbol yang menyatakan input yang berasal dari disk atau disimpan ke disk. 1186
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
Simbol magnetik tape Unit Simbol yang menyatakan input berasal dari pita magnetik atau output disimpan ke pita magnetik.
Simbol Punch Card Simbol yang menyatakan bahwa input berasal dari kartu atau output ditulis ke kartu Simbol Dokumen Simbol yang menyatakan input berasal dari dokumen dalam bentuk kertas atau output dicetak ke kertas (Nilawati, R, 2005).
Kaidah-kaidah pembuatan Flowchart Dalam pembuatan flowchart tidak ada rumus atau patokan yang bersifat mutlak. Karena flowchart merupakan gambaran hasil pemikiran dalam menganalisa suatu masalah dengan komputer. Sehingga flowchart yang dihasilkan dapat bervariasi antara satu pemrogram dengan pemrogram lainnya. Namun secara garis besar, setiap pengolahan selalu terdiri dari tiga bagian utama, yaitu; Input berupa bahan mentah Proses pengolahan Output berupa bahan jadi. Untuk pengolahan data dengan komputer, dapat dirangkum urutan dasar untuk pemecahan suatu masalah, yaitu; START: berisi instruksi untuk persiapan perlatan yang diperlukan sebelum menangani pemecahan masalah. READ: berisi instruksi untuk membaca data dari suatu peralatan input. PROCESS: berisi kegiatan yang berkaitan dengan pemecahan persoalan sesuai dengan data yang dibaca. WRITE: berisi instruksi untuk merekam hasil kegiatan ke perlatan output. END: mengakhiri kegiatan pengolahan START
READ
PROCESS
WRITE
END
Gambar 1. Flowchart Kegiatan Dasar
Dari gambar flowchart tersebut terlihat bahwa suatu flowchart harus terdapat proses persiapan dan proses akhir. Dan yang menjadi topik dalam pembahasan ini adalah tahap proses. Karena kegiatan ini banyak mengandung variasi sesuai dengan kompleksitas masalah yang akan dipecahkan. Walaupun tidak ada kaidah-kaidah yang baku dalam penyusunan flowchart, namun ada beberapa anjuran yaitu: Hindari pengulangan proses yang tidak perlu dan logika yang berbelit sehingga jalannya proses menjadi singkat Penggambaran flowchart yang simetris dengan arah yang jelas. 1187
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
Sebuah flowchart diawali dari satu titik START dan diakhiri dengan END.
PEMBAHASAN Penelitian ini dilakukan pada dua Siswa SMK Jurusan Rekayasa Perangkat Lunak (RPL) dan Multimedia (MM). kedua Siswa tersebut diberikan lima masalah matematika yang berasal dari Naskah Soal Lomba Kompetensi Siswa (LKS) sekolah menengah Kejuruan Tingkat Propinsi Jawa Timur tahun 2012 yaitu: 1. Suatu password untuk login komputer terdiri dari tiga huruf dan diikuti tiga angka. Agar tidak menimbulkan keraguan, maka huruf “i” dan “o” tidak dipakai, demikian pula digit “1” dan “0”. Maka banyak password yang dapat dibuat adalah? 2. Dalam system hexadecimal (basis 16) mempunyai 16 lambang dasar, yaitu: 0, 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, A, B, C, D, E, F. Tentukan nilai dari 3 A C F 5 dalam system biner ! 3. Jika bilangan 2001 dituliskan dalam bentuk 1 2 3 4 5 6 .... (n 2) (n 1) n , maka tentukan jumlah digit dari n! 4. Banyaknya bilangan bulat positip yang terdiri lima angka/digit dan dibentuk oleh tepat dua angka berbeda adalah? 5. 2n pemain akan ikut berpartisipasi dalam suatu turnamen Tenis. Tentukan banyak cara membentuk pasangan pada ronde pertama? Dari lima masalah tersebut siswa membuat rencana penyelesaiannya menggunakan flowchart. Flowchar dibuat dengan bantuan software yEd Graph Editor. Dari kedua Siswa tersebut diperoleh: 1. Siswa dari jurusan RPL Dari lima masalah yang diberikan, diperoleh No. 1
Masalah Masalah 1
Uraian Siswa berhenti di tahap pertama Polya. Siswa tidak dapat memahami masalah dengan baik, sehingga tahap dua tidak dapat dilanjutkan Siswa dapat memahami masalah dengan baik Diperoleh flowchart berikut
2
Masalah 2
3
Masalah 3
4
Masalah 4
Siswa berhenti di tahap pertama Polya. Siswa tidak dapat memahami masalah dengan baik, sehingga tahap dua tidak dapat dilanjutkan Siswa dapat memahami masalah dengan baik Diperoleh flowchart berikut
1188
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
No.
Masalah
Uraian
5
Masalah 5
Siswa dapat memahami masalah dengan baik Diperoleh flowchart berikut
2. Siswa dari jurusan MM No. Masalah Uraian 1 Masalah 1 Siswa berhenti di tahap pertama Polya. Siswa tidak dapat memahami masalah dengan baik, sehingga tahap dua tidak dapat dilanjutkan 2 Masalah 2 Siswa dapat memahami masalah dengan baik Diperoleh flowchart berikut
3
Masalah 3
Siswa dapat memahami masalah dengan baik Diperoleh flowchart berikut
1189
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
No. Masalah
Uraian
4
Masalah 4
Siswa dapat memahami masalah dengan baik Diperoleh flowchart berikut
5
Masalah 5
Siswa dapat memahami masalah dengan baik Diperoleh flowchart berikut
PENUTUP Dari hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa penggunaan flowchart dapat membantu siswa SMK khususnya jurusan computer yang sudah terbiasa menggunakan flowchart dalam membuat perencanaan penyelesaian masalah matematika. Syarat utamanya adalah siswa harus terlebih dahulu memahami masalah yang diberikan (tahap pertama Polya). DAFTAR PUSTAKA 1190
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
Brown, K. dkk, 1995. Oxford Advanced Learner’sDictionary. Newyork: Oxford University Press. Polya, G., 2004. How to Solve It: A New Aspect of Mathematical Method (foreword by john H. Conway) . USA: Princeton University Press Posamentier, A.S., dan Krulik, S., 1998. Problem-Solving Strategies For Efficient And Elegant Solutions: A resource for the mathematics teacher. California: Corwin Press.Inc Sukayasa, 2010. Pengembangan Model Pembelajaran Berbasis Fase-Fase Polya untuk Meningkatkan Kompetensi Penalaran Siswa SMP dalam Memecahkan Masalah Matematika. Aksioma, (Online), Vol. 01 No. 01 Maret 2012, (http://jurnal.untad.ac.id), diakses 18 Maret 2014. Sulistyowati, E., 2009. Pemecahan Masalah Dalam Pembelajaran Matematika SD/MI. AlBidayah Jurnal Pendidikan Guru Madrasah Ibtidaiyah, (Online), Vol.2, No.1, November, (http://digilib.uin-suka.ac.id), di akses 20 Maret 2014. Pehkonen, E.,2008. Problem solving in mathematics education in Finland. Paper disajikan dalam Symposium on the Occasion of the 100th Anniversary of ICMI, (Online), Rome, 5–8 March 2008, (http://www.unige.ch), diakses 22 Januari 2014. Mourtos, N.J., Okamoto, D.J., Rhee, J., 2004. Defining, teaching, and assessing problem solving skills. Disajikan dalam 7th UICEE Annual Conference on Engineering Education, (Online), Mumbai, India, 9-13 February 2004, (http://engrservices.engr.sjsu.edu), diakses 12 Februari 2014. Marsound, D. (2005). Improving Math Education in Elementary School : A Short Book for Teachers. Oregon : University of Oregon. (online) (http://pages.uoregon.edu), diakses 20 Maret 2014 Didonato, N.C., 2013. Effective self- and co-regulation in collaborative learning groups: An analysis of how students regulate problemsolving of authentic interdisciplinary tasks. Scholarly Journals, (Online). Vol. 41.1: 25-47, (http://e-resources.pnri.go.id) diakses 09 maret 2014. Kizilkaya, G., dan Askar P., 2009. The Development of A Reflective Thinking Skill Scale towards Problem Solving. Education and Science, (Online), Vol. 34, No 154: 82-92, (http://e-resources.pnri.go.id) diakses 09 maret 2014. Posamentier, A.S., dan Schulz, W., 1996. The art of problem solving: a resource for the mathematics teacher. California: Corwin Press.Inc Zarlis, M dan Handrizal, 2008. ALGORITMA & PEMROGRAMAN: Teori dan Praktik dalam Pascal. Medan: USU Press Nilawati, R., 2005. Bahan Ajar: Algoritmadan Pemrograman 1, (online), (http://rama.staff.gunadarma.ac.id/Downloads/files/14921/2+definisi+dan+simbol+Flo wchart.pdf) diakses 01 November 2014
PEMBELAJARAN BERBASIS PROYEK DENGAN MEMANFAATKAN KOMPETENSI KEJURUAN DI SMK Indah Setiyawati
[email protected] Abstrak: Pembelajaran berbasis proyek dipandang tepat sebagai satu metode untuk pembelajaran pada Sekolah Menengah Kejuruan (SMK). Pembelajaran berbasis proyek adalah metode pembelajaran yang memberikan kesempatan kepada guru untuk mengelola pembelajaran di kelas dengan melibatkan kerja proyek. Kerja proyek menuntut siswa untuk melakukan kegiatan merancang, melakukan kegiatan investigasi atau penyelidikan, memecahkan masalah, membuat keputusan, serta memberikan kesempatan kepada siswa untuk bekerja secara mandiri maupun kelompok (kolaboratif). Hasil akhir dari kerja proyek tersebut adalah suatu produk yang antara lain berupa laporan tertulis atau lisan, presentasi atau rekomendasi. Penilaian tugas poryek dilakukan dari proses perencanaan, pengerjaan tugas proyek sampai hasil akhir proyek. Pengunaan Lembar Kerja Proyek (LKP) dengan memanfaatkan kompetensi kejuruan dalam hal ini kompetensi SMK jurusan
1191
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
Tata Busana telah memberikan umpan balik yang nyata dengan makin meningkatnya kemandirian siswa dalam pembelajaran matematika. Kata kunci: Pembelajaran berbasis proyek, kompetensi kejuruan, pembelajaran matematika
Pembelajaran berbasis proyek dipandang tepat sebagai satu metode untuk pembelajaran pada Sekolah Menengah Kejuruan (SMK). Pembelajaran berbasis proyek adalah metode pengajaran yang sistematis yang melibatkan para siswa dalam meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan siswa dalam pembelajaran. Kegiatan dalam pembelajaran berbasis proyek dirancang untuk menjawab pertanyaan atau memecahkan masalah dan umumnya mencerminkan jenis pembelajaran dan pekerjaan yang dilakukan siswa dalam kehidupan sehari-hari. Pembelajaran berbasis proyek dilakukan oleh kelompok-kelompok siswa yang bekerja bersamasama menuju tujuan bersama, yang memungkinkan siswa untuk merenungkan ide-ide mereka sendiri dan pendapat mereka serta berlatih membuat keputusan yang mempengaruhi hasil proyek dan proses pembelajaran pada umumnya (Mahmud, A. 2011). Pembelajaran berbasis proyek sebagai metode pembelajaran yang kooperatif dan akomodatif terhadap kemampuan anak menuju proses berpikir yang bebas dan kreatif. Implementasi pembelajaran berbasis proyek adalah pada keikutsertaan siswa dalam memahami realitas kehidupan dari yang konkret sampai yang abstrak. Realitas kehidupan ini akan menjadi sumber inspirasi dan kreativitas dalam melakukan analisis dan membangun visi kehidupan. Penerapan pembelajaran berbasis proyek di SMK sejalan dengan kurikulum yang dilaksanakan di SMK yang menerapkan pembelajaran berbasis kompetensi. Pembelajaran berbasis kompetensi menerapkan keutuhan proses knowing, loving dan doing atau acting (Sudira P, 2009). Berdasarkan keterkaitan antara pembelajaran berbasis proyek dengan pembelajaran berbasis kompetensi yang diterapkan di SMK. Pengajar di SMK dalam pembelajarannya selain bisa mengaitkan dengan kehidupan sehari-hari, juga bisa mengaitkannya dengan kompetensi kejuruan di SMK. Hasil dari pembelajaran berbasis proyek di SMK khususnya program keahlian Tata Busana adalah produk busana yang sudah dievaluasi melalui serangkaian proses evaluasi dari berbagai pihak yang terkait dengan pasar produk yang sesungguhnya (Ali. M, 2013). Praktik pembelajaran matematika yang bervariasi perlu diterapkan agar siswa tidak jenuh dan mampu menuntaskan materi pembelajaran mereka. Beberapa penelitian yang ada belum mengakomodir kebutuhan pendekatan pembelajaran matematika yang bervariasi utamanya menggunakan pembelajaran berbasis proyek, khususnya yang dikolaborasikan dengan kompetensi kejuruan yang ada di SMK. Penerapan pembelajaran berbasis proyek, belum menyentuh pada kegiatan pembelajaran matematika yang mendorong kemandirian siswa. Demikian juga kolaborasi antara pembelajaran berbasis proyek dengan memanfaatkan kompetensi kejuruan di SMK juga belum banyak dilakukan utamanya dalam pembelajaran matematika. Berdasarkan uraian diatas kiranya perlu adanya suatu kajian tentang pembelajaran matematika dengan pembelajaran berbasis proyek dengan memanfaatkan kompetensi kejuruan, agar didapatkan suatu pembelajaran matematika yang lebih bervariasi, lebih menarik minat belajar siswa, dan yang lebih penting adalah meningkatkan kemandirian siswa. Rumusan Masalah pada penelitian ini adalah: Bagaimana pembelajaran matematika dengan memanfaatkan kompetensi kejuruan di SMK melalui pembelajaran berbasis proyek. Tujuan penelitian ini adalah mendiskripsikan pembelajaran matematika dengan memanfaatkan kompetensi kejuruan di SMK melalui pembelajaran berbasis proyek. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat antara lain: 1. Bagi peneliti, dapat memberikan informasi bagi peneliti cara memanfaatkan kompetensi kejuruan di SMK untuk pembelajaran matematika melalui pembelajaran berbasis proyek. 2. Bagi guru, dapat menambah wawasan dan masukan kepada guru dalam memanfaatkan kompetensi kejuruan di SMK untuk melaksanakan pembelajaran matematika melalui pembelajaran berbasis proyek. 3. Bagi siswa, sebagai pengalaman belajar siswa untuk memahami pelajaran matematika melalui pembelajaran berbasis proyek. 1192
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
