َ ََُ َ َ ََُ َ َ َ الزا امانا ّيا ا كماابا ات اغ ا الحا ا ّيا ا كراا ات اغ ا لاُانا ا ا IMPLEMENTASI KAIDAH
PADA HUKUM PENCATATAN PERKAWINAN SKRIPSI Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Dan Melengkapi Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Strata 1 Dalam Ilmu Syari’ah
Oleh M. NADHIF AL MUBAROK NIM: 1211037
PROGRAM STUDI AHWAL SYAHSIYYAH FAKULTAS SYARI’AH DAN ILMU HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NAHDLATUL ULAMA (UNISNU) JEPARA 2015
i
NOTA PEMBIMBING Lamp :
3 Eksemplar
Hal
Naskah Skripsi
:
Jepara,
a.n. Saudara M. Nadhif Al Mubarok
Kepada Yth. Bapak Dekan Fakultas Syari’ah dan Ilmu Hukum UNISNU Jepara Di Jepara Assalamu’alaikum Wr. Wb. Setelah saya meneliti dan mengadakan perbaikan seperlunya, bersama ini saya kirimkan naskah skripsi saudara: Nama
: M. NADHIF AL MUBAROK
NIM
: 1211037
Fakultas
: Syari’ah
Judul
: IMPLEMENTASI KAIDAH
َ ََُ َ َ ََُ َ َ الزا َامانا ّيا ا كماابا ات اغ ا الحا ا ّيا ا كراا ات اغ ا لاُانا ا ا
PADA HUKUM PENCATATAN PERKAWINAN
Dengan ini saya mohon kiranya skripsi saudara tersebut dapat segera dimuna>qosyahkan. Demikian harap menjadikan maklum adanya. Wassalamu’alaikum Wr. Wb. Pembimbing
(Hudi S.H.I., M.S.I)
ii
iii
PERNYATAAN KEASLIAN
Dengan penuh kejujuran dan tanggung jawab, saya Nama: M. Nadhif Al Mubarok NIM: 1211037, menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi ini:
1.
Seluruhnya merupakan karya saya sendiri dan dan belum pernah diterbitkan dalam bentuk dan keperluan apapun.
2.
Tidak berisi materi yang pernah ditulis oleh orang lain kecuali informasi yang terdapat dalam referensi yang dijadikan rujukan dalam penulisan skripsi ini.
Saya bersedia menerima sanksi dari fakultas apabila di kemudian hari ditemukan ketidakbenaran dari pernyataan ini.
Jepara, tanggal......... Penulis,
M. Nadhif Al Mubarok NIM: 1211037
iv
ABSTRAK M. Nadhif Al Mubarok (NIM: 1211037). Implementasi Kaidahla> yunkaru tagayur al-ah}ka>m bitagayyur al-azma>n pada Hukum Pencatatan Perkawinan. Skripsi. Jepara: fakultas syariah dan hukum UNISNU Jepara, 2015. Kaidah-kaidah fiqih mencerminkan keluwesan syariah Islam.Persoalan baru yang walaupun tidak disinggung secara eksplisit oleh nash akan tetapi kaidah-kaidah fiqh yang bersumber dari nash telah mengandung prinsip serta acuan dalam menentukan sebuah hukum. Kaidah la> yunkaru tagayur al-ah}ka>m bitagayyur al-azma>nadalah satu kaidah fiqih paling penting yang diturunkan dari kaidah al-‘aadah muhakkamah.Kaidah ini mendapat perhatian besar dari para ulama, dan sering kali disebut-sebut ketika membicarakan tentang keelastisan syariah Islam dan kemampuan syariah ini dalam merespon tuntutan kehidupan. Di Indonesia ini, muncul dua pendapat dalam menyikapi pencatatan perkawinan, pendapat pertama mengatakan bahwa pencatatan perkawinan adalah sebuahajiban karena tuntutan perintah ulil amri, pendapat kedua, menyatakan bahwa pencatatan perkawinan perlu diangkat menjadi rukun perkawinan. Kedua pendapat sama-sama menunjukkan bahwa ada perubahan hukum dalam pencatatan perkawinan, karena tidak ada dalil yang menerangkan akan pencatatan perkawinan walaupun dalam al-Qur’an pencatatan utang-piutang telah diterangkan. Skripsi ini bertujuan untuk menyikapi kedua pendapat atas pencatatan perkawinan dengan cara menerapkan kaidah la> yunkaru tagayur al-ah}ka>m bitagayyur al-azma>n atas dua pendapat tersebut. Sehingga dapat diketahui manakah perubahan yang lebih sesuai dengan syariah islam. Penelitian dalam skripsi ini dilakukan dengan metode library research atau penelitian kepustakaan dengan mempelajari kaidah fiqih, kitab ushul fiqih, buku perkawinan yang berkaitan dengan permasalahan. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa perubahan hukum yang sesuai dengan kaidah la> yunkaru tagayur al-ah}ka>m bitagayyur al-azma>n adalah pendapat yang pertama yang mengatakan bahwa pencatatan perkawinan diwajibkan karena tuntutan maslahah dan perintah ulil amri. Ini dikarenakan perubahan hukum yang tercakup dalam kaidah la> yunkaru tagayur al-ah}ka>m bitagayyur al-azma>n adalah hukum-hukum ijtiha>di> yang didasarkan pada ‘urf dan mas}lah}ah. Oleh karena itu, syarat dan rukun dan perkawinan tidak dapat karena perubahan waktu karena ia bukanlah hukum yang dibangun atas ‘urf dan
mas}lah}ah. Kata kunci : Kaidah, tagayyur, pencatatan perkawinan, perubahan hukum.
v
MOTTO
1
حيث يوجد رشع اهلل فثم مصلحة العباد
‚Dimana ada syariah Allah maka di sanalah kemaslahatan hamba berada‛
Yusuf Qardhawi, Dira>sah Fi Fiqhi Maqa>s}id As-Syari’ah, (Kairo: Dar As-Syuruq, 2008), Cet. 3, hlm. 116 1
vi
PERSEMBAHAN kepada orang yang curahan kasih sayangnya seperti matahari, ibunda Istiaroh kepada orang yang tak kenal lelah demi pendidikan anaknya, ayahanda Ahmad Muthohar kepadamu skripsi ini kupersembahkan
vii
kepadamu skripsi ini kupersembahkan
viii
KATA PENGANTAR Segala puji Allah SWT yang telah melimpahkan Taufiq, Hidayah serta Inayah-Nya, sehingga pada kesempatan ini penulis dapat menyelesaikan skripsi ini yang berjudul Implementasi
KaidahالينكرتغيراألحكامبتغيراألزمانPada
Hukum
Pencatatan Perkawinan .
Disusun guna memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Starata 1 (S 1) dalam Ilmu Syari’ah dan Ilmu Hukum Program Studi Al-Ahwal Al-Syakhshiyyah (AS) Universitas Islam Nahdlatul Ulama (UNUSNU) Jepara. Salawat serta Salam senantiasa terlimpahkan kehadirat junjungan kita Nabi Agung baginda Rasulullah SAW yang telah menjelaskan kepada manusia tentang isi kandungan al-Qur’an sebagai petunjuk jalan menuju kebahagiaan di dunia maupun akhirat. Penulis menyadari sepenuhnya, bahwa dalam penyusunan skripsi ini banyak kekurangan dan kelemahan mengingat terbatasnya kemampuan penulis, namun berkat Rahmat Allah SWT serta pengarahan dari berbagai pihak, akhirnya skripsi ini dapat terselesaikan. Harapan penulis skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis khusunya dan pembaca umumnya. Dalam penyusunan skripsi ini, perkenankanlah penulis menyampaikan penghargaan yang setinggi-tingginya dan ucapan terima kasih kepada: 1. Bapak Prof. Dr. H. Muhtarom, HM. Selaku Rektor UNISNU Jepara 2. Bapak Drs. H. Ahmad Barowi TM, M. Ag. Selaku Dekan Fakultas Syariah dan Ilmu Hukum Program Studi Al-Ahwal Al-Syakhshiyyah (AS) 3. Bapak Hudi, S.H.I., M.Si. selaku Ka. Prodi Al-Ahwal Al-Syakhshiyyah (AS) Fakultas Syariah dan Ilmu Hukum , serta selaku Dosen Pembimbing yang telah membimbing, mengarahkan, dan memberikan sara-saran dalam penyusunan skripsi.
ix
4. Bapak dan ibu Dosen Fakultas Syariah dan Ilmu Hukum UNISNU Jepara yang telah mendidik, membina dan menghantarkan, penulis untuk menempuh kematangan dalam berfikir dan berperilaku. 5. Ibunda Istiaroh dan Ayahanda Ahmad Muthohar, kedua orang tua penulis tercinta serta seluruh keluarga yang dengan keikhlasan dan kesungguhan hati memberi bantuan moril maupun materiil yang tidak ternilai harganya. 6. Teman-teman penulis di Fakultas Syari’ah tahun angkatan 2011
Semoga amal kebaikan mereka semua dibalas berlipat ganda oleh Allah SWT dan dijauhkan mereka dari sifat dengki dan berlaku dzalim. Amiin. Akhirnya penulis menyadari bahwa penyusunan skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan dalam arti yang sebenarnya, namun penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya dan para pembaca pada umumnya. Amin yaa rabbal ‘alamin.
Jepara, ..., .......... 2015 Penulis
M. Nadhif Al Mubarok NIM: 1211037
x
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ...................................................................................
i
NOTA PERSETUJUAN PEMBIMBING .................................................
ii
NOTA PENGESAHAN ..............................................................................
iii
PERNYATAAN KEASLIAN .....................................................................
iv
ABSTRAK ...................................................................................................
v
MOTTO .......................................................................................................
vi
PERSEMBAHAN ........................................................................................
vii
KATA PENGANTAR .................................................................................
viii
DAFTAR ISI ................................................................................................
x
BAB I
BAB II
PENDHULUAN A. Latar Belakang Masalah ....................................................
1
B. Penegasan judul...................................................................
7
C. Rumusan Masalah...............................................................
8
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian .........................................
8
E. Kajian Pustaka ....................................................................
9
F. Metode Penelitian ................................................................
10
G. Sistematika Penulisan .........................................................
14
LANDASAN TEORI A. Salat Dalam Islam ...............................................................
16
1. Pengertian Salat ...............................................................
16
xi
BAB III
BAB IV
2. Hukum dan Dasar Salat ...................................................
18
3. Tujuan dan Hikmah Salat ................................................
19
4. Syarat Salat......................................................................
23
5. Rukun dan Cara Pelaksanaan Salat .................................
29
6. Hal-hal yang Membatalkan Salat ....................................
32
B. Arah Kiblat ..........................................................................
33
1. Pengertian Arah Kiblat ....................................................
33
2. Dalil Syar’i ......................................................................
35
3. Hisab Arah Kiblat ...........................................................
39
OBJEK KAJIAN A. Imam Syafi’i ........................................................................
49
1. Biografi Imam Syafi’i .....................................................
49
2. Pemikiran Imam Syafi’i ..................................................
52
B. Imam Hanafi ........................................................................
56
1. Biografi Imam Hanafi .....................................................
56
2. Pemikiran Imam Hanafi ..................................................
61
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Arah Kiblat Menurut Imam Syafi’i ..................................
65
1. Pengertian Menghadap ke Arah Kiblat imam Syafi’i .....
65
2. Dasar hukum Imam Syafi’i .............................................
69
B. Arah Kiblat Menurut Imam Hanafi..................................
71
1. Pengertian Menghadap ke Arah Kiblat imam Hanafi .....
71
2. Dasar hukum Imam Hanafi .............................................
72
xii
C. Persamaan dan Perbedaan Arah Kiblat Imam Syafi’i dan Imam Hanafi ........................................................................
77
D. Problematika hukum menghadap arah kiblat .................
79
1. Tahapan Ijtihad Menentukan Kiblat Imam Syafi’i dan
BAB V
Imam Hanafi...................................................................
79
2. Talfiq ...............................................................................
82
3. Hukum mengubah Ṣaf masjid .........................................
85
PENUTUP A. Kesimpulan ..........................................................................
89
B. Saran ....................................................................................
90
LAMPIRAN-LAMPIRAN
xiii
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Islam bukanlah akidah semata, dan tidak hanya memperhatikan hubungan antara manusia dengan tuhannya yang hal itu merupakan akidah, Islam juga syariah yang merupakan panduan untuk menjalankan kebaikan dalam kehidupan. 1 Maka dari itu barang siapa beriman dengan akidah tapi mencampakkan syariah atau menjalankan syariah tanpa berakidah bukanlah seorang muslim dalam pandangan Allah.2 Tuntutan tauhid adalah mengharuskan setiap muslim agar mengakui kekuasaan Allah (ha>kimiyyatullah) dan hanya tunduk pada kekuasaan itu. Karena hanya Allah-lah yang berhak membuat hukum. Hak membuat hukum hanya ada pada Allah (haqq al-tasyri<’ lillahi wah}dah). Manusia tidak berhak merekayasa hukum sendiri, kecuali dalam batas-batas yang diperbolehkan oleh Allah dan Rasul-Nya.3 Syariah Islam adalah syariah yang istimewa, ini dikarenakan dalam syariah Islam terkandung nilai-nilai: Pertama, Rabbani, yaitu syariat Islam ini dibuat oleh sang pencipta alam semesta. syariahIslam ini berfungsi sebagai pengatur hubungan antar manusia dengan Allah melalui ibadah, juga sebagai pengatur masalah-masalah
1
Mahmud Syaltut, Islam Akidah Dan Syariah, (Kairo:Daral-Syuruq, 2001), hlm. 11 Ibid.,hlm. 12 3 Daud Rasyid, Islam Dalam Berbagai Dimensi, (Jakarta:Gema Insani, 2000), hlm. 22 2
1
lainnya, seperti masalah rumah tangga, peradaban, masalah kriminal, politik dan sebagainya.4 Kedua, Kolektif dan universal, yang bermakna bahwa seluruh hukum yang terdapat dalam syariat Islam bersifat natural serta relevan dengan fitrah kemanusiaan. Oleh karena itu syariat Islam berfingsi sebagai petunjuk untuk segenap umat manusia tanpa memandang perspektif rasial, etnis, suku bangsa, warna kulit dan sosi strukturalnya.5 Ketiga, Adil mutlak, yang bermakna bahwa syariat Islam menjamin hak-hak asasi manusia tanpa mengabaikannya.syariat Islam melindungi jiwa raga manusia, begitu pula dengan kehormatan, harta agama serta keyakinan. Keempat, Integral, yang bermakna bahwa syariah Islam mampu mengatur tatanan kehidupan dalam seluruh aspek dan dimensinya, baik dalam konteksnya dengan masalah akidah, ibadah, moral maupun yang menyangkut undang-undang yang bersifat umum, seperti kultural, kriminal, persoalan pribadi maupun persoalan masyarakat, hubungan diplomatik, dasar-dasar ekonomi, tata krama serta pola hidup bermasyarakat. 6 Semua sudah terinci dalam konsepsi ilahiyah yang kekal abadi, yang bersumber dari zat yang maha bijaksana lagi maha terpuji, sebagaimana firman-Nya:
ِّ ُ ً َ َ َ َّ ن َ َ َ ن َ ن َ َ ن َنًَ ُن ً ُ ُك َ ن َ ْشى لنن ُى نصنى ني كتاب تِبياًا ِم ِ َ َش ٍء َوَدى َورْحث َوب ِ وًزْلا عنيك ام ِِ
4
Abdullah Nashih Ulwan, Pesan Untuk Pemuda Islam, (Jakarta: Gema Insani, 2002), Cet. 12, hlm. 47 5 Ibid. hlm. 48 6 Ibid. hlm. 49
2
”dan kami turunkan kepadamu la kitab (al-Qur‟an) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri” (QS. al-Nahl: 89) 7
Kelima, Luwes dan komprehensif, yang berarti syariat Islam mampu menjawab tantangan dinamika zaman dan transformasi kultural, khususnya dalam muamalah, perundang-undangan, hukum ekonomi dan hubungan internasional.8 Persoalan yang dasarnya tidak di sebutkan dalam nash (baik al-Qur‟an maupun hadits), maka status hukumya ditentukan setelah melalui proses ijtihad para ulama yang sudah diyakinkan kualitas ilmunya, keshalehannya dan wara‟nya. hal ini dapat dilakukan dengan jalan mengkiaskan kepada dalil-dalil yang berbeda tingkatannya, tanpa mengabaikan segi-segi pragmatisnya. Dengan kata lain tidak bertentangan dengan dinamika perkembangan kebudayaan dan ilmu pengetahuan yang bermanfaat bagi manusia. Faktor lain yang menunjukkan keluwesan dan kekomprehensifan syariah Islam di setiap jaman adalah dengan adanya pengambilan kaidahkaidah hukum dan nash-nash tentik dan orsinil. Seperti kaidah yang mengatakan
الرضر يزال “kemadharatan (bahaya) harus dihilangkan”
الرضر اليزال ةالرضر 7
Yayasan Penyelenggara Penerjemah Al-Qur’an, Al-Qur’an Tiga Bahasa, (Depok: Al-Huda, 2011), hlm. 516 8 Ibid.
3
“kemadharatan tidak boleh dihilangkan dengan kemadharatan yang lain.”
درء املفاشد وقدم ىلع جنب املصامح “mencegah suatu kerusakan lebih di dahulukan atas menarik suatu kemaslahatan.”9 Kaidah-kaidah
fiqih
ini
mencerminkan
keluwesan
syariah
Islam.persoalan baru yang walaupun tidak disinggung secara eksplisit oleh nash akan tetapi kaidah-kaidah fiqh yang bersumber dari nash telah mengandung prinsip serta acuan dalam menentukan sebuah hukum.Berkaitan dengan keluwesan syariah Islam ini para ulama membuat suatu kaidah
اليٌكر تغري االخاكم ةتغري االزوان “tidak diingkari adanya perubahan hukum karena berubahnya zaman”. Kaidah ini bisa dianggap sebagai salah satu kaidah fiqih paling penting yang diturunkan dari kaidah al-„aadah muhakkamah.Kaidah ini mendapat perhatian besar dari para ulama, dan sering kali disebut-sebut ketika membicarakan tentang keelastisan syariah Islam dan kemampuan syariah ini dalam merespon tuntutan kehidupan.10 Ibnu Abidin mengatakan, “Banyak aturan hukum yang berubah dengan berubahnya zaman yang disebabkan oleh berubahnya kebiasaan orang pada zaman tersebut, atau karena kerusakan moral masyarakat. Seandainya hukum itu tetap seperti semula maka pasti akan mengakibatkan kesulitan dan bahaya bagi manusia dan pasti akan bertentangan dengan kaidah-kaidah syariah yang dibangun di atas keringanan, kemudahan serta mencegah terhadap bahya dan kerusakan. 9
Ibid. hlm. 51 Ya‟qub Bin Abdul Wahhab (Riyadh:Maktabahal-Rusyd, 2012), hlm. 217 10
Al-Bahusain,
4
Al-„Aadah
Muhakkamah,
Oleh karena itu banyak dari masyayikh suatu maz\hab berbeda pendapat dengan para imam mujtahid atas suatu hukum yang ada pada masanya.Hal ini dikarenakan pengetahuan mereka seandainya para imam mujtahid ada pada masanya, niscaya akan berkata hal yang sama karena berpegang pada kaidah-kaidah maz\habnya”.11 Hal ini menguatkan bahwa syariah Islam bersifat elastis (muru>nah) sehingga mampu memberikan ruang gerak terhadap hukum Islam untuk berkembang dan mengadakan pembaharuan. Dengan karakteristik ini hukum Islam tidak lagi jumud, tidak lagi stagnan dan tidak lagi eksklusif. Fikih Islam akan selalu mampu memberikan solusi atas setiap persoalan yang muncul kapanpun dan di manapun. Pernikahan mempunyai kedudukan yang tinggi dan sakral dalam Islam sehingga al-Qur‟an menyebutnya perjanjian yang kuat.
