Bahruddin
IJTIHAD DALAM LINTASAN SEJARAH (Menelusuri Pasang Surut al-Tasyri’ al-Islamiy) Oleh: Bahruddin* Abstract The changes in Islamic Law depends on the frequency of ijtihad by the mujtahid. Ijtihad activities throughout history has been delivering in pro and contra related with ijtihad chance. The period of the Prophet and the Companion, called be the initial phase of jurisprudence. In tabi'in periods, during the next two or three generations, commonly called phase formation and opening of fiqh. In this phase, the fiqh reached the height of glory and gold. The next phase, considered as a phase of decline of ijtihad and closing of the doors of ijtihad’s view. The closure of the door of ijtihad is presumably need to be reconsidered, as opposed to the reality that the needs and purposes of completing a case continue to evolve with the times, while not all of the problems contained explicitly and in detail in the Qur'an or Hadith. Keywords: Ijtihad, a mujtahid, closing the door of ijtihad
Dosen Tetap pada Fakultas Syari’ah dan Ketua Jurusan Mu’amalah Universitas Hasyim Asy’ari Tebuireng Jombang *
20
Irtifaq, Volume 1 Nomor 1 Tahun 2014
Ijtihad dalam Lintasan Sejarah
A. Pendahuluan Perubahan hukum dalam Islam mempunyai kaitan yang sangat erat dengan masalah ijtiha>d. Cepat atau lambatnya perubahan hukum Islam sangat bergantung pada tinggi rendahnya frekwensi ijtihad yang dilakukan oleh para Mujtahid. Dengan demikian kunci kemajuan fiqih Islam terletak pada kesungguhan ijtihad para imam mujtahid. Demikian pula sebaliknya, kemunduran perkembangan hukum Islam disebabkan oleh kelemahan para mujtahid. Dalam sejarah pertumbuhan dan perkembangan hukum Islam, ada satu periode yang disebut periode ijtiha>d. Periode ini juga lazim disebut periode keemasan fiqih Islam, periode ini menghasilkan para imam mujtahid mutlak seperti Imam Malik, Imam Abu Hanifah, Imam alSyafi’i dan Imam Ahmad Ibn Hanbal dalam bidang hukum. Namun sesuai sunnah Allah, zaman berubah dan musim pun berganti sebagaimana firman Allah :
ِ ْي الن ااس َ َوتِْل َ ْ َك ْاْلَ اَّي ُم نُ َدا ِوُُلَا ب
“....... dan begitulah masa-masa kejayaan dan kehancuran itu Kami pergilirkan diantara sesama umat manusia”.
Setelah periode ijtihad dan kemajuan fiqih, secara perlahan-lahan datang fase kemunduran hukum Islam. Dalam fase kemunduran ini kemauan dan kemampuan para mujtahid menurun, bahkan lemah untuk menggali langsung hukum-hukum Islam dan sumbernya yang pokok, yaitu al-Qur’an dan sunnah. Kalaupun dilakukan ijtiha>d, kebanyakan mereka mengambil bentuk ijtihad dalam mazhab, bukan lagi ijtihad sebagai mujtahid mutlak.
Irtifaq, Volume 1 Nomor 1 Tahun 2014
21
Bahruddin
Pada abad kejayaan Islam antara ijtihad dan jihad selalu berjalan bersamaan, sehingga umat Islam merasakan suatu kesegaran dan kebanggaan dengan banyaknya mujtahid, pembawa semangat keilmuan dan para mujtahid yang mengangkat senjata. Tetapi pada suatu abad gerakan jihad tidak lagi disertai ijtihad mengakibatkan Islam menjadi beku, tidak bergerak. Sementara rakyat non-muslim (Eropa/Barat) justru bangkit dan bersemangat di bidang keilmuan. Bahkan pada suatu abad Islam pernah kehilangan kedua-duanya yang berakibat diperanginya mereka dinegerinya sendiri, sehingga hilanglah kekuasaan, kemerdekaan dan persatuan mereka. B. Ijtiha>d Kata yang berakar huruf “jim ha’ dal“ dalam terminologi Arab bermaknakan “upaya sungguhsungguh”. Dalam tradisi kebahasaan, kata ini membiaskan tiga terma dan dengan sedikit perubahan linguistik menjadi jiha>d, ijtiha>d dan muja>hadah. Ketiga-tiganya menunjukkan makna “keseriusan berupaya”. Kata jiha>d dipakai untuk menujuk sesuatu dengan konotasi bekerja dengan sungguh-sunggu dalam olah fisik. Misalnya perang. Kata ijtihad digunakan sebagai kata yang menunjuk pada upaya kerja intelektual. Misalnya berupaya menemukan hukum suatu masalah dalam alQur'an dan al-Hadis. Sedangkan muja>hadah biasa digunakan untuk kegiatan spiritual semisal orang –orang sufi yang sedang konsentrasi menghadirkan Tuhan atau hadir dalam diri Tuhan. Tiga paparan keseriusan dalam kalimat jahada ini dianggap mewakili seluruh sisi kehidupan manusia, sekaligus sebuah tuntunan, bagaimana sesungguhnya seorang muslim mesti bersikap, bekerja, beramal sosial dan beribadah di hadapan TuhanNya. 22
