ISSN 2089-1482
VOLUME 3 NOMOR 1
April 2013
Analisis Resolusi Konflik Eksplorasi Tambang Emas Di Kecamatan Pesanggaran Kabupaten Banyuwangi
Rafael Purtomo Somaji
Kajian Manajemen Transportasi Pada Daerah Pelabuhan Perikanan (Studi Kasus Di Pelabuhan Perikanan Pantai Kota Probolinggo)
Noor Salim
Identifikasi Faktor Penyebab dan Upaya Penanggulangan Kemiskinan Kabupaten Jember (Studi Kasus Kemiskinan Di Wilayah Utara Kabupaten Jember)
Andri Purnomo
Analisis Strtategi Fungsi Produksi Pada UKM Daun Agel Handicraft Di Bangkalan
Wenny Istigfarini dan H.Setiyo Budiadi
Pengaruh Ketahanan Sektor Basis Terhadap Inflasi Di Jawa Timur
Sarwedi dan Nugroho
Pengembangan Potensi Kawasan Wisata Bahari Watu Ulo Sebagai Model Pengembangan Ekowisata Berbasis Community Based Tourism
Kusuma Wulandari
Pengaruh Etika Confucius, Kewirausahaan, Kemampuan Usaha Customer Satisfaction Dan Perceived Image Terhadap Kinerja Usaha
R. Andi Sularso
Alternatif Penentuan Kecamatan Pusat Pertumbuhan Di Sub Satuan Wilayah Pembangunan Di Kabupaten Sidoarjo
Dhiah Fitrayati dan Sasongko
Pembentukan Portfolio Optimal Reksadana Saham Blue Chip (LQ 45) Dengan Pendekatan Goal Programing Pada Kondisi Pasar Saham Berbeda
Kamarul Imam
Analisis Penataan Pedagang Kaki Lima Di Kota Jember
Nanik Istiyani
Analisis Faktor yang Mempengaruhi Produktivitas Karyawan Unit Penjualan Motor Di Kecamatan Rogojampi Kabuapten Banyuwangi
Moch. Syaharudin
Analisis Tingkat Kemandirian Daerah Kabupaten Jember Sebelum dan Sesudah Otonomi Daerah
Fivien Muslihatinningsih
IKATAN SARJANA EKONOMI INDONESIA CABANG JEMBER
Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia
Cabang Jember ISSN 2089-1482 Volume 3 Nomor 1, April 2013
Ketua Redaksi/Pedanggung Jawab Prof. Dr. H. Moh. Saleh, M.Sc Sekretaris Drs. H. Sonny Sumarsono, MM Editor Ahli Dr. Siti Komariyah, SE, M.Si Dr. Zainuri, SE, MSi Dr. Sumani, SE. Msi Drs. Hendrawan Santoso P, SE, MSi, Ak
Alamat Redaksi Sekretariat/Redaksi: Fakultas Ekonomi Universitas Jember Jl Kalimantan Kampus No.37 Tegalboto Jember 68121 Telp. (0331) 337990- Fax (0331) 332150 E-mail :
[email protected]
Jurnal Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia Jember (ISEI-Jember) diterbitkan oleh Alumni Fakultas Ekonomi yang berdomisili di Kabupaten Jember dan sekitarnya, sebagai media profesi ilmiah, penyebaran informasi dan forum pembahasan masalah-masalah Pembangunan Ekonomi. Terbit 2 (dua) kali setahun setiap bulan Oktober dan April. Penyunting ISEI Jember menerima tulisan yang belum pernah dimuat media lain berupa hasil penelitian, ulasan atas suatu permasalahan Ekonomi atau gagasan orisinil dengan substansi pokok terkait dengan upaya untuk memajukan pembangunan ekonomi serta kesehjateraan masyarakat.
DAFTAR ISI Analisis Resolusi Konflik Eksplorasi Tambang Emas Di Kecamatan Pesanggaran Kabupaten Banyuwangi Rafael Purtomo Somaji
1 - 20
Kajian Manajemen Transportasi Pada Daerah Pelabuhan Perikanan (Studi Kasus Di Pelabuhan Perikanan Pantai Kota Probolinggo) Noor Salim
21 - 40
Identifikasi Faktor Penyebab Dan Upaya Penanggulangan Kemiskinan Kabupaten Jember (Studi Kasus Kemiskinan Di Wilayah Utara Kabupaten Jember) Andri Purnomo
41 - 52
Analisis Strtategi Fungsi Produksi Pada Ukm Daun Agel Handicraft Di Bangkalan Wenny Istigfarini Dan Setiyo Budiadi
53 - 69
Pengaruh Ketahanan Sektor Basis Terhadap Inflasi Di Jawa Timur Sarwedi dan Nugroho
70 - 86
Pengembangan Potensi Kawasan Wisata Bahari Watu Ulo Sebagai Model Pengembangan Ekowisata Berbasis Community Based Tourism Kusuma Wulandari
87 - 100
Pengaruh Etika Confucius, Kewirausahaan, Kemampuan Usaha Customer Satisfaction Dan Perceived Image Terhadap Kinerja Usaha R. Andi Sularso
101 – 109
Alternatif Penentuan Kecamatan Pusat Pertumbuhan Di Sub Satuan Wilayah Pembangunan Iii Kabupaten Sidoarjo Dhiah Fitrayati dan Sasongko
111 - 126
Pembentukan Portfolio Optimal Reksadana Saham Blue Chip (Lq45) Dengan Pendekatan Goal Programing Pada Kondisi Pasar Saham Berbeda Kamarul Imam, I Ktut Mawi Dwipayana dan Priyo Hutomo
127 - 144
Penataan Pedagang Kaki Lima Di Kota Jember Nanik Istiyani
145 - 158
Analisis Faktor yang Mempengaruhi Produktivitas Karyawan Unit Penjualan Motor Di Kecamatan Rogojampi Kabupaten Banyuwangi Moch. Syaharuddin
159 - 176
Analisis Tingkat Kemandirian Daerah Kabupaten Jember Sebelum Dan Sesudah Otonomi Daerah Fivien Muslihatinningsih
177 - 190
Jurnal ISEI
Jember
Volume 3 Nomor 1, April 2013
PENGARUH KETAHANAN SEKTOR BASIS TERHADAP INFLASI DI JAWA TIMUR (EFFECT OF INFLATION ON THE BASIS SECURITY SECTOR IN EAST JAVA) Sarwedi Guru besar pada jurusan IESP Fakultas Ekonomi Universitas Jember Nugroho Alumni jurusan IESP Fakultas Ekonomi Universitas Jember
Abstract Sectors classified as a base in East Java in 1995-2008 the economy was agriculture, the manufacturing industry; electricity, gas and water supply, trade, hotels and restaurants sector, transport and communications; services sector. Sector, which can be a basis in the next period (2009-2010) is prtanian sector; mining and quarrying; electricity sector, gas and water supply, trade, hotels and restaurants sector, transport and communications. Trade, hotels and restaurants sector is a base in East Java that is resistant to inflation because it does not have a causal relationship with inflation. Agriculture, manufacturing industry; electricity, gas and water supply; transport and communications; services sector, has no resistance to inflation over the period 1995-2008 as having a causal relationship with inflation. Keywords: food security, sector base and inflation
1. Pendahuluan Perencanaan pembangunan daerah harus dilakukan berdasarkan kondisi, masalah, kebutuhan dan potensi daerah yang bersangkutan. Aspek penting dalam pembangunan daerah adalah hubungan antar daerah. Menyadari suatu daerah tidak dapat berdiri sendiri dan harus dapat berhubungan dengan daerah lain, maka potensi akan daerah yang bersangkutan cukup penting artinya sehingga dapat membantu penentuan arah kebijakan (Warpani, 1984). Program pembangunan sektoral bertujuan untuk menciptakan struktur ekonomi yangberimbang. Adanya keterbatasan dana pembangunan mengharuskan adanya kebijakan yang tepat dan terarah bagi pembangunan sehingga perlu dilakukan penetapan prioritas sektoral. Prioritas pembangunan ditinjau dari segi ekonomi ditentukan berdasarkan kegiatan sektor atau sub sektor berpotensi. Untuk iu perlu dikaji sektor mana yang secara potensial ditetapkan menjadi sektor prioritas dalam pembagunan di Jawa Timur. Jawa Timur memiliki tingkat pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi dibanding dengan propinsi lain. Sebelum krisis pada tahun 1995 dan 1996, Jawa Timur memiliki tingkat pertumbuhan ekonomi sebesar 8,18% dan 8,26%. Pada tahun yang sama, pertumbuhan 71
