IMPLEMENTASI AJARAN AL-QUR’AN TENTANG QADHA DAN QADAR DALAM REALITA KEHIDUPAN UMAT
Nurdinah Muhammad Fakultas Ushuluddin IAIN Ar-Raniry Kopelma Darussalam, Kota Banda Aceh Email:
[email protected]
ABSTRACT Understanding of the concept of qadha and qadar closely related to form the attitudes of human life in the universe which may affect the activity in his/her life. Therefore, the formulation of the concept of qadha up and qadar can encourage people to become khair al-ummah and improve the quality of human resources for implementation in the lives of Muslims. There was the misunderstands the concept of qadha and qadar could negatively impact, such as a total surrender to fate, weakening the spirit, and it could also exaggerate ability of their minds that they might forget God's instructions to him. In understanding qadha and qadar, the Koran explicitly states that the God who made all creatures, with qudrah, will, effort, and wisdom, as in His word that means: He makes all things then determine the extent and His Qadr. (Surat al-Furqan: 2). Kata Kunci: Al-Qur’an, Qadha dan Qadar PENDAHULUAN Sebagai kitab suci umat Islam, al-Qur’an merupakan sumber pokok ajaran keagamaan. Karena itu, interpretasi terhadap teks-teks al-Qur’an menjadi sangat penting untuk bisa memahami Islam yang hakiki. Dan dengan sendirinya, ilmuilmu yang menjadi instrumen pemahaman terhadap teks-teks al-Qur’an juga menjadi penting, seperti tentang qadha dan qadar. Secara harfiah qadha berarti keputusan atau ketetapan (QS. Bani Israil: 4), sedangkan qadar berarti ketentuan atau ukuran (QS. al Furqan: 2). Dari pengertian tersebut dapatlah dikatakan bahwa segala sesuatu yang terjadi di alam ini seperti gerak-gerik, suka duka, baik dan buruk, tidak terlepas dari takdir atau ketentuan Allah. Inilah yang harus diimani oleh setiap muslim. Bukti adanya takdir Tuhan dapat dilihat pada diri manusia sendiri. Kapan dan di mana lahir, manusia tidak pernah memilihnya, ia tidak memilih siapa orang tuanya, jenis kelamin, suku, dan bentuk tubuh. Semuanya ditentukan oleh Allah, manusia wajib menerimanya. Demikian pula masalah mati manusia tidak mempunyai hak pilih. Orang bosan hidup, ingin cepat mati, tetapi tidak juga mati kalau ajal belum sampai, malah yang terjadi adalah sebaliknya. Kalau segala sesuatu dikuasai Tuhan dengan takdirnya, maka di manakah letaknya kebebasan ikhtiar manusia, pada hal manusia diperintahkan untuk berikhtiar. Kalaulah demikian tentu manusia berada dalam keterpaksaan untuk Al-Mu‘ashirah Vol. 9, No. 1, JANUARI 2012
49
berbuat sesuatu. Dalam hal ini, Islam menjelaskan bahwa kebebasan manusia memang ada karena perbuatan manusia dapat dilakukan atas kehendak dan kemauan manusia sendiri. Namun tidak dapat diingkari banyak di antara manusia dalam kebebasannya bertindak selalu gagal, walaupun sudah berusaha maksimal. Ini lebih menunjukkan bahwa kebebasan manusia bersifat terbatas, tidak mutlak, sebab kebebasan manusia berada dalam lingkungan kodrat Tuhan. Oleh karena itu suatu usaha manusia akan berhasil kalau berada dan sesuai dengan kehendak Allah.1 Sebagai bandingan dapat dilihat kebebasan manusia dalam negara demokrasi. Kebebasan bukanlah berarti berbuat sebebas-bebasnya, tetapi dalam arti bebas berbuat sepanjang aturan yang berlaku. Jadi sebenarnya memang ia tidak bebas. Namun sebagai manusia masih dianjurkan untuk berusaha walaupun tidak secara mutlak berhasil. Yang penting berikhtiar, kemudian berdoa, dan selanjutnya bertawakal kepada Allah. Kalau berhasil adalah karena karunia Allah, kalau tidak berhasil juga karena kehendak Allah. Ajaran qadha dan qadar ini bila dipercayai secara benar menjadi sumber amal ikhtiar manusia dan menimbulkan militansi yang tidak kenal menyerah. Setiap orang akan berani berjuang karena percaya sebelum ajal berpantang mati. Sebab mati itu tidak mesti di dalam perang, di mana saja bisa mati. Ajaran qadha dan qadar ini membuat manusia tahu berterima kasih, bersyukur kepada Tuhan bila usahanya