Irtifaq, Volume 1 Nomor 1 Tahun 2014
Ijtihad dalam Lintasan Sejarah
Dalam bidang hukum, ijtihad menurut bahasa, berarti pengerahan segala kemampuan untuk mengerjakan sesuatu yang sulit. Atas dasar ini maka tidak tepat apabila kata ijtihad dipergunakan untuk melakukan sesuatu yang mudah atau ringan. Pengertian ijtihad menurut bahasa ini ada relevansinya dengan pengertian ijtihad menurut istilah, dimana untuk melakukannya diperlukan beberapa persyaratan yang karenanya tidak mungkin pekerjaan ijtihad dilakukan sembarang orang. Di sisi lain ada pengertian ijtihad yang telah digunakan para sahabat Nabi. Mereka memberikan batasan bahwa ijtihad adalah "penelitian dan pemikiran untuk mendapatkan sesuatu yang terdekat pada kitabullah dan Sunnah Rasul, baik yang terdekat itu diperoleh dari nash -yang terkenal dengan qiyas (ma'qul nash), atau yang terdekat itu diperoleh dari maksud dan tujuan umum dari hikmah syari'ah yang terkenal dengan sebutan mashlahat. Dalam kaitan pengertan ijtihad menurut istilah, ada dua kelompok ahli ushul fiqh (ushuliyyin) -kelompok mayoritas dan kelompok minoritas- yang mengemukakan rumusan definisi. Dalam tulisan ini hanya akan diungkapkan pengertian ijtihad menurut rumusan ushuliyyin dari kelompok mayoritas. Menurut mereka, ijtihad adalah pengerahan segenap kesanggupan dari seorang ahli fiqih atau mujtahid untuk memperoleh pengertian tingkat dhann terhadap sesuatu hukum syara' (hukum Islam). Al-Shawkani mendefinisikan dengan : 1
بذل الوسع في نيل حكم شرعي عملي بطريق االستنباط
”ijtihad adalah sebuah kerja intelektual untuk mendapatkan hukum-hukum aplikatif dengan cara menggalinya dengan pengerahan seluruh kemampuan” Al-Shawkani, Irshad al-Fukhul ila Tahqiq al-Haqq min ‘Ilm alUsul, juz 2., (Riyad: Dar al-Fadhilah, 2000), 1025. 1
Irtifaq, Volume 1 Nomor 1 Tahun 2014
23
Bahruddin
Dari definisi kesimpulan:
tersebut
dapat
ditarik beberapa
1. Pelaku ijtihad adalah seorang ahli fiqih/hukum Islam (faqih), bukan yang lain 2. Yang ingin dicapai oleh ijtihad adalah hukum syar'i, yaitu hukum Islam yang berhubungan dengan tingkah laku dan perbuatan orang-orang dewasa, bukan hukum i'tiqa>di (tentang keimanan atau keyakinan) atau hukum khuluqi (tentang etika) 3. Karena berasal dari ijtiha>d, status hukum syar'i yang dihasilkan oleh ijtihad adalah dhanni (dugaan kuat akan kebenarannya). Apabila konsisten dengan definisi ijtihad diatas, maka dapat ditegaskan bahwa ijtihad sepanjang pengertian istilah hanyalah monopoli dunia hukum. Dalam hubungan ini Jalaluddin al-Mahally menegaskan, "yang dimaksud ijtihad adalah bila dimutlakkan maka ijtihad itu bidang hukum fiqih/hukum furu'.2 Atas dasar itu ada kekeliruan pendapat sementara pihak yang mengatakan bahwa ijtihad juga berlaku di bidang aqidah. Pendapat yang nyeleneh atau syadz ini dipelopori al-Jahidh, salah seorang tokoh Mu'tazilah. Dia mengatakan bahwa ijtihad juga berlaku di bidang aqidah. Pendapat ini bukan saja menunjukkan inkonsistensi terhadap suatu disiplin ilmu (ushul fiqh), tetapi juga akan membawa konsekuensi pembenaran terhadap aqidah non-Islam yang sesat. Penilaian sesat tidak dapat dilakukan untuk hasil kerja ijtihad yang bersifat dhann (dugaan kuat). Oleh karena itu, jumhur ulama bersepakat bahwa ijtihad hanya berlaku di bidang hukum (hukum Islam) dengan ketentuan-ketentuan tertentu. 2
Jalal al-Din al-Mahally, Jam' al-Jawami', Juz II, (Kairo : Dar alKutub al-‘Ilmiyyah, t.th.), 379.
