Iman Seperti Paku Kuat Tertancap Ayub 1:22 Dalam kesemuanya itu Ayub tidak berbuat dosa dan tidak menuduh Allah berbuat yang kurang patut. Seorang filsuf yang sinis terhadap kekristenan berkata: “Scratch a Christian and you will find a pagan” yang artinya “kupaslah kulit seorang Kristen, maka anda akan mendapati seorang kafir.” Banyak orang kristen hanya terlihat hebat dari luar tetapi di dalamnya tidak ada isinya. Filsuf itu menggambarkan bahwa iman orang kristen itu hanya setebal kulit, rentan dan sensitif, mudah tergores, mengelupas, keriput dan mudah rusak. Untuk menguji kesalehan Ayub yang sebenarnya, iblis sampai minta Tuhan mencabut semua pagar perlindungan yang mengelilingi hidup Ayub. Semua yang dimiliki Ayub direnggut daripadanya. Semua anaknya mati, kekayaannya habis dalam sekejab, istrinya meninggalkan dia. Bahkan dia sendiri terkena penyakit kulit/barah yang menjijikkan dan mematikan. Iman Ayub diuji dalam semua ujiannya, Ayub didapati tidak berdosa di hadapan Tuhan. Terbukti bahwa iman Ayub tidaklan setipis kulit !!! Saat ujian kehidupan datang, di situlah baru terlihat seperti apa kualitas iman kita. Saat seseorang melukai dan menyakiti hati kita, apa respon kita? Membenci atau mengampuni? Membalas atau memberkati??? Saat penderitaan datang, apakah kita tetap beriman dan berseru kepada Yesus ataukah dengan mudahnya kita meninggalkan DIA? “Iman tidak boleh setipis kulit, tetapi iman harus sekuat paku.” Paku itu semakin dipukul dan semakin ditekan, akan semakin tertancap ke dalam, semakin kuat dan semakin sulit untuk dicabut. Semakin banyak penderitaan dan tantangan datang, semakin kuat iman kita tertancap pada Kristus.
Pentingnya Sebuah Proses Di suatu sore, seorang anak datang kepada ayahnya yg sedang baca koran… “Oh Ayah, ayah” kata sang anak… “Ada apa?” tanya sang ayah….. “Aku capek, sangat capek… Aku capek karena aku belajar mati matian untuk mendapat nilai bagus sedang temanku bisa dapat nilai bagus dengan menyontek…aku mau menyontek saja!” “Aku capek. sangat capek… Aku capek karena aku harus terus membantu ibu membersihkan rumah, sedang temanku punya pembantu, aku ingin kita punya pembantu saja!” “Aku capek, sangat capek… Aku capek karena aku harus menabung, sedang temanku bisa terus jajan tanpa harus menabung…aku ingin jajan terus!” “Aku capek, sangat capek karena aku harus menjaga lisanku untuk tidak menyakiti, sedang temanku enak saja berbicara sampai aku sakit hati…” “Aku capek, sangat capek karena aku harus menjaga sikapku untuk menghormati teman teman ku, sedang teman temanku seenaknya saja bersikap kepada ku… “Aku capek ayah, aku capek menahan diri…aku ingin seperti mereka… mereka terlihat senang, aku ingin bersikap seperti mereka ayah!” sang anak mulai menangis… Kemudian sang ayah hanya tersenyum dan mengelus kepala anaknya sambil berkata “Anakku ayo ikut ayah, ayah akan menunjukkan sesuatu kepadamu”, lalu sang ayah menarik tangan sang anak kemudian mereka menyusuri sebuah jalan yang sangat jelek, banyak duri, serangga, lumpur, dan ilalang… Lalu sang anak pun mulai mengeluh.”ayah mau kemana kita?? Aku tidak suka jalan ini, lihat sepatuku jadi kotor, kakiku luka karena tertusuk duri. badanku dikelilingi oleh serangga, berjalanpun susah krn ada banyak ilalang… aku benci jalan ini ayah”. Sang ayah hanya