Sarwedi, Pengaruh Ketahanan Sektor Basis Terhadap Inflasi Di Jawa Timur
ekonomi nasional mencapai 8,20% dan 7,98%. Pada saat krisis tahun 1997, tingkat pertumbuhan ekonomi Jawa Timur turun hingga menjadi 5,01% dan pada tahun 1998 pertumbuhan ekonomi Jawa Timur minus 13,10%. Kontraksi ekonomi di Jawa Timur terlihat lebih parah dibanding rata-rata Indonesia karena Jawa Timur memiliki konsentrasi industri yang lebih tinggi dibanding propinsi-propinsi lain di Indonesia. Sejak tahun 1999 dengan membaiknya kondisi ekonomi, maka secara berangsur-angsur pertumbuhan ekonomi Jawa Timur naik menjadi 1,12% pada dan tahun 2000 3,25%, sedangkan pertumbuhan ekonomi nasional pada tahun 1999 dan tahun 2000 sebesar 0,90% dan 4,80% (Amir dan Nazara, 2005). Inflasi yang terjadi pada tahun 2005 disebabkan adanya kenaikan BBM mengakibatkan sektor industri di Jawa Timur periode 2003-2007 mengalami pertumbuhan yang fluktuatif. Tahun 2003, pertumbuhan sektor industri mencapai 4,46% dan tahun 2004 menjadi 5,28%. Pada tahun 2005 dan 2006, sektor industri mengalami penurunan menjadi 4,61% dan 3,05% (Tayibnapis et al, 2008: 44). Pada periode yang sama, sektor pertanian menunjukkan pertumbuhan yang lebih bagus daripada sektor industri. Tayibnapis et al (2008: 40) menjelaskan, pertumbuhan sektor pertanian tahun 2003 sebesar 1,91% dan tahun 2004 menjadi 2,82%. Tahun 2005, sektor pertanian tetap mengalami pertumbuhan hingga menjadi 3,16% dan ini terus berlanjut hingga tahun 2006 (2,99%) dan tahun 2007 (3,92%). Inflasi yang terjadi di Jawa Timur memberikan dampak negatif pada berbagai sektor perekonomian meskipun terdapat beberapa sektor yang tahan terhadap inflasi. Dengan adanya inflasi, proses pembangunan terkadang sering terhambat sehingga berdampak pada ketidak sesuaian antara tujuan yang ditetapkan dengan kondisi yang sebenarnya. Untuk itu, perlu adanya suatu kajian tentang sektor yang dapat dikategorikan sebagai sektor basis yang mempunyai ketahanan terhadap inflasi (inflasi tidak berpengaruh terhadap sektor basis dan sektor basis tidak berpengaruh terhadap inflasi) .
2. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui: a) Sektor yang tergolong dalam sektor basis Jawa Timur periode 1995-2008. b) Sektor yang tergolong dalam sektor basis Jawa Timur pada periode berikutnya tahun 2009-2010. c) Ketahanan sektor basis terhadap inflasi di Jawa Timur tahun 1995-2008.
3. Metode Penelitian Jenis penelitian ini adalah deskriptif (explanatory) bersifat expost facto. Expost facto adalah pengumpulan data pada fenomena yang telah terjadi. Unit analisis dalam penelitian ini adalah perekonomian Jawa Timur dengan variabel yang dianalisis adalah Produk Domestik Regioanal Bruto, Produk Domestik Bruto dan inflasi. Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder berbentuk time series (tahun 1995-2008) yang diperoleh dari BPS Jawa Timur, studi pustaka dan pencarian pada berapa situs internet. Data yang dikumpulkan antara lain PDRB Jawa Timur, PDB Indonesia dan data inflasi di Jawa Timur tahun 1995-2008.
72
Jurnal ISEI
Jember
Volume 3 Nomor 1, April 2013
Untuk mengetahui sektor basis periode 1995-2008; sektor basis pada periode yang akan datang; ketahanan sektor basis terhadap inflasi, digunakan metode analisis data sebagai berikut: a. Untuk Menentukan Sektor Basis Di Jawa Timur Tahun 1995-2008 Digunakan Metode Location Quotient (LQ). b. Untuk Mengetahui Sektor Prioritas Periode Yang Akan Datang (Tahun 2009-2010) Digunakan Analisis Dynamic Location Quotient (DLQ). c. Untuk Mengetahui Ketahanan Sektor Basis Tahan Terhadap Inflasi Di Jawa Timur Tahun 1995-2008 Digunakan Uji Kausalitas Granger (Granger’s Test Of Causalitiy).
4. Hasil Analisis dan Pembahasan 4.1 Pertumbuhan Ekonomi Jawa Timur Propinsi Jawa Timur tergolong tahan terhadap gejolak internal maupun eksternal, meskipun pernah mengalami goncangan yang cukup besar akibat krisis ekonomi tahun 19981999. Salah satu faktor eksternal yang berpengaruh terhadap perekonomian Jawa Timur adalah kenaikan harga BBM pada tahun 2007. Menurunnya pasokan minyak mentah dari negara-negara petrodollar, reaksi berlebihan dari Amerika Srikat terhadap pembangunan reaktor nuklir, melemahnya nilai tukar dollar menjadi penyebab utama kenaikan harga minyak dunia pada tahun 2007. Sektor di Jawa Timur yang terkena dampak terbesar dari kenaikan harga BBM adalah sektor listrik, gas dan air bersih yang sangat tergantung pada pasokan BBM dan tentunya akan berdampak pada sektor-sektor yang lain. Faktor eksternal lainnya yang mempengaruhi perekonomian Jawa Timur adalah krisis pangan dunia akibat meningkatnya harga bibit dan pupuk (BPS, 2007). Faktor internal yang berpengaruh terhadap ekonomi Jawa Timur tahun 2003-2007 adalah terjadinya luapan lumpur Lapindo di Sidoarjo dan adanya krisis energi. Luapan lumpur Lapindo mengakibatkan semakin bertambahnya biaya transportasi, biaya bongkar muat, dan melemahnya kegiatan ekspor-impor. Krisis energi (listrik) yang tejadi di Jawa Timur karena semakin mahalnya harga bahan bakar minyak bagi pembangkit listrik tenaga disel dan berkurangnya pasokan batubara untuk pembangkit listrik berdampak pada sektor industri pengolahan; sektor perdagangan, hotel dan restoran (BPS, 2007). Berdasarkan hasil perhitungan menunjukkan bahwa, pertumbuhan ekonomi Jawa Timur pada tahun 2006 sebear 5,8% atau menurun sebesar 0,04% dibandingkan tahun sebelumnya. Pada tahun 2007 dan 2008, pertumbuhan ekonomi Jawa Timur mencapai 6,11% dan 5,90%. Tingginya tingkat pertumbuhan ekonomi pada tahun 2007 disebabkan oleh pertumbuhan sektor pertambangan dan penggalian sebesar 10,44%; sektor listrik, gas dan air bersih sebesar 11,81%. Pada tahun 2008, hampir semua sektor mengalami penurunan tingkat pertumbuhan PDRB, sehingga mengakibatkan pertumbuhan ekonomi turun 0,21% dibandingkan tahun 2007 (BPS, Jawa Timur dalam Angka. 2005-2008, diolah). Produk Domestik Regional Bruto sektor perdagangan, hotel dan restoran memiliki pertumbuhan yang tinggi dibandingkan dengan sektor-sektor yang lain. Sektor tersebut pada tahun 2004-2008 mampu tumbuh 8-9%. Pada tahun 2004, sektor tersebut tumbuh sebesar 9,25% dan tahun 2008 sebesar 8,27%. Pertumbuhan yang tinggi pada sektor ini merupakan indikasi bahwa, stabilnya daya beli dan inflasi di Jawa Timur (BPS, Jawa Timur dalam Angka. 2003-2008, diolah). Pendapatan perkapita dan PDRB perkapita digunakan untuk mengetahui rata-rata tingkat kesejahteraan tiap penduduk. Semakin tinggi nilai PDRB 73