24
Irtifaq, Volume 1 Nomor 1 Tahun 2014
Ijtihad dalam Lintasan Sejarah
Demikian juga dengan pengertian ”dengan cara menggali” dalam definisi al-Shawkani. Paparan ini menunjuk bahwa yang dinamakan ijtihad bukan sekedar mendapatkan kesimpulan hukum dari nas ayat al-Qur’an atau Hadis yang telah nyata-nyata menyebut tentang suatu hal. Demikian pula dengan mendapatkan suatu hukum dari kasus-kasus yang pernah ada dan pemecahannya telah diketahui, atau dari hasil bertanya kepada seorang mufti.3 Menurut ilmu ushul fiqh kata ijtihad itu identik dengan kata istinbath (mengeluarkan sesuatu dari persembunyiannya). Yang dimaksudkan disini, ijtihad atau istinbath ialah menggali hukum syara yang belum ditegaskan secara langsung (explisit) oleh nash (al-Qur’an dan al-Hadits). Artinya, sesuatu yang belum jelas dijelaskan oleh nash-dan untuk dapat diketahuinya, maka haruslah digali melalui jalan ijtiha>d. Imam al-Syafi‟i, salah seorang pemikir besar yang banyak diikuti pemikirannya di Indonesia, memberikan definisi ijtihad sangat sederhana, yaitu, bahwa ijtihad itu sama saja artinya dengan qiyas (membandingkan sesuatu hukum kepada hukum yang lain; analogi)4 Rumusan ijtihad seperti tersebut di atas menunjukkan bahwa unsur penting ijtihad adalah adanya pemahaman terhadap nash (al-Qur’an dan al-Hadis) dengan segala peralatanya, dan penggunaan akal atau penalaran yang jernih untuk menggali, membandingkan dan kemudian memecahkan suatu hukum. Untuk melakukan hal tersebut bukanlah pekerjaan mudah dan ringan, karena watak-asal ijtihad itu sendiri memang tidaklah gampang, tetapi selalu perlu ijtihad itu dilakukan.
3
Al-Shawkani, Irshad, 1026. Hasby As-Shiddieqi, Pengantar Hukum Islam I, cet-V, (Jakarta : Penerbit Bulan Bintang, 1975), 63 4
Irtifaq, Volume 1 Nomor 1 Tahun 2014
25
Bahruddin
Bahkan seperti dikutip al-Shawkani5 dari Hadits Rasullullah yang menyebutkan bahwa akan selalu ada dari umatku yang selalu menampakkan kebenaran sampai datangnya hari kiamat. Sabda Rasul :6
ال تزال طائفة من أميت ظاهرين على احلق حىت تقوم الساعة C. Tingkatan ijtihad Ijtihad terdiri dari bermacam-macam tingkatan, yaitu:7 1. Ijtihad muthlaq/mustaqil, yaitu ijtihad yang dilakukan dengan cara menciptakan sendiri norma-norma dan kaidah istinbath yang dipergunakan sebagai sistem/ metode bagi seorang mujtahid dalam menggali hukum. Norma-norma dan kaidah itu dapat diubahnya sendiri manakala dipandang perlu. Mujtahid dari tingkatan ini contohnya seperti Imam Hanafi, Imam Malik, Imam Syafi'i dan Imam Ahmad yang terkenal dengan sebutan Mazhab Empat. 2. Ijtihad muntasib, yaitu ijtihad yang dilakukan seorang mujtahid dengan mempergunakan norma-norma dan kaidah-kaidah istinbath imamnya (mujtahid mutlaq/ mustaqil). Jadi untuk menggali hukum dari sumbernya, mereka memakai sistem atau metode yang telah dirumuskan imamnya, tidak menciptakan sendiri. Mereka hanya berhak menafsirkan apa yang dimaksud dari norma-norma dan kaidah-kaidah tersebut. Contohnya, dari mazhab Syafi'i seperti Muzany dan Buwaithy. Dari madzhab Hanafi seperti Muhammad bin Hasan dan Abu Yusuf. Sebagian ulama menilai
5
Al-Shawkani, Irshad, 1036. Al-Hakim, Mustadrak ‘ala al-Sahihayn, no indek. 8508. 7 Wahbah Zuhaili, Usul al-Fiqh al-Islami, juz 2, (Beirût: Dâr al-Fikr, 2001), 214. 6
26
Irtifaq, Volume 1 Nomor 1 Tahun 2014
Ijtihad dalam Lintasan Sejarah
