_____________________________________Senyawa Fenolik pada Sayuran Indigenous
III. SIFAT KIMIA SENYAWA FENOLIK A. Kerangka Fenolik
©SEAFAST Center 2012
Senyawa fenolik, seperti telah dijelaskan pada Bab I, memiliki sekurang‐kurangnya satu gugus fenol. Gugus fenol tersusun atas cincin benzena yang tersubtitusi hidroksil (OH). Benzena merupakan cincin yang dibentuk oleh enam buah atom karbon yang terikat secara semi rangkap (terkonjugasi).
Gambar 3.1. Ikatan kovalen atom karbon (Vermerris dan Nicholson 2006). Interaksi antar sesama atom C dapat berupa ikatan kovalen tunggal, rangkap, atau konjugasi. Satu atom karbon dapat membentuk empat ikatan kovalen. Gambar 3.1 memperlihatkan bagaimana ikatan kovalen antar atom C terbentuk. Ikatan kovalen tunggal terbentuk akibat interaksi elektron dari orbital sp2 atau disebut ikatan σ. Pada ikatan kovalen rangkap dua, selain ikatan σ, terdapat juga ikatan π. Ikatan π terbentuk dari interaksi elektron pada orbital 2p. Perbedaan antara ikatan rangkap dua pada alkena (R‐C=C‐R) dengan ikatan yang terkonjugasi pada benzena adalah elektron
31
Senyawa Fenolik pada Sayuran Indigenous ____________________________________
©SEAFAST Center 2012
π pada benzena dipakai bersama oleh setiap atom C. Oleh karena elektron tersebut digunakan bersama, penggambaran benzena menjadi seperti pada Gambar 3.2. Ikatan rangkap pada benzena tidak selalu berada pada tempat yang sama sehingga digunakan tanda ↔ pada Gambar 3.2.a untuk menyatakan pergerakan elektron. Secara sederhana, konjugasi elektron tersebut dapat diekspresikan dengan sebuah lingkaran di dalam cincin seperti pada Gambar 3.2.b.
Gambar 3.2. Rumus struktur benzena (Vermerris dan Nicholson 2006). Delokalisasi elektron π secara energi lebih disukai sehingga terdapat kecendrungan pada benzena untuk mempertahankan kearomatisasinya. Hal ini membuat senyawa aromatik seperti benzena sangat sulit mengalami reaksi adisi (penggantian ikatan rangkap menjadi dua ikatan tunggal). Sebaliknya, benzena menyukai reaksi subtitusi (penggantian atom). Fenol merupakan salah satu contoh hasil subtitusi benzena dengan gugus hidroksil (Gambar 1.1). Fenol sendiri juga dapat disubtitusi lagi dengan berbagai macam gugus kimia. Beragamnya gugus yang dapat tersubtitusi di gugus fenol membuat senyawa fenolik memiliki banyak anggota seperti yang telah diuraikan pada Bab I.
B. Keasaman Senyawa Fenolik 32
_____________________________________Senyawa Fenolik pada Sayuran Indigenous
Suatu senyawa dikatan asam jika senyawa tersebut dapat melepaskan proton (H+) di dalam larutan. Asam kuat merupakan senyawa yang terdisosiasi (terpisah dengan protonnya) secara sempurna. Sebaliknya, asam lemah (HA) tidak terdisosiasi sempurna atau berada dalam kesetimbangan dengan bentuk disosiasinya (Gambar 3.3). Konstanta keasaman (Ka) menyatakan tingkat pelepasan proton tersebut. Semakin tinggi nilai Ka suatu senyawa, semakin asam senyawa itu. Nilai Ka didefinisikan sebagai
©SEAFAST Center 2012
. Biasanya nilai Ka disederhanakan dengan mengonversi Ka menjadi pKa ( ). Tingkat keasaman yang dinyatakan dengan pKa berkebalikan dengan Ka, yaitu semakin asam suatu senyawa, semakin rendah nilai pKa. Gambar 3.3. Reaksi kesetimbangan asam lemah (Vermerris dan Nicholson 2006). Secara umum, senyawa fenolik merupakan asam lemah. Tingkat keasaman fenol (pKa = 10) berada di antara asam karboksilat (pKa = 4‐5) dan alkohol alifatis (rantai lurus) (pKa = 16‐ 19). Meskipun fenol dan alkohol alifatis sama‐sama hanya memiliki satu gugus hidroksil, namun fenol lebih asam dibandingkan alkohol alifatis. Hal ini karena anion yang terbentuk setelah melepaskan proton pada fenol lebih stabil jika dibandingkan alkohol alifatis. Kestabilan tersebut disebabkan oleh terjadinya resonansi sehingga muatan negatif dapat disebar (delokalisasi) seperti yang digambarkan pada Gambar 3.4.
