IMPLEMENTASI GOOD GOVERNANCE (TRANSPARANSI DAN AKUNTABILITAS) DALAM MENCIPTAKAN INDONESIA BEBAS KORUPSI, KOLUSI DAN NEPOTISME Dian Wahyudin Institut Ilmu Sosial dan Manajemen STIAMI
[email protected] Abstrak, Korupsi di Indonesia sudah merupakan suatu penyakit kronis yang menjadi penghalang implementasi good governance. Korupsi dipicu oleh konflik kepentingan yang seringkali kepentingan pribadi lebih menjadi prioritas utama dibandingkan dengan kepentingan bangsa dan negara. Dampak korupsi bagi negara dengan kasus korupsi yang berbeda bentuk, sangat luas akibat yang ditimbulkannya, yang pada akhirnya adalah menimbulkan kesengsaraan rakyat dan sangat merugikan negara. Dalam rangka menciptakan suatu tatanan masyarakat, bangsa, dan negara yang lebih sejahtera, jauh dari korupsi, kolusi, dan nepotisme, salah satu upayanya adalah mewujudkan good governance. Good governance adalah pelaksanaan otoritas politik, ekonomi dan adminstratif dalam pengelolaan sebuah negara, termasuk di dalamnya mekanisme yang kompleks serta proses yang terkait, lembaga-lembaga yang dapat menyuarakan kepentingan perseorangan dan kelompok serta dapat menyelesaikan semua persoalan yang muncul diantara mereka. Persyaratan minimal untuk mencapai good governance adalah adanya transparansi, pemberdayaan hukum, efektifitas dan efisiensi, serta akuntabilitas. Dengan semakin tinggi tingkat transparansi dan akuntabilitas, seharusnya semakin rendah pula kemungkinan terjadinya korupsi dan kolusi dan nepotisme. Namun dalam kenyataannya kasus korupsi, kolusi dan nepotisme yang terjadi makin mengkhawatirkan dan makin meraja lela. Bahkan sudah menjadi fenomena yang sangat mencemaskan, karena kasus Korupsi, Kolusi dan Nepotisme telah merambah luas pada lembaga eksekutif, legislatif dan yudikatif. Tuntutan keinginan terciptanya good governance dalam seluruh kegiatan di era globalisasi sekarang ini, menjadi penting karena jika kondisi good governance dapat dicapai, maka terwujudnya negara yang bersih dan responsif (clean and responsive state), semaraknya masyarakat sipil (vibrant civil society) dan kehidupan bisnis yang bertanggung jawab (good corporate governance), bukan hanya impian saja. Kata kunci : Good governance, Korupsi, Kolusi dan Nepotisme
Abstract. Corruption in Indonesia is already a chronic disease that is a barrier implementation of good governance. Corruption triggered by conflicts of interest that often personal interest is a top priority than the interests of the nation. The impact of corruption for a country with different forms of corruption cases, very large consequences thereof, which in turn is causing misery and extremely detrimental to the country. In order to create a society, nation, and the country more prosperous, far from corruption, collusion, and nepotism, one of the efforts is to realize good governance. Good governance is the exercise of authority of political, economic and administrative management of a country, including the complex mechanisms and related processes, institutions can voice the interests of individuals and groups and can solve all the problems that arise between them. Minimal requirements for achieving good governance is transparency, legal empowerment, effectiveness and efficiency, and accountability. With the higher level of transparency and accountability, should the lower the likelihood of corruption and collusion and nepotism. But in reality the case of corruption, collusion and nepotism that occurred more alarming and increasingly rampant. Even have become a very worrying phenomenon, as the case of corruption, collusion and nepotism have penetrated widely in the executive, legislative and judicial branches
