3
Pembangunan daerah sebagai bagian integral dari pembangunan nasional dilaksanakan berdasarkan prinsip otonomi daerah dan pengaturan sumber daya nasional yang memberikan kesempatan bagi peningkatan demokrasi dan kinerja daerah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat menuju masyarakat madani yang bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme. Penyelenggaraan pemerintahan daerah sebagai subsistem pemerintahan negara dimaksudkan untuk meningkatkan daya guna dan hasil guna penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan masyarakat. Sebagai daerah otonom, daerah mempunyai kewenangan dan tanggung jawab menyelenggarakan kepentingan masyarakat berdasarkan prinsip-prinsip keterbukaan, partisipasi masyarakat, dan pertanggungjawaban kepada masyarakat. Dalam rangka menyelenggarakan pemerintahan, pelayanan masyarakat, dan pembangunan, maka pemerintahan suatu negara pada hakekatnya mengemban tiga fungsi utama, yakni fungsi alokasi, yang meliputi sumbersumber ekonomi dalam bentuk barang dan jasa pelayanan masyarakat; fungsi distribusi yang meliputi pendapatan dan kekayaan masyarakat, pemerataan pembangunan; dan fungsi stabilisasi yang meliputi pertahanan keamanan, ekonomi dan moneter. Fungsi distribusi dan fungsi stabilitasi pada umumnya lebih efektif dilaksanakan oleh pemerintah pusat, sedangkan fungsi alokasi pada umumnya lebih efektif dilaksanakan Pemerintah Daerah, karena daerah pada umumnya lebih mengetahui kebutuhan serta standar pelayanan
4
masyarakat.2 Namun dalam pelaksanaannya perlu diperhatikan kondisi dan situasi yang berbeda-beda dari masing-masing wilayah. Dengan demikian pembagian ketiga fungsi dimaksud sangat penting sebagai landasan dalam penentuan dasar-dasar perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah secara jelas dan tegas. Untuk
mendukung
penyelenggaraan
otonomi
daerah
diperlukan
kewenangan yang luas, nyata, dan bertanggungjawab di daerah secara proporsional
yang
diwujudkan
dengan
pengaturan,
pembagian,
dan
pemanfaatan sumber daya nasional yang berkeadilan serta perimbangan keuangan pemerintah pusat dan daerah. Sumber pembiayaan pemerintah daerah dalam rangka perimbangan keuangan pemerintah pusat dan daerah dilaksanakan atas dasar desentralisasi, dekonsentrasi, dan tugas pembantuan. Sumber-sumber pembiayaan pelaksanaan desentralisasi terdiri dari pendapatan asli daerah, dana perimbangan, pinjaman daerah dan lain-lain penerimaan yang sah. Sumber pendapatan asli daerah merupakan sumber keuangan daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan, dan lain-lain pendapatan asli daerah yang sah. Dana perimbangan merupakan sumber pembiayaan yang berasal dari bagian Daerah dari Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB), dan penerimaan dari sumber daya alam, serta dana alokasi umum dan dana alokasi khusus. Dana perimbangan tersebut tidak dapat dipisahkan satu sama lain, mengingat tujuan masing-masing jenis 2
Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.
5
sumber tersebut saling mengisi dan melengkapi. Bagian daerah dari penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan, Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan, dan penerimaan dari sumber daya alam merupakan sumber penerimaan yang pada dasarnya memperhatikan potensi daerah penghasil. Dana Alokasi Umum (DAU) dialokasikan dengan tujuan pemerataan dengan memperhatikan potensi daerah, luas daerah, keadaan geografis, jumlah penduduk, dan tingkat pendapatan masyarakat di daerah, sehingga perbedaan antara daerah yang maju dengan daerah yang belum berkembang dapat diperkecil. Dana alokasi khusus bertujuan untuk membantu membiayai kebutuhan-kebutuhan khusus daerah. Di samping itu untuk menanggulangi keadaan mendesak seperti bencana alam, kepada daerah dapat dialokasikan dana darurat (Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999). Dalam pelaksanaan perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah tersebut perlu memperhatikan kebutuhan pembiayaan bagi pelaksanaan kewenangan yang menjadi tanggung jawab pemerintah pusat, antara lain pembiayaan bagi politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, pengelolaan moneter dan fiskal agama, serta kewajiban pengembalian pinjaman pemerintah pusat. Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah menentukan bahwa yang dimaksud dengan perimbangan keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah adalah suatu sistem pembagian keuangan yang adil, proporsional, demokratis, transparan dan efisien dalam