diam. Sampai akhirnya mereka sampai pada sebuah telaga yang sangat indah, airnya sangat segar, ada banyak kupu kupu, bunga bunga yang cantik, dan pepohonan yang rindang… “Wwaaaah… tempat apa ini ayah? aku suka! aku suka tempat ini!” sang ayah hanya diam dan kemudian duduk di bawah pohon yang rindang beralaskan rerumputan hijau. “Kemarilah anakku, ayo duduk di samping ayah” ujar sang ayah, lalu sang anak pun ikut duduk di samping ayahnya. “Anakku, tahukah kau mengapa di sini begitu sepi? padahal tempat ini begitu indah…?” “Tidak tahu ayah, memangnya kenapa?” “Itu karena orang orang tidak mau menyusuri jalan yang jelek tadi, padahal mereka tau ada telaga di sini, tetapi mereka tidak bisa bersabar dalam menyusuri jalan itu” “Ooh… berarti kita orang yang sabar ya yah?” “Nah, akhirnya kau mengerti” “Mengerti apa? aku tidak mengerti” “Anakku, butuh kesabaran dalam belajar, butuh kesabaran dalam bersikap baik, butuh kesabaran dalam kujujuran, butuh kesabaran dalam setiap kebaikan agar kita mendapat kemenangan, seperti jalan yang tadi… bukankah kau harus sabar saat ada duri melukai kakimu, kau harus sabar saat lumpur mengotori sepatumu, kau harus sabar melawati ilalang dan kau pun harus sabar saat dikelilingi serangga… dan akhirnya semuanya terbayar kan? ada telaga yang sangatt indah.. seandainya kau tidak sabar, apa yang kau dapat? kau tidak akan mendapat apa apa anakku, oleh karena itu bersabarlah anakku” “Tapi ayah, tidak mudah untuk bersabar ” “Aku tau, oleh karena itu ada ayah yang menggenggam tanganmu
agar kau tetap kuat… begitu pula hidup, ada ayah dan ibu yang akan terus berada di sampingmu agar saat kau jatuh, kami bisa mengangkatmu, tapi… ingatlah anakku… ayah dan ibu tidak selamanya bisa mengangkatmu saat kau jatuh, suatu saat nanti, kau harus bisa berdiri sendiri… maka jangan pernah kau gantungkan hidupmu pada orang lain, jadilah dirimu sendiri… seorang pemuda yang kuat, yang tetap tabah dan teguh karena ia tahu ada Tuhan besertanya, maka kau akan dapati dirimu tetap berjalan menyusuri kehidupan saat yang lain memu tuskan untuk berhenti dan pulang… maka kau tau akhirnya kan?” “Ya ayah, aku tau.. aku akan dapat surga yang indah yang lebih indah dari telaga ini … sekarang aku mengerti … terima kasih ayah , aku akan tegar saat yang lain terlempar” Sang ayah hanya tersenyum sambil menatap wajah anak kesayangannya. Sumber : http://renunganhidup.com
Akhir Sebuah Pesta Seorang teman dengan penuh rasa sedih bercerita tentang pengalaman hidupnya yang membuatnya sakit. Setelah diam penuh keraguan, kisahnya;
akhirnya
ia
mampu
membuka
mulut
menuturkan
“Seorang teman yang saya kagumi secara tiba-tiba tanpa alasan yang saya ketahui kini berubah sikap. Dulu kami biasa bersamasama, bermain bersama, daki bukit bersama, atau makan bersama. Saya berusaha mengingat lagi semua percakapan kami di saatsaat yang telah lewat, berusaha demi langit dan bumi mencari alasan yang membuat persahabatan kami menjadi sekian renggang pada akhir-akhir ini. Aku berusaha menemukan dan menghilangkan batu sandungan yang ada di antara kami. Namun semakin aku berusaha semakin pikiranku menjadi gelap. Indahnya persahabatan yang telah dibangun kini berada di pinggir jurang terjal.