Demands desire creation of good governance in all activities in the current era of globalization, is important because if the conditions of good governance can be achieved, meaning the realization of a clean and responsive state, vibrant civil society and good corporate governance, not just a dream only Keywords: Good governance, Corruption, Collusion, Nepotism. Korupsi dewasa ini sudah semakin berkembang baik dilihat dari jenis, pelaku maupun dari modus operandinya. Masalah korupsi bukan hanya menjadi masalah nasional tetapi sudah menjadi internasional, bahkan dalam bentuk dan ruang lingkup seperti sekarang ini, korupsi dapat menjatuhkan sebuah rezim, dan bahkan juga dapat menyengsarakan dan menghancurkan suatu negara. Dampak korupsi bagi negara-negara dengan kasus korupsi berbeda-beda bentuk,luas dan akibat yang ditimbulkannya,walaupun dampak akhirnya adalah menimbulkan kesengsaraan rakyat. Di negara miskin korupsi mungkin menurunkan pertumbuhan ekonomi, menghalangi perkembangan ekonomi dan menggerogoti keabsahan politik yang akibat selanjutnya dapat memperburuk kemiskinan dan ketidak-stabilan politik. Di negara maju korupsi mungkin tidak terlalu berpengaruh terhadap perekonomian negaranya, tetapi juga korupsi dapat menggerogoti keabsahan politik di negara demokrasi yang maju industrinya, sebagaimana juga terjadi di negara berkembang. Korupsi mempunyai pengaruh yang paling menghancurkan di negara-negara yang sedang mengalami transisi seperti Indonesia, apabila tidak dihentikan, korupsi dapat menggerogoti dukungan terhadap demokrasi dan sebuah ekonomi pasar. Masalah korupsi merupakan masalah yang mengganggu, dan menghambat pembangunan nasional karena korupsi telah mengakibatkan terjadinya kebocoran keuangan negara yang justru sangat memerlukan dana yang besar dimasa terjadinya krisis ekonomi dan moneter. Terpuruknya perekonomian Indonesia yang terus menerus pada saat ini mempengaruhi sendi-sendi kehidupan di dalam masyarakat, berbangsa dan bernegara. Krisis ekonomi di Indonesia antara lain disebabkan oleh tatacara penyelenggaraan pemerintahan yang tidak dikelola dan diatur dengan baik. Akibatnya timbul berbagai masalah seperti korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) yang sulit diberantas, masalah
penegakan hukum yang sulit berjalan, monopoli dalam kegiatan ekonomi, serta kualitas pelayanan kepada masyarakat yang memburuk. Masalah-masalah tersebut juga telah menghambat proses pemulihan ekonomi Indonesia, sehingga jumlah pengangguran semakin meningkat, jumlah penduduk miskin bertambah, tingkat kesehatan menurun, dan bahkan telah menyebabkan munculnya konflikkonflik di berbagai daerah yang dapat mengancam persatuan dan kesatuan negara Republik Indonesia. Bahkan kondisi saat inipun menunjukkan masih berlangsungnya praktek dan perilaku yang bertentangan dengan kaidah tata pemerintahan yang baik, yang bisa menghambat terlaksananya agenda-agenda reformasi. Korupsi pada saat ini maupun untuk masa yang akan datang merupakan ancaman serius yang dapat membahayakan perkembangan kehidupan bangsa-bangsa pada umumnya, dan khususnya Bangsa Indonesia sehingga kejahatan korupsi selayaknya dikategorikan sebagai kejahatan yang membahayakan kesejahteraan bangsa dan negara. Korupsi di Indonesia dimulai sejak era Orde Lama sekitar tahun 1960-an bahkan mungkin sejak tahun-tahun sebelumnya yang hingga kini belum diberantas sepenuhnya. Pemerintah sejak dulu telah berupaya memberantas korupsi, pada era orde baru pernah muncul Undang-undang Nomor 3 tahun 1971 dengan “Operasi Tertib” yang dilakukan Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib), namun dengan kemajuan iptek, modus operandi korupsi semakin canggih dan rumit sehingga undangundang tersebut gagal dilaksanakan. Upayaupaya hukum yang telah dilakukan pemerintah sebenarnya sudah cukup banyak dan sistematis. Namun korupsi di Indonesia semakin banyak sejak tahun 1997 saat negara mengalami krisis politik, sosial, kepemimpinan, dan kepercayaan yang pada akhirnya menjadi krisis multidimensi. Gerakan reformasi yang
