Implementasi Kelas PMRI Dalam Melaksanakan KTSP di Sekolah Dasar Negeri II Sukorejo Bojonegoro Dian Ratna Puspananda IKIP PGRI Bojonegoro Email:
[email protected]
ABSTRAK Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui penerapan pembelajaran matematika dengan pendekatan Pendidikan Matematika Realistik Indonesia (PMRI) di Sekolah Dasar Negeri Sukorejo 2 Bojonegoro.Sampel yang digunakan adalah siswa kelas 2 dan kelas 3, sampel tersebut diambil karena materi pelajaran di kelas 2 dan kelas 3 adalah materi dasar yang nantinya akan dikembangkan di kelas yang lebih tinggi. Dari proses penerapan pembelajaran matematika dengan pendekatan PMRI yang dilakukan penulis diperoleh kesimpulan yaitu siswa SDN Sukorejo 2 Bojonegoro ternyata mampu untuk diajak belajar dengan pendekatan PMRI. Siswa terlihat lebih antusias dan bersemangat pada saat proses pembelajaran dengan pendekatan PMRI tersebut. Alternatif jawaban yang diberikan siswa juga beragam dan semuanya benar. Selain itu dari hasil wawancara penulis dengan beberapa siswa kelas II maupun kelas III, mereka mengaku proses pembelajaran matematika dengan pendekatan PMRI lebih bermakna dibandingkan seperti proses pembelajaran matematika yang biasa mereka lakukan sehari-hari. Siswa juga tidak merasa takut dan tegang pada saat proses pembelajaran matematika berlangsung. Pembelajaran matematika juga tidak lagi membosankan. Siswa justru merasa senang karena suasana pembelajaran matematika dengan pendekatan PMRI seperti layaknya mereka bermain bersama teman mereka. Kata kunci: PMRI, KTSP The purpose of this study is to investigate the application of mathematics learning through Indonesian Realistic Mathematics Education approach (PMRI) in State Primary School of Sukorejo 2 Bojonegoro. Sampel used is class 2 and class 3, the sample was drawn because of the subject matter in class 2 and class 3 is basic materials that will be developed in a higher class. From the application of mathematics learning approach of PMRI, researcher concluded that students of SDN Sukorejo 2 Bojonegoro was able to learn with PMRI approach. Students were more enthusiastic and excited during the learning process with the PMRI approach. Alternative answers given by students also varied and everything is correct. In addition, from the results of interviews conducted by the researcher with several grade II and grade III, they claim to the process of mathematics learning is more meaningful using PMRI approach compared with learning process they used every day. Students also do not feel afraid and tense during the process of mathematics learning takes place. Learning mathematics is also no longer boring. Students felt happy because of the atmosphere of learning mathematics with PMRI approach like they are playing with their friends.
PENDAHULUAN Orientasi pendidikan di Indonesia pada umumnya mempunyai ciri-ciri cenderung memperlakukan peserta didik berstatus sebagai obyek, guru berfungsi sebagai pemegang otoritas tertinggi keilmuan dan indoktrinator, materi bersifat subject-oriented, dan manajemen bersifat sentralistis. Pendidikan yang demikian menyebabkan praktik pendidikan kita mengisolir diri dari kehidupan riil yang ada di luar sekolah, kurang relevan antara apa yang diajarkan dengan kebutuhan dalam pekerjaan, terlalu terkonsentrasi pada pengembangan intelektual yang tidak berjalan dengan pengembangan individu sebagai satu kesatuan yang utuh dan berkepribadian (Zamroni dalam Hadi, 2000: 1). Hal ini mengidentifikasikan bahwa dalam pembelajaran di sekolah guru masih menggunakan cara-cara tradisional atau konvensional. Pada pembelajaran konvensional atau tradisional
dilihat dari kegiatan siswa selama berlangsungnya pembelajaran bekerja untuk dirinya sendiri, mata ke papan tulis dan penuh perhatian, mendengarkan guru dengan seksama, dan belajar hanya dari guru atau bahan ajar, bekerja sendiri, diam adalah emas, serta hanya guru yang membuat keputusan dan siswa pasif (Stahl, 1994: 19). Tampak bahwa dalam pembelajaran guru lebih berperan sebagai subyek pembelajaran atau pembelajaran yang berpusat pada guru dan siswa sebagai obyek, serta pembelajaran tidak mengkaitkan dengan kehidupan sehari-hari siswa. Akibatnya banyak siswa mampu menyajikan tingkat hafalan yang baik terhadap materi ajar yang diterimanya, tetapi pada kenyataannya mereka tidak memahaminya. Sebagian besar dari mereka tidak mampu menghubungkan antara apa yang mereka
