Implementasi Kebijakan Publik (Tinjauan UU No 17 Tahun 2003 Tentang Penataan dan Pemberdayaan PKL di Kota Surabaya)
Oleh: Aminullah Dosen Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Politik Universitas Yudharta Pasuruan
Pendahuluan Dari sejumlah daerah Propinsi atau Kabupaten dan Kota memang tidak ada satupun Kabupaten/kota di Indonesia ini yang tidak mempunyai PKL, khususnya Kota Surabaya sebagai kota terbesar kedua di Indonesia. Surabaya merupakan kota terbesar kedua setelah Jakarta yang memiliki penduduk hampir tiga juta jiwa. Kota ini memiliki berbagai potensi yang dapat menarik pendatang dari daerah sekitar maupun kota lain. Hal ini dibuktikan dengan bertambahnya jumlah penduduk yang meningkat pada tahun 2000 yaitu sebanyak 63.081 jiwa dan terus meningkat pada tahun-tahun berikutnya. Sebagai kota metropolitan yang memiliki pelabuhan Tanjung perak, bandara internasional Juanda, Stasiun kereta api Gubeng, pasar Turi dan terminal Purabaya, kota ini memang layak disebut sebagai salah satu gerbang perdagangan utama di wilayah Indonesia timur. Banyaknya jumlah pendatang dari luar kota Surabaya yang tidak diimbangi dengan jumlah lapangan pekerjaan yang memadai menyebabkan masalah kota di Surabaya bertambah, selain itu krisis ekonomi dan moneter juga menyebabkan kelumpuhan ekonomi nasional terutama pada sektor riil yang berakibat terjadinya PHK secara besar- besaran dari perusahaan swasta nasional. Hal ini mengakibatkan munculnya pengangguran dikota – kota besar termasuk kota Surabaya.
Sulitnya perekonomian yang dialami masyarakat membuat mereka memilih suatu alternatif usaha di sektor informal dengan modal yang relatif kecil untuk menunjang kebutuhannya. Salah satu usaha disektor informal dengan modal relatif kecil adalah menjadi pedagang kaki lima.Dari tahun ke tahun jumlah PKL di Suabaya terus bertambah. Menurut data Dinas Koperasi dan Sektor Informal kota Surabaya Ismanu tahun 2004 diSurabaya ada 15 000 PKL yang berada di 465 titik. Adapun tahun 2005 jumlah PKL mencapai 18 000 dan berada di 615 titik. Dikawasan jalan pahlawan misalnya kehadiran PKL menempati separuh badan jalan sehingga sangat menganggu ketertiban lalu lintas. Gangguan pada prasarana jalan tersebut menimbulkan kesemerawutan dan kemacetan kota. Oleh karenanya, pemerintah mengalami kesulitan dalam penataan dan pemberdayaan guna mewujudkan kota yang bersih dan rapi. Di samping itu PKL sebagai bagian dari usaha sektor informal memiliki potensi untuk menciptakan dan memperluas lapangan kerja yang kurang memiliki kemampuan dan keahlian yang memadai serta rendahnya tingkat pendidikan. Karena semakin kompleknya permasalahan ditambah semakin mendesaknya kebutuhan, menciptakan lapangan kerja serba cepat dan instan serta PKL adalah cara yang dianggap paling tepat. Dengan modal seadanya untuk mendapatkan barang dagangan
57
yang dinilai cepat laku, kemudian dijual dengan untung yang tidak terlalu besar. Banyak orang berpikir bahwa menggeluti PKL adalah suatu pekerjaan hina. Namun tidak semuanya benar, Sebab banyak orang sukses diawali dari profesi PKL. Kegiatan PKL dianggap sebagai proses menciptakan diri mandiri di bidang ekonomi dan meningkatkan skill berdagang. Semakin bertambahnya jumlah PKL yang kurang terkendali, dirasa perlu dilakukan konsep penataan PKL yang efektif guna menjaga keindahan kota. Dimulai dari mengidentifikasi karakteristik PKL, mengidentifikasi perwatakan fisik PKL, kemudian dilanjutkan dengan strategi penataan PKL. Pemerintah Kota Surabaya dalam hal ini yang menjadi payung Keamanan dan Ketertiban Masyarakat Suarabaya secara umum khususnya PKL yang berada di kota Surabaya telah mengeluarkan suatu bentuk Perda No 17 Tahun 2003 yang secara umum mengatur dan menata keberadaan dan berupaya untuk menjamin keberlangsungan PKL. Dengan adanya Perda yang dikeluarkan oleh Pemkot Surabaya itu diharapkan PKL bisa merasa terlindungi dan ada jaminan keberlangsungannya.