bahwa Abu Yusuf termasuk kelompok pertama atau mujtahid muthalaq/mustaqil. 3. Ijtihad mazhab atau fatwa yang pelakunya disebut mujtahid mazhab/fatwa, yaitu ijtihad yang dilakukan seorang mujtahid dalam lingkungan madzhab tertentu. Pada prinsipnya mereka mengikuti normanorma/kaidah-kaidah istinbath imamnya, demikian juga mengenai hukum furu'/fiqih yang telah dihasilkan imamnya. Ijtihad mereka hanya berkisar pada masalah-masalah yang memang belum diijtihadi imamnya, mentakhrijkan pendapat imamnya dan menyeleksi beberapa pendapat yang dinukil dari imamnya, mana yang shahih dan mana yang lemah. Contohnya seperti Imam Ghazali dan Juwaini dari madzhab Syafi'i. 4. Ijtihad di bidang tarjih, yaitu ijtihad yang dilakukan dengan cara mentarjih dari beberapa pendapat yang ada baik dalam satu lingkungan madzhab tertentu maupun dari berbagai mazhab yang ada dengan memilih mana diantara pendapat itu yang paling kuat dalilnya atau mana yang paling sesuai dengan kemaslahatan sesuai dengan tuntunan zaman. Dalam mazhab Syafi'i, hal itu bisa kita lihat pada Imam Nawawi dan Imam Rafi'i. Sebagian ulama mengatakan bahwa antara kelompok ketiga dan keempat ini sedikit sekali perbedaannya; sehingga sangat sulit untuk dibedakan. Oleh karena itu mereka menjadikannya satu tingkatan. Dalam klasifikasi lain menurut Yusuf al-Qardlawi ada dua metode yang tepat dan cocok digunakan untuk
Irtifaq, Volume 1 Nomor 1 Tahun 2014
27
Bahruddin
dilaksanakan dalam menghadapi era globalisasi saat ini yaitu:8 1. Ijtihad intiqa’i, ialah meneliti ulang hasil ijtihad para ulama dahulu dan secara komprehensif membandingkan dan mengambil pendapat yang kuat sesuai dengan kriteria dan kaidah tarji>h dan alat pengukurnya. Alat-alat pengukur pentarjihan selain dalil yang kuat, juga pendapat itu harus mengandung syarat berikut ini: a. sesuai dengan zaman diperlakukannya. b. sesuai dengan arti rahmatan li al-’alamin. c. sesuai dengan prinsip taisir (kemudahan). d. sesuai dengan kemaslahatan. 2. Ijtihad insha’i, yakni mengambil konklusi pendapat baru dalam persoalan baru yang belum pernah dikemukakan oleh mujtahid lain. Seperti dalam menghadapi masalah pentingnya penggunaan foto sebagai jati diri. D. Ijtihad Dalam Lintasan Sejarah Dari segi historis, ijtihad pada dasarnya telah tumbuh sejak zaman Nabi Muhammad Saw, kemudian berkembang pada masa-masa sahabat dan tabi’in serta generasi berikutnya hingga kini dan masa mendatang dengan mengalami pasang surut dan ciri khususnya masing-masing. Banyak kasus Sahabat melakukan ijtihad pasa masa Rasul. Diantaranya adalah mereka yang diutus menjadi qadli atau hakim. Misalnya Ali ibn Abi Thalib (ke Yaman), Mu’adz ibn Jabal (Yaman), dan Khudzaifah al8
Yusuf al-Qardlawi, Ijtihad Kontemporer, (Surabaya : Risalah Gusti, 2000), 24.
28
Irtifaq, Volume 1 Nomor 1 Tahun 2014
Ijtihad dalam Lintasan Sejarah
Yamani. Contoh kasus ijtihad Sahabat pada masa Nabi yang terkenal adalah pertama mengenai pesan Nabi jangan sekali-kali kamu melaksanakan shalat Ashar kecuali di Bani Quraizhah.9 Kedua, dalam perjalanan dan masuk waktu shalat, dua sahabat tidak menemukan air. Mereka tayamum dan shalat. Setelah shalat mereka mendapatkan air. Seorang berwudhu dan mengulang shalat, sedang yang seorang lagi tidak. Mereka lalu menghadap Nabi, Nabi berkomentar kepada yang tidak mengulangi shalat: ”as}abta al-sunnah wa ajjzaatka s}ala>tuka”, sedang