Hamsah Hasan, Pengaruh Filsafat Hukum …..155
PENGARUH FILSAFAT HUKUM TERHADAP PERKEMBANGAN PEMBARUAN KAIDAH-KAIDAH FIQHIYAT-USHULIYYAT Hamsah Hasan Abstract: Philosophy is activity think with aim looks for to level with another about The Infinite, Religion, Philosophy and life and human death law and in the presence nature. In consequence, in terms divinity concept in Islamic Law philosophy in level meaning digging ups 'illat , hikmah and hush hush aught law, not something which seeing to reduce existence and islamic law reality besides is seen will wreck believe a Moslem. By the same token, this all still in seeking framework and reality digging up effort levels with another already be believed its truth, without keaguan little bit even, one that even with full that consciousness available hikmah hikmah obtainable with fikir's energy and nalar is man and there is unreachable with nalar but with amaliyah. Divinity philosophy in relevansinya with islamic law philosophy is one unitary that don't most come to pieces. Because to understand islamic law that difahami shall philosophy divinity philosophy divinity be philosophy think meanwhile law philosophy be implementation philosophy of divinity philosophy. Key words: Filsafat Hukum, Kaidah-Kaidah Fiqhiyat-Ushuliyyat Pendahuluan Banyaknya fenomena hukum di sekitar manusia, menyebabkan munculnya sejumlah pertanyaan–yang merupakan bentuk kepenasaranan dirinya atas berbagai fenomena hukum yang ada–seperti apa hakikat hukum itu? Dari mana sumber awal hukum itu? Dan mengapa harus tunduk terhadap hukum (Islam)? Apa hikmah, atau rahasia dan tujuan ketaatan manusia pada hukum (Islam)? Dalam kondisi demikian, selanjutnya manusia diperhadapkan pada pertanyaan lain yaitu bagaimana manusia dapat memahami logika dan filsafat hukum secara orisinil, tepat dan benar?. Pertanyaan-pertanyaan semacam di atas, menurut Juhaya S. Praja adalah obyek dari filsafat hukum Islam, yang merupakan tugas filsafat hukum Islam itu sendiri, -yang jika dicermati lebih mendalam maka perihal tersebut sangat terkait dengan filsafat ketuhanan – sebagaimana tugas filsafat pada umumnya. Mengetahui hukum-hukum Tuhan hingga pada kewajiban mentaati hukumhukum Tuhan yang berporos pada dua alur yaitu kebenaran dan kebatilan atau kebaikan dan keburukan tidaklah mudah, apalagi sampai pada tingkat mengetahui rahasiarahasia atau hikmah ketundukan manusia pada hukum Tuhan, sebab sejarah perdebatan dikalangan Islam–antara Mu‟tazilah dan Asy‟ariyah dan sebagainya–
menggambarkan kepada kita bahwa telah terjadi dua pandangan yang mengesankan sekaligus menyedihkan yaitu pertama akal manusia hanya bisa sampai memahami perintah-perintah dan larangan-larangan (hukum) Tuhan mengenai baik dan buruk dan tidak pada kewajiban berbuat baik dan menjauhi kejahatan, dan kedua adalah sebaliknya yaitu bahwa akal dapat mengetahui hukum-hukum Tuhan hingga pada kewajiban melaksanakannya.1 Dari sinilah dibutuhkan kehati-hatian dalam pembahasan filosofis dalam kaiatannya dengan hukumhukum Islam yaitu hukum Tuhan. Sebelum menuju kepada bagaimana memahami hakikat suatu hukum maka hal yang fundamental perlu dimengerti oleh seorang pengkaji adalah mengenai "keyakinan" yang terkait dengan dirinya. Baik keyakinan yang dapat dibuktikan secara eksperimental maupun keyakinan yang mustahil dibuktikan empiris. Sebab keyakinan atau kepercayaan inilah yang menjadi dasar fundamental dari setiap hukum yang lahir di bumi ini. Dalam filsafat Yunani (Barat), sebagaimana diyakini oleh Plato bahwa sebelum seseorang dapat mencapai pengetahuan dari ketidaktahuannya, ia mesti 1
Harun Nasution, Teologi Islam, Aliranaliran sejarah analisa perbandingan, UI PRESS, Jakarta, 1986, cetakan 5, h. 79-94
156 Al Ahkam, Vol. V No. 2, Desember 2015
melewati pintu keyakinan terlebih dahulu, karena menurutnya tidak terdapat suatu ilmu apapun yang tidak diawali dengan keyakinan.2 Jika yang dimaksud dengan keyakinan disini adalah termasuk didalamnya keyakinan manusia dengan agama yang dianut (Tuhan yang diyakini), maka dengan sendirinya ilmu-ilmu apapun akan selalu terkait dengan keyakinan, termasuk ilmuilmu yang terkait dengan agama dan keagamaan. Dalam kontek keyakinan tersebut di atas, tampaknya perlu dicermati pandangan Fredreich Engles (1820-1895), yeng mengatakan bahwa masalah terutama dari persoalan filsafat adalah masalah hubungan antara pikiran dengan keadaan, hubungan antara jiwa dengan alam. 3 Artinya, keyakinan lahir dari adanya hubungan-hubungan manusia dengan yang lain atau "the other", baik dengan alam realita maupun dengan alam transedental. Sedangkan dalam filsafat Islam, persoalan keyakinan manusia banyak dibahas dalam konteks keyakinan kepada Tuhan, seperti dikemukakan oleh Al-Farabi dan Ibnu Sina bahwa dari Tuhanlah ke-maujudan yang mesti, mengalir intelegensia pertama, sendirian karena hanya dari yang tunggal, yang mutlak, sesuatu yang dapat mewujud.4 Artinya, akal manusia, sebetulnya akan berfungsi dengan baik apabila akal manusia dipengaruhi secara baik oleh akal yang disebut dengan "akal Yang Maha Agung", yaitu Allah Swt. Akal yang dimaksudkan di sini sebagaimana dikemukakan Juhaya S. Praja adalah akal yang berpusat dalam kalbu (hati). Dengan demikian dapat difahami bahwa untuk memahami pertanyaan apa hakikat hukum itu? Dari mana sumber asal hukum? Dan mengapa harus tunduk pada hukum? Dapat ditempuh melalui pendekatan-pendekatan dan argument-argument 2
Juhaya S. Praja Filsafat Hukum Islam (LPPM UNISBA, Bandung, 2002) h.19 3
Endang Saefuddin Anshari, Ilmu Filsafat dan Agama (Bina Ilmu, Surabaya, 1987) cet 7. h.110 4
Editor M Syarif, Para Filosof Muslim (Mizan, Bandung, 1998) cet 11, h.103
filosofis tentang Tuhan sebagai sumber segala sesuatu yang bersifat wujud, being, baik dari aspek Wâjibul Wujûd-nya maupun dari Wahdatul Wujûd-nya. "Filsafat", "Hukum", "Agama", dan "Kaidah" "Filsafat" adalah murni hasil pemikiran manusia, yang telah menjadi "Hukum" bagi wujud manusia, sementara "Agama" adalah sesuatu yang berasal dari "Tuhan" dan dipikirkan untuk kemudian diyakini dan diamalkan manusia. Bagaimana pandangan "filsafat" ke-"Tuhan"-an dalam "Hukum" "agama" (Islam). Pada kedua Proposisi tersebut, meskipun semua kata–Hukum, Agama, Filsafat dan Tuhan– yang dimaksud telah ada di dalamnya, namun tentu saja belum dapat memberikan pemahaman dan pengetahuan yang meyakinkan tentang apa itu " Hukum, Agama, Filsafat dan Tuhan". Sebab seperti ditegaskan oleh Rasyidi Bahwa perbedaan antara ―filsafat‖ dan ―agama‖ tidak terletak pada bidang kajiannya akan tetapi pada cara atau metode kita menyelidiki bidang itu sendiri. 5 Menurutnya filsafat adalah berfikir dan agama adalah mengabdikan diri. Jika mempelajari filsafat maka ia tidak saja mengetahui filsafat tapi yang lebih penting bahwa ia berpikir, demikian juga orang belajar agama tidak saja mengetahui agama tapi yang terpenting adalah bagaimana ia hidup dalam kerangka nilai dan arahan agama. Olehnya, penulis bermaksud menguraikan secara singkat tentang pengertian dan hubungan-hubungan dalam "Hukum, Agama, Filsafat dan Tuhan" antara Filsafat, hal tersebut sebagai berikut : 1.