2. Bagaimanakah alternatif solusi Penanganan PKL di Kota Surabaya Pembahasan 1. Kondisi Umum Keberadaan PKL di Surabaya a. Keberadaan Pedagang Kaki Lima
PKL umumnya adalah self employed artinya mayoritas pedagang kaki lima hanya terdiri dari satu tenaga kerja. Modal yang digunakan relative tidak terlalu besar dan terbagi atas modal tetap berupa peralatan dan modal kerja. Dana tersebut jarang sekali dipenuhi dari lembaga keuangan resmi, biasanya berasal dari sumber dana illegal atau supplier yang memasok barang dagangan. Sedangkan sumber dana tabungan pribadi sangat sedikit. Ini berarti hanya sedikit dari mereka yang dapat menyisihkan hasil usahanya dikarenakan rendahnya tingkat keuntungan dan cara pengelolaan uang sehingga kemungkinan untuk mengadakan inventaris modal maupun eksplorasi usaha sangat kecil (Hidayat, 1978 ). Kegiatan pedagang kaki lima yang merupakan usaha perdagangan sector informal perlu diberdayakan guna menunjang pertumbuhan ekonomi masyarakat dan sekaligus salah satu pilihan dalam menyediakan barang dagangan yang di butuhkan oleh masyarakat dengan harga yang relatif murah. Keberadaan pedagang kaki lima bagi masyarakat Surabaya sangat penting sebagai penyediaan barang dagangan yang dibutuhkan oleh
Rumusan Masalah Dari penjabaran diatas perlu ada
sebuah tolak ukur untuk megetahui Implementasi Perda tentang PKL. Penulis berusaha membidik tinjauan dengan beberapa rumusan masalah berikut: 1. Tinjauan Konsep Implementasi Kebijakan terhadapa Perda No 17 Tahun 2003
58
masyarakat Surabaya. Pedangan kaki lima sangat mempengaruhi pola pasar dan sosial di Surabaya. Pengaruhnya meliputi ekonomi, sosial-budaya dan kebijakan yang diberlakukan oleh pemkot Surabaya. Dalam bidang perekonomian pedagang kaki lima hanya berpengaruh sebagai produsen yang penting bagi masyarakat Surabaya mengingat akan banyaknya manyarakat menengah maupun menengah ke bawah. Mereka lebih memilih membeli pada pedagang kaki lima hanya daripada membeli di supermarket, mal atau grosir maupun indogrosir yang banyak tersebar di kota Suarabaya, dikarenakan harga yang mereka tawarkan lebih rendah. Pedagang kaki lima telah menjadi mata pencaharian utama sebagian warga Surabaya. Sehingga pedagang kaki lima telah menjadi salah satu system yang tidak dapat dipinggirkan masalahnya oleh pemerintah kota Surabaya.
1000 rupiah perhari dengan alasan untuk kebersihan lokasi. Padahal modal yang dimiliki oleh pedagang kaki lima hanya relatif tidak terlalu besar, dan terbagi atas modal tetap dan modal kerja saja. Karena modal yang dimiliki relatif kecil. mereka tidak dapat melakukan ekspansi usaha yang lebih lanjut. oleh karena itu keterbatasan modal tersebut memberikan ruang gerak yang sangat sempit bagi pkl dalam menjalankan usahanya sehingga keuntungan yang diperoleh juga tidak terlalu besar. c. Lokasi pedagang kaki lima
Lokasi pedagang kaki lima hanya sangat berpengaruh terhadap perkembangan dan kelangsungan usaha para pedagang kaki lima , yang pada gilirannya akan mempengaruhi pula jumlah penjualan dan tingkat keuntungan. Dengan kata lain, kesulitan yang dihadapi oleh para pedagang kaki lima hanya berkisar antara peraturan pemkot Surabaya mengenai penataan pedagang kaki lima hanya yang belum bersifat membangun atau kontruktif. Selama ini lokasi yang menjadi pilihan bagi pedagang kaki lima adalah daerah fasilitas umum padahal tempat tersebut telah dilarang oleh pemkot Surabaya sehingga sering terjadi konflik antara pihak pedagang kaki lima dengan pihak pemkot Surabaya. Pada dasarnya suatu kegiatan sector informal yakni pedagang kaki lima harus memiliki lokasi yang tepat agar dapat memperoleh keuntungan yang maksimal. Richardson ( 1991) berpendapat bahwa penentuan lokasi
b. Persoalan yang dihadapi Pedagang kaki lima
Persoalan pedagang kaki lima hanya merupakan persoalan structural yang berkaitan dengan persoalan sosial lainnya. Penanganan persoalan pedagang kaki lima hanya yang dilakukan secara parsial bisa memunculkan persoalan baru yang lebih rumit. Adapun persoalan yang dihadapi oleh pkl adalah: Adanya pungutan Biaya oleh POl PP Setiap pedagang kaki lima yang berjualan di Kota Surabaya dikenakan pungutan biaya sebesar Rp 59
yang memaksimumkan penerimaan bila memnuhi criteria pokok:
Surabaya. Selain itu jangka waktu yang ditentukan sangat pendek mengingat setiap pengurusan TDU seorang pedagang kaki lima harus mengeluarkan biaya sebesar Rp 100 000 (menurut Bpk Yudi, penjual soto Lamongan)
1. Tempat yang memberi kemungkinan pertumbuhan jangka panjang yang menghasilkan keuntungan yang layak 2. tempat yang luas lingkupnya untuk kemungkinan perluasan unit produksi
Akan tetapi lokasi yang memungkinkan untuk hal tersebut tidak memungkinkan tercapai secara maksimal mengingat lokasi yang disediakan kurang memenuhi criteria tersebut
e. Penggusuran
Penggusuran terhadap pedagang kaki lima bukan berita yang mengejutkan lagi, hampir setiap minggu pemerintah kota mengadakan penertiban bagi pedagang kaki lima, seperti tanggal 18 januari lalu, Satpol PP Surabaya menggusur pedagang kaki lima di Jalan pucang anom, kecamatan gubeng. Menurut camat Gubeng, Zaenal Arifin keberadaan pedagang kaki lima di trotoar jalan mengganggu pejalan kaki (Kompas Jatim, 19/01/07). Selain itu penertiban juga dilakukan oleh Satpol PP di jalan-jalan utama diantaranya jalan panglima sudirman, jalan Diponegoro dan jalan Arjuno (Metronews. Com), padahal tempat tersebut merupakan penghidupan bagi mereka untuk berjualan yang dianggap dapat memperoleh keuntungan yang lebih besar dibanding dengan berjualan di tempat yang lain.