Temanku seakan telah mengepak sisa-sisa persabatan kami dan kini disimpannya secara rapi di dalam sebuah kotak yang tak akan pernah dibuka lagi. Berhadapan dengan kenyataan ini, ada jutaan kata dan rasa di dada ini yang tak dapat aku ucapkan. Setiap kali ketika aku membongkar lagi kenangan masa silam, ketika aku melihat lagi foto-foto kenangan yang penuh tawa dan ria, bathinku serasa semapin pedih. Namun temanku tetap saja bersikap dingin, dingin dan dingin…lebih dingin dari pada es batu di musim winter. Secara perlahan akupun berubah dingin saat bertemu dengannya. Waktu terus berlalu. Ketika aku menoleh lagi memperhatikan tapak yang pernah kami tinggalkan bersama, aku menemukan bahwa di bathinku masih ada kerinduan. Aku melihat sepasang tangan yang pernah terulur memberikan bantuan ketika aku terjatuh. Aku mendengar kata-katanya yang meneguhkan dan menguatkan ketika semangatku berubah layu. Aku melihat senyumannya seakan memberikan dukungan. Ah ada kehangatan… walau itu sudah berlalu. Aku berkata pada diriku, walau ia kini tidak lagi seperti dulu, namun aku masih bisa menyimpan kenangan akan dirinya di salah satu sudut bathin ini. Mungkin ketika bertemu dengannya nanti ia akan tetap bersikap dingin. Namun itu adalah pilihannya. Aku akan memilih untuk memberikan seulas senyum bila aku masih diberi kesempatan bertemu dengannya nanti. Yah… bagaikan menghadiri sebuah pesta. Pesta kini telah berakhir, namun itu tak berarti bahwa kegembiraan dan tawa ria kini telah ditutup. Kita masih bisa mengenang kembali kegembiraan pesta tersebut. Kita tentu harus berpisah setelah pesta berakhir. Namun pada saat seperti ini selayaknya kita melantunkan harapan bahwa mereka akan dengan selamat tiba di tujuan akhir dari perjalanan masing-masing.” Temanku selesai berkisah, dan aku masih di sampingnya mendengarkan ungkapan hatinya. Dalam hatiku terdengar litani kasih bergaung merdu, kasih sebagaimana ditinggalkan Paulus dalam suratnya: “Kasih itu sabar, kasih itu murah hati…, Ia tidak pemarah dan tidak menyimpan kesalahan orang lain.”(1 Kor 13: 4-5). Yah…kasih itu juga memaafkan. Dan temanku yang kini
duduk di sampingku telah mampu melakukannya. http://www.pondokrenungan.com
Belajar Dari Seekor Beruang Seekor beruang yang bertubuh besar sedang menunggu seharian dengan sabar di tepi sungai deras. Waktu itu memang tidak sedang musim ikan. Sejak pagi ia berdiri di sana mencoba meraih ikan yang meloncat keluar air. Namun, tak satu juga ikan yang berhasil ia tangkap. Setelah berkali-kali mencoba, akhirnya… hup… ia dapat menangkap seekor ikan kecil. Ikan yang tertangkap menjerit-jerit ketakutan. Si ikan kecil itu meratap pada sang beruang, “Wahai beruang, tolong lepaskan aku.” “Mengapa ?” tanya sang beruang. “Tidakkah kau lihat, aku ini terlalu kecil, bahkan bisa lolos lewat celah-celah gigimu,” rintih sang ikan. “Lalu kenapa?” tanya beruang lagi. “Begini saja, tolong kembalikan aku ke sungai. Setelah beberapa bulan aku akan tumbuh menjadi ikan yang besar. Di saat itu kau bisa menangkapku dan memakanku untuk memenuhi seleramu,” kata ikan. “Wahai ikan, kau tahu mengapa aku bisa tumbuh begitu
besar?” tanya beruang. “Mengapa?” ikan balas bertanya sambil menggelenggeleng kepalanya. “Karena aku tak pernah menyerah walau sekecil apa pun keberuntungan yang telah tergenggam di tangan!” jawab beruang sambil tersenyum mantap. “Ops!” teriak sang ikan, nyaris tersedak. Dalam hidup, kita diberi banyak pilihan dan kesempatan. Namun jika kita tidak mau membuka hati dan mata kita untuk melihat dan menerima kesempatan yang Tuhan berikan maka kesempatan itu akan hilang begitu saja. Dan hal ini hanya akan menciptakan penyesalan yang tiada guna di kemudian hari, saat kita harus berucap : “Ohhh….Andaikan aku tidak menyia2kan kesempatan itu dulu…?” Maka bijaksanalah pada hidup, hargai setiap detil kesempatan dalam hidup kita. Di saat sulit, selalu ada kesempatan untuk memperbaiki keadaan; di saat sedih, selalu ada kesempatan untuk meraih kembali kebahagiaan; di saat jatuh selalu ada kesempatan untuk bangkit kembali; dan dalam kesempatan untuk meraih kembali yang terbaik untuk hidup kita. Bila kita setia pada perkara yang kecil, maka kita akan mendapat perkara yang besar. Bila kita menghargai kesempatan yang kecil, maka ia akan menjadi sebuah kesempatan yang besar.