kepada yang mengulangi shalat, Nabi memuji “laka al-ajr marratayn”.10 Dalam kasus yang lain, terdapat dalam sebuah hadits Rasulullah saw. tentang Amr bin ’Ash saat memberi keputusan kepada yang sedang berperkara. Hadis ini diriwayatkan oleh hampir seluruh kolektor (mukharrij) hadis. Matan hadis hampir sama dengan menunjuk bahwa jika hakim berijtihad dan hasil ijtiha>dnya tepat maka baginya dua pahala, dan jika tidak baginya ada satu pahala.11 Dalam hadis lain bahkan disebutkan tentang sepuluh pahala bagi mereka yang ijtiha>dnya tepat sebagaimana hadis berikut :
ِ َ َإِذَا ق ْ اجتَ َه َد فَأ َُخطَأَ َكا َن لَه ْ ُجوٍر َوإِذَا ْ َضى الْ َقاضي ف َ اجتَ َه َد فَأ َ َص ُ اب فَلَهُ َع َشَرةُ أ 12 ِ َجَران ْ َجٌر أ َْو أ ْأ Dalam riwayat lain diceritakan :
9
Muh}ammad ibn Isma>'il al-Bukha>ri. al-Ja>mi al-S{ah}i>h}, Juz 3. (Kairo : Maktabah al-Salafiyah, 1400 H.) no indek 894. 10 Abu Dawud Sulayman al-Sijistani, Sunan Abi Dawud, (Kairo : Mustofa al-Babi al-Halabi, 1952),, 286. 11 Al-Shafi’i, Musnad al-Shafi’I, juz 7 (Qatar: Idarah Waqf wa Shu’un al-Islamiyyah, 2007), 324. 12 Ahmad ibn Hanbal, Musnad Ahmad, no indek 6466 Irtifaq, Volume 1 Nomor 1 Tahun 2014
29
Bahruddin
ِ ال ه َش ْشت ي وما فَ َقبا ْلت وأ ََن ِ اْلَطا ت ْ َع ْن ُع َمَر بْ ِن اب َر ِض َي ا ُ َْْصائ ٌٌ فَأَت َ َ ُ ً ْ َ ُ َ َ َاَّللُ َعْنهُ ق ِ ِ النِاِب صلاى ا ٌٌِصائ ُ ْما فَ َقبا ْل ُ صنَ ْع ُ اَّللُ َعلَْْه َو َسلا ٌَ فَ ُق ْل َ ت َوأ ََن َ ت َ ا ً ت الَْْ ْوَم أ َْمًرا َعظ ِ ضت ِِبَ ٍاء وأَنْت ِ اَّللِ صلاى ا ت ُ ال َر ُس َ فَ َق ْ ََت لَ ْو َت ُ صائ ٌٌ قُ ْل َ ْ ض َم َ ْاَّللُ َعلَْْه َو َسلا ٌَ أ ََرأَي َ َ َ َ ول ا 13 ِ ا ِول ا ِ َْال َب ٌَْ اَّللُ َعلَْْ ِه َو َسل ٌَ فَف ُ ال َر ُس َ ك فَ َق صلاى ا َ س بِ َذل َ اَّلل َ َ
Dari ‘Umar bin al-Khattab (dia mengadukan suatu perbuatannya kepada Rasulullah SAW) “Suatu hari aku beristirahat dan aku mencium isteriku sedangkan aku berpuasa. Lalu aku datangi Nabi saw kemudian aku bertanya, “Aku telah melakukan sesuatu yang fatal hari ini. Aku telah mencium (istriku) dalam keadaan berpuasa.” Rasulullah saw. menjawab, “apa pendapatmu (tentang hukumnya) bila kamu berkumur dalam keadaan berpuasa?” Aku menjawab, “Tidak membatalkan puasa.” Rasulullah saw menjawab, “maka mencium itu pun tidak membatalkan puasa.” Demikian pula dalam sebuah hadits yang populer tentang Mu’adh ibn Jabal saat diutus Nabi SAW ke negeri Yaman sebagai qadi (hakim) :
ِ ال َ َضاءٌ ق َ َث ُم َعاذًا إِ ََل الَْْ َم ِن ق َ لَ اما أ ََر َاد أَ ْن يَْب َع َ َض ل َ َك ق َ ْْال َك َ ف تَ ْقضي إِذَا َعَر ِول ا ِاب ا ِ ْأَق ِ ال فَبِسن ِاة رس ِ َال فَِإ ْن ََل ََِت ْد ِِف كِت ِ َضي بِكِت َ َاَّللِ ق صلاى ا اب ا َ اَّلل ْ ُ َ ُ َ َاَّلل ق ُاَّلل ِول ا ِ ال فَإِ ْن ََل ََِت ْد ِِف سن ِاة رس ِ َاَّلل َعلَْْ ِه وسلاٌ وَال ِِف كِت اب َ ََعلَْْ ِه َو َسلا ٌَ ق َ اَّلل ْ َُ ُ ُصلاى ا َ َََ ِ اَّللِ صلاى ا ال َ َص ْد َرهُ َوق ُ ب َر ُس َ َاَّللِ ق ا َ ََجتَ ِه ُد َرأْيِي َوَال آلُو ف ْ ال أ َ ٌَ اَّللُ َعلَْْه َو َسلا َ ول ا َ ضَر 14ِ ِ ِِ ْ ِ ول رس اَّلل َ اَّللِ لِ َما يُْر ِضي َر ُس ول ا ول ا ُ َ َ احلَ ْم ُد اَّلل الاذي َوفا َق َر ُس “Bagaimana cara kamu menyelesaikan perkara jika diajukan kepadamu suatu kasus?, Mu’adh menjawab: “akan kuputuskan menurut ketentuan yang ada dalam al-Qur’an”. “Jika kamu tidak menemukannya di dalam 13 14
Ahmad ibn Hanbal, Musnad, 1, 136 Abu Dawud, Sunan Abi Dawud, no indek 3119.