ً َ ً َ ََ َ ن َ ن ُ ن ََ نَ َن ُ ُ َُ َ َ ن َن َ َ ن ُ ُ ن َ َ ن وكيف تأخذوًٍ وقد أفَض بعضكه ِإَل بع ٍض وأخذن ِوٌكه ِويثاقا غ ِنيظا “Bagaimana kamu mengambilnya kembali, padahal sebagian kamu telah bergaul dengan dengan yang lain sebagai suami isteri. dan mereka (isteri-isterimu) telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat.” (QS. an-Nisa :21) 12
Az-Zamakhsyari> dalam tafsirnya mengatakan bahwa Allah menyifati perjanjian itu dengan kata al-ghilz} karena kuatnya dan agungnya perjanjian itu.13 Abu> Zahrah berkata bahwa al-mi>s\a>q al-ghali>z} adalah perjanjian yang sangat kuat dan tetap yang berarti perjanjian yang berat yang tidak sah
11
Muhammad Musthofa Al-Zuhaily, Al-Qawa‟id Al-Fiqhiyyah Wa Tathbiqotuha Fi AlMazahib Al-Arba‟ah, (Damaskus:Daral-Fikr, 2006), hlm. 353 12 Yayasan Penyelenggara Penerjemah Al-Qur’an, op.cit., hlm. 144 13 Al-Zamakhsyari, Tafsir Al-Kasysyaf, (Beirut:Dar Al-Ma‟rifah, 2009), hlm. 228
5
dilepaskan begitu saja. Dan perjanjian itu adalah pertalian antara suami istri selamanya yang menjadikan dari suami isteri sebagai belahan jiwa satu sama lain.14 Berkaitan dengan pencatatan perkawinan, pada awalnya hukum Islam tidak secara konkret mengaturnya. Pada masa Rasulullah saw maupun sahabat belum dikenal adanya pencatatan perkawinan. Waktu itu perkawinan sah apabila telah memenuhi unsur-unsur dan syarat-syaratnya. Ibnu Taimiyah berkata
وله يكي الصداةث يكتتِن الصداق ألًُه له يكًِِا يزتوجِن ىلع مؤخر ةل يعجنِن املُر وإن أخروه فُِ وعروف فنىا صار اْلاس يزتوجِن ىلع املؤخر واملدة
ُ تطِل صاروا يكتتِن املؤخر وصار ذلك خجث يف إثتات الصداق ويف أًُا:وينس .زوجث هل “Para sahabat tidak menulis mahar karena mereka tidak mengakhirkannya, bahkan memberikannya secara langsung, seandainya diantara mereka ada yang mengakhirkan tetapi dengan cara yang baik. Tatkala manusia mengakhirkan mahar padahal waktunya lama dan terkadang lupa maka mereka menulis mahar yang diakhirkan tersebut, sehingga catatan itu merupakan bukti kuat tentang mahar dan bahwasanya wanita tersebut adalah istrinya.15 Untuk diketahui warga masyarakat, pernikahan yang telah dilakukan hendaknya di'ilankan, diumumkan kepada khalayak luas, antara lain melalui media wali>matul-'ursy.16 Nabi saw bersabda:
14
Abu Zahroh, Zahroh Al-Tafasir, (Dar Al-Fikr Al-Arabi), hlm. 1625 Hamizar, Nikah Sirri Dalam Perspektif Hukum Positif Di Indonesia Ditinjau Dari AlMaqashid Al-Syari‟ah, Tesis, (Riau: UIN Sultan Syarif Kasim, 2014), hlm. 43 16 Majelis Tarjih Muhammadiyyah, Fatwa Hukum Nikah Sirri, hlm. 3 Http://Tarjih.Muhammadiyah.Or.Id/Download-Fatwa.Htmlakses 5 Mei 2015 15
6
وارضبِاعنيٍ ةادلفِف، واجعنِه يف املصاجد،أعنٌِااْلاكح Artinya: Umumkanlah pernikahan dan pukullah rebana [HR. tirmidzi no. 1089].17
أوله ولِ بشاة “Adakanlah walimah (perhelatan) meskipun hanya dengan memotong seekor kambing” [HR. al-Bukhari no. 4860].18 Apabila terjadi perselisihan atau pengingkaran telah terjadinya perkawinan, pembuktiannya cukup dengan alat bukti persaksian. Akan tetapi dalam perkembangan selanjutnya karena perubahan dan tuntutan zaman dan dengan pertimbangan kemaslahatan, di beberapa negara muslim, termasuk di Indonesia, telah dibuat aturan yang mengatur perkawinan dan pencatatannya.19 DiIndonesia pencatatan perkawinan diatur dalam UU no. 1 tahun 1974 Pasal 2 ayat (2) menyatakan bahwa: “Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku”. Pencatatan pernikahan bukanlah hal yang baru digadang-gadangkan sekarang. Namun, sejak Raden Ajeng Kartini di Pulau Jawa dan Rohana Kudus di Sumatera Barat berjuang pada masa dahulu sudah ada gerakan pembaharuan hukum keluarga. Kedua tokoh ini telah lama mengkritik keburukan-keburukan yang diakibatkan oleh pernikahan di bawah umur, pernikahan bawah tangan, perkawinan paksa, dan talak sewenang-wenang dari suami. Pentingnya 17
Imam Tirmiz\i>, S}ah}i>h} Tirmiz\i>, (Riya>d}: Bait Al-Afka>r ad-Dawliyyah, 1999), hlm. 193 Ima>m al-Bukha>ri>, S}ah}i>h} al-Bukha>ri>, (Damaskus: Da>r Ibnu Kas\i>r, 1422 H), hlm. 1979 19 Ibid. 18
7
pencatatan pernikahan ini disebabkan status sebagai seorang warga negara yang taat hukum dan sebagai fungsi administrasi meskipun tidak mengganggu keabsahan dari sebuah pernikahan.20 Pencatatan perkawinan bertujuan untuk mewujudkan ketertiban perkawinan dalam masyarakat. Ini merupakan suatu upaya yang diatur melalui perundang-undangan, untuk melindungi martabat dan kesucian perkawinan, dan lebih khusus lagi perempuan dalam kehidupan rumah tangga.21 Surat nikah ini bukan sekedar menghalalkan hubungan suami istri dalam arti jima‟, melainkan juga terkait dengan hubungan harta benda. Umpamanya masalah warisan dan hak untuk mendapatkan nafkah materi. Seorang istri yang dinikahi tanpa adanya bukti surat nikah, maka bila berseteru di depan hukum dan pengadilan, kedudukan akan menjadi sangat lemah. Sebab di dalam ranah hukum, surat dan dokumen mempunyai kedudukan yang amat menentukan.22 Ada dua respon dalam menyikapi pencatatan perkawinan dewasa ini, Pertama, kelompok yang menganggap bahwa pencatatan perkawinan hanyalah sebagai kewajiban atas perintah ulil amri tanpa mempengaruhi keabsahan perkawinan. Pandangan ini antara lain oleh MUI dalam fatwanya atas nikah
20
Ryan Muthiara Wasti, Pentingkah Pencatatan Pernikahan?, Http://Www.Akhwatindonesia.Com/2015/03/Pentingkah Pencatatan-Pernikahan/ Akses 7 Mei 2015 21 Ahmad Rofiq, Hukum Islam Di Indonesia, (Jakarta:Raja Grafindo Persada, 1997), hlm. 107 22 Ahmad Sarwat, Ahmad Sarwat, Seri Fiqh Kehidupan 8: Nikah,( Jakarta: DU Publishing. 2011), hlm. 196
8
bawah tangan 23 , oleh Majelis Tarjih Muhammadiyyah dalam fatwanya atas nikah sirri 24 , dan oleh Bahtsul Masaildi lingkungan Ponpes Sarang dalam menanggapi hasil keputusan MK tentang anak hasil zina.25 Kedua, kelompok yang menganggap bahwa pencatatan perkawinan perlu diangkat menjadi rukun perkawinan. pandangan ini diusung oleh CLD KHI (Counter Legal Draft Kompilasi Hukum Islam), yang disusun oleh tim pengarusutamaan gender departemen agama
RI pada tahun 2004 untuk
memperbarui materi kompilasi hukum Islam.26 Dengan adanya dua pandangan terkait pencatatan perkawinan, yaitu yang menyatakan sebagai sebuah kewajiban tanpa mempengaruhi keabsahan suatu perkawianan dan pandangan yang mengusulkan agar pencatatan perkawinan diangkat menjadi rukun perkawinan. maka penulis tertarik untuk mengkaji dua pandangan tersebut menggunakan perspektif kaidah fiqh la>
yunkaru taghayyur al-ahka>m bitaghayyur al-azma>n. dengan penelitian penulis ini, penulis berharap untuk mengetahui manakah dari dua pandangan tersebut yang lebih sesuai dalam penerapan kaidah la> yunkaru taghayyur al-ahka>m
bitaghayyur al-azma>n.
23
Majelis Ulama Indonesia, Himpunan Fatwa Majelis Ulama Indonesia, (Jakarta:Erlangga,2011), hlm. 24 Majelis Tarjih Muhammadiyyah, Loc. Cit. 25 Https://Radenfaletehan.Files.Wordpress.Com/2012/10/Bathsul-Masail.Pdf Akses 7 Mei 2015 26 Ridwan, Membongkar Fiqh Negara: Wacana Keadilan Gender Dalam Hukum Keluarga Islam, (Purwokerto: Pusat Studi Gender STAIN Purwokerto, 2005), hlm. 143
9
Dari uraian yang penulis sampaikan penulis berniat mengangkat skripsi dengan judul “Implementasi Kaidah la> yunkaru taghayyur al-ahka>m
bitaghayyur al-azma>n Pada Hukum Pencatatan Perkawinan”.
B. Penegasan Istilah Judul 1. Pencatatan Proses, cara, perbuatan mencatat; pendaftaran, makna yang lebih sesuai untuk pencatatan perkawinan adalah pendaftaran akad nikah ini kepada negara dalam hal ini PPN (petugas pencatat nikah) di KUA (kantor urusan agama ). 2. Implementasi Pelaksanaan; penerapan 3. Kaidah (fiqh) Kaidah adalah ketentuan umum yang pada seluruh bagian-bagiannya. Yang penulis maksudkan dalam skripsi ini adalah kaidah fiqh. Kaidah fiqh adalah pokok-pokok fiqh global yang mengandung hukum-hukum syariah yang umum atas ketentuan hukum yang masuk pada tema pakok tersebut.27 C. Pembatasan Masalah Pembatasan masalah yang penulis lakukan adalah menetapkan fokus berdasarkan permasalahan yang terkait dengan paparan yang telah penulis
27
Ali Ahmad Al-Nadawi, Qawa>’id Al-Fiqhiyyah, (Damaskus:Da>r Al-Qalam,1998), hlm.
39
10
sampaikan, yaitu ingin mengetahui implementasi kaidah la> yunkaru taghayyur
al-ahka>m bitaghayyur al-azma>n pada pencatatan perkawinan. D. Perumusan Masalah Agar supaya penulis bisa melakukan analisis dengan baik dan mendalam serta tepat dalam mencapai sasaran yang hendak dicapai, maka penulis merumuskan
beberapa
rumusan
masalah
saja,
sehingga
akan
lebih
memudahkan bagi penulis dalam membahas permasalahan yang sedang penulis teliti. Adapun perumusan masalah dalam penyusunan skripsi ini adalah sebagai berikut : 1. Apa kriteria perubahan hukum dalam kaidah la> yunkaru taghayyur al-ahka>m
bitaghayyur al-azma>n? 2. Bagaimana implementasi kaidah la> yunkaru taghayyur al-ahka>m bitaghayyur
al-azma>n pada pencatatan perkawinan? E. Tujuan Penelitian 1.
Tujuan Formal Sebagai langkah menuju pembuatan sekripsi, untuk memenuhi dan melengkapi salah satu persyaratan dalam menyelesaikan studi program strata satu (S-1) jurusan al-Ahwal asy-Syakhshiyyah Universitas Islam Nahdlatul Ulama (UNISNU) Jepara.
2.
Tujuan Fungsional Adapun tujuan fungsional penulis adalah untuk memperkaya khazanah intelektual dalam bidang ushul fiqh dan hukum perdata Islam.
F. Manfaat Penelitian
11
Setelah tujuan penelitian tersebut diatas, maka penulis juga berharap penelitian ini bermanfaat bagi pengkaji dan peminat hukum perdata Islam pada khususnya dan para pembaca pada umumnya. Adapun manfaat penelitian ini adalah : 1. Manfaat Teoritis Penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi para civitas yang terkait dengan hukum perdata Islam, baik yang berkecimpung dalam dunia praktisi yaitu hakim ataupun bagi para pengkaji hukum Islam dalam menghukumi pencatatan perkawinan. 2. Secara Praktis Penelitian
ini
diharapkan
mampu
memberikan
sumbangan
pemikiran terhadap umat Islam agar tidak jumud dan taklid atas suatu hukum
yang
ditetapkan
para
imam
terdahulu
karena
dengan
berkembangnya dinamika kehidupan hukum juga berubah mengiringinya. G. Telaah Pustaka Setelah melakukan eksplorasi pustaka, penulis tidak menemukan skripsi di perpustakaan UNISNU yang secara khusus membahas tentang konsep implementasi kaidah la> yunkaru taghayyur al-ahka>m bitaghayyur al-azma>n. penulis mendapatkan pemaparan tentang kaidah itu dari beberapa buku terkait kaidah itu. 1. taghayyur al-ahkam fi al-syariah al Islamiyyah, oleh Dr. Ismail Koksal. inti dari kaidah yang penulis bahas adalah adanya perubahan hukum dalam
12
syariah Islam. oleh karena itu buku Ismail Koksal ini mengantarkan penulis dalam konsep perubahan hukum yang ada dlam syariah Islam.
2. qaidah la> yunkaru taghayyur al-ahka>m bitaghayyur al-azma>n, dirosah ta‟shiliyyah tathbiqiyyah, oleh Muh}ammad bin Ibra>hi>m at-Turki>. tulisan ini perupakan tesis yang beliau ajukan di Ja>mi’ah al-Ima>m Muh}ammad bin
Sa’u>d al-Isla>miyyah, Riya>d}. Tesis ini membahas kaidah tersebut secara komprehensif dan memberikan beberapa contoh penerapan terhadap kaidah tersebut dalam beberapa permasalahan. Penulis sangat terbantu dengan karya beliau ini karena kajian beliau tentang kaidah ini sangatlah komprehensif yang sebelumnya kaidah ini hanya dibahas secara sepintas dalam kaidah-kaidah fiqh. Namun dalam hal pencatatan nikah penulis menemukan beberapa skripsi yang berkaitan 1. Skripsi Status Hukum Anak Yang Dilahirkan Melalui Perkawinan Di Bawah Tangan Dalam Perspektif Hukum Islam Dan Hukum Positif, oleh Mukaromah. skripsi tersebut membahas tentang status anak yang dilahirkan akibat perkewinan yang tidak dicatatkan. letak perbedaannya dengan skripsi penulis adalah kajian penulis lebih ditekankan dari perpektif penerapan kaidan fiqh sedangkan skripsi tersebut dari sisi status anak. 2. Skripsi Studi Analisis Tentang Perkawinan Sirri Terhadap Status Anak dan Harta ditinjau dari Hukum Syariah dan UU No. 1 Thn 1974 Tentang Perkawinan. oleh misbahul umam. skripsi tersebut mengkaji pernikahan sirri atau perkawinan yang tidak dicatatkan terhadap status anak dan harta
13
ditinjau dari hukum positif dan syariah. Beberapa skripsi di atas penulis gunakan sebagai pendukung atau perbandingan mengenai pentingnya pencatatan perkawinan dan akibat hukumnya. Selain dari skripsi penulis juga menemukan literatur berbahasa arab yang berkeitan dengan penelitian penulis, di antaranya adalah: 1. al-zawaj al-„urfi daakhila al-mamlakah al-arobiyyah al-saudiyyah wa khorijaha, dirosah fiqhiyyah wa ijtima‟iyyah naqdiyyah (nikah urfi di saudi arabia dan negara lain, studi fiqih dan kritik sosial), oleh Dr. Abdul Malik Bin Yusuf al-Muthlaq. dari buku tersebut penulis menangkap bahwa pernikahan yang tidak dicatatkan tidak hanya menjadi problematika di indonesia saja, akan tetapi di timur tengahpun menghadapi persoalan serupa. 2. az-zawa>j al-‘urfi>, haqi>qatuhu wa ahka>muhu wa as\aruhu wa al-ankih}ah z\at
al-s}ilah bihi. Dira>sah fiqhiyyah muqa>ranah. (nikah „urfi, hakikat, hukum dan akibatnya serta pernikahan lain yang berkaitan dengannya. studi fiqih perbandinagn), oleh Dr. Ahmad Bin Yusuf bin Ahmad al-Dariwisy. buku tersebut memaparkan pendapat-pendapat ulama kontemporer berkaitan dengan nikah yang tidak dicatatkan atau disahkan kepada negara. I. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian Penelitian ini betujuan untuk mengkaji konsep implementasi kaidah
la> yunkaru taghayyur al-ahka>m bitaghayyur al-azma>n pada pencatatan perkawinan, sehingga jenis penelitian yang dipilih adalah metode penelitian kualitatif-deskriptif dan bersifat kepustakaan (library research)
14
dalam arti, mengkaji dan meneliti sumber-sumber kepustakaan serta menggunakan bahan-bahan tertulis dalam bentuk kitab, buku dan sumbersumber tertulis lainnya yang berkaitan dengan tema bahasan. Penelitian kualitatif juga berusaha mencari jawaban atas permasalahan dengan melakukan pengkajian terhadap setting sosial yang ada serta prilaku individual. 2. Data dan Sumber Data Dalam rangka untuk mendapatkan data dan penjelasan tentang hal-hal yang berkenaan dengan implementasi kaidah la> yunkaru taghayyur
al-ahka>m bitaghayyur al-azma>n, maka Penulis mengggunakan beberapa referensi yang dijadikan sebagai acuan dasar dan sumber data. Sumber data yang penulis gunakan dalam penelitian ini adalah sumber primer, sekunder dan tersier. a. Sumber primer adalah
sumber
data
yang
secara
eksplisit
berkaitandengan tema skripsi penulis, yaitu: la> yunkaru taghayyur al-
ahka>m bitaghayyur al-azma>n, dirosah ta‟shiliyyah tathbiqiyyah, karya Muhammad bin Ibrahim al-Turki, al-zawaj al-„urfi daakhila almamlakah al-arobiyyah al-saudiyyah wa khorijaha, dirosah fiqhiyyah wa ijtima‟iyyah naqdiyyah
oleh Dr. Abdul Malik bin Yusuf al-
Muthlaq, dan az-zawa>j al-‘urfi>, haqi>qatuhu wa ahka>muhu wa as\aruhu
wa al-ankih}ah z\at al-s}ilah bihi. Dira>sah fiqhiyyah muqa>ranah oleh Dr. Ahmad bin Yu>suf bin Ahmad al-Daryuwaisy.
15
b. Sumber sekunder adalah buku-buku yang berkaitan dengan kaidah fiqih secara umum serta UU no. 1 tahun 1974 dan kompilasi hukum Islam. c. Sumber tersier yaitu ensiklopedi,
jurnal,
website, antologi yang
semuanya relevan dengan fokus penelitian. 3. Pendekatan Penelitan Penelitian ini menggunakan pendekatan normatif dan sosiologis. Pendekatan normatif mengarah pada kitab dan buku yang berkaitan dengan kaidah fiqh dan aturan tentang pencatatan perkawinan sedangkan pendekatan sosilogis mengacu pada situasi dan kondisi yang terjadi dalam masyarakat terkait dengan perkawinan yang tidak dicatatkan dan akibat sosialnya. 4. Metode Analisis Data Adapun metode yang dipakai dalam menganalisis data ialah dengan menggunakan metode deskriptif-analitis. Hal ini dimaksudkan untuk mendeskripsikan data-data yang terkait dengan implementasi kaidah la>
yunkaru taghayyur al-ahka>m bitaghayyur al-azma>n pada pencatatan perkawinan yang didapatkan dari penggalian data-data yang diasumsikan cocok dan relevan dengan obyek bahasan selanjutnya bahan-bahan yang diperoleh dianalisis dan diintepretasikan.28 J. Sistematika Penulisan Skripsi
16
Untuk memudahkan dalam penulisan dan pembahasan penulis menyajikan ke dalam beberapa bab, terdiri dari : 1. Bagian muka terdiri : Cover, halaman judul, halaman nota pembimbing, halaman pengesahan, halaman motto, halaman persembahan, halaman kata pengantar dan halaman daftar isi. 2.
Bagian Isi Bagian ini merupakan inti dari skripsi yang terdiri atas: Bab I : Pendahuluan, memuat antara lain : a. Latar belakang masalah b. Penegasan istilah judul c. Pembatasan masalah d. Rumusan masalah e. Tujuan penelitian f. Manfaat penelitian g. Telaah Pustaka h. Metodologi Penelitian i. Sistematika penulisan. Bab II : Landasan Teori Bab ini berisi tentang landasan teori mengenai kaidah la> yunkaru taghayyur
al-ahka>m bitaghayyur al-azma>n yang berisikan: a. Telaah atas lafal “la> yunkaru taghayyur al-ahka>m bitaghayyur al-
azma>n” b. Syarah kaidah “la> yunkaru taghayyur al-ahka>m bitaghayyur al-azma>n”
17
c. Hakekat Perubahan Hukum d. Batasan-batasan dalam penerapan kaidah la> yunkaru taghayyur al-
ahka>m bitaghayyur al-azma>n”. e. Contoh penerapan kaidah Bab III : Kajian Pustaka Bab ini berisi tentang Gambaran Umum mengenai pencatatan perkawinan yang meliputi: a. Pencatatan perkawinan dalam perundang-undangan. b. Pentingnya pencatatan perkawinan c. Kedudukan pencatatan perkawinan dalam hukum Islam d. Fatwa para ulama atas pernikahan yang tidak dicatatkan Bab IV : Analisis Atas Konsep Implementasi Kaidah la> yunkaru taghayyur
al-ahka>m bitaghayyur al-azma>n Pada Pencatatan Perkawinan a. Analisis atas perubahan hukum pada pencatatan perkawinan b. Analisis implementasi kaidah la> yunkaru taghayyur al-ahka>m
bitaghayyur al-azma>n pada hukum pencatatan perkawinan Bab V : Penutup Bab ini berisikan kesimpulan, saran-saran dan penutup. 3. Bagian Akhir Pada bagian ini dapat dicantumkan pula daftar pustaka, lampiran-lampiran dan daftar riwayat pendidikan penulis.
18
BAB II
LANDASAN TEORI
A. TELAAH ATAS LAFAL KAIDAH Sebelum membahas lebih lanjut tentang makna kaidah ini, penulis terlebih dulu akan membahas kaidah ini dari sisi bahasa.
S}i>gat kaidah “ ”ال يَمع تؼري األزاكـ بتؼري األزيػنفadalah bentuk lafal yang digunakan dalam majallah al-ahka>m al-‘adliyyah (undang-undang hukum perdata Islam kehalifahan turki „us\ma>ni>) yaitu pada pasal 39.1 Walaupun banyak juga kaidah yang maknanya serupa akan tetapi s}i>gat kaidah inilah yang banyak mendapat perhatian dan syarah} dari para ulama. 1. Lafal يَمع Lafal
يَمعadalah fi’l mud}ari’ mabni> majhu>l yang berasal dari fi’l
ma>dhi> أٍكعSecara lebih lengkap tas}ri>f-nya adalah
ى كاملؿعْؿ يَمع،مع ً َ ؾّْ ي، إٍكنرا،أٍكع يَمع Lafal أٍكعberasal dari kata dasar ٍكعyang terdiri dari 3 huruf yaitu
ر-ؾ- ف.Ahmad
Mukhtar Umar dalam mu’jam al-lugah al-
‘arabiyyah al-mu’a>s}irah mengatakan: (mengingkari sesuatu)/• أٍكع اليشء 1
Ahmad Bin Muhammad Az-Zarq>a, Syarh} Al-Qawa’id Al-Fiqhiyyah, (Damaskus: Da>r Al-Qolam, 1989), Cet. 2 , hlm. 227
19
20
, ُ لى يعرتؼ بأٍُ ضندر يَػ/ أٍكع الكين-َُ اب/دّوُ يع عوى بُ "أٍكع ضطيقن {يععؾْف ٍعًػ ا جػى يَمعكٍّػن كأمػاِى الاكؾػعكف, ُ ال خيؿي/ال يَمع شيئن . عطـ االعرتاؼ بنهؿغن/ ً] إٍكنر اجلع٣٨ /[اجلسن “Bersikap bodoh padahal mengetahui, misalnya mengingkari temannya atau anaknya, mengingkari ucapan (tidak mengakui bahwa ucapan itu berasal darinya). La> yunkiru syaian (tidak menyambunyikannya). Dalam al-quran disebutkan (mereka mengetahui nikmat Allah kemudian mengingkarinya, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang kafir), inka>r al-ni’mah (tidak mengakui atas keutamaan atau anugrah Allah).”2
“munkar” adalah adalah lawan dari “ma’ru>f” (sesuatu yang baik, dikenali, kebiasaan baik). dan munkar merupakan segala sesuatu yang dianggap buruk, diharamkan dan dibenci oleh syara‟. Makna lafal la> yunkaru dalam kaidah ini adalah tidak dianggap sebagai sesuatu yang dibenci, tidak dianggap buruk, dan tidak pula bertentangan dengan kebiasaan baik.3 2. Lafal تؼري Secara bahasa tagayyur adalah mas}dar dari lafal
تؼريا- يتؼري-ؾّْ يتؼريتؼري
Tagayyur secara istilah adalah gambaran atas bergantinya (tabdi>l)
suatu sifat kepada sifat yang lain. Dalam mu’jam al-lugah al-‘arabiyyah
al-mu’a>s}irah disebutkan 2
Ahmad Mukhta>r ‘Umar, Mu’jam Al-Lughah Al-Arabiyyah Al-Mua>s}irah, (Kairo: ‘A
hi>m At-Turki>, Qaidah la> yunkaru taghayyur al-ah}ka>m bitaghayyur al-azma>n Dira>sah Ta’s}i>liyyah Tat}biqiyyah, Tesis, (Riya>d}: Ja>mi’ah al-Ima>m Muh}ammad bin Sa’u>d al-Isla>miyyah, 1429 H.), hlm. 104
21
تؼري- حتْؿ "تؼريت األزْاؿ كتبطهت، تبطؿ،ُأضبر ىلع ػري ين اكف عوي ]٥٪ / {كأٍّنر يٌ هنب لى يتؼري طعًُ [حمًط-الوْف تطرجيين لوْف آصع “Tagayyur itu berubah dari keadaan sebelumnya, tabaddul (pergantian), tah}awwala (berubah keadaannya), keadaan itu berubah dan berganti, warna berubah secara perlahan, dalam al-Qur‟an disebutkan (sungai-sungai air susu yang tidak berubah rasanya).”4 3. Lafal أزاكـ Secara bahasa ahka>m adalah jama‟ dari lafal h}ukm, yang merupakan mas}dar
Dalam mukhta>r as}-s}ih}ah> disebutkan
زمًن-حيكى-زكى
(احلكى) اهقغنء حيكى بنلغػى (زمًػن) ك (احلمػيى) اهعػنلى كضػنز/ح ؾ ـ كاحلميى أيغن املتقٌ لألمْر. ًاحلم ‚H{akama terdiri dari tiga huruf yaitu h}a-kaf-mi<m. Yang berarti putus, yah}kumu dengan dibaca dhammah ka>f-nya, dan mashdarnya adalah lafal h}ukman, al-haki>m adalah orang yang alim dan memiliki hikmah/kebijaksanaan, juga bisa berarti orang yang professional dalam urusan-urusannya.”5 Sa‟id abu habib dalam al-qa>mu>s al-fiqhi mengatakan:
" اكف العدػن يػعث/ كيف زطيث ابٌ عبػنس،َُ يَع ي/أزكى عٌ االمع
ؾأزكى ا. أكتعد إحلػُ ضػطافّن، ؾيعغوّن زىت تًْت، امعأة ذات فعاب .َُ يَع ي/عٌ ذلك كٍىه عَُ " أم
‚Ah}kama ‘an al-amr, mencegah darinya, dalam hadits ibnu abbas disebutkan, 4
(seorang
laki-laki
mewarisi
isteri
kerabatnya,
Ah}mad Mukhta>r ‘Umar, op.cit., hlm. 1655 5 Muh}ammad Abu> Bakar Ar-Ra>zi>, Mukhta>r As-S}ih}a>h, (Amman: Da>r ‘Amma>r, 2005), Cet. 9, hlm. 80
22
kemudian ia menyusahkannya hingga meninggal atau wanita tersebut mengembalikan kepadanya maharnya. Kemudian Allah menetapkan dari hal tersebut & melarang dari hal tersebut). Artinya mencegah dari hal tersebut.”6 Secara istilah h}ukm berarti menetapkan suatu perkara atas perkara lain atau menafikannya. Menyandarkan suatu perkara atas lainnya baik afirmatif maupun negasi. Hukum juga bisa diartikan sebagai ketetapan hakim, seperti yang dikatakan Muhammad Rawwa>s Qal’ahji> dalam mu’jam lugah al-fuqaha>’, decision بني املتضنضًني
ًاهقعار اذلم يططرق اهقنيض حلَيه بُ املضنض
“Ketetapan yang berasal dari seorang qadhi/ hakim untuk mencegah permusuhan dari orang-orang yang bermusuhan.putusan hakim.”7 Yang dikehendaki dari lafal “ah}kam” dalam kaidah ini adalah hukum-hukum syar’i. Jumhur ulama us}u>l mendefinisikan hukum syar’i merupakan
املتعوـ بأؾعنؿ امللكؿني بنإلفتغنء اكاتلضيري اك الْعع
صطنب ا
“Seruan Allah ta‟ala yang berhubungan dengan aktivitas mukallaf, berupa tuntutan, pemberian pilihan, atau penetapan.” Lafal khit}a>b mencakup semua khit}a>b, dan di-id}a>fah-kannya lafal
khit}a>b pada lafal Allah berarti memasukkan khit}a>b Allah dan tidak termasuk di dalamnya khit}a>b selain Allah, seperti khit}a>b manusia, jin, dan malaikat.