Sarwedi, Pengaruh Ketahanan Sektor Basis Terhadap Inflasi Di Jawa Timur
perkapita dan pendapatan regioanl perkapita suatu wilayah, semakin tinggi tingkat perekonomian wilayah dan semakin tinggi nilai PDRB yang dapat dinikmati oleh masingmasing penduduk. Berdasarkan hasil perhitungan menunjukkan bahwa, PDRB perkapita dan pendapatan perkapita Jawa Timur meningkat seiring dengan perkembangan PDRB. Pada tahun 2003, PDRB perkapita mencapai Rp. 8,30 juta; dan terus meningkat hingga pada tahun 2007 mencapai Rp. 14,15 juta. Pendapatan perkapitapada tahun 2003 mencapai Rp. 8,07 juta dan meningkat menjadi Rp. 13,78 juta pada thun 2007 (BPS, 2007: 41). Apabila suatu daerah memiliki PDRB perkapita dan pendapatan perkapita cenderung naik, namun kemiskinan dan pengangguran semakin naik, maka terjadi ketimpangan (kesenjangan) pendapatan masyarakat. Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) Jawa Timur pada tahun 2007 sebesar 5,68% atau lebih rendah dibanding tahun 2006 (5,74%). Persentase kemiskinan penduduk Jawa Timur tahun 2007 sebesar 18,89% dan tahun 2006 sebesar 19,89%. Hal ini berarti bahwa, peningkatan PDRB perkapita dan pendapatan perkapita mengakibatkan menurunnya angka TPT dan kemiskinan Jawa Timur atau pertumbuhan ekonomi pada tahun 2007 sebesar 6,11% dapat mengurangi angka pengangguran terbuka sebesar 0,006% dan angka kemiskinan 1% (BPS, 2007).
4.2 Perkembangan Ekonomi Sektoral a) Sektor Pertanian Sektor pertanian merupakan salah satu sektor unggulan di Jawa Timur karena memberikan kontribusi terbesar ketiga setelah sektor perdagangan, hotel dan resetoran; dan sektor industri pengolahan. Rendahnya pertumbuhan sektor pertanian pada tahun 2003-2005 terjaadi karena subsektor kehutanan pengalami pertumbuhan yang negatif (BPS, 2007: 44.). Berdasarkan hasil perhitungan , subsektor yang mengalami pertumbuhan tertinggi pada tahun 2007 adalah perikanan dan peternakan, dengan tumbuh sebesar 6,91% dan 6,07%. Subsektor tanaman bahan makanan yang memberikan kontribusi terbesar terhadap PDRB sektor pertanian hanya mampu tumbuh 1,64% (BPS, 2007: 44-45). Pada tahun 2004-2008, kontribusi sektor pertanian terhadap PDRB Jawa Timur terus mengalami penurunan. Berdasarkan hasil perhitungan, pada tahun 2004 kontribusi sektor pertanian terhadap PDRB Jawa Timur sebesar 17,89% dan terus menurun hingga tahun 2008 menjadi 16,22%. Subsektor tanaman bahan makanan memberikan kontribusi yang besar terhadap PDRB sektor pertanaian selama periode tahun 2004-2008, yakni mencapai 58,17% pada tahun 2004 dan 54,78% pada tahun 2005. Rata-rata kontribusi subsektor tanaman perkebunan; peternakan; kehutanan dan perikanan pada tahun 2004-2008 adalah 16,6%; 16%; 1,1%; 10,2% (BPS, Jawa Timur dalam Angka. 2005-2008, diolah). b) Sektor Pertambangan dan Penggalian Jawa Timur kaya akan sumber daya alam seperti gas, minyak bumi dan bahan-bahan galian untuk konstruksi atau industri. Namun, kontribusi sektor pertambangan dan penggalian terhadap PDRB Jawa Timur tergolong rendah. Pada tahun, 2004 kontribusi sekor pertambangan dan penggalian sebesar 0,05% dan tahun 2005 (0,10%); tahun 2006-2008 (0,05%). Berdasarkan Tabel 4.5, subsektor penggalian memberikan kontribusi yang besar dalam pembentukan PDRB pada sektor pertambangan dan penggalian. Pada tahun 2004, subsektor penggalian memberikan kontribusi sebesar 78,48% dan tahun 2005 79,42%. 74
Jurnal ISEI
Jember
Volume 3 Nomor 1, April 2013
Kontribusi penggalian mengalami penurunan dari 79,30% pada tahun 2006 menjadi 76,01% pada tahun 2008. Pertambangan nonmigas memberikan kontribusi yang kecil terhadap PDRB sektor pertambangan dan penggalian. Rata-rata kontribusi pertambangan nonmigas pada tahun 2004-2008 hanya mencapai 7,99% (BPS, Jawa Timur dalam Angka. 2005-2008, diolah). Produk Domestik Regional Bruto sekor pertambangan mengalami pertumbuhan pada tahun 2004 sebesar 1,84%; tahun 2005 (9,32%); tahun 2008 (9,26%). Gambar 4.3 dapat dijelaskan, pada tahun 2004, pertumbuhan sektor pertambangan yang kecil (1,84%) dikarenakan tingkat pertumbuhan PDRB subsektor pertambangan nonmigas mencapai (3,28%). Pada tahun 2007, subsektor yang mengalami pertumbuhan tertinggi adalah pertambangan migas yang mampu tumbuh 31,8%, sedangkan subsektor pertambangan nonmigas dan penggalian tumbuh sebesar 5,45% dan 7,53%. Menurunnya tingkat pertumbuhan PDRB sektor pertambangan dan penggalian pada tahun 2008 hingga menjadi 9,26% merupakan dampak penurunan pertumbuhan pada subsektor pertambangan migas dan pertambangan non migas (BPS, Jawa Timur dalam Angka. 2005-2008, diolah). c) Sektor Industri Pengolahan Sektor indutri pengolahan merupakan sektor yang memegang peranan penting bagi ekonomi Jawa Timur karena memberikan kontribusi yang besar terhadap PDRB dan mampu menyerap tenaga kerja yang cukup besar. Berdasarkan Tabel 4.6, kontribusi sektor industri pengolahan terhadap PDRB Jawa Timur tahun 2004 mencapai 27,87% dan tahun 2007 mencapai 26,46%. Subsektor industri alat angkutan mesin dan peralatan memberikan kontribusi terendah terhadap pembentukan PDRB sektor industri pengolahan dengan rata-rata kontribusi pada tahaun 2003-2007 mencapai 1,94% . Subsektor industri makanan; minuman dan tembaku memberikan kontribusi terbesar terhadap pembentukan PDRB sektor industri pengolahan yakni mencapai 28,02% pada tahun 2003 dan 26,46 % pada tahun 2007 (BPS, Jawa Timur dalam Angka. 