menumbangkan rezim Orde Baru menuntut antara lain ditegakkannya supremasi hukum dan pemberantasan Korupsi, Kolusi & Nepotisme (KKN). Tuntutan tersebut akhirnya dituangkan di dalam Ketetapan MPR Nomor IV/MPR/1999 & Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang bebas dan bersih dari KKN serta direalisasikan dalam kerangka yuridis dengan keluarnya Undangundang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang menggantikan UU No. 3 Tahun1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi karena dipandang Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan kebutuhan dalam masyarakat, karena itu perlu diganti dengan UndangUndang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang baru sehingga diharapkan lebih efektif dalam mencegah dan memberantas tindak pidana korupsi. Kasus-kasus korupsi akhir-akhir ini malah semakin marak dilakukan oleh rakyat Indonesia, dalam hal ini mayoritas dilakukan oleh para pejabat tinggi Negara seperti dilakukan oleh anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Gubernur, dan Bupati dari beberapa daerah di Indonesia, tak jarang pula dilakukan oleh para pejabat pada kantor atau dinas dari satuan kerja perangkat daerah, intinya para pejabat atau orang-orang yang memiliki kekuasaan cenderung menyalahgunakan kekuasaan dan jabatan yang dimilikinya untuk kepentingan diri pribadi dengan tujuan memperkaya diri mereka sendiri tanpa memikirkan bahwa mereka menyandang jabatan dan kedudukan dalam lembaga pemerintah seharusnya dipergunakan untuk melayani kepentingan masyarakat, bangsa dan negara serta sesungguhnya mereka dipercaya oleh masyarakat luas untuk memajukan kesejahteraan rakyat tetapi malah merugikan negara. Hal ini tentu saja sangat memprihatinkan bagi kelangsungan hidup rakyat yang dipimpin oleh para pejabat yang terbukti melakukan tindak korupsi. Korupsi yang ada di Indonesia saat ini sudah meluas dalam masyarakat perkembangannya terus meningkat dari tahun ke tahun, baik dari jumlah kasus yang terjadi dan jumlah kerugian keuangan negara maupun dari segi kualitas
tindak pidana yang dilakukan yang semakin sistematis oleh pejabat negara. Penyelenggaraan pemerintahan yang baik (Good Governance) adalah pemerintahan yang memberikan berbagai kemudahan, kepastian dan bersih dalam menyediakan pelayanan dan perlindungan dari berbagai tindakan sewenangwenang baik atas diri, hak ataupun harta bendanya. Oleh karena itu sangat wajar apabila penyusunan kebijakan pemerintah yang bersih dalam kerangka rencana aksi daerah pemberantasan korupsi terutama ditujukan pada pembaharuan administrasi negara dan juga penegak hukum. Menurut Abdul Gani Abdullah, good governance itu berhubungan erat dengan manajemen pengelolaan kebijakan pembangunan (khususnya bidang hukum). Apabila seorang pejabat publik akan mengambil keputusan dalam melaksanakan pembangunan, terlebih dahulu dia harus menerapkan prinsipprinsip penyelenggaraan pemerintahan yang baik sehingga hasil akhirnya secara menyeluruh adalah suatu perintah yang baik. Ciri good governance disini adalah keputusan tersebut diambil secara demokratis, transparan, akuntabilitas dan benar. Good governance adalah prinsip yang mengetengahkan keseimbangan hubungan antara masyarakat dengan negara serta negara dengan pribadi. Dengan demikian setiap kebijakan publik seharusnya melibatkan berbagai sektor baik masyarakat maupun sektor privat dengan code of conduct nya yang jelas. Di era reformasi sekarang ini, tuntutan pelaksanaan kepemerintahan yang baik (good governance) semakin kuat dijalankan sehingga ditetapkanlah TAP MPR RI No. XI/MPR/1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang bersih dan bebas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) dan diperkuat lagi dengan UU No 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang bersih dan bebas KKN. Pemerintah semakin menegaskan tekad untuk senantiasa bersungguh-sungguh mewujudkan penyelenggaraan pemerintahan yang didasarkan pada prinsip-prinsip good governance dan pemberantasan korupsi. Hampir seluruh bangsa di dunia sepakat bahwa konsep good governance dikatakan sebagai solusi berbagai persoalan kehidupan di dunia ini termasuk dalam penyelenggaraan negara yang bersih dan