6
Sa’i>d Abu> H{abi>b, Al-Qa>mu>s Al-Fiqhi>, Maktabah Sya>milah Muhammad Rawwa>s Qal’ahji, Mu’jam Lughah Al-Fuqaha>’, Maktabah Syamilah
7
23
Khit}a>b Allah juga mencakup hukum-hukum syara‟ yg ditetapkan dengan perkataan Rasulullah dan perbuatannya, ijma>’, dan qiya>s. Karena itu semua yang mengenalkan dan menampakkan pada khit}a>b Allah dan hukumnya. Lafal al-muta’alliq bi fi’l al-mukallaf, mencakup perbuatan hati dan lisan seperti wajibnya niat dalam sholat. 8 4. Lafal أزينف Secara bahasa
أزينف
berasal dari kata dasar
adalah jama’ dari lafal
ٌزيyang
terdiri dari
زيٌ ك زينف.
tiga huruf
Dan
ف-ـ-زdalam
mu’jam al-lugah al-‘arabiyyah al-mu’a>s}irah disebutkan
ٍ ى ىى ى ى يٍى كز ًيني ٌ ؾّْ ىز ىي، َكزي ٍ زيَن كزين،ٌزيٌ يغي ي /الشضص ٌ• زي ي طنؿ ي- ٥ ."ٌزي "شيش طْيال زينٍن كداـ ُ معع و
ى ي ي . ْؿ عو و ً ععؽ- ٢ ً بكب ؼٌ أك ط
‚Zamana asy-syahks}u, 1. Orang yang sakit dalam waktu yang lama, 2. Orang lemah karena usianya tua atau sakit yang lama.”9 Dalam mukhta>r as}-s}ih}ah> disebutkan,
)ٌ(الغينف) اؼى هقوين الْفت ككحريق كدمعُ (أزينف) ك (أزيَ ) ك (أزي “Zaman adalah penamaan untuk suatu waktu baik sebentar maupun lama. Jamaknya adalah )ٌ) ك (أزي 8 9
َ(أزينف) ك (أزي.”10
Muh}ammad bin Ibra>hi>m at-Turki>, op. cit., hlm. Ah}mad Mukhta>r Umar,op. cit., hlm. 997
24
B. SYARAH ATAS KAIDAH Secara global syarah} atas kaidah ini adalah,
ال يعط ممعكِن كال خمنهؿ كال مؽتقبسن يف الرشع أف تتبطؿ األزاكـ تؼري كاصتالؼ
االدتّندي املبني ىلع اهععؼ ك املطوس الرشعي بؽب
اعدات اجلنس ك أععاؾّى أك هؿؽند أزْاهلى أك تلطْر أكعنعّى املطٍي أك حلطكث زند طنرئ عويّى “Tidak dianggap sebagai sesuatu yang buruk dalam syara‟ atas pergantian hukum ijtihadi yang didasarkan atas ‘urf dan maslahat syar‟i dikarenakan perubahan dan perbedaan adat manusia, kerusakan moralnya, perubahan kondisi peradaban, atau munculnya kebutuhan baru pada mereka.” 11
1. Makna Perubahan Hukum
ال يَمع تؼري األزاكـ بتؼري األزينف Lafal tagayyur al-ah}ka>m menunjukkan keberlangsungan dan keumuman. Adapun keberlangsungannya merupakan faidah dari la> nafi> yang masuk pada fi’l mud}a>ri’ yunkaru, yang menafikan sesuatu dan masih akan terus berlangsung. Maka ketika la> nafi itu masuk pada fi’l
mud}a>ri’berarti mempunyai faidah menafikan secara mutlak. Adapun keumuman maka merupakan faidah dari ‚al‛ (alif lam) yang menunjukkan keumuman yang masuk pada lafal “al-ah}ka>m”. Maka
10
Muhammad Abu> Bakar Ar-Ra>zi>, op. cit., hlm. 141 Muh}ammad bin Ibra>hi>m at-Turki>, op. cit., hlm. 120
11
25
dari itu tercakuplah semua hukum syara‟, keumuman ini semakin kuat dengan masuknya ‚al‛ pada lafal jama‟ yaitu al-ah}ka>m. Dan tidak mengecualikan keumuman ini sesuatupun dari semua hukum syari‟ah, kecuali hukum-hukum yang berkaitan dengan aqidah, karena hukum-hukum aqidah bukanlah yang dimaksudkan dengan hukum syar‟i menurut para ahli fiqih dan ahli us}u>l. Akan tetapi yang mereka maksudkan hanyalah yang terbatas pada hukum syar‟i yang berupa amaliyah.12 Yang dikehendaki dari hukum yang mutagayyirah dalam kaidah yang penulis bahas adalah satu macam hukum yaitu,
األزاكـ االدتّندي املبني ىلع اهععؼ ك املطوس
Lafal
‚al-ijtiha>diyyah‛
mengeluarkan
hukum-hukum
yang
dilandaskan pada nas}s}, yang merupakan hukum yang tetap dan tidak dapat menerima perubahan, kecuali yang diterangkan dalam nas}s} bahwa hukum tersebut dikaitkan dengan ‘illat, maka hukum tersebut berputar seiring dengan ada dan tidaknya ‘illat tersebut. Lafal ‚al-mabniyyah ‘ala> al-’’urf wa al-mas}laha}h‛ mengecualikan hukum ijtihadi yang didasarkan pada nas}s} z}anniyy, yang memungkinkan perbedaan
12
pendapat
antar
ulama
selain
Muh}ammad bin Ibra>hi>m at-Turki>, op. cit., hlm. 113
dari
jalan
‘urf
dan
26
maslahat.Termasuk dalam maslahat adalah setiap pokok istidla>l yang serupa dengan maslahat seperti istihsa>n, dan sadd az\-z\ari>’ah.13 Sesunggguhnya hukum-hukum yang berubah dengan berubahnya zaman adalah hukum-hukum yang disandarkan kepada ‘urf dan kebiasaan. Karena dengan perubahan zaman berubahlah kebutuhan-kebutuhan manusia, atas dasr ini maka berubahlah ‘urf dan kebiasaan yang selanjutnya hukum berubah karenanya. Berbeda dengan hukum yang disandarkan pada dalil-dalil syar‟i (al-adillah al-syar’iyyah) yang tidak dibangun atas ‘urf dan kebiasaan, maka ia tidak dapat berubah. Misalnya adalah hukuman bagi orang yang membunuh secara sengaja adalah dibunuh, hukum syar‟i ini tak dapat berubah karena tidak disandarkan kepada ‘urf dan kebiasaan.14 2. Makna Perubahan Zaman Penisbatan perubahan kepada zaman adalah sebuah maja>z atau kiasan, karena zaman tidak berubah, manusialah yang padanya terjadi perubahan. Perubahan juga tidak menyentuh pada esensi manusia sebagaimana asalnya ciptaan Allah, manusia adalah manusia sejak semula ia diciptakan. Akan tetapi perubahan terjadi pada pemikiran, sifat, kebiasaan, dan gaya hidup yang pada akhirnya muncul ‘urf yang umum ataupun khusus. Adapun penisbatan sebagian ahli ilmu atas perubahan kepada zaman, dikarenakan zaman merupakan wadah dimana padanya
13
Ibid., hlm. 120 Ali Haidar, Durar Al H{ukka>m Syarh} Majallah Al-Ah}ka>m, (Riya>d}:Da>r A
14
2003), hlm. 47
27
terjadi kejadian-kejadian dan keadan-keadaan. Dan diungkapkan pula dengan rusaknya zaman, padahal yang dimaksud adalah rusaknya manusia dengan rusaknya moral, hilangnya sikap wara’, dan lemahnya taqwa, yang akhirnya menyebabkan terjadinya perubahan hukum sebagai respon atas kerusakan dan sebagai pencegah atasnya.15 C. PROBLEM PADA S}I> yunkaru tagayyur al-ah}ka>m bitagayyur al-azma>n yang datang dalam s}i>gat yang umum dan luas dan mencakup semua hukum syar’i, padahal bukan itu yang dimaksud oleh ulama yang menyusun kaidah ini. yang dimaksud oleh penyusun kaidah itu adalah hukum ijtihadi yang dibangun atas
‘urf dan mas}lah}ah. Muh}ammad bin Ibra>hi>m at-Turki mengatakan bahwa s}i>gat kaidah yang lebih pas adalah seperti yang dibuat oleh Ali an-Nadawi, yaitu dengan menambahi lafal
االدتّندي املبني ىلع اهععؼ ك املطوس Sehingga s}i>gat kaidah itu menjadi
ال يَمع تؼري األزاكـ االدتّندي املبني ىلع اهععؼ ك املطوس بتؼري األزينف
15
Ali Jum’ah, Http://Www.Draligomaa.Com/Index.Php/ تغير الفتوى بتغير الزمان والمكانAkses 10 September 2015
28
S}i>gat tersebut perlu dikoreksi agar jangan tidak terjadi salah paham bahwa semua hukum akan berubah karena perubahan zaman seperti yang tampak pada z}a>hir kaidah tersebut.16 D. HAKIKAT PERUBAHAN HUKUM DALAM SYARIAH ISLAM Syarah atau penjelasan yang penulis paparkan di atas memberi gambaran bahwa yang perubahan hukum yang tercakup dalam kaidah ini adalah perubahan hukum yang disandarkan atas ‘urf dan mas}lah}ah, padahal perubahan hukum dalam syariah Islam tidaklah terbatas pada dua hal itu saja. Oleh karena itu agar mendapatkan gambaran yang lebih utuh akan perubahan hukum dalam syariah Islam, penulis akan menjelaskan lebih lanjut tentang hakikat perubahan hukum dalam syariah Islam. Dan dalam bahasan ini penulis akan mengawalinya dengan membahas tentang ketetapan hukum dalam syariah Islam. 1. Ketetapan (s\aba>t) Hukum Dalam Syariah Islam Tidak ada perbedaan pendapat diantara para ulama bahwa tsabat (ketetapan) merupakan sala satu dari keistimewaan syariah Islam. Tidak seorangpun berhak menggantinya, tidak pula merubahnya dengan argumen perubahan kondisi dan keadaan. 17
ى ى َّ ٍ ى ى ي ى ٌ ى الؽً ي َّ ْك ض ٍطفنن ىك ىع ٍطال ال ييبى ٌط ىؿ ه ىلك ىًنتُ ىك يِ ى يع اهٍ ىعو ي )٥٥٪( يى ًً ً ً ً ً ً كتًت ً ً ًَكً رب
Muh}ammad bin Ibra>hi>m at-Turki>, op. cit., hlm. 826 Muhammad Yasri Ibrahim, Al-Fatwa Ahammiyatuha Dhawabituha Atsaruha, (Kairo: Ad-Daurah Ats-Tsalitsah, 2007), hlm. 363 16 17
29
“Telah sempurnalah kalimat Tuhanmu (Al-Quran) sebagai kalimat yang benar dan adil. tidak ada yang dapat merobah robah kalimat-kalimat-Nya dan Dia lah yang Maha Mendenyar lagi Maha mengetahui.” (QS. al-An‟am: 115) 18 Maksudnya adalah benar dalam memberi khabar, jadi apapun yang dikhabarkan oleh Allah merupakan kebenaran. Adil dalam hukumNya, sehingga apaun yang diperintahkan oleh Allah merupakan keadilan dan apa yang dilarang oleh Allah merupakan kebatilan. Tidak ada seorangpun yang berhak merubah hukum-hukum Allah, menggantinya ataupun tidak tunduk pada hukum-hukumnya.19 Allah berfirman
ٍ ٍىٍ ى ى ٍ ى ٍ ي ى ي ٍ ى ي ٍ ىىٍ ى ٍ ي ى ىٍ ي ٍ ٍ ى ى ى ي ى ي ي اإلؼالـى احلْـ أمًوت هكى ًديَكى كأتًًت عويكى ًٍعً ًِت كر ًعيت هكى ن )٨( ًديَن “Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu Jadi agama bagimu.” (Qs. Al-Maidah:3) 20
ى ى ٍ ي ٍ ى ٍ ى ي ٍ ى ى ٍ ى ى َّ ي ى ى َّ ٍ ى ٍ ى ى ي )٩٤( اءِ ٍى ِْكأ ًف ازكى بيَّى بًًن أٍغؿ اَّلل كال تت ًبع أ “Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka.”(QS. Al-Maidah:49)21
18
Yayasan Penyelenggara Penerjemah Al-Qur’an, Al-Qur’an Tiga Bahasa, (Depok: AlHuda, 2011), hlm. 257 19 Muhammad Yasri Ibrahim, op.cit., hlm. 364 20 Yayasan Penyelenggara Penerjemah Al-Qur’an, hlm. 190 21 Ibid. hlm. 198
30
ىٍ ى ى ى َّ ى َّ ي ي يٍ ى ى ي نء ف ًويال ىين ات ًب يعْا ىين أٍ ًغؿ ًإحلٍك ٍى ًي ٌٍ ىر ٌبًك ٍى ىكال تت ًب يعْا ًي ٌٍ دكًٍ ًُ أك ًحل
ى ى َّ ى )٨( تظل يعكف
“Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu dan janganlah kamu mengikuti pemimpin-pemimpin selain-Nya. Amat sedikitlah kamu mengambil pelajaran (daripadanya).”(QS. al-A’ra>f:3) 22 Syariah Islam bersifat komprehensif yang mencakup semua yang dibutuhkan oleh manusia. Maka tidak ada satupun kejadian dimanapun dan kapanpun yang tidak ada hukum syariahnya. Maka tidak bisa dikatakan bahwa hukum-hukum syariah hanya khusus pada masa nabi saja. Seperti yang seperti mengatakan bahwa hadd potong tangan bagi pencuri hanya khusus untuk masyarakat baduwi.
23
Syariah Islam yang mencakup segala kejadian ini
sebagaimana difirmankan oleh Allah,
ٌ ى ى َّ ٍ ى ى ى ٍ ى ٍ ى ى ٍ ى ن ي ٍىٍىن ي ي ن رشل لوٍ يً ٍؽوً ى ٍ ك ى ني ً َش وء ىكِطل ىكرْح ىكب ى ً كٍغجلن عويك اه ًً ً متنب تًبينٍن ًه
)٣٤( “Dan Kami turunkan kepadamu al-kitab (al-Quran) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri.”(QS. anNahl:89) 24 Hal-hal yang termasuk dalam ruang lingkup tsawabit: a. 22 23
Nas}s}-nas}s} syar‟i (nus}u>s} syar’iyyah)
Ibid., hlm. 206
Ismail Koksal, Taghayyur Al-Ahkam Fi As-Syari’ah Al-Islamiyyah, (Beirut: Maktabah Ar-Risalah, 2000), hlm. 42 24 Yayasan Penyelenggara Penerjemah Al-Qur’an, op.cit., hlm. 516
31
b.
Hukum-hukum yang tetap 1) Pokok-pokok agama dan prinsip-prinsipnya (us}u>l ad-din wa
qawa’iduh) a) Masalah-masalah aqidah b) Hal yang bersifat universal dalam syariah (kulliyyat as-
syari’ah) c) Dasar-dasar akhlak 2) Hukum yang disyariatkan dengan ‘illat yang tetap a) Hukum hukum aqidah b) Pokok-pokok yang diharamkan c) Ukuran-ukuran syar‟i.25 2. Perubahan (Tagayyur) Hukum Dalam Syariah Islam a. Perubahan Hukum Dalam Syariah Islam Secara Umum
Ibnu Qayyim al-Jauziyyah membagi hukum menjadi dua, seperti yang dikatakannya berikut
ىكاز ىطة يِ ىْ ىعوى ى ىال ِبى ى،يّن ؽ ً و ً ً ٍى الْ ى ىل يْ يد ٍْب ى، ً ىكحت ًعيٍ ًى،نت ً ادب ً ً 25
ى ى ى ى َّ ي ى ٍ ى ى ال حتؼ ري خٌ زنه و ى ى ٍ ى ًَّاألئ ً كال اد ًتّن ًد، ً
ى ٍ ى ي ىٍ ى ٍ ىٍ ه ٍْع/األزاكـ ٍْاعف ىٍ ى ىى ىٍ ى َم ً كال األي، ً َاألز ًي
Khalid Bin Abdullah Bin Ali Al-Mazini, Al-Fatwa Wa Ta’kid As-Tsawabit AsSyar’iyyah, (Dhahran: Jami’ah Al-Malik Fahd Li Al-Bitrul Wa Al-Ma’adin, 1427), hlm. 15
32
ىٍ ى ى ى ى ى ى ىكاحل ي يط ٍكد ي،الً ىس َّع ىينت ي ٍ َّ الً ىق ىط ىرة ب ذ ىّظا ال،نلرش ًع ىىلع اجل ى ىعائً ًى ىكَن ًْ ذلًك ً ً ً ً ى ى ى َّ ي ى ٍ ى ٍ ه ى ى ٍ ى ه ي ى ي ى ي ى ى ى ٍ ى َّ ي ىين/اجل ٍْع اثلَّ ًنِن ك.ًُ حتطعؽ ًإحل ًُ تؼ ًي ًري كال اد ًتّند خين ًهؽ ين ك ًعع عوي ى ٍ ى ى ىي ى ى ىن ى ى ى ىن ى ى ى ن ى ى ى ٍ ى ري ِبى ى ىحتى ىؼ َّ ي يع د ن ق ً ل ، نال ز ك ن ٍ اك ي ك ن ٍن ي ز َل س و ط ًال ء ن غ ت اف ؽ ً ً ً ً ً ً ً َّ َّ ى ي ى ِّ ي ى ٍى ى ى ى عذ ى ى الً ٍطوىسى ى يّن ِبىؽى َّ ٍ ى ً ً َات كأد ً ً َْنرع ح ً اتلع ًغيع ً ً ؾً ًإف الش،نؼّن ك ًضؿنتًّن “Hukum itu ada dua macam, pertama, hukum yang tidak berubah dengan perubahan tempat dan waktu ataupun ijtihad para Ima>m seperti wajibnya hal yang wajib dan keharaman hal-hal yang diharamkan, had ditentukan oleh syara‟ atas suatu kejahatan, maka hukum-hukum ini tidak dapat menerima perubahan maupun ijtihad yang bertentangan dari apa yang telah ditetapkan. Kedua, hukum yang berubah sesuai tuntutan maslahat seiring dengan waktu, tempat dan keadaaan. Seperti ketentuan ta’zi>r, jenis, dan sifatnya maka syariah membiarkannya sesuai dengan tuntutan kemaslahatan.”26 Maka apa yang dikatakan oleh Ibnu Qayyim tadi memberi pemahaman bahwa tidak semua hukum takli>fi> dapat berubah. Dan penelitian terhadap hukum-hukum syariah, akan mengantarkan kita bahwa sebagaimana hukum itu tetap dan abadi, yang dengan itulah iman ditetapkan, rukun-rukun amaliyah yang menegakkan Islam, dan hal-hal yang diharamkan secara yakin (seperti dosa-dosa besar dan perbuatan yang mendapat hukuman had, dimana hal
inilah yang
menjaga syariat Islam). Termasuk dalam hukum yang tsabit pula yaitu hal-hal yang berkaitan dengan sisi akhlak dan pokok-pokok keutamaan. Itu semua mereprentasikan pokok-pokok dan prinsip dasar dimana syariah Islam datang untuk membangunnya dan melawan hal yang bertentangan dengannya.