pelajari dengan bagaimana pengetahuan tersebut akan dipergunakan atau dimanfaatkan. Paradigma baru pendidikan menekankan bahwa proses pendidikan formal sistem persekolahan harus memiliki ciri-ciri berikut: pendidikan lebih menekankan pada proses pembelajaran (learning) daripada mengajar (teaching), pendidikan diorganisir dalam suatu struktur yang fleksibel, pendidikan memperlakukan peserta didik sebagai individu yang memiliki karakteristik khusus dan mandiri, dan pendidikan merupakan proses yang berkesinambungan dan senantiasa berinteraksi dengan lingkungan (Zamroni dalam Sutarto Hadi, 2003: 2). Hal tersebut juga tampak dari salah satu terobosan yang dilakukan pemerintah dalam rangka meningkatkan mutu pendidikan nasional dan menghasilkan lulusan yang memiliki keunggulan kompetitif dan komparatif sesuai standar nasional, yaitu Depdiknas melakukan pergeseran paradigma dalam proses pembelajaran, yaitu dari teacher active teaching menjadi student active learning. Maksudnya adalah orientasi pembelajaran yang berpusat pada guru (teacher centered) menjadi pembelajaran yang berpusat pada siswa (student centered). Dalam pembelajaran yang berpusat pada siswa, guru diharapkan dapat berperan sebagai fasilitator yang akan memfasilitasi siswa dalam belajar, dan siswa sendirilah yang harus aktif belajar dari berbagai sumber belajar. Pergeseran paradigma dalam proses pembelajaran ini tampak dengan diberlakukannya kurikulum KTSP, dimana kegiatan pembelajaran pada KTSP ini adalah kegiatan pembelajaran yang berpusat pada peserta didik, mengembangkan kreativitas, kontekstual, menantang dan menyenangkan, menyediakan pengalaman belajar yang beragam, dan belajar melalui berbuat. Hal ini menunjukkan bahwa paradigma baru pendidikan yang diantaranya dengan mulai diberlakukannya KTSP ini, menuntut partisipasi yang tinggi dari siswa dalam kegiatan pembelajaran. Dari uraian diatas, penting bagi seorang guru untuk mengembangkan diri dalam mengelola pembelajaran sehingga dapat meningkatkan perannya membantu siswa sehingga mampu mengkonstruksi sendiri pengetahuan baru melalui belajar bermakna. Apabila tidak terjadi belajar bermakna, yang terjadi pada siswa adalah belajar hafalan, yang hanya akan tersimpan di memori jangka pendek. Selanjutnya siswa sulit untuk mengekspresikan apa yang telah dipelajari. Untuk itu, guru perlu menemukan cara terbaik bagaimana menyampaikan berbagai konsep yang diajarkan di dalam mata pelajaran yang diampunya, sehingga semua siswa dapat menggunakan dan mengingatnya lebih lama konsep tersebut dan bagaimana setiap individual mata pelajaran dipahami sebagai bagian yang saling berhubungan dan membentuk satu pemahaman yang utuh. Bagaimana seorang guru dapat berkomunikasi secara efektif dengan siswanya yang selalu bertanya-tanya tentang alasan dari sesuatu, arti dari sesuatu, dan hubungan dari apa yang
mereka pelajari, serta bagaimana guru dapat membuka wawasan berpikir yang beragam dari siswa, sehingga mereka dapat mempelajari berbagai konsep dan mampu mengkaitkannya dengan kehidupan nyata. Apabila dicermati apa yang dikemukakan paradigma baru pendidikan, terobosan yang telah dilakukan pemerintah, dan terselenggaranya pendidikan yang efektif, menunjukkan bahwa peran aktif siswa dalam pembelajaran merupakan suatu keharusan. Salah satu strategi pembelajaran yang dikembangkan dengan tujuan agar pembelajaran berjalan dengan produktif dan bermakna bagi siswa adalah pendekatan dengan Pendidikan Matematika Realistik Inndonesia (PMRI). Pendidikan Matematika Realistik Indonesia (PMRI) dikembangkan berdasarkan pemikiran Hans Freudenthal yang berpendapat bahwa matematika merupakan aktivitas insani (human activities) dan harus dikaitkan dengan realitas. Berdasarkan pemikiran tersebut, PMRI mempunyai ciri antara lain, bahwa dalam proses pembelajaran siswa harus diberikan kesempatan untuk menemukan kembali (to reinvent) matematika melalui bimbingan guru (Gravemeijer dalam Hadi, 1994), dan bahwa penemuan kembali (reinvention) ide dan konsep matematika tersebut harus dimulai dari penjelajahan berbagai situasi dan persoalan “dunia riil” (de Lange dalam Hadi, 1995). Dunia riil adalah segala sesuatu di luar matematika. Ia bisa berupa mata pelajaran lain selain matematika, atau bidang ilmu yang berbeda dengan matematika, ataupun kehidupan sehari-hari dan lingkungan sekitar kita (Blum & Niss dalam Hadi, 1989). Dunia riil diperlukan untuk mengembangkan situasi kontekstual dalam menyusun materi kurikulum. Materi kurikulum yang berisi rangkaian soal-soal kontekstual akan membantu proses pembelajaran yang bermakna bagi siswa. Dalam PMRI, proses belajar mempunyai peranan penting. Rute belajar (learning route) di mana siswa mampu menemukan sendiri konsep dan ide matematika, harus dipetakan (Gravemeijer dalam Hadi, 1997). Sebagai konsekuensinya, guru harus mampu mengembangkan pengajaran yang interaktif dan memberikan kesempatan kepada siswa untuk memberikan kontribusi terhadap proses belajar mereka. Namun, dewasa ini masih sedikit sekolah yang menerapkan belajar bermakna terlebih pada mata pelajaran matematika. Seperti yang terjadi di kota Bojonegoro, menurut pengamatan penulis mayoritas sekolah di kota ini terutama pada jenjang Sekolah Dasar pembelajaran matematika masih konvensional. Siswa hanya mendengarkan penjelasan guru, dan rumus matematika seolah-olah adalah pelajaran hafalan bukan pemahaman. Penulis mengambil satu sampel sekolah sebagai objek pengamatan, yaitu Sekolah Dasar Negeri 2 Sukorejo, Bojonegoro. Diambil sampel sekolah tersebut karena, sekolah tersebut masih menggunakan model pembelajaran konvensional hampir di setiap mata pelajaran termasuk matematika. Sehingga pembelajaran matematika menjadi kurang bermakna bagi siswa dan cenderung membosankan, akibatnya