Pendaki Gunung Suatu ketika, ada seorang pendaki gunung yang sedang bersiapsiap melakukan perjalanan. Di punggungnya, ada ransel carrier dan beragam carabiner (pengait) yang tampak bergelantungan. Tak lupa tali-temali yang disusun melingkar di sela-sela bahunya. Pendakian kali ini cukup berat, persiapan yang dilakukan pun lebih lengkap. Kini, di hadapannya menjulang sebuah gunung yang tinggi. Puncaknya tak terlihat, tertutup salju yang putih. Ada awan berarak-arak disekitarnya, membuat tak seorangpun tahu apa yang tersembunyi didalamnya. Mulailah pendaki muda ini melangkah, menapaki jalan-jalan bersalju yang terbentang di hadapannya. Tongkat berkait yang di sandangnya, tampak menancap setiap kali ia mengayunkan langkah. Setelah beberapa berjam-jam berjalan, mulailah ia menghadapi dinding yang terjal. Tak mungkin baginya untuk terus melangkah. Dipersiapkannya tali temali dan pengait di punggungnya. Tebing itu terlalu curam, ia harus mendaki dengan tali temali itu. Setelah beberapa kait ditancapkan, tiba-tiba terdengar gemuruh yang datang dari atas. Astaga, ada badai salju yang datang tanpa disangka. Longsoran salju tampak deras menimpa tubuh sang pendaki. Bongkah-bongkah salju yang mengeras, terus berjatuhan disertai deru angin yang membuat tubuhnya terhempas-hempas ke arah dinding. Badai itu terus berlangsung selama beberapa menit. Namun, untunglah tali-temali dan pengait telah menyelamatkan tubuhnya dari dinding yang curam itu. Semua perlengkapannya telah lenyap, hanya ada sebilah pisau yang ada di pinggangnya. Kini ia tampak tergantung terbalik di dinding yang terjal itu. Pandangannya kabur, karena semuanya tampak memutih. Ia tak tahu dimana ia berada.