d. Identitas dagang pedagang kaki lima
Identitas dagang pedagang kaki lima yang masih kurang jelas, dikarenakan adanya ketidakpedulian para pedagang kaki lima terhadap pengakuan dagang mereka sehingga tidak adanya kekuatan hukum yang mengikat. Selain itu para pkl yang tidak memiliki identitas dagang yang dibuktikan dengan kepemilikan TDU atau tanda daftar usaha, sering kali dikatakan sebagai pedagang kaki lima liar dan mereka sering digusur oleh satpol PP karena tidak memiliki tanda daftar usaha tersebut. Adanya TDU yang ditentukan oleh pemkot Surabaya dianggap menyulitkan pedagang kaki lima. Hal ini dikarenakan syarat untuk memiliki TDU harus melampirkan Kartu Tanda Penduduk (KTP) Surabaya serta jangka waktu TDU hanya 6 bulan. Syarat tersebut memberikan ruang gerak yang sempit bagi pedagang kaki lima yang berasal dari luar kota Surabaya, Padahal pedagang kaki lima kebanyakan berasal dari luar kota
Landasan Teori Kebijakan Implementasi Kebijakan Publik Grindle (1980: 7) menyatakan, implementasi merupakan proses umum tindakan administratif yang dapat diteliti pada tingkat program tertentu. Sedangkan Van Meter dan Horn (Wibawa, dkk., 1994: 15) 60
menyatakan bahwa implementasi kebijakan merupakan tindakan yang dilakukan oleh pemerintah dan swasta baik secara individu maupun secara kelompok yang dimaksudkan untuk mencapai tujuan. Grindle (1980: 7) menambahkan bahwa proses implementasi baru akan dimulai apabila tujuan dan sasaran telah ditetapkan, program kegiatan telah tersusun dan dana telah siap dan telah disalurkan untuk mencapai sasaran. Implementasi kebijakan menghubungkan antara tujuan kebijakan dan realisasinya dengan hasil kegiatan pemerintah. Hal ini sesuai dengan pandangan Van Meter dan Horn (Grindle, 1980: 6) bahwa tugas implementasi adalah membangun jaringan yang memungkinkan tujuan kebijakan publik direalisasikan melalui aktivitas instansi pemerintah yang melibatkan berbagai pihak yang berkepentingan (policy stakeholders). Implementasi kebijakan publik dapat dilihat dari beberapa perspektif atau pendekatan. Salah satunya ialah implementation problems approach yang diperkenalkan oleh Edwards III (1984: 9-10). Edwards III mengajukan pendekatan masalah implementasi dengan terlebih dahulu mengemukakan dua pertanyaan pokok, yakni: (i) faktor apa yang mendukung keberhasilan implementasi kebijakan? dan (ii) faktor apa yang menghambat keberhasilan implementasi kebijakan? Berdasarkan kedua pertanyaan tersebut
dirumuskan empat faktor yang merupakan syarat utama keberhasilan proses implementasi, yakni komunikasi, sumber daya, sikap birokrasi atau pelaksana dan struktur organisasi, termasuk tata aliran kerja birokrasi.Empat faktor tersebut menjadi kriteria penting dalam implementasi suatu kebijakan. Komunikasi suatu program hanya dapat dilaksanakan dengan baik apabila jelas bagi para pelaksana. Hal ini menyangkut proses penyampaian informasi, kejelasan informasi dan konsistensi informasi yang disampaikan. Sumber daya, meliputi empat komponen yaitu staf yang cukup (jumlah dan mutu), informasi yang dibutuhkan guna pengambilan keputusan, kewenangan yang cukup guna melaksanakan tugas atau tanggung jawab dan fasilitas yang dibutuhkan dalam pelaksanaan. Disposisi atau sikap pelaksana merupakan komitmen pelaksana terhadap program. Struktur birokrasi didasarkan pada standard operating prosedure yang mengatur tata aliran pekerjaan dan pelaksanaan kebijakan. Untuk memperlancar implementasi kebijakan, perlu dilakukan diseminasi dengan baik. Syarat pengelolaan diseminasi kebijakan ada empat, yakni: (1) adanya respek anggota masyarakat terhadap otoritas pemerintah untuk menjelaskan perlunya secara moral mematuhi undang-undang yang dibuat oleh pihak berwenang; (2) adanya kesadaran untuk menerima kebijakan. 61
Kesadaran dan kemauan menerima dan melaksanakan kebijakan terwujud manakala kebijakan dianggap logis; (3) keyakinan bahwa kebijakan dibuat secara sah; (4) awalnya suatu kebijakan dianggap kontroversial, namun dengan berjalannya waktu maka kebijakan tersebut dianggap sebagai sesuatu yang wajar. Menurut Mazmanian dan Sabatier (1983: 5), terdapat dua perspektif dalam analisis implementasi, yaitu perspektif administrasi publik dan perspektif ilmu politik. Menurut perspektif administrasi publik, implementasi pada awalnya dilihat sebagai pelaksanaan kebijakan secara tepat dan efisien. Namun, pada akhir Perang Dunia II berbagai penelitian administrasi negara menunjukkan bahwa ternyata agen administrasi publik tidak hanya dipengaruhi oleh mandat resmi, tetapi juga oleh tekanan dari kelompok kepentingan, anggota lembaga legislatif dan berbagai faktor dalam lingkungan politis. Ripley memperkenalkan pendekatan “kepatuhan” dan pendekatan “faktual” dalam implementasi kabijakan (Ripley & Franklin, 1986: 11). Pendekatan kepatuhan muncul dalam literatur administrasi publik. Pendekatan ini memusatkan perhatian pada tingkat kepatuhan agen atau individu bawahan terhadap agen atau individu atasan. Perspektif kepatuhan merupakan analisis karakter dan kualitas perilaku organisasi. Menurut