6
rangka pendanaan penyelenggaraan desentralisasi, dengan mempertimbangkan potensi,
kondisi
dan
kebutuhan
daerah,
serta
besaran
pendanaan
penyelenggaraan dekonsentrasi dan tugas pembantuan. Dana perimbangan adalah dana yang bersumber dari penerimaan APBN yang dialokasikan kepada Daerah untuk membiayai kebutuhan Daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. Pemberian otonomi yang luas dan desentralisasi yang sekarang ini dinikmati pemerintah daerah Kabupaten dan Kota, membuka jalan bagi pemerintah daerah untuk melakukan pembaharuan dalam sistem pengelolaan Keuangan Daerah dan Anggaran Daerah. Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah, telah melahirkan paradigma baru dalam pengelolaan keuangan daerah yang berorientasi pada kepentingan publik. Hal tersebut meliputi tuntutan kepada pemerintah daerah untuk membuat Laporan Keuangan dan transparansi informasi anggaran kepada publik.3 Masalah utama perimbangan keuangan selama ini adalah dominasi pemerintah atasan, yang terlihat dari dominannya peran dan porsi dana yang berasal dari Pemerintah Pusat. Dalam suasana seperti ini, unsur ketidakpastian menjadi tinggi dalam tahap penyiapan dan penyusunan anggaran, sehingga daerah cenderung lebih memenuhi aturan yang berlaku dari pada memenuhi kebutuhan daerah. Namun berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun
3
Mardiasmo, 2004, Otonomi dan Manajemen Keuangan Daerah, Andi Offset, Yogyakarta, hlm. 103.
7
2004 dan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 anggaran daerah sudah dapat direncanakan dan disiapkan dengan lebih baik. Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang merupakan sumber penerimaan dari daerah sendiri perlu terus ditingkatkan agar dapat membantu dalam memikul sebagian beban biaya yang diperlukan untuk penyelenggaraan pemerintahan dan kegiatan pembangunan yang semakin meningkat, sehingga kemandirian dan otonomi daerah yang luas, nyata dan bertanggung jawab dapat dilaksanakan. Menurut ketentuan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 dan UndangUndang Nomor 33 Tahun 2004, sumber pendapatan daerah terdiri dari: Pendapatan Asli Daerah, Dana Perimbangan, dan Lain-lain pendapatan daerah yang sah. Untuk Pendapatan Asli Daerah dapat berupa Hasil Pajak Daerah, Hasil Retribusi Daerah, Hasil Perusahaan Milik Daerah dan hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan; dan Lain-lain Pendapatan Asli Daerah yang sah. Pajak Daerah adalah iuran wajib yang dilakukan oleh orang pribumi atau badan kepada daerah tanpa imbalan langsung yang seimbang, yang dapat dipaksakan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang digunakan untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan daerah dan pembangunan daerah. Pajak Kendaraan Bermotor sebagai salah satu komponen Pendapatan Asli Daerah memiliki prospek yang sangat baik dalam memberikan kontribusi terhadap Pendapatan Asli Daerah. Hal ini disebabkan karena semakin
8
meningkatnya jumlah kendaraan bermotor dari tahun ke tahun karena perkembangan jumlah penduduk dan kebutuhan masyarakat akan alat transportasi. Demikian pula yang terjadi di Kota Yogyakarta, perkembangan jumlah penduduk dan perkembangan kebutuhan alat transportasi yang berupa kendaraan bermotor dari tahun ke tahun terus meningkat dan hal tersebut merupakan potensi yang sangat bagus dalam peningkatan Pendapatan Asli Daerah, khususnya dari Pajak Kendaraan Bermotor. Sebagai sumber penerimaan yang menyumbang porsi terbesar dalam PAD, sudah seharusnya penerimaan-penerimaan yang berasal dari pajak dikelola dengan baik. Pengelolaan ini tentunya mengingat tuntutan masyarakat yang semakin tinggi akan pelayanan publik di daerahnya. Sebagai niat baik Pemerintah mengakomodir hal tersebut dengan mengeluarkan