Sang pendaki begitu cemas, lalu ia berkomat-kamit, memohon doa kepada Tuhan agar diselamatkan dari bencana ini. Mulutnya terus bergumam, berharap ada pertolongan Tuhan datang padanya. Suasana hening setelah badai. Di tengah kepanikan itu, tampak terdengar suara dari hati kecilnya yang menyuruhnya melakukan sesuatu. “Potong tali itu…. potong tali itu.” Terdengar senyap melintasi telinganya. Sang pendaki bingung, apakah ini perintah dari Tuhan? Apakah suara ini adalah pertolongan dari Tuhan? Tapi bagaimana mungkin, memotong tali yang telah menyelamatkannya, sementara dinding ini begitu terjal? Pandanganku terhalang oleh salju ini, bagaimana aku bisa tahu? Banyak sekali pertanyaan dalam dirinya. Lama ia merenungi keputusan ini, dan ia tak mengambil keputusan apaapa… Beberapa minggu kemudian, seorang pendaki menemukan ada tubuh yang tergantung terbalik di sebuah dinding terjal. Tubuh itu tampak membeku,dan tampak telah meninggal karena kedinginan. Sementara itu, batas tubuh itu dengan tanah, hanya berjarak 1 meter saja…. Teman, kita mungkin kita akan berkata, betapa bodohnya pendaki itu, yang tak mau menuruti kata hatinya. Kita mungkin akan menyesalkan tindakan pendaki itu yang tak mau memotong saja tali pengaitnya. Pendaki itu tentu akan bisa selamat dengan membiarkannya terjatuh ke tanah yang hanya berjarak 1 meter. Ia tentu tak harus mati kedinginan karena tali itulah yang justru membuatnya terhalang. Begitulah, kadang kita berpikir, mengapa Sang Pencipta tampak tak melindungi hamba-Nya? Kita mungkin sering merasa, mengapa ada banyak sekali beban,masalah, hambatan yang kita hadapi dalam mendaki jalan kehidupan ini. Kita sering mendapati ada banyak sekali badai-badai salju yang terus menghantam tubuh kita. Mengapa tak disediakan saja, jalan yang lurus, tanpa perlu menanjak, agar kita terbebas dari semua halangan itu? Namun teman, cobaan yang diberikan Sang Pencipta buat kita, adalah latihan, adalah ujian, adalah layaknya besi-besi yang ditempa, adalah seperti pisau-pisau yang terus diasah.
Sesungguhnya, di dalam semua ujian dan latihan itu, ada tersimpan petunjuk-petunjuk, ada tersembunyi tanda-tanda, asal KITA PERCAYA. Ya, asal kita percaya. Seberapa besar rasa percaya kita kepada Sang Pencipta, sehingga mampu membuat kita “memotong tali pengait” saat kita tergantung terbalik? Seberapa besar rasa percaya kita kepada Sang Pencipta, hingga kita mau menyerahkan semua yang ada dalam diri kita kepada-Nya? Karena percaya adanya di dalam hati, maka tanamkan terus hal itu dalam kalbumu. Karena rasa percaya tersimpan dalam hati, maka penuhilah nuranimu dengan kekuatan itu. Percayalah, akan ada petunjuk-petunjuk Sang Pencipta dalam setiap langkah kita menapaki jalan kehidupan ini. Carilah, gali, dan temukan rasa percaya itu dalam hatimu. Sebab, saat kita telah percaya, maka petunjuk itu akan datang dengan tanpa disangka. source: http://renungan-harian-kita.blogspot.com/2007/08/pendaki-gunung.html
Mewaspadai Ucapan Pada masa kekuasaan Tsar Nicolas I di kekaisaran Rusia, pecah sebuah pemberontakan yang dipimpin seorang bernama Kondraty Ryleyev. Namun, pemberontakan itu berhasil ditumpas. Ryleyev, sang pemimpin ditangkap dan dijatuhi hukuman gantung. Namun saat tali sudah diikatkan di lehernya dan eksekusi dilaksanakan, tiba-tiba tali gantungan itu putus. Di masa itu, kejadian luar biasa seperti itu biasanya dianggap sebagai bukti bahwa terhukum tidak bersalah dan Tsar mengampuninya. Namun, Ryleyev yang lega dan merasa di atas angin pun menggunakan kesempatan itu untuk tetap mengkritik, “Lihat, di pemerintahan ini sama sekali tidak ada yang betul. Bahkan, membuat talipun tidak becus!”