bebas korupsi mulai dari tingkat nasional hingga pedesaan. Penerapan good governance di Indonesia dilatarbelakangi oleh dua hal yang sangat mendasar: (1). Tuntutan eksternal : Pengaruh globalisasi telah memaksa kita untuk menerapkan good governance. Good governance telah menjadi ideologi baru negara dan lembaga donor internasional dalam mendorong negara-negara anggotanya menghormati prinsip-prinsip ekonomi pasar dan demokrasi sebagai prasyarat dalam pergaulan internasional. Istilah good governance mulai mengemuka di Indonesia pada akhir tahun 1990-an, seiring dengan interaksi antara pemerintah Indonesia dengan negara-negara luar dan lembaga-lembaga donor yang menyoroti kondisi objektif situasi perkembangan ekonomi dan politik dalam negeri Indonesia; (2) Tuntutan internal: Masyarakat melihat dan merasakan bahwa salah satu penyebab terjadinya krisis multidimensional saat ini adalah terjadinya juse of power yang terwujud dalam bentuk KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme) dan sudah sedemikian rupa mewabah dalam segala aspek kehidupan. Proses check and balance tidak berwujud dan dampaknya menyeret bangsa Indonesia pada keterpurukan ekonomi dan ancaman disintegrasi. Berbagai kajian ihwal korupsi di Indonesia memperlihatkan korupsi berdampak negatif terhadap pembangunan melalui kebocoran, mark up yang menyebabkan produk high cost dan tidak kompetitif di pasar global (high cost economy), merusakkan tatanan masyarakat dan kehidupan bernegara. Masyarakat menilai praktik KKN yang paling mencolok kualitas dan kuantitasnya adalah justru yang dilakukan oleh cabang-cabang pemerintahan, eksekutif, legislatif dan yudikatif. Berdasarkan latar belakang masalah tersebut diatas, maka yang menjadi rumusan masalah adalah : (1) Faktor- faktor penyebab maraknya korupsi di kalangan Pejabat Pemerintahan dan strategi pemberantasan korupsi?; (2) Bagaimana Implementasi Good governance dalam menciptakan Indonesia bebas korupsi, kolusi dan nepotisme? PEMBAHASAN Faktor-faktor penyebab maraknya korupsi di kalangan Pejabat Pemerintahan
Faktor-faktor terjadinya tindakan korupsi di kalangan pejabat pemerintahan ada 8 penyebabnya menurut Abdullah Hehamahua selaku penasehat Komisi Pemberantasan Korupsi, diantaranya adalah: (1) Sistem penyelenggaraan negara yang keliru. Sejak masa kemerdekaan hingga sekarang, pemerintah terlalu fokus hanya pada satu bidang pembangunan saja tanpa memperhatikan bidang-bidang lainnya, sehingga dengan mengarahkan segala kekuatan dan upaya pada pembangunan satu bidang saja mak bidang lainnya yang seharusnya dapat diprioritaskan pula menjadi terbengkalai, sedangkan bidang yang menjadi prioritas malah kadang tidak kunjung terselesaikan, sebagai contoh sebagai negara yang baru berkembang, seharusnya prioritas pembangunan di bidang pendidikan diutamakan untuk menciptakan SDM yang berkualitas dalam membangun bangsa tetapi selama puluhan tahun, mulai orde lama, orde baru, hingga reformasi, pembangunan hanya difokuskan di bidang ekonomi. padahal masih terbatas SDM, uang, manajemen, dan teknologi. Sehingga konsekuensi akhirnya semua didatangkan dari luar negeri yang pada gilirannya menghasilkan penyebab korupsi dengan menyelewengkan bantuan-bantuan dari luar negeri tersebut; (2) Kompensasi PNS yang rendah. Sebagai negara berkembang kesejahteraan PNS yang menjadi pelaksana utama pada lembaga pemerintahan belum mampu di penuhi oleh negara karena kekurangan dana untuk kompensasi yang tinggi kepada pegawainya apalagi Indonesia yang lebih memprioritaskan bidang ekonomi membuat yang secara fisik dan kultural menimbulkan pola konsumerisme, sehingga 90% PNS melakukan KKN pada tempat mereka bekerja; (3) Pejabat yang serakah.Pola hidup konsumerisme yang dilahirkan oleh sistem pembangunan seperti diatas mendorong pejabat untuk menjadi kaya secara instant. Hal ini menyebabkan lahirnya sikap serakah dimana pejabat menyalahgunakan wewenang dan jabatannya, seperti melakukan mark up proyekproyek pembangunan; (4) Penegakan hukum belum berjalan maksimal. Para pejabat yang serakah dan PNS yang KKN karena gaji yang tidak cukup, diikuti pula dengan penegakan hukum yang tidak berjalan hampir diseluruh lini kehidupan, baik di instansi pemerintahan