33
Senyawa Fenolik pada Sayuran Indigenous ____________________________________
©SEAFAST Center 2012
Gambar 3.4. Delokalisasi elektron fenol (Vermerris dan Nicholson 2006). Subtitusi yang terjadi pada fenol dapat mempengaruhi tingkat keasaman senyawa fenolik. Beberapa subtituen (gugus yang disubtitusi) dapat meningkatkan tingkat keasaman dan beberapa lagi memberikan pengaruh sebaliknya. Gambar 3.5 memperlihatkan beberapa contoh pengaruh subtituen terhadap tingkat keasaman fenol. Subtituen penarik elektron (‐Cl, ‐CH=O, ‐ NO2) cendrung menarik elektron yang terdapat di fenol sehingga proton (H+) terikat lebih lemah dan mudah untuk dilepaskan. Sebaliknya, subtituen penyumbang elektron (‐OCH3, ‐CH3) cendrung memberikan elektronnya kepada fenol sehingga proton sulit terlepas.
Gambar 3.5. Pengaruh subtituen terhadap tingkat keasaman (Bruice 2003). Kemampuan subtituen mendelokalisasikan elektron pada anion yang terbentuk setelah proton dilepaskan, juga 34
©SEAFAST Center 2012
_____________________________________Senyawa Fenolik pada Sayuran Indigenous
mempengaruhi tingkat keasaman senyawa fenolik. Semakin panjang jalur delokalisasi, semakin stabil anion yang terbentuk dan semakin asam senyawa tersebut. Subtituen nitro (‐NO2) sebagai contoh, merupakan subtituen yang keberadaannya tidak hanya sebagai penarik elektron tapi juga menambah jalur delokalisasi. Gambar 3.6 menunjukkan perjalanan elektron yang terdelokalisasi lebih panjang akibat keberadaan subtituen nitro (bandingkan dengan elektron yang hanya dapat terdelokalisasi sepanjang cincin benzen pada Gambar 3.4). Kemampuan mendelokalisasikan elektron inilah yang menyebabkan senyawa pada Gambar 3.5.f memiliki pKa paling rendah dibandingkan senyawa lainnya (Gambar 3.5.a‐e).
Gambar 3.6. Delokalisasi elektron akibat subtituen nitro (Hornback 2006). Ketika senyawa fenolik mengandung banyak subtituen yang mampu mendelokalisasikan elektron, senyawa tersebut dapat menjadi asam kuat dengan pKa yang sangat rendah. Contoh senyawa fenolik yang merupakan asam kuat adalah 2,4,6‐ trinitrofenol (pKa 0,71). Senyawa ini memiliki tiga subtituen nitro yang membuat jalur delokalisasi menjadi semakin panjang.
35
Senyawa Fenolik pada Sayuran Indigenous ____________________________________
©SEAFAST Center 2012
Pengetahuan tentang nilai pKa senyawa fenolik bermanfaat ketika akan mengekstrak atau memisahkan senyawa ini. Ketika di dalam suatu bahan pangan terdapat sejumlah senyawa fenolik dengan tingkat keasaman berbeda (dari lemah hingga ke kuat), senyawa‐senyawa tersebut dapat dipisahkan dengan menambahkan basa lemah seperti Na2CO3 atau NaHCO3. Basa lemah ini akan mengikat proton (H+) yang dilepaskan oleh senyawa fenolik yang lebih asam atau asam kuat. Hal ini mengakibatkan terbentuknya garam fenolat yang larut air. Senyawa fenolik yang kurang asam tidak ternetralkan oleh basa lemah atau tidak melepaskan H+ sehingga masih berada dalam bentuk fenolik bebas yang tidak larut air. Perbedaan kelarutan tersebut dapat dimanfaatkan untuk memisahkan kedua jenis senyawa fenolik (asam kuat dan asam lemah) tersebut.