4. Bagi sekolah, sebagai sumber informasi dan bahan pertimbangan penelitian dalam pendidikan matematika atau sebagai pengembangan ilmu pengetahuan. Pembelajaran Berbasis Proyek a. Karakteristik Pembelajaran Berbasis Proyek Pembelajaran Berbasis proyek merupakan suatu pendekatan pembelajaran komprehensif di mana lingkungan belajar siswa (kelas) didesain agar siswa dapat melakukan penyelidikan terhadap masalah autentik termasuk pendalaman materi dari suatu topik mata pelajaran, dan melaksanakan tugas bermakna lainnya. Pendekatan ini memperkenankan siswa untuk bekerja secara mandiri dalam mengkonstruk pembelajarannya, dan mengkulminasikan dengan produk nyata (Tim Dirjen PMPTK, Kemdiknas, 2010). Sebagai contoh, ketrampilan mengukur dapat dilakukan dengan mengukur item di dalam kelas. Siswa juga dapat melakukan survei tentang bagaimana siswa pergi ke sekolah (bus, berjalan, mobil, sepeda) dan membuat grafik batang dengan informasi ini (Mahmud, A. 2011). Melalui pembelajaran berbasis proyek, proses inquiry dimulai dengan memunculkan pertanyaan penuntun (a guiding question) dan membimbing siswa dalam sebuah proyek kolaboratif yang mengintegrasikan berbagai subjek (materi) dalam kurikulum. Proyek kolaboratif menurut Wikipedia (2013) adalah situasi dimana terdapat dua atau lebih siswa belajar atau berusaha untuk belajar sesuatu secara bersama-sama. Tidak seperti belajar sendirian, siswa yang terlibat dalam proyek kolaboratif memanfaatkan sumber daya dan keterampilan satu sama lain (meminta informasi satu sama lain, mengevaluasi ide-ide satu sama lain, memantau pekerjaan satu sama lain, dll). Pada saat pertanyaan terjawab, secara langsung siswa dapat melihat berbagai elemen utama sekaligus berbagai prinsip dalam sebuah disiplin yang sedang dikajinya. Pembelajaran berbasis proyek merupakan investigasi mendalam tentang sebuah topik dunia nyata, hal ini akan berharga bagi atensi dan usaha siswa (Mahmud, A. 2011; Johar, Dh. 2012) Pembelajaran Berbasis Proyek dapat dikatakan sebagai operasionalisasi konsep “Pendidikan Berbasis Produksi” yang dikembangkan di Sekolah Menengah Kejuruan (SMK). Pendidikan berbasis produksi menurut Suryadi, D dan Anwar, Y. A (2009) adalah pembelajaran dengan penekanan pada perencanaan kerja, prosedur kerja dan produk akhir pembelajaran yang bernilai jual atau produk sesuai spesifikasi standar kompetensi yang telah ditentukan. SMK sebagai institusi yang berfungsi untuk menyiapkan lulusan untuk bekerja di dunia usaha dan industri harus dapat membekali siswanya dengan “kompetensi terstandar” yang dibutuhkan untuk bekerja di bidang masing-masing. Dengan pembelajaran “berbasis produksi” siswa di SMK diperkenalkan dengan suasana dan makna kerja yang sesungguhnya di dunia kerja. Dengan demikian model pembelajaran yang cocok untuk SMK adalah pembelajaran berbasis proyek. Pembelajaran Berbasis Proyek memiliki karakteristik sebagai berikut: (1) siswa membuat keputusan tentang sebuah kerangka kerja; (2) guru menyiapkan permasalahan atau tantangan yang diajukan kepada siswa; (3) siswa mendesain proses untuk menentukan solusi atas permasalahan atau tantangan yang diajukan; (4) siswa secara kolaboratif dan bertanggungjawab, mengakses dan mengelola informasi untuk memecahkan permasalahan; (5) guru memproses evaluasi yang dijalankan secara kontinyu; (6) siswa secara berkala melakukan refleksi atas aktivitas yang sudah dijalankan; (7) guru mengevaluasi secara kualitatif produk akhir aktivitas belajar siswa; dan (8) situasi pembelajaran dirancang sehingga toleran terhadap kesalahan dan perubahan (Mahmud, A. 2011). b. Kelebihan Pembelajaran Berbasis Proyek Pembelajaran berbasis proyek yang dikaji ini memiliki kelebihan antara lain: (1) Mengaitkan pembelajaran dengan kompetensi kejuruan di SMK, (2) Menghasilkan produk sesuai kompetensi kejuruan di SMK yang sudah dievaluasi melalui serangkaian proses evaluasi dari berbagai pihak yang terkait dengan pasar produk yang sesungguhnya, (3) Meningkatkan pemahaman siswa akan kegunaan dan aplikasi matematika dalam kehidupan nyata. Untuk mengatasi kelemahan dari pembelajaran berbasis proyek seorang pengajar harus dapat mengatasi dengan cara memfasilitasi siswa dalam menghadapi masalah, 1193
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
membatasi waktu siswa dalam menyelesaikan proyek, meminimalisir kelemahan dan menyediakan peralatan yang sederhana yang terdapat di lingkungan sekitar, memilih lokasi penelitian yang mudah dijangkau sehingga tidak membutuhkan banyak waktu dan biaya, menciptakan suasana pembelajaran yang menyenangkan sehingga pengajar dan siswa merasa nyaman dalam proses pembelajaran (Bas Gokhan, 2011) Pembelajaran Berbasis Proyek ini juga menuntut siswa untuk mengembangkan keterampilan seperti kolaborasi dan refleksi. Menurut studi penelitian, Pembelajaran Berbasis Proyek membantu siswa untuk meningkatkan keterampilan sosial mereka, sering menyebabkan absensi berkurang dan lebih sedikit masalah disiplin di kelas. Siswa juga menjadi lebih percaya diri berbicara dengan kelompok orang, termasuk orang dewasa (Mahmud, A. 2011). Pembelajaran berbasis proyek juga meningkatkan antusiasme untuk belajar. Ketika siswa bersemangat dan antusias tentang apa yang mereka pelajari, mereka lebih sering terlibat dalam pembelajaran dan kemudian memperluas minat mereka untuk mata pelajaran lainnya. Antusias siswa cenderung untuk mempertahankan apa yang mereka pelajari, bukan melupakannya secepat mereka setelah lulus tes (International SRI, 2009). Kompetensi Kejuruan di SMK a. Program Studi Keahlian Tata Busana Bidang studi keahlian menurut Direktur Pembinaan SMK (2008) adalah kelompok atau rumpun keahlian pada SMK yang terdiri atas : a) Teknologi dan Rekayasa, b) Teknologi Informasi dan Komunikasi, c) Kesehatan, d) Seni, Kerajinan dan Pariwisata, e) Agribisnis dan Agroteknologi, f) Bisnis dan Manajemen. Program keahlian adalah jurusan dalam studi keahlian dan Kompetensi Keahlian adalah spesialisasi dalam suatu program studi keahlian. Bidang studi keahlian Seni, Kerajinan dan Pariwisata terdiri atas Program Studi Keahlian: 1) Seni Rupa, 2) Desain dan Produksi Kria, 3) Seni Pertunjukan, 4) Pariwisata, 5) Tata Boga, 6) Tata Busana. Program Studi Tata Busana terdiri atas Kompetensi Keahlian Busana Butik. Kompetensi Keahlian Busana Butik terdiri atas Materi Produktif Dasar Kompetensi Kejuruan dan Kompetensi Kejuruan. Dasar Kompetensi Kejuruan terdiri atas : 1) Menerapkan K3LH, 2) Melaksanakan pemeliharaan kecil, 3) Melaksanakan layanan secara prima kepada pelanggan (customer care). Kompetensi Kejuruan terdiri atas : 1) Menggambar busana, 2) Membuat pola, 3) Memilih bahan baku busana, 4) Membuat hiasan pada busana, 5) Membuat busana wanita, 6) Membuat busana pria, 7) Membuat busana anak, 8) Membuat busana bayi, 9) Pengelolaan usaha, 10) Mengawasi mutu busana, 11) Penataan peragaan, 12) Teori produktif. Berdasarkan uraian tentang bidang studi keahlian dan kompetensi keahlian Busana Butik dapat disimpulkan bahwa Program Studi Keahlian Tata Busana dengan Kompetensi Keahlian Busana Butik, mengajarkan materi kompetensi kejuruan diantaranya terdiri atas materi membuat busana dan pengelolaan usaha. Materi membuat busana dan pengelolaan usaha merupakan salah satu tahapan dalam sistem produksi konveksi yang akan dipergunakan oleh peneliti dalam pembelajaran berbasis proyek pada pembelajaran matematika. b. Sistem Produksi Konveksi Sistem produksi merupakan kumpulan dari subsistem–subsistem yang saling berinteraksi dengan tujuan mentransformasi masukan (input) produksi menjadi keluaran (output) produksi. Masukan produksi ini dapat berupa bahan baku, mesin, tenaga kerja, modal, dan informasi, output atau keluaran produksi merupakan produk yang dihasilkan beserta hasil sampingannya, seperti limbah, informasi, dan sebagainya. Sistem produksi selalu melibatkan komponen struktural dan fungsional. Komponen struktural terdiri dari : bahan baku, mesin dan peralatan, tenaga kerja. Komponen fungsional terdiri dari : supervisi, perencanaan, pengendalian, koordinasi dan kepemimpinan yang semuanya berkaitan dengan managemen dan organisasi. Sistem produksi memiliki beberapa karakteristik sbb: 1.) Mempunyai komponen yang saling berkaitan satu sama lainnya dan membentuk satu kesatuan yang utuh. Hal ini berkaitan dengan komponen struktural yang membangun sistem produksi, 2.) Mempunyai tujuan yang mendasari keberadaannya yaitu menghasilkan produk baik barang 1194
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
atau jasa yang berkualitas yang dapat dijual dengan harga bersaing, 3.) Mempunyai aktivitas berupa proses tansformasi nilai tambah input menjadi output secara efektif dan efisien, 4.) Mempunyai mekanisme yang mengendalikan pengoperasiannya berupa optimalisasi pengalokasian sumber daya yang ada. (Ali, M. 2013). Berdasarkan uraian sistem produksi maka sistem produksi konveksi dapat didefinisikan sebagai suatu kegiatan yang memproses masukan yang berupa bahan baku kain menjadi keluaran dengan produk berbagai jenis pakaian. Dalam sistem produksi konveksi terdapat tiga dasar tipe tahapan proses. Ketiga tahapan ini akan menentukan produk pakaian jadi yang akan dibuat. Ketiga dasar tahapan dalam sistem produksi konveksi tersebut adalah: (1) Cutting: merupakan proses pemotongan bahan baku dalam bentuk-bentuk tertentu. Bentuk potongan kain ini ditentukan berdasarkan pola-pola dari pakaian yang akan dibuat. (2) Sewing: merupakan proses penggabungan potonganpotongan kain hasil dari proses cutting. (3) Pressing: merupakan proses pemantapan bentuk potongan-potongan bahan baku atau jahitan dengan tekanan atau tanpa panas/uap (Jerussalem, A. 2011). Berdasarkan tahapan dalam sistem produksi konveksi pada tahapan cutting diperlukan suatu cara yang dapat meminimalkan pemakaian bahan baku (kain) sehingga didapatkan pakaian jadi (hasil yang maksimal). Pada tahapan sewing dan pressing memerlukan tenaga kerja–tenaga kerja yang terampil dan cekatan, sehingga kemampuan seseorang dalam menyelesaikan suatu pekerjaan yang meliputi lama waktu yang diperlukan dalam menyelesaikan tahap sewing dan pressing dan hasil yang didapatkan dalam jangka waktu yang telah ditetapkan, sangat menentukan dalam sistem produksi konveksi. Permasalahan-permasalahan pada tahap cutting, sewing dan pressing ini dijadikan sebagai bahan kajian proyek bagi siswa, untuk mendapatkan informasi-informasi nyata dan kemudian menuliskan informasi-informasi tersebut dalam suatu laporan proyek dan mempresentasikannya di depan kelas. Alur proses produksi yang umumnya dilaksanakan oleh industry kecil perusahaan konveksi adalah sebagai berikut:
Gambar 1. Alur Proses Produksi Konveksi
Pembelajaran Matematika Melalui Pembelajaran Berbasis Proyek dengan Memanfaatkan Kompetensi Kejuruan di SMK Hasil penelitian Warsito, (2008), menyebutkan bahwa pembelajaran berbasis proyek meningkatkan aktivitas siswa dalam pembelajaran Fisika. Siswa lebih berani untuk mempresentasikan hasil proyeknya, mengajukan pertanyaan, menjawab atau menanggapi pertanyaan dan lebih memperhatikan saat kelompok lain presentasi. Siswa juga menjadi lebih aktif, kreatif, inovatif dan pembelajaran lebih menyenangkan karena siswa dapat berlatih mencari informasi sendiri tanpa harus selalu menerima informasi dari guru. Pembelajaran dengan model pembelajaran berbasis proyek yang dapat memberikan pemahaman siswa pada pembelajaran matematika terdiri dari tiga tahap, yaitu tahap awal, tahap inti, dan tahap akhir. Pada tahap awal adalah guru menyampaikan tujuan pembelajaran, memberi motivasi tentang pentingnya pembelajaran matematika, mengingatkan kembali materi prasyarat dalam pembelajaran matematika, mengatur siswa untuk menempati posisi kelompoknya dan menerima LKP serta petunjuk kerja proyek. Pada tahap inti adalah proses pengumpulan data sebagai bahan pengerjaan proyek dan mempresentasikan hasil kerja proyeknya. Pada tahap akhir adalah menyimpulkan hasil pembelajaran dan melakukan evaluasi secara lisan melalui tanya jawab ( Miswanto, 2011). Langkah langkah pelaksanaan Pembelajaran Berbasis Proyek dapat dijelaskan dengan diagram sebagai berikut.
1195
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
Gambar 2. Langkah-langkah Pelaksanaan Pembelajaran Berbasis Proyek Penerapan pembelajaran berbasis proyek di SMK sejalan dengan kurikulum yang dilaksanakan di SMK yang menerapkan pembelajaran berbasis kompetensi. Pembelajaran berbasis kompetensi menerapkan keutuhan proses knowing, loving dan doing atau acting. Tujuan dasar pembelajaran berbasis kompetensi yang melandasi konsep pengembangan pembelajaran kejuruan (SMK). Pembelajaran berbasis kompetensi diterapkan di SMK untuk mengembalikan praktik-praktik pembelajaran saat ini yang cenderung kepada penguasaan materi mata pelajaran tanpa menyentuh secara nyata penerapannya bagi kahidupan, berhenti pada knowing tidak sampai pada loving dan doing atau acting. Pembelajaran berbasis kompetensi mencakup prinsip-prinsip: (1) Terpusat pada siswa, (2) Berfokus pada penguasaan kompetensi, (3) Tujuan pembelajaran spesifik, (4) Penekanan pembelajaran pada unjuk kerja/kinerja, (5) Pembelajaran lebih bersifat individual, (6) Interaksi menggunakan multi metoda: aktif, pemecahan masalah dan kontekstual, (7) Pengajar lebih berfungsi sebagai fasilitator, (8) Berorientasi pada kebutuhan individu, (9) Umpan balik langsung,(10) Menggunakan modul, (11) Belajar di lapangan (praktek), (12) Kriteria penilaian menggunakan acuan patokan (PAP) (Sudira, P. 2009). Berdasarkan keterkaitan antara pembelajaran berbasis proyek dengan pembelajaran berbasis kompetensi yang diterapkan di SMK. Pengajar di SMK dalam pembelajarannya selain bisa mengaitkan dengan kehidupan sehari-hari, juga bisa mengaitkannya dengan kompetensi kejuruan di SMK. Hasil dari pembelajaran berbasis proyek di SMK khususnya program keahlian Tata Busana adalah produk busana yang sudah dievaluasi melalui serangkaian proses evaluasi dari berbagai pihak yang terkait dengan pasar produk yang sesungguhnya. METODE PENELITIAN Jenis penelitian yang dilakukan merupakan Penelitian Tindakan Kelas (PTK) yang berkolaborasi dengan guru mata pelajaran matematika sebagai observer dengan setting aktivitas adalah pembelajaran berbasis proyek. a. Pengumpulan Data dan Analisis Data Data dan teknik pengumpulannya disajikan dalam tabel di bawah ini. Tabel 1. Data dan Teknik Pengumpulan Data Data Alat Pengumpulan Keterlaksanaan Lembar observasi aktivitas perangkat guru Aktivitas siswa Lembar observasi aktivitas siswa Jurnal siswa Laporan Lembar kerja proyek (LKP) proyek Pemahaman Tes akhir (evaluasi akhir) materi ajar
b.