26
Muh}ammad bin Ibra>hi>m at-Turki>, op. cit., hlm. 114
33
Hal yang global dan prinsipil inilah yang merupakan hukum Islam yang tetap yang tidak dapat berganti maupun berubah, tidak pula dapat tema perdebatan maupun sasaran kritik, seperti yang dipikirkan oleh sebagian orang untuk menghapus zakat dengan alasan sudah tercukupi
oleh
pajak,
membolehkan
khamr
dengan
alasan
menyenangkan turis, membolehkan riba dengan alasan pengembangan ekonomi, maka perkataan itu semua bukan termasuk dalam Islam dan ketidakpercayaan atas agama. Hal yang s\awa>bit dalam syariah Islam yang berupa aqidah dan hukum-hukum amali inilah yang disebut oleh Ima>m as-Sya>t}ibi> dengan dengan al-us}u>l wa al-kulliyyat (hal-hal yang pokok dan universal).27 Perubahan dalam hukum syariah ini hanyalah dalam penerapan dan tanzi>l (penurunan). Perubahan itu bukanlah pada asal khit}a>b bukan pada asal hukum dan dalil-dalilnya, karena tidak ada yang berhak merubah asal hukum ini kecuali yang membuat syariah yaitu Allah. Dengan kata lain dasar-dasar dan hukum syar‟i itu tetap dalam tujuan dan konsepnya, yang berubah hanyalah manusianya dan hal-hal yang meliputinya yaitu lingkungan, adat, dan gaya hidup yang terus berubah dan berkembang. Maka berubahlah penerapan hukum syar‟i seiring dengan perubahan bentuk permasalahan, di saat yang sama asal khit}a>b syar‟i keadaannya selalu tetap seperti awalnya. Maka hukum-hukum
27
Ibid., hlm. 115
34
syar‟i itu bertingkat-tingkat dan penerapannya itu disesuaikan atas perbedaan realitas.28 Hal ini sesuai dengan yang dikatakan oleh Ima>m syathibi
0 كاعوى أف ين دعل ذلعق َِن يٌ اصتالؼ األزاكـ عَط اصتالؼ اهعْائط ألف الرشع مْعْع ىلع0 ؾويػ يف احلقيق بنصتالؼ يف أضن اخلطنب لى، لْ ؾعض بقنء ادلٍين يٌ ػري ٍّني كاتللكيؽ لظلك، أٍُ دائى أبطم كإًٍن يعىن االصتالؼ أف اهعْائط إذا اصتوؿت، حيتخ يف الرشع إىل مغيط ، لًن يف ابلوْغ يحال0 ردعت لك اعدة إىل أضن رشيع حيكى بُ عويّن ؾإذا بوغ كفع، ؾإف اخلطنب اتللكييف معتؿع عٌ الطيب ين اكف فبن ابلوْغ ؾؽقْط اتللكيؽ فبن ابلوْغ جى جبْتُ بعطق هيػ0 عويُ اتللكيؽ بنصتالؼ يف اخلطنب “ketahuilah bahwa sesungguhnya perbedaan hukum yang terjadi ketika ada perbedaan adat yang telah kami sebutkan sebelumnya, hakikatnya bukanlah perbedaan dalam asal khit}a>b, karena syariah itu dibuat untuk tetap berlaku dan abadi, kalau saja dunia ini ditakdirkan tidak akan berakhir, maka demikian jugalah takli>f. Syariah tidak membutuhkan tambahan, arti dari perbedaan hukum itu hanyalah, jika adat itu berbeda maka hukumnya dikembalikan kepada asal syara‟nya.Perumpamaannya adalah soal baligh, sesungguhnya khit}a>b takli>fi> tidak dikenakan pada anak kecil sampai dia baligh, ketika dia sudah baligh, dia akan dikenai takli>f. Maka gugurnya takli>f sebelum sebelum baligh, kemudian penetapannya setelah baligh bukanlah perbedaan asal khit}a>b. 29 Ibnu Qayyin Al-Jauziyyah berkata
28
Ibid.. hlm. 121 Ibid., 121
29
35
ٌي مَ كاألزْاؿ ً تؼري األز ًيَ كاألم
ٌي تؼري اهؿتْل كاص ًتالؾّن ِبى ىؽ ٌ كاجليىنت كاهعْائط
“Perubahan fatwa dan perbedaanya adalah seiring perbedaan waktu, tempat, keadaan, niat, dan adat.” Dr. Walid Al-Husain memberikan definisi atas perubahan fatwa dengan,
ن كؾقن ملقنضط اهترشيع،رشيع
ملْد،حتْؿ احلكى إىل زكى آصع
beralihnya suatu hukum kepada hukum lainnya, karena suatu sebab syar‟i untuk menyesuaikan dengan tujuan-tujuan syariah.30 Yang dimaksudkan oleh para ulama dengan perubahan hukum adalah perubahan fatwa itu sendiri. Perubahan hukum yang dimaksud oleh para ulama seperti as-Sya>t}ibi>, al-Qara>fi>, Ibnu Qayyim dan lainnya, bukanlah penggantian hukum-hukum syariah dengan selainnya. akan tetapi penggantian hukum syar‟i kepada hukum syar‟i lainnya, bukan dengan cara naskh maupun menghilangkan hukum, tetapi dengan jalan perpindahan dan peralihan hukum. dan bukan pula pada seluruh hukum, tetapi hanya pada hukum-hukum yang berputar atas mas}lah}ah, adat, dan
‘illat-’illat yang dapat berubah.31
30
Fathimah Abdullah Al-Umari, Http://Fiqh.Islammessage.Com/Newsdetails.Aspx?Id=7837, Akses 6 September 2015 31 Muhammad Yasri Ibrahim, op. cit., hlm. 366
36
Syaikh Yu>suf al-Qardha>wi> mengatakan bahwa para ulama terdahulu berpendapat bahwa faktor-faktor yang menuntut perubahan fatwa adalah:
1) perubahan atas tempat;
2) perubahan atas zaman;
3) perubahan atas kondisi; 4) perubahan atas ‘urf. Kemudian Syaikh Yu>suf al-Qardha>wi menambahkan 6 hal yang menjadi faktor perubahan hukum saat ini
5) perubahan atas infomasi;
6) perubahan atas kebutuhan-kebutuhan manusia;
7) perubahan atas kemampuan manusia;
8) perubahan atas kondisi sosial, ekonomi, dan politik;
9) perubahan atas pandangan, dan pemikiran; 10) ‘umu>m al-balwa>.32
32
hlm. 10
37
b. Perubahan Hukum Yang Tercakup Dalam Kaidah Tagayyur Al-
Ah}ka>m Para ulama yang memberi syarah atas kaidah ini
sepakat
bahwa yang dikehendaki dari tagayyur al-ah}ka>m hanyalah satu macam dari hukum takli>fi>, bukan semuanya. Karena hukum takli>fi> ada yang tsabit (tidak dapat berubah) dan ada pula yang mutagayyir (dapat berubah). Hal ini seperti yang diterangkan oleh Ibnu Qayyim AlJauziyyah sebelumnya. Maka yang dimaksud dengan hukum yang dapat berubah dalam kaidah tagayyur al-ah}ka>m yang penulis bahas adalah satu macam hukum yaitu hukum-hukum yang didasarkan pada ‘urf dan mas}lah}ah. Jika suatu saat ‘urf ataupun maslahat yang dituju itu berubah, maka berubahlah hukum sesuai dengan ‘urf dan mas}lah}ah yang oleh karenanyalah hukum disyariatkan. Lebih rinci para ulama menjelaskan, 1) Ima>m al-Qara>fi> juga berkata,
صالؼ، إف إدعاء األزاكـ اهِت يطركّن اهعْائط يع تؼري توك اهعْائط بن لك ين ِْ يف الرشيع يتبع اهعْائط يتؼري، ٌاإلدمنع كدّنه يف ادلي احلكى ؾيُ عَط تؼري اهعندة إىل ين تقتغيُ اهعندة املتذطدة “Sesungguhnya memberlakukan hukum-hukum yang bersumber dari adat, padahal adat tersebut sudah berubah, adalah bertentangan dengan ijma‟ dan merupakan kebodohan dalam agama. Bahkan segala sesuatu yang ada dalam syariah yang bersandar pada adat, maka hukumnya berubah sesuai dengan adat yang terkini.”
38
2) Syaikh Sa’i>d Ramad}a>n al-Bu>t}i> menukil dari al-Ustaz az-Zarqa bahwa ‘urf yang baru itu dipertimbangkan dan diikuti walaupun bertentangan dengan dhahir nas}s} tasyri’ dalam dua kondisi, a) Ketika nas}s} tasyri’ dengan sendirinya meng-’illat-kan dirinya pada ‘urf, maka ketika ‘urf itu berganti, hukum yang ada pada
nas}s} berganti karena mengikuti nas}s} tersebut. b) Ketika nas}s} tasyri‟ di-’illat-kan pada suatu ‘illat yang dinafikan oleh ‘urf yang baru, baik ‘illat itu dinyatakan secara jelas oleh
nas}s} ataupun merupakan hasil istinba>t} dengan cara ijtihad. Maka dalam kondisi ini ‘urf yang baru inilah yang dipertimbangkan dan diikuti, walaupun bertentangan dengan nas}s} secara dhahir.33 3) Ibnu Abidin mengatakan, “Ketahuilah bahwa masalah-masalah fiqh, adakalanya ditetapkan dengan nas}s} yang jelas (sharih), ini adalah bab pertama, dan adalah kalanya ditetapkan dengan sebuah ijtihad dan pendapat. Bahkan banyak di antaranya yang dijelaskan oleh seorang mujtahid berdasarkan tradisi pada masanya. Sekiranya mejtahid itu hidup pada masa sekarang, niscaya ia akan mengatakan hal sebaliknya. Oleh karena itu mereka mengatakan di antara persyaratan ijtihad ialah harus mengetahui berbagai macam adat (dan tradisi) manusia. Banyak sekali hukum yang berbeda dikarenakan faktor perbedaan waktu, karena perubahan tradisi penduduknya, terjadinya sesuatu yang bersifat mendesak (dharurat), atau karena rusaknya moral penduduknya, yang mana sekiranya suatu hukum tetap pada seperti semula, pasti akan menyebabkan kesulitan pada menusia, dan bertabrakan
33
Muhammad Said Ramadhan Al-Buthi, Dhawabith Al-Maslahah Fi As-Syariah AlIslamiyyah, (Damaskus: Dar Al-Fikr, 2008), Cet. 6, hlm. 300
39
dengan kaedah-kaedah syari`ah yang berbasis pada keringanan, kemudahan, dan menghilangkan bahaya.”34 3. Perbedaan Antara Tagayyur Al-Ah}ka>m Dengan Batalnya Ijtihad Dengan Yang Semisalnya. Batalnya ijtihad adalah perbedaan ijtihad seorang mujtahid atas suatu masalah ijtihadi dengan yang membatalkannya yang bukan didasarkan atas ‘urf dan mas}lah}ah. a.
Sesungguhnya perbedaan dalam pembatalan ijtihad karena ijtihad yang semisal itu berdasar atas argumentasi dan bukti nas}s}, sedangkan dalam tagayyur al-ah}ka>m berdiri atas perbedaan zaman dan perubahannya. Maka pembatalan ijtihad hanya berlaku bagi mujtahid karena pemahaman dan istinba>t}-nya yang bertentangan dengan ijtihad yang terakhir, atau bertentangan dengan kaidah-kaidah istinba>t} dan
istidla>l atas nas}s} pada ijtihad yang terakhir. Dapat dipahami bahwa pembatalan ijtihad itu berpijak pada perbedaan h}ujjah dan dalil nas}s}. Adapun dalam tagayyur al-ah}ka>m, maka perbadaan hukum itu berdiri atas perubahan masa, dan perubahan hukum itu untuk menyesuaikan perkembangan peradaban dan adat.35 b.
Pembatalan ijtihad atas yang semisalnya terjadi pada tempat yang sama dan masa yang sama, dan bisa pula terjadi pada dua tempat atau
Muh}ammad bin Ibra>hi>m at-Turki>, op. cit., hlm. 117 Ibid., hlm. 134
34 35
40
dua masa yang berbeda, sedangkan dalam tagayyur al-ah}ka>m hanya dapat terjadi pada tempat yang berbeda atau masa yang berbeda.36 c.
Sesungguhnya pembatalan ijtihad dengan yang semisalnya berdiri atas dua ijtihad yang saling bertentangan, sedangakan dalam tagayyur al-
ah}ka>m maka berdiri atas perubahan fatwa dan hukum yang bias dikompromikan dan tidak ada pertentangan padanya.37
E. BATASAN DALAM PENGAMALAN KAIDAH 1. Kaidah Ini Hanya Berlaku Bagi Hukum Ijtihadi Yang Bersumber Dari Urf Dan Maslahah Para ulama membatasi bahwa kaidah ini hanya berlaku atas hukum yang bersumber dari ‘urf dan mas}lah}ah. Hukum yang tidak bersumber dari
‘urf dan mas}lah}ah tidak termasuk dalam ruang lingkup kaidah ini, bahkan hukum itu merupakan hukum yang tetap dan wajib untuk menerapkannya disetiap tempat dan waktu. 38 Hukum-hukum yang tidak termasuk dalam ruang lingkup kaidah ini adalah: a.
Hukum-hukum syar’i yang bersifat qat}’iyy yang berkaitan dengan perbuatan. Sesungguhnya amal perbuatan yang s\a>bit (tetap) yang berupa pokok-pokok hukum dan syari‟ah yang muhkam tidak halal untuk menentangnya maupun bersikap berbeda atasnya. Hal-hal yang pokok yang ditetapkan oleh al-Qur‟an, sunnah dan ijma‟, mempunyai
36
Ibid., hlm. 135 Ibid., hlm. 136 38 Ibid., hlm. 663 37
41
kedudukan yang sama dengan agama, dimana hal ini merupakan titik persamaan risalah para nabi. Kriteria hukum-hukum yang tetap dalam syariah
hukum itu bersandar apada nas}s}-nas}s} yang qat}’iyy dan jelas maknanya.
Bersandar pada ijma>’ yang qat}’iyy
Hukum itu merupakan hukum maqa>s}id, bukan wasa>il. 39
b. Hukum-hukum ijtiha>di> yang didasarkan pada argumentasi dan bukti, bukan ‘urf dan mas}lah}ah. Masalah-masalah ijtihadiyah yang dihasilkan dengan dalil dzonny membolehkan untuk terjadinya perselisihan dan perbedaan pandangan antara para mujtahid, seperti khila>fiyyah para shahabat dalam masalah warisan kakek bersama dengan saudara, masalah „aul, dan lainnya merupakan area z}anniyy dalam fiqih. Akan tetapi Mereka semua sepakat untuk tidak mengingkari atas orang yang berbeda pendapat dengannya. Hukum ijtiha>di> yang berlandaskan pada hujjah dan burhan ini tidak termasuk dalam ruang lingkup kaidah tagayyur al-ah}ka>m, hal ini bisa dilihat dari dua sisi: 1)
Hukum-hukum yang dilandaskan pada h}ujjah dan burha>n, istinba>t} atas dalil. Hukum ini dibangun oleh mujtahid dengan berusaha memahami dalil sesuai dengan kemampuan dan usaha yang
39
Ibid., hlm. 669
42
dilakukannya. Berbeda dengan hukum ijtiha>di> yang dibangun atas
‘urf dan mas}lah}ah, maka hukum akan menyesuaikan dengan ‘urf yang terus berubah atau dengan mas}lah}ah yang sesuai untuk menarik manfaat ataupun mencegah suatu madharat. Dan hukum yang bersandar pada ‘urf tidak bisa dihasilhan kecuali dengan mempertimbangkan ‘urf ataupun maslahat yang sesuai dengan masanya. 2)
Hukum yang dihasilkan dari istinba>t} mengikat mujtahid dan orang yang bertaklid padanya, dan hukum ini tidak dapat dibatalkan kecuali oleh ijtihad dengan dasar dalil yang lebih kuat. Seseorang tak boleh seenaknya berpaling kepada pendapat dengan dalih keleluasaan.Sedangkan hukum yang berkaitan dengan
‘urf
dan
mas}lah}ah,
seorang
mufti
akan
mempertimbangkan adat dan kebiasaan orang yang meminta fatwa padanya. 40 2. Perubahan Hukum Bukan Sebagai Pembatalan Hukum Suatu hukum yang mutagayyir (dapat berubah) adalah hukum yang dikhususkan untuk zaman dan kondisinya, bukan untuk semua zaman dan kondisi. Hukum yang awal akan tetap disyariatkan pada kondisi yang sesuai, zaman yang sesuai, sedangkan hukum yang kedua tidak boleh membatalkan hukum yang pertama karena hal tersebut merupakan suatu
40
Ibid., hlm. 671
43
bentuk penghapusan atau naskh, padahal naskh itu telah tiada dengan wafatnya Rasulullah saw. Maka dari itu seorang mufti tidak boleh melakukan generalisasi terhadap fatwa atas hukum yang mutagayyir, dimana dapat berubah dari fatwa sebelumnya sesuai dengan tuntutan ‘urf dan mas}lah}ah pada setiap keadaan dan zaman. Karena sesungguhnya ‘urf yang senantiasa menuntut perubahan dari masa ke masa, sebagaimana juga mas}lah}ah yang terus menuntut perubahan. Perubahan ini tidaklah menjadikan hukum yang pertama dan yang kedua ini terhapus pensyariatannya, akan tetapi perubahan zaman hanya memnuntut penyesuaian, manakah hukum dari yang pertama atau yang kedua yang sesuai dengan tujuan pembuat syariat (maqs}ad al-sya>ri’).41 Penyebab perubahan hukum bisa dilihat dari dua jalan, a. Hukum yang kedua merupakan hasil istinba>t} dari hukum yang pertama Contoh atas hukum kedua ynag merupakan hasil dari istinba>t} hukum yang pertama adalah hukum tentang penyimpanan daging kurban dan larangan orang kota untuk menjualkan dagangan orang dusun. 42 b. Takhs}i>s} atas dalil yang umum Ketika suatu dalil itu di-takhs}i>s} oleh dalil lain, maka perubahan hukum karena takhs}i>s} itu dikhususkan untuk masa dan keadaan tertentu. Sedangkan hukum yang di-takhs}i>s} dilalah umumnya tetap berlaku
41
Ibid., hlm. 741 Ibid., hlm. 743
42
44
sebagaimana hukum awal sebelum di-takhs}i>s}. Karena sesungguhnya
takhs}i>s} itu tidak menafikan dila>lah lafal yang ada pada suatu dalil. Contohnya adalah takhs}i>s} atas keumuman hadd potong tangan bagi pencuri dengan hadi>s\
ٍ ى ٍ يع ى ىخ ٌٍ ىخ َّينش بٌٍ ىخ َّبنس ىخ ٌٍ يشػيىيٍى ب ىز َّط ىثَىن يرتىيٍبى ي ىز َّط ىثَىن ٍاب يٌ لىّ ى ػٌ بىيتىػنف و ً ً ً ً ً ٍ ى ٍ ي ى ى ى ٍ ى ي ى َّ ى ى ٍ ي ٍ ٍ ى ٍ ى ى ى ى ى ٍ ي َّ َّ ى َّ َّ ي ى ًُ اَّلل ىعويػ ْس ب ًٌ أرطنة فنؿ ؼ ًًعت اجل ًيب ضػى ً خٌ دَندة ب ًٌ أ ًِب أيي خٌ ب ٍىٍ ى ى ى ى َّ ى ى ي ي ى ي ٍ ى ي ٍ ى ى ى ى ه ى ٍ يث ىػعيػ ه ي ػط ً ىكؼوى حقْؿ ال تقطع األي ًطم ًيف اهؼغ ًك فنؿ أبْ ًعيَس ِػظا ز ً ى ى ٍ ى ى ى ٍي ٍ ى ى ى ى ى ٍ ٍ ى ىٍى ى ى ىيى ي يٍ ي ٍ ي ى ىٍى ى ىٍ ن اإلؼَن ًد َنْ ِظا كيقنؿ بْس بٌ أ ًِب أرطنة أيغن ً كفط ركل دري اب ًٌ ل ًّيع بًّظا ُّ ٍ ى ٍ ى ى ي ى ى ى ى ٍ ى ى ٍ ى ٍ ٍ ٍ ٍ ي ٍ ٍ ى ٍ ى ُّ ى ى ى ٍ ى ى ٍ ي ى ى نـ احلىط كاهعًن ىلع ِظا ًعَط بع ًظ أِ ًن اه ًعو ًى ًيَّى األكز ًايع ال يعكف أف حق ٍ ى ُّ ٍ ى ي ِّ ى ى ٍ ٍ ى ٍ ى ٍ ى ٍ ى ي ِّ ى ى ى ى ى ٍ ى ٍ ى ى ى ٍ ي ى ي ى ى ػإذا ؾ ك ػط ع نه ب ػط احل ُ ػ ًيف اهؼغ ًك ًِبْض ًة اهعطك خمنؾ أف يوسـ يٌ حقػنـ عوي ً ً ً ى ى ٍ ى ي ٍ ى ٍ ى ٍ ى ى ى ى ى ى ٍ ٍ ى ى ى ى ٍ ى َّ ى ى ٍ ٌٍىلع ىيػ ى اإلؼػالـً أفػنـ احلػط ً ار ً صعج ً اإلينـ ًيٌ أر ًض احلػع ًب كردػع ًإىل د ى ى ىي ى ى ى ى ى ٍى ى ٍ 43 ُّ أضنبُ لظلًك فنؿ األكز ًايع Telah menceritakan kepada kami [Qutaibah], telah menceritakan kepada kami [Ibnu Lahi>'ah] dari ['Ayya>sy bin Abba>s] dari [Syuyaim bin Baita>n] dari [Juna>dah bin Abu> Umayyah] dari [Busr bin Art}ah] ia berkata; Aku mendengar Nabi shallAllahu 'alaihi wasallam bersabda: "Tidak ada potong tangan dalam peperangan." Abu Isa berkata; Hadits ini ghari>b, ada selain Ibnu Lahi>'ah yang meriwayatkan dengan sanad ini seperti hadits ini. Ia dipanggil juga dengan Busr bin Abu> Arthah. Hadis\ ini menjadi pedoman amal menurut sebagian ulama di antaranya Al Auza'i>, mereka tidak membolehkan menegakkan hukuman dalam peperangan ketika musuh datang, khawatir orang yang sedang dihukum bergabung dengan musuh. Maka jika Ima>m telah keluar dari bumi peperangan dan kembali ke negara Islam, maka ia harus menegakkan hukuman kepada orang yang salah, demikian yang dikatakan oleh Al Auza'i>. (HR. at-Tirmiz\i>, No. 1450) 43
Imam Tirmiz\i>, S}ah}i>h} Tirmi>z\i>, (Riya>d}: Bait Al-Afka>r ad-Dawliyyah, 1422 h), hlm. 255
45
Takhs}i>s} ini member arti akan perubahan hukum ketika dalam keadaan kondisi peperangan. Takhs}i>s} ini tidak dapat diterapkan untuk masa atau keadaan yang lain. Ima>m al-ghazali berkata
إف اتلضطيص ال يَيف داله الوؿظ “Sesungguhnya takhs}i>s} tidak dapat menafikan dilalah lafal (asalnya)”
أف اتلضطيص اليطر إال ؾيًن يتَنكَل الوؿظ “Sesungguhnya takhs}i>s} tidak sah kecuali pada huku yang dalam cakupan lafalnya.” 44 3. Perubahan hukum yang terjadi sesuai dengan kadar dan ukurannya Hukum yang berubah dalam kaidah tagayyur al-ah}ka>m biasanya menyelisihi hukum asalnya, karena perubahan hukum itu dikatikan dengan waktu dan keadaan tertentu, selain dalam keadaan tertentu itu, yang berlaku adalah hukum asal. Maka harus diperjelas disini bahwa perubahan hukum berbanding lurus dengan sebabnya, jika sebabnya tiada maka tiada pula hukumnya. Maka perubahan hukum diperkirakan sesuai dengan kadarnya dan tidak boleh melewati tempatnya. 45 Kadar perubahan hukum dipandang dari dua sisi, a. Dari sisi waktu Hukum yang mutagayyir (dapat berubah) dibatasi oleh waktu dimana sebab dikaitkan padanya, atau pada ‘illat yang berubah karena 44
Muh}ammad bin Ibra>hi>m at-Turki>, op.cit., hlm. 745 Ibid., 755
45
46
perubahan waktu. Jika sebab yang menjadi tempat penggantungan perubahan hukum itu tiada, maka wajib kembali kepada hukum asal. Hal ini seperti yang isyaratkan oleh kaidah
يندنز هعظر بطن بغكاَل “Sesuatu yang dibolehkan karena suatu uz\ur, akan batal kebolehannya dengan hilangnya uz\ur tersebut.” Ima>m Sya>fi’i berkata “sesuatu yang haram yang kemudian menjadi halal dalam kondisi tertentu, ketika kondisinya kembali semula, hukumnya menjadi haram kembali. Mislnya bangkai yang diharamkan dalam keadaan dharurat akan kembali menjadi haram bila keadaan dharurat itu telah hilang.”
b. Dari sisi sifat Kadar atau ukuran sifat hukum yang mutagayyir adalah seperti yang digambarkan oleh kaidah
الْضكرةتقطربقطرِن “Suatu dharurat diukur/ diperkirakan sesuai dengan kadarnya.”