Hukum Kata hukum berasal dari bahasa arab yaitu al-hukm, bentuk mufrad (singular) dan jamaknya (plural) adalah ahkam, yang secara kebahasaan berarti ketetapan dan keputusan. Sementara itu, kata al-hukm sendiri adalah bentuk mashdar dari hakamayahkumu yang bermakna memutuskan dan 5
HM. Rasyidi, Filsafat Agama, Bulan Bintang, Jakarta, 1975, cet 3, h. 10
Hamsah Hasan, Pengaruh Filsafat Hukum …..157
menetapkan. Yang menarik dari kata hukum ini adalah ketika muncul pecahan kata lain seperti al-hikmat, yang berarti kebijaksanaan, yang artinya jika orang mengetahui dan mengindahkan atau mengamalkan hukum disebut orang bijaksana. Selanjutnya istilah filsafat hukum menurut Utrech adalah menyangkut persoalan-persoalan adanya hukum, tujuan berlakunya hukum dan keadilan. Menurutnya, filsafat hukumlah yang menjawab pertanyaan tentang apa hukum itu? Apa sebabnya kita mentaati hukum? Apakah keadilan yang menjadi ukuran baik buruknya hukum itu?6 Lantas, apa yang dimaksudkan dengan al-falsafat al-hukm al-Islamiy atau filsafat hukum menurut Islam? Beberapa istilah yang digunakan pengkaji filsafat hukum, seperti falsafat al-Tasyri' al-Islamiy, Hikmat al-Tasyri' atau asrar al-Syari'ah, yang jika dalam prakteknya hukum Islam telah dibagi menjadi tiga bagian yaitu ahkam syar'iyyat I'tiqadiyat (hukum yang berhubungan dengan keimanan), ahkam syar'iyyat khulqiyat (hukum yang berhubungan dengan akhlak) dan ahkam syar'iyyat „amaliyat (hukum yang berhubungan dengan perbuatan mukallaf). Maka itulah kemudian lahir beberapa disiplin ilmu yang terkait dengan pembagian hukum Islam tersebut yaitu ilmu kalam, ilmu akhlak dan tasawwuf, serta ilmu fiqh dan ushul fiqh. 2.
Agama Agama adalah bermakna sama dalam bahasa Arab yang disebut Dien, atau religion dalam bahasa Inggris, la religion dalam bahasa Prancis, de relegie dalam bahasa belanda, die religion dalam bahasa Jerman. Secara bahasa, Agama berasal dari bahasa sensakerta yang berarti "tidak pergi, tetap ditempat, diwarisi turun menurun". 7 Oleh karena agama yang dimaksudkan di sini adalah agama Islam, maka pengertian agama yang penting dipahami adalah dalam kontek bahasa Arab. Pecahan kata dien dalam Islam sebagaimana dapat ditemukan 6
Juhaya S. Praja, Filsafat Hukum Islam (LPPM UNISBA, Bandung, 2002) ,h.14 7
Ensiklopedi Islam, PT Ikhtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, 1999, cet 6 h. 63
dalam al-Qur'an, terdapat sebanyak 94 kali disebutkan, yang antara lain bermakna adalah pembalasan, utang, patuh, tunduk atau kebiasaan, juga dapat berarti undangundang atau peraturan.8 Dari sini dapat dipahami bahwa makna agama mengalami perkembangan dari zaman ke zaman, sebagaimana yang terjadi dalam agama Islam, seiring dengan turunnya wahyu secara bertahap, selama 23 tahun, dalam memberikan pengertian agama yang komprehensif. Sementara dalam sejarah agamaagama di dunia9, setidaknya makna "agama" secara umum senantiasa dikaitkan dengan empat unsur utama yaitu 1) dikaitkan kekuatan ghaib 2) sebagai keyakinan manusia yang membawa kebahagiaan dan kesejahteraan di dunia maupun di akhirat, sesuai dengan adanya hubungan baik dengan kekuatan gaib yang diyakini manusia 3) respon yang bersifat emosional dari manusia baik dalam perasaan takut maupun cinta, dan 4) membawa paham adanya yang Qudus (suci), baik berupa kitab suci, atau tempattempat suci maupun waktu-waktu suci, dan sebagainya.10 Singkat kata, pengertian Agama dapat ditelesuri dari empat unsur tersebut, yang semua agama dipastikan mengkaitkan agama yang mereka yakini dengan unsur-unsur gaib, keyakinan, respon emosional dan Qudus (suci). 3. Filsafat Kata Filsafat berasal dari bahasa Yunani, Philoshopia yang berarti adalah 8
Lebih jelasnya, makna pecahan kata 'dien ' antara lain dapat dilihat QS : 1 ; 4, 12 ; 76, 3 ; 38, 9 ; 33, 109 ;6 dan 61 ; 9. 9
Dalam sejarah agama-agama disebutkan bahwa tempat asal kelahiran agama-agama berasal dari wilayah atau daerah tertentu seperti Mesir, Yunani, Persia, India, Cina, Jepang dan wilayah jazirah Arabiyah khususnya wilayah Hijaz (kini Saudi Arabia). 10
Yang menarik dikeomentari berkaitan dengan sifat Qudus ini adalah bahwa dari segi tempat Islam, Kristen dan Yahudi, yang disebut sebagai agama semitik-Abrahamik, esussalem Palestina tepatnya di Masjid al-Aqsa. Demikian halnya, dari aspek kitab suci yang memiliki hubungan literature adalah ketiga agama tersebut yaitu Al-Qur'an, Injil, Taurat dan Zabur.
158 Al Ahkam, Vol. V No. 2, Desember 2015
cinta kebijaksanaan.11 Telaah filsafat secara global adalah segala masalah yang dipikirkan manusia. Di antara obyek yang menjadi masalah pemikiran manusia yang paling krusial adalah tentang Tuhan. Krusialnya pemikiran tentang Tuhan karena tuhan tidak dapat diketahuinya materi Tuhan. Karena itu V. Afanasyev, seorang filosof materialis berpendapat bahwa Tuhan itu tidak ada. Sebab menurutnya sesuatu yang tidak bermateri, maka Tuhan tidak ada tempat di dunia ini. Hal ini dapat disimak dalam ungkapannya "bahwa di dunia tidak terdapat selain materi yang bergerak, maka tidak ada tempat bagi Tuhan".12 ini hanyalah satu contoh dari kegiatan filsafat. Intinya bahwa filsafat adalah kegiatan berpikir dengan tujuan mencari kebenaran tentang Tuhan, Agama, Filsafat dan hukum kehidupan serta kematian manusia serta keberadaan alam. 4.