berhasil. Sebab tanpa izin-Nya tidak akan dapat apa-apa. Bila tidak berhasil ia akan bersabar dan tawakal karena ia menyadari semua hal itu karena kodrat dan iradat Allah. PENGERTIAN QADHA DAN QADAR Kata al-qadhaa-u secara bahasa adalah menyempurnakan sesuatu (perkara), melaksanakan dan menyelesaikannya, baik perkara itu berupa ucapan, amalan, kehendak (kemauan), ataupun yang lainnya. Ulama akidah menyebutkan, ada beberapa makna qadha dan qadar yang berkaitan dengan syariat. Pendapat pertama dinukil dari pernyataan Abul Hasan al-Asy’ari, dari kalangan ulama akidah yang kondang dan dari kalangan mayoritas ahl al-sunnah. Al-qadha adalah iradah Allah yang bersifat azali yang berkaitan dengan segala sesuatu, sesuai dengan keberadaan-Nya. Seperti iradah-Nya yang azali menciptakan manusia di muka bumi. Makna ini selaras dengan makna bahasa yaitu menyempurnakan sesuatu, melaksanakan dan menyelesaikannya. Sedangkan al-qadar yaitu penciptaan Allah akan sesuatu dengan kadar ukuran yang tertentu dengan qadha, zat, jenis dan sifat, perbuatan dan keadaan, waktu dan tempat serta sebabsebabnya. Misalnya, Allah menciptakan manusia di muka bumi sesuai dengan apa yang telah ditentukannya melalui qadha-Nya. Makna qadar yang demikian, secara keseluruhan selaras dengan makna bahasa, yaitu penjelasan sesuatu yang berkenaan dengan qadar ukurannya. Sebab “mengadakan” berarti menampakkan (sesuatu) yang telah di qadha-Nya dengan qadha yang azali sesuai dengan qadar yang ditentukan, kepada alam wujud (nyata). Pendapat kedua dinukil dari al-Maturidiyah (pengikut Abu al-Manshur alMaturidi, ulama pakar ilmu tauhid). Al-qadha yaitu penciptaan yang mengacu _____________ 1
Daniel Djuned, dkk. Studi Ilmu Kalam (Banda Aceh: Fakultas Ushubuddin IAIN ArRaniry, 2010), 76-77. 50
NURDINAH MUHAMMAD: IMPLEMENTASI AJARAN AL-QUR’AN…
kepada pembentukan. Misalnya, Allah menciptakan manusia dalam bentuknya, sesuai dengan iradah azali. Makna tersebut selaras dengan makna dari segi bahasa, yaitu “penyempurnaan sesuatu”. Sebab, hakikat penciptaan adalah penyempurnaan amalan dalam mengadakan. Al-qadar, yaitu penakaran atau penentuan, yakni menjadikan sesuatu dengan iradah pada kadar yang telah ditentukan sebelum keberadaannya. Misalnya, iradah Allah di alam azali untuk menciptakan manusia dalam bentuk khusus, wujud yang tertentu dan waktu yang ditentukan2. Makna tersebut selaras dengan makna bahasa, yaitu menjelaskan jumlah atau kadar ukuran sesuatu. Dalam hal ini, pengkhususan atau pembatasan iradah berarti menjelaskan kadar ukurannya, jumlahnya, serta caranya. Dari penjelasan di atas, tampaklah perbedaan pada kedua pendapat tentang makna qadha dan qadar. Tafsir al-Asy’ari tentang qadha menyerupai tafsir al-Maturidiyah tentang qadha dan tafsir qadha menurut al-Maturidiyah menyerupai tafsir al-Asy’ari tentang qadar. Dari sini, dapat dilihat keterpaduan pandangan ahl al-sunnah (dari kalangan al-Asy’ariyah, al-Maturidiyah dan lainnya) dalam memahami makna dan tujuan dalil qadha dan qadar, sekalipun namanya saling bertukar. Lafal qadha dan qadar dapat dipadukan dalam satu topik dan memberikan tafsir makna yang sama. Dalam bidang syariat, kedua lafal tersebut kadangkadang digunakan secara bersamaan dan kadang-kadang secara sendiri-sendiri, namun maknanya saling bersesuaian. Dengan demikian, makna qadha dan qadar adalah iradah Allah mewujudkan sesuatu dalam bentuk tertentu, kemudian menjadikan untuk perwujudan itu suatu amalan sesuai dengan maksud tujuannya. Setelah meneliti nas-nas al-Qur’an tentang makna lafal qadha dan qadar serta akar kata keduanya, maka di dapati bahwa maksud qadar adalah penakaran unsur segala sesuatu, zat, sifat, waktu, tempat, hukum, dan segala sesuatunya. Yaitu, segala sesuatu di sisi Allah memiliki ketentuan yang lengkap. Adapun qadha adalah pengamalan kehendak sesuai dengan takaran yang telah diputuskan dengan ilmu dan hikmah. Pelaksanaan qadha berwujud penciptaan, pengadaan, penyampaian, penjelasan, dan sebagainya. AYAT AL-QUR’AN TENTANG QADHA DAN QADAR Pembahasan tentang qadha dan qadar merujuk kepada ayat-ayat al-Qur`an, diantaranya; 1. QS. al-An’am: 2;