ين أبير لوْضكرة يقطر بقطرِن “Sesuatu yang dibolehkan karena suatu dharurat, diperkirakan sesuai dengan kadarnya.” Setiap perbuatan yang dibolehkan karena adanya dharurat atau hajat, maka tidak boleh berlebihan atau melempaui sesuatu yang cukup untuk sekedar mencegah dharurat atau menutupi hajat.
47
Kaidah ad}-d}aru>ratu tubi>h}u al-mah}d}u>ra>t tidak berlaku secara mutlak, namun sesuai dengan kadarnya. Sebagai contoh permasalahnnya adalah,
Tidak boleh bagi seorang dokter untuk melihat aurat ketika mengobati pasien, kecuali sekedar hajatnya. Dan seorang wanita tidak boleh berobat kepada dokter laki-laki bila ada peremuan.
Seorang peminang boleh memandang wanita yang dikhitbahnya sekedar bagian tubuhnya yang akan menjadikannya tertarik untuk menikahinya, yaitu wajah dan telapak tangan. 46
4. Penerapan Hukum Harus Selaras Dengan Maqa>s}id Syari>’ah Hukum-hukum yang mutagayyir haruslah berjalan selaras dengan prinsip-prinsip syariah yang umum. Karena tujuan dari perubahan hukum bukanlah melepaskan diri dari penerapan hukum-hukum syar‟i ataupun mengikuti hawa nafsu dan menggampangkan agama.47
Karena sesungguhnya syariah datang untuk menjauhkan manusia dari dorongan-dorongan hawa nafsunya hingga menjadi hamba Allah.
Maqa>si} d atau tujuan-tujuan syariah Islam adalah menjaga agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Dengan penelitian dibuktikan bahwa bagian-bagian (juz’iyyat) hukum-hukum syar‟i dengan berbagai macamnya berjalan selaras dengan maqashid syariah. Maka setiap mas}lah}ah yang tidak menjaga
46
Ibid., 758
47
Ismail Koksal, Taghayyur Al-Ahkam Fi As-Syari’ah Al-Islamiyyah, (Beirut: Maktabah Ar-Risalah, 2000), hlm. 270
48
maqashid yang dipahami dari al-Quran, sunnah dan ijma‟ adalah batil dan tertolak.48 Ima>m sya>t}ibi> berkata, “kemaslahatan yang ditarik secara syara‟ dan juga kerusakan-kerusakan yang ditolak olehnya, hanyalah dipertimbangkan jika hal itu dapat menegakkan kehidupan dunia demi kehidupan akhirat, bukan dipertimbangkan dari hawa nafsu”49 Oleh karena itu fatwa-fatwa yang berubah dengan perubahan zaman ganyalah sah bila hal itu dapat menegakkan kehidupan dunia tanpa mengesampingkan kehidupan akhirat.50
F. CONTOH ATAS PENERAPAN KAIDAH 1. Larangan Wanita Pergi ke Masjid Dulu Rasulullah membolehkan wanita untuk keluar ke masjid untuk mengikuti shalat jamaah Rasulullah bersabda, 51
َّ ى َّ ى ي ى َّ ى َّ َّ ي ى ى ٍ ى ى َّ ى ى ى ى ى ٍ ى ي ى ى َّ ى ى ى اَّلل ً ندط ً اَّلل ضى اَّلل عوي ًُ كؼوى فنؿ ال تًَعْا ًإينء ً أف رؼْؿ ً اَّلل مؽ Rasulullah ShallAllahu'alaihiwasallam bersabda, "Janganlah kalian menghalangi kaum wanita pergi ke masjid Allah". (HR. Ibnu Majah No.16)52 Hal itu tetap berlangsung pada masa Nabi, Khalifah Abu> Bakar,
hingga akhirnya pada masa Khalifah Umar bin Khat}t}a>b beliau melarang para wanita untuk keluar ke masjid karena rusaknya zaman dan perubahan kondisi orang pada masa tersebut juga karena perubahan perilaku wanita. 48
Ibid., hlm. 271 Muh}ammad bin Ibra>hi>m at-Turki>, op. cit., hlm. 799 50 Ibid., hlm. 798 51 Imam Ibnu Ma>jah, Sunan Ibnu Ma>jah, (Riya>d}: Bait Al-Afka>r Ad-Dawliyyah, 1422 H), 49
hlm. 20
52
Http://Hadits.Stiba.Ac.Id/?Type=Hadits&Imam=Ibnumajah&No=16
49
Sayyidah ‘A
ى ٍ ى َّ ى ي ى َّ ى َّ َّ ي ى ى ٍ ى ى َّ ى ى ى ى ى ٍ ى ى ِّ ى ي ى ى ى ى ي َّ ٍ ى ٍ ى اَّلل ضى اَّلل عوي ًُ كؼوى رأل ين أزطث اهنؽنء لًَعٌّ الًؽ ًذط ً لْ أف رؼْؿ ٍ ى ى ى ى ىي ٍ ي ىٍ ى ى ٍ ى ى ٍ ى ى ي ى ى ى ين ييَ ٍعٌى ي ت ن ً ىؽ ي نء بى ًِن ًإْسا ًئين فنؿ ذقوت ًهعً ىعة أنًؽنء ب ًِن ًإْسا ًئ لًن ي ًَع ً ٍ ى ى ى ٍ ى 53 ٍ ى ال ىً ٍؽ ًذط فنهت جعى "Kalau Rasulullah shallAllahu 'alaihi wasallam melihat sesuatu yang terjadi pada kaum wanita (sekarang) niscaya beliau menghalangi mereka menghadiri masjid sebagaimana kaum perempuan bani Israil dilarang." Perawi berkata, "Aku berkata kepada Amrah, 'Apakah kaum wanita bani Israil dihalangi pergi ke masjid? ' Dia menjawab, 'Ya.'” (HR. Abu Daud No.482)54 2. Luqathah Hewan Unta
ٍى ى ى ٍ ىٍ ٍ ى ٍ َّ ى َّ َّ ي ى نء ىر يد هن إ ىىل ىر ي ِن أٍَّ يُ فى ىنؿ ىد ى ِّ ّندل اجلي ًُ اَّلل ىعوي اَّلل ضى ْؿ ؼ ص ًٌ خٌ زي ًط ب و ً ً ً ً ً ٍ ى ى ي ٍ ىن ى ٍ ى ى َّ ى ى ى ى ى ي ى ٍ ُّ ى ى ى ى ى اعع ٍؼ ع ىؿ ى نض ىّن ىك ًكَك ىءِن ث َّى ىع ِّعذ ىّن ىؼَ ؾ ًإف ً ً كؼوى ؾؽأَل خٌ الوقط ً ذقنؿ ى ى ى ي ى ى َّ ى ى ٍ ى ى ى ى ى ى ى َّ ي ٍ ى ى ى ى ي ى َّ ى ى ى ى ى ٍك أىك اَّلل فنؿ ًِه ل ً دنء ض ً نزبّن كإًال ؾشأٍك بًّن فنؿ ؾغنه اهؼَ ًى ين رؼْؿ ٍ ى ى ى ٍ ِّ ٍ ى ى ى ى َّ ي ى ى ى ى ى ىىى ى ى ى ى ي ى ى ى ي ى ى ي اإلبً ًن فنؿ ين لك كلّن يعّن ًؼقنؤِن ك ًزظاؤِن ت ًعد ً ًأل ًصيك أك لًذلئ ً فنؿ ؾغنه َّ ٍ ى ى ى ٍ ي ي ٍى ى 55 ى ُّ ى نء ىكتأمن الش ىذ ىع ىز َّىت يىوقنِن ربّن ًال “Telah menceritakan kepadaku Malik dari [Rabi'ah bin Abu Abdurrahman] dari [Yazid] budak Al Munba'its, dari [Zaid bin Khalid AL Juhani] ia berkata; "Seorang laki-laki menemui Rasulullah shallAllahu 'alaihi wasallam bertanya tentang Luqathah (barang temuan), beliau lalu bersabda: 'Kenalilah tutup dan talinya, lalu umumkan selama satu tahun. Jika pemiliknya datang maka berikanlah, dan jika tidak maka itu menjadi milikmu." laki-laki itu bertanya lagi, "Wahai Rasulullah, bagaimana dengan kambing yang tersesat?" Beliau menjawab: "Kambing itu untukmu, atau untuk 53
Imam Abu Dawud, Sunan Abu Dawud, (Riyadh:Bait Al-Afkar Ad-Dauliyyah, 1422 H), hlm. 569 54 Http://Hadits.Stiba.Ac.Id/?Type=Hadits&No=482&imam=abudawud 55 Ima>m Ma>lik, al-Muwat}t}a’, juz 2 (Beirut: Da>r al-Gharb al-Isla>mi>, 1997), hlm. 303
50
saudaramu, atau untuk serigala." Laki-laki itu bertanya lagi; "Bagaimana dengan unta yang tersesat? ' beliau menjawab: "Apa urusanmu dengan unta, ia bisa minum dan punya kaki! Ia akan mencari minum dan makannya sendiri hingga bertemu dengan pemiliknya." (Hadits Ima>m Ma>lik Nomor 2204)56
ٍ ٍ ي ىى ن ى ىن ىى ى ى ى ى ه ٍ ى ى ت ىع ىْ ُّاؿ ٍاإلبن يف ىز ى َّ اخل ى نب ًإبًال يمؤ َّبو تَنت يخ ال ح ىً ُّؽ ىّن أ ىزط ط ٌ ب ع ً خ نف ي ٍاك ً ًًً ً ً ً ى َّ ى ى ى ى ى ي ي ٍ ى ى ٍ ى َّ ى ى ى ى ى ٍ ى ي َّ ي ى ي نء ىضنزبيّنى نع ؾىإ ىذا دى ى زىت ًإذا اكف زينف خحًنف ب ًٌ خؿنف أمع بًتع ًعي ًؿّن ثى تب ً ً ي ٍ ى ى 57 ى ى ى أع ًطي ثًَّن “Unta yg tersesat pada masa Umar bin Khattab amat banyak, bahkan sampai berkembang biak & tak ada seorang pun mengambilnya. Sementara masa Utsman bin Affan, setelah dikenali ciri-cirinya dia memerintahkan untuk menjualnya, jika pemiliknya datang maka uang penjualan tersebut diberikan kepadanya.” [HR. Malik No. 2210].58 Ketika pada masa Sayyidina Us\ma>n beliau memerintahkan agar unta tersebut dijadikan luqat}ah dan menjualnya seperti binatang lain. Ketika pemilik hewan tersesat itu datang, diberikanlah hasil penjualannya. Hal ini berbeda dengan apa yang diperintahkan oleh Rasulullah, dimana beliau mengecualikan unta. Demikian itu diriwayatkan dari Ima>m Malik, dari Ibnu Syiha>b azzuhri>, bahwa Sayyidina Us\ma>n memandang bahwa akhlak manusia telah mengalami
56
kerusakan. Walaupun
Sayyidina Us\ma>n
http://hadits.stiba.ac.id/?type=hadits&imam=malik&no=1248 Ima>m Ma>lik, op.cit., hlm. 306 58 http://hadits.stiba.ac.id/?type=hadits&no=1253&imam=malik 57
secara
z}a>hir
51
bertentangan dengan perintah Rasulullah akan tetapi sesuai dengan esensi tujuan perintah Rasulullah. 59 3. Penulisan Hadits Diriwayatkan dari Rasulullah bahwa beliau melarang untuk menulis hadi>s\,
ى ى ٍ ي ي ى ِّ ى ى ٍ ى ى ى ى ِّ ى ٍ ى ٍ ي ٍ ى ٍ ى ٍ ي ي ُس ًآف ؾوي ً ال تكتبْا خِن كيٌ لت خِن دري اهقع
60
"Janganlah kalian menulis dariku, barangsiapa menulis dariku selain al-Qur'an hendaklah dihapus” [Hadits Ima>m Muslim No. 3004]61 Larangan beliau berlaku umum kecuali kepada beberapa shahabat yang beliau ijinkan untuk menulis hadi>s\. Maka transmisi hadits pada zaman shahabat hanya dilakukan dengan hafalan dan secara lisan. mereka tidak menuliskannya sampai akhir abad pertama hijriah, hal ini dilakukan demi menjauhi larangan Rasulullah.Pada awal abad kedua para ulama bergerak untuk membukukan sunnah nabi atas perintah Khalifah Umar bin Abdul Aziz. Para ulama khawatir akan tersia-sianya sunnah nabi dengan wafatnya para penghafal sunnah nabi. Mereka memandang bahwa sebab larangan Rasulullah adalah karena penulisa hadits dikhawatirkan akan tercampur dengan al-Qur‟an. Karena penulisan al-Qur‟an saat itu masih tercerai berai, ketika al-quran
59
Izzat Abi>d Ad-Da’’a>s, Qawa>’id Fiqhiyyah Ma’a Syarh} Al-Mu>jiz, (Beirut:Da>r AtTirmi>z\i>, 1978), Cet. 3, hlm. 60 60 Imam Muslim,, hlm. 1468 61 http://hadits.stiba.ac.id/?type=hadits&no=5326&imam=muslim
52
telah tersebar baik secara hafalan maupun tulisan, maka tidak dikhawatirkan lagi akan tercampur dengan sunnah Nabi. Maka larangan penulisan hadits sudah tiada, bahkan penulisan sunnah nabi hukumnya menjadi wajib karena ia merupakan satu-satunya jalan untuk menjaganya dari kesia-siaan. 62 4. Registrasi Pernikahan Karena perubahan moral masyarakat, negara mewajibkan untuk mendaftarkan perkawinan kepada petugas pencatat perkawinan untuk menjaga hak-hak suami istri, nasab anak, karena dikhawatirkan ada pengingkaran dari salah satu suami istri yang mengingkari ikatan perkawinan tersebut, atau klaim sepihak bahwa seseorang merupakan suami atau istrinya. apalagi bila dibalik itu semua ada harta warisan dan harta benda lainnya, yang bisa membuat manusia menghalalkan kebohongan demi mendapat yang diinginkannya. 63
62
Muhammad Mushtafa Az-Zuhaily, op. cit., hlm. 359 Yu>suf al-Qardha>wi>, Mu>jiba>t Taghayyur Al-Fatwa> Fi As}rina>, (Lajnah Ta’li>f Wa Tarjamah Al-Ittih}a>d Al-‘A Li Ulama>’ Al-Muslimi>n), hlm. 60 63
BAB III OBJEK KAJIAN
A. PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN TENTANG PENCATATAN PERKAWINAN 1. UU Nomor 1 Tahun 1974 Pencatatan perkawinan di indonesia diatur oleh UU nomor 1 tahun 1974, dalam pasal 2 disebutkan, “Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundangundangan yang berlaku.” 2. Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 Dalam Peraturan Pemerintah
Nomor
9 Tahun 1975 tentang
Pelaksanaan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan disebutkan, dalam pasal 6 1. Pegawai Pencatat yang menerima pemberitahuan kehendak melangsungkan perkawinan, meneliti apakah syarat-syarat perkawinan telah dipenuhi dan apakah tidak terdapat halangan perkawinan menurut Undang-undang. 2. Selain penelitian terhadap hal sebagai dimaksud dalam ayat (1)Pegawai Pencatat meneliti pula : a. Kutipan akta kelahiran atau surat kenal lahir calon mempelai. Dalam hal tidak ada akta kelahiran atau surat kenal lahir, dapat dipergunakan surat keterangan yang menyatakan umur dan asal-usul calon mempelai yang diberikan oleh Kepala Desa atau yang setingkat dengan itu; b. Keterangan mengenai nama, agama/kepercayaan, pekerjaan dan tempat tinggal orang tua calon mempelai; c. Izin tertulis/izin Pengadilan sebagai dimaksud dalam Pasal 6 ayat(2),(3),(4) dan (5) Undang-undang, apabila salah seorang calon mempelai atau keduanya belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun;
d. Izin Pengadilan sebagai dimaksud Pasal 4 Undang-undang; dalam hal calon mempelai adalah seorang suami yang masih mempunya isteri; e. Dispensasi Pengadilan/Pejabat sebagai dimaksud Pasal 7 ayat (2) Undang-undang; f. Surat kematian isteri atau suami yang terdahulu atau dalam hal perceraian surat keterangan perceraian, bagi perkawinan untuk kedua kalinya atau lebih; g. Izin tertulis dari Pejabat yang ditunjuk oleh Menteri HANKAM/PANGAB, apabila salah seorang calon mempelai atau keduanya anggota Angkatan Bersenjata ; h. Surat kuasa otentik atau dibawah tangan yang disahkan oleh Pegawai Pencatat, apabila salah seorang calon mempelai atau keduanya tidak dapat hadir sendiri karena sesuatu alasan yang penting, sehingga mewakilkan kepada orang lain. 3. Kompilasi Hukum Islam Kompilasi hukum islam mengatur tentang pencatatan perkawinan dalam pasal 5,6, dan 7. Pasal 5 (1) Agar terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam setiap perkawinan harus dicatat. (2) Pencatatan perkawinan tersebut pada ayat (1), dilakukan oleh Pegawai Pencatat Nikah sebagaimana yang diatur dalam Undang-undang No.22 Tahun 1946 jo Undang-undang No. 32 Tahun 1954. Pasal 6 (1) Untuk memenuhi ketentuan dalam pasal 5, setiap perkawinan harus dilangsungkan dihadapan dan di bawah pengawasan Pegawai Pencatat Nikah. (2) Perkawinan yang dilakukan di luar pengawasan Pegawai Pencatat Nikah tidak mempunyai kekuatan Hukum. Pasal 7 (1) Perkawinan hanya dapat dibuktikan dengan Akta Nikah yang dibuat oleh Pegawai Pencatat Nikah. (2) Dalam hal perkawinan tidak dapat dibuktikan dengan Akat Nikah, dapat diajukan itsbat nikahnya ke Pengadilan Agama. (3) Itsbat nikah yang dapat diajukan ke Pengadilan Agama terbatas mengenai hal-hal yang berkenaan dengan : (a) Adanya perkawinan dalam rangka penyelesaian perceraian;
(b) Hilangnya Akta Nikah; (c) Adanya keraguan tentang sah atau tidaknya salah satu syarat perkawinan; (d) Adanyan perkawinan yang terjadi sebelum berlakunya Undang-undang No.1 Tahun 1974 dan; (e) Perkawinan yang dilakukan oleh mereka yang tidak mempunyai halangan perkawinan menurut UndangUndang No.1 Tahun 1974; (4) Yang berhak mengajukan permohonan itsbat nikah ialah suami atau isteri, anak-anak mereka, wali nikah dan pihak yang berkepentingan dengan perkawinan itu. 4. Pencatatan Perkawinan Di Negara-Negara Islam Pencatatan perkawinan bukanlah hukum yang terdapat di indonesia saja akan tetapi di negarar-negara arab pun pencatatan perkawinan diatur oleh undang-undang. peraturan perundang-undangan di negara Arab tentang pencatatan perkawinan memiliki bentuk-bentuk yang berbedabeda: a. Undang-undang yang mewajibkan pencatatan perkawinan tanpa menyebutkan adanya sanksi bila tidak mematuhinya, di antaranya adalah unadang-undang negara Maroko dimana disebutkan dalam pasal 43, Akad pernikahan wajib didaftarkan pada pendaftaran di pengadilan dan salinannya akan dikirim ke kantor sipil.1 b. Undang-undang yang menolak pengaduan tentang pernikahan, atau pengakuan atasnya kecuali bila mengajukan dokumen resmi. hal ini ditetapkan oleh peradilan mesir sejak tahun 1931.
Usa>mah Umar Sulaiman Al-Asyqar, Mustajadda>t Fiqhiyyah Fi Qadha>ya> az-Zawa>j Wa at-T{ala>q, (Amman: Da>r an-Nafa>is, 2000), Cet. 1, hlm. 145 1
Da>r al-ifta>’ al-mis}riyyah pada tanggal 1 Februari 1957 telah memberikan fatwa bahwa ayat undang-undang yang menyatakan tidak diterimanya gugatan ke pengadilan ketika ada pengingkaran atas hubungan perkawinan atau pengakuan adanya hubungan perkawinan kecuali dengan dokumen resmi, ayat undang-undang ini tidak mensyaratkan dokumen resmi atas sahnya suatu akad pernikahan, dokumen resmi hanyalah sebagai syarat diterimanya suatu pengaduan.2 c. Undang-undang yang memberikan sanksi bagi mereka yang tidak mendaftarkan pernikahannya secara resmi, yaitu undang-undang ah}wa>l
asy-syakhs}iyyah Yordania. dalam pasal 17 disebutkan, Apabila suatu perkawinan berlangsung tanpa dokumen resmi, maka akan dikenai sanksi bagi masing-masing wali, dua mempelai, saksi-saksi dengan hukuman yang tersebut dalam undang-undang pidana yordania dan dengan denda paling banyak seratus dinar. Negara lain yang menerapkan sanksi atas pernikahan yang tidak didaftarkan adalah irak, dalam pasal 10 ayat 5 undang-undang
ah}wa>l asy-syakhs}iyyah disebutkan, Diberikan sanksi berupa penjara paling sebentar 6 bulan da paling lama 1 tahun atau dengan denda paling sedikit 300 dinar dan paling banyak 1000 dinar bagi setiap laiki-laki yang melangsungkan akad pernikahan diluar pengadilan. Dan hukuman penjara paling sebentar 3 tahun dan paling lama 5 tahun bila melakukan poligami di luar pengadilan.3 d. Undang-undang ah}wa>l asy-syakhs}iyyah Tunisia yang menyatakan dalam bab 4 hukum perkawinan, 2 3
Ibid., hlm.146 Ibid.