Teknik Mengobservasi di kelas Mengobservasi di kelas
Memberi Tugas proyek siswa Melaksanakan tes
Waktu Selama penerapan perangkat Selama penerapan perangkat Sesuai jadwal proyek Sesuai jadwal
Prosedur Pelaksanaan Penelitian Prosedur PTK yang akan diterapkan dalam penelitian ini mengacu pada model Kemmis dan Mc Taggart. Abu Hamid, A (2009) menyebutkan bahwa prosedur penelitian menurut Kemmis dan Mc Taggart berupa siklus dimulai dengan rencana (planning),
1196
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
tindakan (acting), pengamatan (observing), refleksi (reflecting), dan perencanaan kembali yang merupakan dasar untuk suatu rencana pemecahan masalah. Kriterian keberhasilan dalam penelitian ini ditetapkan sebagai berikut, jika a) skor pengamatan aktivitas guru dan siswa minimal memenuhi kriteria baik dan , b) minimal 80% siswa dari keseluruhan siswa di kelas mencapai KKM yang ditetapkan sekolah yaitu 75. HASIL PENELITIAN a. Keterlaksanaan Perangkat Pelaksanaan pembelajaran dalam penelitian ini diadopsi dari langkah-langkah pembelajaran berbasis proyek dari beberapa sumber antara lain: Mahmud. A. 2011; Kubiatko, M. & Vaculova, I. 2011 adalah sebagai berikut: (1) Menentukan pertanyaan mendasar: Guru memberi sebuah pertanyaan mengenai konsep optimalisasi dalam program linier, misalnya menentukan laba maksimum dari penjualan, mencari hasil produksi maksimum, dan menentukan modal minimum untuk mendapatkan laba maksimum. Dengan memberi tugas kepada siswa secara berkelompok untuk melakukan kunjungan wawancara ke sebuah konveksi. Langkah berikutnya siswa menentukan masalah yang akan diangkat dan akan diselesaikan dengan bantuan proyek. Guru memberikan Lembar Kerja Proyek (LKP) pada siswa, siswa diminta mengisi LKP dengan mengikuti langkah-langkah kerja proyek yang tersedia pada LKP. (2) Menyusun perencanaan proyek: Untuk menyelesaikan proyek, setiap kelompok membuat rancangan untuk kerja kelompok yang meliputi: (1) Menentukan tujuan utama menyelesaikan proyek, (2) Menentukan lokasi konveksi yang akan dikunjungi, (3) Menyusun jadwal rancangan pengerjaan proyek, (4) Melakukan kunjungan ke konveksi, (5) Mengumpulkan data yang diperlukan, (6) Mengolah data, (7) Mengisikannya pada lembar kerja proyek. (3) Menyusun jadwal: Guru dan siswa membuat jadwal mengenai prosedur presentasi hasil kerja proyek, meliputi: (1) Jadwal bimbingan dengan guru mengenai proses pengerjaan proyek yang dilakukan dalam waktu satu minggu sesuai jadwal setelah tugas proyek diberikan, (2) Jadwal pengisian lembar kerja proyek yang dilakukan pada saat kunjungan ke konveksi serta penyusunan hasil kerja proyek yang dilakukan pada saat diskusi kelompok di kelas, (3) Jadwal timeline dan dedline penyelesaian proyek. Kegiatan menentukan pertanyaan mendasar, menyusun perencanaan proyek dan menyusun jadwal diikuti siswa dengan antusias dan relatif tidak ada kesulitan. Siswa terlihat antusias dan tidak merasa kesulitan karena kegiatan yang mereka lakukan berhubungan langsung dengan materi kejuruan siswa di SMK. Berikut rencana proyek dan jadwal diskusi yang disusun oleh siswa.
Gambar 3. Rencana kunjungan kelompok (3)
1197
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
Gambar 4. Rencana kunjungan kelompok (2)
Diskusi Penyaji Pembanding Penanya
b.
Tabel 2. Jadwal Diskusi Kelas I II III Kelompok 2 Kelompok 1 Kelompok 3 Kelompok 3 Kelompok 2 Kelompok 1 Kelompok 1 Kelompok 3 Kelompok 2
(4) Memonitor kegiatan siswa dan kemajuan proyek: Guru bertanggungjawab untuk melakukan monitoring terhadap aktivitas siswa selama menyelesaikan proyek. Monitoring dilakukan dengan cara memfasilitasi siswa pada setiap proses. Dengan kata lain, guru berperan menjadi mentor bagi aktivitas siswa. (5) Menguji hasil: Guru mengukur ketercapaian dan evaluasi kemajuan dalam menyelesaikan proyek, memberi umpan balik tentang tingkat pemahaman yang sudah dicapai siswa, dan menyusun strategi pembelajaran berikutnya. (6) Mengevaluasi pengalaman: Pada akhir proses pembelajaran, guru dan siswa melakukan refleksi terhadap aktivitas dan hasil proyek yang sudah dijalankan. Proses refleksi dilakukan baik secara individu maupun kelompok. Pada tahap ini siswa diminta untuk mempresentasikan hasil kerja kelompok mereka dalam menyelesaikan proyek. Guru beserta siswa mengembangkan diskusi atau presentasi yang dilaksanakan dalam rangka memperbaiki kinerja selama proses pembelajaran, sehingga pada akhirnya ditemukan suatu temuan baru (new inquiry) untuk menjawab permasalahan yang diajukan pada tahap pertama pembelajaran. Aktivitas Siswa Pemanfaatan kompetensi kejuruan di SMK pada pembelajaran berbasis proyek ini berdasarkan pengamatan peneliti telah berjalan dengan baik sesuai dengan harapan. Setiap anggota kelompok berbagi peran yaitu melakukan wawancara kemudian didiskusikan dan yang lainnya menuliskan pada lembar LKP dan menyusunnya dalam sebuah laporan.
1198
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
Gambar 5. Laporan hasil kunjungan siswa ke konveksi (kelompok 2)
1199
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
Gambar 6. Hasil kunjungan siswa dalam LKP 2 (kelompok 2)
Laporan hasil kujungan siswa bersama kelompoknya, di diskusikan dalam diskusi kelas berlangsung dengan baik dan lancar. Masing-masing kelompok sudah terlihat mulai aktif mengambil peran sebagai penyaji, pembanding atau penanya dalam diskusi, sesuai dengan jadwal yang telah disepakati bersama. Diakhir kegiatan pembelajaran guru bersama siswa memberikan kesimpulan mengenai pembelajaran yang telah dilakukan dan diakhiri dengan pengisian jurnal harian oleh siswa pada LKP. Berikut beberapa jurnal siswa tentang pembelajaran berbasis proyek yang telah dilaksanakan.
Gambar 7. Jurnal siswa yang menyukai pembelajaran berbasis proyek
1200
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
Gambar 8. Jurnal siswa yang masih sulit memahami pelajaran tetapi masih menginginkan pembelajaran berbasis proyek
Jurnal siswa digunakan sebagai evalusi bagi guru untuk merancang pembelajaran berbasis proyek berikutnya. Perlu adanya sistem tugas yang dikerjakan siswa di rumah baik secara individu maupun kelompok. Dengan meminta siswa membawa pekerjaan ke rumah, maka guru memberikan kelonggaran waktu untuk siswa berpikir dan memahami secara seksama. Hal tersebut dilakukan agar didapat kesimpulan yang lebih mendalam serta kaya pengetahuan bagi tiap-tiap siswa. Pelaksanaan kegiatan di kelas, adalah diskusi untuk menyamakan persepsi serta mengklarifikasi kesimpulan yang telah siswa peroleh dengan mengerjakan di rumah. Dengan demikian penggunaan waktu di kelas akan jauh lebih optimal dan efektif. c. Penilaian Tugas Proyek Penilaian proyek menurut Widyantini, T. (2014) merupakan kegiatan penilaian terhadap suatu tugas yang harus diselesaikan dalam periode atau waktu tertentu. Tugas tersebut berupa suatu investigasi atau penyelidikan sejak dari perencanaan, pengumpulan data, pengorganisasian, pengolahan dan penyajian data. Penilaian proyek dapat digunakan untuk mengetahui pemahaman, kemampuan mengaplikasikan, kemampuan penyelidikan dan kemampuan siswa memberikan informasi tentang sesuatu yang menjadi penyelidikannya pada materi tertentu secara jelas. Pada penilaian proyek ada 3(tiga) hal yang perlu dipertimbangkan yaitu: a. Kemampuan pengelolaan yaitu kemampuan siswa dalam memilih topik apabila belum ditentukan oleh guru, mencari informasi dan mengelola waktu pengumpulan data serta penulisan laporan, b. Relevansi yaitu kesesuaian dengan mata pelajaran dengan mempertimbangkan tahap pengetahuan, pemahaman dan keterampilan dalam pembelajaran, c. Keaslian yaitu proyek yang dilakukan siswa harus merupakan hasil karyanya, dengan mempertimbangkan kontribusi guru berupa petunjuk dan dukungan terhadap proyek siswa. Penilaian proyek dilakukan mulai dari perencanaan, proses pengerjaan, sampai hasil akhir proyek. Untuk itu, guru perlu menetapkan hal-hal atau tahapan yang perlu dinilai, seperti penyusunan disain, pengumpulan data, analisis data, dan penyiapan laporan tertulis. Laporan tugas atau hasil penelitian juga dapat disajikan dalam bentuk poster. Pelaksanaan penilaian dapat menggunakan alat/instrument penilaian berupa daftar cek atau skala penilaian. d. Pemahaman Materi Ajar Pemahaman materi ajar mencakup aspek pengetahuan konseptual. Pembelajaran berbasis proyek diharapkan dapat meningkatkan pemahaman siswa terhadap aspek pengetahuan konseptual. Berikut beberapa kesalahan konseptual yang masih ditemukan.
1201
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
Gambar 9. Kesalahan siswa dalam menggambar grafik dan menentukan daerah penyelesaian
Ketiga jawaban di atas menunjukkan kesalahan yang dilakukan siswa dalam menentukan grafik daerah himpunan penyelesaian sistem pertidaksamaan linier. Kesalahan dikarenakan siswa tidak dapat membedakan ”≤ " dan " ≥ ", sehingga siswa salah dalam memilih daerah yang merupakan himpunan penyelesaian sistem pertidaksamaan linier.