2004-2008, diolah). Pertumbuhan PDRB sektor industri pengolahan pada tahun 2003-2007 relatif stabil pada kisaran 3% sampai 5,3%. Pada tahun 2003 sektor ini tumbuh sebesar 4,46% dan tahun 2007 sebesar 4,64%. Berdasarkan Tabel 4.7, subsektor yang mengalami pertumbuhan terendah pada tahun 2003-2007 adalah subsektor barang dari kayu dan hasil hutan lainnya (3,40 pada tahun 2004). Subsektor yang mengalami pertumbuhan tertinggi pada tahun 2007 adalah angkutan mesin dan peralatan yakni sebesar 22,01%, sedangkan industri barang dari kayu dan hasil hutan lainnya mengalami pertumbuhan terendah (0,38%). Pertumbuhan subsektor industri makanan, minuman dan tembakau yang memberikan kontribusi sebesar 4.64% atau tumbuh 1.12% disbanding tahun 2006 (BPS, 2007). d) Sektor Listrik, Gas dan Air Bersih Permintaan daya listrik yang selalu meningkat tiap tahun tidak sebanding dengan persediaan yang dihasilkan oleh Perusahaan Listrik dalam Negeri (PLN). Pada tahun 2007 sektor listrik, gas dan air bersih (LGA) mengalami pertumbuhan 11,81% atau lebih baik jika dibandingkan dengan dua tahun sebelumnya dengan pertumbuhan sebesar 6,18% (tahun 2005) dan 4,07 % (tahun 2006). Pertumbuhan tahun 2007 masih tergolong rendah jika dibandingkan tahun 2003 dan 2004 yang mencapai 15,52% dan 14,86% (BPS, 2007: 50). Pada tahun 2003 dan 2004, pertumbuhan subsektor listrik sebesar 16,04% dan 16,73%. Pada tahun berikutnya (2004-2006), pertumbuhan subsektor ini mengalami 75
Sarwedi, Pengaruh Ketahanan Sektor Basis Terhadap Inflasi Di Jawa Timur
penurunan hingga menjadi 8,38% pada tahun 2005; 4,03% tahun 2006. Tahun 2007, subsektor listrik mengalami pertumbuhan sebesar 5,77% atau meningkat 1,74%. Peningkatan pertumbuhan pada tahun 2007 merupakan dampak positif dari program konversi minyak tanah menjadi gas oleh pemerintah (BPS, 2007). Pertumbuhan PDRB subsektor air bersih tahun 2004 dan 2005 mengalami penurunan. Tahun 2003, subsektor ini tumbuh sebesar 3,75%; tahun 2004 dan 2005 menjadi 2,84% dan 2,03%. Pada tahun 2006 dan 2007, mengalami pertumbuhan hingga menjadi 4,41% (2006) dan 4,44% (2007). Subsektor gas pada tahun 2003-2005 mengalami penurunan. Tahun 2006 dan 2007, subsektor gas berhasil tumbuh sebesar 4,23% dan 49,36% (BPS, 2007). e)
Sektor Konstruksi Selama periode tahun 2003-2005 PDRB sektor konstruksi terus mengalami pertumbuhan yang positif. Hal ini terjadi karena meningkatnya permintaan properti oleh konsumen untuk kebutuhan tempat tinggal dan usaha. Kenaikan harga minyak dunia yang berdampak pada kenaikan bahan bangunan tahun 2005 mengakibatkan pertumbuhan sektor konstruksi pada tahun 2006 dan 2007 mengalami penurunan (BPS, 2007: 48). Berdasarkan hasil perhitungan, peranan sektor konstruksi terhadap PDRB Jawa Timur tahun 2003-2007 cukup stabil. Tahun 2003 dan 2004, sektor ini memberikan kontribusi sebesar 3,74% dan 3,68%; pada tahun 2007 sebesar 3,36%. Pertumbuhan sektor PDRB konstruksi pada tahun 2003 sebesar 1,8% dan tahun 2004 1,85%. Pertumbuhan tertinggi selama periode 2003-2007 terjadi pada tahun 2005 yakni sebesar 3,48%, namun pada tahun 2006 dan 2007 menurun menjadi 1,42% dan 1,21% (BPS, 2007). f)
Sektor Perdagangan, Hotel dan Restoran Letak geografis pada jalur ekspor-impor dan jalur pariwisata merupakan salah satu faktor yang mendukung sektor perdagangan hotel dan restoran memberikan kontribusi terbesar terhadap PDRB Jawa Timur. Sektor perdagangan, hotel dan restoran pada tahun 2003-2007 rat-rata mengalami pertumbuhan yang relatif stabil karena terjadi penigkatan permintaan masyarakat. Pada tahun 2003; sektor perdagangan, hotel dan restoran tumbuh 26,08% dan terus meningkat hingga mencapai 28,81 pada tahun 2007 (BPS, 2007). Berdasarkan hasil perhitungan, sektor perdagangan, hotel dan restoran didominasi oleh subsektor perdagangan dengan kontribusi selama tahun 2003-2007 berada pada kisaran 7080%. Dominasi subsektor perdagangan terjadi karena tingginya tingkat konsumsi masyarakat selama periode tersebut. Pada tahun 2007, kontribusi subsektor perdagangan terhadap PDRB mencapai 80,5%, restoran dan hotel memberikan kontribusi terhadap sektor sebesar 16,9% dan 2.69%. Pada tahun 2006 subsektor perdagangan mengalami pertumbuhan sebesar 19,4% atau merupakan pertumbuhan tertinggi selama periode 2003-2007. Subsektor hotel dan restoran pada tahun 2006 mengalami pertumbuhan yang rendah dibanding tahun sebelumnya yakni 4,8% dan -21,5% (BPS, 2007). g) Sektor Pengangkutan dan Komunikasi Berdasarkan hasil perhitungan menunjukkan bahwa, rata-rata kontribusi sektor pengangkutan dan komunikasi terhadap pembentukan PDRB Jawa Timur pada tahun 20032006 mencapai 5,69%. Subsektor angkutan jalan raya memberikan kontribusi terhadap PDRB sektor pengangkutan dan komunikasi pada tahun 2006 sebesar 28,14%. Subsektor angkutan 76
Jurnal ISEI
Jember
Volume 3 Nomor 1, April 2013
penyebrangan memberikan kontribusi terkecil dengan rata-rata kontribusi pada tahun 20032006 mencapai 0,62% (BPS, Jawa Timur dalam Angka. 2004-2007, diolah). Kenaikan BBM pada tahun 2005 berdampak pada subsektor pengangkutan, terutama pada subsektor angkutan udara. Pertumbuhan subsektor angkutan udara pada tahun 2004 mencapai 25,40% dan tahun 2005 (-0.39%). Berdasarkan Tabel 4.10, pertumbuhan PDRB sektor pengangkutan dan komunikasi yang mencapai 5% pada tahun 2005 didukung oleh pertumbuhan subsektor komunikasi yang mengalami pertumbuhan sebesar 8.11%. Pertumbuhan subsektor angkutan pada tahun 2005 turun hingga menjadi 3.86% (BPS, 2005). h) Sektor Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan Sektor keuangan, persewaan dan jasa perusahaan pada tahun 2003 memberikan kontribusi sebesar 4,59% terhadap PDRB Jawa Timur dan terus meningkat hingga tahun 2007 sebesar 4,62%. Berdasarkan kontribusi secara subsektor, sewa bangunan memberikan kontribusi terbesar dalam pembentukan PDRB sektor keuangan, persewaan dan jasa perusahaan pada tahun 2003-2007. Secara berturut, kontribusi sektor sewa bangunan tahun 2003-2007 sebesar (10,08%) tahun 2003; (35,15%) tahun 2004; (35,05%) tahun 2005; (35,81%) tahun 2006; (36,36%) tahun 2007 (BPS, Jawa Timur dalam Angka. 