Tuhan (Allah) Pengertian Tuhan (Allah) pada setiap agama berbeda-beda dalam penafsirannya. Dalam doktrin gereja misalnya, menurut Karen Amstrong, pengertian Tuhan sebagai ―ruh maha tinggi, Dia ada dengan sendirinya, dan Dia sempurna tanpa batas‖ adalah pengertian yang amat kering, angkuh dan juga arogan. Menurutnya, arti semacam ini tidak memberikan baginya, yang itu semula ia pun meninggalkan dunia Biara yang pada akhirnya ia pun menemukan bahwa Tuhan hanya merupakan proyeksi kebutuhan dan hasrat manusia.13 Lantas bagaimana dengan pandangan Islam tentang Tuhan? Kata Tuhan atau Allah, sebetulnya tidak ada kepastian asal usul kata tersebut. Karena itu, dalam penjelesan ensiklopedia, hanya dapat menyatakan bahwa kata "Allah" sangat mungkin berasal dari kata al-ilâh, dan mungkin pula berasal dari bahasa Aramea, Alaha yang artinya Allah.14 Namun dalam Islam kata "Allah" adalah dipastikan berasal
dari lafazd Allah (Tuhan) itu sendiri, yang arti dan maknanya, hanya dapat difahami secara baik dan benar menurut pengertian yang ditunjukkan Allah dalam firmanfirman-Nya (Al-Qur'an). Sementara itu, pengertian umum yang ada dalam al-Qur'an tentang Allah adalah pencipta alam semesta berserta bagianbagiannya, hingga yang paling terkecil, baik yang tampak secara akal, secara nurani, perasaan, kesadaran dan sebagainya, ataupun yang tidak sempat terjangkau atau terlintas dalam alam pikiran manusia. Mengenai pengertian Allah ini, dalam Islam, dapat dirujuk melalui sifat-sifat Allah yang terangkum dalam "al-Asmâ al-Husna". Singkat kata, defenisi tentang Allah, sangat mungkin dapat diperoleh manusia jika, manusia mengunakan seluruh daya dan potensi kekuatan yang ada dalam diri manusia, yaitu kekuatan akal, kekuatan beramal shaleh, dan panca indra serta kekuatan batin terhadap segala wujud. Jika dicermati penjabaran makna Tuhan, Filsafat, Agama dan Hukum di atas, yang kesemuanya saling terkait dan merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan, maka dapat ditarik suatu benang merah yang mempertemukan semua istilah tersebut bahwa semua istilah tersebut membutuhkan nalar pemikiran dari manusia untuk mengetahui hakikatnya, di samping memerlukan telaah atas hasil pengalaman realitas. Argumen Wâjibul Wujûd15 (Necessary Being) & Hukum Islam Menarik untuk mengawali argument tentang Wâjibul Wujûd ini dengan menyimak firman Allah sendiri ketika para Rasul berkata, dalam firmanya Al-Qur‘an,16:
15
11
Juhaya S.Praja, Op.cit, h. 1
12
Endang Saefuddin, Ilmu, Filsafat dan Agama (Bina ilmu, Surabaya, 1997) cet 7. h 111. 13
Karen Amstrong, Sejarah Tuhan, Terjemahan Zainul Am, Mizan, Bandung, cetakan 4, 2001, h. 17-9 14
Ensiklopedi Islam, opcit. h 123-30
Istilah Wâjibul Wujûd yang didapatiu dalam pembahasan-pembahasan falsafah alwujud (filsafat ada) ini telah dikembangkan oleh para filosof Muslim dari al-Kindi, al-Farabi, Ibnu Sina, al-Gazali, Ibnu Rusyd, Ibnu Taymiyah, Ibnu Khaldun dan sebaginya untuk membuktikan adanya Tuhan melalui argumen-argumen nalar yang diyakini masing-masing. 16
QS. Ibrahim, ayat 10
Hamsah Hasan, Pengaruh Filsafat Hukum …..159
ق اتى ا ه ىأىف ى ىشكىف طرى ا لى تىوى آل ض Artinya: Apakah ada keraguan (kesangsian) akan adanya Tuhan (Allah) yang menciptakan langit dan bumi. Diketahui bersama bahwa dalam kajian filsafat baik filsafat Yunani (Barat) maupun filsafat Islam (Timur), setidaknya ada tiga pokok persoalan penting yang menjadi issu bahasan yaitu philosophy of being (filsafat ada atau ontologi), philosophy of knowledge (filsafat pengetahuan atau epistemologi dan logika) dan philosophy of value (filsafat nilai atau aksiologi). Tiga issu penting tersebut sangat berkepentingan dibahas dalam berbicara tentang filsafat keTuhan-an dalam hukum Islam atau filsfat hukum Islam. Sebab, seperti dikemukakan oleh Juhaya S.Praja bahwa hukum Islam tidak mungkin dapat dikaji secara filosofis tanpa mengetahui landasan-landasan filosofis dari rujukan utamanya yaitu Al-Qur'an (Allah) dan al-Sunnah (Rasul-Nya).17. Dengan demikian, hukum Islam (hukum agama) tidak akan pernah dipahami dengan baik tanpa memahami sumber dan asal hukum itu sendiri, dari siapa datangnya hukum, dan mengapa hukum mesti dipahami (dijalankan) oleh manusia, yang dalam tataran ini membutuhkan pemikiran dasar yaitu kemestian dan kepastian adanya sesuatu yang menjadi sumber segala sumber yang wujud (ada) di alam ini, yang disebut dengan Wâjibul Wujûd (kemestian adanya Tuhan), Yang mengadakan segala yang diketahui manusia di alam ini. Dalam memahami Wâjibul Wujûd, setidaknya dapat digunakan tiga dalil pokok yaitu dalil kejadian, dalil peraturan dan pemeliharan, dalil gerak, dan dalil al-wujudwal 'adam (ada vs tidak ada). Dalil-dalil atau argumen-argumen tersebut dapat dijabarkan sebagai berikut 18: 1. Dalil kejadian, bahwa tidak ada sesuatu di alam ini yang terjadi dengan sendirinya. Jadi, pasti ada yang menjadikannya (menciptakan17 18
Juhaya S. Praja h. v
Dirangkum dan dijabarkan dari penjelasan tentang Allah, dalam Ensiklopedi Islam (PT. IChtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, 1994) Jilid 1, Cet 3, h 123-30.