Ripley, paling tidak terdapat dua kekurangan perspektif kepatuhan, yakni: (1) banyak faktor non-birokratis yang berpengaruh tetapi justru kurang diperhatikan, dan (2) adanya program yang tidak didesain dengan baik. Perspektif kedua adalah perspektif faktual yang berasumsi bahwa terdapat banyak faktor yang mempengaruhi proses implementasi kebijakan yang mengharuskan implementor agar lebih leluasa mengadakan penyesuaian. Kedua perspektif tersebut tidak kontradiktif, tetapi saling melengkapi satu sama lain. Secara empirik, perspektif kepatuhan mulai mengakui adanya faktor eksternal organisasi yang juga mempengaruhi kinerja agen administratif. Kecenderungan itu sama sekali tidak bertentangan dengan perspektif faktual yang juga memfokuskan perhatian pada berbagai faktor non-organisasional yang mempengaruhi implementasi kebijakan (Grindle, 1980: 7). Berdasarkan pendekatan kepatuhan dan pendekatan faktual dapat dinyatakan bahwa keberhasilan kebijakan sangat ditentukan oleh tahap implementasi dan keberhasilan proses implementasi ditentukan oleh kemampuan implementor, yaitu: (1) kepatuhan implementor mengikuti apa yang diperintahkan oleh atasan, dan (2) kemampuan implementor melakukan apa yang dianggap tepat sebagai keputusan pribadi dalam menghadapi pengaruh eksternal dan
62
faktor non-organisasional, pendekatan faktual.
atau
keberagaman berbagai nilai-nilai publik. Dalam hal sosial budaya pedagang kaki lima hanya telah mendominasi kota Surabaya tanpa terpengaruh banyaknya bangunan plaza-plaza maupun indogrosir yang telah ada maupun yang akan dibangun. Kita dapat melihat dan memperhatikannya dengan banyaknya bangunan tersebut yang ramai oleh pembeli. Namun para pembeli cenderung kepada pedagang kaki lima (pasar tradisional) yang justru lebih ramai. Sosio-kultural dan ikatan antar warga dengan pedagang kaki lima hanya sangat kuat seperti halnya dengan ikatan keluarga atau saudara sehingga terbentuklah suatu paguyuban pedagang kaki lima hanya. Pedagang kaki lima hanya yang berada dalam naungan paguyupan pada umumnya telah mentaati peraturan yang di buat oleh pemerintah kota Surabaya. Hal ini dapat dibuktikan dengan:
Tinjauan Konsep Implementasi Kebijakan Publik terhadap Perda No 17 Tahun 2003 di Kota Surabaya Istilah kebijakan seringkali penggunaanya saling dengan istilahistilah lain seperti tujuan (goals), program, keputusan, undang-undang, ketentuan dan Usulan-usulan. Bagi para pembuat kebijakan (policy makers) istilah tersebut tidaklah menimbulkan masalah apapun karena pemahaman mereka tentu berada pada titik yang sama, akan tetapi bagi orang-orang yang berada diluar struktur pengambil keputusan istilah tersebut akan membingungkan. Meskipun demikian pada substansi tujuan kebijakan publik tersebut mengarah pada suatu wujud tindakan pemerintah atau institusi lainya yang menyangkut suatu persoalan yang segera diselesaikan. Selain hal tersebut, interpretasi kebijakan sendiri tidak bersifat tunggal dalam arti penafsiran terhadap definisi kebijakan beragam sekali, hal ini karena tinjauan kebijakan sangat luas dan merupakan hal penting dalam suatu organisasi lebih-lebih institusi publik atau pemerintah yang memiliki tugas dan tanggung jawab terhadap suatu persoalan publik secara umum. Pembuatan kebijakan merupakan salah satu fungsi utama administrator atau manager organisasi, walaupun pembuatan kebijakan bukanlah suatu hal yang mudah dan sederhana karena kebijakan menyangkut
1. Kepemilikan tanda daftar usaha (TDU) dengan ketentuan sebagai berkut (sebagaimana tercantum dalam pasal 5 dan 6, Perda No. 17 Tahun 2003) yakni : Tidak memperjualbelikan tempat usaha atau lokasi kepada orang lain, Tidak memperdagangkan barang ilegal menurut ketentuan undang-undang baik disengaja maupun tidak disengaja., Tidak membangun tempat usaha secara permanen maupun semi permanen., Sanggup mengosongkan, mengembalikan dan menyerahkan kepada pemerintah apabila lokasi yang dimaksud sewaktu-waktu
63
dibutuhkan oleh pemerintah serta tidak akan menuntut apapun pada pemerintah., Sanggup membersihkan lokasi usaha setelah selesai berjualan dan membuang sampah langsung ke tempat pembuangan sampah terdekat., Tidak meninggalkan alat peraga setelah selesai berjualan., Tidak menggunakan tempat usaha sebagai tempat tinggal dan kegiatan terlarang seperti judi dll., Tidak mengalihkan tanda daftar usaha kepada pihak lain dalam bentuk apa pun 2. Membayar iuran kebersihan sebesar Rp.1000,3. Bersedia menyeragamkan tenda sebagai identitas dari paguyupan pedagang kaki lima hanya yang ada di Surabaya. 4. Namun ketaatan tersebut belum bisa dikatakan bahwa seseorang telah memiliki kesadaran hukum.Pada umumnya kesadaran hukum memang dikaitkan dengan ketaatan hukum sehingga hukum dapat benar-benar berfungsi dalam penyelenggaraannya.(Soekanto dalam Salman dan Susanto, 2004 : 53).