Gambar 10. Kesalahan siswa dalam menyelesaikan soal cerita
Jawaban diatas menunjukkan kesalahan yang dilakukan siswa dalam membuat model matematika dari soal cerita. Kesalahan dikarenakan siswa tidak dapat merangkai dari yang diketahui dan tidak dapat membuat pemisalah dari yang diketahui. Berdasarkan hasil ini, maka aktivitas yang menuntut siswa menemukan suatu konsep dibuat lebih rinci, pertanyaan-pertanyaan dibuat menjadi lebih sederhana. Ketepatan pemilihan model akan berpengaruh terhadap keberhasilan siswa dalam mengikuti pembelajaran. Pembelajaran berbasis proyek dipandang tepat sebagai satu model untuk pembelajaran pada Sekolah Menengah Kejuruan (SMK). Pembelajaran berbasis proyek adalah metode pengajaran yang sistematis yang melibatkan para siswa dalam meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan siswa dalam pembelajaran. Kegiatan dalam pembelajaran berbasis proyek dirancang untuk menjawab pertanyaan atau memecahkan masalah dan umumnya mencerminkan jenis pembelajaran dan pekerjaan yang dilakukan siswa dalam kehidupan sehari-hari.Pembelajaran berbasis proyek dilakukan oleh kelompok-kelompok siswa yang bekerja bersama-sama menuju tujuan bersama, yang memungkinkan siswa untuk merenungkan ide-ide mereka sendiri dan pendapat mereka serta berlatih membuat keputusan yang mempengaruhi hasil proyek dan proses pembelajaran pada umumnya (Mahmud A, 2011). 1202
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Untuk memperkuat pendekatan ilmiah (scientific), tematik terpadu (tematik antar mata pelajaran), dan tematik (dalam suatu mata pelajaran) perlu diterapkan pembelajaran berbasis penyingkapan / penelitian (discovery / inquiry learning). Agar peserta didik menghasilkan karya kontekstual baik individual maupun kelompok maka sangat disarankan menggunakan pendekatan pembelajaran yang menghasilkan karya berbasis proyek (project based learning). Penerapan pembelajaran berbasis proyek di SMK sejalan dengan kurikulum yang dilaksanakan di SMK yang menerapkan pembelajaran berbasis kompetensi. Pembelajaran berbasis kompetensi menerapkan keutuhan proses knowing, loving dan doing atau acting. Tujuan dasar pembelajaran berbasis kompetensi yang melandasi konsep pengembangan pembelajaran kejuruan (SMK). Pembelajaran berbasis kompetensi diterapkan di SMK untuk mengembalikan praktik-praktik pembelajaran saat ini yang cenderung kepada penguasaan materi mata pelajaran tanpa menyentuh secara nyata penerapannya bagi kahidupan, berhenti pada knowing tidak sampai pada loving dan doing atau acting. Saran Pembelajaran berbasis proyek dengan memanfaatkan kompetensi kejuruan di SMK diharapakan dapat mengoptimalkan pemahaman matematika siswa, sehingga lebih memicu tingkat kemandirian siswa dalam pembelajaran matematika. DAFTAR RUJUKAN Ali, M. 2013. Modul Kuliah Manajemen Industri. Fakultas Teknik Univ. Negeri Yogyakarta, Yogyakarta: Jurusan Pendidikan Teknik Elektro UNY Bas Gokhan. 2011. Investigating The Effects of Project-Based Learningon Students Academic Achievement and Attitudes Towards Ennglish Leson. The Obline Journal of New Horizons in Education, Vol.1 Issue 4, Oktober 2011. International SRI. 2009. The Power of Project Learning With ThinkQuest. Center for Technology in Learning, ORACLE Educational Foundation. Jerussalem, A. 2011. Manajemen Usaha Busana. Fakultas Teknik, UNY. Yogyakarta : Prodi Tata Busana FT UNY Johar, Dh. 2012, Implementation Project based Learning on Local Area Network Training. International Journal of Basic and Applied Science, Vol.01, No. 01, July 2012 (P-ISSN: 2301-4458, E-ISSN: 2301-8038) Kubiatko, M., & Vaculova, I. 2011. Project – Based Learning: Characteristic and The Experiences With Application in The Science Subjects. Energy Education Science and Technology Part B: Social and Educational Studies Vol (Issue) 3 (1). 2011. Mahmud, A. 2011. Project – Based learning. Southeast Asian Ministers of Education Organization (SEAMEO), Regional Centre for Quality Improvement of Teachers and Educational Personal (QITEP) in Mathematics. Material of Course on Joyful Learning in Mathematics for Primary School Mathematics Teacher, Yogyakarta 2-22 Juli 2011 Miswanto. 2011. Penerapan Model pembelajaran Berbasis Proyek Pada Materi Program Linier Siswa Kelas X SMK Negeri 1 Singosari.Jurnal Penelitian dan Pemikiran Pendidikan, Volume 1, Nomor 1, September 2011. Pan Wei & Garmston, H. 2012. Enhacing Project – Based Learning in Sustainable Bullding by Incorporating Learning Technology. 48th ASC Annual International Conference Proceddings. Sudira, P. 2010. Tujuh Prinsip Dasar Pendekatan Pembelajaran Berbasis Kompetensi. Pendidikan Teknik ElektronikaYogyakarta: Fakultas Teknik Universitas Negeri Yogyakarta Suryadi, D., dan Anwar, Y. A. 2009. Model Pembelajaran Berbasis Produksi dengan Pendekatan Asesmen Portofolio pada Perkuliahan Praktek Kerja Bangunan. Jurnal Penelitian Vol 9 No.1 Tiantong, M., & Siksen, S. 2013. The Online Project – Based Learning Model Based on Student’s Multiple Intelligence. International Journal of Humanities and Social Science Vo. 3 no.7, April 2013.(http://www.ijhssnet.com), diakses 26 November 2013 Tongsakul, A., Jitgarun, K., & Chaokumnered, W. 2011. Empowering Student Through Project – Based Learning : Perceptions of Instructors and Students in Vocational Education 1203
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
Institutes In Thailand. Journal of College Teaching & Learning Vo. 8 No. 12, December 2011. (http://www.ijhssnet.com), diakses 26 Nopember 2013 Turgut, H. 2008. Prospective Science Teachers’ Conceptualization About Project Based Learning. International Journal of Instruction Vol. 1 No. 1. January 2008 (ISSN: 169460X) Tim Direktorat Kredit, BPR & UMKM. 2007. Pola pembiayaan Usaha Kecil Syariah (PPUK Syariah), Usaha Konveksi Pakaian Jadi. Direktorat Kredit, BPR & UMKM: Jakarta. Tim Dirjen PMPTK, Kemdiknas. 2010. Pembelajaran Kontekstual. Materi Pelatihan Warsito. 2008. Pembelajaran Berbasis Proyek Sebagai Usaha Untuk Meningkatkan Aktivitas dan Academic Skill Siswa Kelas VII (SMP Muh. 3 Depok). FKIP UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta : Program Studi Pendidikan Fisika UIN Sunan Kalijaga (Online) Diakses 14 Nopember 2014 Widyantini, T. 2014. Penerapan ModelProject Based Learning (Model Pembelajaran Berbasis Proyek) dalam Materi Pola Bilangan Kelas VII. Artikel Pusat Pengembangan dan Pemberdayaan Pendidik dan Tenaga Kependidikan Matematika 2014. Yalcin, A., Turgut, & Buyukkasap. 2009. The Effect of Project Based Learning on Science Undergraduates Learning of Electricity Attitude Towards Physics Scientific Process Skills. International Online Journal of Education Science, 1 (1), 81-105, 2009 (ISSN: 1309-2707)
PENERAPAN LESSON STUDY PADA PEMBELAJARAN PROGRAM LINEAR DI KELAS X ADMINISTRASI PERKANTORAN PADA SMK NGUNUT TULUNGAGUNG Ninik Purwaning Tyas SMK Ngunut Tulungagung
[email protected] Abstrak: Penelitian ini dilaksanakan di kelas X APk SMK Ngunut Tulungagung tahun pelajaran 2013/2014. Materi yang dibahas pada penelitian ini adalah Program Linear. Untuk meningkatkan keaktifan siswa digunakan model pembelajaran kooperatif tipe NHT. Penelitian ini tergolong penelitian tindakan kelas di dalam kegiatan Lessson Study yang terdiri dari tahap Plan, Do, dan See, dan melibatkan 3 observer. Subjek penelitiannya berjumlah 2 7 siswa . Secara umum, pelaksanaan pembelajaran berlangsung lancar walau ada beberapa kendala. Siswa merasa senang dan lebih aktif dengan pembelajaran NHT, demikian juga dengan hasil tes yang memuaskan karena lebih dari 80% siswa memperoleh nilai di atas 75 (nilai KKM). Kata kunci: Lesson Study, Numbered Head Together (NHT) Abstract: The research was done at X APK SMK Ngunut Tulungagung academic year 2013/2014. The subject was Linear Progamming. Cooperative Learning NHT type was used to increase the students activities in learning activity. This research was action research. It means that the research was done in the Lesson Study. The lesson Study’s steps is Plan, Do and See. It also need three observers. The research subject was 27 students. Generally, the Teaching Learning activity was done well although there were some troubles. Students felt happy and had better in consentration by using NHT model. The result of the test was also satisfied because about 80% students got more than 75 (KKM score) Keywords: Lesson Study, Numbered Head Together (NHT)
Guru pada umumnya kurang memberi inspirasi kepada siswa untuk berkreasi, berargumen secara ilmiah, dan tidak membimbing para siswanya untuk menuju hidup mandiri. Pembelajaran yang disajikan guru kurang menantang siswa untuk mengembangkan kemampuan 1204
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
dan ketrampilan berpikir. Oleh karena itu, perbaikan mutu pendidikan harus diawali dengan perbaikan proses pembelajaran. Paradigma yang hanya mementingkan hasil tes atau ujian harus segera diubah menjadi penekanan pada proses pembelajaran, sedangkan hasil ujian atau tes merupakan dampak dari proses pembelajaran yang benar dan berkualitas. Agar setiap siswa dapat belajar dengan optimal, maka para guru dituntut untuk dapat merancang dan melaksanakan pembelajaran yang memungkinkan setiap siswa terlibat secara aktif dalam proses pembelajaran. Tantangan yang kemudian dihadapi oleh para guru agar dapat merancang dan melaksanakan pembelajaran yang demikian adalah ” Kepada siapa seorang guru dapat belajar tentang pembelajaran? ”. Guru dapat belajar tentang pembelajaran dari pengalamannya sendiri dalam mengajar. Selalu mengevaluasi diri dan terus-menerus berusaha meningkatkan kualitas mengajarnya, serta berusaha dengan berbagai cara untuk menyelesaikan masalah-masalah pembelajaran yang dihadapinya sehari-hari, akan sangat bermanfaat baginya dalam merancang dan melaksanakan pembelajaran yang lebih baik dari pembelajaran yang telah dilaksanakannya pada hari-hari kemarin. Meskipun demikian, hanya belajar dari pengalamannya sendiri, mungkin belumlah cukup. Jika para guru bersedia juga belajar dari pengalaman guru lain, dan bersedia membuka hati untuk menerima kritik atau masukan dari rekan sejawatnya, maka sangatlah dimungkinkan guru tersebut akan semakin mampu merancang dan melaksanakan pembelajaran yang benar-benar dapat menjamin hak setiap siswa untuk belajar secara optimal. Kegiatan para guru untuk saling belajar dikenal dengan nama ”Lesson Study”. Dalam kegiatan Lesson Study, sejumlah guru secara bersama-sama akan belajar dari, tentang, dan untuk pembelajaran. LESSON STUDY Menurut Ibrohim (2010), istilah Lesson Study masih relatif asing di kalangan sebagian besar guru di Indonesia. Sesungguhnya, Lesson Study telah lama berkembang di Jepang, yakni sekitar abad ke-19. Namun baru masuk dan mulai dikembangkan di Indonesia sekitar akhir 2004 oleh para tenaga ahli JICA (Jepang International Cooperation Agency) melalui program IMSTEP (Indonesian Mathematics and Science Teaching Education Project). Kemudian dilanjutkan pengembangannya melalui Program SISTTEMS (Strengthening In-Service Teacher Training of Mathematics and Science Education at Junior Secondary Level) pada Tahun 20062008, dan juga PELITA (Program for Enhancing Quality of Junior Secondary Enducation) pada Tahun 2009 – 2012. Menurut Janzen (2005), Lesson Study adalah kegiatan kolaboratif dari sekelompok guru untuk bersama-sama mengembangkan rencana dan pelaksanaan pembelajaran secara berkelanjutan. Menurut Garfield (2006), Lesson Study adalah suatu proses sistematis yang digunakan oleh guru-guru Jepang untuk menguji keefektifan pengajarannya dalam rangka meningkatkan hasil pembelajaran. Proses sistematis yang dimaksud adalah kerja guru-guru secara kolaboratif untuk mengembangkan rencana dan perangkat pembelajaran, melakukan observasi, refleksi dan revisi rencana pembelajaran secara bersiklus dan terus-menerus. Sedangkan Walker (2005) berpendapat bahwa Lesson study adalah suatu metode pengembangan profesional guru, di mana melibatkan guru di dalam konsentrasi belajar dan meneliti suatu topik/pelajaran secara individu dan mengembangkan suatu metode untuk pembelajaran selanjutnya secara kolektif. Dan Lewis (2009) berpendapat bahwa ide yang terkandung di dalam Lesson Study sebenarnya singkat dan sederhana, yakni jika seorang guru ingin meningkatkan pembelajaran, salah satu cara yang paling jelas adalah melakukan kolaborasi dengan guru lain untuk merancang, mengamati dan melakukan refleksi terhadap pembelajaran yang dilakukan. Memperhatikan beberapa pengertian seperti tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa Lesson Study adalah kegiatan kolaboratif dari sekelompok guru untuk secara bersama-sama: (1) merencanakan langkah-langkah pembelajaran, (2) salah seorang di antaranya mempraktekkan pembelajaran yang direncanakan dan yang lain mengamati jalannya proses pembelajaran, (3) mengevaluasi pembelajaran yang dilaksanakan, (4) memperbaiki perencanaan semula, (5) mempraktekkannya lagi, (6) kembali mengevaluasi pembelajaran yang dilaksanakan, dan (7) membagi pengalaman dan temuan dari hasil evaluasi tersebut kepada guru lain
1205
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