maupun lembaga kemasyarakatan lainnya, karena segalanya diukur dengan uang; (5) Hukuman yang ringan terhadap koruptor. Tidak berjalannya penegakan hukum salah satunya karena aparat penegak hukum itu sendiri yang bisa dibayar dan dibeli saat menangani suatu kasus korupsi sehingga hukuman yang dijatuhkan kepada para koruptor dikalangan pejabat pemerintahan menjadi sangat ringan dan tidak menimbulkan efek jera bagi koruptor dan orang-orang yang memiliki kekuasaan untuk melakukan korupsi; (6) Pengawasan yang tidak efektif. Dalam sistem manajemen yang modern selalu ada instrumen yang disebut internal kontrol yang bersifat in build dalam setiap unit kerja. Sehingga sekecil apapun penyimpangan akan terdeteksi sejak dini dan secara otomatis pula dilakukan perbaikan. Tetapi internal kontrol yang ada disetiap unit sudah tidak lagi berjalan dengan semestinya karena pejabat atau pegawai terkait bisa melakukan tindakan korupsi; (7) Tidak ada keteladanan pemimpin. Saat masa krisis ekonomi tahun 1997 perekonomian Indonesia sedikit lebih baik dari pada Thailand namun pemimpin Thailand memberi contoh kepada rakyatnya dalam pola hidup sederhana. Sehingga lahir dukungan moral dan material dari masyarakat dan pengusaha. Maka dalam waktu singkat, Thailand telah mengalami recovery atau perbaikan ulang pada perekonomiannya sedangkan para pemimpin Indonesia saat masa krisis ekonomi tersebut tidak dapat memberikan teladan sehingga kehidupan berbangsa dan bernegara mendekati jurang kehancuran saat itu; dan (8) Budaya masyarakat yang kondusif untuk KKN. Korupsi yang ada di Indonesia saat ini sudah membudaya yang tidak hanya dilakukan oleh para pejabat saja namun meluas hingga ke masyarakat. Hal ini bisa dicontohkan pada saat pengurusan KTP, SIM, STNK, maupun saat melamar kerja. Tindakan masyarakat ini merupakan pencerminan yang dilakukan oleh pejabat politik. Melihat delapan hal penyebab di atas, dapat dikatakan korupsi merupakan permasalahan universal yang dihadapi oleh seluruh negara dan masalah yang pelik yang sulit untuk diberantas. Hal itu tidak lain karena masalah korupsi bukan hanya berkaitan dengan permasalahan ekonomi semata melainkan juga terkait dengan permasalahan politik, kekuasaan, dan
penegakkan hukum. Korupsi bila bersinggungan dengan penegakkan hukum maka akan sulit diberantas karena secara otomatis akan bersinggungan dengan orang-orang yang memiliki kekuasaan dan uang. Dengan demikian dengan mudah pelaku korupsi dapat mengerahkan massa, membentuk opini, dan menyuap penegak hukum melalui kekuasaan dan uang. Terjadinya korupsi juga dikarenakan penyalahgunaan wewenang dan jabatan yang dimiliki oleh pejabat demi kepentingan pribadi dengan mengatasnamakan pribadi atau keluarga, sanak saudara, maupun teman. Wertheim (dalam Lubis, 1970) menyatakan bahwa seorang pejabat dikatakan melakukan tindakan korupsi bila ia menerima hadiah dari seseorang yang bertujuan mempengaruhinya agar ia mengambil keputusan yang menguntungkan kepentingan si pemberi hadiah. Kadang-kadang orang yang menawarkan hadiah dalam bentuk balas jasa juga termasuk dalam korupsi. Menurut David Bayley (1995), akibat-akibat buruk yang ditimbulkan oleh korupsi adalah sebagai berikut: (1) Korupsi mengurangi efisiensi biaya penyelenggaraan negara karena banyaknya pos-pos anggaran yang digerogoti oleh para koruptor untuk keuntungan pribadi; (2) Korupsi menyebabkan kenaikkan biaya administrasi. Seberapa jauh pelipatgandaan biaya tambahan tergantung pada kemampuan pasaran. Orang-orang yang sekaligus menjadi wajib pajak dan dipaksa untuk memberi sogokan, menjadi berlipat ganda membayar untuk suatu jasa negara: (3) Jika korupsi terjadi dalam bentuk “komisi”, akan mengakibatkan berkurangnya jumlah dana yang seharusnya dipakai untuk keperluan masyarakat umum. Ini merupakan pengalihan sumber-sumber kepentingan umum untuk keperluan perorangan. Contohnya seorang pejabat pemerintah menyetujui suatu proyek atau kontrak dengan harga tertentu, tetapi menerima “komisi” 10% sebagai balas jasa penyetujuan kontrak tersebut, maka dana yang terpakai untuk kepentingan umum tinggal 90% karena yang 10% telah masuk ke keuntungan pribadi; (4) Korupsi berpengaruh buruk pada pejabat-pejabat lain dari aparat pemerintah. Karena korupsi menghancurkan keberanian orang untuk berpegang teguh pada nilai-nilai sopan santun yang tinggi. Moral dan ahlak merosot karena