Perda tersebut bermanfaat dan menguntungkan bagi dirinya. 4. Seorang pedagang kaki lima dapat mengaktualisasikan penerimaan mereka dengan cara melaksanakan isi dari Perda tersebut karena nilai-nilai dalam Perda tersebut sudah terinternalisasi dalam dirinya.
Seorang pedagang kaki lima belum dapat dikatakan sadar hukum bila salah satu dari empat indikator di atas ada yang belum terpenuhi. Pada kenyetaannya banyak pedagang kaki lima yang belum mengetahui adanya Perda No 17 tahun 2003 yang telah dikeluarkan Pemerintah kota Surabaya. Padahal yang diharapkan adalah kesadaran hukum dengan indikator kepatuhan terhadap hukum karena nilai–nilai hukum yang berlaku sudah terinternasisasi dengan nilainilai yang ada pada dirinya. Dengan adanya kesadaran hukum tersebut akan semakin mudah penerapan kebijakan pada pedagang kaki lima. Namun perlu disadari bahwa penyeban dari rendahnya kesadaran hukum pada kalangan PKL disebabkan oleh rendahnya tingkat pendidikan sebagian besar PKL. Berdasar pada pernyataan PKL diatas juga mengisyaratkan bahwa keberadaan Perda belum banyak diketahui oleh PKL sehingga wajar apabila PKL masih banyak yang melakukan pelanggaran. Sesuai dengan Indikator kesadaran hukum bahwa orang yang sadar hukum adalah harus tahu terlebih dahulu keberadaan hukum tersebut dengan kata lain harus memiliki pengetahuan
Seorang pedagang kaki lima dapat dikatakan sadar hukum dengan indikator-indikator sebagai berikut : 1. Seorang pedagang kaki lima mengetahui adanya Perda No 17 tahun 2003 yang telah dikeluarkan pemerintah kota Surabaya. 2. Seorang pedagang kaki lima memahami isi dari Perda yang No 17 tahun 2003 yang dan memahami tujuan dikeluarkannya Perda tersebut. 3. Seorang pedagang kaki lima menerima Perda No 17 th 2003 tersebut karena mengetahui bahwa
64
hukum. Ketidaktahuan PKL akan adanya Perda menyebabkan PKL tidak paham hukum dan secara otomatis tidak akan terbentuk sikap hukum yang diharapkan. Melihat kasus kesadaran hukum PKL seperti itu, Pemerintah kota surabaya sudah seharusnya merancang strategi untuk melakukan pembenahan dalam bidang sosialisasi. Sosialisasi bukan hanya untuk menginformasikan hal-hal yang harus dipatuhi dan tidak boleh di langgar namun harus lebih mengarah pada pemahaman hukum tersebut. Sosialisasi pemahaman hukum dapat dilakukan misalnya Pemerintah kota Surabaya menjelaskan apa tujuan dibuatnya hukum tersebut dan akibatakibat apa yang mungkin terjadi apabila hukum tersebut dilanggar. Akibat tersebut tentunya akan membawa dampak buruk juga bagi PKL dan masyarakat umum. Sosialisasi pemahaman hukum secara intensif diharapkan akan merubah sikap hukum pedagang kaki lima dan nilai-nilai hukum akan cepat terinternalisasi dalam diri PKL. Persoalan yang dihadapi Pemerintah Kota Surabaya
Praban, Baluran, Tidar, dan PKL Pahlawan. Sulitnya penertiban dan penangananyang dilakukan karena kurangnya kesadaran PKL terhadap aturan dan terganggunya fasilitas umum karena adanya aktivitas dagang mereka. Pol PP Kodya sebagai eksekutor dalam Penertiban dan Penanganan mengaku sangat lelah dalam penertiban secara terusmenerus, yang dilakukan di daerah tersebut. Penertiban dilakukan dengan melalui pemberitahuan kepada PKL terhadap lokasi yang mereka tempati sebagai lokasi sarana umum. Penanganan dnegan cara pemberian surat teguran dari Pemkot kepada kecamatan / kelurahan dimana PKL tersebut menempati lokasi dagang mereka. namun penaganan dan penertiban tersebut kurang dihiraukan sehingga Pemkot melalui Pol PP Kodya Surabaya melakukan penggusuran secara tegas, yang selanjutnya dibawa ke pengadilan yang mengarah pada denda sesuai dengan Perda No17 Tahun 2003 dan pemberitahuan secara tegas agar tidak berjualan di lokasi tersebut. Namun penaganan dan penertiban tersebut tidak diindahkan oleh para PKL tersebut sehingga alat dagang dan alat peraga dagang PKL dimusnahkan / dibakar oleh Pemkot yang dilakukan oleh Pol PP Kodya Surabaya. Penangan dan penertiban tersebut dirasa kurang dapat menyelesaikan permaslahan PKL,
oleh
Menurut penuturan Bapak Nyoto bagian Operasional Pol PP (Polisi Pamong Praja) Kodya Surabaya bahwa persoalan Pemerintah Kota dalam menangani PKL di surabaya yakni penertiban dan penataan PKL. Penertiban dan penataan PKL yang dirasa sulit menurut Bapak Nyoto yakni daerah 65
karena dengan adanya indikasi PKL tetap kembali pada lokasi yang dilarang untuk dilakukan transaksi jual beli. Dengan adanya hal tersebut pula dapat menimbulkan bertambahnya jumlah PKL mengigat lokasi tersebut padat akan daya beli. Sehingga penangana dan penertiban PKl yang dilakukan oleh Pemkot kurang dapat memberikan jalan keluar bagi PKL di Surabaya.