ketertarikan siswa pada mata pelajaran matematika menjadi kurang. Pembelajaran konvensional yang dilakukan oleh guruguru di sekolah tersebut pada mata pelajaran matematika mungkin sudah dianggap efektif. Bagi mereka yang penting materi tersampaikan dan siswa mendapat nilai bagus, tanpa memperhatikan tujuan pembelajaran matematika yang sebenarnya yaitu membuat siswa berfikir logis, analitis, sistematis, kritis, dan kreatif. Ada kemungkinan hal ini disebabkan oleh kurangnya pengetahuan guru tentang strategi, pendekatan, atau model pembelajaran yang kini sedang marak dikembangkan temasuk PMRI. Dari uraian di atas, penulis mencoba menerapkan pembelajaran PMRI di Sekolah Dasar Negeri 2 Bojonegoro. TINJAUAN PUSTAKA A. Pendidikan Matematika Realistik Indonesia (PMRI) 1. Landasan Filosofi PMRI Landasan filosofi PMRI adalah RME. RME merupakan teori pembelajaran matematika yang dikembangkan di Belanda. Teori ini berangkat dari pendapat Fruedenthal bahwa matematika merupakan aktivitas insani dan harus dikaitkan dengan realitas. Pembelajaran matematika tidak dapat dipisahkan dari sifat matematika seseorang memecahkan masalah, mencari masalah, dan mengorganisasi atau matematisasi materi pelajaran (Gravemeijer dalam Hadi, 2003: 1). Freudenthal berpendapat bahwa siswa tidak dapat dipandang sebagai penerima pasif matematika yang sudah jadi. Pendidikan matematika harus diarahkan pada penggunaan berbagai situasi dan kesempatan yang memungkinkan siswa menemukan kembali (reinvention) matematika berdasarkan usaha mereka sendiri. Dalam RME dunia nyata digunakan sebagai titik awal untuk pengembangan ide dan konsep matematika. Menurut Blum & Niss, dunia nyata adalah segala sesuatu di luar matematika, seperti mata pelajaran lain selain matematika, atau kehidupan sehari-hari dan lingkungan sekitar kita. Sementara itu, De Lange mendefinisikan dunia nyata sebagai suatu dunia nyata yang kongkret, yang disampaikan kepada siswa melalui aplikasi matematika (Hadi, 2005: 19). Treffers membedakan dua macam matematisasi, yaitu vertikal dan horisontal (Hadi, 2005: 20). RME (Realistic Mathematic Education) merupakan teori pembelajaran matematika yang dikembangakan pertama kali di Belanda, yang sampai saat ini sudah di implementasikan kurang lebih 45 tahun. Di Indonesia RME dikembangakan dan di implementasikan dengan nama PMRI (Pendidikan Matematika Realistik Indonesia), oleh Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi dengan beberapa perguruan tinggi sebagai pemrakarsanya seperti UPI di Bandung, UNESA di Surabaya, USD di Yogyakarta, UNY di Yogyakarta, serta beberapa perguruan tinggi di luar Jawa seperti Palembang dan Kalimantan Selatan.
RME atau PMRI menggabungkan pandangan tentang apa itu matematika, bagaimana siswa belajar matematika, dan bagaimana matematika diajarkan. Matematika tidak sekedar ilmu pengetahuan yang merupaka fakta-fakta yang harus dihafal oleh peserta didik, melainkan matematika dipandang sebagai aktivitas manusia. Peserta didik yang belajar matematika harus melakukan aktivitas untuk membentuk, menemukan, dan memanipulasi dari benda-benda konkrit atau masalah-masalah kontekstual yang lain yang dekat dengan peserta didik yang sedang belajar. Sehingga matematika diajarkan melalui serangkaian aktivitas yang realistic (nyata) yang dapat mengembangkan aktivitas dan kreativitas siswa. 2. Ciri-ciri PMRI Pendidikan Matematika Realistik Indonesia adalah pendekatan pembelajaran yang memiliki ciri-ciri sebagai berikut. a. Menggunakan masalah kontekstual, yaitu matematika dipandang sebagai kegiatan seharihari manusia, sehingga memecahkan masalah kehidupan yang dihadapi atau dialami oleh siswa (masalah kontekstual yang realistik bagi siswa) merupakan bagian yang sangat penting. b. Menggunakan model, yaitu belajar matematika berarti bekerja dengan matematika (alat matematis hasil matematisasi horisontal). c. Menggunakan hasil dan konstruksi siswa sendiri, yaitu siswa diberi kesempatan untuk menemukan konsep-konsep matematis, di bawah bimbingan guru. d. Pembelajaran terfokus pada siswa e. Terjadi interaksi antara murid dan guru, yaitu aktivitas belajar meliputi kegiatan memecahkan masalah kontekstual yang realistik, mengorganisasikan pengalaman matematis, dan mendiskusikan hasil-hasil pemecahan masalah tersebut (Suryanto dan Sugiman, 2003:6). 3. Prinsip PMRI Berkaitan dengan penggunaan masalah kontekstual yang realistik, menurut De Lange (dalam Suryanto dan Sugiman, 2003: 10) ada beberapa prinsip yang perlu diperhatikan, yaitu. a. Titik awal pembelajaran harus benar-benar hal yang realistik, sesuai dengan pengalaman siswa, termasuk cara matematis yang sudah dimiliki oleh siswa, supaya siswa dapat melibatkan dirinya dalam kegiatan belajar secara bermakna. b. Di samping harus realistik bagi siswa, titik awal itu harus dapat dipertanggungjawabkan dari segi tujuan pembelajaran dan urutan belajar. c. Urutan pembelajaran harus memuat bagian yang melibatkan aktivitas yang diharapkan memberikan kesempatan bagi siswa, atau membantu siswa, untuk menciptakan dan menjelaskan model simbolik dari kegiatan matematis informalnya.