sebagian orang tidak lagi mengindahkannya; (5) Korupsi menurunkan martabat pejabat dan menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap tindakan adil pemerintah; (6) Para ahli politik dan pegawai negeri adalah Kelompok elit dalam suatu masyarakat. Kalau golongan elit saja bersikap korup, maka rakyat kecil pun tidak memiliki alasan untuk tidak melakukan apa saja yang membawa keuntungan bagi dirinya, sebab para elit yang dijadikan panutan pun juga demikian; (7) Keberanian yang luar biasa sukar didapatkan dari pemimpin-pemimpin yang korup. Sebab bagaimana mungkin mereka akan memperjuangkan kebenaran dan keadilan, sedangkan hal itu akan membatasi ruang geraknya sendiri untuk melakukan korupsi; (8) Korupsi menyebabkan keberpihakan pejabat pada kepentingan orang yang memberikan sogokan dan kurang keberpihakannya kepada kebenaran dan kepentingan masyarakat; dan (9) Korupsi bisa menimbulkan fitnah, dakwaan-
dakwaan serta sakit hati yang mendalam. Sebab orang-orang yang tidak mau berbuat korupsi boleh jadi akan dituduh di depan umum oleh temannya sendiri sang koruptor yang sesungguhnya. Korupsi mengakibatkan keputusan akan dipertimbangkan berdasarkan uang pelicin dan bukan berdasarkan kebutuhan masyarakat. Roda organisasi perlu diminyaki dengan uang, tanpa pelumas itu roda birokrasi tidak akan berputar. Berdasarkan hasil survei yang dilakukan oleh Indonesian Corruption Watch (ICW), dalam lima tahun terakhir mulai 2009 s/d 2013, Negara Indonesia masih termasuk dalam 3 besar negara paling terkorup di dunia. Dapat dilihat dari tabel dibawah ini, dimana statistik menunjukkan jika angka 0 maka negara tersebut dapat dikatakan bersih dari korupsi dan jika mencapai angka 10 berarti tingkat korupsi paling tinggi.
Tabel I Statistik Peringkat 10 besar Negara paling terkorup di dunia
Menurut Andi Hamzah (2005:249), strategi pemberantasan korupsi bisa disusun dalam tiga tindakan terprogram, yaitu Prevention, Public Education dan Punishment. Prevention ialah pencerahan untuk pencegahan. Public Education yaitu pendidikan masyarakat
untuk menjauhi korupsi. Punishment adalah pemidanaan atas pelanggaran tindak pidana korupsi. Penjelasan mengenai strategi pemberantasan korupsi adalah sebagai berikut: (1) Strategi Preventif. Strategi Preventif diarahkan untuk mencegah terjadinya korupsi
dengan cara menghilangkan atau meminimalkan faktor-faktor penyebab atau peluang terjadinya korupsi; (2) Strategi Public Education. Public Education atau pendidikan anti korupsi untuk rakyat perlu digalakkan untuk membangun mental anti korupsi. Pendidikan anti korupsi ini bisa dilakukan melalui berbagai pendekatan, seperti pendekatan agama, budaya, sosial, ekonomi, etika, dsb. Adapun sasaran pendidikan anti korupsi secara garis besar bisa dikelompokkan menjadi dua: (1) Pendidikan anti korupsi bagi aparatur pemerintah dan calon aparatur pemerintah.Public education anti korupsi bagi masyarakat luas melalui lembaga-lembaga keagamaan, dan tokoh-tokoh masyarakat. Semua itu dilakukan untuk meningkatkan moral anti korupsi. Publik perlu mendapat sosialisasi konsep-konsep seperti kantor publik dan pelayanan publik berikut dengan konsekuensikonsekuensi tentang biaya-biaya sosial, ekonomi, politik, moral dan agama yang diakibatkan korupsi; (2) Strategi Punishment. Strategi Punishment adalah tindakan memberi hukuman terhadap pelaku tindak pidana korupsi. Dibandingkan negara-negara lain, Indonesia memiliki dasar hukum pemberantasan korupsi paling banyak, mulai dari peraturan perundang-undangan yang lahir sebelum era reformasi sampai dengan