kaki lima ini jika tidak berhasil akan menimbulkan efek yang besar bagi tatanan kota Surabaya. Oleh karena itu pemerintah kota Surabaya dituntut untuk memiliki strategi yang efektif dalam merumuskan kebijakannya agar tidak merugikan semua pihak. Alternatif Solusi penanganan yang dilakukan Pemkot dalam upaya menertipkan pedagang kaki lima yaitu sebagai berikut :
Kebijakan Pemkot dalam menangani permasalahan pedagang kaki lima
1. Memberikan penyuluhan kampanye penaataan PKL
Pedagang kaki lima, bangunan tanpa ijin, reklame liar, anak jalanan merupakan fenomena sosial pada setiap kota besar. Persoalan tersebut menjadi persoalan yang dilematis, di satu sisi pemerintah kota bertanggung jawab atas warganya dan di sisi lain pemerintah kota Surabaya juga harus tetap menjaga kebersihan dan kenyamanan kota. Untuk itu Pemkot mengambil kebijakan untuk mengeluarkan Perda No 17 Tahun 2003 tentang penataan dan pemberdayaan pedagang kaki lima. Kebijakan ini bertujuan untukmengembalikan ketertiban dan keindahan kota dengan konsekuensi harus menertibkan pedagang kaki lima, oleh karena itu kebijakan ini cenderung dinilai oleh beberapa pihak sebagai kebijakan yang kontraproduktif dan cenderung sepihak. Pola penanganan pedagang kaki lima yang ada di perkotaan hendaknya tidak menggunakan pola politik karena penanganan pedagang
atau
Dalam hal ini seharusnya pemkot lebih memanfaatkan paguyuban-paguyuban PKL yang ada di Surabaya. Jumlah paguyuban PKL yang ada di Surabaya Kurang lebih 50 paguyuban atau lebih dan diperkirakan jumlah tersebut akan terus bertambah. Selama kampanye yang dilakukan oleh pemkot hanya berkisar pada beberapa paguyuban PKL yang sudah mempunyai nama dimata pemkot, yakni paguyuban PKL yang ada di daerah Rungkut, Bratang, Kebon Bibit, Darma Husada dan Delta. Namun, penanganan tersebut tidak akan pernah terselesaikan karena hanya mengacu pada beberapa kepentingan yang ada pada kelompok paguyuban-paguyuban tertentu. Sehingga dikhawatirkan akan menimbulkan suatu konflik internal kelomopok maupun eksternal kelompok. Jika dikaji dengan teori dahrendorf adanya perbedaan kepentingan antar pemerintah kota 66
Surabaya yang ingin mempertahankan kekuasaan melalui keabsahan perda no 17 tahun 2003 dengan pedagang kaki lima yang tidak memiliki kewenangan terhadap aturan tersebut dapat memberikan ketegangan diantara keduanya sehingga untuk mempertemukan titik penyelesaian permasalahan tersebut mengalami berbagai kesulitan
batas waktu yang ditentukan (pemberian batas waktu sesuai dengan keputusan dari pemerintah kota melalui surat teguran tersebut. Minimal 3 hari paling lama 7 hari setelah surat teguran terakhir turun). Dan bila tiba waktunya akan dilakukan suatu tindakan tegas yakni penanganan atau pembongkaran langsung oleh Satuan Pol PP. Namun dalam hal pembongkaran dapat pula dilakukan oleh pihak PKL itu sendiri dengan tanpa adanya suatu perlawanan. Satuan pol PP tidak akan melakukan penggusuran terhadap pedagang kaki lima apabila tidak ada surat pemberitahuan terlebih dahulu (Bpk Djalil, satpol pp jaya abadi) Namun dalam hal penyelesaian diatas, pihak pemkot hanya memberitahukan pada salah satu pihak PKL saja. Seharusnya dapat dilakukan melalui suatu paguyuban PKL yang berdiri dalam lokasi PKL yang akan digusur tersebut. Sehingga keefektifan kerja dan kebijakan sosial dapat terlaksana secara berkesinambungan.
2. Diberi toleransi untuk membereskan dagangannya sampai batas waktu yang ditentukan dan bila tiba waktunya harus dipindah atau penggusuran tibatiba.