Melalui Lesson Study, guru akan terbantu dalam hal (1) mengembangkan pemikiran kritis tentang belajar dan mengajar di kelas, (2) merancang program pembelajaran (RPP) yang berkualitas, (3) mengobsevasi bagaimana siswa berpikir dan belajar serta melakukan tindakan yang cocok, (4) mendiskusikan dan merefleksikan aktivitas pembelajaran, dan (5) mengidentifikasi pengetahuan dan ketrampilan yang dibutuhkan untuk meningkatkan praktek pembelajaran (Sadia, 2008). Pendapat-pendapat di atas dikuatkan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Karim (2006) dan Dudley (2012) yang menunjukkan bahwa Lesson Study dapat meningkatkan kualitas pembelajaran matematika. Selanjutnya, Robinson (2006) menyarankan ada enam tahapan dalam mengimplementasikan Lesson Study di sekolah. Tahapan tersebut adalah sebagai berikut: Tahap 1: Membentuk kelompok Lesson Study, yang antara lain berupa kegiatan merekrut anggota kelompok, menyusun komitmen waktu khusus, menyusun jadwal pertemuan, dan menyetujui aturan kelompok. Tahap2: Memfokuskan Lesson Study, dengan tiga kegiatan utama, yaitu: (a) menyepakati tema penelitian (Research Theme); (b) memilih cakupan materi; (c) memilih unit pembelajaran dan tujuan yang disepakati. Tahap3: Membuat rencana pembelajaran (Research Lesson), yang meliputi kegiatan melakukan pengkajian pembelajaran yang telah ada, mengembangkan petunjuk pembelajaran, meminta masukan dari ahli dalam bidang studi dari luar (dosen atau guru lain yang berpengalaman). Tahap 4: Melaksanakan pembelajaran di kelas dan mengamatinya (observasi). Dalam hal ini pembelajaran dilakukan oleh salah seorang guru anggota kelompok sebagai guru model dan anggota yang lain menjadi observer. Observer tidak diperkenankan melakukan introduksi terhadap jalannya pembelajaran baik kepada guru maupun siswa. Tahap 5: Mendiskusikan dan menganalisis pembelajaran, yang telah dilaksanakan. Diskusi dan analisis sebaiknya mencakup butir-butir refleksi oleh instruktur, informasi latar belakang anggota kelompok, presentasi dan diskusi data dari hasil observasi pembelajaran, diskusi umum, komentar dari ahli luar, ucapan terima kasih. Tahap 6: Merefleksikan pembelajaran dan merencanakan tahap-tahap selanjutnya. Pada tahap ini anggota kelompok diharapkan berpikir tentang apa yang harus dilakukan selanjutnya. Apakah berkeinginan untuk membuat peningkatanagar pembelajaran ini menjadi lebih baik?, apakah akan mengujicobakan di kelas masing- masing?, dan anggota kelompok sudah puas dengan tujuan-tujuan Lesson Study dan cara kerja kelompok? Pengenalan pelaksanaan Lesson Study di Indonesia menurut Saito dalam Ibrohim (2009) ada tiga tahap utama, yaitu: (1) Perencanaan (Plan), (2) Pelaksanaan (Do), dan Refleksi (See). Tahap perencanaan (Plan) bertujuan untuk menghasilkankan rancangan pembelajaran yang diyakini mampu membelajarkan siswa secara efektif serta membangkitkan partisipasi aktif mereka dalam pembelajaran. Pada tahap ini beberapa pendidik dapat berkolaborasi untuk mengembangkan instrument dan perangkat pembelajaran. Menurut Subanji (2014), Lesson Study tidak hanya mengembangkan perangkat pembelajaran tetapi juga mengembangkan bahan ajar serta mengembangkan evaluasi, sehingga profesionalisme guru dapat terwujud secara utuh. Tahap pelaksanaan (Do) dimaksudkan untuk menerapkan rancangan pembelajaran yang telah dirumuskan pada tahap sebelumnya. Salah satu anggota kelompok bertindak sebagai guru model sedangkan yang lain bertindak sebagai pengamat (observer). Fokus pengamatan diarahkan pada aktivitas belajar siswa dengan berpedoman pada prosedur dan intrumen pengamatan yang telah disepakati pada tahap perencanaan, bukan untuk mengevaluasi penampilan guru model yang sedang bertugas mengajar. (Ibrohim, 2010) Selama pembelajaran berlangsung, pengamat tidak boleh mengganggu atau mengintervensi kegiatan pembelajaran. Pengamat juga dapat melakukan perekaman kegiatan pembelajaran melalui video camera atau foto digital untuk keperluan dokumentasi dan atau bahan diskusi pada tahap berikutnya, atau bahkan untuk kegiatan penelitian. Kehadiran pengamat di dalam ruang kelas di samping mengumpulkan informasi juga dimaksudkan untuk belajar dari pembelajaran yang sedang berlangsung. 1206
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
Tahap refleksi (See) dimaksudkan untuk menemukan kelebihan dan kekurangan pelaksananaan pembelajaran. Guru model yang telah bertugas sebagai pengajar mengawali diskusi dengan menyampaikan kesan-kesan dalam melaksanakan pembelajaran. Kesempatan berikutnya diberikan kepada anggota kelompok perencana yang dalam tahap Do bertindak sebagai pengamat (Ibrohim, 2010). Kritik dan saran disampaikan secara bijak tanpa merendahkan atau menyakiti guru demi perbaikan. Sebaliknya, pihak yang dikritik harus dapat menerima masukan dari pengamat untuk perbaikan pembelajaran berikutnya. Berdasarkan masukan dari diskusi ini dapat dirancang kembali pembelajaran berikutnya yang lebih baik. Dalam penelitian penerapan kegiatan Lesson Study ini dipilih materi program linear karena materi ini dianggap sulit oleh siswa. Berdasarkan pengamatan peneliti di lapangan dengan mewancarai beberapa siswa kelas XII pada saat pelaksanaan bimbingan siap UNAS 2014, mereka merasa enggan saat membahas soal tentang program linear, mereka merasa soalsoal tersebut berikut penyelesaiannya terlalu panjang, padahal program linear merupakan materi dalam matematika yang sangat berguna untuk menyelesaikan permasalahan mereka sehari-hari. Menurut Matausek (2009), program linear kebanyakan dipergunakan untuk merencanakan segala macam kegiatan dalam ilmu ekonomi yaitu untuk memodelkan masalahmasalah produksi dalam merencanakan perolehan laba yang maksimum atau meminimumkan biaya yang dikeluarkan. Masalah- masalah yang berkaitan dengan program linear banyak kita jumpai dalam kehidupan sehari-hari sehingga kita memerlukan pengetahuan yang cukup di dalamnya. NUMBERED HEAD TOGETHER Dalam proses pembelajaran matematika diperlukan suatu metode mengajar yang bervariasi. Menurut Smith (2010), dalam kegiatan belajar mengajar perlu diterapkan suatu sistem pembelajaran yang melibatkan peran siswa secara aktif guna meningkatkan prestasi belajar matematika di setiap jenjang pendidikan. Salah satu model pembelajaran yang melibatkan peran siswa secara aktif adalah model pembelajaran kooperatif. Model pembelajaran kooperatif sangat cocok diterapkan pada pembelajaran matematika karena dalam mempelajari matematika tidak cukup hanya mengetahui dan menghafal konsepkonsep matematika tetapi juga dibutuhkan suatu pemahaman serta kemampuan menyelesaikan persoalan matematika dengan baik dan benar. Melalui model pembelajaran ini siswa dapat mengemukakan pemikirannya, saling bertukar pendapat, saling bekerja sama jika ada teman dalam kelompoknya yang mengalami kesulitan. Hal ini dapat meningkatkan motivasi siswa untuk mengkaji dan menguasai materi pelajaran matematika sehingga nantinya akan meningkatkan prestasi belajar matematika siswa. Model pembelajaran kooperatif terdiri dari empat pendekatan yaitu: STAD (Student Teams Achievement Division), Jigsaw, IK (Investigasi Kelompok), dan pendekatan struktural. Pendekatan struktural terdiri dari dua tipe yaitu tipe Think Pair Share dan tipe Numbered Heads Together (NHT). Pembelajaran materi program linear pada kegiatan Lesson Study ini menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe NHT (Numbered Heads Together), karena pada model pembelajaran ini siswa menempati posisi sangat dominan dalam proses pembelajaran dan terjadinya kerja sama dalam kelompok dengan ciri utamanya adanya penomoran sehingga semua siswa berusaha untuk memahami setiap materi yang diajarkan dan bertanggung jawab atas nomor anggotanya masing-masing. Dengan pemilihan model ini, diharapkan pembelajaran yang terjadi dapat lebih bermakna dan siswa bisa lebih aktif dalam proses pembelajaran. Menurut Seken (2013), model pembelajaran NHT pada dasarnya merupakan sebuah varian diskusi kelompok. Ciri khasnya adalah guru hanya menunjuk seorang siswa yang mewakili kelompoknya, tanpa memberi tahu terlebih dahulu siapa yang akan mewakili kelompok itu. Cara ini menjamin keterlibatan total semua siswa, cara ini juga merupakan upaya yang sangat baik untuk meningkatkan tanggung jawab individual dalam diskusi kelompok. Menurut Kagan dalam Ibrahim (2000), ada 6 fase di dalam penerapan model NHT, yaitu: (1) fase 1 : fase penomoran, siswa dibagi ke dalam beberapa kelompok di mana tiap kelompok beranggotakan 3-5 siswa dan masing-masing anggota diberi nomor 1 sampai dengan 5, (2) fase 2 : fase mengajukan pertanyaan, guru memberikan pertanyaan kepada siswa untuk 1207
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
didiskusikan dengan kelompoknya, (3) fase 3 : fase berfikir bersama, siswa menyatukan pendapatnya terhadap jawaban-jawaban pertanyaan itu dan meyakinkan setiap anggota dalam kelompoknya mengetahui jawaban hasil kesepakatan bersama, (4) fase 4 : fase menjawab, guru memanggil suatu nomor tertentu, kemudian siswa yang nomornya sesuai mengacungkan tangannya dan mencoba untuk menjawab pertanyaan untuk seluruh kelas, (5) fase 5 : fase tanggapan, tanggapan dari teman yang lain, kemudian guru menunjuk nomor yang lain, (6) fase 6 : fase kesimpulan, guru membuat kesimpulan dari hasil presentasi dan tanggapan tersebut. Pembelajaran kooperatif tipe NHT adalah suatu pembelajaran yang dikembangkan untuk melibatkan lebih banyak siswa untuk menelaah materi yang tercangkup dalam suatu pembelajaran dan mengecek atau memeriksa pemahaman mereka terhadap hasil pembelajaran tersebut. Berikut ini adalah langkah-langkah dalam pembelajaran menggunakan model Numbered Head Together menurut Baker (2013) adalah sebagai berikut: (1) Siswa membentuk sebuah tim dari 3-5 siswa dan diberi nomor untuk tiap siswa. Kelompok merupakan percampuran yang ditinjau dari latar belakang sosial, ras, suku, jenis kelamin dan kemampuan belajar (2) Guru mengajukan pertanyaan langsung atau melalui LKS. (3) Siswa mendiskusikan jawaban bersama-sama dan memastikan semua anggota tahu jawabannya. Jika perlu, ada anggota yang berfungsi mengecek jawaban dari masingmasing anggota. (4) Guru memanggil siswa dengan menyebut nomor secara acak dan siswa dengan nomor tersebut mengangkat tangan dan memberikan jawaban untuk disampaikan ke seluruh siswa di kelas. (5) Pada akhir sesi, guru bersama siswa menyimpulkan jawaban akhir dari semua pertanyaan yang berhubungan dengan materi yang disampaikan. Ada beberapa manfaat pada model pembelajaran kooperatif tipe NHT terhadap siswa dengan hasil belajar rendah yang dikemukakan oleh Ibrahim (2000), antara lain adalah : (1) Rasa harga diri menjadi lebih tinggi, (2) Memperbaiki kehadiran, (3) Penerimaan terhadap individu menjadi lebih besar, (4) Perilaku mengganggu menjadi lebih kecil, (5) Konflik antara pribadi berkurang, (6) Pemahaman yang lebih mendalam, (7) Meningkatkan kebaikan budi, kepekaan dan toleransi, (8) Hasil belajar lebih tinggi. Berdasarkan kelebihan-kelebihan tersebut, model NHT diharapkan dapat meningkatkan keaktifan dan hasil belajar siswa kelas X APk SMK Ngunut Tulungagung pada materi program linear. METODE Jenis penelitian yang dilakukan adalah penelitian kualitatif dengan menggunakan pendekatan Penelitian Tindakan Kelas (PTK). PTK adalah penelitian tindakan yang dilakukan di dalam kelas dengan tujuan memperbaiki atau meningkatkan praktik mutu pembelajran (Cresswell, 2012). Penelitian ini dilaksanakan di dalam kegiatan Lesson Study. Menurut Ibrohim (2010), di dalam kegiatan Lesson Study dapat dilakukan PTK bahkan bukan hanya PTK, namun juga dapat dilakukan penelitian pengembangan pembelajaran. Subyek pada penelitian ini adalah siswa kelas X Jurusan Administrasi Perkantoran SMK Ngunut tahun pelajaran 2013/2014 yang berjumlah 27 siswa. Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah Lembar Kegiatan Siswa (LKS), tes akhir pelaksanaan tahap Do, lembar observasi dari para observer, wawancara dan dokumentasi (foto dan video rekaman). Teknik pengumpulan datanya dilakukan selama proses pelaksanaan Do atau setelah pelaksanaan Do. Sebelum melaksanakan kegiatan Lesson Study, terlebih dahulu peneliti melakukan wawancara dengan guru pengajar kelas X APk. Dari wawancara diperoleh fakta bahwa keadaan siswa dalam kelas adalah sebagian besar siswa kurang aktif pada saat pelaksanaan diskusi, hanya beberapa yang mendominasi. Mereka cenderung tergantung pada siswa-siswa yang lebih pintar. Selain itu, diperoleh fakta juga bahwa nilai tes harian mereka pada materi melukis grafik 1208
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
daerah penyelesaian sistem persamaan linear yang merupakan materi prasyarat program linear masih rendah, kurang dari 60% siswa dalam satu kelas yang mencapai KKM. Di awal kegiatan Lesson Study ke-1 dilaksanakan tahap Plan di Mushola Jurusan Matematika Universitas Negeri Malang pada tanggal 25 Pebruari 2014. Pada tahap ini peneliti bersama rekan dalam satu kelompok selaku observator berdiskusi untuk merancang Rencana Pelaksanaan Pembelajaran, menentukan model pembelajaran apa yang akan diterapkan, merancang Handout dan Lembar Kerja Siswa beserta lembar observasi. Kegiatan Plan menghasilkan suatu kesepakatan bahwa pelaksanaan Do pada Lesson Study ke-1 akan menerapkan model pembelajaran kooperatif tipe Numbered Head Together (NHT) dengan alasan bahwa NHT dapat meningkatkan keaktifan siswa karena secara individu harus siap jika sewaktu-waktu ditunjuk untuk mempresentasikan hasil diskusi kelompok mengingat keaktifan siswa di kelas tersebut rendah berdasar hasil observasi awal. Setelah tahap Plan, dilanjutkan ke tahap Do, yaitu melaksanakan pembelajaran di kelas X APk SMK Ngunut Tulungagung pada tanggal 7 Maret 2014. Pada pelaksanaan Do, untuk mengaitkan pembelajaran yang pernah diterima siswa dengan yang akan dipelajari (apersepsi), guru mengingatkan kembali materi pada bab sebelumnya yang merupakan materi prasyarat program linear, yaitu dengan mengajukan beberapa pertanyaan yang terkait dengan menentukan daerah penyelesaian suatu sistem pertidaksamaan linear. Selanjutnya untuk memotivasi siswa, guru menjelaskan manfaat mempelajari program linear dengan memberikan beberapa tayangan foto tentang kegiatankegiatan sehari-hari yang merupakan masalah program linear melalui tayangan slide power point. Guru juga memberitahukan bahwa untuk pembelajaran pada hari itu akan menggunakan model pembelajaran NHT dan menerangkan bagaimana proses pembelajaran tersebut. Dari kegiatan apersepsi dan motivasi siswa, terlihat bahwa guru memulai pembelajaran dengan mengaitkan pengetahuan awal siswa dengan materi yang akan dipelajari melalui permasalahan-permasalahan yang ada pada LKS. Guru memulai kegiatan inti dengan pembagian handout dan LKS kepada tiap-tiap kelompok. Pada pemblajaran ini, siswa dibagi menjadi 6 kelompok dengan masing-masing kelompok beranggotakan 4-5 siswa dan setiap kelompok mendapat 1 handout dan LKS. Dalam kelompoknya siswa terlihat antusias, serius dan semua siswa dalam kelas terlibat dalam pembelajaran serta aktif berdiskusi. Interaksi yang terjadi antar siswa karena masalah yang diberikan guru dalam LKS. Jika mereka tidak menemukan kesulitan dalam menyelesaikan permasalahan pada LKS, mereka berinisiatif untuk menemukan penyelesaian dari handout atau bertanya langsung kepada guru. Selama siswa berdiskusi dengan kelompoknya untuk menyelesaikan setiap masalah dalam LKS, guru berkeliling membantu siswa yang mengalami kesulitan dan 3 observer mengamati dan mencatat semua aktifitas siswa dalam pembelajaran. Saat guru model berkeliling ke setiap kelompok, guru tersebut memberikan scaffolding dan juga mengajukan beberapa pertanyaan sebagai pancingan bagi siswa yang masih menemui kesulitan dalam menjawab soal untuk mendapatkan informasi baru dan memperbaiki jawaban mereka. Kegiatan selanjutnya, guru bersama dengan siswa membahas LKS yang telah mereka kerjakan. Kegiatan pembahasan hasil diskusi ini menerapkan langkah-langkah dalam model pembelajaran NHT. Guru menyebut satu nomor, bagi siswa di masing-masing kelompok yang memegang nomor anggota sesuai dengan yang disebut guru harus siap ditunjuk untuk mempresentasikan hasil diskusi kelompoknya. Demikian seterusnya sampai semua permasalahan di dalam LKS selesai dibahas. Kegiatan ini mendorong siswa untuk selalu siap dan aktif untuk mempresentasikan hasil diskusi dan tidak hanya tergantung pada anggota lain yang memiliki kemampuan lebih di dalam kelompoknya. Kelompok lain berhak menanggapi dan menyanggah presentasi suatu kelompok jika jawaban mereka tidak sama dengan yang dipresentasikan. Penilaian terhadap siswa dilakukan dengan melihat keaktifan masing-masing individu pada saat pelaksanaan diskusi kelompok, kerjasama dalam kelompok, sopan santun, dan keberanian serta kesesuaian dalam menyampaikan pendapat di depan kelas, penilaian dari hasil pekerjaan siswa secara berkelompok (LKS), serta hasil dari tes tulis yang dilaksanakan di akhir pembelajaran yang merupakan tes individu. Sebagai penutup, guru menyampaikan materi yang akan dipelajari pada pertemuan selanjutnya dan memberi penguatan serta memberi kesimpulan terhadap materi pada pembelajaran hari itu.