produk hukum era reformasi, tetapi pelaksanaannya kurang konsisten sehingga korupsi tetap subur di negeri ini; (3) Implementasi Good Governance dalam menciptakan Indonesia bebas korupsi, kolusi dan nepotisme. Menurut Lembaga Administrasi Negara (LAN) merumuskan sembilan aspek fundamental dalam good governance yang harus diperhatikan yaitu : (3a) Partisipasi (participation). Semua warga masyarakat mempunyai suara dalam pengambilan keputusan, baik langsung maupun melalui lembaga perwakilan sah yang mewakili kepentingan mereka. Partisipasi menyeluruh tersebut dibangun berdasarkan prinsip demokrasi yaitu kebebasan berkumpul dan mengungkapkan pendapat secara konstruktif; (3b) Penegakan Hukum (rule of law). Partisipasi masyarakat dalam proses politik dan perumusan-perumusan kebijakan publik memerlukan sistem dan aturan-aturan hukum. Tanpa ditopang oleh sebuah aturan hukum dan penegakannya secara konsekuen, partisipasi
publik dapat berubah menjadi tindakan publik yang anarkis. Santoso menegaskan bahwa proses mewujudkan cita-cita good governance, harus diimbangi dengan komitmen untuk menegakkan rule of law dengan karakterkarakter sebagai berikut : Supremasi hukum, Kepastian hukum, Hukum yang responsitif, Penegakan hukum yang konsisten dan non diskriminatif, dan Independensi peradilan; (3c) Transparansi (transparency). Transparansi (keterbukaan umum) adalah unsur lain yang menopang terwujudnya good governance. Akibat tidak adanya prinsip transparansi ini, menurut banyak ahli Indonesia telah terjerembab dalam kubangan korupsi yang berkepanjangan dan parah. Untuk itu, pemerintah harus menerapkan transparansi dalam proses kebijakan publik. Menurut Gaffar, terdapat 8 (delapan) aspek mekanisme pengelolaan negara yang harus dilakukan secara transparan, yaitu : Penetapan posisi, jabatan dan kedudukan, Kekayaan pejabat publik, Pemberian penghargaan, Penetapan kebijakan yang terkait dengan pencerahan kehidupan, Kesehatan, Moralitas para pejabat dan aparatur pelayanan publik, Keamanan dan ketertiban dan Kebijakan strategis untuk pencerahan kehidupan masyarakat; (3d) Responsif (responsive). Affan menegaskan bahwa pemerintah harus memahami kebutuhan masyarakatmasyarakatnya, jangan menunggu mereka menyampaikan keinginannya, tetapi mereka secara proaktif mempelajari dan menganalisa kebutuhan-kebutuhan masyarakat, untuk kemudian melahirkan berbagai kebijakan strategis guna memenuhi kepentingan umum; (3e) Konsesus (consesus). Prinsip ini menyatakan bahwa keputusan apapun harus dilakukan melalui proses musyawarah melalui konsesus. Model pengambilan keputusan tersebut, selain dapat memuaskan sebagian besar pihak, juga akan menjadi keputusan yang mengikat dan milik bersama, sehingga akan memiliki kekuatan memaksa bagi semuakomponen yang terlibat untuk melaksanakan keputusan tersebut; (3f) Kesetaraan (equity). Clean and good governance juga harus didukung dengan asa kesetaraan, yakni kesamaan dalam perlakuan dan pelayanan. Asas ini harus diperhatikan secara sungguh-sungguh oleh semua penyelenggara pemerintahan di Indonesia
karena kenyataan sosiologis bangsa kita sebagai bangsa yang majemuk, baik etnis, agama, dan budaya; (3g) Efektivitas dan efisiensi. Konsep efektivitas dalam sektor kegiatan-kegiatan publik memiliki makna ganda, yakni efektivitas dalam pelaksanan proses-proses pekerjaan, baik oleh pejabat publik maupun partisipasi masyarakat, dan kedua, efektivitas dalam konteks hasil, yakni mampu membrikan kesejahteraan pada sebesar-besarnya kelompok dan lapisan sosial; (3h) Akuntabilitas (accountability). Asas akuntabilitas adalah pertanggung jawaban pejabat publik terhadap masyarakat yang memberinya kewenangan untuk mengurusi kepentingan mereka. Secara teoritik, akuntabilitas menyangkut dua dimensi yakni akuntabilitas vertikal yang memiliki pengertian bahwa setiap pejabat harus mempertanggung jawabkan berbagai kebijakan dan pelaksanaan tugas-tugasnya terhadap atasan yang lebih tinggi, dan yang kedua akuntabilitas horisontal yaitu pertanggungjawaban pemegang