Pemberian toleransi yang diberikan oleh pemerintah kota melalui suatu lembaga yakni Satuan Pol PP Kotamadya Surabaya yang mengalami proses sebagai berikut: Satuan Pol PP Kotamadya Surabaya melakukan komunikasi dengan salah satu pihak PKL yang akan digusur. Kemudian dalam komunikasi tersebut dilakukan selama 3 kali berturut-turut dengan salah satu PKL tersebut. Dan kemudian apabila dalam komunikasi tersebut dapat dihasilkan jalan keluarnya dan salah satu setuju untuk dilakukan suatu tindakan tegas melalui Surat Teguran yang mengetahui Walikota Surabaya. Setelah Surat Teguran tersebut diterima oleh pihak PKL dan terdapat respon dari pihak PKL (dalam penurunan Surat Teguran ini dilakukan hingga 3 kali berturut-turut sampai terdapat respon dari pihak PKL). Maka pihak pemerintah kota melalui Satuan Pol PP memberikan toleransi untuk membereskan daganggannya sampai
3. Pemindahan atau daerah yang baru.
relokasi
pada
Dalam hal pemindahan atau relokasi PKL seharusnya dimusyawarahkan bersama-sama, yang diwakilkan oleh masing-masing peguyuban PKL yang bersangkutan (bukan salah satu pihak namun satu pihak secara keseluruhan). Sehingga terdapat kesepakatan diantara keduanya. Dalam hal merelokasi pedagang kaki lima pemerintah kota 67
Perda No.17 Tahun 2003 yang telah dibuat dan diimplementasikan pada mereka. Taktik dan strategi yang digunakan melalui pemberian penyuluhan yang efektif dan menyeluruh bagi para PKL. Pemberian reward bagi PKL yang dalam pola perilakunya mencerminkan kedisiplinan terhadap aturan maupun aturan yang berlaku. Dan penunjukkan leader/agent dari internal kelompok mereka yakni anggota dari paguyuban mereka sendiri. 3. Penyediaan berbagai input untuk memungkinkan pelaksanaan secara nyata dan taktik maupun strategi di atas.( Harold dalam Wibowo,2004:25) Dalam penyediaam penyuluhan secara efektif dan menyeluruh, jika pemkor mampu mengakomodasi seluruh PKL yang ada di Surabaya dengan cara pengidentifikasian PKL secara legal sehingga seluruh PKL yang ada mendapatkan penyuluhan tersebut. Dalam pemberian reward disini, diharapkan lebih merangsang PKL untuk lebih berdisiplin diri dalam proses kegiatannya sehari-hari sehingga tujuan PKL dan tujuan Pemkot terhadap lingkungan kota dapat terjaga dengan baik. Dalam hal penunjukkan leader/agent dibentuk melalui paguyuban PKL yang ada. Namun diharapkan seluruh PKL mempunyai lembaga yang menaunginya berupa paguyuban PKL. Sehingga dalam proses pendisiplinan diri dapat terlaksana dengan baik. Dan pemkot juga dapat mengakomodasi komunikatif diantara kedua belah pihak dengan baik melalui peguyubanpaguyuban yang ada.
Surabaya seharusnya memperhatikan letak lokasi dan kesejahteraan rakyat. Relokasi pedagang kaki lima juga terjadi di daerah Ampel. Mengenai konsep dan desain bangunannya sudah selesai. Desain tersebut disusun konsultan pemerintah kota dari ITS Haryo Sulistarso menurutnya desain baru tersebut masih mengadopsi dari konsep sebelumnya. Jadi bangunan yang sudah ada akan lebih dioptimalkan. Misal gedung pedagang kaki lima yang dulunya tertutup diubah menjadi agak terbuka selain itu penurunan penumpang bus khusus disediakan didekat lokasi gedung penampungan .pedagang kaki lima sehingga penumpang yang turun dari bus pasti melewati tempat dagangan para pedagang kaki lima. Sehingga pada normalnya suatu kebijakan yang dilakukan pemkot seharusnya mengacu pada pencapaian tujuan yang maksimal, nilai-nilai dan praktek-praktek yang langsung terarah. Pada dasarnya kebijakan publik memiliki tiga elemen yaitu : 1. Identifikasi dan tujuan yang ingin dicapai
Dalam hal ini identifikasi pada permasalahan PKL dan kepentingan PKL. Dan tujuan yang ingin dicapai adalah menyelesaikan persoalan PKL 2. Taktik atau strategi dan berbagai langkah untuk mencapai tujuan yang diinginkan Dalam hal ini mengacu pada kesadaran hukum PKL terhadap
68
Jadi antara hukum dan kebijakan publik adalah pemahaman bahwa pada dasarnya kebijakan publik umumnya harus didelegasikan dalam bentuk hukum dan pada dasarnya sebuah hukum adalah hasil dari kebijakan publik. 4. Bantuan dana Pemprop Jatim akan melakukan revitallisasi atau perbaikan infrastruktur dua lokasi pedagang kaki lima (PKL) di taman bungkul, JL Raya Darmo dab lapangan Karah, jambangan, Surabaya. Dengan anggaran 200 juta rupiah. “Dana dari pemprop Jatim ini sifatnya bantuan lunak” ujar Kasubdin pengembangan perkotaan dinas pemukiman propinsi Jatim, Ir. Hk Priyo Darmawan,Msc. Revitaslisasi di lapangan karah, dilakukan dalam bentuk pembangunan areal parkir dan sanitasi lingkungan.Revitalisasi di dua lokasi PKL tersebut, merupakan program lanjutan yang telah dilakukan sejak tahun 2006. pelaksanaan revitalisasi dilaksanakan melalui program padat karya yang melibatkan masyarakat setempat, ternasuk para pedagang sendiri. Selain melakukan revitalisasi pada infrasturuktur, pemprop juga menfasilitasi PKL dalam peningkatan dan pemeliharaan lngkungan baik oleh hal pengelolaan sampah, pengaturan pola tata ruang dan pengoordinasian paguyuban. Dalam hal sampah, juga dilakukan pembinaan pada PKL tentang bagaimana tata cara pengelolaan sampah kering dan basah serta sisasisa makanan yang nantinya memilki nilai jual dan produksi.