Seorang pembawa pesan yang melihat peristiwa putusnya tali ini kemudian melaporkan pada Tsar. Sang penguasa Rusia itu bertanya, “Lalu, apa yang Ryleyev katakan?” Ketika pembawa pesan itu menceritakan komentar Ryleyev di atas, Tsar pun menjawab, “Kalau begitu, mari kita buktikan bahwa ucapannya tidak benar.” Ryleyev pun menjalani hukuman gantung kedua kalinya dan kali ini tali gantungannya tidak putus. Bukan hukuman yang membinasakannya, tapi ucapannya sendiri. Lidah itu seperti kekang kuda, kemudi sebuah kapal, yang hanya benda kecil tapi bisa mengendalikan Benda raksasa. Lidah dapat menjadi seperti api kecil di tengah hutan, bahkan lebih buas dari segala hewan liar. Apa yang kita ucapkan sangat sering menentukan arah hidup kita. Apa saja yang kita ucapkan pada orang lain dan pada diri sendiri sangat berpengaruh terhadap kejadian-kajdian yang akan kita alami kemudian. Apa yang kita ucapkan seringkali menentukan apa yang kemudian kita terima. ” … tetapi tidak seorangpun yang berkuasa menjinakkan lidah, ia adalah sesuatu yang buas, yang tak terkuasai, dan penuh racun yang mematikan.” ( Yakobus 3 : 2 )
Hal Kecil Bisa Jadi Besar Sepasang suami istri petani pulang Seekor tikus memperhatikan makanan dari pasar?? Ternyata, salah satu adalah Perangkap Tikus. Sang tikus
kerumah setelah berbelanja. apa lagi yang dibawa mereka yang dibeli oleh petani ini kaget bukan kepalang.
Ia segera berlari menuju kandang, mendatangi ayam dan berteriak “ada perangkap tikus”. Sang Ayam berkata, “Tuan Tikus, Aku turut bersedih, tapi itu tidak berpengaruh padaku.” Sang Tikus lalu pergi menemui seekor Kambing sambil berteriak. Sang Kambing pun berkata “Aku turut bersimpati, tapi tidak ada yg bisa aku lakukan.” Tikus lalu menemui Sapi. Ia mendapat jawaban sama. “Maafkan aku. Tapi perangkap tikus tidak berbahaya buat aku sama sekali.” Ia lalu lari ke hutan dan bertemu Ular. Sang ular berkata “Perangkap Tikus yang kecil tidak akan mencelakai aku.” Akhirnya Sang Tikus kembali ke rumah dengan pasrah mengetahui kalau ia akan menghadapi bahaya sendiri. Suatu malam, pemilik rumah terbangun mendengar suara keras perangkap tikusnya berbunyi menandakan telah memakan korban. Ketika melihat perangkap tikusnya, ternyata seekor ular berbisa. Buntut ular yg terperangkap membuat ular semakin ganas dan menyerang istri pemilik rumah. Walaupun sang Suami sempat membunuh ular tersebut, sang Istri tetapi harus di bawa ke rumah sakit. Beberapa hari kemudian istrinya demam. Ia lalu minta dibuatkan sop ceker ayam oleh suaminya. Dengan segera ia menyembelih ayamnya untuk dimasak cekernya. Tetapi sakit sang Istri tak kunjung reda. Seorang teman menyarankan utk makan hati kambing. Ia lalu menyembelih kambing untuk mengambil hatinya. Istrinya tidak sembuh dan akhirnya meninggal dunia. Banyak sekali orang datang pada saat pemakaman. Sehingga sang Petani harus menyembelih sapinya untuk memberi makan para pelayat.
Dari kejauhan sang Tikus menatap dgn penuh kesedihan. Beberapa hari kemudian ia melihat Perangkap Tikus tersebut sudah tdk digunakan lagi. SUATU HARI, KETIKA ANDA MENDENGAR SESEORANG DALAM KESULITAN DAN MENGIRA ITU BUKAN URUSAN ANDA… LEBIH BAIK PIKIRKANLAH LAGI!