2005-2008, diolah). i) Sektor Jasa Sektor jasa memberikan kontribusi terhadap PDRB Jawa Timur sebesar 8,38% (2003); 8,32% (2004); 8,04% (2005); 8,14% (2006); 8,15% (2007). Subsektor yang tergolong dalam sektor jasa adalah jasa pemerintahan, jasa sosial kemasyarakatan, jasa hiburan, jasa kebudayaan, jasa perorangan dan jasa yang melayani rumah tangga. Pertumbuhan menurut subsektor, jasa pemerintahan umum tumbuh 2,37% dan jasa swasta 4,32%. Berdasarkan hasil perhitungan menunjukkan bahwa, sektor jasa mengalami pertumbuhan sebesar 5,88% pada tahun 2007. Pertumbuhan subsektor pemerintahan umum mencapai 4,55% dan subsektor swasta 6,94%. Pertumbuhan subsektor swasta tahun 2007 didukung oleh pertumbuhan jasa sosial kemasyarakatan sebesar 7,61%; jasa hiburan dan kebudayaan 8,93%, jasa perorangan dan rumah tangga 6,67% (BPS, 2007). 4.3 Analisis Location Quotient (LQ) Analisis Location Quotient (LQ) digunakan untuk mengetahui “kekuatan” atau besar kecilnya peranan suatu sektor di Jawa Timur tahun 1995-2004 dibandingkan dengan peranan sektor yang sama di Indonesia. Apabila suatu sektor mempunyai nilai LQ lebih dari satu merupakan sektor “kuat” (sektor basis) sehingga secara potensial merupakan pengekspor produk ke daerah lain. Jika suatu sektor di Jawa Timur memiliki nilai LQ dibawah satu, maka sektor tersebut hanya mampu untuk memenuhi kebutuhan daerahnya sendiri atau bahkan sektor tersebut merupakan pengimpor dari daerah lain. Sektor yang memiliki nilai rata-rata LQ lebih dari satu atau sektor yang menjadi basis di Jawa Timur selama tahun 1995-2008 adalah sektor pertanian; sektor industi pengolahan; sektor listrik gas dan air bersih; sektor perdagangan, hotel dan restoran; sektor pengangkutan dan komunikasi; sektor jasa. Berdasarkan hasil perhitungan menunjukkan bahwa nilai LQ sektor pertanian adalah 1.153; sektor industri pengolahan (1.041); sektor listrik, gas dan air bersih (2,285); sektor perdagangan, hotel dan restoran (1,527); sektor pengangkutan dan komunikasi (1,566); sektor jasa (1,010). Sektor yang memiliki nilai LQ dibawah satu atau 77
Sarwedi, Pengaruh Ketahanan Sektor Basis Terhadap Inflasi Di Jawa Timur
sektor bukan basis adalah sektor pertambangan dan penggalian; sektor konstruksi; sektor keuangan, persewaan dan jasa perusahaan. Hasil perhitungan nilai LQ Menurut Sektor di Jawa Timur Tahun 1995-2008 ditunjukkan table 1. Tabel 1. Nilai Perhitungan LQ Menurut Sektor di Jawa Timur Tahun 1995-2008. Sektor Nilai LQ Basis/non Basis Pertanian 1.153 basis Pertambangan dan Penggalian 0.188 non basis Industri Pengolahan 1.041 basis Listrik, Gas dan Air bersih 2.285 basis Konstruksi 0.712 non basis Perdagangan, Hotel dan Restoran 1.527 basis Pengangkutan dan Komunikasi 1.566 basis Keuangan, Persewaan dan Jasa 0.633 non basis Perusahaan Jasa-jasa 1.010 basis Sumber: data primer diolah, 2011 4.4 Analisis Dynamic Location Quotient (DLQ) Analisis Dynamic Location Quotient (DLQ) membandingkan tingkat pertumbuhan sektor di Jawa Timur dengan rata-rata pertumbuhan sektor Nasional selama periode 19952008. Apabila suatu sektor memiliki nilai DLQ lebih dari satu, maka laju pertumbuhan PDRB sektor tersebut di Jawa Timur lebih cepat dibandingkan dengan proporsi pertumbuhan PDB Nasional atau sektor tersebut dapat menjadi basis pada tahun 2009-2019. Tabel 2, Hasil Perhitungan DLQ Menurut Sektor di Jawa Timur. Sektor
Pertanian Pertambangan dan Penggalian Industri Pengolahan Listrik, Gas dan Air bersih Konstruksi Perdagangan, Hotel dan Restoran Pengangkutan dan Komunikasi Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan Jasa-jasa Sumber: data primer diolah, 2011
DLQ
Basis/non Basis Tahun 2009-2010
1.01 1.01 1.00 1.07 1.00 1.01 1.01 0.99 1.00
basis basis nonbasis basis nonbasis bais basis nonbasis nonbasis
Berdasarkan Tabel 2, sektor yang menjadi basis bagi Jawa Timur tahun 2009-2019 dengan memiliki nilai DLQ lebih dari satu adalah sektor prtanian; sektor pertambangan dan penggalian; sektor listrik gas dan air bersih; sektor perdagangan, hotel dan restoran; sektor pengangkutan dan komunikasi. Nilai DLQ sektor pertanian adalah 1,01; sektor pertambangan dan penggalian 1,01; sektor listrik, gas dan air bersih 1,07; sektor perdagangan, hotel dan restoran 1,01; sektor pengangkutan dan komunikasi 1,01. Sektor yang hanya mampu untuk 78
Jurnal ISEI
Jember
Volume 3 Nomor 1, April 2013
memenuhi permintaan daerahnya sendiri dengan dan memiliki pertumbuhan yang sama dengan nasional (DLQ = 1) adalah sektor industri pengolahan; sektor konstruksi dan sektor jasa. 4.5 Uji Kausalitas Granger Uji kausalitas granger digunakan untuk mengetahui hubungan antara variabel satu dengan variabel lainnya. Jika sektor i memiliki hubungan kausalitas dengan inflasi, maka sektor tersebut tidak tahan terhadap inflasi. Apabila tidak terdapat hubungan kausalitas antara inflasi dengan sektor i, maka sektor tersebut tahan terhadap inflasi. Dari hasil uji kausalitas granger menunjukkan bahwa, dengan menggunakan α = 10% sektor basis Jawa Timur (sektor pertanian; sektor industri pengolahan; sektor listrik, gas dan air bersih; sektor pengangkutan dan komunikasi; sektor jasa) memiliki hubungan kausalitas dengan inflasi atau sektor-sektor tersebut tidak tahan terhadap inflasi yang terjadi di Jawa Timur tahun 1995-2008. Sektor perdagangan, hotel dan restoran tergolong tahan terhadap inflasi karena tidak memiliki hubungan kausalitas dengan inflasi baik satu arah atau dua arah. Tabel 3. Nilai Perhitungan Uji Kausalitas Granger. No. Hipotesis 1
2
3
4
5
6
F-Statistik
Probabilitas
INF does not Granger Cause PDRB1
10.2115
0.02402
PDRB1 does not Granger Cause INF
7.34878
0.04189
INF does not Granger Cause PDRB3
5.75735
0.06198
PDRB3 does not Granger Cause INF
7.24030
0.04292
INF does not Granger Cause PDRB4
41.9192
0.00176
PDRB4 does not Granger Cause INF
0.12675
0.93939
INF does not Granger Cause PDRB6
21.0519
0.16186
PDRB6 does not Granger Cause INF
2.45815
0.44172
INF does not Granger Cause PDRB7
20.7462
0.00670
PDRB7 does not Granger Cause INF
0.76288
0.57098
INF does not Granger Cause PDRB9
14.3113
0.01323
3.16092
0.14767
PDRB9 does not Granger Cause INF Sumber: Sumber: data primer diolah, 2011
Keterangan: PDRB1(PDRB sektor pertanian); PDRB3 (PDRB industri pengolahan); PDRB4 (PDRB sektor listrik, gas dan air bersih); PDRB6 (PDRB sektor perdagangan, hotel dan restoran); PDRB7 (PRB sektor pengangkutan dan komunikasi); PDRB9 (PDRB sektor Jasa); INF (Inflasi).