d. Untuk melaksanakan ketiga prinsip tersebut, siswa harus terlibat secara interaktif, menjelaskan, dan memberikan alasan pekerjaannya memecahkan masalah kontekstual (solusi yang diperoleh), memahami pekerjaan (solusi) temannya, menjelaskan dalam diskusi kelas sikapnya setuju atau tidak setuju dengan solusi temannya, menanyakan alternatif pemecahan masalah, dan merefleksikan solusi-solusi itu. e. Struktur dan konsep-konsep matematis yang muncul dari pemecahan masalah realistik itu mengarah ke intertwining (pengaitan) antara bagian-bagian materi. 4. Karakteristik PMRI Karakteristik RME merupakan karakteristik PMRI. Van den Heuvel– Panhuizen (dalam Marpaung, 2006: 2), merumuskan karakteristik RME sebagai berikut. a. Prinsip aktivitas, yaitu matematika adalah aktivitas manusia. Si pembelajar harus aktif baik secara mental maupun fisik dalam pembelajaran matematika. b. Prinsip realitas, yaitu pembelajaran seyogyanya dimulai dengan masalah-masalah yang realistik atau dapat dibayangkan oleh siswa. c. Prinsip berjenjang, artinya dalam belajar matematika siswa melewati berbagai jenjang pemahaman, yaitu dari mampu menemukan solusi suatu masalah kontekstual atau realistik secara informal, melalui skematisasi memperoleh pengetahuan tentang hal-hal yang mendasar sampai mampu menemukan solusi suatu masalah matematis secara formal. d. Prinsip jalinan, artinya berbagai aspek atau topik dalam matematika jangan dipandang dan dipelajari sebagai bagian-bagian yang terpisah, tetapi terjalin satu sama lain sehingga siswa dapat melihat hubungan antaramateri-materi itu secara lebih baik. e. Prinsip interaksi, yaitu matematika dipandang sebagai aktivitas sosial. Siswa perlu dan harus diberikan kesempatan menyampaikan strateginya menyelesaikan suatu masalah kepada yang lain untuk ditanggapi, dan menyimak apa yang ditemukan orang lain dan strateginyamenemukan itu sertamenanggapinya. f. Prinsip bimbingan, yaitu siswa perlu diberi kesempatan terbimbing untuk menemukan (reinvent) pengetahuan matematika. 5. Konsepsi PMRI Dikemukakan oleh Hadi (2003: 2) bahwa teori PMRI sejalan dengan teori belajar yang berkembang saat ini, seperti konstruktivisme dan pembelajaran kontekstual (CTL). Namun baik konstruktivisme maupun pembelajaran kontekstual mewakili teori belajar secara umum, sedangkan PMRI suatu teori pembelajaran yang dikembangkan khusus untuk matematika. Juga
telah disebutkan terdahulu, bahwa konsep matematika realistik ini sejalan dengan kebutuhan untuk memperbaiki pendidikan matematika di Indonesia yang didominasi oleh persoalan bagaimana meningkatkan pemahaman siswa tentang matematika dan mengembangkan daya nalar. Lebih lanjut berkaitan dengan konsepsi PMRI ini, Sutarto Hadi mengemukakan beberapa konsepsi PMRI tentang siswa, guru dan pembelajaran yang mempertegas bahwa PMRI sejalan dengan paradigma baru pendidikan, sehingga PMRI pantas untuk dikembangkan di Indonesia. a. Konsepsi PMRI tentang siswa adalah sebagai berikut. 1) Siswa memiliki seperangkat konsep alternatif tentang ide-ide matematika yang mempengaruhi belajar selanjutnya; 2) Siswa memperoleh pengetahuan baru dengan membentuk pengetahuan itu untuk dirinya sendiri; 3) Pembentukan pengetahuan merupakan proses perubahan yang meliputi penambahan, kreasi, modifikasi, penghalusan, penyusunan kembali dan penolakan; 4) Pengetahuan baru yang dibangun oleh siswa untuk dirinya sendiri berasal dari seperangkat ragam pengalaman; 5) Setiap siswa tanpa memandang ras, budaya dan jenis kelamin mampu memahami dan mengerjakan matematik. b. Konsepsi PMRI tentang guru adalah sebagai berikut. 1) Guru hanya sebagai fasilitator dalam pembelajaran; 2) Guru harus mampu membangun pembelajaran yang interaktif; 3) Guru harus memberikan kesempatan kepada siswa untuk secara aktif terlibat pada proses pembelajaran dan secara aktif membantu siswa dalam menafsirkan persoalan riil; dan 4) Guru tidak terpancang pada materi yang ada didalam kurikulum, tetapi aktif mengaitkan kurikulum dengan dunia riil, baik fisikmaupun sosial. c. Konsepsi PMRI tentang pembelajaran Matematika meliputi aspek-aspek berikut. 1) Memulai pembelajaran dengan mengajukan masalah (soal) yang ’riil’ bagi siswa sesuai dengan pengalaman dan tingkat pengetahuannya, sehingga siswa segera terlibat dalam pembelajaran secara bermakna. 2) Permasalahan yang diberikan tentu harus diarahkan sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai dalam pembelajaran tersebut; 3) Siswa mengembangkan atau menciptakan model-model simbolik secara informal terhadap persoalan/permasalahan yang diajukan;
4)