C. Ikatan Hidrogen pada Senyawa Fenolik Ikatan hidrogen merupakan interaksi dipol‐dipol yang secara khusus terjadi antara hidrogen (H) yang terikat pada oksigen (O), nitrogen (N), atau fluorida (F) dengan elektron dari O, N, atau F pada molekul lain (Gambar 3.7). Panjang ikatan kovalen antara atom O dan H adalah 0,96 Å, sedangkan panjang ikatan hidrogen dari atom H satu molekul ke atom O di molekul lainnya hampir dua kali lipat ikatan kovalen (1,69‐1,79). Hal ini menunjukkan bahwa ikatan hidrogen lebih lemah jika dibandingkan ikatan kovalen. Namun demikian, ikatan hidrogen lebih kuat jika dibandingkan interaksi dipol‐dipol lainnya. Ikatan hidrogen terkuat adalah ikatan hidrogen yang terjadi secara linier (atom H dengan atom lainnya berada dalam satu garis lurus).
36
_____________________________________Senyawa Fenolik pada Sayuran Indigenous
©SEAFAST Center 2012
Gambar 3.7. Ikatan hidrogen (Bruice 2003) Atom hidrogen yang terdapat di gugus hidroksil (OH) pada fenol merupakan kandidat yang ideal untuk terjadinya ikatan hidrogen. Gambar 3.8 memperlihatkan tiga molekul senyawa fenol yang berinteraksi melalui ikatan hidrogen. Keberadaan ikatan hidrogen tersebut meningkatkan titik didih dan titik lebur fenol karena dibutuhkan tambahan energi untuk memecah ikatan intermolekular tersebut. Selain itu, ikatan hidrogen pada fenol juga dapat mengubah spektrum UV dan IR senyawa tersebut.
Gambar 3.8. Ikatan hidrogen pada fenol (Vermerris dan Nicholson 2006). Ikatan hidrogen di senyawa fenolik dapat terjadi baik di dalam satu molekul itu sendiri (intramolekular) maupun dengan molekul lain (intermolekular). Ikatan hidrogen yang terjadi secara intramolekular biasanya terjadi pada dua gugus hidroksil (OH) yang 37
Senyawa Fenolik pada Sayuran Indigenous ____________________________________
©SEAFAST Center 2012
berdekatan (subtitusi orto) atau gugus hidroksil dengan karbonil (C=O) yang berdekatan. Gambar 3.9 memperlihatkan ikatan hidrogen intramolekul yang terjadi di quersetin.
Gambar 3.9. Ikatan hidrogen intramolekular (Vermerris dan Nicholson 2006). Adanya ikatan hidrogen yang terbentuk di intramolekular meningkatkan stabilitas senyawa tersebut. Perhatikan bahwa dua ikatan hidrogen pada Gambar 3.9 membentuk dua cincin, cincin heksagonal (OH‐‐O) dan cincin pentagonal (OH‐‐OH). Jenis cincin yang terbentuk memberikan tingkat kestabilan tertentu. Cincin heksagonal lebih stabil dibandingkan dengan cincin pentagonal. Kestabilan yang meningkat akibat keberadaan ikatan hidrogen ini membuat senyawa fenolik menjadi lebih lembam atau kurang reaktif. Ikatan hidrogen tersebut menurunkan solubilitas senyawa fenolik di alkohol dan mengurangi kemampuannya membentuk ester dan eter. Ikatan hidrogen yang terjadi secara intermolekular memberikan pengaruh terhadap kelarutan, titik leleh, dan kemudahan pemisahan. Kelarutan senyawa fenolik meningkat
38
_____________________________________Senyawa Fenolik pada Sayuran Indigenous
dengan adanya interaksi hidrogen intermolekular. Ikatan ini juga meningkatkan titik leleh senyawa fenolik. Hal ini membuat senyawa fenolik yang mengalami ikatan hidrogen intermolekular biasanya berbentuk padat pada suhu ruang. Pemisahan atau pemurnian senyawa fenolik di suatu campuran akan lebih sulit akibat adanya ikatan hidrogen intermolekular karena dibutuhkan energi yang lebih untuk memutuskan interaksi antara senyawa fenolik dengan molekul lainnya, termasuk pelarut.
D. Esterifikasi ©SEAFAST Center 2012
Ester (RCOOR) merupakan senyawa yang terbentuk dari reaksi asam karboksilat (RCOOH) dengan gugus hidroksil dari alkohol (ROH). Gugus hidroksil (OH) dan karboksil (COOH) yang terdapat di senyawa fenolik dapat berpartisipasi dalam pembentukan ester. Ester yang terbentuk dari dua senyawa fenolik jarang ditemukan di alam. Salah satu contoh adalah asam ellagat yang terbentuk dari dua asam galat (Gambar 3.10).