Berdasarkan Tabel 3 nilai probabilitas dari hasil perhitungan uji kausalitas granger dengan menggunakan α = 5% menunjukkan bahwa: a) Probabilitas inflasi terhadap PDRB sektor pertanian (0.02402) < α (10% = 0,1), hal ini berarti bahwa inflasi berpengaruh terhadap PDRB sektor pertanian. Sedangkan probabilitas PDRB sektor pertanian terhadap inflasi (0.04189) < α (10% = 0,1), hal ini berarti bahwa PDRB sektor pertanian berpengaruh terhadap inflasi. 79
Sarwedi, Pengaruh Ketahanan Sektor Basis Terhadap Inflasi Di Jawa Timur
b) Probabilitas inflasi terhadap PDRB sektor industri pengolahan (0.06198) < α (10% = 0,1), hal ini berarti bahwa inflasi berpengaruh terhadap PDRB sektor industri pengolahan. Sedangkan probabilitas PDRB sektor industri pengolahan terhadap inflasi (0.04292) < α (10% = 0,1), hal ini berarti bahwa PDRB sektor industri pengolahan berpengaruh terhadap inflasi. c) Probabilitas inflasi terhadap PDRB sektor listrik, gas dan air bersih (0.00176) < α (10% = 0,1), hal ini berarti bahwa inflasi berpengaruh terhadap PDRB sektor listrik, gas dan air bersih. Sedangkan probabilitas PDRB sektor listrik, gas dan air bersih terhadap inflasi (0.93939) > α (10% = 0,1), hal ini berarti bahwa PDRB sektor lisrik, gas dan air bersih tidak berpengaruh terhadap inflasi. d) Probabilitas inflasi terhadap PDRB sektor perdagangan, hotel dan restoran (0.16186) > α (10% = 0,1), hal ini berarti bahwa inflasi tidak berpengaruh terhadap PDRB sektor perdagangan, hotel dan restoran. Sedangkan probabilitas PDRB sektor perdagangan, hotel dan restoran terhadap inflasi (0.44172) > α (10% = 0,1), hal ini berarti bahwa PDRB sektor perdagangan, hotel dan restoran tidak berpengaruh terhadap inflasi. e) Probabilitas inflasi terhadap PDRB sektor pengangkutan dan komunikasi (0.00670) < α (10% = 0,1), hal ini berarti bahwa inflasi berpengaruh terhadap PDRB sektor pengangkutan dan komunikasi. Sedangkan probabilitas PDRB sektor pengangkutan dan komunikasi terhadap inflasi (0.57098) < α (10% = 0,1), hal ini berarti bahwa PDRB sektor pengangkutan dan komunikasi tidak berpengaruh terhadap inflasi. a. Probabilitas inflasi terhadap PDRB sektor jasa (0.01323) < α (10% = 0,1), hal ini berarti bahwa inflasi berpengaruh terhadap PDRB sektor jasa. Sedangkan probabilitas PDRB sektor jasa terhadap inflasi (0.14767) > α (10% = 0,1), hal ini berarti bahwa PDRB sektor jasa tidak berpengaruh terhadap inflasi. 4.6 Pembahasan Suatu sektor dapat dijadikan basis bagi perekonomian suatu daerah apabila sektor tersebut mampu mengekspor hasil outputnya ke daerah lain. Semakin besar ekspor suatu wilayah, maka akan semakin maju pertumbuhan wilayah tersebut. Setiap perubahan yang terjadi pada sektor basis menimbulkan efek pengganda (multiplier effect) dalam perekonomian regional. Kegiatan nonbasis adalah kegiatan yang menyediakan barang dan jasa yang dibutuhkan masyarakat yang berada di dalam batas wilayah perekonomian yang bersangkutan (Imelia, 2006). Jawa Timur memiliki enam sektor yang dapat dikategorikan sebagai sektor basis karena memiliki nilai rata-rata LQ lebih dari satu. Berdasarkan perhitungan Location Quotient (LQ), sektor yang memiliki rata-rata nilai LQ lebih dari satu pada tahun 1995-2008 adalah sektor pertanian; sektor industri pengolahan; sektor listrik, gas dan air bersih; sektor perdagangan, hotel dan restoran; sektor pengangkutan dan komunikasi; sektor jasa. Tiga sektor hanya mampu memenuhi kebutuhan masyarakat Jawa Timur sendiri atau bahkan harus dipenuhi dengan cara mengimpor dari daerah lain karena memiliki nilai LQ kurang dari satu adalah sektor pertambangan dan penggalian; sektor konstruksi; sektor keuangan, persewaan dan jasa perusahaan. Sektor yang memiliki nilai rata-rata LQ tertinggi pada tahun 1995-2008 adalah sektor listrik, gas dan air bersih dengan nilai rata-rata LQ tertinggi yakni 2,285. Tingginya nilai LQ sektor ini terjadi karena Jawa Timur memiliki pembangkit listrik dengan kapasitas produksi mencapai 3905.1 mega wat atau mencapai 21% dari kapasitas produksi nasional. Untuk 80
Jurnal ISEI
Jember
Volume 3 Nomor 1, April 2013
memenuhi kebutuhan yang terus meningkat, Perusahaan Listrik Negara (PLN) tahun 2010 menerapkan program Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) 10.000 mega watt . Program pembangunan PLTU tersebut di Jawa Timur di antaranya (www.id.wikipedia.org): a) Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) di Pacitan dengan kapasitas 630 mega watt. b) Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) di Paiton dengan kapasitas 660 mega watt. c) Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) di Tanjung Awar-awar Tuban dengan kapasitas 700 mega watt. Faktor yang mendukung sektor pengangkutan dan komunikasi; sektor perdagangan, hotel dan restoran sebagai basis bagi perekonomian Jawa Timur adalah ketersediaan infrastruktur yang memadai, letak geografis pada jalur ekspor-impor dan jalur pariwisata. Rencana pembangunan atau proyek pada tahun 2005 yang dilakukan oleh pemerintah untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi Jawa Timur khususnya sektor pengangkutan dan komunikasi; sektor perdagangan, hotel dan restoran adalah (www.bi.go.id): a) Proyek Jalan Tol Sepanjang 106,3 Km Dan Jembatan Suramadu Yang Menghubungkan Surabaya Dengan Pulau Madura. b) Pembangunan Terminal Kontainer Di Bangkalan. c) Perluasan Bandara Internasional Juanda Surabaya. d) Pembangunan Bandara Di Jember. Kondisi geografis dengan iklim tropis basah dengan curah hujan rata-rata mencapai 1.900 mm per tahun dan banyak terdapat pegunungan merupakan faktor utama yang menjadikan sektor pertanian sebagai basis bagi perekonomian Jawa Timur. Dengan luas daratan Jawa Timur yang mencapai 47.042,17 Km2, daratan yang digunakan untuk persawahan mencapai 26,54%; pertanian tanah kering (24,7%); perkebunan (4,53%); dan tambak atau kolam (1,5%). Kemampuan sektor pertanian untuk memenuhi kebutuhan di daerah lain juga didukung oleh kebijakan pemerintah seperti yang tercantum dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD) Jawa Timur Tahun 2005-2025 menyebutkan bahwa, arah kebijakan pembangunan Jawa Timur pada tahun 2005-2025 adalah mengembangkan perekonomian modern berbasis agrobisnis yang diarahkan pada transformasi sistem agrobisnis, pengembangan informasi agrobisnis, pengembangan sumber daya