Pembelajaran berlangsung secara interaktif, siswa menjelaskan dan memberikan alasan terhadap jawaban yang diberikannya, memahami jawaban temannya (siswa lain), setuju terhadap jawaban temannya, menyatakan ketidaksetujuan, mencarialternatif penyelesaian yang lain, dan melakukan refleksi terhadap setiap langkah yang ditempuh atau terhadap hasil pembelajaran.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa secara garis besar PMRI adalah suatu teori pembelajaran yang telah dikembangkan khusus untuk matematika. Konsep matematika realistik ini sejalan dengan kebutuhan untuk memperbaiki pendidikan matematika di Indonesia yang didominasi oleh persoalan bagaimana meningkatkan pemahaman siswa tentang matematika dan mengembangkan daya nalar. B. Paradigma Baru Pembelajaran Matematika Menurut Zamroni (2000) dalam Hadi (2003) paradigma baru pendidikan menekankan bahwa proses pendidikan formal sistem persekolahan harus memiliki ciri-ciri sebagai berikut: 1) Pendidikan lebih menekankan pada proses pembelajaran (learning) daripada mengajar (teaching); 2) Pendidikan diorganisir dalam suatu struktur yang fleksibel; 3) Pendidikan memperlakukan peserta didik sebagai individu yang memiliki karakteristik khusus dan mandiri; dan 4) Pendidikan merupakan proses yang berkesinambungan dan senantiasa berinteraksi dengan lingkungan. Pembelajaran matematika harus lebih bermakna, yaitu memberikan bekal yang memadai kepada siswa untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang lebih tinggi dan memasuki dunia kerja. Peserta didik adalah manusia yang mempunyai potensi untuk belajar dan berkembang. Peserta didik harus aktif dalam pencarian dan pengembangan pengetahuan. Guru hanya sebagai fasilisator dan motivator, yang berperan: - Menyediakan pengalaman belajar - Menyediakan atau memberikan kegiatan-kegiatan yang merangsang keingintahuan siswa dan membantu mereka untuk mengekspresikan gagasan-gagasannya dan mengkomunikasikan ide ilmiah mereka - Menyediakan sarana yang merangsang siswa berpikir secara produktif - Menyediakan kesempatan dan pengalaman yang paling mendukung proses belajar siswa - Memonitor, mengevaluasi, dan menunjukkan apakah pemikiran si siswa jalan atau tidak (Suparno, 1997) Sehubungan dengan pendapat tentang pradigma pendidikan baru tersebut, dapat disimpulkan bahwa
dalam proses pembelajaran siswa harus senantiasa diaktifkan dalam menggali pengetahuannya dan pendidikan saat ini harus mengikuti perkembangan zamannya. Dalam pendidikan perlunya penyesuaian dengan kemampuan yang dimiliki anak, dan pendidikan hendaknya tidak semata-mata terjadi di kelas saja. C. Beberapa Teori Belajar Belajar merupakan aktivitas mental yang tidak dapat dilihat dari luar, apa yang terjadi dalam diri seseorang yang sedang belajar tidak dapat diketahui secara langsung hanya dengan mengamati orang yang sedang belajar itu. Menurut Winkel (1991 : 36) belajar adalah suatu aktivitas mental yang berlangsung dalam interaksi aktif antara sesorang dengan lingkungan, dan menghasilkan perubahan-perubahan dalam pengetahuan, keterampilan, dan nilai sikap yang relative konstan dan berbekas. Menurut Nasution (2000: 34) belajar adalah perubahan-perubahan dalam system urat saraf. Belajar adalah pembentukan hubungan-hubungan tertentu dalam siswa urat saraf sebagai respon-respon terhadap stimulus. Belajar adalah mengurangi hambatan (resistance) pada synaptic gaps. Belajar adalah pembentukan saluran-saluran yang lancar dalam sistem urang saraf. Ausubel yang dikutip Suparno (1997: 53) menyatakan bahwa belajar bermakna adalah proses belajar dimana informasi baru dihubungkan dengan struktur pengertian yang telah dipunyai seseorang yang sedang belajar. Belajar bermakna akan terjadi apabila siswa mencoba menghubungkan fenomena baru ke dalam struktur pengetahuan mereka. Menurut Suparno (1997: 61) belajar merupaka proses aktif pelajar mengkonstruksi arti, baik dari teks, dialog, pengalaman fisik, dan lain-lain. Belajar juga merupaka proses mengasimilasi dan mengakomodasi dalam rangka menghubungkan pengalaman atau bahan yang sedang dipelajari dengan pengertian yang telah dipunyai, sehingga pengetahuan itu dikembangkan. Proses tersebut becirikan antara lain: 1) Belajar berarti membentuk makna. Makna diciptakan sendiri oleh siswa dari apa yang mereka lihat, mereka dengar, mereka rasakan, dan mereka alami. Proses konstruksi dipengaruhi oleh pengertian yang telah ia punyai. 2) Belajar merupaka proses mengkonstruksi arti yang berlangsung secara terus menerus setiap kali berhadapan dengan fenomena atau persoalan yang baru. Proses konstruksi it uterus berlangsung, baik secara kuat atau lemah. 3) Belajar bukanlah kegiatan mengumpulkan fakta, melainkan lebih ke suatu pengembangan pemikiran dengan membuat pengertian baru. 4) Proses belajar sebenarnya terjadi pada waktu skema seseorang dalam kerahuan yang merangsang pemikiran lebih lanjut. Situasi ketidakseimbangan tersebut merupakaan situasi yang baik untuk memacu belajar.