Gambar 3.10. Esterifikasi dari dua senyawa fenolik (Vermerris dan Nicholson 2006).
39
Senyawa Fenolik pada Sayuran Indigenous ____________________________________
©SEAFAST Center 2012
Ester dari senyawa fenolik umumnya ditemukan di alam sebagai senyawa yang dibentuk oleh reaksi antara gugus karboksil senyawa fenolik dengan gugus hidroksil alkohol lainnya (bukan fenol). Sebagai contoh pembentukan ester dengan cara ini adalah asam klorogenat (Gambar 3.11). Asam klorogenat dibentuk dari reaksi gugus karboksil asam kafeat dengan gugus hidroksil asam kuinat.
Gambar 3.11. Asam klorogenat (Vermerris dan Nicholson 2006). Senyawa ester dapat juga terbentuk secara intramolekular. Contoh esterifikasi intramolekular ini adalah pembentukan koumarin dari asam koumarat yang memiliki gugus hidroksil di posisi orto. Gambar 3.12 memperlihatkan proses esterifikasi intramolekular.
40
_____________________________________Senyawa Fenolik pada Sayuran Indigenous
Gambar 3.12. Esterifikasi interamolekular Nicholson 2006).
(Vermerris
dan
©SEAFAST Center 2012
E. Pembentukan Eter Eter (ROR) dapat terbentuk dari reaksi gugus hidroksil pada senyawa fenolik dengan gugus hidroksil alkohol lainnya. Pembentukan eter yang paling sering terjadi adalah eter dari reaksi metanol dengan senyawa fenolik. Gambar 3.13 menujukkan salah satu contoh pembentukan eter dari metanol dan fenol yang menghasilkan metoksibenzen. Metil eter yang terbentuk sangat stabil sehingga produk metoksibenzen menjadi tidaj reaktif.
Gambar 3.13. Reaksi pembentukan eter dari fenol dan metanol (Vermerris dan Nicholson 2006).
F. Oksidasi Senyawa Fenolik Oksidasi yang terjadi terhadap senyawa fenolik dapat mengakibatkan timbulnya warna kecoklatan pada jaringan tanaman seperti munculnya warna coklat segera setelah buah dipotong atau dikupas. Oksidasi pada senyawa fenolik juga dapat menyebabkan terbentuknya berbagai metabolit yang beracun terhadap binatang dan tanaman sehingga dianggap sebagai kerusakan pada pangan. Namun demikian, terdapat juga racun yang terbentuk akibat oksidasi yang dapat menghambat 41
Senyawa Fenolik pada Sayuran Indigenous ____________________________________
©SEAFAST Center 2012
pertumbuhan mikroorganisme patogen. Kemudahan senyawa fenolik teroksidasi menjadikan beberapa dari senyawa ini digunakan sebagai antioksidan pada minyak untuk mencegah terjadinya oksidasi asam lemak. Oksidasi yang terjadi pada senyawa fenolik dapat melalui reaksi autooksidasi atau oksidasi enzimatik. Autooksidasi merupakan reaksi oksidasi yang disebabkan oleh keberadaan cahaya dan oksigen. Dalam kondisi terpapar cahaya, oksigen akan lebih mudah menyerang suatu senyawa sehingga senyawa tersebut melepaskan protonnya. Pelepasan proton ini semakin mudah terjadi pada proton yang berdekatan dengan ikatan rangkap karena radikal elektron dapat terdelokalisasi. Gugus aromatik pada fenol yang dapat memberikan efek delokalisasi lebih tinggi dibandingkan ikatan rangkap alifatik , menjadikan senyawa fenolik lebih mudah mengalami autooksidasi. Fenol radikal dapat bereaksi dengan radikal lainnya membentuk dimer. Oleh karena elektron radikal di fenol terdelokalisasi, maka dimer yang terbentuk beragam tergantung lokasi elektron radikal tersebut pada saat terjadi reaksi. Gambar 3.14 memperlihatkan bagaimana radikal katekol dapat bereaksi membentuk campuran tetrahidroksi‐bifenil dan kuinin.