Sehingga pada dasarnya suatu kebijakan harus melalui suatu prosedur kebijakan yang berorientasi pada masalah. Suatu kebijakan berorientasi dari suatu rumusan masalah yang menjadi masalah kebijakan. kemudian diorientasikan dengan kinerja, aksi, hasil, dan masa depan kebijakan tersebut. Dan diharapkan pemerintah kota surabaya juga memperhatikan komunikasi publik guna kepentingan publik. Dalam hal ini kebijakan terhadap PKL di surabaya, yang dimana kebijakan beroirentasi pada masalah PKL yang sadar maupun tak sadar hukum (tanpa adanya ketumpangan kepentingan) melalui proses komunikasi kebijakan. Sehingga diharapkan pemerintah kota dapat mengaktualisasikan proses kebijakan tersebut sesuai prosedor kebijakan, guna perkembangan dan pemberdayaan PKL sebagai sektor perdagangan di Surabaya. Kesimpulan
Pada umumnya kendalakendala yang ditemui oleh pihak PKl yang ada di Surabaya yakni sebagai berikut : 1. Modal bagi usaha mereka. 2. Tempat Usaha (Lokasi PKL) yang sesuai dengan daya pembeli sehingga PKL meraut keuntungan yang sesuai. 3. Identitas Dagang PKL sebagai perdagangan yang harus dikembangkan dan diberdayakan dalam sektor informal yang tumbuh kembang di Kota Surabaya.
Dan pada umumnya pula kendala-kendala yang dihadapi oleh pihak Pemerintah Kota Surabaya yakni sebagai berikut : 69
1.
2.
3.
Pemberian penyuluhan atau kampanye penaataan PKL yang kurang efektif. Memberikan toleransi untuk membereskan dagangannya sampai batas waktu yang ditentukan dan bila tiba waktunya harus dipindah atau penggusuran tiba-tiba. Pemindahan atau relokasi pada daerah yang baru, yang mengalami misscominication dengan pihak PKL.
kemanfaatn PKL tidak hanya mementingkan kepentingan Individu dan Kelompok yang mempunyai pengaruh yang sangat besar terhadap regulasi tentang PKL. Pemerintah Kota Surabaya dalam membuat kebijakan tentang penataan dan pemberdayaan Pedagnag Kaki Lima diharapkan lebih memahami persoalan Pedagang Kaki Lima sehingga dalam kebijakannnya bersifat adil. Selain itu PKL dan Pemkot dapat menfungsikan komunikasi diantara mereka melalui lembaga PKL yakni paguyuban PKL secara keseluruhan.
Guna menangani kendalakendala tersebut perlu dilakukan suatu upaya dalam menangani persoalan PKL dan Pemkot Surabaya, yakni dengan cara sebagai berikut :
Daftar Pustaka
1.
Memberikan penyuluhan atau kampanye penaataan PKL 2. Diberi toleransi untuk membereskan dagangannya sampai batas waktu yang ditentukan dan bila tiba waktunya harus dipindah atau penggusuran tiba-tiba. 3. Pemindahan atau relokasi pada daerah yang baru. Rekomendasi Dalam Penanganan PKL diharapkan partisipasi seluruh pihak baik Pemerintah Kota Surabaya, masyarakat (dalam hal ini PKL) dan pihak-pihak lain yang memang benar-benar mendukung arah pembangunan Kota Suurabaya sesuai dengan Renstra yang sudah di formulasikan dan sekaligus kesadaran PKL dalam menjalankan sendi perekonomian yang sesuai dengan ikut aktif dalam mendukung regulasi yang telah ada. Butuh tinjauan ulang dalam mengkritisi Perda No 17 Tahun 2003 dalam berbagai aspek mulai dari lokasi, identitas, penggusuran dan hal-hal yang lain yang lebih memperhatikan asas
Harsiwi M. Agung 2003.Dampak Krisis Ekonomi Terhadap Keberadaan Pedagang Kaki Lima.Jurnal Ekonomi dan bisnis. Volume 14:1. Makmur, Mochammmad 2011. Diktat Kuliah “Konsep Kebijakan Publik dan Implementasi Kebijakan Publik”. Perda Kota Surabaya No 17 tahun 2003 tentang Penataan dan Pemberdayaan PKL. Perda Kota Surabaya No. 3 tahun 2002 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Surabaya. Poloma, Margaret.2004. Sosiologi Kontemporer. Jakarta, PT Raja Grafindo Persada. Salman, Otje dkk.2004. Beberapa Aspek Sosiologi Hukum. Bandung, PT Alumni. Wibowo, Edi dkk.2004.Hukum dan Kebijakan Publik. Yogyakarta, YPAPI. Zakik Ahmad 2008. Analisa Strategi dan Penanganan PKL di kota Surabaya. Jurnal media Trend.Volume 1:2 2006.
70