“Dialah
yang menciptakan kamu dari tanah, sesudah itu ditentukannya ajal (kematianmu), dan ada lagi suatu ajal yang ada pada sisi-Nya (yang dia sendirilah mengetahuinya), Kemudian kamu masih ragu-ragu (tentang berbangkit itu).” 2. QS. al-A’raf: 34;
_____________ 2
Abdurahman Habanakah, Pokok-pokok Aqidah Islam, terj. A.M. Basalamah (Jakarta: Gema Insani Press, 1998), 615-617. Selanjutnya disebut Abdurahman Habanakah, Pokok-pokok. Al-Mu‘ashirah Vol. 9, No. 1, JANUARI 2012
51
“Dan untuk tiap-tiap umat mempunyai batas waktu; Maka apabila Telah datang waktunya mereka tidak dapat mengundurkannya barang sesaat pun dan tidak dapat (pula) memajukannya.” 3. QS. Yunus: 49;
Katakanlah: “Aku tidak berkuasa mendatangkan kemudharatan dan tidak (pula) kemanfaatan kepada diriku, melainkan apa yang dikehendaki Allah". tiap-tiap umat mempunyai ajal. Apabila Telah datang ajal mereka, Maka mereka tidak dapat mengundurkannya barang sesaat pun dan tidak (pula) mendahulukan(nya).” 4. QS. al-Qamar: 52-53;
“Dan segala sesuatu yang Telah mereka perbuat tercatat dalam buku-buku catatan. Dan segala (urusan) yang kecil maupun yang besar adalah tertulis.” 5. QS. Ali Imran: 145;
“Sesuatu yang bernyawa tidak akan mati melainkan dengan izin Allah, sebagai ketetapan yang telah ditentukan waktunya. Siapa menghendaki pahala dunia, niscaya Kami berikan kepadanya pahala dunia itu, dan barang siapa menghendaki pahala akhirat, Kami berikan (pula) kepadanya pahala akhirat itu, dan Kami akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur.” ASBAB AL-NUZUL Dari kelima ayat yang menjadi pokok kajian dalam tulisan ini, setelah di teliti di dalam beberapa kitab tafsir, ternyata tidak terdapat disebutkan asbab alnuzulnya. Namun demikian, banyak hadis-hadis yang menjelaskan tentang qadha dan qadar yang berhubungan dengan kelima ayat tersebut. Sebagaimana dijelaskan Nabi dalam hadis yang terjemahannya adalah: Amr bin Muhammad bin Ismail bin Rafi’ memberi tahu kami dari alMaqbari dari Abu Hurairah ra., dari Nabi bersabda: Sesungguhnya Allah telah menciptakan Adam dari debu, lalu menjadikannya sebagai tanah, kemudian membiarkannya hingga jika telah menjadi tanah kering seperti tembikar, maka 52
NURDINAH MUHAMMAD: IMPLEMENTASI AJARAN AL-QUR’AN…
iblis berjalan melaluinya seraya berkata, “Aku diciptakan untuk suatu hal yang agung”. Kemudian Allah meniupkan rohnya ke dalamnya. Kemudian Adam bertanya, ya Tuhanku, mana keturunan ku?’ dia menjawab, “Pilihlah, hai Adam”. Adam berkata, “aku memilih yang berada di sebelah kanan Tuhanku dan kedua tangan Tuhanku adalah kanan. “kemudian Allah membentangkan telapak tanganNya, ternyata semua yang hidup dari keturunannya (Adam) berada di telapak tangan Tuhan3. (HR. Muslim) Dalam hadits yang lain dijelaskan: Abdullah bin Mas’ud berkata, kami diberi tahu oleh Nabi orang yang benar dan diakui kebenarannya, sesungguhnya seorang manusia mulai diciptakan di dalam perut ibunya setelah proses selama 40 hari. Kemudian menjadi segumpal darah setelah 40 hari berikutnya. Lalu, menjadi segumpal daging setelah 40 hari berikutnya. Setelah 40 hari berikutnya Allah mengutus seorang malaikat untuk mengembuskan roh ke dalam dirinya dan diperintah dengan 4 ketentuan; rezeki, ajalnya, amalnya dan celaka atau bahagianya. Demi Allah yang tiada Tuhan selain Dia, sungguh ada orang yang mengerjakan amalan ahli surga, sehingga jarak antara dia dan surga hanya satu hasta. Tetapi, suratan takdir telah ditentukan, sehingga kemudian dia mengerjakan amalan ahli neraka, lalu akhirnya dia masuk neraka. Ada pula orang yang mengerjakan amalan ahli neraka, sehingga jarak antara dia dan neraka hanya satu hasta. Tetapi, takdir telah ditentukan, sehingga kemudian dia mengerjakan amalan ahli surga, lalu akhirnya dia masuk surga.4 Terjemahan hadist di atas diperjelas secara mendetil dalam terjemahan hadis di bawah ini: Dari Amir