nya). Kepastian ini diyakini dan selalu terbayang dalam alam pikiran manusia yang memastikan adanya Maha Pencipta akan segala sesuatu di alam ini. 2. Dalil peraturan (pemeliharaan), bahwa keteraturan gerak alam, planet, dan sebagainya adalah diatur oleh Yang Maha Mengatur dan Memelihara keteraturan. Pemikiran dan keyakinan inilah yang ada dalam pikiran manusia akan wujud Yang Maha Mengatur dan Memelihara alam, beserta isinya. 3. Dalil gerak, bahwa hukum gerak di alam ini berasal dari Yang Maha Mengatur hukum gerak tersebut. Misalnya saja, benda ringan memiliki sifat terapung, sedangkan benda berat memiliki sifat tenggelam atau jatuh, namun ada juga benda yang berat tapi tiudak jatuh, seperti bulan, bintang., matahari dan sebagainya, yang semua ini pasti ada yang Maha Mengatur yaitu Allah SWT. 4. Dalil al-wujud-wal 'adam, bahwa proses dari tidak ada menjadi ada, dari ada kemudian menjadi tidak ada, adalah keadaan yang diatur oleh Yang Maha Menguasai karena Dia sebagai Pencipta proses tersebut. Dari beberapa argument di atas, akan lebih jelas dan terang lagi jika dicermati uraian Juhaya S. Praja yang mengemukakan beberapa argumen mendasar dalam memahami konsep Wâjibul Wujûd yaitu argument ontologis, kosmologis, teleologis, moral, dan epistemologis. Berikut ini penjelasan argumen-argumen yang dimaksud19: 1. Argumen ontologis. Ontologi adalah mempertanyakan tentang hakikat sesuatu. Ontologi adalah adalah cabang metafisik yang membicarakan 19
Argument-argument klasik ini baik argumen atau bukti ontological, cosmological dan teleological mendapat kritikan tajam terutama dari filosof Emmanuel Kant (17251804), dengan mengatakan bahwa bukti-bukti kalasik tentang adanya Tuhan tidak dapat meyakinkan orang tentang adanya Tuhan. lebih jelasnya dapat dilihat dalam HM. Rasyidi, Op.cit, h. 55, dan h 63-85
160 Al Ahkam, Vol. V No. 2, Desember 2015
watak realitas yang tertinggi atau wujud (being). 20 Teori ontologi adalah teori tentang hakikat wujud, yaitu tentang hakikat yang ada, yang didasarkan pada logika yang logis dan rasional.21 Teori ontologi ini disebut sebagai teori yang pertama kali diperkenalkan oleh Plato (425-348 SM) melalui teorinya tentang Ide. Dalam teori ini Plato menjelaskan bahwa "tiap-tiap yang ada di alam nyata ini mesti ada idenya", sedangkan ide yang dimaksudkan adalah defenisi atau konsep yang universal dari setiap sesuatu. 22 Sebagai contoh, manusia, yang pengertian atau defenisinya adalah sebagai binatang yang berfikir, hayawan al-nathiq (homo sapiens) atau hewan yang berpikir. Defenisi tentang manusia berlaku umum dan universal sehingga semua jenis, ras dan bentuk manusia yang ada di alam ini termasuk didalamnya. Artinya bahwa manusia meskipun mengalami perubahan dari kecil menjadi besar, dari lemah menjadi kuat, dari sehat menjadi gila, dan seterusnya, demikian halnya betapapun banyak rupa dan bentuknya namun ia tetap memiliki satu hakikat yaitu wujud yang sama. Puncak penjelasan dari argument ontologism ala Plato tersebut adalah penjelasannya bahwa ide-ide tidak bercerai berai tanpa ada hubungan antara satu sama lain, melainkan kesemuanya bersatu dalam satu ide tertinggi yang disebut idea kebaika atau the Absolute Good, yang Mutlak Baik, dan Yang Mutlak Baik adalah sumber, tujuan, sebab dari segala sesuatu, yaitu Tuhan (Allah bagi Islam). 23 Pola pemikiran ini dapat ditemui dari pemikiran para filosof klasik hingga abad ke 16 (abad pencerahan, modern) seperti Plato, St. Agustine (350-430 M), St. Anselm (1033-1109) dan Rene Descrates (1598-1950 M).24 Ringkasan dari pemikiran Anselm dan Descrates misalnya dapat kita petik20
Burhani Ms, Kamus Ilmiah Populer (Lintas Media, Jombang, tth) h.471 21
Juhaya S. Praja. Op.cit. h.19, lihat pula Joestein Gearde, Dunia Shophie (Mizan, Bandung, 1997) h. 99 - 109
beberapa buah pokok pikiran dasarnya tentang adanya Tuhan yaitu; 1) kita mempunyai ide tentang Tuhan. 2) Tuhan itu adalah zat yang kita tidak dapat menggambarkan zat lain yang lebih besar dari padanya. 3) Suatu zat yang ada dan mempunyai wujud tersendiri yakni tidak hanya ada dalam pikiran manusia, adalah lebih besar dari pada zat yang ada pada diri manusia dan 4) oleh karena itu, Tuhan itu ada dengan wujud hakiki yang tersendiri yakni tidak hanya dalam pikiran manusia. 25 Dengan demikian, bila dikaitkan dengan hukum Islam, maka yang dimaksud adalah hakikat wujud dari hukum Islam itu sendiri. Wujud dari sebuah hukum jika diperhatikan dalam keseharian maka akan tampak aspek-aspek rill yang menunjukkan hakikat hukum yaitu suatu aturan untuk kepentingan dan kemaslahatan wujud manusia. Artinya, hakikat hukum atau wujud hukum Islam bagi manusia adalah hukum untuk wujud manusia itu sendiri, sebagai manusia yang wujudnya berpikir dan berhukum. 2. Argumen kosmologis Jenis argumen ini dipelopori oleh Aristoteles (384-322 SM), seorang murid terkemuka Plato. Menurut Aristotels, setiap benda di alam ini mempunyai materi dan bentuk. Bentuk itu ada dalam benda-benda, dan tidak berada di luar benda, yang oleh karena itu bentuklah yang membuat materi sehingga mempunyai bentuk bangunan dan rupa, dan bentuk itulah yang menjadi hakikat sesuatu. Oleh karena bentuk adalah hakikat sesuatu itu, maka ia berarti kekal dan tidak berubah-rubah, yang kalaupun berubah maka ia hanya berubah dalam alam panca indra. Artinya, bahwa materi dapat berubah tapi bentuk tetap atau kekal. 26 Inilah pandangan yang mengesankan dari filsafat Yunani. Lalu bagaimana pandangan filosof Muslim?. Al-farabi (w. 950 M) dengan teori Emanasi ataui al-faidh (pancaran)-nya berpendapat bahwa alam semesta ini adalah hasil pancaran dari wujud ke sebelas atau akal ke sepuluh. Akal kesepuluh ini merupa-
22
Ibid
23
Ibid.. h. 19-20
25
HM. Rasyidi, Op.cit. h. 64
Ibid h.20
26
Juhaya S.Praja, Op.cit. h. 21
24
Hamsah Hasan, Pengaruh Filsafat Hukum …..161
kan kelanjutan dari akal pertama yaitu penggerak pertama atau sebab pertama yang melahirkan wujud-wujud akal berikutnya, dan akal pertama ini adalah Allah. Sementara itu, Ibnu Sina (370 H-428 H) dengan teori filsafat wujudnya, mengatakan bahwa dalam Wâjibul Wujûd, esensi tidak mungkin terpisah dari wujud, dan Wâjibul Wujûd adalah Allah yang ada dengan sendirinya. 27 inti dari kedua gagasan tersebut bahwa alam dan hukum sebab akibat pada alam, menunjukkan adanya wujud yang menciptakannya yaitu Tuhan atau Allah Swt. Jika demikian adanya maka dapat dirumuskan lagi bahwa Jenis argument ini mendasarkan pandangannya pada argumen sebab akibat atau hukum kausalitas. Menurut faham ini bahwa wujud alam bersifat mumkin al-wujud atau Contingent, dan bukan wajibul wujud atau necessary being. Maka alam adalah alam yang dijadikan oelh karena itu mesti ada zat yang menjadikannya.28 Sebab, seperti diuraikan oleh HM. Rasyidi bahwa benda-benda yang terbatas rangkaian sebab adalah terus menerus (seperti pohon mati karena penyakit, penyakit ada karena anu, dan seterusnya) akan tetapi dalam logika rangkaian yang terus menerus itu adalah mustahil.29 Jadi dapat disimpulkan bahwa rangkaian ini tidak akan pernah berkesudahan apabila tidak ada penggerak yang tidak bergerak yaitu penggerak yang tidak berubah untuk mempunyai bentuk lain atau lebih jelasnya dapat disebut sebagai penggerak awal dan penggerak akhir yaitu Allah. 3. Argument teleologis Argumen ini menjelaskan kepada kita bahwa segala sesuatu di alam ini diatur menurut tujuan-tujuan tertentu. Yaitu, bahwa keseluruhan isi alam in bergerak sesuai dengan tujuan tertentu. Demikian halnya, dengan bagian-bagian dari alam ini, yang berhubungan erat satu sama lain dalam 27