Pernikahan tidak dapat ditetapkan kecuali dengan bukti resmi sebagaimana yang telah diatur oleh undang-undang.4 B. PENTINGNYA PENCATATAN PERKAWINAN Allah SWT memerintahkan agar menepati janji dan menunaikan hak. ketika hak-hak itu rentan untuk disia-siakan dengan melihat pada tabiat kehidupan manusia yang dapat lupa, terjadinya perselisihan dan pengingkaran. Allah SWT mensyariatkan untuk melakukan taws\i>q5 terhadap hak-hak dan akad-akad dengan berbagai sarana dan macam-macamnya, yaitu taws\i>q dengan penulisan/pencatatan, persaksian dan rahn (jaminan).6
Taws\i>q ini sangat penting sehingga Allah menurunkan ayat yang terpanjang dalam al-quran,
ُ َ ْ ْ ْ ْ ُ ُ ُ ْ َ َ َ ُّ َ ذ َ َ ُ َ َ َ َ ْ ُ ْ َ ْ َ َ َ ُ َ ى ًْ ٔه َو َْلهخُب ةَحِك اَّليَ آٌِٔا ِإذا حدايجخً ةِدي ٍَ ِإَل أج ٍو مصًّم فانخت ِ يا أيٓا ذ ْ ُْ َ ْ ُ ْ َْ َ َُ ٌ َْ ْ َ َْ َ َ ٌ َ ْ َ ْ ُ َ َ َ َ ذ َ ُ ذ اَّلي ِ َكحِب ةِاىػد ِل وال يأب َكحِب أن يكخب نٍا غيٍّ اَّلل فييهخب وْلٍ ِي ِو ْ َْ َ َ ْ َ ْ ُْ َ ًْ َ ْ َ َ ذ ُ َ َ ْ ْ ُّ ْ ذ ذ َ ذ ً اْل َ ُّق َشف يٓا ِّ اَّلي غيي ِ غيي ِّ اْلَق َوْلَخ ِق اَّلل َربّ َوال يتخس ٌِِّ شحئا ف ِإن َكن ِ َ َ ُ ْ َ ْ َ ْ َ ْ ُ ُّ َ ْ ْ ُ ْ َ َ ُ َ ْ َ ً َ ْ َ ْ َ ُ َ ْ ُ ذ ٌَْ َْيدي ِ ِ ِٓ أو ض ِػيفا أو ال يصخ ِعيع أن ي ٍِو ْٔ فييٍ ِيو و ِْلّ ةِاىػد ِل واشتش ِٓدوا ش ْ َ َ ُّ َ َ َ َََ ْ َ ٌ ُ ََ َْ ُ َ َ ُ َ َْ ْ َ ْ ُ َ ان ِم ذٍ َْ ح ْرض ْٔن ٌِ ََ الش َٓدا ِء أن ِ ْي فرجو وامرأح ِ ِرجا ِىكً ف ِإن لً يكُٔا رجي ّ َ َ ُ َ ْ َ ذ ُ َ َ ُ َ َ ُّ َ ْ َ َ َ ْ ُ َ ْ ُ َ ح ِضو ِإخداْ ٍَا فخُذ ِن َر ِإخداْ ٍَا األخرى وال يأب الشٓداء ِإذا ٌا دغٔا وال َ َ ً َ َْ ً َ ُ ُُ ْ َ ْ َ َُ َْ َْ ْ ُ َ َْ ذ َ ُاَّلل َوأَكْ َٔم َ ُ ِ تصأمٔا أن حكختٔه ض ِغريا أو ن ِتريا ِإَل أج ِي ِّ ذ ِىكً أكصط ِغِد 4
Ibid., hlm. 147 Tautsiq Adalah Sesuatu Yang Dirumuskan Untuk Dijadikan Sebagai Bukti Kebenaran Terjadinya Suatu Tindakan Sebagai Upaya Antisipasi Adanya Ketidakjelasan Dikemudian Hari. Lihat Satria Zein Effendi, Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer, (Jakarta: Kencana, 2004), hlm. 35 6 Abdul Qa>dir Bu>qzu>lah, Taus}i>q az-Zawa>j Baina As-Syari>’ah Wa Al-Qa>nu>n, Tesis, (Paris: Al-Ma’had Al-Urubi Li Al-Ulum Al-Insaniyyah, 2012), hlm. 67 5
َْ َ ُ َْ َ ُ ُ ً َ َ ًَ َ َ ُ َ ْ َ َ َ ذ ُادة َوأَ ْد ََن أَال حَ ْرحَاة يرون َٓا ةَحِك ًْ فيح َس اِضة ح ِد خ ة ار ِت ٔن ك ح ن أ ال إ ٔا ِ ِ ٓلِيش ِ ِ ْ َ ٌ َ َ ٌ َ َ َْ ُ ْ ُ َ ٌ َ َ ْ ُُ َ ََ ْ ُ َ ََ َ ُْ ْ َ ُ َ ذ غييكً جِاح أال حكختْٔا وأش ِٓدوا ِإذا تتايػخً وال يضار َكحِب وال ش ِٓيد وإِن ٌ ُ ُ َُْ َُ َ ذ ُُ ْ َ ذ ُ ُ ُّ ََُ َذ ُ اَّلل َو ذ ُ ك ًُ ذ ٌ َش ٍء َغي ْ َ ك ّو ًي ة اَّلل ٍ ي ػ ي و اَّلل ٔا ل ات و ً ك ة ٔق تفػئا ف ِإُّ فص ِ ِ ِ ِ ِ
)٢٨٢(
Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah mengajarkannya, meka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi sedikitpun daripada hutangnya. jika yang berhutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau Dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, Maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur. dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (di antaramu). jika tak ada dua oang lelaki, Maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa Maka yang seorang mengingatkannya. janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil; dan janganlah kamu jemu menulis hutang itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya. yang demikian itu, lebih adil di sisi Allah dan lebih menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan) keraguanmu. (Tulislah mu'amalahmu itu), kecuali jika mu'amalah itu perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, Maka tidak ada dosa bagi kamu, (jika) kamu tidak menulisnya. dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli; dan janganlah penulis dan saksi saling sulit menyulitkan. jika kamu lakukan (yang demikian), Maka Sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu. dan bertakwalah kepada Allah; Allah mengajarmu; dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu. (QS. al-Baqarah:282) 7 Ayat ini adalah ayat yang menjelaskan tentang taws\i>q dalam muamalat dan hak-hak dengan tiga cara yaitu, penulisan, persaksian dan rahn (jaminan gadai). Dan Allah memulainya dengan perintah atas pencatatan dan ia 7
Yayasan Penyelenggara Penerjemah Al-Qur’an, Al-Qur’an Tiga Bahasa, (Depok: AlHuda, 2011), hlm. 83
merupakan tingkat pertama di antara sarana lainnya dalam taws\i>q. Ima>m al-Qurt}u>bi> mengatakan bahwa Allah memerintahkan untuk menulis hutang dan temponya. Allah memerintahkan untuk menulis (kita>bah) tetapi yang dimaksud adalah penulisan dan persaksian, karena penulisan tanpa persaksian tidak dapat dijadikan bukti. dan dikatakan bahwa perintah untuk menulis supaya tidak lupa.8 Jumhur ulama berpendapat bahwa penulisan hutang ini sunnah untuk menjaga harta dan menghilangkan keraguan.9 Perintah tentang persaksian, penulisan dan rahn (gadai jaminan) menunjukkan kesunnahan, sebuah bimbingan dan bukan sebuah kewajiban. hal itu ditunjukkan oleh firman Allah,
َ ْ َ َ َ ْ ُ ُ ْ َ ْ ً ََُّْ ذ ََُ ََ َ ُْ ّاَّلي اؤح ٍَِ أٌانخ ِ ف ِإن أ ٌَِ بػضكً بػضا فييؤ ِد “Akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, Maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya)” (QS. Al- Baqarah:283) 10 As-Sya‟bi berkata, “jika kamu saling percaya maka tidak mengapa bila kamu tidak menuliskan atau melakukan persaksian.” Andaikan wajib, pastilah Rasulullah saw. mencatatkan seluruh muamalatnya, akan tetapi tidak ada hadits yang menetapkan hal tersebut dan hal itu menunjukkan bahwa itu tidak wajib.11 Syaikh Muhammad T{a>hir Ibnu A<syu>r mengatakan dalam tafsirnya atImam Al-Qurthubi, Al-Jami’ Li Ahkam Al-Qur’an (Tafsir Al-Qurthubi) Juz 4, (Beirut: Maktabah Ar-Risalah, 2006), Hlm. 430 9 Ibid., Hlm. 431 10 Yayasan Penyelenggara Penerjemah Al-Qur’an, op.cit., hlm. 84 11 Ahmad Bin Yusuf Bin Ahmad Ad-Daryuwaisy, Az-Zawaj Al’urfi, (Riyadh:Dar AlAshimah, 2005), Cet. 1, Hlm. 65 8
tah}ri>r wa at-tanwi>r, “Tujuan atas perintah Allah atas perintah penulisan adalah sebagai jaminan atas hak, memutus sebab-sebab permusuhan, penataan terhadap muamalat ummat, dan memungkinkan untuk mengenali akadakad yang rusak. Pendapat yang lebih rajih adalam pendapat yang mewajibkan, karena ia adalah asal dari sebuah perintah. Adapun ayat 283 dari surat al-baqarah menunjukkan rukhsah yang khusus bila dua orang yang berakad saling percaya. Tujuan dari syariah atas penulisan adalah sebagai peringatan bagi orang yang memiliki hak agar tidak meremehkan akan tetapi pada akhirnya menyesal, dan bukan untuk membatalkan rasa percaya antar satu dan lainnya.”12 Syaikh as-Sa’di mengatakan bahwa perintah Allah atas penulisan terhadap semua akad muda>yana>t (hutang piutang) adakalanya wajib dan adakalanya sunnah karena kebutuhan yang sangat mendesak akan adanya penulisan. tanpa penulisan akan memungkinkan terjadinya kesalahan, lupa, dan persengketaan. Abd al-Qa>dir Bu>qzu>lah mengatakan bahwa pendapat sebagian ulama yang mewajibkan atas penulisan hutang adalah pendapat yang kuat, khususnya pada masa ini, dimana nilai keagamaan sangat sedikit, banyaknya pengkhianatan dan menyia-nyiakan amanah.13 Al-Qaffa>l
berkata
bahwa
Allah
taala
membolehkan
untuk
meninggalkan penulisan, persaksian dan rahn hanya jika diyakini bahwa orang yang berutang adalah orang yang dapat dipercaya. Ibnu Jizzi> berkata tentang penulisan mahar yang di akhirkan bahwa, penulisan tersebut bukan merupakan syarat nikah, akan tetapi penulisan Muhammad Thahir Ibnu ‘Asyur, At-Tahrir Wa At-Tanwir, Juz 3, (Tunisia: Dar AtTunisiyyah Li An-Nasyr, 1984), Hlm. 100 13 Abdul Qadir Buqzulah, Op. Cit., Hlm. 71 12
tersebut sebagai taws\i>q untuk melindungi hak dan menghilangkan persengketaan. Menurut Ahmad Rofiq, pencatatan perkawinan bertujuan untuk mewujudkan ketertiban perkawinan dalam masyarakat. pencatatan perkawinan merupakan suatu upaya yang diatur melalui perundang-undangan , untuk melindungi martabat dan kesucian perkawinan, dan lebih khusus lagi perempuan dalam kehidupan rumah tangga. Setidaknya ada dua manfaat pencatatan perkawinan, yakni: manfaat preventif dan manfaat represif. Pencatatan memiliki manfaat preventif, yaitu untuk menanggulangi agar tidak terjadi kekurangan atau penyimpangan rukun dan
syarat-syarat
perkawinan,
baik
menurut
hukum
agama
dan
kepercayaannya itu, maupun menurut perundang-undangan. Dalam bentuk kongkretnya, penyimpangan tadi dapat dideteksi melalui prosedur yang diatur dalam pasal 3 PP No. 9 Tahun 1975.14 PP tersebut mengatur bahwa seorang yang hendak melangsungkan perkawinan diwajibkan memberitahukan kepada pegawai pencatat perkawinan. hal-hal yang diberitahukan meliputi: nama, umur, agama/kepercayaaan, pekerjaan, tempat kediaman calon mempelai, dan apabila salah seorang atau keduanya pernah kawin, disebutkan juga nama isteri atau suami terdahulu. dengan adanya pemberitahuan ini, kemungkinan terjadinya penyimpangan atau pemalsuan identitas dapat dihindari.15
14 15
Ahmad Rofiq, Op.Cit., Hlm. 111 Ibid., Hlm. 112
Dengan memcatatkan perkawinan kepada pegawai pencatat nikah, suami dan isteri, masing-masing mendapatkan akta nikah. akata nikah berfungsi sebagai bukti otentik suatu perkawinan, selain itu ia memiliki manfaat sebagai “jaminan hukum” apabila salah seorang suami atau isteri melakukan suatu tindakan yang menyimpang. misalnya, seorang suami tidak memberikan nafkah yang menjadi kewajibannya, sementara sebenarnya ia mampu atau suami melangggar ketentuantaklik talak yang telah dibacanya, maka pihak isteri yang dirugikan dapat mengadu dan mengajukan perkara ke pengadilan.16 C. Kedudukan Pencatatan Perkawinan Dalam Hukum Islam Pencatatan perkawinan adalah sesuatu yang baru dalam hukum islam, hal ini dikarenakan pada zaman Rasulullah saw dan para shahabat tidaklah dikenal akan adanya pencatatan perkawinan. hal ini sebagaimana yang dipaparkan oleh Ibnu Taimiyah:
ولً يكَ الطداةث يكختٔن الطداق ألًُٓ لً يكُٔٔا يزتوجٔن ىلع مؤخر ةو يػجئن املٓر وإن أخروه فٓٔ ٌػروف فيٍا ضار انلاس يزتوجٔن ىلع املؤخر ُ واملدة حعٔل ضاروا يكختٔن املؤخر وضار ذلم خجث يف إثتات الطداق:ويجس ىكَ ْذه اإلشٓار حيطو ةّ امللطٔد شٔاء خرض الشٓٔد,ويف أُٓا زوجث هل اىػلد أو جاءوا ةػد اىػلد فشٓدوا ىلع إكرار الزوج و الزوجث و الٔيل وكد غئٍا
.أن ذلم ُكاح كد أغيَ و إشٓادًْ غييّ ٌَ غري حٔاص ةكخٍاُّ إغالن
17
“Para sahabat tidak menulis mahar karena mereka tidak mengakhirkannya, bahkan memberikannya secara langsung, 16 17
Ibid., Hlm. 116 Ahmad Bin Yusuf Bin Ahmad Ad-Daryuwaisy, Op.Cit., Hlm. 71
seandainya diantara mereka ada yang mengakhirkan tetapi dengan cara yang baik. Tatkala manusia mengakhirkan mahar padahal waktunya lama dan terkadang lupa maka mereka menulis mahar yang diakhirkan tersebut, sehingga catatan itu merupakan bukti kuat tentang mahar dan bahwasanya wanita tersebut adalah istrinya. 18 akan tetapi dengan adanya pengumuman telah mencapai tujuan bahwa wanita tersebut adalah istrinya. baik para saksi hadir saat akad ataupun mereka datang setelah akad kemudian mereka menyaksikan pengakuan suami, istri, dan wali. dan mereka telah mengetahui bahwa pernikahan itu telah diumumkan serta persaksian mereka atasnya tanpa ada pesan untuk menyembunyikan, adalah suatu pengumuman.
Perkataan Ibnu Taimiyah tersebut dapat dipahami bahwa pencatatan perkawinan adalah sesuatu yang baru, diman pada zaman Rasulullah hal tersebut belum ada. Akan tetapi ketika orang-orang menikah dengan menunda pembayaran mahar, mulailah adanya penulisan dalam pernikahan. Penulisan ini berfungsi sebagai pencatatan atas hutang mahar yang dalam al-Qur‟an Allah memerintahkan untuk mencatat hutang dengan suatu tempo waktu. Bila dahulu penulisan dalam akad pernikahan berfungsi sebagai penulisan mahar yang ditunda pembayarannya. Pada masa sekarang pencatatan pernikahan berfungsi sebagai bukti akan adanya ikatan pernikahan, disamping saksi. Hal ini dikarenakan kebiasaan dan ‘urf berubah, moral manusia telah mengalami banyak kerusakan, hal inilah yang menjadikan pemerintah
berinisiatif
membuat
aturan
hukum
tentang
pencatatan
perkawinan. Dewasa ini, dalam menyikapi aturan hukum tentang pencatatan perkawinan inilah ada perbedan pendapat yang akan penulis jelaskan lebih Hamizar, Nikah Sirri Dalam Perspektif Hukum Positif Di Indonesia Ditinjau Dari AlMaqashid Al-Syari’ah, Tesis, (Riau: Uin Sultan Syarif Kasim, 2014), Hlm. 43 18
lanjut.
1. Pencatatan Perkawinan Wajib Karena Tuntutan Kemaslahatan Dan Perintah Ulil Amri, Tanpa Berpengaruh Terhadap
Keabsahan Suatu
Perkawinan Menurut pandangan kelompok ini, pencatatan merupakan suatu kewajibandan berdosa bila ditinggalkan, dikarenakan adanya perintah ulil amri untuk mencatatkan perkawinan. Pandangan ini didukung oleh banyak ulama. MUI dalam fatwanya tentang nikah bawah tangan, mengutip perkataan Ima>m Nawawi Al-Bantani>,
و إذا, وإذا أوجب ةٍصخدب وجب,ّإذا أوجب االٌام ةٔاجب حأكد وجٔب 19
أوجب جبائز إن َكُج فيّ مطيدث اعٌث نرتك رشب ادلخان وجب
Pernikahan harus dicatatkan secara resmi pada instansi berwenang, sebagai langkah preventif untuk menolak dampak negative/madharrat (saddanlidz-dzari’ah).20 Hal ini sesuai dengan kaidah fiqh,
درء املفاشد ٌلدم ىلع جيب املطاىح “mencegah suatu kemafsadahan lebih didahulukan/ diutamakan daripada menarik suatu kemaslahatan.” 19 20
Majelis Ulama Indonesia, Op. Cit., Hlm. 531 Ibid., Hlm. 532
Peraturan perundang-undangan sama sekali tidak mengatur materi perkawinan, bahkan ditandaskan bahwa perkawinan sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu. Peraturan perundangan hanya mengatur perkawinan dari formalitasnya, yaitu perkawinan sebagai sebuah peristiwa hukum yang harus dilaksanakan menurut peraturan agar terjadi ketertiban dan kepastian hukumnya.21 Sebagian ulama dan penulis kontemporer seperti Syaikh „Ali T{ant}a>wi> dan Syaikh Yu>suf al-Qard}a>wi> berpendapat bahwa wajib hukumya mencatatkan perkawinan dan mendaftarkannya secara resmi. orang yang tidak mencatatkan perkawinannya secara resmi adalah berdosa dan berhak mendapat sanksi sesuai yang ditentukan oleh ulil amri, di saat yang sama akad nikah tetap sah walaupun tidak dicatatkan.argumen mereka adalah, 1.
Untuk menetapkan hak-hak dan hukum-hukum yang berkaitan dengan perkawinan, menjaga hak anak apalagi pada saat ini pada masa ini kerusakan moral menjadi hal umum dan banyaknya fitnah.
2.
Ulil amri telah memerintahkan dan mewajibkan pencatatan, dan menaati perintah ulil amri adalah sebuah kewajiban berdasarkan firman allah,
َ َذ َ ُ َ َ َ َ ُّ َ ذ َُ َ ُ ذ ُ ْ ْ ُ ُ ًْك َ ٌِِ ويل األم ِر ِ يا أيٓا ِ اَّليَ آٌِٔا أ ِظيػٔا اَّلل وأ ِظيػٔا الرشٔل وأ )٩٥(…..
21
Majelis Tarjih Muhammadiyyah, Op.Cit., Hlm. 3
Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. (QS. An- Nisa:59) 22
إال أن يؤمر ةٍػطيث، ىلع املرء املصيً الصٍع واىعاغث فيٍا أخب وكره فإن أمر ةٍػطيث فال شٍع وال ظاغث،
23
"Wajib setiap orang untuk mendengar dan taat, baik terhadap sesuatu yang dia suka atau benci, kecuali jika dia diperintahkan untuk bermaksiat, maka tidak ada kewajiban baginya untuk mendengar dan taat." „(HR. Muslim, no. 1839)
َُ ذَ ذ ْ َْ وف ِ ِإنٍا اىعاغث ِيف الٍػ ُر
24
Sesungguhnya ketaatan hanya ada dalam perkara yang baik. (HR. Bukhari, No. 4085) Selama manusia diperintahkan kepada sesuatu yang baik, wajib baginya untuk taat. Taat dalam hal ini adalah sesuatu yang mestti dan wajib.25 3. Pencatatan Perkawinan Sebagai
Rukun Perkawinan
Pandangan yang mengatakan bahwa pencatatan perkawinan perlu diangkat menjadi rukun perkawinan diusung oleh counter legal draft kompilasi hukum islam (CLD KHI). CLD KHI dimaksudkan sebagai gagasan baru untuk memperbarui materi kompilasi hukum islam yang disusun oleh tim pengarusutamaan gender departemen agama RI.26
22
Yayasan Penyelenggara Penerjemah Al-Qur’an, Al-Qur’an Tiga Bahasa, (Depok: AlHuda, 2011), hlm. 164 23 Imam Muslim, S}ah}i>h} Muslim, (Beirut: Da>r Al-Fikr, 2003), Cet. 1, hlm. 936 24 Ima>m al-Bukha>ri>, S}ah}i>h} al-Bukha>ri>, (Damaskus: Da>r Ibnu Kas\i>r, 1422 H), hlm. 1577 25 Ahmad Bin Yusuf Bin Ahmad Ad-Daryuwaisy, Op.Cit., Hlm. 72 26 Ridwan, Membongkar Fiqh Negara: Wacana Keadilan Gender Dalam Hukum Keluarga Islam, Hlm. 141
Menurut Ridwan, penempatan pencatatan sebagai bagian dari rukun perkawinan oleh perumus CLD tidak lebih sebagai upaya penegasan formal keharusan pencatatan dalam sebagaiman diatur UUNo.1/1974 pasal 2 dan Kompilasi Hukum Islam pasal 4,5,6,7 yang kemudian ditarik pada tempat yang lebih tinggi yaitu sebagai rukun perkawinan dan tidak sematamata
keharusan
administratif
saja.
Dengan
demikian
pencatatan
perkawinan sebagai rukun tidak lebih sebagai pengembangan dari sesuatu yang secara material sudah ada untuk kemudian dikemas dengan baju yang baru.27 Dalam pasal 7 CLD KHI dinyatakan, perkawinan dinyatakan sah apabila memenuhi rukun berikut: a. b. c. d.
calon suami calon istri ijab dan kabul pencatatan
Dari pasal 7 tersebut bisa dilihat bahwa menurut CLD KHI, rukun perkawinan ada empat yaitu calon suami, calon istri, ijab kabul dan pencatatan.pencatatan dianggap sebagai salah satu rukun, tapi di sisi lain wali dan dua orang saksi tidak dianggap sebagai rukun. Dalam pasal 6 CLD KHI dinyatakan, 1. 2.