bin Wa’ilah bahwa dia mendengar Abdullah bin Mas’ud berkata, “Orang yang celaka adalah orang yang telah ditetapkan menjadi celaka sejak berada di dalam perut ibunya dan orang yang bahagia atau beruntung adalah orang yang telah ditetapkan menjadi beruntung sejak berada di dalam perut ibunya”. Kemudian ada seorang sahabat yang bernama Hudzaifah bin Usaid alGhifari datang, lalu Amir bin Wa’ilah menuturkan ucapan Abdullah bin Mas’ud itu kepadanya. Lalu Amir bertanya, “Bagaimana seseorang menjadi celaka sebelum berbuat apa-apa? Hudzaifah berkata kepada Amir, kau heran dengan itu? Sesungguhnya aku mendengar Rasulullah bersabda, ketika nutfah telah berusia 42 malam, Allah mengutus satu malaikat mendatangi nuthfah itu, lalu Allah membentuknya, menciptakan pendengarannya, penglihatannya, kulitnya, dagingnya dan tulangnya, kemudian malaikat itu bertanya: “Ya Tuhan, apakah dia ini laki-laki ataukah wanita? Maka, Allah menentukan dengan kehendaknya, lalu malaikat itu mencatatnya. Malaikat itu bertanya lagi, bagaimana tentang rezekinya? Maka, Allah menentukan menurut kehendak-Nya, lalu malaikat itu mencatatnya. Setelah itu malaikat tersebut keluar dengan membawa lembar catatan di tangannya, tanpa dia tambah dan tanpa dia kurangi apa yang telah diperintahkan untuk mencatatnya.”
_____________ 3
Ibnu Qayyim al-Jauziyah, Qadha dan Qadar, Ulasan Tuntas Masalah Takdir, terj. Abdul Ghaffar, Cet. I (Jakarta: Pustaka Azzam, 2000), 15. 4 M. Nashiruddin al-Albani, Ringkasan Shahih Muslim, terj, Elly Lathifah, Cet. I (Jakarta: Gema Insani Press, 2005), 935. Selanjutnya disebut, Ringkasan Shahih Muslim. Al-Mu‘ashirah Vol. 9, No. 1, JANUARI 2012
53
Suatu riwayat menambahkan, “Apakah dia menempuh jalan yang lurus ataukah menyimpang?” Maka, Allah menjadikannya orang yang menempuh jalan yang lurus atau jalan yang membelok.5 Hadis di atas dengan tegas menunjukkan bahwa ilmu Allah mendahului segala sesuatu sebelum terjadi. Ilmu Allah yang berkaitan dengan manusia ada dua macam. Pertama, yang terjadi mutlak dengan qadha dan qadar, tanpa manusia dapat ikut campur sedikit pun di dalamnya, seperti masalah ajal dan rezeki setiap makhluk. Kedua, yang termasuk dalam ujian dan cobaan, seperti yang telah dijelaskan dalam akidah tentang qadha dan qadar, seperti amalan manusia yang bersifat ikhtiyar melalui kehendak bebasnya. Dalam hal ini sesuai dengan penjelasan Nabi bahwa siapa tergolong bahagia atau beruntung, maka ia akan mengerjakan amalan orang-orang yang beruntung dan barang siapa tergolong celaka, maka dia akan mengerjakan amalan orang-orang yang celaka. 6 Dari penjelasan Nabi di atas dipahami bahwa di samping manusia harus mengimani terhadap qadha dan qadar, namun adanya kebebasan manusia untuk berusaha mengerjakan amalan-amalan yang baik yang diperintahkan Allah. POSISI MANUSIA DI HADAPAN QADHA DAN QADAR Dengan menempatkan al-Qur’an pada posisi yang sebenarnya dalam memahami qadha dan qadar, diharapkan akan dapat mengantarkan manusia untuk memperoleh penjelasan yang benar tentang konsep hubungan antara kekuasaan dan kebenaran mutlak Tuhan dengan kebebasan manusia dalam hidupnya di dunia ini yang mempunyai dwifungsi, yaitu sebagai khalifah Allah dan sebagai hambaNya. Qadha dan qadar dipercayai sebagai bagian dari iman yang harus diyakini keberadaannya oleh setiap muslim. Qadha dan qadar disini adalah ketentuan Allah sejak azali atas segala sesuatu yang pasti akan terjadi sesuai dengan ilmu Allah. Dalam menciptakan sesuatu, Tuhan selalu berbuat menurut sunnah-Nya, yaitu hukum sebab-akibat. Sunnah-Nya ini adalah tetap, tidak pernah berubah, kecuali dalam hal-hal khusus yang sangat jarang terjadi. Sunnah Tuhan ini mencakup dalam ciptaan-Nya, baik yang jasmani maupun yang bersifat rohani. Oleh karena itu makna qadha dan takdir ialah aturan umum berlaku hukum sebabakibat, yang ditetapkan oleh-Nya sendiri. Penetapan hukum sebab-akibat ini memang tidak percuma. Maka dari itu sesuatu yang ditakdir tidaklah terjadi dengan tidak bersebab, atau