Abdul Hakim Atang dan Jaih Mubarak, Metodologi Studi Islam, Rosda Karya, Bandung, 2000, cetakan 2, h.111-2 28 29
menuju tercapainya suatu tujuan tertentu. 30 Sebelum kita mengetahui tujuan-tujuan yang dimaksud maka yang tak kalah pentingnya diketahui lebih dahulu adalah siapa yang membuat tujuan-tujuan itu. Sebab, biasanya orang akan melaksanakan sesuatu yang memiliki tujuan tertentu apabila ia mengetahui siapa yang memberikan sesuatu itu. Lantas, siapa yang mengatur tujuantujuan tertentu tersebut? Sebetulnya dengan pertanyaan ini, yang jawabannya tidak akan berakhir kepada siapa yang kita kenal dan kita ketahui secara ide dan empiris sekaligus, akan tetapi jawabannya akan berakhir kepada ketidaktahuan dan keterbatasan manusia terhadap pertanyaan siapa yang mengatur tujuan-tujuan gerak alam dan keseluruhan isi dan bagiannya kecuali jika ia menjawabnya menurut yang diyakininya. Jadi, yang terpenting dalam argument ini bahwa setiap ciptaan diciptakan untuk tujuan tertentu, dan secara mutlak hanya diketahui Tuhan secara keseluruhannya sehingga manusia hanya mampu mengetahui sebagian dari kesleruhan maksud dan tujuan penciptaan Tuhan, termasuk dalam tujuantujuan hukum yang ditetapkan Allah melalui firman-Nya, dan pengetahuan manusia yang terbatas itu adalah juga konsekuensi logis dari hukum keberadaan manusia dalam kehidupan di dunia ini. 4. Argumen moral Argumen ini memberikan pemahaman bahwa kalau manusia merasa bahwa dalam dirinya ada perintah mutlak, apakah itu perintah untuk mengerjakan yang baik dan menjauhi yang buruk, dan terbukti bahwa perintah itu bukan diperoleh dari pengalaman, tetapi terdapat dalam diri manusia itu sendiri, maka perintah itu mesti dari suatu zat yang Maha Tahu akan baik dan buruk, dan zat inilah yang disebut Tuhan. 31 Sementara itu, baik dan buruk, masingmasing memiliki nilai yang tidak ditentukan oleh – lagi-lagi pengalaman manusia – akan tetapi telah ada diri manusia itu sendiri, yang juga berasal dari zat Yang Maha tahu dengan nilai, yang disebut "Tuhan".
Juhaya S. Praja Op.cit, h 21
30
Ibid
HM. Rasyidi Op.cit . h.65
31
Juhaya S. Praja.
162 Al Ahkam, Vol. V No. 2, Desember 2015
HM Rasyidi mengemukakan pandangan menarik dalam argumen moril dengan mengatakan bahwa orang yang tidak percaya adanya Tuhan tidak akan mampu menjawab pertanyaan tentang ―Dunia apakah itu yang di dalamnya bisa terdapat sesuatu pengetahuan dan pengetahuan itu dapat mengetahui rahasia-rahasia alam?. Bahkan menurutnya, orang yang tidak percaya Tuhan akan berhadapan dengan pertanyaan sulit yang lain seperti mengapakah manusia itu mementingkan nilai-nilai moral?32 Lebih jauh Rasyidi menjelaskan bahwa faktor objektif dalam pengalkaman moral menghendaki tiga taraf yaitu 1) orang yang menilai 2) pekerjaan yang dinilai dan 3) ukuran tentang nilai. Dari ketiga faktor ini dapat disimpulkan bahwa pengalaman moral atau moral esperience adalah tanda nyata tentang adanya suatu susunan yang riil, dan pengalaman moral tidak akan berarti tanpa suatu susunan moral yang objektif, sedangkan susunan moral tidak pula berarti tanpa ada suatu zat Yang Maha Tinggi atau devine being yaitu Allah. 33 Artinya, bahwa pengalaman moral manusia diharapkan dapat menjadi acuan teori dan konsep untuk mengetahui dan menyakini adanya Tuhan, pengalaman moral baru berarti jika ada Zat Yang Maha Tinggi yang menganjurkann kewajiban-kewajiban kepada manusia, yang kepada jualah kita bertanggung jawab. Walhasil, alam dan peenghidupan moral masing-masing membuktikan tentang Zat Yang Maha Tinggi dan memperkuat satu dengan yang lain, baik alam maupun moral. Maka tidak heran jika, Toshihiko Izutsu mampau menemukan logika moral dalam al-Qur‘an (Yang merupakan bukti lain wujud Tuhan) secara baik. Beliau mengemukakan bahwa konsep-konsep moral dalam Islam, yang bersifat universal itu, diakui pada setiap masa dan oleh setiap orang. 34 Nilai-nilai moral yang ada dalam alQur‘an adalah tentulah dari suatu yang 32
HM Rasyidi, Op.cit. h.77
33
Ibid, h. 81-2
34
Toshihiko Izutsu, Etika beragama dalam Al-Qur‟an, Pustaka Firdaus, Jakarta, 1995, cetakan 2, h.417
wujud yaitu wujud Allah, karena ia merupakan wahyu-Nya. Dengan demikian, jelaslah bahwa argument moral dapat menentukan adanya Tuhan. 5. Argumen epistemologis Epistemologi adalah filsafat pengetahuan, yaitu bagaimana cara memperoleh pengetahuan yang benar.35 Maksudnya, bahwa teori epitemologis adalah teori tentang pengetahuan. Melalui teori inilah muncul pandangan-pandangan dunia dan kosmologi-kosmologi yang berbeda, yang disebabkan oleh perbedaan teori pengetahuan. Secara baik diuraikan HM. Rasyidi bahwa dalam memikirkan sesuatu otak manusia mengalami loncatan-loncatan yang dilematis, yaitu loncatan dalam waktu pikiran itu melakukan pekerjaan yakni mengetahui, loncatan yang terjadi antara benda-benda dan perasaan diri seseorang, dan loncatan yang telah memungkinkan pengetahuan itu dapat diketahui oleh orang banyak. 36 Dalam kontek loncatan-loncatan ini dapat dipahami bahwa pengetahuan manusia bertingkat-tingkat dan tidak monoton, yang adakalnya ia bersama kebenaran dan pada skala yang lain ia jauh atau tidak bersama kebenaran dalam memikirkan tentang adanya Tuhan. Dengan demikian argument epistemologis—dalam kaitan dengan pembahasan—ini dimaksudkan untuk membuktikan adanya Tuhan secara meyakinkan, melalui teori pengetahuan (ilmu). Ibnu Taymiyah (1263-1328), seorang tokoh filosof Muslim, membahas pengetahuan manusia–guna memperoleh kebedaan dan kewujudan Tuhan – dengan membagi ke dalam dua sifat yaitu sifat tabi' (obyektif), dan sifat matbu' (subyektif). Tentang sifat tabi' (obyektif), yang keberadaan obyek tidak bergantung pada ada atau tidak adanya pengetahuan sang subyek (manusia) tentang obyek tersebut.37 Artinya, bahwa Tuhan tidak membutuhkan untuk dibuktikan oleh ada tidaknya pengetahuan manusia tentang diri35
Jujun S. Suriasumantri, FIlsafat Ilmu, sebuah pengantar Populer (Pustaka SInar Harapan, Jakarta, 2003) h.101 36 37
HM. Rasyidi Op.cit. 34-37 Juhaya S. Praja h.