1209
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
Setelah pelaksanaan tahap Do, pada hari itu juga guru model dan para observer merefleksi kegiatan pembelajaran yang telah dilakukan (tahap See) bertempat di Warung Lesehan Sego Iwak Kali kecamatan Ngunut Tulungagung. Kegiatan refleksi diawali dengan penjelasan dari peneliti selaku guru model mengenai kekurangan dan kelebihan proses pembelajaran yang baru saja dilaksanakan. Kekurangan yang dirasakan peneliti adalah sebagai berikut: (1) Para siswa terlihat kurang siap mempelajari materi yang disampaikan karena kurangnya penguasaan materi prasyarat (2) Keaktifan para siswa saat berdiskusi masih kurang, mereka terkesan ada rasa canggung yang mungkin dikarenakan masih satu kali itu mengikuti pembelajaran dari guru model (3) Pemahaman terhadap karakteristik siswa belum dimiliki oleh guru model tetapi selalu berusaha untuk menciptakan suasana pembelajaran terasa menarik dan menyenangkan dengan selalu memotivasi siswa untuk selalu aktif dalam berdiskusi. Sementara kelebihan dalam proses pembelajaran yang dirasakan peneliti adalah sebagai berikut: (1) Siswa mendapat pengalaman baru dalam proses pembelajaran, yaitu bisa menemukan sendiri cara penyelesaian suatu permasalahan pada materi yang baru saja dipelajari, di mana pengalaman sebelumnya mereka hanya mencontoh langkah-langkah penyelesaian soal dari guru. (2) Siswa merasa ada pengalaman baru dan merasa senang dengan model pembelajaran yang dilakukan guru model, yaitu model NHT. Di pembelajaran itu siswa merasa tegang karena takut ditunjuk tetapi juga merasa enjoy dengan suasana itu. Kegiatan selanjutnya adalah penyampaian hasil pengamatan, saran dan kritik dari para observer. (1) Observer ke-1 menyampaikan bahwa pada kelompok yang diamati ada salah satu siswa yang tidak bisa mengikuti pembelajaran dengan baik, dia cenderung diam dan tidak ikut berdiskusi meskipun temannya sudah mengajak dan menanyai tetapi jawabannya hanya pendek-pendek atau sama dengan pendapat temannya. Pengamat memberikan saran yaitu sesekali ditunjuk dan disapa atau ditanya. Selain itu, observer ke-1 juga menyampaikan kritik bahwa permasalahan pada LKS terlalu benyak, sehingga waktu pembelajaran menjadi molor melebihi alokasi waktu yang telah direncanakan. (2) Observer ke-2 menyampaikan bahwa ada hal unik menurutnya, yaitu siswa di kelompok II belum dapat membuat grafik dari persamaan linear padahal sebelumnya sudah pernah diajarkan, setelah tahu bagaimana caranya mereka terlihat sangat senang dan semangat belajar. Dari masalah itu, observer ke-2 menyarankan pada saat kegiatan mengingat kembali materi prasyarat harus lebih mendalam dalam penyampaiannya. (3) Observer ke-3 menyampaikan bahwa pemicu terjadinya interaksi adalah soal-soal dalam LKS, misalnya masalah 2 soal nomor 1. Siswa berdiskusi tentang bagaimana menentukan tanda pertidaksamaan yang mana yang harus digunakan. Mereka juga berbagi pendapat tentang apa yang harus disiapkan untuk membuat usaha yang dapat dikerjakan dengan program linear. Ada salah satu siswa yang mendominasi dalam mengerjakan dan mencari contoh penyelesaian dari LKS dan siswa yang lain dalam kelompoknya memperhatikan sambil sesekali memberikan pendapat. Observer ke-3 menyarankan untuk lebih memberikan motivasi pada siswa agar mau lebih aktif saat pelaksanaan diskusi. Berdasarkan hasil pengamatan, saran, dan kritik para observer, maka peneliti bersamasama observer merencanakan dan merancang RPP, LKS, berikut soal tes yang akan diterapkan pada kegiatan Lesson Study ke-2. Pada kegiatan Lesson Study ke-2 mengalami banyak kemajuan pada siswa khususnya ditinjau dari tingkat keaktifan mereka secara individu pada kegiatan diskusi kelompok maupun pada saat presentasi. HASIL Berdasarkan hasil observasi dan hasil tes siswa, pada Lesson Study ke-1 terdapat beberapa kelemahan, antara lain: (1) Nampak siswa mengalami kesulitan dalam menyelesaikan permasalahan yang ada pada LKS, karena pengetahuan dasar mereka tentang materi prasyarat yaitu penyelesaian sistem persamaan dan pertidaksamaan linear belum mendalam. Namun demikian, siswa tetap berusaha mengatasi kesulitan tersebut dengan membaca handout yang diberikan oleh guru model dan tidak jarang mereka bertanya pada guru model. 1210
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
(2) Permasalahan yang ada pada LKS tersebut terlalu banyak sehingga terlalu membebani para siswa. (3) Pada saat proses diskusi, ada beberapa siswa yang terlihat kurang aktif (4) Pada saat proses presentasi hasil diskusi dengan menerapkan model pembelajaran NHT, beberapa siswa terlihat kuatir dan takut jka mendapat giliran untuk mempresentasikan hasil diskusi kelompoknya ke depan kelas. Hal ini dikarenakan selama proses diskusi mereka tidak ikut aktif. Namun demikian, menurut pengamatan para observer, untuk langkah-langkah yang ada pada LKS sudah cukup tertata dan terperinci sehingga sangat membantu siswa untuk menemukan dan memahami bagaimana menentukan daerah penyelesaian suatu pertidaksamaan dan sistem pertidaksamaan linear. Untuk hasil belajar siswa, berdasarkan hasil analisis nilai tes akhir siswa pada Lesson Study ke-2, terdapat peningkatan ketuntasan belajar dari Do pada Lesson Study ke-1 ke pelaksanaan Do pada Lesson Study ke-2 yaitu 37,04%. Dari hasil pengerjaan LKS, kegiatan dalam LKS dan tes akhir Lesson Study ke-1 masih banyak siswa yang kurang paham dalam menentukan daerah himpunan penyelesaian suatu sistem pertidaksamaan linear. Pada Lesson Study ke-2 sudah ada peningkatan, nilai tes akhir siswa yaitu 81,48%. Pada Lesson Study ke-1 siswa yang tuntas belajar sebanyak 12 siswa dan pada Lesson Study ke-2 siswa yang tuntas belajar meningkat menjadi 22 siswa. Pembelajaran menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe Numbered Head Together (NHT) untuk meningkatkan keaktifan dan hasil belajar siswa pada materi program linear dikatakan sudah mencapai hasil sesuai dengan yang diharapkan, walaupun masih terdapat beberapa kesalahan pada pekerjaan siswa dalam mengerjakan LKS dan latihan soal yang diberikan oleh peneliti. PEMBAHASAN Pelaksanaan pembelajaran menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe Numbered Head Together (NHT) pada materi program linear ini telah sesuai dengan tahapantahapan kegiatan pembelajaran Numbered Head Together (NHT). Meskipun pelaksanaan telah sesuai dengan tahapan-tahapan pada pembelajaran Numbered Head Together (NHT) tetapi masih terdapat kendala yang dihadapi oleh peneliti. Kendala serta solusi yang dihadapi peneliti dapat dilihat pada tabel berikut ini. Tabel 1. Kendala dan Solusi Kendala Siswa melakukan kegiatan pembelajaran dengan lambat, sehingga waktu terlaksananya pembelajaran melebihi waktu yang sudah direncanakan Sebagian siswa tidak mau bekerjasama mengerjakan LKS dalam diskusi kelompok dan hanya mengandalkan anggota kelompok lainnya yang lebih pintar untuk mengerjakan LKS. Hal ini menyebabkan pemahaman konsep pada siswa tersebut menjadi kurang. Ada beberapa siswa yang belum memahami materi prasyarat program linear yaitu menggambar grafik himpunan penyelesaian sistem pertidaksamaan linear.
Solusi Pengaturan waktu yang lebih optimal oleh peneliti sehingga pembelajaran dapat terlaksana secara maksimal dan sesuai dengan alokasi waktu yang sudah direncanakan Guru memberikan penegasan bahwa jika semua anggota kelompok tidak bekerja sama mengerjakan soal di LKS, maka akan rugi karena tidak akan bisa mengerjakan tes akhir yang akan dilaksanakan pada akhir kegiatan pembelajaran. Pada saat apersepsi, guru lebih menekankan penyampaian atau dalam mengingatkan kembali materi prasyarat tersebut
Beberapa penelitian tentang pembelajaran dengan model NHT adalah penelitian oleh Mahaedy (2010) yang memperoleh kesimpulan bahwa model pembelajaran NHT dapat meningkatkan jumlah siswa yang memberikan respon yang baik atas pertanyaan yang disampaikan guru dan dapat memperbaiki serta menigkatkan prestasi atau hasil belajar siswa. Penelitian yang dilakukan Mallete (2008) juga menyimpulkan bahwa penggunaan model pembelajaran NHT dapat meningkatkan rata-rata hasil tes harian siswa dan respon siswa saat pembelajaran dengan cara besdiskusi menjadi lebih aktif. Selain itu, penelitian yang dilakukan oleh Setyaningrum (2012) memberikan kesimpulan bahwa dengan model pembelajarana NHT ketika siswa berdiskusi, mereka akan lebih fokus pada kesiapan diri mereka
1211
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
karena ada rasa takut ketika nomor mereka ditunjuk oleh guru. Namaun karena materi diskusi merupakan diskusi kelompok tetap ada proses interaksi di antara mereka walaupun tetap didominasi oleh siswa yang lebih pintar. Model pembelajaran NHT juga menjadikan siswa lebih termotivasi karena sistem pemanggilan kelompok dalam presentasi hasil diskusi dilakukan secara acak sehingga membutuhkan kesiapan yang matang dari siswa secara individu. SIMPULAN DAN SARAN Secara umum dikatakan bahwa kegiatan Lesson Study ini memberikan banyak hasil dan manfaat bagi peneliti, observer, juga para guru di sekolah yang menjadi tempat pelaksanaan Lesson Study. Mereka mendapat pengalaman baru bahwa untuk meningkatkan mutu pembelajarannya di kelas dapat ditempuh dengan berkolaborasi dengan rekan guru yang lain, hal ini sudah dibuktikan dengan hasil dari pelaksanaan Lesson Study ini. Para guru bisa saling bertukar ide untuk menentukan model pembelajaran yang sesuai dengan keadaan siswa di kelas. Seperti yang disampaikan Sulandra (2004) bahwa Lesson Study dapat bermanfaat untuk meningkatkan kualitas pembelajaran juga kualitas keprofesionalan guru. Akhirnya, kegiatan Lesson Study akan dapat menjadi suatu kegiatan rutin yang mudah dilaksanakan dan menjadi wahana untuk meningkatkan kolaborasi antar guru baik dalam satu bidang studi atau tidak. Model pembelajaran kooperatif tipe NHT juga memberikan kontribusi yang positif kepada tingkat keaktifan siswa yang ke depannya dapat meningkatkan hasil belajar mereka. Hal ini dikarenakan pada model pembelajaran NHT, para siswa secara individu merasa memiliki tanggung jawab untuk siap dan mampu mempresentasikan hasil diskusi kelompoknya. Mengingat demikian besar manfaat kegiatan Lesson Study, maka diharapkan para guru untuk segera memulai melaksanakan kegiatan tersebut di sekolah masing-masing demi peningkatan kualitas siswa kita dan meningkatkan keprofesionalan para guru sendiri. DAFTAR RUJUKAN Baker, Daniel. 2013. The Effect of Implementing The Cooperative Learning Structure, Numbered Head Together in Chemistry Classes at A Rural, Low Performing High School. B.S. Lousiana State University. Cresswell, John W. 2012. Educational Research Planning, Conducting, and Evaluating Quantitative and Qualitative Research. 4thed. Pearson : University of Nebraska. Dudley, Peter. 2012. “Lesson Study Developtment in England : from School Network to National Policy”. International Journal for Lesson and Learning Studies, Vol.1 lss : 1, pp.85-100 Garfield, J. 2006. Exploring the Impact of Lesson Study on Developing Effective Statistics Curricculum, (online), (https://www.Stat.Auckland.ac.nz/.../garfield.doc), diakses 6 Mei 2014. Ibrahim, M., dkk. 2000. Pembelajaran Kooperatif. Surabaya : Universitas Negeri Surabaya. Ibrohim. 2009. Panduan Pelaksanaan Lesson Study di KKG. Universitas Negeri Malang. Press Malang. Janzen, Heidi. 2005. Using the Japanese Lesson Study in Mathematics. (online), (http://www.glencoe.com/sec/teachingtoday/subject/japanese_lesson_stud y.phtml) , diakses 6 Mei 2014. Karim, Muchtar Abdul. 2006. “Implementation of Lesson Study for Improving The Quality of Mathematics Instruction in Malang”. Tsukuba Journal of Educational Study in Mathematics. Vol.25 Lewis, Caterine. 2009. Teacher Colaboration : Lesson Study Comes of Age in North America. (online), (https://www.pdkmembers.org/members_online/public actions/Archive/pdf/KO612le1.pdf), diakses 6 Mei 2014. Mahaedy, Lawrence., Todd Haydon, & William Hunter. 2010. Effect of Numbered Head Together on The Daily Quiz Scores and on-task Behavior of Students with Disabilities. Gale Light Arts, Economy, Education, Humanities & Social Science. Mallete, Barbara., Gregory F. Harper. 2006. The Effects of Numbered Heads Together with ang without an Incentive Package on The Science Test Performance of a Diverse Group of Sixth Grader. Gale Light Arts, Economy, Education, Humanities & Social Science. Matausek, Jiri. 2007. Understanding and Using Linear Programming. Spinger Berlin Heidelberg New York. 1212
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
Robinson, Naomi. 2006. Lesson Study : An Examples of its adaptation to Israeli Middle School Teacher. (online), (https://www.weizmann.ac.il/G-Math/ICMI/Robinson_proposal.doc), diakses 8 Mei 2014. Sadia, I Wayan. 2008. Lesson Study (Suatu Strategi Peningkatan Profesionalisme Guru. Jurnal Pendidikan dan Pengajaran UNDIKSHA, Edisi Khusus Th XXXXI. Seken, Ketut. 2013. The Effect of Numbered Head Together and question Answer Relationship Techniquestion on Students’ Reading Comprehension : A Comparative Study. E-journal PPs Universitas Ganesha Singaraja Indonesia. Setyaningrum, Rosiana Retno., Moch. Chotin. 2012. Keefektifan Model Pembelajaran Kooperatif tipe CIRC dan NHT dengan Pemodelan matematika dalam Penyelesaian Soal Cerita Kelas VIII. Universitas Negeri Semarang. Smith-Stoner, Marylin. 2010. Collaborative Action Research : Implementation of Cooperative Learning. San Bernardino, California. Subanji. 2014. Pedoman Praktik Pengalaman Lapangan (PPL) Berbasis Project Lesson Study Prodi S2 Pendidikan Matematika. Sulandra, I Made. 2005. Dapatkah Kualitas Pembelajaran Ditingkatkan melalui Lesson Study? (Suatu Studi Kasus di Malang). Makalah disajikan dalam Prosiding 2 Seminar Nasional MIPA dan Pembelajarannya & Exchange Experience of IMSTEP. Malang: FMIPA UM bekerjasama dengan Dirjen Dikti. Depdiknas. Walker, J.S. 2005. UWEC Math Dept. Journal of Lesson Studies. (online), (https://www.edu/walkerjs/lesson_studies/statement_of_purpose.pdf), diakses 8 Mei 2014
PEMBELAJARAN PROBLEM CREATING BERBANTUAN PERTANYAAN DENGAN KONSEP LESSON STUDY DALAM MATERI TURUNAN FUNGSI Mislahiyyyah Universitas Negeri Malang mislah_mimi @yahoo.com Abstrak: Kemampuan setiap siswa dalam menerima pelajaran mempunyai tingkat yang berbeda dengan siswa yang lainnya. Melalui penggunaan lesson study dapat diketahui permasalahan yang dihadapi siswa dalam memahami konsep turunan. Masalah aktivitas siswa dalam proses pembelajaran dapat diatasi dengan menggunakan pembelajaran problem creating berbantuan pertanyaan. Melalui Lembar kerja siswa bercirikan pembelajaran problem creating dapat meningkatkan keaktifan siswa dalam mengikuti proses pembelajaran dan memahami materi turunan secara bermakna. Kata kunci: Lesson Study, Problem Creating, pertanyaan
Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermatabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat,berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga Negara yang demokratis dan bertanggung jawab (Undang-Undang Republik Indonesia No. 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas ada bab II pasal 3). Pendidik mempunyai peranan yang sangat besar dalam tercapainya tujuan pendidikan nasional tersebut. Untuk mencapai tujuan pendidikan tersebut tentu diperlukan seorang pendidik yang professional. Pendidik mempunyai dua arti yaitu arti luas dan arti sempit. Dalam arti luas pendidik adalah semua orang yang berkewajiban membina manusia, sedangkan dalam arti sempit pendidik adalah orang-orang yang yang disiapkan untuk menjadi tenaga pendidik. Guru sebagai salah seorang tenaga pendidik tentu dituntut keprofesionalismenya. Sehingga guru harus memiliki pengetahuan dan kemampuan dalam pembelajaran.