30
Irtifaq, Volume 1 Nomor 1 Tahun 2014
Ijtihad dalam Lintasan Sejarah
kitab Allah?“. ”Aku akan putuskan menurut yang ada dalam Sunnah Rasulullah SAW”. “Kalau tidak juga kamu jumpai dalam kitab Allah dan tidak pula pada Sunnah Rasulullah?”. ”Aku akan berijtihad dengan pemikiranku sendiri dan tidak akan menguranginya sedikitpun”. Mendengar jawaban itu Rasulullah SAW menepuk dadanya dan dengan gembira bersabda, “Segala puji bagi Allah yang telah memberikan petunjuk kepada utusan Rasul-Nya ke jalan yang diridloi oleh Rasulullah” Dari beberapa riwayat di atas dapat difahami bahwa terjadinya ijtihad pada masa Nabi Muhammad SAW bukan semata-mata disebabkan atas dorongan dari Nabi sendiri sebagaimana dalam kasus ’Amr bin Ash dan ’Umar, melainkan juga lahir atas inisiatif dari sebagian sahabat sebagaimana tercermin di dalam hadits Mu’adh di atas. Hal itu, disamping mengisyaratkan betapa Nabi Muhammad saw melatih dan mendidik sahabatsahabatnya untuk berijtiha>d, beliau mengakui dan membenarkan ijtihad mereka yang memang dianggap benar. Juga menunjukkan bahwa mujtahid harus orangorang yang memang memiliki kecakapan ilmiah dan integritas pribadi muslim yang memadai Dialog Rasulullah saw. dengan Mua’dh ibn Jabal ra secara tegas menempatkan kedudukan ijtihad di belakang al-Qur’an dan Hadits. Dengan demikian ijtihad hanya dapat dilakukan dalam masalah-masalah yang belum secara tegas ditentukan hukumnya oleh al-Quran dan Hadist. Sementara itu hasil ijtihad para sahabat yang dibenarkan Nabi SAW sendiri tidaklah dinamai hasil ijtihad mereka, melainkan disebut Sunnah “taqririyah”.15 ‘Abd al-Wahab Khalaf, Khulasah Tarikh al-Tasyri' al lslamy, (Kuwait : Dar al-Qalam, t.th), 13. 15
Irtifaq, Volume 1 Nomor 1 Tahun 2014
31
Bahruddin
Oleh karena itu ijtihad yang dilakukan para sahabat pada masa Nabi SAW belum dapat dianggap sebagai alat penggali hukum yang mutlak, karena penentuan akhir dalam masalah-masalah hukum (Sulthoh al-Tasyri-iyyah) masih tetap berada di tangan Rosulullah SAW. Baru pada masa sahabat, ijtihad mulai benar-benar berfungsi sebagai alat penggali hukum, bahkan dipandang sebagai suatu kebutuhan yang harus dilakukan guna menyelesaikan berbagai kasus (waqi’ah) dalam masyarakat Islam dimana hukum nya tidak secara jelas dijumpai dalam al-Qur’an dan Sunnah. Untuk muncullah para pembesar sahabat seperti Abu Bakar, Umar, Usman, dan Ali.ra, sebagai pelopor dalam melakukan ijtiha>d. Meskipun para sahabat itu hidup semasa dan bergaul bersama Nabi saw, bukan tidak terjadi perbedaan pendapat (khilafiyyah) di kalangan mereka tentang sesuatu masalah. Perbedaan hasil ijtihad mereka itu terjadi diantaranya disebabkan perbedaan metode ijtihad yang dipergunakannya disamping latar belakang keilmuan dan orientasi penalaran serta pengalaman mereka yang berlainan. Umar ibn al-Khattab menggunakan qiyas sedangkan Ali ibn Abi Talib dan Abdullah ibn Mas’ud lebih banyak mempergunakan maslahah ‘ammah. Perbedaan pendapat di kalangan para sahabat dalam masalah fiqih ini merupakan sumbangan intelektual yang amat berharga bagi dunia metodologi hukum Islam kelak dan akan membuka cakrawala berfikir yang luas bagi kalangan umat Islam di kemudian hari. Tradisi ijtihad dan perbedaan di kalangan sahabat selanjutnya dijadikan panutan bagi generasi-generasi berikutnya yang tersebar di berbagai daerah kekuasaan Islam kala itu. Ada banyak sahabat dari madrasah Rasulullah yang memiliki kapasitas mujtahid. Di Madinah misalnya, al-Khulafa' al-Rasyidun, Zayd ibn Tsabit, Ubay 32
Irtifaq, Volume 1 Nomor 1 Tahun 2014
Ijtihad dalam Lintasan Sejarah
ibn Ka’ab, Abdullah ibn Umar dan ’Aisyah. Di Makkah, Abdullah ibn Abby. Di Kufah, Ali ibn Abi Thalib dan Abdullah ibn Mas'ud. Di Basrah, Anas ibn Malik dan Abu Musa al-Asy'ari. Di Syam, Mu'adh ibn Jabal dan Ubadah ibn Shamit. Di Mesir, Abdullah ibn Amru ibn al-‘Ash dan sejumlah sahabat yang dikenal sebagai juru fatwa dan nama-nama mereka berjumlah 130 orang lebih, laki-laki dan perempuan. Namun yang termasyhur adalah sebagaimana yang dituturkan diatas.16 Sementara itu perkembangan ijtihad mengalami kemajuan yang amat pesat dari waktu ke waktu. Pada masa Nabi SAW dan masa sahabat (sampai akhir abad pertama hijriyah), biasa disebut fase permulaan fiqih, sedangkan pada masa tabi’in dua atau tiga generasi berikutnya lazim disebut fase pembinaan dan pembukaan fiqih yang berlangsung sekitar 250 tahun, terhitung sejak akhir abad pertama hijriah sampai separuh pertama abad keempat hijriah. Pada fase kedua inilah fiqih Islam mencapai puncak kejayaan bersamaan dengan kemajuan dunia Islam dalam semua bidang. Pada periode yang sering disebut periode ijtihad dan keemasan fiqih Islam lahir para mujtahid kenamaan seperti Imam Abu Hanifah (80 H - 50 H), Imam Malik (93 H - 173 H), Imam al-Syafi’i (150 - 204 H) dan Imam nbi d mhA Hambal (164 H - 241 H).17 Selain madzhab-madzhab yang masih hidup, berkembang dan diikuti oleh mayoritas umat Islam seperti tersebut diatas hingga kini, ada juga madzhab-madzhab fiqih yang kurang berkembang bahkan cenderung punah. Diantara madzhab-madzhab yang disebut terakhir ini adalah madzhab Awza’i yang dipelopori oleh Imam ’Abd al-Rahman ibn Muhammad al-Awza’i (88-157 H.), 16 17
‘Abd al Wahhab Khallaf, Khulashah, 33. Ibid, 83-92.