Hamsah Hasan, Pengaruh Filsafat Hukum …..163
Nya. Singkatnya, bahwa pengetahuan manusia tidak menyebabkan adanya Tuhan (Allah). Dari kedua uraian tentang Wâjibul Wujûd di atas, dapat dipahami bahwa Wâjibul Wujûd adalah sesuatu yang mesti adanya, sehingga konsep ini dengan sendirinya menjadi kata kunci dalam filsafat ketuhanan. Dalam kaitannya dengan hukum Islam, atau filsafat ketuhanan dalam hukum Islam, maka dengan sendirinya filsafat ketuhanan menjadi mutlak adanya untuk memahami hakikat hukum. Yaitu, bahwa hukum lahir pada diri (dilingkungan) manusia karena wujud manusia memang berasal dari suatu hukum yang lebih universal yaitu adanya sumber segala bentuk hakikat, sumber hubungan sebab akibat yakni hukum Allah yang diimplementasikan sebagai hukum Alam, hukum manusia atau hukum natural. Wahdatul Wujûd & Hukum Islam Konsep Islam tentang Wahdatul Wujûd dapat kita cermati dari argumentargumen melalui wahyu Allah itu sendiri. Maksudnya, bahwa firman-firman Allah tentang ke-Esa-an tentang diri-Nya, yang merupakan hasil akal "Tuhan" (yang disebut sebagai sumber segala akal manusia) adalah suatu keyakinan yang paling puncak dalam Islam. Sebab, dalam pandangan penulis, keyakinan tentang Wâjibul Wujûd belum cukup untuk suatu keyakinan yang paripurna, akan tetapi harus diakhiri dengan keyakinan tentang Wahdatul Wujûd, sebaliknya Wahdatul Wujûd tidak akan dipahami juga tanpa memahami dengan baik tentang Wâjibul Wujûd. Oleh karena itu keduanya harus dikaji secara seimbang dan memadai. Lantas apa yang dimaksud dengan Wahdatul Wujûd?. Dan apa relevansi Wahdatul Wujûd dengan hukum Islam. Berbicara tentang ke-Esa-an berbicara tentang angka dan bilangan, baik angka fardiy (ganjil), maupun angka zaujiy (ganda). Dalam kontek ini angka yang menjadi fokus bahasan adalah angka ganjil, dan lebih spesifik lagi adalah angka "Satu" dan yang semakna seperti "Tunggal" atau "Esa". Tentang ini dapat kita lihat dalam dua contoh ayat berikut :
قم هى هللا أح "Katakanlah (Wahai Muhammad) Dia-lah Allah (Tuhan) Yang Esa (tunggal)"
هى هللا انزٖ ا إنّ ال هى "Dia-lah Allah yang tiada Tuhan selain Dia" Dari kedua ayat tersebut di atas, dapat dijabarkan dalam bahasan sfesifik tentang ke-Esa-an Allah, yang merupakan salah satu sifat Tuhan itu sendiri yaitu al-Ahad. Menurut penulis—dan mudah-mudahan ini juga menurut logika berpikir, baik secara ide maupun materi—bahwa segala sesuatu yang berjumlah dua ke atas akan dipastikan membawa masalah-masalah tertentu, apakah sedikit ataupun banyak, yang dengan demikian tidak mungkin ada dua pencipta (creator) alam ini. Artinya, pencipta alam ini pasti satu, Esa, atau tunggal. Di sisi lain, argumen nalar pun memiliki peran yang sangat signifikan dalam memahami konsep Wahdatul Wujûd . Hal ini dapat kita cermati dari seorang Al-Kindi (w.258 H), seorang filosof pertama dalam menguraikan tentang ke-Esaan Allah dalam Rasail al-Kindi al-Falsafiah, mengatakan secara gamblang bahwa : “ Pencipta itu tidak bisa lain dari pada keadaan atau dia itu tunggal atau dia itu tidak banyak. Kalau pencipta itu banyak, maka mereka para pencipta itu bersusunan, sebab mereka mempunyai persekutuan dalam satu keadaan untuk semuanya, karena mereka itu semua adalah sama-sama pelaku (creator). Sesuatu yang terliputi oleh hal yang sama itu dapat menjadi banyak hanyalah bila sebagian dari padanya dapat terpisahkan dari yang lainnya dalam suatu keadaan tertentu. Jika mereka itu banyak maka pada mereka terdapat pisahanpisahan yang banyak pula. Jadi para pencipta itu bersusunan oleh adanya hal yang menyeluruh pada mereka, selain oleh adanya hal-hal yang khusus mereka; jadi tidak saya maksudkan bahwa secara keseluruhan mereka itu unik, berbeda dari yang lain. Mereka yang bersusunan itu memerlukan penyusun; sebab penyusun dan yang bersusunan itu termasuk dalam kategori al-Mudhaf (pe-
164 Al Ahkam, Vol. V No. 2, Desember 2015
rangkaian). Kalau begitu, bagi pelaku itu haruslah ada pelaku lain. Bila dia tunggal maka dialah pelaku pertama. Tetapi bila dia itu banyak, sedangkan pelaku untuk banyak selamanya juga banyak, maka hal ini akan berkepanjangan tanpa penghabisan. Maka telah menjadi jelas kepalsuan hal semua itu, jadi pelaku itu tidaklah terdapat pelaku lainnya. Dengan demikian pelaku itu tidaklah terbilang..‖38 Dalam aspek lain, sebagaimana dijabarkan oleh Muhammad Abduh dalam kitabnya 'Risalah at-Tauhid', bahwa AlWahdat (Maha Esa) adalah salah satu sifat yang wajib adanya bagi Allah. Esa yang dimaksud di sini adalah esa dalam zat-Nya, sifat-Nya, Wujud-Nya dan Fi'il-Nya. 39 Bahwa zat itu tidak menerima tarkib (tidak tersusun dari berbagai unsur), baik di luar akal maupun di dalam akal itu sendiri. Sedangkan ke-Esaa-an dalam sifat-Nya, bahwa tidak sifat dari yang wujud ini menyami sifat-Nya. Sementara ke Esa-an dalam wujud dan fi'il-Nya, dimaksudnya untuk zat-Nya itu sendiri yang wajib wujud (ada). Akhirnya, bahwa apabila ada dua Tuhan, maka alam ini akan pincang dan dipastikan tidak akan terjadi keseimbangan. Hal ini tentu berbeda dalam budaya kekuasaan manusia, yang jika hanya ada satu penguasa atau satu badan penguasa maka pasti akan terjadi kekacauan, maka itu lahirlah sistem kekuasaan yang tidak didasarkan pada satu orang, walaupun tampaknya satu orang sebagaimana seorang presiden, tapi dalam pengambilan keputusan seorang presiden tidak memiliki kekuasaan mutlak. Jadi, Tuhan adalah ESA, karena keharusan adanya SATU TUHAN yang LAISA KAMITSLIHI SYAE‟ adalah logika untuk kepentingan manusia itu sendiri yang sangat rasional.