Perahu Aku duduk menikmati senja dalam perahu keselamatanku yang sedang berlabuh. Ku lihat Yesus di ruang kemudi, menatapku dan berkata: “Lepaskan tambatan perahumu dan biarkan Aku membawa engkau ke seberang. Bukan rencanaKu, untuk engkau tetap tertambat di sini”. Dengan takut, gelisah dan khawatir aku menjawabNya, “Tuhan bukankah lebih baik aku tetap disini. Aku tidak akan melihat topan, badai dan angin ribut. Dan aku dapat kembali ke darat kapanpun aku mau.” Lembut Yesus memegang tanganku, menatap mataku dan berkata, “Memang disini engkau tidak akan mengalami topan, badai dan angin ribut . Tapi engkau juga tidak akan pernah melihat Aku mengatasi semua itu. Engkau tidak akan melihat Aku berkuasa atas semuanya itu, karena Akulah TUHAN. Dalam pergumulan berat, aku memandangi tali yang mengikat perahuku. Di tali itu ku lihat ada rasa khawatir akan keuangan, pekerjaan, pasangan hidup dan lain-lain”. Dalam hati aku bertanya-tanya: tahukah IA akan apa yang aku inginkan? Mengertikah IA akan apa yang aku rindukan dan dambakan ? Yesus memelukku dan berbisik lembut. “Memang tidak semuanya akan sesuai dengan apa yang kau inginkan, rindukan dan dambakan bahkan mungkin kebalikannya yang akan kau dapat, tapi maukah kau percaya. RancanganKu adalah rancangan damai
sejahtera, masa depanKu adalah masa depan yang penuh harapan”. Ia memeluk dan menangis bersamaku, dengan berat aku melepaskan tali perahuku. Ku lepaskan semua rasa khawatir itu dari hatiku, ku taruh hak atas masa depanku di tanganNya. Aku tidak tahu bagaimana masa depanku, sambil menangis aku menatapNya dan berkata: “Jadilah Nakhoda dalam perahuku dan marilah kita berlayar”. Teman maukah kau serahkan hak atas masa depanmu dalam tanganNya, tanpa engkau pernah tahu bagaimana Ia akan merancang semuanya itu, tapi hanya dengan satu keyakinan: Sebab Aku ini mengetahui rancangan-rancangan apa yang ada pada-Ku mengenai kamu, demikianlah firman TUHAN, yaitu rancangan damai sejahtera dan bukan rancangan kecelakaan, untuk memberikan kepadamu hari depan yang penuh harapan. (Yer 29:11) ~ Mickey Felder~ Sumber: http://giajemursarisurabaya.blogspot.com/2010/11/perahu.html
Harta Dalam Bejana Tanah Liat Tetapi harta ini kami punyai dalam bejana tanah liat, supaya nyata, bahwa kekuatan yang melimpah-limpah itu berasal dari Allah, bukan dari diri kami. (2 Korintus 4:7)
William adalah seorang penasehat kerajaan yang sangat disegani karena kebijaksanaannya. Raja pun sangat memperhatikan perkataan dan nasehatnya. Akan tetapi, hal itu rupanya membuat putri raja merasa iri, apalagi William memiliki wajah yang jelek dengan tubuh yang bongkok.
Putri raja pun bertanya kepadanya sambil mengejek: “Jika engkau bijaksana, beritahu aku mengapa Tuhan menyimpan kebijaksanaan-Nya dalam diri orang yang buruk rupa dan bongkok?” William balik bertanya: “Apakah ayahmu mempunyai anggur?” “Semua orang tahu bahwa ayahku mempunyai anggur terbaik. Pertanyaan bodoh macam apa itu?” sahut putri raja sinis. “Di mana ia meletakkannya?” William bertanya lagi. “Yang pasti di dalam bejana tanah liat.” Jawab putri raja. William pun tertawa dan berkata: “Seorang raja yang kaya akan emas dan perak seperti ayahmu menggunakan bejana tanah liat untuk menyimpan anggur terbaik?” Mendengar perkataan William tersebut putri raja pun merasa malu dan berlalu meninggalkannya. Kemudian ia segera memerintahkan agar para pelayan memindahkan semua anggur yang ada di istana dari dalam bejana tanah liat ke dalam bejana dari emas dan