agrobisnis, pengembangan fasilitas penelitian dan pengembangan pertanian. Tingkat penyerapan tanga kerja yang tinggi pada sektor pertanian menjadi pertimbangan bagi pemerintah untuk tetap mempertahankan sektor pertanian sebagai basis ekonomi Jawa Timur. Penelitian Pribadi 2005 menyebutkan, sektor pertanian mememiliki tingkat pertumbuhan tenaga keja yang lebih tinggi dibandingkan pada sektor yang sama secara nasional dengan nilai shift share (Dij) sektor pertanian sebesar 1.253.765 tenaga kerja. Sektor industri pengolahan memiliki peran penting bagi perekonomian Jawa Timur karena mampu memberikan kontribusi terhadap PDRB yang cukup besar, yakni mencapai 27,87% pada tahun 2004 dan 26,09% pada tahun 2008. Terdapat beberapa industri besar di Jawa Timur (industri semen di Gresik, PT. Gudang Garam di Kediri) mendukung sektor industri pengolahan sebagai sektor basis dengan nilai LQ sebesar 1,041. Untuk meningkatkan peran sektor industri terhadap perekonomian Jawa Timur, pemerintah propinsi pada tahun 2005 merencanakan proyek pembangunan kawasan industri seperti Kawasan Industri Gresik (KIG), ALTA PRIMA di Surabaya. 81
Sarwedi, Pengaruh Ketahanan Sektor Basis Terhadap Inflasi Di Jawa Timur
Sektor-sektor di Jawa Timur tahun 1995-2008 rata-rata memiliki perkembangan nilai LQ yang fluktuatif kecuali sektor perdagangan, hotel dan restoran yang memiliki perkembangan nilai LQ tiap tahunnya meningkat. Berdasarkan tabel 4.15, nilai LQ sektor perdagangan, hotel dan restoran pada tahun 1995 mencapai 1,25 dan terus meningkat hingga menjadi 1,80 pada tahun 2008. Sejak tahun 2000 sektor yang mengalami peningkatan nilai LQ dibanding tahun-tahun sebelumnya adalah sektor pertanian; sektor listrik, gas dan air bersih. Nilai LQ tertinggi sektor pertanian pada tahun 1995-1999 mencapai 1,09 yang terjadi pada tahun 1996, sedangankan tahun 2000-2008 nilai LQ tertinggi terdapat pada tahun 2004 dan 2005 yang mencapai 1,21. Sektor yang memiliki nilai LQ cenderung turun dari tahun 1995-2008 adalah sektor industri pengolahan; sektor konstruksi; sektor keuangan, persewaan dan jasa perusahaan; sektor jasa. . Berdasarkan perhitungan Dynamic Location Quotient (DLQ), sektor basis Jawa Timur tahun 1995-2008 yang mampu bertahan sebagai sektor basis pada periode berikutnya tahun 2009-2010 adalah pertanian; pertambangan dan penggalian; listrik gas dan air bersih; perdagangan, hotel dan restoranan; pengangkutan dan komunikasi. Listrik, gas dan air bersih masih menjadi dominan sebagai sektor basis pada tahun 2009-2010 dengan nilai DLQ sebesar 1,07. Sektor pertanian; pertambangan dan penggalian; sektor perdagangan hotel dan restoran; sektor pengangkutan dan komunikasi dengan nilai DLQ sebesar 1,01 memberikan arti bahwa, sektor-sektor tersebut juga merupakan sektor basis pada periode tahun 2009-2019. Dengan DLQ hampir mendekati satu, kedua sektor tersebut hampir memiliki laju pertumbuhan PDRB yang sama dengan PDB sektor yang sama secara nasional. Permasalahan yang mengakibatkan turunnya kinerja sektor pertanian Jawa Timur jika dibandingkan dengan nasional pada periode tahun 2009-2010 adalah penyempitan lahan pertanian, semakin mahalnya harga pupuk dan rendahnya bantuan kredit perbankan. Sektor yang tidak mampu bertahan sebagai sektor basis Jawa Timur pada periode berikutnya (2009-2010) adalah sektor industri pengolahan; sektor jasa karena memiliki laju pertumbuhan PDRB yang yang sama dibandingkan pada sektor yang sama secara nasional (LQ = 1). Tingkat pertumbuhan PDRB sektor industri pengolahan pada tahun 2004 mencapai 5,28%; sedangkan sektor industri pengolahan nasional mengalami pertumbuhan sebesar 6,38%. Berdasarkan Gambar 4.8, rata-rata tingkat pertumbuhan PDRB sektor industri pengolahan Jawa Timur tahun 2004-2008 lebih rendah dibandingkan sektor industri nasional. Pertumbuhan PDRB sektor industri Jawa Timur yang lebih tinggi dibandingkan nasional hanya terdapat pada tahun 2005 dan 2008. Semburan lumpur Lapindo tahun 2007 mengakibatkan sektor industri di Jawa Timur mengalami kerugian karena semakin bertambahnya biaya transportasi. Semburan lumpur yang semakin meluas juga mengakibatkan beberapa industri besar dan kecil di Sidorajo tidak dapat berproduksi. Tempo online (28 Mei, 2007) menyebutkan, industri tas, koper dan sepatu Tanggulangin yang menjadi pusat grosir dan eceran di Jawa Timur mengalami penurunan omset sebesar Rp. 24 miliar akibat adanya semburan lumpur Lapindo. Kerugian yang terjadi pada beberapa industri di Sidoarjo mengakibatkan 1.726 pekerja kehilangan mata pencaharian. Sektor basis di Jawa Timur hampi tidak mempunyai ketahanan terhadap inflasi karena PDRB sektor basis memiliki hubungan kausalitas dengan inflasi kecuali sektor perdagangan, hotel dan restoran karena memiliki nilai probabilitas yang lebih besar jika dingandingkan dengan α = 10%. Berdasarkan Tabel 4.16, sektor yang memiliki hubungan kausalita dua arah atau inflasi berpengaruh terhadap PDRB suatu sektor dan PDRB sektor tersebut juga 82
Jurnal ISEI
Jember
Volume 3 Nomor 1, April 2013
berpengaruh terhadap inflasi pada tahun 1995-2008 adalah sektor pertanian dan sektor industri pengolahan. Sektor listrik, gas dan air bersih; sektor pengangkutan dan komunikasi; sektor jasa hanya memiliki hubungan kausalitas satu arah yakni inflasi berpengaruh signifikan terhadap PDRB sektor tersebut. Nilai probabilitas sektor perdagangan, hotel dan restoran yang tidak memiliki hubungan kausalitas satu arah dan duarah dengan inflasi karena PDRB sektor tersebut memiliki pertumbuhan yang stabil pada kisaran 8-13 persen pada tahun 2001-2008 meskipun terdapat gejolak inflasi di Jawa Timur. Pertumbuhan PDRB sektor perdagangan, hotel dan restoran pada tahun 2001-2008 tergolong stabil meskipun terjadi gejolak inflasi. Pada tahun 2001, pertumbuhan sektor perdagangan, hotel dan restoran mencapai 13,6% meskipun nilai inflasi di Jawa Timur sebesar 14,13%. Inflasi pada tahun 2005 yang mencapai 15,19% akibat kenaikan BBM sedikit berdampak pada pertumbuhan sektor perdagangan, hotel dan restoran yang mampu tumbuh sebesar 9,15% atau mengalami penurunan sebesar 10% dibandingkan tahun sebelumnya. Sektor pertanian merupakan sektor yang dapat dikategorikan sebagai sektor yang memiliki tingkat ketahan yang kecil terhadap inflasi jika dibandingkan dengan sektor basis lainnya karena memiliki hubungan