Irtifaq, Volume 1 Nomor 1 Tahun 2014
33
Bahruddin
madzhab Zahiri yang didirikan oleh Imam Dawud ibn Ali ibn Khallaf al-Zahiri (224 H - 330 H).18 E. Tertutupnya Pintu Ijtiha>d Fase kemajuan ijtihad dan kejayaan fiqih Islam hanya mampu bertahan selama kurang lebih dua setengah abad. Demikian setelah periode yang membanggakan umat Islam ini, dunia ijtihad mengalami kemunduran dan semangat para mujtahid lambat laun menjadi lesu, kualitas dan kuantitas mereka pun semakin menurun. Hal ini terjadi pada pertengahan abad 4 hijriyah. Dalam kasus ini istilah pintu ijtihad tertutup mengemuka. Dalam hubungan ini agaknya perlu diingat bahwa pada abad keempat Hijriah sebagian ulama yang dipelopori oleh kaum khalaf berpendapat bahwa pintu ijtihad telah tertutup dengan alasan-alasan antara lain pertama, bahwa hukum Islam dalam bidang ibadah, mu’amalah, munakahat, jinayat dipandang sebagai telah lengkap dan dibukukan secara rinci. Kedua, bahwa mayoritas ahl al-Sunnah hanya mengakui madzhab empat dan tidak boleh pindah madzhab. Ketiga, bahwa membuka pintu ijtihad dipandang sebagai sesuatu yang percuma dan membuangbuang waktu, karena hasilnya akan berkisar pada hukum yang terdiri atas pendapat dua madzhab atau lebih yang kemudian hal ini dikenal dengan istilah “talfiq”. Keempat, bahwa sejarah menunjukan sejak awal abad keempat Hijriyah sampai kini tak seorang pun ulama berani menonjolkan dirinya atau ditonjolkan oleh pengikut-pengikutnya sebagai mujtahid. Dalam waktu bersamaan, hasil ijtihad baru dianggap masih belum diperlukan sehingga dirasa tidak ada gunanya jika harus memeras energi untuk melakukan ijtihad baru. Disamping itu kebanyakan ulama lebih berhasrat untuk
18
ibid
34
Irtifaq, Volume 1 Nomor 1 Tahun 2014
Ijtihad dalam Lintasan Sejarah
mengembangkan pendapat-pendapat yang sudah mapan dari para fuqaha besar pada masa sebelumnya.19 Sementara itu, diantara mereka yang tidak membenarkan penutupan pintu ijtihad adalah ibn Taimiyah yang berpendapat bahwa seseorang tidak berhak untuk memaksa orang lain dan mewajibkan sesuatu kepada mereka selain memaksa orang lain dan mewajibkan sesuatu kepada mereka selain yang telah diwajibkan Allah dan Rasul-Nya dan tidak boleh pula melarang sesuatu kecuali yang telah dilarang Allah dan Rasul-Nya, termasuk di dalamnya tentang ijtiha>d. Pada abad ketiga belas hijriyah, dipelopori Imam alShawkani ulama menyatakan bahwa pintu ijtihad tetap terbuka. Hal ini kemudian digalakkan oleh al-Maraghi, rektor universitas al-Azhar Kairo. Argumentasi kelompok ini antara lain pertama, bahwa menutup pintu ijtihad berarti menjadikan hukum Islam yang dinamis menjadi kaku dan beku sehingga Islam akan ketinggalan zaman. Banyak kasus baru yang hukumnya belum dijelaskan oleh al-Qur’an, al-Sunnah dan belum juga dibahas oleh ulamaulama terdahulu. Kedua, bahwa menutup pintu ijtihad berarti menutup kesempatan bagi para ulama Islam untuk menciptakn pemikiran-pemikiran yang baik dalam memanfaatkan dan menggali sumber hukum Islam. Ketiga, bahwa membuka pintu ijtihad berarti membuat setiap permasalahan baru yang dihadapi umat dapat diketahui hukumnya sehingga hukum Islam akan selalu berkembang serta sanggup menjawab tantangan zaman.20 Sejalan dengan itu, Yusuf al-Qardawi menyatakan bahwa dengan ijtihad inilah syariat Islam mampu menghadapi hal-hal yang baru dan mampu membimbing 19