27
Perkawinan hanya dapat dibuktikan dengan akta nikah yang dibuat oleh pegawai pencatat nikah (PPN) Perkawinan yang tidak dapat dibuktikan dengan akta nikah dapat diajukan penetapan (itsbat) nikah ke pengadilan agama
Ibid., Hlm. 142
3.
Itsbat nikah yang dapat diajukan ke pengadilan agama disebabkan: a. akta nikah hilang b. adanya keraguan atas keabsahan akta nikah
4.
yang berhak mengajukan permohonan itsbat nikah ialah suami atau istri, anak-anak mereka, dan pihak yang berkepentingan dengan perkawinan itu.28
Dari pasal 6 dapat dipahami bahwa perkawinan hanya dapat dibuktikan dengan akta nikah, saksi tidak lagi bisa dijadikan alat bukti akan adanya pernikahan. Sedangkan itsbat nikah hanya berkaitan dengan akta, bukan terkait dengan pernikahan yang dulunya tidak dicatatkan. dengan demikian CLD KHI menganggap bahwa pernikahan sah, hanya bila ia dicatatkan kepada pegawai pencatat nikah. walaupun suatu akad nikah telah memenuhi syarat dan rukunnya secara syara‟, bila ia tidak dicatatkan, dalam pandangan CLD KHI pernikahan tersebut tidak sah. Menurut pihak yang mendukung CLD KHI bahwa masalah keharusan pencatatan perkawinan dalam konteks hukum Islam secara metodologis bisa masuk kategori sadd az\-z\ari>'ah yaitu menghambat kemungkinan lahirnya ekses-ekses negatif dengan berpegang pada prinsip
dar’u al-mafa>sid muqaddam ‘ala> jalb al-mas}a>lih} (mencegah dampak negatif
didahulukan
daripada
menarik
kemaslahatan).
Pencatatan
perkawinan bisa juga dimaknai sebagai bagian dari intervensi negara dalam masalah perkawinan dalam rangka menciptakan tertib administrasi dan menjamin kepastian hukum. Dalam hal ini negara mempunyai otoritas. Counter Legal Draft Kompilasi Hukum Islam Dalam Marzuki Wahid, Fiqh Indonesia, (Bandung: Marja, 2014), Hlm. 389 28
Dalam khazanah metodologi hukum Islam terdapat kaidah fiqh untuk melegitimasi otoritas pemerintah membuat paket undang-undang, asalkan dasar pijak perumusan undang-undang tersebut adalah untuk menciptakan kemaslahatan rakyatnya. Adapun kaidah fiqh tersebut adalah:
حرصف االٌام ىلع الرغيث ٌِٔط ةاملطيدث “kebijakan penguasa (pemerintah) terhadap rakyatnya haruslah di dasarkan atas kemaslahatan)” Landasan metodologis lain untuk memposisikan pencatatan sebagai sebuah keharusan yuridis dalam perkawinan, digunakan perangkat metode qiyas (analogi) yaitu dengan mer peristiwa nikah (furu>’) sebagai peristiwa hukum yang dianalogikan dengan peristiwa hukum lain seperti jual beli (us}u>l) yang memerlukan adanya pencatatan. Perlunya pencatatan dalam alBaqarah ayat 282, jual beli disebutkan dalam al Quran dan ini bisa ditempatkan sebagai ketentuan hukumnya (hukm al-as}l). Adapun alasan hukum/ legal reasoning (illat al-h}ukm) antara keduanya adalah samasama sebagai alat untuk meng hindari kemungkinan lahirnya sengketa huk um yang lahir dari sebuah perikatan.29 Rofiq nashihuddin mengatakan, “Secara sederhana dapat diketahui bahwa diantara ulama Mazhab sendiri tidak ada kesepakatan tentang rukun perkawinan, oleh karena itu rukun perkawinan yang sudah masyhur di masyarakat atau segaimana yang tercantum pada pasal 14 Kompilasi Hukum Islam bukanlah suatu hal yang sudah final, akan tetapi ada kemungkinan untuk berubah baik ditambah atau dikurang sesuai dengan kebutuhan dan kemaslahatan bagi masyarakat itu sendiri. Calon mempelai pria dan calon mempelai wanita dijadikan sebagai rukun perkawinan, bukan karena ada 29
Ridwan, Hlm. 146
petunjuk dari Al-Quran atau Al-Sunnah, akan tetapi semata-mata hasil ijtihad ulama, Al-Quran dan Al-Sunnah tidak menjelaskan adanya calon mempelai pria dan calon mempelai wanita yang mengarah untuk dijadikan sebagai rukun pernikahan. Oleh karena itu Ima>m H{anafi tidak menjadikan calon mempelai pria dan calon mempelai wanita sebagai rukun perkawinan”.30 D. Fatwa Para Ulama Atas Pernikahan Yang Tidak Dicatatkan Perikahan yang tidak dicatatkan kepada pegawai pencatat nikah dalam fatwa MUI disebut sebagai nikah bawah tangan. Tetapi lumrah juga digunakan istilah nikah sirri, akan tetapi nikah sirri ini multitafsir. Istilah nkah sirri mencakup nikah yang tidak dicatatkan baik itu memenuhi syarat dan rukunnya secara syara‟ ataupun tidak. Literatur bahasa arab menyebut pernikahan yang tidak dicatatkan dengan istilah az-zawa>j al ‘urfiy, disebut sebagai ‘urf , karena hal inilah yang menjadi kebiasaan kaum muslimin sejak masa nabi dan para shahabat, dan pada saat itu kaum muslimin tidak menaruh perhatian apada pencatatan perkawinan, dan hal tersebut tidak menimbulkan masalah bagi mereka, bahkan hatinya tetap tenang. maka hal tersebut menjadi suatu ‘urf secara syara‟.31 Istilah nikah „urfi juga masih multitafsir sebagaimana istilah nikah sirri di indonesia. Kadang dipakai untuk nikah yang telah memenuhi syarat dan rukunnya secara syara‟ dan kadang juka dipakai untuk nikah yang tidak memenuhi syarat dan rukunnya secara syara‟. Nikah yang tidak dicatatkan bukanlah problem di indonesia saja, akan tetapi juga di timur tengah. Oleh karena itu banyak para ulama yang 30
http://www.nasihudin.com/pencatatan-perkawinan-sebagai-syarat-sah-pernikahan-diindonesia/49 Akses 6 September 2015 31 Ahmad Bin Yusuf Bin Ahmad Ad-Daryuwaisy, Op.Cit., Hlm. 82
memberikan fatwa atas masalah ini.di bawah ini penulis memaparkan sejumlah fatwa oleh para ulama terkait nikah yang tidak dicatatkan 1. Fatwa Syaikh Muhammad Abu Zahrah
ٌا دام حبرضة,ال شم أن اىػلد اَّلي غلد ٌَ غري حٔثيق ضديح رشاع شاْديَ و لً ئجد ٌاُع رشيع ٌَ الزواج ؤْ غلد حرتحب غييّ لك آثاره
إٍُا أثر اتلٔثيق يف غدم شٍاع ادلغٔى غِد.الرشغيث و و إن لً يكَ مٔثلا
.االُكار “Tidak ada keraguan bahwa akad nikah yang tidak didaftarkan secara resmi adalah akad nikah yang sah, selama dihadiri dua orang saksi, dan tidak ditemukan suatu penghalang syar‟i atas pernikahan. dan akad itu mempunyai semua konsekuensi syar‟i walaupun tidak didaftarkan. resiko dari tidak didaftarkannya pernikahan hanyalah tidak didengarnya pengaduan di pengadilan jika ada pengingkaran. (dalam undang-undang mesir).” 32
وال شم أن ْذه اإلجراءات اىيت اشخٍو غييٓا كأُن اىػائيث إجراءات وٌا ضدخّ فإُٓا حخطو,ّ و لهِٓا ال حخػيق ةطدخ,شلكيث ألجو حٔثيق اىػلد و أخاكم اىعٔائف ةاىجصتث,ةاألخاكم اىفلٓيث اإلشالٌيث ةاىجصتث ليٍصيٍْي وَّلالم ُلٔل إذا حً غلد غري مٔثق فإن اىػلد يكٔن,ىغري املصيٍْي وال يػد ادلخٔل فيّ زىن ةو, و إن َكُج ال تصٍع ادلاعوى ةٍلخضاه,ضديدا
.يثتج ةّ اىجصب و غريه ٌَ األخاكم الرشغيث اإلشالٌيث “Tidak ada keraguan bahwa prosedur yang diatur oleh undangundang keluarga adalah prosedur untuk taws\i>q suatu akad. akan tetapi ia tidak berhubungan dengan keabsahan akad bagi kaum muslimin dan hukum denominasi bagi non muslim. oleh karena itu kita mengatakan, jika suatu akad yang tidak dicatatkan telah sempurna (syarat dan rukunnya), akad ini telah sah, walaupun Muhammad Abu Zahrah, Fatawa As-Syaikh Muhammad Abu Zahrah, (Damaskus: Dar Al-Qalam, Tt.), Hal. 486 32
karenanya pengaduan di pengadilan tidak diterima. hubungan seksual pada akad nikah ini tidak dianggap zina, bahkan dengannya ditetapkan nasab dan hukum-hukum syariah islam lainnya akibat akad nikah ini.” 33
2. Fatwa Syaikh Ali Thanthawi
فإذا كيو, خيخيف ٌػِاْا ةاخخالف اضعالح انلاس,فلكٍث الزواج اىػريف ّ أي أن في,الزواج اىػريف يف الشام فًٓ أُّ زواج مٔافق ألخاكم الرشع ّ لهِّ خماىف ليِظام اَّلي أمرت ة,َاإلجياب و اىلتٔل و الٔيل و الشاْدي
وىكَ ليداكً أن يػاكب, ْذه الزواج ةٓذا املػىن زواج ضديح.اْلهٌٔث
.ّفاغيّ ةِٔع ٌَ اىػلٔبات ألُّ خاىف أمرا أوجب اهلل ظاغخ “Kata “nikah ‘urfi” maknanya diperselisihkan oleh orang-orang. apabila dikatakan bahwa di syam bahwa nika urfi adalah nikah yang telah memenuhi hukum-hukum syara‟, artinya ia telah memenuhi ijab kabul, wali, dan dua orang saksi. akan tetapi ia telah melanggal aturan yang telah ditetapkan oleh pemerintah. pernikahan demikian sah secara syara‟, tetapi pemerintah berhak memberikan sanksi karena ia telah melanggar apa yang diwajibkan oleh allah untuk taat padanya.” 34 3. Fatwa Syaikh Raf’at ‘Us\ma>n
إذا حٔفرت فيّ األمٔر اىيت شتق ةيآُا,أن الزواج اىػريف ضديح رشاع
ووضدِا أُٓا أراكن غلد الزواج و رشوط ضدخّ فإذا غلد اىػلد ويل املرأة و حٔثيق اىػلد ىلع يد املٔظف,حبضٔر الشاْديَ َكن اىػلد ضديدا رشاع
.املخخص ةخٔثيق غلٔد الزواج ىحس رشظا ٌَ رشوط ضدث اىػلد
“Sesungguhnya
hukum nikah sirri adalah sah secara syara‟, jika
Muhammad Abu Zahrah, Muhadharat ‘Aqd Az-Zawaj Wa Atsaruhu, (Dar Al-Fikr AlAraby), Hlm. 63 34 Ali T{ant}awi>, Fata>wa> Ali T{ant}a>wi>, (Jeddah: Da>r Al-Mana>rah, 1985), Cet.1, hlm. 186 33
telah memenuhi hal-hal yang telah kami jelaskan yang merupakan rukun-rukun akad nikah dan syara-syarat sahnya. maka ketika seorang wali telah mengakadkan nikah dengan dihadiri dua orang saksi akad tersebut telah sah secara syara‟, adapun pendaftaran akad nikah kepada pegawai pencatat nikah bukanlah salah satu syarat sahnya nikah.” 35
Muhammad Raf’at Us\ma>n, Fiqh an-Nisa>’ Fi al-Khithbah Wa az-Zawa>j, (Kairo: Dar alI’tis}am > , Tt.), hlm. 118 35
BAB IV ANALISIS
A. ANALISIS ATAS PERUBAHAN HUKUM PADA PENCATATAN PERKAWINAN Pencatatan perkawinan adalah hukum yang baru dikarenakan tidak ada dalil yang menunjukkan hal ini. hal ini seperti yang diungkapkan oleh Ibnu Taimiyah, “Para sahabat tidak menulis mahar karena mereka tidak mengakhirkannya, bahkan memberikannya secara langsung, seandainya diantara mereka ada yang mengakhirkan tetapi dengan cara yang baik. Tatkala manusia mengakhirkan mahar padahal waktunya lama dan terkadang lupa maka mereka menulis mahar yang diakhirkan tersebut, sehingga catatan itu merupakan bukti kuat tentang mahar dan bahwasanya wanita tersebut adalah istrinya.”1 1.
Pandangan
Atas
Kedudukan
Pencatatan
Perkawinan
Dan
Implikasinya Terhadap Perubahan Hukum a. Pencatatan perkawinan sebagai sebuah kewajiban atas perintah ulil amri,Secara ringkas argumentasi yang dikemukakan oleh kelompok ini adalah 1) tuntutan mas}lah}ah sebagai Tindakan preventif untuk menjaga hak anak dan istri. 2 2) Wajibnya taat kepada perintah ulil amri3
1
Hamizar, Nikah Sirri Dalam Perspektif Hukum Positif Di Indonesia Ditinjau Dari AlMaqashid Al-Syari’ah, Tesis, (Riau: UIN Sultan Syarif Kasim, 2014),hlm. 143 2 Ahmad Bin Yusuf Bin Ahmad Ad-Daryuwaisy, Az-Zawaj Al’urfi, (Riyadh:Dar AlAshimah, 2005), Cet. 1, hlm. 532 3 Ibid., hlm. 72
73
74
3) Agar aturan ini dipatuhi, Pemerintah berhak menjatuhkan sanksi atas perkawinan yang tidak dicatatkan. 4 Jika melihat dari pendapat ini, maka perubahan hukum yang terjadi pada hukum pencatatan perkawinan adalah dari sesuatu yang tidak
diwajibkan
menjadi
diwajibkan
dikarenakan
tuntutan
kemaslahatan dan perintah ulil amri. b. Pencatatan perlu diangkat sebagai rukun pernikahan, Secara ringkas argumen yang dikemukakan adalah 1)
kaidah fiqh untuk melegitimasi otoritas pemerintah membuat paket undang-undang, asalkan dasar pijak perumusan undangundang tersebut adalah untuk menciptakan kemaslahatan rakyatnya. 5
2)
Rukun bersifat ijtihadi boleh di tambah dikurangi sesuai dengan
mas}lah}ah.6 Konsekuensi dari pandangan ini adalah tergantungnya keabsahan nikah dengan pencatatan perkawinan dikarenakan diposisikannya pencatatan perkawinan sebagai rukun. 2.
Analisis Perubahan Hukum Atas Pencatatan Perkawinan a. Kewajiban Mematuhi Perintah Ulil Amri Kewajiban mematuhi perintah ulil amri telah sangat jelas ditunjukkan oleh banyak dalil, sehingga bagi seorang muslim wajib
4
Ibid., hlm. 72 Ridwan, Membongkar Fiqih Negara, hlm. 146 6 http://www.nasihudin.com/pencatatan-perkawinan-sebagai-syarat-sah-pernikahan-diindonesia/49 Akses 6 September 2015 5
75
untuk mematuhinya, selagi tidak diperintah kepada maksiat.
ُ َ َ ُ َ َ ُّ َ ذ َ َ ُ َ ُ ذ َ َ َ ُ ذ ْ وِل األم ِر ِ يا أيُا ِ اَّليي آوٌِا أ ِطيػِا اَّلل وأ ِطيػِا الرشِل وأ ُ ْ )٩٥(….. ِوٌك ْه
Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul 7 (Nya), dan ulil amri di antara kamu. (QS. an- Nisa:59)
فإن، إال أن يؤمر ةىػصيث، ىلع املرء املصنه الصىع وامطاغث فيىا أخب وكره أمر ةىػصيث فال شىع وال طاغث "Wajib setiap orang untuk mendengar dan taat, baik terhadap sesuatu yang dia suka atau benci, kecuali jika dia diperintahkan untuk bermaksiat, maka tidak ada kewajiban baginya untuk mendengar dan taat." „(HR. Muslim, no. 3423) 8
َُ ذَ ذ ْ َْ وف ِ ِإنىا امطاغث ِف الىػ ُر Sesungguhnya ketaatan hanya ada dalam perkara yang baik. (HR. Bukhari, no. 6122) 9 b. Daya paksa hukum positif ada batasnya Walaupun pemerintah berhak untuk memerintah rakyatnya, bukan berarti tanpa batas. Dalam hal ini syarat dan rukun perkawinan bukanlah wilayah perintah ulil amri akan tetapi syarat dan rukun perkawinan didasarkan kepada nash. Usamah Umar Sulaiman AlAsyqar mengatakan,
7
Yayasan Penyelenggara Penerjemah Al-Qur’an, Al-Qur’an Tiga Bahasa, (Depok: AlHuda, 2011), hlm. 164 8 Imam Muslim, S}ah}i>h} Muslim, (Beirut: Da>r Al-Fikr, 2003), Cet. 1, hlm. 936 9 Ima>m al-Bukha>ri>, S}ah}i>h} al-Bukha>ri>, (Damaskus: Da>r Ibnu Kas\i>r, 1422 H), hlm. 1577
76
َذه امرتاحيب اإلداريث اميت: قيىث اإللزام امقاًِين ةتصجيل غقد الزواج ووٌُا تصجيل غقِد الزواج،ألزوج ةُا قِاًني األخِال الشخصيث خيد غرفُا،شىاَا ةػض امفقُاء املػارصيي ةالرشوط امقاًًِيث "رشوط يظػُا املرشع الِطيع جلنب:ادلكخِر يلع خصب اهلل ةأًُا فيقِل "الرشط، ذه يِطح طتيػث َذه الرشوط،"مصندث أو دفع مرضة ألن املرشع الِطيع ميس،امقاًِين ميس رشط صدث وال ًفاذ وال لزوم ً ً ً ً ً َِ ةل،هل أن ينىشء خكىا رشغيا دينيا حيل خراوا أو حيرم خالال ".رشط يرتحب غنيٍ أذر قاًِين ال دخل هل ف احلكه الرشيع ادليين “Daya paksa undang-undang tentang pendaftaran perkawinan. Ketentuan-ketentuan administrasi yang diwajibkan oleh undang-undang hukum keluarga – diantaranya registrasi akad pernikahan- sebagian fuqaha kontemporer menyebutnya dengan syarat qa>nu>ni> (persyaratan yang dibuat oleh hokum positif), Dr. Ali Hasbullah mendefinisikan bahwa ia adalah “syarat-syarat yang dibuat oleh legislative (pembuat undang-undang) untuk menarik suatu maslahat atau menolak suatu bahaya” kemudian beliau menjelaskan karakter syarat-syarat ini, “syarat qanuni bukanlah syarat sah, nafadh maupun luzum. Karena legislator tidaklah berhak memunculkan hukum syar‟i agama yang dapat menghalalkan sesuatu yang haram ataupun mengharamkan yang halal. Ia hanyalah syarat yang mempunyai akibat hukum (undang-undang) yang tidak masuk ke dalam hukum syra‟i agama.”
10
Dr. „Ablah Al-Kahlawi mengatakan,
ةل ال ةد وي،خمامفث امقِاًني الِطػيث ميصج ةالرضورة خمامفث لنرشع ً .ٍوطع امقاًِن الِطيع ف وزيان الرشع أوال ذه احلكه غني 10
Usamah Umar Sulaiman Al-Asyqar, MustajaddatFiqhiyyah Fi QadhayaAz-ZawajWa AtThalaq, (Amman: Dar An-Nafais, 2000), Cet. 1, hlm. 135
77
“Pelanggaran terhadap qanun wadh’i (hukum positif) tidaklah mesti berarti pelanggaran terhadap syara', bahkan merupakan keharusan untuk meletakkanqanun wadh’i (hukum positif) dalam timbangan syara' terlebih dahulu, baru kemudian dapat dijadikan hukum.”11 c.