5)
6)
Pengalaman belajar dengan dunia fisik dan lilngkungannya dapat mempengaruhi hasil belajar. Kemampuan awal siswa, tujuan pembelajaran, dan motivasi belajar sangat berpengaruh terhadap hasil belajar.
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa belajar adalah aktivitas mental yang berlangsung dalam interaksi seseorang dengan lingkungan dan aktivitas itu merupakan proses aktif dalam mengkonstruksi arti, baik dari teks, dialog, pengalaman fisik, dan lain-lain sehingga terjadi perubahan-perubahan dalam sistem urat saraf. PEMBAHASAN Penerapan Pembelajaran PMRI di SDN Sukorejo 2 Bojonegoro Contoh 1: Pembelajaran Pengukuran di Kelas III semester 2 Kompetensi Dasar (KD): ”Menghitung luas persegi dan persegi panjang”. KD ini dapat dibuat dalam dua rancangan kegiatan pembelajaran, yaitu: (1) menghitung luas persegi panjang; dan (2) menghitung luas persegi. Dalam contoh akan diambil rancangan kegiatan yang pertama yaitu ’menghitung luas persegi panjang’. Konsep luas ini, akan dibangun melalui beberapa hal, yaitu sebagai berikut. a. Mengaitkan konsep luas dengan bentukbentuk tak beraturan disekitar siswa; b. Penggunaan berbagai strategi dalam menyelesaikan soal-soal kontekstual; c. Menggunakan berbagai satuan pengukuran sebagai suatu strategi perhitungan; d. Menggunakan kertas berpetak sebagai model; e. Membingkai suatu bangun dengan persegi panjang; f. Menemukan rumus luas persegi panjang; dan g. Menentukan atau menghitung luas persegi panjang dengan rumus. Maka dari dua KD di atas, diambil KD yang pertama yaitu pada rencana pembelajaran “menghitung luas persegi panjang” dapat ditentukan indikator pencapaiannya yaitu sebagai berikut. (1) Menyelesaikan permasalahan yang berkaitan dengan luas persegi panjang (2) Menghitung luas persegi panjang dengan ukuran tidak baku (3) Menyebutkan pengertian luas dari suatu suatu daerah atau bangun datar (4) Menemukan rumus luas persegi panjang (5) Menentukan atau menghitung luas bangun berbentuk persegi panjang Penulis hanya mengambil dua indikator terakhir untuk dicoba diterapkan pada siswa SDN Sukorejo 2, Bojonegoro yaitu: Menemukan rumus luas persegi panjang dan menentukan atau menghitung luas
persegi panjang. Kemudian penulis mencoba menginterview guru kelas yang bersangkutan. Dan pembelajaran yang biasa dilakukan oleh guru kelas tersebut adalah seperti yang akan dijelaskan di bawah ini. • Pembelajaran yang biasa dilakukan oleh guru kelas SDN Sukorejo 2 Bojonegoro adalah: Guru memulai pembelajaran menemukan rumus luas persegi panjang dengan menggambar atau memperlihatkan gambar di papan tulis kemudian memberikan penjelasan kepada siswanya bagaimana menemukan rumus persegi panjang, seperti contoh berikut. lebar
lebar panjang (Alternatif 1)
panjang (Alternatif 1)
Langkah-1 Dengan menunjukkan gambar persegi panjang alternatif-1, guru memberikan penjelasan pada siswa bahwa: ”Luas persegi panjang dapat ditentukan dengan menghitung banyaknya persegi satuan yang ada dalam persegi panjang tersebut”.
Langkah-2 Guru menanyakan kepada siswa: ” Berapa banyak persegi satuan yang ada dalam persegi panjang?”. Dengan bahasa dan komunikasi guru dengan siswa, maka didapat jawaban siswa bahwa: ”Luas persegi panjang = 24 satuan luas”. Langkah-3 Guru memberi penjelasan pada siswa bahwa: ” Luas persegi panjang dapat diperoleh dengan mengalikan panjang dan lebarnya atau Luas = panjang x lebar”. • Sedangkan penulis mencoba menerapkan pembelajaran matematika pada KD yang sama dengan pendekatan PMRI, yaitu: Penulis memulai pembelajaran menemukan rumus luas persegi panjang dengan memberikan masalah kontekstual pada siswa untuk diselesaikan secara bekelompok. Satu kelas dibagi menjadi 4 kelompok. Proses pembelajaran dijelaskan sebagai berikut. Langkah-1 Siswa diajak menghitung luas lantai yang dibatasi dengan tali membentuk persegi panjang dengan menghitung banyaknya ubin yang dbatasi oleh tali. Langkah-2 Penulis menggambarkan persegi panjang yang di lantai pada papan tulis. Selanjutnya siswa disuruh menghitung luas persegi panjang apabila 1 ubin merupakan satu satuan luas.
