No. 7 APRIL 2012
ISSN. 1978 - 0052
U R N A L PENELITIAN ALAT UJI EMISI GAS BUANG KENDARAAN BERMOTOR Herlambang Sigit Pramono dan Siti Jamyamah
PENEGAKAN IMB/IMBB DALAM UPAYA PENATAAN LINGKUNGAN YANG SEHAT DAN TERTATA RAPI Ishviati J Koenti
ANALISIS PENERAPAN METODE RINGKAS, RAPI, RESIK, RAWAT DAN RAJIN (5R) DI DINAS PERIZINAN PEMERINTAH KOTA YOGYAKARTA Eko Prianto, Ardi Mintono, Aji Panditatwa
ANALISIS JAMINAN PEMBIAYAAN PASIEN KELUARGA MISKIN RAWAT INAP OLEH UPT JAMKESDA DAN PT ASKES DI RSUD KOTA DAN PUSKESMAS MERGANGSAN DI KOTA YOGYAKARTA Nunuk Sri P, Bondan P, Waryono
PENGEMBANGAN NEED ASSESMENT PADA ANAK DAN REMAJA SERTA PENENTU KEBIJAKAN DALAM INISIASI PROGRAM "RUMAHKU SEPARO" MENDUKUNG "KOTA YOGYAKARTA SEBAGAI KOTA RAMAH ANAK" Punik M W, Betty Ekawaty S, Alfan Nur Ahsyar
PENGARUH TINGKAT LUASAN RTH PRIVAT TERHADAP KUALITAS UDARA DAN PERSEPSI KENYAMANAN DI KOTA YOGYAKARTA Didik Surya Hadi, Setiaji Heri Saputro dan Hastanto Bowo Woesono
STRATEGI PENANGGULANGAN KEMISKINAN STUDI KASUS KELURAHAN TEGALPANGGUNG DAN PRAWIRODIRJAN KOTA YOGYAKARTA Jamzani Sodik, Didi Nuryadin
PERILAKU MASYARAKAT BANTARAN SUNGAI WINONGO DALAM MENJAGA KEBERSIHAN DAN KERAPIAN LINGKUNGAN (STUDI KASUS PENGUNGKAPAN MASALAH DAN SOLUSINYA) R. Nur Handono, Sulastri, Rama Hendi Prastiyo
MODEL KEWIRAUSAHAAN BERBASIS ANAK PUTUS SEKOLAH SEBAGAI USAHA UNTUK MENGENTASKAN KEMISKINAN DI WILAYAN KOTA GEDE YOGYAKARTA R. Sahedhy N, Ida Bagus Nyoman U, Jajuk H, Prayekti
ONTHEL DAN SEGO SEGAWE Syariful H, Ratna Pangastuti, Yuli Muhammad N
7
JURNAL PENELITIAN VOL. 7
DAFTAR ISI DAFTAR ISI ...............................................................................................................2 TIM REDAKSI............................................................................................................3 SALAM REDAKSI......................................................................................................4 ALAT UJI EMISI GAS BUANG KENDARAAN BERMOTOR Herlambang Sigit Pramono dan Siti Jamyamah ...............................................................5 PENEGAKAN IMB/IMBB DALAM UPAYA PENATAAN LINGKUNGAN YANG SEHAT DAN TERTATA RAPI Ishviati J Koenti ..........................................................................................................11 ANALISIS PENERAPAN METODE RINGKAS, RAPI, RESIK, RAWAT DAN RAJIN (5R) DI DINAS PERIZINAN PEMERINTAH KOTA YOGYAKARTA Eko Prianto, Ardi Mintono, Aji Panditatwa......................................................................23 ANALISIS JAMINAN PEMBIAYAAN PASIEN KELUARGA MISKIN RAWAT INAP OLEH UPT JAMKESDA DAN PT ASKES DI RSUD KOTA DAN PUSKESMAS MERGANGSAN DI KOTA YOGYAKARTA Nunuk Sri Purwati, Bondan P, Waryono ........................................................................36 PENGEMBANGAN NEED ASSESMENT PADA ANAK DAN REMAJA SERTA PENENTU KEBIJAKAN DALAM INISIASI PROGRAM "RUMAHKU SEPARO" MENDUKUNG "KOTA YOGYAKARTA SEBAGAI KOTA RAMAH ANAK" Punik M W, Betty Ekawaty S, Alfan Nur Ahsyari ............................................................48 PENGARUH TINGKAT LUASAN RTH PRIVAT TERHADAP KUALITAS UDARA DAN PERSEPSI KENYAMANAN DI KOTA YOGYAKARTA Didik Surya Hadi, Setiaji Heri Saputro dan Hastanto Bowo Woesono ..............................57 STRATEGI PENANGGULANGAN KEMISKINAN STUDI KASUS KELURAHAN TEGALPANGGUNG DAN PRAWIRODIRJAN KOTA YOGYAKARTAModel Kewirausahaan Berbasis Anak Putus Sekolah sebagai Usaha Untuk Mengentaskan Kemiskinan Di Wilayah Kota Gede Yogyakarta ............................................................66
PERILAKU MASYARAKAT BANTARAN SUNGAI WINONGO DALAM MENJAGA KEBERSIHAN DAN KERAPIAN LINGKUNGAN (STUDI KASUS PENGUNGKAPAN MASALAH DAN SOLUSINYA) R. Nur Handono, Sulastri, Rama Hendi Prastiyo ...........................................................77 MODEL KEWIRAUSAHAAN BERBASIS ANAK PUTUS SEKOLAH SEBAGAI USAHA UNTUK MENGENTASKAN KEMISKINAN DI WILAYAH KOTA GEDE YOGYAKARTA R. Sahedhy N, Ida Bagus Nyoman U, Jajuk H, Prayekti .................................................88 ONTHEL DAN SEGO SEGAWE Syariful H, Ratna Pangastuti, Yuli Muhammad N ................................................................ 96
2
JURNAL PENELITIAN VOL. 7
TIM REDAKSI Penanggung Jawab
: Ir. Aman Yuriadijaya, MM
Ketua
: Ir. Suparwoko, MURP, Ph.D Drs. Hajar Pamadhi, MA (Hons)
Pemimpin Redaksi
: Dra. Pratiwi Yuliani
Sekretaris
: Sugito Raharjo, SH, M.Hum
Redaktur Pelaksana
: Risdiyanto, ST,MT Drs. Rochmad, M.Pd Drs. Zenni
Layout dan Desain Grafis
: Affrio Sunarno, S.Sos Itmam Fadhlan, S.Si Purwanta
Illustrator
: Budhi Santoso, ST Dwi Sulistiyowati, S.Si
PEMERINTAH KOTA YOGYAKARTA KANTOR BAPPEDA
Kompleks Balaikota Timoho Jl. Kenari No. 56 Yogyakarta 55156 Tlp. (0274) 515 207 Fax. (0274) 55 44 32 Email:
[email protected] Website: www.jogjakota.go.id
3
JURNAL PENELITIAN VOL. 7
SALAM REDAKSI Assalamu’alaikum Wr. Wb. Tema penelitian yang diusung dalam Jurnal kali ini adalah “Terwujudnya Kota Yogyakarta sebagai kota yang tertata rapi dengan tingkat polusi rendah yang didukung dengan pelayanan yang optimal”. Hasil penelitian diharapkan dapat memberikan manfaat dan tambahan wawasan baik bagi pemerintah maupun masyarakat yang tertarik akan hasil penelitian ini. Jurnal penelitian ini merupakan sarana pemberian informasi dan komunikasi yang dibentuk oleh Bappeda Kota Yogyakarta dalam wadah jaringan penelitian di Kota Yogyakarta. Dengan terbitnya jurnal penelitian ini diharapkan para pembaca dapat ikut serta dalam penelitian-penelitian selanjutnya yang akan diselenggarakan setiap tahunnya oleh jaringan penelitian Kota Yogyakarta, akhirnya semoga hasil penelitian ini dapat lebih bermanfaat bagi kita semua.
Wassalammu’alaikum Wr Wb
Redaksi
4
JURNAL PENELITIAN VOL. 7 Alat Uji Emisi Gas Buang Kendaraan Bermotor (Oleh : Herlambang Sigit Pramono dan Siti Jamyamah) E-mail:
[email protected] Abstrak Pencemaran udara yang semakin meningkat sudah menjadi masalah di berbagai kota di Indonesia. Berbagai upaya perlu dilakukan untuk mencegah dan mengurangi laju pertambahan pencemaran udara. Penyebab pencemaran udara pada umumnya adalah adanya pembakaran fosil bumi yang terjadi di industri, rumah tangga dan di kendaraan bermotor. Penelitian Rusdian Lubis dan Widodo Sambodo (2004) memberikan informasi bahwa ternyata lebih dari 50 % pencemaran udara disumbangkan dari pembakaran bahan bakar kendaraan bermotor. Dengan data ini berbagai upaya dilakukan antara lain dengan mengurangi jumlah kendaraan bermotor di jalan, mendorong penggunaan bahan bakar yang lebih ramah lingkungan, dan mensyaratkan uji emisi bagi setiap kendaraan yang ada di jalan. Penelitian ini bertujuan untuk merancang dan membuat alat uji emisi gas buang kendaraan bermotor yang dalam hal ini mengukur kadar gas CO2 dan NOx. Dengan alat hasil penelitian ini diharapkan dapat menyediakan fasilitas uji emisi dengan harga yang murah. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode rancang bangun yang terdiri dari beberapa tahap, yaitu (1) Identifikasi kebutuhan, (2) Analisis Kebutuhan, (3) Perancangan perangkat keras dan perangkat lunak, (4) Pembuatan dan (5) Pengujian. Perancangan alat uji emisi gas buang kendaraan bermotor terdiri dari perangkat keras dan perangkat lunak. Untuk perangkat keras terdiri dari: rangkaian catu daya, rangkaian sistem minimum ATMega8535, sensor TGS, dan rangkaian komunikasi serial, sedangkan perangkat lunak terdiri pemprograman di mikrokontroler dan di komputer. Pengambilan data dilakukan dengan observasi dan pengukuran, sedangkan analisis data dilakukan secara deskriptif dan perhitungan tingkat perbedaan hasil pengukuran dengan alat standar yang sudah ada di pasaran. Hasil pengujian menunjukkan bahwa alat uji emisi gas buang kendaraan bermotor sudah menunjukkan hasil yang sesuai dengan rancangan, yaitu mampu mengukur kadar gas buang kendaraan bermotor yang diuji dengan tingkat kesalahan 3,149 % untuk pengujian motor bensin dan 3,586 % untuk pengujian motor solar. Kata kunci: Pencemaran udara, uji emisi, Sensor Gas TGS A. Pendahuluan Pencemaran udara disebabkan oleh beberapa hal, antara lain hasil pembakaran bahan fosil di industri, kendaraan bermotor, pembangkit listrik dan sebagainya. Sebuah hasil penelitian yang dilakukan Rusdian Lubis dan Widodo Sambodo (1994) menyatakan bahwa kendaraan bermotor menyumbang lebih dari 50% pencemaran udara di atas Bumi ini. Pertumbuhan jumlah kendaraan bermotor yang semakin meningkat akan meningkatkan konsumsi bahan bakar minyak dan pencemaran udara di Indonesia. Sampai saat ini jumlah kendaraan bermotor di seluruh Indonesia telah mencapai lebih dari 20 juta buah dengan pertumbuhan populasi untuk mobil sekitar 3-4% dan sepeda motor lebih dari 4% per tahun (data dari Dep. Perhubungan). Menurut data terakhir dari Gaikindo pertumbuhan pasar penjualan kendaraan baru untuk roda 4 naik hampir 25 % pada tahun 2003. Sedangkan pertumbuhan pasar penjualan sepeda motor naik hampir 35 % pada tahun 2003. Sedangkan di Yogyakarta jumlah kendaraan bermotor sebanyak 437.243 unit, terdiri atas 273.435 unit sepeda motor dan 163.808 unit kendaraan roda empat atau lebih. Jika 5
JURNAL PENELITIAN VOL. 7 diasumsikan kendaraan yang berjalan selama 16 jam sejumlah 0,5 % saja berarti ada 2.186 unit kendaraan bermotor dengan pemakaian bahan bakar minyak bensin/solar rata- rata 1:10 dengan kecepatan rata-rata 40 km/jam menghabiskan BBM 139.904 liter perhari. Pemakaian sebanyak 139.904 liter BBM yang teroksidasi dengan oksigen (O2) akan mengeluarkan gas emisi 0.44 ppm CO2, 37 ppm CO,3.7 ppm NOx, 2.8 ppm SOx, dan 6.7 ppm HidroKarbon (HC) yang termasuk dalam kategori mengganggu pernafasan. Belum adanya peraturan yang tegas mengenai emisi gas buang, maka seiring dengan pertambahan jumlah kendaraan bermotor, pencemaran udara di Yogyakarta juga akan semakin meningkat. Polusi udara ini sudah merupakan masalah yang meresahkan masyarakat, karena dampak dari polusi udara ini sangat berbahaya bagi kesehatan. Kadar gas berbahaya CO dan NOx pada gas buang kendaraan bermotor bisa ditekan sekecil mungkin dengan perawatan yang baik terhadap mesin kendaraan tersebut. Namun demikian tidak semua pemilik kendaraan bermotor memiliki kesadaran yang tinggi, di samping enggan untuk mengeluarkan biaya perawatan yang mahal. B. Tujuan dan Manfaat Tujuan penelitian ini adalah menciptakan alat uji emisi gas buang kendaraan bermotor yang merupakan hasil karya bangsa Indonesia dengan harga yang lebih murah dibandingkan dengan yang sudah ada di pasaran. Dengan tersedianyan alat uji emisi yang murah ini diharapkan ikut menyukseskan program Pemerintah dalam pengurangan pencemaran udara yang disebabkan oleh kendaraan bermotor Sedangkan manfaat yang dapat dipetik dari penelitian ini adalah sebagai kesempatan bagi peneliti untuk mengimplementasikan pengetahuan dengan menghasilkan alat hasil teknologi ke masyarakat. Hasil penelitian ini juga dapat dimanfaatkan untuk menguji gas emisi kendaraan masyarakat, sehingga dapat digunakan sebagai panduan untuk mengetahui kondisi kendaraan. Selain itu penelitian ini diharapkan berdampak suksesnya program pemerintah untuk mencegah atau mengurangi polusi udara yang disebabkan kendaraan bermotor. C. Tinjauan Pustaka Kandungan emisi gas buang akan berbahaya bagi kesehatan manusia, ketika dikonsumsi dalam jumlah yang berlebihan. Dua parameter gas buang kendaraan yang penting untuk dicermati adalah gas CO dan NO2. Kedua jenis gas ini sangat cepat bereaksi dengan tubuh manusia, yang berakibat fatal menurunkan tingkat kesehatan manusia, yang dalam kondisi tertentu dapat mengakibatkan kematian. Uji emisi ditujukan untuk mengukur kandungan kedua jenis gas tersebut pada sistem pembuangan gas tersebut. Kualitas gas buang ini sangat dipengaruhi oleh proses pengolahan/pembakaran bahan bakar di kendaraan, baik bahan bakar bensin maupun solar. Kesempurnaan pembakaran biasanya tergantung pada seting kendaraan maupun kualitas komponen kendaraan itu sendiri. Sensor Sensor adalah alat untuk mendeteksi atau mengukur sesuatu, yang digunakan untuk mengubah variasi mekanis, magnetis, panas, sinar dan kimia menjadi tegangan dan arus listrik. Dalam lingkungan sistem pengendali dan robotika, sensor memberikan kesamaan yang menyerupai mata, pendengaran, hidung, lidah yang kemudian akan diolah oleh kontroler sebagai otaknya (Petruzella, 2001). Sensor dalam teknik pengukuran dan pengaturan secara elektronik berfungsi mengubah besaran fisik (misalnya : temperatur, gaya, kecepatan putaran) menjadi besaran listrik yang proposional. Sensor dalam teknik pengukuran dan pengaturan ini harus memenuhi persyaratan-persyaratan kualitas, yakni : 6
JURNAL PENELITIAN VOL. 7 Linieritas Konversi harus benar-benar proposional, jadi karakteristik konversi harus linier. Tidak tergantung temperatur Keluaran konverter tidak boleh tergantung pada temperatur disekelilingnya, kecuali sensor suhu. Kepekaan Kepekaan sensor harus dipilih sedemikian rupa, sehingga pada nilai-nilai masukan yang ada dapat diperoleh tegangan listrik keluaran yang cukup besar. Waktu tanggapan Waktu tanggapan adalah waktu yang diperlukan keluaran sensor untuk mencapai nilai akhirnya pada nilai masukan yang berubah secara mendadak. Sensor harus dapat berubah cepat bila nilai masukan pada sistem tempat sensor tersebut berubah. Batas frekuensi terendah dan tertinggi Batas-batas tersebut adalah nilai frekuensi masukan periodik terendah dan tertinggi yang masih dapat dikonversi oleh sensor secara benar. Pada kebanyakan aplikasi disyaratkan bahwa frekuensi terendah adalah 0Hz. Stabilitas waktu Untuk nilai masukan (input) tertentu sensor harus dapat memberikan keluaran (output) yang tetap nilainya dalam waktu yang lama. Histerisis Gejala histerisis yang ada pada magnetisasi besi dapat pula dijumpai pada sensor. Misalnya, pada suatu temperatur tertentu sebuah sensor dapat memberikan keluaran yang berlainan. Sensor Gas TGS (Tin Oxide Gas Sensor) Sensor gas ini dibuat dengan ukuran sangat kecil dengan orde nanometer. Ukuran yang kecil ini memudahkan pemakaian dan menghemat energi. Sensor yang digunakan dalam proyek akhir ini adalah Tin Oxide Gas Sensor ( TGS ) yang diproduksi oleh Figaro Engineering Inc. Elemen utama dari TGS sensor adalah sebuah metal oxide semiconductor. TGS sensor mempunyai sebuah tahanan sensor yang nilainya bergantung pada konsentrasi oksigen yang bersentuhan dengan metal oxide semiconductor. Tiap sensor gas mempunyai respon tegangan yang berbeda –beda dalam mendeteksi suatu jenis gas. Masing –masing sensor gas didesain khusus untuk sensitif terhadap gas tertentu. Sensitivitas ini bergantung pada formulasi data material sensor. Tipe –tipe sensor TGS bermacam –macam dan setiap tipe mempunyai model karakteristik sensitivitas yang berbeda –beda. Sensor TGS 2442 baik untuk pendeteksi gas carbon monoxide (CO). Konduktivitas sensor tergantung pada peningkatan konsentrasi gas dalam udara. Sensor TGS 2106 mempunyai sensitivitas tinggi dan cepat untuk mendeteksi emisi gas mesin berbahan bakar diesel. Mikrokontroler Mikrokontroler dapat dianalogikan dengan sebuah sistem komputer yang dikemas dalam sebuah chip. Artinya bahwa di dalam sebuah IC mikrokontroler sebetulnya sudah terdapat kebutuhan minimal agar mikroprosesor dapat bekerja, yaitu meliputi mikroprosesor, ROM, RAM, I/O dan clock seperti halnya yang dimiliki oleh sebuah komputer PC. Ada banyak jenis mikrokontroler yang masing –masing memiliki keluarga atau series sendiri – sendiri. Mikrokontroler AVR merupakan keluarga mikrokontroler RISC keluaran Atmel. Sampai saat ini Atmel telah mengeluarkan beberapa keluarga AVR, yang terakhir adalah keluarga AVR 32- bit RISC.
7
JURNAL PENELITIAN VOL. 7 Mikrokontroler yang digunakan pada program ini adalah salah satu mikrokontroler keluarga AVR, yaitu ATMega8535. Mikrokontroler ini memiliki fitur yang cukup lengkap dan kemampun kecepatan eksekusinya lebih tinggi daripada mikrokontroler pendahulunya. Fitur yang dimiliki oleh ATMega : 130 macam instruksi, yang hampir semua dieksekusi dalam satu siklus clock 32 x 8 bit register serbaguna Kecepatan mencapai 16 MIPS dengan clock 16 MHz 8 Kbyte Flash Memori, yang memiliki fasilitas In –Sistem Programming 512 Byte internal EEPROM 512 Byte SRAM Programming Lock, fasilitas untuk mengamankan kode program 2 buah timer / counter 8 bt dan 1 buah timer / counter 16 bit 4 chanel output PWM 8 chanel ADC 10 bit Serial USART Master / slave SPI serial interface Serial TWI atau I2C On- Chip Analog Comparator Analog to Digital Converter ATMega8535 merupakan tipe AVR yang telah dilengkapi dengan 8 saluran ADC internal dengan fidelitas 10 bit. Dalam mode operasinya, ADC ATMega dapat dikonfigurasi, baik sebagai single ended input maupun differential input. Selain itu, ADC ATMega memiliki konfigurasi pewaktuan, tegangan referensi, mode operasi, dan kemampuan filter derau yang amat fleksibel sehingga dapat dengan mudah disesuaikan dengan kebutuhan dari ADC itu sendiri. ATMega8535 memiliki resolusi ADC 10 – bit dengan 8 channel input dan mendukung 16 macam penguat beda. ADC ini bekerja dengan teknik successive approximation. Rangkaian internal ADC ini memiliki catu daya tersendiri, yaitu pin AVCC. D. Metodologi Penelitian Metode penelitian adalah eksperimen rancang bangun melalui pembuatan alat sebagai modul eksperimen, yang pengamatan kinerja alat tersebut didukung dengan beberapa peralatan bantu dan instrumen ukur. Alat dan bahan penelitian adalah benda-benda yang membantu pengambilan data penelitian yang dalam penelitian ini terdiri dari komputer, kendaraan berbahan bakar bensin dan kendaraan berbahan bakar solar. Penelitian eksperimen rancang bangun dilakukan di Laboratorium Instrumentasi Jurusan Pendidikan Teknik Elektro Fakulats teknik Uniersitas Negeri Yogyakarta, sedangkan pengujian unjuk kerja alat selain dilakukan di laboratorium juga dilakukan di lapangan (jalan raya). Data diambil dengan observasi sedangkan analisis data dilakukan secara deskriptif. Data pengukuran sensor dibandingkan degan kondisi yang ada di lapangan. Jika ada perbedaan, maka dilakukan analisis. Fungsi dari setiap bagian alat diamati fungsinya dan dianalisis unjuk kerjanya Penelitian ini dilakukan dengan berbagai tahapan mengikuti model Linier Sequential Model (LSM) yang terdiri dari 5 tahapan yang berulang, yaitu tahap analisis dan studi literatur, desain/perancangan, perakitan (assembly-hardware), pengkodean (coding8
JURNAL PENELITIAN VOL. 7 software), dan pengujian. Keempat tahapan ini akan berulang hingga dipenuhinya kondisi ideal, yaitu sistem berfungsi dengan baik sesuai yang direncanakan. Rancang bangun alat uji emisi ini menggunakan komponen-komponen berupa sensor gas, mikrokontroler dan peralatan display berupa tampilan di LCD. Susunan dan hubungan antar komponen-komponen tersebut diperlihatkan pada Gambar 1. . Sensor gas
Analog switch
Bensin
Solar
Monostable
Mikrokontroler
LCD
Gambar 1. Diagram Blok Alat Uji Emisi Kendaraan Bermotor Cara kerja dan fungsi dari setiap blok pada Gambar 1 adalah : Modul regulator tegangan +5V dan +6V dirancang untuk memberikan suplai tegangan yang diperlukan. Rangkaian mikrokontroler membutuhkan suplai tegangan 5V, sedangkan internal heater sensor gas dan rangkaian monostable diberi suplai tegangan 6V. Modul sensor dalam alat ini ada dua, yaitu TGS 2442 dengan spesifikasi target pengukuran adalah gas carbon monoxide, output resistance, typical detection range 30ppm - 1.000ppm, heater voltage 5 ± 0.2 (DC/AC), circuit voltage 5 ± 0.2 (DC/AC), sensor resistance 6.81KΩ - 68.1KΩ (pada 100ppm). Sensor yang lain adalah TGS 2106 dengan spesifikasi : target diesel exhaust (NO2), resistance output, detection range 0,1 – 10 ppm, heater voltage 6,2 V DC, circuit voltage 15 V DC max, sensor resistance 5 –50k ohm di udara. Modul mikrokontroler yang digunakan adalah ATMega8535 dan untuk menunjang sistem ini, rangkaian minimum sistem yang digunakan, dilengkapi dengan unit ADC sebagai piranti interface antara unit sensor dengan modul mikrokontroler. Unit display digunakan untuk menampilkan kadar CO dan NO2, serta kategori hasil pengujian emisi (very good, good, average, bad, very bad). E. Kesimpulan dan Rekomendasi Penelitian ini menghasilkan alat uji emisi gas buang kendaraan bermotor dengan spesifikasi : Alat bisa melakukan pengukuran kadar gas CO dan NOx, sehingga dapat digunakan untuk mengukur gas emisi motor bensin dan motor solar; bersifat portabel sehingga bisa digunakan dimana saja dengan mudah, misalnya bisa digunakan untuk
9
JURNAL PENELITIAN VOL. 7 operasi petugas di terminal, atau di jalan raya; toleransi kesalahan pengukuran alat sebesar 3,149 % untuk pengujian motor bensin dan 3,586 % untuk pengujian motor solar. Dengan sudah mendesaknya permasalah pencemaran udara untuk dicarikan solusi maka penelitian ini memberikan rekomendasi supaya pemerintah daerah menerapkan peraturan wajib uji emisi bagi kendaraan yang pelaksanaannya dilakukan dengan tahapan sebagai berikut: Membuat perda tentang uji emisi kendaraan bermotor. Mensyaratkan lolos uji emisi bagi kendaraan yang melintas di jalan-jalan tertentu terutama jalan raya yang padat hunian. Mewajibkan semua kendaraan lolos uji emisi pada saat melakukan perpanjangan STNK. Melakukan operasi uji emisi secara insidental oleh petugas DLLAJ di jalan raya. Menyediakan fasilitas alat uji emisi dengan jumlah yang memadahi sehingga dapat melayani uji emisi kendaraan masyarakat dengan cepat dan gratis. Daftar Pustaka Ibrahim, KF, 1996,Teknik Digital, Andi Offset, Yogyakarta. Malvino dkk., 1999, Prinsip prinsip penerapan digital, Penerbit Erlangga, Surabaya,edisi ketiga. Mowle, J, Frederic, 1976, A systematic Approach to Digital Logic Design, Addison Wesley. Pressman R.S. 2001, Software Engineering A Practitioner’s Approach, New York: Mc Graw Hill. Wardana, Lingga. 2006, Belajar Sendiri Mikrokontroler AVR Seri ATMega 8535, Yogyakarta : Andi.
10
JURNAL PENELITIAN VOL. 7 Penegakan IMB/IMBB Dalam Upaya Penataan Lingkungan yang Sehat dan Tertata Rapi ( Oleh: Ishviati J Koenti ) (
[email protected]) Abstract The Government of Yogyakarta City is required to be able to manage the building growth in order to remain appropriate and harmonize towards the lay-out planning which has been set. In order to support the control of the space utilization exertion, the mechanism of the permission for all activity is implemented. In the relation towards the physical development, the important permission is the building construction permits (Ijin Mendirikan Bangunan (IMB)). The Government of Yogyakarta City has already implemented the fully law tools which relevant to the Building Construction which manage the space scope, it comprises the building construction function, building construction classification, building construction execution, the society role, and the managing of the building construction implementation, the building construction permits along with the building permit. However, the fact is the society low awareness to be obedient towards the building construction permits (Ijin Mendirikan Bangunan (IMB)) and the building permits (Ijin Bangunan Gedung (IBG)). This situation is caused by the society “possum” in which the violation towards the building construction permits (Ijin Mendirikan Bangunan (IMB)) would get sanction and this would cause difficulties towards the capital government to manage the region to be a healthy and manageable environment, in its turn, it would elude the impact of environment damage. Moreover, this situation is also caused by the feeble sanction implementation towards the violation of the building construction permits (Ijin Mendirikan Bangunan (IMB)). Key words : Building Permits implementation, Environment Structuring A. Pendahuluan Kawasan perkotaan dari waktu ke waktu terus mengalami kemajuan mengingat kota merupakan tempat yang sangat strategis bagi berbagai kegiatan khususnya yang berkaitan di bidang ekonomi. Akibat yang timbul adalah semakin pesatnya laju pertumbuhan penduduk yang berakibat pada dibutuhkannya semakin banyak ruang untuk menampung dan menunjang berbagai aktivitas penduduknya. Berkaitan dengan semakin tingginya kebutuhan akan ruang, pemerintah dituntut untuk mampu mengendalikannya agar tetap sesuai dan selaras dengan rencana tata ruang yang telah ditetapkan. Dalam rangka menunjang upaya pengendalian pemanfaatan ruang maka diterapkan mekanisme perijinan bagi segala kegiatan. Apabila dikaitkan dengan pembangunan fisik maka salah satu ijin yang memegang peranan cukup penting adalah Ijin Mendirikan Bangunan (IMB). Dengan adanya IMB pada dasarnya berfungsi supaya pemerintah kota dapat mengontrol dalam rangka pendataan fisik kota yang nantinya akan bermanfaat bagi perencanaan, pengawasan dan penertiban pembangunan fisik kota agar terarah. Pada akhir tahun 2009, Kota Yogyakarta mendapatkan nilai indeks tertinggi, yakni 65,34 (nilai tertinggi 100, yakni sangat nyaman), dari 12 kota besar yang di survey oleh Ikatan Ahli Perencana (IAP) berdasarkan 25 Indikator, yaitu diantaranya kualitas penataan ruang, jumlah ruang terbuka, kualitas angkutan umum, perlindungan bangunan sejarah, kebersihan, pencemaran, kondisi jalan, fasilitas pejalan kaki, kaum diffable, kesehatan, pendidikan, air bersih, jaringan telekomunikasi, pelayanan publik, hubungan 11
JURNAL PENELITIAN VOL. 7 antar penduduk, listrik, fasilitas rekreasi.1 Namun nilai indeks yang 65,34 berarti baru pada taraf cukup nyaman belum pada tingkat nyaman apalagi sangat nyaman. Slogan Yogyakarta Berhati Nyaman yang dicanangkan berdasarkan Peraturan Daerah Kota Madya Yogyakarta No 1 tahun 1992 pun belum sepenuhnya terwujud, mengingat beberapa indikator masih belum tercapai, antara lain kualitas penataan ruang, jumlah ruang terbuka, kualitas kebersihan dan kondisi jalan. Semakin banyaknya lahan yang dipakai untuk pembangunan fisik kota akan mengakibat sedikitnya resapan air, yang menimbulkan problem antara lain genangan air di jalan –jalan utama kota. Mengingat tematik pembangunan Tahun 2010 sebagaimana diamanatkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Kota Yogyakarta adalah : "Kota Yogyakarta sebagai Kota yang Sehat dan Nyaman Huni dengan Pengelolaan Fasilitas Pelayanan Publik yang Memadai", maka sangatlah logis jika upaya pengendalian lingkungan hidup agar nyaman dan indah perlu mendapat proritas dalam pengelolaan kota Yogyakarta. Karena luasnya permasalahan penerapan IMB/IMBB sebagai upaya peningkatan kualitas lingkungan hidup, maka penelitian ini membatasi permasalahan yang menjadi rumusan masalah dalam penelitian ini, yaitu : 1. Bagaimana fungsi IMB/IMBB dapat menunjang upaya penataan lingkungan? 2. Bagaimana tingkat ketaatan masyarakat dalam memiliki IMB/IMBB? 3. Apa faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat ketaatan masyarakat terhadap IMB/IMBB di Kota Yogyakarta? B. Metodologi Penelitian ini menggunakan metode pendekatan hukum socio-legal research, artinya mengkonsepsikan hukum sebagai institusi sosial yang riil dan fungsional di dalam sistem kehidupan masyarakat, khususnya dalam penelitian ini hukum dipandang sebagai suatu gejala sosio-empiris2. Hukum tidak lagi dimaknakan sebagai norma yang eksis secara ekslusif di dalam suatu sistem legitimasi yang formal. Dari segi substansinya hukum dilihat sebagai suatu kekuatan sosial yang empiris wujudnya namun yang terlihat secara sah dan bekerja dengan hasil yang mungkin saja efektif akan tetapi mungkin saja tidak. Penelitian dilakukan di Kota Yogyakarta, dengan spesifikasi wilayah/kawasan yang tergenang air/banjir pada saat musim penghujan, maka diambil Kecamatan Umbul Harjo, Kecamatan Wirobrajan, Kecamatan Jetis. Data yang diperoleh dianalisis secara kualitatif. Data kualitatif diperoleh dari pengamatan, wawancara mendalam, diskusi–diskusi secara simultan dengan melakukan pemilahan permasalahan, reduksi data penyajian data dan penarikan simpulan. Sedang data kuantitatif diperoleh dari pengumpulan dokumen, perdaperda dan peraturan perundang-undangan daerah, statistik dan data dari hasil penelitian sejenis untuk mendukung analisis kualitatif. C. Tujuan dan Manfaat 1. Tujuan Penelitian 1. Membuktikan bahwa IMB/IMBB dapat menunjang upaya pengendalian dan meningkatkan kualitas lingkungan hidup. 2. Mengetahui hubungan antara pemahaman masyarakat tentang IMB/IMBB dengan ketaatan memiliki IMB/IMBB.
1 2
www.pu.go.id Hasil Penelitian Indonesia Most Liveable City Index 2009, diakses tanggal 2 April 2010 Soetandyo Wignjosoebroto, Hukum, Paradigma, Metode dan Dinamika Masalahnya, Elsam, 2002, hlm.161
12
JURNAL PENELITIAN VOL. 7 3.
2.
Mengetahui faktor–faktor yang mempengaruhi ketaatan masyarakat dalam pengurusan IMB/IMBB.
Manfaat dari penelitian ini adalah: 1. Memberikan solusi kebijakan yang sesuai dalam rangka meningkatkan ketaatan masyarakat untuk memiliki IMB/IMBB. 2. Menganalisis faktor–faktor yang mempengaruhi tingkat ketaatan masyarakat dalam pengurusan IMB/IMBB untuk memberikan solusi dalam penegakan IMB/IMB.
D. Tinjauan Pustaka 1. Paradigma dalam Penataan Ruang Kawasan Perkotaan Kota, yang merupakan suatu sistem sosial dalam ruang, memiliki peran yang penting dalam pembangunan nasional. Hal tersebut disebabkan proses pembangunan nasional salah satunya berlangsung melalui sistem perkotaan melalui faktor yang erat hubungannya dengan urbanisasi, yang menumbuhkan ekonomi, dan pada gilirannya akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Pentingnya peranan sebuah kota ditetapkan oleh banyaknya dan luasnya cakupan pelayanan fungsi-fungsi dalam kota tersebut.3 Penataan kota adalah proses yang sangat rumit dan pelik, karena menyangkut benturan-benturan antara pendekatan teknokratik-komersial dengan pendekatan demokratik-humanis, sehingga muncullah kecenderungan yang lazim disebut sebagai urbicide atau urban suicide.4 Paradigma dalam penataan ruang kawasan perkotaan akhir-akhir ini mengalami perubahan, yaitu tidak lagi top down tetapi lebih pada bottom up dan melibatkan peran serta masyarakat secara aktif. Ada beberapa indikator diterapkannya paradigma baru dalam penataan kota, yaitu melalui peran serta masyarakat. Pelibatan masyarakat perlu dikembangkan berdasarkan konsensus yang disepakati bersama serta dilakukan dengan memperhatikan karakteristik sosial-budaya setempat (local unique) dan model kelembagaan setempat seperti misalnya melalui forum kota atau rembug masyarakat. Dalam konteks ini pembinaan peran serta masyarakat dalam penataan ruang telah diatur melalui PP No.69/1996 tentang Pelaksanaan Hak dan Kewajiban serta Bentuk dan Tatacara Peran Serta Masyarakat yang merupakan derivasi dari UU No.24/1992. Penerapan prinsipprinsip good urban governance secara luas dan konsisten dalam pengelolaan kawasan perkotaan. Otonomi daerah merupakan momentum yang tepat bagi para pengelola kota dalam menerapkan prinsip-prinsip good governance untuk peningkatan kualitas pelayanan publik untuk kesejahteraan masyarakat. Di samping peran masyarakat, pemanfaatan dukungan teknologi informasi. Pilihan ini didasarkan atas kebutuhan untuk mengelola ruang kawasan – termasuk didalamnya prasarana dan sarana – secara terpadu sehingga proses delivery nya menjadi lebih efektif dan efisien. Selain itu pengembangan model kemitraan diharapkan dapat meminimalkan potensi konflik pemanfaatan ruang lintas wilayah, menghindari terjadinya pemanfaatan ruang yang tidak sinkron pada kawasan perbatasan (hulu – hilir), serta mengurangi inefisiensi dan biaya transaksi yang terlalu besar. Selanjutnya, untuk dapat mengelola pembangunan kawasan perkotaan secara efisien 3
Lihat definisi Harvey, 1989 yang menyatakan bahwa kota adalah “a spatially grounded social process in which a wide range of different actors with quite different objectives and agendas interact through a particular configuration of interlocking spatial practices.” Dalam hasil penelitian, Suparjo Sujadi, Format Pembaharuan Pengaturan Tata Kota DKI Jakarta: Solusi Alternatif Untuk Harmonisasi Kepentingan Publik dan Kepentingan Privat, UI, 2009. 4 Gita Chandrika Napitupulu, Isu Strategis dan Tantangan Dalam Pembangunan Perkotaan (makalah). Disampaikan pada diskusi “Pembangunan Kota Indonesia Abad 21” Urban and Regional Development Institute (URDI) dan Yayasan Sugijanto Soegijoko, Jakarta: 2005.
13
JURNAL PENELITIAN VOL. 7 dan efektif, diperlukan strategi pendayagunaan penataan ruang yang senada dengan semangat otonomi daerah. Operasionalisasi kebijakan dan strategi penataan ruang tersebut perlu didukung dengan keberadaan instrumen yang memadai agar perencanaan, pemanfaatan dan pengendalian pemanfaatan ruang di daerah dapat terselenggara secara efisien dan efektif. Pada tahap perencanaan, maka instrumen dimaksud diharapkan dapat memberikan dukungan terhadap proses analisis permasalahan dan penyesuaian kebijakan pembangunan kota yang cepat, akurat, transparan dan akuntabel, yang kemudian diperkuat dengan instrumen hukum (misal PP, Keppres hingga Perda). Pada tahap pemanfaatan rencana tata ruang, instrumen yang diperlukan adalah insentif dan disinsentif, sementara pada tahap pengendalian pemanfaatan ruang, maka instrumen yang dibutuhkan adalah perijinan (seperti ijin prinsip, ijin lokasi, ijin mendirikan bangunan/ijin mendirikan bangun bangunan (IMB/IMBB- untuk selanjutnya disebut IMB)) dan penegakan sanksi hukum atas bentuk-bentuk pelanggaran. Upaya preventif dalam rangka pengendalian dampak lingkungan hidup perlu dilaksanakan dengan mendayagunakan secara maksimal instrumen pengawasan dan perijinan. Dalam hal pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup sudah terjadi, perlu dilakukan upaya represif berupa penegakan hukum yang efektif, konsekuen, dan konsisten terhadap pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup yang sudah terjadi. Sehubungan dengan hal tersebut, perlu dikembangkan satu sistem hukum perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang jelas, tegas, dan menyeluruh guna menjamin kepastian hukum sebagai landasan bagi perlindungan dan pengelolaan sumber daya alam serta kegiatan pembangunan lain. 2.
Ijin Mendirikan Bangunan sebagai instrument yuridis pengendalian Masyarakat dalam rangka Penggunaan Lahan Pasal 35 Undang – Undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, menyatakan bahwa perijinan adalah salah satu alat pengendalian pemanfaatan ruang, disamping peraturan zonasi, pemberian insentif dan disinsentif, serta penanganan sanksi. Mekanisme perijinan, yaitu usaha pengendalian melalui penerapan prosedur dan ketentuan yang ketat yang harus dipenuhi untuk menyelenggarakan suatu pemanfaatan ruang.5 Sedangkan tujuan dari perijinan menurut Bergen adalah (1) Keinginan mengarahkan (mengendalikan – “struen”) aktivitas–aktivitas tertentu (misalnya ijin bangunan). (2) Mencegah bahaya bagi lingkungan (ijin–ijin lingkungan). (3) Keinginan melindungi obyek –obyek tertentu (ijin terbang, ijin membongkar monumen–monumen). (4) Hendak membagi benda–benda yang sedikit (ijin penghuni di daerah padat penduduk). (5) Pengarahan dengan menyeleksi orang–orang dan aktivitas–aktivitas. (ijin berdasarkan Drank – en Horecawet, dimana pengurus harus memenuhi syarat–syarat tertentu).6 Dalam konsep pengendalian penggunaan lahan, menurut pengaturan tanggung jawab teknik keruangan, arahan IMB merupakan pengaturan perubahan perpetakan dan pedoman teknis. Kedudukan IMB dalam kerangka pengendalian, penggunaan lahan dalam perwujudan rencana kota, fungsi IMB sebagai alat pengendali pembangunan berperan penting, selain tercermin dari lingkup aturan segi teknis, kaitan IMB sebagai alat perwujudan rencana kota dikukuhkan dalam landasan penetapan Peraturan Bangunan. Instrumen lain yang sesungguhnya dapat dipakai untuk mengendalikan penggunaan lahan ialah mekanisme ijin penggunaan, yang pada dewasa ini di Indonesia mencakup ijin prinsip, ijin lokasi, pemberian flak, ijin tapak (tata letak), dan IMB (Ijin Mendirikan Bangunan).