38
Nurkholis Majid (editor) Khazanah Intelektual Islam , Bulan Bintang, Jakarta, 1984 h.93-94. 39
Syaekh Muhammad Abduh, Risalat atTauhid, alih bahasa Firdaus AN, bahasa (Bulan BIntang, Jakarta, 1963) h. 32-3
Konsep Ketuhanan dalam Filsafat Hukum Islam Sub judul ini dimaksudkan untuk mengkerucutkan konsep khas tentang ketuhanan dalam filsafat hukum Islam, sebab sebenarnya konsep ketuhanan Islam telah dibahas di atas dalam konsep Wâjibul Wujûd dan Wahdatul Wujûd, namun kiranya perlu ditegaskan bahwa karena Hukum Islam tidak lahir dengan sendirinya, maka perlu diberikan beberapa catatan sfesifik. Sub pembahasan ini juga dimaksudkan sebagai jawaban atas pertanyaan mengapa manusia harus tunduk pada hukum dan apa rahasia rahasia atau hikmah ketundukan manusia pada hukum. Hukum menurut Islam tidak berdiri sendiri. Hukum dalam Islam merupakan bagian integral dari tauhid dan akidah. Hukum Allah tidak hanya berlaku bagi manusia akan tetapi berlaku bagi sekalian alam (ciptaan-Nya). Hal ini dapat dicermati dalam al-Qur'an, surah al-A'raf, ayat 87 dan Hud ayat 45. Konsep "Ketuhanan" dalam hukum Islam sebetulnya dapat diteliti dari aspek akar-akarnya yaitu pada aspek asrâr alahkâm (rahasia-rahasia dibalik hukum) Islam, yang oleh peneliti disebut pula asrâr al-tasyri' (rahasia-rahasia penetapan dan pembinaan hukum) Islam. Rahasia-rahasia hukum Allah hanya dapat disingkap oleh mereka yang tergolong rasikh (mendalam dan luas sehingga tunduk dan beriman kepada Allah) dalam ilmu dan pengetahuan, sebab mereka-mereka ini senantiasa semakin kuat keimanannya dikarenakan mereka menemukan rahasia-rahasia hukum Allah. Sebagai contoh, dengan munculnya pertanyaan-pertanyaan filosofis seperti mengapa Shalat disyariatkan dalam Islam? Mengapa Haji, Zakat dan seterusnya di Syariatkan Islam? Dan seterusnya. Meskipun sebetulnya, dalam pertanyaan semacam ini, seringkali muncul persoalan dikalangan ummat Islam, sebab ada dua aliran dalam menyikapi persoalan ini, ada yang tidak memperbolehkan mengungkap apa illat dan hikmah dari hukum hukum Allah, dan ada juga golongan yang mengharuskan kita mengungkap illat dan hikmah serta rahasia-
Hamsah Hasan, Pengaruh Filsafat Hukum …..165
rahasia setiap ketentuan syariat Islam.40 Dari kedua pandangan ini tampaknya kecenderungan para ahli filsafat hukum Islam modern memihak kepada yang kedua, yaitu kemestian menggali dan menyingkap 'illat (sebab), hikmat dan rahasia-rahasia hukum Islam, melalui ilmu dan pengetahuan. Karena itu, dalam kaitan dengan konsep ketuhanan dalam filsafat Hukum Islam dalam tataran penggalian maknamakna 'illat, hikmah dan rahasia hukum yang ada, bukanlah sesuatu yang dipandang mengurangi keberadaan dan hakikat hukum Islam apalagi dipandang akan merusak akidah seorang Muslim. Lagi pula, ini semua masih dalam kerangka pencarian dan upaya penggalian hakikat kebenaran yang telah diyakini kebenarannya, tanpa keaguan sedikitpun, yang juga dengan penuh kesadaran bahwa ada hikmah-hikmah yang dapat diperoleh dengan daya pikir dan nalar manusia dan ada yang tidak dapat dicapai dengan nalar tapi dengan amaliyah. Agar lebih jelas tentang hubungan filsafat dan syariat atau hukum sehingga manusia harus tunduk pada hukum Islam, ada baiknya kita menyimak pandangan Ibnu Rusyd (594 H/1198) seoroh filosof sekaligus ahli hukum Islam mengatakan bahwa ―jika kegiatan filsafat tidak lain ialah mempelajari segala wujud dan merenungkannya sebagai bukti alam adanya pencipta – yaitu dari segi bahwa segala wujud ini adalah ciptaan sehingga merupakan petunjuk adanya pencipta itu setelah diketahui tentang segi penciptaan padanya–maka semakin sempurna pengetahuan itu, karena Syara‘ telah memerintahkan dan mendorong kita untuk mempelajari segala yang ada‖. Menurut Ibnu Ruysd bahwa tujuan syara‘ adalah semata-mata mengajarkan ilmu yang benar dan amal yang benar pula.41 Dengan demikian dapat dipahami bahwa filsafat ketuhanan dan hukum Islam adalah satu kesatuan yang mengantarkan manusia menuju kesempurnaan ilmu dan amal. Kesempurnaan ilmu dan amal adalah untuk kemaslahatan manusia di dunia 40
Hasbi As-Shiddiqi, Falsafah Hukum Islam (Bulan Bintang, Jakarta, 1990) h 380-2 41
Nurkholis Majid, Op.cit. h. 207-244
maupun di akhirat. Artinya, hukum Islam tanpa tauhid yang benar, tentu tidak dapat difahami seperti apa pengertian dari pada hukum Islam itu sendiri. Analisa Teoritis, Empiris
Konsepsional,
dan
Dari beberapa padangan teoritis dan konsepsional tentang Tuhan dan Hukum (agama Islam) yang dirangkum dalam pokok bahasan "Filsafat Ketuhanan dalam Filsafat Hukum Islam", sebagaimana telah dikemukakan penulis di atas, maka penulis akan mencoba memberikan komentar dan pandangan-pandangan analisis dan spesifik, sebagai berikut : Pertama, bahwa jika benar manusia memiliki keyakinan yang merupakan faktor dominan dari segala pengetahuan dan ilmu yang ada pada dirinya, maka sangat sulit melepaskan dirinya dari suatu ikatan-ikatan "yang lain" atas dirinya. Sementara diketahui bahwa ikatan lain yang paling dominan dalam diri manusia adalah keterkaitannya dengan zat Yang Mutlak baik, Yang Maha Tahu, Yang Maha Pencita, Yang Maha Bijak, dan setersunya, yang dalam hal adalah zat yang dimaksud yaitu Tuhan (Allah) itu sendiri. Namun persoalannya kemudian adalah keterbatasan akal manusia menjadi sangat relatif ukurannya dalam menentukan akal yang tertinggi yang sebenarnya. Sifat keberadaan manusia yang relatif tersebut, menjadikan dirinya tidak memungkingkan memberikan suatu kepastian tentang adanya akal tertinggi menurut akal (otak) kepala semata, namun harus diyakini melalui akal hati manusia. Sementara itu diri manusia dituntut untuk meyakini dan mengimani adanya akal tertinggi, yang tidak mungkin digapai secara maksimal. Maka itu, persoalan keterbatasan akal manusia ini, bisa difahami keliru oleh manusia, dan ini telah terbukti, bahwa ternyata ada manusia yang tidak mempercayai adanya Tuhan. Kedua, bahwa sehubungan dengan adanya pembagian hukum akal dalam kaitannya dengan tauhid Islam kedalam tiga bagian yaitu mumkin (mungkin), wâjib (wajib) dan mustahîl (mustahil), maka dalam kontek hukum Islam dengan sendirinya tidak dapat dilepaskan dari ketiga pembagian ter-