perak. Suatu hari sang raja mengadakan jamuan bagi para tamu kerajaan. Alangkah terkejutnya ia karena anggur yang diminumnya sangat asam rasanya. Dengan geram ia memanggil semua pelayan istana dan menanyakan masalah ini kepada mereka. Para pelayan itupun menceritakan bahwa semua anggur itu telah disimpan dalam bejana emas dan perak atas instruksi putri raja sendiri. Maka sang raja menegur perilaku putrinya itu dengan keras. Kemudian putri raja berkata kepada William: “Mengapa engkau menipu aku? Aku telah memindahkan semua anggur ke bejana emas dan hasilnya semua anggur itu jadi asam rasanya.” Dengan ringan William menjawab: “Sekarang engkau tahu mengapa Tuhan lebih suka menempatkan kebijaksanaan dalam wadah yang sederhana. Kebijaksanaan itu sama seperti anggur, ia hanya
cocok disimpan dalam bejana tanah liat.” Allah seringkali mempercayakan tugas pelayanan yang besar pada orang-orang biasa yang lemah dan sederhana. Tujuan-Nya jelas, agar semua orang mengetahui bahwa segala kemampuan dan kehebatan itu berasal dari Allah, bukan dari diri si pelayan. Dengan demikian segala kemuliaan hanya diberikan kepada Allah saja. Jadi, Bila saat ini anda merasa lemah dan tak berdaya, jangan kuatir, Allah dapat memakai anda menjadi alat yang luar biasa di tangan-Nya. Karena itu, senantiasa lakukan yang terbaik bagi-Nya. Bila saat ini anda telah dipakai menjadi alat Tuhan yang luar biasa, jangan lupa, hanya karena anugerah Allah sajalah anda dapat melakukan semua itu. Karena itu, senantiasa rendahkan diri anda di hadapan Allah dan kembalikan segala kemuliaan kepada-Nya. source: http://hartarohani.com/harta-dalam-bejana-tanah-liat
Kisah Segelas Susu
Adalah anak lelaki miskin yang kelaparan dan tak punya uang. Dia nekad mengetuk pintu sebuah rumah untuk minta makanan. Namun keberaniannya lenyap saat pintu dibuka oleh seorang gadis muda. Dia urung minta makanan, dan hanya minta segelas air. Tapi sang gadis tahu, anak ini pasti lapar. Maka, ia membawakan segelas besar susu. “Berapa harga segelas susu ini?” tanya anak lelaki itu.
“Ibu mengajarkan kepada saya, jangan minta bayaran atas perbuatan baik kami,” jawab si gadis. “Aku berterima kasih dari hati yang paling dalam… ” balas anak lelaki setelah menenggak habis susu tersebut. Belasan tahun berlalu… Gadis itu tumbuh menjadi wanita dewasa, tapi didiagnosa punya sakit kronis. Dokter di kota kecilnya angkat tangan. Gadis malang itu pun dibawa ke kota besar, di mana terdapat dokter spesialis. Dokter Howard Kelly dipanggil untuk memeriksa. Saat mendengar nama kota asal wanita itu, terbersit pancaran aneh di mata sang dokter. Bergegas ia turun dari kantornya menuju kamar wanita tersebut. Dia langsung mengenali wanita itu. Setelah melalui perjuangan panjang, akhirnya wanita itu berhasil disembuhkan. Wanita itu pun menerima amplop tagihan Rumah Sakit. Wajahnya pucat ketakutan, karena dia tak akan mampu bayar, meski dicicil seumur hidup sekalipun. Dengan tangan gemetar, ia membuka amplop itu, dan menemukan catatan di pojok atas tagihan… “Telah dibayar lunas dengan segelas susu …” Tertanda, dr. Howard Kelly. (dr. Howard Kelly adalah anak kelaparan yang pernah ditolong wanita tersebut. Cerita disadur dr buku pengalaman dr. Howard dalam perjalanannya melalui Northern Pennsylvania, AS) Begitulah … Jangan ragu berbuat baik dan jangan mengharap balasan. Pada akhirnya, buah perbuatan akan selalu mengikuti kita. We will harvest what we plant.. source: http://www.ceritakristen.org/menuai-apa-yang-ditabur