maka
Langkah-3 Penulis memberikan kebebasan pada siswa untuk menyelesaikan masalah dengan caranya sendiri untuk mendapatkan luas persegi panjang. Kemudian penulis meminta masing-masing kelompok untuk menuliskan jawabannya di papan tulis dan sekaligus mengkomunikasikan dengan kelompok lain dari mana jawaban tersebut diperoleh atau alasannya mendapatkan jawaban tersebut. Maka alternatif jawaban siswa adalah sebagai berikut. Kelompok 1 memberikan alternatif jawaban sebagai berikut. (Alternatif 1) Dengan membilang satu persatu persegi satuan, maka diperoleh jawaban siswa: Luas = 28 satuan luas Kelompok 2 memberikan alternatif jawaban sebagai berikut. (Alternatif 2) Dengan menjumlah persegi satuan pada tiap-tiap kolom, maka diperoleh jawaban siswa: Luas = (4 + 4 + 4 + 4 + 4 + 4 + 4) satuan luas = 28 satuan luas Kelompok 3 memberikan alternatif jawaban sebagai berikut. (Alternatif 3) Dengan menjumlah persegi satuan pada tiap-tiap baris, maka diperoleh jawaban siswa: Luas = (7 + 7 + 7 + 7) satuan = 28 satuan luas Luas = 4 x 7 = 28 satuan luas (7nya ada 4 dituliskan 4x7 dan 28 diperoleh dari hasil perhitungan banyaknya persegi satuan pada persegi panjang) Kelompok 4 memberikan alternatif jawaban sebagai berikut. (Alternatif 4) Dengan langsung mengalikan banyaknya kolom dan baris atau mengalikan baris dan kolom, maka diperoleh jawaban siswa: Luas = 7 x 4 = 28 satuan luas atau Luas = 4 x 7 = 28 satuan luas. Langkah-4 Bertitik tolak dari jawaban siswa (jawaban alternatif 1, 2 dan 3), penulis mengajak siswa menemukan rumus luas persegi panjang, seperti berikut ini.
lebar
panjang Luas = 28 satuan luas, diperoleh dari mengalikan banyaknya satuan panjang dengan satuan lebar,
diperoleh rumus luas persegi panjang adalah: Luas = panjang x lebar = p x l Kemudian penulis mencoba menerapkan pembelajaran dengan pendekatan PMRI di kelas II Contoh 2: Pembelajaran Bilangan di Kelas II Semester 2 Kompetensi Dasar (KD): ”Melakukan perkalian bilangan yang hasilnya bilangan dua angka”. Untuk mencapai KD ini, indikator yang dapat dituliskan guru antara lain sebagai berikut. (1) Mengubah bentuk penjumlahan berulang kedalam bentuk perkalian. (2) Mengubah bentuk perkalian ke dalam bentuk penjumlahan berulang. (3) Menentukan hasil perkalian bilangan yang hasilnya bilangan dua angka. (4) Menyelesaikan permasalahan sehari-hari yang berkaitan dengan perkalian. Berikut akan di jelaskan proses pembelajaran pada indikator ketiga yang biasa dilakukan guru kelas di SDN Sukorejo 2 (melalui interview penulis dengan guru kelas yang bersangkutan) dan proses pembelajaran dengan pendekatan PMRI yang penulis coba terapkan. • Pembelajaran yang biasa dilakukan oleh guru kelas SDN Sukorejo 2 Bojonegoro adalah: Langkah-1 Guru menuliskan kalimat penjumlahan di papan tulis, contoh: 5+5+5 = ..... Guru menanyakan pada siswa: ”Berapa kali bilangan 5 dituliskan? Jawaban siswa: 3 kali”. Guru kemudian akan melanjutkan: ”Jadi penjumlahan tersebut dapat ditulis dalam kalimat perkalian: 3x5, jadi 3x5 = 5+5+5=12”. Selanjutnya guru menuliskan kembali di papan tulis bentuk penjumlahan berulang dan bertanya pada siswa: ” 5+5+5+5 = ......, dapatkah kalian menuliskan penjumlahan ini sebagai perkalian?”. Kalau tidak ada siswa yang dapat menjawab guru kembali menanyakan pada siswa: ”Berapa kali bilangan 5 tuliskan?”. Maka siswa akan menjawab 4, guru melanjutkan dengan memberi pernyataan: ”Kalau begitu dapat ditulis 4x5, artinya 4x5 = 5+5+5+5 = 20. Langkah-2 Guru memberikan beberapa soal pada siswa untuk menuliskan penjumlahan berulang kedalam bentuk perkalian. • Sedangkan penulis mencoba menerapkan pembelajaran matematika pada indikator ketiga tersebut dengan pendekatan PMRI, yaitu: Penulis memulai pembelajaran perkalian bilangan yang hasilnya bilangan 2 angka dengan menggunakan permasalahan sehari-hari yang
Untuk alternatif semua jawaban yang benar seperti jawaban di atas maka penulis membenarkan semua jawaban, kemudian penulis memberi kesempatan berpikir siswa dari semua alternatif jawaban yang benar, jawaban mana yang paling mudah dan gampang dikerjakan. Penulis perlu mendengarkan jawaban siswa dan memberikan gambaran pada siswa yang bisa menjadi pertimbangan pada siswa, seperti dijalaskan di bawah ini: ”Andaikan kita disuruh menghitung banyaknya kaki yang dimiliki 15 ekor sapi, apakah kita harus menghitung satu persatu kaki sapi yang ada? sambil menunjuk jawaban alternatif-1) atau kita harus menjumlahkan kaki yang dimiliki masingmasing sapi? Bagaimana dengan jawaban pada alternatif-2?”, kemudian masalah diperluas: ”Bagaimana kalau kita disuruh menghitung puluhan atau ribuan sapi?”. Nah tentunya untuk mempermudah kita menghitungnya kita perlu mencari cara yang paling mudah, yaitu dengan mengubah kalimat penjumlahan kedalam bentuk perkalian (ini merupakan cara membawa siswa dari matematika horisontal kepada matematika vertikalnya).