166 Al Ahkam, Vol. V No. 2, Desember 2015
sebut. Artinya, bahwa hukum-hukum Islam yang diperuntukkan kepada manusia adalah penjabaran dari hukum-hukum Allah yang dipastikan rasional bagi akal manusia. Adanya, yang 'mungkin' menghendaki adanya yang 'wajib' dan yang 'mustahil' adanya dalam ajaran Islam. Sedangkan dalam hukum realitas, hukum-hukum Islam bagi manusia hanya dalam tataran yang mungkin adanya, atau yang mungkin dilakukan oleh manusia. Dari kedua pandangan di atas, dapat pula kita perbandingkan dengan metode Descrates ketika membahas bukti-bukti keberadaan Tuhan dan Jiwa manusia atau asas-asas metafisika. Awalnya Descrates merasa ragu dengan dirinya, apakah merasa perlu untuk membahas hal-hal yang abstrak hingga pada kesimpulan bahwa pemikiranpemikiran demikian serupa muncul pada manusia baik dalam keadaan sadar maupun tidak sadar, yang diibaratkan olehnya seperti orang yang sedang tertidur atau sadar. Ia bertekad menganggap bahwa segala yang pernah terlintas dalam pikiran tidak lebih benar dari pada illusi illusi dalam mimpi. Pada akhirnya ia pun sadar bahwa pemikiran "saya berpikir kare itu saya ada" menjadi sesuatu yang sangat diyakini.42 Dari sini dapat disimpulkan bahwa Desrcates terlebih dahulu memahami potensi dan kemapuan nalar dirinya sebelum berusaha memahami tentang yang lain yaitu "Tuhan". Dalam kaitan dengan "Tuhan" Descrates berkata, bahwa "Gagasan tentang sesuatu yang lebih sempurna itu diletakkan dalam diri saya oleh kodrat yang lain yang benar-benar lebih sempurna dari pada saya, dan saya memiliki segala kesempurnaan yang beberapa diantaranya dapat saya pahami, yaitu Tuhan". Ia menambahkan, dalam uraiannya yang lebih jauh : "karena saya dapat mengetahui beberapa kesempurnaan yang tidak saya miliki, saya bukanlah satu-satunya makhluk yang ada (di sini saya menggunakan secara bebas istilah dari filsafat skolastuk), dan bahkan haruslah ada sesuatu yang lain yang lebih 42
Rene Descrates, Diskursus Metode, IRC iSoD, Yokyakarta, 2003, cet 1, h. 55-7
sempurna, tempat saya bergantung serta merupakan sumber yang memberikan kepada saya segala yang saya miliki. Sebab, seandainya saya adalah satusatunya yang ada dan tidak bergantung pada yang lain, sehingga saya mendapatkan diri sendiri sedikit kesempurnaan yang apa pada saya, yang merupakan bagian dari sifat yang maha sempurna, mestinya saya memiliki dari diri sendiri segala kesempurnaan yang saya ketahui tidak ada pada saya; dengan demikian saya bersifat tidak terbatas, abadi, tidak berubah, maha tahu, maha kuasa, pendek kata memiliki segala kesempurnaan yang menurut pengamatan saya ada pada Tuhan". Pandangan yang sekaligus sebagai metode pengenalan dan penalaran Descrates tentang Tuhan di atas, memberikan gambaran bagi kita bahwa dengan mengetahui ketidaksempurnaan makhluk manusia, maka pasti ada lain Yang Maha Sempurna, dan itulah yang dimaksudkan dengan Tuhan. Artinya dengan memiliki keyakinan moral pada kesempurnaan hukum-hukum Allah, yang notabene memiliki sifat Maha Sempurna, maka dengan demikian hukum Allah akan memberikan kesempurnaankesempurnaan lain pada makhluk yang disebut manusia. Singkat kata, bahwa dalam filsafat hukum Islam, pandangan fundamental yang harus mendasarinya adalah memahami filsafat ketuhanan sebelum memahami filsafat hukum Islam, yang semua ini dapat dianalisis melalui argument atau bukti-bukti ontologis, kosmologis, teleologis, moral dan epistemolohis. Simpulan Dari pemaparan terdahulu, penulis menarik beberapa kesimpulan sebagai berikut : 1. Bahwa masalah ketuhanan dalam filsafat adalah persoalan sentral dan menjadi bahasan puncak dari filsafat, sebagaimana halnya masalah Hukum merupakan puncak dari pengetahuan tentang Tuhan. 2. Filsafat Ketuhanan dapat dibahas dari dua aspek yaitu Wâjibul Wujûd dan Wahdatul Wujûd atau wujud Tuhan
Hamsah Hasan, Pengaruh Filsafat Hukum …..167
dan ke-Esa-an wujud Tuhan dalam pengertiannya yang luas dan mendalam. 3. Filsafat Ketuhanan dalam relevansinya dengan filsafat hukum Islam adalah satu kesatuan yang tidak terpisahkan. Sebab untuk memahami hukum Islam harus difahami filsafat Ketuhanan filsafat ketuhanan adalah filsafat berpikir sedangkan filsafat hukum adalah filsafat implementasi dari filsafat Ketuhanan. Demikian makalah ini dibuat, dan penulis berharap agar perbaikan dari temanteman kelas, dan terkhusus kepada yang terhormat dosen pengajar Bapak. Prof. Dr. Juhaya S. Praja agar memberikan masukan dan perbaikan dari aspek metode penulisan maupun isi makalah. Wallahu A'lam Bishshawab, Wallahu Min Waraail Qashd.
Gearde, Joestein Dunia Shophie (Mizan, Bandung, 1997) Izutsu, Toshihiko, Etika beragama dalam Al-Qur‟an, Pustaka Firdaus, Jakarta, 1995, cetakan 2 Majid, Nurkholis (editor) Khazanah Intelektual Islam Bulan Bintang, Jakarta, 1984 Nasution, Harun, Teologi Islam, Aliranaliran sejarah analisa perbandingan, UI PRESS, Jakarta, 1986, cetakan 5, h. 79-94 Rasyidi, H.M. Filsafat Agama, Bulan Bintang, Jakrta, 1975, cet 3, h. 10 Rene Descrates, Diskursus Metode, IRC iSoD, Yokyakarta, 2003, cet 1
Daftar Pustaka
S. Praja, Juhaya, Filsafat Hukum Islam (LPPM UNISBA, Bandung, 2002)
1. Buku Al-Qur'an & Terjemahan Abduh, Syaekh Muhammad, Risalat atTauhid, alih bahasa Firdaus AN, (Bulan BIntang, Jakarta, 1963) h. 323 Ash-Shiddiq, Hasby, Falsafah Hukum Islam (Bulan Bintang, Jakarta, 1990) Amstrong, Karen, Sejarah Terjemahan Zainul Am, Bandung, cetakan 4, 2001
Endang Saefuddin Anshari, Ilmu Filsafat dan Agama (Bina Ilmu, Surabaya, 1987) cet 7
Tuhan, Mizan,
Atang, Abdul Hakim dan Mubarak, Jaih Metodologi Studi Islam, Rosda Karya, Bandung, 2000, cetakan 2
Suriasumantri, Jujun S. Filsafat Ilmu, sebuah pengantar Populer (Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 2003) Syarif, M (Editor), Para Filosof Muslim (Mizan, Bandung, 1998) cet 11 2. Kamus/Ensiklopedi Burhani Ms, Kamus Ilmiah Populer (Lintas Media, Jombang, tth) Ensiklopedi Islam (PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, 1994) Jilid 1, Cet 3