42
©SEAFAST Center 2012
_____________________________________Senyawa Fenolik pada Sayuran Indigenous
Gambar 3.14. Reaksi radikal katekol (Vermerris dan Nicholson 2006). Mekanisme oksidasi senyawa fenolik kedua yaitu melalui oksidasi berkataliskan enzim. Terdapat tiga kelas enzim utama yang mengkatilisi reaksi oksidasi senyawa fenolik, antara lain oksidoreduktase (E.C. 1.10.3) yang menggunakan oksigen sebagai penerima elektron, peroksidase (E.C. 1.11.1), dan monofenol monooksida (E.C. 1.14.18.1). Enzim‐enzim yang tergolong dari kelas E.C. 1.10.3 yaitu katekol oksidase (E.C. 1.10.3.1), lakkase (E.C. 1.10.3.2), dan o‐ aminofenol oksidase (E.C. 1.10.3.4). Lakkase dikenal juga sebagai p‐difenoloksidase dan katekol oksidase dikenal juga dengan nama difenoloksidase, fenoloksidase, polifenoloksidase, o‐difenolase, fenolase, dan tirosinase. Enzim‐enzim tersebut mengatalisis difenol atau senyawa terkait lainnya sebagai donor elektron dan oksigen sebagai akseptor sehingga terbentuk fenol teroksidasi dan air. 43
Senyawa Fenolik pada Sayuran Indigenous ____________________________________
©SEAFAST Center 2012
Enzim tirosinase memiliki dua tipe aktivitas, yaitu 1) aktivitas fenol o‐hidroksilase, pada tahap ini monofenol dikonversi menjadi o‐difenol melalui inkorporasi oksigen, dan 2) aktivitas katekolase, yaitu difenol yang terbentuk pada tahap pertama dioksidasi. Kedua tahap reaksi ini diilustrasikan pada Gambar 3.15 Pada tahap awal, oksigen menempel di posisi orto senyawa tirosin sehingga terbentuk difenol. Selanjutnya difenol yang terbentuk teroksidasi hingga terbentuk indol‐5,6‐kuinon karboksilat. Oksidasi lebih lanjut terhadap indol‐5,6‐kuinon karboksilat akan menghasilkan pigmen melanin yang menyebabkan timbulnya warna coklat pada apel ketika terekspos udara.
Gambar 3.15 (Vermerris dan Nicholson 2006). Enzim lakkase mengatalisi reaksi oksidasi p‐difenol sehingga terbentuk p‐kuinon. Contoh reaksi berkataliskan lakkase adalah oksidasi yang terjadi pada 1,4‐dihidroksibenzen. Ketika 1,4‐dihidroksibenzen dioksidasi, terbentuk radikal difenol. Elektron radikal yang terdapat di difenol kemudian didelokalisasi sehingga terbentuk konfigurasi yang stabil, yaitu p‐kuinon (Gambar 3.16).
44
_____________________________________Senyawa Fenolik pada Sayuran Indigenous
©SEAFAST Center 2012
Gambar 3.16 (Vermerris dan Nicholson 2006). Enzim yang tergolong dalam kelas monooksigenase (E.C. 1.14), bekerja dalam reaksi oksidasi dengan donor berpasangan. Salah satu anggota kelompok enzim ini adalah monofenol monooksigenase. Jika hanya terdapat 1,2‐benzenediol sebagai substrat, reaksi oksidasi yang dikatalisi oleh monofenol monooksigenase sama dengan reaksi yang dikatalisi oleh katekol oksidase. Pada kasus reaksi dengan enzim monofenol monooksigenase ini, salah satu monofenol bertindak sebagai donor untuk oksidasi monofenol lainnya dan satu atom oksigen terinkorporasikan. Nama umum untuk monofenol monooksigenase pun memiliki kesamaan dengan katekol oksidase. Tirosinase dan fenolase dapat digunakan untuk kedua jenis enzim tersebut. Peroksidase (E.C. 1.11.1) merupakan kelompok enzim pengkatalisis reaksi oksidasi yang menggunakan hidrogen peroksida (H2O2) sebagai akseptor pengoksidasi donor. Hasil dari reaksi oksidasi ini adalah donor yang teroksidasi dan air. Anggota dari kelompok enzim ini antara lain horseradish peroksidase (E.C. 1.11.1.7), mangan peroksidase (E.C. 1.11.1.13), dan diarilpropan peroksidase (E.C. 1.11.1.14). E.C. 1.11.1.7 selain dikenal sebagai 45
Senyawa Fenolik pada Sayuran Indigenous ____________________________________
©SEAFAST Center 2012
horseradish peroksidase, juga memiliki nama umum, yitu guaiakol peroksidase dan skopoletin peroksidase.
46