1213
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
Hakikat pembelajaran adalah bagaimana mengarahkan para siswa memperoleh informasi, ide, keterampilan, nilai, cara berfikir, sarana untuk mengekspesikan dirinya dan caracara bagaimana belajar. Setiap guru matematika menginginkan siswa selalu berhasil dalam pembelajaran matematika. Faktanya banyak masalah yang muncul dalam mempelajari matematika di sekolah. Masalah tersebut diantaranya siswa tidak tertarik mengikuti pembelajaran. Hal ini bisa membuat siswa pasif selama proses pembelajaran. Mengatasi masalah tersebut guru dapat bekerjasama dengan rekan sejawatnya untuk melakukan pengamatan dan penelitian secara mendalam tentang proses pembelajaran dan aktivitasnya. Mengetahui penyebabnya dan melakukan diskusi untuk memecahkan permasalahan yang dihadapi. Guru perlu memperhatikan proses belajar siswanya untuk mengembangkan profesionalisme mereka (Saito. E, 2006). Hal ini dapat dilakukan melalui kegiatan Lesson Study. Dalam tulisan ini, akan dipaparkan secara ringkas mengenai kegiatan lesson study dan bagaimana tahapan-tahapan dalam lesson study, dengan harapan dapat memberikan kemudahan kepada mahasiswa untuk memahami materi yang disampaikan sebagai calon guru. Dipihak lain yang terkait untuk dapat mengembangkan lesson study lebih lanjut guna kepentingan peningkatan mutu proses dan hasil pembelajaran siswa. LESSON STUDY Lesson study merupakan kegiatan ilmiah guru dengan penelitiannya melealui perbaikan secara rutin dan melibatkan beberapa orang (Isoda, 2008). Konsep dan praktik lesson study pertama kali dikembangkan oleh para guru pendidikan dasar di Jepang, yang dalam bahasa Jepang-nya disebut dengan istilah kenkyuu jugyo. Adalah Makoto Yoshida, orang yang dianggap berjasa besar dalam mengembangkan kenkyuu jugyo di Jepang. Keberhasilan Jepang dalam mengembangkan lesson study tampaknya mulai diikuti pula oleh beberapa negara lain, termasuk di Amerika Serikat yang secara gigih dikembangkan dan dipopulerkan oleh Catherine Lewis yang telah melakukan penelitian tentang lesson study di Jepang sejak tahun 1993. Indonesia pun saat ini mulai gencar mensosialisasikan lessson study untuk dijadikan sebagai sebuah model dalam rangka meningkatkan proses pembelajaran siswa, bahkan pada beberapa sekolah sudah mulai dipraktikkan. Meski pada awalnya, lesson study dikembangkan pada pendidikan dasar, namun saat ini ada kecenderungan untuk diterapkan pula pada pendidikan menengah dan bahkan pendidikan tinggi. Ide utama dari lesson study adalah bahwa kelompok guru, dengan dukungan dari ahli, mengembangkan rencana pengajaran untuk satu pelajaran. Struktur pelajaran, peran guru dan murid belajar berada dalam fokus (Gunnarsdottir, 2008). Guru harus dipandang sebagai identitas yang kompleks dan dinamis, transisi budaya dapat memberikan kesulitan bagi mereka untuk memposisikan diri dalam keadaan tertentu (Gustin, 2013). Melalui lesson study dapat membantu mengatasi masalah tersebut. Proses lesson study dapat digambarkan sebagai siklus, sebuah proses di mana kelompok guru berulang kali melewati fase, diskusi, penetapan tujuan dan perencanaan, penelitian pelajaran. Lewis (2002) mendeskripsikan proses-proses tersebut sebagai langkah-langkah kolaborasi dengan guru-guru untuk merencanakan (plan), mengamati (observe), dan melakukan refleksi (reflect) terhadap pembelajaran (lessons). Lebih lanjut, dia menyatakan, bahwa Lesson study adalah suatu proses yang kompleks, didukung oleh penataan tujuan secara kolaboratif, percermatan dalam pengumpulan data tentang belajar siswa, dan kesepakatan yang memberi peluang diskusi yang produktif tentang isu-isu yang sulit. Menurut Wikipedia (2007) bahwa lesson study dilakukan melalui empat tahapan dengan menggunakan konsep Plan-Do-Check-Act (PDCA). Sementara itu, Mulyana (2007) mengemukakan tiga tahapan dalam lesson study, yaitu: (1) Perencanaan (Plan); (2) Pelaksanaan (Do); dan (3) Refleksi (See). Sedangkan Bill Cerbin dan Bryan Kopp dari University of Wisconsin mengetengahkan enam tahapan dalam lesson study, yaitu: (1) Form a Team; (2) Develop Student Learning Goals; (3) Plan the Research Lesson; (4) Gather Evidence of Student Learning; (5) Analyze Evidence of Learning; (6) Repeat the Process. Pada pelaksaan lesson study yang penulis lakukan besama tim merujuk kepada pendapat Mulyana (2007) yaitu Plan-Do-See untuk lebih jelasnya, di bawah ini akan diuraikan secara ringkas tiga tahapan dalam penyelengggaraan lesson study di kelas Off I 2012 kelompok kota Banjarbaru dan kab. Banjar Pendidikan Matematika UM pada materi turunan fungsi. 1214
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
1. Tahapan Perencanaan (Plan) Dalam tahap perencanaan, penulis sebagai guru model dan anggota tim yang lain ditugasi sebagai obeserver serta guru pamong yang tergabung dalam tim Lesson Study berkolaborasi untuk menyusun RPP yang mencerminkan pembelajaran yang berpusat pada siswa. Perencanaan diawali dengan kegiatan menganalisis kebutuhan dan permasalahan yang dihadapi dalam pembelajaran. Berdasarkan saran dari dosen pamong yang dimana pelaksanaan pembelajaran dengan materi turunan. 2. Tahapan Pelaksanaan (Do) Terdapat kegiatan utama pada tahap pelaksanaan yaitu: (1) kegiatan pelaksanaan pembelajaran yang dilakukan oleh salah seorang guru model untuk mempraktikkan RPP yang telah disusun, dan (2) kegiatan pengamatan atau observasi yang dilakukan oleh anggota tim Lesson Study yang lainnya. 3. See (refleksi pembelajaran) Setelah melaksanakan pembelajaran dan mengamatinya, seluruh pihak yang terlibat dalam aktivitas pengamatan melakukan refleksi untuk mendiskusikan pembelajaran yang dikaji tersebut dan menyempurkannya, serta merencanakan pembelajaran berikutnya. Dalam tahap refleksi ini, pembahasan tidak dimaksudkan untuk mengomentari aktivitas guru ketika melaksanakan pembelajaran, melainkan lebih diarahkan pada hasil pengamatan terhadap perilaku siswa selama proses pembelajaran di kelas. Dengan demikian tidak ada komentar terhadap perilaku guru ketika mengajar, namun diharapkan berdasarkan refleksi pengamat terhadap perilaku siswa tersebut, guru model akan dapat merefleksi dirinya sendiri. Lesson study digunakan untuk membuat pelajaran menjadi sempurna (Groningen. A, 2012). Hasil maksimal akan diperoleh apabila ke tiga tahap di atas dilaksanakan secara utuh dan berkesinambungan. Melalui kegiatan lesson study ini kelemahan guru model pada setiap tahap pembelajaran yang dilaksanakan dapat diperbaiki dan disempurnakan. Penelitian tentang lesson study didapat bahwa lesson study memiliki dampak terhadap pengajaran dan meningkatkan kemampuan guru agar sesuai dengan kebutuhan belajar siswa (Ann. J, 2011). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa lesson study meningkatkan kepercayaan pengajar dan memiliki manfaat langsung bagi siswa melalui kerja siswa. Penelitian lain oleh Bayoga. A (2013) lesson study menunjukkan bahwa lesson study model menjadi prosedur yang lebih baik untuk meningkatkan pengajaran matematika. Dan pandangan berbeda pada lesson study model dapat diidentifikasi oleh guru matematika dalam proses menggunakan lesson study model. Selain itu melalui kegiatan lesson study dapat meningkatkan kemampuan guru untuk menerapkan strategi pembelajaran dan respon yang baik mengenai pelaksanaan lesson study di sekolah dasar (Rustono, 2008). PROBLEM CREATING Barlow (2010) menyatakan bahwa pembelajaran yang dilakukan dengan menggunakan pembelajaran Problem Creating siswa menjadi lebih aktif dan tertantang. Oleh karenanya, kemampuan penguasaan menciptakan masalah (Problem Creating) sangat dibutuhkan seorang guru ketika mengajar siswa dalam pembelajaran dikelas. Guru dapat memusatkan pada pengembangan masalah utama sebuah konsep atau tujuan pada mata pelajarannya. Alternatifnya guru dapat membuat model masalah. Guru dapat menghubungkan matematika dengan pengalaman dan budaya belajar siswa untuk menciptakan masalah sendiri. Tidak semua masalah terdapat dalam materi kurikulum, disinilah pentingnya bagi guru untuk mengembangkan kemampuan menciptakan masalah yang sesuai. Kerangka untuk menciptakan masalah matematika dengan pembelajaran Problem Creating terdiri atas 5 langkah, yaitu: (1) Menentukan tujuan pembelajaran matematika, (2) Menentukan konteks masalah, (3) Menciptakan masalah, (4) Mengantisipasi jawaban siswa, (5) Menerapkan dan merefleksi masalah. Diagram alur kerangka kerja Problem Creating ditunjukkan seperti pada gambar berikut.