kausalitas dua arah. Dampak inflasi terhadap sektor pertanian yang dicerminkan dengan nilai probabilitas inflasi terhadap PDRB sektor pertanian sebesar 0,024202 terjadi karena sektor pertanian memiliki tingkat pertumbuhan PDRB yang rendah dibandingkan dengan sektor lain yang menjadi basis bagi perekonomian Jawa Timur. Pada tahun 2005 dengan inflasi sebesar 15,19%, pertumbuhan PDRB sektor pertanian mencapai 3,16% seedangkan PDRB sektor jasa tumbuh sebesar 4,23%. Inflasi merupakan kecenderungan harga-harga untuk naik atau meningkat secara umum dan terus menerus (Boediono, 1988). Akibat dari adanya inflasi secara umum adalah turunnya daya beli masyarakat karena secara riil tingkat pendapatannya juga menurun. Selain itu, apabila bila terjadi inflasi yang berkepanjangan maka banyak produsen yang bangkrut kerena produknya relatif akan semakin mahal sehingga tidak ada yang mampu membeli (Putong, 2007: 501). Turunnya daya beli masyarakat mengakibatkan rendahnya tingkat permintaaan masyarakat terhadap output sektor industri. Faktor lain yang menyebabkan sektor industri memiliki hubungan kausalitas dua arah adalah adanya kenaikan BBM pada pada tahun 2005 yang mengakibatkan inflasi di Jawa Timur mencapai 15,19%. Kenaikan BBM yang diikuti kenaikan tariff dasar listrik akan mengakibatkan semakin mahalnya biaya untuk proses produksi, sehingga harga output meningkat. Dalam Yugustya (2006:15) menyebutkan, pada tahun 2000–2001 TDL sudah mengalami kenaikan dua kali. Kenaikan TDL akan menambah beban bagi industri karena Upah Minimum Regional (UMR) juga naik. Secara makro, dampak kenaikan TDL sebagai konsekuensi dari penurunan rata-rata subsidi listrik mempunyai arah yang negatif. Hal ini ditunjukkan dari menurunnya pertumbuhan ekonomi riil (PDB riil), menurunnya tingkat kesempatan kerja dan meningkatnya laju inflasi. Hal ini merupakan konsekuensi dari menurunnya sektor produksi akibat naiknya biaya produksi.
83
Sarwedi, Pengaruh Ketahanan Sektor Basis Terhadap Inflasi Di Jawa Timur
5 Kesimpulan Berdasarkan hasil analisis data dan pembahasan, dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut: a) Sektor yang tergolong sebagai basis dalam perekonomian Jawa Timur tahun 19952008 adalah sektor pertanian; sektor industri pengolahan; sektor listrik, gas dan air bersih; sektor perdagangan, hotel dan restoran; sektor pengangkutan dan komunikasi; sektor jasa. b) Sektor yang dapat menjadi basis pada periode berikutnya (tahun 2009-2010) adalah sektor prtanian; sektor pertambangan dan penggalian; sektor listrik gas dan air bersih; sektor perdagangan, hotel dan restoran; sektor pengangkutan dan komunikasi. c) Sektor perdagangan, hotel dan restoran merupakan sektor basis Jawa Timur yang tahan terhadap inflasi karena tidak memiliki hubungan kausalitas dengan inflasi. Sektor pertanian; sektor industri pengolahan; sektor listrik, gas dan air bersih; sektor pengangkutan dan komunikasi; sektor jasa, tidak memiliki ketahanan terhadap inflasi selama periode tahun 1995-2008 karena memiliki hubungan kausalitas dengan inflasi.
a)
b) c)
d)
84
Berdasarkan kesimpulan, saran yang dapat disampaikan dalam penelitian ini adalah: Pemerintah propinsi Jawa Timur hendaknya menyusun program yang dapat meningkatkan produktifitas sektor pertanian seperti program kredit lunak, peningkatan kualitas sdm di sektor pertanian. Perlua adanya perumusan kebijakan seperti mempermudah proses impor bahan baku industri agar potensi sumber daya alam yang besar dapat dimanfaatkan secara optimal. Perlu adanya perhatian khusus dari pemerintah propinsi jawa timur terhadap sektor listrik, gas dan air bersih; sektor keuangan, persewaan dan jasa perusahaan karena kedua sektor tersebut memiliki peranan yang penting terhadap sektor-sektor yang lain. Stabilitas inflasi perlu dilakukan dengan menerapkan sistem deteksi dini terhadap adanya inflasi agar pertumbuhan semua sektor ekonomi di jawa timur tidak terhambat atau bahkan menurun.
Jurnal ISEI
Jember
Volume 3 Nomor 1, April 2013
Daftar Pustaka Arsyad, L. 1999. Pengantar Perencanaan Pembangunan Ekonomi Daerah. Yogyakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Aziz, I. J. 1993. Ilmu Ekonomi Regional dan Beberapa Aplikasinya di Indonesia. Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Basri, F. 2002. Perekonomian Indonesi: Tantangan dan Harapan Bagi Kebangkitan Ekonomi Indonesia. Jakarta: Erlangga. Budiharsono, S. 1989. Perencanaan Pembangunan Wilayah. Jakarta: Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Glasson, J. 1977. Pengantar Perencanaan Regional. Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Januar, J. 2006. Perencanaan Pembangunan Wilayah: Teori, Konsep dan Implementasi (Edisis Perdana). Jember: Lembaga Penerbit Universitas Jember. Jhingan, M. L. 2003. Ekonomi Pembangunan dan Perencanaan. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Kadariah. 1982. Ekonomi Perencanaan. Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia Kadariah. 1985. Perencanaan Pembangunan Regional. Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia Khalawaty, T. 2000. Inflasi dan Solusinya. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka. Muharso, U. 1998. Penerapan Model Economic Base dalam Memilih Sektor Prioritas di Daerah Tingkat II Banyuwangi. Laporan Penelitian. Tidak Dipublikasikan. Jember: Lembaga Penelitian Universitas Jember. Murni, A. 2006. Ekonomika Makro. Jakarta: PT. Rafika Aditama. Nugroho, N. E. A. 2002. Analisis Perencanaan Sektor Basis terhadap Prioritas Pembangunan di Kabupaten Daerah Tingkat II Purworejo. Skripsi. Tidak Dipublikasikan. Jember: Fakultas Ekonomi Universitas Jember. Richardson, H. W. 1975. Dasar- Dasar Ilmu Ekonomi Regional. Terjemahan. Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Sjafrizal. 2008. Ekonomi Regional, Teori dan Aplikasi. Padang: Badouse Media. 85
Sarwedi, Pengaruh Ketahanan Sektor Basis Terhadap Inflasi Di Jawa Timur
Tayibnapis, et al. 2008. Jatim 5 Tahun ke Depan. Surabaya: Dewan Pakar Propinsi Jawa Timur. Universitas Jember. 2009. Pedoman Penulisan Karya Ilmiah. Jember: Badan Penerbit Universitas Jember. Wardhono, A. 2004. Mengenal Ekonometrika Teori dan Aplikasi, Edisi Pertama. Jember: Fakultas Ekonomi Universitas Jember. Yuwono, D. 1999. Ekonomi Perencanaan. Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Uiversitas Indonesia.
86