Syarat dan rukun perkawinan bukanlah hukum yang dibangun atas mas}lah}ah Rofiq Nasihuddin dalam tulisannya yang mengatakan, “Secara sederhana dapat diketahui bahwa diantara ulama Mazhab sendiri tidak ada kesepakatan tentang rukun perkawinan, oleh karena itu rukun perkawinan yang sudah masyhur di masyarakat atau segaimana yang tercantum pada pasal 14 Kompilasi Hukum Islam bukanlah suatu hal yang sudah final, akan tetapi ada kemungkinan untuk berubah baik ditambah atau dikurang sesuai dengan kebutuhan dan kemaslahatan bagi masyarakat itu sendiri. Calon mempelai pria dan calon mempelai wanita dijadikan sebagai rukun perkawinan, bukan karena ada petunjuk dari Al-Quran atau as-Sunnah, akan tetapi semata-mata hasil ijtihad ulama, AlQuran dan Al-Sunnah tidak menjelaskan adanya calon mempelai pria dan calon mempelai wanita yang mengarah untuk dijadikan sebagai rukun pernikahan. Oleh karena itu Imam Hanafi tidak menjadikan calon mempelai pria dan calon mempelai wanita sebagai rukun perkawinan”.12
Menurut penulis, pendapat Rofiq Nashihuddin tersebut, dapat ditinjau dari beberapa sisi, 1) Syarat dan rukun perkawinan bukanlah hukum yang didasarkan kepada mashlahat, ia adalah hukum yang manshus atau diterangkan oleh nash. Sehingga tidak boleh ditambah dan dikurangi dengan alasan maslahat. 11
http://www.lahamag.com/Details/36569/ akses 16 juli 2015 Http://Www.Nasihudin.Com/Pencatatan-Perkawinan-Sebagai-Syarat-Sah-PernikahanDi-Indonesia/49 Akses 6 September 2015 12
78
2) Adapun perbedaan pendapat para ulama tentang syarat daan rukun pernikahan, hal tersebut disebabkan oleh perbedaan dalam istinbath terhadap nash. 3) Adapun pendapat Imam Abu Hanifah yang tidak menjadikan suami dan istri ke dalam rukun, sedangkan imam madzhab tiga lainnya menjadikan sebagai rukun. Hal ini tidak lebih karena perbedaan para imam mazhhab tentang rukud suatu akad dan perbedaan pemahaman tentang definisi rukun. Nikah adalah termasuk dalam salah satu jenis akad. Seluruh fuqaha sepakat bahwa suatu akad tidak dapat terwujud kecuali bila ada ‘aqid, shighat (ijab qabul), dan ma’qud ‘alaih (mahall). Jumhur fuqaha berpendapat bahwa ketiga hal tersebut adalah rukun suatu akad. Dan madzhab hanafi berpendapat bahwa rukun suatu akad adalah shighat saja, adapun dua orang yang berakad dan ma’qud ‘alaih adalah sesuatu yang dituntut ada dengan adanya shighat.13 Dr. Raf‟at Utsman mengatakan, “sebagian fuqaha seperti ulama madzhab hanafi dan sebagian ulama hanbali berpendapat bahwa suami dan istri tidak termasuk rukun, dan rukun perkawinan hanyalah shighat (ijab qabul) saja. akan tetapi jika kita dalami lebih lanjut atas arti dari rukun yaitu bagian dari hakikat atau esensi sesuatu. maka kita akan menemukan bahwa suami dan istri haruslah dihitung dalam dari rukun pernikahan. sebagaimana suatu akad tak 13
Mausu’ah Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, ‘Aqd, (Maktabah Syamilah)
79
akan terwujud tanpa adanya ijab kabul, maka juga tidak akan terwujud dengan adanya dua orang yang berakad dan ma’qud ‘alaih. d. Pemerintah Dapat Memberikan Sanksi Agar Pencatatan Perkawinan Dipatuhi Para ulama seperti syaikh yususf qardhawi dan syaikhi thanthawi berpendapat bahwa orang yang tidak mencatatkan perkawinannya berhak untuk mendapatkan sanksi dari pemerintah. Ukuran dan jenis sanksi ini disesuaikan dengan kemaslahatan. jangan sampai penerapan sanksi malah menyebabkan mad}arat yang lebih besar. Dalam praktiknya Indonesia sudah mewacanakan untuk mempidanakan nikah yang tidak dicatatkan dalamRUU Hukum Materiil Peradilan Agama Bidang Perkawinan. Akan tetapi hal ini mendapat banyak penentangan seperti Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) dan Pengurus Pusat PP Muhammadiyah menolak keras wacana pemidanaan nikah siri.14 Ketua PBNU KH Ahmad Bagdja mengatakan “jika nikah siri dikriminalisasi dengan hukum pidana dikhawtirkan akan menyuburkan paraktek kumpul kebo.Sangat tidak logis kalau nikah siri dihukum, free sex dan kumpul kebo dianggap bagian dari hak asasi manusia karena suka sama suka,Bagdja mengatakan dalam Islam nikah siri dianggap sah dan diakui karena sudah ada wali dan dua saksi secara legal syarat sudah syah tapi belum lengkap. Bahkan, Rasulullah memerintahkan akad nikah tersebut diumumkan dan diresepsikan (walimah). "Sekalipun perintah itu "sunah bukan wajib" perlunya guna menghindari salah faham sosial , gosip dan fitnah serta menjaga keamanan batin keturunan.”15
14
http://news.okezone.com/read/2010/02/18/337/304765/nu-muhammadiyah-tolak-pidananikah-siri akses 5 Mei 2015 15 http://nasional.news.viva.co.id/news/read/130322-pbnu_tolak_kriminalisasi_nikah_siri akses 5 Mei 2015
80
Apa yang dikemukakan oleh Ahmad Bagdja itu sesuai dengan kaidah fiqh
إذا حػارض ةني وفصدحان رويع أغظىُىا رضرا ةارحكاب أخفُىا Ini dikarenakan, kriminalisasi terhadap nikah sirri akan menyebabkan kerusakan yang lebih besar yaitu beralihnya masyarakat kepada kumpul kebo. Maka dalam hal ini, tidak adanya sanksi pidana pada nikah sirri adalah lebih maslahat. B. ANALISIS ATAS PENERAPAN KAIDAH PADA PENCATATAN PERKAWINAN 1. Perubahan Hukum Dalam Kaidah la>yunkaru tagayyur al-ah}ka>m
bitagayyur al-azma>n a. Perubahan hukum yang dikehendaki dari kaidah la> yunkaru tagayyur al-ahka>m bi tagayyur al-azma>n adalah
األخاكم االجخُاديث املتنيث ىلع امػرف و املصندث “hukum-hukum ijtihadi yang dibangun atas ‘urf dan mas}lah}ah” b. Penisbatan perubahan kepada zaman adalah sebuah majaz. perubahan zaman adalah dengan rusaknya moral
manusia, hilangnya
sikap
wara’, dan lemahnya taqwa, yang akhirnya menyebabkan terjadinya perubahan hukum sebagai respon atas kerusakan dan sebagai pencegah atasnya.
81
c. dalam menerapkan kaidah tersebut ada sejumlah batasan yang harus diperhatikan yaitu 1) kaidah ini hanya berlaku bagi hukum ijtihadi yang bersumber dari urf dan mas}lah}ah 2) perubahan hukum bukan sebagai pembatalan hukum 3) perubahan hukum yang terjadi sesuai dengan kadar dan ukurannya 4) penerapan hukum harus selaras dengan maqashid syariah 2. PenerapanKaidahla>yunkaru
tagayyur
al-ah}ka>m
bitagayyur
al-
azma>nPada Hukum Pencatatan Perkawinan a. Kaidah ini hanya berlaku bagi hukum ijtihadi yang bersumber dari urf dan mas}lah}ah
Yang dikehendaki dari hukum yang mutaghayyirah dalam kaidah yang penulis bahas adalah satu macam hukum yaitu,
األخاكم االجخُاديث املتنيث ىلع امػرف و املصندث perubahan hukum yang tercakup dalam kaidah ini hanyalah hokum ijtihadiyyah yang bersumber dari ‘urf dan mas}lah}ah.16 Maka penerapan batasan ini terhadap pencatatan perkawinan adalah, 1) Terhadap pendapat yang mengatakan bahwa pencatatan perkawinan adalah sesuatu yang wajib tetapi tidak berpengaruh terhadap
Muh}ammad Bin Ibra>hi>m At-Turki>, Qaidah la> yunkaru taghayyur al-ah}ka>m bitaghayyur al-azma>n Dira>sah Ta’s}i>liyyah Tat}biqiyyah, Tesis, (Riya>d}: Ja>mi’ah al-Ima>m Muh}ammad bin Sa’u>d al-Isla>miyyah, 1429 H.),, hlm. 113 16
82
keabsahan perkawinan, maka penerapan kaidah ini sesuai, hal ini dikarenakan pencatatan perkawinan diwajibkan dikarenakan adanya tuntutan maslahat. Hal ini dapat diserupakan dengan pembukuan hadits, dimana hadits dibukukan karena dikhawatirkan akan hilang dengan wafatnya para pengahafal hadits. pencatatan perkawinan diatur oleh pemerintah sebagai tindakan preventif untuk menjaga hak anak dan istri. 2) Terhadap pendapat yang mengatakan bahwa pencatatan perkawinan perlu diangkat menjadi rukun, maka penerapan kaidah ini tidak tepat. Dikarenakan rukun dan syarat perkawinan bukanlah hukum yang dibangun berdasarkan ‘urf dan mas}lah}ah, tetapi didasarkan atas istinba>t} nas}}s}. b. Perubahan Hukum Bukan Sebagai Pembatalan Hukum Sesungguhnya ‘urf yang senantiasa menuntut perubahan dari masa ke masa, sebagaimana juga mas}lah}ah yang terus menuntut perubahan. Perubahan ini tidaklah menjadikan hukum yang pertama dan yang kedua ini terhapus pensyariatannya, akan tetapi perubahan zaman hanya menuntut penyesuaian, manakah hukum dari yang pertama atau yang kedua yang sesuai dengan tujuan pembuat syariat (maqs}ad al-sya>ri’).17 Dahulu pencatatan perkawinan tidak diwajibkan dikarenakan tidak ada mas}lah}ah yang harus ditarik ataupun mad}arat yang harus 17
Ibid., 741
83
ditolak dengan pencatatan perkawinan. Seiring berjalannya waktu pencatatan perkawinan diperlukan untuk mencegah madharat atas tidak dicatatkannya perkawinan. Berdasarkan batasan kaidah ini, maka hukum pencatatan boleh jadi suatu saat sudah tidak dibutuhkan, maka hukumnya tidak wajib lagi. Dikarenakan tidak ada tuntutanmas}lah}ah padanya lagi, atau moral manusia
telah
membaik,
sehingga
hukumnya
kembali
tidak
diwajibkan. Dengan adanya tuntutan maslahat atas pencatatan perkawinan bukan berarti pencatatan perkawinan akan diwajibkan selamanya. Karena disandarkan kepada mas}lah}ah dan ‘urf, maka akan berubah jika
mas}lah}ah atau ‘urf tersebut telah berubah.
Dari analisis yang telah penulis sampaikan, maka dalam pandangan penulis bahwa penerapan kaidah la>yunkaru tagayyur al-ah}ka>m bitagayyur
al-azman yang tepat adalah hukum pencatatan perkawinan merupakan suatu kewajiban, namun betapa pentingnya pencatatan perkawinan ini, bukan berarti dapat diangkat menjadi rukun perkawinan. Hal ini dikarenakan tidak ada dalil yang menunjukkan bahwa pencatatan perkawinan merupakan bagian dari akad nikah. Penulis sepakat dengan Neng Djubaedah yang mengatakan, “pencatatan perkawinan memang merupakan kewajiban setiap warga negara Indonesia kepada Negara atau Pemerintah (ulil amri). tetapi tingkat kewajiban orang Islam Indonesia kepada ulil amri itu
84
tidak disertai dengan memperlemahkan atau memperlumpuhkan Hukum Perkawinan islam yang sah, yaitu perkawinan yang memenuhi rukun dan syarat perkawinan, sebagaimana ditentukan dalam Hukum Perkawinan lslam itu sendiri a-Qur'an dan Sunnah Nabi. Lebih-lebih lagi jika ketentuan tersebut menganulir Hukum Perkawinan Islam adalah sangat melukai hati nurani, hak asasi insani, dan keimanan orang islam.”18
18
Neng Djubaedah, Pencatatan Perkawinan Dan Perkawinan Yang Tidak Dicatatkan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2012), Cet. 2, hlm. 6
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan Dari uraian diatas akhirnya penulis dapat menarik kesimpulan sebagai berikut: 1. Perubahan hukum yang dikehendaki dari kaidah la> yunkaru tagayyur
al-ahka>m bi tagayyur al-azma>n adalah
األحاكم االجخهاديث املتنيث ىلع العرف و املصلحث hukum-hukum ijtihadi yang dibangun atas ‘urf dan maslahah. Dalam menerapkan kaidah tersebut ada sejumlah batasan yang harus diperhatikan yaitu a
kaidah ini hanya berlaku bagi hukum ijtihadi yang bersumber dari urf dan maslahah
b
perubahan hukum bukan sebagai pembatalan hukum
c
perubahan hukum yang terjadi sesuai dengan kadar dan ukurannya
d
penerapan hukum harus selaras dengan maqashid syariah
2. Perubahan hukum atas pencatatan perkawinan yang benar adalah, pencatatan perkawinan hukumnya wajib karena tuntutan maslahah dan karena perintah ulil amri. Pemerintah tidak berhak membuat aturan yang berkaitan dengan syarat dan rukun pernikahan. dan pelanggaran terhadap aturan pemerintah bukan berarti pasti melanggar aturan
85
86
syara’. oleh karena itu suatu aturan pemerintah harus ditimbang dengan cara pandang syara’ terlebih dahulu baru kemudian dapat dijadikan hukum. Kaidah la> yunkaru tagayyur al-ahka>m bi tagayyur al-azma>n sangat tepat apabila dimaksudkan bahwa, pada saat ini hukum pencatatan perkawinan adalah wajib tanpa berpengaruh pada keabsahan nikah. namun apabila
kaidah tersebut digunakan untuk
menjustifikasi bahwa saat ini pencatatan dapat dijadikan rukun, itu merupakan hal yang keliru karena tidak memenuhi sejumlah batasan dalam penerapan kaidah tersebut. Syarat dan rukun pernikahan bukanlah masalah ijtihadiyyah berdasarkan ‘urf dan maslahah, akan tetapi berdasar kepada istinbat nass sehingga tidak dapat berubah mengikuti perubahan zaman. B. Saran 1. Untuk menerapkan suatu kaidah fiqih terhadap suatu permasalahan hendaklah dikaji terlebih dahulu apakah suatu permasalahan tersebut telah memenuhi syarat dan batasan dalam menerapkan suatu kaidah fiqh. jangan sampai penerapan suatu kaidah itu tidak tepat atau bahkan sampai digunakan untuk menjustifikasi sesuatu yang bertentangan dengan syariah. 2. Perubahan zaman menuntut perubahan maslahah, dalam hal ini seseorang
yang
hendak
melangsungkan
pernikahan
hendaklah
mencatatkan pernikahannya. hal ini dilakukan sebagai tindakan
87
preventif mengingat pada masa ini banyak sekali kebohongan dan fitnah, dan juga sebagai bentuk kepatuhan kepada ulil amri. 3. Pernikahan nikah yang tidak dicatatkan adalah permasalahan yang kompleks. untuk dapat membuat suatu hukum terhadap nikah yang tidak dicatatkan, penulis menyarankan agar faktor-faktor yang yang memicu terjadinya nikah yang tidak dicatatkan dikaji secara lebih mendalam. 4. Kepada pemerintah, penulis menyarankan agar pencatatan perkawinan dipermudah. seperti mempermudah ijin poligami yang telah memenuhi syaratnya, memberantas pungli atas pencatatan perkawinan. karena walaupun
pemerintah
telah
menggratiskan
biaya
pencatatan
perkawinan di KUA dan tarif resmi 600 ribu jika dilaksanakan di rumah, akan tetapi di lapangan masih banyak ditemukan pungli, baik itu di tingkat desa maupun kecamatan dalam mengurus pencatatan perkawinan. 5. Kepada pemerintah, penulis menyarankan agar menerapkan hukum islam secara utuh, walaupun hal tersebut dilakukan secara bertahap. sudah sepatutnya pernikahan yang tidak dicatatkan mendapatkan sanksi, akan tetapi sanksi yang seharusnya sejalan dengan syariah islam ini tidak dapat diterapkan di indonesia, karena dikhawatirkan banyak orang yang akan beralih kepada perzinaan. maka penerapan hukum islam terhadap zina sudah selayaknya untuk segera dilakukan, karena dampak dari zina lebih besar daripada sekedar nikah yang tidak
88
dicatatkan. setelah hukum islam atas zina diterapkan, baru sanksi pidana atas nikah yang tidak dicatatkan dapat diterapkan.
Dengan segala rasa syukur kepada Allah SWT atas selesainya penulisan skripsi ini kiranya allah SWT memberikan ridla-Nya, semoga bermanfaat, amin. Dan
sebagai
penutup
penulis
ingin
mengutip
perkataan
‘Abdurrahi>m bin ‘Ali al-Bi>sa>niyy
َّ ِ َّ لو غ ِّي هذا: ِ"إّن رأيج أنه ال يكخب إنسان كخاةًا يف يو ِنه؛ إال قال يف غ ِده ِ ولو، ولو قدم هذا لاكن أفضل، ولو ِزيد كذا لاكن يسخحسن،لاكن أحسن َّ قص ىلع ِ وهو ديلل ىلع استيال ِء انل،َب ِ هذا ِنن أعظ ِم ال ِع. ح ِرك هذا لاكن أمجل "ش ِ مجل ِث الب
DAFTAR PUSTAKA
Al-Asyqar, Usa>mah Umar Sulaiman, Mustajadda>t Fiqhiyyah Fi Qadha>ya> az-
Zawa>j Wa at-T{ala>q, Amman: Da>r an-Nafa>is, 2000, Cet. 1. ‘Asyur, Muhammad Thahir Ibnu, At-Tahrir Wa At-Tanwir, Tunisia: Dar AtTunisiyyah Li An-Nasyr, 1984. al-Bahusain,
Ya’qub
Bin
Abdul
Wahhab,
al-‘Aadah
Muhakkamah,
Riyadh:Maktabahal-Rusyd, 2012. al-Bu>t}i, Muhammad Sa’i>d Ramad}a>n, D{awa>bith Al-Mas}lah}ah Fi As-Syari>’ah Al-
Isla>miyyah, Damaskus: Da>r Al-Fikr, 2008, Cet. 6 al-Bukha>ri>, S}ah}i>h} al-Bukha>ri>, Damaskus: Da>r Ibnu Kas\i>r, 1422 H. Abu Dawud, Sunan Abu Dawud, Riyadh:Bait Al-Afkar Ad-Dauliyyah, 1422 H. Ad-Da’’a>s, Izzat Abi>d, Qawa>’id Fiqhiyyah Ma’a Syarh} Al-Mu>jiz, Beirut:Da>r AtTirmi>z\i>, 1978, Cet. 3. Ad-Daryuwaisy, Ahmad Bin Yusuf Bin Ahmad, az-Zawa>j a-l’urfi>, Riya>d}:Dar AlA<si} mah, 2005, Cet. 1. Bu>qzu>lah, Abdul Qa>dir, Taus}i>q az-Zawa>j Baina As-Syari>’ah Wa Al-Qa>nu>n, Tesis, Paris: Al-Ma’had Al-Urubi Li Al-Ulum Al-Insaniyyah, 2012. Effendi, Satria Zein, Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer, Jakarta: Kencana, 2004. H{abi>b, Sa’i>d Abu>, Al-Qa>mu>s Al-Fiqhi>, Maktabah Sya>milah Haidar, Ali, Durar Al H{ukka>m Syarh} Majallah Al-Ah}ka>m, Riya>d}:Da>r A
Ibnu Ma>jah, Sunan Ibnu Ma>jah, Riya>d}: Bait Al-Afka>r Ad-Dawliyyah, 1422 H. Ibrahim, Muhammad Yasri, Al-Fatwa Ahammiyatuha Dhawabituha Atsaruha, Kairo: Ad-Daurah Ats-Tsalitsah, 2007 Imam Tirmiz\i>, S}ah}i>h} Tirmi>z\i>, Riya>d}: Bait Al-Afka>r ad-Dawliyyah, 1422 H. Ismail Koksal, Taghayyur Al-Ahkam Fi As-Syari’ah Al-Islamiyyah, Beirut: Maktabah Ar-Risalah, 2000. Khalid Bin Abdullah Bin Ali Al-Mazini, Al-Fatwa Wa Ta’kid As-Tsawabit AsSyar’iyyah, Dhahran: Jami’ah Al-Malik Fahd Li Al-Bitrul Wa AlMa’adin, 1427. Ma>lik, al-Muwat}t}a’, Beirut: Da>r al-Gharb al-Isla>mi>, 1997. Majelis Ulama Indonesia, Himpunan Fatwa Majelis Ulama Indonesia, Jakarta:Erlangga,2011 Muslim, S}ah}i>h} Muslim, Beirut: Da>r Al-Fikr, 2003, Cet. 1. al-Nadawi, Ali Ahmad, Qawa>’id Al-Fiqhiyyah, Damaskus:Da>r Al-Qalam,1998. al-Qardha>wi>, Yu>suf, Mu>jiba>t Taghayyur Al-Fatwa> Fi As}rina>, Lajnah Ta’li>f Wa Tarjamah al-Ittih}a>d Al-‘A Li Ulama>’ al-Muslimi>n Al-Qurthubi, Al-Jami’ Li Ahkam Al-Qur’an (Tafsir Al-Qurthubi), Beirut: Maktabah Ar-Risalah, 2006. Qal’ahji, Muhammad Rawwa>s, Mu’jam Lughah Al-Fuqaha>’,
Maktabah
Syamilah Rasyid, Daud, Islam Dalam Berbagai Dimensi, Jakarta:Gema Insani, 2000 Ridwan, Membongkar Fiqh Negara: Wacana Keadilan Gender Dalam Hukum Keluarga Islam, Purwokerto: Pusat Studi Gender STAIN Purwokerto, 2005 Rofiq, Ahmad, Hukum Islam Di Indonesia, Jakarta:Raja Grafindo Persada, 1997.
Sarwat, Ahmad, Seri Fiqh Kehidupan 8: Nikah, Jakarta: DU Publishing. 2011. Syaltut, Mahmud, Islam Aqi>dah wa Syari>’ah, Kairo:Daral-Syuruq, 2001. ar-Ra>zi>, Muh}ammad Abu> Bakar, Mukhta>r As-S}ih}a>h, Amman: Da>r ‘Amma>r, 2005, Cet. 9, hlm. 80 at-Turki>, Muh}ammad Bin Ibra>hi>m, Qaidah la> yunkaru taghayyur al-ah}ka>m
bitaghayyur al-azma>n Dira>sah Ta’s}i>liyyah Tat}biqiyyah, Tesis, Riya>d}: Ja>mi’ah al-Ima>m Muh}ammad bin Sa’u>d al-Isla>miyyah, 1429 H. T{ant}awi>, Ali, Fata>wa> Ali T{ant}a>wi>, (Jeddah: Da>r Al-Mana>rah, 1985), Cet.1. Ulwan, Abdullah Nashih, Pesan Untuk Pemuda Islam, (Jakarta: Gema Insani, 2002), Cet. 12. ‘Umar, Ahmad Mukhta>r, Mu’jam Al-Lughah Al-Arabiyyah Al-Mua>s}irah, Kairo: ‘An, Muhammad Raf’at, Fiqh an-Nisa>’ Fi al-Khithbah Wa az-Zawa>j, Kairo: Dar al-I’tis}a>m, Tt. Wahid, Marzuki, Fiqh Indonesia, Bandung: Marja, 2014. al-Zamakhsyari, Tafsir Al-Kasysyaf, Beirut:Da>r Al-Ma’rifah, 2009 al-Zuhaily, Muhammad Musthofa, Al-Qawa’id Al-Fiqhiyyah Wa Tathbiqotuha
Fi Al-Mazahib Al-Arba’ah, Damaskus:Da>r al-Fikr, 2006 Zahrah, Muhammad Abu, Fatawa As-Syaikh Muhammad Abu Zahrah, Damaskus: Dar Al-Qalam, Tt. , Zahrah Al-Tafa>sir, Dar Al-Fikr Al-Arabi. , Muh}a>d}ara>t ‘Aqd az-Zawa>j Wa As\aruhu, Da>r Al-Fikr Al-Araby. Az-Zarq>a, Ahmad Bin Muhammad, Syarh} Al-Qawa’id Al-Fiqhiyyah, Damaskus: Da>r Al-Qolam, 1989 Cet. 2.
Sumber Internet http://hadits.stiba.ac.id/?type=hadits&imam=ibnumajah&no=16 September 2015
akses
6
http://hadits.stiba.ac.id/?type=hadits&imam=malik&no=1248 akses 6 September 2015 http://hadits.stiba.ac.id/?type=hadits&no=1253&imam=malik akses 6 September 2015 http://hadits.stiba.ac.id/?type=hadits&no=482&imam=abudawud September 2015
akses
6
http://hadits.stiba.ac.id/?type=hadits&no=5326&imam=muslim September 2015
akses
6
http://www.nasihudin.com/pencatatan-perkawinan-sebagai-syarat-sahpernikahan-di-indonesia/49 Akses 6 September 2015 Jum’ah, Ali, http://www.draligomaa.com/index.php/تغير الفتوى بتغير الزمان والمكان akses 10 September 2015 Fathimah Abdullah http://fiqh.islammessage.com/newsdetails.aspx?id=7837, September 2015
Al-Umari, Akses 6
Https://Radenfaletehan.Files.Wordpress.Com/2012/10/Bathsul-Masail.Pdf Akses 7 Mei 2015 Majelis Tarjih Muhammadiyyah, Fatwa Hukum Nikah Sirri, hlm. 3 Http://Tarjih.Muhammadiyah.Or.Id/Download-Fatwa.Htmlakses 5 Mei 2015 Ryan
Muthiara Wasti, Pentingkah Pencatatan Http://Www.Akhwatindonesia.Com/2015/03/Pentingkah Pernikahan/ Akses 7 Mei 2015
Pernikahan?, Pencatatan-