1215
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
Menentukan tujuan pembelajaran matematika Menentukan konteks masalah
Menciptakan masalah
Mengantisipasi jawaban siswa
Implementasi dan refleksi Gambar 1. Kerangka Kerja Problem Creating Langkah-langkah pembelajaran Problem Creating Tahap 1: Menentukan tujuan pembelajaran matematika Tujuan pembelajaran yang ingin dicapai pada pembelajaran Problem Creating materi turunan a. siswa dapat menentukan sifat turunan fungsi konstan, menentukan sifat turunan fungsi pangkat, menentukan turunan fungsi aljabar menggunakan sifat-sifat turunan fungsi, membuat soal turunan fungsi aljabar menggunakan sifat-sifat turunan fungsi. b. siswa dapat menentukan sifat turunan berbentuk perkalian fungsi, menentukan sifat turunan berbentuk pembagian fungsi, menentukan turunan fungsi aljabar menggunakan sifat-sifat turunan fungsi, membuat soal turunan fungsi aljabar menggunakan sifat-sifat turunan fungsi. Tahap 2: Menentukan konteks masalah Memilah masalah yang akan di buat berdasarkan kemampuan awal yang dimiliki siswa. Sehinggga masalah yang diberikan ke siswa sudah terfokus. Masalah yang akan diberikan ke siswa terdapat dalam lembar kerja siswa. Tahap 3: Menciptakan masalah Setelah menentukan konteks masalah, langkah selanjutnya adalah menciptakan masalah. Masalah ini akan memfasilitasi pemahaman siswa tentang materi Turunan. Menciptakan masalah ini dilakukan oleh guru dan siswa. Dalam prosesnya guru menggunakan pertanyaan untuk membangkitkan pengetahuan siswa. Tahap 4: Mengantisipasi jawaban siswa Dengan masalah yang telah dibuat sebelumnya, guru juga sudah memikirkan tentang bagaimana siswa akan menyelesaikan masalah. Jenis manipulasi yang digunakan, strategi yang mungkin mereka coba, bagaimana cara menyelesaikannya dan apakah akan melibatkan siswa dalam pemecahan masalahnya. Tahap 5: Implementasi dan refleksi Pada tahap akhir pembelajaran setelah siswa berdiskusi dan mempresentasikan hasil diskusinya, guru memberikan tanggapannya. Kemudian mengarahkan siswa untuk membuat kesimpulan. PERTANYAAN Pertanyaan guru memainkan peran penting dalam proses pembelajaran di dalam kelas. Pertanyaan membantu siswa untuk mengidentifikasi proses berpikir, untuk melihat hubungan 1216
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
antara ide dan membangun pemahaman baru karena mereka bekerja dengan cara mereka ke solusi yang masuk akal bagi mereka. Menurut Parta (2009) pertanyaan berfungsi tidak hanya untuk meminta siswa melakukan sesuatu tetapi juga untuk mensintesis pemikiran siswa selama pembelajaran berlangsung. Pertanyaan diajukan tidak hanya pada saat-saat tertentu tetapi selama pembelajaran berlangsung (during learning episode). Pertanyaan merupakan bagian penting dari kemampuan guru untuk menciptakan suasana kelas yang kondusif untuk pengembangan pemikiran matematis menurut Burns (Kon Ming, 2003). Selain itu, pertanyaan guru dapat merangsang berpikir, memfasilitasi diskusi kelas, membangkitkan ekspresi dan menggali proses berpikir juga (Dillon, 1982; Wilen, 1992). Hal ini sangat penting bagi para siswa yang aktivitas mentalnya masih sangat tergantung. Menurut Wilen (1992) dikutip dari Kon Ming, menunjukkan bahwa pertanyaan dapat membangkitkan rasa ingin tahu dan merangsang aktivitas mental. Pada gilirannya, pertanyaan guru memiliki efek mendorong pemikiran yang lebih mendalam tentang ide-ide yang terlibat dalam suatu masalah. Peranan pertanyaan merupakan bagian penting dalam menyusun sebuah pengalaman belajar bagi murid. Pertanyaan memainkan peran penting dalam struktur lingkungan kelas, mengatur isi pelajaran dan memiliki implikasi yang mendalam tentang cara siswa mengasimilasi informasi yang disajikan dan dibahas di kelas. Mengingat bahwa pertanyaan bisa menjadi cara sangat efektif untuk mengajar, dan diakui bahwa guru bersedia terlibat dalam proses mengajukan pertanyaan sambil memberikan instruksi (penelitian Leven dan Long menunjukkan bahwa Guru meminta antara 300-400 pertanyaan per hari). Suherman (2003) mengemukakan keterampilan bertanya merupakan salah satu keterampilan dasar mengajar yang dianggap sangat berperan dalam keberhasilan belajar mengajar. Oleh karena itu, pertanyaan guru mempunyai pengaruh yang sangat signifikan dalam meningkatkan prestasi belajarnya. Menurut Rusman (2013) pertanyaan dapat berupa kalimat tanya atau kalimat suruhan, sehingga siswa dapat melakukan kegiatan pembelajaran secara aktif. Dalam kegiatan pembelajaran, bertanya memainkan paranan penting, yaitu: (1) meningkatkan partisipasi siswa dalam kegiatan pertanyaan, (2) membangkitkan minat dan rasa ingin tahu siswa terhadap suatu masalah yang sedang dibicarakan, (3) mengembangkan pola berfikir dan cara belajar aktif dari siswa sebab berfikir itu sendiri adalah bertanya, (4) menuntun proses berfikir siswa sebab pertanyaan yang baik akan membantu siswa agar dapat menentukan jawaban yang baik, (5) memusatkan perhatian siswa terhadap masalah yang sedang dibahas. Memberikan pertanyaan dapat digunakan untuk mengetahui tingkat pemahaman siswa terhadap materi pelajaran yang telah dipelajari, apakah mengetahui/paham atau tidak mengetahui/tidak paham. Pertanyaan juga dapat menjadi pancingan bagi aktivitas kelas siswa, menarik perhatian siswa. Penggunaan pertanyaan ini tentu saja juga akan membantu siswa dalam pelaksanaan pembelajaran menggunakan pembelajaran Problem Creating. HASIL PELAKSANAAN LESSON STUDY PelaksanaanLesson Study di mulai dengan penyusunan rencana pelaksanaan (plan A). Plan A di lakukan pada saat perkuliahan yaitu tanggal 22 Januari 2014. Pada plan A ini terdapat revisi pada bagian materi ajar, karena menyesuaikan dengan materi yang sedang di pelajari di kelas pelaksanaan. Revisi dilakukan setelah kelompok PPL (tim Lesson Study) melakukan observasi di sekolah tempat pelaksanaan. Hal tersebut juga dimaksudkan agar anggota tim lesson study bisa mengetahui gambaran mengenai situasi kelas yang akan menjadi kelas praktik. Pelaksanaan Pembelajaran Ke-1 Pelaksanaan pembelajaran ke-1 dilakukan pada hari Kamis tanggal 3 April 2014 di kelas XI sosial. Materi yang disajikan adalah turunan fungsi. Tujuan pembelajaran yang ingin dicapai adalah setelah siswa mengikuti kegiatan pembelajaran problem creating berbantuan pertanyaan, diharapkan siswa dapat menentukan sifat turunan fungsi konstan, menentukan sifat turunan fungsi pangkat, menentukan turunan fungsi aljabar menggunakan sifat-sifat turunan fungsi, membuat soal turunan fungsi aljabar menggunakan sifat-sifat turunan fungsi. Pada kegiatan pendahuluan terdapat beberapa kendala yang dialami terkait kesiapan siswa, yakni terdapat 2 siswa yang terlambat masuk kelas. Hal tersebut dikarenakan sekolah tersebut melaksanakan mapping class sehingga memungkinkan siswa tidak segera menuju kelas berikutnya untuk mengikuti pembelajaran selanjutnya. Hal tersebut agak mengganggu proses kesiapan siswa karena siswa yang datang membuat sedikit kegaduhan saat menuju tempat 1217
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
duduknya. Dengan teguran dari guru, pembelajaran dapat dilanjutkan kembali. Kendala berikutnya yaitu masih terdapat siswa yang tidak segera menyiapkan buku maupun alat tulisnya. Masalah ini dapat teratasi melalui pertanyaan guru tentang kesiapan mereka mengikuti pembelajaran. Kegiatan apersepsi yaitu terkait materi turunan dapat terlaksana dengan baik. Materi prasyarat yang diberikan kepada siswa tentang materi fungsi dan limit. Motivasi siswa juga tampak ketika guru menyajikan permasalahan tentang penggunaan turunan. Pelaksanaan kegiatan inti pembelajaran berjalan cukup lancar. Namun masih terdapat kendala yang ditemukan guru ketika berkeliling memantau kegiatan diskusi kelompok, kendala tersebut berupa penguasaan pengetahuan prasyarat yang belum sepenuhnya di kuasai siswa. Menghadapi hal tersebut, guru memberikan bantuan melalui pertanyaan-pertanyaan arahan yang membangkitkan ingatan siswa tentang materi prasyarat. Interaksi antara siswa dan siswa terjadi pada saat siswa mulai bergabung di dalam kelompok untuk menyelesaikan permasalahan yang terdapat di dalam LKS. Interaksi siswa dengan guru terjadi saat guru berkeliling memantau dan mengarahkan jalannya diskusi kelompok. Ketika mereka menemukan kendala atau hambatan dalam menyelesaikan masalah di LKS, siswa mengkonfirmasi dan di tanggapi guru dengan memberikan arahan berupa pertanyaan. Pembelajaran pertemuan pertama terdapat beberapa siswa yang mengalami gangguan dalam mengikuti proses pembelajaran. Siswa tersebut adalah: 1) T terlihat merebahkan kepalanya keatas meja, 2) R terlihat sering mengejak temannya untuk bercanda, 3) M yang kurang interaksinya dalam kelompok, 4) R dan F terlihat beberapa kali bercanda. Hal ini disebabkan karena mereka tidak sepenuhnya menguasai materi prasyarat sehingga kesulitan mengerjakan LKS. Menghadapi hal tersebut, guru melakukan pendekatan dan menegur siswa tersebut dengan menanyakan masalah yang dihadapi serta memberikan motivasi kepada mereka. Akhirnya siswa yang mengalami gangguan dalam belajarnya dapat lebih konsentrasi lagi. Tahap penutup siswa bisa mengikutinya dan bersama-sama mereka membuat kesimpulan dengan beberapa arahan dari guru. Refleksi dan Perencanaan Perbaikan Pembelajaran Ke-1 Setelah pelaksanaan pembelajaran ke-1, dilakukan refleksi oleh tim lesson study dan diperoleh beberapa masukan untuk perbaikan perencanaan pembelajaran selanjutnya. Saran atau masukan tersebut antara lain sebagai berikut. 1. Faktor kesiapan siswa pada awal pembelajaran perlu lebih diperhatikan agar pembelajaran dapat berjalan dengan baik. 2. Pada tahap apersepsi, pemberian materi prasayarat tentang limit dan fungsi agar lebih di perbayak dan diperdalam lagi 3. Guru akan lebih sensitif terhadap siswa dan akan mendorong siswa untuk lebih aktif saat diskusi kelompok. Pelaksanaan Pembelajaran Ke-2 Pelaksanaan pembelajaran ke-2 dilakukan pada hari Kamis tanggal 10 April 2014 pada pukul 06.30-08.00 WIB di kelas XI sosial 3. Materi yang disajikan adalah turunan. Tujuan pembelajaran yang ingin dicapai adalah setelah siswa mengikuti kegiatan pembelajaran problem creating berbantuan pertanyaan, diharapkan siswa dapat menentukan sifat turunan berbentuk perkalian fungsi, menentukan sifat turunan berbentuk pembagian fungsi, menentukan turunan fungsi aljabar menggunakan sifat-sifat turunan fungsi, membuat soal turunan fungsi aljabar menggunakan sifat-sifat turunan fungsi. Pada kegiatan pendahuluan tidak terdapat kendala yang berarti. Kesiapan siswa sangat baik dalam menerima pembelajaran meskipun ada siswa yang terlambat, namun tidak mengganggu jalannya pembelajaran. Siswa yang terlambat segera menyesuaikan diri dan mengikuti pembelajaran yang disajikan. Keterlambatan ini disebabkan sekolah melaksanakan kebersihan pada jam awal pembelajaran. Kondisi/ respon siswa ketika guru menyampaikan apersepsi/motivasi/pemanasan berfikir/advence organizer terlihat antusias dan mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan guru sat menanyakan pengetahuan prasyarat serta menyampaikan motivasi melalui permasalahan yang terdapat di dalam LKS. Pelaksanaan kegiatan inti pembelajaran berjalan cukup lancar. Namun masih terdapat kendala yang ditemukan guru ketika berkeliling memantau kegiatan diskusi kelompok , kendala tersebut berupa penguasaan pengetahuan prasyarat yang belum sepenuhnya di kuasai siswa. 1218
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
Menghadapi hal tersebut, guru memberikan bantuan melalui pertanyaan-pertanyaan arahan yang membangkitkan ingatan siswa tentang materi prasyarat. Interaksi antara siswa dan siswa terjadi pada saat siswa mulai bergabung di dalam kelompok untuk menyelesaikan permasalahan yang terdapat di dalam LKS. Interaksi siswa dengan guru terjadi saat guru berkeliling memantau dan mengarahkan jalannya diskusi kelompok. Ketika mereka menemukan kendala atau hambatan dalam menyelesaikan masalah di LKS, siswa mengkonfirmasi dan di tanggapi guru dengan memberikan arahan berupa pertanyaan. Pembelajaran pertemuan kedua masih ditemui beberapa siswa yang mengalami gangguan dalam mengikuti proses pembelajaran. Adanya kelompok agak terlambat memahami LKS, ini diatasi dengan meminta anggota kelompok yang mengerti untuk menjelaskan dan yang tidak mengerti untuk menanyakan kepada temannya terlebih dahulu. Keterlibatan siswa dalam tahap penutup meliputi refleksi dan merangkum terlihat aktif dan antusias. Pada pembelajaran ini siswa memperoleh sesuatu yang baru yaitu mereka tidak hanya menyelesaikan soal tetapi juga membuat soal untuk mereka selesaikan secara individu. Refleksi Pembelajaran Ke-2 Berdasarkan pelaksanaan pembelajaran ke-2, dilakukan refleksi oleh tim lesson study dan di dapat kesimpulan secara umum pelaksanaan sudah lebih bagus pembelajara ke-1. Selanjutnya diharapkan pelaksanaan menggunakan pembelajaran problem creating berbantuan pertanyaan ini dapat di terapkan pada pertemuan berikutnya, dengan penekanan guru lebih memperhatikan dan lebih sensitif terhadap keadaan siswanya. ANALISIS PELAKSANAAN DAN PERENCANAAN PEMBELAJARAN Pada pembelajaran pertemuan pertama guru model belum mampu melaksanaan sajian materi yang direncanakan dengan baik. Pada kegiatan penarikan kesimpulan cenderung kurang melibatkan seluruh siswa, karena hanya beberapa siswa saja yang aktif menjawab. Pada pembelajaran kedua dilakukan beberapa hal untuk lebih otimal dalam mengaktifkan siswa. Siswa yang mengalami kesulitan atau gangguan dalam belajar, maka dilakukan pendekatan tidak hanya secara klasikal tetapi juga secara individual. Lebih memantapkan materi prasyarat terutama tentang limit. Pada perencanaan pembelajaran ini hendaknya perlu dimengerti dengan baik kondisi siswa, baik dari segi karakter maupun kemampuan yang dimiliki siswa. Pemberian LKS dalam menyajikan materi juga perlu memperhatikan aspek sistematika dan keruntutan susunan pertanyaannya. Guru hendaknya tidak hanya mementingkan dari sisi kecepatan materi yang diperoleh siswa, namun hendaknya perlu diyakinkan bahwa siswa juga mendapat pemahaman tentang materi yang dipelajari. Sehingga pembelajaran bisa dimengerti dan dipahami siswa bukan terkesan hapalan. KESIMPULAN Kegiatan lesson study merupakan bekal mahasiswa praktikan untuk dapat mengamalkan ilmu yang telah diterima selama perkuliahan. Tenaga pendidik yang profesional diperlukan persiapan yang matang tentang perangkat pembelajarannya serta materi perkuliahannya sehingga diperlukan ketekunan, kesabaran, dan pantang menyerah. Selain hal itu, pendidik harus mengembangkan diri dengan mengikuti kegiatan yang menambah pengetahuan tentang metode-metode pembelajaran terus berkembang sehingga dapat memperbaiki pembelajaran di lembaga pendidikan tempat bekerja pada khususnya dan pembelajaran nasional pada umumnya. Kegiatan lesson study menggunakan pembelajaran problem creating berbantuan pertanyaan pada materi turunan dapat meningkatkan aktivitas siswa. Selain itu siswa dapat mempelajari materi turunan secara bermakna, sehingga pembelajaran tersebut akan diingat oleh siswa. DAFTAR RUJUKAN Ann, J. 2011. Lesson Study Inpact on Teacher Perseptions of Efficacy in Teaching. Humboldt State University. Barlow T. Angela, 2010. Building Word Problems: Building Word Problems what does it take. Amerika: NCTM volume 1 no.3. Bayoga, A. 2013. Mathematics Teaching Via The Lesson Study Model. Int J Edu Sci. 5 (1). 1219
Prosiding Seminar Nasional TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) dengan tema “Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran Bermakna TEQIP” pada 1 Desember 2014 di Universitas Negeri Malang
Bell, H. Frederick. 1978. Teaching and Learning Mathematics (In Secondary Schools). Iowa: Wm.C. Brown Company. Bill Cerbin & Bryan Kopp. A Brief Introduction to College Lesson Study. Lesson Study Project. online: http://www.uwlax.edu/sotl/lsp/index2.html. Dotger, Sharon. 2009. Using Lesson Study to Asses Student Thinking in Science. Education’s Voice Vol V page 22. Gustine, G. 2013. Designing and Implementing a Critical Litercy-Based Approch in a Indonesian ELF Scondary School. Internasional Journal of Indonesian Studies (IJIS) Vol 1. Groningen, A. 2012. Internastional Journal of Applied Science and Technology Vol 2 No 8. Isoda, M. 2010. Problem Solving Approces in Mathematics Education as an Japanes Experience. Prosedia Sosial and behavioral Sciences vol 8. Ming, Tang, 2003, empeworing student thinking in Learning Mathematics by Effective Questioning. Mulyana, S. 2007. Lesson Study (Makalah). Kuningan: LPMP-Jawa Barat Parta, I Nengah. 2009. Pengembangan pembelajaran Inkuiri Untuk Penghalusan Pengetahuan Matematika Calon Guru Melalui Pengajuan Pertanyaan. Disetasi. Tidak dipublikasikan Rusman, 2013, model-model pembelajaran mengembangkan prefesionalisme guru (edisi kedua), Jakarta: TP Raja Grapindo Persada. Ruswanto. 2008. Jurnal Pendidikan Dasar no 10. Suherman, dkk, 2003, strategi pembelajaran matematika kontenporer common textbook (edisi revisi), Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia. Saito, E. 2006. Indonesian Lesson Study Practice: Case Study of Indonesia Mathematics and Science Teacher Educations Project. Journal of In Service Education Vol. 32 No. 2 page 171-184. Wikipedia.2007. Lesson Study. en.wikipedia.org/wiki/Lesson_study. Young Wong. 2012. Use Student Mathematics Questions to Ptomote Active Learning and Metacognition. 12th International Congress on Mathematical Educations. Seoul.
1220