A. Qodri A. Azizy, Reformasi Bermadzhab (Jakarta : Teraju, 2007), 41. 20 ibid Irtifaq, Volume 1 Nomor 1 Tahun 2014
35
Bahruddin
setiap kemajuan manusia ke jalan yang lurus dan mampu melakukan therapi setiap penyakit baru dengan obat yang diambil dari “apotik Islam” sendiri dan tidak perlu mencarinya dari Barat atau Timur. Ijtihad membuat syariat Islam menjadi subur dan kaya serta memberi kemampuan untuk memegang kendali kehidupan ke arah yang diridhai Allah SWT dengan tidak melebihi batas-batas hukumnya ataupun hak-hak manusia.21 Apapun bentuk dan metode ijtihad yang digunakan, tetap saja perangkat dasar intelektual seseorang senantiasa dituntut untuk bekerja keras dengan tetap memperhatikan sumber-sumber pokok dalam Islam, yaitu al-Qur’an dan al-Hadits. Bahwa yang disebut ijtihad adalah pemikiran orisinil seseorang untuk menggali dan mengembangkan syari’at Islam dalam rangka memelihara relevansi keabadian syari’at Islam dengan realitas sosial yang selalu berkembang (atau berfungsi inovasi sosiologis), maka ijtihad harus tetap ada dan berjalan di kalangan umat Islam yang memiliki kapasitas berijtiha>d. Karena memerlukan nalar yang jernih, maka memiliki kapasitas berijtihad harus memiliki semangat iqra’ yang kuat. F. Penutup Kebutuhan dan keperluan dalam menyelesaikan suatu kasus yang terus berkembang seiring dengan perkembangan zaman, sementara tidak semua masalah termuat secara tegas dan terinci dalam Al-Qur’an atau Hadist atau telah dibicarakan ulama terdahulu, kebutuhan akan ijtihad merupakan suatu yang mendesak bagi masyarakat Islam. Oleh karena itu, kiranya kurang tepat apabila dikatakan pintu ijtihad telah tertutup. Penutupan pintu ijtihad tidaka dapat diterima baik dengan dalil naqli maupun nalar ‘aqli, sejarah, bahkan dalam realitas. Ijtihad 21
Yusuf al-Qardawy, Ijtiha>d dalam masyarakat Islam, terjemahan, (Jakarta : Bulan Bintang, 1987), vii.
36
Irtifaq, Volume 1 Nomor 1 Tahun 2014
Ijtihad dalam Lintasan Sejarah
masa sekarang bukan saja dibolehkan bahkan merupakan keharusan.
Irtifaq, Volume 1 Nomor 1 Tahun 2014
37
Bahruddin DAFTAR PUSTAKA
Azizy, A. Qodri A., 2007. Reformasi Bermadzhab, Jakarta : Teraju. Ash-Shiddieqi, Hasby. 1975. Pengantar Hukum Islam I, cet-V, Jakarta : Penerbit Bulan Bintang. al-Bukha>ri, Muh}ammad ibn Isma>'il. 1400 H. al-Ja>mi al-S{ah}i>h}, Juz 3. Kairo : Maktabah al-Salafiyah. Al-Hakim, Mustadrak ‘ala al-Sahihayn. Khalaf, ‘Abd al-Wahab. t.th. Khulasah Tarikh al-Tasyri' al lslamy, Kuwait : Dar al-Qalam. al-Mahally, Jalal al-Din. t.th. Jam' al-Jawami', Juz II, Kairo : Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, Al-Shawkani, 2000. Irshad al-Fukhul ila Tahqiq al-Haqq min ‘Ilm al-Usul, juz 2., Riyad: Dar al-Fadhilah. Al-Shafi’i, Muhammad bin Idris, 2007. Musnad alShafi’I, juz 7 Qatar: Idarah Waqf wa Shu’un alIslamiyyah, al-Sijistani, Abu Dawud Sulayman. 1952. Sunan Abi Dawud, Kairo : Mustofa al-Babi al-Halabi. al-Qardlawy, Yusuf. 1987. Ijtihad dalam masyarakat Islam, terjemahan, Jakarta : Bulan Bintang. ________________, 2000. Ijtihad Kontemporer, terjemahan, Surabaya : Risalah Gusti. Al-Zuhaili, Wahbah. 2001. Usul al-Fiqh al-Islami, juz 2, Beirut: Dar al-Fikr.
38
Irtifaq, Volume 1 Nomor 1 Tahun 2014