dikenal siswa atau permasalahan kontekstual. Sebelum hal itu dilakukan siswa dalam satu kelas dibagi menjadi 4 kelompok. Lebih jelasnya proses pembelajaran akan dipaparkan di bawah ini: Langkah-1 Penulis menanyakan pada siswa:” apakah kalian sudah pernah melihat sapi?”, siswa menjawab sudah, penulis menanyakan pada siswa: ”berapa kaki yang dimiliki sapi?”, maka jawaban siswa adalah sapi memiliki 4 buah kaki. Selanjutnya diberikan permasalahan yang harus diselesaikan siswa secara berkelompok, yaitu: ”Ada berapa buah kaki yang ada atau dimiliki pada 4 ekor sapi?” Langkah-2 Disiapkan beberapa alat peraga, yaitu sedotan minuman, lidi, manik-manik, dan batu kerikil yang dibagikan ke masing-masing kelompok. Kelompok 1 mendapat alat peraga sedotan minuman, kelompok 2 mendapat alat peraga lidi, kelompok 3 mendapat alat peraga manik-manik, dan kelompok 4 mendapat alat peraga batu kerilkil. Adanya alat peraga tersebut adalah untuk membantu siswa menyelesaikan masalah dengan caranya sendiri. Penulis meminta masing-masing kelompok untuk menuliskan jawaban dengan memberikan alasan diperolehnya jawaban dengan mengkomunikasikan dengan siswa yang lain. Sapi sesungguhnya
Gambar sapi atau Kartu bergambar Adalah semi konkrit
Alternatif jawaban siswa sebagai berikut. Kelompok 1 dan 2 memberikan alternatif jawaban sebagai berikut. (Alternatif 1) Siswa membilang satu persatu kaki yang dimiliki 4 ekor sapi, diperagakan dengan menggunakan sedotan minuman dan lidi. Peragaan yang dilakukan siswa ini merupakan kegiatan semi abstrak seperti contoh berikut.
= 16 buah
= 16 buah
Kelompok 3 dan 4 memberikan alternatif jawaban sebagai berikut. (Alternatif 2) Siswa pada kelompok 3 dan 4 tidak menggunakan alat peraga yang diberikan, tetapi mereka langsung melihat gambar sapi dan satu sapi langsung dihitung kakinya ada 4 tanpa bantuan alat peraga. 4 + 4 + 4 + 4 = 4 x 4 =16 Jawaban siswa ini merupakan jawaban formal yang merupakan definisi matematika. Langkah-3 Penulis menyikapi jawaban siswa.
Langkah-4 Bertitik tolak dari jawaban siswa (jawaban alternatif-1 dan 2), siswa diajak untuk bagaimana mengubah bentuk penjumlahan berulang kedalam Sapi bentuk perkalian seperti berikut ini.
Gambar sapi atau kartu bergambar PENUTUP adalah semi konkrit Formal 4 sesungguhnya + 4 + 4 + 4 = 4 x 4 =16
Definisi matematika
A. Kesimpulan Dari pembahasan di atas, dapat diketahui bahwa siswa SDN Sukorejo 2 Bojonegoro ternyata mampu untuk diajak belajar dengan pendekatan PMRI. Siswa terlihat lebih antusias dan bersemangat pada saat proses pembelajaran dengan pendekatan PMRI tersebut. Alternatif jawaban yang diberikan siswa juga beragam dan semuanya benar. Selain itu dari hasil wawancara penulis dengan beberapa siswa kelas II maupun kelas III, mereka mengaku proses pembelajaran matematika dengan pendekatan PMRI lebih bermakna dibandingkan seperti proses pembelajaran matematika yang biasa mereka lakukan sehari-hari. Siswa juga tidak merasa takut dan tegang pada saat proses pembelajaran matematika berlangsung. Pembelajaran matematika juga tidak lagi membosankan. Siswa justru merasa senang karena suasana pembelajaran matematika dengan pendekatan PMRI seperti layaknya mereka bermain bersama teman mereka. B.
Saran Guru seharusnya lebih inovatif dalam proses pembelajaran matematika, dan salah satunya adalah dengan melakukan pembelajaran matematika dengan pendekatan PMRI. Karena PMRI adalah pendekatan dimana siswa dan guru
akan menjadi aktif dalam pembelajaran, siswa juga akan belajar untuk mengkonstruksi sendiri suatu konsep, dan tentunya proses pembelajaran lebih menyenangkan. Sehingga pembelajaran matematika dengan pendekatan PMRI diharapkan prestasi belajar matematika siswa menjadi lebih baik. DAFTAR RUJUKAN Ausubel . 1968. Educational Psychology A Cognitive View. New York: Rinerket and Winson . Hadi, Sutarto. 2003. PMR: Menjadikan Pelajaran Matematika Lebih Bermakna Bagi Siswa. Makalah disampaikan pada Seminar Nasional Pendidikan Matematika di Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta, 27 – 28 Maret 2003. Available on line at: http://www.pmri.or.id/paper/index.php?main= 1. Hadi, Sutarto. 2003. Paradigma Baru Pendidikan Matematika. Makalah disajikan pada
pertemuan Forum Komunikasi Sekolah Inovasi Kalimantan Selatan, di Rantau Kabupaten Tapin, 30 April 2003. Available on line at: http://www.pmri.or.id/paper/index.php?main= 3. Marpaung, Y. 2006. Pembelajaran Matematika dengan Model PMRI (Makalah yang disampaikan pada seminar dan lokakarya pembelajaran matematika). Yogyakarta: PPPG Matematika. Sutarto, Hadi. 2005. Pendidikan Matematika Realistik dan Implementasinya. Banjarmasin: Penerbit Tulip. Suryanto & Sugiman. 2001. Pendidikan Matematika Realistik (Disampaikan pada seminar Pendekatan realistik dan sani dalam Pendidikan Matematika di Indonesia). Yogyakarta: Universitas Sanata Dharma.