5 6
Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara, UII Pres, 2003.hlm.160-162 (Zulkaidi dalam Sulandari, 2003)
14
JURNAL PENELITIAN VOL. 7 E. Hasil dan Pembahasan 1. Fungsi IMB Dalam Penataan Lingkungan yang Sehat dan Nyaman di Kota Yogyakarta Dalam rangka upaya mewujudkan tertib bangun-bangunan di Kota Yogyakarta, maka Kota Yogyakarta telah memiliki Perda Nomor 4 tahun 1988 tentang Bangunan dan Perda Nomor 5 Tahun 1988 tentang Ijin Membangun Bangun Bangunan dan Ijin Penggunaan Bangun Bangunan, yang dilengkapi pula dengan adanya perubahan kelembagaan baru dan untuk mengoptimalisasikan penegakan peraturan daerah terhadap bangun-bangunan yang tidak memiliki dan atau tidak sesuai dengan Izin Membangun Bangun-Bangunan (IMBB) maka telah diterbitkan Peraturan Walikota Nomor 12 Tahun 2007 tentang Mekanisme Penegakan Peraturan Daerah Tentang Ijin Membangun Bangunan (IMBB yang dimaksudkan untuk optimalisasi penegakan peraturan daerah terhadap bangun bangunan yang tidak memiliki dan atau tidak sesuai dengan ijin membangun bangunbangunan. Adapun penerbitan Ijin Mendirikan Bangunan sebagaimana tersebut di atas didukung oleh rekomendasi yang diterbitkan oleh instansi terkait, terutama rekomendasi dari instansi yang bertanggung jawab di bidang tata kota dalam bentuk Surat Keterangan Rencana Kota (SKRK), rekomendasi dari instansi pertanahan, serta rekomendasi komisi AMDAL. Penerbitan IMB, Ijin Penggunaan Bangunan, Ijin UU Gangguan (HO), Ijin Pariwisata, dan perijinan lain atas penggunaan tanah/bangunan harus tetap didasarkan kepada peruntukkan tanah yang ditetapkan dalam rekomendasi Keterangan Rencana Kota. Pada dasarnya, jika suatu bangunan mengalami perubahan fungsi, maka ijin IMB sebelumnya menjadi tidak berlaku. Ijin IMB yang harusnya berfungsi untuk mengendalikan perubahan penggunaan lahan tersebut dinilai tidak efektif karena masih banyaknya bangunan yang melanggar di lapangan dikarenakan perubahan fungsi. Tujuan ijin mendirikan bangunan yang paling esensial adalah untuk melindungi kepentingan baik kepentingan pemerintah maupun kepentingan masyarakat yang ditujukan atas kepentingan hak atas tanah dan menunjang upaya pengendalian pemanfaatan ruang kota. Dalam kaitannya dengan kesesuaian dengan arahan pengendalian pemanfaatan Ruang Wilayah agar lingkungan lebih berkualitas, maka tujuan dan fungsi dari perijinan khususnya IMB adalah untuk pengendalian dari pada aktifitas pemerintah dan masyarakat dalam hal-hal membangun bangun bangunan dengan ketentuan yang berisi pedoman-pedoman yang harus dilaksanakan. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Kota Yogyakarta Tahun 2010 merupakan pelaksanaan tahun keempat dari Peraturan Walikota Yogyakarta Nomor 17 Tahun 2007 tentang RPJMD Kota Yogyakarta Tahun 2007-2011. Tematik pembangunan Tahun 2010 sebagaimana diamanatkan dalam RPJMD adalah : "Kota Yogyakarta sebagai Kota yang Sehat dan Nyaman Huni dengan Pengelolaan Fasilitas Pelayanan Publik yang Memadai". Makna "Kota Sehat" adalah kota yang bersih, aman, nyaman dan sehat bagi warganya melalui upaya peningkatan kualitas lingkungan fisik, sosial dan budaya secara optimal, sehingga dapat mendukung peningkatan produktivitas dan perekonomian masyarakat. Dalam mewujudkan kota yang sehat harus mampu memenuhi tatanan sebagai kawasan permukiman, sarana dan prasarana umum yang memadai, kawasan tertib sarana lalu lintas dan pelayanan transportasi, kawasan perkantoran sehat, kawasan pariwisata sehat, ketahanan pangan dan gizi masyarakat, kehidupan masyarakat sehat yang mandiri dan kehidupan sosial yang sehat. Makna "Kota yang Nyaman Huni" adalah kota yang memberikan kenikmatan dan rasa aman sebagai tempat hunian dan meningkatnya kebersihan dan kesehatan lingkungan perumahan serta tersedianya sarana dan prasarana kebersihan lingkungan dan penyediaan pusat pelayanan kesehatan yang sesuai standar cakupan layanan. Dalam meningkatkan kesehatan lingkungan perlu adanya penambahan ruang terbuka hijau serta taman kota yang berfungsi 15
JURNAL PENELITIAN VOL. 7 sebagai paru-paru kota. Dalam mewujudkan kota nyaman huni harus memenuhi kota yang aman sebagai tempat hunian, kebersihan dan kesehatan lingkungan sesuai standar yang ditetapkan ketersediaan ruang terbuka hijau dan taman kota sebagai paru-paru kota. Terkait dengan pemberdayaan masyarakat di bidang pengelolaan lingkungan hidup di daerah antara lain dengan menggunakan instrumen hukum administrasi, antara lain pengaturan mengenai Ijin Mendirikan Bangungan dengan berbagai prasyarat yang terkait dengan lingkungan hidup. Pemberian ijin mendirikan bangunan sangat penting artinya bagi pemerintah daerah guna mengatur, menetapkan dan merencanakan pembangunan perumahan diwilayahnya sesuai dengan potensial dan prioritas kota yang dituangkan dalam Tata Ruang Kota. Untuk mendapatkan pola pembangunan kota yang terencana dan terkontrol tersebut, maka untuk pelaksanaan suatu pembangunan di atas wilayah suatu kota diwajibkan memiliki ijin mendirikan bangunan dan penggunaannya sesuai dengan yang disetujui oleh Dinas Perizinan. Ijin sebagai instrumen yuridis yang digunakan oleh pemerintah untuk mempengaruhi para warga agar mau mengikuti cara yang dianjurkan guna mencapai suatu tujuan konkret.7 Ijin mendirikan bangunan termasuk sarana yuridis pemerintah untuk mengendalikan kegiatan warganya di bidang bangun membangun. Pemerintah Kota Yogyakarta mengatur bangun bangunan yang akan dibangun warga dengan Peraturan Daerah (Perda) Nomor 4 Tahun 1988 tentang Bangunan dan Perda Nomor 5 Tahun 1988 tentang Ijin Membangun Bangun-Bangunan dan Ijin Penggunaan Bangun Bangunan. Kedua Perda ini dimaksudkan untuk mengendalikan kegiatan warganya di bidang bangun membangun. Untuk mengetahui apakah perda-perda tersebut dapat dipakai sebagai upaya untuk pengendalian dan penataan lingkungan, yang sehat dan tertata rapi di Kota Yogyakarta, maka paparan berikut akan menganalisis materi muatan pada perda-perda dimaksud. Pengaturan melalui Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 Tentang Bangunan di tindak lanjuti oleh Pemerintah Kota Yogyakarta dengan memperbaharui Perda Nomor 4 dan Perda Nomor 5 tahun 1988 dengan Perda Nomor 24 tahun 2009 Tentang Bangunan Gedung. Mengingat pada saat dilakukan penelitian ini telah terbit peraturan daerah yang baru, yaitu Perda Nomor 24 tahun 2009 Tentang Bangunan Gedung dan Perda Nomor 25 Tahun 2009 tentang Retribusi Ijin Mendirikan Bangunan namun belum efektif dilaksanakan, karena masih dalam taraf sinkronisasi dan harmonisasi perda di Provinsi DIY, maka dalam analisis perda yang baru hanya akan digunakan sebagai pembanding dari Perda Nomor 4 tahun 1988 dan Nomor 5 Tahun 1988. Berkenaan dengan telah diundangkannya Perda Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bangunan Gedung pada tanggal 24 Oktober tahun 2009, maka Perda Nomor 4 Tahun 1988 tentang Bangunan telah dicabut, namun mengingat Perda Nomor 24 Tahun 2009 belum efektif berlaku karena masih memerlukan harmonisasi dan sinkronisasi, maka pada penelitian ini Perda Nomor 24 Tahun 2009 dianalisis dikomparasikan terhadap Perda yang lama dengan maksud untuk menganalisis kedua fungsi Perda tersebut untuk mewujudkan tertib bangunan dalam arti menciptakan lingkungan yang aman, tertib dan sehat. Secara umum Perda Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bangunan Gedung mengatur tentang ruang lingkup yang meliputi fungsi bangunan gedung, klasifikasi bangunan gedung, penyelenggaraan bangunan gedung, peran masyarakat dan pembinaan dalam penyelenggaraan bangunan gedung, Izin Mendirikan Bangunan Gedung (IMB) serta Izin Bangunan Gedung (IBG). Penegakan Peraturan Daerah terhadap bangun-bangunan yang 7
Ridwan,HR, Hukum Administrasi Negara ,(Cet.ll), UII Press, Yogyakarta, 2003. hal. 150
16
JURNAL PENELITIAN VOL. 7 tidak memiliki dan atau tidak sesuai dengan Izin Membangun Bangun-Bangunan (IMBB); ditetapkan dengan Peraturan Walikota Nomor 12 Tahun 2007 Tentang Mekanisme Penegakan Peraturan Daerah Tentang Ijin Mendirikan Bangun Bangunan (IMBB). Penegakan peraturan daerah dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, dilaksanakan dengan : 1. Pelaksanaan penegakan peraturan daerah dilaksanakan oleh PPNS dan instansi teknis pelaksana Peraturan Daerah. 2. Pelaksanaan penindakan terhadap pelanggaran yang diancam sanksi pidana dalam Peraturan Daerah dilaksanakan oleh PPNS. 3. Pelaksanaan penindakan terhadap pelanggaran yang diancam sanksi administratif dalam Peraturan Daerah dilaksanakan oleh instansi teknis pelaksana Peraturan Daerah Dalam hal penerapan sanksinya, Pemkot dapat melaksanakan pembongkaran. Pelaksanaan pembongkaran bangunan dilaksanakan berdasarkan Surat Perintah Pembongkaran dari Kepala Daerah. Pejabat yang ditunjuk untuk melaksanakan pembongkaran adalah Kepala Dinas Permukiman dan Prasarana Wilayah. Dari hasil penelusuran perangkat peraturan perundang-undangan kota Yogyakarta baik peraturan daerah, maupun peraturan walikota terkait dengan penataan kota yang tertata rapi, dan bersih, melalui IMB dan penegakannya, Pemerintah Kota Yogyakarta sudah mengatur secara terinci baik pada Peraturan Daerah Nomor 4 Tahun 1988 maupun Perda Nomor 24 Tahun 2009 dalam materi muatan perda yang tertuang dalam pasal-pasalnya. Dari pasal-pasal yang diuraikan di atas, dapat disimpulkan bahwa peraturan daerah yang mengatur tentang Bangunan dan IMB di kota Yogyakarta secara terinci sudah memuat ketentuan-ketentuan mengenai pengendalian dan penataan lingkungan. Dan apabila ditaati akan menghasilkan penataan lingkungan yang sehat dan tertata rapi. Di samping perangkat perundang-undangan, dalam pelayanan IMB, Pemerintah Kota Yogyakarta sudah memanfaatkan fungsi teknologi, sehingga pelayanan IMB dapat dilakukan lebih cepat, murah dan transparan. 2.
Tingkat Ketaatan Masyarakat dalam Memiliki IMB/IMBB IMB dalam kerangka pengendalian, penggunaan lahan dalam perwujudan rencana kota, berfungsi sebagai alat pengendali pembangunan yang penting, selain tercermin dari lingkup aturan segi teknis, kaitan IMB sebagai alat perwujudan rencana kota dikukuhkan dalam landasan penetapan Peraturan Bangunan. Dapat dipakai untuk mengendalikan penggunaan lahan. Bagi masyarakat warga Kota Yogyakarta yang membangun bangunan, diatur dalam Peraturan Daerah (Perda) Nomor 4 Tahun 1988 tentang Bangunan dan Perda Nomor 5 tahun 1988 tentang Ijin Membangun Bangun-Bangunan dan Ijin Penggunaan Bangun Bangunan, yang telah diperbaharui dengan Perda Nomor 24 tahun 2009 Tentang Bangunan Gedung dan Perda Nomor 25 Tahun 2009 tentang Retribusi Ijin Mendirikan Bangunan namun belum efektif dilaksanakan. Untuk mengetahui tingkat ketaatan warga Kota Yogyakarta dalam kepemilikan ijin mendirikan bangunan maka dari 14 kecamatan yang terdapat di Kota Yogyakarta diambil sampel 3 kecamatan, yaitu Kecamatan Umbul Harjo mewakili Yogyakarta Timur, Kecamatan Wirobrajan mewakili Yogyakarta tengah dan Kecamatan Jetis mewakili Yogyakarta Barat/Utara, yaitu Jl. Kusumanegara, yang meliputi kelurahan Semaki dan Tahunan di Kecamatan Umbul Harjo, kawasan sekitar Jl.Wates yang meliputi kelurahan Pakuncen dan Jl. Kyai Mojo Kecamatan Jetis. Data yang diperoleh di lapangan sebagai berikut :
17
JURNAL PENELITIAN VOL. 7 Responden Kawasan Semaki dan Tahunan sejumlah 40 diminta menjawab 7 pertanyaan yang intinya menyangkut tingkat ketaatan untuk memahami dan mentaati peraturan tentang ijin mendirikan bangunan, kemudian jawaban tersebut diberi skor, C untuk nilai terendah, B untuk nilai tengah dan A untuk nilai tertinggi. 1. Kawasan Jl. Kusumanegara (Semaki dan Tahunan) Tabel 1 : Pilihan jawaban atas pertanyaan seputar ketaatan memiliki IMB Kawasan Jl. Kusumanegara (Semaki dan Tahunan) No. Urut 1 2 3 4 5 6 7
2.
C 5 14 24 20 8 27 19 134 48%
Jawaban B 24 9 6 0 19 1 11 70 25%
A 11 17 10 13 13 12 2 78 27%
Jumlah 40 40 40 40 40 40 40 280 100%
Kawasan Jl. Wirobrajan (Pakuncen) Tabel 2 : Pilihan jawaban atas pertanyaan seputar ketaatan memiliki IMB Kawasan Wirobrajan No. Urut 1 2 3 4 5 6 7
3.
Nomor Pertanyaan 1 2 3 4 5 6 7 JUMLAH Persentase
Nomor Pertanyaan 1 2 3 4 5 6 7 JUMLAH Persentase
C 0 13 31 30 32 25 0 131 47%
Jawaban B 19 10 8 10 8 7 21 83 30%
A 21 17 1 0 0 8 19 66 33%
Jumlah 40 40 40 40 40 40 40 280 100%
Kawasan Jl. Kyai Mojo (Jetis) Tabel 3 : Pilihan jawaban atas pertanyaan seputar ketaatan memiliki IMB Kawasan Jetis No. Urut 1 2 3 4 5 6 7
Nomor Soal 1 2 3 4 5 6 7 JUMLAH Presentase
C 2 13 18 19 17 19 3 91 65%
Jawaban B 16 6 1 1 3 0 13 40 29%
A 2 1 1 0 0 1 4 9 6%
Jumlah 20 20 20 20 20 20 20 140 100%
Dari ketiga kawasan tersebut dapat disimpulkan bahwa tingkat ketaatan warga terhadap IMB masih rendah, yaitu sebagaimana dapat dilihat pada : Tabel 4: Rata-rata tingkat ketaatan warga terhadap IMB sebagai berikut : Tidak mengurus IMB Akan mengurus Sudah/sedang mengurus IMB 50% 29% 21% 18
JURNAL PENELITIAN VOL. 7 3.
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Tingkat Ketaatan Masyarakat Terhadap IMB/IMBB di Kota Yogyakarta Sehubungan dengan tingkat ketaatan yang masih rendah tersebut, maka dilakukan pengumpulan data lanjutan untuk menganalisis faktor-faktor apa yang mempengaruhi tingkat kesadaran masyarakat terhadap IMB, dengan mengajukan beberapa pertanyaan yang relevan untuk melihat faktor-faktor yang berpengaruh terhadap tingkat ketaatan, untuk warga kawasan Semaki dan Tahunan. Kesadaran masyarakat akan perlunya penataan lingkungan dalam mendukung tata kota yang tertata bersih dan rapi sudah tumbuh di kalangan warga Semaki dan Tahunan, hal ini dapat ditunjukkan dari keyakinan bahwa IMB dapat mencegah banjir, meskipun ada yang menyatakan ragu-ragu (18 responden) dan keyakinan Yogyakarta akan bersih dan rapi (22 responden). Sedangkan di kawasan Pakuncen tentang faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat ketaatan warga untuk memiliki IMB, dapat disimpulkan bahwa sebagian besar 27 responden sudah mengetahui bahwa untuk mendirikan bangunan harus ber-IMB, namun yang sudah memiliki IMB hanya 5 bangunan saja. Warga kawasan Wirobrajan tidak yakin jika penertiban IMB dapat mencegah banjir. Hal ini terlihat dari jawaban yang menyatakan yakin hanya 4 responden saja, lebih banyak yang menyatakan tidak yakin (36 responden), namun sebagian besar warga yakin bahwa penertiban IMB akan menjadikan Yogyakarta bersih dan rapi (23 responden). Faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat ketaatan masyarakat yang paling tinggi adalah tidak adanya sosialisasi tentang IMB, bahkan sebagian masyarakat tidak pernah tahu ada aturan membangun-bangunan apalagi perdanya, sehingga mereka tidak tahu bagaimana membangun bangunan secara benar sesuai dengan Perda IMB, selanjutnya ketidaktaatan disebabkan pada tata cara pengurusannya yang menurut mereka rumit, sebagaimana dapat dilihat dalam Tabel 5 sebagai berikut: No
Faktor ketidaktaatan IMB
1. 2. 3.
Tidak ada sosialisasi Pengurusannya rumit Sanksi tidak diterapkan dengan tegas Tidak tahu bahwa pelanggaran terhadap IMB dapat dikenai sanksi Tidak tahu cara pengurusannya
4.
5.
Semaki & Tahunan 31 responden 21 responden 20 responden
Wirobrajan / Pakuncen 40 responden 22 responden 38 responden
Jetis / Kyai Mojo 19 responden 19 responden 18 responden
17 responden
16 responden
15 responden
13 responden
17 responden
9 responden
Alasan ketidaktaatan masyarakat yang disebabkan karena rumitnya pengurusan IMB, perlu dilakukan kajian lebih lanjut mengingat secara formal, Pemkot Yogyakarta telah memiliki Peraturan Walikota Nomor 34 Tahun 2008 Tentang Penetapan Persyaratan Perijinan dan Waktu Pelayanan Perijinan. Perwal tersebut telah mengatur secara rinci tentang Persyaratan Perijinan yang diselenggarakan di Dinas Perizinan dan yang diselenggarakan Kecamatan, baik untuk bangunan lama maupun bangunan baru. Namun memang disadari bahwa persyaratan yang harus dipenuhi oleh pemohon memang acap kali sulit dipenuhi oleh warga, misalnya menyangkut status kepemilikan tanah yang berupa fotocopi sertifikat tanah atau surat bukti kepemilikan lain yang sah. Untuk tanah milik pemerintah/Negara dan hak guna bangunan, apabila masa berlakunya tinggal kurang dari 1 (satu) tahun, maka harus diperpanjang dulu. Untuk tanah milik kraton, margersari dan jagang, harus ada persetujuan dari penghageng wahono sarto kriyo (disertai gambar-gambar 19
JURNAL PENELITIAN VOL. 7 situasi yang dikeluarkan oleh Kraton). Untuk tanah yang bukan milik pemohon izin, harus ada kerelaan dari pemilik tanah. Di samping itu, dari hasil wawancara dengan warga, persyaratan tentang gambar arsitektur bangungan juga dianggap menyulitkan masyarakat. Alasan ketidaktaatan masyarakat terhadap aturan IMB disebabkan karena selama ini penerapan sanksinya kurang tegas, bahkan tidak tahu kalau pelanggaran IMB dapat dikenai sanksi, perlu dikaji lebih mendalam lagi mengingat faktor pengaturan sudah terpenuhi dalam Peraturan Wali Kota Yogyakarta Nomor 12 Tahun 2007 Tentang Mekanisme Penegakan Peraturan Daerah Tentang ijin Membangun Bangun Bangunan (IMBB). Penindakan terhadap pelanggaraan Pasal 2 ayat (1) Peraturan Daerah Nomor 5 Tahun 1988 langsung dilakukan oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS), PPNS terlebih dahulu melakukan pemanggilan dan proses penyidikan terhadap tersangka dengan berdasarkan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Mekanisme penegakan hukum bagi Orang, Badan/Lembaga yang terbukti tidak memiliki IMBB, melanggar ijin IMBB maupun kegiatan yang dilakukan terhadap ijin yang sudah tidak berlaku lagi atau Bangunan melanggar Ijin Membangun Bangun Bangunan (IMBB) dan melanggar tata ruang sudah diatur secara sangat terperinci pada Perwal ini maka bangunan dapat dibongkar oleh Pemerintah Daerah yang dilakukan oleh Dinas Kimpraswil. F. Penutup 1. Kesimpulan Untuk mendapatkan pola pembangunan kota yang terencana dan terkontrol tersebut, maka untuk pelaksanaan suatu pembangunan di atas wilayah suatu kota diwajibkan memiliki ijin mendirikan bangunan dan penggunaannya sesuai dengan yang disetujui oleh Dinas Perizinan. Penyelenggaraan penataan ruang harus didukung oleh pranata hukum (peraturan), pranata kelembagaan serta kualitas sumber daya manusia yang memadai, agar senantiasa mampu memberikan jaminan atas terlaksananya hak dan kewajiban masyarakat tanpa harus mengganggu kepentingan publik secara luas. Di samping itu Pemerintah kota telah memanfaatkan teknologi sebagai instrumen dalam penataan ruang khususnya mendatang agar proses pengambilan keputusan dapat terselenggara secara cepat, akurat, transparan, efisien dan akuntabel sesuai dengan prinsipprinsip utama good governance, a. Peraturan Daerah (Perda) Nomor 4 Tahun 1988 tentang Bangunan dan Perda Nomor 5 tahun 1988 tentang Ijin Membangun Bangun-Bangunan dan Ijin Penggunaan Bangun Bangunan, yang telah diperbaharui dengan Perda Nomor 24 tahun 2009 Tentang Bangunan Gedung dan Perda Nomor 25 Tahun 2009 tentang Retribusi Ijin Mendirikan Bangunan. Pada kedua peraturan daerah tersebut telah diatur secara terinci yang tertuang dalam materi muatan kedua perda tersebut. Sedangkan penegakan hukum terhadap IMB tertuang dalam Peraturan Walikota Nomor 12 Tahun 2007 Tentang Mekanisme Penegakan Peraturan Daerah Tentang Ijin Mendirikan Bangun Bangunan (IMBB). b. Perangkat peraturan yang sudah sangat rinci dimiliki oleh Pemerintah Kota Yogyakarta belum dipahami oleh warga masyarakat, bahkan sebagian besar dari warga belum pernah mengetahui adanya peraturan perijinan, sehingga warga belum mentaati aturan tentang ijin mendirikan bangunan baik Peraturan Daerah (Perda) Nomor 4 Tahun 1988 tentang Bangunan dan Perda Nomor 5 tahun 1988 tentang Ijin Membangun BangunBangunan terlebih lagi Ijin Penggunaan Bangun Bangunan, yang telah diperbaharui dengan Perda Nomor 24 tahun 2009 Tentang Bangunan Gedung dan Perda Nomor 25 Tahun 2009 tentang Retribusi Ijin Mendirikan Bangunan.
20
JURNAL PENELITIAN VOL. 7 c.
Faktor-faktor yang mempengaruhi ketidaktaatan warga terhadap ketentuan IMB, karena masyarakat tidak tahu bahwa pelanggaran terhadap IMB dapat dikenai sanksi, Hal ini juga disebabkan karena penerapan sanksi terhadap pelanggaran IMB masih sangat lemah.
2.
Rekomendasi Hasil penelitian ini dapat memberikan informasi yang mendalam tentang keadaan riil masyarakat untuk memiliki IMB/IMBB, mendapat gambaran yang utuh tentang hubungan antara kesadaran masyarakat tentang IMB/IMBB dengan peningkatan kualitas lingkungan hidup, khususnya dalam mengatasi genangan air/banjir kemudian mengadakan studi yang mendalam mengenai keefektivan penegakan IMB/IMBB dengan penegakan hukum. Hasil penelitian ini dapat direkomendasikan untuk membuat kebijakan Pemerintah Kota di bidang IMB/IMBB yang lebih tepat untuk masa mendatang, yang berupa : a. Perlu sosialisasi Perda IMB/IMBB. b. Memberi pemahaman dengan pendekatan persuasif akan perlunya IMB/IMBB dari sudut kepentingan warga untuk penataan lingkungan agar bersih dan tertata rapi. c. Melakukan pemetaan kepemilikan IMB/IMBB seluruh warga kota Yogyakarta. d. Memberdayakan Petugas PPNS untuk menegakkan Perda IMB/IMBB. Daftar Pustaka (Departemen Pekerjaan Umum, 2009 ) Hasil Penelitian Indonesia Most Liveable City Index, diakses tanggal 2 April 2010 dari Sumber: http://www.pu.go.id Fakih, Mansour, 1995, Refleksi Gerakan Lingkungan, Yogyakarta, Remdec, Insist Press dan Pustaka Pelajar, Gita Chandrika Napitupulu, 2005, Isu Strategis dan Tantangan Dalam Pembangunan Perkotaan (makalah) dalam Seminar Pembangunan Kota Indonesia Abad 21, Urban and Regional Development Institute (URDI) dan Yayasan Sugijanto Soegijoko, Jakarta: 2005 Kompas, 27 Maret 2010, Gedung Pemkot Banyak Belum Ber-IMB. Ton Dietz, 1998, Pengakuan Hak atas Sumber Daya Alam, Pengantar Dr. Mansour Faakih, Ridwan,HR, 2003, Hukum Administrasi Negara, (Cet.U), Yogyakarta, UII Press. Suparjo Sujadi dkk , 2009, Format Pembaharuan Pengaturan Tata Kota DKI Jakarta: Alternatif Untuk Harmonisasi Kepentingan Publik dan Kepentingan Privat, Hasil Penelitian, UI. Peraturan Perundang-Undangan 1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 2. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup 3. Undang –Undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang 4. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 Tentang Bangunan 5. PP No.69/1996 tentang Pelaksanaan Hak dan Kewajiban serta Bentuk dan Tatacara Peran Serta Masyarakat 6. Peraturan Daerah (Perda) Nomor 4 Tahun 1988 tentang Bangunan 7. Perda Nomor 5 tahun 1988 tentang Ijin Membangun Bangun-Bangunan 8. Perda Nomor 3 Tahun 2008 Tentang Urusan Pemerintahan Daerah. 9. Perda Nomor 24 tahun 2009 Tentang Bangunan Gedung Perda Nomor 25 tahun 2009 Tentang Retribusi Ijin Mendirikan Bangunan 10. Peraturan Walikota Yogyakarta Nomor 17 Tahun 2007 tentang RPJMD Kota Yogyakarta Tahun 2007-2011. 21
JURNAL PENELITIAN VOL. 7 11. Peraturan walikota Nomor 34 Tahun 2008 Tentang penetapan Persyaratan Perizinan dan Waktu Pelayanan Perizinan 12. Peraturan Wali Kota Yogyakarta Nomor 12 Tahun 2007 Tentang Mekanisme Penegakan Peraturan Daerah Tentang ijin Membangun Bangun Bangunan (IMBB)
22
JURNAL PENELITIAN VOL. 7 Analisis Penerapan Metode Ringkas, Rapi, Resik, Rawat dan Rajin (5R) di Dinas Perizinan Pemerintah Kota Yogyakarta ( Oleh : Eko Prianto, S.Pd.T, Ardi Mintono, S.Pd.T, Aji Panditatwa ) Abstract This research intent to know if service environment that don't safe, are not comfortable and insanitary will have disadvantage activity, know that component, material or document even that most dashes with the other document or not be set dainty will evoke waste of time in purpose and goods return, know that uncomfortableness can be evoked by unperformed daily procedure, know that care that doesn't be put across gets to evoke decreasing of environmental condition, know that its reducing operation visual will reduce environmental care wont, knowing the level of implementation of sort, set in order, shine, standardize and sustain (5R) at on Licensing Department in Yogyakarta city. Method that is utilized in this research is by use of questionnaire and document of photograph. Questionnaire was given unto by clerk that is at service part at on Licensing Department, and aught clerk at any given district which is chosen, which is clerk those are on a part of Public Service or directing to service society. Result that is gotten from this research is perception of commisioned clerk to service society that pointed out by radar map 5R that show service conditions on their observational object. Of Radar Map 5R show that condition of each component of 5R has improved continually. From analysis result takes by photograph, there are some things have to be fixed that implementation of 5R to creating public service at each object performed properly. Key word: 5R, Public service, Convenience A. PENDAHULUAN – Latar Belakang Aspek perilaku manusia merupakan aspek penting, yang perlu dipahami dengan benar, baik teori, model atau konsep perilaku secara umum yang akan membawa berhasil dan tidaknya suatu institusi. Kegiatan 5R (Ringkas, Rapi, Resik, Rawat dan Rajin) merupakan budaya tentang bagaimana seseorang memperlakukan tempat kerja secara benar. Bila tempat kerja tertata rapi, bersih dan tertib, maka kemudahan kegiatan kerja perorangan dapat diciptakan, dan dengan demikian dapat meningkatkan efisiensi, produktivitas, kualitas, dan keselamatan kerja dapat lebih mudah dicapai. Instansi yang tidak sehat menerapkan 5R dengan buruk, revolusi 5R adalah dari koreksi ke pencegahan, mengubah manajemen berdasarkan hasil dari manajemen berdasarkan sebab. B. TUJUAN DAN MANFAAT 1. Tujuan a. Mendeskripsikan lingkungan pelayanan yang berdampak pada aktivitas. b. Mendeskripsikan komponen, bahan, dokumen yang tidak sesuai dengan prinsip penataan akan menimbulkan pemborosan waktu dalam penggunaan dan pengembalian barang. c. Mendeskripsikan prosedur harian yang dilaksanakan. d. Mendeskripsikan model perawatan yang dilakukan. e. Mendeskripsikan pengendalian visual bagi kebiasaan perawatan lingkungan. 23
JURNAL PENELITIAN VOL. 7
2.
f. Mendeskripsikan keberhasilan penerapan Ringkas, Rapi, Resik, Rawat dan Rajin (5R) di Dinas Perizinan Pemerintah kota Yogyakarta. Manfaat a. Untuk penyusunan bahan kebijakan dan peraturan pengelolaan untuk kelancaran pelayanan di Perkantoran kawasan Balai Kota dalam rangka perbaikan berkelanjutan. b. Memberikan bahan pertimbangan model penerapan aktivitas Ringkas, Rapi, Resik, Rawat dan Rajin (5R) yang diterapkan di perkantoran kawasan Balai Kota Yogyakarta. c. Sebagai tolok ukur penerapan metode Ringkas, Rapi, Resik, Rawat dan Rajin (5R) di perkantoran kawasan Balai Kota Yogyakarta. d. Untuk menjaga mutu lingkungan dalam sebuah institusi dengan cara mengembangkan keterorganisirannya. e. Untuk implementasi 5R yang dapat membawa organisasi pelayanan kepada tingkat yang lebih tinggi, meningkatkan sense of belonging, meningkatkan kondisi lingkungan, pelaksanaan prosedur harian dan kebiasaan perawatan lingkungan.
C. TINJAUAN PUSTAKA Agar instansi dapat memenuhi kebutuhannya dengan baik, maka dibutuhkan suatu pengendalian mutu agar output yang dihasilkan tersebut tercapai sesuai target, bahkan akan lebih positif di mata masyarakat. Untuk menghasilkan sesuatu yang bermutu, maka diperlukan lingkungan fisik tempat kerja yang lebih aman, sehat dan nyaman. Dengan kata lain lingkungan tempat kerja tersebut bermutu. Lingkungan atau tempat kerja yang bermutu dapat mengurangi potensi terjadinya bencana, seperti adanya kesulitan dalam mencari dokumen penting, cedera karena tersandung dan sebagainya. Bencana tersebut bisa jadi diakibatkan oleh ketidakrapian dan ketidakterorganisiran barang–barang di tempat kerja. Salah satu metode untuk mencegah hal-hal tersebut adalah metode 5R.
Gambar 1. Metodologi Penerapan PDCA Prinsip 5 R
24
JURNAL PENELITIAN VOL. 7 Kegiatan 5R merupakan suatu bentuk upaya pengenalan pengorganisasian lingkungan tempat kerja dan kerumahtanggaan, baik dalam lingkup pabrik atau kantor. Target utama kegiatan ini menitikberatkan pada pembentukan sikap kerja yang baik. Alhasil, produktivitas kerja meningkat disertai perubahan mutu untuk jangka panjang. 5R kepanjangan dari ringkas, rapi, resik, rawat dan rajin merupakan terjemahan bahasa Jepang, yaitu seiri, seiton, seiso, seiketsu, dan shitsuke (5S). 5R merupakan budaya tentang bagaimana seseorang memperlakukan tempat kerjanya secara benar. Bila tempat kerja tertata rapi, bersih, tertib maka kemudahan bekerja perorangan dapat diciptakan. Efisiensi kerja bekaitan dengan penggunaan sumberdaya yang sehemat mungkin dalam menghasilkan barang dan jasa. Orang sering mengartikan penghematan sumberdaya secara sempit sebagai penghematan benda fisik saja. Orang juga mengaitkan pengertian ini dengan pemotongan biaya dalam arti hantam kromo secara negatif. Dalam kenyataan sumberdaya waktu yang lebih penting sering dilupakan. Sumberdaya waktu merupakan yang tidak dapat disimpan atau dipindahkan. Jadi waktu kerja harus dimanfaatkan sebaik mungkin dan pemborosannya dihapuskan. Pengertian pengelolaan sumberdaya waktu bukan hanya diartikan secara sempit seperti jam hadir yang tepat atau melarang penggunaan waktu kerja untuk kepentingan pribadi. Bila waktu kerja digunakan hanya untuk memperbaiki kesalahan atau mencari alat kerja/dokumen yang hilang/terselip/tercampur, maka pemborosan terjadi dan efisiensi pun menjadi rendah. Penerapan metode 5R diawali dengan mengorganisir yang berarti menjaga barang yang diperlukan serta memisahkan barang yang tidak diperlukan. Selanjutnya melaksanakan proses rapi, yaitu mengenai sebagaimana cepat kita meletakkan barang dan mendapatkannya kembali pada saat diperlukan dengan mudah. Proses berikutnya adalah setiap orang harus membiasakan melaksanakan kebersihan. Kegiatan seharihari yang berkaitan dengan ringkas, rapi dan resik harus distandarisasi. Langkah yang kelima adalah menerapkan kemampuan melakukan sesuatu sesuai dengan cara yang seharusnya, yaitu disiplin.
Gambar. 2. Bagan Kerangka Pemikiran 25
JURNAL PENELITIAN VOL. 7 5R adalah teknik untuk menjaga mutu lingkungan dalam sebuah institusi dengan cara mengembangkan keterorganisirannya. Teknik yang dimaksud ini melibatkan 5 langkah yang dikerjakan secara berurutan dan dapat dilakukan dimanapun selama 6 bulan sampai dengan 2 tahun atau sampai dengan penerapan secara menyeluruh. Walaupun penerapan telah sukses, institusi masih harus berfokus untuk melakukan peningkatan terus-menerus karena dengan jalan inilah mutu bisa dicapai. 1. Langkah–langkah penerapan Ringkas, Rapi, Resik, Rawat dan Rajin (5R) Pendekatan langkah-langkah penerapan Ringkas, Rapi, Resik, Rawat dan Rajin (5R) ini terdapat tiga langkah, yaitu persiapan, pembudayaan dan pencegahan. a. Langkah pertama dalam menerapkan metode Ringkas, Rapi, Resik, Rawat dan Rajin (5R) adalah persiapan dengan merekam keadaan sekarang. Hal ini akan sangat berguna sebagai perbandingan bilamana 5R dilaksanakan sepenuhnya. Posisi pengambilan foto yang sudah ditentukan dengan jelas akan memberikan hasil yang baik dalam mendapatkan foto sebelum dan sesudah dilaksanakan 5R. 1) Persiapan Proses Ringkas Proses ini dilakukan dengan membuang barang yang tidak diperlukan. Barang yang tidak diperlukan artinya barang tersebut tidak dibutuhkan untuk saat ini. 2) Persiapan Proses Rapi Proses ini dilakukan dengan membenahi tempat penyimpanan, hal pertama yang dibutuhkan adalah beberapa pekerjaan dengan memakai sapu dan lap untuk menghilangkan kotoran. 3) Persiapan Proses Resik Proses ini dilakukan dengan mengatur prosedur kebersihan harian. Tujuan dari resik adalah untuk menghilangkan semua debu dan kotoran dan menjaga tempat kerja selalu bersih. 4) Persiapan Proses Rawat Proses ini dilaksanakan dengan mempertahankan tempat kerja yang resik. Tempat kerja dapat selalu dijaga Resik dan Rapi bila setiap orang memiliki kemauan untuk berpartisipasi. Kunci dalam proses ini adalah dengan mengingat 3 prinsip, yaitu: a) Tidak ada barang yang tidak diperlukan b) Tidak berserakan c) Tidak kotor 5) Persiapan Proses Rajin Proses ini dilakukan dengan pengendalian visual di tempat kerja. Tempat kerja yang sehat merupakan tempat yang selalu terbuka bagi kritik yang membangun. Memberi dan menerima kritik yang membangun adalah suatu dasar dari langkah Rajin. Idealnya adalah menciptakan tempat kerja dimana masalah dapat langsung dikenali, sehingga tindakan perbaikan dapat diambil. b. Langkah kedua dalam menerapkan metode Ringkas, Rapi, Resik, Rawat dan Rajin (5R) adalah dengan melakukan pembudayaan 5R. 1) Pembudayaan Ringkas Proses ini dilakukan dengan mengendalikan tingkat persediaan barang. Apabila tingkat persediaan barang maksimum dan minimum telah ditetapkan, maka persediaan barang dapat dikendalikan dengan lebih tepat. 26
JURNAL PENELITIAN VOL. 7 2) Pembudayaan Rapi Proses ini bertujuan untuk memudahkan penggunaan dan pengembalian barang, sehingga dapat langsung mengetahui bila ada arsip yang tidak pada tempatnya. 3) Pembudayaan Resik Proses ini dilakukan dengan membudayakan kebersihan dan pemeriksaan. Pada umumnya tidak ada waktu untuk melakukan pemeriksaan secara terpisah dari Resik sehari-hari, sehingga kuncinya adalah menjadikan pemeriksaan sebagai bagian dari Resik sehari-hari. 4) Pembudayaan Rawat Proses ini merupakan kegiatan untuk mempertahankan tempat kerja yang Resik. Berbagai barang di tempat kerja bukanlah suatu beban, namun sebaliknya dengan berbagai barang tersebut dapat ditentukan standar untuk membuang barang yang tidak diperlukan. 5) Pembudayaan Rajin Proses ini bertujuan untuk mempertahankan Rawat di tempat kerja. Pada umumnya di antara pucuk pimpinan di setiap lembaga terdapat seseorang yang ketat dan baik dalam mempertahankan Rajin. c. Langkah ketiga dalam menerapkan metode Ringkas, Rapi, Resik, Rawat dan Rajin (5R) adalah dengan menerapkan 5R tingkat lanjut (5R Pencegahan). 1) Tingkat Lanjut Proses Ringkas Proses ini bertujuan untuk menghindarkan adanya barang yang tidak diperlukan. Melakukan Ringkas setelah barang yang tidak diperlukan muncul adalah penting, tetapi lebih baik untuk memastikan bahwa barang tersebut tidak muncul sama sekali. 2) Tingkat Lanjut Proses Rapi Proses ini bertujuan untuk menghindarkan ketidakrapian, sehingga apabila barang atau peralatan telah digunakan, maka dapat dikembalikan ke tempat semula dan mencoba merapikannya dengan baik. Rapi terdiri dari 3 hal, yaitu menemukan barang, mengambil dan mengembalikan. 3) Tingkat Lanjut Proses Resik Proses ini merupakan Resik pencegahan artinya membersihkan tanpa mengotori lagi. Membersihkan bila sesuatu menjadi kotor adalah hal yang penting, tetapi metode ini mengajarkan untuk menghindarkan munculnya kembali kotoran. 4) Tingkat Lanjut Proses Rawat Proses ini merupakan Rawat pencegahan yang bertujuan untuk mencegah penurunan kondisi lingkungan. Di sini kebersihan mencerminkan efisiensi sehingga terkesan sebagai lingkungan yang menyenangkan, teratur untuk tempat tinggal atau kerja. Kunci rawat pencegahan ini terletak pada nenerapan 3 R pencegahan menyeluruh, yaitu Ringkas pencegahan, Rapi pencegahan dan resik pencegahan. 5) Tingkat Lanjut Proses Rajin Proses ini bertujuan untuk mensistematisasikan pelatihan. Disiplin maksudnya adalah menerapkan kemampuan melakukan sesuatu sesuai dengan cara yang seharusnya. Kebiasaan yang buruk dapat dihilangkan dengan cara belajar mengenai hal yang harus dilakukan dan membiasakan mereka berlatih kebiasaan yang baik.
27
JURNAL PENELITIAN VOL. 7 2. Prinsip-prinsip Ringkas, Rapi, Resik, Rawat dan Rajin (5R) a. Ringkas Di dalam http://www.logisticology.com/index.php/knowledge/11-5rbudaya-kerja-jepang.html Ringkas merupakan prinsip dasar 5R yang pertama. Prinsip kerja ini merupakan prinsip kerja pemilahan barang. Sering kali kita jumpai suatu lingkungan kerja dengan kondisi barang yang tidak tertata rapi dan terkesan semrawut. Dalam fase pertama ini, kita harus memilah antara barang yang masih digunakan, dan yang tidak. Antara barang yang tidak layak pakai/reject dan yang siap pakai. Barang-barang tersebut harus dipilah sesuai dengan tempatnya masing-masing agar suasana kerja menjadi lebih ringkas. Beberapa hal yang menjadi pertimbangan dalam meringkas adalah sebagai berikut: 1) Frekuensi penggunaan barang (jarang, sering, selalu) 2) Fungsi kerja barang (rusak, perlu perbaikan, bagus) Dengan melakukan fase yang pertama ini, kita akan mendapatkan keuntungan antara lain: 1) Area kerja menjadi lebih luas dan banyak space yang bisa dimanfaatkan. 2) Mencegah dis-fungsional dari barang yang ada. 3) Mengurangi jumlah penggunaan media penyimpanan dan material handling tools. Misalnya barang yang tadinya letaknya berjauhan, karena sudah diringkas menjadi lebih dekat dan mengurangi jarak tempuh. b. Rapi Rapi merupakan fase kedua dalam prinsip 5R. Fase ini merupakan kelanjutan dari fase yang pertama. Setelah barang-barang diringkas, selanjutnya barang tersebut dirapikan sesuai dengan tempat penyimpanan dan juga standar penyimpanannya. Proses merapikan ini dapat dikerjakan sesuai dengan standar penyimpanannya. Proses merapikan ini dapat dikerjakan sesuai dengan metode penyimpanan yang dilakukan. Misal barang disimpan berdasarkan materialnya, maka barang-barang tersebut juga harus dirapikan sesuai dengan jenis materialnya. Manfaat yang diperoleh dari prinsip yang kedua ini adalah : 1) Mempermudah pencarian barang karena barang-barang sudah terletak pada tempatnya 2) Mempermudah stock counting karena barang-barang sudah dirapikan sesuai dengan standar penyimpanan 3) Kondisi kerja akan terlihat lebih rapi dan sedap dipandang mata. c. Resik Resik adalah R yang ketiga yang juga kelanjutan dari 2R sebelumnya. Sesuai dengan namanya, resik berarti membersihkan. Baik barang maupun lingkungan. Contoh keadaan yang disebut sebagai resik antara lain: 1) Tidak ada jaring laba-laba di ruangan kerja 2) Tidak ada coretan yang tidak perlu di pintu, hand pallet atau rak 3) Peralatan di kantor tidak berada dalam kondisi kotor, terutama akibat oli mesin atau debu. Keuntungan yang diperoleh melalui R yang ketiga ini adalah: 1) Lingkungan kerja menjadi lebih bersih 2) Meningkatkan mood untuk bekerja karena lingkungan lebih bersih 3) Kualitas barang akan lebih bagus karena tidak kotor 4) Meningkatkan image instansi di mata orang lain.
28
JURNAL PENELITIAN VOL. 7 d. Rawat Rawat adalah metode yang keempat dalam 5R. Rawat dimaksudkan agar masing-masing individu dapat menerapkan secara kontinyu ketiga prinsip sebelumnya. Pelaksanaan fase rawat ini akan membuat lingkungan selalu terjaga dalam kondisi 3R secara terus menerus. e. Rajin Prinsip yang terakhir adalah rajin. Fase ini lebih mengarah kepada membangun kesadaran masing-masing individu untuk secara konsisten menjalankan 4R sebelumnya. Diharapkan secara disiplin, masing-masing individu dapat menjalankan prinsip tersebut meskipun tidak diawasi. Beberapa hal yang menunjukkan bahawa seseorang sudah berada di level teratas dalam 5R ini adalah: 1) Membuang sampah pada tempatnya 2) Tidak meludah di sembarang tempat 3) Memungut sampah yang berceceran 4) Melaksanakan piket kebersihan tanpa dikomando 5) Merapikan barang tanpa harus ada perintah. 3. Pentingnya 5R dalam suatu lembaga Sasaran dari penerapan 5R itu sendiri adalah mewujudkan tempat kerja yang nyaman dan pekerjaan yang menyenangkan, melatih manusia pekerja yang mampu mandiri mengelola pekerjaannya, mewujudkan lembaga bercitra positif di mata masyarakat tercermin dari kondisi tempat kerja. Selain itu hal utama yang akan dicapai adalah timbulnya produktivitas bagi instansi itu sendiri. Selain itu juga sasaran penerapan 5R dapat mengeliminasi segala macam bentuk pemborosan, pemborosan itu sendiri adalah segala sesuatu yang tidak memberikan nilai tambah, berlebihan dari kebutuhan minimum, tidak membantu suatu proses, tidak menguntungkan secara materi. 5R akan memberikan dampak besar pada institusi seperti: a. Menciptakan tempat kerja terbaik dengan prinsip perbaikan berkesinambungan b. Peningkatan image instansi c. Peningkatan sense of belonging d. Efisiensi dan mengurangi waste e. Menggugah tanggung jawab setiap orang di tempat kerja. Penerapan 5R harus dilakukan secara sistematis karena pada intinya 5R bukanlah suatu standar tetapi lebih ke arah pembentukan budaya seluruh pegawai di kantor. Dalam pelaksanaan 5 R di kantor dan lapangan, menggunakan tahapan sikap kerja yang: a. DIPAKSA (Manusia pada dasarnya malas) b. TERPAKSA (Kendali dengan sistem) c. BISA ( Proses pembelajaran sampai tahu) d. BIASA (Sikap yang termotivasi) e. BUDAYA (Perilaku yang mengarah pada belief) D. METODOLOGI PENELITIAN 1. Desain Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kuantitatif. Penelitian ini berusaha mendeskripsikan informasi yang ada sesuai dengan variabel yang di teliti. Penelitian ini bukan untuk menguji hipotesis, tetapi untuk mendeskripsikan fenomena yang muncul di lapangan. Penelitian ini menggunakan pendekatan 29
JURNAL PENELITIAN VOL. 7
2.
3.
kuantitatif, karena gejala-gejala hasil pengamatan dikonversikan ke dalam angkaangka sehingga dapat digunakan teknik statistik untuk menganalisis hasilnya. Tempat dan Waktu Penelitian ini akan dilaksanakan di Kantor Pelayanan Kecamatan Se Kabupaten Kota. Pemilihan tempat ini karena berhubungan langsung dengan pelayanan masyarakat. Waktu penelitian ini dimulai dari pengajuan proposal hingga selesai laporan hasil penelitian. Penelitian ini dilaksanakan mulai bulan Mei sampai dengan Oktober 2010. Definisi Operasional Variabel Penelitian Dalam penelitian ini, terdapat 1 (satu) variabel penelitian. Variabel penelitian yang dimaksud adalah Metode 5R dengan sub variabelnya ada 5, yaitu: Ringkas, Rapi, Resik, Rawat dan Rajin. Berikut ini ditunjukkan peta radar 5R sebagai cara mengukur variabel dalam penelitian ini.
Gambar 4. Peta Radar 5R Parameter yang akan kita periksa adalah 5 subyek R adalah : 1. Ringkas (Seiri) = Pemilahan 2. Rapi (Seiton) = Penataan 3. Resik (Seiso) = Pembersihan 4. Rawat (Seiketsu) = Pemantapan 5. Rajin (Shitsuke) = Pembiasaan Setiap subyek mempunyai penilai dari angka 1 s/d 5. Tabel 1. Pengukuran Setiap Sub Variabel. Kategori Nilai/Poin Kalimat Positif SK 1 1 K 2 2 S 3 3 B 4 4 SB 5 5
30
JURNAL PENELITIAN VOL. 7 4.
5.
Metode Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah angket/kuesioner dan pengambilan dokumen dengan foto. Angket yang digunakan dalam penelitian ini adalah jenis angket tertutup dengan 5 pilihan jawaban. Angket tertutup adalah apabila peneliti dalam hal ini menyediakan beberapa alternatif jawaban yang cocok untuk pertanyaan yang akan dijawab. Instrumen Penelitian Instrumen penelitian ini disusun berdasarkan sub variabel yang terkandung dalam definisi operasional variabel penelitian. Instrumen untuk metode kuesioner adalah angket (menjabarkan indikator menjadi item pertanyaan dalam bentuk angket).
E. HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Data Hasil Penelitian
2.
Untuk komponen Ringkas, Dinas Kota memiliki nilai yang tertinggi dengan skor sebesar 3,93 yang menunjukkan bahwa Dinas Kota memiliki nilai ringkas dengan kategori hampir baik, dan nilai yang terendah dimiliki oleh kecamatan Kotagede dengan skor sebesar 3,12 dengan kategori sedang. Untuk komponen Rapi, Dinas Kota memiliki nilai yang tertinggi dengan skor sebesar 4,25 yang menunjukkan bahwa Dinas Kota memiliki nilai rapi dengan kategori Baik. Sedangkan nilai terendah dimiliki oleh kecamatan Kotagede dengan skor sebesar 3,22 dengan kategori sedang. Untuk komponen Resik, Dinas Kota memiliki nilai tertinggi dengan skor sebesar 4,12 yang menunjukkan bahwa Dinas Kota memiliki nilai resik dengan kategori Baik. Sedangkan nilai terendah dimiliki oleh kecamatan Kotagede dengan skor sebesar 3,22 dengan kategori sedang. Untuk komponen Rawat, Dinas Kota memiliki nilai tertinggi dengan skor sebesar 3,95 yang menunjukkan bahwa Dinas Kota memiliki nilai rawat dengan kategori hampir Baik. Sedangkan nilai terendah dimiliki oleh kecamatan Kotagede dengan skor sebesar 3,21 dengan kategori sedang. Untuk komponen Rajin, Dinas Kota memiliki nilai tertinggi dengan skor sebesar 4,30 yang menunjukkan bahwa Dinas Kota memiliki nilai resik dengan kategori Baik. Sedangkan nilai terendah dimiliki oleh kecamatan Jetis dengan skor sebesar 3,47 dengan kategori sedang. Analisis berdasarkan Peta Radar Peta radar sebagai alat yang digunakan untuk melihat kondisi masingmasing komponen dalam 5R dapat menunjukkan perbandingan antara lokasi satu dengan yang lain untuk menilai setiap komponen R nya. Peta Radar juga dapat 31
JURNAL PENELITIAN VOL. 7 digunakan untuk melihat komponen R yang tertinggi agar dapat dipertahankan, serta komponen yang terendah untuk dapat diperhatikan oleh pihak managemen agar mengalami peningkatan dengan koreksi point pada setiap komponen R yang kurang.
3.
Analisis Berdasarkan Hasil Observasi Yang Ditunjukkan Dalam Bentuk Foto Hasil observasi dengan menggunakan analisis foto dapat ditunjukkan dalam foto berikut ini :
Gambar 13. Foto Kondisi Bagian Pelayanan Kecamatan Dalam foto tersebut dapat kita lihat bahwa kondisi ruang kerja di dalam bagian pelayanan di kecamatan masih belum mendukung ketercapaian kecepatan pelayanan. Hal ini ditunjukkan dengan kondisi meja kerja yang belum tertata rapi, sehingga akan mengalami gangguan dalam penemuan dokumen. Rak yang belum diberi label atau dokumen yang belum diberi rak, menyingkirkan dokumen yang tidak diperlukan, tata ruang yang sempit sehingga mempersulit dalam akses kerjanya menjadi kendala dalam melaksanakan pelayanan kepada masyarakat.
32
JURNAL PENELITIAN VOL. 7
Gambar 14. Foto Kondisi Bagian Data Komputer Kondisi ruang kerja seperti pada gambar di atas tidak memberi kenyamanan dalam berkerja. Hal ini dipengaruhi oleh barang-barang atau dokumen yang tidak diberi tempat yang telah ditentukan, menyingkirkan barangbarang yang mengganggu, serta layout ruang kerja yang tidak mendukung kecepatan kerja. Layout ruang kerja di atas sebagai berikut :
1
3
2
4 8
5 6 7
Gambar 15. Bagan Layout Ruang Kerja Bagian Data Komputer Dari layout di atas dapat diketahui bahwa akses antara meja satu dengan yang lain tidak mendukung kondisi Ringkas, yaitu memperoleh akses yang mudah dan singkat. Dari gambar di atas apabila orang di meja 3 akan mengambil dokumen di meja 5, maka akses ke meja 5 menjadi panjang dan tidak singkat. Layout yang baik seharusnya :
33
JURNAL PENELITIAN VOL. 7
1
3
4
5 6
2
7 8 Gambar 16. Bagan Layout Perbaikan Ruang Kerja Bagian Data Komputer Peralatan-peralatan (seperti : printer, scanner, laminating) sebaiknya ditempatkan di lokasi dimana semua orang dapat mengakses dengan mudah. F. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI 1. Kesimpulan Dari penelitian yang telah dilakukan dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut : a. Hasil analisis data yang dilakukan dengan peta radar menunjukkan persepsi ketercapaian komponen-komponen 5R yang ada di Dinas Perizinan berada pada kondisi baik. b. Hasil analisis data yang dilakukan dengan peta radar menunjukkan persepsi ketercapaian komponen-komponen 5R yang ada di Bagian Pelayanan Publik di Kecamatan berada pada kondisi baik pada suatu komponen dan sedang pada beberapa komponen yang lain. c. Hasil analisis foto menunjukkan perlu adanya perbaikan kondisi tempat kerja di lokasi penelitian dengan tujuan untuk meningkatkan kualitas dan kenyamanan kerja serta pencegahan bahaya akibat kerja. Hal ini dapat dilakukan dengan cara memperbaiki layout ruangan sehingga proses pelayanan menjadi lebih efektif, menjaga ruangan tetap bersih dengan cara menyingkirkan barang-barang yang tidak diperlukan, membuat tempat dengan diberi label pada barang atau dokumen yang digunakan dalam bekerja karena komponen, bahan ataupun dokumen yang tercampur dengan dokumen yang lain atau tidak tertata rapi akan menimbulkan pemborosan waktu dalam penggunaan dan pengembalian barang, dan mendisiplinkan diri untuk tetap menjaga agar kondisi yang baik dan tertata rapi tersebut selalu terpelihara. 2. Rekomendasi Penelitian ini dapat dijadikan sebagai masukan bagi Pemerintah Kota Yogyakarta dalam menyusun kebijakan penerapan 5R untuk meningkatkan kinerja penataan di Dinas Perizinan Pemerintah Kota Yogyakarta melalui : a. Pemanfaatan hasil Radar 5R secara berkesinambungan. b. Pelatihan 5R kepada seluruh pegawai di Dinas Perizinan Pemerintah Kota Yogyakarta serta Bagian Pelayanan Publik yang ada di setiap Kecamatan. c. Dibentuk penanggungjawab pelaksana 5R di setiap area kerja. d. Pemberian penghargaan kepada unit terbaik yang menerapkan 5R. e. Pemberian papan untuk memotivasi pelaksanaan 5R. Instrumen yang digunakan di dalam penelitian ini dapat diterapkan tidak hanya di Dinas Perizinan, tetapi juga dapat diterapkan di instansi yang lain, sehingga penelitian ini juga dapat dilakukan untuk dinas atau instansi yang lain. 34
JURNAL PENELITIAN VOL. 7 DAFTAR PUSTAKA Agus Syukur. (2010). 5R, ISO 9001:2008 dan POKAYOKE Strategi Jitu manajemen Mutu Perusahaan. Yogyakarta : KATA BUKU. Astania Budianti. (2010). Increasing Office Effisiency. http://asiaresourcing.com/home/index2.php?option=com_content&do_pdf=1&id= 28. diakses tanggg\al 7 April 2010 Debasis Sarkar . (2006). 5S untuk Organisasi dan kantor. http://translate.google.co.id/translate?hl=id&sl=en&u=http://www.qualitycoach.ne t/shop/shopdisplayproducts.asp%3Fid%3D414%26&ei=JES8S8LGLtKrAfvgsDGBw&sa=X&oi=translate&ct=result&resnum=15&ved=0CDoQ7gEwDg &prev=/search%3Fq%3Doffice%2B5S%26hl%3Did%26client%3Dfirefoxa%26hs%3D9f6%26rls%3Dorg.mozilla:en-US:official. diakses tanggg\al 7 April 2010 Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar Dan Menengah. (2001). Buku Pedoman Manajemen Perawatan Preventif. Jakarta : Depdiknas. Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar Dan Menengah. (2001). Manajemen Perawatan Preventif Sarana Prasarana Pendidikan. Jakarta : Depdiknas. Hiroyuki Hirano. (1995). Penerapan 5S di Tempat Kerja. PQM Consultants. Jakarta. Iim Ibrohim. (2009). 7 Waste, Musuh yang Harus Anda Kenali. http://www.ibrosys.com/index.php?option=com_content&view=article&id=43:7waste-musuh-yang-harus-anda-kenali&catid=5:tool-manajemen &Itemid=15. Diakes tanggal 3 April 2010. Imai, Masaaki. (2001). Kaizen. Victoria Jaya Abadi. Jakarta. Indosdm. (2008). Pengetahuan Dasar Implementasi 5S. http://indosdm.com/pengetahuandasar-implementasi-5s-s1-%E2%80%93-ringkas-seiri. Diakses tanggal 3 April 2010. Muhaimin (2009). Aplikasi 5R. http://www.muhaimin.web.id/2009/08/20/aplikasi-5s5rseiri-seiton-seiso-seiketsu-shitsuke/. Diakses tanggal 7 april 2010 Muhamad Rosiawan. (2010). 5R: Standarisasi Jelang Sertifikasi ISO. http://ubaya.ac.id/ubaya/news_detail/436/5R--Standarisasi-JelangSertifikasi-ISO.html. di akses 7 Mei 2010 Ngudi Irianto. (2009). Pembudayaan 5R untuk Tingkatkan Daya Saing. httpdisnakertransduk.jatimprov.go.idberitaartikel36-umum91-pembudayaan-5runtuk-tingkatkan-daya-saing. Di akses tanggal 7 April 2010 Osada, Takashi. (2004). Sikap Kerja 5S. Victoria Jaya Abadi. Jakarta. Rika Rostika. (2008). Analisa Usulan Implementasi 5S (Seiri, Seiton, Seiso, Seiketsu, Shitsuke) di Bengkel Perbaikan pada PERUM DAMRI Kota Bandung. http://hdl.handle.net/10364/848. Diakses tanggal 17 Maret 2009. Sjafri Mangkuprawira dan Aida Vitayala Hubeis. (2007). Mengapa Harus Manajemen Profesional. http://ronawajah.wordpress.com/2007/05/14/ mengapa-harusmanajemen-profesional/. Di akses tanggal 3 April 2010. Sugiyono, (2007). Metode Penelitian Pendidikan (Pendekatan Kualitatif, Kuantitatif dan R & D). PT. Alfabeta. Bandung. Suharsimi Arikunto. (2006). Prosedur Penelitian Untuk Praktik. PT. Bumi Aksara. Jakarta. Tampubolon. (2004). Manajemen Operasional. Ghalia Indonesia. Jakarta. Tonny Warsono dkk. (2010). Aplikasi 5 R dan Tahap-Tahapnya. http://www.google.co.id/search?q=mengapa+5R+di+kantor%3F&ie=utf-8&oe=utf8&aq=t&rls=org.mozilla:en-US:official&client=firefox-a. di akses 7 Mei 2010 35
JURNAL PENELITIAN VOL. 7 Analisis Jaminan Pembiayaan Pasien Keluarga Miskin Rawat Inap Oleh UPT Jamkesda dan PT Askes di RSUD Kota dan Puskesmas Mergangsan di Kota Yogyakarta (Oleh : Nunuk Sri Purwati, S.Pd, S.Kep, M.Kes, Bondan Palesten, SKM, M.Kep, Sp.Kom, Waryono, S.IP, S.Kep, M.Kes ) A. PENDAHULUAN Indonesia masih banyak masyarakat miskin yang tidak mampu menjangkau pelayanan kesehatan terutama di rumah sakit. Sebagian besar masyarakat khususnya golongan ekonomi lemah dan kelompok rentan mengalami kesulitan dalam upaya memenuhi kebutuhan pelayanan kesehatan terutama kebutuhan pelayanan medis di rumah sakit. Sekali penduduk Indonesia harus dirawat di rumah sakit, mereka harus mengeluarkan biaya yang besarnya melebihi pendapatannya selama dua bulan (Thabrany, 2005). Penetapan jumlah dan nama masing-masing masyarakat miskin yang menjadi peserta dalam program ini ditetapkan oleh Pemerintah Kabupaten/Kota dan disahkan oleh Bupati/Walikota. Apabila jumlah masyarakat miskin di suatu daerah lebih banyak dari jumlah yang ditetapkan oleh Departemen Kesehatan, maka iuran bagi kelebihan jumlah masyarakat miskin tersebut dapat ditanggulangi Pemerintah Provinsi/Kabupaten/Kota. Apabila Pemerintah Provinsi/Kabupaten/Kota belum menyediakan biaya untuk membayar iuran bagi kelebihan jumlah masyarakat miskin, maka penyelenggaraan pelayanan kesehatan bagi masyarakat miskin tersebut diatur tersendiri oleh Pemerintah Daerah setempat (Depkes RI, 2005). Berpedoman pada Peraturan Walikota Yogyakarta No 203 Tahun 2005 tentang Unit Pelaksana Teknis Penyelenggara Jaminan Kesehatan Daerah. Peraturan Walikota Yogyakarta No 66 Tahun 2007 tentang penyelenggaraan Jaminan Kesehatan Daerah. Keputusan Walikota Yogyakarta No 227 Tahun 2007 yang diubah dengan Keputusan Walikota Yogyakarta No 470/KEP/2007 tentang perubahan Lampiran Keputusan Walikota Yogyakarta No 227 Tahun 2007 tentang Parameter Keluarga Miskin Kota Yogyakarta. Stratifikasi kemiskinan Fakir miskin/miskin sekali : 1.436 KK (4.052 Jiwa), Miskin : 13.334 KK (43.609 Jiwa), Hampir Miskin: 11.915 KK (42.157 Jiwa), Tidak Miskin Jumlah : 26.689 KK (89.818 Jiwa). Sesuai dengan jenis layanan medis yang ditentukan maka pembiayaan dilakukan dengan sharing antara keempat sumber pembiayaan antara lain Askeskin yang merupakan anggaran dari APBN, Jamkesos anggaran APBD Propinsi DIY, Jamkesda dengan anggaran APBD II Kota Yogyakarta. Di lapangan terdapat kendala, yaitu pembayaran klaim jaminan kadang tertunda karena ketersediaan uang di UPT JPKD kurang pada saat jumlah klaim banyak, pemahaman masyarakat mengenai syarat administrasi, resiko jika terjadi wabah/ kejadian luar biasa akan berkaitan langsung dengan alokasi anggaran karena diselenggarakan secara swakelola.
B. TINJAUAN PUSTAKA 1. Pembiayaan Pelayanan Kesehatan Sumber biaya pelayanan kesehatan antara satu negara dengan negara lainnya berbeda-beda. Secara umum sumber biaya pelayanan kesehatan ini dapat dibedakan atas dua macam: a) Seluruh sumber dari anggaran pemerintah. Pada sebuah negara yang sumber biaya pelayanan kesehatan seluruhnya dari anggaran pemerintah tidak ditemukan pelayanan kesehatan swasta. Pelayanan kesehatan diselenggarakan oleh pemerintah dan pelayanan kesehatan tersebut dilaksanakan secara cuma-cuma. b) Sebagian ditanggung oleh masyarakat. Sumber biaya juga berasal dari masyarakat. Masyarakat diajak berperan serta 36
JURNAL PENELITIAN VOL. 7 baik dalam menyelenggarakan upaya kesehatan maupun pada waktu memanfaatkan jasa pelayanan kesehatan. Keikutsertaan masyarakat dalam menyelenggarakan pelayanan kesehatan akan menyebabkan ditemukannya pelayanan kesehatan swasta, sehingga pelayanan kesehatan tidak cuma-cuma. Masyarakat diharuskan membayar pelayanan kesehatan yang dimanfaatkan (Azwar, 2005). Perbedaan pengertian biaya pelayanan kesehatan di atas menunjukkan bahwa besarnya biaya yang dihitung sebagai biaya pelayanan kesehatan tidak sama antara penyelenggara pelayanan kesehatan dan pemakai jasa pelayanan kesehatan. Besarnya dana bagi penyelenggara pelayanan kesehatan lebih menunjukkan pada seluruh biaya investasi, biaya operasional serta biaya rencana pengembangan. Bagi pemakai pelayanan kesehatan lebih menunjuk pada jumlah uang yang harus dikeluarkan oleh orang per orang (out of pocket) untuk dapat memanfaatkan pelayanan kesehatan. 2.
Sistem Pembiayaan Pelayanan Kesehatan Pengembangan arah sistem pembiayaan kesehatan khususnya asuransi kesehatan di Indonesia harus memperhatikan beberapa unsur penting seperti efisiensi, kualitas, keterjangkauan (affordability), keterlanjutan (sustainability), subsidi silang, keadilan yang merata (equity), portabilitas dan desentralisasi. Unsur portabilitas berarti jika penyelenggaraan asuransi kesehatan dilakukan oleh lebih dari satu badan penyelenggara, peserta yang pindah kota tidak boleh kehilangan jaminannya (Mukti, 2000). Sistem pembiayaan di Rumah Sakit dengan menggunakan sistem imbalan jasa yang dikenal dengan sistem fee for service akan menelan biaya yang lebih besar jika dibandingkan dengan sistem capitation. Sistem fee for service merupakan imbalan jasa yang sesuai dengan frekwensi kunjungan, sedangkan sistem capitation merupakan suatu sistem pemberian imbalan jasa yang tidak tergantung pada frekwensi kunjungan, tetapi berdasarkan jumlah tetap yang tergantung dari jumlah jiwa yang ditanggung (Sulastomo, 2003). Pada sistem pembayaran fee for service reimbursement tidak terdapat insentif bagi para pemberi pelayanan kesehatan untuk melaksanakan efisiensi. Apabila biaya pelayanan kesehatan ditanggung oleh pihak ketiga maka terjadinya moral hazard akan lebih terbuka lebar sehingga memberi dampak kenaikan biaya pelayanan kesehatan yang drastis (Sulastomo, 2005). Managed care (Managed Health Care) adalah sistem yang mengintegrasikan antara pembiayaan dan pelayanan kesehatan yang tepat dengan ciri-ciri sebagai berikut: kontrak dengan dokter atau rumah sakit terpilih untuk memberikan pelayanan komprehensif termasuk promosi dan prevensi kepada populasi peserta, pembayaran pada provider dengan sistem pembayaran prospektif, pembayaran premi per orang per bulan telah ditentukan sebelumnya dan biasanya berdasarkan kapitasi. Adanya kendali utilisasi dan mutu dimana dokter atau rumah sakit telah menerima kendali tersebut dalam kontrak, adanya insentif finansial yang ditunjuk dan adanya resiko finansial bagi dokter maupun rumah sakit (Mukti, 2006). 3.
Model Pembiayaan Pelayanan Kesehatan Dasar-dasar konsep HMO secara klasik adalah: A. Prepaid Capitation Payment. Suatu sistem pembiayaan yang dilaksanakan dimuka (prepaid) berdasarkan capita atau jiwa yang diikutsertakan. Hal ini berbeda dengan sistem yang dikenal dewasa ini, yaitu fee for service, dimana pembiayaan kesehatan diberikan berdasarkan penggunaan jasa atas fasilitas, baru kemudian dilakukan pembayaran jasa tersebut. Pada capitation apabila biaya pelayanan kesehatan melebihi nilai uang yang dibayarkan, maka kelebihan biaya itu menjadi resiko pemberi pelayanan kesehatan. Sebaliknya apabila biaya pelayanan kesehatan lebih kecil dari 37
JURNAL PENELITIAN VOL. 7 biaya yang ditentukan, pemberi pelayanan kesehatan berhak menerima kelebihan itu sebagai insentif (financial incentive). B. Grup Praktek. Adanya dokter-dokter yang bekerja sebagai satu kelompok (grup praktek) yang terorganisasi merupakan ciri yang kedua dari konsep HMO. Kelompok dokter ini terdiri dari dokter-dokter umum dan spesialis yang melayani pasien baik pada pengobatan berjalan maupun pada rawat inap. Pada hubungan dengan rumah sakit tempat dokter-dokter itu bekerja, grup dokter tersebut merupakan medical-staff dari suatu rumah sakit. Grup dokter dengan capitation system ternyata akan lebih efisien dibanding dengan grup dokter dengan fee for service basis. Hal ini disebabkan oleh grup dokter dengan capitation basis akan mendorong kelompok dokter itu lebih solid. Ketergantungan antar dokter lebih kuat oleh karena image grup harus lebih ditonjolkan. Profesionalisme juga dapat lebih dikembangkan dan kualitas medis pelayanan juga akan semakin meningkat. Adanya dorongan untuk meningkatkan frekwensi konsultasi pemeriksaan, penggunaan teknologi canggih lainnya yang dibatasi sesuai dengan kebutuhan medis dapat menyebabkan pembiayaan pelayanan kesehatan akan dapat lebih ditekan. Hal tersebut berbeda dengan grup praktek fee for service, dimana dorongan untuk penggunaan fasilitas dan konsultasi kesehatan justru lebih meningkat. C. Penyelenggaraan dua pihak / Bipartite System. Hal ini berbeda dengan tripartit system sebagaimana dikenal dalam asuransi kesehatan yang konvensional, yaitu antara konsumen, health provider pemberi pelayanan kesehatan (PPK) dan Badan Asuransi Kesehatan yang membayar pelayanan kesehatan tersebut. Segi-segi positif dari penyelenggaraan konsep dua pihak ini adalah sarana fasilitas pelayanan kesehatan yang merupakan milik atau bagian dari Badan Pengumpul Dana akan didorong untuk lebih efisien (Sulastomo, 2005) . 4. Jaminan Kesehatan Keluarga Miskin Jaminan pemeliharaan kesehatan keluarga miskin merupakan kebijakan pelayanan kesehatan yang berpihak kepada keluarga miskin. Kebijakan tersebut dilaksanakan melalui: 1) meringankan dan atau membebaskan biaya berobat penduduk miskin, 2) mengutamakan penanggulangan penyakit penduduk miskin, 3) meningkatkan akses dan mutu pelayanan kesehatan penduduk miskin, 4) meningkatkan pelayanan kesehatan masyarakat yang bersifat non personal, 5) realokasi berbagai sumber daya untuk diutamakan ke daerah dan penduduk miskin, 6) meningkatkan partisipasi dan konsultasi dengan penduduk miskin. Pada dasarnya fungsi sosial dari rumah sakit adalah memberikan pelayanan kesehatan baik kuratif maupun preventif kepada masyarakat. Rumah Sakit juga sebagai pusat pelatihan bagi tenaga kesehatan dan pusat penelitian bio-sosial, dengan demikian terjadi pergeseran dari konsep konvensional mengenai rumah sakit yang hanya berfungsi sebagai tempat pelayanan rawat inap menjadi konsep rumah sakit sebagai bagian dari sistem kedokteran preventif dan kuratif yang komprehensif. ( Trisnantoro, 2005) 5.
Pembiayaan Kesehatan Bagi Keluarga Miskin (Gakin) Masalah yang dihadapi adalah belum adanya standar pelayanan medis yang baku dan dapat diacu oleh rumah sakit, khususnya dalam standar terapi dan jasa medis. Akibatnya tarif PPE yang berbasis service cost sangat bervariasi dan dengan adanya penggunaan dana yang tidak efisien. Kondisi ini semakin parah dengan adanya fakta di beberapa daerah dana ini tidak mencukupi sehingga mengganggu pelayanan kesehatan Gakin di rumah sakit (Trisnantoro dan Harbianto, 2005). Masyarakat miskin yang menjadi peserta mendapatkan fasilitas pelayanan rawat inap di kelas III. Obat generik yang tersedia dan obat lain yang esensial atau dibutuhkan sesuai kebutuhan medis (tercantum dalam formularium RS) (UPT. Jamkesda, 2007). Mekanisme pembayaran pada program Jamkesda secara fee for service reimbursement 38
JURNAL PENELITIAN VOL. 7 dimana pembayaran biaya pelayanan kesehatan sesuai dengan tindakan atau pelayanan yang telah diberikan. Sistem pembayaran pelayanan kesehatan program Jamkesos disebut sebagai retrospektive payment system, yaitu pembayaran yang dilakukan setelah pelayanan kesehatan diberikan. Mekanisme pembayaran biaya pelayanan kesehatan bagi pasien Gakin pada PT. Askes menggunakan tarif paket (package tarif), pembayaran berdasarkan suatu kelompok tindakan/pelayanan kesehatan. Sistem pembayaran biaya pelayanan kesehatan PT. Askes secara prospective payment system, pembayaran ditetapkan dimuka meskipun cara pembayarannya masih dengan cara klaim. Menurut Trisnantoro (2005) sistem pembayaran yang diberikan setelah pelayanan berlangsung, jika pelayanan kesehatan ditanggung oleh pihak ketiga akan mempermudah terjadinya moral hazard, sehingga memberikan dampak kenaikan biaya pelayanan kesehatan. Jenis pelayanan kesehatan rawat inap tingkat lanjutan (RITL) dibedakan menjadi dua ruangan perawatan: a. RITL di ruang perawatan biasa, Pada RITL di ruang perawatan biasa, pemberian pelayanan kesehatan di rawat inap kelas III. Jenis pelayanan yang diberikan terdiri dari a) pelayanan paket rawat inap meliputi: pemeriksaan dan konsultasi oleh dokter spesialis, perawatan dan akomodasi di ruang perawatan, pemeriksaan dan pengobatan oleh dokter spesialis, paket pemeriksaan laboratorium, obat standar dan bahan/alat kesehatan habis pakai selama perawatan, b) penunjang diagnostik meliputi pemeriksaan radiodiagnostik, pemeriksaan elektromedik dan penunjang diagnostik luar paket, c) tindakan medis meliputi paket tindakan medis, tindakan medis operatif dan tindakan medis non operatif, d) pelayanan obat sesuai dengan daftar dan plafon harga obat (DPHO). b.
RITL di ruang perawatan khusus. Pada RITL di ruang perawatan khusus pemberian pelayanan kesehatan di ruang intencive care unit (ICU)/ neonatal intencive care unit (NICU)/PICU, intencive cardiac care unit (ICCU), ruang intermediatri (HCU) atau ruang perawatan khusus lain yang setara di rumah sakit. Jenis pelayanan yang diberikan terdiri dari: a) paket rawat inap di ICU/NICU/PICU, ICCU dan HCU yang meliputi pemeriksaan dan pengobatan oleh dokter termasuk visite dokter atau tim dokter yang merawat dan atau konsultasi spesialis lain, perawatan dan akomodasi di ruang ICU/NICU/PICU, ICCU dan HCU, paket pemeriksaan laboratorium, obat standar dan bahan/alat kesehatan habis pakai selama perawatan, pemakaian peralatan yang tersedia di ruang ICU/NICU/PICU, ICCU dan HCU (oksigen, alat monitoring jantung dan paru), b) penunjang diagnostik yang meliputi pemeriksaan radiodiagnostik, pemeriksaan elektromedik dan penunjang diagnostik luar paket, c) tindakan medis yang meliputi paket tindakan medis, tindakan medis operatif dan tindakan medis non-operatif, d) pelayanan obat sesuai dengan Daftar dan Plafon Harga Obat (DPHO) (Depkes RI, 2005). 6.
Pembiayaan Obat Pasien Gakin Obat adalah komoditas khusus yang berperan penting untuk kesehatan dan keselamatan manusia, contohnya pada subpopulasi tertentu kelangsungan hidupnya tergantung pada obat. Keberadaan obat sangat dipengaruhi oleh tiga komponen, yaitu sosial, ekonomi dan tehnologi. Ketiga hal tersebut saling berkaitan sehingga mendorong kebijakan obat untuk menitik beratkan pada ketersediaan, ketergantungan, safety, quality dan eficacy. Biaya obat masih merupakan komponen terbesar dalam struktur pembiayaan pelayanan kesehatan di Indonesia. Lebih dari setengah pendapatan rumah sakit berasal dari 39
JURNAL PENELITIAN VOL. 7 pendapatan instalasi farmasi, sehingga turunnya pendapatan instalasi farmasi akibat penggunaan obat generik akan mempengaruhi keuntungan rumah sakit. Ketidakberhasilan kebijakan substitusi generik di sektor swasta disebabkan tidak seimbangnya insentif dan disinsentif yang diperoleh dari substitusi generik tersebut (Widi dkk, 2006). 7.
Landasan Teori Mekanisme pembayaran biaya pelayanan kesehatan kepada UPT Jamkesda secara fee for service reimbursement dimana pembayaran biaya pelayanan sesuai dengan tindakan atau pelayanan yang telah diberikan. Sistem pembayaran biaya pelayanan kesehatan kepada UPT Jamkesda disebut sebagai retrospective payment system, yaitu pembayaran dilakukan setelah pelayanan kesehatan diberikan. Secara garis besar mekanisme pembayaran kepada provider/dokter dibedakan menjadi dua, yaitu Retrospective Payment System (RPS) dan Prospective Payment System (PPS). Bentuk pembayaran RPS yang selama ini dikenal adalah fee for service reimbursement system. Sistem pembayaran yang diberikan setelah pelayanan berlangsung, jika pelayanan kesehatan ditanggung oleh pihak ketiga akan mempermudah terjadinya moral hazard, sehingga memberikan dampak kenaikan biaya pelayanan kesehatan (Hendrartini, 2002). Bentuk-bentuk pembayaran yang ditetapkan dimuka terdiri dari DRG’s (Diagnostic Related Group), tarif paket harian rumah sakit (perdiem package tariff), budget tariff rumah sakit dan capitation system (Hendrartini, 2002) 8.
Hipotesis Penelitian Hipotesis penelitian yang didapatkan adalah Efektifitas jaminan biaya pelayanan kesehatan bagi keluarga miskin Rawat Inap di RSUD dan Puskesmas Mergangsan di Kota Yogyakarta, oleh UPT Jamkesda lebih besar daripada yang dijamin oleh PT. Askes (Jamkesmas).
C. METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Penelitian ini menggambarkan adanya perbedaan pembayaran biaya pelayanan kesehatan pasien gakin yang dijamin oleh UPT Jamkesda dan PT. Askes. Jenis penelitian yang digunakan adalah non eksperimental yang bersifat deskriptif dan data disajikan secara kuantitatif. B. Alat Penelitian Alat penelitian yang digunakan pada penelitian ini adalah data sekunder yang berupa data kunjungan pasien gakin di instalasi rawat inap, billing biaya perawatan dan biaya obat pasien gakin pada UPT Jamkesda dan PT. Askes di RSUD Kota Yogyakarta dan Puskesmas Mergangsan Kota Yogyakarta.
40
JURNAL PENELITIAN VOL. 7 C. Jenis Variabel Penelitian dan Definisi Operasional Jenis Variabel Terikat a. Biaya perawatan
b. Biaya obat
c. Besar klaim d. Besar selisih biaya Bebas Mekanisme pembayaran
Definisi Operasional
Pengukuran
Besar biaya yang dikeluarkan untuk perawatan kesehatan pasien gakin per-kasus dirawat inap RSUD Kota dan Rawat Inap Puskesmas di Kota Yogyakarta yang dijamin oleh UPT Jamkesda dan PT. Askes Besar biaya yang dikeluarkan dalam pembelian obat pasien gakin dirawat inap yang dijamin oleh UPT Jamkesda dan PT. Askes Besar biaya yang ditanggung oleh asuransi untuk biaya pelayanan kesehatan pasien gakin Besar selisih biaya antara biaya yang dikeluarkan dan biaya yang dijamin oleh asuransi Mekanisme pembayaran yang digunakan oleh UPT Jamkesda dan PT. Askes, yang terdiri dari retrospective payment system dan prospective payment system
Skala ratio
Skala ratio
Skala ratio Skala ratio Skala nominal
D. Analisis Data Data kuantitatif yang diperoleh dan dilakukan analisis secara deskriptif dimana peneliti membandingkan antara dua kelompok data untuk mencari perbedaan. Menurut Sugiyono (2005), analisis deskriptif berfungsi untuk mendeskripsikan atau memberi gambaran terhadap perbandingan pembiayaan pasien gakin oleh UPT Jamkesda dan PT. Askes di RSUD Kota Yogyakarta dan Rawat Inap Puskesmas Mergangsan Kota Yogyakarta .
D. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 1.
Perbandingan Jumlah Pasien dan Lama Hari Rawat
Tabel 3.Perbandingan Jumlah Pasien Gakin Kasus Bedah dan Non Bedah Rawat Inap, dan Rerata per Bulan pada UPT Jamkesda dan PT. Askes di RSUD Kota Yogyakarta Jumlah Pasien UPT Jamkesda % PT. Askes % Jenis Kasus Pelayanan (Pasien) (Pasien) Bedah 21 47,73 21 29,58 Rerata per Bulan 7 7 Non Bedah 23 52,27 50 70,42 Rerata per Bulan 7,67 16,67 Jumlah 44 100,00 71 100,00 Rerata per Bulan 14,67 23,67
Total (Pasien) 42 73
Lama hari rawat merupakan banyaknya hari pasien dirawat di rumah sakit yang dihitung mulai hari pertama pasien menginap di rumah sakit sampai pasien pulang. Besar lama hari rawat dapat diketahui dengan melihat besar Length Of Stay yang terdapat pada billing rawat inap di rumah sakit. 41
JURNAL PENELITIAN VOL. 7 Tabel 4. Perbandingan Lama Hari Rawat dan Rerata LOS per Pasien pada Pelayanan Rawat Inap Gakin pada UPT Jamkesda dan PT. Askes di RSUD Kota Yogyakarta Lama Hari Perawatan Jenis Kasus Pelayanan UPT Jamkesda % PT. Askes (Hari) (Hari) Bedah Rerata LOS per Pasien Non Bedah
116 5,52 135
Rerata LOS per Pasien
5,87
Jumlah
251
Rerata LOS per Pasien
5,7
46,22
100 4,76 309
53,78
% 24,45 75,55
5,52 100,00
409
100,00
5,31
Perbandingan lama hari rawat menunjukkan bahwa jumlah lama hari rawat pasien gakin yang dijamin oleh UPT Jamkesda sebesar 251 hari dan rerata per pasien sebesar 5,7 hari. Pasien gakin yang jamin oleh PT. Askes jumlah lama hari rawat sebesar 409 hari dan rerata per pasien sebesar 5,31 hari. Pada perbandingan tersebut dapat diketahui bahwa jumlah rerata lama hari rawat setiap pasien gakin yang dijamin oleh UPT Jamkesda tidak jauh berbeda dengan jumlah rerata lama hari rawat pasien gakin yang dijamin oleh PT. Askes..
2. a.
Perbandingan Rerata dan Komponen Biaya Pelayanan Rawat Inap Pasien Gakin Kasus Bedah Tabel 5. Perbandingan Rerata Biaya Rawat Inap Gakin Kasus Bedah Berdasarkan Komponen Biaya pada UPT Jamkesda dan PT. Askes di RSUD Kota Yogyakarta UPT Jamkesda n = 21 Rerata Biaya % (Rp.)
Komponen Biaya Administrasi Akomodasi Obat & BHP Penunjang Medik Jasa Pelayanan Lain-lain Jumlah
4.000 37.964 1.163.575 6.500 879.686 -
0,19 1,82 55,63 0,31 42,05 2.091.725 100,00
PT. Askes n = 21 Rerata Biaya % (Rp.) 4.190 0,25 34.364 2,08 701.577 42,37 42.816 2,59 869.431 52,50 3.519 0,21 1.655.897 100,00
Perbandingan rerata biaya rawat inap pada kasus bedah dapat diketahui pada tabel 5. Biaya obat dan bahan habis pakai mempunyai jumlah rerata biaya tertinggi pada saat dijamin oleh UPT Jamkesda, sedangkan pada saat dijamin oleh PT. Askes rerata tertinggi adalah biaya jasa pelayanan.
42
JURNAL PENELITIAN VOL. 7 b.
Kasus Non Bedah Tabel 6. Perbandingan Rerata Biaya Berdasarkan Komponen Biaya Kasus Non Bedah pada UPT Jamkesda dan PT. Askes di RSUD Kota Yogyakarta Komponen Biaya Administrasi Akomodasi Obat & BHP Penunjang Medik Jasa Pelayanan Lain-lain Jumlah
UPT Jamkesda n = 23 Rerata Biaya % (Rp.) 4.000 0,36 38.592 3,47 645.702 58,08 34.500 3,10 389.006 34,99 1.111.800 100,00
PT. Askes n = 50 Rerata Biaya % (Rp.) 4.327 0,32 68.400 5,10 721.019 53,76 149.621 11,16 392.570 29,27 5.150 0,39 1.341.087 100,00
Jumlah rerata biaya pasien gakin ketika dijamin oleh UPT Jamkesda lebih besar daripada rerata biaya pasien gakin ketika dijamin oleh PT. Askes. Jumlah rerata biaya tertinggi kasus non bedah ketika dijamin oleh UPT Jamkesda terletak pada komponen biaya obat dan bahan habis pakai. Pada pasien gakin ketika dijamin oleh PT. Askes jumlah rerata biaya tertinggi terletak pada komponen biaya obat dan bahan habis pakai. Tabel 7. Perbandingan Selisih Rerata Biaya Rawat Inap Pasien Gakin Berdasarkan Komponen Biaya pada Kasus Bedah dan Non Bedah di RSUD Kota Yogyakarta Selisih Biaya antara UPT Jamkesda dan PT. Askes Bedah Non Bedah Komponen Biaya Rp. % Rp. % Administrasi (190) 4,75 (327) 8,18 Akomodasi 3.600 9,48 (29.808) 77,24 Obat & BHP 461.998 39,70 (75.317) 11,66 Penunjang Medik (36.316) 558,71 (115.121) 333,68 Jasa Pelayanan 10.255 1,17 (3.564) 0,92 Lain-lain (3.519) (5.150) Jumlah 435.828 20,84 (229.287) 20,62 Perbandingan besar rerata selisih biaya kasus bedah pada saat dijamin oleh UPT Jamkesda dan PT. Askes, menunjukkan bahwa besar biaya kasus bedah pada saat dijamin oleh UPT Jamkesda lebih besar daripada pada saat dijamin oleh PT. Askes.
43
JURNAL PENELITIAN VOL. 7 3.
Perbandingan Rerata Biaya Rawat Inap Pasien Gakin pada Kasus Bedah dan Non Bedah a. Kasus Bedah Tabel 8. Perbandingan Rerata Biaya Rawat Inap Pasien Gakin per Diagnosa pada Kasus Bedah di RSUD Kota Yogyakarta
Mean (Rp.)
Max (Rp.)
UPT Jamkesda Min Total biaya (Rp.) (Rp.)
1.906.489 2.663.825
828.900
N
Diagnosa
N
Total biaya (Rp.)
PT. Askes Min (Rp.) 609.986
Max (Rp.)
Mean (Rp.)
2.443.609
1.533.984
20.971.375
11
Appendiktomi
6
9.203.905
2.272.108 2.946.900 1.975.525 13.632.650
5
6
10.567.677 1.100.999
2.869.726
1.761.280
2.764.263 3.457.700 2.070.825
5.528.525
2
SC Hiperplasia of Prostat
1
3.267.939
3.267.939
3.267.939
3.267.939
1.332.350 1.332.350 1.332.350
1.332.350
1
Katarak
5
6.658.520
1.238.570
1.463.701
1.331.704
2.275.525 2.322.425 2.230.625
2.230.625
2
Myoma Uteri
3
6.406.606
1.800.058
2.480.365
2.135.535
b. Kasus Non Bedah Tabel 9. Perbandingan Rerata Biaya Rawat Inap Pasien Gakin per Diagnosa pada Kasus Non Bedah di RSUD Kota Yogyakarta
Mean (Rp.)
UPT Jamkesda Max Min (Rp.) (Rp.)
855.575
1.086.700
390.150
Decompensasi 3.422.300 4 Cordis
2
2.630.157 763.628
1.105.300
1.214.800
995.800
2.210.600 2 Dyspepsia
4
8.099.668 760.170
3.743.874 2.024.917
1.021.365
1.463.330
579.400
2.042.730 2 Dyspnue
17 25.972.235 322.990
6.008.134 1.527.779
269.367
381.225
201.650
9
7.195.880 225.113
2.348.837
799.542
1.654.093
2.645.625
662.560
3.308.185 2 Hypertensi
5
3.644.304 412.858
1.073.398
728.861
1.848.217
1.994.418 1.702.015
3.696.433 2 Hyperglikemi
3
5.999.866 818.109
3.325.450 1.999.955
1.728.550
1.977.300 1.376.825
5.185.650 3 Stroke
3
4.240.202 934.870
2.302.864 1.413.401
1.042.550
4.262.300 5 Typhoid
7
9.277.466 186.218
1.977.141 1.325.352
852.460
4.
718.025
Total biaya (Rp.)
N
Diagnosa
808.100 3 GEA
N Total biaya (Rp.)
PT. Askes Min Max (Rp.) (Rp.) 1.866.529
Mean (Rp.) 1.315.079
Perbandingan Besaran Klaim yang Dijamin Oleh UPT Jamkesda dan PT. Askes Besar klaim biaya rawat inap pasien gakin yang dijamin oleh UPT Jamkesda dibayarkan secara fee for service reimbursement berdasarkan pada tarif rumah sakit yang telah ditetapkan. Biaya rawat inap pasien gakin yang dijamin oleh PT. Askes besar klaim dibayarkan sesuai dengan tarif paket yang telah ditentukan oleh PT. Askes dan disetujui oleh rumah sakit. Pada biaya rawat inap ketika dijamin oleh UPT Jamkesda terdapat selisih biaya antara biaya yang sesuai tarif rumah sakit dan biaya yang dijamin oleh UPT Jamkesda, demikian juga dengan biaya rawat inap yang dijamin oleh PT. Askes.
44
JURNAL PENELITIAN VOL. 7 Tabel 10. Perbandingan Besaran Klaim dan Selisih Biaya Perawatan Berdasarkan Kasus pada UPT Jamkesda dan PT. Askes di RSUD Kota Yogyakarta Kasus Total Biaya Bedah Besar Klaim Ditanggung RS Selisih Tarif RS & Asuransi Total Biaya Non Bedah Besar Klaim Ditanggung RS Selisih Tarif RS & Asuransi
UPT Jamkesda (Rp.) 46.017.950 27.366.201 0 18.651.749 24.936.298 16.464.254 0 8.472.044
% 100,00 59,47 0 40,53 100,00 66,03 0 33,97
PT. Askes (Rp.) 36.104.647 39.416.837 0 3.312.190 67.059.778 58.407.619 8.652.159 8.652.159
% 100,00 109,18 0 9,17 100,00 87,10 12,90 12,90
Pada tabel 10. dapat diketahui bahwa perbandingan besaran klaim untuk kasus bedah antara yang dijamin oleh UPT Jamkesda dan PT. Askes besarnya lebih besar PT. Askes. E. PEMBAHASAN DAN HASIL PENELITIAN 1.
Analisis Besar Rerata Biaya Kasus Bedah dan Kasus Non Bedah Rawat Inap pada saat dikelola oleh UPT Jamkesda dan PT. Askes Perbandingan besar rerata biaya pada kasus bedah sebanding dengan perbedaan besar rerata lama hari rawat pasien gakin ketika dijamin oleh UPT Jamkesda dan ketika dijamin oleh PT. Askes. Besar rerata lama hari rawat pasien gakin kasus bedah ketika dijamin oleh UPT Jamkesda lebih lama daripada ketika dijamin oleh PT. Askes. Tetapi besar rerata biaya pada kasus non bedah berbanding terbalik dengan besar rerata lama hari rawat pasien gakin ketika dijamin oleh UPT Jamkesda dan ketika dijamin oleh PT. Askes. Pada perbandingan tersebut dapat diketahui bahwa perbedaan besar rerata biaya pasien gakin dipengaruhi oleh perbedaan lama hari rawat antara ketika dijamin oleh UPT Jamkesda dan PT. Askes. Pada kasus non bedah besar rerata biaya pasien gakin ketika dijamin oleh UPT Jamkesda lebih rendah daripada ketika dijamin oleh PT. Askes, sedangkan lama hari rawat pasien gakin ketika dijamin oleh UPT Jamkesda lebih lama daripada ketika dijamin oleh PT. Askes. Hal ini menunjukkan bahwa besar biaya ketika dijamin oleh PT. Askes lebih tinggi daripada ketika dijamin oleh UPT Jamkesda. 2.
Analisis Komponen Biaya Pelayanan Kesehatan pada saat dijamin oleh UPT Jamkesda dan PT. Askes. Tingginya besar rerata biaya komponen obat dan bahan habis pakai sesuai dengan penelitian yang telah dilakukan oleh Irwan (2006). Pada penelitian tersebut menyebutkan bahwa komponen biaya obat dan bahan habis pakai merupakan komponen biaya tertinggi dibanding dengan komponen biaya yang lain, baik ketika dijamin oleh UPT Jamkesda maupun ketika dijamin oleh PT. Askes. Berdasarkan WHO (1998, Cit. Firni dan Suryawati, 2003) menunjukkan bahwa harga obat sebelum terjadi krisis ekonomi sebenarnya sudah mahal. Pada hasil evaluasi implementasi kebijakan pemerintah tentang harga atau pembiayaan obat dilaporkan bahwa harga rata-rata perlembar resep dokter di sektor swasta dalam hal ini apotek lebih tinggi dibanding dengan di Rumah Sakit Umum (RSU), tetapi masih lebih rendah dibanding dengan rumah sakit swasta. Jika dibandingkan dengan Pusat kesehatan Masyarakat (PUSKESMAS), maka harga ini sangat mahal terutama harga obat bermerek yang lebih tinggi tiga sampai lima kali daripada obat generiknya.
45
JURNAL PENELITIAN VOL. 7 3.
Analisis Besaran Klaim dan Selisih Biaya Ketika Dijamin oleh UPT Jamkesda dan PT. Askes Perbandingan besaran klaim antara yang dijamin oleh UPT Jamkesda dan PT. Askes untuk kasus non bedah menunjukkan bahwa besaran klaim yang dijamin oleh UPT Jamkesda lebih kecil daripada besaran klaim yang dijamin oleh PT. Askes. Besar selisih biaya antara biaya pelayanan kesehatan yang dikeluarkan dengan biaya yang dijamin oleh UPT Jamkesda (33,97%) lebih besar daripada yang dijamin oleh PT. Askes (12,90%). Selisih biaya antara biaya yang dikeluarkan dengan besar klaim ketika dijamin oleh UPT Jamkesda disebabkan oleh ketika dijamin oleh UPT Jamkesda terdapat pasien gakin yang menggunakan kartu SKTM, sehingga UPT Jamkesda hanya mengganti biaya perawatan sebesar 50% dari biaya yang telah dikeluarkan. Besar biaya yang tidak diganti oleh UPT Jamkesda sebesar 50% ditanggung oleh pasien gakin yang menggunakan kartu SKTM tersebut.
F. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI A. Kesimpulan Kesimpulan yang didapatkan dari hasil penelitian dan pembahasan adalah sebagai berikut : 1. Rerata biaya pelayanan kesehatan pasien gakin kasus bedah di rawat inap RSUD Kota ketika dijamin oleh UPT Jamkesda lebih tinggi daripada ketika dijamin oleh PT. Askes, sedangkan pada kasus non bedah rerata biaya pelayanan kesehatan pasien gakin ketika dijamin oleh UPT Jamkesda lebih rendah daripada ketika dijamin oleh PT. Askes. 2. Komponen biaya tertinggi pada biaya pelayanan kesehatan pasien gakin dirawat inap baik ketika dijamin oleh UPT Jamkesda maupun PT. Askes adalah biaya obat dan BHP. 3. Besaran klaim biaya pelayanan kesehatan pasien gakin kasus bedah dirawat inap ketika dijamin oleh UPT Jamkesda sebesar 59,47%, lebih rendah dibandingkan ketika dijamin oleh PT. Askes yaitu sebesar 109,18%. 4. Besaran klaim biaya pelayanan kesehatan pesien gakin kasus non bedah dirawat inap ketika dijamin oleh UPT Jamkesda sebesar 66,03%, lebih rendah daripada ketika dijamin oleh PT. Askes sebesar 87,10%. 5. Selisih biaya pada pembiayaan pelayanan kesehatan pasien gakin ketika dijamin oleh UPT Jamkesda ditanggung oleh pasien yang berobat dengan menggunakan kartu SKTM. 6. Selisih biaya pada pembiayaan pelayanan kesehatan pasien gakin ketika dijamin oleh PT. Askes ditanggung oleh rumah sakit, sehingga pihak rumah sakit merasa dirugikan. B. Rekomendasi Berdasarkan pembahasan dan kesimpulan yang ada, maka saran yang dapat diberikan adalah sebagai berikut : 1. Bagi Pemerintah Kota Yogyakarta : a. Pemerintah Kota Yogyakarta menetapkan sistem tarif Rumah sakit/ Puskesmas Rawat Inap berdasarkan Paket Layanan Kesehatan masyarakat berdasarkan mekanisme “Prospective Payment System “bagi pasien dari keluarga miskin.
46
JURNAL PENELITIAN VOL. 7 b.
c.
Pemerintah Kota Yogyakarta agar melakukan tindakan untuk konsistensi terhadap pola pelaksanaan jaminan kesehatan yang diterapkan di RSUD Kota Yogyakarta berkaitan dengan aturan main yang secara umum berlaku dalam ketentuan kontrak layanan jaminan antara PPK dengan UPT Jamkesda Kota Yogyakarta. Perlu adanya monitoring dan evaluasi secara komperhensif terhadap penerapan program Jaminan Pemeliharaan Kesehatan bagi pasien gakin di RSUD Kota Yogyakarta dan Puskesmas dengan Rawat Inap.
2. Bagi Rumah Sakit dan Puskesmas Rawat inap adalah : a. Agar sistem Jaminan Pemeliharaan kesehatan bagi pasien dari keluarga miskin yang diterapkan di RSUD Kota Yogyakarta dilaksanakan secara konsisten dengan aturan main yang telah ditetapkan oleh Pemerintah Kota Yogyakarta, Pemerintah Provinsi D.I Yogyakarta dan Pemerintah Pusat. b. Agar diterapkan sistem manajemen dan Sistem Informasi Manejemen Rumah Sakit yang sesuai dengan sistem tarif paket dalam pembiayaan pasien keluarga miskin di Rumah sakit dan puskesmas dengan rawat inap. c. Puskesmas dapat meningkatkan sistem administrasi manajemen keuangan secara “Acrual Basic“dimana keuangan dapat termonitoring setiap hari dan klaim tidak menunggu lama. d. Perlu adanya upaya terhadap peningkatan monitoring dan evaluasi pada pembiayaan pasien gakin di RSUD Kota Yogyakarta dan puskesmas dengan rawat inap secara berkala.
47
JURNAL PENELITIAN VOL. 7 Pengembangan Need Assesment pada Anak dan Remaja serta Penentu Kebijakan dalam Inisiasi Program ”Rumahku Separo”Mendukung ”Kota Yogyakarta sebagai Kota Ramah Anak” (Suatu Penelitian Kualitatif sebagai dukungan Inisiasi Advokasi Program ”smoke free home”)
(Oleh : Punik Mumpuni Wijayanti, Drg. M.Kes, Betty Ekawaty Suryaningsih, dr. SpKK, Alfan Nur Ahsyar ) Abstrak Perokok pasif adalah anak-anak, remaja dan ibu-ibu, dimana mereka akan mendapatkan bahaya dari asap rokok yang dihisap oleh para perokok aktif. Rumah adalah tempat bernaung, berlindung, belajar, dan beristirahat bagi keluarga tak terkecuali bagi anak-anak dan ibu-ibu. Perlunya ada kawasan tanpa asap rokok di dalam rumah untuk melindungi bahaya asap rokok bagi perokok pasif. Sejumlah kampung di Kota Yogyakarta diketahui bahwa 53 persen rumah tangga memiliki anggota keluarga yang merokok dengan jumlah rokok rata-rata 10 batang per hari, dan empat batang diantaranya dihisap di rumah sehingga 89 persen balita dan perempuan menjadi perokok pasif. Penelitian ini bersifat observasional atau non eksperimental dengan pendekatan kualitatif, bermaksud untuk menggali persepsi dan sikap serta mencari sejauh mana dukungan dan peran anak dan remaja serta penentu kebijakan di lingkungan Rukun Tetangga dalam mendukung program Kawasan Tanpa rokok di dalam rumah. Nara sumber adalah anak-anak dan remaja serta penentu kebijakan (RT, RW dan Toma) di wilayah Kecamatan Mergangsan. Tiga orang narasumber adalah dari tokoh masyarakat, kader kesehatan dan pejabat struktural kelurahan, dan 15 orang narasumber berasal dari anak SD , SMP dan SMA yang tinggal di wilayah kecamatan Mergangsan. Pengertian Kota Ramah Anak dan Kawasan Tanpa Asap Rokok di dalam rumah baru diketahui oleh para tokoh masyarakat, kader PKK dan pejabat kelurahan. Dan sebagian besar anak dan remaja meragukan keberhasilan program kawasan tanpa asap rokok di dalam rumah karena mereka takut untuk menegur para perokok di rumah. Bahaya rokok bagi kesehatan telah diketahui hampir sebagian besar narasumber, namun bahaya bagi perokok pasif hanya diketahui oleh beberapa nara sumber. Adanya keinginan dari anak dan remaja untuk dapat diajak merencanakan program kawasan tanpa asap rokok dalam rumah oleh para tokoh masyarakat maupun pejabat struktural kelurahan. Perlunya kerjasama lintas sektor dan kemitraan dengan institusi pendidikan untuk melakukan pendampingan warga pada program kawasan tanpa rokok dalam rumah. Pendahuluan ”Rumahku Separo”adalah suatu ungkapan yang artinya Rumahku Sehat Tanpa Asap Rokok, adalah merupakan suatu gerakan kepedulian masayarakat terhadap bahaya asap rokok bagi perokok pasif di dalam rumah.Tidak dapat dipungkiri lagi bahwa gerakan tersebut mendukung Kota Yogyakarta sebagai Kota Ramah Anak. Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Linda Amalia Sari dan Plt Deputi Perlindungan Anak Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPP dan PA) Emmy Rachmawati mengutarakan bahwa Kota Ramah Anak adalah kota yang memperhatikan kebutuhan tumbuh kembang anak. Suatu kota dikategorikan Kota Ramah Anak bila ada komitmen dari pemerintah kabupaten/kota ataupun kecamatan untuk membuat kota yang layak untuk anak. Komitmen itu dituangkan dalam peraturan daerah (perda), ada satuan tugas (satgas) yang bersifat lintas sektor, dan anak merasa terlindungi. Kota yang diinginkan oleh anak adalah kota yang menghormati hak-hak anak yang salah satu perwujudannya adalah dengan menyediakan akses pelayanan kesehatan, 48
JURNAL PENELITIAN VOL. 7 pendidikan, air bersih, sanitasi yang sehat dan bebas dari pencemaran lingkungan; menyediakan kebijakan dan anggaran khusus untuk anak; menyediakan lingkungan yang aman dan nyaman, sehingga memungkinkan anak dapat berkembang. Anak dapat berekreasi, belajar, berinteraksi sosial, berkembang psikososial dan ekspresi budayanya; keseimbangan di bidang sosial, ekonomi, dan terlindungi dari pengaruh kerusakan lingkungan dan bencana alam; dan adanya wadah bagi anak-anak untuk berperan serta dalam pembuatan keputusan yang berpengaruh langsung pada kehidupan mereka. (Innocenti Digest No.10/10/02:22) (cit.Patilima(b),2004) Asap rokok dapat menjadi salah satu aspek yang dapat mencemari lingkungan dengan polutan yang terdapat di dalam asap rokoknya. Asap rokok di dalam rumah dapat menyebabkan anak anak menjadi seorang perokok pasif. Menurut penelitian yang dilakukan Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada (UGM) pada 2009 ke sejumlah kampung di Kota Yogyakarta diketahui bahwa 53 persen rumah tangga memiliki anggota keluarga yang merokok dengan jumlah rokok rata-rata 10 batang per hari, dan empat batang diantaranya dihisap di rumah sehingga 89 persen balita dan perempuan menjadi perokok pasif. Padahal berbagai upaya Pemerintah Kota Yogyakarta telah dilakukan untuk mengendalikan perokok dan melindungi perokok pasif di lingkungan tempat kerja dan tempat umum, namun sejauh ini belum dapat melindungi para perokok pasif di rumah. Apakah hal itu terjadi karena kurangnya pengetahuan perokok mengenai bahaya perokok pasif ? Apakah karena para perokok yang biasanya laki laki dan berperan sebagai kepala rumah tangga mempunyai kekuasaan tertinggi dalam rumahnya? Apakah sebagai penentu kebijakan di lingkungan Rukun Warga (RW) belum melibatkan anak dan remaja sebagai korban perokok aktif dalam pemberian hak mereka untuk mendapatkan udara yang bersih dan segar? Peran apa yang diberikan kepada anak dan remaja dalam kaitannya dengan lingkungan kota? Tujuan dan Manfaat Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui persepsi, sikap dan peran anak dan remaja serta penentu kebijakan dalam inisiasi Program Kawasan Tanpa Rokok dalam Rumah mendukung ”Kota Yogyakarta sebagai Kota Ramah Anak”. Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi para perokok pasif, perokok aktif dan para penentu kebijakan dalam merencanakan suatu program kawasan tanpa asap rokok dalam rumah yang akhirnya dapat melindungi anak-anak terhadap polutan asap rokok. Tinjauan Pustaka Gagasan Kota Ramah Anak (KRA) diawali dengan penelitian mengenai “Children’s Perception of the Environment”oleh Kevin Lynch (arsitek dari Massachusetts Institute of Technology) di 4 kota –Melbourne, Warsawa, Salta, dan Mexico City –tahun 1971-1975. Hasil penelitian menunjukkan bahwa lingkungan kota yang terbaik untuk anak adalah yang mempunyai komuniti yang kuat secara fisik dan sosial; komuniti yang mempunyai aturan yang jelas dan tegas; yang memberi kesempatan pada anak; dan fasilitas pendidikan yang memberi kesempatan anak untuk mempelajari dan menyelidiki lingkungan dan dunia mereka. Perkembangan selanjutnya, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengadopsi Konvensi Hak Anak pada tahun 1989, dengan memasukkan salah satu ketentuan mengenai hak anak untuk mengekspresikan pendapatnya. Ini artinya anak mempunyai suara, di samping prinsip lain seperti non-diskriminasi; kepentingan terbaik untuk anak; dan hak untuk hidup dan mengembangkan diri di dalam lingkungannya. Mengapa perlu adanya Kota Ramah Anak? Anak merupakan bagian dari warga kota. Data UNICEF ada 43 persen atau 33.586.440 jiwa penduduk Indonesia berusia di bawah 18 tahun bertempat tinggal di kota – termasuk anak usia di bawah 5 tahun – 9.318.960 anak (Unicef, 2004). Angka ini akan bertambah dengan pertumbuhan 4,3 persen 49
JURNAL PENELITIAN VOL. 7 per tahun, sehingga diperkirakan pada tahun 2025, 60 persen warga kota adalah anak. Menurut David Sucher perancang kota dari Amerika Serikat (David, 1995:65.cit Patilima (a), 2004), anak seperti burung kenari di tambang batu bara. Mereka kecil, rentan dan butuh perlindungan. Akan tetapi sebagian besar dari jutaan anak yang hidup di kota belum merasa tenang dan nyaman melakukan kegiatan sehari-hari seperti bersekolah, bermain, dan berekreasi, terutama mereka yang tinggal di daerah kumuh dan permukiman liar yang padat, dan perumahan yang kurang sehat, kurang mendapatkan pelayanan umum seperti fasilitas air bersih, sanitasi dan pembuangan sampah serta terpaparnya dengan polutan– polutan dalam rumah yang disebabkan oleh asap rokok. Kota yang diinginkan oleh anak adalah kota yang menghormati hak-hak anak yang diwujudkan dengan (Innocenti Digest No.10/10/02:22) (cit.Patilima(b),2004) menyediakan akses pelayanan kesehatan, pendidikan, air bersih, sanitasi yang sehat dan bebas dari pencemaran lingkungan; menyediakan kebijakan dan anggaran khusus untuk anak; menyediakan lingkungan yang aman dan nyaman, sehingga memungkinkan anak dapat berkembang. Anak dapat berekreasi, belajar, berinteraksi sosial, berkembang psikososial dan ekspresi budayanya; keseimbangan di bidang sosial, ekonomi, dan terlindungi dari pengaruh kerusakan lingkungan dan bencana alam dan adanya wadah bagi anak-anak untuk berperan serta dalam pembuatan keputusan yang berpengaruh langsung pada kehidupan mereka.Lebih khusus, apabila merujuk pada Konvensi Hak Anak, bahwa anak (Save the Children, 1996:13-15) (cit.Patilima(b),2004) adalah (1) mempunyai hak untuk tempat tinggal, (2) mempunyai hak untuk mendapatkan keleluasaan pribadi, (3) mempunyai hak untuk mendapatkan rasa aman, (4) mempunyai hak untuk mendapatkan lingkungan yang sehat, (5) mempunyai hak untuk bermain, (6) mempunyai hak untuk mendapatkan pendidikan, dan (7) mempunyai hak untuk memperoleh pelayanan transportasi umum. Rokok adalah gulungan tembakau kira-kira sebesar kelingking yang dibungkus dengan daun nipah atau kertas (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2001). Merokok adalah membakar tembakau yang kemudian diisap asapnya, baik menggunakan rokok maupun menggunakan pipa. Asap rokok yang diisap atau asap rokok yang dihirup melalui dua komponen: komponen yang lekas menguap berbentuk gas dan komponen yang bersama gas terkondensasi menjadi komponen partikulat. Dengan demikian, asap rokok yang diisap dapat berupa gas sejumlah 85% dan sisanya berupa partikel. Asap rokok yang diisap melalui mulut disebut mainstream smoke, sedangkan asap rokok yang terbentuk pada ujung rokok yang terbakar serta asap rokok yang diembuskan ke udara oleh perokok disebut sidestream smoke. Sidestream smoke atau asap sidestream mengakibatkan seseorang menjadi perokok pasif. Asap rokok yang dihisap mengandung 4000 jenis bahan kimia dengan berbagai jenis daya kerja terhadap tubuh. Beberapa bahan kimia yang terdapat di dalam rokok dan mampu memberikan efek yang mengganggu kesehatan antara lain: nikotin, tar, gas karbonmonoksida (CO) dan berbagai logam berat, oleh karena itu orang akan terganggu kesehatannya bila merokok terus menerus. Hal ini disebabkan adanya nikotin di dalam asap rokok yang diisap. Nikotin bersifat adiktif sehingga seseorang yang merokok sudah merupakan gangguan kesehatan (Sitepoe, 2004). Kawasan Tanpa Rokok adalah ruangan atau arena yang dinyatakan dilarang untuk kegiatan produksi, penjualan, iklan, promosi, ataupun penggunaan rokok. Penetapan Kawasan Tanpa Rokok merupakan upaya perlindungan masyarakat terhadap risiko ancaman gangguan kesehatan karena lingkungan tercemar asap rokok. Rumah adalah salah satu tempat untuk bernaung, berlindung dan belajar bagi anak-anak, sehingga rumah merupakan salah satu tempat yang seharusnya juga merupakan kawasan tanpa rokok. Biasanya penentu kebijakan di lingkungan rumah tangga adalah bapak sebagai kepala keluarga, sedangkan ibu dan anak tidak pernah mendapat porsi untuk menentukan 50
JURNAL PENELITIAN VOL. 7 kebijakan mengenai penggunaan rokok dalam rumah. Padahal dalam kasus ini anak anak dan ibu adalah sebagai anggota keluarga yang dirugikan oleh kelakuan para perokok aktif yang merokok di dalam rumah. Dalam perencanaan suatu program yang berbasis masyarakat, maka perlu dilakukan analisis need assestment di lingkungan masyarakat guna mengetahui sampai berapa jauh dukungan masyarakat terhadap keberadaan program tersebut.
Need Assesment (community analysis & targeted assesment)
Planning
Evaluation
Implementation Gambar 1. Alur Manajemen Program Need Assesment adalah tahapan dimana tim perencana mengkaji berbagai sumber data yang ada, yang pada intinya adalah untuk merumuskan kebutuhan kesehatan spesifik dari kelompok target. Kegiatan bisa dilakukan dengan berbagai bentuk. Pada penelitian ini kami melakukan dengan pendekatan kualitatif. Metode Penelitian Desain penelitian bersifat observasional atau non eksperimental dengan pendekatan kualitatif, bermaksud untuk menggali persepsi dan sikap serta mencari sejauh mana dukungan dan peran anak dan remaja serta penentu kebijakan di lingkungan Rukun Tetangga dalam mendukung program Kawasan Tanpa rokok di dalam rumah. Adapun subyek penelitian adalah anak-anak dan remaja serta penentu kebijakan di wilayah kecamatan Mergangsan, Yogyakarta. Instrumen atau alat penelitian dalam penelitian kualitatif adalah peneliti dan asisten peneliti sendiri. Kredibilitas terhadap peneliti sebagai instrumen meliputi kredibilitas terhadap pemahaman metode penelitian kualitatif, penguasaaan wawasan terhadap bidang yang diteliti, kesiapan peneliti untuk memasuki obyek penelitian, baik secara akademik maupun logistik. Kredibilitas dilakukan oleh peneliti sendiri melalui evaluasi diri seberapa jauh pemahaman terhadap metode kualitatif, penguasaan teori dan wawasan terhadap bidang yang diteliti, serta kesiapan dan bekal memasuki lapangan.(Sugiyono,2008) Adapun langkah–langkah pengambilan data pada penelitian ini menggunakan (1) Wawancara semi terstruktur, (2) Observasi, (3) Dokumentasi dan (4) Focus Group Discussion (FGD). Dilakukan juga teknik triangulasi, yaitu teknik pengumpulan data yang bersifat menggabungkan dari berbagai teknik pengumpulan data dan sumber yang telah ada. Bila peneliti melakukan pengumpulan data dengan triangulasi, maka sebenarnya peneliti sekaligus menguji kredibilitas data. Dalam penelitian ini, aktivitas dalam analisa data kualitatif dilakukan secara interaktif dan terus menerus hingga tuntas sehingga datanya sudah jenuh. Aktivitas dalam analisa data antara lain : 1) Reduksi data (Data reduction), 2) Penyajian Data (Data display), 3) Penarikan Kesimpulan dan Verifikasi (Conclusion drawing/Verivication). 51
JURNAL PENELITIAN VOL. 7 Hasil dan Pembahasan Pengertian Kota Ramah Anak Narasumber penelitian ini sebanyak 3 orang untuk indepth interview dan 16 anak dan remaja untuk FGD. Narasumber yang ada terbagi menjadi 2, yaitu : (a) yang diwawancarai (ada 3 narasumber) dan (b) sebagai anggota dalam FGD/Focus Group Discussion (15 narasumber ) Kota Ramah Anak merupakan tema yang diambil untuk mengawali wawancara. Dengan mengetahui seberapa besar pemahaman para narasumber terhadap Kota Ramah Anak diharapkan narasumber dapat memberikan pandangannya terhadap Kota Ramah Anak siaga dengan baik, sesuai dengan tujuan penelitian yang ingin dicapai. Dari pertanyaan wawancara “Apakah yang anda ketahui tentang Kota Ramah Anak?”diperoleh jawaban dari narasumber seperti yang tertera pada tabel di bawah ini:
No 1
2
3
Tabel 1. Pengertian Kota Ramah Anak Definisi Kota Ramah Anak Kota Ramah Anak adalah kota yang mana anak–anak bisa lebih aman lebih nyaman baik dari lingkungannya, dari polusi dari ancaman yang membahayakan bagi anak (N1, 17 –20) Kota Ramah Anak adalah dari Program dari Pemkot juga sudah memprogramkan seperti itu dan kalau tidak salah dikaitkan dengan fasilitas-fasilitas publik dan program-programnya juga dikaitkan dengan anak (N2, 12-15) Kota Ramah Anak adalah Saya kira saya sedikit mengetahui, diantara anak dapat tumbuh dengan baik bersenang-senang, tempat bermainnya ada, bisa tumbuh normal apalagi pada usia anak sekolah seyogyanya bisa mengikuti sekolah sesuai kehendak anak itu sendiri, jadi dalam hal ini bagi anak-anak jangan terlalu dikekang dan diberi kebebasan untuk bermain juga lingkungannya supaya tetap sehat dan bersih terutama bagi anak (N3, 12 -21)
Setiap narasumber (tokoh masyarakat, kader PKK dan pejabat struktural desa/ ketua RW) memiliki berbagai pendapat tentang Kota Ramah Anak, Kota Ramah Anak adalah lingkungan kota yang terbaik untuk anak yang mempunyai komuniti yang kuat secara fisik dan sosial; komuniti yang mempunyai aturan yang jelas dan tegas; yang memberi kesempatan pada anak; dan fasilitas pendidikan yang memberi kesempatan anak untuk mempelajari dan menyelidiki lingkungan dan dunia mereka. Namun di kalangan remaja baik SD, SMP dan SMA pengertian Kota Ramah Anak belum pernah dikenal maupun didengar. Sehingga dapat dikatakan bahwa informasi dan edukasi mengenai pengertian kota ramah anak belum tersosialisasikan sampai kepada stakeholder-nya (anak dan remaja), konsep tersebut hanya disosialisasikan di lingkungan tokoh masyarakat, kaderkader PKK dan pejabat struktural desa seperti ketua RW. Sehingga tujuan, manfaat dan perencanaan kota ramah anak belum didengar oleh anak-anak tersebut. Kawasan tanpa rokok dalam rumah Perlindungan polusi di dalam rumah pun masih menjadi permasalahan di kalangan anak-anak dan remaja. Polusi asap rokok masih mendominasi permasalahan lingkungan di setiap rumah. Perokok aktif dengan seenaknya menghembuskan asapnya di lingkungan rumah, yang di dalam rumah tersebut juga tinggal anak-anak dan istri yang tidak merokok tetapi mereka harus ikut menghisap asap rokok para perokok aktif sehingga mereka menjadi seorang perokok pasif.
52
JURNAL PENELITIAN VOL. 7 “… … … .seratus persen saya mendukung, karena dari wilayah kami sendiri dari RW 12 sejak bulan Juni 2010 kemarin sudah mencanangkan kawasan bebas miras, narkoba dan rokok, dan Alhamdulillah dari warga juga mendukung… … .”(N2, 29 –33, RW 12) “… … . Memang ada yang merokok, itu bapaknya sendiri tetapi tidak pernah di dalam rumah itu, pasti kalau merokok sudah jauh dari anak-anaknya, karena sudah tahu jadi pasti di luar dan tidak pernah merokok di dalam ruangan … … … (N1, 30 -34, Kader PKK) “… … … .sebetulnya dalam hal ini apalagi kita melihat kesehatan terutama pada anak-anak yang sedang tumbuh itu mestinya tersedianaya ada bebas rokok, andaikata ada yang merokok dan sedang berkumpul dengan anak-anak seyogyanya juga dihindari… … .” (N3, 31 –36, TOMA) Namun menurut anak-anak dan remaja adanya sikap meragukan keberhasilan program kawasan tanpa rokok dalam rumah karena ketakutan dan segannya mereka untuk menegur orangtua yang merokok dalam rumah. Adapun pernyataan remaja SMP ketika ditanyakan apakah berani menegur bila ada tamu atau bapaknya merokok dalam rumah’ “… … .takut… . Melarang, dibiarkan aja, kalau ada yang merokok kita keluar aja dan kita gak berani menegur … … takut… … ”(peserta FGD remaja SMP) Ketidakberanian anak–anak menegur orang tua yang merokok di dalam rumah karena anak–anak tidak diberikan wewenang dan tanggung jawab untuk menjaga kebersihan polusi rokok dalam rumah, sehingga mereka takut untuk bicara. Bahaya asap rokok Mengenai bahaya merokok hampir sebagian besar nara sumber telah mengetahuinya dan dari anak–anak SD malah lebih hafal mengenai bahaya asap rokok karena mereka membaca dari bungkus rokok yang diisap bapaknya. “… … .bahaya asap rokok dapat menyebabkan kanker, hipertensi, serangan jantung, dan gangguan kehamilan, sesak nafas, gangguan pernafasan, kena penyakit paru paru, kanker, hipertensi … … … … ”(narasumber remaja SD / FGD) Adapun pengertian dan tanggapan remaja SMA yang perokok terhadap bahaya merokok adalah sebagai berikut “ … … ..sedikit tahu, kalau bahaya perokok itu di paru-paru sampai ke jantung, dan saya juga takut, tetapi sudah biasa jadi gak papa … … ..”(Remaja SMA/ FGD, A1 ) Bagi seorang perokok, walaupun sudah tahu bahayanya namun mereka tetap merokok juga dikarenakan mereka sudah terbiasa dan tidak terjadi apa-apa pada saat ini. Pendapat dari tokoh masyarakat juga tidak begitu berbeda dengan remaja perokok dalam hal bahaya rokok dan perilaku merokok. ‘… … … … Kalau bahaya merokok saya juga tahu itu dengan adanya zat nikotin tetapi kalau terlalu banyak dan terlalu berlebihan tetapi jika hanya 1 sd 3 batang dalam hal ini menurut pendapat saya masih cukup normal dan tidak begitu berbahaya… … ..”(N3, 52 –58) Bahaya Asap rokok terhadap perokok pasif dan perokok aktif Keluhan remaja SMP terhadap dampak dari asap rokok terhadap lingkungan dikatakan bahwa : “ … … … … dampak asap rokok adalah baunya sering nempel di baju dan lama hilangnya, berbahaya dan bisa menyebabkan kanker rahim, TBC, gak suka bisa meyebabkan penyakit jantung, batuk-batuk jadi aku gak seneng ada orang merokok … ..”(remaja SMP /FGD) Adapun pengertian dan tanggapan remaja SMA yang perokok terhadap bahaya merokok adalah sebagai berikut : “… … ..sedikit tahu, kalau bahaya perokok itu di paru-paru sampai ke jantung, dan saya juga takut, tetapi sudah biasa jadi gak papa … … ..”(Remaja SMA/ FGD, A1 ) 53
JURNAL PENELITIAN VOL. 7 Bagi seorang perokok, walaupun sudah tahu bahayanya namun mereka tetap merokok juga dikarenakan mereka sudah terbiasa dan tidak terjadi apa-apa pada saat ini. Pendapat dari tokoh masyarakat juga tidak begitu berbeda dengan remaja perokok dalam hal bahaya rokok dan perilaku merokok. ‘… … … … Kalau bahaya merokok saya juga tahu itu dengan adanya zat nikotin tetapi kalau terlalu banyak dan terlalu berlebihan tetapi jika hanya 1 sd 3 batang dalam hal ini menurut pendapat saya masih cukup normal dan tidak begitu berbahaya… … ..”(N3, 52 –58) Adapun pengertian mengenai istilah perokok pasif sebagian besar sudah mengetahuinya begitu juga bahaya yang diderita oleh perokok pasif akibat perokok aktif. Hanya kelompok remaja SD yang belum paham mengenai istilah perokok pasif namun mereka setelah dijelaskan istilah tersebut, ternyata mereka tahu mengenai bahaya perokok pasif. Jadi hanya istilahnya saja yang belum diketahui oleh remaja SD namun bahayanya mereka sudah memahaminya. ”............ Perokok aktif adalah perokok yang langsung yang merokok, tapi yang merokok yang pasif ya seperti kita ini yang menghirup udara disekitar orang perokok disebut perokok pasif … … ..”(N1, 41-44) Mengenai bahaya perokok pasif sebagian besar sudah mengetahui dan memahaminya, namun bila ditanyakan mana yang lebih berbahaya antara perokok pasif atau perokok aktif maka hampir sebagian besar tidak tahu dan bingung untuk menjawab, dan sebagian besar sama-sama berbahaya tidak ada bedanya antara perokok pasif dan perokok aktif.. “… … … .kurang lebih sama khan katanya… … … . … tapi katanya lho… … asapnya lebih berbahaya daripada rokok aslinya… ..”( peserta remaja SMA/ FGD) Keragu-raguan dalam menjawab pertanyaan lebih bahaya mana antara perokok aktif dan perokok pasif disebabkan kerana kurang adanya pengetahuan yang pasti dan jelas mengenai bahaya rokok, bagaimana asap rokok bisa berbahaya bagi tubuh dan bagaimana mekanismenya seorang perokok pasif mempunyai dampak yang besar terhadap kesehatan tubuhnya. Kebijakan merokok dalam pertemuan warga Merokok dalam masyarakat dianggap sebagai budaya yang benar, bila seseorang tidak merokok dalam lingkungan warganya, maka anggapan yang negatif dapat muncul misalnya; dikatakan tidak bergabung dengan masyarakat ataupun dikatakan sombong. Adapun salah satu cara untuk tidak mendukung merokok masal pada acara pertemuan adalah dengan tidak menyediakan asbak setiap ada pertemuan warga. Hal tersebut juga dilakukan oleh kader PKK di Dipowinatan kecamatan Mergangsan “… … ..Nggak, saya memang gak sediakan asbak, pertemuan-pertemuan pun gak menyiapkan asbak pertemuan rapat RT juga gak saya siapkan asbak supaya mereka sadar sendiri kalau merokok saya bilang, nanti aja … . Ngganggu … ngganggu … … ” (N1, 6874). Peran tokoh masyarakat terhadap perilaku merokok dalam suatu pertemuan sangat berarti, seandainya tokoh masyarakat tidak merokok maka warga akan sungkan untuk memulai untuk merokok dalam pertemuan tersebut. “… … .kalau andai kata kebetulan sedang kumpul–kumpul dan lawan kumpulnya tidak merokok saya juga tidak merokok… .”(N3, 62-64) “… … ..di lingkungan kami banyak yang tidak merokok, dan kalau kita tidak merokok mereka juga gak berani, karena kita dianggap tokoh kalau kita gak merokok dan mereka segan untuk merokok… … .”(N3, 98-103) 54
JURNAL PENELITIAN VOL. 7 Sehingga perlunya ada pendekatan edukasi untuk para tokoh masyarakat dalam hal pengendalian merokok dalam masyarakat, karena budaya merokok juga sangat dipengaruhi oleh para tokoh masyarakat dan orang tua setempat Peran anak-anak dan remaja dalam perencanaan khususnya dalam pencemaran lingkungan dari asap rokok di rumah mendukung Kota Ramah Anak Penentu kebijakan di lingkungan rumah tangga adalah bapak sebagai kepala keluarga, sedangkan ibu dan anak tidak pernah mendapat porsi untuk menentukan kebijakan mengenai penggunaan rokok dalam rumah. Padahal dampak rokok yang paling berbahaya malah pada perokok pasifnya, namun para perokok pasif tidak pernah diajak bermusyawarah dalam menentukan kebijakan merokok dalam rumah. Namun sebenarnya para perokok pasif khususnya remaja sangat antusias untuk diajak bersama merencanakan kebijakan perilaku merokok dalam rumah. “… … merasa sangat senang bila diajak oleh pak RT untuk membahas mengenai pencemaran lingkungan akibat asap rokok di rumah… ..” (peserta FGD remaja SD) “… … ..seneng diajak ngomong dengan pak RT dan Insya Allah mau berpendapat … … ” (Peserta FGD remaja SMP) Peran serta anak dan remaja dalam penentuan kebijakan kawasan tanpa rokok di dalam rumah ternyata sangat diharapkan oleh anak dan remaja itu sendiri, hanya tinggal keikhlasan penentu kebijakan dalam meningkatkan peran anak-anak mereka. Simpulan dan rekomendasi Pengertian Kota Ramah Anak baru diketahui oleh para tokoh masyarakat, kader PKK dan pejabat desa, anak-anak dan remaja belum pernah mendengar istilah Kota Ramah Anak. Istilah dan program kawasan tanpa asap rokok di dalam rumah juga belum banyak diketahui oleh anak anak dan remaja, dan masih adanya keraguan dari anak dan remaja untuk bisa terwujudnya kawasan tanpa asap rokok dalam rumah karena mereka takut untuk menegur orangtuanya. Hampir semua nara sumber sudah mengetahui bahaya merokok. Kebiasaan merokok tetap masih dilakukan bagi perokok walaupun sudah mengetahui bahaya merokok. Anak-anak dan remaja sebagian besar belum mengenal istilah perokok pasif dan mekanisme bahaya asap rokok tersebut terhadap kesehatan perokok pasif. Anakanak dan remaja sangat senang bila diajak dalam merencanakan pengembangan dalam rangka mewujudkan Kota Ramah Anaknya terutama untuk polusi asap rokok dalam rumah. Peran tokoh masyarakat sangat mendukung kawasan tanpa asap rokok di dalam rumah, terutama dalam acara pertemuan warga. Adapun rekomendasinya adalah dijalinnya kemitraan antara pemerintah daerah dengan institusi pendidikan yang memiliki minat sebagai pemerhati perokok pasif sehingga dapat melakukan pendampingan warga dalam program kawasan tanpa rokok dalam rumah (Misalnya dengan Quit TobaccoIndonesia /QTI Universitas Islam Indonesia) Daftar Pustaka Askolani Choiri, 2009, Pengembangan Desa Ramah Anak, Litbang Pusat Studi dan Advokasi rakyat Ponorogo.bvc Ayis tony, 2010, Bathroom, Make fresh and healthy! From http://www.toniayis.com/?p=375September 18th, 2010 Badan POM RI, 2006. “Dampak Merokok Bagi Kesehatan”.
55
JURNAL PENELITIAN VOL. 7 BPS
yogyakarta, 2010, DIY dalam angka 2009 dari http://yogyakarta.bps.go.id/remository?func=select&id=22 Patilima Hamid (a), 2004, Kota Ramah Anak, Apa, Mengapa dan Bagaimana, dari http://www.kotalayakanak.org/index.php?option=com_content&view=article&id= 131:kota-ramah-anak&catid=56:artikel&Itemid=77 Patilima, Hamid.(b) (2004), Persepsi Anak Mengenai Lingkungan Kota, Studi Kasus Di Kelurahan Kwitan, Jakarta Pusat. (Tesis). Jakarta: Kajian Pengembangan Perkotaan, Pascasarjana Universitas Indonesia Presiden Republik Indonesia, UU Perlindungan Anak No. 23 Tahun 2002 Sarlito Wirawan Sarwono, 1992. ”Psikologi Lingkungan”Jakarta Sastriyani, Natin, Susilowati, Sisparyadi, 2008, Pemetaan Kebiasaan Merokok pada Anak di Kota Yogyakarta (Kerja sama Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan RI dengan PSW UGM) Sitepoe, 2004, Kekhususan Rokok Indonesia, Jakarta, Gramedia
56
JURNAL PENELITIAN VOL. 7 Pengaruh Tingkat Luasan RTH Privat terhadap Kualitas Udara dan Persepsi Kenyamanan di Kota Yogyakarta ( Oleh : Didik Surya Hadi, Setiaji Heri Saputro dan Hastanto Bowo Woesono8 ) Abstract To improve the environment qualities, the government of Jogjakarta city have released Peraturan Walikota No. 6 in 2010 about Private Green Open Area. The implementation of the policy must be evaluated. This research was done to know the affect of Private Green Open Area large on air qualities and community interest to the existence of private green open area (private RTH). The research was done by survey method. Samples were taken by systematic sampling with 20% sampling intencity. The population is buildings on 7 streets in Jogja city. The factors are large levels of private RTH, are deviden in 8 (eight) levels. The measurement parameters are temperature, humidity and community interest to private RTH. The result shows that the difference of private RTH large levels is not have an effect significantly on temperatures and humidities in streets were measured. The analyze results of questioners show that 83.95% of buildings are for store or shopping center, the others are for offices, restaurants, schools, museums, workshops etc. About 64.81% respondents are not have private RTH. Respondents who say like to private RTH are about 60.49% and 25.30% of them say very like to private RTH, only 3.70% who say not like and 1.49% are abstain. Related to kind of private RTH by respondents, many of them are not have plant yet on their buildings, they are up to 32%. The major of RTH plants just on vases. They are up to 35.8%. In the other hand, many of respondents (about 55.56%) want to expand their plants. Keywords : RTH private, plants, respond, temperature and humidity A. PENDAHULUAN Perkembangan kota akan menyebabkan berbagai dampak baik positif maupun negatif. Dampak positif diantaranya adalah adanya pembangunan kota sedangkan dampak negatif diantaranya adalah munculnya permasalahan lingkungan yang diindikasikan dengan penurunan kualitas lingkungan hidup. Penurunan kualitas lingkungan hidup yang disebabkan terjadinya penurunan fungsi kota sebagai tempat tinggal yang nyaman, terjadinya ketidakseimbangan hidrologis adalah salah satu contoh permasalahan lingkungan yang perlu mendapat perhatian dan penanganan. Kadangkala dalam penilaian, menunjukan bahwa kemerosotan lingkungan, ternyata nilainya bisa jauh lebih besar dibanding dengan nilai ekonomi hasil pembangunan (Fandeli, 2005). Kondisi tersebut banyak terjadi di kebanyakan kota besar di Indonesia, tak terkecuali kota Yogyakarta. Dengan luas wilayah yang relatif kecil, hanya sekitar 32,5 km2, kota Yogyakarta seakan sudah kehabisan ruang untuk menaruh sebuah pohon dan tanaman lainnya, dan yang dominan justru papan-papan reklame yang menjulang tinggi memenuhi kota. Kondisi ini akan menyebabkan penyerapan polusi udara yang disebabkan emisi gas buang kendaraan bermotor akan berkurang dan kondisi lingkungan menjadi kurang nyaman untuk tempat tinggal. Untuk menanggulangi masalah yang cukup serius ini keberadaan ruang terbuka hijau kian menjadi kebutuhan penting bagi masyarakat. Ruang terbuka hijau di kota 8
Lectures in Forestry Faculty, INSTIPER Jogjakarta
57
JURNAL PENELITIAN VOL. 7 menentukan kualitas kehidupan manusia yang tinggal di situ. Hasil pengamatan menunjukkan, RTH di Kota Yogyakarta dalam 10 tahun terakhir terus berkurang. Hal ini menuntut masyarakat, pemerintah, dan swasta segera ambil bagian memanfaatkan lahan kosong untuk ditanami pohon atau tanaman. Bila membandingkan foto citra satelit bahwa kota Yogyakarta pada 10 tahun lalu tampak ruang hijau terbuka sekitar 26% dari luas kota ini. Namun sekarang ruang hijau di Yagyakarta berkurang hingga tinggal 23%. Padahal tingkat idealnya ruang hijau di wilayah perkotaan Yogyakarta seluas 30% dari total wilayah 32 ribu meter persegi (Hardjowisastro, 2009). Pada awal tahun 2010 Pemerintah Kota Yogyakarta telah menerbitkan Peraturan Walikota (Perwal) No. 6 Tahun 2010 tentang kewajiban menyediakan Ruang Terbuka Hijau (RTH) privat bagi setiap gedung, perkantoran dan tempat usaha. RTH yang dimaksud bisa dalam bentuk pohon, taman, taman pergola, taman di atas atap, dan tanaman yang ditanam di dalam pot. Untuk tahap awal, kebijakan tersebut dikhususkan pada bangunan di sepanjang Jl. Urip Sumoharjo, Jl. Malioboro, Jl. Diponegoro, Jl. Ahmad Yani, Jl. Mangkubumi, Jl. Suryotomo, dan Jl. Brigjen Katamso. Mengingat kebijakan dan implementasi dari Peraturan Walikota Yogyakarta tentang kewajiban dalam menyediakan RTH sebagian tersebut telah dilaksanakan, maka untuk mengetahui efektivitas program RTH privat diperlukan sebuah pengukuran tentang kualitas lingkungan mikro di sekitar RTH. Penelitian ini mencoba untuk mengetahui apakah program ruang terbuka hijau (RTH) privat sudah cukup efektif meningkatkan kualitas udara dan cukup mendapat respon positif dari warga masyarakat kota Yogyakarta. Dengan demikian tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui pengaruh luas RTH privat terhadap kualitas udara dan mengetahui tingkat interest masyarakat terhadap keberadaan ruang terbuka hijau (RTH) privat. B. TINJAUAN PUSTAKA Menurut Kartasapoetra (2006), iklim adalah rata-rata keadaan cuaca dalam jangka waktu yang cukup lama, minimal 30 tahun, yang sifatnya tetap. Iklim mikro adalah kondisi iklim pada suatu ruang yang sangat terbatas, komponen iklim ini penting artinya bagi kehidupan tanaman, hewan dan manusia terutama dalam kaitannya dengan kegiatan pertanian. Modifikasi iklim mikro adalah upaya untuk menciptakan lingkungan agar lebih optimal (atau paling tidak lebih baik) untuk mendukung pertumbuhan dan perkembangan tanaman dalam kegiatan pertanian. Iklim mikro merupakan suatu keadaan pada ruang terbatas yang elemen-elemen dari iklim ini berpengaruh terhadap kelangsungan hidup ekosistem yang ada di dalamnya. Iklim mikro biasanya terjadi karena hubungan timbal balik antara faktor-faktor ekosistem. Iklim mikro ini biasanya diperlihatkan dalam bentuk kondisi suhu, kelembaban udara dan angin (Lakitan dalam Anonim, 2003). Menurut Grey dan Deneke dalam Fandeli, C. et al, (2004), iklim mikro terbentuk di dalam suatu tegakan hutan kota. Elemen iklim mikro dalam hal ini adalah suhu, kelembaban relatif, intensitas cahaya dan arah kecepatan angin. Proses ekofisiologi yang menyebabkan terbentuknya iklim mikro yang berbeda dengan kondisi di luar tegakan adalah proses transpirasi dan evaporasi. Proses penyerapan air yang diambil dari tanah kadang-kadang dipercepat oleh mycorhiza menyebabkan terjadinya aliran ke atas. Proses ini akan menjadi semakin besar karena adanya proses transpirasi dan evaporasi. Irawan (2005) menyatakan bahwa evaporasi dipengaruhi oleh suhu dan merupakan pertukaran antara panas laten dengan panas yang terasa (sensibel). Tanaman yang tinggi, laju evapotranspirasinya lebih besar. Kehilangan panas karena terjadinya evaporasi akan menyebabkan suhu di sekitar tanaman akan menjadi lebih sejuk. Menurut Grey dan Deneke dalam Irawan (2005), pepohonan dengan vegetasi lainnya dapat memperbaiki suhu kota malalui evapotranspirasi. Sebatang pohon yang terisolir akan menguapkan air sekitar 400 58
JURNAL PENELITIAN VOL. 7 liter/hari jika air tanah cukup tersedia (Kramer dan Kozlowski, 1970) dan (Federer, 1970). Untuk mengurangi pengaruh berkurangnya kelembaban udara perlu dilakukan penghijauan dengan penghutanan, taman, air mancur, RTH, situ-situ dan rawa. Kota yang berkembang dengan menggunakan energi lebih banyak, menyebabkan udara bertambah panas yang memerlukan kelembaban udara dari pepohonan atau hutan kota (Issoewandhono dalam Irawan, 2005). Hasil penelitian Sani dalam Irawan (2005), menunjukkan adanya perbedaan suhu di luar dan di dalam taman kota kecil sebesar 4,5 oC di Kuala Lumpur. Menurut Irawan (2005), hutan kota dapat menurunkan suhu kota sekitarnya sebesar 3,46 % di siang hari pada permulaan musim hujan. Sedangkan hutan kota menaikkan kelembaban sebesar 0,81 % di siang hari pada permulaan musim hujan. Hutan kota berstrata banyak ternyata lebih banyak meningkatkan kelembaban, yaitu 3,48 % dibandingkan dengan yang berstrata dua (Irawan, 2005). Menurut Irawan (2005), kelembaban udara menunjukkan kandungan uap air di atmosfer pada suatu saat dan waktu tertentu. Kelembaban udara berhubungan dengan keseimbangan energi dan merupakan ukuran banyaknya energi radiasi berupa panas laten yang dipakai untuk menguapkan air yang terdapat di permukaan yang menerima radiasi. Semakin banyak air yang diuapkan, semakin banyak energi yang berbentuk panas laten yang makin lembab udaranya. Uap air di atmosfer bertindak sebagai pengatur panas (suhu udara) karena sifatnya yang dapat menyerap energi radiasi matahari gelombang pendek maupun gelombang panjang. Monteith dan Unsworth (1990) mengemukakan bahwa kelembaban nisbi adalah perbandingan tekanan uap air aktual terhadap tekanan uap air jenuh pada suhu yang sama. Keberadaan bangunan fisik buatan manusia dan benda-benda alami pada suatu lingkungan juga mempunyai pengaruh terhadap iklim mikro setempat, misalnya terhadap suhu udara, kecepatan arah angin, intensitas dan lama penyinaran yang diterima oleh suatu permukaan, dan kelembaban udara. Keragaman dari unsur-unsur iklim ini disebabkan karena perbedaan kemampuan dari benda-benda tersebut dalam menyerap radiasi matahari, menyiram air, dan keragaman rupa fisiknya (Anonim, 2006). Pengetahuan tentang sifat-sifat benda atau bahan sehubungan dengan kemampuannya untuk menyerap, memantulkan, atau meneruskan radiasi matahari serta kemampuannya dalam menyerap dan menahan air, sering dimanfaatkan manusia dalam usahanya untuk memodifikasi iklim mikro. Modifikasi iklim mikro sering dilakukan dengan tujuan untuk menciptakan lingkungan yang lebih nyaman bagi manusia atau untuk menciptakan lingkungan yang lebih optimal (atau paling tidak lebih baik) untuk pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Pendekatan lain untuk memodifikasi iklim mikro yang dilakukan manusia diantaranya adalah dengan merubah kelembaban udara, dan temperatur. Irwan (1997) melaksanakan penelitian di dalam tegakan hutan kota. Dari hasil penelitian ini ternyata kenyamanan dan kenikmatan orang diperoleh bila berada di hutan kota yang berstrata banyak, beranekaragam jenis, banyak jumlahnya dan ditata baik. Kenyamanan penduduk kota antara lain ditentukan oleh temperatur yang berada pada ruangan ber-AC. Setiap pohon dalam proses transpirasinya menciptakan suhu yang membikin orang dibawahnya merasa nyaman.
59
JURNAL PENELITIAN VOL. 7 C. METODE PENELITIAN Waktu penelitian dilakukan selama 3 (tiga) bulan, yang bertempat di kota Yogyakarta pada RTH (Ruang Terbuka Hijau) privat di beberapa ruas jalan, yakni : Jl. Urip Sumoharjo, Jl. Malioboro, Jl. Diponegoro, Jl. Ahmad Yani, Jl. Mangkubumi, Jl. Suryotomo dan Jl. Brigjen Katamso. Alat yang digunakan dalam penelitian adalah Thermohigrometer untuk mengukur suhu dan kelembaban udara, kompas, kalkulator, kamera digital, roll meter, pita ukur dan alat tulis. Pengambilan sampel dilakukan secara systematic sampling dengan mengambil sampel diambil pada jalan-jalan besar di kota Yogyakarta. Pengambilan sampel dilakukan secara teratur pada setiap 4 bangunan dengan satuan sampel adalah satu kompleks bangunan. Intensitas sampling yang digunakan adalah 20% dari populasi. Jumlah total sampel sebanyak 162 sampel dari 808 populasi bangunan di 7 ruas jalan dengan rincian sebagai berikut : Jl. Urip Sumoharjo 23 sampel; Jl. Diponegoro 12 sampel; Jl. P.Mangkubumi 20 sampel; Jl. Malioboro 25 sampel; Jl. Ahmad Yani 19 sampel; Jl. Brigjen Katamso 51 sampel dan Jl. Suryotomo 12 sampel. Ada dua data yang dianalisis dalam penelitian ini, yaitu data kuantitatif dan data kualitatif. Data kuantitatif diperoleh dari pengukuran di lokasi sampel, sedangkan data kualitatif diperoleh dengan metode survey melalui wawancara dan pengisian kuisioner kepada responden yang terpilih sebagai sampel. Sasaran respoden adalah pemilik bangunan atau orang yang keseharian memiliki ikatan dengan lokasi. Data yang telah terkumpul yang terdiri dari tiga parameter, yaitu data suhu udara, kelembaban dan data tingkat respon masyarakat, kemudian disusun dalam bentuk tabulasi untuk masing-masing parameter, kemudian dilakukan klasifikasi berdasarkan luasan RTH, yaitu Tidak ada RTH (0 m2) ; luasan 0,1 –5 m2 ; luasan 5,1 –10 m2 ; luasan 10,1 –20 m2 ; luasan 20,1 –40 m2 ; luasan 40,1 –70 m2 ; luasan 70,1 –150 m2 ; dan luasan >150 m2. Untuk mengetahui perbedaan nilai rata-rata pada sumber yang dinyatakan berbeda nyata pada analisis varians maka dilakukan uji lanjut dengan metode uji Tukey. Sementara itu data responden dilakukan skoring kemudian dianalisis secara deskriptif. D. HASIL DAN PEMBAHASAN 1.
Suhu dan Kelembaban Udara Rata-rata suhu dan kelembaban yang diukur pada beberapa level luas RTH privat disajikan pada Tabel 1 berikut : Tabel 1. Rerata Suhu dan Kelembaban pada Beberapa Level Luas RTH Privat Level
60
Luas RTH
Frekuensi
Rerata Suhu (oC)
Rerata Kelembaban (%)
a
0
104
33,57
63,84
b
0,1-5 m2
27
33,33
60,67
2
c
5,1-10 m
13
33,88
62,54
d
10,1-20 m2
3
33,63
67,33
e
2
20,1-40 m
4
33,85
69,75
f
40,1-70 m2
6
32,53
65,17
2
g
70,1-150 m
2
32,50
65,50
h
>150 m2
2
34,75
66,00
Jumlah
161
JURNAL PENELITIAN VOL. 7 Berdasarkan analisis keragaman, perbedaan luas RTH privat yang terbagi menjadi 8 level tingkatan luas tidak berpengaruh secara nyata terhadap suhu dan kelembaban di ruas-ruas jalan yang diukur. Hal ini karena tingkat keragaman sampel relatif kecil yang ditunjukkan oleh sebaran proporsi sampel yang sangat tidak berimbang di antara level luas RTH privat. Keragaman yang sangat kecil ditunjukkan dengan frekuensi yang tidak berimbang di antara level luas RTH. Frekuensi terbesar terdapat pada level luas RTH 0 m2 yang mencapai 64,81%. Dengan demikian luas RTH privat yang ada belum berpengaruh secara langsung pada kondisi udara sekitarnya. Secara grafis persentase sebaran luas RTH dalam sampel yang diambil dapat dilihat pada gambar di bawah ini :
Gambar 1. Persentase Sebaran Level Luas RTH 2.
Data Responden Sampel responden dalam penelitian ini sebanyak 162 pengguna bangunan. Mayoritas responden menyatakan senang dan sangat senang dengan keberadaan Ruang Terbuka Hijau (RTH) privat, hanya sedikit yang menyatakan tidak senang dan selebihnya tidak memberikan pernyataan. Berikut ini persentase kesan responden terhadap RTH.
Gambar 2. Persentase Kesan Responden terhadap Keberadaan RTH Privat 61
JURNAL PENELITIAN VOL. 7
Berdasarkan diagram di atas, walaupun mayoritas menyatakan senang dengan adanya RTH privat, hal itu belum ditunjukkan dengan adanya kesungguhan responden untuk pengadaan tanaman di bangunannya. Masih cukup banyak dari responden yang belum memiliki tanaman di bangunannya, yakni mencapai 32 %. Bahkan sebagian besar tanaman (RTH) yang ada hanya tanaman dalam pot, mencapai 35,8 %. Selengkapnya persentase jenis-jenis RTH privat yang dimiliki responden disajikan pada diagram di bawah ini.
Gambar 3. Diagram Persentase Jenis RTH Privat yang Dimiliki Responden Berikut ini sebaran responden yang belum memiliki tanaman sebagai wujud RTH privat di bangunannya. Total responden yang belum memiliki tanaman sebanyak 53 bangunan (32,72 %).
Gambar 4. Sebaran Responden yang Belum Memiliki Tanaman 62
JURNAL PENELITIAN VOL. 7
Gambar 5. Diagram Persentase Rencana Mempertahankan Tanaman Menurut diagram di atas, di antara responden yang sudah memiliki tanaman pun belum ada jaminan dari mereka untuk mempertahankan tanaman yang sudah ada, yakni sekitar 16,05 %. Sebagian besar memang ingin mempertahankan tanaman mereka (74,07 %), sedangkan sisanya abstain alias belum tahu rencananya ke depan seperti apa terhadap tanaman mereka (Gambar 5). Dengan melihat persentase yang cukup besar untuk responden yang belum memiliki tanaman sebagai wujud RTH privat dibangunannya, hal ini menunjukkan belum optimalnya respon masyarakat terhadap kebijakan Pemerintah Kota Yogyakarta tentang RTH privat. Padahal mayoritas penggunaan bangunan di 7 (tujuh) ruas jalan yang diteliti adalah untuk usaha, khususnya toko/ruko. Bidang penggunaan ini termasuk yang terkena kewajiban mengadakan RTH privat menurut Peraturan Walikota No. 6 Tahun 2010. Berikut ini diagram persentase jenis penggunaan bangunan dari responden.
Gambar 6. Diagram Persentase Jenis Penggunaan Bangunan
63
JURNAL PENELITIAN VOL. 7 Sebagaimana telah disampaikan di atas bahwa sebagian besar pengguna bangunan di 7 (tujuh) ruas jalan yang diteliti adalah para pengusaha toko/ruko. Layaknya sebuah usaha bisnis, mestinya mereka ingin berkembang, termasuk dalam mengembangkan bangunannya yang akan berakibat mengurangi ruang untuk tanaman. Hal inilah yang selama ini dikhawatirkan tentang eksistensi RTH privat untuk masa mendatang, karena memang lokasi adalah milik pribadi. Dari data responden yang ada, kekhawatiran tersebut mungkin akan berkurang, karena ternyata sebagian besar responden tidak ada rencana untuk mengembangkan bangunannya, yakni mencapai 83,33 %. Selengkapnya bisa dilihat pada gambar di bawah ini.
Gambar 7.
Diagram Persentase Rencana Responden dalam Mengembangkan Bangunan
Hal yang juga cukup menggembirakan adalah sebagian besar responden ternyata berencana ingin menambah tanaman mereka (55,56 %), termasuk bagi yang belum memiliki tanaman. Walaupun demikian masih diperlukan sosialisasi tentang pentingnya menambah tanaman sebagai bentuk ruang terbuka hijau (RTH) bagi pengguna bangunan yang belum ada rencana menambah tanaman mereka. Jumlah mereka cukup besar juga, yakni mencapai 38,27 % (Gambar 8). Dengan adanya Peraturan Walikota tentang RTH privat dapat digunakan sebagai instrumen untuk sosialisasi kepada pengguna bangunan yang belum menyediakan ruang untuk tanaman.
Gambar 8. Diagram Persentase Rencana Responden Menambah Tanaman
64
JURNAL PENELITIAN VOL. 7 E. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI a. Kesimpulan 1. Luas RTH privat tidak berpengaruh terhadap kualitas udara, yang dicerminkan tidak berpengaruh pada suhu dan kelembaban di sekitarnya. 2. Masih cukup besar responden yang belum memiliki RTH privat, yakni mencapai 64,81%. 3. Tingkat respon (interest) masyarakat terhadap keberadaan ruang terbuka hijau (RTH) privat cukup tinggi, yaitu bahwa 74,07% responden menginginkan untuk mempertahankan tanaman (RTH privat), 55,56% responden menginginkan menambah tanaman pada RTH privat . 4. RTH privat pada saat ini baru berfungsi secara estetika yang harus dipertahankan. Hal ini ditunjukkan pada kesan responden yang senang dan sangat senang terhadap RTH. b. Rekomendasi 1. Diperlukan PERDA yang mengatur pembangunan rumah/toko yang menyertakan keberadaan RTH privat beserta jenisnya (pohon, perdu, pergola, pot dll). 2. Berdasarkan hasil penelitian, implementasi kebijakan berupa sosialisasi program perlu lebih diefektifkan terutama di Jl. Urip Sumoharjo, Jl. Brigjen Katamso dan Jl. Malioboro. 3. Diperlukan mekanisme sanksi bagi masyarakat yang tidak membuat RTH di bangunannya di lokasi-lokasi implementasi kebijakan.
F. DAFTAR PUSTAKA Anonim. 2003. Peranan Bentuk Hutan Kota Terhadap Iklim Mikro Yang Terbentuk di Kotamadya Yogyakarta. Skripsi. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta. _________. 2006. Aspek Iklim Dalam Perencanaan Tata Ruang. Artikel Ilmiah. http://io.ppi-jepang.or, Email
[email protected] Fandeli, Chafid. 2001. Kriteria Pembangunan Hutan Kota dalam Persektif Lingkungan. Prosiding Workshop Pembangunan Hutan Kota, Fakultas Kehutanan UGM, Yogyakarta. Fandeli, C., dkk. 2004. Perhutanan Kota. Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta. Federer, C. A., 1970. Effects Of Trees In Modifying Urban Mirco Climate. Dalam Trees And Forest Urbanizing Environment 1971. University Of Massachusetts. Amherst Hardjowisastro, Setyoso. 2009. Jogja Harusnya Punya Hutan Kota. Berita Jogja (Harian Online). Irawan, Zoer’aini, D., 2005. Tantangan Lingkungan dan Lansekap Hutan Kota. Bumi Aksara. Jakarta. Kartasapoetra, A. G., 2006. Klimatologi : Pengaruh Iklim Terhadap Tanah Dan Tanaman. Bumi Aksara. Jakarta. Lubis, Erwansyah dan H. Suseno, 2002. Penyerapan Timbal oleh Tanaman Berakar Gantung. Jurnal Hasil Penelitian Pusat Pengembangan Pengelolaan Limbah Radioaktif (P2PLR). Monteith, J. L. and Unswotrh, M. H., 1990. Principles Of Environment Physics. Routledge Chapman and Hall. Inc. London, New York.
65
JURNAL PENELITIAN VOL. 7 Strategi Penanggulangan Kemiskinan Studi Kasus Kelurahan Tegalpanggung dan Prawirodirjan Kota Yogyakarta (Oleh : Jamzani Sodik, Didi Nuryadin) ABSTRAK Fenomena kemiskinan termasuk Kota Yogyakarta merupakan fenomena yang kompleks dan tidak dapat secara mudah dilihat dari satu angka absolut. Keberagaman budaya masyarakat yang menyebabkan kondisi dan permasalahan kemiskinan di Kota Yogyakarta menjadi sangat beragam dengan sifat-sifat lokal yang kuat serta pengalaman kemiskinan yang berbeda secara sosial maupun antara laki-laki dan perempuan. Belum teratasinya masalah kemiskinan di Kota Yogyakarta ini mendorong pemikiran akan perlunya suatu strategi baru penanggulangan kemiskinan yang lebih menyentuh akar permasalahan kemiskinan secara tuntas. Metode SWOT merupakan alat analisis lazim digunakan dalam manajemen strategi pengembangan perusahaan. Dengan analisis SWOT maka terbentuklah rekomendasi strategi penanggulangan kemiskinan di Kota Yogyakarta yaitu 1) Peningkatan Kualitas Sumber Daya Manusia diantaranya: a.pendidikan yang murah (gratis) sampai tingkat SMA, b.Memperbanyak program beasiswa, c. Pelatihan dan Ketrampilan Usaha, 2) Peningkatan akses ke Lembaga Permodalan diantaranya: a. Peningkatan kerjasama dengan lembaga perbankan, b. Peningkatan Permodalan, 3) Peningkatan Lapangan Kerja diantaranya: a.Peningkatan proyek padat karya, b.Bantuan alat-alat atau mesin-mesin untuk usaha produktif, 4) Peningkatan kerjasama dengan lembaga baik dalam negeri maupun internasional, diantaranya: a.Peningkatan kerjasama dengan LSM dalam dan luar negeri, b.Peningkatan kerjasama dalam penanggulangan kemiskinan A. PENDAHULUAN Permasalahan klasik dan hingga saat ini belum ada solusi riil dalam menuntaskannya oleh pemerintah adalah masalah kemiskinan, dan bahkan sering kali hanya dijadikan sebagai objek dalam proses pembangunan. Belum teratasinya masalah kemiskinan tersebut, mendorong pemikiran akan perlunya suatu strategi baru penanggulangan kemiskinan yang lebih menyentuh akar permasalahan kemiskinan. Pemecahan masalah kemiskinan perlu didasarkan pada pemahaman suara masyarakat miskin itu sendiri dan adanya penghormatan, perlindungan dan pemenuhan terhadap hakhak dasar mereka, yaitu hak sosial, budaya, ekonomi dan politik. Fenomena kemiskinan termasuk Kota Yogyakarta merupakan fenomena yang kompleks dan tidak dapat secara mudah dilihat dari satu angka absolut. Kota Yogyakarta yang dikenal sebagai kota pelajar dan kota wisata seiring dengan perkembangan kota memiliki daya tarik yang kuat terhadap urbanisasi yang berpengaruh terhadap jumlah penduduk. Keberagaman budaya masyarakat yang menyebabkab kondisi dan permasalahan kemiskinan dan pengangguran di Kota Yogyakarta menjadi sangat beragam dengan sifatsifat lokal yang kuat serta pengalaman kemiskinan yang berbeda secara sosial maupun antara laki-laki dan perempuan (RAD Penanggulangan Kemiskinan dan Pengangguran Kota Yogyakarta, 2007). Masalah kemiskinan merupakan masalah yang bersifat multisektoral yang harus menjadi tanggung jawab semua pihak baik mulai dari tingkat pusat sampai pada individu masyarakat. Usaha dalam upaya penanggulangan kemiskinan telah banyak dilakukan oleh pemerintah. Perhatian serius kepada keluarga miskin terlihat dengan kebijakan-kebijakan aktifitas yang dilakukan oleh pemerintah yang sasarannya adalah keluarga miskin. Masalah kemiskinan hanya dapat dituntaskan apabila pemerintah melakukan kebijakan yang serius 66
JURNAL PENELITIAN VOL. 7 dan memihak kepada keluarga miskin. Namun seringkali kebijakan yang dibuat justru kurang memihak keluarga miskin, akibatnya kebijakan yang ada semakin memperburuk kondisi keluarga miskin bahkan menyebabkan seseorang yang tidak miskin menjadi miskin. Oleh karena itu, usaha penanggulangan kemiskinan haruslah memiliki perencanaan, penetapan kebijakan dan strategi serta arah yang jelas dalam penanganannya dan didukung dengan program dan kegiatan yang tepat sasaran, yaitu keluarga miskin. B. TUJUAN DAN MANFAAT B.1. Tujuan Adapun secara khusus tujuan penelitian ini adalah : 1) Melihat gambaran Makro dan Mikro kemiskinan di Kota Yogyakarta Kelurahan Tegalpanggung dan Kelurahan Prawirodirjan. 2) Memberikan pedoman/acuan bagi aparatur pemerintah dalam rangka penyusunan program penanggulangan kemiskinan di Kota Yogyakarta. 3) Merumuskan rekomendasi strategi dan kebijakan penanggulangan kemiskinan di Kota Yogyakarta. B.2. Manfaat Penelitian ini berupaya merumuskan Strategi Penanggulangan Kemiskinan Kota Yogyakarta, Kelurahan Tegalpanggung dan Kelurahan Prawirodirjan dimaksudkan agar dalam upaya penanggulangan kemiskinan ada arah yang jelas dan cara-cara yang sistematis yang harus ditempuh dan dijalankan oleh pemerintah daerah, swasta dan masyarakat dan berbagai pihak dalam upaya mendorong gerakan daerah dalam penanggulangan kemiskinan. C. TINJAUAN PUSTAKA C. 1. Konsep Kemiskinan C.1.1. Definisi dan Dimensi Kemiskinan Ada banyak definisi dan konsep tentang kemiskinan. Kemiskinan merupakan masalah yang bersifat multidimensi sehingga dapat ditinjau dari berbagai sudut pandang. World Bank (2002) membagi dimensi kemiskinan ke dalam empat hal pokok, yaitu lack of opportunity, low capabilities, low level security, dan low capacity. Kemiskinan dikaitkan juga dengan keterbatasan hak-hak sosial, ekonomi, dan politik sehingga menyebabkan kerentanan, keterpurukkan, dan ketidakberdayaan. Meskipun fenomena kemiskinan itu merupakan sesuatu yang kompleks dalam arti tidak hanya berkaitan dengan dimensi ekonomi, tetapi juga dimensi-dimensi lain di luar ekonomi, namun selama ini kemiskinan lebih sering dikonsepsikan dalam konteks ketidakcukupan pendapatan dan harta (lack of income and assets) untuk memenuhi kebutuhan dasar seperti pangan, pakaian, perumahan, pendidikan, dan kesehatan, yang semuanya berada dalam lingkungan dimensi ekonomi (Nanga, 2006). Badan Pusat Statistik (BPS) sebagai penyedia data kemiskinan mempunyai definisi bahwa seseorang dikatakan miskin apabila tidak mampu memenuhi kebutuhan pokok untuk dapat hidup secara layak, baik kebutuhan makan maupun non makanan. Namun demikian pendapat para ahli dan Lembaga Internasional mengenai kemiskinan sebenarnya amat beragam. Kemiskinan diartikan lebih luas dari sekedar dimensi ekonomi karena juga termasuk dimensi lain. Sebagai salah satu indikator kemiskinan United Nation Development Program (UNDP) mendefinisikan kemiskinan sebagai ketidakmampuan untuk memperluas pilihan-pilihan dalam hidup antara lain dengan memasukkan penilaian tidak adanya partisipasi dalam pengambilan keputusan publik sebagai salah satu indikator kemiskinan (Cahyat, 2004) 67
JURNAL PENELITIAN VOL. 7 Definisi kemiskinan dengan demikian mengalami pergeseran bersamaan dengan bertambahnya pengetahuan tentang kemiskinan dan faktor-faktor penyebabnya dalam dekade terakhir. Pada tahun 1990-an definisi kemiskinan telah diperluas tidak hanya berdasarkan tingkat pendapatan, tetapi juga menyangkut ketidakmampuan di bidang kesehatan, pendidikan dan perumahan. Dalam hubungan tersebut telah diakui adanya interaksi dan hubungan sebab akibat antara berbagai dimensi kemiskinan. Cahyat (2004) juga mengatakan bahwa di penghujung abad 20 muncul pengertian terbaru mengenai kemiskinan, yaitu bahwa kemiskinan juga menyangkut dimensi kerentaan, ketidakberdayaan, dan ketidakmampuan untuk menyampaikan aspirasi. Jadi kemiskinan berwajah majemuk atau bersifat multidimensi. C.1.2. Penyebab variasi kemiskinan Todaro (2000) menyebutkan bahwa variasi kemiskinan antar negara disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu (1) perbedaan geografis, jumlah penduduk dan tingkat pendapatan, (2) perbedaan sejarah, (3) perbedaan kekayaan sumber daya alam dan kualitas sumber daya manusia, (4) perbedaan peranan sektor swasta dan negara, (5) perbedaan struktur industri, (6) perbedaan derajat ketergantungan pada kekuatan ekonomi dan politik negara lain dan (7) perbedaan pembagian kekuasan, struktur poltik dan kelembagaan dalam negeri. Jhingan (2000) mengemukakan tiga ciri utama negara berkembang yang menurutnya menjadi penyebab sekaligus akibat yang saling terkait, dari kemiskinan yang terjadi. Ciri pertama, prasarana dan sarana pendidikan yang tidak memadai sehingga menyebabkan tingginya jumlah penduduk buta huruf dan tidak memiliki ketrampilan atau keahlian. Ciri kedua sarana kesehatan dan pola konsumsi buruk sehingga hanya sebagian kecil penduduk yang bisa menjadi tenaga kerja produktif akibatnya laju pertumbuhan ekonomi menjadi terhambat. Ciri ketiga adalah penduduk terkonsentrasi di sektor pertanian dan pertambangan dengan metode produksi yang telah usang dan ketinggalan jaman. Hal ini terjadi karena penduduk tidak memiliki pilihan lain. Kepemilikan tanah rata-rata per petani cukup sempit dan sebagai akibatnya mereka terpaksa hidup pada tingkat yang hanya cukup untuk sekedar hidup. Produktivitas tenaga kerja juga rendah. Pekerjaaan yang seharusnya dapat dilakukan oleh sejumlah orang tertentu kemudian menjadi dikerjakan oleh lebih banyak orang tanpa berdampak pada peningkatan output. Berdasarkan pendapat para ahli ekonomi pembangunan, secara garis besar dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor penyebab terjadinya variasi tingkat kemiskinan antar wilayah dalam suatu negara mencakup (1) perbedaan sumber daya, (2) perbedaan pemanfaatan sumber daya (3) perbedaan ketersediaan sarana dan prasarana dasar, (4) karateristik pasar, (5) perbedaan kualitas kelembagaan pemerintah. C.1.3. Teori Lingkaran Kemiskinan Jhingan (2000) dan Kuncoro (2003) mengutip pendapat Nurkse bahwa negara atau daerah yang tingkat kemiskinannya tinggi pada umumnya terjerat ke dalam lingkaran kemiskinan. Lingkaran kemiskinan menurut Nurkse merupakan deretan kekuatan-kekuatan yang melingkar dan berinteraksi satu dengan yang lainnya sedemikian rupa sehingga menempatkan suatu negara atau daerah yang memiliki tingkat kemiskinan tinggi untuk tetap berada dalam kondisi tertinggal. Kondisi tersebut menjadikan kemiskinan sebagai sebab sekaligus akibat. Lingkaran kemiskinan berawal dari fakta bahwa produktivitas total di negara atau daerah miskin sangat rendah sebagai akibat dari keterbatasan modal, ketidaksempurnaan pasar dan ketertinggalan ekonomi. Gambar di bawah menunjukkan dua lingkaran kemiskinan dilihat dari sisi permintaan (demand) dan penawaran (supply). Dari sisi permintaan (gambar bagian kiri), rendahnya tingkat pendapatan riil menyebabkan permintaan menjadi rendah sehingga pada gilirannya tingkat investasi pun rendah. Rendahnya tingkat investasi menyebabkan rendahnya modal dan produktivitas yang tercermin dalam rendahnya pendapatan riil. Dari 68
JURNAL PENELITIAN VOL. 7 sisi penawaran (gambar bagian kanan) pendapatan riil rendah berarti tingkat tabungan juga rendah sehingga menyebabkan rendahnya tingkat investasi dan keterbatasan kesediaan modal. Pada gilirannya kondisi tersebut bermuara pada rendahnya produktivitas sehingga menyebabkan rendahnya pendapatan riil. Gambar 1.1 Lingkaran Kemiskinan Kanan Produktivitas Rendah
Kiri Produktivitas Rendah
Kurang Modal
Pendapatan Rendah
Investasi Rendah
Permintaan Rendah
Kurang Modal
Investasi Rendah
Pendapatan Rendah
Tabungan Rendah
D. METODOLOGI PENELITIAN D.1. Data dan Sumber Data Data dalam penelitian ini meliputi data sekunder yang terdiri atas data mengenai kebijakan pemerintah terkait program penanggulangan kemiskinan baik pemerintah Pusat maupun Pemerintah Kota Yogyakarta, data topografi dan letak daerah, demografi dan kependudukan, perkembangan perekonomian, dan data-data atau publikasi-publikasi pendukung yang relevan. Data primer yang dikumpulkan adalah data tentang jenis mata pencaharian penduduk, tingkat pendapatan, tingkat pendidikan kepala keluarga dan anggota keluarga, jumlah tanggungan keluarga, kepemilikan lahan dan penguasaan aset produksi, kelembagaan yang terdapat di masyarakat, pengeluaran rumah tangga, sumber pendapatan utama dan sampingan rumah tangga, masalah-masalah yang mereka hadapi di dalam menjalankan usaha (sumber penghasilan rumah tangga). Di samping itu data primer yang dibutuhkan antara lain : 1) data/informasi yang diperoleh dari hasil pemetaan kemiskinan. 2) Data/informasi melalui survey lanjutan. Survey lanjutan perlu dilakukan untuk mendapatkan data dan informasi tambahan antara lain: A) Data/informasi yang dikumpulkan adalah data tentang: (i) masalah dan kendala utama yang dihadapi masyarakat miskin, (ii) potensi sumberdaya yang dimiliki masyarakat miskin; dan (iii) upaya-upaya yang dilakukan oleh masyarakat miskin untuk keluar dari kemiskinan, dan (iv) saran/keinginan dari masyarakat miskin kepada pemerintah daerah dalam pengentasan kemiskinan. B) Desain sampel dilakukan sedemikian rupa 69
JURNAL PENELITIAN VOL. 7 berdasarkan hasil pemetaan. Sampel terpilih hendaknya mewakili daerah perkotaan (urban). D.2.Teknik Pengumpulan Data Primer Data primer dikumpulkan dengan memakai metode wawancara mendalam dengan para key informan pada setiap kelurahan dan kecamatan lokasi penelitian. Data primer selain dari key informan juga diperoleh langsung dari rumah tangga yang menjadi sampel dalam penelitian ini. Untuk memperoleh data tersebut digunakan teknik wawancara dengan menggunakan kuesioner atau daftar pertanyaan, serta melakukan observasi di lapangan. Pada penelitian ini untuk mengefisiensikan biaya yang ada maka hanya terfokus pada 2 kelurahan yang menjadi konsentrasi kemiskinan di Kota Yogyakarta. Kelurahan yang diambil sebagai lokasi penelitian adalah kelurahan yang penduduknya sebagian besar (dominan) miskin. Penelitian dilakukan dengan metode survei yang dikombinasikan dengan analisis data sekunder serta interview mendalam (indepth interview) terhadap sejumlah informan kunci (key informan). Untuk mendapatkan data primer pada setiap kelurahan lokasi penelitian dilakukan pengisian daftar pertanyaan berdasarkan wawancara peneliti (interviewer) dengan responden. Adapun yang menjadi responden adalah salah seorang anggota rumah tangga yang terpilih menjadi sampel penelitian. Survei rumah tangga akan dilakukan dengan melibatkan jumlah sample rumah tangga miskin di tingkat kelurahan yang menjadi sampel. Tahap pertama adalah dengan menentukan sampling terpilih, yakni kelurahan yang terpilih secara acak. Kemudian penarikan sampel dilakukan secara sistematik random sampling dari interval sample yang ditentukan sesuai dengan jumlah rumah tangga yang ada. D.3. Analisis Data D.3.1. Analisis Kualitatif Sesuai dengan sifat penelitian ini merupakan eksploratif, maka data yang dianalisis disamping menggunakan kuantitatif juga kualitatif. Analisis kualitatif menggunakan statistik diskriptif berupa persentase, rata-rata dan presentasi grafik. Selain itu, untuk memberikan penjelasan yang lebih dalam juga melakukan pemaparan kualitatif terhadap fenomena yang ingin dijelaskan terutama berkaitan dengan informasi yang didapatkan dari informan kunci. Setelah pengumpulan data dilakukan, selanjutnya dilakukan kompilasi dan analisis data. Kompilasi dilakukan dengan melakukan validasi maupun cross- check pada data-data yang diperoleh, agar data yang digunakan untuk analisis benar-benar representatif. Analisis yang dilakukan adalah analisis kuantitatif dan kualitatif, sehingga diperoleh informasi yang tepat untuk membuat kebijakan dan strategi serta program aksi yang tepat dalam pengentasan kemiskinan Kota Yogyakarta ke depan. Di samping menggunakan deskriptif statistik juga dengan metode analisis SWOT (Strengths, Weaknesses, Opportunities, and Threats). Berdasarkan hasil analisis pemetaan kemiskinan yang telah dilakukan, dan analisis SWOT kemudian dirumuskan program dan strategi Pengentasan Kemiskinan dalam bentuk matriks. Matriks tersebut berisikan: 1) Jenis program/proyek pengentasan kemiskinan; 2) Jenis kegiatan pengentasan kemiskinan; 3) Bentuk kegiatan pengentasan kemiskinan; 4) Waktu pelaksanaan; 5) Lembaga/instansi pelaksana; 6) Cakupan wilayah; 7) Jumlah masyarakat miskin yang menjadi target. Metode SWOT merupakan alat analisis lazim digunakan dalam manajemen strategi pengembangan perusahaan. Analisis SWOT dalam konteks manajemen strategi merupakan suatu proses yang terdiri atas serangkaian tahapan, secara sederhana, tahapan-tahapan tersebut ditunjukkan pada Gambar 3.1 berikut ini:
70
JURNAL PENELITIAN VOL. 7
Analisis Lingkungan
Lingkungan eksternal (lingkungan makro, lingkungan ekonomi kawasan) Lingkungan internal
Penentuan Arah Organisasi
Visi Misi Tujuan
Perumusan Strategi
Tingkat Korporat Tingkat Bisnis
Implementasi Strategi (Simulasi)
Struktur organisasi Budaya organisasi Kepemimpin-an
Pengendalian Strategi
Tradisional Adaptif
Umpan-balik Gambar 1.1 Tahapan Analisis SWOT Kerangka kerja analisis SWOT yang multi dimensional memungkinkan penggunaan metode ini secara luas dalam berbagai konteks studi, terutama dalam kajian terhadap perencanaan dan perumusan kebijakan, serta strategi pembangunan. Dalam konteks studi kebijakan pembangunan di tingkat kabupaten/kota, maka obyek analisisnya adalah kabupaten yang menjadi unit organisasi. Karena itu proses manajemen strategi perusahaan yang ditunjukkan pada Gambar 1.1 diadaptasikan sebagai proses kebijakan dan strategi pembangunan daerah/ kabupaten. Dengan demikian aspek-aspek yang berhubungan dan berpengaruh terhadap kebijakan dan strategi pembangunan daerah menjadi variabel analisis. Karena metode SWOT memungkinkan untuk meninjau secara komprehensif aspek-aspek dimaksud, maka dalam studi ini metode SWOT ditempatkan sebagai terminal analisis. Dimana, hasil-hasil analisis model kuantitatif maupun kualitatif lainnya selanjutnya menjadi input atau bahan analisis SWOT. Kerangka kerja analisis SWOT secara holistik melihat hubungan dan pengaruh setiap variabel-variabel internal maupun eksternal kemiskinan daerah. Oleh karena itu memungkinkan ditarik ke area analisis yang lebih spesifik untuk mengkaji perumusan kerangka strategi penanggulangan kemiskinan. Kerangka kerja SWOT untuk analisis strategi penanggulangan kemiskinan ditunjukkan Gambar 4.2 berikut ini:
71
JURNAL PENELITIAN VOL. 7
Gambar 1.2 Kerangka Kerja Analisis SWOT E. HASIL DAN PEMBAHASAN E.1. Kelurahan Tegalpanggung KEKUATAN 1. Komitmen pimpinan dalam mewujudkan kesejahteraan rakyat terutama penanggulangan kemiskinan 2. Semangat untuk hidup lebih baik 3. Sebagian besar masyarakatnya sudah terdaftar Jamkesmas 4. Sebagian besar sudah mendapat bantuan beras miskin 5. Solidaritas masyarakat yang tinggi KELEMAHAN 1. Pendidikan KK yang rendah 2. Pendapatan yang tidak menentu 3. Tidak punya akses ke permodalan 4. Ketrampilan rendah 5. Pekerjaan KK yang tidak tetap PELUANG 1. Muara pembangunan Nasional adalah mewujudkan kesejahteraan rakyat 2. Komitmen yang tinggi baik secara Nasional maupun Internasional dalam memberantas kemiskinan 3. Semakin meningkatnya peran serta masyarakat dalam partisipasi pembangunan 4. Cukup banyak dana subsidi dari pusat dan dari lembaga internasional untuk program kemiskinan 72
JURNAL PENELITIAN VOL. 7 ANCAMAN 1. Biaya hidup yang semakin tinggi 2. Biaya pendidikan yang tinggi 3. Globalisasi ekonomi 4. Krisis ekonomi 5. Kebijakan mengenai kemiskinan yang belum efektif dan tidak konsisten E.2. Kelurahan Prawirodirjan KEKUATAN 1. Komitmen pimpinan dalam mewujudkkan kesejahteraan rakyat terutama penanggulangan kemiskinan 2. Semangat untuk hidup lebih baik 3. Sebagian besar masyarakatnya sudah terdaftar Jamkesmas (86%) 4. Sebagian besar sudah mendapat bantuan beras miskin 5. Solidaritas masyarakat yang tinggi KELEMAHAN 1. Pendidikan KK yang rendah 2. Pendapatan yang tidak menentu 3. Tidak punya akses ke permodalan 4. Ketrampilan rendah 5. Pekerjaan KK yang tidak tetap PELUANG 1. Muara pembangunan Nasional adalah mewujudkan kesejahteraan rakyat 2. Komitmen yang tinggi baik secara Nasional maupun internasional dalam memberantas kemiskinan 3. Semakin meningkatkan peran serta masyarakat dalam partisipasi pembangunan 4. Adanya program sekolah gratis (sampai pendidikan 9 th) dari pemerintah 5. Cukup banyak dana subsidi dari pusat dan dari lembaga internasional untuk program kemiskinan. 6. Tingginya tuntutan peningkatan pelayanan publik ANCAMAN 1. Tingginya biaya hidup 2. Biaya pendidikan yang tinggi 3. Krisis ekonomi 4. Kebijakan mengenai kemiskinan yang belum efektif dan tidak konsisten 5. Besarnya kompleksitas masalah kesejahteraan rakyat E.3. Analisis Strategi Pilihan Strategi adalah kegiatan, mekanisme, atau sistem untuk mengantisipasi secara menyeluruh dan meramalkan pencapaian tujuan ke depan melalui pendekatan rasional. Strategi ini disusun dengan memadukan antara kekuatan (Strength, S) dengan tantangan/peluang (Opportunity, O) yang dikenal sebagai strategi S-O, memadukan kelemahan (Weakness, W) dengan peluang (Opportunity, O) yang dikenal sebagai strategi W-O,dan memadukan kekuatan (Strength, S) dengan ancaman (Threath, T) yang dikenal sebagai strategi S-T. Strategi S-O dimaksudkan sebagai upaya memaksimalkan setiap unsur kekuatan yang dimiliki untuk merebut setiap unsur tantangan/peluang yang ada seoptimal mungkin, strategi W-O dimaksudkan sebagai upaya memperbaiki masing-masing unsur kelemahan agar dapat memanfaatkan seoptimal mungkin setiap unsur tantangan/peluang yang ada, sedangkan strategi S-T dimaksudkan sebagai upaya untuk memaksimalkan setiap unsur kekuatan untuk menangkal dan menundukkan setiap unsur tantangan/peluang seoptimal 73
JURNAL PENELITIAN VOL. 7 mungkin. Dengan demikian akan diperoleh berbagai strategi pilihan yang merupakan hasil perpaduan antar unsur kekuatan, kelemahan, tantangan/peluang, dan ancaman. E.3.1. Matrik Analisis SWOT 1) Strategi kekuatan dan tantangan/peluang (S-O) a) Komitmen pimpinan dalam mewujudkan kesejahteraan rakyat merupakan kekuatan untuk menangkap peluang muara pembangunan nasional, yaitu mewujudkan kesejahteraan rakyat b) Semangat untuk hidup lebih baik merupakan kekuatan untuk menangkap peluang komitmen yang tinggi baik nasional maupun internasional serta menangkap peluang banyaknya dana baik dari pusat maupun lembaga internasional dalam program kemiskinan c) Keikutsertaan program jamkesmas merupakan kekuatan untuk menangkap peluang banyaknya dana subsidi dari pusat dan lembanga internasional dalam memberantas kemiskikan d) Adanya bantuan beras miskin merupakan kekuatan untuk menangkap peluang adanya komitmen yang tinggi baik nasional maupun internasional dalam memberantas kemiskinan. e) Solidaritas masyarakat yang tinggi merupakan kekuatan untuk menangkap peluang semakin meningkatnya peranserta masyarakat dalam pembangunan 2) Strategi kekuatan dan ancaman (S-T) a) Komitmen pimpinan dalam mewujudkan kesejahteraan rakyat merupakan kekuatan untuk mengantisipasi krisis ekonomi b) Semangat untuk hidup lebih baik merupakan kekuatan untuk mengantisipasi biaya hidup yang semakin tinggi dan biaya pendidikan yang tinggi c) Keikutsertaan program jamkesmas merupakan kekuatan untuk mengantisipasi biaya hidup yang semakin tinggi dan krisis ekonomi d) Bantuan beras miskin merupakan kekuatan untuk mengantisipasi biaya hidup uang semakin tinggi dan krisis ekonomi e) Solidaritas masyarakat yang tinggi merupakan kekuatan untuk mengantisipasi kebijakan program kemiskinan yang efektif dan efisien 3) Strategi kelemahan dan peluang (W-O) a) Pendidikan KK yang rendah bisa digunakan untuk menangkap peluang komitmen yang tinggi baik nasional maupun internasional dalam memberantas kemiskinan b) Pendapatan yang tidak menentu merupakan kelemahan untuk menangkap peluang banyaknya dana subsidi dari pusat maupun lembaga internasional untuk program kemiskinan c) Tidak adanya akses ke lembaga permodalan bisa digunakan untuk menangkap peluang banyaknya dana dari pusat maupun lembaga internasional untuk program penanggulangan kemiskinan d) Ketrampilan yang rendah dapat digunakan untuk menangkap peluang semakin meningkatnya peranserta masyarakat dalam pembangunan e) Tidak adanya pekerjaan yang tetap dapat digunakan untuk menangkap peluang muara dari pembangunan, yaitu mensejahterakan rakyat dan komitmen yang tinggi baik nasional mupun internasional dalam memberantas kemiskinan
74
JURNAL PENELITIAN VOL. 7 F. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI F.1. Kesimpulan F.1.1. Strategi dan Kebijakan Penanggulangan Kemiskinan Kelurahan Tegalpanggung dan Kelurahan Prawirodirjan F.1.1.1. Permasalahan utama yang dihadapi dan Indikator Pencapaian Permasalahan utama yang dihadapi oleh masyarakat miskin di Kelurahan Tegalpanggung dan Kelurahan Prawirodirjan antara lain : 1) Pendidikan yang rendah 2) Pendapatan yang tidak menentu 3) Tidak punya akses ke permodalan 4) Ketrampilan rendah 5) Pekerjaan KK yang tidak tetap Beberapa indikator pencapaian yang ditargetkan pada tahun 2015 antara lain adalah : 1) Meningkatnya tingkat pendidikan 2) Meningkatnya pendapatan masyarakat 3) Meningkatnya akses penduduk miskin dalam memperoleh modal usaha 4) Meningkatnya ketrampilan masyarakat 5) Tersedianya lapangan pekerjaan bagi masyarakat F.1.1.2. Strategi Penanggulangan kemiskinan 1) Peningkatan kualitas sumber daya manusia bagi masyarakat miskin 2) Pembentukan lembaga permodalan bagi masyarakat miskin 3) Peningkatan lapangan kerja bagi masyarakat miskin 4) Peningkatan kerjasama dengan lembaga dalam negeri maupun internasional 6.2. Rekomendasi 6.2.1.Rencana Program Aksi Penanggulangan Kemiskinan di Kelurahan Tegalpanggung dan Kelurahan Prawirodirjan Beberapa program rencana aksi penanggulangan kemiskinan di Kelurahan Tegalpanggung dan Kelurahan Prawirodirjan yang diusulkan dapat dijelaskan sebagai berikut : 1) Peningkatan Kualitas Sumber Daya Manusia Sumber daya manusia merupakan aset yang sangat penting dalam upaya mengentaskan kemiskinan. Agar tetap bisa hidup dan menjadi lebih maju, maka masyarakat miskin dituntut memiliki berbagai pengetahuan dan ketrampilan. Oleh karena itu langkahlangkah yang dapat ditempuh diantaranya : a. Pendidikan yang murah (gratis) sampai tingkat SMA Dengan pendidikan yang gratis masyarakat miskin akan dapat menyekolahkan anaknya sampai ke jenjang minimal SMA. b. Memperbanyak program beasiswa Di samping pendidikan yang murah masyarakat miskin juga bisa mendapatkan beasiswa sampai ke tingkat yang lebih tinggi, yaitu sarjana. c. Pelatihan dan Ketrampilan Usaha Dengan pelatihan ketrampilan diharapkan masyarakat dapat mengembangkan usahanya sehingga bisa membuka usaha sendiri dan mempunyai pendapatan. 2) Peningkatan akses ke Lembaga Permodalan a. Peningkatan kerjasama dengan lembaga perbankan b. Peningkatan Permodalan 3) Peningkatan Lapangan Kerja a. Peningkatan proyek padat karya b. Bantuan alat-alat atau mesin-mesin untuk usaha produktif 75
JURNAL PENELITIAN VOL. 7 4) Peningkatan kerjasama dengan lembaga baik dalam negeri maupun internasional a. Peningkatan kerjasama dengan LSM dalam dan luar negeri Kerjasama yang dimaksud adalah kerjasama antar pemda dan LSM dalam dan luar negeri dalam program penanggulangan kemiskinan. Kerjasama ini bisa dengan memberikan ketrampilan bagi masyarakat miskin atau membantu dalam urusan permodalan usaha. b. Peningkatan kerjasama dalam penanggulangan kemiskinan DAFTAR PUSTAKA Badan Pusat Statistik (BPS). 2009. Data dan Informasi Kemiskinan Tahun 2009, BPS Jakarta Cahyat, Ade. 2004, Bagaimana Kemiskikan Diukur? Beberapa Model Perhitungan Kemiskinan di Indonesia, Center for International Forestry Research, Jakarta Hadiyanti, Puji. 2006, Kemiskinan dan Upaya Pemberdayaan Masyarakat, Komunitas Jurnal Pengembangan Masyarakat Islam, Vol. 2, No. 1 Jhingan, M.L. 2000, Ekonomi Pembangunan dan Perencanaan, Edisi Pertama, Raja Grafindo Persada, Jakarta, Kuncoro, Mudrajad. 2000, Ekonomi Pembangunan: Teori, Masalah dan Kebijakan, Edisi Ketiga, Penerbit UPP.AMP YKPN Levernier, W., Mark D.P., dan D.S. Rickman, 2000, The Causes of Regional Variation in US Poverty: Across-Country Analysis, Journal of Regional Science, 43, 3:473-497 Sumanta, Jaka. 2005, Fenomena Lingkaran Kemiskinan: Analisis Ekonometrika Regional, Jurnal Kebijakan Ekonomi, Vol. 1No. 2, Desember :159-179 Saleh, Samsubar. 2002, Faktor-Faktor Penentu Tingkat Kemiskinan Regional di Indonesia, Jurnal Ekonomi Pembangunan, Vol. 7, No. 2, Fakultas Ekonomi UII, Yogyakarta th
Todaro, Michael P. 2000. Economic Development (7 edition). New York: Addison-Wasley Logman, Inc. World Bank, World Development Report 2004: Making Service Work for Poor People, IBRD/ The World Bank, Washington DC, 2004. Wijayanti, Diana dan Wahono, Heri, 2005, Analisis Konsentrasi Kemiskinan di Indonesia Periode Tahun 1999-2003, Jurnal Ekonomi Pembangunan. Vol. 10, No. 3, Fakultas Ekonomi UII, Yogykarta
76
JURNAL PENELITIAN VOL. 7 Perilaku Masyarakat Bantaran Sungai Winongo dalam Menjaga Kebersihan dan Kerapian Lingkungan (Studi Kasus Pengungkapan Masalah dan Solusinya) ( Oleh : R. Nur Handono, Sulastri, Rama Hendi Prastiyo ) ABSTRAK Masalah-masalah lingkungan hidup semakin mendesak untuk segera dipecahkan. Timbulnya masalah-masalah lingkungan hidup tersebut, di samping sebabsebab yang bersifat alamiah, juga tidak terlepas dari faktor manusia sebagai komponen lingkungan hidup yang cukup dominan. Dengan mengadaptasi teori perilaku terencana yang dimodifikasi, Peneliti mendeskripsikan perilaku masyarakat dalam kaitannya dengan penjagaan lingkungan hidup beserta prediktor-prediktornya. Penelitian ini ditujukan untuk menyelidiki perilaku kebersihan dan kerapian masyarakat bantaran sungai Winongo melalui penyelidikan hubungan antara sikap, norma sosial dan persepsi kontrol masing-masing terhadap perilaku dalam menjaga kebersihan dan kerapian lingkungan. Perilaku menjaga kebersihan dan kerapian lingkungan yang diinvestigasi dibatasi hanya pada yang terkait dengan perilaku yang lebih khusus, yaitu dalam membuang sampah, BAB dan BAK, tamanisasi lingkungan, memarkir kendaraan dengan rapi, memasang identitas rumah tinggal dan tidak beternak ikan di dalam kerambah. Studi ini juga secara tidak langsung ditujukan untuk mengungkap efektifitas dan efisiensi program-program pemerintah yang relevan terhadap perilaku-perilaku masyarakat tersebut. Studi ini merupakan penelitian deskriptif yang melibatkan 67 responden yang berasal dari 8 kelurahan yang terletak di sepanjang tepi sungai Winongo. Data yang akan dikumpulkan berupa data kuantitatif dan kualitatif. Instrumen penelitian yang digunakan adalah angket. Data kuantitatif diolah secara deskriptif statistik dan korelasional yang kemudian ditafsirkan secara kualitatif. Sedangkan untuk mendapatkan data pendukung, daftar centang dan alat fotografi digunakan dalam observasi yang juga dilakukan untuk membersamai penyebaran angket tersebut. Hasil dari penelitian ini adalah perilaku masyarakat dalam menjaga kebersihan dan kerapian secara umum dikategorikan “baik”. Sedangkan sikap terhadap perilaku tersebut dikategorikan “sangat positif”. Norma subjektif tentang perilaku tersebut dikategorikan “sangat mendukung”. Sementara persepsi kontrol masyarakat untuk melakukan perilaku tersebut dikategorikan “mampu”. Sedangkan hasil analisis korelasional adalah tidak ada korelasi yang positif dan signifikan pada hubungan antara sikap dan perilaku secara umum dalam menjaga kebersihan dan kerapian lingkungan dari masyarakat bantaran sungai Winongo, dengan koefisien korelasi 0,13 dengan taraf signifikasinya 0,16. Tidak ada korelasi yang positif dan signifikan pada hubungan antara norma subjektif dan perilaku secara umum dalam menjaga kebersihan dan kerapian lingkungan dari masyarakat bantaran sungai Winongo, dengan koefisien korelasi 0,13 dengan taraf signifikasinya 0,16. Terdapat korelasi yang positif dan signifikan pada hubungan antara persepsi kontrol dan perilaku secara umum dalam menjaga kebersihan dan kerapian lingkungan dari masyarakat bantaran sungai Winongo, dengan koefisien korelasi 0,262 dengan taraf signifikasinya 0,020. Rekomendasi dari penelitian ini adalah dalam mengupayakan masyarakat bantaran sungai Winongo supaya senantiasa menjaga kebersihan dan kerapian lingkungan, pemangku kepentingan dalam hal ini Pemerintah Kota Yogyakarta diharapkan untuk sangat memperhatikan yang paling utama faktor persepsi kontrol selanjutnya faktor norma subjektif dan selanjutnya faktor sikap mereka terhadap perilaku yang dikehendaki supaya dilakukan mereka. Kemudian menitikberatkan program-program yang dicanangkan pada peningkatan setiap faktor tersebut untuk merubah perilaku masyarakat bantaran sungai Winongo dalam menjaga kebersihan dan kerapian lingkungan kepada yang lebih baik. Kata kunci: perilaku masyarakat, kebersihan dan kerapian lingkungan, sungai Winongo. 77
JURNAL PENELITIAN VOL. 7 A. PENDAHULUAN Kota Yogyakarta yang dilewati oleh tiga aliran sungai besar, yaitu sungai Gadjah Wong, Sungai Code dan Sungai Winongo, juga tidak terlepas dari ancaman masalah lingkungan hidup, yaitu banjir dan tanah longsor pada daerah bantaran sungai, apabila musim hujan (Perda Kota Yogyakarta Nomor 1 tahun 2007), setoran sampah harian ke TPSA Piyungan yang menduduki peringkat pertama (Defri Werdiono, 2009), polusi air sungai kota yang sudah berada di atas ambang batas (Sustiyono dan Kurdiyono, 2007; Siradz dkk., 2008). Semua hal tersebut terjadi akibat jumlah penduduk Kota Yogyakarta kian bertambah padat dari waktu ke waktu. Pada tahun 2002, penduduk Kota Yogyakarta berjumlah kurang lebih 516.000 jiwa dengan laju pertumbuhan penduduk setiap tahunnya 0,38 persen. Luas area Kota Yogyakarta, yaitu 32,50 km2, sedangkan kepadatan penduduk rata–rata mencapai 15.613,14 jiwa/km2. Diramalkan pada persepuluh tahun, Kota Yogyakarta menjadi kota yang padat tahun 2010 (BPS DIY, 2002 dalam Sustiyono dkk., 2007). Sedangkan pada tahun 2010, telah melonjak naik dengan pesat, yaitu sekitar 3,4 juta jiwa dengan laju pertumbuhan penduduk 0,81 persen setiap tahunnya (Anonim, 2010a). Kondisi demikian, oleh PBB diprediksi, akan terus meningkat mengingat Yogyakarta merupakan sebuah kota. Menurut PBB pada saat ini hanya 1,2% lahan di dunia merupakan kawasan perkotaan, namun coverage spatial dan densitas kota-kota diperkirakan akan terus meningkat di masa yang akan datang. PBB telah melakukan estimasi dan menyatakan bahwa pada tahun 2025, sekitar 60% populasi dunia akan tinggal di kota-kota (Susanti, 2006). Keadaan demikian adalah fakta yang akan memberi tekanan kepada daya dukung lingkungan Kota Yogyakarta. Berkenaan dengan timbulnya masalah lingkungan hidup dan solusi penanganannya sebagaimana yang diuraikan di atas, Sarwono dalam Hanurawan (2004) menjelaskan bahwa timbulnya masalah-masalah lingkungan hidup, di samping sebabsebab yang bersifat alamiah, tidak terlepas dari faktor manusia sebagai komponen lingkungan hidup yang cukup dominan. Temuan ini dikuatkan oleh Siradz dkk. (2008) bahwa untuk mencegah penurunan kualitas air lebih lanjut, perlu ditingkatkan kesadaran masyarakat untuk tidak membuang limbah, baik limbah rumah tangga terlebih lagi limbah industri langsung ke dalam sungai. Tambahnya lagi, untuk industri, Instalasi Pengolahan Limbah (IPAL) harus benar-benar difungsikan dengan sebaik-baiknya. Axelrod dan Lehman dalam Hanurawan (2004) menjelaskan bahwa meskipun nampaknya dampak perilaku manusia secara individual terhadap kerusakan lingkungan relatif kecil, dampak perilaku manusia secara kolektif terhadap lingkungan adalah sangat signifikan. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan informasi yang komprehensif mengenai bagaimanakah perilaku warga masyarakat Kota Yogyakarta yang tinggal di bantaran sungai Winongo dalam menjaga lingkungan hidup terutama menjaga kebersihan dan kerapian lingkungan di sekitar mereka beserta hubungannya dengan sikap, norma subjektif dan persepsi kontrol perilaku yang dimiliki penduduk bantaran sungai Winongo. Informasi-informasi yang diperoleh nantinya sangat dapat digunakan sebagai dasar pengambilan keputusan pemerintah dalam membuat kebijakan-kebijakan berikutnya demi tercapainya Kota Yogyakarta menjadi kota yang tertata rapi, tingkat polusi rendah sehingga dapat memberikan pelayanan yang optimal. B. TUJUAN DAN MANFAAT Tujuan penelitian ini adalah untuk menyelidiki 1) Hubungan antara sikap dan perilaku dalam menjaga kebersihan dan kerapian lingkungan dari masyarakat bantaran sungai Winongo; 2) Hubungan antara norma subjektif dan perilaku dalam menjaga kebersihan dan kerapian lingkungan dari masyarakat bantaran sungai Winongo; 3) Hubungan antara persepsi kontrol terhadap perilaku dalam menjaga kebersihan dan 78
JURNAL PENELITIAN VOL. 7 kerapian lingkungan dari masyarakat bantaran sungai Winongo; 4) Solusi agar kebersihan dan kerapian lingkungan tercipta secara permanen pada bantaran sungai Winongo. Manfaat Penelitian ini adalah 1) Sebagai dasar pengambilan keputusan bagi Pemerintah Kota Yogyakarta dalam pengeluaran kebijakan terkait dengan upaya tindak lanjut dari pemberlakuan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008; 2) Untuk mengetahui sejauh mana UU No. 18 Tahun 2008 tentang penjagaan kebersihan dan kerapian yang dijalankan oleh masyarakat bantaran sungai Winongo; 3) Untuk mengetahui hal-hal penghambat pelaksanaan UU No.18 Tahun 2008 tentang pengolahan sampah; 4) Sebagai sumber refleksi dari keadaan nyata di tengah masyarakat bantaran sungai Winongo terkait dengan penjagaan kebersihan dan kerapian lingkungan; 5) Sebagai cerminan dari kesadaran masyarakat bantaran sungai Winongo terhadap penjagaan kebersihan dan kerapian lingkungan. C. TINJAUAN PUSTAKA Menurut Ajzen (1991;2005) perilaku individu merupakan fungsi dari niat individu untuk melakukan perilaku tersebut. Sedangkan niat berperilaku itu sendiri merupakan fungsi dari sikap terhadap perilaku, norma subjektif dan persepsi kontrol perilaku individu. Kesimpulan dapat ditarik bahwa jika individu memiliki sikap yang positif, norma subjektif yang positif, persepsi kontrol perilaku yang positif terhadap penjagaan kebersihan dan kerapian lingkungan, niat individu untuk menjaga kebersihan dan kerapian lingkungan menjadi kuat. Selanjutnya, jika niat untuk menjaga kebersihan dan kerapian lingkungan, kecenderungan untuk mewujudkan perilaku penjagaan kebersihan dan kerapian lingkungan semakin besar. Secara grafis, Ajzen (1991) menggambarkan perilaku dan antesedenantesedennya melalui gambar di bawah ini.
Gambar 1. Model perilaku dan antesden-antesedennya yang diungkap Ajzen. (Sumber : Ajzen, 1991) Dari gambar di atas, peneliti menyimpulkan bahwa jika variabel perilaku dikategorikan “baik”, variabel niat pun dikategorikan “baik”. Oleh sebab itu, peneliti mencoba untuk memodifikasi model perilaku Ajzen tersebut dengan meniadakan variabel niat sehingga model menjadi sebagaimana yang dihipotesiskan dalam penelitian ini, tertuang pada Gambar 2.
79
JURNAL PENELITIAN VOL. 7 Sikap untuk menjaga kebersihan dan Kerapian lingkungan Norma Subjektif tentang menjaga kebersihan dan Kerapian lingkungan
H1
H2
Perilaku menjaga kebersihan dan Kerapian lingkungan
H3 Persepsi Kontrol Perilaku untuk menjaga kebersihan dan Kerapian lingkungan
Gambar 2. Model yang dihipotesiskan dari Perilaku dan Antesedennya
Dalam penelitian pengimplementasian, intervensi-intervensi didesain untuk merubah perilaku dari sampel. Perilaku yang hendak diteliti atau biasa disebut dengan perilaku target haruslah didefinisikan secara hati-hati ke dalam prinsip TACT. T merupakan kependekan dari Target, yaitu target atau sasaran manusia yang hendak diteliti. A merupakan kependekan dari Action, yaitu Aksi atau perilaku target itu sendiri. C adalah Context, yaitu konteks yang dituju oleh perilaku target. Sedangkan T merupakan kependekan dari Time, yang artinya waktu kapan perilaku itu dilakukan. Contohnya, perilaku masyarakat bantaran sungai Winongo dalam membuang tumpukan sampah rumah ke TPSS selalu. Target di sini ialah masyarakat bantaran sungai Winongo. Aksi-nya adalah membuang tumpukan sampah. Konteksnya ialah ke TPSS. Waktunya adalah pada setiap kali membuang tumpukan sampah rumah. Pemrediksian perilaku model seperti ini juga dapat ditujukan perilaku yang lebih umum, misalnya perilaku masyarakat dalam membuang sampah, namun penting untuk memperhatikan prinsip kompatibilitas atau kesetaraan level (Fishbein dalam Francis et.al.,2004). Sementara itu, Ajzen menjelaskan sikap individu terhadap sebuah perilaku merupakan sekumpulan harapan-harapan terkait dengan dilakukan atau tidak dilakukannya perilaku tersebut dan nilai-nilai mengenai perilaku tersebut yang diperoleh individu berdasarkan pengalaman pribadi maupun pengalaman orang lain. Sikap terbentuk berdasarkan kumpulan keyakinan bahwa suatu perilaku menghasilkan keuntungan tertentu, disebut sebagai keyakinan berperilaku dan penilaian terhadap hasil yang diharapkan dapat diperoleh dari perwujudan perilaku tersebut. Dalam tulisannya, Ajzen (2005) menyatakan bahwa sikap yang digunakannya bukan sikap terhadap objek, tetapi lebih mengarah kepada penilaian positif atau negatif dari individu terhadap perilaku tertentu yang ingin dilakukannya. Dikemukakannya bahwa sikap terhadap perilaku ini ditentukan oleh keyakinan yang diperoleh mengenai konsekuensi dari suatu perilaku atau disebut juga keyakinan perilaku. Davis menggunakan pengertian mengenai manfaat, yaitu dapat digunakan dan memberikan keuntungan. Sebagai ilustrasi, dalam konteks sekelompok masyarakat yang ingin mendapatkan penghasilan tambahan, mereka membutuhkan pekerjaan paruh waktu yang diyakini prospektif dan tidak mengganggu pekerjaan utama mereka. Pekerjaan paruh waktu daur ulang sampah pun dapat menjadi alternatif. Dengan kata lain, mereka akan dengan antusias melakukan pekerjaan daur ulang sampah. Apabila suatu sistem diyakini dapat meningkatkan kuantitas maupun kualitas kinerja, maka sistem itu diyakini bermanfaat. Keyakinan individu mengenai manfaat ini mempengaruhi perilaku melalui 80
JURNAL PENELITIAN VOL. 7 perubahan sikap terhadap perilaku maupun intensi individu untuk melakukan perilaku tersebut (Davis, 1989); Davis, et.al., 1989). Fishbein merumuskan model ini ke dalam rumus matematis, yaitu:
Aβ ∞ Σ (bi . ei) (sumber: Ajzen, 2005:124) Dimana,∞ merupakan proportional atau “hampir sama dengan”. A merupakan attitude atau sikap. B merupakan belief atau keyakinan perilaku. E merupakan evaluation atau penilaian hasil. I merupakan index behavior & attitude atau indeks. Norma subjektif adalah persepsi individu terhadap tekanan lingkungan yang ada di dalam kehidupannya mengenai dilakukan atau tidak dilakukannya perilaku tertentu. Persepsi ini sifatnya subjektif sehingga faktor pengaruh lingkungan ini disebut juga norma subjektif. Mengenai kaitan antara keyakinan normatif dengan motivasi untuk melakukan perilaku tertentu, Ajzen (2005) mengemukakan bahwa individu, yang meyakini bahwa sebagian besar orang-orang yang berpengaruh dalam hidupnya berpikir bahwa ia harus melakukan suatu perilaku, akan merasakan tekanan bahwa ia harus melakukan perilaku tersebut. Sebaliknya, individu, yang meyakini bahwa sebagian besar orang-orang yang berpengaruh baginya tidak mendukungnya melakukan perilaku tersebut, akan memiliki keyakinan untuk menolak melakukan perilaku tersebut. Orang-orang yang berpengaruh dalam hidup individu itu dapat berupa: anggota keluarga, tetangga, Ketua RT, Ketua RW, Kepala Desa, Tokoh Agama, dll. mengenai mendukung atau tidak mendukung dilakukannya perilaku tertentu. Ajzen (2005) menuliskan persamaan matematika untuk menggambarkan norma ini, adalah sebagai berikut :
SN ∞ Σ ni . mi (sumber: Ajzen, 2005:125) Dimana, SN merupakan subjective norms atau norma subjektif. n merupakan normative belief atau keyakinan normatif. m adalah motivation to comply atau keinginan untuk mengikuti. i merupakan index atau indeks. Terakhir, Ajzen menjelaskan persepsi kontrol perilaku merupakan persepsi individu terhadap ketersediaan informasi atau sarana (control belief strength) dan persepsi individu terhadap kekuatan pengaruh (control belief power) yang dapat mempengaruhi persepsi individu terhadap kemudahan dalam mewujudkan perilaku tersebut (Ajzen, 1991). Dalam hal ini, persepsi individu terhadap ketersediaan informasi atau sarana (control belief strength) dan persepsi individu terhadap kekuatan pengaruh (control belief power) dapat mempengaruhi persepsi individu terhadap kemudahan dalam mewujudkan perilaku tersebut (Ajzen, 1991). Dari rumusan di atas, kesimpulan dapat dibuat bahwa individu yang memiliki kendaraan pribadi, jarak TPSS dengan rumahnya yang tidak terlalu jauh akan memiliki keyakinan kontrol yang tinggi untuk membuang tumpukan sampah rumah ke TPSS. Bahkan apabila di sekitar lingkungan individu tersebut terdapat tukang sampah yang disediakan untuk mengangkut tumpukan sampah rumahnya, maka keyakinan kontrol untuk melakukan perilaku tersebut akan semakin tinggi. Ajzen mengemukakan rumus matematika untuk menjelaskan persepsi kontrol perilaku ini adalah sebagai berikut :
81
JURNAL PENELITIAN VOL. 7
PBC ∞ ∑ сі . рі (sumber : Ajzen, 2005:125) Dimana, PBC merupakan perceived behavioral control atau persepsi kontrol perilaku. c adalah Kontrol terhadap perilaku i. p merupakan persepsi terhadap kemampuan untuk melakukan perilaku i. i merupakan Indeks. Dari uraian di atas, penelitian ini mengajukan hipotesis sebagaimana pada Gambar 2 : 1. Terdapat hubungan yang positif dan signifikan antara sikap dan perilaku dalam menjaga kebersihan dan kerapian lingkungan dari masyarakat bantaran sungai Winongo. Hipotesis ini relevan dengan Perwitasari (2007). 2. Terdapat hubungan yang positif dan signifikan antara norma subjektif dan perilaku dalam menjaga kebersihan dan kerapian lingkungan dari masyarakat bantaran sungai Winongo. Hipotesis ini relevan dengan Aryani (2006). 3. Terdapat hubungan yang positif dan signifikan antara persepsi kontrol dan perilaku dalam menjaga kebersihan dan kerapian lingkungan dari masyarakat bantaran sungai Winongo. Hipotesis ini relevan dengan Ajzen (2002). D. METODOLOGI PENELITIAN Penelitian ini dilaksanakan di kelurahan-kelurahan yang terletak di daerah bantaran sungai Winongo dan termasuk ke dalam wilayah Kota Yogyakarta. Kelurahankelurahan tersebut, yaitu Kelurahan Kricak, Bener, Bumijo, Ngampilan, Pringgokusuman, Pekuncen, Wirobrajan dan Gedungkiwo. Waktu pelaksanaannya dari tanggal 2 Agustus hingga 15 September 2010. Teknik sampling yang digunakan adalah simple random sampling yang menentukan secara acak para sumber data dari 8 kelurahan yang terletak di bantaran sungai Winongo untuk mengambil data mengenai delapan perilaku khusus. Sedangkan untuk satu perilaku khusus, yaitu Beternak Ikan di dalam Kerambah, teknik sampling yang digunakan adalah purposive random sampling. Oleh sebab itu, hanya mereka yang memiliki kerambah dimintai keterangan secara kualitatif. Jenis data yang diambil adalah data kuantitatif yang pada akhirnya ditafsirkan secara kualitatif dan data kualitatif. Pengambilan data kuantitatif tersebut dilakukan dengan pengisian angket kuantitatif dan observasi dengan menggunakan lembar observasi. Sedangkan data kualitatif diperoleh dengan pengisian angket kualitatif dan pemotretan atau pengambilan gambar fenomena-fenomena di lapangan terkait dengan kesembilan perilaku khusus yang diteliti. Analisis data yang digunakan adalah analisis statistik deskriptif, yaitu untuk menghitung nilai mean, median, modus, dan standar deviasi. Untuk keperluan ini, piranti lunak SPSS 16.0 untuk Windows digunakan. Sedangkan untuk pengujian hipotesisnya menggunakan teknik analisis pearson correlation yang juga memanfaatkan piranti lunak SPSS 16.0 untuk Windows. Validitas instrumen dipenuhi dengan digunakannya model instrumen yang telah diuji oleh penelitian sejenis terdahulu (misal Hanurawan,2004; Francis et. al., 2008). Sedangkan Reliabilitas Instrumennya dengan mencari koefisien Alfa Cronbach untuk korelasi antara butir angket. Sedangkan uji reliabilitas dilakukan dengan menggunakan teknik Formula Alpha Cronbach. Menurut Arikunto (2006: 196) “Rumus Alpha digunakan untuk mencari reliabilitas instrumen yang skornya bukan 1 atau 0, misalnya angket atau soal bentuk uraian”. Data kuantitatif yang diperoleh ditafsirkan secara kualitatif dengan menggunakan skala konversi likert 5 poin.
82
JURNAL PENELITIAN VOL. 7 E. HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Hasil Analisis Deskriptif Secara teoritis penilaian perilaku secara umum dalam menjaga kebersihan dan kerapian lingkungan terletak pada rentang skala likert 5 poin dengan nilai tengah nol, yaitu dari -5 sampai +5. Sedangkan pada tabel di atas perilaku target tercapai pada 1,5988 dibulatkan menjadi 1,6. Hal ini berarti melebihi secara positif daripada nilai tengah nol. Oleh karena itu perilaku target berdasarkan bab sebelumnya dikategorikan “baik”. Secara teoritis penilaian sikap terhadap perilaku dalam menjaga kebersihan dan kerapian lingkungan terletak pada rentang skala likert 5 poin dengan nilai tengah nol, yaitu dari -5 sampai +5. Sedangkan pada tabel di atas sikap terhadap perilaku target tercapai pada +3,3823 dibulatkan menjadi 3,4. Hal ini berarti melebihi nilai +2,5. Oleh karena itu, sikap terhadap perilaku target berdasarkan bab sebelumnya dikategorikan “sangat positif”. Secara teoritis penilaian norma subjektif tentang perilaku secara umum dalam menjaga kebersihan dan kerapian lingkungan terletak pada rentang skala likert 5 poin dengan nilai tengah nol, yaitu dari -5 sampai +5. Sedangkan pada tabel di atas skor norma subjektif tentang perilaku target tercapai pada +2,6371 dibulatkan menjadi +2,6. Hal ini berarti melebihi nilai +2,5. Oleh karena itu, norma subjektif tentang perilaku target berdasarkan pada bab sebelumnya dikategorikan “sangat mendukung”. Secara teoritis penilaian Persepsi Kontrol terhadap perilaku secara umum dalam menjaga kebersihan dan kerapian lingkungan terletak pada rentang skala likert 5 poin dengan nilai tengah nol, yaitu dari -5 sampai +5. Sedangkan pada tabel di atas skor persepsi kontrol terhadap perilaku target tercapai pada +0,7047dibulatkan menjadi 0,7. Hal ini berarti melebihi secara positif nilai tengah nol. Oleh karena itu, persepsi kontrol terhadap perilaku target berdasarkan pada bab sebelumnya dikategorikan “mampu”. 2.
Hasil Pengujian Hipotesis Pada Hipotesis 1 ini, Ho diterima dan Ha ditolak. Hal ini dikarenakan taraf signifikansi koefisien korelasi hubungan antara sikap dan perilaku dalam menjaga kebersihan dan kerapian lingkungan, yaitu 0,28 yang mana lebih besar dari 0,05 sehingga kesimpulannya adalah TIDAK ADA KORELASI SIGNIFIKAN antara sikap dan perilaku dalam menjaga kebersihan dan kerapian lingkungan. Sama halnya pada hipotesis 1, pada Hipotesis 2 ini juga Ho diterima dan Ha ditolak. Hal ini dikarenakan taraf signifikansi koefisien korelasi hubungan antara norma subjektif dan perilaku dalam menjaga kebersihan dan kerapian lingkungan, yaitu 0,16 yang mana lebih besar dari 0,05 sehingga kesimpulannya adalah TIDAK ADA KORELASI SIGNIFIKAN antara norma subjektif dengan perilaku dalam menjaga kebersihan dan kerapian lingkungan. Berbeda dengan Hipotesis 1 dan 2, pada Hipotesis 3 ini, Ho ditolak dan Ha diterima. Hal ini dikarenakan taraf signifikansi koefisien korelasi hubungan antara persepsi kontrol dan perilaku dalam menjaga kebersihan dan kerapian lingkungan, yaitu 0,02 yang mana lebih kecil dari 0,05 sehingga kesimpulannya adalah TERDAPAT KORELASI SIGNIFIKAN antara persepsi kontrol dan perilaku dalam menjaga kebersihan dan kerapian lingkungan. Setelah dilakukan penyebaran angket kualitatif kepada 5 orang responden yang kesemuanya adalah pemilik kerambah, faktor-faktor yang mempengaruhi mereka untuk beternak ikan di dalam kerambah ditemukan. Dari aspek sikap, faktor-faktor tersebut adalah masa pemeliharaan singkat, dapat sekaligus membersihkan sungai, membuat sukses banyak orang, sebagai sarana hiburan, biaya awal rendah, biaya 83
JURNAL PENELITIAN VOL. 7 operasional rendah, tersedia aliran air yang mengalir untuk sirkulasi air habitat ikan dan tersedia pakan alami yang melimpah tidak membutuhkan lahan darat. Sikap negatif terhadap perilaku target pun terekam, yaitu tidak aman bagi ikan ketika banjir, sumber penyakit jamur dan terdapat kontaminasi berbagai limbah. Selain tentang beternak ikan di dalam kerambah, melalui angket kualitatif ini mereka pun ditanya tentang beternak ikan di dalam kolam ikan. Hasilnya adalah dari aspek sikap, memudahkan pemantauan ikan karena lebih terjangkau dari rumah, tidak perlu menggunakan bambu dan lebih aman bagi ikan. Sedangkan sikap negatif terhadap perilaku ini pun ditemukan lebih dominan dari pada yang positif di atas, yaitu pemberian pakan harus dilakukan setiap hari, penggantian air kolam harus dilakukan secara rutin supaya air tidak berbau, biaya awal tinggi, biaya operasional tinggi, ikan mudah mati dan masa pemeliharaan lebih lama. 3.
DISKUSI Hasil pengujian hipotesis ini, walaupun tidak sesuai dengan yang diharapkan, sebenarnya telah sangat sesuai dengan penelitian-penelitian terdahulu. Misalnya, sebuah rangkuman beberapa hasil penelitian tentang hubungan antara sikap dan perilaku dari Alan Wicker dalam Ajzen (1975) menyimpulkan bahwa tidak terdapat hubungan sama sekali atau kecilnya hubungan antara sikap dan perilaku. Hasil dari penelitian-penelitian tersebut menunjukan bahwa sikap terhadap perilaku target dan norma subjektif tentang perilaku target tersebut tidak dapat memprediksi perilaku target secara langsung melainkan harus terdapat mediator niat. Sedangkan persepsi kontrol perilaku memiliki 2 fungsi, yaitu memprediksi perilaku secara langsung dan tidak langsung melalui niat. (Model dapat dilihat pada Gambar 1). Niat di sini oleh Ajzen (1985) disebut sebagai faktor yang mempengaruhi secara langsung (immediate antecedent) bagi perilaku. Sedangkan faktor-faktor yang mempengaruhi niat secara langsung terdapat 3 jenis faktor, yaitu : faktor internal, faktor eksternal dan faktor kontrol. Faktor internal merupakan keyakinan perilaku (bersama dengan penilaian konsekuensi perilaku) menentukan sikap terhadap perilaku. Sedangkan faktor eksternal merupakan keyakinan normatif (bersama dengan keinginan untuk mengikuti) menentukan norma subjektif. Menurut Ajzen 2 faktor ini saja tidak cukup untuk menguatkan niat yang kemudian berubah menjadi perilaku. Oleh karena itu, Ajzen menambahkan faktor kontrol yang merupakan keyakinan kontrol individu mengenai kemampuannya untuk mengontrol berbagai faktor yang menjadi penentu diwujudkan atau tidak-diwujudkannya perilaku menentukan persepsi kontrol perilaku. Pada akhirnya hasil penelitian ini menguatkan teori Ajzen tentang model prediksi perilaku yang sudah kokoh berdiri sebelumnya. Oleh sebab itu, pendekatan perilaku yang bersifat multiaspek dari Ajzen ini dapat digunakan untuk menciptakan perilaku masyarakat bantaran sungai winongo dalam menjaga kebersihan dan kerapian lingkungan yang lebih baik dan permanen. F. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI 1. Tidak ada korelasi yang positif dan signifikan pada hubungan antara sikap dan perilaku secara umum dalam menjaga kebersihan dan kerapian lingkungan dari masyarakat bantaran sungai Winongo. Hal ini ditunjukan dengan koefisien korelasi sebesar 0,07 dengan taraf signifikasinya 0,28. Namun pada pengkajian perilaku yang lebih khusus dalam menjaga kebersihan dan kerapian lingkungan, yaitu pada perilaku untuk tidak melakukan BAB dan BAK langsung di sungai dan perilaku dalam memasang nomor rumah dan nama kepala keluarga, korelasi yang signifikan dan positif ditemukan pada hubungan antara kedua variabel ini yang 84
JURNAL PENELITIAN VOL. 7
2.
3.
4.
masing-masing koefisien korelasinya sebesar 0,262 dengan taraf signifikansinya 0,020 dan 0,240 dengan taraf signifikansinya 0,030. Tidak ada korelasi yang positif dan signifikan pada hubungan antara norma subjektif dan perilaku secara umum dalam menjaga kebersihan dan kerapian lingkungan dari masyarakat bantaran sungai Winongo. Hal ini ditunjukan dengan koefisien korelasi sebesar 0,13 dengan taraf signifikasinya 0,16. Namun pada pengkajian perilaku yang lebih khusus dalam menjaga kebersihan dan kerapian lingkungan, yaitu pada perilaku untuk tidak melakukan BAB dan BAK langsung di sungai, korelasi yang signifikan dan positif ditemukan pada hubungan antara kedua variabel ini yang koefisien korelasinya sebesar 0,382 dengan taraf signifikansinya 0,001. Terdapat korelasi yang positif dan signifikan pada hubungan antara persepsi kontrol dan perilaku secara umum dalam menjaga kebersihan dan kerapian lingkungan dari masyarakat bantaran sungai Winongo. Hal ini ditunjukan dengan koefisien korelasi sebesar 0,262 dengan taraf signifikasinya 0,020. Namun pada pengkajian perilaku yang lebih khusus dalam menjaga kebersihan dan kerapian lingkungan, yaitu pada perilaku untuk tidak melakukan BAB dan BAK langsung di sungai, korelasi yang signifikan dan positif ditemukan pada hubungan antara kedua variabel ini yang koefisien korelasinya sebesar 0,382 dengan taraf signifikansinya 0,001. Untuk menciptakan kebersihan dan kerapian lingkungan secara permanen pada bantaran sungai Winongo secara umum adalah dengan mengintervensi faktor persepsi kontrol masyarakat, yaitu menyediakan kesempatan dan berbagai fasilitas yang mendukung masyarakat untuk selalu menjaga kebersihan dan kerapian lingkungan mereka.
Hasil penelitian ini merekomendasikan sebagai berikut: 1. Menyediakan secara lebih masif lagi petugas yang mengangkut sampah dari rumah warga ke TPSS. Hal ini mengintervensi Persepsi Kontrol Perilaku untuk membuang tumpukan sampah rumah ke TPSS. 2. Menyediakan lebih banyak lagi tempat sampah umum yang diletakkan secara tetap di tempat-tempat strategis (tempat yang banyak dilalui orang). Hal ini mengintervensi Persepsi Kontrol Perilaku untuk membuang sampah selalu ke tempat sampah. 3. Membuat dan menegakkan sanksi tegas bagi siapa saja yang membuang sampah tidak pada tempatnya (diawasi bersama dan penanganan kasus oleh Ketua RT masing-masing). Hal ini mengintervensi Norma Subjektif untuk membuang sampah selalu ke tempat sampah (tidak ke sungai). 4. Mengadakan sosialisasi tentang urgensi dan manfaat dari pengomposan sampah organik secara lebih masif hingga pada tingkat RT. Hal ini mengintervensi Sikap untuk mengomposkan sampah organik dengan jet komposter. 5. Mengadakan pelatihan pengomposan sampah organik dengan jet komposter kepada pihak yang ditunjuk untuk melakukan pengomposan. Hal ini mengintervensi Persepsi Kontrol Perilaku untuk mengomposkan sampah organik dengan jet komposter. 6. Menentukan petugas pengomposan pada tiap RW. Hal ini mengintervensi Persepsi Kontrol Perilaku untuk mengomposkan sampah organik dengan jet komposter. 7. Menyediakan sarana dan prasarana pengomposan dengan jet komposter dengan memadai pada tiap RW. Hal ini mengintervensi Persepsi Kontrol Perilaku untuk mengomposkan sampah organik dengan jet komposter. 85
JURNAL PENELITIAN VOL. 7 8.
9.
10. 11.
12.
13.
14.
Menyediakan lebih banyak lagi WC umum yang bertangki-septik. Hal ini dilakukan berdasarkan data dari pengurus RT tentang jumlah warga yang tidak memiliki akses jamban di rumahnya beserta jumlah WC umum yang sudah ada di wilayahnya. Hal ini mengintervensi Persepsi Kontrol Perilaku untuk tidak melakukan buang air besar dan buang air kecil langsung ke sungai. Menyediakan lebih banyak lagi tanki septik komunal dengan perawatan dan pemeliharaan yang lebih memadai. Hal ini mengintervensi Persepsi Kontrol Perilaku untuk mempunyai WC yang dilengkapi dengan tangki septik. Mengadakan sosialisasi tentang urgensi dan manfaatnya tamanisasi. Hal ini mengintervensi Sikap untuk melakukan tamanisasi di sekitar rumah. Mengadakan program tamanisasi pada setiap RT berupa kompetisi taman terindah sebulan sekali. Hal ini mengintervensi Sikap untuk melakukan tamanisasi di sekitar rumah. Suatu saat perlu mengadakan tempat parkir bersama yang mudah dijangkau. Hal ini mengintervensi Persepsi Kontrol Perilaku untuk memarkir kendaraan selalu dengan rapi. Pengaturan ulang nomor urut bangunan rumah dan pengadaan plank nomor rumah dan nama kepala keluarga yang jelas dan rapi untuk setiap bangunan rumah. Hal ini mengintervensi Persepsi Kontrol Perilaku untuk memasang nomor rumah dan nama kepala keluarga dengan jelas dan rapi. Memfasilitasi usaha perikanan warga bantaran sungai Winongo yang menggunakan kerambah sebagai habitat ikan-ikannya supaya mereka mampu memiliki kolam ikan baik yang bersifat hak milik individu atau kolektif. Pemfasilitasan ini berupa pembangunan kolam ikan komunal dan penyubsidian pakan ikan sebagaimana subsidi pada pupuk. Hal ini mengintervensi Persepsi Kontrol Perilaku untuk beternak ikan di dalam kolam ikan. Melakukan penertiban kerambah di sepanjang sungai Winongo yang masuk ke dalam wilayah kota Yogyakarta. Hal ini mengeintervensi norma subjektif untuk beternak ikan di dalam kolam atau menghambat beternak ikan di dalam kerambah.
DAFTAR PUSTAKA Arikunto, Suharsimi. (2006). Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta : Rineka Cipta. Ajzen I. (1991). The theory of planned behaviour. Organizational Behaviour and Human Decision Processes, 50, 179-211. Ajzen, I. (2005) Attitudes, Personality and Behavior. Open University Press. Ajzen, I. (1975) Belief, Attitude, Intention and Behavior. Addison-Wesley Series in Social Psychology. Ajzen, I., & Fishbein, M. (1970). The prediction of behavior from attitudinal and normative variables. Journal of Experimental Social Psychology, 6, 466- 487. Davis, F. D. (1989). Perceived usefulness, perceived ease-of-use, and user acceptance of information technology. MIS Quarterly, 13, 319-340. Davis, L. E., Ajzen, I., Saunders, J., & Williams, T. (2002). The decision of African American students to complete high school: An application of the theory of planned behavior. Journal of Educational Psychology, 94,810-819. Defri Werdiono. (2009). Wah… Yogya Penyumbang Sampah Terbesar. Reportase kepada kompas.com edisi 12 Oktober 2009. Faturochman. (1992). Sikap dan Perilaku Seksual Remaja di Bali. Jurnal psikologiNo.1hal.12/17.http://fatur.staff.ugm.ac.id/file/Sikap%20dan%20Perilaku %20Seksual%20Remaja%20di%20Bali.pdf diunduh September 2010
86
JURNAL PENELITIAN VOL. 7 Francis, Jillian J., Eccles, Martin P, Johnston, Marie, Walker, Anne, Grimshaw, Jeremy , Foy, Robbie, Kaner, Eileen F.S., Smith, Liz, Bonetti, Debbie. (2004). Constructing Questionanaires Based on The Theory of Planned Behaviour.Newcastle : Center for Health Services Research.ISBN:0-9540161-5-7 Hanurawan, Fattah. (2004) . Sikap, Norma Subjektif dan NiatPro-Lingkungan Hidup Santri Perempuan dan Laki-Laki.disertasi.tidak-dipublikasikan secara umum.Yogyakarta : PPs UGM Prof. Sukardi, Ph.D. (2008). Metodologi Penelitian Pendidikan, Kompetensi dan praktiknya. Jakarta : Bumi Aksara. Susanti, Indah. (2006). Aspek Iklim dalam Perencanaan Perkotaan. jurnal PPI edisi Vol.8/XVIII/November 2006 Sustiyono dan Kurdiyono. (2007). Studi Tingkat Kesadaran Masyarakat Kota Yogyakarta Terhadap Kelestarian Lingkungan Hidup.Jurnal Penelitian Bappeda Kota Yogyakarta.No.2.Desember 2007.hal.40-42. Siradz, Syamsul A, Endra Setyo Harsono dan Ismi Purba.(2008). Kualitas Air Sungai Code, Winongo dan Gajahwong, Daerah Istimewa Yogyakarta. Jurnal ilmu Tanah dan Lingkungan. Vol. 8, No. 2 (2008) p: 121-125.
87
JURNAL PENELITIAN VOL. 7 Model Kewirausahaan Berbasis Anak Putus Sekolah sebagai Usaha Untuk Mengentaskan Kemiskinan Di Wilayah Kota Gede Yogyakarta ( Oleh : Dr. R. Sahedhy Noor, SK, MM, Drs. Ida Bagus Nyoman Udayana, M Si, Dra. Jajuk Herawati, MM, Dra. Prayekti, M Si ) A.
Latar Belakang Penelitian dilaksanakan dari hasil temuan di wilayah Kabupaten Bantul, sebagaimana yang telah ditemukan oleh Darmono, dkk (2003). Hasil identifikasi program SIBERMAS (Sinergi Pemberdayaan Masyarakat) dan Back Stopping Keaksaraan Fungsional. Analisis permasalahan di wilayah Kota Yogyakarta khususnya untuk Kecamatan Pringgan menunjukkan, ditemukan data masyarakat miskin yang mempunyai anak putus sekolah tingkat SD, SLTP, dan SLTA akibat adanya kekurangan biaya dan fasilitas pendidikan yang disediakan oleh pemerintah. Secara kuantitatif realita temuan di masyarakat menunjukkan, terdapat 76,6% lulusan SLTA tidak melanjutkan ke perguruan tinggi; 47,2% lulusan SLTP tidak melanjutkan ke SLTA, dan 40,74% lulusan SD tidak melanjutkan ke SLTP. Anak-anak putus sekolah dari keluarga miskin ini perlu mendapat perhatian agar tidak menambah jumlah angka pengangguran yang sudah sedemikian besar, maka perlu dipikirkan bagaimana pendidikan dapat berperan mengubah manusia beban ketergantungan menjadi manusia produktif, serta bekal apa yang perlu diberikan kepada anak putus sekolah dari keluarga miskin tersebut agar dapat segera memasuki dunia kerja. Dengan cara demikian diharapkan mereka nantinya dapat dan mampu menghidupi dirinya sendiri, dan jika dapat turut menghidupi keluarganya dengan layak. Dalam dunia pendidikan di masyarakat khususnya di pedesaan, berbagai indikator menunjukkan bahwa mutu pendidikan masih belum meningkat secara signifikan. Misalnya dari dunia usaha muncul keluhan bahwa lulusan yang memasuki dunia kerja belum memiliki kesiapan kerja yang baik. Kini juga muncul gejala lulusan SLTP dan SLTA yang menjadi masalah di pedesaan, karena sulitnya mendapatkan pekerjaan, akan membantu orang tuanya bekerja sebagai petani atau pedagang tradisional merasa malu. Hasil studi Blasely, dkk (1999) melaporkan, bahwa pembelajaran di sekolah cenderung sangat teoritik dan tidak terkait dengan menerapkan apa yang dipelajari di sekolah guna memecahkan masalah kehidupan yang dihadapi dalam kehidupan sehari-hari. Pendidikan seakan-akan hanya mencabut anak didik dan lingkungannya, sehingga berakibat menjadi asing di masyarakat sendiri. Usaha memecahkan permasalahan tersebut, penelitian ini akan menawarkan suatu alternatif model kewirausahaan berbasis kelurahan sebagai usaha untuk pengentasan kemiskinan yang memfokuskan pada anak putus sekolah dalam rangka mempersiapkan diri memasuki dunia kerja. Terdapat empat komponen yang akan dikembangkan dalam kegiatan penelitian ini, yaitu : (1) kecakapan diri (personal skill), khususnya dalam penanaman kepercayaan diri, (2) kemandirian, (3) kreatif dan inovatif, dan (4) kecakapan kerja (vocational skill), yaitu kecakapan dalam membuat sesuatu. Berkaitan dengan manfaat penelitian, secara umum manfaat penelitian yang berorientasi pada kewirausahaan bagi anak putus sekolah dari keluarga miskin di wilayah penelitian adalah memberikan bekal untuk menghadapi dan memecahkan masalah hidup dan kehidupan, baik bagi pribadi, warga masyarakat dan warga negara yang mandiri di pedesaan. Apabila ini berhasil, maka jumlah pengangguran akan dapat diturunkan, dan produktivitas masyarakat keluarga miskin akan dapat ditingkatkan. Dengan demikian, manfaat khusus yang akan dirasakan adalah : (1) meningkatnya kesempatan kerja, khususnya bagi anak-anak putus sekolah dari keluarga miskin di pedesaan, (2) mencegah urbanisasi yang tidak bermanfaat, (3) meningkatnya pendapatan asli daerah (PAD), (4) memperkuat pelaksanaan otonomi daerah (otda) melalui peningkatan sumber daya manusia 88
JURNAL PENELITIAN VOL. 7 (SDM), dan (5) terwujudnya keadilan pendidikan bagi masyarakat miskin dan kurang mampu di pedesaan. B.
Landasan Teori Secara harafiah, kemiskinan berasal dari kata dasar miskin diberi arti “tidak berharta benda” (Poerwadarminta, 1976). Dalam pengertian yang lebih luas, kemiskinan dapat dikonotasikan sebagai suatu kondisi ketidak-mampuan baik secara individu, keluarga maupun kelompok, sehingga kondisi ini rentan terhadap timbulnya permasalahan sosial yang lain. Indikator kemiskinan menurut Biro Pusat Statistis (2007) adalah masyarakat yang berpenghasilan di bawah $560 per kapita per tahun. Berbagai sudut pandangan tentang pengertian kemiskinan, pada dasarnya dapat dikelompokkan ke dalam tiga bentuk, yakni kemiskinan struktural, kemiskinan relatif dan kemiskinan absolut. Dari ketiga sudut pandang tersebut, penulis membatasi diri dan lebih menekankan pada kemiskinan absolut, karena pemahaman dari bentuk kemiskinan ini relatif lebih mengena dalam konteks fakir miskin. Menurut Ginanjar (1997), kemiskinan absolut adalah kondisi kemiskinan yang terburuk yang diukur dari tingkat kemampuan keluarga untuk membiayai kebutuhan yang paling minimal untuk dapat hidup sesuai dengan martabat hidup sesuai dengan martabat kemanusiaan. Menurut Nasikun (1995), kondisi yang sesungguhnya harus dipahami mengenai kemiskinan : “Kemiskinan adalah sebuah fenomena multifaset, multidimensional, dan terpadu. Hidup miskin bukan hanya berarti hidup di dalam kondisi kekurangan sandang, pangan, dan papan. Hidup dalam kemiskinan seringkali juga berarti akses yang rendah tehadap berbagai ragam sumberdaya dan aset produktif yang sangat diperlukan untuk dapat memperoleh sarana pemenuhan kebutuhan-kebutuhan hidup yang paling dasar tersebut, antara lain : informasi, ilmu pengetahuan, teknologi dan kapital. Lebih dari itu, hidup dalam kemiskinan sering kali juga berarti hidup dalam alienasi, akses yang rendah terhadap kekuasaan, dan oleh karena itu pilihan-pilihan hidup yang sempit dan pengap”. Pandangan ini mengisyaratkan, bahwa permasalahan kemiskinan tidak hanya berdiri sendiri, sehingga dalam penanggulangannya menuntut pemahaman, kecermatan dan kehatihatian. Di dalam diri masyarakat miskin tidak hanya terdapat kelemahan (kondisi serba kekurangan), tetapi dalam diri mereka juga terdapat potensi yang dapat digunakan sebagai modal dasar dalam pengembangan dirinya. Kondisi ini mengisyaratkan bahwa program penanggulangan kemiskinan harus mampu mengakomodasikan kedua aspek tersebut. Menurut Koenraad Verhagen (1996), melebih-lebihkan kemiskinan kita cenderung melupakan apa yang mereka miliki. Orang-orang miskin bukanlah orang-orang yang tidak memiliki (havenot). Dari sudut pandang ekonomi mereka adalah orang-orang yang memiliki sedikit (have-little) di sisi lain orang-orang miskin memiliki kekayaan budaya dan sosial. Berkaitan dengan pandangan ini Gunawan Kusumudiningrat (1997) mengemukakan bahwa strategi untuk memberdayakan masyarakat terdapat tiga hal yang harus dilakukan, yaitu : (1) menciptakan suasana atau iklim yang memungkinkan potensi masyarakat berkembang, (2) memperkuat potensi atau daya yang dimiliki masyarakat (empowering) dan (3) pemberian perlindungan, dalam proses pemberdayaan harus dicegah yang lemah menjadi lebih lemah. Berdasarkan uraian di atas dapat dikemukakan bahwa dalam konteks penanggulangan kemiskinan mereka tidak hanya didekati sebagai obyek yang diamati, tetapi harus dipandang sebagai subjek atau pelaku yang dikelompokkan dalam golongan masyakarat yang berpenghasilan rendah yang harus diberdayakan. Kewirausahaan pada umumnya ditinjau dari empat sudut pandang utama, yaitu : ekonomi, psikologi, bisnis, dan filsafat (Vesper, 1980). Keempat sudut pandang tersebut menghasilkan konsep yang berbeda-beda tentang kewirausahaan. Dari keempatnya, sudut pandang psikologis yang paling mampu menghadirkan konsepsi untuk menjawab 89
JURNAL PENELITIAN VOL. 7 pertanyaan-pertanyaan yang timbul. Kajian psikologi berkaitan dengan dorongan-dorongan dan motivasi-motivasi apa yang memicu perilaku kewiraswastaan, trait-trait psikologis apa saja yang mendorong seseorang berhasil, dan bagaimana dinamika interaksi variabelvariabel individual dan variabel lingkungan dalam kewirausahaan. Karakter umum wiraswastawan yang segera terlihat dari sudut pandang psikologi adalah drive atau dorongan atau motivasi yang mendasari perilaku kewirausahaan (Vesper, 1980). Secara ilmiah, kajian psikologis akan meliputi aspek-aspek kepribadian yang membentuk dinamika lingkungan yang membentuk karakter semacam itu, situasi-situasi sosial yang menjadi dasar perilaku kewiraswastaan. Masa anak-anak sering disebut dengan istilah yang bermacam-macam antara lain : masa puber, masa puerla, masa menentang, masa akhil baligh, masa adolesence. Berbagai istilah tersebut mempunyai konotasi yang berbeda-beda namun pada hakekat intinya sama. Istilah puber (puberitas, pubessan) berasal dari negara barat (Perancis, Inggris) sedang istilah adolesensia berasal dari Amerika yang artinya masa peralihan dari kanak-kanak menuju dewasa. Istilah pueral berasal dari bahasa Latin, puer artinya rambut di semua tubuhnya terutama bagian sekitar alat kelamin. Tumbuhnya bulu-bulu ini sebagai pertanda kematangan alat kelamin, jika terjadi hubungan akan tumbuh pembuahan. Ditinjau dari periodesasi umur masa anak bergerak antara 12 tahun hingga 21 tahun (Monks, 1998:264). Masa ini merupakan masa pertumbuhan fisik dan psikis. Dalam aspek fisik terjadi percepatan pertumbuhan. Kartini Karto (1990:149) menyebut dengan heliogene acceleratic (akselerasi heliogen), yaitu masa percepatan pertumbuhan karena pengaruh cahaya matahari. Disebut demikian karena masa anak banyak berada di iklim terbuka misalnya suka berenang, berjalan-jalan, sport, darmawisata, sepeda tanpa tujuan. Karena itu pula ahli menyebutkan masa anak sebagai masa penjelajah. Dalam buku-buku psikologi masa anak dirinci lagi menjadi bagian kecil, yaitu umur 12 sampai 15 tahun disebut anak awal (pubertas) dan umur 18 sampai dengan 21 tahun disebut akhir anak. Kategorisasi berdasarkan umur ini sekedar sebagai dasar untuk mempermudah mempelajari, sedang dalam realitasnya sering terjadi maju mundur. Perlu diingat bahwa ancar-ancar umur ini selalu mengalami perubahan seiring dengan majunya budaya zaman. Misalnya sekarang (2005) gadis umur 25, 27 tahun masih disebut masa anak akhir karena budaya sekarang lebih maju dibanding pada saat para psikolog mengadakan penelitian masa anak. Tujuan umum yang akan dicapai dalam penelitian ini adalah untuk meningkatkan pengetahuan, ketrampilan, dan sikap anak putus sekolah di bidang tertentu sesuai dengan bakat dan minatnya, sehingga mereka memiliki bekal kemampuan untuk bekerja yang dapat mendatangkan penghasilan yang layak guna memenuhi kebutuhan hidupnya dan keluarganya. Tujuan secara khusus adalah memberikan pelayanan pendidikan kecakapan hidup kepada anak putus sekolah agar : Memiliki kesadaran yang tinggi tentang pentingnya pendidikan ketrampilan untuk dirinya sendiri maupun anggota keluarganya. Mempunyai kesempatan yang sama untuk memperoleh pendidikan dalam rangka mewujudkan keadilan pendidikan di setiap lapisan masyarakat. Memiliki pengetahuan ketrampilan, dan sikap yang dibutuhkan dalam memasuki dunia kerja, baik bekerja mandiri (wirausaha) dan/atau bekerja pada suatu perusahaan produksi/jasa. Memiliki motivasi dan etos kerja yang tinggi serta dapat menghasilkan karya-karya yang unggul dan mampu bersaing di pasar global. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat antara lain : Dapat mengetahui masalah yang dihadapi anak-anak putus sekolah. Dapat meningkatkan ketrampilan anak putus sekolah dan sebagai bekal untuk dapat berkarya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
90
JURNAL PENELITIAN VOL. 7 C.
Tujuan Penelitian Tujuan umum yang akan dicapai dalam penelitian ini adalah untuk meningkatkan pengetahuan, ketrampilan, dan sikap anak putus sekolah di bidang tertentu sesuai dengan bakat dan minatnya, sehingga mereka memiliki bekal kemampuan untuk bekerja yang dapat mendatangkan penghasilan yang layak guna memenuhi kebutuhan hidupnya dan keluarganya. Tujuan secara khusus adalah memberikan pelayanan pendidikan kecakapan hidup kepada anak putus sekolah agar : Memiliki kesadaran yang tinggi tentang pentingnya pendidikan ketrampilan untuk dirinya sendiri maupun anggota keluarganya. Mempunyai kesempatan yang sama untuk memperoleh pendidikan dalam rangka mewujudkan keadilan pendidikan di setiap lapisan masyarakat. Memiliki pengetahuan ketrampilan, dan sikap yang dibutuhkan dalam memasuki dunia kerja, baik bekerja mandiri (wirausaha) dan/atau bekerja pada suatu perusahaan produksi/jasa. Memiliki motivasi dan etos kerja yang tinggi serta dapat menghasilkan karya-karya yang unggul dan mampu bersaing di pasar global. Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat antara lain : Dapat mengetahui masalah yang dihadapi anak-anak putus sekolah. Dapat meningkatkan ketrampilan anak putus sekolah dan sebagai bekal untuk dapat berkarya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. D.
METODOLOGI PENELITIAN Lokasi dan Subjek Penelitian. Penelitian ini dilaksanakan di kelurahan Prenggan kecamatan Kota Gede Yogyakarta Daerah Istimewa Yogyakarta. Di kelurahan tersebut berdasarkan studi pendahuluan ditemukan anak putus sekolah dari tingkat SD sampai SLTA sejumlah 25. Pendekatan Penelitian : Penelitian ini pada tahap awal akan menggunakan pendekatan penelitian survei dengan didukung metode pengumpulan data digunakan angket, interview, dan obeservasi. Penelitian berikutnya, akan menggunakan pendekatan penelitian tindakan (action research) dan penelitian evaluasi, dengan didukung metode pengumpulan data eksperimen, demonstrasi/pemberian tugas, observasi, interview. Langkah-langkah penelitian dapat dijelaskan sebagi berikut : Tahap awal sebagai penjajagan. Penelitian melakukan penjajagan (assessment) untuk menentukan masalah hakiki yang dirasakan oleh anak putus sekolah di pedesaan, khususnya di kelurahan Pringgan, kecamatan Kotagede. Pada tahap ini peneliti dapat menimbang dan mengidentifikasikan masalah-masalah hasil penjaringan melalui survey awal dalam kehidupan sehari-hari anak putus sekolah (memfokuskan masalah), kemudian melakukan analisis dan merumuskan masalah yang layak untuk ditindak-lanjuti. Tahap kedua sebagai skenario tindakan. Berdasarkan masalah yang telah dipilih, disusun rencana berupa skenario tindakan atau aksi untuk melakukan perbaikan, peningkatan dan/atau perubahan ke arah yang lebih baik dari praktek pembelajaran wirausaha anak putus sekolah yang telah berhasil dijaring, dilakukan untuk mencapai hasil yang optimal atau memuaskan. Tahap Ketiga sebagai implementasi skenario tindakan Dilakukan implementasi rencana atau skenario tindakan. Peneliti bersama-sama kolaborator atau partisipan (kader/tutor terlatih, praktisi pendidik, praktisi jasa ketampilan) melaksanakan kegiatan sebagaimana tertulis dalam skenario. Pemantauan atau monitoring dilakukan segera setelah kegiatan pendidikan kecakapan hidup bagi anak putus sekolah dimulai. Rekaman semua kegiatan dan perubahan yang terjadi perlu dilakukan dengan berbagai alat dan cara, sesuai dengan situasi dan kondisi lingkungan anak putus sekolah. Tahap Keempat sebagai analisis data. Berdasarkan monitoring kegiatan pendidikan wirausaha bagi anak putus sekolah, dilakukan analisis data yang dapat digunakan sebagai bahan acuan untuk mengadakan evaluasi apakah tujuan model pendidikan wirausaha yang dirumuskan telah tercapai. Jika belum memuaskan maka dilakukan revisi atau modifikasi dan perencanaan ulang untuk memperbaiki tindakan pada siklus sebelumnya. Proses daur ulang akan selesai jika peneliti merasa puas terhadap hasil tindakan yang dilakukan sesuai dengan rencananya. Dari pelaksanaan tindakan dapat 91
JURNAL PENELITIAN VOL. 7 diperoleh dua macam hasil, yaitu peningkatan mutu pembelajaran yang berdampak pada pengetahuan kewirausahaan anak putus sekolah dan diperoleh model tindakan untuk meningkatkan ketrampilan dan lapangan pekerjaan anak putus sekolah di pedesaan. Analisis data adalah proses pengorganisasian dan mengurutkan data ke dalam pola, kategori dan satuan uraian dasar, sehingga dapat ditemukan tema dan dapat dirumuskan hipotesis kerja seperti disarankan oleh data (Bogdan dan Taylor, 1995:79). Teknik analisis data yang digunakan adalah analisis secara data secara kualitatif dalam hal ini adalah peneliti memberikan penjelasan, menginterpretasikan dan memformulasikan permasalahan penelitian secara induktif. E.
HASIL DAN PEMBAHASAN Dalam penelitian ini yang menjadi responden adalah anak putus sekolah khususnya, sekolah menengah pertama dan sekolah menengah atas. Hal ini dimaksudkan untuk memperoleh yang akurat, dengan data yang akurat diharapkan data mempunyai validitas yang tinggi. Karena baik atau tidaknya kemampuan anak putus sekolah bisa ditentukan oleh program pelatihan yang efektif dan efisien. Adapun teknik pengambilan sampel dengan teknik purposive sampling dan snowball system. Snowball system dipergunakan karena penentuan responden dilakukan secara langsung dan mengalir di saat penelitian dilakukan dengan jalan menemui anak putus sekolah. Sedangkan purposive sampling adalah responden ditentukan kepada pihak-pihak tertentu yang dipandang mengetahui informasi berkaitan dengan peran anak putus sekolah dalam meningkatkan keterampilannya. Dalam hal ini dipergunakan untuk responden dari pembuat keputusan terkait dengan pemberdayaan anak putus sekolah, yang juga seharusnya mendapatkan perhatian yang adil dari pihak pembuat kebijakan. Berdasarkan tabel ini dapat dinyatakan bahwa responden hampir seimbang jenis kelamin wanita, yaitu 13 orang responden atau 52%, sedangkan 12 responden atau 48% jenis kelamin laki-laki. Keseimbangan ini disebabkan oleh sudah tidak ada anggapan lagi di masyarakat yang mengutamakan anak laki-laki daripada kaum perempuan. Jadi sudah ada kesadaran pihak wanita untuk mendapatkan perlakuan yang sama di segala bidang ilmu dan pengetahuan yang adil dengan kaum pria. Berdasarkan gambar diagram lingkaran di atas dapat dinyatakan bahwa responden terbesar tidak tamat sekolah dasar 4 orang responden atau 16%. Sedangkan 7 responden atau yang 28% tidak tamat Sekolah Menengah Pertama, dan 56% tidak tamat Sekolah Menengah Atas, atau 14 orang. Jadi dapat disimpulkan bahwa mayoritas responden yang megikuti pelatihan adalah yang tidak tamat sekolah menengah atas. Hal ini seharusnya sewaktu sekolah menengah pertama meneruskan ke sekolah kejuruan bukan ke SMA, tetapi ke sekolah menengah kejuruan. Berdasarkan gambar di atas, dapat dinyatakan bahwa responden terbesar kelompok umur 12 - 18 tahun, yaitu 12 orang atau 48%. Sedangkan yang terendah adalah kelompok umur di atas 29 tahun sejumlah 9 orang atau 36,%. Sisanya kelompok umur 18-29 tahun sebanyak 4 orang atau 16%. Biasanya anak putus sekolah biasanya belum memiliki pekerjaan tetap. Hal ini bisa dipahami karena anak putus sekolah biasanya minim skill dan pengetahuan termasuk pola pandang terhadap masa depan. Berdasarkan gambar di atas, dapat dinyatakan bahwa sebagian besar atau 80% mata pencaharian responden adalah serabutan, sedangkan sisanya adalah dagang 4% sebagai tenaga wirausaha yang belum maju dan butuh sentuhan manajemen, jasa sejumlah 4%. Dengan adanya model kewirausahaan ini dalam bentuk pelatihan cukup tepat untuk memberikan bekal untuk menunjang dan membuat usaha. Berdasarkan gambar di atas, dapat dinyatakan bahwa peserta pelatihan adalah mayoritas warga muslim, yaitu 76%, kemudian peserta dari warga kristiani 24%. Hal ini 92
JURNAL PENELITIAN VOL. 7 mencerminkan kerukunan umat beragama yang baik. Walalupun berbeda agama tetapi dapat belajar bersama dengan baik. Berdasarkan gambar di atas, dapat dinyatakan bahwa sarana ekonomi industri sebagian besar adalah industri kecil, kemudian disusul industri rumah tangga. Hal ini dapat mengindikasikan bahwa peranan industri kecil dan industri rumah tangga di kecamatan Kotagede sangat dominan yang bisa membantu prekonomian rakyat banyak. Berdasarkan gambar di atas, dapat dinyatakan bahwa sarana pariwisata sebagian besar adalah rekreasi, kemudian disusul penginapan berupa losmen. Hal ini dapat mengindikasikan bahwa peranan industri pariwisata berperan penting dalam perekonomian di kecamatan Kotagede Yogyakarta. Penginapan merupakan salah satu faktor penting untuk mendukung industri pariwisata. Berdasarkan gambar jenis program atau skill yang diusulkan di atas, dapat dinyatakan bahwa 72% atau 18 responden mengusulkan program/skill pelatihan internet, MS Word, dan Excel, 16% atau 4 respondnen mengusulkan salon kecantikan dan 4% mengusulkan jasa bengkel. Hal ini dapat dikatakan bahwa program pelatihan internet, MS Word dan Excel mendesak untuk dilaksanakan, karena sangat membantu untuk memberdayakan anak putus sekolah untuk berwirausaha. F.
Kegiatan Pemberdayaan Anak Putus Sekolah Materi Pembelajaran. Materi kewirausahaan yang diberikan kaitannya dengan pemberdayaan anak putus sekolah, yaitu internet, MS Excel, dan MS Word, sesuai dengan hasil survei pendahuluan (prelimenery) yang dilakukan tim peneliti dengan melakukan need assesment kepada anak putus sekolah. Materi pembelajaran tersebut sangat dibutuhkan dalam kaitannya dengan pekerjaan yang akan dilakukan. Hampir seluruh instansi pemerintah, swasta, wiraswasta bisa dipastikan mesti membutuhkan program pelatihan di atas. Dengan bertambahnya pengetahuan dan keterampilan serta pengalaman yang diperoleh diharapkan mereka memiliki tambahan bekal hidup yang memadai, misalnya menjadi pengolah kata secara profesional. Strategi Pembelajaran. Dalam pembelajaran dilaksanakan dalam ruang laboratorium ketrampilan komputer dengan kapasitas komputer yang cukup memadai. Hasil pembelajaran dievaluasi langsung di tempat para peserta pelatihan selama proses kegiatan pelatihan berlangsung dengan langsung berhadapan dengan satu orang satu komputer. Dengan demikian proses pelatihan dapat berjalan secara optimal. Pemateri yang bertugas sebagai instruktur juga ahli di bidangnya masing-masing. Dengan sistem pelatihan tersebut diharapkan dapat menghasilkan peserta didik yang berkualitas dan mampu berusaha sendiri. Sarana dan Prasarana. Ruang untuk tempat pelatihan cukup memadai, seperti ruang AC, komputer aktif 40 unit, TV, serta alat pendukung lainnya seperti LCD. Dengan 25 peserta pelatihan, cukup merasa nyaman di ruangan yang ber-AC. Hasil Pelatihan. Sesuai dengan tujuan dalam penelitian ini adalah memberdayakan anak putus sekolah agar bisa mandiri karena pada umumnya mereka tidak memiliki ketrampilan hidup yang memadai. Melalui pelatihan ini peserta pelatihan Internet, MS Excel dan MS Word, peserta memilik skill yang dapat dipakai untuk berkarya di masyarakat dan sebagai bekal hidup. Berikut dijelaskan secara singkat materi yang disampaikan pada acara pelatihan, sedangkan materi lengkap ada pada lampiran laporan penelitian. MS Word. MS Word Microsoft Word merupakan program aplikasi dengan fungsi utama untuk pengelolaan kata (word processor). Word 2000 merupakan pengembangan dari program word terdahulu, yaitu Word 97, dimana tampilan secara umum telah mengalami perubahan terutama dari fungsi yang semakin banyak dan mudah digunakan. Hasil dari Word 2000 bisa digunakan sebagai halaman web sebab sudah memiliki pilihan mode penyimpanan yang terintegrasi dengan fungsi internet. Dalam pelatihan ini berturut93
JURNAL PENELITIAN VOL. 7 turut dibahas sebagai berikut: memulai Word 2000, Setup halaman, menyorot teks, mengedit dokumen, mengaktifkan menu toolbars, memodifikasi toolbars, mengaktifkan menu toolbars, memodifikasi toolbars, spasi paragraf, perataan paragraf, format huruf. MS Excel. Microsoft Excel merupakan sebuat software yang berfungsi untuk mengolah data secara otomatis meliputi perhitungan dasar, penggunaan fungsi-fungsi, pembuatan grafik, dan menajemen data. Software ini sangat membantu untuk menyelesaikan permasalahan administrasi mulai dari yang paling sederhana sampai yang komplek. Dalam pelatihan ini berturut-turut akan dilakukan adalah mengenal elemenelemen microsoft Excel 2007, memulai membuat dokumen (buat judul, penggunaan alignment, penggunaan autofill, penggunaan format tabel dan cell), menyimpan dokumen, mengedit dokumen, menggunakan rumus. Internet. Perkembangan teknologi informasi (information technology) identik dengan perkembangan teknologi internet. Secara sederhana internet dapat diartikan sebagai suatu jaringan atau network dari berjuta-juta komputer yang saling berhubungan satu sama lain yang membuat seseorang dimanapun di dunia ini mengadakan komunikasi dengan pengguna internet dimanapun berada. Internet merupakan gabungan jutaan jaringan komputer yang bekerja dengan menggunakan suatu perangkat protokol yang dapat membuat terjadinya komunikasi secara global. Sampai saat ini jumlah pengguna internet mencapai jutaan pengguna dan terdapat di lebih dari 90 negara. Dalam pelatihan ini berturut-turut dibahas, pengenalan internet, melakukan browsing di internet: jalankan salah satu program brower yang terdapat pada desktop komputer, secara otomatis program browser akan menampilkan situs yang sesuai dengan default setting, selanjutnya dapat meneruskan dengan memanfaatkan menu-menu yang telah disediakan pada homepage tersebut atau pindah ke alamat lain dengan menuliskan alamat internet dengan URL = Uniform Resource Locator pada baris alamat dan melakukan eksplorasi pada situs tersebut, dan tentunya kita memperoleh sesuatu yang dibutuhkan. Melakukan searching di internet. Di internet banyak sekali mesin-mesin pencari yang dapat digunakan untuk memudahkan pemakai dalam menemukan informasi yang diinginkan. Diantaranya yang terkenal adalah www.google.com, www.yahoo.com, www.altavista.com dan lain-lain. Membuat account e-mail pribadi. E-mail singkatan dari electronic mail, dalam bahasa Indonesia dapat diterjemahkan sebagai surat elektronik. E-mail merupakan jenis layanan internet yang paling populer. Melalui e-mail, kita dapat mengirim berita, gambar atau data kepada rekanannya atau menjawab surat-surat yang dituju. Kita juga dapat mengirim berkas sebagai bagian atau lampiran dari surat yang disusun, dapat juga berlangganan berita kepada grup diskusi yang diminati (mailing list). Langkah-langkah mendaftarkan diri di www.mail.yahoo.com. Ketik www.mail.yahoo.com akan muncul jendela menampilkan situs yahoo mail, Ketik Create New Account. Isilah kolom tersebut dengan nama dan alamat yang diinginkan Klik tombol “Chek” untuk memastikan apakah ID yahoo yang kita inginkan telah digunakan oleh orang lain. Ketik ulang kode verifikasi pada “type the code shown”pada halaman ini akan ditampilkan surat-surat masuk. Untuk memulai mengirim e-mail, klik tombol New yang terletak di sudut kiri atas pada jendela tampilan. G.
Kesimpulan dan Rekomendasi Kesimpulan. Berdasarkan data dan deskripsi atau gambar umum dari hasil penelitian dengan interview, observasi dan dokumentasi, maka penyusun dapat menarik beberapa kesimpulan sebagai berikut: Anak putus sekolah sebagian besar dari SMA dengan kelompok umur 12 – 18 tahun, yang pada umumnya tidak punya pekerjaan tetap (serabutan). Dalam pengambilan kebijakan yang menyangkut kepentingan publik terkait dengan pemberdayaan masyarakat dalam hal ini anak putus sekolah, belum banyak 94
JURNAL PENELITIAN VOL. 7 dilibatkan. Namun justru banyak program penelitian atau pelatihan yang tersentralistik, seperti kegiatan PKK. Berkaitan dengan kebijakan pemerintah, sebagai warga anak putus sekolah banyak yang sudah merasakan kebijakan pemeritah walaupun belum optimal. Anak putus sekolah sulit untuk akses informasi atau bantuan dari pemerintah dikarenakan kesulitan komunikasi. Anak putus sekolah kesulitan akses informasi lapangan kerja dikarenakan masalah prosedural yang kurang fleksibel. Potensi anak putus sekolah terjun di sektor informal ekonomi perkotaan cukup besar, namun belum memiliki skill yang memadai. Model kewirausahaan yang diterapkan dalam penelitian ini adalah diawali dengan obervasi termasuk needs assesment Berdasarkan kebutuhan yang diusulkan dilaksanakan kegiatan kemudian diakhiri dengan evaluasi kegiatan dan diadakan penelitian lanjutan. Rekomendasi. Dari kesimpulan yang telah dipaparkan tersebut di atas, maka dapat direkomendasikan sebagai berikut : Perhatian pemerintah terhadap anak putus sekolah lebih ditingkatkan, karena ini merupakan hak mereka sesuai Undang-undang Dasar 1945. Informasi dari pemerintah yang berkaitan dengan kewirausahaan kaitannya dengan pemberdayaan anak putus sekolah, agar lebih diintensifkan lewat internet, karena mereka sudah paham tentang internet. Program kewirausahaan untuk anak putus sekolah dilakukan secara sistemik dan terstruktur, sehingga dapat dipantau dengan baik. H.
Policy Brief 1. Pemberdayakan anak putus sekolah dilaksanakan mulai dari tingkat RT/RW di kelurahan masing-masing melalui lembaga independen dan berkoordinasi dengan karangtaruna dan Pemerintah Kelurahan sebagai penanggung jawab. 2. Informasi dari pemerintah kota tentang kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan pemberdayaan anak putus sekolah hendaknya disosialisasikan secara luas dan seintensif mungkin. 3. Prosedur untuk dapat mengikuti kegiatan anak putus sekolah sedapat mungkin lebih disederhanakan. 4. Melibatkan dunia usaha melalui magang, sesuai dengan kebutuhan dan bakat anak putus sekolah.
DAFTAR PUSTAKA Hisrich, R.D. (ed.) 1999. Entrepreneur, Intrapreneurship, and Venture Capital: The Foundational of Economic Renaissance. Lexington, MA : Lexington Books. Hisrich, R.D., Brush, C.G. 2006. The Woman Entrepreneur: Management Skills and Business Problems. Journal of Small Business Maangement. 22, 30-37. Ivan llich. (1998). Bebas Dari Sekolah. Terjemahan oleh C. Woekisari. Jakarta: Sinar Harapan. Kao, J. 1989. Enterpreneurship, Creativity and Organization. Englewood Cliff, NJ : Prentice Hall. Karim dan Saleh Sugiyanto. (1996). Menampung Anak Usia Sekolah : Antara target dan Kemampuan, “Prisma”No. 2 Th V. Jakarta: LP3S. Kartini Kartono. (1999) Psikologi Anak (Psikologi Perkembangan). Bandung: Mandar Maju Kurnia, K. 1994. Cinta atau Benci : Serial Misteri Entrepreneurship. Tiara. 102, 10 April 1994. Monks. Knor dan St. R. Haditono. (1999) Psikologi Perkembangan, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Muller, Johanes. (1998). Pendidikan Sebagai Jalan Pembebasan dari Cengkeraman Kemelaratan. Prisma No. 7 Th IX. Jakarta. LP3S. 95
JURNAL PENELITIAN VOL. 7
Onthel dan Sego Segawe ( Oleh : Syariful Hidayatulloh,S. Sos, Ratna Pangastuti, S.Pd.I, Yuli Muhammad Najib ) ABSTRAK Penelitian Onthel dan Sego Segawe (di Kantor Balaikota Yogyakarta) ini merupakan penelitian yang dibuat berdasarkan realita pelaksanaan dari Surat Edaran (SE) Walikota Yogyakarta Nomor 656/30/SE/2008 tertanggal 21 Mei 2008 tentang Sego Segawe (Sepeda kanggo sekolah lan nyambut gawe) sebagai perpanjangan dari pelaksanaan program Langit Biru. Sejak tanggal 23 Mei 2008 pada tiap hari Jumat, lingkungan kantor Balaikota dibebaskan dari kendaraan bermotor baik roda dua maupun roda empat dan menggantikannya dengan kendaraan sepeda atau jalan kaki bagi para pegawai kantor balaikota khususnya. Pelaksanaan program inilah yang menggelitik peneliti untuk menganalisis dan mengevaluasi seberapa besar program Sego Segawe telah terlaksana di lingkungan kantor Balaikota Yogyakarta. Dalam penelitian ini peneliti menggunakan pendekatan studi deskripstif survey, yaitu mengumpulkan data sebanyak-banyaknya mengenai faktor-faktor yang merupakan pendukung terhadap program “SEGO SEGAWE” kemudian menganalisisnya untuk mengetahui implementasi program ini di kantor Balaikota Yogyakarta dan peran pegawai kantor Balaikota Yogyakarta dalam mendukung program ini. Sedangkan metode yang digunakan adalah metode incidental artinya dalam mengambilan sampel tidak dipengaruhi oleh variabel dan faktor apapun dan dilakukan secara insidental. Dan pengambilan sampel dengan teknik purposive sampling. Hasil penelitian untuk mengetahui tanggapan responden adalah sebagian besar mendukung adanya pelaksanaan dan keberlangsungan program Sego Segawe ini. Adapun peran responden dalam mendukung himbauan walikota ini adalah sebagian besar dari responden telah menggunakan sepeda onthel ke kantor ada hari Jumat. Sedangkan implementasi Sego Segawe di lingkungan Balaikota Yogyakarta adalah tiap hari Jumat program ini telah dilaksanakan sehingga kantor Balaikota bebas dari kendaraan ber-BBM, para pegawai yang jarak tempuh rumah < 10 km telah ada yang menggunakan sepeda terutama pada hari tersebut namun yang menggunakan sepeda motor ke kantor sebesar 0,88% dari 100 responden. Selanjutnya harapan dari responden sebagaian besar yang mendukung program ini, agar pemerintah lebih intensif mensosialisasikannya bukan hanya dalam bentuk iklan layanan masyarakat atau slogan namun juga dalam tataran praktis diantaranya memberikan reward kepada pegawai, sering diadakan sepeda bersama dengan hadiah sepeda onthel, jaminan keselamatan bagi pengguna sepeda di jalan raya/umum, dan bagi masyarakat juga dirangkul dengan lebih erat lagi untuk mendukung dan menjalankan program Sego Segawe. Mengingat dampak positif yang besar di kemudian hari, mereka juga berharap program ini tetap terus berlangsung bahkan terus ditingkatkan. Hasil penelitian ini diharapkan dapat sebagai bahan evaluasi dan masukan kepada pemerintah walikota Yogyakarta tentang pelaksanaan “Sego Segawe” selama ini di lingkungan kantor Balaikota Yogyakarta. Dimana hasil penelitian yang sederhana ini diharapkan dapat untuk mengkaji kembali akan pentingnya keberlangsungan pelaksanaan program 10 tahun ke depan sehingga andaikata sejak sekarang himbauan yang hanya berupa Surat Edaran tersebut dapat ditingkatkan status hukumnya menjadi Peraturan Walikota untuk tetap menjaga lingkungan Yogyakarta hijau dan bersih, terbebas dari berbagai bentuk polusi. Kata kunci: Onthel, Sego Segawe 96
JURNAL PENELITIAN VOL. 7
A. PENDAHULUAN – Latar Belakang Yogyakarta merupakan salah satu kota metropolitan yang memiliki banyak situs peninggalan sejarah dan tempat wisata. Terbukti bertahun-tahun, Yogyakarta sebagai salah satu di antara sekian kota wisata di Indonesia yang diminati dan dikunjungi wisatawan domestik dan mancanegara. Di masa lalu Yogyakarta terkenal dengan sebutan kota sepeda, namun tahun demi tahun berlalu jumlah masyarakat pemakai sepeda makin lama makin menurun. Masyarakat lebih senang menggunakan kendaraan bermotor, di samping harga terjangkau juga dari segi waktu lebih cepat. Makin lama jalan-jalan di Jogja berjubel dengan kendaraan bermotor, dan masyarakat sebagai pengguna jalan mulai merasa tidak nyaman lagi dalam berkendaraan. Sumber bergerak, yaitu kendaraan bermotor ditenggarai sebagai penyumbang polusi udara terbesar di Kota Yogyakarta. Selain itu Yogyakarta juga dikenal dengan kota pelajar yang menjadi pilihan favorit para pelajar setelah Jakarta dan Bandung. Dengan banyaknya kekayaan yang dimiliki Yogyakarta baik dari segi alam geografisnya maupun budayanya maka tak heran jika kepadatan penduduknya makin meningkat. Kini Yogyakarta tidak hanya didiami oleh masyarakat asli namun telah banyak para pendatang yang telah berubah menjadi penduduk Yogyakarta. Dengan berbagai fenomena di atas secara otomatis berbanding lurus dengan meningkatnya polusi di kota budaya dan pelajar tersebut, baik itu polusi sosial, polusi udara, maupun polusi yang lain yang menantang masyarakat dan pemerintah Yogyakarta untuk terus berbenah mengatasi segala permasalahan yang ada di segala dimensi. Kepedulian pemerintah kota Yogyakarta akhir-akhir ini dalam hal menjadikan masyarakat Kota Yogyakarta untuk lebih hidup sehat dan hemat serta mampu mengurangi tingkat polusi udara kota, serta secara pariwisata sebagai cagar / melindungi tradisi budaya, yaitu dengan menjadikan sepeda onthel sebagai alat transportasi alternatif ke tempat kerja, sekolah atau kemanapun. Untuk mewujudkan hal ini pemerintah tidak hanya mewujudkannya sebatas tataran konsep atau anjuran namun juga mulai diimplementasikan baik melalui peraturan-peraturan --yang selama ini masih dalam bentuk Surat Edaran Wali Kota (SE)--, disediakannya jalur-jalur alternatif khusus sepeda guna memfasilitasi pengendaranya, juga para birokrasi dan pegawai balai kota Yogyakarta sudah mencontohkan pemakaian sepeda ke tempat kerja walau belum sepenuhnya melaksanakan dan ini sebagai bukti angin segar dan respon positif yang perlu didukung semua pihak. Sebagian masyarakat juga sudah merespon hal ini dengan dibentuknya klub-klub sepeda tua, sering diadakannya tour bersepeda, dan lain-lain. Namun, seberapa besar respon dan kesadaran masyarakat terhadap hal ini, terutama respon dan tanggapan para pegawai di kalangan balai kota Yogyakarta yang nota bene sebagai obyek langsung dan contoh bagi masyarakat dari pelaksanaan Surat Edaran Wali Kota tentang “Sego Segawe”ini, mampu menggelitik penulis untuk mengetahuinya lebih jauh. Sebab asumsi penulis jika para pegawai terutama di lingkungan Balai Kota telah melaksanakannya dengan baik maka dapat menjadi contoh bagi masyarakat lainnya dan seandainya masyarakat lain juga paham, sadar, dan melakukannya maka kebersihan, kehijauan dan keindahan kota Yogyakarta akan tetap terjaga dan tentunya masyarakat kota Yogyakarta secara luas akan terjaga kesehatannya. Dengan uraian singkat di atas penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul “ONTHEL DAN SEGO SEGAWE”.
97
JURNAL PENELITIAN VOL. 7
–
Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang permasalahan di atas, pada penelitian ini dirumuskan beberapa pokok permasalahan, yaitu: 1. Bagaimana tanggapan pegawai kantor balai kota Yogyakarta terhadap penggunaan sepeda onthel sebagai transportasi alternatif ke kantor? 2. Sejauh mana peran pegawai kantor balai kota Yogyakarta dalam mendukung himbauan Wali Kota tentang “SEGO SEGAWE”? 3. Bagaimana implementasi program “SEGO SEGAWE”di lingkungan pegawai kantor balai kota Yogyakarta? 4. Apa harapan pegawai kantor balai kota Yogyakarta terhadap pelaksanaan program “SEGO SEGAWE”? B. TUJUAN DAN MANFAAT – Tujuan Tujuan yang ingin dicapai oleh peneliti dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Untuk mengetahui seberapa besar tanggapan pegawai kantor balai kota Yogyakarta terhadap penggunaan sepeda onthel sebagai transportasi alternatif ke kantor. 2. Untuk mengetahui sejauh mana peran pegawai kantor balai kota Yogyakarta dalam mendukung himbauan Wali Kota tentang “SEGO SEGAWE”. 3. Untuk mengetahui Bagaimana implementasi program “SEGO SEGAWE” di lingkungan pegawai kantor balai kota Yogyakarta. 4. Untuk mengetahui harapan pegawai kantor balai kota Yogyakarta terhadap pelaksanaan program “SEGO SEGAWE”? – Manfaat Adapun manfaat yang dapat diambil dari hasil penelitian ini nantinya adalah: 1. Sebagai salah satu cara sosialisasi untuk lebih mengenalkan manfaat sepeda onthel bagi semua lapisan masyarakat sekaligus program “SEGO SEGAWE”. 2. Sebagai bahan masukan dan kajian kebijakan kepada pemerintah kota Yogyakarta dalam menyusun suatu peraturan penataan kota. 3. Mengetahui seberapa besar peran masyarakat dalam membangun dan menjaga kebersihan, kehijauan dan keindahan kota. C. TINJAUAN PUSTAKA - Lingkungan Hidup Pembangunan di Indonesia, khususnya pembangunan di bidang industri berjalan sangat cepat, Penataan industri nasional yang didukung oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi merupakan persyarat terbentuknya masyarakat adil dan makmur sejahtera sesuai dengan nilai-nilai luhur Pancasila. Pembangunan industri (termasuk industri kendaraan bermotor) yang diarahkan pada penguatan dan pendalaman struktur industri untuk meningkatkan efisiensi dan daya saing industri serta untuk mendorong ekspor non migas, sehingga dapat meningkatkan devisa negara yang sangat besar peranannya dalam proses pembangunan selanjutnya. Konsekuensi dari proses pembangunan industri ini adalah meningkatnya limbah yang dikeluarkan oleh industri tersebut, limbah udara yang dapat merubah kualitas udara ambien, sehingga pencemaran udara dapat terjadi di mana-mana, misalnya, di dalam rumah, sekolah, kantor atau yang sering disebut sebagai pencemaran dalam ruang (indoor pollution). Selain itu, gejala ini secara akumulatif juga terjadi di luar ruang (outdoor pollution) mulai dari tingkat lingkungan rumah, perkotaan, hingga ke tingkat regional, 98
JURNAL PENELITIAN VOL. 7 bahkan saat ini sudah menjadi gejala global, dan yang sangat penting adalah berubahnya struktur atmosfir bumi yang ditandai dengan menipisnya lapisan ozon mengakibatkan peningkatan suhu bumi. Proses inilah yang dikenal sebagai greenhouse effect (efek rumah kaca). Pencemaran udara selain menyebabkan penyakit bagi manusia, misalnya masalah pernapasan bahkan gejala kanker, juga mengancam secara langsung eksistensi tumbuhan dan hewan, maupun secara tidak langsung ekosistem di mana mereka hidup. Beberapa unsur pencemar (pollutant) kembali ke bumi melalui deposisi asam atau salju yang mengakibatkan sifat korosif pada bangunan, tanaman, hutan, di samping itu juga membuat sungai dan danau menjadi suatu lingkungan yang berbahaya bagi ikan-ikan karena nilai pH yang rendah. Berbagai program pencegahan dan penanggulangan pencemaran udara termasuk upaya pemulihan mutu udara misalnya Program Langit Biru (KEP-15/MENLH/4/1996) telah dilakukan. Demikian juga terbitnya berbagai Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah tentang lingkungan hidup termasuk pencemaran udara di Indonesia, itu artinya Indonesia sebenarnya telah mempunyai acuan dan rujukan formal dalam menetapkan kebijakan pengendalian pencemaran udara agar tetap berada pada batas kualitas nilai baku mutu udara ambien yang sehat. - Gambaran Umum Kondisi Kota Yogyakarta Kota Yogyakarta yang mempunyai luas wilayah 3.250 Ha (32,5 Km2 ) atau 1,02 persen dari luas wilayah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dengan jumlah penduduk sebanyak 514.019 jiwa pada tahun 2004, dengan satu-satunya sumber daya alam yang terbatas berupa air tanah. Sebagai pusat perkotaan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta yang saat ini sedang giat mengadakan pembangunan, menimbulkan kurang seimbangnya lingkungan baik antara lingkungan alami dan lingkungan buatan. Beberapa faktor penyebabnya adalah belum konsistennya dalam penataan ruang, konsentrasi penduduk yang tidak merata, perlindungan sumber daya alam yang lemah, masalah penegakan dan penataan hukum, pencemaran dan kerusakan lingkungan tidak tertangani dengan tuntas, keseimbangan lingkungan alami dan buatan tidak terjaga, mitigasi bencana alam, perubahan iklim/cuaca global dan menurunnya keanekaragaman hayati yang secara keseluruhan menunjukkan lemahnya komitmen dan konsistensi berbagai pihak yang terkait dalam mewujudkan pembangunan yang berkelanjutan.9 Terdapat beberapa isu strategis yang berkaitan dengan pengelolaan lingkungan hidup di Kota Yogyakarta, yaitu kependudukan dan pembangunan, pencemaran air permukaan, pencemaran udara dan masalah lingkungan perkotaan10 Kesadaran masyarakat yang masih rendah terhadap pentingnya pemeliharaan lingkungan disebabkan karena menganggap bahwa sumber daya alam akan tersedia selamanya dalam jumlah yang tidak terbatas dan diperoleh secara cuma-cuma. Air, udara dan iklim dianggap sebagai anugerah dari Yang Maha Kuasa dan tak akan pernah habis. Pandangan lain yang beranggapan bahwa adanya kemampuan dari lingkungan itu untuk memulihkan fungsi lingkungan sendiri membuat masyarakat tidak termotivasi untuk ikut serta menjaga dan memelihara lingkungan. Terlebih lagi dengan kondisi masyarakat saat ini yang telah dipersulit dengan berbagai permasalahan mendasar seperti kemiskinan, kebodohan dan keserakahan membuat mereka tidak peduli dengan masalah pelestarian fungsi lingkungan. Namun pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan yang diamanatkan dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, ternyata masih belum berhasil meredam degradasi fungsi lingkungan hidup yang terjadi karena belum adanya konsistensi dalam penerapannya. 9
Kepwal no 619 tahun 2007, hal. 6 Ibid, hal. 22
10
99
JURNAL PENELITIAN VOL. 7 Udara sebagai komponen lingkungan yang penting dalam kehidupan perlu dipelihara dan ditingkatkan kualitasnya sehingga dapat memberikan daya dukungan bagi mahluk hidup untuk hidup secara optimal. Pencemaran udara dewasa ini semakin menampakkan kondisi yang sangat memprihatinkan. Sumber pencemaran udara dapat berasal dari berbagai kegiatan antara lain industri, transportasi, perkantoran, dan perumahan. Berbagai kegiatan tersebut merupakan kontribusi terbesar dari pencemar udara yang dibuang ke udara bebas. Sumber pencemaran udara juga dapat disebabkan oleh berbagai kegiatan alam, seperti kebakaran hutan, gunung meletus, gas alam beracun, dan lain–lain. Dampak dari pencemaran udara tersebut adalah menyebabkan penurunan kualitas udara, yang berdampak negatif terhadap kesehatan manusia. Udara merupakan media lingkungan yang merupakan kebutuhan dasar manusia perlu mendapatkan perhatian yang serius, hal ini pula menjadi kebijakan Pembangunan Kesehatan Indonesia 2010 dimana program pengendalian pencemaran udara merupakan salah satu dari sepuluh program unggulan. Pertumbuhan pembangunan seperti industri, transportasi, dan lain-lain di samping memberikan dampak positif namun disisi lain akan memberikan dampak negatif dimana salah satunya berupa pencemaran udara dan kebisingan baik yang terjadi di dalam ruangan (indoor) maupun di luar ruangan (outdoor) yang dapat membahayakan kesehatan manusia dan terjadinya penularan penyakit. Diperkirakan pencemaran udara dan kebisingan akibat kegiatan industri dan kendaraan bermotor akan meningkat 2 kali pada tahun 2000 dari kondisi tahun 1990 dan 10 kali pada tahun 2020. Hasil studi yang dilakukan oleh Ditjen PPM & PL, tahun 1999 pada pusat keramaian di 3 kota besar di Indonesia seperti Jakarta, Yogyakarta dan Semarang menunjukkan gambaran sebagai berikut : kadar debu (SPM) 280 ug/m3, kadar SO2 sebesar 0,76 ppm, dan kadar NOx sebesar 0,50 ppm, dimana angka tersebut telah melebihi nilai ambang batas/standar kualitas udara. Hasil pemeriksaan kualitas udara di sekitar stasiun kereta api dan terminal di kota Yogyakarta pada tahun 1992 menunjukkan kualitas udara sudah menurun, yaitu kadar debu rata-rata 699 ug/m3, kadar SO2 sebesar 0,03–0,086 ppm, kadar NOx sebesar 0,05 ppm dan kadar Hidro Karbon sebesar 0,35–0,68 ppm.11 Kepadatan lalu lintas dan banyaknya kendaraan bermotor menyebabkan meningkatnya angka polusi udara, hal ini diperparah dengan minimnya pepohonan kota sebagai akibat beralihnya lahan untuk permukiman. Dominasi penggunaan lahan di Kota Yogyakarta adalah untuk perumahan. Selain itu juga terbatasnya ruang terbuka hijau. Penggunaan alternatif bahan bakar lain sudah harus dipikirkan mengingat bahan bakar dari fosil (bensin, minyak tanah) yang saat ini digunakan sehari-hari dikhawatirkan 10-15 tahun ke depan sudah habis. Selain itu bahan bakar dari fosil juga mempunyai kontribusi besar terhadap pencemaran udara. Permasalahan pencemaran udara lain yang perlu diperhatikan adalah belum dilaksanakannya adaptasi kebijaksanaan terhadap perubahan iklim (climate change) dan pemanasan global (global warming) akan dapat memacu penurunan kualitas udara. Di lain pihak isu perubahan iklim memberi peluang tersendiri bagi Indonesia yang telah meratifikasi Kyoto Protocol dimana negara-negara industri maju dapat menurunkan emisinya melalui kompensasi berupa investasi proyek CDM (Clean Development Mechanism) di negara berkembang seperti Indonesia dan Kota Yogyakarta sebagai salah satu bagiannya. 11
http://www.depkes.go.id/downloads/Udara.PDF. diakses tanggal 7Mei 2010
100
JURNAL PENELITIAN VOL. 7 Kenyataan tersebut menunjukkan bahwa pencemaran udara memiliki potensi yang mengancam kelestarian fungsi lingkungan hidup pada masa akan datang. Pengaturan mengenai sistem pengelolaan dan pengendalian gas buang (emisi), baik transportasi maupun industri diperlukan sebagai upaya peningkatan perbaikan kualitas udara. -
Sego Segawe Krisis energi, global warming, penurunan kualitas udara, kesemrawutan lalu lintas, penurunan derajat kesehatan adalah masalah kita. Tak boleh kita berdiam diri, diperlukan upaya dan kesadaran agar bersama kita bergerak "melakukan sesuatu" sumbangan bagi bumi kita, kota kita, diri kita, penerus kita mulai saat ini dan untuk kelak masa panjang dikemudian hari. Upaya sederhana nan bijaksana dapat kita tempuh dengan kembali menggunakan sepeda sesuai fungsi semula sebagai alat transportasi untuk mendukung aktifitas keseharian kita seperti pergi bekerja, menuju sekolah, belanja ke pasar, berkunjung ke rumah sahabat dan sebagainya. Aktifitas bersepeda banyak manfaatnya tidak hanya untuk diri sendiri dan saat ini tetapi bersepeda bermanfaat bagi lingkungan dan masa depan. Oleh karena itu melalui image SEGO SEGAWE bersama kita bergerak menjadikan kembali sepeda sebagai alat transportasi mendukung mobilitas keseharian khususnya menuju kerja dan pergi ke sekolah. Jadi SEGO SEGAWE adalah spirit dan gerakan menggunakan sepeda sebagai model transportasi menuju tempat aktifitas. Kondisi saat ini sepeda dipandang sebagai kendaraan yang tidak diperhitungkan keberadaannya. Padahal sepeda memiliki kekuatan sebagai solusi alternatif mengatasi problematika transportasi. Sungguh, sepeda merupakan model transportasi murah, hemat, mengurangi polusi, mengurangi kemacetan, menghemat BBM, dan tentu saja bermanfaat bagi kebugaran tubuh. Apabila 10% warga Kota Yogyakarta yang berusia 10 - 59 tahun menggunakan sepeda sebagai model transportasi, maka kurang lebih ada 36.861 (sumber : SPAN 2005) pesepeda setiap harinya lalu lalang di jalan Kota Yogyakarta. Jumlah yang luar biasa dan signifikan terhadap penghematan BBM serta mengurangi kepadatan lalu lintas. Di lingkungan Pemkot Yogyakarta, imbauan bersepeda sudah kencang disuarakan sejak 21 Mei 2008, yaitu dikeluarkannya Surat Edaran Walikota Yogyakarta tentang “Sego Segawe”. Mulai 23 Mei 2008 setiap Jumat, PNS yang tempat tinggalnya berjarak kurang atau persis 5 kilometer dari kantor diimbau bersepeda. Menurut Wali Kota Yogyakarta, H.Hery Zudianto bahwa SEGO SEGAWE merupakan kependekan dari ”sepeda kanggo sekolah lan nyambut gawe”, hakekatnya merupakan gerakan untuk menggugah kembali dan membangkitkan nilai ”merasa membutuhkan” dari semua komponen masyarakat Kota Yogyakarta untuk menggunakan sepeda sebagai salah satu alternatif moda transportasi khususnya jarak dekat (3 km s/d 5 km). Dalam jangka pendek Program SEGO SEGAWE diharapkan dapat membangkitkan kesadaran dan pemahaman masyarakat bahwa menggunakan sepeda sebagai alat transportasi alternatif jarak dekat dapat mengurangi polusi dalam rangka antisipasi pemanasan global. Dalam jangka panjang diharapkan gerakan ini akan berimplikasi pada penurunan penggunaan kendaraan bermotor sehingga mengurangi polusi, efisiensi energi, menuju kota yang lebih humanis, meningkatkan derajat kesehatan manusia maupun lingkungan dan sebagainya. Dari sisi implementasi kebijakan, target awal adalah mengajak warga masyarakat untuk mulai menyenangi menggunakan alat transportasi sepeda baik digunakan untuk sekolah, bekerja maupun kegiatan lainnya yang berjarak dekat.12 12
Herry Zudianto, Gerakan Menumbuhkan Kesadaran Lingkungan dan Melatih Hidup Sederhana, http://sosbud.kompasiana.com/2010/01/04/sego-segawe-sepeda-kanggo-sekolah-lan-nyambutgawe/ diakses tanggal 7 Mei 2010.
101
JURNAL PENELITIAN VOL. 7 Untuk pelajar, Pemkot Yogyakarta memberi asuransi bersepeda jika mereka mengalami kecelakaan di jalan. Menurut Kepala Dinas Pendidikan Kota Yogyakarta Syamsury, aturan mainnya segera akan disatukan dengan Peraturan Walikota. ”Sedang kami pikirkan pula, karyawan pun dapat asuransi. Tujuannya agar pengendara sepeda nyaman.”Karena itu, sekolah, para guru, dan para pelajar bergabung dengan Sego Segawe, membentuk klub-klub sepeda. Untuk sarana prasarana kenyamanan dan keamanan bersepeda, Pemerintah Kota Yogyakarta pasti akan mengikuti seiring dengan berkembangnya nilai-nilai tersebut. Khusus anak sekolah yang bersepeda ke sekolah sudah dilindungi dengan santunan kecelakaan. Pada tahun 2009 ini telah direncanakan untuk penyediaan jalur khusus sepeda dilengkapi dengan rambu-rambu. Jalur khusus sepeda ini tidak harus melewati jalan protokol, tapi justru lebih banyak menggunakan jalan-jalan kampung yang berhubungan dengan jalan utama sehingga diharapkan dapat meningkatkan arus mobilitas lewat jalan kampung, sekaligus multiplier effect bagi peningkatan perekonomian atau tumbuhnya aktivitas ekonomi baru pada kampung-kampung. Jalur sepeda yang ada di Yogyakarta baru jalur yang menghubungkan lima kampus besar, yakni UGM, Universitas Negeri Yogyakarta, Universitas Islam Indonesia, Universitas Sanata Dharma, dan Universitas Atma Jaya Yogyakarta, yang kebetulan kampusnya saling berdekatan. Program SEGO SEGAWE butuh dukungan apresiasi masyarakat luas pengguna jalan untuk lebih menghargai pengendara sepeda sebagai golongan pengendara yang harus diberi prioritas haknya setelah penyeberang jalan. Orang bersepeda harus dihormati sebagai bagian dari etika lalu lintas modern dimana pengguna moda transportasi yang lebih lemah, kecil, lambat harus lebih dihormati. Orang bersepeda tidak identik dengan 'wong cilik, anak kuno'. Program SEGO SEGAWE yang dilaunchingkan oleh walikota ini tidak hanya slogan biasa, namun secara konsekuensipun beliau melaksanakan program tersebut dengan menggunakan sepeda dari rumah ke tempat dinas yang berjarak 3,5 km. Kesadaran bersama terhadap gerakan SEGO SEGAWE merupakan gerakan nilai-nilai bagaimana dengan bersepeda kita menjadi bagian dari manusia anggota planet Bumi dan hamba Tuhan yang taqwa yang sungguh-sungguh ingin mengurangi pemanasan global, polusi udara dan hemat pemakaian energi, upaya untuk membuat badan sehat dan bugar, mendidik generasi muda untuk menghargai dan mencintai kesederhanaan serta mewariskan lingkungan alam yang lebih baik kepada generasi selanjutnya. Perlunya menegakkan nilai-nilai tersebut sangat dibutuhkan dari semua komponen masyarakat khususnya para pengambil kebijakan di berbagai instansi pemerintah, lembaga swasta, organisasi, kampus dan sebagainya. Dan tentu saja DPRD Kota Yogyakarta dan seluruh PNS di lingkungan Pemerintah Kota Yogyakarta harus menjadi ”panutan” terdepan. Mari gerakan atau budaya bersepeda kita jadikan bagian keistimewaan dari Yogyakarta. Selain itu, dengan gerakan bersepeda kita tunjukkan bahwa bersepeda tidak identik dengan “wong cilik”. Justru menunjukkan orang yang bersepeda adalah orang yang gaul, modern, visioner yang berwawasan lingkungan tinggi. Namun, gerakan bersepeda butuh dukungan penyediaan infrastruktur keselamatan dan kenyamanan, misalnya lajur khusus sepeda. Ini tersedia di seluruh wilayah Kota Yogyakarta.13
13
Hery Zudianto, Sego Segawe, Gerakan Menggenjot Jiwa Sederhana, http://segosegawe.jogjakota.go.id/profil.php diakses tanggal 8 Mei 2010.
102
JURNAL PENELITIAN VOL. 7 D. METODOLOGI PENELITIAN - Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini akan dilakukan di lingkungan kantor balai kota Yogyakarta dengan mengambil 6 instansi/kantor sebagai samplingnya, yaitu kantor Walikota Yogyakarta, kantor Bappeda kota Yogyakarta, Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kota Yogyakarta, Dinas Ketertiban Kota Yogyakarta, kantor Bagian Umum Setda Kota Yogyakarta dan kantor Bagian Hukum Setda Kota Yogyakarta. Adapun responden yang kami ambil sebanyak 100 orang responden. Seluruh proses kegiatan penelitian hingga penyelesaian laporan dilakukan dalam waktu tiga bulan, dimana frekuensi pelaksanaan penelitian didasarkan pada keterlibatan ketua peneliti dan anggota, yaitu sebanyak 24 jam/minggu. Seluruh tahapan dan proses penelitian dilakukan secara komprehensif dan sistematis sesuai dengan jadwal yang telah disepakati. Adapun jadwal penelitian yang telah tersusun dan tersepakati tersebut adalah sebagai berikut: - JADWAL PELAKSANAAN Minggu keNo Kegiatan I II III IV V VI VII VIII IX Penulisan proposal penelitian dan 1 penyerahan Seminar dan revisi proposal 2 Penyiapan literature, pengumpulan 3 data dan menganalisis data lapangan Penyusunan laporan hasil penelitian Penyerahan dan penyampaian 4 laporan serta seminar / publikasi hasil penelitian -
Data yang dibutuhkan Data yang dibutuhkan dalam penelitian ini adalah kondisi umum tentang responden terkait jarak rumah ke tempat kerja dan jumlah kepemilikan sepeda onthel, hal ini dimaksudkan untuk mengetahui apakah pegawai tersebut menggunakan sepeda waktu ke kantor karena memang hal yang biasa sebab jaraknya dekat atau terjangkau dengan sepeda atau pegawai tersebut benar-benar berusaha melaksanakannya dengan penuh keikhlasan dan tanggungjawab. Data yang lain berupa tanggapan dan usulan terhadap pelaksanaan program “SEGO SEGAWE” dan kesemua hal tersebut diwujudkan dalam bentuk angket. Sedangkan untuk melengkapi data diperoleh sumber data melalui wawancara langsung dengan Wali Kota Yogyakarta terkait pencetus ide program “SEGO SEGAWE” - Metode Penelitian 1. Pemilihan Subyek penelitian Populasi dalam penelitian ini adalah pegawai dalam wilayah Kantor Balai Kota Yogyakarta. Kemudian sampel yang peneliti gunakan dalam penelitian ini sebanyak 100 orang (responden) dengan teknik purposive sample. Dimana teknik ini peneliti gunakan karena beberapa pertimbangan, diantaranya alasan keterbatasan waktu, tenaga, dan dana sehingga tidak dapat mengambil sampel yang besar dan jauh.14
14
Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian sebuah pendekatan praktek (Jakarta: Rineka Cipta, 1997), hal. 117.
103
JURNAL PENELITIAN VOL. 7 2.
Desain dan Pendekatan Penelitian Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi deskripstif, survey15, yaitu mengumpulkan data sebanyak-banyaknya mengenai faktor-faktor yang merupakan pendukung terhadap program “SEGO SEGAWE” kemudian menganalisisnya untuk mengetahui implementasi program ini di masyarakat dan peran masyarakat dalam mendukung program ini. Dalam penelitian ini juga menggunakan metode incidental, artinya dalam mengambilan sampel nanti tidak dipengaruhi oleh variabel dan faktor apapun dan dilakukan secara incidental. 3. Pengumpulan Data Metode mengumpulan data yang digunakan adalah dengan teknik angket dan wawancara sebagai pelengkap sumber data dan kedalaman analisis. - Alat dan Bahan Alat Alat yang digunakan dalam mengumpulkan data ini adalah angket dan daftar wawancara langsung. Bahan Bahan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh dari data primer dan sekunder yang meliputi: 1. Data angket dari responden (pegawai kantor balai kota) 2. Data wawancara dari walikota Yogyakarta 3. Data-data dari internet dan literatur E. HASIL DAN PEMBAHASAN Dari hasil pengumpulan data angket sebanyak 100 (seratus) buah dengan 1 (satu) buah atau 0,01% angket yang sengaja dikosongkan seluruhnya oleh responden di lapangan, peneliti menemukan sebanyak 0,59% dari 59 responden telah bekerja di kantor balai selama lebih dari sepuluh tahun dan sebanyak 0,28% dari 28 responden yang berjarak tempuh < 5 Km serta 0,40% dari 40 responden mempunyai jarak tempuh antara rumah (tempat tinggal) dengan kantor 5 –10 Km. Diperoleh data sebanyak 0,88% dari 88 responden yang masih menggunakan sepeda motor ketika ke kantor padahal telah berlaku Surat Edaran dari walikota tentang penggunaan sepeda onthel untuk bekerja atau transportasi ke kantor. Mereka pergi ke kantor menggunakan sepeda onthel hanya seminggu sekali setiap hari Jumat sesuai anjuran wali kota untuk pelaksanaan “Sego Segawe” dan itupun belum dilaksanakan oleh seluruh pegawai kantor balaikota. Di luar itu masih banyak responden yang mengaku menggunakan sepeda motor dan mobil ketika ke kantor entah itu jarak tempuh yang dekat atau bahkan jauh. Saat diminta berpendapat apakah responden mendukung program “Sego Segawe” ini ternyata diperoleh data sebanyak 0,63% (63 orang), dan 0,42% (42 orang) berpendapat bahwa program ini sangat efektif dan perlu didukung terus. Dari 100 (seratus) responden yang kami ambil sebagai sampel sebanyak 0,47% (47 orang) mempunyai satu buah sepeda onthel; 0,30% (30 orang) yang mempunyai lebih dari satu sepeda onthel; dan sebesar 0,21% (21 orang) yang tidak mempunyai sepeda onthel. Sebanyak 0,40% (40 pegawai) telah menggunakan sepeda onthel ke kantor seminggu sekali; 0,05% (5 pegawai) yang setiap hari menggunakan sepeda onthel ke kantor; 0,07% (7 pegawai) yang lebih dari sekali dalam Pengambilan sampel dengan teknik purposive sample ini cukup baik karena sesuai dengan pertimbangan peneliti sendiri sehingga dapat mewakili populasi. Kelemahannya adalah peneliti tidak dapat menggunakan statistic parametric sebagai teknik analisis data, karena tidak memenuhi persyaratan random. Keuntungannya terletak pada ketepatan peneliti memilih sumber data sesuai dengan variable yang diteliti(hal. 118). 15 Ibid, hal. 86
104
JURNAL PENELITIAN VOL. 7 seminggu menggunakan sepeda onthel ke kantor; sedangkan 0,34% (34 pegawai) no answer (NA) pada lembar angket dan memberikan jawaban bahwa mereka tidak pernah menggunakan sepeda onthel ke kantor mereka lebih menggunakan sepeda motor atau mobil. Sebanyak 0,40% (40 pegawai) yang kadang-kadang menggunakan sepeda onthel sebagai sarana transportasi selain ke kantor, 0,19% (19 orang) yang menggunakan dan 0,37% (37orang) tidak pernah menggunakan sama sekali, ada sebanyak 0,04% (4 orang) menyatakan no answer (NA). Implementasi program “Sego Segawe”di lingkungan kantor balai kota dari seratus responden yang kami ambil sebagai sampel sebanyak 0,47% (47 orang) mempunyai satu buah sepeda onthel; 0,30% (30 orang) yang mempunyai lebih dari satu sepeda onthel; dan sebesar 0,21% (21 orang) yang tidak mempunyai sepeda onthel. Dari data yang dipaparkan di atas ditarik benang merah bahwa yang mempunyai sepeda onthel baik hanya satu maupun lebih sebanyak 0,47% + 0,30% (47+30) orang diperoleh angka sebesar 0,77% atau 77 orang. Dengan angka ini menunjukkan lebih dari 50% responden yang mempunyai sepeda onthel. Namun kenyataan ini belum sebanding dengan data yang ditunjukkan oleh para pegawai yang ke kantor menggunakan sepeda baik itu hanya seminggu sekali tiap hari Jumat atau lebih dari sekali seminggu bahkan setiap hari. Sebab data yang peneliti kumpulkan di lapangan sebanyak 0,40% + 0,05% + 0,07% (40+5+7) orang diperoleh angka sebesar 0,52% atau hanya 52 orang. Sedang yang tetap menggunakan kendaraan bermotor baik roda dua maupun empat mencapai angka 0,34% (34 orang). Jika dibandingkan antara pemilik sepeda, pengguna sepeda dan tidak pengguna sepeda diperoleh perbandingan 77:52:34. Berdasar data hitungan prosentase yang diperoleh dapat ditarik kesimpulan bahwa implementasi “Sego Segawe” di lingkungan kantor balaikota Yogyakarta masih rendah dan perlu ditingkatkan lagi. Penyadaran dan pemahaman kepada para pegawai akan arti dan manfaat penting pelaksanaan “Sego Segawe” baik bagi diri sediri untuk kesehatan maupun lingkungan untuk menjaga dari pencemaran dalam jangka pendek dan panjang. Namun sebanyak 0,40% (40 pegawai) yang kadang-kadang menggunakan sepeda onthel sebagai sarana transportasi selain ke kantor, 0,19% (19 orang) yang menggunakan dan 0,37% (37orang) tidak pernah menggunakan sama sekali, ada sebanyak 0,04% (4 orang) menyatakan no answer (NA). Harapan pegawai kantor balai kota terhadap pelaksanaan program “Sego Segawe” ini adalah walaupun pelaksanaan di lapangan belum maksimal namun sebagian besar pegawai kantor balaikota mendukung program “Sego Segawe”ini dan berharap agar terus berlangsung bahkan lebih meningkat. Mengingat dalam jangka panjang efek positif atau manfaat dari “Sego Segawe” ini besar sekali dalam beberapa bidang. Terlebih bila didukung dan dilaksanakan juga oleh seluruh komponen masyarakat tidak hanya pegawai kantor balai kota namun pegawai yang lain, pelajar, serta masyarakat umum. Para responden (pegawai) juga berharap pemerintah dalam hal ini walikota lebih sering mengadakan even-even sepeda santai/sepeda gembira dengan doorprize-doorprize menarik bagi masyarakat, dan untuk lingkungan kantor balai kota juga diadakan stimulasi berupa penghargaan atau hadiah, juga lebih meningkatkan fasilitas pendukung kesuksesan program “Sego Segawe”. Dalam hal pengurangan atau penurunan tingkat polusi udara di jalan raya/utama dan tingkat kepadatan lalu lintas dengan diberlakukannya program “Sego Segawe” ini terpantau masih belum memberikan kontribusi yang signifikan. Tingkat kedua hal tersebut terkesan dan teramati masih dalam batas biasa belum ada perubahan. Hal ini disebabkan menurut analisis dan pengamatan peneliti bahwa program “Sego Segawe”belum optimal terlaksana. Jalur-jalur alternatif sepeda belum berfungsi dengan baik. Pengguna sepeda di jalan raya/utama belum mendapat perlindungan atau prioritas tersendiri akhirnya 105
JURNAL PENELITIAN VOL. 7 kebanyakan dari mereka justru merasa was-was atau khawatir bersepeda melintasi jalan raya/utama, juga belum adanya jaminan keselamatan bersepeda. Dengan demikian penelitian berusaha untuk memberikan informasi dan masukan sebagai bahan kajian analisis kebijakan pemerintah kota Yogyakarta dalam penataan lingkungan kota. Andaikata meningkatkan status hukum program “Sego Segawe” dari hanya berupa himbauan kemudian dalam bentuk Surat Edaran (SE) menjadi Perwal (Peraturan Walikota) agar pelaksanaan di lapangan mempunyai payung hukum yang lebih kuat. Dengan pertimbangan bahwa untuk jangka 5 –10 tahun ke depan bahkan lebih jumlah penduduk di kota Yogyakarta akan terus meningkat baik penduduk lokal maupun pendatang ditambah meningkatnya pula jumlah pelajar/mahasiswa dan wisatawan domestik maupun mancanegara, maka akan berbanding lurus dengan jumlah meningkatnya kendaraan bermotor di jalan sehingga secara otomatis tingkat polusi udara dan kepadatan lalu lintas juga meningkat. Andaikata fenomena sosial tersebut tidak dipikirkan dan diantisipasi sejak sekarang, maka mustahil kita mampu menjadikan kota Yogyakarta ini benar-benar menjadi kota yang “hijau dan bersih”, kota wisata dan pelajar yang nyaman, sejuk, dan rindang. Namun peneliti juga sadar bahwa hanya dengan hasil penelitian yang sederhana ini untuk menjadikan bahan kajian meningkatkan status hukum program ini belumlah cukup signifikan sebab penelitian ini hanya dilakukan pada sekup yang masih sempit, yaitu hanya mengobservasi dan mengevaluasi program Sego Segawe pada sisi sepeda untuk “nyambut gawe” dan itu hanya dalam lingkungan kantor Balai kota Yogyakarta. Sedangkan fungsi sepeda untuk “nyambut gawe” bagi masyarakat secara umum belum tersentuh terlebih fungsi sepeda untuk “sekolah”bagi pelajar dan mahasiswa sangat belum tersentuh. Sehingga sangat diperlukan penelitian lanjutan tentang implementasi program ini untuk memperkaya bahan kajian untuk mengkaji status hukum program ini dan meningkatkannya menjadi Peraturan Walikota (perwal). Di samping itu, penelitian lanjutan dapat untuk mengetahui lebih mendalam mengapa implementasi program ini di lingkungan kantor Balaikota Yogyakarta masih belum maksimal. Demi suksesnya program “Sego Segawe”di lingkungan masyarakat, Pemkot dapat memberikan rangsangan yang menarik dalam bentuk yang tidak terikat, sebagai misal sepeda sehat bagi masyarakat umum dengan berbagai door prize, dan lain-lain. Juga usulan dari Kadinas pendidikan untuk memberikan santunan bagi pelajar yang menggunakan sepeda ke sekolah untuk ditindak lanjuti hingga tataran implementasi. F. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI – Kesimpulan Hasil penelitian lapangan untuk mengetahui seberapa besar pelaksanaan program “Sego Segawe” oleh Walikota Yogyakarta terhadap para pegawai di lingkungan kantor balaikota Yogyakarta sebagai obyek penelitiannya dalam menjadikan dan menjaga kota Yogyakarta hijau dan bersih, dan mengurangi kepadatan lalu lintas adalah sebagai berikut : 1. Sebagian besar responden (pegawai) mendukung pelaksanaan program “Sego Segawe” ini dan berharap agar terus berlanjut bahkan lebih diintensifkan dengan berbagai stimulasi mengingat bila dilihat dari manfaatnya begitu besar. Pelaksanaan program “Sego Segawe” di lingkungan Pemkot Yogyakarta telah dilaksanakan setiap “hari Jumat”agar tetap dilaksanakan bahkan dapat ditambah lagi. 2. Peran pegawai kantor balaikota dalam mendukung himbauan walikota tentang “Sego Segawe” adalah diantara mereka sebagian besar melaksanakannya dengan menggunakan sepeda ke kantor walaupun hanya seminggu sekali. 3. Adapun implementasi “Sego Segawe” di lingkungan kantor balaikota Yogyakarta adalah sangat ramai ketika tiap hari Jumat, yaitu waktu pelaksanaan program, selain hari tersebut hanya sebagian kecil dari pegawai yang tempat tinggalnya kurang dari 106
JURNAL PENELITIAN VOL. 7 5 Km atau antara 5 -10 Km yang mengendarai sepeda onthel waktu ke kantor, kebanyakan dari mereka masih menggunakan sepeda motor. 4. Harapan responden terhadap pelaksanaan program”Sego Segawe” ini adalah dalam tataran konsep hampir seluruh mendukung, namun dalam tataran praktisnya masih terjadi kesenjangan sehingga perlu terus disosialisasikan dan diberikan stimulasistimulasi yang lebih mampu menarik para responden. Mereka juga menyadari betapa penting dan besar manfaat dari program “Sego Segawe”ini, sehingga pihak birokrasi dalam hal ini walikota lebih memperhatikan lagi. – Rekomendasi Penelitian ini untuk memberikan informasi dan masukan sebagai bahan kajian analisis kebijakan pemerintah kota Yogyakarta dalam penataan lingkungan kota. Diantaranya : 1. Perlu diadakan penelitian lanjutan tentang evaluasi pelaksanaan program Sego Segawe dalam cakupan wilayah yang lebih luas tidak hanya di lingkungan kantor Balaikota Yogyakarta namun untuk masyarakat dan lingkungan sekolah sebagai bahan kajian tambahan untuk meningkatkan status hukum program ini. 2. Meningkatkan status hukum program “Sego Segawe” dari hanya berupa himbauan dalam bentuk Surat Edaran (SE) menjadi Perwal (Peraturan Wali) agar pelaksanaan di lapangan mempunyai payung hukum yang lebih kuat. 3. Pelaksanaan program “Sego Segawe” di lingkungan Pemkot Yogyakarta tiap hari Jumat secara perlahan dan bertahap ditingkatkan seminggu 2 (dua) kali atau lebih. Ditambah dengan mengoptimalkan jalur-jalur alternatif untuk mendistribusikan lalu lintas dan memberikan prioritas bagi pengguna sepeda di jalan raya/utama. Pemberlakuan kawasan bebas BBM pada jam-jam tertentu di jalan-jalan utama/raya. 4. Secara incidental Pemkot Yogyakarta dapat memberikan reward bagi pegawai Pemkot yang rajin mengendarai sepeda ke kantor dan sanksi terhadap pegawai yang tidak melaksanakan dalam bentuk teguran atau sanksi kedisiplinan. 5. Pemkot memberikan rangsangan yang menarik dalam bentuk yang tidak terikat, sebagai misal sepeda sehat bagi masyarakat umum dengan berbagai door prize, dan lain-lain yang hadiah utamanya sepeda onthel. 6. Menindaklanjuti usulan dari Kadinas pendidikan untuk memberikan santunan bagi pelajar yang menggunakan sepeda ke sekolah hingga tataran implementasi. DAFTAR PUSTAKA 1. Sumber Buku Kepwal No. 619 tahun 2007 tentang RENCANA AKSI DAERAH PENINGKATAN KUALITAS LINGKUNGAN KOTA YOGYAKARTA TAHUN 2007-2011 Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian sebuah pendekatan praktek (Jakarta: Rineka Cipta, 1997) 2. Sumber Internet Hery Zudianto, Sego Segawe, Gerakan Menggenjot Jiwa Sederhana, http://segosegawe.jogjakota.go.id/profil.php diakses tanggal 8 Mei 2010. Herry Zudianto, Gerakan Menumbuhkan Kesadaran Lingkungan dan Melatih Hidup Sederhana, http://sosbud.kompasiana.com/2010/01/04/sego-segawe-sepeda-kanggosekolah-lan-nyambut-gawe/ diakses tanggal 7 Mei 2010. http://arali2008.wordpress.com http://www.jogjakota.go.id/app/modules/banner/images/1222102800_volume2.pdf. diakses tanggal 7 Mei 2010 http://www.depkes.go.id/downloads/Udara.PDF. diakses tanggal 7 Mei 2010 http://www2.jogja.go.id/index/extra.detail/2125/ayo-bersepeda-nggo-sekolah-karo-nyambut-gawe.html diakses tanggal 17/10/2010 107