UndangUndang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD). Undang-undang tersebut mengamanatkan bahwa hasil penerimaan pajak tentunya dialokasikan untuk membiayai kegiatan yang berkaitan dengan pajak tersebut. Penerimaan yang dikhususkan alokasinya yaitu salah satunya adalah Pajak Kendaraan Bermotor (PKB) yang dialokasikan untuk pembangunan dan/atau pemeliharaan jalan serta peningkatan modal dan sarana transportasi umum. Konsep kewajiban alokasi yang diatur tersebut dikenal dengan istilah earmarking tax. Earmarking tax bukanlah merupakan jenis pajak baru namun hanya pajak-pajak yang penerimaannya wajib dialokasikan untuk membiayai program-program tertentu. Tujuan diberlakukannya konsep ini secara eksplisit
9
dijelaskan dalam penjelasan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD) adalah untuk meningkatkan akuntabilitas pengenaan pungutan pajak daerah.4
B. Perumusan Masalah Bertolak dari paparan latar belakang masalah dapat dirumuskan sebagai isue sentral dalam penelitian skripsi ini yaitu, ketidakjelasan pengaturan kebijakan Earmarking Tax atas pajak kendaraan bermotor, yang kemudian diungkapkan
dalam
KEBIJAKAN
judul
penelitian
EARMARKING
TAX
skripsi ATAS
yakni,
“PENERAPAN
PAJAK
KENDARAAN
BERMOTOR KOTA YOGYAKARTA DALAM KAITANNYA DENGAN ASAS KEMANFAATAN”. Isu
sentral
tersebut
mengandung
berbagai
permasalahan,
yaitu
permasalahan hukum empiris dan permasalahan hukum normatif. Dengan demikian dapat dirumuskan masalahnya sebagai berikut: 1. Permasalahan hukum empiris: Bagaimana realisasi kebijakan earmaking tax atas Pajak Kendaraan Bermotor Kota Yogyakarta dalam kaitannya dengan asas kemanfaatan? 2. Permasalahan hukum normatif: Apakah penerapan kebijakan earmarking tax atas Pajak Kendaraan Bermotor Kota Yogyakarta sesuai dengan asas kemanfaatan?
4
Bela, Poetri Mutiara, Analisis Earmarking Tax atas Pajak Kendaraan Bermotor Di DKI Jakarta, Jakarta, 2010.
10
C. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk: 1. Untuk menjelaskan penerapan kebijakan Earmarking Tax atas Pajak Kendaraan Bermotor Kota Yogyakarta dalam kaitannya dengan asas kemanfaatan 2. Untuk mengetahuai realisasi kebijakan earmaking tax atas Pajak Kendaraan Bermotor Kota Yogyakarta dalam kaitannya dengan asas kemanfaatan 3. Untuk mengetahui pengaturan terkait dengan kebijakan earmarking tax atas Pajak Kendaraan Bermotor di daerah.
D. Keaslian Penelitian Untuk melihat keaslian penelitian telah dilakukan penelusuran penelitian pada berbagai referensi dan hasil penelitian serta dalam media baik cetak maupun elektronik. Penelitian yang berkaitan dengan penerapan kebijakan Earmarking Tax atas Pajak Kendaraan Bermotor, khususnya “PENERAPAN KEBIJAKAN
EARMARKING
TAX
ATAS
PAJAK
KENDARAAN
BERMOTOR KOTA YOGYAKARTA DALAM KAITANNYA DENGAN ASAS KEMANFAATAN”, belum pernah dilakukan. Namun, ada penelitian yang hampir sama dengan penelitian hukum ini, yaitu penelitian dengan judul “PERANAN PAJAK KENDARAAN BERMOTOR (PKB) DAN BEA BALIK NAMA KENDARAAN BERMOTOR (BBN-KB) TERHADAP PENDAPATAN ASLI DAERAH PROVINSI DAERAH ISTIMEWA
11
YOGYAKARTA”
yang
dilakukan
oleh
Siska
Hartanti,
Universitas
Pembangunan Nasional Yogyakarta pada tahun 2012. Dalam kesempatan ini peneliti akan meneliti masalah tersebut, dengan mengkaji permasalahan pada lapisan hukum empiris dan normatif. Dengan demikian penelitian ini adalah asli.
E. Manfaat Penelitian Hasil Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat baik untuk kepentingan akademik maupun kepentingan praktis berupa: 1. Manfaat Akademis Hasil penelitian ini secara akademis diharapkan dapat memberikan kontribusi pemikiran bagi pengembangan ilmu pengetahuan pada umumnya dan ilmu hukum, khususnya bidang hukum pajak mengenai penerapan kebijakan Earmarking Tax atas Pajak Kendaraan Bermotor dalam kaitannya dengan asas kemanfaatan serta bermanfaat bagi penelitian-penelitian ilmu hukum selanjutnya. 2. Manfaat Praktis Hasil penelitian ini secara praktis diharapkan dapat bermanfaat bagi masyarakat pada umumnya maupun bagi pemerintah dalam konteks penerapan kebijakan Earmarking Tax atas Pajak Kendaraan Bermotor dalam kaitannya dengan asas kemanfaatan.