berlawanan dengan aturan umum yang telah diatur dan sunnah yang lebih ditetapkan-Nya. Banyak ayat yang mengutarakan, bahwa qadha dan takdir itu, tidak lain dari suatu aturan umum tentang sunnah-Nya, yakni hukum sebab-akibat yang dinamakan juga hukum alam. Hukum sebab-akibat atau hukum alam ini sesungguhnya adalah ciptaan Allah juga. Oleh karena itu, pengertian qadar bukanlah seperti sangkaan kebanyakan orang, yaitu sesuatu yang terjadi tanpa sebab atau berlawanan dengan aturan dan hukum alam. Akan tetapi tidak pula mustahil, bahwa sesuatu yang terjadi itu disebut juga qadar, walaupun tidak berlaku hukum sebab-akibat. Hal yang seperti ini memang hak Allah pula dan hanya Dia sendiri saja yang mengetahui hubungan sebab-akibatnya. Gambaran di atas sesuai dengan penjelasan yang di kemukakan Abdurrahman bahwa dalam alam penciptaan, kehendak Allah terarah kepada _____________ 5 6
54
M. Nashiruddin al-Albani, Ringkasan Shahih Muslim, 936-937. M. Nashiruddin al-Albani, Ringkasan Shahih Muslim, 933. NURDINAH MUHAMMAD: IMPLEMENTASI AJARAN AL-QUR’AN…
menciptakan manusia dalam bentuk sebaik-baiknya, seperti yang ditegaskan dalam firman-Nya. Allah menganugerahkan kepada manusia sarana untuk mengenal sebagai hakikat sesuatu. Di samping itu, Dia menganugerahkan kehendak bebas guna diuji penggunaannya. Dia juga menganugerahkan kemampuan dalam batas-batas tertentu yang bisa dipergunakan mewujudkan kehendaknya dengan menggunakan petunjuk hakikat ilmiah dan tuntutan Rabbani. Hal ini dapat dirasakan dalam jiwa, dalam lingkaran penganugerahan inilah berkisar putaran hukum taklif Rabbani terhadap para mukalaf.7 Sehubungan dengan itu, dapat dikatakan, dalam lingkaran kecil manusia adalah bebas memilih karena diuji dalam kehidupan dunia ini sesuai dengan batasbatas kemampuannya juga dapat mengatakan bahwa sesungguhnya kehendak bebas adalah anugerah baginya. Qudrah kemampuan juga merupakan anugerah yang semuanya dibatasi oleh ukuran yang tidak bertentangan dengan kekuasaan qadha dan qadar secara umum. Kehendak Allah menggariskan bahwa dalam menghadapi segala perkara, manusia dibatasi oleh kekuasaan qadha dan qadar, seperti masalah hidup, mati, kesehatan, dan rezeki. Hal ini terbukti telah dirasakan dan dialami, tanpa mampu melakukan rekayasa ataupun mempengaruhinya. Di seputar lingkaran berbagai masalah itulah putaran qadha dan qadar menyelimuti. Di sini dapat dikatakan, sesungguhnya dalam lingkaran besar manusia adalah menuruti alur atau bergerak secara otomatis, bukan bebas memilih dan berbuat karenanya dikendalikan oleh kekuasaan qadha dan qadar. Misalnya, bukankah lahir tanpa kemauannya? Juga dianugerahi akal pikiran tanpa kemauannya. Begitu pula dengan penganugerahan kehendak, manusia tidak dapat berbuat apa-apa. Hal yang sama berlaku bagi kehidupan dan kematian. Dalam lingkaran besar ini, manusia tidak dapat berbuat selain mengikuti alurnya, tidak dimintai pertanggungjawaban karena itu berada di luar kemampuannya. Oleh karena itu, siapa saja yang rela dengan apa yang telah diqadha dan ditakdirkan, maka ia akan mendapatkan keridhaan, dan siapa yang membangkang, maka baginya kemurkaan. Oleh karena manusia melakukan gerak dan pekerjaan di dalam alam, terbenturlah dia dengan beberapa hal yang di luar kekuasaan atau kemampuannya. Manusia adalah bagian dari alam, pertalian alam, melengkapi manusia dan selainnya. Lantaran itu apabila manusia bergerak, gerakannya itu tentulah dengan ikhtiarnya. Tetapi di kala ia bergerak, ia dibatasi oleh beberapa hal yang tidak dalam ikhtiarnya. Mengingat hal ini maka tidaklah sempurna perbuatan-perbuatan yang dikehendaki manusia kalau tidak bersesuaian dengan sebab-sebab dari luar dirinya yang telah dimudahkan Allah dan kalau tidak terdapat halanganhalangannya yang menghalangi. Dengan cara tersebut, nyatalah bahwa hasil sesuatu pekerjaan manusia baru berhasil jika terkumpul dua faktor penting. Pertama, kehendaknya. Kedua, kehendaknya itu bersesuaian dengan keadaankeadaan yang di luar iradatnya.
_____________ 7
Abdurahman Habanakah, Pokok-pokok..., 632.
Al-Mu‘ashirah Vol. 9, No. 1, JANUARI 2012
55
QADHA DAN QADAR MENURUT PENDAPAT PARA ULAMA Beberapa pendapat ulama memberikan pengertian qadha dan qadar8 yaitu: 1. Menurut Maturidiyah: “Qadha ialah Allah mengadakan sesuatu dengan sebagus-bagus perbuatan. Sifat ini, kata mereka, kembali kepada pekerjaan, kepada sifat takwin, yang menjadi salah satu sifat yang ditetapkan adanya oleh golongan ini pada hak Allah. Qadar ialah membataskan di masa azali segala makhluk dengan sesuatu batasan yang akan diciptakan, yang dalam batasan itulah makhluk itu berjalan. Karena itu, qadar kembali kepada sifat ilmu, kepada pengetahuan Allah, sedangkan ilmu adalah salah suatu sifat Zat Yang Maha Suci. 2. Menurut Asy’ariyah: Qadha ialah, kehendak (iradah) Allah terhadap sesuatu, di dalam azal. Qadar ialah mengadakan sesuatu menurut kadar dan cara yang tertentu yang diiradahkan oleh Allah. Qadha, kembali kepada sifat. Zat, sedang qadar kembali kepada sifat fi’il (pekerjaan). Karena sifat fi’il itu, ialah pergantungan qudrah dengan sesuatu yang diciptakan belaka. Selanjutnya Abu Hasan al-Asy’ari menjelaskan bahwa takdir itu merupakan perwujudan kehendak Allah terhadap makhlukNya9. Perwujudan itu akan terjadi dalam bentuk dan keadaan yang sesuai dengan ilmu Allah. Selanjutnya Abdul Muin menjelaskan, para filosof Islam memberi definisi takdir, yaitu terbuktinya semua kejadian dan makhluk di alam ini sehingga terwujud secara lengkap dengan sebab-sebabnya dan sesuai dengan yang ditetapkan oleh qadha (iradah, ‘ilmu)10. Jadi takdir itu dipandang sebagai adanya kaitan antara keadaan dan kehidupan wujud makhluk dengan ilmu dan iradah Allah terhadap ciptaan-Nya itu. Dengan demikian, segala sesuatu itu tidak dapat lepas dari kehendak, ilmu, dan kekuasaan Allah. Oleh karena itu, semua kejadian yang terjadi akan terlaksana sesuai takdir (ketentuan, ukuran) yang ditetapkan oleh Allah. Lebih lanjut, Abdul Muin menambahkan takdir adalah ilmu Allah yang meliputi segala apa yang terjadi dan yang berhubungan dengan hal yang terjadi kelak sesuai dengan apa yang telah ditentukan sejak semula oleh Allah.11 Ketentuan berada dalam ilmu Allah tentang segala sesuatu yang akan terjadi atau untuk menentukan segala sesuatu yang akan terjadi atau untuk menentukan segala sesuatu dengan mengetahui batas dan hubungannya, serta akibat-akibatnya yang akan terjadi kelak setelah yang direncanakan itu terwujud. Ilmu Allah yang azali itu meliputi segala apa yang telah dan akan terjadi, serta segala hal yang berhubungan dengan kejadian itu yang pasti akan terjadi sesuai dengan apa yang telah diketahui dan telah ditentukan semula oleh Allah. a. Sebahagian Mutakalimin membenarkan paham Maturidiyah, mengingat bahwa makna qadha menurut bahasa adalah hukum perbuatan, kemestian dan penerangan, sedangkan qadar menurut bahasa bermakna qadar dan hukum. _____________ 8
Muhammad Hasbi Ash-Shiddiqy, Al-Islam, Jilid I, Cet. III (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2007), 302-304. 9 M. Taib Tahir Abdul Muin, Risalah Qadha dan Qadar, Cet.1 (Yogyakarta: Sumbangsih, 1964), 7. Selanjutnya di sebut M. Taib Tahir, Risalah Qadha dan Qadar. 10 M. Taib Tahir, Risalah Qadha dan Qadar,...., 8. 11 M. Taib Tahir, Risalah Qadha dan Qadar,...., 8. 56
NURDINAH MUHAMMAD: IMPLEMENTASI AJARAN AL-QUR’AN…
b.
c.
d.
e.
f.
g.
Menurut segolongan ahli kalam: qadha adalah iradah, sedang qadar, menciptakan sesuatu menurut iradah. Qadha itu ilmu, sedang qadar ialah mengadakan sesuatu menurut ilmu. Menurut pendapat ini, qadha ialah qadim; sedang qadar, baru (hadist). Kata al-Raghib: Qadar dan takdir menerangkan ukuran sesuatu. Apabila dikatakan: aku qadari dia, aku takdiri dia dan lain-lain, maka berarti aku menentukan kadarnya, aku menentukan banyaknya, menentukan batasnya bentuk besar kecilnya. M. Quraish Shihab membedakan antara sunatullah dengan takdir, karena sunatullah yang digunakan al-Qur’an adalah untuk hukum-hukum Tuhan yang pasti berlaku bagi masyarakat, sedangkan takdir mencakup hukumhukum kemasyarakatan dan hukum-hukum alam.12 Oleh karena itu, pengertian qadar bukanlah seperti dugaan banyak orang, yaitu sesuatu yang terjadi tanpa sebab atau yang berlawanan dengan aturan dan hukum alam. Akan tetapi tidak pula mustahil, bahwa sesuatu yang terjadi itu disebut juga qadha, walaupun tidak berlaku hukuman sebab akibat. Hal yang seperti ini memang hak Tuhan dan hanya Dia sendiri saja yang mengetahui hubungan sebab akibat. Ringkasnya, menentukan rancangan sesuatu. Dalam pada itu, perkataan “aku mentakdirkannya” berarti juga aku memberi qudrah (kuasa) kepadanya. Oleh karena demikian, perkataan “Allah mentakdirkan sesuatu” berarti Allah menjadikan sesuatu menurut ukuran dan cara yang tertentu sebagaimana yang dikehendaki oleh hikmah dan kebijaksanaan-Nya. Di samping itu perkataan “Allah mentakdirkan sesuatu” dapat pula bermakna “Allah memberikan qudrah untuk melaksanakan sesuatu.” Qadha adalah keputusan, ketetapan terhadap sesuatu rancangan yang telah diperbuat, keputusan untuk menjalankannya. Dan qadha lebih tertentu dari qadar, karena qadar berarti memutuskan, menetapkan salah satu rancangan yang telah diperbuat.” Dengan demikian qadar, merancangkan dan qadha menetapkan rancangan. Tersebut dalam Kulliyat Abi al-Baqa al-Ukbari bahwa qadha ibarat dari tercipta segala rupa maujud di dalam ilmu Tuhan yang maha tinggi dengan secara garis-garis besarnya. Dan qadar adalah terdapat rupa segala maujud itu di Lauh Mahfudh. Kata setengah muhaqqiq, qadha adalah wujud segala maujud di dalam alam ‘aqli dan qadar berwujudnya segala maujud hasil syarat-syaratnya satu persatu yakni terciptanya ke alam lahir. Jelasnya, qadha adalah hukum kulli, hukum-hukum yang umum terhadap zat beserta hal ihwalnya, sejak dari azal hingga selama-lamanya, seperti hukum yang baharu itu lenyap. Dan qadar adalah menjelaskan hukum-hukum itu dengan menentukan sebabnya, menentukan masa-masa lahir dan munculnya. Menurut Rasyid Ridha, qadha dan qadar, tiada lain dari aturan umum yang harus tetap berlaku. Beriman dengan dia, bukan beriman dengan berilmu, masing-masing mempunyai kedudukan sendiri-sendiri”. Menurut Muhammad Abduh, qadha adalah pergantungan ilmu Ilahi dengan sesuatu kenyataan, kemestian. Dan qadar terjadi sesuatu menurut ilmu (yang telah diketahui Allah).
_____________ 12
Hamka, Tafsir Al-Azhar, Juz. XXV (Jakarta: PT. Pustaka Panji Mas, 1983), 83.
Al-Mu‘ashirah Vol. 9, No. 1, JANUARI 2012
57
h.