jabatan publik pada lembaga yang setara; dan (3i) Visi Strategis. Visi strategis adalah pandanganpandangan strategis untuk menghadapi masa yang akan datang. Tidak sekedar memiliki agenda strategis untuk masa yang akan datang, seseorang yang memiliki jabatan publik atau lembaga profesional lainnya, harus memiliki kemampuan menganalisa persoalan dan tantangan yang akan dihadapi oleh lembaga yang dipimpinnya. Jika melihat dari sembilan aspek menuju good governance, maka semakin memicu tuntutan keinginan terciptanya good governance dalam seluruh kegiatan di era globalisasi sekarang ini. Tuntutan tersebut menjadi penting karena jika kondisi good governance dapat dicapai, maka terwujudnya negara yang bersih dan responsif (clean and responsive state), semaraknya masyarakat sipil (vibrant civil society) dan kehidupan bisnis yang bertanggung jawab (good corporate governance), bukan hanya impian saja. Salah satu unsur penting yang harus terpenuhi untuk mewujudkan good governance adalah adanya transparansi atau keterbukaan dan akuntabilitas dalam berbagai aktifitas, baik aktifitas sosial, politik maupun ekonomi. Dengan semakin tinggi tingkat transparansi dan akuntabilitas maka seharusnya
semakin rendah pula kemungkinan terjadinya Korupsi, kolusi dan nepotisme. SIMPULAN Korupsi di Indonesia sudah merupakan suatu penyakit kronis yang menjadi penghalang implementasi governance. Korupsi dipicu konflik kepentingan yang seringkali kepentingan pribadi lebih menjadi prioritas utama dibandingkan dengan kepentingan bangsa dan negara. Upaya pemberantasan korupsi harus selalu dilakukan tanpa henti melalui berbagai cara dan media. Good Governance akan dapat diwujudkan dengan melibatkan 3 pihak, yaitu negara (pemerintah), dunia usaha, dan masyarakat. Penyelenggara negara perlu melakukan reformasi di segala bidang untuk mendukung penerapan good governance. Dunia usaha telah lebih dahulu dituntut untuk menerapkan good governance karena krisis yang melanda negaranegara yang Asean termasuk Indonesia yang mengalami krisis paling parah dan paling lama pulihnya. Penerapan good governance oleh dunia usaha yang lebih dikenal dengan Good Corporate Governance atau GCG tidak akan dapat berjalan dengan baik jika tidak didukung dengan penerapan good governance di sektor pemerintah. Dengan demikian dituntut agar penerapan di sektor pemerintah segera dilaksanakan. Beberapa upaya perlu dilakukan termasuk diantaranya adalah reformasi sistem akuntansi pemerintahan yang menuntut adanya transparansi dan akuntabilitas. Kualitas informasi yang dihasilkan oleh penyelenggara negara mempengaruhi tingkat transparansi dan akuntabilitas. Informasi yang berkualitas tinggi akan dihasilkan oleh sistem akuntansi yang handal. DAFTAR PUSTAKA Fauzan, M, Bahtaruddin & Nuraini, H, Implementasi Pemerintah Yang Bersih Dalam Kerangka Rencana Aksi Daerah Pemberantasan Korupsi Gani, A, Abdullah, Legal Drafting dan Good Governance, Jurnal Keadilan Vol. 5 No 2, Tahun 2002, Jakarta; Pusat Kajian Hukum dan Keadilan Hehamahua, Abdullah, KPK, 2010
Ismansyah dan Agung, Sulistyo P, Permasalahan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme Di Daerah serta Strategi Penanggulangannya Khomsiyah, Good Governance & Pemberantasan Korupsi, Tahun 2012 Masduki, Teten, Implementasi Prinsip Good Governance di Indonesia, Jurnal Keadilan Vol. 5 No 2, Tahun 2002, Jakarta; Pusat Kajian Hukum dan Keadilan Putra, Fadillah, Perangkap Good Governance dalam Liberalisasi Konstitusi Indonesia,
Jurnal konstitusi Vol. 4 No. 2, Juni 2007, Jakarta; Mahkamah Konstitusi Undang-undang No 20 Tahun 2001, tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Undang-undang No 28 Tahun 1999, tentang Penyelenggaraan Negara yang bersih dan bebas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme Tap MPR RI No. XI/MPR/1999, tentang Penyelenggaraan Negara yang bersih dan bebas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme Perpres No. 55 Tahun 2012, tentang Strategi Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi