BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang
Tujuan pembangunan kesehatan menurut Sistem Kesehatan Nasional adalah masyarakat, bangsa dan negara yang ditandai oleh penduduknya yang hidup dalam lingkungan sehat, berperilaku hidup bersih dan sehat (PHBS), mempunyai kemampuan untuk menjangkau pelayanan kesehatan yang bermutu secara adil dan merata dalam wilayah kesatuan Negara RI yang kuat. Gambaran masyarakat di masa depan tersebut dapat dicapai dengan landasan visi, “Masyarakat yang Mandiri untuk Hidup Sehat” dalam mencapai INDONESIA SEHAT 2010. Perilaku masyarakat Indonesia Sehat 2010 yang diharapkan adalah bersifat proaktif untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan, mecegah risiko penyakit, melindungi diri dari ancaman penyakit, berpartisipasi aktif dalam gerakan kesehatan masyarakat, serta mampu menjangkau pelayanan kesehatan yang bermutu (Depkes, 2004). Untuk mencapai tujuan pembangunan kesehatan tersebut dilakukan upayaupaya kesehatan. Salah satu upaya kesehatan yang dilakukan pemerintah dalam meningkatkan derajat kesehatan yang optimal adalah program pencegahan dan pemberantasan penyakit menular. Penyakit menular yang sampai saat ini masih menjadi program pemerintah, di antaranya adalah program pemberantasan penyakit Demam Berdarah Dangue (DBD)
Universitas Sumatera Utara
Bertujuan untuk mencegah terjadinya penyakit DBD, menurunkan angka kesakitan dan kematian akibat penyakit DBD (Depkes RI, 2003). Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) adalah salah satu penyakit menular yang disebabkan oleh virus dengue ditularkan dari seseorang kepada orang lain melalui gigitan nyamuk Ae. aegypti. DBD telah muncul sebagai masalah kesehatan masyarakat internasional pada abad 21, menurut WHO (2000) antara tahun 1975‐1995 terdeteksi di 102 negara dari lima wilayah WHO, yaitu 20 negara di Afrika, 42 negara di Amerika, 7 negara di Asia Tenggara, 4 negara di Timur Tengah dan 29 negara di Pasifik Barat (Depkes RI, 2003). Penyakit DBD pertama kali ditemukan di Manila (Philipina) pada tahun 1953 dan selanjutnya menyebar ke berbagai negara. Menurut Perkiraan Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (Center for Disease Control and Prevention), Amerika Serikat setiap tahun di seluruh dunia terjadi 50 juta – 100 juta kasus DBD (Depkes RI, 2000). Kasus DBD di Indonesia menempati urutan kedua setelah Thailand. DBD pertama kali dicurigai di Surabaya pada tahun 1968 tetapi konfirmasi virologis baru diperoleh pada tahun 1972. Sejak itu penyakit DBD menyebar ke berbagai daerah di seluruh pelosok tanah air, kecuali yang ketinggiannya lebih dari 1000 meter di atas permukaan laut. Sejak pertama kali ditemukan, jumlah kasus menunjukkan kecenderungan meningkat. Baik dalam jumlah maupun luas wilayah yang terjangkit dan secara sporadik selalu terjadi KLB. KLB terbesar terjadi pada tahun 1998, dengan Insidens Rate (IR) 35,19 per 100.000 penduduk dan Case Fatality Rate (CFR) 2%. Pada tahun 1999 IR menurun menjadi 10,17 per 100.000 penduduk, namun tahun‐tahun berikutnya IR cenderung
Universitas Sumatera Utara
meningkat. Pada tahun 2000 IR 15,99 per 100.000 penduduk, tahun 2001 IR 21,66 per 100.000 penduduk, tahun 2002 IR 19,24 per 100.000 penduduk, tahun 2003 IR 23,87 per 100.000 penduduk. Dalam periode Januari ‐ April 2004, tejadi letusan KLB di 188 kabupaten/kota dari 12 propinsi dengan jumlah kasus 53.719 kasus dan 590 orang meninggal dengan CFR 1,1%. Adapun 12 provinsi yang terjadi letusan KLB adalah Nanggroe Aceh Darussalam (NAD), Banten, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, jawa Timur, Kalimantan Selatan, Sulawesi Selatan, Bali, NTB dan NTT (Depkes RI, 2004). Pada tahun 2006 terjadi kejadian luar biasa (KLB) di Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) dengan CFR sebesar 4,72%. Khususnya di Kota Lhokseumawe terdapat 250 kasus dengan CFR 2,4% sedangkan tahun 2007 terdapat 251 kasus dengan CFR 1,6%, di tahun 2008 terdapat peningkatan jumlah kasus 500 dengan CFR 0,6% (Profil Kesehatan Kota Lhokseumawe, 2008). Target pelayanan akan dicapai menuju paradigma Indonesia Sehat 2010 melalui program pencegahan dan pemberantasan penyakit (P2P) salah satunya adalah pencegahan dan pemberantasan penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) dengan sasaran sebesar 80% baik di rumah sakit maupun di puskesmas. Puskesmas merupakan kesatuan organisasi fungsional yang menyelenggarakan upaya kesehatan yang bersifat menyeluruh, terpadu, merata dan dapat diterima serta terjangkau oleh masyarakat dengan peran serta aktif masyarakat menggunakan hasil perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi tepat guna, dengan biaya yang dapat ditanggung oleh pemerintah dan masyarakat. Upaya tersebut diselenggarakan dengan
Universitas Sumatera Utara
menitikberatkan pada pelayanan untuk masyarakat luas guna mencapai derajat kesehatan yang optimal tanpa mengabaikan mutu pelayanan kepada perorangan (Depkes, RI 2004). Salah satu fungsi puskesmas adalah memberikan pelayanan kesehatan secara menyeluruh dan terpadu kepada masyarakat di wilayah kerjanya. Pelayanan kesehatan yang diberikan puskesmas meliputi pelayanan pengobatan, upaya pencegahan, peningkatan kesehatan dan pemulihan kesehatan (Depkes RI, 2004). Fenomena menunjukkan beberapa permasalahan yang terjadi dalam pencegahan dan pemberantasan penyakit DBD di puskesmas. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Sukmayeni (2008) di Propinsi Sumatera Barat khususnya di Kota Padang memperlihatkan peningkatan angka kesakitan dan kematian DBD cukup tingggi serta adanya ledakan kasus DBD (KLB) pada tahun 2004. Angka Incidence Rate (IR) dan Case Fatality Rate (CFR) penyakit DBD dalam tiga tahun terakhir ini terus meningkat yaitu IR 81,74 % dan CFR 1,57 % pertahun. Berdasarkan penelitian Sukmayeni (2008) menunjukkan bahwa pengetahuan tentang pelaksanaan Pemantauan Jentik Berkala (PJB) dari petugas kesehatan masih kurang dan masih banyak petugas yang belum mengikuti pelatihan pemberantasan penyakit Demam Berdarah Dengue. Motivasi petugas juga masih rendah dalam pelaksanaan Pemantauan Jentik Berkala. Dalam pengelolaan program PJB puskesmas di Kota Padang, belum dilaksanakan perencanaan dengan baik, koordinasi yang lemah dan belum lengkapnya pencatatan dan pelaporan. Berdasarkan hasil observasi sementara diketahui bahwa pelaksanaan penanggulangan KLB DBD belum dapat dilaksanakan dengan optimal, seperti
Universitas Sumatera Utara
penyuluhan dan pemantauan jentik berkala yang kurang pada masyarakat dikarenakan sumber daya petugas pelaksana memiliki basic pendidikan yang bukan berasal dari kesehatan lingkungan melainkan dari perawat, bidan dan lainnya sehingga pelaksanaan dan penyampaian informasi kurang maksimal. kebanyakan petugas berjenis kelamin perempuan sehingga jarang untuk turun kelapangan dikarenakan jarak tempuh yang jauh ke lokasi wilayah endemis DBD, serta pelaksanaan foging yang tidak tepat sasaran. Ketidak hadiran dan kurangnya keaktifan petugas P2P program DBD untuk turun kelapangan dalam melaksanakan kegiatan PSN, sehingga kegiatan PSN menjadi tidak berkesinambungan. Dari uraian diatas terlihat bahwa salah satu masalah dalam upaya penanggulangan DBD adalah lemahnya kinerja petugas kesehatan, khususnya petugas P2P program DBD. Gibson (1989) berpendapat bahwa faktor‐faktor yang mempengaruhi kinerja antara lain: karakteristik individu dan karakteristik organisasi. Berdasarkan hal tersebut diatas maka penulis tertarik untuk mengetahui hubungan karakteristik individu dan karakteristik organisasi terhadap kinerja staff pengelola P2P program DBD di Kota Lhokseumawe. 1.2. Permasalahan Kejadian DBD masih tinggi di Kota Lhokseumawe bahkan sampai terjadi KLB, masalah ini sudah ditanggulangi namun setiap tahun masih saja terjadi peningkatan kasus DBD maka di asumsikan bahwa karakteristik individu dan organisasi dalam pencegahan serta penanggulangan penyakit DBD belum dapat dilaksanakan secara optimal. Permasalahan penelitian adalah: bagaimana hubungan karakteristik individu (pendidikan, pelatihan dan masa kerja) dan karakteristik organisasi (sumber daya,
Universitas Sumatera Utara
kepemimpinan dan imbalan) terhadap kinerja staff pengelola P2P program DBD di Kota Lhokseumawe tahun 2009. 1.3. Tujuan Penelitian Untuk menganalisis pengaruh karakteristik individu (pendidikan, pelatihan dan masa kerja) dan karakteristik organisasi (sumber daya, kepemimpinan dan imbalan) terhadap kinerja staff pengelola P2P program DBD di Kota Lhokseumawe tahun 2009. 1.4. Hipotesis Penelitian Ada pengaruh individu (pendidikan, pelatihan dan masa kerja) dan karakteristik organisasi (sumber daya, kepemimpinan dan imbalan) terhadap kinerja staff pengelola P2P program DBD di Kota Lhokseumawe tahun 2009. 1.5. Manfaat Penelitian 1. Sebagai bahan masukan bagi Dinas Kesehatan Kota Lhokseumawe khususnya bagian P2P&L dalam upaya meningkatkan mutu pelayanan pencegahan dan penanggulangan penyakit DBD di unit pelayanan kesehatan seperti puskesmas. 2. Sebagai bahan masukan bagi tenaga P2P program DBD di puskesmas dalam melakukan peningkatan mutu pencegahan dan penanggulangan penyakit DBD. 3. Sebagai sarana perbandingan bagi peneliti dalam mengembangkan pengetahuan tentang kebijakan dalam meningkatkan mutu pencegahan dan penanggulangan penyakit DBD.
Universitas Sumatera Utara