Al-Khaththabi, kebanyakan orang menyangka, bahwa arti qadha dan qadar adalah Allah memaksa hamba-Nya berlaku menurut yang telah diqadarkan (dirancangkan). Sebenarnya, qadha dan qadar adalah Allah mengkabarkan, bahwa semua yang terjadi (yang diusahakan oleh makhluk) lebih dahulu telah diketahui Allah dan kejadiannya adakah dengan kekuasaan Allah jua. Demikianlah pemahaman ahli-ahli kalam tentang qada dan qadhar ini. Menurut penyelidikan qadha dan qadhar kembali kepada Qudrah, Iradah, dan Ilmu. Dengan tiga sifat ini, terlibatlah qadha dan qadar, walaupun mengimani masing-masing. Dari uraian di atas, jelaslah bahwa pengertian qadha dan qadar berbagai macam telah diberikan oleh para ulama yang satu dan lain saling bertentangan. Yang amat mudah dipahami jika boleh dikatakan yang benar adalah pengertian yang diberikan oleh Rasyid Rida dan penjelasan dari al-Raghib. Dengan ini teranglah, bahwa pengertian qadha dan qadar tidak sama, walaupun kerap kali didapati perkataan itu dijadikan sinonim satu dengan yang lain. KESIMPULAN Dari penafsiran ayat-ayat di atas yang menjelaskan tentang qadha dan qadar, dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut: 1. Qadha dan Qadar adalah hukum dan ketetapan Allah yang diberikan kepada sesuatu, berupa kebaikan ataupun keburukan, yang diatur menurut sesuatu sifat dan batas yang dikehendaki. 2. Ilmu Allah yang berkaitan dengan manusia ada dua (2) macam, pertama: yang terjadi mutlak dengan qadha dan qadar, tanpa manusia dapat ikut campur sedikit pun, seperti masalah ajal, rezeki setiap makhluk. Kedua, termasuk dalam ujian dan cobaan, seperti amalan manusia yang bersifat ikhtiar melalui kehendak bebasnya. 3. Di kalangan ulama terdapat perbedaan pendapat dalam memahami pengertian qadha dan qadar. Namun demikian dapat dimengerti bahwa dalam perbedaan tersebut ada persamaannya bahkan ada yang mengarah kepada kebenaran sesuai dengan pengertian qadha dan qadar secara umum. 4. Dapat di analisis berdasarkan penjelasan ayat-ayat al-Qurán serta hadits Nabi serta realitas dalam kehidupan sehari-hari, maka sebagai orang yang beriman wajib yakin dan percaya sepenuh hati, bahwa semua perbuatan dan kejadian yang menimpa umat manusia di dunia ini telah ditakdirkan oleh Allah. Terutama dalam masalah-masalah diantaranya: a. Masalah ajal, bahwa ajal setiap manusia telah ditentukan oleh Allah. Oleh karena itu, manusia sudah berusaha secara maksimal untuk menjaga kesehatan dan keselamatan jiwa kita, dan tidak perlu takut mati. b. Masalah rezeki, bahwa rezeki setiap manusia telah ditentukan oleh Allah. Tugas manusia adalah berusaha secara maksimal dan bekerja secara profesional kemudian menyerahkan hasilnya kepada Allah. c. Masalah keimanan dan kekufuran. Pada hakikatnya, keimanan dan kekufuran setiap orang telah ditakdirkan oleh Allah. Tidak ada seorangpun yang mampu memberikan hidayah (petunjuk) kepada orang lain. para Nabi dan Rasul serta muballigh, hanya mampu menyampaikan ajaran dari Allah. Mereka tidak mampu menyelamatkan orang-orang yang telah ditakdirkan sebagai penghuni neraka. Meskipun demikian, apabila orang yang bersangkutan ada kemauan yang kuat untuk beriman dan berusaha secara maksimal untuk memperoleh hidayah dari Allah, maka pasti Allah akan memberikan hidayah kepadanya. 58
NURDINAH MUHAMMAD: IMPLEMENTASI AJARAN AL-QUR’AN…
DAFTAR PUSTAKA Abdul Muin, M. Taib Tahir, Risalah Qadha Qadar, Cet. 1, Yogyakarta: Sumbangsih, 1964. Al-Albani, M. Nashiruddin, Ringkasan Shahih Muslim, terj, Elly Lathifah, Cet 1, Jakarta: Gema Insani Press, 2005. Baidan, Nasrudin, dkk., Teologi Islam Terapan Upaya Antisipatif Terhadap Hedonisme Kehidupan Modern, Solo: PT. Tiga Serangkai Pustaka Mandiri, t. th. Djuned, Daniel, dkk., Studi Ilmu Kalam, Banda Aceh: Fakultas Ushubuddin IAIN Ar-Raniry, 2010. Habanakah, Abdurahman, Pokok-pokok Aqidah Islam, terj. A.M. Basalamah. Jakarta: Gema Insani Press, 1998. Hamka, Tafsir Al – Azhar, Juz. XXV, Jakarta: PT. Pustaka Panji Mas, 1983. Al-Jauziyah, Ibnu Qayyim, Qodha dan Qadar, Ulasan Tentang Masalah Takdir, terj. Abdul Ghaffar, Cet. 1, Jakarta: Pustaka Azzam, 2000. Muhdlor, Atabik Ali A. Zuhzi, Kamus Kontemporer Arab-Indonesia, Yogyakarta: Mukti Karya Grafika, Pondok Pesantren Krapyak, 1998. Ash-Shiddiqy, Muhammad Hasbi, Al-Islam, Jilid I, Cet. III, Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2007. Shihab, Quraish, Tafsir Al-Mishbah, Jakarta : Lentera Hati, 2008.
Al-Mu‘ashirah Vol. 9, No. 1, JANUARI 2012
59